tragedi perang suriah

68
Memang Ada Makar, tapi Bukan terhadap Basyar… SUARA HIDAYATULLAH OKTOBER 2012 Pada saat banyak syubhat (keraguan) menyelimuti gejolak di Suriah, yang kita perlukan ialah pandangan lurus yang langsung bersandar kepada al-Qur`an dan as-Sunnah. Kita memerlukan para pewaris Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam (ulama) mengarahkan kita kepada pandangan lurus yang mantap itu. Dari wawancara kami dengan beberapa ulama Suriah – yang untuk alasan keamanan namanya tidak disebutkan di sini– dapatlah diambil kesimpulan: Memang ada makar, tetapi bukan terhadap Presiden Basyar Al-Assad. Yang ada adalah makar terhadap Muslimin Sunni (Ahlussunnah wal Jama’ah) yang merupakan penduduk mayoritas di bumi Suriah (73,9%). “Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para Muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, pasti akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (Al- Anfaal [8]: 73) Sudah lebih dari 40 tahun rakyat Suriah berada di bawah kekuasaan rezim minoritas Nushairiyah-Alawiyah pimpinan keluarga Al-Assad dan Partai Sosialis Ba’ath. Sejak Maret 2011, rakyat turun ke jalan menuntut kehidupan yang lebih adil dan bebas. Rezim Al-Assad merespon dengan penangkapan dan penembakan. Tapi, keberhasilan negeri-negeri tetangga yang berhasil menggulingkan para diktator di Tunisia, Libya, Mesir, dan Yaman, malah membuat gelombang rakyat semakin besar.

Upload: sayyid2

Post on 23-Oct-2015

56 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kumpulan kliping tragedi suriah media masa nasional indonesia

TRANSCRIPT

Page 1: Tragedi perang Suriah

Memang Ada Makar, tapi Bukan terhadap Basyar…

SUARA HIDAYATULLAH OKTOBER 2012

Pada saat banyak syubhat (keraguan) menyelimuti gejolak di Suriah, yang kita perlukan ialah pandangan lurus yang langsung bersandar kepada al-Qur`an dan as-Sunnah.

Kita memerlukan para pewaris Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa sallam (ulama) mengarahkan kita kepada pandangan lurus yang mantap itu. Dari wawancara kami dengan beberapa ulama Suriah –yang untuk alasan keamanan namanya tidak disebutkan di sini– dapatlah diambil kesimpulan:

Memang ada makar, tetapi bukan terhadap Presiden Basyar Al-Assad. Yang ada adalah makar terhadap Muslimin Sunni (Ahlussunnah wal Jama’ah) yang merupakan penduduk mayoritas di bumi Suriah (73,9%).

“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para Muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, pasti akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (Al-Anfaal [8]: 73)

Sudah lebih dari 40 tahun rakyat Suriah berada di bawah kekuasaan rezim minoritas Nushairiyah-Alawiyah pimpinan keluarga Al-Assad dan Partai Sosialis Ba’ath.

Sejak Maret 2011, rakyat turun ke jalan menuntut kehidupan yang lebih adil dan bebas. Rezim Al-Assad merespon dengan penangkapan dan penembakan. Tapi, keberhasilan negeri-negeri tetangga yang berhasil menggulingkan para diktator di Tunisia, Libya, Mesir, dan Yaman, malah membuat gelombang rakyat semakin besar.

Rezim Al-Assad memberlakukan pelarangan ke masjid, memutus listrik dan air, menembaki, menangkap, menyiksa dan membunuh. Tindakan ini justru mengkristalkan perlawanan rakyat dalam bentuk Tentara Suriah Merdeka (Free Syrian Army). Dari manapun kelompoknya mereka selalu disebut sebagai Jaisyul Hurr (Tentara Kemerdekaan).

Sebagian besar tentara rakyat ini terbentuk dari brigade-brigade Mujahidin, sebagian lainnya bekas tentara-tentara Suriah yang berubah sikap lalu bergabung dengan rakyat. Para ulama Suriah menegaskan, mereka semua adalah Muslimin Ahlussunnah wal Jama’ah.

Rezim Al-Assad merespon perlawanan ini dengan menggunakan tank, jet dan helikopter tempur, serta artileri pembunuh masal untuk menggempur para Mujahidin dan rakyat di kota-kota seperti Dar’a, Homs, Hama, Aleppo, Idlib, dan Damaskus.

Page 2: Tragedi perang Suriah

Sudah lebih dari 20 ribu orang Muslimin terbunuh. Sebanyak 250 ribu orang mengungsi ke berbagai negara tetangga. Sedikitnya 2 juta orang di dalam Suriah terpaksa hidup berpindah-pindah mencari tempat berlindung.

Selama dua tahun ini, Muslimin Suriah menjadi bulan-bulanan dua kelompok negara yang saling “jadi pelindung bagi sebagian yang lain”. Di satu sisi ada kelompok Rusia-Cina, di sisi lain ada kelompok Amerika Serikat-Inggris-Prancis-Uni Eropa.

Pada saat yang sama, penguasa Syi’ah Iran membantu rezim Al-Assad mempertahankan kekuasaannya lewat bantuan intelijen dan militer. Kenapa? Karena rezim Al-Assad berasal dari trah Nushairiyah-Alawiyah yang menganut Syi’ah, dan Suriah adalah sekutu terpenting Iran di kawasan ini. Kejatuhan Basyar adalah kerugian besar bagi Iran.

Berbagai kelompok besar tadi mungkin tampak berselisih mengenai sikap terhadap Basyar, namun mereka “bersatu padu” (bahkan juga dengan Iran dan rezim Basyar) dalam satu hal: melemahkan, menghancurkan, dan mencegah bangkitnya kekuatan Muslimin Ahlussunnah wal Jama’ah Suriah yang merindukan kehidupan yang lebih baik dengan Al-Islam di bumi para Nabi itu.

Salah seorang ulama menegaskan, makar ini belum akan berakhir, meskipun Basyar kelak jatuh dari singgasananya. “Sebab, negara-negara kafir harus memastikan, bahwa pengganti rezim Al-Assad bukanlah kekuatan Muslimin multazimin yang berpegang teguh terhadap kebaikan hidup berdasarkan Al-Islam.”

Erdogan: Turki Dukung Zona Larangan Terbang di Suriah

Internasional Hidayatullah.com, Sabtu, 11 Mei 2013

Hidayatullah.com—Turki akan mendukung zona larangan terbang di Suriah yang dilaksanakan oleh Amerika Serikat, kata Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan dalam wawancaranya dengan sebuah stasiun televisi AS, lansir Aljazeera Jumat (10/5/2013).

Saat diwawancarai NBC News Kamis lalu Erdogan mengatakan bahwa Presiden Bashar al-Assad diduga mengunakan senjata kimia untuk melawan musuh-musuhnya, yang mana itu berarti rezim Suriah “sejak lama” sudah melewati apa yang disebut oleh Presiden Obama sebagai garis merah.

Saat ditanya apakah Turki, yang merupakan anggota NATO dengan garis perbatasan terpanjang dengan Suriah, akan mendukung penerapan zona larangan terbang di negara tetangganya itu, Ergogan berkata, “Sejak awal … kami akan mengatakan 'ya'.”

Page 3: Tragedi perang Suriah

Namun sesungguhnya, penerapan zona larangan terbang di Suriah bagi Amerika Serikat sendiri tidak mudah. Pasalnya, AS harus mempersiapkan pasukan untuk melancarkan serangan udara dan juga pasukan angkatan darat sebagai penunjangnya. Sehingga hal itu memberikan resiko tersendiri bagi Washington.

Khawatir kesalahan yang sama saat menginvasi Iraq tahun 2003 terulang kembali, AS mengatakan ingin bukti-bukti sebelum bertindak.

Sementara Erdogan yakin rezim Suriah menggunakan senjata kimia. “Jelas bahwa rezim [Suriah] menggunakan senjata kimia dan misil-misil. Mereka menggunakan sekitar 200 misil, menurut intelijen kami,” kata Erdogan.

Erdogan tidak menjelaskan apakah negaranya benar-benar yakin semua 200 misil itu membawa bahan kimia, seraya menambahkan bahwa pemerintahnya belum pasti apakah gas sarin juga digunakan oleh rezim Suriah.

“Misilnya berbeda-beda ukuran. Dan terdapat korban nyawa yang disebabkan oleh misil-misil ini. Ada luka bakar, anda tahu, luka bakar serius dan reaksi kimia,” kata Erdogan saat ditanya bukti apa yang dimiliki Turki untuk mengatakan bahwa rezim Suriah menggunakan senjata kimia.

“Ada juga pasien-pasien yang dibawa ke rumah-rumah sakit kami yang terluka karena senjata-senjata kimia ini.”

“Anda dapat melihat siapa yang terluka karena misil kimia dari luka bakarnya,” kata Erdogan

Rezim Suriah dan kelompok oposisi satu sama lain saling tuding menggunakan senjata kimia.

Dalam wawancara itu Erdogan meragukan lawan Assad menggunakan senjata kimia, sebab mereka nyaris tidak punya akses atas senjata-senjata itu.

“Tapi jika memang ada, kami menentang hal ini … kami menentang siapapun yang memiliki senjata-senjata [kimia] itu,” kata Erdogan.

Pekan lalu seorang penyelidik kejahatan perang yang ditugaskan Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan kesaksian bahwa dari korban-korban Suriah dan staf medis menunjukkan kelompok oposisi menggunakan bahan kimia yang dilarang berupa gas sarin. Namun, seorang penyelidik lainnya kemudian melemahkan tudingan itu.*

Topeng dan Slogan Perlawanan Makin Tersingkap

Page 4: Tragedi perang Suriah

Analisa Dunia Islam Hudayatullah.com, Jum'at, 10 Mei 2013

Oleh: Musthafa Luthfi

SERANGAN angkatan udara (AU) Israel ke Suriah Ahad pagi (05/05/2013) masih menjadi topik hangat laporan media Arab dan bahasan sejumlah analis serta pengamat kawasan hingga saat ini. Hal ini berkaitan dengan dugaan adanya kepentingan bersama antara negeri Zionis itu dengan rezim Suriah dibalik serangan di ibu kota Damaskus tersebut.

Adapun dugaan bahwa aksi Israel tersebut semakin membuka peluang bahwa krisis di negeri Syam itu akan meluas ke negara-negara lain di kawasan termasuk negeri Zionis itu, menurut banyak pengamat Arab hanya isapan jempol semata. Pasalnya rezim Suriah demikian pula sekutunya Iran, dipastikan tidak akan melakukan serangan balasan secara langsung yang dapat mengobarkan perang regional yang dikhawatirkan.

Bila melihat ke belakang, serangan Israel atas Suriah telah sering dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya, namun balasannya hanya sebatas pernyataan klise yang sudah begitu melekat di telinga publik Arab yakni “Suriah berhak melakukan balasan pada waktu dan tempat yang tepat”. Namun kenyataannya hingga serangan terakhir itu, tidak satu peluru atau roket pun yang diluncurkan ke negeri itu baik dari Suriah maupun sekutunya, Iran.

Serangan pada Ahad pagi itu menurut laporan intelijen menargetkan rudal-rudal milik Iran yang diperuntukkan khusus bagi kelompok Hizbullah Libanon, yang belum lama ini terlibat langsung membantu rezim Suriah berperang melawan oposisi. Akibat serangan tersebut, sejumlah ledakan berantai mengguncang Damaskus, ibu kota negara itu yang lebih dari dua tahun ini dilanda perang saudara.

Aksi militer negeri Zionis itu merupakan serangan udara kedua dalam sepekan terakhir, dan yang ketiga kali dalam tahun ini dengan tujuan yang sama yakni menggagalkan jatuhnya senjata stategis dan non konvensional (kimia dan biologi) ke tangan kelompok yang tidak bersahabat kepada Israel baik dari kubu oposisi maupun sekutu rezim Assad semisal Hizbullah.

Karenanya, dugaan serangan terakhir Israel tersebut akan mengundang simpati publik Arab terhadap rezim Assad dan mempersuit posisi oposisi bersama negara-negara kasawan pendukungnya, adalah dugaan yang bukan pada tempatnya. Israel di satu pihak melakukan serangan bukan bertujuan untuk mempercepat kejatuhan rezim, tapi semata-mata untuk melindungi keamanan dan kepentingannya.

Negara Zionis itu sangat berkepentingan terhadap berlarut-larutnya krisis Suriah hingga negeri itu hancur secara militer dan ekonomi, bahkan berharap terpecah menjadi negara-negara kecil sektarian. Kehancuran Suriah apalagi terbagi-baginya menjadi negeri kecil sesuai peta golongan,

Page 5: Tragedi perang Suriah

akan menguntungkan Tel Aviv untuk jangka panjang ke depan sehingga dapat memperkuat posisinya terkait masa depan ``perdamaian`` Arab-Israel.

Di lain pihak, rezim Assad yang masih mampu bertahan dengan dukungan langsung dua sekutu utamanya, Iran dan Hizbullah yang terjun langsung melawan Jaishul Hurr (Tentara Kebebasan) dari oposisi, memanfaatkan serangan itu untuk memperkuat argumen sebelumnya, bahwa upaya menjatuhkan rezim adalah bagian dari upaya menghentikan perlawanan terhadap penjajah Israel.

Argumen tersebut bisa saja dapat mengelabui sebagian publik Arab seandainya serangan balasan segera dilakukan meskipun bersifat terbatas, namun balasan ini hampir dipastikan tidak akan dilakukan. "Siapa pun akan yakin tanpa perlu memiliki pengetahuan mendalam tentang masalah politik Suriah bahwa rezim tidak akan membalas serangan Israel secara langsung," papar Farouq Yusuf, analis Arab, Rabu (08/05/2013).

Damaskus sebenarnya sangat berharap serangan itu memunculkan kembali simpati publik Arab terhadap Assad sehingga dapat leluasa melakukan segala cara baik dengan menggunakan senjata pemusnah massal atau bala bantuan besar-besaran dari Iran dan Hizbullah untuk menumpas perlawanan oposisi yang dianggap mengusung agenda Israel dan al-Qaeda yang selalu didengungkan rezim.

Tapi simpati yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang, apalagi ancaman serangan balasan tak kunjung dilakukan. Dari krisis yang telah berlangsung dua tahun lebih itu, publik Arab sepertinya sudah berhasil membuka topeng rezim dan sekutu-sekutunya yang menjadikan slogan ``perlawanan`` terhadap Israel hanya sebatas alat meraih simpati publik.

“Dua tahun lebih aksi pembantaian terhadap rakyat tak berdaya menyebabkan puluhan ribu nyawa melayang berhasil menyingkap tabir kebohongan dalam sejarah bangsa Arab tentang perlawanan terhadap Israel. Perlawanan dimaksud tidak pernah ditujukan untuk melawan Israel, tidak pula untuk membela Palestina, tapi sedikit orang yang sadar akan hal ini dan sebagian besar terpedaya,” kesimpulan sejumlah analis Arab.

Tak terpengaruh

Kesimpuan sejumlah analis Arab tersebut banyak benarnya bahkan serangan terakhir Israel itu semakin menyingkap bahwa slogan perlawanan terhadap Israel hanya topeng semata. Ibarat sebuah permaianan, mayoritas publik Arab sudah tak terpengaruh lagi setelah mereka sadar bahwa beberapa peperangan selama ini hanya sebuah ``permainan`` atau ``sandiwara`` yang dilakoni pihak-pihak berkepentingan di kawasan untuk mengusung kepentingan masing-masing.

Page 6: Tragedi perang Suriah

Adapun slogan untuk membebaskan Palestina tak lebih sekedar konsumsi publik untuk mendapatkan simpati bagi kelanjutan petualangan mereka, agar publik lupa dengan masalah sesungguhnya yang dihadapi bangsa Arab yakni hilangnya solidaritas Arab dan merajalelanya pemerintahan korup serta diktator. Memang sejak Israel terbentuk pada Mei 1948, isu Palestina selalu laris dijual ke publik untuk mengalihkan perhatian mereka atas berbagai masalah yang dihadapi bangsa Arab.

Krisis Suriah telah membuka mata publik akan petualangan tersebut setelah mereka dapat melihat langsung bagaimana gigihnya Iran dan Hizbullah membela rezim dengan dalih yang sama yakni mempertahankan rezim Arab satu-satunya yang masih membela perlawanan terhadap Israel. Tapi topeng telah tersingkap lebar hingga dalih tersebut sudah tidak berpengaruh sama sekali.

Bahkan saking muaknya dengan slogan kosong tersebut, sebagian publik menyatakan gembira atas serangan tersebut dengan harapan akan menyusutkan kemampuan militer rezim hingga mempercepat kajatuhannya. Tentunya sikap ini juga kurang tepat, karena serangan itu hanya untuk kepentingan Israel sendiri bukan dalam kapasitas untuk segera menjatuhkan rezim atau membela oposisi sebagaimana yang disebutkan sebelumnya.

Tampaknya tepat arahan sebagian pengamat dan penulis Arab kepada publik bahwa tidak perlu mendukung salah satu diantara mereka sebab masing-masing pihak berkepentingan atas serangan tersebut. Israel melakukan serangan ke target yang telah diperhitungkan bakal berpotensi mengganggu keamanannya, sedangkan rezim berkepentingan agar serangan ini dijadikan dalih baru untuk melanjutkan pembantaian.

Sudah cukup jelas indikasinya bila serangan itu adalah bagian dari "permainan" pihak-pihak berkepentingan. Diantara indikasi tersebut adalah sikap Iran misalnya yang agak sedikit hati-hati melakukan reaksi, kemudian Hizbullah memilih diam dan tidak sebagaimana biasanya yang langsung mengancam melakukan balasan ketika Israel menyerang Libanon, negara kecil yang tidak memiliki pertahanan udara.

Sebagian pengamat menyebutkan bahwa serangan tersebut sebagai pesan kepada rezim agar tidak lengah terhadap kemungkinan senjata pemusnah massal jatuh ke tangan ``pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab`` yang dapat membahyakan negeri Zionis itu. ``Israel masih menginginkan rezim tetap kuat agar bisa mengamankan senjata-senjata pamungkas tersebut hingga batas waktu tertentu saat negeri Zionis itu mampu menyelamatkannya,`` papar sejumlah pengamat.

Dugaan ini juga logis, sebab dapat dibuktikan dari target serangan yang sangat terbatas yang sama sekali tidak menyentuh kemampuan tempur pasukan rezim, tidak pula menargetkan pasukan elit rezim maupun pasukan yang sedang bertempur melawan Tentara Kebebasan.

Page 7: Tragedi perang Suriah

Paling tidak itulah salah satu bentuk kesefahaman kedua belah pihak (Israel-rezim Suriah) hingga saat ini untuk melindungi kepentingan masing-masing.

Target lain

Di balik sandiwara serangan tersebut dan kemungkinan telah terjalinnya kesefahaman dua pihak, tetap tidak menutup kemungkinan adanya target lain yang sesungguhnya ingin dicapai oleh Isreal sendiri dari aksi militer ini. Dari jalannya serangan dan target serangan kali ini, memang pantas diduga adanya target lain dari negeri Zionis itu.

Dugaan pertama adalah, serangan tersebut dijadikan sebagai sarana ujicoba senjata baru sebagaimana kebiasaan negeri Zionis ini saat melakukan invasi di Libanon dan Gaza. Bom canggih yang digunakan buatan AS dan dilaporkan sangat akurat untuk menyerang depot penyimpanan rudal jenis Fateh 110 buatan Iran yang diperuntukkan bagi Hizbullah.

Dalam situasi kacau di Suriah, Israel ingin memanfaatkan negara tersebut sebagai arena ujicoba senjata mutakhir AS untuk mengetahui daya hancurnya dan kemampuan menembus pangkalan bawah tanah yang cukup dalam. Sebagian analis militer melihatnya sebagai salah satu persiapan menghadapi kemungkinan aksi militer terkait program nuklir Iran.

Dugaan lainnya, untuk menguji efektivitas pertahanan udara Suriah dan kemampuannya untuk menghadang serangan rudal. Pasalnya, telah lama pakar militer negeri Yahudi itu menyatakan kemampuan negaranya menembus pertahanan udara musuh dengan pesawat tempur yang terbang rendah untuk menyerang dari jarak cukup jauh untuk lebih mengakuratkan target serangan.

Belum ada konfirmasi dari pihak independen apakah target serangan tersebut mencapai sasarannya. Ujicoba ini, juga sebagai salah satu bentuk persiapan aktual tentang strategi serangan mendatang terhadap target Hizbullah di Libanon Selatan baik Hizbullah memiliki sistem pertahanan udara dengan rudal darat ke udara maupun tidak.

Berbagai dugaan tersebut besar kemungkinannya benar mengingat negeri Zionis ini sangat lihai memanfaatkan situasi kawasan untuk kepentingan keamanannya. Namun yang perlu dicatat dari serangan terakhir ini adalah makin tersingkapnya topeng dan slogan kosong perlawanan yang selalu didengungkan oleh Suriah dan sekutu-sekutunya selama ini.*/Sana`a, 29 J. Thani 1434 H

Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman

Red: Cholis Akbar

Page 8: Tragedi perang Suriah

Analisa Dunia Islam

Pelesir Politis Obama dan Kejutan KTT Arab

Hidayatullah.com, Jum'at, 29 Maret 2013

Oleh: Musthafa Luthfi

KUNJUNGAN empat hari Presiden AS, Barack Obama ke dua di negara kawasan Timur Tengah (Timteng), yakni Israel dan Yordania disamping Palestina (di bawah penjajahan Israel) pada 20-23 Maret lalu oleh sebagian analis Arab dianggap sekedar pelesir politis karena tidak membawa wijhah nazhar (point of view) baru. Sebagian lainnya menyebutnya kunjungan politis sambil pesiar (ziarah siyasiyah siyahiyah).

Kedua istilah yang digunakan sejumlah analis Arab itu, sebagai bentuk sikap pesimis bahwa kunjungan Obama ke kawasan selain tidak membawa sudut pandang baru bagi solusi “damai” Israel Palestina, juga terkesan sekedar basa-basi menyangkut isu Palestina. Seperti biasa, kunjungan petinggi negeri adikuasa itu lebih dikhususnya untuk mengakomodir keluhan atau pengaduan si anak emas Israel.

Terlepas dari istilah yang dicuatkan sejumlah analis tersebut, kiranya tetap saja perlu dicermati hasil kunjungan pelesir politis tersebut khususnya yang terkait dengan perkembangan situasi kawasan yang masih memanas dan terkesan semakin tereskalasi. Terutama yang berhubungan dengan masa depan isu Palestina, krisis Suriah, kedekatan kembali Israel-Turki dan respon Iran.

Mengenai isu Palestina, sebagaimana pendahulu-pendahulunya tidak ada yang baru selain menyampaikan dukungannya terhadap terbentuknya sebuah negara Palestina merdeka. "Rakyat Palestina layak mendapatkan negaranya sendiri. AS berkomitmen untuk melihat sebuah negara Palestina yang independen dan berdaulat," ujar Obama dalam jumpa pers bersama dengan Presiden Palestina Mahmud Abbas di Ramallah, Tepi Barat, Kamis (21/03/3013).

Dalam kesempatan yang sama, Obama mengecam keputusan Israel yang tidak menghentikan pembangunan permukiman Yahudi di wilayah pendudukan Palestina terutama di kota al-Quds dan Tepi Barat. "Kami menilai, melanjutkan pembangunan permukiman Yahudi tidak mempercepat upaya menciptakan perdamaian," kata Obama dalam jumpa pers tersebut.

“Dukungan” Obama tersebut bukannya disambut gembira warga Tepi Barat bahkan mereka menolak kedatangan Presiden kulit hitam pertama negeri Paman Sam itu, sebab mereka kelihatannya “muak” dengan basa-basi serupa yang selama ini mewarnai penyelesaian isu sentral Arab ini. Di lain pihak para pejabat Palestina juga meragukan keseriusan Obama untuk

Page 9: Tragedi perang Suriah

menggunakan kekuatan politiknya untuk menekan Israel agar menghentikan pembangunan permukiman Yahudi.

Intinya, isu Palestina tidak mungkin diselesaiakan oleh pihak luar, namun oleh bangsa Arab dan umat Islam secara bersamaan sebab menyandarkan solusi “damai” pada pihak luar, lebih-lebih lagi AS dan Barat sebagai pendukung mutlak negeri Zionis itu, hanya akan berbuah kekecewaan terus menerus. Kesempatan singgah di Tepi Barat, tak lebih dari sekedar konsumsi publik Arab untuk mendapatkan simpati seolah-olah negeri Paman Sam itu tidak pernah melupakan penderitaan bangsa Palestina.

Namun publik Palestina khususnya dan publik Arab pada umumnya sudah tidak mempan lagi terperangkap bujuk rayu dan basa-basi yang terkesan sudah klise tersebut. Apalagi dalam kunjungan Obama kali ini, ia tidak ragu-ragu mendesak dunia Arab agar mengakui Israel sebagai negara Yahudi dan dukungan mutlaknya untuk mempertahankan ancaman eksistensi negeri Zionis itu.

Desakan ini justeru sebagai kejutan yang paling menonjol dari hasil kunjungannya ke kawasan, papar seorang analis Arab. “Kita dikejutkan oleh Tuan Barack “Husein” Obama dalam orasinya di hadapan kelompok pemuda Israel di kota pendudukan al-Quds yang mendesak dunia Arab mengakui Israel sebagai negeri Yahudi....Mereka yang mengingkari eksistensi Israel sama dengan mengingkari keberadaan bumi dan langit,” papar Abdul Bari Athwan mengutip penggalan orasi Obama.

“Kita tidak mengerti mengapa Obama menggunakan kata-kata tersebut, mengapa mengedepankan sikap menjilat yang sangat memalukan, padahal Israel sendiri yang mengancam eksistensi kami, negeri ini yang mengingkari hak-hak kami, ia pula yang memiliki 300 hulu ledak nuklir yang cukup untuk meluluh-lantahkan kawasan,” papar analis Arab yang mukim di London itu.

Saling berkaitan

Mungkin ada tiga isu penting yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya yang dapat dicatat sebagai hasil paling menonjol dari kunjungan Obama tersebut yakni rekonsiliasi Israel-Turki, gambaran penyelesaian krisis Suriah dan isu nuklir Iran. Karena menjadi pertanyaan

Page 10: Tragedi perang Suriah

besar, mengapa PM Benjamin Netanyahu, tiba-tiba siap menyampaikan permintaan maaf dan menyetujui persyaratan PM Turki, Recep Tayyip Erdogan (belum jelas apakah termasuk syarat penghentian embargo atas Gaza).

Dilaporkan bahwa Netanyahu tanpa sedikit keraguan pun langsung menelpon mitranya Erdogan untuk menyampaikan permintaan maaf atas insiden penyerangan militer Israel ke kapal kemanusiaan Turki, Mavi Marmara. Insiden pada bulan Mei 2010 tersebut menewaskan 8 warga Turki dan 1 warga AS keturunan Turki yang berada di kapal tersebut yang langsung mengundang reaksi keras Turki.

Gara-gara aksi brutal militer Israel yang melanggar hukum karena kapal berada di perairan internasional itu, Turki memutuskan hubungan diplomatik yang juga dibarengi penghentian kerja sama kedua negara dalam bidang keamanan dan finansial. Awalnya, Israel bersikeras menolak meminta maaf, namun, dialog yang terus-menerus antara kedua pihak membuat Israel resmi meminta maaf kepada Turki.

Selain pertanyaan kesediaan Netanyahu meminta maaf, pertanyaan yang tak kalah pentingnya juga adalah terkait kesediaan Erdogan menerima langsung uluran tangan bekas seterunya itu yang ditandai pula dengan kesediaan segera menormalisasikan hubungan bilateral dengan dipercepatnya penempatan kembali Dubes kedua negara. Mengapa Erdogan, dengan serta merta menyambut baik tanpa memberikan tenggang waktu transisi paling tidak untuk sekedar menguji keseriusan bekas seterunya tersebut?

Sejumlah analis Arab melihatnya, normalisasi hubungan Israel-Turki tersebut sebagai semacam strategi yang sudah dimatangkan sejak beberapa bulan sebelum kunjungan empat hari Obama tersebut. Normalisasi ini tidak bisa dianggap sebagai kebetulan saja, tapi ada kaitannya dengan krisis Suriah dan isu program nuklir Iran.

Turki sebagai salah satu negara besar dan penentu di kawasan serta anggota pakta militer NATO telah memainkan peran di garis depan dan secara terang-terangan membantu oposisi untuk menjatuhkan rezim Suriah. Kekhawatiran negeri bekas pusat Kekhalifahan Othmaniyah (Otoman) itu terhadap program nuklir Iran, sebenarnya sama dengan kekhawatiran negeri-negeri lainnya di kawasan terutama negara-negara Teluk dan Israel.

Terkait isu Suriah tersebut, Obama juga telah menjanjikan Yordania bantuan sebesar 200 juta dolar untuk membantu mengatasi dampak dari membanjirnya puluhan ribu pengungsi Suriah ke negeri kerajaan itu. Bantuan ini tentunya tidak mungkin gratis begitu saja pasti ada imbalannya, sehingga Raja Abdullah langsung mengumumkan bahwa tapal batas negaranya terbuka bagi pengungsi Suriah.

Page 11: Tragedi perang Suriah

Dengan demikian, pesan terpenting dari kunjungan Obama kali ini sebagai “pesan perang”, menurut sejumlah pengamat Arab. Mereka melihat tidak menutup kemungkinan setelah kunjungan tersebut akan terjadi perang terbuka sebagai bencana baru di kawasan karena ada kemungkinan stagnansi krisis Suriah dan isu nuklir Iran tidak bisa dibiarkan berlarut-larut dan harus dilakukan aksi menentukan.

Bila demikian adanya, bisa jadi tahun 2013 ini adalah tahun solusi militer di kawasan sehingga tak berlebihan seorang analis Arab menilai hasil kunjungan tersebut sebagai “bakal bencana”. “Paling tidak gambaran yang bisa kita katakan tentang hasil kunjungan Obama ini adalah hasil kunjungan yang akan memunculkan bencana,” papar Khamis Bin Habib al-Toubi dalam artikelnya di harian al-Watan, Oman, Senin (25/03/2013).

Salah satu pengamat Arab itu mencontohkan, “pemaksaan” Yordania untuk terlibat secara utuh dalam rencana mengatasi krisis Suriah dengan keyakinan bahwa rezim Bashar Assad bakal jatuh mengingatkan kembali kepada skenario invasi atas Iraq. Gambaran ini, sebagai bentuk kekhawatiran akan kemungkinan terjadi bencana baru seperti halnya Iraq dengan giliran kali ini adalah Suriah.

Lalu apakah Iran sebagai sekutu utama Suriah di kawasan akan berdiam diri, tentu jawab pastinya adalah negara Persia itu tidak akan berdiam diri melihat normalisasi Israel-Turki yang sebenarnya bersifat sementara dan “terpaksa” guna mengatur kembali kartu masing-masing menghadapi masalah yang jauh lebih pelik dan berbahaya yakni krisis Suriah dan nuklir Iran.

“Intinya, rujuk Israel-Turki bersifat terpaksa untuk mengatur strategi masing-masing menghadapi masalah yang lebih sulit dan lebih berbahaya. Inilah yang dibaca oleh Iran sehingga besar kemungkinan kawasan akan menghadapi eskalasi baru dari pihak Iran guna menyulitkan kembali posisi Turki dan sebagai upaya menyelamatkan rezim Assad,” papar Tareq Hamid, seorang pengamat Arab, Senin (25/03/2013).

Kejutan

Di tengah kekhawatiran eskalasi baru di kawasan pasca kunjungan Obama tersebut, berlangsung KTT Liga Arab di Doha, Qatar Selasa (26/03/2013) dengan isu utama yang tak beda dengan agenda kunjungan Obama, khususnya krisis Suriah. Sedangkan isu menahun yakni inisiatif perdamaian Arab-Israel, meskipun sebagai salah satu agenda utama KTT, nasibnya diperkirakan seperti KTT-KTT sebelumnya yakni berlarut-larut dengan penolakan Israel yang didukung kuat AS dan Barat.

Pada KTT Arab kali ini setidaknya terjadi kejutan dengan disetujuinya Ketua Koalisi Nasional Suriah, Ahmad Mouaz Al-Khatib sebagai wakil Suriah. Bagi tuan rumah Qatar, duduknya Al-Khatib, mantan Imam Mesjid Umayyah Damaskus sebagai ketua delegasi Suriah dan

Page 12: Tragedi perang Suriah

rombongan sebagai prestasi menonjol KTT Doha, mengingat Qatar adalah salah satu negara Arab yang berada di paling depan menyuarakan berakhirnya legitimasi rezim Assad di Liga Arab.

Dua hari sebelum KTT berlangsung Al-Khatib telah menyatakan pengunduran dirinya sebagai ketua koalisi oposisi yang sempat menyulitkan posisi Liga Arab menjelang KTT Doha tersebut. Namun sejumlah pengamat Arab memprediksikan, Al-Khatib akan urung mengundurkan diri dan prediksi tersebut telah terbukti dengan kehadirannya mewakili Suriah, dan tercatat kasus ini sebagai pertama kali terjadi dalam KTT Liga Arab yang dibentuk tahun 1945 itu.

Liga Arab untuk pertamakali mengganti posisi keterwakilan resmi sebuah negara anggota dengan pemimpin oposisi dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi kasus serupa dalam KTT-KTT berikutnya. Sejumlah negara anggota sebenarnya tidak menyetujui keputusan ini karena akan menjadi preseden nantinya dan mengajukan opsi agar kursi Suriah tetap dikosongkan, namun sikap ini kalah dari sikap mayoritas anggota.

Al-Khatib seorang ahli geofisika kelahiran tahun 1960, adalah berasal dari keturunan ulama Sunni terkemu Suriah yakni Syeikh Mohammad Abu al-Faraj Al-Khatib sehingga kemunculannya sebagai ketua koalisi boleh dikatakan diterima oleh hampir seluruh faksi. Ia terpilih sebagai ketua koalisi pada bulan Juli 2012 dan sejak saat itu, ia menegaskan bahwa perundingan dengan rezim Bashar Assad sudah tidak ada gunanya lagi.

KTT Doha dengan kehadiran Al-Khatib tersebut, selain sebagai tekanan lebih intensif secara politis dan diplomatis atas rezim Assad, juga sebagai mimbar bagi Al-Khatib untuk menjelaskan opini umum Arab tentang perjuangan kelompoknya. Dan memang terbukti, lewat sambutannya yang mengundang simpati, berhasil menggugah dukungan semakin kuat oponi umum Arab.

Dalam sambutannya pada KTT Doha tersebut, Al-Khatib menyampaikan sejumlah pesan di antaranya ditujukan kepada AS tentang permintaan senjata canggih terutama rudal patriot untuk menjaga wilayah barat daya negerinya. Pesan lainnya ditujukan kepada para kepala negara Arab agar segera membebaskan para tahanan Suriah di negara-negara mereka karena rakyat Suriah satu-satunya yang akan menentukan siapa yang bersalah.

Page 13: Tragedi perang Suriah

Adapun pesan khusus ke rezim Assad adalah peringatan akan semakin banyaknya korban dan pertumpahan darah akibat sikapnya yang tetap bersikeras mempertahankan kekuasaan. Setelah KTT Doha berlalu, publik tentunya menunggu dengan cemas, kira-kira bagaimana respon negara-negara pendukung oposisi menanggapi pidato Al-Khatib tersebut.

Tidak kalah mencemaskan juga adalah respon negara-negara pendukung rezim Assad terutama Iran dan Rusia yang kelihatannya masih tetap menginginkan kelanggengan kekuasaan Bashar Assad.*/Sana`a, 15 Jumadal Ula 1434 H

Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman

Analisa Dunia Islam

Pembalasan yang Tak Kunjung Tiba

Hidayatullah.com, Sabtu, 23 Februari 2013

Oleh: Musthafa Luthfi

HAMPIR sebulan sejak serangan tiba-tiba pesawat tempur Israel ke dalam wilayah Suriah akhir Januari lalu, ancaman pembalasan dari Iran dan rezim Assad ternyata tak kunjung tiba. Saat serangan terjadi di Pusat Penerlitian Ilmiah Jamraya, dekat dengan ibu kota Damaskus pada Rabu (30/1/2013), sebagian analis Arab melihat bahwa Iran dan rezim Suriah akan melakukan pembalasan sebagai upaya untuk menarik kembali simpati publik Arab.

Jet-jet tempur Israel telah melanggar zona udara Suriah dan menyerang sebuah pusat riset militer, menewaskan serta menciderai tujuh orang. Media Zionis mengutip sumber-sumber militer mengklaim, serangan ini ditujukan untuk menghancurkan kiriman militer Suriah ke Libanon serta klaim media itu dipertegas oleh pejabat tinggi Israel yang saat itu sedang menghadiri Konferensi Keamanan di Munich, Jerman.

Menteri Perang Israel, Ehud Barak, pada Ahad (3/2/2013) mengakui bahwa pesawat-pesawat tempur Israel melancarkan serangan terhadap pusat penelitian ilmiah di Jamraya, luar kota Damaskus dan mengatakan kepada para wartawan di Jerman bahwa insiden tersebut merupakan bukti bahwa ancaman negerinya sungguh-sungguh. "Kami tidak berharap pihaknya harus diizinkan untuk membawa sistem senjata canggih ke Libanon," sambil kembali mengklaim Bashar al-Assad, akan lengser dalam waktu dekat sehingga bakal menjadi pukulan telak bagi Iran.

Page 14: Tragedi perang Suriah

Serangan udara Israel itu menurut seorang pejabat AS menghantam peluru kendali darat-ke-udara dan sebuah kompleks militer terdekat di pinggiran Damaskus, karena Israel takut senjata tersebut akan dikirimkan kepada Hizbullah. Laporan-laporan sebelumnya mengisyaratkan pesawat-pesawat tempur Israel mungkin telah menargetkan dua lokasi terpisah dalam serangan tersebut yakni satu situs militer di luar ibu kota dan konvoi senjata di dekat perbatasan Libanon.

Paling tidak ancaman negeri zionis itu untuk menyerang Suriah apabila merasa sebagian senjata canggih yang masih dikuasi rezim Assad bakal dipindah ke Hizbullah Libanon, telah dibuktikan dan tidak menutup kemungkinan ke depan untuk melakukan serangan serupa bahkan dalam skala yang lebih besar bila semakin yakin Assad akan jatuh. Nah bagaimana dengan ancaman pembasalan dari Iran yang belum kunjung dilakukan?

Melihat pendapat sebagian besar analis dan publik Arab saat itu, sepertinya mereka setengah memastikan bahwa tidak akan ada pembalasan terhadap serangan negeri Zionis itu, karena dukungan mutlak Iran kepada rezim Assad hanya difokuskan pada pembantaian rakyat Suriah yang menentangnya. Melihat kenyataan hingga hampir sebulan serangan tersebut, tampaknya prediksi terakhir ini benar adanya.

Bagi pemerhati yang memprediksikan adanya pembalasan, umumnya memperkirakan akan dilakukan secara tidak langsung atau lewat serangan dari Hizbullah Libanon ke target dalam Israel. Apabila pembalasan benar-benar terjadi selain akan memperbaiki citra rezim sekaligus mempersulit posisi oposisi yang hingga saat ini masih belum berhasil menjatuhkan Assad secara militer.

Prediksi akan adanya pembalasan tersebut didasari pernyataan sejumlah petinggi negeri Persia itu yang hingga seminggu sejak serangan berlangsung terus mengeluarkan ancaman pembalasan. Sekretaris Dewan Tinggi Keamanan Nasional Iran, Saeed Jalili pada Selasa (5/2/2013) misalnya, memperingatkan kembali plot Israel tersebut bahwa serangan ke Suriah akan membuat Israel menyesal.

"Sama seperti ketika mereka menyesali serangannya pada Perang 33 Hari, 22 Hari dan delapan hari di Gaza, Israel juga akan menyesali serangannya ke Suriah,'' ujarnya sambil menegaskan Suriah adalah bagian penting dari dunia Islam, mengingat ia berada di garis depan dalam melawan Israel. Ia juga mengingatkan bahwa Republik Islam Iran akan mengerahkan kapasitas internasional untuk mendukung Suriah.

Meskipun serangan balasan tak kunjung tiba hingga memasuki minggu keempat sejak serangan itu dilancarkan, namun dengan masih alotnya perkembangan krisis Suriah, tetap tidak menutup kemungkinan serangan balasan tersebut masih terbuka bila serangan itu bukan bagian dari konspirasi. Hanya saja, bila serangan balasan atas negeri zionis itu terjadi nantinya hampir

Page 15: Tragedi perang Suriah

dapat dipastikan tidak akan menggoyahkan keinginan mayoritas rakyat Suriah dan publik Arab untuk menjatuhkan rezim dukungan Iran itu.

Sikap tersebut disebabkan karena momentum serangan balasan yang sudah terlambat sehingga akan menimbulkan kesan hanya mencari sensasi. Sebab lainnya, karena korban jiwa yang sangat dahsyat melewati angka 90 ribu orang yang gugur, disamping semakin terungkapnya aksi penyiksaan atas ribuan warga Suriah oleh rezim termasuk ratusan wanita dan anak-anak serta eksekusi biadab rezim atas para penentangnya.

Pura-pura

Terlepas dari masih terbuka tidaknya kemungkinan serangan balasan tersebut, penulis tertarik dengan sebuah artikel bertajuk dibalik serangan Israel atas Suriah yang ditulis oleh seorang analis Arab, Jarir Khalaf. Apabila melihat geliat negeri zionis itu dan Iran saat ini yang sama-sama bersaing untuk mendominasi Arab yang mayoritas Sunni, artikel tersebut ada baiknya juga untuk disimak.

Semula penulis tidak begitu tertarik membaca artikel tersebut, dan lebih melihat bahwa serangan tersebut sebagai gladiresik serangan Israel atas Iran di kemudian hari dan ujicoba senjata baru angkatan udara negeri zionis itu. Namun setelah setelah sekian lama tak kunjung ada serangan balasan, artikel yang ditulis di harian arabonline itu cukup menarik untuk dikaji ulang.

Menurut Jarir, serangan yang dilakukan oleh Israel atas pusat riset militer dekat Damaskus itu bukan taktik militer dan juga tidak logis sebab pemindahan senjata-senjata canggih dan senjata kimia milik rezim Assad ke Libanon untuk disimpan di arsenal senjata milik Hizbullah telah berlangsung setahun belakangan ini.

"Dua pihak yang dianggap sebagai gerakan perlawanan (rezim Assad dan Hizbullah) adalah perlawanan yang berpura-pura dengan pendukung utamanya sama yakni Iran. Kedua pihak ini telah lama berkoordinasi untuk menyimpan senjata di kawasan bukan untuk membebaskan Palestina dan tidak pula membebaskan Dataran Tinggi Golan (milik Suriah pen.)," paparnya.

Lebih lanjut, salah satu penulis Arab ini mengingatkan bahwa berlanjutnya posisi permusuhan dekoratif (pura-pura) di permukaan tersebut sangat penting untuk memelihara kepentingan masing-masing pihak dalam hal ini Israel, Hizbullah dan Suriah. Menurutnya, pengedepanan masalah keamanan Israel dalam setiap isu di kawasan, membuat tidak semua orang dapat mencermati dengan mudah setiap aksi negeri zionis itu termasuk yang berkaitan dengan serangan kali ini.

Page 16: Tragedi perang Suriah

"Hampir semua pihak ternasuk Israel yakin bahwa mau atau tidak mau, rezim Assad akan segera berakhir sehingga negeri zionis ini khawatir bila kondisi baru di perbatasan sebelah utara akan mengancam keamanannya. Kita akan lebih mudah memahami maksud serangan itu apabila melihat kondisi di lapangan terkait kemajuan al-Jeish al-Hurr (Tentara Kebebasan) melawan pasukan rezim Assad," paparnya lagi.

Tentara Kebebasan sebagai seteru pasukan pro Assad dilaporkan berhasil mengalihkan arah tujuan konvoi kendaran angkut pembawa senjata canggih rezim Assad yang sedianya akan dibawa ke gudang senjata Hizbullah. Selain itu, beberapa batalion Tentara Kebebasan ini juga sudah berada sekitar satu kilo meter dari pusat riset militer yang diserang Israel itu, yang berarti hampir dapat menguasai gudang senjata, senjata kimia dan berbagai jenis senjata canggih lainnya buatan Rusia yang dipastikan dapat dimanfaatkan untuk segera mengakhiri rezim Assad.

"Nah pada saat itulah pesawat tempur Israel terlibat dengan mengebom pusat riset tersebut dan konvoi kendaran angkut senjata dimaksud sebagai salah satu balas budi kepada rezim Suriah. Jadi bukan untuk melemahkan rezim yang dianggap sebagai rezim perlawanan terhadap Israel sebagaimana pernyataan Iran. Serangan ini adalah prestasi bersama untuk memperpanjang nafas rezim Assad," tandasnya.

Jarir menambahkan bahwa konspirasi tersebut sebenarnya jauh lebih besar dari apa yang terlihat dengan kasat mata dan apa yang didengar dari berbagai pernyataan Parai Ba`ath Suriah dan Hizbullah Libanon. "Banyak yang percaya bila rezim Suriah adalah rezim perlawanan (terhadap Israel pen.). Rezim ini telah lama melakukan pembantaian terhadap rakyat tiga negara Arab," tandasnya lagi.

Ia mencontohkan pembantaian terhadap warga Palestina di Tel Za`tar, Nahr al-Bared dan al-Badawi menyebabkan 30 ribu orang tewas. "Selama tiga dekade menguasai Libanon, puluhan ribu rakyat Libanon juga menjadi korban. Adapun jumlah korban tewas dari rakyat Suriah selama 43 tahun masa kekuasaan rezim yang dianggap perlawanan terhadap Isreal itu, lebih dari dari 250 ribu orang," papar Jarir lagi.

Terperangkap

Terlepas dari benar tidaknya analisa tersebut, yang jelas kenyataan di lapangan setelah dua tahun umur krisis Suriah semakin dapat dicerna oleh masyarakat umum Arab atas "permainan" yang sedang berlangsung. Apa yang terjadi sesungguhnya di negeri bekas pusat Kekhalifahan Umawiyah itu semakin terkuak akhir-akhir ini sehingga publik Arab tampaknya tidak bisa lagi termakan orasi berapi-api tokoh-tokoh yang dianggap selama ini sebagai pemimpin perlawanan terhadap Israel.

Page 17: Tragedi perang Suriah

Hizbullah yang selama ini memegang teguh sikapnya bahwa senjata yang dimilikinya hanya diperuntukkan melawan penjajah Israel kelihatannya sudah mulai berubah. Gerakan ini dilaporkan telah terperangkap dalam perang Suriah secara terang-terangan melawan para petempur anti Assad di sejumlah front baik di perbatasan dengan Libanon maupun di dalam wilayah Suriah.

Tentara kebebasan seperti dilaporkan sejumlah media Arab Rabu (20/2/2013), mengancam untuk menyerang posisi-posisi pertahanan Hizbullah di dalam wilayah Libanon. Ancaman ini dilontarkan setelah Kepala Staf Tentara Kebebasan, Salim Idris menuduh Hizbullah terlibat menyerang posisi para petempur anti Assad di Suriah.

Kepada kantor berita Perancis (AFP), Idris juga menyebutkan bahwa Hizbullah mengirim tentaranya untuk bertempur membela Assad di Damaskus, pedesaan Damaskus dan Homs.

"Kami memiliki bukti tentang hal ini, tapi dalam sepekan belakangan ini mereka mengubah taktik dengan melakukan serangan dari dalam Libanon,"paparnya.

Bahkan petinggi militer Tentara Kebebasan itu dilaporkan memberikan batas waktu terakhir bagi Hizbullah untuk menghentikan serangannya atas posisi-posisi Tentara Kebebasan hingga Kamis (21/2/2013). Harian al-Quds al-Arabi yang terbit di London, dalam tajuknya, Rabu (20/2/2013), juga mengingatkan bahwa Hizbullah telah terperosok dalam perang krisis Suriah secara terang-terangan.

Menurut Idris, bila serangan terus berlanjut setelah batas waktu itu maka ia akan memerintahkan kelompok-kelompoknya yang memiliki senjata jarak jauh untuk menyerang posisi asal serangan Hizbullah. "Sebenarnya kami tidak ingin memperluas perang karena kami hanya berperang melawan tirani," tegasnya sambil mengingatkan serangan Hizbullah itu sebagai pelaksanaan ancaman sejumlah petinggi rezim Suriah dan Iran.

Bila demikian halnya, maka krisis Suriah ibaratnya benang kusut dan semua pihak termasuk Israel ikut membantu mempersulit situasi. Karenanya beralasan dugaan yang menyebutkan bahwa Iran tidak akan melakukan serangan balasan terhadap Israel, apalagi nanti terbukti serangan tersebut memang bertujuan untuk menggagalkan Tentara Kebebasan mendapatkan senjata canggih milik rezim Assad./Sana`a, 11 R. Thani 1434 H*

Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman

Analisa Dunia Islam

Solusi Militer di Suriah tahun 2013

Page 18: Tragedi perang Suriah

Hidayatullah.com, Kamis, 10 Januari 2013

Oleh: Musthafa Luthfi

BEGITU situasi di Mesir mulai mereda, meletuslah krisis Iraq, pada saat situasi di Yaman mengarah kepada pemulihan stabilitas, situasi di Suriah semakin berdarah-darah. Itulah gambaran situasi umum di kawasan dalam tahun 2013 ini, dengan titik api yang masih terus menyala di Suriah sehingga harapan akan tercapai solusi politis semakin redup.

Ada satu kata yang mungkin paling tepat menggambarkan negeri Suriah pasca pidato Presiden Bashar Assad bahwa negeri itu akan semakin berdarah-darah pada 2013 ini. Lewat pidato yang disampaikan di depan pendukungnya, Ahad (06/01/2012), Assad menolak mundur dan secara tersirat merasa masih kuat dan siap mempertahankan kekuasaannya hingga titik darah penghabisan sehingga solusi militer semakin dikedepankan oleh kedua pihak (rezim dan oposisi).

Tidak ada yang baru dari isi pidato tersebut bahkan terkesan seperti pidato ketika situasi negeri itu masih seperti dua tahun yang lalu saat unjukrasa damai menuntut perubahan baru dimulai sebagai rangkaian dari “musim semi” Arab merambah sejumlah negara Arab. Dengan demikian, terkesan pidato tersebut sebatas basa-basi untuk sekedar mengingatkan publik dalam dan luar negeri bahwa ia masih eksis.

Karenanya tidak aneh bila pidato itu menimbulkan kecaman luas dari oposisi dan dunia internasional umumnya, kecuali sekutu Assad khususnya Iran yang menyambut hangat. Ia kelihatannya masih kokoh menolak mengambil pelajaran dari pendahulu-pendahulunya yang sudah “tumbang” semisal Zainal Abidin Ben Ali, Tunisia, Hosni Mubarak, Mesir dan Muammar Kaddafi, Libya.

Ketiga bekas pemimpin Arab yang jatuh akibat “badai” musim semi Arab itu, juga sebelumnya mengecap rakyat mereka dengan label yang hampir sama dengan yang diberikan Assad kepada rakyatnya yang mendesak dilakukannya perubahan karena mereka telah bosan dengan status quo. Penampilan Assad tersebut ibarat potret pendahulu-pendahulunya yang sudah terlebih dahulu berjatuhan.

Koalisi oposisi Suriah menilai bahwa pidato itu hanya taktik Assad untuk membatalkan upaya diplomatik dalam menyelesaikan krisis yang sedang terjadi di negara tersebut. Juru bicara dari Koalisi Suriah, Walid al-Bunni menilai bahwa tidak ada dasar bagi Bashar Assad kecuali seperti diktator lain di dunia, ia meskipun dalam keadaan terdesak, masih percaya diri dia mampu memulihkan situasi sesuai yang diinginkannya.

Page 19: Tragedi perang Suriah

Salah seorang analis menganggap, pidato yang berlangsung di gedung opera ibukota Damaskus itu sebenarnya sudah cukup sebagai indikasi bahwa Assad sebenarnya dalam keadaan terdesak. Sudah tidak ada tempat yang aman baginya kecuali tempat persembunyian yang selalu berpindah-pindah akibat serangan dari tentara kebebasan anti rezim yang dilaporkan hingga kini, masih terus membukukan kemajuan militer di lapangan.

Bila demikian halnya, pidato tersebut ibarat ultimatum bahwa ia akan melakukan segala cara untuk mempertahankan kekuasaan, tapi dengan cara membukusnya dalam kado berisi tawaran “solusi damai” yang sejalan dengan kepentingan kelanggengan kekuasaannya. Ia misalnya sengaja menonjolkan tekadnya untuk “menghabisi” perlawanan dari kelompok Salafi dan apa yang disebutnya kelompok takfir (mengkafirkan golongan Muslim yang tidak sepaham).

Sedangkan perlawanan yang lain dianggap sebagai tentara bayaran dari luar negeri, pengkhianat dan musuh rakyat sehingga musuh rakyat tempat kembalinya adalah neraka. Assad merasa tidak melihat ada mitra oposisi yang bisa diajak berdialog untuk mencapai solusi damai karena mereka semuanya adalah pengkhianat bangsa.

Dapat dibaca bahwa tekad untuk “menghabisi” kelompok Salafi dan Takfir adalah pesan yang disampaikan kepada Barat, khususnya AS bahwa bila rezim jatuh maka yang akan berkuasa adalah kelompok radikal. Pesan ini sebenarnya sudah kelise karena sejak semula, Assad dan pejabat tinggi Suriah lainnya sudah sering mengingatkan masalah tersebut, tapi dengan telah terbentuknya koalisi oposisi, pesan tersebut sudah tidak bermakna lagi.

Sedangkan pesan lainnya kepada Barat adalah penegasan bahwa setelah dua tahun perang berlanjut, yang mampu menjatuhkannya hanya intervensi militer asing (baca: Barat). Pesan yang satu ini pun masih disangsikan, karena sejumlah pengamat militer menyebutkan bahwa kemajuan parsial yang dicapai tentara rezim sepekan belakangan ini dikarenakan pasokan senjata kepada kelompok oposisi menipis sedangkan tentara rezim terus mendapat pasokan dari Iran dan Rusia.

Kiranya tepat penilaian sebagian analis Arab bahwa pidato mutakhir Assad itu sebagai bentuk keangkuhan dan respon langsung kepada Rusia yang berusaha mencarai jalan tengah yang dapat diterima semua pihak. “Pidato ini seolah-olah mengatakan kepada Rusia go to hell, bila akhirnya harus ada solusi damai, maka harus sesuai dengan keinginan Assad,” papar sejumlah pengamat.

Alhasil pidato itu pun akhirnya dianggap pepesan kosong oleh sebagian besar pemimpin dunia terutama yang terlibat langsung dalam upaya penyelesaian politik di negeri bekas pusat Khilafah Umawiyah itu.

Page 20: Tragedi perang Suriah

“Sepertinya dia mengurung diri di kamar dan hanya membaca laporan-laporan intelijen yang disajikan kepadanya. Assad hanya menwarkan janji-janji kosong," komentar Menlu Turki Ahmet Davutoglu, Senin, (07/01/2013).

Para pemimpin Barat juga nampaknya bersikap sama menanggapi pidato itu yakni mundurnya Assad adalah opsi yang paling tepat bagi penyelesaian di negeri itu. Kepala Urusan Luar Negeri Uni Eropa (UE), Catherine Ashton menanggapi pidato Assad mengatakan, Assad harus mundur untuk menghasilkan solusi politik perang yang terjadi di Suriah. "Mundurnya Assad memungkinkan transisi politik,’’ tegasnya.

Perlu dicermati

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, pidato Assad terakhir sangat mengecewakan oposisi karena bukan pidato seseorang yang berada dalam posisi terjepit, berpindah dari satu tempat ke tempat lain sebagaimana kenyataan di lapangan. Pidato tersebut lebih kuat dan fasih dibandingkan dengan pidato-pidato sebelumnya, sejak meletusnya unjukrasa rakyat menentang rezimnya.

Meskipun demikian, mungkin ada tiga poin yang perlu dicermati dari pidato tersebut yang bisa jadi sebagai indikasi bentuk “penyelesaian” yang mungkin terjadi paling tidak di tahun 2013 ini. Yang pertama adalah, inisiatif damai yang berisi tawaran pemilu dini, parlemen dan konstitusi baru serta dialog nasional komprehensif.

Tawaran tersebut sebagai pengakuan langsung Assad bahwa apa yang dianggapnya sebagai langkah-langkah perbaikan dengan dilaksanakannya pemilu di tengah krisis pada bulan Mei 2012 telah gagal meredam murka rakyat. Pemilu tersebut bahkan mendapat kecaman dari tokoh-tokoh oposisi Suriah baik di dalam maupun luar negeri.

Poin yang kedua adalah, gambaran Assad yang masih meremehkan kenyataan “musim semi” Arab dengan menyebutnya sebagai “gelembung air”, proyek Zionisme, menguburkan perlawanan terhadap Israel. Ia juga menilainya sebagai penyebab keterpurukan bangsa Arab, tanpa melihat kenyataan sebaliknya bahwa musim semi ini sukses menjatuhkan rezim Mubarak yang lebih dari tiga dekade menterpurukkan Mesir sebagai negara Arab terbesar.

Kenyataan lainnya adalah, musim semi Arab inilah yang memaksanya mengakui keberadaan oposisi dalam negeri, juga memaksanya berbicara tentang pemilu baru dan dialog komprehensif. Pada awal-awal meletusnya musim semi itu, ia juga yang mendorong revolusi di negara-negara Arab yang dianggapnya sebagai "al-muwaalaat" (istilah bagi negara-negara Arab yang dianggap pro Barat dan menolak perlawanan bersenjata terhadap Israel).

Page 21: Tragedi perang Suriah

Poin yang ketiga adalah pernyataannya tentang tidak adanya oposisi yang dapat diajak berdialog dan menolak tegas keberadaan oposisi di luar negeri yang dianggap sebagai antek Barat. Padahal kenyataannya, menurut banyak analis Arab, bahwa Assad memang tidak mengakui oposisi siapapun yang menentang rezimnya sehingga oposisi umumnya berada di tahanan-tahanan.

Dengan mencermati tiga poin utama isi pidato Assad itu, dugaan-dugaan sebelumnya tentang telah dekatnya waktu kejatuhan rezim, nampaknya sulit menjadi kenyataan. Rezim Assad kelihatannya sulit dijatuhkan tanpa intervensi militer luar negeri, sementara kemungkinan intervensi tersebut semakin jauh bahkan banyak kalangan menyebutnya tidak akan terjadi.

Alasan utama mengapa intervensi asing hampir mustahil adalah kekhawatiran AS akan mengalami nasib yang sama seperti di Afgansitan dan Iraq serta negara Barat lainnya tidak memiliki banyak kepentingan sebagaimana halnya di Libya. Di lain pihak, Arab Saudi sebagaimana dinyatakan oleh Menlu Pangeran Saud al-Faisal mendukung solusi damai dan menyerahkan keputusan hengkangnya Assad kepada rakyat Suriah.

Sementara itu, tentara kebebasan saat ini kembali mengeluhkan kurangnya dukungan finansial dan militer (pengiriman senjata) yang menyebabkan Assad yang tadinya sudah mulai terdesak oleh serangan oposisi di ibukota Damaskus, kembali bernafas lega.

“Setidaknya berbagai indikasi melegakan tersebut menyebabkan berkurangnya kekhawatiran Assad saat ini,” papar sejumlah pengamat Arab.

Banyak pihak di dalam dan luar negeri memprediksikan Assad bakal jatuh pada akhir 2012 atau setidaknya pada awal 2013. Namun melihat indikasi-indikasi tersebut, rezim ini kemungkinan masih bisa bernafas panjang pada tahun ini kecuali “Ashdiqa Suriah” (para sahabat Suriah) yakni negara-negara pendukung perubahan di Suriah mendukung solusi militer sebelum masa jabatan Assad berakhir 2014, yang berarti genangan darah akibat korban jiwa akan semakin mengerikan setelah 60 ribu jiwa melayang dalam dua tahun krisis negeri itu.

Opsi yang paling memungkinkan meskipun akan tetap menelan korban besar bila menginginkan rezim segera jatuh adalah mempersenjatai tentara kebebasan dengan senjata canggih yang mampu mengimbangi senjata rezim. Sejauh ini, belum dapat dipastikan apakah tentara kebebasan memang telah mendapatkan senjata dimaksud.

Belum ada penjamin

Sedemikian besarnya korban jiwa akibat krisis politik di negeri yang masih menyimpan peninggalan peradaban Islam dan dunia itu, namun belum ada penjamin di tingkat regional dan

Page 22: Tragedi perang Suriah

internasional yang bisa menjamin pihak yang bertikai (rezim dan oposisi) bakal siap menerima tekanan. Rezim masih percaya diri bakal mampu mengatasi perlawanan oposisi secara militer.

Sedangkan oposisi juga merasakan hal yang sama bahwa setelah dua tahun berperang dengan pengorbanan yang luar biasa, tidak ada gunanya penyelesaian politik setelah mereka merasa semakin dekatnya kemenangan menyusul kemampuan mereka menyerang “punggung” rezim di pusat kota Damaskus. Sedangkan di wilayah utara Suriah juga dikuasai pejuang kubu Islamis yang sebagian faksinya dimasukkan daftar hitam oleh AS.

“Intinya Assad hanya memanfaatkan orasinya untuk memulihkan kepercayaan para pendukungnya untuk terus berperang guna mengekalkan kekuasaannya. Ia masih menyimpan mental tirani sehingga selalu siap berdusta kepada pendukungnya untuk melanjutkan pembantaian,” Dr. Luey Shafi, seorang pengamat Arab.

Meskipun demikian, lanjutnya, revolusi Suriah tidak akan mundur, akan terus maju dengan tekad menjatuhkan rezim dan menampik drama orasi Assad di gedung opera Damaskus.

“Revolusi Suriah terus maju hingga kebebasan terwujud,” tegasnya mengomentari semangat juang para penentang Assad.

Apa yang dikemukakan salah satu analis Arab itu banyak benarnya, karena perang akan terus berlanjut hingga rezim jatuh atau tercapai kompromi para penengah yakni AS, Barat dan Arab di satu pihak dengan Rusia dan Iran di pihak lain yang dapat diterima kedua belah pihak yang bertikai. Memasuki tahun 2013, kompromi yang dimaksud belum ada tanda-tanda akan berhasil karena setiap pihak bersikeras pada pendirian masing-masing.

Bila kompromi tak kunjung tercapai pada 2013, jalan keluar krisis Suriah adalah opsi militer dengan dua kemungkinan yakni pertama, kejatuhan Assad menyusul kemenangan kubu revolusi dan kedua adalah kemenangan rezim di lapangan sehingga tercapai solusi politis dengan tetap berkuasanya Assad hingga masa jabatan berakhir pada 2014. Meskipun banyak pihak melihat rezim Assad sudah semakin terdesak, namun belum ada yang bisa memastikan bahwa ia bakal jatuh pada 2013 ini.*/Sana`a, 27 Shafar 1434 H

Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman

Analisa Dunia Islam

Page 23: Tragedi perang Suriah

“Al-Ma’Rokatul Kubro” Menanti Suriah

Hidayatullah.com, Senin, 11 Maret 2013

Oleh: Musthafa Luthfi

PASOKAN senjata ke Suriah untuk mendukung oposisi menghadapi pasukan rezim Bashar Assad memang sudah berlangsung sejak dua tahun belakangan ini tanpa legitimasi baik dari Liga Arab maupun PBB. Meskipun demikian, oposisi kelihatannya masih kesulitan mengimbangi pasukan rezim yang terus disuplai pasokan senjata canggih dari sekutunya terutama Iran dan Rusia.

Karena masuknya senjata secara ilegal alias lewat penyelundupan, maka agak kesulitan bagi pasukan oposisi terutama al-Jeish al-Hurr (Tentara Kebebasan) untuk mendapatkan senjata canggih. Seandainya berhasil menyelundupkan senjata canggih masih ada kendala lain lagi yang tak kalah pelik yakni SDM yang dapat menggunakan senjata tersebut.

Namun dengan keputusan Liga Arab, pekan lalu yang membolehkan negara-negara sekitar menfasilitasi masuknya senjata ke Suriah untuk mendukung oposisi melawan rezim maka negeri itu memasuki babak baru. Keputusan Liga ini merupakan keputusan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk suatu kasus yang sama seperti krisis Suriah saat ini, sejak badan regional ini berdiri pada 22 Maret 1945.

Dengan keputusan tersebut maka Liga Arab telah memberikan payung hukum (legitimasi) bagi kelanjutan pasokan senjata kepada kubu revolusi Suriah dan mendukung secara resmi pelengseran rezim Assad dengan kekuatan senjata sehingga memberikan peluang bagi kubu revolusi untuk mengatur strategi lebih kuat untuk mencapai target menjatuhkan rezim. Itulah gambaran umum, tujuan dari keputusan badan tersebut meskipun pelaksanaan di lapangan nanti bisa berbeda.

Kemudian bila melihat format keputusan badan regional Arab itu, negara-negara sekitar Suriah disebutkan secara umum dan dengan format jamak yang berarti menyangkut lima negara yakni Iraq, Israel, Libanon, Turki dan Yordania. Namun pada kenyataannya hanya dua negara saja yang dimaksud yakni Turki dan Yordania sebab Libanon dan Iraq secara resmi masih mendukung rezim, sedangkan Israel lebih sebagai ``penonton``.

Bagi sejumlah pengamat dan analis militer Arab melihat bahwa keputusan tersebut lebih dari sekedar penerapan nilai hukum karena maksud tersiratnya adalah untuk memberikan senjata canggih yang dapat mengimbangi pasukan rezim. ``Kita akan melihat dalam waktu dekat pasokan senjata lebih banyak dan lebih canggih ke tangan 100 ribu lebih petempur kubu revolusi,`` papar seorang pengamat Arab.

Page 24: Tragedi perang Suriah

Sebagian lainnya menyebutkan, seandainya keputusan tersebut dikeluarkan sejak dini tentunya akan meminimalkan jumlah petempur yang dicurigai sebagai kelompok radikal. Lambatnya keputusan seperti ini telah merugikan kubu revolusi yang lebih berhak mendapatkan bantuan karena memiliki proyek nasional yang jelas dibandingkan kelompok-kelompok yang sulit diatur tersebut.

Secara politis Liga Arab hingga saat ini masih menolak kubu revolusi mengisi kursi Suriah yang kosong sejak negeri itu ditangguhkan keanggotaannya, dengan alasan oposisi belum mewakili eksistensi negara. Namun keputusan membolehkan pasokan senjata adalah sebagai dukungan militer yang mungkin jauh lebih dibutuhkan kubu revolusi dibandingkan dukungan politik yang selama ini belum membuahkan hasil yang diinginkan mayoritas rakyat negeri itu.

"Ibaratnya, satu tangan liga Arab menolak kubu oposisi mengisi kursi Suriah yang kosong, namun satu tangan lainnya membolehkan masuknya senjata untuk mendukung mereka. Sejatinya, kursi tersebut tidak terlalu penting, sebab lebih penting adalah senjata untuk mempercepat waktu (kejatuhan rezim) dan menghentikan penderitaan," papar sejumlah analis Arab.

Tentunya berdasarkan penilaian diatas, dengan dibolehkannya negara-negara sekitar menfasilitasi pasokan senjata ke kubu revolusi maka akan segera dapat dilihat perubahan besar di medan pertempuran. Kargo-kargo senjata dari manca negara telah siap disalurkan ke Suriah sehingga diduga akan memberikan keuntungan besar bagi kubu revolusi untuk melakukan serangan menentukan.

Tanpa keunggulan

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, keputusan Liga Arab itu, masih akan menemui banyak permasalahan dalam penerapan di lapangan seperti kemampuan menggunakan senjata dan kemampuan Tentara Kebebasan memonitor kelompok-kelompok yang ikut berperang melawan rezim. Terdapat puluhan kelompok bersenjata yang dianggap sulit diatur dan melakukan aksi sendiri-sendiri karena menolak berada dibawah komanda Tentara Kebebasan.

Untuk permasalahan pertama, kemungkinan dua negara tetangga (Turki dan Yordania) dapat membantu memberikan instruktur militer dan pelatihan di kamp-kamp perbatasan kepada petempur-petempur kubu revolusi. Adapun masalah kedua ini yang pelik dan sulit diprediksi karena apabila ada senjata canggih yang jatuh ke tangan kelompok yang dianggap radikal oleh Barat, sudah cukup sebagai alasan untuk menghentikan pengiriman nantinya.

Sebagaimana diketahui, keterlibatan sejumlah kelompok yang dianggap radikal dalam perang melawan rezim itu sebagai alasan utama mengapa Barat setengah hati mendukung pengiriman senjata kepada kubu revolusi meskipun sejumlah negara Arab terkemuka sejak dini telah

Page 25: Tragedi perang Suriah

mengisyaratkan pentingnya bantuan militer dimaksud. Rezim Assad sendiri selalu memanfaatkan keberadaan mereka untuk menakut-nakuti Barat bahwa mereka akan berkuasa bila rezimnya jatuh.

Padahal banyak pihak baik di dalam maupun luar Suriah, menegaskan bahwa kelompok-kelompok yang dianggap radikal terutama yang dicurigai sebagai al-Qaidah hanya segelintir. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa gerakan al-Qaidah selalu memanfaatkan kekacauan di suatu negara sebagai lahan subur untuk memperluas basisnya, sebut saja misalnya dalam dua tahun belakangan ini di Yaman dan Mali seperti halnya di Afganistan dan Iraq sebelumnya.

Namun bagi penulis sendiri, keputusan Liga Arab yang sudah sangat terlambat itu, seperti kata pepatah ibarat pedang bermata dua karena disatu sisi akan memberikan kekuatan lebih bagi kubu revolusi menghadapi pasukan rezim. Namun di sisi lain, akan menciptakan perang besar yang akan meluluhlantahkan negeri itu dengan korban jiwa dan harta yang bertambah dahsyat.

Sejumlah analis Arab mengistilahkannya al-ma`rokatul kubro (perang besar) sudah menanti antara dua musuh yakni Tentara Kebebasan dan pasukan rezim yang memiliki kekuatan yang hampir sama tanpa keunggulan satu kekuatan atas kekuatan lainnya. Masyarakat internasional akan disuguhi "dialog senjata" antara dua kekuatan berimbang yang sulit diprediksi pemenangnya mengingat keduanya memiliki pendukung masing-masing.

Istilah tersebut kelihatannya banyak benarnya mengingat selama dua tahun belakangan ini terjadi perang kecil di berbagai penjuru negeri itu dengan keunggulan senjata berada di pihak pasukan rezim. Sedangkan keunggulan kubu revolusi selain semangat juang adalah dukungan mayoritas rakyat dan masyarakat internasional.

Sementara menunggu al-ma`rokatul kubro itu, dilaporkan bahwa pasukan rezim berusaha mengantisipasinya dengan cara menguasai kembali sejumlah wilayah yang sempat direbut oleh kubu revolusi. Bahkan sebagian pihak menyebutkan bahwa pasukan rezim yang tetap setia kepada Assad siap bertempur hingga titik darah penghabisan.

Dan tidak menutup kemungkinan sekutu Assad seperti Hizbullah di Libanon dan pasukan Pasdaran (Garda Revolusi Iran) akan terlibat langsung dalam perang besar yang mengerikan tersebut. Meskipun demikian, mayoritas rakyat negeri itu yang Sunni, tampaknya tidak peduli lagi terhadap berapapun pengorbanan yang akan mereka persembahkan demi perubahan.

Setelah 50 tahun Partai Ba`ath berkuasa dengan tangan besi, banyak pihak di Arab yang menilai bahwa sudah tiba saatnya partai ini berakhir. ``Sudah tidak ada lagi pertanyaan tentang masa depan Partai Ba`ath. Tapi pertanyaan yang muncul adalah bagaimana sikap Iran menghadapi kekalahan yang sudah pasti ini,`` papar seorang analis Arab, dalam tulisannya, Rabu (6/3).

Page 26: Tragedi perang Suriah

Solusi militer

Paling tidak, keputusan Liga Arab tersebut semakin memperkuat dugaan sebelumnya bahwa solusi militer merupakan opsi paling menonjol bagi krisis Suriah pada 2013. Adapun pernyataan sejumlah petinggi PBB tentang solusi politis, tampaknya tidak lebih sekedar basa-basi yang sangat sulit dicapai dikarenakan kesenjangan sikap yang sangat lebar antara rezim dengan kubu revolusi.

Dukungan militer setengah hati dari Barat terhadap oposisi sejauh ini bisa dimanfaatkan rezim Assad untuk bernafas panjang. Bila keputusan Liga Arab tersebut didukung oleh negara-negara “Ashdiqa Suriah” (para sahabat Suriah) yakni negara-negara pendukung perubahan di Suriah, maka besar kemungkinan Assad akan jatuh sebelum masa jabatannya berakhir pada 2014.

Hanya resikonya sebagaimana disebutkan sebelumnya yakni genangan darah akibat korban jiwa akan semakin mengerikan setelah lebih dari 90 ribu jiwa gugur dalam dua tahun krisis negeri itu. Kemampuan rakyat negeri Syam itu bertahan menghadapi teror rezim, tampaknya sebagai senjata ampuh bagi oposisi untuk melaksanakan tugas merampungkan perubahan sebagaimana yang diinginkan rakyat.

Oposisi juga merasa bahwa setelah dua tahun berperang dengan pengorbanan yang luar biasa, tidak ada gunanya lagi penyelesaian politik setelah mereka merasa semakin dekat menuju kemenangan ditambah lagi dengan keputusan Liga Arab tersebut. Di lain pihak, rezim Assad tidak ragu-ragu untuk meneruskan petualangan militernya dengan korban sebanyak apapun demi melanggengkan kekuasaan.

Alhasil, Liga Arab dengan keputusannya tersebut ibaratnya telah memberikan kepada rakyat Suriah harapan lebih riil dan dukungan nyata secara militer sehingga bertambah besar harapan mereka untuk segera menyusul negara-negara Arab lainnya yang telah merampungkan revolusi Arab Spring. Meskipun demikian, tetap tidak mudah untuk mewujudkan harapan tersebut, sebab mereka berhadapan dengan rezim yang tidak peduli dengan rakyat yang akan dikorbankan sebanyak apapun, karena yang terpenting baginya adalah langgengnya kekuasaan.*/Sana`a, 27 R. Thani 1434 H

Kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman

Mali, Obama dan Krisis Suriah (1)

Page 27: Tragedi perang Suriah

Analisa Dunia Islam, Hidayatullah.com, Selasa, 29 Januari 2013

Oleh: Musthafa Luthfi

WALAUPUN banyak pemimpin dunia termasuk Sekjen PBB, Ban Ki-moon dan Utusan Khusus PBB untuk Suriah, Lakhdar Brahimi sering menegaskan bahwa penyelesaian di Suriah tidak boleh secara militer, namun kenyataan di lapangan adalah sebaliknya. Pihak yang berhasil “menang” secara militer yang akan mampu mengatur penyelesaian sesuai kepentingannya.

Nah pada saat krisis di negeri bekas pusat Khilafah Omawiyah itu masih berlarut, muncul lagi perkembangan baru pada bulan ini yang setidaknya akan berdampak terhadap kemunginan berlarut-larutnya krisis di negeri tersebut. Pasalnya perkembangan dimaksud saling berkaitan dengan masalah Suriah yang tak kunjung menemui jalan keluar meskipun diperkirakan telah menelan 70 ribu lebih korban jiwa.

Perkembangan pertama adalah serangan Prancis sejak pertengahan Januari ini atas wilayah utara Mali yang dikuasai oleh kelompok bersenjata yang dicurigai memiliki kaitan dengan gerakan al-Qaeda,. Serangan ini sebagai pelaksanaan resolusi persetujuan DK PBB 20 Desember 2012 yang memberikan mandat kepada pasukan Afrika guna melakukan intervensi militer ke Mali demi mempersatukan kembali negeri itu.

Resolusi DK PBB yang dipersiapkan oleh Prancis itu antara lain menyerukan rekonsiliasi politik, diselenggarakannya pemilu, dan melatih pasukan keamanan sebelum operasi diluncurkan untuk merebut kembali kawasan di utara Mali. Menlu Prancis, Laurent Fabius mengatakan AS, Inggris dan sejumlah sekutunya di Eropa mendukung intervensi politik Prancis di Mali menyusul kekerasan di negara Afrika Barat tersebut.

Resolusi pengesahan interevensi militer DK PBB itu diambil secara bulat di markas besar PBB di New York, sehingga sekutu-sekutu Prancis di Afrika terutama Aljazair nampaknya tidak bisa mengelak untuk membolehkan wilayah udaranya dimanfaatkan oleh pesawat-pesawat tempur negeri bekas penjajahnya. Aljazair pun harus siap menghadapi dampaknya dengan pembalasan kelompok bersenjata termasuk penculikan puluhan warga asing yang bekerja di salah satu ladang minyak negeri itu.

Sebuah kelompok bersenjata misalnya, Rabu (16/1/2013) menyerbu ladang minyak Ain Amenas milik perusahaan British Petroleum (BP) milik Inggris di selatan Aljazair saat fajar. Meskipun pasukan keamanan Aljazair berhasil membebaskan sebagain sandera, namun puluhan lainnya tewas termasuk para penculik.

Para pimpinan regional menyatakan kesiagaan untuk mengirim sekitar 3 ribu tentara dari Nigeria, Niger, Chad, Burkina Faso dan Togo guna ikut membantu pasukan intervensi yang

Page 28: Tragedi perang Suriah

disetujui oleh PBB. Pasukan darat Prancis juga dilaporkan terlibat dalam pertempuran untuk memperebutkan kota Diabaly, yang berada di dalam wilayah yang dikendalikan pemerintah namun dikuasai oleh militan dalam sebuah ofensif balasan setelah serangan-serangan udara pertama Prancis terhadap daerah Konna.

Kelompok-kelompok militan yang sejak April menguasai Mali utara bergerak sekitar sepekan lalu ke arah selatan, wilayah yang dikuasai pemerintah dan merebut Konna, sekitar 700 kilometer melalui jalan darat dari Bamako, ibu kota Mali, sehingga mendorong Prancis segera melakukan intervensi. Kerusuhan meletus di Mali setelah Presiden Amadou Toumani Toure digulingkan dalam kudeta militer pada 22 Maret 2012 dan pemerintah gagal mencegah pemberontakan dari Tuareg (al-Tawareq) yang berada di bagian utara negara tersebut.

Meskipun Prancis mendapat dukungan sekutu-sekutunya di Barat dan Afrika dalam interevensi militer di negeri yang terkoyak-koyak di Afrika Barat itu, namun tidak ada pihak yang memastikan target sesungguhnya dari interevnsi tersebut dan tidak pula ada yang dapat memastikan apakah perang akan berlangsung pendek atau lama sebagaimana halnya di Afganistan. Yang sudah pasti adalah, negeri-negeri sekitar yang membantu interevensi itu akan menjadi sasaran pembalasan kelompok bersenjata disamping tentunya Prancis.

Sebagian pengamat menilai bahwa Prancis telah “terpeleset” dalam interevensi militer meluas di Mali setelah negeri ini mendahului negeri-negeri jiran Mali melakukan interevensi guna membendung perluasan pengaruh kelompok bersenjata tersebut yang diperkirakan berkekuatan antara 5-7 ribu petempur. “Jumlah pasukan Prancis dipastikan akan terus meningkat karena wilayah dan perlawanan kelompok militan juga semakin meluas,” papar sejumlah analis.

Paris kelihatannya menyadari bahwa intervensi militer yang dilakukannya itu tidak akan berjalan mulus bahkan butuh waktu lama. Kementerian Pertahanan negeri itu seperti dilaporkan sejumlah media Selasa (15/1/2013) menyatakan bahwa perang di Mali akan berlangsung lama sehingga memutuskan peningkatan jumlah pasukan daratnya di Mali tiga kali lipat menjadi 2.500 personil.

Presiden Prancis, Francois Hollande memang menyatakan bahwa target intervensi negaranya adalah untuk mengembalikan keamanan dan legitimasi pemerintah serta memulihkan situasi agar kelompok teroris tidak bisa lagi mengancam Mali. Tapi bila melihat peta kepentingan negeri menara Eiffel itu, dapat dipastikan bahwa target utama adalah melindungi kepentingannya di negara-negara jiran Mali terutama di Niger, perbatasan timur Mali.

Prancis dilaporkan menanamkan modal besar di Niger, di sektor pertambangan uranium yang menjadi penopang industri modern dan militernya, yang mana kelompok militan sering mengancam untuk menculik tenaga ahli Prancis di pertambangan itu. Perluasan pengaruh

Page 29: Tragedi perang Suriah

militan di Mali dikhawatirkan membahayakan kepentingannya di Niger, tapi perang seperti ini tidak pernah berlangsung kilat sehingga banyak pihak meragukan kemampuan Paris bertahan menghadapi perang berkelanjutan.

Perang berkelanjutan seperti ini tentunya akan menjadi perhatian baru masyarakat internasional sehingga masalah menahun yang di depan mata akan dikesampingkan lagi. Krisis Suriah, dipastikan akan tidak menjadi fokus utama penyelesaian lagi sehingga korban jiwa dan kehancuran di negeri ini akan semakin mengerikan. */Sana`a, 14 R. Awal 1434 H

Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman

Mali, Obama dan Krisis Suriah (2)

Analisa Dunia Islam, Hidayatullah. Com, Rabu, 30 Januari 2013

Oleh: Musthafa Luthfi

Menyusut

Perkembangan kedua adalah pelantikan Presiden AS, Barack Obama untuk masa jabatan empat tahun kedua (terakhir) memimpin negeri yang disebut adidaya itu pada Ahad (20/1/2013) waktu setempat. Diantara inti pidato pelantikannya yang terkait hubungan luar negeri adalah, ia menutup pintu rapat-rapat terhadap intervensi militer dengan menegaskan masa perang telah berakhir dan dialog adalah cara satu-satunya menuju perdamaian.

Pesan Obama dalam pidato tersebut jelas yakni tidak ada intervensi militer di Suriah dan tidak akan melakukan perang baru melawan Iran sebagaimana desakan Israel. Masa jabatan terakhir empat tahun kedepan nampaknya hanya akan difokuskan pada masalah dalam negeri terutama upaya mengeluarkan negerinya dari krisis ekonomi yang sangat parah.

Dengan demikian, peran internasional AS empat tahun terakhir masa jabatan Obama akan menyusut sehingga tidak akan memimpin NATO melakukan intervensi di belahan bumi mana pun. Apabila dibutuhkan sekutunya dalam NATO, peranya tak lebih sekedar partisipasi simbolis, bantuan logistik atau berada di lini belakang sebagaimana halnya saat menjatuhkan bekas pemimpin Libya, Moammar Kaddafi.

Sejumlah pengamat Arab mengulas kebijakan luar negeri negeri Paman Sam itu empat tahun ke depan di kawasan Timur Tengah dengan menggarisbawahi pada tiga poin kebijakan utama. Yang pertama adalah terkait proses damai yang kemungkinan besar tidak akan dihidupkan lagi

Page 30: Tragedi perang Suriah

hingga jabatan Obama berakhir yang berarti tidak akan ada tekanan atas Israel untuk menghentikan pembangunan pemukiman Yahudi baru di tanah milik bangsa Palestina.

Adapun yang kedua adalah menolak seruan untuk melakukan intervensi di Suriah dan akan menyerahkan sepenuhnya kepada negara-negara regional apabila menginginkan intervensi di negeri tersebut. Sebagian analis menilai bahwa keputusan ini disebabkan semakin meningkatnya peran kelompok-kelompok yang dianggap radikal dalam perang melawan rezim disamping masih gagalnya oposisi membentuk pemerintahan di pengasingan.

Sedangkan yang ketiga adalah terkait dengan isu nuklir Iran. AS nampaknya enggan melakukan serangan militer untuk menghancurkan instalasi nuklir Iran selama negeri Persia itu belum memutuskan untuk memproduk senjata nuklir. Negeri adidaya yang sedang tidak berdaya itu agaknya akan tetap memfokuskan pada kelanjutan sanksi ekonomi yang semakin dirasakan dampaknya oleh rakyat Iran saat ini.

Kebijakan tersebut mengindikasikan bahwa negeri Paman Sam itu sudah terlalu penat berperang di Timur Tengah setelah intervensi di Iraq menyebabkan kas negara terkuras disamping ribuan pasukan yang tewas. Obama, juga terkesan bersikap dingin melanjutkan perang melawan terorisme yang dicetuskan pendahulunya, sehingga tidak begitu bersemangat terhadap intervensi Prancis di Mali yang bisa jadi berlarut-larut seperti di Afganistan dan Iraq.

Bagi Israel sendiri mungkin melihat sikap Obama tersebut dari dua sisi, yang pertama terkait proses damai yang direspon dengan senang hati karena tidak ada tekanan mengentikan pemukiman Yahudi. Sedangkan yang kedua terkait nuklir Iran, yang direspon pemerintahan Benjamin Netanyahu dengan sangat khawatir sebab negeri Mullah itu diperkirakan sudah mampu memproduksi bom nuklir dalam rentang waktu tersebut.

Namun tetap tidak menutup kemungkinan Netanyahu yang memiliki hubungan erat dengan Kongres AS akan memanfaatkan Kongres untuk menekan Obama agar siap mendukungnya apabila negeri zionis itu merasa perlu melakukan serangan sepihak atas Iran. Sejauh ini para pemimpin Israel, menilai ancaman nuklir negeri Persia itu sebagai ancaman eksistensi negeri zionis itu sehingga akan melakukan berbagai cara untuk menggagalkan ambisi nuklir Iran.

"Israel bisa saja melakukan serangan sepihak untuk memancing serangan balasan Iran sehingga akan memaksa Obama membela sekutunya atas desakan Kongres," komentar sejumlah analis Arab. Kemungkinan ini nampaknya tetap terbuka lebar terlebih lagi bila perundingan demi perundingan antara Iran dan Badan Energi Atom Internasional (IAEA) tak kunjung mencapai jalan temu.

Memanfaatkan

Page 31: Tragedi perang Suriah

Bagi rezim Suriah yang tidak ragu-ragu untuk mengorbankan lebih banyak lagi nyawa rakyatnya demi mempertahankan kekuasaan, dapat memanfaatkan kedua perkembangan tersebut untuk melanjutkan petualangannya dengan harapan negara-negara yang tadinya menutup telinga akan bahaya al-Qaidah di Suriah akan meninjau lagi posisi mereka. Rezim kembali memanfaatkan peluang untuk mengingatkan kembali bahwa kelompok radikal bakal memerintah bila rezim sekarang jatuh.

Para pemimpin Rusia juga ikut berkampanye mengusung suara yang sama bahwa Barat bakal menyesal nantinya bila tetap bersikeras menjatuhkan rezim Assad karena al-Qaidah akan menguasai Suriah. Inti dari kampanye itu "Barat akan mengulangi kesalahan yang sama di Suriah seperti Afganistan dengan berdalih pada intervensi Prancis di Mali."

Kali ini, suara tersebut nampaknya menjadi pertimbangan kembali Barat dan juga sejumlah negara Arab karena khawatir Suriah dapat menjadi Afganistan baru menyusul penyusupan kelompok jihadis yang semakin besar. “Daripada mendukung kubu revolusi, mereka justru lebih menfokuskan perhatian kepada kelompok-kelompok radikal tersebut,” papar Abdurrahman al-Rasheed, dalam artikelnya di harian al-Sahrqul al-Awsath, Sabtu (19/1/2013).

Menurut salah satu analis Arab itu, tidak dipungkiri sebagian dari petempur anti rezim adalah kelompok radikal dengan mengibarkan bendera hitam, tapi sebagian besar kubu revolusi adalah dari tentara kebebasan. “Assad ingin memperburuk citra tentara kebebasan untuk menakuti Arab dan Barat, padahal kelompok radikal hanya sebagian kecil saja dan mereka ikut menumpang revolusi sekitar 10 bulan lalu, ” paparnya.

Memang sulit untuk mendapatkan angka yang pasti mengenai jumlah para petempur yang dinilai radikal itu, namun demikian, hampir dapat dipastikan bahwa sebagian besar dari kubu revolusi bukan kelompok radikal sebagaimana yang digambarkan rezim. Hanya mungkin yang menjadi kekhawatiran adalah, kelompok yang dianggap radikal tersebut semakin berani memunculkan identitasnya akhir-akhir ini dengan mendirikan kantor-kantor di kota dan desa sepanjang Aleppo hingga perbatasan Turki.

Sudah barang tentu, Barat yang selama ini mendukung kubu revolusi Suriah merasa khawatir karena melihat langsung “musuh” yang dianggap lebih berbahaya dari rezim. Tentunya pemandangan tersebut menambah keraguan mereka akan nasib negeri itu pasca rezim Assad ditambah lagi dengan perkembangan di Mali dan keengganan AS untuk aktif mengatasi krisis Suriah.

Karenanya, suara-suara yang menyatakan bahwa krisis Suriah harus diselesaikan secara politis, masih sebatas wacana tanpa ada keseriusan masyarakat internasional, sementara korban jiwa terus berjatuhan dan kehancuran semakin meluas. Perkembangan di Mali ditambah lagi dengan

Page 32: Tragedi perang Suriah

menyusutnya peran internasional AS dalam empat tahun ke depan akan menyebabkan krisis Suriah semakin berlarut.

Itu berarti perang akan terus berlanjut dengan dua kemungkinan kesudahannya yakni rezim jatuh oleh kubu revolusi dengan suntikan dana dan pasokan senjata canggih dari negara-negara pendukung revolusi atau kedua, kubu revolusi akhirnya kehabisan bekal senjata akibat pasokan yang terus berkurang sementara rezim terus mendapat pasokan senjata dari Iran dan Rusia sehingga terpaksa menerima kompromi sesuai dikte rezim.

Pada awal tahun 2013 ini belum ada indikasi keseriusan pihak-pihak terkait regional dan internasional terhadap penyelesaian politis, karena setiap pihak bersikeras pada pendirian masing-masing dan meneruskan solusi militer. Walaupun pemberitaan-pemberitaan media yang demikian gencar tentang semakin terdesaknya rezim Assad, namun tidak ada satu pihaknya pun yang dapat memastikan bahwa ia bakal jatuh dalam waktu dekat ini.*/Sana`a, 14 R. Awal 1434 H

Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman

Yordania Mulai “Bermain Api Suriah”

Analisa Dunia Islam Hidayatullah. com, Kamis, 25 April 2013

Oleh: Musthafa Luthfi

PRESIDEN Suriah, Bashar al-Assad, yang masih percaya rezimnya akan mempu mengatasi perlawanan oposisi yang ia sebut sebagai kelompok “teroris”, pada Rabu (17/4/2013) kembali menghembuskan ancaman kali ini ditujukan ke negeri jirannya di selatan, Yordania. Dalam wawancara khusus dengan TV Al-Akhbaria, ia mengingatkan bahwa krisis di negaranya dapat mengancam hingga ke Yordania.

Bashar mengatakan tidak yakin bila ratusan pemberontak memasuki Suriah secara sendiri-sendiri membawa senjata tanpa bantuan Yordania. “Saya berharap kepada tetangga kami Yordania agar realistis bahwa serangan tidak hanya berhenti pada perbatasan kami, Yordania bakal terkena dampak krisis Suriah," antara lain isi wawancara panjang lebar dengan TV satelit Suriah tersebut.

Sebenarnya banyak hal dan pesan yang disampaikan Assad pada wawancara tersebut seperti eskalasi terhadap pemerintah Turki yang secara terang-terangan mendukung oposisi, namun

Page 33: Tragedi perang Suriah

ancaman ini bukanlah hal baru. Demikian pula dengan pesan yang ditujukan ke Barat dengan membesar-besarkan pengaruh al-Qaidah, juga bukan hal baru karena kedua pesan ini sudah sering didengungkan sejak unjukrasa meletus pada Maret 2011.

Mungkin pernyataan Assad terakhir yang perlu lebih dicermati adalah yang berkaitan dengan tetangganya Yordania yang selama dua tahun masa krisis Suriah berusaha untuk melaksanakan kebijakan yang dalam istilah media Arab an-Na`y an-Nafsi (menjauhkan diri) dari keterlibatan dalam krisis tersebut. Ibarat kata pepatah “tidak ada asap tanpa api”, pernyataan negatif terhadap tetangganya itu karena ada indikasi kuat Yordania bakal menanggalkan kebijakan an-Na`y an-Nafsi.

Ancaman Assad itu disampaikan menyusul laporan yang menyebutkan bahwa AS siap mengerahkan 200 pasukan elitnya melalui Yordania untuk mengantisipasi memburuknya situasi di Suriah dan pemerintah Yordania melalui Menteri Penerangan, Mohammad Momami, membenarkan rencana pengiriman pasukan tersebut dengan alasan yang sama. "Pengerahan pasukan itu sebagai bagian dari kerjasama militer AS dengan Yordania demi memperkuat angkatan bersenjata Yordania dalam menghadapi situasi memburuk di Suriah," katanya seperti dikutip banyak media internasional

Negeri kecil di Laut Tengah yang miskin sumber daya alam itu diperkirakan telah menampung 1,2 juta pengungsi Suriah yang seperempatnya adalah anak-anak usia sekolah. Menghadapi “perang kepentingan” negara-negara kawasan dan negara-negara besar, kelihatannya memang sulit bagi Yordania untuk teguh mempertahankan kebijakan “menjauhkan diri” dari krisis Suriah.

Bahkan sejumlah pengamat Arab menilai “mustahil” Yordania akan terus mempertahankan kebijakannya yang netral terhadap krisis yang menimpa tetangganya di utara. Baik rezim maupun oposisi Suriah akhirnya berhasil mematahkan kebijakan netral yang dilakukan sejumlah negara tetangga khususnya Libanon dan Yordania.

Libanon misalnya yang masih memiliki hubungan khusus dengan Suriah sudah tidak bisa mempertahankan kenetralannya dengan bargabungnya Hizbullah bersama pasukan rezim memerangi oposisi dan rakyat Suriah penentang Assad. Demikian pula dengan Yordania, setelah selama dua tahun bersikap netral akhirnya tidak ada pilihan lain kecuali menginzinkan pemasukan senjata dan relawan pendukung oposisi untuk ikut berperang melawan rezim.

Tentunya dengan pertimbangan untung-rugi, setelah dua tahun lamanya, negeri itu tidak bisa lagi menutup rapat perbatasannya sebagai jalur penyelundupan senjata dan sukarelawan ke negeri tetangganya yang sedang bergolak setelah solusi politis menemui jalan buntu. Negeri dengan potensi serba terbatas, berada di jantung krisis di kawasan yakni “Israel dan Palestina”,

Page 34: Tragedi perang Suriah

“Iraq dan Suriah” dan agak jauh sedikit Iran, sudah tidak mampu lagi melawan tekanan konsensus Arab dan Barat terkait krisis Suriah.

Bahkan sebagian pengamat Arab menyatakan “tidak aneh bila Yordania akhirnya terlibat dalam krisis Suriah, justru yang aneh terlambat terlibat dalam krisis ini”. “Yang aneh dari sikap Yordania justru keterlambatannya terlibat dalam krisis Suriah. Bila krisis ini sebagai penyebab perpecahan di Libanon, justru di Yordania sebaliknya sebagai faktor memperkokoh konsensus nasional di kalangan (elit) Yordania,” papar Hazem Shagia, dalam artikelnya di harian al-Hayat, Selasa (23/04/2013).

Yang dimaksud memperkuat konsensus nasional adalah kesatuan sikap antara pemerintah dan kubu Islamis yang sejak krisis Suriah meletus mendesak pemerintah agar mendukung oposisi anti rezim Assad. Kubu Islamis Yordania melihat bahwa menjadi kewajiban Yordania sebagai negara tetangga langsung mendukung saudara-saudaranya yang dibantai oleh rezim Assad.

Menurut salah satu analis Arab itu, Yordania sejak tahun 1950-an sudah punya pengalaman matang untuk bisa keluar dari dilema menghadapi situasi yang sangat pelik. “Karena itu, tidak mungkin berdiam diri sebagai penonton terhadap apa yang terjadi di Suriah apalagi menentang dua konsensus yang ada (maksudnya konsensus Arab dan Barat yang mendukung lengsernya rezim Assad)”.

Sikap Yordania itu, sudah jelas bukan hanya menghadapi tantangan dari Assad sendiri, akan tetapi sekutu Assad seperti Rusia yang menganggap penyebaran pasukan AS sebagai keputusan tidak konstruktif. “Langkah tersebut tidak akan mampu membawa Suriah keluar dari jalan buntu bahkan akan memperburuk situasi dan memperluas dimensi konflik ke tingkat regional,” kata Alexander Lukashevich, Jubir Kemlu Rusia memperingatkan.

Tolok ukur

Dengan perubahan sikap Yordania tersebut, maka negeri ini muncul sebagai tolok ukur ke arah mana perkembangan situasi Suriah ke depan terutama di bidang militer. Bagi pemerhati yang ingin melihat strategi militer untuk mengakhiri krisis di negeri Syam itu, bisa melihat "kasak-kusuk" yang berlangsung di negeri Petra itu, mulai dari penyelundupan senjata dan para petempur ke Suriah guna membantu al-Jeish al-Hurr (Tentara Kebebasan) melawan pasukan rezim hingga stretegi pasukan AS yang dikonstrasikan di negeri tersebut.

Amman sejak beberapa hari belakangan ini telah berubah menjadi pusat pertemuan intensif dari tokoh-tokoh regional dan internasional untuk membahas jalan yang terbaik secara militer guna membantu al-Jeish al-Hurr meningkatkan kemampuannya untuk menjatuhkan rezim tanpa memberikan peluang bagi kelompok militan berkuasa atau paling tidak persenjataan pemusnah massal (kimia) tidak jatuh ke kelompok militan.

Page 35: Tragedi perang Suriah

Barat, terutama AS dan Israel berkepentingan agar senjata pemusnah massal itu tidak jatuh ke tangan kelompok militan yang berafiliasi ke al-Qaidah karena dikhawatirkan dapat digunakan untuk menyerang negeri Zionis itu. Karenanya, salah satu strategi yang kemungkinan dilakukan untuk mengantisipasi hal tersebut adalah dibukanya wilayah udara Yordania bila diperlukan bagi pesawat tempur Israel untuk menyerang Suriah.

Ini berarti, Yordania cepat atau lambat akan berada langsung di tengah peperangan terutama begitu Israel mengumumkan kepada masyarakat internasional bahwa rezim Assad menggunakan senjata kimia terhadap rakyatnya. “Skenarionya, AS akan menyerukan NATO untuk mendukung serangan Israel atau pasukan intervensi gerak cepat AS di Yordania untuk menguasai depot-depot senjata kimia Suriah,`` papar sejumlah pengamat Arab.

Dengan perubahan sikap Amman tersebut, semakin terlihat bahwa terjadi eskalasi sedemikian cepat di front Yordania-Suriah sehingga Yordania diprediksi akan menjadi pusat komando penyerangan militer ke negeri tetangganya Suriah. Banyak pihak yang mengkhawatirkan keterlibatan negeri kecil ini yang demikian jauh melampui garis merah, bisa jadi akan menjadi korban kepentingan negara-negara besar di kawasan dan luar kawasan.

“Hari-hari mendatang bagi Yordania sangat sulit dan negara-negara lainnya di kawasan juga tidak akan luput dari sambaran api krisis Suriah. Rezim Assad tampaknya menolak untuk jatuh sendirian tapi akan menggeret yang lainnya untuk jatuh bersamaan,” papar seorang pengamat Arab. Sebagai salah satu tetangga langsung Suriah, kekacauan militer dan kemanan di negeri tetangga dipastikan mengancam Yordania secara langsung.

Jalan keluar

Ibaratnya, Yordania akhirnya mulai main api krisis Suriah, maka banyak pihak yang memberikan masukan sebagai jalan keluar agar negeri kecil ini tidak menjadi korban. Sebagian pihak yang tidak setuju dengan keterlibatan langsung negeri Petra itu menyarankan agar Amman mengurungkan niat terlibat terlalu jauh dalam krisis tersebut meskipun menghadapi tekanan keras regional dan internasional dengan dalih apapun.

Bagi pihak yang menilai keterlibatan negeri itu sebagai keniscayaan berusaha meyakinkan bahwa ancaman Suriah hanya sebatas ancaman dan sebagian lainnya menawarkan opsi “penyelamatan” yang terkesan tidak jelas. Meskipun demikian, tetap tidak ada jaminan negeri yang sedang mengalami kesulitan ekonomi yang sangat berat akibat krisis di negeri tetangganya itu akan terhindar dari sambaran api krisis tersebut.

Terkait masukan pertama, agar negeri itu tidak terlibat langsung dalam masalah Suriah didasari kemungkinan Israel akan memanfaatkan Yordania untuk mencapai target tertentu di Suriah. Amman disarankan agar melepaskan tanggung jawab kepada negara besar untuk melakukan

Page 36: Tragedi perang Suriah

intervensi langsung ke negeri tetangganya itu meskipun sikap ini akan menyebabkan bantuan ekonomi akan tersendat.

“Yordan harus waspada terhadap kemungkinan konspirasi dan sebaiknya tidak terlibat langsung dalam krisis Suriah meskipun menghadapi kesulitan besar dan dengan dalih apapun….Negeri ini juga perlu mengatasi perbedaan pendapat di dalam negeri agar terhindar dari dampak krisis tersebut,” papar Emad Abdullah Eyashera, seorang analis Arab yang dikutip sejumlah media Arab, Rabu (24/04/2013).

Sedangkan pihak yang mendukung keterlibatan Yordania dalam krisis Suriah melihat bahwa ancaman Assad atas Yordania sebatas gertak semata karena ancaman yang lebih berbahaya justru datang dari kelompok radikal pasca kejatuhan rezim Assad. Dengan memberikan kemudahan bagi pemasukan senjata dan sukarelawan yang akan membantu Al-Jeish Al-Hurr, akan menjadi perisai bagi Yordania menghadapi kelompok militan tersebut nantinya.

Bagi yang melihat ancaman Assad serius, menyebutkan bahwa Yordania dapat meminta bantuan AS untuk menyebarkan rudal patriot di sepanjang perbatasannya dengan Suriah yang kemungkinan nanti akan berperan dalam membantu mempertahankan daerah-daerah yang telah berada dibawah kontrol al-Jeish al-Hurr. Langkah serupa pernah dilakukan negeri itu saat invasi AS atas Iraq pada 2003.

Memang banyak pihak yang menilai sikap terbaru Yordania ini adalah realistis mengingat terbatasnya kemampuan negeri mungil ini dan kondisi perekonomiannya yang sulit. Namun tidak dipungkiri juga bahwa keterlibatannya dalam “bermain api krisis Suriah” juga akan dibayar sangat mahal terutama dari sisi militer dan keamanan, apalagi belum ada jaminan krisis ini akan segera berakhir.*/Sana`a, 14 J. Thani 1434 H

Penulis adalah kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman

Perang Fatwa: Dari Revolusi Hingga Sepak Bola

Resonansi harian Republika, Senin, 18 Maret 2013, 07:14 WIB

Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

Page 37: Tragedi perang Suriah

Konflik di Suriah ternyata tidak hanya melibatkan pasukan pemerintah melawan revolusi rakyat, namun juga menyeret para ulama untuk saling berhadapan. Bukan di medan perang, tapi di media massa. Senjatanya adalah fatwa. Yang terakhir adalah fatwa yang diberondongkan Ketua Majelis Tinggi Fatwa (Majlis al Ifta al A’la) Suriah, Sheikh Ahmad Badruddin Hassoun.

Kata dia, mendukung Presiden Bashar al-Assad merupakan kewajiban beragama bagi umat Islam alias fardu ain. Ia pun menyerukan agar bangsa Arab dan umat Islam bertempur melawan revolusi rakyat yang ia sebut sebagai pemberontak, yang ingin menjatuhkan rezim Assad. ‘’Siapa pun yang melawan pasukan kita dan Presiden Bashar al-Assad adalah pengkhianat,’’ ujar Hassoun lewat TV pemerintah pekan lalu.

Fatwa Hassoun segera saja direspons ulama oposisi. Mereka mempertanyakan bagaimana rezim Assad yang selalu mengklaim sekuler kini tiba-tiba bersandar pada ulama untuk mengeluarkan fatwa jihad. Mereka juga menegaskan, jihad yang fardu ain adalah jihad di jalan Allah. ‘’Lalu bagaimana dengan rezim Assad yang pasukannya telah menghancurkan tempat-tempat ibadah?’’ ujar Sheikh Abdul Jalil Said, ulama yang kini telah membentuk lembaga tandingan Majlis al Ifta al A’la, sebagaimana dikutip media al Syarq al Awsat. Menurut Said, fatwa tersebut merupakan senjata terakhir yang dipakai rezim Assad yang semakin lemah dan terus terdesak kekuatan rakyat.

Ia lantas menuduh Majlis al Ifta al A’la sudah diintervensi kekuatan politik dan tidak murni agama. Menurutnya, para khatib Jumat yang berada di bawah lembaga mufti Suriah kini lebih banyak berdoa untuk kelanggengan kekuasaan Assad daripada untuk kebaikan rakyat.

Sebelumnya, Ketua Persatuan Ulama Muslimin Internasional Sheikh Yusuf Qardhawi juga telah berfatwa mengenai boleh dan tidaknya unjuk rasa melawan rezim penguasa. Menurutnya, menjatuhkan sebuah rezim dibolehkan alias halal manakala ada kezaliman dan penghilangan terhadap hak asasi manusia. Atas dasar itu, Qardhawi yang bermukim di Qatar ini membolehkan aksi unjuk rasa dan bahkan revolusi melawan penguasa yang dianggap zalim, terutama mereka yang menyengsarakan rakyat seperti rezim Bashar Assad.

Hal senada juga disampaikan pimpinan tertinggi Al Azhar, Kairo, Sheikh Ahmad Thayyib. Menurutnya, aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan rakyat adalah dijamin oleh syariat asal tidak merusak fasilitas umum. Ia mengutuk keras para penguasa Arab yang menghadapi demonstran dengan kekerasan, apalagi dengan senjata yang mematikan. Hal ini ia sebut sebagai batalnya kontrak yang diberikan rakyat kepada penguasa. Khusus mengenai kekerasan aparat keamanan negara terhadap rakyat Suriah, ia menyatakan, mereka tidak bisa berdalih diperintah. Alasannya, dalam agama, setiap manusia dituntut pertanggungjawabannya atas perbuatannya masing-masing.

Page 38: Tragedi perang Suriah

Bukan hanya soal konflik di Suriah, berbagai fatwa menyangkut banyak hal juga telah dikeluarkan sejumlah ulama, terutama setelah dunia Arab dihantam revolusi rakyat. Di Mesir, misalnya, seorang ulama Salafi, Sheikh Ahmad Mahmud Abdullah, menyatakan perempuan aktivis aksi unjuk rasa di lapangan Tahrir layak diperkosa. ‘’Katakan kepada para perempuan itu. Mereka datang ke sana (Lapangan Tahrir) sebab mereka ingin diperkosa,’’ ujarnya berapi-api sebagaimana dilaporkan stasiun televisi Alarabiya dua pekan lalu. Masih di Mesir, ada ulama yang menfatwakan haram untuk bermain sepak bola. Ulama itu bernama Sheikh Abdul Mun’im Syahhat, juru bicara kelompok Salafi.

Menurutnya, sepak bola adalah olahraganya orang Barat dan bukan olahraga umat Islam. Olahraga umat Islam, katanya, hanya tiga, yaitu memanah, renang, dan menunggang kuda/unta. ‘’Mereka yang pergi menonton bola adalah fi sabilil lahwi,’’ ujarnya. Pemain sepak bola maupun penontonnya termasuk la’bun wa lahwun yang bisa melupakan ibadah kepada Allah.

Kelompok Salafi di Mesir juga berkeinginan untuk menghacurkan makam-makam orang yang dianggap wali. Menurut mereka, makam-makam tersebut telah menyebabkan perbuatan syirik. Sedangkan di Arab Saudi, Raja Abdullah bin Abdul Aziz--melalui titah kerajaan--telah melarang ulama mengeluarkan fatwa secara individu, baik lewat online maupun tempat-tempat umum lainnya.

Fatwa, katanya, hanya boleh dikeluarkan oleh lembaga resmi Haiah Kibarul Ulama yang sudah terjamin keilmuan dan keulamaannya. Sedangkan, untuk ulama per individu hanya dibolehkan memberi konsultasi keagamaan secara individu pula. Pada awalnya, sejumlah ulama Arab Saudi bebas mengeluarkan fatwa berdasarkan ijtihad masing-masing. Beberapa di antara mereka bahkan ada yang mempunyai web atau blog yang bisa diakses lewat internet. Ketika pecah revolusi di Tunisia dan disusul di negara-negara Arab lainnya, beberapa ulama pun mengeluarkan fatwa mengenai demonstrasi. Ada yang mendukung dan ada yang menolak.

Hal inilah yang tampaknya dilihat oleh pemerintah Saudi bisa membahayakan bangsa dan negara karena bisa saja mengundang rakyat untuk berdemonstrasi seperti di negara lain. Tulisan ini tak sedang membahas kesahihan fatwa-fatwa tersebut. Penilaian soal fatwa-fatwa tadi terserah kepada Anda sidang pembaca.

Hanya saja, khusus konflik di Suriah, saya merasa prihatin dan empati kepada rakyat di sana. Hampir setiap hari konflik yang telah berlangsung lebih dari dua tahun itu terus memakan korban tak berdosa. Hingga kini, sudah lebih 60 ribu warga meninggal dunia. Sejuta warga menjadi pengungsi di Turki dan Yordania. Lalu, tidakkah ada fatwa yang bisa menghentikan konflik berdarah itu?

Redaktur : M Irwan Ariefyanto

Page 39: Tragedi perang Suriah

Ketika Kursi Bashar al-Assad Diduduki Oposisi

Resonansi Harian Republika, Senin, 01 April 2013, 07:06 WIB

Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

Bagaimana sikap Presiden Suriah Bashar al-Assad ketika melihat kursinya pada sidang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Liga Arab yang ke-24 di Doha, Qatar, pekan lalu, diduduki oleh Ahmad Mu'adz Al Khatib? Yang terakhir ini adalah Presiden Koalisi Oposisi Nasional Suriah (SNC). Kursi itu pada sidang-sidang sebelumnya diperuntukkan bagi Presiden Suriah dan kini Liga Arab mempersilakan orang lain, tepatnya pemimpin oposisi, untuk menggantikannya.

Bashar al-Assad atau orang-orang terdekatnya tentulah menyimak jalannya konferensi yang diikuti 22 negara anggota Liga Arab tersebut. Hingga sekarang, belum ada media yang mengutip respons Bashar Assad. Mungkin saja ia marah. Atau, mungkin ia adem ayem saja alias cuek. Atau, bisa jadi ia membatin, “Kekuasaan saya telah dihabisi oleh konspirasi para begundal pemimpin Liga Arab.”

Komentar justru datang dari Rusia. Presidennya, Vladimir Putin, menyesalkan kesepakatan Liga Arab yang memberikan kursi Suriah kepada oposisi. Kudeta kursi Bashar al-Assad di KTT Liga Arab merupakan perkembangan penting dalam konflik di Suriah, yang dalam dua tahun ini telah menewaskan tidak kurang dari 70 ribu warga.

Sebelum sidang, para pemimpin Liga Arab telah bersepakat untuk mempersilakan pemimpin oposisi Suriah, Ahmad Mu'adz Al Khatib, menggantikan posisi Presiden Assad. Hanya tiga negara-Irak, Aljazair, dan Lebanon-yang abstain atau menolak. Bendera yang berkibar di arena sidang pun bukan bendera Suriah era Bashar Assad, melainkan sudah diganti dengan bendera baru versi kaum oposan. Mereka menyebutnya bendera kemerdekaan Suriah.

Sebagai tindak lanjut dari pengakuan kepada kelompok oposisi, semua kursi dan posisi Suriah di Liga Arab juga akan ditempati SNC hingga terbentuk pemerintahan baru yang definitif hasil pemilu rakyat. Termasuk, kesepakatan Liga Arab, semua Kedutaan Besar Suriah di negara-negara Arab juga akan diserahkan kepada kaum oposisi.

Keputusan penting lain dari KTT Liga Arab adalah mempersilakan masing-masing negara anggota membantu persenjataan kepada kelompok oposisi, terutama Pasukan Pembebasan Suriah. Tujuannya, menurut Sekjen Liga Arab Nabil Arabi untuk menciptakan keseimbangan kekuatan dengan rezim Bashar al-Assad.

Page 40: Tragedi perang Suriah

Sedangkan, bagi Menteri Luar Negeri Qatar Sheikh Hamad bin Jasim bin Jabir Al Tsani mempersenjatai oposisi untuk membantu mereka mempertahankan diri dari gempuran senjata berat rezim Bashar al-Assad. “Hanya dengan itu penyelesaian damai akan bisa direalisasikan,” ujar mereka pada penutupan KTT Liga Arab, pekan lalu.

Sheikh Hamad menambahkan, Liga Arab selama ini telah mengutamakan solusi damai dalam membantu menyelesaikan konflik di Suriah. Namun, semuanya menghadapi kegagalan karena sikap keras rezim Bashar al-Assad yang menolak setiap usulan yang diajukan utusan Liga Arab dan PBB, dari Kofi Annan hingga Lakhdar Brahimi.

Karena itu, katanya, mempersenjatai kelompok-kelompok oposisi hanyalah bantuan yang sangat kecil dibandingkan pengorbanan rakyat Suriah. Namun, persoalan di kalangan oposisi bukan hanya persenjataan yang tidak seimbang dibandingkan dengan yang dimiliki rezim Assad. Perebutan pengaruh dan posisi-posisi penting di dalam tubuh Koalisi Oposisi Nasional Suriah telah menimbulkan ketegangan.

Bahkan, diprediksi akan semakin tajam justru setelah mereka berhasil menumbangkan kekuasaan Presiden Assad. Tepatnya, perebutan pengaruh antara pimpinan militer dan sipil/politikus. Misalnya, dalam pemilihan Ghassan Hitto sebagai perdana menteri kelompok oposisi Suriah. Sebelum pemilihan, pimpinan Tentara Pembebasan Nasional menyatakan penolakan terhadap pencalonan Hitto.

Bukan karena pribadi Hitto. Bukan pula lantaran ia suku Kurdi. Juga bukan karena Hitto merupakan eksekutif perusahaan teknologi informasi yang berbasis di Texas, Amerika Serikat (AS), dan baru November tahun lalu berpindah ke Turki. Namun, penolakan terhadap Hitto lebih karena proses pemilihannya.

Menurut mereka, sang calon perdana menteri harusnya dipilih berdasarkan kesepakatan seluruh kelompok oposisi, termasuk mereka yang sedang berjuang menyambung nyawa melawan rezim Assad. Bukan hanya dipilih oleh sebagian besar mereka yang hanya duduk-duduk di sebuah hotel di Turki.

“Revolusi rakyat Suriah sudah berlangsung dua tahun lebih. Bukan hanya dua pekan atau dua bulan. Lalu, apakah masuk akal begitu kami bangun pagi, tiba-tiba orang-orang yang berada di sebuah hotel di Turki telah memilih seseorang yang bernama Hitto sebagai kepala pemerintahan oposisi? Siapa Hitto? Bagaimana kami bisa menjelaskan kepada jutaan rakyat yang telah bersama kami tiap hari melawan keganasan rezim Bashar al-Assad? Bagaimana kami bisa menjelaskan seseorang yang tidak dikenal rakyat Suriah tiba-tiba memipin mereka,” ujar orang yang dekat dengan komandan Tentara Pembebasan Suriah, Kolonel Riyad Al As'ad.

Page 41: Tragedi perang Suriah

Apa pun, Hitto sudah terpilih sebagai perdana menteri oposisi Suriah. Dia juga sudah duduk di samping presiden SNC Ahmad Mua'dz Al Khatib di kursi delegasi Suriah di KTT Liga Arab di Doha pekan lalu.

Namun, persoalan oposisi Suriah bukan hanya pengakuan di Liga Arab. Jauh hari, Rusia sudah mengancam akan menggagalkan setiap upaya pengakuan SNC di lembaga-lembaga internasional seperti PBB. Rusia dan beberapa negara lain juga dikabarkan terus memasok persenjataan kepada rezim Assad. Itu berarti konflik masih akan panjang. Itu berarti penderitaan rakyat Suriah juga akan semakin lama.

Redaktur : M Irwan Ariefyanto

Ambang Perang Suriah-Turki

Resonansi Harian Republika,iKamis, 11 Oktober 2012, 16:00

oleh: Azyumardi Azra

Eskalasi perang saudara di Syria kian mencemaskan dalam beberapa pekan ini ketika aksi militer rezim Bashar Assad mulai melibatkan Turki. Pekan lalu, beberapa mortir Syria menghantam Akcakale, sebuah kampung Turki di wilayah perbatasan sebelah utara Syria, yang menewaskan lima warga sipil Turki. Di tengah seruan internasional agar menahan diri, militer Turki melakukan serangan balasan di daerah perbatasan. Pada saat yang sama, parlemen Turki menyetujui serangan lebih masif terhadap Syria jika perlu.

Perkembangan memprihatinkan ini dapat berujung pada perang terbuka antara Syria dan Turki yang merupakan anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Limpahan (spill over) operasi militer rezim Bashar Assad terhadap kekuatan perlawanan Syria juga dapat menjangkau ke selatan—perbatasan dengan Lebanon dan Yordania. Jika ini terjadi, kawasan barat Timur Tengah kembali menjadi kumpulan bara panas yang kian sulit dipadamkan.

Dengan demikian, sejak gejolak perlawanan terhadap Presiden Bashar Assad meningkat pada Maret 2011, penyelesaian krisis Syria terlihat makin jauh. Bahkan, Utusan Khusus PBB untuk (penyelesaian krisis) Syria, Lakhdar Brahimi, yang diangkat menggantikan Kofi Annan, juga kelihatan tidak berdaya apa-apa. Korban terus berjatuhan. Berbagai lembaga internasional memperkirakan sekitar 31 ribu orang—terutama warga sipil—tewas sejak pergolakan terjadi. Meski terlihat kekuatan perlawanan meningkat, mereka tampaknya sulit melawan kekuatan militer rezim Bashar Assad sehingga majalah Newsweek (17/9/2012) menyebutnya sebagai “David and Goliath in Syria”.

Page 42: Tragedi perang Suriah

Meningkatnya krisis di Syria dan negara-negara di sekitarnya, yang umumnya adalah negara-negara Islam atau berpenduduk mayoritas Muslim, mencerminkan sejumlah hal tidak menguntungkan.

Pertama, kealotan rezim Bashar Assad, yang tidak sungkan mengorbankan para warga pembangkang demi mempertahankan kekuasaannya, yang cepat atau lambat pasti berakhir. Berbagai proposal dan skema penyelesaian damai yang disodorkan PBB, Liga Arab, dan kalangan internasional lain tidak mampu melunakkan hatinya.

Kedua, eskalasi perang di Syria, sekaligus pula memperlihatkan kegagalan mediasi internasional. Lembaga-lembaga internasional multilateral, seperti PBB, juga gagal menghentikan perang di Syria. Negara-negara di PBB pun terpecah belah. Amerika Serikat dan negara-negara Eropa ingin memberlakukan tindakan internasional lebih keras dan tegas terhadap rezim Bashar Assad. Namun, ada pula blok Rusia dan Cina yang selalu menolak campur tangan internasional di Syria.

Ketiga, di tengah pembelahan kedua kubu itu, negara-negara Barat, AS dan sekutu-sekutunya, memilih untuk tidak mengerahkan kekuatan militer mereka ke Syria. Mengapa sikap mereka berbeda dengan ketika menghadapi krisis Lybia pada 2011? Ini terkait dengan krisis keuangan dan ekonomi yang terus berlanjut di banyak negara Eropa dan musim pemilu presiden di AS.

Presiden Barack Obama yang berkonsentrasi untuk bisa terpilih kembali, cenderung bersikap lunak (lenient) dalam banyak kebijakan luar negerinya sehingga menjadi sasaran kritik banyak pihak di AS sendiri, termasuk dari capres Partai Republik, Mitt Romney. Inilah sikap tipikal Partai Republik yang cenderung hawkish, galak seperti elang; berbeda dengan Partai Demokrat yang cenderung dovish, burung merpati yang lembut.

Keempat, krisis Syria juga mencerminkan konflik politik di antara negara-negara Arab khususnya. Arab Saudi dan Qatar, yang dilaporkan sebagai pemasok dana terbesar dalam kekuatan perlawanan terhadap Presiden Bashar Assad. Kedua negara ini menolak keterlibatan Iran dalam usaha penyelesaian konflik Syria, bukan hanya karena faktor Presiden Ahmadinejad yang tidak mereka sukai, melainkan adanya kekuatan Hizbullah (Syi'ah) di Lebanon, tangan kanan Bashar Assad, yang Syi'ah Allawiyah dan sekaligus Ba'athis-Sosialis. Di sini terlihat sektarianisme keagamaan turut menjadi motif tersembunyi dalam sikap Pemerintah Arab Saudi dan Qatar serta Pemerintah Syria.

Dalam kondisi tersebut, pemerintahan Presiden Mursi, Mesir, tidak berdaya menengahi konflik di antara Arab Saudi dan Qatar pada satu pihak dengan Iran di pihak lain. Hal ini terutama karena daya tekan (leverage) Mesir terhadap negara-negara Arab lain, apalagi terhadap Iran, berkurang secara signifikan karena kondisi politik yang masih belum stabil pada masa pasca-Mubarak.

Page 43: Tragedi perang Suriah

Dalam situasi yang serba tidak menguntungkan itu, bisa dipastikan pihak yang paling diuntungkan adalah Israel. Krisis di Syria dan konflik di antara negara-negara Arab membuat rezim PM Netanyahu bisa lebih leluasa dalam menghadapi Palestina sehingga membuat perdamaian di tanah Palestina semakin jauh dari jangkauan. Pada saat yang sama, Israel meningkatkan tekanan kepada Iran yang diklaimnya terus melanjutkan pengayaan uranium untuk menghasilkan senjata nuklir. Jadi, hari-hari esok masih sangat sulit di Timur Tengah.

Redaktur: M Irwan AriefyantoSumber: resonansi

Dilema Arab dan Skenario Zionis Israel

Resonmansi Republika, Senin, 04 Maret 2013, 07:00 WIB

Oleh Ikhwanul Kiram Mashuri

Kesamaan bahasa tampaknya masih belum mampu mempersatukan 22 negara yang tergabung dalam keluarga besar Liga Arab. Juga kesamaan agama. Tidak percaya? Mari kita tengok dunia Arab kini.

Arab menjadi bahasa resmi dan bahasa sehari-hari negara-negara Arab. Meskipun berbeda lahjah atau logat di masing-masing negara, secara penulisan maupun gramatika bahasa mereka selalu merujuk pada Alquran. Begitu pula dengan agama.

Islam merupakan agama resmi negara-negara Arab. Bahkan, di negara-negara Teluk--Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar, Kuwait, Oman, dan Bahrain--hampir seratus persen warga aslinya beragama Islam. Di negara-negara Arab tidak ada yang namanya pluralitas pemeluk agama, kecuali di beberapa negara seperti Lebanon dan Mesir. Karena itu, Anda tidak akan menemukan yang namanya gereja, wihara, atau sinagog di sejumlah negara Arab.

Namun, apakah dengan kesamaan bahasa dan agama tersebut lantas menjadikan mereka bersatu dalam sikap maupun tindakan?

Dalam masalah bangsa Palestina, misalnya. Hingga sekarang--dan sudah berlangsung puluhan tahun--sebagian besar wilayah Palestina masih dijajah oleh Zionis Israel. Ada negara-negara Arab yang menghendaki cara penyelesaian dengan perundingan langsung maupun tidak langsung dengan Zionis Israel. Ada pula yang menginginkan bahwa untuk memerdekakan Palestina dan Madinatul Quds (Yerusalem) tidak ada cara lain kecuali dengan perang. Atau, minimal dengan gerakan intifadah (perlawanan rakyat) seperti yang pernah dilakukan beberapa kali oleh rakyat Palestina.

Page 44: Tragedi perang Suriah

Atau istilahnya, merujuk pada pendapat yang terakhir tadi, tidak ada tempat buat kaum Zionis Israel di kawasan Timur Tengah. Atau, dengan kata lain, ‘‘Lempar saja Zionis Israel ke laut (irmi ilal bahri)," sebuah perkataan yang seringkali diucapkan para pejuang Palestina.

Cara pertama--lewat perundingan--sudah sering dilakukan, baik secara langsung lewat juru runding Palestina maupun melalui perantara/negara ketiga. Intifadah juga sudah beberapa kali dijalankan yang hasilnya sangat dahsyat dan sempat membuat ciut Israel. Namun, seiring perjalanan waktu, intifadah dan bahkan perang ternyata hingga kini juga tidak berhasil memerdekakan Palestina.

Perbedaan cara pandang mengenai penyelesaian bangsa Palestina seringkali menimbulkan gesekan atau bahkan perselisihan di antara negara-negara Arab sendiri. Dari KTT Liga Arab ke KTT berikutnya tidak pernah ada kesepakatan bulat. Yang muncul justru ‘perang kata-kata’ antarpemimpin Arab.

Belum usai masalah Palestina, muncul masalah baru: gejolak rakyat Suriah. Tidak seperti negara-negara Arab lain yang dihantam ar Robi’ul Araby--di mana revolusi rakyat telah berhasil menggulingkan rezim diktator-otoriter seperti di Tunisia, Mesir, Yaman, dan Libia--Presiden Suriah Bashar Assad hingga kini masing tegak berkuasa. Korban tewas maupun luka-luka jumlahnya sudah puluhan ribu. Belum lagi jutaan rakyat yang kini mengungsi di beberapa negara tetangga Suriah.

Negara-negara Teluk pada umumnya, plus sejumlah negara Arab lain seperti Mesir, menginginkan agar Presiden Assad turun dari kekuasaannya. Mereka mendukung tokoh-tokoh oposisi. Sedangkan yang lain, seperti negara-negara Arab yang menjadi sekutu Iran, tetap membela kekuasaan Presiden Assad. Masing-masing pihak didukung kekuatan besar dunia. Penolak Presiden Assad didukung Barat, sementara di belakang pembelanya ada Cina dan Rusia. Belum diketahui bagaimana akhir dari gejolak yang terjadi di Suriah sekarang ini.

Hal lain yang tidak kalah peliknya selain bangsa Palestina dan gejolak di Suriah adalah problematika nuklir Iran. Bukan rahasia lagi, dunia Arab terpecah dua dalam memandang program nuklir Iran. Sejumlah negara Arab, terutama negara-negara Teluk, menentang program nuklir yang dikembangkan Republik Islam Iran itu, meskipun yang terakhir ini berkali-kali menyatakan program nuklirnya adalah untuk perdamaian (energi listrik).

Di balik program nuklir tersebut sebenarnya ada yang mereka sangat khawatirkan, yaitu semakin meluasnya pengaruh Syiah Iran di kawasan Timur Tengah. Dan, pada gilirannya akan dapat mengganggu stabilitas kawasan yang mayoritas rakyatnya menganut Sunni. Kekhawatiran ini pula yang pernah disampaikan oleh Grand Sheikh Al Azhar, Dr Ahmad Thayyib, ketika Presiden Iran Ahmadinejad berkunjung ke Kairo beberapa pekan lalu.

Page 45: Tragedi perang Suriah

Masalah Sunni-Syiah ini sebenarnya sudah menjadi persoalan lama di dunia Arab. Di Bahrain, misalnya, penguasanya Sunni, sementara mayoritas rakyatnya Syiah. Di Suriah, Presiden Assad adalah Syiah Alawiyah, sedangkan sebagian besar rakyatnya Sunni. Saddam Husein ketika memerintah Irak adalah Sunni, tapi mayoritas rakyatnya Syiah. Di Lebanon, rakyatnya sangat plural. Ada Katolik, Kristen Maronit, Druze, Sunni, Syiah, dan lain-lain. Namun, pengaruh Syiah di Lebanon semakin berkembang seiring dengan menguatnya peran politik kelompok Hizbullah.

Tidak bisa dimungkiri persoalan-persoalan di atas--yang kemudian menyebabkan perselisihan dan bahkan konflik--telah memperlemah negara-negara Arab. Apalagi, sejumlah negara Arab yang baru saja dihantam ar Robi’ul Araby kini juga menghadapi masalah pelik di dalam negeri masing-masing. Ini belum lagi mengenai tingkat ekonomi negara-negara Arab yang sangat timpang. Negara-negara Teluk sangat kaya dan yang lainnya sangat miskin.

Karena itu, meskipun negara-negara Arab mempunyai kesamaan bahasa dan agama, kedua hal tersebut tampaknya belum mampu mempersatukan mereka. Tiadanya persatuan inilah yang telah lama melemahkan posisi Liga Arab terhadap dominasi negara kecil Zionis Israel. Atau boleh jadi, kelemahan bangsa Arab ini karena mereka mengikuti skenario Zionis Israel dan sekutunya. Wallahu 'alam.

Redaktur : M Irwan Ariefyanto

Bashar: Suriah Jadi Sasaran Kolonisasi

Republika, Jumat, 19 April 2013, 00:10 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Presiden Suriah, Bashar Al Assad, mengatakan apa yang terjadi di Suriah adalah perang dalam segala bentuk pengertian. Tapi, masih ada peluang bagi dialog dengan oposisi.

"Suriah adalah sasaran upaya kolonisasi dengan segala bentuk kemungkinan dan cara yang berbeda. Mereka berusaha mengkolonisasi Suriah dengan kekuatan yang datang dari luar," kata Bashar kepada TV Al-Ekhbaria yang propemerintah.

Wawancara tersebut ditayangkan pada Rabu malam saat Suriah memperingati ulang tahun penarikan tentara Prancis dari Suriah pada 1946. Penarikan pasukan yang mengakhiri mandat Prancis di negeri itu.

Page 46: Tragedi perang Suriah

Kementerian Luar Negeri Suriah sehari sebelumnya menyatakan Prancis harus berhenti mencampuri urusan dalam negeri Suriah. Seruan Suriah dikeluarkan setelah Prancis mempertanyakan amnesti umum baru yang dikeluarkan Bashar sebagai manuver untuk mengulur waktu. Sebanyak 7.000 tahanan dibebaskan berdasarkan pengampunan itu.

''Pernyataan Bashar tersebut juga merujuk kepada gerilyawan yang telah dipenuhi kaum fanatik yang berafiliasi pada jaringan Alqaidah,'' demikian laporan Xinhua yang dipantau Antara di Jakarta, Kamis.

Kelompok radikal di Suriah, Front An-Nusra, belum lama ini telah menjanjikan kesetiaan kepada Alqaidah.

''Suriah sedang memerangi satu kelompok bandit. Sekelompok tentara bayaran yang memperoleh uang dari luar negeri sebagai imbalan bagi tindakan sabotase tertentu. Ada Takfirri atau Al Qaida atau An-Nusra,'' kata Al Assad. ''Mereka semua bernaung di bawah payung intelektual.''

Al Assad menekankan kelompok itu telah mengalami pukulan sangat keras dari militer Suriah. Mereka dihapuskan di beberapa tempat atau terpaksa bekerja di bawah payung Alqaidah.

Redaktur : Didi Purwadi

Sumber : Antara/Xinhua-OANA

PBB: Konflik Suriah Pantas Disebut Bencana Kemanusiaan

Jumat, 19 April 2013, 16:45 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, Konflik Suriah yang tak berkesudahan memunculkan reaksi masyarakat Internasional. Perang sipil yang telah memakan korban hingga 70 ribu orang ini disebut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai Bencana Kemanusiaan.

Perang sipil ini selain memakan korban puluhan ribu jiwa juga menyebabkan bencana lanjutan. Masyarakat Suriah kehilangan tempat tinggal, bencana

Page 47: Tragedi perang Suriah

kelaparan, pembunuhan, pemerkosaan hingga kota-kota yang hancur menjadi puing. Selain itu sekitar enam juta orang terlantar di dalam negeri dan 1,3 juta jiwa lainnya mengungsi ke negara tetangga.

Kepala Bantuan PBB, Valerie Amos dan Komisaris Utama PBB Penanganan Pengungsi Antonio Guterres mengatakannya di depan Dewan Keamanan PBB. Amos mengatakan ketika membuka Rapat Dewan Keamanan PBB agar 15 anggota yang hadir segera mengambil langkah untuk mengakhiri konflik brutal ini.

Ia menyebut situasi di Suriah adalah bencana kemanusiaan dan jika dibiarkan semua orang akan membayar mahal atas kejadian ini. Padahal masyarakat Suriah banyak yang bertanya kenapa mereka ditinggalkan.

"Saya tak punya jawaban atas pertanyaan itu," kata dia di depan Rapat Dewan PBB seperti dilansir Reuters, Jumat (19/4).

Dewan Keamanan PBB sendiri sudah menemui jalan buntu untuk mengakhiri konflik Suriah ini. Karena Rusia dengan bantuan Cina telah menggunakan hak vetonya untuk menangkal setiap ancaman sanksi bagi pemerintah Assad.

Perang yang awalnya adalah demonstrasi tanpa kekerasan, berubah menjadi pertumpahan darah ketika Presiden Bashar Al-Assad berupaya menumpas mere

Reporter : Ichsan Emrald Alamsyah

Redaktur : Citra Listya Rini