tugas pedo skenario 2 crop

78
TUGAS PAPER PENGARUH PENYAKIT ANAK TERHADAP PERAWATAN GIGI DAN MULUT SKENARIO 2 “PEDODONSIA” disusun oleh: Alfin Reza Bahida (106110 Azizah Fauji Ofika (10611016) Desyllia Tanjung Kumala P. (10611021) Igais Buwana Dewi (10609016) Laili Ma’rifah (10611039) Yolanda Kartika Asmarani (10611070) Verry Masruhardono (10609048)

Upload: rezabahida

Post on 16-Sep-2015

80 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

ok

TRANSCRIPT

TUGAS PAPER

PENGARUH PENYAKIT ANAK TERHADAP PERAWATAN GIGI DAN MULUTSKENARIO 2

PEDODONSIA

disusun oleh:

Alfin Reza Bahida

(106110

Azizah Fauji Ofika

(10611016)Desyllia Tanjung Kumala P.(10611021)

Igais Buwana Dewi

(10609016)

Laili Marifah

(10611039)

Yolanda Kartika Asmarani(10611070)

Verry Masruhardono

(10609048)FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

INSTITUT ILMU KESEHATAN

KEDIRI

2015

PENYAKIT JANTUNGKelainan jantung pada anak yang umumnya terjadi adalah penyakit jantung bawaan atau Congenital Heart Diseases (CHD). Congenital Heart Diseases adalah kelainan jantung bawaan yang terjadi pada anak dan merupakan salah satu jenis medically compromised patient yang sering datang ke praktek dokter gigi (Cameron and Widmer, 2003; Welbury, 2001). Salah satu peran dari dokter gigi anak mengkoordinir penanganan anak dengan medically compromised. Sering digunakan istilah medically compromised untuk mengingatkan klinisi bahwa anak-anak ini mempunyai kondisi medis juga dapat mempengaruhi perawatan dental atau dapat juga disertai dengan tanda dental/ oral yang spesifik (Cameron and Widmer, 2003).Congenital Heart Diseases (CHD) mengenai 8-10 kasus per 1000 anak lahir hidup dengan gender yang seimbang. Adapun yang termasuk CHD adalah Ventricular septal defect, (VSD), Atrial septal defect (ASD), Patent Ducus Arteriosus (PDA) dan tetralogy offallot (TOF) (Syarif, 2011).A. Manifestasi Klinis Congenital Heart Diseases (CHD)Berdasarkan manifestasi klinis, CHD terdiri dan 2 tipe yaitu tipe sianosis dan asianosis. Tipe sianosis seperti pulmonary stenosis, tetralogy of fallot (TOF).3 Manifestasi klinis tipe sianosis;sianosis sistemik, clubbing finger, dyspnea dan heart murmur. Adapun prognosisnya tergantung dan berat ringannya malformasi. Pada tipe sianosis aliran adalah right to leftt shunt (Syarif, 2011).Tidak ada tanda oral spesifik pada pasien dengan CHD, manifestasi klinis tergantung dan anomaly struktur yang diderita (Little, et al, 1997; Moller, 2003). Manifestasi oral dan CHD adalah sianosis gusi dan stomatitis, glositis, defek email terutama pada gigi sulung, meningkainya risiko karies dan penyakit periodontal (Cameron and Widmer, 2003; Welbury, 2001; Moller, 2003).Termasuk tipe asianosis adalah ASD, VSD, PDA, Aortic Stenosis, Pulmonary Stenosis. Tipe asianosis aliran adalah left to right shunt dan mempunyai prognosis lebih baik dari tipe sianosis. Manifestasi klinis tipe asianosis adalah dapat terjadi gagal jantung, respiratory distress, heart murmur dan cardiomegaly (Syarif, 2011).B. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Selama Perawatan Dental pada Anak dengan Kelainan Jantung

1. Pencegahan endokarditis bakterialis di rumah

Pertimbangan penting dalam merencanakan perawatan gigi adalah mencegah penyakit gigi dan mulut. Pasien dengan CHD termasuk ke dalam kelompok yang berisiko terkena karies terutama pada periode gigi sulung. Dokter gigi harus membuat intruksi home care yang baik pada orang tua dan pasien agar memelihara kesehatan gigi dan mulutnya dengan baik karena bakteriaemia dapat terjadi/ diperberat oleh kebersihan mulut yang buruk. Demikian juga pada pemakaian dental floss dan alat bantu kebersihan gigi harus hati-hati karena pemakaian dental floss, semprot air bertekanan tinggi dapat berisiko bakteriemia (Syarif, 2011).

2. Prosedur preventif

Adapun yang penting dalam perawatan anak dengan CHD adalah pencegahan penyakit gigi dan mulut yang meliputi pemberian fluor baik sistemik ataupun lokal, penutupan fisur yang dalam, yang dilanjutkan dengan melibatkan pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut di rumah (home care). Prosedur ini dapat mencegah terjadinya endokarditis bakterialis (Syarif, 2011).

3. Pencegahan Endokarditis bakterialis pada perawatan dental

Pencegahan Endokarditis bakterialis meliputi pemberian profilaksis antibiotic pada prosedur dental yang dapat mengakibatkan perdarahan mukosa, gusi/pulpa seperti ekstraksi, perawatan pulpa. Sebaiknya perawatan gigi invasiv seperti ekstraksi, perawatan endodontik dihindari karena dapat menyebabkan bakteriaemia bila tidak dilakukan dengan hati-hati. Bila diperlukan sekali perawatan ekstraksi ataupun perawatan endodontic maka hams dilakukan pemberian profilaksis antibiotik dan pasien sebaiknya kumur dengan mouth wash (Syarif, 2011).

4. Mouth Preparation

Mouth preparation penting dilakukan apabila akan dilakukan pembedahan pada anak dengan CHD (Syarif, 2011).

C. Penanganan Dental Pasien Anak dengan Kelainan JantungMenurut Syarif (2011), pemeriksaan dan konsultasi yang harus dilakukan antara lain:

1. Riwayat medis meliputi riwayat kesehatan lampau dan saat sekarang, obat-obatan yang dikonsumsi, riwayat opname.2. Pemeriksaan oral dengan terapi komprehensif.3. Profilaksis antibiotik. Hal ini dilakukan bila defek belum menutup dan pasien akan dilakukan perawatan saluran akar gigi, ekstraksi dengan pendekatan konvensional.Hal ini dapat dilakukan bila defek sudah ditutup atau menutup spontan, dengan sebelumnya selalu berkonsultasi dengan cardiologist anak. Amoxicillin merupakan drug of choice antibiotik untuk profilaksis antibiotic dalam pencegahan endokarditis bakterialis.4. Pada kasus rampan karies dengan kasus kelainan jantung berat (TOF) maka harus dilakukan koordinasi perawatan dengan dokter spesialis lain yang terkait (cardiolog anak, anesthetist, dokter gigi anak ) dan perawatan dental dilakukan dengan pendekatan farmakologi taitu di bawah anestesi umum, karena perawatan dapat selesei dalam satu sesi. Dalam hal ini dirujuk ke bagian Special Care Dentistry dan dirawat secara interdisiplin. Selalu berkonsultasi dengan dokter jantung yang merawat, hams diingat bahwa tipe sianosis merupakan kelompok yang berisiko saat akan dilakukan anestesi umum5. Rencana perawatan pada pasien dengan kelainan jantung dibawah anestesi umum adalah: premedikasi, profilaksis antibiotic, anesthesia, dan pertimbangan bedah.6. CHD tipe sianosis tertentu berisiko untuk mengalami hipoksia, polisitemia, koagulasi intravascular, disfungsi hati, oleh karena itu hams hati-hati agar meminimalisir bahaya.7. Merupakan kontra indikasi prosedur dental elektif pada pasien gangguan jantung tertentu seperti infark myocardial, aritmia yang tidak terkontrol, dan congesti heart failure 8. Perawatan dental dapat dilakukan balk dengan pendekatan konvensional/non farmakologi maupun dengan pendekatan farmakologi tergantung berat ringannya kasus.ALERGI

Alergi merupakan suatu kelainan reaksi berlebih (hipersensitivitas) sistem imun tubuh terhadap subtansi spesifik (alergen) yang mengakibatkan kerusakan jaringan. Manifestasi klinis alergi (asma, alergi makanan, alergi obat, alergi serbuk bunga, dermatitis atopi, dll) merupakan ekspresi dari aktivitas mediator-mediator reaksi alergi di sekitar daerah yang terpapar (terlokalisir) dan dapat juga berlangsung sistemik. Variasi manifestasi klinis dimungkinkan pada tiap jenis alergi dikarenakan jaringan tempat terjadinya kontak terhadap antigen yang berbeda-beda (Susanto, 2014).Macam Reaksi Hipersensitivitas

Reaksi alergi dibagi dalam 4 tipe reaksi hipersensitivitas oleh Coombs dan Gell yaitu tipe I, reaksi hipersensitivitas cepat (tipe I), reaksi sitotoksik (tipe II), reaksi komplek imun (tipe III), dan reaksi hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV).Tipe I

Tipe I terjadi jika obat atau metabolitnya mengikat sekurang - kurangnya 2 rnolekul IgE yang terikat pada permukaan sel mast atau basofil mengakibatkan degranulasi serta pelepasan histamin dan berbagai mediator lain (misal leukotrien dan prostaglandin) dari sel. Gambaran klinis yang khas tipe I adalah urtikaria dengan atau tanpa angioederma.

Tipe II

Tipe II terjadi jika antibodi IgG atau IgM mengikat antigen di permukaan sel. Hal ini menyebabkan efek sitolitik atau sitotoksik oleh sel efektor yang diperantarai komplemen.

Tipe III

Tipe III ditandai oleh pembentukan kompleks antigen-antibodi (antibodi IgG atau IgM) dalam sirkulasi yang dideposit dalam jaringan. Komplemen teraktivasi melepas macrophage chermotatic factor. Makrofag dikerahkan ketempat tersebut melepas enzim yang dapat merusak jaringan. Komplemen juga membentuk C3a dan C5a (anafilatoksin) yang merangsang sel mast dan basofil rnelepas granul. Komplemen juga dapat menimbulkan lisis sel bila kompleks diendapkan di jaringan.

Tipe IV

Imunoglobulin tidak terlibat pada reaksi tipe ini. APC (misal sel Langerhans), mempresentasikam antigen kepada limfosit. Limfosit T yang sudah tersensitisasi mengenali antigen dan menyebabkan pembebasan serangkaian limfokin, antara lain marcrophage inhibilition factor dan macrophage activation factor. Makrofag yang diaktifikan dapat menimbulkan kerusakan jaringan. Contoh klasik adalah dermatitis kontak alergik (Alanko, 1998; Bratawidjaya, 2000).

Manifestasi Klinis Alergi

Manifestasi klinis yang sering timbul pada bayi adalah tipe cepat (dalam hitungan menit hingga 2 jam setelah terpapar alergen) yang diperantai oleh IgE dengan gejala utama adalah ruam kulit, eritema perioral, angioedema, urtikaria, dan anafilaksis. Bila gejala timbul lama (dalam 1 hingga 2 minggu) setelah paparan, mengenai saluran cerna berupa kolik, muntah, dan diare biasanya bukan diperantarai IgE (bisa diperantarai neutrofil) (Susanto, 2014).Reaksi tipe cepat terjadi dalam hitungan menit hingga 2 jam setelah mengkonsumsi alergen meski hanya dalam jumlah yang sedikit. Reaksi tipe cepat terhadap alergen dapat muncul sebagai reaksi sistemik (anafilaktik syok) atau reaksi pada saluran cerna, kulit, dan saluran nafas. Alergi saluran cerna tipe cepat/anafilaksis saluran cerna (non spesifik) dapat menimbulkan reaksi pada saluran cerna seperti muntah, mual, regurgitasi, nyeri perut, nyeri kolik perut, dan diare (Susanto, 2014).

Sindrom alergi oral merupakan reaksi alergi dengan kumpulan gejala: gatal pada bibir, lidah, langit-langit mulut, dan tenggorokan dengan atau tanpa bengkak dan atau rasa menggelitik pada daerah tersebut. Pada anak-anak gejala yang paling sering terlihat adalah bengkak pada bibir. Biasanya, terjadi setelah mengkonsumsi sayuran atau buah (Susanto, 2014).Alergi Makanan

Pengertian alergi makanan mencakup reaksi imunologik terhadap makanan atau bahan pelengkap makanan. Alergi makanan masih merupakan masalah bagi dunia kedokteran, khususnya dalam penegakan diagnosis. Diagnosis alergi makanan sulit ditegakkan apabila terdapat reaksi silang antara alergen dari makanan dan alergen dari udara. Diagnosis alergi makanan juga mempunyai dampak dilematis; overdiagnosis dapat mengakibatkan malnutrisi terutama pada anak-anak, tetapi underdiagnosis akan mengakibatkan serangan alergi yang terus-menerus. Oleh sebab itu, keputusan diagnosis ini harus diambil dengan cermat (Christanto dan Oedono, 2011).Patofisiologi Alergi Makanan

Reaksi simpang pada makanan (berakibat merugikan bagi manusia) pada dasarnya dibagi menjadi 2 bagian besar, yaitu reaksi imunologik (melalui mekanisme imun atau hipersensitivitas (alergi makanan) dan reaksi non-imunologik (tidak melalui mekanisme imun (intoleransi makanan). Reaksi alergi makanan sendiri dibagi menjadi dua, dengan keterlibatan IgE dan tanpa keterlibatan IgE (Christanto dan Oedono, 2011).

Alergi makanan merupakan bagian dari reaksi hipersensitivitas gastrointestinal umum, yakni hiperresponsivitas imunologik terhadap antigen spesifik, yang dapat berasal dari makanan sehari-hari atau mikroorganisme patogen maupun produknya, atau terhadap antigen milik sendiri (self-antigen) yang disajikan atau dipresentasikan tidak semestinya. Pada alergi makanan, terdapat penetrasi molekul antigen ke dalam tubuh, yang merangsang reaksi imunologik. Reaksi ini tidak timbul saat kontak pertama dengan antigen, tetapi gejala akan timbul pada pajanan yang kedua kali dengan alergen yang sama. Umumnya, pajanan ulang oleh substansi antigenik/alergen akan meninggikan respons imun sekunder yang bersifat spesifik. Pada kasus hipersensitivitas/alergi, terjadi reaksi imun berlebihan yang justru menimbulkan kerusakan jaringan atau gangguan fungsional di dalam tubuh (Christanto dan Oedono, 2011).

Alergen makanan diabsorpsi dari mulut dan saluran cerna, tetapi jumlah alergen yang diperlukan untuk dapat mencetuskan respons imun terutama bergantung pada permeabilitas mukosa saluran cerna. Setiap kondisi yang mengakibatkan peningkatan permeabilitas mukosa saluran cerna akan memudahkan reaksi alergi yang lain untuk timbul. Target utamanya ialah pada epitelium, yang akan menimbulkan perubahan sekresi asam lambung, transpor ion, produksi mukus, dan fungsi sawar (barrier) fisik mukosa (Christanto dan Oedono, 2011).

Pajanan antigen/alergen di dalam lumen usus individu yang telah tersensitisasi akan menimbulkan degranulasi sel mast, yang selanjutnya melepaskan mediator-mediator kimia yang kemudian akan berpengaruh langsung pada epitelium, endotelium, dan otot polos, atau memberi pengaruh tidak langsung melalui serabut saraf. Keadaan ini merupakan manifestasi reaksi hipersensitivitas tipe langsung atau cepat yang diperantarai oleh antibodi IgE. Selain sel mast, sel lainnya (seperti neutrofil dan, khususnya, eosinofil) ikut berperan dalam memodulasi reaksi hipersensitivitas, baik secara langsung maupun tidak langsung (berinteraksi dengan sel mast) (Christanto dan Oedono, 2011).

Reaksi Hipersensitivitas pada Alergi Makanan

1. Reaksi Alergi Tipe I

Reaksi tipe 1 ini terdiri dari 2 fase, yaitu fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi fase cepat timbul saat kontak dengan antigen sampai dengan 1 jam sesudahnya. Pada fase cepat ini, akan dilepaskan mediator-mediator kimia karena degranulasi sel mast atau basofil. Mediator tersebut ada yang telah terbentuk, seperti histamin dan beberapa enzim, ada pula yang baru dibentuk, seperti prostaglandin D2, Leukotrien D4, Leukotrien C4, bradikinin, dan platelet activating factor. Mediator-mediator ini selanjutnya menimbulkan efek lokal, seperti diare dan kolik pada saluran cerna, serta meningkatkan absorpsi antigen makanan sejenis atau antigen lain. Keadaan ini juga akan menimbulkan efek sistemik, seperti bronkokonstriksi dan pengendapan kompleks imun yang akan menimbulkan keluhan urtikaria (Christanto dan Oedono, 2011).Fase kedua adalah reaksi alergi fase lambat. Reaksi ini mulai berlangsung 2-4 jam pasca-pajanan, dengan puncak setelah 6-8 jam, dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Reaksi alergi fase lambat akan melibatkan pelepasan mediator kimia, terutama eosinofil (seperti eosinophilic cationic protein [ECP], eosinophilic-derived protein, major basic protein, dan eosinophilic peroxidase) (Christanto dan Oedono, 2011).

2. Reaksi Alergi Tipe II

Disebut juga reaksi sitotoksik. Reaksi ini terjadi akibat terbentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fc-R. Ikatan antigen-antibodi dapat pula mengaktifkan komplemen yang, melalui reseptor C3b, memudahkan fagositosis atau menimbulkan lisis. Contoh reaksi tipe II ini ialah pada keadaan trombositopenia yang berhubungan dengan alergi susu sapi (Christanto dan Oedono, 2011).3. Reaksi Alergi Tipe III

Disebut juga reaksi kompleks imun. Reaksi ini terjadi apabila ditemukan ikatan antigen-antibodi dalam sirkulasi darah atau jaringan, yang mengaktifkan komplemen. Dalam keadaan normal, ikatan antigen-antibodi ini secara cepat dimusnahkan oleh sistem retikulo-endotelial tanpa menimbulkan kondisi patologis. Namun, bila terdapat kompleks imun dalam konsentrasi tinggi disertai ukuran kompleks imun yang kecil, kompleks tersebut akan sulit dimusnahkan. Selanjutnya, kompleks imun ini akan mengendap pada kapiler atau jaringan dan akan mengaktifkan komplemen untuk kemudian merangsang sel mast dan basofil. Zat vasoaktif yang dilepaskan akan menimbulkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler, dan reaksi inflamasi. Kompleks imun ini akan memberikan gejala sesuai dengan lokasi pengendapannya. Jika target organnya saluran cerna, akan terjadi kolik abdominal atau diare. Apabila kompleks ini mengendap di hidung, akan timbul gejala kongesti atau rinorea (Christanto dan Oedono, 2011).

4. Reaksi Alergi Tipe IV

Reaksi ini juga dikenal sebagai reaksi imun seluler, karena tidak terdapat peran antibodi. Pada reaksi ini, antigen yang datang dari luar akan dipresentasikan oleh sel APC ke sel Th1 yang bergantung- MHC II. Sel Th1 yang diaktifkan akan

melepas berbagai sitokin, antara lain macrophage inhibitory factor (MIF), macrophage activating factor (MAF), dan interferon (IFN), yang akan mengaktifkan makrofag dan merupakan sel efektor yang menimbulkan kerusakan jaringan. Respons yang timbul pada reaksi tipe IV ini berkisar antara 24-48 jam setelah pajanan. Beberapa kasus alergi susu sapi tergolong reaksi tipe IV ini, yang telah terbukti secara laboratoris (Christanto dan Oedono, 2011).

Diagnosis Alergi Makanan

1. Anamnesis

Anamnesis tidak hanya ditujukan untuk mendapatkan keterangan tentang

makanan penyebab alergi, tetapi sedapat mungkin harus bisa memberikan gambaran apakah keluhan pasien benar-benar karena reaksi hipersensivitas atau bukan. Juga harus didapatkan keterangan mengenai gejala klinis alergi pada sistem tubuh lain, seperti pada kulit, telinga, mata, saluran napas, dan saluran cerna (Christanto dan Oedono, 2011).Anamnesis yang teliti perlu dilakukan setelah penderita atau orang tua mengamati terjadinya serangan selama 2-3 bulan tanpa mengubah pola makan, kecuali pada penderita dengan serangan asma berat. Anamnesis terperinci berfokus pada jenis makanan pencetus gejala, proses pengolahan makanan (direbus, dipanggang, atau dalam bentuk mentah), rentang waktu antara konsumsi makanan dengan timbulnya gejala, gejala yang timbul, jumlah makanan yang dapat menimbulkan gejala yang sama, dan apakah selalu timbul bila mengonsumsi makanan yang dicurigai (Christanto dan Oedono, 2011).

Penting ditanyakan juga tentang faktor lain yang mempermudah timbulnya gejala, misalnya setelah olahraga. Riwayat penyakit dahulu pada masa kanak-kanak, seperti intoleransi terhadap susu formula, kolik, gastroenteritis, batuk kronik berulang yang membaik dan muncul dengan perubahan pola makan, eksema atau dermatitis pada waktu kecil, ruam popok (diaper rash), dan penyakit telinga kronik. Riwayat atopi dalam keluarga harus juga ditanyakan (Christanto dan Oedono, 2011).2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan mulut dan tenggorok, dapat dijumpai hipertrofi gingiva, geographic tongue, hipertrofi tonsil, arkus palatum tinggi, penebalan dinding lateral faring, serta edema daerah epiglotis dan pita suara. Pemeriksaan faring dapat menunjukkan mukosa faring yang hiperemis, tertutup lendir kental, atau ada

Granulasi (Christanto dan Oedono, 2011).

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk membantu diagnosis alergi makanan meliputi:

a. Catatan buku harian pasien, berisi catatan semua jenis makanan dan gejala yang timbul untuk jangka waktu tertentu. Hal ini memberikan informasi yang sangat berharga, terutama pada kasus kronik.

b. Uji diagnostik

i. Tes alergi makanan tipe tetap

1. Tes cukit kulit (prick test)

2. Modifikasi tes cukit kulit (modified prick test)3. Tes tempel (patch test)

4. Uji IgE spesifik

ii. Tes alergi makanan tipe siklik

1. Intracutaneousprogressive dilution food test (IPDFT)2. Tes provokasi makanan (doubleblind placebo-controlled food challenge, DBPCFC) (Christanto dan Oedono, 2011).Alergi ObatAlergi obat merupakan respons abnormal yang timbul terhadap bahan obat atau metabolitnya melalui reaksi imunologis berupa hipersensitivitas yang terjadi selama atau setelah pemakaian obat. Bentuk reaksi alergi yang paling banyak ditemukan adalah reaksi alergi pada kulit. Jenis obat-obatan yang menyebabkan alergi pada anak sangat bervariasi. Tingginya angka kejadian alergi obat berhubungan dengan seringnya obat tersebut digunakan. Pada umumnya jenis obat-obatan yang dilaporkan menyebabkan alergi pada anak antara lain: golongan penisilin, sulfa, dan salisilat (Akib, 2008; Mirakian, 2008).Patofisiologi

Substansi obat biasanya memiliki berat molekul yang rendah sehingga tidak langsung merangsang sistem imun bila tidak berikatan dengan karier yang memiliki berat molekul yang besar. Antigen yang terdiri dari kompleks obat dan protein karier ini disebut sebagai hapten. Hapten akan membentuk ikatan dengan protein jaringan yang bersifat lebih stabil dan akan tetap utuh selama diproses di makrofag dan akan dipresentasikan kepada sel limfosit hingga sifat imunogeniknya stabil (Akib, 2008; Mirakian, 2008).Sebagian kecil substansi obat memiliki berat molekul yang besar dan bersifat imunogenik sehingga dapat langsung merangsang sistem imun tubuh, tetapi terdapat beberapa jenis obat dengan berat molekul relatif rendah yang memiliki sifat imunogenik tanpa perlu berikatan dengan protein karier dengan mekanisme yang masih belum jelas (Limsuwan, 2010; Akib, 2008).Setelah pajanan awal maka kompleks obat-karier akan merangsang pembentukan antibodi dan aktivasi sel imun dalam masa laten yang dapat berlangsung selama 10-20 hari. Pada pajanan berikutnya periode laten menjadi lebih singkat karena antigen tersebut sudah dikenal oleh sistem imun tubuh melalui mekanisme pembentukan sel memori (Limsuwan, 2010; Akib, 2008).Alergi obat merupakan reaksi hipersensitivitas yang dapat digolongkan menjadi 4 tipe menurut Gell dan Coombs. Alergi obat dapat terjadi melalui keempat mekanisme reaksi hipersensitivitas. Bila antibodi spesifik yang terbentuk adalah IgE pada penderita atopi (IgE-mediated) maka yang terjadi adalah reaksi tipe I (anafilaksis). Bila antibodi yang terbentuk adalah IgG dan IgM, kemudian diikuti oleh aktivasi komplemen maka yang terjadi adalah reaksi hipersensitivitas tipe II atau tipe III. Bila yang tersensitisasi adalah respons imun selular maka akan terjadi reaksi tipe IV. Reaksi tipe II sampai IV merupakan reaksi imun yang tidak dapat diprediksi dan tidak melalui pembentukan IgE (non IgEmediated). Alergi obat juga dapat terjadi melalui keempat mekanisme tersebut secara bersamaan. Alergi obat paling sering terjadi melalui mekanisme tipe I dan IV (Limsuwan, 2010; Mirakian, 2008).Reaksi tipe I merupakan reaksi hipersensitivitas cepat yang diperantarai oleh IgE dan menyebabkan reaksi seperti anafilaksis. Gejala yang ditimbulkan dapat berupa urtikaria, edema laring, dan wheezing. Reaksi tipe II merupakan reaksi sitotoksik yang diinduksi oleh kompleks komplemen dengan antibodi sitotoksik IgM atau IgG. Reaksi ini terjadi sebagai respons terhadap obat yang mengubah membran permukaan sel. Pada reaksi tipe III terdapat periode laten beberapa hari sebelum gejala timbul yaitu periode yang dibutuhkan untuk membentuk kompleks imun yang dapat mengaktivasi komplemen. Reaksi biasanya baru timbul setelah obat dihentikan.Pada reaksi hipersensitivitas tipe lambat, limfosit bereaksi langsung dengan antigen (Limsuwan, 2010; Mirakian, 2008).Manifestasi Klinis

Gejala klinis alergi obat sangat bervariasi dan tidak spesifik untuk obat tertentu. Satu macam obat dapat menimbulkan berbagai gejala dan pada seseorang dapat berbeda dengan orang lain. Gejala klinis tersebut disebut sebagai alergi obat apabila terdapat antibodi atau sel limfosit T tersensitisasi yang spesifik terhadap obat atau metabolitnya serta menunjukkan gambaran reaksi inflamasi imunologis. Gejala klinis alergi obat dapat berupa gejala ringan sampai berat. Erupsi kulit merupakan gejala klinis yang paling sering, dapat berupa pruritus, urtikaria, dan angioedema (Limsuwan, 2010; Brown, 2009)Diagnosis

1. Anamnesis

Evaluasi kecurigaan terhadap alergi obat dimulai dengan riwayat penyakit dan terapi yang diberikan secara terperinci, meliputi nama atau jenis obat, dosis, indikasi, tanggal pemberian dan lama pemberian. Interval antara waktu pertama kali minum obat dengan onset reaksi dapat menjadi lebih pendek apabila sebelumnya penderita pernah tersensitisasi oleh obat yang sama. Dari anamnesis dapat dibedakan antara alergi obat dengan reaksi toksik dan idiosinkrasi. Misalnya gejala gastrointestinal setelah minum antibiotik atau nyeri pada tempat suntikan obat dapat diperkirakan bukan berdasarkan reaksi imunologis Potter, 2007; Davis, 2007).2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik perlu dicari tanda bahaya yang dapat mengancam jiwa seperti kolaps kardiovaskular, edema laring atau saluran nafas atas, wheezing dan hipotensi. Adanya demam, lesi membran mukosa, limfadenopati, nyeri sendi dan bengkak menandakan reaksi alergi yang berat. Lesi pada kulit harus diseskripsikan secara akurat mulai dari bentuk, ukuran dan distribusinya (Limsuwan, 2010; Davis, 2007).

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang untuk konfirmasi diagnosis alergi obat meliputi uji tusuk kulit (skin prick test) dan uji provokasi. Uji tusuk kulit dapat digunakan untuk mengkonfirmasi adanya reaksi tipe I yaitu dengan ditemukannya kompleks antigen-IgE spesifik. Uji kulit dapat dilakukan dengan menggunakan bahan yang bersifat imunogenik, yaitu determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat tetapi merupakan prosedur diagnostik yang berbahaya. Uji provokasi tidak dilakukan pada kondisi alergi obat yang berat seperti anafilaksis atau kelainan hematologis (Akib, 2008; Mirakian, 2008).

PenatalaksanaanTabel Kunci utama tatalaksana alergi obat (Mirakian, 2008)

VARICELLA ZOSTER

I. Pendahuluan

Varicella, yang biasa dikenal sebagai cacar air, disebabkan oleh virus varicella-zoster (Lidia, 2014). Varicella dikaitkan dengan respon imun humoral. Respon ini menginduksi sistem imun untuk membentuk sel memori. Reexposure dan infeksi subklinis dapat meningkatkan kekebalan tubuh karena adanya vaksinasi alamiah (Lidia, 2014).II. Definisi

Varicella (Cacar Air) adalah penyakit infeksi yang umum yang biasanya terjadi pada anak-anak dan merupakan akibat dari infeksi primer Virus Varicella Zoster. Varicella pada anak mempunyai tanda yang khas berupa masa prodromal yang pendek dengan adanya bercak gatal disertai dengan papul, vesikel, pustula, dan pada akhirnya, crusta, walaupun banyak juga lesi kulit yang tidak berkembang sampai vesikel (Lidia, 2014).III. Etiologi

Varicella disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV), termasuk kelompok Herpes Virus dengan diameter kira-kira 150-200 nm. Inti virus disebut capsid, terdiri dari protein dan DNA dengan rantai ganda, yaitu rantai pendek (S) dan rantai panjang (L) dan membentuk suatu garis dengan berat molekul 100 juta yang disusun dari 162 kapsomir dan sangat infeksius (Lidia, 2014).IV. Patogenesis

Virus Varicella Zoster masuk dalam mukosa nafas atau orofaring, kemudian replikasi virus menyebar melalui pembuluh darah dan limfe (viremia pertama) kemudian berkembang biak di sel retikuloendotelial setelah itu menyebar melalui pembuluh darah (viremia kedua) maka timbul demam dan malaise (Lidia, 2014).Infeksi primer oleh virus herpes akan menyebabkan gejala varisela. Infeksi kedua oleh virus yang sama akan menunjukkan gejala herpes (smallpox atau cacar ular). Virus varisela memiliki masa tunas 7 sampai 21 hari dan bersifat menular selama periode prodromal yang singkat (sekitar 24 jam sebelum lesi muncul) sampai semua lesi menjadi krusta. Penyakit biasanya sembuh sendiri dalam 7 sampai 14 hari. Penularan terus berlangsung sampai lesi mengeropeng. Masa inkubasi biasanya 14 sampai 16 hari (Lidia, 2014).Penularan atau transmisi dari virus dapat melalui beberapa cara, yaitu :

1. Secara transplasental selama infeksi varisela maternal

2. Transmisi droplet dan udara dari sekret nasofaring, orang yang terinfeksi ke mukosa nasal, oral, atau konjungtiva.

3. Kontak langsung dengan cairan vesikel yang terinfeksi (Lidia, 2014).Tahap Peka/ Rentan/ Prepatogenesis (Stage of Susceptibility)

Pada tahap ini sebenarnya telah terjadi interaksi antara bibit penyakit (Varicella Zoster Virus)-pejamu-lingkungan, tetapi interaksi ini masih diluar tubuh, dalam arti virus cacar belum masuk kedalam tubuh pejamu. Pejamu sudah terancam terkena varisela atau cacar namun daya tahan tubuh masih kuat (Lidia, 2014).Tahap Inkubasi

Pada tahap ini virus varisela sudah tertular dapat melalui percikan ludah, kontak langsung, barang yang dipakai penderita atau udara dan sudah masuk ke dalam tubuh pejamu, tetapi gejala dari penyakit ini belum tampak. VZV merupakan virus yang menular selama 1-2 hari sebelum lesi kulit muncul, dapat ditularkan melalui jalur respirasi dan menimbulkan lesi pada orofaring (Lidia, 2014).Tahap Klinis

Setelah VZV yang ada pada sel mononuclear mulai menghilang, lalu virus tersebut bermigrasi dan bereplikasi dari kapiler menuju ke jaringan kulit dan menyebabkan timbulnya fusi dari sel epitel membentuk sel multinukleus yang ditandai dengan adanya inklusi eosinofilik intranuklear. Perkembangan vesikel berhubungan dengan peristiwa ballooning yakni degenerasi sel epithelial akan menyebabkan timbulnya ruangan yang berisi oleh cairan. Penyebaran lesi di kulit diketahui disebabkan oleh adanya protein ORF47 kinase yang berguna pada proses replikasi virus (Lidia, 2014).Pada tahap ini kondisi tubuh sudah menimbulkan gejala dan terbagi menjadi dua stadium perjalanan penyakit varisela, yaitu :

a. Stadium prodromoral yaitu dua minggu setelah infeksi akan timbul demam, malaise, anoreksia dan nyeri kepala dan sakit abdomen yang berlangsung 24-48 jam sebelum lesi muncul. Gejala sistemik seperti demam, lelah, anoreksia dapat timbul bersamaan dengan lesi kulit. Lesi kulit awal mengenai kulit kepala, muka, badan, biasanya sangat gatal, berupa macula kemerahan, kemudian berubah menjadi lesi vesikel kecil dan berisi cairan didalamnya seperti tampilan tetesan air mata (tear drop) (Lidia, 2014).b. Sedangkan stadium erupsi yaitu pada satu sampai tiga hari kemudian muncul ruam atau macula kemerahan, papula segera berubah menjadi vesikel yang khas berbentuk seperti tetesan air. Lesi kulit awal mengenai kulit kepala, muka, badan, biasanya sangat gatal, berupa macula kemerahan, kemudian berubah menjadi lesi vesikel kecil dan berisi cairan didalamnya. Vesikel menjadi pustule (cairan jernih berubah menjadi keruh) yang pecah menjadi krusta dalam waktu sekitar 12 jam. Vesikel ini mulai muncul di muka atau mukosa yang cepat menyebar ke tubuh dan anggota gerak dengan menimbulkan gejala gatal (Lidia, 2014).Tahap Penyakit Lanjut

Pada tahap ini merupakan tahap saat akibat dari penyakit mulai terlihat dan mulai timbul komplikasi. Komplikasi yang paling sering ditemukan akibat infeksi varisela adalah infeksi bakteri S. aureus atau Streptococcus pyogenes. Infeksi sekunder akibat bakteri biasanya ditandai dengan munculnya bula atau selulitis, limfadenitis regional dan abses subkutan dapat muncul. S.pyogenes umumnya menyebabkan varisela gangrenosa yang bersifat invasive (Lidia, 2014).Tahap Terminal

Pada tahap ini terdapat 5 pilihan keadaan yaitu sembuh sempurna, sembuh dengan cacat fisik, karier, penyakit berlangsung kronik dan berakhir kematian. Pada umumnya pasien yang terkena penyakit cacar mengalami tahap terminal seperti sembuh sempurna yaitu tidak terlihat ada bekas ruam akibat cacar, sembuh dengan cacat fisik yaitu sembuh dengan masih terlihat ada bekas ruam yang menempel di kulit, penyakit berlangsung kronik yaitu bisa menjadi herpes zoster. Herpes zoster sangat jarang ditemukan pada anak, namun dapat pula timbul sebagai akibat infeksi varicela pada awal kehidupan anak yang didapat dari ibu (Lidia, 2014).V. Diagnosis

A.Penegakan Diagnosis

Pemeriksaan untuk penegakan diagnosis utamanya ditegakkan berdasarkan klinis dengan gambaran dan perkembangan lesi kulit yang khas. Gambaran khas termasuk 1) mucul setelah masa prodromal yang singkat, 2) lesi berkelompok terutama di bagian sentral, 3) perubahan lesi yang cepat dari makula, vesikula, pustula sampai krusta, 4) terdapatnya semua tingkat lesi kulit dalam waktu bersamaan pada daerah yang sama, 5) terdapat lesi mukosa mulut (Lidia, 2014).a) Gambaran Klinis

Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yaitu adanya lesi vesikuler dengan adanya area eritematous yang muncul setelah adanya gejala demam dan malaise. Gambaran klinis ditandai dengan terjadinya erupsi kulit berupa perubahan yang cepat dari bentuk makula ke bentuk papula, vesikel (bentuk khas berupa tetes embun/teardrops), pustula dan krusta yang waktu peralihannya membutuhkan waktu 8-12 jam.Sementara proses ini berlangsung timbul lagi vesikel-vesikel baru.

B.Tanda dan gejala

Masa inkubasi Varicella bervariasi antara 10 hinga 21 hari, rata-rata 10 hingga 14 hari. Penyebaran varicella terutama secara langsung melalui udara dengan perantaraan percikan liur. Pada umumnya tertular dalam keluarga atau sekolah (Lidia, 2014).

Pada ibu hamil yang menderita varisela dapat menimbulkan beberapa masalah pada bayi yang akan dilahirkan dan bergantung pada masa kehamilan ibu, antara lain:

Varisela neonatal

Varisela neonatal dapat merupakan penyakit serius, hal ini bergantung pada saat ibu kena varisela dan persalinan, bayi terinfeksi transplasental, tetapi tidak memperoleh kekebalan dari ibu karena belum cukupnya waktu ibu untuk memproduksi antibody. Pada keadaan ini, bayi yang dilahirkan akan mengalami varisela berat dan menyebar.

Sindrom varisela kongenital

Varisela kongenital dijumpai pada bayi dengan ibu yang menderita varisela pada umur kehamilan trimester I atau II dengan insidens 2%. Manisfestasi klinik dapat berupa retardasi pertumbuhan intrauterina, mikrosefali, atrofi kortikalis, hipoplasia ekstremitas, mikroftalmin, katarak, korioretinitis dan jaringan parut pada kulit. Beratnya gejala pada bayi tidak berhubungan dengan beratnya penyakit pada ibu. Ibu hamil dengan zoster tidak berhubungan dengan kelainan pada bayi (Lidia, 2014). Zoster infantil

Penyakit ini sering muncul dalam umur bayi satu tahun pertama, hal ini disebabkan karena infeksi varisela maternal setelah nasa gestasi ke-20. Penyakit ini sering menyerangg pada saraf dermatom thorakalis.

Manifestasi Varicella di Rongga Mulut

Vesikel yang muncul pada rongga mulut biasanya kecil dengan diameter tidak lebih dari 0,5 cm, tampak singular dan kadang-kadang dalam bentukk klaster. Vesikel tersebut mudah pecah dan meninggalkan permukaan yang mengalami ulkus. Vesikel merupakan suatu elevawsi pada membran mukosa superfisial, yang merupakan defek subepitelial atau intra epittelial yang mengandung serum, plasma atau darah. Vesikel mudah pecah di rongga mulut karena trauma sehingga meninggalkan ulkus yang superfisial (Baskar, 1993).

Perubahan pertama yang terjadi adalah suatu area hiperemia dan edema pada jaringan sub epitelial. Cairan mulai terakumulasi di dalam area hiperima atau diantara epitelium dan jaringan ikat. Poket cairan yang kecil kemudian bergabung dan mengalami elevasi membentuk suatu vesikel (Baskar, 1993).

Hubungan penyakit varisela atau cacar air dengan keadaan gigi dan mulut anak adalah adanya lesi vesikula di rongga mulut yang dapat digunakan untuk membantu penegakan diagnosa. Selain itu anak yang sudah mendapat cacar air, tidak akan terkena cacar air kembali, namun virus varisela zoster akan tetap menetap di ganglion saraf dan dapat aktif kembali jika anak pada keadaan imunokompromise dan menjadi herpes zoster (Baskar, 1993).

MEASLES (CAMPAK/ MORBILI)

Campak atau morbili adalah suatu infeksi virus akut yang memiliki 3 stadium yaitu (1) Stadium inkubasi yang berkisar antara 10 sampai 12 hari setelah pajanan pertama terhadap virus dan dapat disertai gejala minimal maupun tidak bergejala, (2) Stadium prodromal yang menunjukkan gejala demam, konjungtivitis, pilek, dan batuk yang meningkat serta ditemukannya enantem pada mukosa (bercak Koplik), dan (3) Stadium erupsi yang ditandai dengan keluarnya ruam makulopapular yang didahului dengan meningkatnya suhu badan (Phillips, 1983).

Etiologi

Virus campak merupakan virus RNA famili paramyxoviridae dengan genus Morbili virus. Sampai saat ini hanya diketahui 1 tipe antigenik yang mirip dengan virus Parainfluenza dan Mumps. Virus bisa ditemukan pada sekret nasofaring, darah dan urin paling tidak selama masa prodromal hingga beberapa saat setelah ruam muncul. Virus campak adalah organisme yang tidak memiliki daya tahan tinggi apabila berada di luar tubuh manusia. Pada temperatur kamar selama 3-5 hari virus kehilangan 60% sifat infektifitasnya. Virus tetap aktif minimal 34 jam pada temperatur kamar, 15 minggu di dalam pengawetan beku, minimal 4 minggu dalam temperatur 35C, beberapa hari pada suhu 0C, dan tidak aktif pada pH rendah (Soegijanto, 2002).

Patologi

Lesi pada campak terutama terdapat pada kulit, membran mukosa nasofaring, bronkus, saluran pencernaan, dan konjungtiva. Di sekitar kapiler terdapat eksudat serosa dan proliferasi dari sel mononuklear dan beberapa sel polimorfonuklear. Karakteristik patologi dari Campak ialah terdapatnya distribusi yang luas dari sel raksasa berinti banyak yang merupakan hasil dari penggabungan sel. Dua tipe utama dari sel raksasa yang muncul adalah (1) sel Warthin-Findkeley yang ditemukan pada sistem retikuloendotel (adenoid, tonsil, appendiks, limpa dan timus) dan (2) sel epitel raksasa yang muncul terutama pada epitel saluran nafas. Lesi di daerah kulit terutama terdapat di sekitar kelenjar sebasea dan folikel rambut. Patogenesis

Lokasi utama infeksi virus campak adalah epitel saluran nafas nasofaring. Infeksi virus pertama pada saluran nafas sangat minimal. Kejadian yang lebih penting adalah penyebaran pertama virus campak ke jaringan limfatik regional yang menyebabkan terjadinya viremia primer. Setelah viremia primer, terjadi multiplikasi ekstensif dari virus campak yang terjadi pada jaringan limfatik regional maupun jaringan limfatik yang lebih jauh. Multiplikasi virus campak juga terjadi di lokasi pertama infeksi. Selama lima hingga tujuh hari infeksi terjadi viremia sekunder yang ekstensif dan menyebabkan terjadinya infeksi campak secara umum. Kulit, konjungtiva, dan saluran nafas adalah tempat yang jelas terkena infeksi, tetapi organ lainnya dapat terinfeksi pula. Dari hari ke-11 hingga 14 infeksi, kandungan virus dalam darah, saluran nafas, dan organ lain mencapai puncaknya dan kemudian jumlahnya menurun secara cepat dalam waktu 2 hingga 3 hari. Selama infeksi virus campak akan bereplikasi di dalam sel endotel, sel epitel, monosit, dan makrofag (Cherry, 2004). Daerah epitel yang nekrotik di nasofaring dan saluran pernafasan memberikan kesempatan serangan infeksi bakteri sekunder berupa bronkopneumonia, otitis media, dan lainnya. Dalam keadaan tertentu, adenovirus dan herpes virus pneumonia dapat terjadi pada kasus campak (Soedarmo dkk., 2002).Manifestasi klinis

Stadium inkubasi

Masa inkubasi campak berlangsung kira-kira 10 hari (8 hingga 12 hari). Walaupun pada masa ini terjadi viremia dan reaksi imunologi yang ekstensif, penderita tidak menampakkan gejala sakit.

Stadium prodromal

Manifestasi klinis campak biasanya baru mulai tampak pada stadium prodromal yang berlangsung selama 2 hingga 4 hari. Biasanya terdiri dari gejala klinik khas berupa batuk, pilek dan konjungtivitis, juga demam. Inflamasi konjungtiva dan fotofobia dapat menjadi petunjuk sebelum munculnya bercak Koplik. Garis melintang kemerahan yang terdapat pada konjungtuva dapat menjadi penunjang diagnosis pada stadium prodromal. Garis tersebut akan menghilang bila seluruh bagian konjungtiva telah terkena radang Koplik spot yang merupakan tanda patognomonik untuk campak muncul pada hari ke-101 infeksi. Koplik spot adalah suatu bintik putih keabuan sebesar butiran pasir dengan areola tipis berwarna kemerahan dan biasanya bersifat hemoragik. Tersering ditemukan pada mukosa bukal di depan gigi geraham bawah tetapi dapat juga ditemukan pada bagian lain dari rongga mulut seperti palatum, juga di bagian tengah bibir bawah dan karunkula lakrimalis. Muncul 1 2 hari sebelum timbulnya ruam dan menghilang dengan cepat yaitu sekitar 12-18 jam kemudian. Pada akhir masa prodromal, dinding posterior faring biasanya menjadi hiperemis dan penderita akan mengeluhkan nyeri tenggorokkan.Stadium erupsi

Pada campak yang tipikal, ruam akan muncul sekitar hari ke-14 infeksi yaitu pada saat stadium erupsi. Ruam muncul pada saat puncak gejala gangguan pernafasan dan saat suhu berkisar 39,5C. Ruam pertama kali muncul sebagai makula yang tidak terlalu tampak jelas di lateral atas leher, belakang telinga, dan garis batas rambut. Kemudian ruam menjadi makulopapular dan menyebar ke seluruh wajah, leher, lengan atas dan dada bagian atas pada 24 jam pertama. Kemudian ruam akan menjalar ke punggung, abdomen, seluruh tangan, paha dan terakhir kaki, yaitu sekitar hari ke-2 atau 3 munculnya ruam. Saat ruam muncul di kaki, ruam pada wajah akan menghilang diikuti oleh bagian tubuh lainnya sesuai dengan urutan munculnya (Phillips, 1983). Diagnosis

Diagnosis campak biasanya cukup ditegakkan berdasarkan gejala klinis. Pemeriksaan laboratorium jarang dilakukan. Pada stadium prodromal dapat ditemukan sel raksasa berinti banyak dari apusan mukosa hidung. Serum antibodi dari virus campak dapat dilihat dengan pemeriksaan Hemagglutination-inhibition (HI), complement fixation (CF), neutralization, immune precipitation, hemolysin inhibition, ELISA, serologi IgM-IgG, dan fluorescent antibody (FA). Pemeriksaan HI dilakukan dengan menggunakan dua sampel yaitu serum akut pada masa prodromal dan serum sekunder pada 7 10 hari setelah pengambilan sampel serum akut. Hasil dikatakan positif bila terdapat peningkatan titer sebanyak 4x atau lebih (Cherry, 2004). Serum IgM merupakan tes yang berguna pada saat munculnya ruam. Serum IgM akan menurun dalam waktu sekitar 9 minggu, sedangkan serum IgG akan menetap kadarnya seumur hidup. Pada pemeriksaan darah tepi, jumlah sel darah putih cenderung menurun. Pungsi lumbal dilakukan bila terdapat penyulit encephalitis dan didapatkan peningkatan protein, peningkatan ringan jumlah limfosit sedangkan kadar glukosa normal (Phillips, 1983).EPILEPSI

Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologic dengan gejala adanya serangan yang timbul berulang, yang disebahkan oleh lepasnya muatan listrik abnormal sel saraf otak. Serangan (Seizure) merupakan gejala yang dapat terjadi tiba-tiba dan merghilang tiba-tiba pula. Frekuensi serangan dapat terjadi tiba tiba secara berkala misalnya minimal dua kali setahun. Gejala epilepsi dapat berupa kejang yang bersifat tonik maupun klonik, ataupun Tonik-Klonik( Grand Mal Seizures), dimana jenis serangan ini paling banyak terjadi. Serangan ini menunjukan hilangnya kesadaran penderita, diikuti fase klonik, mengorok atau lidah tergigit.

Kondisi gigi dan mulut penderita epilepsi tidak mengalami suatu kelainan khusus yang disebabkan oleh penyakit epilepsy itu sendiri melainkan disebabkan oleh efek samping obat antikonvulsan, trauma berupa fraktur gigi/rahang selama serangan terjadi serta terabaikannya perawatan gigi. Efek samping terapi epilepsy yang sering terjadi adalah xerostomia, hal ini menyebabkan berkurangnya self cleansing sehingga terjadi penumpukan plak sehingga mengakibatkan karies. Efek samping lainnya adalah adanya hiperplasia gusi yang disebabkan oleh penggunaan dilantin.Perawatan gigi dan mulut pada pasien dengan epilepsy tidak banyak berbeda dengan perawatan anak normal dengan tatalaksana yang lebih complex. Sebelum merawat pasien epilepsi sebaiknya dokter gigi mempelajari dulu jenis epilepsinya, seringnya serangan dan macam obat yant digunakan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perawatan gigi pasien dengan epilepsy adalah penyediaan alat mouth props, fingerstd untuk mencegah tergigitnya lidah bila terjadi serangan dan sebaiknya bracket table diletakkan jauh.DIABETES MELLITUS

Diabetes mellitus merupakan penyakit yang kompleks yang berhubungan erat dengan komponen metabolik dan komponen vascular. Komponen metabolik mencakup peningkatan kadar glukosa darah yang berkaitan dengan perubahan metabolisme lemak dan metabolisme protein akibat berkurangnya insulin secara relative atau absolute. Sedangkan komponen vascular berhubungan dengan proses terjadinya aterosklerosis dan mikroangiopati. Penyebab penyakit ini sangat kompleks karena banyak faktor yang berperan penting dalam hal terjadinya diabetes mellitus, antara lain faktor genetik, faktor lingkungan (seperti infeksi, trauma, stress, nutrisi, dll) dan faktor endokrin lainnya (seperti, epinefrin, glukagon, hormone pertumbuhan). Penyakit ini memberikan komplikasi dalam bentuk akut atau kronik yang menyerang berbagai organ tubuh seperti mata, kulit, ginjal, pembuluh darah termasuk juga struktur dalam rongga mulut.

Gambaran yang khas penyakit ini dalam rongga mulut dikemukakan pertama kali pada tahun 1928 oleh William, yang menyebutkan sebagai periodontoklasia diabetika dan stomatitis diabetika dengan cirri-ciri khas berupa tanggalnya gigi geligi dan hipertropi gingiva. Diabetes mellitus juga dapat menyebabkan peningkatan insidensi karies dentis dan memperberat gingivitis maupun penyakit periodontal lainnya. Secara umum diketahui bahwa penyakit periodontal selalu dimulai dengan adanya plak gigi. Pada diabetes mellitus terjadi perubahan respon jaringan periodontal terhadap iritasi lokal yang mempercepat hilangnya tulang alveolar.

Penyebab terjadinya komplikasi diabetes mellitus pada rongga mulut antara lain karena adanya mikroangiopati pada system vaskular jaringan periodontal. Pada mikroangiopati ini akan dijumpai penebalan membran basalis pembuluh kapiler jaringan periodontal. Hal ini menyebabkan terjadinya gangguan penyebaran oksigen, nutrisi maupun pembuangan sisa metabolisme yang mengakibatkan penurunan resistensi jaringan sehingga memudahkan terjadinya infeksi. Penderita Diabetes mellitus juga memperlihatkan adanya kerusakan fungsi leukosit polimorfonuklear yang menyebabkan bertambah cepatnya kerusakan jaringan periodontal. Gangguan metabolisme karbohidrat sendiri menyebabkan aktivitas vitamin C berkurang dan kebutuhan akan vitamin B kompleks meningkat sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan periodontal.

Diabetes mellitus pada anak-anak menyebabkan terjadinya hipoplasi gigi pada masa perkembangan gigi-geligi dan perubahan pola erupsi gigi. Pada jaringan gingiva tampak adanya gingivitis marginalis dimana terlihat adanya hipertropi gingiva yang berwarna merah tua, mudah berdarah, sakit dan sering terjadi abses gingival yang multipel. Pada jaringan penyangga terlihat adanya periodontitis diabetika yang merupakan suatu periodontitis kronis yang sudah bisa terjadi pada usia muda. Selain itu, dapat terlihat pula adanya saku periodontal yang dalam, abses periodontal, resorbsi tulang alveolar yang cepat dan banyak, sehingga menyebabkan gigi goyang dan akhirnya tanggalnya gigi geligi. Selain itu juga, sering terjadi cheilosis ataupun kecenderungan mengeringnya selaput lendir rongga mulut lainnya akibat berkurangnya aliran saliva. Selaput lendir mengalami ulserasi dan sering terlihat adanya kandidiasis dalam rongga mulut.

Derajat keparahan komplikasi diabetes mellitus pada rongga mulut tidak mengikuti pola yang konsisten tetapi tergantung dari beberapa faktor misalnya apakah penyakitnya terkontrol atau tidak, berat serta lamanya menderita penyakit ini, banyaknya iritasi lokal , kebiasaan penderita untuk membersihkan rongga mulut dan umur penderita. Penderita diabetes mellitus yang tidak terkontrol akan memberikan komplikasi pada rongga mulut yang prosesnya lebih cepat disertai kerusakan jaringan periodontal yang lebih hebat.

ASMA

Asma adalah suatu inflamasi kronik saluran napas di mana terdapat berbagai sel inflamasi yang memegang peranan, terutama sel mast, eosinofil dan limfosit T. Pada individu yang peka inflamasi ini menyebabkan episode berulang berupa mengi, sesak napas, rasa berat di dada serta batuk terutama malam hari atau dini hari. Gejala ini umumnya berhubungan dengan pengurangan arus udara yang luas tetapi bervariasi yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga meningkatkan kepekaan saluran napas terhadap berbagai rangsangan (Boushey, 2000; Surjanto, 2001).

Patogenesis

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Di mana proses inflamasi ini melibatkan berbagai sel inflamasi yaitu sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, dan sel epitel (PDPI, 2004).

Sel- sel inflamasi yang teraktivasi melepas beberapa mediator sitokin, molekul adhesi, kemokin, dan berinteraksi antara yang satu dengan yang lain. Eosinofil sendiri terlibat dengan melepas granul-granul yang toksik. Hal tersebut menimbulkan reaksi yang sangat kompleks dengan gejala- gejala klinis seperti bronkokonstriksi, produksi mukus yang berlebihan, alergi, dan hiperaktivitas bronkus (Baratawidjaja, 2003).

Selain perubahan akut, juga didapatkan perubahan yang bersifat kronik yaitu hipertrofi otot polos, pembentukan pembuluh darah baru, peningkatan sel-sel goblet epitelial, fibrosis subepitelial, dan penebalan membran basalis, yang dikenal dengan airway remodelling (Muro, 2000; Boushey, 2000).

Airway remodeling merupakan suatu reaksi tubuh yang berusaha memperbaiki jaringan tubuh yang rusak akibat dari inflamasi yang berjalan terus-menerus (Baratawidjaja, 2003). Adapun konsekuensi dari proses ini menyebabkan peningkatan gejala dan tanda asma seperti hipereaktivitas jalan napas, masalah distensibilitas atau regangan jalan napas, hingga obstruksi jalan napas (PDPI, 2004).

Obstruksi aliran udara merupakan tanda klinik yang khas dari asma (Rees, 2005) yaitu pada bagian proksimal dari bronkus kecil pada saat ekspirasi.

Empat faktor utama yang berperan dalam proses terjadinya obstruksi aliran udara pada bronkus:

1) kontraksi otot polos bronkus yang merupakan respon terhadap alergen spesifik

2) hipertrofi (edema) selaput lendir yang disebabkan karena bertambahnya permeabilitas pembuluh darah

3) hipersekresi kelenjar mukus dan sel goblet dengan penyumbatan bronkus oleh lendir yang kental

4) airway remodeling

Menurut Surjanto (2001) indikator dalam menegakkan diagnosis asma adalah sebagai berikut:

1. mengi (wheezing).

2. riwayat satu atau lebih :

a) batuk, yang memburuk terutama pada malam hari

b) mengi berulang

c) sesak napas berulang

d) merasa berat di dada

3) Penyempitan saluran napas yang reversibel dan variasi diurnal.

Variasi diurnal diukur dengan peak flow meter. Arus Puncak Ekspirasi (APE) yang diukur pagi hari (sebelum inhalasi Agonis Beta-2) dan malam hari (setelah inhalasi Beta Agonis -2) menunjukkan perbedaan 20 % atau lebih.

4) gejala timbul atau memburuk pada berbagai faktor pencetus.

5) gejala terjadi atau memburuk pada malam hari yang menyebabkan penderita bangun.

Klasifikasi derajat berat asma terbaru yang diadaptasi dari Global Initiative of Asthma (GINA, 2006) adalah :

1. Intermiten

Gejala < 1 kali seminggu, tanpa gejala di luar serangan, serangan singkat, gejala malam 2 kali sebulan.

2. Persisten ringan

Gejala > 1 kali seminggu tetapi < 1 kali perhari, serangan dapat mengganggu aktivitas tidur, gejala malam > 2 kali sebulan.

3. Persisten sedang

Gejala setiap hari, serangan mengganggu aktivitas dan tidur, gejala malam > 1 kali seminggu.

4. Persisten berat

Gejala terus-menerus, sering kambuh, aktivitas fisik terbatas, gejala malam sering.

Penatalaksanaan

Asma tidak dapat disembuhkan, namun dapat dikontrol dengan pemberian obat-obat yang benar (Baratawidjaja, 2003). Obat-obat yang dapat mngontrol asma antara lain: inhalasi kortikosteroid, kortikosteroid sistemik, sodium kromolin, sodium medokromil, dan teofilin.

International Consensus Report on Diagnosis and Management of Asthma merekomendasikan enam cara untuk mengoptimalkan penatalaksanaan asma, yang saling terkait satu sama lain, yaitu:a. penyuluhan kepada pasien dan keluarganya untuk membina kerjasama dan penatalaksanaan

b. penilaian dan pemantauan beratnya asma berdasarkan gejala dan pemeriksaan fungsi paru

c. mencegah atau mengendalikan faktor pencetus

d. merencanakan pengobatan jangka panjang

e. menetapkan rencana individu dalam mengatasi eksaserbasi

f. menyelenggarakan pemantauan secara berkala

DIAREDiare merupakan keadaan dimana seseorang menderita mencret-mencret, tinjanya encer,dapat bercampur darah dan lendir kadang disertai muntah-muntah. Sehingga diare dapat menyebabkan cairan tubuh terkuras keluar melalui tinja. Bila penderita diare banyak sekali kehilangan cairan tubuh maka hal ini dapat menyebabkan kematian terutama pada bayi dan anak-anak usia di bawah lima tahun (Ummualya, 2007).Penyebab Terjadinya Diare

Diare disebabkan oleh berbagai macam bakteri dan parasit phatogen. Firdaus (1992) mengungkapkan penyebab timbulnya diare disebabkan oleh berbagai macam bakteri dan parasit pathogen seperti:

a. Rota Virus

Rota dalam bahasa latin berarti roda, karena virus ini berbentuk roda. Gambaran klinik diare akut yang disebabkan rota virus bervariasi, mulai dari yang ringan sampai berat dan shock bahkan kematian.

Diare rota virus ditandai dengan gejala :

- Masa inkubasi bervariasi 1-7 hari, tetapi biasanya kurang dari 48 jam.

- Gejala menonjol pada pada penderita muntah yang ditemukan biasanya mendahului gejala berak-berak.

b. Eschirich Coli

Penyakit diare disebabkan oleh eschirichia coli biasanya akan menimbulkan gejala klinis ringan dan mirip dengan cholera yaitu :

- Masa inkubasi 12-72 jam

- Diare kadang-kadang disertai mual, muntah dan keram

- Sakit kepalac. Vibrio Cholera

Penyakit vibrio cholera yang biasanya akan menimbulkan gejala klinis yaitu :

- Gejala bersifat akut

- Masa inkubasi dari beberapa jam sampai 5 hari (rata-rata 2-3 hari)

- Berak menyerupai tinja

- Keluar tinja tanpa disadari oleh penderita

- Jarang mulas atau sakit perut

- Dalam waktu singkat (4-6 jam) bisa terjadi shock (Depkes. RI, 1992).Penularan Penyakit Diare

Penularan penyakit diare dibagi atas tiga variabel yaitu:

1. Penularan penyakit diare menurut variabel orang

Penyakit diare lebih banyak diderita oleh golongan umur dibawah lima tahun (balita) yaitu sekitar 70-80 % dari penderita kejadian penyakit diare mulai meningkat sejak usia 1-2 tahun diare pada bayi adalah satu kali dalam setahunnya sedangkan untuk anak dibawah lima tahun dua kali dalam setahun.2. Penularan penyakit diare menurut variabel tempat

Kejadian penyakit diare umumnya terjadi pada daerah yang mempunyai

sanitasi lingkungan yang jelek dan anak-anak yang menderita diare biasanya

disebabkan oleh sanitasi lingkungan yang buruk dan tidak tersedianya sarana

air bersih.

3. Penularan penyakit diare menurut variabel waktu

Penyakit diare menunjukkan fluktasi musiman, biasanya meningkat pada musim kemarau dan awal penghujan, sesuai asosiasi peningkatan kejadian diare dipengaruhi oleh musim kemarau yang panjang, maka penyakit diare memperlihatkan kecenderungan sekuler 8-10 tahun sekali.Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Penyakit Diare Pada Balita

1. Personal Hygiene

Kesehatan sangat berguna untuk saat ini dan untuk saat mendatang, orang yang sering sakit akan mudah lelah dan berumur pendek. Sehat adalah suatu keadaan dan kualitas dari organ tubuh yang berfungsi secara wajar dengan segala faktor keturunan dan lingkungan yang dimiliki (WHO, 2000). Salah satu cara untuk mencegah penularan penyakit diare dalam kebersihan perorangan antara lain mencuci tangan dengan bersih sesudah mencuci anus dan sebelum makan (Ghandhahusada, 2003).

Hygiene adalah usaha kesehatan masyarakat (perorangan) untuk mencegah timbulnya penyakit yang dipengaruhi oleh lingkungan untuk meningkatkan kesehatan. Kesehatan pribadi adalah suatu usaha atau upaya dari seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan (Entjang, 1999).

Menurut Entjang (1999), adapun usaha-usaha kebersihan pribadi antara lain: 1. Memelihara kebersihan diri

2. Mengkonsumsi makanan yang sehat3. Cara hidup yang teratur

4. Meningkatkan daya tahan tubuh

5. Menghindari terjadi penyakit.

Penatalaksanaan dan Pencegahan Diare

Prinsip-prinsip tata laksana penderita diare yaitu:

1. Mencegah dehidrasi bila mungkin

2. Mengobati dehidrasi dengan tepat dan secepatnya bila terjadi

3. Memberi makanan pada anak1. Penatalaksanaan diare berdasarkan derajat dehidrasi yaitu:

1) Penderita tanpa dehidrasi

Dalam kondisi ini penderita dilakukan perawatan/pengobatan di rumah dengan menerapkan tiga cara yaitu:

1. Berikan anak lebih banyak cairan dari pada biasanya untuk mencegah dehidrasi, cairan yang di anjurkan seperti oralit, makanan yang cair (seperti sup, air tajin), berikan sebanyak anak mau dan teruskan hingga diare berhenti.

2. Berikan anak makan untuk mencegah kurang gizi dengan cara teruskan ASI, berikan susu yang biasa diberikan untuk anak kurang dari 6 bulan sedangkan anak lebih dari 6 bulan berikan bubur, sari buah. Atau pisang halus 6 x sehari dan teruskan hingga 2 minggu setelah diare berhenti.

3. Bawa anak kepada petugas kesehatan bila tidak membaik dalam 3 hari atau menderita sebagai berikut:

a. Buang air besar cair lebih sering atau muntah berulang

b. Rasa haus yang nyata atau makan/minum sedikit

c. Demam atau tinja berdarah2) Penderita dengan dehidrasi ringan/sedang

Pada keadaan ini perawatan/pengobatan penderita diare sebaiknya di dampingi oleh petugas kesehatan dengan cara sebagai berikut:

1. Berikan oralit sesuai dengan dosis, unutk bayi kurang dari 6 bulan berikan juga 100-200 ml air masak.Pemberian Oralit

2. Amati anak dengan seksama dan berikan oralit yaitu 1 sendok teh tiap 1-2 menit untuk anak di bawah 2 tahun dan beberapa teguk untuk yang lebih tua, bila anak muntah tunggu 10 menit kemudian berikan tiap 2-3 menit.

3. Bila kelopak mata bengkak hentikan pemberian oralit dan berikan air masak atau ASI setelah pembengkakan hilang berikan lagi

4. Setelah 3-4 jam nilai kembali derajat dehidrasi kemudian sesuaikan perawatan/pengobatannya menurut dehidrasi3) Penderita dengan dehidrasi berat

Untuk keadaan ini dilakukan perawatan pengobatan sebagai berikut :

1. Mulailah pemberian cairan intravena (cairan yang diberikan melalui pembuluh darah), dengan dosis 100 ml/kg BB cairan ringer laktat, dibagi sebagai berikut:

2. Nilai kembali penderita tiap 1-2 jam bila dehidrasi belum tercapai percepat tetesan intravena.

3. Bila penderita bisa minum berikan juga oralit 5 ml/kg/jam, biasanya setelah 3-4 jam (bayi) atau 1-2 jam (anak). Setelah 6 jam (bayi) atau 3 jam (anak) nilai lagi penderita dan tentukan kembali derajat dehidrasi

2. Penggunaan obat untuk penderita diare

1. Antibiotik hanya diberikan untuk disentri dan tersangka kolera.

2. Anti parasit hanya dipakai bila:

a). Amubiasis, setalah terapi dengan antibiotik terhadap tinja berdarah karena shigella gagal atau tampak dalam tinja tropossoid E. Histolytika yang mengandung sel darah merah.

b). Giardiasis, bila diare telah 14 hari atau lebih dan kistatropozoid giardia tampak dalam tinja atau cairan lambung.

c). Anti diare dan antiemetik jangan digunakan. Tidak ada yang terbukti yang bermanfaat. Beberapa obat tersebut justru berbahaya. (A.H. Narkum, 1991).Pencegahan Diare

1. Penggunaan air bersih

Air sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan, baik untuk kehidupan manusia maupun kehidupan makhluk lain yang ada di muka bumi ini. Telah diketahui bahwa penyakit diare ditularkan melalui makanan dan minuman. Makanan dan minuman dapat merupakan sumber pencemaran apabila dicemari oleh tinja atau muntahan penderita (Entjang, 2000).Untuk mencegah terjadinya diare maka air bersih harus diambil dari sumber yang terlindungi atau tidak terkontaminasi. Sumber air bersih harus jauh dari kandang ternak dan kakus paling sedikit sepuluh meter dari sumber air. Air harus di tampung dalam wadah yang bersih dan pengambilan air dalam wadah dengan menggunakan gayung yang bersih dan untuk minum air harus dimasak. Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air bersih mempunyai resiko menderita diare lebih kecil bila dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air bersih (Andrianto, 1995).2. Mencuci tangan

Pemutusan rantai penularan penyakit seperti ini sangat berhubungan dengan penyediaan fasilitas yang dapat menghalangi pencemaran sumber perantara oleh tinja serta menghalangi masuknya sumber perantara sumber tersebut kedalam tubuh melalui mulut. Kebiasaan mencuci tangan pakai sabun adalah perilaku sangat penting bagi upaya mencegah diare. Kebiasaan mencuci tangan diterapkan setelah buang air besar, setelah menangani tinja anak, sebelum makan atau memberi makan anak dan sebelum menyiapkan makanan. Kejadian diare makanan terutama yang berhubungan langsung dengan makanan anak seperti botol susu, cara menyimpan makanan serta tempat keluarga membuang tinja anak (Howard dan Bartram, 2003).3. Penggunaan jamban

Banyak penyakit seperti diare, cacingan disebabkan oleh kuman yang terdapat pada kotoran manusia. kuman yang masuk ke dalam air atau makanan, tangan peralatan makan atau peralatan memasak, dapat tertelan sehingga menyebabkan penyakit. Cara yang paling penting untuk mencegah penyebaran kuman adalah dengan membuang kotoran manusia/tinja ke dalam jamban. Kotoran/ tinja binatang harus dibuang jauh dari rumah, jalanan dan tempat anak-anak bermain. Jamban harus sering dibersihkan, lubangnya harus selalu ditutup, dan tersedia sabun untuk cuci tangan, jamban juga perlu diberi ventilasi (UNICEF, 2002).

4. Pembuangan tinja

Pembuangan tinja merupakan tempat yang paling penting dari kesehatan lingkungan Pembuangan tinja yang tidak tepat dapatberpengaruh langsung terhadap insiden penyakit tertentu yang penularannya melalui tinja antara lain penyakit malaria (Haryoto, 1983).

5. Pemberian imunisasi campak Diare sering timbul menyertai penyakit campak, sehingga pemberian imunisasi campak dapat mencegah terjadinya diare. Anak harus di imunisasi terhadap penyakit campak secepat mungkin setelah usia 9 bulan. (Andrianto, 1995).KELAINAN DARAHPenyakit Hemofilia

Merupakan penyakit atau kelainan susunan darah yang bersifat herediter dan hanya terdapat pada laki-laki. Apabila penderita mendapatkan luka, maka darahnya tidak dapat membeku. Hal ini disebabkan oleh trombosit tidak dapat pecah kalau berhubungan dengan udara karena kekurangan zat antihemofilia dalam serum, sehingga darah akan terus mengalir. Hemofilia merupakan penyakit genetik yang diturunkan secara x-linked resesif berdasarkan hukum Mendel dari orang tua kepada anak-anaknya. Penyakit ini terjadi akibat kelainan sintesis salah satu faktor pembekuan, dimana pada hemofilia A terjadi kekurangan F VIII (Antihemophilic factor), sedangkan pada hemofilia B terjadi kekurangan F IX (Christmas factor). Hemofilia A mencakup 80-85% dari keseluruhan penderita hemophilia. Anak dengan hemofilia berat memiliki risiko mengalami berbagai macam tipe perdarahan baik spontan maupun karena trauma, dengan jenis perdarahan tersering adalah hemartrosis (70%-80%). Hemartrosis sering berulang dan pada akhirnya dapat menyebabkan nyeri serta kelumpuhan (artropati). Beberapa studi menunjukkan bahwa terapi prolaksis memberikan keuntungan dalam mencegah perdarahan dan kerusakan sendi. Kerugian terapi prolaksis adalah diperlukan konsentrat dalam jumlah besar dan biaya yang dibutuhkan meningkat. Oleh karena itu, pilihan regimen terapi yang digunakan harus disesuaikan dengan fasilitas kesehatan yang ada serta kondisi pasien dan keluarga.Penderita Trombositopenia Penderita trombositopenia memiliki jumlah trombosit lebih sedikit dari normal sehingga darah sukar membeku. Seperti yang telah diketahui bahwa trombosit penting artinya dalam pembekuan darah. Anamnesis dan pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan darah rutin/lengkap, danpenilaian ulang apusan darah tepi merupakan komponen penting dalam evaluasi awal pasien trombositopenia. Apakah pasien sedang menjalani terapi tertentu. Pada kelainan-kelainan bawaan yang jarang, berkurangnya produksi trombosit umumnya disebabkan oleh kelainan sumsum tulang yang juga mempengaruhi produksi sel darah merah dan/ atau sel darah putih. Mielodisplasia dapat bermanifestasi sebagai trombositopenia saja, oleh karena itu, sumsum tulang harus diperiksa pada pasien-pasien usia di atas 60 tahun dengan trombositopenia saja. Walaupun trombositopenia bawaan jarang dijumpai, diperlukan hasil hitung trombosit sebelumnya dan riwayat keluarga menyangkut trombositopenia. Riwayat minum obat pada pasien harus diketahui, termasuk obat tanpa resep dan jamu, karena obat-obatan adalah penyebab tersering trombositopenia. Pemeriksaan fi sik menunjukkan pembesaran limpa, penyakit hepar kronik, dan kelainan kelainan yang mendasari lainnya. Splenomegali ringan sampai sedang mungkin sulit ditemukan akibat bentuk tubuh dan/atau obesitas tetapi dapat dengan mudah diketahui dengan ultrasonografi abdomen. Jumlah trombosit 5000-10.000/L dibutuhkan untuk mempertahankan integritas vaskuler mikrosirkulasi. Apabila jumlah trombosit turun bermakna, petekie akan muncul lebih dahulu pada area-area bertekanan vena lebih tinggi, di pergelangan kaki dan kaki. Purpura basah, lepuhan darah di mukosa oral, dianggap tanda peningkatan risiko perdarahan yang mengancam nyawa pasien trombositopenia. Memar luas terlihat pada pasien dengan kelainan jumlah maupun fungsi trombosit.TINDAKAN PENCEGAHAN DI BIDANG KEDOKTERAN GIGI Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan bagi pasien kelainan perdarahan pada prinsipnya sama dengan pasien normal, yaitu menyikat gigi sehari dua kali dengan menggunakan pasta gigi dengan kandungan fluor 1 ppm untuk anak di bawah usia tujuh tahun dan 1,4 ppm untuk anak di atas usia tujuh tahun, sikat gigi yang digunakan sebaiknya memiliki texture medium, menggunakan alat-alat interdental seperti dental floss, tape, dan sikat inter dental, pemberian tambahan fluor melalui cairan, tablet, aplikasi topikal, obat kumur yang mengandung fluor, memakan makanan yang sehat untuk gigi, dan mengunjungi dokter gigi setiap tiga hingga enam bulan sekali. PERAWATAN PERIODONTAL Perawatan periodontal dapat menjadi salah satu pencetus terjadinya perdarahan. Pemberian periodontal dressing dengan atau tanpa topical antifibriolytic agents dapat merupakan cara dalam menghentikan perdarahan. Pemakaian obat kumur yang mengandung chlorhexidine gluconate dapat menjaga kebersihan mulut. Pemberian penerangan secara lengkap bagi pasien sebelum tindakan merupakan langkah awal yang baik, sehingga pasien akan mengerti kemungkinan komplikasi-komplikasi yang akan terjadi. PERAWATAN ORTODONTI Pemakaian alat ortodonti lepasan dan cekat dapat dilakukan, namun tetap diperhatikan kekuatan tekan yang akan mengenai gusi agar perdarahan tidak terjadi. Menjaga kebersihan gigi dan mulut merupakan persyaratan utama agar perdarahan spontan tidak terjadi. PENAMBALAN Pemakaian matrix dan wedges saat penambalan perlu diperhatikan dengan benar. Luka yang diakibatkan karena pemakaian yang salah dapat menjadi masalah saat melakukan penambalan. PERAWATAN ENDODONTIK Perawatan endodontik konvensional sangat dianjurkan bagi pasien dengan gangguan perdarahan, oleh karena pemakaian jarum endodontik yang melebihi apeks akan menyebabkan perdarahan terus-menerus sehingga sehingga akan mengendap di dalam saluran akar. ANESTESI DAN PENANGGULANGAN RASA SAKIT Rasa sakit pada gigi dapat ditanggulangi dengan memberikan parasetamol atau asetaminofen. Penggunaan aspirin harus dihindari oleh karena dapat menjadi menimbulkan penghambatan agregasi platelet. Apabila akan memberikan NSAID hendaknya melakukan konsultasi terlebih dahulu dengan ahli hematologi oleh karena golongan obat ini dapat menimbulkan penghambatan agregasi platelet. Anesthesi lokal dengan cara infiltrasi pada daerah bukal, intra papilary, dan intraligamen tidak memerlukan obat anti hemostatik namun anesthesi dengan cara blok mandibula dan infiltrasi lingual harus diberikan anti hemostatikKELAINAN HORMONALHypoparatiroidisme

Penurunan sekresi hormon paratiroid (PTH) dapat terjadi setelah pengambilan glandulaparatiroid, begitu juga destruksi autoimun terhadap glandula paratiroid. Sindrom-sindrom yang jarang, seperti Digeorge Syndrome dan Endocrine-candidiasis syndrome sering dihubungkan dengan keadaan ini. Hipocalcemia terjadi mengikuti turunnya hormon paratiroid. Chvostek sign, tanda khas hipokalsemia, dicirikan dengan berkedutnya bibi ratas bila nervus facialis diketuk tepat dibawah proccesus zygomaticus. Jika hipoparatiroid timbul di awal kehidupan, selama proses odontogenesis/pertumbuhan gigi, dapat terjadi hipoplasi email dan kegagalan erupsi gigi. Adanya candidiasis oral persisten pada pasien muda menunjukkan mulai terjadinya sindrom endocrine-candidiasis (Walls and Soames, 1993).

Hyperparatiroidisme

Manifestasi awal hiperparatiroid adalah hilangnya lamina dura di sekitar akar gigi dengan perubahan pola trabecular rahang yang muncul kemudian. Terdapat penurunan densitas trabecular dan kaburnya pola normal yang menghasilkan penampakan ground glass pada gambaran radiografiknya. Dengan menetapnya penyakit, lesi tulang lainnya muncul, seperti hiperparatiroid brown tumor . Nama ini berasal dari warna spesimen jaringan yang mencolok, biasanya merah tua-coklat akibat perdarahan dan tumpukan hemosiderin dalam tumor. Gambaran radiografik menunjukkan lesi ini unilokuler atau multiloculer radiolusenyang berbatas tegas yang biasanya merusak mandibula, clavicula, iga, dan pelvis. Lesi inisoliter, namun lebih sering multipel. Lesi yan bertahan lama dapat mengakibatkan ekspansicortical yang nyata. Secara histologik, lesi ini dicirikan sebagai proliferasi hebat jaringan granulasi vascular yang menjadi latar belakang timbulnya multi-nucleated osteoclast-typegiant cells. Hal ini identik dengan lesi lain yang dikenal dengan lesi giant cell sentral pada rahang (Walls and Soames, 1993).Hypercortisolisme

Hypercortisolisme atau Cushings syndrome, berasal dari meningkatnya glukokortikoid darahyang terus-menerus. Hal ini juga bisa berkaitan dengan terapi kortikosteroid lain atauproduksi berlebih endogen dari glandula adrenal. Horman adrenokorticotropik (ACTH) yangberlebih dari tumor pituitari juga menyebabkan hipercortisolisme dan penyakit Cushings. Penumpukan jaringan lemak di area wajah dikenal sebagai moon facies. Pasien juga mengalami facial hirsutism yang bervariasi. Fraktur patologis mandibula, maxilla atau tulang alveolar juga dapat terjadi karena trauma benturan ringan akibat osteoporosis. Penyembuhan fraktur, begitu juga penyembuhan tulang alveolar dan jaringan lunak setelah pencabutan gigi menjadi tertunda (Walls and Soames, 1993).

Hypoadrenocortisisme

Hypoadrenocortisisme berasal dari kurangnya produksi horman kortikosteroid adrenal karenaadanya kerusakan cortex adrenal, kondisi ini dikenal sebagai hypoadrenocortisisme primer atau Addisons disease. Hal ini biasanya berkaitan dengan autoimmune, juga dapatdisebabkan karena infeksi seperti tuberculosis, tumor metastase, amyloidosis, sarcoidosis atauhemochromatosis. Hypoadrenocortisisme sekunder berkembang karena fungsi glandula pituitary yang inadequate. Manifestasi orofacial termasuk A bronzing hyperpigmentasi pada kulit, terutama pada area yang paling banyak terpapar matahari (sun-exposed area). Hal ini disebabkan karena meningkatnya kadar beta-lipotropin atau ACTH, yang keduanya dapat menstimulasi melanosit. Perubahan kulit ini didahului oleh melanosis mukosa mulut.Pigmentasi kecoklatan difus atau bercak sering terjadi di mukosa buccal, namun dapat terjadi di dasar mulut, ventral lidah dan bagian lain mukosa mulut (Walls and Soames, 1993)DEMAM REMATIK

DEFINISI

Salah satu penyakit jantung didapat yang sering didapatkan adalah demam reumatik akut (DRA) dan penyakit jantung reumatik (PJR). Demam Rematik adalah peradangan yang terjadi pada persendian (artritis) dan jantung (karditis), dan banyak terjadi pada anak-anak dengan usia 5-15 Tahun. Demam Rematik Pada Anak disebabkan akibat infeksi streptokokus pada tenggorokan. Dan merupakan suatu reaksi peradangan terhadap infeksi, yang menyerang berbagai bagian tubuh seperti; persendian, jantung dan kulit.Gejala ini akan meningkat pada anak yang mengalami status gizi buruk, keadaan sosio ekonomi yang rendah dan lingkungan yang buruk. Perbandingan terjadinya demam rematik pada infeksi streptokokus ringan yang tidak diobati adalah 1 diantara 1.000, namun pada infeksi yang lebih berat akan meningkat menjadi 3 dibanding 100.

Mortalitas/Morbiditas

Keterlibatan jantung menjadi komplikasi terberat dari DRA yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Penderita PJR akan berisiko untuk kerusakan jantung akibat infeksi berulang dari DRA dan memerlukan pencegahan. Pada infeksi faringitis oleh streptokokus grup A 0.3% akan mengalami demam rematik, dan 39% penderita DRA akan mengalami pankarditis yang disertai dengan insufisiensi katub, gagal jantung, perikarditis bahkan kematian. PJR adalah komplikasi terberat dari DRA. DRA dan PJR diperkirakan berasal dari respon autoimun, tetapi patogenesa pastinya belum jelas.Di seluruh duniaDRAdiperkirakan terjadi pada 5-30 juta anak anak dan dewasa muda. 90.000 akan meninggal setiap tahunnya. Mortalitas penyakit ini 1-10%.

Patofisiologi

Patogenesis dari DRA tidak sepenuhnya diketahui.Walaupun sering streptokokus tidak ditemukan pada jaringan jantung penderita DRA, tetapi ada hubungan yang cukup kuat bahwa DRA adalah akibat respon imun yang berlebihan dari infeksi faring oleh streptokokus grup A. Ada 2 teori utama tentang terjadinya DRAakut

1. Merupakan efek dari toksin streptokokus grup A pada target organ seperti otot jantung, katub jantung, synovium dan otak.

2. Merupakan respon abnormal sistem imun tubuh pada keadaan molekular mimikri dimana respon sistem imun tubuh gagal membedakan antara kuman dengan jaringan tubuh sendiri

Gejala Demam Rematik Pada AnakGejalanya dari infeksi ini bervariasi, tergantung pada bagian tubuh mana yang mengalami peradangan. Dan biasanya timbul beberapa minggu setelah nyeri tenggorokan akibat streptokokus menghilang. Untuk gejala utama dari Demam rematik pada anak adalah terjadi:

Nyeri persendian (artritis)

Nyeri dada atau palpitasi (jantung berdebar) karena karditis

Kedutan diluar kesadaran (corea Sydenham)

Ruam kulit (eritema marginatum)

Benjolan kecil dibawah kulit (nodul).

Gejala awal yang paling sering ditemukan pada penderita Demam Rematik adalah nyeri persendian dan demam. Satu atau beberapa persendian secara tiba-tiba menjadi nyeri baik disentuh atau tidak. Persendian tersebut juga akan terlihat merah, apabila diraba terasa hangat dan membengkak bahkan mungkin mengandung cairan.

Demam Rematik sering terjadi pada sikut, pergelangan tangan, lutut dan pergelangan kaki. Tidak jarang artritis juga menyerang sendi bahu dan pinggul. Apabila rasa nyeri pada suatu persendian menghilang, maka akan timbul nyeri pada persendian yang lain, terutama pada anak yang aktif dan belum mendapatkan obat anti peradangan. Selain Arthritis, Demam akan timbul secara tiba-tiba dan bersamaan dan bersifat turun-naik. Arthritis dan demam tersebut biasanya berlangsung selama 2 minggu dan jarang terjadi lebih dari 1 bulan.

Diagnosa Demam RematikDiagnosis awal oleh dokter akan mengacu berdasarkan gejala-gejala awal yang ditimbulkan. Pada pemeriksaan fisik dengan bantuan stetoskop biasanya akan terdengar bunyi jantung tambahan. Setelah itu pemeriksaan akan dilakukan dengan Tes darah, yang meliputi; Jumlah sel darah putih yang bertambah, Laju endap darah meningkat dan Antibodi terhadap streptokokus.

Diagnosis

Diagnosis DRA ditegakkan berdasarkan kriteria jones. Untuk Diagnosa diperlukan : 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor dan bukti infeksi oleh sterptokokus grup A. Kecuali bila ada chorea atau karditis maka bukti infeksi sebelumnya tidak diperlukan.

Kriteria Jones telah mengalami beberapa revisi untuk meningkatkan nilai spesifitasnya.Untuk negara negara resiko tinggi demam rematik. World Health Organization (WHO) telah membuat kriteria yang lebih menitikberatkan pada sensitifitas dibandingkan spesifitas

Kriteria WHO Tahun 2002-2003 untuk Diagnosis DRA dan PJR (Berdasarkan Revisi Kriteria Jones)

Pengobatan Demam RematikMenurut sumber lain, disebutkan bahwa Terapi pada dema rematik terbagi atas 4 bagian :

1. Terapi untuk streptokokus grup A, walaupun tidak meningkatkan prognosis dalam 1 tahun tetapi bisa untuk mencegah penyebaran strain rematogenik

2. Terapi umum untuk episode akut :

Obat anti inflamasi digunakan untuk mengontrol artritis, demam dan gejala akut lainnya. Salisilat adalah obat yang direkomendasikan. Steroid hanya digunakan apabila tidak berhasil dengan salisilat.

Tirah baring terutama pada pasien dengan karditis

Chorea diatasi dengan asam valproat dan bila diperlukan diberi zat sedasi.

3. Gagal jantung disebabkan karditis diterapi sesuai terapi gagal jantung, dengan pengawasan terhadap kemungkinan timbulnya aritmia

4. Profilaksis dengan penisilin, untuk penderita yang alergi penicilin bisa diberi eritromisin atau sulfadiazineLamanya terapi

Bila tidak ada karditis : Diberikan minimal 5 tahun atau sampai usia 18 tahun (mana yang lebih lama)

Bila karditis ringan (sudah sembuh) : Diberikan minimal 10 tahun atau sampai usia 25 tahun (mana yang lebih lama)

Pada karditis berat atau perbaikan katub dengan operasi : Diberikan seumur hidupPencegahan Primer

Tujuan dari pencegahan primer adalah eradikasi streptokokus grup A, penderita dengan faringitis bakterial dan hasil test positif untuk streptokokus grup A harus diterapi sedini mungkin pada fase supuratif. Obat yang diberikan adalah penicillin oral diberikan selama 10 hari, atau benzathine penicilin untk intravena.

Pencegahan sekunderPencegahan sekunder diberikan segera setelah pencegahan primer. Metode terbaik untuk mencegah infeksi berulang adalah benzatin penicilin (iv) yang diberikan terus menerus setiap 4 minggu, dan pada daerah endemik disarankan setiap 3 minggu.

Pemberian parenteral lebih disukai karena kepatuhan lebih baik dibandingkan pemberian oral 2x/hari, dan pemberian oral dianjurkan untuk pasien resiko rendah untuk infeksi berulang.

Pencegahan sekunder pada penderita yang sudah diketahui demam rematik

PENYAKIT NEFRITIS

Definisi

Nefritis adalah peradangan pada ginjal yang terjadi karena infeksi bakteri penyakit pada nefron atau kerusakan pada bagian glomerulus ginjal akibat infeksi kuman umumnya bakteri streptococcus. Etiologinya adalah karena Bakteri ini masuk melalui saluran pernafasan kemudian dibawa darah ke ginjal. Karena infeksi ini nefron mengalami peradangan sehingga protein dan sel sel darah yang masuk bersama urine primer tidak dapat disaring dan keluar bersama urine. Selain itu, nefritis dapat menyebabkan uremia, yaitu ureum yang masuk dalam darah melebihi kadar normal.Penyebab penyakit nefritisKarena suatu reaksi kekebalan yang keliru dan melukai ginjal. Suatu reaksi kekebalan yang abnormal bisa terjadi melalui 2 cara:

1. Suatu antibodi dapat menyerang ginjalnya sendiri atau suatu antigen (zat yang merangsang reaksi kekebalan) menempel pada ginjal\

2. Antigen dan antibodi bergabung di bagian tubuh yang lain dan kemudian menempel pada sel-sel di dalam ginjal.

Gejala yang terjadi pada penyakit nefritisHematuria (darah di dalam air kemih), proteinuria (protein di dalam air kemih) dan kerusakan fungsi hati, yang tergantung kepada jenis, lokasi dan beratnya reaksi kekebalan.

Penatalaksanaanpenyakit nefritisCuci darah dan cangkok ginjal selain itu caramengobati penyakit nefritisbisa dengan obat-obatan seperti: actacef,arcamox, bactesyn, ceclor kapsul, celocid, clabat 500 mg, clavamox 500, corsatet 250, corvox, cravit, cravox, difloxin dsb. Pencabutan gigi yang meliputi beberapa gigi pada penderita nefritis dapat berakibat keadaan nefritis semakin buruk. Sebaiknya penderita nefritis berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter ahli sebelum melakukan pencabutan gigi. Daftar PustakaAndrianto, P. 1991. Penatalaksanaan dan Pencegahan Diare Akut. Jakarta : EGC

Baskar. 1993. Synopsis of oral Pathologi. 4 th Edition. CV Mosby: Saint LouisCameron AC, Widmer RP. Handbook of pediatric dentistry. 211d ed. Sydney: Cv. Mosby. 2003: 234-84.

Cameron AC, Widmer RP. Handbook of pediatric dentistry. 211d ed. Sydney: Cv. Mosby. 2003: 234-84.

Cherry J.D. 2004. Measles Virus. In: Feigin, Cherry, Demmler, Kaplan (eds) Textbook of Pediatrics Infectious Disease. 5 th edition. Vol 3. Philadelphia. Saunders.

Depkes RI. 2001. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta

Endjang, Endang. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: Citra Aditya BaktiFinn, S., B. 2003. Clinical Pedodontic. 5 Ed. Philadelphia : W. B Saunders Co.

Lidia. 2014. Varisela. Departemen Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako Rumah Sakit Umum Daerah Undata: Palu

Little James W, Falace Donald A, Miler Craig S, Rhodus Nelson L. Dental Management of Medically Compromised Patient. 511d. Mosby, St.Louis, Boston, Sydney, Tokyo, 1997, p103, 146-9

Little James W, Falace Donald A, Miler Craig S, Rhodus Nelson L. Dental Management of Medically Compromised Patient. 511d. Mosby, St.Louis, Boston, Sydney, Tokyo, 1997, p103, 146-9

Moller Palmi. Treatment Of The Handicapped Child Dalam; Finn Sidney B, Clinical Pedodontics Edisi ke 4, th 2003, Philadelphia,WB. Saunders Company, h 581-2.Moller Palmi. Treatment Of The Handicapped Child Dalam; Finn Sidney B, Clinical Pedodontics Edisi ke 4, th 2003, Philadelphia,WB. Saunders Company, h 581-2.Phillips C.S. 1983. Measles. In: Behrman R.E., Vaughan V.C. (eds) Nelson Textbook of Pediatrics. 12 th edition. Japan. Igaku-Shoin/Saunders.

Rampengan, I.R. Laurentz. 1997. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Soedarmo, dkk. (ed.) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi & Penyakit Tropis. Edisi I. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. Hal. 113

Soegeng Soegijanto. 2002. Campak.. dalam: Sumarmo S. Poorwo Soedarmo, dkk. (ed.) Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi & Penyakit Tropis. Edisi I. Jakarta. Balai Penerbit FKUI.

Soegijanto. 2001. Vaksinasi Campak. Dalam: I.G.N. Ranuh, dkk. (ed) Buku Imunisasi di Indonesia. Jakarta. Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia.Syarif, WS. 2011. Perawatan Dental pada Anak dengan Kelainan Jantung. Bandung: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran.

Syarif, WS. 2011. Perawatan Dental pada Anak dengan Kelainan Jantung. Bandung: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran.

Walls AWG, Soames JV. Dental manifestations of autoimmune hypoparathyroidism. OralSurg Oral Med Oral Path 1993; 75:445-452. (Walls and Soames, 1993)Welbury RP. Paediatric dentistry. 2nd ed. New York: Oxford University Press. 2001: 36990.

Welbury RP. Paediatric dentistry. 2nd ed. New York: Oxford University Press. 2001: 36990.

Welbury, R., P. 2001. Paediatric dentistry. 2 Ed. New York : Oxford University Press. P : 369-90, 395.