transfusion in the intensive care unit (translated - hasil terjemahan punya sist fitri ayu)

29
Tinjauan Ilmiah Transfusi di unit penanganan/ perawatan intensif Jean-Louis Vincent, MD, PhD, FCCM; Michael Piagnerelli, MD Tujuan: Untuk merangkum insiden anemia dan transfusi darah pada para pasien yang memiliki penyakit kritis, untuk meneliti dan mengukur resiko-resiko dan manfaat komparatifnya, dan secara singkat untuk menspekulasi dampak akan leukoreduksi (penghilangan leukosit pada darah nurunan jumlah leukosit) dan cadangan darah pada kebutuhan untuk mengevaluasi ulang pemicu transfusi. Rancangan: Dilakukannya peninjauan literatur terbaru. Hasil: Anemia merupakan hal yang umum terjadi pada para pasien yang dirawat di unit penanganan intensif dan hal ini memiliki kaitan dengan tingkat mortalitas yang meningkat. Sekitar 20 – 53% dari seluruh pasien yang dirawat di unit penanganan intensif mendapatkan transfusi darah selama masa perawatannya, dan hal ini memiliki hubungan dengan hasil yang buruk.

Upload: pangalerang

Post on 10-Apr-2016

221 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

jurnal

TRANSCRIPT

Page 1: Transfusion in the Intensive Care Unit (Translated - Hasil Terjemahan Punya Sist Fitri Ayu)

Tinjauan Ilmiah

Transfusi di unit penanganan/ perawatan intensif

Jean-Louis Vincent, MD, PhD, FCCM; Michael Piagnerelli, MD

Tujuan: Untuk merangkum insiden anemia dan transfusi darah pada para pasien yang

memiliki penyakit kritis, untuk meneliti dan mengukur resiko-resiko dan manfaat

komparatifnya, dan secara singkat untuk menspekulasi dampak akan leukoreduksi

(penghilangan leukosit pada darah nurunan jumlah leukosit) dan cadangan darah

pada kebutuhan untuk mengevaluasi ulang pemicu transfusi.

Rancangan: Dilakukannya peninjauan literatur terbaru.

Hasil: Anemia merupakan hal yang umum terjadi pada para pasien yang dirawat di

unit penanganan intensif dan hal ini memiliki kaitan dengan tingkat mortalitas yang

meningkat. Sekitar 20 – 53% dari seluruh pasien yang dirawat di unit penanganan

intensif mendapatkan transfusi darah selama masa perawatannya, dan hal ini

memiliki hubungan dengan hasil yang buruk.

Penghilangan leukosit pada darah merah dapat menghindari beberapa infeksi dan

resiko-resiko imunomodulatori yang berkaitan dengan transfusi darah.

Kesimpulan: Data tentang resiko dan manfaat transfusi darah cukup membingungkan

dan tampak saling bertentangan, dan dengan perubahan praktek transfusi darah akhir-

akhir ini, yang didalamnya termasuk pengaplikasian teknik leukoreduksi, maka

saatnya sekarang untuk mengevaluasi ulang pemicu transfusi kita. (Crit Care Med

2006; 34[Suppl.]:S96-S101)

Kata Kunci: anemia, flebotomi, leukoreduksi, lesi penyimpanan darah.

Page 2: Transfusion in the Intensive Care Unit (Translated - Hasil Terjemahan Punya Sist Fitri Ayu)

Anemia merupakan salah satu temuan laboratorium abnormal yang paling umum

dihadapi pada pasien yang dirawat di unit penanganan intensif (ICU), dan banyak

para pasien di ICU yang menerima transfusi darah selama mereka dirawat di ICU.

Namun, penentu akan pasien mana yang harus diberikan transfusi masihlah belum

diketahui secara ilmiah, dan hal ini telah menjadi bahan perdebatan selama tahun-

tahun terakhir ini. Fokus akan hal yang berkaitan dengan keamanan transfusi darah

pun menjadi meningkat, hal ini pun dikarenakan akibat ketakutan akan penyakit

infeksi yang diakibatkan oleh transfusi darah seperti penularan virus HIV, ensefalitis

spongiform bovin, dan transfusi darah dapat memiliki hubungan dengan peningkatan

resiko infeksi dan imunomodulasi yang berkaitan dengan dengan transfusi darah.

Akibat dari fokus dan kepedulian ini serta beberapa penelitian yang menemukan

fakta bahwa tingkat pemicu transfusi yang lebih rendah dapat memberikan hasil

serupa, atau hasil penanganan medis yang buruk pada pasien yang mendapatkan

transfusi darah, maka terdapat penurunan ambang batas transfusi secara umum dari

mulai hemoglobin dengan konsentrasi 10 g/dL (yang menjadi acuan global bagi para

dokter sebelumnya) menjadi hemoglobin dengan konsentrasi 7 g/dL sebelum

dilakukannya tindakan transfusi.

Pada artikel ini, kami berfokus pada beberapa penelitian kunci yang memberikan

pandangan akan praktek-praktek transfusi saat ini, dan hal ini diharapkan menjadi

bahan bakar perdebatan akan pemicu transfusi yang optimal.

Epidemiologi dan Etiologi Anemia di ICU. Pasien yang sakit kritis seringkali

mengalami anemia selama dirawat di ICU. Penelitian CRIT kohort observasional

multi-senter prospektif pun dilakukan di Amerika Serikat, penelitian ini melibatkan

Page 3: Transfusion in the Intensive Care Unit (Translated - Hasil Terjemahan Punya Sist Fitri Ayu)

4.892 pasien yang dirawat di ICU, diketahui bahwa hampir dua pertiga dari seluruh

pasien memiliki konsentrasi hemoglobin sekitar < 12 g/dL. Etiologi anemia bersifat

multifaktoral (Tabel 1). Walaupun kehilangan darah pasien diakibatkan oleh trauma,

pembedahan, pendarahan gastrointestinal, dll, telah merepresentasikan satu penyebab

kunci anemia pada pasien yang dirawat di ICU, dan konsentrasi hemoglobin pun

menurun bahkan pada pasien yang sakit kritis tanpa mengalami pendarahan. Nguyen

Ba dkk melakukan penelitian lintas waktu tentang konsentrasi hemoglobin pada 91

pasien yang sakit kritis non-pendarahan, dan diketahui bahwa tingkat konsentrasi

hemoglobin mereka turun sekitar 0,52 ± 0,69 g/dL/hari untuk semua populasi

penelitian dengan penurunan tajam selama tiga hari berturut-turut (0,66 ± 0,84 vs.

0,12 ± 0,29 g/dL/hari, p < 0,01, Gambar 1). Menariknya, pola ini sedikit berbeda

pada pasien yang mengidap sepsis dibandingkan dengan pasien yang tidak mengidap

sepsis, dengan penurunan harian yang lebih tajam dalam hal konsentrasi hemoglobin

pada pasien sepsis (0,68 ± 0,66 vs. 0,44 ± 0,70 g/dL/hari, p = 0,13); selain itu, pada

pasien yang tidak mengidap sepsis, penurunan konsentrasi hemoglobinnya menjadi

stabil setelah 3 hari, dan pada para pasien pengidap sepsis pun konsentrasi

hemoglobinnya terus menurun.

Patogenesis penurunan ini dalam hal konsentrasi hemoglobin pada pasien non-

pendarahan di ICU sepertinya merupakan kombinasi dari akibat flebotomi dan

prosedur minor, produksi sel darah merah yang menurun, dan mungkin karena

peningkatan kehancuran sel darah merah.

Pensampelan darah berulang dapat menyebabkan penurunan darah secara signifikan.

Corwin dkk melaporkan bahwa fleboktomi bertanggungjawab akan 30% dari seluruh

Page 4: Transfusion in the Intensive Care Unit (Translated - Hasil Terjemahan Punya Sist Fitri Ayu)

transfusi darah yang diberikan pada 142 pasien ICU, dan kehilangan darah akibat

flebotomi pun meningkat pada pasien yang mendapatkan transfusi. Pada penelitian

tentang Anemia dan Transfusi Darah dalam Penanganan/ Perawatan Kritis, volume

flebotomi harian rata-rata adalah 41 mL/ hari. Di dalam penelitian yang dilakukan

oleh Nguyen Ba dkk, kehilangan darah akibat flebotomi adalah 40,3 mL/hari, dan

sampel serta volume darah yang diambil pada pasien penderita sepsis adalah lebih

banyak dibandingkan pada pasien non-sepsis (49,0 ± 11,3 vs. 36,7 ± 14,9 mL/hari, p

= 0,04), yang dimana hal ini menjadi penyebab dari penurunan hemboglobin harian

pada pasien-pasien ini. Respon eritropoietin abnormal terhadap berkurangnya darah,

sebagian dari hal ini berkaitan dengan dampak mediator inflamatori pada produksi

eritropoietin dan reseptor erthropoietin, dan melalui induksi apoptosis pada

eritroblast, yang dimana hal ini berkontribusi terhadap anemia pada pasien-pasien

yang dirawat di ICU. Gizi, termasuk didalamnya defisiensi zat besi juga

berkontribusi terhadap berkurangnya produksi sel darah merah. Vasodilasi yang

diakibatkan oleh respon inflamatori juga dapat meningkatkan volume darah, yang

secara tidak langsung dapat menurunkan hematokrit dan masa sel darah merah.

Serapan sel darah merah yang meningkat karena sistem retikuleondotelial yang

diakibatkan oleh alterasi membran RBC juga dapat berkontribusi terhadap

kemunculan anemia pada pasien yang sakit kritis.

Epidemiologi Transfusi di ICU. Dengan tingkat insiden yang tinggi akan anemia,

banyak dari para pasien ICU yang mendapatkan transfusi darah selama mereka

dirawat di ICU, yang rentang frekuensinya berkisar antara 20% sampai 53% (Tabel

2). Memang, beberapa penelitian besar multi-senter telah dilakukan untuk meneliti

epidemiologi transfusi darah pada para pasien yang dirawat di ICU selama dekade

Page 5: Transfusion in the Intensive Care Unit (Translated - Hasil Terjemahan Punya Sist Fitri Ayu)

terakhir ini. Pada suatu penelitian di Kanada yang melibatkan 5,298 pasien ICU,

Hebert dkk menemukan fakta bahwa 25% dari seluruh pasien mendapatkan transfusi

RBC (sel darah merah) selama mereka dirawat di ICU. Di Inggris, 53% dari 1.247

pasien kritis mendapatkan transfusi RBC selama mereka dirawat di ICU. Penelitian

ABC pun dilakukan di 146 negara-negara di Eropa Barat dan melibatkan 3.534

pasien, dimana diketahui bahwa 37% dari mereka mendapatkan transfusi darah

selama mereka dirawat di ICU. Jumlah ini meningkat seiring dengan semakin

lamanya waktu perawatan di ICU (25% bagi pasien yang dirawat selama ≤ 2 hari,

56% dari seluruh pasien yang dirawat selama > 2 hari, dan 73% dari seluruh pasien

yang dirawat selama > 7 hari). Pada penelitian CRIT, 44% dari seluruh pasien

mendapatkan satu unit sel darah merah atau lebih selama mereka dirawat di ICU.

Penelitian SOAP (Kemunculan Sepsis pada Pasien Yang Sakit secara Akut) yang

melibatkan 3.147 pasien dari 198 ICU di Eropa menemukan fakta bahwa 33% dari

seluruh pasien ini mendapatkan transfusi darah selama mereka dirawat.

Tabel 1. Penyebab anemia pada pasien yang dirawat di unit penanganan/ perawatan

intensif (ICU)

Kehliangan darah

Pembedahan, trauma

Pendaraan gastrointestinal

Akibat pendarahan lainnya

Prosedur-prosedur minor

Penurunan produksi sel darah merah (RBC)

Sintesis EPO (eritropoietin) yang menurun

Resisten terhadap EPO

Kekurangan zat besi (nyata atau fungsional)

Usia hidup RBC/ sel darah merah yang menurun

Page 6: Transfusion in the Intensive Care Unit (Translated - Hasil Terjemahan Punya Sist Fitri Ayu)

Hemolisis yang meningkat

GI: gastrointestinal; RBC: sel darah merah; EPO: eritropoietin

Manfaat dan Resiko Transfusi vs. Anemia. Transfusi dara diberikan untuk

meningkatkan pasokan oksigen, yang kemudian diharapkan untuk mengurangi resiko

hipoksia dan kerusakan jaringan. Namun, walaupun pasokan oksigen meningkat,

tidaklah terjadi peningkatan oksigenasi jaringan ataupun utilisasi oksigen. Selain itu,

resiko-resiko yang berkaitan dengan transfusi darah yang mencakup penularan

mikroorganisme; imunomodulasi yang berhubungan dengan transfusi – yang dapat

meningkatkan resiko infeksi; cedera paru akut yang berkaitan dengan transfusi darah;

dan kesalahan manusia (penggolongan dan pencocokan darah yang salah,

pengidentifikasian pasien yang tidak tepat, dll), kesemuanya dapat menimbulkan

reaksi hemolitik.

Pada tahun 1999, Herbert dkk menerbitkan hasil dari penelitian terkendali acak nya,

yang dimana penelitian ini membandingkan hasil penanganan dari para pasien kriits

yang ditangani melalui strategi transfusi darah bebas (konsentrasi hemoglobin dijaga

untuk tetap > 10 g/dL, yang dimana acuan ini telah menjadi suatu acuan yang baku

saat itu) dengan pola transfusi restriktif (konsentrasi hemoglobin dijaga untuk tetap

>7 g/dL). Para pasien pada kelompok bebas mendapatkan sekitar/ rata-rata 5,6 unit

RBC, berbeda dengan 2,6 unit pada pasien di kelompok restriktif (p < 0,01). Tingkat

mortalitas di ICU dan rumah sakit pun lebih rendah pada kelompok restriktif, namun

perbedaan ini hanya signifikan untuk tingkat mortalitas rumah sakit (22 vs. 28%, p =

0,05). Pada sub-kelompok pasien dengan skor Evaluasi Kesehatan Kronis dan

Fisiologi Akut II (<20) dan pasien yang berusia muda (< 55 tahun), tingkat mortalitas

nya pun lebih kecil pada kelompok restriktif dibandingkan dengan kelompok liberal.

Page 7: Transfusion in the Intensive Care Unit (Translated - Hasil Terjemahan Punya Sist Fitri Ayu)

Para peneliti menyimpulkan bahwa “konsentrasi hemoglobin harus tetap dijaga untuk

tidak boleh lebih rendah dari 7,0 dan 9,0 g per desiliter”.

Memang, penelitian ini memberikan suatu awal untuk melakukan evaluasi tentang

strategi transfusi yang dilakukan di ICU, namun ada juga beberapa penelitian yang

menemukan fakta bahwa para pasien yang mendapatkan transfusi darah malah

mengalami kondisi yang lebih buruk lagi. Penelitian ABC menemukan fakta bahwa

ICU (19 vs. 10%, p < 0,001) dan tingkat mortalitas keseluruhan (29 vs 15%, p <

0,001) pada pasien yang mendapatkan transfusi darah adalah lebih tinggi

dibandingkan dengan para pasien yang tidak mendapatkan transfusi. Selain itu, pada

pasien yang cocok di dalam analisis propensitas, tingkat mortalitas 28-hari nya

adalah 22,7% pada pasien yang mendapatkan transfusi darah dan 17,1% pada mereka

yang tidak mendapatkan transfusi darah (p = 0,02). Studi CRIT menunjukkan bahwa

jumlah transfusi sel darah merah yang diterima pasien selama penelitian secara

independen memiliki korelasi dengan lamanya waktu perawatan ICU dan

peningkatan mortalitas.

Page 8: Transfusion in the Intensive Care Unit (Translated - Hasil Terjemahan Punya Sist Fitri Ayu)

Gambar 1. Lintas waktu konsentrasi hemoglobin selama 7 hari pertama pada para

pasien yang mengidap sepsis (batang warna abu) dan para pasien yang tidak

mengidap sepsis (batang warna hitam). (Jumlah pasien di dalam tanda kurung).

Walaupun transfusi darah secara jelas diketahui dapat menimbulkan resiko, anemia

juga memiliki hubungan dengan akibat yang parah. Data hewan menunjukkan bahwa

hemodilusi akut terhadap tingkat hemoglobin yang rendah dapat lah ditoleransi, dan

pada manusia yang dilibatkan di dalam percobaan, penurunan isovolemik akut akan

konsentrasi hemoglobin menjadi 5 g/dL tidaklah menyebabkan oksigenisasi sistemik

yang tidak cukup, namun efek samping seperti aritmia pun muncul. Namun,

walaupun individu yang sehat menjaga konsumsi oksigen yang sama dengan

peningkatan indeks kardiak dan rasio ekstraksi oksigen selama hemodilusi

isovolemik pada pasien yang sedang sakit kritis, hubungan antara indeks kardiak/

jantung dengan ekstraksi oksigen dapatlah berbeda, dan hasil dari penelitian ini

tidaklah dapat diaplikasikan terhadap mayoritas pasien yang dirawat di ICU. Secara

etis, sangatlah sulit untuk membiarkan pasien untuk terus mengalami pendarahan

tanpa memberikan transfusi, dan pemahaman kita akan hal ini lebih sering didapat

dari kasus pasien yang tidak mau untuk diberikan transfusi karena alasan agama atau

dari analisis statistik database yang besar. Pada 1,958 pasien penganut Saksi

Yehovah yang mendapatkan tindakan bedah, tingkat mortalitas mereka adalah 1,3%

pada pasien yang tingkat hemoglobinnya ≥12 g/dL pada saat sebelum dioperasi dan

33,3% pada pasien yang tingakt hemoglobinnya <6 g/dL. Peningkatan resiko

kematian berkaitan dengan tingkat hemoglobin pra-operasi yang rendah pun

ditemukan pada pasien yang memiliki penyakit kardiovaskular. Di dalam penelitian

retrospektif yang melibatkan 2.083 pasien yang menolak untuk ditrasfusi atas alasan

Page 9: Transfusion in the Intensive Care Unit (Translated - Hasil Terjemahan Punya Sist Fitri Ayu)

agama, peluang kematian mereka yang memiliki tingkat hemoglobin ≤8 g/dL pun

meningkat 2,5 kali lipat untuk tiap gram penurunan tingkat hemoglobin setelah

disesuaikan dengan acuan usia, penyakit kardiovaskular, dan skor Evaluasi

Kesehatan Kronis dan Fisiologi Akut II.

Pada penelitian observasional yang melibatkan 4.470 pasien kritis, pasien dengan

penyakit jantung yang memiliki konsentrasi hemoglobinnya <9,5 g/dL juga memiliki

kecenderungan untuk mengalami peningkatan resiko kematian (55% vs. 42%, p =

0,09) dibandingkan dengan pasien anemik dengan diagnosa penyakit non-

kardiovaskular. Habib dkk menemukan fakta bahwa tingkat keparahan hemodilusi

yang meningkat selama operasi bedah pirau kardiopulmonari (jantung-paru) adalah

berhubungan dengan disfungsi/ morbiditas organ vital pra-operasi dan penggunaan

sumber daya yang meningkat dan juga mortalitas jangka pendek dan menengah yang

lebih tinggi. Pada penelitian CRIT, konsentrasi hemoglobin baseline dengan tingkat

<9 g/dL merupakan prediktor akan mortalitas yang meingkat dan lamanya waktu

perawatan.

Tabel 2. Penelitian multi-senter terbaru yang meneliti frekuensi transfusi darah pada

pasien yang sakit kritis

Peneliti Tahun penelitian dilakukan

Jumlah pasien

Persentase yang mendapatkan transfusi

Keterangan

Herbert dkk 1999 5.298 25 Variasi institusional yang signifikan di dalam praktek transfusi pun teridentifikasi

Vincent dkk 1999 3.534 37 Hal sama dengan disfungsi organ, para

Page 10: Transfusion in the Intensive Care Unit (Translated - Hasil Terjemahan Punya Sist Fitri Ayu)

pasien yang mendapatkan transfusi memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi

Rao dkk 1999 1.247 53 Tingkat konsentrasi hemoglobin pra-transfusi adalah <9/ gdL pada 75% episode transfusi

Corwin dkk 2000/ 2001 4.892 44 Jumlah transfusi yang diterima selama penelitian secara independen berhubungan dengan lamanya waktu perawtan di ICU dan rumah sakit dan juga berkaitan dengan peningkatan tingkat mortalitas

Walsh dkk 2001 1.023 39,5 Hampir dari setengah unit sel darah merah yang ditransfusikan tidaklah berhubungan dengan pendarahan signifikan secara klinis

French dkk 2001 1.808 19,8 Indikasi yang paling umum untuk transfusi darah adalah pendarahan akut dan penurunan kemampuan fisiologis; hanya 3% transfusi

Page 11: Transfusion in the Intensive Care Unit (Translated - Hasil Terjemahan Punya Sist Fitri Ayu)

dianggap sebagai sesuatu yang tidak tepat

Dilema Transfusi. Berkenaan dengan perdebatan panjang dalam hal manfaat dan

resiko dari transfusi darah, sangatlah penting bahwa tiap pasien harus mendapatkan

pemeriksaan yang tepat untuk mengetahui tingkat toleransi dirinya terhadap anema

dan kebutuhan akan transfusi. Namun, bagaimana pasien tersebut dianalisis/

diperiksa? Pemeriksaan klinis beserta data yang mencakup kondisi komorbiditas dan

diagnosis dapat menentukan perlu atau tidaknya tindakan transfusi. Konsentrasi

hemoglobin akan mudah bervariasi, dan memang faktor acuan pemicu transfusi

darah pun tidak mudah didapatkan, dan konsentrasi hemoglobin yang optimal pun

bervariasi dari satu pasien dengan pasien lainnya, hal ini ditentukan oleh banyak

faktor yang mencakup usia pasien, penyakit kronis yang sudah pernah diidap

(terutama penyakit arteri koroner), diagnosis saat ini, dan penyebab anemia. Dengan

demikian, pemberlakukan tingkat hemoglobin tunggal bagi seluruh pasien atau

sekelompok pasien adalah hal yang terlalu kaku. Tingkat “hemoglobin kritis”, yaitu

tingkat hemoglobin dibawah tingkat dimana pasokan oksien berada pada tingkat

kritis dapat menjadi pemicu yang lebih reliabel, namun bagaimana hal ini dilakukan

dan diukur? Saat ini, kita hanya memiliki pengukuran pengganti untuk mengukur

oksigenasi jaringan, yang didalamnya mencakup saturasi oksigen vena campuran dan

tingkat laktat darah, dan bahkan jika kita memiliki sarana yang efektif untuk

mengukur hipoksia jaringan, munculah pertanyaan tentang apakah tindakan

intervensi seperti contohnya transfusi darah dapat diindikasikan ketika hipoksia

sudah muncul?

Page 12: Transfusion in the Intensive Care Unit (Translated - Hasil Terjemahan Punya Sist Fitri Ayu)

Lalu kita pun kembali ke konsentrasi hemoglobin sebagai pedoman untuk melakukan

transfusi; namun pada tingkat hemoglobin berapa kita harus melakukan transfusi?

Penelitian yang dilakukan oleh Hebert dkk menunjukkan bahwa para pasien yang

sakit kritis dapat diberikan transfusi ketika tingkat konsentrasi hemoglobin nya

antara 7 dan 9 g/dL dengan pengecualian bagi pasien yang mengidap infraksi

miokardial akut dan angina yang tidak stabil. Rekomendasi saat ini untuk melakukan

transfusi darah bagi pasien yang memiliki sepsis parah adalah ketika tingkat

konsentrasi hemoglobin mereka adalah 7 g/dL. Selain itu, penelitian telah

menunjukkan bahwa hemodilusi isovolemik terhadap hemoglobin dengan tingkat ≤ 5

g/dL tidak menghasilkan bukti biokimia akan metabolisme anaerobik, dan penelitian

pada para pasien penganut Saksi Yehovah telah menunjukkan bahwa tingkat

keselamatan masih bisa dicapai dengan tingkat konsentrasi hemoglobin yang rendah;

satu penelitian kasus mendapatkan fakta bahwa tingkat keselamatan pasien setelah

terjadinya penurunan konsentrasi hemoglobin sampai 1,8 g/dL. Namun, kasus-kasus

tersebut merupakan sebuah pengecualian dan tidak ada seorang pun yang ingin

membiarkan para pasien kritis untuk terus mengalami penurunan konsentrasi

hemoglobin sampai serendah itu.

Mengevaluasi Ulang Pemicu Transfusi. Menariknya, ketika dunia pusat penanganan

intensif mulai terbiasa dengan ide bahwa tindakan transfusi darah akan lebih baik

jika dilakukan ketika tingkat konsentrasi hemoglobin pada pasien benar-benar

rendah, penelitian SOAP yang mengevaluasi 3,147 pasien di 198 ICU di Eropa pada

bulan Mei 2002 mendapatkan fakta bahwa transfusi darah tidaklah memiliki

hubungan dengan peningkatan tingkat mortalitas pada analisis multivariat atau pada

analisis pembandingan kasus. Penelitian ABC dan SOAP adalah mirip dalam hal

Page 13: Transfusion in the Intensive Care Unit (Translated - Hasil Terjemahan Punya Sist Fitri Ayu)

rancangan dan analisisnya, jadi apa yang dapat menjelaskan perbedaan dari

penelitian-penelitian ini yang dilakukan dengan waktu yang cuma berbeda 3 tahun.

Salah satu penjelasannya adalah peningkatan penggunaan darah yang leukositnya

sudah di dihilangkan sejak dilakukannya penelitian ABC. Transfusi darah memiliki

hubungan dengan berbagai resiko yang berkaitan dengan komponen sel darah putih

pada saat transfusi, dan jika sel darah putih ini dihilangkan maka apakah beberapa

resiko ini dapat dikurangi? Leukoreduksi merupakan suatu proses dimana sel-sel

darah putih kandungannya dihilangkan melalui sentrifugasi atau filtrasi. Hitungan

leukosit dapat dikurangi sampai >99%, dan teknik ini cukuplah efektif di dalam

mengurangi resiko penularan virus, tertutama megalovirus, virus herpes, dan virus

Epstein-Barr. Leukoreduksi juga dapat mengurangi resiko penularan parasit dan

prion, reaksi febril yang berkaitan dengan transufsi, dan cedera paru akut yang

berkaitan dengan transfusi. Beberapa studi terkendali acak pun telah mengevaluasi

dampak dari leukoreduksi pada beberapa kelompok pasien (Tabel 3), walaupun tidak

ada percobaan terkendali acak yang telah membandingkan antara darah yang

leukositnya telah dikurangi dengan darah yang leukositnya belum dikurangi pada

pasien kritis. Pada peneltian kohort pembanding yang melibatkan 14.786 pasien yang

mendapatkan transfusi sel darah merah karena mengalami pembedahan jantung atau

perbaikan tulang pinggul yang patah, atau mereka yang mendapatkan penanganan

intensif karena intervensi bedah atau trauma, tindakan transfusi dengan darah yang

leukositnya sudah dikurangi ternyata memiliki hubungan dengan reaksi febril yang

lebih rendah dan tingkat penggunaan antibiotik pasca-transfusi yang juga lebih

rendah. Di dalam meta analisis 14 percobaan terkendali acak yang membandingkan

antara darah standar dengan darah yang leukosit nya sudah dikurangi, Vamvakas

Page 14: Transfusion in the Intensive Care Unit (Translated - Hasil Terjemahan Punya Sist Fitri Ayu)

melaporkan bahwa tidaklah ada dampak yang konsisten akan leukoreduksi terhadap

tingkat mortalitas jangka panjang. Pada meta analisis lainnya dari sepuluh percobaan

terkendali acak menyimpulkan bahwa “para pasien yang mendapatkan transfusi

darah yang telah di-leukoreduksi dapat mendapatkan manfaat dari penurunan infeksi

pasca-operasi.’ Banyak negara yang saat ini mengadopsi tindakan leukoreduksi yang

didasarkan pada manfaat nya, walaupun hal ini membuat biaya transfusi pun menjadi

lebih mahal, dan selain itu, apakah hal tersebut dapat memberikan manfaat pada

semua pasien atau sebagian pasien saja meruakan hal yang masih diperdebatkan.

Tabel 3. Percobaan-percobaan terkendali acak yang membandingkan dampak dari

transfusi darah yang telah di-leukoreduksi dengan transfusi darah konvensional

(belum di-leukoreduksi)

Peneliti Kelompok Pasien Jumlah Pasien

Dampak akan Darah Yang Telah Di-leukoreduksi

Jensen dkk, 1992

Bedah kolorektal elektif

197 Infeksi pasca-operasi yang berkurang

Houbiers dkk, 1994

Bedah untuk menangani kanker kolorektum

871 Tidak ada perbedaan dalam hal tingkat infeksi atau hasil antara pasien yang menerima transfusi darah yang sudah di-leukoreduksi dengan mereka yang mendapatkan transfusi darah konvensional

Jensen dkk, 1996

Bedah kolorektum elektif

589 Infeksi luka dan pneumonia pasca-operasi yang lebih rendah pada pasien yang menerima transfusi darah yang sudah di-leukoreduksi dibandingkan dengan mereka yang mendapatkan transfusi darah konvensional

Gott dkk, 1998 Operasi bypass/ pirau kardiopulmonari

400 Pada pasien dengan resiko rendah, filtrasi leukosit dapat mengurangi waktu inrap selama 1 hari

Tarterr dkk, Bedah 59 Darah yang leukositnya sudah

Page 15: Transfusion in the Intensive Care Unit (Translated - Hasil Terjemahan Punya Sist Fitri Ayu)

1998 gastrointestinal elektif

dikurangi memiliki hubungan dengan penurunan resiko infeksi pasca-operasi, waktu rawat pasca-operasi yang lebih pendek, dan tingkat perawatan rumah sakit yang rendah

van de Watering dkk, 1998

Bedah jantung 914 Transfusi dengan darah yang telah di-leukoreduksi memiliki kaitan dengan tingkat mortalitas pasca-operasi yang berkurang dibandingkan dengan darah yang konvensional/ belum di-lekuoreduksi

Collier dkk, 2001

Pasien yang terinteksi CMV dan HIV yang membutuhkan transfusi darah akibat anemia

531 Tidak ada manfaat klinis akan transfusi dengan darah yang sudah di-leukoreduksi dibandingkan dengan darah yang belum di-leukoreduksi

Titlestad dkk, 2001

Bedah kolorektum 279 Tidak ada perbedaan signifikan dalam hal tingkat kemunculan infeksi atau hasil yang didapat antara transfusi dengan darah yang sudah di-leukoreduksi vs darah yang belum di-leukoreduksi

Wallis dkk, 2002

Bedah jantung elektif

597 Tidak ada perbedaan dalam hal tingkat infeksi

Dzik dkk, 2002

Semua pasien yang dirawat di rumah sakit Amerika Serikat yang membutuhkan transfusi darah

2.780 Insiden reaksi febril yang lebih rendah; tidak ada perbedaan dalam hal tingkat mortalitas, lama waktu rawat inap, ataupun penggunaan antibiotik

Fung dkk, 2004

Bedah jantung terbuka

1.146 Penurunan waktu rawat inap pasca-operasi

van Hilten dkk, 2004

Bedah besar (aneurisme atau gastrointestinal)

1.051 Waktu rawat inap yang berkurang dan berkurangnya resiko akan kegagalan organ; tidak ada perbedaan dalam hal perawatan ICU ataupun tingkat infeksi

Bilgin dkk, 2004

Bedah katup jantung

496 Tingkat mortalitas dan infeksi di rumah sakit berkurang pada pasien yang mendapatkan transfusi darah yang sudah di-leukoreduksi vs. transfusi

Page 16: Transfusion in the Intensive Care Unit (Translated - Hasil Terjemahan Punya Sist Fitri Ayu)

darah konvensional, tidak ada perbedaan dalam hal tingkat mortalitas dalam 90 hari

Connery dkk, 2005

Bedah tandur bypass/ pirau arteri koroner

69 Penurunan infeksi saluran pulmonari/ paru

CMV; sitomegalovirus

Penyimpanan darah merupakah hal lain yang jadi bahan perdebatan. Sel darah merah

akan mengalami kerusakan jika disimpan dalam jangka waktu yang lama, dimana

deformabilitasnya akan berkurang, tingkat kerapuhannya akan meningkat, umur

hidupnya akan menjadi pendek, akan menghasilkan antioksidan, tingkat 2,3-

disfosfogliserat nya akan menurun, dan kerusakan hal-hal lainnya pada darah jika

disimpan terlalu lama. Namun, dampak apa jika perubahan-perubahan ini terjadi

pada kemampuan sel darah merah terhadap pelepasan oksigen, dan apakah

perubahan-perubahan ini penting secara klinis atau tidak? Suatu penelitian yang

dilakukan oleh Marik dan Sibbald menemukan fakta bahwa pasien yang

mendapatkan transfusi sel darah merah yang sudah disimpan selama >15 hari akan

menimbulkan iskemia splanknik, namun hasil ini bisa dibantah oleh penelitian-

penelitian lain, dan pada penelitian retrospektif kecil tentang para pasien pengidap

sepsis parah, Purdy dkk menemukan fakta bahwa terdapat hubungan antara usia

darah yang ditransfusikan dengan tingkat mortalitas. Para penelitian lain telah

menyatakan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan insiden pneumonia

nosokomial dan kegagalan multi organ pada pasien dengan tindakan transfusi darah

yang sudah disimpan dengan waktu yang relatif lama. Namun, belum lama ini,

Vamvakas dan Carven menemukan fakta bahwa tidak ada hubungan antara usia sel

darah merah dengan tingkat morbiditas pasca-operasi atau tingkat mortalitas pada

pasien yang telah mendapatkan operasi tandur pirau arteri. Hal ini memang

Page 17: Transfusion in the Intensive Care Unit (Translated - Hasil Terjemahan Punya Sist Fitri Ayu)

memerlukan penelitian lanjutan karena banyak dari rumah sakit sekarang yang

menggunakan darah yang telah di-leukoreduksi. Durasi penyimpanan dan isi sel

darah putih akan saling berinteraksi karena semakin lama durasi penyimpanan sel

darah merah akan meningkatkan akumulasi sitokin dari sel darah putih, dan dampak

detrimental dari penimpanan dapat dikurangi pada darah yang telah di-leukoreduksi.

Walsh dkk melaporkan bahwa pentrasfusian darah yang sudah di-leukeoreduksi yang

telahdisimpan dan diberikan kepada pasien kritis dengan anemia atau euvolemik

tidaklah menimbulkan efek samping yang signifikan dalam hal indeks oksigenasi

jaringan global dan gastriktonometri.

KESIMPULAN

Anemia merupakan hal yang umum terjadi pada pasien yang sakit kritis dan

meningkatkan resiko akan penurunan pasokan oksigen dan akibat yang fatal.

Transfusi, namun demikian, juga memiliki resiko, dan dokter harus mampu

menimbang antara resiko anemia dengan resiko transfusi pada tiap pasien. Sejak

penelitian yang dilakukan oleh Herbert dkk tentang perbedaan antara pendekatan

restriktif dengan pendekatan liberal, acuan tindakan transfusi darah pun banyak yang

berubah. Banyak dari pihak penyedia layanan kesehatan saat ini yang menurunkan

ambang batas hemoglobin yang lebih rendah daripada sebelumnya, dan ada juga

beberapa pihak yang beranggapan jika ambang batas pemicu transfusi terlalu rendah

maka akan membahayakan pasien. Penggunaan metode leukoreduksi yang menyebar

luas dapat berdampak pada resiko-resiko yang berhubungan dengan transfusi darah,

dan kita pun masih menunggu hasil dari penelitian multi-senter di Eropa yang

dilakukan untuk membandingkan antara strategi liberal yang mempertahankan

Page 18: Transfusion in the Intensive Care Unit (Translated - Hasil Terjemahan Punya Sist Fitri Ayu)

ambang batas pemicu transfusi (>9 g/dL) dengan pendekatan restriktif (antara 7 dan

9 g/dL) pada para pasien yang sakit euvolemia kritis.