cerita legenda malin kundang anak durhaka
TRANSCRIPT
Cerita Legenda Malin Kundang Anak Durhaka
Cerita Malin Kundang adalah sebuah cerita legenda nusantara yang sangat terkenal, Kamu juga pasti sudah pernah mendengarkan kan ….Malin Kundang Merupakan anak yang durhaka kepada ibunya dan ibunya pun mengutuk anaknya menjadi batu. sampai sekarang batu itu masih ada. Mari kita akan membahas cerita malin kundang dari awal.
Pada suatu hari, hiduplah sebuah keluarga di pesisir pantai wilayah Sumatra. Keluarga itu mempunyai seorang anak yang diberi nama Malin Kundang. Karena kondisi keluarga mereka sangat memprihatinkan, maka ayah malin memutuskan untuk pergi ke negeri seberang.Besar harapan malin dan ibunya, suatu hari nanti ayahnya pulang dengan membawa uang banyak yang nantinya dapat untuk membeli keperluan sehari-hari. Setelah berbulan-bulan lamanya ternyata ayah malin tidak kunjung datang, dan akhirnya pupuslah harapan Malin Kundang dan ibunya.Setelah Malin Kundang beranjak dewasa, ia berpikir untuk mencari nafkah di negeri seberang dengan harapan nantinya ketika kembali ke kampung halaman, ia sudah menjadi seorang yang kaya raya. Akhirnya Malin Kundang ikut berlayar bersama dengan seorang nahkoda kapal dagang di kampung halamannya yang sudah sukses.Selama berada di kapal, Malin Kundang banyak belajar tentang ilmu pelayaran pada anak buah kapal yang sudah berpengalaman. Malin belajar dengan tekun tentang perkapalan pada teman-temannya yang lebih berpengalaman, dan akhirnya dia sangat mahir dalam hal perkapalan.Banyak pulau sudah dikunjunginya, sampai dengan suatu hari di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang di serang oleh bajak laut.Semua barang dagangan para pedagang yang berada di kapal dirampas oleh bajak laut. Bahkan sebagian besar awak kapal dan orang yang berada di kapal tersebut dibunuh oleh para bajak laut. Malin Kundang sangat beruntung dirinya tidak dibunuh oleh para bajak laut, karena ketika peristiwa itu terjadi, Malin segera bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu. Malin Kundang terkatung-katung ditengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Sesampainya di desa tersebut, Malin Kundang ditolong oleh masyarakat di desa tersebut setelah sebelumnya menceritakan kejadian yang menimpanya. Desa tempat Malin terdampar adalah desa yang sangat subur. Dengan keuletan dan kegigihannya dalam bekerja, Malin lama kelamaan berhasil menjadi seorang yang kaya raya. Ia memiliki banyak kapal dagang dengan anak buah yang jumlahnya lebih dari 100 orang. Setelah menjadi kaya raya, Malin Kundang mempersunting seorang gadis untuk menjadi istrinya.
Setelah beberapa lama menikah, Malin dan istrinya melakukan pelayaran dengan kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya yang banyak. Ibu Malin Kundang yang setiap hari menunggui anaknya, melihat kapal yang sangat indah itu, masuk ke pelabuhan. Ia melihat ada dua orang yang sedang berdiri di atas geladak kapal. Ia yakin kalau yang sedang berdiri itu adalah anaknya Malin Kundang beserta istrinya. Malin Kundang pun turun dari kapal. Ia disambut oleh ibunya. Setelah cukup dekat, ibunya melihat belas luka dilengan kanan orang tersebut, semakin yakinlah ibunya bahwa yang ia dekati adalah Malin Kundang. “Malin Kundang, anakku, mengapa kau pergi begitu lama tanpa mengirimkan kabar?”, katanya sambil memeluk Malin Kundang. Tetapi Kundang segera melepaskan pelukan ibunya dan mendorongnya hingga terjatuh. “Wanita tak tahu diri, sembarangan saja mengaku sebagai ibuku”, kata Malin Kundang pada ibunya. Malin Kundang pura-pura tidak mengenali ibunya, karena malu dengan ibunya yang sudah tua dan mengenakan baju compang-camping. “Wanita itu ibumu?”, Tanya istri Malin Kundang. “Tidak, ia hanya seorang pengemis yang pura-pura mengaku sebagai ibuku agar mendapatkan harta ku”, sahut Malin kepada istrinya. Mendengar pernyataan dan diperlakukan semena-mena oleh anaknya, ibu Malin Kundang sangat marah. Ia tidak menduga anaknya menjadi anak durhaka. Karena kemarahannya yang memuncak, ibu Malin menengadahkan tangannya sambil berkata “Oh Tuhan, kalau benar ia anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu”. Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat datang menghancurkan kapal Malin Kundang. Setelah itu tubuh Malin Kundang perlahan menjadi kaku dan lama-kelamaan akhirnya berbentuk menjadi sebuah batu karang
Cerita Anak – Fabel – Nyanyian Mawar
Padang Dandelion
Padang hijau rumput berdaun jarum terhampar merona kekuningan. Terpaan sinar
jingga matahari sore di permulaan kemarau membuat beberapa helai daun dari
rerumputan itu menjadi berkilau. Rerumputan Jepang berdaun jarum itu tak
sendirian. Mereka ditemani para bunga. Sekelompok dandelion.
Tapi ada yang tak biasa. Diantara para dandelion putih yang cerah, berdiri dengan
tegaklah setangkai mawar merah. Di dunia tanpa manusia ini, sang mawar terisak
di kerumunan. Sebenarnya, dia sendirian. Tak ada mawar lain, dan tak ada
dandelion yang menyukainya. Dandelion-dandelion itu pun berdiri cukup jauh dari
mawar itu. Setangkai Mawar itu terlalu asing bagi dandelion. Sang Mawar yang
merana dalam ratapan kesendiriannya itu tak pernah tersenyum. Mawar itu
memiliki suara yang indah yang selalu ia lantunkan hampir setiap sore, namun yang
dinyanyikannya hanyalah lagu sendu.
Sang Mawar Merah
Seekor kelinci putih pengembara terkesima oleh alunan indah melodi yang
menggelitik kupingnya yang berwarna pink. Kelinci putih itu mengintip di balik batu
untuk mencari siapa gerangan pemilik suara cantik itu. Sang kelinci memandang
dan menemukan sumber suara merdu itu. Lantunan vokal itu milik setangkai bunga
mawar yang tiba-tiba berhenti bernyanyi karena merasa diawasi. “Mengapa
berhenti bernyanyi?” sapa sang kelinci.
Bunga merah itu ketakutan dan malu. Menelungkupkan wajahnya diantara daun-
daun kecilnya yang bergerigi. “Pergi kau,” teriak mawar itu dari balik daun-daun
kecilnya yang berbulu halus itu.
“Aku takkan pergi sampai aku mendengarmu bernyanyi lagi,” sahut sang kelinci.
Petal-petal berwarna merah darah itu tak bergeming. Mereka tetap tersembunyi.
Detik-detik berlalu. Tak ada perubahan. Matahari pun tak sabar dan bersegera
untuk tenggelam. “Jika tak hari ini, mungkin besok aku akan mendengarmu
bernyanyi lagi,” ucap kelinci putih yang tak putus harapan. Kelinci putih itu pun
pergi.
Keesokan hari pada saat yang sama, sore hari ketika langit tak lagi biru muda,
kelinci putih mendekati tempat yang sama pula. Sang Mawar Merah pun sedang
bernyanyi seperti kemarin. Kali ini, sang kelinci putih berhati-hati. Ia hanya akan
bersembunyi di balik batu dan takkan menampakkan diri. Dengan cara ini, ia bisa
menikmati suara indah sang mawar. Tiba-tiba ia bersin. Hidung kelinci yang juga
berwarna pink seperti telinganya tersentuh oleh serpihan bunga dandelion yang
beterbangan. Bunga yang terbiasa bernyanyi lagu-lagu haru biru itu menghentikan
nyanyiannya karena menyadari seseorang sedang mengawasinya. Kelinci pun
menyadari keheningan setelah suara bersinnya. Kelinci putih itu keluar dari
persembunyiannya, “Mengapa berhenti bernyanyi?”
Si Kelinci Putih Keluar dari Balik Batu
Bunga merah itu ketakutan dan malu sama seperti hari sebelumnya.
Menelungkupkan wajahnya diantara daun-daun kecilnya yang bergerigi. “Pergi
kau,” teriak mawar itu dari balik daun-daun kecilnya yang berbulu halus itu.
“Aku takkan pergi sampai aku mendengarmu bernyanyi lagi,” sahut sang kelinci.
Sama seperti kemarin, petal-petal berwarna merah darah itu tak bergeming.
Mereka tetap tersembunyi. Detik-detik berlalu. Tak ada perubahan. Matahari pun
tak sabar dan bersegera untuk tenggelam. “Jika tak hari ini, mungkin besok aku
akan mendengarmu bernyanyi lagi,” ucap kelinci putih yang tak putus harapan.
Kelinci putih itu pun pergi.
Keesokan hari pada saat yang sama, sore hari ketika langit tak lagi biru muda,
kelinci putih mendekati tempat yang sama pula. Mawar pun masih bernyanyi setiap
hari. Kali ini, sang kelinci putih lebih berhati-hati. Ia hanya akan bersembunyi di
balik batu dan takkan menampakkan diri dan memakai masker untuk menutup
hidungnya. Kali ini, tiang super kecil beterbangan milik bunga dandelion tak
berhasil membuatnya bersin. Kelinci putih bisa menikmati nyanyian sang mawar
hingga matahari hampir tergelincir. Kelinci putih itu keluar dari persembunyiaanya
karena tak tahan ingin mengucapkan pujiannya pada sang mawar,”Indah sekali
suaramu mawar merah.”
Bunga merah itu ketakutan dan malu sama seperti hari sebelumnya dan hari
sebelumnya lagi. Menelungkupkan wajahnya diantara daun-daun kecilnya yang
bergerigi. Namun tak mengucapkan apa-apa kali ini.
“Aku masih ingin mendengarmu bernyanyi. Tapi mungkin besok,” ucap kelinci yang
harus pulang namun tak putus asa ingin mendengarkan nyanyian sang mawar.
Keesokan hari pada saat yang sama, sore hari ketika langit tak lagi biru muda,
kelinci putih mendekati tempat yang sama pula seperti apa yang ia lakukan
kemarin dan kemarinnya lagi dan kemarinnya lagi. Mawar pun masih bernyanyi
setiap hari. Sang kelinci putih bersembunyi di balik batu dan takkan menampakkan
diri dan tetap memakai masker. Kelinci putih bisa menikmati nyanyian sang mawar
hingga matahari hampir tergelincir. Kelinci putih itu keluar dari persembunyiaanya
karena kini ia mulai ikut sedih. Ia tak tahan dengan kesedihan yang sudah terlalu
sering ia dengar. Ia sedih karena sang mawar bersedih setiap hari. Kelinci pun
berkata, “Indah sekali suaramu mawar merah, tapi akan lebih indah lagi jika kau
menyanyikan lagu yang gembira.”
Bunga merah itu tak ketakutan ataupun malu hari ini. Ia tidak lagi menelungkupkan
wajahnya diantara daun-daun kecilnya yang bergerigi. Ia berkata, “Tapi, aku tidak
tahu cara menyanyikan lagu yang gembira.”
Sang kelinci putih tersenyum, “Kita berkenalan saja dulu. Aku kelinci putih.”
“Aku mawar merah,” kata mawar itu sedikit malu.
“Aku akan bercerita sedikit. Aku punya adik kecil yang tak berhenti tersenyum. Ia
selalu bahagia. Ia bisa mendengar suara alam. Ia bilang bahwa ia bisa mendengar
suara-suara disekitarnya. Ia mendengar tawa para awan yang sedang berkejaran.
Katanya, awan yang putih cerah itu adalah awan yang sedang bersantai ketika
melihat apa yang terjadi di bumi. Mereka gembira melihat burung yang sedang
membuat sarang dan bernyanyi. Awan yang hitam adalah awan yang sedang
mengantarkan air ke bumi. Mereka pun tetap gembira karena berhasil menolong
bumi yang sedang kehausan.”
Sang mawar mulai tertarik dengan cerita sang kelinci putih. Kelinci itu meneruskan,
“Aku pun mulai belajar dari adikku. Aku bisa mendengar suara alam. Aku bisa
melihat sekelilingku. Lihatlah, Matahari sedang tersenyum sekarang. Ia sedang
menari dengan selendang kuning miliknya yang sekarang bisa sampai di badan
kita.”
“Bagaimana caranya melihat dan mendengar alam?” Tanya Sang Mawar Merah.
“Caranya adalah dengan berkata terima kasih atau berbahagia,” jawab Si Kelinci
Putih.
“Kepada siapa?”
“Akan Aku tunjukkan. Pejamkan mata. Bernapas dengan tenang. Masukkan udara
perlahan. Keluarkan perlahan pula. Ucapkan keras-keras dalam hati, “Tuhan, aku
berterima kasih atas apa yang kau berikan, yaitu dunia yang indah ini. Aku
menerima semua hadiah ini dengan senang hati. Aku bahagia dan aku akan
menjaga kebahagiaan yang kau berikan.” Tunggu sejenak. Rasakan sejuknya udara
yang masuk melalui hidungmu. Dengarlah suara bisikan angin. Dengarkan baik-
baik. Perlahan-lahan bukalah mata. Lihatlah indahnya sekelilingmu.”
“Mmm… aku belum melihatnya,” ucap mawar.
“Tak apa, ulangilah sekali lagi dengan rasa percaya bahwa kau akan melihatnya.
Percayalah padaku.”
“Mmm… aku belum melihatnya,” ucap mawar.
“Lain kali kita coba lagi. Sudah saatnya aku pulang. Ingat, teruslah mencoba.
Teruslah percaya.”
Sang Mawar terus mencoba dan ia bisa. Sore di keesokan harinya, sang mawar
merah menceritakan apa yang ia dengar kepada Si Kelinci Putih. “Aku bisa
mendengar apa yang angin katakan dan aku bisa melihat warnanya,” ujar Sang
Mawar gembira.
“Oh ya? Apa yang ia ucapkan? Warnanya apa?” Si Kelinci Putih penasaran.
“Ayo ikut, menari bersamaku, rentangkan tangan dan ikuti irama warna merah
yang melompat dan berlari,” begitu katanya. Angin itu berwarna-warni. Seperti
pelangi namun lebih halus, terkadang warna ungunya lebih banyak, dan kadang
warna kuningnya yang lebih banyak.” Kedua sahabat baru itu pun tersenyum dan
berbahagia bersama.
Berteman
Sang mawar dan kelinci sudah lebih akrab sekarang. Sang mawar yang terbiasa
murung sendirian kini perlahan berubah dengan beberapa guratan senyuman
dalam sehari. Nyanyian yang biasanya bernada minor pun menjadi bernada mayor
meskipun masih terdengar seperti lagu yang datar, tak begitu jelas apa lagu itu
lagu gembira atau sedih.
Si Kelinci selalu datang di sore hari dengan cara yang sama. Mencuri-curi untuk
mendengar nyanyian mawar merah itu dari balik batu. Si Kelinci bahagia karena
semakin hari nyanyian sang mawar berubah menjadi nada-nada yang lebih
bahagia. Si Kelinci kemudian muncul dari baik batu untuk menyapa mawar merah
itu. Kelinci itu selalu membawa oleh-oleh cerita bahagia. Cerita mengenai dunia
Kelinci yang penuh kegembiraan. Mawar merah pemalu itu pun berhasil dibuatnya
tersenyum mendengar cerita-ceritanya yang menarik.
Sang mawar dan kelinci sudah jauh lebih akrab lagi. Sang mawar yang telah
berubah dan menyanyikan lagu datar yang kurang jelas apakah itu lagu gembira
atau lagu yang sedih, telah berubah lagi dengan menyanyikan lagu yang gembira.
Sang mawar tak membuat guratan senyuman lagi, ia benar-benar tersenyum.
Tersenyum lebar hari ini dan hari-hari selanjutnya.
Si Kelinci Putih masih terus datang mengunjungi sang mawar setiap harinya.
Datang dengan cara yang sama dari balik batu. Ia mendengarkan nyanyian sang
mawar yang sekarang berupa lantunan yang gembira. Ya, benar-benar gembira. Si
Kelinci kemudian keluar dari balik batu untuk menyapa Sang Mawar. “Ini lagu
terindah yang pernah kudengar,” senyum Si Kelinci.
Si Kelinci Putih Bahagia
Si Kelinci Putih sangat bahagia karena bisa mendengar nyanyian yang sangat indah.
Namun ia jauh lebih bahagia lagi karena berhasil membuat Sang Mawar Merah
murung menjadi Sang Mawar Merah gembira. Sang Mawar Merah pun bahagia
karena hari-harinya menjadi bahagia. Ia sangat bahagia. Ia pun sekarang bisa
mendengar suara sekelilingnya.
Suatu sore, Sang Mawar Merah bernyanyi lagu gembira. Ia menanti Si Kelinci Putih
datang dari baik batu. Tapi hari itu berbeda. Hari itu tak ada kelinci berwarna putih
yang muncul dari balik batu. Sang Mawar terus bernyanyi dan berharap, tapi tetap
tak ada Si Kelinci Putih. Sang Mawar terus bernyanyi dan berharap, tapi tetap tak
ada Si Kelinci Putih. Sang Mawar terus bernyanyi dan berharap namun nyanyiannya
berubah sedih, tapi tetap tak ada Si Kelinci Putih. Matahari sedang merapikan
selendang kuningnya yang sedang berubah menjadi jingga dan mendekapnya,
berbalik badan lalu perlahan-lahan tenggelam. Sang Mawar Merah berpikir,
mungkin besok Si Kelinci Putih akan datang.
Namun, Si Kelinci Putih tak datang keesokan harinya. Sang Mawar Merah sedih.
Sedih, tetapi tidak sampai menangis. Ia menyanyi sore itu sama seperti hari
sebelumnya. Ia menyanyikan lagu yang menyiratkan kerinduannya pada Si Kelinci
Putih. Lagu itu sendu dan ia hampir menangis manyanyikannya. Ia berhenti
bernyanyi sejenak. Ia mengganti lagunya dengan lagu yang ceria dengan harapan
bahwa Si Kelinci Putih akan datang bila ia menyanyikan lagu yang ceria. Ia memang
menyanyikan lagu yang ceria tapi ia bernyanyi dengan sedih. Lagu ceria yang
dinyanyikan dengan sedih. Begitulah caranya menyanyi hingga matahari pergi.
Keesokan harinya di kala sore, Sang Mawar Merah tetap menunggu. Ia menunggu
sosok putih empuk yang setiap hari menemaninya beberapa hari yang lalu. Ia
menunggu suara yang memuji nyanyiannya. Ia menunggu sosok yang memintanya
terus menyanyi. Ia menunggu sebuah cerita menyenangkan. Tak sebuah, mungkin
lebih. Ia menunggu dan menunggu.
Ia menjadi sedih kembali. Lebih sedih dari sebelum ia bertemu dengan Si Kelinci
Putih. Sang Mawar Merah tak lagi bisa mendengarkan bisikan angin atau melihat
warnanya. Ia terlalu sedih untuk itu. Setiap sore ia tetap menyanyi. Lagu yang ia
nyanyikan lebih sedih dari lagu-lagu yang ia nyanyikan sebelum bertemu Si Kelinci
Putih. Sang Mawar Merah sangat sedih. Sangat sedih namun tetap menyanyi dan
selalu melihat ke arah batu tempat Si Kelinci Putih dahulu bersembunyi, berharap
akan ada yang muncul dari balik batu. Namun, tak pernah ada yang keluar dari
balik batu itu.
Sang Mawar Merah Sedih
Sang Mawar tetap bernyanyi. Kian hari kian sedih lagu yang ia nyanyikan. Ia tetap
melihat batu tempat Si Kelinci Putih dahulu bersembunyi. Ia tetap berharap namun
tetap tak ada yang keluar dari balik batu itu.
Suatu hari ada yang menempel di tangkai bawah tubuh Sang Mawar Merah. Ia
merayap ke tubuh Sang Mawar Merah dan Sang Mawar pun merasa geli. Perasaan
geli itu membuatnya tertawa. Ternyata seekor ulat sedang merayap dari tanah. Ulat
itu mulai berbicara dengan cara bicara layaknya anak kecil, “Maaf, boleh aku
tinggal di tubuhmu?”
“Siapa kau membuatku tergelitik?”
“Aku Ulat Kecil. Aku tak suka daun dandelion. Daunmu jauh lebih enak. Kalau kau
tak suka aku memakan daunmu yang masih segar, aku mau memakan daun-
daunmu yang sudah tua atau yang jatuh saja. Aku takkan lama disini, aku hanya
akan ada disini hingga aku kenyang dan gendut. Ketika aku kenyang dan gendut,
aku akan pergi dan menjadi kepompong di bunga lainnya. Bolehkah?”
Ulat
“Tidak.”
“Kenapa?”
“Aku tidak mau diganggu.”
“Aku takkan mengganggumu. Mungkin hanya sedikit tergelitik saja. Aku juga bisa
menemanimu.”
“Tidak mau”
“Hey, kalaupun kau tidak memperbolehkan, aku akan tinggal di sini beberapa saat.
Kau tidak bisa mengusirku karena kau tidak punya tangan ataupun kaki.”
“Kau menyebalkan sekali!”
“Aku akan diam saja disini sambil mengunyah daun, kau takkan menyadari
keberadaanku setelah beberapa saat. Percayalah, aku takkan mengganggu.”
Sore hari tiba. Sang Mawar Merah kembail bernyanyi. Ia menyanyikan lagu sendu
lagi. Ia melihat ke arah batu tempat Si Kelinci Putih bersembunyi lagi.
Ia bernyanyi agak lama hingga Ulat Kecil yang semula sedang tertidur pun
terbangun perlahan-lahan.
“Indah sekali suaramu,” kata Ulat Kecil.
“Siapa itu?” tanya Sang Mawar Merah.
“Aku Ulat Kecil. Sudah kubilang kau akan lupa bahwa aku ada di tubuhmu. Suaramu
indah, tapi mengapa kau menyanyikan lagu yang sedih?”
“Bukan urusanmu”
“Baiklah aku akan kembali tidur.”
Setelah hening sejenak, Sang Mawar Merah kembali bernyanyi. Ternyata si Ulat
Kecil tak benar-benar tidur. Ia mendengarkan nyanyian Sang Mawar Merah lalu ia
ikut menyanyi. Benar! Ulat Kecil itu ikut menyanyi. Sang Mawar Merah terheran-
heran.
“Kau bisa bernyanyi? Suaramu bagus Ulat Kecil.”
“Mari bernyanyi bersama.”
Mereka pun bernyanyi bersama. Ulat Kecil itu pun mengganti nada lagu mereka
sedikit demi sedikit menjadi lagu yang bahagia. Sang Mawar Merah tidak menyadari
perubahan itu dan tetap menyanyi mengikuti perubahan nada itu. Sang Mawar
Merah pun terlihat senang. Ia hampir tersenyum. Ia merasa senang. Mereka berdua
merasa senang. Mereka bernyanyi berdua hingga sore berakhir.
Ulat dan Mawar bernyanyi dari hari ke hari. Sang Mawar Merah menjadi mawar
yang bahagia hingga ia bisa mendengar bisikan angin dan juga melihat warnanya
lagi. Ia pun bercerita dengan bahagia tentang bagaimana Si Kelinci Putih
membuatnya bahagia waktu itu. Ia bahkan menceritakan ulang pada Ulat Kecil apa
yang dahulu diceritakan Si Kelinci Putih padanya. Ia bahagia dan bahkan lupa akan
kesedihannya ditinggalkan oleh Si Kelinci Putih.
Ulat dan Mawar bernyanyi dari hari ke hari. Sang Mawar Merah menjadi mawar
yang bahagia hingga ia bisa mendengar bisikan angin dan juga melihat warnanya
lagi. Ia bahkan mengajarkan Ulat Kecil bagaimana cara mendengar bisikan angin
dan melihat warnanya. Ulat Kecil pun berhasil melakukannya karena ia sangat
bahagia. Ulat Kecil pun memiliki kemampuan lain. Ia bisa melihat matahari
tersenyum. Ulat Kecil pun mengajarkan hal itu pada Sang Mawar Merah. Sang
Mawar Merah berhasil melakukannya karena ia sangat bahagia. Di dunia tanpa
manusia ini, apapun bisa dilakukan ketika kau merasa sangat bahagia.
Ulat dan Mawar bernyanyi dari hari ke hari hingga ulat menjadi besar. Ulat Kecil
sudah banyak makan dan ia kini kenyang dan besar. Sudah hampir waktunya bagi
Ulat Kecil untuk menjadi kepompong. Ulat Kecil pun berbicara tentang rencana
kepergiannya pada Sang Mawar Merah. Sang Mawar Merah sedih mendengarnya.
Melihat Sang Mawar Merah sedih, Ulat Kecil membuatkan sebuah lagu berlirik untuk
Sang Mawar.
“Mawar Merah, sebelum aku menjadi kepompong, aku ingin kau mendengar lagu
ini. Kau harus menyanyikan lagu ini setiap hari agar kau tidak sedih. Aku akan
menemuimu ketika aku menjadi kupu-kupu,” Ulat Kecil menjelaskan.
Ulat Kecil pun mulai bernyanyi:
Semua kuhirup, semua kurasa, semuanya indah . . .
Semua kudengar, semua kulihat, semuanya indah. . .
Kuhirup, kurasa, semuanya yang indah, kuingin sampaikan padamu . . .
Kudengar, kulihat, semuanya yang indah, kuingin sampaikan padamu . . .
Semua yang indah telah kurangkai menjadi cerita . . .
Sekarang dengar inilah sayang, kuingin bercerita . . .
(Kuingin Bercerita, oleh: Cozy Street Corner)
Mereka, Sang Mawar Merah dan Ulat Kecil pun berdendang dengan bahagia dan
haru. Mereka bernyanyi bersama untuk terakhir kalinya. Mereka berbahagia namun
juga sedih. Bahagia karena lagu yang mereka nyanyikan sangat indah dan sedih
karena mereka akan berpisah.
Ulat Kecil pergi. Ia akan menjadi kepompong. Sang Mawar Merah sedih, namun
tetap berharap. Mawar itu sedih sesaat, namun perlahan-lahan menerima kepergian
Ulat Kecil. Sang Mawar Merah tetap bernyanyi di sore hari hingga matahari
merapikan jubah kuningnya yang perlahan-lahan berubah menjadi jingga, merah
hingga kelam hitam. Meski hendak pergi setiap sore seperti itu, Sang Mawar Merah
bisa melihat senyuman matahari itu. Matahari itu tersenyum dengan pertanda
bahwa ia akan pergi. Pergi untuk kembali. Pergi sesaat namun untuk kembali lagi.
Sang Mawar Merah sendiri lagi. Namun ia tetap bahagia. Ia bahagia dan menjadi
lebih bahagia ketika angin berbisik padanya dan menampakkan warnanya. Ia juga
berhasil membalas senyum matahari ketika malam hari ingin muncul.
Suatu sore ketika Sang Mawar Merah sedang bernyanyi, seekor kupu-kupu
menghampiri. Sang Mawar Merah kebingungan. Kupu-kupu hijau hitam itu pun
mulai menyapanya,”Aku dulu Ulat Kecil. Tak ingatkah kau Mawar Merah?”
Ulat menjadi Kupu-kupu
“Wah, kau berubah banyak sekali. Sangat indah.”
“Iya, aku senang sekali dengan rupa baruku yang cantik ini.”
“Namun, yang kuharap darimu bukanlah rupamu, bagiku yang paling indah darimu
adalah hatimu. Bagaimanapun rupamu, kau tetap temanku, Ulat Kecilku.”
“Terima kasih, Mawar Merah. Mari kita bernyanyi bersama lagi.”
Mereka, Sang Mawar Merah dan Kupu-kupu yang dahulunya Ulat Kecil, namun tetap
satu jiwa yang sama, bernyanyi bersama. Mereka menyanyikan lagu yang sama
dengan lagu yang terakhir kali mereka nyanyikan sebelum mereka berpisah.
Mereka bernyanyi dengan bahagia namun sedih. Mereka bahagia karena mereka
bisa bertemu kembali. Mereka sedih karena mereka akan berpisah kembali. Kupu-
kupu, yang dahulunya Ulat Kecil, harus pergi karena ia harus mencari makan dari
berbagai macam bunga yang jauh dari tempat Sang Mawar Merah.
Sebelum Kupu-kupu, yang dahulunya Ulat Kecil, pergi, ia berpesan pada Sang
Mawar Merah agar tidak sedih karena perpisahan itu. Kupu-kupu berkata, “Akan
ada saat dimana kita merasa sangat bahagia karena kehadiran seseorang dalam
hidup kita. Kita merasa sangat-sangat bahagia hingga tak ingin ia pergi. Namun,
walaupun orang yang membuat kita bahagia pergi, ia meninggalkan kita dengan
kenangan. Kenangan pengalaman yang menyenangkan. Kenangan itu tidak pergi,
ia tinggal bersama kita. Ia tinggal di hati kita. Hati kita terasa kecil, namun
sebenarnya ia sangat luas dan bisa menyimpan semua kenangan indah. Di hati
itulah kehidupan kita yang sebenarnya. Dunia ini hanya terdiri atas barang-barang
yang harus kita pilih, mana yang bisa kita simpan dalam hati dan mana yang tidak.
Berjanjilah padaku kau akan menyimpan persahabatan kita yang membahagiakan
ini dalam hatimu. ”
“Baiklah. Simpan juga di hatimu Ulat Kecil yang sekarang menjadi Kupu-kupu!”
sambut Sang Mawar Merah dengan berurai air mata.
Sang Mawar Merah kembali tinggal sendiri. Ia tetap bernyanyi setiap sore hingga
matahari tersenyum dan berpamitan sambil menggulung selendang kuningnya
yang terang. Ia tetap dibisiki oleh angin yang memintanya ikut bergoyang dengan
canda tawanya. Angin pun tak segan memperlihatkan warnanya yang cemerlang
seperti pelangi yang berkilau. Sang Mawar Merah memang sendiri, namun ia selalu
berbahagia. Ia berbahagia karena ia dapat selalu melihat kenangan
persahabatannya dengan Ulat Kecil yang kemudian menjadi Kupu-kupu. Bahkan, ia
juga bisa melihat kenangan persahabatannya dengan Si Kelinci Putih.
Kebahagiaan Sang Mawar Merah membuatnya bernyanyi dengan sangat indah.
Beberapa binatang kemudian mengunjunginya karena tertarik akan suaranya yang
merdu itu. Binatang-binatang itu senang sekali bisa bertemu dengan Sang Mawar
Merah. Sang Mawar Merah pun tak segan-segan mengajari mereka cara
mendengarkan angin, melihat warnanya dan melihat matahari tersenyum.
Binatang-binatang itu datang dan pergi, namun mereka tetap tinggal dalam hati
Sang Mawar Merah.
Suatu hari Sang Mawar Merah terkejut. Ia terkejut namun bahagia. Si Kelinci Putih
kembali. Ia tak datang sendiri, ia bersama Kelinci Putih lain dan Kelinci Putih yang
kecil-kecil. Mereka membawa setangkai mawar putih yang masih kecil.
“Mawar Merah, apa kabarmu? Maaf aku lupa mengucapkan selamat tinggal waktu
itu. Aku berpikir untuk mencarikanmu teman dari jenismu sendiri. Aku terbawa
suasana dan langsung mencari kemana-mana. Aku bahkan meminta bantuan
keluargaku. Kami menemukannya setelah sekian lama.”
“Wah, terima kasih banyak Kelinci Putih. Aku sangat sedih ketika kau pergi begitu
saja. Tapi, sekarang aku sudah baik-baik saja. Terima kasih atas niat baikmu.”
Para kelinci putih itu pun dengan giat membantu menanam setangkai mawar putih
yang agak layu karena kehausan. Mereka menancapkannya di sebelah Sang Mawar
Merah. Setelah selesai, Sang Mawar Merah menyanyikan mereka lagu yang
dinyanyikan oleh Ulat Kecil. Kelinci-kelinci putih itu pun sangat bahagia
mendengarkan lagu tersebut. Sesaat sebelum matahari berhasil melipat selendang
kuningnya, para kelinci putih itu pergi. Mereka berpisah dengan bahagia.
Beberapa hari kemudian, mawar putih tersebut mulai bangun dari tidurnya. Ia
terbangun oleh nyanyian mawar merah yang merdu. Ia terbangun oleh nyanyian
yang menyenangkan. Ia pun ikut menyanyi. Mereka berkenalan dan hidup
berdampingan hingga sangat lama. Sangat lama. Mereka bernyanyi dan
berbahagia. Bernyanyi dan berbahagia sangat lama.
Tampe Ruma Sani (Mitos)by PENDONGENG on JUNE 26, 2012
Share
Cerita ini berasal dari Dompu, salah satu kabupaten di
Nusa Tenggara Barat.
Alkisah pada zaman dulu, tinggallah seorang anak perempuan bernama
Tampe Ruma Sani. Semua orang di kampungnya mengenal dia, sebab
setiap hari ia menjajakan ikan hasil tangkapan ayahnya. Ibunya sudah
meninggal. Di rumahnya ia tinggal bersama ayah dan adik laki-lakinya
yang masih kecil. Ia memasak nasi untuk ayah dan adiknya. Kasihan
Tampe Ruma Sani yang masih kecil itu harus mengerjakan pekerjaan
rumah tangga yang seharusnya dikerjakan oleh orang dewasa.
Pada suatu hari, seorang janda menyapa Tampe Rurna Sani, “Sudah habis
ikanmu Nak? Tiap hari saya lihat ikanmu cepat habis, apa rahasianya?”
“Saya menjual lebih murah dari yang lain, agar cepat habis, karena saya
harus segera pulang menanak nasi untuk ayah dan adik saya. Juga
pekerjaan rumah tangga yang lain harus saya kerjakan”, jawab Tampe
Rurna Sani sambil berjalan cepat.
“Siapa nama adikmu?”
“Mahama Laga Ligo”, jawab Tampe Rurna Sani. “Mengapa bukan adikmu
yang memasak?”
“Adikku masih kecil, belum bisa memasak.” Bermacam-macam pertanyaan
janda itu kepada Tampe Ruma Sani.
“Sampaikan salamku kepada ayahmu! Aku mau membantu kalian dan
tinggal di rumah ayahmu. Aku mau membuat tembe (sarung), sambolo
(destar) dan ro sarowa (celana) untuk ayahmu”, kata janda itu dengan
manis.
“Baik Bu, akan saya sampaikan kepada ayah.” Singkat cerita janda itu kini
telah kawin dengan ayah mereka, dan menjadi ibu tirinya.
Kini Tampe Ruma Sani lidak lagi memasak. Pekerjaannya hanya
menjajakan ikan saja. Sekali-sekali ikut menumbuk padi. Setiap
menumbuk padi, ibunya selalu berpesan agar beras yang utuh dipisahkan
dengan yang hancur.
Pada mulanya, ibu tirinya sangat baik kepada Tampe Ruma Sani dan
adiknya. Namun, lama-kelamaan sikapnya berubah. Tampe Rurna Sani dan
Mahama Laga Ligo mendapat perlakuan yang kurang baik, lebih-lebih
kalau ayahnya tidak berada di rumah.
Pada suatu hari, ayahnya baru pulang menangkap ikan. Sang ibu tiri
segera menyiapkan makanan yang enak-enak untuknya. Sedang untuk
anak ttrinya disediakan nasi menir (nasi dari beras yang hancur kecil-
kecil). Melihat hal itu, Tampe Ruma Sani memberanikan diri lapor kepada
ayahnya, “Ayah dan ibu makan nasi yang bagus dan ikannya yang enak-
enak, sedang saya dan adik nasinya kecil-kecil dan tidak ada ikannya”.
Mendengar hal itu ayahnya bertanya, “Mengapa makanan anak-anak
berbeda dengan makanan kita Bu?”
“Oo tidak Pak, sebenarnya sama saja, lihatlah sisa makanan yang ada di
kepala Mahama Laga Ligo,” jawab istrinya.
Sebenarnya nasi yang ada di kepala Mahama Laga Ligo sengaja ditaruh
oleh ibu tirinya menjelang ayahnya datang. Hal yang demikian telah
dilakukan berkali-kali. Ibunya sangat marah kepada Tampe Ruma Sani
yang berani melaporkan kepada ayahnya. Setelah suaminya pergi, sang
ibu tiri menghajar Tarnpe Ruma Sani sampai babak belur. Tampe Ruma
Sani menangis sejadi-jadinya. Melihat kakaknya dihajar, Mahama Laga
Ligo pun ikut menangis.
“Kalau kalian berani melapor kepada ayahmu akan kubunuh kalian!”
ancamnya.
Perlakuan kasar telah biasa diterima oleh kedua anak itu. Mereka tidak
berani melaporkan kejadian itu kepada ayahnya, karena takut ancaman
ibu tirinya.
Kini kedua anak itu sudah besar dan menginjak dewasa. Kakak beradik itu
bermaksud pergi meninggalkan orang tuanya untuk mencari nafkah
sendiri, karena tidak tahan lagi menerima siksaan ibu tirinya. Maksud itu
pun disampaikan kepada ayahnya, “Ayah, kami sekarang sudah besar,
ingin pergi mencari pengalaman. Oleh karena itu, izinkanlah saya dan
Mahama Laga Ligo pergi”.
“Mengapa engkau mau meninggalkan rumah ini? Tetaplah di sini. Rumah
ini nanti akan sepi.” kafa ayahnya. Ibu tirinya segera menyahut, “Benar
kata Tampe Ruma Sani. Dia kini sudah besar. Bersama adiknya tentu ingin
mandiri. Maka sebaiknya ayah mengizinkan mereka pergi.” Ibu tirinya
memang sudah tidak senang dengan anak-anak tirinya yang dirasa sangat
mengganggu.
Akhirnya, ayahnya pun dengan berat mengizinkan, berkat desakan
istrinya yang terus-menerus.
Pagi hari sesudah sholat subuh, kedua anak itu meninggalkan rumahnya.
Ibu tirinya memberi bekal nasi dalam bungkusan. Ayahnya mengantarkan
sampai ke batas desa.
Alkisah, kedua anak itu berjalan menyusuri hutan dan sungai. Sesekali
mereka membicarakan ibu tirinya yang kejam. Sesekali juga
membicarakan ayahnya yang kena pengaruh ibu tirinya. Setelah seharian
berjalan, Mahama Laga Ligo merasa capai.
“Kak, saya capai dan lapar. Istirahat dulu ya Kak”, katanya dengan nada
menghimbau.
“Bolehlah. Kita cari dulu tempat yang teduh, lalu kita makan bekal yang
diberikan ibu tadi,” kata kakaknya. Ketika mau duduk dekat adiknya yang
mulai membuka bekalnya, tercium bau kotoran.
“Pindah dulu, di sekitar sini ada kotoran, kata Tampe Ruma Sani, sambil
mengamati di mana kotoran itu berada. Namun, di sekitar tempat itu
bersih. Lalu ia duduk lagi dan meneruskan membuka bekal yang dipegang
adiknya. Ketika bekal itu dibuka bau itu tercium lebih keras. Akhinya,
tahulah sumber bau itu. Bau itu temyata berasal dari bekal yang
dibawanya. Rupanya ibu tirinya sangat jahat, sehingga sampai hati
memberi bekal yang dicampuri kotoran manusia. Lalu, bungkusan itu pun
dibuang, dengan perasaan marah dan sedih.
Dengan mengikat perutnya kencang-kencang, kedua kakak beradik itu
pun melanjutkan perjalanan. Setelah beberapa lama herjalan, dilihatnya
sebuah rumah di tengah hutan. Kedua anak itu merasa senang. Segeralah
keduanya menaiki tangga dan mengetuk pintu. Namun, setelah beberapa
saat tidak terdengar jawaban. Diketuknya sekali lagi, tetap tiada jawaban.
Lalu, keduanya mendorong pintu rumah itu sedikit demi sedikit. Ternyata
pintu itu tidak dikunci. Dengan perlahan-lahan, ia memeriksa seluruh
penjuru rumah, temyata rumah itu tidak ada penghuninya. Di sebuah
sudut rumah itu ada tiga buah karung. Setelah diperiksa, ternyata karung
itu berisi merica, cengkih, dan pala. Di atas meja tersedia makanan. Di
sekitar rumah ditumbuhi rumput yang tinggi, yang tampak tidak pernah
dijamah manusia maupun binatang.
“Mari kita duduk di dalam rumah menunggu pemiliknya” kata Tampe
Ruma Sani kepada adiknya.
Mereka duduk-duduk. Tak berapa lama, karena kecapaian, mereka
tertidur. Pada saat terbangun hari telah pagi. Penghuni rumah itu belum
juga muncul. Makanan di atas meja masih tetap utuh. Mereka heran,
makanan itu masih hangat. Karena kelaparan, makanan itu pun mereka
makan sampai habis.
Tiga hari sudah mereka berada di rumah itu. Setiap mereka bangun pagi,
makanan hangat telah tersedia. Mereka semakin terheran-heran, namun
tidak mampu berpikir dari mana semuanya itu.
Untuk menjaga kemungkinan makanan tidak tersedia lagi, mereka
bermaksud menjual rempah-rempah dalam karung itu. Pada hari keempat,
Maharna Laga Ligo berkata kepada kakak perempuannya, “Kak, biarlah
saya yang menjual rempah-rempah ini sedikit demi sedikit ke pasar.
Sementara saya pergi, kakak di dalam rumah saja. Kalau ada orang
datang, jangan sekali-sekali kakak membukakan pintu”.
“Baiklah, pergilah, tetapi jangan lama-lama”, jawab kakaknya.
Tersebutlah hulubalang raja yang sedang berburu di hutan. Setelah
beberapa lama, mereka sangat heran di tengah hutan itu ada sebuah
rumah. Selama ini, di daerah itu tidak pernah ada seorang pun berani
tinggal. Maka salah seorang hulubalang itu menaiki tangga rumah itu dan
mengetuk pintunya. Tampe Ruma Sani tidak berani menjawab, apalagi
membuka pintu. Ia bersembunyi di bawah meja dengan sangat ketakutan.
Dalam hati berdoa semoga adiknya cepat datang.
Karena ketukan pintunya tidak terjawab, maka hulubalang raja itu turun,
dan memeriksa kolong rumah itu. Ia melihat rambut yang terjurai di
bawah kolong. Lalu, ia pun menarik rambut itu. Rambut itu adalah rambut
Tampe Ruma Sani. Ketika ditarik, ia merasa kesakitan dan berteriak.
Hulubalang itu terkejut. Ia lidak mengira, rambut itu rambut manusia. Ia
segera kembali meminta agar pintu dibuka. Namun, Tampe Ruma Sani
tetap tidak mau membuka.
Hulubalang itu segera kembali ke kerajaan melaporkan peristiwa itu
kepada raja.
Mendapat laporan yang demikian, raja bersama beberapa hulubalang yang
lain segera menuju hutan di mana rumah itu berada.
Raja meminta agar pintu dibuka. Namun, Tampe Ruma Sani tetap tidak
berani membukanya. Akhirnya, pintu itu pun didobrak beramai-ramai.
Tampe Ruma Sani berteriak ketakutan.
“Jangan takut! Aku raja di negeri ini”.
Pada saat itu, Mahama Laga Ligo datang. “Saya datang, Kak. Bukalah
pintu!”
Tampe Ruma Sani membukakan pintu dan memperkenalkan sang raja dan
para hulubalang. Dan mereka pun dibawa ke istana dan Tampe Rurna Sani
dijadikan permaisurinya.