tugas analisis kasus sosiologi keluarga
TRANSCRIPT
TUGAS ANALISIS
SOSIOLOGI KELUARGA
( Kasus Ibu Jual Bayi )
Disusun oleh:
Zaenul Mizan
F1A007023
DEPARTEMEN PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PURWOKERTO
2010
A. KASUS
KOJA (Pos Kota) – Bak puncak gunung es di lautan. Kasus ibu hamil yang berniat
menjual bayi dalam kandungan di Kampung Beting, Koja, Jakut, menguak. Sedikitnya telah
terjadi 25 kasus serupa. Kemiskinan menjadi dalih pembenaran tindakan melawan hati nurani
itu. Seperti yang pernah dilakoni pasangan Maman 37, dan Marni, 35, (keduanya bukan nama
sebenarnya) ini. Suami istri itu mengakui telah menjual dua dari enam anaknya pada 1995
dan 2000. “Mereka adalah anak kedua dan keempat kami,” ungkap Marni yang ditemui di
rumah gubuknya. Ia tinggal tak jauh dari rumah kontrakan Ny. Yanti, 24, ibu hamil yang
berniat menjual bayinya. Didampingi sang suami, Marni mengaku terpaksa menjual anaknya
karena tak mampu membiayai persalinan anak dalam kandungan yang mencapai Rp 500 ribu
hingga Rp 1 juta. “Waktu itu kami masih ngontrak rumah, bahkan sudah menunggak lima
bulan. Saat itu, suami saya juga menganggur,” katanya. Menurutnya, putri keduanya diambil
seorang warga keturunan Tionghoa asal Bandung, sedangkan anak keempat diserahkan warga
Surabaya. Kedua keluarga itu masing-masing memberinya uang Rp 1 juta. “Keduanya
diperkenalkan oleh teman saya, tapi sekarang ia sudah meninggal,” ungkapnya. “Sejak
diserahkan sampai sekarang kami belum pernah bertemu. Kami kehilangan jejak orang-orang
yang merawat anak saya itu.”
SEKARANG MENYESAL
Maman yang setiap harinya mencari uang dengan mengamen keliling ini sebenarnya
tak tega melepaskan kedua buah hatinya. Namun, deraan kemiskinan memaksanya menerima
tawaran sang teman untuk ‘menitipkan’ anaknya pada orang lain. “Kami sekarang menyesal
dan ingin bertemu dengan anak-anak saya,” katanya. Menurutnya, setiap kali menatap
keempat anaknya; Rahmat Hidayat, 16, Sarah Amelia, 12, Latif Fadilah, 6, dan Tiara Adinda,
4, terbayang wajah kedua putrinya yang entah berada di mana sekarang. “Kalau ada mereka,
mungkin rumah ini jadi tambah ramai,” kata Maman. Kini Maman bertekad merawat dan
membesarkan keempat anaknya dengan baik. Pengalaman pahit ‘melepaskan’ dua anak
menjadi pelajaran untuk tetap menjaga keutuhan keluarganya. “Saya akan besarkan mereka
sendiri, meskipun Rahmat yang sudah duduk di kelas tiga SMP nunggak uang SPP sampai
lima bulan,” janji Maman. “Saya kadang kangen ingin melihat seperti apa dua anak saya itu.”
Maman dan Marni kini menghuni sebuah bangunan sangat sederhana berukuran 2×3 meter.
Tanah yang menjadi lantai tempat tinggalnya ditutup puing-puing agar tidak becek ketika
hujan turun. Persis di depan dipan tempat mereka berbaring terdapat dua buah batu bata yang
disusun menjadi sebuah tungku berbahan bakar kayu untuk memasak. “Kalau hujan pasti
bocor, anak-anak langsung saya minta untuk mengungsi ke tetangga,” kata Marni.
Penghasilan yang diperoleh dari hasil mengamen seharian, hanya cukup untuk makan. “Kami
ngamen keliling, sehari dapat Rp. 30 ribu,” ungkap Marni.
MASIH KOMUNIKASI
Alasan kemiskinan juga menjadi dalih Asep ,41, satu warga lain yang terpaksa
melepaskan salah satu anak kandungnya kepada satu warga Medan. Asep menyerahkan anak
keduanya yang diberinya nama Aditya pada 2008 pada keluarga yang sudah puluhan tahun
tak dikanurinia anak dalam pernikahannya. Kini bocah itu telah 2 tahun. “Sekarang namanya
sudah berganti. Kami masih sering berkomunikasi,” ungkap Asep. Menurutnya, saat
menyerahkan Aditya, ekonomi keluarga tengah morat-marit. Ia menganggur padahal
kebutuhan hidup harus tetap dipenuhi. “Saat ada yang mau merawat, kami merelakannya
dengan catatan diasuh dengan baik,” ungkap Asep yang didampingi istrinya, Ernawati.
Dalam penyerahan itu, kata Asep, keluarga tersebut memberinya Rp2 juta. “Saya tidak
menjual anak. Sebab hubungan saya dengan keluarga yang merawat anak saya masih terjalin.
Mereka kerap mengabarkan keadaan anak saya melalui telepon,” kata Asep.
SUDAH 25 KASUS
Sementara itu, petugas Polres Jakut dari unit Perlindungan Perempuan dan Anak
(PPA), menyambangi kediaman Ny. Yanti, 24, ibu hamil akan menjual bayi yang
dikandungnya. Bersama polisi, datang bersama perwakilan dari Suku Dinas Sosial Jakarta
Utara. “Kami datang untuk menggali informasi soal kabar penjualan anak,” kata Kanit PPA
Polres Jakut, AKP Sri Pamujingsih. Pengumpulan informasi tersebut dilakukan dengan
mewawancarai sejumlah tetangga Ny. Yanti. Di antaranya dengan menanyai Atun, tetangga,
yang mengaku mendengar adanya penawaran Ny. Yanti. “Kalau penjualan belum terjadi,
kami tidak bisa menindak,” ujar Sri. Penjualan bayi berdalih kemiskinan menjadi fenomena
di permukiman padat dan miskin seperti di Kampung Beting itu. Ricardo Hutahaean,
pengurus Forum Penggugat Kampung Beting (FOMAGAT) menegaskan hal itu sambil
menunjuk catatannya terhitung 1990 hingga 2010. “Ada 25 kasus penjualan bayi di Kampung
Beting. Motifnya karena kemiskinan dan mereka tidak punya biaya buat persalinan,” kata
Ricardo. “Ini juga karena pemerintah tak mampu menyejahterakan rakyatnya.”
KAMPUNG BETING
Pemantauan Pos Kota, di lahan sekitar 4,5 Ha Kampung Beting itu tinggal 2.954
warga yang tergabung dalam 716 keluarga. Sebagian besar tinggal dalam rumah-rumah kayu
yang rapat. Saat hujan besar, air menggenangi permukiman itu hingga satu meter. Penduduk
umumnya bekerja sebagai kuli bangunan, pengamen dan pemulung. “Kami tak memiliki
KTP,” ungkap Ricardo. “Pemda tak memberi surat identitas itu karena kami tinggal di tanah
negara.” Menurutnya, permasalahan tanah di Kampung Beting mencuat ketika pada 1990
terjadi pembebasan lahan. Sebagian warga ada yang mengambil ganti rugi, sisanya bertahan
karena menganggap SIPPT (surat izin penunjuk penggunaan tanah) cacat hukum.
Belakangan, keluar surat edaran Walikotamadya Jakarta Utara. “Kami dilarang mendirikan
bangunan di atas tanah milik PT Kotindo Karya”,” ungkap Ricardo. “Pembayaran PBB
(Pajak Bumi dan Bangunan) juga dihentikan. Sejak itu, tak ada lagi RT dan RW di lahan ini.”
Pada 2001, Badan Pertanahan Negara (BPN) Jakarta Utara mengeluarkan surat pernyataan
pembebasan PT Kotindo Karya dari penggarapnya. Sampai kini, lahan itu belum pernah ada
yang mengajukan hak kepemilikan/ sertifikat dari manapun. “Tanah ini menjadi tanah negara.
Mematahkan surat Walikotamadya Jakarta Utara yang mengklaim bahwa tanah tersebut milik
PT Kotindo Karya,” katanya.
B. ANALISIS KASUS
Trafficking adalah suatu wujud kemiskinan yang sangat memperhatinkan di
Indonesia. Karena kurangnya pendidikan dan pengetahuan, serta lapangan pekerjaan yang
layak itulah yang menyebabkan semakin banyaknya pengangguran maka orang memilih jalan
pintas untuk memecahkan permasalahan perekonomiannya.
Dalam kasus ini faktor yang paling mendasar adalah masalah tingkat pendidikan yang
rendah yang membuat masyarakat tidak memperoleh pekerjaan yang layak untuk
mensejahterakan keluarganya. Selain itu, kurangnya pengetahuan masyarakat akan
pentingnya program KB (Keluarga Berencana), ini bertujuan untuk mengurangi kepadatan
penduduk serta mengurangi beban kelarga. Program ini adalah suatu cara yang efektif untuk
mengantisipasi adanya trafficking dalam sebuah keluarga.
Faktor lembaga hukum di Indonesia juga masih sangat lemah dalam menyikapi kasus
trafficking ini. Kurangnya sosialisasi secara massif untuk menyebarluaskan informasi tentang
sanksi yang diberikan pada pelaku jual beli bayi serta Undang-undang hukum pidana
tersebut. Ketentuan mengenai larangan perdagangan orang pada dasarnya telah diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 297 KUHP menentukan mengenai
larangan perdagangan wanita dan anak laki-laki belum dewasa dan mengkualifikasikan
tindakan tersebut sebagai kejahatan. Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menentukan larangan memperdagangkan, menjual, atau menculik anak
untuk diri sendiri atau untuk dijual. Pasal 297 KUHP memberikan sanksi yang terlalu ringan
dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban akibat kejahatan perdagangan orang.
Namun, ketentuan KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut tidak
merumuskan pengertian perdagangan orang yang tegas secara hukum. Oleh karena itu,
diperlukan undang-undang khusus tentang tindak pidana perdagangan orang yang mampu
menyediakan landasan hukum materiil dan formil sekaligus. Untuk tujuan tersebut, undang-
undang khusus ini mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan dalam proses, cara, atau
semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktik perdagangan orang, baik yang
dilakukan antarwilayah dalam negeri maupun secara antarnegara, dan baik oleh pelaku
perorangan maupun korporasi.
Selazimnya dalam sebuah keluarga itu yang terdiri dari ayah, ibu dan anak hendaknya
mempunyai peranan masing-masing. Sebagai ayah sebagai kepala keluarga serta tulang
punggung keluarga hendaknya mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya, sebagai ibu
hendaknya melakukan kewajibannya, sperti melayani suaminya dan merawat anak-anaknya.
Begitupun seorang anak harus menjalankan kewajibannya sebagai seorang anak serta
mendapatkan haknya. Namun yang terjadi dalam contoh kasus yang terjadi di Kampung
Beting, Koja, Jakarta Utara melenceng jauh dari kewajiban seorang ayah dan ibu yang tega
menjual anak kandungnya sendiri dengan berbagai alasan perekonomian.
Maka kembali kepada kurangnya tingkat pendidikan serta pekerjaan yang layak bagi
masyarakat sangat mempengaruhi pola pikir masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu
pemerintah harusnya lebih memperhatikan faktor yang paling mendasar tersebut, agar
nantinya tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan seperti penjualan bayi (Trafficking) yang
terjadi di Koja, Jakarta Utara.
C. KESIMPULAN
Penanganan terhadap masalah trafficking bersifat kompleks. Sehingga, penanganan
terhadap masalah memerlukan penataan ulang yang komprehensif tentang peta
permasalahan yang ada. Dari hal yang sangat mendasar yaitu tingkat pendidikan dan
tersediannya lapangan kerja untuk masyarakat agar dapat menghidupi keluargannya. Di
samping itu, keseriusan pemerintah dan keterlibatan seluruh elemen bangsa diharapkan
dapat berkontribusi secara partisipatif dalam upaya pemberantasan masalah trafficking.
Masyarakat juga perlu mendapatkan banyak pengetahuan dan sosialisasi perihal
bahayanya tindak pidana trafficking ini. Pemerintah seharusnya bisa Mengantisipasi
masalah ini dengan cara memberikan fasilitas kesehatan gratis pada warga masyarakat
yang kurang mampu, dan yang paling penting memberikan jasa persalinan secara cuma-
cuma bagi warga miskin. Dan juga memberikan sosialisasi akan pentingnya Program KB
untuk kesejahteraan keluarga.