tugas kependudukan - uas individu
TRANSCRIPT
1
Tugas Akhir Mata Kuliah Kependudukan – SPD 2009
KETERHUBUNGAN KEMISKINAN PENDUDUK DAN KERUSAKAN
LINGKUNGAN: IMPLIKASI KEBIJAKANNYA DALAM KONTEKS
INDONESIA
2
Tugas Akhir Mata Kuliah Kependudukan – SPD 2009
Poverty is the worst form of violence. Mahatma Gandhi (1869 – 1948)
3
Tugas Akhir Mata Kuliah Kependudukan – SPD 2009
PENDAHULUAN
Kependudukan adalah isu yang menjadi isu vital dalam setiap kebijakan pembangunan,
baik di aras regional, nasional, maupun di aras global. Kependudukan memiliki begitu
banyak aspek permasalahan yang saling terkait. Masalah pertumbuhan penduduk,
kepadatan penduduk, kesehatan, kemiskinan, dan migrasi, adalah beberapa masalah
kependudukan yang sering menjadi topik hangat setiap pembahasan. Baru-baru ini
lingkungan telah turut menjadi salah satu isu yang ambil bagian dari bahasan-bahasan
kependudukan.
Keterhubungan antara masalah kependudukan dengan masalah lingkungan adalah isu
yang telah muncul sejak Thomas Robert Malthus (1766 – 1834) yang terkenal sebagai
pelopor ilmu kependudukan (Population Studies) menyatakannya dalam essaynya.
Postulat Malthus dalam essay tersebut telah menjadi perdebatan para ahli dari masa ke
masa.
Meskipun keterhubungan antara kedua masalah tersebut telah muncul pada tahun 1700-
an sejak Malthus menyampaikan postulatnya, tapi model spesifik yang ditujukan untuk
memahami apa dan bagaimana hubungan tersebut terjadi baru muncul hampir 300 tahun
kemudian. Pada tahun 1990-an model POET dan IPAT muncul di kalangan peneliti
barat. Model IPAT adalah model yang diadopsi secara meluas di hampir seluruh
belahan dunia, sebagai landasan untuk pembuatan kebijakan, baik internasional maupun
di tingkat nasional.
Isu keterhubungan kependudukan dan lingkungan menggiring pemikiran ke
keterhubungan masalah kemiskinan dan masalah lingkungan. Lingkungan mulai
mencuri perhatian sejak isu perubahan lingkungan didengungkan. Isu pemanasan global
tidak hanya dikaitkan dengan lingkungan, tapi telah juga dikaitkan dengan isu
kependudukan. Demikian, sehingga masalah kemiskinan yang merupakan bagian
integral dari kependudukan merupakan hal yang tidak pula dapat dipisahkan dari isu
perubahan lingkungan ini.
Masalah kemiskinan penduduk adalah masalah klasik, perang terhadap kemiskinan
adalah perang yang selalu dicanangkan setiap negara di dunia, masalah sosial ekonomi
ini tidak hanya dihadapi oleh negara berkembang tetapi dihadapi pula oleh negara-
negara maju. Kemiskinan telah menjadi musuh dalam negara yang tidak kalah
4
Tugas Akhir Mata Kuliah Kependudukan – SPD 2009
mengerikan dengan musuh kolonialisme dari luar negara. Kemiskinan adalah masalah
kependudukan yang berkaitan erat dengan berbagai masalah di sekitarnya, ia menjadi
penyebab dan menjadi akibat dari berbagai masalah pelik yang berada di dunia.
Usaha untuk memahami keterhubungan antara kedua masalah tersebut [kemiskinan
penduduk – degradasi lingkungah] telah dilakukan oleh berbagai pihak. Lembaga-
lembaga internasional dan peneliti-peneliti internasional tidak absen untuk ambil bagian
dalam usaha ini. Perdebatan yang sengit antara berbagai perspektif terus dilakukan.
Perspektif yang dipilih oleh sang pengambil kebijakan akan menjadi dasar asumsi
kebijakannya dan akhirnya akan berimplikasi terhadap kebijakan yang akan dilakukan.
Dalam konteks ini, ke-kurang tepat-an pemilihan perspektif dan pemilihan kebijakan
oleh pihak yang berwenang (pemerintah) akan membawa penderitaan lebih besar bagi
mayarakat miskin dan membawa degradasi lingkungan yang lebih besar, karena kedua
hal tersebut adalah obyek kebijakan terkait.
PERUMUSAN MASALAH
Secara instingtif, kita mengetahui adanya keterhubungan antara pertumbuhan populasi
penduduk dengan perubahan lingkungan, pun dengan adanya keterhubungan antara
tingkat kesejahteraan/ kemiskinan terhadap lingkungan. Makalah ini mencoba
menjabarkan pemaknaan atas keterhubungan kemiskinan penduduk dengan degradasi
lingkungan, serta implikasi kebijakannya, pembahasan terutama di aras nasional.
KERANGKA TEORI
Kependudukan dan Lingkungan.
Hubungan antara kependudukan dan lingkungan sudah menjadi perhatian penting dunia
internasional, terutama sejak isu dan bukti perubahan lingkungan dan pemanasan global
dihembuskan.
5
Tugas Akhir Mata Kuliah Kependudukan – SPD 2009
Pertumbuhan penduduk dan degradasi lingkungan telah menjadi isu sejak essay Malthus
yang berjudul “An Essay on the Principle of Population - An Essay on the Principle of
Population, as it Affects the Future Improvement of Society with Remarks on the
Speculations of Mr. Godwin, M. Condorcet, and Other Writers” diterbitkan pada tahun
1798.1
Assuming then my postulata as granted, I say, that the power of population is indefinitely greater than the power in the earth to produce subsistence for man. Population, when unchecked, increases in a geometrical ratio. Subsistence increases only in an arithmetical ratio. (hal. 4)
Malthus menyebutkan bahwa kekuatan populasi jauh lebih besar daripada kekuatan
bumi untuk menghasilkan pangan bagi manusia. Menurutnya, saat populasi tidak
dikekang, maka ia akan meningkat dalam rasio geometrik, sedangkan pertanian hanya
meningkat dalam rasio aritmatik. Lebih lanjut ia menekankan kembali hal tersebut di
halaman 33.
….In instances of this kind the powers of the earth appear to be fully equal to answer it the demands for food that can be made upon it by man. But we should be led into an error if we were thence to suppose that population and food ever really increase in the same ratio. The one is still a geometrical and the other an arithmetical ratio, that is, one increases by multiplication, and the other by addition. Where there are few people, and a great quantity of fertile land, the power of the earth to afford a yearly increase of food may be compared to a great reservoir of water, supplied by a moderate stream. The faster population increases, the more help will be got to draw off the water, and consequently an increasing quantity will be taken every year. But the sooner, undoubtedly, will the reservoir be exhausted, and the streams only remain. When acre has been added to acre, till all the fertile land is occupied, the yearly increase of food will depend upon the amelioration of the land already in possession; and even this moderate stream will be gradually diminishing. But population, could it be supplied with food, would go on with unexhausted vigour, and the increase of one period would furnish the power of a greater increase the next, and this without any limit. (hal. 33 – 34)
Di sana Malthus menekankan lagi bahwa populasi bertambah dalam deret ukur
(perkalian), sedangkan pangan akan bertambah dalam deret hitung (penambahan). Saat
jumlah manusia masih sedikit dan luasan lahan subur juga tersedia dalam jumlah yang
cukup, maka kekuatan bumi untuk menyediakan peningkatan pangan per tahun dapat
1 Malthus, An Essay on the Principle of Population ‐ An Essay on the Principle of Population, as it Affects
the Future Improvement of Society with Remarks on the Speculations of Mr. Godwin, M. Condorcet, and
Other Writers, 1798. Dipublikasikan secara digital oleh Electronic Scholarly Publishing Project, 1998.
Diunduh dari situs http://www.esp.org – 24 Januari 2009.
6
Tugas Akhir Mata Kuliah Kependudukan – SPD 2009
dibandingkan dengan waduk yang disuplai oleh aliran air yang cukup. Semakin cepat
peningkatan populasi, maka semakin banyak pula air yang diambil dari waduk dan
dengan cepat, maka waduk akan segera kering. Saat semua lahan yang subur telah
dikuasai oleh manusia, peningkatan produktivitas pangan akan sangat tergantung pada
perbaikan pengelolaan lahan yang telah dikuasai. Namun, populasi akan terus
bertambah dengan tenaga yang tidak pernah habis, dan peningkatan populasi dalam satu
periode akan manambah tenaga untuk meningkatkan populasi pada periode berikutnya,
dan hal ini terjadi terus-menerus, tanpa batas.
Pandangan Malthus dalam essay tersebut menuai banyak kritikan karena dianggap tidak
memperhitungkan inovasi-inovasi teknologi baru di berbagai bidang pada zaman
setelahnya. Inovasi-inovasi tersebut mencakup inovasi di bidang pertanian yang
meningkatkan produktivitas pertanian dan meningkatkan hasil pangan, kontrol kelahiran
yang mampu menurunkan reit pertumbuhan penduduk, dan transportasi yang
memudahkan migrasi antar daerah dan negara, serta mempermudah perdagangan
internasional. Tokoh yang merupakan pendukung kritik tersebut antara lain adalah
Boserup (1981) dan Tiffen (1994).
Pandangan Malthus terutama mendapat perhatian kembali di tahun 1970-an saat buku
“The Limits to Growth” dipublikasikan oleh the Club of Rome pada tahun 1972.
Kesimpulan buku tersebut menyebutkan dua hal: 1) Jika kecenderungan pertumbuhan
saat ini dalam populasi dunia, industrialisasi, polusi, produksipangan, dan
pengeksplotasian sumberdaya, titik batas pertumbuhan planet ini akan dicapai dalam
seratus tahun. Hasil yang paling mungkin terjadi adalah penurunan yang tiba-tiba dan
tidak dapat dikontrol, baik dalam populasi dan kapasitas industrial. 2) Sangat mungkin
untuk mengubah kecenderungan pertumbuhan ini dan untuk membangun sebuah
kondisi stabil dalam ekologis dan ekonomi yang berkelanjutan sampai di masa depan.
Ekuilibrium global ini dapat dirancang sehingga kebutuhan material dasar dari setiap
manusia di bumi ini dapat dicukupi dan setiap manusia memiliki kesempatan yang sama
untuk mewujudkan potensi individunya sebagai manusia.
Ekuilibrium global ini yang diharapkan akan dapat membawa ke pembangunan manusia
dan lingkungan yang berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan sesuai dengan definisi
WCED (World Commission on Environment and Development) adalah pembangunan
7
Tugas Akhir Mata Kuliah Kependudukan – SPD 2009
yang mencukupi kebutuhan saat ini tanpa membahayakan kemampuan generasidi masa
depan untuk mencukupi kebutuhannya.
Development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs. (WCED)
Definisi pembangunan berkelanjutan ini sejalan dengan definisi penghidupan
berkelanjutan yang disampaikan oleh Chamber dan Conway, 1992. Penghidupan
berkelanjutan adalah kemampuan, aset (termasuk sumberdaya material dan sosial) dan
kegiatan yang dibutuhkan untuk hidup. Sebuah penghidupan akan berkelanjutan saat ia
dapat mengatasi dan pulih dari tekanan dan shock, mengelola atau meningkatkan
kemampuan dan asetnya, tanpa merusak basis sumberdaya alam.
Sustainable livelihoods are taken to mean: The capabilities, assets (including both material and social resources) and activities required for a means of living. A livelihood is sustainable when it can cope with and recover from stresses and shocks, maintain or enhance its capabilities and assets, while not undermining the natural resource base (Chamber and Conway, 1992).
Beberapa LSM Lingkungan, seperti Worldwatch Institute adalah Malthusian. LSM ini
mengingatkan dunia bahwa populasi Cina telah mengalami peningkatan dua kali lipat
setiap delapan tahun sejak 1980, dan akan membutuhkan jumlah produksi gandum yang
besar untuk tetap stabil sewaktu area produksi gandum yang ada sudah berada di bawah
tekanan (Brown et al, 1998). Di skala yang lebih lokal, populasi yang terus tumbuh
secara konvensional diprediksi akan mengakibatkan pengelolaan berlebihan dan
kehabisan kesuburan tanah (e.g. Taylor, 1992).
Pembahasan tentang keterkaitan populasi, daya dukung bumi, dan keberlanjutan
dilakukan di tahun yang sama (1992) oleh Ehrlich dan Daily, dan lalu mereka lanjutkan
pada tahun 1994 tentang kemampuan bumi untuk mengimbangi pertumbuhan manusia
(Daily University of California (Berkeley) dan Ehrlich, Ehrlich Stanford University),
mereka membahas tentang ukuran populasi manusia yang optimum terkait dengan daya
dukung bumi. Dalam tulisannya Population, Sustainibility, and Earth’s Carrying
Capacity (1992) Daily dan Erhlich mendefinisikan daya dukung lingkungan sebagai
ukuran populasi maksimum dari sebuah spesies yang dapat didukung oleh sebuah
wilayah tanpa mengurangi kemampuannya untuk mendukung spesies yang sama di
masa depan. Secara lebih spesifik mereka menyebutnya sebagai “sebuah ukuran jumlah
dari sumberdaya yang dapat diperbarui dalam lingkungan terhadap sejumlah unit ukuran
8
Tugas Akhir Mata Kuliah Kependudukan – SPD 2009
organisme yang dapat didukung oleh sumberdaya ini” (Roughgarden, 1979 dalam Daily
dan Erhlich).
“… a measure of the amount of renewable reosurces in the environment in units of the number of organism these resources can support” (Roughgarden, 1979 p. 305 dalam Daily dan Erhlich, 1992 hal. 3)
Ehrlich dan Ehrlich adalah peneliti yang mengusulkan model IPAT pada tahun 1991.
Penjelasan tentang IPAT dapat dilihat pada penjelasan tentang model hubungan
manusia dan lingkungan.
Teori dan Model mengenai Hubungan Kependudukan dan Lingkungan2
Perdebatan para ahli yang telah disampaikan di atas menunjukkan kesadaran mengenai
adanya hubungan antara kependudukan dan lingkungan. Namun, sebuah model
pemahaman yang pasti tentang bagaimana kedua hal tersebut berhubungan masih
menjadi pertanyaan besar yang belum dapat dijawab dengan pasti.
Teori adalah penjelasan yang disederhanakan mengenai bagaimana realita “bekerja”,
teori dirancang untuk meningkatkan pemahaman. Bagaimanapun, teori yang
dikembangkan oleh seorang ahli sangat tergantung pada aspek realitas mana yang
menjadi bidang ketertarikannya dan disiplin ilmu apa yang ia dalami. Hal inilah yang
menyebabkan sering terjadi bias dalam teori yang berkembang.
Model adalah usaha-usaha untuk mengubah konsep teoritis umum menjadi hubungan
yang lebih presisi/ tepat atau persamaan matematika. Model-model keterkaitan/
hubungan manusia – lingkungan penting untuk membantu menjelaskan dan
mengevaluasi bagaimana populasi dan atribut lingkungan dapat mungkin saling
mempengaruhi.
Machlis dan Forester (1992) menyebutkan tiga tahap pemodelan yang digunakan untuk
membantu pemahaman mengenai interaksi manusia dan lingkungan. Tahap pertama
adalah pengembangan sebuah kerangka kerja teoretis, atau perspektif teoritis untuk
sistem tersebut. Tahapan ini mencoba untuk menangkap sebuah gambaran menyeluruh
dari sistem, dirancang untuk mengidentifikasi variabel-variabel kunci yang penting.
Tahap kedua adalah memperluas kerangka kerja menjadi sebuah model konseptual.
2 Orians dan Skumanich, 1997, “The Population – Environment Connection”. Battele: US.
9
Tugas Akhir Mata Kuliah Kependudukan – SPD 2009
Model konseptual tidak hanya mengindikasikan variabel-variabel apa yang penting,
tetapi sudah mulai mengindikasikan bagaimana mereka saling berhubungan satu sama
lain (variabel apa yang mempengaruhi variabel lain dan bagaimana arahnya). Akhirnya,
tahap ketiga pemodelan adalah menyaring dan memperhalus model konseptual menjadi
sebuah model prediksi. Model tahap ini tidak dirancang sekedar untuk mengindikasikan
bagaimana variabel saling berhubungan, tetapi telah menspesifikkan keterkaitan
tersebut dengan detil yang cukup untuk melakukan prediksi tentang hasil-hasil yang
akan terjadi di masa depan. Tabel berikut menyatakan empat perspektif atau kerangka
kerja yang telah digunakan oleh para peneliti untuk memahami keterkaitan populasi dan
lingkungan.
Tabel Empat Perspektif mengenai Dampak Populasi Terhadap Lingkungan
Deskripsi
Perspektif mengenai
Pertumbuhan Populasi
Kekuatan Kelemahan
Neoclassical Economics
Inefisiensi ekonomi dan penyimpangan pada sistem pasar menghasilkan degradasi lingkungan
Kunci: membiarkan pasar untuk bekerja dengan
Pertumbuhan populasi adalah variabel yang netral.
Bersandar pada harga untuk mengirimkan tanda kepada manusia mengenai penggunaan sumberdaya yang tepat.
Menekankan pada bagaimana manusia dapat menggunakan teknologi dan kecerdikan untuk menggantikan sumberdaya alam.
Megabaikan pengaruh distribusi kekayaan pada kemampuan manusia untuk membuat pilihan.
Sulit untuk menentukan biaya yang “tepat/pantas” dalam penggunaan sumberdaya.
Menyepelekan adanya batasan atas kemampuan ‘buatan manusia’ menggantikan sumberdaya alam.
Natural Science
Jumlah sumberdaya alam yang tetap dan jumlah populasi yang terus bertambah menghasilkan degradasi lingkungan.
Pertumbuhan populasi adalah pendorong utama terjadinya degradasi lingkungan.
Menyediakan konsep daya dukung lingkungan – membawa lingkungan ke dalam kerangka analisisnya.
Menekankan pentingnya ukuran,
Menyepelekan kemampuan manusia untuk beradaptasi pada kondisi lingkungan dan kemampuan manusia untuk berinovasi.
Sulit untuk
10
Tugas Akhir Mata Kuliah Kependudukan – SPD 2009
Kunci: Mengontrol populasi untuk menyelesaikan masalah penyalahgunaan sumberdaya alam.
menemukan sebuah ukuran populasi yang “optimal”.
menghitung daya dukung.
Political Economy/ Dependency Theory
Distribusi sumberdaya yang tidak sama dan/ atau kemiskinan adalah penyebab, baik untuk pertumbuhan populasi dan degradasi lingkungan.
Pertumbuhan populasi dan degradasi lingkungan adalah hasil dari kekuatan lain (distribusi yang tidak merata).
Fokus pada baik sistem ekonomi dan politik di mana manusia bertindak.
Menunjukkan bagaimana informasi yang lebih “teknis” mungkin tidak akan menyebabkan praktek-praktek yang berkelanjutan jika sistem sosial/ institusional tidak berfungsi.
Tidak memperhitungkan daya dukung lingkungan dan atribut lain dalam konteks lingkungan.
Mengabaikan bagaimana pertumbuhan populasi yang cepat dapat memperburuk akses terhadap sumberdaya, meskipun terdapat sistem yang tepat.
Mengasumsikan kemiskinan dan fertilitas memiliki keterkaitan; bukti-bukti penelitian terakhir menunjukkan bahwa fertilitas dapat menurun tanpa perubahan dalam kemiskinan.
Combination Theory
Penyebab utama degradasi lingkungan adalah terdiri dari kemiskinan, relasi sosial (peperangan), penyimpangan kebijakan ekonomi dan politik, dan teknologi yang menghasilkan polusi.
Kunci: mengubah sistem ekonomi dan/ atau politik untuk menyelesaikan masalah
Pertumbuhan populasi adalah sebuah faktor yang memperburuk – bukan faktor utama – dari degradasi lingkungan.
Memberikan ruang bagi semua faktor untuk dipertimbangkan dalam menganalisis penyebab degradasi lingkungan
Menyediakan pendekatan yang bertahap untuk menyelesaikan masalah penyalahgunaan sumberdaya.
Hanya memberikan sedikit panduan mengenai di mana tepatnya kita harus mencari “akar masalah”.
11
Tugas Akhir Mata Kuliah Kependudukan – SPD 2009
I = P x A x T
penyalahgunaan sumberdaya.
Disadur dan diterjemahkan dari Orians dan Skumanich. 1997. “The Population – Environment Connection”. Battele: US. Bab 3.
Keempat persepektif tersebut memberikan kerangka pemikiran mengenai hubungan
manusia dan lingkungan. Masing-masing perspektif memiliki sudut pandangnya sendiri
dan memiliki kekuatan serta kelemahan yang patut dipertimbangkan bagi siapapun yang
ingin menggunakannya.
Untuk lebih membantu kerangka kerja teoretis atau perspektif mengenai hubungan
antara manusia dengan lingkungan, para ahli telah mengembangkan beberapa model
yang lebih spesifik. Sejumlah model telah dikembangkan dalam level yang berbeda.
Sebagian besar model yang dikembangkan melandaskan pemikirannya pada kerangka
kerja yang melihat manusia sebagai sebuah bagian dari sistem lingkungan yang lebih
besar.
Dua model penting mengenai hubungan manusia dengan lingkungan adalah model
POET dan IPAT. POET dikembangkan dari studi ekologi manusia. Dalam model ini,
dua variabel dasar yang dipertimbangkan adalah populasi spesies (P) dan lingkungan
sekitar (E). Dalam perkembangannya, sosiolog dan ekolog menemukenali bahwa
ekologi manusia berbeda dengan ekologi spesies lain dalam berbagai hal mendasar.
Manusia dapat mengorganisir aktivitas mereka melalui sistem budaya dan sosial dalam
tahapan yang jauh lebih tinggi dibandingkan spesies lain, dan manusia juga memiliki
kemampuan untuk mengembangkan dan menggunakan teknologi (Catton, 1987).
Karena itu, keempat elemen tersebut kemudian dimasukkan sebagai elemen kunci dan
bersama-sama mereka membentuk model “POET”.
Model IPAT dikembangkan oleh Ehrlich dan Ehrlich (1991), mereka mendeskripsikan
IPAT sebagai berikut. Pertumbuhan populasi dan overpopulasi telah memperburuk
kondisi lingkungan, dan hal tersebut dinyatakan dalam sebuah persamaan yang sangat
sederhana.
Akibat (I – Impact) sebuah kelompok atau negara terhadap lingkungan adalah hasil dari
jumlah populasi (P – Population Size) dikalikan dengan kesejahteraan per kapita (A –
per capita Affluence) yang diukur dari jumlah barang yang dikonsumsi, lalu dikalikan
12
Tugas Akhir Mata Kuliah Kependudukan – SPD 2009
dengan sebuah ukuran kerusakan yang dilakukan oleh teknologi (T – Technology) yang
terlibat dalam mendukung setiap unit konsumsi.
Model IPAT jauh lebih banyak digunakan oleh para pengambil kebijakan dibandingkan
model POET. Model IPAT lebih dipilih karena ia menyediakan hubungan matematis
yang jelas. Model POET lebih banyak digunakan dalam daur akademis, untuk
mendukung investigasi teoretis mengenai ekologi manusia.
Hubungan Kemiskinan Penduduk dengan Perubahan Lingkungan
Keterhubungan antara tingkat kesejahteraan penduduk dengan tingkat degradasi
lingkungan telah dapat ditemui dalam sebagai salah satu sumber masalah degradasi
lingkungan sudah disebutkan dalam perspektif Political Economy/ Dependency Theory
dan Combination Theory. Salah satu model yang telah dikembangkan dan banyak
menjadi landasan para pengambil kebijakan yaitu model IPAT juga menyatakan
keterhubungan tersebut.
Perbedaan mendasar dari perspektif Political Economy/ Dependency Theory, perspektif
Combination Theory dan model IPAT adalah; kedua perspektif menganggap bahwa
kemiskinan adalah salah satu penyebab degradasi lingkungan, sedang model IPAT
menyarankan bahwa semakin sejahtera penduduk semakin tinggi level konsumsi
maka degradasi lingkungan akan semakin tinggi.
Dalam makalah ini, penulis cenderung untuk menyetujui pengertian kemiskinan yang
diajukan oleh UNDP, yaitu
'[Poverty] is deprivation in the most essential capabilities of life, including leading a long and healthy life, being knowledgeable, having adequate economic provisioning and participating fully in the life of the community' (UNDP, 1997).
Kemiskinan adalah perampasan/ kehilangan kemampuan-kemampuan paling mendasar
untuk hidup, termasuk panjang umur dan kehidupan yang sehat, memiliki akses
informasi, memiliki ketersediaan ekonomi yang cukup dan berpartisipasi secara penuh
dalam kehidupan komunitasnya.
Penelitian-penelitian yang berfokus pada hubungan kemiskinan dan degradasi
ingkungan telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Pada tahun 1998 United Nations
Development Program dan European Commission (Tim Forsyth, Melissa Leach, Ian
Scoones) meluncurkan hasil penelitian mereka yang membantah pandangan lama yang
13
Tugas Akhir Mata Kuliah Kependudukan – SPD 2009
menyatakan bahwa kemiskinan dan degradasi lingkungan adalah saling terhubung dan
tidak mungkin dapat saling melepaskan diri, dan mereka juga saling memperkuat. Sudut
pandang ini menyarankan bahwa kemiskinan dan degradasi lingkungan terjadi dalam
pola ‘spiral yang menurun’, yang mana diasumsikan bahwa satu-satunya cara untuk
menghindari degradasi lingkungan adalah hanya dengan mengurangi kemiskinan.
Pandangan lama ini juga menyatakan bahwa masyarakat miskin terpaksa untuk
mendegradasi lahannya untuk merespon pertumbuhan populasi, marjinalisasi ekonomi
dan degradasi lingkungan yang telah ada.
Forsyth dkk membantah pandangan lama tersebut dan menyatakan bahwa masyarakat
miskin dapat mengadaptasi mekanisme protektif melalui aksi kolektif yantg mengurangi
dampak pada kependudukan, ekonomi dan perubahan lingkungan. Sebagai tambahan,
laporan ini juga menyatakan bahwa banyak konsepsi yang ada saat ini tentang degradasi
lingkungan adalah berdasarkan keterangan yang salah tentang keterhubungan antara
aktivitas manusia pada perubahan lanskap, dan juga mengabaikan banyak masalah
lingkungan yang telah ada yang menekan dan semakin mendesak masyarakat miskin.
Instead, the report argues that many poor people are able to adopt protective mechanisms through collective action which reduce the impacts of demographic, economic and environmental change. In addition, it is argued that many current conceptions of environmental degradation are based on misinformed linkages of human activity on landscape change, and also avoid many current pressing environmental problems which currently affect poor people. (hal. 2)
Forsyth membantah asumsi The World Commission on Environment and Development
(Brundtland Commission) yang menyebutkan bahwa pemberantasan kemiskinan harus
dilakukan sebelum melakukan perlindungan lingkungan (Sesuai dengan “spiral yang
menurun”). Asumsi ini telah mengakibatkan adopsi kebijakan di berbagai Negara yang
tidak mempertimbangkan perbedaan arti lingkungan bagi masyarakat miskin, dan juga
telah mengakibatkan respon makro ekonomi yang malah dapat meningkatkan
kemiskinan dan degradasi lingkungan. Sebaliknya, adalah penting untuk mengetahui
pengalaman lokal daripada universal mengenai kemiskinan dan degradasi lingkungan
untuk menyediakan kondisi yang memungkinkan masyarakat miskin untuk menciptakan
sendiri respon kelembagaan mereka terhadap ekonomi, demografi dan lingkungan.
The study proposes that the assumption since the Brundtland Commission, that poverty eradication has to come before environmental protection, may encourage the adoption of
14
Tugas Akhir Mata Kuliah Kependudukan – SPD 2009
policies that do not acknowledge the different meaning of environment to poor people, and macroeconomic responses that may increase both poverty and environmental degradation. Instead, it is important to acknowledge the local rather than universal experience of poverty and environmental degradation and to provide enabling circumstances for poor people to create their own institutional responses to economic, demographic and environmental changes.(hal. 3).
Studi ini menekankan pentingnya mempertimbangkan kompleksitas masyarakat miskin
(varying by level of poverty; location; age; gender or occupational group) dan
kompleksitas beraneka komponen yang ada di dalam lingkungan. Studi ini juga
merekomendasikan pentingnya kelembagaan dalam bottom-up approach sebagai media
masyarakat miskin untuk dapat merespon perubahan lingkungannya secara kolektif.
Selain Forsyth, Fiona Nunan dkk (DFID) juga telah melakukan studi tentang
keterhubungan kedua faktor tersebut. Pada tahun 2002, mereka melakukan studi
insikator kemiskinan – lingkungan dengan memilih lokasi studi kasus di Nepal,
Nicaragua, dan Uganda. Pemilihan indikator didasarkan pada isu-isu yang muncul
dalam PPA (Participatory Poverty Assessment), yakni; keamanan pangan dan
kepemilikan atau akses terhadap lahan, kekuatan dan kemampuan untuk menyuarakan
pendapat, keamanan air, produktivitas pertanian, perumahan di bawah standar
(substandard housing), penyakit, tempat tinggal di lingkungan wilayah yang rentan,
seperti wilayah yang gersang dan daerah tropis yang memiliki kesuburan tanah yang
terbatas, akses perempuan terhadap sumberdaya alam, terutama air, kayu bakar dan
hasil hutan bukan kayu, dan bencana alam.
Keterhubungan Kemiskinan dan Lingkungan dalam Kebijakan
Alain Marcoux (FAO, 1999) dalam tulisannya Population and Environmental Change:
from Linkages to Policy Issues menyampaikan beberapa bagan model keterhubungan
kemiskinan dan lingkungan dan implikasinya terhadap kebijakan.
15
Tugas Akhir Mata Kuliah Kependudukan – SPD 2009
Gambar 1. Pertumbuhan penduduk dan sumberdaya alam : Perangkap kemiskinan (Population growth and natural resources: Poverty trap)
Dalam perspektif ini, manusia seperti halnya spesies lain bersaing untuk memanfaatkan
sumberdaya alam yang ada di biosfer. Sumberdaya alam dalam setiap ekosistem adalah
terbatas, begitupula daya dukungnya, sehingga setiap tambahan penduduk akan
membawa dampak buruk terhadap produktivitas sumberdaya alam. Hal ini, pada
gilirannya akan menekan produktivitas tenaga kerja dan pendapatan. Aplikasi dari
perspektif ini dalam kebijakan adalah mendorong stabilisasi populasi. Implikasinya
16
Tugas Akhir Mata Kuliah Kependudukan – SPD 2009
adalah, kebutuhan untuk memperlambat laju pertumbuhan populasi demi kepentingan
investasi yang lebih produktif dan reit pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Gambar 2. Pertumbuhan penduduk dan sumberdaya alam: Harmoni yang berbasis pasar (Population growth and natural resources: Market-based harmony)
Implikasi kebijakan dari perspektif neo-klasik ini adalah untuk memberikan efisiensi
penuh pada pasar, artinya: mendefinisikan dan menghargai penggunaan sumberdaya
milik bersama; tidak mensubsidi ekspliotasi sumberdaya alam; dan membiarkan pasar,
bukan pemerintah, untuk melakukan alokasi sumberdaya. Dalam pandangan ini,
kebijakan populasi dapat “membeli waktu”, tetapi hal itu bukanlah “solusi yang tepat”.
17
Tugas Akhir Mata Kuliah Kependudukan – SPD 2009
Perspektif ini tidak memberikan peran bagi kebijakan dan program populasi (tentu saja,
selain nilai kesehatan populasi).
Gambar 3. Pertumbuhan penduduk dan sumberdaya alam: Dual efek kemiskinan (Population growth and natural resources: Dual effect of poverty)
Dalam implikasi kebijakannya, perspektif ini tidak melihat kegunaan kebijakan populasi
atau intervensi teknis (misalnya terasering untuk mencegah degradasi lahan).
Menurutnya, baik kebijakan kependudukan maupun intervensi teknis tidak akan efisien
jika “faktor-faktor nyata” degradasi tidak diatasi. Karena itu, dia mendorong program
mengurangi kemiskinan, melalui distribusi sumberdaya yang lebih adil dan
memperbaiki hubungan yang rusak baik di dalam komunitas Negara berkembang dan
antar negara.
18
Tugas Akhir Mata Kuliah Kependudukan – SPD 2009
PEMBAHASAN
Dalam konteks Indonesia, masalah kemiskinan adalah masalah yang melekat di aspek
sosial ekonomi kita. Masalah kemiskinan ini seringkali direduksi dalam sekedar angka,
dan kebijakan yang dipilih untuk mengatasi masalah ini pun seringkali sekedar
bertujuan untuk meningkatkan GNP (Gross National Product) yang selama ini menjadi
tolok ukur pembangunan yang berorientasi ekonomi.
Seiring dengan banyaknya kritik terhadap model pembangunan tersebut, maka pada
tahun 2000, Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan anggotanya
sebanyak 189 negara di dunia, memutuskan untuk mengadopsi Millenium Development
Goals (MDGs). MDGs menempatkan pembangunan manusia sebagai fokus utama
pembangunan.
Di Indonesia, perang terhadap kemiskinan adalah perang yang dicanangkan oleh
pemerintah sejak negara kita memperoleh kemerdekaan dari penjajahan kolonialisme.
Pada tanggal 2 Juli 2007 yang lalu, pemerintah Indonesia melalui Badan Pusat Statistik
(BPS) secara resmi mengumumkan jumlah penduduk miskin kita menurun menjadi
37,17 juta orang atau 16,58 persen dari total penduduk Indonesia selama periode bulan
Maret 2006 sampai dengan Maret 2007. Pada periode sebelumnya, bulan Maret 2006,
jumlah penduduk miskin Indonesia sebanyak 39,30 juta atau sebesar 17,75 persen dari
total jumlah penduduk Indonesia tahun tersebut. Jumlah penduduk miskin tersebut
dihitung berdasarkan Garis Kemiskinan yang telah ditentukan oleh BPS, yaitu jumlah
rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk memenuhi kebutuhan makanan setara
2.100 kilo kalori per orang per hari serta untuk memenuhi kebutuhan non-makanan
berupa perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan aneka barang/jasa
lainnya. Jumlah ini setara dengan Rp 166.697 per kapita per bulan pada Maret 2007,
19
Tugas Akhir Mata Kuliah Kependudukan – SPD 2009
meningkat 9,67% dibandingkan periode sebelumnya Rp 151.997 per kapita per bulan
pada Maret 2006.3 Rendahnya garis kemiskinan yang ditetapkan menunjukkan besranya
potensi bagi penduduk bukan-miskin untuk tergelincir masuk ke dalam kategori miskin.
Dalam hubungannya dengan isu lingkungan, pandangan pemerintah cenderung
menyalahkan keberadaan kemiskinan sebagai faktor dalam simbiosis mutualisme
dengan degradasi lingkungan. Hal ini salah satunya tercermin dalam pidato Rachmat
Witoelar sebagai Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia pada pembukaan acara
South to South Film Festival (StoS) pada 25 Januari 2008, setahun yang lampau.4
“Kemiskinan dan lingkungan hidup bagaikan dua mata uang yang sama. Bila masyarakat miskin maka lingkungan pun akan rusak, begitu pun sebaliknya, lingkungan yang rusak akan membuat masyarakat semakin miskin”, (Rachmat Witoelar sebagai Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia pada sambutan Pembukaan StoS 2008, di Goethe Institute, Jakarta)
Lebih lanjut, menurutnya kerusakan sumber daya alam akan menjadi pangkal tolak
kerusakan sisi kehidupan lainnya. Untuk itu tanggung jawab kebersihan dan
keberlanjutan lingkungan hidup tidak hanya pada otoritas kebijakan saja, tetapi juga
pada masyarakat.
“Selama ini ada persepsi bahwa kerusakan lingkungan hidup akibat dari kesalahan kebijakan dalam eksploitasi sumber daya alam di sektor tambang dan kehutanan. Namun sebenarnya permasalahan dalam pelestarian lingkungan hidup begitu kompleks”, ujar Rahmat.
Pandangan ini dicerminkan pula oleh pemerintah Indonesia secara umum dalam
portalnya www.indonesia.go.id. Di sana pemerintah menyebutkan bahwa kemiskinan
dan kerusakan lingkungan memliki korelasi yang positif. Pada derajat pertama,
kemiskinan terjadi karena kerusakan lingkungan atau sebaliknya lingkungan rusak
karena kemiskinan. Pada derajat berikutnya, kemiskinan terjadi akibat kerusakan
lingkungan yang disebabkan karena kemiskinan periode sebelumnya. Hal sebaliknya
berpeluang terjadi, lingkungan rusak karena kemiskinan yang dipicu oleh kerusakan
lingkungan pada periode sebelumnya.
Hubungan sebab akibat itu bisa terus berlanjut pada derajat yang lebih tinggi,
membentuk siklus yang tidak berujung. Dalam kondisi seperti itu, kemiskinan semakin
parah dan lingkungan semakin rusak. Semakin lama kondisi itu berlangsung, semakin
3 http://tkpkri.org/lain%11lain/front‐content/jumlah‐penduduk‐miskin‐turun‐di‐2007‐
20070714240.html 4 http://www.jatam.org/content/view/228/35/
20
Tugas Akhir Mata Kuliah Kependudukan – SPD 2009
kronis keadaanya. Bila sudah demikian, status kemiskinan berubah secara tidak linier.
Dari miskin, ke lebih miskin, dan akhirnya miskin sekali.
Di saat yang sama, kecenderungan yang sama juga terjadi juga pada kerusakan
lingkungan. Degradasi lingkungan semakin terjadi, ditandai dengan aktivitas kehidupan
manusia yang sudah melebihi kapasitas alam. Manusia yang miskin hidup di atas atau
melampaui daya dukung sumberdaya alam. Maka terjadilah hubungan lingkaran
kemiskinan dan kerusakan alam yang sulit dicari ujung pangkalnya.5
Pandangan ini mencerminkan perspektif Political Economy/ Dependency Theory di
mana kemiskinan adalah faktor yang disalahkan untuk terjadinya pertumbuhan populasi
dan degradasi lingkungan. Implikasinya adalah pemfokusan kebijakan pada sistem
ekonomi dan politik. Hal ini sesuai dengan bagan yang disampaikan oleh Marcoux
(FAO, 1999) yaitu pada bagan “Pertumbuhan penduduk dan sumberdaya alam: Dual efek
kemiskinan (Population growth and natural resources: Dual effect of poverty)”.
Di sana Marcoux menjelaskan implikasi kebijakan dari perspektif ini adalah bahwa perspektif
ini tidak melihat kegunaan kebijakan kependudukan atau intervensi teknis (misalnya
terasering untuk mencegah degradasi lahan). Menurut perspektif ini, baik kebijakan
populasi maupun intervensi teknis tidak akan efisien jika “faktor-faktor nyata”
degradasi tidak diatasi. Karena itu, perspektif ini mendorong program mengurangi
kemiskinan, melalui distribusi sumberdaya yang lebih adil dan memperbaiki hubungan
yang rusak baik di dalam komunitas Negara berkembang dan antar negara. Kesimpulan
kebijakan ini sendiri terlalu pleonastis, menganggap bahwa penanggulangan kemiskinan
adalah satu-satunya cara untuk mengatasi masalah degradasi lingkungan, sehingga
mendesak untuk dilakukan; seharusnya tujuan penanggulangan kemiskinan adalah
disandarkan pada tujuan pemenuhan Hak Asasi Manusia. Kesimpulan ini telah
mereduksi arti kemanusiaan.
Pandangan yang melimpahkan kesalahan degradasi lingkungan pada masyarakat miskin
ini telah menuai banyak kritikan, salah satu pengkritik paling keras adalah Prof. Dr.
Mubyarto, Guru Besar Fakultas Ekonomi UGM, Kepala Pusat Studi Ekonomi Pancasila
(PUSTEP) UGM.
5 http://www.ina.go.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=3959&Itemid=335
21
Tugas Akhir Mata Kuliah Kependudukan – SPD 2009
Dalam tulisannya6 Mubyarto menyimpulkan bahwa, pendekatan terhadap masalah
“pengurangan kemiskinan dan pengelolaan lingkungan” atau sebaliknya terhadap
“pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dan strategi penanggulangan kemiskinan”
selama ini adalaha salah dan tidak adil. Karena pendekatan tersebut hanya melihat
kemiskinan sebagai fakta tanpa mempelajari sumber-sumber dan sebab-sebab
kemiskinan itu. Seharusnya para pengambil kebijakan mempertimbangkan sistem
ekonomi yang bersifat “serakah” dalam eksploitasi SDA, yaitu sistem ekonomi kapitalis
liberal yang berkembang di Barat, dan merajalela sejak jaman penjajahan sampai era
globalisasi masa kini. Menurut beliau, sistem ekonomi yang tepat bagi Indonesia adalah
sistem ekonomi pasar yang populis dan mengacu pada ideologi Pancasila.
PENUTUP
Pemerintah sebagai pihak pengambil kebijakan merupakan pihak yang paling
berwenang dalam menentukan arah kebijakan Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah
lebih baik untuk melakukan pendekatan yang lebih komprehensif – tidak sekedar
terjebak dalam perspektif spiral yang menurun - dalam memandang keterhubungan
antara kemiskinan penduduk dan degradasi lingkungan.
Asumsi ini telah mengakibatkan adopsi kebijakan di negara kita yang tidak
mempertimbangkan perbedaan arti lingkungan bagi masyarakat miskin, dan juga telah
menghasilkan pembuatan kebijakan makro-ekonomi yang malah dapat meningkatkan
kemiskinan dan degradasi lingkungan. Rekomendasi yang dapat penulis sampaikan
adalah untuk lebih melihat kembali dan mempertimbangkan pengalaman lokal
mengenai kemiskinan dan degradasi lingkungan. Kaji ulang ini diperlukan untuk
menyediakan kondisi yang memungkinkan masyarakat miskin untuk mempersiapkan
dan menciptakan sendiri respon kelembagaan mereka terhadap ekonomi, demografi dan
lingkungan.
6 Makalah untuk lokakarya terbatas (Expert Workshop), Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM, 6 Oktober
2004
22
Tugas Akhir Mata Kuliah Kependudukan – SPD 2009
DAFTAR PUSTAKA
Daily and Ehrlich. 1992. Population, Sustainibility and Earth’s Carrying Capacity. Department of Biological Science. Stanford University: California. Diunduh dari www.stanford.edu/group/morrinst/pdf/46.pdf [25 Januari 2009]
Elwell, Frank W. 2001. A Commentary on Malthus' 1798 Essay on Population as Social Theory. Lewiston, NY: Edwin Mellen Press, 2001. Diunduh dari http://www.faculty.rsu.edu/~felwell/Theorists/Malthus/SocMalthus.htm [25 Januari 2009]
Forsyth, Leach and Scoones. 1998. Poverty And Environment: Priorities For Research And Policy An Overview Study. Institute of Development Studies: UK. Prepared for the United Nations Development Programme and European Commission. Diunduh dari http://personal.lse.ac.uk/FORSYTHT/povenv_forsyth_leach.pdf [25 Januari 2009]
http://www.bps.go.id/sector/population/Pop_indo.htm
http://www.pu.go.id/publik/P2KP/Des/memahami99.htm
http://www.undp.or.id/pubs/imdg2005/BI/pendahuluan.pdf
http://tkpkri.org/lain%11lain/front-content/jumlah-penduduk-miskin-turun-di-2007-20070714240.html
Malthus. 1798. An Essay on the Principle of Population - An Essay on the Principle of Population, as it Affects the Future Improvement of Society with Remarks on the Speculations of Mr. Godwin,M. Condorcet, and Other Writers. Versi digital oleh Electronic Scholarly Publishing Project. 1998. Diunduh dari www.esp.org/books/malthus/population/malthus.pdf [25 Januari 2009]
Marcoux. 1999. Population and Environmental Change: from Linkages to Policy Issues. Food and Agriculture Organization of United Nation. Diunduh dari http://www.fao.org/sd/wpdirect/WPre0089.htm [25 Januari 2009]
Meadows et al. The Limits to Growth. 1972. The Club of Rome diunduh dari http://www.clubofrome.org/docs/limits.rtf [25 Januari 2009]
Mubyarto. 2004. Makalah untuk lokakarya terbatas (Expert Workshop), Pusat Studi Lingkungan Hidup UGM 6 Oktober 2004. Diunduh dari http://walhijabar.blogspot.com/2008/01/siapa-lebih-merusak-lingkungan-orang.html [26 Januari 2009]
Nunan, Grant et al. 2002. Poverty And The Environment: Measuring The Links - A Study of Poverty-Environment Indicators with Case Studies from Nepal, Nicaragua
23
Tugas Akhir Mata Kuliah Kependudukan – SPD 2009
and Uganda. DFID. Diunduh dari http://www.unpei.org/PDF/PEMonitoring/ug-Pov-Env-Measuring-Links-study-PE-Indicators.pdf
Orians dan Skumanich. 1997. “The Population – Environment Connection”. Battele: US.