tugas paper

Upload: riyan-saputra

Post on 31-Oct-2015

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Paparan debu di lingkungan kerja dapat menimbulkan berbagai penyakit paru kerja yang mengakibatkan gangguan fungsi paru dan kecacatan. Meskipun angka kejadiannya tampak lebih kecil dibandingkan dengan penyakit-penyakit utama penyebab cacat yang lain, terdapat bukti bahwa penyakit ini mengenai cukup banyak orang, khususnya di negara-negara yang sedang giat mengembangkan industri.Penilain dampak paparan debu pada manusia perlu dipertimbangkan seperti sumber paparan/ jenis pabrik, lamanya paparan, paparan dari sumber yang lain, pola aktivitas sehari-hari serta penilaian terhadap faktor-faktor penyerta yang potensial berpengaruh misalnya umur, gender, etnis, kebiasaan merokok dan faktor alergen.Pabrik tekstil yang memakai kapas sebagai bahan dasar memberi risiko paparan debu kapas pada saluran nafas pekerja. Salah satu bahaya kesehatan yang ditimbulkan oleh karena penghisapan debu kapas, hemp atau flax sebagai bahan dasar tekstil adalah Bisinosis.

1.2 Rumusan Masalah2. Apakah yang dimaksud dengan Bisinosis?3. Klasifikasi Bisinosis?4. Apa penyebab terjadinya Bisinosis?5. Bagaimana patogenesis terjadinya Bisinosis?6. Apa saja gejala klinis Bisinosis?7. Bagaimana cara mendiagnosis Bisinosis?8. Bagaimana penatalaksanaan pasien Bisinosis?9. Bagaimana pencegahan Bisinosis ?

1.3 Tujuan PenulisanTujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang Bisinosis yang meliputi definisi, jenis, etiologi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis, penatalaksanaan, dan pencegahan.

1.4 Manfaat Penulisan Makalah1. Menambah wawasan ilmu kedokteran, khususnya bisinosis2. Sebagai bahan pertimbangan dan pembelajaran khususnya bisinosis3. Sebagai proses pembelajaran bagi dokter muda yang sedang mengikuti kepanitraan klinik senior dibagian ilmu paru Rumah Sakit Haji Medan.

BAB IIPEMBAHASAN

2.1 DefinisiKata bisinosis berasal dari perkataan Yunani byssos yang berarti fine flax atau fine linnen yang dihasilkan tanaman flax. Penyakit Bisinosis adalah penyakit pneumoconiosis yang disebabkan oleh pencemaran debu napas atau serat kapas di udara yang kemudian terhisap ke dalam paru-paru. Debu kapas atau serat kapas ini banyak dijumpai pada pabrik pemintalan kapas, pabrik tekstil, perusahaan dan pergudangan kapas serta pabrik atau tempat kerja lain yang menggunakan kapas atau tekstil; seperti tempat pembuatan kasur, pembuatan jok kursi dan lain sebagainya.(1) Dalam literature lain juga dikatakan Bisinosis adalah penyakit paru akibat kerja dengan karakterisasi penyakit saluran pernafasan akut atau kronis yang dijumpai pada pekerja pengolahan kapas, rami halus, dan rami.(2). Umumnya penyakit paru lingkungan berlangsung kronis menetap kadang-kadang sulit diketahui kapan mulainya, terpapar oleh polutan jenis apa atau saat pekerja bekerja di bagian mana dari tempat kerjanya mendapatkan paparan. Lebih-lebih kalau pekerja juga seorang perokok. Pasien umumnya mengeluh sesak napas, batuk-batuk, mengi, batuk mengeluarkan dahak. Pasien penyakit paru kerja umumnya mengeluh sesak nafas yang timbul makin berat apabila si pasien berada di tempat kerja dan berkurang lagi apabila keluar dari tempat tersebut.

2.2 PrevalensiPrevalensi asma akibat kerja berbeda antara satu bangsa dengan yang lain dan bergantung pada lingkungan pekerjaan. Menurut perkiraan, 2% dari semua asma adalah asma akibat kerja. Di Jepang diduga bahwa 15% dari semua asma pada pria disebabkan akibat kerja dan di Amerika 4% dari populasi, yaitu sekitar 9 juta orang menderita asma akibat kerja. Schilling pernah melaporkan adanya bisinosis yaitu suatu jenis asma akibat debu kapas pada sekitar 20-80% karyawan pemintalan, sedang di Mesir hal yang mama pernah dilaporkan pada 90% karyawan terpajan. Di Indonesia, Kemenkes melaporkan bisinosis pada 30% karyawan pemintalan dan 19,25% karyawan pertenunan. Kemajuan industri telah menimbulkan kecenderungan kenaikan prevalensi asma di banyak negara. Di Jepang prevalensi asma pada anak di kota industri lebih tinggi dibanding dengan kota yang bukan industri.(4)

2.3 EpidemiologiPekerja-pekerja yang bekerja di lingkungan pabrik tekstil, yang mengolah kapas sejak penguraian kapas, pembersihan, pemintalan dan penenunan, semuanya termasuk mempunyai risiko timbulnya byssinosis. Diketahui bahwa di masing-masing bagian tersebut kadar/konsentrasi debu kapas tidak sama, maka besarnya risiko juga berbeda-beda. Studi klinis sebelumnya melaporkan bahwa angka kejadian bronkitis kronis pada para pekerja pabrik tekstil sekitar 4,5-26%. Pekerja yang bekerja pada bagian pembersihan kapas untuk dipintal, pembersihan mesin-mesin tersebut mempunyai risiko paling tinggi terjadinya bissinosis.(3)

2.4 EtiologiPenyebab yang sebenarnya tidak diketahui tapi secara umum diterima bahwa penyakit ini disebabkan pajanan terhadap kapas, rami halus, dan rami. Pekerja kapas yang paling berisiko adalah mereka yang berada di kamar peniup dan penyisir tempat pajanan terhadap debu kapas mentah paling tinggi. Pekerja yang bertanggung jawab untuk membersihkan mesin peniup, misalnya pembersih dan penggiling memiliki risiko yang paling tinggi.(2)

2.5 Anatomi Dan Fisiologi Sistem PernafasanSistem pernafasan merupakan tempat keluar masuknya udara dari dan ke paruparu yaitu tempat pertukaran O2 dan CO2 udara dan darah. Fungsi dari sistem pernafasan secara langsung tergantung dari baik tidaknya fungsi dari sistem sirkulasi.

2.5.1 AnatomiPada Gambar 1 dapat dilihat bahwa cabang utama bronkus kanan dan kiri akanbercabang menjadi bronkus lobaris dan bronkus segmentalis. Percabangan iniberjalan terus-menerus menjadi bronkus yang ukurannya semakin kecil sampai akhirnya menjadi bronkiolus terminalis, yaitu bronkiolus yang tidak mengandung alveoli. Bronkiolus terminalis mempunyai diameter kurang lebih 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh kartilago tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran udara sampai pada tingkat ini disebut saluran penghantar udara karena fungsinya menghantarkan udara ke tempat pertukaran gas terjadi ( Wilson LM, 2006). Setelah bronkiolus terdapat asinus yang merupakan unit fungsional dari paru. Asinus terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan sakkus alveolaris terminalis. Asinus atau kadang disebut lobulus primer memiliki diameter 0,5 sampai 1 cm. Terdapat sekitar 23 percabangan mulai dari trakea sampai sakkus alveolaris terminalis. Alveolus dipisahkan dari alveolus di dekatnya oleh septum. Lubang pada dinding ini dinamakan pori-pori Kohn yang memungkinkan komunikasi antara sakkus. Alveolus hanya selapis sel saja, namun jika seluruh alveolus yang berjumlah sekitar 300 juta itu dibentangkan akan seluas satu lapangan tenis ( Wilson LM, 2006).

Gambar 1. Anatomi saluran napas.

Alveolus pada hakikatnya merupakan gelembung yang dikelilingi oleh kapiler-kapiler darah. Batas antara cairan dengan gas akan membentuk suatu tegangan permukaan yang cenderung mencegah ekspansi pada saat inspirasi dan cenderung kolaps saat ekspirasi. Di sinilah letak peranan surfaktan sebagai lipoprotein yang mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi resistensi saat inspirasi sekaligus mencegah kolaps saat ekspirasi. Pembentukan surfaktan oleh sel pembatas alveolus dipengaruhi oleh kematangan sel-sel alveolus, enzim biosintetik utamanya alfa anti tripsin, kecepatan regenerasi, ventilasi yang adekuat serta perfusi ke dinding alveolus. Defisiensi surfaktan, enzim biosintesis serta mekanisme inflamasi yang berjung pada pelepasan produk yang mempengaruhi elastisitas paru menjadi dasar patogenesis emphysema, dan penyakit lainnya (Wilson LM, 2006) Bronkus merupakan percabangan dari trachea. Terdiri dari bronkus dextra dan bronchus sinistra:Bronkus dextra, mempunyai bentuk yang lebih besar, lebih pendek dan letaknya lebih vertikal daripada bronkus sinistra. Hal ini disebabkan oleh desakan dari arcus aortae pada ujung caudal trachea ke arah kanan, sehingga benda-benda asing mudah masuk ke dalam bronkus dextra. Panjangnya kira-kira 2,5 cm dan masuk kedalam hilus pulmonis setinggi vertebra thoracalis VI. Vena Azygos melengkung di sebelah cranialnya. Ateria pulmonalis pada mulanya berada di sebelah inferior, kemudian berada di sebelah ventralnya. Membentuk tiga cabang (bronkus sekunder), masing-masing menuju ke lobus superior, lobus medius, dan lobus inferior. Bronkus sekunder yang menuju ke ke lobus superior letaknya di sebelah cranial a.pulmonalis dan disebut bronkusepar ter ialis. Cabang bronkus yang menuju ke lobus medius dan lobus inferior berada di sebelah caudal a.pulmonalis disebut bronkushyparterialis. Selanjutnya bronkus sekunder tersebut mempercabangkan bronkus tertier yang menuju ke segmen pulmo (Luhulima JW, 2004).Bronkus sinistra, mempunyai diameter yang lebih kecil, tetapi bentuknya lebih panjang daripada bronkus dextra. Berada di sebelah caudal arcus aortae, menyilang di sebelah ventral oesophagus, ductus thoracicus, dan aorta thoracalis. Pada mulanya berada di sebelah superior arteri pulmonalis, lalu di sebelah dorsalnya dan akhirnya berada di sebelah inferiornya sebelum bronkus bercabang menuju ke lobus superior dan lobus inferior, disebut letak bronkus hyparterialis. Pada tepi lateral batas trachea dan bronkus terdapat lymphonodus tracheobronchialis superior dan pada bifurcatio trachea (di sebelah caudal) terdapat lymphonodus tracheobronchialis inferior. Bronkus memperoleh vascularisasi dari a.thyroidea inferior. Innervasinya berasal dari N.vagus, n. Recurrens, dan truncus sympathicus (Luhulima JW, 2004).

2.5.2 Fisiologi

2.5.2.1 Struktur dan fungsi saluran napas normal

2.5.2.1.1 Sel epitel permukaanSel epitel permukaan pada saluran intrapulmoner pada dasarnya dibentuk oleh dua tipe sel, yaitu sel silia dan sel sekretori. Sel sekretori dibagi menjadi subtipe berdasarkan penampakan mikroskopik (misalnya Sel clara, goblet dan serous ). Selain musin, sel sekretori juga melepaskan beberapa molekul antikmikroba (sebagai contaoh defensin, lisosim, dan IgA), molekul immunomodulator (sekretoglobin dan sitokin) dan molekul pelindung (protein trefoil dan heregulin), semuanya ini tergabung dalam mukus.

2.5.2.1.2 Kelenjar submukosaPada saluran napas besar (diameter lumen >2mm), kelenjar submukosa berkontribusi pada sekresi musin (Gambar 2). Kelenjar dihubungan dengan lumen saluran napas oleh duktus silia superfisial yang mendorong sekresi keluar dan duktus kolektus nonsilia profundus. Kelenjar sumukosa berlokasi diantara otot polos dan kartilago. Sel mukous membentuk 60% volume kelenjar. Sel serous yang berlokasi didistal, membentuk 40% volume kelenjar, mensekresi proyeoglikan dan protein antimikroba. Pada keadaan patologi, volume kenjar submukosa dapat meningkat melebihi volume normal.

2.5.2.1.3 Lapisan mukosa (lapisan lendir)Lendir melapisi seluruh saluran napas, dimana kandungan terbanyaknya adalah cairan, dengan kerakteristik fisik solid. Kandungan normal mukus adalah 97% air dan 3 % solid (musin, protein nonmusin, garam, lemak dan sel debris).

Gambar 2. Mukus klirens pada saluran napas yang normal.

2.5.2.2 Mekanisme klirens saluran napasPertama, mukus didorong ke proksimal saluran napas oleh gerakan silia, yang akan membersihkan partikel-partikel inhalasi, patogen dan menghilangkan bahan-bahan kimia yang mungkin dapat merusak paru. Musin polimerik secara terus-menerus disintesis dan disekresikan untuk melapisi lapisan mukosa. Kecepatan normal silia 12 sampai 15x/detik, menghasilkan kecepatan 1mm/menit untuk membersihkan lapisan mukosa. Kecepatan mucociliary clearance meningkat dalam keadaan hidrasi tinggi. Dan kecepatan gerakan silia meningkat oleh aktivitas purinergik, adrenergik, kolinergik dan reseptor agonis adenosin, serta bahan iritan kimia. Mekanisme kedua, adalah dengan mengeluarkan mukus dengan refleks batuk. Ini mungkin dapat membantu menjelaskan mengapa penyakit paru yang disebabkan oleh kerusakan fungsi silia tidak terlalu berat dibandingkan dengan yang disebabkan dehidrasi, yang menghalangi kedua mekanisme klirens saluran napas. Meskipun batuk berkontribusi dalam membersikan mukus pada penyakit dengan peningkatan produksi mukus atau gangguan fungsi silia, ini dapat menyulitkan gejala (Fahy JV, Dickey BF, 2010).

2.6PatofisiologiPada saat debu inorganik dan bahan pertikel terinhalasi akan melekat pada permukaan mukosa saluran napas (bronkiolus respira-torius, duktus alveolaris dan alveolus).Pada awalnya paru memberikan respons berupa inflamasi dan fagositosis terhadap debu tadi oleh makrofag alveolus. Makrofag akan memfagositosis debu dan membawa partikel debu ke bronkiolus terminalis. Di situ dengan gerak mukosiliar debu diusahakan keluar dari paru.. Bila paparan debu banyak, di mana gerak mukosiliar sudah tidak mampu bekerja, maka debu/partikel tersebut akan tertumpuk di permukaan mukosa saluran napas, akibatnya partikel debu akan tersusun membentuk anyaman kolagen dan fibrin dan akibatnya paru (saluran napas) menjadi kaku sehingga compliance paru menurun. Penyakit paru akibat tertimbunnya debu/partikel di paru atau saluran napas disebut pneumoconiosis. Sesudah terjadi pneumokoniosis, misalnya paparan debu sudah berhenti, maka fibrosis paru yang telah terjadi tidak dapat hilang.(2)Kelainan paru pada pasien byssinosis berupa bronkitis kronis, yang kadang-kadang disertai wheezing, diduga erat hubungannya dengan adanya endotoksin (suatu lipopolisakarida) yang dikeluarkan oleh bakteri yang mengkontaminasi partikel debu dan kapas. Endotoksin inilah yang diduga sebagai penyebab timbulnya kelainan paru tadi. Para ahli telah yakin bahwa endotoksin ini adalah sebagai penyebabnya dikuatkan oleh percobaan-percobaan simulasi yang telah dikerjakan pada pekerja atau hewan coba di laboratorium (3)

2.7 KlasifikasiMenurut WHO, derajat bisinosis dibagi 2, yaitu: Derajat B1: rasa tertekan di dada dan atau sesak napas pada hari pertama kembali bekerja Derajat B2: rasa tertekan di dada dan atau sesak napas pada hari pertama kembali bekerja dan pada hari-hari bekerja selanjutnya.Schilling pada tahun 1955 membagi bisinosis secara klinis yang ditandai dengan huruf C dalam derajat Cl dan C2. Kemudian Schilling dan Watford pada tahun 1963 menambahkan derajat C1/2 dan C3, sehingga derajat bisinosis dewasa ini dibagi dalam empat derajat sebagai berikut: Derajat C1/2 : dada rasa tertekan dan atau sesak napas yang kadang-kadang timbul pada hari Senin. Derajat Cl : dada rasa tertekan dan atau sesak napas pada setiap hari Senin. Derajat C2 : dada rasa tertekan dan atau sesak napas pada hari Senin dan hari kerja lainnya. Derajat C3 : derajat C2 disertai sesak napas yang menetap. (5)Tingkatan derajat bisinosis digolongkan menurut tingkat penyakit sebagai berikut: Tingkat Gejala a. Tingkat 0 : Tidak ada gejala b. Tingkat : Kadang-kadang berat di dada (chest tightness) dan pendek nafas (shortness of breath) pada hari Senin atau rangsangan pada alat-alat pernafasan pada hari-hari Senin (hari pertama bekerja sesudah tidak bekerja 2 hari)c. Tingkat 1 : Berat di dada atau pendek nafas pada hari-hari Senin hampir pada setiap minggud. Tingkat 2 : Berat di dada atau pendek nafas pada hari-hari Senin dan hari-hari lainnya pada setiap minggue. Tingkat 3 : Bisinosis dengan cacat paru. (8)

2.8 Gejala KlinikPenyakit ini memiliki ciri napas pendek dan dada sesak. Gejala paling nyata dialami pada hari pertama hari kerja seminggu ("Sesak pada senin pagi"). Mungkin disertai batuk yang lama-kelamaan menjadi basah berdahak. Pengukuran fungsi paru (sebelum dan sesudah giliran tugas) dapat menghasilkan penurunan FEV1. Pada sebagian besar individu, temuan ini akan berkurang atau hilang pada hari kedua bekerja. Dengan pajanan yang berkepanjangan, baik gejala maupun perubahan fungsi akan menjadi lebih berat dan mungkin akan menetap selama seminggu kerja. Pada pekerja yang sudah lama terpajan selama bertahun-tahun, adanya riwayat dispnoe saat melakukan kegiatan adalah temuan yang biasa. Tidak ditemukan tanda yang khas atau ciri tertentu pada pemeriksaan fisik. Efek kronis memiliki ciri obstruksi jalan napas dan secara klinis tidak bisa dibedakan dengan bronkitis kronis dan emfisema. (2)Masa inkubasi penyakit bisinosis cukup lama, yaitu sekitar 5 tahun. Tanda-tanda awal penyakit bisinosis ini berupa sesak napas, terasa berat pada dada, terutama pada hari Senin (yaitu hari awal kerja pada setiap minggu). Secara psikis setiap hari Senin bekerja yang menderita penyakit bisinosis merasakan beban berat pada dada serta sesak nafas. Reaksi alergi akibat adanya kapas yang masuk ke dalam saluran pernapasan juga merupakan gejala awal bisinosis. Pada bisinosis yang sudah lanjut atau berat, penyakit tersebut biasanya juga diikuti dengan penyakit bronchitis kronis dan mungkin juga disertai dengan emphysema.(1)

2.9 DiagnosisDiagnosis bisinosis ditegakkan atas dasar gejala subjektif. Dalam bentuk dini bisinosis berupa dada rasa tertekan dan atau sesak napas pada hari kerja pertama sesudah hari libur akhir minggu (hari Senin). Gejala khas yang hanya ditemukan pada bisinosis itu disebut Monday feeling, Monday fever, Monday morning fever, Monday morning chest tightness atau Monday morning asthma yang dapat menghilang bila karyawan meninggalkan lingkungan tempat kerjanya. Keluhan bisinosis tersebut diduga disebabkan oleh karena obstruksi saluran napas. Obstruksi yang terjadi setelah karyawan terpapar pada hari Senin disebut obstruksi akut. Bila karyawan tidak disingkirkan dari lingkungan kerjanya yang berdebu, obstruksi akut yang mula-mula reversibel akan menjadi menetap. Obstruksi demikian disebut obstruksi kronik. (5)Pendekatan diagnosis pada pasien dengan penyakit paru lingkungan maupun penyakit paru kerja memerlukan aktivitas proses diagnosis yang lazim, yaitu meliputi anamnesis secara sistematik, lengkap dan terarah, pemeriksaan fisis dan beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan.

2.9.1 AnamnesisDalam penegakan diagnosis penyakit paru lingkungan atau penyakit paru kerja, maka anamnesis tentang riwayat pekerjaan atau lingkungan merupakan suatu alat yang amat berguna dalam menentukan apakah suatu problem respirasi ada hubungannya dengan suatu paparan debu tertentu. Pertanyaan pada anamnesis hams sistematis, lengkap (detil), kronologis.Anamnesis rneliputi pertanyaan tentang : Riwayat penyakit lain dan kesehatan umum Adanya keluhan : sesak napas, batuk batuk, batuk berdahak, napas berbunyi (mengi), kesulitan napas. Adanya riwayat merokok, jenis rokok, jumlah rokok yang dikonsumsi rerata tiap hari. Problem pernapasan sebelumnya, obat-obatan yang dikonsumsi. Bagi pekerja apakah ada hari-hari tidak dapat masuk kerja dan apa alasannya. Kapan keluhan-keluhan di atas mulai dan apakah ada hubungan dengan pekerjaan. Riwayat penyakit dahulu apakah sebelumnya menderita : asma, atopi, penyakit . kardiorespirasi. Paparan bahan-bahan yang pemah diterimanya : kebisingan, getaran, radiasi, zat-zat kimiawi, asbes dan sebagainya.

Riwayat pekerjaan Daftar pekerjaan yang pernah dialami sejak awal (kronologis). Aktivitas kerja dan material yang digunakan tiap posisi (bagian tugas). Lama dan intensitas paparan bahan pada tiap posisi kerja. Alat proteksi kerja yang digunakan (respirator, sarong tangan, baju pelindung kerja dan sebagainya). Kecukupan ventilasi ruang kerja. Selain seorang pekerja apakah pekerja-pekerja lain juga terkena paparan dan berefek pada kesehatannya. Tugas tambahan lain yang dialami. Paparan lain (yang dialami) di luar tempat kerja Penyakit-penyakit yang pemah diderita (kronologis) yang ada hubungannya dengan paparan bahan di tempat kerja atau lingkungan.

2.9.2 Pemeriksaan FisisPada pemeriksaan fisik biasanya dalam batas normal :Kepala:Dalam batas normalLeher:DalambatasnormalThorax:Bentukdangeraksimetris / asimetris BJ 1-2 murni regular Sonor, suara vesikuler normal , ronkhi (-) / (+), whezing (-) / (+), dispnoe (-) / (+)Abdomen: datar lembut Hepar lien tidak teraba, BU (+) normal

2.9.3 Pemeriksaan PenunjangFoto toraks.

Pada pekerja dengan gejala yang akut, di dapatkan foto thorak yang normal. Pada pasien dengan gejala yang akut, gambaran foto thorak nya dapat menyerupai dengan pasien yang emfisema dan bronkitis kronik. Computed Tomography (CT) Scanning. Penggunaan tes diagnostik ini sekarang meningakt utamanya untuk deteksi asbestosis. Hal ini karena hasil deteksi adanya asbestosis dengna foto toraks konvensional kurang sensitif, kesalahan sekitar 10-15%. Lebih tepat lagi hasilnya apabila menggunakan High-resolution computed tomographic (HRCT) Scanning, dapat lebih baik dalam mengevaluasi kelainan pada pleura maupun parenkim paru.Tes Fungsi Paru. Tes fungsi paru saat istirahat (spirometri, volume paru, kapasitas difusi), merupakan tes diagnostik yang penting untuk menentukan status fungsi paru pasien dengan penyakit paru kerja, terlebih pada proses interstitial. Meskipun hasil tes fungsi paru tidak spesifik untuk beberapa penyakit paru kerja, tetapi amat penting untuk evaluasi sesak napas, membedakan adanya kelainan paru tipe restriktif atau obstruktif dan mengetahui tingkat gangguan fungsi paru. Selain itu tes fungsi paru dapat dipakai untuk diagnosis adanya kelainan obstruksi saluran napas (adanya hiperreaktif bronkus dengan tes bronkodilator atau tes provokasi memakai paparan bahan-bahan yang diambil dari tempat kerja atau lingkungannya). Tes provokasi untuk menentukan diagnosa asma kerja mengunakan paparan bahan yang dicurigai sebagai pemicu serangan merupakan baku emas diagnosis asma kerja. Uji latih jantung paru dapat dilakukan untuk menilai gangguan fungsi dan progresivitas penyakit pada pasien dengan penyakit paru kerja tertentu. Selain itu juga dapat dipakai untuk menentukan penyebab sesak napas. Apakah dari paru, jantung atau penyebab lainnya.Bronkoskopi. Yang dilakukan adalah bronkoskopi dengan transbronkial biopsi atau lavage bronkoalveolar dapat membantu dalam diagnosis penyakit paru kerja. Biopsi transbronkial untuk mengambil spesimen untuk diagnosis pneumonitis atau fibrosis interstitial, proses granulomatosa interstitial (sarkoidosis, beriliosis, pneumonitis hipersensitif, proses keganasan dan sebagainya). Bahan dari lavase bronko-alveolar dapat dipakai untuk mendeteksi (jenis) partikel debu penyebab penyakit paru kerja. (4)

2.10 PenangananBisinosis ringan atau dini kemungkinan masih reversibel sedangkan penyakit yang berat dan kronis tidak. Pasien dengan gejala khas clan menunjukkan penurunan FEV1 10% atau lebih harus dipindahkan ke daerah yang tidak terpajan. Pasien dengan penyumbatan jalan napas sedang atau berat, misalnya FEV1 lebih rendah dari 60% dari nilai yang diperkirakan, juga harus baik tidak terpajanlebih lanjut. (2)Pengobatan terpenting bagi pasien bisinosis adalah menyingkirkannya dari lingkungan kerja yang potensial risiko tinggi. Dalam pelaksanaannya biasanya para pekerja dilakukan putar kerja. Uji faal paru serial perlu dilakukan untuk mengetahui perubahan faal paru masing- masing pekerja pada akhir waktu tertentu. Tidak ada obat spesifik untuk bissinosis dan bila ada tanda-tanda obstruksi bronkus dapat diberikan bronkodilator.(6)

2.11 Pencegahan Kontrol kadar debu dalam lingkungan Pemantauan medis agar bisinosis dan obstruksi saluran nafas dapat ditemukan dan dicegah sedini mungkin Menggunakan alat pelindung diri kontrol kesehatan rutin.(7)

BAB IIIKESIMPULAN

1. Penyakit Bisinosis adalah penyakit pneumoconiosis yang disebabkan oleh pencemaran debu napas atau serat kapas di udara yang kemudian terhisap ke dalam paru-paru.2. Pekerja-pekerja yang bekerja di lingkungan pabrik tekstil, yang mengolah kapas semuanya termasuk mempunyai risiko timbulnya bissinosis.3. Secara umum penyebab yang dapat diterima bahwa penyakit ini disebabkan pajanan terhadap kapas.4. Diperkirakan pathogenesis penyakit ini yaitu sesudah debu inorganik dan bahan pertikel terinhalasi akan melekat pada permukaan mukosa saluran napas (bronkiolus respira-torius, duktus alveolaris dan alveolus) karena tempat tersebut basah sehingga mudah ditempeli debu.5. Derajat-derajat bisinosis dibagi dalam Derajat C1/2, Derajat Cl, Derajat C2 dan Derajat C3.6. Gejala klinik Penyakit ini memiliki ciri napas pendek dan dada sesak. Gejala paling nyata dialami pada hari pertama hari kerja seminggu ("Sesak pada senin pagi").7. Pendekatan diagnosis pada pasien dengan penyakit paru lingkungan maupun penyakit paru kerja memerlukan aktivitas proses diagnosis yang lazim, yaitu meliputi anamnesis secara sistetnatik, lengkap dan terarah, pemeriksaan fisis dan beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan.8. Pengobatan terpenting bagi pasien bissinosis adalah menyingkirkannya dari lingkungan kerja yang potensial risiko tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hand out, teknologi pengelolaan kesehatan masyarakat, dalam; www.medicastore-files.com2. Suryadi, dr. 2010. Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.3. Sudoyo, A.W; Setiyohadi, B; Alwi, I; Simadibrta, MK; Setiati, S; 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.4. Baratwidjaja, GK; Harjono, KT;2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid II, ed. Ketiga. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.5. Baratawidjaja, GK. 2010. Bisinosis dan hubungannya dengan obstruksi akut: penelitian pada karyawan perusahaan tekstil di Jakarta dan sekitarnya. Dalam http://www.lontar.ui.ac.id//opac/themes/libri2/detail. jsp?id=83630&lokasi=lokal. Jakarta.6. Darmanto, D; 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.7. Susanto, DA. 2010. Bisinosis. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.8. Sumamur, dr; Sagung Seto P.K.,MSc; 2009. Higiene Perusahaan Dan Kesehatan Kerja. Jakarta.

17