problematik dan solusi penanganan kasus pelanggaran ham berat

17
PROBLEMATIK DAN SOLUSI PENANGANAN KASUS PELANGGARAN HAM BERAT Binsar Gultom, SH, SE, MH   *   1. Temuan Komnas HAM Harus Dikembangkan Kejaksaan Agung Di banyak Negara termasuk di Indonesia sering terjadi kecenderungan adanya penolakan untuk menyelidiki atau mengadili perkara-perkara masa lalu. Di berbagai negara tersebut sikap melindungi secara terang-terangan dipertunjukkan oleh para penguasa yang warga negaranya terlibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Perlindungan seperti itu tercermin dari kesengajaan rezim yang berkuasa untuk tidak membuat ketentuan perundang-undangan yang berkaitan dengan  pelanggaran HAM berat atau tidak menerapkan ketentuan perundang-undangan yang sudah ada, atau memberikan interpretasi yang berbeda dengan apa yang dimaksud oleh peraturan perundang-undangan mengenai kejahatan itu, semata-mata hanyalah untuk menciptakan impunity 1  bagi para pelaku kejahatan itu. Contoh kasus kejahatan pada Perang Dunia ke II: Adolf Hitler dan Mussolini selaku pihak yang bertanggung jawab dalam kejahatan perang waktu itu telah mati sebelum diadili, sementara Kaisar Hirohito – dengan berbagai pertimbangan, kasusnya tidak pernah terungkap dan tidak sempat diadili hingga yang  bersangkutan wafat. Sedangkan contoh kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang terkesan ditutup-tutupi adalah: kasus dugaan pelanggaran HAM berat Trisakti Semanggi I, II,  Penculikan  Paksa Aktivis Tahun 1997/1998, kasus Talangsari (di Lampung), kasus Waisor, Wamena (di Papua) yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM selalu terganjal oleh berbagai kepentingan politis tertentu. Konsekuensi Pemerintah RI dan DPR – RI mengeluarkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, mestinya dapat mempermudah dan menuntaskan proses penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum dan sesudah dikeluarkannya UU Pengadilan HAM tersebut. Namun dalam praktiknya, 1 Impunity (Impunitas) adalah suatu keadaan dimana pelaku dalam kejahatan tidak diadili baik karena “ketiadaan hukum”, “sistim hukum yang tidak memungkinkan” (misalnya karena pengadilan yang belum dibentuk atau tenaga/ahli atau hukum yang tidak tersedia) maupun karena “kesengajaan” dari rezim yang berkuasa untuk menutup-nutupi kejahatan itu. 1

Upload: marcia-kristianto

Post on 22-Jun-2015

305 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

Pelanggaran HAM berat belum dapat ditangani secara tuntas

TRANSCRIPT

Page 1: PROBLEMATIK DAN SOLUSI PENANGANAN  KASUS PELANGGARAN HAM BERAT

PROBLEMATIK DAN SOLUSI PENANGANANKASUS PELANGGARAN HAM BERAT

Binsar Gultom, SH, SE, MH   *  

1. Temuan Komnas HAM Harus Dikembangkan Kejaksaan Agung

Di banyak Negara termasuk di Indonesia sering terjadi kecenderungan adanya   penolakan   untuk   menyelidiki   atau   mengadili   perkara­perkara   masa lalu.   Di   berbagai   negara   tersebut   sikap   melindungi   secara   terang­terangan dipertunjukkan   oleh   para   penguasa   yang   warga   negaranya   terlibat   dalam kejahatan   terhadap   kemanusiaan   (crimes   against   humanity).   Perlindungan seperti   itu   tercermin   dari   kesengajaan  rezim  yang   berkuasa   untuk   tidak membuat ketentuan perundang­undangan yang berkaitan dengan  pelanggaran HAM berat atau tidak menerapkan ketentuan perundang­undangan yang sudah ada, atau memberikan interpretasi  yang berbeda dengan apa yang dimaksud oleh   peraturan   perundang­undangan   mengenai   kejahatan   itu,   semata­mata hanyalah untuk menciptakan impunity 1 bagi para pelaku kejahatan itu. 

Contoh   kasus   kejahatan   pada   Perang   Dunia   ke   II:   Adolf   Hitler   dan Mussolini selaku pihak yang bertanggung jawab dalam kejahatan perang waktu itu telah mati sebelum diadili,  sementara Kaisar Hirohito – dengan berbagai pertimbangan,   kasusnya   tidak   pernah   terungkap   dan   tidak   sempat   diadili hingga yang   bersangkutan wafat. Sedangkan contoh kasus pelanggaran HAM berat   di   Indonesia   yang   terkesan   ditutup­tutupi   adalah:   kasus   dugaan pelanggaran HAM berat  Trisakti  Semanggi  I,  II,    Penculikan   Paksa Aktivis Tahun 1997/1998, kasus Talangsari (di Lampung),  kasus Waisor, Wamena (di Papua)  yang  telah selesai  diselidiki  oleh Komnas HAM selalu  terganjal  oleh berbagai kepentingan politis tertentu.

Konsekuensi  Pemerintah RI  dan  DPR –  RI  mengeluarkan  UU No.  26 Tahun   2000   tentang   Pengadilan   HAM,   mestinya   dapat   mempermudah   dan menuntaskan   proses   penyelidikan,   penyidikan   dan   penuntutan   terhadap dugaan   pelanggaran   HAM   berat   yang   terjadi   sebelum   dan   sesudah dikeluarkannya   UU   Pengadilan   HAM   tersebut.   Namun   dalam   praktiknya, 

1 Impunity (Impunitas) adalah suatu keadaan dimana pelaku dalam kejahatan tidak diadili baik karena “ketiadaan hukum”, “sistim hukum yang tidak memungkinkan” (misalnya karena pengadilan yang belum dibentuk atau tenaga/ahli atau hukum yang tidak tersedia) maupun karena “kesengajaan” dari rezim yang berkuasa untuk menutup-nutupi kejahatan itu.

1

Page 2: PROBLEMATIK DAN SOLUSI PENANGANAN  KASUS PELANGGARAN HAM BERAT

berbagai   kasus   pelanggaran   HAM   berat  tersebut   diatas  justru   menjadi permainan “bola panas” antara Kejaksaan Agung dengan Komnas HAM setelah Jaksa Agung mengembalikan semua berkas pelanggaran HAM berat tersebut kepada Komnas HAM tertanggal 1 April 2008.  

Dikembalikannya semua berkas tersebut, menurut Jaksa Agung selaku penyidik dan penuntut, karena berkas tersebut ‘masih kurang lengkap’, artinya belum   memenuhi   syarat   formal   dan   materiil   yang   ditentukan.  Namun sayangnya   Jaksa   Agung   tanpa   memberi   petunjuk   yang   jelas   di   mana kekurangan hasil penyelidikan Komnas HAM tersebut.

 Padahal menurut ketentuan   Pasal 20 ayat (3) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dalam hal ketidak­lengkapan tersebut, Jaksa Agung wajib memberi petunjuk, perihal kekurangan hasil penyelidikan Komnas HAM. Bahkan sesuai Pasal 19 ayat (1) huruf (g) UU No. 26 Tahun 2000 penyidik Jaksa Agung   dapat   “mengembangkan”   kasus   tersebut   dengan   memerintahkan penyelidik   Komnas   HAM   melakukan   tindakan   berupa:   pemeriksaan   surat, penggeledahan dan penyitaan, pemeriksaan setempat dan mendatangkan ahli dalam   hubungannya   dengan   penyelidikan.   Bila   perlu   Jaksa   Agung   sesuai wewenangnya dalam Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 12 ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000,   “dapat   melakukan   penangkapan   dan   penahanan   untuk   kepentingan penyidikan   terhadap   seseorang   yang   diduga   keras   melakukan   pelanggaran HAM berat berdasarkan bukti permulaan yang cukup”. 

Mengenai  pemanggilan   paksa   (subpoena)   seorang   saksi   karena   tidak bersedia dipanggil oleh Komnas HAM, hal ini sudah jelas diatur oleh Pasal 95 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), yang mengatakan: “Apabila   seseorang   yang   dipanggil   tidak   datang   menghadap   atau   menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­undangan”.

Argumentasi Jaksa Agung dan TNI yang meminta agar terlebih dahulu DPR menerbitkan rekomendasi pembentukan Pengadilan HAM  Adhoc  kepada Presiden perihal pemanggilan paksa seorang saksi dalam perkara pelanggaran HAM berat,  menurut  penulis  adalah tergantung dari  pada  locus  dan  tempus delicti  (tempat dan waktu peristiwa) apakah terjadi  ‘sebelum’  atau ‘sesudah’ berlakunya Undang­Undang Pengadilan HAM. 

2

Page 3: PROBLEMATIK DAN SOLUSI PENANGANAN  KASUS PELANGGARAN HAM BERAT

Sebelum berlakunya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, DPR  tak   mungkin  menerbitkan   rekomendasi   politik   terlebih   dahulu   kepada TNI/Polri   tanpa   terlebih   dahulu   Komnas   HAM   melakukan   pemanggilan terhadap   saksi­saksi   terkait   untuk   mencari   fakta­fakta  berupa   bukti  ada tidaknya   dugaan   terjadinya   pelanggaran   HAM   berat.   Berdasarkan   hasil investigasi/penyelidikan   Komnas   HAM   inilah   akan  ditindak­lanjuti  oleh penyidik   Jaksa   Agung  apakah   telah   terdapat   bukti   permulaan   yang   cukup untuk selanjutnya dikembangkan oleh Jaksa Agung. 

Jika   pelanggaran   HAM   berat   terjadi  ‘sebelum’  berlakunya   Undang­Undang Pengadilan HAM, maka pemanggilan paksa seorang saksi belum bisa dilaksanakan oleh Pengadilan HAM, sebab Pengadilan HAM Adhoc­nya harus terlebih   dahulu   dibentuk   atas   usul   DPR   sesuai   Pasal   43   ayat   (2)   Undang­Undang Pengadilan HAM. Jika tetap dipaksakan pemanggilan saksi tersebut, akibat hukumnya pemanggilan itu tidak sah menurut hukum, alias “batal demi hukum”.

Yang bisa dilakukan Komnas HAM terhadap saksi yang tidak bersedia hadir   terhadap   kasus   yang   terjadi  ‘sebelum’  berlakunya   Undang­Undang Pengadilan   HAM  Adhoc  adalah,  pertama:   bersabar   menunggu  terbentuknya pengadilan   HAM  Adhoc­nya   berdasarkan   Keputusan   Presiden.  Kedua:   demi penegakan hukum di  bidang HAM, selaku warga negara yang baik dan taat hukum  seharusnya   saksi   dimaksud   secara   ‘legowo’   menghadiri   panggilan Komnas   HAM   tersebut.  Ke   tiga   :   jika   saksi   tidak   memenuhi   pemanggilan dimaksud,   maka   ketika   sidangnya   digelar,   Majelis   Hakim   HAM   dapat memanggil dia sebagai saksi dipersidangan, sekalipun dia tidak masuk dalam daftar Berita Acara Pemeriksaan (BAP) 2. 

Contoh kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi ‘sebelum’ berlakunya Undang­Undang Pengadilan HAM yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Adhoc Jakarta adalah: pelanggaran HAM berat Timor Timur tahun 1999 dan pelanggaran HAM berat Tanjung Priok Tahun 1984.

2 Dalam praktik persidangan Pengadilan HAM Adhoc Jakarta, pemanggilan saksi mantan Presiden BJ.  Habibie  dalam kasus pelanggaran HAM Berat  Timor Timur  telah memberikan kesaksiannya, sekalipun BJ. Habibie tidak termasuk dalam berkas Berita Acara Pemeriksaan Perkara (BAP).

3

Page 4: PROBLEMATIK DAN SOLUSI PENANGANAN  KASUS PELANGGARAN HAM BERAT

Sedangkan jika pelanggaran HAM berat itu terjadi ‘sesudah’ berlakunya Undang­Undang  Pengadilan HAM,  pemanggilan    paksa seorang saksi  “dapat dilakukan”  oleh   Pengadilan  HAM  yang   tidak   bersedia   hadir   sesuai permohonan   Komnas   HAM  (Vide  Pasal   95   UU   HAM).  Disini  tidak   perlu mendapat   rekomendasi   pembentukan   Pengadilan   HAM   oleh   DPR   kepada Presiden,   karena   dengan   sendirinya   Pengadilan   HAM  sudah  ada   seperti   di Jakarta,  Medan, Surabaya dan Makasar sebagaimana diatur dalam Pasal 45 Undang­Undang   No.   26   Tahun   2000   tentang   Pengadilan   HAM.  Dan   nama pengadilannya di sini bukan Pengadilan HAM  Adhoc, tetapi Pengadilan HAM saja (tanpa adhoc­nya). 

Contoh kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi  ‘sesudah’  terbentuk Undang­Undang   Pengadilan   HAM  adalah:   pelanggaran   HAM  berat   Abepura tahun 2000 yang pernah ditangani oleh Pengadilan HAM Makasar.

Adalah  keliru  besar,  apabila  ada  yang  berpendapat    menurut  Pasal  4 Undang­Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengatakan hak setiap orang untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku   surut.   Menurut   saya,   karena   di   atas   Undang­Undang   Hak   Asasi Manusia tersebut masih ada undang­undang yang lebih tinggi kedudukannya, yaitu UUD 1945 dalam Pasal 28 ayat (1) dan (2) huruf (j) mengatakan: “bahwa setiap   orang   wajib   menghormati   HAM   orang   lain   dalam   tertib   kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.  Bahkan setiap orang wajib tunduk pada   undang­undang   dengan   maksud   untuk   menjamin   pengakuan   serta penghormatan   atas   hak   dan   kebebasan   orang   lain   dan   untuk   memenuhi tuntutan yang adil. Maka dalam rangka proses investigasi dugaan pelanggaran HAM, jika dalam hal Komnas HAM memanggil seseorang yang menolak untuk datang   menghadap   memberikan   keterangannya,   Komnas   HAM   sesuai kewenangannya dalam Pasal 95 Undang­Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dapat memanggilnya secara paksa lewat bantuan Ketua Pengadilan HAM.

Aneh  :  Jaksa   Agung   justru   meminta   agar   terlebih   dahulu   DPR menerbitkan   rekomendasi   pembentukan   Pengadilan   HAM  Adhoc  kepada Presiden.   Dan   menurut     Ketua   Komisi   III   DPR:   Trimedya   Panjaitan mengatakan:   “secara  prosedural   kejaksaan   baru   bisa   melakukan   penyidikan setelah mendapat rekomendasi dari DPR”.3 Pendapat ini menurut penulis telah 

3 Media Indonesia, Komisi III DPR Pesimistis, Tuntaskan Semanggi I, 13 Nopember 2007.4

Page 5: PROBLEMATIK DAN SOLUSI PENANGANAN  KASUS PELANGGARAN HAM BERAT

“mengaburkan” makna dan penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. 

Menurut   penulis,   mana   mungkin   DPR   mengeluarkan   rekomendasi kepada  Presiden   tanpa   terlebih  dahulu  Jaksa  Agung   menindak­lanjuti  hasil temuan kesimpulan penyelidikan Komnas HAM? Sebab menurut  penjelasan Pasal 43 ayat (2) UU tersebut secara eksplisit mengatakan, bahwa “dalam hal DPR­RI mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM Adhoc, DPR mendasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat yang dibatasi pada locus  dan  tempus delicti  tertentu yang terjadi  sebelum  diundangkannya UU ini”.  Artinya, bahwa dasar DPR menyatakan adanya dugaan telah terjadinya pelanggaran HAM berat  adalah didasarkan pada hasil  penyelidikan Komnas HAM dan hasil penyidikan dari Jaksa Agung.

Terhadap   kasus   yang   terjadi  ‘sebelum’  berlakunya   Undang­Undang Pengadilan   HAM,   DPR   di   sini   tak   boleh   menolak  atau   memberi   pendapat, bahwa temuan Komnas HAM dan Jaksa Agung bukan merupakan pelanggaran HAM berat,  seperti  yang pernah terjadi pada periode DPR tahun 1999­2004. Sebab   kewenangan   DPR   di   sini   hanyalah   memberi   rekomendasi   atau mengusulkan kepada Presiden agar diterbitkan Keputusan Presiden (Keppres) atas dugaan peristiwa pelanggaran HAM yang berat. 

Berdasarkan ketentuan tersebut,  jelaslah bahwa DPR tidak berwenang menetapkan ada   tidaknya  pelanggaran  HAM Berat,  namun yang berwenang menetapkan   ada­tidaknya   pelanggaran   HAM   berat   adalah   Pengadilan   HAM Adhoc  melalui proses pemeriksaan pokok perkara di persidangan. Soal apakah nantinya para pelaku dugaan pelanggaran HAM berat terbukti bersalah atau tidak adalah menjadi kewenangan Pengadilan HAM Adhoc. 

Dalam praktik, rekomendasi/usul DPR tentang Pembentukan Pengadilan HAM Adhoc  pelanggaran HAM berat Timor Timur dan Tanjung Priok  dengan Kepres No. 53 yang di perbaharui No. 96 tahun 2001 dikeluarkan oleh DPR dan Presiden  saat   itu   setelah   hasil   penyelidikan   Komnas   HAM   dan   penyidikan Jaksa Agung berdasarkan peristiwa tertentu di Timor Timur dan Tanjung Priok ‘diduga’ telah terjadi pelanggaran HAM yang berat. 

5

Page 6: PROBLEMATIK DAN SOLUSI PENANGANAN  KASUS PELANGGARAN HAM BERAT

Jika masih tetap terjadi silang pendapat antara DPR dan Jaksa Agung perihal   pembentukan   Pengadilan   HAM  Adhoc,   penulis   berharap   sebaiknya Pasal   43  ayat   (2)   tersebut  di  “hapus”  saja.  Dengan  ketentuan  bahwa  hasil penyelidikan Komnas HAM harus  ditindak  lanjuti  oleh Jaksa Agung dengan batas waktu yang telah ditentukan oleh UU, untuk selanjutnya Jaksa Agung dapat secara langsung melimpahkan berkas tersebut ke Pengadilan HAM tanpa harus   lewat rekomendasi  DPR,  atau perlu diberikan kewenangan  yang  lebih luas kepada  Komnas HAM, yaitu dapat secara langsung melimpahkan berkas pelanggaran HAM berat ke Pengadilan HAM tanpa harus melalui Jaksa Agung dan   tanpa   rekomendasi  DPR,   sebagaimana   layaknya  Komisi  Pemberantasan Korupsi selaku penyidik dapat secara langsung melimpahkan berkas korupsi ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

2. Pertanggungjawaban Komandan/Atasan

Negara  tidak dapat  menjalankan hak dan kewajibannya  sendiri   tanpa dilakukan oleh segenap instrumen (organnya) yang terdiri dari: para individu melalui   institusi   hukum   atau   institusi   negara.   Mereka   yang   menjalankan kewenangan   negara   dikenal   sebagai   aparatur   negara   dan   aparatur   penegak hukum. Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh negara kepada aparatur negara atau aparatur penegak hukum yang didalamnya terdiri dari individu  inilah  yang  bertindak  mewakili   untuk  dan  atas  nama negara.  Mereka  yang kemudian melakukan  tindakan  salah dan  menimbulkan  kerugian,  akibatnya harus dipertanggungjawabkan kepada negara dan hukum.

Sejumlah kasus yang membuktikan adanya peran institusi negara yang diwujudkan dalam suatu kebijakan (policy) yang “salah”, misalnya terlihat pada kasus  apartheid  mantan   Presiden   Afrika   Selatan   PW.   Botha,   dan disappearances  mantan   orang   kuat   Chile,   Jenderal   Augusto   Pinochet   serta pemberian  Opsi  4  merdeka atau  integrasi  kepada Negara Kesatuan Republik 

4   Suatu Kebijakan dan Keputusan yang berani dan mengejutkan yang dikeluarkan oleh mantan Presiden BJ. Habibie, karena Opsi I yang dikeluarkan tanggal 9 Juni 1998 mengenai tawaan otonomi luas kepada masyarakat Timor Timur, satu bulan setelah Presiden Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden (21 Mei 1998). Belum final sosialisasi Opsi   I,   enam   bulan   kemudian   yaitu   tanggal   27   Januari   1999   BJ.   Habibie   kembali   mengejutkan   mengumumkan pemberian Opsi ke­II kepada masyarakat Timor Timur. Dalam Opsi ke­II ini jika mayoritas masyarakat Timor Timur menolak tawaran otonomi luas, maka Pemerintah Indonesia akan mengusulkan kepada Sidang Umum MPR yang baru terpilih   tahun 1999 agar Timor Timur dapat “berpisah” dari pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara baik, terhormat, tertib dan Konstitusional. Menurut mantan Duta Besar RI untuk PBB: Nugroho Wisnumurti menggambarkan penawaran Opsi ke­II ini bagaikan halilintar  di siang­bolong. Termasuk mantan Menlu RI Ali Alatas dalam Sidang  Kabinet  hari   itu  tanggal  27  Januari  1999  sempat  mempersoalkan  gagasan  Opsi  ke­II  karena  belum sempat   memberikan   masukan   kepada   Presiden   BJ.   Habibie,   dengan   kata   lain   pemberian   Opsi   ke­II   ini   masih 

6

Page 7: PROBLEMATIK DAN SOLUSI PENANGANAN  KASUS PELANGGARAN HAM BERAT

Indonesia (NKRI) oleh mantan Presiden Republik Indonesia BJ. Habibie kepada masyarakat  Timor  Timur,   melalui   “jajak  pendapat”   (referendum)   tanggal   30 Agustus 1999.

Dalam   kasus­kasus   pelanggaran   HAM   berat,   terdapat   kecenderungan untuk   menerapkan   prinsip   tanggung   jawab   pidana   yang   bersifat   individual terhadap  para  pelaku.  Sebab  yang  melaksanakan   tugas  kewenangan  negara adalah para individu atas nama institusi negara. 

Berbeda  dengan  perkara  pidana   (biasa)   pembunuhan   terhadap  aktivis MUNIR yang membebaskan terdakwa H. Muchdi Purwopranjono dari semua dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sebab proses persidangannya bukan di Pengadilan HAM. Jika kasus   pembunuhan MUNIR ini diselesaikan melalui mekanisme Peradilan HAM pasti lebih mudah mencari siapa yang lebih bertanggung   jawab   atas   pembunuhan   tersebut.   Sebab   pertanggungjawaban pidana tidak hanya ditujukan kepada komandan militer, tetapi juga terhadap atasan/Sipil.  Untuk kasus pembunuhan (pidana biasa) dan penyertaan dalam tindak pidana telah diatur secara jelas didalam Kitab Undang­Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu pasal 340 jo 338 jo 55 KUHP (yang melakukan, menyuruh melakukan, turut serta melakukan, yang memberi/menjanjikan sesuatu dengan menyalah­gunakan   kekuasaan   atau   martabat.   Unsur­unsur   pidana   pada ketentuan tersebut harus terbukti.

Mengenai   pertanggungjawaban   komandan/atasan   ini   diatur   secara spesifik dalam Statuta Roma yaitu dalam Pasal  285  yang kemudian diadopsi 

“premature”  sebagaimana dilansir dalam The Jakarta Post, 2 Nopember 1999 dan buku Penyelesaian  Masalah Timor  Timur dalam Lintas Sejarah, suntingan Dino Patti Djalal. Juga penjelasan ini diterangkan Ali Alatas sebagai saksi pada persidangan Pengadilan HAM adhoc  Jakarta pada kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur atas nama Terdakwa Brigjen Tono Suratman (mantan Danrem Wiradharma Timor Timur).

5 Adapun bunyi lengkap dari Pasal 28 Statuta Roma ini adalah sebagai berikut:Responsibility of commanders and other superiors.

In addition to other grounds of criminal responsibility under this Statute for crimes within the jurisdiction of the Court:

A military commader or person effectively acting as a military commander shall be criminally resposible for crimes  within the jurisdiction of   the Court committed by forces under his or her effective command and control,  or  effective  authority and control as the case may be, as a result of this or her failure to exercise control properly over such forces,  where:

That military commander or person either knew or, owing to the circumstances at the time, should have known that the forces were committinfg or about to commit such crimes; and that military commander or person failed to take all necessary and reasonable measures within his or her power to preven or repress their commission or to submit the matter  to the competent authorities for investigation and prosecution.

With   respect   to   superior   and   subordinate   relationship   not   described   in   paragraph   (a),   a   superior   shall   be  criminally responsible for crimes within the jurisdiction of the Court committed by subordinates under his or her effective 

7

Page 8: PROBLEMATIK DAN SOLUSI PENANGANAN  KASUS PELANGGARAN HAM BERAT

oleh  Undang­Undang Nomor  26  Tahun 2000   tentang  Pengadilan  HAM yang terdapat dalam Pasal 42. 

Menurut   praktik   Peradilan   Internasional,   dalam   kasus  pertanggung jawaban  (commander’s   responsibility),     maka   pihak   yang   bertanggungjawab secara  hukum untuk   “militer”  adalah   “komandan”   (commander’s),   sedangkan “atasan   lainnya   adalah:   untuk   “polisi”   dan   “sipil”   (responsibility   of   other  superiors).   Bagi  Negara   Indonesia,   maka   yang   dimaksud   dengan   Komandan “militer”   adalah   Tentara   Nasional   Indonesia   (TNI)   di   lingkungan   Angkatan Darat,   Angkatan   Laut   dan   Angkatan   Udara,6  sedangkan   istilah   “atasan lainnya:” adalah untuk kepolisian dan sipil dan disingkat dengan “atasan” saja.

 Ketika digelar persidangan kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur 

di   Pengadilan   HAM  Adhoc  Jakarta   pada   tahun   2002   –   2004,   ternyata pertanggungjawaban   komandan/atasan   tersebut  diatas   telah   menimbulkanmulti­tafsir yang berbeda antara hakim, jaksa penuntut umum, pembela, saksi ahli  dan  terdakwa.  Hal   itu terjadi  karena  menurut  Pasal  9  Undang­Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menyebutkan kata “ditujukan secara langsung” (directed). 

Hal ini dapat diinterpretasikan “hanya bagi para pelaku yang melakukan perbuatan   secara   langsung   yang   dapat   dimintai   pertanggungjawaban   secara pidana”,   sedangkan   yang   “tidak   melakukan   perbuatan   secara langsung”   (indirected)   tidak   dapat   dimintai   pertanggungjawaban   pidana. Sementara menurut Pasal 42 Undang­Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan   HAM   tersebut,  secara   khusus   mengatur   pertanggungjawaban komandan/   atasan   terhadap   perbuatan   pasukan/bawahan   yang   dilakukan secara tidak  langsung   (indirected)  atau  delict  by  omission,  dapat  dimintakan pertanggungjawaban   pidana   adalah  menjadi   kontroversial   dengan   Pasal   9 tersebut. 

authority and control, as a result of his or the failure to exercise control properly over such subordinates, where:The superior either knew, or consciously disregarded information which clearly indicated, that the subordinates 

were committing or about to commit such crimes:The crimes concerned activities that were within the effective responsibility and control of the superior; and the superior  failed to take all necessary and reasonable measures within his or her power to prevent or repress their commission or to  submit the matter to the competent authorities for investigation and prosecution.

6 POLRI (Kepolisian Republik Indonesia) tidak masuk lagi dalam lingkungan TNI berdasarkan Ketetapan MPR­RI Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

8

Page 9: PROBLEMATIK DAN SOLUSI PENANGANAN  KASUS PELANGGARAN HAM BERAT

Dalam kasus pertanggungjawaban komandan/atasan sebagaimana diatur dalam Pasal 42 UU Pengadilan HAM, dikaitkan dengan fakta yang terungkap dalam   kasus   para   terdakwa   pelanggaran   HAM   berat   Timor   Timur   pada persidangan di Pengadilan HAM Adhoc Jakarta, ternyata perbuatan komandan/atasan   tidak   dilakukan   secara   langsung/aktif,   melainkan   karena   “tidak dilakukan   pengendalian   pasukan/bawahan   secara   patut”,   artinya komandan/atasan itu mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa pasukan/bawahan   sedang   melakukan   pelanggaran   HAM   berat,   tetapi   dia   tidak mencegahnya secara patut dan layak.

Mestinya  menurut   ketentuan   Pasal   42   tersebut   perbuatan   komandan/ atasan   yang   dilakukan   secara   tidak   langsungpun   tetap   dapat   dimintakan pertanggung  jawaban pidana.  Karena  menurut  doktrin Pertanggung  jawaban Komandan/atasan secara internasional, perbuatan tidak langsungpun (indirect) atau yang disebut perbuatan pasif (delict by omission) tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku pelanggaran HAM berat, artinya pasukan tersebut tidak melakukan pencegahan atau gagal untuk menghentikan terjadinya pelanggaran HAM berat,   pasukan tersebut sudah termasuk sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM berat.7 

Mengenai   pertanggungjawaban   pidana   dari   komandan/   atasan   yang menyimpang   dari   pertanggungjawaban   pidana   harus   diketahui   hubungan antara   “posisi”   komandan/atasan   dengan   “perbuatan”   yang   didakwakan kepadanya.   Artinya   makna   tanggungjawab   komandan/atasan   tidak   hanya bertanggung   jawab   kepada   bawahan   saja,   tetapi   bertanggung   jawab   kepada sikap komandan yang “membiarkan” (crimes by omission) perbuatan melawan hukum dari pasukan/bawahannya atau tidak melakuan upaya yang diperlukan dalam rangka penyelidikan, penyidikan dan penuntutan atas perbuatan itu.

Rumusan   pertanggungjawaban  komandan  berdasarkan  Hukum  Pidana Indonesia   dan   Hukum   Internasional   adalah:   Jika   komandan/atasan memberikan perintah yang langsung ditujukan kepada pasukan/bawahan dan 

7   Lihat  Putusan  Pengadilan   HAM  Adhoc  Jakarta  atas   nama Terdakwa   Letkol.   Inf.   Soedjarwo  No.  08/Pid. HAM/Ad.Hoc/2002/PN. JKT.PST, hlm. 53. Bandingkan dengan Prinsip hukum yang dianut dalam praktik penerapan tanggung jawab komando pada peradilan Nuremberg (The Nuremberg Tribunal), menyatakan: Seorang komandan yang bertanggung jawab secara efektif terhadap pasukannya atau bawahannya yang efektif, dapat diadili sekalipun ia tidak memerintahkan   kejahatan   tersebut,   tetapi   mengetahui   atau   mesti   harus   mengetahui   tindakan   kejahatan   yang dilakukan   oleh   anak   buahnya   yang   efektif   tersebut,   namun   gagal   untuk   mengambil   tindakan   yang   semestinya (reasonable action) untuk mencegah menindak dan menghukumnya.

9

Page 10: PROBLEMATIK DAN SOLUSI PENANGANAN  KASUS PELANGGARAN HAM BERAT

ternyata   perintah   itu   merupakan   perintah   yang   bersifat   melawan   hukum,8 

maka tanggungjawab pidana dari komandan/atasan itu adalah tanggungjawab langsung   (direct   responsibility).  Sebaliknya   jika   yang   melakukan   perbuatan melawan   hukum   adalah   pasukan/bawahan   dari   komandan/atasan   tersebut (tanpa adanya perintah untuk melakukan perbuatan itu dari komandan/atasan), maka   tanggungjawab   komandan/atasan   adalah   atas   dasar  “delict   by  omission” (culpable omissions), artinya kejahatan yang dilakukan oleh pasukan/bawahannya,   tetap dapat dimintakan pertanggungjawaban komandan/atasan, karena   ia   harus   dianggap   sepatutnya   mengetahui   perbuatan   pasukan/ bawahannya   telah   “membiarkan”   terjadinya   pelanggaran   HAM   berat   yang dilakukan oleh pasukan/bawahannya (indirect command responsibility). 

Di   sini   harus   dibedakan   pula   mengenai   pertanggungjawaban komandan/atasan   yaitu   “perbuatan   yang   didasarkan   pada   perintah komandan/atasan   yang   melawan   hukum”   dan   “perbuatan   pasukan/bawahan yang melawan hukum,  tetapi   tidak berdasarkan perintah komandan/atasan”. Jika perbuatan melawan hukum yang terjadi itu adalah karena adanya perintah komandan/atasan, maka yang harus dibuktikan terlebih dahulu adalah “adanya perintah   komandan/atasan   yang   melawan   hukum   itu”.   Sementara   jika perbuatan itu tanpa adanya perintah komandan, maka yang harus dibuktikan terlebih   dahulu   adalah   adanya   perbuatan   melawan   hukum   dari pasukan/bawahan   itu   sendiri,   baru   kemudian   membuktikan   sejauh  mana komandan/atasan melakukan “pembiaran” terhadap perbuatan itu.

Dengan melihat pada unsur­unsur yang harus dibuktikan dalam kasus pertanggungjawaban   komandan/atasan   itu,   maka   unsur­unsur “perbuatan” (unsur material, actus reus) dan unsur­unsur “tidak berbuat secara langsung”   (by  omission)  harus  dibuktikan  secara  berurutan   (chronologically), yaitu   mulai   dari   komandan/atasan   hingga   bawahan/pasukan.   Jika   hal   itu terbukti,   atas  dasar   itulah  baru  dikatakan  adanya  kasus  pelanggaran  HAM berat yang berhubungan dengan tanggung jawab komandan/atasan.

Dalam pertanggungjawaban komandan, garis komando bisa ditarik garis ke  atas dengan syarat harus memenuhi elemen/unsur­unsur sebagai berikut:9

8  Pengertian   perbuatan   melawan   hukum   disini   adalah   dalam   arti   formil,   yaitu   suatu   perbuatan   yang bertentangan dengan ketentuan­ketentuan yang diatur secara tertulis.

9 Penjelasan PLT. Sihombing, Op.cit, hlm. 90.10

Page 11: PROBLEMATIK DAN SOLUSI PENANGANAN  KASUS PELANGGARAN HAM BERAT

1. Harus   terlebih   dahulu   terbukti   anggotanya   melakukan pelanggaran HAM berat.  Jika tidak terbukti,  maka tidak akan ada pertanggungjawaban komando.

2. Harus   ada   hubungan   sub   ordinasi   antara   komandan   dengan pelaku dan hubungan  sub ordinasi   ini   tidak hanya  komandan langsung, tetapi dapat juga komandan tidak langsung. Dari sini dapat   diketahui   dasar   penentuan,   sampai   sejauhmana   yang harus   dapat  dipertanggungjawabkan   itu  adalah setiap  komandan yang  ada pada   rantai  komando,  mulai  dari  yang   terendah  sampai  yang tertinggi.

3. Komandan   tidak   melaksanakan   atau   gagal   melaksanakan kekuasaan   yang   ada   padanya   untuk   menghentikan   atau menyerahkan   kepada   yang   berwajib.   Contoh,   jika   Komandan Kodimnya tidak berbuat sesuatu, maka dia harus bertanggung jawab akan hal itu, kemudian diusut ke atas. Kalau Danremnya juga tidak berbuat sesuatu, maka dia harus bertanggung jawab begitu berturut­turut sampai ke Pangdam, ke atas.

Mengacu   kepada   doktrin   pertanggungjawaban   komandan/   atasan langsung maupun tidak langsung, komandan yang melakukan pembiaran atau gagal  bertindak atas  kejahatan yang  terjadi  di  dalam pengendaliannya  yang efektif   tetap  dapat  dimintakan  pertanggungjawaban  secara  pidana.10  Hal   ini karena   ada   4   (empat)   elemen/unsur   utama   pertanggungjawaban   komando, antara lain:11

1. Adanya hubungan langsung antara bawahan dengan atasan baik secara  de  jure maupun de facto.

2. Atasan mengetahui atau beralasan untuk mengetahui bahwa telah terjadi atau sedang dilakukan tindak pidana.

3. Atasan   memiliki   kewenangan   atau   kekuasaan   untuk   mencegah   dan menahan terjadinya tindak pidana.

4. Atasan gagal mengambil langkah­langkah yang diperlukan guna mencegah atau menghentikan tindak pidana.

10 Lihat Pasal   28  Statuta Roma 1988 yang diadopsi oleh Pemerintah Indonesia kedalam Pasal   42 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

11 Lihat Putusan Pengadilan HAM Adhoc Jakarta Pusat atas nama Terdakwa Letkol Inf. Soedjarwo, Op.cit, hlm. 42 – 43.

11

Page 12: PROBLEMATIK DAN SOLUSI PENANGANAN  KASUS PELANGGARAN HAM BERAT

Khusus   elemen   “mengetahui”   (had   knowledge)   di   sini,   Prof.   Bantekas merinci tanggung jawab komandan itu menjadi 3 hal, antara lain:12

1. Apabila   Komandan   telah   mengetahui   (had   knowledge)   bahwa   kejahatan telah   atau   akan   dilakukan   dan   tidak   mencegah   atau   menghukum pelakunya.   Di   sini   terdapat   elemen  “actual   knowledge”  (betul­betul mengetahui). 

2. Apabila seorang Komandan seharusnya mengetahui. Di sini terdapat elemen “dianggap mengetahui” (presumtion of knowledge). 

3. Seorang   Komandan   seharusnya   sudah   menjadikan   tugasnya   untuk mengetahui apa yang sedang dilakukan pasukannya atau orang lain yang berada dalam pengendaliannya. Di sini terdapat “alasan untuk mengetahui” yang disebut the reason to know element of knowledge.

Dalam   kasus   pertanggungjawaban   komandan/atasan,   maka   standar “mengetahui”   dari   seorang   komandan/atasan   –   terhadap   pelanggaran   HAM berat  yang dilakukan oleh  pasukan/bawahannya  –  merupakan pertimbangan penting untuk menentukan sejauh mana tanggung jawab komandan/atasan itu. Sebab   semakin   tinggi   pangkat   komandan/atasan   tersebut   semakin   tinggi persyaratan   untuk   “mengetahui”   suatu   keadaan.   Terminologi   “mengetahui” dalam kasus­kasus pertanggungjawaban komandan/atasan mengenal beberapa tingkatan,   di   mana   tingkatan   paling   rendah   adalah  “actual  knowledge” (mengetahui secara pasti), sampai pada tingkatan yang lebih tinggi seperti “had reason to know” (memiliki alasan untuk mengetahui) atau “should  have known” (seharusnya mengetahui). 

Menurut Brigjen PLT. Sihombing,13  selaku saksi ahli pada persidangan Pengadilan HAM Adhoc Jakarta atas nama terdakwa Mayjen Adam R. Damiri mengatakan, bahwa untuk “elemen pengetahuan komandan” telah terjadi atau sedang   terjadi   pelanggaran   HAM   berat,   tidak   mesti   komandan   itu mengetahuinya   berdasarkan   laporan   resmi   dari   bawahan,   tetapi   misalnya pemberitaan   di   media   massa   baik   cetak   atau   elektronika   yang   menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM, maka hal  itu sudah dapat dijadikan sebagai bukti sudah terjadi pelanggaran HAM berat.

12 Eddy Djunaedi, Perkembangan Doktrin Command Responsibility, Jakarta: LPP­HAN, 2003, hlm. 5.13 Lihat putusan Pengadilan HAM Adhoc Jakarta No. 09/PID.HAM/AD.HOC/ 2002.PN. JKT.PST, hlm. 92.

12

Page 13: PROBLEMATIK DAN SOLUSI PENANGANAN  KASUS PELANGGARAN HAM BERAT

Ilias   Bantekas14  menganalisis   situasi­situasi   dalam   hal   mana komandan/atasan   bertanggung   jawab   terhadap   tindakan­tindakan pasukan/bawahannya, yaitu: 

“International  humanitarian law recognizes  two distinct  duties that are  incumbent  on superiors:   the duties  to prevent  and punish the  crimes of  one’s subordinates” (Hukum kemanusiaan internasional mengakui adanya kewajiban  yang  muncul  berupa  pertanggungjawaban  komandan/atasan yaitu   kewajiban   untuk   mencegah   dan   menghukum   kejahatan   yang dilakukan oleh anak buah/bawahannya).

 Bantekas15 juga menambahkan: “………….military and civilian superiors  are criminally liable for the crimes of their subordinates where they have either  failed to prevent their occurrence, or punish them once they have taken place”. (Komandan   militer   dan   atasan   sipil   secara   pidana   bertanggung   jawab   atas kejahatan   anak   buahnya   ketika   anak   buah   tersebut   gagal   untuk   mencegah tindakan   mereka   ataupun   menghukum   anak   buah   tersebut   ketika   suatau kejahatan terjadi). 

Dengan   demikian,   terdapat   dua   unsur   penting   dalam pertanggungjawaban   komandan/atasan   ini   yaitu   “tugas   untuk   mencegah perbuatan   itu”   dan   “untuk   menghukum   pasukan/   bawahan   yang melakukannya”.

Pandangan Banteks ini sejalan dengan apa yang diatur dalam Pasal 28 Statuta   Roma   1988   dan   Pasal   42   Undang­Undang   Nomor   26   Tahun   2000 tentang Pengadilan HAM mengenai tanggung jawab komandan/atasan.

Menurut   penulis,   berdasarkan   doktrin   tersebut   ada   jaminan   dari terdakwa   (selaku   komandan)   untuk   mencegah   atau   menghukum   setiap penyalahgunaan  wewenang  yang  dilakukan  pasukan/anak  buah)  baik   secara langsung maupun tidak langsung. Dan langkah pertama yang akan menentukan apakah “pelaku langsung atau tidak langsung” dari kejahatan itu benar­benar melakukan perbuatan penyalahgunaan wewenang kekuasaan (abuse of power) atau   gagal   bertindak   dalam   pengendaliannya   yang   efektif,   terlebih   setelah diterapkannya keadaan darurat  militer  dalam wilayah tertentu sebagaimana 

14  Ilias   Bantekas,  Principles   of   Direst   and   Superior   Responsibility   in   International   Humanitarian   Law, Manchester University Press, Manchester, UK, 2002, hlm. 94.

15 Ibid.13

Page 14: PROBLEMATIK DAN SOLUSI PENANGANAN  KASUS PELANGGARAN HAM BERAT

dalam   dakwaan/tuntutan   Jaksa,   “harus   dapat   dibuktikan   dalam   proses persidangan”.

Dalam praktik persidangan kasus pelanggaran HAM berat Timor Timur di   Pengadilan   HAM  Adhoc  Jakarta   tahun   2002­2004,   masalah pertanggungjawaban   komandan/atasan   tersebut   pernah   menimbulkan   silang pendapat antara hakim, jaksa penuntut umum, advokat, saksi dan terdakwa. Hal  itu terjadi karena belum ada defenisi  dan penjelasan yang pasti  tentang pertanggungjawaban komandan/atasan di dalam Pasal 42 UU Pengadilan HAM. Menurut penjelasan Pasal 42 UU Pengadilan HAM hanya menyatakan “Cukup Jelas” terhadap ketentuan ini, sementara permasalahan hukum yang terdapat dalam ketentuan itu sangat kompleks.  Akhirnya penafsiran hukum terhadap rumusan pertanggung   jawaban komandan/atasan  tersebut  sangat   tergantung dari   pandangan   subyektif   Hakim   tingkat   pertama,   banding   dan   kasasi  di Mahkamah Agung yang satu sama lain putusannya saling kontradiktif . 

Contoh   kasus   sebagai   sampel   dari   pihak   TNI   yang   dibebaskan   oleh Mahkamah Agung,  adalah   terdakwa  Letkol   Inf.  Soedjarwo   (mantan  Dandim 1627 Dili) Terdakwa Brigjen Mohammad Noer Muis (mantan Dandrem Timor Timur)   dan   terdakwa   Mayjen   (TNI)   Adam   R.   Damiri   (mantan   Pangdam Udayana)   dalam   kasus   Pelanggaran   HAM   berat   Timor   Timur   tentang pertanggungjawaban komandan militer di Pengadilan HAM Adhoc Jakarta pada tahun 2002 – 2004, masing­masing telah divonis bersalah 5 tahun.16  Penjara, karena   terbukti  melakukan   Pelanggaran   HAM   berat   berupa:   “kejahatan terhadap kemanusiaan pada tingkat pertama. 

Kesalahan   Terdakwa   Soedjarwo     ketika   itu   secara   “tiba­tiba   menarik pasukan” dari  kediaman Uskup Belo pada tanggal  5 September 1999 sekitar pukul 06.00 WIB yang sebelumnya telah dijaga ketat oleh petugas keamanan dua peleton pasukan sebanyak 60 orang setelah pengumuman jajak pendapat Timor Timur tanggal   4 September 1999. Alasan penarikan pasukan tersebut menurut   Kapten   Hartono   (Pasi   Ops)   dan   Mayor   Salman   Manafe   (Kasdim) selaku anak buah terdakwa Soedjarwo, karena akan diadakan “missa kudus” pada pagi hari itu. Namun berselang  ±  2 jam pihak pro­integrasi (pihak yang kalah dalam pengumuman jajak pendapat) langsung melakukan penyerangan 

16 Lihat Putusan Pengadilan HAM Adhoc Jakarta Pusat atas nama Terdakwa Letkol Inf. Soedjarwo No. Perkara: 08/PID.HAM/AD.HOC/2002/PN.JKT.PST,   atas   nama   Terdakwa   Mohammad   Noer   Muis   No.   Perkara: 12/PID.HAM/AD.HOC/2002/PN.   JKT.PST   dan   atas   nama   Terdakwa   Adam   R.   Damiri   No.   Perkara: 09/PID.HAM/AD.HOC/2002/PN. JKT. PST.

14

Page 15: PROBLEMATIK DAN SOLUSI PENANGANAN  KASUS PELANGGARAN HAM BERAT

secara membabi buta di kediaman Uskup Belo yang menelan banyak korban. Penarikan pasukan itu ternyata tidak dilaporkan Terdakwa Soedjarwo kepada atasannya   atau   tanpa   sepengetahuan   terdakwa   Mohammad   Noer   Muis (Dandrem Timor Timur) dan Terdakwa Adam R. Damiri (Pangdam Udayana IX) selaku atasan Terdakwa Soedjarwo.17

Majelis Hakim tingkat pertama berpendapat bahwa terdakwa Soedjarwo harus dimintai pertanggungjawaban “pembiaran” (delict by omission) terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan. Sedangkan terhadap Terdakwa Mohammad Noer Muis dan Terdakwa Adam R. Damiri selaku atasan Terdakwa Soedjarwo, sekalipun   dalam   jawaban   mereka   tidak   mengetahui   penarikan   pasukan tersebut,   namun   menurut  doktrin   pertanggungjawaban   komandan  terdakwa Mohammad Noer  Muis  dan  Adam  R.   Damiri   selaku   Komandan   “sepatutnya mengetahui atau beralasan untuk mengetahui tindak pidana yang terjadi atau yang   akan   terjadi.  Dengan   demikian   mata   rantai   Komandan   tersebut   tetap dapat   dimintai   pertanggung   jawaban   komandan   militer,   yaitu   perbuatan pembiaran (delict  by omission),18  karena secara institusi  Terdakwa Soedjarwo selaku   Dandim   Dili,   berada   di   bawah   wewenang   kekuasaan   terdakwa Mohammad Noer Muis dan Adam R. Damiri. 

Namun,   putusan   Pengadilan   Tingkat   Banding   dan   Kasasi  di   Mahkamah   Agung   telah   membatalkan   putusan   majelis   hakim   tingkat pertama   tersebut,   yaitu   membebaskan   semuanya   terdakwa   dengan   alasan “tidak terbukti” melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur.19

Contoh   kasus   serupa   pernah   dipraktikkan   dalam   sebuah   kasus   yang sangat dikenal luas setelah Perang Dunia ke­II, yaitu kasus kejahatan perang yang   dilakukan   oleh   terdakwa   Jenderal   Yamashita   dari   Tokyo   –   Jepang.20 

Yamashita  adalah seorang Jenderal  yang  memimpin  pasukan Jepang waktu menduduki  kepulauan  Filipina  pada  Perang  Dunia  ke­II.  Yamashita  sebagai seorang   Jenderal   gagal   untuk   mencegah   tindakan   pasukannya   di   wilayah Filipina   hingga   terjadi   pelanggaran   HAM   berat   seperti   pemerkosaan, pembunuhan,   dan   pembumi   hangusan   pemukiman   penduduk   di   wilayah 

17 Ibid.18 Ibid.19  Sesuai  amar putusan Pengadilan  Tingkat banding dan kasasi  atas nama Terdakwa Letkol  Inf.  Soedjarwo, 

Mohammad Noer Muis dan Adam R. Damiri.20 Victor Hansen, Ghraib: Time For The United States to Adopt A Standard of Command Responsibility Towards  

Its Own, Gonzaga Law Review, 2006­2007, hlm. 10. 15

Page 16: PROBLEMATIK DAN SOLUSI PENANGANAN  KASUS PELANGGARAN HAM BERAT

Filipina  dan  ibukota  Manila.  Kejadian berdarah  yang   terjadi  dalam rentang waktu   antara   9   Oktober   1944   hingga   3   September   1945   itu   telah   menelan ribuan korban jiwa baik di pihak sipil Filipina maupun militer Amerika saat itu.

Dalam   persidangan   Mahkamah   Militer   Amerika   Serikat,   Yamashita memberikan pembelaan bahwa pasukannya dalam keadaan kacau­balau,  dan bahwa ia berada jauh dari pasukannya dan terputus hubungan komunikasinya dari pasukan yang melakukan kejahatan­kejahatan. Dan tidak ada cara apapun untuk   mengetahui   perbuatan   pasukannya   yang   jaraknya   ratusan   mil   dari tempatnya.   Namun  Mahkamah   Militer   tetap   mengatakan   bahwa  Yamashita bertanggung jawab atas perbuatan­perbuatan pasukannya itu “hanya” dengan pertimbangan bahwa ia adalah komandan (superior) pasukan tersebut, karena tidak mengambil langkah­langkah untuk mencegah kejahatan atau menghukum kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku.21

Dalam Putusan Mahkamah Militer telah mempertimbang­kan bahwa ia mengetahui atau seharusnya sadar (aware) bahwa kejahatan itu begitu hebat (notorius) dan menyebar. Untuk kejahatan itu Yamashita telah dihukum dengan “Pidana Mati”, dan putusan tersebut dikuatkan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat.22

Dalam kasus berikutnya, Slobodan Milosevic (mantan Presiden Bosnia di Yugoslavia)23 gagal mencegah terjadinya pelanggaran HAM berat internasional berdasarkan kesaksian dari Komandan Nato Wesley Clark mengatakan bahwa pada   tahun   1995   di   Srebenica   yang   menyebabkan   lebih   dari   8.000   jiwa tereksekusi dan kira­kira 354 orang lainnya terbunuh.

21 Dalam pembelaan tersebut ia mengatakan bahwa ia telah kehilangan kontak dengan pasukannya oleh karena sistem komunikasinya telah hancur. Dan sebelumnya telah membagi tanggung jawab militer kepada beberapa perwira tinggi   bawahannya   dan   memerintahkan   para   perwiranya   (pasukannya)   untuk   meninggalkan   Manila   dan   tidak melakukan kejahatan perang dan tidak mengganggu orang sipil.  Namun dengan terbunuhnya sekitar  25.000 orang Pilipina  dan  menelantarkan 7.000  orang   luka­luka,   ia   tetap  dipersalahkan  sebagai  atasan  bertanggung  jawab  atas perbuatan bawahannya. Ia juga dipersalahkan atas perbuatan bawahannya karena melakukan pembakaran bangunan sipil,  memperlakukan  1.500   tawanan  perang  Amerika  dengan   tidak  manusiawi.  Padahal   ia   sendiri   baru  menjabat komandan militer hanya 9 hari sebelum pasukan Amerika Serikat menduduki Filipina.

22  Kasus   Jenderal   Yamashita   merupakan   contoh   kasus   terkenal   adanya.  “Strict   Liability”  pada   seorang komandan militer, di mana ia tetap dipersalahkan sebagai atasan bertanggung jawab atas perbuatan bawahannya yang melakukan   kejahatan   perang   dengan   mengabaikan   perintahnya   dan   ia   tidak   mengetahui   perbuatan   bawahannya dengan  alasan   hubungan  komunikasi   telah   terputus.  Pakar   hukum  Internasional   Prof.   Lauterpacht   sendiri  dalam pembicaraan   untuk   menyusun   Charter   IMT   Nuremburg   mengusulkan   agar   bawahan   yang   beritikad   baik   yang mengikuti perintah atasan harus dilindungi, kecuali kalau perintah itu betul­betul melanggar hukum, namun usulan itu ditolak.

23  Jared Olanoff, Holding A Head of State Liable for War Crimes:  Command Responsibility and The Milosevic  Trial, Suffolk Transnational Law Review, Summer 2004, hlm. 6. 

16

Page 17: PROBLEMATIK DAN SOLUSI PENANGANAN  KASUS PELANGGARAN HAM BERAT

Milosovic   gagal   menghukum   semua   pelaku   yang   bertanggung   jawab terhadap pelaku pembantaian tersebut. Dan Milosovic juga gagal mengirim para pelaku pembantaian itu ke Pengadilan. Namun sangat disayangkan, sebelum kasus   ini  diputus   oleh  Pengadilan,  Milosovic  meninggal  dunia,   karena   sakit jantung.

Berdasarkan   doktrin   pertanggungjawaban   komandan/atasan   tersebut, maka keprofesionalitasan seorang Hakim di sini dituntut memiliki pengetahuan di  bidang HAM dan memiliki   latar belakang konsentrasi  hukum pidana dan Tata   Negara,   serta   hubungan   internasional,   karena   konsentrasi   ilmu pengetahuan  tersebut  akan seiring  sejalan dalam melahirkan suatu putusan HAM yang berkualitas, manusiawi, berhati nurani dan independen.

Makalah ini disajikan pada acara Focus Group Discussion (FGD) dengan tema : “Hak Memperoleh Keadilan Dalam Perkara Pidana Ditinjau dari Perspektif HAM” oleh Komnas HAM di Hotel Swiss Belhotel Medan tanggal 28 Maret 2009.

*  Penulis   adalah   Ketua   Pengadilan   Negeri Simalungun   dan   Hakim   HAM   pada   Pengadilan   HAM  Adhoc Jakarta

17