topik utama -...
TRANSCRIPT
Topik Utama
Potensi zeolit untuk pembuatan bahan kimia
dari bahan hayati 4
Proses Konversi Biomassa Menjadi Bahan Bakar dan
Bahan Kimia 13
Simulasi Aspen HYSYS untuk Proses Produksi
Biodiesel dari Limbah Minyak Goreng
menggunakan Reaktor Membran 17
Studi Kasus
Pengenalan Concentrating Solar Power Plant
(Pembangkit Listrik Tenaga Panas Matahari) 24
Iklan
PEBE 25
Cognoscente 30
HYGEIA (Sabun mandi cair pertama di dunia
dengan Propolis 100% Indonesia) 31
2
Editor
Zulfan Adi Putra
Universiti Teknologi Petronas, Tronoh
Editor Utama
Asep Bayu Dani Nandiyanto
Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung
Editor
Muhammad Roil Bilad
Universiti Teknologi Petronas, Tronoh
Editor
Oki Muraza
King Fahd University of Petroleum and Minerals,
Dhahran
Editor
Riezqa Andika
Yeungnam University, Gyeongsan
Editor
Teguh Kurniawan
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang
Editor
3
Editorial
Biomassa merupakan sumber bahan baku yang sangat
melimpah di negara kita, Indonesia. Sejak zaman dahulu,
biomassa telah digunakan sebagai sumber energi lewat
kayu bakar. Seiring dengan perkembangan zaman dan
teknologi, biomassa, khususnya selulosa, telah diproses
dengan berbagai macam teknologi (hidrolisis, fermentasi,
termokimia). Produknya tidak hanya berupa bahan bakar
cair seperti bioetanol, gasoline, dan diesel, tetapi juga
berbagai macam senyawa kimia seperti furfural, levulinic
acid, adipic acid, succinic acid, dan lain sebagainya.
Senada dengan biomassa sebagai sumber bahan baku
terbarukan, Majalah Teknik Kimia Indonesia Edisi
Desember 2016 kali ini memuat artikel tentang katalis
zeolit yang juga digunakan di dalam proses-proses
konversi biomassa, gambaran umum proses pengolahan
biomassa, pembangkit listrik tenaga surya, dan desain
proses limbah minyak penggorengan menjadi biodiesel
dengan membran reaktor berkatalis.
Artikel-artikel lainnya tentang biomassa dan
pengolahannya dapat dilihat di website Teknik Kimia
Indonesia.
Selamat membaca!
Zulfan Adi Putra
Editor Utama
4
Topik Utama
Potensi zeolit untuk pembuatan bahan kimia dari bahan hayati
Pendahuluan
Zeolit berasal dari bahasa Yunani yaitu zeo bermakna
mendidih dan lithos berarti batu. Zeolit pertama kali dite
mukan oleh Cronstedt seorang peneliti batuan mineral
(mineralogist) asal Swedia pada tahun 1756 di daerah
Islandia dan Laplan bagian sebelah utara Swedia.
Cronstedt memperkenalkan istilah zeolit berdasarkan
pengamatan terhadap zeolit yang dapat mengeluarkan
gelembung busa pada saat dipanaskan [1]. Zeolit
merupakan batuan berpori berupa saluran dan sangkar
berukuran sangat kecil 0.3-1 nm sehingga mampu
menyimpan air dan molekul-molekul lainnya dalam
jumlah relatif besar. Pada saat zeolit dipanaskan air akan
keluar dari pori yang tampak sebagai gelembung busa
seperti pada Gambar 1 berikut ini.
Zeolit tersusun atas rangkaian senyawa alumina-silikat
yang terhubungkan melalui atom oksigen secara
berulang membentuk saluran-saluran dan sangkar
mikropori yang berisi logam kation seperti natrium
(Na+), kalium (K+), kalsium (Ca2+), magnesium (Mg2+)
sebagai kompensasi dari kelebihan muatan elektron pada
atom aluminum dalam kerangka zeolit.
Kation-kation tersebut dapat dengan mudah
dipertukarkan dengan kation lain, sehingga zeolit
seringkali dipakai untukmengurangi tingkat kesadahan
air. Kation-kation seperti Ca2+ dan Mg2+ yang
terkandung di dalam air sadah dapat bertukar tempat
dengan kation di dalam pori zeolit. Oleh sebab itu, zeolit
juga dipakai sebagai bahan dalam pembuatan deterjen
untuk mengurangi tingkat kesadahan air dan dipakai juga
untuk menjerap logam-logam kation dalam limbah
perairan dan limbah nuklir seperti sesium (Cs).
Zeolit dibangun dari elemen dasar silikon (S) dan
aluminum (Al) yang berikatan dengan empat atom
oksigen membentuk struktur tetrahedral TO4
yang juga
disebut sebagai unit bangun primer (UBP) (Gambar2).
Huruf T mewakili atom S atau Al. Unit bangun primer
akan bergabung dengan unit bangun primer lainnya
membentuk unit bangun sekunder (UBS). International
Zeolite Association (IZA) mengumumkan ada 23 jenis
UBS yang berhasil diidentifikasi hingga saat ini. UBS
akan bergabung dengan UBS lainnya membentuk unit
bangun komposit (UBK). Selanjutnya, UBK bergabung
membentuk kerangka zeolit. Sejauh ini, IZA
mempublikasikan ada sebanyak 288 kerangka zeolit
sebagai contoh sodalit (SOD), klinoptilolit (CLI),
mordenit (MOR), beta (BEA) dan akan terus bertambah
di masa depan[3].
5
Berikut ini, ilustrasi pembentukan salah satu kerangka zeolit tipe sodalit (SOD) diketengahkan untuk memberikan gambaran lebih jelas bagaimana kerangka zeolit terbentuk dari UBP, UBS, dan UBK.
6
Zeolit memiliki keunikan dalam memilih molekul mana
yang bisa masuk ke dalam pori dan molekul mana yang
bisa keluar dari dalam mikropori tergantung ukuran
molekul dan bentuk molekul. Kemampuan khasini
disebutdengan sifat selektif terhadap bentuk molekul (shape
selectivity).Oleh sebab itu, zeolit banyak dipakai dalam
pemisahan atau penyaringan molekul dengan ukuran dan
atau bentuk molekul yang berbeda (molecular sieve).
Sebagai contoh, mordenit dipakai untuk pemurnian gas
oksigen dari udara dengan menahan nitrogen dalam pori
zeolit dan meloloskan oksigen sehingga kadar oksigen
meningkat setelah melalui mordenit. sifat selektif terhadap
bentuk molekul juga sangat penting dalam menentukan
jenis produk yang dihasilkan dalam suatu reaksi dengan
menggunakan katalis zeolit.
Berdasarkan asal pembentukannya zeolit terbagi dua, yaitu
zeolit alam dan zeolit sintetis. Nusantaramerupakan daerah
vulkanik dari barat sampai ke timur membuat Indonesia
kaya dengan zeolit alam.
Daerah yang terkenal dengan tambang zeolitnya
diantaranya Lampung,Tasikmalaya, Bayah, Sukabumi,
Cilacap, Wonosari, Pacitan, Klaten, dan Malang[4-
7].Zeolit alam yang ditemukan di daerah-daerah
tersebut umumnya bertipe klinoptilolit (HEU) dan
mordenit (MOR) selain ditemukan juga fasa-fasa
zeolit lain sebagai pengotor [8].Penelitian untuk
mensintesis zeolit di laboratorium dilakukan secara
intensif pada tahun 1950-an.Zeolit sintetis memiliki
keunggulan dalam kemurnian fasa zeolit, volume
mikropori yang lebih tinggi, serta kemudahan dalam
mengontrol ukuran dan geometri kristal pada saat
pembuatannya. Salah satu contoh zeolit sintetik yang
sukses dipakai secara komersial di industri adala
ZSM-5 (Zeolite Socony Mobil–5) yang dipatenkan
oleh Mobil oil company. Harga zeolit sintetik jauh
lebih mahal daripada zeolit alam yang tersedia
melimpah ruah (Gambar 8). Sebagai gambaran kasar,
harga zeolit tipeZSM-5 dari ACS Material per 200 g
sekitar 200 USD pada saat inisementara zeolit alam
bisa diperoleh dengan harga hanya Rp.5000,- per
kilogramnya (tahun 2016).
7
Zeolit memiliki manfaat yang luas mencakup berbagai
bidang kegiatan manusia misalnya konstruksi, pertanian,
industri, lingkungan, dan kesehatan. Meskipun zeolit
baru diidentifikasi kurang dari 300 tahun yang lalu,
pemanfaatan zeolit telah dilakukan sejak ribuan tahun
silam sebagai salah satu material untuk bahan bangunan.
Pada saat ini, zeolit dimanfaatkan sebagai katalis,
penyangga katalis, penyaring skala molekuler, penukar
ion, pupuk, pengolahan limbah cair dan penghilang bau
tak sedap. Zeolit sintetis banyak digunakan di industri
terutama sebagai agen penjerap dan katalis. Zeolit
mampu berfungsi sebagai katalis karena memiliki pusat
asam Brønsted H+ dan asam Lewis yang terletak di
sekitar atom aluminum seperti yang disajikan pada
gambar 7 berikut.
Mengingat luasnya aplikasi zeolit, pemanfaatan dan
potensi zeolit pada tulisan ini dibatasi hanya untuk
katalis dan penyangga katalis(support). Pada uraian
berikut ini akan dibahas secara ringkas pemanfaatan
zeolit saat ini di industri pengilangan minyak dan
petrokimia serta potensi pemanfaatan zeolit untuk
produksi berbagai bahan kimia dengan bahan baku
biomassa.
Aplikasi zeolit
Saat ini, zeolit memegang peranan penting dalam
sintesis aneka produk bahan kimia berbasis bahan fosil
seperti minyak bumi, batubara dan gas alam.Zeolit
banyak digunakan sebagai katalis di industri
pengilangan minyak dan petrokimia[10].
Zeolit yang diperdagangkan bernilai USD 1.8 milyar pada
tahun 2004 dengan konsumsi terbesar (95%) sebagai katalis
perengkahan minyak bumi (fluid catalytic cracking, FCC).
Pada proses perengkahan minyak bumi tersebut digunakan
zeolit Y (FAU). Produk utama dari proses FCCadalah
senyawa alkana, alkena, sikloalkana rantai pendek yang
berguna untuk bahan bakar kendaraan dan bahan baku
industri petrokimia.Contoh terkenal lainnya adalah katalis
komersial zeolit tipe mordenit (MOR)untuk reaksi
isomerisasi senyawa alkana rantai lurus dengan produk iso-
alkana yang berguna untuk menaikan bilangan oktan, bahan
baku untuk methyl tert butyhl ether (MTBE) sebagai anti
ketuk pada bahan bakar dan senyawa pengganti chloro
floro carbon (CFC) yang berbahaya bagi lapisan ozon.
Di industri petrokimia, zeolit dipakai sebagai katalis
maupunpenyangga katalis dalam produksi senyawa
aromatik seperti benzena, toluena, dan xilena dan olefin
seperti etilena dan propilena. Senyawa olefin rantai pendek
merupakan bahan baku penting untuk produksi beraneka
ragam jenis plastik. Zeolit yang telah komersial dipakai di
industri adalah ZSM-5(MFI) dengan menggunakan bahan
baku sepertielpiji, alkana, nafta[11, 12].Penelitian dan
pengembangan katalis zeolit untuk memproduksi bahan
olefin dengan target produk berupa propilen dari nafta terus
dilakukan mengingat kebutuhan propilen di masa depan
akan terus naik. Saat ini, produksi olefin dari nafta
dilakukan tanpa menggunakan katalis berlangsung pada
temperatur tinggi sekitar 800-1000oC. Dengan
menggunakan katalis zeolit seperti ZSM-5, temperatur
reaksi bisa diturunkan menjadi kurang dari 650oC dengan
perolehan produk propilen atau etilen relatif tinggi.
8
Potensi zeolit dalam penyediaan bahan kimia dari
biomassa
Zeolit dengan keasaman, pori yang seragam,
kemampuan selektif terhadapbentuk molekul seperti apa
yang bisa masuk ke dalam pori dan bentuk produk
molekul yang mana yang bisa keluar dari pori berpotensi
menjadikatalis untuk produksi bahan kimia dari bahan-
bahan hayati seperti minyak nabati, sukrosa, selulosa,
getah dari kayu,dll. Berikut ini akan diberikan sedikit
gambaran mengenai potensi zeolit untuk katalis dalam
sintesisbahan bakar, bahan petrokimia, bahan pangan,
dan bahan kimia adi dari bahan baku hayati.
3.1 Bahan bakardan petrokimia
Biodiesel merupakan bahan bakar terbarukan pengganti
solar dengan bahan baku minyak nabati(trigliserida) dan
alkohol melalui reaksi transesterifikasi menggunakan
katalis basa seperti NaOH dan KOH (Gambar 9). Logam
alkali dan alkali tanahdapat diimpregnasi ke dalam
struktur zeolit alam untuk reaksi pembuatan biodisel.
Sebagai contoh, katalis K2O –mordenit alam dilaporkan
untuk reaksi pembuatan biodiesel dengan bahan baku
minyak sawit [4]. Minyak jelantah dengan kandungan
asam lemak bebas (free fatty acids) yang tinggi juga
merupakan bahan baku yang potensi untuk menjadi
bahan biodiesel dengan menggunakan zeolit tipe H-Y
yang memiliki asam Brønstedmelalui jalur reaksi
esterifikasi (Gambar 8) [13].
Bahan bakar pesawat terbang, bensin, solar, bisa
dihasilkan dari biomassa seperti limbah pertanian dan
perkebunan melalui pengolahan produk dari jalur proses
Fischer-Tropsch (FT) (Gambar 10). Produk FT dengan
bantuan katalis platina yang diembankan pada zeolit
seperti zeolit beta berpotensi menghasilkan bahan bakar
pesawat terbang melalui proses perengkahan dengan
menggunakan hidrogen (hydrocracking) [14, 15]. Zeolit
dengan kemampuan selektif terhadap bentuk molekul
serta ukuran pori yang sesuai dengan ukuran molekul
hidrokarbon rantai pendek mampu menghasilkan
senyawa hidrokarbon setara bensin seperti pada katalis
Fe/ZSM-5 dan Co/ZSM-5 [16].
9
3.2 Bahan pangan
Salah satu turunan produk biomassa melalui jalur
gasifikasi adalah metanol dan dimetil eter. Proses lanjuta
n dapat dilakukan untuk mengubah metanol dan eter
menjadi produk olefin dengan menggunakan zeolit
seperti SAPO-34 or SSZ-13, MOR, EU [8, 17]. Gas
olefin diolah untuk menjadi polimer seperti plastik
polietilen dan polipropilen.
Bahan baku minyak nabati potensial untuk diolah
menjadi produk petrokimia dengan memanfaatkan
katalis zeolit selain sebagai bahan bakar seperti
pembahasan di bagian 3.1. Mesoporous H-beta dan
ferierit berpotensi sebagai katalis dalam pengolahan
asam lemak rantai lurus menjadi asam lemak bercabang
(mono-branched-chain unsaturated fatty acids). Produk
asam lemak bercabang memiliki titik leleh rendah
sehingga banyak digunakan untuk industri kosemetik
dan pelumas[18].
Bahan selulosa dan hemiselulosa yang terkandung di
dalam biomassa dapat diubah menjadi glukosa dan
xylosa melalui reaksi hidrolisis dengan bantuan katalis
zeolit karena memiliki asam Brønsted. Selanjutnya,
glukosa diisomerisasi menjadi fruktosa dengan katalis
Sn-zeolit [19]. Fruktosa dapat diubah menjadi
hidroksimetilfurfural (HMF) dengan proses dehidrasi
pada katalis zeolit. Senyawa HMF merupakan bahan
untuk pembuatan aditif bahan bakar dan pelarut organik.
Zeolit ZSM-5 dapat digunakan untuk reaksi katalitik
dehidrasi langsung glukosa menjadi5-hidroksimetil
furfural (Gambar 12 )[20].
Indonesia memiliki sumber sukrosa dari berbagai tanaman
seperti tebu, aren, kelapa, lontar, nipah dll. Gula sukrosa
dapat diubah menjadi gula inversi seperti fruktosa dan
glukosa yang banyak digunakan pada pemanis makanan
seperti selai, sirup dan pemanis kue. Sukrosa dapat
dihidrolisis dengan bantuan katalis H-Y faujasit
(FAU)menjadi gula inversi fruktosa dan glukosa pada
temperatur rendah dengan kelebihan lainnya dapat
mengurangi pembentukan warna [21]. Keunggulan katalis
zeolit dapat diregenerasi dan dapat dipisahan dari
produk/reaktan lebih mudah daripada katalis homogen.
3.3 Bahan kimia adi (fine chemicals)
Tusam(Pinus merkusii) merupakan pohon penghasil getah
sumber gondorukem dan terpentin (Gambar 14). Terpentin
memiliki kandungan utama senyawa α-pinena. Badan
usaha milik negara (BUMN) melalui Perusahaan Umum
Perhutani mengelola Pabrik Derivat, Gondorukem dan Terp
entin (PDGT). Katalis yang digunakan dalam sintesis
produk turunan terpentin tersebut adalah asam fosfat.
Senyawa turunan termaksud adalahgliserol ester, α-pinena,
β-pinena, d-limonena, α-terpineol, cineol dan diterpen. Iso
merisasi α-pinena (Gambar 14) dan oksidanya sangat
penting dalam industri bahan kimia adi karena
menghasilkan produk bernilai jual tinggi seperti camphene,
limonena, campholenic aldehyde (CPA) yang digunakan
luas sebagai perasa dan pewangi dalam produk pembersih,
kosmetik, parfum, aditif makanan, dan farmasi[22].
Isomerisasi terpen dapat dilakukan dengan menggunakan
katalis tipe H-Beta, MCM-22 dan zeolit USY [23].
10
Tanaman serai wangi (Java citronella) mengandung
senyawa penting sitronela. Senyawa ini dapat
dikonversi menjadi isopulegol melalui reaksi siklikasi.
Isopulegol merupakan produk antara untuk mensintesis
mentol yang merupakan bahan baku dalam pembuatan
parfum dan pewangi. Produksi tahunan mentol dunia
mencapai 20,000 ton (2007) membuat mentol menjadi
produk aroma yang sangat penting di dunia. Mentol
digunakan di industri farmasi, pasta gigi, permen karet,
kosmetika dan industri konfeksi. Reaksi siklikasi
sitronelal dengan menggunakan zirkonia-beta
menghasilkan produk isopulegol[25].
Zeolit dengan pori besar seperti zeolit H-beta dengan
konsentrasi asam Brønsted yang tinggi akan
memberikan laju reaksi siklikasi yang paling tinggi
sedangkan pori berukuran kecil dan konsentrasi asam
Brønsted yang rendah memberikan altivitas yang rendah
[26-28].
Penutup
Zeolit merupakan katalis penting dalam produksi bahan
bakar dan petrokimia berbasis bahan fosil. Pada masa
yang akan datang, zeolit diperkirakan akan tetap
memegang peran pentingsebagai katalis dalam
penyediaan bahan bakar, bahan petrokimia, bahan
pangan, dan bahan kimia adi dengan menggunakan
bahan hayati yang tersedia melimpah di Indonesia. Oleh
sebab itu, penelitian untuk mempelajari tipe zeolit yang
tepat untuk berbagai reaksi dengan beragam bahan baku
hayatilokal sangat penting untuk terus digalakkan.
Pengaturan ukuran pori zeolit dan keasaman yang sesuai
dapat memberikan katalis dengan aktivitas, selektivitas,
dan stabilitas yang tinggi sesuai dengan reaksi yang dike
hendaki.
11
[8] G. Nasser, T. Kurniawan, K. Miyake, A. Galadima,
Y. Hirota, N. Nishiyama, O. Muraza, Dimethyl eth
er to olefins over dealuminated mordenite (MOR) z
eolites derived from natural minerals, Journal of Na
tural Gas Science and Engineering 28 (2016) 566-5
71.
[9] http://www.acsmaterial.com/zsm-5-series-zeolite-po
wder-945.html, (2016).
[10] A. Primo, H. Garcia, Zeolites as catalysts in oil refi
ning, Chemical Society Reviews 43 (2014) 7548-75
61.
[11] D. Kubička, O. Kikhtyanin, Opportunities for zeolit
es in biomass upgrading—Lessons from the refinin
g and petrochemical industry, Catalysis Today 243
(2015) 10-22.
[12] W. Vermeiren, J.P. Gilson, Impact of Zeolites on th
e Petroleum and Petrochemical Industry, Topics in
Catalysis 52 (2009) 1131-1161.
[13] A. Brito, M.E. Borges, N. Otero, Zeolite Y as a Het
erogeneous Catalyst in Biodiesel Fuel Production fr
om Used Vegetable Oil, Energy & Fuels 21 (2007)
3280-3283.
[14] T. Hanaoka, T. Miyazawa, K. Shimura, S. Hirata, J
et fuel synthesis in hydrocracking of Fischer–Trops
ch product over Pt-loaded zeolite catalysts prepared
using microemulsions, Fuel Processing Technology
129 (2015) 139-146.
[15] T. Hanaoka, T. Miyazawa, K. Shimura, S. Hirata, J
et fuel synthesis from Fischer–Tropsch product und
er mild hydrocracking conditions using Pt-loaded c
atalysts, Chemical Engineering Journal 263 (2015)
178-185.
[16] H. Jahangiri, J. Bennett, P. Mahjoubi, K. Wilson, S.
Gu, A review of advanced catalyst development for
Fischer-Tropsch synthesis of hydrocarbons from bi
omass derived syn-gas, Catalysis Science & Techn
ology 4 (2014) 2210-2229.
Daftar pustaka
[1] C. Colella, Applications of Natural Zeolites, Handbo
ok of Porous Solids, Wiley-VCH Verlag GmbH200
8, pp. 1156-1189.
[2] http://www.zeolite-collection.eu/History/History.htm
l, (2016).
[3] IZA, http://www.iza-online.org/natural/, 2016.
[4] R.I. Kusuma, J.P. Hadinoto, A. Ayucitra, F.E. Soetar
edjo, S. Ismadji, Natural zeolite from Pacitan Indon
esia, as catalyst support for transesterification of pa
lm oil, Applied Clay Science 74 (2013) 121-126.
[5] W. Trisunaryanti, R. Shiba, M. Miura, M. Nomura,
N. Nishiyama, M. Matsukata, Characterization and
Modification of Indonesian Natural Zeolites and Th
eir Properties for Hydrocracking of a Paraffin, Jour
nal of The Japan Petroleum Institute 39 (1996) 20-2
5.
[6] E. Agustina, P. Theresia, The Effect of Acid Dealum
ination of Indonesian Zeolite on its Physical, Chem
ical and Catalytic Properties, in: H.G.K.H.P. J. Wei
tkamp, W. Hölderich (Eds.) Studies in Surface Scie
nce and Catalysis, Elsevier1994, pp. 1021-1026.
[7] T. Las, H. Zamroni, Penggunaan Zeolit Dalam Bidan
g Industri dan Lingkungan, Jurnal Zeolit Indonesia
1 (2002) 27-34.
12
[17] M. ghavipour, R.M. Behbahani, R.B. Rostami, A.S. Le
mraski, Methanol/dimethyl ether to light olefins over S
APO-34: Comprehensive comparison of the products d
istribution and catalyst performance, Journal of Natura
l Gas Science and Engineering 21 (2014) 532-539.
[18] T. Ennaert, J. Van Aelst, J. Dijkmans, R. De Clercq, W.
Schutyser, M. Dusselier, D. Verboekend, B.F. Sels, Po
tential and challenges of zeolite chemistry in the cataly
tic conversion of biomass, Chemical Society Reviews
45 (2016) 584-611.
[19] G. Li, E.A. Pidko, E.J.M. Hensen, Synergy between Le
wis acid sites and hydroxyl groups for the isomerizatio
n of glucose to fructose over Sn-containing zeolites: a t
heoretical perspective, Catalysis Science & Technolog
y 4 (2014) 2241-2250.
[20] M. Moreno-Recio, J. Santamaría-González, P. Maireles-
Torres, Brönsted and Lewis acid ZSM-5 zeolites for th
e catalytic dehydration of glucose into 5-hydroxymeth
ylfurfural, Chemical Engineering Journal 303 (2016) 2
2-30.
[21] C. Moreau, R. Durand, F. Aliès, M. Cotillon, T. Frutz,
M.-A. Théoleyre, Hydrolysis of sucrose in the presenc
e of H-form zeolites, Industrial Crops and Products 11
(2000) 237-242.
[22] M.J. Climent, A. Corma, S. Iborra, Zeolites as Catalysts
for the Synthesis of Fine Chemicals, Zeolites and Cata
lysis, Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA2010, p
p. 775-826.
[23] X. Ma, D. Zhou, X. Chu, D. Li, J. Wang, W. Song, Q.
Xia, Highly selective isomerization of biomass β-pine
ne over hierarchically acidic MCM-22 catalyst, Micro
porous and Mesoporous Materials 237 (2017) 180-188.
[24] http://pgtgarahan.com/?PRODUKSI/TERPENTIN, 201
6.
[25] Z. Yongzhong, N. Yuntong, S. Jaenicke, G.-K. Chuah,
Cyclisation of citronellal over zirconium zeolite beta
— a highly diastereoselective catalyst to (±)-isopuleg
ol, Journal of Catalysis 229 (2005) 404-413.
[26] P. Mäki-Arvela, N. Kumar, V. Nieminen, R. Sjöholm, T
. Salmi, D.Y. Murzin, Cyclization of citronellal over z
eolites and mesoporous materials for production of iso
pulegol, Journal of Catalysis 225 (2004) 155-169.
[27] J. Plößer, M. Lucas, P. Claus, Highly selective m
enthol synthesis by one-pot transformation of cit
ronellal using Ru/H-BEA catalysts, Journal of C
atalysis 320 (2014) 189-197.
[28] P. Mertens, F. Verpoort, A.-N. Parvulescu, D. De
Vos, Pt/H-beta zeolites as productive bifunction
al catalysts for the one-step citronellal-to-menth
ol conversion, Journal of Catalysis 243 (2006) 7
-13.
Profil penulis
Teguh Kurniawan adalah dosen di Jurusan Teknik
Kimia Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
(UNTIRTA) sejak tahun 2006. Saat ini, Teguh sedang
menempuh pendidikan doktor di “Chemical
Engineering King Fahd University of Petroleum &
Minerals (KFUPM)” dengan topik riset modifikasi
zeolit alam untuk aplikasi katalis dalam konversi
hidrokarbon yang dilakukan di “The Center of
Research Excellence in Nanotechnology (CENT-
KFUPM)”.
13
Topik Utama
Proses Konversi Biomassa Menjadi
Bahan Bakar dan Bahan Kimia
dalam merengkah dinding cangkang selulosa yang keras
dan kompleks. Penelitian modern masih dilakukan untuk
menemukan metode biokonversi murah. Tantangan
kunci lainnya adalah pada peningkatan efisiensi dalam
mengkonversi gula dan pengembangan proses
pemurnian produk yang efisien.
Terdapat dua jalur utama biorefinery: hidrolisis yang
bertujuan membebaskan monosakarida dari polisakarida
lignoselulosa, dan proses termokimia yang
mendegredasi secara lebih ekstensif komponen-
komponen polisakarida dan lignin. Kedua mekanisme
tersebut akan diulas secara sederhana dalam artikel ini.
Proses Hidrolisis
Selulosa dihidrolisis oleh air melalui serangan
elektrofilik atom hidrogen pada molekul H2O pada
oksigen glikosidik. Reaksi ini sangat lambat akibat sifat
kebal (recalcitrant) selulosa, tapi dapat dipercepat pada
suhu dan tekanan tinggi, dikatalis dengan asam atau
enzim (seperti selulase). Dengan asumsi bahan baku
mulai dari hemiselulosa, dua proses hidrolisis selulosa
utama dikatalis oleh asam atau enzim.
Hidrolisis asam encer pada lignoselulosa sudah lama
digunakan dalam skala besar, sejak perang dunia
pertama. Sedangkan teknologi yang memanfaatkan asam
pekat popular sekitar tahun 1937-1960. Hidrolisis asam
menjadi kurang popular akibat bahan bakar fosil yang
murah sehingga tidak kompetitif.
Muhammad Roil Bilad
Universiti Teknologi PETRONAS
Ketahanan energi adalah salah satu program utama
pemerintah Indonesia yang diarahkan melalui
pengembangan energi terbarukan (bio-energi).
Teknologi bio-energi berhubungan erat dengan proses
yang memanfaatan bahan alam (hayati) sebagai bahan
baku. Proses ini ditujukan untuk untuk mengkonversi
biomasa non-pangan menjadi bio-fuel dan bio-produk
yang kompetitif.
Biomasa berbasis selulosa (bagian tumbuhan berserat
dan tak dapat dikonsumsi manusia) sangat berlimpah
dan berpotensi sebagai bahan baku untuk biofuel dan
bio-produk. Rute pemrosesan selolusa menjadi energi
dan bio-produk juga telah lama diteliti: konversi
biokimia dan termokimia. Konversi biokimia mengacu
pada perengkahan biomassa agar karbohidrat dapat
diproses menjadi gula, yang kemudian dapat dikonversi
menjadi biofuel dan bioproduk menggunakan
mikroorganisme dan/atau katalis inorganik. Konversi
termokimia menggunakan reaksi pada suhu tinggi.
Beberapa produk akhir bahan bakar dan bioproduk
potensial adalah: (1) bensin terbarukan, (2) etanol dan
alkohol lainnya, (3) produk kimia terbarukan dan (4)
biodiesel.
Tantangan utama dalam konversi biokimia meliputi
t i n g g i n y a b i a y a d a n r u m i t n y a p r o s e s
14
Prosedur hidrolisis dengan asam pekat memerlukan
waktu 10-12 jam dan konsentrasi asam yang pekat
memungkinkan penggunaan berbagai bahan baku,
termasuk limbah padat domestik. Masalah utama proses
ini adalah mahalnya harga asam pekat, sehingga
mengharuskan daur ulang asam dengan memisahkannya
dari gula (produk). Meskipun 80-97% asam dapat didaur
ulang dengan teknik penukar ion, biaya modal dan
operasinya masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
metode asam encer.
Proses hidrolisis enzimatik melibatkan perlakuan awal
dalam hidrolisis hemiselulosa membentuk selulosa yang
lebih mudah dicerna (meskipun telah banyak riset untuk
hidrolisis langsung hemiselulosa tanpa perlakuan awal).
Enzim selulase kemudian digunakan menghidrolisis
selulosa menjadi glukosa secara selektif. Ini terjadi pada
kondisi jauh lebih moderat (30-70 °C) dibandingkan
hidrolisis asam encer, sehingga potensi degradasi lanjut
produk gula secara signifikan menurun. Proses ini juga
menawarkan potensi perolehan tertinggi glukosa dari
selulosa. Selulase dapat diperoleh dari berbagai
mikroorganisme, termasuk bakteri dan ragi. Namun, ragi
aerobik biasanya sumber yang lebih menarik.
Selulase adalah campuran berbagai enzim dengan fungsi
khusus dalam hidrolisis selulosa. Misalnya, endo-1,4-b-
D-glukanase bertindak secara internal pada zona amorf
selulosa untuk memotong ikatan gliosidik, menurunkan
tingkat polimerisasi; sedangkan selobiohidrolase
mendegradasi rantai selulosa dari ujung tereduksi atau
tak-tereduksi dan dapat memotong zona kristalin dengan
melepaskan selobiosa.
Sebagian besar hidrolisis berkatalis asam encer
memerlukan perlakuan awal (tahap pertama) pada suhu
menengah (140-160 °C) untuk melepas pentosa. Pada
tahap kedua, suhu dinaikkan ke 200-240 ° C untuk
memfasilitasi hidrolisis selulosa dan memperoleh gula
berkarbon enam. Perolehan optimum proses dua tahap
ini adalah 89% untuk manosa, 82% galaktosa, namun
hanya 50% untuk glukosa dengan konversi glukosa ke
etanol sebesar 90% (nilai teoritis). Untuk reaktor aliran
sumbat, perolehan ini sudah dianggap mencapai nilai
teoritis. Kemungkinan besar, sifat kristalin selulosa yang
menghambat perolehan. Laju hidrolisis selulosa amorf
jauh lebih besar dibandingkan yang kristal. Hidrolisis
selulosa kristalin dapat mendegradasi gula yang
diperoleh dari selulosa amorf menjadi produk lain
seperti hidrometil furfural dan asam levulinat. Hidrolisis
bolak-balik (counter-current) yang menggunakan
perlakuan kukus (steam) dapat meningkatkan perolehan
glukosa menjadi 84%, dan meningkatkan perolehan
fermentasi etanol ke 95%. Alternatif lain melibatkan
penggunaan belerang dioksida atau asam sulfat.
Hidrolisis dengan asam pekat melibatkan perlakuakn
awal asam untuk membebaskan gula hemiselulosa,
sementara tahap selanjutnya mempersyaratkan biomasa
kering yang diikuti penambahan asam sulfat pekat (70-
90%). Asam pekat megkonversi selulosa ke keadaan
amorf sepenuhnya. Setelah terdekristalisasi, akan
terbentuk gelatin yang homogen dengan asam. Pada
kondisi ini selulosa sangat mudah dihidrolisis. Oleh
karenanya, pengenceran dengan air pada suhu sedang
menghasilkan hidrolisis sempurna ke glukosa, jauh lebih
baik dibandingkan dengan perlakuan asam encer.
15
oksigen pada ±25% umpan. Ketika udara digunakan
untuk menyediakan oksigen, gas yang dihasilkan disebut
gas producer. Penggunaan udara hanya efektif untuk
gasifikasi jika menargetkan produksi listrik. Proses
katalitik yang diperlukan untuk sintesis biofuel dan
bahan kimia memerlukan gas yang lebih bersih. Oleh
karena itu, oksigen atau kukuslah yang digunakan. Dan,
gas yang dihasilkan disebut gas sintesis (atau syngas).
Rumus umum untuk gasifikasi dengan umpan oksigen
untuk karbohidrat adalah:
C6H
120
6 + 3/2 O
2 → 6 CO + 3 H
2 + 3 H
2O
Banyak produk (seperti diesel Fischer-Tropsch, alkhol,
olefin, asam asetat, dan lain-lain) dapat disintesis dari
gas ini. Jenis produk yang tepat bergantung pada rasio
CO ke H2 dalam syngas. Jumlah hidrogen (dan juga
karbon dioksida) yang diproduksi dapat ditingkatkan
dengan reaksi shift gas air (pada suhu 300 °C dan 15-25
bar) yang melibatkan pencampuran kukus dengan
syngas.
Jika syngas dapat dimurnikan dan kontaminan seperti tar
dan komponen anorganik dapat disisihkan, mekanisme
katalisis sintesis kimia selanjutnya sama dengan proses
petrokimia (dari bahan bakar fosil). Misalnya, produksi
biometanol dari syngas dengan mudah dilakukan dengan
kondisi ideal rasio H2:CO pada 3:1, via katalis Cu/Zn
pada 220-300 °C dan 50-100 bar.
Berbagai komponen dalam bahan baku menyebabkan
masalah pada gasifikasi dan tahapan konversi lanjut
produk yang dihasilkan. Umumnya diperlukan biomassa
Banyak faktor yang turut mempengaruhi baik perolehan
gula maupun laju hidrolisis. Pada biomassa: kristalinitas
selolosa dan derajat polimerisasi, kandungan
hemiselulosa setil, dan ukuran partikel besar semuanya
menghambat hidrolisis enzimatik. Ini semua adalah
pertimbangan yang dilakukan dalam memilih teknik
perlakuan awal. Polimer lignin juga menghambat
hidrolisis, tidak hanya akibat jumlahnya, namun juga
komposisinya dan asosiasinya dengan polisakarida.
Produk hidrolisis selulase, seperti glukosa dan selobiosa,
dapat juga menghambat aktifitas selulase.Oleh
karenanya, mereka harus disisihkan agar kebutuhan
enzim tidak meningkat. Konsentrasi substrat tinggi dapat
mengkatkan perolehan dan laju. Namun, jika rasio
substrat ke selulase terlalu tinggi, penghambatan
mungkin saja terjadi. Hidrolisis juga dapat dipercepat
dengan penambahan surfaktan, enzim lain (seperti
pektinase) dan dengan menggunakan campuran enzim
dari berbagai mikroorganisme.
Proses Termokimia
Gasifikasi biomassa memerlukan oksigen melalui
penambahan udara, oksigen atau kukus (berbeda dengan
pirolisis yang jumlah oksigennya dibatasi kuat). Proses
gasifikasi cenderung menghasilkan rentang produk lebih
kecil dari pada pirolisis dan mengarah ke produksi gas
(seperti hidrogen, karbon monoksida, metana, etilen,
dan lain-lain) atau gas yang dibentuk-ulang
(reformable). Suhu, dan khususnya desain gasifer yang
digunakan, mempengaruhi distribusi produk ini. Gas-gas
ini, dapat digunakan secara langsung untuk energi atau
dikonversi lanjut menjadi bahan kimia yang berguna
intuk industri dan transportasi.
Gasifikasi efektif terjadi pada suhu (>1000 °C) dengan
jumlah oksigen lebih layak dibandingkan pirolisis.
Karena pembentukan gas dari gasifikasi bersifat
endotermik, suhu dipertahankan dengan pembakaran
16
yang kering, jika tidak sebagian syngas akan digunakan
untuk pengeringan bahan baku. Biaya meninggi jika
kadar air mencapai 50%, sehingga tidak cocok untuk
gasifikasi. Katalis untuk sintesis metanol juga dapat
diracuni oleh belerang jika bahan baku mengandung
belerang. Katalis juga berkurang keaktifannya oleh abu
sehingga komposisi abu merupakan faktor penting dalam
desain gasifikasi. Gasifier unggun fluida yang beroperasi
dibawah 1000 °C, dapat mengurangi masalh abu, namun
sebaliknya memproduksi banyak tar dan metana dalam
syngas. Pembentukan tar juga merupakan masalah pelik
dalam gasifikasi. Salah satu cara mengatasi produksi tar
adalah dengan pemilihan katalis yang tepat. Katalis
dolomite dan nikel diperkirakan berpotensi mengatasi
permasalahan tar. Para peneliti berpendapat bahwa kunci
sukses gasifikasi biomassa adalah pada penemuan
katalis yang tepat.
Pirolisis dan torefaksi adalah dua pendekatan untuk
mengatasi permasalahn gasifikasi dengan mengkonversi
biomassa ke keadaan tertentu yang memudahkan
gasifikasi. Pirolisis memproduksi bio-oil dan biochar.
Torefaksi adalah pirolisis lambat pada suhu rendah (250-
300 °C) memfasilitasi pemanfaatan biomassa secara
lebih efektif dalam gasifier.
Muhammad Roil Bilad kini
bekerja sebagai asistan
professor di Universiti
Teknologi PETRONAS
(UTP) Malaysia sejak Mei
2016. Sebelum itu, dia
bekerja sebagai peneliti di beberapa
universitas: Nanyang Technological University
Singapura (2015-2016), Masdar Institute of Science and
Technology Uni Emirat Arab (2013-2015) dan KU
Leuven Belgia (2012-2013). Dia menyelesaikan meraih
gelar PhD-nya di KU Leuven Belgia, M.sc dari UTP dan
Sarjana Tenik dari Institut Teknologi Bandung.
Penelitian MR Bilad berkutat pada teknologi membran,
mulai dari sintesis, teknik karakterisasi, studi tentang
penyumbatan (fouling) dan penanggulangannya,
termasuk juga desain modul dan desain proses. Aplikasi
utama yang ditargetkan adalah untuk pengolahan air dan
air limbah, termasuk untuk desalinasi air laut. Sejak
bergabung dengan UTP, MR Bilad sedang berusaha
membangun riset dibidang yang sama. Dari hasil
risetnya, MR Bilad telah mempublikasikan 37 jurnal
ilmiah, 3 paten dan lebih dari 25 kali mempresentasikan
risetnya di konferensi internasional. MR Bilad bisa
dihubungi melaui email: [email protected].
17
Topik Utama
Simulasi Aspen HYSYS untuk Proses Produksi
Biodiesel dari Limbah Minyak Goreng menggunakan
Reaktor Membran
Teknologi yang umumnya digunakan untuk
memproduksi biodiesel antara lain mikro emulsi [7],
pirolisis [8] dan transesterifikasi [9]. Di antara ketiga
metode itu, transesterifikasi adalah metode yang paling
umum digunakan. Bahan baku yang biasa digunakan
sangat bervariasi, di antaranya minyak sayur, minyak
zaitun, limbah minyak, lemak hewan dan minyak
mikroalga. Katalis yang umumnya digunakan dalam
metode ini adalah katalis basa homogen. Katalis jenis ini
memiliki kemampuan katalisator dan ketersediaan yang
tinggi. Sayangnya, katalis basa sangat sensitif terhadap
kandungan asam lemak bebas yang terdapat pada limbah
minyak goreng. Penggunaan katalis basa dapat
menyebabkan terbentuknya sabun yang akan
mengurangi yield biodiesel dan mempersulit proses
pemurnian [10]. Oleh karena itu, metode ini
membutuhkan banyak air dalam proses pemurnian
biodiesel. Di sisi lain, katalis asam homogen
membutuhkan waktu tinggal yang jauh lebih lama. Oleh
karena itu, penelitian ini akan membahas mengenai
proses produksi biodiesel dari limbah minyak goreng
menggunakan katalis asam heterogen dan reaktor
m e m b r a n . M e t o d e i n i d i g u k a n a n u n t u k
mengintensifikasi proses reaksi dan pemisahan dalam
satu reaktor. Biodiesel yang dihasilkan dalam reaksi
transesterifikasi akan dikeluarkan untuk menggeser
kesetimbangan ke arah produk. Metode ini juga akan
mengurangi kebutuhan air dalam proses pemurnian
p r o d u k . D a l a m a r t i k e l i n i a k a n
Yuanita Budiman
Universiti Teknologi PETRONAS
Seiring dengan pertumbuhan populasi dunia yang sangat
cepat, kebutuhan akan sumber energi terbarukan
semakin meningkat. Pada saat yang bersamaan, jumlah
limbah yang dihasilkan juga semakin meningkat. Oleh
karena itu, diperlukan suatu cara untuk menyelesaikan
kedua masalah ini. Saat ini, ada banyak penelitian
mengenai sumber-sumber energi terbarukan yang lebih
bersih dari energi fosil. Salah satunya adalah biodiesel.
Biodiesel dapat digunakan secara langsung [1] maupun
dicampur dengan diesel konvensional [2]. Biodiesel juga
terbukti mampu bekerja dalam mesin diesel biasa tanpa
adanya modifikasi khusus [3, 4].
Selain masalah kebutuhan sumber energi, masalah
mengenai polusi juga perlu diperhatikan. Salah satu cara
untuk mengurangi polusi adalah dengan mengubah
limbah menjadi sesuatu yang lebih bernilai (recycle).
Salah satu limbah yang terus bertambah seiring dengan
bertambahnya populasi manusia adalah limbah minyak
goreng. Jumlahnya yang banyak [1, 2, 5] dan harganya
yang relatif murah [6] membuatnya menarik untuk
dijadikan bahan baku pembuatan biodiesel.
18
Namun, katalis enzim bersifat sensitif terhadap
methanol, memiliki kemampuan katalisator yang rendah
dan harga yang mahal [10]. Katalis basa heterogen juga
sensitif terhadap asam lemak bebas dan akan
membentuk sabun jika kandungan asam lemak bebas
melebihi 2 wt% [10]. Oleh karena itu, dalam penelitian
ini, katalis asam heterogen akan digunakan karena
sifatnya yang tidak sensitif terhadap kandungan asam
lemak bebas. Dari berbagai macam katalis asam
heterogen, katalis WAl dipilih dalam penilitian ini
karena efektifitasnya. Komintarachat dan Chuepeng [15]
menemukan bahwa 1 wt% katalis WAl dan
perbandingan massa metanol/minyak 0.3 dapat
menghasilkan 97.5 wt% yield FAME pada kondisi
operasi 383 K selama 2 jam reaksi. Dalam
penelitiannya, mereka menggunakan limbah minyak
goreng dengan kandungan asam lemak bebas sebesar 15
wt%.
Reaksi esterifikasi dan transesterifikasi sangat umum
digunakan untuk memproduksi biodiesel. Kedua reaksi
ini dalam dilihat pada Gambar 1. Produk dari reaksi ini
adalah biodiesel (methyl esters) dengan hasil samping
gliserol. Pengotor yang kemungkinan terkandung dalam
produk antara lain sisa katalis asam heterogen yang
terbawa atau sabun jika katalis basa yang digunakan
[10]. Limbah yang dihasilkan dari produksi biodiesel
adalah air yang berasal dari reaksi esterifikasi maupun
proses pemurnian biodiesel.
Komintarachat and Chuepeng [15] telah mempelajari
dampak katalis WAl, perbandingan berat metanol
terhadap minyak, suhu dan waktu tinggal terhadap yield
biodiesel. Berdasarkan penelitian mereka, yield biodiesel
dapat dirumuskan menjadi:
dibahas analisa potensi penggunan katalis asam
heterogen dan reaktor membran secara teknis dan
ekonomis.
Deskripsi Proses
Proses transesterifikasi dapat dilakukan di dalam
berbagai reaktor, antara lain batch, plug flow, fixed bed
atau CSTR. Penggunaan reaktor batch dalam proses
produksi biodiesel tidak direkomendasikan karena
kerumitan mode operasinya [11]. Sedangkan reaktor-
reaktor lain memiliki kesulitan untuk memproduksi
biodiesel dengan yield yang tinggi [11,12]. Sementara
reaktor membran terbukti lebih ramah lingkungan
karena dapat mengurangi produksi limbah air [13].
Reaktor membran juga mampu mengintensifikasi proses
dan mengeluarkan produk secara selektif selama reaksi
berjalan, sehingga dapat meningkatkan kemurnian
produk [11]. Membran umumnya diklasifikasikan dalam
tiga kelompok; anorganik, organik dan kombinasi. Di
antara ketiga kelompok itu, membran anorganik, seperti
metal, keramik dan zeolit, dipercaya paling sesuai
digunakan dalam produksi biodiesel karena
kemampuannya bertahan dalam suhu dan tingkat
keasaman yang ekstrim [11]. Barredo-Damas et al. [14]
menyebutkan bahwa selain kemampuannya bertahan
dalam kondisi ekstrim, harga membran keramik terus
mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir.
Katalis adalah salah satu faktor terpenting dalam
produksi biodiesel karena dampaknya terhadap laju
reaksi, kondisi operasi dan yield. Lam et al. [10]
menyebutkan bahwa katalis heterogen dan enzim adalah
katalis yang paling sesuai untuk reaksi transesterifikasi
menggunakan bahan baku berkualitas rendah. Hal ini
dikarenakan sifatnya yang tidak sensitif terhadap asam
lemak bebas dan proses pemisahannya yang relatif lebih
mudah.
19
lemak bebas pada skenario utama adalah 15 wt%.
Triolein and trilinolein adalah komponen utama
dalam limbah minyak goreng. Tabel 1
menunjukkan komposisi limbah minyak goreng
yang digunakan pada skenario utama [10] .
Metode evaluasi proses tahap awal digunakan
dalam penelitian ini untuk merancang proses dan
mengevaluasinya [17]. Limbah minyak goreng
dan metanol dipompa dan dipanaskan untuk
mencapai suhu 383.1 K dan 11.51 bar sebelum
dialirkan menuju reaktor. Reaktor membran
disimulasikan menggunakan conversion reactor
dan component splitter dengan me-recycle aliran
r e t e n t a t e .
FAME Yield (wt%) =
7.1609 T − 1326.6326 t − 12.5697 C2
− 0.0186 T2 − 3.9446 t2 −321.9353 R2
+ 0.0712 CT + 3.5161 Tt + 0.5940 TR
Dimana T, t, C and R masing-masing melambangkan
suhu (K), waktu tinggal (jam), jumlah katalis WAl
(wt%) dan perbandingan massa methanol dan minyak.
Simulasi Proses
Flowsheet proses produksi biodiesel menggunakan reakt
or membran dikembangkan dalam software Aspen HYS
YS versi 8.8 dengan fluid package NRTL. Komposisi as
am lemak bebas diambil dari Wen et al. [16], sedangkan
komposisi trigliserida diasumsikan. Kandungan asam
Gambar 1. Reaksi untuk memproduksi biodiesel, (a) transesterifikasi trigliserida, (b) esterifikasi asam
lemak bebas.
20
Berdasarkan diskusi di atas, efektifitas pemisahan yang
dilakukan membran dapat dilihat pada Tabel 2. Nilai-
nilai ini digunakan pada skenario utama dan akan
divariasikan dalam analisa sensitivity.
Permeate yang mengandung biodiesel dikeluarkan dari
reaktor, sementara retentate di-recycle kembali ke
reaktor. Permeate kemudian didinginkan sampai
mencapai suhu ruangan dan langsung terpisah menjadi
fasa FAME dan fasa gliserol [12]. Metanol dalam fasa
FAME dipisahkan menggunakan kolom distilasi dan di-
recycle kembali ke tanki penyimpanan metanol. Produk
dari kolom distilasi pertama kemudian dialirkan
menuju kolom distilasi kedua untuk memurnikan
FAME dari limbah yang masih tercampur,
Conversion reactor dijalankan dengan 96.54%
konversi trigliserida dan 92.34% konversi asam
lemak bebas. Besar konversi ini dihitung dari yield
FAME dengan asumsi reaksi berjalan pada suhu 383
K, katalis WAl sebesat 1 wt% dan perbandingan
metanol/minyak sebesar 0.3 dalam waktu 2 jam.
Membran diasumsikan bekerja dengan memisahkan
komponen-komponen berdasarkan berat molekul.
Metanol dan air seluruhnya melewati membran
sebagai permeate karena berat molekulnya yang
relatif kecil. Di sisi lain, trigliserida tertahan di
dalam reaktor karena berat molekulnya yang relative
besar. Selain itu, berat molekul asam lemak bebas
dan FAME (~ 300 gram/mol) sekitar tiga kali lebih
besar daripada ukuran gliserol.
Tabel 1. Komposisi limbah minyak goreng pada skenario utama.
Komponen Fraksi berat
Tripalmitin 0.074
Tristearin 0.027
Triolein 0.184
Trilinolein 0.478
Trilinolenin 0.051
Other TG 0.036
Palmitic Acid 0.013
Stearic Acid 0.005
Oleic Acid 0.032
Linoleic Acid 0.083
Linolenic Acid 0.009
Other FFA 0.006
H2O 0.003
Tabel 2. Efektivitas pemisahan oleh membran pada skenario utama.
Komponen Permeate Retentate
Triglycerides 0 1
Free fatty acids 0.30 0.70
Fatty acid methyl esters 0.35 0.65
Glycerol 0.90 0.10
Methanol 1 0
Water 1 0
21
Hal ini dikarenakan ketidakpekaan katalis asam
heterogen terhadap kandungan asam lemak bebas [10]
dan tingginya yield FAME dari minyak dengan
kandungan asam lemak bebas yang cukup tinggi
(~15wt%) [15]. Namun, pengaruh perubahan kandungan
asam lemak bebas terhadap yield FAME belum diteliti
lebih lanjut [15]. Dalam penelitian selanjutnya, kondisi
operasi akan divariasikan untuk melihat pengaruhnya
terhadap yield FAME.
Di sisi lain, efektifitas pemisahan oleh membran
berpengaruh cukup signifikan terhadap CAPEX.
Pemisahan oleh membran yang lebih baik akan
mengurangi jumlah aliran recycle dan menyerhanakan
proses pemisahan setelahnya. Hal ini menyebabkan
berkurangnya CAPEX sebesar 10%. Sebaliknya,
pemisahan oleh membran yang kurang efektif
menyebabkan meningkatnya CAPEX sebesar 20%.
termasuk sisa asam lemak bebas yang tidak bereaksi.
Dalam kolom ini, biodiesel diambil dari aliran
distillate. Gambar 2 menunjukkan model HYSYS
untuk proses produksi biodiesel menggunakan
reaktor membran.
Dari skenario utama, capital cost dihitung
menggunakan in-house capital cost estimation tool.
Kemudian dua parameter divariasikan untuk melihat
pengaruhnya terhadap capital cost. Parameter itu
antara lain kandungan asam lemak bebas dan
efektifitas pemisahan oleh membran. Kandungan
asam lemak bebas divariasikan dari 10 wt%, 15 wt%
sampai 20%. Efektifitas pemisahan oleh membran
divariasikan sesuai data pada Tabel 3.
Dampak perubahan dua jenis parameter terhadap
estimated capital cost atau capital expenditures
(CAPEX) ditunjukkan oleh Gambar 3. Gambar
tersebut menujukkan bahwa kandungan asam lemak
bebas tidak mempengaruhi CAPEX.
Gambar 2. Model HYSYS untuk proses produksi biodiesel menggunakan reaktor membran.
22
4. M. M. Gui, K. T. Lee, and S. Bhatia, “Feasibility
of edible oil vs. non-edible oil vs. waste edible oil
as biodiesel feedstock,” Energy, vol. 33, no. 11,
pp. 1646–1653, Nov. 2008.
5. K. Jacobson, R. Gopinath, L. C. Meher, and A. K.
Dalai, “Solid acid catalyzed biodiesel production
from waste cooking oil,” Appl. Catal. B Environ.,
vol. 85, no. 1–2, pp. 86–91, Dec. 2008.
6. Y. Zhang, M. A. Dubé, D. D. McLean, and M.
Kates, “Biodiesel production from waste cooking
oil: 2. Economic assessment and sensitivity
analysis,” Bioresour. Technol., vol. 90, no. 3, pp.
229–240, Dec. 2003.
Referensi
1. A. Demirbas, “Importance of biodiesel as
transportation fuel,” Energy Policy, vol. 35, no.
9, pp. 4661–4670, Sep. 2007.
2. M. S. Graboski and R. L. McCormick,
“Combustion of fat and vegetable oil derived
fuels in diesel engines,” Prog. Energy
Combust. Sci., vol. 24, no. 2, pp. 125–164, Jan.
1998.
3. M. Zabeti, W. M. A. W. Daud, and M. K.
Aroua, “Biodiesel production using alumina-
supported calcium oxide: An optimization
study,” Fuel Process. Technol., vol. 91, no. 2,
pp. 243–248, Feb. 2010.
Gambar 3. Perubahan CAPEX karena variasi kandungan asam lemak bebas di dalam bahan baku dan efektifitas
pemisahan oleh membran.
Tabel 3. Faktor pemisahan oleh membran.
Komponen Faktor pemisahan feed dalam permeate
Skenario 3 Skenario Utama Skenario 4
Triglicerida 0 0 0
Asam lemak bebas 0.20 0.30 0.40
FAME 0.25 0.35 0.45
Gliserol 0.80 0.90 1
Metanol 1 1 1
Air 1 1 1
23
14. S. Barredo-Damas, M. I. Alcaina-Miranda, A.
Bes-Piá, M. I. Iborra-Clar, A. Iborra-Clar, and J.
A. Mendoza-Roca, “Ceramic membrane behavior
in textile wastewater ultrafiltration,” Desalination,
vol. 250, no. 2, pp. 623–628, Jan. 2010.
15. C. Komintarachat and S. Chuepeng, “Solid Acid
Catalyst for Biodiesel Production from Waste
Used Cooking Oils,” Ind. Eng. Chem. Res., vol.
48, no. 20, pp. 9350–9353, Oct. 2009.
16. Z. Wen, X. Yu, S.-T. Tu, J. Yan, and E.
Dahlquist, “Biodiesel production from waste
cooking oil catalyzed by TiO2–MgO mixed
oxides,” Bioresour. Technol., vol. 101, no. 24, pp.
9570–9576, Dec. 2010.
17. Z. A. Putra, “Early Phase Process Evaluation:
Industrial Practices,” Indones. J. Sci. Technol.,
vol. 1, no. 2, pp. 238–248, Sep. 2016.
Y u a n i t a B u d i m a n a d a l a h
s eo rang mahas i swi p rogram
s a r j a n a T e k n i k K i m i a d i
U n i v e r s i t i T e k n o l o g i
PETRONAS. Saat ini penulis
t e n g a h m e r a m p u n g k a n
skripsinya tentang simulasi proses
produksi biodiesel dari limbah minyak goreng
menggunakan reaktor membran.
7. A. S. Ramadhas, S. Jayaraj, and C.
Muraleedharan, “Use of vegetable oils as I.C.
engine fuels—A review,” Renew. Energy, vol. 29,
no. 5, pp. 727–742, Apr. 2004.
8. [8] L. Brennan and P. Owende, “Biofuels
from microalgae—A review of technologies for
production, processing, and extractions of biofuels
and co-products,” Renew. Sustain. Energy Rev.,
vol. 14, no. 2, pp. 557–577, Feb. 2010.
9. [9] M. Zabeti, W. M. A. Wan Daud, and M.
K. Aroua, “Activity of solid catalysts for biodiesel
production: A review,” Fuel Process. Technol.,
vol. 90, no. 6, pp. 770–777, Jun. 2009.
10. [10] M. K. Lam, K. T. Lee, and A. R.
Mohamed, “Homogeneous, heterogeneous and
enzymatic catalysis for transesterification of high
free fatty acid oil (waste cooking oil) to biodiesel:
A review,” Biotechnol. Adv., vol. 28, no. 4, pp.
500–518, Jul. 2010.
11. [11] I. M. Atadashi, M. K. Aroua, A. R. Abdul
Aziz, and N. M. N. Sulaiman, “Membrane
biodiesel production and refining technology: A
critical review,” Renew. Sustain. Energy Rev., vol.
15, no. 9, pp. 5051–5062, Dec. 2011.
12. [12] P. Cao, M. A. Dubé, and A. Y. Tremblay,
“High-purity fatty acid methyl ester production
from canola, soybean, palm, and yellow grease
lipids by means of a membrane reactor,” Biomass
Bioenergy, vol. 32, no. 11, pp. 1028–1036, Nov.
2008.
13. [13] Z. Yaakob, M. Mohammad, M. Alherbawi,
Z. Alam, and K. Sopian, “Overview of the
production of biodiesel from Waste cooking oil,”
Renew. Sustain. Energy Rev., vol. 18, pp. 184–
193, Feb. 2013.
24
25
Studi Kasus
Pengenalan Concentrating Solar Power Plant
(Pembangkit Listrik Tenaga Panas Matahari)
Dengan kontribusi terhadap kapasitas total listrik global
sebesar 3.6 dan 6.9% berturut-turut. Masa depan dari
pembangkit listrik PV dan tenaga angin juga terlihat
menjanjikan melihat tingkat pertumbuhan tahunan
gabungan (compound annual growth rate-CAGR) pada
2005-2015 sebesar 45.1 dan 22.1% berturut-turut [3].
Walaupun begitu, PV dan tenaga angin merupakan
intermittent energy (tidak terus-menerus ada). Hal ini
berarti PV dan tenaga angin tidak dapat mengalirkan
listrik secara terus-menerus ke jaringan listrik. Oleh
karena itu, energy storage system (ESS) seperti baterai
seringkali digunakan di pembangkit listrik PV dan
tenaga angin. Sampai saat ini, baterai layak dari segi
eknonomi hanya untuk penyimpanan jangka pendek dan
pada skala kecil cost. Jenis lain pemanfaatan energi
matahari untuk produksi listrik adalah concentrating
solar power (CSP). Prinsip kerjanya adalah dengan
mengumpulkan radiasi panas menggunakan cermin
(collector) untuk menghasilkan listrik dengan turbin baik
secara langsung maupun tidak langsung. Dari segi
ekonomi, CSP dengan thermal energy storage (TES)
lebih murah [4] atau paling tidak sama [5] bila
dibandingkan dengan PV dengan baterai. Sebagai
tambahan, CSP dengan TES dapat menyediakan daya
baseload (beban-dasar) atau dispatchable (dapat
dinyalakan atau diistirahatkan, atau dapat diatur
k e l u a r a n d a y a l i s t r i k n y a b e r d a s a r k a n
k e b u t u h a n / k e i n g i n a n )
Riezqa Andika
Yeungnam University
Matahari merupakan sumber utama energi untuk Bumi
dengan rata-rata energi di setiap meter persegi Bumi
setiap tahun kira-kira 342 watt. Total, matahari
mengantarkan 4.4×1016 watt ke Bumi [1]. Jumlah ini
jauh lebih banyak daripada produksi listrik di dunia pada
tahun 2012, yakni 21.56×1012 kWh. Bahkan, jumlah
energi matahari ke Bumi masih jauh di atas estimasi
produksi listrik pada tahun 2040, yakni sebesar
36.45×101 2 kWh [2]. Maka dari i tu, sangat
memungkinkan apabila energi matahari dijadikan
sumber utama produksi listrik di masa depan. Pada
dasarnya, energi matahari terdiri dari radiasi cahaya dan
panas. Radiasi cahaya memiliki dua sifat yang bertolak
belakang yakni dapat diamati sebagai gelombang
elektromagnetik maupun sebagai partikel yang disebut
foton. Foton merupakan partikel terkecil dari cahaya.
Jika foton mengalami kontak dengan material
fotoelektrik yang menyebabkan elektron terlepas dari
atom, maka hal tersebut akan memproduksi arus listrik.
Fenomena ini merupakan prinsip dasar dari teknologi
photovoltaic (PV). Sedangkan radiasi panas
mempengaruhi Bumi dengan beberapa cara diantaranya
adalah bertiupnya angin. Serupa dengan PV, tenaga
angin dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik.
Pada 2015, PV dan tenaga angin merupakan sumber
u t a m a e n e r g i t e r b a r u k a n
26
sumber lainnya) untuk desalinasi air. CSP juga dapat
diaplikasikan untuk multi-effect distillation (MED)
dengan memanfaatkan low-pressure steam dari turbin
[13].
Teknologi CSP sudah beroperasi lebih dari dua dekade.
Hingga saat ini, ada empat tipe CSP, yakni parabolic
trough, solar tower, linear Fresnel, dan solar dish.
Parabolic trough (Gambar 1) merupakan teknologi CSP
yang sudah komersial dan paling dominan. Solar tower
(Gambar 2) saat ini sedang dalam tahap
pengkomersialisasian, sedangkan linear Fresnel
(Gambar 3) dan solar dish (Gambar 4) masih dalam
tahap pengembangan [14]. Perbandingan antara keempat
teknologi ini dapat dilihat di Tabel 1 [15].
yang memungkinkan fleksibilitas dalam merencanakan
sistem penyediaan listrik [6–12]. Maka dari itu, CSP
dengan TES memiliki potensi yang kuat jika
dibandingkan dengan energi terbarukan lainnya untuk
menggantikan batu bara sebagai pembangkit listrik
baseload.
Keuntungan lain teknologi CSP adalah dapat
diaplikasikan secara efektif di berbagai skala. CSP skala
kecil dapat diaplikasikan pada bangunan untuk
menyediakan listrik, panas, dan pendinginan. CSP skala
menengah dapat diaplikasikan di daerah terpencil seperti
tambang. CSP skala besar selain dapat diaplikasikan
untuk pembangkit listrik, dapat juga diaplikasikan untuk
cogeneration (pembangkitan listrik bersama dengan
Gambar 1. Skema proses CSP parabolic trough.
27
Gambar 2. Skema proses CSP solar tower.
Gambar 3. Skema proses CSP linear Fresnel.
28
Gambar 4. Skema proses CSP solar dish.
Tabel 1. Perbandingan teknologi CSP.
Parabolic Trough Solar Tower Linear Fresnel Solar Dish
Kapasitas tipikal (MW) 10-300 10-200 10-200 0.01-0.025
Perusahaan pengembang
Abengoa Solar,
SolarMillennium, Sener
Group, Acciona,
Siemens, NextEra,ACS,
SAMCA, dll
Abengoa Solar,
BrightSource, Energy,
eSolar, SolarReserve,
Torresol
Novatec Solar,
Areva
Temperatur operasi (°C) 350-550 250-565 390 550-750
Efisiensi puncak pembangkit
listrik (%) 14-20 23-35* 18 30
Efisiensi energi matahari ke
listrik tahunan (net) (%) 11-16 7-20 13 12-25
Faktor kapasitas tahunan (%) 25-28 (tanpa TES)
29-43 (TES 7 jam) 55 (TES 10 jam) 22-24 25-28
Hibridisasi Ya dan langsung Ya Ya, langsung
(steam boiler) Belum direncanakan
Stabilitas jaringan Sedang ke tinggi (TES
atau hibridisasi) Tinggi (TES ukuran besar)
Sedang ( dengan
back-up firing) Rendah
Cycle Superheated Rankine Superheated Rankine Saturated Rankine Stirling
Kondisi steam (°C/bar) 380 hingga 540/100 540/100 hingga 160 260/50 Tidak tersedia
Tipe aplikasi On-grid On-grid On-grid On-grid/Off-grid
Catatan: * = batas atas adalah jika tenaga panas matahari menggunakan combined cycle turbine
29
9. Lilliestam, J., Bielicki, J. and Patt, A.
(2012). Comparing carbon capture and storage
(CCS) with concentrating solar power (CSP):
Potentials, costs, risks, and barriers. Energy
Policy, 47, pp.447–455.
10. Trieb, F., Schillings, C., Pregger,
T. and O’Sullivan, M. (2012). Solar electricity
imports from the Middle East and North Africa
to Europe, Energy Policy, 42, pp.341–353.
11. Usaola, J. (2012). Operation of concentrating
solar power plants with storage in spot
electricity markets. IET Renewable Power
Generation, 6, pp.59–66.
12. Viehbahn, P., Lechon, Y. & Trieb, F.
(2011). The potential role of concentrated solar
power (CSP) in Africa and Europe. Energy
Policy, 39, pp.4420–4430.
13. International Energy Agency. (2010).
Technology Roadmap: Concentrating Solar
Power.
14. Energy Technology Systems Analysis
Programme International Energy Agency and
International Renewable Energy Agency.
(2013). Concentrating Solar Power: Technology
Brief.
15. International Renewable Energy Agency.
(2012). Renewable Energy Technologies: Cost
Analysis Series (Volume 1: Power Sector, Issue
2/5) - Concentrating Solar Power.
Referensi
1. National Aeronautics and Space Administration.
(2005). NASA Facts: The Balance of Power in the
Earth-Sun System.
2. U.S. Energy Information Administration. (2016).
International Energy Outlook 2016.
3. U.S. Department of Energy. (2016). 2015
Renewable Energy Data Book.
4. Jorgenson, J., Mehos, M., and Denholm, P.
(2016). Comparing the net cost of CSP-TES to PV
deployed with battery storage. AIP Conference
Proceedings 1734, 080003, pp1–9.
5. Hernández-Moro, J. and Martínez-Duart J.M.
(2013). Analytical model for solar PV and CSP
electricity costs: Present LCOE values and their
future evolution. Renewable and Sustainable
Energy Reviews, 20, pp.119–132.
6. Pfenninger, S., Gauché, P., Lilliestam, J.,
Damerau, K., Wagner, F., and Patt, A. (2014).
Potential for concentrating solar power to provide
baseload and dispatchable power. Nature Climate
Change, 4, pp.689–692.
7. Fthenakis, V., Mason, J. & Zweibel,
K. (2009). The technical, geographical, and
economic feasibility for solar energy to supply the
energy needs of the US. Energy
Policy, 37, pp.387–399.
8. Izquierdo, S., Montañés, C., Dopazo, C. & Fueyo,
N. (2010). Analysis of CSP plants for the
definition of energy policies: The influence on
electricity cost of solar multiples, capacity factors
and energy storage. Energy Policy, 38, pp.6215–
6221.
30
R i e z q a A n d i k a a d a l a h
s e o r a n g r e s e a r c h a s s i s t a n t
d a n j u g a k a n d i d a t d o k t o r
d i Y e u n g n a m U n i v e r s i t y ,
K o r e a S e l a t a n . S e l a i n i t u ,
p e n u l i s m e r u p a k a n C h i e f
Operating Officer di Cognoscente.
Bidang penelitian yang ditekuni adalah intensifikasi
proses termasuk distilasi, syngas treatment process, dan
concentrating solar power process.
31
Contact person: Bobby F Assiddiq (+62 812 7015 5938)