manajemen kasus pada program keluarga harapan …

230
MANAJEMEN KASUS PADA PROGRAM KELUARGA HARAPAN (PKH) DI WILAYAH JAKARTA TIMUR SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Ajeng Wahyuni 11160541000018 PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H / 2020 M

Upload: others

Post on 21-Nov-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

MANAJEMEN KASUS PADA

PROGRAM KELUARGA HARAPAN (PKH)

DI WILAYAH JAKARTA TIMUR

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial

(S.Sos)

Oleh:

Ajeng Wahyuni

11160541000018

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H / 2020 M

MANAJEMEN KASUS PADA

PROGRAM KELUARGA HARAPAN (PKH)

DI WILAYAH JAKARTA TIMUR

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial

(S.Sos)

Oleh:

Ajeng Wahyuni

11160541000018

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H / 2020 M

MANAJEMEN KASUS PADA

PROGRAM KELUARGA HARAPAN (PKH)

DI WILAYAH JAKARTA TIMUR

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)

Oleh

Ajeng Wahyuni

NIM : 11160541000018

Pembimbing

Ellies Sukmawati, M.Si

NIP : 19780318 200901 2 007

PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H / 2020 M

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi ini berjudul “Manajemen Kasus pada Program

Keluarga Harapan (PKH) di Wilayah Jakarta Timur” disusun

oleh Ajeng Wahyuni (11160541000018) telah diujikan dalam

sidang Munaqasyah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

Univeritas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 02

September 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat

gelar sarjana (S. Sos) pada program studi Kesejahteraan Sosial.

Jakarta, September 2020

Sidang Munaqasyah

Dibawah Bimbingan

Ellies Sukmawati, M.Si

NIP. 197803182009012007

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Ajeng Wahyuni

NIM : 11160541000018

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul

MANAJEMEN KASUS PADA PROGRAM KELUARGA

HARAPAN (PKH) DI WILAYAH JAKARTA TIMUR adalah

benar karya saya pribadi dan tidak melakukan tindak plagiat dalam

penyusunannya. Adapun kutipan pada skripsi ini telah saya

cantumkan sumber penulisannya. Apabila ditemukan suatu

plagiarisme di dalam keseluruhan pada penulisan skripsi ini, maka

saya siap diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Jakarta, Agustus 2020

Ajeng Wahyuni

NIM 11160541000018

i

ABSTRAK

Ajeng Wahyuni (11160541000018)

Manajemen Kasus pada Program Keluarga Harapan (PKH)

di Wilayah Jakarta Timur

Manajemen kasus merupakan suatu proses pelayanan yang

dilakukan untuk memenuhi kebutuhan klien yang dibutuhkan

ketika mengalami permasalahan, baik yang menyangkut individu

maupun keluarga. Hal ini yang menjadi salah satu tugas dan

kewajiban dari Peksos Supervisor dan Pendamping Sosial Program

Keluarga Harapan (PKH) di wilayah Jakarta Timur. Pelayanan

yang dilakukan dapat dilihat melalui dua komponen manajemen

kasus, yaitu proses atau tahapan serta melihat model yang dapat

disesuaikan dengan kasus yang ditangani dan sistem yang

dijalankan. Penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode

penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif dan teknik

pengumpulan data berupa wawancara dan studi dokumentasi.

Dalam menentukan subjek dan informan, penulis menggunakan

teknik sumpling purposive.

Maka dapat diketahui bahwa manajemen kasus pada PKH di

Jakarta Timur telah melaksanakan proses atau tahapan di dalam

pekerjaan sosial, dan menjalankan sistem yang menjadi dasar

pelayanan untuk memenuhi kebutuhan. Sehingga hal ini

memberikan suatu bentuk kebermanfaatan bagi para Keluarga

Penerima Manfaat (KPM), terkhusus bagi KPM yang memiliki

kasus yang memerlukan sistem rujukan pelayanan.

Kata Kunci : Manajemen Kasus, Proses dan Sistem

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas

limpahan rahmat dan kuasa-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan skripsi ini. Salawat serta salam selalu

tercurahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa

Sallam beserta keluarga, para sahabat, dan pengikutnya yang selalu

memberikan suri tauladan kepada penulis agar senantiasa

melakukan kebaikan dan tuntunannya.

Penulis menyadari bahwasanya penyusunan di dalam

skripsi ini terdapat banyak kekurangan, baik dari isi maupun teknik

penulisan. Maka dari itu, penulis mengharapkan kritik dan saran

yang membangun agar dapat menyempurnakan penulisan pada

skripsi ini. Dan di lain kesempatan dapat membuat suatu karya

ilmiah yang lebih baik lagi.

Tentunya pada penulisan skripsi ini, penulis banyak

mendapatkan doa, semangat, dukungan, dan kasih sayang dari

berbagai pihak sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.

Untuk itu, izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Suparto, M.Ed., Ph.D sebagai Dekan Fakultas Ilmu

Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta. Ibu Dr. Siti Napsiyah Ariefuzzaman, MSW sebagai

Wakil Dekan Bidang Akademik. Bapak Dr. Sihabuddin Noor,

M.A sebagai Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum.

Bapak Drs. Cecep Sastrawijaya, MA sebagai Wakil Dekan

Bidang Kemahasiswaan.

iii

2. Bapak Ahmad Zaky, M.Si, sebagai Ketua Program Studi

Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ibu

Hj. Nunung Khoiriyah, MA selaku Sekretaris Program Studi

Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Ahmad Darda, M. Pd, selaku Dosen Pembimbing

Akademik yang sudah meluangkan waktunya untuk

membantu penulis.

4. Ibu Ellies Sukmawati, M.Si, selaku Dosen Pembimbing yang

telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan,

arahan, dan dukungan dengan sangat baik kepada penulis

hingga terselesainya karya ilmiah ini.

5. Seluruh Dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial yang

senantiasa mengajarkan keilmuan mengenai kesejahteraan

sosial dan wawasan lainnya.

6. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi

dan seluruh Civitas Akademika UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

7. Bapak Arief Trihandoyo, selaku Koordinator Kota PKH

Jakarta Timur. Bapak Dea Triantara W. P, S. Tr. Sos, selaku

Supervisor PKH. Ibu Wardiyaningsih, Ibu Ida, dan Ibu Cici,

selaku Pendamping Sosial PKH. Serta Ibu Arum sebagai

anggota KPM PKH, dan Ibu Tuminem KPM tergraduasi

mandiri, yang telah meluangkan waktu nya untuk membantu

penulis dalam mengumpulkan informasi terkait penulisan

dalam skripsi ini.

8. Kedua orangtua yang sangat penulis sayangi, Bapak M.

Sudiono, dan Ibu Sari Suwasti, yang selalu memberikan doa,

iv

semangat, dan kasih sayang tak terhingga sampai detik ini.

9. Kakak-kakak penulis, yakni Mba Eka, Mba Ani, Mba Puput,

Mas Ulil, Mas Dimas, Mas Anto, dan Danar, atas semangat

dan lelucon yang selalu diberikan.

10. Keluarga Besar Social Work Sketch, yang menjadi salah satu

bagian penting di dalam penulisan skripsi ini.

11. Manusia-manusia unik yang selalu menghadirkan tawa untuk

penulis, Adiba dan Alifatul. Berkat kalian hidup penulis

tambah berwarna.

12. Para sahabat dan teman baik penulis, Eka Novia, Lita,

Nuriska, Siti, Nisa, Cyndy, Rana, Dilla, Novie, dan Maulida

yang tidak pernah bosan memberikan semangatnya kepada

penulis.

13. Teman-teman seperbimbingan yang selalu saling

menyemangati, Erlani, Ghina, Intan, Mutia, Dea, Amelda,

Bayed, Ridho, Eka Wulan, dan Yessy.

14. Keluarga Besar Kesejahteraan Sosial, terkhusus untuk teman-

teman Kesejahteraan Sosial angkatan 2016 yang juga saling

memberikan semangat dan dukungan.

Jakarta, Agustus 2020

Penulis,

Ajeng Wahyuni

v

DAFTAR ISI

ABSTRAK ........................................................................................... i

KATA PENGANTAR ...................................................................... ii

DAFTAR ISI ...................................................................................... v

DAFTAR TABEL .......................................................................... viii

DAFTAR GAMBAR ....................................................................... ix

DAFTAR BAGAN............................................................................. x

BAB I PENDAHULUAN .................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ...................................... 1

B. Batasan Masalah.................................................. 8

C. Rumusan Masalah ............................................... 9

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................... 9

E. Tinjauan Kajian Terdahulu ............................... 10

F. Metodologi Penelitian ....................................... 12

G. Sistematika Penulisan ....................................... 21

BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................. 23

A. Landasan Teori .................................................. 23

1. Manajemen Kasus ...................................... 23

2. Teori Kognisi-Tingkah Laku ..................... 49

3. Teori Belajar Sosial .................................... 52

4. Perlindungan Sosial ................................... 54

5. Jaminan Sosial ........................................... 70

B. Kerangka Berpikir ............................................. 73

BAB III PROFIL JAKARTA TIMUR DAN

MANAJEMEN KASUS PADA PROGRAM

KELUARGA HARAPAN ......................................... 75

A. Kondisi Objektif Wilayah Jakarta Timur .......... 75

1. Letak Geografis Jakarta Timur .................. 75

vi

2. Demografis Jakarta Timur ......................... 76

B. Program Keluarga Harapan (PKH) ................... 77

1. Latar Belakang dan Pengertian PKH ......... 77

2. Tujuan PKH ............................................... 80

3. Sasaran PKH .............................................. 80

4. Ketentuan Peserta PKH .............................. 80

5. Hak dan Kewajiban KPM PKH ................. 81

6. Besar Bantuan Dana PKH .......................... 82

7. Kelembagaan PKH ..................................... 83

8. Pengelolaan Sumber Daya ......................... 91

9. Monitoring dan Evaluasi ............................ 94

10. Jumlah SDM dan KPM PKH ..................... 98

C. Manajemen Kasus pada PKH............................ 99

BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN ............. 105

A. Proses pada Manajemen Kasus ....................... 106

1. Kasus Penyalahgunaan Kartu Kesejahteraan

Sosial (KKS) – PKH ................................ 106

2. Penyalahgunaan Dana Bantuan Non-Tunai

PKH oleh KPM ........................................ 114

3. Anak KPM yang Ingin Berhenti Sekolah 122

B. Sistem pada Manajemen Kasus ....................... 132

1. Dasar Hukum dan Standar Pelayanan ...... 132

2. SDM dan Supervisi .................................. 137

3. Keluarga Penerima Manfaat (KPM) ........ 141

BAB V PEMBAHASAN .................................................. 147

A. Manajemen Kasus pada Program Keluarga

Harapan (PKH) di wilayah Jakarta Timur ...... 144

1. Proses pada Manajemen Kasus ................ 144

2. Sistem pada Manajemen Kasus................ 153

vii

BAB VI PENUTUP ............................................................. 161

A. Kesimpulan ..................................................... 161

B. Saran ................................................................ 163

DAFTAR PUSTAKA ............................................................. 165

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. 1 Jumlah KPM PKH (2015-2019) ............................. 5

Tabel 1. 2 Data Penerima PKH tahun 2019 ............................. 6

Tabel 1. 3 Informan Penelitian ............................................... 17

Tabel 2. 1 Metode SMART ................................................... 44

Tabel 3. 1 Jumlah SDM PKH Per Januari 2020 .................... 98

Tabel 3. 2 Jumlah KPM PKH Tahun 2019 ............................ 98

Tabel 3. 3 Bentuk Permasalahan pada KPM PKH ................ 99

Tabel 3. 4 Jumlah Peksos Supervisor PKH Tahun 2018 ....... 99

Tabel 3. 5 Peran Supervisor dalam PKH ............................. 101

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3. 1 Peta Administrasi Kota Jakarta Timur ................ 75

x

DAFTAR BAGAN

Bagan 2. 1 Proses Manajemen Kasus ................................... 37

Bagan 2. 2 Tahap Proses awal dan identifikasi kasus ........... 38

Bagan 2. 3 Tahap Asesmen .................................................. 40

Bagan 2. 4 Skema Pemanfaatan Pusat Layanan dan Rujukan

Terpadu dan Basis Data Terpadu ....................... 66

Bagan 2. 5 Sumber Pendanaan Pembangunan Nasional ...... 69

Bagan 2. 6 Kerangka Berpikir Penelitian ............................. 74

Bagan 3. 1 Struktur Organisasi Pelaksana PKH ................. 102

Bagan 3. 2 Proses Manajemen Kasus ................................. 103

Bagan 6. 1 Tipe Kasus, Proses, dan Model ........................ 164

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Permasalahan sosial dengan mempergunakan intervensi

pekerjaan sosial menjadi suatu keniscayaan bila hanya

mengandalkan pada kekuatan dari sebuah lembaga yang yang

hanya menggantungkan pada keberadaan profesi. Tentunya

diperlukan bentuk dukungan melalui berbagai macam lintas

disiplin ilmu, dan lintas lembaga untuk hadir dalam hal

berkontribusi pada intervensi tersebut. Mengingat juga, ini

menjadi kebutuhan dalam profesi pekerjaan sosial dengan

menggunakan suatu metode pekerjaan sosial itu sendiri.

Metode ini dikenal dengan manajemen kasus (case

management). Dalam teorinya, manajemen kasus merupakan

suatu proses pengelolaan tindakan penanganan kasus yang

meliputi asesmen, perencanaan, pelaksanaan pelayanan,

pemantauan, dan evaluasi untuk menangani masalah secara

sistematis dengan berkoordinasi dan mengaitkan sumber-

sumber yang diperlukan (Halim 2010). Artinya, metode ini

menekankan pada kegiatan koordinasi multidisiplin ilmu untuk

memberikan pelayanan dan penanganan kepada klien.

Selanjutnya, manajer kasus yang berperan penting dalam

intervensi ini memastikan pelayanan dapat diterima oleh klien,

hingga melakukan advokasi ketika klien tidak mampu

mengakses layanan yang dibutuhkannya.

2

Pada dewasa ini, intervensi kepada klien atau penerima

manfaat yang mana memiliki permasalahan dengan

ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga

untuk mengatasi permasalahan yang ada, dibutuhkan

pelayanan dan penanganan kasus melalui metode manajemen

kasus oleh pekerja sosial profesional, yang dalam hal ini

disebut manajer kasus. Kasus-kasus yang biasa ditangani

menggunakan metode ini seperti pada awalnya digunakan

untuk masalah perawatan bagi pasien rumah sakit, anak dan

keluarga, kemiskinan, pekerjaan, dan lain-lain. Layanan yang

disediakan melalui manajemen kasus ini pun berupa dukungan

dan layanan pribadi, kesehatan dan kesejahteraan, yang

memungkinkan mereka membangun dan mempertahankan

fungsi pribadi dan sosial mandiri yang optimal. Disamping itu,

banyak ahli yang telah membahas mengenai metode

manajemen kasus, salah satunya adalah Rubin (1992) dalam

Comprehensive Handbook of Social Work and Social Welfare

(Walsh and Holton 2008) menerangkan bahwa manajemen

kasus sebagai pendekatan untuk pemberian layanan sosial yang

berupaya untuk memastikan bahwa klien dengan berbagai

masalah dan kecacatan kompleks menerima layanan yang

mereka butuhkan tepat waktu.

Sudah menjadi sebuah keharusan dalam menyelesaikan

permasalahan yang ada di tengah masyarakat untuk melibatkan

pekerja sosial melalui manajemen kasus. Seperti hal nya

program perlindungan dan jaminan sosial yang

diimplementasikan oleh pemerintah ke dalam sebuah program

3

pengentasan kemiskinan misalnya, yaitu Program Keluarga

Harapan (PKH) yang dirilis pada 25 Juli 2007. Merujuk pada

Sistem Jaminan Sosial Nasional berdasarkan UU No. 40 Tahun

2004, PKH menjadi model jaminan yang unik. Di satu sisi,

PKH ialah bantuan sosial yang dimaksudkan demi

mempertahankan kehidupan (life survival) dalam kebutuhan

dasar terutama pendidikan dan kesehatan. Di sisi lain, PKH

bernuansa pemberdayaan, yakni menguatkan keluarga

penerima manfaat agar mampu keluar dari kemiskinannya

melalui promosi kesehatan dan mendorong anak bersekolah.

Dana yang diberikan kepada KPM secara tunai melalui Kantor

Pos dimaksudkan agar penerima dapat mengakses sarana

pendidikan dan kesehatan, yakni anak-anak harus bersekolah

sampai SMP, anak balita wajib memperoleh imunisasi, dan ibu

hamil harus memeriksakan kandungan secara berkala

(Nainggolan 2012).

Dari indikator yang terdapat pada PKH, yaitu kesehatan,

kemiskinan, dan pendidikan, tidak sedikit KPM yang masih

mengalami permasalahan dalam hal tersebut. Sehingga perlu

adanya bantuan berupa pelayanan yang fokus terhadap

permasalahan berkaitan dengan tiga komponen melalui

metode pekerjaan sosial, yaitu manajemen kasus yang

dilakukan oleh pekerja sosial profesional. Yang mana hal ini

juga berlandaskan pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2009

Tentang Kesejahteraan Sosial, maka seyogyanya KPM dibantu

dalam pemenuhan kebutuhan terkait dengan masalah-masalah

yang dihadapi, selain itu pekerja sosial juga menghubungkan

4

klien pada penyedia layanan yang lain, seperti pihak berwajib,

dokter, psikolog, lembaga bantuan hukum, dan lain

sebagainya. Sehingga mulai tahun 2018 metode manajemen

kasus masuk untuk memberikan pelayanan dan juga

penanganan dengan menggunakan praktik pekerjaan sosial

yang dilakukan oleh supervisor pekerjaan sosial, hal ini

diutarakan oleh salah satu Supervisor wilayah Jakarta Timur,

Bapak Dea.

Di dalam PKH, supervisor lah yang memegang peranan

penting dalam menjalankan manajemen kasus, disamping itu

dibantu pula oleh pendamping sebagai pelaksana di lapangan.

Supervisor PKH adalah pekerja sosial profesional. Dalam

praktiknya, peksos supervisor harus memiliki kualitas yang

baik ketika memberikan pelayanan dan penanganan kepada

klien. Mutu tersebut antara lain harga diri, keahlian

komunikasi, integritas indivdu, peran yang fleksibel, semakin

besar hubungan dengan supervisor akan mendorong

eksplorasi, pendidikan dan pengembangan, memahami

kekuatan dan keterbatasan, atensi terhadap orang yang

disupervisi, perhatian terhadap outcome klien, dan selalu

mencari tahu bagaimana meningkatkan cara dalam

melaksanakan supervisi. Pada di tahun 2020 ini, sudah saatnya

SDM PKH proaktif dalam merespon kebutuhan KPM jika

menemukan persoalan di wilayah kerja yang secara prosedural

diimplementasikan dalam manajemen kasus. Tujuannya

supaya lebih terstruktur, sistematis dan masif

(www.kompasiana.com 2020).

5

Tercatat pada rentan waktu tahun 2015 – 2019, terdapat

kenaikan jumlah KPM PKH se-Indonesia. Kenaikan jumlah

tersebut diharapkan dapat menurunkan angka kemiskinan ke

kisaran 8,5 - 9,3% tahun depan. Seperti diketahui, penyaluran

PKH mulai September 2017-Maret 2018 mampu menurunkan

angka kemiskinan menjadi 9,8%. Adapun jumlah penerima

bantuan PKH pada tahun 2019, yakni sekitar 10 juta Keluarga

Penerima Manfaat (KPM). Namun, nilai penerima bantuannya

akan meningkat menjadi Rp 3,1 juta dari sebelumnya Rp 1,7

juta/KPM (databoks.katadata.co.id 2020).

Tabel 1. 1 Jumlah KPM PKH (2015-2019)

Sumber: Kementerian Keuangan 2018

Dari data KPM PKH seluruh Indonesia, sebagai

wilayah Ibu Kota, Provinsi DKI Jakarta memiliki jumlah

KPM sebanyak 67.369 pada tahun 2019. Jakarta Timur

6

menempati posisi pertama dengan jumlah terbanyak, yaitu

16.757 KPM.

Tabel 1. 2 Data Penerima PKH tahun 2019

Tahun Wilayah Jumlah

2019 Jakarta Timur 16.757

2019 Jakarta Utara 14.265

2019 Jakarta Barat 14.064

2019 Jakarta Selatan 13.633

2019 Jakarta Pusat 7.830

2019 Kab. Kepulauan Seribu 820

Sumber: http://data.jakarta.go.id/

Dari jumlah KPM terbanyak se-Provinsi DKI,

Jakarta Timur memiliki kompleksitas permasalahan yang

menjadi perhatian dari pemerintah, dan tentu nya memiliki

cara tersendiri mengenai pelayanan, penanganan, dan

penyelesaiannya.

Pemberian layanan dan penanganan serta bantuan

sosial PKH, jika dilihat melalui pandangan Islam, tentu

menjadi sebuah perhatian. Karena hal itu sama saja dengan

membantu melonggarkan dan juga meringankan beban

saudaranya yang membutuhkan. Di samping itu, Allah

Subhanahu Wa Ta’ala juga sangat menyukai perilaku

hamba-Nya yang melakukan kebaikan, dan Allah pun juga

akan memberikan ganjaran berupa pahala dan/atau

memberikan pertolongan serta keselamatan dari berbagai

7

kesusahan baik di dunia maupun akhirat. Ini pun tertuang

dalam Al-Quran, pada Q.S. Muhammad: 7, yang berbunyi:

Artinya: “Hai orang-orang mukmin, jika kamu

menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan

menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”.

Bila ditelaah secara seksama, pertolongan yang

diberikan seorang mukmin kepada saudaranya, pada

hakikatnya adalah menolong dirinya sendiri. Hal ini karena

Allah juga hendak menolongnya, baik di dunia ataupun di

akhirat sepanjang hamba-Nya mau menolong saudaranya

(EF Rahmawati, 2013. digilib.uinsby.ac.id).

Orang yang mempunyai harta dan kedudukan yang

lebih tinggi di dunia, sebaiknya tidak menjadikan dirinya

sombong, sebab jika seseorang seperti itu ia akan merugi

dengan apa yang telah dilakukannya. Sebaliknya, jika ia

mudah untuk tergerak membantu orang lain, baik dari segi

materiil atau non-materiil, ia akan mendapatkan

kemuliaan, tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat.

Hal tersebut juga tertuang dalam sebuah hadits, yang

artinya: Dari Abu Hurairoh berkata, Rasulullah SAW.

Bersabda, “barang siapa melepaskan dari seorang muslim

satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan di dunia,

niscaya Allah melepaskan dia dari kesusahan-kesusahan

hari kiamat. Dan barang siapa member kelonggaran

8

kepada orang yang susah, niscaya Allah akan memberi

kelonggaran baginya di dunia dan akhirat; dan barang

siapa menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah

menutupi aib dia di dunia dan di akhirat. Dan Allah

selamanya menolong hamba-Nya, selama hambanya

menolong saudaranya.” (HR. Muslim)

Maka dari itu, melihat besarnya manfaat yang

dilakukan oleh pekerja sosial dalam membantu klien

menangani permasalahan yang dihadapinya, pekerja sosial

supervisor dan juga pendamping sosial PKH melalui

metode manajemen kasus melakukan pelayanan kepada

KPM PKH di wilayah Jakarta Timur yang memiliki

permasalahan. Dimana hal tersebut, akan penulis kaji

melalui dua komponen, yakni proses atau tahapan

manajemen kasus, dan sistem yang menjadi pendukung

dari proses yang dijalankan. Sehingga akan terlihat

bagaimana komponen-komponen tersebut terintegrasi

dalam melaksanakan pelayanan kepada KPM yang

membutuhkan bantuan pekerja sosial melalui metode

manajemen kasus.

B. Batasan Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang telah dijelaskan di

atas, maka penulis membatasi permasalahan yang akan

terfokus pada proses dan sistem dari manajemen kasus yang

dilakukan oleh supervisor dan pendamping Program Keluarga

Harapan (PKH) di wilayah Jakarta Timur, Kecamatan Ciracas,

9

Kecamatan Pasar Rebo, Kecamatan Makasar, Kecamatan

Cakung, dan Kecamatan Cipayung. Serta dalam pembatasan

masalah ini, bertujuan untuk menghindari perluasan

pembahasan yang meluas.

C. Rumusan Masalah

Sehubung dengan pembatasan masalah di atas, maka

yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu

Bagaimana manajemen kasus pada Program Keluarga Harapan

(PKH) di wilayah Jakarta Timur?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan

dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan

bagaimana manajemen kasus pada Program Keluarga

Harapan (PKH) di Wilayah Jakarta Timur.

2. Manfaat Penelitian

Sesuai dengan tujuan penelitian, tentunya penelitian

ini juga memiliki manfaat yang diharapkan dapat menjadi

saran yang membangun bagi pihak akademis, dan juga

praktisi.

a. Manfaat Akademis

Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat

menjadi referensi bagi penelitian serupa dan

memberikan wawasan dalam menggali ilmu mengenai

kesejahteraan sosial, yang fokus pada manajemen

10

kasus. Sehingga, bagi calon pekerja sosial akan lebih

memahami dan menambah kompetensi pada bidang ini.

b. Manfaat Praktisi

Menjadi bahan masukkan kepada lembaga

pemerintahan dan pekerja sosial sebagai bahan

pertimbangan dalam menyusun standar operasional

prosedur pelayanan dan penanganan melalui metode

manajemen kasus kepada klien dan/atau Keluarga

Penerima Manfaat (KPM)

E. Tinjauan Kajian Terdahulu

Manajemen kasus merupakan penyedia layanan yang

dilakukan oleh case manager dimana memiliki peranan

penting dalam pemenuhan bantuan yang dilakukan untuk

klien. Seperti hal nya di Amerika Serikat, manajemen kasus

ditandai sebagai proses bantuan, dimana manajer kasus

mengoordinasi dan/ atau mengadvokasi layanan sosial dan/

atau kesehatan yang diperlukan kliennya (NASW Standards of

Social Work Case Management 2013). Manajer kasus

memberdayakan klien dengan memberikan dukungan

emosional, mencari dan menghubungkan dengan penyedia

layanan, serta memfasilitasi layanan (Cheng, Lo, and Womack

2019).

Pada sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh

Rendiansyah Putra Dinata dan Bambang Shergi Laksmono

pada tahun 2018 mengenai Manajemen Kasus pada Anak yang

Berhadapan dengan Hukum, diketahui bahwa proses yang

11

dilakukan meliputi tahap awal atau identifikasi; penilaian;

perencanaan intervensi; intervensi; review; dan penutupan

kasus (Dinata and Laksmono 2018).

Selain proses yang dilakukan, terdapat elemen dalam

komponen manajemen kasus, yaitu sistem, yang sangat

bervariasi seperti adanya standar sebagai landasan

digunakannya pendekatan manajemen kasus, antara lain

adanya struktur dan tugas tim manajemen kasus; adanya

sumber daya manusia yang terampil; adanya praktik supervisi;

dan proses monitoring evaluasi (Simmel 2014).

Dari kajian yang telah dilakukan oleh para peneliti

sebelumnya, maka dalam hal ini penulis akan melakukan

penelitian mengenai dua komponen inti di dalam Manajemen

Kasus, yaitu proses dan sistem yang terdapat dalam layanan

pada Program Keluarga Harapan (PKH), di wilayah Jakarta

Timur. Dimana proses yang ingin penulis teliti mengenai

proses atau tahapan manajemen kasus yang dilakukan oleh

pendamping sosial dan juga supervisor PKH terhadap kasus

yang ditemukan pada KPM. Selanjutnya, untuk komponen

sistem, akan ditinjau mengenai hukum dan/ atau standar

pelayanan, SDM dan supervisi, dan Keluarga Penerima

Manfaat. Sehingga nantinya akan terlihat, bagaimana dua

komponen manajemen kasus yang dijalankan oleh supervisor

dan juga pendamping PKH kepada para Keluarga Penerima

Manfaat (KPM) di wilayah tersebut.

12

F. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pendekatan penelitian skripsi ini menggunakan

metode ilmiah untuk memperoleh informasi dengan tujuan

dan kegunaan tertentu. Riset diawali dengan memunculkan

permasalahan, mencari jawaban permasalahan dengan

mengkaji literatur untuk membuat hipotesis,

mengumpulkan informasi dari lapangan, menganalisis data

dengan teknik yang relevan, dan pada akhirnya membuat

kesimpulan atau temuan (Sudaryono 2018). Penelitian

kualitatif ialah merupakan penelitian yang berupaya

menganalisis kehidupan sosial dengan menggambarkan

dunia sosial dari sudut pandang ataupun interpretasi

individu (informan). Dengan kata lain, penelitian ini

berupaya memahami bagaimana seorang individu melihat,

memaknai, atau menggambarkan dunia sosialnya.

Memahami merupakan esensi dari penelitian kualitatif

(Sudaryono 2018).

Dengan demikian, untuk menguji dan mendapatkan

data mengenai manajemen kasus yang dilakukan pada

Program Keluarga Harapan (PKH), penulis menggunakan

metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah

penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena

tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya

perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara

holistik, dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata

dan bahasa (Moleong 2018). Sehingga kesimpulan yang

13

akan didapatkan adalah berupa deskriptif atau penjelasan

mengenai proses di dalamnya.

Setelah mengetahui metode yang digunakan dalam

penitian ini, selanjutnya adalah menentukan tujuan

penelitian. Berdasarkan tujuannya, dalam penelitian

kualitatif dibedakan menjadi beberapa penelitian. Dan

penulis menyimpulkan akan menggunakan jenis penelitian

deskriptif. Penelitian deskriptif (descriptive research)

ditujukan untuk mendeskripsikan suatu keadaan atau

fenomena-fenomena apa adanya. Penelitian dekriptif

adalah penelitian terhadap masalah-masalah berupa fakta-

fakta saat inidari suatu populasi yang meliputi kegiatan

penilaian sikap atau pendapat terhadap individu, dari suatu

populasi yang meliputi kegiatan penilaian sikap atau

pendapat terhadap individu, organisasi, keadaan, ataupun

prosedur. Penelitian deskriptif juga dapat dilakukan pada

saat ini atau dalam kurun waktu yang singkat (Sudaryono

2018).

Maka dari itu, sudah tepat apabila jenis penelitian

deskriptif digunakan oleh penulis dalam penelitian ini.

Selain bersifat sistematis, jenis penelitian ini juga

memberikan gambaran berupa fakta dan masalah yang

berkaitan dengan manajemen kasus.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik penelitian atau teknik pengumpulan data

merupakan salah satu unsur penelitian yang sangat penting.

14

Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-

kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan

seperti dokumentasi dan lain-lain (Lofland and Lofland

2018). Pada teknik pengumpulan data dalam penelitian ini,

menyesuaikan dengan masa pandemic Covid-19, penulis

melakukan pengumpulan data hanya dengan dua teknik,

yaitu wawancara dan studi dokumentasi.

a. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud

tertentu. Wawancara digunakan untuk mengetahui hal-

hal dari informan secara lebih mendalam. Situasi dalam

wawancara berhubungan dengan waktu dan tempat saat

wawancara. Waktu dan tempat wawancara yang tidak

tepat dapat menjadikan pewawancara merasa canggung

untuk mewawancarai dan informan akan merasa

enggan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan.

Berdasarkan sifat pertanyaan, wawancara dibedakan

menjadi tiga (Sudaryono 2018), antara lain:

1) Wawancara terpimpin. Artinya, pertanyaan

diajukan menurut daftar pertanyaan yang telah

disusun.

2) Wawancara bebas. Pada wawancara ini, terjadi

tanya jawab bebas antara pewawancara dengan

informan, namun pewawancara tetap menggunakan

tujuan penelitian sebagai pedoman.

3) Wawancara bebas terpimpin. Wawancara ini

perpaduan antara wawancara bebas dan terpimpin.

15

Dalam pelaksanaannya, pewawancara membawa

pedoman yang hanya merupakan garis besar

tentang hal-hal yang akan ditanyakan.

Disamping itu, umumnya wawancara dibedakan

menjadi dua macam, yaitu wawancara berstruktur dan

tidak berstruktur. Dalam wawancara berstruktur,

artinya semua pertanyaan telah dirumuskan

sebelumnya dengan cermat, biasanya secara tertulis.

Dengan demikian, penulis menggunakan teknik

wawancara dengan sifat wawancara yang bebas

terpimpin, dan tidak berstruktur. Artinya, saat

melakukan wawancara dengan informan, penulis pada

dasarnya sudah membuat pedoman wawancara, akan

tetapi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan

disesuaikan dengan situasi dan kondisi di lapangan,

selain itu juga agar informan dapat menjawab dengan

lebih mudah dan luas, sehingga wawancara tidak

terkesan kaku. Dan media yang digunakan dalam

wawancara penelitian ini adalah melalui alat

komunikasi, berkenaan dengan pandemic Covid-19

yang mana diharuskan adanya Pembatasan Sosial

Berskala Besar (PSBB).

b. Studi Dokumentasi

Studi dokumen merupakan merupakan teknik

pengumpulan data dengan mengumpulkan dan

menganalisis dokumen-dokumen, baik tertulis,

16

gambar, hasil karya, maupun elektronik. Dokumen

tersebut setelah diperoleh kemudian dianalisis,

dibandingkan, dan dipadukan untuk membentuk satu

kajian yang sistematis, terpadu dan utuh (Nilamsari

2014).

3. Sumber Data

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengumpulkan

informasi penelitian sesuai dengan dua sumber data yang

telah didapat (Barlian 2016), yaitu:

a. Data Primer

Data yang diperoleh secara langsung dari sumber

data, yaitu informan yang diwawancarai mengenai

manajemen kasus pada PKH di wilayah Jakarta Timur

dengan tujuh orang informan.

b. Data Sekunder

Yaitu data yang didapatkan secara tidak langsung

melalui dokumen yang dimiliki, foto, jurnal, dan buku

yang sesuai dengan topik penelitian pada skripsi ini.

4. Teknik Pemilihan Subjek dan Informan

Teknik yang digunakan penulis untuk memilih

subjek dan informan adalah dengan menggunakan

sampling purposive. Teknik ini menentukan sampel

dengan pertimbangan tertentu, artinya teknik penentuan

sumber data mempertimbangkan terlebih dahulu, bukan

diacak. Artinya menentukan informan sesuai dengan

kriteria terpilih yang relevan dengan masalah penelitian

17

(Bungin 2007). Di bawah ini merupakan kriteria informan

yang penulis tentukan dengan menyesuaikan terkait

dengan kebutuhan dalam penelitian ini, antara lain:

a. Koordinator Kota PKH Jakarta Timur, yaitu seorang

koordinator pada kota administrasi yang memiliki

tanggung jawab untuk mengkoordinasikan, mengelola

data, dan melaporkan implementasi berkaitan dengan

KPM PKH.

b. Supervisor PKH, yakni pekerja sosial profesional yang

melakukan tugasnya untuk mendampingi para

pendamping sosial dalam mengakses pelayanan

komplementer; dan membahas catatan, kelayakan

kasus, dan laporan manajemen kasus dengan

pendamping.

c. Pendamping Sosial, merupakan dampingan kepada

para KPM PKH untuk berkomitmen dan menjalankan

kewajiban berupa kehadiran pada layanan fasilitas

pendidikan dan kesehatan sesuai ketentuan.

d. Keluarga Penerima Manfaat (KPM), masyarakat yang

terdaftar sebagai penerima bantuan sosial non-tunai

Program Keluarga Harapan (PKH).

Tabel 1. 3 Informan Penelitian

No Informan Informasi yang dicari Jumlah

1. Koordinator Kota

PKH Jakarta Timur

Profil PKH, KPM, dan

Sistem manajemen

1

18

kasus PKH di wilayah

Jakarta Timur

2. Supervisor PKH Pelaksanaan proses

atau tahapan

manajemen kasus

1

3. Pendamping Sosial

PKH

Kegiatan

pendampingan,

penanganan kasus

kepada KPM PKH

3

5. KPM Pelayanan apa saja

yang didapatkan

selama terdaftar

sebagai KPM PKH

2

Jumlah 7

Sumber: Hasil Bimbingan Penulis Tahun 2020

5. Waktu dan Tempat Penelitian

a. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan

Maret sampai dengan Juni 2020, melalui aplikasi chat,

dan telepon seluler.

b. Tempat Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan oleh penulis pada

Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Program Keluarga

Harapan (PKH), di wilayah Jakarta Timur 1,

Kecamatan Ciracas, Kecamatan Pasar Rebo,

19

Kecamatan Makasar, Kecamatan Cipayung, dan

Kecamatan Cakung.

6. Teknik Analisis Data

Miles dan Huberman (1992) dalam (Agusta 2003),

terdapat tiga cara dalam analisis data kualitatif, yakni:

a. Reduksi Data

Yaitu proses memilih, menyederhanakan,

pengabstrakan, dan transformasi data asli yang

diperoleh dari lapangan. Reduksi juga menggolongkan,

mengarahkan, menghilangkan yang tidak diperlukan,

dan mengelompokkan data dengan sedemikian rupa

sampai kesimpulan akhir dapat diperoleh.

b. Penyajian Data

Yakni kegiatan penyusunan sekumpulan

informasi, dengan memberikan kesimpulan dan

pengambilan tindakan. Bentuknya berupa teks narasi

hasil dari catatan di lapangan; bentuknya dapat berupa

bagan, grafik, dan/ atau matriks dengan

menggabungkan informasi yang dipadukan, sehingga

memudahkan penarikan kesimpulan.

c. Kesimpulan

Dengan mereview penulisan, melakukan tinjauan

ulang pada catatan yang diperoleh dari lapangan,

bertukar pendapat dengan teman sejawat, dan

melakukan upaya lain untuk mengembangkan hasil

penelitian.

20

Analisis data dalam penelitian kualitatif merupakan

analisis yang mendasarkan pada adanya hubungan

semantis antar variabel yang sedang diteliti. Tujuannya

ialah agar peneliti mendapatkan makna hubungan variabel-

variabel sehingga dapat digunakan untuk menjawab

masalah yang dirumuskan dalam penelitian (Sarwono

2006).

Analisis data kualitatif dilakukan sejak sebelum

memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah

selesai di lapangan. Namun, dalam penelitian ini, analisis

data lebih difokuskan selama proses di lapangan bersamaan

dengan pengumpulan data (Sugiyono 2014).

7. Teknik Keabsahan Data

Dalam pengujian keabsahan data pada metode

penelitian kualitatif, meliputi credibility (validitas

internal), transferability (validitas eksternal),

dependability (reliabilitas), dan confirmability

(obyektivitas) (Sarwono 2006).

a. Credibility. Bahwa uji kredibilitas data atau

kepercayaan terhadap data hasil penelitian kualitatif

antara lain dilakukan dengan perpanjangan

pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian,

triangulasi, diskusi teman sejawat, analisis kasus, dan

membercheck.

b. Transferability. Artinya, penulis memberikan hasil

penelitian dan membuat laporan secara rinci, jelas,

21

sistematis, dan dapat dipercaya. Dengan demikian,

pembaca menjadi jelas atas hasil penelitian, sehingga

dapat memutuskan dapat atau tidaknya untuk

mengaplikasikannya hasil penelitian di tempat lain.

c. Dependability. Atau bisa juga disebut reliabilitas, di

mana penulis mulai menentukan masalah atau fokus,

memasuki lapangan, menentukan sumber data,

melakukan analisis data, melakukan uji keabsahan

data, hingga membuat kesimpulan.

d. Confirmability. Dalam kualitatif disebut juga sebagai

uji obyektivitas kualitatif. Penelitian obyektif apabila

bila hasil penelitian disepakati banyak orang.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika pada penulisan skripsi ini, menggunakan

pedoman penulisan karya ilmiah sesuai dengan Lampiran

Keputusan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, Nomor 507 Tahun 2017, tanggal 14 Juni

2017. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi

masalah, batasan dan perumusan masalah, tujuan

dan manfaat penelitian, metodologi penelitian,

serta sistematika penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI

Bab ini merupakan landasan teori-teori untuk

digunakan dalam mengumpulkan data-data yang

22

berkaitan dengan objek penelitian yaitu intervensi

sosial bagi lanjut usia dalam memelihara

kesehatan mental.

BAB III GAMBARAN UMUM LATAR PENELITIAN

Berisi tentang gambaran secara umum Wilayah

Jakarta Timur dan Manajemen Kasus pada PKH.

BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

Penyajian data dan temuan penelitian yang

diperoleh melalui wawancara dan studi

dokumentasi.

BAB V PEMBAHASAN

Pembahasan hasil data dan temuan di lapangan

yang dikaitkan dengan latar belakang dan teori

penelitian.

BAB VI PENUTUP

Berisi tentang kesimpulan dan saran hasil

penelitian.

23

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

Untuk mendukung penyusunan dalam penelitian ini,

maka diperlukan teori-teori yang berkaitan dengan

permasalahan dan ruang lingkup pembahasan sebagai landasan

teori yang akan penulis bahas, diantaranya adalah Metode

Manajemen Kasus, Perlindungan Sosial, Jaminan Sosial, dan

Konsep Program Keluarga Harapan (PKH).

1. Manajemen Kasus

a. Pengertian Manajemen Kasus

National Association of Social Workers (NASW)

(1992) dalam buku Understanding Generalist Practice

(2010), mendefinisikan case management sebagai

berikut:

“Social work case management is a method of

providing services whereby a professional social

worker asseses the needs of the client and the

client’s family, when appropriate and arranges,

coordinates, monitors, evaluates, and advocates

a packages of multiple services to meet the

specific client’s complex needs”.

Manajemen kasus pekerja sosial merupakan

metode professional memperhitungkan kebutuhan

klien dan keluarga klien, bila perlu, mengatur,

mengoordinasikan, memantau, mengevaluasi serta

mengadvokasi beberapa layanan untuk memenuhi

24

secara khusus kebutuhan kompleks klien (Kirst-

Ashman and H. Hull 2010).

Manajemen kasus adalah intervensi pelayanan

sosial yang luas yang dimaksudkan untuk membantu

individu ataupun keluarga dengan bermacam tantangan

dalam mengakses layanan yang diperlukan (Rapp et al.

2014).

Sehingga dapat disimpulkan bahwa manajemen

kasus merupakan suatu proses pelayanan yang

dilakukan untuk memenuhi kebutuhan klien yang

dibutuhkan ketika mengalami permasalahan, baik yang

menyangkut individu maupun keluarga. Di dalam

manajemen kasus, manajer kasus melakukan

koordinasi dengan berbagai pihak untuk memudahkan

proses pemberian pelayanan dan penanganan yang

diperlukan.

b. Tujuan Manajemen Kasus

Adapun tujuan dari metode manajemen kasus

yang dilakukan untuk memberikan pelayanan kepada

klien, antara lain sebagai berikut (Maryami et al. 2018):

1) Memberikan layanan berkelanjutan;

2) Meningkatkan aksesibilitas dan juga akuntabilitas

layanan; dan

3) Untuk meningkatkan efisiensi ataupun mengurangi

biaya yang dikeluarkan suatu layanan.

c. Prinsip-prinsip Manajemen Kasus

25

Prinsip yang dilakukan dalam proses memberikan

pelayanan melalui metode manajemen kasus, harus

menekankan pada (Maryami et al. 2018):

1) Keterpaduan Pelayanan

Dimaksudkan agar layanan yang diberikan

kepada klien akan mendukung layanan yang lain,

sehingga masalah klien dapat teratasi secara utuh;

2) Keberlanjutan Pelayanan

Keberlanjutan pelayanan memiliki dua arti

yaitu pertama, pelayanan yang disediakan tidak

terpotong dari mulai kontak awal sampai terminasi;

dan kedua, pelayanan yang diberikan bersifat

komprehensif. Ini berarti pelayanan-pelayanan

yang diperlukan klien perlu dipenuhi termasuk

dukungan untuk lingkungan klien;

3) Akses yang Sama

Artinya, setiap masyarakat harus mempunyai

akses yang sama terhadap layanan manajemen

kasus. Peluang akses pelayanan juga dimungkinkan

untuk diperluas termasuk membantu transportasi

klien, mengantar klien ke layanan rujukan atau

melakukan tracing. Karena prinsip ini pula, maka

salah satu peranan yang sangat mendasar bagi

manajer kasus adalah melakukan advokasi;

4) Pelayanan Berkualitas (Efektif dan Efisien)

Efektif berarti pelayanan yang diberikan

mencapai tujuan sesuai dengan tujuan intervensi

26

yang sudah disepakati. Sedangkan efisiensi diukur

dari pemakaian sumber secara produktif, waktu

yang digunakan, biaya pelayanan serta hasil yang

dicapai;

5) Advokasi

Merupakan aksi untuk mewakili kepentingan

klien sekaligus mengarahkan klien agar selanjutnya

mampu melakukan advokasi bagi dirinya sendiri;

6) Memandang Orang Secara Holistik

Artinya intervensi kepada klien selalu

didasarkan pada pemahaman berbagai dimensi

manusia baik fisik, psikis, spiritual ataupun sosial.

Dimensi-dimensi tersebut harus dipandang secara

utuh agar penggalian data maupun penanganan

dapat dilakukan dengan tepat;

7) Pemberdayaan

Pemberdayaan klien berarti memperhatikan

potensi individu. Oleh karena itu dalam setiap

proses perlu menempatkan klien sebagai mitra dan

secara bertahap mendorong mereka agar mencapai

kecukupan kompetensi pribadi. Penghargaan

terhadap klien, tanpa melihat perbedaan didasari

oleh keyakinan pekerja sosial bahwa semua orang

memiliki integritas dan harga diri. Karena itu klien

harus selalu ditempatkan dalam peranan sentral,

dengan selalu mengikutsertakan klien dalam setiap

tahapan manajemen kasus; dan

27

8) Evaluasi

Pelaksanaan evaluasi sangat penting

dilakukan untuk mengecek efektivitas proses

manajemen kasus, outcome yang dihasilkan. Fokus

dari evaluasi adalah relevansi pelayanan dengan

kebutuhan klien, kemajuan dan kepuasan klien,

integrasi pelayanan, kualitas pelayanan dan

outcome pelayanan. Baik pekerja

sosial/pendamping maupun klien ikut serta dalam

evaluasi.

d. Komponen Manajemen Kasus

Manajemen Kasus dalam pelayanannya memiliki

dua komponen utama (O’Connor 1990) dalam Modul

Pelatihan Manajemen Kasus Pekerja Sosial dan

Pendamping (2018), antara lain sebagai berikut:

1) Komponen Proses

Komponen proses adalah komponen terkait

pada aktivitas langsung penanganan kasus.

Komponen ini merujuk pada proses atau tahapan

manajemen kasus itu sendiri mulai dari kontak awal dan

identifikasi kasus hingga terminasi. Namun, dalam

praktik nya secara langsung, proses yang dilakukan

menyesuaikan dengan kasus yang diterima.

2) Komponen Sistem

Komponen sistem adalah komponen yang

dapat mendukung praktik manajemen kasus itu

sendiri. Seperti hal nya kebijakan, hukum, regulasi,

28

dan/atau standar sebagai landasan digunakannya

pendekatan manajemen kasus; adanya struktur dan

tugas tim manajemen kasus; adanya sumber daya

manusia yang terampil; adanya praktik supervisi;

adanya sumber finansial dan material yang

memadai; adanya keterlibatan anak dan keluarga

hingga adanya manajemen data dan proses

monitoring evaluasi.

Sistem sendiri merupakan suatu model yang

menerangkan hubungan tertentu antara sub-sub

sistem dengan sistem sebagai suatu unit. Jika suatu

sub sistem tidak berjalan, maka sistem tidak akan

bekerja maksimal. Intinya, setiap bagian

berpengaruh pada semua atau sesuatu tidak dapat

ada tanpa keberadaan yang lain. Sistem

memberikan sumbangan pada praktik pekerjaan

sosial mikro dan makro. Pada praktik mikro teori

sistem dipergunakan untuk menggali masalah anak

dengan keluarga. Sedangkan sistem terhadap

praktik pekerjaan sosial makro diperuntukkan

mengetahui pengaruh dari suatu sub sistem terhadap

sub sistem lainnya atau menyebabkan terjadinya

permasalahan sosial, baik dilihat dari aspek

objektif, seperti masyarakat, maupun aspek

subyektif, seperti nilai-nilai budaya, agama, dan

lain sebagainya (Tristanto 2020).

Menurut Toolkit Manajemen Kasus (Panduan

Penggunaan Untuk Memperkuat Layanan

29

Manajemen Kasus di Kesejahteraan Anak, 2014),

pada tingkat sistem, faktor-faktor yang

mempengaruhi manajemen kasus termasuk yang

terkait dengan kerangka kerja hukum dan peraturan

(undang-undang, kebijakan, peraturan, dan

standar), undang-undang, kebijakan, peraturan, dan

standar harus menciptakan dasar hukum bagi negara

untuk melakukan intervensi dengan keluarga dalam

situasi risiko dan mengidentifikasi lembaga atau

lembaga yang bertanggung jawab atas intervensi

tersebut; lembaga-lembaga yang bertanggung

jawab untuk menerapkan dan menegakkan hukum

(sumber daya manusia dan supervisi), sistem ini

juga membutuhkan pengawasan yang tepat.

Pengawas sangat penting dalam membimbing staf

untuk bekerja lebih efektif dengan keluarga,

memantau manajemen kasus dan hasil kasus, dan

menyempurnakan model intervensi agar lebih

efektif; masyarakat dan sumber dayanya, serta

anak-anak dan keluarga itu sendiri, anak-anak dan

keluarga harus dilibatkan dalam memperbaiki

situasi mereka. Praktek kasus kesejahteraan anak

dan perilaku keluarga adalah saling tergantung, dan

keduanya berbagi tanggung jawab untuk

meningkatkan fungsi suatu komunitas. Akhirnya,

tujuan utamanya adalah mendorong fungsi keluarga

yang lebih baik.

30

e. Organisasi Manajemen Kasus

Dalam organisasi manajemen kasus sendiri, memiliki

tiga aktor utama untuk menjalankan pelayanannya kepada

klien (Maryami et al. 2018), antara lain:

1) Case Manager

Case Manager adalah seorang pekerja sosial

profesional yang menjalankan tugasnya untuk

melakukan pelayanan dan penanganan pada manajemen

kasus. Case manager memiliki tugas dan wewenang,

yaitu Mengecek kelayakan dari kasus yang dirujuk

beberapa pihak (Dinas Sosial, Kepolisian, Rumah Sakit,

sekolah, LKSA, LSM, lembaga lainnya, dan

komunitas); Mendistribusikan penanganan kasus

diantara para case worker; Melakukan rujukan ke

lembaga lain dan memastikan agar anak atau keluarga

yang dirujuk mendapatkan pelayanan yang

dibutuhkannya; Memonitor proses penanganan kasus

sejak tahap awal sampai dengan tindak lanjut;

Memprakarsai pembahasan kasus; Memprakarsai

pertemuan koordinatif untuk meningkatkan pemahaman

terhadap masalah anak dan memadukan penggunaan

berbagai sumber; dan Melakukan advokasi terkait

perumusan kebijakan perlindungan anak, identifikasi

sumber dan distribusi sumber.

2) Supervisor

Supervisor adalah pekerja sosial profesional yang

melakukan penilaian, dan pendampingan kepada

pekerja sosial atau pendamping. Pada metode

Manajemen Kasus, supervisor bertugas dan memiliki

wewenang, antara lain:

31

a) Membantu case worker menyelesaikan

permasalahan yang dihadapi anak dan keluarga

serta memastikan keselamatan, permanensi,

kesejahteraan anak terpenuhi, termasuk:

(1) Memberikan pengetahuan, metode dan

keterampilan yang diperlukan dalam

penanganan kasus terkait perlindungan anak;

(2) Melakukan koordinasi dengan case worker dan

pendampingan dalam menangani berbagai

kasus dengan memberikan input terhadap hasil

asesmen, penyusunan rencana intervensi,

proses pelaksanaan intervensi, terminasi dan

sistem rujukan;

(3) Melakukan supervisi kepada setiap case worker

secara individual atau kelompok selama proses

penanganan kasus baik terkait pelaksanaan

praktek, administrasi pekerjaan sosial maupun

persoalan pribadi yang dapat menghambat

penanganan kasus;

(4) Memberikan input serta optimalisasi

penangangan kasus melalui pertemuan

pembahasan kasus bersama seluruh case

worker;

(5) Melakukan pembahasan kasus dengan berbagai

pihak yang mempunyai kewenangan

penanganan kasus termasuk para ahli;

(6) Melakukan koordinasi dan advokasi kepada

lembaga-lembaga terkait dalam kegiatan

manajemen kasus;

32

(7) Memberikan berbagai informasi dan fasilitasi

serta berbagai hal yang dibutuhkan untuk

pengembangan program;

(8) Membuat rekapitulasi kasus yang ditangani

seluruh case worker; dan

(9) Memeriksa, memberikan koreksi dan

persetujuan terhadap rencana dan anggaran

program yang dirancang case worker.

b) Menyelesaikan atau menuntaskan permasalahan

yang dihadapi anak dan keluarga serta memastikan

keselamatan, permanensi dan kesejahteraan anak

terpenuhi.

(1) Membantu penyelesaian penanganan berbagai

kasus yang telah ditugaskan kepada case

worker; dan

(2) Menerapkan pengetahuan, metode dan

keterampilan pekerjaan sosial dalam

melaksanakan proses pertolongan pekerjaaan

sosial.

c) Menyampaikan laporan hasil supervisi kepada case

manager.

d) Melakukan penanganan kasus yang kompleks dan

krisis serta membutuhkan penanganan multi

layanan, bersama-sama dengan case worker.

Kegiatan supervisi yang dilakukan oleh

supervisor bertujuan agar case worker dapat

memberikan pelayanan yang berkualitas kepada seluruh

penerima pelayanan sesuai dengan kebijakan dan

prosedur yang telah ditetapkan. Supervisi dilakukan

33

secara reguler minimal dua seminggu sekali atau sesuai

kebutuhan case worker.

Disamping itu, kegiatan dari supervisi mencakup tiga

fungsi (Kadushin 1976), antara lain:

a) Fungsi administratif, dilakukan dengan membantu

case worker agar memahami tanggung jawab dan

tugasnya; mereview seluruh tugas yang dilakukan

dalam bentuk jurnal, catatan kasus, dan laporan

kasus; serta mendukung dokumentasi proses dan

hasil pelaksanaan tugas;

b) Fungsi edukatif, dibutuhkan untuk meningkatkan

kompetensi case worker, dengan cara: memberikan

umpan balik konstruktif terhadap kinerja case

worker secara teratur; mendiskusikan halhal yang

menghambat pelaksanaan tugas karena keterbatasan

pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai case

worker serta mentransfer pengetahuan dan

keterampilan yang akan meningkatkan kompetensi

case worker; dan

c) Fungsi suportif, dilakukan dengan mendukung case

worker mengatasi masalah atau keterbatasan

termasuk masalah pribadi yang kemungkinan

menghambat pelaksanaan tugasnya sebagai case

worker.

3) Case Worker

Case worker adalah pekerja yang dilatih secara

profesional dalam disiplin pekerjaan sosial, yang

menerapkan teknik-teknik, metode, pengetahuan, dan

keterampilan dari profesinya. Case worker atau

34

pendamping juga memiliki tugas dalam menjalankan

tugasnya, yaitu:

a) Menerima rujukan kasus dari manajer kasus;

b) Menemui lembaga perujuk untuk memahami latar

belakang kasus dan menjelaskan penugasan sebagai

case worker yang mendapat mandat dari Dinas

Sosial;

c) Melakukan penanganan kasus dengan prosedur

yang dimulai dari kontak awal, kontrak, asesmen,

perencanaan intervensi, intervensi sampai dengan

terminasi dan tindak lanjut. Pada pelaksanaannya,

penanganan kasus tidak selalu dilakukan

berdasarkan tahapan tetapi sangat fleksibel sesuai

dengan kebutuhan penanganan kasus;

d) Mengikuti pertemuan supervisi dengan Supervisor.

Supervisi dilakukan sesuai kebutuhan case worker

agar penanganan kasus klien dapat berkualitas;

e) Mengikuti pertemuan reguler untuk evaluasi

pelayanan; dan

f) Mengikuti pertemuan koordinatif dengan pemangku

kepentingan perlindungan anak untuk

mengintensian pemahaman terhadap masalah anak

dan memadukan penggunaan berbagai sumber.

f. Model Manajemen Kasus

Salomon mendefinisikan empat model yang sering

digunakan pada manajemen kasus dalam (Kementerian

Sosial RI 2014) , yakni:

1. Expanded Broker Model

Termasuk dalam model manajemen kasus

tradisional dan merupakan model umum, di mana

35

pekerja sosial yang bertugas pada model ini

bertindak sebagai broker yang menghubungkan

klien dengan agensi atau pelayanan lain pada

komunitas untuk mendapatkan kebutuhan-

kebutuhan klien yang spesifik. Pekerja sosial yang

terlibat bertindak sebagai agen penyedia pelayanan.

Menggunakan elemen tugas berupa penilaian,

perencanaan, pelaksanaan, dan pendampingan.

Efektivitas model ini sangat tergantung pada

keutuhan dan efektivitas dari pelayanan komunitas

yang ada.

2. Rehabilitation Model

Model ini banyak membantu klien untuk

mencapai kesuksesan pada lingkungan yang

dipilihnya daripada memperlihatkan program

komprehensif untuk perbaikan, dimana dilakukan

penilaian fungsional sebagai dasar untuk

melakukan rencana rehabilitasi. Manajer kasus

lebih memfokuskan pada perkembangan

keterampilan sampai klien mampu bekerja pada

suatu jaringan. Model ini bagian dari keseluruhan

rehabilitasi psikiatri.

3. Personal Strength Model

Model ini memiliki dua dasar, yakni

pertama, untuk menjadi orang sukses, maka

seseorang harus dapat menggunakan,

mengembangkan, dan menjalankan potensi diri,

serta mempunyai sumber untuk menjalankannya.

36

Kedua, yaitu perilaku individu tergantung pada

sumber-sumber individu yang tersedia. Manajer

kasus pada model ini bertindak sebagai penasihat

yang akan membantu klien dalam memecahkan

masalah dan mengembangkan sumber daya yang

dimilikinya.

4. Full Support Model

Model ini memiliki fungsi tambahan untuk

menyediakan secara langsung sebagian atau

seluruh jasa pelayanan yang dibutuhkan oleh klien.

Model ini sangat khas karena tergabung dalam tim

multidisiplin yang terdiri dari spesialis berbagai

jasa pelayanan yang berbeda, misalnya bagian

perumahan, perawatan, dan rehabilitasi bertugas

memberikan semua kebutuhannya hingga klien

dapat menyesuaikan diri di dalam komunitas.

Manajer kasus juga berupaya menyediakan fungsi

pelayanan manajemen kasus ditambah dengan

berbagai rehabilitasi dan pelayanan pengobatan.

g. Gambaran Umum Proses Manajemen Kasus

Sesuai dengan Panduan Manajemen Kasus Tahun

2018, proses manajemen kasus terdiri atas proses awal

dan identifikasi kasus, proses asesmen yang mencakup

asesmen awal dan lanjutan, penyusunan rencana

intervensi, pelaksanaan intervensi, review kasus dan

evaluasi dan proses terminasi. Proses ini terkadang

37

tidak selalu berlangsung linear, sesuai dengan

karakteristik kasus yang ditangani.

Bagan 2. 1 Proses Manajemen Kasus

Sumber: Materi Bimbingan Orientasi Peksos SPV PKH

Tahun 2018

1) Proses Awal dan Identifikasi Kasus

Proses awal dan identifikasi kasus merupakan

kesempatan bagi pendamping menumbuhkan

kepercayaan terhadap klien dan melakukan kontrak

layanan secara profesional. Pada proses ini pun

pendamping telah memperoleh informasi awal

mengenai permasalahan klien. Tahapan ini juga

merupakan awal di mana seorang pekerja sosial

mengorientasikan diri pada masalah yang dihadapi

dan mulai menjalin komunikasi dan hubungan

dengan klien untuk menangani masalah.

38

Peksos juga harus menjalin hubungan yang

harmonis dengan klien dan sistem untuk

berkomunikasi dalam menyelesaikan masalah.

Tahapan ini didasarkan pada perolehan berbagai

keterampilan mikro. Baik kata-kata yang

digunakan (komunikasi verbal) maupun tindakan

dan ekspresi (komunikasi non-verbal). Komunikasi

non-verbal meliputi gerak tubuh, ekspresi wajah,

postur, dan nada suara (Barker 1995). Tidak hanya

itu, diperlukan komunikasi interpersonal atau

antarpribadi bagi pekerja sosial dalam tahapan ini.

Yaitu merupakan proses komunikasi yang

berlangsung antara dua orang atau lebih secara

tatap muka dimana pengirim dapat menyampaikan

pesan secara langsung dan penerima pesan dapat

menerima dan menanggapi secara langsung

(Cangara, 1998). Persepsi interpersonal membawa

pengaruh yang besar bagi komunikasi

interpersonal. Adapun faktor-faktor menumbuhkan

interpersonal dalam komunikasi interpersonal

(Rakhmat, 1986): percaya, sikap suportif, sikap

terbuka.

Proses awal ini ditandai dengan:

Bagan 2. 2 Tahap Proses awal dan identifikasi kasus

39

Sumber: Modul Pelatihan Manajemen Kasus Tahun 2018

Kontrak merupakan hal wajib di dalam

manajemen kasus. Pelaksanaan manajemen kasus

tidak dapat dilakukan tanpa adanya kontrak atau

persetujuan anak maupun keluarga. Sekalipun anak

yang tidak memiliki keluarga, kontrak harus tetap

dilakukan yakni kepada wali atau pihak yang

bertanggung jawab atas anak tersebut.

2) Asesmen

Asesmen dapat diartikan sebagai suatu proses

atau produk. Proses berarti pengumpulan informasi,

sedangkan produk berarti hasil asesmen ini akan

menjadi dasar dirumuskannya rencana pemecahan

masalah pada tahap selanjutnya. Pada proses ini

mengikutsertakan tahapan dimulai dari wawancara

atau interview clinical sampai dengan penggunaan

instrument asesmen (Husmiati 2012). Wawancara

atau interview digunakan sebagai metode yang

utama guna mengumpulkan informasi yang

diperlukan, dan digunakan untuk membuat

Menerima rujukan kasus

Melakukan koordinasi

Mempelajari dokumen klien

Melakukan kontak langsung dengan

klien

Mendorong klien menyampaikan

masalahnya

Melakukan wawancara singkat

Membuat analisa/keputusan singkat atau tepat

Rujukan apabila diperlukan

Membahas tujuan layanan dan

kontrak

40

keputusan dalam pelaksanaan intervensi (Haryanto

2009) . Elizabeth Nicholds mengutip dalam (Budhi

Wibawa, 1985), mengemukakan beberapa saran

yang perlu dilakukan oleh case worker atau pekerja

sosial saat melakukan wawancara, antara lain:

a) Pekerja sosial menjaga volume suara agar tetap

bernada rendah. Jika suara peksos bernada

tinggi, maka klien akan merasa tegang, dan

sebaliknya, apabila suara peksos dapat

dikendalikan dan tenang, maka klien akan

merasa nyaman saat diwawancarai.

b) Pekerja sosial tidak boleh memperlihatkan rasa

bosan dan/atau tidak sabar.

c) Akhirilah selalu wawancara dengan membuat

kejelasan mengenai apa yang akan dilakukan

selanjutnya, dan juga mengadakan perjanjian

untuk pertemuan yang akan datang.

Selain itu, pada saat wawancara, case worker

atau pekerja sosial juga dituntut untuk dapat

melakukan keterampilan berupa:

a) Keterampilan memperhatikan

b) Keterampilan membuka percakapan

c) Keterampilan mendengarkan

d) Keterampilan menjawab secara empatis

Bagan 2. 3 Tahap Asesmen

41

Sumber: Modul Pelatihan Manajemen Kasus Tahun 2018

Instrumen Asesmen

Pada tahap asesmen, dapat menggunakan

berbagai tools atau alat asesmen. Adapun tools atau

alat asesmen yang digunakan pada proses asesmen

antara lain:

a) Instrumen Asesmen Awal Anak

Digunakan pada awal asesmen untuk menggali

identitas, pendidikan, informasi tentang

keluarga, situasi anak pada saat ini, aktivitas

sehari-hari, hubungan komunikasi anak dan

keluarga, hingga kondisi kesehatan dan

keterampilan yang dimiliki anak.

b) Instrumen Asesmen Kerentanan Keluarga

Digunakan untuk menggali identitas orangtua

dan kondisi keluarga, perkembangan anak, isu

pengasuhan, isu ekonomi, isu perlindungan,

dan isu pendidikan.

Mengumpulkan informasi

tentang klien

Meminta klien menggambarkan

situasi permasalahan

home visit, sekolah, dan

pihak lain

Menyusun dan mendokumentasi

kan informasi

Menggunakan alat asesmen

Melakukan konferensi

kasus

Melakukan analisa

Meninjau kembali asesmen

42

c) Instrumen Asesmen Bio Psiko Sosial Spiritual

Digunakan pada asesmen lanjutan untuk

memahami kondisi fisik atau biologis,

psikologis, sosial, dan spiritual klien. Hingga

situasi pengasuhan yang meliputi keselamatan,

permanensi, dan kesejahteraan diri klien.

d) Genogram

Untuk mengetahui silsilah hingga anggota

keluarga klien, umumnya sampai derajat ketiga.

e) Eco Map

Untuk mengetahui hubungan klien dengan

keluarga dan orang-orang di sekitar.

f) Geno Map

Merupakan penggabungan antara genogram

dan ecomap.

g) History Map

Untuk mengetahui riwayat klien atau

kronologis kasus yang dialami.

h) Life Road Map

Untuk mengetahui riwayat klien beserta

traumatik yang dialami klien.

i) Mobility Map

Untuk mengetahui rutinitas perpindahan klien

sehari-hari, umumnya digunakan klien dengan

tingkat mobilitas tinggi seperti anak jalanan,

gelandangan, dan sebagainya.

j) Body Map

43

Untuk mengetahui bagian tubuh yang

mengalami kekerasan fisik maupun seksual.

k) Napoleon Hills

Untuk mengetahui cita-cita atau harapan klien

di masa mendatang.

3) Rencana Intervensi

Rencana intervensi merupakan rencana tindak

lanjut dari tahapan asesmen, karenanya rencana

intervensi yang disusun harus berdasarkan pada

asesmen yang telah dilakukan sebelumnya. Pada

proses perencanaan itervensi, dapat dilakukan

melalui:

a) Case Conference (Konferensi Kasus)

Konferensi Kasus berarti melakukan

perencanaan intervensi dengan melibatkan para

profesional.

b) Pertemuan Keluarga

Melakukan perencanaan intervensi dengan

melibatkan keluarga dan para profesional.

c) Konferensi Keluarga

Serupa dengan pertemuan keluarga, akan

tetapi peran keluarga sangatlah dominan pada

proses ini, dibandingkan para peran profesional.

Karena pada kegiatan ini, terdapat private time,

dimana keluarga merumuskan rencana

intervensi tanpa melibatkan para profesional.

44

Tujuan intervensi pun harus dinyatakan jelas

dengan menggunakan SMART dalam merumuskan

tujuan.

Tabel 2. 1 Metode SMART

S Pernyataan tujuan difokuskan pada tujuan yang

jelas.

M Dapat mengukur ketika tujuan telah dicapai.

A Fokus pada perilaku.

R Tujuan harus dicapai.

T Ditetapkan dalam kerangka waktu tertentu, bisa

juga terkait dengan seberapa sering, atau kapan.

Sumber: Modul Pelatihan Manajemen Kasus Tahun 2018

4) Pelaksanaan Intervensi

Pelaksanaan intervensi adalah pelaksanaan dari

perencanaan intervensi yang sudah dirumuskan dan

dilaksanakan selaras dengan hasil asesmen

sebelumnya. Pada proses intervensi dalam

manajemen kasus, pada dasarnya kita hanya

melaksanakan dua kegiatan utama, yaitu:

a) membisakan (enabling)

Artinya, peksos atau pendamping mengatasi

sendiri permasalahan yang dialami oleh klien.

b) memfasilitasi (facilitating)

Artinya, peksos atau pendamping mengatasi

permasalahan yang dialami oleh klien dengan

mengakses atau menghubungkan klien dengan

sistem sumber atau layanan yang dibutuhkan.

45

5) Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dan evaluasi upaya untuk

mengetahui keberhasilan dari pelaksanaan

intervensi. Pada proses ini, peksos atau

pendamping harus melibatkan klien dan keluarga

dengan memberikan penilaian terhadap

keberhasilan dan manfaat pelayanan yang

diterimanya serta pelayanan yang telah diberikan

oleh peksos atau pendamping itu sendiri.

Menurut Pietrzak, Ramler, Ford, Renner, dan

Glibert (1990) di dalam (Adi 2001), evaluasi

sendiri terbagi menjadi tiga model, yaitu:

a) Evaluasi input. Menurut Glibert (1990) dalam

(Adi 2001), evaluasi input ialah evaluasi yang

mampu menentukan komponen pada standar

layanan program, sumber daya program, dan

sumber penunjang yang lain.

b) Evaluasi proses. Adalah evaluasi kepada

berbagai elemen terkait dalam menentukan

pelayanan dan kualitas pemberian pada

pelayanan suatu program. Fokusnya pada

aktivitas program yang melibatkan interaksi

langsung antar klien dan petugas, serta bagian

dari pusat pencapaian target program.

c) Evaluasi hasil. Dilakukan setelah pelaksanaan

suatu program berakhir. Dilakukan untuk fokus

melihat apakah masyarakat atau anggota

46

komunitas mengalami suatu perubahan setelah

menjalankan suatu program.

6) Terminasi

Terminasi adalah proses pengakhiran seluruh

rangkaian proses manajemen kasus. Terminasi pun

diartikan sebagai pemutusan relasi pertolongan

antara peksos atau pendamping dengan klien dan

pihak-pihak yang terlibat dalam seluruh rangkaian

proses manajemen kasus.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan, yakni:

a) Perencanaan terminasi

Dimana peksos atau pendamping

berkonsultasi dengan supervisor untuk

menentukan apakah kasus sudah layak

diterminasi atau tidak. Apabila supervisor

menilai layak untuk dilakukan terminasi, maka

peksos atau pendamping menyampaikan

rencana intervensi kepada klien dan keluarga.

b) Terminasi

Peksos atau pendamping melakukan

pengakhiran layanan yang disaksikan oleh

supervisor, manajer kasus, dan pihak perujuk.

Pelaksanaan terminasi diawali dengan

pembacaan formulir terminasi oleh peksos atau

pendamping, yang dilanjutkan dengan

mendengarkan kesan-kesan klien, dan diakhiri

47

dengan penandatanganan formulir oleh klien,

peksos atau pendamping, dan para saksi.

Terminasi dapat menghasilkan reaksi

emosional pada klien karena relasi yang dekat

telah terjalin antara peksos atau pendamping

dengan klien. Reaksi tersebut dapat bersifat

positif atau negatif. Sebaliknya, klien juga

mungkin merasa tidak puas, tidak senang,

sedih, atau marah ketika merasa ditinggalkan.

Untuk kasus-kasus tertentu, dikenal dengan

istilah terminasi sepihak, yakni terminasi yang

hanya dilakukan oleh peksos atau pendamping

atas persetujuan supervisor yang dilakukan

karena situasi-situasi tertentu seperti klien

meninggal dunia, tidak diketahui

keberadaannya, ataupun menolak didampingi.

Pada situasi ini, peksos atau pendamping harus

membuat surat pernyataan ataupun justifikasi

mengenai alasannya dilakukan terminasi

sepihak. Surat pernyataan atau justifikasi harus

atas persetujuan dan ditandatangani oleh

supervisor.

h. Membangun dan Mengembangkan Sistem Rujukan

Sistem rujukan ialah suatu sistem kerjasama antar

berbagai pihak, baik instansi pemerintah maupun

masyarakat. Sistem ini penting dilakukan untuk

48

mempertahankan keberhasilan penanganan kasus.

Pentingnya sistem rujukan dikarenakan keterbatasan

sumber daya yang dimiliki oleh suatu lembaga layanan

serta kompleksitas permasalahan yang ditangani,

sehingga memerluka dukungan dari lembaga yang lain.

Tidak hanya itu, eksistensi lembaga layanan terjadi

apabila lembaga tersebut memiliki hubungan yang baik

dengan lembaga lain, baik lembaga pemerintah, swasta,

dan/ atau masyarakat.

Langkah membangun sistem rujukan adalah

dengan:

a) Identifikasi lembaga atau pihak pitensial menjadi

oendukung penanganan kasus.

b) Lakukan pemetaan dan analisis lembaga atau pihak

tersebut.

c) Lakukan kontak konsultasi dan koordinasi masing-

masing lembaga atau pihak tersebut.

d) Menginisiasi pertemuan dengan seluruh lembaga

atau pihak tersebut untuk menyamakan persepsi dan

menyusun visi bersama.

e) Membangun komitmen bersama untuk sharing

sumber daya sesuai dengan kewenangan dan

kapasitas yang dimiliki masing-masing lembaga.

Perkuat dengan mendorong adanya MoU, Surat

Keputusan, dan peraturan lainnya.

f) Menghimpun seluruh lembaga atau pihak dalam

suatu wadah seperti tim kerja, dan sebagainya

49

dengan jadwal pertemuan rutin bulanan untuk

membahas kasus.

g) Membuat mekanisme koordinasi antar lembaga

atau pihak yang dilibatkan. Tuangkan dalam bentuk

Standar Operasional Prosedur Penanganan Kasus

yang disepakati bersama.

h) Mulailah bekerja sesuai rencana secara sistematis,

konsisten, dan bertahap.

Disamping itu, pengembangan sistem rujukan

dimaksudkan untuk memperkuat kinerja sistem rujukan

itu sendiri. Langkah-langkah dalam mengembangkan

sistem rujukan antara lain:

a) Tambahkan jumlah lembaga atau pihak potensial

pendukung penanganan kasus.

b) Lakukan penataan sistem rujukan seperti

penyelenggaraan pelatihan bersama, penguatan

administrasi, manajemen, dan kepercayaan di

antara pihak atau lembaga yang dilibatkan.

2. Teori Kognisi-Tingkah Laku

Teori kognisi berpendapat bahwa tingkah laku

dipengaruhi oleh persepsi atau interpretasi terhadap

lingkungan selama proses belajar. Apabila tingkah laku

nya tidak sesuai, maka dapat dipastikam karena tidak benar

dalam mempresepsikan dan menginterpretasi lingkungan.

Karenanya, terapis (pekerja sosial) berupaya untuk

50

memperbaiki kesalahpahaman sehingga tingkah laku nya

menjadi lebih baik (Malcolm 2005).

Teori belajar sosial (Bandura, 1977) membangun ide

tersebut dengan sebuah alasan bahwa biasanya belajar

dilakukan oleh persepsi orang dan memikirkan tentang

pengalaman apa yang dimiliki. Mereka belajar dengan cara

mencontoh orang yang berada di sekelilingnya. Proses ini

akan membantu mempermudah terapi.

Konsep dasar terapi kognisi adalah bahwa kognisi

merupakan kunci untuk memahami dan menangani

gangguan psikologis. Oleh sebab itu, kognisi didefinisikan

sebagai fungsi yang melibatkan tentang pengalaman

seseorang dan tentang terjadinya peristiwa di masa

mendatang dan pengontrolannya. Hal ini karena manusia

dihadapkan pada keharuan untuk beradaptasi dengan

lingkungan yang selalu berubah. Kognisi berperan dalam

mengidentifikasi dan memprediksi berbagai hubungan

kompleks di antara berbagai kejadian untuk tujuan adaptasi

(Jones 2011).

Terapi perilaku didasarkan atas berbagai teori belajar

dan perilaku yang dipelajari, sementara teori kognitif

didasarkan atas keyakinan bahwa kebanyakan gangguan

berasal dari pemrosesan informasi yang salah. Interpretasi

terhadap peristiwa-peristiwa yang tercermin dalam

kandungan pemikiran-pemikiran otomatis individu

merupakan komponen utama bias-bias sistematik lain yang

mencirikan gangguan-gangguan tertentu seperti:

51

a. Panik: diinterpretasikannya tanda-tanda tubuh (gejala

otomatis). Misalnya, meningkatnya denyut jantung

menandakan serangan jantung.

b. Hipokondrosiasis: Menandakan bahwa suatu

keyakinan terhadap penyakit tertentu lebih mungkin

terjadi.

c. Depresi: Pandangan negatif terhadap diri sendiri,

dunia, dan masa depan.

d. Kecemasan: Rasa bahaya secara fisik atau psikologis.

e. Keadaan paranoid: Bersifat bias terhadap orang lain.

f. Krisis: Peristiwa genting yang menimbulkan

keyakinan-keyakinan dasar tentang diri sendiri, yang

menimbulkan persepsi tentang situasi sebagai krisis.

Pada prinsipnya, teori kognitif perilaku adalah

mengidentifikasikan kandungan pemikiran meliputi

asumsi, keyakinan, harapan, pesan kepada diri sendiri, atau

kelengkapan. Melalui berbagai teknik, pemikiran-

pemikiran kemudian dikaji untuk menentukan dampak

akhirnya terhadap emosi dan perilaku klien. Beberapa

model juga meliputi penggalian pengembangan pemikiran

untuk mempromosikan pemahaman diri. Hal ini diikuti

dengan penggunaan teknik-teknik yang mendorong klien

untuk mengadopsi pemikiran alternatif dan yang lebih

dapat menyesuaikan diri (Jones 2011).

52

3. Teori Belajar Sosial

Alber Bandura (1977), salah satu pencetus social

learning theory atau teori belajar sosial, beranggapan

bahwa setiap orang belajar melalui pengalaman langsung

atau pengamatan kemudian mencontoh dan

mempraktikannya. Atau bisa juga melalui apa yang ia baca,

dengar dan lihat, serta dari orang di lingkungan sekitarnya.

Para ahli mengemukakan peran aktivitas kognitif dan

belajar dengan mengamati tingkah laku manusia, dan

melihatnya sebagai orang yang berpengaruh terhadap

lingkungannya, seperti lingkungan berpengaruh terhadap

dirinya. Dapat juga dikatakan, teori belajar sosial adalah

pandangan yang mengedepankan kombinasi tingkah laku,

lingkungan, serta kognisi sebagai faktor utama dalam

perkembangan.

Adapun prinsip-prinsip yang terdapat dalam teori

belajar sosial, antara lain:

a. Faktor-faktor yang saling menentukan

Bandura menyatakan diri manusia pada dasarnya

merupakan sebuah sistem. Sistem ini bermakna

perilaku, berbagai faktor yang terdapat pada diri

seseorang, dan peristiwa yang terjadi di dalam

lingkungannya, secara bersama saling bertindak

sebagai penentu yang satu dengan lainnya. Terdapat

tiga faktor yang menjadi penentu dalam teori ini, yaitu

kepribadian (personal), perilaku (behavior), dan

lingkungan (environment).

53

b. Kemampuan memahami sebuah simbol atau gambar

Bandura menjelaskan, manusia memahami dunia

secara simbolis melalui gambar-gambar kognisi. Selain

itu, perilaku yang terlihat akan diuji cobakan terlebih

dahulu secara simbolis, dalam pikiran, tanpa harus

mengalaminya terlebih dulu. Karena pikiran-pikiran

yang timbul atau gambaran kognitif dari masa lalu

maupun masa depan akan mempengaruhi munculnya

perilaku tertentu.

c. Kemampuan berpikir ke depan

Kemampuan berpikir selain untuk mengingat hal

yang sudah pernah dialami, juga dapat dimanfaatkan

untuk berpikir ke depan. Manusia dapat bereaksi

terhadap orang lain, selain itu dapat menentukan

tujuan, dan merencanakan sesuatu yang ditentukan

untuk mencapai tujuannya. Hal ini yang biasanya

mengawali tindakan dan membuat manusia berpikir ke

depan.

d. Kemampuan seolah-olah mengalami apa yang dialami

oleh orang lain

Manusia pada dasarnya mampu belajar dengan

cara memperhatikan perilaku orang lain dan melihat

bagaimana konsekuensi yang diterimanya.

e. Kemampuan mengatur diri sendiri

Pada umumnya, orang memiliki kemampuan

untuk mengendalikan perilakunya sendiri, sehingga ia

54

tetap memiliki tanggung jawab pada setiap tingkah

lakunya.

f. Kemampuan berefleksi

Prinsip ini menjelaskan bahwa kebanyakan

orang-orang melakukan refleksi sebagai upaya

perenungan untuk memikirkan kemampuan dirinya,

dengan menilai ide-ide yang terdapat di dalam

pikirannya. Yang paling penting pada prinsip ini

adalah, mengukur kemampuan diri sendiri untuk

melakukan tugas dan tanggung jawab.

4. Perlindungan Sosial

a. Pengertian Perlindungan Sosial

Perlindungan sosial merupakan sebuah aspek

yang tidak terpisahkan dalam proses pembangunan

serta pengentasan kemiskinan dan pengurangan

kesenjangan dalam sebuah negara. Cita-cita bangsa

Indonesia akan sistem perlindungan sosial telah

diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD)

1945 sebagai landasan konstitusi negara. Pembukaan

UUD 1945 mengamanatkan bahwa pemerintah harus

melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah,

memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan

kehidupan bangsa. Pasal 34 UUD 1945 juga

mengamanatkan bahwa fakir miskin dan anak telantar

dipelihara oleh negara dan negara wajib

mengembangkan sistem perlindungan dan jaminan

55

sosial yang bersifat nasional (Supriyanto, Ramdhani,

and Rahmadan 2014).

Perlindungan sosial dapat didefinisikan sebagai

segala inisiatif, baik yang dilakukan oleh pemerintah,

sektor swasta maupun masyarakat yang bertujuan

untuk menyediakan transfer pendapatan atau konsumsi

pada orang yang kurang dan/atau tidak mampu,

melindungi kelompok rentan terhadap risiko-risiko

penghidupan (livelihood) dan meningkatkan status dan

hak sosial kelompok-kelompok yang terpinggirkan di

dalam suatu masyarakat. Perlindungan sosial

merupakan elemen penting strategi kebijakan publik

dalam memerangi kemiskinan dan mengurangi

penderitaan multidimensi yang dialami kelompok-

kelompok lemah dan kurang beruntung (Suharto 2011).

(Guhan 1994) melihat bahwa perlindungan sosial

mempunyai komponen yang lebih luas, diantaranya

mencakup komponen perlindungan, pencegahan, serta

promosi. Komponen perlindungan terdiri dari berbagai

kebijakan yang bertujuan memastikan tingkat

kesejahteraan minimal untuk masyarakat yang

kesusahan. Komponen pencegahan berisikan berbagai

kebijakan yang bertujuan mencegah masyarakat yang

tergolong rentan untuk jatuh dibawah standar

kesejahteraan yang ditentukan. Komponen promosi

mencakup kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk

56

mengurangi kerentanan setiap individu di masa

mendatang.

Menurut Department for International

Development (DFID 2005), terdapat setidaknya jalan

untuk mewujudkan konsep pendekatan perlindungan

sosial yang seimbang. Pertama, melalui peningkatan

keamanan dengan membantu rumah tangga dan

komunitas untuk meningkatkan kesinambungan

penghidupannya dalam menghadapi guncangan

ekonomi, politik, lingkungan, kesehatan, serta bentuk

guncangan lainnya. Kedua, melalui peningkatan

kesetaraan dengan memperbaiki tingkat penghidupan

untuk menjamin keterpenuhan hak-hak dasar seluruh

penduduk serta dengan meningkatkan konsumsi

masyarakat miskin. Ketiga, melalui peningkatan

pertumbuhan dengan menjamin akses setiap rumah

tangga untuk menghasilkan tenaga kerja yang

produktif, membangun nilai-nilai solidaritas sosial,

serta menyediakan lingkungan yang menjamin

kemudahan individu dalam beradaptasi. Disamping itu,

(Scott 2012) tipe program perlindungan sosial yang

paling umum mencakup bantuan sosial, jaminan sosial,

intervensi pasar tenaga kerja, dan program berbasiskan

komunitas. (Van Ginneken 1999) serta (Ferreira and

Robalino 2010) mengklasifikasikan program

perlindungan sosial menjadi dua kelompok, yaitu

bantuan sosial dan program jaminan sosial.

57

Dapat disimpulkan berdasarkan hal di atas,

perlindungan sosial adalah suatu kebijakan yang telah

diatur oleh Undang-Undang, yang dirumuskan ke

dalam bentuk program-program dalam melindungi

warga negara. Perlindungan sosial juga ditujukan untuk

menuruni angka kemiskinan di suatu negara serta

masalah kerentanan melalui upaya perbaikan dan

peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).

b. Langkah-langkah Pengembangan Perlindungan

Sosial

1) Mekanisme Penargetan Penerima Program

Perlindungan Sosial

Penentuan penerima merupakan salah satu

bagian yang sangat penting dalam program

perlindungan sosial sehingga memerlukan sebuah

mekanisme yang mampu meminimalkan

permasalahan. Sebelum melakukan penetapan

sampai level terkecil dari target suatu program

perlindungan sosial, diperlukan pengumpulan data

yang dapat menggambarkan sasaran penerima

program.

Data kemiskinan yang ada saat ini terbagi

menjadi dua kelompok yaitu data kemiskinan

makro dan data kemiskinan mikro. Data

kemiskinan makro di Indonesia tersedia sejak tahun

1976 dengan pelaksaan Survei Sosial Ekonomi

Nasional (Susenas). Badan Pusat Statistik sebagai

58

penanggung jawab pengumpulan data

menggunakan konsep kemampuan memenuhi

kebutuhan dasar (basic needs approach). Konsep

yang juga digunakan oleh beberapa negara lain

adalah pendekatan pengukuran kemiskinan absolut

yang ditentukan dari sumber daya minimum yang

diperlukan untuk kesejahteraan fisik, biasanya

dalam konsumsi. Kemiskinan dipandang sebagai

ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk

memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-

makanan (diukur dari sisi pengeluaran).

Pemanfaatan data kemiskinan makro dimanfaatkan

sebagai untuk indikator kinerja dan sebagai target

geografis, tidak dalam lingkup operasional atau

penargetan langsung untuk pelaksanaan program

bantuan langsung kepada rumah tangga.

Disamping itu, data kemiskinan mikro

dilakukan untuk keperluan penargetan program

perlindungan sosial dan penanggulangan

kemiskinan secara spesifik berdasarkan nama dan

alamat. Sumber data kemiskinan mikro sudah

tersedia sejak tahun 2005 melalui Pendataan Sosial

Ekonomi (PSE), yang kemudian disempurnakan

dalam Pendataan Program Perlindungan Sosial

(PPLS) tahun 2008 dan 2011. Data PSE dan PPLS

memuat informasi rumah tangga sasaran by name

by address dan digunakan dalam proses penargetan

59

sasaran untuk program perlindungan sosial (BLT,

PKH, Raskin, Jamkesmas, dan BSM).

2) Pendekatan Siklus Hidup dalam Program

Perlindungan Sosial

Kebijakan perlindungan sosial difokuskan

kepada pencegahan dan pengurangan risiko dan

kerentanan yang dihadapi oleh individu, rumah

tangga, serta komunitas. Adanya risiko dan

kerentanan merupakan hal yang pasti dalam setiap

fase hidup, serta memiliki karakteristik yang

berbeda-beda pada setiap fase hidup yang dilalui.

Berdasarkan hal tersebut, pendekatan siklus hidup

dapat menjadi sebuah cara untuk mengidentifikasi

tantangan dan kerentanan secara sistematis dari

setiap tahapan hidup bagi penduduk yang rentan.

Setiap fase hidup dari seorang penduduk dapat

memiliki bentuk risiko dan kerentannnya sendiri.

Sebagai gambaran, bayi dan balita (0 s.d. 5

tahun) dapat menghadapi risiko dan kerentanan

berupa kekurangan nutrisi dan masalah

pertumbuhan, kehilangan orang tua atau

ketelantaran, serta kesulitan akses untuk imunisasi.

Anak usia sekolah (6 s.d. 18 tahun) dapat

menghadapi risiko dan kerentanan berupa kesulitan

akses untuk bersekolah, putus sekolah, kehilangan

orang tua atau ketelantaran, dipekerjakan dibawah

umur, terinfeksi penyakit, hingga terlibat

60

pernikahan atau kehamilan dini. Penduduk usia

praproduktif (19 s.d. 24 tahun) dan usia produktif

(25 s.d. 60 tahun) dapat menghadapi risiko dan

kerentanan berupa kehilangan pendapatan,

terinfeksi penyakit, mengalami kecelakaan kerja,

mengalami diskriminasi, kehilangan anggota

keluarga, serta risiko dan kerentanan lainnya.

Penduduk berusia lanjut (60 tahun keatas) dapat

menghadapi risiko dan kerentanan berupa

ketiadaan penghasilan, memburuknya kondisi

kesehatan, hingga diskriminasi. Perencanaan

kebijakan perlindungan sosial di masa mendatang

diharapkan dapat lebih memanfaatkan pendekatan

siklus hidup.

Pendekatan siklus hidup terhadap kebijakan

perlindungan sosial dilakukan untuk mengetahui

dan memahami kerentanan dan kebutuhan individu

pada setiap tahapan hidupnya. Hal tersebut

bertujuan untuk memastikan bahwa seluruh

penduduk yang tergolong miskin dan rentan dapat

melewati seluruh fase hidupnya dengan baik.

Terdapat beberapa langkah yang dapat

dilakukan dalam penerapan pendekatan siklus

hidup dalam kebijakan perlindungan sosial di

Indonesia. Pertama, identifikasi risiko sosial utama

yang dihadapi oleh penduduk Indonesia dan

estimasi jumlah populasi yang menghadapi risiko

61

dan kerentanan. Kedua, analisis efektivitas

kebijakan-kebijakan perlindungan sosial yang telah

dilaksanakan untuk menanggulangi risiko dan

kerentanan tersebut. Ketiga, identifikasi praktik

terbaik untuk memperbaiki cakupan dan efektivitas

dari kebijakan perlindungan sosial untuk memenuhi

kebutuhan dari populasi yang menghadapi risiko

dan kerentanan. Penerapan pendekatan siklus hidup

terhadap kebijakan perlindungan sosial ini

diharapkan dapat meningkatkan efektifitas dan

keberhasilan dari program perlindungan sosial

(Supriyanto, Ramdhani, and Rahmadan 2014).

3) Pengembangan Sistem Rujukan dan Layanan

Terpadu

Penanganan permasalahan sosial ke depan

tidak hanya terfokus pada substansi kemiskinan,

tetapi juga harus bergeser pada upaya

pembangunan ketahanan keluarga dan

penghidupan yang berkelanjutan. Kondisi yang ada

saat ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan dan

pelayanan sosial program perlindungan sosial

dalam rangka penanggulangan permasalahan

kemiskinan yang telah dilakukan masih berbentuk

pelayanan sosial yang bersifat sektoral, dengan

jangkauan yang masih terbatas dan hanya merespon

permasalahan aktual secara reaktif. Fokus

pelayanan yang ada saat ini masih berbasis institusi,

62

dan belum ada rencana strategis nasional untuk

mewujudkan keterpaduan pelayanan. Selain itu,

salah satu kendala utama dalam pelaksanaan

program adalah ketidakakuratan data penerima

program dan pelayanan program yang

terfragmentasi, sehingga menyebabkan dampak

pelaksanaan program perlindungan sosial belum

optimal.

Tantangan yang muncul kemudian, baik

pemerintah pusat maupun daerah harus lebih

mengenali dan memahami permasalahan sosial di

daerahnya sekaligus mampu memberikan solusi

layanan yang dibutuhkan oleh masyarakat, secara

tepat, cepat, efektif dan efisien serta terintegrasi.

Untuk itu, diperlukan sebuah sistem rujukan dan

layanan terpadu guna mengatasi permasalahan-

permasalahan tersebut. Sistem ini diharapkan akan

memiliki 3 (tiga) fungsi utama, yaitu pemutakhiran

dan pengelolaan data, rujukan program sosial, dan

penanganan keluhan program perlindungan sosial.

Sistem Rujukan dan Layanan Terpadu

(SRLT) akan mengembangkan jaringan hingga

unit-unit pelayanan di tingkat kecamatan atau

desa/kelurahan sesuai dengan kondisi dan

kebutuhan daerah. Untuk itu, diperlukan sistem

terpadu untuk mengatasi beberapa masalah yang

disebutkan di atas. Konsep sistem yang coba

63

dikembangkan mencakup koordinasi antarinstansi

dan antarprogram. Perbaruan basis data kemiskinan

dengan cara yang lebih teratur serta pemberian alat

bagi pemerintah daerah diharapkan dapat

meningkatkan koordinasi program di tingkat lokal

dan mewujudkan program yang lebih responsif dan

relevan dengan kebutuhan dan keinginan daerah.

SRLT ini memberikan ruang bagi pekerja sosial

atau fasilitator dalam pelaksanaan pelayanan serta

rujukan bagi penduduk miskin dan rentan yang

belum memperoleh bantuan program di tingkat

nasional dan lokal. SRLT juga akan menjadi

penghubung bagi masyarakat untuk menyampaikan

keluhan dan pengaduan terhadap program yang

dilaksanakan oleh pemerintah. Keluarga tersebut

juga akan dilacak dan dimonitor untuk memastikan

bahwa mereka menerima respons yang tepat. Selain

itu, SRLT memiliki kapasitas untuk

menginformasikan pelaksana program baik di

tingkat nasional maupun daerah tentang kebutuhan

anggaran dan program-program prioritas untuk

mengatasi kesenjangan yang terjadi pada penduduk

miskin dan rentan, termasuk wanita dan anak

telantar, penyandang disabilitas, lanjut usia miskin

tanpa bantuan sosial, dan penyandang masalah

kesejahteraan sosial lainnya.

64

4) Reformasi Utama yang Dibutuhkan untuk

Mewujudkan Sistem Rujukan dan Layanan

Terpadu

Untuk mencapai pelaksanaan program

perlindungan sosial yang lebih baik, perbaikan

perlu dilakukan dalam sisi pengolahan data,

penguatan pekerja sosial, dan optimalisasi sumber

pendanaan. Elemen-elemen tersebut perlu

disinergikan untuk mencapai pelaksanaan

perlindungan sosial yang optimal, antara lain:

a) Standarisasi pengumpulan dan pengelolaan

data

Basis data terpadu yang ada saat ini

disusun berdasarkan PPLS 2011 serta menjadi

basis data dalam perencanaan program untuk

mengidentifikasi calon peserta program, baik

ditingkat rumah tangga, keluarga, maupun

individu berdasarkan pada kriteria sosial-

ekonomi yang ditetapkan oleh pelaksana

program. Pembangunan BDT merupakan suatu

rangkaian proses yang dimulai dengan (1)

tahapan persiapan pemrosesan data; (2) tahapan

pendataan dan pengambilan data; dan (3)

tahapan final daftar rumah tangga yang menjadi

calon penerima program bantuan sosial. Ketiga

tahapan tersebut merupakan suatu rangkaian

65

yang saling terkait baik dari sisi metodologi

maupun pendekatan.

BDT dirancang sebagai dasar integrasi

dan sinkronisasi program untuk meningkatkan

efektifitas penetapan sasaran yang akurat,

terintegrasi, tersinkronisasi, dan ketercakupan

yang luas antar program perlindungan sosial.

Penerapan sistem penetapan sasaran melalui

BDT diharapkan mencapai 4 (empat) tujuan

utama. Pertama, BDT dapat membantu

pencapaian tingkat efektifitas penetapan

sasaran yang tinggi sehingga mendukung

pencapaian target dan tujuan penanggulangan

kemiskinan dari masing-masing program.

Kedua, BDT dapat menciptakan adanya

sinkronisasi antarprogram agar rumah tangga

miskin mendapat semua program perlindungan

sosial yang seharusnya mereka terima. Ketiga,

BDT dapat mengakomodasi tujuan dan

kebutuhan dari masing-masing program

perlindungan sosial, karena data yang

dikumpulkan sudah mencakup sejumlah

informasi dasar yang diperlukan untuk

implementasi program perlindungan sosial.

Terakhir, BDT dapat digunakan untuk seluruh

program penanggulangan kemiskinan/

perlindungan sosial, baik di tingkat nasional

66

maupun daerah. BDT diharapkan dapat

membantu mengidentifikasi keberadaan

penduduk miskin dan rentan sesuai dengan

karakteristik dan kondisi kemiskinan masing-

masing daerah.

Bagan 2. 4 Skema Pemanfaatan Pusat Layanan dan Rujukan Terpadu

dan Basis Data Terpadu

Sumber: Google

b) Penguatan Pekerja Sosial sebagai Garda

Terdepan dalam Transformasi Program

Perlindungan Sosial

Menurut Undang-Undang Nomor 11

tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial,

terdapat empat sumber daya manusia yang

bekerja di bidang kesejahteraan sosial, yaitu

Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pekerja Sosial

67

Profesional, Relawan Sosial, dan Penyuluh

Sosial. Pekerja sosial memiliki kontribusi

terhadap keberhasilan programprogram

pelayanan sosial karena mereka berhadapan

langsung dengan para penyandang masalah

kesejahteraan sosial. Salah satu sumber daya

yang dapat diberdayakan adalah Tenaga

Kesejahteraan Sosial, yakni seseorang yang

dididik dan dilatih secara profesional untuk

melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan

penanganan masalah sosial dan/atau seseorang

yang bekerja, baik di lembaga pemerintah

maupun swasta yang ruang lingkup kegiatannya

di bidang kesejahteraan sosial yang bersifat

professional. Mereka mempunyai kompetensi

dan profesi pekerjaan sosial yang diperoleh

melalui pendidikan, pelatihan dan/atau

pengalaman praktek pekerjaan sosial untuk

melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan

penanganan masalah sosial. Mereka diberi

tugas, fungsi dan kewenangan oleh

Kementerian Sosial dan/atau dinas/instansi

sosial provinsi, dan/atau dinas/instansi sosial

kabupaten/kota selama jangka waktu tertentu

untuk melaksanakan dan/atau membantu

penyelenggaraan kesejahteraan sosial sesuai

dengan wilayah penugasan di kecamatan

68

(Permensos RI Nomor 24 Tahun 2013 tentang

Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan)

sehingga mereka dapat disebut dengan TKSK.

TKSK direkrut dari unsur Karang Taruna dan

PSM yang pembinaannya dilakukan oleh

Kementerian Sosial selama 3 tahun dan akan

diserahkan pada pemerintah daerah

kabupaten/kota untuk memperoleh pembinaan

lanjutan.

c) Optimalisasi Sumber Pendanaan Program

Perlindungan Sosial

Secara umum pendanaan pembangunan

di Indonesia terdiri dari dua sumber, yaitu

melalui pemerintah yang dianggarkan dalam

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

(APBN) dan Daerah (APBD) dan pendanaan

dari swasta. Berdasarkan data Nota Keuangan

Negara, APBN Indonesia setiap tahunnya terus

mengalami peningkatan pendapatan. Sumber

terbesar pendapatan negara berasal dari

penerimaan pajak baik yang berasal dari dalam

negeri maupun pajak perdagangan

internasional. Jumlah penerimaan pajak setiap

tahunnya semakin mengalami peningkatan.

Dalam rentang waktu tahun 2008-2013, sektor

tersebut mengalami pertumbuhan sekitar 42

persen. Grafik di bawah ini menunjukkan

69

kerangka pendanaan pembangunan di

Indonesia.

Bagan 2. 5 Sumber Pendanaan Pembangunan

Nasional

Sumber: Google

Sejauh ini, pendanaan program

perlindungan sosial di Indonesia masih sangat

bergantung kepada sumber pendanaan

pemerintah, baik APBN maupun APBD.

Pemerintah perlu mensinergikan pendanaan

alternatif secara intensif agar potensi tersebut

diarahkan kepada program perlindungan sosial.

Di samping itu, penggunaan basis data yang

seragam juga turut membantu mempercepat

penurunan angka kemiskinan agar penyaluran

bantuan tidak saling tumpang tindih. Oleh

sebab itu, pendanaan alternatif sangat

diperlukan sebagai upaya untuk memperkuat

struktur pendanaan yang sudah ada

(Supriyanto, Ramdhani, and Rahmadan 2014).

70

5. Jaminan Sosial

a. Pengertian Jaminan Sosial

Pasal 28 H ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan Pasal

34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 telah menentukan

mengenai hak jaminan sosial bagi seluruh rakyat.

Selain itu, jaminan sosial dijamin pula dalam Deklarasi

Perserikatan BangsaBangsa tantang Hak Asasi

Manusia Tahun 1948. Hal ini diperkuat juga dalam

Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952 yang

menganjurkan semua negara untuk memberikan

perlindungan minimum kepada setiap tenaga kerja.

Dalam rangka melaksanakan amanat tersebut, Majelis

Permusyawaratan Rakyat Menetapkan dengan TAP

MPR Nomor X/MPR/ 2001 telah menugaskan kepada

Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial

Nasional dalam rangka memberikan perlindungan

sosial yang menyeluruh dan terpadu.

Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan

sistem perlindungan sosial bagi seluruh rakyat.

Perlindungan sosial memiliki peran strategis untuk

menghadapi kerentanan (vulnerability) yang

disebabkan oleh risiko alam ataupun risiko ekonomi.

Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia merupakan

salah satu wilayah rawan bencana dan dampak bencana

yang terjadi mengakibatkan diharuskannya merelokasi

anggaran untuk membangun kembali infrastruktur

yang rusak. Bencana juga telah mengakibatkan banyak

71

keluarga kehilangan harta benda dan jiwa, sehingga hal

ini cukup menyulitkan dalam upaya meningkatkan

kesejahteraan rakyat (Zaelani 2012).

b. Prinsip Jaminan Sosial

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN),

dibentuk dalam rangka memberikan jaminan kepada

seluruh rakyat, dan merupakan perangkat hukum untuk

mengimplementasikan amanat Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam

penyelenggarakan jaminan sosial berdasarkan prinsip-

prinsip (Zaelani 2012), antara lain:

1) Prinsip kegotongroyongan. Prinsip ini

diwujudkan dalam mekanisme gotong royong dari

peserta yang mampu kepada peserta yang kurang

mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi

seluruh rakyat. Peserta yang berisiko rendah

membantu peserta yang berisiko tinggi dan peserta

yang sehat membantu peserta yang sakit. Melalui

prinsip kegotong-royongan ini jaminan sosial dapat

menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Indonesia.

2) Prinsip nirlaba. Pengelolaan dan amanat tidak

dimaksudkan mencari laba (nirlaba) bagi Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial akan tetapi tujuan

utama penyelenggaraan jaminan sosial adalah

untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan

peserta. Dana amanat, hasil pengembangannya, dan

72

surplus anggaran akan dimanfaatkan sebesar-

besarnya untuk kepentingan peserta.

3) Prinsip keterbukaan, kehati-hatian,

akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas. Prinsip-

prinsip menajemen ini diterapkan dan mendasari

seluruh kegiatan pengelolaan dan yang berasal dari

iuran peserta dan hasil pengembangannya.

4) Prinsip portabilitas. Jaminan sosial dimaksudkan

untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan

meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat

tinggal dalam wilayah negara Kesatuan Republik

Indonesia.

5) Prinsip Kepesertaan bersifat wajib. Kepesertaan

wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi

peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun

kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat,

penerapannya tetap disesuaikan dengan

kemampuan ekonomi rakyat dan Pemerintah serta

kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan

pertama dimulai dari pekerja di sektor formal,

bersamaan dengan itu sektor informal dapat

menjadi peserta secara mandiria sehingga pada

akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional dapat

mencakup seluruh rakyat.

6) Prinsip dana amanat. Dana yang terkumpul dari

iuran peserta merupakan titipan kepada badan-

badan untuk dikelola sebaikbaiknya dalam rangka

73

mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan

peserta.

B. Kerangka Berpikir

Manajemen kasus merupakan sebuah layanan yang

dilakukan oleh pekerja sosial profesional, dan pelayanan yang

diberikan tidak hanya berfokus pada klien, tetapi juga

melakukan koordinasi dengan pihak lain yang dibutuhkan di

dalam permasalahan yang berkaitan dengan klien.

Manajemen kasus sendiri pada dasarnya adalah proses

pelayanan yang diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan

yang tidak dapat dijangkau oleh klien. Oleh karena itu, dengan

adanya pelayanan ini, pekerja sosial melakukan upaya dan

menjalankan setiap tahapan sehingga nantinya akan diketahui

hal-hal yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan

klien. Selain proses dalam pelayanan manajemen kasus, hal

lain yang tidak kalah penting adalah adanya sistem yang

dibangun sebagai landasan dalam menjalankan pelayanan ini.

Nantinya, dari proses yang telah dijalankan, akan dilihat juga

bagaimana kasus yang ditemukan dapat diselesaikan dengan

menggunakan model-model manajemen kasus sesuai dengan

kebutuhannya.

Dari pelayanan manajemen kasus yang dilakukan oleh

supervisor bersama dengan pendamping, bertujuan untuk

membuat klien dalam hal ini adalah KPM, mampu

menyelesaikan permasalahannya, dan membuat KPM mandiri,

sehingga di waktu yang akan datang tidak bergantung pada

74

pemberian bantuan, baik PKH itu sendiri maupun bantuan

yang diberikan melalui proses manajemen kasus.

Bagan 2. 6 Kerangka Berpikir Penelitian

Sistem Proses

Manajemen Kasus

- Kontak Awal dan

Identifikasi Kasus

- Asesmen

- Perencanaan

Intervensi

- Pelaksanaan

Intervensi

- Monitoring dan

Evaluasi

- Terminasi

- Dasar Hukum dan

Standar Pelayanan

- SDM dan Supervisi

- KPM

75

BAB III

Profil Jakarta Timur Dan Manajemen Kasus pada Program

Keluarga Harapan

A. Kondisi Objektif Wilayah Jakarta Timur

Gambar 3. 1 Peta Administrasi Kota Jakarta Timur

sumber: Google

1. Letak Geografis Jakarta Timur

Sesuai dengan data Badan Pusat Statistik (BPS)

dalam Buku Kota Jakarta Timur Dalam Angka 2020, Kota

Jakarta Timur merupakan bagian wilayah Provinsi DKI

Jakarta yang terletak antara 106049’35” Bujur Timur dan

06010’37” Lintang Selatan, memiliki luas wilayah 188,03

Km2. Luas wilayah itu merupakan 28,39 persen wilayah

Provinsi DKI Jakarta yang sebesar 662,33 Km2, terdiri atas

10 kecamatan dan 65 kelurahan. Penduduk yang menghuni

wilayah ini sekitar 2.937.859 jiwa.

76

Pemerintahan Kota Administrasi Jakarta Timur

dibagi ke dalam 10 Kecamatan, yaitu Kecamatan Pasar

Rebo (12,975 Km2), Ciracas (16,0803 Km2), Cipayung

(28,4479 Km2), Makasar (21,8531 Km2), Kramatjati

(13,0006 Km2), Jatinegara (10,2524 Km2), Duren Sawit

(22,6535 Km2), Cakung (42,278 Km2), Pulogadung

(15,6071 Km2) dan Matraman (4,8836 Km2) (Jakarta

2018).

Wilayah Kota Jakarta Timur memiliki perbatasan

sebelah utara dengan Kota Jakarta Utara dan Jakarta Pusat,

sebelah timur dengan Kabupaten Bekasi (Provinsi Jawa

Barat), sebelah selatan Kabupaten Bogor (Provinsi Jawa

Barat), dan sebelah barat dengan Kota Jakarta Selatan.

2. Demografis Jakarta Timur

Tercatat hingga akhir tahun 2018, jumlah penduduk

di Provinsi DKI Jakarta yang teregistrasi di Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil sebanyak 10.344.018

jiwa dengan jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki

sebanyak 5.230.298 jiwa dan jumlah penduduk berjenis

kelamin perempuan sebanyak 5.113.720 jiwa yang

seluruhnya berstatus sebagai Warga Negara Indonesia

(WNI).

Dari enam wilayah kabupaten/kota di provinsi DKI

Jakarta, Jakarta Timur mempunyai jumlah penduduk WNI

tertinggi dari tahun 2016 - 2018. Pada tahun 2018, jumlah

penduduk WNI di Jakarta Timur sebanyak 2.946.594 jiwa.

77

Jumlah ini naik sebesar 0,78% atau sebanyak 23.092 jiwa

dari tahun 2016–2018.

Jakarta Timur merupakan kota dengan jumlah

penduduk wajib KTP tertinggi bila dibandingkan dengan

kabupaten/kota lainnya yakni sebesar 2.168.897 jiwa,

dengan jumlah laki-laki sebesar 1.088.490 jiwa dan

perempuan sebesar 1.080.407 jiwa.

B. Program Keluarga Harapan (PKH)

1. Latar Belakang dan Pengertian PKH

Dalam rangka percepatan penanggulangan

kemiskinan sekaligus pengembangan kebijakan di bidang

perlindungan sosial, sejak tahun 2007 Pemerintah

Indonesia telah melaksanakan Program Bantuan Tunai

Bersyarat (BTB) yang saat ini dikenal dengan nama

Program Keluarga Harapan (PKH). Program BTB ini telah

dilaksanakan di beberapa negara yang dikenal dengan

Conditional Cash Transfers (CCT) dan cukup berhasil

dalam penanggulangan kemiskinan. PKH berbeda atau

bukan lanjutan dari program Bantuan Langsung Tunai

(BLT). PKH lebih dimaksudkan sebagai upaya

membangun sistem perlindungan sosial kepada masyarakat

miskin dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan

kesejahteraan sosial penduduk kurang mampu sekaligus

upaya memangkas rantai kemiskinan yang terjadi selama

78

ini (Pedoman Umum Program Keluarga Harapan (PKH)

2011).

PKH merupakan program bantuan dan perlindungan

sosial yang termasuk dalam kluster pertama. Program ini

merupakan bantuan tunai bersyarat yang berkaitan dengan

persyaratan pendidikan dan kesehatan. Setidaknya ada lima

komponen MDGs (Millenium Development Goals) yang

didukung melalui PKH, yaitu pengurangan penduduk

miskin ekstrem dan kelaparan, pencapaian pendidikan

dasar, kesetaraan gender, pengurangan angka kematian

bayi dan balita, dan pengurangan kematian ibu melahirkan.

Dengan PKH diharapkan Keluarga Penerima Manfaat

(KPM) memiliki akses yang lebih baik untuk

memanfaatkan pelayanan sosial dasar, yaitu: kesehatan,

pendidikan, pangan dan gizi termasuk menghilangkan

kesenjangan sosial, ketidakberdayaan dan keterasingan

sosial yang selama ini melekat pada diri warga yang kurang

atau sangat tidak mampu. PKH akan memberi manfaat

jangka pendek dan panjang. Untuk jangka pendek, PKH

akan memberikan income effect kepada KPM melalui

pengurangan beban pengeluaran rumah tangga. Untuk

jangka panjang, memutus rantai kemiskinan antar generasi

melalui peningkatan kualitas kesehatan atau nutrisi,

pendidikan dan kapasitas pendapatan anak di masa depan

(price effect anak dari keluarga kurang mampu); serta

memberikan kepastian kepada anak akan masa depannya

79

(insurance effect) (Pedoman Umum Program Keluarga

Harapan (PKH) 2011).

Dari sisi kebijakan sosial, PKH merupakan cikal

bakal pengembangan sistem perlindungan sosial,

khususnya bagi keluarga kurang atau tidak mampu. PKH

yang mewajibkan KPM memeriksakan kesehatan ibu

hamil dan memberikan imunisasi serta pemantauan

tumbuh kembang anak, termasuk menyekolahkan anaknya,

akan membawa perilaku KPM untuk melihat pentingnya

kesehatan dan pendidikan. Perubahan perilaku juga

diharapkan berdampak pada berkurangnya anak usia

sekolah. Disamping itu, hal ini menjadi tantangan utama

bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk

meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan bagi

keluarga kurang mampu dimanapun mereka berada

(Pedoman Umum Program Keluarga Harapan (PKH)

2011).

Pada akhirnya, implikasi positif dari pelaksanaan

PKH harus mampu dibuktikan secara empiris, sehingga

pengembangan PKH memiliki bukti nyata yang dapat

dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, pelaksanaan

program ini juga diikuti dengan monitoring dan evaluasi

yang optimal (Pedoman Umum Program Keluarga

Harapan (PKH) 2011).

80

2. Tujuan PKH

Di dalam Pedoman Umum Program Keluarga Harapan

(2011), tujuan umum PKH sendiri untuk mengurangi

angka dan memutus rantai kemiskinan, mengingkatkan

kualitas SDM, serta merubah perilaku KPM yang relative

kurang mendukung peningkatan kesejahteraan. Tujuan

tersebut sebagai upaya mempercepat pencapaian target

MDGs.

Sedangkan, secara khusus, tujuan PKH antara lain:

a. Meningkatkan status sosial ekonomi KPM;

b. Meningkatkan kualitas kesehatan dan gizi pada ibu

hamil, ibu nifas, balita dan anak usia 5-7 tahun yang

belum masuk sekolah dasar dari KPM;

c. Meningkatkan akses dan kualitas pelayanan pendidikan

dan kesehatan, khususnya bagi anak-anak KPM; dan

d. Meningkatkan taraf pendidikan dari anak-anak KPM.

3. Sasaran PKH

Sasaran PKH merupakan keluarga yang miskin dan

rentan serta terdaftar dalam data terpadu program

penanganan fakir miskin, memiliki komponen kesehatan,

pendidikan, dan/atau kesejahteran sosial.

4. Ketentuan Peserta PKH

Peserta PKH adalah rumah tangga yang kurang atau

tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang

sesuai dengan kriteria BPS dan memenuhi satu atau

beberapa kriteria program, antara lain:

81

1. Memiliki ibu hamil atau nifas;

2. Memiliki balita atau anak usia 5-7 tahun yang belum

masuk Sekolah Dasar; dan

3. Memiliki anak usia SD atau SMP dan anak usia 15-18

tahun yang belum menyelesaikan pendidikan dasar.

Setiap KPM PKH diberikan kartu peserta PKH

sebagai bukti kepesertaan dengan atas nama perempuan

dewasa (ibu/nenek/bibi) yang mengurus KPM. Dan kartu

tersebut dipergunakan untuk menerima bantuan PKH

(Pedoman Umum Program Keluarga Harapan (PKH)

2011).

5. Hak dan Kewajiban KPM PKH

a. KPM dalam PKH berhak untuk mendapatkan:

1) menerima bantuan sosial;

2) pendampingan sosial;

3) pelayanan di fasilitas kesehatan, pendidikan dan

kesejahteraan sosial; dan

4) program bantuan komplementer di bidang pangan,

kesehatan, pendidikan, subsidi energi, ekonomi,

perumahan, aset kepemilikan tanah dan bangunan,

dan pemenuhan kebutuhan dasar lainnya.

b. Sesuai dengan Peraturan Menteri Sosial Nomor 1

Tahun 2018 tentang Program Keluarga Harapan Pasal

3, 4 dan 5 dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39

Tahun 2016 kewajiban anggota keluarga penerima

manfaat PKH adalah:

82

1) anggota keluarga memeriksakan kesehatan pada

fasilitas pelayanan kesehatan sesuai dengan

protokol kesehatan bagi ibu hamil/menyusui dan

anak berusia 0 (nol) sampai dengan 6 (enam) tahun;

2) anggota keluarga mengikuti kegiatan belajar

dengan tingkat kehadiran paling sedikit 85%

(delapan puluh lima persen) dari hari belajar efektif

bagi anak usia sekolah wajib belajar 12 (dua belas)

tahun;

3) anggota keluarga mengikuti kegiatan di bidang

kesejahteraan sosial sesuai kebutuhan bagi keluarga

yang memiliki komponen lanjut usia mulai dari 60

(enam puluh) tahun dan/atau penyandang

disabilitas berat; dan

4) KPM hadir dalam pertemuan kelompok atau

Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga

(P2K2) setiap bulan.

6. Besar Bantuan Dana PKH

Bantuan sosial PKH pada tahun 2019 terbagi menjadi

dua jenis, yaitu Bantuan Tetap dan Bantuan Komponen

yang diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Bantuan Tetap untuk Setiap Keluarga:

Reguler : Rp. 550.000,- / keluarga / tahun

PKH AKSES : Rp. 1.000.000,- / keluarga / tahun

b. Bantuan Komponen untuk Setiap Jiwa dalam Keluarga

PKH:

Ibu hamil : Rp. 2.400.000,-

Anak usia dini : Rp. 2.400.000,-

83

SD : Rp. 900.000,-

SMP : Rp. 1.500.000,-

SMA : Rp. 2.000.000,-

Disabilitas berat : Rp. 2.400.000,-

Lanjut usia : Rp. 2.400.000,-

Bantuan komponen diberikan maksimal untuk 4

jiwa dalam satu keluarga. (Data ini diperoleh melalui

https://pkh.kemsos.go.id)

7. Kelembagaan PKH

Sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan Program

Keluarga Harapan, tahun 2019, kelembagaan PKH

terdiri atas Tim Koordinasi Nasional, Tim Koordinasi

Teknis, dan Pelaksana Program Keluarga Harapan

(Pelaksana PKH) yang dibentuk di tingkat Pusat,

Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan.

a. Kelembagaan di Tingkat Pusat

1) Tim Koordinasi Nasional

Pengarah : Menteri Koordinator bidang

Pembangunan Manusia dan

Kebudayaan

Ketua : Menteri Sosial

Anggota Tim Koordinasi Nasional terdiri

dari pejabat eselon I kementerian/lembaga yang

membidangi urusan pengentasan kemiskinan,

pendidikan, kesehatan, anak, keluarga,

84

disabilitas, lanjut usia, data, komunikasi,

sebagai berikut:

a) Kementerian Sosial

b) Kementerian PPN/Bappenas

c) Kementerian Kesehatan

d) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

e) Kementerian Agama

f) Kementerian Dalam Negeri

g) Kementerian Keuangan

h) Kementerian Komunikasi dan Informatika

i) Badan Pusat Statistik

Tim Koordinasi Nasional PKH ditetapkan

dengan Keputusan Menteri Sosial, dan tim ini

bertugas:

a) melakukan kajian pelaksanaan, mekanisme,

hasil audit dan evaluasi;

b) memberikan solusi atas permasalahan lintas

sektor; dan

c) menyetujui perubahan pelaksanaan

program.

2) Tim Koordinasi Teknis

Pengarah: Menteri Sosial

Ketua: Direktur Jenderal Perlindungan dan

Jaminan Sosial

Sekretaris: Direktur Jaminan Sosial Keluarga

85

Tim Koordinasi Teknis PKH Pusat terdiri

dari pejabat eselon II wakil kementerian/

lembaga terkait.

Tim Koordinasi Teknis Pusat bertugas:

a) mengkaji berbagai rencana operasional

yang disiapkan oleh Direktorat Teknis

Pelaksana PKH;

b) melakukan koordinasi lintas sektor terkait

agar tujuan PKH dapat berjalan baik;

c) membentuk Tim Lintas Sektor yang terdiri

dari perwakilan kementerian/lembaga

terkait;

d) Tim Lintas Sektor bertugas menentukan

sasaran KPM PKH; dan

e) melakukan pengawasan pelaksanaan PKH.

Tim Koordinasi Teknis Pusat ditetapkan

dengan Keputusan Direktur Jenderal

Perlindungan dan Jaminan Sosial.

3) Pelaksanaan PKH di Pusat

Pelaksana Program Keluarga Harapan pusat

adalah Direktorat Jaminan Sosial Keluarga,

Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan

Sosial, Kementerian Sosial Republik Indonesia.

Tugas Pelaksana PKH Pusat:

a) melaksanakan seluruh kebijakan

pelaksanaan PKH meliputi penetapan

86

sasaran, validasi, terminasi, bantuan sosial,

kepesertaan dan sumber daya;

b) memastikan pelaksanaan PKH sesuai

dengan rencana;

c) menyelesaikan permasalahan dalam

pelaksanaan PKH;

d) membangun jejaring dan kemitraan dengan

berbagai pihak untuk perluasan dan

penyempurnaan program;

e) melakukan pemantauan dan pengendalian

kegiatan PKH;

f) menyusun dan menyampaikan laporan

pelaksanaan kegiatan PKH kepada Direktur

Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial.

b. Kelembagaan PKH di Daerah

Kelembagaan PKH di daerah terdiri dari Tim

Koordinasi Teknis Provinsi, Tim Koordinasi

Teknis Kabupaten/Kota, Pelaksana PKH

Kabupaten/Kota, dan Pelaksana PKH Kecamatan.

1) Tim Koordinasi Teknis PKH Provinsi

a) Susunan Tim Koordinasi Teknis PKH

Provinsi terdiri atas:

Ketua: Kepala Dinas/Instansi Sosial

Provinsi

Sekretaris: Kepala Bidang Urusan Bantuan

dan Jaminan Sosial

87

b) Tim Koordinasi Teknis PKH Provinsi

ditetapkan dengan Keputusan Gubernur

c) Tim Koordinasi Teknis PKH Provinsi

bertugas:

(1) menyusun program dan rencana

kegiatan PKH;

(2) memastikan komitmen penyediaan

anggaran penyertaan kegiatan PKH; dan

(3) melakukan koordinasi dengan satuan

kerja perangkat daerah terkait dan

instansi/lembaga vertikal di provinsi.

2) Tim Koordinasi Teknis PKH Kabupaten/

Kota

a) Susunan Tim Koordinasi Teknis PKH

Kabupaten/Kota terdiri atas:

Ketua: Kepala Dinas/Instansi Sosial

Kabupaten/Kota

Sekretaris: Kepala Bidang Perlindungan

Jaminan Sosial

b) Tim Koordinasi Teknis PKH

kabupaten/kota ditetapkan dengan

Keputusan Bupati/Walikota

c) Tim Koordinasi Teknis PKH

Kabupaten/Kota bertugas:

(1) menyusun program dan rencana

kegiatan PKH Kabupaten/Kota;

88

(2) komitmen penyediaan anggaran

penyertaan kegiatan PKH;

(3) penyediaan fasilitas layanan pendidikan

dan kesehatan;

(4) melakukan koordinasi dengan satuan

kerja perangkat daerah terkait dan

instansi/lembaga vertikal di

kabupaten/kota;

(5) melakukan pemantauan dan

pengendalian kegiatan PKH;

(6) menyelesaikan masalah yang timbul

dalam pelaksanaan PKH dilapangan;

dan

(7) menyusun dan menyampaikan laporan

pelaksanaan kegiatan PKH kepada

kepala daerah, kepada pelaksana PKH

provinsi dan pelaksana PKH Pusat.

3) Pelaksanaan PKH di Daerah

Pelaksana PKH daerah dilakukan oleh

dinas/instansi sosial tingkat provinsi dan

kabupaten/kota yang membidangi bantuan

sosial, perlindungan dan jaminan sosial.

Pelaksana PKH Daerah terdiri atas Pelaksana

PKH Provinsi, Pelaksana PKH

Kabupaten/Kota, dan Pelaksana PKH

Kecamatan.

89

a) Pelaksana PKH Provinsi

(1) Pelaksana PKH Provinsi adalah

Dinas/Instansi Sosial terdiri atas:

Ketua: Kepala Bidang Urusan Bantuan

dan Jaminan Sosial

Sekretaris: Kepala Seksi Bantuan dan

Jaminan Sosial

(2) Pelaksana PKH Provinsi bertugas:

(a) bertanggung jawab dalam

penyediaan informasi dan

sosialisasi PKH di kabupaten/kota;

(b) melakukan supervisi, pengawasan,

dan pembinaan terhadap

pelaksanaan PKH di

kabupaten/kota;

(c) memastikan pelaksanaan PKH

sesuai dengan rencana;

(d) menyelesaikan permasalahan dalam

pelaksanaan PKH;

(e) membangun jejaring dan kemitraan

dengan berbagai pihak dalam

pelaksanaan PKH; dan

(f) melaporkan secara berkala capaian

pelaksanaan PKH di kabupaten/kota

kepada pelaksana Pusat.

b) Pelaksana PKH Kabupaten/Kota

90

(1) Pelaksana PKH Kabupaten/Kota adalah

Dinas/Instansi Sosial terdiri atas:

Ketua: Kepala Bidang Urusan Bantuan

dan Jaminan Sosial

Sekretaris: Kepala Seksi Bantuan dan

Jaminan Sosial

(2) Pelaksana PKH Kabupaten/Kota

bertugas:

(a) bertanggung jawab dalam

penyediaan informasi dan

sosialisasi PKH di kecamatan;

(b) melakukan supervisi, pengawasan,

dan pembinaan terhadap

pelaksanaan PKH di kecamatan;

(c) memastikan pelaksanaan PKH

sesuai dengan rencana;

(d) menyelesaikan permasalahan dalam

pelaksanaan PKH;

(e) membangun jejaring dan kemitraan

dengan berbagai pihak dalam

pelaksanaan PKH; dan

(f) melaporkan pelaksanaan PKH

kabupaten/kota kepada pelaksana

PKH pelaksana Pusat dengan

tembusan kepada Pelaksana PKH

provinsi.

c) Pelaksana PKH Kecamatan

91

Pelaksana PKH Kecamatan adalah

Pendamping PKH yang bertugas di

kecamatan dan berkoordinasi dengan

camat. Jika dalam satu wilayah kecamatan

terdapat lebih dari satu pendamping, maka

wajib ditunjuk salah seorang dari

pendamping untuk menjadi Koordinator

Pendamping tingkat kecamatan.

Pelaksana PKH Kecamatan bertugas:

(1) bertanggung jawab dalam penyediaan

informasi dan sosialisasi PKH di

kelurahan/desa/nama lain;

(2) melakukan kegiatan pendampingan

PKH di kelurahan/desa;

(3) memastikan pelaksanaan PKH sesuai

dengan rencana;

(4) menyelesaikan permasalahan dalam

pelaksanaan PKH;

(5) membangun jejaring dan kemitraan

dengan berbagai pihak dalam

pelaksanaan PKH; dan

(6) melaporkan pelaksanaan PKH kepada

pelaksana PKH kabupaten/kota.

8. Pengelolaan Sumber Daya

a. Kode Etik SDM PKH dan Komisi Etik

92

Kode etik merupakan norma atau nilai yang

mengatur tentang sikap, perilaku, dan tindakan

seseorang yang berada dalam lingkungan

kehidupannya, baik lingkungan kerja, organisasi, dan

profesi. Khusus untuk lingkungan kerja, Kode Etik

merupakan salah satu pilar dalam mengupayakan

atmosfir kerja yang kondusif tugas dan fungsi yang

menjadi tanggungjawab setiap individu.

Kode etik Sumber Daya Manusia Program

Keluarga Harapan (SDM PKH) merupakan pedoman

berisikan nilai-nilai yang mengatur sikap, perilaku, dan

tindakan SDM PKH yang disahkan secara hukum

dengan Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan dan

Jaminan Sosial Nomor 01 Tahun 2018 Tentang Kode

Etik Sumber Daya Manusia Program Keluarga

Harapan.

1) Kode Etik SDM PKH

Kode etik SDM PKH tertuang pada Peraturan

Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial

Nomor 01/LJS/08/2018 tentang Kode Etik Sumber

Daya Manusia Program Keluarga Harapan meliputi

kewajiban, larangan, dan etika hubungan yang

didasari oleh nilai-nilai santun, integritas, dan

profesional. Santun merupakan sikap, perilaku, dan

tindakan yang menghormati dan menghargai harkat

dan martabat KPM, Rekan Sejawat, Penanggung

Jawab PKH dan Mitra kerja. Integritas merupakan

93

sikap, perilaku, dan tindakan yang konsisten dan

selaras tercermin dalam komitmen, jujur dan

tanggung jawab terhadap PKH. Profesional

merupakan sikap, perilaku, dan tindakan yang

bertanggung-jawab, berdisiplin, taat asas, dan

berkompeten dalam melaksanakan tugas dan

kewajiban untuk mencapai hasil kerja yang terbaik.

2) Komisi Etik

Sebagai upaya untuk melakukan pencegahan

dan penanganan pelanggaran kode etik SDM PKH,

maka dibentuk Komisi Etik tujuan:

a) Terlaksananya pembinaan etik, penegakan

disiplin dan penyelesaian pelanggaran secara

cepat, tepat, efektif dan berkeadilan.

b) Terlindunginya hak-hak KPM, SDM dan

Penanggung Jawab PKH. Untuk mendukung

terlaksananya tugas tersebut anggota Komisi

Etik terdiri dari latar belakang yang beragam,

rekam jejak integritas, kredibilitas, moralitas

serta didukung oleh pengalaman yang mumpuni

terkait dengan Kode Etik namun tetap dalam

satu koridor pelaksanaan Program Keluarga

Harapan.

Penyelenggaraan kode etik dijelaskan lebih

rinci pada Pedoman Penyelenggaraan Kode

Etik.

b. Peningkatan Kapasitas SDM

94

PKH melaksanakan peningkatan kapasitas SDM

pelaksana PKH dalam bentuk Bimbingan Teknis

(Bimtek), dan Bimbingan Pemantapan sesuai

kebutuhan program. Sementara Pendidikan dan

Pelatihan (Diklat) diselenggarakan oleh Pusat

Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial dan

Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan

Sosial.

Mekanisme pelaksanaan kegiatan peningkatan

kapasitas SDM PKH diatur lebih lanjut dalam petunjuk

pelaksanaan pengelolaan SDM.

9. Monitoring dan Evaluasi

a. Monitoring

Monitoring dilaksanakan secara terus menerus,

baik dalam proses perencanaan maupun pelaksanaan

kegiatan. Monitoring dapat dilaksanakan pada saat

kegiatan sedang berlangsung atau dengan cara

menganalisis laporan dan perkembangan pelaksanaan

PKH dalam waktu tertentu melalui pengumpulan data

dan informasi tentang implementasi program.

Indikator yang digunakan dalam pelaksanaan

monitoring PKH terdiri dari indikator masukan dan

indikator keluaran. Kedua kategori ini akan diperoleh

dari hasil analisis data MIS (Management Information

System) PKH secara berkala.

1) Tujuan Monitoring

95

Secara umum monitoring PKH bertujuan untuk:

a) Mengetahui dan memastikan pelaksanaan

kegiatan PKH berjalan dengan baik.

b) Memastikan jadwal PKH yang telah disusun

satu tahun anggaran dilaksanakan sesuai

dengan rencana yang telah ditetapkan.

c) Memberikan masukan kepada

penanggungjawab PKH mengenai upaya

perbaikan dalam perancanaan maupun dalam

pelaksanaan PKH.

2) Pelaksanaan Monitoring

a) Monitoring oleh Pemerintah

Pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota,

dan kecamatan bertanggung jawab terhadap

pelaksanaan PKH serta pencapaian target sesuai

dengan mekanisme yang telah ditetapkan.

Untuk kepentingan tersebut Pemerintah

melakukan monitoring secara berkala agar

pelaksanaan PKH sesuai rencana dan

mekanisme yang ditetapkan, seperti

ketersediaan layanan pendidikan dan kesehatan.

b) Monitoring oleh pemangku kepentingan terkait

Kegiatan monitoring PKH juga dilakukan oleh

pemangku kepentingan terkait, seperti:

Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian

Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan, Tim Nasional Percepatan

96

Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), dan

lembaga lainnya.

c) Monitoring dengan partisipasi masyarakat

Monitoring oleh masyarakat melibatkan warga

masyarakat secara luas dalam pengawasan dan

pemantauan kegiatan/program. Dalam PKH ada

kelompok ibu yang dipilih dan ditugaskan

untuk memastikan pelaksanaan PKH: apakah

itu pemutakhiran data, kondisi KPM PKH, dan

bantuan yang diterima KPM PKH.

3) Pengumpulan Data dan Analisis

Pengumpulan data dilakukan oleh tenaga

lapangan dan manjemen data dilakukan oleh tim

MIS (Management Information System) PKH.

Analisis data monitoring secara rutin dilakukan

oleh Pelaksana PKH Pusat.

b. Evaluasi

Evaluasi adalah kegiatan mengukur

keberhasilan atau kegagalan dari pelaksanaan PKH

dengan menggunakan indikator dan instrumen yang

dapat digunakan untuk mengetahui faktor penyebab

keberhasilan atau kegagalan dari seluruh tahapan

pelaksanaan program. Kegiatan evaluasi didasarkan

atas hasil dan dampak pelaksanaan PKH.

Untuk menjamin pengukuran yang akurat

diperlukan survei dasar (baseline survey) yang menjadi

97

titik tolak dari pemantauan dan evaluasi terhadap

pelaksanaan PKH.

1) Tujuan Evaluasi

a) Mengidentifikasi tingkat pencapaian tujuan

yang telah disusun dalam rencana kerja

tahunan;

b) Mengetahui dan menganalisa hal-hal lain yang

mungkin timbul di luar yang telah rencana; dan

c) Memberikan masukan kepada

penanggungjawab PKH mengenai upaya

perbaikan dalam perancanaan maupun dalam

pelaksanaan PKH.

2) Cakupan Evaluasi

Berdasarkan tujuan dan keluaran program yang

ingin dicapai, diperlukan indikator kinerja program

untuk mengukur pencapaian program selama kurun

waktu satu tahun. Pengukuran indikator kinerja

program dilakukan secara berkala dan

dikoordinasikan dengan pihak-pihak terkait secara

berjenjang. Secara umum evaluasi pelaksanaan

PKH meliputi substansi dan pendukung program

yang dilakukan secara berkala.

3) Penyajian Hasil

Hasil dari proses monitoring dan evaluasi

disajikan dalam bentuk laporan yang dapat

digunakan sebagai rekomendasi dan rumusan

kepada pemangku kepentingan.

98

10. Jumlah SDM dan KPM PKH

Di bawah ini disajikan jumlah Sumber Daya Manusia

dan juga Keluarga Penerima Manfaat PKH di Wilayah

Jakarta Timur tahun 2019 hasil dari studi dokumentasi

yang didapatkan dari Supervisor PKH, antara lain:

a. Jumlah Sumber Daya Manusia PKH

Tabel 3. 1 Jumlah SDM PKH Per Januari 2020

Jabatan Jumlah

Koordinator Kota 1

Peksos Supervisor 2

Pendamping Sosial 29

Jumlah Keseluruhan 32

Sumber: Studi Dokumentasi PKH Jakarta Timur Tahun 2020

b. Jumlah Keluarga Penerima Manfaat PKH

Tabel 3. 2 Jumlah KPM PKH Tahun 2019

No

Kecamatan

Jml

Pendamping

Jumlah

KPM

Total Jml

Kelompok

FDS

1 Ciracas 4 1156 39

2 Cipayung 5 1255 46

3 Pasar Rebo 4 1248 44

4 Makasar 4 919 32

5 Cakung 12 3711 122

Sumber: Studi Dokumentasi PKH Jakarta Timur Tahun 2019

99

C. Manajemen Kasus pada PKH

Terdapat beberapa bentuk permasalahan yang paling

sering ditemukan oleh Pendamping Sosial dan juga Supervisor

PKH, antara lain:

Tabel 3. 3 Bentuk Permasalahan pada KPM PKH

No Bentuk Permasalahan

1 Kekerasan Dalam Rumah Tangga

2 Putus Sekolah

3 Penyalahgunaan Kartu PKH oleh Oknum Ketua

Kelompok

4 Penyalahgunaan Kartu PKH oleh Keluarga

5 Penyalahgunaan Dana Bansos

Sumber: Studi Dokumentasi PKH Jakarta Timur

Melihat macam-macam bentuk permasalahan pada

KPM PKH seperti dalam table 3.3 di atas, maka di dalam

Program Keluarga Harapan (PKH), metode manajemen kasus

mulai diberlakukan pada tahun 2018, diawali dengan adanya

Pekerja Sosial (Peksos) yang bertugas sebagai Supervisor PKH

berdasarkan SK Direktur Jaminan Sosial Keluarga pada 5

Januari 2018, dengan jumlah sebaran sebagai berikut:

Tabel 3. 4 Jumlah Peksos Supervisor PKH Tahun 2018

No Provinsi Jml Peksos

Supervisor

1 Prov. Nanggroe Aceh Darussalam 3

2 Prov. Sumatera Utara 35

3 Prov. Sumatera Barat 11

4 Prov. Riau 1

5 Prov. Jambi 6

100

6 Prov. Sumatera Selatan 7

7 Prov. Bengkulu 10

8 Prov. Lampung 23

9 Prov. Kep. Bangka Belitung 4

10 Prov. Kepulauan Riau 4

11 Prov. DKI Jakarta 8

12 Prov. Jawa Barat 92

13 Prov. Jawa Tengah 96

14 Prov. D.I. Yogyakarta 9

15 Prov. Jawa Timur 107

16 Prov. Banten 19

17 Prov. Bali 6

18 Prov. Nusa Tenggara Barat 7

19 Prov. Nusa Tenggara Timur 3

20 Prov. Kalimantan Barat 1

21 Prov. Kalimantan Tengah 3

22 Prov. Kalimantan Selatan 4

23 Prov. Kalimantan Timur 1

24 Prov. Sulawesi Utara 5

25 Prov. Sulawesi Tengah 15

26 Prov. Sulawesi Selatan 29

27 Prov. Sulawesi Tenggara 19

28 Prov. Sulawesi Barat 7

29 Prov. Gorontalo 7

30 Prov. Maluku 1

31 Prov. Papua Barat 1

32 Prov. Papua 4

Jumlah 548

Sumber: Studi Dokumentasi PKH Jakarta Timur Tahun 2018

Hadirnya Peksos Supervisor pada PKH, memiliki

tanggung jawab, kewenangan, dan/atau peran untuk

mensupervisi Pendamping Sosial, sehingga kinerja yang

101

dilakukan dapat dimonitoring dan terevaluasi secara rutin.

Peran Supervisor PKH dalam manajemen kasus, antara lain:

Tabel 3. 5 Peran Supervisor dalam PKH

Administrasi Pendidikan Dukungan

1. Mengecek

catatan dan

laporan

terkait

perkembang

an kasus.

2. Mengecek

kelayakan

kasus untuk

ditangani.

3. Mengkompi

lasi

kasuskasus

yang

dialami

KPM dan

status

penanganan

nya.

1. Mentransfer

pengetahuan dan

keterampilan

manajemen kasus

kepada pendamping

2. Menerapkan

manajemen kasus

bersama-sama

3. Memberikan saran

terkait penggunaan

tools asesmen,

rencana intervensi,

dan akses terhadap

pelayanan

komplementer yang

dibutuhkan oleh

KPM (baik anak,

orangtua,

disabilitas, maupun

lanjut usia)

4. Membahas

pelaksanaan

1. Mempertimbangk

an tingkat

kemampuan

pendamping dan

beban kerja

2. Meningkatkan

motivasi dan

semangat kerja

pendamping

dalam

penanganan kasus

3. Mendampingi

pendamping

dalam mengakses

pelayanan

komplementer

102

manajemen kasus

termasuk

pembahasan kasus

bersama

pendamping

Sumber: Studi Dokumentasi PKH Jakarta Timur

Dalam praktiknya, Supervisor tidak bekerja sendiri,

bersama dengan Koordinator Kota dan juga Pendamping

Sosial, memberikan pelayanan melalui manajemen kasus

kepada para Keluarga Penerima Manfaat (KPM).

Ketiganya bersama-sama melakukan pelayanan kepada

KPM PKH pada Kabupaten/Kota, dan secara administrasi

berkoordinasi kepada Koordinasi Wilayah.

Bagan 3. 1 Struktur Organisasi Pelaksana PKH

Sumber: Materi Bimbingan Orientasi Peksos Supervisor PKH Tahun 2018

Pada Manajemen Kasus di PKH, juga memberikan

pelayanan berdasarkan pada praktik pekerjaan sosial dan

103

juga prinsip yang harus diterapkan tidak hanya Supervisor,

tetapi juga Pendamping Sosial. Berdasarkan UU No.14

Tahun 2019 BAB III pasal 15 :

1. Praktik Pekerjaan Sosial dilaksanakan berdasarkan

standar Praktik Pekerjaan Sosial;

2. Standar Praktik Pekerjaan Sosial sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. standar operasional prosedur;

b. standar kompetensi Pekerja Sosial; dan

c. standar layanan.

Adapun tahapan atau proses di dalam manajemen

kasus terdiri dari beberapa langkah, yakni :

a. Penjangkauan dan identifikasi Klien;

b. Melakukan asesmen terhadap klien dan keluarganya;

c. Perencanaan dan mengidentifikasi sistem sumber

(komponen pelayanan);

d. Menghubungkan klien dengan sistem sumber yang

dibutuhkan klien;

e. Implementasi pelayanan dan koordinasi;

f. Monitoring pemberian pelayanan;

g. Advokasi atas pelayanan yang diberikan;

h. Evaluasi;

Bagan 3. 2 Proses Manajemen Kasus

104

Sumber: Materi Bimbingan Orientasi Peksos SPV PKH Tahun 2018

Dalam melakukan tahapan tersebut, seorang

manajemen kasus harus memiliki pengetahuan yang luas,

jejaring, serta komunikasi yang baik karena akan

dihadapkan dengan berbagai pihak dalam upaya

memfasilitasi klien untuk penyelesaian masalahnya.

Dalam praktiknya, form yang digunakan oleh

Supervisor PKH dalam melaksanakan kegiatan yang

berkaitan dengan manajemen kasus yakni disusun sendiri

oleh Supervisor dengan format penulisan yang berisikan

Nama, Nomor Induk Kependudukan, Nomor Anggota

PKH, alamat tempat tinggal KPM PKH, dan kondisi

Biopsikososialnya. Dan untuk laporan setiap bulannya,

akan dilaporkan Supervisor sesuai dengan kasus yang

ditemukan dan format penulisan laporan yang disusun

sendiri juga oleh Supervisor (terdapat di lampiran).

105

BAB IV

DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

Dalam pekerjaan sosial, adanya intervensi yang dilakukan

oleh pekerja sosial profesional melalui pendekatan atau metode

manajemen kasus merupakan suatu hal yang memenuhi

kompleksitas untuk memberikan pelayanan dan penanganan

kepada klien yang membutuhkan bantuan. Manajemen kasus

menekankan pada sisi koordinasi yang kuat untuk mengasesmen

serta memberikan pendampingan terkait isu-isu yang ada dan

berkembang di masyarakat, salah satunya program bantuan sosial

non-tunai pemerintah untuk keluarga yang memiliki pendapatan

rendah atau di bawah Upah Minimum Rasio (UMR), yaitu

Program Keluarga Harapan (PKH) di Jakarta Timur. Pada skripsi

ini, penulis melakukan penelitian mengenai program tersebut.

Penelitian ini menggunakan dua aspek yang menjadi

komponen pokok pada manajemen kasus, yaitu aspek proses dan

sistem. Didalam aspek proses sendiri, terdapat tahapan yang dapat

dilihat melalui model minimalis, model komprehensif, dan model

intervensi krisis. Dan pada aspek sistem, terdapat indikator dasar

hukum dan standar pelayanan, Sumber Daya Manusia (SDM) dan

supervisi, dan Keluarga Penerima Manfaat. Berdasarkan pada hasil

wawancara dan studi dokumentasi kepada para informan, berikut

adalah informasi berdasarkan indikator yang penulis dapatkan.

106

A. Proses pada Manajemen Kasus

Proses yang dilakukan dalam manajemen kasus pada

Program Keluarga Harapan (PKH) di wilayah Jakarta Timur

dilakukan oleh Pendamping Sosial, Supervisor, dan

Koordinator Kota, dilihat dari model manajemen kasus dengan

melakukan beberapa proses atau tahapan pekerjaan sosial. Di

bawah ini adalah hasil wawancara penulis terkait dengan

indikator dari proses tersebut.

1. Kasus Penyalahgunaan Kartu Kesejahteraan Sosial

(KKS) – PKH

Alur pelayanan yang dilakukan baik oleh Pendamping

Sosial, Supervisor PKH, dan/ atau Koordinator Kota,

antara lain:

a. Kontak awal dan identifikasi kasus

Penerimaan laporan kasus selalu lebih dahulu

diketahui oleh pendamping yang didapatkan langsung

dari KPM, seperti pernyataan di bawah ini:

Jadi kami sebagai pendamping selalu mendapatkan

laporan lebih awal dari KPM, pada bulan Juli 2019

didapatkan kasus berupa penyalahgunaan kartu

oleh oknum ketua kelompok. Lalu saya langsung

berkoordinasi dengan supervisor untuk

mengabarkan bahwa ada laporan dari KPM

mengenai kasus tersebut. (Pendamping W, 22 April

2020)

Hal serupa juga dikatakan oleh Supervisor, yakni:

Setelah pendamping mendapatkan laporan dari

KPM di wilayah dampingannya, maka pendamping

langsung meneruskannya kepada supervisor. Dan

107

kami langsung mengunjungi rumah KPM untuk

bertemu dan segera melakukan pendataan dengan

membawa form-form yang sudah kami siapkan.

Tetapi sebelumnya, kami menggunakan teknik

small talk kepada KPM untuk mengawali

identifikasi kasus. (SPV PKH DTWP, 13 April

2020)

Kontak awal yang dilakukan oleh pendamping

menggunakan beberapa teknik untuk mengawali

penggalian masalah kepada KPM, yaitu seperti yang

dikatakan oleh pendamping di bawah ini:

Meskipun kami sering bertemu dengan masing-

masing KPM saat kegiatan FDS atau P2K2

berlangsung, namun tetap saja ketika melakukan

home visit untuk khusus menangani sebuah kasus

diperlukan beberapa teknik untuk penggalian

masalah. Biasanya kami tidak serta merta langsung

menanyakan ke masalah inti, tetapi bertahap

pertanyaannya, sehingga nanti dengan sendirinya

KPM akan menceritakan kasus yang dialaminya.

(Pendamping ID, 23 April 2020)

Dari pernyataan informan di atas, dapat

disimpulkan bahwa kontak awal dan identifikasi kasus

penyalahgunaan dana bantuan sosial ini adalah dengan

mempergunakan teknik small talk dan melakukan

kegiatan home visit kepada KPM sebagai awal

penggalian data atas laporan kasus kepada Pendamping

dan Supervisor.

108

b. Assessment

Tahap ini merupakan penggalian masalah secara

lebih mendalam yang dilakukan oleh Supervisor dan

Pendamping Sosial, seperti yang dikatakan oleh

supervisor di bawah ini, yaitu:

Pada tahap ini, kami menggunakan form yang

memang kami rancang sendiri, dikarenakan belum

adanya form khusus assessment yang dimiliki oleh

PKH. Format di dalamnya seperti identitas KPM,

waktu dan tempat kejadian, dan alur

permasalahannya. Untuk pengisian form biasanya

saya dibantu oleh pendamping, dan biasanya hanya

form saja, kami belum menggunakan tools

assessment dalam penanganan kasus pada KPM

PKH. (SPV PKH DTWP, 13 April 2020)

Hal senada juga dikatakan oleh salah satu

pendamping yang langsung menangani kasus ini,

yakni:

Pada saat menangani kasus ini saya bersama

dengan Supervisor mengunjungi langsung KPM ke

kediamannya. Lalu kami melakukan pendataan dan

menggali permasalahan lebih dalam dengan

wawancara kepada korban yang kartunya disalah

gunakan oleh ketua kelompoknya. (Pendamping W,

22 April 2020)

Pernyataan yang sama juga dikatakan oleh

pendamping CW,

Selama saya bertugas sebagai pendamping, saat

proses assessment kami hanya menggunakan form

yang ada dan tidak menggunakan tools assessment

dalam pekerjaan sosial. (Pendamping CW, 14 Mei

2020)

109

Berdasarkan informasi di atas, bahwa Pendamping

dan Supervisor melakukan proses assessment dengan

hanya menggunakan form yang dimiliki oleh PKH

Jakata Timur dengan format identitas KPM, waktu dan

tempat kejadian, serta bagaimana alur

permasalahannya. Yang mana pencatatan kasus

tersebut dilakukan oleh Supervisor dengan bantuan

Pendamping PKH.

c. Perencanaan Intervensi

Rencana intervensi yang dirancang oleh Supervisor

dan pendamping untuk kasus penyalahgunaan kartu ini

adalah sebagai berikut:

Jadi ketika sudah selesai melakukan assessment

kepada KPM, tahap selanjutnya yang dilakukan

adalah rencana intervensi untuk menyelesaikan

perkara kasus ini. Awal perencanaan adalah kami

merumuskan siapa saja yang terlibat, yakni KPM

yang menjadi korban, lalu KPM yang terindikasi

sebagai pelaku, dan juga pendamping. Rencananya

kami akan melihat melalui CCTV salah satu Bank

yang digunakan oleh KPM untuk menarik dana

bantuan PKH. Sehingga nantinya akan terlihat

apakah pelaku benar mempergunakan kartu korban

atau tidak. Dan apabila kartu tersebut benar

digunakan oleh pelaku, maka akan kami teruskan

kepada pihak berwajib. Paling tidak dalam kurun

waktu 1 minggu hal ini sudah harus terungkap.

(SPV PKH DTWP, 13 April 2020)

Pendamping W juga mengatakan hal senada

dengan pernyataan Supervisor, yaitu:

110

Saat melakukan rencana penyelesaian kasus ini,

kami akan berkoordinasi dengan Bank yang

digunakan oleh KPM untuk menarik dana bantuan.

Kami akan mengecek kebenaran dari KPM yang

disinyalir sebagai pelaku, dan juga akan mencetak

laporan transaksi selama waktu pengambilan dana.

(Pendamping W, 22 April 2020)

Disamping itu, pendamping sendiri menyatakan

bahwa rencana intervensi memperhatikan beberapa hal,

yakni:

Jadi hal-hal yang harus diperhatikan saat rencana

intervensi dilakukan adalah apakah dapat terukur

dengan jelas, apakah dapat membuat pelaku jera

dengan perbuatannya, dan apakah penyelesaiannya

itu dapat terselesaikan dengan tepat. (Pendamping

ID, 23 April 2020)

Dari pernyataan informan di atas, perencanaan

intervensi yang dilakukan adalah dengan

memperhatikan apakah rencana tersebut dapat dengan

tepat mampu diselesaikan dalam kurun waktu yang

singkat, dan juga mengukur keberhasilan dari

intervensi yang akan dilakukan oleh Pendamping dan

Supervisor PKH.

d. Pelaksanaan Intervensi

Rencana intervensi dapat berubah sesuai dengan

kondisi di lapangan, seperti pernyataan pendamping di

bawah ini:

Perencanaan yang sudah kami rancang bersama

dengan Supervisor dan KPM, dapat berubah sesuai

111

dengan kondisi yang ada di lapangan. (Pendamping

W, 22 April 2020)

Hal serupa juga dikatakan oleh pendamping lain,

yaitu:

Apabila KPM berubah pikiran saat kami akan mulai

melakukan intervensi, misalnya KPM

mengkonfirmasi dan mengatakan kejujuran yang

telah ia lakukan, perencanaan yang sudah kami

susun bisa saja menyesuaikan dengan kondisi

tersebut. (Pendamping ID, 23 April 2020)

Pernyataan yang senada juga disampaikan oleh

Supervisor sebagai berikut:

Jadi ketika kami sudah merumuskan rencana

intervensi, di tengah jalan terduga pelaku pada

akhirnya meminta maaf, lalu mengakui bahwa

dirinya memang benar telah menahan salah satu

kartu KPM lain, menggunakan dana nya, dan

berjanji akan mengembalikan hak dari korban. Dan

rencana intervensi kami rubah dengan langsung

mempertemukan antara pelaku dan korban dan

menyelesaikan secara kekeluargaan. (SPV PKH

DTWP, 13 April 2020)

Dari pernyataan informan di atas, maka

pelaksanaan intervensi yang dilakukan pada kasus ini

menyesuaikan dengan kondisi di lapangan, di mana

pelaku pada akhirnya mengakui kesalahan dan berjanji

akan mengembalikan dana yang disalahgunakannya.

Sehingga rencana intervensi yang semula sudah

disusun oleh Pendamping dan Supervisor PKH diubah

112

dengan mempertemukan kedua beah pihak dan

menyelesaikan kasus tersebut secara kekeluargaan.

e. Monitoring dan Evaluasi

Monitoring yang dilakukan pada kasus ini yaitu

mendampingi KPM setiap akan mengambil dana

bantuan PKH di bank yang dituju, seperti pernyataan

Supervisor di bawah ini:

Pendamping melakukan pendampingan selama

kurang lebih 3 bulan kepada oknum ketua

kelompok yang menyalahgunaan kartu salah satu

angggotanya. Dengan cara mendampingi setiap

pengambilan dana dan pengembaliannya kepada

korban. Hingga uang anggota KPM yang

digunakan oleh pelaku dikembalikan secara penuh.

(SPV PKH DTWP, 13 April 2020)

Hal ini juga diungkapkan oleh Pendamping W,

yaitu:

Ya jadi selama proses monitoring saya melakukan

pendampingan dengan memantau KPM yang

menjadi pelaku ini ketika akan mencairkan dana

bantuan dan juga saat melunaskan pembayaran

yang sudah dijanjikan sebelumnya kepada KPM

yang menjadi korban. Selama 3 bulan hal ini

dilakukan, dan akhirnya pelunasan serta kasus ini

telah selesai. (Pendamping W, 22 April 2020)

Selain monitoring, evaluasi dari pelayanan yang

sudah dilakukan juga dilaksanakan. Seperti yang

dijelaskan oleh Koordinasi Kota di bawah ini:

Setelah proses semua dilakukan, selanjutnya kami

akan melaksanakan kegiatan evaluasi yang rutin

dilaksanakan setiap bulannya. Di kegiatan itu para

113

pendamping memaparkan hasil kinerja nya dan

kami mengevaluasi perkembangan kasus seperti

apa. (Koordinator Kota AT, 11 Mei 2020)

Evaluasi yang rutin dilakukan juga diutarakan oleh

salah satu pendamping seperti di bawah ini:

Evaluasi selalu kami laksanakan dengan Korkot

dan juga Supervisor. Evaluasi dijalankan setiap

sebulan sekali setiap akhir bulannya. Hal yang kami

lakukan adalah dengan melaporkan secara lisan dan

tulisan apa saja yang sudah berjalan selama kami

bertugas. Apabila ada kendala atau kesalahan yang

menjadi kekurangan selama kami menjalankan

pelayanan, maka akan dievaluasi dan diarahkan

baik oleh Spv dan juga Korkot. (Pendamping ID, 23

April 2020)

Evaluasi juga dilakukan agar kasus tidak terjadi

kembali seperti yang dijelaskan oleh Pendamping,

Dalam kasus ini, tentunya evaluasi juga

dibutuhkan. Sehingga kasus serupa tidak akan

terjadi kembali pada anggota-anggota KPM PKH

yang lain. (Pendamping W, 22 April 2020)

Kesimpulan berdasarkan pernyataan informan di

atas, adalah monitoring dilaksanakan selama proses

pengembalian dana yang dilakukan oleh pelaku secara

penuh, dan evaluasi dilakukan baik oleh Pendamping,

Supervisor, dan Korkot setiap bulannya untuk menilai

sejauh mana kinerja dari para SDM PKH, serta kasus-

kasus serupa ini tidak terjadi kembali di dalam

keanggotaan KPM PKH.

114

f. Terminasi

Kasus akan ditutup apabila sudah dianggap selesai

dan proses demi proses telah dijalankan. Seperti

pernyataan pendamping di bawah ini:

Sekitar Agustus 2019 penyelesaian kasus sudah

selesai dengan mempertemukan antara korban dan

pelaku, lalu pengembalian dana sampai semua hak

KPM yang menjadi korban ini terbayarkan secara

lunas. Sehingga kasus kami anggap sudah selesai.

(Pendamping W, 22 April 2020)

Hal ini diperkuat dengan pernyataan Supervisor di

bawah ini:

Ya tentunya apabila kasus sudah tertangani dan

sudah melewati tahap penyelesaian. Maka kami

anggap itu sudah selesai. (SPV PKH DTWP, 13

April 2020)

Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa

dengan mempertemukan korban dan pelaku, sampai

dengan pengembalian dana bantuan yang telah

disalahgunakan oleh ketua kelompok, artinya kasus

telah tertangani dan dinyatakan selesai oleh Supervisor

PKH.

2. Penyalahgunaan Dana Bantuan Non-Tunai PKH oleh

KPM

Kasus ini terjadi di salah satu KPM, proses

pelayanan yang dilakukan oleh Pendamping dan

Supervisor PKH, adalah sebagai berikut:

115

a. Kontak awal dan Identifikasi Kasus

Sama seperti kasus di atas, kasus penyalahgunaan

dana bantuan PKH ini juga dilaporkan langsung oleh

KPM kepada salah satu pendamping PKH, yakni:

Pada November 2019 kami mendapatkan laporan

dari salah satu KPM di wilayah dampingan. Kasus

yang dilaporkan adalah penyalahgunaan dana

bantuan non tunai yang dilakukan oleh salah satu

anggota keluarga. (Pendamping W, 22 April 2020)

Laporan kasus ini diperkuat dengan pernyataan

Supervisor PKH, yaitu:

Iya betul saya pernah mendapatkan laporan

mengenai kasus tersebut. Kemudian dengan

Pendamping melakukan home visit ke rumah KPM

untuk melakukan pendekatan awal dengan Nenek

yang menjadi anggota KPM PKH. Lalu mendata

identitas diri nya, dengan form yang kami miliki.

(SPV PKH DTWP, 13 April 2020)

Senada dengan pernyataan di atas, pendamping lain

juga menjelaskan mengenai proses awal dari tahapan

ini, antara lain:

Biasanya jika diperlukaan, kami mendatangi

langsung ke rumah KPM yang akan dilayani,

dengan membawa form yang akan diisi untuk

pendataan KPM. Awal nya memang kami tidak

langsung menanyakan inti permasalahan, namun

dengan obrolan yang sifatnya ringan, dan secara

tidak langsung kami sambil menggali kasusnya.

(Pendamping ID, 23 April 2020)

Dari pernyataan di atas, kesimpulan yang diperoleh

adalah sama seperti kasus pada point 1, bahwa pada

116

proses kontak awal dan identifikasi kasus ini,

Pendamping dan Supervisor dapat melakukan home

visit untuk langsung bertemu dengan KPM yang akan

ditangani kasusnya. Dan di setiap proses ini, Supervisor

telah menyiapkan form yang dapat diisi untuk identitas

dari KPM yang telah melaporkan kasusnya.

b. Assessment

Setelah melakukan pendaatan, tahap selanjutnya

yang dilakukan adalah melakukan asesmen seperti

yang dijelaskan di bawah ini oleh Pendamping, yaitu:

Kami melakukan wawancara lebih dalam biasanya

pada tahap ini. Agar alur dari permasalahannya itu

dapat kami ketahui dengan jelas. (Pendamping W,

22 April 2020)

Senada dengan pernyataan Pendamping W,

pendamping lain juga menyatakan bahwa:

Biasanya ketika proses penggalian data dari kasus

yang dilaporkan kami terus melakukan wawancara

kepada KPM, sampai kami mengetahui dengan

benar bagaimana hal tersebut dapat terjadi.

(Pendamping CW, 14 Mei 2020)

Setelah dilakukan asesmen lebih dalam, spv

menemukan informasi bahwa ternyata KPM lah yang

menggunakan dana bantuan untuk membeli rokok,

seperti yang diungkapkan sebagai berikut:

Selanjutnya kami mengasesment kasus klien dan

juga anggota keluarganya yang lain. Awalnya

117

memang jawaban-jawaban dari KPM sedikit

berbelit, lalu kami terus menanyakan lebih spesifik

lagi sampai pada akhirnya ditemukan fakta bahwa

dana bantuan ini digunakan oleh si Nenek untuk

membeli rokok yang akan dikonsumsinya. (SPV

PKH DTWP, 13 April 2020)

Berdasarkan pernyataan informan di atas,

kesimpulan yang didapatkan dari proses assessment

pada kasus ini adalah dengan wawancara mendalam

dan spesifik kepada KPM mengenai kasus yang

dialaminya, akan mendapatkan informasi dan fakta

yang sebenarnya terjadi, seperti temuan yang

didapatkan oleh Supervisor di atas.

c. Perencanaan Intervensi

Supervisor mengatakan bahwa pada saat bertemu

dengan KPM belum merencanakan bagaimana rencana

intervensi yang akan dilakukan. Seperti pernyataannya

di bawah ini:

Pada saat kami bertemu dengan KPM dan

keluarganya, belum sempat menyusun rencana

intervensi yang akan dilakukan. Dikarenakan

keluarga berkumpul di rumah Nenek, dan pada saat

asesmen beliau sudah mengatakan perihal

kebenaran dari penyalahgunaan dana bantuan.

(SPV PKH DTWP, 13 April 2020)

Hal serupa juga dikatakan oleh pendamping, yakni:

Untuk kasus ini, kami awal nya memang tidak

mengira bisa langsung terselesaikan. Sehingga,

ketika setelah selesai asesmen, kami langsung

118

memberikan pengertian dan pemahaman kepada

anggota keluarga mengenai penggunaan dana

bantuan yang tepat. (Pendamping W, 22 April

2020)

Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa pada kasus ini baik pendamping

dan juga supervisor belum merencanakan intervensi,

akan tetapi langsung melakukan intervensi dengan

KPM dan anggota keluarga yang lain.

d. Pelaksanaan Intervensi

Pada kasus ini tidak terdapat rencana intervensi,

dikarenakan kasus dapat tertangani dalam kurun waktu

satu hari, seperti yang dijelaskan oleh Supervisor,

Dikarenakan pada saat itu tidak hanya ada si Nenek,

tetapi juga terdapat anggota keluarga yang lain,

maka kami langsung melakukan intervensi berupa

pemahaman kepada kedua belah pihak bahwa

bagaimana seharusnya dana bantuan itu digunakan,

pembelian apa yang diperbolehkan dan tidak

diperbolehkan, dan jika di kemudian hari masih

ditemukan kasus serupa, maka kami akan

melakukan pencabutan keanggotaan PKH. (SPV

PKH DTWP, 13 April 2020)

Hal senada juga diutarakan oleh pendamping

mengenai intervensi yang telah dilakukan dalam kasus

ini, yaitu:

Apabila permasalahan masih dapat diatasi dengan

mempertemukan keluarga dan KPM juga masih

mudah untuk diarahkan, maka kami melakukan

119

intervensi sebatas itu saja. (Pendamping W, 22

April 2020)

Dari pernyataan informan di atas, maka kesimpulan

dalam tahapan intervensi pada kasus ini adalah dengan

memberikan pemahaman kepada Nenek dan anggota

keluarganya bahwa bagaimana mengelola dana

bantuan, dana tersebut boleh dan tidak diperbolehkan

untuk pembelian apa saja, dan KPM memahami akan

hal itu, sehingga kasus pun selesai dalam waktu satu

hari.

e. Monitoring dan Evaluasi

Monitoring yang dilakukan terkait kasus ini yaitu

pendamping rutin mengontrol dana yang masuk ke

KPM digunakan untuk membeli keperluan apa saja,

seperti pernyataan berikut:

Pendamping ketika Nenek ini mencairkan dana

bantuannya, maka rutin mengontrol digunakan

untuk membeli apa saja, sehingga akan terpantau

dengan baik, dan di kemudian hari, KPM ini pun

memang sebagaimana mestinya menggunakan

dana bantuan untuk membeli keperluan sehari-hari,

seperti sembako. (Pendamping W, 22 April 2020)

Supervisor juga mengatakan hal serupa mengenai

monitoring dan evaluasi pada kasus ini, yaitu:

Kami memang tidak dapat menyalahkan siapapun

dalam hal ini, mungkin memang Nenek belum

memahami dengan baik penggunaan dana yang

seharusnya digunakan untuk keperluan seperti

susu, beras, makanan sehari-hari, dan lain-lain,

karena beliau termasuk ke dalam kategori lansia.

120

Maka dari itu, perlu adanya dampingan dari

keluarga dan juga pendamping untuk mengingatkan

Nenek ini agar dikemudian hari tidak

mempergunakan dana bantuan untuk membeli

sesuatu yang tidak baik untuk dirinya. Dan

monitoring dengan mengecek penggunaan dana

juga selalu dilakukan oleh pendampingnya. (SPV

PKH DTWP, 13 April 2020)

Disamping itu, Koordinator Kota mengatakan

bahwa,

Evaluasi yang kami lakukan terakait dengan kasus

ini sama hal nya dengan kasus sebelumnya. Jadi,

evaluasi itu selalu kami lakukan di setiap bulannya,

laporan perkasus juga selalu dibuat oleh

Pendamping dan juga Supervisor kemudian

dipaparkan saat kegiatan eval berlangsung.

Sehingga kami semua mengetahui hal apa saja yang

masih perlu diperbaiki dan tetap dijalankan.

(Koordinator Kota AT, 11 Mei 2020)

Kesimpulan berdasarkan pernyataan informan di

atas adalah monitoring dan evaluasi yang dilakukan

terkait kasus penyalahgunaan dana bantuan sosial oleh

KPM yaitu melakukan pengecekan dana bantuan yang

digunakan untuk membeli keperluan sehari-hari oleh

KPM sehingga tidak dipergunakan untuk membeli

barang yang tidak baik untuk dirinya. Dan untuk

evaluasi, hal yang dilakukan yakni bersama dengan

SDM PKH lain memaparkan hasil laporan kasus yang

sudah dilakukan. Sehingga akan terlihat apa yang

121

menjadi kekurangan dalam memberikan pelayanan dan

apa yang masih tetap dijalankan oleh Pendamping.

f. Terminasi

Tahapan terakhir ini dilakukan dengan kesepakatan

Nenek dan keluarganya untuk menggunakan dana

bantuan PKH sebagaimana mestinya, seperti yang

dikatakan oleh Supervisor di bawah ini:

Pengakhiran kasus ini ditandai dengan kesepakatan

dan komitmen Nenek beserta keluarga nya untuk

menggunakan dana bantuan non tunai PKH untuk

membeli bahan pangan sehari-hari dan tidak

dipergunakan untuk membeli barang-barang yang

bukan semestinya. (SPV PKH DTWP, 13 April

2020)

Pendamping pun juga mengatakan hal yang serupa,

yakni:

KPM sudah berjanji bahwa dana akan

diperuntukkan membeli beras, susu, lauk pauk, dan

hal lain yang bermanfaat untuk dirinya. Bila di

kemudian hari kasus tersebut terjadi kembali, maka

kami akan menindaklanjuti dengan kemungkinan

pemutusan keanggotaannya. (Pendamping W, 22

April 2020)

Pendamping lain mengatakan, bahwa tahapan

penyelesaian kasus akan berakhir dengan selesainya

kasus dan tidak menggunakan form khusus.

Selama ini penyelesaian kasus yang kami

selesaikan pengakhirannya tidak menggunakan

form khusus. Jika penanganan selesai, dan kasus

terselesaikan dengan intervensi yang sudah

122

dilakukan, maka kami anggap itu telah terminasi.

(Pendamping ID, 23 April 2020)

Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka

kesimpulan dalam tahapan ini adalah terminasi pada

tahapan pekerjaan sosial dalam PKH tidak

menggunakan form khusus, namun apabila kasus telah

selesai tertangani dengan baik, maka itu artinya sama

saja dengan terminasi atau kasus telah ditutup.

3. Anak KPM yang Ingin Berhenti Sekolah

Tahapan yang dilakukan oleh Pendamping,

Supervisor, dan Koordinator Kota untuk menyelesaikan

kasus anak KPM yang ingin berhenti sekolah, antara lain:

a. Kontak Awal dan Identifikasi Kasus

Sama seperti kasus di atas, Pendamping

mendapatkan laporan kasus dari salah satu KPM

mengenai adanya anak dari KPM lain yang berencana

ingin tidak melanjutkan sekolah, seperti yang

diungkapkan di bawah ini:

Di bulan Februari 2019, kami menerima laporan

bahwa ada salah satu anak KPM yang sudah

beberapa hari tidak masuk sekolah dan berencana

untuk tidak melanjutkannya, pada saat itu kalau

tidak salah di tingkat SMP. Dikarenakan syarat

mendapatkan dana bantuan non tunai PKH ini anak

harus bersekolah dan minimal kehadiran 85% di

dalam kelas. Maka kami langsung menemui yang

bersangkutan. (Pendamping ID, 23 April 2020)

123

Hal senada juga diutarakan oleh Supervisor yang

juga turut serta mendatangi KPM,

Saya dengan Pendamping dari KPM tersebut

langsung melakukan home visit untuk bertemu

dengan KPM yang dimaksud dan anak yang

bersangkutan. Dikarenakan kasus ini harus segera

diurus maka kami tidak dapat menunda waktu

untuk langsung melaksanakan identifikasi kasus.

(SPV PKH DTWP, 13 April 2020)

Koordinator Kota juga turut langsung andil dalam

kasus ini, seperti yang dijelaskan dalam pernyataannya

di bawah ini:

Saya mendapatkan laporan pada saat itu dari

Supervisor ada salah satu anak KPM yang kabarnya

berencana untuk tidak ingin melanjutkan

sekolahnya. (Koordinator Kota AT, 11 Mei 2020)

Lebih lanjut Supervisor mengatakan,

Ketika kami bertemu dengan KPM, maka hal yang

dilakukan pertama kali adalah menanyakan

bagaimana keadaan anaknya pada saat itu, apakah

ada kendala selama proses belajar di sekolahnya,

dan lain-lain. Kami pun juga melakukan

pendekatan kepada si anak, mengapa dirinya tidak

ingin melanjutkan sekolah. (SPV PKH DTWP, 13

April 2020)

Pendamping ID juga mengatakan bahwa:

Kami bertemu dengan anak KPM, lalu melakukan

teknik dengan obrolan yang ringan-ringan terlebih

dahulu. (Pendamping ID, 23 April 2020)

Dari pernyataan informan di atas, maka kesimpulan

yang diperoleh ialah tahapan awal dari kasus ini adalah

124

dengan langsung melakukan home visit atau kunjungan

ke rumah KPM untuk menindaklanjuti laporan yang

diterima. Kemudian mulai melakukan kontak dan

identifikasi awal melalui obrolan yang sifatnya ringan

kepada KPM tertuju.

b. Assessment

Tahapan kedua ini dilakukan dengan mulai

menggali permasalahan lebih dalam kepada anak KPM

khususnya, dan orang tua. Seperti pernyataan

Supervisor di bawah ini:

Kami melakukan penggalian masalah lebih dalam

lagi. Sehingga kami menemukan alasan mengapa

anak tidak ingin melanjutkan sekolah, yaitu adanya

pembullyan yang dialami olehnya. (SPV PKH

DTWP, 13 April 2020)

Hal ini juga dibenarkan oleh Pendamping, yaitu:

Setelah saya dibantu dengan Supervisor mencari

tahu lebih detail penyebab anak KPM tidak ingin

melanjutkan sekolah, karena ia mengatakan bahwa

dirinya dibully oleh teman-teman di sekolahnya

karena belum membayar uang spp. (Pendamping

ID, 23 April 2020)

Disamping penyebab, terdapat hal lain yang

dikatakan oleh Koordinator Kota di dalam proses

asesmen pada kasus ini, yaitu:

Penyebab yang diketahui adalah adanya aksi

pembullyan oleh teman-temannya kepada anak

KPM dikarenakan belum membayarkan uang spp.

Dan ketika kami bertemu dengan KPM di

125

rumahnya, yang menggali permasalahan pasti lah

Supervisor dan Pendampingnya. Tugas saya hanya

mendampingi keduanya dalam proses ini.

(Koordinator Kota AT, 11 Mei 2020)

Supervisor juga menambahkan mengenai teknik

yang digunakan dalam melakukan asesmen kepada

KPM, yakni:

Teknik yang kami gunakan awalnya adalah dengan

memberi pengertian kepada anak bahwa kami dapat

membantu dirinya agar tidak mendapatkan

perlakuan pembullyan lagi di sekolahnya, ia dapat

menceritakan apa saja penyebab dari hal tersebut.

Dan kemudian ia menceritakan penyebabnya apa.

Karena dengan pembawaan yang ringan dan tidak

terlalu berat, maka mudah saja si anak

menceritakannya. (SPV PKH DTWP, 13 April

2020)

Berdasarkan hasil temuan dai wawancara di atas,

bahwa asesmen yang dilakukan oleh SDM PKH kepada

KPM yaitu dengan melakukan pendekatan kepada anak

KPM melalui obrolan ringan mengenai keadaan dirinya

di sekolah, sampai dengan menemukan penyebab anak

KPM tidak ingin melanjutkan sekolahnya. Dalam

proses ini, Korkot mendampingi Pendamping dan juga

Supervisor di dalam penggalian masalah.

c. Perencanaan Intervensi

Tahapan selanjutnya yang dilakukan oleh

Supervisor dan Pendamping ialah melakukan rencana

intervensi berupa koordinasi dengan pihak sekolah.

126

Selanjutnya kami melakukan perencanaan untuk

penyelesaian kasus ini, dengan koordinasi kepada

pihak sekolah. Tujuannya adalah agar pihak

sekolah mengetahui penyebab peserta didiknya

berencana untuk tidak melanjutkan sekolah.

Sehingga apabila pihak sekolah mengetahui maka

akan dibantu prosesnya agar anak dapat kembali ke

sekolah. Hal ini tentunya dapat terwujud apabila

koordinasi yang kami lakukan dengan pihak

sekolah berjalan baik dengan menyampaikan

maksud dan tujuan itu. (SPV PKH DTWP, 13 April

2020)

Kemudian spv lebih lanjut mengatakan, bahwa:

Apabila sudah dilakukan upaya koordinasi dengan

pihak sekolah, namun anak tetap tidak ingin

melanjutkan sekolahnya, maka kami memiliki

rencana kedua yaitu memindahkan anak KPM ke

PKBM. Dan upaya yang kami lakukan ini harus

tercapai dalam kurun waktu 2 minggu, agar KPM

juga tetap dapat mencairkan dana bantuan PKH,

karena salah satu syaratnya adalah apabila anak

KPM masih ada yang bersekolah maka minimal

85% harus hadir dalam kegiatan belajar mengajar.

(SPV PKH DTWP, 13 April 2020)

Hal senada juga dinyatakan oleh Pendamping,

yaitu:

Kami sudah melakukan rencana intervensi bersama

dengan Supervisor dan Korkot, yaitu apabila anak

ini tetap tidak ingin melanjutkan sekolahnya, maka

kami akan langsung berkoordinasi dengan PKBM

di wilayah tempat tinggal agar anak tetap

mendapatkan hak nya. (Pendamping ID, 23 April

2020)

127

Adanya rencana koordinasi dengan pihak PKBM

juga dijelaskan oleh Koordinasi Kota sebagai berikut:

Renacana yang kami susun juga akan berkoordinasi

dengan salah satu PKBM agar apabila anak tetap

tidak ingin melanjutkan pendidikan formalnya,

namun akan mendapatkan pendidikan non formal.

Agar dana bantuan PKH ini tetap didapatkan.

(Koordinator Kota AT, 11 Mei 2020)

Berdasarkan pernyataan informan di atas, maka

rencana intervensi yang dilakukan baik oleh

Pendamping, Supervisor, dan Koordinator Kota PKH

adalah dengan merencanakan sebuah upaya bagaimana

agar anak dari KPM ini tetap mendapatkan pendidikan

baik dari sekolah formal ataupun non formal. Dengan

sekolah non formal, Koordinator Kota dan Supervisor

akan berkoordinasi dengan PKBM yang berada di

wilayah tempat tinggal dari KPM.

d. Pelaksanaan Intervensi

Setelah melakukan rencana intervensi, maka

selanjutnya adalah dengan menjalankan apa yang telah

direncanakan. Seperti yang dijelaskan oleh

pendamping, yakni:

Setelah kami bertemu dengan pihak sekolah,

kemudian perwakilan sekolah bertemu dengan anak

KPM. Namun, si anak tetap tidak mau untuk

melanjutkan sekolahnya dikarenakan pembullyan

membuat anak mungkin trauma dengan teman-

temannya. Maka tanpa berpikir panjang, kami

langsung melakukan rencana kedua, yaitu

128

koordinasi dengan pihak PKBM agar anak dapat

diproses untuk mendapatkan pendidikan di PKBM.

(Pendamping ID, 23 April 2020)

Supervisor juga membenarkan mengenai anak dari

KPM yang tetap tidak ingin melanjutkan di sekolah

formalnya.

Sudah kami upayakan agar anak kembali ke

sekolah formal, tetapi tidak berhasil. Sehingga

PKBM menjadi pilihan kedua agar anak tetap

mendapatkan pendidikannya, dan dana bantuan non

tunai dari PKH juga tetap didapatkan, hal itu lah

yang kami tekankan kepada anak dan juga

orangtua. Dengan pemahaman dan pengertian yang

terus kami berikan, akhirnya anak setuju untuk

pindah ke PKBM. (SPV PKH DTWP, 13 April

2020)

Koordinasi dengan PKBM juga diperjelas oleh Korkot,

seperti pernyataannya di bawah ini:

Kami melaporkan hasil nya terlebih dahulu kepada

Dinas Sosial, kemudian berkoordinasi dengan

pihak PKBM agar membantu proses penerimaan

anak dari KPM untuk dapat menjadi peserta didik

di PKBM yang dituju. Dan upaya yang kita lakukan

tersebut membuahkan hasil yang baik.

(Koordinator Kota AT, 11 Mei 2020)

Dari hasil wawancara di atas, maka intervensi yang

dilakukan adalah dengan berkoordinasi dengan pihak

PKBM agar anak dari KPM dapat tetap mendapatkan

pendidikan yang setara dengan jenjang sebelumnya.

Upaya yang dilakukan pada akhirnya berhasil membuat

129

anak tetap sekolah walaupun pindah ke sekolah non

formal, dan dana bantuan sosial non tunai PKH tetap

didapatkan.

e. Monitoring dan Evaluasi

Setelah melakukan intervensi dan anak KPM

kembali bersekolah walaupun pindah ke dalam sekolah

non formal, pendamping tetap melakukan monitoring

agar selalu terpantau perkembangannya, sebagaimana

pernyataan Supervisor di bawah ini:

Tentunya monitoring selalu dilaksanakan oleh

Pendamping ke fasilitas-fasilitas pendidikan, tidak

terkecuali PKBM. (SPV PKH DTWP, 13 April

2020)

Hal ini dibenarkan oleh Pendamping yang

melakukan monitoring kepada anak KPM, yaitu:

Saya tetap melakukan monitoring dan juga

koordinasi secara rutin dengan pihak PKBM.

Memantau bagaimana absensi dan kondisi si anak

ini ketika mengikuti proses KBM (Kegiatan Belajar

Mengajar). (Pendamping ID, 23 April 2020)

Koordinator Kota juga mengatakan hal serupa,

yaitu:

Koordinasi selalu kami lakukan agar tetap

terpantau bagaimana keadaan dan perkembangan

anak KPM sebagai peserta didik di sekolah, baik

sekolah formal maupun non formal. (Koordinator

Kota AT, 11 Mei 2020)

130

Disamping monitoring, evaluasi juga selalu

dilaksanakan apabila intervensi yang dilakukan oleh

Pendamping dilakukan, seperti pernyataan

Pendamping di bawah ini:

Seperti biasa, saya melaporkan perkembangan anak

KPM saat ini di PKBM. Melaporkan hasil yang

didapatkan dari sekolah terkait agar si anak ini tidak

kembali mengalami perundungan atau pembullyan.

(Pendamping ID, 23 April 2020)

Pendamping lain juga mengatakan hal yang senada,

yakni:

Iya setiap bulan kami selalu melaksanakan evaluasi

dengan Supervisor, Koorkot, dan Pendamping lain

perihal kegiatan yang telah kami laksanakan.

(Pendamping W, 22 April 2020)

Berdasarkan hasil wawancara informan di atas,

bahwa monitoring yang dilakukan oleh Pendamping

ID, yaitu selalu berkoordinasi dengan pihak PKBM,

melalui pencatatan laporan absensi dan keadaan anak

KPM selama mengikuti KBM. Hal itupun yang

dilaporkan kepada Supervisor dan Koordinator Kota

saat melaksanakan evaluasi.

f. Terminasi

Sama seperti dua kasus di atas, kasus ini pun

tertangani dan terselesaikan dengan baik. Hal tersebut

diungkapkan oleh Supervisor PKH di bawah ini:

Dengan kembalinya anak KPM mengenyam

pendidikan walaupun di sekolah formal, sama

131

artinya dengan memberikan kembali hak-hak yang

seharusnya terpenuhi. Kasus ini pun kami nyatakan

telah selesai dan tertangani dengan baik atas

bantuan berbagai pihak. (SPV PKH DTWP, 13

April 2020)

Pernyataan tersebut juga senada dengan yang

dikatakan oleh Koordinator Kota, yakni:

Atas koordinasi dan kerjasama dengan pihak

sekolah dan PKBM, akhirnya kasus ini dapat

terselesaikan. Anak KPM kami kembali bersekolah

walau konsepnya sedikit berbeda dengan sekolah

formal. Namun, hal itu diharapkan memberikan

kondisi yang lebih baik bagi anak khususnya.

(Koordinator Kota AT, 11 Mei 2020)

Disamping itu, Pendamping menambahkan

mengenai pengakhiran kasus atau tahap terminasi

dengan kesepakatan KPM agar tetap mengikuti aturan

dalam kepesertaannya sebagai anggota PKH.

Terminasi yang ada pada kasus ini ditandai dengan

kembali nya si anak untuk bersekolah, mau

mengikuti pelajaran, dan mematuhi aturan yang

berlaku baik dalam kepesertaan PKH ataupun

PKBM. (Pendamping ID, 23 April 2020)

Dari pernyataan informan di atas, temuan yang

diperoleh dari tahapan terminasi pada kasus ini adalah

ditandai dengan kembalinya anak untuk melaksanakan

kegiatan belajar mengajar walaupun harus pindah

sekolah karena kemauan anak KPM, dan kesepakatan

untuk mematuhi aturan yang berlaku baik dalam

132

kepesertaannya menjadi KPM PKH dan juga peserta

didik pada PKBM.

B. Sistem pada Manajemen Kasus

Pada komponen manajemen kasus, selanjutnya adalah

sistem. Sistem menjadi elemen pendukung untuk menjalankan

proses yang dilakukan dalam manajemen kasus. Program

Keluarga Harapan (PKH) khususnya di Wilayah Jakarta

Timur, menjalankan sistem melalui tiga indikator, yaitu dasar

hukum dan standar pelayanan, SDM dan supervisi, dan

Keluarga Penerima Manfaat. Di bawah ini adalah hasil

wawancara kepada para SDM dan KPM PKH mengenai sistem

manajemen kasus.

1. Dasar Hukum dan Standar Pelayanan

Metode pelayanan melalui manajemen kasus pada

Program Keluarga Harapan (PKH) didasari oleh aturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan kesejahteraan

sosial fakir miskin, hal ini seperti yang diungkapkan oleh

supervisor PKH, sebagai berikut:

Dalam melakukan pelayanan kepada KPM melalui

manajemen kasus, landasan hukum yang digunakan

antara lain Permensos Nomor 1 Tahun 2018 tentang

Pelaksanaan PKH, UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang

Kesejahteraan Sosial, UU Nomor 13 Tahun 2011

tentang Penanganan Fakir Miskin, dan UU Nomor 8

Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. (SPV

PKH DTWP, 13 April 2020)

133

Disamping itu, manajemen kasus PKH juga didasari

oleh pedoman dan aturan lain yang dijelaskan oleh Korkot

Jakarta Timur, antara lain:

Dasar hukum untuk melaksanakan Program Keluarga

Harapan sendiri adalah yang utama mengenai

pedomannya yaitu aturan tertulis mengenai pedoman

pelaksanaan, Dana Bantuan Non-Tunai, dan kerjasama

dengan Himbara untuk koordinasi mengenai

pengambilan dana bantuan. (Koordinator Kota AT, 11

Mei 2020)

Selain dasar hukum untuk melaksanakan manajemen

kasus pada PKH, terdapat standar pelayanan bagi

pendamping ketika akan memberikan pelayanan dan

pendampingan kepada KPM adalah pembekalan melalui

bimbingan teknis dan bimbingan pemantapan, seperti yang

dikatakan oleh pendamping 3, yaitu:

Untuk standar pelayanan ketika akan turun ke

lapangan, kami dibekali Bimtek dan Bimtap

Peningkatan Kapasitas Pendamping PKH dari

Kemensos. Sedangkan untuk pelatihan manajemen

kasus sendiri kami belum pernah lakukan. Hanya ada

pelatihan mandiri mengenai FDS oleh supervisor PKH.

(Pendamping CW, 14 Mei 2020)

Tidak hanya itu, pendamping lain juga menyebutkan,

bahwa juga terdapat modul pelatihan yang harus dipelajari

lebih dulu sebelum memberikan materi dan juga pelayanan

secara langsung kepada KPM, seperti yang penjelasan

pendamping di bawah ini:

Setelah adanya pelatihan untuk pendamping oleh

Kemensos, kami juga dibekali modul untuk pola asuh

134

anak, ekonomi, dan kesejahteraan sosial seperti

disabilitas dan lansia. Di dalam modul tersebut banyak

materi yang harus kami sampaikan dan jelaskan kepada

KPM. (Pendamping W, 22 April 2020)

Hal lain yang termasuk ke dalam standar pelayanan

dari sistem manajemen kasus, ialah database KPM. Seperti

pernyataan supervisor di bawah ini:

Untuk database identitas KPM, kami lakukan

penginputan di awal keanggotaan yang dilakukan oleh

pendamping. Pendataan ini dilakukan untuk

memvalidasi data yang didapatkan dari Kemensos. Dan

terkait laporan catatan kasus, kami memuatnya dalam

bentuk laporan tertulis yang akan dilaporkan kepada

koordinator kota setiap bulannya. (SPV PKH DTWP,

13 April 2020)

Pernyataan di atas juga senada dengan penjelasan oleh

pendamping di bawah ini:

Setiap bulannya kami melaporkan kasus-kasus dan

kegiatan yang telah dilaksanakan. Sebagai bahan

laporan selama sebulan kepada supervisor dan

koordinator kota. Laporan itu tidak dalam bentuk soft

copy, melainkan hard copy. (Pendamping ID, 23 April

2020)

Terkait dengan laporan kegiatan bulanan juga

dikatakan oleh Korkot, yakni:

Dalam kegiatan evaluasi di akhir bulan, para

pendamping melaporkannya kepada saya dan

supervisor. Setelah itu kami lakukan CKP (Ceklist

Kegiatan Pendamping). Artinya, kami juga melakukan

validasi kembali mengenai kegiatan-kegiatan yang

sudah dilaksanakan. (Koordinator Kota AT, 11 Mei

2020)

135

Berdasarkan pernyataan tiga informan di atas,

mengenai standar pelayanan pelaporan kasus di setiap

bulannya, pendamping dan supervisor juga membuat

laporan secara tertulis yang mana nantinya pada saat

pertemuan bulanan SDM PKH akan dicocokkan kembali

dengan kegiatan yang sudah dilaksanakan sebelumnya.

Disamping itu, untuk database KPM PKH pendamping

melakukan penginputan untuk memvalidasi keanggotaan

yang telah terdaftar.

Untuk standar pelayanan yang dikhususkan di masa

pandemic Covid-19, Korkot menyatakan bahwa:

Semua SDM PKH tanpa terkecuali harus selalu

menekankan protokol kesehatan, mulai dari

penggunaan masker, siap sedia hand sanitizer, dan

selalu jaga jarak setiap bertemu. Hal ini juga sebagai

antisipasi dan menjaga pelayanan kepada KPM agar

selalu prima di tengah kondisi saat ini. (Koordinator

Kota AT, 11 Mei 2020)

Selain itu, sejalan dengan protokol kesehatan yang

ditekankan oleh Korkot, maka pendamping juga

mengatakan bahwa:

Saat ini pertemuan, pemberian materi P2K2, serta

pelayanan lainnya kami alihkan via WhatsApp. Kami

buatkan grup yang berisikan ketua kelompok KPM

PKH, untuk tetap saling berkoordinasi. Kemudian,

disamping itu kami menugaskan ketua untuk

menginformasikan kembali kepada para anggota

kelompoknya masing-masing. (Pendamping ID, 23

April 2020)

136

Terkait dengan dialihkannya pemberian materi melalui

online, juga dikatakan oleh salah satu KPM, yaitu:

Iya sekarang tidak ada pertemuan langsung dulu

dengan pendamping dan KPM yang lain, karena takut

terpapar virus corona makanya pendamping

membuatkan grup di wa untuk para KPM. (KPM A, 14

Mei 2020)

Dari hasil wawancara kepada para informan mengenai

dasar hukum dan standar pelayanan yang diberlakukan

dalam manajemen kasus pada PKH, antara lain dijalankan

atas dasar Peraturan Presdien mengenai Penyaluran

Bantuan Sosial Non-Tunai, Peraturan Menteri Sosial

mengenai pelaksanaan PKH, SK Dirjen tentang Pedoman

Umum PKH, UU tentang Kesejahteraan Sosial, Fakir

Miskin, Penyandang Disabilitas, dan juga mengenai

kerjasama dengan himpunan Bank negara. Serta standar

pelayanan yang dijalankan oleh para SDM PKH untuk

memberikan pelayanan dan penanganan kasus khususnya

melalui manajemen kasus, dengan melakukan terlebih

dahulu diklat dan juga pembelajaran pendamping dengan

modul materi mengenai pola asuh anak, ekonomi, dan

kesejahteraan sosial seperti disabilitas dan lansia.

Dan untuk saat ini, di tengah pandemic Covid-19,

seluruh SDM PKH diwajibkan untuk menjalankan

protokol kesehatan dan juga untuk para KPM PKH untuk

menerima pelayanan, pemberian materi, dan/atau

penyuluhan melalui online. Hal-hal ini dilakukan karena

untuk meminimalisir baik jumlah ODP ataupun PDP.

137

2. SDM dan Supervisi

Pada sistem PKH, terdapat Sumber Daya Manusia

(SDM) khususnya pada wilayah Jakarta Timur, yaitu

Koordinator Kota, Supervisor, dan Pendamping Sosial

PKH. Ketiganya melakukan koordinasi sebagai upaya

dalam manajemen kasus Program Keluarga Harapan

(PKH). Terkait dengan koordinasi, dimulai dengan adanya

laporan yang diterima oleh Pendamping, setelah mendapati

kasus di lapangan maka segera melaporkan kepada

Supervisor dan Korkot, seperti yang dijelaskan oleh

pendamping di bawah ini:

Jadi untuk koordinasi atau kerjasama awal yang

dilakukan pendamping adalah dengan Supervisor PKH

dan juga Korkot. Terutama spv, karena tugas utamanya

adalah memberikan dampingan khususnya dalam

pelaksanaan manajemen kasus kepada pendamping.

Kemudian, juga melakukan koordinasi dengan

KasiKesra dan KasatPel di tingkat kecamatan, untuk

menginformasikan pembaharuan terkait PKH.

(Pendamping CW, 14 Mei 2020)

Tidak sampai pada Supervisor dan Korkot, koordinasi

juga dilakukan dengan banyak pihak sampai dengan

lembaga sosial dan menunjang komplementaritas untuk

KPM, seperti pernyataan di bawah ini:

Pada lembaga pendidikan misalnya, ada hubungan

kerjasama dengan beberapa PKBM di wilayah Jakarta

Timur untuk KPM yang memang tidak dapat

melanjutkan pendidikan di sekolah formal. Lalu

memfasilitasi komplementaritas yang dibutuhkan

KPM, seperti BPJS, KJP, dan Kartu Lansia Jakarta.

Serta tidak lupa dengan sakti peksos, karena ada

138

pelayanan sendiri juga untuk penanganan kdrt atau

narkoba. (Pendamping ID, 23 April 2020)

Selain pendamping, koordinasi juga dilakukan oleh

Supervisor PKH untuk menghubungkan antara KPM

dengan sistem sumber, misalnya kepada Dinas Sosial

Kota/Kabupaten, sekolah, RT, RW, dan lain-lain seperti

pernyataan yang diungkapkan, yakni:

Komunikasi yang terlebih dahulu adalah dengan Pihak

Dinas Sosial Kota/Kab setempat, karena Dinas Sosial

Kota/Kab merupakan penanggung jawab PKH di

daerah. Selanjutnya melakukan kordinasi dengan

pihak-pihak yang terkait dengan kasus tersebut,

diantaranya LBH, RPSA, P2TP2A, Sakti Peksos,

Sekolah, Sekolah Paket, Kelurahan, Kecamatan, RT,

RW, Rumah Sakit, dan lain sebagainya. (SPV PKH

DTWP, 13 April 2020)

Selanjutnya, Koordinator Kota (Korkot) juga

melakukan koordinasi apabila pihak yang dituju untuk

melayani kebutuhan KPM tidak menyetujui atau

mempersulit proses yang dilakukan, seperti yang Korkot

sampaikan, bahwa:

Kerjasama maupun koordinasi yang dilakukan adalah

menjembatani antara Pendamping Sosial PKH yang

bertugas dengan sistem yang dibutuhkan untuk KPM.

Jika seandainya di tengah jalan pada saat proses

tersebut dilakukan tidak disetujui oleh pihak yang

dituju, maka saya melaporkan hal demikian kepada

Koordinator Wilayah, lalu misalkan sampai di situ

belum ada persetujuan juga maka lanjut ke Koordinator

Regional, dan kalau Koreg pun juga tidak ada titik

terang, maka akan kami buatkan laporan langsung ke

Kementerian Sosial bahwa terdapat Satuan Kerja

Perangkat Daerah (SKPD) yang menolak, tidak

139

menyetujui, atau mempersulit KPM PKH.

(Koordinator Kota AT, 11 Mei 2020)

Berdasarkan hasil wawancara dari para informan di

atas mengenai koordinasi yang dilakukan kepada berbagai

pihak, antara lain Dinas Sosial Kota/Kabupaten,

KasiKesra, KasatPel, LBH, RPSA, P2TP2A, Sakti Peksos,

Sekolah, Sekolah Paket, RT, RW, Rumah Sakit, dan lain

sebagainya. Setelah terhubung dan pihak yang dituju

menyetujui laporan dan kebutuhan yang diberikan, maka

kerjasama dalam memberikan pelayanan kepada KPM pun

dapat terlaksana.

Disamping itu, dalam pelaksanaan manajemen kasus

pada PKH juga terdapat kegiatan supervisi yang dilakukan

antara supervisor, pendamping, dan juga koordinator kota.

Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh supervisor

PKH, sebagai berikut:

Dalam struktur organisasi pelaksana atau SDM PKH di

wilayah Kabupaten/Kota, terdapat Koordinator Kota,

Supervisor, dan Pendamping. Masing-masing memiliki

tanggung jawab dan kewenangan sendiri. Saya sebagai

supervisor memiliki tugas yaitu monitoring

pelaksanaan P2K2, manajemen kasus, penanganan

pengaduan, serta media dan informasi. (SPV PKH

DTWP, 13 April 2020)

Lebih lanjut, beliau mengatakan,

Selain itu, sudah sangat jelas bahwa saya juga

melakukan kegiatan supervisi kepada para pendamping

PKH. Hal yang dilakukan adalah mengecek catatan dan

laporan terkait perkembangan kasus, mentransfer

pengetahuan dan keterampilan manajemen kasus ke

140

pendamping, mendampingi pendamping dalam

mengkakses pelayanan komplementer, dan lain-lain.

(SPV PKH DTWP, 13 April 2020)

Koordinator kota juga menyatakan mengenai bentuk

kegiatan yang mana masih menjadi bagian dari

pelaksanaan manajemen kasus pada PKH, yakni:

Koordinator kota dengan supervisor PKH melakukan

kolaborasi atau kerjasama terkait dengan kegiatan

supervisi dan juga manajemen terkait kasus yang

ditemukan pada KPM. Manajemen yang dilakukan

korkot yaitu, mengorganisasikan dan

mengkoordinasikan kegiatan sesuai dengan kebijakan

PKH untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.

Dan untuk supervisi, hal yang saya lakukan hampir

sama dengan monev pelayanan. Yakni memantau dan

menilai kinerja yang telah dilakukan dari tiap-tiap

SDM PKH. (Koordinator Kota AT, 11 Mei 2020)

Selain itu, adanya pembahasan isu sesuai dengan

masalah dan kebutuhan KPM, dan juga penilaian terkait

dengan tugas yang telah dilaksanakan juga menjadi bagian

dari kegiatan supervisi, yang mana hal tersebut

diungkapkan oleh pendamping PKH, antara lain:

Pada dasarnya tugas utama pendamping sosial PKH

adalah memberikan dampingan, memfasilitasi KPM

kepada akses layanan, dan melakukan pemecahan

masalah yang KPM alami. Kita juga melakukan P2K2

mengenai isu pendidikan, ekonomi, dan sosial lainnya.

Setelah kami melaksanakan tugas, maka akan ada

kegiatan supervisi dengan supervisor. Di dalamnya

kami diajarkan dan dijelaskan bagaimana penanganan

isu sesuai dengan masalah dan kebutuhan KPM, dan

juga penilaian terkait dengan tugas yang telah kami

laksanakan. (Pendamping W, 22 April 2020)

141

Dari hasil wawancara dengan beberapa informan

mengenai SDM dan supervisi dalam PKH, temuan yang

didapat antara lain terdapat struktur organisasi pelaksana

PKH di Wilayah Jakarta Timur, yaitu Koordinator Kota,

Supervisor, dan Pendamping Sosial dengan memiliki

tanggung jawab dan kewenangan masing-masing, di

antaranya yaitu melakukan penanganan dari adanya

pengaduan kasus, pencatatan laporan kasus, melakukan

upaya kerjasama dan koordinasi dengan pihak-pihak dari

layanan yang dibutuhkan oleh KPM, dan kegiatan

supervisi yang melibatkan seluruh SDM PKH.

3. Keluarga Penerima Manfaat (KPM)

KPM PKH adalah keluarga penerima manfaat bantuan

sosial non tunai melalui program keluarga harapan. Dalam

manajemen kasus sendiri, KPM terdiri dari anak-anak dan

keluarga yang harus dilibatkan untuk memperbaiki situasi

mereka. Hal ini diungkapkan oleh salah satu pendamping,

antara lain:

Dalam memberikan pelayanan untuk menyelesaikan

sebuah kasus, KPM selalu kami libatkan untuk turut

serta mengetahui apa saja kebutuhannya. Pendamping

pun berperan cukup besar dalam hal ini, sehingga

mereka dapat dengan mudah paham dengan

penyelesaian yang seharusnya dilakukan, dan hal

tersebut membantu memperbaiki situasi dan kondisi

pada keluarga yang memiliki permasalahan.

(Pendamping ID, 23 April 2020)

142

Pernyataan senada juga disampaikan oleh pendamping

yang lain, bahwa adanya keterlibatan KPM dalam

memahami kebutuhannya bertujuan untuk membangun

kemandirian mereka,

Pentingnya kemandirian dari KPM menjadi salah satu

tujuan yang harus kita bangun. Dan hal tersebut dimulai

dengan mengikutsertakan KPM ketika rencana

intervensi dilaksanakan. Dan itu juga dapat

mempermudah proses pelayanan manajemen kasus

yang akan dilakukan. (Pendamping CW, 14 Mei 2020)

Disamping itu, berkaitan dengan pelayanan dan

pendampingan yang baik oleh pendamping PKH kepada

KPM, hal tersebut telah dirasakan oleh salah satu KPM,

yaitu sebagai berikut:

Selama ini pelayanan yang telah dilakukan

pendamping sudah baik. Ketika saya sedang

membutuhkan bantuan mengenai bagaimana

pemasaran dagangan saya, itu dibantu oleh

pendamping, dan diarahkan misalnya saya jualkan dulu

ke KPM yang lain, setelah itu dicoba titipkan ke e-

warong dan pasar terdekat. Selain itu, kami juga

diberikan pengetahuan dalam P2K2, seperti cara

mendidik anak, dan mengelola keuangan. (KPM A, 14

Mei 2020)

Hal serupa juga dikatakan oleh KPM yang telah

digraduasi mandiri di tahun 2019 silam mengenai bentuk

pelayanan yang telah ia dapatkan selama terdaftar menjadi

peserta PKH, yaitu:

Ilmu yang diajarkan oleh pendamping memberikan

ilmu kepada saya bagaimana mengelola keuangan yang

143

baik agar pengeluaran tidak melebihi pendapatan.

Sampai saya sudah membuka warung walaupun masih

kecil-kecilan itu juga karena masukkan dan arahan dari

pendamping agar dapat menambah pendapatan, dan

Alhamdulillah saat ini saya sudah graduasi mandiri dari

PKH. (KPM T, 21 Mei 2020)

Dari hasil wawancara di atas, terdapat beberapa

kesimpulan yang didapat, yaitu KPM 1 menyatakan bahwa

pelayanan yang diberikan oleh pendamping khususnya

untuk kasus yang ia alami sudah baik dan membantunya

untuk menemukan jalan keluar terkait penjualan barang

dagangannya. Ia juga mengatakan jika pendamping juka

memberikan pengetahuan akan materi mengenai cara

mendidik anak, mengelola keuangan dengam bijak, dan

lain-lain. Dan hal tersebut diperkuat dengan pernyataan

KPM 2, yang mana atas ilmu, pelayanan, dan bantuan dari

pendamping, ia mampu graduasi mandiri dari kepesertaan

PKH, hingga pada akhirnya sudah mampu untuk memiliki

warung sembako milik sendiri, dan dapat memenuhi

kebutuhan sehari-hari dirinya dan keluarganya.

144

BAB V

PEMBAHASAN

Pada bab ini, penulis akan mendeskripsikan hasil temuan

dari manajemen kasus pada Program Keluarga Harapan (PKH) di

wilayah Jakarta Timur yang terdapat di dalam bab IV dan

pembahasan terkait temuan tersebut akan ditinjau dari teori yang

terdapat pada bab II. Di bab II, Manajemen Kasus dalam

pelayanannya memiliki dua komponen utama (O'Connor 1990,

444-448) dalam Modul Pelatihan Manajemen Kasus Pekerja Sosial

dan Pendamping (2018), yakni komponen proses dan komponen

sistem. Yang mana dari komponen proses, menghasilkan tiga

model utama dalam manajemen kasus (Dinata and Laksmono

2018), yaitu model minimalis, model komprehensif, dan model

intervensi krisis. Kemudian pada komponen sistem, terdapat

indikator berupa dasar hukum dan standar pelayanan, Sumber

Daya Manusia (SDM) dan supervisi, dan Keluarga Penerima

Manfaat.

A. Manajemen Kasus pada Program Keluarga Harapan

(PKH) di wilayah Jakarta Timur

1. Proses pada Manajemen Kasus

Dalam proses manajemen kasus, idealnya dilakukan

oleh case manager, supervisor, dan case worker (bab II h.

18) dengan menjalankan tahapan-tahapan pekerjaan sosial

dimulai dari kontak awal dan identifikasi kasus sampai

145

dengan terminasi (bab II h. 25). Proses yang dilakukan

tidak selalu linier atau melewati seluruh tahapan, akan

tetapi menyesuaikan dengan karakteristik kasus yang

terjadi di lapangan. Pada penelitian ini, penulis akan

membahas bagaimana kasus-kasus yang ditemukan di

dalam bab IV pada KPM PKH, diselesaikan dengan

tahapan dalam proses manajemen kasus melalui tiga

model, yaitu model minimalis, model intervensi krisis, dan

model komprehensif.

a. Tahapan dalam Manajemen Kasus

1) Proses Awal dan Identifikasi Kasus

Pada tahap pertama ini, merupakan proses

pengenalan dengan klien dan juga permasalahan

apa yang dialaminya, hal ini dilakukan dengan

mulai mencari informasi-informasi awal dari kasus

yang akan ditanganinya (bab II h. 28). Di proses

awal ini, peksos harus membangun hubungan yang

baik mempergunakan teknik, seperti hal nya

komunikasi verbal dan non-verbal (bab II h. 29).

Dari hasil temuan di lapangan, proses awal yang

dilakukan oleh pendamping dan supervisor ketika

menerima laporan, dan selanjutnya langsung

merespon kasus dengan langsung mendatangi KPM

ke rumahnya atau home visit (bab IV h. 100). Saat

pertemuan dengan KPM, maka hal pertama yang

dilakukan adalah mengawalinya dengan

146

percakapan yang sifatnya ringan untuk identifikasi

kasus (bab IV h. 100) di setiap kasus yang

membutuhkan pertemuan dengan KPM, hal ini

relevan dengan teknik yang dipergunakan peksos

melalui komunikasi interpersonal sebagai

komunikasi langsung yang dibangun dengan klien

(bab II h. 29), sehingga pendamping dan supervisor

akan mengetahui dengan bertahap alur

permasalahannya.

Berdasarkan teori yang tertera di dalam modul

pelatihan manajemen kasus tahun 2018, terdapat

alur proses awal dan identifikasi kasus (bab IV h.

29) yang menjadi bahan bagi peksos dalam

melakukan manajemen kasus. Hal ini senada

dengan yang dilakukan oleh pendamping dan

supervisor PKH saat melaksanakan tugas untuk

memberikan penanganan kasus kepada KPM (bab

IV h. 29).

2) Assessment

Tahapan kedua ini diartikan sebagai

pengumpulan sekaligus penggalian informasi lebih

lanjut mengenai permasalahan klien, dan proses ini

dapat dilakukan dengan menggunakan alat atau

tools untuk menggambarkan bagaimana urutan

kejadian yang dialami (bab II h. 30). Berdasarkan

temuan hasil wawancara mengenai tahapan

147

asesmen ini, didapatkan bahwa pada praktinya di

lapangan, SDM PKH khususnya di Jakarta Timur

menggunakan format asesmen yang disusun secara

mandiri oleh supervisor ketika menggali informasi

dengan KPM (bab IV h. 102) , dikatakan lebih

lanjut, pada PKH belum terdapat peraturan

mengenai standar pelayanan dalam menggunakan

format yang dikhususkan dalam manajemen kasus.

Sehingga, pendamping dan supervisor hanya

menggunakan form yang berisikan identitas KPM,

waktu dan tempat kejadian, serta bagaimana alur

permasalahannya saja (bab IV h. 102).

Disamping itu, dalam mengasesmen suatu

kasus, supervisor dan pendamping dituntut mampu

mempergunakan teknik yang mana membuat KPM

akan menginformasikan bagaimana alur

permasalahan yang sebenarnya terjadi, seperti

memberi pengertian dan membuat KPM merasa

aman saat menjelaskan kronologi kejadian (bab IV

h. 119). Hal ini tentunya senada dengan teori yang

dikemukakan oleh Elizabeth Nicholds mengutip

dalam (Budhi Wibawa, 1985) (bab II h. 31), bahwa

saat wawancara peksos menggunakan beberapa

teknik, yakni volume suara yang tidak tinggi, tidak

diperbolehkan menunjukkan raut wajah bosan,

memperhatikan keterampilan dalam

148

memperhatikan, membuka percakapan,

mendengarkan, dan menjawab pertanyaan.

Sehingga akan terbangun rasa nyaman bagi klien

saat bertemu dengan peksos.

Berdasarkan teori terdapat delapan alur

asesmen pada proses manajemen kasus (bab II h.

30), tetapi temuan yang dihasilkan atas wawancara

yang telah dilakukan, bahwa pada asesmen

manajemen kasus di PKH Jakarta Timur sendiri,

menyesuaikan dengan kasus yang ada. Dan pada

proses penggalian masalah, peksos supervisor dan

pendamping dituntut untuk mempergunakan teknik

komunikasi yang digunakan pada saat wawancara

atau interview dengan KPM.

3) Perencanaan Intervensi

Pada perencanaan intervensi yang digunakan

pada manajemen kasus PKH, adalah dengan

menganalisa lebih dulu kronologi kejadian, lalu

memprioritaskan permasalahan, selain itu

perencanaan intervensi juga melibatkan penyedia

layanan lain apabila rujukan diperlukan seperti

pada kasus ketiga pada (bab IV h. 120). Rencana

intervensi pun harus mempergunakan data yang

diperoleh dari hasil asesmen (bab II h. 33),

sehingga saat merencanakan intervensi akan lebih

fokus pada apa yang akan ditangani lebih dulu.

149

Berdasarkan teori mengenai perencanaan

intervensi yang terdapat pada modul pedoman

manajemen kasus 2018, bahwa peksos dalam

tahapan ini menggunakan sebuah metode yaitu

SMART (bab II h. 34) untuk mencapai tujuan dari

intervensi yang akan dilakukan. Pada manajemen

kasus PKH ini, pendamping dan supervisor tidak

secara langsung mempergunakan metode SMART

ini, akan tetapi tetap menerapkan unsur-unsur di

dalamnya (bab IV h. 120). Dan biasanya pada

peksos bersama dengan profesi lainnya menyusun

perencanaan ini atau dapat juga melakukan

pertemuan keluarga dan/atau konferensi keluarga

(bab II h. 33). Hal tersebut senada dengan salah satu

kasus dalam temuan penelitian ini, yakni

melakukan perencanaan intervensi sekaligus

intervensi dengan melakukan konferensi keluarga

(bab IV h. 111). Hal ini kemudian digunakan oleh

manajemen kasus untuk membantu klien dalam

menyelesaikan permasalahannya.

4) Pelaksanaan Intervensi

Tahapan keempat ini, merupakan pelaksanaan

dari rencana intervensi yang telah dilakukan oleh

pekerja sosial dan juga melalui hasil asesmen

sebelumnya (bab II h. 34). Pelaksanaan intervensi

yang dilakukan oleh SDM PKH dalam memberikan

150

pelayanan kepada KPM melalui manajemen kasus,

adalah dengan menekankan pada koordinasi

dengan berbagai pihak, seperti yang dilakukan oleh

pendamping, supervisor, dan koordinator kota pada

kasus ketiga yang ditemukan (bab IV h. 122). Hal

tersebut juga senada dengan tugas pelaksana PKH

di kecamatan, yakni membangun jejaring dan

kemitraan dengan berbagai pihak dalam

pelaksanaan PKH (bab III h. 81).

Pada kasus yang ditemukan pada bab IV,

pendamping dan supervisor melakukan

pendampingan kepada KPM dengan

mempertemukan anggota keluarga (bab IV h. 112),

dan juga menghubungkan penyedia layanan seperti

PKBM dengan KPM (bab IV h. 122). Berdasarkan

hal tersebut, senada dengan modul pedoman

manajemen kasus tahun 2018, bahwa pada

dasarnya memiliki dua kegiatan utama, yaitu

peksos atau pendamping mengatasi sendiri

permasalahan yang dialami oleh klien, dan/ atau

menghubungkan klien dengan sistem sumber yang

dibutuhkan (bab II h. 34).

5) Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dan evaluasi (monev) merupakan

tahapan kelima dalam proses manajemen kasus.

Pada tahap ini, bertujuan untuk mengetahui

151

keberhasilan dari pelaksanaan intervensi (bab II h.

35). Hal itu lah yang menjadi dasar bagi

pendamping, supervisor, dan koordinator kota

dalam menilai dan melihat apa saja pelayanan yang

telah dilakukan dan nantinya dilakukan pengecekan

kembali terkait dengan tugas-tugas nya melalui

monitoring, dan untuk evaluasi hal yang dilakukan

yakni bersama dengan SDM PKH lain memaparkan

hasil laporan kasus yang sudah dilakukan. Sehingga

akan terlihat apa yang menjadi kekurangan dalam

memberikan pelayanan dan apa yang masih tetap

dijalankan oleh pendamping (bab IV h. 114), hal ini

senada dengan teori model evaluasi, salah satu nya

yang sesuai adalah evaluasi akhir yang diuraikan

oleh Pietrzak, dkk (1990) (bab II h. 36).

Temuan di atas juga senada dengan tujuan dari

monitoring itu sendiri, yaitu mengetahui,

memastikan pelaksanaan kegiatan PKH berjalan

dengan baik, dan memberikan masukan kepada

penanggungjawab PKH mengenai upaya perbaikan

dalam perancanaan maupun dalam pelaksanaan

PKH (bab III h. 84). Disamping itu, untuk evaluasi

sendiri, yakni mengidentifikasi tingkat pencapaian

tujuan yang telah disusun dalam rencana kerja

tahunan (bab III h. 87).

152

6) Terminasi

Terminasi merupakan tahapan terakhir dalam

proses manajemen kasus, dan diartikan juga

sebagai pemutusan relasi pertolongan antara peksos

atau pendamping dengan klien dan pihak-pihak

yang terlibat dalam seluruh rangkaian proses

manajemen kasus (bab II h. 35). Tahap ini juga

masih melibatkan klien atau dalam PKH disebut

dengan KPM, selain itu sesuai dengan teori nya

bahwa terminasi juga disaksikan oleh banyak

pihak, tidak hanya antara peksos dengan klien.

Berdasarkan hasil temuan di lapangan

mengenai tahap terminasi manajemen kasus pada

PKH, tidak ada form khusus terkait dengan

pengakhiran kontrak pelayanan (bab IV h. 115),

seperti yang dijelaskan pada (bab II h. 36), yakni

diakhiri dengan penandatanganan formulir oleh

klien. Pada PKH sendiri, apabila kasus telah

tertangani dengan baik oleh pendamping dan/atau

supervisor, maka kasus tersebut telah selesai,

namun pengakhiran ini tetap diketahui antara

pendamping atau supervisor dan juga KPM.

b. Model dalam Manajemen Kasus

Sebagaimana teori model manajemen kasus yang

didefinisikan oleh Solomon (bab II h. 35), bahwa ketiga

kasus yang ditemukan pada KPM PKH termasuk ke

153

dalam model tersebut, yakni expanded broker model,

personal strengths model, dan full support model.

Berdasarkan model tersebut, kasus-kasus yang

ditemukan dan menggunakan manajemen kasus

sebagai metode pemberian pelayanan yang mana dalam

PKH dilakukan oleh Pekerja Sosial Supervisor dibantu

dengan Pendamping Sosial, menyediakan kebutuhan-

kebutuhan dari penyedia pelayanan bagi KPM. Melalui

proses atau tahapan di dalam tugasnya, supervisor dan

pendamping menghubungkan kebutuhan tersebut

dengan sistem yang berkaitan (bab IV h. 134).

Disamping itu, dilihat dari personal strength model,

bahwa pendamping membantu KPM untuk membantu

klien untuk mengetahui kekuatan apa yang dimilikinya

untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi (bab

IV h. 144). Dan tidak hanya itu, dengan bekerjasama

dengan multidisiplin, baik supervisor dan pendamping

juga memberikan dukungan penuh dalam memberikan

pelayanan yang dibutuhkan oleh KPM, sehingga KPM

mendapatkan apa yang menjadi kebutuhannya.

2. Sistem pada Manajemen Kasus

Komponen sistem menjadi pendukung dalam proses

atau tahapan praktik manajemen kasus. Komponen ini

dinilai sangat penting karena memperkuat keberhasilan

dari pelayanan dan penanganan yang dilaksanakan oleh

pekerja sosial atau pendamping (bab IV h. 36). Sesuai

154

dengan Toolkit Manajemen Kasus (bab IV h. 18), penulis

akan membahas sistem pada manajemen kasus dengan tiga

indikator, yaitu dasar hukum dan standar pelayanan, SDM

dan supervisi, dan Keluarga Penerima Manfaat (KPM).

a. Dasar Hukum dan Standar Pelayanan

Komponen ini pada sistem manajemen kasus

memuat landasan hukum dan standar pelayanan yang

digunakan SDM PKH untuk menjalankan proses

pelayanan dan penanganan bagi KPM. Adapun dasar

hukum yang digunakan adalah dengan mengacu pada

perundang-undangan yang berkaitan dengan

kesejahteraan sosial fakir miskin (bab IV h. 29). Dasar

hukum ini, akan memperkuat intervensi dan juga

perlindungan bagi KPM (bab II h. 18).

Berkaitan dengan perlindungan sosial, PKH

menjadi salah satu program pemerintah untuk

mengentasan masalah kemiskinan dan mengarahkan

agar para anggota nya diharapkan mandiri setelah

berhasil melewati problematika yang bersinggungan

dengan kepesertaannya menjadi KPM PKH (bab II h.

43). Tidak hanya itu, program ini juga diinisiasikan

pemerintah sebagai jaminan sosial bagi seluruh rakyat

dan merupakan perangkat hukum untuk

mengimplementasikan amanat Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (bab II h. 57).

155

Disamping dasar hukum yang menjadi landasan

bagi SDM PKH untuk melaksanakan tugas dan

tanggung jawab, tentunya terdapat hal lain yang tidak

kalah penting, yakni standar pelayanan. Standar

pelayanan manajemen kasus khusus pada PKH, dengan

mengedepankan kode etik yang tertuang dalam

Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan

Sosial Nomor 01/LJS/08/2018 tentang Kode Etik

Sumber Daya Manusia Program Keluarga Harapan

(bab III h. 79). Selanjutnya, berkaitan dengan

pembekalan bagi para pendamping sosial, juga sebelum

ditugaskan akan menjalankan serangkaian bimbingan

teknis dan bimbingan pemantapan (bab IV h. 29), hal

ini bertujuan agar para pendamping memiliki standar

kemampuan dalam memberikan pelayanan kepada

KPM. Selain itu, adanya pembekalan kepada para

pendamping menjadi mekanisme dalam peningkatan

kapasitas SDM (bab III h. 80).

Tidak hanya kedua hal tersebut di atas, namun

untuk identitas dari keanggotaan KPM PKH dimuat

dalam suatu database, yakni Management Information

System (bab III h. 83) yang divalidasi sebelumnya oleh

pendamping di awal kepesertaan para KPM (bab IV h.

31), dan untuk catatan laporan kasus di setiap bulannya,

juga dilakukan oleh pendamping dan supervisor

dengan melampirkan form dan pendeskripsian secara

156

tertulis (bab IV h. 30). Pelaporan tersebut, nantinya

akan dibahas dalam suatu pertemuan yang rutin

diadakan, yaitu monitoring dan evaluasi bersama

dengan seluruh SDM PKH Jakarta Timur. Serta hasil

dari proses monitoring dan evaluasi disajikan dalam

bentuk laporan yang dapat digunakan sebagai

rekomendasi dan rumusan kepada pemangku

kepentingan.

Kemudian, pada saat ini, di tengah pandemic

Covid-19, standar pelayanan diberlakukan bagi seluruh

SDM dan KPM PKH dengan melaksanakan protokol

kesehatan (bab IV h. 31), sehingga meminimalisir

angka ODP ataupun PDP, dan menunjukkan bahwa

PKH mematuhi aturan yang diberlakukan oleh

pemerintah.

b. SDM dan Supervisi

Indikator kedua pada sistem manajemen kasus,

ialah SDM dan supervisi. Keduanya dikatakan penting

karena bertanggung jawab untuk menerapkan dan

menegakkan hukum yang menjadi dasar dan/atau

landasan dalam memberikan pelayanan (bab II h. 18).

Temuan di lapangan, bahwa SDM PKH khususnya

pada tingkah Kabupaten/Kota, yang menjalankan

kewenangan dan tanggung jawab salah satunya

manajemen kasus, yakni terdapat Koordinator Kota,

Supervisor, dan Pendamping Sosial (bab IV h. 127).

157

Hal ini sedikit berbeda dengan teori yang dikemukakan

oleh Maryani (2018) bahwa terdapat tiga aktor utama

dalam manajemen kasus, yaitu case manager,

supervisor, dan case worker (bab II h. 19). Akan tetapi,

dalam hal ini supervisor PKH tetap menjalankan

perannya untuk mendampingi Pendamping Sosial dan

tentunya juga melakukan koordinasi dengan sistem

rujukan yang dibutuhkan oleh KPM (bab IV h. 128).

Tentunya hal ini diperkuat dengan pengertian

mengenai supervisor yang tertuang dalam teori pada

bab II.

Disamping itu, pendamping sosial PKH,

melakukan tugasnya untuk memberikan dampingan

kepada KPM PKH, seperti hal nya materi dan/atau

penyuluhan mengenai pendidikan, kesehatan, dan

kesejahteraan sosial pada saat pertemuan dalam

Pertemuan Peningkatan Kapasitas Keluarga (P2K2)

dan Family Development System (FDS) yang rutin

dilaksanakan bersama dengan KPM. Tidak hanya itu,

pendamping dalam manajemen kasus, juga membantu

supervisor dan korkot untuk mengupayakan koordinasi

dengan penyedia layanan yang dibutuhkan (bab IV h.

127). Hal demikian sesuai ketentuan tugas yang wajib

dilaksanakan oleh pelaksana PKH di Kecamatan, sebab

pendamping pun juga bertugas pada wilayah

158

dampingan di masing-masing kecamatan (bab III h.

78).

Setelah melaksanakan tugas dan perannya masing-

masing, para SDM PKH juga melakukan kegiatan

supervisi dengan supervisor, serta monitoring dan

evaluasi dengan koordinator kota (bab IV h. 129).

Supervisi yang dilakukan oleh supervisor dengan

melakukan pengecekan catatan dan laporan terkait

perkembangan kasus, mentransfer pengetahuan dan

keterampilan manajemen kasus ke pendamping,

mendampingi pendamping dalam mengkakses

pelayanan komplementer, dan lain-lain (bab IV h. 130).

Hal ini juga sesuai dengan fungsi dari supervisor itu

sendiri, yaitu fungsi administratif, fungsi edukatif, dan

fungsi suportif (bab II h. 22). Fungsi-fungsi yang

dilaksunan dimaksudkan guna memberikan

pemahaman lebih lanjut kepada para pendamping agar

lebih maksimal dalam memberikan pelayanan dengan

menggunakan metode manajemen kasus kepada para

KPM.

Begitupun dengan monitoring dan evaluasi, hal ini

dinilai penting karena melalui kegiatan tersebut, akan

terpantau dengan jelas bagaimana kinerja dari para

Pendamping, apakah sudah melaksanakan tugasnya

dengan baik dan benar, serta adanya pengecekan

kembali terkait dengan laporan kasus yang dibuatnya.

159

Monitoring dapat dilaksanakan pada saat kegiatan

sedang berlangsung atau dengan cara menganalisis

laporan dan perkembangan pelaksanaan PKH dalam

waktu tertentu melalui pengumpulan data dan

informasi tentang implementasi program (bab III h.

81), dan evaluasi menjadi salah satu bahan penilaian

bagi koordinator kota untuk capaian keberhasilan dari

pelayanan yang diberikan oleh pendamping.

c. Keluarga Penerima Manfaat

Indikator ini penting juga menjadi sistem pada

manajemen kasus, karena keterlibatan dan partisipasi

yang dapat mempengaruhi proses dan/ atau

tahapannya, seperti yang terdapat pada ketentuan hak

dan kewajiban KPM PKH (bab III h. 68). Berdasarkan

temuan di lapangan (bab IV h. 132), dilibatkan untuk

memperbaiki situasi mereka.

Dari adanya keberadaan KPM, nantinya kinerja

dari pendamping dapat terlihat. Artinya, apakah

pengetahuan, pemahaman, dan pengertian yang

diberikan ketika mengikuti kegiatan baik seperti FDS,

P2K2, ataupun saat melewati tahapan manajemen

kasus (bab IV h. 134). Berdasarkan hal tersebut, pada

intinya KPM mempelajari hal-hal yang diberikan oleh

pendamping, atau dengan kata lain belajar melalui

pengalaman langsung atau pengamatan kemudian

mencontoh dan mempraktikannya. Tentunya ini

160

berkaitan dengan teori belajar sosial yang dikemukakan

oleh Bandura (1977), dengan mengamati tingkah laku

manusia, dan melihatnya sebagai orang yang

berpengaruh terhadap lingkungannya, seperti

lingkungan berpengaruh terhadap dirinya (bab II h. 41).

Penjelasan di atas, juga selaras dengan pernyataan

KPM mengenai apa yang diterimanya selama

berkegiatan dengan pendamping di wilayahnya

masing-masing (bab IV h.136).

161

BAB VI

PENUTUP

Berdasarkan temuan dan pembahasan dalam bab-bab

sebelumnya, pada bab ini penulis akan menjelaskan kesimpulan

hasil penelitian mengenai Manajemen Kasus pada Program

Keluarga Harapan di wilayah Jakarta Timur, melalui dua aspek,

yaitu komponen proses dan komponen sistem. Di bawah ini

kesimpulan yang telah didapatkan:

A. Kesimpulan

Bagan 6.1 Tipe kasus, proses, dan model

No

Kasus

Proses atau

Tahapan

Model

Manajemen

Kasus

1 Kasus

Penyalahgunaan

Kartu

Kesejahteraan

Sosial (KKS) –

PKH

- Kontak awal

dan

identifikasi

kasus

- Asesmen

- Perencanaan

intervensi

- Pelaksanaan

intervensi

- Monitoring

dan evaluasi

- Terminasi

Personal

Strength Model

2 Penyalahgunaan

Dana Bantuan

Non-Tunai PKH

oleh KPM

- Kontak awal

dan

identifikasi

kasus

- Asesmen

Personal

Strength Model

162

- Pelaksanaan

intervensi

- Monitoring

dan evaluasi

- Terminasi

3 Anak KPM yang

Ingin Berhenti

Sekolah

- Kontak awal

dan

identifikasi

kasus

- Asesmen

- Perencanaan

intervensi

- Pelaksanaan

intervensi

- Monitoring

dan evaluasi

- Terminasi

Expanded

Broker Model

Manajemen Kasus menjadi salah satu metode yang

digunakan oleh Program Keluarga Harapan (PKH) untuk

memberikan pelayanan dan penanganan kasus yang dialami

oleh Keluarga Penerima Manfaat (KPM) khususnya di wilayah

Jakarta Timur, dengan menekankan pada upaya koordinasi

yang dilakukan kepada banyak pihak penyedia layanan.

Seperti pada bagan di atas, bahwa ketiga kasus di dalam

penelitian ini telah melaksanakan rangkaian dari proses atau

tahapan pekerjaan sosial, dan juga termasuk ke dalam model

yang terdapat di dalam manajemen kasus.

Selain proses, komponen pendukung pada manajemen

kasus adalah sistem. Sistem menjadi pelengkap bagi tahapan

pekerjaan sosial yang dijalankan, sehingga pelayanan yang

diberikan akan berjalan lebih maksimal. Di dalam sistem,

163

terdapat sub aspek berupa dasar hukum dan standar pelayanan,

SDM dan supervisi, dan Keluarga Penerima Manfaat. Dari

ketiga komponen tersebut, terlihat bahwa semua aspek

memainkan perannya untuk mendukung tahapan dari proses

manajemen kasus. Sehingga menjadi dasar dan aturan dalam

menerapkan praktik pekerjaan sosial baik untuk melindungi,

mendampingi, dan memberikan pelayanan terbaik bagi KPM

PKH.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan hasil pada penelitian skripsi ini,

penulis merasa perlu untuk memberikan saran kepada pihak-

pihak terkait mengenai manajemen kasus pada PKH di

Wilayah Jakarta Timur, antara lain:

1. Untuk Direktorat Jaminan Sosial Keluarga (Dit. JSK)

a. Sebagai pelaksana dari Program Keluarga Sosial,

diharapkan Dit. JSK menyusun suatu Standar

Operasional Prosedur (SOP) khusus manajemen kasus

pada PKH terkait pelayanan dan form yang dibutuhkan;

b. Mampu menyelenggarakan kegiatan berupa pelatihan

manajemen kasus terkhusus bagi para pendamping

sosial PKH; dan

c. Diharapkan dapat menambah jumlah SDM PKH,

sehingga dapat lebih maksimal dalam memberikan

pelayanan kepada para KPM yang berjumlah hingga

puluhan ribu di wilayah Jakarta Timur.

164

2. Untuk Koordinator Kota, Supervisor, dan Pendamping

Sosial

a. Mengusulkan kepada Dinas Sosial Jakarta Timur dan

Dit. JSK terkait dengan format laporan yang digunakan

pada saat proses atau tahapan dalam manajemen kasus;

b. Mempergunakan instrument asesmen pada saat

penggalian masalah bersama dengan KPM agar lebih

tepat dalam merencanakan intervensi; dan

c. Ketika dihadapkan dengan jumlah KPM yang lebih

banyak, maka diharapkan SDM PKH mampu

mengembangkan keterampilan kepemimpinan agar

memaksimalkan kinerjanya pada saat melakukan

kegiatan pertemuan.

165

DAFTAR PUSTAKA

Adi, I. R. 2001. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat Dan

Intervensi Komunitas: Pengantar Pada Pemikiran Dan

Pendekatan Praktis. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas

Ekonomi UI.

Agusta, Ivanovich. 2003. “Teknik Pengumpulan Dan Analisis

Data Kualitatif.” Pusat Penelitian Sosial Ekonomi, Litbang

Pertanian, Bogor, 10.

Barker, R. L. 1995. The Social Work Dictionary. Washington DC:

NASW Press.

Barlian, Eri. 2016. Metodologi Penelitian Kualitatif Dan

Kuantitatif. Padang: Sukabina Press.

Cheng, Tyrone, Celia Lo, and Bethany G Womack. 2019.

“Working Alliances Promote Desirable Outcomes: A

Study of Case Management in the State of Alabama in the

USA.” British Journal of Social Work, 148.

databoks.katadata.co.id. 2020, 2020.

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/08/23/ber

apa-jumlah-penerima-bantuan-program-keluarga-harapan.

DFID. 2005. Social Transfer and Chronic Poverty: Emerging

Evidence and the Challenge Ahead. London: DFID

Practice Paper.

166

Dinata, Rendiansyah Putra, and Bambang Shergi Laksmono. 2018.

“Case Management for Child in Conflict With Law.”

ASEAN Social Work Journal 6, No. 1: 73.

Ferreira, F. H. G, and D Robalino. 2010. Social Protection in Latin

America Achievement and Limitations. Amerika Latin: The

World Bank Policy Research Working Papers 5305.

Halim, Akbar. 2010. Pedoman Manajemen Kasus Perlindungan

Anak. Jakarta: Direktorat Pelayanan Anak dan Rehabilitasi

Sosial Kementerian Sosial.

Haryanto. 2009. DIKTAT BAHAN KULIAH REHABILITASI DAN

PEKERJAAN SOSIAL. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan

Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri

Yogyakarta.

Husmiati. 2012. “Asesmen Dalam Pekerjaan Sosial: Relevansi

Dengan Praktek Dan Penelitian.” Pusat Penelitian Dan

Pengembangan Kesejahteraan Sosial Kemensos RI 17, No.

03: 177.

Jones, Richard N. 2011. Teori Dan Praktik Konseling Dan Terapi.

4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Kadushin, Alfred. 1976. “Social Work Supervision.” Sage

Publication.

Kementerian Sosial RI. 2014. “Modul Diklat Dasar Pekerjaan

Sosial Dengan Lanjut Usia.” In , 90. Bandung: Balai Besar

167

Badan Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial

(BBPPKS).

Kirst-Ashman, Karen K, and Jr. Grafton H. Hull. 2010.

Understanding Generalist Practice. 6. United States of

America: Brooks Cole Cengage Learning.

Malcolm, Payne. 2005. Modern Social Work Theory. 3. Palgrave

Macmillan.

Maryami, Ami, Fajar Suryaman, Rendiansyah Putra Dinata, and

Tata Sudrajat. 2018. Modul Pelatihan Manajemen Kasus

Pekerja Sosial Dan Pendamping. Jakarta: Yayasan

Sayangi Tunas Cilik Partner of Save The Children.

Moleong, Lexy J. 2018. Metodologi Penelitian Kualitatif.

Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Nainggolan, Togiaratua. 2012. Program Keluarga Harapan Di

Indonesia: Dampak Pada Rumah Tangga Sangat Miskin

Di Tujuh Provinsi. Jakarta: P3KS Press (Anggota IKAPI).

Nilamsari, Natalina. 2014. “Memahami Studi Dokumentasi Dalam

Penelitian Kualitatif.” Wacana XIII, No. 2: 181.

O’Connor. 1990. “A Social Work Practice Model of Case

Management: The Case Management Grid.” Oxford

University Press, 444.

Pedoman Umum Program Keluarga Harapan (PKH). 2011.

Jakarta: Kementerian Sosial RI.

168

Rapp, R. C, W Van Den Noortgate, E Broekaert, and W

Vanderplasschen. 2014. “The Efficacy of Case

Management With Persons Who Have Substance Abuse

Problems: A Three-Level Meta-Analysis of Outcomes.”

Journal of Consulting and Clinical Psychology, 605–18.

Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Dan

Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Scott, Z. 2012. Topic Guide on Social Protection. Birmingham:

Governance and Social Development Resource Center.

Simmel, Cassandra. 2014. “Case Management Toolkit: A User’s

Guide for Strengthening Case Management Services in

Child Welfare.” USAID, 14.

Sudaryono. 2018. Metodologi Penelitian. Depok: PT Rajagrafindo

Persada.

Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R

& D. Bandung: ALFABETA, CV.

Suharto, Edi. 2011. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik.

Bandung: ALFABETA, CV.

Supriyanto, Raditia Wahyu, Elsa Ryan Ramdhani, and Eldi

Rahmadan. 2014. Perlindungan Sosial Di Indonesia:

Tantangan Dan Arah Ke Depan. Jakarta: Direktorat

Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat, Kementerian

PPN/Bappenas.

169

Tristanto, Aris. 2020. puspensos.kemsos.go.id, 2020.

http://puspensos.kemsos.go.id/en/Publikasi/topic/609.

Van Ginneken, W. 1999. Social Security for the Excluded

Majority: Case Studies of Development Countries. Geneva:

ILO.

Walsh, Joseph, and Valerie Holton. 2008. Comprehensive

Handbook of Social Work and Social Welfare, Social Work

Practice. New Jersey: John Wiley and Sons, Inc, Hoboken.

Zaelani. 2012. “Komitmen Pemerintah Dalam Penyelenggaraan

Jaminan Sosial Nasional.” Journal Legislasi Indonesia 9,

No. 2: 192.

LAMPIRAN

Lampiran 1

TRANSKRIP WAWANCARA

Informan : Koordinator Kota

A. Tempat dan Waktu Wawancara

Tempat Wawancara : Gedung SKKT Malaka Jaya

Hari, Tanggal : Senin, 11 Mei 2020

Waktu Wawancara : 13.30 WIB

B. Identitas Informan

Nama : Arief Trihandoyo

Jenjang Pendidikan : S1 Ilmu Kesejahteraan Sosial

Pertanyaan

Jawaban

1. Apa tugas utama yang

dilakukan oleh seorang

Koordinator Kota pada

PKH?

Tugas utamanya adalah membina

pendamping, lalu memetakan

KPM, kemudian menjembatani

ke Satuan Kerja Perangkat

Daerah (SKPD) yang yang

berkaitan dengan PKH. Kalo dulu

tahun 2010 sampai dengan 2015

disebut Diklat, begitu 2016

sampai sekarang namanya

Bimbingan Pemantaoan

(Bimtap), itu pembekalan awal

mereka untuk menjadi

pendamping PKH. Begitu dalam

perjalanannya ada program

P2K2, pendamping ini juga

dibekali dengan Diklat P2K2.

2. Standar pelayanan seperti

apa yang diterapkan oleh

PKH dalam melaksanakan

pelayanan kepada KPM?

Pelayanan kepada KPM dalam

Pandemic Covid-19 itu

menyarankan ke pendamping

memonitoring KPMnya, apabila

pencairan dana harus

menggunakan masker, jaga jarak,

menggunakan sarung tangan

apabila ke ATM untuk

mengambil uang, setelah itu cuci

tangan atau mandi, dan semua

kegiatan harus sesuai protokol

Covid-19. Nah itu, pelayanan kita

untuk sementara seperti itu.

Disamping itu harus Santun,

Integritas, dan Profesional (SIP)

yang sudah diberlakukan

Kementerian Sosial, yang mana

kami terapkan dalam setiap

kegiatan PKH.

3. Bagaimana bentuk

koordinasi yang dilakukan

oleh Korkot kepada sistem

sumber yang dibutuhkan

oleh KPM?

Kerjasama maupun koordinasi

yang dilakukan adalah

menjembatani antara

Pendamping Sosial PKH yang

bertugas dengan sistem yang

dibutuhkan untuk KPM. Jika

seandainya di tengah jalan pada

saat proses tersebut dilakukan

tidak disetujui oleh pihak yang

dituju, maka saya melaporkan hal

demikian kepada Koordinator

Wilayah, lalu misalkan sampai di

situ belum ada persetujuan juga

maka lanjut ke Koordinator

Regional, dan kalau Koreg pun

juga tidak ada titik terang, maka

akan kami buatkan laporan

langsung ke Kementerian Sosial

bahwa terdapat Satuan Kerja

Perangkat Daerah (SKPD) yang

menolak, tidak menyetujui, atau

mempersulit KPM PKH.

4. Kasus seperti apa yang

pernah ditemukan pada

KPM PKH Jakarta Timur?

Kami pernah menemukan tiga

kasus tahun 2018-2019. Yaitu

Kasus penyalahgunaan kartu oleh

oknum ketua kelompok,

penyalahgunaan dana bantuan

oleh anggota keluarga, dan anak

KPM yang berencana untuk tidak

melanjutkan sekolahnya.

5. Bagaimana proses yang

dilakukan saat Korkot

menerima laporan kasus?

Sebelumnya pasti saya

mendapatkan laporan kasus itu

dari Supervisor yang kemudian

dapat kami proses bersama

apabila ada kendala di dalamnya,

atau membutuhkan bantuan

Korkot untuk langsung

berkoordinasi dengan pihak yang

dituju atau sistem sumber di luar

PKH. Dan mendampingi setiap

kasus yang sedang ditangi baik

oleh Pendamping maupun SPV.

6. Bagaimana koordinasi

yang dilakukan dengan

pihak atau lembaga sosial

lain?

Korkot bersama dengan SPV

melakukan upaya mediasi dan

negosiasi kepada lembaga sosial,

seperti PKBM dan juga

melaporkan hasilnya ke Dinas

Sosial Jakarta Timur pada saat

menangani kasus anak yang

berencana putus sekolah, agar ia

tetap mendapatkan dana bantuan

sosial PKH ini.

7. Dasar hukum apa yang

melatarbelakangi

berjalannya PKH?

Dasar hukum untuk

melaksanakan Program Keluarga

Harapan sendiri adalah yang

utama mengenai pedomannya

yaitu SK Dirjen Nomor

12/LJS.SET.OHH/09/2016

tentang Pedoman Umum PKH,

lalu ada PMK No.

228/PMK.05/2016 tentang

Perubahan Atas PMK No.

254/PMK.05/2015 Tentang

Belanja Bantuan Sosial Pada

Kementerian Negara/Lembaga,

Peraturan Presiden No.63 Tahun

2017 tentang Penyaluran

Bantuan Sosial Non Tunai, dan

juga Perjanjian Kerjasama

dengan Bank Himbara, yakni

BNI, BRI, BTN dan Mandiri

untuk koordinasi mengenai

pengambilan dana bantuan.

8. Apakah terdapat evaluasi

terkait laporan kegiatan

yang sudah pendamping

dan SPV lakukan?

Iya, ada.

9. Seperti apa kegiatan

evaluasi yang dilakukan?

Setelah proses semua dilakukan,

selanjutnya kami akan

melaksanakan kegiatan evaluasi

yang rutin dilaksanakan setiap

bulannya. Di kegiatan itu para

pendamping memaparkan hasil

kinerja nya dan kami

mengevaluasi perkembangan

kasus seperti apa.

10. Bagaimana pelaksanaan

manajemen kasus yang

telah dilaksanakan oleh

SDM PKH?

Koordinator kota dengan

supervisor PKH melakukan

kolaborasi atau kerjasama terkait

dengan kegiatan supervisi dan

juga manajemen terkait kasus

yang ditemukan pada KPM.

Manajemen yang dilakukan

korkot yaitu, mengorganisasikan

dan mengkoordinasikan kegiatan

sesuai dengan kebijakan PKH

untuk mencapai tujuan yang telah

ditentukan. Dan untuk supervisi,

hal yang saya lakukan hampir

sama dengan monev pelayanan.

Yakni memantau dan menilai

kinerja yang telah dilakukan dari

tiap-tiap SDM PKH.

Lampiran 2

TRANSKRIP WAWANCARA

Informan : Peksos Supervisor

A. Tempat dan Waktu Wawancara

Tempat Wawancara : Gedung SKKT Malaka Jaya

Media Wawancara : Telepon seluler (daring)

Hari, Tanggal : Senin, 13 April 2020

Waktu Wawancara : 13.00 WIB

B. Identitas Informan

Nama : Dea Triantara W. P

Jenjang Pendidikan : D4 Pekerja Sosial SKTS

Pertanyaan Jawaban

1. Sejak kapan metode

manajemen kasus

dijalankan dalam PKH?

Manajemen Kasus khusus nya

dalam praktek Pekerjaan Sosial

di PKH baru terlaksana sejak

2018 sejak adanya Jabatan Baru

pada struktrus organisasi PKH

yaitu Pekerja Sosial Supervisor.

2. Mengapa manajemen

kasus menjadi metode

pelayanan dan penanganan

yang penting dalam PKH?

Pelaksanaan Manajemen Kasus

atau Praktek Pekerjaan Sosial

dalam keberlangsungan PKH

dirasa sangat penting. PKH

yang umumnya adalah

masyarakat tidak mampu

secara financial merupakan

salahsatu ketidakberfungsian

sosial keluarga tersebut dalam

memenuhi kebutuhan sehari-

hari. Terutama orang tua yang

seharusnya bisa mencari

nafkah untuk memenuhi

kebutuhan, tapi banyak yang

tidak mampu untuk pemenuhan

kebutuhan tersebut. Dari satu

permasalahan itu, bisa muncul

permasalahan baru seperti anak

putus sekolah, akhirnya anak

menjadi tidak berfungsi

sosialnya sebagai pelajar.

Dan/atau permasalahan

lainnya, timbulnya kekerasan,

stress/depresi, dan lain-lain.

3. Kasus apa saja yang paling

sering memerlukan

pelayanan dan penanganan

dengan metode

manajemen kasus?

Dari beberapa kasus yang

terjadi di PKH Jakarta Timur,

yang paling memerlukan

metode MK adalah kasus

KDRT, itu agak rumit, banyak

sebab akibat didalamnya,

sehingga proses penanganan

pun harus hati-hati, dan di

analisa dengan baik.

4. Apa saja standar

pelayanan yang terdapat di

dalam manajemen kasus

pada PKH?

Setau saya SOP dalam

menjalankan MK pada praktek

peksos PKH, masih menjadi

PR bagi pemegang kebijakan.

Karena pelayanan yang

diberikan masih berdasarkan

keterampilan Peksos di

masing-masing kota/kab.

Sehingga standart pelayanan

akan berbeda-beda.

5. Apa saja prinsip yang

ditekankan dalam

manajemen kasus pada

PKH?

Dikarenakan SOP yang secara

formal belum ada, maka kami

khusus nya SPV

mempraktekan Prinsip-prinsip

dasar pekerja sosial, seperti

prinsip kepercayaan, tidak

men-jundge, self

determination.

6. Apa saja hal yang

dilakukan ketika

melaksanakan kegiatan

supervisi dengan

pandamping PKH?

Pertama terkait pelaksanaan

P2K2, pembahasan potensi-

potensi yang ada pada

kelompok P2K2 jika bisa

dikembangkan, maka bisa

menjadi kelompok usaha,

pembahasan kasus-kasus

secara kelompok seperti

misalnya tentang ATM,

Bansos, Kesehatan, dain lain-

lain yang sifatnya komunitas

untuk sama-sama mencari

langkah yang akan dilakukan,

dan terakhir pembahasan kasus

yang lebih ke

casework/individu.

dari bahasan-bahasan itu,

dilakukan penentuan siapa

untuk melakukan apa, dimana,

kapan, sehingga jadwal bisa

terstruktur dengan baik.

Tapi dalam prosesnya jadwal

bisa berubah jika ada hal-hal

nya tidak terduga karena

beberapa hal.

7. Dari kasus yang

ditemukan, seperti apa dan

bagaimana proses dari

manajemen kasus yang

dilaksanakan?

Pendamping menemukan kasus

berdasarkan pengaduan, atau

karena saat pemutahiran data

ditemukan anak yang tidak

bersekolah. Kedua, pendamping

koordinasi dengan SPV. Ketiga,

Asesmen sistem sumber oleh

SPV, Pendamping, dan KPM.

Ketiga, penentuan langkah-

langkah intervensi (seperti,

mencari informasi, advokasi ke

sekolah, dan lain-lain oleh

pendamping, jika diperlukan

konseling untuk KPM oleh

SPV). Keempat, menentukan

kelanjutan sekolah oleh kpm,

bersama-sama kpm mengakses

sistem sumber, dan lain-lain).

Dan kelima, terminasi.

8. Bagaimana bentuk laporan

yang diberikan terkait

penyelesaian dari kasus

yang telah ditangani

bersama dengan

Pendamping PKH kepada

Korkot atau pejabat

struktural lainnya?

Laporan tentang kasus ada pada

laporan bulanan SPV. Ada atau

tidak nya kasus, supervisor

wajib membuat laporan setiap

bulan nya yang mencakup,

P2K2, graduasi, dan kasus yang

ditangani, secara tertulis kepada

JSK melalui kordinator wilayah

(provinsi).

9. Salah satu tanggung jawab

yang dilakukan oleh

Korkot dan Supervisor

PKH adalah melakukan

KPM PKH berhak mendapatkan

program komplementer lainnya

jika KPM tersebut memenuhi

syarat untuk mendapatkan

mediasi, fasilitasi dan

advokasi pada KPM

terkait penyaluran bantuan

PKH dan program

komplementer lain. Lalu

seperti apa proses itu

dilakukan dan bagaimana

hal itu dapat dinilai

berhasil?

bantuan. Kedua, kami akan

asesmen terlebih dahulu, contoh

untuk bansos pangan maka

pendamping akan menyisir data

KPM PKH yang tidak

mendapatkan bansos pangan.

Ketiga, Korkot dan supervisor

akan mencoba kordinasi dengan

koordinator terkait untuk

mengadvokasi KPM yang tidak

mendapatkan bansos pangan

(begitu juga dengan bansos

komplementer lainnya).

Keempat, dari data hasil

asesmen, setelah dilakukan

advokasi dan sebagainya,

selanjutnya data tersebut bisa

meng-akses bansos

komplementaritas.

10. Bagaimanacara yang

dilakukan oleh Supervisor

dan Pendamping PKH

untuk membangun self

determination atau

penentuan nasib sendiri

sehingga KPM mampu

Dilakukan saat pertemuan

kelompok. Bisa dengan

menggunakan FGD, MPA, dan

lain-lain. Materi-materi tentang

kessos yang disampaikan

menggunakan bahasa sederhana

agar KPM bisa paham. Proses

mengetahui kebutuhan

dari permasalahannya?

ini tentu tidak bisa dilakukan

hanya satu kali, karena pada

dasarnya kegiatan membangun

self determination ini adalah

pengubahan perilaku dan

pikiran seseorang agar menjadi

lebih terbuka serta terampil

menganalisa permasalahan.

Lampiran 3

TRANSKRIP WAWANCARA

Informan : Pendamping Sosial PKH

A. Tempat dan Waktu Wawancara

Tempat Wawancara : Rumah Pendamping

Media Wawancara : Telepon seluler (daring)

Hari, Tanggal : Rabu, 22 April 2020

Waktu Wawancara : 19.00 WIB

B. Identitas Informan

Nama : Wardiyaningsih

Jenjang Pendidikan : S1 Ilmu Komunikasi

Pertanyaan Jawaban

1. Sebelum menjalankan

tugas sebagai Pendamping

PKH, pelatihan seperti apa

yang anda dapatkan

sebelumnya?

Sebelum direkrut jadi

pendamping itu ada bimtap, dan

bimtek. Yang diberikan dari

Kementerian Sosial, mengenai

materi umum pedoman

Program Keluarga Harapan,

lalu kewajiban dan sanksi-

sanksi yang diberikan kepada

KPM, dana pa saja program

yang ada di dalam PKH.

2. Apa saja hal yang

diperlukan atau

dipersiapkan saat akan

melakukan

pendampingan?

Mempersiapkan kebutuhan

teknis saat penyampaian materi,

bahan atau materi itu sendiri,

dan psikologis pendamping

juga perlu dipersiapkan agar apa

yang disampaikan kepada KPM

itu dapat dengan mudah

dipahami.

3. Layanan seperti apa yang

diberikan dalam akses

pendidikan, kesehatan,

dan kesejahteraan sosial?

Di dalam pertemuan kelompok

itu kita dikasih modul atau

materi, materi itu nanti kita

sampaikan ke KPM. Ada modul

pola asuh keluarga, ekonomi,

kalo untuk kesejahteraan sosial

itu ada disabilitas dan lansia.

Kalau misalkan di ekonomi kita

jelaskan bagaimana caranya

mengelola keuangan,

bagaimana caranya mereka

mendapatkan pendapatan

keluarga, kemudian kalo di pola

asuh keluarga itu kita berikan

materi atau semacam

penyuluhan bagaimana

orangtua itu bersikap kepada

anak yang masih balita atau

menjelang dewasa.

4. Bagaimana prosedur yang

Pendamping lakukan

ketika ditugaskan untuk

menangani sebuah kasus?

Ketika mendapati kasus yang

terjadi pada KPM, maka hal

yang dilakukan pertama kali

adalah harus meyakini bahwa

saya adalah pendamping

mereka. Mereka bisa

menceritakan permasalahan apa

saja yang sedang dihadapi, dan

saya siap untuk membantunya.

Karena ada tipe KPM yang

memang tertutup, sehingga

pendekatan dan penggalian

tersebut tidak dilakukan sekali-

duakali. Lalu, setelah mereka

sudah mulai terbuka, dan

menceritakan apa

permasalahannya, selanjutnya

saya dalami dulu penyebabnya.

Baru setelah itu saya jelaskan

bahwa yang dia butuhkan

adalah pertolongan melalui

pelayanan yang akan dilakukan

oleh pendampingnya. Dan

setelahnya, kami mulai jelaskan

apa saja dan kemana KPM bisa

mengakses layanan dari

lembaga yang dibutuhkan.

5. Ketika anda mengikuti

kegiatan supervisi, hal apa

saja yang anda peroleh?

Jadi saya datang ke pertemuan

kelompok saya, nanti SPV

melihat bagaimana saya

menyampaikan materi, nanti

SPV juga ikut menyampaikan

materi, nanti saya dievaluasi di

situ. Selain itu, memberikan

pendampingan juga kepada

KPM dan juga kepada saya

selaku pendamping.

Memberikan pembekalan

bagaimana caranya

menyelesaikan permasalahan

yang terjadi pada kpm.

6. Ketika mendapatkan kasus

di lapangan mengenai

KPM, bagaimana cara

Pendamping berkoordinasi

atau melaporkan hal

tersebut kepada

Supervisor PKH?

Koordinasi awal ketika kita

menemukan masalah pada

KPM, saya coba sebagai

pendamping untuk melakukan

pendekatan seperti apa sih

permasalahannya, kenapa bisa

terjadi seperti itu, kalau

misalnya bisa kita selesaikan

sendiri, kita selesaikan sendiri.

Tapi memang kalau

permasalahan ini saya banyak

konsultasikan dengan

Supervisor.

7. Pengetahuan dan

keterampilan apa saja yang

harus dimiliki oleh

seorang pendamping

dalam manajemen kasus

pada PKH?

Yang harus benar-benar

dimiliki adalah mulai dari

penggalian masalah, penyebab

nya apa sampai dengan nanti

kita memberikan solusinya

seperti apa kepada mereka.

Artinya, memberikan kepuasan

kepada semua pihak, tidak

hanya kepada KPM, kepada kita

juga sebagai pendamping,

sehingga kita bisa puas karena

bisa menyelesaikan

permasalahan itu dan kemudian

meminimalisir permasalahan

yang sama.

8. Hal apa yang dirasa

menjadi hambatan

sehingga berpengaruh

pada proses pemberian

layanan kepada KPM

PKH?

Yang jadi hambatanya adalah

tidak semua KPM mau

mengungkapkan apa yang

menjadi kesulitan mereka,

terutama dalam kasus pelecahan

seksual atau KDRT. Kalau

mereka udah mepet-mepet

banget gitu, itu baru. Artinya

gini, mereka tidak ngadu

langsung, tapi KPM lain yang

menceritakan kepada

pendamping.

9. Bagaimana cara yang

dilakukan oleh Supervisor

dan Pendamping PKH

untuk membangun self

determination atau

penentuan nasib sendiri

sehingga KPM mampu

mengetahui kebutuhan

dari permasalahannya?

Jadi, dalam hal ini kita berikan

pengertian bahwa mereka punya

kartu BPJS, atau KIS yang bisa

mereka pergunakan, dan

edukasi atau sosialisasi juga kita

berikan kepada mereka bahwa

kartu ini bisa mereka dapatkan

secara gratis.

10. Bagaimana cara

meningkatkan kualitas

PKH sehingga hal tersebut

mampu memperkuat

pelayanan yang diberikan?

Penyelenggara PKH baiknya

memenuhi juga kebutuhan

pendamping mengenai teknis

kegiatan, seperti barang-barang

yang diperlukan atau alat agar

mempermudah penyampaian

materi.

Lampiran 4

TRANSKRIP WAWANCARA

Informan : Pendamping Sosial PKH

A. Tempat dan Waktu Wawancara

Tempat Wawancara : Rumah Pendamping

Media Wawancara : Telepon seluler (daring)

Hari, Tanggal : Kamis, 23 April 2020

Waktu Wawancara : 14.00 WIB

B. Identitas Informan

Nama : Ida D

Jenjang Pendidikan : S1 Ilmu Kesejahteraan Sosial

Pertanyaan Jawaban

1. Sebelum menjalankan

tugas sebagai Pendamping

PKH, pelatihan seperti apa

yang anda dapatkan

sebelumnya?

Pelatihan terkait tugas kami

sebagai pendamping PKH.

Selain itu adanya pembekalan

apa saja diperlukan saat terjun

langsung ke lapangan. Namun,

untuk manajemen kasus, kami

belum pernah langsung

mendapatkannya dari

Kemensos.

2. Apa saja hal yang

diperlukan atau

dipersiapkan saat akan

melakukan

pendampingan?

Kalo menurut saya yang perlu

dipersiapkan di awal adalah

waktu. Karena kenapa saya

bilang waktu yang paling utama

sebab kita harus tau dulu

waktunya si KPM itu untuk

kegiatan pendampingan.

3. Layanan seperti apa yang

diberikan dalam akses

pendidikan, kesehatan,

dan kesejahteraan sosial?

Kalo bentuk layanan fasdik, itu

mereka kan harus dapet

pendidikan, kami

mengusahakan mereka

mendapatkan komplementaritas

seperti KJP. Untuk faskes, kalo

mereka tidak memiliki bpjs,

kami coba untuk mengakses,

coba membantu mereka gitu

untuk cara pembuatan faskes

bpjs. Jadi lebih mudah lah

mereka untuk mereka sendiri.

Dan juga kessos kan lebih ke

lansia dan balita ya. Kalo untuk

lansia sendiri, kami coba untuk

mereka punya

komplementalitasnya dari Kartu

Lansia Jakarta.

4. Bagaimana prosedur yang

Pendamping lakukan

ketika ditugaskan untuk

menangani sebuah kasus?

Cara penyampaian atau

komunikasi di awal dengan para

KPM disesuaikan dengan

penggunaan bahasa sehari-

sehari, yang mana tidak terlalu

baku. Sehingga mereka bisa

lebih memahami apa yang

disampaikan oleh pendamping.

Selanjutnya, kami menjelaskan

mengenai layanan-layanan yang

dapat dijangkau oleh KPM,

dengan membantu

kepengurusan sebagai peserta

PKH pada fasilitas pendidikan,

kesehatan, dan kesejahteraan

sosial.

5. Ketika anda mengikuti

kegiatan supervisi, hal apa

saja yang anda peroleh?

Supervisi itu hanya di satu

wilayah saja, nanti SPV kalau

misalkan kita ada kekurangan

dalam penanganan kasus atau

misalkan penyampaian sesuatu,

nanti mengarahkan harusnya

seperti apa. Ada evaluasi sama

kelanjutan untuk KPM nya itu

nanti memang benar-benar

komplementaritas dari PKH itu

kan banyak, kaya misalnya

harus mendapatkan KJP, BPJS.

Untuk evaluasi pendamping,

seperti cara penyampaian kita

ke KPM harus seperti apa, tata

bahasanya harus seperti apa,

kadang KPM kan tidak

menggunakan Bahasa baku,

santai gitu kan kalo KPM. Terus

kinerja kerja kita bagaimana,

itupun dinilai sama Supervisor.

6. Ketika mendapatkan kasus

di lapangan mengenai

KPM, bagaimana cara

Pendamping

berkoordinasi atau

melaporkan hal tersebut

kepada Supervisor PKH?

Saat mengetahui adanya laporan

kasus dari KPM, pendamping

langsung melaporkan via chat

atau bertemu langsung dengan

Supervisor untuk menjelaskan

bahwa ada kasus yang harus

ditangani.

7. Pengetahuan dan

keterampilan apa saja

yang harus dimiliki oleh

seorang pendamping

dalam manajemen kasus

pada PKH?

Keterampilan mendalami setiap

tahapan atau proses pelayanan

penanganan kasus melalui

metode manajemen kasus.

8. Hal apa yang dirasa

menjadi hambatan

Karena pembekalan mengenai

manajemen kasus itu tidak ada.

sehingga berpengaruh

pada proses pemberian

layanan kepada KPM

PKH?

Jadi menurut saya agak

terhambat mengenai proses

yang seharusnya lebih detail

dijalankan, tetapi atas

bimbingan dari Supervisor

maka itu hal tersebut dapat

terbantu.

9. Bagaimana cara yang

dilakukan oleh Supervisor

dan Pendamping PKH

untuk membangun self

determination atau

penentuan nasib sendiri

sehingga KPM mampu

mengetahui kebutuhan

dari permasalahannya?

Dengan memberikan

pemahaman dan menjelaskan

dengan baik agar KPM paham

dengan apa yang diketahui

mengenai kebutuhannya.

10. Bagaimana cara

meningkatkan kualitas

PKH sehingga hal tersebut

mampu memperkuat

pelayanan yang diberikan?

Dengan memberikan pelatihan

dan pembekalan yang rutin

kepada para pendamping,

sehingga keterampilan untuk

memberikan pelayanan kepada

KPM akan semakin meningkat.

Lampiran 5

TRANSKRIP WAWANCARA

Informan : Pendamping Sosial PKH

A. Tempat dan Waktu Wawancara

Tempat Wawancara : Rumah Pendamping

Media Wawancara : Telepon seluler (daring)

Hari, Tanggal : Kamis, 14 Mei 2020

Waktu Wawancara : 14.30 WIB

B. Identitas Informan

Nama : Cici

Jenjang Pendidikan :

Pertanyaan Jawaban

1. Sebelum menjalankan

tugas sebagai Pendamping

PKH, pelatihan seperti apa

yang anda dapatkan

sebelumnya?

Kita ada Bimbingan teknis, ada

juga Bimbingan Pemantapan

waktu awal diterima jadi

pendamping. Jadi kita di situ

dijelaskan lagi PKH itu seperti

apa, sistem pekerjaan kita ke

depannya seperti apa. Jadi,

dijelaskan, karena kita kan

bukan background sosial

semua. Jadi sebagian mungkin

masih awam, belum paham gitu

nanti seperti apa tugas-tugas

kita, dan nanti kita kerja akan

seperti apa. Dan setelah itu baru

diturunkan ke wilayah

dampingan masing-masing.

2. Apa saja hal yang

diperlukan atau

dipersiapkan saat akan

melakukan

pendampingan?

Tools atau alat untuk melakukan

kegiatan dengan para KPM.

3. Layanan seperti apa yang

diberikan dalam akses

pendidikan, kesehatan,

dan kesejahteraan sosial?

Kalo untuk pendidikan, itu

biasanya kita kunjungan ke

sekolah-sekolah di wilayah

dampingan. Kalo untuk

fasilitas kesehatan itu biasanya

kita kunjungan ke puskesmas,

dan posyandu. Dan kalo kessos

itu untuk lansia, jadi kaya

posyandu lansia gitu mba,

hampir sama juga kaya

kesehatan dan pendidikan.

4. Bagaimana prosedur yang

Pendamping lakukan

Iya pasti langsung melaporkan

kepada Supervisor mengenai

kasus yang ditemukan. Setelah

ketika ditugaskan untuk

menangani sebuah kasus?

itu bersama dengan SPV

langsung memproses dan

memberikan pelayanan seperti

apa dan itu menyesuaikan

dengan kasusnya.

5. Ketika anda mengikuti

kegiatan supervisi, hal apa

saja yang anda peroleh?

Kalo supervisi yang face to face

dengan pendamping pegangan

wilayahnya, itu biasanya kalo

kita lagi costing, terus biasanya

juga ada tiap bulan pertemuan

khusus buat evaluasi yang

sudah kita lakukan di bulan

kemarin seperti itu. Selain

evaluasi biasanya kaya ada

permasalahan atau tidak, nanti

di situ kita sharing semua. Ada

penilaian kinerja juga setau saya

kepada para pendamping.

Biasanya kalo setelah evaluasi

kinerja, ada yang misalnya

masih kurang, biasanya dikasih

teguran atau warning.

6. Ketika mendapatkan kasus

di lapangan mengenai

KPM, bagaimana cara

Pendamping berkoordinasi

Dengan bertemu langsung atau

melalui telepon seluler.

atau melaporkan hal

tersebut kepada

Supervisor PKH?

7. Pengetahuan dan

keterampilan apa saja yang

harus dimiliki oleh

seorang pendamping

dalam manajemen kasus

pada PKH?

Pengetahuan awal yang harus

kita miliki, adalah tentang

program yang kita pegang.

Karena tidak semua masyarakat

itu tahu mengenai PKH. Jadi

kadang-kadang menjelaskan

berulang kali, paling tidak kita

paham dulu program ini seperti

apa, wawasan ini, kemudian

juga koordinasi. Kadang-

kadang ada tipikal orang yang

gampang koordinasi ada juga

yang sulit, jadi kemampuan

koordinasi dengan semua pihak

yang terlibat walaupun di luar

PKH itu harus ada. Terus juga

sebenernya untuk penanganan

kasus perlu juga mungkin,

karena pada dasarnya kita

bukan lulusan kessos semua,

tapi memang sebagian besar

belajar dari pengalaman

memang saya liat walaupun

bukan lulusan kessos mereka

udah punya ilmunya gitu.

8. Hal apa yang dirasa

menjadi hambatan

sehingga berpengaruh

pada proses pemberian

layanan kepada KPM

PKH?

Waktu untuk menyesuaikan

dengan KPM. Terlebih saat

melakukan kunjungan ke

rumahnya, itu bisa berkali-kali

ubah jadwal.

9. Bagaimana cara yang

dilakukan oleh Supervisor

dan Pendamping PKH

untuk membangun self

determination atau

penentuan nasib sendiri

sehingga KPM mampu

mengetahui kebutuhan

dari permasalahannya?

Biasanya kita kasih gambaran,

kadang-kadang malah sharing

pengalaman pribadi juga. Kan

ibu nya pengen kamu sekolah,

kalo bisa kamu sekolah, kita

kasih arahan ke si anak gimana

caranya supaya si anak ini mau

menyelesaikan pendidikan dia

dengan harapan nanti setelah itu

dia bisa bekerja, bisa bantu

perekonomian keluarganya

supaya lebih baik tidak seperti

sekarang. Misalnya sekarang

ibu nya nyuci dari pagi sampai

malam, saya tanyakan kamu

tidak mau apa nanti kalo kamu

udah lulus sekolah, bantu ibu

cari penghasilan. Dan kita lebih

ke arah ngasih arahan serta

sudut pandang-sudut pandang

buat si anak gitu.

10. Bagaimana cara

meningkatkan kualitas

PKH sehingga hal tersebut

mampu memperkuat

pelayanan yang diberikan?

Kalo buat saya mungkin lebih

diperhatikan lagi kesejahteraan

SDMnya, karena kita kan itu di

lapangan tidak semua wilayah

itu aman dan nyaman. Dan

mengadakan kembali pelatihan

serta pembekalan mengenai

pelayanan kepada pendamping

sosial PKH.

Lampiran 6

TRANSKRIP WAWANCARA

Informan : Keluarga Penerima Manfaat (KPM)

A. Tempat dan Waktu Wawancara

Tempat Wawancara : Rumah KPM

Media Wawancara : Telepon seluler (daring)

Hari, Tanggal : Kamis, 14 Mei 2020

Waktu Wawancara : 14.30 WIB

B. Identitas Informan

Nama : Arum

Usia : 44 Tahun

Jenjang Pendidikan : SMA

Pertanyaan Jawaban

1. Sejak kapan anda

terdaftar sebagai KPM

PKH?

Saya sejak tahun 2017 menjadi

KPM PK.

2. Layanan apa saja yang

anda ketahui dalam

Program Keluarga

Harapan?

Untuk layanannya kami

melakukan pertemuan dengan

pendamping, P2K2, dan ilmu

yang saya dapatkan seperti

diajarakan cara mendidik anak,

dan cara mengelola keuangan

agar kita menjadi keluarga yang

lebih baik. Disamping itu saya

memiliki usaha sendiri, jadi

pendamping itu membantu saya

membuat kemasan lebih bagus,

mengenalkan produk itu ke

KPM yang lain juga, dan

terkadang saya juga diajak

mengenalkan produk saya pada

saat bazar di acara-acara.

3. Ketika anda mengalami

permasalahan dan

melaporkannya kepada

Pendamping, apakah

Pendamping merespon

kasus tersebut dengan

cepat?

Iya direspon dengan cepat

ketika saya ingin meminta

pendapat. Tidak hanya masalah

usaha saja, tetapi mengenai

masalah keluarga. Jadi saya

sering sharing ke pendampin.

Dan untuk keputusan memang

kembali lagi ke saya sama

suami, kalau pendamping kan

sekedar memberikan informasi,

dan saran saja.

4. Menurut anda, seperti apa

pelayanan dan

penanganan yang

diberikan oleh

Banyak memberikan

pendampingan, pengetahuan,

dan penyuluhan kepada para

KPMnya.

Pendamping dalam PKH

ini?

5. Sesuai pengetahuan yang

anda ketahui, bagaimana

proses yang dilakukan

oleh Pendamping atau

Supervisor PKH dalam

membantu

menyelesaikan

permasalahan yang anda

hadapi?

Untuk proses nya sih biasanya

saya sharing masalah usaha,

untuk saat ini sedang tidak

produksi, apalagi kan saya juga

menjadi pengelola e-warong,

jadi pendamping memberikan

saran mengenai hal itu. Coba

deh Mba Arum dagangannya

titipkan di e-warong siapa tau

ada yang minat. Setelah saya

cerita ke pendamping, ya

Alhamdulillah ada yang beli.

Kadang produk saya dikenali

sama KPM yang lain, kalo ada

kegiatan di hotel, atau

pertemuan kegiatan Kemensos

saya sekalian jualan sehingga

diketahui bahwa ada KPM PKH

yang menjual produknya.

6. Setelah kasus anda

ditangani oleh

Pendamping, apakah

anda mengetahui apa saja

yang menjadi kebutuhan

Iya jadi lebih terbuka mengenai

apa saja yang seharusnya saya

butuhkan dan lakukan.

dari permasalahan yang

tengah dihadapi?

7. Apa saja informasi yang

anda peroleh dari

Pendamping?

Informasi dari P2K2,

maksudnya seperti cara

mengelola keuangan yang kita

dapatkan dari dana bantuan,

agar jangan habis dalam waktu

yang singkat, dan harus kita

kelola.

8. Mengapa anda

mempercayai

Pendamping untuk

membantu

menyelesaikan

permasalahan yang anda

hadapi?

Ya kalo untuk masalah percaya

ya percaya sih, apalagi kan

kalau untuk pendamping saya

itu kan sama-sama perempuan,

jadi masalah saya itu kan bisa

dia rasain juga, karena kan kita

sama-sama menjadi seorang

ibu. Tetapi ada juga kan yang

pendampingnya laki-laki.

9. Menurut pendapat anda,

bagaimana kinerja dari

Pendamping dan

Supervisor ketika

memberikan pelayanan

dan penanganan kepada

anda?

Menurut saya sih udah

maksimal, maksudnya sudah

membantu para KPM. Misalnya

kalo ada KPM yang dananya

belum turun pasti dibantu

sampai diterima.

10. Sejauh ini, apa hasil yang

anda dapatkan setelah

Pendamping selesai

memberikan pelayanan

dan penanganannya?

Yang saya rasakan sih banyak

dari adanya program ini. Jadi

saya bisa menerapkan apa sih

yang diajarkan itu ke

lingkungan keluarga saya, yang

tadinya kepada anaknya

mungkin agak keras,

Alhamdulillah bisa agak

berkurang gitu. Bisa membantu

memanfaatkan bantuan yang

diberikan oleh Kemensos, agar

dapat dikelola kembali.

Lampiran 7

TRANSKRIP WAWANCARA

Informan : Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Graduasi

A. Tempat dan Waktu Wawancara

Tempat Wawancara : Rumah KPM Graduasi

Media Wawancara : Telepon seluler (daring)

Hari, Tanggal : Kamis, 21 Mei 2020

Waktu Wawancara : 14.00 WIB

B. Identitas Informan

Nama : Tuminem

Usia : 45 Tahun

Jenjang Pendidikan : SD

Pertanyaan Jawaban

1. Sejak kapan anda

terdaftar sebagai KPM

PKH?

Tahun 2017 mulai jadi KPM

pkh, dan graduasi di tahun 2019.

2. Siapa yang membuat

anda untuk memutuskan

graduasi mandiri dari

kepesertaan PKH?

Saya pribadi dan suami.

3. Mengapa anda pada

akhirnya memutuskan

untuk graduasi mandiri?

Ya sepertinya kami sudah

mampu, sebelumnya udah

jualan kan, terus ya

Alhamdulillah pendapatannya

meningkat.

4. Setelah anda

memutuskan untuk

graduasi, hal apa yang

anda rasakan?

Merasa senang karena ngerasa

sudah mampu dan tidak

bergantung lagi dengan bantuan

PKH.

5. Bagaimana proses yang

anda lakukan sampai

akhirnya dinyatakan

graduasi mandiri dari

Program Keluarga

Harapan?

Bicara langsung dengan

pendamping, saya katakan ingin

graduasi dari peserta PKH, lalu

dibantu langsung prosesnya,

waktu itu saya menghubungi

lewat telepon lalu pendamping

ke rumah saya dan saya mengisi

form graduasi.

6. Saat masih terdaftar

sebagai KPM PKH,

dimana biasanya anda

melakukan kegiatan FDS

dan P2K2 dengan

pendamping dan para

KPM lainnya?

Di rumahnya ketua kelompok

nya.

7. Menurut anda, seperti apa

pelayanan dan

KPM diajarkan dari pertemuan

P2K2, lalu diarahin kalau

penanganan yang

diberikan oleh

Pendamping dalam PKH

ini?

misalnya KPM bingung.

Misalnya cara ngedidik anak

gimana, terus bisa ngatur duit

gimana.

8. Sesuai pengetahuan yang

anda ketahui, bagaimana

proses yang dilakukan

oleh Pendamping atau

Supervisor PKH dalam

membantu

menyelesaikan

permasalahan yang anda

hadapi?

Kalau waktu itu saya

Alhamdulillah tidak pernah ada

masalah yang gimana-gimana

jadi paling dikasih arahannya

pas pertemuan saja.

9. Setelah anda diberikan

pelayanan dari

pendamping terkait kasus

yang anda hadapi,

informasi kebutuhan apa

yang anda dapatkan

setelahnya?

Saya mendapatkan ilmu cara

mengatur keuangan supaya

tidak boros, dan cara mendidik

anak yang benar seperti apa.

10. Menurut pendapat anda,

bagaimana kinerja dari

Pendamping dan

Supervisor ketika

memberikan pelayanan

Ya cara kerjanya sudah baik

walaupun saya tidak pernah

langsung minta saran ke

pendamping tetapi saat P2K2

cara menyampaikan materinya

sudah baik.

Lampiran 8

Cover Persetujuan Proposal Skripsi

dan penanganan kepada

anda?

Lampiran 9

Surat Permohonan Dosen Pembimbing

Lampiran 10

Surat Izin Penelitian (Skripsi)

Lampiran 11

Form Kesediaan Menjadi Informan

Form ini merupakan bentuk persetujuan untuk menjadi informan

dalam penggalian data berupa wawancara pada penelitian skripsi

yang berjudul "Manajemen Kasus pada Program Keluarga

Harapan di Wilayah Jakarta Timur". Wawancara dapat dilakukan

baik melalui telepon, chat via WhatsApp, dan/atau email.

Terima kasih.

Note: data yang anda isi tidak akan disebarluaskan.

* Wajib

Alamat email *

[email protected]

Nama Lengkap *

Ida Daryanti

Jenis Kelamin *

Perempuan

Usia *

40tahun

Klasifikasi Informan *

Pendamping PKH

Email atau nomor telepon yang dapat dihubungi *

[email protected]/0823-1182-2499

Apakah anda bersedia menjadi informan dalam penelitian ini? *

Bersedia

Lampiran 12

Form Kesediaan Menjadi Informan

Form ini merupakan bentuk persetujuan untuk menjadi informan

dalam penggalian data berupa wawancara pada penelitian skripsi

yang berjudul "Manajemen Kasus pada Program Keluarga

Harapan di Wilayah Jakarta Timur". Wawancara dapat dilakukan

baik melalui telepon, chat via WhatsApp, dan/atau email.

Terima kasih.

Note: data yang anda isi tidak akan disebarluaskan.

* Wajib

Alamat email *

[email protected]

Nama Lengkap *

Cici Windasari

Jenis Kelamin *

Perempuan

Usia *

33

Klasifikasi Informan *

Pendamping PKH

Email atau nomor telepon yang dapat dihubungi *

085211922190

Apakah anda bersedia menjadi informan dalam penelitian ini? *

Bersedia

Lampiran 13

Form Kesediaan Menjadi Informan

Form ini merupakan bentuk persetujuan untuk menjadi informan

dalam penggalian data berupa wawancara pada penelitian skripsi

yang berjudul "Manajemen Kasus pada Program Keluarga

Harapan di Wilayah Jakarta Timur". Wawancara dapat dilakukan

baik melalui telepon, chat via WhatsApp, dan/atau email.

Terima kasih.

Note: data yang anda isi tidak akan disebarluaskan.

* Wajib

Alamat email *

[email protected]

Nama Lengkap *

Wardiyaningsih

Jenis Kelamin *

Perempuan

Usia *

48

Klasifikasi Informan *

Pendamping PKH

Email atau nomor telepon yang dapat dihubungi *

081318523097

Apakah anda bersedia menjadi informan dalam penelitian ini? *

Bersedia

Lampiran 14

Form Kesediaan Menjadi Informan

Form ini merupakan bentuk persetujuan untuk menjadi informan

dalam penggalian data berupa wawancara pada penelitian skripsi

yang berjudul "Manajemen Kasus pada Program Keluarga

Harapan di Wilayah Jakarta Timur". Wawancara dapat dilakukan

baik melalui telepon, chat via WhatsApp, dan/atau email.

Terima kasih.

Note: data yang anda isi tidak akan disebarluaskan.

* Wajib

Alamat email *

[email protected]

Nama Lengkap *

Chaerum

Jenis Kelamin *

Perempuan

Usia *

44

Klasifikasi Informan *

Keluarga Penerima Manfaat (KPM)

Email atau nomor telepon yang dapat dihubungi *

0895602270621

Apakah anda bersedia menjadi informan dalam penelitian ini? *

Bersedia