tragedi dan strategi pertahanan nasional

52

Upload: denni-n-ja

Post on 15-Jun-2015

756 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Tragedy and the National Defense Strategy states

TRANSCRIPT

Page 1: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional
Page 2: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

i

Tragedi & StrategiPertahanan Nasional

YUSRON IHZA

Page 3: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

ii

Tragedi & Strategi Pertahanan Nasional

Penulis: Yusron IhzaPenyunting: Teguh Santosa, Dandhy Dwi LaksonoDesain Sampul: Totok Ganjil Tata Letak: Denni N Ja

Edisi Pertama, Oktober 2009Edisi Revisi, November 2009

@ Hak penerbitan edisi ini: La Tofi EnterpriseDiterbitkan atas kerjasama dengan Penerbit Mizan

Tragedi & Strategi Pertahanan NasionalYusron IhzaISBN 987-979-99513-2-8Jakarta, La Tofi Enterprise, 2009xxxviii + 292 hlm; 130 mm x 198 mm

La Tofi Enterprisewww.latofienterprise.com Jl. Tebet Barat Raya 102 Blok 1A Lantai Dasar No. 5Jakarta, 12810

Telp 021-8314360Fax 021-83706499E-mail: [email protected]

Saran dan kritik alamatkan ke: [email protected]

Page 4: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

iii

Sebuah memoar untuk bangsaku.

Page 5: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

iv

Page 6: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

v

Daftar Isi

Pengantar Edisi Revisi

Kata Pengantar

Prolog

Bagian SatuBukan Anugerah yang Jatuh dari Langit

Bagian DuaPertahanan Tidak Kuat, Diplomasi Sekarat Martabat yang Tertambat di Ambalat Perjanjian Kadal Singapura Bintang Kejora Australia Tragedi Diplomasi

Bagian Tiga Menghindari Perdamaian yang Pikun dan Mengigau Dilema Perang dan Damai Pertahanan Nasional: Bukan Pekerjaan Semalam Bangsa yang Punah dan Ekonomi Kasino yang Pongah Membongkar The Will to Power

Bagian EmpatWajah Pertahanan Nasional (Bila) Tanpa Topeng Alutsista yang Alot Potensi Ancaman vs Postur Kekuatan Kain Kafan dan Kain Sarung Memancing Tanpa Kail? Sekali Dayung Lampiran

ix

xiii

xvii

1723354454

6163818397

105

112120130141143

1

Page 7: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

vi

Bagian LimaAlutsista dan Broker Senjata Kisah Rumah Tanpa Desain Cara Belanja Alutsista Sengatan Kalajengking Perawatan Impor ala Alutsista

Bagian EnamResep dan Strategi Simalakama Membangun Tentara Belanja Tentara dan Pertumbuhan Ekonomi Mengawinkan Tentara Sekali Tembak Dua Lalat Lampiran

Bagian TujuhBUMNIS yang Meringis Elegi Sang Pembuat Panser dan Bedil Lompatan Katak ke Dalam Jurang Wajah Murung Galangan Van de Capellen Industri di Garis Depan Pertahanan Epilog

Daftar Pustaka

153155162167178

181183189195206209

211216232248264

277

287

Page 8: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Tragedi & STraTegiviii

Barisan prajurit TNI di salah satu daerah penugasan. foto: istimewa.

Page 9: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Kata Pengantar edisi revisi ix

PENGANTAR EDISI REVISI

Buku “Tragedi & Strategi Pertahanan Nasional” Edisi Revisi yang diketengahkan ini tidak hanya mengalami perubahan dalam ukuran dan ilustrasi sampul buku,

melainkan sekaligus juga mengalami revisi cukup besar di dalam isinya. Dua bagian (semacam bab) telah ditambahkan dalam edi-si ini sehingga dari segi fisik dan isi, telah menambah bobot buku secara signifikan.

Salah satu dari bagian tambahan itu membahas kaitan antara pertahanan dengan diplomasi. Untuk memberikan contoh yang real, persoalan Blok Ambalat, Perjanjian Pertahanan Indonesia-Singapura, dan pemberian suaka oleh Pemerintah Australia ke-pada pelintas batas dari Papua, telah diangkat sebagai contoh kasus.

Bagian lain yang ditambahkan membahas masalah BUMN Industri Strategis (BUMNIS) yang didasarkan atas hasil wawan-

ix

Page 10: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Tragedi & STraTegix

cara langsung yang terpisah terhadap empat Direktur Utama perusahaan di lingkungan BUMNIS. Masing-masing adalah PT Pindad, PT DI, PT PAL, dan PT LEN Industri.

Melalui pengayaan-pengayaan di atas, buku ini diharapkan tampil sebagai sumber informasi yang betul-betul baru, atau setidaknya sebagai sarana yang mengungkap fakta-fakta yang se-lama ini kurang terungkap secara lebih terbuka. Terutama sekali, yang menyangkut permasalahan serta kebijakan pemerintahan di bidang-bidang yang menjadi perhatian serta menjadi objek ba-hasan buku ini.

Dalam hal diplomasi, melalui analisa, narasi, dan deskripsi atas tiga kasus yang disebut di atas, buku ini mencoba menggambarkan performance diplomasi kita terkait dengan lemahnya pertahanan nasional. Sementara, melalui bahasan tentang industri strategis, juga digambarkan potensi bangsa kita dalam membangun indus-tri, termasuk – dan terutama – industri pertahanan, yang akan mendorong kemajuan industri, kemajuan ekonomi, kemajuan bidang pertahanan, serta kemajuan di bidang diplomasi.

Bahasan di atas sekaligus menjawab pertanyaan yang berkem-bang selama ini, yaitu: Mengapa kekuatan potensial yang dimiliki bangsa ini sulit ditransfer sehingga menjadi sebuah kekuatan yang real, yang wujud atau nyata!

Tambahan terhadap edisi revisi ini tentu bukan hanya me-nyangkut dua hal di atas, melainkan juga tambahan terhadap kandungan dari hampir keseluruhan bagian atau bab yang telah ada sebelumnya. Termasuk di dalamnya, adalah penambahan serta revisi atas foto-foto yang ditampilkan sebelumnya sehingga foto-foto yang lebih kuat dan relevan dengan tema yang dibahas

Page 11: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Kata Pengantar edisi revisi xi

menjadi lebih sanggup “berbicara”.Semoga buku ini berguna dalam menambah infromasi serta

memperkaya wawasan putra-putri negeri ini, yang akhirnya akan mendorong tercapainya kemajuan-kemajuan yang besar.

Jakarta, 23 November 2009

YUSRON IHZAPenulis

Page 12: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Kata Pengantar xiii

KATA PENGANTAR

Masalah pertahanan dipenuhi oleh aspek-aspek teknis yang hanya dikuasai oleh para ahli. Juga ada persoalan strategis dan aspek-aspek kerahasiaan.

Terutama kerahasiaan militer. Tetapi karena (belanja) pertahanan menggunakan dana rakyat dan harus dipertanggungjawabkan, maka sejumlah seginya harus dilaporkan secara transparan.

Buku yang Anda baca sekarang ini asal mulanya merupakan Laporan Tim Alutsista Komisi I DPR-RI periode 2004-2009. Laporan yang ditulis wakil rakyat untuk rakyat, atau untuk pub-lik sebagai pembayar pajak. Bung Yusron Ihza yang dalam periode itu menjadi Wakil Ketua Komisi I, mengerjakan (menyusun dan menulis laporan itu) dan kemudian berhasil mengolah kembali sehingga menjadi bacaan yang mengasyikkan dalam tampilan yang sekarang ini, khususnya bagi mereka yang punya minat pada isu-isu pertahanan.

xiii

Page 13: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Tragedi & STraTegixiv

Ada curahan pengetahuan yang substansial dan aktual dalam buku ini, dan dari aspek pertahanan serta studi strategis, sangat penting. Bab-babnya kaya, diwarnai data yang dikumpulkan dari rangkaian sesi Dengar Pendapat dan Rapat Kerja Komisi I de-ngan pejabat pemerintah terkait. Data dari tangan pertama, juga dari hasil kunjungan-kunjungan kerja dan interaksi politik de-ngan berbagai pemain isu-isu pertahanan di ranah internasional. Selain untuk anggota Komisi I DPR 2009-2014, buku ini juga pen ting bagi pemerintah, yang semoga dapat merefleksikan kebi-jakan pertahanan yang ditempuh selama ini. Setidaknya bisa me-mahami apa yang menjadi alam pikiran orang-orang yang duduk di parlemen. Tetapi yang lebih penting, buku ini adalah bacaan yang berguna bagi khalayak umum yang ingin mengetahui seluk-beluk kebijakan pertahanan, yang selama ini hanya diikuti sekilas dari media massa.

Sebab, menjadi keinginan kita bersama agar Indonesia di masa depan dapat membangun pertahanan yang kredibel, yang sepa-dan dengan kondisi geografis di mana tiga perempatnya adalah wilayah perairan dengan pulau yang mencapai belasan ribu buah. Juga garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada, yang menjadikan Indonesia bak Perancis dengan banyak titik masuk “Normandia” di Perang Dunia II.

Ada tragedi dalam wajah pertahanan nasional kita yang secara lugas diurai dalam buku ini. Bukan saja karena penulisnya adalah anggota parlemen yang punya tugas mengontrol pemerintah dan militernya, tetapi juga karena Yusron adalah bekas wartawan. Na-mun di bagian lain, buku ini juga menawarkan gagasan, konsep, dan strategi untuk memecahkan persoalan yang selama ini diang-

Page 14: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Kata Pengantar xv

gap dilematis, dan selalu dalam posisi diametral, seperti keter-batasan anggaran dan prioritas alokasinya.

Yusron sangat meyakini bahwa dengan konsep dan strategi pertahanan yang tepat, semua aset sumber daya dan manusia In-donesia bisa terlindungi, ditopang oleh Alutsista yang modern dan diawaki oleh prajurit TNI yang cakap dan profesional. Maka buku yang setiap babnya diawali dengan kutipan arif ini semoga tidak berhenti sebagai penambah wawasan, tetapi juga bisa me-nguatkan tekad untuk berbuat lebih progresif lagi demi kejayaan Tanah Air.

DR. NINOk LekSONO, M.A.redaktur Senior Kompasanggota Komisi Hankam dewan riset NasionalStaf Pengajar Hubungan internasional FiSiP-Ui

Page 15: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Tragedi & STraTegixvi

xviPenulis di hanggar helikopter Super Puma, PT Dirgantara Indonesia, Ban­dung, Oktober 2009. foto: dok. pribadi.

Page 16: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Prolog: Si Vis Pacem, Para Bellum xvii

Si ViS PaCeM, Para BeLLUM

xvii

PROLOG

Page 17: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Tragedi & STraTegixviii

Page 18: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Prolog: Si Vis Pacem, Para Bellum xix

Orang­orang Kekaisaran Romawi masa silam, konon, sering mengucapkan: “si vis pacem, para bel-lum”, alias ”jika siap damai, maka bersiap jugalah un­

tuk berperang”. Makna ini tentu makna secara harafiah. Karena itu di baliknya pasti terdapat makna atau pesan lain yang lebih dalam. Salah satunya adalah bahwa perdamaian bukanlah sesuatu yang datang dari langit, bukan anugerah atau pemberian (given), melainkan sesuatu yang harus diciptakan, ditegakkan, dan dipe­lihara.

Akan halnya perdamaian harus diletakkan dengan ujung pe­dang, ujung bedil, atau di ujung sangkur – atau dikawal dengan aneka senjata lainnya – ini sudah menjadi keniscayaan sejarah. Suka atau tidak. Sejarah perang dan damai dalam peradaban umat manusia membuktikan ini, meski angan setiap orang selalu berke­hendak bahwa perdamaian idealnya tak tercipta dari lelahnya per­tumpahan darah. Atau, perdamaian dijaga dengan tekanan­tekan­an yang sampai batas tertentu, lantas mengingatkan orang akan pegas. Pegas yang ditekan sedemikian rupa, hingga bila tekanan itu hilang, efek lompatan dan pelepasan energinya akan lebih be­sar. Bahkan, banyak ilmuwan yang meyakini sepenuh hati bahwa

Page 19: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Tragedi & STraTegixx

perdamaian tak lain dari sebuah periode di antara dua perang. Banyak yang tak suka mendengar ini, meski lidahnya barangkali kelu untuk membantah. Sebab begitulah nyatanya, kata kaum realis. Meski tentu saja, ini bukan dalil, aksioma, atau pun dogma yang harus diimani atau diamini, bahkan ditelan bulat­bulat.

Saya tentu tidak hendak memprovokasi, berpropaganda, atau menggunakan retorika guna membius kesadaran agar orang ter­benam ke dalam fantasi dan ilusi yang mendesir, mencekam, dan menggila, dan akhirnya percaya hal di atas apa adanya.

Memang, sekalipun bukan orator atau salesman handal yang sanggup menyihir dengan kata­kata – sehingga membuat orang me nganggap cicilan hutang sebagai sedekah atau derma – tetapi saya bukannya sama sekali tak tahu teknik­teknik propaganda. “imperium”, novel yang mengisahkan Cicero belajar “oratoria” itu, setidaknya pernah saya baca. Dalam propaganda, misalnya, ada teknik (sekadar tidak menyebut “trik”) untuk mendukung teori yang sumir dan dhoif agar diterima sebagai kebenaran hakiki. Caranya dengan mengulang­ulang hal itu sehingga orang meng­anggapnya sebagai sesuatu yang “biasa”, “wajar”, dan bahkan sebagai hal yang memang “seharusnya begitu”. Ujungnya, akan menganggap teori itu sebagai “kebenaran” yang sudah tidak perlu dipertanya kan lagi. Dalam khazanah keilmuan, teori itu sudah menjadi hukum. Eksak. Pasti.

Saya termasuk yang melihat, misalnya, betapa jaringan tele­visi berita CNN Amerika menggunakan trik di atas guna mencari kambing hitam Peristiwa 9/11 agar orang percaya – yaitu dengan mengulang terus­menerus dalam rentangan waktu lama – bahwa Osama Bin Ladin adalah “penjahat” di balik peristiwa keji itu.

Page 20: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Prolog: Si Vis Pacem, Para Bellum xxi

Saya bahkan terperangah ketika pembantu dan tukang kebun saya mengatakan bahwa Osama Bin Ladin–lah dalangnya. Tidak ada yang lain. Alasannya singkat saja: Ya, pokok-e, Bin Ladin, Pak! Semua orang juga pada bilang begitu, kok!

Masih dalam konteks pemblokiran jalan pikiran orang atau pencekokan, hal ini memang praktik­praktik dalam agitasi, pro­paganda, perang urat syaraf, dan bahkan ada dalam konspirologi. Ya, pendekatan konspirasi dalam menganalisis sebuah fenomena. Dalam teori­teori ini orang memang diajarkan: jika tak ada bukti­bukti definitif tentang kebenaran sebuah teori, maka kebenaran yang tidak definitif – dan bahkan fiktif dan ilusif itu – harus di­ulang­ulang sehingga orang terbiasa, dan akhirnya menerimanya sebagai kebenaran sejati. Bila perlu, kata teori­teori tadi, setiap bantahan terhadap “kebenaran sejati” ini dijadikan senjata untuk memukul balik. Orang­orang yang menentang teori keberadaan setan, misalnya, dapat diserang dengan mengatakan bahwa “siapa yang tidak percaya setan, berarti dia telah kerasukan setan”. Karena itu, bukan pula maksud saya ingin mengatakan bahwa: “Siapa yang menganggap perang merupakan keniscayaan sejarah adalah gila, berarti dia telah gila.”

Dalam konteks perang dan damai yang disebut di atas, saya tak bermaksud menggunakan trik menyerang atau membuat orang percaya terhadap “keniscayaan” perang – dan dengan demikian – berarti pula keniscayaan tentang pentingnya senjata. Apalagi sam­pai keniscayaan membeli senjata. Sampai titik ini, jangan­jangan tak ada bedanya antara ilmuwan realis yang percaya perang seba­gai “takdir” sejarah, dengan pemasok senjata door to door. Sebab, keduanya akan sampai pada anjuran yang sama: Belilah senjata

Page 21: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Tragedi & STraTegixxii

dan perkuat angkatan perang, sebab dari sana kedamaian anak cucu akan menemui kepastiannya.

Apa yang hendak saya katakan adalah bahwa keniscayaan tadi – bahwa perang sepasti terbitnya matahari – memang keniscayaan yang sesungguhnya. Saya siap disebut realis tulen. Sebab, jika ditilik atau ditelisik dari sudut pandang sosiologi di mana setiap fungsi yang ada dan tetap hidup di tengah masyarakat berarti dia diperlukan masyarakat, maka dengan terus berlanjutnya perang sampai hari ini, berarti pula – walaupun bukan berkah yang pan­tas disyukuri – perang adalah sesuatu yang memang dibutuhkan. Negara, bahkan meletakkan perang (sesuai konteksnya) sebagai sesuatu yang mulia, dan bukan suatu hal nista. Walaupun semua tahu perang bukanlah suatu hal yang semanis madu, dan bahkan lebih pahit dari empedu.

Bukankah di masa lalu ada keyakinan bahwa serdadu kelas tinggi alias warrior adalah kesatria? Bukankah bagi mereka – yang berprofesi sebagai petarung ini – negara menyediakan pangkat dan tanda jasa, bahkan juga anumerta? Bukankah tiap negara mencip­ta lagu sebagai hiburan dan penghargaan bagi mereka yang tewas di medan laga, dan juga menundukkan kepala – dalam apa yang disebut sebagai mengheningkan cipta? Tak hanya itu, mereka pun diberi liang lahat khusus yang berbeda dari manusia biasa, yang bernama Taman Makam Pahlawan, yang di Jakarta bernama Ta­man Makam Pahlawan Kali Bata? Lebih dari itu, dari asal­muasal katanya pun, bukankah pahlawan itu berarti orang yang berbuat pahala?

Orang boleh berteori bahwa daun palem dan ranting zaitun (olive) adalah simbol perdamaian, dan saya pun setuju itu. Juga,

Page 22: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Prolog: Si Vis Pacem, Para Bellum xxiii

burung merpati putih (bukan loreng). Tetapi pantas dicatat bahwa itu hanyalah simbol dan bukan mewakili realitas. Sekian tahun di parlemen dan sekian puluh kali mengetok palu untuk menyetujui anggaran pertahanan, saya tak pernah mengetok palu untuk pem­belian daun palem atau ranting zaitun. Juga, tak pula membeli merpati untuk diternakkan. Bahkan, saat Dephan/Mabes TNI meminta persetujuan anggaran guna mengirim Pasukan Peme­lihara Perdamaian ke Lebanon sekali pun, mereka tidak minta duit untuk membeli simbol­simbol perdamaian. Apa yang selalu saya ketok, adalah anggaran untuk peluru, senapan, panser, atau sekurangnya­kurangnya baju dan gaji bagi para serdadu. Itulah misi perdamaian.

Ironis bukan?Dengan kondisi seperti itu, dus, apakah ada yang ingin me­

mandang masalah secara ilusif dan mengatakan bahwa perang dan senjata adalah sesuatu yang tidak perlu, dan bahkan merupa­kan hal yang mubazir dan sia­sia?

Jika perkataan orang­orang Romawi dimaknai lagi, sebenarnya akan terbukti bahwa kalimat “Jika siap damai, maka bersiap pula-lah untuk perang” itu berlaku pula dalam hal sebaliknya: “Jika siap perang, maka bersiap pulalah untuk damai.” Sesuatu yang paralel atau yang dibolak­balik tetap sama maknanya, mengingatkan saya pada iklan produk makanan di stasiun teve Jepang beberapa tahun lalu, yang memasang merek “Yama Moto Yama”. Lalu di­susunlah kata­kata: “Ue kara mo, Yama Moto Yama; shita kara mo, Yama Moto Yama” Artinya: “Dari atas pun, Yama Moto Yama; dari bawah pun Yama Moto Yama”.

Saya tidak tahu, apakah kata­kata terpanjang dalam bahasa

Page 23: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Tragedi & STraTegixxiv

Indonesia yang ditemukan orang – yang jika dibolak­balik akan tetap sama bunyinya. Tetapi saya tahu: “Kasur NababaN rusaK”. Atau ada lagi: “KataK”. Tak hanya dibalik, diubah jadi “KodoK” pun dia tetap bergeming.

Lalu, adakah makna khusus seperti kata “perang” dan “da­mai” tadi bila hakikatnya dibolak­balik? Tetapi yang jelas, prinsip “walau dibolak­balik” itu cenderung dianggap sebagai suatu yang magis. Paling tidak, prinsip­prinsip ini digemari dalam organisa­si­organisasi “Secret Society” sebangsa Freemasonry dan iluminati.

illuminati, secara harfiah berarti “Tercerahkan”, adalah sebut­an bagi “Order of Perfectibilists” yang didirikan Johann Adam Weishaupt (1748­1830) pada 1 Mei 1776. Weishaupt adalah ke­turunan Yahudi yang mendapatkan pendidikan Jesuit dan men­jadi pastor yang baik sebelum akhirnya melawan otoritas Gereja Katholik. Gerakan Weishaupt berkembang dengan cepat atas dukungan Meyer Amschel Rothchild (1743­1812), bankir terso­hor di Eropa yang kerajaan ekonominya menggurita hingga kini. Tetapi Weishaupt bukan illuminatus atau “yang tercerahkan” per­tama. Sebelum Weishaupt, di akhir abad ke­15 hingga pertengah­an abad ke­17 yang merupakan masa­masa paling menentukan dalam perkembangan peradaban Eropa modern, kita mengenal dua astronom dan filsuf yang berhasil mengubah cara pandang

Page 24: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Prolog: Si Vis Pacem, Para Bellum xxv

manusia (Eropa) terhadap alam semesta. Keduanya adalah Ni­colaus Copernicus (1473­1543) yang meletakkan dasar­dasar kosmologi heliosentrik dan Galileo Galilei (1564­1642) yang berkat teleskop yang ditemukannya memperkuat teori­teori dasar Copernicus tentang gerak bumi mengelilingi matahari. Otoritas Gereja ketika itu, yang menganggap diri mereka sebagai wakil Tuhan di muka bumi, merasa terancam. Copernicus dan Gali­lei pun dikucilkan. Beberapa kisah malah menyebutkan bahwa Copernicus dihukum mati, sementara Galilei dijatuhi kurungan seumur hidup.

Lebih jauh lagi, akar gerakan illuminati pun ditemukan pada diri Socrates (470­399 SM), salah seorang tokoh penting dalam tradisi filsafat Yunani, Eropa dan Barat, yang riwayat hidup dan pemikirannya kita temukan dalam tulisan muridnya, terutama Plato (427­347 SM) dan Xenophone (430­357). Jauh sebelum Copernicus dan Galilei dikucilkan Otoritas Gereja, Socrates lebih dahulu dipaksa menghabisi hidupnya dengan meminum racun di depan pengadilan Athena. Setelah racun membasahi tenggorok­annya, meluncur masuk ke lambung dan menghantam semua fungsi faal tubuhnya, Socrates masih dipaksa berjalan mengeli­lingi ruang sidang disaksikan oleh para penghukumnya dan te­man­temannya yang tidak dapat berbuat apa­apa. Tetapi, dasar Socrates. Kematian pun tak sanggup memisahkannya dari akal sehat. Setelah tersungkur, Socrates masih sempat membisikkan sesuatu kepada salah seorang temannya, Crito dari Alopece.

“Crito kita berutang seekor ayam pada Asclepius,” ujar Soc­rates menyela maut yang memburu.

“Tolong, jangan lupa bayarkan utang itu,” demikian kalimat

Page 25: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Tragedi & STraTegixxvi

terakhir Socrates yang dipercaya banyak orang. Inilah tragedi Socrates yang telah menyalakan sumbu abadi

perlawanan para pencinta akal sehat terhadap berbagai bentuk tirani.

Nasib buruk seperti yang menimpa Copernicus dan Galilei, atau Socrates–lah yang memaksa illuminati untuk selanjutnya bergerak di balik kegelapan. Seperti kata Tan Malaka, salah se­orang pejuang kemerdekaan kita: bergelap­gelap dalam terang dan berterang­terang dalam gelap. Atau seperti pepatah kuno China yang mengatakan bahwa tem­pat paling gelap adalah di balik nyala lilin.

Prinsip “walau dibolak­balikkan tetap sama” atau biasa juga disebut dengan istilah ambigram (seperti karakter tulisan kata illuminati di halaman sebelumnya) juga dianut oleh keturunan Yahudi yang mendu­kung gerakan Zionisme yang meng­anggap tangkupan dua segitiga kembar yang menghasilkan ben­tuk bintang segi enam itu sebagai Bintang Daud. Bintang yang berkibar di Bukit Sion.

Setidaknya, sejak masa yang amat jauh, prinsip “as above, So Below” telah tersimbol dari lambang Hermes Trismegistus yang konon merupakan simbol tuhan orang Greek yang misterius itu, dan bahkan juga simbol beberapa tuhan lainnya (lihat gambar di halaman selanjutnya).

Begitulah, jika kita dapat menyimpulkan bahwa perang dan

Page 26: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Prolog: Si Vis Pacem, Para Bellum xxvii

damai atau damai dan perang memang merupakan suatu hal yang sama dan sebangun, maka pertanyaannya adalah bagaimanakah kekuatan per­tahanan atau persenjataan kita sekarang? Kalau perang dapat diartikan sebagai penentu peta di masa damai atau peta diplo­masi, maka bagaimana pulakah kekuatan senjata kita untuk mengawal proses diplomasi, baik diplomasi politik atau pun

diplomasi ekonomi?Melihat kenyataan dua dasawarsa terakhir, dan terlebih lagi da­

lam beberapa tahun terakhir ini, wajah pertahanan kita memang tampak semakin memelas. Seseorang bahkan sampai me ngatakan bahwa perdamaian memang tidak jatuh dari langit, yang jatuh dari langit itu adalah pesawat­pesawat tempur tentara kita, yang seharusnya menjaga perdamaian. Yang seharusnya menjadi ke­banggaan dan simbol harga diri!

Sebagai Ketua Kelompok Kerja Pertahanan dan sekaligus pula Wakil Ketua Komisi I Bidang Pertahanan DPR RI periode 2004­2009, saya pun hampir mengidap penyakit sawan, atau sejenis paranoid sehubungan kecelakaan bertubi di lingkungan TNI. Ra­sanya mirip lomba adu cepat memperoleh gelar: “Juara menukik dan mencium wajah Ibu Pertiwi”, di mana dalam setahun berkali­kali peristiwa itu terjadi. Ada yang tersungkur di tambak udang,

As Above, So Below

Page 27: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Tragedi & STraTegixxviii

areal persawahan, menghantam hanggar sendiri, ada yang roda pesawatnya terpelanting, dan entah apa lagi.

Media massa pun tak kurang meriahnya meramaikan. Istilah pesawat terbang TNI pun diganti dengan istilah yang tidak kepa­lang tanggung: Peti Mati Terbang!

Sejak paruh kedua tahun 2009, saya sampai­sampai kerap membatin dan trauma setiap mendapat telepon dari para jurnalis yang meminta komentar tentang sesuatu. Tiap kali telepon masuk, yang muncul dalam benak saya hampir selalu seputar masalah ini: Giliran pesawat yang mana lagi? Jatuh di mana? Berapa korban jiwanya?

Demi rasa tanggung jawab, kecintaan terhadap bangsa dan negeri ini, dan juga persoalan harga diri (baik sebagai bangsa atau pribadi), saya acap kali “menggonggong” kepada Pemerintah (ek­sekutif ) di Ruang Sidang Komisi I, dan juga di media massa agar sebuah solusi arif segera diambil atau ditemukan. Sebagai pribadi saya pun tak ingin menjadi “timun bengkok”: Ada tetapi tidak diperhitungkan. Atau bak pribahasa “ada tidak menggenapkan, tak ada pun tidak pula mengganjilkan”. Saya enggan jadi usus buntu, yang ada dalam tubuh manusia, tapi barangkali tak terlalu jelas makna dan kegunaannya. Maka, saya mencoba melakukan hal baik yang mungkin dapat dilakukan.

Tak hanya “menggonggong” Malaysia dalam urusan Blok Ambalat. Atau tak hanya menemui dan menenangkan orang­orang bercelurit yang mengamuk saat saudaranya tertembak mati di Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) Marinir Armada Timur, Surabaya – dan dikenal sebagai “Peristiwa Alastlogo”. Terhadap masalah pertahanan pun saya mencoba untuk berbuat. Salah satu

Page 28: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Prolog: Si Vis Pacem, Para Bellum xxix

perbuatan – setidaknya saya anggap – baik yang dilakukan dan akan ditinggalkan sebagai catatan, adalah studi tentang alat uta­ma sistem senjata (alutsista) untuk dan atas nama Komisi I yang saya lakukan. Catatan itulah yang kemudian ditulis ulang men­jadi buku ini. Menjadi laporan publik dengan gaya yang (semoga) lebih populer. Bukan bahasa tatakrama birokrasi atau tatapraja.

Bagi saya, penulisan laporan itu merupakan tugas berat, tetapi sekaligus pula mempunyai memori sendiri. Sebagai misal, dalam hal dikejar deadline sehubungan berakhirnya periode pengabdian selama lima tahun di parlemen, dan juga dalam kondisi psikolo­gis harus “undur diri” akibat “tewas” sebagai “syuhada pemilu”. Yaitu, menang tetapi tidak dilantik akibat undang­undang yang setiap pemilu selalu “disesuaikan” partai­partai yang memiliki kekuatan melakukan “penyesuaian” itu demi keuntungan dirinya – dan partai kami karam karena tidak memenuhi threshold 2,5% suara yang ditetapkan undang­undang baru itu. Tetapi kondisi pontang­panting dikejar deadline dan juga himpitan tugas men­jelang “tutup buku” itu telah membuat laporan – yang kemudian menjadi buku ini – memiliki sejarah tersendiri.

Laporan yang menjadi cikal­bakal buku ini, ditulis di bebera­pa tempat di celah­celah himpitan tugas. Yaitu di Jakarta, Kuala Lumpur, Bangkok, Amsterdam, Brussel, dan Istanbul. Tentulah bukan maksud mengatakan bahwa saya dibimbing wahyu dalam menulis laporan itu, apalagi mengatakan “dan karenanya, maka” laporan itu dapat dikategorikan ala surat­surat “makiah” dan “madaniah” seperti kitab suci. Namun, keadaan berpindah­pin­dah gaya orang­orang nomaden ini membawa tuah­tuah tertentu dalam menulis, setidaknya dalam merangsang getaran­getaran

Page 29: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Tragedi & STraTegixxx

serabut otak yang letih untuk bekerja lebih baik. Saya berharap getaran­getaran yang mendatangkan inspirasi untuk menulis dan merangkai kata sehingga menjadi tulisan ini akan menjadi tuah pula bagi pembaca.

Pada prinsipnya buku ini dipicu oleh upaya untuk menemu­kan penyebab mengapa sejumlah kecelakaan bertubi­tubi telah terjadi di lingkungan TNI. Tetapi, jika hanya itu yang menjadi pertanyaan, maka kajian ini akan terlalu dangkal. Apalagi, hasil investigasi yang lugas dari Pemerintah tentang sebab­sebab ke­celakaan tak pernah mampir ke meja anggota DPR. Karena itu sejumlah pertanyaan penting lain pun seputar wajah pertahanan kita, ikut menjadi fokus perhatian.

Tak hanya memotret atau memetakan wajah pertahanan (se­perti bagaimana pembelian dan perawatan alutsista dilakukan), namun bagaimana anggaran pertahanan juga ikut menjadi pokok bahasan. Termasuk pula, masalah bagaimana alat­alat pertahanan itu dibeli atau diadakan dan dipelihara, bagaimana pula masalah “tumakninahnya”. Lebih dari itu, makna pertahanan dan hal­hal yang lebih filosofis juga ikut didiskusikan. Dalam buku ini, seba­gai misal, dikatakan bahwa perang dan senjata bukanlah hanya urusan pembelaan dan penyelamatan diri, melainkan juga me­ngandung dimensi atau jangkauan makna yang lebih jauh. Inilah sebabnya pembangunan kekuatan pertahanan dianggap sebagai hal yang perlu dalam buku ini. Sekalipun dalam masyarakat mung­kin ada trauma dari masa silam, di mana tentara yang kuat diang­gap dapat memicu pemberangusan demokrasi dan hak azasi. Tetapi buku ini menyatakan bahwa hal itu bukanlah hal yang saling ber­korelasi dengan kekuatan militer tadi.

Page 30: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Prolog: Si Vis Pacem, Para Bellum xxxi

Dalam pembangunan kekuatan pertahanan yang dimaksud di atas, buku ini juga mencoba mengajukan cara pandang atau para­digma baru tentang pertahanan. Yaitu, pembangunan kekuatan pertahanan tidak selalu berarti tindakan yang akan me ngurangi kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, justru dapat membawa berkah dan manfaat bagi kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi. Tanpa tedeng aling­aling, buku ini bahkan berani menancapkan panji­panji dan mengajukan slogan yang terpatri rapi: Menjadi-kan industri pertahanan sebagai lokomotif penarik gerbong pereko-nomian nasional!

Bahwa hal di atas merupakan mimpi, ini merupakan hal yang pasti, dan saya setuju dikatakan begitu. Lebih dari itu, mimpi itu bahkan perlu dijadikan mimpi banyak orang, mimpi anak­anak negeri ini. Tetapi saya perlu memberi catatan bahwa mimpi ini adalah sebuah “possible dream” atau impian yang mungkin; dan bukan mimpi yang mengigau di siang hari. Kita harus mencatat dan mengingatnya dalam­dalam bahwa tidak sedikit dari bangsa­bangsa yang besar atau para pemimpin besar itu pada awalnya adalah para pemimpi besar. Ini bahkan terjadi sejak Hitler sam­pai Sukarno. Oleh sebab ini, maka jangan sampai terjadi bahwa sekadar bermimpi pun kita telah tidak berani, atau telah menjadi takut, atau kehilangan rasa percaya diri!

Memang benarlah bahwa para filsuf (dalam segala bentuknya) sering kali meragukan kesadaran alam pemikiran manusia. Ter­masuk, misalnya, Karl Marx melalui teori “false consciousness” atau “kesadaran palsu” yang digagasnya. Pada masa 2500 tahun silam, Pindar (filsuf dan sekaligus penyair Greek) telah menulis melalui lirik­liriknya bahwa “man is the dream of a shadow”, atau

Page 31: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Tragedi & STraTegixxxii

“manusia adalah impian dari sebuah bayang­bayang”, yaitu dalam pengertian berada pada mimpi yang mengigau dan bahkan tak sadarkan diri. Alias, manusia yang tidak mengalami pencerahan atau, menurut istilah Pindar, adalah sebagai manusia yang tidak mendapat “splendor of light from god” karena dia tidak berbuat dan tidak berpikir secara bersungguh­sungguh. Pindar lebih suka menyebut mereka sebagai “man as nothing” dan bukan sebagai “man as anything”.

Terhadap istilah di atas, para penerjemah ada kalanya mener­jemahkannya sebagai “man as someone” dan “man as no one”. Akan tetapi, dengan mengikuti istilah yang telah disebut jauh di atas, saya lebih senang menyebutnya sebagai “manusia usus buntu”, yaitu yang bukan saja ada tapi tidak jelas kegunaannya, melainkan tidak jarang pula merongrong serta merusak keseha­tan secara keseluruhan.

Tak hanya Pindar, Plato sendiri pun ikut berucap tentang hal yang mirip: “Man only live in a dream.” Tapi, ucapan ini tampak­nya ia nyatakan dengan frustrasi, dan ini terbukti dari lanjutan kata itu: [and...] only the philosopher strives to be awake.”

Jika diyakini bahwa filsuf bukan berpikir hanya untuk diri­nya sendiri, melainkan berpikir demi kemaslahatan umat manu­sia atau orang banyak, maka kata “strives to be awake” (berusaha untuk bangun) tadi jelas merupakan sebuah ajakan – dan kalau bukannya malah ejekan. Pentingnya berpikir dan memiliki alam kesadaran yang benar, lebih jelas lagi disampaikan Rene des Cartes dalam ucapannya yang terkenal: Cogito ergo sum! Alias, saya ber­pikir, maka saya ada!

Dalam konteks berpikir di atas – dan terutama dalam hal

Page 32: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Prolog: Si Vis Pacem, Para Bellum xxxiii

pertahanan nasional – saya hendak mengatakan bahwa kita se­sungguhnya mungkin telah lama lelap dalam mimpi yang me­ngigau itu, dan jangan­jangan memang belum pernah terbangun dari mimpi jenis itu. Mungkin saja kita merasa seolah­olah telah berpikir dengan baik dan benar dalam mimpi yang mengigau itu, padahal nyatanya tidak. Adanya kenyataan di lapangan yang saya temui saat wawancara guna mendalami permasalahan untuk penulisan naskah ini, mengisyaratkan perihal tersebut. Kenyataan itu menggelikan dan mirip sebuah komedi, tetapi sekaligus juga merupakan sebuah ironi, dan bahkan tragedi.

Sebagai misal, adalah tentang praktik­praktik BUMN Industri Strategis (BUMNIS) kita yang terpaksa mengekspor komponen industri buatannnya sen diri ke Singapura untuk kemudian di­impor balik dan baru di pakai. Praktik yang merepotkan, me­makan waktu – dan bahkan aneh karena memberi keuntungan kepada pihak asing yang tidak perlu tetapi harus ditempuh guna memenuhi prosedur sah dan legal guna menyiasati pajak yang kurang bersahabat – ini tentu merupakan salah satu contoh yang dapat disebutkan.

Di BUMNIS yang lain, saya menemukan kenyataan aneh yang lain lagi. Beberapa tahun yang lalu perusahaan itu memiliki sekitar 100 orang tenaga ahli untuk produksi alat­alat pertahan­an, tapi sekarang tinggal 10 orang saja. Setelah didalami melalui wawancara, ternyata pasalnya adalah faktor end-user yang me­mang telah tidak pernah memesan produk dari perusahaan itu se­lama 15 tahun terakhir. Mereka lebih suka menggunakan produk impor ketimbang produk negeri sendiri. Seperti dikatakan nara sumber, ini tak peduli bahwa produk mereka sanggup bersaing

Page 33: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Tragedi & STraTegixxxiv

dalam harga dan kualitas serta ketepatan delivery. Dalam hal alat komunikasi Handy Talky (HT), misalnya, kata nara sumber, end-user bahkan tidak peduli bahwa desain HT impor itu telah ke­tinggalan zaman dan terlalu besar sehingga saat menggunakannya ada anggota yang membungkusnya dengan kertas koran karena malu.

Hal di atas juga terjadi saat kita membeli empat buah kapal jenis Korvet. Saat menyetujui anggaran pembelian keempat Kor­vet itu, Komisi I DPR memberi syarat agar dua kapal dibuat di Belanda dan dua lagi dikerjakan di PT PAL. Ini demi penghe­matan devisa, lapangan kerja, alih teknologi, serta keuntungan pemerintah dari sisi pajak. Tetapi, akhirnya keseluruhan kapal itu dibuat di Belanda. Kisah Korvet ini tentu merupakan kisah serupa (walaupun tak sama) dengan kisah­kisah yang disebut sebe lumnya. Kisah­kisah seperti ini mungkin banyak jumlahnya. Dan, apa yang ditemukan serta ditulis dalam buku ini hanya ibarat puncak gunung es yang menyembul ke permukaan laut – dan di dasar laut itu terdapat gunung maha besar yang tidak ke lihatan.

Inti persoalan di atas, seperti dikatakan hampir seluruh nara sumber, adalah minimnya keberpihakan eksekutif atau pemerin­tah. Ini tentu akan membuat publik atau sebagian orang ter­perangah dan bertanya­tanya – walaupun mungkin juga sebagian besar telah tahu dan telah menganggapnya rahasia umum. Seba­gai misal, apakah sikap kesatria, nasionalisme, serta patriotisme memang hanya diperlukan di medan laga peperangan dan tidak perlu ditunjukkan serta diuji dalam kehidupan sehari­hari yang real atau nyata itu?

Page 34: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Prolog: Si Vis Pacem, Para Bellum xxxv

Memang benar bahwa dari sisi kebijakan di tingkat paling atas, pemerintah tak kurang banyaknya mengeluarkan peraturan itu dan ini, atau juga Kepres itu dan ini agar keadaan dapat ber­jalan seperti yang diharapkan banyak orang. Tetapi pantas dicatat bahwa (seperti sering diungkap dalam istilah orang­orang dari negeri Barat), “the devil is in the detail”. Alias, setannya adalah pada detil­detil dari kebijakan itu. Kebijakan, dengan kata lain, tak cukup hanya dibuat di atas kertas, melainkan harus terus di­pantau sampai ke tingkat yang paling bawah.

Dalam masalah di atas, tentu tidak kalah benarnya jika orang mengatakan bahwa sebagai lembaga legislatif, DPR bertugas menjalankan fungsi kontrol. Tetapi perlu ditegaskan bahwa da­lam hal apakah anggaran digunakan secara tepat atau tidak, di­belanjakan sesuai dengan janji dan syarat saat palu persetujuan anggaran diketuk di ruang sidang ataukah tidak, kewenangan DPR tidaklah sejauh itu. Pada prinsipnya – dan terkecuali dalam keadaan yang amat khusus – DPR hanya menyetujui atau tidak menyetujui anggaran atau rencana pembelian sesuatu. Selepas itu, kewenangan utama berada di BPK, KPK, dan mungkin juga ke­polisian.

Dengan memperhatikan keanehan­keanehan yang (tapi) nyata seperti yang diuraikan di atas, dan jika hal ini dikaitkan dengan lemahnya sistem pertahanan nasional (termasuk tragedi kecelakaan di lingkungan TNI secara beruntun), maka mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tragedi­tragedi di lapangan atau tragedi­tragedi di alam nyata itu sesungguhnya bermula dari tragedi­tragedi di alam pemikiran kita. Saya tidak secara khusus menguraikan arti kata “kita”, baik yang disebut sekarang ini atau

Page 35: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Tragedi & STraTegixxxvi

pun yang sebelumnya, tetapi secara umum saya dapat menyebut­nya sebagai “siapa saja yang merasa”.

Saya tentu saja tak mungkin sanggup menyelesaikan karya ini seorang diri, tanpa bantuan siapa pun. Ini saya katakan bukan karena cemas dinilai mau menandingi Robinson Crusoe yang menurut sahibul­hikayatnya sanggup hidup menyendiri di pulau terpencil. Namun begitu, jika saya menyebut nama satu per satu, mata pembaca mungkin akan berpendar atau berkunang­kunang saking panjangnya. Di Komisi I DPR RI saja, setidaknya ada le­bih 50 nama yang hampir semuanya mendorong saya mengolah naskah yang saya laporkan agar diterbitkan dan akhirnya men­jadi buku ini. Daftar nama ini tentu akan semakin panjang jika saya menambahkan nama lain, baik wanita atau pria yang ada di Se k retariat Komisi I yang telah banyak membantu. Tetapi baiklah, saya sebutkan dua nama yang sesungguhnya ikut ber­peran, betapa pun pada lingkar yang kesekian. Mereka adalah Sugeng dan Joy yang biasa membuatkan kopi dan sering saya goda dengan kata­kata bahwa kopi DPR itu nikmat.

Di luar lingkungan kerja di atas, saya ingin menyebut dua lagi nama: Teguh Santosa dan Dandhy D. Laksono, dua sahabat yang membantu memoles naskah ini bermalam­malam sampai pagi. Kepada mereka dan kepada sejumlah nama yang terlibat – tapi tak dapat saya rinci – saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih.

Akhirnya, karena hanya allah azza wa Jalla jua pemilik keperkasaan dan keagungan, maka kepada Dia­lah saya memo­hon ampunan atas khilaf dan keliru yang mungkin telah terjadi selama dan di dalam penulisan buku yang saya lakukan. Tentu

Page 36: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Prolog: Si Vis Pacem, Para Bellum xxxvii

dengan harapan bahwa khilaf dan keliru ini tidak merupakan penye satan dan kesesatan.

Page 37: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Tragedi & STraTegixxxviii

Wajah ceria para Prajurit TNI yang idealnya tidak berubah menjadi duka. foto: istimewa.

Page 38: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Bukan Anugerah yang Jatuh dari Langit 1

BUKAN ANUGERAH YANG JATUH DARI LANGIT

Jika engkau mengetahui dirimu dan mengetahui musuh-musuhmu, maka dalam seribu perang pun engkau tak akan terkalahkan.

Sun Tzu

BAGIAN sATU

1

Page 39: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

TrAgedi & STrATegi2

Page 40: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Bukan Anugerah yang Jatuh dari Langit 3

Dalam lima tahun terakhir, kita sama-sama menyak-sikan kecelakaan demi kecelakaan yang menimpa ar-mada milik Tentara Nasional Indonesia (TNI), di laut

atau pun di udara. Ironisnya, rangkaian peristiwa yang merenggut nyawa tersebut justru terjadi di masa damai, di saat Indonesia tidak terlibat konflik bersenjata dengan negara manapun.

Dalam semester pertama tahun 2009 saja setidaknya terjadi tujuh kecelakaan yang menewaskan 131 orang. Kecelakaan pa-ling tragis terjadi bersamaan dengan peringatan Hari Kebangkit-an Nasional 20 Mei 2009. sebuah pesawat Hercules C-130 milik TNI AU jatuh terjerembab mencium bumi pertiwi dan terbakar di Magetan, Jawa Timur. sebanyak 101 orang, sebagian besar adalah anggota TNI Angkatan Udara dan lainnya adalah warga setempat, tewas. Kecelakaan ini menyusul kecelakaan yang ter-jadi sembilan hari sebelumnya. Tanggal 11 Mei, Hercules C-130 B milik TNI AU mengalami kecelakaan karena mendarat sepu-luh meter sebelum landasan pacu Bandara Wamena, Jayawijaya, Papua. Tidak ada korban nyawa dalam kecelakaan ini. Kedua kecelakaan yang menimpa armada Hercules Indonesia tersebut menyusul kecelakaan sebelumnya di awal April ketika sebuah

Page 41: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

TrAgedi & STrATegi4

Fokker F-27 Troopship jatuh di hanggar Lanud Husein sastrane-gara, Bandung, Jawa Barat. sebanyak 24 nyawa hilang alias tewas dalam kejadian ini.

setelah tiga kecelakaan itu, di bulan Juni 2009 terjadi dua ke-celakaan yang menimpa armada TNI. Pada 12 Juni 2009, sebuah helikopter Puma milik TNI AU terjatuh di Lanud Atang sanjaya, Bogor, Jawa Barat. Dua orang anggota TNI tewas dalam kejadian ini. Empat hari sebelumnya, 8 Juni 2009, helikopter TNI AU jenis Bolkow 105 buatan PT Dirgantara Indonesia lebih dahulu berdebum ke bumi. Kecelakaan yang terjadi di Desa situhiang, Cianjur, Jawa Barat ini menewaskan tiga orang, termasuk Ko-mandan Pusat Pendidikan Pasukan Khusus, Kolonel Inf. Ricky samuel.

Kecelakaan pertama yang menimpa pesawat milik TNI (dan Polri) di periode 2004-2009 terjadi pada tanggal 23 Desember 2004. sebuah helikopter Puma TNI AU jatuh di Desa surgede, Wonosobo, Jawa Tengah. sebanyak 14 orang tewas termasuk in-struktur penerbangan di sekolah penerbangan Lanud Adisucipto. Dua bulan kemudian, 22 Februari 2005, pesawat Cassa 212-200 milik Polri jatuh di dekat Bandara Mararena, Papua, dan me-newaskan 15 orang termasuk empat kru pesawat. Tak lama ber-selang, 21 Juli 2005, giliran CN-235 Alfa 2301 milik TNI AU jatuh di Bandara Malikussaleh, Lhokseumawe, dan menewaskan tiga personel TNI AU. setahun kemudian, 19 Juli 2006, Cassa 212-200 milik TNI AD jatuh di Tambak Cilendek, dekat Ban-dara Ahmad Yani, semarang.

setahun setelah itu, 23 Juli 2007, mesin pesawat OV 10F Bronco meledak sesaat setelah tinggal landas dari Lanud Abdul-

Page 42: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Bukan Anugerah yang Jatuh dari Langit 5

rahman saleh, Malang, Jawa Timur. seorang penerbang tewas dan dua lainnya terluka. Belum berganti tahun, 30 Desember 2007, pesawat Nomad milik TNI AL jatuh di perairan sabang, Nang-groe Aceh Darussalam. Dua orang tewas dalam kejadian ini. se-minggu setelah itu, 6 Januari 2008, helikopter s-58 T Twinpack jatuh di Riau. seorang warga negara singapura yang menum-pang helikopter itu tewas, sementara sembilan penum pang lain meng alami luka serius. Dua bulan kemudian, 11 Maret 2008, helikopter latih milik TNI AU jenis Bell-47G soloy yang telah berusia 32 tahun jatuh di ladang tebu Desa Wanasari, Kabupaten subang, Jawa Barat. seorang penerbang tewas dan seorang lain-nya luka serius. Tiga bulan kemudian, 26 Juni 2008, kecelakaan kembali terjadi. Cassa A212-200 milik TNI AU jatuh di kawasan Gunung salak, Bogor, Jawa Barat. sebanyak 18 penumpang tewas dalam kejadian ini.

Kecelakaan demi kecelakaan di atas adalah bagian dari tragedi sistem pertahanan nasional kita. Menurut hemat saya, rangkai-an kecelakaan ini adalah puncak dari pegunungan es atau the top of the iceberg: Ia mengindikasikan kesalahan fundamental dalam merancang model dan postur sistem pertahanan nasional kita.

Rencana strategi (Renstra) Pertahanan Nasional Indonesia di-susun secara serabutan, tanpa ukuran yang jelas. Istilah serabutan ini mungkin tidak mengenakkan telinga anggota serta petinggi TNI dan Departemen Pertahanan. Tetapi apa boleh buat. Itulah kenyataan yang saya saksikan selama saya bertugas di Komisi I DPR RI, yang antara lain membidangi masalah perta hanan na-sional.

Dalam berbagai rapat dengan mitra kerja, dalam hal ini De-

Page 43: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

TrAgedi & STrATegi6

Kecelakaan Hercules di Magetan, Jawa Timur, Mei 2009. sebanyak 101 orang tewas dalam kejadian ini. foto: istimewa.

Pesawat Hercules C130 milik TNI AU. foto: istimewa.

Page 44: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Bukan Anugerah yang Jatuh dari Langit 7

partemen Pertahanan dan Mabes TNI, kami kerap didesak un-tuk menyetujui pembelian senjata ini dan itu. setiap kali desakan seperti ini disampaikan, saya selalu mengajukan pertanyaan balik: untuk apa senjata ini dan itu dibeli, dan sebetulnya apa yang mau dibuat?

Dapat saya sebutkan disini bahwa hampir setiap kali saya mengajukan pertanyaan seperti itu, hampir setiap kali pula saya mendapatkan jawaban yang mengecewakan. Jarang ada penjelas-an yang memuaskan mengenai mengapa senjata ini dan itu, misal nya, dibeli dalam jumlah tertentu. Hal tersebut sebenarnya terjadi karena memang tidak ada perencanaan yang jelas dan te-gas. Terus terang, hal ini membuat saya terkadang harus menge-lus dada, tak puas dan serba salah, saat mengetukkan palu untuk menyetujui anggaran belanja bidang pertahanan. Dapatlah saya simpulkan bahwa pengadaan Alat Utama sistem senjata (alut-sista) kita sejauh ini tidak didorong oleh prinsip necessary driven atau berdasarkan kebutuhan riil. Melainkan dikendalikan oleh supplier driven atau kepentingan rekanan pemasok senjata yang memanfaatkan ketiadaan blue print sistem pertahanan nasional kita, demi keuntungan mereka.

Bagi saya, ini jelas tragedi. Bagaimana mungkin sebuah negara berukuran besar, yang telah merdeka dan berdaulat selama 64 ta-hun, tidak memiliki cetak biru pertahanan nasional?

saya dan rekan-rekan anggota Komisi I periode 2004-2009 memandang bahwa pertahanan nasional merupakan masalah yang amat vital bagi kelangsungan kehidupan bangsa. saya selalu berharap agar pemerintah sebagai pengambil kebijakan memiliki pandangan yang kurang lebih sama.

Page 45: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

TrAgedi & STrATegi8

Pertahanan, sebagaimana akan dibahas secara komprehensif dalam bagian-bagian berikut, bukanlah hal yang hanya menyang-kut masalah kelengkapan pasukan dan senjata serta pertempuran dan perang semata. Dari sudut pandang yang lain, pertahanan na-sional mestilah dipandang sekaligus sebagai undakan yang ha rus dimiliki sebuah negara yang berdaulat untuk menciptakan dan menjaga perdamaian. Di sisi lain, perdamaian sendiri bukan se-suatu yang given atau anugerah yang jatuh dari langit, melainkan sesuatu yang harus diciptakan, ditegakkan, serta dijaga. Dan, itu antara lain dapat dilakukan dengan membangun angkatan perang yang kuat dan berwibawa.

Dalam suasana tidak perang, kekuatan pertahanan dapat menjadi simbol kedaulatan, kebanggaan, harga diri, serta menjadi sarana penggertak atau penggentar (deterrent) di pentas diplomasi regional dan global. Tampaknya sudah merupakan hal yang dipa-hami secara umum bahwa jika pertahanan kuat, kedaulatan serta kekayaan nasional di darat, laut, ataupun udara, misalnya, tidak akan mudah diganggu gugat oleh negara lain manapun.

sebaliknya, jika pertahanan nasional berada dalam keadaan lemah, maka berbagai kemungkinan yang muskil terjadi pun dapat saja tiba-tiba terjadi: Kewibawaan dan kedaulatan negara pun akan terinjak-injak oleh negara lain. Masalah Blok Ambalat, masalah perbatasan darat serta masalah pulau-pulau terdepan ten-tu dapat disebut sebagai contoh. illegal fishing, illegal logging, dan illegal mining yang setiap tahun diperkirakan merugikan negara triliunan rupiah, termasuk pula ke dalamnya.

Anggaran pertahanan yang minim selama beberapa tahun terakhir menjadi salah satu persoalan nasional yang serius. saya

Page 46: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Bukan Anugerah yang Jatuh dari Langit 9

mengetahui dengan pasti betapa selama ini DPR RI berupaya sekuat mungkin meningkatkan anggaran pertahanan nasional meskipun harus berbenturan dengan realita Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang juga minim. Anggaran pertahanan yang minim ini berakibat pada lemahnya kinerja pertahanan, se-perti telah disinggung di atas. Dengan begitu, jelas ini merupakan persoalan yang bukan main-main. Lebih ironis lagi, hal tadi tentu dapat pula merusak sistem serta tradisi-tradisi pertahanan yang telah dibangun dalam waktu yang panjang.

Dalam menyikapi anggaran pertahanan yang minim, Depar-temen Pertahanan, misalnya, telah berupaya melakukan penye-suaian. Antara lain, melalui konsep pertahanan minimum esen-sial (minimum essential force). Tetapi, mengingat anggaran untuk pertahanan esensial minimum ini pun hanya sanggup dipenuhi pemerintah sekitar seperempat atau sepertiganya saja selama be-berapa tahun belakangan ini, maka sulit untuk mengatakan bah-wa minimnya anggaran tersebut tidak membawa dampak negatif yang signifikan terhadap kondisi pertahanan nasional.

Berbagai kecelakaan yang dialami pesawat tempur TNI yang terjadi secara beruntun seolah saling berpacu dan susul-menyu-sul, kesanggupan TNI AL berpatroli yang rendah akibat ke-langkaan kapal dan bahan bakar, juga kesempatan pilot satuan penerbangan di lingkungan TNI yang rendah untuk terbang dan berlatih sesuai standar, dan bahkan jumlah peluru yang terbatas untuk mempertahankan kemahiran prajurit dalam menembak, merupakan kenyataan riil yang ada di lapangan. Realitas inilah yang mendorong Komisi I DPR RI periode 2004-2009 yang lalu membentuk Tim Alutsista untuk mengkaji secara komprehensif

Page 47: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

TrAgedi & STrATegi10

kondisi dan terutama sekali sistem pertahanan dan manajemen pertahanan nasional kita.

Di dalam buku ini pertanyaan utama yang saya ajukan adalah “mengapa kecelakaan-kecelakaan di lingkungan TNI – terutama kecelakaan pesawat udara – cenderung terjadi berulang-ulang da-lam waktu berdekatan dalam tahun-tahun belakangan ini?”

sekalipun diakui, seperti yang telah dikatakan sebelum ini, bahwa kecelakaan pesawat berulang-ulang dan dalam waktu dekat serta kecelakaan-kecelakaan lain di lingkungan TNI men-jadi salah satu pemicu penting yang menjadi latar belakang buku ini, namun pokok masalah lain yang berkaitan dengan tragedi dan strategi pertahanan nasional juga tak akan luput dari kajian ini.

Untuk menemukan jawaban yang memuaskan atas pertanya-an pokok di atas, beberapa persoalan lain yang bersifat turunan juga akan saya uraikan dalam buku ini. Pertanyaan-pertanyaan tersebut menyangkut masalah perencanaan pertahanan nasional, keterkaitan antara rencana pertahanan dengan pembelian alut-sista, pemeliharaan alutsista, juga kelayakan dan prosedur latihan para prajurit dalam pengoperasian alutsista. Deskripsi mengenai jumlah, jenis dan kondisi alutsista, juga anggaran pertahanan pun akan saya kupas dalam buku ini. Lebih lanjut, guna memberi makna yang tepat bagi pertahanan dalam kehidupan bernegara serta pergaulan antarbangsa, maka makna pertahanan, masalah perang dan damai (termasuk aspek-aspek filosofisnya) juga akan dibahas.

Keterkaitan antara tiga tragedi yang sedang terjadi di depan mata kita akan saya urai di dalam Bagian Dua. Tragedi-tragedi

Page 48: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Bukan Anugerah yang Jatuh dari Langit 11salah satu dari 101 korban tewas dalam kecelakaan Hercules di Magetan, Mei 2009. foto: istimewa.

Page 49: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

TrAgedi & STrATegi12

inilah yang selama beberapa waktu terakhir sungguh membuat saya prihatin dan gundah-gulana. Pertama adalah tragedi pikiran yang “busuk berbelatung dan dikerubuti lalat” yang membuat kita tidak bersungguh-sungguh untuk memperkuat pertahanan nasional kita. sebagai akibatnya, lahirlah tragedi kedua, dimana alutsista kita begitu rapuh. Pesawat-pesawat kita jatuh satu per-satu, kapal-kapal perang kita pun tak bisa berbuat banyak, untuk sekadar mengejar pencuri ikan, misalnya. Ada lelucon yang me-ngatakan, sebab kapal-kapal perang kita tak berani mengejar pen-curi ikan adalah rasa takut tak dapat pulang ke pangkalan karena tidak punya bahan bakar yang cukup dan karena memang sudah tua badan kapalnya. sementara BUMNIs yang kita miliki hanya dipandang sebelah mata. seakan, bagi para pengambil kebijakan pertahanan nasional kita, BUMNIs-BUMNIs itu sebaiknya tidak usah ada.

Nah, dua tragedi inilah yang pada akhirnya melahirkan tra-gedi ketiga: Kelemahan di bidang diplomasi. Bangsa kita yang menurut cerita-cerita di dalam buku sejarah – catat, bukan buku dongeng – memang sudah besar sejak masa lalu, kini menjadi bangsa “tahu-tempe” yang tidak punya wibawa di hadapan nega-ra-negara lain, terutama negara tetangga. Kita sudah dianggap bukan apa-apa. Kalau menurut istilah di Medan, kota kelahiran salah seorang sahabat saya, kita ini sudah “dijengkali”. sudah tidak menggentarkan lagi. Dengan melihat pesawat kita yang rontok saban hari mereka, tetangga-tetangga kita itu, pun tahu bahwa dengan mudah kita bisa mereka kuasai. Ironis.

Dalam bagian selanjutnya, saya akan membahas makna perta-hanan negara dari perspektif nonmiliter, seperti politik, ekonomi,

Page 50: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Bukan Anugerah yang Jatuh dari Langit 13

dan juga diplomasi, atau perspektif internasional dalam arti yang luas. Dalam bagian ini saya hendak membawa pembaca ke alam pikiran lain yang memandang pertahanan nasional tidak sekadar berkaitan dengan masalah menghadapi musuh di medan perang secara fisik, melainkan jauh lebih luas dari itu.

Di dalam Bagian Empat yang merupakan bagian khusus yang membahas kondisi pertahanan nasional dewasa ini, saya akan menggambarkan kondisi alutsista dalam sistem pertahanan na-sional, baik jenis, jumlah, usia, juga keragaman jenis. Keadaan ini sedikit banyaknya berkaitan dengan efisiensi perawatan ataupun compatibility alutsista. selain itu, masalah anggaran pertahanan akan menjadi salah satu sorotan pula dalam bagian ini. sasaran yang hendak dicapai dari bagian ini adalah memberikan pema-haman tentang kondisi pertahanan nasional secara umum. sam-pai taraf tertentu, bagian ini juga akan memberikan gambaran yang bersifat analitis, terutama mengenai korelasi antara kondisi alutsista dengan kecelakaan di lingkungan TNI, khususnya ke-celakaan pesawat udara.

Bagian Lima akan mengkaji masalah manajemen pertahan-an nasional yang meliputi perencanaan pertahanan, sistem pe-ngadaan alutsista serta pemeliharaan alutsista tersebut. Mengingat pengadaan alutsista (setidaknya sampai masa tertentu) dilakukan melalui pemasok (supplier), bagian ini juga menggambarkan se-jauh mana peran atau pengaruh perantara dalam menentukan jenis alutsista yang akan dibeli. Persoalan apakah alutsista dibeli atas dasar kebutuhan (necessary driven) ataukah atas dasar pe-ngaruh pemasok (supplier driven) akan menjadi salah satu sorot-an penting dalam bagian ini. semua pokok bahasan dalam bagian

Page 51: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

TrAgedi & STrATegi14

ini akan dikaitkan dengan kecelakaan-kecelakaan di lingkungan TNI, terutama sekali kecelakaan pesawat udara. Pembahasan da-lam bagian ini pun dimaksudkan untuk melihat apakah faktor-faktor yang disebutkan tadi memiliki korelasi yang signifikan.

Bagian VI buku ini merupakan bagian yang membahas ten-tang cara pandang yang ideal terhadap masalah pertahanan, ter-utama dalam hal pembangunan kekuatan pertahanan nasional. Berbeda dari dua bagian sebelumnya yang lebih bersifat teknis dan analitis, bagian ini lebih bersifat visioner. sebagai misal, kare-na minimnya anggaran pertahanan (akibat minimnya APBN) merupakan faktor yang signifikan dalam menghambat pem ba-ngunan pertahanan nasional, maka perihal pemberdayaan in-dustri pertahanan dalam negeri akan merupakan salah satu ba-hasan penting dalam bagian ini. Terutama sekali, dalam kaitan atau sinergi antara pembangunan kekuatan pertahanan nasional melalui pembangunan industri pertahanan dalam negeri dengan pembangunan ekonomi nasional.

Bagaimana keadaan BUMNIs yang kita miliki? sekuat atau selemah apakah mereka? Bagaimana peranan mereka dalam pem-bangunan sistem pertahanan nasional kita? Ini adalah sebagian dari persoalan yang akan saya urai pada Bagian Tujuh yang me-rupakan penutup dari buku ini. Untuk mengetahui lebih jauh tentang keadaan BUMNIs kita, saya menyempatkan diri me-ngunjungi PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia, PT LEN In-dustri, yang ketiganya berada di Bandung. selain menyaksikan dari dekat fasilitas kerja dan semangat putra-putri terbaik kita di masing-masing BUMNIs, saya juga mewawancarai para petinggi BUMNIs tersebut. Mereka dengan begitu terbuka menjelaskan

Page 52: Tragedi dan Strategi Pertahanan Nasional

Bukan Anugerah yang Jatuh dari Langit 15

berbagai persoalan dan tantangan yang mereka hadapi, juga pe-luang yang terbentang. sayangnya, rencana untuk melakukan perjalanan ke PT PAL di surabaya, karena keterbatasan waktu, urung saya lakukan. Namun saya sungguh merasa beruntung ka-rena Dirut PT PAL bersedia saya wawancarai di Jakarta.

Dari kunjungan-kunjungan dan serangkaian pembicaraan dengan sahabat-sahabat kita yang mengelola BUMNIs, saya mendapatkan gambaran yang lebih utuh mengenai tragedi yang sedang kita alami. Mereka menceritakan beberapa “skandal yang sudah biasa” dalam pengadaan alutsista yang menurut hemat saya semestinya dapat kita hindari andai saja semua komponen bangsa ini memiliki pemikiran yang sama dan meletakkan kepentingan nasional, kepentingan bangsa dan rakyat, di atas kepentingan pribadi dan kelompok. sungguh penjelasan yang membuat saya menggeleng-gelengkan kepala. Mencoba tak percaya, tapi nyata. Tetapi di sisi lain, patut juga saya sampaikan tentang keyakinan saya yang semakin besar, ya semakin besar, bahwa potensi bangsa kita untuk maju, terutama dalam hal membangun pertahanan nasional, sungguh luar biasa. saya yakin, mendorong perkem-bangan BUMNIs kita, pada gilirannya dapat memperkuat pertahanan nasional dan pijakan ekonomi kita, dan akhirnya mengembalikan harkat dan martabat kita dalam pergaulan inter-nasional.