resume buku-pengadilan ham
DESCRIPTION
erTRANSCRIPT
0
PENGADILAN ATAS BEBERAPA KEJAHATAN SERIUS TERHADAP HAM
Disusun guna memenuhi tugas Hukum dan HAM menyadurBab 1-6 buku Dr.Eddy O.S Hiariej
Disusun Oleh :
Erwin Syahruddin, S.H. (S311602005)
Gabriel Vian Mukti Hutomo Raharjo, S.H. (S311508008)
Agung Ariyanto, S.H. (S311602001)
UNIVERSITAS SEMBELAS MARET SURAKARTA
PASCA SARJANA ILMU HUKUM
2016
1
A. LATAR BELAKANG
Penindakan atas kejahatan serius terhadap HAM dengan menggunakan
Instrumen hukum tidaklah mudah kerena lebih bernuansa politik daripada
masalah hukum. Di satu sisi, dalam konteks hukum pidana nasional, situasi politik
suatu negara sangat mempengaruhi penindakan terhadap pelakunya, karena
biasanya berkaitan erat dengan otoritarian suatu rezim. Misalnya di rezim soeharto
banyak aktivis yang dibungkam dan banyaknya tindakan represif untuk orang
yang tidak sejalan dengan pemerintahan pada saat itu. Tidak berhenti disitu
bahkan pada rezim tersebut banyak korban yang berjatuhan karena berusaha
menentang atau menghalangi kepemerintahan soeharto. Kepemimpinan otoriter
tersebut membangun suatu negara yang rigrid dan tiran sehingga pemerintahan
menjadi semena-mena. Korupsi membabi buta dan banyak masyarakat merasa
tertindas secara mental karena tidak diberikan andil dalam kegiatan bernegara.
Hutang dimana-mana dan dampak tekanan batin juga terasa mengingat banyaknya
nyawa tak berdosa jadi korban akan rezim yang acuh terhadap kemanusiaan.
Seiringnya rezim itu berlalu lukanya masih terasa dan membekas, tanggungan
hutang mulai melilit dan kesejahteraan yang jauh dari yang semestinya mengingat
bangsa indonesi yang kaya akan SDA tapi merana selayaknya tikus yang mati di
lumbung padi.
Covesia.com - Dari 10 kasus pelanggaran HAM berat yang ada di Indonesia, Kejaksaan Agung (Kejagung) baru bisa menyelesaikan tiga kasus.
1. Kasus pelanggaran HAM berat Timor-Timor.2. Tanjung Priuk3. Abepura
Kasus pelanggaran yang belum di usut :1. Tragedi kasus penghilangan paksa beberapa aktivis pada tahun 1997
dan2. Tragedi kasus penghilangan paksa beberapa aktivis pada tahun 1998,3. Tragedi Trisakti di tahun 19984. Peristiwa berdarah di Talangsari pada tahun 19895. Tragedi Wasior 6. Kasus tahun 1965-1966
7. Kasus penembakan misterius (petrus) di tahun 1982-19851
1 Kapuspenkum Kejagung, Tony T Spontana di Kejagung, Rabu (13/5/2015)
2
B. PEMBAHASAN
a. Kejahatan Serius
Istilah kejahatan serius terhadap Ham biasaya ditujukan terhadap
kejahatan Genosida, Kejahatan Perang, dan kejahatan terhadap
kemanusiaan.
Kejahatan tersebut dikualifikasikan sebagai Delicta Jure Gentium, dan
merupakan pengingkaran terhadap Jus cogens (Hukum Pemaksa).
a) 3 Tingkat kejahatan Internasional Dari :
i. Internasional crime (IC)
IC adalah bagian dari jus cogens, yang berkaitan dengan
perdamaian dan keamanan manusia Serta nilai-nilai kemanusiaan
yang fundamental.
Misal : Genosida. Kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan
perang
ii. Internasional Delicts
ID berkaitan dengan kepentingan internasional yang
dilindungi meliputi lebih dari satu negara atau korban dan kerugian
yang ditimbulkannya. Misal : Pembajakan Pesawat Udara,
pembiayaan terorisme, perdagangan obat-obatan terlarang secara
melawan hukum dan kejahatan terhadap petugas PBB.
iii. Internasional Infraction
II tidak termasuk kedalam IC atau ID, kejahatan internasional ini
antara lain pemalsuan & peredaran uang palsu serta penyuapan
terhadap pejabat publik asing.
3
b. Genosida
Geno atau genos berasal dari bahasa yunani kuno berarti Ras,
Bangsa atau etnis. Sedangkan cide, caedere atau cidium berasal dari
bahasa latin yang berarti membunuh. Jadi secara harafiah genosida dapat
diartikan pembunuhan Ras.
i. Elemen genosida
Melakukan perbuatan-perbuatan :
Melakukan perbuatan dalam hukum pidana ada yang bersifat positif
dan negatif. Melakukan perbuatan positif artinya melakukan suatu /
crime by commission, sedangkan negatif artinya tidak melakukan
perbuatan yang seharusnya dilakukan / crime by ommission.
Elemen dengan tujuan merusak begitu saja
Unsur ini mensyaratkan bahwa perbuatan-perbuatan yang dilakukan
harus dengan sengaja. Dengan kata lain, Bentuk kesalahan kejahatan
genosida ini adalahkesengajaan.
Elemen dalam keseluruhan ataupun sebagian, suatu kelompok bangsa,
etnis, ras, atau agama.
Sasaran genosida adalah anggota kelompok, bangsa etnis, ras, agama
baik sebagian ataupun keseluruhan.
4
c. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan
Istilah kejahatan terhadap kemanusiaan pertama kali dikenal
dalam deklarasi bersama antara Perancis, Inggris, dan Rusia pada
tanggal 24 Mei 1915. Deklarasi bersama ini ditujukan untuk mengutuk
tindakan Turki atas kekejaman yang dilakukannya selama perang
terhadap populasi Armenia di Turki. Dalam deklarasi tersebut,
pembantaian terhadap populasi Armenia di Turki dikenal dengan
istilah crimes againts civilization and humanity.
Setelah Perang Dunia I berakhir, dalam kaitannya dengan
Perjanjian Versailles,sekutu mendirikan sebuah komisi pada tahun
1919 untuk menyelidiki kejahatan-kejahatan perang yang melanggar
Konvensi Den Haag tahun 1907 sebagai hukum yang akan
dipergunakan. Selain menyelidiki kejahatan yang dilakukan oleh
Jerman, sekutu juga melakukan penyelidikan terhadap Turki. Di mana
dalam penyelidikannya Sekutu menemukan bahwa para prajurit Turki
juga melakukan kejahatan terhadap hukum-hukum kemanusiaan.
Namun pada saat itu, Amerika dan Jepang dengan keras menentang
kriminalisasi atas perbuatan semacam itu dengan dasar bahwa
kejahatan terhadap hukum-hukum kemanusiaan merupakan
pelanggaran moral dan bukan merupakan pelanggaran hukum.
Perlu diketahui bahwa Konvensi Den Haag tahun 1907
merupakan landasan untuk menetapkan hak dan kewajiban pihak yang
berperang menyangkut pelaksanaan operasi serta membatasi pilihan
sarana mencelakai yang boleh dipakai. Konvensi Den Haag tahun 1907
merupakan wujud keprihatinan yang dikemas dalam upaya sistematis
guna membatasi kebiadapan perang yang terjadi pada saat itu.
Lebih ke dalam, menyikapi Kejahatan Terhadap Kemanusiaan,
Konvensi Jenewa tahun 1864-1949 meskipun masih dalam lingkup
hukum perang, pengaturan perlindungan kemanusiaan dalam hal ini
rakyat sipil diatur lebih jelas dan spesifik.
5
Kejahatan terhadap kemanusiaan di dalam Black’s Law
Dictionary memiliki definisi sebagai A brutal crime that is not an
isolated incident but that involves large ad systematic actions, often
cloacked with official auothority and the shocks the conscience of
humankind.
Di dalam buku ini, pembahasan mengenai Kejahatan Terhadap
Kemanusiaan melibatkan banyak instrumen hukum internasional, yang
meliputi:
a. London Charter (Nuremberg Trial) & Charter of the international
Military Tribunal for the Far East (Tokyo Trial)
b. Resolusi Majelis Umum PBB 2391 (XXIII) Pasal 1 (b)
c. ICTY (International Criminal Tribunal of the Former Yugoslavia)
Pasal 5
d. ICTR (International Criminal Tribunal of Rwanda) Pasal 3
e. Statuta Roma Pasal 7
Berdasarkan berbagai instrumen internasional yang melandasi
pengaturan definisi Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di atas terdapat
beberapa catatan. Berbeda dengan pengertian ‘genosida’ yang pada
intinya sama dalam berbagai instrumen internasional yang
mengaturnya, pengertian ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’
mengandung pengertian yang cukup prinsipil antara instrumen
internasional yang satu dengan instrumen internasional yang lainnya.
Pengertian ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ pada masa
Perang Dunia I dalam London Charter (Nuremberg Trial) dan Charter
of the International Military Tribunal for the Far East (Tokyo Trial)
mensyaratkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan hanya terjadi
dalam situasi perang. Sedangkan dalam Konvensi PBB melalui
Resolusi Umum PBB 2391 (XXIII) Pasal 1 (b) menyebutkan bahwa
‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ tidak hanya berlaku dalam situasi
perang. Di dalam resolusi tersebut telah ditemukan adanya pembatasan
mengenai ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ yang terjadi pada masa
6
perang dan ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ tidak dalam masa
perang.
Definisi ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ kembali mengalami
penyempitan makna dalam International Crime Tribunal for the
Former Yugoslavia (ICTY) yang menyebutkan bahwa terjadinya
kejahatan terhadap kemanusiaan haruslah berada dalam situasi konflik
bersenjata yang ditujukan kepada penduduk sipil, baik konflik
bersenjata dalam skala internal maupun internasional. Sedangkan
dalam International Criminal Tribunal of Rwanda (ICTR)
menyebutkan bahwa ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ sama sekali
tidak dihubungkan dengan situasi perang ataupun damai. Namun,
pengertian ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’ mensyaratkan adanya
serangan yang bersifat meluas atau sistematis yang ditujukan terhadap
kelompok penduduk sipil atas dasar kebangsaan, politik, etnis, maupun
politik.
Pengertian ’kejahatan terhadap kemanusiaan’ dalam Statuta
Roma tidak mensyaratkan apakah kejahatan tersebut terjadi dalam
masa perang ataukah masa damai, namun sama dengan ICTR
mensyaratkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan melibatkan
serangan yang bersifat meluas dan sitematis, ditujukan terhadap
kelompok penduduk sipil. Berbeda dengan instrumen Internasional
yang lain, di dalam Statuta Roma terdapat penambahan kategori
tindakan yang termasuk dalam ‘Kejahatan Terhadap Kemanusiaan’
yang meliputi Forced Pregnancy, The Crime Apartheid, dan Enforced
diappearance of Persons.
7
d. Kejahatan Perang
Di dalam buku ini dituliskan bahwa sejarah perkembangan
hukum pidana internasional, kejahatan perang bersama dengan Piracy
sebagai kejahatan internasional tertua di dunia. Tuntutan internasional
perihal kejahatan perang pertama kali dilakukan terhadap Peter von
Hagenbach pada tahun 1474 di Breisach, Jerman. Hagenbach diadili di
Austria oleh 28 hakim dari persekutuan negara kerajaan suci Roma dan
dinyatakan bersalah atas pembunuhan, pemerkosaan, sumpah palsu,
dan kejahatan lain yang melawan hukum Tuhan dan manusia pada saat
melakukan pendudukan militer. Ksatriaan Hagenbach diputus bersalah
dilucuti dan dijatuhi hukuman mati.
Dalam memahami kejahatan perang, dalam buku ini setidaknya
ada tiga hal yang perlu diulas, yaitu:
a. Pengertian Perang;
b. Hukum Perang atau Hukum Humaniter
c. Definisi kejahatan perang dan pengaturannya dalam instrumen
internasional.
Mengenai pengertian perang, dalam buku ini mengutip banyak
pendapat ahli. Selain itu juga mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia
yang memberi pengertian bahwa perang sebagai permusuhan antara
dua negara atau pertempuran dua pasukan. Kemudian tak lupa pula
bahwa penulis mengutip definisi perang menurut Black’s Law
Dictionary yang mengartikan perang sebagai Hostile conflict by means
of armed foces carried on between nations, states, or rulers, or
sometimes between parties within the same nation or state.
Sementara pendapat beberapa ahli yang penulis kutip adalah
yang pertama G. P. H. Djatikoesomo yang mendefinisikan perang
sebagai sengketa dengan menggunakan kekerasan yang sering
berbentuk kekuatan bersenjata. Sedangkan menurut Carl von
Clausewitz menyebutkan secara ringkas bahwa perang merupakan
8
politik dengan jalan kekerasan. Lebih ke dalam lagi, Clausewitz
menyebutkan bahwa perang adalah ‘bunglon yang nyata’ yang sangat
dinamis dan adaptif seiring perkembangan kondisi sosial politik
internasional. Mengenai definisi perang, penulis memiliki pendapat
tersendiri yang menyebutkan bahwa perang merupakan sengketa yang
biasa menggunakan kekuatan bersenjata antara dua negara atau antara
para pihak dalam satu negara. Sedangkan mengenai Hukum Perang
atau Hukum Humaniter, International Committee of the Red Cross
memberikan definisi sebagai bagian dari hukum internasional yang
mengatur hubungan antar negara selama terjadinya sengketa untuk
mengurangi sebanyak mungkin penderitaan, kerugian, dan kerusakan
akibat perang dengan memberikan kewajiban kepada setiap orang
dalam negara namun tidak dimaksudkan untuk menghambat efisiensi
militer. Dari pendapat para ahli, penulis mengutip pendapat dari H.
Lauterpacht, “.. The rule of the law of nations respecting warfare..”
Sedangkan Starke memberikan definisi Hukum Humaniter, bahwa
hukum perang terdiri dari sekumpulan pembatasan oleh hukum
internasional yang mana kekuatannya diperlukan untuk mengalahkan
musuh boleh digunakan dan prinsip-prinsip perlakuan terhadap
individu-individu pada saat berlangsung perang dan konflik bersenjata.
Sedangkan Mochtar Kusumaatmaja berpendapat bahwa hukum
humaniter sebagai bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-
ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum
perang yang mengatur perang itu sendiri dan segala sesuatu yang
menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.
Sama halnya dengan ‘Kejahatan terhadap Kemanusiaan’ di bab
sebelumnya, adapun instrumen internasional yang mengatur tentang
penindakan tindak ‘Kejahatan Perang’ diatur dalam:
a. London Charter Pasal 6 (b)
b. Charter of the Internationally Military Tribunal for the Far East Pasal 5
(b)
9
c. Statuta ICTY (International Crime Tribunal of the Former Yugoslavia)
Pasal 2 dan Pasal 3
d. Statuta ICTR (International Crime Tribunal of Rwanda) Pasal 4
e. Statuta Roma Pasal 8
Berdasarkan berbagai instrumen internasional yang
memberikan definisi mengenai apa yang dimaksud dengan ‘kejahatan
perang’ ada beberapa catatan yang penulis simpulkan. Yang pertama,
bahwasanya istilah ‘kejahatan perang dalam London Charter dan
Charter of the International Military Tribunal for the Far East
diidentikkan dengan kejahatan terhadap hukum-hukum kebiasaan
perang. Kejahatan perang dalam London Charter tidak didefinisikan
secara limitatif sehingga dimungkinkan penafsiran lebih lanjut
terhadap perbuatan-perbuatan yang dapat dikualifikasikan sebagai
kejahatan perang. Istilah kejahatan perang tidak tercantum secara
eksplisit dalam ICTY. Dalam Pasal 2 maupun Pasal 3 ICTY, yang
substansi dan karakteristiknya adalah kejahatan perang, digunakan
istilah ‘pelanggaran berat terhadap Konvensi-Konvensi Jenewa 1949
dan istilah ‘Pelanggaran hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan
perang’. Sedangkan di dalam ICTR hanya mencantumkan substansi
dan karakteristik kejahatan perang sebagaimana yang dimaksud dalam
Konvensi-Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahan 1977.
Berbeda dengan instrumen Internasional lainnya, istilah
kejahatan perang secara eksplisit tercantum dalam Pasal 8 Statuta
Roma. Dalam konteks Statuta Roma, baik Genosida, kejahatan
terhadap kemanusiaan, maupun kejahatan perang, Statuta menyediakan
instrumen hukum yang bersifat represif atas berbagai kejahatan paling
serius terhadap masyarakat insternasional. Instrumen ini mewajibkan
penuntutan terhadap kejahatan-kejahatan yang menjadi yurisdiksi
International Criminal Court (ICC).
10
e. Pengadilan Nuremberg
1. Holocaust dan London Charter atas kejahatan NAZI Jerman dan
pembentukan Pengadilan Nuremberg.
Jerman dibawah kepemimpinan Adolf Hitler memulai Perang
Dunia II dan telah menaklukkan sebagian besar negara di Eropa dan
Afrika Utara. Istilah Holocaust adalah sebutan untuk genosida yang
dilakukan oleh NAZI Jerman. Sasaran Holocaust adalah orang-orang
Yahudi, Slavia, Soviet, Perancis dan Gipsi. Jutaan warga menjadi
korban Holocaust dibunuh oleh regu tembak, dimusnahkan dalam
kamar gas dan dipanggang di kamp maut NAZI. Jumlah korban NAZI
secara keseluruhan sekitar 6 sampai 7 juta orang.
Pada tanggal 8 Agustus 1945 ditandatangani Perjanjian London
oleh pemerintah negara Amerika, Perancis, Inggris dan Soviet yang
kemudian dikenal sebagai London Charter atau Nuremberg Charter.
Secara eksplisit Pasal 6 London Charter mengatur tiga jenis kejahatan
yaitu kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang dan kejahatan
terhadap kemanusiaan. Hal yang terpenting dalam Pasal 6 tersebut
adalah mengenai tanggung jawab individu, seseorang tidak dapat lagi
berdalih bahwa perbuatan yang ia lakukan untuk kepentingan atau atas
perintah negara. Kedudukan resmi pelaku tidak dapatdijadikan alasan
untuk menghindarkan diri dari tanggung jawab. Kejahatan yang
dilakukan atas perintah pemerintah atau atasan, tidak dapat
membebaskan pelaku dari tanggung jawab dan dijadikan dasar untuk
mengurangi hukuman.
Mahkamah Nuremberg terdiri dari empat orang hakim
ditambah empat orang hakim pengganti yang berasal dari keempat
negara yang menyusun Statuta Mahkamah.
11
2. Kasus kejahatan yang dilakukan oleh para terdakwa dengan jumlah
99 orang.
Para terdakwa yang diadili dalam Pengadilan Nuremberg
adalah para pimpinan dari NAZI Jerman. Dalam buku ini hanya
membahas kasus posisi dari 22 orang terdakwa. Adapun tuduhan
bagi para terdakwa meliputi:
a. Pemufakatan jahat untuk melakukan kejahatan sebelum dan
selama perang berlangsung
b. Kejahatan terhadap perdamaian serta perjanjian-perjanjian
internasional
c. Kejahatan-kejahatan tradisional terhadap hukum perang
termasuk perlakuan terhadap tawanan perang, perbudakan dan
penggunaan senjata yang tidak sesuai aturan
d. Kejahatan terhadap kemanusiaan dalam kamp-kamp
konsentrasi dan pemusnahan manusia
Sidang berlangsung dari tanggal 20 November 1945 sampai
1 Oktober 1946. Adapun pertimbangan-pertimbangan hakim antara
lain:
a. Memidana dengan melanggar asas legalitas memang tidak
adil, tetapi tidak menghukum orang yang bersalah karena
kejahatannya jauh lebih tidak adil.
b. Keadilan lebih didahulukan daripada hukum positif.
c. Penghukuman yang bersifat retroaktif dibenarkan karena
prinsip-prinsip keadilan yang lebih tinggi derajatnya
mengalahkan prinsip non-retroaktif.
d. Meskipun perbuatan itu legal pada saat dilakukan, namun si
pelaku sesungguhnya mengetahui bahwa dalam perbuatan itu
salah dan/atau bahwa perbuatan tersebut dapat dihukum yang
dijatuhkan di kemudian hari.
e. Walaupun perbuatan itu secara formal sah menurut rezim
hukum sebelumnya, perbuatan tersebut sedemikian tercelanya
12
sehingga menurut rezim hukum sebelumnya pun perbuatan itu
tidak legal karena perbuatan itu telah melanggar prinsip-prinsip
umum keadilan yang mengesampingkan hukum positif.
f. Perbuatan tersebut sedemikian tercelanya sehingga
sesungguhnya berdasarkan hukum yang berlaku sebelumnya
pun perbuatan tersebut tidak benar-benar legal secara formal.
g. Perbuatan tersebut sedemikian tercelanya sehingga perbuatan
itu bahkan tidak benar-benar legal secara formal berdasarkan
hukum yang berlaku sebelumnya, hukum tersebut melalui
setiap inteprestasi yang masuk akal, menghukum perbuatan itu
pada saat dilakukan.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, majelis hakim
Pengadilan Nuremberg menjatuhkan pidana mati dengan cara digantung,
pidana penjara seumur hidup serta pidana penjara 10 tahun dan 20 tahun
terhadap para terdakwa. Sementara terhadap beberapa terdakwa diputus
bebas karena tidak terdapat cukup bukti.
3. Catatan krtitis terhadap pengadilan Nuremberg.
Pada pengadilan Nuremberg mengangkat dua isu yang selalu
dijadikan permasalahan oleh para terdakwa yaitu asas legalitas dan
tanggung jawab individu. Terhadap Pengadilan Nuremberg terdapat
catatan kritis sebagai beikut:
a. London Charter adalah kesepakatan negara-negara pemenang
perang Dunia II yaitu Amerika, Inggris, Perancis dan Uni Soviet
yangmana merupakan musuh utama Jerman. Berberapa komentar
terhadap pengadilan ini lebih bermotif politik dari negara-negara
yang ingin membalas dendam terhapa Jerman. Satjipto Raharjo
mengatakan Pengadilan Nuremberg sebagai Victory Justice yaitu
suatu pengadilan sang pemenang terhadap mereka yang kalah dan
dapat terjadi dalam konteks dunia maupun sutu negara.
13
b. Rumusan kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang dan
kejahatan terhadap kemanusiaan yang dirumuskan dalam London
Charter adalah potret dari tindakan-tindakan Jerman selama
berperang.
c. Dalam Rumusan London Charter terdapat tumpang tindih antara
rumusan kejahatan yang sastu dengan yang lain.
d. Kejahatan yang dilakukan NAZI Jerman merupakan pelanggaran
terhadap jus cogens. Para pelaku harus dijatuhi hukuman pidana
karena kejahatan-kejahatan tersebut kontra dengan hak asasi
manusia, yaitu hak untuk hidup.
e. Hukum pidana klasik versus hukum pidana modern dengan
memberlakukan surut suatu ketentuan pidana terhadap suatu
perbuatan yang pada waktu dilakukan bukan merupakan perbuatan
pidana.
f. Kepastian hukum versus keadilan hukum. Pengadilan Nuremberg
lebih menjamin keadilan kendatipun mengesampingkan asas
legalitas.
g. Hukum pidana nasional versus hukum pidana internasional.
Dalam konteks hukum pidana internasional, asas legalitas lebih
menekankan pada prinsip keadilan.
h. Argumentasi yang dikemukakan oleh para terdakwa bahwa
Mahkamah Nuremberg melanggar prinsip nullum crimen sine lege
adalah ketidakkonsistenan Jerman dalam pelaksanaan asas
legalitas.
i. Pengadilan Nuremberg telah mengesampingkan asas legalitas
dengan menerapkan analogi.
j. Pengadilan Nuremberg telah meletakkan suatu landasan yang
kokoh mengenai tanggung jawab individu dalam hukum pidana
internasional atas tindakan suatu negara.
k. Pengadilan Nuremberg menerapkan direct enforcement system
yaitu upaya melaksanakan pembentukan suatu mahkamah
14
internasional dan upaya mengajukan tuntutan dan peradilan
terhadap pelaku kejahatan internasional secara langsung tanpa
melalui hukum nasional negara tersebut.
l. Penulis sependapat dengan sejumlah argumen untuk
mengesampingkan larangan berlaku surut, anatara lain:
1) Kendatipun perbuatan terdakwa adalah legal, namun
perbuatan tersebut sedemikan teselanya sehingga keadilan
membenarkan untuk menghukum perbuatan tersebut
sekarang.
2) Perbuatan pada saat itu legal untuk dilakukan namun si pelaku
sesungguhnya mengetahui bahwa dalam pertimbangan penting
perbuatan itu salah dan bahwa perbuatan tersebut dapat
dihukum dikemudian hari.
3) Prinsip-prinsip umum keadilan mengesampingkan hukum
nasional yang berlaku.
4) Ketidakberlakusurut melalui reinteprestasi terhadap hukum
yang terdahulu.
5) Pelanggaran yang nyata terhadap hukum sebelumnya.
f. Pengadilan Tokyo
1. Pembentukan Pengadilan Tokyo.
Alasan Jepang untuk memulai Perang Dunia II adalah masalah
perekonomian yang dialami Jepang, Jepang membutuhkan wilayah
yang lebih besar bagi Jepang guna membangun kekuasaan ekonomi
Jepang yang cukup mandiri, dan Jepang percya bahwa Cina adalah
musuh utama dan bangsa yang rendah untuk dimusnahkan. Jepang
memulai perang di Asia berawal dari invasi ke Cina. Serangan brutal
jepang tidak hanya terhadap militer Cina, tetapi juga terhadap penduduk
sipil. Lebih dari 350 ribu penduduk militer Cina diperkosa, disiksa dan
dibunuh. Dalam penyerangan ke Cina, Jepang juga menggunakan gas
15
beracun. Secara keseluruhan jumlah orang Cina yang terbunuh sekitar
19 juta orang selama 8 tahun perang. Perang yang tidak kalah brutalnya
juga dilakukan Jepang terhadap Birma, Vietnam, Kamboja, Malay dan
Philipina.
Pada tanggal 19 januari 1946 dibentuk Mahkamah Tokyo
dengan nama resmi Charter of the International Military Tribunal fo the
Far East. Mahkamah Tokyo dibentuk berdasarkan proklamasi
komandan Tertinggi Pasukan Sekutu di Timur Jauh. Selanjutnya
Amerika menyusun Mahkamah Tokyo yang mengacu pada Piagam
Numberg. Yurisdiksi Mahkamah Tokyo diatur dalam pasal 5 yang
menyangkut tiga jenis kejahatan, yaitu kejahatan terhadap perdamaian,
kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Mahkamah
Tokyo terdiri dari 11 hakim yang semuanya ditunjuk oleh Jendral
Douglas Mac Arthur mewakili 11 negara.
2. Kasus posisi kejahatan yang dilakukan para terdakwa dalam
Pengadilan Tokyo.
Para terdakwa yang diadili dalam Pengadilan Tokyo adalah
para petinggi negara dan pimpinan dari pasukan Jepang. Adapun
tuduhan bagi para terdakwa meliputi: 36 tuduhan terkait kejahatan
terhadap perdamaian, 16 tuduhan menyangkut pembunuhan, dan 3
tuduhan mengenai kejahatan perang dan kejahatan terhadap
kemanusiaan. Adapun pertimbangan-pertimbangan hakim antara
lain:
a. Prinsip nullum crimen sine lege bukanlah suatu prinsip
keadilan melainkan sebuah kebijakan negara untuk melindungi
warga negara dari kesewenang-wenangan pengadilan.
b. Hukum positif adalah lawan dari keadilan dan tidak dapat
diterapkan jika ada ketidakkonsistenan antara undang-undang
dan keadilan.
16
c. Kendatipun perbuatan terdakwa legal, namun perbuatan
tersebut sedemikian tercelanya sehingga keadilan
membenarkan untuk menghukum perbuatan tersebut sekarang.
d. Meskipun perbuatan itu legal pada saat dilakukan, namun si
pelaku sesungguhnya mengetahui bahwa dalam perbuatan itu
salah dan/atau bahwa perbuatan tersebut dapat dihukum yang
dijatuhkan di kemudian hari.
e. Walaupun perbuatan itu secara formal sah menurut rezim
hukum sebelumnya, perbuatan tersebut sedemikian tercelanya
sehingga menurut rezim hukum sebelumnya pun perbuatan itu
tidak legal karena perbuatan itu telah melanggar prinsip-prinsip
umum keadilan yang mengesampingkan hukum positif.
f. Perbuatan tersebut sedemikian tercelanya sehingga perbuatan
itu bahkan tidak benar-benar legal secara formal berdasarkan
hukum yang berlaku sebelumnya, hukum tersebut melalui
setiap inteprestasi yang masuk akal, menghukum perbuatan itu
pada saat dilakukan.
g. Kendatipun Jepang bukan merupakan state party dalam
Konvensi Den Haag 1907 mengenai cara dan alat berperang,
tetapi konvensi tersebut sudah merupakan hukum kebiasaan
internasional yang harus ditaati oleh bangsa-bangsa beradab di
dunia.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, majelis hakim
Pengadilan Tokyo menjatuhkan pidana mati dengan cara digantung, pidana
penjara seumur hidup serta pidana penjara 20 tahun terhadap para terdakwa.
3. Catatan kritis terhadap Pengadilan Tokyo.
Sama halnya dengan Mahkamah Nuremberg, Mahkamah Tokyo
juga menuai keberatan dari semua terdakwa. Terhadap Pengadilan
Nuremberg terdapat catatan kritis sebagai beikut:
17
a. Pada pengadilan Tokyo mengangkat dua isu yang dipermasalahan oleh
para terdakwa yaitu bahwa Piagam Tokyo dibentuk berdasarkan
Proklamasi Komandan Tertinggi Pasukan Sekutu di Timur Jauh serta
Mahkamah Tokyo lebih bermotif politik.
b. Terdapat tumpang tindih antara rumusan kejahatan yang satu dengan
yang lain.
c. Kejahatan yang dilakukan Jepang merupakan pelanggaran terhadap jus
cogens.
d. Piagam tersebut melanggar prinsip nullum crimen sine lege membatasi
penggunaannya terhadap keberadaan kejahatan yang dituduhkan dan
bukan terhadap pengadilan yang menjangkau peristiwa yang dilakukan
sebelum perbuatannya.
e. Berpedoman pada Mahkamah Nuremberg yaitu meletakkan suatu
landasan yang kokoh mengenai tanggung jawab individu dalam hukum
pidana internasional atas tindakan suatu negara.
f. Berbeda dengan Mahkamah Nuremberg yang mana semua hakim
bersepakat terhadap jalannya persidangan, dalam Mahkamah Tokyo
salah seorang dari sebelas hakim yang ada memberikan pendapat yang
berbeda dalam hal penggunaan hukum ex post facto. Pelarangan hukum
ex post facto adalah sebuah ekspresi kebijakan politik yang tidak terlalu
digunakan dalam hubungan internasional. Pelarangan ini boleh jika
keadaan mengharuskan untuk diabaikan oleh pemegang kekuasaan
dalam perang kemerdekaan.
C. KESIMPLAN
Penegakan Hukum HAM sangat membutuhkan kesadaran para
pemangku kepentingan di birokrat khususnya pihak eksekutif yang dapat
secara tegas tidak hanya sekedar suara akan tetapi aksi dan sikap pro-aktif
terhadap menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang ada di Negaranya.
Hal ini sangat memprihatinkan karena dalam hal law enforcement HAM
18
sangat dipengaruhi pada kondisi politik khususnya yang menyangkut
rezim pada waktu pemerintahan tertentu. Tidak hanya aturan hukum
nasional akan tetapi pengaturan hukum internasional juga sudah mengatur
secara tegas dan menindak bagi setiap negara yang melakukan kejahatan
HAM internasional dalam proses rezim kepemerintahan yang tiran. Maka
dari itu hal ini juga membutuhkan kerjasama yang kooperatif dalam
melindungi harkat dan martabat manusia agar tidak didzolimi oleh orang
yang tidak berperikemanusiaan yang memimpin suatu organisasi
kekuasaan yang haus akan hormat dan cenderung korup serta menciptakan
tirani yang dapat merusak tatanan hidup manusia secara harafiah yaitu
memperoleh kemerdekaan hidup dalam segala aspek kehidupan.