tipus.pdf

26
1 BAB I PENDAHULUAN Neuralgia pascaherpetika didefinisikan sebagai nyeri yang terus berlangsung selama 3 bulan setelah lesi herpes zoster sembuh, atau nyeri yang terus berlangsung selama 120 hari sejak timbulnya lesi vesikular herpes zoster. Dari data yang ada, disimpulkan bahwa 10-25% pasien herpes zoster akan mengalami neuralgia paskaherpetika dan kebanyakan pada pasien berusia lanjut dan beberapa diantaranya ada yang mengalami gejala ini dalam 1 tahun bahkan sepanjang hidupnya. Kronik neuralgia paskahepertik ini terjadi pada sekitar 10- 15% dari semua pasien dengan herpes zoster. Dari suatu penelitian, diperkirakan sekitar 20% pasien dengan herpes zoster menjadi neuralgia pascaherpetik (NPH). Faktor risiko yang diketemukan berperan yaitu faktor usia, yang mana komplikasi ini terjadi 15 kali lebih tinggi pada mereka yang berusia > 50 tahun. 1-3 Neuralgia pascaherpetika dapat berlangsung terus-menerus selama bertahun-tahun dan dapat sangat mengganggu kualitas hidup, antara lain mengganggu tidur dan kegiatan sehari-hari sehingga mengganggu produktivitas pasien. Banyak penelitian menyimpulkan bahwa neuralgia paskaherpetika dapat diprediksi, sehingga dapat dicegah agar nyeri dapat diminimalkan atau tidak terjadi. 3,4 Beberapa faktor seperti replikasi virus rendah yang persisten atau perubahan yang permanen karena inflamasi yang berat yang disebabkan oleh infeksi herpes akut menyebabkan terjadinya kelainan pada sistem saraf. Terdapat

Upload: hafizah-fz

Post on 22-Oct-2015

5 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

asdfgh

TRANSCRIPT

Page 1: TIPUS.pdf

1    

BAB I

PENDAHULUAN

Neuralgia pascaherpetika didefinisikan sebagai nyeri yang terus

berlangsung selama 3 bulan setelah lesi herpes zoster sembuh, atau nyeri yang

terus berlangsung selama 120 hari sejak timbulnya lesi vesikular herpes zoster.

Dari data yang ada, disimpulkan bahwa 10-25% pasien herpes zoster akan

mengalami neuralgia paskaherpetika dan kebanyakan pada pasien berusia lanjut

dan beberapa diantaranya ada yang mengalami gejala ini dalam 1 tahun bahkan

sepanjang hidupnya. Kronik neuralgia paskahepertik ini terjadi pada sekitar 10-

15% dari semua pasien dengan herpes zoster. Dari suatu penelitian, diperkirakan

sekitar 20% pasien dengan herpes zoster menjadi neuralgia pascaherpetik (NPH).

Faktor risiko yang diketemukan berperan yaitu faktor usia, yang mana komplikasi

ini terjadi 15 kali lebih tinggi pada mereka yang berusia > 50 tahun.1-3

Neuralgia pascaherpetika dapat berlangsung terus-menerus selama

bertahun-tahun dan dapat sangat mengganggu kualitas hidup, antara lain

mengganggu tidur dan kegiatan sehari-hari sehingga mengganggu produktivitas

pasien. Banyak penelitian menyimpulkan bahwa neuralgia paskaherpetika dapat

diprediksi, sehingga dapat dicegah agar nyeri dapat diminimalkan atau tidak

terjadi.3,4

Beberapa faktor seperti replikasi virus rendah yang persisten atau

perubahan yang permanen karena inflamasi yang berat yang disebabkan oleh

infeksi herpes akut menyebabkan terjadinya kelainan pada sistem saraf. Terdapat

Page 2: TIPUS.pdf

2    

beberapa faktor yang menentukan mengapa hanya pada beberapa pasien yang

mengalami neuralgia post herpetic. Berikut pada makalah ini akan dibahas

mengenai patofisiologi, penanganan serta pencegahan neuralgia post herpetik.2

Page 3: TIPUS.pdf

3    

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Herpes zoster

Seseorang mengalami herpes zoster karena reaktivasi virus Varicella

zoster yang dorman di ganglion posterior medula spinalis atau saraf kranialis yang

biasanya disebabkan oleh penurunan sistem imun. Lesi kulit timbul berupa vesikel

yang bergerombol dengan dasar eritema, biasanya berlokasi sesuai dermatom

persarafan tempat virus tersebut teraktivasi dan unilateral. Ini juga disebut dengan

nama shingles. Virus dapat pula menyerang ganglion anterior sehingga gejalanya

berupa gangguan motorik. Masa aktif penyakitnya berlangsung selama 2-3

minggu pada orang muda, dan dapat mencapai 6 minggu pada orang tua atau

pasien dengan penurunan sistem imun.3,5

Beberapa hari sebelum lesi kulit timbul, pasien biasanya merasa nyeri di

lokasi yang terkena. Lesi kulit dapat juga muncul tanpa didahului rasa nyeri, atau

bahkan tidak disertai rasa nyeri. Pada keadaan tertentu dapat juga terjadi nyeri

tanpa lesi kulit di tempat tersebut.3

Pada awalnya erupsi berupa papul dan plak eritem yang dalam beberapa

jam akan menjadi vesikel. Vesikel-vesikel baru terus terbentuk selama beberapa

hari, biasanya 1-5 hari, dipengaruhi usia pasien, beratnya penyakit, dan imunitas

pasien. Vesikel baru menandakan aktivitas replikasi virus. Vesikel selanjutnya

dapat berubah menjadi bula, vesikel hemoragik, pustul, krusta, lalu menyembuh.3

Page 4: TIPUS.pdf

4    

2.2. Definisi

Neuralgia pascaherpetika didefinisikan sebagai nyeri yang terus

berlangsung selama 3 bulan setelah lesi herpes zoster sembuh, atau nyeri yang

terus berlangsung selama 120 hari sejak timbulnya lesi vesicular herpes zoster.2,3

Neuralgia pascaherpetika adalah komplikasi tersering herpes zoster.

Kurang dari seperempat pasien masih merasakan nyeri 6 bulan setelah lesi herpes

zoster muncul, bahkan ada yang masih merasakan nyeri setelah 1 tahun. Pasien

mengeluhkan nyeri seperti terbakar atau nyeri tumpul yang terus menerus dengan

atau tanpa nyeri tajam (seperti disayat) paroksismal. Keduanya dapat muncul

spontan dan dapat diperberat hanya dengan sentuhan ringan seperti kontak kulit

dengan pakaian atau seprai atau karena terkena hembusan angin. Aktivitas fi sik,

perubahan suhu dan emosi dapat mengeksaserbasi nyeri. Kualitas hidup pasien

dapat sangat terpengaruh sampai mengalami depresi.3

Pada autopsi pasien dengan neuralgia pascaherpetika, terdapat atrofi kornu

dorsalis medula spinalis ipsilateral sebagian karena hilangnya myelin, sedangkan

pada pasien pernah menderita herpes zoster yang tidak mengalami neuralgia

pascaherpetika tidak didapatkan atrofi tersebut. Pada biopsi kulit, di tempat yang

mengalami neuralgia pascaherpetika terdapat penurunan densitas persarafan

sensorium epidermal dibandingkan dengan sisi kontralateralnya yang tidak

mengalami neuralgia pascaherpetika.3,6

Page 5: TIPUS.pdf

5    

2.3. Epidemiologi

NPH pada umumnya tidak terjadi pada setiap pasien dengan herpes zoster,

walaupun insidensinya meningkat seiring dengan meningkatnya usia, khususnya

pada usia 60 tahunan ke atas dan lebih. Insidensi NPH sekitar 5% pada pasien

dengan herpes zoster diusianya yang ke 60’an, dan mencapai 10% pada mereka

yangberusia 80’an.7

2.4. Faktor risiko

Faktor-faktor vyang diketemukan berperan dalam terjadinya NPH ini

yaitu:2

• Faktor usia, dimana usia > 50 tahun memiliki risiko menderita PNH > 15

kali, yang mana ini dipengaruhi oleh daya imunitas tubuh

• Zoster oftalmik

• Riwayat nyeri prodormal sebelum munculnya lesi kulit

• Status immunokompromise seperti pada infeksi HIV dan kondisi-kondisi

tertentu seperti malignansi, pengggunakan kortikosteroid kronik,

kemoterapi, dan terapi radiasi

Selain itu faktor-faktor lainnya yang mmepengaruhi/menentukan

seseorang berkembang menjadi NPH dari herpes zoozter yaitu:2,8

1. Lokasi ruam pada wajah khususnya disertai dengan keterlibatan mata

2. Gangguan sensorik yang permanen pada area yang terpengaruhi

3. Lesi kulit yang berat

4. Peningkatan yang besar untuk titer antibodi virus varisella zoster

Page 6: TIPUS.pdf

6    

5. Intensitas nyeri herpes akut yang berat

6. Meningkatnya usia

7. Faktor psikologis, seperti gangguan kepribadian dan depresi

Herpes zoster dan NPH terjadi akibat reaktivasi virus varisella zoster dari

cabang ganglia dorsalis dan ini bertanggung jawab pada ruam dan nyeri

dermatomal yang klasik. Rasa terbakar yang khas pada ruam dalam beberapa hari

dan dapat bertahan hingga beberapa bulan setelah rash ini hilang.2

2.5. Patofisiologi

Pada keadaan fisiologis, stimulus nosiseptif diterima oleh 3 macam

reseptor saraf, yakni mekanoseptor, termoreseptor, dan nosiseptor polimodal.

Mekanoseptor diaktivasi oleh stimulus mekanis, kemudian ditransmisikan oleh

serabut saraf Aδ dan C, sedangkan termoreseptor diaktivasi oleh stimulus termal

yang kebanyakan ditransmisikan oleh serabut saraf C. Serabut saraf Aδ dan C

merupakan serabut saraf aferen pada akson distal dari neuron sensoris primer.

Serabut saraf C sangat halus, tidak bermyelin, mengalirkan stimulus secara

lambat. Serabut saraf C adalah serabut saraf polimodal dan mentransmisikan nyeri

tumpul atau seperti terbakar. Serabut saraf Aδ bermyelin tipis dan mengalirkan

stimulus dengan cepat. Serabut saraf Aδ merespons sentuhan ringan, suhu,

tekanan, serta nyeri bersifat tajam dan dapat meletupkan potensial aksi sesuai

dengan proporsi intensitas stimulus yang diterimanya.3

Page 7: TIPUS.pdf

7    

Tabel tipe serabut saraf pada sistem saraf mamalia3

Neuralgia pascaherpetika termasuk nyeri neuropatik, yakni nyeri yang

disebabkan oleh kerusakan atau disfungsi primer pada sistem saraf. Pada nyeri

neuropatik terjadi kerusakan saraf perifer dan perubahan sinyal sistem saraf

pusat, sehingga terjadi letupan potensial aksi spontan, ambang aktivasi saraf yang

menurun, dan peningkatan respon terhadap stimulus.3

Mekanisme terjadinya neuralgia pascaherpetika dapat berlainan pada

setiap individu sehingga manifestasi nyeri yang berhubungan dengan neuralgia

pascaherpetika juga berlainan. Replikasi virus di dalam ganglion dorsalis

menyebabkan respon infl amasi berupa pembengkakan, perdarahan, nekrosis dan

kematian sel neuron. Kemudian virus akan menyebar secara sentrifugal

sepanjang saraf menuju ke kulit, menyebabkan inflamasi dan kerusakan saraf

perifer. Kadang-kadang virus menyebar secara sentripetal ke arah medula spinalis

(mengenai area sensorik dan motorik) serta batang otak. Hal ini menyebabkan

sensitisasi ataupun deaferenisasi elemen saraf perifer dan sentral.3

Sensitisasi saraf perifer terutama terjadi pada nosiseptor serabut saraf C

yang halus dan tidak bermyelin. Sensitisasi ini menyebabkan ambang sensoris

terhadap suhu menurun, menimbulkan heat hyperalgesia, yakni nyeri seperti

Page 8: TIPUS.pdf

8    

terbakar. Selain itu juga terjadi letupan ektopik dari nosiseptor C yang rusak

sehingga timbul alodinia, yakni rasa nyeri akibat stimulus yang pada keadaan

normal tidak menimbulkan rasa nyeri. Sebagai respon atas menghilangnya

sebagian besar input serabut saraf C karena kerusakan tersebut, terbentuk tunas-

tunas serabut saraf Aβ yang menerima rangsang non-noksius mekanoseptor di

lapisan superfi sial kornu dorsalis medula spinalis. Pertunasan ini menyebabkan

hubungan antara serabut saraf Aβ yang tidak menghantarkan nyeri dengan serabut

saraf C, sehingga stimulus yang tidak menyebabkan nyeri (raba halus)

dipersepsikan sebagai nyeri.3

Selain sensitisasi perifer dapat juga terjadi sensitisasi sentral yang

menyebabkan terjadinya nyeri spontan maupun nyeri yang diprovokasi, berupa

alodinia dan hiperalgesia. Sensitisasi sentral disebabkan oleh aktivitas ektopik dari

serabut saraf aferen. Neurotransmiter eksitatorik utama di medula spinalis adalah

glutamat yang berikatan dengan reseptor N-Metil-D-Aspartat (NMDA). Glutamat

diproduksi oleh serabut saraf aferen primer di kornu dorsalis. Pada keadaan

istirahat glutamat akan mengaktivasi reseptor ionotropik α-amino-3-hidroksi-5-

metil-4-isoksazol propionat (AMPA), reseptor kainat, dan reseptor metabotropik

glutamat (mGluRs), sedangkan reseptor NMDA diblok oleh ion magnesium

sehingga mencegah masuknya ion natrium dan kalsium yang akan terjadi saat

glutamat berikatan dengan reseptor NMDA tersebut. Aktivasi pascasinap yang

berulang akan menyebabkan sumasi potensial sinaptik dan depolarisasi membran

yang progresif. Hal ini menyebabkan reseptor NMDA terbebas dari blok ion

Page 9: TIPUS.pdf

9    

magnesium yang selanjutnya menyebabkan influks kation-kation ke dalam sel dan

depolarisasi membran makin progresif.3

Neuralgia pascaherpetika juga dapat terjadi akibat proses deaferenisasi,

yakni hilangnya serabut saraf aferen sensoris baik yang berdiameter besar maupun

kecil. Lesi pada serabut saraf perifer maupun sentral dapat memacu terjadinya

remodelingdan hipereksitabilitas membran sel. Lesi yang masih terhubung

dengan badan sel akan membentuk tunas-tunas baru. Tunas-tunas baru ini ada

yang mencapai organ target, sedangkan yang tidak mencapai organ target akan

membentuk neuroma, di neuroma ini akan terakumulasi berbagai kanal ion,

terutama kanal ion natrium, molekul-molekul transduser dan reseptor-reseptor

baru, sehingga pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya letupan ektopik,

mekanosensitivitas abnormal, sensitivitas terhadap suhu dan kimia. Letupan

ektopik dan sensitisasi berbagai reseptor akan menyebabkan timbulnya nyeri

spontan dan nyeri yang diprovokasi. Letupan spontan pada neuron sentral yang

terdeaferenisasi akan menyebabkan terjadinya nyeri konstan pada area tersebut.3

Page 10: TIPUS.pdf

10    

Gambar patofisiologi nyeri pada NPH dan alur target terapi9

2.6. Manifestasi klinik

Sebagian besar pasien dengan NPH terdapat dalam 3 tipe gejala yaitu :2

1. Rasa terbakar spontan yang dalam dan berdenyut dan nyeri yang sakit

2. Nyeri yang tajam intermitten, seperti ditusuk-tusuk

3. Nyeri disestetik yang dicetuskan dengan stimulus taktil yang ringan

(allodynia) yang biasanya hilang setelah durasi rangsangan berakhir.

Allodynia juga dapat dirangsang dengan suhu dingin

2.7. Prediksi dan pencegahan

Kemungkinan menderita neuralgia pascaherpetika dapat diprediksi dari

beberapa faktor risiko pasien tersebut. Faktor risiko utama untuk terjadinya

Page 11: TIPUS.pdf

11    

neuralgia paskaherpetika antara lain usia tua, lesi kulit yang hebat, nyeri akut yang

berat, dan nyeri prodromal pada dermatom sebelum munculnya ruam. Kurang

lebih 20% pasien berusia lebih dari 50 tahun mengalami nyeri sampai 6 bulan

sejak awitan ruam kulit walaupun telah mendapatkan terapi antiviral. Pada

orangtua terjadi polineuropati subklinis sehingga hanya dibutuhkan jumlah virus

yang lebih sedikit untuk menyebabkan neuralgia pascaherpetika dibandingkan

pada pasien muda.3

Pencegahan neuralgia pascaherpetika dapat diusahakan dengan kombinasi

agen antiviral dan usaha agresif mengurangi nyeri akut pada pasien herpes zoster.

Kombinasi ini diharapkan akan mengurangi kerusakan saraf dan nyeri akut.Terapi

antiviral harus dimulai segera setelah diagnosis ditegakkan, dan lebih baik jika

dimulai pada tiga atau empat hari pertama. Terapi antiviral diharapkan dapat

menghentikan replikasi virus, sehingga durasi penyakit akan lebih singkat, dan

menurunkan kejadian neuralgia pascaherpetika. Antiviral yang dapat digunakan

adalah asiklovir, valasiklovir, atau famsiklovir. Terapi analgetika akan

mengurangi nyeri yang merupakan faktor risiko utama neuralgia

pascaherpetika.3,10

Selain itu, telah dikembangkan vaksin pencegahan herpes zoster dan NPH

melalui profilaksis vaksinasi yang direkomendasikan oleh Centers for Disease

Control and Prevention(CDC) bagi mereka yang berusia 60 tahun atau lebih.

Dalam penelitian klinis yang melibatkan ribuan lansia berusia 60 tahun atau

lebih, vaksin ini mengurangi risiko herpes zoster sebesar 51% dan risiko neuralgia

Page 12: TIPUS.pdf

12    

pascaherpetika sebesar 67%. Efek proteksi vaksin ini dilaporkan dapat mencapai 6

tahun atau bahkan lebih.3,11

Berikut di bawah ini algoritma untuk pencegahan dan pengobatan NPH.12

2.8. Penatalaksanaan

Agen antiviral oral mulai diberikan untuk mencegah NPH. Banyak

penelitian mengevaluasi mengenai issue ini, tetapi hasilnya sangat bervariasi.

Berdasarkan temuan dari berbagai penelitian, terapi asiklovir menghasilkan

reduksi moderat pada perkembangan NPH. Valacyclovir, suatu produk sebelum

acyclovir, diberikan 3 kali perhari. Dibandingkan dengan acyclovir, valacyclovir

lebih menurunkan beratnya nyeri yang dihubungkan dengan herpes zoster,

sebsgaimana durasi NPH. Valacyclovir juga memiliki bioavailabilitas yang lebih

baik dibandingkan dengan acyclovir, dan pemberian peroral di dalam darah setara

Page 13: TIPUS.pdf

13    

dengan acyclovir secara intravena. Terapi NPH sampai sekarang ini masih

merupakan tantangan oleh para klinisi dan banyak pendekatan multifaktorial

yang telah dilakukan untuk mengatasi permasalahan pada NPH ini.2

1. Tindakan umum

Gunakan pakaian yang tidak ngepress (loose-fitting) dari cotton, ini yang

terbaik digunakan untuk mengurangi iritasi yang mengenai area yang terkena.

Nyeri dapat lebih terasa ringan dengan mendinginkan area yang terkena

dengan es batu yang dibungkus dengan kantong plastik atau dengan anduk

dingin. Lapisan filem digunakan untuk melapisi sisi yang digunakan sebagai

barrier antara kulit dengan kain. Ini memungkinkan pakaian menyentuh kulit

tanpa menimbulkan iritasi.2

2. Terapi topikal

Capsaicin merupakan material aktif pada hot chilli peppers. Substansi P,

suatu neuropeptida yang dilepaskan dari serabut saraf nyeri sebagai respon

dari trauma juga dilepaskkan ketika capsaicin diaplikasikan pada kulit dan

menimbulkan sensasi rasa terbakar. Analgetik terjadi ketika substansi P tidak

ada pada serabut saraf. Untuk mencapai respon ini, cream Capsaicin mesti

diaplikasikan pada area yang terkena 3-5 kali perhari. Pasien mesti

diberitahukan mengenai penggunakan cream Capsaicin ini secara teratur

untuk mendapatkan manfaatnya. Mereka juga perlu diberitahukan bahwa

nyeri akan meningkat selama beberapa hari pertama penggunaaan hingga satu

minggu setelah penggunaan cream Capsaicicn ini dimulai. Pasien mesti

mencuci tangan setelah mengaplikasikan krem ini untuk mencegah kontak

Page 14: TIPUS.pdf

14    

dengan area lain yang tidak terkena. Sekaran Capsaicin terbaru dengan

kandungan Capsaicin 8% (Qutenza ®) yang memberikan rasa lega yang

bermakna sekitar 50% pada pasien yang menggunakannya. Hal terbaik

mengenai terapi ini adalah ini merupakan terapi tunggal yang dapat

digunakan dalam jangka panjang. Patch Qutenza diaplikasikan selama 1 jam

dan memberikan efek anestesi dalam 1 jam kemudian. Selama penempatan

patch ini pasien akan merasakan nyeri yang sangat hebat yang dapat

dikurangi dengan mendinginkan area tersebut.2

Kontraindikasi Qutenza adalah pada kulit yang retak atau pecah-pecah yang

dapat menyebabkan reaksi lokal dan transient. Pada pasien hipertensi,

terdapat risiko peningkatan tekanan darah karena nyeri yang sangat berat

pada aplikasi local.2

Patch yang mengandung lidokain 5% lidokain ini memiliki aktivitas

blocking channel natrium yang dipercaya memiliki mekanisme mengurangi

intensitas nyeri ketika diaplikasikan secara topikal. Suatu penelitian

menemukan dibandingkan dengan tanpa terapi, patch lidokain mengurangi

intensitas nyeri, dengan absorbpsi sistemik yang minimal. Walaupun lidokain

ini mujarab dalam menghilangkan nyeri, efeknya hanya sementara saja,

bertahan sekitar 4-12 jam dengan masing-masing aplikasi. Lidokain patch5%

yang efeknya dapat terlihat mulai 2-3 minggu setelah pemakaian dimulai.

Tiga buah patch dapat digunakan dalam satu waktu pemberian. Caranya

adalah 12 jam digunakan, kemudian dilepaskan selama 12 jam. Lidokain

topikal yang dikombinasikan dengan gabapentin terbukti lebih efektif

Page 15: TIPUS.pdf

15    

daripada pemberian 2 agen tersebut secara terpisah. Krim kapsaisin 0,025 dan

0.075% dapat digunakan 3-4 kali sehari, namun harus diberitahu kepada

pasien bahwa akan terasa sensasi terbakar pada awal pemakaian.2,3

Aplikasi topikal yang juga digunakan yaitu dengan medikasi aspirin dan

inflamasi yang dicampur dalam kloroform, dietil ether dan bahan lainnya.

Ketika cairan pelarut mengalami evaporasi, obat aktif yang tertinggal akan

melakukan penetrasi ke akhiran saraf kutanenus. Namun ini kurang ampuh

dibandingkan dengan terapi konvensional.2

3. Terapi sistemik

• Antidepresan

TCA (trisiklik antidepresan) merupakan terapi sistemik pilihan pertama

untuk NPH, walaupun ada kekurangannya. Karena kemampuannya dalam

memblok reuptake noreepinefrin dan serotonin, obat-obatan ini dapat

mengatasi nyeri dengan meningkatkan inhibisi pada neuron-neuron spinal

yang terlibat dalam persepsi nyeri. Obat yang umum digunakan antara lain

amitriptilin, nortiptilin, imipramin dan despiramin. Direkomendasikan

memulai obat ini dengan dosis yang rendah saat jam tidur dan berkala

ditingkatkan hingga dosis optimal dimana nyeri sangat berkurang teratasi

tanpa adanya intoleransi atau efek samping yang dialami. Dosis

ditingkatkan setiap 2 hingga 4 minggu untuk mencapai dosis efektif. Semua

obat ini memiliki efek samping yang umum yang diantara berupa sedasi,

mulut kering, hipotensi postural, penglihatan yang kabur dan retensi urin.

Nortrptilin dan amitriptilin memiliki efikasi yang sama; namun nortriptilin

Page 16: TIPUS.pdf

16    

cenderung memberikan efek antikolinergik yang lebih sedikit dan ini lebih

baik ditoleransi. Terapi dengan TCA kadang-kadang dapat menyebabkan

abnormalitas konduksi jantung atau toksisitas liver. Masalah ini mesti

dipertimbangkan pada mereka yang lanjut usia dan pada pasien dengan

penyakit jantung atau liver. karena dapat menyebabkan takiaritmia dan

perpanjangan interval QT, sehingga harus dilakukan pemeriksaan

gelombang EKG dasar sebelum pengobatan. Obat-obatan ini tidak bereaksi

secara cepat, dan dari klinikal trial ditemukan paling tidak hingga 3 bulan

obat ini baru dapat mencapai respon pada pasien. Onset

hilang/berkurangnya nyeri dengan penggunaan TCA dapat meningkat dari

terapi awal pada perjalanan penyakit herpes zoster yang diberikan

bersamaan dengan terapi antiviral.2,3,13

Dosisnya dapat dimulai dengan 10-20 mg pada malam hari dititrasi sampai

75-100 mg/ hari, sekali sehari. Selain amitriptilin, obat golongan

antidepresan trisiklik lain yang dapat digunakan antara lain desipramin dan

nortriptilin. 3

• Antikonvulsan

Obat-obatan ini diketemuan sangatlah berguna pada pasien dengan nyeri

neuropatik dengan memblok pintu channel natrium dan menekan perubahan

spontan neuronal. Penitoin, karbamazepin dan gabapntin merupakan agen

yang umum digunakan. Semua obat-obatan ini biasnya digunakan dengan

dosis anti kejang maksimal. Karena efek sampingnya berupa gangguan

kognitif dan menimbulkan efek sedasi, sehingga penting sekali secara hati-

Page 17: TIPUS.pdf

17    

hati dalam memperhitungkan dosis penggunaannya. Sekarang ini, ini telah

ditemukan bahwa pregabilin dengan regimen dosis yang fleksibel secara

klinik signifikan mengurangi nyeri postherpetik dan juga memperbaiki

status kesehatan pasien. Gabapentin mencegah sensistisasi neuronal dari

kejadiannya walaupun mekanismenya masih belum diketahui secarqa pasti.

Ini dimulai dengan dosis 300 mg perhari dan maksimal 1200 mg atau yang

dapat ditoleransi pasien . Obat yang sering digunakan adalah antikonvulsan

gabapentin dan pregabalin. gabapentin dan pregabalin bekerja di subunit

α2δ yang terdapat pada kanal kalsium untuk menurunkan influks kalsium,

sehingga menginhibisi keluarnya neurotransmiter eksitatorik termasuk

glutamat yang merupakan neurotransmiter utama yang memelihara

sensitisasi sentral. Dosis awal gabapentin 300 mg pada hari pertama, 2 x

300 mg pada hari ke dua, 3 x 300 mg pada hari ke tiga. Titrasi lalu

diperlambat sampai mencapai 3 x 600 mg dalam 2 minggu. Dosisnya harus

dibagi 3-4 kali sehari karena waktu paruhnya pendek. Dosis pregabalin 150-

600 mg perhari, dibagi 2 dosis. Gabapentin dan pregabalin akan mengurangi

nyeri sehingga akan memperbaiki tidur, mood, dan kualitas hidup.

Pregabalin sendiri memiliki efek antiansietas. Kedua obat ini memiliki

insiden efek samping yang rendah, dan biasanya bersifat ringan sehingga

sering disarankan sebagai obat lini pertama. Efek samping yang dapat

dialami pasien antara lain somnolen, pusing, edema perifer, dan gangguan

keseimbangan.2,3

Page 18: TIPUS.pdf

18    

Saat ini US FDA telah menyetujui penggunaan gabapentin tablet satu kali

sehari untuk pengobatan PHN. Persetujuan ini didasari pada data dua uji

klinis fase 3 yang melibatkan 359 pasien yang diobati dengan gabapentin

dan 364 pasien yang diberi plasebo. Keamanan dievaluasi pada seluruh 723

pasien dan penilaian efikasi di- dasarkan pada uji klinis fase 3 yang kedua,

yaitu suatu uji klinis acak, tersamar ganda, dengan kontrol plasebo pada 452

pasien dengan PHN.14

Pada uji klinis ini, gabapentin 1800 mg menghasilkan penurunan yang

statistik bermakna pada rerata skor nyeri harian dibandingkan plasebo.

Tujuan kedua meliputi penilaian mutu tidur, penilaian nyeri serta kualitas

hidup.Pada uji klinis ini, 9,7% pasien yang diterapi gabapentin dan 6,9%

pasien yang diberi plasebo menghentikan penelitian karena adanya efek

samping. Pada kelompok gabapentin, alasan penghentian keikutsertaan

dalam penelitian yang paling sering adalah karena pusing. Efek samping

terkait penggunaan gabapentin sebagian besar masih berskala ringan hingga

sedang; paling sering adalah pusing (10,9% vs 2,2% untuk plasebo),

somnolen (4,5% vs 2,7% untuk plasebo) dan nyeri kepala (4,2% vs 4,1%

untuk plasebo). 14

• opioid

Opioid hanya diindikasikan pada pasien dengan nyeri sangat berat, sebagai

terapi lini ke dua atau ke tiga. Opioid dapat mengurangi alodinia dan nyeri

spontan. Namun obat golongan ini memiliki efek samping konstipasi, mual,

muntah, sedasi, ketergantungan, serta risiko penyalahgunaan obat dan dapat

Page 19: TIPUS.pdf

19    

terjadi toleransi. Sediaan yang dapat diberikan antara lain oksikodon, morfin

(rata-rata 91 mg/hari) atau metadon (rata-rata 15 mg/hari). Pada penggunaan

opioid jangka panjang, diperlukan pemantauan supresi imunitas serta

hipogonadisme yang mungkin terjadi.3

Rekomendasi penggunaan opioid adalah sebagai berikut. Berikan dosis

efektif sekecil mungkin, dimulai dengan opioid kerja singkat, misalnya 5-10

mg oksikodon atau 10-15 mg morfi n setiap 4 jam. Jika pasien telah

menunjukkan toleransi terhadap terapi inisial ini, konversi terapi ke opioid

kerja panjang. Jika tidak memuaskan, terapi opioid harus dikurangi secara

bertahap sampai akhirnya berhenti sama sekali untuk menghindari

terjadinya withdrawal symptoms.3

Obat lain adalah tramadol yang memiliki efek agonis pada reseptor µ dan

menginhibisi ambilan kembali serotonin dan norepinefrin. Tramadol

diberikan dengan dosis 50-100 mg tiap 4 jam, tidak lebih dari 400 mg per

hari. Dosis harus dikurangi pada pasien usia lanjut dan pasien dengan

gangguan fungsi ginjal. Efek sampingnya antara lain mual, muntah,

konstipasi, retensi urin, somnolen, nyeri kepala, dan pusing.3,14

4. Terapi psikologis

Ini merupakan bagian integral dari pendekatan terapi multidisiplin untuk

manajemen nyeri. Tujuan umum yaitu mempengaruhi strategi terapi perilaku

dengan merekonsep keyakinan pasien mengenai nyeri dengan gejala yang tidak

terkontrol walaupun dengan medikasi dan menyakinkan bahwa nyeri tersebut

Page 20: TIPUS.pdf

20    

berada dibawah kontrol pasien. Ini dapat dicapai dengan beberapa teknik yaitu

sebagai berikut:2

• Guided imagery ( pembayangan). Pada kasus ini pasien difokuskan untuk

membayangkan latar multisensorik. Jelasnya, gambar ditimbulkan dari

pasien dan arahan psikologist melalui pembanangnya, mngubah sensasi

seperti hangat atau nyeri yang mati rasa.

• Pada relaksasi otot yang progresif, pasien diajarkan untuk mengatasi

ketegangan tersebut dan merelaksiasi otot diseluruh badan yang

memungkinkan mereka untuk mengenali dan membedakan perasaan

tegangan dan relaksasi.

• Biofeedback, merupakan suatu modalitas yang efektif untuk mengajarkan

nyeri kronik pada pasien untuk relaksasi dan mengatur sendiri proses

psikologis.

• Hipnotis, merupakan suatu teknik yang efektif, yang mengajarkan pasien

untuk relaksasi dan dapat merasakan suatu interpretasi analgetik pada nyeri

mereka dan merasakan mati rasa ketimbang rasa nyeri.

5. Terapi fisikal

Akupuntur merupakan suatu terapi tambahan pada pasien dengan nyeri yang

kronik. Ini menstimulasi pelepasan opioid endogen.2

Stimulus elektrik

a) TENS transcutaneus electrical nerve stimulation, yang mengaktifkan

serabut saraf Aβ, yang selanjutnya memodulasi serabut saraf nosiseptip

Aδ dan C pada tingkat horn spinal dorsal dan menghasilkan efek inhibisi

Page 21: TIPUS.pdf

21    

sentral. TENS secara luas digunakan karena risiko yang rendah dari efek

sampingnya. Dari suatu review, penggunaan kombinasi terapi amitriptilin,

capsaicin topikal dan TENS direkomendasikan untuk penanganan NPH

dibandingkan dengan terapi antiviral.2,16

Terapi intervensi2

Block blok berulang saraf paravertebral berulang dengan menggunakan

teknik kateter dengan agen anestesi lokal seperti bupivakain merupakan

pendekatan terbaru pada penanganan NPH

Infiltrasi lokal dengan ketamin dan steroid bebas intratekal, seperti

metilprednisolon digunakan dengan lidokain dan diketemukan efektif dalam

mengongtrol allodynia secara sentral pada pasien yang sensitif.

Blok saraf simpatetik blok selektif saraf simpatetik dengan agen anestesi

lokal biasa digunakan untuk terapi herpes zoster akut, namun tindakan ini

hanya bersifat sementara dalam menghilangkan rasa nyeri dengan jangka

waktu yang pendek.

Stimulasi saraf perifer dan stimulasi lahan saraf perifer in tampaknya

termasuk dalam stimulus dengan elektrode secara tidak langsung maupun

secara langsung pada nervus tertentu dengan visualisasi bedah atau dengan

penempatan perkutaneus dengan stimulus elektroda pada bagian yang

terdekat dengan nervus perifer tertentu. Pada kedua kasus ini, stimulus

electrode dilakukan secara perifer untu memberikan efek parestesia pada area

nyeri sehingga hilangnya nyeri tersebut.

Page 22: TIPUS.pdf

22    

7. Vaksin herpes zoster

Ini sekarang tersedia dan berbeda dari vaksin chickenpox. Ini merupakan

vaksin hidup, yang dapat diberikan secara profilaksis pada pasien dengan usia

> 50 tahun. Pemberian tunggal dapat mengurangi risiko hingga separuhnya dan

juga mencegah NPH, neuralgia lainnya dan herpes oftalmik. Kontraindikasi

yang penting yaitu karena vaksin ini hidup ini tidak dpaat diberikan pada

mereka dengan sistem imun yang rendah.2

8. Iontophoresis vincristine

Ini menginduksi atrofi degeneratif transganglion pada terminal sentral dari

neuron sensorik primer dan ini bebas dari efek samping.2

Gambar iontophoresis untuk NPH7

9. Stimulasi medulla spinalis

Ini merupakan terapi intervensi pilihan untuk nyeri yang berlangsung

(refraktori) hingga 72 jam setelah terapi konvensional farmakoterapi.

Page 23: TIPUS.pdf

23    

Mekanismenya diduga menstimulus serabut saraf besar bermyelin Aδ dari

perifer, supresi jalur simpatik yang berlebihan dan menginhibisi proses

nosiseptip melalui transimisi GABA.2

10. terapi ablasi

Ablasi radiofrekuensi yang dpaat berupa termal dan nontermal digunakan

untuk merusakn koneksi saraf yang menyimpang dan kemudian pada NPH.2

Berikut di bawah ini dapat dilihat resume untuk berbagai modalitas terapi

pada NPH.7

Tabel resume modalitas terapi untuk neuralgia postherpetik7

Page 24: TIPUS.pdf

24    

-======

Page 25: TIPUS.pdf

25    

Dari berbagai moddalitas terapi, berikut di bawah ini dapat dilihat

evidence untuk modalitas terapi pada NPH.8

Tabel farmakologi terapi untuk NPH (dosis untuk dewasa) dan evidence penggunaannya8

Page 26: TIPUS.pdf

26    

BAB III

PENUTUP

Neuralgia pascaherpetika adalah komplikasi tersering herpes zoster yang

disebabkan oleh reaktivasi virus varicella zoster, paling sering pada pasien usia

lanjut. Neuralgia pascaherpetika termasuk nyeri neuropatik, yakni nyeri yang

disebabkan oleh kerusakan atau disfungsi primer sistem saraf. Mekanisme

terjadinya kerusakan saraf ini dapat melalui proses sensitisasi saraf perifer, saraf

sentral ataupun proses deaferenisasi serabut saraf. Kerusakan saraf yang terjadi

akan menyebabkan pasien mengalami hiperalgesia, alodinia, atau nyeri spontan

yang konstan. Neuralgia pascaherpetika mungkin dapat dicegah dengan terapi

optimal fase akut herpes zoster dengan antiviral dan analgetik dari berbagai

golongan obat, atau dengan mencegah terjadinya herpes zoster melalui vaksinasi.

Jika neuralgia pascaherpetika telah terjadi, terapi dapat berupa obat oral dari

golongan antikonvulsan, antidepresan trisiklik, sampai golongan opioid. Dapat

juga diberi terapi topikal, atau bahkan terapi invasive seperti blok saraf, TENS,

ionthoporesis.