keefektifan dan keurgensian pembentukan pengadilan ham di tingkat asean

Upload: arfi

Post on 05-Jul-2018

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    1/30

     

    KEEFEKTIFAN DAN KEURGENSIAN PEMBENTUKAN PENGADILAN HAM DITINGKAT ASEAN

    (Penelitian yang didanai secara mandiri pada tahun 2016 dan dilaksanakanuntuk mengikuti GALERI 2016)[Arfi Fazrian, Ketua Kelompok: [email protected]],

    [Farah Elsa Nova, Anggtoa 1: [email protected] ], dan[Meutia Rizkiyana Zuhra Anggota 2: [email protected] ][Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala]

    [Jalan Teuku Nyak Arief, Darussalam, Banda Aceh, Aceh, 2311, Indonesia]

    FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS SYIAH KUALA

    BANDA ACEH2016

    mailto:[email protected]:[email protected]

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    2/30

     

     ABSTRACT ASEAN is a regional organization its aims to promote peace on a regional

    level. Therefore, ASEAN has established a Human Rights Commission or Inter-govenrmental Commission on Human Rights (AICHR). However in fact there arestill many human rights violations happened continuosly, so need do observationof the effectiveness of the agency AICHR in their duties to resolvethe humanrights violations in ASEAN and also see whether a matter of urgency in theestablishment of Human ASEAN reviewed for a variety of cases, such as thecase of Rohingya ethnic, Myanmar and Aceh, Indonesia. The research wasconducted by way of normative-empirical. So it can be viewed that, AICHR hasnot been effective and urgency to establish ASEAN human rights court.

    KEY WORDS: ASEAN, AICHR, Court of Human Rights. 

    INTISARI ASEAN merupakan organisasi regional yang bertujuan memajukan

    perdamaian pada tingkat regionalnya. Oleh karena itu, ASEAN telah membentukbadan komisi HAM ASEAN atau  ASEAN Inter-govenrmental Comission onHuman Rights (AICHR). Akan tetapi dalam faktanya masih banyak pelanggaranHAM yang terus terjadi, sehingga perlu adanya peninjauan terhadap keefektifandari badan AICHR dalam menjalankan tugasnya berupa penyelesaian kasuspelanggaran HAM di tingkat ASEAN dan juga melihat apakah suatu hal yangurgensi dalam pembentukan pengadilan HAM ASEAN ditinjau berdasarkanbeberapa kasus, yakni kasus Rohingya, Myanmar dan Aceh, Indonesia.Penelitian dilakukan dengan cara yuridis normatif-empiris. Sehingga dapat dilihat

    bahwa, AICHR belumlah efektif dan suatu hal yang urgensi dalam membentukpengadilan HAM ASEAN.

    KATA KUNCI: ASEAN, AICHR, PENGADILAN HAM ASEAN.

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    3/30

    i

    DAFTAR ISIDAFTAR ISI ......................................................................................... i

     A. PENDAHULUAN ........................................................................... 1

    1. Latar belakang ................................................................................ 1

    2. Rumusan Masalah .......................................................................... 3

    3. Tujuan ............................................................................................. 3

    B. METODE PENELITIAN .................................................................. 5 

    1. Definisi Operasional Variable Penelitian ........................................ 5

    2. Metode Pengumpulan Data ............................................................. 5

    3. Sumber Data ................................................................................... 5

    4. Metode Analisa Data ....................................................................... 6

    C. HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN .................................... 7

    1. Keefektifan AICHR ......................................................................... 7

    2. Kasus-Kasus Pelanggaran HAM di ASEAN ................................... 11

    3. Permasalahan Pembentukan Pengadilan HAM ASEAN ............... 14

    D. PENUTUP ....................................................................................... 18

    1. Kesimpulan ..................................................................................... 18

    2. Saran ............................................................................................... 19

    DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ ii

    LAMPIRAN .......................................................................................... v

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    4/30

    1 | U n i v e r s i t a s S y i a h K u a l a  

     A. PENDAHULUAN 

    1. Latar Belakang

    Menurut Jerome J. Shestack, istilah Hak Asasi Manusia (HAM) tidakditemukan dalam agama agama tradisional. Namun demikian, ilmu tentangketuhanan (theology) menghadirkan landasan bagi suatu teori HAM yang berasaldari hukum yang lebih tinggi dari pada negara dan yang sumbernya adalahTuhan (Supreme Being).1 Sehingga dapat dikatakan bahwa HAM adalah hak-hakyang dimiliki oleh semua orang setiap saat dan disemua tempat. Hak-haktersebut termasuk hak untuk hidup, hak untuk bebas dari rasa takut, hak untukberkeluarga, hak untuk beragama.2

    Prinsip-prinsip untuk melindungi HAM mulai muncul secara moderndimulai dari lahirnya Bill of Rights di Inggris (1689), Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat (1776), Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara Prancis

    (1789). Lebih dari satu setengah abad kemudian, di penghujung Perang dunia II,Deklarasi Universal HAM (1948) telah disebarluaskan kepada masyarakatinternasional di bawah bendera teori hak-hak kodrati.

     

    3

    Menurut para penganut teori relativisme budaya, tidak ada suatu hakyang bersifat universal. Mereka merasa bahwa teori hak-hak kodratimengabaikan dasar sosial dari identitas yang dimiliki oleh individu sebagaimanusia. Manusia selalu merupakan produk dari beberapa lingkungan sosial danbudaya dan tradisi-tradisi budaya dan peradaban yang berbeda yang memuatcara-cara yang berbeda menjadi manusia. Oleh karena itu, hak-hak yang dimilikioleh seluruh manusia setiap saat dan di semua tempat merupakan hak-hak yangmenjadikan manusia terlepas secara sosial (desocialized) dan budaya(deculturized).

     

    4

    Pada perkembangannya, hak-hak yang melekat yang dibawa sejak lahirtelah diganggu keberadaannya sehingga menyebabkan haruslah ada sebuahwadah yang mengadili ketidakadilan yang terjadi pada HAM seorang manusia.Begitu juga jika ditinjau dari teori relativisme budaya, teori ini mempunyaipengharapan bahwa nantinya HAM diharapkan dapat berlaku bagi seluruhmanusia. Kedua teori ini cukup menunjukkan bahwa betapa pentingnya sebuahwadah yang dipergunakan untuk mengadili ketidakadilan yang terjadi pada HAMseorang manusia. Lebih jauh lagi HAM merupakan hal yang serius sehinggapenyelesaian permasalahan ketidakadilan yang terjadi pada seseorang tidak bisadiabaikan begitu saja. Karena dewasa ini, ketidakadilan yang terjadi pada HAM

    1 Lihat Jerome J. Shestack, Jurisprudence of Human Rights, dalam Theodor Meron, edit., Human

    Rights in International Law Legal and Policy Issues, New York: Oxford University Press, 1992, hlm.76. Hal itu dinyatakan sebagai berikut: “The term ‘human rights’ as such is not found in traditionalreligions. Nonetheless, theology presents the basis for a human rights theory stemming from a lawhigher than the state and whose source is the Supreme Being. Of course, this theory presupposesan acceptance of revealed doctrine as the source of such rights”.2Todung Mulya Lubis, In search of Human Rights Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New

    Order, 1966-1990, Jakarta: Gramedia, 1993, hlm. 15-16.3Ibid., hlm. 16-17

    4Ibid. Yaitu dinyatakan sebagai berikut: “According to cultural relativists, there is no such thing as

    universal rights. They feel that natural rights theory ignores the social basis of an individual’sidentity as a human being. A human being is always the product of some social and cultural milieuand different traditions of culture and civilization contain different ways of being human. It follows,

    therefore, that rights belonging to all human beings at all times and in all places would be the rightsof desocialized and deculturized beings”. 

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    5/30

    2 | U n i v e r s i t a s S y i a h K u a l a  

    bukan lagi pada seorang individu melainkan telah merambah kepada satu koloniminoritas yang pada akhirnya dimusnahkan (genosida) oleh suatu mayoritas.

    Negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam  Association ofSoutheast Asia Nations( ASEAN)5  juga telah membahas adanya perlindunganHAM bagi setiap individu dan diperlukannya suatu pengadilan atas tindakan-tindakan pelanggaran HAM yang terjadi di negara-negara anggota yang tidakdiselesaikan di dalam negara-negara tersebut. Seperti halnya, Konflik yangterjadi di Myanmar yang merupakan salah satu konflik HAM terberat di AsiaTenggara, dimana terdapat rezim opresi militer didalam Myanmar yangmembunuh dan menawan orang-orang yang mereka kira dapat mengancammiliter sebagai pemimpin negeri tersebut.6 Kemudian, pada tahun 2012 hingga2014 juga terjadi pembantaian kepada kaum minoritas Rohingya  di Myanmar,yang kemudian etnis ini melarikan diri keluar dari Myanmar untukmenyelamatkan hidupnya.7

    Indonesia adalah negara ketiga yang memiliki kasus pelanggaran HAM di Asia Tenggara. Terdapat beberapa kasus pelanggaran HAM di Indonesia antaralain kasus pembantaian warga sipil Aceh saat terjadi operasi militer di Provinsi Aceh yang hingga kini tidak ada kejelasan dalam penyelesaian kasus-kasustersebut. Kasus yang sangat terkenal adalah kasus Simpang KKA di AcehTimur.

     

    8

    Pemarginalan akan HAM pada sektor-sektor seperti, hak sosial, ekonomi,budaya (ekososbud), dan hak sosial-politik (sipol) semakin meningkat setiaptahunnya. Penghilangan paksa, represi, perampasan tanah, hak berkumpul danberasosiasi dan hal-hal lainnya. Kondisi ini disebabkan hampir sebagian besarkalangan penyelenggaran negara kurang peduli terhadap penegakan HAMsecara holistik. Sehingga esensi HAM semakin melemah bagi korbanpelanggaran HAM terkait meminta keadilan kepada negara seperti dalam halpemulihan dan reparasi.

     Ketika pertama kali didirikan tahun 1967, ASEAN bertujuan meningkatkan

    pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial, dan pengembangan kebudayaannegara-negara anggotanya, memajukan perdamaian dan stabilitas di tingkatregionalnya, serta meningkatkan kesempatan untuk membahas perbedaan diantara anggotanya dengan damai. Namun, dalam hal memajukan perdamaian, ASEAN masih jauh dari tujuan tersebut. Hal ini diperparah dengan rendahnya

    komitmen negara anggota terhadap isu hak asasi terutama penghormatan,perlindungan dan pemenuhan hak – hak sipil, politik, ekonomi, sosial budaya dangender.

    9

    Pembahasan mengenai HAM di ASEAN sudah dimulai sejak persiapankonferensi mengenai Universal Declaration on Human Right di wina pada tahun1993, yang membahas mengenai deklarasi Bangkok terhadap perlindungan

    5 Association of Southeast Asia Nations (ASEAN) adalah organisasi antar-pemerintah di kawasan

     Asia Tenggara yang beranggotakan sepuluh negara (Indonesia, Thailand, Singapura, Malaysia,Brunei Darussalam, Myanmar, Filipina, Vietnam, Kamboja, Laos).6Kompas,http://internasional.kompas.com/read/2012/03/20/11532816/Pelanggaran.HAM.dan.Keker 

    asan.Masih.Terjadi.di.Myanmar. diakses pada 25 Maret 20167Liputan 6, http://news.liputan6.com/read/429057/ada-pelanggaran-ham-berat-di-rohingya-

    myanmar, diakses pada 25 Maret 2016.8Fellin Kinanti. 2012. Hak Asasi Manusia di Asia Tenggara. Jurnal UNAIR. 

    9

    http://www.acehinstitute.org/id/pojok-publik/hukum/item/204-tawaran-konsep-perkuat-komisi-hak-asasi-manusia-asean.html. diakses pada 19 Maret 2016.

    http://news.liputan6.com/read/429057/ada-pelanggaran-ham-berat-di-rohingya-myanmarhttp://news.liputan6.com/read/429057/ada-pelanggaran-ham-berat-di-rohingya-myanmarhttp://www.acehinstitute.org/id/pojok-publik/hukum/item/204-tawaran-konsep-perkuat-komisi-hak-asasi-manusia-asean.htmlhttp://www.acehinstitute.org/id/pojok-publik/hukum/item/204-tawaran-konsep-perkuat-komisi-hak-asasi-manusia-asean.htmlhttp://www.acehinstitute.org/id/pojok-publik/hukum/item/204-tawaran-konsep-perkuat-komisi-hak-asasi-manusia-asean.htmlhttp://www.acehinstitute.org/id/pojok-publik/hukum/item/204-tawaran-konsep-perkuat-komisi-hak-asasi-manusia-asean.htmlhttp://www.acehinstitute.org/id/pojok-publik/hukum/item/204-tawaran-konsep-perkuat-komisi-hak-asasi-manusia-asean.htmlhttp://news.liputan6.com/read/429057/ada-pelanggaran-ham-berat-di-rohingya-myanmarhttp://news.liputan6.com/read/429057/ada-pelanggaran-ham-berat-di-rohingya-myanmar

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    6/30

    3 | U n i v e r s i t a s S y i a h K u a l a  

    HAM di tingkat regional.10 Deklarasi Bangkok11

     AICHR memiliki beberapa tujuan yang harus dicapai, yaitu: (1)Mengembangkan strategi-strategi untuk pemajuandan perlindungan HAM; (2)Mengembangkan sebuah Deklarasi HAM ASEAN; (3) Meningkatkan kesadaranpublik terhadap HAM; (4) Memajukan pelaksanaan instrument-instrumen HAM ASEAN dan kewajiban-kewajiban Negara Anggota di dalam perjanjian HAMinternasionalnya; (5) Menyiapkan kajian-kajian tentang isu-isu tematik HAM; (6)Mendapatkan informasi dari Negara-negara Anggota ASEAN tentang HAM.

     yang memiliki beberapa tujuanyang antara lain, termuat dalam butir kedua mengenai “meningkatkan

    perdamaian dan stabilitas regional” yang merupakan ide atau sebuah gagasanuntuk menjadikan kawasan ASEAN tempat yang terlindungi dari gangguanperdamaian yang dalam hal ini termasuk gangguan terhadap HAM. Kemudian,Piagam ASEAN yang merupakan landasan berdirinya ASEAN dalam Pasal 14ayat (1) mengatur untuk terbentuknya pengadilan HAM ASEAN, yaitu “Selarasdengan tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip Piagam ASEAN, terkait denganpemajuan dan perlindungan hak-hak asasi dan kebebasan fundamental, ASEANwajib membentuk badan hak asasi”.

    Konferensi Tingkat Tinggi ke-15 ASEAN yang diselenggarakan pada 23Oktober 2009 di Thailand, telah melakukan deklarasi mengenai penegakan HAMpada tingkat ASEAN yang juga dikenal dengan Declaration of Cha-Am Hua Hin.Dirumuskan bahwa AICHR merupakan badan HAM yang menyeluruh yang

    secara garis besar bertanggung jawab atas pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN. Badan ini bekerja sesuai ketentuan dalam Term of References  (ToR)yang disahkan pada tahun 2009 dan Guidline on the Operation of AICHR.

    12

    1. Bagaimana Tingkat Efektifitas Keberadaan Badan AICHR dalamMenyelesaikan Kasus Pelanggaran HAM di Tingkat ASEAN?

     Atas dasar inilah penulis membuat karya tulis yang berfokus padakeefektifan badan HAM ASEAN yang telah ada dan pengadilan HAM di ASEAN

    yang merupakan suatu urgensi bagi negara-negara ASEAN. Mengingatbanyaknya kasus pelanggaran HAM di ASEAN yang tidak terselesaikan hinggasaat ini dan ditinjau dari beberapa pedoman ASEAN dinyatakan bahwa ASEANadalah kawasan regional yang mencintai perdamaian dan perlindungan terhadapHAM.

    2. Rumusan MasalahTerdapat 2 rumusan masalah dalam karya tulis ini, yaitu:

    2. Apakah ke-Urgensian Pembentukan Pengadilan HAM ASEANDitinjau dari Beberapa Kasus Pelanggaran HAM di ASEAN?

    3. TujuanTerdapat 2 tujuan dalam penulisan karya tulis ini, yaitu:

    1. Memahami Tingkat ke-Efektifitasan dari Badan AICHR dalamMenyelesaikan Kasus Pelanggaran HAM di Tingkat ASEAN,Sehingga Menjadi Dasar Pemikiran Penting atau TidakDibentuknya Pengadilan HAM ASEAN.

    10Robin Ramcharan,Journal: ASEAN’s Human Rights Comission: Policy Considerationfor

    Enhanching its Capacity to Protect Human Rights. 2010. Hlm. 19911

    Piagam ASEAN BAB I tetang Prinsip dan Tujuan. 12Term of References of AICHR 

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    7/30

    4 | U n i v e r s i t a s S y i a h K u a l a  

    2. Memahami Bahwa Banyak Kasus Pelanggaran HAM yang TerjadiDi ASEAN dan Perlunya Penyelesaian Secara Hukum Melalui

    Lembaga Resmi Seperti Pengadilan HAM ASEAN.

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    8/30

    5 | U n i v e r s i t a s S y i a h K u a l a  

    B. METODOLOGI PENELITIAN1. Definis i Operasional Variabel Penelit ian

    Guna menghindari berbagai hal yang tidak berhubungan denganruang lingkup karya tulis ini, maka ada beberapa hal yang harusdijelaskan:a) Pengadilan HAM ASEAN adalah badan peradilan untuk

    menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM oleh negara-negarayang tergabung dalam ASEAN.

    b) Urgensi adalah hal yang sangat penting.c) Keefektifan adalah keadaan berpengaruh.

    13 14 

    2. Metode Pengumpulan DataBerdasarkan permasalahan yang diteliti oleh penulis, penulisan

    menggunakan penelitian yuridis normatif -empiris.Pendekatan yuridis

    normatif adalah pendekatan masalah dengan melihat, menelaah danmenginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum yang berupa konsepsi, peraturan perundang-undangan,pandangan doktrin hukum dan sistem hukum yang berkaitan. Jenispendekatan ini menekankan pada diperolehnya keterangan berupanaskah hukum yang berkaitan dengan objek yang diteliti. Sedangkanpendekatan yuridis empiris yatu cara prosedur yang dipergunakan untukmemecahkan masalah penelitian dengan meneliti data sekunder terlebihdahulu untuk kemudian dilanjutkan dengan mengadakan penelitianterhadap data primer di lapangan dengan melakukan penelitian dengancara penelitian wawancara individu-individu yang menjadi korbanpelanggaran HAM, dalam hal ini diteliti dari 2 korban negara yaitu, korban

    pelanggaran HAM Rohingya, Myanmar dan korban pelanggaran HAM di Aceh, Indonesia saat peristiwa DOM (Daerah Operasi Militer). Selain ituditeliti berdasarkan beberapa ketentuan mengenai pengadilan HAM ASEAN, khususnya ketentuan dalam Piagam ASEAN, ToR AICHR, danGuideline on the Operationsof AICHR.

    3. Sumber DataSumber data dalam penelitian ini diperoleh langsung dari

    penelitian lapangan dari sejumlah narasumber yang menyangkutinformasi tentang perlakuan negara terhadap korban pelanggaran HAM.Kemudian sumber data yang diperoleh dengan melakukan penelitiankepustakaan. Narasumber yang dimaksud dalam penelitian karya tulis iniadalah warga negara Myanmar (Rohingya) dan warga negara Indonesia(Aceh) yang menjadi korban pelanggaran HAM.

    Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat,yang terdiri dari13

    Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasanmengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku, jurnal, tulisan-tulisanilmiah serta berbagai bahan bacaan lainnya yang diperoleh melalui media

    : (a) Piagam ASEAN; (b) Term of Reference AICHR; (c)Guidelines on the Operation of AICHR; (d)Konvensi-Konvensi Negara

     ASEAN tentang HAM.

    13 Amiruddin, et al., Pengantar Metode Penelitian Hukum, Gravindo Persada, Jakarta, 2004, hlm 31.

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    9/30

    6 | U n i v e r s i t a s S y i a h K u a l a  

    elektronik, baik dari dalam atau luar negeri dan berhubungan denganpenelitian ini.

    Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjukmaupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukumsekunder, seperti kamus hukum, kamus Black’s Law Dictionary, kamusbahasa Indonesia dan ensiklopedia.

    4. Metode Analisa Data Analisis data yang diperoleh dilakukan dengan cara analisis

    kualitatif yaitu analisis kualitatif yang dipergunakan untuk aspek-aspeknormatif (yuridis) melalui metode yang bersifat deskriptif analisis, yaitumenguraikan gambaran dari data yang diperoleh dan menghubungakansatu sama lain untuk mendapatkan suatu kesimpulan umum. Dari hasilanalisis tersebut dapat diketahui serta diperoleh kesimpulan induktif, yaitu

    cara berpikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yangdidasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus.

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    10/30

    7 | U n i v e r s i t a s S y i a h K u a l a  

    C. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 

    Pembentukan badan peradilan atau pengadilan HAM di tingkat ASEANtidak cukup hanya dengan suatu konvensi tanpa adanya rasa keinginan yangkuat dan tulus dari masing-masing negara anggota ASEAN. Hal ini dikarenakanpembentukan secara politik hanya akan menjadi kepentingan untuk salingmenjatuhkan. Perjanjian merupakan suatu hal yang memiliki sifat memaksa danmengikat bagi para pihak yang menandatangani atau disebut Pacta SuntServanda.14

    Terbentuknya AICHR pada 23 Oktober 2009 yang bertepatan denganKTT ASEAN ke-15 di Thailand, pemimpin-pemimpin negara ASEANmendeklarasikan diri mengenai AICHR atau sering dikenal dengan Cha-am HuaHin Declaration on the Inaguration of the AICHR. Pembentukan AICHR sendiridimulai dari 16 tahun sebelum diresmikannya badan ini, yaitu sejak diadopsinya ASEAN Joint Communiqeu  di tahun 1993 yang mencantumkan ide

    pemebentukan badan HAM regional dan negara-negara anggota bersepakat danberkomitmen untuk lebih mengembangkan kerja sama guna mempromosikandan melindungi HAM di wilayahnya.

      Oleh karena itu perjanjian untuk membentuk pengadilan HAM ASEAN harus atas dasar kesadaran dan keinginan masing-masing pihak untukmenciptakan keadilan dan menyudahi pelanggaran-pelanggaran HAM padanegaranya.

    Pembentukan badan yang dapat mengadili perkara HAM di tingkat ASEAN merupakan suatu hal yang dinanti oleh masyarakat ASEAN. Indikator

    untuk membentuk pengadilan HAM ASEAN dapat dilihat dari beberapa aspek,namun penulis akan melihat dari aspek, keefektifan badan atau komisi HAM ASEAN yang sudah ada yaitu, AICHR dan juga 2 kasus yang telah terjadi yaitu,kasus etnis Rohingya, Myanmar dan Aceh, Indonesia.

    1. Keefektifan AICHR

    15

    Dalam ToR AICHR Pasal 1 angka (1.1) sampai (1.6) disebutkan bahwa AICHR adalah badan antar-pemerintah dan merupakan bagian integral daristruktur organisasi ASEAN. AICHR berfungsi sebagai badan konsultatif yangbertujuan untuk: (1) Mempromosikan serta melindungi HAM dan kebebasanfundamental masyarakat ASEAN; (2) Menjunjung hak masyarakat ASEAN untukhidup secara damai, bermartabat, dan sejahtera; (3) Mewujudkan tujuanorganisasi ASEAN sebagaimana tertuang dalam Piagam ASEAN yakni menjagastabilitas dan harmoni di kawasan regional, sekaligus menjaga persahabatan dankerja sama antara anggota ASEAN; (4) Mempromosikan HAM di tingkat regionaldengan tetap mempertimbangkan karakteristik, perbedaan sejarah, budaya, danagama di masing-masing negara, serta menjaga keseimbangan hak dankewajiban; (5) Meningkatkan kerja sama regional melalui upaya di tingkatnasional dan internasional yang saling melengkapi dalam mempromosikan danmelindungi HAM; (6) Menjunjung prinsip-prinsip HAM internasional yang tertuang

    Berdasarkan hal tersebut, dapat ditinjau sejauh mana efektifitas AIHCRdalam menyelesaikan kasus pelenggaran HAM dan kesesuaiannya denganprinsip HAM yang universal yang menjadi sebuah tujuan awal dan memperbaikikomitmennya terhadap pemajuan dan perlindungan HAM di ASEAN.

    14Hao Duy Pan, Journal: A Blue Print for A Shoutheast Asian Court of Human Rights, 2009.

    15

    Lina Alexandra, Pembentukan Badan Hak Asasi Manusia ASEAN: Kemajuan Bagi ASEAN, Analisis CSIS, vol. 38, no.3, September 2009, hlm. 452. 

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    11/30

    8 | U n i v e r s i t a s S y i a h K u a l a  

    dalam, Vienna Declaration serta program pelaksanaannya, dan instrumen HAMlainnya, dimana negara anggota ASEAN menjadi negara pihak.16

    Berdasarkan tujuan-tujuan untuk terbentuknya AICHR, dapat dilihatbahwa AICHR belum sepenuhnya menerapkan norma-norma HAM yang berlakusecara universal di seluruh dunia yang telah dituangkan dalam Declaration ofHuman Rights. Tidak diterapkannya seluruh norma ini dapat dilihat denganadanya pertimbangan yang disebut sebagai the ASEAN values yang berisikankarakter istik, sejarah, budaya dan bahkan agama yang ada dan berkembang di ASEAN.

     

    17

    ToR AICHR Pasal 2 juga menetapkan sejumlah prinsip yang harusdijadikan rujukan AICHR dalam pelaksanaan tugasnya. Prinsip-prinsip tersebutadalah: (1) Menghormati prinsip-prinsip organisasi ASEAN sebagaimanaterdapat dalam Pasal 2  ASEAN Charter , yaitu; a. Menghormati kemerdekaan,kedaulatan, kesetaraan, integritas teritorial, dan identitas nasional setiap negara

    anggota ASEAN; b. Prinsip non-intervensi terhadap permasalahan internalnegara-negara anggota ASEAN; c. Menghormati hak setiap negara anggotauntuk memimpin kehidupan nasionalnya yang merdeka dari intervensi external,tindakan subversif dan pemaksaan; d. Kepatuhan terhadap penegakan hukumyang adil, pemerintahan yang baik, prinsip-prinsip demokrasi dan negara yangberlandaskan konstitusi; e. Menghormati kebebasan fundamental, promosi sertaperlindungan hakasasi manusia, dan promosi terhadap keadilan sosial; f.Menegakkan piagam HAM PBB dan hukum internasional, termasuk hukumhumaniter internasional yang dianut (telah diadopsi) oleh negara angotaASEAN;dan, g. Menghormati perbedaan budaya, bahasa, dan agama masyarakat ASEAN dengan memperhatikan nilai-nilai bersama dalam semangat persatuandalam perbedaan.

      Hal ini disebabkan oleh konstelasi politik internasional kontemporerdan pemikiran mengenai konsep HAM dilihat berdasarkan relatifisme budaya.

    Dalam perkembangannya pada era globalisasi sekarang ini, penegakanHAM menurut negara-negara Barat cenderung menggunakan cara-cara yangpersuasif bahkan cenderung represif. Hal inilah yang kemudian melatarbelakangi penegakan mekanisme HAM di ASEAN masih terbilang lemah, maka

    solidaritas yang ada hanyalah sebatas solidaritas imaterial, bukan merupakantindakan aktif. Sebagai contoh adalah saat mengenai kasus pelanggaran HAMyang dialami Rohingya, patut dipahami bahwa AIHCR tidak bisa berbuat apa-apakarena tidak punya kewenangan untuk menangani situasi di Myanmar. DalamToR AICHR tidak mempunyai mandat untuk menangani kasus-kasus individual.Meskipun demikian, organisasi maupun individu dapat mengirim surat yangditujukan kepada Ketua AICHR untuk mendapat perhatian AICHR.

    18

    Secara khusus, penekanan yang diberikan pada prinsip non-intervensihuruf b menunjukkan bahwa penyelesaian pelanggaran-pelanggaran HAM yangterjadi di wilayah Negara-negara anggota ASEAN diserahkan kepada masing-masing negara dengan demikian, tidak akan dapat diangkat sebagai sebuahpersoalan regional.

     

    19

     16

    ToR AICHR Pasal 1; angka 1.1 - 1.617 AICHR

    18ToR AICHR Pasal 2; angka 2.1

    19S. Sudo, “A Reinvigorated Version of Japan’s Comprehensive Security: Key to Stability. Twenty-

    First Century World Order and the Asia Pacific: Value Change, Exigenciest and PowerRealignment, (New York, Palgrave Macmillan, 2001), hal. 300.

    Sebenarnya AICHR dalam hal ini telah mengutus utusanuntuk datang ke Myanmar dalam mengatasi permasalahan etnis Rohingya yang

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    12/30

    9 | U n i v e r s i t a s S y i a h K u a l a  

    masih berada di kawasan Myanmar sebagai bentuk perhatian masyarakat ASEAN internasional atas kasus Rohingya. Tetapi, peran AICHR disini hanyalah

    sebagai pembantu saja dan bersifat sementara, mereka tidak dapat menebuskebijakan yang diambil pemerintah Myanmar. Hal ini disebabkan karena fungsi AICHR sebagai individual complain ini ditolak oleh negara-negara ASEAN lain.Hal ini penting mengingat masalah HAM di ASEAN merupakan masalah yangrawan dan sensitif karena sebagian besar pemimpin negara-negara ASEANterkena masalah pelanggaran HAM terkait dengan sikap-sikap kepemimpinannyayang otoritarianis.

    Selain itu, pada prinsip menghormati perbedaan budaya, bahasa, danagama masyarakat ASEAN huruf g menunjukkan bahwa AICHR kurang dalammenjalankan salah satu fungsinya sebagai komunikator untuk mendorongpemajuan dan perlindungan HAM di negaranya masing-masing, khususnya baginegara Myanmar yang masih dilatarbelakangi oleh kebenciannya terhadap

    agama Islam yang khawatir mayoritas masyarakatnya menjadi Islam.ToR AICHR Pasal 4 mencantumkan 14 mandat kepada AICHR antara

    lain: (1) Mengembangkan strategi dalam mempromosikan dan melindungi HAMsebagai bagian dari proses pembentukan Komunitas ASEAN; (2) MenyusunDeklarasi HAM ASEAN dan kerangka kerja sama di bidang HAM; (3) Untukmeningkatkan kesadaran publik di kawasan ASEAN melalui pendidikan,penelitian, dan penyebaran informasi; (4) Meningkatkan kapasitas negara ASEAN yang mempunyai kewajiban dalam mengimplementasikan perjanjian-perjanjian internasional HAM yang telah diratifikasi oleh negara-negara ASEAN;(6) Mendorong negara-negara ASEAN untuk meratifiaksi instrumen-instrumenInternasional HAM; (7) Mendorong negara-negara ASEAN untukmengimplementasikan seluruh instrumen ASEAN yang berkaitan dengan HAM;

    (8) Memberikan nasehat dan bantuan teknis kepada badan HAM ASEAN yangbersifat sektoral terkait dengan permasalahan HAM; (9) Mengikutsertakanbadan-badan ASEAN lainnya, termasuk masyarakat sipil serta para pemangkukepentingan dalam dialog dan konsultasi permasalahan HAM di kawasan ASEAN; (10) Berkonsultasi selama itu diperlukan dengan institusi nasional,regional, maupun internasional yang fokus terhadap kerja-kerja promosi danperlindungan HAM; (11) Mengumpulkan informasi dari negara-negara anggota ASEAN dalam kerja-kerja promosi dan perlindungan HAM di kawasan ASEAN;(12) Melakukan pendekatan dan sikap yang lazim terkait permasalahan dankepentingan HAM di ASEAN; (13) Melakukan pendekatan dan sikap yang lazimterkait permasalahan dan kepentingan HAM di ASEAN; (14) Mempersiapkanstudi atau kajian tentang isu-isu tematik HAM diASEAN; (15) Memberikanlaporan tahunan tentang aktifitas AIHCR atau laporan lainnya yang dibutuhkandalam pertemuan menteri luar negeri ASEAN; (16) Melakukan tugas-tugaslainnya yang disetujui oleh pertemuan menteri luar negeri ASEAN.

    Dalam membaca mandat dan fungsi AICHR diatas, harus terlebih dahuluditekankan, bahwa AICHR merupakan lembaga konsultasi antar-pemerintah danmerupakan bagian integral dalam struktur organisasi ASEAN. Posisi inisetidaknya untuk menghindarkan diri dari ekspektasi yang terlalu besar darilembaga yang sering sekali diasosiasikan sebagai lembaga HAM regional ini.Sebagai komisi antar pemerintah, AICHR bertugas merumuskan upaya-upayapemajuan dan perlindungan HAM di kawasan melalui edukasi, pemantauan,diseminasi nilai-nilai dan standar HAM internasional sebagaimana diamanatkan

    oleh Deklarasi Universal HAM, Deklarasi Wina dan instrumen HAM lainnya.

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    13/30

    10 | U n i v e r s i t a s S y i a h K u a l a  

    Namun, mandat-mandat tersebut dinilai masih kurang untuk menjaminterpenuhinya hak-hak fundamental masyarakat ASEAN. Hal itu tidak lepas dari

    tindakan nyata AICHR dalam merespon positif kasus yang terjadi di Myanmardan neegara ASEAN lainnya.Secara umum dapat dikatakan, bahwa kontribusi AICHR bagi

    perlindungan HAM di kawasan, barulah sebatas pada diseminasi, koordinasi dankonsultasi HAM, belum sampai pada tahap perlindungan hukum. AICHR dinilaibaru mampu sebatas mendorong isu HAM untuk menjadi perhatian bagi setiapnegara anggota ASEAN dan menjadi agenda politik bersama ASEAN. Situasi diatas tergambar misalnya dengan penekanan Pemerintahan Myanmar yangmenyatakan bahwa pemenuhan kewajiban internasional tersebut tidak bolehbertentangan dengan Konstitusinya, sehingga menempatkan prinsip non-intervensi sebagai prinsip yang begitu penting dan suci di dalam ToR AICHR.

    Setidaknya terdapat tiga hal pokok yang dapat menjadi acuan untuk

    menilai sejauh mana efektifitas AICHR dalam bekerja dengan bersandar padamandat dan fungsi yang begitu terbatas, sebagaimana ditetapkan di dalamToRnya. Tiga hal pokok tersebut meliputi:

    Keterlibatannya dalam penyusunan deklarasi HAM ASEAN. Merujuk padaamanat Pasal 4 angka (4.2) ToR AICHR dikatakan bahwa Deklarasi ini hanyasebagai basa-basi untuk memberikan pembenaran bahwa negara-negara ASEAN telah menghormati dan menjunjung tinggi HAM. Salah satu yang palingmengganjal dalam Deklarasi HAM ASEAN adalah bahwa persoalan HAM akandipertimbangkan dalam “konteks regional dan nasional”. Dengan kata lain,penghormatan, promosi, perlindungan, dan pemenuhan HAM sangat bergantungpada pembatasan-pembatasan yang dilakukan oleh ASEAN secara kolektif danoleh negara-negara anggota ASEAN secara mandiri. Dengan demikian,

    bukannya pemajuan HAM dengan standar universal yang diperoleh dariDeklarasi ini,  tetapi justru pembatasan kolektif atas nama prinsip non-interference.20

    Begitu pula hal nya pada Pada Juni tahun 2012 terjadi kerusuhan etnis diNegara bagian Rakhine, Myanmar. Kerusuhan ini diawali dengan adanyatuduhan pemerkosaan yang dilakukan oleh beberapa lelaki muslim terhadapseorang wanita beragama Buddha. Hal ini kemudian menjadi pemicu ketegangan

    Kinerjanya dalam studi isu-isu tematik. Mengacu pada Pasal 4 angka(4.12) ToR, AICHR salah satunya diberikan tugas untuk membahas isu-isu HAMtematik di ASEAN. Dalam menyampaikan informasi terkait isu HAM sertameningkatkan kesadaran masyarakat untuk menghormati HAM, AICHR wajibmemberikan informasi secara berkala kepada rakyat melalui seminar dan jugaworkshop.

    Respon AICHR terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi dikawasan. Pada kasus konflik yang terjadi di Aceh beberapa tahun silam menjadipolemik yang sangat menegangkan karena peristiwa tersebut memunculkanberbagai kepentingan yang terjadi antara GAM, Pemerintah dan TNI. Peristiwaitu membuat masyarakat Aceh trauma karena ribuan sanak saudara merekameninggal dan hilang. Sayangnya ASEAN sendiri terkhusus AICHR tidakmerespon kejadian ini apalagi tindakan konkret untuk menyelesaikanpermasalahan yang menyangkut HAM tersebut.

    20

    Setara Institute, “ Apa Guna Deklarasi HAM ASEAN”, dalam http://www.setara-institute.org/en/content/apa-guna-deklarasi-ham-asean, diakses pada 9 Maret 2016.

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    14/30

    11 | U n i v e r s i t a s S y i a h K u a l a  

    antara kelompok Buddha Rakhine dan minoritas Rohingya yang memeluk agamaIslam. 100 orang dari etnis Rohingya terbunuh, ratusan rumah dibakar, serta

    sedikitnya 75 ribu penduduk,sebagian besar dari etnis Rohingya, mengungsiakibat kekerasan antar-kelompok yang melanda negara bagian. Kekerasantersebut kembali meluas pada Oktober 2012, jumlah korban tewas dan jumlahpengungsi meningkat melebihi 110 ribu orang. Dalam beberapa kasus, pihakberwenang dan aparat keamanan Myanmar di Rakhine menunjukankeberpihakannya kepada kelompok mayoritas. Selain itu, pemerintah maupunkelompok oposisi terkesan membiarkan munculnya berbagai retorika ekstrimanti-Muslim yang memantik kekerasan.

    Kekerasan di Rakhine menjadi ujian besar bagi pemerintah Myanmaryang kini berniat mengedepankan hukum dan ketertiban tanpa kembali ke cara-cara otoritermasa lalu. Hal ini juga tidak ada respon dari AICHR, sehinggamenghadirkan pesimisme kita semua pada masa depan mengenai AICHR. Akan

    tetapi, serangkaian ganjalan paradigmatik serta politis mungkin bisa menjadipembenar, bagi tumpulnya kinerja AICHR periode ini. Lepas dari seluruh catatankelemahan tersebut, langkah-langkah yang diambil AICHR setidaknya telahmenjadi upaya konstruktif dalam konteks pengakuan tiga pilar utama eksistensidasar HAM, yatu integritas manusia (human integrity), kebebasan (freedom) dankesamaan (equality).

    2. Kasus-Kasus Pelanggaran HAM di ASEAN A. Gambaran Objek Observasi Kasus Rohingya

    1. Identitas NarasumberNama Lengkap : Salamatullah (Korban) dan Tarik

    Farlin (Relawan ACT/ICS)

    Pelaksanaan Observasi Tempat : ICS (Intergrated Community Shelter ) Aksi Cepat Tanggap, Aceh Utara.

    Jumlah responden : 2 orangHari : SeninTanggal : 17 Maret 2016Waktu : 09.00 – 12.00 WIB

    Berdasarkan hasil penelitian penulis pada observasi langsung terhadap 2dari 224 warga Rohingya yang mendiami shelter atau pengungsian yang

    disediakan oleh pemerintah kabupaten Aceh Utara, Indonesia terhadap parapencari suaka, warga Myanmar yang pada pertengahan Juni silam datang ke Aceh melalui jalur perairan untuk mencari suaka atas kekejaman yangdidapatkan di Myanmar. Menurut keterangan narasumber, bahwa warga muslimrohingya yang tinggal di Myanmar adalah suku dan agama minoritas di Myanmar.Warga rohingya mengalami penindasan, diperkosa, anak-anak yang baru sajalahir dibunuh agar keturunan rohingya tidak mempunyai keturunan, dibakar, dandisiksa. Sementara hal lain yang dilakukan terhadap kepercayaan adalahpelarangan ibadah dan dihancurkannya tempat ibadah. Hal ini dilakukan agaretnis rohingya bisa musnah (pemusnahan etnis) dari Myanmar dan kepercayaanterhadap agama Islam bisa terkikis sedikit demi sedikit.

    Namun, ternyata sikap yang ditunjukkan oleh pemerintah Myanmar yangdipimpin oleh rezim militer terhadap etnis Rohingya adalah tidak jauh berbedadengan yang dilakukan warga atau penduduk asli Myanmar kepada etnis

    Rohingya. Pemerintah setempat melakukan intimidasi dengan merampas hak-

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    15/30

    12 | U n i v e r s i t a s S y i a h K u a l a  

    hak mereka. Diantaranya hak untuk bekerja, dan hak untuk mendapatkanpendidikan. Hak untuk bekerja dihilangkan dengan dirampasnya tanah-tanah dan

    kebun-kebun pertanian mereka. Hak untuk mendapat pendidikan juga dibatasidengan tidak diizinkannya etnis Rohingya untuk bersekolah, adapun sebagiansekolah-sekolah Islam yang tersisa, tidak mendapatkan pengakuan daripemerintah, dilarang untuk dikembangkan, dan tidak diakui lulusannya. Dalamhal perekenomian, mereka dilarang untuk berdagang. Seringkali merekadibebani pajak yang tinggi dalam segala hal, dikenakan banyak denda, dipersulitmelakukan perdagangan. Kecuali, berniaga dengan militer Myanmar. Itupundijual dengan harga yang jauh di bawah standar atau dipaksa menjual sesuatuyang tidak ingin mereka jual. Hal itu bertujuan agar mereka terus dalam keadaanmiskin dan terintimidasi.

    Keadaan yang terus menerus terulang setiap hari selama 43 tahunlamanya menjadikan keadaan Muslim Rohingya di Myanmar terus terdesak.

    Sehingga untuk menyelamatkan hidup dari kondisi penindasan dan diskrimasiatas keyakinan yang dimilikinya mereka memutuskan untuk keluar dari Myanmardan mencari suaka. Pada pertengahan Juni 2015 lalu mereka keluar dariMyanmar untuk mencari perlindungan kepada beberapa negara denganmenumpang perahu kecil yang bermuatan 150 orang yang tujuannya adalahmenyelamatkan diri, mencari pekerjaan dan mencari kehidupan yang lebih layak.

    Konflik yang terjadi di Myanmar merupakan konflik yang didasari olehkonflik agama dan suku. Dimana sekumpulan umat beragama lain yangmerupakan agama mayoritas melakukan penindasan dengan tujuanpemusnahan terhadap suatu etnis minoritas dengan merenggut kebebasan dansegala hak asasi manusia yang secara kodrati telah dibawa sejak lahir. Konflik diatas bukan merupakan hal yang baru-baru ini terjadi. Konflik di atas merupakan

    konflik etnis berkepanjangan yang tidak usai. Dimana telah banyak nyawa yangbergelimang darah namun, para pelaku pelanggaran HAM tidak pernah diusuthingga tuntas.

    B. Gambaran Objek Observasi Kasus Aceh1. Identitas Narasumber

    Nama Lengkap : Nawir Basyah (Korban) dan Zulfikar(Relawan NGO HAM)

    Pelaksanaan ObservasiTempat : Simpang KKA, Aceh Utara.Jumlah responden : 2 orangHari : SeninTanggal : 18 Maret 2016Waktu : 09.00 – 12.00 WIB

     Aceh mengalami masa konflik politik yang berkepanjangan yangberdampak kepada banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh, yanghingga saat ini belum selesai diusut perkaranya. Sebagai contoh, salah satupelanggaran HAM yang terjadi di Aceh adalah yang dikenal dengan sebutanTragedi Simpang KKA. Tragedi Simpang KKA merupakan puncak dari konflikpolitik yang terjadi antara TNI dan gerakan separatis GAM. Narasumbermenuturkan bahwa konflik ini terjadi karena dipicu oleh hilangnya salah seoranganggota TNI dalam melakukan spionase. Dugaan dari anggota TNI adalahanggota mereka yang hilang telah diculik oleh anggota GAM. Maka pada hari

    minggu pagi, tanggal 3 Mei 1999, TNI mendatangi desa Simpang KKA untuk

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    16/30

    13 | U n i v e r s i t a s S y i a h K u a l a  

    melakukan sweeping terhadap wilayah tersebut. Camat yang bertugas padasaat itu, Marzuki Amin sempat bernegosiasi agar TNI menghentikan kegiatan

    sweeping diwilayah tersebut, mengingat banyak warga yang sudah mulaiketakutan dan keadaan setempat sudah tidak kondusif. Namun, TNI tidakmengindahkan dan melepaskan tembakan sembarang ke arah kerumunanwarga. Hal tersebut memicu kemarahan warga yang saat itu tidak dipersenjataioleh apapun, tersulut emosi untuk membalas perlakuan TNI. Para warga sipil yagsempat ditangkap juga dipukuli hingga tak berdaya, di tembak dari jarak dekat,serta mendapat perlakuan fisik yang tidak manusiawi lainnya.

    Tragedi Simpang KKA merupakan sekelumit kisah yang diangkat olehpenulis untuk dilakukannya penelitian dari sekian banyaknya kasus pelanggaranHAM yang terjadi di Aceh. Pada masa konflik yang berkepanjangan, begitubanyak para warga sipil yang dianggap memihak pada satu kubu yang diculikdan “disekolahkan”. Banyak dari warga sipil tersebut ditemukan tidak bernyawa

    dengan keadaan fisik yang tidak lengkap serta mengenaskan. Berdasarkankesaksian narasumber, para korban seringkali kehilangan dua matanya akibatdicongkel, lidah yang dipotong, dan anggota tubuh yang sudah tidak lengkapakibat mutilasi. Hingga kini, kasus Tragedi Simpang KKA maupun kasuspelanggaran HAM di Aceh lainnya tidak pernah diusut sampai tuntas danditemukan siapa dalang dibalik pelanggaran HAM yang terjadi.

    Pelanggaran HAM di Aceh merupakan salah satu dari lima kasus yangdisarankan  Amnesty International untuk diproses secepatnya  oleh KomisiIndependen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KPTKA).21  Meski Jaksa Agung

    Memasuki era dimana Negara-negara ASEAN yang terus beranjak dariberkembang menuju maju, maka sudah saatnya ASEAN mempunyai pengadilanHAM sendiri untuk mengadili kasus HAM yang terjadi di negara-negara ASEAN.Dua kasus penelitian di atas merupakan sekian dari banyaknya kasuspelanggaran HAM yang terjadi di ASEAN dan sangat sedikit yang telah diusutbahkan hampir tidak ada kasus yang benar-benar tuntas. Padahal pelanggaran

    sudah melaksanakan investigasi pada November 1999, sejauh ini belumada anggota aparat keamanan yang diadili atas tindak kekerasan ini. Atas keduakasus diatas yang telah dipaparkan oleh penulis yang kedua terjadi di Negara

     ASEAN, dapat dilihat bahwa kedua kasus tersebut belum memiliki penyelesaianyang tuntas. Hal ini tentu merugikan masyarakat, karena para warga sipil yangtidak bersalah harus kehilangan hak hidup, hak kebebasan memeluk agama, hakmendapatkan pendidikan dan hak lain yang dibatasi oleh pelanggaran HAM yangterjadi. Setelah palanggaran HAM yang terjadi, para korban maupun keluargakorban pelanggaran HAM tidak mendapat kepastian hukum terhadap peristiwayang menimpa mereka.

    Para korban belum mendapat kepastian hukum terkait pengusutan kasuspelanggaran tersebut. Keinginan kuat untuk diadilinya para pelaku, maupunkompensasi atas kerugian materiil maupun imateriil yang dialami oleh mereka(para korban). Pada sampel diatas, kedua Negara lamban dalam meresponpengusutan kasus pelangggaran HAM yang telah terjadi. Ditakutkan pelanggaranserupa akan terjadi lagi kedepan akibat tidak adanya penegakan hukum untukmemenuhi 2 fungsi hukum lainnya yaitu, keadilan dan kemanfaatan, sehinggaakan menimbulkan tindakan sewenang-wenang dari pihak pemerintah negaradalam menjalankan kekuasaannya.

    21 Amnesty International 2013, hlm. 3 

    https://id.wikipedia.org/wiki/Amnesty_Internationalhttps://id.wikipedia.org/wiki/Amnesty_Internationalhttps://id.wikipedia.org/wiki/Amnesty_Internationalhttps://id.wikipedia.org/wiki/Jaksa_Agung_Republik_Indonesiahttps://id.wikipedia.org/wiki/Jaksa_Agung_Republik_Indonesiahttps://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Idi_Cut#CITEREFAmnesty_International2013https://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Idi_Cut#CITEREFAmnesty_International2013https://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Idi_Cut#CITEREFAmnesty_International2013https://id.wikipedia.org/wiki/Tragedi_Idi_Cut#CITEREFAmnesty_International2013https://id.wikipedia.org/wiki/Jaksa_Agung_Republik_Indonesiahttps://id.wikipedia.org/wiki/Jaksa_Agung_Republik_Indonesiahttps://id.wikipedia.org/wiki/Amnesty_International

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    17/30

    14 | U n i v e r s i t a s S y i a h K u a l a  

    yang dilakukan adalah pelanggaran terhadap hak-hak mendasar dari dirimanusia, yang semua manusia terlahir dengan hak-hak dasar berupa integritas

    manusia (human integrity), kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality).

    3. Permasalahan Pembentukan Pengadilan HAM di ASEANPembahasan mengenai AICHR yang dapat disimpulkan masih sangat

    lemah dalam menjalankan konsep HAM yang sesungguhnya baik secara konsepteologi, relatifitas budaya maupun konsep yang tertuang dalam deklarasi HAM.Terdapat beberapa permasalahan dalam pembentukan pengadilan HAM apabilanegara-negara di ASEAN benar-benar ingin menciptakan suatu keadilan.

    Piagam ASEAN atau ASEAN Charter , sebagai landasan terbentuknya ASEAN yang telah diresmikan pada KTT-ASEAN ke-13 di Singapura pada 20November 2007. Hal ini sekaligus menunjukan komitmen untuk menjalankan,kesepakatan komunitas keamanan (ASEAN Security community); komunitas

    ekonomi ( ASEAN economic community); dan komunitas sosial-budaya ( ASEANsoci-cultural community). Pada tanggal 15 Desember 2008 dengan kesadarandan tanpa paksaan negara-negara ASEAN resmi meratifikasi ASEAN Charter .Diratifikasinya  ASEAN Charter oleh semua anggota  ASEAN  tersebut maka ASEAN Charter  berlaku dan mengikat (consent to be bound) bagi semua negara ASEAN.22 Selanjutnya, asosiasi negara-negara Asia Tenggara ini telah menjadisatu entitas dan organisasi antar pemerintah yang memiliki personalitas hukum(legal personality)23

    Sebagai suatu naskah dasar atas kesepakatan bersama, ASEAN Chaterhanya memberikan pengakuan HAM secara eksplisit dibeberapa ketentuan danPasal antara lain, pada preamble

     tersendiri.

    24, purposes  (Pasal 1 ayat (7)25, principles (Pasal 2 ayat (2) (i)26  dan Pasal 1427

     Adanya batasan terhadap prinsip negara berdaulat merupakan hal yangsangat penting dilihat, dikarenakan merupakan batasan yang sangat nyata bagipenegakan HAM secara regional, sebagaimana pengertian prinsip negaraberdaulat yang menekankan kepada yurisdiksi suatu negara yang tidak dapat

    yang secara khusus mengatur tentang

    HAM dengan prinsip dasar adalah menghormati asas integritas teritorial,kedaulatan, non intervensi dan jatidiri nasional anggota ASEAN. Melihatpengaturan HAM dalam ASEAN Chater dapat dikatakan bahwa belumsepenuhnya negara-negara yang tergabung dalam ASEAN secara sungguh-sungguh ingin meninggikan hak-hak dasar manusia.

    22  Prasetyo Hadi Purwandoko, PROSPEK PEMBENTUKAN  ASEAN INTERGOVERNMENTAL

    COMMISSION ON HUMAN RIGHTS/ AICHR (Harapan Baru, Kelemahan dan Solusi), Pidato,Seminar “ ASEAN International Governmental Commission on Human Rights:  Peluang danTantangan, Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) dan Direktorat JenderalKerjasama ASEAN, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia. Surakarta, 14 februari 2011.23

    Lihat. Chapter II , Article 3, Legal Personality of ASEAN24 ADHERING to the principles of democracy, the rule of law and good governance, respect for and

    protection of human rights and fundamental freedoms;25

    To strengthen democracy, enhance good governance and the rule of law, and to promote andprotect human rights and fundamental freedoms, with due regard to the rights and responsibilitiesof the Member States of ASEAN;26

    Respect for fundamental freedoms, the promotion and protection of human rights, and thepromotion of social justice;27

    1. In conformity with the purposes and principles of the ASEAN Charter relating to the promotionand protection of human rights and fundamental freedoms, ASEAN shall establish an ASEAN

    human rights body; 2. This ASEAN human rights body shall operate in accordance with the terms ofreference to be determined by the ASEAN Foreign Ministers Meeting.

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    18/30

    15 | U n i v e r s i t a s S y i a h K u a l a  

    diganggu oleh negara lain, yang menurut John O’Brien, yaitu: 28

    Sebagai bahan pertimbangan dan juga rujukan dalam pembantukan

    pengadilan HAM ASEAN agar menjadi badan yang dapat melakukan tugassesuai keinginan dan cita-cita. Maka, dapat dipelajari dari pembentukan-pembentukan badan peradilan HAM tingkat regional lainnya, seperti: ECHR(European Court of Human Rights) yang dibentuk berdasarkan konvensi untukperlindungan HAM dan kebebasan fundamental.

     (1) KewenanganNegara untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum terhadap orang, benda,

    peristiwa maupun perbuatan di wilayah teritorialnya (legislative jurisdiction orprescriptive jurisdiction) ; (2) Kewenangan Negara untuk memaksakanberlakunya ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya (executive jurisdiction orenforcement jurisdiction) ; (3) Kewenangan pengadilan Negara untuk mengadilidan memberikan putusan hukum (yudicial jurisdiction). Selain itu juga adanyaprinsip non-intervensi yang memaknai bahwa negara lain tidak dapat ikut campurdalam urusan negara tersebut.

    Batasan yang sangat nyata tersebut akhirnya tertuang dalam AICHR,meskipun AICHR memiliki tugas berupa penghormatan, promosi, perlindungan,dan pemenuhan HAM. Namun, pada nyatanya AICHR hanya berupa simbol bagi ASEAN bahwa telah dibentuknya badan yang dapat menanggulangipermasalahan terkait isu HAM. Berbeda dengan pengharapan seluruh

    masyarakat yang hidup diwilayah negara ASEAN yang menginginkan sebuahkeadilan demi tegaknya hukum untuk melindungi setiap individu yang padaakhirnya menghasilkan kemanfaatan bagi individu tersebut.

    Meskipun banyak ahli-ahli maupun organisasi-organisasi yang lantangmenyuarakan terbentuknya pengadilan HAM ASEAN, maka akan menjadi halyang sia-sia bila ASEAN Charter   masih tetap kokoh mempertahankan prinsipkedaulatan dan non-intervensi tanpa adanya pembatasan. Sehingga akanmenimbulkan paradigma baru berupa kedaulatan versus HAM. Oleh karena itu,melakukan perubahan mengenai landasan dasar pembentukan ASEAN mutlakdilakukan, terutama prinsip dan pengakuan HAM yang harus ditegakan secarategas dan nyata.

    29  Kemudian juga dapatdipelajari dari pembentukan IACHR (Inter-America Court of Human Rights) yangdibentuk berdasarkan konvensi HAM Amerika.30 Dan suatu kemajuan yang amatpesat dan baik dari benua afrika dimana mereka telah memiliki pengadilan HAMtingkat regional yaitu, ACHPR ( African Court of Human Peoples’ Rights)  yangpembentukannya berdasarkan amanat konvensi negara-negara Afrika.31

    Sistem HAM regional Eropa, merupakan sistem yang paling maju dalamperlindungan HAM regional. Secara hukum, mekanisme HAM Eropa berakarpada dua perjanjian: Konvensi Eropa tentang HAM dan Kebebasan Dasar tahun1953 (Konvensi Eropa) dan Piagam Sosial Eropa tahun 1961. Konvensi Eropamenekankan perlindungan hak-hak sipil dan politik, sedangkan Piagammenjamin hak-hak ekonomi dan sosial. Konvensi Eropa adalah perjanjiankomprehensif pertama yang menetapkan prosedur pengaduan internasional danpengadilan internasional untuk perlindungan HAM.

     

    32

     28

    Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar , Jakarta: Rajawali Press, 2010. Hlm. 233 29

    Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms. Nov 1998.30 American Convention on Human Rights, Nov. 22, 1969.

    31 African Charter on Human and Peoples’ Rights, adopted June 27, 1981.

    32important step towards establishment of ASEAN Commission on Human Rights,

    http://www.unhchr.ch/huricane/huricane.nsf/view01/9D27DBCDD08C3C06C12575FB003502C5?opendocument

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    19/30

    16 | U n i v e r s i t a s S y i a h K u a l a  

    Sistem HAM Eropa ini mengalami evolusi baik dalam konteks standardsetting maupun mekanisme penegakannya. Pada awal penyusunan draf ECHR – 

    sebagai fondasi kerangka hukum HAM Eropa muncul perdebatan sejauh manamekanisme regional ini bisa bersinggungan dan bergesekan dengan kedaulatannasional anggota-anggotanya. Sebagai hasil kompromi adalah terbentuknyasuatu mekanisme HAM regional bicameral  (dua tingkatan); di level pertamaadalah mekanisme European Commission of Human Rights  dan sebagai levelkedua adalah European Court of Human Rights (ECtHR). untuk melindungi hakasasi manusia, majelis Eropa telah membentuk:33

    Mekanisme pelaksanaan menurut Konvensi Hak Asasi ManusiaEropa (European Convention on Human Rights/EHCR) terdiri atas pembahasanpengaduan antar negara, pengajuan perseorangan dan pendapat yang bersifatnasihat. Putusan Pengadilan mengikat secara hukum bagi negara yang terlibat.Pengadilan terdiri dari sejumlah hakim yang sesuai dengan jumlah negara yang

    telah menjadi pihak pada Konvensi.

    (1) Komisi hak asasi manusiaeropa (European Commission of Human Rights); (2) Mahkamah Hak AsasiManusia Eropa (European Court of Human Rights); (3) Panitia ParaMenteri (Committee of Ministers). 

    Sistem dua kamar ini baru direformasi berdasarkan Protokol No. 11 dariECHR yang mulai berlaku pada November 1998 dengan European Court

    sebagai satu- satunya badan quasi-judicial dan mengikat semua anggota Councilof Europe. Di antara perubahan-perubahan yang penting adalah pembubaranKomisi Hak Asasi Manusia Eropa, sebuah subkomisi di bawah Pengadilan yangmemutuskan masalah-masalah yang dapat diterimanya (admissibility) tiap kasus.Sebagai gantinya, Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa dibuat permanen dandiberi wewenang untuk menangani kasus-kasus dalam Komite, Kamar-Kamar (chambers), dan Kamar-Kamar Besar (grand Chambers).

    34

     Afrika sebagai benua yang sering dikatakan sebagai “dunia ketiga” danhampir seluruh negaranya merupakan negara miskin dan seringnya terjadipelanggaran HAM, telah membentuk badan pengadilan HAM untuk tingkatregional.

    Wewenang Pengadilan Hak Asasi ManusiaEropa dibatasi oleh beberapa kriteria dapat diterima atau tidaknya perkara.Syarat mutlak untuk memeriksa suatu perkara di Pengadilan adalah bahwasemua cara dalam negeri yang relevan di negara yang bersangkutan harus telahdicoba.

    Lahirnya mekanisme HAM regional Afrika tak lepas dari keberadaanOrganisasi Persatuan Afrika (OAU) yang dibentu pada tahun 1963. Dengantujuannya termasuk mempromosikan solidaritas di antara negara-negara Afrika,menjaga independensi, kedaulatan, dan integritas teritorial, dan melawan segalabentuk neo-kolonialisme.35

    Standard setting  norma HAM Afrika dibangun berdasarkan the  AfricanCharter on Protokol. Selain itu di Afrika juga terdapat konvensi HAM lainnyaseperti  African Charter on the Rights and Welfare of the Child  (tentang hak-hakanak) dan tentang hak- hak pengungsi. Di tingkatan pengawasan danpenegakan, mekanisme HAM Afrika mengandalkan pada dua badan; KomisiHAM Afrika (ACHPR) dan Pengadilan HAM Afrika (AFCHPR). ACHPR ini terdiridari 11 komisioner yang bekerja atas kapasitas individual dan memiliki mandat

    33Ibid. Hlm. 47 

    34Lihat Pasal 20.

    35

    Professional Training Series No. 9; Human Rights in the Administration of Justice: A Manual onHuman Rights for Judges, Prosecutors and Lawyers, Geneva, 2003, hal. 73-74

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    20/30

    17 | U n i v e r s i t a s S y i a h K u a l a  

    promosi, proteksi, dan menginterpretasikan the African Charter on Human.Mandat promosi ACHPR adalah: mengumpulkan dokumen, membuat kajian dan

    penelitian akan isu HAM di Afrika, melakukan diseminasi tentang isu HAM,melakukan kerja sama dengan institusi lokal dan internasional, memberikanrekomendasi kepada para pemerintah, membuat standard setting norma HAM,dan menerima secara reguler laporan-laporan HAM dari negara-negara anggotaUni Afrika.

    Sementara itu mandat proteksi ACHPR mencakup penanganankomunikasi antar-negara (inter-State communication) yang menyerupaimekanisme inter-state complaint pada sistem HAM regional lainnya. Mekanismeproteksi lainnya menerima suatu komunikasi dari sumber lain selain dari negara.Tidak eksplisit dijelaskan bahwa mekanisme ini merupakan mekanisme keluhanindividual (individual complaint) seperti pada sistem Eropa dan Inter-Amerika,namun pada prakteknya ACHPR memang menerima pengaduan individual

    dengan kriteria seluruh jalur legal nasional telah ditempuh (exhaustion ofdomestic remedies), menggunakan bahasa yang ”tidak menghina”, dan jarakwaktu yang masuk akal (reasonable periode of time) dari penyelesaiannasional.36

     36Ibid, hal. 77. 

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    21/30

    18 | U n i v e r s i t a s S y i a h K u a l a  

    D. PENUTUP1. Kesimpulan

    HAM atau yang sering disebut Hak Asasi Manusia merupakan hak kodratiyang diberikan oleh Tuhan (Supreme Being)  kepada manusia, ataupun HAMmerupakan hak yang dibawa sejak lahir dan mengikuti keberadaan lingkungandan budayanya. Ketika hak-hak dasar tersebut diganggu dan menyebabkanhilangnya hak individu, maka sudah selayaknya untuk ditegakkan keadilan demimencapai tujuan, terciptanya keamanan dan kenyamanan individu-individumenjalankan kehidupannya.

     ASEAN sebagai organisasi kawasan regional Asia Tenggara yangbertujuan memajukan perdamaian dan stabilitas di tingkat regionalnya. Telahbersepakat untuk menjunjung akan keadilan HAM dan telah dimasukan secaraeksplisit di Pasal 14 Piagam ASEAN. Kemudian secara sepakat juga telahdibentuk komisi HAM ASEAN atau yang disebut  ASEAN Inter-governmental

    Comission of Human Rights  (AICHR) dengan tugas penghormatan, promosi,perlindungan, dan pemenuhan HAM.

    Namun, adanya AICHR belum mampu secara nyata melakukan tindakanhukum melindungi hak-hak individu seperti yang diinginkan. Pertama, keterlibatan AICHR dalam penyusunan deklarasi HAM ASEAN masih terbatasdan juga dimasukannya konteks regional dan nasional yang mengartikan bahwaadanya pembatasan kolektif atas nama prinsip non-intervensi. Kedua,  AICHRbelum sepenuhnya menjalankan tugas untuk memberikan informasi secaraberkala mengenai isu-isu HAM di tingkat regional. Ketiga, lemahnya AICHRdalam menanggapi kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi, dikarenakan AICHR tidak memiliki fungsi hukum baik sebagai penyidik ataupun penyelesaikasus. Sehingga dapat disimpulkan bahwa AICHR belum efektif sebagai komisi

    yang harapkan mampu untuk mencapai tujuan ASEAN dalam memajukanperdamaian.

    Dilihat berdasarkan kasus-kasus yang terjadi di kawasan ASEAN dalamhal ini adalah kasus Rohingya, Myanmar dan Aceh, Indonesia. Pemerintahnegara-negara tersebut belum mampu dan tidak ada keinginan untukmenyelesaikan kasus-kasus yang terjadi. Justru, pemerintah negara-negaratersebut lebih mengarah pada pembiaran dan mencoba menutupi kejadian yangsesungguhnya. Bagi korban Rohingya mereka harus meninggalkan Myanmardan tidak ada kepedulian sedikitpun dari pemerintah Myanmar. Sedangkanpemerintah Indonesia hanya bisa memberikan harapan berupa dibentuknya KKR(Komisi Kontruksi dan Rekonsiliasi) dan pengadilan HAM  Ad-Hoc  yang hanyasebatas ucapan tanpa adanya tindakan. Oleh karena itu, maka suatu hal yangmenjadi urgensi untuk dibentuknya pengadilan HAM ASEAN gunamenyelesaikan kasus-kasus yang pernah terjadi, sehingga tercapai tujuan hukumyakni, kepastian, keadilan dan kemanfaatan.

    Pembentukan pengadilan HAM ASEAN tentu akan mengalami beberapakendala dan permasalahan. Hal yang paling mendasar dari permasalahanpembentukan pengadilan HAM ASEAN adalah lemahnya komitmen negara-negara yang tergabung dalam ASEAN untuk secara nyata menegakan HAM.Pembatasan dalam ASEAN Charter berupa prinsip kedaulatan dan non-intervensi menyebabkan akan sulitnya bagi pengadilan HAM ASEAN apabilabenar-benar dibentuk, karena pengadilan tersebut tidak dapat melakukanpersidangan bila negara pelaku merasa hak berdaulatnya telah diganggu dan

    mereka berhak menolak atas dasar prinsip non-intervensi.

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    22/30

    19 | U n i v e r s i t a s S y i a h K u a l a  

    2. Saran

    Dari pembahasan di atas penulis memberikan beberapa saran, berupa:(1). Perubahan isi ASEAN Charter   yang mengatur mengenai HAM, terutamakaitan terhadap batasan ASEAN berupa prinsip kedaulatan dan non-intervensi;(2). Penguatan fungsi AICHR untuk dapat melakukan investigasi terhadap kasuspelanggaran HAM; (3). Pembentukan Pengadilan HAM ASEAN untukmemutuskan keadilan bagi para korban pelanggaran HAM;

    Perubahan isi ASEAN Charter  yang dimaksud adalah dengan menggantiprinsip mutlak dari pemberlakuan prinsip kedaulatan dan non-intervensi, yangtelah dijelaskan di atas bahwa kedua prinsip tersebut merupakan pelindung darinegara-negara yang melakukan pelanggaran HAM. Oleh karena itu, perlu dibuatbatasan mengenai penerapan prinsip kedaulatan dan non-intervensi bagi sebuahnegara, sehingga memungkinkan bagi pihak yang nantinya akan diberikan

    tanggung jawab dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM melakukanrangkaian untuk mendapatkan fakta dan keadilan.

    Penguatan fungsi AICHR, dijelaskan sebelumnya bahwa tugas dari AICHR adalah penghormatan, promosi, perlindungan, dan pemenuhan HAM.Kemudian, pada faktanya AICHR hanya melakukan tugas promosi mengenaiHAM. Apabila dipelajari dari pembentukan pengadilan HAM eropa, mungkin AICHR dapat dijadikan seperti European Commission of Human Rights  yangbertugas mengumpulkan bukti dan juga menerima laporan-laporan adanyapelanggaran HAM. Kemudian dari hasil investigasi tersebut dapat dijadikanpedoman bagi korban ataupun pelapor untuk menuntut keadilan di pengadilan.

    Pembentukan pengadilan HAM ASEAN dengan beberapa usulanmekanisme sebagai berikut: (1). Memisahkan pengadilan HAM ASEAN dengan

    badan ASEAN itu sendiri. sehingga dipersilakan bagi negara yang ingintergabung dalam pengadilan HAM ASEAN atau tidak, yang syaratnya hanyalahanggota dari ASEAN; (2). Memiliki pengadilan yang bersifat tertutup dengantujuan melindungi dari rusaknya hubungan bilateral bagi negara yang diadukan;(3). Hanya menitikberatkan pada pelanggar saja, maksudnya adalah adanyapembatasan bagi pengadilan HAM dalam menggelar perkara, meskipun yangdilaporkan merupakan negara tapi dalam kasus pelanggaran tersebut adapelanggar individu dan pelanggar individu itulah yang nantinya disidangkan untukdiputuskan akibat tindakannya; (4). Menjadikan AICHR menjadi komisi yangbertindak menerima laporan dan bukti yang kemudian dilimpahkan kepadapengadilan HAM ASEAN untuk disidangkan; (5) Pelaporan dapat dilakukan olehLSM atau organisasi yang terbentuk atas nama HAM, hal ini terkait dengansistem legal standing yaitu, akses organsisasi atau lembaga untuk dapat menjadi

    penggugat di depan persidangan,37 demi kepentingan orang-orang atau hal-halyang tidak dapat berbicara dan melaporkan hal-hal tersebut. Dan juga dapatdiajukan secara class action  yaitu, orang-orang yang tergabung dalamkepentingan yang sama guna melakukan gugatan terhadap permasalahan yangsama, yang diajukan oleh sebagian anggota dari seluruh anggota yangmenderita.38

     37

    Mas Achmad Santosa, dkk., Makalah Topic 7, Civil Liability for Environmental DamageIndonesia,yang disampaikan dalam pelatihan hukum lingkungan di Indonesia bekerjasama denganAustralia,

    Desember 1999 – September 2000, ICEL38 Az. Nasution, 1999, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung. 

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    23/30

    ii

    DAFTAR PUSTAKA

     A. Buku

     Amiruddin, et al., 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Gravindo Persada,

    Jakarta.

    Haas, Michael, 2008, International Human Rights: A Comprehensive Introduction,

    Routledge, New York.

    Lubis, Todung Mulya,1993,1966-1990: In search of Human Rights LegalPolitical

    Dilemmas of Indonesia’s New Order , Gramedia, Jakarta.

    Nasution,Az., 1999, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung.

    Sudo,S., 2001, A Reinvigorated Version of Japan’s Comprehensive Security: Key

    to Stability. Twenty-First Century World Order and the Asia Pacific: Value

    Change, Exigenciest and Power Realignment,  Palgrave Macmillan, New

    York.

    Sefriani, 2010, “ Hukum Internasional Suatu Pengantar ”, Rajawali Press, jakarta

    Shestack, Jerome J., 1992, Jurisprudence of Human Rights. Dalam Theodor

    Meron, (peny,),Human Rights in International Law Legal and Policy Issues, 

    Oxford University Press, New York.

    B. Artikel Jurnal

    Hao Duy Pan, 2009, “A Blue Print for A Shoutheast Asian Court of Human

    Rights”,Journal.

    Kinanti, Fellin, 2012,“Hak Asasi Manusia di Asia Tenggara”, Jurnal UNAIR,http://www.acehinstitute.org/id/pojok-publik/hukum/item/204-tawarankonsepperkuat-komisi-hak-asasi-manusia-asean.html, diakses pada 19 Maret2016.

    Professional Training Series No. 9, 2003, Human Rights in the Administration ofJustice: A Manual on Human Rights for Judges, Prosecutors and Lawyers ,

    Geneva.

    Ramcharan, Robin, 2010, “Policy Considerationfor Enhanching its Capacity toProtect Human Rights”, Journal ASEAN’s Human Rights Comission.

    C. Makalah/Pidato

     Alexandra, Lina, 2009, “Pembentukan Badan Hak Asasi Manusia ASEAN:Kemajuan BagiASEAN”, Analisis CSIS, vol. 38, no.3.

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    24/30

    iii

    Purwandoko, Prasetyo Hadi, “Prospek Pembentukan Asean Intergovernmental

    Commission On Human Rights/ AICHR (Harapan Baru, Kelemahan Dan

    Solusi), Pidato, Seminar ASEAN International Governmental Commissionon Human Rights: Peluang dan Tantangan, Kerjasama Fakultas Hukum

    Universitas Sebelas Maret (UNS) dan Direktorat Jenderal Kerjasama

     ASEAN, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Surakarta, 14

    februari 2011.

    Santosa, Mas Achmad, dkk., “Civil Liability for EnvironmentalDamageIndonesia”,Makalah Topic 7, Pelatihan hukum lingkungan diIndonesia bekerjasama denganAustralia, ICEL,Desember 1999 –September 2000.

    D. Artikel dalam Antolog i dengan editor

    Chen, Albert, Conclusion: Comparative Reflections on Human Rights in Asia,

    dalam Peerenboom, Randal, Et al, 2006, Human Rights In Asia: A

    Comparative Legal Study of Twelve Asian Jurisdictions, France and the

    USA, Routledge, New York.

    Juwana, Hikmahanto, Human Rights In Indonesia, dalam Peerenboom, Randal,

    Et al, 2006, Human Rights In Asia: A Comparative Legal Study of Twelve

     Asian Jurisdictions, France and the USA, Routledge, New York.

    E. Internet

    Liputan 6, “Ada Pelanggaran HAM Berat di Rohingya Myanmar”,

    http://news.liputan6.com/read/429057/ada-pelanggaran-ham-berat-di-

    rohingya-myanmar , diakses pada 25 Maret 2016.

    Setara Institute, “Apa Guna Deklarasi HAM ASEAN”, http://www.setara-institute.org/en/content/apa-guna-deklarasi-ham-asean,  diakses pada 9Maret 2016.

    UNHCR, “Important step towards establishment of ASEAN Commission onHuman Rights”,http://www.unhchr.ch/huricane/huricane.nsf/view01/9D27DBCDD08C3C06C12575FB003502C5?opendocument , diakses pada 25 Maret 2016.

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    25/30

    iv

    F. Peraturan

    Piagam ASEAN.Term of References of AICHR.

    Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms,

    November 1998.

     American Convention on Human Rights, November 22, 1969.

     African Charter on Human and Peoples’ Rights, adopted June 27, 1981.

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    26/30

    v

    LAMPIRAN I

    1.  Dokumentasi Warga RohingyaSumber: Dokumentasi Relawan ACT (Aksi Cepat Tanggap) Indonesia.

    1.1 Para pencari suaka Warga Rohingya sedang terdampar ditengah-tengah

    lautan

    1.2 Potret wajah anak-anak Rohingya yang berhasil selamat dari penindasan di

    Myanmar

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    27/30

    vi

    1.3 Ibu dan anak yang menyelamatkan diri dengan menggunakan perahu

    hingga sampai di perairan Selat Malaka, Aceh.

    1.4 Para pengungsi Rohingya kerap disebut dengan “Manusia Perahu” karena

    sebagian besar sejak berhasil lari dari Myanmar, mereka hidup didalam perahu

    yang terombang-ambing dilautan.

    1.5 Potret anak-anak Rohingya ketika sampai di Kamp Pengungsian di Aceh

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    28/30

    vii

    1.6 Salah satu korban Pengungsian Myanmarr yang mendapatkan perawatan

     pada matanya usai dirawat di Kamp Pengungsian Aksi Cepat Tanggap (ACT),

    Aceh.

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    29/30

    viii

    LAMPIRAN II

    2.  Dokumentasi Tragedi Simpang KKA, AcehSumber: Koalisi NGO HAM

    Museum HAM Aceh

    Arsip Media

    2.1 Warga sipil mendapatkan berondongan tembakan dari TNI

    2.2 Korban Sipil bergeletakan di bundaran Simpang KKA

  • 8/16/2019 Keefektifan Dan Keurgensian Pembentukan Pengadilan Ham Di Tingkat Asean

    30/30

    2.3 TNI melepaskan tembakan dan masyarakat sipil berusaha melindungi diri

    dalam posisi tiarap

    2.4 Salah satu literature yang dipajang pada dinding Museum HAM Aceh tentangTragedi Simpang KKA