odong-odong fort de kock - deddyarsyablog.files.wordpress.com · perdebatan tentang belacu truk...

102
Odong-odong Fort de Kock Kumpulan Sajak Deddy Arsya

Upload: hoangnhu

Post on 17-Aug-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Odong-odong

Fort de Kock

Kumpulan Sajak

Deddy Arsya

Daftar Puisi

Sirkus dari InsulindePerdebatan di Kedai Kopi

Perdebatan tentang BelacuTruk Pasir Masuk Kota

Kain dari BugisMenunggu Tukang Bakso

Kepulangan Malin SamponoKoin Sepuh Emas

Sajak untuk Haji MiskinMenjerat Burung Terbang

Membeli yang Tidak DijualPacu Sapi di SimaburRatap Kapal Karam

Samsinar Pulang dari PasarRosnida Mencari Laki

Tapa Barata Anak BujangDinda Petualang

Anak AyahToko Serba Lima Ribu

Pasir PainanApel dari Negeri Tropis

Salido Emas SuasaRusa Patah Kaki

Hilangnya Baju dan CelanaOrang Darat

Cangkang Hijau Daun

Ikan PadangSekolah Beruk di Pariaman

Kuda Bawah TanahUlat Bulu

Harimau BengkuluIkan Kolam

Odong-odong Fort de KockKuda Batak

Pulau GalangSunting Nias

Kolam-kolam GaramPertengkaran Semalam Suntuk

Anjing PeburuBunga Lobak

Pohon Jeruk di HalamanAnjing yang Tak Menyalak

Memonto Rumah SakitTukang Pikat

Singgalang Gula TebuLayang-layang Ekor Panjang

Truk Pembawa Kapas Lewat di SilungkangRambutan dari BinjaiSajak Kehilangan TaliHutan Patahan Kata

Pisang JantanDokter Gigi

Kedai Kelontong dan Tong SetanDi Maninjau

Tukang Obat di Pasar KambangNama-nama Kota dalam Sajak

Menebak Arah BidikanIring-iringan Sepasang Belah Rotan

Setelah SibolgaRambutan Kampung Halaman

Peta yang BerantakanKami Membawa Seledri ke Pekanbaru

Haji Miskin dan Istriku

PUISI DAN KEKINIAN YANG TERUS BERLALU

Sirkus dari Insulinde

Seorang lagi, kau bawa kawan baru dari Hindia

Seorang dari Insulinde, datang dini harimungkin kereta hantu tersesat dalam diam waktu

telah membawanya ke sinimungkin garis pada gelombang samudra riuh itu

telah menyeretnya sampai

Seorang jongos dan seorang babuberlari membukakan pintumenyongsong koper kalian dengan terburu“Apa kabar, Tuan Guru?”jam berdentang di ruang tamu“Adakah kereta tiba tepat waktu?”

Pada tengah hari, kau dibawanya berjalan-jalanke dalam musim dingin yang bekukerah baju kalian tinggi mencapai dagupet terbenam hingga ke hidungmu“Katupkan satu, tolong, giwang pada pergelanganjaketku!”

Gigi kalian tersumbul putih tajamlubang pupil pada matamu mengecil hitam

Lalu kau dengar dia mengeluh sendiriketika sedang membaca koran Melayu yang terbitdua minggu sekaliada berita tiga pemain akrobat dari Jawa baru tibadengan kapal uap menjelang senja:

Harimau mati dalam kamar kelasidan gajah-gajah patah gadingnya di situ

“Kau ingin menonton?” tanyanya padamu

Mari ayo mari,pemain akrobat meloncat dari tali ke talitaring-taring celeng pada lehernya berkilaudari kursi kalian inidan gelang pada tangannya adakahsepasang tanduk kuda trembesidari Timor?Timor kami!

Seorang dari Insulinde, dia lagi—pulang dini hariseorang jongos dan seorang babu menguapkan kantukpada pintu:“Apakah masih ada sirkus esok hari, Tuan Guru?”jam berdentang di ruang tamuderit pintu dan klenong genta pada leher kuda itunyaring berbunyi:

“Bapa, Bapa, izinkan kawankumenginap di sini semalam lagi!”

Perdebatan di Kedai Kopi

Teh dalam teko itu berkata padamu:bumbu-bumbu saling berdebatkata garam kau yang paling asinkata cabai kau yang paling pedas

Tapi kau ternganga belakatidak tahu sejauh mana aromamenyeruputmu dalam lupa

Teh dalam teko itu berbisik padamu:ketel dari dapur mendidih seperti memanggiltebu-tebu rebah sedari pangkalbetapa lidah pada manis menjadi majal

Tapi kau ternganga belakatidak tahu sejauh apa gulapada bibirmu menyalibkan luka

Perdebatan tentang Belacu

Kau sebut dia marekankain kasar dari pesisiranbelacu kadang dia diucapkanaku kata biarkandia sutra dari daratan

Kau kata dia ikan putihke lambung kapal tersisihaku kata diam jahanamdia kerapu dari palung lautan

Kau bilang dia loyangsekali sepuh tembaga membayangaku kata apa kau bilang?dia emas terakhir penambang

Kau sebut dia pahit empedubagai racun di kerongkonganmuaku kata tak apa, Cintakau manis paling pangkalsi tebu udang

Truk Pasir Masuk Kota

Truk pasir berkepala kadal ituLewat seminggu sekali di samping rumahmuKernetnya berseru tiap selalu dari kanan pintuMelambai-lambaikan handuk kecil penuh daki itu“Adakah yang harus terkubur di rumah sendiriselain kamu?”

Truk pasir tak berlampu ituKadang malam hari tiba menderu di halaman rumahmuSupirnya terkantuk-kantuk dalam raguMenuruni jalan berbatu menuju lebuh dalam ituMenggeser perseneling dan mencicitkan remDengan malas yang memberati kantung mata“Hendak berbelok ke kiri atau ke kanankah kamu?”

Truk pasir penuh kurap pada pantatnya ituTerseok-seok pagi-pagi sekali menuju tanjakanDari tubir sungai di belakang rumahmuDia membawa timbunan,dia membawa kuburan—untuk kalianSeluruh kota nyalang matanya bersama kernetdan supir yangdiam-diam menyimpan kantuk semalamdi balik kursi sandaran

Seluruh kota berjaga-jaga pada kematian

Kain dari Bugis

Seorang Arab penjual penitiberkali-kali mendatangi rumahmusebuah pincalang terdampar di utara Tiku, katanyaada kain yang lebih lembut dari ujung rambut nonalebih harum dari meranti atau kulit lansanotapi tak ada kau di situ

Kau dibawa samun dari Ujung Gurunke sana ke Bukit Tajadi kampung padri

“Ibu, Ibu, aku bawa untukmukhusus yang paling barukain yang membelakangi matahari turunkain dagangan para lanun.”

Seorang Arab pedagang sematdengan mata besar bulat dan bibir pepatalisnya damar keras dan arang hitamberkali-kali lewat di halaman rumahmumelambai-lambaikan selendang itubagai manik-manik pada ekor tenggiriberkilat-kilat dari jauh tampak saja sekalitapi tak ada kau di situ

Kau dibawa karavan Pauh Limanaik Sitinjau ke Tigabelas Kota

“Ibu, Ibu, ini aku tawarkankain pembalut deritamuSelendang mayang selendang duniaSehelai dua boleh kau coba.”

Seorang Arab yang rambutnya keriting coklatmendatangi ibuku berabad-abad setelah kamusetelah pabrik besi di Bekasi berdiri dan kain kamididatangkan dari Tanah Abang sebulan sekalitapi tak ada kau di situ

Kau kini ditumpuk bersamaribuan kodi kurdorai warna susukau kini ada dalam truk konteinermelintasi Selat Sunda itu

Apakah dia masih jua berserudari halaman itu:“Ibu, Ibu, belilah agak sehelai duaBiar akan sempurna manis lenggokmu!”

Menunggu Tukang Bakso

Kamu sedang menunggu tukang bakso itudia memakai blangkon bahkan ketika sedang tertidurblangkon itu leluhur yang baru datang dari Surinamedibawa kapal uap maskapai dagangblangkon yang dipukul seperti memukul beduk berbukapada jam yang biasa

Kamu menunggu dia yang terlambat menyambut tamuyang juga datang terlambatmaaf kalau kata-katakutak bisa diperban seperti luka, katamuaku tak punya penghulu sepertimu yang bisamengajarimu tata kramaaku bisa meludahi pantatmu dan bilang asu seenaknyadatuk-datuk kami telah habis dipancung padri dua abadyang lalu karena suka minum tuak dan mengadu ayam,ayam yang sekarang berenangdalam air mendidih periuk baksomu

Leluhurmu tak memancung pengunyah sirih, bukan?

Kamu menggigit ujung bibir untuk berkata:dia mungkin singgah di tempat yang berbeda darirumahmu, memukul blangkonnya seperti memukulkepalanya sendiri

Tapi kau selalu merasa disakitidan berkali-kali bilang ‘dasar jawa!’

Kamu masih menunggu tukang bakso itusekali dia telah menjadi orang asing penjual semangkayang membuatmu kecewatidak ada lagi blangkon di kepalanyapadahal kau selalu raguapakah kau cinta padanyaatau cinta pada blangkonnya

Para leluhurnya telah kembali dibawa naik kapalmeninggalkannya, meneruka hutan lain di lain tempatyang sulit untuk kau ingatdan kau melemparkan semangkayang dia bawa itu ke kepala sapi

Darahku merah pekat karena menunggumu, katamutak ada siapa-siapa ketika semangka itu jatuh dan pecahdari mulut dan hidungmu hanya mengalir: ‘dasar jawa,dasar jawa!’

Kata-katamu merah warnanyaseperti mengalir dari retakan semangka

Kepulangan Malin Sampono

Jadi sekali pulang juga diaburung-burung mengabarkannya datangseperti mengabarkan sebuah epidemikaca-kaca bergetar dan kunci pada pintumembukakan dirinya sendiri untukmu

Lalu kalian seperti mengusir kematian pergiberbicara padanya dengan suara yang gaduhaku mendengarkan kalian dari jauh sajamemegang telinga sambil bertanya-tanya: apakah yang diceritakannyadari pengembaraan yang di sini-sini juga?

Jadi sekali pulang juga diabersikeras berkata aku telah mengembaradilagakkannya kain-kain segala warnaini kitab-kitab dari dunia sanayang tak akan sampai kalianpara bujang kampung halamanyang tak sedikitpun jantan

Lalu kalian merasa ada yang seperti tikaman

Koin Sepuh Emas

Aku bawakan istriku koin sepuh emastiga gulden abad ke delapanbelas“Belilah beras dengan ini!” kata kolektor itudia melemparkan dencingnya pada tangankuloji-loji kompeni terban di pinggir bibirnyabuaya-buaya raksasa melubangi kanal di sela-sela giginyadan seluruh kota seketika itu juga terendam hingga kemercusuar

Ini koin sepuh emas, tak perak, atau tembagakakek buyutku menambangnya berabad silamdi hutan-hutan yang tak terdaki oleh kaliandi hutan yang bermalam-malam ditembusnyadengan ini parang, parang berduri dari anyam pandanyang dipegang dengan punggung tanganparang yang pada lehermu hendak ditebaskan

Ah, kalian, museum dunia baru yang sendirianyang buta peta dan yang tahu hanya berdiamkalian memangkas kata sifat seperti aspal jalanmembunuh manusiasementara akuingin menumbuhkannya di tiap ujung kalimat

Ah, kalian, yang menggigil di hadapan hayat

Aku bawakan istriku koin sepuh emastiga gulden abad ke delapanbelasaku bawakan dia dengan kantong plastik inikantong plastik dari pabrik dunia baru kalianyang sepi tiada berkawan

Sajak untuk Haji Miskin

Haji Miskin, aku rebut hati gadismu diam-diamdulu kau larang orang minum tuak, sekarang akurayakan mabuktak berkesudahan.

“Mabuk dalam cinta, Engku!”

Menjerat Burung Terbang

Kau ingin menangkap burung, katamu,yang terbang di angkasa itumaka kau melompat bagai berkelebatpada pohon tinggi itumemanjati rantingnyayang berdaun paling ujung

Dari atas sana kau berseru:burung-burung bernyanyilahdan daun-daun menarilah selaluakan kupasang jerat di antaratidur dan jagamupada siang dan malammuakan aku seru pada yang hilangkembalilah diabercerailah dari tampukmudan lepaslah kepakan sayapmu

Tapi tiap kau melenggangketiakmu lepas ke tanah seperti kain basahgelengmu lepas dari kepalayang tidak berani tengadah atau bilang yakau lompati pohon tinggi itu hinggatergapai-gapai kau di udara

Kau pelihara rasa gamang itubagai lupa dalam buku sejarahtak berani kau menitahpada daun-daun dan burung-burung itukau melompat, tapi tumitmu tidak lebihsejengkal dari tanah

Lalu kau kata hendak menangkapyang berumah di udara?

Membeli yang Tidak Dijual

Apa yang tidak dijual di Bukittinggi itu, Istriku,itulah yang akan kita belibank-bank tutup, para penjaga toko tertiduraku tak punya banyak uanguntuk hari libur yang panjanganak-anakmu akan menuntut seperti demonstranmembawa poster dankepalayang diletakkan di mata kaki

di mana baju dan celana kamituan dan nyonya sembunyikan?

Apa yang tidak dijual di Bukittinggi itu, Istriku,itulah yang akan dimintanya padamu kelakpasar-pasar terbakar setiap tahunpara pialang datang ke sini pagi-pagi sekalimengumpulkan masa silamkita hanya perantaraatas waktu yang melompat tak terdugadingin sekali di sini, Istriku, bibirku pecahmasa silam berantakan

Pacu Sapi di Simabur

Di kepalamu ada sapi-sapi besar panjang bertandukberlomba lari di medan pacuanmembawa karavan yang di atasnyamasa silam duduk sendirian dengan cemeti di tangansapi yang juga diarak dari masa silammudan orang-orang di sini memancung kepalanyamengubahnya menjadi sapi buntung masa kini yangberjalan ke depan

Turis-turis dari Jepang membawarombongan tukang foto ke sinimenggelar tenda di pinggir arenauntuk menunggu momen penting:ketika sapi-sapi itu berak atau terkencing beramai-ramaimengangkat sebelah kaki untuk berkata ‘waw, waw,waw’ seperti anjing

Di kepalamu ada sapi-sapi besar panjang bertandukyang berpacudi gelanggangberbau pesingKaravan di atasnya telah lepas dari punggungpenunggang itu terlempar ke pinggir jalur pacuanmeninggalkan cemeti yang melecut-lecut dirinya sendiridan orang-orang di sini sepakat mengumpat:

“Pantat, pantat, nomor empat pantat!”

Ratap Kapal Karam

Kapal karammenjelang ke Pulau Pandanpadahal angin hanya diamdan langit tampaktak kusam

Mungkin ada tenungberjalan pada lipatan gelombangbarangkali sumpahdipesan perantara geram

Laut tenangkalut dukamumembawa asin garamdalam pasangke pantai-pantaipanas berdengkang

Nun jauh di tengah,paus hitam berjumbai putihduduk diamsendirian

Laut tenangdalam deritamukapal karamjadisilam

Samsinar Pulang dari Pasar

Samsinar pulangdari pasarpukul empat petangmembawa santanberkebat seraidan rukuruku

Untuk menggulaiikan macoajitangkapan bagannelayan Purusmenggelinjangdalam kuali

Aku suaminyatidur bergelungdi tengah rumahhilang marwah

Celaka bapakmukutukmudari dapuryang mengepularoma kayuterbakar basah

Celakalah dia!

Amin semesta

Rosnida Mencari Laki

Tidak berfaedahkerjamu itu, Rosnidaibunya memekik-mekikdi pangkal jenjang

Tapi dia berbedak jugasore-sore harimencari lakike Pasar Atasatau ke Pasar BawahBukittinggi sempit sekalimenawar kuiniatau duku Sijunjungharganya murah

Malam barudia pulangmembawa laguselamat pagi, Ibutelah kutemusimpul lukaku!

Tapa Barata Anak Bujang

Setelah masuk ke gua tarikahempat puluh hari di Koto Tangahdia pulang mengunjungi ibunya“Ibu, aku sudah bertapakitab-kitab segala bangsa telah kubukakucari simpul derita dunia dan kupepat diakalau kukata, matinya mati sebagai anjingterpenjara dia bersama babi segala celengtidak akan hidup lagi dia abadi dalam sengsara!”

Tapi ibunya bilang: “Burungmu masih tegakhasratmu masih suka berlagak,kerampangmu bergelinjang-gelegak.Pergilah ke Gunung Ledang,tempat pendekar pergi bertarak!”

Setelah turun dari Gunung Ledangempat puluh hari kemudiandia mengetuk pintu dapur ibunya“Ibu, aku sudah memangkas hasratpara gergasi rimba raya dalam diriku telah kukebatkutemu simpul amarah dunia dan kupancung diakalau kukata, matinya mati pada pangkalke pucuk dia tidak akan hidupke urat dia tidak akan tumbuh!”

Tapi ibunya bilang: “Neraka dalam dirimu tak kaupadamkan,gerahammu mengunyah bagai pabrik,lambungmu karet gelang terus regangbagaimana mungkin petapa gemuk sepertimu sampaipada makrifah?”

Kau loba, Siampa!

Dinda Petualang

Fais memotret arca ke muara Batangharimenulis tentang tembikar dan ukiran pada batuuntuk majalah traveling luar negeriBodhisatva menyapanya, “Apa kabar, Dinda-petualang?”

anaknya merengek hampir setiap malam“Abak, Abak!” memanggil-manggil dalam diamrindu terkebat pada waktucemburu bersorak ke arah pintu

musim lepas terus dari tampuknyaFais memotret dari kapal yang berjalan ke depansementara bumi berputar ke belakang

Anak Ayah

“ayahku seorang petapa. di sebuah gua tersunyi iapernah bernyanyi. di lain usia. ayah seorang kstariaberpedang panjang. mengalahkan puluhan orang dalamsekali tebasan.”

“kata ibu, ayah telah memutuskan bunuh diridi suatu rembang”

“ayah merasuki tubuh seekor anjing milik peburu itu. akumembuka jendela. aku sering melihat anjing itu. iamenatapku dengan matanya yang lembab. sementarapeburu itu terus mengejar lembah dan gua dalam hutanitu.”

“kini ayah seekor naga merah pada lukisan di dindingkamar ibu. kini ayah layang-layang yang bergoyang-goyang di langit lapang. kini aku berusaha mencarinya di

rumah ibu: pada doa-doa yang diucapkannya ketelingaku menjelang larut.”

“di suatu perang yang lain. aku hidup dalam kematianayahku. ibu telah lama mati dalam pikiranku. dulu ibusering membisikkan sesuatu ke telingaku. seperti salakanjing peburu itu. ia sering meninggalkanku sendirian didipan. di lemari baju yang terbuka lebar. di dasar belangayang mendidih aroma lada.”

“hantu hanya ada dalam perut. kata ibu pula. maka akutak pernah takut. juga pada mata anjing itu. tapi dalamtidur, aku kadang harus berhadapan dengan bisikan ibulagi: doa-doa seperti milik setan, jangan pernahmengucapkan keinginan!”

“kata ibu, aku mewarisi mata ayah”

“diam-diam aku duduk di dalam cermin. tetapimenemukan mata ibu yang bundar. sepasang mata anjingyang lembab itu terus bernyanyi pelan-pelan. tentangsepasang mata anjing lain yang mengawasiku dari balikcermin.”

Toko Serba Lima Ribu

“aku masuki dirimu seperti memasuki toko serba limaribu. aku satu set mainan anak-anak, tusuk gigi, dan satupak pengorek telinga. ibuku boneka hiu gergaji, ayahkukampak bermata dua seperti dalam cerita silat di televisi.kau ingin menyebut nama-nama pemilik bibir yangpernah mengucapkan cinta dan hidup dalamkenanganmu. tapi orang-orang masuk dan keluar begitusaja membawa apa saja menjauh dari pintu.”

“aku pendingan ruangan yang menempel di sudut toko.seseorang, mungkin pelayan yang mengerti isyarat hati,akan mengganti lagu dari tape di meja kasir danmenyembunyikan satu peristiwa bunuh diri di kantongbelakang, menyalakan kipas angin di sudut lain danmenggumamkan kematian yang dingin. tidakkahpendingin ruangan, kipas angin, dan tape di meja kasirjuga bagian yang akan dijual dari dirimu?”

“termasuk yang ingin kau lupakan: peristiwa bunuh diriitu!”

“aku membawa pacarku ke dalam dirimu suatu petang,berbelanja boneka anjing bermata besar dengan uangpas-pasan, dan menemukan tulang rusukku di antaragigi depannya yang runcing. aku memelihara omong-kosong dengan mengingat hari ulang tahun kakek buyutkita yang menghilang dalam sebuah pertempuran.pacarku akan mengulang omong-kosong itu beberapakali, dan mengutuk kesepian kita mungkin kepada lelakilain yang dia kencani.”

“aku terus melubangi pohon di halamanmu danmenjulurkan sebelah tangan untuk membuka pintu. adayang rebah tepat di pintu masuk di suatu hujan badaidan menyadari dengan terlambat: ayah kita di masalalupernah memangkas rambut kita sampai botak di bawahrindang pohon itu.”

“kita besar dan menemukan diri tak lagi sesederhanabunyi ketukyang diwakilkan suara batuk atau desir air pembasuhkaki itu. ibu bergegas turun dan memukanku telahtelanjang dengan tubuh warna-warni.”

“kau seperti toko serba lima ribu!”

Pasir Painan

Di pasir Painan, ke arah laut, kura-kura dilepaskanaku berjalan di belakang mereka, di belakangmu,mengumpulkansegala yang tertinggal: Kalajengking ekor beracun, lipankaki merah tua, tiram cangkang hitam.

Langit menjelma lidah kadal biru tuamengecap asin udara.sementara laba-laba berkepala petakhinggap di ujung rambuthuh, betapa berat napas siput

Aku berjalan di belakangmu, di belakang mereka,dengan kaki yang terus meruncing tajamseperti bor aku tenggelam ke dasar hatimu.

Sebelum ke laut, seperti mereka,sesekali kau singgah memungut akar-akar pohon daratanyang dihanyutkan arus, ginseng yang baik untukkesehatan jantung, atau rumput sialang untuk hitamrambut kita, katamudan kau terus bertanya, di manakah jalan ke hulu,tempat muara dilipat dalam simpul baju?

Aku gelengkan kepada tiga kali,kau menendang batok kelapa tua yang dijatuhkan petirtengah hari, seperti ubur-ubur ia melonjak di pasirpanjang ini

Lubang tupai mengeluarkan bayi yang terus menangis,dan impian meledak seperti knalpot. Di manakah tepijalan kita ini hingga dapat disebut sampai? Aku

menggeleng lagi tiga kali, batas-batas terhapus, laut dankita nyaris hanya garis putus-putus.

Aku mundur lagi jauh ke belakang,menjemput mereka yang lamban, kura-kura yangberjalan pelan, mengumpulkan apa yang tersisa darikalian: Langit daging mangga, boneka kain dengan mulutberpasir, celana dalam pemburu tripang, juga cadikperahu masa silam.

Di pasir Painan,badai dan petir menjatuhkan pohon kelapa,terus ada yang menggelinding seperti biasa, ke arah laut,ke arah matahari yang digulung bagai selimut.

Apel dari Negeri Tropis

Aku apel dari negeri hujan tropis. apel yang tak manis.tapi kau akan berbahagia meski apelku tak semerahyang kau punya. o, apel merah jambu, apel dari rahimibuku! apa saja dari apel ini mengandung vitamin.terserah kau mengatakan apa, tapi nenekku tetap tidaksuka apel. ia minta dibawakan seikat rambutan darikampung halaman.

Aku tidak suka rambutan, semut-semut begitu pahit dansuka menggigit bibir.di sini tidak ada rambutan. aku suka kumismu!kumismu seperti kumis semut. di halaman kampunghalaman, pohon mangga atau rambutan tak pernahberbuah asam. maka aku teringat kau, maka akumenjangkau seikat rambutan dan menimbang empatbuah mangga dengan honor sajak ini.

Setiap kali menguliti mangga di depanmu, aku ingatibuku. tetapi aku lebih berbahagia jika kaubawakan apelyang tak semerah darah siapa saja.

Salido Emas Suasa

Emas urai dan emas batang,berapa harga sekilo bawang?Kami hendak pergi mendirikan dangau arah ke hutangaram dan isi tiram, urat-urat pohon dan lada mersik,tungguilah ini jalan siang dan malam. Akan lewat tuan-tuan dari Painan, ke muara kembali membawa kalianpedati tua dan saisnya buta

Emas putih dan emas perunggu,di mana batas menunggu?Kami sudah membuat rakit dari tumbang pohon-pohon,hendak menepi-nepi mengiringi kapal besi tuan-tuan ini.Tampak selo-selo menjulang, rel-rel memuai dalam api,dan lori di atas kami betapalah tinggi.

Emas hitam dan emas suasa,ke mana arah tepi nasib pahit ini?Berabad-abad kami menggali, tiba di batu memercik api,tiba di pasir menyerpih sepi. Kilau kami serupa dagingpinang pemerah gigi, pewarna benang menyulam dirinyasendiri.

Rusa Patah Kaki

Di Airbangis karang-karang tajam melandai.Lunak lambung kapal—lambung hiu. Terdampar akujauh di Tiku, empat jam dari rumahmu, sebagai kopimuda dalam goni celaka, ada aku terbawa, tapi takpernah sampai ke pekan raya.

Aku hijau kopi yang kayu-kayunya rebah arah ke Singkil,ke pulau-pulau di tengah lautan, betapalah kecil. Jammalam di Nataldan lagu tuak arah ke Barus,terdengar sampai ke muara Ulakan

—seorang syeh turun di situ.

Ke Pariaman ia berburu, ke yang datar kau berguru. Darijauh tampak saja jejaknya, dengan tanduk-tanduk patahdan tumpul. Ke padang ajar, lepaskan tajam siasatmu.Hai minyak kelapa dan beras baru, bersilanglah kayu,memerah dalam baraku, berpercik air asam dari hulumu.

Tapi aku hanya kopi muda menguap di atas bara.Rusa dengan mata tombak di mata kaki yangterpanggang nyala api.Ke Airbangis, kembali kami,pecah lambung kapal selunak lambung hiu.Kipas aku dalam abu, dalam tajam lidahmu.

Hilangnya Baju dan Celana

Baju dan celana yang terjemur di halamanhilang menjelang hujan turun,menjelang kau berlari ke pintu dan meledakkan pekik:Anak itu terkencing setiap satu jam sekali,berak di mana saja,coba kaubayangkan,berapa kali sehari aku harus mencuci pakaiannya?

Angin bergesekan dengan jendela,menggoyang-goyang pintu,dan bunyi ngiut itu, kau bertanya-tanya,dari mana, dari manakah asalnya?dari bibir keritingmudari suara lain yang jauh entah di mana?

Baju dan celana itu tak menjawabia melipat dirinya sendirike arah yang berlawanan,seperti bayi ini yang lahir sungsang.dan kau menangisi kelahirannya3 hari 3 malam tanpa berhenti.

Tapi sekarang kutukmu terkuncibau busuk dan pesing kejambannya,dalam kamar gelap itu—yang menyembunyikan seluruh pakaian.Meskipun hujan telah lama reda, daun pintu telahtanggal dari engselnya, kau tetap tak bisa memandanghalaman terkangkang begitu saja tanpa berprasangka:

Bunyi ngiut itu, kalau-kalau,ialah yang telah melenyapkan dari ampaian,seluruh baju dan celana

Orang Darat

: fais mohamad

aku orang darat, dan akan selamanya begitu—mungkin orang bukit yang lelah mendaki

perempuanku berbau gardamunggu, dan tak lain—getah peramu, hijau lumut di mejan lama,wangi tawas, lendir kakao, juga masam daging pala

tentang perompak yang mati di lipat ombaksisa tujah hiu-hiu di hilir rusukmu, atau apalah itupadamu kukata: di bilik lain akan kutikam ombak

Cangkang Hijau Daun

“ke mana pergimu kelak jika mati. tentu bukan ke bulan.aku katakan saja, aku umang-umang hijau di pantaiberpasir hitam. siapa bisa dengan lebih baik dari tetanggakita ini mengenali hijau rumput halaman sendiri.”

“jika kau sedang bercakap-cakap, aku akan diam saja.aku tahu percakapanmu telah disaring udara sejak awal.jika kau sedang mati, semut-semut merah hitam itu akanmelubangimu seperti kumbang melubangi kayu. tapi akuakan menjagamu dengan lingkaran kapur sampai kauhidup lagi. aku hanya akan melihat tanpa tengadah padalangit yang menyimpan suaramu.”

“di hari terakhir dunia, aku sudah di luar cangkang ini.percayalah. aku ingin berhura-hura sambil telanjang,menertawakan cangkangmu yang warna-warni itu. akuakan mewarnai cangkangku hanya dengan hijau daun.”

“antara lautan dan langit, dua rumah paling terpencil,kita dipisahkan dua helai baju tidur dari beludru. kaukadang tidak bisa tidur hanya karena kita tidak punyakipas angin. tapi kini cangkangmu telah kuwarnai lain.kau pasti merasa nyaman sekali. dan jika langitmerendah dan lautan menjadi pasang. dan dua helaibaju tidur itu menjadi tak ada, masing-masing kita tentusudah memakainya.”

“seperti kematian, ke cangkang itu juga akhirnya kitatiada.”

Ikan Padang

Lobak dan seledri kaki Merapi,kain benang emas Singgalang,

aku hanya ikan Padang, ikan Padang, ikan asin dan laukkering, bermalam-malam direbus api dan air mendidihbelanga besar sekali. Aku tiba-tiba tua dan tak berdaya.Bungkus aku dengan tenun elok dan matahari lembutmu.

Kapas-kapas diterbangkan angin hinggap di tubuhmumenjadi kain. Batangnya rebah ke kapal pulau lain.Pantainya jauh, ombaknya pauh. Umang-umangberlarian di kaki putih dan lubang-lubang pasirdigali dan ditimbun. bakau-bakau dan lumut di botollimun tumbuh.

Kain-kain tak bergiwang,ke manakah alamat dagang?

Aku hanya ikan Padang, ikan Padang, anak-anakpemburu udang yang berak sambil berdiri. Ibuku pergi kepasar dengan sepeda dan pulang berjalan kaki. Rantaidan jari-jari, ban botak dan tali rem, tergadai untuk satukilo bawang dan empat buah tomat dari daratanmuyang mahal sekali.

Sekolah Beruk di Pariaman

Beruk betina pekak itu menggigit puting susumuketika kau belajar memanjat di halaman rumah Sidipegawai lampu PLN. Aku membenamkan kepalanya kedalam kulah rawa kesumat dendam.Betapa cemburu jatuh seperti gedebum kelapa jatuh.

Ekornya menampar-nampar permukaan.Kau berteriak-teriak jangan,jangan, masih terlalu kanak-kanak!

Beruk betina pirang Skandinavia itu?Oh, dia menyepak-nyepak betismu.Kau kata: Biarkan, Uda! Biarkan!

Televisi menyiarkan siaran langsung pertandinganbulutangkis. Lalu iklan menyalak di radio entah siapa:Lomba berenang lintas selat!

Kau kata: Bisa ikut, dia, bisa ikut.Mari kita lepas dia ke luas laut!

Lalu kau mencabuti bulu-bulu di tubuhnya denganpenyedot debu. Telinganya kau olesi balsem dan minyakangin Cap Lang. Aduh, tidakkah dia hanya tahu yangmatang dan mengkal baru?

Dan matanya, oh matanya, yang keraping hitam itu?Kau lapisi retina yang dibuat pabrik Jepang diMajalengka.

Mata beruk betina pekak itu hijau kuyu dalampelukanmu.Ekornya lemas-layu tiada melawan seperti buli-buli habiskena hantam. Kau menggusuk-gusuk kuduknya tiapselalu, memilih-milih kutu di kepalanya, menyiapkanopor ikan dan segelas teh-susu untuk makan malam.

Oh, cemburu, seperti kabel terbuka di ruang tamu!

Aku menyepaknya ke pintu sampai tersudu:Mampus kau si anu!Siampa kau beruk betina!Putar saja itu tampuk, yang muda, yang muda!

Aku hentakkan tali sekencang-kencangnya.Terpekik dia terpekik. Kau terarau tinggi sekali,Jangan, Uda, kasihan, jangan!

Di udara tersisa hanya gedebum jatuh buah kelapa.

Kuda Bawah Tanah

Kusir berkaki pincang itu mungkin lupa,yang duduk di sebelahnya sambil menjilat-jilat es krimrasa vanilaitu adalah kamu.Mata besar pinjaman dari seorang Kurdi penyelundupopium. Ini bukan rumah para Maulana atau medantempur Umar dan Si Siddiq kawan Muhamad, katanya.Aku ke Depok pergi mendaftar kuliah sastra bersamanya.Kau menulis lamaran dengan tangan kiri.Nomor urut berapa?Ayam itu mengencingi sepatu baru kita, katamu.Telur dadar sebesar buah dada.Goreng lele dan nasi remas darirumah makan padang. Nanti singgah kita ke sana.

Kuda berkurap di pangkal telinga itu ternyata pekakpula, tak tahu yang duduk di sebelahmu sambilmengayun pecut ke pantatnya itu adalah kusir. Kusiryang juga pandir.Seorang Padang kampunganyang bercerita begini: Aku menunggu taksi di Condetlama sekali, tapi yang datang bendi.Hah, mana kudamu, Kuda?Tertinggal di Gambir.Jakarta pantek ini menelan bensin berjuta galon.

Orang Kerinci memiliki aksara paling tua di bumi kataakademisi. Mentang-mentang mataku sipit dia kata akuorang Nias.

Kuda itu memakai celana dalam yang sempit sepertikusirnya, berjalan seperti duduk kusir yang sebentar kekiri sebentar ke kanan.Kusir yang mengidap bisul di pantat kiri.Tak ada taksi, baswei, atau trem. Mari sini, mari sini!Aku melambaikan tangan sebagai isyarat berhenti:Aku dan kamu akan mendaftar jadi orang terakhir kotaini.Kau menyodorkan lamaran dengan tangan kiri.Kode posnya mana?Kantor PLN dan Perusahaan Air Minum telah pindah keBalikpapan, Pertamina terbakar itu mau dibeli orangBelitong untuk peternakan babi.

Karcismu nomor urut berapa?Kuda bawah tanah siap meluncur.Mengangkut aku yang telah uzur.

Ulat Bulu

Empat jam kau mendaki jalan menanjak ini.Berat badanmu gugurkan daun mati.Buah mana yang akan kau gapai jika akar di bawahlebih gamang melihat kau sampai?

Kau biarkan pohon berbicara, lalu ulat itu memekarkanbadannya. Pakailah ilmu padi, katamu, tapi padi di sinitak menunduk karena berisi.Ulat itulah yang telah sampai ke ujung paling manisbuah ini. Maka yang berat dari rahimmu kini adalahkosong-melompong.

Aku akan mengumpulkan apa saja yang kau jatuhkan.Nasib baik atau sederet nama,atau kekosongan?Tapi hanya: Jangan jangkau gagang itu!Retak pangkal akan serupa alu menghantam dasarlesungmu.

Kau kata, tidakkah terasa, isyarat jatuh pada batu, padaaku yang buta? Lalu kau menepuk pundak batang sepertimenepuk pantat kudaHais, katamu, maka berbicaralah pohon: Aku hanyatunggangan para pemanjat, ulat bulu menuju buahpaling ujung yang tak bisamembedakan antara mengkal dan ranum.

Harimau Bengkulu

Aku tak akan memintamu datang,kau punya tangan sendiriuntuk meraih tampuk jendela pondok kami.Jam makan telah selesai.Dan piring-piring tak akan dilemparkan ke sumur.Kami tak punya perang setiap saat sepertimu.Pertengkaran kami biasa-biasa saja.Revolusi lebih mirip angin pantai barat belaka:Ombak Purus melamun toko kelontong milik Tionghoa.

Di kaki dan tangan kamitak akan tumbuh kuku tajam beragam ukuranyang kelak dengan itu kausudu kami penuh nafsu!

Jika kau hendak pergi, pergilah sekarang juga,tidakkah kau punya kaki sendiriyang lebih panjang dari jalan ini?Jam malam tak akan diumumkan.Tak akan ada yang berjaga-jaga seperti biasa.Radio tak berbaterai ini hanya berbunyiseperti ular makan kodok.Kami akan bergelung dalam selimutmusim hujan yang lembut,sambil mengenang pemburu yang telah gugur itu.

Ikan Kolam

Ini ikan tidak datang dari Padang.Tapi dari Payokumbuhatau Suliki yang agak jauh.Aku kirimi kau satu keranjang berbubung penuhuntuk dipanggang. Sisiknya jangan kau buang,biar saja pada tampuknya,tersangai bersama rukuruku dan bawang.

Kata orang ini ikan bisa dimakan sampai ke tulang-belulang.Kau hisap matanya kau hisap juga daging dipangkal kuduknya.

Ini ikan bukan pula ikan keramba.Tapi ikan jinak air tawar rawa-rawa.Aku kirimi kau seekor betina paling bulat ekornya.Jangan kau kata aku tidak suka dia yang lamban.Sebab diamnya menyimpan rahasia dangkal,sampai di mana kau akan tahan menyelam,dekat membayang tapi sesungguhnya dalam.

Kata orang ini ikan ekor dan kepala segala sambal.Letaknya dalam hidangan di ujung dan di pangkal.Kau boleh pandang tapi tidak untuk menyentuhnya.

Sebab pada setiap sabar terletak siasat sederhana.

Odong-odong Fort de Kock

:untuk Faiz Kecil

Lihat paru-paruku ini, Ayah, sepasang sayap rama-rama,seperti harga tomat orang Alahanpanjang, mengepaknaik-turun. Ketika tidur, kau dengar, bergemuruh sepertisiul seperti dengkur.

Aku memecahkan gelas kristal di Ramayana, Ayahgelas itu mirip susu ibu, berkilau seperti matamu.Aku menangis ingin naik odong-odong di Fort de Kock,ibu memukulku dengan tangkai sapu sampai tersudu.

“Perangaimu seperti perangai ayahmu.Inginmu banyak, ini kau jangkau itu kau tuju,bunuh sajalah aku!”

Jagung manis dipanggang orang di bawah Jam Gadang,Ayah.Gadis Pandai Sikek menjual kacang remang diLubang Jepang. Aku ingin lemang hangat-hangat dariPariaman arah ke Sianok.

Lilitkan sarung ke leherku, Ayah, orang darat tak tahanangin dingin,syal di Pasar Bawah lebih mahal dari sedalsepeda roda tiga.Bawa aku ke Padang saja, aku ingin supsirip hiu, dan rendang cumi. Kepala ikan kerapubarangkali lebih murah dari itik serati orang KotoGadang.

Kuda Batak

Tuanku berpedang ketopong yang ujungnya pesong,sekali sampai juga kau ke Pariaman mengejar kami.Apakah yang harus kami beri sebagai tanda telah ingkarjanji?Kami tak akan menitah,kapal kami itu lihatlah telah remuk pecah.Pantai barat kepundung ini tak berkarib sama sekali.Segala garam dagang kami kembali ke asalsebelum dibakar api.

Maka kami serahkan ini yang tersisa, terimalah, dengantangan kuat menggenggam.Sebab lihat itu ringkiknya, terjangnya, sepaknya, ahoi,barangkali memang dibawa Wulanda dari Bima, dariSumba, dari padang sabana betapa luasnya.

Tapi orang kata: “Ini kuda Batak, Tuan, kuda hasilcurian, betul kuda Singamangaraja!”

Tuanku berpedang ketopong yang ujungnya pesong,telah lewat Barus telah lewat Tiku, telah kau dengarkabar musim duku di Pasemah, telah bersua orang keCurup memikul kopi.Dengan ini tongkang bercadik ekor pari,sejauh itu Engku buru kami?Pedang tajam, leher kami genting,tidak lagi kami akan melawan.Pantai barat kepinding ini telah hancurkandagang segala jurusan.Kerani dan pialang membawa larisekalian kami punya piutang.

Maka kami serahkan ini kuda, setali dengan pelananya.Sebab lihatlah, pantatnya labu Siam, kepalanya hiumerjan, ahoi, barangkali memangbukan datang dari pulau ini.Tapi orang kata: “Ini kuda Batak punya, Tuan,dibawa pidari dari penyerangan ke Toba!”

Tuanku berpedang ketopong...

Pulau Galang

Mak Tuna, Mak Tuna, seekor bulu babimenerkam hiu merjan dengan tempuling tak tajam.Generator tongkang Thailand masuk selat menghabiskanikan menjelang malam dikejar polisi perairan.

Mak Tuna, Mak Tuna, angkatlah siripmu,mari mengepak kita ke pantai Pulau Galang,beri tunjuk mereka makam-makam pengungsi Vietnamberserakan seperti semangka di ladang masa silam.Katakan aku titip pesan:“Di sini tempat mati orang-orang buangan!Kami beri mereka makan, kami beri mereka tumpangan.”

Mak Tuna, Mak Tuna, di darat tak ada ikan semanisdirimu. Lawanmu pedas rendang merah dari kedai nasiBelakangpadang, atau gulai ayam bulu sungsang orang-orang Nongsa.

Mak Tuna, Mak Tuna, harum dagingmu kopi MuaraEnim. 250.000 bau dari sini, lanun-lanun dikapak takmati, jaring macan terjulur pelan-pelan lewat pintukelasi.Maka hanya kau yang tahu dalam-dangkal ceruk lautan.Katakan aku titip pesan: “Di sini jangan mencuri ikan!Malaka laut tak dalam, tempat pulang mati hiu merjan.”

Sunting Nias

Cucunya yang paling tua menulis budak Malaka,angin samun, dan lanun-lanun dari pulau di atasBangka.Tapi tentang mereka aku hanya mendengar:Setelah gerbong berbaris-baris pada ini punggung, dandenyut jantung diganti gemeretak roda lokomotif,kami jemput istri ke Emma Haven naik kapal besimaskapai.

Lalu dikorbankannya kerbau, ditebang pinang &direnggut-renggutnya akar sirih. Diberinya makan orangsenegeri. Ditegakkannya batas tanah yang luas itu, hutangambut dekat bandara, yang dilintasi rel kereta yangdibikin kaumnya.Di atas kepala mereka di kemudian masa pesawat-pesawat menerbangkan kopradan turis-turis Eropa.

Adakah kau ingat, cucu yang ke sekian dari pohonriwayat, ditulisnya nama semua mereka di plakatdengan cap jempol dan tandatangan (mungkin) Arab.Huruf Latin hanya dipakai untuk kepala surat:

Sluruhnja Jang Dipeksa Bwat Ini Kota

Dan dibubuhinya stempel merah di sisi kanan palingbawah, itu, yang dipesan dari seorang Turki di PasarGadang.

Lalu mereka pakai sunting orang Padang,mereka dendangkan indang dan selawat dulang,balanse madame, oh, balanse madame!Serupa gulai pucuk ubi mendidih dalam kuali,melanggak-lenggok mereka dengan ganih biru lautan,sampai pagi.Mereka kunyah-kunyah sadah pengganti candu.Orang yang sesekali datang dari pulau hanya bisaberkata

Oh, Ama, Ama, jalan dialih orang yang pergi!

Kolam-kolam Garam

Di muara Malaka, dari Batanghari kami bermula,membawa garam ini. Karavan-karavan kandas di pantaidi timur sana, kerbau dan kuda terikat tali sendiri. Hanyapincalang kecil ini menyeberang selat tenang puan dantuan ini.

Kami saudagar-saudagar baru dari daratan, daripedalaman pulau seberang, itu, tak tampak dari sini.Adakah puan dan tuan butuh asin dari lautan mahadalam?

Kami tak membawa lada, cengkeh, atau logam mulia.Hanya pahit hidup kami yang kami dagangkan. Darikolam-kolam di sebalik pulau puan dan tuan ini. Tidakpula sebaik Jawa dan Siam. Kami hanya pialang dansebuah pincalang.

Aku perempuan satu-satunya dalam rombongan ini,anak koloni dari pahit napas bumi. Destar-destarpembungkus kepala minta diganti. Tangan kerasmendayung sampai ke semenanjungsejauh ini.

Kenapa puan dan tuan kata ‘heran perempuan sampaike sini’? Aku yang terkuat di antara kami. Aku yangmenguasai ilmu menyatukan pahit dan asin hidup encik-encik ini—perkenalkan!

Puan dan tuan tentu hanya tahu menyebut garam.Tapi berabad lalu kami menyalakan api danmemercikkan air lautan.Kami merebus abu dalam kuali besar.Dan kepedihan kami mengkristal.

Dari muara puan dan tuan ini,ke Batanghari seperti bermula kami kembali.

Pertengkaran Semalam Suntuk

: Widya FS

“ayahmu ikan besar bersirip tajam. ibuku lumut hijau ditepi danau, biru dan diam ke dalam. aku melihat merekasaling mengepak di belanga itu.”

“kenapa kau membenciku seperti membenci duri dalamdaging ibumu? ibuku batuk di malam hari danmenelurkanmu. kau perempuan dengan kaki terbalik.terlahir dengan kepala seperti jajaran genjang. kata ibu,kau lahir ketika ayahmu memukul-mukul batu di danauitu seperti memukul-mukul kepala ayahku di suatupetang.”

“sekali aku menyelam jauh ke dasarmu, menemukanayahku dengan sisik yang rurut. sedang kau tertidur lelapdi kursi di beranda itu dengan punggung melengkung. akuseperti liang di batu itu atau jejak tikam ayahmu dimasalalu?”

“kau tidak lahir di cuaca seburuk itu, kataku!”

“aku hanya gigil dalam hujanmu yang deras. kau bunyiketuk di pintu belakang rumah. kita bersilang di perutyang sama, tetapi ayahmu menjala ikan besar di danauitu. sementara ayahku mengepakkan siripnya jauhke tengah. belanga itu pecah. belanga itu milik ibuku!”

“ayahmu yang menebar umpan,kenapa batuk ibuku yang berdarah?”

“garis merah itu hanya garis laju perahu yang terusmelesat ke arah petang. mencapai tepi danau itu denganselamat, dengan buhul hikayat di ujung kainmu. di ujungmata kail ayahmu."

"tetapi yang terseret mata kail itu: ibuku!”

Anjing Peburu

“aku bayangan anjing hitam di tepi danau itu, bayangandari matamu, ketika bulan penuh dan riak surut ke pusatdenyut.”

“hantu apa yang kau pelihara hingga terjaga sepanjangmalam? jangan melibatkan aku dalam pertempuran-pertempuran sengitmu itu lagi.”

“anak rusa yang aku buru telah masuk ke dalammu. tapianak panah setajam apa pun tak akan melukainya.hanya getar busur itu juga yang akan tinggal padaku.”

“aku terus memelihara bayangan anjing hitam di tepihutan raya itu. ketika air danau penuh, ia telah sampaimengejarmu.”

Bunga Lobak

Betapa hitam punggung belanga,sehitam dasar bak mandi tak dikuras lama.Betapa hitam jika kau menjadi asap yang mengepul daridapur tetangga. Rumah tetangga seperti cangkang kura-kura. Aku mengenakan baju warna pelangi hendak pergibergaya. Lengkung langit seperti lengkung belanga.Oh, betapa tak pantasnyaAku bunga lobak, berenang dalam didih air dan bara.Aku garam dari lautan tepi. Lautan dalam adakah tiadaasin seperti keringat dingin?Rumah kita kolam bagi lautan.Asin, asin sepanjang waktu.Rumah kita pipa perusahaan air minum.Rumah tetangga, cangkang kura-kura,baju warna-warni!Tapi, betapa hitam cangkangmuBetapa lama matangnya bunga lobak ini. Sementarapunggung belanga betapa hitamnya. Ayah dan ibusudah menunggu di meja makan kita.Oh, betapa lamanya!

Pohon Jeruk di Halaman

pohon jeruk di halaman akan menandai badaike sekian untuk buah terakhir jatuh ke pangkuansaat tangis pertama diletuskania seperti ingin mengatakan:terimalah ini dunia yang asam!

pohon jeruk di halaman akan merurutkanduri terakhir itu, ia seperti ingin mengatakan:terimalah sakit yang menahun!

tapi suatu kali, ketika halaman sudah penuh kuburan,pohon jeruk akan berbuah dan berduri lagi begitubanyak.tak ada seorang pun yang mengatakan:dunia hanya sepetak halaman, sepetak tanah kuburan!

Anjing yang Tak Menyalak

Aku tak mengejarmu, kenapa kau lari?Kau mungkin menyebutku ‘bau’, tapi aku akan beristripetani seledri habis hari raya ini. Kami akan harumsepanjang tahun, kami berbunga di musim apa pun.Anak-anak kami dari kulit kayu, cendawan tak beracun,dan rintik hujan. Rumah kami cangkang kura-kura,kepak hulu dan diam muara, sunyi daratan dan riuhombak.

Aku tak mengejarmu, kau tak perlu lari.Di tanganku tak ada pedang, kami tak suka perang.Jariku terkelupas, tapi tak akan serupa monster. Kau takperlu menjadi renjer. Istriku cinta pekerja keras, aku cintaapi nyala dari dapur biasa saja, anak-anakku cinta nasidan lauk seadanya.Kami anjing tak menyalak, kami sunyi dalam sajak.

Momento Rumah Sakit

Karet dan kelapa sawittumbuh dalam tabung oksigen sesubur ini, sesuburdadamu di masa lalu.Kini dadamu bernapas hanya dengan dua bateraiturun-naik seperti harga cengkeh di pasar dunia ketiga.

Kau bersembunyi dalam bayangan pohon kanak-kanak,satu cabang dari raksasa tubuhnya menjangkau kisi-kisijendelamumasa gadismu sebentar lagi,kota yang paling ujung dari tubuhmu sebelah kiri akanlumpuh, mata yang selalu sunyi, akan memakandagingnya sendiri.Tapi perlahan-lahan aroma kaldu akan sampai ketelingamu dan kau mendengar dengan hidungmu yangruncingroda-roda di kedua kakiku mendekatimu.

Aku menjengukmu seorang diri. Kau bertanya manaistrimu. Anak-anakmu ada dalam kantong plastik ini, diantara apel Malangdan jeruk Berastagiyang asam.Aku menempelkan pipiku ke keningmu,gigimu tersumbul panjang kuning kuini.Lalu karet dan kelapa sawit muncul dalamberita televisi tepat ketika keringatmumenyemburat seperti kepundan gunung api.Mereka tumbuh subur dalam tabung oksigenyang kau hirup bersamaikan-ikan,berenang dalam minyak dan kuali di dapur umum,ban mobil menggelinding dari bangsal ke bangsal,dibawa bunyi ngiut hak tinggi sepatu suster itu.

Tukang Pikat

Di atas pohon, burung-burung bertukar tempat hinggap,kami tukang pikat kembali dengan sangkar yang kosong.

Melingkar-lingkar jalan ke tengah pasar.Nasib pahit tersisih ke tepi.Jerat terpasang di antara merah langit dan malam hari.

Kami paruh patah dan sayap yang telah luruh.Hujan di langit sebentar lagi akan jatuh.Kami tegakkan kepala dalam badai.Di hari begini terang kalian berjalan kami tak melihat.Melambai pohon-pohon di hutan, kami menuju pulauyang jauh.

Tapi besok kami akan kembali,membawa tali dengan simpul yang rumit.Jarak sekian depa apalah arti,sedang berjuta gelap telah kami lewati.

Rumah bagi yang bertengger di udaraada dalam jerat ini.

Nasib pahit bergoyang di antara buhul dan kebat.Antara lepas dan terikat.

Singgalang Gula Tebu

Wahai kerbau dengan mata tertutup,wahai engkau si mata parang,kami batang yang dipisahkan.

Lewat bus dengan klakson yang panjang,membawa buah dan sayuran dari pegunungan.

Ikut aku satu gula hitam Singgalang,setelah manis pergi tinggal sepah terbuang.

Kau tegak di pasar ramai tak kunjung usai,sedang gelakmu hijau rimbun daun-daun.Aku sunyi akar-akar terpendam,air mata mendaki kening dengan tajam.

Singgalang gula tebu,yang manis ambil olehmu,sepahnya o biar tinggal pada kami.

Layang-layang Ekor Panjang

betapa malang layang-layang yang tak bisa bermimpiseperti manusia sementara manusia selalu bermimpiterbang

betapa malang benang yang tak bisa setinggi layang-layang sementara ia mengajarimu cara terbang

betapa malang ekor panjang yang hanya bergerai dibawahmu sementara kau melenggok penuh nafsu

Truk Pembawa Kapas Lewatdi Silungkang

Di Silungkang, kami turunkan kalian,kapas-kapas yang ringan.Benang yang dibuhul di ujung dan di pangkal.Kami lihat puncak-puncak atap rumahmusemakin kecil dari kejauhan.Kami yang terus melesat dibawa truk angkutan lalumelihat kalian seperti melihat tiang pincalang dari pantaipanjang.

Kalian melengkung seperti bunga rebung hutan masasilam.Dan lubang-lubang di jalan itu mengguncangkanbadan. Dan gema dari gemeretak tanganmu licinmemasuki kami si lubang jarum.

Lalu di Silungkang, kami lepaskan kalian, kapas-kapasyang ringan, yang kelak akan jadi benang, diperam gincudan harum asam Jawa dari pohon di daratan. Merah-emas-hitam benang, kami rentang ke matahari tinggi.Akan nyala kalian senantiasa dalam badan yang demam.

Rambutan dari Binjai

Kau ikuti saja alir ke hulu sungai ini,seperti kau ikuti dengan sudut matamujatuh menderun hitam semut dari pohon rambutan itu,jatuh menderun mereka di atas rambutmu.

Kami akan selalu mengelak dari pembicaraan yangkauusulkan, kalian orang asing entah siapa yang tidakada dalam kamus dan peta-petaaku kata turut saja, ke hulu,ke hulu yang kami juga belum pernah ke situ.

Tapi kau telah terpekik begitu saja ketika tepi bibirmudigigit semut-semut pekat hitam, yang jatuh serupamenderun hujan turun,dari pohon-pohon rambutan.

Semut di sini semut kerangga, katamu,genting pinggangnya,sengatnya sakit yang purba.

Matamu semerah senja di Toba.

Sajak Kehilangan Tali

Beratus tahun aku berlagak seperti manekin.Aku kunjungi pasar demi pasar, jantungku dimasakdalam belanga besar sate kambing, hati dan paru-parudilapah seperti cincau hitam yang bau.

Aku cendol yang dikacau ketika langit runtuh,orang-orang bunuh diri di kandang sapi,dan jalan raya dipenuhi huru-hara hujan api.

Sekali, aku pergi ke daratan yang jauh seorang diri,berenang di danau puncak bukit yang tinggi.Aku berjalan melingkar menuju kepundan gunung api,dan menemukan hantu kekasihku dengan seutas tali.

Hutan Patahan Kata

Aku dan kau masuk ke hutan patahan kata,parang di tanganmu hitam getah kemiri.Aku membawa ransel berat masa silam: Harimau putihmati di atas pohon, musang merah muda melarikan diridari lalu bunuh diri, memanjat rotan paling rimbun inilalu terjun mati. Lalu mimpi berkobar seperti bara yangdiminyaki, landak hijau melahirkan seratus anak,burung-burung kawin dan membangun sarang daridaun-daun.

Kau menebas setiap kata yang tumbuh dari bibirkeritingku, aku mengumpulkan patahan-patahannyasepanjang jalan ini.

Kita minum dari mata air beracun jamban rusa,mengunyah buah pelir monyet yang dipanggang.Kata-kata terus patah di masa depan.Aku tersesat di kebun cendawan orang hilang orangbunian. Aku melihat ular bergelung di rahimmenggelembung ibumu, kepala kita menggeliat danmengeluarkan sepasang lidah panjang.

Aku terus membayangkan sebentar lagi kita punya adikdari ibu hamil tua, dari ayah mati ditembak perangsaudara tiga setengah tahun yang terus diingat itu.Sementara jalan ke rumah lama dikuburkan ranting-ranting pohon raksasa, malam datang seperti air bah,babi hutan dan beruang mabuk melintas ke lembah gelaptempat lebah madu bersarang di telinga kerbau dankijang, tempat orang-orang terjungkang ke dalam lubang.Jejak-jejak bertambah banyak, kau entah di mana.

Kau telah disedot lumpur hitam yang bernapas enambaterai,tubuhmu terus tenggelam, rambut panjangmu gugur danpatah. Aku hanya menemu parang hitammu tergeletak ditubir jurang. Ada luka di ketiak sapi, hujan terusmenggenang tanah bekas jejakmu kakimu. Akumenciumi harum jejakmu sampai ke sini, ke dalam sajakini.

Aku terjebak dalam hutan patahan kata ini.Tapi di mana-mana tidak ada engkau. Tak ada engkaudalam bahasa.

Pisang Jantan

pisang di belakang rumah tak sekali pun berbuah,padahal setiap hari ratapmu menjunjung jantungnyatinggi,tapi ada saja kelopak bunga jantung yang jatuh tak jadi.

kau tak sekali ini berniat menebang batangtapi di jenjang ke sekian, selalu, kau ingat jantungyang makin ke ujung makin menajam

pisang di belakang rumah seperti nasib pahit yangdibiakkan. aku akan tanam untukmu sepenuh halaman.agar puas hatimumenebang batang,melepas cemburu dan mabuk yang lalu

pisang di belakang rumah tak sekali pun pernah berbuahtapi jantung sendiri, aku minta, jangan kau pancung!

Dokter Gigi

kita ke dokter gigi hampir setiap minggu, menggantisetiap gigi yang rusak dengan emas ini, emas dari lautanterdalam, dari dasar belangabumi ini yang hitam.emas dari gigi penambangnya sendiri.

seperti biji gigimu yang tanggal, sajak ini pun akandilupakan. nasehat ibu dokter tidak pernah seruncingmata suntik, atau seberkilau emas. sajak ini tidak pernahbenar-benar menjadi emas.

tanpa gigi yang ditanggalkan, mulutmu akan semakinkriting hitam. kata-kata melompat lewat celah yangditinggalkan—kau menyebutnya ompong.

mulutmu akan selalu masam.

Kedai Kelontong dan Tong Setan

Jika kau ke pasar pagi dan tak menemukan jalan kembalisampai malam hari, mungkin kedai kelontong itu telahmembuka mulutnya untukmu.Mengisi penuh baterai di punggungmu

dengan warna-warni pakaian, atau kepak ikan-ikanbernapas air garam. Mungkin ia telah menjebakmuseperti labirin.

Balok es turun dari mobil ambulan tepat ketika kaumenemukan jalan, lalu kau seakan berada di rumah sakitdalam keadaan setengah mabuk setengah pingsan. Tapitak akan ada siuman yang bisa menyembuhkanmu darilupa abadi meskipun berkali-kali kau telah pulang danselamat dari jebakan mematikan ini.

Kau akan mendapati gerbang kota masa lalumu sepertipintu pasar malam. Kau bisa memesan apa saja darimimpi-mimpimu: memesan sepatu hitam dari kulit sapi,para gulali merah muda, topeng-topeng kematian, celanaseperempat kaki, baju berkerah tinggi dengan giwangyang tak lengkap, atau menyilet-nyilet kulit dagingmusendiri. Dari sebuah lubang di meja kasir tanganmu bisaterjulur menjangkauselembar karcis yang sobek, yang siap membawamu kebagian paling kau ingat, dan paling kau ingin dari hidupyang singkat.

Pasar malam dan pasar pagi seperti satu pisau dengandua mata yang saling membelakangi. Kau dan aku tidakbisa saling melukaisekalipun rindu tajam kitamerontokkan seluruh bulu mata.Kita terus terjebak dalam labirin yang berbeda,

Di Maninjau

44 kelok menjelang sampai, sedikit di atas danau,kita bersepeda pulang dari pasar,menukar manis tebudengan ini bawaan: sekarung kapas yang ringan.—miang daun dan pahit akar tinggal di tanah.Kita melewati jembatan bambu penuh anai-anaisampan di bawah sana, itu, terpisah dari perahumu.

Kau menyeka ujung mata dengan tepi baju.Telaga biru tampak membayang riak di hulu,di kelokyang paling tajam, mungkin di empatpuluh sekian:aku terbayang diriku sekarung kapas yang ringan,di bangku belakang sepedamu berboncengan,tak memberi ‘berat’ pada tumpangan.

Kita terus melesat tiada tertahan,telah lepas saja ke penurunan.

Tukang Obat di Pasar Kambang

Kau kata ini belang harimauHarimau datang nan dari CampaKau kata ini gelang pengikat “mau”Mau datang nan dari tiada

Aku kirim ini pantunPantun empunya Malin KarimunEntah Nias entah PadangTapi tinggal di Lubuk Basung

Kau kata ini gajah sembarang gajahGajah datang nan dari LampungKau kata ini rajah sembarang rajahRajah untuk penikam jantung

Ini rajah pekasih Malin KarimunAku tanam di dalam pantunBoleh kau beli boleh tidakAsal menawar berapa hendak

Nama-Nama Kota dalam Sajak

Nama-nama kota dalam sajak seperti tali berbuhul sentakyang bisa bergeser antara lupa dan ingat.Kami melepasnya untukmu yang jauh pergi begitu lamadan pulang sekali saja,menjelang senja hari, menjelang mati.

Jika kota-kota berganti nama seperti berganti bajusebelum tidur, kami akan tiap sebentar mencuci danmelepas giwang seperti mengganti plang jalan,gang dan kanal-kanal.Maka sajak ini akan melepaskan maknanyaseperti kematian merenggut dirinya sendiri.

Nama-nama kota dalam sajak seperti riwayat yangdipisahkan dari penuturnya:seorang tua yang datang dari pantai dengan ombak yangberpiuh dan berpilin-pilin. Sekali ia merentangkan taliyang berbuhul sentak, riwayat kota ini akan terungkaidalamsekali renggutsekali hentak.

Maka berapa lama nama-namakota itu bertahan dalam sajak?Jika mereka simpul yang sentak,barangkali usianya tak lebih dariletih terbang bangau sebelum kembali ke kubangan.Atau nama-nama kota dalam sajak hanya sepertigelembung dari mulut ikanyang membubung ke permukaan sehabis kuat selam.Usianya tak lebih lama menjelang meletup merekadalam sekali tarikan napassekali rentak.

Menebak Arah Bidikan

Aku tidak tinggal di ruang dalam rahasiamu,yang menyumbulkan kepalanya kadang-kadangseperti sepotong topi di pinggir parit pertempuran.Di luar, selalu tak di dalam,ada yang senantiasa terarah tepat,bidikan yang menembus jendela, tembok,dan tulang-tulang dinding rumah kita.

Bidikan dari mata ibumu yang di rumah sendirian.

Ayahmu pergi melihat cucu ke kota daratan,memotong dahan-dahan pohon di halaman di waktusenggang, seperti memangkas rambut masa silam kalian.

Jarum-jarum tajam lepas dari ekor tawonke pipi merah apimu.Ke sudut mata yang lancang menafsirkan kedipan.Selalu di dalam, tidak di luar, nyata dan khayal tampaksamar dan kelam,tapi juga, jelas kesat dan masam.

Aku rahasia yang tinggal di ruang luar dadamu,

Iring-iringan SepasangBelah Rotan

Di Natal,rumahmu menelikung simpang empat arah ke Karo.Aku mendengar derit meriam kompeniaku mendengar nyiut mereka berjalan di atas roda besi.Aku teringat besar-besar rumpun padi di Bonjol;kini kami bawa ini yang berisi, kami bawa ini lelaki.

Ini iring-iringan sepasang belah rotan.Aku minta, jemput ia menjelang ke pintu.

Natal, menjelang ke perbatasan,tangan hitam pemetik gambir melambai tepi jalan,rumahmu diselimuti dingin kabut pegunungan,entah berapa jauh lagi dari sini.

Aku akan ke mana pula kelak beristri?Dibawa lepas tampuk. Dibawa jatuh jangkar.

Dan ini sepasang cincin belah rotanmenggelinding dari jari.

Di dadaku, kalian, bagai pecah berderak langit hitam.

Setelah Sibolga

Menurun ke Sibolga, mendaki arah ke Toba.Bus kami lambat melenggak seperti itik serati.Terus ke Pakpak, awan rendah pegunungan bagailayang-layang diputar tali. Kau lekat padaku serupa besi berani.Pantatmu bulat besar dan susumu padat berisi.Rambutmu ditampar angin limbubu sore hari.Aku cium kau tepat di pangkal gigi.

Simalungun dan Parapat apakah sudah lewat?

Sibolga rawa-rawa tuak harum masuk jendela.Batu domino berlaga-laga di kedai-kedai lintas Sumatera.Aku ingat Sitor dalam Toba Na Sae. Aku ingat Mursidaberwajah petak, berwajah minyak.Matanya padang dusta dan hutan malaria.Aku cium dia aku cium sampai bengkak bibirnya.Bus kami lambat melenggak di mana akan berhenti,mendaki lagi mendaki lagi sampai di kedai nasi.

Adakah sambal lada hijau itik serati?

Rambutan Kampung Halaman

Ayahku muncul begitu saja di antara kalian, rambutandari kebun masa silam. Di hari lebaran kamimembawamu pergi berdagang ke pasar-pasar jauh didaratanTruk pasir ini membawa kami lebih dulusebelum membawa timbanganKami tidak bisa ke masjid kali ini,kami hanya mendengarkan khotbah dari radio sepertimendengarkan pertandingan sepakbolaKhatib dalam radio itu bersorak seperti kepala suporter

bersorakBajunya meriah dan mulutnya berasapDoanya seperti klakson yang menyigugu:Aku ingin anak-anak dari kemenyanAku ingin istri dari batang seledriKami ingin harum sepanjang hari!

Ibuku terlempar dari kalian, semangka tanpa biji dariladang kampung halaman. Satu truk membawanya tepatdi hari lebaran. Satu truk yang pada knalpotnya tumbuhmusim buruk dan musim baik sekaligus.Kami telah mengatakan pada supirnyauntuk berhenti setiap kali menemukan keramaianKami akan membelah-belah semangka sekalipun ditengah-tengahhajatan kematianOrang-orang akan menggigit semangkasambil berdoa seperti sirine ambulan:Aku ingin anak-anak dari daun jarakAku ingin istri yang terbuat dari jambu bijiKami ingin penawar demam abadi!

Peta yang Berantakan

Ada jalan yang tak bisa sampai lagi aku ke sana

Kayu melintang dari hutan rimba rayanyaPara gergasi dengan gada berduri mengurung kamidengan jerat ini. Kapal-kapal mengitari telukmu denganmeriam api yang songsang. Pelabuhannya diduduki danpersedian garam tak akan datang lagi.

Tapi kabutnya akan tetap berlepusan di pagi hariAku masih ingin garam dari pantainya,

pantai yang dulu jugaPantai dari rasa asin mulut kamiMulut tempat merayap kata-kata biasa saja

Aku ingin membeli rumah menghadapke samudra riuh itu

Anak dan keponakan, teman-teman dan semua kenalan,pasar-pasarnya akan terbuka lagi siang dan malam untukkalian

Tuhanku—pulau-pulaunya terbalik dalam mulut ayahkuPantai dan selatnya berantakan di bibir ibuku.Tapi jalan menujunya telah terhampang dari semula

Kami Membawa Seledri ke Pekanbaru

Kami membawa seledri ke Pekanbarukotamu ini ramai sekali, panas minyak pada tungku apikota kami dingin kabut merambat turun senja harisekarang harga bawang sangat mahalaku dan ayahku menyumpah-nyumpah di pasarkenapa kita tidak menanam bawang sejak semula?tukang sate membiarkan gerobaknya masuk jurangtukang bakso bergelung tidur dalam belanganyaapa yang akan kita masak tanpa bawang?tapi kami tidak sedang menanam bawang memangkami menanam seledri yang murahberapa mau ambil saja kami tak bakal menegahterung pirus juga sudah banyak yang masakkau ingin aku buatkan segelas jus yang bisabuat lubang hidungmu mengucurkan darah?

Kami membawa seledridan terung ini ke kota kaliankami bikin kalian harum

Kau tinggal senang duduk-duduk bekerjamelacak arah ke mana bis berhentimengukur panjang rel kereta api sambil menjilat es krimbiar kami terbungkuk-bungkuk dalam dinginsuhu di tubuh kami lepas dari ukuran temperaturcuaca menampar pipi kami kiri dan kananhidup kami akan merah menyala seperti bawang—pucat pasi seperti bawang

Haji Miskin dan Istriku

Haji Miskin nyenyak tertidur dalam kuburnyaaku datangi dia sebelum dia bangun dan membakarseluruh kotaaku bisikkan padanya suara dari rahim istriku:“Wak, Wak, api yang membubung dalam dirimu

apakah sudah padam?”

istriku membungkuskan nasi untukku seolah-olah aku inipekerja keras, seperti seorang peladang yang pagi-pagisekali pergi bekerja dan baru pulang hari petangpadahal aku hanya pergi berziarah—bermalas-malasan dengan waktu

“Tolong, Wak, Wak, tundalah dulu gerak lajumu!”

Telah kusiapkan doa palsu ituuntuk sejenak menghentikan waktuPadri miskin itu hanya akan mengangguk-anggukmendengar doamu.

“Doa celaka, bid’ah, bid’ah apa pulayang kau telah susupkan ke dalam tidurku, Cucu?”

PUISI DAN KEKINIANYANG TERUS BERLALU

Oleh Afrizal Malna

Deddy Arsya lahir tahun 1987. Saya lahir tahun 1957. 30Tahun yang lalu. Usia Deddy sekarang 24 tahun. Usia saya54 tahun. Deddy telah berlalu 24 tahun yang lalu, saya telahberlalu 54 tahun yang lalu. Ketika hitungan seperti ini kitalakukan terhadap diri kita sendiri, usia hanya kitaperlakukan sebagai realitas kuantitif. Semua yang aku telahberlalu di dalamnya. Bagaimana memperlakukan hitunganseperti ini? Sejak kapan seseorang sesungguhnya pernahmerasa telah menjadi seseorang aku? Seseorang aku yangmenentukan nilai-nilainya sendiri dan bertanggung jawabatas nilai-nilai yang diyakininya?

Sekitar awal tahun 2000-an, ketika saya masih aktifdalam gerakan rakyat miskin kota (UPC – Urban PoorConsortium) di Jakarta, saya bertemu dengan semacamrepresentasi aku yang mempersonikasi dirinya melaluipekerjaannya sehari-hari. Waktu itu kami sedang bergauldengan kuli-kuli bangunan di Grogol, Jakarta Barat. Merekahanya bermodalkan pacul. Sebelum ada pekerjaan, merekamenunggu di jalan sampai ada truk datang mengangkutmereka. Itu berarti mereka mendapat pekerjaan sebagai kulibangunan, walau belum tahu akan dibawa kemana. Waktuitu pemerintah kota Jakarta sedang sibuk membersihkanwarga pendatang yang tidak memiliki KTP dandikembalikan ke daerah masing-masing.

Suatu hari, petugas kota (Trantib) menangkapmereka.

“Mana KTP Bapak?” tanya petugas.“Ini!” jawab seorang kuli yang ditanya sambil

mengangkat paculnya ke atas.Kuli itu menceritakan kepada saya, bahwa dia warga

Indonesia. KTP tidak menjelaskan apapun tentang dirinya.Pacul yang dibawanya adalah identitas yang paling jelasuntuk tahu siapa dirinya: Kuli bangunan. Dan petugas itu,yang memeriksa KTP mereka, mungkin juga tidak tahubahwa mereka, para kuli bangunan itu dan puluhan ribudari mereka yang lain, adalah sejumlah nama-nama tidakdikenal, yang mungkin juga tidak memiliki KTP,sesungguhnya adalah yang membangun kota ini.

Representasi seorang melalui kuli bangunan ituuntuk saya menjelaskan bagaimana seseorang mengambildirinya sendiri, menjaganya, mempertahankannya dariagresi yang datang dari luar. Agresi dari pemerintahan kotayang membuat teror identitas, teror KTP, terorkependudukan dan teror kewarganegaraan dari rakyat kecilyang bekerja keras untuk menghidupi diri dan keluarganya.Dia bekerja dengan tubuhnya sendiri, bukan mencuri. Diatidak bekerja di sebuah tempat dimana uang tidak bisadipacul untuk kepentingannya sendiri.

Angka-angka di sekitar hitungan kuantitif darikelahiran itu merupakan usia biologis, usia kuantitif. Tidakmemiliki hubungan langsung dengan usia kualitatif dariseseorang aku, usia dari seseorang aku yang sudah bisamembaca agresi nilai yang datang dari luar dirinya, seperticerita tentang kuli bangunan itu. Pembacaan seperti inimenggoda saya sebagai sebuah pengalaman tersendiridalam membaca kumpulan puisi Deddy Arsya ini: Odong-Odong Fort de Kock.

Saya kira ada baiknya untuk mengurai kembalipengalaman saya membaca kumpulan ini dari awal hingga

saya bertemu dengan biodata Deddy di bagian akhirbukunya ini.

Saya tidak tahu apa artinya odong-odong, saya jugatidak tahu dimana letaknya Fort de Kock itu. Mungkin Fortde Kock sebuah benteng peninggalan Belanda. Saya merasabodoh dengan ketidak-tahuan ini. Tetapi kenapa pula sayaharus merasa bodoh untuk sebuah nama yang memangtidak saya tahu. Dua hari saya membaca buku ini. Setelahselesai membaca, saya membacanya kembali dengan cepat.Pembacaan dengan durasi yang normal dan dengan durasiyang cepat, menghasilkan imaji atau suara imaji yang lain.Dalam pembacaan durasi yang normal, saya membiarkanpembacaan saya dikuasai oleh semacam jaring-jaring visualdari puisi-puisi Deddy ini. Jaring-jaring visual itu begituramai. Penuh warna. Memiliki geopuisi yang khas darilingkungan pesisir dan daratan, dari lingkunganperkembunan dan pasar di kota. Terus bergerak ke arahlainnya, dari dunia mistik ke dunia perdagangan, darikehidupan gunung dan hutan ke perkotaan. Dari sejarahdan memori tentang keluarga.

Jaring-jaring visual yang warna-warni itu sejak awalsebenarnya sudah tidak berwarna. Ada warna muram yangnyaris secara kontinyu melapisi warna-warna teranghampir di seluruh puisinya. Sejarah dipersonifikasi sepertimata seekor anjing yang terus diawasi. Walau pemburutelah membunuh anjing itu, tetapi mata anjing itu terushidup dimana-mana. Mata anjing yang mengintai darisejarah, kemudian bermutasi kepada (setiap) seorang akuyang bersentuhan dengannya (puisi “Anak Ayah”).Seorang ayah telah mati dalam sejarah mata anjing itu.Seorang anak harus tumbuh dalam sejarah mata anjing itusendirian, atau bersama dengan seorang ayah yang telahmati. Dibesarkan oleh fenomena kematian ayah dari sejarahsebagai mata anjing.

Personifikasi itu tampak kompleks. Kompleksitasyang tidak pernah usai pada hampir seluruh puisinya.

Sepertiga menjelang akhir buku puisi Deddy, kompleks itusedikit mereda. Ada sedikit oase yang ditinggalkan dalamkompleksitas jaring-jaring visual itu, yang sebenarnyamerupakan anak kandung dari model personifikasi yangdijalankan dalam berbagai layer yang ditempuh Deddy.Oase itu, misalnya, terdapat pada puisi Tukang Obat di PasarKambang. Puisi yang memperlihatkan kemampuanmengolah pantun, berusaha mengkreasinya. Walau tidakjauh dari pematahan bunyi kata untuk pengertian yangberbeda antara “harimau” dengan “mau”. Atau antara“gajah” dengan “rajah”. Tetapi oase itu tetap membawakompleksitas lain, karena diberi judul “Tukang Obat diPasar Kambang”. Stigma terhadap tukang obat di jalanadalah tukang tipu, dan melalui judul ini stigma itu sepertidinyatakan kembali untuk tujuan yang lain: Judul yangmembuat pantun seperti permainan sulap, menipu maknaantara pengertian dan bunyi yang dikandung kata. Pantunkembali diletakkan dalam stigma modernisme seperti inisebagai sebuah konflik pembacaan dan penulisan sekaligus.Tetapi ia tetap menggoda banyak penyair untuk menulisdengan menggunakan bentuk pantun. Pantun sepertimemiliki kekuatan affirmatif dalam pembuktian kecerdasanseorang penyair dalam mengolah bahasa antara suara danpengertian. Judul puisi ini membiarkan negosiasi seperti initetap berlangsung: pantun sebagai pekerjaan tukang(penyair), sebagai obat (bahasa), tetapi juga sebagai pasar(puitika). Dan mungkin lebih celaka lagi: sebagai identitas(bangsa).

Perilaku dari personifikasi yang kompleks itu bekerjadalam prosedur negasi atau kematian. Objek yang mati,lahir dan tumbuh kembali sebagai subyek tersembunyi padagenerasi yang melanjutkan prosedur negasi atau kematianini. Kematian seperti hidup bersamaan dengan kehidupan:di suatu perang yang lain. aku hidup dalam kematian ayahku.ibu telah lama mati dalam pikiranku. dulu ibu seringmembisikkan sesuatu ke telingaku. seperti salak anjing pemburu

itu (“Anak Ayah”); kenapa kau membenciku seperti membenciduri dalam daging ibumu? … ayahmu yang menebar umpan,kenapa batuk ibuku yang berdarah? (“Pertengkaran SemalamSuntuk”); Anak-anakmu ada dalam kantong plastik ini, diantara apel Malang dan jeruk Berastagi yang asam (“MomentoRumah Sakit”).

Kerja personifikasi melalui prosedur kematian yangbersembunyi dalam kehidupan ini merupakan salah satuyang khas dari puitika yang diusung Deddy melalui puisi-puisinya. Prosedur yang kembali memperlihatkanbagaimana seorang aku (-lirik) harus tumbuh dalam politikidentitas yang kompleks, berada dalam ruang pertentanganantara sejarah dengan memori kekiniannya. Sejarah sebagaisinetron nilai-nilai antara agama, adat-istiadat, politik dankepentingan yang bersembunyi di balik banyak topeng.Seorang aku mungkin tidak bisa tumbuh dalam ruangseperti ini, atau dia tidak pernah bisa bertemu dengankekiniannya sendiri. Dia menjadi seseorang yang terusberlalu, terus berlalu selamanya. Puisinya “Ikan Padang”yang ingin saya kutip di sini, kiranya cukup jelasmemperlihatkan seorang aku yang terus berlalu itu, yangtidak pernah bertemu dengan kekiniannya sendiri hinggatua tak berdaya:

aku hanya ikan Padang, ikan Padang, ikanasin dan lauk kering,bermalam-malam direbus api dan airmendidih belanga besar sekali.Aku tiba-tiba tua dan tak berdaya. Bungkusaku dengan tenun elokdan matahari lembutmu.

Puisi itu menggunakan sebuah nama untuk ikandengan nama sebuah kota, kota Padang. Kota yang sebagaiikon budaya memang dekat untuk mewakiliki ikonMinangkabau. Minangkabau memiliki tradisi puitik yang

kuat, yang sebenarnya juga terdapat pada banyak budayalokal lainnya. Tradisi puitik yang tidak hanya tampak padasastra dan kesenian mereka (sebelum diharamkan olehagama-agama monoteis), tetapi juga pada bagaimanamereka membuat imaji-imaji kota. Deddy sendiri lahir disebuah daerah bernama “Bayang”. Tradisi puitik sepertiini kini kian menghilang dengan munculnya nama-namatentara untuk banyak jalan, dan nama-nama dari bahasaArab atau Barat untuk anak-anak kita. Sumpah mati, kitatidak bisa bicara tentang identitas bersama nama-nama itu.Setelah tua dan tak berdaya, ikan Padang itu tidak mintadibungkus dengan plastik untuk menguburnya, tetapidengan tenun dan cahaya matahari yang memperlihatkangeopuisi yang melatari puisi-puisi Deddy. Pilihan yangmelihat tenun sebagai sesuatu yang dihormati. Bukankahpuisi juga merupakan tenunan memori. Tetapi siapa yangmenenunnya dan apa yang ditenunnya. Seseorang akudalam tenunan itu, dalam tenunan memori pada puisi,mungkin adalah seorang kita juga. Seorang aku yang dalampuisi Deddy (Sajak Kehilangan Tahi), dikatakan seperti ini:

Aku cendol yang dikacau ketika langit runtuh, orang-orang bunuh diri di kandang sapi,dan jalan raya dipenuhi huru-hara hujan api

Cara saya membaca puisi-puisi Deddy, memilihtema-tema dan strategi puisi yang dijalankannya, mungkinjuga adalah bagian dari tenunan itu. Tenunan dalam sebuahruang yang tidak pernah mengantar seseorang aku bertemudengan kekiniannya. Bahkan untuk bertemu dengan masalalunya sendiri menjadi sesuatu yang melukai:

Kau akan mendapati gerbang kota masa lalumu sepertipintu pasar malam.

Aku memesan sepatu hitam dari kulit sapi, menyilet-nyilet kulit dagingku sendiri.

…Kita terus terjebak dalam labirin yang berbeda, kedai

kelontong dan tongsetan itu tidak pernah bertemu di tempat yang sama(“Kedai Kelontong dan Tong Setan”)

Kompleksitas geopuisi itu tidak berarti tidak bisadiredakan. Pada beberapa puisinya, saya masih bisamenikmati detilnya, napas jalan atau dedaunan: 44 kelokmenjelang sampai, sedikit di atas danau, kita bersepeda pulangdari pasar, menukar manis tebu dengan ini bawaan: sekarungkapas yang ringan (“Di Maninjau”). Rasa berat dan rasaringan yang bahasa sendiri tidak memiliki ukurannya.Atau rasa manis yang tidak bisa kita dapatkanbayangannya dari bahasa: Singgalang gula tebu, yang manisambil olehmu, sepahnya o biar tinggal pada kami (“SinggalangGula Tebu”).

Geopuisi itu masih menyimpan identitas yang lain.Identitas yang mungkin akan tetap ada selama kita masihbisa bertemu dengan kapas atau tebu. Identitas yangmelekat pada realitas natur kita sendiri. Natur yang olehperekonomian modern hanya dilihat sebagai komersialisasisumber-sumber alam. Komersialisasi yang membuatgeopuisi ikut terseret sebagai durasi yang terus berlalu (Diatas kepala mereka di kemudian masa, pesawat-pesawatmenerbangkan kopra dan turis-turis Eropa (“Sunting Nias”).Durasi yang tidak pernah menghasilkan kekinian, hanyamenghasilkan sesuatu yang terus berlalu sebagai sampahwaktu, bukan sebagai produk waktu.

Puisi bekerja bolak-balik untuk menemui memoriyang telah berlalu itu sebagai semacam melankoli waktubersama dengan ironinya. Sebuah perjalanan ke Sibolga,bis merangkak mendaki menuju Toba, tidak hanyamengangkut romantika di dalam bis antara perempuan danlelaki, tetapi juga ikut mengangkut penyair SitorSitumorang, permainan kartu domino di warung-warung

kopi dan sambal lada hijau itik serati (“Setelah Sibolga”).Memori yang ditemui (atau bertemu) dalam satu garisingatan semiotik, semuanya diangkut sebagai kendaraankhas dalam lalu-lintas yang hidup di ruang yang terusberlalu itu. Puisi menjadi sibuk dalam lalu-lintas memoriseperti ini, sebagai representasi bahwa kita membutuhkannama, membutuhkan cerita, dan membutuhkan sesuatuyang ditandai sebagai substansi maupun sebagai bentukdalam kehidupan narasi kita.

Puisi menciptakan waktunya sendiri, durasi yangkhas, yang berbeda dengan durasi prosa. Waktu pada puisitidak dilihat sebagai geometri dari bagaimana sesuatudideskripsikan menjadi alur narasi. Waktu pada puisimerupakan perjalanan “me-nama-i” memori denganmengubah memori menjadi gema dari imaji-imaji.Hubungan dengan nama merupakan laten sekaligusfundamental pada puisi, yang berbeda dengan cerita padaprosa. Nama dan cerita kadang bertemu, sama sepertibertemunya prosa dan puisi ketika mobilitas ruang danwaktu tidak lagi menghasilkan durasi untuk merekam,menyimpan dan membacanya. Puisi dan prosa tidakmendapatkan durasi untuk bertemu dengan kekinian.

Durasi yang terus berlalu itu seperti cuaca burukyang merusak apa saja. Termasuk bahasa. Beberapa katayang digunakan Deddy dalam puisi-puisinya, untuk sayamenjelma menjadi sebuah indeks yang juga telah berlalu.Arti dan bunyinya menjadi asing sama sekali atau justrumenjadi baru sama sekali. Beberapa kata itu misalnya:belanga, giwang, rembang, umang-umang, cangkang, lipan,rumput sialang, dangau, tiram, mersik, gardamunggu, getahperamu, mejan, tawas, pekak, sangai, rukuruku, lemang,tempuling, pesong, angin samun, pincalang, miang atau pantek.Kata-kata yang pada satu sisi memperlihatkan indeksketidaktahuan saya sebagai pembaca dan sebagai pemakaibahasa Indonesia. Pada sisi lain memperlihatkanperbedaan geopuisi antara puisi dengan pembacanya.

Geopuisi yang terus berkejaran dengan perubahan dansesuatu yang terus berlalu terus-menerus. Sesuatu yangterus berlalu terus-menerus ini, sekaligus sebagai perbedaangeopuisi, juga muncul dalam salah satu puisi Deddy sebagaiironi: Seorang Padang kampungan bercerita begini: Akumenunggu taksi di Condet lama sekali, tapi yang datang bendi.Hah, mana kudamu, Kuda? Tertinggal di Gambir. Jakartapantek ini menelan bensin berjuta galon (“Kuda BawahTanah”).

Bahasa yang terus berlalu itu, dalam puisi Deddysendiri disebut sebagai “Kata-kata terus patah di masadepan”: Aku terjebak dalam hutan patahan kata ini. Tapi dimana-mana tidak ada engkau. Tak ada engkau dalam bahasa(“Hutan Patahan Kata”). Seseorang aku juga sebenarnyatidak mungkin ada dalam hutan patahan kata seperti itu.Hutan dari kekinian yang terus berlalu, dicurigai,mengalami banyak kesulitan untuk mendapatkanrepresentasinya atau reproduksinya. Durasi kata di sinimenjadi semacam epidemi makna.

Nama-nama kota dalam sajak seperti riwayat yangdipisahkan dari penuturnya … berapa lama nama-nama kotaitu bertahan dalam sajak? (“Nama-nama Kota dalam Sajak”).Puisi ini tidak hanya menjelaskan bagaimana epidemimakna mengancam usia sebuah nama untuk sebuah kota.Tetapi sekaligus juga merupakan “catatan kaki” yangmenggelisahkan: apakah nama-nama itu masih memilikiriwayatnya, karena memang sebagian besar judul puisidalam puisi-puisi Deddy ini menggunakan nama kota ataudaerah (Padang, Pasir Painan, Pariaman, Bengkulu, PulauGalang, Nias, Singgalang, Silungkang, Binjai, Maninjau,Pasar Kambang, Sibolga). Dan memang tidak cukup untukpembaca menemukan sebuah kota di balik nama-nama itu.Kota tidak hanya merupakan kenyataan dari riwayat yangdipisahkan dari penuturnya, tetapi kota juga sekaligus telahkehilangan riwayat dan para penuturnya sendiri. Ketikasaya mulai bertemu dengan puisi “Odong-Odong Fort de

Kock”, yang dijadikan judul untuk buku puisi ini, sayaberharap puisi ini akan membuat terang kenapa buku inidiberi judul yang sama. Ternyata saya tetap tidak memilikiimajinasi tentang Fort de Kock. Istilah ini mungkin bisasama artinya sebagai “surga” atau “neraka” untuk anak-anak (Aku menangis ingin naik odong-odong di Fort de Kock,ibu memukulku dengan tangkai sapu sampai tersudu). Atauseperti ungkapan dalam puisinya yang lain, janganucapkan keinginanmu dalam berdoa: doa-doa seperti miliksetan (“Anak Ayah”). Memang, bukankah keinginanmenjadi sesuatu yang celaka dari kekinian yang terusberlalu.

Usia kata, usia nama, usia ingatan menjadi samarawannya dengan usia kota atau usia seseorang akumendapatkan durasinya untuk tumbuh dan bertemudengan kekiniannya. Masa lalu dalam konsep waktu kitaadalah sesuatu yang diletakkan di belakang. Sesuatu yangkita andaikan tidak ikut terangkut bersama dengankekinian. Konsep waktu seperti ini, yang membiarkansesuatu terus berlalu dan menjadi masa lalu, tidakmemberikan fondasi yang bisa mengkonstruksi masa kini.Masa kini seperti ruang yang mengapung. Diskontinyuitasterhadap masa lalu dalam konsep waktu historis kita,dengan sendirinya membuat masa kini kehilanganreferennya. Referennya diletakkan sebagai proyeksi ke masadepan yang bahkan juga tidak terbayangkan.

Pengalaman saya membaca puisi-puisi DeddyArsya ini akhirnya memang bertemu dengan biodatanya.Angka-angka 1987 (Deddy), 1957 (saya), 30 tahun, 24 tahun(Deddy) dan 54 tahun (saya) menjadi angka-angka dimanasaya membaca puisi-puisi Deddy seperti saya membaca dirisaya sendiri yang telah berlalu. Penyair membaca penyairyang lain. Sesuatu yang sebenarnya baik, tetapi jugaberbahaya. Berbahaya kalau saya memiliki prasangka-prasangka puitik dalam membaca puisi orang lain. Sayaharus bertemu dengan puisi Deddy melalui proses

penundaan terhadap prasangka-prasangka ini. Saya merasaterselamatkan ketika saya menemukan sebuah ruang laindari geopuisi yang ditawarkan Deddy. Sebuah ruang yangbelum pernah saya alami, karena hampir sepanjang hidupsaya tinggal di kota.

Ruang itu terasa samar-samar, tetapi penting, dansaya kira akan sangat menentukan pembaca untukmembaca puisi-puisi Deddy, juga menentukan bagaimanaDeddy melihat geopuisinya sendiri:

sampai di mana kau akan tahan menyelam,dekat membayang tapi sesungguhnya dalam.(“Ikan Kolam”)

Ada 2 atau 3 puisi lain yang membicarakan ruangseperti itu. “Ruang dalam” yang ada “di luar”, dan hanyabisa dilihat dari dalam. Dari luar hanya terlihat topinyasaja, seperti tentara yang bersembunyi dalam semak belukarsaat perang (Penembak Arah Bidikan). Ruang dari metaforantara sungai dengan dasarnya, antara dasar sungaidengan ikan dalam sungai itu. Tetapi juga metafor dariruang di dalam ikan. Ruang dari geopuisi seperti ini menjaditidak umum untuk puitika masa kini yang telah menjadigerombolan puisi-puisi urban. Gerombolan puisi-puisiurban yang disebut dalam puisi Deddy sebagai “toko serbalima ribu”: aku masuki dirimu seperti memasuki toko serba limaribu. aku satu set mainan anak-anak, tusuk gigi, dan satu pakpengorek telinga. ibuku boneka hiu gergaji, ayahku kampakbermata dua seperti dalam cerita silat di televisi. kau inginmenyebut nama-nama pemilik bibir yang pernah mengucapkancinta dan hidup dalam kenanganmu. tapi orang-orang masukdan keluar begitu saja membawa apa saja menjauh dari pintu.

Realitas urban kita sebagai representansi dari durasiyang terus berlalu itu, memang mirip dengan rumah tanggayang serba 500 ribu perak itu. Sebuah ruang kehidupanyang semuanya diseragamkan dalam bentuk seakan-akan

ada demokrasi pada cara hidup kita, pada cara bagaimanakita memasuki hukum pasar. Sebuah ritus urban dimanaseluruh agama berada di dalamnya dan ikut mengambilkeuntungan di dalamnya. Pasar itu tumbuh menjadi kapalbesar dimana seseorang (dalam bentuknya yang jamak)dikendalikan di dalamnya. Ada banyak pilihan untukmembeli indomie dalam berbagai merek dan kemasan.Tetapi semuanya intinya sama, sebagai mie instan. Mie yangmelupakan dan kita tidak perlu lagi mengingat cara-caramembuat mie. Pasar yang melenakan: Tak ada siuman yangbisa menyembuhkanmu dari lupa abadi (“Kedai Kelontong danTong Setan”).

Pembaca memang harus menyusun kembaligeopuisi itu, menyusun kembali bagaimana seorang akumenandai ruang hidupnya. Pengalaman membaca inimenjadi lain ketika saya mengubah durasi pembacaan sayamenjadi cepat. Setip objek seperti tertinggal dalamnarasinya yang terpenggal, terpotong. Dalam durasi iniyang tinggal hanya imaji-imaji suara yang gaduh, maknayang tidak sempat berkembang, objek yang tidakmendapatkan durasinya sendiri untuk tumbuh. Hasilnyalebih ekstrim: waktu menjadi tidak cukup untuk mengalamimakna sebagai pengalaman tubuhku. Atau: waktu menjaditidak cukup untuk mengalami memori dalam puisi denganmemoriku sendiri. Semuanya tidak hanya bergerak sebagaisesuatu yang berlalu, tetapi juga sebagai yang terus pergi.Pergi dan kembali untuk melukai.

Aku telah pergi dari rumah untuk memancing. Akutidak memancing dalam rumahku sendiri. Aku memancingdi kolam ikan. Tetapi yang terpancing olehku tetap sama:bola mata ibuku (“Pertengkaran Semalam Suntuk”). Puisiberjalan bolak-bolak untuk membangun memori darikekiniannya sendiri. Tetapi bolak-balik juga ia seperti ditarikkembali ke belakang. Ditarik kembali ke dalam rumah, kedalam agama, ke dalam sejarah. Bolak-balik yangmenghancurkan memori dan sekaligus menghancurkan

kekinian. Bolak-balik untuk memenjarakan memori dalamsejarah yang negatif terhadap masa kini. Tetapi juga negatifterhadap masa lalunya sendiri. Ruang waktu yang rawan,yang tidak bisa mereproduksi realitasnya sendiri. Dia harusmeminjam realitas lain sambil menyalahi realitas yangdipinjamnya itu.

Penyair masa kini seperti harus berhadapan denganepidemi pendeknya usia makna seperti ini. Dia bergantungpada satu soal penting: apa yang mendasari sejarah untukbisa mereproduksi realitasnya sendiri. Perkembanganmedia-media elektronik membuat durasi yang lebih cepatlagi untuk menciptakan masa kini sebagai waktu dansebagai ruang yang terus berlalu. Puisi seperti didesak untukmengambil jalan kegilaan pada satu sisi. Atau mengambiljalan sunyi pada sisi lainnya: kembali pada tebu, kembalike dalam perut cacing. Kembali kepada suara yang belummemiliki bunyinya. Kenyataan ini berlangsung bersamaandengan strategi narasi yang semakin banyak dilakukanbanyak penyair: menggunakan prosa untuk menulis puisi,atau memaksa diri menulis puisi yang kehilangan puisi,hanya karena khawatir hilangnya kepercayaan kepadaidentitas puisi. Identitas itu mungkin hanya tertunda olehhiruk-pikuk di sekitar kita yang telah mengambil apa pundari kita, untuk tidak berdaya.

Yogyakarta, 21 Agustus 2011(Afrizal Malna, penyair dan esais, tinggal di Yogyakarta.)

Biodata Singkat

Deddy Arsya, lahir di Bayang, Pantai BaratSumatera, 15 Desember 1987. Menulis sajak, ceritapendek, tinjauan buku dan film, esai-esai kesejarahan danseni, di berbagai koran, majalah dan jurnal, di antaranyaKompas, Koran Tempo, Jurnal Nasional, Seputar Indonesia,Suara Pembaharuan, Padang Ekspres, Haluan, Singgalang,Riau Pos, Majalah Seni Misi, Majalah Budaya Gong, MajalahSastra Horison, Jurnal Tsaqafi, Jurnal Kalamistic, JurnalKhasanah, dan lainnya. Mememangkan berbagaipenghargaan dalam bidang sastra dan jurnalistik. Dalamranah akademis, tesisnya “Penjara di Padang padaZaman Hindia Belanda” mengantarkannya meraih gelarmaster dalam bidang Ilmu Sejarah. Tulisan-tulisannyatelah dibukukan dalam beberapa antologi di antaranya,Kampung dalam Diri (2008), Herbarium (2007), LautBerkabar (2009), dan 60 Sajak Terbaik Indonesia (2010).Kumpulan sajaknya, Odong-odong Fort de Kock ini,merupakan kumpulan sajaknya yang pertama, dipilihdari 200an puisi yang ditulis sejak tahun 2004-2013.