melihat kasus penyandang disabilitas dalam kajian sosiologi kewarganegaraan

13
Kewarganegaraan Kesetaraan Penyandang Disabilitas dalam Memperoleh Hak Sebagai Warga Negara dalam Bidang Hukum Oleh: Tasya Andiana Putri

Upload: tasya-andiana-putri

Post on 11-Apr-2017

298 views

Category:

Education


1 download

TRANSCRIPT

Kewarganegaraan

Kesetaraan Penyandang Disabilitas dalam Memperoleh Hak Sebagai Warga Negara dalam

Bidang Hukum

Oleh: Tasya Andiana Putri

Latarbelakang Masalah

Perempuan penyandang disabilitas sering mendapat ketidakadilan dalam bidang hukum karena keterbatasan yang dimilikinya

Korban penyandang disabilitas sering diintimidasi oleh pelaku kejahatan karena kesaksian darinya mudah dipatahkan

Banyak dari korban perempuan penyandang disabilitas yang menarik proses hukumnya kembali sehingga mereka tetap dalam penderitaan

Rumusan Masalah: Penyandang disabilitas merupakan warga negara yang memiliki hak untuk memperoleh keadilan dalam bidang hukum

Isu

Diskriminasi sering dilakukan oleh orang-orang yang statusnya lebih tinggi kepada mereka yang statusnya lebih rendah

Orang-orang yang statusnya lebih rendah sering menjadi alat dari praktik kuasa, mereka tidak dapat menentangnya karena tidak memiliki kekuatan

Korban penyandang disabilitas mendapat perlakuan diskriminasi dari pelaku kejahatan dan aparat penegak hukum

Sudah selayaknya korban penyandang disabilitas mendapat perlindungan dari diskriminasi untuk memperoleh haknya di meja pengadilan

Hipotesa: Dalam proses hukum korban penyandang disabilitas sangat membutuhkan penerjemah

Data ILO

Menurut data PUSDATIN dari Kementerian Sosial, pada 2010, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia adalah:

11,580,117 orang dengan di antaranya

Per *Juta Orang

Kasus

Sejumlah penyandang disabilitas mengikuti rangakaian acara Hari

Disabilitas, yang diselenggarakan oleh Dinas Sosial DKI Jakarta

Banyak dari korban penyandang disabilitas yang menarik proses hukum karena diskriminasi yang mereka terima dan status mereka yang dianggap tidak cakap hukum. Menurut Siti Mazumah, koordinator pelayanan hukum LBH APIK Jakarta, pada 2014 lembaganya mendampingi enam kasus perkosaan yang dialami perempuan disabilitas. Dari jumlah tersebut hanya satu kasus disabilitas anak yang sampai putusan di pengadilan. Kebanyakan dari korban menarik proses hukumnya kembali.

Kajian Teori

Michel Foucault (1926-1984)

Filsuf asal Perancis, memulai dengan penjelasan mengenai konstitusi subjek atau bagaimana teknologi kekuasaan bekerja dalam sejarah dalam membentuk siapa itu warga.

The Other Penderita lepra dieksklusikan bukan karena mereka sakit, melainkan karena mereka dianggap tidak produktif secara ekonomis dalam masyarakat.

Tiga Modus Objektivikasi

Subjek

1. Praktik Pembelahan 2. Scientific Classification 3. Subjektifikasi

Governmentality dan

Bio-Power

Bagaimana kuasa pemerintah melalui paktik berbagai norma dan nilai-nilai yang membentuk “kita” sebagaimana “kita” kini

Penyandang Disabilitas “The Other”

Kesulitan mendapatkan Pekerjaan

Minimnya akses keadilan (Access to Justice)

Penyandang disabilitas disini diputus dan dieksklusikan secara fisik dan administratif dari kehidupan sipil dan politik masyarakatnya melalui pengkategorian fasilitas seperti “kursi untuk disabilitas” akses kemudahan dalam mengunakan transportasi publik pelayanan prioritas disegala institusi publik di masyarakat. Para penyandang disabilitas pun sering mengalami nasib kurang menyenangkan: Dikucilkan Dikirim ke panti Dipasung

”Polisi terkadang berdalih, ‘korbannya tuna rungu, bicara saja tidak bisa, bagaimana mungkin kita mendapatkan bukti’, padahal bisa menggunakan penterjemah (bahasa tuna rungu). Ini seringkali menjadi salah satu hambatan dalam proses peradilan” (Khofifah Indar Parawansa, Menteri Sosial )

“Karena untuk perempuan yang mengalami kekerasan khususnya disabilitas untuk bicara dia sebagai korban itu sulit sekali karena mereka tidak cakap hukum. Jika keluarga tidak menyetujui proses hukum itu kasusnya tidak berjalan. Akibatnya, korban tetap merasakan penderitaannya” (Siti Mazuma, Koordinator Pelayanan Umum YLBH APIK )

Bio-Power UU No 19 tahun 2011

UU No 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang mengatakan bahwa Pasal (1) ayat 1 Penyandang disabilitas termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama di mana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya. Pasal (1) ayat 2 Tujuan Konvensi ini adalah untuk memajukan, melindungi dan menjamin penikmatan penuh dan setara semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental oleh semua penyandang disabilitas, dan untuk meningkatkan penghormatan atas martabat yang melekat pada mereka

Bio-Power UU No 19 tahun 2011

Kekuasaan pemerintah Indonesia merupakan praktik kedaulatan dan kekuasaan dalam bentuk UU No 19 Tahun 2011 untuk diakui identitas dan kesetaraannya dalam kehidupan bermasyarakat.

Governmentality secara simultan membentuk subjektivitas individu (membentuk siapa itu warga/difabel)

Namun “keindahan mawar tetap saja berduri”

Disisi lain kekuasaan pemerintah membentuk objektivikasi dengan memposisikan serta (mentransformasi individu/difabel menjadi objek yang ditentukan dari kuasa)

Subjektifikasi Penyandang Disabilitas

Modus Pertama adalah apa yang disebut sebagai “Praktik Pembelahan” penyandang disabilitas, kekurangan fisik, kutukan, malapetaka, dikucilkan, dikirim ke panti atau yang terburuk dipasung. Merupakan pembagian dari mekanisme medikalisasi, stigmatisasi dan normalisasi dengan pembelahan lainnya kepada masyarakat mayoritas atau masyarakat yang sehat jasmaniah. Bahwa terdapat pembedaan bagi “warga sehat” dan “warga difabel”

Modus Kedua melalui prosedur klasifikasi ilmiah (scientific classification) bahwa pengetahuan membentuk manusia kedalam subjek bahasa. Seperti seperti buta, bisu, tuli, tuna rungu, tuna wicara, dan sebagainya. Yang tentu saja dijelaskan seperti pada UU No. 4 Tahun 1997tentang Penyandang Cacat juncto .

Modus Ketiga, subjektifikasi Upaya Koalisi Masyarakat Penyandang Disabilitas mendorong agar RUU tentang penyandang disabilitas bisa segera dilanjutkan ke tahap pembahasan bersama antara DPR dan Pemerintah. Kegiatan bertema “Bergerak Untuk Disabilitas”

Upaya Pemerintah Dalam Undang-Undang No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat tertuang pada Pasal 16 Pemerintah bersama-sama dengan masyarakat melakukan upaya 1. Rehabilitasi 2. Bantuan sosial 3. Pemeliharaan taraf

kesejahteraan sosial bagi warganya yang tergolong kedalam penyandang cacat/difabel.

Bentuk rehabilitasi: medic, pendidikan, pelatihan, dan sosial.

Mentri Sosial Khofifah Indar Prawansa: “Jaminan hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan bantuan bantuan hukum secara probono (gratis) dan bantuan jasa penerjemah”

Kesimpulan & Saran

Kesimpulan Dari penjelasan diatas dapat dilihat bahwa permasalahan yang dialami oleh penyandang disabilitas bukan hanya persoalan tentang akses kesetaraan bagi penyandang disabilitas. Tetapi ternyata juga dapat dilihat dari kesulitan dalam mendapatkan pekerjaan, infrastruktur (sarana-prasarana) dan pelayanan publik, tetapi juga dapat ditinjau dari minimnya akses keadilan (access to justice) untuk mendapatkan hak yang sama dalam aspek hukum serta identitas sebagai warga negara.

Saran Dalam mengurangi permasalahan yang dialami oleh para penyandan disabilitas, perlu adany kerja sama yang dilakukan baik dari pemerintah maupun terhadap lembaga-lembaga yang terkait. agar secepatnya RUU mengenai disabilitas bisa disahkan menjadi Undang-undang. ada jaminan hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan bantuan bantuan hukum secara probono (gratis) dan bantuan jasa penerjemah. Selanjutnya melakukan rehabilitasi terhadap para penyandang disabilitas tersebut. Adapun pemberian bantuan sosial