manajemen kasus pada program keluarga harapan …
TRANSCRIPT
MANAJEMEN KASUS PADA
PROGRAM KELUARGA HARAPAN (PKH)
DI WILAYAH JAKARTA TIMUR
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial
(S.Sos)
Oleh:
Ajeng Wahyuni
11160541000018
PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2020 M
MANAJEMEN KASUS PADA
PROGRAM KELUARGA HARAPAN (PKH)
DI WILAYAH JAKARTA TIMUR
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial
(S.Sos)
Oleh:
Ajeng Wahyuni
11160541000018
PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2020 M
MANAJEMEN KASUS PADA
PROGRAM KELUARGA HARAPAN (PKH)
DI WILAYAH JAKARTA TIMUR
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh
Ajeng Wahyuni
NIM : 11160541000018
Pembimbing
Ellies Sukmawati, M.Si
NIP : 19780318 200901 2 007
PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2020 M
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi ini berjudul “Manajemen Kasus pada Program
Keluarga Harapan (PKH) di Wilayah Jakarta Timur” disusun
oleh Ajeng Wahyuni (11160541000018) telah diujikan dalam
sidang Munaqasyah Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
Univeritas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 02
September 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
gelar sarjana (S. Sos) pada program studi Kesejahteraan Sosial.
Jakarta, September 2020
Sidang Munaqasyah
Dibawah Bimbingan
Ellies Sukmawati, M.Si
NIP. 197803182009012007
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertandatangan di bawah ini :
Nama : Ajeng Wahyuni
NIM : 11160541000018
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul
MANAJEMEN KASUS PADA PROGRAM KELUARGA
HARAPAN (PKH) DI WILAYAH JAKARTA TIMUR adalah
benar karya saya pribadi dan tidak melakukan tindak plagiat dalam
penyusunannya. Adapun kutipan pada skripsi ini telah saya
cantumkan sumber penulisannya. Apabila ditemukan suatu
plagiarisme di dalam keseluruhan pada penulisan skripsi ini, maka
saya siap diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.
Jakarta, Agustus 2020
Ajeng Wahyuni
NIM 11160541000018
i
ABSTRAK
Ajeng Wahyuni (11160541000018)
Manajemen Kasus pada Program Keluarga Harapan (PKH)
di Wilayah Jakarta Timur
Manajemen kasus merupakan suatu proses pelayanan yang
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan klien yang dibutuhkan
ketika mengalami permasalahan, baik yang menyangkut individu
maupun keluarga. Hal ini yang menjadi salah satu tugas dan
kewajiban dari Peksos Supervisor dan Pendamping Sosial Program
Keluarga Harapan (PKH) di wilayah Jakarta Timur. Pelayanan
yang dilakukan dapat dilihat melalui dua komponen manajemen
kasus, yaitu proses atau tahapan serta melihat model yang dapat
disesuaikan dengan kasus yang ditangani dan sistem yang
dijalankan. Penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode
penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif dan teknik
pengumpulan data berupa wawancara dan studi dokumentasi.
Dalam menentukan subjek dan informan, penulis menggunakan
teknik sumpling purposive.
Maka dapat diketahui bahwa manajemen kasus pada PKH di
Jakarta Timur telah melaksanakan proses atau tahapan di dalam
pekerjaan sosial, dan menjalankan sistem yang menjadi dasar
pelayanan untuk memenuhi kebutuhan. Sehingga hal ini
memberikan suatu bentuk kebermanfaatan bagi para Keluarga
Penerima Manfaat (KPM), terkhusus bagi KPM yang memiliki
kasus yang memerlukan sistem rujukan pelayanan.
Kata Kunci : Manajemen Kasus, Proses dan Sistem
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas
limpahan rahmat dan kuasa-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Salawat serta salam selalu
tercurahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam beserta keluarga, para sahabat, dan pengikutnya yang selalu
memberikan suri tauladan kepada penulis agar senantiasa
melakukan kebaikan dan tuntunannya.
Penulis menyadari bahwasanya penyusunan di dalam
skripsi ini terdapat banyak kekurangan, baik dari isi maupun teknik
penulisan. Maka dari itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun agar dapat menyempurnakan penulisan pada
skripsi ini. Dan di lain kesempatan dapat membuat suatu karya
ilmiah yang lebih baik lagi.
Tentunya pada penulisan skripsi ini, penulis banyak
mendapatkan doa, semangat, dukungan, dan kasih sayang dari
berbagai pihak sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
Untuk itu, izinkanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Suparto, M.Ed., Ph.D sebagai Dekan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Ibu Dr. Siti Napsiyah Ariefuzzaman, MSW sebagai
Wakil Dekan Bidang Akademik. Bapak Dr. Sihabuddin Noor,
M.A sebagai Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum.
Bapak Drs. Cecep Sastrawijaya, MA sebagai Wakil Dekan
Bidang Kemahasiswaan.
iii
2. Bapak Ahmad Zaky, M.Si, sebagai Ketua Program Studi
Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Ibu
Hj. Nunung Khoiriyah, MA selaku Sekretaris Program Studi
Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Ahmad Darda, M. Pd, selaku Dosen Pembimbing
Akademik yang sudah meluangkan waktunya untuk
membantu penulis.
4. Ibu Ellies Sukmawati, M.Si, selaku Dosen Pembimbing yang
telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan,
arahan, dan dukungan dengan sangat baik kepada penulis
hingga terselesainya karya ilmiah ini.
5. Seluruh Dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial yang
senantiasa mengajarkan keilmuan mengenai kesejahteraan
sosial dan wawasan lainnya.
6. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
dan seluruh Civitas Akademika UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
7. Bapak Arief Trihandoyo, selaku Koordinator Kota PKH
Jakarta Timur. Bapak Dea Triantara W. P, S. Tr. Sos, selaku
Supervisor PKH. Ibu Wardiyaningsih, Ibu Ida, dan Ibu Cici,
selaku Pendamping Sosial PKH. Serta Ibu Arum sebagai
anggota KPM PKH, dan Ibu Tuminem KPM tergraduasi
mandiri, yang telah meluangkan waktu nya untuk membantu
penulis dalam mengumpulkan informasi terkait penulisan
dalam skripsi ini.
8. Kedua orangtua yang sangat penulis sayangi, Bapak M.
Sudiono, dan Ibu Sari Suwasti, yang selalu memberikan doa,
iv
semangat, dan kasih sayang tak terhingga sampai detik ini.
9. Kakak-kakak penulis, yakni Mba Eka, Mba Ani, Mba Puput,
Mas Ulil, Mas Dimas, Mas Anto, dan Danar, atas semangat
dan lelucon yang selalu diberikan.
10. Keluarga Besar Social Work Sketch, yang menjadi salah satu
bagian penting di dalam penulisan skripsi ini.
11. Manusia-manusia unik yang selalu menghadirkan tawa untuk
penulis, Adiba dan Alifatul. Berkat kalian hidup penulis
tambah berwarna.
12. Para sahabat dan teman baik penulis, Eka Novia, Lita,
Nuriska, Siti, Nisa, Cyndy, Rana, Dilla, Novie, dan Maulida
yang tidak pernah bosan memberikan semangatnya kepada
penulis.
13. Teman-teman seperbimbingan yang selalu saling
menyemangati, Erlani, Ghina, Intan, Mutia, Dea, Amelda,
Bayed, Ridho, Eka Wulan, dan Yessy.
14. Keluarga Besar Kesejahteraan Sosial, terkhusus untuk teman-
teman Kesejahteraan Sosial angkatan 2016 yang juga saling
memberikan semangat dan dukungan.
Jakarta, Agustus 2020
Penulis,
Ajeng Wahyuni
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................................... i
KATA PENGANTAR ...................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................... v
DAFTAR TABEL .......................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................... ix
DAFTAR BAGAN............................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN .................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................... 1
B. Batasan Masalah.................................................. 8
C. Rumusan Masalah ............................................... 9
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................... 9
E. Tinjauan Kajian Terdahulu ............................... 10
F. Metodologi Penelitian ....................................... 12
G. Sistematika Penulisan ....................................... 21
BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................. 23
A. Landasan Teori .................................................. 23
1. Manajemen Kasus ...................................... 23
2. Teori Kognisi-Tingkah Laku ..................... 49
3. Teori Belajar Sosial .................................... 52
4. Perlindungan Sosial ................................... 54
5. Jaminan Sosial ........................................... 70
B. Kerangka Berpikir ............................................. 73
BAB III PROFIL JAKARTA TIMUR DAN
MANAJEMEN KASUS PADA PROGRAM
KELUARGA HARAPAN ......................................... 75
A. Kondisi Objektif Wilayah Jakarta Timur .......... 75
1. Letak Geografis Jakarta Timur .................. 75
vi
2. Demografis Jakarta Timur ......................... 76
B. Program Keluarga Harapan (PKH) ................... 77
1. Latar Belakang dan Pengertian PKH ......... 77
2. Tujuan PKH ............................................... 80
3. Sasaran PKH .............................................. 80
4. Ketentuan Peserta PKH .............................. 80
5. Hak dan Kewajiban KPM PKH ................. 81
6. Besar Bantuan Dana PKH .......................... 82
7. Kelembagaan PKH ..................................... 83
8. Pengelolaan Sumber Daya ......................... 91
9. Monitoring dan Evaluasi ............................ 94
10. Jumlah SDM dan KPM PKH ..................... 98
C. Manajemen Kasus pada PKH............................ 99
BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN ............. 105
A. Proses pada Manajemen Kasus ....................... 106
1. Kasus Penyalahgunaan Kartu Kesejahteraan
Sosial (KKS) – PKH ................................ 106
2. Penyalahgunaan Dana Bantuan Non-Tunai
PKH oleh KPM ........................................ 114
3. Anak KPM yang Ingin Berhenti Sekolah 122
B. Sistem pada Manajemen Kasus ....................... 132
1. Dasar Hukum dan Standar Pelayanan ...... 132
2. SDM dan Supervisi .................................. 137
3. Keluarga Penerima Manfaat (KPM) ........ 141
BAB V PEMBAHASAN .................................................. 147
A. Manajemen Kasus pada Program Keluarga
Harapan (PKH) di wilayah Jakarta Timur ...... 144
1. Proses pada Manajemen Kasus ................ 144
2. Sistem pada Manajemen Kasus................ 153
vii
BAB VI PENUTUP ............................................................. 161
A. Kesimpulan ..................................................... 161
B. Saran ................................................................ 163
DAFTAR PUSTAKA ............................................................. 165
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. 1 Jumlah KPM PKH (2015-2019) ............................. 5
Tabel 1. 2 Data Penerima PKH tahun 2019 ............................. 6
Tabel 1. 3 Informan Penelitian ............................................... 17
Tabel 2. 1 Metode SMART ................................................... 44
Tabel 3. 1 Jumlah SDM PKH Per Januari 2020 .................... 98
Tabel 3. 2 Jumlah KPM PKH Tahun 2019 ............................ 98
Tabel 3. 3 Bentuk Permasalahan pada KPM PKH ................ 99
Tabel 3. 4 Jumlah Peksos Supervisor PKH Tahun 2018 ....... 99
Tabel 3. 5 Peran Supervisor dalam PKH ............................. 101
x
DAFTAR BAGAN
Bagan 2. 1 Proses Manajemen Kasus ................................... 37
Bagan 2. 2 Tahap Proses awal dan identifikasi kasus ........... 38
Bagan 2. 3 Tahap Asesmen .................................................. 40
Bagan 2. 4 Skema Pemanfaatan Pusat Layanan dan Rujukan
Terpadu dan Basis Data Terpadu ....................... 66
Bagan 2. 5 Sumber Pendanaan Pembangunan Nasional ...... 69
Bagan 2. 6 Kerangka Berpikir Penelitian ............................. 74
Bagan 3. 1 Struktur Organisasi Pelaksana PKH ................. 102
Bagan 3. 2 Proses Manajemen Kasus ................................. 103
Bagan 6. 1 Tipe Kasus, Proses, dan Model ........................ 164
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan sosial dengan mempergunakan intervensi
pekerjaan sosial menjadi suatu keniscayaan bila hanya
mengandalkan pada kekuatan dari sebuah lembaga yang yang
hanya menggantungkan pada keberadaan profesi. Tentunya
diperlukan bentuk dukungan melalui berbagai macam lintas
disiplin ilmu, dan lintas lembaga untuk hadir dalam hal
berkontribusi pada intervensi tersebut. Mengingat juga, ini
menjadi kebutuhan dalam profesi pekerjaan sosial dengan
menggunakan suatu metode pekerjaan sosial itu sendiri.
Metode ini dikenal dengan manajemen kasus (case
management). Dalam teorinya, manajemen kasus merupakan
suatu proses pengelolaan tindakan penanganan kasus yang
meliputi asesmen, perencanaan, pelaksanaan pelayanan,
pemantauan, dan evaluasi untuk menangani masalah secara
sistematis dengan berkoordinasi dan mengaitkan sumber-
sumber yang diperlukan (Halim 2010). Artinya, metode ini
menekankan pada kegiatan koordinasi multidisiplin ilmu untuk
memberikan pelayanan dan penanganan kepada klien.
Selanjutnya, manajer kasus yang berperan penting dalam
intervensi ini memastikan pelayanan dapat diterima oleh klien,
hingga melakukan advokasi ketika klien tidak mampu
mengakses layanan yang dibutuhkannya.
2
Pada dewasa ini, intervensi kepada klien atau penerima
manfaat yang mana memiliki permasalahan dengan
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga
untuk mengatasi permasalahan yang ada, dibutuhkan
pelayanan dan penanganan kasus melalui metode manajemen
kasus oleh pekerja sosial profesional, yang dalam hal ini
disebut manajer kasus. Kasus-kasus yang biasa ditangani
menggunakan metode ini seperti pada awalnya digunakan
untuk masalah perawatan bagi pasien rumah sakit, anak dan
keluarga, kemiskinan, pekerjaan, dan lain-lain. Layanan yang
disediakan melalui manajemen kasus ini pun berupa dukungan
dan layanan pribadi, kesehatan dan kesejahteraan, yang
memungkinkan mereka membangun dan mempertahankan
fungsi pribadi dan sosial mandiri yang optimal. Disamping itu,
banyak ahli yang telah membahas mengenai metode
manajemen kasus, salah satunya adalah Rubin (1992) dalam
Comprehensive Handbook of Social Work and Social Welfare
(Walsh and Holton 2008) menerangkan bahwa manajemen
kasus sebagai pendekatan untuk pemberian layanan sosial yang
berupaya untuk memastikan bahwa klien dengan berbagai
masalah dan kecacatan kompleks menerima layanan yang
mereka butuhkan tepat waktu.
Sudah menjadi sebuah keharusan dalam menyelesaikan
permasalahan yang ada di tengah masyarakat untuk melibatkan
pekerja sosial melalui manajemen kasus. Seperti hal nya
program perlindungan dan jaminan sosial yang
diimplementasikan oleh pemerintah ke dalam sebuah program
3
pengentasan kemiskinan misalnya, yaitu Program Keluarga
Harapan (PKH) yang dirilis pada 25 Juli 2007. Merujuk pada
Sistem Jaminan Sosial Nasional berdasarkan UU No. 40 Tahun
2004, PKH menjadi model jaminan yang unik. Di satu sisi,
PKH ialah bantuan sosial yang dimaksudkan demi
mempertahankan kehidupan (life survival) dalam kebutuhan
dasar terutama pendidikan dan kesehatan. Di sisi lain, PKH
bernuansa pemberdayaan, yakni menguatkan keluarga
penerima manfaat agar mampu keluar dari kemiskinannya
melalui promosi kesehatan dan mendorong anak bersekolah.
Dana yang diberikan kepada KPM secara tunai melalui Kantor
Pos dimaksudkan agar penerima dapat mengakses sarana
pendidikan dan kesehatan, yakni anak-anak harus bersekolah
sampai SMP, anak balita wajib memperoleh imunisasi, dan ibu
hamil harus memeriksakan kandungan secara berkala
(Nainggolan 2012).
Dari indikator yang terdapat pada PKH, yaitu kesehatan,
kemiskinan, dan pendidikan, tidak sedikit KPM yang masih
mengalami permasalahan dalam hal tersebut. Sehingga perlu
adanya bantuan berupa pelayanan yang fokus terhadap
permasalahan berkaitan dengan tiga komponen melalui
metode pekerjaan sosial, yaitu manajemen kasus yang
dilakukan oleh pekerja sosial profesional. Yang mana hal ini
juga berlandaskan pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2009
Tentang Kesejahteraan Sosial, maka seyogyanya KPM dibantu
dalam pemenuhan kebutuhan terkait dengan masalah-masalah
yang dihadapi, selain itu pekerja sosial juga menghubungkan
4
klien pada penyedia layanan yang lain, seperti pihak berwajib,
dokter, psikolog, lembaga bantuan hukum, dan lain
sebagainya. Sehingga mulai tahun 2018 metode manajemen
kasus masuk untuk memberikan pelayanan dan juga
penanganan dengan menggunakan praktik pekerjaan sosial
yang dilakukan oleh supervisor pekerjaan sosial, hal ini
diutarakan oleh salah satu Supervisor wilayah Jakarta Timur,
Bapak Dea.
Di dalam PKH, supervisor lah yang memegang peranan
penting dalam menjalankan manajemen kasus, disamping itu
dibantu pula oleh pendamping sebagai pelaksana di lapangan.
Supervisor PKH adalah pekerja sosial profesional. Dalam
praktiknya, peksos supervisor harus memiliki kualitas yang
baik ketika memberikan pelayanan dan penanganan kepada
klien. Mutu tersebut antara lain harga diri, keahlian
komunikasi, integritas indivdu, peran yang fleksibel, semakin
besar hubungan dengan supervisor akan mendorong
eksplorasi, pendidikan dan pengembangan, memahami
kekuatan dan keterbatasan, atensi terhadap orang yang
disupervisi, perhatian terhadap outcome klien, dan selalu
mencari tahu bagaimana meningkatkan cara dalam
melaksanakan supervisi. Pada di tahun 2020 ini, sudah saatnya
SDM PKH proaktif dalam merespon kebutuhan KPM jika
menemukan persoalan di wilayah kerja yang secara prosedural
diimplementasikan dalam manajemen kasus. Tujuannya
supaya lebih terstruktur, sistematis dan masif
(www.kompasiana.com 2020).
5
Tercatat pada rentan waktu tahun 2015 – 2019, terdapat
kenaikan jumlah KPM PKH se-Indonesia. Kenaikan jumlah
tersebut diharapkan dapat menurunkan angka kemiskinan ke
kisaran 8,5 - 9,3% tahun depan. Seperti diketahui, penyaluran
PKH mulai September 2017-Maret 2018 mampu menurunkan
angka kemiskinan menjadi 9,8%. Adapun jumlah penerima
bantuan PKH pada tahun 2019, yakni sekitar 10 juta Keluarga
Penerima Manfaat (KPM). Namun, nilai penerima bantuannya
akan meningkat menjadi Rp 3,1 juta dari sebelumnya Rp 1,7
juta/KPM (databoks.katadata.co.id 2020).
Tabel 1. 1 Jumlah KPM PKH (2015-2019)
Sumber: Kementerian Keuangan 2018
Dari data KPM PKH seluruh Indonesia, sebagai
wilayah Ibu Kota, Provinsi DKI Jakarta memiliki jumlah
KPM sebanyak 67.369 pada tahun 2019. Jakarta Timur
6
menempati posisi pertama dengan jumlah terbanyak, yaitu
16.757 KPM.
Tabel 1. 2 Data Penerima PKH tahun 2019
Tahun Wilayah Jumlah
2019 Jakarta Timur 16.757
2019 Jakarta Utara 14.265
2019 Jakarta Barat 14.064
2019 Jakarta Selatan 13.633
2019 Jakarta Pusat 7.830
2019 Kab. Kepulauan Seribu 820
Sumber: http://data.jakarta.go.id/
Dari jumlah KPM terbanyak se-Provinsi DKI,
Jakarta Timur memiliki kompleksitas permasalahan yang
menjadi perhatian dari pemerintah, dan tentu nya memiliki
cara tersendiri mengenai pelayanan, penanganan, dan
penyelesaiannya.
Pemberian layanan dan penanganan serta bantuan
sosial PKH, jika dilihat melalui pandangan Islam, tentu
menjadi sebuah perhatian. Karena hal itu sama saja dengan
membantu melonggarkan dan juga meringankan beban
saudaranya yang membutuhkan. Di samping itu, Allah
Subhanahu Wa Ta’ala juga sangat menyukai perilaku
hamba-Nya yang melakukan kebaikan, dan Allah pun juga
akan memberikan ganjaran berupa pahala dan/atau
memberikan pertolongan serta keselamatan dari berbagai
7
kesusahan baik di dunia maupun akhirat. Ini pun tertuang
dalam Al-Quran, pada Q.S. Muhammad: 7, yang berbunyi:
Artinya: “Hai orang-orang mukmin, jika kamu
menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan
menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”.
Bila ditelaah secara seksama, pertolongan yang
diberikan seorang mukmin kepada saudaranya, pada
hakikatnya adalah menolong dirinya sendiri. Hal ini karena
Allah juga hendak menolongnya, baik di dunia ataupun di
akhirat sepanjang hamba-Nya mau menolong saudaranya
(EF Rahmawati, 2013. digilib.uinsby.ac.id).
Orang yang mempunyai harta dan kedudukan yang
lebih tinggi di dunia, sebaiknya tidak menjadikan dirinya
sombong, sebab jika seseorang seperti itu ia akan merugi
dengan apa yang telah dilakukannya. Sebaliknya, jika ia
mudah untuk tergerak membantu orang lain, baik dari segi
materiil atau non-materiil, ia akan mendapatkan
kemuliaan, tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat.
Hal tersebut juga tertuang dalam sebuah hadits, yang
artinya: Dari Abu Hurairoh berkata, Rasulullah SAW.
Bersabda, “barang siapa melepaskan dari seorang muslim
satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan di dunia,
niscaya Allah melepaskan dia dari kesusahan-kesusahan
hari kiamat. Dan barang siapa member kelonggaran
8
kepada orang yang susah, niscaya Allah akan memberi
kelonggaran baginya di dunia dan akhirat; dan barang
siapa menutupi aib seorang muslim, niscaya Allah
menutupi aib dia di dunia dan di akhirat. Dan Allah
selamanya menolong hamba-Nya, selama hambanya
menolong saudaranya.” (HR. Muslim)
Maka dari itu, melihat besarnya manfaat yang
dilakukan oleh pekerja sosial dalam membantu klien
menangani permasalahan yang dihadapinya, pekerja sosial
supervisor dan juga pendamping sosial PKH melalui
metode manajemen kasus melakukan pelayanan kepada
KPM PKH di wilayah Jakarta Timur yang memiliki
permasalahan. Dimana hal tersebut, akan penulis kaji
melalui dua komponen, yakni proses atau tahapan
manajemen kasus, dan sistem yang menjadi pendukung
dari proses yang dijalankan. Sehingga akan terlihat
bagaimana komponen-komponen tersebut terintegrasi
dalam melaksanakan pelayanan kepada KPM yang
membutuhkan bantuan pekerja sosial melalui metode
manajemen kasus.
B. Batasan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah dijelaskan di
atas, maka penulis membatasi permasalahan yang akan
terfokus pada proses dan sistem dari manajemen kasus yang
dilakukan oleh supervisor dan pendamping Program Keluarga
Harapan (PKH) di wilayah Jakarta Timur, Kecamatan Ciracas,
9
Kecamatan Pasar Rebo, Kecamatan Makasar, Kecamatan
Cakung, dan Kecamatan Cipayung. Serta dalam pembatasan
masalah ini, bertujuan untuk menghindari perluasan
pembahasan yang meluas.
C. Rumusan Masalah
Sehubung dengan pembatasan masalah di atas, maka
yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu
Bagaimana manajemen kasus pada Program Keluarga Harapan
(PKH) di wilayah Jakarta Timur?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan
dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan
bagaimana manajemen kasus pada Program Keluarga
Harapan (PKH) di Wilayah Jakarta Timur.
2. Manfaat Penelitian
Sesuai dengan tujuan penelitian, tentunya penelitian
ini juga memiliki manfaat yang diharapkan dapat menjadi
saran yang membangun bagi pihak akademis, dan juga
praktisi.
a. Manfaat Akademis
Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat
menjadi referensi bagi penelitian serupa dan
memberikan wawasan dalam menggali ilmu mengenai
kesejahteraan sosial, yang fokus pada manajemen
10
kasus. Sehingga, bagi calon pekerja sosial akan lebih
memahami dan menambah kompetensi pada bidang ini.
b. Manfaat Praktisi
Menjadi bahan masukkan kepada lembaga
pemerintahan dan pekerja sosial sebagai bahan
pertimbangan dalam menyusun standar operasional
prosedur pelayanan dan penanganan melalui metode
manajemen kasus kepada klien dan/atau Keluarga
Penerima Manfaat (KPM)
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
Manajemen kasus merupakan penyedia layanan yang
dilakukan oleh case manager dimana memiliki peranan
penting dalam pemenuhan bantuan yang dilakukan untuk
klien. Seperti hal nya di Amerika Serikat, manajemen kasus
ditandai sebagai proses bantuan, dimana manajer kasus
mengoordinasi dan/ atau mengadvokasi layanan sosial dan/
atau kesehatan yang diperlukan kliennya (NASW Standards of
Social Work Case Management 2013). Manajer kasus
memberdayakan klien dengan memberikan dukungan
emosional, mencari dan menghubungkan dengan penyedia
layanan, serta memfasilitasi layanan (Cheng, Lo, and Womack
2019).
Pada sebuah penelitian yang telah dilakukan oleh
Rendiansyah Putra Dinata dan Bambang Shergi Laksmono
pada tahun 2018 mengenai Manajemen Kasus pada Anak yang
Berhadapan dengan Hukum, diketahui bahwa proses yang
11
dilakukan meliputi tahap awal atau identifikasi; penilaian;
perencanaan intervensi; intervensi; review; dan penutupan
kasus (Dinata and Laksmono 2018).
Selain proses yang dilakukan, terdapat elemen dalam
komponen manajemen kasus, yaitu sistem, yang sangat
bervariasi seperti adanya standar sebagai landasan
digunakannya pendekatan manajemen kasus, antara lain
adanya struktur dan tugas tim manajemen kasus; adanya
sumber daya manusia yang terampil; adanya praktik supervisi;
dan proses monitoring evaluasi (Simmel 2014).
Dari kajian yang telah dilakukan oleh para peneliti
sebelumnya, maka dalam hal ini penulis akan melakukan
penelitian mengenai dua komponen inti di dalam Manajemen
Kasus, yaitu proses dan sistem yang terdapat dalam layanan
pada Program Keluarga Harapan (PKH), di wilayah Jakarta
Timur. Dimana proses yang ingin penulis teliti mengenai
proses atau tahapan manajemen kasus yang dilakukan oleh
pendamping sosial dan juga supervisor PKH terhadap kasus
yang ditemukan pada KPM. Selanjutnya, untuk komponen
sistem, akan ditinjau mengenai hukum dan/ atau standar
pelayanan, SDM dan supervisi, dan Keluarga Penerima
Manfaat. Sehingga nantinya akan terlihat, bagaimana dua
komponen manajemen kasus yang dijalankan oleh supervisor
dan juga pendamping PKH kepada para Keluarga Penerima
Manfaat (KPM) di wilayah tersebut.
12
F. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pendekatan penelitian skripsi ini menggunakan
metode ilmiah untuk memperoleh informasi dengan tujuan
dan kegunaan tertentu. Riset diawali dengan memunculkan
permasalahan, mencari jawaban permasalahan dengan
mengkaji literatur untuk membuat hipotesis,
mengumpulkan informasi dari lapangan, menganalisis data
dengan teknik yang relevan, dan pada akhirnya membuat
kesimpulan atau temuan (Sudaryono 2018). Penelitian
kualitatif ialah merupakan penelitian yang berupaya
menganalisis kehidupan sosial dengan menggambarkan
dunia sosial dari sudut pandang ataupun interpretasi
individu (informan). Dengan kata lain, penelitian ini
berupaya memahami bagaimana seorang individu melihat,
memaknai, atau menggambarkan dunia sosialnya.
Memahami merupakan esensi dari penelitian kualitatif
(Sudaryono 2018).
Dengan demikian, untuk menguji dan mendapatkan
data mengenai manajemen kasus yang dilakukan pada
Program Keluarga Harapan (PKH), penulis menggunakan
metode penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah
penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena
tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya
perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara
holistik, dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata
dan bahasa (Moleong 2018). Sehingga kesimpulan yang
13
akan didapatkan adalah berupa deskriptif atau penjelasan
mengenai proses di dalamnya.
Setelah mengetahui metode yang digunakan dalam
penitian ini, selanjutnya adalah menentukan tujuan
penelitian. Berdasarkan tujuannya, dalam penelitian
kualitatif dibedakan menjadi beberapa penelitian. Dan
penulis menyimpulkan akan menggunakan jenis penelitian
deskriptif. Penelitian deskriptif (descriptive research)
ditujukan untuk mendeskripsikan suatu keadaan atau
fenomena-fenomena apa adanya. Penelitian dekriptif
adalah penelitian terhadap masalah-masalah berupa fakta-
fakta saat inidari suatu populasi yang meliputi kegiatan
penilaian sikap atau pendapat terhadap individu, dari suatu
populasi yang meliputi kegiatan penilaian sikap atau
pendapat terhadap individu, organisasi, keadaan, ataupun
prosedur. Penelitian deskriptif juga dapat dilakukan pada
saat ini atau dalam kurun waktu yang singkat (Sudaryono
2018).
Maka dari itu, sudah tepat apabila jenis penelitian
deskriptif digunakan oleh penulis dalam penelitian ini.
Selain bersifat sistematis, jenis penelitian ini juga
memberikan gambaran berupa fakta dan masalah yang
berkaitan dengan manajemen kasus.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik penelitian atau teknik pengumpulan data
merupakan salah satu unsur penelitian yang sangat penting.
14
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-
kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan
seperti dokumentasi dan lain-lain (Lofland and Lofland
2018). Pada teknik pengumpulan data dalam penelitian ini,
menyesuaikan dengan masa pandemic Covid-19, penulis
melakukan pengumpulan data hanya dengan dua teknik,
yaitu wawancara dan studi dokumentasi.
a. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud
tertentu. Wawancara digunakan untuk mengetahui hal-
hal dari informan secara lebih mendalam. Situasi dalam
wawancara berhubungan dengan waktu dan tempat saat
wawancara. Waktu dan tempat wawancara yang tidak
tepat dapat menjadikan pewawancara merasa canggung
untuk mewawancarai dan informan akan merasa
enggan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan.
Berdasarkan sifat pertanyaan, wawancara dibedakan
menjadi tiga (Sudaryono 2018), antara lain:
1) Wawancara terpimpin. Artinya, pertanyaan
diajukan menurut daftar pertanyaan yang telah
disusun.
2) Wawancara bebas. Pada wawancara ini, terjadi
tanya jawab bebas antara pewawancara dengan
informan, namun pewawancara tetap menggunakan
tujuan penelitian sebagai pedoman.
3) Wawancara bebas terpimpin. Wawancara ini
perpaduan antara wawancara bebas dan terpimpin.
15
Dalam pelaksanaannya, pewawancara membawa
pedoman yang hanya merupakan garis besar
tentang hal-hal yang akan ditanyakan.
Disamping itu, umumnya wawancara dibedakan
menjadi dua macam, yaitu wawancara berstruktur dan
tidak berstruktur. Dalam wawancara berstruktur,
artinya semua pertanyaan telah dirumuskan
sebelumnya dengan cermat, biasanya secara tertulis.
Dengan demikian, penulis menggunakan teknik
wawancara dengan sifat wawancara yang bebas
terpimpin, dan tidak berstruktur. Artinya, saat
melakukan wawancara dengan informan, penulis pada
dasarnya sudah membuat pedoman wawancara, akan
tetapi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
disesuaikan dengan situasi dan kondisi di lapangan,
selain itu juga agar informan dapat menjawab dengan
lebih mudah dan luas, sehingga wawancara tidak
terkesan kaku. Dan media yang digunakan dalam
wawancara penelitian ini adalah melalui alat
komunikasi, berkenaan dengan pandemic Covid-19
yang mana diharuskan adanya Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB).
b. Studi Dokumentasi
Studi dokumen merupakan merupakan teknik
pengumpulan data dengan mengumpulkan dan
menganalisis dokumen-dokumen, baik tertulis,
16
gambar, hasil karya, maupun elektronik. Dokumen
tersebut setelah diperoleh kemudian dianalisis,
dibandingkan, dan dipadukan untuk membentuk satu
kajian yang sistematis, terpadu dan utuh (Nilamsari
2014).
3. Sumber Data
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mengumpulkan
informasi penelitian sesuai dengan dua sumber data yang
telah didapat (Barlian 2016), yaitu:
a. Data Primer
Data yang diperoleh secara langsung dari sumber
data, yaitu informan yang diwawancarai mengenai
manajemen kasus pada PKH di wilayah Jakarta Timur
dengan tujuh orang informan.
b. Data Sekunder
Yaitu data yang didapatkan secara tidak langsung
melalui dokumen yang dimiliki, foto, jurnal, dan buku
yang sesuai dengan topik penelitian pada skripsi ini.
4. Teknik Pemilihan Subjek dan Informan
Teknik yang digunakan penulis untuk memilih
subjek dan informan adalah dengan menggunakan
sampling purposive. Teknik ini menentukan sampel
dengan pertimbangan tertentu, artinya teknik penentuan
sumber data mempertimbangkan terlebih dahulu, bukan
diacak. Artinya menentukan informan sesuai dengan
kriteria terpilih yang relevan dengan masalah penelitian
17
(Bungin 2007). Di bawah ini merupakan kriteria informan
yang penulis tentukan dengan menyesuaikan terkait
dengan kebutuhan dalam penelitian ini, antara lain:
a. Koordinator Kota PKH Jakarta Timur, yaitu seorang
koordinator pada kota administrasi yang memiliki
tanggung jawab untuk mengkoordinasikan, mengelola
data, dan melaporkan implementasi berkaitan dengan
KPM PKH.
b. Supervisor PKH, yakni pekerja sosial profesional yang
melakukan tugasnya untuk mendampingi para
pendamping sosial dalam mengakses pelayanan
komplementer; dan membahas catatan, kelayakan
kasus, dan laporan manajemen kasus dengan
pendamping.
c. Pendamping Sosial, merupakan dampingan kepada
para KPM PKH untuk berkomitmen dan menjalankan
kewajiban berupa kehadiran pada layanan fasilitas
pendidikan dan kesehatan sesuai ketentuan.
d. Keluarga Penerima Manfaat (KPM), masyarakat yang
terdaftar sebagai penerima bantuan sosial non-tunai
Program Keluarga Harapan (PKH).
Tabel 1. 3 Informan Penelitian
No Informan Informasi yang dicari Jumlah
1. Koordinator Kota
PKH Jakarta Timur
Profil PKH, KPM, dan
Sistem manajemen
1
18
kasus PKH di wilayah
Jakarta Timur
2. Supervisor PKH Pelaksanaan proses
atau tahapan
manajemen kasus
1
3. Pendamping Sosial
PKH
Kegiatan
pendampingan,
penanganan kasus
kepada KPM PKH
3
5. KPM Pelayanan apa saja
yang didapatkan
selama terdaftar
sebagai KPM PKH
2
Jumlah 7
Sumber: Hasil Bimbingan Penulis Tahun 2020
5. Waktu dan Tempat Penelitian
a. Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilaksanakan mulai bulan
Maret sampai dengan Juni 2020, melalui aplikasi chat,
dan telepon seluler.
b. Tempat Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan oleh penulis pada
Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Program Keluarga
Harapan (PKH), di wilayah Jakarta Timur 1,
Kecamatan Ciracas, Kecamatan Pasar Rebo,
19
Kecamatan Makasar, Kecamatan Cipayung, dan
Kecamatan Cakung.
6. Teknik Analisis Data
Miles dan Huberman (1992) dalam (Agusta 2003),
terdapat tiga cara dalam analisis data kualitatif, yakni:
a. Reduksi Data
Yaitu proses memilih, menyederhanakan,
pengabstrakan, dan transformasi data asli yang
diperoleh dari lapangan. Reduksi juga menggolongkan,
mengarahkan, menghilangkan yang tidak diperlukan,
dan mengelompokkan data dengan sedemikian rupa
sampai kesimpulan akhir dapat diperoleh.
b. Penyajian Data
Yakni kegiatan penyusunan sekumpulan
informasi, dengan memberikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan. Bentuknya berupa teks narasi
hasil dari catatan di lapangan; bentuknya dapat berupa
bagan, grafik, dan/ atau matriks dengan
menggabungkan informasi yang dipadukan, sehingga
memudahkan penarikan kesimpulan.
c. Kesimpulan
Dengan mereview penulisan, melakukan tinjauan
ulang pada catatan yang diperoleh dari lapangan,
bertukar pendapat dengan teman sejawat, dan
melakukan upaya lain untuk mengembangkan hasil
penelitian.
20
Analisis data dalam penelitian kualitatif merupakan
analisis yang mendasarkan pada adanya hubungan
semantis antar variabel yang sedang diteliti. Tujuannya
ialah agar peneliti mendapatkan makna hubungan variabel-
variabel sehingga dapat digunakan untuk menjawab
masalah yang dirumuskan dalam penelitian (Sarwono
2006).
Analisis data kualitatif dilakukan sejak sebelum
memasuki lapangan, selama di lapangan, dan setelah
selesai di lapangan. Namun, dalam penelitian ini, analisis
data lebih difokuskan selama proses di lapangan bersamaan
dengan pengumpulan data (Sugiyono 2014).
7. Teknik Keabsahan Data
Dalam pengujian keabsahan data pada metode
penelitian kualitatif, meliputi credibility (validitas
internal), transferability (validitas eksternal),
dependability (reliabilitas), dan confirmability
(obyektivitas) (Sarwono 2006).
a. Credibility. Bahwa uji kredibilitas data atau
kepercayaan terhadap data hasil penelitian kualitatif
antara lain dilakukan dengan perpanjangan
pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian,
triangulasi, diskusi teman sejawat, analisis kasus, dan
membercheck.
b. Transferability. Artinya, penulis memberikan hasil
penelitian dan membuat laporan secara rinci, jelas,
21
sistematis, dan dapat dipercaya. Dengan demikian,
pembaca menjadi jelas atas hasil penelitian, sehingga
dapat memutuskan dapat atau tidaknya untuk
mengaplikasikannya hasil penelitian di tempat lain.
c. Dependability. Atau bisa juga disebut reliabilitas, di
mana penulis mulai menentukan masalah atau fokus,
memasuki lapangan, menentukan sumber data,
melakukan analisis data, melakukan uji keabsahan
data, hingga membuat kesimpulan.
d. Confirmability. Dalam kualitatif disebut juga sebagai
uji obyektivitas kualitatif. Penelitian obyektif apabila
bila hasil penelitian disepakati banyak orang.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika pada penulisan skripsi ini, menggunakan
pedoman penulisan karya ilmiah sesuai dengan Lampiran
Keputusan Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Nomor 507 Tahun 2017, tanggal 14 Juni
2017. Adapun sistematikanya adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Terdiri dari latar belakang masalah, identifikasi
masalah, batasan dan perumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, metodologi penelitian,
serta sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini merupakan landasan teori-teori untuk
digunakan dalam mengumpulkan data-data yang
22
berkaitan dengan objek penelitian yaitu intervensi
sosial bagi lanjut usia dalam memelihara
kesehatan mental.
BAB III GAMBARAN UMUM LATAR PENELITIAN
Berisi tentang gambaran secara umum Wilayah
Jakarta Timur dan Manajemen Kasus pada PKH.
BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
Penyajian data dan temuan penelitian yang
diperoleh melalui wawancara dan studi
dokumentasi.
BAB V PEMBAHASAN
Pembahasan hasil data dan temuan di lapangan
yang dikaitkan dengan latar belakang dan teori
penelitian.
BAB VI PENUTUP
Berisi tentang kesimpulan dan saran hasil
penelitian.
23
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
Untuk mendukung penyusunan dalam penelitian ini,
maka diperlukan teori-teori yang berkaitan dengan
permasalahan dan ruang lingkup pembahasan sebagai landasan
teori yang akan penulis bahas, diantaranya adalah Metode
Manajemen Kasus, Perlindungan Sosial, Jaminan Sosial, dan
Konsep Program Keluarga Harapan (PKH).
1. Manajemen Kasus
a. Pengertian Manajemen Kasus
National Association of Social Workers (NASW)
(1992) dalam buku Understanding Generalist Practice
(2010), mendefinisikan case management sebagai
berikut:
“Social work case management is a method of
providing services whereby a professional social
worker asseses the needs of the client and the
client’s family, when appropriate and arranges,
coordinates, monitors, evaluates, and advocates
a packages of multiple services to meet the
specific client’s complex needs”.
Manajemen kasus pekerja sosial merupakan
metode professional memperhitungkan kebutuhan
klien dan keluarga klien, bila perlu, mengatur,
mengoordinasikan, memantau, mengevaluasi serta
mengadvokasi beberapa layanan untuk memenuhi
24
secara khusus kebutuhan kompleks klien (Kirst-
Ashman and H. Hull 2010).
Manajemen kasus adalah intervensi pelayanan
sosial yang luas yang dimaksudkan untuk membantu
individu ataupun keluarga dengan bermacam tantangan
dalam mengakses layanan yang diperlukan (Rapp et al.
2014).
Sehingga dapat disimpulkan bahwa manajemen
kasus merupakan suatu proses pelayanan yang
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan klien yang
dibutuhkan ketika mengalami permasalahan, baik yang
menyangkut individu maupun keluarga. Di dalam
manajemen kasus, manajer kasus melakukan
koordinasi dengan berbagai pihak untuk memudahkan
proses pemberian pelayanan dan penanganan yang
diperlukan.
b. Tujuan Manajemen Kasus
Adapun tujuan dari metode manajemen kasus
yang dilakukan untuk memberikan pelayanan kepada
klien, antara lain sebagai berikut (Maryami et al. 2018):
1) Memberikan layanan berkelanjutan;
2) Meningkatkan aksesibilitas dan juga akuntabilitas
layanan; dan
3) Untuk meningkatkan efisiensi ataupun mengurangi
biaya yang dikeluarkan suatu layanan.
c. Prinsip-prinsip Manajemen Kasus
25
Prinsip yang dilakukan dalam proses memberikan
pelayanan melalui metode manajemen kasus, harus
menekankan pada (Maryami et al. 2018):
1) Keterpaduan Pelayanan
Dimaksudkan agar layanan yang diberikan
kepada klien akan mendukung layanan yang lain,
sehingga masalah klien dapat teratasi secara utuh;
2) Keberlanjutan Pelayanan
Keberlanjutan pelayanan memiliki dua arti
yaitu pertama, pelayanan yang disediakan tidak
terpotong dari mulai kontak awal sampai terminasi;
dan kedua, pelayanan yang diberikan bersifat
komprehensif. Ini berarti pelayanan-pelayanan
yang diperlukan klien perlu dipenuhi termasuk
dukungan untuk lingkungan klien;
3) Akses yang Sama
Artinya, setiap masyarakat harus mempunyai
akses yang sama terhadap layanan manajemen
kasus. Peluang akses pelayanan juga dimungkinkan
untuk diperluas termasuk membantu transportasi
klien, mengantar klien ke layanan rujukan atau
melakukan tracing. Karena prinsip ini pula, maka
salah satu peranan yang sangat mendasar bagi
manajer kasus adalah melakukan advokasi;
4) Pelayanan Berkualitas (Efektif dan Efisien)
Efektif berarti pelayanan yang diberikan
mencapai tujuan sesuai dengan tujuan intervensi
26
yang sudah disepakati. Sedangkan efisiensi diukur
dari pemakaian sumber secara produktif, waktu
yang digunakan, biaya pelayanan serta hasil yang
dicapai;
5) Advokasi
Merupakan aksi untuk mewakili kepentingan
klien sekaligus mengarahkan klien agar selanjutnya
mampu melakukan advokasi bagi dirinya sendiri;
6) Memandang Orang Secara Holistik
Artinya intervensi kepada klien selalu
didasarkan pada pemahaman berbagai dimensi
manusia baik fisik, psikis, spiritual ataupun sosial.
Dimensi-dimensi tersebut harus dipandang secara
utuh agar penggalian data maupun penanganan
dapat dilakukan dengan tepat;
7) Pemberdayaan
Pemberdayaan klien berarti memperhatikan
potensi individu. Oleh karena itu dalam setiap
proses perlu menempatkan klien sebagai mitra dan
secara bertahap mendorong mereka agar mencapai
kecukupan kompetensi pribadi. Penghargaan
terhadap klien, tanpa melihat perbedaan didasari
oleh keyakinan pekerja sosial bahwa semua orang
memiliki integritas dan harga diri. Karena itu klien
harus selalu ditempatkan dalam peranan sentral,
dengan selalu mengikutsertakan klien dalam setiap
tahapan manajemen kasus; dan
27
8) Evaluasi
Pelaksanaan evaluasi sangat penting
dilakukan untuk mengecek efektivitas proses
manajemen kasus, outcome yang dihasilkan. Fokus
dari evaluasi adalah relevansi pelayanan dengan
kebutuhan klien, kemajuan dan kepuasan klien,
integrasi pelayanan, kualitas pelayanan dan
outcome pelayanan. Baik pekerja
sosial/pendamping maupun klien ikut serta dalam
evaluasi.
d. Komponen Manajemen Kasus
Manajemen Kasus dalam pelayanannya memiliki
dua komponen utama (O’Connor 1990) dalam Modul
Pelatihan Manajemen Kasus Pekerja Sosial dan
Pendamping (2018), antara lain sebagai berikut:
1) Komponen Proses
Komponen proses adalah komponen terkait
pada aktivitas langsung penanganan kasus.
Komponen ini merujuk pada proses atau tahapan
manajemen kasus itu sendiri mulai dari kontak awal dan
identifikasi kasus hingga terminasi. Namun, dalam
praktik nya secara langsung, proses yang dilakukan
menyesuaikan dengan kasus yang diterima.
2) Komponen Sistem
Komponen sistem adalah komponen yang
dapat mendukung praktik manajemen kasus itu
sendiri. Seperti hal nya kebijakan, hukum, regulasi,
28
dan/atau standar sebagai landasan digunakannya
pendekatan manajemen kasus; adanya struktur dan
tugas tim manajemen kasus; adanya sumber daya
manusia yang terampil; adanya praktik supervisi;
adanya sumber finansial dan material yang
memadai; adanya keterlibatan anak dan keluarga
hingga adanya manajemen data dan proses
monitoring evaluasi.
Sistem sendiri merupakan suatu model yang
menerangkan hubungan tertentu antara sub-sub
sistem dengan sistem sebagai suatu unit. Jika suatu
sub sistem tidak berjalan, maka sistem tidak akan
bekerja maksimal. Intinya, setiap bagian
berpengaruh pada semua atau sesuatu tidak dapat
ada tanpa keberadaan yang lain. Sistem
memberikan sumbangan pada praktik pekerjaan
sosial mikro dan makro. Pada praktik mikro teori
sistem dipergunakan untuk menggali masalah anak
dengan keluarga. Sedangkan sistem terhadap
praktik pekerjaan sosial makro diperuntukkan
mengetahui pengaruh dari suatu sub sistem terhadap
sub sistem lainnya atau menyebabkan terjadinya
permasalahan sosial, baik dilihat dari aspek
objektif, seperti masyarakat, maupun aspek
subyektif, seperti nilai-nilai budaya, agama, dan
lain sebagainya (Tristanto 2020).
Menurut Toolkit Manajemen Kasus (Panduan
Penggunaan Untuk Memperkuat Layanan
29
Manajemen Kasus di Kesejahteraan Anak, 2014),
pada tingkat sistem, faktor-faktor yang
mempengaruhi manajemen kasus termasuk yang
terkait dengan kerangka kerja hukum dan peraturan
(undang-undang, kebijakan, peraturan, dan
standar), undang-undang, kebijakan, peraturan, dan
standar harus menciptakan dasar hukum bagi negara
untuk melakukan intervensi dengan keluarga dalam
situasi risiko dan mengidentifikasi lembaga atau
lembaga yang bertanggung jawab atas intervensi
tersebut; lembaga-lembaga yang bertanggung
jawab untuk menerapkan dan menegakkan hukum
(sumber daya manusia dan supervisi), sistem ini
juga membutuhkan pengawasan yang tepat.
Pengawas sangat penting dalam membimbing staf
untuk bekerja lebih efektif dengan keluarga,
memantau manajemen kasus dan hasil kasus, dan
menyempurnakan model intervensi agar lebih
efektif; masyarakat dan sumber dayanya, serta
anak-anak dan keluarga itu sendiri, anak-anak dan
keluarga harus dilibatkan dalam memperbaiki
situasi mereka. Praktek kasus kesejahteraan anak
dan perilaku keluarga adalah saling tergantung, dan
keduanya berbagi tanggung jawab untuk
meningkatkan fungsi suatu komunitas. Akhirnya,
tujuan utamanya adalah mendorong fungsi keluarga
yang lebih baik.
30
e. Organisasi Manajemen Kasus
Dalam organisasi manajemen kasus sendiri, memiliki
tiga aktor utama untuk menjalankan pelayanannya kepada
klien (Maryami et al. 2018), antara lain:
1) Case Manager
Case Manager adalah seorang pekerja sosial
profesional yang menjalankan tugasnya untuk
melakukan pelayanan dan penanganan pada manajemen
kasus. Case manager memiliki tugas dan wewenang,
yaitu Mengecek kelayakan dari kasus yang dirujuk
beberapa pihak (Dinas Sosial, Kepolisian, Rumah Sakit,
sekolah, LKSA, LSM, lembaga lainnya, dan
komunitas); Mendistribusikan penanganan kasus
diantara para case worker; Melakukan rujukan ke
lembaga lain dan memastikan agar anak atau keluarga
yang dirujuk mendapatkan pelayanan yang
dibutuhkannya; Memonitor proses penanganan kasus
sejak tahap awal sampai dengan tindak lanjut;
Memprakarsai pembahasan kasus; Memprakarsai
pertemuan koordinatif untuk meningkatkan pemahaman
terhadap masalah anak dan memadukan penggunaan
berbagai sumber; dan Melakukan advokasi terkait
perumusan kebijakan perlindungan anak, identifikasi
sumber dan distribusi sumber.
2) Supervisor
Supervisor adalah pekerja sosial profesional yang
melakukan penilaian, dan pendampingan kepada
pekerja sosial atau pendamping. Pada metode
Manajemen Kasus, supervisor bertugas dan memiliki
wewenang, antara lain:
31
a) Membantu case worker menyelesaikan
permasalahan yang dihadapi anak dan keluarga
serta memastikan keselamatan, permanensi,
kesejahteraan anak terpenuhi, termasuk:
(1) Memberikan pengetahuan, metode dan
keterampilan yang diperlukan dalam
penanganan kasus terkait perlindungan anak;
(2) Melakukan koordinasi dengan case worker dan
pendampingan dalam menangani berbagai
kasus dengan memberikan input terhadap hasil
asesmen, penyusunan rencana intervensi,
proses pelaksanaan intervensi, terminasi dan
sistem rujukan;
(3) Melakukan supervisi kepada setiap case worker
secara individual atau kelompok selama proses
penanganan kasus baik terkait pelaksanaan
praktek, administrasi pekerjaan sosial maupun
persoalan pribadi yang dapat menghambat
penanganan kasus;
(4) Memberikan input serta optimalisasi
penangangan kasus melalui pertemuan
pembahasan kasus bersama seluruh case
worker;
(5) Melakukan pembahasan kasus dengan berbagai
pihak yang mempunyai kewenangan
penanganan kasus termasuk para ahli;
(6) Melakukan koordinasi dan advokasi kepada
lembaga-lembaga terkait dalam kegiatan
manajemen kasus;
32
(7) Memberikan berbagai informasi dan fasilitasi
serta berbagai hal yang dibutuhkan untuk
pengembangan program;
(8) Membuat rekapitulasi kasus yang ditangani
seluruh case worker; dan
(9) Memeriksa, memberikan koreksi dan
persetujuan terhadap rencana dan anggaran
program yang dirancang case worker.
b) Menyelesaikan atau menuntaskan permasalahan
yang dihadapi anak dan keluarga serta memastikan
keselamatan, permanensi dan kesejahteraan anak
terpenuhi.
(1) Membantu penyelesaian penanganan berbagai
kasus yang telah ditugaskan kepada case
worker; dan
(2) Menerapkan pengetahuan, metode dan
keterampilan pekerjaan sosial dalam
melaksanakan proses pertolongan pekerjaaan
sosial.
c) Menyampaikan laporan hasil supervisi kepada case
manager.
d) Melakukan penanganan kasus yang kompleks dan
krisis serta membutuhkan penanganan multi
layanan, bersama-sama dengan case worker.
Kegiatan supervisi yang dilakukan oleh
supervisor bertujuan agar case worker dapat
memberikan pelayanan yang berkualitas kepada seluruh
penerima pelayanan sesuai dengan kebijakan dan
prosedur yang telah ditetapkan. Supervisi dilakukan
33
secara reguler minimal dua seminggu sekali atau sesuai
kebutuhan case worker.
Disamping itu, kegiatan dari supervisi mencakup tiga
fungsi (Kadushin 1976), antara lain:
a) Fungsi administratif, dilakukan dengan membantu
case worker agar memahami tanggung jawab dan
tugasnya; mereview seluruh tugas yang dilakukan
dalam bentuk jurnal, catatan kasus, dan laporan
kasus; serta mendukung dokumentasi proses dan
hasil pelaksanaan tugas;
b) Fungsi edukatif, dibutuhkan untuk meningkatkan
kompetensi case worker, dengan cara: memberikan
umpan balik konstruktif terhadap kinerja case
worker secara teratur; mendiskusikan halhal yang
menghambat pelaksanaan tugas karena keterbatasan
pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai case
worker serta mentransfer pengetahuan dan
keterampilan yang akan meningkatkan kompetensi
case worker; dan
c) Fungsi suportif, dilakukan dengan mendukung case
worker mengatasi masalah atau keterbatasan
termasuk masalah pribadi yang kemungkinan
menghambat pelaksanaan tugasnya sebagai case
worker.
3) Case Worker
Case worker adalah pekerja yang dilatih secara
profesional dalam disiplin pekerjaan sosial, yang
menerapkan teknik-teknik, metode, pengetahuan, dan
keterampilan dari profesinya. Case worker atau
34
pendamping juga memiliki tugas dalam menjalankan
tugasnya, yaitu:
a) Menerima rujukan kasus dari manajer kasus;
b) Menemui lembaga perujuk untuk memahami latar
belakang kasus dan menjelaskan penugasan sebagai
case worker yang mendapat mandat dari Dinas
Sosial;
c) Melakukan penanganan kasus dengan prosedur
yang dimulai dari kontak awal, kontrak, asesmen,
perencanaan intervensi, intervensi sampai dengan
terminasi dan tindak lanjut. Pada pelaksanaannya,
penanganan kasus tidak selalu dilakukan
berdasarkan tahapan tetapi sangat fleksibel sesuai
dengan kebutuhan penanganan kasus;
d) Mengikuti pertemuan supervisi dengan Supervisor.
Supervisi dilakukan sesuai kebutuhan case worker
agar penanganan kasus klien dapat berkualitas;
e) Mengikuti pertemuan reguler untuk evaluasi
pelayanan; dan
f) Mengikuti pertemuan koordinatif dengan pemangku
kepentingan perlindungan anak untuk
mengintensian pemahaman terhadap masalah anak
dan memadukan penggunaan berbagai sumber.
f. Model Manajemen Kasus
Salomon mendefinisikan empat model yang sering
digunakan pada manajemen kasus dalam (Kementerian
Sosial RI 2014) , yakni:
1. Expanded Broker Model
Termasuk dalam model manajemen kasus
tradisional dan merupakan model umum, di mana
35
pekerja sosial yang bertugas pada model ini
bertindak sebagai broker yang menghubungkan
klien dengan agensi atau pelayanan lain pada
komunitas untuk mendapatkan kebutuhan-
kebutuhan klien yang spesifik. Pekerja sosial yang
terlibat bertindak sebagai agen penyedia pelayanan.
Menggunakan elemen tugas berupa penilaian,
perencanaan, pelaksanaan, dan pendampingan.
Efektivitas model ini sangat tergantung pada
keutuhan dan efektivitas dari pelayanan komunitas
yang ada.
2. Rehabilitation Model
Model ini banyak membantu klien untuk
mencapai kesuksesan pada lingkungan yang
dipilihnya daripada memperlihatkan program
komprehensif untuk perbaikan, dimana dilakukan
penilaian fungsional sebagai dasar untuk
melakukan rencana rehabilitasi. Manajer kasus
lebih memfokuskan pada perkembangan
keterampilan sampai klien mampu bekerja pada
suatu jaringan. Model ini bagian dari keseluruhan
rehabilitasi psikiatri.
3. Personal Strength Model
Model ini memiliki dua dasar, yakni
pertama, untuk menjadi orang sukses, maka
seseorang harus dapat menggunakan,
mengembangkan, dan menjalankan potensi diri,
serta mempunyai sumber untuk menjalankannya.
36
Kedua, yaitu perilaku individu tergantung pada
sumber-sumber individu yang tersedia. Manajer
kasus pada model ini bertindak sebagai penasihat
yang akan membantu klien dalam memecahkan
masalah dan mengembangkan sumber daya yang
dimilikinya.
4. Full Support Model
Model ini memiliki fungsi tambahan untuk
menyediakan secara langsung sebagian atau
seluruh jasa pelayanan yang dibutuhkan oleh klien.
Model ini sangat khas karena tergabung dalam tim
multidisiplin yang terdiri dari spesialis berbagai
jasa pelayanan yang berbeda, misalnya bagian
perumahan, perawatan, dan rehabilitasi bertugas
memberikan semua kebutuhannya hingga klien
dapat menyesuaikan diri di dalam komunitas.
Manajer kasus juga berupaya menyediakan fungsi
pelayanan manajemen kasus ditambah dengan
berbagai rehabilitasi dan pelayanan pengobatan.
g. Gambaran Umum Proses Manajemen Kasus
Sesuai dengan Panduan Manajemen Kasus Tahun
2018, proses manajemen kasus terdiri atas proses awal
dan identifikasi kasus, proses asesmen yang mencakup
asesmen awal dan lanjutan, penyusunan rencana
intervensi, pelaksanaan intervensi, review kasus dan
evaluasi dan proses terminasi. Proses ini terkadang
37
tidak selalu berlangsung linear, sesuai dengan
karakteristik kasus yang ditangani.
Bagan 2. 1 Proses Manajemen Kasus
Sumber: Materi Bimbingan Orientasi Peksos SPV PKH
Tahun 2018
1) Proses Awal dan Identifikasi Kasus
Proses awal dan identifikasi kasus merupakan
kesempatan bagi pendamping menumbuhkan
kepercayaan terhadap klien dan melakukan kontrak
layanan secara profesional. Pada proses ini pun
pendamping telah memperoleh informasi awal
mengenai permasalahan klien. Tahapan ini juga
merupakan awal di mana seorang pekerja sosial
mengorientasikan diri pada masalah yang dihadapi
dan mulai menjalin komunikasi dan hubungan
dengan klien untuk menangani masalah.
38
Peksos juga harus menjalin hubungan yang
harmonis dengan klien dan sistem untuk
berkomunikasi dalam menyelesaikan masalah.
Tahapan ini didasarkan pada perolehan berbagai
keterampilan mikro. Baik kata-kata yang
digunakan (komunikasi verbal) maupun tindakan
dan ekspresi (komunikasi non-verbal). Komunikasi
non-verbal meliputi gerak tubuh, ekspresi wajah,
postur, dan nada suara (Barker 1995). Tidak hanya
itu, diperlukan komunikasi interpersonal atau
antarpribadi bagi pekerja sosial dalam tahapan ini.
Yaitu merupakan proses komunikasi yang
berlangsung antara dua orang atau lebih secara
tatap muka dimana pengirim dapat menyampaikan
pesan secara langsung dan penerima pesan dapat
menerima dan menanggapi secara langsung
(Cangara, 1998). Persepsi interpersonal membawa
pengaruh yang besar bagi komunikasi
interpersonal. Adapun faktor-faktor menumbuhkan
interpersonal dalam komunikasi interpersonal
(Rakhmat, 1986): percaya, sikap suportif, sikap
terbuka.
Proses awal ini ditandai dengan:
Bagan 2. 2 Tahap Proses awal dan identifikasi kasus
39
Sumber: Modul Pelatihan Manajemen Kasus Tahun 2018
Kontrak merupakan hal wajib di dalam
manajemen kasus. Pelaksanaan manajemen kasus
tidak dapat dilakukan tanpa adanya kontrak atau
persetujuan anak maupun keluarga. Sekalipun anak
yang tidak memiliki keluarga, kontrak harus tetap
dilakukan yakni kepada wali atau pihak yang
bertanggung jawab atas anak tersebut.
2) Asesmen
Asesmen dapat diartikan sebagai suatu proses
atau produk. Proses berarti pengumpulan informasi,
sedangkan produk berarti hasil asesmen ini akan
menjadi dasar dirumuskannya rencana pemecahan
masalah pada tahap selanjutnya. Pada proses ini
mengikutsertakan tahapan dimulai dari wawancara
atau interview clinical sampai dengan penggunaan
instrument asesmen (Husmiati 2012). Wawancara
atau interview digunakan sebagai metode yang
utama guna mengumpulkan informasi yang
diperlukan, dan digunakan untuk membuat
Menerima rujukan kasus
Melakukan koordinasi
Mempelajari dokumen klien
Melakukan kontak langsung dengan
klien
Mendorong klien menyampaikan
masalahnya
Melakukan wawancara singkat
Membuat analisa/keputusan singkat atau tepat
Rujukan apabila diperlukan
Membahas tujuan layanan dan
kontrak
40
keputusan dalam pelaksanaan intervensi (Haryanto
2009) . Elizabeth Nicholds mengutip dalam (Budhi
Wibawa, 1985), mengemukakan beberapa saran
yang perlu dilakukan oleh case worker atau pekerja
sosial saat melakukan wawancara, antara lain:
a) Pekerja sosial menjaga volume suara agar tetap
bernada rendah. Jika suara peksos bernada
tinggi, maka klien akan merasa tegang, dan
sebaliknya, apabila suara peksos dapat
dikendalikan dan tenang, maka klien akan
merasa nyaman saat diwawancarai.
b) Pekerja sosial tidak boleh memperlihatkan rasa
bosan dan/atau tidak sabar.
c) Akhirilah selalu wawancara dengan membuat
kejelasan mengenai apa yang akan dilakukan
selanjutnya, dan juga mengadakan perjanjian
untuk pertemuan yang akan datang.
Selain itu, pada saat wawancara, case worker
atau pekerja sosial juga dituntut untuk dapat
melakukan keterampilan berupa:
a) Keterampilan memperhatikan
b) Keterampilan membuka percakapan
c) Keterampilan mendengarkan
d) Keterampilan menjawab secara empatis
Bagan 2. 3 Tahap Asesmen
41
Sumber: Modul Pelatihan Manajemen Kasus Tahun 2018
Instrumen Asesmen
Pada tahap asesmen, dapat menggunakan
berbagai tools atau alat asesmen. Adapun tools atau
alat asesmen yang digunakan pada proses asesmen
antara lain:
a) Instrumen Asesmen Awal Anak
Digunakan pada awal asesmen untuk menggali
identitas, pendidikan, informasi tentang
keluarga, situasi anak pada saat ini, aktivitas
sehari-hari, hubungan komunikasi anak dan
keluarga, hingga kondisi kesehatan dan
keterampilan yang dimiliki anak.
b) Instrumen Asesmen Kerentanan Keluarga
Digunakan untuk menggali identitas orangtua
dan kondisi keluarga, perkembangan anak, isu
pengasuhan, isu ekonomi, isu perlindungan,
dan isu pendidikan.
Mengumpulkan informasi
tentang klien
Meminta klien menggambarkan
situasi permasalahan
home visit, sekolah, dan
pihak lain
Menyusun dan mendokumentasi
kan informasi
Menggunakan alat asesmen
Melakukan konferensi
kasus
Melakukan analisa
Meninjau kembali asesmen
42
c) Instrumen Asesmen Bio Psiko Sosial Spiritual
Digunakan pada asesmen lanjutan untuk
memahami kondisi fisik atau biologis,
psikologis, sosial, dan spiritual klien. Hingga
situasi pengasuhan yang meliputi keselamatan,
permanensi, dan kesejahteraan diri klien.
d) Genogram
Untuk mengetahui silsilah hingga anggota
keluarga klien, umumnya sampai derajat ketiga.
e) Eco Map
Untuk mengetahui hubungan klien dengan
keluarga dan orang-orang di sekitar.
f) Geno Map
Merupakan penggabungan antara genogram
dan ecomap.
g) History Map
Untuk mengetahui riwayat klien atau
kronologis kasus yang dialami.
h) Life Road Map
Untuk mengetahui riwayat klien beserta
traumatik yang dialami klien.
i) Mobility Map
Untuk mengetahui rutinitas perpindahan klien
sehari-hari, umumnya digunakan klien dengan
tingkat mobilitas tinggi seperti anak jalanan,
gelandangan, dan sebagainya.
j) Body Map
43
Untuk mengetahui bagian tubuh yang
mengalami kekerasan fisik maupun seksual.
k) Napoleon Hills
Untuk mengetahui cita-cita atau harapan klien
di masa mendatang.
3) Rencana Intervensi
Rencana intervensi merupakan rencana tindak
lanjut dari tahapan asesmen, karenanya rencana
intervensi yang disusun harus berdasarkan pada
asesmen yang telah dilakukan sebelumnya. Pada
proses perencanaan itervensi, dapat dilakukan
melalui:
a) Case Conference (Konferensi Kasus)
Konferensi Kasus berarti melakukan
perencanaan intervensi dengan melibatkan para
profesional.
b) Pertemuan Keluarga
Melakukan perencanaan intervensi dengan
melibatkan keluarga dan para profesional.
c) Konferensi Keluarga
Serupa dengan pertemuan keluarga, akan
tetapi peran keluarga sangatlah dominan pada
proses ini, dibandingkan para peran profesional.
Karena pada kegiatan ini, terdapat private time,
dimana keluarga merumuskan rencana
intervensi tanpa melibatkan para profesional.
44
Tujuan intervensi pun harus dinyatakan jelas
dengan menggunakan SMART dalam merumuskan
tujuan.
Tabel 2. 1 Metode SMART
S Pernyataan tujuan difokuskan pada tujuan yang
jelas.
M Dapat mengukur ketika tujuan telah dicapai.
A Fokus pada perilaku.
R Tujuan harus dicapai.
T Ditetapkan dalam kerangka waktu tertentu, bisa
juga terkait dengan seberapa sering, atau kapan.
Sumber: Modul Pelatihan Manajemen Kasus Tahun 2018
4) Pelaksanaan Intervensi
Pelaksanaan intervensi adalah pelaksanaan dari
perencanaan intervensi yang sudah dirumuskan dan
dilaksanakan selaras dengan hasil asesmen
sebelumnya. Pada proses intervensi dalam
manajemen kasus, pada dasarnya kita hanya
melaksanakan dua kegiatan utama, yaitu:
a) membisakan (enabling)
Artinya, peksos atau pendamping mengatasi
sendiri permasalahan yang dialami oleh klien.
b) memfasilitasi (facilitating)
Artinya, peksos atau pendamping mengatasi
permasalahan yang dialami oleh klien dengan
mengakses atau menghubungkan klien dengan
sistem sumber atau layanan yang dibutuhkan.
45
5) Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi upaya untuk
mengetahui keberhasilan dari pelaksanaan
intervensi. Pada proses ini, peksos atau
pendamping harus melibatkan klien dan keluarga
dengan memberikan penilaian terhadap
keberhasilan dan manfaat pelayanan yang
diterimanya serta pelayanan yang telah diberikan
oleh peksos atau pendamping itu sendiri.
Menurut Pietrzak, Ramler, Ford, Renner, dan
Glibert (1990) di dalam (Adi 2001), evaluasi
sendiri terbagi menjadi tiga model, yaitu:
a) Evaluasi input. Menurut Glibert (1990) dalam
(Adi 2001), evaluasi input ialah evaluasi yang
mampu menentukan komponen pada standar
layanan program, sumber daya program, dan
sumber penunjang yang lain.
b) Evaluasi proses. Adalah evaluasi kepada
berbagai elemen terkait dalam menentukan
pelayanan dan kualitas pemberian pada
pelayanan suatu program. Fokusnya pada
aktivitas program yang melibatkan interaksi
langsung antar klien dan petugas, serta bagian
dari pusat pencapaian target program.
c) Evaluasi hasil. Dilakukan setelah pelaksanaan
suatu program berakhir. Dilakukan untuk fokus
melihat apakah masyarakat atau anggota
46
komunitas mengalami suatu perubahan setelah
menjalankan suatu program.
6) Terminasi
Terminasi adalah proses pengakhiran seluruh
rangkaian proses manajemen kasus. Terminasi pun
diartikan sebagai pemutusan relasi pertolongan
antara peksos atau pendamping dengan klien dan
pihak-pihak yang terlibat dalam seluruh rangkaian
proses manajemen kasus.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan, yakni:
a) Perencanaan terminasi
Dimana peksos atau pendamping
berkonsultasi dengan supervisor untuk
menentukan apakah kasus sudah layak
diterminasi atau tidak. Apabila supervisor
menilai layak untuk dilakukan terminasi, maka
peksos atau pendamping menyampaikan
rencana intervensi kepada klien dan keluarga.
b) Terminasi
Peksos atau pendamping melakukan
pengakhiran layanan yang disaksikan oleh
supervisor, manajer kasus, dan pihak perujuk.
Pelaksanaan terminasi diawali dengan
pembacaan formulir terminasi oleh peksos atau
pendamping, yang dilanjutkan dengan
mendengarkan kesan-kesan klien, dan diakhiri
47
dengan penandatanganan formulir oleh klien,
peksos atau pendamping, dan para saksi.
Terminasi dapat menghasilkan reaksi
emosional pada klien karena relasi yang dekat
telah terjalin antara peksos atau pendamping
dengan klien. Reaksi tersebut dapat bersifat
positif atau negatif. Sebaliknya, klien juga
mungkin merasa tidak puas, tidak senang,
sedih, atau marah ketika merasa ditinggalkan.
Untuk kasus-kasus tertentu, dikenal dengan
istilah terminasi sepihak, yakni terminasi yang
hanya dilakukan oleh peksos atau pendamping
atas persetujuan supervisor yang dilakukan
karena situasi-situasi tertentu seperti klien
meninggal dunia, tidak diketahui
keberadaannya, ataupun menolak didampingi.
Pada situasi ini, peksos atau pendamping harus
membuat surat pernyataan ataupun justifikasi
mengenai alasannya dilakukan terminasi
sepihak. Surat pernyataan atau justifikasi harus
atas persetujuan dan ditandatangani oleh
supervisor.
h. Membangun dan Mengembangkan Sistem Rujukan
Sistem rujukan ialah suatu sistem kerjasama antar
berbagai pihak, baik instansi pemerintah maupun
masyarakat. Sistem ini penting dilakukan untuk
48
mempertahankan keberhasilan penanganan kasus.
Pentingnya sistem rujukan dikarenakan keterbatasan
sumber daya yang dimiliki oleh suatu lembaga layanan
serta kompleksitas permasalahan yang ditangani,
sehingga memerluka dukungan dari lembaga yang lain.
Tidak hanya itu, eksistensi lembaga layanan terjadi
apabila lembaga tersebut memiliki hubungan yang baik
dengan lembaga lain, baik lembaga pemerintah, swasta,
dan/ atau masyarakat.
Langkah membangun sistem rujukan adalah
dengan:
a) Identifikasi lembaga atau pihak pitensial menjadi
oendukung penanganan kasus.
b) Lakukan pemetaan dan analisis lembaga atau pihak
tersebut.
c) Lakukan kontak konsultasi dan koordinasi masing-
masing lembaga atau pihak tersebut.
d) Menginisiasi pertemuan dengan seluruh lembaga
atau pihak tersebut untuk menyamakan persepsi dan
menyusun visi bersama.
e) Membangun komitmen bersama untuk sharing
sumber daya sesuai dengan kewenangan dan
kapasitas yang dimiliki masing-masing lembaga.
Perkuat dengan mendorong adanya MoU, Surat
Keputusan, dan peraturan lainnya.
f) Menghimpun seluruh lembaga atau pihak dalam
suatu wadah seperti tim kerja, dan sebagainya
49
dengan jadwal pertemuan rutin bulanan untuk
membahas kasus.
g) Membuat mekanisme koordinasi antar lembaga
atau pihak yang dilibatkan. Tuangkan dalam bentuk
Standar Operasional Prosedur Penanganan Kasus
yang disepakati bersama.
h) Mulailah bekerja sesuai rencana secara sistematis,
konsisten, dan bertahap.
Disamping itu, pengembangan sistem rujukan
dimaksudkan untuk memperkuat kinerja sistem rujukan
itu sendiri. Langkah-langkah dalam mengembangkan
sistem rujukan antara lain:
a) Tambahkan jumlah lembaga atau pihak potensial
pendukung penanganan kasus.
b) Lakukan penataan sistem rujukan seperti
penyelenggaraan pelatihan bersama, penguatan
administrasi, manajemen, dan kepercayaan di
antara pihak atau lembaga yang dilibatkan.
2. Teori Kognisi-Tingkah Laku
Teori kognisi berpendapat bahwa tingkah laku
dipengaruhi oleh persepsi atau interpretasi terhadap
lingkungan selama proses belajar. Apabila tingkah laku
nya tidak sesuai, maka dapat dipastikam karena tidak benar
dalam mempresepsikan dan menginterpretasi lingkungan.
Karenanya, terapis (pekerja sosial) berupaya untuk
50
memperbaiki kesalahpahaman sehingga tingkah laku nya
menjadi lebih baik (Malcolm 2005).
Teori belajar sosial (Bandura, 1977) membangun ide
tersebut dengan sebuah alasan bahwa biasanya belajar
dilakukan oleh persepsi orang dan memikirkan tentang
pengalaman apa yang dimiliki. Mereka belajar dengan cara
mencontoh orang yang berada di sekelilingnya. Proses ini
akan membantu mempermudah terapi.
Konsep dasar terapi kognisi adalah bahwa kognisi
merupakan kunci untuk memahami dan menangani
gangguan psikologis. Oleh sebab itu, kognisi didefinisikan
sebagai fungsi yang melibatkan tentang pengalaman
seseorang dan tentang terjadinya peristiwa di masa
mendatang dan pengontrolannya. Hal ini karena manusia
dihadapkan pada keharuan untuk beradaptasi dengan
lingkungan yang selalu berubah. Kognisi berperan dalam
mengidentifikasi dan memprediksi berbagai hubungan
kompleks di antara berbagai kejadian untuk tujuan adaptasi
(Jones 2011).
Terapi perilaku didasarkan atas berbagai teori belajar
dan perilaku yang dipelajari, sementara teori kognitif
didasarkan atas keyakinan bahwa kebanyakan gangguan
berasal dari pemrosesan informasi yang salah. Interpretasi
terhadap peristiwa-peristiwa yang tercermin dalam
kandungan pemikiran-pemikiran otomatis individu
merupakan komponen utama bias-bias sistematik lain yang
mencirikan gangguan-gangguan tertentu seperti:
51
a. Panik: diinterpretasikannya tanda-tanda tubuh (gejala
otomatis). Misalnya, meningkatnya denyut jantung
menandakan serangan jantung.
b. Hipokondrosiasis: Menandakan bahwa suatu
keyakinan terhadap penyakit tertentu lebih mungkin
terjadi.
c. Depresi: Pandangan negatif terhadap diri sendiri,
dunia, dan masa depan.
d. Kecemasan: Rasa bahaya secara fisik atau psikologis.
e. Keadaan paranoid: Bersifat bias terhadap orang lain.
f. Krisis: Peristiwa genting yang menimbulkan
keyakinan-keyakinan dasar tentang diri sendiri, yang
menimbulkan persepsi tentang situasi sebagai krisis.
Pada prinsipnya, teori kognitif perilaku adalah
mengidentifikasikan kandungan pemikiran meliputi
asumsi, keyakinan, harapan, pesan kepada diri sendiri, atau
kelengkapan. Melalui berbagai teknik, pemikiran-
pemikiran kemudian dikaji untuk menentukan dampak
akhirnya terhadap emosi dan perilaku klien. Beberapa
model juga meliputi penggalian pengembangan pemikiran
untuk mempromosikan pemahaman diri. Hal ini diikuti
dengan penggunaan teknik-teknik yang mendorong klien
untuk mengadopsi pemikiran alternatif dan yang lebih
dapat menyesuaikan diri (Jones 2011).
52
3. Teori Belajar Sosial
Alber Bandura (1977), salah satu pencetus social
learning theory atau teori belajar sosial, beranggapan
bahwa setiap orang belajar melalui pengalaman langsung
atau pengamatan kemudian mencontoh dan
mempraktikannya. Atau bisa juga melalui apa yang ia baca,
dengar dan lihat, serta dari orang di lingkungan sekitarnya.
Para ahli mengemukakan peran aktivitas kognitif dan
belajar dengan mengamati tingkah laku manusia, dan
melihatnya sebagai orang yang berpengaruh terhadap
lingkungannya, seperti lingkungan berpengaruh terhadap
dirinya. Dapat juga dikatakan, teori belajar sosial adalah
pandangan yang mengedepankan kombinasi tingkah laku,
lingkungan, serta kognisi sebagai faktor utama dalam
perkembangan.
Adapun prinsip-prinsip yang terdapat dalam teori
belajar sosial, antara lain:
a. Faktor-faktor yang saling menentukan
Bandura menyatakan diri manusia pada dasarnya
merupakan sebuah sistem. Sistem ini bermakna
perilaku, berbagai faktor yang terdapat pada diri
seseorang, dan peristiwa yang terjadi di dalam
lingkungannya, secara bersama saling bertindak
sebagai penentu yang satu dengan lainnya. Terdapat
tiga faktor yang menjadi penentu dalam teori ini, yaitu
kepribadian (personal), perilaku (behavior), dan
lingkungan (environment).
53
b. Kemampuan memahami sebuah simbol atau gambar
Bandura menjelaskan, manusia memahami dunia
secara simbolis melalui gambar-gambar kognisi. Selain
itu, perilaku yang terlihat akan diuji cobakan terlebih
dahulu secara simbolis, dalam pikiran, tanpa harus
mengalaminya terlebih dulu. Karena pikiran-pikiran
yang timbul atau gambaran kognitif dari masa lalu
maupun masa depan akan mempengaruhi munculnya
perilaku tertentu.
c. Kemampuan berpikir ke depan
Kemampuan berpikir selain untuk mengingat hal
yang sudah pernah dialami, juga dapat dimanfaatkan
untuk berpikir ke depan. Manusia dapat bereaksi
terhadap orang lain, selain itu dapat menentukan
tujuan, dan merencanakan sesuatu yang ditentukan
untuk mencapai tujuannya. Hal ini yang biasanya
mengawali tindakan dan membuat manusia berpikir ke
depan.
d. Kemampuan seolah-olah mengalami apa yang dialami
oleh orang lain
Manusia pada dasarnya mampu belajar dengan
cara memperhatikan perilaku orang lain dan melihat
bagaimana konsekuensi yang diterimanya.
e. Kemampuan mengatur diri sendiri
Pada umumnya, orang memiliki kemampuan
untuk mengendalikan perilakunya sendiri, sehingga ia
54
tetap memiliki tanggung jawab pada setiap tingkah
lakunya.
f. Kemampuan berefleksi
Prinsip ini menjelaskan bahwa kebanyakan
orang-orang melakukan refleksi sebagai upaya
perenungan untuk memikirkan kemampuan dirinya,
dengan menilai ide-ide yang terdapat di dalam
pikirannya. Yang paling penting pada prinsip ini
adalah, mengukur kemampuan diri sendiri untuk
melakukan tugas dan tanggung jawab.
4. Perlindungan Sosial
a. Pengertian Perlindungan Sosial
Perlindungan sosial merupakan sebuah aspek
yang tidak terpisahkan dalam proses pembangunan
serta pengentasan kemiskinan dan pengurangan
kesenjangan dalam sebuah negara. Cita-cita bangsa
Indonesia akan sistem perlindungan sosial telah
diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD)
1945 sebagai landasan konstitusi negara. Pembukaan
UUD 1945 mengamanatkan bahwa pemerintah harus
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah,
memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan
kehidupan bangsa. Pasal 34 UUD 1945 juga
mengamanatkan bahwa fakir miskin dan anak telantar
dipelihara oleh negara dan negara wajib
mengembangkan sistem perlindungan dan jaminan
55
sosial yang bersifat nasional (Supriyanto, Ramdhani,
and Rahmadan 2014).
Perlindungan sosial dapat didefinisikan sebagai
segala inisiatif, baik yang dilakukan oleh pemerintah,
sektor swasta maupun masyarakat yang bertujuan
untuk menyediakan transfer pendapatan atau konsumsi
pada orang yang kurang dan/atau tidak mampu,
melindungi kelompok rentan terhadap risiko-risiko
penghidupan (livelihood) dan meningkatkan status dan
hak sosial kelompok-kelompok yang terpinggirkan di
dalam suatu masyarakat. Perlindungan sosial
merupakan elemen penting strategi kebijakan publik
dalam memerangi kemiskinan dan mengurangi
penderitaan multidimensi yang dialami kelompok-
kelompok lemah dan kurang beruntung (Suharto 2011).
(Guhan 1994) melihat bahwa perlindungan sosial
mempunyai komponen yang lebih luas, diantaranya
mencakup komponen perlindungan, pencegahan, serta
promosi. Komponen perlindungan terdiri dari berbagai
kebijakan yang bertujuan memastikan tingkat
kesejahteraan minimal untuk masyarakat yang
kesusahan. Komponen pencegahan berisikan berbagai
kebijakan yang bertujuan mencegah masyarakat yang
tergolong rentan untuk jatuh dibawah standar
kesejahteraan yang ditentukan. Komponen promosi
mencakup kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk
56
mengurangi kerentanan setiap individu di masa
mendatang.
Menurut Department for International
Development (DFID 2005), terdapat setidaknya jalan
untuk mewujudkan konsep pendekatan perlindungan
sosial yang seimbang. Pertama, melalui peningkatan
keamanan dengan membantu rumah tangga dan
komunitas untuk meningkatkan kesinambungan
penghidupannya dalam menghadapi guncangan
ekonomi, politik, lingkungan, kesehatan, serta bentuk
guncangan lainnya. Kedua, melalui peningkatan
kesetaraan dengan memperbaiki tingkat penghidupan
untuk menjamin keterpenuhan hak-hak dasar seluruh
penduduk serta dengan meningkatkan konsumsi
masyarakat miskin. Ketiga, melalui peningkatan
pertumbuhan dengan menjamin akses setiap rumah
tangga untuk menghasilkan tenaga kerja yang
produktif, membangun nilai-nilai solidaritas sosial,
serta menyediakan lingkungan yang menjamin
kemudahan individu dalam beradaptasi. Disamping itu,
(Scott 2012) tipe program perlindungan sosial yang
paling umum mencakup bantuan sosial, jaminan sosial,
intervensi pasar tenaga kerja, dan program berbasiskan
komunitas. (Van Ginneken 1999) serta (Ferreira and
Robalino 2010) mengklasifikasikan program
perlindungan sosial menjadi dua kelompok, yaitu
bantuan sosial dan program jaminan sosial.
57
Dapat disimpulkan berdasarkan hal di atas,
perlindungan sosial adalah suatu kebijakan yang telah
diatur oleh Undang-Undang, yang dirumuskan ke
dalam bentuk program-program dalam melindungi
warga negara. Perlindungan sosial juga ditujukan untuk
menuruni angka kemiskinan di suatu negara serta
masalah kerentanan melalui upaya perbaikan dan
peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM).
b. Langkah-langkah Pengembangan Perlindungan
Sosial
1) Mekanisme Penargetan Penerima Program
Perlindungan Sosial
Penentuan penerima merupakan salah satu
bagian yang sangat penting dalam program
perlindungan sosial sehingga memerlukan sebuah
mekanisme yang mampu meminimalkan
permasalahan. Sebelum melakukan penetapan
sampai level terkecil dari target suatu program
perlindungan sosial, diperlukan pengumpulan data
yang dapat menggambarkan sasaran penerima
program.
Data kemiskinan yang ada saat ini terbagi
menjadi dua kelompok yaitu data kemiskinan
makro dan data kemiskinan mikro. Data
kemiskinan makro di Indonesia tersedia sejak tahun
1976 dengan pelaksaan Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas). Badan Pusat Statistik sebagai
58
penanggung jawab pengumpulan data
menggunakan konsep kemampuan memenuhi
kebutuhan dasar (basic needs approach). Konsep
yang juga digunakan oleh beberapa negara lain
adalah pendekatan pengukuran kemiskinan absolut
yang ditentukan dari sumber daya minimum yang
diperlukan untuk kesejahteraan fisik, biasanya
dalam konsumsi. Kemiskinan dipandang sebagai
ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-
makanan (diukur dari sisi pengeluaran).
Pemanfaatan data kemiskinan makro dimanfaatkan
sebagai untuk indikator kinerja dan sebagai target
geografis, tidak dalam lingkup operasional atau
penargetan langsung untuk pelaksanaan program
bantuan langsung kepada rumah tangga.
Disamping itu, data kemiskinan mikro
dilakukan untuk keperluan penargetan program
perlindungan sosial dan penanggulangan
kemiskinan secara spesifik berdasarkan nama dan
alamat. Sumber data kemiskinan mikro sudah
tersedia sejak tahun 2005 melalui Pendataan Sosial
Ekonomi (PSE), yang kemudian disempurnakan
dalam Pendataan Program Perlindungan Sosial
(PPLS) tahun 2008 dan 2011. Data PSE dan PPLS
memuat informasi rumah tangga sasaran by name
by address dan digunakan dalam proses penargetan
59
sasaran untuk program perlindungan sosial (BLT,
PKH, Raskin, Jamkesmas, dan BSM).
2) Pendekatan Siklus Hidup dalam Program
Perlindungan Sosial
Kebijakan perlindungan sosial difokuskan
kepada pencegahan dan pengurangan risiko dan
kerentanan yang dihadapi oleh individu, rumah
tangga, serta komunitas. Adanya risiko dan
kerentanan merupakan hal yang pasti dalam setiap
fase hidup, serta memiliki karakteristik yang
berbeda-beda pada setiap fase hidup yang dilalui.
Berdasarkan hal tersebut, pendekatan siklus hidup
dapat menjadi sebuah cara untuk mengidentifikasi
tantangan dan kerentanan secara sistematis dari
setiap tahapan hidup bagi penduduk yang rentan.
Setiap fase hidup dari seorang penduduk dapat
memiliki bentuk risiko dan kerentannnya sendiri.
Sebagai gambaran, bayi dan balita (0 s.d. 5
tahun) dapat menghadapi risiko dan kerentanan
berupa kekurangan nutrisi dan masalah
pertumbuhan, kehilangan orang tua atau
ketelantaran, serta kesulitan akses untuk imunisasi.
Anak usia sekolah (6 s.d. 18 tahun) dapat
menghadapi risiko dan kerentanan berupa kesulitan
akses untuk bersekolah, putus sekolah, kehilangan
orang tua atau ketelantaran, dipekerjakan dibawah
umur, terinfeksi penyakit, hingga terlibat
60
pernikahan atau kehamilan dini. Penduduk usia
praproduktif (19 s.d. 24 tahun) dan usia produktif
(25 s.d. 60 tahun) dapat menghadapi risiko dan
kerentanan berupa kehilangan pendapatan,
terinfeksi penyakit, mengalami kecelakaan kerja,
mengalami diskriminasi, kehilangan anggota
keluarga, serta risiko dan kerentanan lainnya.
Penduduk berusia lanjut (60 tahun keatas) dapat
menghadapi risiko dan kerentanan berupa
ketiadaan penghasilan, memburuknya kondisi
kesehatan, hingga diskriminasi. Perencanaan
kebijakan perlindungan sosial di masa mendatang
diharapkan dapat lebih memanfaatkan pendekatan
siklus hidup.
Pendekatan siklus hidup terhadap kebijakan
perlindungan sosial dilakukan untuk mengetahui
dan memahami kerentanan dan kebutuhan individu
pada setiap tahapan hidupnya. Hal tersebut
bertujuan untuk memastikan bahwa seluruh
penduduk yang tergolong miskin dan rentan dapat
melewati seluruh fase hidupnya dengan baik.
Terdapat beberapa langkah yang dapat
dilakukan dalam penerapan pendekatan siklus
hidup dalam kebijakan perlindungan sosial di
Indonesia. Pertama, identifikasi risiko sosial utama
yang dihadapi oleh penduduk Indonesia dan
estimasi jumlah populasi yang menghadapi risiko
61
dan kerentanan. Kedua, analisis efektivitas
kebijakan-kebijakan perlindungan sosial yang telah
dilaksanakan untuk menanggulangi risiko dan
kerentanan tersebut. Ketiga, identifikasi praktik
terbaik untuk memperbaiki cakupan dan efektivitas
dari kebijakan perlindungan sosial untuk memenuhi
kebutuhan dari populasi yang menghadapi risiko
dan kerentanan. Penerapan pendekatan siklus hidup
terhadap kebijakan perlindungan sosial ini
diharapkan dapat meningkatkan efektifitas dan
keberhasilan dari program perlindungan sosial
(Supriyanto, Ramdhani, and Rahmadan 2014).
3) Pengembangan Sistem Rujukan dan Layanan
Terpadu
Penanganan permasalahan sosial ke depan
tidak hanya terfokus pada substansi kemiskinan,
tetapi juga harus bergeser pada upaya
pembangunan ketahanan keluarga dan
penghidupan yang berkelanjutan. Kondisi yang ada
saat ini menunjukkan bahwa penyelenggaraan dan
pelayanan sosial program perlindungan sosial
dalam rangka penanggulangan permasalahan
kemiskinan yang telah dilakukan masih berbentuk
pelayanan sosial yang bersifat sektoral, dengan
jangkauan yang masih terbatas dan hanya merespon
permasalahan aktual secara reaktif. Fokus
pelayanan yang ada saat ini masih berbasis institusi,
62
dan belum ada rencana strategis nasional untuk
mewujudkan keterpaduan pelayanan. Selain itu,
salah satu kendala utama dalam pelaksanaan
program adalah ketidakakuratan data penerima
program dan pelayanan program yang
terfragmentasi, sehingga menyebabkan dampak
pelaksanaan program perlindungan sosial belum
optimal.
Tantangan yang muncul kemudian, baik
pemerintah pusat maupun daerah harus lebih
mengenali dan memahami permasalahan sosial di
daerahnya sekaligus mampu memberikan solusi
layanan yang dibutuhkan oleh masyarakat, secara
tepat, cepat, efektif dan efisien serta terintegrasi.
Untuk itu, diperlukan sebuah sistem rujukan dan
layanan terpadu guna mengatasi permasalahan-
permasalahan tersebut. Sistem ini diharapkan akan
memiliki 3 (tiga) fungsi utama, yaitu pemutakhiran
dan pengelolaan data, rujukan program sosial, dan
penanganan keluhan program perlindungan sosial.
Sistem Rujukan dan Layanan Terpadu
(SRLT) akan mengembangkan jaringan hingga
unit-unit pelayanan di tingkat kecamatan atau
desa/kelurahan sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan daerah. Untuk itu, diperlukan sistem
terpadu untuk mengatasi beberapa masalah yang
disebutkan di atas. Konsep sistem yang coba
63
dikembangkan mencakup koordinasi antarinstansi
dan antarprogram. Perbaruan basis data kemiskinan
dengan cara yang lebih teratur serta pemberian alat
bagi pemerintah daerah diharapkan dapat
meningkatkan koordinasi program di tingkat lokal
dan mewujudkan program yang lebih responsif dan
relevan dengan kebutuhan dan keinginan daerah.
SRLT ini memberikan ruang bagi pekerja sosial
atau fasilitator dalam pelaksanaan pelayanan serta
rujukan bagi penduduk miskin dan rentan yang
belum memperoleh bantuan program di tingkat
nasional dan lokal. SRLT juga akan menjadi
penghubung bagi masyarakat untuk menyampaikan
keluhan dan pengaduan terhadap program yang
dilaksanakan oleh pemerintah. Keluarga tersebut
juga akan dilacak dan dimonitor untuk memastikan
bahwa mereka menerima respons yang tepat. Selain
itu, SRLT memiliki kapasitas untuk
menginformasikan pelaksana program baik di
tingkat nasional maupun daerah tentang kebutuhan
anggaran dan program-program prioritas untuk
mengatasi kesenjangan yang terjadi pada penduduk
miskin dan rentan, termasuk wanita dan anak
telantar, penyandang disabilitas, lanjut usia miskin
tanpa bantuan sosial, dan penyandang masalah
kesejahteraan sosial lainnya.
64
4) Reformasi Utama yang Dibutuhkan untuk
Mewujudkan Sistem Rujukan dan Layanan
Terpadu
Untuk mencapai pelaksanaan program
perlindungan sosial yang lebih baik, perbaikan
perlu dilakukan dalam sisi pengolahan data,
penguatan pekerja sosial, dan optimalisasi sumber
pendanaan. Elemen-elemen tersebut perlu
disinergikan untuk mencapai pelaksanaan
perlindungan sosial yang optimal, antara lain:
a) Standarisasi pengumpulan dan pengelolaan
data
Basis data terpadu yang ada saat ini
disusun berdasarkan PPLS 2011 serta menjadi
basis data dalam perencanaan program untuk
mengidentifikasi calon peserta program, baik
ditingkat rumah tangga, keluarga, maupun
individu berdasarkan pada kriteria sosial-
ekonomi yang ditetapkan oleh pelaksana
program. Pembangunan BDT merupakan suatu
rangkaian proses yang dimulai dengan (1)
tahapan persiapan pemrosesan data; (2) tahapan
pendataan dan pengambilan data; dan (3)
tahapan final daftar rumah tangga yang menjadi
calon penerima program bantuan sosial. Ketiga
tahapan tersebut merupakan suatu rangkaian
65
yang saling terkait baik dari sisi metodologi
maupun pendekatan.
BDT dirancang sebagai dasar integrasi
dan sinkronisasi program untuk meningkatkan
efektifitas penetapan sasaran yang akurat,
terintegrasi, tersinkronisasi, dan ketercakupan
yang luas antar program perlindungan sosial.
Penerapan sistem penetapan sasaran melalui
BDT diharapkan mencapai 4 (empat) tujuan
utama. Pertama, BDT dapat membantu
pencapaian tingkat efektifitas penetapan
sasaran yang tinggi sehingga mendukung
pencapaian target dan tujuan penanggulangan
kemiskinan dari masing-masing program.
Kedua, BDT dapat menciptakan adanya
sinkronisasi antarprogram agar rumah tangga
miskin mendapat semua program perlindungan
sosial yang seharusnya mereka terima. Ketiga,
BDT dapat mengakomodasi tujuan dan
kebutuhan dari masing-masing program
perlindungan sosial, karena data yang
dikumpulkan sudah mencakup sejumlah
informasi dasar yang diperlukan untuk
implementasi program perlindungan sosial.
Terakhir, BDT dapat digunakan untuk seluruh
program penanggulangan kemiskinan/
perlindungan sosial, baik di tingkat nasional
66
maupun daerah. BDT diharapkan dapat
membantu mengidentifikasi keberadaan
penduduk miskin dan rentan sesuai dengan
karakteristik dan kondisi kemiskinan masing-
masing daerah.
Bagan 2. 4 Skema Pemanfaatan Pusat Layanan dan Rujukan Terpadu
dan Basis Data Terpadu
Sumber: Google
b) Penguatan Pekerja Sosial sebagai Garda
Terdepan dalam Transformasi Program
Perlindungan Sosial
Menurut Undang-Undang Nomor 11
tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial,
terdapat empat sumber daya manusia yang
bekerja di bidang kesejahteraan sosial, yaitu
Tenaga Kesejahteraan Sosial, Pekerja Sosial
67
Profesional, Relawan Sosial, dan Penyuluh
Sosial. Pekerja sosial memiliki kontribusi
terhadap keberhasilan programprogram
pelayanan sosial karena mereka berhadapan
langsung dengan para penyandang masalah
kesejahteraan sosial. Salah satu sumber daya
yang dapat diberdayakan adalah Tenaga
Kesejahteraan Sosial, yakni seseorang yang
dididik dan dilatih secara profesional untuk
melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan
penanganan masalah sosial dan/atau seseorang
yang bekerja, baik di lembaga pemerintah
maupun swasta yang ruang lingkup kegiatannya
di bidang kesejahteraan sosial yang bersifat
professional. Mereka mempunyai kompetensi
dan profesi pekerjaan sosial yang diperoleh
melalui pendidikan, pelatihan dan/atau
pengalaman praktek pekerjaan sosial untuk
melaksanakan tugas-tugas pelayanan dan
penanganan masalah sosial. Mereka diberi
tugas, fungsi dan kewenangan oleh
Kementerian Sosial dan/atau dinas/instansi
sosial provinsi, dan/atau dinas/instansi sosial
kabupaten/kota selama jangka waktu tertentu
untuk melaksanakan dan/atau membantu
penyelenggaraan kesejahteraan sosial sesuai
dengan wilayah penugasan di kecamatan
68
(Permensos RI Nomor 24 Tahun 2013 tentang
Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan)
sehingga mereka dapat disebut dengan TKSK.
TKSK direkrut dari unsur Karang Taruna dan
PSM yang pembinaannya dilakukan oleh
Kementerian Sosial selama 3 tahun dan akan
diserahkan pada pemerintah daerah
kabupaten/kota untuk memperoleh pembinaan
lanjutan.
c) Optimalisasi Sumber Pendanaan Program
Perlindungan Sosial
Secara umum pendanaan pembangunan
di Indonesia terdiri dari dua sumber, yaitu
melalui pemerintah yang dianggarkan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dan Daerah (APBD) dan pendanaan
dari swasta. Berdasarkan data Nota Keuangan
Negara, APBN Indonesia setiap tahunnya terus
mengalami peningkatan pendapatan. Sumber
terbesar pendapatan negara berasal dari
penerimaan pajak baik yang berasal dari dalam
negeri maupun pajak perdagangan
internasional. Jumlah penerimaan pajak setiap
tahunnya semakin mengalami peningkatan.
Dalam rentang waktu tahun 2008-2013, sektor
tersebut mengalami pertumbuhan sekitar 42
persen. Grafik di bawah ini menunjukkan
69
kerangka pendanaan pembangunan di
Indonesia.
Bagan 2. 5 Sumber Pendanaan Pembangunan
Nasional
Sumber: Google
Sejauh ini, pendanaan program
perlindungan sosial di Indonesia masih sangat
bergantung kepada sumber pendanaan
pemerintah, baik APBN maupun APBD.
Pemerintah perlu mensinergikan pendanaan
alternatif secara intensif agar potensi tersebut
diarahkan kepada program perlindungan sosial.
Di samping itu, penggunaan basis data yang
seragam juga turut membantu mempercepat
penurunan angka kemiskinan agar penyaluran
bantuan tidak saling tumpang tindih. Oleh
sebab itu, pendanaan alternatif sangat
diperlukan sebagai upaya untuk memperkuat
struktur pendanaan yang sudah ada
(Supriyanto, Ramdhani, and Rahmadan 2014).
70
5. Jaminan Sosial
a. Pengertian Jaminan Sosial
Pasal 28 H ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan Pasal
34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 telah menentukan
mengenai hak jaminan sosial bagi seluruh rakyat.
Selain itu, jaminan sosial dijamin pula dalam Deklarasi
Perserikatan BangsaBangsa tantang Hak Asasi
Manusia Tahun 1948. Hal ini diperkuat juga dalam
Konvensi ILO Nomor 102 Tahun 1952 yang
menganjurkan semua negara untuk memberikan
perlindungan minimum kepada setiap tenaga kerja.
Dalam rangka melaksanakan amanat tersebut, Majelis
Permusyawaratan Rakyat Menetapkan dengan TAP
MPR Nomor X/MPR/ 2001 telah menugaskan kepada
Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial
Nasional dalam rangka memberikan perlindungan
sosial yang menyeluruh dan terpadu.
Sistem Jaminan Sosial Nasional merupakan
sistem perlindungan sosial bagi seluruh rakyat.
Perlindungan sosial memiliki peran strategis untuk
menghadapi kerentanan (vulnerability) yang
disebabkan oleh risiko alam ataupun risiko ekonomi.
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia merupakan
salah satu wilayah rawan bencana dan dampak bencana
yang terjadi mengakibatkan diharuskannya merelokasi
anggaran untuk membangun kembali infrastruktur
yang rusak. Bencana juga telah mengakibatkan banyak
71
keluarga kehilangan harta benda dan jiwa, sehingga hal
ini cukup menyulitkan dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan rakyat (Zaelani 2012).
b. Prinsip Jaminan Sosial
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN),
dibentuk dalam rangka memberikan jaminan kepada
seluruh rakyat, dan merupakan perangkat hukum untuk
mengimplementasikan amanat Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam
penyelenggarakan jaminan sosial berdasarkan prinsip-
prinsip (Zaelani 2012), antara lain:
1) Prinsip kegotongroyongan. Prinsip ini
diwujudkan dalam mekanisme gotong royong dari
peserta yang mampu kepada peserta yang kurang
mampu dalam bentuk kepesertaan wajib bagi
seluruh rakyat. Peserta yang berisiko rendah
membantu peserta yang berisiko tinggi dan peserta
yang sehat membantu peserta yang sakit. Melalui
prinsip kegotong-royongan ini jaminan sosial dapat
menumbuhkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.
2) Prinsip nirlaba. Pengelolaan dan amanat tidak
dimaksudkan mencari laba (nirlaba) bagi Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial akan tetapi tujuan
utama penyelenggaraan jaminan sosial adalah
untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan
peserta. Dana amanat, hasil pengembangannya, dan
72
surplus anggaran akan dimanfaatkan sebesar-
besarnya untuk kepentingan peserta.
3) Prinsip keterbukaan, kehati-hatian,
akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas. Prinsip-
prinsip menajemen ini diterapkan dan mendasari
seluruh kegiatan pengelolaan dan yang berasal dari
iuran peserta dan hasil pengembangannya.
4) Prinsip portabilitas. Jaminan sosial dimaksudkan
untuk memberikan jaminan yang berkelanjutan
meskipun peserta berpindah pekerjaan atau tempat
tinggal dalam wilayah negara Kesatuan Republik
Indonesia.
5) Prinsip Kepesertaan bersifat wajib. Kepesertaan
wajib dimaksudkan agar seluruh rakyat menjadi
peserta sehingga dapat terlindungi. Meskipun
kepesertaan bersifat wajib bagi seluruh rakyat,
penerapannya tetap disesuaikan dengan
kemampuan ekonomi rakyat dan Pemerintah serta
kelayakan penyelenggaraan program. Tahapan
pertama dimulai dari pekerja di sektor formal,
bersamaan dengan itu sektor informal dapat
menjadi peserta secara mandiria sehingga pada
akhirnya Sistem Jaminan Sosial Nasional dapat
mencakup seluruh rakyat.
6) Prinsip dana amanat. Dana yang terkumpul dari
iuran peserta merupakan titipan kepada badan-
badan untuk dikelola sebaikbaiknya dalam rangka
73
mengoptimalkan dana tersebut untuk kesejahteraan
peserta.
B. Kerangka Berpikir
Manajemen kasus merupakan sebuah layanan yang
dilakukan oleh pekerja sosial profesional, dan pelayanan yang
diberikan tidak hanya berfokus pada klien, tetapi juga
melakukan koordinasi dengan pihak lain yang dibutuhkan di
dalam permasalahan yang berkaitan dengan klien.
Manajemen kasus sendiri pada dasarnya adalah proses
pelayanan yang diperuntukkan untuk memenuhi kebutuhan
yang tidak dapat dijangkau oleh klien. Oleh karena itu, dengan
adanya pelayanan ini, pekerja sosial melakukan upaya dan
menjalankan setiap tahapan sehingga nantinya akan diketahui
hal-hal yang dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan
klien. Selain proses dalam pelayanan manajemen kasus, hal
lain yang tidak kalah penting adalah adanya sistem yang
dibangun sebagai landasan dalam menjalankan pelayanan ini.
Nantinya, dari proses yang telah dijalankan, akan dilihat juga
bagaimana kasus yang ditemukan dapat diselesaikan dengan
menggunakan model-model manajemen kasus sesuai dengan
kebutuhannya.
Dari pelayanan manajemen kasus yang dilakukan oleh
supervisor bersama dengan pendamping, bertujuan untuk
membuat klien dalam hal ini adalah KPM, mampu
menyelesaikan permasalahannya, dan membuat KPM mandiri,
sehingga di waktu yang akan datang tidak bergantung pada
74
pemberian bantuan, baik PKH itu sendiri maupun bantuan
yang diberikan melalui proses manajemen kasus.
Bagan 2. 6 Kerangka Berpikir Penelitian
Sistem Proses
Manajemen Kasus
- Kontak Awal dan
Identifikasi Kasus
- Asesmen
- Perencanaan
Intervensi
- Pelaksanaan
Intervensi
- Monitoring dan
Evaluasi
- Terminasi
- Dasar Hukum dan
Standar Pelayanan
- SDM dan Supervisi
- KPM
75
BAB III
Profil Jakarta Timur Dan Manajemen Kasus pada Program
Keluarga Harapan
A. Kondisi Objektif Wilayah Jakarta Timur
Gambar 3. 1 Peta Administrasi Kota Jakarta Timur
sumber: Google
1. Letak Geografis Jakarta Timur
Sesuai dengan data Badan Pusat Statistik (BPS)
dalam Buku Kota Jakarta Timur Dalam Angka 2020, Kota
Jakarta Timur merupakan bagian wilayah Provinsi DKI
Jakarta yang terletak antara 106049’35” Bujur Timur dan
06010’37” Lintang Selatan, memiliki luas wilayah 188,03
Km2. Luas wilayah itu merupakan 28,39 persen wilayah
Provinsi DKI Jakarta yang sebesar 662,33 Km2, terdiri atas
10 kecamatan dan 65 kelurahan. Penduduk yang menghuni
wilayah ini sekitar 2.937.859 jiwa.
76
Pemerintahan Kota Administrasi Jakarta Timur
dibagi ke dalam 10 Kecamatan, yaitu Kecamatan Pasar
Rebo (12,975 Km2), Ciracas (16,0803 Km2), Cipayung
(28,4479 Km2), Makasar (21,8531 Km2), Kramatjati
(13,0006 Km2), Jatinegara (10,2524 Km2), Duren Sawit
(22,6535 Km2), Cakung (42,278 Km2), Pulogadung
(15,6071 Km2) dan Matraman (4,8836 Km2) (Jakarta
2018).
Wilayah Kota Jakarta Timur memiliki perbatasan
sebelah utara dengan Kota Jakarta Utara dan Jakarta Pusat,
sebelah timur dengan Kabupaten Bekasi (Provinsi Jawa
Barat), sebelah selatan Kabupaten Bogor (Provinsi Jawa
Barat), dan sebelah barat dengan Kota Jakarta Selatan.
2. Demografis Jakarta Timur
Tercatat hingga akhir tahun 2018, jumlah penduduk
di Provinsi DKI Jakarta yang teregistrasi di Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil sebanyak 10.344.018
jiwa dengan jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki
sebanyak 5.230.298 jiwa dan jumlah penduduk berjenis
kelamin perempuan sebanyak 5.113.720 jiwa yang
seluruhnya berstatus sebagai Warga Negara Indonesia
(WNI).
Dari enam wilayah kabupaten/kota di provinsi DKI
Jakarta, Jakarta Timur mempunyai jumlah penduduk WNI
tertinggi dari tahun 2016 - 2018. Pada tahun 2018, jumlah
penduduk WNI di Jakarta Timur sebanyak 2.946.594 jiwa.
77
Jumlah ini naik sebesar 0,78% atau sebanyak 23.092 jiwa
dari tahun 2016–2018.
Jakarta Timur merupakan kota dengan jumlah
penduduk wajib KTP tertinggi bila dibandingkan dengan
kabupaten/kota lainnya yakni sebesar 2.168.897 jiwa,
dengan jumlah laki-laki sebesar 1.088.490 jiwa dan
perempuan sebesar 1.080.407 jiwa.
B. Program Keluarga Harapan (PKH)
1. Latar Belakang dan Pengertian PKH
Dalam rangka percepatan penanggulangan
kemiskinan sekaligus pengembangan kebijakan di bidang
perlindungan sosial, sejak tahun 2007 Pemerintah
Indonesia telah melaksanakan Program Bantuan Tunai
Bersyarat (BTB) yang saat ini dikenal dengan nama
Program Keluarga Harapan (PKH). Program BTB ini telah
dilaksanakan di beberapa negara yang dikenal dengan
Conditional Cash Transfers (CCT) dan cukup berhasil
dalam penanggulangan kemiskinan. PKH berbeda atau
bukan lanjutan dari program Bantuan Langsung Tunai
(BLT). PKH lebih dimaksudkan sebagai upaya
membangun sistem perlindungan sosial kepada masyarakat
miskin dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan
kesejahteraan sosial penduduk kurang mampu sekaligus
upaya memangkas rantai kemiskinan yang terjadi selama
78
ini (Pedoman Umum Program Keluarga Harapan (PKH)
2011).
PKH merupakan program bantuan dan perlindungan
sosial yang termasuk dalam kluster pertama. Program ini
merupakan bantuan tunai bersyarat yang berkaitan dengan
persyaratan pendidikan dan kesehatan. Setidaknya ada lima
komponen MDGs (Millenium Development Goals) yang
didukung melalui PKH, yaitu pengurangan penduduk
miskin ekstrem dan kelaparan, pencapaian pendidikan
dasar, kesetaraan gender, pengurangan angka kematian
bayi dan balita, dan pengurangan kematian ibu melahirkan.
Dengan PKH diharapkan Keluarga Penerima Manfaat
(KPM) memiliki akses yang lebih baik untuk
memanfaatkan pelayanan sosial dasar, yaitu: kesehatan,
pendidikan, pangan dan gizi termasuk menghilangkan
kesenjangan sosial, ketidakberdayaan dan keterasingan
sosial yang selama ini melekat pada diri warga yang kurang
atau sangat tidak mampu. PKH akan memberi manfaat
jangka pendek dan panjang. Untuk jangka pendek, PKH
akan memberikan income effect kepada KPM melalui
pengurangan beban pengeluaran rumah tangga. Untuk
jangka panjang, memutus rantai kemiskinan antar generasi
melalui peningkatan kualitas kesehatan atau nutrisi,
pendidikan dan kapasitas pendapatan anak di masa depan
(price effect anak dari keluarga kurang mampu); serta
memberikan kepastian kepada anak akan masa depannya
79
(insurance effect) (Pedoman Umum Program Keluarga
Harapan (PKH) 2011).
Dari sisi kebijakan sosial, PKH merupakan cikal
bakal pengembangan sistem perlindungan sosial,
khususnya bagi keluarga kurang atau tidak mampu. PKH
yang mewajibkan KPM memeriksakan kesehatan ibu
hamil dan memberikan imunisasi serta pemantauan
tumbuh kembang anak, termasuk menyekolahkan anaknya,
akan membawa perilaku KPM untuk melihat pentingnya
kesehatan dan pendidikan. Perubahan perilaku juga
diharapkan berdampak pada berkurangnya anak usia
sekolah. Disamping itu, hal ini menjadi tantangan utama
bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk
meningkatkan pelayanan pendidikan dan kesehatan bagi
keluarga kurang mampu dimanapun mereka berada
(Pedoman Umum Program Keluarga Harapan (PKH)
2011).
Pada akhirnya, implikasi positif dari pelaksanaan
PKH harus mampu dibuktikan secara empiris, sehingga
pengembangan PKH memiliki bukti nyata yang dapat
dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, pelaksanaan
program ini juga diikuti dengan monitoring dan evaluasi
yang optimal (Pedoman Umum Program Keluarga
Harapan (PKH) 2011).
80
2. Tujuan PKH
Di dalam Pedoman Umum Program Keluarga Harapan
(2011), tujuan umum PKH sendiri untuk mengurangi
angka dan memutus rantai kemiskinan, mengingkatkan
kualitas SDM, serta merubah perilaku KPM yang relative
kurang mendukung peningkatan kesejahteraan. Tujuan
tersebut sebagai upaya mempercepat pencapaian target
MDGs.
Sedangkan, secara khusus, tujuan PKH antara lain:
a. Meningkatkan status sosial ekonomi KPM;
b. Meningkatkan kualitas kesehatan dan gizi pada ibu
hamil, ibu nifas, balita dan anak usia 5-7 tahun yang
belum masuk sekolah dasar dari KPM;
c. Meningkatkan akses dan kualitas pelayanan pendidikan
dan kesehatan, khususnya bagi anak-anak KPM; dan
d. Meningkatkan taraf pendidikan dari anak-anak KPM.
3. Sasaran PKH
Sasaran PKH merupakan keluarga yang miskin dan
rentan serta terdaftar dalam data terpadu program
penanganan fakir miskin, memiliki komponen kesehatan,
pendidikan, dan/atau kesejahteran sosial.
4. Ketentuan Peserta PKH
Peserta PKH adalah rumah tangga yang kurang atau
tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang
sesuai dengan kriteria BPS dan memenuhi satu atau
beberapa kriteria program, antara lain:
81
1. Memiliki ibu hamil atau nifas;
2. Memiliki balita atau anak usia 5-7 tahun yang belum
masuk Sekolah Dasar; dan
3. Memiliki anak usia SD atau SMP dan anak usia 15-18
tahun yang belum menyelesaikan pendidikan dasar.
Setiap KPM PKH diberikan kartu peserta PKH
sebagai bukti kepesertaan dengan atas nama perempuan
dewasa (ibu/nenek/bibi) yang mengurus KPM. Dan kartu
tersebut dipergunakan untuk menerima bantuan PKH
(Pedoman Umum Program Keluarga Harapan (PKH)
2011).
5. Hak dan Kewajiban KPM PKH
a. KPM dalam PKH berhak untuk mendapatkan:
1) menerima bantuan sosial;
2) pendampingan sosial;
3) pelayanan di fasilitas kesehatan, pendidikan dan
kesejahteraan sosial; dan
4) program bantuan komplementer di bidang pangan,
kesehatan, pendidikan, subsidi energi, ekonomi,
perumahan, aset kepemilikan tanah dan bangunan,
dan pemenuhan kebutuhan dasar lainnya.
b. Sesuai dengan Peraturan Menteri Sosial Nomor 1
Tahun 2018 tentang Program Keluarga Harapan Pasal
3, 4 dan 5 dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39
Tahun 2016 kewajiban anggota keluarga penerima
manfaat PKH adalah:
82
1) anggota keluarga memeriksakan kesehatan pada
fasilitas pelayanan kesehatan sesuai dengan
protokol kesehatan bagi ibu hamil/menyusui dan
anak berusia 0 (nol) sampai dengan 6 (enam) tahun;
2) anggota keluarga mengikuti kegiatan belajar
dengan tingkat kehadiran paling sedikit 85%
(delapan puluh lima persen) dari hari belajar efektif
bagi anak usia sekolah wajib belajar 12 (dua belas)
tahun;
3) anggota keluarga mengikuti kegiatan di bidang
kesejahteraan sosial sesuai kebutuhan bagi keluarga
yang memiliki komponen lanjut usia mulai dari 60
(enam puluh) tahun dan/atau penyandang
disabilitas berat; dan
4) KPM hadir dalam pertemuan kelompok atau
Pertemuan Peningkatan Kemampuan Keluarga
(P2K2) setiap bulan.
6. Besar Bantuan Dana PKH
Bantuan sosial PKH pada tahun 2019 terbagi menjadi
dua jenis, yaitu Bantuan Tetap dan Bantuan Komponen
yang diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Bantuan Tetap untuk Setiap Keluarga:
Reguler : Rp. 550.000,- / keluarga / tahun
PKH AKSES : Rp. 1.000.000,- / keluarga / tahun
b. Bantuan Komponen untuk Setiap Jiwa dalam Keluarga
PKH:
Ibu hamil : Rp. 2.400.000,-
Anak usia dini : Rp. 2.400.000,-
83
SD : Rp. 900.000,-
SMP : Rp. 1.500.000,-
SMA : Rp. 2.000.000,-
Disabilitas berat : Rp. 2.400.000,-
Lanjut usia : Rp. 2.400.000,-
Bantuan komponen diberikan maksimal untuk 4
jiwa dalam satu keluarga. (Data ini diperoleh melalui
https://pkh.kemsos.go.id)
7. Kelembagaan PKH
Sesuai dengan Pedoman Pelaksanaan Program
Keluarga Harapan, tahun 2019, kelembagaan PKH
terdiri atas Tim Koordinasi Nasional, Tim Koordinasi
Teknis, dan Pelaksana Program Keluarga Harapan
(Pelaksana PKH) yang dibentuk di tingkat Pusat,
Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kecamatan.
a. Kelembagaan di Tingkat Pusat
1) Tim Koordinasi Nasional
Pengarah : Menteri Koordinator bidang
Pembangunan Manusia dan
Kebudayaan
Ketua : Menteri Sosial
Anggota Tim Koordinasi Nasional terdiri
dari pejabat eselon I kementerian/lembaga yang
membidangi urusan pengentasan kemiskinan,
pendidikan, kesehatan, anak, keluarga,
84
disabilitas, lanjut usia, data, komunikasi,
sebagai berikut:
a) Kementerian Sosial
b) Kementerian PPN/Bappenas
c) Kementerian Kesehatan
d) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
e) Kementerian Agama
f) Kementerian Dalam Negeri
g) Kementerian Keuangan
h) Kementerian Komunikasi dan Informatika
i) Badan Pusat Statistik
Tim Koordinasi Nasional PKH ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Sosial, dan tim ini
bertugas:
a) melakukan kajian pelaksanaan, mekanisme,
hasil audit dan evaluasi;
b) memberikan solusi atas permasalahan lintas
sektor; dan
c) menyetujui perubahan pelaksanaan
program.
2) Tim Koordinasi Teknis
Pengarah: Menteri Sosial
Ketua: Direktur Jenderal Perlindungan dan
Jaminan Sosial
Sekretaris: Direktur Jaminan Sosial Keluarga
85
Tim Koordinasi Teknis PKH Pusat terdiri
dari pejabat eselon II wakil kementerian/
lembaga terkait.
Tim Koordinasi Teknis Pusat bertugas:
a) mengkaji berbagai rencana operasional
yang disiapkan oleh Direktorat Teknis
Pelaksana PKH;
b) melakukan koordinasi lintas sektor terkait
agar tujuan PKH dapat berjalan baik;
c) membentuk Tim Lintas Sektor yang terdiri
dari perwakilan kementerian/lembaga
terkait;
d) Tim Lintas Sektor bertugas menentukan
sasaran KPM PKH; dan
e) melakukan pengawasan pelaksanaan PKH.
Tim Koordinasi Teknis Pusat ditetapkan
dengan Keputusan Direktur Jenderal
Perlindungan dan Jaminan Sosial.
3) Pelaksanaan PKH di Pusat
Pelaksana Program Keluarga Harapan pusat
adalah Direktorat Jaminan Sosial Keluarga,
Direktorat Jenderal Perlindungan dan Jaminan
Sosial, Kementerian Sosial Republik Indonesia.
Tugas Pelaksana PKH Pusat:
a) melaksanakan seluruh kebijakan
pelaksanaan PKH meliputi penetapan
86
sasaran, validasi, terminasi, bantuan sosial,
kepesertaan dan sumber daya;
b) memastikan pelaksanaan PKH sesuai
dengan rencana;
c) menyelesaikan permasalahan dalam
pelaksanaan PKH;
d) membangun jejaring dan kemitraan dengan
berbagai pihak untuk perluasan dan
penyempurnaan program;
e) melakukan pemantauan dan pengendalian
kegiatan PKH;
f) menyusun dan menyampaikan laporan
pelaksanaan kegiatan PKH kepada Direktur
Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial.
b. Kelembagaan PKH di Daerah
Kelembagaan PKH di daerah terdiri dari Tim
Koordinasi Teknis Provinsi, Tim Koordinasi
Teknis Kabupaten/Kota, Pelaksana PKH
Kabupaten/Kota, dan Pelaksana PKH Kecamatan.
1) Tim Koordinasi Teknis PKH Provinsi
a) Susunan Tim Koordinasi Teknis PKH
Provinsi terdiri atas:
Ketua: Kepala Dinas/Instansi Sosial
Provinsi
Sekretaris: Kepala Bidang Urusan Bantuan
dan Jaminan Sosial
87
b) Tim Koordinasi Teknis PKH Provinsi
ditetapkan dengan Keputusan Gubernur
c) Tim Koordinasi Teknis PKH Provinsi
bertugas:
(1) menyusun program dan rencana
kegiatan PKH;
(2) memastikan komitmen penyediaan
anggaran penyertaan kegiatan PKH; dan
(3) melakukan koordinasi dengan satuan
kerja perangkat daerah terkait dan
instansi/lembaga vertikal di provinsi.
2) Tim Koordinasi Teknis PKH Kabupaten/
Kota
a) Susunan Tim Koordinasi Teknis PKH
Kabupaten/Kota terdiri atas:
Ketua: Kepala Dinas/Instansi Sosial
Kabupaten/Kota
Sekretaris: Kepala Bidang Perlindungan
Jaminan Sosial
b) Tim Koordinasi Teknis PKH
kabupaten/kota ditetapkan dengan
Keputusan Bupati/Walikota
c) Tim Koordinasi Teknis PKH
Kabupaten/Kota bertugas:
(1) menyusun program dan rencana
kegiatan PKH Kabupaten/Kota;
88
(2) komitmen penyediaan anggaran
penyertaan kegiatan PKH;
(3) penyediaan fasilitas layanan pendidikan
dan kesehatan;
(4) melakukan koordinasi dengan satuan
kerja perangkat daerah terkait dan
instansi/lembaga vertikal di
kabupaten/kota;
(5) melakukan pemantauan dan
pengendalian kegiatan PKH;
(6) menyelesaikan masalah yang timbul
dalam pelaksanaan PKH dilapangan;
dan
(7) menyusun dan menyampaikan laporan
pelaksanaan kegiatan PKH kepada
kepala daerah, kepada pelaksana PKH
provinsi dan pelaksana PKH Pusat.
3) Pelaksanaan PKH di Daerah
Pelaksana PKH daerah dilakukan oleh
dinas/instansi sosial tingkat provinsi dan
kabupaten/kota yang membidangi bantuan
sosial, perlindungan dan jaminan sosial.
Pelaksana PKH Daerah terdiri atas Pelaksana
PKH Provinsi, Pelaksana PKH
Kabupaten/Kota, dan Pelaksana PKH
Kecamatan.
89
a) Pelaksana PKH Provinsi
(1) Pelaksana PKH Provinsi adalah
Dinas/Instansi Sosial terdiri atas:
Ketua: Kepala Bidang Urusan Bantuan
dan Jaminan Sosial
Sekretaris: Kepala Seksi Bantuan dan
Jaminan Sosial
(2) Pelaksana PKH Provinsi bertugas:
(a) bertanggung jawab dalam
penyediaan informasi dan
sosialisasi PKH di kabupaten/kota;
(b) melakukan supervisi, pengawasan,
dan pembinaan terhadap
pelaksanaan PKH di
kabupaten/kota;
(c) memastikan pelaksanaan PKH
sesuai dengan rencana;
(d) menyelesaikan permasalahan dalam
pelaksanaan PKH;
(e) membangun jejaring dan kemitraan
dengan berbagai pihak dalam
pelaksanaan PKH; dan
(f) melaporkan secara berkala capaian
pelaksanaan PKH di kabupaten/kota
kepada pelaksana Pusat.
b) Pelaksana PKH Kabupaten/Kota
90
(1) Pelaksana PKH Kabupaten/Kota adalah
Dinas/Instansi Sosial terdiri atas:
Ketua: Kepala Bidang Urusan Bantuan
dan Jaminan Sosial
Sekretaris: Kepala Seksi Bantuan dan
Jaminan Sosial
(2) Pelaksana PKH Kabupaten/Kota
bertugas:
(a) bertanggung jawab dalam
penyediaan informasi dan
sosialisasi PKH di kecamatan;
(b) melakukan supervisi, pengawasan,
dan pembinaan terhadap
pelaksanaan PKH di kecamatan;
(c) memastikan pelaksanaan PKH
sesuai dengan rencana;
(d) menyelesaikan permasalahan dalam
pelaksanaan PKH;
(e) membangun jejaring dan kemitraan
dengan berbagai pihak dalam
pelaksanaan PKH; dan
(f) melaporkan pelaksanaan PKH
kabupaten/kota kepada pelaksana
PKH pelaksana Pusat dengan
tembusan kepada Pelaksana PKH
provinsi.
c) Pelaksana PKH Kecamatan
91
Pelaksana PKH Kecamatan adalah
Pendamping PKH yang bertugas di
kecamatan dan berkoordinasi dengan
camat. Jika dalam satu wilayah kecamatan
terdapat lebih dari satu pendamping, maka
wajib ditunjuk salah seorang dari
pendamping untuk menjadi Koordinator
Pendamping tingkat kecamatan.
Pelaksana PKH Kecamatan bertugas:
(1) bertanggung jawab dalam penyediaan
informasi dan sosialisasi PKH di
kelurahan/desa/nama lain;
(2) melakukan kegiatan pendampingan
PKH di kelurahan/desa;
(3) memastikan pelaksanaan PKH sesuai
dengan rencana;
(4) menyelesaikan permasalahan dalam
pelaksanaan PKH;
(5) membangun jejaring dan kemitraan
dengan berbagai pihak dalam
pelaksanaan PKH; dan
(6) melaporkan pelaksanaan PKH kepada
pelaksana PKH kabupaten/kota.
8. Pengelolaan Sumber Daya
a. Kode Etik SDM PKH dan Komisi Etik
92
Kode etik merupakan norma atau nilai yang
mengatur tentang sikap, perilaku, dan tindakan
seseorang yang berada dalam lingkungan
kehidupannya, baik lingkungan kerja, organisasi, dan
profesi. Khusus untuk lingkungan kerja, Kode Etik
merupakan salah satu pilar dalam mengupayakan
atmosfir kerja yang kondusif tugas dan fungsi yang
menjadi tanggungjawab setiap individu.
Kode etik Sumber Daya Manusia Program
Keluarga Harapan (SDM PKH) merupakan pedoman
berisikan nilai-nilai yang mengatur sikap, perilaku, dan
tindakan SDM PKH yang disahkan secara hukum
dengan Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan dan
Jaminan Sosial Nomor 01 Tahun 2018 Tentang Kode
Etik Sumber Daya Manusia Program Keluarga
Harapan.
1) Kode Etik SDM PKH
Kode etik SDM PKH tertuang pada Peraturan
Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial
Nomor 01/LJS/08/2018 tentang Kode Etik Sumber
Daya Manusia Program Keluarga Harapan meliputi
kewajiban, larangan, dan etika hubungan yang
didasari oleh nilai-nilai santun, integritas, dan
profesional. Santun merupakan sikap, perilaku, dan
tindakan yang menghormati dan menghargai harkat
dan martabat KPM, Rekan Sejawat, Penanggung
Jawab PKH dan Mitra kerja. Integritas merupakan
93
sikap, perilaku, dan tindakan yang konsisten dan
selaras tercermin dalam komitmen, jujur dan
tanggung jawab terhadap PKH. Profesional
merupakan sikap, perilaku, dan tindakan yang
bertanggung-jawab, berdisiplin, taat asas, dan
berkompeten dalam melaksanakan tugas dan
kewajiban untuk mencapai hasil kerja yang terbaik.
2) Komisi Etik
Sebagai upaya untuk melakukan pencegahan
dan penanganan pelanggaran kode etik SDM PKH,
maka dibentuk Komisi Etik tujuan:
a) Terlaksananya pembinaan etik, penegakan
disiplin dan penyelesaian pelanggaran secara
cepat, tepat, efektif dan berkeadilan.
b) Terlindunginya hak-hak KPM, SDM dan
Penanggung Jawab PKH. Untuk mendukung
terlaksananya tugas tersebut anggota Komisi
Etik terdiri dari latar belakang yang beragam,
rekam jejak integritas, kredibilitas, moralitas
serta didukung oleh pengalaman yang mumpuni
terkait dengan Kode Etik namun tetap dalam
satu koridor pelaksanaan Program Keluarga
Harapan.
Penyelenggaraan kode etik dijelaskan lebih
rinci pada Pedoman Penyelenggaraan Kode
Etik.
b. Peningkatan Kapasitas SDM
94
PKH melaksanakan peningkatan kapasitas SDM
pelaksana PKH dalam bentuk Bimbingan Teknis
(Bimtek), dan Bimbingan Pemantapan sesuai
kebutuhan program. Sementara Pendidikan dan
Pelatihan (Diklat) diselenggarakan oleh Pusat
Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial dan
Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan
Sosial.
Mekanisme pelaksanaan kegiatan peningkatan
kapasitas SDM PKH diatur lebih lanjut dalam petunjuk
pelaksanaan pengelolaan SDM.
9. Monitoring dan Evaluasi
a. Monitoring
Monitoring dilaksanakan secara terus menerus,
baik dalam proses perencanaan maupun pelaksanaan
kegiatan. Monitoring dapat dilaksanakan pada saat
kegiatan sedang berlangsung atau dengan cara
menganalisis laporan dan perkembangan pelaksanaan
PKH dalam waktu tertentu melalui pengumpulan data
dan informasi tentang implementasi program.
Indikator yang digunakan dalam pelaksanaan
monitoring PKH terdiri dari indikator masukan dan
indikator keluaran. Kedua kategori ini akan diperoleh
dari hasil analisis data MIS (Management Information
System) PKH secara berkala.
1) Tujuan Monitoring
95
Secara umum monitoring PKH bertujuan untuk:
a) Mengetahui dan memastikan pelaksanaan
kegiatan PKH berjalan dengan baik.
b) Memastikan jadwal PKH yang telah disusun
satu tahun anggaran dilaksanakan sesuai
dengan rencana yang telah ditetapkan.
c) Memberikan masukan kepada
penanggungjawab PKH mengenai upaya
perbaikan dalam perancanaan maupun dalam
pelaksanaan PKH.
2) Pelaksanaan Monitoring
a) Monitoring oleh Pemerintah
Pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota,
dan kecamatan bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan PKH serta pencapaian target sesuai
dengan mekanisme yang telah ditetapkan.
Untuk kepentingan tersebut Pemerintah
melakukan monitoring secara berkala agar
pelaksanaan PKH sesuai rencana dan
mekanisme yang ditetapkan, seperti
ketersediaan layanan pendidikan dan kesehatan.
b) Monitoring oleh pemangku kepentingan terkait
Kegiatan monitoring PKH juga dilakukan oleh
pemangku kepentingan terkait, seperti:
Kementerian PPN/Bappenas, Kementerian
Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Tim Nasional Percepatan
96
Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), dan
lembaga lainnya.
c) Monitoring dengan partisipasi masyarakat
Monitoring oleh masyarakat melibatkan warga
masyarakat secara luas dalam pengawasan dan
pemantauan kegiatan/program. Dalam PKH ada
kelompok ibu yang dipilih dan ditugaskan
untuk memastikan pelaksanaan PKH: apakah
itu pemutakhiran data, kondisi KPM PKH, dan
bantuan yang diterima KPM PKH.
3) Pengumpulan Data dan Analisis
Pengumpulan data dilakukan oleh tenaga
lapangan dan manjemen data dilakukan oleh tim
MIS (Management Information System) PKH.
Analisis data monitoring secara rutin dilakukan
oleh Pelaksana PKH Pusat.
b. Evaluasi
Evaluasi adalah kegiatan mengukur
keberhasilan atau kegagalan dari pelaksanaan PKH
dengan menggunakan indikator dan instrumen yang
dapat digunakan untuk mengetahui faktor penyebab
keberhasilan atau kegagalan dari seluruh tahapan
pelaksanaan program. Kegiatan evaluasi didasarkan
atas hasil dan dampak pelaksanaan PKH.
Untuk menjamin pengukuran yang akurat
diperlukan survei dasar (baseline survey) yang menjadi
97
titik tolak dari pemantauan dan evaluasi terhadap
pelaksanaan PKH.
1) Tujuan Evaluasi
a) Mengidentifikasi tingkat pencapaian tujuan
yang telah disusun dalam rencana kerja
tahunan;
b) Mengetahui dan menganalisa hal-hal lain yang
mungkin timbul di luar yang telah rencana; dan
c) Memberikan masukan kepada
penanggungjawab PKH mengenai upaya
perbaikan dalam perancanaan maupun dalam
pelaksanaan PKH.
2) Cakupan Evaluasi
Berdasarkan tujuan dan keluaran program yang
ingin dicapai, diperlukan indikator kinerja program
untuk mengukur pencapaian program selama kurun
waktu satu tahun. Pengukuran indikator kinerja
program dilakukan secara berkala dan
dikoordinasikan dengan pihak-pihak terkait secara
berjenjang. Secara umum evaluasi pelaksanaan
PKH meliputi substansi dan pendukung program
yang dilakukan secara berkala.
3) Penyajian Hasil
Hasil dari proses monitoring dan evaluasi
disajikan dalam bentuk laporan yang dapat
digunakan sebagai rekomendasi dan rumusan
kepada pemangku kepentingan.
98
10. Jumlah SDM dan KPM PKH
Di bawah ini disajikan jumlah Sumber Daya Manusia
dan juga Keluarga Penerima Manfaat PKH di Wilayah
Jakarta Timur tahun 2019 hasil dari studi dokumentasi
yang didapatkan dari Supervisor PKH, antara lain:
a. Jumlah Sumber Daya Manusia PKH
Tabel 3. 1 Jumlah SDM PKH Per Januari 2020
Jabatan Jumlah
Koordinator Kota 1
Peksos Supervisor 2
Pendamping Sosial 29
Jumlah Keseluruhan 32
Sumber: Studi Dokumentasi PKH Jakarta Timur Tahun 2020
b. Jumlah Keluarga Penerima Manfaat PKH
Tabel 3. 2 Jumlah KPM PKH Tahun 2019
No
Kecamatan
Jml
Pendamping
Jumlah
KPM
Total Jml
Kelompok
FDS
1 Ciracas 4 1156 39
2 Cipayung 5 1255 46
3 Pasar Rebo 4 1248 44
4 Makasar 4 919 32
5 Cakung 12 3711 122
Sumber: Studi Dokumentasi PKH Jakarta Timur Tahun 2019
99
C. Manajemen Kasus pada PKH
Terdapat beberapa bentuk permasalahan yang paling
sering ditemukan oleh Pendamping Sosial dan juga Supervisor
PKH, antara lain:
Tabel 3. 3 Bentuk Permasalahan pada KPM PKH
No Bentuk Permasalahan
1 Kekerasan Dalam Rumah Tangga
2 Putus Sekolah
3 Penyalahgunaan Kartu PKH oleh Oknum Ketua
Kelompok
4 Penyalahgunaan Kartu PKH oleh Keluarga
5 Penyalahgunaan Dana Bansos
Sumber: Studi Dokumentasi PKH Jakarta Timur
Melihat macam-macam bentuk permasalahan pada
KPM PKH seperti dalam table 3.3 di atas, maka di dalam
Program Keluarga Harapan (PKH), metode manajemen kasus
mulai diberlakukan pada tahun 2018, diawali dengan adanya
Pekerja Sosial (Peksos) yang bertugas sebagai Supervisor PKH
berdasarkan SK Direktur Jaminan Sosial Keluarga pada 5
Januari 2018, dengan jumlah sebaran sebagai berikut:
Tabel 3. 4 Jumlah Peksos Supervisor PKH Tahun 2018
No Provinsi Jml Peksos
Supervisor
1 Prov. Nanggroe Aceh Darussalam 3
2 Prov. Sumatera Utara 35
3 Prov. Sumatera Barat 11
4 Prov. Riau 1
5 Prov. Jambi 6
100
6 Prov. Sumatera Selatan 7
7 Prov. Bengkulu 10
8 Prov. Lampung 23
9 Prov. Kep. Bangka Belitung 4
10 Prov. Kepulauan Riau 4
11 Prov. DKI Jakarta 8
12 Prov. Jawa Barat 92
13 Prov. Jawa Tengah 96
14 Prov. D.I. Yogyakarta 9
15 Prov. Jawa Timur 107
16 Prov. Banten 19
17 Prov. Bali 6
18 Prov. Nusa Tenggara Barat 7
19 Prov. Nusa Tenggara Timur 3
20 Prov. Kalimantan Barat 1
21 Prov. Kalimantan Tengah 3
22 Prov. Kalimantan Selatan 4
23 Prov. Kalimantan Timur 1
24 Prov. Sulawesi Utara 5
25 Prov. Sulawesi Tengah 15
26 Prov. Sulawesi Selatan 29
27 Prov. Sulawesi Tenggara 19
28 Prov. Sulawesi Barat 7
29 Prov. Gorontalo 7
30 Prov. Maluku 1
31 Prov. Papua Barat 1
32 Prov. Papua 4
Jumlah 548
Sumber: Studi Dokumentasi PKH Jakarta Timur Tahun 2018
Hadirnya Peksos Supervisor pada PKH, memiliki
tanggung jawab, kewenangan, dan/atau peran untuk
mensupervisi Pendamping Sosial, sehingga kinerja yang
101
dilakukan dapat dimonitoring dan terevaluasi secara rutin.
Peran Supervisor PKH dalam manajemen kasus, antara lain:
Tabel 3. 5 Peran Supervisor dalam PKH
Administrasi Pendidikan Dukungan
1. Mengecek
catatan dan
laporan
terkait
perkembang
an kasus.
2. Mengecek
kelayakan
kasus untuk
ditangani.
3. Mengkompi
lasi
kasuskasus
yang
dialami
KPM dan
status
penanganan
nya.
1. Mentransfer
pengetahuan dan
keterampilan
manajemen kasus
kepada pendamping
2. Menerapkan
manajemen kasus
bersama-sama
3. Memberikan saran
terkait penggunaan
tools asesmen,
rencana intervensi,
dan akses terhadap
pelayanan
komplementer yang
dibutuhkan oleh
KPM (baik anak,
orangtua,
disabilitas, maupun
lanjut usia)
4. Membahas
pelaksanaan
1. Mempertimbangk
an tingkat
kemampuan
pendamping dan
beban kerja
2. Meningkatkan
motivasi dan
semangat kerja
pendamping
dalam
penanganan kasus
3. Mendampingi
pendamping
dalam mengakses
pelayanan
komplementer
102
manajemen kasus
termasuk
pembahasan kasus
bersama
pendamping
Sumber: Studi Dokumentasi PKH Jakarta Timur
Dalam praktiknya, Supervisor tidak bekerja sendiri,
bersama dengan Koordinator Kota dan juga Pendamping
Sosial, memberikan pelayanan melalui manajemen kasus
kepada para Keluarga Penerima Manfaat (KPM).
Ketiganya bersama-sama melakukan pelayanan kepada
KPM PKH pada Kabupaten/Kota, dan secara administrasi
berkoordinasi kepada Koordinasi Wilayah.
Bagan 3. 1 Struktur Organisasi Pelaksana PKH
Sumber: Materi Bimbingan Orientasi Peksos Supervisor PKH Tahun 2018
Pada Manajemen Kasus di PKH, juga memberikan
pelayanan berdasarkan pada praktik pekerjaan sosial dan
103
juga prinsip yang harus diterapkan tidak hanya Supervisor,
tetapi juga Pendamping Sosial. Berdasarkan UU No.14
Tahun 2019 BAB III pasal 15 :
1. Praktik Pekerjaan Sosial dilaksanakan berdasarkan
standar Praktik Pekerjaan Sosial;
2. Standar Praktik Pekerjaan Sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. standar operasional prosedur;
b. standar kompetensi Pekerja Sosial; dan
c. standar layanan.
Adapun tahapan atau proses di dalam manajemen
kasus terdiri dari beberapa langkah, yakni :
a. Penjangkauan dan identifikasi Klien;
b. Melakukan asesmen terhadap klien dan keluarganya;
c. Perencanaan dan mengidentifikasi sistem sumber
(komponen pelayanan);
d. Menghubungkan klien dengan sistem sumber yang
dibutuhkan klien;
e. Implementasi pelayanan dan koordinasi;
f. Monitoring pemberian pelayanan;
g. Advokasi atas pelayanan yang diberikan;
h. Evaluasi;
Bagan 3. 2 Proses Manajemen Kasus
104
Sumber: Materi Bimbingan Orientasi Peksos SPV PKH Tahun 2018
Dalam melakukan tahapan tersebut, seorang
manajemen kasus harus memiliki pengetahuan yang luas,
jejaring, serta komunikasi yang baik karena akan
dihadapkan dengan berbagai pihak dalam upaya
memfasilitasi klien untuk penyelesaian masalahnya.
Dalam praktiknya, form yang digunakan oleh
Supervisor PKH dalam melaksanakan kegiatan yang
berkaitan dengan manajemen kasus yakni disusun sendiri
oleh Supervisor dengan format penulisan yang berisikan
Nama, Nomor Induk Kependudukan, Nomor Anggota
PKH, alamat tempat tinggal KPM PKH, dan kondisi
Biopsikososialnya. Dan untuk laporan setiap bulannya,
akan dilaporkan Supervisor sesuai dengan kasus yang
ditemukan dan format penulisan laporan yang disusun
sendiri juga oleh Supervisor (terdapat di lampiran).
105
BAB IV
DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
Dalam pekerjaan sosial, adanya intervensi yang dilakukan
oleh pekerja sosial profesional melalui pendekatan atau metode
manajemen kasus merupakan suatu hal yang memenuhi
kompleksitas untuk memberikan pelayanan dan penanganan
kepada klien yang membutuhkan bantuan. Manajemen kasus
menekankan pada sisi koordinasi yang kuat untuk mengasesmen
serta memberikan pendampingan terkait isu-isu yang ada dan
berkembang di masyarakat, salah satunya program bantuan sosial
non-tunai pemerintah untuk keluarga yang memiliki pendapatan
rendah atau di bawah Upah Minimum Rasio (UMR), yaitu
Program Keluarga Harapan (PKH) di Jakarta Timur. Pada skripsi
ini, penulis melakukan penelitian mengenai program tersebut.
Penelitian ini menggunakan dua aspek yang menjadi
komponen pokok pada manajemen kasus, yaitu aspek proses dan
sistem. Didalam aspek proses sendiri, terdapat tahapan yang dapat
dilihat melalui model minimalis, model komprehensif, dan model
intervensi krisis. Dan pada aspek sistem, terdapat indikator dasar
hukum dan standar pelayanan, Sumber Daya Manusia (SDM) dan
supervisi, dan Keluarga Penerima Manfaat. Berdasarkan pada hasil
wawancara dan studi dokumentasi kepada para informan, berikut
adalah informasi berdasarkan indikator yang penulis dapatkan.
106
A. Proses pada Manajemen Kasus
Proses yang dilakukan dalam manajemen kasus pada
Program Keluarga Harapan (PKH) di wilayah Jakarta Timur
dilakukan oleh Pendamping Sosial, Supervisor, dan
Koordinator Kota, dilihat dari model manajemen kasus dengan
melakukan beberapa proses atau tahapan pekerjaan sosial. Di
bawah ini adalah hasil wawancara penulis terkait dengan
indikator dari proses tersebut.
1. Kasus Penyalahgunaan Kartu Kesejahteraan Sosial
(KKS) – PKH
Alur pelayanan yang dilakukan baik oleh Pendamping
Sosial, Supervisor PKH, dan/ atau Koordinator Kota,
antara lain:
a. Kontak awal dan identifikasi kasus
Penerimaan laporan kasus selalu lebih dahulu
diketahui oleh pendamping yang didapatkan langsung
dari KPM, seperti pernyataan di bawah ini:
Jadi kami sebagai pendamping selalu mendapatkan
laporan lebih awal dari KPM, pada bulan Juli 2019
didapatkan kasus berupa penyalahgunaan kartu
oleh oknum ketua kelompok. Lalu saya langsung
berkoordinasi dengan supervisor untuk
mengabarkan bahwa ada laporan dari KPM
mengenai kasus tersebut. (Pendamping W, 22 April
2020)
Hal serupa juga dikatakan oleh Supervisor, yakni:
Setelah pendamping mendapatkan laporan dari
KPM di wilayah dampingannya, maka pendamping
langsung meneruskannya kepada supervisor. Dan
107
kami langsung mengunjungi rumah KPM untuk
bertemu dan segera melakukan pendataan dengan
membawa form-form yang sudah kami siapkan.
Tetapi sebelumnya, kami menggunakan teknik
small talk kepada KPM untuk mengawali
identifikasi kasus. (SPV PKH DTWP, 13 April
2020)
Kontak awal yang dilakukan oleh pendamping
menggunakan beberapa teknik untuk mengawali
penggalian masalah kepada KPM, yaitu seperti yang
dikatakan oleh pendamping di bawah ini:
Meskipun kami sering bertemu dengan masing-
masing KPM saat kegiatan FDS atau P2K2
berlangsung, namun tetap saja ketika melakukan
home visit untuk khusus menangani sebuah kasus
diperlukan beberapa teknik untuk penggalian
masalah. Biasanya kami tidak serta merta langsung
menanyakan ke masalah inti, tetapi bertahap
pertanyaannya, sehingga nanti dengan sendirinya
KPM akan menceritakan kasus yang dialaminya.
(Pendamping ID, 23 April 2020)
Dari pernyataan informan di atas, dapat
disimpulkan bahwa kontak awal dan identifikasi kasus
penyalahgunaan dana bantuan sosial ini adalah dengan
mempergunakan teknik small talk dan melakukan
kegiatan home visit kepada KPM sebagai awal
penggalian data atas laporan kasus kepada Pendamping
dan Supervisor.
108
b. Assessment
Tahap ini merupakan penggalian masalah secara
lebih mendalam yang dilakukan oleh Supervisor dan
Pendamping Sosial, seperti yang dikatakan oleh
supervisor di bawah ini, yaitu:
Pada tahap ini, kami menggunakan form yang
memang kami rancang sendiri, dikarenakan belum
adanya form khusus assessment yang dimiliki oleh
PKH. Format di dalamnya seperti identitas KPM,
waktu dan tempat kejadian, dan alur
permasalahannya. Untuk pengisian form biasanya
saya dibantu oleh pendamping, dan biasanya hanya
form saja, kami belum menggunakan tools
assessment dalam penanganan kasus pada KPM
PKH. (SPV PKH DTWP, 13 April 2020)
Hal senada juga dikatakan oleh salah satu
pendamping yang langsung menangani kasus ini,
yakni:
Pada saat menangani kasus ini saya bersama
dengan Supervisor mengunjungi langsung KPM ke
kediamannya. Lalu kami melakukan pendataan dan
menggali permasalahan lebih dalam dengan
wawancara kepada korban yang kartunya disalah
gunakan oleh ketua kelompoknya. (Pendamping W,
22 April 2020)
Pernyataan yang sama juga dikatakan oleh
pendamping CW,
Selama saya bertugas sebagai pendamping, saat
proses assessment kami hanya menggunakan form
yang ada dan tidak menggunakan tools assessment
dalam pekerjaan sosial. (Pendamping CW, 14 Mei
2020)
109
Berdasarkan informasi di atas, bahwa Pendamping
dan Supervisor melakukan proses assessment dengan
hanya menggunakan form yang dimiliki oleh PKH
Jakata Timur dengan format identitas KPM, waktu dan
tempat kejadian, serta bagaimana alur
permasalahannya. Yang mana pencatatan kasus
tersebut dilakukan oleh Supervisor dengan bantuan
Pendamping PKH.
c. Perencanaan Intervensi
Rencana intervensi yang dirancang oleh Supervisor
dan pendamping untuk kasus penyalahgunaan kartu ini
adalah sebagai berikut:
Jadi ketika sudah selesai melakukan assessment
kepada KPM, tahap selanjutnya yang dilakukan
adalah rencana intervensi untuk menyelesaikan
perkara kasus ini. Awal perencanaan adalah kami
merumuskan siapa saja yang terlibat, yakni KPM
yang menjadi korban, lalu KPM yang terindikasi
sebagai pelaku, dan juga pendamping. Rencananya
kami akan melihat melalui CCTV salah satu Bank
yang digunakan oleh KPM untuk menarik dana
bantuan PKH. Sehingga nantinya akan terlihat
apakah pelaku benar mempergunakan kartu korban
atau tidak. Dan apabila kartu tersebut benar
digunakan oleh pelaku, maka akan kami teruskan
kepada pihak berwajib. Paling tidak dalam kurun
waktu 1 minggu hal ini sudah harus terungkap.
(SPV PKH DTWP, 13 April 2020)
Pendamping W juga mengatakan hal senada
dengan pernyataan Supervisor, yaitu:
110
Saat melakukan rencana penyelesaian kasus ini,
kami akan berkoordinasi dengan Bank yang
digunakan oleh KPM untuk menarik dana bantuan.
Kami akan mengecek kebenaran dari KPM yang
disinyalir sebagai pelaku, dan juga akan mencetak
laporan transaksi selama waktu pengambilan dana.
(Pendamping W, 22 April 2020)
Disamping itu, pendamping sendiri menyatakan
bahwa rencana intervensi memperhatikan beberapa hal,
yakni:
Jadi hal-hal yang harus diperhatikan saat rencana
intervensi dilakukan adalah apakah dapat terukur
dengan jelas, apakah dapat membuat pelaku jera
dengan perbuatannya, dan apakah penyelesaiannya
itu dapat terselesaikan dengan tepat. (Pendamping
ID, 23 April 2020)
Dari pernyataan informan di atas, perencanaan
intervensi yang dilakukan adalah dengan
memperhatikan apakah rencana tersebut dapat dengan
tepat mampu diselesaikan dalam kurun waktu yang
singkat, dan juga mengukur keberhasilan dari
intervensi yang akan dilakukan oleh Pendamping dan
Supervisor PKH.
d. Pelaksanaan Intervensi
Rencana intervensi dapat berubah sesuai dengan
kondisi di lapangan, seperti pernyataan pendamping di
bawah ini:
Perencanaan yang sudah kami rancang bersama
dengan Supervisor dan KPM, dapat berubah sesuai
111
dengan kondisi yang ada di lapangan. (Pendamping
W, 22 April 2020)
Hal serupa juga dikatakan oleh pendamping lain,
yaitu:
Apabila KPM berubah pikiran saat kami akan mulai
melakukan intervensi, misalnya KPM
mengkonfirmasi dan mengatakan kejujuran yang
telah ia lakukan, perencanaan yang sudah kami
susun bisa saja menyesuaikan dengan kondisi
tersebut. (Pendamping ID, 23 April 2020)
Pernyataan yang senada juga disampaikan oleh
Supervisor sebagai berikut:
Jadi ketika kami sudah merumuskan rencana
intervensi, di tengah jalan terduga pelaku pada
akhirnya meminta maaf, lalu mengakui bahwa
dirinya memang benar telah menahan salah satu
kartu KPM lain, menggunakan dana nya, dan
berjanji akan mengembalikan hak dari korban. Dan
rencana intervensi kami rubah dengan langsung
mempertemukan antara pelaku dan korban dan
menyelesaikan secara kekeluargaan. (SPV PKH
DTWP, 13 April 2020)
Dari pernyataan informan di atas, maka
pelaksanaan intervensi yang dilakukan pada kasus ini
menyesuaikan dengan kondisi di lapangan, di mana
pelaku pada akhirnya mengakui kesalahan dan berjanji
akan mengembalikan dana yang disalahgunakannya.
Sehingga rencana intervensi yang semula sudah
disusun oleh Pendamping dan Supervisor PKH diubah
112
dengan mempertemukan kedua beah pihak dan
menyelesaikan kasus tersebut secara kekeluargaan.
e. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring yang dilakukan pada kasus ini yaitu
mendampingi KPM setiap akan mengambil dana
bantuan PKH di bank yang dituju, seperti pernyataan
Supervisor di bawah ini:
Pendamping melakukan pendampingan selama
kurang lebih 3 bulan kepada oknum ketua
kelompok yang menyalahgunaan kartu salah satu
angggotanya. Dengan cara mendampingi setiap
pengambilan dana dan pengembaliannya kepada
korban. Hingga uang anggota KPM yang
digunakan oleh pelaku dikembalikan secara penuh.
(SPV PKH DTWP, 13 April 2020)
Hal ini juga diungkapkan oleh Pendamping W,
yaitu:
Ya jadi selama proses monitoring saya melakukan
pendampingan dengan memantau KPM yang
menjadi pelaku ini ketika akan mencairkan dana
bantuan dan juga saat melunaskan pembayaran
yang sudah dijanjikan sebelumnya kepada KPM
yang menjadi korban. Selama 3 bulan hal ini
dilakukan, dan akhirnya pelunasan serta kasus ini
telah selesai. (Pendamping W, 22 April 2020)
Selain monitoring, evaluasi dari pelayanan yang
sudah dilakukan juga dilaksanakan. Seperti yang
dijelaskan oleh Koordinasi Kota di bawah ini:
Setelah proses semua dilakukan, selanjutnya kami
akan melaksanakan kegiatan evaluasi yang rutin
dilaksanakan setiap bulannya. Di kegiatan itu para
113
pendamping memaparkan hasil kinerja nya dan
kami mengevaluasi perkembangan kasus seperti
apa. (Koordinator Kota AT, 11 Mei 2020)
Evaluasi yang rutin dilakukan juga diutarakan oleh
salah satu pendamping seperti di bawah ini:
Evaluasi selalu kami laksanakan dengan Korkot
dan juga Supervisor. Evaluasi dijalankan setiap
sebulan sekali setiap akhir bulannya. Hal yang kami
lakukan adalah dengan melaporkan secara lisan dan
tulisan apa saja yang sudah berjalan selama kami
bertugas. Apabila ada kendala atau kesalahan yang
menjadi kekurangan selama kami menjalankan
pelayanan, maka akan dievaluasi dan diarahkan
baik oleh Spv dan juga Korkot. (Pendamping ID, 23
April 2020)
Evaluasi juga dilakukan agar kasus tidak terjadi
kembali seperti yang dijelaskan oleh Pendamping,
Dalam kasus ini, tentunya evaluasi juga
dibutuhkan. Sehingga kasus serupa tidak akan
terjadi kembali pada anggota-anggota KPM PKH
yang lain. (Pendamping W, 22 April 2020)
Kesimpulan berdasarkan pernyataan informan di
atas, adalah monitoring dilaksanakan selama proses
pengembalian dana yang dilakukan oleh pelaku secara
penuh, dan evaluasi dilakukan baik oleh Pendamping,
Supervisor, dan Korkot setiap bulannya untuk menilai
sejauh mana kinerja dari para SDM PKH, serta kasus-
kasus serupa ini tidak terjadi kembali di dalam
keanggotaan KPM PKH.
114
f. Terminasi
Kasus akan ditutup apabila sudah dianggap selesai
dan proses demi proses telah dijalankan. Seperti
pernyataan pendamping di bawah ini:
Sekitar Agustus 2019 penyelesaian kasus sudah
selesai dengan mempertemukan antara korban dan
pelaku, lalu pengembalian dana sampai semua hak
KPM yang menjadi korban ini terbayarkan secara
lunas. Sehingga kasus kami anggap sudah selesai.
(Pendamping W, 22 April 2020)
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Supervisor di
bawah ini:
Ya tentunya apabila kasus sudah tertangani dan
sudah melewati tahap penyelesaian. Maka kami
anggap itu sudah selesai. (SPV PKH DTWP, 13
April 2020)
Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa
dengan mempertemukan korban dan pelaku, sampai
dengan pengembalian dana bantuan yang telah
disalahgunakan oleh ketua kelompok, artinya kasus
telah tertangani dan dinyatakan selesai oleh Supervisor
PKH.
2. Penyalahgunaan Dana Bantuan Non-Tunai PKH oleh
KPM
Kasus ini terjadi di salah satu KPM, proses
pelayanan yang dilakukan oleh Pendamping dan
Supervisor PKH, adalah sebagai berikut:
115
a. Kontak awal dan Identifikasi Kasus
Sama seperti kasus di atas, kasus penyalahgunaan
dana bantuan PKH ini juga dilaporkan langsung oleh
KPM kepada salah satu pendamping PKH, yakni:
Pada November 2019 kami mendapatkan laporan
dari salah satu KPM di wilayah dampingan. Kasus
yang dilaporkan adalah penyalahgunaan dana
bantuan non tunai yang dilakukan oleh salah satu
anggota keluarga. (Pendamping W, 22 April 2020)
Laporan kasus ini diperkuat dengan pernyataan
Supervisor PKH, yaitu:
Iya betul saya pernah mendapatkan laporan
mengenai kasus tersebut. Kemudian dengan
Pendamping melakukan home visit ke rumah KPM
untuk melakukan pendekatan awal dengan Nenek
yang menjadi anggota KPM PKH. Lalu mendata
identitas diri nya, dengan form yang kami miliki.
(SPV PKH DTWP, 13 April 2020)
Senada dengan pernyataan di atas, pendamping lain
juga menjelaskan mengenai proses awal dari tahapan
ini, antara lain:
Biasanya jika diperlukaan, kami mendatangi
langsung ke rumah KPM yang akan dilayani,
dengan membawa form yang akan diisi untuk
pendataan KPM. Awal nya memang kami tidak
langsung menanyakan inti permasalahan, namun
dengan obrolan yang sifatnya ringan, dan secara
tidak langsung kami sambil menggali kasusnya.
(Pendamping ID, 23 April 2020)
Dari pernyataan di atas, kesimpulan yang diperoleh
adalah sama seperti kasus pada point 1, bahwa pada
116
proses kontak awal dan identifikasi kasus ini,
Pendamping dan Supervisor dapat melakukan home
visit untuk langsung bertemu dengan KPM yang akan
ditangani kasusnya. Dan di setiap proses ini, Supervisor
telah menyiapkan form yang dapat diisi untuk identitas
dari KPM yang telah melaporkan kasusnya.
b. Assessment
Setelah melakukan pendaatan, tahap selanjutnya
yang dilakukan adalah melakukan asesmen seperti
yang dijelaskan di bawah ini oleh Pendamping, yaitu:
Kami melakukan wawancara lebih dalam biasanya
pada tahap ini. Agar alur dari permasalahannya itu
dapat kami ketahui dengan jelas. (Pendamping W,
22 April 2020)
Senada dengan pernyataan Pendamping W,
pendamping lain juga menyatakan bahwa:
Biasanya ketika proses penggalian data dari kasus
yang dilaporkan kami terus melakukan wawancara
kepada KPM, sampai kami mengetahui dengan
benar bagaimana hal tersebut dapat terjadi.
(Pendamping CW, 14 Mei 2020)
Setelah dilakukan asesmen lebih dalam, spv
menemukan informasi bahwa ternyata KPM lah yang
menggunakan dana bantuan untuk membeli rokok,
seperti yang diungkapkan sebagai berikut:
Selanjutnya kami mengasesment kasus klien dan
juga anggota keluarganya yang lain. Awalnya
117
memang jawaban-jawaban dari KPM sedikit
berbelit, lalu kami terus menanyakan lebih spesifik
lagi sampai pada akhirnya ditemukan fakta bahwa
dana bantuan ini digunakan oleh si Nenek untuk
membeli rokok yang akan dikonsumsinya. (SPV
PKH DTWP, 13 April 2020)
Berdasarkan pernyataan informan di atas,
kesimpulan yang didapatkan dari proses assessment
pada kasus ini adalah dengan wawancara mendalam
dan spesifik kepada KPM mengenai kasus yang
dialaminya, akan mendapatkan informasi dan fakta
yang sebenarnya terjadi, seperti temuan yang
didapatkan oleh Supervisor di atas.
c. Perencanaan Intervensi
Supervisor mengatakan bahwa pada saat bertemu
dengan KPM belum merencanakan bagaimana rencana
intervensi yang akan dilakukan. Seperti pernyataannya
di bawah ini:
Pada saat kami bertemu dengan KPM dan
keluarganya, belum sempat menyusun rencana
intervensi yang akan dilakukan. Dikarenakan
keluarga berkumpul di rumah Nenek, dan pada saat
asesmen beliau sudah mengatakan perihal
kebenaran dari penyalahgunaan dana bantuan.
(SPV PKH DTWP, 13 April 2020)
Hal serupa juga dikatakan oleh pendamping, yakni:
Untuk kasus ini, kami awal nya memang tidak
mengira bisa langsung terselesaikan. Sehingga,
ketika setelah selesai asesmen, kami langsung
118
memberikan pengertian dan pemahaman kepada
anggota keluarga mengenai penggunaan dana
bantuan yang tepat. (Pendamping W, 22 April
2020)
Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa pada kasus ini baik pendamping
dan juga supervisor belum merencanakan intervensi,
akan tetapi langsung melakukan intervensi dengan
KPM dan anggota keluarga yang lain.
d. Pelaksanaan Intervensi
Pada kasus ini tidak terdapat rencana intervensi,
dikarenakan kasus dapat tertangani dalam kurun waktu
satu hari, seperti yang dijelaskan oleh Supervisor,
Dikarenakan pada saat itu tidak hanya ada si Nenek,
tetapi juga terdapat anggota keluarga yang lain,
maka kami langsung melakukan intervensi berupa
pemahaman kepada kedua belah pihak bahwa
bagaimana seharusnya dana bantuan itu digunakan,
pembelian apa yang diperbolehkan dan tidak
diperbolehkan, dan jika di kemudian hari masih
ditemukan kasus serupa, maka kami akan
melakukan pencabutan keanggotaan PKH. (SPV
PKH DTWP, 13 April 2020)
Hal senada juga diutarakan oleh pendamping
mengenai intervensi yang telah dilakukan dalam kasus
ini, yaitu:
Apabila permasalahan masih dapat diatasi dengan
mempertemukan keluarga dan KPM juga masih
mudah untuk diarahkan, maka kami melakukan
119
intervensi sebatas itu saja. (Pendamping W, 22
April 2020)
Dari pernyataan informan di atas, maka kesimpulan
dalam tahapan intervensi pada kasus ini adalah dengan
memberikan pemahaman kepada Nenek dan anggota
keluarganya bahwa bagaimana mengelola dana
bantuan, dana tersebut boleh dan tidak diperbolehkan
untuk pembelian apa saja, dan KPM memahami akan
hal itu, sehingga kasus pun selesai dalam waktu satu
hari.
e. Monitoring dan Evaluasi
Monitoring yang dilakukan terkait kasus ini yaitu
pendamping rutin mengontrol dana yang masuk ke
KPM digunakan untuk membeli keperluan apa saja,
seperti pernyataan berikut:
Pendamping ketika Nenek ini mencairkan dana
bantuannya, maka rutin mengontrol digunakan
untuk membeli apa saja, sehingga akan terpantau
dengan baik, dan di kemudian hari, KPM ini pun
memang sebagaimana mestinya menggunakan
dana bantuan untuk membeli keperluan sehari-hari,
seperti sembako. (Pendamping W, 22 April 2020)
Supervisor juga mengatakan hal serupa mengenai
monitoring dan evaluasi pada kasus ini, yaitu:
Kami memang tidak dapat menyalahkan siapapun
dalam hal ini, mungkin memang Nenek belum
memahami dengan baik penggunaan dana yang
seharusnya digunakan untuk keperluan seperti
susu, beras, makanan sehari-hari, dan lain-lain,
karena beliau termasuk ke dalam kategori lansia.
120
Maka dari itu, perlu adanya dampingan dari
keluarga dan juga pendamping untuk mengingatkan
Nenek ini agar dikemudian hari tidak
mempergunakan dana bantuan untuk membeli
sesuatu yang tidak baik untuk dirinya. Dan
monitoring dengan mengecek penggunaan dana
juga selalu dilakukan oleh pendampingnya. (SPV
PKH DTWP, 13 April 2020)
Disamping itu, Koordinator Kota mengatakan
bahwa,
Evaluasi yang kami lakukan terakait dengan kasus
ini sama hal nya dengan kasus sebelumnya. Jadi,
evaluasi itu selalu kami lakukan di setiap bulannya,
laporan perkasus juga selalu dibuat oleh
Pendamping dan juga Supervisor kemudian
dipaparkan saat kegiatan eval berlangsung.
Sehingga kami semua mengetahui hal apa saja yang
masih perlu diperbaiki dan tetap dijalankan.
(Koordinator Kota AT, 11 Mei 2020)
Kesimpulan berdasarkan pernyataan informan di
atas adalah monitoring dan evaluasi yang dilakukan
terkait kasus penyalahgunaan dana bantuan sosial oleh
KPM yaitu melakukan pengecekan dana bantuan yang
digunakan untuk membeli keperluan sehari-hari oleh
KPM sehingga tidak dipergunakan untuk membeli
barang yang tidak baik untuk dirinya. Dan untuk
evaluasi, hal yang dilakukan yakni bersama dengan
SDM PKH lain memaparkan hasil laporan kasus yang
sudah dilakukan. Sehingga akan terlihat apa yang
121
menjadi kekurangan dalam memberikan pelayanan dan
apa yang masih tetap dijalankan oleh Pendamping.
f. Terminasi
Tahapan terakhir ini dilakukan dengan kesepakatan
Nenek dan keluarganya untuk menggunakan dana
bantuan PKH sebagaimana mestinya, seperti yang
dikatakan oleh Supervisor di bawah ini:
Pengakhiran kasus ini ditandai dengan kesepakatan
dan komitmen Nenek beserta keluarga nya untuk
menggunakan dana bantuan non tunai PKH untuk
membeli bahan pangan sehari-hari dan tidak
dipergunakan untuk membeli barang-barang yang
bukan semestinya. (SPV PKH DTWP, 13 April
2020)
Pendamping pun juga mengatakan hal yang serupa,
yakni:
KPM sudah berjanji bahwa dana akan
diperuntukkan membeli beras, susu, lauk pauk, dan
hal lain yang bermanfaat untuk dirinya. Bila di
kemudian hari kasus tersebut terjadi kembali, maka
kami akan menindaklanjuti dengan kemungkinan
pemutusan keanggotaannya. (Pendamping W, 22
April 2020)
Pendamping lain mengatakan, bahwa tahapan
penyelesaian kasus akan berakhir dengan selesainya
kasus dan tidak menggunakan form khusus.
Selama ini penyelesaian kasus yang kami
selesaikan pengakhirannya tidak menggunakan
form khusus. Jika penanganan selesai, dan kasus
terselesaikan dengan intervensi yang sudah
122
dilakukan, maka kami anggap itu telah terminasi.
(Pendamping ID, 23 April 2020)
Berdasarkan hasil wawancara di atas, maka
kesimpulan dalam tahapan ini adalah terminasi pada
tahapan pekerjaan sosial dalam PKH tidak
menggunakan form khusus, namun apabila kasus telah
selesai tertangani dengan baik, maka itu artinya sama
saja dengan terminasi atau kasus telah ditutup.
3. Anak KPM yang Ingin Berhenti Sekolah
Tahapan yang dilakukan oleh Pendamping,
Supervisor, dan Koordinator Kota untuk menyelesaikan
kasus anak KPM yang ingin berhenti sekolah, antara lain:
a. Kontak Awal dan Identifikasi Kasus
Sama seperti kasus di atas, Pendamping
mendapatkan laporan kasus dari salah satu KPM
mengenai adanya anak dari KPM lain yang berencana
ingin tidak melanjutkan sekolah, seperti yang
diungkapkan di bawah ini:
Di bulan Februari 2019, kami menerima laporan
bahwa ada salah satu anak KPM yang sudah
beberapa hari tidak masuk sekolah dan berencana
untuk tidak melanjutkannya, pada saat itu kalau
tidak salah di tingkat SMP. Dikarenakan syarat
mendapatkan dana bantuan non tunai PKH ini anak
harus bersekolah dan minimal kehadiran 85% di
dalam kelas. Maka kami langsung menemui yang
bersangkutan. (Pendamping ID, 23 April 2020)
123
Hal senada juga diutarakan oleh Supervisor yang
juga turut serta mendatangi KPM,
Saya dengan Pendamping dari KPM tersebut
langsung melakukan home visit untuk bertemu
dengan KPM yang dimaksud dan anak yang
bersangkutan. Dikarenakan kasus ini harus segera
diurus maka kami tidak dapat menunda waktu
untuk langsung melaksanakan identifikasi kasus.
(SPV PKH DTWP, 13 April 2020)
Koordinator Kota juga turut langsung andil dalam
kasus ini, seperti yang dijelaskan dalam pernyataannya
di bawah ini:
Saya mendapatkan laporan pada saat itu dari
Supervisor ada salah satu anak KPM yang kabarnya
berencana untuk tidak ingin melanjutkan
sekolahnya. (Koordinator Kota AT, 11 Mei 2020)
Lebih lanjut Supervisor mengatakan,
Ketika kami bertemu dengan KPM, maka hal yang
dilakukan pertama kali adalah menanyakan
bagaimana keadaan anaknya pada saat itu, apakah
ada kendala selama proses belajar di sekolahnya,
dan lain-lain. Kami pun juga melakukan
pendekatan kepada si anak, mengapa dirinya tidak
ingin melanjutkan sekolah. (SPV PKH DTWP, 13
April 2020)
Pendamping ID juga mengatakan bahwa:
Kami bertemu dengan anak KPM, lalu melakukan
teknik dengan obrolan yang ringan-ringan terlebih
dahulu. (Pendamping ID, 23 April 2020)
Dari pernyataan informan di atas, maka kesimpulan
yang diperoleh ialah tahapan awal dari kasus ini adalah
124
dengan langsung melakukan home visit atau kunjungan
ke rumah KPM untuk menindaklanjuti laporan yang
diterima. Kemudian mulai melakukan kontak dan
identifikasi awal melalui obrolan yang sifatnya ringan
kepada KPM tertuju.
b. Assessment
Tahapan kedua ini dilakukan dengan mulai
menggali permasalahan lebih dalam kepada anak KPM
khususnya, dan orang tua. Seperti pernyataan
Supervisor di bawah ini:
Kami melakukan penggalian masalah lebih dalam
lagi. Sehingga kami menemukan alasan mengapa
anak tidak ingin melanjutkan sekolah, yaitu adanya
pembullyan yang dialami olehnya. (SPV PKH
DTWP, 13 April 2020)
Hal ini juga dibenarkan oleh Pendamping, yaitu:
Setelah saya dibantu dengan Supervisor mencari
tahu lebih detail penyebab anak KPM tidak ingin
melanjutkan sekolah, karena ia mengatakan bahwa
dirinya dibully oleh teman-teman di sekolahnya
karena belum membayar uang spp. (Pendamping
ID, 23 April 2020)
Disamping penyebab, terdapat hal lain yang
dikatakan oleh Koordinator Kota di dalam proses
asesmen pada kasus ini, yaitu:
Penyebab yang diketahui adalah adanya aksi
pembullyan oleh teman-temannya kepada anak
KPM dikarenakan belum membayarkan uang spp.
Dan ketika kami bertemu dengan KPM di
125
rumahnya, yang menggali permasalahan pasti lah
Supervisor dan Pendampingnya. Tugas saya hanya
mendampingi keduanya dalam proses ini.
(Koordinator Kota AT, 11 Mei 2020)
Supervisor juga menambahkan mengenai teknik
yang digunakan dalam melakukan asesmen kepada
KPM, yakni:
Teknik yang kami gunakan awalnya adalah dengan
memberi pengertian kepada anak bahwa kami dapat
membantu dirinya agar tidak mendapatkan
perlakuan pembullyan lagi di sekolahnya, ia dapat
menceritakan apa saja penyebab dari hal tersebut.
Dan kemudian ia menceritakan penyebabnya apa.
Karena dengan pembawaan yang ringan dan tidak
terlalu berat, maka mudah saja si anak
menceritakannya. (SPV PKH DTWP, 13 April
2020)
Berdasarkan hasil temuan dai wawancara di atas,
bahwa asesmen yang dilakukan oleh SDM PKH kepada
KPM yaitu dengan melakukan pendekatan kepada anak
KPM melalui obrolan ringan mengenai keadaan dirinya
di sekolah, sampai dengan menemukan penyebab anak
KPM tidak ingin melanjutkan sekolahnya. Dalam
proses ini, Korkot mendampingi Pendamping dan juga
Supervisor di dalam penggalian masalah.
c. Perencanaan Intervensi
Tahapan selanjutnya yang dilakukan oleh
Supervisor dan Pendamping ialah melakukan rencana
intervensi berupa koordinasi dengan pihak sekolah.
126
Selanjutnya kami melakukan perencanaan untuk
penyelesaian kasus ini, dengan koordinasi kepada
pihak sekolah. Tujuannya adalah agar pihak
sekolah mengetahui penyebab peserta didiknya
berencana untuk tidak melanjutkan sekolah.
Sehingga apabila pihak sekolah mengetahui maka
akan dibantu prosesnya agar anak dapat kembali ke
sekolah. Hal ini tentunya dapat terwujud apabila
koordinasi yang kami lakukan dengan pihak
sekolah berjalan baik dengan menyampaikan
maksud dan tujuan itu. (SPV PKH DTWP, 13 April
2020)
Kemudian spv lebih lanjut mengatakan, bahwa:
Apabila sudah dilakukan upaya koordinasi dengan
pihak sekolah, namun anak tetap tidak ingin
melanjutkan sekolahnya, maka kami memiliki
rencana kedua yaitu memindahkan anak KPM ke
PKBM. Dan upaya yang kami lakukan ini harus
tercapai dalam kurun waktu 2 minggu, agar KPM
juga tetap dapat mencairkan dana bantuan PKH,
karena salah satu syaratnya adalah apabila anak
KPM masih ada yang bersekolah maka minimal
85% harus hadir dalam kegiatan belajar mengajar.
(SPV PKH DTWP, 13 April 2020)
Hal senada juga dinyatakan oleh Pendamping,
yaitu:
Kami sudah melakukan rencana intervensi bersama
dengan Supervisor dan Korkot, yaitu apabila anak
ini tetap tidak ingin melanjutkan sekolahnya, maka
kami akan langsung berkoordinasi dengan PKBM
di wilayah tempat tinggal agar anak tetap
mendapatkan hak nya. (Pendamping ID, 23 April
2020)
127
Adanya rencana koordinasi dengan pihak PKBM
juga dijelaskan oleh Koordinasi Kota sebagai berikut:
Renacana yang kami susun juga akan berkoordinasi
dengan salah satu PKBM agar apabila anak tetap
tidak ingin melanjutkan pendidikan formalnya,
namun akan mendapatkan pendidikan non formal.
Agar dana bantuan PKH ini tetap didapatkan.
(Koordinator Kota AT, 11 Mei 2020)
Berdasarkan pernyataan informan di atas, maka
rencana intervensi yang dilakukan baik oleh
Pendamping, Supervisor, dan Koordinator Kota PKH
adalah dengan merencanakan sebuah upaya bagaimana
agar anak dari KPM ini tetap mendapatkan pendidikan
baik dari sekolah formal ataupun non formal. Dengan
sekolah non formal, Koordinator Kota dan Supervisor
akan berkoordinasi dengan PKBM yang berada di
wilayah tempat tinggal dari KPM.
d. Pelaksanaan Intervensi
Setelah melakukan rencana intervensi, maka
selanjutnya adalah dengan menjalankan apa yang telah
direncanakan. Seperti yang dijelaskan oleh
pendamping, yakni:
Setelah kami bertemu dengan pihak sekolah,
kemudian perwakilan sekolah bertemu dengan anak
KPM. Namun, si anak tetap tidak mau untuk
melanjutkan sekolahnya dikarenakan pembullyan
membuat anak mungkin trauma dengan teman-
temannya. Maka tanpa berpikir panjang, kami
langsung melakukan rencana kedua, yaitu
128
koordinasi dengan pihak PKBM agar anak dapat
diproses untuk mendapatkan pendidikan di PKBM.
(Pendamping ID, 23 April 2020)
Supervisor juga membenarkan mengenai anak dari
KPM yang tetap tidak ingin melanjutkan di sekolah
formalnya.
Sudah kami upayakan agar anak kembali ke
sekolah formal, tetapi tidak berhasil. Sehingga
PKBM menjadi pilihan kedua agar anak tetap
mendapatkan pendidikannya, dan dana bantuan non
tunai dari PKH juga tetap didapatkan, hal itu lah
yang kami tekankan kepada anak dan juga
orangtua. Dengan pemahaman dan pengertian yang
terus kami berikan, akhirnya anak setuju untuk
pindah ke PKBM. (SPV PKH DTWP, 13 April
2020)
Koordinasi dengan PKBM juga diperjelas oleh Korkot,
seperti pernyataannya di bawah ini:
Kami melaporkan hasil nya terlebih dahulu kepada
Dinas Sosial, kemudian berkoordinasi dengan
pihak PKBM agar membantu proses penerimaan
anak dari KPM untuk dapat menjadi peserta didik
di PKBM yang dituju. Dan upaya yang kita lakukan
tersebut membuahkan hasil yang baik.
(Koordinator Kota AT, 11 Mei 2020)
Dari hasil wawancara di atas, maka intervensi yang
dilakukan adalah dengan berkoordinasi dengan pihak
PKBM agar anak dari KPM dapat tetap mendapatkan
pendidikan yang setara dengan jenjang sebelumnya.
Upaya yang dilakukan pada akhirnya berhasil membuat
129
anak tetap sekolah walaupun pindah ke sekolah non
formal, dan dana bantuan sosial non tunai PKH tetap
didapatkan.
e. Monitoring dan Evaluasi
Setelah melakukan intervensi dan anak KPM
kembali bersekolah walaupun pindah ke dalam sekolah
non formal, pendamping tetap melakukan monitoring
agar selalu terpantau perkembangannya, sebagaimana
pernyataan Supervisor di bawah ini:
Tentunya monitoring selalu dilaksanakan oleh
Pendamping ke fasilitas-fasilitas pendidikan, tidak
terkecuali PKBM. (SPV PKH DTWP, 13 April
2020)
Hal ini dibenarkan oleh Pendamping yang
melakukan monitoring kepada anak KPM, yaitu:
Saya tetap melakukan monitoring dan juga
koordinasi secara rutin dengan pihak PKBM.
Memantau bagaimana absensi dan kondisi si anak
ini ketika mengikuti proses KBM (Kegiatan Belajar
Mengajar). (Pendamping ID, 23 April 2020)
Koordinator Kota juga mengatakan hal serupa,
yaitu:
Koordinasi selalu kami lakukan agar tetap
terpantau bagaimana keadaan dan perkembangan
anak KPM sebagai peserta didik di sekolah, baik
sekolah formal maupun non formal. (Koordinator
Kota AT, 11 Mei 2020)
130
Disamping monitoring, evaluasi juga selalu
dilaksanakan apabila intervensi yang dilakukan oleh
Pendamping dilakukan, seperti pernyataan
Pendamping di bawah ini:
Seperti biasa, saya melaporkan perkembangan anak
KPM saat ini di PKBM. Melaporkan hasil yang
didapatkan dari sekolah terkait agar si anak ini tidak
kembali mengalami perundungan atau pembullyan.
(Pendamping ID, 23 April 2020)
Pendamping lain juga mengatakan hal yang senada,
yakni:
Iya setiap bulan kami selalu melaksanakan evaluasi
dengan Supervisor, Koorkot, dan Pendamping lain
perihal kegiatan yang telah kami laksanakan.
(Pendamping W, 22 April 2020)
Berdasarkan hasil wawancara informan di atas,
bahwa monitoring yang dilakukan oleh Pendamping
ID, yaitu selalu berkoordinasi dengan pihak PKBM,
melalui pencatatan laporan absensi dan keadaan anak
KPM selama mengikuti KBM. Hal itupun yang
dilaporkan kepada Supervisor dan Koordinator Kota
saat melaksanakan evaluasi.
f. Terminasi
Sama seperti dua kasus di atas, kasus ini pun
tertangani dan terselesaikan dengan baik. Hal tersebut
diungkapkan oleh Supervisor PKH di bawah ini:
Dengan kembalinya anak KPM mengenyam
pendidikan walaupun di sekolah formal, sama
131
artinya dengan memberikan kembali hak-hak yang
seharusnya terpenuhi. Kasus ini pun kami nyatakan
telah selesai dan tertangani dengan baik atas
bantuan berbagai pihak. (SPV PKH DTWP, 13
April 2020)
Pernyataan tersebut juga senada dengan yang
dikatakan oleh Koordinator Kota, yakni:
Atas koordinasi dan kerjasama dengan pihak
sekolah dan PKBM, akhirnya kasus ini dapat
terselesaikan. Anak KPM kami kembali bersekolah
walau konsepnya sedikit berbeda dengan sekolah
formal. Namun, hal itu diharapkan memberikan
kondisi yang lebih baik bagi anak khususnya.
(Koordinator Kota AT, 11 Mei 2020)
Disamping itu, Pendamping menambahkan
mengenai pengakhiran kasus atau tahap terminasi
dengan kesepakatan KPM agar tetap mengikuti aturan
dalam kepesertaannya sebagai anggota PKH.
Terminasi yang ada pada kasus ini ditandai dengan
kembali nya si anak untuk bersekolah, mau
mengikuti pelajaran, dan mematuhi aturan yang
berlaku baik dalam kepesertaan PKH ataupun
PKBM. (Pendamping ID, 23 April 2020)
Dari pernyataan informan di atas, temuan yang
diperoleh dari tahapan terminasi pada kasus ini adalah
ditandai dengan kembalinya anak untuk melaksanakan
kegiatan belajar mengajar walaupun harus pindah
sekolah karena kemauan anak KPM, dan kesepakatan
untuk mematuhi aturan yang berlaku baik dalam
132
kepesertaannya menjadi KPM PKH dan juga peserta
didik pada PKBM.
B. Sistem pada Manajemen Kasus
Pada komponen manajemen kasus, selanjutnya adalah
sistem. Sistem menjadi elemen pendukung untuk menjalankan
proses yang dilakukan dalam manajemen kasus. Program
Keluarga Harapan (PKH) khususnya di Wilayah Jakarta
Timur, menjalankan sistem melalui tiga indikator, yaitu dasar
hukum dan standar pelayanan, SDM dan supervisi, dan
Keluarga Penerima Manfaat. Di bawah ini adalah hasil
wawancara kepada para SDM dan KPM PKH mengenai sistem
manajemen kasus.
1. Dasar Hukum dan Standar Pelayanan
Metode pelayanan melalui manajemen kasus pada
Program Keluarga Harapan (PKH) didasari oleh aturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan kesejahteraan
sosial fakir miskin, hal ini seperti yang diungkapkan oleh
supervisor PKH, sebagai berikut:
Dalam melakukan pelayanan kepada KPM melalui
manajemen kasus, landasan hukum yang digunakan
antara lain Permensos Nomor 1 Tahun 2018 tentang
Pelaksanaan PKH, UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang
Kesejahteraan Sosial, UU Nomor 13 Tahun 2011
tentang Penanganan Fakir Miskin, dan UU Nomor 8
Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. (SPV
PKH DTWP, 13 April 2020)
133
Disamping itu, manajemen kasus PKH juga didasari
oleh pedoman dan aturan lain yang dijelaskan oleh Korkot
Jakarta Timur, antara lain:
Dasar hukum untuk melaksanakan Program Keluarga
Harapan sendiri adalah yang utama mengenai
pedomannya yaitu aturan tertulis mengenai pedoman
pelaksanaan, Dana Bantuan Non-Tunai, dan kerjasama
dengan Himbara untuk koordinasi mengenai
pengambilan dana bantuan. (Koordinator Kota AT, 11
Mei 2020)
Selain dasar hukum untuk melaksanakan manajemen
kasus pada PKH, terdapat standar pelayanan bagi
pendamping ketika akan memberikan pelayanan dan
pendampingan kepada KPM adalah pembekalan melalui
bimbingan teknis dan bimbingan pemantapan, seperti yang
dikatakan oleh pendamping 3, yaitu:
Untuk standar pelayanan ketika akan turun ke
lapangan, kami dibekali Bimtek dan Bimtap
Peningkatan Kapasitas Pendamping PKH dari
Kemensos. Sedangkan untuk pelatihan manajemen
kasus sendiri kami belum pernah lakukan. Hanya ada
pelatihan mandiri mengenai FDS oleh supervisor PKH.
(Pendamping CW, 14 Mei 2020)
Tidak hanya itu, pendamping lain juga menyebutkan,
bahwa juga terdapat modul pelatihan yang harus dipelajari
lebih dulu sebelum memberikan materi dan juga pelayanan
secara langsung kepada KPM, seperti yang penjelasan
pendamping di bawah ini:
Setelah adanya pelatihan untuk pendamping oleh
Kemensos, kami juga dibekali modul untuk pola asuh
134
anak, ekonomi, dan kesejahteraan sosial seperti
disabilitas dan lansia. Di dalam modul tersebut banyak
materi yang harus kami sampaikan dan jelaskan kepada
KPM. (Pendamping W, 22 April 2020)
Hal lain yang termasuk ke dalam standar pelayanan
dari sistem manajemen kasus, ialah database KPM. Seperti
pernyataan supervisor di bawah ini:
Untuk database identitas KPM, kami lakukan
penginputan di awal keanggotaan yang dilakukan oleh
pendamping. Pendataan ini dilakukan untuk
memvalidasi data yang didapatkan dari Kemensos. Dan
terkait laporan catatan kasus, kami memuatnya dalam
bentuk laporan tertulis yang akan dilaporkan kepada
koordinator kota setiap bulannya. (SPV PKH DTWP,
13 April 2020)
Pernyataan di atas juga senada dengan penjelasan oleh
pendamping di bawah ini:
Setiap bulannya kami melaporkan kasus-kasus dan
kegiatan yang telah dilaksanakan. Sebagai bahan
laporan selama sebulan kepada supervisor dan
koordinator kota. Laporan itu tidak dalam bentuk soft
copy, melainkan hard copy. (Pendamping ID, 23 April
2020)
Terkait dengan laporan kegiatan bulanan juga
dikatakan oleh Korkot, yakni:
Dalam kegiatan evaluasi di akhir bulan, para
pendamping melaporkannya kepada saya dan
supervisor. Setelah itu kami lakukan CKP (Ceklist
Kegiatan Pendamping). Artinya, kami juga melakukan
validasi kembali mengenai kegiatan-kegiatan yang
sudah dilaksanakan. (Koordinator Kota AT, 11 Mei
2020)
135
Berdasarkan pernyataan tiga informan di atas,
mengenai standar pelayanan pelaporan kasus di setiap
bulannya, pendamping dan supervisor juga membuat
laporan secara tertulis yang mana nantinya pada saat
pertemuan bulanan SDM PKH akan dicocokkan kembali
dengan kegiatan yang sudah dilaksanakan sebelumnya.
Disamping itu, untuk database KPM PKH pendamping
melakukan penginputan untuk memvalidasi keanggotaan
yang telah terdaftar.
Untuk standar pelayanan yang dikhususkan di masa
pandemic Covid-19, Korkot menyatakan bahwa:
Semua SDM PKH tanpa terkecuali harus selalu
menekankan protokol kesehatan, mulai dari
penggunaan masker, siap sedia hand sanitizer, dan
selalu jaga jarak setiap bertemu. Hal ini juga sebagai
antisipasi dan menjaga pelayanan kepada KPM agar
selalu prima di tengah kondisi saat ini. (Koordinator
Kota AT, 11 Mei 2020)
Selain itu, sejalan dengan protokol kesehatan yang
ditekankan oleh Korkot, maka pendamping juga
mengatakan bahwa:
Saat ini pertemuan, pemberian materi P2K2, serta
pelayanan lainnya kami alihkan via WhatsApp. Kami
buatkan grup yang berisikan ketua kelompok KPM
PKH, untuk tetap saling berkoordinasi. Kemudian,
disamping itu kami menugaskan ketua untuk
menginformasikan kembali kepada para anggota
kelompoknya masing-masing. (Pendamping ID, 23
April 2020)
136
Terkait dengan dialihkannya pemberian materi melalui
online, juga dikatakan oleh salah satu KPM, yaitu:
Iya sekarang tidak ada pertemuan langsung dulu
dengan pendamping dan KPM yang lain, karena takut
terpapar virus corona makanya pendamping
membuatkan grup di wa untuk para KPM. (KPM A, 14
Mei 2020)
Dari hasil wawancara kepada para informan mengenai
dasar hukum dan standar pelayanan yang diberlakukan
dalam manajemen kasus pada PKH, antara lain dijalankan
atas dasar Peraturan Presdien mengenai Penyaluran
Bantuan Sosial Non-Tunai, Peraturan Menteri Sosial
mengenai pelaksanaan PKH, SK Dirjen tentang Pedoman
Umum PKH, UU tentang Kesejahteraan Sosial, Fakir
Miskin, Penyandang Disabilitas, dan juga mengenai
kerjasama dengan himpunan Bank negara. Serta standar
pelayanan yang dijalankan oleh para SDM PKH untuk
memberikan pelayanan dan penanganan kasus khususnya
melalui manajemen kasus, dengan melakukan terlebih
dahulu diklat dan juga pembelajaran pendamping dengan
modul materi mengenai pola asuh anak, ekonomi, dan
kesejahteraan sosial seperti disabilitas dan lansia.
Dan untuk saat ini, di tengah pandemic Covid-19,
seluruh SDM PKH diwajibkan untuk menjalankan
protokol kesehatan dan juga untuk para KPM PKH untuk
menerima pelayanan, pemberian materi, dan/atau
penyuluhan melalui online. Hal-hal ini dilakukan karena
untuk meminimalisir baik jumlah ODP ataupun PDP.
137
2. SDM dan Supervisi
Pada sistem PKH, terdapat Sumber Daya Manusia
(SDM) khususnya pada wilayah Jakarta Timur, yaitu
Koordinator Kota, Supervisor, dan Pendamping Sosial
PKH. Ketiganya melakukan koordinasi sebagai upaya
dalam manajemen kasus Program Keluarga Harapan
(PKH). Terkait dengan koordinasi, dimulai dengan adanya
laporan yang diterima oleh Pendamping, setelah mendapati
kasus di lapangan maka segera melaporkan kepada
Supervisor dan Korkot, seperti yang dijelaskan oleh
pendamping di bawah ini:
Jadi untuk koordinasi atau kerjasama awal yang
dilakukan pendamping adalah dengan Supervisor PKH
dan juga Korkot. Terutama spv, karena tugas utamanya
adalah memberikan dampingan khususnya dalam
pelaksanaan manajemen kasus kepada pendamping.
Kemudian, juga melakukan koordinasi dengan
KasiKesra dan KasatPel di tingkat kecamatan, untuk
menginformasikan pembaharuan terkait PKH.
(Pendamping CW, 14 Mei 2020)
Tidak sampai pada Supervisor dan Korkot, koordinasi
juga dilakukan dengan banyak pihak sampai dengan
lembaga sosial dan menunjang komplementaritas untuk
KPM, seperti pernyataan di bawah ini:
Pada lembaga pendidikan misalnya, ada hubungan
kerjasama dengan beberapa PKBM di wilayah Jakarta
Timur untuk KPM yang memang tidak dapat
melanjutkan pendidikan di sekolah formal. Lalu
memfasilitasi komplementaritas yang dibutuhkan
KPM, seperti BPJS, KJP, dan Kartu Lansia Jakarta.
Serta tidak lupa dengan sakti peksos, karena ada
138
pelayanan sendiri juga untuk penanganan kdrt atau
narkoba. (Pendamping ID, 23 April 2020)
Selain pendamping, koordinasi juga dilakukan oleh
Supervisor PKH untuk menghubungkan antara KPM
dengan sistem sumber, misalnya kepada Dinas Sosial
Kota/Kabupaten, sekolah, RT, RW, dan lain-lain seperti
pernyataan yang diungkapkan, yakni:
Komunikasi yang terlebih dahulu adalah dengan Pihak
Dinas Sosial Kota/Kab setempat, karena Dinas Sosial
Kota/Kab merupakan penanggung jawab PKH di
daerah. Selanjutnya melakukan kordinasi dengan
pihak-pihak yang terkait dengan kasus tersebut,
diantaranya LBH, RPSA, P2TP2A, Sakti Peksos,
Sekolah, Sekolah Paket, Kelurahan, Kecamatan, RT,
RW, Rumah Sakit, dan lain sebagainya. (SPV PKH
DTWP, 13 April 2020)
Selanjutnya, Koordinator Kota (Korkot) juga
melakukan koordinasi apabila pihak yang dituju untuk
melayani kebutuhan KPM tidak menyetujui atau
mempersulit proses yang dilakukan, seperti yang Korkot
sampaikan, bahwa:
Kerjasama maupun koordinasi yang dilakukan adalah
menjembatani antara Pendamping Sosial PKH yang
bertugas dengan sistem yang dibutuhkan untuk KPM.
Jika seandainya di tengah jalan pada saat proses
tersebut dilakukan tidak disetujui oleh pihak yang
dituju, maka saya melaporkan hal demikian kepada
Koordinator Wilayah, lalu misalkan sampai di situ
belum ada persetujuan juga maka lanjut ke Koordinator
Regional, dan kalau Koreg pun juga tidak ada titik
terang, maka akan kami buatkan laporan langsung ke
Kementerian Sosial bahwa terdapat Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) yang menolak, tidak
139
menyetujui, atau mempersulit KPM PKH.
(Koordinator Kota AT, 11 Mei 2020)
Berdasarkan hasil wawancara dari para informan di
atas mengenai koordinasi yang dilakukan kepada berbagai
pihak, antara lain Dinas Sosial Kota/Kabupaten,
KasiKesra, KasatPel, LBH, RPSA, P2TP2A, Sakti Peksos,
Sekolah, Sekolah Paket, RT, RW, Rumah Sakit, dan lain
sebagainya. Setelah terhubung dan pihak yang dituju
menyetujui laporan dan kebutuhan yang diberikan, maka
kerjasama dalam memberikan pelayanan kepada KPM pun
dapat terlaksana.
Disamping itu, dalam pelaksanaan manajemen kasus
pada PKH juga terdapat kegiatan supervisi yang dilakukan
antara supervisor, pendamping, dan juga koordinator kota.
Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh supervisor
PKH, sebagai berikut:
Dalam struktur organisasi pelaksana atau SDM PKH di
wilayah Kabupaten/Kota, terdapat Koordinator Kota,
Supervisor, dan Pendamping. Masing-masing memiliki
tanggung jawab dan kewenangan sendiri. Saya sebagai
supervisor memiliki tugas yaitu monitoring
pelaksanaan P2K2, manajemen kasus, penanganan
pengaduan, serta media dan informasi. (SPV PKH
DTWP, 13 April 2020)
Lebih lanjut, beliau mengatakan,
Selain itu, sudah sangat jelas bahwa saya juga
melakukan kegiatan supervisi kepada para pendamping
PKH. Hal yang dilakukan adalah mengecek catatan dan
laporan terkait perkembangan kasus, mentransfer
pengetahuan dan keterampilan manajemen kasus ke
140
pendamping, mendampingi pendamping dalam
mengkakses pelayanan komplementer, dan lain-lain.
(SPV PKH DTWP, 13 April 2020)
Koordinator kota juga menyatakan mengenai bentuk
kegiatan yang mana masih menjadi bagian dari
pelaksanaan manajemen kasus pada PKH, yakni:
Koordinator kota dengan supervisor PKH melakukan
kolaborasi atau kerjasama terkait dengan kegiatan
supervisi dan juga manajemen terkait kasus yang
ditemukan pada KPM. Manajemen yang dilakukan
korkot yaitu, mengorganisasikan dan
mengkoordinasikan kegiatan sesuai dengan kebijakan
PKH untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Dan untuk supervisi, hal yang saya lakukan hampir
sama dengan monev pelayanan. Yakni memantau dan
menilai kinerja yang telah dilakukan dari tiap-tiap
SDM PKH. (Koordinator Kota AT, 11 Mei 2020)
Selain itu, adanya pembahasan isu sesuai dengan
masalah dan kebutuhan KPM, dan juga penilaian terkait
dengan tugas yang telah dilaksanakan juga menjadi bagian
dari kegiatan supervisi, yang mana hal tersebut
diungkapkan oleh pendamping PKH, antara lain:
Pada dasarnya tugas utama pendamping sosial PKH
adalah memberikan dampingan, memfasilitasi KPM
kepada akses layanan, dan melakukan pemecahan
masalah yang KPM alami. Kita juga melakukan P2K2
mengenai isu pendidikan, ekonomi, dan sosial lainnya.
Setelah kami melaksanakan tugas, maka akan ada
kegiatan supervisi dengan supervisor. Di dalamnya
kami diajarkan dan dijelaskan bagaimana penanganan
isu sesuai dengan masalah dan kebutuhan KPM, dan
juga penilaian terkait dengan tugas yang telah kami
laksanakan. (Pendamping W, 22 April 2020)
141
Dari hasil wawancara dengan beberapa informan
mengenai SDM dan supervisi dalam PKH, temuan yang
didapat antara lain terdapat struktur organisasi pelaksana
PKH di Wilayah Jakarta Timur, yaitu Koordinator Kota,
Supervisor, dan Pendamping Sosial dengan memiliki
tanggung jawab dan kewenangan masing-masing, di
antaranya yaitu melakukan penanganan dari adanya
pengaduan kasus, pencatatan laporan kasus, melakukan
upaya kerjasama dan koordinasi dengan pihak-pihak dari
layanan yang dibutuhkan oleh KPM, dan kegiatan
supervisi yang melibatkan seluruh SDM PKH.
3. Keluarga Penerima Manfaat (KPM)
KPM PKH adalah keluarga penerima manfaat bantuan
sosial non tunai melalui program keluarga harapan. Dalam
manajemen kasus sendiri, KPM terdiri dari anak-anak dan
keluarga yang harus dilibatkan untuk memperbaiki situasi
mereka. Hal ini diungkapkan oleh salah satu pendamping,
antara lain:
Dalam memberikan pelayanan untuk menyelesaikan
sebuah kasus, KPM selalu kami libatkan untuk turut
serta mengetahui apa saja kebutuhannya. Pendamping
pun berperan cukup besar dalam hal ini, sehingga
mereka dapat dengan mudah paham dengan
penyelesaian yang seharusnya dilakukan, dan hal
tersebut membantu memperbaiki situasi dan kondisi
pada keluarga yang memiliki permasalahan.
(Pendamping ID, 23 April 2020)
142
Pernyataan senada juga disampaikan oleh pendamping
yang lain, bahwa adanya keterlibatan KPM dalam
memahami kebutuhannya bertujuan untuk membangun
kemandirian mereka,
Pentingnya kemandirian dari KPM menjadi salah satu
tujuan yang harus kita bangun. Dan hal tersebut dimulai
dengan mengikutsertakan KPM ketika rencana
intervensi dilaksanakan. Dan itu juga dapat
mempermudah proses pelayanan manajemen kasus
yang akan dilakukan. (Pendamping CW, 14 Mei 2020)
Disamping itu, berkaitan dengan pelayanan dan
pendampingan yang baik oleh pendamping PKH kepada
KPM, hal tersebut telah dirasakan oleh salah satu KPM,
yaitu sebagai berikut:
Selama ini pelayanan yang telah dilakukan
pendamping sudah baik. Ketika saya sedang
membutuhkan bantuan mengenai bagaimana
pemasaran dagangan saya, itu dibantu oleh
pendamping, dan diarahkan misalnya saya jualkan dulu
ke KPM yang lain, setelah itu dicoba titipkan ke e-
warong dan pasar terdekat. Selain itu, kami juga
diberikan pengetahuan dalam P2K2, seperti cara
mendidik anak, dan mengelola keuangan. (KPM A, 14
Mei 2020)
Hal serupa juga dikatakan oleh KPM yang telah
digraduasi mandiri di tahun 2019 silam mengenai bentuk
pelayanan yang telah ia dapatkan selama terdaftar menjadi
peserta PKH, yaitu:
Ilmu yang diajarkan oleh pendamping memberikan
ilmu kepada saya bagaimana mengelola keuangan yang
143
baik agar pengeluaran tidak melebihi pendapatan.
Sampai saya sudah membuka warung walaupun masih
kecil-kecilan itu juga karena masukkan dan arahan dari
pendamping agar dapat menambah pendapatan, dan
Alhamdulillah saat ini saya sudah graduasi mandiri dari
PKH. (KPM T, 21 Mei 2020)
Dari hasil wawancara di atas, terdapat beberapa
kesimpulan yang didapat, yaitu KPM 1 menyatakan bahwa
pelayanan yang diberikan oleh pendamping khususnya
untuk kasus yang ia alami sudah baik dan membantunya
untuk menemukan jalan keluar terkait penjualan barang
dagangannya. Ia juga mengatakan jika pendamping juka
memberikan pengetahuan akan materi mengenai cara
mendidik anak, mengelola keuangan dengam bijak, dan
lain-lain. Dan hal tersebut diperkuat dengan pernyataan
KPM 2, yang mana atas ilmu, pelayanan, dan bantuan dari
pendamping, ia mampu graduasi mandiri dari kepesertaan
PKH, hingga pada akhirnya sudah mampu untuk memiliki
warung sembako milik sendiri, dan dapat memenuhi
kebutuhan sehari-hari dirinya dan keluarganya.
144
BAB V
PEMBAHASAN
Pada bab ini, penulis akan mendeskripsikan hasil temuan
dari manajemen kasus pada Program Keluarga Harapan (PKH) di
wilayah Jakarta Timur yang terdapat di dalam bab IV dan
pembahasan terkait temuan tersebut akan ditinjau dari teori yang
terdapat pada bab II. Di bab II, Manajemen Kasus dalam
pelayanannya memiliki dua komponen utama (O'Connor 1990,
444-448) dalam Modul Pelatihan Manajemen Kasus Pekerja Sosial
dan Pendamping (2018), yakni komponen proses dan komponen
sistem. Yang mana dari komponen proses, menghasilkan tiga
model utama dalam manajemen kasus (Dinata and Laksmono
2018), yaitu model minimalis, model komprehensif, dan model
intervensi krisis. Kemudian pada komponen sistem, terdapat
indikator berupa dasar hukum dan standar pelayanan, Sumber
Daya Manusia (SDM) dan supervisi, dan Keluarga Penerima
Manfaat.
A. Manajemen Kasus pada Program Keluarga Harapan
(PKH) di wilayah Jakarta Timur
1. Proses pada Manajemen Kasus
Dalam proses manajemen kasus, idealnya dilakukan
oleh case manager, supervisor, dan case worker (bab II h.
18) dengan menjalankan tahapan-tahapan pekerjaan sosial
dimulai dari kontak awal dan identifikasi kasus sampai
145
dengan terminasi (bab II h. 25). Proses yang dilakukan
tidak selalu linier atau melewati seluruh tahapan, akan
tetapi menyesuaikan dengan karakteristik kasus yang
terjadi di lapangan. Pada penelitian ini, penulis akan
membahas bagaimana kasus-kasus yang ditemukan di
dalam bab IV pada KPM PKH, diselesaikan dengan
tahapan dalam proses manajemen kasus melalui tiga
model, yaitu model minimalis, model intervensi krisis, dan
model komprehensif.
a. Tahapan dalam Manajemen Kasus
1) Proses Awal dan Identifikasi Kasus
Pada tahap pertama ini, merupakan proses
pengenalan dengan klien dan juga permasalahan
apa yang dialaminya, hal ini dilakukan dengan
mulai mencari informasi-informasi awal dari kasus
yang akan ditanganinya (bab II h. 28). Di proses
awal ini, peksos harus membangun hubungan yang
baik mempergunakan teknik, seperti hal nya
komunikasi verbal dan non-verbal (bab II h. 29).
Dari hasil temuan di lapangan, proses awal yang
dilakukan oleh pendamping dan supervisor ketika
menerima laporan, dan selanjutnya langsung
merespon kasus dengan langsung mendatangi KPM
ke rumahnya atau home visit (bab IV h. 100). Saat
pertemuan dengan KPM, maka hal pertama yang
dilakukan adalah mengawalinya dengan
146
percakapan yang sifatnya ringan untuk identifikasi
kasus (bab IV h. 100) di setiap kasus yang
membutuhkan pertemuan dengan KPM, hal ini
relevan dengan teknik yang dipergunakan peksos
melalui komunikasi interpersonal sebagai
komunikasi langsung yang dibangun dengan klien
(bab II h. 29), sehingga pendamping dan supervisor
akan mengetahui dengan bertahap alur
permasalahannya.
Berdasarkan teori yang tertera di dalam modul
pelatihan manajemen kasus tahun 2018, terdapat
alur proses awal dan identifikasi kasus (bab IV h.
29) yang menjadi bahan bagi peksos dalam
melakukan manajemen kasus. Hal ini senada
dengan yang dilakukan oleh pendamping dan
supervisor PKH saat melaksanakan tugas untuk
memberikan penanganan kasus kepada KPM (bab
IV h. 29).
2) Assessment
Tahapan kedua ini diartikan sebagai
pengumpulan sekaligus penggalian informasi lebih
lanjut mengenai permasalahan klien, dan proses ini
dapat dilakukan dengan menggunakan alat atau
tools untuk menggambarkan bagaimana urutan
kejadian yang dialami (bab II h. 30). Berdasarkan
temuan hasil wawancara mengenai tahapan
147
asesmen ini, didapatkan bahwa pada praktinya di
lapangan, SDM PKH khususnya di Jakarta Timur
menggunakan format asesmen yang disusun secara
mandiri oleh supervisor ketika menggali informasi
dengan KPM (bab IV h. 102) , dikatakan lebih
lanjut, pada PKH belum terdapat peraturan
mengenai standar pelayanan dalam menggunakan
format yang dikhususkan dalam manajemen kasus.
Sehingga, pendamping dan supervisor hanya
menggunakan form yang berisikan identitas KPM,
waktu dan tempat kejadian, serta bagaimana alur
permasalahannya saja (bab IV h. 102).
Disamping itu, dalam mengasesmen suatu
kasus, supervisor dan pendamping dituntut mampu
mempergunakan teknik yang mana membuat KPM
akan menginformasikan bagaimana alur
permasalahan yang sebenarnya terjadi, seperti
memberi pengertian dan membuat KPM merasa
aman saat menjelaskan kronologi kejadian (bab IV
h. 119). Hal ini tentunya senada dengan teori yang
dikemukakan oleh Elizabeth Nicholds mengutip
dalam (Budhi Wibawa, 1985) (bab II h. 31), bahwa
saat wawancara peksos menggunakan beberapa
teknik, yakni volume suara yang tidak tinggi, tidak
diperbolehkan menunjukkan raut wajah bosan,
memperhatikan keterampilan dalam
148
memperhatikan, membuka percakapan,
mendengarkan, dan menjawab pertanyaan.
Sehingga akan terbangun rasa nyaman bagi klien
saat bertemu dengan peksos.
Berdasarkan teori terdapat delapan alur
asesmen pada proses manajemen kasus (bab II h.
30), tetapi temuan yang dihasilkan atas wawancara
yang telah dilakukan, bahwa pada asesmen
manajemen kasus di PKH Jakarta Timur sendiri,
menyesuaikan dengan kasus yang ada. Dan pada
proses penggalian masalah, peksos supervisor dan
pendamping dituntut untuk mempergunakan teknik
komunikasi yang digunakan pada saat wawancara
atau interview dengan KPM.
3) Perencanaan Intervensi
Pada perencanaan intervensi yang digunakan
pada manajemen kasus PKH, adalah dengan
menganalisa lebih dulu kronologi kejadian, lalu
memprioritaskan permasalahan, selain itu
perencanaan intervensi juga melibatkan penyedia
layanan lain apabila rujukan diperlukan seperti
pada kasus ketiga pada (bab IV h. 120). Rencana
intervensi pun harus mempergunakan data yang
diperoleh dari hasil asesmen (bab II h. 33),
sehingga saat merencanakan intervensi akan lebih
fokus pada apa yang akan ditangani lebih dulu.
149
Berdasarkan teori mengenai perencanaan
intervensi yang terdapat pada modul pedoman
manajemen kasus 2018, bahwa peksos dalam
tahapan ini menggunakan sebuah metode yaitu
SMART (bab II h. 34) untuk mencapai tujuan dari
intervensi yang akan dilakukan. Pada manajemen
kasus PKH ini, pendamping dan supervisor tidak
secara langsung mempergunakan metode SMART
ini, akan tetapi tetap menerapkan unsur-unsur di
dalamnya (bab IV h. 120). Dan biasanya pada
peksos bersama dengan profesi lainnya menyusun
perencanaan ini atau dapat juga melakukan
pertemuan keluarga dan/atau konferensi keluarga
(bab II h. 33). Hal tersebut senada dengan salah satu
kasus dalam temuan penelitian ini, yakni
melakukan perencanaan intervensi sekaligus
intervensi dengan melakukan konferensi keluarga
(bab IV h. 111). Hal ini kemudian digunakan oleh
manajemen kasus untuk membantu klien dalam
menyelesaikan permasalahannya.
4) Pelaksanaan Intervensi
Tahapan keempat ini, merupakan pelaksanaan
dari rencana intervensi yang telah dilakukan oleh
pekerja sosial dan juga melalui hasil asesmen
sebelumnya (bab II h. 34). Pelaksanaan intervensi
yang dilakukan oleh SDM PKH dalam memberikan
150
pelayanan kepada KPM melalui manajemen kasus,
adalah dengan menekankan pada koordinasi
dengan berbagai pihak, seperti yang dilakukan oleh
pendamping, supervisor, dan koordinator kota pada
kasus ketiga yang ditemukan (bab IV h. 122). Hal
tersebut juga senada dengan tugas pelaksana PKH
di kecamatan, yakni membangun jejaring dan
kemitraan dengan berbagai pihak dalam
pelaksanaan PKH (bab III h. 81).
Pada kasus yang ditemukan pada bab IV,
pendamping dan supervisor melakukan
pendampingan kepada KPM dengan
mempertemukan anggota keluarga (bab IV h. 112),
dan juga menghubungkan penyedia layanan seperti
PKBM dengan KPM (bab IV h. 122). Berdasarkan
hal tersebut, senada dengan modul pedoman
manajemen kasus tahun 2018, bahwa pada
dasarnya memiliki dua kegiatan utama, yaitu
peksos atau pendamping mengatasi sendiri
permasalahan yang dialami oleh klien, dan/ atau
menghubungkan klien dengan sistem sumber yang
dibutuhkan (bab II h. 34).
5) Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi (monev) merupakan
tahapan kelima dalam proses manajemen kasus.
Pada tahap ini, bertujuan untuk mengetahui
151
keberhasilan dari pelaksanaan intervensi (bab II h.
35). Hal itu lah yang menjadi dasar bagi
pendamping, supervisor, dan koordinator kota
dalam menilai dan melihat apa saja pelayanan yang
telah dilakukan dan nantinya dilakukan pengecekan
kembali terkait dengan tugas-tugas nya melalui
monitoring, dan untuk evaluasi hal yang dilakukan
yakni bersama dengan SDM PKH lain memaparkan
hasil laporan kasus yang sudah dilakukan. Sehingga
akan terlihat apa yang menjadi kekurangan dalam
memberikan pelayanan dan apa yang masih tetap
dijalankan oleh pendamping (bab IV h. 114), hal ini
senada dengan teori model evaluasi, salah satu nya
yang sesuai adalah evaluasi akhir yang diuraikan
oleh Pietrzak, dkk (1990) (bab II h. 36).
Temuan di atas juga senada dengan tujuan dari
monitoring itu sendiri, yaitu mengetahui,
memastikan pelaksanaan kegiatan PKH berjalan
dengan baik, dan memberikan masukan kepada
penanggungjawab PKH mengenai upaya perbaikan
dalam perancanaan maupun dalam pelaksanaan
PKH (bab III h. 84). Disamping itu, untuk evaluasi
sendiri, yakni mengidentifikasi tingkat pencapaian
tujuan yang telah disusun dalam rencana kerja
tahunan (bab III h. 87).
152
6) Terminasi
Terminasi merupakan tahapan terakhir dalam
proses manajemen kasus, dan diartikan juga
sebagai pemutusan relasi pertolongan antara peksos
atau pendamping dengan klien dan pihak-pihak
yang terlibat dalam seluruh rangkaian proses
manajemen kasus (bab II h. 35). Tahap ini juga
masih melibatkan klien atau dalam PKH disebut
dengan KPM, selain itu sesuai dengan teori nya
bahwa terminasi juga disaksikan oleh banyak
pihak, tidak hanya antara peksos dengan klien.
Berdasarkan hasil temuan di lapangan
mengenai tahap terminasi manajemen kasus pada
PKH, tidak ada form khusus terkait dengan
pengakhiran kontrak pelayanan (bab IV h. 115),
seperti yang dijelaskan pada (bab II h. 36), yakni
diakhiri dengan penandatanganan formulir oleh
klien. Pada PKH sendiri, apabila kasus telah
tertangani dengan baik oleh pendamping dan/atau
supervisor, maka kasus tersebut telah selesai,
namun pengakhiran ini tetap diketahui antara
pendamping atau supervisor dan juga KPM.
b. Model dalam Manajemen Kasus
Sebagaimana teori model manajemen kasus yang
didefinisikan oleh Solomon (bab II h. 35), bahwa ketiga
kasus yang ditemukan pada KPM PKH termasuk ke
153
dalam model tersebut, yakni expanded broker model,
personal strengths model, dan full support model.
Berdasarkan model tersebut, kasus-kasus yang
ditemukan dan menggunakan manajemen kasus
sebagai metode pemberian pelayanan yang mana dalam
PKH dilakukan oleh Pekerja Sosial Supervisor dibantu
dengan Pendamping Sosial, menyediakan kebutuhan-
kebutuhan dari penyedia pelayanan bagi KPM. Melalui
proses atau tahapan di dalam tugasnya, supervisor dan
pendamping menghubungkan kebutuhan tersebut
dengan sistem yang berkaitan (bab IV h. 134).
Disamping itu, dilihat dari personal strength model,
bahwa pendamping membantu KPM untuk membantu
klien untuk mengetahui kekuatan apa yang dimilikinya
untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi (bab
IV h. 144). Dan tidak hanya itu, dengan bekerjasama
dengan multidisiplin, baik supervisor dan pendamping
juga memberikan dukungan penuh dalam memberikan
pelayanan yang dibutuhkan oleh KPM, sehingga KPM
mendapatkan apa yang menjadi kebutuhannya.
2. Sistem pada Manajemen Kasus
Komponen sistem menjadi pendukung dalam proses
atau tahapan praktik manajemen kasus. Komponen ini
dinilai sangat penting karena memperkuat keberhasilan
dari pelayanan dan penanganan yang dilaksanakan oleh
pekerja sosial atau pendamping (bab IV h. 36). Sesuai
154
dengan Toolkit Manajemen Kasus (bab IV h. 18), penulis
akan membahas sistem pada manajemen kasus dengan tiga
indikator, yaitu dasar hukum dan standar pelayanan, SDM
dan supervisi, dan Keluarga Penerima Manfaat (KPM).
a. Dasar Hukum dan Standar Pelayanan
Komponen ini pada sistem manajemen kasus
memuat landasan hukum dan standar pelayanan yang
digunakan SDM PKH untuk menjalankan proses
pelayanan dan penanganan bagi KPM. Adapun dasar
hukum yang digunakan adalah dengan mengacu pada
perundang-undangan yang berkaitan dengan
kesejahteraan sosial fakir miskin (bab IV h. 29). Dasar
hukum ini, akan memperkuat intervensi dan juga
perlindungan bagi KPM (bab II h. 18).
Berkaitan dengan perlindungan sosial, PKH
menjadi salah satu program pemerintah untuk
mengentasan masalah kemiskinan dan mengarahkan
agar para anggota nya diharapkan mandiri setelah
berhasil melewati problematika yang bersinggungan
dengan kepesertaannya menjadi KPM PKH (bab II h.
43). Tidak hanya itu, program ini juga diinisiasikan
pemerintah sebagai jaminan sosial bagi seluruh rakyat
dan merupakan perangkat hukum untuk
mengimplementasikan amanat Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (bab II h. 57).
155
Disamping dasar hukum yang menjadi landasan
bagi SDM PKH untuk melaksanakan tugas dan
tanggung jawab, tentunya terdapat hal lain yang tidak
kalah penting, yakni standar pelayanan. Standar
pelayanan manajemen kasus khusus pada PKH, dengan
mengedepankan kode etik yang tertuang dalam
Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan
Sosial Nomor 01/LJS/08/2018 tentang Kode Etik
Sumber Daya Manusia Program Keluarga Harapan
(bab III h. 79). Selanjutnya, berkaitan dengan
pembekalan bagi para pendamping sosial, juga sebelum
ditugaskan akan menjalankan serangkaian bimbingan
teknis dan bimbingan pemantapan (bab IV h. 29), hal
ini bertujuan agar para pendamping memiliki standar
kemampuan dalam memberikan pelayanan kepada
KPM. Selain itu, adanya pembekalan kepada para
pendamping menjadi mekanisme dalam peningkatan
kapasitas SDM (bab III h. 80).
Tidak hanya kedua hal tersebut di atas, namun
untuk identitas dari keanggotaan KPM PKH dimuat
dalam suatu database, yakni Management Information
System (bab III h. 83) yang divalidasi sebelumnya oleh
pendamping di awal kepesertaan para KPM (bab IV h.
31), dan untuk catatan laporan kasus di setiap bulannya,
juga dilakukan oleh pendamping dan supervisor
dengan melampirkan form dan pendeskripsian secara
156
tertulis (bab IV h. 30). Pelaporan tersebut, nantinya
akan dibahas dalam suatu pertemuan yang rutin
diadakan, yaitu monitoring dan evaluasi bersama
dengan seluruh SDM PKH Jakarta Timur. Serta hasil
dari proses monitoring dan evaluasi disajikan dalam
bentuk laporan yang dapat digunakan sebagai
rekomendasi dan rumusan kepada pemangku
kepentingan.
Kemudian, pada saat ini, di tengah pandemic
Covid-19, standar pelayanan diberlakukan bagi seluruh
SDM dan KPM PKH dengan melaksanakan protokol
kesehatan (bab IV h. 31), sehingga meminimalisir
angka ODP ataupun PDP, dan menunjukkan bahwa
PKH mematuhi aturan yang diberlakukan oleh
pemerintah.
b. SDM dan Supervisi
Indikator kedua pada sistem manajemen kasus,
ialah SDM dan supervisi. Keduanya dikatakan penting
karena bertanggung jawab untuk menerapkan dan
menegakkan hukum yang menjadi dasar dan/atau
landasan dalam memberikan pelayanan (bab II h. 18).
Temuan di lapangan, bahwa SDM PKH khususnya
pada tingkah Kabupaten/Kota, yang menjalankan
kewenangan dan tanggung jawab salah satunya
manajemen kasus, yakni terdapat Koordinator Kota,
Supervisor, dan Pendamping Sosial (bab IV h. 127).
157
Hal ini sedikit berbeda dengan teori yang dikemukakan
oleh Maryani (2018) bahwa terdapat tiga aktor utama
dalam manajemen kasus, yaitu case manager,
supervisor, dan case worker (bab II h. 19). Akan tetapi,
dalam hal ini supervisor PKH tetap menjalankan
perannya untuk mendampingi Pendamping Sosial dan
tentunya juga melakukan koordinasi dengan sistem
rujukan yang dibutuhkan oleh KPM (bab IV h. 128).
Tentunya hal ini diperkuat dengan pengertian
mengenai supervisor yang tertuang dalam teori pada
bab II.
Disamping itu, pendamping sosial PKH,
melakukan tugasnya untuk memberikan dampingan
kepada KPM PKH, seperti hal nya materi dan/atau
penyuluhan mengenai pendidikan, kesehatan, dan
kesejahteraan sosial pada saat pertemuan dalam
Pertemuan Peningkatan Kapasitas Keluarga (P2K2)
dan Family Development System (FDS) yang rutin
dilaksanakan bersama dengan KPM. Tidak hanya itu,
pendamping dalam manajemen kasus, juga membantu
supervisor dan korkot untuk mengupayakan koordinasi
dengan penyedia layanan yang dibutuhkan (bab IV h.
127). Hal demikian sesuai ketentuan tugas yang wajib
dilaksanakan oleh pelaksana PKH di Kecamatan, sebab
pendamping pun juga bertugas pada wilayah
158
dampingan di masing-masing kecamatan (bab III h.
78).
Setelah melaksanakan tugas dan perannya masing-
masing, para SDM PKH juga melakukan kegiatan
supervisi dengan supervisor, serta monitoring dan
evaluasi dengan koordinator kota (bab IV h. 129).
Supervisi yang dilakukan oleh supervisor dengan
melakukan pengecekan catatan dan laporan terkait
perkembangan kasus, mentransfer pengetahuan dan
keterampilan manajemen kasus ke pendamping,
mendampingi pendamping dalam mengkakses
pelayanan komplementer, dan lain-lain (bab IV h. 130).
Hal ini juga sesuai dengan fungsi dari supervisor itu
sendiri, yaitu fungsi administratif, fungsi edukatif, dan
fungsi suportif (bab II h. 22). Fungsi-fungsi yang
dilaksunan dimaksudkan guna memberikan
pemahaman lebih lanjut kepada para pendamping agar
lebih maksimal dalam memberikan pelayanan dengan
menggunakan metode manajemen kasus kepada para
KPM.
Begitupun dengan monitoring dan evaluasi, hal ini
dinilai penting karena melalui kegiatan tersebut, akan
terpantau dengan jelas bagaimana kinerja dari para
Pendamping, apakah sudah melaksanakan tugasnya
dengan baik dan benar, serta adanya pengecekan
kembali terkait dengan laporan kasus yang dibuatnya.
159
Monitoring dapat dilaksanakan pada saat kegiatan
sedang berlangsung atau dengan cara menganalisis
laporan dan perkembangan pelaksanaan PKH dalam
waktu tertentu melalui pengumpulan data dan
informasi tentang implementasi program (bab III h.
81), dan evaluasi menjadi salah satu bahan penilaian
bagi koordinator kota untuk capaian keberhasilan dari
pelayanan yang diberikan oleh pendamping.
c. Keluarga Penerima Manfaat
Indikator ini penting juga menjadi sistem pada
manajemen kasus, karena keterlibatan dan partisipasi
yang dapat mempengaruhi proses dan/ atau
tahapannya, seperti yang terdapat pada ketentuan hak
dan kewajiban KPM PKH (bab III h. 68). Berdasarkan
temuan di lapangan (bab IV h. 132), dilibatkan untuk
memperbaiki situasi mereka.
Dari adanya keberadaan KPM, nantinya kinerja
dari pendamping dapat terlihat. Artinya, apakah
pengetahuan, pemahaman, dan pengertian yang
diberikan ketika mengikuti kegiatan baik seperti FDS,
P2K2, ataupun saat melewati tahapan manajemen
kasus (bab IV h. 134). Berdasarkan hal tersebut, pada
intinya KPM mempelajari hal-hal yang diberikan oleh
pendamping, atau dengan kata lain belajar melalui
pengalaman langsung atau pengamatan kemudian
mencontoh dan mempraktikannya. Tentunya ini
160
berkaitan dengan teori belajar sosial yang dikemukakan
oleh Bandura (1977), dengan mengamati tingkah laku
manusia, dan melihatnya sebagai orang yang
berpengaruh terhadap lingkungannya, seperti
lingkungan berpengaruh terhadap dirinya (bab II h. 41).
Penjelasan di atas, juga selaras dengan pernyataan
KPM mengenai apa yang diterimanya selama
berkegiatan dengan pendamping di wilayahnya
masing-masing (bab IV h.136).
161
BAB VI
PENUTUP
Berdasarkan temuan dan pembahasan dalam bab-bab
sebelumnya, pada bab ini penulis akan menjelaskan kesimpulan
hasil penelitian mengenai Manajemen Kasus pada Program
Keluarga Harapan di wilayah Jakarta Timur, melalui dua aspek,
yaitu komponen proses dan komponen sistem. Di bawah ini
kesimpulan yang telah didapatkan:
A. Kesimpulan
Bagan 6.1 Tipe kasus, proses, dan model
No
Kasus
Proses atau
Tahapan
Model
Manajemen
Kasus
1 Kasus
Penyalahgunaan
Kartu
Kesejahteraan
Sosial (KKS) –
PKH
- Kontak awal
dan
identifikasi
kasus
- Asesmen
- Perencanaan
intervensi
- Pelaksanaan
intervensi
- Monitoring
dan evaluasi
- Terminasi
Personal
Strength Model
2 Penyalahgunaan
Dana Bantuan
Non-Tunai PKH
oleh KPM
- Kontak awal
dan
identifikasi
kasus
- Asesmen
Personal
Strength Model
162
- Pelaksanaan
intervensi
- Monitoring
dan evaluasi
- Terminasi
3 Anak KPM yang
Ingin Berhenti
Sekolah
- Kontak awal
dan
identifikasi
kasus
- Asesmen
- Perencanaan
intervensi
- Pelaksanaan
intervensi
- Monitoring
dan evaluasi
- Terminasi
Expanded
Broker Model
Manajemen Kasus menjadi salah satu metode yang
digunakan oleh Program Keluarga Harapan (PKH) untuk
memberikan pelayanan dan penanganan kasus yang dialami
oleh Keluarga Penerima Manfaat (KPM) khususnya di wilayah
Jakarta Timur, dengan menekankan pada upaya koordinasi
yang dilakukan kepada banyak pihak penyedia layanan.
Seperti pada bagan di atas, bahwa ketiga kasus di dalam
penelitian ini telah melaksanakan rangkaian dari proses atau
tahapan pekerjaan sosial, dan juga termasuk ke dalam model
yang terdapat di dalam manajemen kasus.
Selain proses, komponen pendukung pada manajemen
kasus adalah sistem. Sistem menjadi pelengkap bagi tahapan
pekerjaan sosial yang dijalankan, sehingga pelayanan yang
diberikan akan berjalan lebih maksimal. Di dalam sistem,
163
terdapat sub aspek berupa dasar hukum dan standar pelayanan,
SDM dan supervisi, dan Keluarga Penerima Manfaat. Dari
ketiga komponen tersebut, terlihat bahwa semua aspek
memainkan perannya untuk mendukung tahapan dari proses
manajemen kasus. Sehingga menjadi dasar dan aturan dalam
menerapkan praktik pekerjaan sosial baik untuk melindungi,
mendampingi, dan memberikan pelayanan terbaik bagi KPM
PKH.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan hasil pada penelitian skripsi ini,
penulis merasa perlu untuk memberikan saran kepada pihak-
pihak terkait mengenai manajemen kasus pada PKH di
Wilayah Jakarta Timur, antara lain:
1. Untuk Direktorat Jaminan Sosial Keluarga (Dit. JSK)
a. Sebagai pelaksana dari Program Keluarga Sosial,
diharapkan Dit. JSK menyusun suatu Standar
Operasional Prosedur (SOP) khusus manajemen kasus
pada PKH terkait pelayanan dan form yang dibutuhkan;
b. Mampu menyelenggarakan kegiatan berupa pelatihan
manajemen kasus terkhusus bagi para pendamping
sosial PKH; dan
c. Diharapkan dapat menambah jumlah SDM PKH,
sehingga dapat lebih maksimal dalam memberikan
pelayanan kepada para KPM yang berjumlah hingga
puluhan ribu di wilayah Jakarta Timur.
164
2. Untuk Koordinator Kota, Supervisor, dan Pendamping
Sosial
a. Mengusulkan kepada Dinas Sosial Jakarta Timur dan
Dit. JSK terkait dengan format laporan yang digunakan
pada saat proses atau tahapan dalam manajemen kasus;
b. Mempergunakan instrument asesmen pada saat
penggalian masalah bersama dengan KPM agar lebih
tepat dalam merencanakan intervensi; dan
c. Ketika dihadapkan dengan jumlah KPM yang lebih
banyak, maka diharapkan SDM PKH mampu
mengembangkan keterampilan kepemimpinan agar
memaksimalkan kinerjanya pada saat melakukan
kegiatan pertemuan.
165
DAFTAR PUSTAKA
Adi, I. R. 2001. Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat Dan
Intervensi Komunitas: Pengantar Pada Pemikiran Dan
Pendekatan Praktis. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas
Ekonomi UI.
Agusta, Ivanovich. 2003. “Teknik Pengumpulan Dan Analisis
Data Kualitatif.” Pusat Penelitian Sosial Ekonomi, Litbang
Pertanian, Bogor, 10.
Barker, R. L. 1995. The Social Work Dictionary. Washington DC:
NASW Press.
Barlian, Eri. 2016. Metodologi Penelitian Kualitatif Dan
Kuantitatif. Padang: Sukabina Press.
Cheng, Tyrone, Celia Lo, and Bethany G Womack. 2019.
“Working Alliances Promote Desirable Outcomes: A
Study of Case Management in the State of Alabama in the
USA.” British Journal of Social Work, 148.
databoks.katadata.co.id. 2020, 2020.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/08/23/ber
apa-jumlah-penerima-bantuan-program-keluarga-harapan.
DFID. 2005. Social Transfer and Chronic Poverty: Emerging
Evidence and the Challenge Ahead. London: DFID
Practice Paper.
166
Dinata, Rendiansyah Putra, and Bambang Shergi Laksmono. 2018.
“Case Management for Child in Conflict With Law.”
ASEAN Social Work Journal 6, No. 1: 73.
Ferreira, F. H. G, and D Robalino. 2010. Social Protection in Latin
America Achievement and Limitations. Amerika Latin: The
World Bank Policy Research Working Papers 5305.
Halim, Akbar. 2010. Pedoman Manajemen Kasus Perlindungan
Anak. Jakarta: Direktorat Pelayanan Anak dan Rehabilitasi
Sosial Kementerian Sosial.
Haryanto. 2009. DIKTAT BAHAN KULIAH REHABILITASI DAN
PEKERJAAN SOSIAL. Yogyakarta: Jurusan Pendidikan
Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri
Yogyakarta.
Husmiati. 2012. “Asesmen Dalam Pekerjaan Sosial: Relevansi
Dengan Praktek Dan Penelitian.” Pusat Penelitian Dan
Pengembangan Kesejahteraan Sosial Kemensos RI 17, No.
03: 177.
Jones, Richard N. 2011. Teori Dan Praktik Konseling Dan Terapi.
4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kadushin, Alfred. 1976. “Social Work Supervision.” Sage
Publication.
Kementerian Sosial RI. 2014. “Modul Diklat Dasar Pekerjaan
Sosial Dengan Lanjut Usia.” In , 90. Bandung: Balai Besar
167
Badan Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial
(BBPPKS).
Kirst-Ashman, Karen K, and Jr. Grafton H. Hull. 2010.
Understanding Generalist Practice. 6. United States of
America: Brooks Cole Cengage Learning.
Malcolm, Payne. 2005. Modern Social Work Theory. 3. Palgrave
Macmillan.
Maryami, Ami, Fajar Suryaman, Rendiansyah Putra Dinata, and
Tata Sudrajat. 2018. Modul Pelatihan Manajemen Kasus
Pekerja Sosial Dan Pendamping. Jakarta: Yayasan
Sayangi Tunas Cilik Partner of Save The Children.
Moleong, Lexy J. 2018. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nainggolan, Togiaratua. 2012. Program Keluarga Harapan Di
Indonesia: Dampak Pada Rumah Tangga Sangat Miskin
Di Tujuh Provinsi. Jakarta: P3KS Press (Anggota IKAPI).
Nilamsari, Natalina. 2014. “Memahami Studi Dokumentasi Dalam
Penelitian Kualitatif.” Wacana XIII, No. 2: 181.
O’Connor. 1990. “A Social Work Practice Model of Case
Management: The Case Management Grid.” Oxford
University Press, 444.
Pedoman Umum Program Keluarga Harapan (PKH). 2011.
Jakarta: Kementerian Sosial RI.
168
Rapp, R. C, W Van Den Noortgate, E Broekaert, and W
Vanderplasschen. 2014. “The Efficacy of Case
Management With Persons Who Have Substance Abuse
Problems: A Three-Level Meta-Analysis of Outcomes.”
Journal of Consulting and Clinical Psychology, 605–18.
Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Dan
Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Scott, Z. 2012. Topic Guide on Social Protection. Birmingham:
Governance and Social Development Resource Center.
Simmel, Cassandra. 2014. “Case Management Toolkit: A User’s
Guide for Strengthening Case Management Services in
Child Welfare.” USAID, 14.
Sudaryono. 2018. Metodologi Penelitian. Depok: PT Rajagrafindo
Persada.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, Dan R
& D. Bandung: ALFABETA, CV.
Suharto, Edi. 2011. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik.
Bandung: ALFABETA, CV.
Supriyanto, Raditia Wahyu, Elsa Ryan Ramdhani, and Eldi
Rahmadan. 2014. Perlindungan Sosial Di Indonesia:
Tantangan Dan Arah Ke Depan. Jakarta: Direktorat
Perlindungan dan Kesejahteraan Masyarakat, Kementerian
PPN/Bappenas.
169
Tristanto, Aris. 2020. puspensos.kemsos.go.id, 2020.
http://puspensos.kemsos.go.id/en/Publikasi/topic/609.
Van Ginneken, W. 1999. Social Security for the Excluded
Majority: Case Studies of Development Countries. Geneva:
ILO.
Walsh, Joseph, and Valerie Holton. 2008. Comprehensive
Handbook of Social Work and Social Welfare, Social Work
Practice. New Jersey: John Wiley and Sons, Inc, Hoboken.
Zaelani. 2012. “Komitmen Pemerintah Dalam Penyelenggaraan
Jaminan Sosial Nasional.” Journal Legislasi Indonesia 9,
No. 2: 192.
LAMPIRAN
Lampiran 1
TRANSKRIP WAWANCARA
Informan : Koordinator Kota
A. Tempat dan Waktu Wawancara
Tempat Wawancara : Gedung SKKT Malaka Jaya
Hari, Tanggal : Senin, 11 Mei 2020
Waktu Wawancara : 13.30 WIB
B. Identitas Informan
Nama : Arief Trihandoyo
Jenjang Pendidikan : S1 Ilmu Kesejahteraan Sosial
Pertanyaan
Jawaban
1. Apa tugas utama yang
dilakukan oleh seorang
Koordinator Kota pada
PKH?
Tugas utamanya adalah membina
pendamping, lalu memetakan
KPM, kemudian menjembatani
ke Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) yang yang
berkaitan dengan PKH. Kalo dulu
tahun 2010 sampai dengan 2015
disebut Diklat, begitu 2016
sampai sekarang namanya
Bimbingan Pemantaoan
(Bimtap), itu pembekalan awal
mereka untuk menjadi
pendamping PKH. Begitu dalam
perjalanannya ada program
P2K2, pendamping ini juga
dibekali dengan Diklat P2K2.
2. Standar pelayanan seperti
apa yang diterapkan oleh
PKH dalam melaksanakan
pelayanan kepada KPM?
Pelayanan kepada KPM dalam
Pandemic Covid-19 itu
menyarankan ke pendamping
memonitoring KPMnya, apabila
pencairan dana harus
menggunakan masker, jaga jarak,
menggunakan sarung tangan
apabila ke ATM untuk
mengambil uang, setelah itu cuci
tangan atau mandi, dan semua
kegiatan harus sesuai protokol
Covid-19. Nah itu, pelayanan kita
untuk sementara seperti itu.
Disamping itu harus Santun,
Integritas, dan Profesional (SIP)
yang sudah diberlakukan
Kementerian Sosial, yang mana
kami terapkan dalam setiap
kegiatan PKH.
3. Bagaimana bentuk
koordinasi yang dilakukan
oleh Korkot kepada sistem
sumber yang dibutuhkan
oleh KPM?
Kerjasama maupun koordinasi
yang dilakukan adalah
menjembatani antara
Pendamping Sosial PKH yang
bertugas dengan sistem yang
dibutuhkan untuk KPM. Jika
seandainya di tengah jalan pada
saat proses tersebut dilakukan
tidak disetujui oleh pihak yang
dituju, maka saya melaporkan hal
demikian kepada Koordinator
Wilayah, lalu misalkan sampai di
situ belum ada persetujuan juga
maka lanjut ke Koordinator
Regional, dan kalau Koreg pun
juga tidak ada titik terang, maka
akan kami buatkan laporan
langsung ke Kementerian Sosial
bahwa terdapat Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) yang
menolak, tidak menyetujui, atau
mempersulit KPM PKH.
4. Kasus seperti apa yang
pernah ditemukan pada
KPM PKH Jakarta Timur?
Kami pernah menemukan tiga
kasus tahun 2018-2019. Yaitu
Kasus penyalahgunaan kartu oleh
oknum ketua kelompok,
penyalahgunaan dana bantuan
oleh anggota keluarga, dan anak
KPM yang berencana untuk tidak
melanjutkan sekolahnya.
5. Bagaimana proses yang
dilakukan saat Korkot
menerima laporan kasus?
Sebelumnya pasti saya
mendapatkan laporan kasus itu
dari Supervisor yang kemudian
dapat kami proses bersama
apabila ada kendala di dalamnya,
atau membutuhkan bantuan
Korkot untuk langsung
berkoordinasi dengan pihak yang
dituju atau sistem sumber di luar
PKH. Dan mendampingi setiap
kasus yang sedang ditangi baik
oleh Pendamping maupun SPV.
6. Bagaimana koordinasi
yang dilakukan dengan
pihak atau lembaga sosial
lain?
Korkot bersama dengan SPV
melakukan upaya mediasi dan
negosiasi kepada lembaga sosial,
seperti PKBM dan juga
melaporkan hasilnya ke Dinas
Sosial Jakarta Timur pada saat
menangani kasus anak yang
berencana putus sekolah, agar ia
tetap mendapatkan dana bantuan
sosial PKH ini.
7. Dasar hukum apa yang
melatarbelakangi
berjalannya PKH?
Dasar hukum untuk
melaksanakan Program Keluarga
Harapan sendiri adalah yang
utama mengenai pedomannya
yaitu SK Dirjen Nomor
12/LJS.SET.OHH/09/2016
tentang Pedoman Umum PKH,
lalu ada PMK No.
228/PMK.05/2016 tentang
Perubahan Atas PMK No.
254/PMK.05/2015 Tentang
Belanja Bantuan Sosial Pada
Kementerian Negara/Lembaga,
Peraturan Presiden No.63 Tahun
2017 tentang Penyaluran
Bantuan Sosial Non Tunai, dan
juga Perjanjian Kerjasama
dengan Bank Himbara, yakni
BNI, BRI, BTN dan Mandiri
untuk koordinasi mengenai
pengambilan dana bantuan.
8. Apakah terdapat evaluasi
terkait laporan kegiatan
yang sudah pendamping
dan SPV lakukan?
Iya, ada.
9. Seperti apa kegiatan
evaluasi yang dilakukan?
Setelah proses semua dilakukan,
selanjutnya kami akan
melaksanakan kegiatan evaluasi
yang rutin dilaksanakan setiap
bulannya. Di kegiatan itu para
pendamping memaparkan hasil
kinerja nya dan kami
mengevaluasi perkembangan
kasus seperti apa.
10. Bagaimana pelaksanaan
manajemen kasus yang
telah dilaksanakan oleh
SDM PKH?
Koordinator kota dengan
supervisor PKH melakukan
kolaborasi atau kerjasama terkait
dengan kegiatan supervisi dan
juga manajemen terkait kasus
yang ditemukan pada KPM.
Manajemen yang dilakukan
korkot yaitu, mengorganisasikan
dan mengkoordinasikan kegiatan
sesuai dengan kebijakan PKH
untuk mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Dan untuk supervisi,
hal yang saya lakukan hampir
sama dengan monev pelayanan.
Yakni memantau dan menilai
kinerja yang telah dilakukan dari
tiap-tiap SDM PKH.
Lampiran 2
TRANSKRIP WAWANCARA
Informan : Peksos Supervisor
A. Tempat dan Waktu Wawancara
Tempat Wawancara : Gedung SKKT Malaka Jaya
Media Wawancara : Telepon seluler (daring)
Hari, Tanggal : Senin, 13 April 2020
Waktu Wawancara : 13.00 WIB
B. Identitas Informan
Nama : Dea Triantara W. P
Jenjang Pendidikan : D4 Pekerja Sosial SKTS
Pertanyaan Jawaban
1. Sejak kapan metode
manajemen kasus
dijalankan dalam PKH?
Manajemen Kasus khusus nya
dalam praktek Pekerjaan Sosial
di PKH baru terlaksana sejak
2018 sejak adanya Jabatan Baru
pada struktrus organisasi PKH
yaitu Pekerja Sosial Supervisor.
2. Mengapa manajemen
kasus menjadi metode
pelayanan dan penanganan
yang penting dalam PKH?
Pelaksanaan Manajemen Kasus
atau Praktek Pekerjaan Sosial
dalam keberlangsungan PKH
dirasa sangat penting. PKH
yang umumnya adalah
masyarakat tidak mampu
secara financial merupakan
salahsatu ketidakberfungsian
sosial keluarga tersebut dalam
memenuhi kebutuhan sehari-
hari. Terutama orang tua yang
seharusnya bisa mencari
nafkah untuk memenuhi
kebutuhan, tapi banyak yang
tidak mampu untuk pemenuhan
kebutuhan tersebut. Dari satu
permasalahan itu, bisa muncul
permasalahan baru seperti anak
putus sekolah, akhirnya anak
menjadi tidak berfungsi
sosialnya sebagai pelajar.
Dan/atau permasalahan
lainnya, timbulnya kekerasan,
stress/depresi, dan lain-lain.
3. Kasus apa saja yang paling
sering memerlukan
pelayanan dan penanganan
dengan metode
manajemen kasus?
Dari beberapa kasus yang
terjadi di PKH Jakarta Timur,
yang paling memerlukan
metode MK adalah kasus
KDRT, itu agak rumit, banyak
sebab akibat didalamnya,
sehingga proses penanganan
pun harus hati-hati, dan di
analisa dengan baik.
4. Apa saja standar
pelayanan yang terdapat di
dalam manajemen kasus
pada PKH?
Setau saya SOP dalam
menjalankan MK pada praktek
peksos PKH, masih menjadi
PR bagi pemegang kebijakan.
Karena pelayanan yang
diberikan masih berdasarkan
keterampilan Peksos di
masing-masing kota/kab.
Sehingga standart pelayanan
akan berbeda-beda.
5. Apa saja prinsip yang
ditekankan dalam
manajemen kasus pada
PKH?
Dikarenakan SOP yang secara
formal belum ada, maka kami
khusus nya SPV
mempraktekan Prinsip-prinsip
dasar pekerja sosial, seperti
prinsip kepercayaan, tidak
men-jundge, self
determination.
6. Apa saja hal yang
dilakukan ketika
melaksanakan kegiatan
supervisi dengan
pandamping PKH?
Pertama terkait pelaksanaan
P2K2, pembahasan potensi-
potensi yang ada pada
kelompok P2K2 jika bisa
dikembangkan, maka bisa
menjadi kelompok usaha,
pembahasan kasus-kasus
secara kelompok seperti
misalnya tentang ATM,
Bansos, Kesehatan, dain lain-
lain yang sifatnya komunitas
untuk sama-sama mencari
langkah yang akan dilakukan,
dan terakhir pembahasan kasus
yang lebih ke
casework/individu.
dari bahasan-bahasan itu,
dilakukan penentuan siapa
untuk melakukan apa, dimana,
kapan, sehingga jadwal bisa
terstruktur dengan baik.
Tapi dalam prosesnya jadwal
bisa berubah jika ada hal-hal
nya tidak terduga karena
beberapa hal.
7. Dari kasus yang
ditemukan, seperti apa dan
bagaimana proses dari
manajemen kasus yang
dilaksanakan?
Pendamping menemukan kasus
berdasarkan pengaduan, atau
karena saat pemutahiran data
ditemukan anak yang tidak
bersekolah. Kedua, pendamping
koordinasi dengan SPV. Ketiga,
Asesmen sistem sumber oleh
SPV, Pendamping, dan KPM.
Ketiga, penentuan langkah-
langkah intervensi (seperti,
mencari informasi, advokasi ke
sekolah, dan lain-lain oleh
pendamping, jika diperlukan
konseling untuk KPM oleh
SPV). Keempat, menentukan
kelanjutan sekolah oleh kpm,
bersama-sama kpm mengakses
sistem sumber, dan lain-lain).
Dan kelima, terminasi.
8. Bagaimana bentuk laporan
yang diberikan terkait
penyelesaian dari kasus
yang telah ditangani
bersama dengan
Pendamping PKH kepada
Korkot atau pejabat
struktural lainnya?
Laporan tentang kasus ada pada
laporan bulanan SPV. Ada atau
tidak nya kasus, supervisor
wajib membuat laporan setiap
bulan nya yang mencakup,
P2K2, graduasi, dan kasus yang
ditangani, secara tertulis kepada
JSK melalui kordinator wilayah
(provinsi).
9. Salah satu tanggung jawab
yang dilakukan oleh
Korkot dan Supervisor
PKH adalah melakukan
KPM PKH berhak mendapatkan
program komplementer lainnya
jika KPM tersebut memenuhi
syarat untuk mendapatkan
mediasi, fasilitasi dan
advokasi pada KPM
terkait penyaluran bantuan
PKH dan program
komplementer lain. Lalu
seperti apa proses itu
dilakukan dan bagaimana
hal itu dapat dinilai
berhasil?
bantuan. Kedua, kami akan
asesmen terlebih dahulu, contoh
untuk bansos pangan maka
pendamping akan menyisir data
KPM PKH yang tidak
mendapatkan bansos pangan.
Ketiga, Korkot dan supervisor
akan mencoba kordinasi dengan
koordinator terkait untuk
mengadvokasi KPM yang tidak
mendapatkan bansos pangan
(begitu juga dengan bansos
komplementer lainnya).
Keempat, dari data hasil
asesmen, setelah dilakukan
advokasi dan sebagainya,
selanjutnya data tersebut bisa
meng-akses bansos
komplementaritas.
10. Bagaimanacara yang
dilakukan oleh Supervisor
dan Pendamping PKH
untuk membangun self
determination atau
penentuan nasib sendiri
sehingga KPM mampu
Dilakukan saat pertemuan
kelompok. Bisa dengan
menggunakan FGD, MPA, dan
lain-lain. Materi-materi tentang
kessos yang disampaikan
menggunakan bahasa sederhana
agar KPM bisa paham. Proses
mengetahui kebutuhan
dari permasalahannya?
ini tentu tidak bisa dilakukan
hanya satu kali, karena pada
dasarnya kegiatan membangun
self determination ini adalah
pengubahan perilaku dan
pikiran seseorang agar menjadi
lebih terbuka serta terampil
menganalisa permasalahan.
Lampiran 3
TRANSKRIP WAWANCARA
Informan : Pendamping Sosial PKH
A. Tempat dan Waktu Wawancara
Tempat Wawancara : Rumah Pendamping
Media Wawancara : Telepon seluler (daring)
Hari, Tanggal : Rabu, 22 April 2020
Waktu Wawancara : 19.00 WIB
B. Identitas Informan
Nama : Wardiyaningsih
Jenjang Pendidikan : S1 Ilmu Komunikasi
Pertanyaan Jawaban
1. Sebelum menjalankan
tugas sebagai Pendamping
PKH, pelatihan seperti apa
yang anda dapatkan
sebelumnya?
Sebelum direkrut jadi
pendamping itu ada bimtap, dan
bimtek. Yang diberikan dari
Kementerian Sosial, mengenai
materi umum pedoman
Program Keluarga Harapan,
lalu kewajiban dan sanksi-
sanksi yang diberikan kepada
KPM, dana pa saja program
yang ada di dalam PKH.
2. Apa saja hal yang
diperlukan atau
dipersiapkan saat akan
melakukan
pendampingan?
Mempersiapkan kebutuhan
teknis saat penyampaian materi,
bahan atau materi itu sendiri,
dan psikologis pendamping
juga perlu dipersiapkan agar apa
yang disampaikan kepada KPM
itu dapat dengan mudah
dipahami.
3. Layanan seperti apa yang
diberikan dalam akses
pendidikan, kesehatan,
dan kesejahteraan sosial?
Di dalam pertemuan kelompok
itu kita dikasih modul atau
materi, materi itu nanti kita
sampaikan ke KPM. Ada modul
pola asuh keluarga, ekonomi,
kalo untuk kesejahteraan sosial
itu ada disabilitas dan lansia.
Kalau misalkan di ekonomi kita
jelaskan bagaimana caranya
mengelola keuangan,
bagaimana caranya mereka
mendapatkan pendapatan
keluarga, kemudian kalo di pola
asuh keluarga itu kita berikan
materi atau semacam
penyuluhan bagaimana
orangtua itu bersikap kepada
anak yang masih balita atau
menjelang dewasa.
4. Bagaimana prosedur yang
Pendamping lakukan
ketika ditugaskan untuk
menangani sebuah kasus?
Ketika mendapati kasus yang
terjadi pada KPM, maka hal
yang dilakukan pertama kali
adalah harus meyakini bahwa
saya adalah pendamping
mereka. Mereka bisa
menceritakan permasalahan apa
saja yang sedang dihadapi, dan
saya siap untuk membantunya.
Karena ada tipe KPM yang
memang tertutup, sehingga
pendekatan dan penggalian
tersebut tidak dilakukan sekali-
duakali. Lalu, setelah mereka
sudah mulai terbuka, dan
menceritakan apa
permasalahannya, selanjutnya
saya dalami dulu penyebabnya.
Baru setelah itu saya jelaskan
bahwa yang dia butuhkan
adalah pertolongan melalui
pelayanan yang akan dilakukan
oleh pendampingnya. Dan
setelahnya, kami mulai jelaskan
apa saja dan kemana KPM bisa
mengakses layanan dari
lembaga yang dibutuhkan.
5. Ketika anda mengikuti
kegiatan supervisi, hal apa
saja yang anda peroleh?
Jadi saya datang ke pertemuan
kelompok saya, nanti SPV
melihat bagaimana saya
menyampaikan materi, nanti
SPV juga ikut menyampaikan
materi, nanti saya dievaluasi di
situ. Selain itu, memberikan
pendampingan juga kepada
KPM dan juga kepada saya
selaku pendamping.
Memberikan pembekalan
bagaimana caranya
menyelesaikan permasalahan
yang terjadi pada kpm.
6. Ketika mendapatkan kasus
di lapangan mengenai
KPM, bagaimana cara
Pendamping berkoordinasi
atau melaporkan hal
tersebut kepada
Supervisor PKH?
Koordinasi awal ketika kita
menemukan masalah pada
KPM, saya coba sebagai
pendamping untuk melakukan
pendekatan seperti apa sih
permasalahannya, kenapa bisa
terjadi seperti itu, kalau
misalnya bisa kita selesaikan
sendiri, kita selesaikan sendiri.
Tapi memang kalau
permasalahan ini saya banyak
konsultasikan dengan
Supervisor.
7. Pengetahuan dan
keterampilan apa saja yang
harus dimiliki oleh
seorang pendamping
dalam manajemen kasus
pada PKH?
Yang harus benar-benar
dimiliki adalah mulai dari
penggalian masalah, penyebab
nya apa sampai dengan nanti
kita memberikan solusinya
seperti apa kepada mereka.
Artinya, memberikan kepuasan
kepada semua pihak, tidak
hanya kepada KPM, kepada kita
juga sebagai pendamping,
sehingga kita bisa puas karena
bisa menyelesaikan
permasalahan itu dan kemudian
meminimalisir permasalahan
yang sama.
8. Hal apa yang dirasa
menjadi hambatan
sehingga berpengaruh
pada proses pemberian
layanan kepada KPM
PKH?
Yang jadi hambatanya adalah
tidak semua KPM mau
mengungkapkan apa yang
menjadi kesulitan mereka,
terutama dalam kasus pelecahan
seksual atau KDRT. Kalau
mereka udah mepet-mepet
banget gitu, itu baru. Artinya
gini, mereka tidak ngadu
langsung, tapi KPM lain yang
menceritakan kepada
pendamping.
9. Bagaimana cara yang
dilakukan oleh Supervisor
dan Pendamping PKH
untuk membangun self
determination atau
penentuan nasib sendiri
sehingga KPM mampu
mengetahui kebutuhan
dari permasalahannya?
Jadi, dalam hal ini kita berikan
pengertian bahwa mereka punya
kartu BPJS, atau KIS yang bisa
mereka pergunakan, dan
edukasi atau sosialisasi juga kita
berikan kepada mereka bahwa
kartu ini bisa mereka dapatkan
secara gratis.
10. Bagaimana cara
meningkatkan kualitas
PKH sehingga hal tersebut
mampu memperkuat
pelayanan yang diberikan?
Penyelenggara PKH baiknya
memenuhi juga kebutuhan
pendamping mengenai teknis
kegiatan, seperti barang-barang
yang diperlukan atau alat agar
mempermudah penyampaian
materi.
Lampiran 4
TRANSKRIP WAWANCARA
Informan : Pendamping Sosial PKH
A. Tempat dan Waktu Wawancara
Tempat Wawancara : Rumah Pendamping
Media Wawancara : Telepon seluler (daring)
Hari, Tanggal : Kamis, 23 April 2020
Waktu Wawancara : 14.00 WIB
B. Identitas Informan
Nama : Ida D
Jenjang Pendidikan : S1 Ilmu Kesejahteraan Sosial
Pertanyaan Jawaban
1. Sebelum menjalankan
tugas sebagai Pendamping
PKH, pelatihan seperti apa
yang anda dapatkan
sebelumnya?
Pelatihan terkait tugas kami
sebagai pendamping PKH.
Selain itu adanya pembekalan
apa saja diperlukan saat terjun
langsung ke lapangan. Namun,
untuk manajemen kasus, kami
belum pernah langsung
mendapatkannya dari
Kemensos.
2. Apa saja hal yang
diperlukan atau
dipersiapkan saat akan
melakukan
pendampingan?
Kalo menurut saya yang perlu
dipersiapkan di awal adalah
waktu. Karena kenapa saya
bilang waktu yang paling utama
sebab kita harus tau dulu
waktunya si KPM itu untuk
kegiatan pendampingan.
3. Layanan seperti apa yang
diberikan dalam akses
pendidikan, kesehatan,
dan kesejahteraan sosial?
Kalo bentuk layanan fasdik, itu
mereka kan harus dapet
pendidikan, kami
mengusahakan mereka
mendapatkan komplementaritas
seperti KJP. Untuk faskes, kalo
mereka tidak memiliki bpjs,
kami coba untuk mengakses,
coba membantu mereka gitu
untuk cara pembuatan faskes
bpjs. Jadi lebih mudah lah
mereka untuk mereka sendiri.
Dan juga kessos kan lebih ke
lansia dan balita ya. Kalo untuk
lansia sendiri, kami coba untuk
mereka punya
komplementalitasnya dari Kartu
Lansia Jakarta.
4. Bagaimana prosedur yang
Pendamping lakukan
ketika ditugaskan untuk
menangani sebuah kasus?
Cara penyampaian atau
komunikasi di awal dengan para
KPM disesuaikan dengan
penggunaan bahasa sehari-
sehari, yang mana tidak terlalu
baku. Sehingga mereka bisa
lebih memahami apa yang
disampaikan oleh pendamping.
Selanjutnya, kami menjelaskan
mengenai layanan-layanan yang
dapat dijangkau oleh KPM,
dengan membantu
kepengurusan sebagai peserta
PKH pada fasilitas pendidikan,
kesehatan, dan kesejahteraan
sosial.
5. Ketika anda mengikuti
kegiatan supervisi, hal apa
saja yang anda peroleh?
Supervisi itu hanya di satu
wilayah saja, nanti SPV kalau
misalkan kita ada kekurangan
dalam penanganan kasus atau
misalkan penyampaian sesuatu,
nanti mengarahkan harusnya
seperti apa. Ada evaluasi sama
kelanjutan untuk KPM nya itu
nanti memang benar-benar
komplementaritas dari PKH itu
kan banyak, kaya misalnya
harus mendapatkan KJP, BPJS.
Untuk evaluasi pendamping,
seperti cara penyampaian kita
ke KPM harus seperti apa, tata
bahasanya harus seperti apa,
kadang KPM kan tidak
menggunakan Bahasa baku,
santai gitu kan kalo KPM. Terus
kinerja kerja kita bagaimana,
itupun dinilai sama Supervisor.
6. Ketika mendapatkan kasus
di lapangan mengenai
KPM, bagaimana cara
Pendamping
berkoordinasi atau
melaporkan hal tersebut
kepada Supervisor PKH?
Saat mengetahui adanya laporan
kasus dari KPM, pendamping
langsung melaporkan via chat
atau bertemu langsung dengan
Supervisor untuk menjelaskan
bahwa ada kasus yang harus
ditangani.
7. Pengetahuan dan
keterampilan apa saja
yang harus dimiliki oleh
seorang pendamping
dalam manajemen kasus
pada PKH?
Keterampilan mendalami setiap
tahapan atau proses pelayanan
penanganan kasus melalui
metode manajemen kasus.
8. Hal apa yang dirasa
menjadi hambatan
Karena pembekalan mengenai
manajemen kasus itu tidak ada.
sehingga berpengaruh
pada proses pemberian
layanan kepada KPM
PKH?
Jadi menurut saya agak
terhambat mengenai proses
yang seharusnya lebih detail
dijalankan, tetapi atas
bimbingan dari Supervisor
maka itu hal tersebut dapat
terbantu.
9. Bagaimana cara yang
dilakukan oleh Supervisor
dan Pendamping PKH
untuk membangun self
determination atau
penentuan nasib sendiri
sehingga KPM mampu
mengetahui kebutuhan
dari permasalahannya?
Dengan memberikan
pemahaman dan menjelaskan
dengan baik agar KPM paham
dengan apa yang diketahui
mengenai kebutuhannya.
10. Bagaimana cara
meningkatkan kualitas
PKH sehingga hal tersebut
mampu memperkuat
pelayanan yang diberikan?
Dengan memberikan pelatihan
dan pembekalan yang rutin
kepada para pendamping,
sehingga keterampilan untuk
memberikan pelayanan kepada
KPM akan semakin meningkat.
Lampiran 5
TRANSKRIP WAWANCARA
Informan : Pendamping Sosial PKH
A. Tempat dan Waktu Wawancara
Tempat Wawancara : Rumah Pendamping
Media Wawancara : Telepon seluler (daring)
Hari, Tanggal : Kamis, 14 Mei 2020
Waktu Wawancara : 14.30 WIB
B. Identitas Informan
Nama : Cici
Jenjang Pendidikan :
Pertanyaan Jawaban
1. Sebelum menjalankan
tugas sebagai Pendamping
PKH, pelatihan seperti apa
yang anda dapatkan
sebelumnya?
Kita ada Bimbingan teknis, ada
juga Bimbingan Pemantapan
waktu awal diterima jadi
pendamping. Jadi kita di situ
dijelaskan lagi PKH itu seperti
apa, sistem pekerjaan kita ke
depannya seperti apa. Jadi,
dijelaskan, karena kita kan
bukan background sosial
semua. Jadi sebagian mungkin
masih awam, belum paham gitu
nanti seperti apa tugas-tugas
kita, dan nanti kita kerja akan
seperti apa. Dan setelah itu baru
diturunkan ke wilayah
dampingan masing-masing.
2. Apa saja hal yang
diperlukan atau
dipersiapkan saat akan
melakukan
pendampingan?
Tools atau alat untuk melakukan
kegiatan dengan para KPM.
3. Layanan seperti apa yang
diberikan dalam akses
pendidikan, kesehatan,
dan kesejahteraan sosial?
Kalo untuk pendidikan, itu
biasanya kita kunjungan ke
sekolah-sekolah di wilayah
dampingan. Kalo untuk
fasilitas kesehatan itu biasanya
kita kunjungan ke puskesmas,
dan posyandu. Dan kalo kessos
itu untuk lansia, jadi kaya
posyandu lansia gitu mba,
hampir sama juga kaya
kesehatan dan pendidikan.
4. Bagaimana prosedur yang
Pendamping lakukan
Iya pasti langsung melaporkan
kepada Supervisor mengenai
kasus yang ditemukan. Setelah
ketika ditugaskan untuk
menangani sebuah kasus?
itu bersama dengan SPV
langsung memproses dan
memberikan pelayanan seperti
apa dan itu menyesuaikan
dengan kasusnya.
5. Ketika anda mengikuti
kegiatan supervisi, hal apa
saja yang anda peroleh?
Kalo supervisi yang face to face
dengan pendamping pegangan
wilayahnya, itu biasanya kalo
kita lagi costing, terus biasanya
juga ada tiap bulan pertemuan
khusus buat evaluasi yang
sudah kita lakukan di bulan
kemarin seperti itu. Selain
evaluasi biasanya kaya ada
permasalahan atau tidak, nanti
di situ kita sharing semua. Ada
penilaian kinerja juga setau saya
kepada para pendamping.
Biasanya kalo setelah evaluasi
kinerja, ada yang misalnya
masih kurang, biasanya dikasih
teguran atau warning.
6. Ketika mendapatkan kasus
di lapangan mengenai
KPM, bagaimana cara
Pendamping berkoordinasi
Dengan bertemu langsung atau
melalui telepon seluler.
atau melaporkan hal
tersebut kepada
Supervisor PKH?
7. Pengetahuan dan
keterampilan apa saja yang
harus dimiliki oleh
seorang pendamping
dalam manajemen kasus
pada PKH?
Pengetahuan awal yang harus
kita miliki, adalah tentang
program yang kita pegang.
Karena tidak semua masyarakat
itu tahu mengenai PKH. Jadi
kadang-kadang menjelaskan
berulang kali, paling tidak kita
paham dulu program ini seperti
apa, wawasan ini, kemudian
juga koordinasi. Kadang-
kadang ada tipikal orang yang
gampang koordinasi ada juga
yang sulit, jadi kemampuan
koordinasi dengan semua pihak
yang terlibat walaupun di luar
PKH itu harus ada. Terus juga
sebenernya untuk penanganan
kasus perlu juga mungkin,
karena pada dasarnya kita
bukan lulusan kessos semua,
tapi memang sebagian besar
belajar dari pengalaman
memang saya liat walaupun
bukan lulusan kessos mereka
udah punya ilmunya gitu.
8. Hal apa yang dirasa
menjadi hambatan
sehingga berpengaruh
pada proses pemberian
layanan kepada KPM
PKH?
Waktu untuk menyesuaikan
dengan KPM. Terlebih saat
melakukan kunjungan ke
rumahnya, itu bisa berkali-kali
ubah jadwal.
9. Bagaimana cara yang
dilakukan oleh Supervisor
dan Pendamping PKH
untuk membangun self
determination atau
penentuan nasib sendiri
sehingga KPM mampu
mengetahui kebutuhan
dari permasalahannya?
Biasanya kita kasih gambaran,
kadang-kadang malah sharing
pengalaman pribadi juga. Kan
ibu nya pengen kamu sekolah,
kalo bisa kamu sekolah, kita
kasih arahan ke si anak gimana
caranya supaya si anak ini mau
menyelesaikan pendidikan dia
dengan harapan nanti setelah itu
dia bisa bekerja, bisa bantu
perekonomian keluarganya
supaya lebih baik tidak seperti
sekarang. Misalnya sekarang
ibu nya nyuci dari pagi sampai
malam, saya tanyakan kamu
tidak mau apa nanti kalo kamu
udah lulus sekolah, bantu ibu
cari penghasilan. Dan kita lebih
ke arah ngasih arahan serta
sudut pandang-sudut pandang
buat si anak gitu.
10. Bagaimana cara
meningkatkan kualitas
PKH sehingga hal tersebut
mampu memperkuat
pelayanan yang diberikan?
Kalo buat saya mungkin lebih
diperhatikan lagi kesejahteraan
SDMnya, karena kita kan itu di
lapangan tidak semua wilayah
itu aman dan nyaman. Dan
mengadakan kembali pelatihan
serta pembekalan mengenai
pelayanan kepada pendamping
sosial PKH.
Lampiran 6
TRANSKRIP WAWANCARA
Informan : Keluarga Penerima Manfaat (KPM)
A. Tempat dan Waktu Wawancara
Tempat Wawancara : Rumah KPM
Media Wawancara : Telepon seluler (daring)
Hari, Tanggal : Kamis, 14 Mei 2020
Waktu Wawancara : 14.30 WIB
B. Identitas Informan
Nama : Arum
Usia : 44 Tahun
Jenjang Pendidikan : SMA
Pertanyaan Jawaban
1. Sejak kapan anda
terdaftar sebagai KPM
PKH?
Saya sejak tahun 2017 menjadi
KPM PK.
2. Layanan apa saja yang
anda ketahui dalam
Program Keluarga
Harapan?
Untuk layanannya kami
melakukan pertemuan dengan
pendamping, P2K2, dan ilmu
yang saya dapatkan seperti
diajarakan cara mendidik anak,
dan cara mengelola keuangan
agar kita menjadi keluarga yang
lebih baik. Disamping itu saya
memiliki usaha sendiri, jadi
pendamping itu membantu saya
membuat kemasan lebih bagus,
mengenalkan produk itu ke
KPM yang lain juga, dan
terkadang saya juga diajak
mengenalkan produk saya pada
saat bazar di acara-acara.
3. Ketika anda mengalami
permasalahan dan
melaporkannya kepada
Pendamping, apakah
Pendamping merespon
kasus tersebut dengan
cepat?
Iya direspon dengan cepat
ketika saya ingin meminta
pendapat. Tidak hanya masalah
usaha saja, tetapi mengenai
masalah keluarga. Jadi saya
sering sharing ke pendampin.
Dan untuk keputusan memang
kembali lagi ke saya sama
suami, kalau pendamping kan
sekedar memberikan informasi,
dan saran saja.
4. Menurut anda, seperti apa
pelayanan dan
penanganan yang
diberikan oleh
Banyak memberikan
pendampingan, pengetahuan,
dan penyuluhan kepada para
KPMnya.
Pendamping dalam PKH
ini?
5. Sesuai pengetahuan yang
anda ketahui, bagaimana
proses yang dilakukan
oleh Pendamping atau
Supervisor PKH dalam
membantu
menyelesaikan
permasalahan yang anda
hadapi?
Untuk proses nya sih biasanya
saya sharing masalah usaha,
untuk saat ini sedang tidak
produksi, apalagi kan saya juga
menjadi pengelola e-warong,
jadi pendamping memberikan
saran mengenai hal itu. Coba
deh Mba Arum dagangannya
titipkan di e-warong siapa tau
ada yang minat. Setelah saya
cerita ke pendamping, ya
Alhamdulillah ada yang beli.
Kadang produk saya dikenali
sama KPM yang lain, kalo ada
kegiatan di hotel, atau
pertemuan kegiatan Kemensos
saya sekalian jualan sehingga
diketahui bahwa ada KPM PKH
yang menjual produknya.
6. Setelah kasus anda
ditangani oleh
Pendamping, apakah
anda mengetahui apa saja
yang menjadi kebutuhan
Iya jadi lebih terbuka mengenai
apa saja yang seharusnya saya
butuhkan dan lakukan.
dari permasalahan yang
tengah dihadapi?
7. Apa saja informasi yang
anda peroleh dari
Pendamping?
Informasi dari P2K2,
maksudnya seperti cara
mengelola keuangan yang kita
dapatkan dari dana bantuan,
agar jangan habis dalam waktu
yang singkat, dan harus kita
kelola.
8. Mengapa anda
mempercayai
Pendamping untuk
membantu
menyelesaikan
permasalahan yang anda
hadapi?
Ya kalo untuk masalah percaya
ya percaya sih, apalagi kan
kalau untuk pendamping saya
itu kan sama-sama perempuan,
jadi masalah saya itu kan bisa
dia rasain juga, karena kan kita
sama-sama menjadi seorang
ibu. Tetapi ada juga kan yang
pendampingnya laki-laki.
9. Menurut pendapat anda,
bagaimana kinerja dari
Pendamping dan
Supervisor ketika
memberikan pelayanan
dan penanganan kepada
anda?
Menurut saya sih udah
maksimal, maksudnya sudah
membantu para KPM. Misalnya
kalo ada KPM yang dananya
belum turun pasti dibantu
sampai diterima.
10. Sejauh ini, apa hasil yang
anda dapatkan setelah
Pendamping selesai
memberikan pelayanan
dan penanganannya?
Yang saya rasakan sih banyak
dari adanya program ini. Jadi
saya bisa menerapkan apa sih
yang diajarkan itu ke
lingkungan keluarga saya, yang
tadinya kepada anaknya
mungkin agak keras,
Alhamdulillah bisa agak
berkurang gitu. Bisa membantu
memanfaatkan bantuan yang
diberikan oleh Kemensos, agar
dapat dikelola kembali.
Lampiran 7
TRANSKRIP WAWANCARA
Informan : Keluarga Penerima Manfaat (KPM) Graduasi
A. Tempat dan Waktu Wawancara
Tempat Wawancara : Rumah KPM Graduasi
Media Wawancara : Telepon seluler (daring)
Hari, Tanggal : Kamis, 21 Mei 2020
Waktu Wawancara : 14.00 WIB
B. Identitas Informan
Nama : Tuminem
Usia : 45 Tahun
Jenjang Pendidikan : SD
Pertanyaan Jawaban
1. Sejak kapan anda
terdaftar sebagai KPM
PKH?
Tahun 2017 mulai jadi KPM
pkh, dan graduasi di tahun 2019.
2. Siapa yang membuat
anda untuk memutuskan
graduasi mandiri dari
kepesertaan PKH?
Saya pribadi dan suami.
3. Mengapa anda pada
akhirnya memutuskan
untuk graduasi mandiri?
Ya sepertinya kami sudah
mampu, sebelumnya udah
jualan kan, terus ya
Alhamdulillah pendapatannya
meningkat.
4. Setelah anda
memutuskan untuk
graduasi, hal apa yang
anda rasakan?
Merasa senang karena ngerasa
sudah mampu dan tidak
bergantung lagi dengan bantuan
PKH.
5. Bagaimana proses yang
anda lakukan sampai
akhirnya dinyatakan
graduasi mandiri dari
Program Keluarga
Harapan?
Bicara langsung dengan
pendamping, saya katakan ingin
graduasi dari peserta PKH, lalu
dibantu langsung prosesnya,
waktu itu saya menghubungi
lewat telepon lalu pendamping
ke rumah saya dan saya mengisi
form graduasi.
6. Saat masih terdaftar
sebagai KPM PKH,
dimana biasanya anda
melakukan kegiatan FDS
dan P2K2 dengan
pendamping dan para
KPM lainnya?
Di rumahnya ketua kelompok
nya.
7. Menurut anda, seperti apa
pelayanan dan
KPM diajarkan dari pertemuan
P2K2, lalu diarahin kalau
penanganan yang
diberikan oleh
Pendamping dalam PKH
ini?
misalnya KPM bingung.
Misalnya cara ngedidik anak
gimana, terus bisa ngatur duit
gimana.
8. Sesuai pengetahuan yang
anda ketahui, bagaimana
proses yang dilakukan
oleh Pendamping atau
Supervisor PKH dalam
membantu
menyelesaikan
permasalahan yang anda
hadapi?
Kalau waktu itu saya
Alhamdulillah tidak pernah ada
masalah yang gimana-gimana
jadi paling dikasih arahannya
pas pertemuan saja.
9. Setelah anda diberikan
pelayanan dari
pendamping terkait kasus
yang anda hadapi,
informasi kebutuhan apa
yang anda dapatkan
setelahnya?
Saya mendapatkan ilmu cara
mengatur keuangan supaya
tidak boros, dan cara mendidik
anak yang benar seperti apa.
10. Menurut pendapat anda,
bagaimana kinerja dari
Pendamping dan
Supervisor ketika
memberikan pelayanan
Ya cara kerjanya sudah baik
walaupun saya tidak pernah
langsung minta saran ke
pendamping tetapi saat P2K2
cara menyampaikan materinya
sudah baik.
Lampiran 11
Form Kesediaan Menjadi Informan
Form ini merupakan bentuk persetujuan untuk menjadi informan
dalam penggalian data berupa wawancara pada penelitian skripsi
yang berjudul "Manajemen Kasus pada Program Keluarga
Harapan di Wilayah Jakarta Timur". Wawancara dapat dilakukan
baik melalui telepon, chat via WhatsApp, dan/atau email.
Terima kasih.
Note: data yang anda isi tidak akan disebarluaskan.
* Wajib
Alamat email *
Nama Lengkap *
Ida Daryanti
Jenis Kelamin *
Perempuan
Usia *
40tahun
Klasifikasi Informan *
Pendamping PKH
Email atau nomor telepon yang dapat dihubungi *
[email protected]/0823-1182-2499
Apakah anda bersedia menjadi informan dalam penelitian ini? *
Bersedia
Lampiran 12
Form Kesediaan Menjadi Informan
Form ini merupakan bentuk persetujuan untuk menjadi informan
dalam penggalian data berupa wawancara pada penelitian skripsi
yang berjudul "Manajemen Kasus pada Program Keluarga
Harapan di Wilayah Jakarta Timur". Wawancara dapat dilakukan
baik melalui telepon, chat via WhatsApp, dan/atau email.
Terima kasih.
Note: data yang anda isi tidak akan disebarluaskan.
* Wajib
Alamat email *
Nama Lengkap *
Cici Windasari
Jenis Kelamin *
Perempuan
Usia *
33
Klasifikasi Informan *
Pendamping PKH
Email atau nomor telepon yang dapat dihubungi *
085211922190
Apakah anda bersedia menjadi informan dalam penelitian ini? *
Bersedia
Lampiran 13
Form Kesediaan Menjadi Informan
Form ini merupakan bentuk persetujuan untuk menjadi informan
dalam penggalian data berupa wawancara pada penelitian skripsi
yang berjudul "Manajemen Kasus pada Program Keluarga
Harapan di Wilayah Jakarta Timur". Wawancara dapat dilakukan
baik melalui telepon, chat via WhatsApp, dan/atau email.
Terima kasih.
Note: data yang anda isi tidak akan disebarluaskan.
* Wajib
Alamat email *
Nama Lengkap *
Wardiyaningsih
Jenis Kelamin *
Perempuan
Usia *
48
Klasifikasi Informan *
Pendamping PKH
Email atau nomor telepon yang dapat dihubungi *
081318523097
Apakah anda bersedia menjadi informan dalam penelitian ini? *
Bersedia
Lampiran 14
Form Kesediaan Menjadi Informan
Form ini merupakan bentuk persetujuan untuk menjadi informan
dalam penggalian data berupa wawancara pada penelitian skripsi
yang berjudul "Manajemen Kasus pada Program Keluarga
Harapan di Wilayah Jakarta Timur". Wawancara dapat dilakukan
baik melalui telepon, chat via WhatsApp, dan/atau email.
Terima kasih.
Note: data yang anda isi tidak akan disebarluaskan.
* Wajib
Alamat email *
Nama Lengkap *
Chaerum
Jenis Kelamin *
Perempuan
Usia *
44
Klasifikasi Informan *
Keluarga Penerima Manfaat (KPM)
Email atau nomor telepon yang dapat dihubungi *
0895602270621
Apakah anda bersedia menjadi informan dalam penelitian ini? *
Bersedia