tugas agraria 1.doc

22
Perkembangan Hukum Agraria Mengenai Investasi Terhadap Tanah Ulayat di Minangkabau BAB I. PENDAHUUAN A. atar Belakang Dalam kehidupan manusia bahwa tanah tidak akan terlepas dari segala tindak tanduk manusia itu sendiri sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untuk menjalanidan kelanjutan kehidupannya. Oleh itu tanah sangat dibutuhkanoleh setiapanggota masyarakat, sehingga sering terjadi sengketa diantara sesamanya, terutama yang menyangkut tanah. Untuk itulah diperlukan kaedah-kaedah yan hubungan antara manusia dengan tanah. Tanah mempunyai multiple value, maka sebutantanah air dan tumpah darah dipergunakan oleh bangsa Indonesiauntuk menyebutkan wilayah negara dengan menggambarkan wilayah yang didominasi tanah, air, dan tanah yang berdaulat. Arti penting tanah bagi manusia sebagai individu maupun negara sebagai org masyarakat yang tertinggi, seara konstitusi diatur dalam !asal "" ayat #"$ Undan Dasar %&'( yang menyatakan bahwa ) *+umi, air dan kekayaan alam yang terkandung dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran ra ebagai tindak lanjut dari !asal "" ayat #"$ Undang-Undang Dasar %&'( yang berkaitan dengan bumi atau tanah, maka dikeluarkanlah Undang-Undang omor ( Tahun %&/0 te !eraturan !okok Dasar Agraria yang selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan UU!A. pokok dari UU!A adalah ) 1

Upload: mairiko-sabri

Post on 05-Oct-2015

221 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Semester 1

TRANSCRIPT

Perkembangan Hukum Agraria Mengenai Investasi Terhadap

Tanah Ulayat di MinangkabauBAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan manusia bahwa tanah tidak akan terlepas dari segala tindaktanduk manusia itu sendiri sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untukmenjalani dan kelanjutan kehidupannya. Oleh itu tanah sangat dibutuhkan olehsetiap anggota masyarakat, sehingga sering terjadi sengketa diantara sesamanya,terutama yang menyangkut tanah. Untuk itulah diperlukan kaedah-kaedah yang mengatur hubungan antara manusia dengan tanah.Tanah mempunyai multiple value, maka sebutan tanah air dan tumpah darah dipergunakan oleh bangsa Indonesia untuk menyebutkan wilayah negara dengan menggambarkan wilayah yang didominasi tanah, air, dan tanah yang berdaulat.Arti penting tanah bagi manusia sebagai individu maupun negara sebagai organisasi masyarakat yang tertinggi, secara konstitusi diatur dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa : Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sebagai tindak lanjut dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang berkaitan dengan bumi atau tanah, maka dikeluarkanlah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok Dasar Agraria yang selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan UUPA. Tujuan pokok dari UUPA adalah :1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agrarian nasional, yang merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat dalam rangka masyarakat adil dan makmur.

2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan.

3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.Di dalam Hukum Adat, tanah merupakan masalah yang sangat penting. Hubungan antara manusia dengan tanah sangat erat, seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya.

Tanah sebagai tempat mereka berdiam, tanah yang memberi makan mereka, tanah dimana mereka dimakamkan dan menjadi tempat kediaman orang-orang haluspelindungnya beserta arwah leluhurnya, tanah dimana meresap daya hidup, termasuk juga hidupnya umat dan karenanya tergantung dari padanya. Menurut van vollehoven didalam bukunya Boedi harsono menyebutkan dengan istilah beschikkingrecht yang tidak bisa disalin kedalam bahasa indonesia, UUPA memakai hak ulayat, sebenarnya untuk hak tersebut hukum adat tidak memberikan nama. Nama yang ada menunjukan kepada tanah yang merupakan wilayah lingkungan masyarakat hukum yang bersangkutan. Ulayat artinya wilayah. Dalam bukunya Ter Haar, Beginselen en stelsel van het adat recht banyak daerah ang mempunyai nama untuk lingkungan wilayah itu, misalnya tanah wilayah sebagai kepunyaan pertuanan-ambon), sebagai tempat memberi makan (panyampeto-kalimantan), sebagai daerah yang dibatasi (pewatasan-kalimantan, prabumian-bali, wewengkon-jawa) atau sebagai tanah yang terlarang bagi orang lain (totobuan-Bolaang mongondaow), akhirnya dijumpai istilah-istilah lainnya Orluk(Angkola), Limpo(Sulawesi Selatan), Payar(Bali), Paer(Lombok), Ulayat(Minangkabau).Tanah Ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat Hak Ulayat dari suatu masyarakat hukum tertentu. Mengenai keberadaan tanah ulayat masyarakat hokum adat yang masih ada, dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi, dan apabila memungkinkan, menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah. Pelepasan tanah ulayat untuk keperluan pertanian dan sebagainya, memerlukan hak guna usaha atau hak pakai. Ini dilakukan oleh masyarakat hukum adat dengan penyerahan penggunaan tanah untuk jangka waktu tertentu sehingga sesudah jangka waktu itu habis, atau sesudah tanah itu tidak digunakan atau telantar, hak guna usaha atau hak pakai yang bersangkutan dihapus. Penggunaan selanjutnya dilakukan berdasarkan persetujuan baru dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan sepanjang hak ulayat masyarakat hukum adat itu masih ada sesuai ketentuan. Selain itu Tanah ulayat merupakan tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia suatu kekuatan ghaib atau peninggalan nenek moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat hukum adat sebagai unsur pendukung utama bagi kebidupan dan penghidupan kelompok tersebut sepanjang masa. Disinilah sifat religius hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat bersama dengan tanah ulayatnya ini.

Adapaun tanah ulayat atau tanah bersama yang dalam hal ini oleh kelompok di bawah pimpinan kepala adat masyarakat hukum adat, misalnya adalah hutan, tanah lapang, dan lain sebagainya. Tanah untuk pasar, penggembalaan, tanah bersama, dan lain-lain yang pada intinya adalah demi keperluan bersama. Setelah kita mengetahui apa itu hak dan tanah ulayat maka dari itu cirri-ciri pokok hak ulayat adalah hanya persekutuan hukum itu sendiri beserta para warganya yang berhak dengan bebas mempergunakan tanah-tanah liar diwiliyah kekuasaannya.Diskusi tentang tanah ulayat merupakan kegiatan yang selalu menarik baik bagi kalangan praktisi maupun akademisi, karena keberadaannya terkait dengan banyak kepentingan. Oleh karena itu, sosok dari tanah ulayat itu sendiri mulai dari konsep, pengaturan sampai kepada implementasi kebijakan pemerintah, senantiasa menimbulkan perdebatan dan perbedaan pendapat. Bahkan, sebagian besar dari persoalan tersebut telah menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Tidak sedikit lagi nyawa yang dikorban oleh masyarakat untuk mempertahankan hak atas tanah disebut dengan tanah ulayat. Di Sumatera Barat dan Padang khususnya tanah ulayat dengan kompleksitas permasalahannya juga menjadi isu sentral yang terkait dengan sengketa tanah adat. Pada umumnya perkara tanah yang masuk ke pengadilan negeri adalah sengketa yang terkait dengan tanah adat . Sehingga dapat disimpulkan mekanisme penyelesaian sengketa tanah adat tidak lagi sepenuhnya bisa dijalankan oleh Hukum adat dengan fusngionarisnya . Apakah peristiwa ini mengindikasikan bahwa hukum adat dengan segala perangkat pelaksananya sudah tidak lagi berfungsi atau tidak lagi dihormati oleh masyarakat? Mungkin tidak banyak di antara pemuka adat dan masyarakatnya mengakui pernyataan tersebut. Kalau kita tanyakan kepada mereka apakah hukum adat (Minangkabau) masih efektif? Mungkin sebagian besar dari mereka akan menjawab bahwa hukum adat itu masih efektif.Namun kenyataanya pernyataan tersebut berkontradiksi dengan keadaan sebenarnya dan dijadikan tameng atas kegagalan kaum adat. Dengan persoalan diatas maka terlihatlah urgensi dari perlindungan hukum terhadap Tanah Ulayat untuk menyelesaikan sengketa tanah pusako antar suku ataupun dengan pihak luar. B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana keberadaan tanah Ulayat di Minangkabau?2. Bagaimana pengaturan hukum Agraria tentang penanaman modal terhadap tanah ulayat di Minangkabau?3. Bagaimana penyelesaian konflik investor dan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayat mengacu pada hukum agraria dan peraturan lainnya?C. Maksud dan Tujuan1. Untuk mengetahui fungsi keberadaan tanah ulayat diminang Kabau.2. Untuk mengetahui pengaturan hokum Agraria tentang penanaman modal terhadap tanah Ulayat di Minangkabau.

3. Untuk mengetahui penyelesaian konflik investor dan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayat mengacu pada hukum agraria dan peraturan lainnyaBAB II

PEMBAHASANII.1 Tanah Ulayat Merupakan Asset NagariTanah ulayat merupakan sumber daya dan asset nagari yang penting di Sumatera Barat. Tanah ulayat memiliki nilai ekonomi yang merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat nagari, didalamnya terkandung berbagai potensi sumber daya alam yang mulai dari kulit bumi yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan pertanian, hasil hutan dan sampai kedalaman tanah dalam bentuk tanah dan bebatuan sebagai bahan baku industri. Kulit bumi atau tanah merupakan asset masyarakat yang selalu dijaga, dipelihara dan dimanfaatkan secara subsistem dalam kelangsungan kehidupannya. Disamping itu ditanah ulayat juga melekat nilai-nilai sosial sebagai ikatan, kesatuan sistem kepemilikan dan pengelolaan bersama masyarakat adat terhadap tanah, yang diyakini sebagai suatu titipan Tuhan yang harus dijaga dan dipelihara secara baik. Bagi masyarakat nagari pada awalnya tanah ulayat merupakan sumber kehidupan dalam rangka pemenuhan kehidupan, tanah digunakan untuk menghasilkan padi,sayur-sayuran, buah-buahan namun kemudian dengan perkembangan perdagangan daerah dan internasional kemudian tanah mulai ditanami dengan tanaman industri seperti karet, kasiavera, kelapa sawit, kopi dan lain-lain sehingga tanah semakin banyak dimanfaatkan oleh kelompok masyarakat sendiri dan para pendatang termasuk para penanam modal.

Penggunaan tanah yang semakin meningkat secara ekonomi akan meningkatkan pendapatan yang diterima oleh masyarakat, perluasan kesempatan kerja dan peningkatan produktivitas masyarakat. Namun disisi lain karena berdatangannya orang ke Nagari kepemilikan dan penguna tanah setiap periode mengalami perubahan sehingga terjadi perubahan status kepemilikan bersama ke kepemilikan pribadi, suku lain, negara dan para investor sehingga menimbulkan suatu persoalan ditengah masyarakat nagari.Kajian Muchtar (1983) tentang pengelolaan tradisional tanah ulayat di Sumatera Barat diketahui, tanah ulayat sebagian besar diusahakan secara pribadi dan sebagian ada juga yang diolah oleh suku lain dalam nagari dengan sistem bagi hasil dalam bentuk sasiah, sapaduo sepatiga dan lain-lain. Pola pengelolaan ini bagi masyarakat nagari hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari (subsisten), namun belum bisa memenuhi kebutuhan untuk menabung dan investasi sebagai harapan dan tatangan kebutuhan ekonomi masa datang.

II.2 Dasar Pengaturan Hak Ulayat terhadap Investasi dan Konflik Tanah UlayatSebagaimana disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. UUD 1945 tidak menyebut tanah melainkan bumi. Mengenai arti bumi ini tidak terdapat penjelasan lebih lanjut. Menurut Pasal 1 ayat (3) UUPA, bahwa Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa adalah hubungan yang bersifat abadi. Mengenai bumi diatur dalam UUPA, sebagaimana Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2), bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Hal ini berarti bahwa di Indonesia, pengertian tanah dipakai dalam arti yuridis sebagai suatu pengertian yang telah dibatasi dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA, dasar hak menguasai dari Negara hanya permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.Menyinggung mengenai tanah, Indonesia wilayahnya terdiri dari beribu-ribu pulau yang sebagian masyarakat masih menguasai hak atas tanah yang pemilikannya didasarkan atas hukum adatnya. Menurut Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 disebutkan sebagai berikut: Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Hal ini berarti bahwa negara masih mengakui hak atas tanah yang dikuasai berdasarkan hukum adatnya selama masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Adatnya yang berarti kebiasaan masyarakat setempat, jika kebiasaan tersebut disertakan suatu sanksi maka disebut dengan hokum adat. Hukum Adat adalah aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan orang-orang timur asing, yang di satu pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan hukum) dan di lain pihak tidak dikodifikasi (maka dikatakan adat). Sebagai bandingan dapat dikemukakan pendapat dari Ter Haar Bzn, yang menyatakan bahwa, hukum adat adalah Keseluruhan aturan yang menjelma dari keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai kewibawaan serta mempunyai pengaruh dan yang dalam pelaksanaan berlakunya serta merta dan ditaati dengan sepenuh hati. Demikian pendapat Ter Haar tentang pengertian Hukum Adat ialah adat yang diputuskan oleh para petugas-petugas hukum adat, yang berbeda dengan van Vollenhoven dimana hukum adat itu adalah adat yang seharusnya berlaku dalam masyarakat. Soepomo memberikan definisi tentang hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan-peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturanperaturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan oleh yang berwajib, toh ditaati dan didukung oleh rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasannya peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.

Sedangkan Soekanto dalam bukunya Meninjau Hukum Adat Indonesia mengartikan hukum adat sebagai kompleks adat yang kebanyakan tidak dikitabkan tidak dikodifisir dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum. Apabila ditelaah pendapat-pendapat yang diberikan para ahli di atas, terdapat kesamaan pendapat mengenai hukum adat, yaitu di dalam hukum adat termuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur kehidupan orang-orang Indonesia dalam bentuk tak tertulis dan mempunyai akibat hukum.

Untuk mengakomodir persoalan yang berkaitan dengan tanah ulayat di Sumatera Barat, sebelumnya sudah lahir Peraturan Daerah (Perda) No. 6 Tahun 2008, tentang Tanah Ulayat dan Pengaturannya (TUP). Sangat jelas kiranya bahwa tujuan dari perda ini, sebagaimana diatur dalam pasal 4, yaitu Untuk tetap melindungi keberadaan tanah ulayat menurut hukum adat Minangkabau serta mengambil manfaat dari tanah termaksuk sumber daya alam, untuk kelangsungan hidup dan kehidupannya secara turun-menurun dan tidak terputus antar masyarakat hukum adat dengan wilayah yang bersangkutan.Namun ada yang menjadi persoalan dalam perda ini, sesuai yang tertuang dalam pasal 11 yaitu Apabila perjanjian penyerahan hak penguasaaan dan atau hak milik untuk penguasaan dan pengelolaan tanah yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 berakhir, maka status penguasaan dan atau kepemilikan tanah kembali ke bentuk semula. Sehingga pasal tersebut multi tafsir. Setidaknya ada dua pengertian, Pertama, setelah masa pemanfaatan berakhir maka tanah tersebut berstatus sebagai tanah Negara sesuai dengan UUPA dan Kedua, setelah pemenpataan berakhir maka tanah tersebut berstatus sebagai hak ulayat (pemulihan hak ulyat).Dengan lahirnya Pergub No. 21 Tahun 2012 maka sangat jelas memperkuat Perda No. 6 Tahun 2008 tersebut. Karena dalam Pergub ini mempertegas kembali mekanisme penggunaan tanah ulayat oleh pihak ketiga serta mekanisme pemulihan setelah habis masa izin penggunaanya. Bahkan dalam Pergub ini mencoba berusaha mengakomodir keberagaman disetiap nagari, bahwa pemanfaatan tanah ulayat mesti harus disesuaikan dengan hukum adat yang ada di masing-masing nagari. Kalau dimaknai sesunggugnya Pergub ini berusaha untuk melindungi tanah ulayat, sehingga eksistensinya tetap terjaga seiring makin kompeleksnya pergulatan modernisasi dan investasi.

Disadari atau tidak, disetujui atau tidak, kehidupan bernegara modern seperti yang juga dialami oleh Indonesia, terutama sejak kemerdekaan, mengakibatkan terjadinya interaksi antara masyarakat dengan instansi luar baik formal maupun informal. Dalam kehidupan sosial dunia hari ini, jarang sekali atau bahkan tidak satu pun institusi, kelompok masyarakat atau apapun namanya yang betul-betul otonom dari pengaruh kelompok atau institusi lain, jadi semuanya akan menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan dan interaksi sosial. Oleh karena itu, Hukum Adat kita mengajarkan, bahwa adat itu dinamis dan fleksibel. Tidak semuanya nilai adat tersebut yang merupakan adat nan sabana adat, tetapi juga ada nilai-nilai yang tergolong ke dalam adat nan teradat dan adat istiadat. Dalam konteks yang lebih luas, Sally Folk Moore, salah seorang antropolog terkenal, menyebut fenomena seperti ini dengan semi-autonomous social field. Oleh karena itu Tanah Adat yang dimiliki secara komunal termasuk dalam dinamika adat istiadat terutama penggunaanya sebagai alat pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Kota Padang.

Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dan penduduk nasional mendorong pemerintah untuk melakukan usaha-usaha sebagai upaya untuk meningkatkan output nasional, sehingga penggunaan tanah untuk usaha-usaha bisnis modern semakin meningkat. Khusus di Kota Padang tanah yang masih belum terpakai merupakan tanah milik Hak Ulayat yang dimiliki oleh Nagari/suku/kaum yang dikenal dengan Pusako Tinggi yang pengelolaannya tidak boleh dijual/gadaikan kepada pihak lain.

Dalam prinsip adat Minangkabau, tanah ulayat tidak boleh dijual belikan, akan tetapi tanah ulayat tersebut dapat digadaikan. Di Minangkabau tidak ada orang yang mau dan dapat menjual hartanya seperti : tanah, sawah, ladang atau rumah, karena selain harta tersebut merupakan milik bersama, hukum adatpun tidak membenarkannya. Pameo mereka mengatakan : dijua tak dimakan bali, digadai tak dimakan sando (dijual tak dimakan beli, digadai tak dimakan sandera).Apabila harta pusaka itu akan dipindah tangankan untuk mengatasi kesulitan, tanah tersebut hanya dapat digadaikan atau disandokan sebagai jaminan pinjaman. Sando ada tiga jenisnya yakni, sando atau sandaro yakni menggadaikan harta yang akan ditebus sewaktu-waktu, sekurang-kurangnya setelah sekali panen. Sando kudo yaitu menggadaikan harta yang tidak mungkin ditebus lagi karena telah beberapa kali dipadalam (diperdalam) yakni uang gadai diminta tambah sehingga kalau hendak ditebus harganya terlalu tinggi. Sando agung yaitu merungguhkan harta untuk selamanya. Hanya karena empat alasan pegang gadai dapat dilakukan. Itupun harus atas kesepakatan warga kaum, keempat alasan tersebut adalah sebagai berikut : Pertama, maik tabujua diateh rumah (mayat terbujur diatas rumah). Apabila terjadi musibah, meminggalnya salah satu anggota keluarga.Disaat ahli waris tidak memiliki uang untuk menyelengarakannya, maka tanah ulayat tersebut dapat digadaikan guna menyelenggarakan upacara tersebut. Begitu juga menurut Navis , upacara kematian seorang anggota kaum yang dihormati harus sama agungnya dengan upacara perkawinan atau penobatan penghulu. Upacara berlangsung bertahap-tahap seperti, pada waktu tiga hari, tujuh hari, tiga kali tujuh hari, empat puluh hari, seratus hari dan akhirnya tiga kali seratus hari. Setiap upacara senantiasa mengadakan kenduri makan minum.

Kedua, mambangkik batang tarandam, (membangkit batang terendam), dimaksudkan melakukan upacara managakkan gala pusako (mendirikan gelar pusaka) yaitu mendirikan penghulu baru, memakai gelar kebesaran yang telah lama tidak dipakai,atau menggantikan penghulu yang tidak dapat berfungsi lagi, karena mengundurkan diri atau meninggal.

Ketiga, gadih gadang indak balaki (gadis dewasa belum bersuami), tanah dapat digadaikan ketika ada gadis yang telah cukup umur tetapi belum mendapatkan suami. Uang dari penggadaian tanah tersebut digunakan untuk mencari dan menjemput calon suami anak gadis tersebut, juga membiayai persiapan dan pelaksanaan perkawinan seorang gadis yang biasanya mahal karena perjamuan yang berlarut-larut. Keempat, rumah gadang katirisan (rumah gadang sudah bocor) Tanah digadaikan untuk keperluan membiayai perbaikan rumah gadang yang telah rusak, dimana rumah gadang termasuk simbol kebesaran sebuah kaum di Minangkabau.Syarat pegang gadai sangat berat bagi pihak yang menggadaikan. Nilai harga gadaian hampir seperti harga jual, sehingga akan sulit menebusnya kembali. Dan selama tergadai, hasil atau sebagian hasil dari harta pusaka itu tidak diperoleh lagi. Olah karena itu, kalau tidak oleh alasan yang berat yang akan dapat memberi malu kerabat, maka pegang gadai tidak akan pernah dapat dilakukan.

Dengan adanya prinsip adat tersebut maka sebenarnya tanah-tanah adat di Minang Kabau ini berpenghuni dan tidak bisa dimiliki oleh orang lain.Namun Persoalan ini kemudian bisa dipecahkan dengan konsep kemitraan. Konsep ini memberikan pengakuan atas hak ulayat nagari bagi masyarakat tempatan dan memberikan kesempatan kepada pemilik modal (Investor) melakukan bisnis dalam usaha-usaha yang memiliki keuntungan yang menjanjikan.UU Pokok Agraria sesungguhnya telah mengatur dan memberikan pengakuan atas hak ulayat masyarakat adat, maka semestinya memang dalam pengelolaan yang melibatkan pihak luar harus memperhatikan eksistensi ini sebagai bagian dari upaya untuk penerapan sistem perundang-undangan agraria, penghormatan pemerintah atas hak ulayat diwujudkan dengan model-model kemitraan antara pemilik modal (investor) dengan masyarakat.

Salah satu pola kemitraan itu adalah model kerjasama PIR-BUN di daerah Pasaman (Pola inti rakyat untuk perkebunan) yang dikembangkan awal tahun 1970 hingga awal tahun 1990, pola ini merupakan fasilitasi kredit bank dunia dan lembaga donor asing lainnya dalam bentuk pinjaman terhadap pengembangan sektor perkebunan besar di Indonesia. Pengembangan perkebunan besar ini dikembangkan dalam bentuk pola kemitraan Perusahaan Inti Rakyat (PIR) antara BUMN (PT Perkebunan Persero) dan swasta dengan melibatkan masyarakat (plasma) yang kemudian pemerintah memfasilitasi pembentukan kelompok ekonomi masyarakat dalam bentuk Koperasi Pertanian (KUD), dan keswadayaan masyarakat (Perorangan).Pola kemitraan dan pengelolaan melalui pola plasma-inti ini disatu sisi memberikan kontribusi yang positif terhadap perekonomian nasional. Pada periode pembentukan itu, sektor perkebunan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan mengalami kemajuan yang pesat hal didukung oleh program perkebunan besar swasta nasional (PBSN) yang disubsidi oleh pemerintah (khudhori:2004). Dengan mlihat pola kemitraan diatas kota pada dapat mencobanya dengan menerapkan sistem mitra yang disesuaikan dengan potensi lokal.Pemerintah Kota Padang harus membuat kebijakan mengenai Investasi yang win-win solution ,tidak melanggar Hukum Adat dan Agraria dan menguntungkan untuk Kota Bengkuang ini.

II.3 Penyelesaian Konflik Investor Dan Masyarakat Hukum Adat Terhadap Tanah Ulayat Mengacu Pada Hukum Agraria Dan Peraturan LainnyaSecara umum perusahaan berpandangan bahwa akar dari klaim masyarakat adat dimulai dengan ketidakjelasan kebijakan pemerintah. Situasi ketidak jelasan ini menjadi bahan bakar konflik yang dipantik oleh kecemburuan sosial yang timbul dari perkembangan Pendidikan masyarakat adat yang rendah, cendrung menjadikan mereka korban dari pemberian ganti rugi yang tidak tepat sasaran, sehingga menyebabkan perusahaan harus memberikan ganti rugi berkali-kali. Lahan yang di klaim sebagai tanah ulayat tidak memiliki batas-batas yang jelas. Pada beberapa kasus, masyarakat adat menuntut disebabkan karena kesepakatan tidak tercapai di internal mengenai keberadaan perusahaan perkebunan. Terdapat juga indikasi kuat, beberapa tokoh-tokoh di masyarakat menggunakan dan mengelolala konflik sedemikian rupa sehingga menjadi sumber penghasilan mereka.Ketika konflik telah menjadi konflik yang manifes anatara perusahaan dengan masyarakat adat dan ketika konflik itu diselesaikan dengan jalan negosiasi, terdapat beberapa penyebab kenapa negosiasi tersebut mengalami hambatan. Persoalan mendasar adalah adanya perbedaan persepsi dan sudut pandang serta harapan tentang keberadaan perusahaan di tempat masyarakat adat berada. Sebagian besar dari masyarakat adat memulai negosiasi dengan pikiran bahwa perusahaan tidak diperlukan didaerah mereka dan perusahaan yang ada harus pergi.

Dalam negosiasi tentang tanah ulayat, beberapa masalah pokok yang dihadapi adalah data-data lahan tidak akurat dan tidak ada pemilikan yang jelas berdasarkan hukum yang ada diatas tanah ulayat itu. Perwakilan masyarakat yang melakukan negosiasi juga tidak representative. Sulit sekali mencari perwakilan masyarakat yang betul-betul didukung oleh masyarakat adat yang akan melakukan negosiasi. Akibatnya meskipun telah ada hasil negosiasi, tuntutan masyarakat terus berlangsung, bahkan tidak ada kepastian bahwa hasil negosiasi ini akan mengikat sampai pada generasi selanjutnya. Selain itu, kemauan masyarakat yang diajukan kepada perusahaan juga berubah-ubah. Situasi ini diperkeruh oleh keterlibatan kelompok-kelompok lain diluar masyarakat adapt seperti Organisasi Pemuda dan pihak-pihak lain yang menjadi provokator. Apalagi, aturan main yang ada, tidak menyediakan tatacara yang baik untuk melakukan negosiasi dengan masyarakat adat. Selanjutnya Negosiasi dilakukan dengan melibatkan, Pemda, Aparat Desa, Muspida, BPN, Aparat Keamanan, Tokoh Adat/Tokoh masyarakat, Tim P3D, NGO dan Formal Leader. Peran pemerintah dalam negosiasi ini sangat minim. Dalam berbagai kasus, pemerintah hanya melakukan pembentukan Tim Penyelesaian Konflik, kemudian melakukan kunjungan-kunjungan kelokasi konflik dan setelah itu tim tidak menghasilkan penyelesaian konflik tersebut. Kerap kali pembentukan tim penyelesaian konflik ini diikuti dengan sejumlah biaya, baik resmi atau tidak resmi yang harus dikeluarkan oleh perusahaan.

Selama ini, untuk menentukan tokoh-tokoh masyarakat adat yang akan diajak bernegosiasi, perusahaan melihat orang-orang yang

1)Menggunakan orang berpengaruh di lokasi

2)Tokoh yang pro dan kontra di dekati

3)Status wakil yang jelas berdasarkan surat penunjukan dari keluarga

4)Mengerti hukum

Namun tetap saja Negosiasi tidak berjalan dengan lancar .Hal ini dikarenakan ketidakjelasan status hukum dan batas-batas fisik tanah ulayat. Perusahaan memandang, ketidak jelasan ini merupakan tanggung jawab pemerintah kota. Semestinya sebelum investasi diundang memasuki wilayah mereka, pemerintah telah memperjelas status tanah ulayat dan masyarakat adat. Bahkan sebaiknya, dalam tata ruang wilayah, dalam peta-peta wilayah atau peta pertanahan yang dikeluarkan oleh pemda atau BPN, dicantumkan lokasi tanah ulayat tersebut. Sehingga pengusaha dapat merencanakan investasi menjadi lebih baik dengan mempertimbangkan keberadaan masyarakat adapt dan tanah adapt yang telah diakui oleh pemerintah tersebut.

Beberapa masalah yang terjadi diatas merupakan gambaran hambatan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi di kota padang dari Aspek Tanah Ulayat.Kita menyadari betapa pentingnya arti tanah bagi kaum Minang Kabau dengan segala memori yang indah dan kekuatan adat istiadat di masa dulu yang dijadikan simbol terhadap warisan nenek moyang .Namun dengan dinamika zaman terjadilah perubahan yang menghendaki Tanah harus di kembangkan menjadi titan dalam mengembangkan perekonomian Nagari atau yang telah berubah menjadi kota.Pengembangan Industri dan pertumbuhan penduduk memerlukan lahan yang dijadikan tempat bernaung.Segala konflik yang terjadi sebenarnya adalah terletak pada pemahaman dan cara pandang yang berbeda sehingga tidak dapat diselesaiakan oleh Investor dan Pemilik Tanah.Diperlukan Ulil Amri (Wali Kota dan Wali Kota) yang disegani untuk mendudukan secara bersama-sama, hal apa yang dapat kita putuskan agar mendapatkan keuntungan bersama.Didalam mengambil keputusan pemerintah Kota Padang harus memperhatikan Aspek-aspek kepastian hukum baik hukum positif maupun hukum Adat.Dengan adanya konsolidasi bersama untuk dapat menarik minat Investor ke kota padang dari aspek Tanah maka nantinya kota Padang sebagai kota wisata dan metropolitan akan terwujud dengan keluhuran budi para pemimpin dan ketaatan Masyarakatnya.

BAB IIIPENUTUPI. KesimpulanTanah ulayat merupakan sumber daya dan asset nagari yang penting di Sumatera Barat. Tanah ulayat memiliki nilai ekonomi yang merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat nagari, didalamnya terkandung berbagai potensi sumber daya alam yang mulai dari kulit bumi yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan pertanian, hasil hutan dan sampai kedalaman tanah dalam bentuk tanah dan bebatuan sebagai bahan baku industri. Pada dasarnya hak ulayat keberadaannya dalam UUPA adalah sudah diakui, akan tetapi pengakuan tersebut masih diikuti oleh syarat-syarat tertentu, yaitu: eksistensi dan mengenai pelaksananya. Oleh karena itu, hak ulayat dapat diakui sepanjang menurut kenyataan masih ada. Maksudnya adalah apabila di daerah-daerah dimana hak itu tidak ada lagi, maka tidak akan dihidupkan kembali.

Oleh sebab itu, pelaksanaan hak ulayat secara mutlak, yaitu seakan-akan anggota-anggota masyarakat iu sendirilah yang berhak atas tanah wilayahnya itu, dan seakan hanya di peruntukan masyarakat hukum adat itu sendiri. Maka sikap yang demikianlah yang oleh UUPA dianggap bertentangan, hal ini sesuai dengan asas-asas yang tercantum dalam pasal 1 dan 2.

Lahirnya Perda No.6 tahun 2008 tidak hanya semata ditujukan untuk melindungi eksistensi tanah ulayat di sumatera Barat, namun juga hadir untuk kepentingan investasi dan pembangunan . Untuk itu, melalui Pasal 3 ayat (2), Perda No. 6 tahun 2008 membuka ruang bagi dimanfaatkannya tanah ulayat oleh pihak lain dengan kaedah adat diisi limbago dituang melalui musyawarah mufakat .Secara eksplisit, Perda No.6 tahun 2008 menyatakan bahwa pemanfaatan tanah ulayat untuk kepentingan Badan Hukum dan perorangan dapat dilakukan berdasarkan surat perjanjian pengusahaan dan pengelolaan tanah ulayat dalam jangka waktu tertentu dalam bentuk penyertaan modal, bagi hasil dan/atau bentuk lain yang disepakati . Kemudian, Perda No. 6 tahun 2008 juga memungkinkan investor memanfaatkan tanah ulayat dengan mengikutsertakan penguasa dan pemilik tanah ulayat sebagai pemegang saham, bagi hasil dan dengan cara lain dalam jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian . Apabila perjanjian penyerahan hak penguasan dan/atau hak milik untuk pengusahaan dan pengelolaan tanah yang diperjanjikan berakhir, maka status pengusahaan dan/atau kepemilikan tanah kembali ke bentuk semula .II. SARANMekanisme pendaftaran tanah ulayat yang diatur oleh Perda No.6 tahun 2008 berimplikasi terhadap berubahnya status hukum tanah ulayat. Kondisi ini jelas bertolak belakang dengan asas utama tanah ulayat sebagaimana diusung oleh Pasal 2 ayat (1) Perda No.6 tahun 2008, yaitu jua ndak dimakan bali, gadai ndak makan sando . Hal ini merupakan kerugian besar bagi keberlangsungan tanah ulayat di Sumatera Barat. Di samping itu, pengaturan pemanfaatan maupun pendaftaran tanah ulayat tersebut, ditenggarai dapat pula memicu konflik antara Pemerintah Nagari dengan KAN. Dalam Perda Provinsi No.2 tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari dinyatakan bahwa tanah ulayat nagari merupakan harta kekayaan nagari. Pengaturan pemanfaatan dan pengelolaan harta kekayaan nagari dilaksanakan oleh Pemerintah Nagari berdasarkan peraturan nagari . Lebih lanjut, Pasal 17 ayat (2) menyebutkan, sebelum peraturan nagari untuk mengatur pemanfaatan dan pengelolaan harta kekayaan nagari ditetapkan, Pemerintah Nagari melakukan konsultasi/koordinasi dengan KAN. Jadi yang bertindak mengatur dan mengelola tanah ulayat nagari adalah Pemerintah Nagari, sedangkan KAN merupakan mitra dari Pemerintah Nagari, yaitu sebatas lembaga konsultasi/koordinasi. Berbeda dengan Perda No. 2 tahun 2007, Perda No.6 tahun 2008 menyatakan bahwa penguasa dan pemilik tanah ulayat nagari adalah Ninik Mamak KAN . Pengaturan dari dua Perda ini saling tabrak dan bertolak belakang. Dalam rangka menjamin eksistensi tanah ulayat, pemetaan tanah ulayat merupakan keniscayaan. Penentuan batas-batas tanah ulayat tidak cukup hanya berdasarkan peta ingatan dari penguasa-penguasa adat. Perlu kejelasan siapa pemilik/penguasa tanah ulayat beserta dengan batas-batas yang melingkupinya. Ketidakjelasan tersebut, cenderung akan menjadi sumber konflik dan menjadi bom waktu yang siap meledak di kemudian hari. Ada beberapa solusi yang bisa ditawarkan dalam memetakan tanah ulayat. Pertama, tetap menempuh mekanisme sebagaimana diatur oleh Peraturan Menteri Agraria/ Kepala BPN No. 5 tahun 1999. Kedua, mendaftarkan tanah ulayat kepada kepada Kantor Pertanahan dengan cara membukukan bidang tanah ulayat dalam daftar tanah sesuai dengan mekanisme pendaftaran tanah negara sebagaimana diatur oleh Pasal 9 ayat (2) PP No. 24 tahun 1997. Mengenai dua tawaran solusi ini, Penulis lebih cenderung memilih tawaran yang kedua. Karena, prosedurnya tidak rumit dan tidak memerlukan biaya yang besar.. Banyak tulisan yang menggambarkan tentang seluk-beluk konflik terkait dengan tanah terutama tanah ulayat, di antaranya lihat Fauzi, Noer (Ed), Pembangunan Berbuah Sengketa, Kumpulan Kasus-kasus Sengketa Pertanahan Sepanjang Orde Baru, Yayasan Sintesa da Serikat Petani Sumatera Utara, Medan, 1998, Lounela, Anu dan Zakaria, Yando (Ed), Berebut Tanah, Beberapa kajian berperspektif kampus dan kampung, Kerjasama Insist, Jurnal Antropologi Indonesia UI, Karsa, Yogyakarta, 2002, Bachriadi, Dianto, Anton Lucas, Merampas Tanah Rakyat, Kasus Tapos dan Cimacan, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 2001, Araf, Al., dan Awan P., Perebutan Kuasa Tanah, Lappera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2002. dalam makalah Kurniawarman,Eksistensi tanah ulayat

. HYPERLINK "http://www.bunghatta/FH/tanah" www.Bunghatta/FH/tanah ulayat.com

. Sakali aie gadang sakali tapian baranjak, namun tapian di tapi aie juo. Bahkan ajaran agama juga menuntun kita dengan pandangan yang dinamis seperti itu. Allah SWT menciptakan manusia berpasang-pasangan agar mereka saling berhubungan satu sama lain. Dalam konteks interaksi sosial dan hubungan hukum antara manusia yang satu dengan lainnya, Al Quran juga menyatakan bahwa Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Jadi fitrah manusia memang hidup sebagai makhluk sosial yang senantiasa menjalin hubungan kerjasama dengan orang atau kelompok manusia lainnya. dalam makalah kurniawarman, eksistensi tanah ulayat

. Obviously complete autonomy and complete domination are rare, if they exist at all in the world today, and semi-autonomy of various kinds and degrees is an ordinary circumstance. Since the law of sovereign states is hierarchical in form, no social field within a modern policy could be absolutely autonomous from a legal point of view. Lihat lebih jauh Moore, Sally Folk, Law as a process, An anthropological approach, Routledge and Kegan Paul, London, 1983, hal. 78.

23