analisa kasus pelanggaran ham berat di pengadilan ham

23
ANALISA KASUS PELANGGARAN HAM BERAT DI PENGADILAN HAM JAKARTA PUSAT ATAS NAMA TERDAKWA ASEP KUSWANI DKK. Kasus posisi Bahwa terdakwa 1 , bertugas selaku komandan distrik militer 1638 liquisa, terdakwa2 selaku kepolisian resort liquisa dan terdakwa 3 selaku bupati kepala daerah tingkat II Liquisa. Jaksa penuntut umum mendakwa terdakwa tidak melakukan atau tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan pasukan atau bawahannya atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Upload: raziezie

Post on 31-Dec-2015

26 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Analisa HAM

TRANSCRIPT

Page 1: Analisa Kasus Pelanggaran Ham Berat Di Pengadilan Ham

ANALISA KASUS PELANGGARAN HAM BERAT DI

PENGADILAN HAM

JAKARTA PUSAT ATAS NAMA TERDAKWA ASEP

KUSWANI DKK.

Kasus posisi

Bahwa terdakwa 1 , bertugas selaku komandan distrik militer 1638 liquisa,

terdakwa2 selaku kepolisian resort liquisa dan terdakwa 3 selaku bupati kepala daerah

tingkat II Liquisa. Jaksa penuntut umum mendakwa terdakwa tidak melakukan atau

tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup

kewenangannya untuk mencegah atau menghentikan perbuatan pasukan atau

bawahannya atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk

dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan.

Tindakan terdakwa mengakibatkan 22 orang yang berada pada kompleks

gereja pastor rafael di liquisa tewas. Menjelang jajak pendapat di timur timor, situasi

di liquisa memanas dan ada pertikaian antara kelompok pro kemerdekaan dan

kelompok pro integrasi besi merah putih (bmp). Pada tanggal 3 april 1999 kelompok

pro kemerdekaan telah melakukan ancaman pembunuhan terhadap kelompok pro

integrasi bmp di desa dato liquisa.

Pada tanggal 4 april 1999 massa pro kemerdekaan pimpinan jacinto da costa

melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah milik kelompok pro integrasi.

Pembakaran tersebut dilakukan karena massa bmp dianggap telah melakukan

pembakaran terhadap rumah kelompok pro kemerdekaan dan membunuh salah satu

anggota kelompok pro kemerdekaan.

Pada tanggal 5 april 1999 massa dari kelompok pro integrasi dan kelompok

pro kemerdekaan mengungsi ke kediaman pastor rafael. Pastor henry mengatakan

bahwa kelompok massa bmp akan datang menyerang. Kelompok pro kemerdekaan

Page 2: Analisa Kasus Pelanggaran Ham Berat Di Pengadilan Ham

pimpinan jacinto da costa kemudian berangkat ke perbatasan maubara-liquisa untuk

mengatasi rencana penyerangan kelompok pro integrasi bmp.

Namun pada saat bertemu di batu blete, pihak kelompok pro integrasi bmp

dibantu TNI telah menembak anggota kelompok pro kemerdekaan dan menyebabkan

tujuh orang tewas. Hingga pukul 13.00 wita massa bmp, TNI dan Polri melakukan

penembakan ke udara dan membuat pengungsi dari kelompok pro kemerdekaan

panik.

Pada hari selasa tanggal 6 april 1999 pukul 07.00 wita, sebanyak 300 orang

kelompok massa pro integrasi bmp pimpinan manuel saosa mulai berkumpul di

kediaman pastor rafael dengan membawa senjata api dan senjata rakitan. Pukul 08.00

wita kelompok bmp dan pastor rafael didatangi dua orang anggota Brimob, yaitu

damianus dapa dan fransiskus salamali meminta jacinto da costa dan gregorio dos

santos untuk diserahkan kepada kelompok pro integrasi bmp.

Tetapi keinginan itu ditolak oleh pastor rafael. Pukul 11.30 WITA datang lima

orang anggota Polri pimpinan lettu. Pol. Jhon rea dan meminta agar jacinto da costa

diserahkan. Pastor rafael bersedia menyerahkan hanya jika mereka dibawa ke polda

timor-timur dan dili, dan massa bmp ditarik dari liquisa. Massa bmp juga melakukan

ancaman-ancaman untuk menyerang gereja. Jhon rea kemudian menyampaikan kabar

itu ke markas kodim 1638 dan juga melaporkan bahwa massa bmp akan menyerang

gereja apabila hingga pukul 12.00 jacinto tidak diserahkan.

Wadanrem dan para terdakwa kemudian bermusyawarah, dan menunjuk

terdakwa leonito martinns untuk menyampaikan persetujuan pastor rafael. Leonito

martinns menolak penunjukan itu karena ia takut dibunuh sehingga kemudian

ditunjuk john rea untuk menyampaikan kabar itu.

Namun ketika jhon rea hendak menyampaikan kabar itu, terdengar tembakan

dari arah gereja, da para pengungsi berhamburan ke luar. Kemudian disusul dengan

penyerangan ke dalam gereja oleh kelompok bmp. Kejadian tersebut mengakibatkan

jatuh korban sebanyak 22 orang meninggal dunia dan tujuh orang luka-luka.

Atas perbuatan-perbuatan terdakwa tersebut penuntut umum mendakwa para

terdakwa dengan dakwaan sebagai berikut:

A. Dakwaan kumulatif

Dakwaan kesatu

B.1. Khusus untuk terdakwa asep kuswani

Page 3: Analisa Kasus Pelanggaran Ham Berat Di Pengadilan Ham

1. Dakwaan primair : Melanggar pasal 42 jis pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf

a,

Pasal 37 undang-undang nomor 26 tahun 2000 jo.

Pasal 55 ayat (1) ke-2.

2. Dakwaan subsidair : Melanggar pasal 42 ayat (1) jis pasal 7 huruf b, pasal

9

Huruf a, pasal 37 undang-undang no. 26 tahun 2000.

B.2. Khusus untuk terdakwa drs. Adios salova

Melanggar pasal 42 ayat (2) jis pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf a, pasal 37

Undang-undang nomor 26 tahun 2000.

B.3. Khusus untuk terdakwa leoneto martins

Melanggar pasal 42 ayat (2) jis pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf a, pasal 37

Undang-undang nomor 26 tahun 2000.

Dakwaan kedua

Primair

Pasal 42 jis pasal 7 huruf b, pasal 9 hururf h, jis., pasal 40 undang - Undang

nomor 26 tahun 2000 jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 2 kuhp.

Subsidair

- khusus untuk terdakwa asep kuswani

Melanggar pasal 42 ayat (1) jis pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf h jis., pasal 40

Undang-undang nomor 26 tahun 2000.

- khusus untuk terdakwa drs. Adios salova

Melanggar pasal 42 ayat (2) jis pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf h, pasal 40 undang-

Undang nomor 26 tahun 2000.

- khusus untuk terdakwa leoneto martins

Melanggar pasal 42 ayat (2) jis pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf h, pasal 40 undang-

Page 4: Analisa Kasus Pelanggaran Ham Berat Di Pengadilan Ham

Undang nomor 26 tahun 2000.

Analisa kasus

Mengenai kompetensi atau kewenangan untuk mengadili, maka Pengadilan

ham adhoc jakarta pusat yang memeriksa dan mengadili perkara ini adalah sudah

tepat. Hal ini dikarenakan untuk perkara pelanggaran ham berat Di timor timur,

berdasarkan pasal 2 Keppres RI nomor 96 tertanggal 1 agustus 2001, yang merupakan

perbaikan dari Keppres nomor 53 tahun 2001, diputuskan bahwa yang berwenang

untuk memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran ham berat yang terjadi di timor-

timur adalah pengadilan ham Jakarta Pusat.

Kewenangan tersebut timbul berdasarkan hasil penyelidikan dari komisi

penyelidik pelanggaran ham Timtim, yang merekomendasikan kepada DPR bahwa di

wilayah Timtim sehubungan dengan pelaksanaan jajak pendapat tahun 1999 telah

terjadi pelanggaran ham berat.

Permasalahan yang akan dianalisa dalam putusan ini adalah penentuan pasal-

pasal yang didakwakan terhadap terdakwa. Dalam teknik penyusunan pasal yang

Didakwakan, pada beberapa dakwaan terlihat bahwa jpu mencampur adukkan pasal

dari Undang-undang nomor 26 tahun 2000 dengan pasal 55 KUHP tentang

penyertaan. Hal ini menunjukkan bahwa jpu tidak cermat dan tidak paham mengenai

makna pembentukan undang-undang nomor 26 tahun 2000.

Undang- Undang nomor 26 tahun 2000 mempunyai yurisdiksi untuk

memeriksa dan mengadili pelanggaran HAM berat, yang sebelumnya tidak diatur

didalam KUHP atau peraturan perUU-an pidana lainnya. Tindak pidana ini berbeda

baik secara Materiil maupun formil dengan tindak pidana biasa, sehingga untuk

pendakwaannya tidak dapat menggunakan ketentuan tentang tindak pidana biasa

dengan pelanggaran HAM berat. Sebagaimana kita ketahui bahwa undang-undang

nomor 26 tahun 2000 adalah sebuah peraturan perundang-undangan yang khusus

mengatur tentang seluk beluk pengadilan HAM di indonesia.

Undang-undang ini merupakan salah satu UU yang unik mengikuti

pendahulunya, yaitu undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang tindak pidana

korupsi. UU ini bukan hanya mengatur tentang hukum Pidana materiil saja namun

juga mengatur tentang hukum acara.

Page 5: Analisa Kasus Pelanggaran Ham Berat Di Pengadilan Ham

Pada pasal 7, 8 dan 9 UU ini dijelaskan bahwa perbuatan-perbuatan yang

menjadi yurisdiksi pengadilan HAM Indonesia adalah perbuatan-perbuatan yang

dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat, yaitu genosida dan kejahatan terhadap

kemanusiaan.

Selain Itu, pasal 10 menyatakan selain tidak ditentukan lain oleh UU ini maka

hukum acara yang berlaku di pengadilan HAM untuk beracara adalah hukum acara

pidana. Pernyataan ini mengindikasikan basis pengadilan HAM untuk beracara tetap

mengandalkan hukum acara pidana yang berlaku di peradilan umum.

Untuk Hukum pidana materiil landasan umum yang dipergunakan di indonesia

adalah KUHP. Pada KUHP diatur landasan-landasan umum yang berlaku bagi

keseluruhan proses peradilan pidana di Indonesia. Berangkat dari hal tersebut, kita

juga mengetahui salah satu asas hukum, yaitu asas lex specialis derogat lex generalis

yang berarti aturan khusus dimungkinkan untuk mengecualikan aturan yang lebih

umum tentunya sejauh tidak bertentangan dengan aturan umum tersebut.

Pengadilan HAM adalah jenis pengadilan baru dan jam terbang para penegak

Hukum di bidang ini boleh dibilang belum banyak. Pengalaman bertahun-tahun dalam

beracara di peradilan umum belum cukup untuk menjamin terciptanya proses

pengadilan HAM yang dapat memenuhi standar internasional. Diperlukan

pengetahuan dan kemampuan yang baik untuk dapat memahami konsep-konsep dari

pelanggaran HAM berat dan juga pelaksanaan beracaranya.

Hukum acara Pengadilan HAM tidak dapat dipersamakan dengan pengadilan

pidana biasa begitu saja. Apabila berbicara mengenai hukum pidana materiil dari

pengadilan HAM, maka berdasarkan undang-undang nomor 26 tahun 2000,

pengadilan HAM hanya berwenang mengadili perkara pelanggaran HAM berat

berupa genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Sesuai dakwaan pada perkara ini, jpu mendakwa para terdakwa dengan

dakwaan pelanggaran kejahatan terhadap kemanusiaan. Mengingat konsep kejahatan

terhadap kemanusiaan yang ada di pasal 9 undang- Undang nomor 26 tahun 2000

diambil atau diadopsi dari instrumen HAM Internasional, maka kita juga tidak dapat

melepaskan pengaturan batasan-batasaan mengenai konsep kejahatan terhadap

kemanusiaan dari batasan-batasan yang dikeluarkan atau diatur oleh pengadilan

pidana internasional yang memeriksa dan mengadili perkara serupa.

Unsur-unsur dari kejahatan terhadap kemanusiaan yang dapat ditelaah lebih Lanjut

berdasarkan pasal 9 undang-undang nomor 26 tahun 2000 antara lain:

1. Unsur perbuatan.

Page 6: Analisa Kasus Pelanggaran Ham Berat Di Pengadilan Ham

Perbuatan dalam suatu tindak pidana adalah elemen yang penting yang dapat

Menjuruskan apakah suatu peristiwa merupakan peristiwa pidana atau bukan. Pelaku

perbuatan pidana adalah orang yang dapat mempertanggungjawabkan Perbuatannya.

Berkaitan dengan adanya suatu perbuatan, tindak pidana dapat Dilakukan dengan

berbagai cara, antara lain:

A. Dilakukan dengan perbuatan aktif atau biasa disebut dengan delik komisi.

Artinya si pelaku melakukan pelanggaran hukum dengan melakukan

perbuatan Yang aktif.

B. Dilakukan dengan perbuatan pasif atau biasa disebut dengan delik omisi.

Artinya Pelaku melakukan tindakan melawan hukum karena perbuatan yang

seharusnya Ia lakukan namun tidak ia lakukan.

C. Dilakukan bersamaan perbuatan aktif sekaligus merupakan perbuatan pasif

atau Biasa disebut dengan delik komisi per omisi. Berkaitan dengan perbuatan

pada kejahatan terhadap kemanusiaan, maka Pelaku tersebut dianggap

melawan hukum jika ia melakukan perbuatan sebagaimaan Disebutkan dalam

pasal 9 huruf a sampai dengan j juga dapat dilakukan secara aktif Maupun

pasif, sebagaimana yang diatur pada pasal 42 uu no. 26 tahun 2000 yang

Mengatur mengenai pertanggung jawaban pidana atasan atau komandan

militer. Untuk perbuatan atasan atau komandan militer tersebut, pelaku

diancam dengan Pidana yang sama dengan jika ia melakukan perbuatan aktif.

2. Bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan terhadap

Penduduk sipil. beberapa jenis tindak pidana dalam kejahatan terhadap

kemanusiaan sebenarnya merupakan tindak pidana biasa yag sudah diatur dalam

KUHP. Namun yang mengkategorikan tindak pidana tersebut sehingga kemudian

dapat dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan adalah bahwa perbuatan-

perbuatan tersebut tidak dilakukan dengan niat pribadi pelaku, melainkan pelaku

bermaksud dengan sadar dan secara langsung melakukan perbuatan-perbuatan

tersebut sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis terhadap penduduk

sipil. dengan demikian bergeserlah perbuatan-perbuatan tersebut dari tindak pidana

biasa menajdi kejahatan yang luar biasa yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan.

Oleh karena itu perbuatan-perbuatan yang ada di kejahatan terhadap

kemanusiaan ini tidak dapat begitu saja dipersamakan dengan perbuatan-perbuatan

yang diatur dalam KUHP, karena dari unsur utamanya yaitu unsur niat si pelaku

sudah ada perbedaan.

3. Unsur diketahuinya serangan dilakukan oleh pelanggar ditujukan secara

Page 7: Analisa Kasus Pelanggaran Ham Berat Di Pengadilan Ham

Langsung terhadap penduduk sipil. Unsur ini berarti si pelanggar mengetahui

secara sadar bahwa perbuatannya Dilakukan dengan tujuan untuk menyerang

penduduk sipil secara langsung.

4. Unsur serangan fisik berupa perbuatan sebagaimana dicantumkan dalam

pasal 9

Huruf a-j. dari unsur-unsur tersebut dapat dilihat bahwa hal utama yang harus

ada pada kejahatan terhadap kemanusiaan adalah adanya perencanaan yang matang

atau bias juga disebut dengan kebijakan.

Dari unsur-unsur tersebut juga dapat dilihat bahwa pada kejahatan terhadap

kemanusiaan hampir bisa dipastikan pelakunya lebih dari satu orang dan masing-

masing pelaku dapat bertindak sebagai pelaku konsepsional. Ia bertugas

merencanakan dengan matang semua serangan yang akan dilakukan, biasanya ia juga

bertindak sebagai atasan atau komandan yang memberikan perintah.

Pelaku yang lain adalah pelaku lapangan, dimana ia bertugas untuk

mengejawantahkan perintah atasannya menjadi serangan fisik. Dari penjabaran

tersebut dapat dilihat bahwa masing-masing pelaku harus secara sadar dan

mengetahui dengan pasti atau dianggap patut mengetahui apa yang direncanakan dan

dilakukan adalah bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang ditujukan

terhadap penduduk sipil.

Jadi walaupun pelaku-pelaku tersebut ada kemungkinan tidak memenuhi unsur

kejahatan terhadap kemanusiaan secara Langsung, namun dalam konteks kewajaran ia

dapat dikatakan mengetahui dan menyetujui terjadinya kejahatan terhadap

kemanusiaan, sehingga dapat dipidana. Hal tersebut harus diperhatikan oleh jpu dalam

menyusun dakwaan.

Dakwaan kejahatan terhadap kemanusiaan tidak dapat digabungkan dengan

dakwaan penyertaan, yang diatur dalam KUHP, karena apabila hal tersebut dilakukan

akan terjadi overlapping pada dakwaan jpu tentu hal tersebut akan melemahkan

dakwaan jpu sendiri. Unsur kejahatan terhadap kemanusiaan sudah mengandung

makna tindak pidana yang dilakukan haruslah secara bersama-sama Dan bukan karena

niat pribadi orang per orang, karena niat yang diwujudkan dalam bentuk serangan

harus dipisahkan dari niat pribadi masing–masing individu pelaku.

Apabila jpu tidak dapat membuktikan unsur niat bersama ini, maka perbuatan-

perbuatan tersebut hanya akan menajdi tindak pidana biasa dan bukan kejahatan

terhadap kemanusiaan. Bentuk penyertaan yang digunakan jpu pada perkara ini

Page 8: Analisa Kasus Pelanggaran Ham Berat Di Pengadilan Ham

adalah penyertaan turut serta. Menurut doktrin, bentuk penyertaan ini memerlukan

lebih dari satu orang pelaku yang secara sadar sepakat untuk bekerja sama

mewujudkan niat bersama mereka.

Kerja sama ini biasanya diwujudkan kemudian dalam perbuatan bersama.

Sedangkan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan, pelaku konsepsional biasanya

tidak melakukan perbuatan bersama-sama dengan pelaku langsung. Selain Itu terdapat

perbedaan derajat antara pelaku konsepsional dengan pelaku langsung dimana mereka

mempunyai hubungan hirearkis tertentu, yaitu hubungan atasan dengan bawahan.

Sedangkan dalam turut serta tidak ada persyaratan bahwa pelaku- pelaku yang

melakukan tindak pidana harus mempunyai hubungan atasan-bawahan. Walaupun

sepintas hubungan atasan bawahan yang menjadi salah satu unsur dari kejahatan

terhadap kemanusiaan terlihat seperti salah satu sarana yang disebutkan Dalam pasal

55 ayat 1 ke-2, yaitu mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan

menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau

penyesatan, atau dengan dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan,

sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan, namun sebenarnya

hubungan atasan bawahan tidak sama dengan sarana tersebut.

Karena Menurut pasal 55 ayat 1 ke-2, sarana tersebut diberikan dengan

memberikan atau menjanjikan sesuatu. Sedangkan pada kejahatan terhadap

kemanusiaan, tidak perlu ada unsur memberikan sesuatu atau memberikan janji

kepada pelaku untuk melakukan tindak pidana.

Bawahan pada perkara kejahatan terhadap kemanusiaan sadar betul bahwa apa

yang dilakukannya memang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan ia

berniat untuk melakukan hal tersebut sebagai bagian dari serangan yang meluas atau

sistematis yang ditujukan terhadap pendududuk sipil, jadi bukan karena ia dijanjikan

sesuatu atas perbuatan yang ia lakukan tersebut.

Berdasarkan hal tersebut, maka dakwaan jpu dengan menggunakan pasal 55

ayat 1 Ke-2 adalah tidak tepat. Selain itu juga bukan hal yang tepat untuk mencampur

adukan pasal-pasal KUHP dengan aturan-aturan tentang pelanggaran HAM berat.

Oleh karena itu, agaknya penegak hukum kita khususnya penyelidik dan penuntut

umum pada pengadilan HAM seharusnya bercermin pada pengalaman - pengalaman

proses pengadilan pidana internasional, yang menerapkan teknik Piramida untuk

mengungkapkan keterlibatan dan hubungan atasan-bawahan dari para pelaku

kejahatan terhadap kemanusiaan. Dengan teknik ini jpu mendapatkan bukti-bukti

yang cukup untuk mendakwa masing-masing pelaku, mulai dari pelaku langsung

sampai dengan pelaku konsepsional.

Page 9: Analisa Kasus Pelanggaran Ham Berat Di Pengadilan Ham

Mengenai putusan hakim yang menyatakan para terdakwa tidak bersalah

karena tidak ada unsur pertanggungjawaban komandan, sebenarnya sudah tepat,

namun satu hal lagi yang perlu menjadi perhatian dari majelis hakim, bahwa

Sebenarnya dari pembuktian yang ada di persidangan kejahatan terhadap

kemanusiaan yang didakwakan sebenarnya juga tidak terbukti.

Unsur utama dari kejahatan terhadap kemanusiaan sebenarnya terletak pada

niat pelaku. Niat pelaku haruslah dibuktikan bukan merupakan niat pribadi atau balas

dendam, namun murni niat yang didasarkan pada kebijakan untuk melakukan

kejahatan terhadap kemanusiaan yang meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil.

Niat itu dapat diwujudkan dengan pengetahuan para pelakunya bahwa ia

mengetahui keseluruhan rangkaian perbuatan yang dilakukannya adalah bagian dari

serangan yang meluas atau sistematis yang ditujukan langsung terhadap penduduk

sipil. Pada fakta di Persidangan niat ini tidak terbukti ada pada para terdakwa, maka

seharusnya majelis Hakim menyatakan terdakwa tidak memenuhi unsur dakwaan

sebagaimana Didakwakan oleh penuntut umum, yaitu pelanggaran HAM berat berupa

kejahatan terhadap kemanusiaan. Dari pengalaman-pengalaman yang ada pada proses

beracara di pengadilan HAM, kita memerlukan hukum acara tersendiri terlepas dari

hukum acara pidana yang sudah ada. Hal ini dikarenakan sifat dari tindak pidana yang

diperiksa dan diadili di pengadilan ham adalah jenis extra ordinary crimes, sehingga

ada hal-hal tertentu terutama dalam hal pembuktiannya yang tidak dapat

dipersamakan dengan hukum acara pidana bagi tindak pidana biasa.

Pada seminar internasional mengenai kejahatan kemanusiaan yang

diselenggarakan oleh komnas HAM pada tahun 2001, diusulkan beberapa tambahan

alat bukti yang sebelumnya pada hukum acara Pidana tidak dapat diajukan sebagai

alat bukti.

Usulan tersebut antara lain berupa fotokopi dan alat bukti elektronik, seperti e-

mail dan juga rekaman video. Usulan Tersebut bertujuan untuk mengantisipasi

sulitnya penyelidik dan penuntut umum untuk mencari dan menghadirkan alat bukti

yang kuat untuk mendakwa para terdakwa pelanggar ham berat, terutama untuk

kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lampau, dimana biasanya

bukti-bukti yang autentik sudah hilang atau tidak layak up to date lagi untuk

dihadirkan ke persidangan dan mendukung dakwaan penuntut umum.