transfusion in the intensive care unit (translated - hasil terjemahan punya sist fitri ayu)
DESCRIPTION
jurnalTRANSCRIPT
Tinjauan Ilmiah
Transfusi di unit penanganan/ perawatan intensif
Jean-Louis Vincent, MD, PhD, FCCM; Michael Piagnerelli, MD
Tujuan: Untuk merangkum insiden anemia dan transfusi darah pada para pasien yang
memiliki penyakit kritis, untuk meneliti dan mengukur resiko-resiko dan manfaat
komparatifnya, dan secara singkat untuk menspekulasi dampak akan leukoreduksi
(penghilangan leukosit pada darah nurunan jumlah leukosit) dan cadangan darah
pada kebutuhan untuk mengevaluasi ulang pemicu transfusi.
Rancangan: Dilakukannya peninjauan literatur terbaru.
Hasil: Anemia merupakan hal yang umum terjadi pada para pasien yang dirawat di
unit penanganan intensif dan hal ini memiliki kaitan dengan tingkat mortalitas yang
meningkat. Sekitar 20 – 53% dari seluruh pasien yang dirawat di unit penanganan
intensif mendapatkan transfusi darah selama masa perawatannya, dan hal ini
memiliki hubungan dengan hasil yang buruk.
Penghilangan leukosit pada darah merah dapat menghindari beberapa infeksi dan
resiko-resiko imunomodulatori yang berkaitan dengan transfusi darah.
Kesimpulan: Data tentang resiko dan manfaat transfusi darah cukup membingungkan
dan tampak saling bertentangan, dan dengan perubahan praktek transfusi darah akhir-
akhir ini, yang didalamnya termasuk pengaplikasian teknik leukoreduksi, maka
saatnya sekarang untuk mengevaluasi ulang pemicu transfusi kita. (Crit Care Med
2006; 34[Suppl.]:S96-S101)
Kata Kunci: anemia, flebotomi, leukoreduksi, lesi penyimpanan darah.
Anemia merupakan salah satu temuan laboratorium abnormal yang paling umum
dihadapi pada pasien yang dirawat di unit penanganan intensif (ICU), dan banyak
para pasien di ICU yang menerima transfusi darah selama mereka dirawat di ICU.
Namun, penentu akan pasien mana yang harus diberikan transfusi masihlah belum
diketahui secara ilmiah, dan hal ini telah menjadi bahan perdebatan selama tahun-
tahun terakhir ini. Fokus akan hal yang berkaitan dengan keamanan transfusi darah
pun menjadi meningkat, hal ini pun dikarenakan akibat ketakutan akan penyakit
infeksi yang diakibatkan oleh transfusi darah seperti penularan virus HIV, ensefalitis
spongiform bovin, dan transfusi darah dapat memiliki hubungan dengan peningkatan
resiko infeksi dan imunomodulasi yang berkaitan dengan dengan transfusi darah.
Akibat dari fokus dan kepedulian ini serta beberapa penelitian yang menemukan
fakta bahwa tingkat pemicu transfusi yang lebih rendah dapat memberikan hasil
serupa, atau hasil penanganan medis yang buruk pada pasien yang mendapatkan
transfusi darah, maka terdapat penurunan ambang batas transfusi secara umum dari
mulai hemoglobin dengan konsentrasi 10 g/dL (yang menjadi acuan global bagi para
dokter sebelumnya) menjadi hemoglobin dengan konsentrasi 7 g/dL sebelum
dilakukannya tindakan transfusi.
Pada artikel ini, kami berfokus pada beberapa penelitian kunci yang memberikan
pandangan akan praktek-praktek transfusi saat ini, dan hal ini diharapkan menjadi
bahan bakar perdebatan akan pemicu transfusi yang optimal.
Epidemiologi dan Etiologi Anemia di ICU. Pasien yang sakit kritis seringkali
mengalami anemia selama dirawat di ICU. Penelitian CRIT kohort observasional
multi-senter prospektif pun dilakukan di Amerika Serikat, penelitian ini melibatkan
4.892 pasien yang dirawat di ICU, diketahui bahwa hampir dua pertiga dari seluruh
pasien memiliki konsentrasi hemoglobin sekitar < 12 g/dL. Etiologi anemia bersifat
multifaktoral (Tabel 1). Walaupun kehilangan darah pasien diakibatkan oleh trauma,
pembedahan, pendarahan gastrointestinal, dll, telah merepresentasikan satu penyebab
kunci anemia pada pasien yang dirawat di ICU, dan konsentrasi hemoglobin pun
menurun bahkan pada pasien yang sakit kritis tanpa mengalami pendarahan. Nguyen
Ba dkk melakukan penelitian lintas waktu tentang konsentrasi hemoglobin pada 91
pasien yang sakit kritis non-pendarahan, dan diketahui bahwa tingkat konsentrasi
hemoglobin mereka turun sekitar 0,52 ± 0,69 g/dL/hari untuk semua populasi
penelitian dengan penurunan tajam selama tiga hari berturut-turut (0,66 ± 0,84 vs.
0,12 ± 0,29 g/dL/hari, p < 0,01, Gambar 1). Menariknya, pola ini sedikit berbeda
pada pasien yang mengidap sepsis dibandingkan dengan pasien yang tidak mengidap
sepsis, dengan penurunan harian yang lebih tajam dalam hal konsentrasi hemoglobin
pada pasien sepsis (0,68 ± 0,66 vs. 0,44 ± 0,70 g/dL/hari, p = 0,13); selain itu, pada
pasien yang tidak mengidap sepsis, penurunan konsentrasi hemoglobinnya menjadi
stabil setelah 3 hari, dan pada para pasien pengidap sepsis pun konsentrasi
hemoglobinnya terus menurun.
Patogenesis penurunan ini dalam hal konsentrasi hemoglobin pada pasien non-
pendarahan di ICU sepertinya merupakan kombinasi dari akibat flebotomi dan
prosedur minor, produksi sel darah merah yang menurun, dan mungkin karena
peningkatan kehancuran sel darah merah.
Pensampelan darah berulang dapat menyebabkan penurunan darah secara signifikan.
Corwin dkk melaporkan bahwa fleboktomi bertanggungjawab akan 30% dari seluruh
transfusi darah yang diberikan pada 142 pasien ICU, dan kehilangan darah akibat
flebotomi pun meningkat pada pasien yang mendapatkan transfusi. Pada penelitian
tentang Anemia dan Transfusi Darah dalam Penanganan/ Perawatan Kritis, volume
flebotomi harian rata-rata adalah 41 mL/ hari. Di dalam penelitian yang dilakukan
oleh Nguyen Ba dkk, kehilangan darah akibat flebotomi adalah 40,3 mL/hari, dan
sampel serta volume darah yang diambil pada pasien penderita sepsis adalah lebih
banyak dibandingkan pada pasien non-sepsis (49,0 ± 11,3 vs. 36,7 ± 14,9 mL/hari, p
= 0,04), yang dimana hal ini menjadi penyebab dari penurunan hemboglobin harian
pada pasien-pasien ini. Respon eritropoietin abnormal terhadap berkurangnya darah,
sebagian dari hal ini berkaitan dengan dampak mediator inflamatori pada produksi
eritropoietin dan reseptor erthropoietin, dan melalui induksi apoptosis pada
eritroblast, yang dimana hal ini berkontribusi terhadap anemia pada pasien-pasien
yang dirawat di ICU. Gizi, termasuk didalamnya defisiensi zat besi juga
berkontribusi terhadap berkurangnya produksi sel darah merah. Vasodilasi yang
diakibatkan oleh respon inflamatori juga dapat meningkatkan volume darah, yang
secara tidak langsung dapat menurunkan hematokrit dan masa sel darah merah.
Serapan sel darah merah yang meningkat karena sistem retikuleondotelial yang
diakibatkan oleh alterasi membran RBC juga dapat berkontribusi terhadap
kemunculan anemia pada pasien yang sakit kritis.
Epidemiologi Transfusi di ICU. Dengan tingkat insiden yang tinggi akan anemia,
banyak dari para pasien ICU yang mendapatkan transfusi darah selama mereka
dirawat di ICU, yang rentang frekuensinya berkisar antara 20% sampai 53% (Tabel
2). Memang, beberapa penelitian besar multi-senter telah dilakukan untuk meneliti
epidemiologi transfusi darah pada para pasien yang dirawat di ICU selama dekade
terakhir ini. Pada suatu penelitian di Kanada yang melibatkan 5,298 pasien ICU,
Hebert dkk menemukan fakta bahwa 25% dari seluruh pasien mendapatkan transfusi
RBC (sel darah merah) selama mereka dirawat di ICU. Di Inggris, 53% dari 1.247
pasien kritis mendapatkan transfusi RBC selama mereka dirawat di ICU. Penelitian
ABC pun dilakukan di 146 negara-negara di Eropa Barat dan melibatkan 3.534
pasien, dimana diketahui bahwa 37% dari mereka mendapatkan transfusi darah
selama mereka dirawat di ICU. Jumlah ini meningkat seiring dengan semakin
lamanya waktu perawatan di ICU (25% bagi pasien yang dirawat selama ≤ 2 hari,
56% dari seluruh pasien yang dirawat selama > 2 hari, dan 73% dari seluruh pasien
yang dirawat selama > 7 hari). Pada penelitian CRIT, 44% dari seluruh pasien
mendapatkan satu unit sel darah merah atau lebih selama mereka dirawat di ICU.
Penelitian SOAP (Kemunculan Sepsis pada Pasien Yang Sakit secara Akut) yang
melibatkan 3.147 pasien dari 198 ICU di Eropa menemukan fakta bahwa 33% dari
seluruh pasien ini mendapatkan transfusi darah selama mereka dirawat.
Tabel 1. Penyebab anemia pada pasien yang dirawat di unit penanganan/ perawatan
intensif (ICU)
Kehliangan darah
Pembedahan, trauma
Pendaraan gastrointestinal
Akibat pendarahan lainnya
Prosedur-prosedur minor
Penurunan produksi sel darah merah (RBC)
Sintesis EPO (eritropoietin) yang menurun
Resisten terhadap EPO
Kekurangan zat besi (nyata atau fungsional)
Usia hidup RBC/ sel darah merah yang menurun
Hemolisis yang meningkat
GI: gastrointestinal; RBC: sel darah merah; EPO: eritropoietin
Manfaat dan Resiko Transfusi vs. Anemia. Transfusi dara diberikan untuk
meningkatkan pasokan oksigen, yang kemudian diharapkan untuk mengurangi resiko
hipoksia dan kerusakan jaringan. Namun, walaupun pasokan oksigen meningkat,
tidaklah terjadi peningkatan oksigenasi jaringan ataupun utilisasi oksigen. Selain itu,
resiko-resiko yang berkaitan dengan transfusi darah yang mencakup penularan
mikroorganisme; imunomodulasi yang berhubungan dengan transfusi – yang dapat
meningkatkan resiko infeksi; cedera paru akut yang berkaitan dengan transfusi darah;
dan kesalahan manusia (penggolongan dan pencocokan darah yang salah,
pengidentifikasian pasien yang tidak tepat, dll), kesemuanya dapat menimbulkan
reaksi hemolitik.
Pada tahun 1999, Herbert dkk menerbitkan hasil dari penelitian terkendali acak nya,
yang dimana penelitian ini membandingkan hasil penanganan dari para pasien kriits
yang ditangani melalui strategi transfusi darah bebas (konsentrasi hemoglobin dijaga
untuk tetap > 10 g/dL, yang dimana acuan ini telah menjadi suatu acuan yang baku
saat itu) dengan pola transfusi restriktif (konsentrasi hemoglobin dijaga untuk tetap
>7 g/dL). Para pasien pada kelompok bebas mendapatkan sekitar/ rata-rata 5,6 unit
RBC, berbeda dengan 2,6 unit pada pasien di kelompok restriktif (p < 0,01). Tingkat
mortalitas di ICU dan rumah sakit pun lebih rendah pada kelompok restriktif, namun
perbedaan ini hanya signifikan untuk tingkat mortalitas rumah sakit (22 vs. 28%, p =
0,05). Pada sub-kelompok pasien dengan skor Evaluasi Kesehatan Kronis dan
Fisiologi Akut II (<20) dan pasien yang berusia muda (< 55 tahun), tingkat mortalitas
nya pun lebih kecil pada kelompok restriktif dibandingkan dengan kelompok liberal.
Para peneliti menyimpulkan bahwa “konsentrasi hemoglobin harus tetap dijaga untuk
tidak boleh lebih rendah dari 7,0 dan 9,0 g per desiliter”.
Memang, penelitian ini memberikan suatu awal untuk melakukan evaluasi tentang
strategi transfusi yang dilakukan di ICU, namun ada juga beberapa penelitian yang
menemukan fakta bahwa para pasien yang mendapatkan transfusi darah malah
mengalami kondisi yang lebih buruk lagi. Penelitian ABC menemukan fakta bahwa
ICU (19 vs. 10%, p < 0,001) dan tingkat mortalitas keseluruhan (29 vs 15%, p <
0,001) pada pasien yang mendapatkan transfusi darah adalah lebih tinggi
dibandingkan dengan para pasien yang tidak mendapatkan transfusi. Selain itu, pada
pasien yang cocok di dalam analisis propensitas, tingkat mortalitas 28-hari nya
adalah 22,7% pada pasien yang mendapatkan transfusi darah dan 17,1% pada mereka
yang tidak mendapatkan transfusi darah (p = 0,02). Studi CRIT menunjukkan bahwa
jumlah transfusi sel darah merah yang diterima pasien selama penelitian secara
independen memiliki korelasi dengan lamanya waktu perawatan ICU dan
peningkatan mortalitas.
Gambar 1. Lintas waktu konsentrasi hemoglobin selama 7 hari pertama pada para
pasien yang mengidap sepsis (batang warna abu) dan para pasien yang tidak
mengidap sepsis (batang warna hitam). (Jumlah pasien di dalam tanda kurung).
Walaupun transfusi darah secara jelas diketahui dapat menimbulkan resiko, anemia
juga memiliki hubungan dengan akibat yang parah. Data hewan menunjukkan bahwa
hemodilusi akut terhadap tingkat hemoglobin yang rendah dapat lah ditoleransi, dan
pada manusia yang dilibatkan di dalam percobaan, penurunan isovolemik akut akan
konsentrasi hemoglobin menjadi 5 g/dL tidaklah menyebabkan oksigenisasi sistemik
yang tidak cukup, namun efek samping seperti aritmia pun muncul. Namun,
walaupun individu yang sehat menjaga konsumsi oksigen yang sama dengan
peningkatan indeks kardiak dan rasio ekstraksi oksigen selama hemodilusi
isovolemik pada pasien yang sedang sakit kritis, hubungan antara indeks kardiak/
jantung dengan ekstraksi oksigen dapatlah berbeda, dan hasil dari penelitian ini
tidaklah dapat diaplikasikan terhadap mayoritas pasien yang dirawat di ICU. Secara
etis, sangatlah sulit untuk membiarkan pasien untuk terus mengalami pendarahan
tanpa memberikan transfusi, dan pemahaman kita akan hal ini lebih sering didapat
dari kasus pasien yang tidak mau untuk diberikan transfusi karena alasan agama atau
dari analisis statistik database yang besar. Pada 1,958 pasien penganut Saksi
Yehovah yang mendapatkan tindakan bedah, tingkat mortalitas mereka adalah 1,3%
pada pasien yang tingkat hemoglobinnya ≥12 g/dL pada saat sebelum dioperasi dan
33,3% pada pasien yang tingakt hemoglobinnya <6 g/dL. Peningkatan resiko
kematian berkaitan dengan tingkat hemoglobin pra-operasi yang rendah pun
ditemukan pada pasien yang memiliki penyakit kardiovaskular. Di dalam penelitian
retrospektif yang melibatkan 2.083 pasien yang menolak untuk ditrasfusi atas alasan
agama, peluang kematian mereka yang memiliki tingkat hemoglobin ≤8 g/dL pun
meningkat 2,5 kali lipat untuk tiap gram penurunan tingkat hemoglobin setelah
disesuaikan dengan acuan usia, penyakit kardiovaskular, dan skor Evaluasi
Kesehatan Kronis dan Fisiologi Akut II.
Pada penelitian observasional yang melibatkan 4.470 pasien kritis, pasien dengan
penyakit jantung yang memiliki konsentrasi hemoglobinnya <9,5 g/dL juga memiliki
kecenderungan untuk mengalami peningkatan resiko kematian (55% vs. 42%, p =
0,09) dibandingkan dengan pasien anemik dengan diagnosa penyakit non-
kardiovaskular. Habib dkk menemukan fakta bahwa tingkat keparahan hemodilusi
yang meningkat selama operasi bedah pirau kardiopulmonari (jantung-paru) adalah
berhubungan dengan disfungsi/ morbiditas organ vital pra-operasi dan penggunaan
sumber daya yang meningkat dan juga mortalitas jangka pendek dan menengah yang
lebih tinggi. Pada penelitian CRIT, konsentrasi hemoglobin baseline dengan tingkat
<9 g/dL merupakan prediktor akan mortalitas yang meingkat dan lamanya waktu
perawatan.
Tabel 2. Penelitian multi-senter terbaru yang meneliti frekuensi transfusi darah pada
pasien yang sakit kritis
Peneliti Tahun penelitian dilakukan
Jumlah pasien
Persentase yang mendapatkan transfusi
Keterangan
Herbert dkk 1999 5.298 25 Variasi institusional yang signifikan di dalam praktek transfusi pun teridentifikasi
Vincent dkk 1999 3.534 37 Hal sama dengan disfungsi organ, para
pasien yang mendapatkan transfusi memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi
Rao dkk 1999 1.247 53 Tingkat konsentrasi hemoglobin pra-transfusi adalah <9/ gdL pada 75% episode transfusi
Corwin dkk 2000/ 2001 4.892 44 Jumlah transfusi yang diterima selama penelitian secara independen berhubungan dengan lamanya waktu perawtan di ICU dan rumah sakit dan juga berkaitan dengan peningkatan tingkat mortalitas
Walsh dkk 2001 1.023 39,5 Hampir dari setengah unit sel darah merah yang ditransfusikan tidaklah berhubungan dengan pendarahan signifikan secara klinis
French dkk 2001 1.808 19,8 Indikasi yang paling umum untuk transfusi darah adalah pendarahan akut dan penurunan kemampuan fisiologis; hanya 3% transfusi
dianggap sebagai sesuatu yang tidak tepat
Dilema Transfusi. Berkenaan dengan perdebatan panjang dalam hal manfaat dan
resiko dari transfusi darah, sangatlah penting bahwa tiap pasien harus mendapatkan
pemeriksaan yang tepat untuk mengetahui tingkat toleransi dirinya terhadap anema
dan kebutuhan akan transfusi. Namun, bagaimana pasien tersebut dianalisis/
diperiksa? Pemeriksaan klinis beserta data yang mencakup kondisi komorbiditas dan
diagnosis dapat menentukan perlu atau tidaknya tindakan transfusi. Konsentrasi
hemoglobin akan mudah bervariasi, dan memang faktor acuan pemicu transfusi
darah pun tidak mudah didapatkan, dan konsentrasi hemoglobin yang optimal pun
bervariasi dari satu pasien dengan pasien lainnya, hal ini ditentukan oleh banyak
faktor yang mencakup usia pasien, penyakit kronis yang sudah pernah diidap
(terutama penyakit arteri koroner), diagnosis saat ini, dan penyebab anemia. Dengan
demikian, pemberlakukan tingkat hemoglobin tunggal bagi seluruh pasien atau
sekelompok pasien adalah hal yang terlalu kaku. Tingkat “hemoglobin kritis”, yaitu
tingkat hemoglobin dibawah tingkat dimana pasokan oksien berada pada tingkat
kritis dapat menjadi pemicu yang lebih reliabel, namun bagaimana hal ini dilakukan
dan diukur? Saat ini, kita hanya memiliki pengukuran pengganti untuk mengukur
oksigenasi jaringan, yang didalamnya mencakup saturasi oksigen vena campuran dan
tingkat laktat darah, dan bahkan jika kita memiliki sarana yang efektif untuk
mengukur hipoksia jaringan, munculah pertanyaan tentang apakah tindakan
intervensi seperti contohnya transfusi darah dapat diindikasikan ketika hipoksia
sudah muncul?
Lalu kita pun kembali ke konsentrasi hemoglobin sebagai pedoman untuk melakukan
transfusi; namun pada tingkat hemoglobin berapa kita harus melakukan transfusi?
Penelitian yang dilakukan oleh Hebert dkk menunjukkan bahwa para pasien yang
sakit kritis dapat diberikan transfusi ketika tingkat konsentrasi hemoglobin nya
antara 7 dan 9 g/dL dengan pengecualian bagi pasien yang mengidap infraksi
miokardial akut dan angina yang tidak stabil. Rekomendasi saat ini untuk melakukan
transfusi darah bagi pasien yang memiliki sepsis parah adalah ketika tingkat
konsentrasi hemoglobin mereka adalah 7 g/dL. Selain itu, penelitian telah
menunjukkan bahwa hemodilusi isovolemik terhadap hemoglobin dengan tingkat ≤ 5
g/dL tidak menghasilkan bukti biokimia akan metabolisme anaerobik, dan penelitian
pada para pasien penganut Saksi Yehovah telah menunjukkan bahwa tingkat
keselamatan masih bisa dicapai dengan tingkat konsentrasi hemoglobin yang rendah;
satu penelitian kasus mendapatkan fakta bahwa tingkat keselamatan pasien setelah
terjadinya penurunan konsentrasi hemoglobin sampai 1,8 g/dL. Namun, kasus-kasus
tersebut merupakan sebuah pengecualian dan tidak ada seorang pun yang ingin
membiarkan para pasien kritis untuk terus mengalami penurunan konsentrasi
hemoglobin sampai serendah itu.
Mengevaluasi Ulang Pemicu Transfusi. Menariknya, ketika dunia pusat penanganan
intensif mulai terbiasa dengan ide bahwa tindakan transfusi darah akan lebih baik
jika dilakukan ketika tingkat konsentrasi hemoglobin pada pasien benar-benar
rendah, penelitian SOAP yang mengevaluasi 3,147 pasien di 198 ICU di Eropa pada
bulan Mei 2002 mendapatkan fakta bahwa transfusi darah tidaklah memiliki
hubungan dengan peningkatan tingkat mortalitas pada analisis multivariat atau pada
analisis pembandingan kasus. Penelitian ABC dan SOAP adalah mirip dalam hal
rancangan dan analisisnya, jadi apa yang dapat menjelaskan perbedaan dari
penelitian-penelitian ini yang dilakukan dengan waktu yang cuma berbeda 3 tahun.
Salah satu penjelasannya adalah peningkatan penggunaan darah yang leukositnya
sudah di dihilangkan sejak dilakukannya penelitian ABC. Transfusi darah memiliki
hubungan dengan berbagai resiko yang berkaitan dengan komponen sel darah putih
pada saat transfusi, dan jika sel darah putih ini dihilangkan maka apakah beberapa
resiko ini dapat dikurangi? Leukoreduksi merupakan suatu proses dimana sel-sel
darah putih kandungannya dihilangkan melalui sentrifugasi atau filtrasi. Hitungan
leukosit dapat dikurangi sampai >99%, dan teknik ini cukuplah efektif di dalam
mengurangi resiko penularan virus, tertutama megalovirus, virus herpes, dan virus
Epstein-Barr. Leukoreduksi juga dapat mengurangi resiko penularan parasit dan
prion, reaksi febril yang berkaitan dengan transufsi, dan cedera paru akut yang
berkaitan dengan transfusi. Beberapa studi terkendali acak pun telah mengevaluasi
dampak dari leukoreduksi pada beberapa kelompok pasien (Tabel 3), walaupun tidak
ada percobaan terkendali acak yang telah membandingkan antara darah yang
leukositnya telah dikurangi dengan darah yang leukositnya belum dikurangi pada
pasien kritis. Pada peneltian kohort pembanding yang melibatkan 14.786 pasien yang
mendapatkan transfusi sel darah merah karena mengalami pembedahan jantung atau
perbaikan tulang pinggul yang patah, atau mereka yang mendapatkan penanganan
intensif karena intervensi bedah atau trauma, tindakan transfusi dengan darah yang
leukositnya sudah dikurangi ternyata memiliki hubungan dengan reaksi febril yang
lebih rendah dan tingkat penggunaan antibiotik pasca-transfusi yang juga lebih
rendah. Di dalam meta analisis 14 percobaan terkendali acak yang membandingkan
antara darah standar dengan darah yang leukosit nya sudah dikurangi, Vamvakas
melaporkan bahwa tidaklah ada dampak yang konsisten akan leukoreduksi terhadap
tingkat mortalitas jangka panjang. Pada meta analisis lainnya dari sepuluh percobaan
terkendali acak menyimpulkan bahwa “para pasien yang mendapatkan transfusi
darah yang telah di-leukoreduksi dapat mendapatkan manfaat dari penurunan infeksi
pasca-operasi.’ Banyak negara yang saat ini mengadopsi tindakan leukoreduksi yang
didasarkan pada manfaat nya, walaupun hal ini membuat biaya transfusi pun menjadi
lebih mahal, dan selain itu, apakah hal tersebut dapat memberikan manfaat pada
semua pasien atau sebagian pasien saja meruakan hal yang masih diperdebatkan.
Tabel 3. Percobaan-percobaan terkendali acak yang membandingkan dampak dari
transfusi darah yang telah di-leukoreduksi dengan transfusi darah konvensional
(belum di-leukoreduksi)
Peneliti Kelompok Pasien Jumlah Pasien
Dampak akan Darah Yang Telah Di-leukoreduksi
Jensen dkk, 1992
Bedah kolorektal elektif
197 Infeksi pasca-operasi yang berkurang
Houbiers dkk, 1994
Bedah untuk menangani kanker kolorektum
871 Tidak ada perbedaan dalam hal tingkat infeksi atau hasil antara pasien yang menerima transfusi darah yang sudah di-leukoreduksi dengan mereka yang mendapatkan transfusi darah konvensional
Jensen dkk, 1996
Bedah kolorektum elektif
589 Infeksi luka dan pneumonia pasca-operasi yang lebih rendah pada pasien yang menerima transfusi darah yang sudah di-leukoreduksi dibandingkan dengan mereka yang mendapatkan transfusi darah konvensional
Gott dkk, 1998 Operasi bypass/ pirau kardiopulmonari
400 Pada pasien dengan resiko rendah, filtrasi leukosit dapat mengurangi waktu inrap selama 1 hari
Tarterr dkk, Bedah 59 Darah yang leukositnya sudah
1998 gastrointestinal elektif
dikurangi memiliki hubungan dengan penurunan resiko infeksi pasca-operasi, waktu rawat pasca-operasi yang lebih pendek, dan tingkat perawatan rumah sakit yang rendah
van de Watering dkk, 1998
Bedah jantung 914 Transfusi dengan darah yang telah di-leukoreduksi memiliki kaitan dengan tingkat mortalitas pasca-operasi yang berkurang dibandingkan dengan darah yang konvensional/ belum di-lekuoreduksi
Collier dkk, 2001
Pasien yang terinteksi CMV dan HIV yang membutuhkan transfusi darah akibat anemia
531 Tidak ada manfaat klinis akan transfusi dengan darah yang sudah di-leukoreduksi dibandingkan dengan darah yang belum di-leukoreduksi
Titlestad dkk, 2001
Bedah kolorektum 279 Tidak ada perbedaan signifikan dalam hal tingkat kemunculan infeksi atau hasil yang didapat antara transfusi dengan darah yang sudah di-leukoreduksi vs darah yang belum di-leukoreduksi
Wallis dkk, 2002
Bedah jantung elektif
597 Tidak ada perbedaan dalam hal tingkat infeksi
Dzik dkk, 2002
Semua pasien yang dirawat di rumah sakit Amerika Serikat yang membutuhkan transfusi darah
2.780 Insiden reaksi febril yang lebih rendah; tidak ada perbedaan dalam hal tingkat mortalitas, lama waktu rawat inap, ataupun penggunaan antibiotik
Fung dkk, 2004
Bedah jantung terbuka
1.146 Penurunan waktu rawat inap pasca-operasi
van Hilten dkk, 2004
Bedah besar (aneurisme atau gastrointestinal)
1.051 Waktu rawat inap yang berkurang dan berkurangnya resiko akan kegagalan organ; tidak ada perbedaan dalam hal perawatan ICU ataupun tingkat infeksi
Bilgin dkk, 2004
Bedah katup jantung
496 Tingkat mortalitas dan infeksi di rumah sakit berkurang pada pasien yang mendapatkan transfusi darah yang sudah di-leukoreduksi vs. transfusi
darah konvensional, tidak ada perbedaan dalam hal tingkat mortalitas dalam 90 hari
Connery dkk, 2005
Bedah tandur bypass/ pirau arteri koroner
69 Penurunan infeksi saluran pulmonari/ paru
CMV; sitomegalovirus
Penyimpanan darah merupakah hal lain yang jadi bahan perdebatan. Sel darah merah
akan mengalami kerusakan jika disimpan dalam jangka waktu yang lama, dimana
deformabilitasnya akan berkurang, tingkat kerapuhannya akan meningkat, umur
hidupnya akan menjadi pendek, akan menghasilkan antioksidan, tingkat 2,3-
disfosfogliserat nya akan menurun, dan kerusakan hal-hal lainnya pada darah jika
disimpan terlalu lama. Namun, dampak apa jika perubahan-perubahan ini terjadi
pada kemampuan sel darah merah terhadap pelepasan oksigen, dan apakah
perubahan-perubahan ini penting secara klinis atau tidak? Suatu penelitian yang
dilakukan oleh Marik dan Sibbald menemukan fakta bahwa pasien yang
mendapatkan transfusi sel darah merah yang sudah disimpan selama >15 hari akan
menimbulkan iskemia splanknik, namun hasil ini bisa dibantah oleh penelitian-
penelitian lain, dan pada penelitian retrospektif kecil tentang para pasien pengidap
sepsis parah, Purdy dkk menemukan fakta bahwa terdapat hubungan antara usia
darah yang ditransfusikan dengan tingkat mortalitas. Para penelitian lain telah
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan insiden pneumonia
nosokomial dan kegagalan multi organ pada pasien dengan tindakan transfusi darah
yang sudah disimpan dengan waktu yang relatif lama. Namun, belum lama ini,
Vamvakas dan Carven menemukan fakta bahwa tidak ada hubungan antara usia sel
darah merah dengan tingkat morbiditas pasca-operasi atau tingkat mortalitas pada
pasien yang telah mendapatkan operasi tandur pirau arteri. Hal ini memang
memerlukan penelitian lanjutan karena banyak dari rumah sakit sekarang yang
menggunakan darah yang telah di-leukoreduksi. Durasi penyimpanan dan isi sel
darah putih akan saling berinteraksi karena semakin lama durasi penyimpanan sel
darah merah akan meningkatkan akumulasi sitokin dari sel darah putih, dan dampak
detrimental dari penimpanan dapat dikurangi pada darah yang telah di-leukoreduksi.
Walsh dkk melaporkan bahwa pentrasfusian darah yang sudah di-leukeoreduksi yang
telahdisimpan dan diberikan kepada pasien kritis dengan anemia atau euvolemik
tidaklah menimbulkan efek samping yang signifikan dalam hal indeks oksigenasi
jaringan global dan gastriktonometri.
KESIMPULAN
Anemia merupakan hal yang umum terjadi pada pasien yang sakit kritis dan
meningkatkan resiko akan penurunan pasokan oksigen dan akibat yang fatal.
Transfusi, namun demikian, juga memiliki resiko, dan dokter harus mampu
menimbang antara resiko anemia dengan resiko transfusi pada tiap pasien. Sejak
penelitian yang dilakukan oleh Herbert dkk tentang perbedaan antara pendekatan
restriktif dengan pendekatan liberal, acuan tindakan transfusi darah pun banyak yang
berubah. Banyak dari pihak penyedia layanan kesehatan saat ini yang menurunkan
ambang batas hemoglobin yang lebih rendah daripada sebelumnya, dan ada juga
beberapa pihak yang beranggapan jika ambang batas pemicu transfusi terlalu rendah
maka akan membahayakan pasien. Penggunaan metode leukoreduksi yang menyebar
luas dapat berdampak pada resiko-resiko yang berhubungan dengan transfusi darah,
dan kita pun masih menunggu hasil dari penelitian multi-senter di Eropa yang
dilakukan untuk membandingkan antara strategi liberal yang mempertahankan
ambang batas pemicu transfusi (>9 g/dL) dengan pendekatan restriktif (antara 7 dan
9 g/dL) pada para pasien yang sakit euvolemia kritis.