tragedi si anak durhaka

Upload: ruudd-sofia

Post on 02-Nov-2015

222 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

trgaedi

TRANSCRIPT

  • Tragedi Si Anak Durhaka

    Mohamad Sobary

    Di dalam kebudayaan kita tersimpan kekayaan moral yang melimpah. Kekayaan itu terpelihara

    dengan baik di dalam masyarakat kita karena kita memiliki sistem dan mekanisme pewarisan

    nilai-nilai kebudayaan yang hidup dan berkembang melintasi batas-batas abad dan generasi.

    Menurut rumusan bijak Minangkabau, sistem tersebut tak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh

    panas.

    Sistem pendidikan tradisional kitayang sebagian besar kita pelihara di dalam kehidupan

    keluarga di daerah-daerah pedesaan yang masih bersifat komunalistissecara seimbang

    ditumpukan pada tiga dimensi sekaligus, yaitu dimensi kognitif, afektif, dan evaluatif. Di sana

    pada intinyakecerdasan otak (dimensi kognitif) dan kecemerlangan jiwa (dimensi afektif) baru

    ada maknanya apabila keduanya dapat diwujudkan secara nyata di dalam hidup keseharian kita

    menjadi dimensi evaluatif. Maksudnya, kita tak boleh hanya omong. Kita tak boleh hanya

    berteori dan berangan-angan.

    Kecuali itu, sistem pewarisan nilai-nilai kebudayaan tadi tercermin tidak saja di dalam

    pendidikan resmi melalui sistem persekolahan, melainkan juga di dalam kehidupan kesenian kita,

    termasuk unsur seni bela diri.

    Di dalam seni ini muatan moral tadi tersirat, tetapi jelas bagaikan tersurat: guru silat masih

    selalu menyisakan satu dua jurus yang tak diajarkan pada murid buat berjaga-jaga mengatasi

    bilamana ada murid durhaka yang melakukan pemberontakan melawan guru dan perguruannya.

    Seluruh bangsa yang disebut rumpun Melayu paham akan perkara ini. Bangsa China yang besar

    lebih paham lagi. "Wisdom" dunia seni bela diri yang diangkat dari novel-novel silat menjadi

    tema heroik di dalam seni perfilman. Maka, muncullah film-film silat dari negeri China yang

    dahsyat dan juga film silat dari negeri kita sendiri.

    Seni mengatur negara, seni sastra dan seni bela diri, di zaman lampau merupakan satu rangkaian

    yang tak terpisahkan. Negara yang kuat membutuhkan tentara, pesilat-pesilat tangguh, ahli seni

    di bidang taktik dan strategi politik, dan seniman di bidang sastra yang mendalam dan mahir

    menuliskan kisah-kisah sang raja dan keluarga bangsawan menjadi kisah memikat hati.

    Kalau begitu, sempurnakah kebudayaan kita?

    Tidak. Dilihat dari segi munculnya anak durhaka macam Malin Kundang, terbuktilah bahwa ada

    yang kurang dalam kebudayaan kita.

    Namun, dilihat dari ungkapan bijak masa lalu, yang mengatakan "bukan salah bunda

    mengandung, buruk suratan tangan sendiri" jelas bagi kita bahwa Si Malin Kundang menjadi anak

    durhaka bukan karena salah kebudayaan. Malin Kundang muncul dalam kebudayaan bukan

    karena ia pada dasarnya anak salah asuhan.

    www.rajaebookgratis.com

  • Oleh karena itu, kebudayaan merasa berhak mengutuknya menjadi batu agar anak durhaka tak

    dilahirkan kembali oleh proses sosial-ekonomi kapitalistis yang memang angkuh, terlalu percaya

    diri, tetapi tak cukup tahu diri seperti tetangga kita.

    Rumusan moral kita jelas: terkutuklah semua anak durhaka. Dan, kita tak perlu lagi berpayah-

    payah mengutuk mereka? Kita cukup menjadi orang tua yang bijak, guru yang sabar, dan tak

    perlu risau menghadapi kedurhakaan anak atau muridnya?

    Saya tidak tahu. Namun, saya tak mau menjadi orang tua dan guru seperti itu. Saya harus

    bertindak. Saya akan selalu memegang pedang untuk mengusir semua anak dari "neraka".

    Maksudnya, saya akan mencegah anak-anak berbuat durhaka supaya mereka tak harus

    mengalami tragedi mengenaskan, menjadi batu menangis.

    Sikap saya ini terakomodasi dengan baik di dalam ungkapan lama juga: "Raja adil raja disembah,

    raja lalim raja disanggah". Maka, saya pun menyanggah sikap durhaka itu.

    Tetangga kita itu mengejek kita Indon. Mereka tak tahu bahwa bila Indon itu dicarikan kata

    lainnya yang serumpun, misalnya Indu; maka kita ini berarti bulan. Dan, bulan itu cantik.

    Jadi, kita bukan sekadar truly Asia karena truly Asia pada dasarnya hanya truly Malingsia.

    Sebaliknya, kita "truly Indu", sungguh-sungguh bulan yang cantik memesona.

    Dan, kalau Indon itu makssudnya Indun, maka artinya juga mentereng: sapaan penuh sayang.

    Sebaliknya, kalau Indon itu Indus, dan bertemu dengan nesos, jadilah Indos nesos, atau

    Indonesia. Indus artinya air, yaitu lautan-lautan kita yang cantik, biru memesona. Nesos, artinya

    pulau-pulau, yang sebagian sudah mereka maling.

    Ini tindakan durhaka. Kita dulu guru mereka. Ketika agak makmur secara ekonomi, mereka

    merasa sudah pandai. Padahal, ternyata belum tahu etika bertetangga yang baik. Dalam perkara

    ini saya heran, mengapa pemerintah dan rakyatnya sama-sama congkak, cingkak, dan angkuh?

    Mereka hendak belajar mengelola minyak dan kita bersedia menjadi guru yang baik hati. Mereka

    minta diajari bikin kantor berita dan kantor berita Antara menjadi guru yang pemurah. Ini

    semua karena semangat untuk mengajari orang-orang bodoh agar kita bisa menerangi mereka

    dengan cahaya ilmu.

    Akan tetapi, mereka lupa kebaikan kita. Bukan salah bunda mengandung, buruk suratan jelas

    hasil kecongkakan mereka sendiri. Bangsa apa tetangga kita ini? Karena saya berguru kepada

    bangsa dan negara Australia, sikap saya kepada mereka sangat hormat. Banyak warga kita yang

    juga hormat sekali kepada bangsa dan negara Amerika karena mereka berguru di sana. Begitu

    pula mereka yang belajar di Inggris, di Perancis, Belanda, Rusia, Denmark, Norwegia, dan di

    negara-negara Eropa lainnya.

    Kenapa kita memiliki satu murid saja menjadi murid durhaka? Tak tahukah mereka pesan

    tersirat dalam dongeng-dongeng moral yang menggambarkan betapa tragis akibat tindakan

    durhaka?

    www.rajaebookgratis.com

  • Tak tahukah mereka, tragedi anak durhaka itu menjadi batu, yang selalu menangis karena

    menyesal, tetapi sesal itu tak berguna?

    Sudah berkali-kali mereka meludahi wajah kita. Namun, pemerintah kita yang sangat bijaksana

    itu diam saja. Sombonglah terhadap bangsa yang sombong karena melawan kesombongan

    dengan sikap sombong itu sedekah.

    Dan, ke mana pula pemuda-pemuda yang merasa dirinya sudah siap memimpin itu? Mengapa

    pemimpin bisu terhadap isu-isu internasional yang sangat menginjak harga diri dan martabat

    bangsa kita? Apa beda mereka dengan orang tua? Dikemanakan jiwa Bung Karno yang heroik dan

    patriotik?

    Jangan biarkan mereka menjadi batu. Selamatkan bangsa Firaun itu dengan tongkat Musa di

    tangan kita agar mereka tak tenggelam ke dalam lautan kesombongan mereka sendiri.

    Selamatkan mereka, setidaknya Anwar Ibrahim dan keluarganya, agar kita tak dipersalahkan

    dunia. Anwar dan keluarganya bukan bagian dari pencuri itu. Dan, dia bukan si anak durhaka.

    Mohamad Sobary, Budayawan

    www.rajaebookgratis.com