pelanggaran ham

Upload: yuni-nurcahyani

Post on 19-Jul-2015

212 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PELANGGARAN HAM

DISUSUN OLEH: HANA NABILAH (18) M. AMIRUL HAMZAH (27)

SMP NEGERI 2 GEMPOL TAHUN AJARAN 2011-2012

KASUS TRISAKTI

Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta, Indonesia serta puluhan lainnya luka. Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, leher, dan dada.

KASUS PENGGUSURAN RUMAH

Penggusuran terhadap rumah warga selalu terjadi setiap tahun. Tata ruang kota selalu menjadi alasan bagi pemerintah untuk melakukan kebijakan yang merugikan bagi sebagian warga kota itu.Kebijakan pemerintah melakukan penggusuran ini dinilai sebagai bentuk pelanggaran HAM. Hal itu terungkap dalam diskusi yang digelar oleh Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Jl Pancawarga IV, Kalimalang, Jakarta, Rabu (4/10/2006).

KASUS PEMBEBASAN ADELIN LIS

Pembebasan Adelin Lis yang merupakan tersangka kasus pembalakan liar yang banyak terjadi di Indonesia lembaga permasyarakartan tempat dia ditahan pada beberapa waktu yang lalu merupakan salah satu kasus pelanggaran HAM di negeri kita. Menteri Hukum dan HAM menegaskan, Bahwa bebasnya Adelin Lis dari lembaga permasyarakatan tersebut beberapa waktu yang lalu tlah di atur oleh petugas lembaga permasyarakatan yang bekerja di tempat Adelin Lis di tahan. Berikut adalah penuturan dari petugas penjaga lembaga permasyarakatan yang membantu bebasnya Adelin Lis, saya membantu Adelin Lis karna dia akan memberikan uang bila saya dapat mengatur surat pembebasan dirinya. dari penuturan tersebut kenyataannya adalah aparat keamanan di Indonesia masih kalah dengan sistem kolusi yang sering digunakan oleh para peabat yang faktanya bersalah. Disamping itu, penjaga lembaga pemasyarakatan yang terkait dengan pembebasan Adelin Lis sekarang ini tlah dinyatakan sebagai tersangka. Yang menjadi perdebatan para aktivis HAM adalah, Mengapa aparat keamanan yang berada dilembaga pemasyarakatan tempat Adelin Lis ditahan mudah sekali terbujuk oleh sebuah kenikmatan dunia sesaat yang dijanjikan oleh Adelin Lis? Tidak lama setelah Adelin Lis bebas, akhirnya aparat kepolisian berhasil kembali menangkap Adelin Lis.

KASUS SEMANGGI I DAN II

Tragedi Semanggi menunjuk kepada dua kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa yang mengakibatkan tewasnya warga sipil. Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan sebelas orang lainnya di seluruh jakarta serta menyebabkan 217 korban luka - luka.

KASUS WASIOR

Akibat serangan aparat 49 warga sipil menjadi korban, 4 tewas, 39 warga diperlakukan tidak manusiawi, 5 orang hilang dan 1 orang mengalami kekerasan seksual. Komnas HAM telah melakukan penyelidikan kasus di pelanggaran HAM di Wasior. Komnas HAM menyelidiki sejak 17 Desember 2003-31 Juli 2004 dan menyerahkan hasilnya ke Kejaksaan Agung, 3 September 2004. Serupa dengan kasus Trisakti Semanggi dan Mei 1998, Jaksa Agung mengembalikan berkas penyelidikan dengan alasan tidak terpenuhinya persyaratan formil dan materil. Komnas HAM menjawab kekurangan bukti-bukti tersebut bisa dilakukan oleh penyidik. Alhasil, lebih dari 3 tahun, tidak juga ada kata sepakat antara Komnas HAM dan Jaksa Agung. Selama lebih dari 3 tahun pula, tidak ada penyidikan untuk kasus ini. Sementara nun jauh di pedalaman Wasior, korban dan keluarga korban menanti selesainya proses hukum serta keadilan. Sementara tak ada juga jaminan perlindungan keamanan bagi para saksi dan korban. KontraS menilai, terhambatnya proses hukum atas kasus ini tak lepas dari ketiadaan political will pemerintah, baik di Jakarta maupun di Papua untuk menyelesaikan masalah kemanusiaan ini. Semestinya tak ada lagi alasan bagi Jaksa Agung untuk segera lakukan penyidikan. Jaksa Agung tak harus menunggu rekomendasi DPR bagi pembentukan pengadilan HAM, sebagaimana diatur dalam UU tentang Pengadilan HAM. Di sisi lain, pemerintah Papua juga tidak menempatkan persoalan ini menjadi hal yang penting. Padahal political will pemerintah bagi penyelesaian kasus-kasus masa lalu menjadi salah satu ukuran komitmen yang termaktub dalam UU Otonomi Khusus Papua. Berbagai diskursus yang berkembang tidak memberikan perhatian yang serius terhadap pelaksanaan HAM, termasuk penguatan Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, maupun pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua.

KASUS PEMBUNUHAN DI TALANGSARI

Proses penyelidikan yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Kasus Talangsari 1989, telah selesai. Kasus dugaan pelanggaran HAM ini selanjutnya tinggal di Kejaksaan Agung (Kejakgung). Hal tersebut diungkapkan Ketua Komnas HAM, Ifdhal Kasim, seusai menandatangi kesepahaman Komnas HAM dengan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Lampung, di Kantor Gubernur Lampung, Selasa (26/10). Penyelidikan kasus Talangsari sudah selesai, katanya. Penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat ini, sudah berlangsung sejak tahun 2005. Hasil penyelidikan tersebut, kata dia, Komnas HAM merekomendasikan ke Kejakgung, karena diduga terjadi pelanggaran HAM berat pada kasus pembataian di sana. Peristiwa yang dikenal Talangsari, terjadi pada Selasa 7 Februari 1989. Saat itu, terjadi penyerbuan oleh aparat keamanan ke pondok pengajian di Desa Talangsari III, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Akibat penyerbuan dengan senjata api tersebut, sedikitnya 246 korban meninggal dunia. Puluhan warga, korban penyerbuan dipenjara. Tindakan ini, dilakukan secara hukum maupun tanpa proses hukum. Ifdhal mengatakan, dugaan kasus pelanggaran HAM berat Talangsari itu, harus ada tindaklanjut agar semua pihak terutama keluarga korban mendapat perlakuan hukum yang sama. Komnas HAM terus mendorong kasus itu diproses secara hukum. Pihaknya juga sudah melakukan dialog dengan pihak Kejakgung dan Komisi III DPR RI. Namun, hasil pertemuan dengan Kejagung maupun wakil rakyat itu belum menemukan titik temu untuk menyelesaikan kasus HAM Talangsari. Dalam penjelasannya, untuk memproses kasus Talangsari itu, Kejakgung meminta lebih

dulu Pengadilan HAM adhoc, sehingga setelah hasil penyidikan dapat langsung disidangkan di pengadilan tersebut. Sementara itu, pembentukan pengadilan HAM adhoc sendiri tergantung rekomendasi DPR RI. Ia menyebutkan masih ada nuansa politik dalam penyelesaian kasus HAM Talangsari tersebut. Tetapi, Komnas HAM menyatakan masih ada jalan keluar penyelesaian kasus itu untuk diproses lebih lanjut. PENGHILANGAN PAKSA AKTIVIS 1998

Total jumlah aktivis yang sampai saat ini belum diketahui keberadaannya setelah di "sulap" saat itu berjumlah 13 orang. Keberadaan mereka,entah masih hidup ataupun sudah meninggal,entah dimana keberadaan mereka saat ini tidak ada yang mengetahuinya. Saya jadi ingat beberapa saat yang lalu saya menonton sebuah film dokumenter di kampus saya, di film itu terdapat cuplikan wawancara dengan salah seorang orangtua dari aktivis yang hilang tersebut. Mereka sebenarnya hanya ingin mengetahui dimana keberadaan anak mereka,ataupun jika sudah wafat maka mereka ingin tahu dimana makam anak mereka agar tercipta sedikit ketenangan di dalam hati mereka. Memang jika mengingat kerusuhan yang terjadi pada bulan Mei 1998 saat itu di beebrapa daerah jelas memberikan gambaran tehadap kita bagaimana sebenarnya "wajah" TNI pasa masa itu. Penanganan aksi demonstrasi dengan cara kekerasan, penculikan beberapa aktivis, dsb semakin mempertegas "wajah" TNI saat itu. Mei 1998, penuh dengan kejadian - kejadian yang dapat dikatakan menjadi tonggak reformasi Indonesia, penuh dengan kerusuhan - kerusuhan yang sebenarnya merupakan ungkapan kekecewaan masyarakat terhadap pemerintahan Orba saat itu. Mei 1998 akan

selamanya dikenang oleh Bangsa ini sebagai bulan dimana seluruh masyarakat Indonesia bersatu untuk meruntuhkan Rezim Orba yang sudah terlalu lama berkuasa. Mei 1998 akan terus dikenang oleh beberapa orang sebagai bulan dimana orang - orang yang mereka cintai satu persatu hilang ditelan bumi.. KASUS BUAH KAKAO

Kasus nenek Minah asal Banyumas yang divonis 1,5 bulan kurungan dengan masa percobaan 3 bulan akibat mencuri tiga buah kakao membuat Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar prihatin. Para penegak hukum harusnya mempunyai prinsip kemanusiaan, buka cuma menjalankan hukum secara positifistik. Ironi hukum di Indonesia ini berawal saat Minah sedang memanen kedelai di lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah, pada 2 Agustus lalu. Lahan garapan Minah ini juga dikelola oleh PT RSA untuk menanam kakao. Ketika sedang asik memanen kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3 buah kakao yang sudah ranum. Dari sekadar memandang, Minah kemudian memetiknya untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao itu tidak disembunyikan melainkan digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao. Dan tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu.

Dengan polos, Minah mengaku hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh dilakukan karena sama saja mencuri. Seminggu kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa kasus pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. KASUS MESUJI

Pengaduan masyarakat dan video pembunuhan terkait konflik lahan yang beredar di media televisi dua hari lalu mengalami kesimpangsiuran lokasi, waktu, dan kejadian. Pengaduan dan sebagian video merupakan dua peristiwa yang terpisah. Video pembunuhan yang memperlihatkan pemenggalan kepala terjadi di Desa Sungai Sodong, Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, dan bukan dari Mesuji, Provinsi Lampung. Kedua lokasi ini memang berbatasan dan hanya dipisahkan oleh sungai. Di dua lokasi berbeda itu, warga memang sama-sama mengalami konflik dengan perusahaan kelapa sawit, tetapi perusahaannya berbeda. Pembunuhan dengan memenggal kepala itu terjadi pada Kamis, 21 April 2011, di Desa Sungai Sodong, Sumatera Selatan. Salah satu asisten kebun dipenggal oleh masyarakat yang marah karena terbunuhnya dua warga desa. Dalam peristiwa itu tujuh orang tewas, terdiri dari dua warga desa, Syafei dan Macan, yang masih belasan tahun, serta lima orang dari pihak PT Sumber Wangi Alam (SWA). Kejadian diawali bentrokan warga dengan orang-orang yang disewa perusahaan perkebunan kelapa sawit PT SWA. Bentrokan diawali penganiayaan serta pembunuhan terhadap Syafei dan Macan di Blok 19 kebun PT SWA pada Kamis pagi. Mereka ditemukan dengan luka-luka mengenaskan, termasuk telinga yang dipotong dan leher tergorok. "Kami juga melihat adanya luka tembak yang ciri-cirinya lubang masuk kecil dan lubang keluar besar seperti meledak. Kami mencurigai ada anggota kepolisian terlibat dan senjata

yang digunakan adalah peluru yang bisa meledak setelah ditembakkan," kata tokoh masyarakat setempat, Chichan, Kamis (15/12/2011). Sekitar 200 warga dari enam desa yang masih berkerabat dengan dua korban itu kemudian marah dan menyerbu kompleks perumahan pegawai perkebunan. Warga juga merusak belasan rumah karyawan PT SWA, merusak truk-truk operasional, dan membakar satu sepeda motor. "Aksi sadis warga dipicu kemarahan dan terjadi secara spontan," ujar Chichan. Warga Sungai Sodong lainnya, Lia, mengatakan, pemberitaan yang beredar di media televisi tak benar karena bukan warga Sungai Sodong yang melapor ke DPR pada Rabu lalu. "Kasus kami soal sengketa lahan 298 hektar ditambah 630 hektar lahan yang diklaim perusahaan justru tak muncul. Namun, video kejadian yang ditayangkan itu terjadi di desa kami," katanya.

KASUS PRITA EMAIL BERUJUNG BUI

Kasus yang menimpah Prita Mulyasari cukup menarik.Sebetulnya bukan termasuk besar, tetapi rupanya ada konspirasi yang membesarbesarkan. Kasus ini bermula dari kejadian Curhat dan bersifat pribadi dari korban ( pasien ) di RS Omni Internasional atas dampak pengobatan yang mengakibatkan korban mengalami luka tambahan dari luka lama. Curhat tersebut dia ungkapkan kepada sahabatnya via email. Artinya si Prita dapat disebut sebagai pihak Konsumen dari penyedia jasa layanan usaha RS Omni tersebut. Sebagai konsumen Prita punya hak menyampaikan unek-unek ketidakpuasannya terhadap pelayanan penyedia jasa dan itupun dilindungi Undang Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Penegakan hukum terhadap Prita jelas-jelas melanggar HAM, Polres

dan Kajari Tangerang dapat dituntut balik beserta Rumah sakitnya, demi nama baik dan kerugian yang diderita ibu 2 orang anak Balita ini

PERISTIWA G 30S PKI

Kasus Pelanggaran HAM Pasca G30SPKI Rakyat, terutama golongan Islam yang mayoritas, dianggap inferior ketika PKI berkuasa. Kini, keadaan berbalik. PKI gagal melakukan kudeta dan kekuatan ada di tangan Angkatan Darat yang dianggap lebih bersahabat pada rakyat. Alhasil, Gerakan 30 September bagaikan bumerang bagi PKI. Dapat dikatakan, keberhasilan pembantaian enam jenderal adalah blunder terfatal gerakan tersebut. Mereka dimusuhi rakyat dan kalah propaganda. Sejak Oktober 1965, gelombang pembersihan terhadap semua hal yang berkaitan dengan PKI semakin besar. Tidak hanya anggota atau pendukung PKI yang terkena getahnya, tetapi juga semua yang berbau PKI, termasuk organisasi kemasyarakatan biasa yang berafiliasi dengan partai tersebut. Kelompok pemuda di tanah Jawa, melakukan penyisiran besar-besaran sekaligus pembantaian demi pembantaian terhadap PKI dan sekutu-sekutu mereka. Tercatat, pada Oktober 1965, terjadi pembunuhan besar-besaran di Jawa Tengah. Bulan berikutnya, giliran Jawa Timur yang melakukan pembersihan. Pada 1965, tepatnya Desember, Bali juga menjadi tempat penghancuran PKI. Tidak diketahui seberapa besar jumlah orang yang dibantai dalam rentetan peristiwa itu. Minimal, ada 500.000 orang. Namun, data yang lebih valid menyebutkan sekitar lebih dari 1 juta orang yang menjadi korban tak berdosa atas Gerakan 30 September. Suka tidak suka, inilah salah satu kasus pelanggaran HAM terberat di Indonesia.

Deskripsi pembantaian semua yang berafiliasi dengan PKI sendiri sangat mengerikan. Ada desas-desus yang menyebutkan, sepanjang pembantaian tersebut, di titik-titik tertentu sepanjang Sungai Brantas, aliran sungai sampai terbendung mayat karena terlalu banyaknya orang yang dibunuh. Hal serupa juga muncul di Sumatera Utara. Sungaisungai dipenuhi mayat dan di mana pun tercium bau mayat yang membusuk. Lalu, siapakah biang keladi atas kasus pelanggaran HAM ini? Terlalu banyak kebetulan dalam kasus pelanggaran HAM G30S. Hal-hal ini berkelindan dan sulit dilacak penyebab tunggalnya. Apakah G30S benar-benar dijalankan sendiri oleh PKI? Apakah Soeharto yang mengomandoi segala hal demi mendapatkan kepercayaan rakyat dan posisi RI1? Fakta akan semakin bias jika kita menyadari bahwa ada laporan yang menyebutkan CIA dan Amerika Serikat terlibat dalam gerakan ini. AS jelas memiliki kepentingan untuk menghindarkan Indonesia dari warna merah Uni Sovyet atau RRC. Selain itu, isu Dewan Jenderal yang ditiupkan sepanjang 1965 mirip dengan kejadian serupa pada 1973 di Chili. Kala itu, pemberontakan militer juga menggunakan isu adanya Dewan Jenderal yang hendak dibasmi oleh pemerintah, sebelum akhirnya militer berkuasa. Jika melihat dua kebetulan ini, mungkin kita akan percaya bahwa Amerika Serikat adalah dalang dalam berbagai kasus pelanggaran HAM di dunia, demi melegalkan posisi mereka sebagai negara super power. Namun, hingga saat ini, kita masih harus berkata bahwa kasus pelanggaran HAM Gerakan 30 September memiliki banyak pemain yang mencari peluang terbaik. Namun, Soeharto menjadi pemain yang paling diuntungkan akibat peristiwa itu. Ketika berada di puncak, Soeharto pun menggunakan strateginya sendiri untuk mengenyahkan lawan politiknya, baik PKI maupun kelak Masyumi (partai Islam), bahkan meski cara-cara yang dipakainya merupakan kasus pelanggaran HAM.

KASUS PEMBUANGAN BAYI/ANAK OLEH ORANG TUA

Anak sebagai sebagai generasi penerus bangsa, sudah seharusnya anak selalalu dipersiapkan untuk bisa mengemban cita-cita bangsa bukan justru sebaliknya tak sedikit orang yang merampas hak anak. Contoh-contoh pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada anak seperti pembuangan bayi, penelantaran anak, gizi buruk hingga penularan HIV/Aids dsb. Dala beberapa tahun terakhir kasus pembuangan bayi yang dilakukan orang tuanya terus meningkat berdasarkan catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA). Pada tahun 2008 seperti yang tercatat pada Komnas PA telah terjadi pengaduan kasus pembuangan bayi sebanyak 886 bayi. Sedangkan tahun 2009 jumlahnya meningkat menjadi 904 bayi. Tempat pembuangan bayi juga beragam, mulai dari halaman rumah warga, sungai, rumah ibadah, terminal, stasiun kereta api, hingga selokan dan tempat sampah, Dari kasus ini 68% bayi meninggal sedangkan sisanya masih hidup diasuh masyarakat atau dititip dipanti asuhan dan masih banyak lagi contoh-contoh pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia

Peristiwa Tanjung Priok

ragedi bermula di hari Senin, 10 September 1984. Seorang oknum Anggota Babinsa Koja Selatan menyinggung perasaan ummat Islam. Ia masuk ke dalam masjid tanpa melepas sepatu, menyiram dinding mushala dengan air got. Warga marah dan motor oknum tersebut dibakar. Buntutnya, empat orang pengurus mushala diciduk Kodim. Mereka Achmad Sahi, Syafwan Sulaeman, Syarifuddin Rambe dan M. Nur. Upaya persuasif yang dilakukan ulama tidak mendapat respon dari aparat.

12 September 1984, malam hari di Jalan Sindang, Tanjung Priok, diadakan tabligh. Ribuan orang berkumpul juga meminta agar agar aparat melepas empat orang yang ditahan terdengar semakin keras. Ikut dalam acara itu Amir Biki, Syarifin Maloko, Yayan Hendrayana. Dalam khotbahnya menuntut pada aparat keamanan untuk membebaskan empat orang jemaah Mushola As Saadah yang ditahan. Sampai jam sebelas malam tidak ada jawaban dari Kodim, malah tank dan pasukan didatangkan ke kawasan Priok. Akhirnya, lepas jam sebelas malam, massa mulai bergerak menuju markas Kodim. Massa yang bergerak ke arah Kodim, di depan Polres Metro Jakarta Utara, dihadang oleh

satu regu Arhanud yang dipimpin Sersan Dua Sutrisno Mascung di bawah komando Kapten Sriyanto, Pasi II Ops. Kodim Jakarta Utara. Tanpa peringatan terlebih dahulu, tentara mulai menembaki jamaah dan bergerak maju. Gelegar senapan terdengar bersahutsahutan memecah kesunyian malam. Aliran listrik yang sudah dipadamkan sebelumnya membuat kilatan api dari moncong-moncong senjata terlihat mengerikan.

Setelah peristiwa, aparat TNI melakukan penggeledahan dan penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai mempunyai hubungan dengan peristiwa Tanjung Priok. Korban diambil di rumah atau ditangkap disekitar lokasi penembakan. Semua korban sekitar 160 orang ditangkap tanpa prosedur dan surat perintah penangkapan dari yang berwenang. Keluarga korban juga tidak diberitahu atau diberi tembusan surat perintah penahanan. Para korban ditahan di Laksusda Jaya Kramat V, Mapomdam Guntur dan RTM Cimanggis. Semua korban yang ditahan di Laksusda Jaya, Kodim, Guntur dan RTM Cimanggis mengalami penyiksaan, intimidasi dan teror dari aparat. Bentuk penyiksaan antara lain dipukul dengan popor senjata, ditendang, dipukul dan lain-lain.