tinjauan kritis - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/tinjauan-kritis-regulasi-dan... ·...

314
TINJAUAN KRITIS Regulasi dan Implementasi Kebijakan P3MB

Upload: others

Post on 21-May-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

TINJAUAN KRITISRegulasi dan Implementasi Kebijakan P3MB

Page 2: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

Lingkup Hak CiptaPasal 2 :1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak

ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan PidanaPasal 72 :1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan per buatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau

Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Page 3: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

TINJAUAN KRITISRegulasi dan Implementasi Kebijakan P3MB

Jarot Widya Muliawan

Kata PengantarOloan Sitorus

STPN PRESS 2014

Page 4: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

TINJAUAN KRITIS REGULASI DAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN P3MB©Jarot Widya Muliawan

Penulis : Jarot Widya MuliawanEditor : Sutaryono & Wdhiana Hestining PuriLayout : Eko TaufikDesain Cover : Dani RGB

Diterbitkan pertama kali dalam bahasa Indonesia oleh:STPN Press, Juli 2014Jl. Tata Bumi No. 5 Banyuraden, Gamping, SlemanYogyakarta, 55293, Tlp. (0274) 587239Faxs: (0274) 587138Website: www.stpn.ac.id, e-mail: [email protected]

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)Tinjauan Kritis Regulasi dan Implementasi Kebijakan P3MBSTPN Press, 2014xxvi + 288 hlm: 15 x 23 cm

ISBN: 602-7894-09-1ISBN: 978-602-7894-09-9

Page 5: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

v

Kata Pengantar

Ketua Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta

Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) merupakan lembaga pendidikan tinggi kedinasan yang berkomitmen untuk membangun dan mengembangkan kehidupan akademik yang dinamis dalam nuansa keilmuan keagrariaan Indonesia. Secara konsisten, Tri Dharma perguruan tinggi diwujudkan melalui pendidikan,

penelitian, dan pengabdian masyarakat yang hilirnya diharapkan berupa publikasi ilmiah khususnya penerbitan buku maupun jurnal sehingga dapat dinikmati secara luas oleh masyarakat. Sebagai bentuk apresiasi STPN terhadap karya-karya ilmiah dalam bidang agraria, melalui STPN Press disediakan saluran publikasi yang luas dan terbuka bagi masyarakat.

Tulisan yang hadir dihadapan pembaca dengan judul “Tinjauan Kritis Regulasi dan Implementasi Kebijakan P3MB” ini merupakan sebuah karya langka yang ditulis oleh seorang praktisi pertanahan. Latar belakang karier Dr. Jarot Widya Muliawan di Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur, telah memberinya bekal untuk melihat tuntutan kebutuhan praktis pertanahan yang diharapkan oleh masyarakat.

Kesehariannya yang berinteraksi dengan praktek pertanahan memberikan kepekaan tersendiri untuk melihat permasalahan riil yang berkaitan dengan permasalahan tanah bekas penguasaan

Page 6: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

vi

warga negara Belanda ini. Sudut pandang yang dipergunakan penulis dalam mengupas permasalahan ini mampu mendaratkan pokok permasalahan secara tepat dengan pengalaman praktis yang dimiliki selama bertugas di BPN.

Sejarah panjang perjalanan kebangsaan negara Indonesia yang bergumul dengan masa kolonialisme Belanda, meninggalkan warisan permasalahan khususnya pertanahan yang tidak kunjung selesai. Khususnya dalam menindaklanjuti keberadaan aset-aset peninggalan warga negara Belanda yang berupa benda-benda tetap seperti rumah tinggal maupun tanah yang tidak terkena ketentuan Undang-Undang No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi telah diatur tersendiri dengan UU No. 3 Prp Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda. Negara telah membentuk kepanitiaan tersendiri melalui Panitia Pelaksana Penguasaan Milik Belanda (P3MB) untuk menginventarisasi dan melakukan pengaturan pengelolaan atas tanah-tanah negara tersebut. Namun kenyataannya masih banyak persoalan yang dihadapi baik terkait dengan regulasi maupun implementasinya.

Secara terpadu, tulisan ini menyajikan tinjauan hukum yang komprehensif terhadap kebijakan pertanahan P3MB dalam bingkai pengaturan UU No. 3 Prp Tahun 1960. Hal ini sangat urgen mengingat masih terdapatnya begitu banyak tanah-tanah bekas milik perseorangan warga negara Belanda yang tidak terurus dan ditelantarkan karena tidak jelasnya subyek dan obyek haknya. Di satu sisi ini merupakan aset negara yang harus dikelola dengan baik untuk kesejahteraan rakyat. Namun disisi lain terdapat instrumen hukum yang tidak jelas dan tuntas yang digunakan oleh negara. Akibatnya banyak dari aset tersebut yang tidak jelas nasibnya baik karena secara sistematis belum teridentifikasi maupun juga tidak bisa dikelola karena tidak tuntasnya pengaturan subyek hak dan prosedur permohonannya. Bahkan pada bagian akhir, penulis juga dengan berani menawarkan sebuah konsep baru untuk mengatasi hambatan yang ada melalui konsep 3 In 1 In The Land Acquisition.

Page 7: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

vii

Terima kasih yang tidak terhingga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu terbitnya tulisan yang penting ini, khususnya kepada penulis Dr. Jarot Widya Muliawan yang telah mempercayakan tulisannya kepada STPN Press. Kepada jajaran STPN Press yang dengan tekun dan penuh dedikasi terus menerus menjadi media yang memproduksi karya-karya ilmiah dalam bidang pertanahan yang ditulis oleh para akademisi, praktisi, maupun pemerhati masalah pertanahan di Indonesia. Harapannya akan selalu ada karya baru yang terus lahir setiap tahunnya yang menjadi sumber oase pengetahuan serta akan menyuburkan kajian-kajian keagrariaan di Indonesia. Sekali lagi saya ucapkan selamat membaca.

Yogyakarta, Juni 2014Ketua Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional,

Dr. Oloan Sitorus, S.H., M.S.

Page 8: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,
Page 9: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

ix

SAMBUTAN

Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur

Assalamu’alaikum Wr. Wb.Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat, dan hidayah-Nya kepada kita semua. Saya menyambut baik penerbitan buku yang berjudul “Tinjauan Kritis Regulasi dan Implementasi Kebijakan P3MB” yang merupakan buku kedua dari Saudara Dr. Jarot

Widya Muliawan, S.H., C.N., M.Kn. Saya sangat mengapresiasi buku kedua ini merupakan sumbangsih dari saudara Jarot Widya Muliawan selaku praktisi yang sudah malang melintang selama 25 tahun di bidang pertanahan.

Menurut hemat saya, buku ini hadir pada saat yang tepat, yakni di tengah semakin terlupakannya Undang-Undang No. 3 Prp Tahun 1960 tentang Pengaturan Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda yang sudah berumur sekitar 54 tahun ini yang masih menyisakan permasalahan yakni Undang-Undang tersebut masih bernuansa sentralistik dan tidak sesuai dengan amanat Peraturan Kepala BPN RI No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan dan Pengaturan Pertanahan yang mengamanatkan standar pelayanan tidak lebih dari 145 hari.

Page 10: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

x

Khusus berkenaan dengan permasalahan dalam Pengaturan Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda yang sampai pada saat ini banyak menemui permasalahan karena terbitnya Undang-Undang No. 3 Prp Tahun 1960 tersebut lahir sebelum adanya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang saat ini yang menurut beberapa pihak sudah tidak relevan dan tidak mencerminkan rasa keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi masyarakat.

Untuk Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda yang tidak terkena UU No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi diatur dengan UU No. 3 Prp 1960. Dalam aturan ini dinyatakan semua benda tetap milik perseorangan warga Negara Belanda yang tidak terkena oleh UU No. 86 Tahun 1958 tentang nasionalisasi perusahaan Belanda, yang pemiliknya telah meninggalkan wilayah RI sejak mulai berlakunya peraturan ini dikuasai oleh pemerintah dalam hal ini Menteri Muda Agraria. Untuk mengurus benda-benda tetap milik warga Belanda tersebut oleh Menteri Agraria dibentuk panitia yang dikenal dengan Panitia Pelaksanaan Penguasaan Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda (P3MB). Barangsiapa yang berkeinginan membeli benda-benda tetap milik perseorangan warga Negara Belanda yang telah dikuasai oleh pemerintah harus mengajukan permohonan kepada Menteri Muda Agraria melalui panitia.

Akhirnya, saya berharap bahwa keberadaan buku ini tidak sebatas memperkaya khasanah pengetahuan kita, namun juga dapat menjadi sumber inspirasi dan pedoman bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya dalam mewujudkan Pengaturan Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda yang mensejahterahkan rakyat. Untuk itu, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada saudara Dr. Jarot Widya Muliawan, S.H., C.N., M.Kn yang telah mencurahkan tenaga dan pikirannya lewat terbitnya buku

Page 11: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

xi

ini yang sangat bermanfaat bagi masyarakat dan khususnya bagi instansi Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Surabaya, Mei 2014

Page 12: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,
Page 13: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

xiii

Sambutan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Hukum negara (state law) yang berwujud peraturan perundang-undangan sejatinya adalah merupakan produk hukum, tetapi dalam kenyataannya hukum negara lebih merupakan produk politik, karena karakter substansinya sangat ditentukan oleh suasana politik pada saat pembentukannya. Law making process yang berlangsung di lembaga

legislatif lebih merupakan ajang pertarungan (kepentingan) politik, karena lembaga legislatif lebih merupakan lembaga politik daripada lembaga hukum. Dengan kata lain, konfigurasi politik pada saat law making process dapat dipastikan mempengaruhi dan mewarnai substansi hukum negara, sehingga proses pembentukan hukum di lembaga legislatif lebih menjadi produk politik daripada produk hukum.

Kerangka analisis seperti di atas relevan untuk mengkaji dan mengkritisi Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda, seperti yang dilakukan oleh Dr. Jarot Widya Muliawan, SH, MKn. penulis buku ini. Konfigurasi Politik pada masa pasca kemerdekaan menuntut adanya produk hukum negara yang memberi kepastian tentang status hukum benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda yang telah meninggalkan Indonesia. Dalam kaitan ini, yang dimaksud adalah benda-benda

Page 14: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

xiv

tetap adalah tanah dan bangunan yang ditinggalkan pemiliknya yang berkewarganegaraan Belanda pasca Indonesia merdeka.

Produk hukum nasional di era tahun 1960-an, seperti juga UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, mencerminkan politik hukum yang bernuansa populis, yang lebih memihak kepada kepentingan untuk mensejahterahkan dan memberi kemakmuran kepada rakyat terutama petani dan pegawai negeri, sehingga tercermin nuansa keberpihakan yang tulus untuk merealisasikan amanat Alinea IV Pembukaan UUD tahun 1945, yaitu “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa .....dst.”, yang kemudian dijabarkan lebih konkrit dalam Pasal 33 ayat (3) yang menyatakan: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkadung di dalamnya, dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Dalam kaitan ini, tipe hukum negara seperti di atas oleh Phillipe Nonet & Phillip Selznick disebut sebagai tipe hukum yang responsif (responsive law), yaitu produk hukum negara yang merespons dan mengakomodasi aspirasi serta memihak kepada kepentingan untuk melindungi dan memberi kesejahteraan dan sebesar-besar kemakmuran kepada rakyat. Dengan kata lain, mewujudkan greatest happiness for greatest number of people seperti dikatakan oleh Jeremy Bentham yang menganut mazhab hukum utilitarians.

Buku yang sekarang berada di tangan para pembaca adalah substansi dari karya ilmiah disertasi mantan mahasiswa bimbingan saya pada Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Saya bangga dan memberi apresiasi yang tinggi kepada penulis buku ini, karena Sdr. Dr. Jarot Widya Muliawan, SH, MKn. adalah salah satu mahasiswa program doktor ilmu hukum mantan bimbingan saya yang tekun, dinamis, dan kritis mengkaji fenomena hukum normatif Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda, yang menjadi fokus penelitian disertasinya.

Page 15: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

xv

Buku ini perlu dibaca tidak saja untuk mahasiswa hukum, tetapi lebih penting lagi bagi para birokrat pertanahan (Badan Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius, dan bahan hukum mereformulasi dan mereformasi hukum pertanahan nasional yang selaras dengan dinamika kehidupan politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat dalam kerangka pembangunan nasional.

Malang, April 2014

Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya, SH, MH.

Page 16: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

Urip Sejatine Gawe Urup(Hidup Seharusnya Memberi Kehidupan

yang Baik Bagi Sekitarnya)

JW. MULIAWAN

Page 17: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

xvii

Sekapur Sirih dari Penulis

Tiada kata yang paling indah diucapkan selain kata syukur Alhamadulillah kepada Arrahman (Yang Maha Pengasih) dan Arrahim (Yang Maha Penyayang) atas Kasih Sayang-Nya penulis dapat merampungkan buku ini.

Buku ini berjudul “Tinjauan Kritis Regulasi dan Implementasi Kebijakan P3MB”, yang semula berasal dari Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang dengan judul “PENGATURAN PENGUASAAN BENDA-BENDA TETAP MILIK PERSEORANGAN WARGA NEGARA BEL ANDA OLEH NEGARA UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT (Kajian Politik Hukum Agraria)” Naskah disertasi ini telah diuji dan dipertahankan pada Ujian Terbuka (Promosi) tanggal 26 Februari 2014 dengan predikat sangat memuaskan.

Permasalahan yang dikaji dalam buku ini terinspirasi dari beberapa kasus yang dihadapi oleh masyarakat yang mengajukan pendaftaran tanah obyek P3MB (Tanah dan rumah bekas milik perseorangan warga negara Belanda) yang merasa keberatan terhadap proses pengajuan pendaftaran tersebut. Keberatan masyarakat adalah lamanya proses, waktu yang tidak singkat, dan biaya yang tidak murah. Penulis yang kebetulan pernah sebagai Sekretaris Panitia P3MB di lingkungan Propinsi Jawa Timur merasa terpanggil untuk meneliti Undang-Undang yang terkait dengan Obyek P3MB yaitu Undang-Undang No 3 Prp Tahun 1960 Tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda jo. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

Page 18: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

xviii

223 Tahun 1961 yang teryata pada tataran implementasinya tidak mencerminkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan hukum.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian buku ini telah melibatkan banyak pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung, perorangan maupun lembaga yang telah memberikan kontribusi dalam penyelesaian penyusunan buku ini. Untuk itu dalam kesempatan ini dari hati yang tulus penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang penulis hormati Bapak Prof. Dr. I Nyoman Nurjaya SH., MS., selaku Promotor, Bapak Prof. Dr. Moh. Bakri SH.,MS., selaku Ko- Promotor 1, dan Ibu Prof. Dr. Suhariningsih SH.,SU., selaku Ko Promotor 2. Beliau bertiga dengan kepakaran yang melekat telah meluangkan waktu dan memberikan kontribusi bagi terwujudnya buku ini. Melalui beliau bertiga pula telah membuka cakrawala/pandangan, mendorong munculnya gagasan, ide-ide pembaharuan khususnya melahirkan sebuah konsep 3 in 1 In The Land Acquisition: Perolehan Tanah P3MB untuk Subyek Hukum.

Ucapan terimakasih yang setinggi-tingginya disampaikan kepada Bapak Rektor Universitas Brawijaya Prof. Dr. Ir. Yogi Sugito beserta jajarannya, dan kepada Bapak Dr. Sihabudin SH., MH selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Bapak Ali Syafaat SH.,MH ( Pembantu Dekan I), Ibu Rachmi Sulistyarini SH., MH (Pembantu Dekan II) dan Bapak Arif Zainudin SH.,MH ( Pembantu Dekan III) yang telah memberikan kemudahan dalam mengakses berbagai fasilitas akademik selama menempuh kuliah pada program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang.

Ucapan terimakasih saya menghaturkan pula kepada Bapak Prof. Dr. Sudarsono SH.,MH, (selaku Dewan Penguji dan sebagai Ketua Program Studi Doktor Ilmu Hukum), Bapak Prof. Dr. Isrok SH.,MH.,(Selaku Dewan Penguji) dan Bapak Dr. Rahmad Syafaat SH,MH., (Dewan Penguji), Dr. Iwan permadi SH.,MH (Dewan Penguji), dan juga Prof. Dr. Sri Hayati SH., MS. (Sebagai Dosen Penguji Tamu dari Universitas Air Langga Surabaya) Beliau berlima telah memberikan masukan dan saran yang konstruktif terutama didalam pemilihan teori dan konsep untuk kesempurnaan buku ini.

Page 19: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

xix

Bapak Dr. Jazim Hamidi SH.,MH dan Bapak Imam Koeswahyono SH.,MH yang telah memberikan waktu ditengah kesibukannya untuk berdiskusi, memberikan petunjuk literatur terkait dengan penulisan buku ini.

Terimakasih penulis juga ucapkan kepada sanak keluarga dan handai taulan atas perhatian dan kasih sayangnya yang diberikan kepada penulis selama ini, tanpa hal tersebut maka buku ini tidak akan sampai pada tangan pembaca sekalian. Akhirnya Penulis menyadari bahwa tulisan dalam buku ini laksana setetes air yang jatuh dalam luasnya samudra, permasalahan penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda melahirkan conflict of interest sehingga efektif menyumbangkan kasus-kasus agraria yang berakibat menumpuknya permasalahan agraria di Mahkamah Agung. Penulis berharap semoga buku ini dapat sedikit memberikan manfaat bagi para akademisi serta praktisi, penegak hukum, pemerintah, serta masyarakat khususnya. Akhir kata penulis berbesar hati apabila para pembaca sudi memberikan kritik, saran dan masukan dalam rangka proses penulisan dan penelitian berikutnya.

Teriring Salam Dari Penulis.

Sidoarjo, Maret 2014

Dr. J.W. MULIAWAN, S.H.,C.N.,M.Kn (Praktisi Pertanahan di Jawa Timur)

Page 20: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

Kepada Ayahanda Haji Ali Achmad Chomzah S.H(alm.) dan Ibunda Hajah. Sri Ismugini AliKepada Pujaan hatiku Linda S.M Sahono S.H.,M.Kn beserta 3 belahan Jiwaku

Delimantara Nugraha Muliawan, Delimukti Putra Muliawan, Deliatmaja Rizkie Muliawan.

Kepada Segenap Pegiat Agraria Dan Untuk Kehidupan masyarakat yang lebih menghormati Keadilan,

Kemanfaatan dan Kepastian hukum.

Page 21: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

xxi

Daftar Isi

Kata PengantarKetua Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta ......... vSambutan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertahanan Nasional Provinsi Jawa Timur ................... ixSambutan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ................................... xiiiSekapur Sirih dari Penulis ......................................................... xviiDaftar Isi ..................................................................................... xxiDaftar Tabel ................................................................................ xxivDaftar Gambar ........................................................................... xxv

BAB I : Pendahuluan ............................................................. 1A. Urgensi Pengaturan Sertipikasi Tanah P3MB 1B. Problematika Pengaturan UU No. 3 Prp Tahun 1960 ................................................. 4

BAB II : Teori dan Konsep Pengaturan Penguasaan Benda- Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda 9

A. Teori-teori Hukum ........................................... 91. Teori Politik Hukum .................................. 92. Teori Hukum Pembangunan .................... 113. Teori Kewenangan ...................................... 12

a. Kewenangan Atribut ........................... 13b. Kewenangan Mandat .......................... 13c. Kewenangan Delegatif ........................ 14

4. Teori Cita Hukum ...................................... 15a. Teori Keadilan...................................... 17b. Teori Kepastian Hukum ...................... 21c. Teori Kemanfaatan .............................. 24

Page 22: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

xxii

5. Teori Jenjang Norma (Stuefentheorie) ..... 25a. Benturan Perundang-undangan ........ 32

B. Konsep Pengaturan Penguasaan Tanah .......... 341. Benda-benda Tetap .................................... 432. Politik Hukum Agraria ............................... 463. Kesejahteraan Rakyat ................................. 524. Implikasi Hukum ....................................... 55

BAB III : Nilai-Nilai dalam Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960 57A. Nilai-Nilai dalam Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960 Ketika Dibuat ....................... 57

1. Nilai nilai Keadilan .................................... 572. Nilai-Nilai Kepastian ................................. 623. Nilai-Nilai Kemanfaatan ........................... 65

B. Nilai-nilai Undang-undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960 Masa Sekarang ...................... 67

1. Nilai-Nilai Keadilan .................................. 672. Nilai-Nilai Kepastian.................................. 703. Nilai-Nilai Kemanfaatan ............................ 73

BAB IV : Implikasi Hukum Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 ......................................... 77

A. Implikasi Penguasaan Tanah terhadap Benda- Benda yang Ditinggalkan Warga Negara Belanda 77B. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979

tentang Pokok- Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat .................................. 86

C. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1979 tentang Ketentuan-Ketentuan

Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat .............. 88

D. Hubungan Desentralisasi dan Reforma Agraria dalam Pengaturan Benda-Benda Tetap Milik

Perseorangan Belanda ...................................... 901. Periode Awal Kemerdekaan ...................... 97

Page 23: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

xxiii

2. Periode Orde Lama .................................... 983. Periode Orde Baru ...................................... 984. Periode Orde Reformasi ........................... 100

E. Implikasi Yuridis Pengaturan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Belanda ................. 103F. Analisa Putusan Mahkamah Agung Terkait

dengan PengaturanBenda-Benda Tetap Milik Perseorangan Belanda (Obyek P3MB) ............ 112

BAB V : Pengaturan Penguasaan dan Pemilikan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda . 133

A. Pembaruan Kebijakan Agraria dalam Pengaturan Penguasaan dan Pemilikan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda di Indonesia ...................................................... 133

1. Urgensi Pembaruan Pengaturan .............. 1332. Pembentukan Undang-Undang Baru Yang Mencerminkan Keadilan, Kepastian dan

Kemanfaatan bagi Rakyat .......................... 148B. Insinkronisasi Aturan ...................................... 172C. Hukum Pertanahan Yang Baik Akan Melahirkan Birokrasi Pertanahan dan Iklim Investasi

Pertanahan Yang Baik ...................................... 1771. Pengertian Dasar Hukum .......................... 1772. Tujuan Hukum ........................................... 1793. Pendekatan Hukum .................................. 1834. Birokrasi Yang Baik .................................... 184

D. Konsep: 3 In 1 In The Land Acquisition: Perolehan Tanah P3MB Untuk Subyek Hukum . 187

BAB VI : Penutup ..................................................................... 199

Daftar Pustaka ............................................................................ 203Daftar Indeks ............................................................................. 219Daftar Lampiran ....................................................................... 225Tentang Penulis ......................................................................... 287

Page 24: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

xxiv

Daftar Tabel

Tabel 1: Rekapitulasi Permohonan P3MB di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur .. 7Tabel 2: Periodesasi Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah ................................................................. 101Tabel 3: Penyelesaian Permohonan Pembelian obyek P3MB 105Tabel 4: Akar Penyebab dan Temuan dalam Pengaturan Obyek P3MB .............................. 111Tabel 5 : Tabel Putusan Mahkamah Agung ........................... 113

Page 25: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

xxv

Daftar Gambar

Gambar 1: Das Doppelte Rechtsantlitz (norma hukum dalam dua Dimensi) oleh Adolf Merk ................. 30Gambar 2: Teori Keadilan John Rawls .................................... 68Gambar 3: Teori Kepastian Gustav Radburch ....................... 72Gambar 4: Teori Kemanfaatan Jeremy Bentham ................... 75Gambar 5: Bandul Otonomi Daerah ...................................... 95Gambar 6: Prosedur Pengurusan Objek P3MB ..................... 107Gambar 7: Desain Prosedur Baru Pengurusan Objek P3MB . 107Gambar 8 Implementasi Politik Hukum Obyek P3MB ....... 151Gambar 9 Konsep 3 in 1 in the Land Acquisition: Perolehan

Tanah P3MB untuk Subyek Hukum .................... 191

Page 26: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,
Page 27: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

1

B A B I

Pendahuluan

A. Urgensi Pengaturan Sertipikasi Tanah P3MB

Konfigurasi politik tertentu menyebabkan lahirnya produk hukum dengan karakter tertentu pula. Dalam tataran hukum-hukum publik yang berkaitan dengan gezagverhouding maka pada konfigurasi politik yang demokratis selalu lahir hukum yang berkarakter responsif atau hukum otonom, sedangkan pada konfigurasi politik yang otoriter akan lahir hukum-hukum yang berkarakter ortodoks atau menindas.1

Teori tersebut tidak sepenuhya benar karena pada kenyataannya justru Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, selanjutnya disebut (UUPA) berkarakter

1 Moh. Mahfud MD. 1999. Karakter Produk Hukum Zaman Kolonial Studi Tentang Politik dan Karakter Produk Hukum Pada Zaman Penjajahan di Indonesia. Yogyakarta: UII Press. hlm.7. Bandingkan dengan Sadjipto Rahardjo. 1985. Beberapa Pemikiran Tentang Ancangan Antar Disiplin Dalam Pembinaan Hukum Nasional.Bandung: Sinar Baru. hlm. 79 “ Hukum Merupakan produk politik” sehingga karakternya akan sangat ditentukan oleh politik yang melahirkannya, bahkan lembaga pembuat hukum atau lembaga legislatif itu lebih merupakan tempat pertarungan politik untuk mengkristalkan gagasan-gagasan tentang hukum; dan karenanya lembaga legislatif lebih dekat dengan politik daripada dengan hukum. Lihat L.J Van Apeldorn. 1985.Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Pradnya Paramita. hlm.68-81” sejak zaman dulu telah tumbuh anggapan bahwa hukum merupakan produk kekuasaan seperti yang direkam Apeldorn dari pandangan kaum Sophis, Lasalle, dan Gumplowics. Kaum Shopis mengatakan bahwa keadilan adalah apa yang bermanfaat bagi mereka yang lebih kuat. Lasalle mengatakan bahwa Undang-Undang Dasar itu lebih merupakan hubungan-hubungan kekuasaan; sedangkan Gumplowics mengatakan bahwa hukum adalah hasil penaklukan orang lemah oleh orang kuat.

Page 28: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

2

responsif atau otonom meskipun lahir pada saat konfigurasi politik berjalan sangat otoriter. Sehingga tidak heran bahwa UUPA dibangga-banggakan sebagai maha karya bangsa Indonesia yang revolusioner. Menurut Mahfud MD terdapat interviening variable diantara Independent variable (konfigurasi politik) dan dependent variable (karakter produk hukum), UUPA itu lahir sebagai hukum responsif meskipun dikeluarkan pada saat konfigurasi politik sedang sangat otoriter atau menindas:

Pertama, UUPA itu sudah dibahas oleh Panitia yang dibentuk oleh Pemerintah sejak tahun 1948 sehingga semangatnya adalah semangat responsif, melawan watak kolonialisme dan semangat tersebut berkelanjutan. Pengesahannya pada tahun 1960 hanyalah melanjutkan dari ide antikolonialisme di bidang pertanahan yang sudah lama bergelora di hati masyarakat Indonesia. Kedua, Subtansi UUPA itu berisi pembalikan hukum pertanahan dari situasi negara kolonial ke keadaan negara nasional sehingga rezim apa pun yang tampil pada saat UUPA diundangkan, apakah rezim demokratis, ataukah rezim otoriter, pastilah mendukung hukum yang responsif. Ketiga, Secara subtantif cakupan UUPA itu bukan hanya berisi hukum publik (HTN dan HAN) tetapi banyak berisi masalah-masalah keperdataan.2

Lahirnya UUPA menempuh jalan yang panjang dimulai pada tahun 1948 sehingga semangatnya pada saat itu adalah semangat responsif, melawan watak kolonialisme.3 Hal ini bisa dilihat dari Usulan Panitia Agraria Yogyakarta berdasarkan Penetapan Presiden RI No. 16 Tahun 1948 tanggal 21 Mei 1948 diantaranya adalah:4

2 Lihat Achmad Sodiki. 2013.Politik Hukum Agraria. Jakarta: Konstitusi Press, 2013. hlm.11

3 Lihat RM. Sarwoko dan Hendra Kooosman, sehingga tidak salah Maladi dalam sambutan Menteri Penerangan pada Pembukaan Kursus Manipol - Usdek tanggal 01 Nopember 1960 mengatakan bahwa: Kolonialisme Belanda telah menanamkan kepada Bangsa Indonesia alam mental yang turun temurun berupa inferioteit complexen, hollands denken, golonganisme, sukuisme, individualisme, korupsi, sifat ndoro, sifat madjikan, memandang rendah rakyat gembel, dan lain sebagainya. RM. Sarwoko dan Hendra Kosman. 1961.Kumpulan Ketentuan dan Pengumuman BANAS. Jakarta. hlm. 215

4 Budi Harsono. 1999.Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta : Djambatan. hlm.23.

Page 29: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

3

1. Meniadakan asas domein dan pengakuan hak ulayat, yaitu hak masyarakat hukum adat.

2. Mengadakan peraturan mengenai hak perseorangan yang kuat, yaitu hak milik atas tanah.

3. Mengadakan studi perbandingan ke negara tetangga sebelum menentukan apakah orang asing dapat pula mempunyai hak milik atas tanah.

4. Mengadakan penetapan luas minimum pemilik tanah agar para petani kecil dapat hidup layak, untuk Pulau Jawa diusulkan 2 (dua) hektar.

5. Mengadakan penetapan luas maksimum pemilikan tanah dengan tidak memandang jenis tanahnya, untuk Pulau Jawa diusulkan 10 (sepuluh) hektar.

6. Menganjurkan menerima skema hak-hak atas tanah yang diusulkan oleh Panitia ini.

7. Mengadakan pendaftaran tanah milik.

Usaha lainnya adalah dengan penghapusan beberapa tanah hak Barat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai keadilan dan semangat proklamasi, yaitu:

1. PenghapusanTanah-Tanah Partikelir berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir dan Peraturan Pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1958.

2. Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Milik Belanda. Bahwa berdasarkan UU No. 86 Tahun 1958 Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda yang ada di wilayah RI dikenakan Nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik penuh dan bebas Negara RI.

3. Tanah-Tanah Milik Badan Hukum yang ditinggalkan Direksi Berdasarkan Peraturan Presidium Kabinet Dwikora RI No. 5/Prk/1965 telah ditegaskan status tanah kepunyaan badan-badan hukum yang ditinggal direksi/pengurusnya.

4. Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda. Untuk Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan

Page 30: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

4

Warga Negara Belanda yang tidak terkena UU No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi diatur dengan UU Nomor 3 Prp 1960.5

Berkenaan dengan pengaturan penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan Warga Negara Belanda, yang belum tersentuh oleh regulasi yang ada diatur dengan Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda (untuk selanjutnya disebut UU No. 3 Prp. Tahun 1960). Namun demikian,Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960 ini belum bisa dilaksanakan secara optimal, bahkan menimbulkan banyak permasalahan yang harus diselesaikan.

Salah satu hal yang cukup urgent untuk segera dilakukan adalah sertipikasi tanah yang merupakan salah satu bagian dari benda-benda tetap milik perseorangan warga Negara Belanda, dalam hal ini sering disebut dengan tanah objek Panitia Pelaksanaan Penguasaan Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda (P3MB). P3MB ini merupakan panitia yang dibentuk oleh Menteri Agraria untuk mengurus benda-benda tetap milik warga Belanda. Hal ini perlu mendapat perhatian karena banyak pihak yang menginginkan benda-benda tersebut, tetapi belum mendapatkan respon kebijakan yang memadai.

B. Problematika Pengaturan UU No. 3 Prp Tahun 1960

Socrates mengatakan dalam penjelajahan filsafat, terdapat 3 isu utama yakni ontologis, epistimologis dan aksiologis.6 Buku ini pada tataran (1) Ontologis, mempertanyakanhakekat Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda Oleh Negara, apakah benar-benar untuk kesejahteraan Rakyat?, (2) Epistimologis, apakah cara, prosedur Perolehan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda sudah diterapkan

5 Budi Tarigan, Status Hukum Tanah-Tanah Bekas Hak Barathttp://opini-manadopost.blogspot.com/2008/04/status-hukum-tanah-tanah-bekas-hak.html. diakses tanggal 3 April 2013.

6 Jhonny Ibrahim. 2007.Teori Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayu Media, hlm. 320.

Page 31: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

5

secara benar?, dan (3) Aksiologis, apakah keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum telah terjamin berkaitan dengan perolehan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda?

Permasalahan yuridis dalam penelitian ini adalah terjadi insinkronisasi Undang-Undang No. 3 Prp Tahun 1960 dengan PP 223 Tahun 1961. Sebelum lahirnya PP 223 Tahun 1961 telah dibuat pedoman untuk pelaksanaan Undang-Undang No. 3 Prp Tahun 1960 yaitu:

1. Pedoman I Departemen Agraria (Keputusan Menteri Muda Agraria tanggal 17 Februari 1960 No. SK.330/Ka/1960) yang mengatur penyerahan penguasaan objek P3MB

2. Pedoman II Departemen Agraria (12 Juli 1960) yang mengatur pembayaran dan kesempatan membeli diutamakan kepada penghuni rumah

3. Pedoman III Departemen Agraria (1 April 1961) yang menambah prioritas: (a) peminat yang belum mempunyai rumah (b) setiap peminat tidak boleh membeli lebih dari 1 rumah.

Penulis menyimpulkan terjadi insinkronisasi vertikal pada tataran UU dengan pedomannya dikarenakan dalam Pasal 4 ayat (2) yang diperkenankan membeli benda-benda dalam ayat (1) hanyalah warga negara Indonesia yang dengan pembelian baru itu tidak akan mempunyai lebih dari 3 (tiga) bidang tanah. Sedangkan di Pedoman III disebutkan bahwa setiap peminat tidak boleh membeli lebih dari 1 rumah.

Pedoman III pada saat itu bermasalah dikarenakan terjadi okupasi benda-benda tetap dan dengan pembelian lebih dari 3 (tiga) bidang tanah menyebabkan banyak rumah/tanah tersebut beralih kepada golongan tertentu yang beruang saja maka Pedoman III tersebut diubah dan diperbarui dengan PP 223 Tahun 1961 tentang Pedoman Pasal 4 dan 5. Pada saat lahirnya PP 223 Tahun 1961 tersebut pada tanggal 6 September 1961, terdapat urutan pengutamaan pada ketentuan Pasal 1 ayat (2), ketentuan tersebut

Page 32: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

6

untuk mengubah pengutamaan pada penghuni rumah di Pedoman II. Hal ini dikarenakan pada saat itu banyak pegawai negeri yang belum mempunyai rumah dan banyak yang masih tinggal di hotel serta menjadi beban Negara. Maka dengan adanya PP 223 Tahun 1961 diperuntukan bagi pegawai negeri dengan pembelian tidak lebih dari 2 bidang. Sedangkan di dalam Penjelasan Umum Pasal 1 disebutkan bahwa pembelian tidak lebih dari 2 bidang tanah tersebut hanyalah warga negara Indonesia, dan bukan hanya terbatas kepada pegawai negeri saja.

Hal yang menarik disini adalah bahwa lahirnya PP 223 Tahun 1961 disebabkan karena adanya insinkronisasi pada tataran UU dengan Pedoman III. Sehingga dalam perumusannya terjadi tumpang tindih yang menyebabkan PP 223 Tahun 1961 bukan sebagai pedoman Pasal 4 dan 5 namun sebagai pengaturan yang mengubah dan memperbarui Pedoman III. Jelas terlihat adanya perbedaan pengaturan dalam tataran UU (3 bidang tanah) dengan PP (2 bidang tanah) sebagai akibat dari adanya perbaruan dan pengubahan dalam Pedoman III.

Berdasarkan Pasal 1 UU No. 3 Prp. Tahun 1960, disebutkan tentang izin membeli obyek Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda:

Semua benda tetap milik perseorangan warga-negara Belanda, yang tidak terkena oleh Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang “Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Belanda” (Lembaran-Negara tahun 1958 No. 162) yang pemiliknya telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, sejak mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dikuasai oleh Pemerintah, dalam hal ini Menteri (Muda) Agraria.

Pasal di atas menerangkan bahwa untuk mendapatkan tanah dan bangunan tersebut harus mendapat izin dari Menteri (Muda) Agraria (sekarang Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia – BPN RI). Hal ini dipandang tidak efektif karena sekecil apapun luas tanah yang diajukan oleh masyarakat harus

Page 33: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

7

mengurus kepada Menteri (Muda) Agraria (BPN RI) di Jakarta, yang memerlukan waktu, biaya, dan tenaga yang tidak sedikit. Hal ini sebagaimana terlihat pada tabel berikut:

Tabel 1: Rekapitulasi Permohonan P3MB di Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur

NO TAHUNPERMOHONAN

KETERANGANMASUK SELESAI SISA1 2007 8 2 6 Pengantar ke BPN RI2 2008 9 4 5 Pengantar ke BPN RI3 2009 7 2 5 Pengantar ke BPN RI4 2010 1 0 1 Pengantar ke BPN RI5 2011 5 1 4 Pengantar ke BPN RI6 2012 4 1 3 Pengantar ke BPN RI7 2013 0 0 0 Pengantar ke BPN RI

JUMLAH 34 10 24

Sumber : Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur, (tahun 2013)

Berdasarkan tabel di atas dari total keseluruhan antara tahun 2007 sampai dengan 2013 permohonan yang masuk berjumlah 34 permohonan dan yang bisa terselesaikan hanya 10 permohonan. Masih ada 24 permohonan yang belum selesai padahal menurut Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Permohonan telah dijelaskan bahwa tenggang waktu pengurusan adalah 145 (seratus empat puluh lima) hari, namun pada kenyataannya memerlukan waktu yang sangat lama hingga bertahun-tahun. Hal ini bertentangan dengan Pasal 3 huruf b jo. Pasal 4 huruf i Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang mengamanahkan bahwa tujuan dari pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah adalah terwujudnya sistem pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik, dengan

Page 34: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

8

memperhatikan asas kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan.Sehingga Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Milik Perseorangan Warga Negara Belanda tidak memberikan manfaat kepada masyarakat.

Page 35: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

9

B A B II

Teori dan Konsep Pengaturan Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda

A. Teori-teori Hukum

1. Teori Politik Hukum

Politik hukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan dibentuk.1 Lebih lanjut Padmo Wahyono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang di dalamnya mencakup pembentukan, penerapan, dan penegakan hukum.2 Teuku Mohammad Tadhie, mendefinisikan bahwa politik hukum adalah sebagai sesuatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.3

Satjipto Raharjo juga mendefinisikan politik hukum secara jelas dan panjang lebar yang mengatakan bahwa politik hukum

1 Padmo Wahyono. 1986.Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia. Cet II. hlm. 160.

2 Padmo Wahyono. Menelisik Proses Terbentuknya Peraturan Perundang-undangan” dalam majalah forum keadilan no 29, April 1991, hlm. 65.

3 Teuku Mohammad Radhie, ”Pembaharuan dan Politik Hukum dalam rangka pembangunan nasional” dalam majalah Prisma No. 6 Tahun II, Desember 1973, hlm. 3.

Page 36: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

10

sebagai aktifitas memilih dan cara hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dengan hukum tertentu di dalam masyarakat yang cakupannya meliputi jawaban atas beberapa pertanyaan mendasar yakni(1) tujuan apa yang hendak dicapai melalui sistem yang ada, (2) cara-cara apa dan yang mana yang dirasa yang paling baik untuk dipakai dalam mencapai tujuan tersebut, 3) kapan waktunya dan cara bagaimana hukum itu perlu dirubah, 4) dapatkah suatu pola yang baku dan mapan dirumuskan untuk membantu dalam memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut dengan baik.4

Berlainan dengan pendapat di atas Soedarto lebih mudah mengatakan bahwa politik hukum adalah upaya untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.5 Mahfud MD juga memberikan khasanah yang berbeda dalam mendefinisikan politik hukum yakni politik hukum adalah legal policy atau (garis kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan perbuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Lebih lanjut Mahfud MD merumuskan bahwa politik hukum mencakup sekurang-kurangnya tiga hal:

Pertama, Kebijakan Negara (garis resmi) tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan dalam rangka pencapaian tujuan negara; Kedua, latar belakang politik, ekonomi, sosial, budaya (poleksosbud) atas lahirnya politik hukum; Ketiga, Penegakan hukum di dalam kenyataan lapangan.

Uraian yang dipaparkan oleh Mahfud MD tentang politik hukum menjadi pijakan penulis dalam menganalisis apa politik hukum dibalik keluarkannya Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Belanda. Hal ini didasari bahwa latar belakang politik dikeluarkannya suatu Undang-Undang juga berkaitan dengan faktor-faktor yang lain yang

4 Rekontruksi Politik Hukum Pangan (Dari Ketahanan Ke Kedaulatan Pangan), Malang: UB Press, 2013. Hlm.113

5 Soedarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni, hlm. 51.

Page 37: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

11

sangat dominan mempengaruhi politik tersebut diantaranya adalah ekonomi, sosial, dan budaya. Faktor-faktor (poleksosbud) inilah yang menjadi pijakan penulis untuk menemukan jawaban tentang politik hukum dari diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Belanda.

2. Teori Hukum Pembangunan

Teori pembangunan menjadi bintang pemandu dan dapat memverifikasi pentingnya paradigma baru pembangunan hukum agraria nasional. Menurut Mochtar6 hukum bukan hanya sekedar penjaga ketertiban masyarakat, akan tetapi hukum harus berfungsi sebagai sarana pembaharuan masyarakat.

Sejalan dengan hal tersebut Lili Rasjidi7 mengatakan bahwa teori hukum pembangunan menurut Mochtar, kemudian lebih merupakan transformasi dari teori hukumnya sendiri ditambah dengan transformasi dari teori hukum Roescoe Pound. Tetapi, hal yang sangat penting harus diberi perhatian lebih adalah mentransformasikan teori hukum Pound. Bahwa ia menolak konsepsi mekanis dari konsepsi law as a tool of social engineering, dan karenanya menggantikan istilah alat (a tool) itu dengan istilah sarana.

Pokok-pokok pikiran yang melandasi konsep Mochtar tersebut adalah Keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaharuan itu merupakan suatu yang diinginkan, bahkan dipandang perlu.Bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang dapat berfungsi sebagai alat pengatur atau sarana pembangunan, dalam arti diharapkan dapat mengarahkan kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan. Diperlukan sarana berupa peraturan hukum yang tertulis (baik perundang-undangan maupun yurisprudensi).

6 http://pn-kepanjen.go.id/index.ph Mochtar Kusuma Atmadja dalam Lilik Mulyadi, Resume Tentang Dimensi, Hakekat Dan Ruang Lingkup Teori Hukum Pembangunan Dari Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., Ll. Diakses tanggal 1 Desember 2012 jam 15.00 WIB.

7 Ibid.

Page 38: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

12

Sehingga hukum yang berbentuk tertulis itu harus sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat.

Lebih lanjut Lili Rasjidi mengatakan, bahwa pada prinsipnya, teori hukum pembangunan menampilkan tiga inti pemikiran Mochtar yaitu:8

1. Konsep Hukumberisikan bukan hanya norma tapi juga merupakan gejala sosial budaya, yang pembentukan hukumnya diajukan dengan dua alur, yaitu top down dan bottom up.

2. Hukum berfungsi juga sebagai sarana pembaharuan masyarakat.

3. Hukum itu bersifat netral dan juga tidak netral yang erat kaitannya dengan unsur spiritual, keyakinan, dan kepercayaan.

Selanjutnya, bahwa teori hukum pembangunan adalah penjumlahan antara teori hukum Muchtar dan teori hukum Pound (minus konsepsi mekanisnya) dan disesuaikan dengan kondisi di Indonesia.

Berangkat dari teori hukum pembangunan tersebut penulis mencoba menganalisis apakah Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 Tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda termasuk bidang hukum yang netral apa tidak. Membangun hukum memang perlu dan bukan pekerjaan yang sederhana, karena itu suatu perundang-undangan yang baik harus memenuhi rasa keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi masyarakat.

3. Teori Kewenangan

Setiap perbuatan pemerintahan disyaratkan harus bertumpu pada kewenangan yang sah. Tanpa adanya kewenangan yang sah seorang pejabat ataupun badan usaha negara tidak dapat melaksanakan suatu perbuatan pemerintahan. Lutfi mengatakan bahwa kewenangan yang sah bila ditinjau dari segi sumber dari

8 Lili Rasjidi& I.B Wyasa Putra. 1993. Hukum sebagai Suatu Sistem. Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm. 126.

Page 39: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

13

mana kewenangan itu lahir atau diperoleh, maka terdapat tiga kategori kewenangan, yaitu atribut, mandat, dan delegatif.9

a. Kewenangan Atribut

Kewenangan atribut lazimnya digariskan atau berasal dari adanya pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar. Istilah lain untuk kewenangan atributif adalah kewenangan asli atau kewenangan yang tidak dibagi-bagikan kepada siapapun. Pelaksanaan kewenangan atributif dilakukan sendiri oleh pejabat atau badan tersebut sebagaimana tertera dalam peraturan dasarnya. Untuk mengetahui secara tepat apakah suatu bentuk perbuatan pemerintahan, misalnya suatu keputusan (SK) dilakukan atas kewenangan atributif maka dapat di lihat pada bagian bawah dari keputusan (SK) tersebut yakni tidak terdapat tanda atas nama (a.n.) ataupun tanda untuk beliau (u.b.).10

b. Kewenangan Mandat

Kewenangan mandat merupakan kewenangan yang bersumber dari proses atau prosedur pelimpahan dari pejabat atau badan yang lebih tinggi kepada pejabat atau badan yang lebih rendah. Kewenangan mandat terdapat pada hubungan rutin atasan bawahan, kecuali bila dilarang secara tegas. Setiap saat si pemberi kewenangan dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan tersebut. Untuk mengetahui secara tepat bentuk perbuatan pemerintahan yang dilakukan atas dasar wewenang mandat dapat dilihat dari tanda atas nama (a.n.) ataupun tanda untuk beliau (u.b.).11

9 Lutfi Efendi. 2006. Hukum Administrasi Negara. Malang: Bayu Media, hlm. 54.10 Ibid.11 Ibid.

Page 40: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

14

c. Kewenangan Delegatif

Kewenangan delegatif merupakan kewenangan yang bersumber dari pelimpahan suatu organ pemerintahan kepada organ lain dengan dasar peraturan perundang-undangan. Berbeda dengan kewenangan mandat, dalam kewenangan delegatif tanggung jawab dan tanggung gugat beralih kepada yang diberi limpahan wewenang tersebut atau beralih kepada delegatif. Dengan begitu, si pemberi limpahan wewenang tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang pada azas contarius actus. Oleh sebab itu, dalam kewenangan delegatif peraturan dasar berupa peraturan perundang-undangan merupakan dasar pijakan yang menyebabkan lahirnya kewenangan delegatif tersebut. Tanpa adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur pelimpahan wewenang tersebut, maka tidak terdapat kewenangan delegatif.

Kewenangan yang sah dapat dilihat dari batas kewenangan, dalam arti suatu kewenangan itu dibatasi oleh: isi/materi, wilayah, dan waktu. Cacat dalam aspek-aspek tersebut menimbulkan cacat kewenangan (onbevoegdbeid)/ dengan demikian bila dilihat dari batas kewenangan maka terdapat hal-hal sebagai berikut:

1. Kewenangan absolute, yakni kewenangan berdasar atas materi/ isi dari wewenang yang dimaksud, atau kewenangan tersebut tentang obyek apa.

2. Kewenangan relatif, yakni kewenangan berdasar atas wilayah hukum atau lokasi dimana kewenangan tersebut dapat dilakukan operasionalnya.

3. Kewenangan temporis, yakni kewenangan berdasar atas waktu atau masa kapan wewenang tersebut dilakukan. Dalam kewenangan temporis ini akan terlihat masa berlakunya suatu kewenangan yang ada pada pejabat ataupun pada badan tata usaha negara. 12

12 Ibid.

Page 41: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

15

Teori kewenangan di atas menjadi sandaran untuk membahas permasalahan yang kedua yakni implikasi hukum yang ditimbulkan dari Pengaturan dan Penguasaan atas Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda. Salah satu implikasi yuridis adalah pengajuan untuk mendapatkan tanah bekas hak barat harus memperoleh izin Menteri Muda Agraria dalam hal ini Ketua BPN Pusat yang ada di Jakarta. Berdasarkan teori kewenangan maka akan dilihat apakah kewenangan pusat bisa dilimpahkan kepada wilayah tempat tanah bekas hak barat milik perseorangan Belanda tersebut berada.

4. Teori Cita Hukum

Menurut Rudolf Stammler, cita hukum (rechtsidee) berfungsi sebagai penentu arah bagi tercapainya cita-cita masyarakat. Walaupun disadari benar bahwa titik akhir dari cita-cita masyarakat itu tidak mungkin dicapai sepenuhnya, namun cita hukum memberi faedah positif karena ia mengandung dua sisi, yakni menguji hukum positif yang berlaku dan mengarahkan hukum positif sebagai usaha mengatur tata kehidupan masyarakat dan bangsa. Dengan demikian, hukum yang adil adalah hukum yang diarahkan oleh cita hukum untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat.13 Selanjutnya Gustav Radbruch menegaskan pula bahwa cita hukum (rechtsidee) tidak hanya berfungsi sebagai tolak ukur yang bersifat regulatif, yaitu yang menguji apakah suatu hukum positif adil atau tidak, melainkan juga sekaligus berfungsi sebagai dasar yang bersifat konstitutif, yaitu yang menentukan bahwa tanpa cita hukum, hukum akan kehilangan maknanya sebagai hukum.14

13 Roeslan Saleh. 1995. Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-asas Hukum Nasional dalam “Majalah Hukum Nasional (Edisi Khusus 50 Tahun Pembangunan Nasional)” No. 1. Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum BPHN Departemen Kehakiman, hlm. 50.

14 Soejono Koesoemo Sisworo. 1995. Mempertimbangkan Beberapa Pokok Pikiran Pelbagai Aliran Filsafat Hukum Dalam Relasi dan Relevansinya Dengan Pembangunan/Pembinaan Hukum Indonesia dalam “Kumpulan Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang” dihimpun oleh: Soekotjo Hardiwinoto. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. hlm. 121.

Page 42: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

16

Berdasarkan uraian mengenai fungsi cita hukum tersebut, B. Arief Sidharta menggabungkan fungsi cita hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Rudolf Stammler dan Gustav Radbruch. Menurutnya, cita hukum itu berfungsi sebagai asas umum yang mempedomani (guiding principle), norma kritik (kaidah evaluasi) dan faktor yang memotivasi dalam penyelenggaraan hukum (pembentukan, penerapan, penegakan dan penemuan) dan perilaku hukum.15

Hukum dalam hubungannya dengan cita hukum (rechtsidee) mengandung pula suatu pedoman dan suatu ukuran umum tentang apa yang harus dilihat sebagai hukum di dalam budaya yang bersangkutan. Cita hukum merupakan sesuatu yang di dalamnya mengandung unsur-unsur yang emosional-ideal, yang batasan rasionalnya tidak pasti. Pengertian dari konsepsi hukum yang berusaha mewujudkan cita hukum harus memenuhi tuntutan bahwa hal tersebut dapat dikerjakan. Untuk itu diperlukan unsur-unsur dari konsepsi hukum yang dapat dinilai dan merupakan sesuatu yang rasional.

Unsur-unsur yang rasional dari cita hukum tersebut, mengendap menjadi suatu konsepsi hukum yang memungkinkan disusun suatu pengertian hukum umum (allgemein rechtsbegriff) menurut apa yang dikandung dan dimaksud oleh cita hukum yang bersangkutan. Unsur-unsur konsepsi hukum ini merupakan unsur-unsur yang di dalam mengandung bahan-bahan dasar idiil tentang aturan-aturan hukum selanjutnya yang diperlukan. Bahan-bahan idiil yang tersimpan di dalam unsur-unsur konsepsi hukum tersebut merupakan apa yang disebut dengan asas-asas hukum, yaitu pikiran dasar atau yang fundamental dari hukum yang bersangkutan.

Dengan dan dari asas-asas hukum ini selanjutnya disusun segala aturan-aturan hukum yang diperlukan secara tertib dan tetap dalam hubungan persenyawaan dengan cita hukum. Dalam menyusun aturan selanjutnya dari dan di atas asas-asas tersebut, masih harus melalui suatu ide yang merupakan kerangka dari

15 B. Arief Sidharta. 2000. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju, hlm. 181.

Page 43: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

17

aturan-aturan yang akan disusun selanjutnya. Ide tersebut adalah ide yang dapat terbentuk sebagai endapan dari asas-asas hukum yang bersangkutan. Ide yang mendasari tersebut dapat dibedakan dalam dua ide, yang pertama ialah ide sosial dan yang kedua ialah ide negara (staatsidee). Salah satu dari staatsidee ini yaitu adanya ide negara hukum rechtstaat, seperti yang dimiliki Indonesia melalui UUD 1945. Artinya semua badan-badan negara yang menjalankan kekuasaan pemerintahan harus dibentuk berdasarkan hukum yang berlaku dan dalam menjalankan kekuasaannya pun semua badan-badan tersebut harus berpedoman kepada aturan hukum. Dalam negara hukum Indonesia maka semua aturan yang dibuat itu harus bersumber dari dan menggambarkan cita hukum Pancasila tadi. Dengan begitu segala perangkat aturan yang dikeluarkan negara hukum berarti harus berada dalam persenyawaan dengan isi cita hukum Pancasila yang membentuknya itu. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Arief Sidharta yaitu bahwa dalam membentuk hukum di Indonesia maka setiap hukum itu harus dijiwai oleh Pancasila, atau dengan kata lain dia menyebutnya dengan cita hukum (the idea of law, rechtsidee) dalam alam pikiran berdasarkan Pancasila.16

Berbicara tentang tujuan hukum tidak lepas dari sifat hukum dari masing-masing masyarakat yang memiliki karakteristik atau kekhususan karena pengaruh falsafah yang menjelma menjadi ideologi masyarakat atau bangsa yang sekaligus berfungsi sebagai cita hukum. Secara teoritis, terdapat tiga tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Keadilan dapat dikatakan sebagai tujuan utama yang bersifat universal yang dijabarkan sebagai berikut:

a. Teori Keadilan

Teori ini dimaksudkan untuk membahas dan menganalisis guna melengkapi kebutuhan pembahasan mengenai dasar kewenangan pemerintah dalam menetapkan batas maksimum dan

16 Ibid, hlm. 6.

Page 44: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

18

batas minimum penguasaan dan pemilikan luas tanah pertanian. Secara lebih luas, apakah telah memberikan manfaat bagi masyarakat maupun memberikan kesejahteraan yang berkeadilan seperti yang dikehendaki oleh UUD 1945.

Keadilan adalah merupakan tujuan hukum yang hendak dicapai, guna memperoleh kesebandingan didalam masyarakat, disamping itu juga untuk kepastian hukum. Masalah keadilan (kesebandingan) merupakan masalah yang rumit, persoalan mana dapat dijumpai hampir pada setiap masyarakat, termasuk Indonesia.17

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Membicarakan hukum adalah membicarakan hubungan antarmanusia. Membicarakan hubungan antarmanusia adalah membicarakan keadilan. Adanya keadilan maka dapat tercapainya tujuan hukum, yaitu menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.

Aristoteles, menyatakan bahwa kata “adil” mengandung lebih dari satu arti. Adil dapat berarti menurut hukum, dan apa yang sebanding, yaitu yang semestinya. Dalam hal ini ditunjukkan bahwa seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. Orang yang tidak menghiraukan hukum juga dapat dikatakan “tidak adil”, karena semua hal yang didasarkan pada hukum dapat dianggap sebagai “adil”.18 Keadilan adalah merupakan suatu kebijakan politik yang aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara dan aturan-aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak dan apa yang bukan hak. Lebih lanjut dikatakan bahwa agar terdapat suatu keadilan, maka orang harus memperoleh keuntungan dengan cara-cara yang wajar, dan keadilan itu sendiri merupakan keutamaan moral. Ditinjau dari isinya, Aristoteles membedakan adanya dua macam keadilan yaitu

17 Soerjono Soekanto.1980. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: CV Rajawali, hlm. 169.

18 Aristoteles dalam Darji Darmodiharjo. 2006. Pokok-Pokok Filsafat Hukum. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, hlm. 156.

Page 45: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

19

Justitia distribiutiva (keadilan distributif) dan justitia commutativa (keadilan komutatif).19

Terkait dengan keadilan, Jeremy Bentham memunculkan teori kebahagiaan (utility) yang bersifat individualistis. Hukum harus mewujudkan kebahagiaan bagi individu, dan harus cocok untuk kepentingan masyarakat. Pada dasarnya hukum harus berbasis manfaat bagi kebahagiaan manusia. Itu sebabnya teori keadilan dan utility merupakan perwujudan hukum yang harus diimplementasikan.20

Membicarakan hukum tidak cukup hanya sampai wujudnya sebagai suatu bangunan yang formal, tetapi perlu juga melihatnya sebagai ekspresi dari cita-cita keadilan masyarakat. Dapat dikatakan bahwa unsur keadilan merupakan unsur yang rumit dan abstrak dalam hukum, karena pada keadilanlah hukum itu bermuara. Mengingat abstraknya unsur-unsur keadilan tersebut, maka berbagai pakar mengemukakan keadilan itu dengan rumusan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya masing-masing.

Filsuf hukum alam Thomas Aquinas, membedakan keadilan atas dua kelompok yaitu:21

1. Keadilan Umum (justitia generalis), adalah keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum. Keadilan ini juga disebut dengan keadilan legal.

2. Keadilan Khusus, adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan khusus ini dapat dibedakan lagi, yaitu:

a. Keadilkan distributif (justitia distributiva); directs the distribution of goods and honours to each according to his place in the community, adalah keadilan yang secara

19 Ibid.20 Suhariningsih.2009. Tanah Terlantar, Asas dan Pembaharuan konsep Menuju

Penertiban. Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, hlm. 43.21 Aristoteles dalam Darji Darmodiharjo, Op. cit., hlm. 167.

Page 46: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

20

proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum, yakni apabila setiap orang mendapatkan hak atau jatahnya secara proporsional.

b. Keadilan komutatif (justitia commutativa), adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dan kontraprestasi.

c. Keadilan vindikatif (justitia vindicativa), adalah keadilan dalam menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seseorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya.

Dalam mengoperasionalkan konsep pembaruan agraria sebagaimana diatur dalam TAP MPR Nomor IX/MPR/2001, diperlukan prinsip-prinsip yang menjadi landasan dan arahan yang mendasari pelaksanaannya. Prinsip-prinsip itu seyogyanya bersifat holistik, komprehensif, dan mampu menampung hal-hal pokok yang menjadi tujuan pembaruan agrarian. Salah satu yang menjadi prinsip-prinsip dasar pembaruan agraria tersebut menurut Maria S.W. Sumardjono adalah :

“Keadilan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria (keadilan gender, keadilan dalam satu generasi dan antar generasi, serta pengakuan kepemilikan masyarakat adat terhadap sumber-sumber agraria yang menjadi ruang hidupnya)”.22

Berdasarkan uraian teori keadilan di atas, nampaknya keadilan ditinjau dari hakekat dan isinya tidak dapat dipisahkan dalam menganalisis apakah kehendak pemerintah dalam menetapkan UU No. 3 Prp. Tahun 1960 adalah untuk memberikan keadilan yang merata serta manfaat bagi masyarakat. Keduanya saling melengkapi agar mendapatkan pemahaman yang utuh dan dapat diwujudkan dalam tindakan nyata khususnya dalam hal menerapkan penetapan

22 Maria S.W. Sumardjono. 2001. Puspita Serangkum: Aneka Masalah Hukum Agraria. Yogyakarta: Andi Offset, hlm. 4.

Page 47: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

21

tentang Pelaksanaan Penguasaan Benda-Benda TetapMilik Perseorangan Warga Negara Belanda.

b. Teori Kepastian Hukum

Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap, konsisten, dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.23

Dalam penegakan hukum, setiap orang selalu mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa konkrit.Dengan kata lain bahwa peristiwa tersebut tidak boleh menyimpang dan harus ditetapkan sesuai dengan hukum yang ada (berlaku), yang pada akhirnya nanti kepastian hukum dapat diwujudkan. Pentingnya kepastian hukum sesuai dengan yang terdapat pada Pasal 28D ayat (1) Undang–Undang Dasar 1945 perubahan ketiga bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.24

Dalam paradigma positivisme definisi hukum harus melarang seluruh aturan yang mirip hukum, tetapi tidak bersifat perintah dari otoritas yang berdaulat. Kepastian hukum harus selalu di junjung apapun akibatnya dan tidak ada alasan untuk tidak menjunjung hal tersebut karena dalam paradigmanya hukum positif adalah satu-

23 L.J. van Apeldorn. 2004. Pengantar Ilmu Hukum, Cet. XXX. Jakarta: Pradnya Paramita, hlm. 11.

24 Ibid.

Page 48: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

22

satunya hukum. Dari sini nampak bahwa bagi kaum positivistik adalah kepastian hukum yang dijamin oleh penguasa. Kepastian hukum yang dimaksud adalah hukum yang resmi diundangkan dan dilaksanakan dengan pasti oleh negara. Kepastian hukum berarti bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan tuntutan itu harus dipenuhi.

Namun demikian, pada paradigma positivistik bahwa sistem hukum tidak diadakan untuk memberikan keadilan bagi masyarakat, melainkan hanya sekedar melindungi kemerdekaan individu. Kemerdekaan individu tersebut senjata utamanya adalah kepastian hukum. Paradigma positivistik berpandangan, demi kepastian hukum maka keadilan dan kemanfaatan boleh dikorbankan. Pandangan positivistik yang telah mereduksi hukum sehingga telah menjadi sesuatu yang sederhana, linear, mekanistik, dan deterministik. Apabila dilihat lagi hukum tidak lagi sebagai pranata manusia melainkan hanya sekedar media profesi.25 Akan tetapi karena sifatnya yang determistik, maka aliran ini memberikan suatu jaminan kepastian hukum yang sangat tinggi. Artinya masyarakat dapat hidup dengan suatu acuan yang jelas dan ketaatan hukum demi ketertiban bermasyarakat yang merupakan suatu keharusan. Karena tanpa kepastian hukum, setiap orang tidak akan mengetahui apa yang harus diperbuat yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan.

Menurut Gustav Radbruch sebagaimana dikutip Sudikno Mertokusumo, terdapat dua macam pengertian kepastian hukum, yaitu kepastian hukum oleh hukum dan kepastian hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang berguna. Sedangkan kepastian hukum dalam hukum tercapai apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya dalam undang-undang. Dalam undang-undang tersebut terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan (undang-undang berdasarkan suatu sistem yang logis dan praktis). Undang-undang dibuat berdasarkan rechtswerkelijkheid (keadaan

25 Sudikno Mertokusumo. 2010. Mengenal Hukum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, hlm. 161.

Page 49: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

23

hukum yang sungguh-sungguh) dan dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan.26

Menurut Friedrich Julius Stahl27, seorang pelopor hukum Eropa Kontinental, ciri sebuah negara hukum antara lain adalah adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan, pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan (wetmatigheid van bestuur) serta peradilan administrasi dalam perselisihan. Konsep Negara hukum mencakup perihal kesejahteraan sosial (welfare state), kini juga bergerak kearah dimuatnya ketentuan perlindungan hak asasi manusia dalam konstitusi tertulis satu negara. Berdasarkan hal tersebut Negara disamping bertugas untuk mensejahterakan masyarakat dan memberikan keadilan sosial maka negara juga harus memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang saat ini diatur dalam Pasal 28 I ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 dikenal dengan Prinsip Negara Hukum yang Demokratis.28

Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat. Tidak mungkin manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban.29

Menurut Satjipto Rahardjo, untuk mendirikan Negara hukum memerlukan suatu proses yang panjang, tidak hanya peraturan-peraturan hukum saja yang harus ditata kelola dengan baik.Dibutuhkan sebuah kelembagaan yang kuat dan kokoh dengan kewenangan-kewenangan yang luar biasa dan independen, bebas dari intimidasi atau campur tangan eksekutif dan legislatif, yang dilaksanakan oleh sumber daya manusia yang bermoral baik dan

26 Ibid, hlm. 147.27 Ibid, hlm. 210.28 Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi. 2001. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung:

Citra Aditya Bakti. hlm. 6829 Carl Joachim Friedrich. 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis. Bandung: Nuansa

dan Nusamedia, hlm. 239.

Page 50: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

24

bermoral teruji. Sehingga tidak mudah terjatuh diluar skema yang diperuntukkan baginya demi terwujudnya suatu kepastian hukum yang sarat keadilan. Hukum bukan hanya urusan (a business of rules), tetapi juga perilaku (matter of behavior).30 Teori Kepastian Hukum menurut Gustav Radburch menjadi pijakan penulis untuk menganalisis apakah Undang-Undang No. 3 Prp Tahun 1960 telah rechtswerkelijkheid (keadaan hukum yang sungguh-sungguh) yakni apakah dalam Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan secara berlainan.

c. Teori Kemanfaatan

Utilitarianisme pertama kali dikembangkan oleh Jeremi Bentham (1748-1831). Persoalan yang di hadapi oleh Bentham pada zaman itu adalah bagaimana menilai baik buruknya suatu kebijakan sosial politik, ekonomi, dan legal secara moral. Dengan kata lain bagaimana menilai suatu kebijakan publik yang mempunyai dampak kepada banyak orang secara moral. Berpijak dari tesis tersebut, Bentham menemukan bahwa dasar yang paling objektif adalah dengan melihat apakah suatu kebijakan atau tindakan tertentu membawa manfaat atau hasil yang berguna atau, sebaliknya kerugian bagi orang-orang yang terkait.31

Jeremy Bentham, sebagai penganut aliran utilistik berpendapat bahwa hukum barulah dapat diakui sebagai hukum jika ia memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya terhadap sebanyak-banyaknya orang. Hukum bertujuan untuk “the greatest happiness of the greatest number”. Perundang-undangan harus berusaha untuk mencapai empat tujuan:

a. To provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup).b. To provide abundance (untuk memberikan makanan yang

berlimpah).c. To provide security (untuk memberikan perlindungan).

30 Ibid.31 Sonny Keraf. 1998. Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya. Yogyakarta: Kanisius,

hlm. 93-94.

Page 51: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

25

d. To attain equility (untuk mencapai persamaan).32

John Stuart Mill mengajarkan bahwa tindakan itu hendaknya ditujukan terhadap pencapaian kebahagiaan, dan adalah keliru jika ia menghasilkan sesuatu yang merupakan kebalikan dari kebahagiaan, dengan kalimat lain; “Action are right in proportion as they tend to promote man’s happiness, and wrong as they tend to promote the reverse of happiness”.33

Bila dikaitkan apa yang dinyatakan Bentham pada hukum, maka baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan hukum baru bisa di nilai baik, jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan sebesar-besarnya, dan berkurangnya penderitaan. Sebaliknya dinilai buruk jika penerapannya menghasilkan akibat-akibat yang tidak adil, kerugian, dan hanya memperbesar penderitaan. Sehingga layak tidak ada ahli menyatakan bahwa teori kemanfaatan ini sebagai dasar-dasar ekonomi bagi pemikiran hukum. Prinsip utama dari teori ini adalah mengenai tujuan dan evaluasi hukum. Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu, maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan negara.34 Teori kemanfaatan di atas menjadi sandaran penulis untuk menganalisis apakah Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 telah bermanfaat untuk sebanyak-banyaknya masyarakat.

5. Teori Jenjang Norma (Stuefentheorie)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) harmonis diartikan sebagai bersangkut paut dengan (mengenai) harmoni;

32 Bernard L. Tanya, dkk. 2010. Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Surabaya: CV. Kita, hlm. 127.

33 Ibid.34 Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra. Op. cit., hlm. 79-80.

Page 52: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

26

seia sekata. Sedangkan mengharmoniskan diartikan menjadikan harmonis. Pengharmonisan adalah proses, cara, perbuatan mengharmoniskan. Keharmonisan diartikan sebagai perihal (keadaan) harmonis; keselarasan; keserasian. Mohammad Zamrani memberikan pengertian harmonisasi hukum sebagai kegiatan ilmiah untuk menuju proses perharmonisasian (penyelarasan/kesesuaian/keseimbangan) hukum tertulis yang mengacu pada nilai-nilai filosofis, sosiologis, ekonomis dan yuridis.35

Dari pengertian tersebut di atas dapat diartikan bahwa harmonisasi peraturan perundang-undangan adalah proses penyerasian dan penyelarasan antar peraturan perundang-undangan sebagai suatu bagian integral atau sub sistem dari sistem hukum guna mencapai tujuan hukum. Sebagaimana telah dibahas di awal, harmonisasi peraturan perundang-udangan mempunyai arti penting dalam hal peraturan perundang-undangan merupakan bagian integral atau sub sistem dalam sistem hukum suatu negara sehingga peraturan perundang-undangan tersebut dapat saling terkait dan tergantung serta dapat membentuk suatu kebulatan yang utuh.

Di Indonesia sistem pembentukan peraturan perundang-undangan dapat ditemukan dalam konstitusi yakni dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang.

Selanjutnya dalam Pasal 22 A Undang-Undang Dasar 1945 mengatur bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang. Delegasi ketentuan ini ditindaklanjuti dengan pembentukan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan telah disempurnakan dengan

35 Mohammad Zamroni, Menakar Korelatifitas Antara Harmonisasi Peraturan Daerah & Hak Uji Materiil MA http://www.djpp.depkumham.go.id/ di akses tanggal 06 Juni 2013.

Page 53: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

27

Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur sistem peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis yang menyebutkan bahwa “Pancasila adalah segala sumber hukum negara” serta pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 mengatakan bahwa:

(1) Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945;b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang;d. Peraturan Pemerintah;e. Peraturan Presiden;f. Peraturan Daerah Provinsi; dang. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Selanjutnya pada pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 mengatakan bahwa :

(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Page 54: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

28

(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Pasal 9 Undang-Undang No 12 Tahun 2011 mengatakan bahwa:

(1) Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh MahkamahKonstitusi.

(2) Dalam hal suatu Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Uraian hierarki peraturan perundang-undangan di atas menempatkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah sesuai dengan Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar ideologi negara sekaligus dasar filosofis bangsa dan negara. Sehingga setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Selanjutnya Undang-Undang Dasar tahun 1945 merupakan sumber hukum bagi pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar. Undang-Undang Dasar merupakan norma dasar bagi norma-norma hukum di bawahnya.

Hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No 12 Tahun 2011. Hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan mempunyai arti penting dalam hal kekuatan hukum peraturan perundang-undangan tersebut. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2), yang berbunyi: “Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1)”.

Page 55: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

29

Dengan ketentuan ini maka jelas diatur kekuatan hukum dan kekuatan mengikat dari masing-masing peraturan perundang-undangan. Materi peraturan perundang-undangan tidak boleh mengandung substansi yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Materi peraturan perundang-undangan hanya dapat membuat aturan yang bersifat merinci dan melaksanakan peraturan perundangan di atasnya. Dalam hal ini berlaku asas lex superiori delogat legi inferiori, yang berarti peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan/mengalahkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Sehingga dalam penyusunannya pembentuk peraturan perundang-undangan harus memastikan bahwa materi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan diatasnya. Hal inilah yang disebut dengan harmonisasi vertikal peraturan perundang-undangan, yakni harmonisasi peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain dalam hierarki yang berbeda. Arti penting harmonisasi vertikal peraturan perundang-undangan ini adalah bahwa dalam sistem hukum Indonesia peraturan perundang-undangan tersebut dapat diuji oleh kekuasaan kehakiman.

Pasal 24 c Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutuskan pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”

Teori jenjang norma hukum (Stuefentheorie), menurut Kelsen bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis, dalam suatu hierarki tata susunan. Suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi sedangkan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya

Page 56: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

30

sampai pada suatu norma sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (Grund norm).36

Teori hierarki atau jenjang tata hukum dari Kelsen ini diilhami oleh seorang muridnya yang bernama Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma itu selalu mempunyai dua wajah (Das Doppelte Rechtsantlitz). Menurut Merkl, suatu norma hukum itu ke atas ia bersumber dan berdasar pada norma di atasnya, tetapi kebawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber bagi norma hukum di bawahnya. Sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku (rechskrachts) yang relatif oleh karena masa berlakunya suatu norma hukum itu tergantung pada norma hukum yang berada di atasnya. Apabila norma hukum yang berada di atasnya dicabut atau dihapus, maka norma-norma hukum yang berada di bawahnya tercabut atau terhapus pula.37

Gambar 1: Das Doppelte Rechtsantlitz (norma hukum dalam dua Dimensi) oleh Adolf Merk

NORMA HUKUM

Rechtskraft

Rechtskraft

Masa laku relatif

Masa laku relatif

DAS DOPPELTE RECHTSANTLITZ (Adolf Merkl)

NORMA HUKUM

NORMA HUKUM

Sumber: Maria Farida Indrati Soeprapto, hlm. 36, 1996.

36 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius, 1996, hlm. 25.

37 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ibid.

Page 57: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

31

Esensi dari teori Stufen bau des Rechts atau teori jenjang norma Hukum Kelsen, ingin melihat hukum sebagai suatu sistem yang terdiri dari susunan norma yang berbentuk pyramida (asal dari kata ‘Stufa’). Norma yang lebih rendah memperoleh kekuatan dari norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma akan semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya semakin rendah kedudukan suatu norma akan semakin konkrit norma tersebut. Norma yang paling tinggi atau yang menduduki puncak piramida, bersifat “meta yuridis” atau di luar sistem hukum, norma semacam ini disebut oleh Kelsen dengan Grundnorm atau Ursprungnorm.38

Teori Stufenbau des Rechts Kelsen di atas, kemudian dikembangkan lagi oleh muridnya bernama Hans Nawiasky dalam teorinya yang disebut “die Lehre vom dem Stufenaufbau der Rechtsordnung atau “die Stufenordnung der Rechtsnormen. Menurut Jazim39 ada persamaan dan perbedaan pemikiran keduanya. Persamaannya, kedua teori ini sama-sama mengkaji masalah jenjang penormaan dalam suatu Negara. Perbedaannya, kalau Kelsen membagi jenis norma itu hanya dua jenis kedalam beberapa jenjang: Pertama, jenjang norma yang paling tinggi dan tidak ada yang melebihi tingginya lagi disebut Grundnorm; Kedua, yaitu jenjang norma-norma yang ada dibawahnya yang tersusun secara berlapis sampai jenjang norma yang paling rendah, kesemua jenjang norma pada jenis kedua ini disebut norm. Sedangkan Nawiasky membagi jenjang dan jenis norma tersebut berada dalam tata susunan dari atas kebawah sebagai berikut :

1. Norma Fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm). 2. Aturan dasar Negara/aturan pokok Negara (Staat Grundgesetz).3. Undang-Undang (Formal) Formell Gesetz).

38 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, dalam Jazim Hamidi. 2005.Disertasi, Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran Bandung.

39 Jazim Hamidi. 2006.Revolusi Hukum Indonesia Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press. hlm. 59.

Page 58: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

32

4. Peraturan Pelaksana serta peraturan otonom (Verordnung en Autonome Satzung).

Perbedaan dan persamaan teori Kelsen dan Nawiasky telah memberikan gambaran bahwa kedua teori tersebut sama-sama memandang masalah jenjang penormaan dalam suatu negara. Teori tersebut sampai sekarang masih relevan dan digunakan dalam membahas jenjang penormaan dalam suatu negara.

a. Benturan Perundang-undangan

Sistem hukum yang baik menghendaki adanya hubungan antara komponen yang satu dengan yang lain terjalin dengan harmonis artinya, diantara komponen-komponen itu tidak terjadi pertentangan-pertentangan atau konflik. Namun harus disadari bahwa komponen-komponen dalam sistem hukum tidak sempurna, sehingga wajar apabila terdapat kemungkinan timbulnya pertentangan-pertentangan atau konflik di antara sesama komponen sistem hukum positif Indonesia. Disamping itu, memang idealnya dalam sistem hukum tidak terdapat konflik antara hukum yang satu dengan yang lainnya namun dalam praktek seringkali ideal itu sepenuhnya dapat dicapai. 40 Pertentangan atau konflik yang mungkin timbul di antara sesama komponen dalam sistem hukum positif Indonesia, sebagai berikut:

1) Konflikdiantarasesamaperaturanperundang-undanganPeraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah

undang-undang yang dibuat oleh badan/instansi pemerintah yang berwenang antara lain: Undang-undang Dasar, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan lain-lain. Apabila terjadi konflik tersebut maka asas yang dipakai adalah:

40 Muhammad Bakri. 1995. Pengantar Hukum Indonesia. Malang: IKIP Malang 1995, hlm. 88.

Page 59: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

33

a. Asas Lex Superior derogat Lex InferioriArti asas ini adalah “Peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi tingkatannya mengesampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya, apabila kedua peraturan tersebut memuat ketentuan yang saling bertentangan”.

Tertib hukum yaitu asas pertingkatan atau hierarki peraturan perundang-undangan. Penerapan hukum positif harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh sistem pertingkatan atau tata urutan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan bertingkat lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah, kecuali apabila subtansi peraturan perundang-undangan lebih tinggi mengatur hal-hal yang oleh undang-undang ditetapkan menjadi wewenang peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah. Peraturan Pemerintah (PP) bertingkat lebih atas dari Peraturan Daerah (Perda). Tetapi Perda yang bertentangan dengan PP tidak serta merta kalah sehingga dinyatakan batal atau tidak sah. Kalau ternyata materi muatan PP mengatur hal-hal yang menjadi wewenang daerah, dan materi muatan pada Perda berada dalam wewenang daerah, maka PP yang mengalah, bukan Perda. Asas pertingkatan hanya berlaku untuk hukum Perundang-Undangan dan aturan kebijakan. Bagi hukum-hukum lainnya, asas pertingkatan tidak berlaku karena tidak ada ukuran pertingkatannya.41

b. Asas Lex Specialist derogat Lex GeneralisArti asas ini adalah peraturan perundang-undangan yang

bersifat khusus (special) mengesampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang bersifat umum (general), apabila keduanya memuat ketentuan yang saling bertentangan (konflik).42

Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas Lex Specialist derogat Lex Generalis:

41 Bagir Manan. 2004. Hukum Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik). Yogyakarta: FH UUI Press, hlm. 56-57.

42 Muhammad Bakri. Op. cit. hlm. 88.

Page 60: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

34

1. Ketentuan ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut. Mengapa yang ditonjolkan prinsip aturan hukum umum tetap berlaku? Karena aturan khusus merupakan pengecualian dari aturan hukum umum.

2. Ketentuan Lex Specialist harus sederajat dengan ketentuan Lex Generalis (undang-undang)

3. Ketentuan Lex Specialist harus berada di dalam lingkungan hukum (regim) yang sama dengan Lex Generalis. KUHD Dagang dan KUHPerdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.43

c. Asas Lex Posteriori derogat Lex PrioriArti asas ini adalah peraturan perundang-undangan yang

kemudian (baru) mengesampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang terdahulu (lama) apabila kedua peraturan perundang-undangan tersebut memuat ketentuan yang saling bertentangan.44 Asas ini mewajibkan menggunakan hukum yang lebih baru yang memuat prinsip-prinsip:

1. Aturan hukum baru harus sederajat atau lebih tinggi dari aturan hukum lama.

2. Aturan hukum baru dan lama, mengatur obyek yang sama.45

B. Konsep Pengaturan Penguasaan Tanah

Satjipto Rahardjo menyatakan: “Penguasaan adalah hubungan yang nyata antara seseorang dengan barang yang ada dalam kekuasaannya. Pada saat itu ia tidak memerlukan legitimasi lain kecuali bahwa barang itu ada di tangannya.46 Pertanyaan yang

43 Bagir Manan.Op. cit., hlm. 56-56.44 Muhammad Bakri. Op. cit., hlm. 88.45 Bagir Manan. Op. cit., hlm. 59.46 Satjipto Rahardjo. Op.cit., hlm. 62.

Page 61: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

35

menunjuk kepada adanya legalitas hukum di sini tidak diperlukan. Disamping kenyataan bahwa suatu barang itu berada dalam kekuasaan seseorang, masih juga perlu dipertanyakan sikap batin orang yang bersangkutan terhadap barang yang dikuasainya itu.Yaitu apakah memang ada maksud untuk menguasai dan menggunakannya. Kedua unsur tersebut masing-masing disebut corpus possessionis dan animus posidendi. Menurut Satjipto Rahardjo, penguasaan fisik atau penguasaan yang bersifat faktual selanjutnya ditentukan oleh ada atau tidak adanya pengakuan hukum untuk memperoleh perlindungan. Hukumlah yang menyatakan sah atau tidak sah atas pengusaan yang dilakukan terhadap fisik suatu barang oleh seseorang.47

Pengertian penguasaan menurut A.K. Sarkar bahwa hak penguasaan merupakan hubungan antara seseorang dengan sesuatu benda. Menguasai berarti memiliki kontrol secara fisik terhadap benda itu.48

Charles Comway mengemukakan beberapa pendapat para ahli:

a. Vinogradoff: “Property began with occupation and possession is reducible to the de facto detention”.

b. Maine: “The word ‘possetion’ must have originally denoted physical contact, or physical contact resumable at pleasure. But as actually used, without any qualifying ephitet, it signifies not simply phisical detention, but phisical detention coupled with the intention to hold the thing detained as one’s own (ancient law)”.

c. Salmon: “The possession of a material object is the continuing exercise of a claim to the exclusive use of it”.

d. Holland: “Proprietary rights are extensions of the power of person over portions of the phisical woerd. Proprietary rihgt

47 Ibid.48 Lili Rasjidi. 1993. Filsafat Hukum-Apakah Hukum Itu (Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya, hlm. 81.

Page 62: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

36

in things may be acquired which very in extent from absolute ownership to a narrowhy limited power of user”.49

Faktor lain yang terpenting dari konsep penguasaan ialah kekuasaan untuk mengenyahkan orang yang berusaha melakukan gangguan. Usaha mengenyahkan ini dapat dilakukan dengan kekuatan fisik maupun yuridis. Pembedaan secara tegas antara pengertian penguasaan (possession) dan hak milik (ownership),50 bahwa hak menguasai atau penguasaan didasarkan atas adanya hubungan antara seseorang dengan suatu obyek. Jadi, ciri pokoknya adalah masalah kenyataan atau fakta.

Ketentuan hukumnya dilihat dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengatur bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang tekandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Aturan dasar dalam konstitusi menyangkut pengelolaan sumber daya alam tersebut termasuk dalam pengertian ”dikuasai oleh negara” tersebut kemudian dijabarkan dalam UUPA. Dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA ditentukan :

”Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia. Kemudian pada ayat (2) diuraikan bahwa hak menguasai dari negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk :

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut

b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

49 Ibid.50 Lili Rasyidi. Op. cit, hlm. 86.

Page 63: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

37

c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa”.

Dalam penjelasan UUPA dijelaskan bahwa pengertian ”dikuasai” bukan berarti ”dimiliki” akan tetapi adalah pengertian yang memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia untuk melakukan wewenang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA tersebut.

Dijelaskan lebih lanjut bahwa kekuasaan negara mengenai tanah mencakup tanah yang sudah dihaki oleh seseorang maupun yang tidak. Kekuasaan negara mengenai tanah yang sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu. Artinya sampai seberapa negara memberikan kekuasaan kepada yang mempunyai untuk menggunakan haknya, sampai disitulah batas kekuasaan negara tersebut. Sedangkan kekuasaan negara atas tanah yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan penuh. Artinya negara dapat memberikan tanah kepada seseorang atau badan hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya.

Isi wewenang negara yang bersumber pada hak menguasai sumber daya alam oleh negara tersebut semata-mata bersifat publik.Yaitu wewenang untuk mengatur (wewenang regulasi) dan bukan wewenang untuk menguasai tanah secara fisik dan menggunakan tanahnya sebagaimana wewenang pemegang hak atas tanah yang bersifat pribadi.51

Secara teoritis, penyebutan ketentuan konstitusional mengenai Hak Menguasai dari Negara ini sesungguhnya bersifat deklaratif.Artinya dengan atau tanpa penyebutan ketentuan tersebut setiap negara tetap mempunyai Hak Menguasai Negara. Namun demikian, ketentuan tersebut tetap penting untuk mengkonfirmasi eksistensi

51 Muhammad Bakri. 2007. Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria. Yogyakarta : Citra Media, hlm. 5.

Page 64: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

38

dari hak menguasai negara dan menunjukkan sifat hubungan antara negara dan tanah.52

Sejalan dengan hal tersebut di atas, maka pada Pasal 2 dan 4 UUPA mengatur bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara.Atas dasar hak menguasai dari negara tersebut ditentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan kepada perorangan maupun badan hukum (subyek hak). Hak-hak atas tanah tersebut memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dan dalam batas-batas menurut ketentuan peraturan perundangan. Dengan kata lain mengalokasikan kekuasaan hak atas tanah oleh negara kepada orang atau badan hukum dilakukan secara terukur supaya dapat digunakan bagi kelangsungan hidup setiap orang secara bersama-sama.53

Dari ketentuan yang terdapat dalam UUPA dapat dilihat bahwa negara memberikan hak-hak atas tanah kepada perorangan atau badan hukum (subyek hak), bahkan menjamin, mengakui, melindungi hak-hak tersebut untuk dimanfaatkan dalam rangka mensejahterakan kehidupannya dan tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.

Akan tetapi negara tidak hanya memberikan begitu saja hak-hak atas tanah tersebut kepada subyek hak untuk dimanfaatkan dalam rangka mensejahterakan kehidupannya. Tetapi negara juga memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah tersebut melalui pendaftaran tanah. Kegiatan pendaftaran tanah menurut Pasal 19 ayat (2) meliputi :

a) pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;b) pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak atas

tanahnya;

52 Oloan Sitorus dan HM Zaki Sierrad. 2006.Hukum Agraria di Indonesia, Konsep Dasar dan Implementasi. Yogyakarta : Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, hlm. 60.

53 Satjipto Raharjo. 1996.Ilmu Hukum. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 33.

Page 65: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

39

c) pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Kegiatan pendaftaran tanah baik untuk pendaftaran pertama kali maupun untuk pendaftaran hak dan peralihannya, baru dapat dilakukan apabila subyek hak dapat membuktikan adanya hubungan- hubungan baik yang bersifat keperdataan (perorangan) maupun bersifat publik (tanah yang dikuasai oleh instansi pemerintah atau tanah hak ulayat54 masyarakat hukum adat) antara subyek hak dengan tanahnya. Hubungan hukum tersebut dapat dibuktikan dengan cara menguasai secara fisik tanah yang bersangkutan dan atau mempunyai bukti yuridis atas penguasaan tanah.Bukti yuridis atas penguasaan tanah tersebut dapat saja dalam bentuk keputusan dari pejabat di masa lalu yang berwenang memberikan hak penguasaan kepada subyek hak untuk menguasai tanah dimaksud dan dapat juga dalam bentuk akta otentik yang diterbitkan oleh pejabat umum yang menunjukkan tanah tersebut diperolehnya akibat adanya perbuatan hukum berupa perjanjian pemindahan/peralihan hak. Bila dikatakan perolehan hak atas tanah, maka tersirat adanya perbuatan hukum yang dilakukan oleh subyek hak. Hal ini sejalan dengan pengertian perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dikembangkan oleh Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Tanah dan atau Bangunan (BPHTP) yakni perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan, seperti jual beli, tukar menukar, hibah, wasiat, hibah wasiat, pewarisan dan lain-lain, yang pemindahan haknya dilakukan dengan pembuatan akta menurut cara yang diatur undang-undang.

Penguasaan atas tanah merupakan hal penting dalam mengatur lalu lintas hukum di bidang pertanahan. Penguasaan

54 Hak Ulayat adalah hak atas tanah yang berdasarkan pada Hukum Adat yang merupakan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah dalam lingkungan wilayahnya. Hubungan hukum tersebut berisi wewenang dan kewajiban. Lihat Maria SW. Sumardjono. 2008. Tanah Dalam Perspketif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, hlm. 170.

Page 66: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

40

tersebut dapat juga sebagai permulaan adanya hak, bahkan ada yang menyebut penguasaan tanah tersebut sudah merupakan suatu ”hak”. Kata ”penguasaan” menunjukkan adanya suatu hubungan antara tanah dengan yang mempunyainya.55 Artinya ada sesuatu hal yang mengikat antara orang dengan tanah tersebut, ikatan tersebut ditunjukkan dengan suatu tanda bahwa tanah tersebut telah dikuasainya. Tanda tersebut bisa berbentuk fisik maupun bisa berbentuk bukti tertulis.

Menurut Boedi Harsono, hubungan penguasaan dapat dipergunakan dalam arti yuridis maupun fisik.56 Penguasaan dalam arti yuridis maksudnya hubungan tersebut ditunjukkan dengan adanya alas hak dari penguasaan tanahnya. Apabila telah ada alas hak, maka hubungan tanah dengan obyek tanahnya sendiri telah dilandasi dengan suatu hak. Sedangkan penguasaan tanah dalam arti fisik menunjukkan adanya hubungan langsung antara tanah dengan yang empunya tanah tersebut, misalnya didiami dengan mendirikan rumah tinggal atau ditanami dengan tanaman produktif untuk tanah pertanian.

Penguasaan tanah dapat merupakan permulaan adanya atau diberikannya hak atas tanah, dengan perkataan lain penguasaan tanah secara fisik merupakan salah satu faktor utama dalam rangka pemberian hak atas tanahnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dijelaskan bahwa sekalipun tidak ada alat-alat bukti penguasaan secara yuridis, namun apabila dalam kenyataan bidang tanah tersebut telah dikuasai secara fisik maka dapat dilegitimasi penetapan/pemberian haknya kepada yang bersangkutan. Terhadap penguasaan tanah yang dibuktikan dengan alat bukti secara tertulis dapat disebut juga alas hak. Alas hak diartikan sebagai bukti penguasaan atas tanah secara yuridis, yaitu alat-alat bukti yang menetapkan atau menerangkan adanya hubungan hukum antara tanah dengan yang mempunyai tanah,

55 Badan Pertanahan Nasional. 2002. Hak Hak Atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional. Jakarta: BPN, hlm. 18.

56 Boedi Harsono, op.cit, hlm. 19.

Page 67: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

41

dapat juga berupa riwayat pemilikan tanah yang pernah diterbitkan oleh pejabat pemerintah sebelumnya maupun bukti pengakuan dari pejabat yang berwenang. Alas hak secara yuridis ini biasanya dituangkan dalam bentuk tertulis dengan suatu surat keputusan, surat keterangan, surat pernyataan, surat pengakuan, akta otentik maupun surat di bawah tangan dan lain-lain.

Berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 dan Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, alas hak diberi istilah data yuridis. Yakni keterangan mengenai status hukum bidang tanah, pemegang haknya, dan pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya.

Secara perdata, dengan adanya hubungan antara yang mempunyai tanah dengan tanahnya yang dibuktikan dengan penguasaan fisik secara nyata di lapangan atau ada alas hak berupa data yuridis yang artinya telah dilandasi dengan suatu hak, tanah tersebut sudah berada dalam penguasannya atau telah menjadi miliknya.

Penguasaan atas tanah secara yuridis selalu mengandung kewenangan untuk menguasai fisik tanahnya, oleh karena penguasaan yuridis memberikan alas hak terhadap adanya hubungan hukum mengenai tanah yang bersangkutan. Apabila tanahnya sudah dikuasai secara fisik dan sudah ada alas haknya, maka persoalannya hanya menindaklanjuti alas hak yang melandasi hubungan tersebut menjadi hak atas tanah yang ditetapkan dan diakui oleh negara agar hubungan tersebut memperoleh perlindungan hukum. Proses penetapan dan pengakuan alas hak menjadi hak atas tanah disebut pendaftaran tanah yang produknya adalah sertipikat tanah.

Alas hak sebenarnya sudah merupakan suatu legitimasi awal atau pengakuan atas penguasaan tanah oleh subyek hak yang bersangkutan. Idealnya agar penguasaan suatu bidang tanah juga mendapat legitimasi dari negara, maka harus dilandasi dengan suatu hak atas tanah yang ditetapkan oleh negara (pemerintah). AP. Parlindungan menyatakan:

Page 68: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

42

”bahwa alas hak atau dasar penguasaan atas tanah dapat diterbitkan karena penetapan pemerintah atau ketentuan peraturan perundangan, maupun karena suatu perjanjian khusus yang diadakan untuk menimbulkan suatu hak di atas hak tanah lain (misalnya Hak Guna Bangunan di atas Hak Milik) juga karena ketentuan konversi hak atas tanah. Sedangkan ketentuan pendakuan maupun karena kadaluarsa memperoleh suatu hak dengan lembaga uitwijzingprocedure sebagaimana diatur dalam Pasal 548 KUH Perdata tidak dikenal dalam UUPA, sungguhpun pewarisan merupakan juga salah satu alas hak.”57

Dinyatakan juga bahwa dasar penguasaan atau alas hak58 untuk tanah menurut UUPA adalah bersifat derivative. Artinya berasal dari ketentuan peraturan perundang-undangan dan dari hak-hak yang ada sebelumnya, seperti hak-hak adat atas tanah dan hak-hak yang berasal dari hak-hak Barat,59 dengan catatan dilakukan penyesuaian dengan ketentuan yang baru yang dalam Hukum Agraria dikenal dengan istilah konversi. Maksud dari konversi hak atas tanah tersebut adalah perubahan hak lama atas tanah menjadi hak baru sebagaimana yang diatur dalam UUPA.60

Menurut AP. Parlindungan, konversi adalah bagaimana pengaturan dari hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk masuk dalam sistem UUPA.61 Konversi dibagi dalam

57 AP. Parlindungan. 1993. Beberapa Masalah Dalam UUPA. Bandung: Mandar Maju, hlm. 69-70.

58 Alas hak adalah bukti penguasaan atas tanah secara yuridis dapat berupa alat-alat bukti yang menetapkan atau menerangkan adanya hubungan hukum antara tanah dengan yang mempunyai tanah, dapat berupa riwayat pemilikan tanah yang pernah diterbitkan oleh pejabat pemerintah sebelumnya maupun bukti pengakuan dari pejabat yang berwenang. Alas hak secara yuridis ini biasanya dituangkan dalam bentuk tertulis dengan suatu surat keputusan, surat keterangan, surat pernyataan, surat pengakuan, akta otentik maupun surat di bawah tangan dan lain-lain. Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis. 2008.Hukum Pendaftaran Tanah. Bandung : Mandar Maju. hlm.. 237

59 AP. Parlindungan. 1993.Pendaftaran Tanah di Indonesia. Bandung: Mandar Maju, hlm. 3.

60 Ali Ahmad Chomzah. 2004.Hukum Agraria, Jilid-I. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, hlm. 80.

61 AP. Parlindungan. 1993.Konversi Hak-Hak Atas Tanah. Bandung: Mandar Maju, hlm. 94.

Page 69: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

43

tiga jenis, yaitu 1) konversi hak yang berasal dari tanah hak barat yaitu hak eigendom, opstal, erfpacht; 2) konversi hak yang berasal dari tanah hak Indonesia yaitu terhadap hak erfpach yang altijdurend, hak agrarische eigendom dan hak gogolan dan 3) konversi hak yang berasal dari tanah bekas swapraja, yaitu terhadap hak anggaduh, hak grant, hak konsesi dan sewa untuk perumahan dan kebun besar.62

Jadi secara normatif bukti penguasaan atau pemilikan atas suatu bidang tanah yang diterbitkan oleh pemerintah sebelumnya (dasar penguasaan/alas hak lama) masih tetap diakui sebagai dasar penguasaan atas tanah karena diterbitkan oleh pejabat yang berwenang dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku pada masa itu.

1. Benda-benda Tetap

H.F.A Vollmar menyatakan bahwa hak-hak kebendaan baru dan yang lain sebagimana telah diatur dalam undang-undang tidak diadakan lagi. Hal ini diperkuat oleh putusan H.R. dan didasarkan pertimbangan bahwa di dalam KUHPerdata tidak terdapat ketentuan-ketentuan umum bagi hak-hak kebendaan seperti yang terdapat dalam buku ketiga tentang perjanjian. Terkait hak-hak kebendaan berlaku sistem tertutup,artinya tidak ada alasan lagi untuk manambah hak-hak kebendaan selain apa yang telah diatur oleh undang-undang.63

Menurut Riduan Syahrani pengertian benda (zaak) sebagai objek hukum tidak hanya meliputi “barang yang berwujud” yang dapat ditangkap dengan panca indera, akan tetapi juga “barang yang tidak berwujud” yakni hak-hak atas barang yang berwujud.64 Pengertian benda (zaak) secara yuridis adalah segala sesuatu yang

62 Emri. 2005. Pelaksanaan Konversi Tanah Grant Sultan di Kota Medan. Tesis. PPS USU. Medan, hlm. 83.

63 H.F.A. Vollmar. 1990.Hukum Benda (Menurut KUHPerdata). Bandung: Tarsito. hlm 35.

64 Riduan Syahrani. 1989.Seluk-Beluk Asas-Asas Hukum Perdata.Bandung: PT. Alumni. hlm 116.

Page 70: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

44

dapat dihaki atau yang dapat menjadi objek hak milik. Menurut terminologi benda di atas, benda berarti objek sebagai lawan dari subyek dalam hukum yaitu orang dan badan hukum. Oleh karena yang dimaksud dengan benda menurut undang-undang hanyalah segala sesuatu yang dapat dihaki atau yang dapat dimiliki orang, maka segala sesuatu yang tidak dapat dimiliki orang bukanlah termasuk pengertian benda, seperti bulan, bintang, laut, udara, dan lain–lain sebagainya.65

Menurut ilmu hukum, benda memiliki tanda-tanda pokok. Tanda-tanda pokok benda ini adalah sebagai berikut:66

a. Hak kebendaan adalah absolut. Artinya hak ini dapat dipertahankan terhadap setiap orang. Pemegang hak berhak menuntut setiap orang yang mengganggu haknya.

b. Hak kebendaan jangka waktunya tidak terabatas. c. Hak kebendaan bersifatdroit de suit artinya hak itu mengikuti

bendanya di dalam tangan siapa pun benda itu berada. Jika ada beberapa hak kebendaan diletakkan diatas suatu benda, maka kekuatan hak itu ditentukan oleh urutan waktunya.

d. Hak kebandaan mamberikan wewenang yang luas kepada pemiliknya. Hak itu dapat dialihkan, diletakkan sebagai jaminan, disewakan, atau dipergunakan sendiri.

Dapat dikatakan hak kebendaan itu mempunyai sifat yang mutlak karena yang berhak atas benda yang menjadi objek hukum mempunyai kekuasaan tertentu untuk mempertahankan hak tersebut terhadap siapapun juga. Yang secara fisik dianggap sebagai benda tidak bergerak adalah tanah, dan segala sesuatu yang:67

1. Karena alam;2. Karena Tindakan Manusia;

65 Ibid, Hlm. 119.66 Mariam Darus Badrul Zaman. 1983.Mencari Sistem Hukum Benda nasional.

Bandung: Alumni. hlm 30.67 Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaya. 2003.Kebendaan Pada Umumnya. Bogor:

Kencana. hlm 59.

Page 71: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

45

3. Karena peruntukan atau tujuannya

Melekat pada tanah, dengan pengertian bahwa benda-benda tersebut dijadikan dan merupakan satu kesatuan dengan tanah.Sedemikian rupa hingga benda-benda tersebut tidak mungkin dapat dipindahkan dari tanah di mana benda tidak bergerak tersebut melekat.

Komaria berkesimpulan, bahwa benda-benda tidak bergerak dapat dibedakan menjadi:68

1. Benda tak bergerak menurut sifatnya, misalnya tanah dan sesuatu yang melekat diatasnya seperti rumah, pohon atau tumbuh-tumbuhan

2. Benda tidak bergerak karena tujuannya, misalnya mesin atau alat-alat yang dipakai di pabrik. Benda-benda ini sebenarnya adalah benda bergerak, tetapi oleh pemiliknya dalam pemakaiannya diikatkan pada benda yang tidak bergerak yang merupakan benda pokok.

3. Benda tidak bergerak menurut ketentuan undang-undang yang berupa hak-hak atas benda-benda tidak bergerak, misalnya: hak memungut hasil dan hak pakai atas benda tidak bergerak, hipotik, dan hak tanggungan atas tanah.

Menurut Riduan Syahrani benda tidak bergerak adalah:69

1. Benda yang menurut sifatnya tak bergerak yang di bagi lagi menjadi 3 macam:

a. Tanah;b. Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena

tumbuh dan berakar serta bercabang seperti tumbuh-tumbuhan, buah-buahan yang masih belum dipetik dan sebagainya;

68 Komariah. Hukum Perdata (edisi revisi), Cetakan Keempat. Malang: UMM Press. hlm 90-91.

69 Riduan Syahrini. 1992. Seluk – Beluk dan Asas – Asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni. hlm 118-119.

Page 72: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

46

c. Segala sesuatu yang bersatu dengan tanah karena didirikan di atas tanah itu yaitu karena tertanam dan terpaku.

2. Benda yang menurut tujuannya/ tujuan pemakaiannya supaya bersatu dengan benda tak bergerak seperti:

a. Pada pabrik : segala mesin-mesin, ketel-ketel dan alat –alat lain yang dimaksudkan supaya terus menerus berada disitu untuk dipergunakan dalam menjalankan pabrik;

b. Pada suatu perkebunan: segala sesuatu yang dipergunakan sebagai rabuk bagi tanah, ikan dalam kolam, dan lain-lain;

c. Pada rumah kediaman: segala kaca, tulisan-tulisan, dan lain-lain serta alat-alat untuk menggantungkan barang-barang itu sebagai bagian dari dinding;

d. Barang-barang reruntuhan dari sesuatu bangunan, apabila dimaksudkan untuk dipakai guna mendirikan lagi bangunan itu.

3. Benda yang menurut penetapan undang-undang sebagai benda tak bergerak, seperti hak-hak atau penagihan mengenai suatu benda yang tak bergerak.

2. Politik Hukum Agraria

Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) Pasal 33 ayat (3) sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) Pasal 2 ayat (1), menyatakan “Atas dasar ketentuan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat”.

UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) merupakan landasan konstitusional bagi pembentukan politik dan hukum agraria nasional, yang berisi

Page 73: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

47

perintah kepada negara agar bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang diletakkan dalam penguasaan negara itu digunakan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Tanah merupakan sarana vital bagi hidup dan kehidupan manusia. Oleh karena itu di dalam UUPA Pasal 9 ayat (2) yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara baik pria maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapatkan manfaat dan hasilnya bagi diri sendiri maupun keluarganya. Politik hukum berhubungan dengan kebijaksanaan untuk menentukan kaidah-kaidah hukum yang sesuai dengan ideologi penguasa. Oleh karena itu banyak istilah yang digunakan untuk politik hukum seperti: pembangunan hukum, pembaharuan hukum, pembentukan hukum dan perubahan hukum. Sedangkan masalah yang dikaji dalam politik hukum menurut Satjipto Rahardjo:70

a. tujuan yang hendak dicapai; b. cara apa yang dipakai untuk mencapai tujuan tersebut dan

cara mana yang paling baik untuk mencapai tujuan tersebut; c. mengapa hukum itu perlu diubah dan apa dampaknya; d. cara bagaimanakah perubahan itu sebaiknya dilakukan.

Politik hukum pertanahan merupakan kebijakan pemerintah di bidang pertanahan yang ditujukan untuk mengatur penguasaan/pemilik tanah, peruntukan dan penggunaan tanah untuk lebih menjamin perlindungan hukum, dan peningkatan kesejahteraan serta mendorong kegiatan ekonomi melalui pemberlakuan undang-undang pertanahan dan peraturan pelaksanaannya. Jadi politik hukum pertanahan harus dilandasi dengan itikad baik pemerintah dan pejabat/aparatnya untuk mencapai tujuan yang baik pula, baik pada saat ini maupun pada saat mendatang.71

Dengan diundangkannya UUPA, terjadi perombakan hukum agraria di Indonesia yaitu penjebolan Hukum Agraria kolonial

70 Satjipto Raharjo. 1996. Ilmu Hukum.Bandung: Citra Aditya Bakti. hlm. 33.71 Moh. Mahfud MD. Perkembangan Politik Terhadap Perkembangan Hukum di

Indonesia. Disertasi, UGM, Yogyakarta. hlm.33

Page 74: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

48

dan pembangunan hukum agraria nasional. Bangsa Indonesia mempunyai hukum agraria yang sifatnya nasional dengan lahirnya UUPA, baik ditinjau dari segi formal maupun materiilnya. Sifat nasional UUPA dari segi formalnya dapat dilihat dalam konsideran“ menimbang” yang menyebutkan tentang keburukan dan kekurangan dalam hukum agraria yang berlakusebelum UUPA. Segi materiilnya, hukum agraria yang baru harus bersifat nasional pula, artinya berkenan dengan tujuan, asas-asas dan isinya harus sesuai dengan kepentingan nasional. Dalam hubungan ini UUPA menyatakan pula dalam konsiderannya di bawah perkataan “berpendapat” salah satunya yakni bahwa Hukum Agraria yang baru harus didasarkan atas hukum adat tentang tanah.72

Dengan dicabutnya peraturan dan keputusan agraria kolonial, maka tercapailah unifikasi (kesatuan) hukum agraria yang berlaku di Indonesia, yang sesuai dengan kepribadian dan persatuan Bangsa Indonesia. Dalam rangka mewujudkan unifikasi hukum tersebut, hukum adat tentang tanah dijadikan dasar pembentukan hukum agraria nasional. Hal ini karena hukum adat dianut oleh sebagian besarrakyat Indonesia sehingga Hukum Adat tentang tanah mempunyai kedudukan yang istimewa dalam pembentukan hukum agraria nasional.73

Melihat pergolakan-pergolakan yang ada dan guna mempertegas makna dari menguasai negara atas Sumber Daya Agraria, pada tanggal 24 September 1960 oleh DPR telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria sebagai landasan hukum untuk melaksanakan Land Reform di Indonesia. Dalam penjelasan umum II/2 UUPA dikemukakan bahwa Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar tidak perlu dan tidak pula pada tempatnya jika bangsa Indonesia ataupun negara bertindak sebagai pemilik tanah. adalah lebih tepat jika negara, sebagai

72 Alvi Syahrin. 2009. Berapa Masalah Hukum.Medan: PT Soft Media, hlm. 20. 73 Imam Soetiknjo. 1994.Politik Agraria Nasional. Yogyakarta: Gajahmada University

Press, hlm. 4.

Page 75: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

49

organisasi kekuasaan seluruh rakyat (bangsa) bertindak selaku Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa, “bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara”.

Sesuai pangkal pendirian tersebut di atas perkataan “dikuasai” dalam pasal ini bukanlah berarti “dimiliki”, akan tetapi memberi wewenang kepada negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia itu, untuk pada tingkatan tertinggi :74

a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya;

b. menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa itu;

c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.

Dengan berlakunya UUPA tidak secara otomatis berjalan sebagaimana di harapkan. Dalam prakteknya muncul resistensi golongan pemilik tanah luas yang melibatkan berbagai kekuatan politik yang saling berseberangan menentang pelaksanaan land reform. Konflik agraria kemudian berkembang menjadi konflik politik dan ideologi. Semangat UUPA adalah pertimbangan corak kehidupan mayoritas rakyat yang ekonominya bersifat agraris. Hal ini bisa dipahami bahwa hampir 70% penduduk Indonesia hidup sebagai petani. Disisi lain nilai-nilai religius yang terkandung dalam UUPA memandang bahwa bumi, air, dan ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai fungsi yang amat penting dalam rangka membangun kehidupan masyarakat yang adil dan makmur. UUPA bukan semata-mata hukum agraria, melainkan adalah politik agraria yang mengatur hubungan petani dengan tanah dan air.

74 Mahfud MD,Op.cit. hlm. 231-232.

Page 76: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

50

Namum demikian, dalam perjalanannya UUPA tidak dijalankan. Persoalan agraria atau dengan kata lain konflik agraria terus terjadi diberbagai wilayah di Indonesia. Peralihan rezim politik orde lama ke orde baru, kemudian sampai orde reformasi, bahkan sampai sekarang yang menerapkan sistem pembangunan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan dan ditopang sistem politik yang otoriter justru melanggengkan praktek-praktek ekonomi kapitalistik dan mengaburkan pemaknaan dan pelaksanaan pembaruan agraria sejati.

Meskipun telah ada UUPA yang merupakan induk dari segala peraturan perundang-undangan agraria/pertanahan, akan tetapi dalam kenyataannya UUPA tidak muncul menjadi rujukan dan faktor penentu dalam mengatasi berbagai problem yang timbul di sekitar permasalahan agraria/pertanahan. Hal ini terutama sekali disebabkan oleh pelaksanaan politik agraria yang sering kali bertentangan dengan makna dan isi yang terkandung dalam UUPA, dan menyimpang dari amanat-amanat luhur UUPA.

Pada dasarnya, UUPA merupakan suatu hukum perundang-undangan yang monumental dan revolusioner karena telah mampu menghapus sistem penguasaan tanah dan menerjemahkan dengan tepat politik hukum tentang penguasaan sumber daya untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Konsep hukum UUPA yang menolak liberalisme dan tidak memperbolehkan adanya kepemilikan tanah berlebihan oleh perseorangan juga dinilai sangat baik. Namun pada prakteknya justru terjadi banyak penyimpangan terhadap konsep awal UUPA tersebut.

Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada pelaksanaan UUPA juga dipicu oleh adanya ketidaksinkronan antara pemerintahan pusat dengan daerah. Hal itu dapat dilihat dengan adanya banyak undang-undang mengenai agraria yang tidak didasarkan pada UUPA. Adanya ketidaksinkronan UU secara horizontal tersebut menjadi pemicu dalam sengketa masalah agraria yang terjadi akhir-akhir ini. Selain itu, banyaknya masalah agraria yang terjadi secara vertikal antara pemerintah pusat dengan daerah terkait wewenang dan kekuasaan mengenai masalah

Page 77: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

51

agraria justru tidak banyak dibahas atau bahkan sengaja ditutup-tutupi. Hal ini juga membuktikan bahwa masih lemahnya hukum mengenai masalah agraria di Indonesia.75

Berbagai penyimpangan dan konflik agraria yang terjadi akhir-akhir ini memunculkan sebuah pertanyaan besar terkait dengan fungsi dan tujuan awal penyusunan UUPA yang pada hakikatnya ditujukan untuk meningkatkan kemakmuran rakyat Indonesia, namun pada kenyataannya justru hanya dimanfaatkan oleh kalangan tertentu saja. Hal itulah yang akhirnya menimbulkan pertanyaan untuk apa dan siapa UUPA yang monumental dan revolusioner tersebut disusun.

Melihat adanya penyimpangan dalam pelaksanaan dan tujuan UUPA tersebut, maka mulailah muncul isu-isu mengenai reforma agraria. Reforma agraria itu sendiri muncul karena beberapa sebab, mulai dari faktor kemiskinan yang semakin tinggi dan munculnya banyak konflik agraria yang terus-menerus dan memuncak, seperti kasus Mesuji dan Bima. Pelaksanaan reforma agraria juga harus memperhatikan beberapa hal pokok yang dapat dijadikan prinsip dari reforma agraria itu sendiri. Pengelolaan reforma agraria harus terpadu dan tidak boleh ada tumpang tindih aturan dan ketimpangan kekuasaan serta wewenang agar tidak menimbulkan konflik yang berkaitan dengan masalah agraria. Dalam pelaksanaannya, juga harus diperhatikan aspek ekologi agar tidak merusak lingkungan. Langkah-langkah yang dapat ditempuh dalam reforma agraria ini antara lain dengan mengkaji kembali UU yang berkaitan dengan masalah agraria, memperkuat kelembagaan baik di pusat maupun daerah, dan juga adanya kejelasan wewenang sehingga tidak ada lagi tumpang tindih kekuasaan. Penyelesaian konflik yang cepat dan dukungan dana yang cukup juga akan mampu mempermudah pelaksanaan dari reforma agraria itu sendiri. Dengan adanya reforma agraria ini diharapkan mampu meluruskan kembali tujuan pokok dan utama yang tercantum pada Undang Undang Pokok Agraria sehingga berbagai konflik

75 Boedi Harsono, Op.cit, hlm. 89.

Page 78: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

52

mengenai masalah agraria dapat segera terselesaikan dengan baik. Reforma agraria juga menjadi prasyarat kedaulatan pangan nasional sehingga dalam pelaksanaannya harus pula didukung oleh semua elemen masyarakat, mulai dari pemerintahan pusat sampai daerah. Masing-masing individu juga harus mempunyai rasa tanggung jawab terhadap keberhasilan pelaksanaan reforma agraria ini.

3. Kesejahteraan Rakyat

Secara konseptual, kesejahteraan sosial memiliki beberapa makna. Midgley mengartikan kesejahteraan sosial sebagai: “a state or condition of human well-being that exist when social problems are managed, when human needs are met, and when social opportunities are maximazed.”76 Definisi diatas dapat diterjemahkan dengan kalimat sebagai berikut: “suatu keadaan atau kondisi kehidupan manusia yang tercipta ketika berbagai permasalahan sosial dapat dikelola dengan baik, kebutuhan manusia dapat terpenuhi dan ketika kesempatan sosial dapat dimaksimalkan”.

Suradi dalam Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial mengemukakan bahwa dalam perspektif teoritis, kesejahteraan sosial adalah kondisi kehidupan dan penghidupan mencakup: (1) kemampuan setiap orang dalam mengatasi masalah; (2) kemampuan setiap orang dalam memenuhi kebutuhan; dan (3) kemampuan setiap orang dalam melaksanakan peran sosialnya dengan menjunjung tinggi hak-hak.77 Kesejahteraan sosial adalah mencakup berbagai tindakan yang dilakukan manusia untuk mencapai tingkat kehidupan masyarakat yang lebih baik, sedangkan menurut rumusan Undang-Undang Republik Indonesia No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial Pasal 2 ayat (1), adalah:

76 James Midgley. 2005. Pembangunan sosial: persepektif pembangunan dalam kesejahteraan sosial. Jakarta: Ditperta Islam Depag RI. hlm. 20.

77 Suradi. 2004. Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial. Vol. 9, No. 01, Januari-Maret 2004, hlm. 12.

Page 79: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

53

“Kesejahteraan sosial adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketenteraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila”.

Dalam membahas kesejahteraan, tentu harus diketahui dahulu tentang pengertian sejahtera. Sejahtera menurut W.J.S Poerwadarminta adalah ‘aman, sentosa, dan makmur’. Sehingga arti kesejahteraan itu meliputi kemanan, keselamatan dan kemakmuran.78 Dalam arti sempit, kata sosial menyangkut sektor kesejahteraan sosial sebagai suatu bidang atau bagian dari pembangunan sosial atau kesejahteraan rakyat yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Terutama yang dikatagorikan sebagai kelompok yang tidak beruntung dan kelompok rentan. Yaitu hal yang menyangkut program-program atau pelayanan-pelayanan sosial untuk mengatasi masalah-masalah sosial seperti, kemiskinana, ketelantaran, ketidakberfungsian fisik dan psikis, tuna sosial, tuna susila, dan kenakalan remaja.79

Kesejahteran sosial memiliki arti kepada keadaan yang baik, kebahagiaan dan kemakmuran sehingga banyak orang yang menamainya sebagai kegiatan amal. Di Amerika serikat kesejahteraan sosial juga diartikan sebagai bantuan publik yang dilakukan pemerintah bagi keluarga miskin dan anak-anak mereka. Para pakar ilmu sosial mendefinisikan kesejahteraan sosial dengan tinggi rendahnya tingkat hidup masyarakat.80

Menurut Segel dan Bruzy, kesejahteraan sosial adalah kondisi sejahtera dari suatu masyarakat. Kesejahteraan sosial

78 W.J.S. Poerwadarimta. 1996.Pengertian kesejahteraan manusia. Bandung: Mizan, hlm. 126.

79 Edi Suharto. 2004. Isu-Isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi. Jakarta: Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial, hlm. 35.

80 James Midgley. 2005.Pembangunan sosial: persepektif pembangunan dalam kesejahteraan sosial. Jakarta: Ditperta Islam Depag RI, hlm. 20.

Page 80: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

54

meliputi kesehatan, keadaan ekonomi, kebahagiaan, dan kualitas hidup rakyat. Sedangkan Wilensky dan Lebeaux merumuskan kesejahteraan sosial sebagai sistem yang terorganisasi dari pelayanan-pelayanan dan lembaga-lembaga sosial yang dirancang untuk membantu individu-individu dan kelompok-kelompok agar mencapai tingkat hidup dan kesehatan yang memuaskan. Tujuannya agar tercipta hubungan-hubungan personal dan sosial yang memberi kesempatan kepada individu-individu mengembangan kemampuan-kemampuan mereka seluas-luasnya dan meningkatkan kesejahteraan mereka sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Sedangkan menurut Midgley kondisi kesejahteraan sosial diciptakan atas kompromi tiga elemen. Pertama, sejauh mana masalah-masalah sosial ini diatur, kedua sejauh mana kebutuhan-kebutuhan dipenuhi, ketiga sejauh mana kesempatan untuk meningkatkan taraf hidup dapat disediakan.81

Kesejahteraan sosial adalah keseluruhan usaha sosial yang terorganisir dan mempunyai tujuan utama untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat berdasarkan konteks sosialnya. Di dalamnya tercakup pula unsur kebijakan dan pelayanan dalam arti luas yang terkait dengan berbagai kehidupan dalam masyarakat, seperti pendapatan, jaminan sosial, kesehatan, perumahan, pendidikan, rekreasi, budaya, dan sebagainya. Salah satu landasan hukum yang dijadikan acuan adalah Undang-undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial. Dalam penjelasan umum ditetapkan bahwa “lapangan kesejahteraan sosial adalah sangat luas dan kompleks, mencakup antara lain, aspek-aspek pendidikan, kesehatan, agama, tenaga kerja, kesejahteraan sosial (dalam arti sempit), dll ”. Hal ini sesuai dengan pendapat Kamerman dan Kahn yang menjelaskan 6 komponen atau subsistem dan kesejahteraan sosial, yaitu : (1) pendidikan, (2) kesehatan, (3) pemeliharaan penghasilan, (4) pelayanan kerja, (5) perumahan, (6) pelayanan sosial personal.82

81 Ibid.82 Edi Suharto. 2005. Isu-Isu Tematik Pembangunan Sosial: Konsepsi dan Strategi.

Jakarta: Badan Pelatihan dan Pengembangan Sosial, hlm. 25.

Page 81: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

55

Pola dasar kesejahteraan sosial menunjukkan hakikat pembangunan kesejahteraan sosial adalah upaya peningkatan kualitas kesejahteraan sosial perorangan, kelompok, dan komunitas masyarakat yang memiliki harkat dan martabat, dimana setiap orang mampu mengambil peran dan menjalankan fungsinya dalam kehidupan. Pada dasarnya semua manusia, keluarga, komunitas dan masyarakat memiliki kebutuhan sosial yang harus dipenuhi agar mereka dapat mencapai yang dimaksud dengan kebahagiaan sosial. Kebutuhan tersebut merujuk pada kebutuhan biologis, pendidikan, kesehatan yang layak dan juga interaksi sosial yang harmonis. Akhirnya kesejahteraan sosial terjadi pada komunitas yang dapat menciptakan kesempatan sosial bagi penduduknya untuk meningkatkan dan merealisasikan potensi-potensi yang ada.

Kesejahteraan atau yang biasa disebut kesejahteraan sosial merupakan serangkaian aktifitas yang terorganisir yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup, relasi sosial, serta peningkatan kehidupan masyarakat yang selaras dengan standar dan norma-norma masyarakat.Terkait dengan hal ini Spicker yang dikutip Isbandi menggambarkan kebijakan sosial sekurang-kurangnya mencakup lima bidang utama yang disebut dengan Big Five Yaitu: bidang kesehatan, bidang pendidikan, bidang perumahan, bidang jaminan sosial, dan bidang pekerjaan sosial.83

4. Implikasi Hukum

Implikasi hukum merupakan akibat hukum yang akan terjadi berdasarkan suatu peristiwa hukum tertentu. Hal ini memberikan makna bahwa dalam implikasi hukum terkandung unsur hubungan hukum antar pihak, peristiwa hukum, dan akibat hukum. Peristiwa hukum adalah sesuatu yang bisa menggerakkan peraturan hukum sehingga ia secara efektif menunjukkan potensinya untuk mengatur. Dengan kata lain, peristiwa hukum merupakan peristiwa yang dapat menimbulkan akibat hukum. Implikasi yuridis menyangkut

83 Isbandi rukminto adi,pemikiran-pemikiran dalam pembangunan kesejahteraan sosial. hlm.128

Page 82: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

56

bentuk-bentuk regulasi di tingkat daerah, kewenangan pengaturan lembaga-lembaga di tingkat daerah dan substansi materialnya, serta konsekuensi pengaturan dari masing-masing pengaturan perundang-undangan.84

84 J.C.T Simorangkir. 1987. Kamus Hukum, Jakarta: Aksara Baru

Page 83: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

57

B A B III

Nilai-Nilai dalam Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960

A. Nilai-Nilai dalam Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960 Ketika Dibuat

1. Nilai-nilai dalam Keadilan

Berdasarkan politik hukum pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960 erat kaitannya dengan UU No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi. Hal ini dilatarbelakangi dengan peristiwa Sinterklas Hitam, atau yang dalam bahasa Belanda Zwarte Sinterklaas. Yakni peristiwa yang terjadi pada tanggal 5 Desember 1957, yaitu hari sebelum perayaan Sinterklas. Setelah sebulan penuh suasana anti-Belanda yang turut dikobarkan Presiden Soekarno, pada hari tersebut para warga Belanda dinyatakan bahaya bagi negara dan diserukan untuk meninggalkan Indonesia. Perusahaan Belanda dinasionalisasi. Hampir 50.000 orang Belanda meninggalkan Indonesia di bulan-bulan berikut. Hubungan ekonomi antara kedua negara putus. Tanggal 17 Agustus 1960, hubungan diplomatis juga diputuskan.1

Latar belakang peristiwa tersebut adalah keengganan Belanda meninggalkan Papua Barat, ketidakpuasan Uni Indonesia Belanda, serta kenyataan bahwa perekonomian masih dikendalikan oleh

1 Zwarte Sinterklass, Geschiedenis, http://www.geschiedenis24.nl/andere-tijden/afleveringen/2007-2008/Zwarte-Sinterklaas.html, diakses pada tanggal 1 Februari 2014

Page 84: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

58

perusahaan-perusahaan Belanda. Keengganan Belanda untuk menyerahkan wilayah Irian Barat disebabkan karena kebijakan baru dalam pembangunan beretika pada koloninya, untuk mencoba menjadikan Irian Barat sebagai wilayah persemakmuran. Semenjak kehadiran Belanda di Irian Barat, tahun 1955 bahasa Belanda dijadikan bahasa nasional dan wilayah Irian Barat di integrasikan kedalam wilayah Kerajaan.

Di bulan Desember 1957, orang-orang Belanda merasakan betul boikot terhadap mereka. Toko-toko sudah tak mau lagi melayani kalau pembelinya orang Belanda. Begitu juga di kantor-kantor, termasuk kantor pos. Orang Belanda sudah tidak berani berkeliaran di jalan-jalan. Rumah-rumah orang Belanda banyak yang kosong mendadak. Penghuninya dipaksa segera mengosongkan rumah, tanpa sempat membawa apa-apa. Mereka kemudian beramai-ramai meninggalkan Indonesia dengan menggunakan kapal laut yang disewakan oleh pemerintah Belanda. Rumah besar dan harta kekayaan semua ditinggalkan.

Sejak saat itu di lingkungan perkotaan terjadi okupasi (pendudukan) terhadap rumah/tanah-tanah yang ditinggal orang Belanda tersebut. Okupasi tersebut dilakukan baik oleh instansi maupun perorangan, yang terkadang bahkan dilakukan atas dasar rekomendasi dari P3MB.2 Sejak dari sinilah timbul kerancuan-kerancuan mengenai pemilikan atas tanah-tanah tersebut. Karena terjadi penjarahan terhadap barang-barang yang ditinggalkan orang Belanda dan banyak orang masuk ke rumah bekas Belanda yang sudah tidak berpenghuni tersebut.

Dengan adanya pemberlakuan Undang-undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda, maka hak atas penguasaan tanah dan harta-harta kekayaan lainnya menjadi terhapus dan secara legal-legitimate maka hak penguasaannya beralih kepada Negara Republik Indonesia.Masih dengan semangat yang sama yaitu semangat pendobrakan ekonomi kapitalis pasca revolusi, pemerintah pun

2 J.P. van de Kerkhof. 2005. Onmisbaar maar onbemind. De Koninklijke Paketvaart Maatschappij en de Billiton Maatschappij in het onafhankelijke Indonesië (1945-1958) in: Tijdschrift voor sociale en economische geschiedenis 2 nr. 4, hm.122-146

Page 85: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

59

segera menurunkan varian dari paket perundangan nasionalisasi asing Belanda tersebut, dengan UU No. 3 Prp Tahun 1960 yang tidak terkena Undang-undang No. 86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi.Khusus mengatur harta atas perseorangan warga negara Belanda yang telah ditinggalkan pemiliknya keluar wilayah Republik Indonesia. Atas aset ini Pemerintah menetapkan secara sepihak status penguasaannya melalui kompensasi oleh Menteri Muda Agraria yaitu bahwa peluang kepemilikan masih terbuka lebar bagi masyarakat yang berminat. Yaitu dengan cara mengajukan permohonan kepemilikan/membeli melalui Panitia Pelaksanaan Penguasaan Benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda (P3MB) hasil bentukan Menteri Muda Agraria yang pelaksanaan kegiatannya terus berkelanjutan mengingat jumlah harta benda tetap milik perseorangan yang berhasil dikumpulkan cukup banyak dan tersebar ke seluruh wilayah Indonesia.

Penjelasan atas Peraturan Pemerintah No. 223 Tahun 1961 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga-Negara Belanda disebutkan urutan pengutamaan yang dijadikan kriteria:

i. status pemohon sebagai pegawai negeri;ii. penghuni,iii. belum mempunyai rumah/tanah sendiri.

Dengan pembatasan yang memakai kriteria demikian itu, maka kiranya dapat dicegah rumah-rumah/tanah-tanah tersebut beralih kepada golongan-golongan tertentu saja dan yang kebetulan menjadi penghuninya.

Dalam perjalanannya izin untuk membeli rumah/tanah yang didasarkan kepada para ambtenaar (pegawai negeri) terguncang dengan kondisi ekonomi yang serba susah. Perdagangan macet, banyak perusahaan onderneming tutup (akibat nasionalisasi perusahaan belanda) dan kebutuhan rumah-rumah untuk pegawai Negeri pada khususnya sangat dirasakan.Oleh karena keadaan

Page 86: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

60

keuangan Negara untuk membangun rumah-rumah untuk pegawai-pegawai sangat terbatas, maka salah suatu jalan untuk memberikan bantuan kepada pegawai-pegawai ialah memberi kesempatan kepada mereka untuk membeli rumah negeri yang pada saat itu termasuk rumah yang ditinggal oleh orang Belanda.

Salah satu tujuan pemerintah pada saat itu adalah mengatasi kesukaran perumahan, yang hingga pada saat itu belum dapat diatasi.Kondisi kesulitan perumahan bagi pegawai-pegawai negeri mengakibatkan sebagian berdiam di hotel-hotel. Akibatnya biaya yang besar ini harus dipikul oleh negara. Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga telah dan sedang berusaha membangun rumah-rumah untuk perumahan Pegawai Negeri, akan tetapi karena keadaan keuangan negara, pembangunan ini sangat terbatas. Sebagai salah satu tindakan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan perumahan ini, maka diusulkan menjual rumah-rumah negeri kepada pegawai negeri.3

Atas dasar inilah penulis mencoba merefleksikan salah satu konsep tentang keadilan sebagai fairness menurut John Rawls. Rawls mencoba merumuskan dua prinsip keadilan distributif, sebagai berikut: pertama, the greatest aqual principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini merupakan hal yang paling mendasar (hak azasi) yang harus dimiliki semua orang. Dengan kata lain, hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan terwujud (prinsip kesamaan hak). Prinsip the greatest aqual principle, tidak lain adalah prinsip kesamaan hak, merupakan prinsip yang memberikan kesetaraan hak dan tentunya berbanding terbalik dengan beban kewajiban yang dimiliki setiap orang. Prinsip ini merupakan ruh dari azas kebebasan berkontrak. Kedua, ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga perlu diperhatikan azas atau dua prinsip berikut, yaitu the different principle dan the principle of fair equality of opportunity.

3 Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1955 Tentang Penjualan Rumah-Rumah Negara Kepada Pegawai-Pegawai Negeri

Page 87: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

61

Keduanya diharapkan memberikan keuntungan terbesar bagi orang-orang yang kurang beruntung, serta memberikan penegasan bahwa dengan kondisi dan kesempatan yang sama semua posisi dan jabatan harus terbuka bagi semua orang (prinsip perbedaan objektif). The different principle dan the principle of fair equality of opportunity merupakan prinsip perbedaan objektif, artinya prinsip kedua tersebut menjamin terwujudnya proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban para pihak. Sehingga secara wajar (objektif) diterima adanya perbedaan pertukaran asalkan memenuhi syarat good faith and fairness. Dengan demikian, prinsip pertama dan prinsip kedua tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Sesuai dengan azas proporsionalitas, keadilan Rawls ini akan terwujud apabila kedua syarat tersebut diterapkan secara komprehensif.4

Berdasarkan teori keadilan menurut John Rawls tersebut ketika Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960 itu dibuat sudah memenuhi nilai-nilai keadilan yang mana memberikan keuntungan terbesar bagi orang-orang yang kurang beruntung. Dalam hal ini adalah pemberian kesempatan izin untuk membeli rumah/tanah tersebut didasarkan kepada para ambtenaar (pegawai negeri) yang pada saat itu dalam ekonomi yang lemah dan mengalami kekurangan rumah-rumah terguncang dengan kondisi ekonomi pada saat itu yang serba susah.

Sehingga dapat disimpulkan dalam kondisi politik pada saat itu, benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda yang dikuasai oleh pemerintah dengan adanya urutan pengutamaan dalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 223 Tahun 1961 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga-Negara Belanda, pada kondisi saat itu sesuai dengan maksud agar supaya peralihan rumah-rumah dan tanah-tanah milik Belanda kepada warga-negara Indonesia itu dapat terselenggara relatif adil sesuai dengan nilai-nilai keadilan

4 John Rawls. 2006. A Theory of Justice, Teori Keadilan. Diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Page 88: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

62

menurut John Rawls dan merata sebagai yang menjadi tujuan dari Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960.

2. Nilai-Nilai Kepastian

Pada bulan Desember 1957, orang-orang Belanda yang meninggalkan Indonesia dengan tergesa-gesa banyak meninggalkan rumah-rumah dan harta kekayaan. Sehingga bisa dipastikan jika ada rumah yang kosong pada saat itu adalah milik warga negara Belanda yang meninggalkan Indonesia dan terjadi penjarahan terhadap barang-barang yang ditinggalkan orang belanda dan banyak orang masuk ke rumah bekas belanda yang sudah tidak berpenghuni tersebut. Sejak saat itu di lingkungan perkotaan terjadi okupasi (pendudukan) terhadap rumah/tanah-tanah yang ditinggal orang Belanda tersebut. Okupasi tersebut dilakukan baik oleh instansi maupun perorangan, yang terkadang bahkan dilakukan atas dasar rekomendasi dari P3MB. Sejak dari sinilah timbul kerancuan-kerancuan mengenai pemilikan atas tanah-tanah tersebut.

Dengan perginya orang-orang Belanda pemilik benda-benda tetap (berupa rumah dan tanah) secara tergesa-gesa, maka penguasaan atas benda-benda yang mereka harus tinggalkan itu menjadi tidak teratur. Ada yang dikuasai oleh orang-orang yang sudah mengadakan perjanjian jual-beli dengan pemiliknya, tetapi berhubung dengan adanya larangan tersebut, soal izin pemindahan haknya hingga kini belum dapat diberi keputusan. Ada yang dikuasai oleh seseorang yang ditunjuk sebagai kuasa oleh pemiliknya dan ada pula yang ditinggalkan begitu saja tanpa ada penunjukan seseorang kuasa. Berhubungan dengan itu maka perlu untuk menertibkan kembali soal penguasaanya, dengan menempatkan semua benda-benda tetap yang ditinggalkan itu, baik yang sudah ada perjanjian jual belinya, yang sudah ada kuasanya maupun yang ditinggalkan begitu saja, dibawah penguasaan Pemerintah, dalam hal ini Menteri (Muda) Agraria.

Page 89: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

63

Adapun dalam ketentuan Pasal 4 Undang-Undang No 3 Prp Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda menyebutkan:

a. Barangsiapa ingin membeli benda-benda tetap yang dikuasai menurut ketentuan dalam Pasal 1 harus mengajukan permohonan kepada Menteri Muda Agraria dengan perantaraan Panitia setempat yang bersangkutan, menurut cara yang ditentukan oleh Menteri Muda Agraria.

b. Yang diperkenankan membeli benda-benda termaksud dalam ayat (1) pasal ini hanyalah warga-negara Indonesia, yang dengan pembelian yang baru itu tidak akan mempunyai lebih dari 3 (tiga) bidang tanah.

Sedangkan Penjelasan Umum Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 223 Tahun 1961 tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang No. 3 Prp 1960 menyebutkan bahwa:

Berdasarkan atas ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 maka semua rumah/tanah kepunyaan perseorangan warga negara Belanda yang telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, dikuasai oleh Pemerintah, dalam hal ini Menteri Agraria, Untuk keperluan pelaksanaan penguasaan itu di daerah-daerah oleh Menteri Agraria telah dibentuk Panitia-panitia Pelaksana Penguasaan Milik Belanda, yaitu dengan Keputusannya No. SK 330/Ka/1960. Menurut Pasal 4 Undang-Undang tersebut memberi kesempatan bagi para peminat untuk membeli rumah/tanah yang dimaksudkan itu, dengan pembatasan, bahwa yang diperkenankan membeli hanyalah warga negara Indonesia, yang dengan pembelian baru itu tidak akan mempunyai lebih dari 2 bidang tanah. Pembelian tersebut memerlukan izin Menteri Agraria

Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 telah menjelaskan bahwa yang diperkenankan membeli benda-benda termaksud dalam ayat (1) pasal ini hanyalah warga-negara Indonesia, yang dengan pembelian yang baru itu tidak akan mempunyai lebih dari 3 (tiga) bidang tanah. Sedangkan pada

Page 90: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

64

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 223 Tahun 1961 tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang No. 3 Prp 1960 menyebutkan bahwa“kepada pegawai negeri penghuni rumah/pemakai tanah yang bersangkutan, asalkan dengan pembelian yang baru itu ia tidak akan mempunyai lebih dari 2 rumah/bidang tanah”.

Atas dasar inilah penulis mencoba merefleksikan salah satu teori tentang kepastian menurut Gustav Ra dburch. Gustav Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu: Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah perundang-undangan. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan pada kenyataan. Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh mudah diubah.

Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan. Berdasarkan pendapatnya tersebut, hukum positif yang mengatur kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat harus selalu ditaati meskipun hukum positif itu kurang adil.5

Berdasarkan teori kepastian menurut Gustav Radburch tersebut ketika Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960 itu dibuat sudah memenuhi nilai-nilai kepastian yang mana ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 223 Tahun 1961 pada saat itu dibuat dengan tujuan pemindahan hak atas benda-benda yang dimaksudkan itu dapat diselenggarakan secara tertib dan teratur dan agar dapat dicegah pula jatuhnya tanah-tanah dan rumah-rumah itu didalam tangan dari golongan yang terbatas saja. Maka dari itu, dengan adanya ketentuan pembatasan jumlah rumah/bidang tanah dalam pembelian benda-benda tetap tersebut

5 Gustav Radburch dalam Dominikus Rato. 2010. Filsafat Hukum Mencari, Menemukan dan Memahami Hukum, Yogyakarta, LaksBang Yusticia, hlm. 59.

Page 91: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

65

sesuai dengan nilai-nilai kepastian sebagaimana yang menjadi tujuan dari Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960.

3. Nilai-Nilai Kemanfaatan

Orientasi politik serta kondisi sosial ekonomi pada masa ketika Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960 dibuat adalah untuk menguatkan rasa nasionalisme yang tinggi sehingga akan tercipta keamanan negara serta meningkatkan ekonomi masyarakat Indonesia di tengah tidak meratanya perekonomian negara. Setelah warga negara Belanda meninggalkan Indonesia untuk menghindari okupasi dan agar peralihan rumah-rumah dan tanah-tanah milik Belanda kepada warga-negara Indonesia itu dapat terselenggara dengan adil dan merata maka diterbitkanlah UU No. 3 Prp Tahun 1960. Selanjutnya di dalam pasal 1 UU No. 3 Prp Tahun 1960 disebutkan:

“Semua benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda yang tidak terkena oleh Undang-undang No. 86 Tahun 1958 tentang “Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Belanda” yang pemiliknya telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, sejak mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dikuasai oleh Pemerintah, dalam hal ini Menteri (Muda) Agraria.”

Adapun penguasaan dalam pasal 1 UU No. 3 Prp Tahun 1960 bukan berarti pengambilalih ataupun nasionalisasi sebagai yang dimaksud dalam Undang-undang “Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Belanda”, dan oleh karenanya tidak menghilangkan atau menggangu gugat hak milik dari pemiliknya. Penguasaan itu berarti pengelolaan (beheer) yang bermaksud memberi wewenang kepada pemerintah dalam memberi keputusan mengenai siapa saja yang diperkenankan mengoper hak milik atas benda-benda tersebut dan mengenai cara pembayaran harganya kepada pemiliknya yang bersangkutan. Meskipun misalnya sudah ada perjanjian jual-beli, tetapi kalau pembelinya itu menurut pendapat Menteri Muda

Page 92: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

66

Agraria tidak memenuhi syarat, maka tanah atau rumah yang bersangkutan diberikan kepada orang lain yang memenuhi syarat. Oleh karena ketentuan-ketentuan dalam UU No. 3 Prp Tahun 1960 tidak mengganggu gugat hak miliknya, maka harga rumah dan tanah yang bersangkutan menjadi hak mereka sepenuhnya. Tetapi karena mereka tidak lagi menjadi penduduk Indonesia soal pembayaran harus dijalankan menurut peraturan-peraturan yang berlaku yang ditentukan pula dalam surat izin yang diberikan oleh Menteri (Muda) Agraria.

Penulis mencoba merefleksikan salah satu teori tentang kemanfaatan sebagai fairness menurut Jeremy Bentham. Bentham mendasarkan filsafatnya pada dua prinsip, yaitu prinsip asosiasi (association principle) dan prinsip kebahagiaan-terbesar (greatest-happiness principle).

Secara umum aliran Utilitarianisme menghendaki bahwa kebahagiaan selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak tercapai, diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat tersebut. Memberikan kebahagiaan bagi individu merupakan prioritas utama yang mesti diwujudkan. Bentham menginginkan agar hukum pertama-tama dapat memberikan jaminan kebahagiaan kepada individu-individu, bukan langsung kepada masyarakat secara keseluruhan.6

Pada masa ketika Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960 dibuat adalah berorientasi pada kebijakan sentralistik dimana penguasaan benda-benda tetap tersebut dikuasai oleh pemerintah, dalam hal ini Menteri (Muda) Agraria. Berdasarkan teori kemanfaatan Jeremy Bentham, Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960 itu dibuat sudah memenuhi nilai-nilai kemanfaatan dan memberikan kewenangan dalam hal penguasaan benda-benda tetap yang berarti pengelolaan (beheer). Ini bertujuan memberi wewenang kepada Pemerintah dalam memberi keputusan mengenai siapa saja yang akan diperkenankan mengoper hak milik

6 Jeremy Bentham. 2000. An Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Kitchener: Batoche Books.

Page 93: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

67

atas benda-benda tetap tersebut dan mengenai cara pembayaran harganya kepada pemiliknya yang bersangkutan. Sehingga kebijakan tersebut pada saat dibuat sudah sesuai dengan nilai-nilai kemanfaatan sebagaimana menjadi tujuan dari Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960.

B. Nilai-nilai Undang-undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960 Masa Sekarang

1. Nilai-Nilai Keadilan

Pada era kekinian ketentuan urutan pengutamaan dalam Pasal 1 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 223 Tahun 1961 sudah tidak sesuai dengan perkembangan. Hal ini didasarkan pada jaminan persamaan hak tanpa membeda-bedakan statussosial sebagaimana termaktub dalam Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menentukan, bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Atas dasar inilah penulis mencoba merefleksikan salah satu konsep tentang keadilan sebagai fairness menurut John Rawls yang pokok-pokok pikirannya menyatakan bahwa keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial sebagaimana dalam sistem pemikiran. Hal ini mengandung konsekuensi bahwa teori yang tidak benar harus ditolak, begitupun hukum yang tidak adil harus direformasi.7 Untuk lebih jelasnya penulis menggambarkan teori John Rawls sebagaimana berikut:

7 John Rawls. 2006. “A Theory of Justice”, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1995 yang diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, “Teori Keadilan, Dasar-dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm. 35.

Page 94: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

68

Gambar 2: Teori Keadilan John Rawls

Masyarakat yang tertata dengan baik adalah jika ia tidak hanya dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya, namun secara efektif diatur oleh konsepsi publik mengenai keadilan, yaitu:

a) Setiap orang menerima dan mengetahui bahwa orang lain menganut prinsip keadilan yang sama.

b) Institusi-institusi sosial dasar pada umumnya sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut. Dalam hal ini institusi dianggap adil ketika tidak membeda-bedakan orang dalam memberikan hak dan kewajiban dan ketika aturan menentukan keseimbangan yang pas antara klaim-klaim yang saling berseberangan demi kemanfaatan kehidupan sosial.

c) Adanya prinsip keseimbangan dan kelayakan pada pembagian keuntungan dalam kehidupan sosial. Keadilan sosial di sini melibatkan persoalan tentang efisiensi, koordinasi dan stabilitas.

Melihat pentingnya keadilan dalam kehidupan maka sesuai dengan pokok pikiran pertama tersebut, perlu kiranya bangsa Indonesia menempatkan kembali prinsip keadilan dalam setiap dasar kebijakan pemerintah demi terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Keadilan yang dimaksud adalah apa yang tercantum dalam sila kelima dari Pancasila, yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Adapun hukum yang adil bagi bangsa Indonesia juga harus mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.

Page 95: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

69

Makna keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 termuat dalam kata-kata terakhir alenia yang keempat sebagai penjelmaan naskah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Berisi tujuan didirikannya Negara Republik Indonesia dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, alenia keempat , yaitu sebagai berikut:

“………melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Melihat pentingnya keadilan dalam kehidupan sosial tersebut, maka sesuai dengan pokok pikiran yaitu peran keadilan menekankan bahwa hukum yang ada juga harus berjalan sesuai dengan prinsip keadilan tersebut dengan memberikan perlakuan yang sama kepada setiap anggota masyarakat, tanpa ada diskriminasi bagi golongan atau kelompok sosial tertentu. Dalam hal ini tidak berlaku diskriminasi dalam pelayanan publik, semua anggota masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang sama. Dengan demikian setiap kebijakan publik harus mempertimbangkan nilai-nilai keadilan sosial, sehingga tidak menimbulkan kecemburuan berbagai kelompok yang merasa dirugikan. Hal tersebut menjadi dasar kebijakan publik yang mengarah pada upaya menjaga stabilitas nasional dengan terciptanya pemerintahan yang adil.

Dengan demikian sesungguhnya pada tataran yuridis UUD 1945 telah memberikan asas persamaan di depan hukum (equality before the law) bagi semua warga Indonesia sebagai subyek hukum penerima hak atas tanah. Artinya, bahwa semestinya sudah tidak ada lagi perlakuan hukum yang berbeda terhadap beberapa pihak secara kurang adil. Menurut Maria, intisari keadilan sebenarnya

Page 96: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

70

adalah pengakuan terhadap manusia, sesuai dengan harkatnya sebagai manusia.8 Keadilan yang dimaksud Maria dalam hal ini adalah berkaitan dengan tanah, karena masalah tanah sangat menyentuh sendi-sendi keadilan, apalagi jumlah tanah semakin hari semakin langka dan terbatas, padahal tanah merupakan kebutuhan dasar manusia.

Berkaitan dengan urutan pengutamaan dalam Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 223 Tahun 1961 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga-Negara Belanda tidak sesuai dengan jaminan persamaan hak tanpa membeda-bedakan status sosial sebagaimana termaktub di dalam Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menentukan, bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Maka urutan pengutamaan dalam Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 223 Tahun 1961 tidak mencerminkan rasa keadilan,

2. Nilai-Nilai Kepastian

Ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang No. 3 Prp Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda menyebutkan:

Yang diperkenankan membeli benda-benda termaksud dalam ayat (1) pasal ini hanyalah warga-negara Indonesia, yang dengan pembelian yang baru itu tidak akan mempunyai lebih dari 3 (tiga) bidang tanah.

Sedangkan Penjelasan Umum Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 223 Tahun 1961 tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang No. 3 Prp 1960 menyebutkan bahwa:

8 Maria SW Sumardjono. 2000. Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi. Jakarta: Kompas, hlm. 1

Page 97: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

71

Berdasarkan atas ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 maka semua rumah/tanah kepunyaan perseorangan warga negara Belanda yang telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, dikuasai oleh Pemerinta, dalam hal ini Menteri Agraria, Untuk keperluan pelaksanaan penguasaan itu di daerah-daerah oleh Menteri Agraria telah dibentuk Panitia-panitia Pelaksana Penguasaan Milik Belanda, yaitu dengan Keputusannya No. SK 330/Ka/1960. Menurut Pasal 4 Undang-Undang tersebut memberi kesempatan bagi para peminat untuk membeli rumah/tanah yang dimaksudkan itu, dengan pembatasan, bahwa yang diperkenankan membeli hanyalah warga negara Indonesia, yang dengan pembelian baru itu tidak akan mempunyai lebih dari 2 bidang tanah. Pembelian tersebut memerlukan izin Menteri Agraria

Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 telah menjelaskan bahwa yang diperkenankan membeli benda-benda termaksud dalam ayat (1) pasal ini hanyalah warga-negara Indonesia, yang dengan pembelian yang baru itu tidak akan mempunyai lebih dari 3 (tiga) bidang tanah. Sedangkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 223 Tahun 1961 tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang No. 3 Prp 1960 menyebutkan bahwa “Kepada pegawai negeri penghuni rumah/pemakai tanah yang bersangkutan, asalkan dengan pembelian yang baru itu ia tidak akan mempunyai lebih dari 2 rumah/bidang tanah”.

Penulis mencoba merefleksikan salah satu konsep tentang Kepastian hukum menurut Gustav Radburch. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi. Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk inkonsistensi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas,

Page 98: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

72

tetap, konsisten dan konsekuen yang pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif. Untuk lebih jelasnya penulis akan menggambarkan teori Gustav Radburch sebagaimana berikut:

Gambar 3: Teori Kepastian Gustav Radburch

Menurut Gustav Radbruch, terdapat dua macam pengertian kepastian hukum, yaitu kepastian hukum oleh hukum dan kepastian hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang berguna. Kepastian hukum oleh karena hukum memberi tugas hukum yang lain, yaitu keadilan hukum serta hukum harus tetap berguna. Sedangkan kepastian hukum dalam hukum tercapai apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya dalam undang-undang. Dalam undang-undang tersebut terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan (undang-undang berdasarkan suatu sistem yang logis dan praktis). Undang-undang dibuat berdasarkan rechtswerkelijkheid (keadaan hukum yang sungguh-sungguh) dan dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan.

Bahwa dalam hal penegakan hukum, setiap orang selalu mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadinya peristiwa kongkrit.Dengan kata lain bahwa peristiwa tersebut tidak boleh menyimpang dan harus ditetapkan sesuai dengan hukum yang ada (berlaku), yang pada akhirnya nanti kepastian hukum

Page 99: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

73

dapat diwujudkan. Pentingnya kepastian hukum sesuai dengan yang terdapat pada Pasal 28D ayat (1) Undang–Undang Dasar 1945 perubahan ketiga bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.

Jika mengacu pembelian berdasarkan uraian di atas telah terjadi insinkronisasi pada tataran Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960. Yaitu dikatakan bahwa pembelian yang baru tidak akan mempunyai lebih dari 3 (tiga) bidang tanah sedangkan pada peraturan pelaksananya pembelian yang baru itu ia tidak akan mempunyai lebih dari 2 rumah/bidang tanah. Apabila hal ini dibiarkan terus menurus akan terjadi hambatan dan kesulitan bagi aparatur pertanahan dalam mengimplementasikan pasal tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 dan peraturan pelaksanaanya tidak mencerminkan rasa kepastian hukum

3. Nilai-Nilai Kemanfaatan

Obyek P3MB yang tersebar di seluruh Indonesia dan belum terinventarisir dengan baik mencerminkan ketidakpastian hukum. Hal ini berbeda dengan Undang-Undang No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi yang mengatur serta menunjuk obyek nasionalisasi.Permasalahan yang kedua adalah pelaksanaan untuk mendapatkan izin membeli obyek P3MB menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960 menyebutkan bahwa:

Semua benda tetap milik perseorangan warga-negara Belanda, yang tidak terkena oleh Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang “Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Belanda” (Lembaran-Negara tahun 1958 No. 162). yang pemiliknya telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, sejak mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dikuasai oleh Pemerintah, dalam hal ini Menteri (Muda) Agraria.

Page 100: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

74

Pasal di atas menerangkan bahwa untuk mendapatkan obyek P3MB harus mendapat izin dari Menteri (Muda) Agraria (sekarang Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia). Hal ini dipandang tidak efektif dan efisien karena sekecil dan luasnya tanah yang di ajukan oleh masyakat harus mengurus kepada Menteri (Muda) Agraria (Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia) di Jakarta. Yaitu karena memerlukan banyak waktu, biaya yang tidak sedikit, dan tenaga yang telah dikeluarkan.

Penulis mencoba merefleksikan salah satu konsep tentang kemanfaatan hukum menurut Jeremy Bentham yang pokok-pokok pikirannya menyatakan hukum barulah dapat diakui sebagai hukum, jika ia memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya terhadap sebanyak-banyaknya orang. Hukum bertujuan untuk “the greatest happiness of the greatest number”. Tujuan perundang-undangan harus berusaha untuk mencapai empat tujuan:

a. To provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup).b. To provide abundance (untuk memberikan makanan yang

berlimpah).c. To provide security (untuk memberikan perlindungan).d. To attain equility (untuk mencapai persamaan).9

Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu, maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan Negara. Untuk lebih jelasnya penulis akan menggambarkan teori Jeremy Bentham sebagaimana berikut:

9 Bernard L. Tanya, dkk. 2010. Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Surabaya: CV. Kita, hlm. 127.

Page 101: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

75

Gambar 4: Teori Kemanfaatan Jeremy Bentham

Selanjutnya dalam memperoleh benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda belum memenuhi rasa keadilan dan kemanfaatan dikarenakan proses birokrasi yang masih sentralistik. Birokrasi yang dimaksud adalah mengharuskan kepada pemohonan obyek P3MB untuk mengajukan permohonannya kepada Menteri (Muda) Agraria di Jakarta. Hal ini sudah tidak sesuai lagi pada era disentralisasi yang pada hakikatnya adalah untuk mendekatkan birokrasi pelayanan kepada masyarakat.

Berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 pada permohonan P3MB di Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur yaitu pada proses pengurusan benda-benda milik perseorangan warga negara Belanda (obyek P3MB) memerlukan waktu, biaya, dan tenaga yang tidak sedikit. Padahal menurut Peraturan Kepala BPN No 1 Tahun 2010 tentang Standard Pelayanan Permohonan telah dijelaskan bahwa tenggang waktu pengurusan adalah 145 (seratus empat puluh lima) hari. Namun pada kenyataannya dari tabel di atas menunjukkan pengurusan permohonan benda-benda milik perseorangan warga negara Belanda (obyek P3MB) memerlukan waktu yang sangat lama hingga bertahun-tahun. Hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik Pasal 3 huruf b jo. Pasal 4 huruf i yang mengamanahkan bahwa tujuan dari pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah adalah terwujudnya sistem pelayanan publik yang layak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik, dengan memerhatikan asas kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan. Maka Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 tidak mencerminkan rasa kemanfaatan hukum.

Page 102: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,
Page 103: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

77

B A B IV

Implikasi Hukum

Berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960

A. Implikasi Penguasaan Tanah terhadap Benda-Benda yang Ditinggalkan Warga Negara Belanda

Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda hukum tanah yang berlaku menganut asas domein verklaring. Yaitu tanah dimiliki oleh Pemerintah Hindia Belanda dan hubungan hukum masyarakat dengan tanah adalah bersifat landrente atau masyarakat adalah penyewa sehingga dikenakan pajak sewa dan pajak bumi yang sangat memberatkan. Hal tersebut tidaklah sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Oleh sebab itu dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda yang Berada di Dalam Wilayah Republik Indonesia, maka semua perusahaan-perusahaan Belanda termasuk juga perusahaan-perusahaan perkebunan/pertanian milik Belanda beserta aset-asetnya, diambil alih oleh Negara Republik Indonesia.

Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dimaksudkan dalam rangka pembangunan ekonomi nasional dan memberi manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Pemerintah Indonesia berpendapat bahwa tindakan-tindakan pengambilalihan terhadap perusahaan-perusahaan milik Belanda ini merupakan

Page 104: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

78

suatu kebijaksanaan dalam mewujudkan perekonomian nasional yang sesuai dengan kepribadian dan jiwa bangsa Indonesia. Hal ini juga sesuai dengan politik bebas di lapangan perekonomian yang nondiskriminasi terhadap negara-negara sahabat dan tidak memberikan tempat untuk kedudukan yang menentukan kepada salah satu negara, serta untuk lebih memperkokoh potensi nasional bangsa Indonesia maupun untuk melikuidasi kekuasaan ekonomi kolonial Belanda.

Dalam diktum pertimbangan huruf a dan c Undang-Undang Nomor 58 Tahun 1958 dinyatakan bahwa setelah bangsa Indonesia merdeka dan menjadi Negara yang berdaulat penuh, sudah waktunya untuk mengeluarkan ketegasan terhadap perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia, berupa nasionalisasi untuk dijadikan milik Negara. Hal ini dimaksudkan untuk memberi manfaat sebesar-besarnya pada masyarakat Indonesia dan juga untuk memperkokoh keamanan dan pertahanan Negara.

Untuk itu pada tanggal 27 Desember 1958 dibentuklah undang-undang mengenai perusahaan-perusahaan milik Belanda yang dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 162, yaitu Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.Berdasarkan Peraturan Pemerintah, perusahaan-perusahaan tersebut dikenakan nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik penuh dan bebas Negara Republik Indonesia.

Dengan berlakunya Undang-Undang nomor 86 Tahun 1958, dan telah pula ditunjuknya perusahaan-perusahaan yang dikenakan nasionalisasi itu serta semangat anti Belanda yang meningkat, mengakibatkan banyaknya orang Belanda pemilik benda-benda tetap (berupa rumah dan tanah) ke luar Indonesia secara tergesa-gesa. Ada yang dikuasai oleh orang-orang yang sudah mengadakan perjanjian jual beli dengan pemiliknya berhubung pada saat itu terdapat larangan soal izin pemindahan haknya maka jual beli tersebut tidak dapat dilakukan, kemudian ada

Page 105: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

79

pula yang ditinggalkan begitu saja tanpa penunjukkan seorang kuasa.Berhubung dengan itu, oleh pemerintah dianggap perlu diadakan ketentuan-ketentuan yang khusus yang bertujuan agar pemindahan hak atas benda-benda (berupa rumah dan tanah) dapat diselenggarakan dengan tertib dan teratur dan agar dapat dicegah pula jatuhnya tanah-tanah dan rumah-rumah peninggalan warga Negara Belanda ke dalam tangan golongan tertentu saja. Pertama-tama yang dipandang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah menerbitkan kembali penguasaan dengan menempatkan semua benda-benda tetap yang ditinggalkan baik yang sudah ada perjanjian jual beli yang sudah ada kuasanya maupun yang ditinggalkan begitu saja, di bawah penguasaan pemerintah, dalam hal ini Menteri (Muda) Agraria.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 223 Tahun 1961 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 4 Dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda ditentukan pemberian ijin membeli dengan ketentuan urutan pengutamaan sebagai berikut:

a. kepada pegawai negeri penghuni rumah/pemakai tanah yang bersangkutan, yang belum mempunyai rumah/tanah;

b. kepada pegawai negeri penghuni rumah/pemakai tanah yang bersangkutan, asalkan dengan pembelian yang baru itu ia tidak akan mempunyai lebih dari 2 rumah/bidang tanah;

c. kepada pegawai negeri bukan penghuni rumah/pemakai tanah yang bersangkutan yang belum mempunyai rumah/ tanah;

d. kepada bukan pegawai negeri, tetapi yang menjadi penghuni rumah/pemakai tanah yang bersangkutan, yang belum mempunyai rumah/tanah.

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Juni 1973 No. SK.143/DJA/1973 ditetapkan susunan keanggotaan Panitia Pelaksana Penguasaan Milik Belanda sebagai berikut:

Page 106: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

80

a. Kepala Direktorat Agraria Provinsi sebagai ketua merangkap anggota;

b. Seorang pejabat dari Kantor Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi yang ditunjuk oleh Gubernur Kepala Daerah sebagai anggota;

c. Seorang pejabat dari Kantor Inspektorat Pajak Provinsi yang ditunjuk oleh Kepala Inspektorat Pajak Provinsi sebagai anggota;

d. Seorang pejabat dari Kantor Dinas Pekerjaan Umum Provinsi sebagai anggota;

e. Seorang pejabat dari Kantor Perwakilan Imigrasi yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Perwakilan Imigrasi sebagai anggota;

f. Seorang pejabat dari Kantor Direktorat Agraria Provinsi yang ditunjuk oleh Kepala Direktorat Agraria Provinsi sebagai Sekretaris bukan anggota.

Maksud dikeluarkannya peraturan di atas adalah menegaskan kembali tentang berakhirnya hak atas tanah asal konversi bekas hak-hak barat pada tanggal 24 September 1980, yang juga merupakan prinsip yang telah digariskan di dalam UUPA. Maksudnya untuk dapat benar-benar mengakhiri berlakunya sisa hak-hak barat atas tanah di Indonesia dengan segala sifat-sifatnya yang tidak sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, hak atas tanah asal konversi hak barat itu tidak akan diperpanjang lagi, sehingga tanah-tanah asal konversi bekas hak-hak barat dimaksud sejak 24 September 1980 statusnya menjadi tanah yang dikuasai negara, dan selanjutnya oleh negara akan diatur kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah melalui pemberian hak baru.

Berdasarkan kedua peraturan di atas, ada beberapa kriteria/syarat yang harus diperhatikan dalam rangka pemberian hak baru atas tanah asal konversi bekas hak barat, yaitu :

a. Kepada bekas pemegang hak yang memenuhi syarat dan mengusahakan atau menggunakan sendiri tanah/bangunan akan diberikan hak baru atas tanahnya, kecuali apabila tanah-

Page 107: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

81

tanah tersebut diperlukan untuk proyek-proyek pembangunan bagi penyelenggaraan kepentingan umum.

b. Kepada bekas pemegang hak yang tidak diberikan hak baru karena tanahnya diperlukan untuk proyek pembangunan, akan diberikan ganti rugi yang besarnya akan ditetapkan oleh suatu panitia penaksir.

c. Tanah-tanah Hak Guna Usaha asal konversi hak barat yang sudah diduduki oleh rakyat dan ditinjau dari sudut tata guna tanah dan keselamatan lingkungan hidup lebih tepat diperuntukkan untuk pemukiman atau kegiatan usaha pertanian, akan diberikan hak baru kepada rakyat yang mendudukinya.

d. Tanah-tanah perkampungan bekas Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi hak barat yang telah menjadi perkampungan atau diduduki rakyat, akan diberikan prioritas kepada rakyat yang mendudukinya, setelah dipenuhinya persyaratan-persyaratan yang menyangkut kepentingan bekas pemegang hak tanah.

e. Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai asal konversi hak barat yang dimiliki oleh Perusahaan Milik Negara, Perusahaan Daerah serta Badan-badan Negara, diberi pembaharuan hak atas tanah.Dengan memperhatikan ketentuan bahwa tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi hak Barat tersebut, jangka waktunya akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960. Sehingga pada saat berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

Penguasaan warga atas tanah bekas Recht van Opstal (RvO)diatur dengan Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda Yang Berada Di Dalam Wilayah Republik Indonesia. Pada prinsipnya, hukum telah mengatur bahwa seluruh bekas hak-hak barat sudah tidak ada lagi

Page 108: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

82

(karena konversi) atau hapus, yang ada adalah tanah negara bekas hak barat dan tiap orang atau badan hukum yang memenuhi syarat seperti yang diatur di dalam UUPA, dapat mengajukan permohonan hak di atas tanah negara tersebut menurut peruntukan dan keperluannya.

Berdasarkan ketentuan Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat Jo. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1979 tentang Ketentuan-Ketentuan Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, ada tiga prioritas yang wajib diperhatikan dalam rangka pemberian hak atas tanah. Prioritas tersebut yaitu kepentingan umum, kepentingan bekas pemegang hak, dan kepentingan mereka yang menduduki/memanfaatkan tanah dengan etiket baik dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan bekas pemegang hak. Pertama, apabila dipergunakan atau dimanfaatkan untuk kepentingan negara/umum, maka tertutuplah kemungkinan bekas pemegang hak dan masyarakat yang menduduki untuk memperoleh hak atas tanah tersebut. Namun demikian, negara akan memberikan kompensasi baik bekas pemegang haknya maupun masyarakat yang pernah menguasai atau mendudukinya. Kedua, apabila tanah negara tersebut tidak dipergunakan atau dimanfaatkan untuk kepentingan umum dan tidak ada pendudukan oleh masyarakat, maka bekas pemegang hak mendapatkan prioritas memperoleh kembali dengan jalan mengajukan permohonan hak atas tanah tersebut.Ketiga, prioritas diberikan kepada masyarakat yang menguasai atau menduduki tanah negara bekas hak barat tersebut. Dalam Pasal 4 Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979, disebutkan bahwa “tanah-tanah Hak Guna Usaha asal konversi hak barat yang sudah diduduki oleh rakyat dan ditinjau dari sudut tata guna tanah dan keselamatan lingkungan hidup lebih tepat diperuntukkan untuk pemukiman atau kegiatan usaha pertanian, akan diberikan hak baru kepada rakyat yang mendudukinya”, sedangkan dalam Pasal 5 disebutkan bahwa “tanah-tanah perkampungan bekas Hak Guna

Page 109: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

83

Bangunan dan Hak Guna Pakai asal konversi hak barat yang telah menjadi perkampungan atau diduduki rakyat akan diberikan prioritas kepada rakyat yang mendudukinya setelah dipenuhinya persyaratan-persyaratan yang menyangkut kepentingan bekas pemegang hak tanah”. Apabila bekas hak barat tersebut berupa pekarangan atau lahan tanpa bangunan, maka tidak ada kewajiban bagi mereka memberikan kompensasi kepada bekas pemegang hak. Adanya kompensasi terhadap benda-benda di atas tanah negara bekas hak barat tersebut memberikan pengertian bahwa siapapun yang menginginkan hak atas tanah negara itu harus memberikan kompensasi kepada bekas pemegang haknya.

Dari kedua pasal di atas, jelas bahwa tanah-tanah bekas Hak Guna Bangunan asal konversi hak barat yang telah dijadikan pemukiman/perkampungan oleh warga, maka kepada warga diberikan prioritas utama untuk mengajukan pemohonan hak, namun dengan tetap memperhatikan kepentingan bekas pemegang hak, karena dalam hal ini bekas pemegang hak masih mempunyai hak keperdataan (hak privilege).

Syarat-syarat pengajuan permohonan hak sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, antara lain :

1. Permohonan hak milik atas tanah negara diajukan secara tertulis;

2. Permohonan tersebut memuat:a. Keterangan mengenai pemohon:

1) A p a b i l a p e r o r a n g a n : n a m a , u m u r, kewarganegaraan, tempat t inggal dan pekerjaannya serta keterangan mengenai istri/suami dan anaknya yang masih menjadi tanggungannya;

2) Apabila badan hukum: nama, tempat kedudukan, akta atau peraturan pendiriannya, tanggal dan

Page 110: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

84

nomor surat keputusan pengesahannya oleh pejabat yang berwenang tentang penunjukannya sebagai badan hukum yang mempunyai hak milik berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik :

1) Dasar penguasaan atau alas haknya dapat berupa sertipikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari Pemerintah, putusan pengadilan, akta PPAT, akta pelepasan hak, dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya;

2) Letak, batas-batas dan luasnya;3) Jenis tanah;4) Rencana penggunaan tanah;5) Status tanahnya.

c. Lain-lain :1) Keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan

status tanah-tanah yang dimiliki oleh pemohon, termasuk bidang tanah yang dimohon;

2) Keterangan lain yang dianggap perlu.Dalam Surat Keputusan tersebut, tercantum ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut :a) Segala akibat, biaya, untung dan rugi yang

timbul karena pemberian hak milik ini, maupun tindakan penguasaan atas tanah yang bersangkutan menjadi tanggung jawab sepenuhnya penerima hak, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b) Bidang tanah tersebut harus diberi tanda batas sesuai dengan ketentuan peraturan

Page 111: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

85

perundang-undangan yang berlaku serta harus dipelihara keberadaannya.

c) Penerima hak milik diwajibkan membayar lunas uang pemasukan kepada negara melalui bendaharawan khusus/penerimaan Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten sebesar sesuai yang diatur dalam peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

d) Ta n a h te r s e b u t h a r u s d i g u n a k a n dan d imanfaa tkan sesua i dengan peruntukkannya dan sifat serta tujuan dari hak yang diberikan.

Bahwa dengan pemberlakuan Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda, maka hak atas penguasaan tanah dan harta-harta kekayaan lainnya menjadi terhapus. Secara legal-legitimate maka hak penguasaannya beralih kepada Negara Republik Indonesia yaitu semangat pendobrakan ekonomi kapitalis pasca revolusi, pemerintah pun segera menurunkan varian dari paket perundangan nasionalisasi asing Belanda tersebut, dengan Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960 tentang Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda yang tidak terkena Undang-undang No. 86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi, yang khusus mengatur harta atas perseorangan warga negara Belanda yang telah ditinggalkan pemiliknya keluar wilayah Republik Indonesia. Atas aset ini pemerintah menetapkan secara sepihak status penguasaannya melalui kompensasi oleh Menteri (Muda) Agraria (status hukum tanah-tanah hak barat) yaitu bahwa peluang kepemilikan masih terbuka lebar bagi masyarakat yang berminat.Yaitu dengan cara mengajukan permohonan kepemilikan/ membeli melalui Panitia Pelaksanaan Penguasaan Benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda (P3MB) hasil bentukan Menteri (Muda) Agraria yang pelaksanaan kegiatannya terus berkelanjutan mengingat jumlah harta benda tetap milik perseorangan yang berhasil dikumpulkan cukup banyak dan tersebar ke seluruh

Page 112: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

86

wilayah Indonesia. Pertanyaan kemudian adalah bagaimanakah upaya untuk mendapatkan data tentang benda-benda tetap milik perseorangan Belanda yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia? Ada beberapa hal menurut peneliti yang harus dilakukan adalah

1. Melakukan sosialisasi terhadap obyek benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda kepada dinas terkait disetiap pemerintahan di daerah sebagai tindakan perencanaan,

2. Tahap persiapan untuk menyiapkan segala sesuatu yang berkenaan dengan keberadaan obyek benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda dan menentukan ciri-ciri atau karakter dari obyek benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda,

3. Tahap pelaksanaan yakni melakukan pendataan/inventarisasi tentang obyek benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda pada masing-masing pemerintah daerah.Tahapan di atas akan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam menentukan apakah tanah/bangunan yang mereka tempati adalah obyek P3MB atau tidak sehingga akan tercipta keharmonisan dan kepastian hukum.

B. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok- Pokok Kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979, tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi hak barat yang jangka waktunya telah berakhir, dalam rangka menata kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikannya harus memperhatikan :

a. Masalah tata guna tanahnya;b. Sumber daya alam dan lingkungan hidup;c. Keadaan kebun dan penduduknya;d. Rencana pembangunan di Daerah;

Page 113: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

87

e. Kepentingan-kepentingan bekas pemegang hak dan penggarap tanah/penghuni bangunan.

Adapun hal-hal lain yang diatur di dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 ini, antara lain bahwa :

a. Kepada bekas pemegang hak yang memenuhi syarat dan mengusahakan atau menggunakan sendiri tanah/bangunan akan diberikan hak baru atas tanahnya, kecuali apabila tanah-tanah tersebut diperlukan untuk proyek-proyek pembangunan bagi penyelenggaraan kepentingan umum.

b. Kepada bekas pemegang hak yang tidak diberikan hak baru karena tanahnya diperlukan untuk proyek pembangunan, akan diberikan ganti rugi yang besarnya akan ditetapkan oleh suatu panitia penaksir.

c. Tanah-tanah Hak Guna Usaha asal konversi hak barat yang sudah diduduki oleh rakyat dan ditinjau dari sudut tata guna tanah dan keselamatan lingkungan hidup lebih tepat diperuntukkan untuk pemukiman atau kegiatan usaha pertanian, akan diberikan hak baru kepada rakyat yang mendudukinya.

d. Tanah-tanah perkampungan bekas Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi hak barat yang telah menjadi perkampungan atau diduduki rakyat, akan diberikan prioritas kepada rakyat yang mendudukinya, setelah dipenuhinya persyaratan-persyaratan yang menyangkut kepentingan bekas pemegang hak tanah.

e. Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai asal konversi hak barat yang dimiliki oleh Perusahaan Milik Negara, Perusahaan Daerah serta Badan-badan Negara diberi pembaharuan hak atas tanah yang bersangkutan dengan memperhatikan ketentuan tersebut Pasal 1.

Page 114: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

88

C. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1979 tentang Ketentuan-Ketentuan Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1979, diatur mengenai Ketentuan-Ketentuan Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, yang meliputi Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai asal konversi hak-hak barat.

Khusus mengenai tanah-tanah bekas hak guna bangunan asal konversi hak barat, dapat diberikan dengan sesuatu hak baru kepada bekas pemegang haknya, jika :

a. Dipenuhi persyaratan dalam Pasal 2 dan 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1979, antara lain :1) Dalam menentukan kembali peruntukan dan penggunaan

tanah yang dimaksud, diperhatikan kesesuaian fisik tanahnya dengan usaha-usaha yang akan dilakukan di atasnya dan rencana-rencana pembangunan di daerah yang bersangkutan demi kelestarian sumber daya alam dan keselamatan lingkungan hidup.

2) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas tanah konversi hak barat yang telah berakhir masa berlakunya, dan masih memerlukan tanah yang bersangkutan wajib mengajukan permohonan hak baru, sepanjang dipenuhi syarat-syarat yang dipenuhi dalam peraturan ini.

3) Permohonan yang dimaksud wajib dilakukan dalam tenggang waktu selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980.

b. Tanah yang bersangkutan dikuasai dan digunakan sendiri oleh bekas pemegang haknya.

Page 115: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

89

c. Tidak seluruhnya digunakan untuk proyek-proyek bagi penyelenggaraan kepentingan umum.

d. Di atasnya berdiri suatu bangunan milik bekas pemegang hak yang didiami/digunakan sendiri.

e. Di atasnya berdiri suatu bangunan milik bekas pemegang hak, yang didiami/digunakan oleh suatu pihak lain dengan persetujuan pemilik bangunan/bekas pemegang hak.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tanah-tanah bekas Hak Guna Bangunan asal konversi hak barat, menurut peraturan perundangan yang berlaku jelas tidak dapat diberikan dengan hak baru kepada pemegang haknya sepanjang tidak diperlukan untuk proyek-proyek bagi penyelenggaraan kepentingan umum. Namun dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak yang pada saat mulai berlakunya peraturan ini nyata-nyata menguasai dan menggunakan secara sah. Jika di atas tanah Hak Guna Bangunan terdapat bangunan milik bekas pemegang hak, maka pemohon hak baru tersebut wajib menyelesaikan soal bangunan itu dengan pemegang hak yang bersangkutan sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Apabila bekas hak barat tersebut berupa pekarangan atau lahan tanpa bangunan, maka tidak ada kewajiban bagi mereka memberikan kompensasi kepada bekas pemegang hak. Namun, kompensasi terhadap benda-benda di atas tanah negara bekas hak barat tersebut memberikan pengertian bahwa siapapun yang menginginkan hak atas tanah negara itu harus memberikan kompensasi kepada bekas pemegang haknya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1979 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Permohonan dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-hak Barat, yang menyatakan bahwa : “tanah bekas Hak Guna Bangunan asal konversi hak barat dapat diberikan suatu hak kepada pihak lain selama pihak lain tersebut secara nyata menguasai dan menggunakan secara sah sesuai dengan peraturan yang berlaku dan mengenai bangunan dan tanaman yang ada di

Page 116: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

90

atas tanah dapat diselesaikan sendiri antara bekas pemegang hak dengan pemohon baru”.

D. Hubungan Desentralisasi dan Reforma Agraria dalam Pengaturan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Belanda

Proses desentralisasi pemerintahan mengalami perkembangan yang sangat pesat sejalan dengan perkembangan demokrasi. Desentralisasi dapat terbentuk desentralisasi politik, administrasi, keuangan, dan ekonomi/pasar (market). Berkaitan dengan reformasi birokrasi, proses desentralisasi yang paling erat kaitannya adalah desentralisasi politik dan sistem adminitrasi. Berbagai teori dan konsep desentralisasi tidak terlepas dari teori-teori yang mendasarinya dan saling terikat antara satu dan lainnya, terutama teori organisasi, teori manajemen, dan teori pengambilan keputusan. Teori desentralisasi tidak terlepas dengan nama-nama besar seperti Max Weber dengan teori organisasi dan birokrasi (1889), Fredick Wlnslow Taylor dengan teori manajemen ilmiah (1911), Woodrow Wilson dengan teori administrasi public (1886), Ludwig Von Mises dengan teori reformasi birokrasi (1944), dan para ahli manajemen modern, antar lain, David Osborne dan Ted Baebler dengan reinventing government (1991). Dalam sistem manajemen modern, berbagai teori dan pemikiran berkembang sejalan dengan perkembangan teknologi dan demokrasi.1

Desentralisasi merupakan proses yang sangat kompleks dan pada hakikatnya berkaitan dengan proses distribusi pengambilan keputusan dan sistem pemerintahan agar lebih dekat dengan rakyat (to bring governance closes to the citizens). Dilihat dari teori organisasi, desentralisasi (juga disebut sebagai kementeriantalisasi) adalah suatu kebijakan pendelegasian kewenangan dalam pengambilan keputusan dari organisasi yang tinggi kepada organisasi yang sangat rendah atau dari tingkat nasional kepada

1 Taufiq Effendi. 2013. Reformasi Birokrasi dan Iklim Inverstasi. Jakarta: Konstitusi Press, hlm. 61.

Page 117: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

91

subnasional. Dilihat dari segi politik, desentralisasi merupakan strategi untuk melonggarkan kekuasan sentralisitik yang rawan terhadap tirani atau oligarki.2

Banyak teori desentralisasi yang berkembang sejalan dengan perkembangan manajemen pemerintahan. Namun, dalam best practices diberbagai Negara, desentralisasi pada dasarnya mencakup dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi. Dekonsentrasi merupakan proses desentralisasi yang paling lemah, yaitu bentuk pergeseran tanggung jawab manajemen dan pengelolahan keuangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, tapi supervisi dan pengendaliannya tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat.3 Delegasi merupakan proses pengalihan atau transfer tanggung jawab di bidang manajemen dan fungsi-fungsi administrasi dari pemerintah pusat kepada lembaga semi pemerintah seperti dalam proses seperti pembentukan badan-badan usaha milik Negara. Sedangkan, devolusi adalah proses pengalihan kewenangan administrasi pemerintah dan keuangan, terutama dalam penyelenggaraan pelayanan publik, yang dilandasi oleh desentralisasi politik dalam rangka mewujudkan otonomi daerah yang memiliki sistem pemilihan mandiri.

Sepuluh tahun yang silam, perubahan besar dalam hubungan ketatanegaraan di Indonesia terjadi saat desentralisasi berlaku efektif menyusul berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah kemudian diubah menjadi Undang-Undang No. 32 tahun 2004. Diperkuat lagi dengan Undang-Undang 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang No. 33 Tahun 2004. Desentralisasi tidak saja merekonstruksi hubungan politik dan ekonomi pemerintah pusat dan daerah, namun membawa pula perubahan pada relasi negara dan rakyat dalam penguasaan dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam serta penataan ruang. Sesungguhnya, perubahan telah dimulai ketika era Soeharto berakhir dan sebuah masa perubahan yang dikenal

2 Ibid.3 Ibid.

Page 118: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

92

sebagai “reformasi” terjadi di pelbagai bidang, termasuk dibidang hukum dan politik. Melalui proses desentralisasi semua perubahan dan inisiatif pembentukan hukum baru dilapangan hukum agraria meliputi pertanahan, kehutanan, pertambangan, perikanan, pengelolaan air, dan sebagainya dibawa lebih dekat kepada rakyat.4

Penyelenggaraan desentralisasi dan reformasi hukum dalam satu dasawarsa terakhir memunculkan sejumlah pertanyaan pokok sebagaimana berikut: Pertama, bagaimanakah keduanya berfungsi sebagai faktor pendorong atau justru penghambat bagi pemerintah dan penyelenggara negara lainnya ditingkat pusat dan daerah untuk mengkonseptualisasi, mereposisi, dan mengimplementasikan hak-hak negara dan rakyat atas tanah dan kekayaan alam, dalam kerangka hukum dan praktik pemerintahan yang ada? Kedua, bagimanakah kesenjangan hukum negara dan sistem norma yang dianut rakyat dalam pengaturan mengenai penguasaan tanah dan kekayaan alam dipahami atau diselesaikan? Ketiga bagaimanakah ruang dimana tanah dan kekayaan alam tersebut berada didefinisikan dan dialokasikan oleh negara? Keempat, bagaimana para aktor yang meliputi legislator, birokrat, penegak hukum, masyarakat dan kelompok masyarakat sipil memanfaatkan, memanipulasi ataupun kemudian justru terpinggirkan dalam proses menentukan dan implementasi hukum di bidang ini.5

Hambatan dan tantangan dalam ihtiar membentuk negara hukum Indonesia tidak saja bersumber dari persoalan bagaimana kita seharusnya memahami hukum dalam arti sempit dan luas, namun sekaligus juga terkait berkelindan dengan sistem pemerintahan yang hendak dikembangkan dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Lagi pula desentralisasi sebagai kebijakan politik pasca orde baru sekaligus merombak sistem serta struktur hukum yang hendak dibangun. Persoalan bagaimana memahami hukum serta menelusuri hukum mana yang

4 Myrna A Safitri dan Tistam Moeliono. Bernegara hukum dan berbagi kuasa dan urusan agraria di Indonesia: suatu pengantar dalam Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia. Jakarta: Huma, Vanvollen hoven, KITLV, hlm. 10.

5 Ibid.

Page 119: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

93

sebenarnya berlaku menambah kerumitan upaya membangun negara hukum Indonesia. Terlepas dari pengamatan umum di atas desentralisasi demikian juga besar pengaruhnya terhadap bagaimana kewenangan mengatur dan urusan pertanahan dan pengelolaan kekayaan alam antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota dibagi dan diatur.

Desentralisasi dalam urusan pertanahan dan kekayaan alam tidak hanya terjadi di Indonesia. Desentralisasi dibidang ini merupakan gejala global yang muncul berkembang sejak penghujung abad yang lalu dengan berbagai justifikasi. Khususnya di Indonesia, sudah sejak zaman Hindia Belanda dan juga pada masa pemerintahan orde lama maupun orde baru, desentralisasi telah diujicobakan ke dalam pelbagai model pemerintahan yang diberlakukan pada periode tersebut. Bahkan juga pemerintah pasca Soeharto sekarang ini, dengan caranya sendiri telah mengupayakan pendelegasian sejumlah kewenangan, termasuk dibidang pertanahan, pengelolaan sumber daya dan tata ruang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Yang membedakan desentralisasi dari tiap periode di atas adalah kenyataan bahwa baru sekarang desentralisasi berdampak demikian besar terhadap relasi pemerintahan pusat dan daerah, bahkan memunculkan suatu konsensus sosial politik baru dalam kehidupan pemerintahan dan bernegara.6

Salah satu tujuan negara hukum adalah untuk membatasi kekuasaan negara dengan cara mengkaitkan dan menundukkannya kepada hukum. Tujuan lain adalah tentu saja adalah untuk melindungi warga negara dari berbagi bentuk ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang dapat dan mungkin dilakukan oleh negara atau yang dilakukan sesama warga negara terhadap lainnya. Desentralisasi melalui pendelegasian kewenangan dari pemerintah pusat kepada Pemerintah daerah, juga berimplikasi terhadap pembagian kekuasaan negara atas tanah dan kekayaan alam. Selain itu, desentralisasi memungkinkan pelayanan negara

6 Ibid.

Page 120: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

94

yang langsung kepada warganya. Dengan demikian, maka desentralisasi menjadi instrumen terpenting untuk mendekatkan warga pada proses pembentukan hukum dan pada pemerintah yang wajib melaksanakan hukum tersebut. Termasuk dalam proses desentralisasi demikian ialah membuka akses layanan hukum bagi masyarakat untuk memperjuangkan kepentingannya. Singkat kata, kesemuanya itu adalah tujuan dari negara hukum.

Bagaimanakah halnya dengan desentralisasi dibidang pertanahan? Kekayaan alam dan ruang di Indonesia pasca orde baru? Apakah kekuasaan negara ditingkat daerah berjalan dengan baik, apakah aparat negara dapat melindungi warga negara secara optimal, apakah warga dapat pula memperoleh perlindungan dan fasilitas hukum dalam penguasaan dan pemanfaatannya atas tanah dan kekuasaan alam, apakah mereka menjadi faktor yang diuntungkan dalam mengalokasikan ruang?

Untuk menjawab pertanyaan di atas Didik Sukriono memberikan pernyataan bahwa jauh sebelum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, ide atau gagasan satuan pemerintahan daerah yang otonom sudah menjadi diskursus para the founding fathers kita.7 Semaun (1926) menulis, bahwa pemerintahan negara modern akan tersusun dari: (a) pemerintah dan parlemen; (b) pemerintah propinsi dan dewan propinsi; (c) pemerintah kota dan dewan kota. Selanjutnya Mohammad Hatta mengatakan, bahwa pembentukan pemerintahan daerah (pemerintah yang berotonomi) merupakan salah satu aspek pelaksanaan kedaulatan rakyat (demokrasi), yakni hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak hanya ada pada pucuk pimpinan negeri ini, melainkan juga pada tiap tempat di kota, desa, dan daerah. Gagasan tersebut dapat dipahami, mengingat kondisi geografis Indonesia yang sangat luas dengan kemajemukannya menyebabkan tuntutan kebutuhan

7 Didik Sukriono. 2013. Hukum Konstitusi dan Konsep Otonomi, Kajian politik hukum tentang konstitusi, otonomi daerah dan desa pasca perubahan konstitusi. Malang: Setara Press, hlm. 124.

Page 121: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

95

untuk mengakomodasinya dalam penerapan desentralisasi dan otonomi daerah.8

Didik menambahkan Secara teoritis dan faktual, pembentukan daerah otonom melalui desentralisasi tidak akan menjadi penyebab terjadinya disintegrasi nasional, tetapi justru sangat kondusif bagi tercapainya intergrasi nasional. Pemberian status otonomi kepada kelompok-kelompok masyarakat di wilayah masing-masing akan mendorong warga masyarakat berpartisipasi dalam skala daerah dan nasional. Dengan demikian akan terwujud unity within diversity dan diversity in unity.

Namun demikian, perjalanan pemerintahan daerah (otonomi daerah) kerapkali dijadikan instrumen politik oleh penguasa sehingga sejak kemerdekaan konsep dan prinsip daerah yang dianut selalu berubah berdasar kepentingan penguasa. Hubungan pusat dan daerah selalu bergerak bagaikan “pendulum” (bandul) pada ekstrim sentralistik dan ekstrim desentralistik. Sehingga Mahfud MD mengatakan, politik hukum otonomi daerah senantiasa digariskan melalui proses eksperimen yang tak pernah selesai, yaitu selalu berubah dan diubah sesuai dengan perubahan konfigurasi politik.

Perubahannya nampak seperti dalam bagan berikut:

Gambar 5: Bandul Otonomi Daerah

Refleksi Bandul Kewenangan Pusat dan Daerah

(Sumber: Mahfud MD dalam Didik Sukriono Tahun 2013)

8 Ibid.

Page 122: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

96

Mahfud MD mengatakan bahwa hukum merupakan produk politik yakni formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan. Pandangan tersebut, menggambarkan keadaan pembentukan undang-undang yang menitikberatkan pada politik daripada hukum, walaupun produk akhir politik tersebut tetap sebagai produk hukum yang harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat. Hal inilah yang belum disadari oleh pembentuk undang-undang bahwa keputusan politik yang dituangkan dalam suatu undang-undang merupakan produk hukum yang secara yuridis isinya harus dilaksanakan, walaupun kemudian disadari bahwa undang-undang tersebut sulit dilaksanakan karena substansinya sarat dengan elemen-elemen politik. Oleh karena itu, dinamika hubungan pusat dan daerah sejak awal kemerdekaan senantiasa digariskan melalui proses eksperimen yang tak pernah selesai. Ia selalu berubah dan diubah sesuai dengan perubahan konfigurasi politik. Perubahan itu menyangkut berbagai aspek dalam sistem otonomi, seperti aspek formal, materiil, nyata, seluas-luasnya, hubungan kekuasaan, cara pemilihan dan sebagainya, yang dalam praktiknya di lapangan senantiasa menimbulkan masalah yang berbenturan dengan budaya dan perilaku politik yang selalu mengalami tolak-tarik antara elite dan masyarakat. Warsito Utomo menambahkan, bahwa setiap undang-undang atau kebijakan pemerintah yang dikeluarkan atau ditetapkan mengenai otonomi dan desentralisasi selalu sangat erat atau sangat dipengaruhi oleh sistem politik, sistem pemerintahan atau suasana politik dan bahkan keinginan power elit pada suatu waktu atau orde.9

Lebih lajut Didik membagi periodesasi hubungan pusat dan daerah sebagaimana uraian berikut ini:10

9 Warsito Utomo, Kajian Kritis RUU Pemerintahan Daerah dan Implikasinya terhadap Tata Pemerintahan Yang Demokratis, dalam reformasi Tata Pemerintahan Desa Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar dan YAPIKA dan Forum LSM DIY, Yogyakarta, 2000, hlm. 158-159.

10 Ibid.

Page 123: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

97

1. Periode Awal Kemerdekaan

UU yang pertama lahir di dalam sepanjang sejarah Republik Indonesia adalah UU No, 1 Tahun 1945. UU ini dibuat dalam semangat demokrasi menyusul proklamasi kemerdekaan yang memang menggelorakan semangat kebebasan. UU tersebut hanya berisi enam pasal yang pada pokoknya memberi tempat penting bagi Komite Nasional Daerah sebagai alat perlengkapan demokrasi di daerah.

UU tersebut lebih menganut asas otonomi formal dalam arti menyerahkan urusan-urusan kepada daerah-daerah tanpa secara spesifik menyebut jenis atau bidang urusannya. Ini berarti bahwa daerah bisa memilih sendiri urusannya selama tidak ditentukan bahwa urusan-urusan tertentu diurus oleh pusat atau diatur oleh pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi.

Pada tahun 1948 dikeluarkan UU No. 22 Tahun 1948 guna menyempurnakan UU sebelumnya yang dirasakan masih dualistik. UU No. 22 Tahun 1948 ini menganut asas otonomi formal dan materiil sekaligus. Ini terlihat dari Pasal 23 ayat (2) yang menyebut urusan yang diserahkan kepada daerah (materiil) dan Pasal 28 yang menyebutkan adanya pembatasan-pembatasan bagi DPRD untuk tidak membuat perda tertentu yang telah diatur oleh pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi. Hal ini menunjukkan adanya keinginan untuk memperluas otonomi daerah.

Di era berlakunya UUDS 1950, gagasan otonomi nyata yang seluas-luasnya tak dapat dibendung sehingga lahirlah UU No. 1 Tahun 1957. Di sini, dari sudut UU sudah dikenal adanya pemilihan kepala daerah secara langsung, meski UU belum sempat dilaksanakan karena terjadi perubahan politik. Dalam UU ini, DPRD dijadikan tulang punggung otonomi daerah sedangkan tugas-tugas pembantuan dilakukan oleh DPD (Dewan Pemerintah Daerah).

Page 124: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

98

2. Periode Orde Lama

Pada periode orde lama, politik hukum otonomi daerah mengalami titik balik dari desentralisasi ke sentralisasi yang hampir mutlak. Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya, menganggap bahwa otonomi luas mengancam keutuhan bangsa dan karena itu otonomi harus disesuaikan dengan konsepsi Penpres No. 6 Tahun 1959 yang mempersempit otonomi daerah. Istilah otonomi seluas-luasnya masih dipakai sebagai asas, tetapi elaborasinya di dalam sistem pemerintahan justru merupakan pengekangan yang luar biasa atas daerah. Kepala daerah ditentukan sepenuhnya oleh Pusat dengan wewenang untuk mengawasi jalannya pemerintahan di daerah, bahkan wewenang untuk menangguhkan keputusan-keputusan DPRD sehingga lembaga ini praktis sama sekali tak mempunyai peran.

Selanjutnya Penpres No. 6 Tahun 1959 diberi baju hukum baru dengan dikeluarkannya UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja, yang isinya tidak mengubah substansi dan sistem yang dianut di dalam Penpres tersebut. Perubahannya lebih didasarkan pada upaya menempelkan Manipol-USDEK di dalam UU tersebut dan didasarkan pada pemikiran bahwa sebaiknya Penpres itu diganti dengan UU mengingat konstitusi Indonesia tidak mengenal adanya Penpres.

3. Periode Orde Baru

Pemerintah Orde Baru mencabut Tap MPRS No. XXI/MPRS/1966 tentang Otonomi Daerah dan memasukkan masalah itu ke dalam Tap MPR No. IV/MPR/1973 tentang GBHN. Ketentuan GBHN tentang politik hukum otonomi daerah dijabarkan di dalam UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 5 Tahun 1979 yang melahirkan sentralisasi kekuasaan dan menumpulkan otonomi daerah. Dengan UU yang sangat sentralistik mengakibatkan ketidakadilan politik (seperti kedudukan DPRD sebagai bagian dari pemerintah daerah dan cara penetapan kepala daerah) dan ketidakadilan ekonomi

Page 125: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

99

karena kekayaan daerah lebih banyak disedot oleh pusat dan berikutnya dijadikan alat operasi dan tawar-menawar politik.

Dorodjatun Kuntjara Jakti menyebutkan, bahwa persoalan mendasar yang dihadapi oleh orde baru pada tahap awal pemerintahannya adalah kenyataan tentang adanya ketimpangan antar daerah yang sangat besar. Kondisi seperti ini telah menghadapkan orde baru pada suasana yang sangat dilematis ketika harus mengimplementasikan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Pada satu sisi, implementasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan suatu keniscayaan dalam rangka menegakkan prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan untuk mendukung percepatan pembangunan ekonomi di daerah. Namun, pada sisi lain, praktik desentralisasi dan otonomi daerah juga sangat berpotensi untuk melahirkan instabilitas pemerintahan atau bahkan dapat memicu munculnya kembali gerakan daerah.11

Atas dasar kondisi tersebut, sistem politik atau arahan politik orde baru berorientasi kepada 3 (tiga) tantangan utama; pertama, bagaimana membangun legitimasi sebagai penguasa; kedua, bagaimana membangun stabilitas demi pembangunan; ketiga, bagaimana membangun kekuasaan sebagai pemerintah pusat yang mempunyai kewenangan di daerah-daerah. Dan tidak mengherankan untuk mencapai ketiga hal tersebut, penerapan use of authority menjadi lebih besar, luas, dan kuat dari pada freedom for subordinate. Konotasinya diterapkannya security approach dan khusus untuk formulasi dan implementasi pemerintah di daerah dinampakkan istilah atau konsep; penguasa tunggal, daerah-daerahnya pusat, dan pusatnya daerah. Dekonsentrasi sama kedudukan dan pentingnya dengan desentralisasi (akibatnya dekonsentrasi menjadi overshadowing desentralisasi).

11 Dorojatun Kuntjara Jakti, The Political Economy of Development: The Case Of Indonesia Under The New Order Goverment, Berkeley University CALIFORNIA, 1981, hlm. 133 dalam Didik Sukriono, Hukum Kontitusi dan Konsep Otonomi, Setara Press, Malang, 2013.

Page 126: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

100

4. Periode Orde Reformasi

Ketika reformasi tahun 1988, politik hukum otonomi daerah yang di masa orde baru tertuang di dalam UU No. 5 Tahun 1974, kembali dipersoalkan karena UU ini dianggap sebagai instrument otoriterisme pemerintah pusat. UU No. 5 Tahun 1974 kemudian diganti dengan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004, yang substansinya kembali meletakkan prinsip otonomi luas dalam hubungan antara Pusat dan Daerah.

Tiga alasan utama reformasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerahnya, yaitu: pertama, dalam rangka demokratisasi sistem pemerintahan; kedua, dalam rangka meningkatkan pelayanan publik; dan ketiga, reformasi kebijakan desentralisasi diharapkan akan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang responsif, akuntabel, dan terbuka bagi partisipasi masyarakat dalam proses perumusan kebijakan.

Keinginan kuat UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 untuk menggeser “pendulum” sentralisasi kekuasaan kearah desentralisasi antara lain ditunjukkan secara eksplisit oleh formulasi definisi desentralisasi itu sendiri, yang secara tegas menyebutkan: “desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Rumusan definisi desentralisasi dalam UU No. 5 Tahun 1974, yang menyebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan urusan pemerintahan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Untuk memperjelas periodesasi antar masa kemasa yang berkaitan dengan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah, penulis jabarkan kedalam bentuk tabel berikut ini:

Page 127: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

101

Tabe

l 2:

Peri

odes

asi H

ubun

gan

anta

ra P

emer

inta

h Pu

sat d

an D

aera

h

NO

PER

IOD

EAT

UR

AN

KET

ERA

NG

AN

01Aw

al K

emer

deka

anU

U N

o 1 T

ahun

1945

UU

No.

22

Tahu

n 19

48

UU

DS

1950

- Te

rdir

i dar

i en

am p

asal

yan

g pa

da p

okok

nya

mem

beri

te

mpa

t pen

ting

bagi

Kom

ite N

asio

nal D

aera

h se

baga

i ala

t pe

rlen

gkap

an d

emok

rasi

di d

aera

h.

- A

sas o

tono

mi f

orm

al d

alam

art

i men

yera

hkan

uru

san-

urus

an k

epad

a da

erah

-dae

rah

tanp

a se

cara

spes

ifik

men

yebu

t jen

is a

tau

bida

ng u

rusa

nnya

.

- as

as o

tono

mi f

orm

al d

an m

ater

iil se

kalig

us

- Pa

sal 2

3 (2

) yan

g m

enye

but u

rusa

n ya

ng d

iser

ahka

n ke

pada

Dae

rah

(mat

eriil

) dan

Pas

al 2

8 ya

ng m

enye

butk

an

adan

ya p

emba

tasa

n-pe

mba

tasa

n ba

gi D

PRD

unt

uk

tidak

mem

buat

Per

da te

rten

tu y

ang

tela

h di

atur

ole

h pe

mer

inta

h ya

ng ti

ngka

tann

ya le

bih

tingg

i

- G

agas

an o

tono

mi n

yata

yan

g se

luas

-luas

nya

tak

dapa

t di

bend

ung

sehi

ngga

lahi

rlah

UU

No.

1 Ta

hun

1957

- su

dah

dike

nal a

dany

a pem

iliha

n ke

pala

dae

rah

seca

ra la

ngsu

ng

02O

RDE

LAM

AKo

nsep

si P

enpr

es N

o. 6

Tah

un

1959

- So

ekar

no d

enga

n de

mok

rasi

terp

impi

nnya

, men

gang

gap

bahw

a ot

onom

i lua

s men

ganc

am k

eutu

han

bang

sa

- Pe

npre

s No.

6 T

ahun

1959

dib

eri b

aju

huku

m b

aru

deng

an

dike

luar

kann

ya U

U N

o. 18

Tah

un 19

65 te

ntan

g

Page 128: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

102

NO

PER

IOD

EAT

UR

AN

KET

ERA

NG

AN

Pem

erin

taha

n D

aera

h da

n U

U N

o. 19

Tah

un 19

65 te

ntan

g D

esap

raja

, yan

g is

inya

tida

k m

engu

bah

subs

tans

i dan

si

stem

yan

g di

anut

di d

alam

Pen

pres

ters

ebut

03O

RDE

BARU

Tap

MPR

S N

o. X

XI/

MPR

S/19

66

tent

ang

Oto

nom

i Dae

rah

dan

mem

asuk

kan

mas

alah

itu

ke d

alam

Tap

MPR

No.

IV/

MPR

/197

3 te

ntan

g G

BHN

- Ke

tent

uan

GBH

N te

ntan

g po

litik

huk

um o

tono

mi d

aera

h di

jaba

rkan

di d

alam

UU

No.

5 T

ahun

1974

dan

UU

No.

5

Tahu

n 19

79 y

ang

mel

ahir

kan

sent

ralis

asi k

ekua

saan

dan

m

enum

pulk

an o

tono

mi d

aera

h

- 3

(tig

a) ta

ntan

gan

utam

a; p

erta

ma,

bag

aim

ana

mem

bang

un le

gitim

asi s

ebag

ai p

engu

asa;

Ked

ua,

baga

iman

a m

emba

ngun

stab

ilita

s dem

i pem

bang

unan

; Ke

tiga,

bag

aim

ana

mem

bang

un k

ekua

saan

seba

gai

pem

erin

tah

pusa

t yan

g m

empu

nyai

kew

enan

gan

di

daer

ah-d

aera

h

REFO

RMA

SIU

U N

o. 5

Tah

un 19

74

kem

udia

n di

gant

i den

gan

UU

N

o. 2

2 Ta

hun

1999

dan

UU

No.

32

Tah

un 2

004

- pe

rtam

a, d

alam

rang

ka d

emok

ratis

asi s

iste

m

pem

erin

taha

n; k

edua

, dal

am ra

ngka

men

ingk

atka

n pe

laya

nan

publ

ik; d

an k

etig

a, re

form

asi k

ebija

kan

dese

ntra

lisas

i dih

arap

kan

akan

dap

at m

enin

gkat

kan

kepe

rcay

aan

mas

yara

kat k

epad

a pe

mer

inta

h ya

ng

resp

onsi

ve, a

kunt

abel

, dan

terb

uka

bagi

par

tisip

asi

mas

yara

kat d

alam

pro

ses p

erum

usan

keb

ijaka

n.

Sum

ber:

Dio

lah

oleh

pen

ulis

dar

i Did

ik 2

013

:126.

Page 129: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

103

Tabel di atas memberikan gambaran bahwa antar periodesasi hubungan pusat dan daerah terjadi pergeseran mulai dari otonomi yang seluas-luasnya sampai kepada pembatasan dari otonomi tersebut, karena ada kekwatiran kewenangan daerah akan berbenturan dengan kewenangan pusat. Perhatian yang cukup menarik pada pergerseran di masa reformasi yang hubungan pusat dan daerah semata-mata untuk meningkatkan pelayanan publik dengan tujuan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah yang responsif, akuntabel, dan terbuka bagi partisipasi masyarakat dalam proses perumusan kebijakan.

E. Implikasi Yuridis Pengaturan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Belanda

Pada bagian awal tadi penulis telah menguraikan bahwa permohonan yang diajukan oleh masyarakat terhadap benda-benda milik perseorangan warga negara Belanda mengalami birokrasi yang terlalu lama. Pemikiran inilah yang menjadikan dasar penulis untuk menggagas sebuah reforma birokrasi di bidang pengurusan benda-benda milik perseorangan warga negara Belanda untuk meningkatkan pelayanan publik. Yakni dengan menyederhanakan pengurusan yang semula harus dilakukan di pusat dalam hal ini adalah Menteri (Muda) Agraria menjadi kewenangan di tingkat daerah masing-masing tempat dimana tanah atau benda yang bersangkutan berada. Hal ini bukan tidak beralasan sebab pada perkembangannya pemerintah telah mengeluarkan Permendagri No. 24 Tahun 2006 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu (One Stop Service) untuk mendorong pemerintahan daerah memberikan pelayanan yang makin bagus (better), makin murah (cheaper), makin cepat (faster), dan makin sederhana (simpler).Upaya pembenahan tersebut menjadi sebuah keharusan, karena pelayanan publik selama ini menunjukkan gejala-gejala, seperti: terbatasnya alokasi anggaran daerah, kurang jelasnya prosedur, biaya dan waktu penyelesaian yang lama, lemahnya akuntabilitas dalam penyediaan pelayanan publik, Standar

Page 130: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

104

Pelayanan Minimum (SPM) untuk pelayanan dasar belum tersusun secara komprehensif, berbelit-belitnya prosedur dari pemerintah daerah untuk mengurus keperluan investasi, kurang koordinasi antar stakeholders, terbatasnya SDM, dan belum berkembangnya sikap entrepreneurship di kalangan pemerintah daerah.

Lebih lanjut Taufiq Effendi mengatakan bahwa terwujudnya aparatur negara profesional, andal, dan bermoral dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance dapat dilaksanakan dengan tujuh program sebagaimana berikut:

1. Meningkatkan efektivitas dan efesiensi koordinasi program pendayagunaan aparatur negara;

2. Meningkatkan kualitas pelayanan publik;3. Meningkatkan akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan;4. Meningkatkan kordinasi pengawasan;5. Meningkatkan kelembagaan dan ketatalaksanaan yang efektif

dan efisien;6. Meningkatkan profesionalitas SDM aparatur; dan7. Meningkatkan kinerja aparatur negara.

Dengan mendayagunakan aparatur negara, maka sasaran penyelenggaraan negara adalah terciptanya pemerintahan yang efisien dan efektif serta dapat memberikan pelayanan prima kepada seluruh masyarakat. Reformasi menyangkut aktivitas pengubahan, perombakan, penataan perbaikan atau penyempurnaan terhadap aparatur, lembaga atau instansi, organisasi pemerintah, pegawai pemerintah, sistem kerja, dan perangkat kerja, termasuk peraturan perundang-undangan.

Atas semangat reformasi birokrasi dengan mendekatkan pelayanan kepada masyarakat agar tercipta suatu tujuan yakni birokrasi yang efektif dan efisien, maka dalam rangka pengurusan memperoleh benda-benda milik perseorangan warga negara Belanda maka persyaratan untuk mendapatkan obyek P3MB (benda-benda milik perseorangan warga negara Belanda) harus menempuh persyaratan sebagaimana berikut.

Page 131: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

105

Tabe

l 3: P

enye

lesa

ian

Perm

ohon

an P

embe

lian

obye

k P3

MB

DA

SAR

HU

KU

MPE

RSY

AR

ATA

NB

IAYA

WA

KTU

KET

ERA

NG

AN

a.

UU

No

3 19

60

b.

UU

NO

5/1

960

c.

UU

NO

21/

1997

Jo. U

U N

o 20

/200

0

d. P

P N

o 22

3/19

61

e.

Pera

tura

n Pr

esid

ium

No

5 Pr

k/19

65

f. PP

No

24/1

997

g.

PP N

o 13

/201

0

h. P

erat

uran

Men

teri

Ke

uang

an N

o 18

8/PM

K.0

6/20

08

i. PM

NA

/KBP

N N

o 3/

1997

j. PM

NA

/KBP

N N

o 9/

1999

1. Fo

rmul

ir pe

rmoh

onan

yan

g su

dah

diis

i dan

dita

ndat

anga

ni

oleh

Pem

ohon

/kua

sany

a di

at

as m

ater

ai y

ang

cuku

p.

2.

Sura

t kua

sa a

pabi

la d

ikua

saka

n

3.

Foto

kopi

Iden

titas

Pem

ohon

(K

TP,K

K) d

an k

uasa

apa

bila

di

kuas

akan

, yan

g te

lah

dico

cokk

an d

enga

sn a

slin

ya

oleh

pet

ugas

loke

t.

4.

Pem

ohon

an m

elal

ui K

etua

P3

MB

5.

Sura

t Ket

eran

gan

Tana

h

6.

Sura

t Ijin

Pen

ghun

i (SI

P) d

ari

Din

as P

erum

ahan

7.

Kete

rang

an d

ari I

mig

rasi

te

ntan

g ke

war

gane

gara

an

bela

kas [

emili

k P3

MB

Biay

a se

suai

de

ngan

ket

entu

an

Pera

tura

n Pe

mer

inta

h te

ntan

g je

nis d

an ta

rif a

tas

jeni

s pen

erim

aan

nega

ra b

ukan

paj

ak

yang

ber

laku

pad

a BP

N R

I

145

(ser

atus

em

pat p

uluh

lim

a) h

ari

Form

ulir

Perm

ohon

an

mem

uat :

1. Id

entit

as d

iri

2. L

uas,

leta

k da

n pe

nggu

naan

tana

h ya

ng d

imoh

on

3. P

erny

ataa

n ta

nah

tidak

seng

keta

4. P

erny

ataa

n ta

nah

diku

asai

secr

a fs

isk

Cat

atan

:

1. Ja

ngka

wak

tu

dilu

ar ja

ngka

wak

tu

pem

erik

saan

Pan

itia

P3M

B/Pr

k 5 d

an R

isala

h pe

naks

iran

harg

a tan

ah

dan

atau

rum

ah

Page 132: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

106

DA

SAR

HU

KU

MPE

RSY

AR

ATA

NB

IAYA

WA

KTU

KET

ERA

NG

AN

8.

Kete

rang

an d

ari K

anto

r wila

yah

Ditj

en P

ajak

(Unt

uk P

rk 5

)

9.

Das

ar/p

erol

ehan

hak

ata

s ta

nah

10. P

engu

mum

an se

kali

di d

ua

sura

t kab

ar h

aria

n ya

ng

bere

dar s

ecar

a um

um d

enga

n m

asa

teng

gang

30

hari

seja

k ha

ri p

engu

mum

amn

11. F

otol

opi S

TTP

PBB

tahu

n be

rjal

an y

ang

tela

h di

coco

kkan

de

ngan

asl

inya

ole

h pe

tuas

lo

ket.

12.

Peny

ataa

n ke

sang

gupa

n m

emba

yar n

ilai t

aksi

ran

atas

ta

nah

bang

unan

13.

Sura

t per

nyat

aan

belu

m p

erna

h m

empe

role

h ta

nah/

rum

ah d

ari

Pem

erin

tah.

2. J

angk

a w

aktu

tida

k te

rmas

uk w

aktu

yan

g di

perl

ukan

unt

uk

peng

irim

an b

erka

s/do

kum

en d

an K

anta

h ke

Kan

wil

dan

BPN

RI

mau

pun

seba

likny

a.

Sum

ber :

Lam

pira

n Ke

tent

uan

Stan

dart

Pel

ayan

an P

enye

lesa

ian

Oby

ek P

3MB

men

urut

Per

atur

an K

epal

a BP

N N

o. 1

Tahu

n 20

10

Page 133: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

107

Gambar 6: Prosedur Pengurusan Objek P3MB

Sumber : Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa TimurTahun 2013

Gambar 7: Desain Prosedur Baru Pengurusan Objek P3MB

Sumber : Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur Tahun 2013, diolah oleh Penulis

Dalam Tabel dan Bagan di atas cukup menggambarkan bahwa pengurusan obyek P3MB harus menempuh persyaratan yang cukup banyak serta jangka waktu yang panjang. Waktu yang tertera tabel diatas adalah 145 hari, namun ada juga yang menambah lamanya pengurusan ini yakni waktu bagi Panitia P3MB dalam menaksir harga tanah dan atau rumah. Selain itu waktu juga diperlukan pada

Page 134: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

108

saat pengiriman berkas antara Kanwil di daerah dengan BPN RI. Hal ini yang dirasakan bahwa pelayanan publik dibidang pengurusan obyek P3MB menjadi tidak efektif dan efisien.12

Pada kenyataannya telah terjadi 90% okupasi (pendudukan) terhadap tanah-tanah di perkotaaan. Okupasi tersebut dilakukan baik oleh instansi maupun perorangan, yang terkadang bahkan dilakukan atas dasar rekomendasi dari P3MB. Faktor-faktor yang menjadi sumber timbulnya kasus pertanahan yang terbanyak adalah kasus penguasaan dan kepemilikan tanah, yang terdiri dari:13

1. Kasus penguasaan di atas tanah-tanah negara ex Hak Barat;2. Kasus penguasan di atas tanah-tanah negara kawasan hutan;3. Kasus penguasaan di atas tanah-tanah perkebunan (HGU/

ex.HGU)4. Kasus penguasaan di atas tanah-tanah aset pemerintah/BUMN

ex. Nasionalisasi;5. Kasus penguasaan di atas tanah-tanah perumahan/

pengembang; 6. Kasus penguasaan tanah-tanah milik adapt ex. okupasi bala

tentara Jepang; 7. Kasus penguasan masyarakat atas nama hak milik asal

konvensi; 8. Kasus penguasaan/pemilikan atas tanah obyek P3MB.

Permasalahan P3MB harus segera diselesaikan. Hal ini karena juga berimplikasi pada Penerimaan Negara Bukan Pajak. Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2010 mengatakan bahwa, jenis PNBP yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional adalah penerimaan dari kegiatan:

1. Pelayanan Survei, Pengukuran, dan Pemetaan;

12 Seperti Kasus Permohonan kasus P3MB/PRK5 yang di ajukan oleh Imanuel Sandro Salim, pekerjaan swasta, kewarganegraan Indonesia, bertempat tinggal di Jalan Argopuro No 48 Surabaya. Data diperoleh dari Kantor Wilayah Surabaya.

13 http://ramadhanpohan.com/beranda/35-berita-popular/414-mewujudkan-kemakmuran-dan-menyelesaikan-sengketa-tanah-dengan-bijak diakses pada tanggal 12 September 2013.

Page 135: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

109

2. Pelayanan Pemeriksaan Tanah;3. Pelayanan Konsolidasi Tanah Secara Swadaya;4. Pelayanan Pertimbangan Teknis Pertanahan;5. Pelayanan Pendaftaran Tanah;6. Pelayanan Informasi Pertanahan;7. Pelayanan Lisensi.8. Pelayanan Pendidikan;9. Pelayanan Penetapan Tanah Objek Penguasaan Benda-benda

Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda (P3MB)/Peraturan Presidium Kabinet Dwikora Nomor 5/Prk/1965;

10. Pelayanan di Bidang Pertanahan yang Berasal dari Kerja Sama dengan Pihak Lain.

Dengan demikian sebagai objek yang merupakan salah satu penerimaan negara, objek P3MB sangat penting untuk diinvetarisasi secara jelas. Sehingga objek P3MB di Indonesia menjadi jelas adanya.

Dalam upaya meminimalisir terhadap sengketa pertanahan, maka diperlukan strategi yang komprehensif guna mengantisipasi dan mengurangi angka sengketa dibidang pertanahan, maka untuk itu perlu dilaksanakan beberapa upaya strategi sebagai berikut:14

a. Strategi administratif Negara, yang sangat membutuhkan profesionalisme serta komprehensip/holistik (multidisiplin) dan berorientasi proses. Perubahan struktur organisasi sektoral bukan berdasar produk (komoditas) tetapi struktur organisasi atas dasar proses. Hal ini meminimalisasi kepentingan-kepentingan sektoral atas dasar produk yang berdampak kebijakan yang dibuat menteri yang sebenarnya hanya hasil salah satu deputi yang tupoksinya adalah produk dan bukan proses yang membutuhkan profesionalisme multidisiplin).

b. Yudikatif, menyelesaikan timpang tindih perundangan dan rekomendasi perumusan payung regulasi pertanahan

14 A P Perlindungan. 1998. Pendaftaran Tanah Di Indonesia. Bandung: Mandar Maju, hlm. 82.

Page 136: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

110

Negara dapat dibentuk “KPN” Komisi Pertanahan Negara. Ini merupakan bentuk implementasi regulasi kekuasaan Negara terhadap tanah Negara, yang sekarang diemban oleh kekuasaan pemerintah dan hanya sektoral.

c. Strategi legislatif (wakil rakyat) bersama presiden berkewajiban mengatur semua kebijakan terkait kekuasaan negara, RAPBN (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara), dan RPTPN (Rencana Penyediaan Tanah Pembangunan Negara).Karena sebelumnya, lembaga eksekutif hanya menyerahkan urusan tersebut kepada sektor yang menguasai (administratif-BPN) dan penguasaan tanah dominan-kehutanan.

d. Stategi masyarakat, masyarakat sebenarnya dapat meredam sendiri konflik yang terjadi di lingkungannya. Untuk itu dibutuhkan kearifan dan kemauan bersama untuk menyelesaikan persoalan pertanahan yang menjadi objek sengketa antara yang satu dengan yang lainnya.

Bahwa dengan pemberlakuan undang-undang nasionalisasi perusahaan Belanda, maka hak atas penguasaan tanah dan harta-harta kekayaan lainnya menjadi terhapus dan secara legal – legitimate,sehingga hak penguasaannya beralih kepada Negara Republik Indonesia. Akhirnya dapat diambil batasan,bahwa yang dikategorikan aset asing Belanda adalah hanyalah yang termasuk dalam kriteria Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960, yaitu milik perseorangan warga negara Belanda yang telah ditinggal pemiliknya ke luar wilayah Republik Indonesia. Klasifikasi aset berdasarkan Undang-undang Nomor 86 tahun 1958 telah terlegitimasi secara sempurna dan sesuai dengan semangat keadilan serta nilai-nilai proklamasi, sementara atas aset tetap milik perseorangan Belanda masih akan ditertibkan status hukumnya oleh P3MB baik melalui kompensasi atau penetapan status tanah negara sesuai amanat Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria Diktum Kedua Pasal I, III, dan V.

Bentuk upaya Penyelesaian permasalahan tersebut Diperlukan kegiatan sebagaimana yang tertuang dalam tabel berikut ini:

Page 137: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

111

Tabel 4: Akar Penyebab dan Temuan dalam Pengaturan Obyek P3MB

NO AKAR PENYEBAB TEMUAN

01 Tersebarnya Obyek P3MB di berbagai wilayah di Indonesia

Inventarisasi data terhadap tanah-tanah negara obyek P3MB

02 Lamanya Proses Pembinaan dan bimbingan teknis mengenai tata cara pemberian ijin dan penetapan hak atas tanah obyek P3MB kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi selaku Ketua P3MBKegiatan ini baru dilaksanakan dalam bentuk pemberitahuan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi selaku Ketua P3MB untuk membentuk Panitia P3MB dan Panitia Penaksir P3MB berdasarkan Surat Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah tanggal 4 Desember 2008 Nomor 3987-310.24-D.II;

03 Dasar hukum pemberian ijin

Penyusunan peraturan perundangan mengenai tata cara pemberian ijin dan penetapan hak atas tanah obyek P3MB dalam bentuk Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, karena tata cara pemberian ijin dan penetapan hak atas tanah obyek P3MB hanya diatur dalam Pasal 150 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999.

Sumber: Di olah oleh penulis

Berdasarkan tabel di atas sangat jelas bahwa penyebab tidak ada penegasan dari ketua P3MB bahwa rumah dan tanah yang dimohon adalah obyek P3MB (terdaftar/tidak terdaftar) berdasarkan daftar keterangan penyerahan penguasaan tersebut tidak jelas riwayat perolehan (riwayat penghunian rumah) dan tidak ada tanda bukti perolehan. Untuk itu harus ada tindakan dari pemerintah untuk melakukan inventarisasi data terhadap tanah-tanah Negara obyek P3MB.Masalah lain adalah pembentukan Panitia Penaksir P3MB

Page 138: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

112

yang tidak melibatkan pejabat dari Kantor Pajak dan Kanwil Dirjen Kekayaan Negara. Selain itu perintah penaksir harga rumah dan tanah tidak dilaksanakanakan/ditindaklanjuti oleh Panitia Penaksir P3MB. Kejadian ini mengindikasikan bahwa sudah sepantasnya pengaturan hukum yang baru terkait dengan benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda yang dapat memayungi munculnya kelemahan baik dari segi administratif maupun kelemahan data di masyarakat agar tercipta keadilan bagi masyarakat.

F. Analisa Putusan Mahkamah Agung Terkait dengan Pengaturan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Belanda (Obyek P3MB)

Berdasarkan analisis bahan yang dilakukan penulis bahwa terdapat beberapa putusan Mahkamah Agung yang mengindikasikan obyek sengketa adalah tanah dan bangunan benda-benda milik perseorangan warga negara Belanda sebagaimana dalam tabel berikut ini:

Page 139: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

113

Tabe

l 5 :

Ta

bel P

utus

an M

ahka

mah

Agu

ng

No

Putu

san

Para

Pih

akLo

kasi

Oby

ek S

engk

eta

Ana

lisi

s K

asus

Pem

ohon

/ Pen

ggug

atTe

rmoh

on/ T

ergu

gat

Turu

t Ter

moh

on

1Pu

tusa

n M

ahka

mah

Agu

ng

No.

368

PK

/Pd

t/20

02.

1. A

ISYA

H2.

N

URL

AIL

I YU

SMI

1. N

URI

MA

H. W

AH

ID2.

D

rs. G

AZA

LI H

AM

ZAH

3.

Dra

. NU

RMA

IZA

R H

AM

ZAH

4.

HEI

LY

MA

RSA

MTa

nah

Hak

Mili

k N

o.12

Su

rat U

kur N

o.27

/193

4 se

luas

762

M2

tert

ulis

ata

s na

ma

Am

inah

, ter

leta

k di

Ke

lura

han

Saw

ahan

Dal

am

(Kam

pung

Saw

ahan

), Ke

cam

atan

Pad

ang

Tim

ur,

Kota

mad

ya P

adan

g, b

eras

al

dari

bek

as E

igen

dom

Ve

rpon

ding

No.

4376

Tana

h te

rseb

ut b

ukan

tana

h H

amza

h G

elar

Mar

ah A

lam

syah

de

ngan

Am

inah

mel

aink

an ta

nah

Neg

ara,

bar

u pa

da ta

hun

1962

se

tela

h U

UPA

diu

ndan

gkan

, A

min

ah m

emoh

onka

n ke

pada

N

egar

a i.c

Kan

tor A

grar

ia u

ntuk

m

empe

role

h H

ak M

ilik

deng

an

jala

n m

engg

anti

rugi

dan

m

embu

atka

n Se

rtifi

kat H

ak M

ilik

atas

tana

h pe

rkar

a, a

rtin

ya se

tela

h H

amza

h ge

lar M

arah

Ala

msy

ah

men

ingg

al d

unia

dan

unt

uk

men

dapa

tkan

Ser

tifika

t Hak

Mili

k je

las i

a m

emba

yar k

epad

a N

egar

a.Pe

rbua

tan

Muh

amm

ad Y

atim

dan

Te

rgug

at-T

ergu

gat m

enem

pati

dan

men

guas

ai ta

nah

atau

ru

mah

obj

ek p

erka

ra y

ang

sah

mer

upak

an h

arta

yan

g di

perd

apat

da

ri p

erka

win

an H

amza

h G

elar

M

arah

Ala

msy

ah d

enga

n A

min

ah

seba

gai h

arta

pen

caha

rian

(Tan

ah

Eigi

ndom

Ver

pond

ing

Nom

or

4376

) mer

upak

an p

erbu

atan

m

elaw

an h

ukum

(onr

echt

mat

ige

daad

), ka

rena

mer

ugik

an

Peng

guga

t.D

alam

per

mas

alah

an d

i ata

s da

pat d

isim

pulk

an b

ahw

a ob

jek

P3M

B ya

ng m

enja

di o

bjek

Page 140: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

114

No

Putu

san

Para

Pih

akLo

kasi

Oby

ek S

engk

eta

Ana

lisi

s K

asus

Pem

ohon

/ Pen

ggug

atTe

rmoh

on/ T

ergu

gat

Turu

t Ter

moh

on

seng

keta

(Eig

indo

m V

erpo

ndin

g N

omor

437

6) y

ang

tidak

terd

ata

deng

an b

aik

men

imbu

lkan

m

asal

ah m

enge

nai k

epem

ilika

n ob

jek

P3M

B se

tela

h pe

mili

k se

belu

mny

a m

enin

ggal

den

gan

tidak

men

ingg

alka

n ah

li w

aris

.

2Pu

tusa

n M

ahka

mah

A

gung

Nom

or:

30/P

dt.G

/201

1/PN

.MG

L

1. PU

RWO

EKO

UTO

MO

2.

MA

RIA

PRA

TIW

IBU

MI

3.

SUPR

IYA

NTO

4.

L. H

ARK

AN

TI5.

H

. MA

NU

HU

TU W

ICH

ERS

6.

SRI H

ART

ATI

1. PE

MER

INTA

H

PRO

PIN

SI D

ATI I

JAW

A

TEN

GA

H C

q D

INA

S SO

SIA

L2.

K

AN

TOR

DIN

AS

SOSI

AL

BALA

I RE

HA

BILI

TASI

SO

SIA

L K

UM

UD

A P

UTR

A

PUTR

I3.

K

AN

TOR

BAD

AN

PE

RTA

NA

HA

N K

OTA

M

AG

ELA

NG

Yaya

san

Ora

nge

Nas

sau

Stic

ting

Pa V

an d

e St

eur

bukt

i kep

emili

kan

hak

eige

ndom

luas

nya

kura

ng

lebi

h 50

.000

m2,

yan

g te

rlet

ak d

i Jln

Ali

Basa

h Pr

awir

odir

djo,

Kel

. M

agel

ang

Kec.

Mag

elan

g Te

ngah

, Mag

elan

g

Beka

s tan

ah E

igen

dom

te

rseb

ut te

lah

digu

naka

n un

tuk

peru

mah

an M

antia

sih

untu

k se

luas

25.

000

m2.

Ta

nah

dan

bang

unan

bek

as

hak

eige

ndom

mili

k Ya

yasa

n O

rang

e N

assa

u St

ictin

g Pa

Van

de

Str

eur s

elua

s 25.

000

m2

sisa

nya

ters

ebut

seka

rang

ini

dite

mpa

ti be

rsam

a-sa

ma

oleh

Se

kola

h D

asar

mag

elan

g II

I, K

anto

r Din

as P

endi

dika

n Ko

ta

Mag

elan

g, K

anto

r DPC

Gol

kar

Kota

Mag

elan

g, K

anto

r Bad

an

Pert

anah

an K

ota

Mag

elan

g,

Kan

tor D

inas

Pen

dapa

tan

Dae

rah

Mag

elan

g, G

erej

a,da

n ka

ntor

di

nas s

osia

l bal

ai re

habi

litas

i so

sial

kum

uda

putr

a pu

tri.

Ada

atu

ran-

atur

an d

an p

rose

dur

yang

har

us d

item

puh

oleh

se

oran

g W

arga

Neg

ara

Indo

nesi

a ap

abila

men

ging

inka

n ha

k-ha

k at

as p

enin

ggal

an B

elan

da

khus

usny

a H

ak e

igen

dom

aga

r da

pat m

enja

di H

ak M

ilik

Page 141: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

115

No

Putu

san

Para

Pih

akLo

kasi

Oby

ek S

engk

eta

Ana

lisi

s K

asus

Pem

ohon

/ Pen

ggug

atTe

rmoh

on/ T

ergu

gat

Turu

t Ter

moh

on

seor

ang

War

ga N

egar

a In

done

sia,

ap

alag

i tan

ah te

rseb

ut a

dala

h te

lah

bers

tatu

s seb

agai

tana

h ne

gara

, seh

ingg

a ap

abila

seor

ang

war

ga n

egar

a be

rmak

sud

untu

k m

empe

role

h ha

k ke

pem

illik

an

atas

tana

h te

rseb

ut, m

aka

war

ga

nega

ra it

u se

ndir

ilah

yang

har

us

men

guru

s den

gan

pros

edur

yan

g be

nar k

e in

stan

si y

ang

berw

enan

g un

tuk

men

gelu

arka

n st

atus

ke

pem

ilika

n at

as ta

nah

ters

ebut

da

lam

hal

ini d

iwak

ili o

leh

Bada

n Pe

rtan

ahan

Nas

iona

l Rep

ublik

In

done

sia

3Pu

tusa

n M

ahka

mah

A

gung

No.

34

PK/

Pdt/

2004

HID

AYAT

FA

BER

1. A

DO

H S

UPR

IATN

A D

ALY

2.

Drs

. RU

SLI H

ART

ON

O3.

IW

AN

4. D

rs. E

DI S

UK

ARD

I

1. P

EMER

INTA

H

REPU

BLIK

IN

DO

NES

IA C

q.

DEP

ART

EMEN

D

ALA

M N

EGER

I C

q. G

UBE

RNU

R K

EPA

LA D

AER

AH

PR

OV

INSI

JA

WA

BA

RAT

Cq.

BU

PATI

K

EPA

LA D

AER

AH

K

ABU

PATE

N

CIA

NJU

R C

q. C

AM

AT

KEC

AM

ATA

N

PAC

ET

KA

BUPA

TEN

C

IAN

JUR

Cq.

K

EPA

LA D

ESA

SU

KA

NA

GA

LIH

;

tan

ah d

arat

Hak

Mil

ik

Eig

end

om

Ver

po

nd

ing

No.

373

sel

uas

192.

500

m²,

su

rat

ukur

/gam

bar

situ

asi

No.

35/

WL,

ter

leta

k di

Kp.

C

iber

em, D

esa

Suka

naga

lih,

Keca

mat

an P

acet

, Kab

upat

en

Dat

i II C

ianj

ur

Oby

ek t

anah

sen

gket

a ad

alah

h

ak m

ilik

WL

. G

eral

d F

aber

b

erd

asar

kan

ex.

Eig

end

om

Ve

rpon

ding

No.

373,

tent

ang

tana

h be

rasa

l Hak

Bar

at te

rseb

ut m

enur

ut

pera

tura

n M

enda

gri N

o. 2

/197

0 jo

U

U A

grar

ia N

o. 5

/196

0 ha

rus s

eger

a di

sele

saik

an p

enda

ftar

an u

ntuk

di

konv

ersi

pal

ing

lam

bat

tang

gal

24 S

epte

mbe

r 19

80 ji

ka t

idak

ada

pe

nyel

esai

nnya

, m

aka

tana

h it

u m

enja

di h

ak n

egar

a.

Page 142: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

116

No

Putu

san

Para

Pih

akLo

kasi

Oby

ek S

engk

eta

Ana

lisi

s K

asus

Pem

ohon

/ Pen

ggug

atTe

rmoh

on/ T

ergu

gat

Turu

t Ter

moh

on

2. P

EMER

INTA

H

REPU

BLIK

IN

DO

NES

IA C

q.

DEP

ART

EMEN

D

ALA

M N

EGER

I C

q. G

UBE

RNU

R K

EPA

LA D

AER

AH

PR

OV

INSI

JA

WA

BA

RAT

Cq.

BU

PATI

K

EPA

LA D

AER

AH

K

ABU

PATE

N

DAT

I II C

IAN

JUR

Cq.

CA

MAT

K

ECA

MAT

AN

PA

CET

3. P

EMER

INTA

H

REPU

BLIK

IN

DO

NES

IA C

q.

DEP

ART

EMEN

D

ALA

M N

EGER

I C

q. G

UBE

RNU

R K

EPA

LA D

AER

AH

PR

OV

INSI

JA

WA

BA

RAT

Cq.

BU

PATI

K

EPA

LA D

AER

AH

K

ABU

PATE

N

DAT

I II C

IAN

JUR

;

4Pu

tusa

n M

ahka

mah

A

gung

Nom

or:3

8/P

DT

.G/2

011

/PN

. M

KW

.

JUST

HIN

US

CH

PED

AYPE

TRU

S R.

MA

ND

AC

AN

1. N

y. JU

LIA

NC

E PE

DAY

2. F

ITRA

Tana

h da

n ba

ngun

an

rum

ah b

ekas

pen

ingg

alan

Pe

mer

inta

han

Bela

nda

yang

te

rlet

ak d

i Jl.

Mer

deka

Tana

h ob

yek

seng

keta

yan

g di

tem

pati

oleh

kel

uarg

a G

erso

n Pe

day

adal

ah ta

nah

peni

ngga

lan

Bela

nda

atau

tana

h N

egar

a.

Page 143: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

117

No

Putu

san

Para

Pih

akLo

kasi

Oby

ek S

engk

eta

Ana

lisi

s K

asus

Pem

ohon

/ Pen

ggug

atTe

rmoh

on/ T

ergu

gat

Turu

t Ter

moh

on

3. N

y. N

ELLY

M

AN

USA

WA

I/SA

WA

KI

4. K

epal

a Ba

dan

Pert

anah

an

Nas

iona

l (BP

N)

Kab

upat

en

Man

okw

ari

Prov

insi

Pap

ua

Bara

t

No.

62

Kelu

raha

n Pa

darn

i D

istr

ik M

anok

war

i Bar

at

Kab

upat

en M

anok

war

i de

ngan

luas

1.69

3 M

2

Tind

akan

Ter

guga

t yan

g m

enga

lihka

n ta

nah

nega

ra y

ang

tela

h di

mili

ki o

leh

Ger

son

Peda

y be

rdas

arka

n Su

rat K

eput

usan

G

uber

nur I

rian

Jaya

den

gan

SK

No.

AG

R. 10

2/H

P/19

83 ta

ngga

l 9

Agu

stus

1983

ata

s nam

a G

erso

n Pe

day

kepa

da T

urut

Ter

guga

t I

berd

asar

kan

sura

t per

nyat

aan

pele

pasa

n ha

k ke

pada

Tur

ut

Terg

ugat

I be

rdas

arka

n su

rat

Peny

erah

an/P

elep

asan

Tan

ah

Ada

t tan

ggal

25

Agu

stus

200

4 ad

alah

mer

upak

an P

erbu

atan

M

elaw

an H

ukum

5Pu

tusa

n M

ahka

mah

A

gung

No

123

PK/

Pdt/

2006

ELIZ

ABE

TH JO

SEPH

INA

1. N

y.ABD

UL

SYU

KU

R2.

D

JARO

T3.

TO

MM

Y RI

AN

DIR

I4.

N

y. M

ARM

INA

H5.

A

GU

S SU

LAK

SON

O6.

SI

WU

K S

ULA

KSO

NO

7.

RAH

MA

D S

UD

ARY

AN

TO8.

W

ILLI

E SO

EPRA

PTO

9.

BEN

NY

SOEP

RAPT

O10

. RU

DIE

SO

EPRA

PTO

11.

YOSE

P SU

PUSE

PHA

12.

DO

LF A

BRID

A13

. D

WI A

GU

NG

(NIN

A)

14.

SUG

ENG

Tana

h te

rlet

ak d

i Jln

. Dr.

Moc

h Sa

leh

No.

9 R

t. 02

, Rw.

04,

Kel

urah

an

Tisn

oneg

aran

, Kec

amat

an

May

anga

n, K

otam

adya

Pr

obol

ingg

o se

luas

3.7

81.3

3 m

2 de

ngan

hak

Eig

endo

m

Verv

ondi

ng N

o. 10

4

pada

tahu

n 19

60 d

enga

n ta

npa

hak

dan

seca

ra m

elaw

an h

ukum

Ba

pak

Abd

ul S

yuku

r iku

t m

enem

pati

seba

gian

rum

ah

seng

keta

ters

ebut

(Eig

endo

m

Verv

ondi

ng N

o. 10

4), s

elan

jutn

ya

Abd

ul S

yuku

r men

ingg

al d

unia

se

bagi

an ru

mah

seng

keta

di

tem

pati

oleh

iste

riny

a ya

itu N

y. A

bdul

Syu

kur (

Terg

ugat

I) d

an

anak

nya

yang

ber

nam

a D

jaro

t (T

ergu

gat I

I). B

ahka

n D

jaro

t (T

ergu

gat I

I) d

enga

n ta

npa

hak

dan

seca

ra m

elaw

an h

ukum

tela

h m

endi

rika

n ba

ngun

an

Page 144: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

118

No

Putu

san

Para

Pih

akLo

kasi

Oby

ek S

engk

eta

Ana

lisi

s K

asus

Pem

ohon

/ Pen

ggug

atTe

rmoh

on/ T

ergu

gat

Turu

t Ter

moh

on

6Pu

tusa

n M

ahka

mah

A

gung

No.

207

PK

/Pd

t/20

11

1. M

AD

A’I b

in D

JASM

AN

2.

UM

ROH

3.

NU

RJA

NA

H4.

NU

RLEL

A,

5.

HU

SNI

1. N

y. H

ALl

LAH

SU

KA

ND

I bi

n BA

EI2.

SI

TI

KH

AD

IJA

H b

inti

SO

EKA

ND

I3.

A

NA

HO

SYA

NA

bin

ti

SOEK

AN

DI

4.

ROSI

TA b

inti

SOEK

AN

DI

5.

RA

HM

AT

SA

NU

SI b

in

SOEK

AN

DI

6.

AWA

NG

DA

RTIM

AH

bin

ti SO

EKA

ND

I 7.

E

DI

MA

RZ

UK

I b

in

SOEK

AN

DI

8.

SOLE

HA

PRI

HAT

IN b

inti

SOEK

AN

DI

9.

SIT

I FA

JAR

ASI

H b

inti

SO

EKA

ND

I 10

. IN

DRA

BU

SAN

AST

RA b

in

SOEK

AN

DI

11.

SITI

NU

RSI

AH

BER

KA

H

bint

i SO

EKA

ND

I12

. A

hli

War

is a

lmar

hu

m

NAW

AWI S

URY

AD

I13

. RI

DW

AN

SU

HA

ND

A

1. R.

ASE

P SA

EPU

L M

UN

AWA

R2.

M

OC

H. I

CH

WA

N3.

H

. TA

UFI

K

RAM

DA

NI

Tan

ah h

ak m

ilik

No.

718

N

o.Pe

rsil

32 K

ohir

No.

S.11

se

luas

34.

000

m2

(tan

ah ei

gend

om ve

rpon

ding

N

o.57

25)

terl

etak

di P

ulo

Besa

r Jl.

Yos

Suda

rso

Kel

. Su

nter

Jay

a,

Kec

amat

an T

anju

ng P

riok

- Ja

kart

a U

tara

Tana

h ei

gend

om v

erpo

ndin

g N

o.57

25 b

ukan

mer

upak

an

tana

h ob

jek

ekse

kusi

. Bah

wa

hak

mili

k N

o. 7

18 b

ekas

ver

pond

ing

No.

5725

tang

gal 4

Apr

il 19

59 a

.n.

Rato

e W

oela

ndar

i ada

lah

atas

ta

nah

yang

terl

etak

di K

ampu

ng

Sum

ur B

atu

(tan

pa a

da b

atas

dan

lu

asny

a), s

edan

g ta

nah

seng

keta

(o

bjek

pen

etap

an e

ksek

usi)

te

rlet

ak d

i Pul

o Be

sar S

unte

r;

7Pu

tusa

n M

ahka

mah

A

gung

Nom

or :

262

K/P

dt/2

002

1. D

rs. S

OEH

IRM

AN

2.

DJO

NI S

OES

ENO

3.

LUK

AS

MA

LAW

ERE,

4.

A.S

. SU

HER

MA

N,

5.

NY.

S. S

OEK

ARD

IMA

N6.

H

.PO

. LA

MIR

AN

1. J.B

. SO

ETO

MO

2.

SOEB

AD

IO3.

SU

GA

ND

A W

.K.

4.

G. S

IREG

AR

5.

H.S

.M. S

ITO

RUS

6.

SOET

ART

I KO

ENTO

YO

1. P

EMER

INTA

H

R.I.

cq. M

ENTE

RI

PERT

AH

AN

AN

K

EAM

AN

AN

2. P

EMER

INTA

H

R.I.

cq. M

ENTE

RI

KEU

AN

GA

N

Ban

gun

an r

umah

-rum

ah

dan

tana

h pe

kara

ngan

di

bers

tatu

s h

ak E

igen

dom

V

erp

on

din

g N

o.1

00

31

perk

ampu

nga

n Si

liw

angi

R

W.0

11 K

elu

rah

an P

asar

B

aru

, K

ecam

atan

Saw

ah

Besa

r, Ja

kart

a Pu

sat,

Hak

Eig

endo

m V

erpo

ndin

g N

o.10

031,

kem

udia

n be

rdas

arka

n Ke

ppre

s No.

32 T

ahun

1979

m

enja

di ta

nah

yang

dik

uasa

i la

ngsu

ng o

leh

nega

ra ;

Bahw

a ba

ngun

an ru

mah

-rum

ah

adal

ah b

angu

nan

rum

ah-r

umah

pe

ning

gala

n Be

land

a ya

ng su

dah

Page 145: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

119

No

Putu

san

Para

Pih

akLo

kasi

Oby

ek S

engk

eta

Ana

lisi

s K

asus

Pem

ohon

/ Pen

ggug

atTe

rmoh

on/ T

ergu

gat

Turu

t Ter

moh

on

7.

NY.

ALW

INA

H B

. BU

NG

KU

S8.

N

Y. S

UH

AIM

I9.

N

Y. H

API

PAH

SO

EKIM

AN

10.

SOEK

ARD

JO11.

N

Y. S

ITI A

ISYA

H S

UK

ARN

I12

. R.

S. S

OED

IBYO

13.

W. S

IMA

NJU

NTA

K14

. M

. SO

ETRI

SNO

15.

NY.

HA

DID

JAH

NU

RDIN

16.

NY.

SYA

MSI

AR

Z. M

ALI

KI

17.

BOED

ION

O18

. M

. ALI

BA

SIR

7.

NY.

L. S

IREG

AR

8.

SOEN

DO

JO

MA

DIP

OET

RO9.

N

Y. R

.A. M

AEM

UN

AH

10.

ABD

UL

GA

FFA

R11.

F.

W. F

ERD

INA

ND

US

12.

R.O

. ABD

ULL

AH

13.

R. S

OEL

ASM

AN

14.

NY.

MA

RCU

S TI

TAH

ALA

WA

3.

PEM

ERIN

TAH

R.

I. cq

. MEN

TERI

D

ALA

M N

EGER

I4.

PE

MER

INTA

H

R.I.

cq. M

ENTE

RI

DA

LAM

NEG

ERI

cq. G

UBE

RNU

R K

DK

I JA

KA

RTA

5.

P.T.

YO

DYA

K

ARY

A6.

P.

T. A

SURA

NSI

JA

SA IN

DO

NES

IA7.

P.

T. R

EASU

RAN

SI

UM

UM

IN

DO

NES

IA8.

P.

T. A

SURA

NSI

JI

WA

SRAY

A

DA

N

1. L

. BA

DO

E2.

W

. SO

EDA

RWI

3.

SOEK

IRM

AN

S.

AD

IBRO

TO4.

L.

M. S

ILIT

ON

GA

5.

H.E

. SO

EMA

RDI

6.

ABD

UL

BARS

ALI

M7.

S.

PO

EDJO

H

OET

OM

O8.

N

Y. H

. LEA

SA

tidak

dik

etah

ui la

gi p

emili

knya

se

rta

tela

h di

huni

ole

h pa

ra

Peng

guga

t sud

ah le

bih

dari

30

(tig

a pu

luh)

tahu

n te

rus m

ener

us

hing

ga sa

at te

rjad

inya

per

kara

ini.

Bahw

a se

suai

Pas

al 1

ayat

(3)

Und

ang-

Und

ang

No.

5 Ta

hun

1960

ya

ng m

enet

apka

n ba

hwa

seja

k be

rlak

unya

Und

ang-

Und

ang

ini

hak

eige

ndom

ber

ubah

men

jadi

ha

k gu

na b

angu

nan,

mak

a be

rart

i tan

ah p

erka

mpu

ngan

Si

liwan

gi y

ang

dihu

ni o

leh

para

Pe

nggu

gat,

yang

sem

ula

bers

atus

ha

k ei

gend

om v

erpo

ndin

g N

o.10

031 t

erse

but ,

seja

k ta

hun

1960

dik

onve

rsi m

enja

di h

ak g

una

bang

unan

yan

g ak

an b

erak

hir

pada

tang

gal 2

4 Se

ptem

ber 1

980,

da

n pa

da sa

at b

erak

hirn

ya h

ak

ters

ebut

mak

a se

jak

saat

itu

tana

h te

rseb

ut m

enja

di ta

nah

yang

di

kuas

ai la

ngsu

ng o

leh

nega

ra.

Bahw

a Pa

sal 5

Kep

pres

No.

32

Tahu

n 19

79 m

enet

apka

n pa

da

poko

kya

bahw

a ta

nah-

tana

h pe

rkam

pung

an b

ekas

hak

gu

na b

angu

nan

asal

kon

vers

i Ba

rat y

ang

tela

h m

enja

di

perk

ampu

ngan

ata

u di

dudu

ki

raky

at, a

kan

dibe

rika

n pr

iori

tas k

epad

a ra

kyat

yan

g m

endu

duki

nya,

dem

ikia

n ju

ga

Page 146: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

120

No

Putu

san

Para

Pih

akLo

kasi

Oby

ek S

engk

eta

Ana

lisi

s K

asus

Pem

ohon

/ Pen

ggug

atTe

rmoh

on/ T

ergu

gat

Turu

t Ter

moh

on

9.

M.

MO

KOD

OM

PIT

10.

R. S

OEM

AD

I S11.

R. B

OED

IMA

N12

. N

Y. P

.A.

TOH

AN

G13

. N

Y. Z

. SAY

UTI

A

MIN

14.

F.W

. FE

RDIN

AN

DU

S15

. H

.M. D

AN

NY

EFFE

ND

I16

. NY.

SIT

I ARA

B N

URS

EWA

N17

. I. D

ARS

ON

O

Pasa

l 13

ayat

(1) P

erm

enda

gri N

o.3

Tahu

n 19

79, m

enet

apka

n pa

da

poko

knya

bah

wa

tana

h-ta

nah

hak

guna

ban

guna

n as

al k

onve

rsi

hak

Bara

t sep

anja

ng ti

dak

dipe

rgun

akan

unt

uk p

roye

k ba

gi

peny

elen

ggar

aan

kepe

ntin

gan

umum

, dap

at d

iber

ikan

den

gan

suat

u ha

k ke

pada

pih

ak y

ang

pada

saat

ber

laku

nya

pera

tura

n in

i nya

ta-n

yata

men

guas

ai d

an

men

ggun

akan

seca

ra sa

h ;

Bahw

a ol

eh k

aren

a ta

nah

perk

ampu

ngan

Sili

wan

gi y

ang

term

asuk

dal

am w

ilaya

h RW

.011

Kelu

raha

n Pa

sar B

aru,

Kec

amat

an

Saw

ah B

esar

, Jak

arta

Pus

at

bera

sal d

ari h

ak B

arat

Eig

endo

m

Verp

ondi

ng N

o.10

031 y

ang

kem

udia

n di

konv

ersi

men

jadi

hak

gu

na b

angu

nan

yang

did

uduk

i, di

huni

dan

dik

uasa

i den

gan

nyat

a-ny

ata

oleh

par

a Pe

nggu

gat

bese

rta

kelu

arga

nya

seca

ra sa

h be

rdas

arka

n pe

nunj

ukka

n ol

eh

nega

ra, m

aka

para

Pen

ggug

at

diak

ui d

an d

ilind

ungi

hak

nya

seba

gai p

engh

uni y

ang

berh

ak

untu

k m

empe

role

h ha

k at

as

tana

h.

8Pu

tusa

n M

ahka

mah

Agu

ng

NO

. 395

PK

/Pd

t/20

07

WIL

LY S

AWIR

PA

MEN

AN

1. P

ERK

UM

PULA

N

SEKO

LAH

KRI

STEN

D

JAK

ART

A (P

SKD

),

PEM

ERIN

TAH

RE

PUBL

IK

IND

ON

ESIA

c.q

.

Rum

ah y

ang

terl

etak

di

Jala

n Kw

ini I

No.

3 S

enen

, Ja

kart

a Pu

sat d

i ata

s tan

ah

Tana

h Ve

rpon

ding

No.

983

8

Sesu

ai d

enga

n U

ndan

g-U

ndan

g N

o. 5

Tah

un 19

60 jo

Kep

pres

ta

hun

1976

hak

ata

s tan

ah y

ang

alas

an h

akny

a m

erup

akan

Page 147: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

121

No

Putu

san

Para

Pih

akLo

kasi

Oby

ek S

engk

eta

Ana

lisi

s K

asus

Pem

ohon

/ Pen

ggug

atTe

rmoh

on/ T

ergu

gat

Turu

t Ter

moh

on

2. D

r. H

ARD

JA S

AM

SURJ

A

alia

s TJI

AM

TJO

AN

H

ON

G3.

NO

TARI

S/PP

AT R

ATN

A

KOM

ALA

KO

MA

R,SH

MEN

TERI

DA

LAM

N

EGER

I REP

UBL

IK

IND

ON

ESIA

c.q

. G

UBE

RNU

R D

KI

JAK

ART

A c

.q.

KEP

ALA

DIN

AS

PERU

MA

HA

N

JAK

ART

A

konv

ersi

dar

i Hak

Bar

at b

erak

hir

tahu

n 19

80 d

an ta

nahn

ya m

enja

di

tana

h la

ngsu

ng d

ikua

sai N

egar

a,

bagi

bek

as p

emeg

ang

hak

dim

ungk

inka

n un

tuk

men

gaju

kan

hak

baru

den

gan

syar

at b

ekas

pe

meg

ang

hak

lang

sung

m

engu

saha

kan

dan

men

guas

ai

send

iri t

anah

/ban

guna

n (P

asal

2

Kepp

res 1

979)

dem

ikia

n pu

la

hany

a de

ngan

Ser

tifika

t HG

B N

o.

397

yang

mer

upak

an k

onve

rsi

dari

Hak

bar

at, t

erhi

tung

seja

k ta

ngga

l 24

Sept

embe

r 198

0 ke

dua

sert

ifika

t ter

sebu

t ber

akhi

r mas

a be

rlak

unya

dan

kar

ena

para

ah

li w

aris

bek

as p

emeg

ang

hak

(apa

lagi

bek

as h

akny

a se

ndir

i)

tidak

per

nah

men

guas

ai d

an

men

ggun

akan

send

iri t

anah

da

n ba

ngun

anny

a, m

aka

tidak

m

ungk

in u

ntuk

men

gaju

kan

hak

baru

dan

Pen

ggug

at se

baga

i or

ang

yang

men

guas

ai d

an

men

ggun

akan

tana

h te

rseb

ut

seca

ra la

ngsu

ng d

iber

ikan

pr

iori

tas u

ntuk

men

dapa

tkan

hak

at

as ta

nah

ters

ebut

9Pu

tusa

n M

ahka

mah

A

gung

No.

490

K/

PDT/

2009

FARI

DA

PA

DA

NG

1. M

UH

. SO

FWA

N L

UTF

IE2.

IS

MA

H L

UTF

IE A

LI

MIS

RI3.

IR

A F

AC

HIR

AH

LU

TFIE

4. M

UH

. MA

RZU

KI L

UTF

IE5.

M

EIT

Y RA

HM

I LU

TFIE

1. EF

END

I PA

DA

NG

,2.

FA

RID

D.

PAD

AN

G,

3.

CH

AIR

UL

PAD

AN

G,

Rum

ah ti

ngga

l (ba

ngun

an)

bese

rta

tana

h pe

kara

ngan

ya

ng te

rlet

ak d

i Jal

an

Patt

imur

a N

o.4

Mak

assa

r pe

ning

gala

n M

aska

pai/

Peru

saha

an B

elan

da y

aitu

Oby

ek se

ngke

ta a

dala

h m

erup

akan

pen

ingg

alan

M

aska

pai/

Peru

saha

an B

elan

da

yaitu

NV.

Vol

kshu

is V

estin

g (N

V.V

). ob

yek

seng

keta

dal

am

kedu

duka

n hu

kum

terh

adap

Page 148: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

122

No

Putu

san

Para

Pih

akLo

kasi

Oby

ek S

engk

eta

Ana

lisi

s K

asus

Pem

ohon

/ Pen

ggug

atTe

rmoh

on/ T

ergu

gat

Turu

t Ter

moh

on

4.

AD

RIA

NA

RO

SITA

PA

DA

NG

,5.

SY

AH

RUN

IN

FAN

,6.

SY

AFR

I Y.W

.P,

7.

VER

A H

ALF

IAH

,8.

RA

MD

AN

IAH

9.

DIA

NA

FA

JARI

AH

,10

. D

JUM

AD

I,11.

A

BDU

RAH

MA

N

PAD

AN

G,

12.

HA

LIJA

H

PAD

AN

G,

13.

SUK

MA

H

BAH

ARI

,14

. FA

JAR

SID

IK

PAD

AN

G,

15.

NYO

NYA

ER

ISU

DIA

TI,

16.

ARD

IYA

NSY

AH

,17

. A

RMA

NSY

AH

,18

. A

RCH

IMSY

AH

,19

. N

Y.A

.ISA

,20

. C

HA

IDIR

,21

. D

EWI

AN

GRA

INI,

22.

MU

HA

MM

AD

N

URD

IN,

NV.

Vol

kshu

is V

estin

g (N

V.V

).Pe

moh

on K

asas

i/da

hulu

Pe

nggu

gat b

ersi

fat m

engi

kat,

oleh

ka

rena

ber

dasa

rkan

ket

entu

an

peng

alih

an h

ak k

epem

ilika

n at

as R

umah

Rek

uras

i/N

.V.V

(o

byek

seng

keta

) ada

lah

waj

ib

huku

mny

a ha

rus d

iber

ikan

ke

pada

Si P

enye

wa

(Hou

der)

, ya

ng d

alam

hal

ini P

emoh

on

Kas

asi/

Peng

guga

t bes

erta

ke

luar

ga/s

anak

saud

ara

yang

te

rcan

tum

nam

a-na

ma

mer

eka

dala

m S

urat

S.I.

P ta

ngga

l 23

Juni

19

56. H

al m

ana

diat

ur d

alam

Ke

putu

san

“KEP

RES

No.

32/

1979

Jo

PER

MEN

DA

GRI

No.

3/1

979

Jo

SURA

T M

ENTE

RI K

EUA

NG

AN

TA

NG

GA

L 29

AG

UST

US

1984

N

o. S

927/

MK

.011/

1984

dan

SU

RAT

MEN

TERI

NEG

ARA

PE

RUM

AH

AN

RA

KYA

T TA

NG

GA

L 19

NO

VEM

BER

1984

N

0. 2

31/P

L.O

6 01

03/

M/X

I/85

ya

ng n

ama

dala

m p

erat

uran

-pe

ratu

ran

ters

ebut

di a

tas

mem

beri

kan

prio

rita

s per

tam

a ke

pada

pen

ghun

i yan

g m

emen

uhi

syar

at m

empu

nyai

Sur

at

Izin

Pen

ghun

ian

(SIP

) unt

uk

dibe

rika

n ke

sem

pata

n m

embe

li da

n m

emili

ki ta

nah

atau

rum

ah

yang

ber

stat

us H

ak B

arat

Page 149: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

123

No

Putu

san

Para

Pih

akLo

kasi

Oby

ek S

engk

eta

Ana

lisi

s K

asus

Pem

ohon

/ Pen

ggug

atTe

rmoh

on/ T

ergu

gat

Turu

t Ter

moh

on

23.

NY.

NET

I H

ERAW

ATI,

24.

AD

FIA

NT

Y25

. W

ALI

KOTA

M

AK

ASS

AR

26.

KET

UA

RAY

ON

A

MPI

dala

m h

al “

ini t

erm

asuk

juga

ya

ng b

erst

atus

N.V

.V te

rseb

ut,

sehi

ngga

ken

datip

un su

rat I

zin

Peng

huni

an (S

IP) t

angg

al 2

3 Ju

ni

1956

tela

h di

nyat

akan

dic

abut

ol

eh, p

ihak

ber

wen

ang

dala

m h

al

ini P

emer

inta

h Ko

ta M

akas

sar

(dah

ulu

Kota

Mad

ya M

akas

sar)

tid

ak m

enja

di o

tom

atis

(ser

ta

mer

ta) m

enja

di h

apus

hak

-hak

si

peny

ewa

untu

k m

enja

dika

n ob

yek

seng

keta

(Rum

ah R

ekur

asi/

N.V

.V)

ters

ebut

men

jadi

hal

mili

k, o

leh

kare

na p

enga

lihan

hak

mili

k at

as ru

mah

ters

ebut

terh

adap

Pe

moh

on K

asas

i/Pe

nggu

gat

sela

ku p

enye

wa

(Hou

der)

han

ya

mer

upak

an te

knik

adm

inis

tras

i se

mat

a ya

ng se

mes

tinya

dal

am

pros

es u

ntuk

mak

sud

dan

tuju

an te

rseb

ut (p

enga

lihan

hal

pe

mili

kan

kepa

da P

emoh

on

Kas

asi s

ekel

uarg

a), h

al m

ana

seca

ra H

ukum

dia

tur d

alam

Pas

al

548

KU

HPe

rdat

a te

ntan

g Be

zitt

er

deng

an e

tiket

bai

k m

embe

ri

hak,

ata

s ses

uatu

bar

ang

kepa

da

pem

egan

gnya

.

10Pu

tusa

n M

ahka

mah

Agu

ng

No.

558

PK

/Pd

t/20

01

1. M

AM

AN

HER

MA

N2.

YA

HYA

MU

HA

MM

AD

3.

SAN

IP

H. R

G. D

ABE

N

SOER

JAD

IRED

JA1.

SOEP

AN

JI2.

E.

HID

AYAT

3.

NO

TARI

S SO

EKA

IMI,

SH

Tana

h m

ilik

adat

, per

sil N

o.

129,

Blo

k Ra

njen

g C

ibog

o,

Kohi

r No.

578

bes

erta

tu

ruta

nnya

rum

ah v

illa

terl

etak

di J

alan

Ray

a

Tana

h N

egar

a Be

kas E

igen

dom

Ve

rp. N

o. 5

9. B

ahw

a Pe

nggu

gat

adal

ah se

oran

g pe

mbe

li ya

ng

beri

tikad

bai

k (k

oper

te g

oede

r tr

ouw

) yan

g w

ajib

mem

pero

leh

perl

indu

ngan

huk

um;

Page 150: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

124

No

Putu

san

Para

Pih

akLo

kasi

Oby

ek S

engk

eta

Ana

lisi

s K

asus

Pem

ohon

/ Pen

ggug

atTe

rmoh

on/ T

ergu

gat

Turu

t Ter

moh

on

Cip

ayun

g Pu

ncak

RT

14/

RW II

Des

a C

ipay

ung,

Ke

cam

atan

Cis

arua

, se

kara

ng K

ecam

atan

M

egam

endu

ng, K

abup

aten

Bo

gor

Bahw

a pe

mili

k la

ma

penj

ual

atas

tana

h da

n vi

lla se

ngke

ta

ters

ebut

iala

h Tu

rut T

ergu

gat B

p.

Soep

anji

dan

pem

ilik

PT A

perd

i, un

tuk

peri

ode

itu m

emer

luka

n te

naga

ahl

i asi

ng g

una

kepe

rlua

n pe

rusa

haan

, mak

a di

angk

atla

h Tn

. Van

Wel

y se

baga

i ten

aga

ahli

asin

g ya

ng b

erke

bang

saan

Be

land

a, P

T A

perd

i den

gan

Soep

anji

(Tur

ut T

ergu

gat)

seba

gai

pem

ilik

saha

m tu

ngga

l

11Pu

tusa

n M

ahka

mah

Agu

ng

Nom

or :

723

K/P

dt

/201

0

1. RU

DY

SUYA

NTO

2.

WEN

NY

SUYA

NTI

3.

WEL

LY S

AN

TOSO

4.

EDY

BUD

I UTO

MO

5.

HA

RSO

NO

SU

WA

JI6.

TE

DY

SUTE

JA7.

YU

LlU

S C

AES

AR

8.

UG

ENIE

JARM

AN

I9.

F.

MU

LYA

ND

I10

. FR

AN

SISC

A IK

A Y

11.

IMA

KO

MA

RI12

. SA

RA ID

A H

ARU

MI

13.

IRA

MA

RHA

INI

14.

INA

AN

GG

RAEN

I15

. A

ND

RE A

RDH

AN

I16

. YU

DI M

ARG

ON

O

1. PE

MER

INTA

H D

AER

AH

K

ABU

PATE

N P

ATI

2.

BAD

AN

PER

TAN

AH

AN

N

ASI

ON

Al K

ABU

PATE

N

tana

h

Tana

h pe

kara

ngan

den

gan

bukt

i Ege

ndom

Ver

vond

ing

No.

159

yang

terl

etak

di

jala

n Ky

ai W

ahid

Has

im

No.

15 P

ati

Oby

ek se

ngke

ta b

erup

a ta

nah

Eige

ndom

Ver

pond

ing

No.

159.

Ba

hwa

perb

uata

n m

elan

ggar

hu

kum

yan

g di

laku

kan

oleh

par

a Te

rgug

at te

rseb

ut d

iata

s ada

lah

sang

at m

elan

ggar

kep

entin

gan

hak

ahli

war

is S

ara

Elle

onor

a se

baga

i pem

ilik

sah

Eige

ndom

Ve

rpon

ding

No.

159.

Das

ar p

erpi

ndah

an h

ak d

ari

Eige

ndom

Ver

pond

ing

159

men

jadi

hak

pak

ai N

o.14

tida

k je

las d

an ta

npa

seiji

n ah

li w

aris

Sar

a El

leon

ora

yaitu

par

a Pe

nggu

gat.

Page 151: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

125

No

Putu

san

Para

Pih

akLo

kasi

Oby

ek S

engk

eta

Ana

lisi

s K

asus

Pem

ohon

/ Pen

ggug

atTe

rmoh

on/ T

ergu

gat

Turu

t Ter

moh

on

12Pu

tusa

n M

ahka

mah

A

gung

No.

795

K/

Pdt/

2008

1. M

ILA

P PU

RBA

,2.

RA

HM

AT P

URB

A, S

E3.

D

rs. P

ERD

EMU

N P

URB

A4.

A

SLIA

RO

BIA

NTO

SE

MBI

RIN

G, S

H.

5.

END

I BA

HA

GIA

PU

RBA

6.

Drs

. LU

MBU

NG

PU

RBA

,

1. PE

MER

INTA

H

PRO

PIN

SI S

UM

ATER

A

UTA

RA P

ERU

SAH

AA

N

DA

ERA

H A

IR M

INU

M

TIRT

AN

AD

I CA

BAN

G

BERA

STA

GI,

2.

DIR

EKTU

R U

TAM

A

PERU

SAH

AA

N

DA

ERA

H A

IR

MIN

UM

TIR

TAN

AD

I PE

MER

INTA

H

PRO

PIN

SI S

UM

ATER

A

UTA

RA

Sebi

dang

tana

h te

rper

kara

di

jala

n Le

tjend

Dja

min

G

intin

g N

o. 6

Ber

asta

gi

beka

s hak

bar

at

Dal

am k

asus

ini,

obje

k se

ngke

ta

beru

pa h

ak E

rfpa

chsa

ck N

o.32

3 ya

ng d

ireg

iste

r No.

01 T

ahun

1907

. ha

k er

fpac

hsac

k de

ngan

mas

a ja

ngka

wak

tu se

wa

seja

k da

ri

tahu

n 19

07 s/

d ta

hun

1981

kep

ada

JOO

ST v

an V

OLL

ENH

OV

EN

(pih

ak y

ang

mew

akili

Bel

anda

) at

as se

baha

gian

dar

i tan

ah U

laya

t. A

kiba

t tid

ak te

rdat

a de

ngan

bai

k,

piha

k Pe

rsad

aan

Purb

a M

erga

na

Ana

k Be

runa

/ K

alim

bubu

Rum

ah

Bera

stag

i yan

g te

lah

men

erim

a pe

ngem

balia

n ta

nah

Hak

Ula

yat

itu m

elak

ukan

pen

guku

ran

dan

pem

etaa

n ke

mba

li. H

ak

Ula

yatn

ya te

rseb

ut te

lah

diku

asai

se

cara

tanp

a ha

k ol

eh p

ihak

-pih

ak

lain

dan

par

a Te

rgug

at.

13Pu

tusa

n M

ahka

mah

Agu

ng

No.

1051

K /

Pdt/

2012

MU

HIB

UD

IN B

EY A

RIFI

N,

1. H

END

RIYA

NTO

SO

EHA

RTO

NO

(d/h

. SI

AU

W, T

HW

AN

HIN

G)

2.

NY.

KU

MA

RA S

ARI

SO

EHA

RTO

NO

(d/h

. SI

AU

W, B

ING

NIO

)3.

IN

DRO

SO

EHA

RTO

NO

(d

/h. S

IAU

W, T

HW

AN

IN

G)

4.

SIN

ARI

JAD

I SO

EHA

RTO

NO

(d/h

. SI

AU

W, T

HW

AN

SIE

N)

Sebi

dang

tana

h H

ak G

una

Bang

unan

(HG

B) N

omor

34

5 /

Kelu

raha

n G

uben

g te

rlet

ak d

i Kel

urah

an

Gub

eng

Keca

mat

an G

uben

g Ko

tam

adya

Sur

abay

a Pr

opin

si Ja

wa

Tim

ur h

akm

ilik

atas

oby

ek

seng

keta

aqu

o (R

echt

ve

rkre

ijgen

den)

Oby

ek se

ngke

ta te

rlet

ak d

i Jl.

Sum

ater

a N

o. 11

1 Sur

abay

a se

jak

tahu

n 19

96 d

item

pati

oleh

Ter

guga

t den

gan

tidak

m

emba

yar u

ang

sew

a ru

mah

ke

pada

pem

ilikn

ya ta

npa

alas

an

yang

sah

men

urut

huk

um sa

mpa

i se

kara

ng in

i dan

pen

guas

aan

(obj

ek se

ngke

ta) o

leh

Terg

ugat

tid

ak d

iduk

ung

deng

an su

rat

peng

huni

an y

ang

sah

Page 152: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

126

No

Putu

san

Para

Pih

akLo

kasi

Oby

ek S

engk

eta

Ana

lisi

s K

asus

Pem

ohon

/ Pen

ggug

atTe

rmoh

on/ T

ergu

gat

Turu

t Ter

moh

on

14PU

TUSA

N

Mah

kam

ah

Agu

ng N

o. 14

82 K

/Pd

t/20

12

1. BA

MBA

NG

KRI

STIA

DI,

2.

AG

UN

G T

RIH

AN

TON

O

alia

s AG

UN

G T

RIYA

NTO

NO

at

au A

GU

NG

TRI

AN

TON

O3.

A

GU

S A

RYA

NTO

4.

Ahl

iwar

is A

lm. D

IKI

PRA

MO

NO

: BI

MO

JAG

AD

PR

AKO

SO B

IN D

IKI

PRA

MO

NO

5.

KU

RNIA

AN

NE

LAST

AN

TI

1. H

ERRY

HER

MAW

AN

2.

DO

PY R

UST

AN

DI

3.

PIPI

N S

AN

DEP

I

PT K

ERET

A A

PI

IND

ON

ESIA

(P

ERSE

RO)

Sebi

dang

tana

h be

riku

t ba

ngun

an d

i ata

snya

te

rlet

ak d

i Jal

an Ir

. H.

Juan

da N

omor

: 16

6 de

ngan

Ve

rpon

ding

No.

1118

, Lua

s 1.1

25 M

2 Su

rat u

kur N

omor

: 9

4/D

es/1

949,

yan

g di

beli

dari

Mr.

TC. V

. de

Gra

ff

Bahw

a te

rhad

ap o

bjek

seng

keta

te

rseb

ut d

i ata

s, b

aik

oleh

G

EORG

E H

END

RIK

MU

LLER

da

n RO

ESM

AH

sem

asa

hidu

pnya

, m

aupu

n ol

eh P

ara

Akh

liwar

isny

a be

lum

per

nah

dila

kuka

n tr

ansa

ksi j

ual b

eli,

sehi

ngga

de

ngan

tela

h m

enin

ggal

nya

GEO

RGE

HEN

DRI

K M

ULL

ER

dan

ROES

MA

H, m

aka

terh

adap

ta

nah

ters

ebut

ber

alih

men

gena

i ke

pem

ilika

nnya

kep

ada

Para

A

hliw

aris

nya

dian

tara

nya

Para

Pe

nggu

gat

Page 153: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

127

Berdasarkan analisis 14 (empat belas) kasus putusan Mahkamah Agung pada tabel di atas, terdapat permasalahan-permasalahan dalam hal mendapat hak atas tanah obyek P3MB. Adapun permasalahan-permasalahan yang sering terjadi adalah:

1. Masih banyak permohonan untuk membeli rumah dan mendapatkan hak atas tanah obyek P3MB yang:a. tidak ada penegasan dari ketua P3MB bahwa rumah dan

tanah yang dimohon adalah obyek P3MB (terdaftar/tidak terdaftar obyek P3MB berdasarkan daftar keterangan penyerahan penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda);

b. tidak jelas riwayat perolehan (riwayat penghunian rumah) dan tidak ada tanda bukti perolehan;

c. pembentukan Panitia Peenaksir P3MB/ yang tidak melibatkan pejabat dari Kantor Pajak dan Kanwil Dirjen Kekayaan Negara

d. masih banyak perintah penaksir harga rumah dan tanah tidak dilaksanakan/ditindaklanjuti oleh Panitia Penaksir P3MB tidak melengkapi persyaratan berupa: (1) Surat Izin Perumahan (SIP) dan Surat Rekomendasi dari Kantor Dinas Perumahan, (2) Surat Ukur/Peta Bidang yang mencantumkan Nomor Induk Bidang (NIB), (3) Berita Acara Pemeriksaan Lapang yang menerangkan bahwa pemohon benar-benar menghuni rumah/memakai tanah, (4) Surat Keterangan dari Pengadilan dan Kantor Pajak yang menerangkan status bekas Badan Hukum Belanda, (5) Berita Acara Penaksiran Harga yang mencantumkan perhitungan harga tanah berdasarkan Pasal 20 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002 dan PP No. 13 Tahun 2010 tentang PNBP, (6) Surat Pernyataan yang menyatakan pemohon masih menghuni rumah dan menguasai tanah obyek P3MB dalam permohonan perpanjangan jangka waktu pembayaran harga rumah dan tanah.

Page 154: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

128

2. Masih banyak tanah-tanah Negara obyek P3MB diproses oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota berdasarkan Keppres 32 Tahun 1979 jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999, sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960, Peraturan Presidium Kabinet Dwikora Nomor 5/Prk/Tahun 1965, dan PMNA/KBPN Nomor 3 Tahun 1999. Karena kewenangan penerbitan Surat Keputusan pemberian hak atas tanahnya adalah kewenangan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia.

Munculnya berbagai macam kasus di atas, mengindikasikan bahwa pengaturan hukum mengenai terkait dengan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan warga negara Belanda (objek P3MB) memiliki kelemahan baik dari segi administratif maupun kelemahan data di masyarakat sehingga belum memenuhi unsur kepastian, kemanfaatan, dan keadilan bagi masyarakat.

Salah satu contoh kasus terhadap dampak dari tidak terdatanya atau tersebarnya benda-benda tetap milik perseorangan Belanda adalah sebagaimana yang tertuang dalam Putusan mahkamah Agung No 168K/Pdt/ 2007 sebagaimana berikut:

A. PARA PIHAK

1. Drs. Tjandra Hasan bertempat tinggal di Jalan Letjen S. Parman No 52 A (Ciliwung No 1) Kota Malang, dalam hal ini memberikan kuasa kepada MOCHAMMAD MUCHTAR,SH.Msi, Advocat, berkantor di jalan Joyo Sari No 563 Kota Malang; Pemohon Kasasi dahulu Penggugat/ Terbanding

Melawan

1. Ny. Mustikaningsih, disebut juga Ny. Ruslan2. Sri Subekti3. Edy Setya Budi

Page 155: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

129

4. Kristina Ernawati, keempatnya sama-sama bertempat tinggal di Jalan Ciliwung No 1 Kota Malang.

5. Fodhyi Salim SH, bertempat tinggal di Jalan KH. Hasyim Gang V RT.04/RW 03 Kelurahan Kedung Kandang Kota Malang.Para Pemohon Kasasi dahulu Para Tergugat/Para Pembanding

B. POSISI KASUS

1. Penggugat adalah pemilik/pemegang Hak Guna Bangunan atas tanah negara seluas 622 M2 beserta 2 (dua) bangunan rumah berdiri di atasnya, sertifikata Hak Guna Bangunan No. 997 tahun 1993 gambar situasi No. 1147 tanggal 09 Maret 1993, tanah terletak di Jalan S. Parman No. 52 A/Jalan Ciliwung No. 1 Kelurahan Purwokerto Kota Malang.

2. Bahwa perolehan tanah beserta bangunan bekas milik asing (perseorangan milik warga negara Belanda) yang berada dalam penguasaan P3MB menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1960 Tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap milik perseorangan Warga Negara Belanda, terjadi karena pemberian hak baru oleh negara dengan dipungut pembayaran yang disebut juga “ ganti rugi”.

3. Bahwa penggugat melakukan pembelian atau membayar ganti rugi kepada negara melalui Panitia P3MB setelah Penggugat dipanggil melalui surat oleh Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Provinsi Jawa Timur tanggal 1 April 1991 dengan surat No. 550.335.8119 yang isinya diantaranya kedudukan atau status penghunian/penempatan Penggugat di tanah dan rumah Jalan Ciliwung No. 1 Kota Malang yang sekarang menjadi obyek sengketa tersebut.

4. Bahwa Penggugat dengan etika baik memenuhi panggilan Kepala Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur selaku ketua P3MB, setelah Penggugat menghadap, Penggugat ditanya apa dasarnya menempati tanah di Jalan Ciliwung No. 1 Kota Malang tersebut, kemudian dijawab oleh penggugat dengan secara sewa kepada Tergugat I

Page 156: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

130

5. Bahwa kemudian Penggugat dipersalahkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional Provinsi Jawa Timur selaku Panitia P3MB (Panitia Pelaksana Penguasaan Milik Belada), karena Tergugat I tidak berhak menyewakan, status Tergugat I bukan pemilik yaitu hanya penghuni karena juga bukti pembelian hak milik Tergugat I kepada Belanda sudah batal demi hukum.

6. Bahwa pada waktu itu hubungan penggugat dengan Tergugat I, II, III, IV masih baik kemudian atas dasar peringatan tersebut penggugat berunding dengan Tergugat I, II, III termasuk dengan penghuni lain Pak Mistar dan P.H, Rachmad Maksum, karena Tergugat I, II, III tidak mempunyai untuk membeli atau mengganti rugi kepada negara disepakati bersama secara lisan pada waktu itu yang mempunyai uang adalah Penggugat maka Penggugat melakukan pembelian atau mengganti rugi kepada negara dengan syarat semua yang menempati atau menghuni selama itu dapat menggunakan secara turun temurun (tidak dikeluarkan)

7. Bahwa bangunan rumah yang disebelah timur di Jalan Ciliwung No. 1 Malang adalah bangunan asli bekas milik asing (Belanda) yang sampai sekarang tetap ditempati oleh Tergugat I, II, III dan IV sedang bangunan yang disebelah barat Jalan Letjen S Parman No 52 A ditempati oleh Penggugat, bangunan itu bukan bekas milik asing (Belanda) akan tetapi dibangun dengan biaya sendiri oleh Penggugat dalam halaman tanah bekas milik (KVE) asing Belanda. Terdapat dinding tembok pembatas kedua bangunan rumah tersebut.

8. Bahwa pada tanggal 4,5 dan 6 September 2004, tergugat I, II, III, IV telah menyuruh tukang batu/kayu dibawah kendali Tergugat V membongkar paksa bangunan milik Penggugat (bukan bangunan milik asing Belanda) yang berada pada areal tanah seluas 45 M3 (3x15 M) di sebelah Timur bangunan yang tipempati keluarga Penggugat, di Jalan Ciliwung No. 1 yang asalnya Penggugat beli kepada Ny. Janda Matredjo (penghuni lama) pada tanggal 29 Mei 1984, akibat dari pembongkaran

Page 157: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

131

bangunan tersebut telah menimbulkan kerugian bagi Penggugat, karena:a. Bangunan rusak (hilang)b. Hilangnya benda milik pengguat berupa 1 timbangan

papasitas 300 kg 1 dongkrak mobil pakai roda, kunci-kunci mobil. Kerugian seluruhnya ditaksir Rp. 45.000.000.- (Empat puluh lima juta Rupiah)

c. Bahwa eksekusi liar tanpa prosedur hukum yang dipimpin oleh Tergugat V dilanjutkan pada tanggal 5 Oktober 2004 dengan mengerahkan tenaga 30 orang. Mereka merusak dinding pembatas bangunan rumah sebelah barat dan timur dan memasuki rumah yang ditempati Penggugat, kerusakan-kerusakan yang timbulkan:1. Rusaknya ruang tamu/ berantakan;2. Rusaknya 2 kamar tidur;3. Rusaknya ruangan makan dan kulkas;4. Rusaknya dapur dan kamar mandi.

Kerugian ditaksir Rp.50.000.000.- (lima puluh juta rupiah).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dampak dari tidak terdatanya Obyek P3MB (bekas tanah milik perseorangan warga negara Belanda) menjadi permasalahan di masyarakat karena tidak jelasnya atau terdatanya obyek P3MB hal ini terbukti Penggugat tidak mengetahui bahwa tanah yang ditempati adalah obyek P3MB atau bekas tanah milik perseorangan warga negara Belanda yang diatur oleh Undang-Undang No. 3 Prp. Tahun 1960.

Page 158: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,
Page 159: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

133

B A B V

Pengaturan Penguasaan dan Pemilikan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda

A. Pembaruan Kebijakan Agraria dalam Pengaturan Penguasaan dan Pemilikan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda di Indonesia

1. Urgensi Pembaruan Pengaturan

Pembaruan hukum agraria merupakan istilah yang penulis gunakan untuk memaknai adanya proses memperbarui suatu aturan atau kebijakan di bidang agraria yang dibuat oleh negara dengan tujuan tertentu. Pembaruan hukum agraria sendiri terdiri dari kata “pembaruan” yang secara terminologi berarti proses, cara, perbuatan membarui atau hasil pekerjaan membarui,1 dan frasa “hukum agraria” yang memiliki banyak pengertian yang digunakan dalam lingkup yang beragam. Namun menurut Utrecht yang dikutip oleh Budi Harsono, hukum Agraria dalam arti sempit sama dengan hukum tanah. Hukum agraria dan hukum tanah menjadi bagian dari Hukum Tata Usaha Negara, yang menguji perhubungan-perhubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat yang bertugas mengurus soal-soal

1 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Utama, hlm. 142.

Page 160: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

134

tentang agraria, melalui tugas mereka itu.2 Jadi istilah hukum agraria dalam lingkungan administrasi pemerintahan dibatasi pada perangkat perundang-undangan yang memberi landasan hukum bagi penguasa dalam menjalankan kebijakannya di bidang pertanahan.

Adapun konsep pembaruan agraria sendiri memiliki bentuk dan sifat yang berbeda tergantung pada zaman dan negara tempat terjadinya pembaruan agraria tersebut. Hal ini mengingat setiap negara memiliki struktur agraria dan sistem politik yang berbeda, meskipun terdapat persamaan mendasar dalam pembaruan agraria, yakni inti dari pembaruan agraria adalah pemerataan sumber daya agraria.3 Pembaruan agraria dipahami sebagai suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria, yang dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.4

Sebagai suatu isu yang kompleks dan multidimensi menurut Ida Nurlinda pendefinisian tersebut terkesan sederhana, namun demikian hal ini tidak dimaksudkan untuk menyederhanakan kompleksitas permasalahan yang ada. Selanjutnya pada intinya pembaruan agraria (agrarian reform) meliputi hal-hal sebagai berikut:5

a. suatu proses yang berkesinambungan artinya dilaksanakan dalam satu kerangka waktu (frame time). Namun selama tujuan dari pembaruan agraria belum tercapai, maka proses pembaruan terus diupayakan;

2 Boedi Harsono, Op. cit., hlm. 15.3 Ida Nurlinda. 2009. Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum. Jakarta:

Rajawali Press, hlm. 77.4 Pasal 2 Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria Dan

Pengelolaan Sumber daya Alam.5 Maria S.W. Sumardjono, Op. cit, hlm. 70.

Page 161: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

135

b. berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya alam (sumber agraria) oleh masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan;

c. dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum atas kepemilikan tanah dan pemanfaatan sumber daya alam (sumber agraria), serta terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Pembaruan hukum agraria merupakan bagian dari pembaruan agraria yang secara yuridis ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat melalui Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam. Ketetapan MPR ini lahir dengan suatu latar belakang dan landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menggambarkan kondisi kebatinan bangsa Indonesia akan keprihatinan terhadap persoalan sumber daya agraria dan sumber daya alam lainnya. Disadari bahwa pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik.6

Terdapat fakta empiris berkenaan dengan eksploitasi secara belebihan terhadap sumber daya agraria yang hanya difokuskan pada pemenuhan kebutuhan jangka pendek, serta pemanfaatannya yang hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat. Kebijakan agraria pada masa orde baru yang sangat proper pertumbuhan ekonomi juga berakibat pada perubahan fungsi sumber daya agraria terutama tanah yang hanya dinilai dari sisi ekonomi dengan mengabaikan nilai-nilai non ekonomi, serta globalisasi mengakibatkan semakin langkanya tanah dan semakin turunnya kualitas tanah.7 Hal ini didukung dengan perubahan kebijakan pertanahan dari prorakyat menjadi prokapital yang

6 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Op. cit., Konsideran menimbang huruf c.

7 Maria S.W. Sumardjono, Op. cit., hlm. 92.

Page 162: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

136

terbukti semakin menjauh dari perwujudan pemerataan hasil pembangunan, yang pada akhirnya menyulitkan perwujudan keadilan sosial.8

Sejalan dengan hal tersebut Maria menambahkan bahwa pada masa orde baru, tanah tidak diperhitungkan sebagai strategi pembangunan, akan tetapi hanya dijadikan objek guna keberlangsungan kegiatan pembangunan. Kebijakan tersebut telah menimbulkan berbagai dampak diantaranya:9

a. semakin langka dan mundurnya kualitas tanah.b. semakin tajam dan meningkatnya kuantitas konflik

penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam, termasuk tanah baik yang bersifat vertikal maupun horizontal.

c. kemiskinan dan semakin terbatasnya lapangan pekerjaan yang antara lain disebabkan oleh alih fungsi tanah, terutama tanah pertanian untuk penggunaan non pertanian seperti industri, perumahan, jasa/pariwisata, infrastruktur dan lain-lain yang karena berbagai sebab ternyata tidak dimanfaatkan secara optimal. Sementara di sisi lain sebagian besar masyarakat amat sulit memperoleh sebidang tanah.

d. semakin timpangnya akses terhadap perolehan dan pemanfaatan tanah atau sumber daya alam, karena perbedaan akses modal dan akses politik.

e. semakin terdesaknya hak-hak masyarakat adat atau masyarakat lokal terhadap sumber daya alam yang menjadi ruang hidup baik karena diambil alih secara formal oleh pihak lain atau karena tidak diakuinya hak-hak masyarakat tersebut atas sumber daya alam termasuk tanah oleh Negara. Ironisnya di sisi lain, tanah dalam skala besar yang dikuasai oleh sekelompok kecil masyarakat, banyak yang terlantar atau diterlantarkan.

Kegiatan pembangunan yang selama ini menggunakan konsep pendekatan pertumbuhan (developmentalism) telah

8 Ibid., hlm. 70.9 Ibid., hlm. 70-72.

Page 163: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

137

membawa dampak buruk pada kuantitas dan kualitas tanah dan sumber daya agraria lainnya. Hal ini juga memperburuk masalah-masalah keagrariaan sehingga diperlukan upaya untuk mereformasi kebijakan di bidang keagrariaan (reforma agraria) dengan mendasarkan pada upaya pembaruan agraria sebagai konsep pembangunannya.10

Secara yuridis, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam saling tumpang tindih dan bertentangan sehingga diperlukan komitmen politik yang sungguh-sungguh untuk memberikan dasar dan arah bagi pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan. Pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam tersebut harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu, dan menampung dinamika, aspirasi,serta peran serta masyarakat guna menyelesaikan konflik.11

Penempatan komitmen politik tersebut dalam bentuk ketetapan MPR mengingat berdasarkan tata urutan peraturan perundang-undangan saat itu,12 ketetapan MPR menepati urutan kedua setelah konstitusi dan prinsip-prinsip dasar yang menjadi arah kebijakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Hal ini menjadi acuan dalam perumusan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang materi muatannya terkait dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan,pemanfaatan tanah, dan sumber daya agraria serta sumber daya alam lainnya. Meskipun dalam hierarki peraturan perundang-undangan yang

10 Ida Nurlinda, Op. cit, hlm. 81.11 Konsideran menimbang huruf d, huruf e dan huruf f Ketetapan MPR Nomor IX/

MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam.12 Berdasarkan Pasal 2 Ketetapan MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum

dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, tata urutan peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut:1. UUD 1945;2. Ketetapan MPR;3. Undang-undang;4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU);5. Peraturan Pemerintah;6. Keputusan Presiden;7. Peraturan Daerah.

Page 164: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

138

saat ini berlaku, ketetapan MPR tidak lagi masuk dalam jenis dan hierarkhi peraturan perundangan-undangan.13 Namun sebagai suatu komitmen politik, prinsip dan arah kebijakan yang ditetapkan dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 tetap mempunyai arti penting sebagai acuan. Terlebih, ketetapan MPR termasuk dalam aturan dasar negara/aturan pokok negara (staatsgrundgesetz), sebagaimana batang tubuh UUD NRI Tahun 1945 yang berisi garis-garis besar atau pokok-pokok kebijakan negara. Norma hukumnya masih secara garis besar, merupakan norma hukum tunggal dan tidak dilekati norma sanksi. Kandungan norma dalam ketetapan MPR lebih tinggi dan berbeda dengan norma yang terdapat dalam Undang-undang.14 Saat ini masih terdapat 14 (empat belas)ketetapan MPR yang dinyatakan masih berlaku berdasarkan Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001. Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001 merupakan salah satu ketetapan MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang yang diamanatkan dalam ketetapan MPR tersebut.

Dari sisi tujuan hukum, ketertiban masyarakat, dan kepastian hukum yang tercapai selama masa pemerintahan orde baru juga bersifat semu. Munculnya berbagai konflik dan sengketa terkait penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah serta sumber daya agraria lainnya menunjukkan bahwa tujuan hukum lainnya, yakni keadilan, belum tercapai. Karenanya terkait aspek tanah dan sumber daya agraria/alam lainnya sebagai sarana dan modal pembangunan, maka dirasakan perlu merumuskan suatu aturan hukum yang menjadi acuan atau panduan untuk menata

13 Berdasarkan Pasal 7 ayat (1) UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut:1. UUD NRI Tahun 1945;2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU);3. Peraturan Pemerintah;4. Peraturan Presiden;5. Peraturan Daerah.

14 Maria Farida Indrati S. 2007. Ilmu Perundang-undangan I. Jakarta: Penerbit Kanisius, hlm. 76, 90 dan 100-101.

Page 165: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

139

dan merestrukturisasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria lainnya. Hal ini mengingat tidak ada satu undang-undang atau bentuk aturan hukum lainnya yang menjadi landasan bersama untuk menyusun berbagai peraturan perundang-undangan sektoral.

Berdasarkan landasan pemikiran pembaruan agraria sebagaimana dimaksud dalam TAP MPR No. IX/MPR/2001 tersebut terlihat bahwa dalam konteks pembaruan agraria, pembaruan di bidang hukum agraria merupakan salah satu kunci bagi arah kebijakan pembaruan agraria secara keseluruhan. Adanya ketidaksinkronan antar berbagai undang-undang tentang sumber daya agraria semakin memperparah egoisme sektoral terkait.

Dalam tataran normatif Pasal 33 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 sebagai pijakan dan landasan filosofis bagi politik hukum agraria tampaknya memberikan atau lebih tepatnya menimbulkan adanya kelonggaran penafsiran terhadap konsep “hak menguasai oleh Negara” dan “sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang dalam tataran operasionalnya diwujudkan dalam berbagai undang-undang organik dan peraturan pelaksanaanya, seperti UUPA, UU Kehutanan, UU Pertambangan dan sebagainya. Dengan mengatasnamakan Negara dan undang-undang secara langsung atau tidak langsung telah mengurangi hak masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya agraria yang bersangkutan.15 Secara tidak langsung fakta empiris adanya penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria dan berbagai konflik yang timbul didalamnya difasilitas oleh peraturan perundang-undangan sektoral yang saling tumpang tindih dan bertentangan. Hal ini diperkeruh dengan adanya insinkronisasi antara tataran peraturan dengan tataran pelaksanaanya.16

Pengkotakan peraturan perundangan dalam bingkai sektoral telah berjalan lebih dari 30 (tiga puluh) tahun sehingga kondisi tersebut menjadi suatu kenyataan (taken for granted).Hal tersebut

15 Maria S.W. Sumardjono,Op.cit., hlm. 90.16 Ibid, hlm. 93-94

Page 166: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

140

telah mengakibatkan insinkronisasi dan tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan sektoral dan longgarnya koordinasi di tingkat pusat maupun antara pusat dan daerah, yang berdampak pada ketidakadilan, ketidakpastian hukum, dan peminggiran hak-hak masyarakat.17

Dalam konteks pembaruan agraria berdasarkan pada ketetapan MPR diatas, kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sumber daya agraria harus dilandasi dan dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip:18

a. memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

b. menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia;c. menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi

keanekaragaman dalam unifikasi hukum;d. mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan

kualitas sumber daya manusia Indonesia;e. mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi

dan optimalisasi partisipasi rakyat;f. mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan,

penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria dan sumber daya alam;

g. memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan dukung lingkungan;

h. melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat;

17 Maria S.W. Sumardjono. 2002. “Penghormatan dan Perlindungan terhadap Hak-hak Adat: Menyikapi Hak Ulayat sebagai Pelaksanaan TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam”, (2002), Makalah pada seminar tentang Pengaturan dan Pemanfaatan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Sumatera Barat, Pemda Pemprov Sumatera Barat, Padang 28 Agustus 2002, hlm. 4.

18 Majelis Permusyawatan Rakyat Republik Indonesia, Op. cit, Pasal 4.

Page 167: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

141

i. meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam;

j. mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agraria dan sumber daya alam;

k. mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu;

l. melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan manajemen sumber daya agraria dan sumber daya alam.

Selanjutnya dilandasi dengan prinsip-prinsip tersebut arah kebijakan pembaruan agraria dirumuskan sebagai berikut:19

a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip diatas.

b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan.

c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.

d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang

19 Ibid., Pasal 5.

Page 168: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

142

guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip diatas.

e. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumber daya agraria yang terjadi.

f. Mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumber daya agraria yang terjadi.

Berdasarkan arah kebijakan tersebut terdapat 5 (lima) program pembaruan agraria. Usulan program dan kebijakan bidang pertanahan tersebut diselaraskan dengan rencana strategis (renstra) yang telah ada dan diupayakan berkesinambungan dengan renstra yang akan datang, dengan dasar pertimbangan dan orientasi sesuai dengan TAP MPR RI No.IX/MPR/2001. Secara garis besar usulan program dan kebijakan tersebut berupa:20

a. peninjauan kembali dan penyusunan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan keagrariaan.

b. program penataan pertanahan.c. program pendataan dan informasi pertanahan dalam rangka

pelaksanaan land reform.d. program penyelesaian konflik sumber daya agraria.e. program penguatan kelembagaan, kewenangan, dan sumber

daya manusia.

Program ini pada hakikatnya merupakan implementasi dari arah kebijakan yang digariskan dalam TAP MPR tentang Pembaruan Agraria. Program peninjauan dan penyusunan peraturan undang-undang yang selaras dengan rencana startegis pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan salah satu fokus pembaruan agraria di bidang hukum atau pembaruan hukum agraria. Program ini dilaksanakan dengan melakukan

20 Maria S.W. Sumardjono, Op. cit., hlm. 96-98.

Page 169: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

143

beberapa kegiatan utama, yakni penginventarisasian dan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan yang ada berdasarkan kesesuaian dengan prinsip-prinsip pembaruan agraria. Berdasarkan hasil inventarisasi dan evaluasi tersebut, perlu dilakukan penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan yang ada sekaligus penyusunan peraturan yang dirasakan perlu guna mendukung pelaksanaan pembaruan agraria. Langkah yang harus dilakukan dalam rangka penyusunan dan penyempurnaan peraturan perundangan di bidang agraria ini adalah pelibatan publik dalam proses penyiapan dan penyusunannya, baik konsultasi publik maupun sarana sejenis lainnya. Sebagai langkah berikutnya, publik harus mendapatkan informasi yang seluas-luas terhadap peraturan perundangan dimaksud dengan mengoptimalkan pelaksanaan sosialisasi peraturan yang diterbitkan. Langkah yang harus dilakukan juga adalah evaluasi baik evaluasi berkala maupun evaluasi sesuai kebutuhan.21

Kondisi semacam ini pada hakikatnya sesuatu yang terbantahkan mengingat peraturan perundang-undangan memang memiliki suatu kelemahan terkait daya laku dan unsur antisipatif menghadapi pesatnya perkembangan persoalan dan perubahan dalam masyarakat. Hal ini diakui oleh Bagir Manan, bahwa setidaknya terdapat dua kelemahan terkait hal tersebut yakni bahwa:22

a. Peraturan perundang-undangan tidak fleksibel. Tidak mudah menyesuaikannya dengan masyarakat. Pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu dan tatacara tertentu sementara mesyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnya terjadi jurang pemisah antara peraturan perundang-undangan dengan masyarakat.

21 Ibid, hlm. 97.22 Bagir Manan dan Kuntana Magnar. 1993. Beberapa Masalah Hukum Tata Negara

Indonesia. Bandung: Alumni, hlm. 8.

Page 170: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

144

b. Peraturan perundang-undangan tidak pernah lengkap untuk memenuhi semua peristiwa hukum atau tuntutan hukum dan ini menimbulkan apa yang lazim disebut kekosongan hukum.

Pada hakikatnya apa yang dinamakan “hukum baru”, hanyalah suatu perubahan dari hukum yang telah berlaku, dengan kata lain suatu unsur baru yang diintegrasikan ke dalam hukum yang telah lama berlaku. Unsur kebaruan pada suatu hukum baru harus sepenuhnya masuk ke dalam hukum yang telah lama berlaku agar terjadi keserasian dalam sistem hukum dimaksud, sepanjang tata hukum dimaksud berjalan seirama dengan proses pertumbuhannya.23

Berdasarkan paparan diatas, pembaruan agraria secara keseluruhan menuntut adanya dukungan peraturan perundang-undangan yang tepat sasaran, sinkron secara vertikal maupun horizontal dan serasi antara substansi dan wadah pengaturannya. Disinilah peran penting dan urgensi yang pertama, terhadap pembaruan hukum agraria terutama Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang Benda-benda Milik Perseorangan Warga Negara Belanda yang terdapat insinkronisasi dengan peraturan pelaksanaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bagir Manan bahwa peraturan perundang-undangan tidak fleksibel, tidak mudah menyesuaikannya dengan masyarakat.24 Pembentukan peraturan perundang-undangan membutuhkan waktu dan tatacara tertentu sementara masyarakat berubah terus bahkan mungkin sangat cepat. Akibatnya terjadi jurang pemisah antara peraturan perundang-undangan dengan masyarakat. Maka dengan semangat agrarian reform sebagaimana di usung oleh Ida Nurlinda di atas penulis sependapat bahwa dengan memperhatikan suatu proses yang berkesinambungan artinya dilaksanakan dalam satu kerangka waktu (frame time).Namun selama tujuan dari pembaruan agraria belum tercapai, maka proses pembaruan terus diupayakan. Hal ini

23 P. Scholten, Aglemeen Deel sebagaimana dikutip oleh, Dedi Sumardi. 1986.Sumber-Sumber Hukum Positif. Bandung: Penerbit Alumni, hlm 8.

24 Bagir Manan, Op.cit., hlm. 8.

Page 171: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

145

sangat tepat apabila diterapkakan untuk merubah Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 yang usia Undang-Undang tersebut telah berusia 64 tahun, yang bisa dipastikan bahwa semangat politik dan kondisi pada saat itu tentunya sangat berbeda pada masa sekarang. Hal ini dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan bagi rakyat Indonesia.

Dengan lahirnya Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam yang mengamanahkan “melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang baik.” Rasanya tidak berlebihan bahwa urgensi perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang Benda-benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda untuk segera dilakukan karena terjadi insinkronisasi atau antara Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 dengan peraturan pelaksanaannya yang jauh dari nilai keadilan, kepastian dan bermanfaat bagi rakyat. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 telah menjelaskan bahwa yang diperkenankan membeli benda-benda termaksud dalam ayat (1) pasal ini hanyalah warga-negara Indonesia, yang dengan pembelian yang baru itu tidak akan mempunyai lebih dari 3 (tiga) bidang tanah. Sedangkan pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 223 Tahun 1961 tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Prp 1960 menyebutkan bahwa “kepada pegawai negeri penghuni rumah/pemakai tanah yang bersangkutan, asalkan dengan pembelian yang baru itu ia tidak akan mempunyai lebih dari 2 rumah/bidang tanah.” Hal ini apabila terus tidak ada perubahan maka keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi rakyat tidak akan pernah tercapai.

Urgensi yang kedua, terhadap amanah Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam adalah melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan

Page 172: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

146

tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan. Hal ini sangat relevan sekali dengan keberadaan Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960.Sudah waktunya untuk mengadakan penataan kembali penguasaan dan pemilikan benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda yang pada tataran regulasinya masih tidak mengindahkan prinsip equality before the law demi tercapainya keadilan dalam mengakses tanah bagi rakyat pertanian maupun tanah di perkotaan. Hal ini bisa dilihat pada Pasal 1 ayat (2) huruf b Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 223 Tahun 1961 tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3Prp Tahun 1960 menyebutkan bahwa:

“Mengenai Izin untuk membeli rumah/tanah milik warga megara Belanda, yang dikuasai oleh Pemerintah berdasarkan Undang-Undang Nomor 3/Prp tahun 1960 (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 19), Menteri Agraria (Sekarang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia) terdapat prioritas kepada:

a. Pertama: Pemerintah untuk suatu keperluan khususb. Kedua: Pegawai negeri penghuni rumah/pemakai tanah yang

bersangkutan, yang belum mempunyai rumah/tanah;c. Ketiga: Kepada pegawai negeri penghuni rumah/pemakai

tanah yang bersangkutan, asalkan dengan pembelian yang baru itu ia tidak akan mempunyai lebih dari 2 rumah/bidang tanah;

d. Keempat: kepada pegawai negeri bukan penghuni rumah/pemakai tanah yang bersangkutan yang belum mempunyai rumah/ tanah;

e. Kelima: kepada bukan pegawai negeri, tetapi yang menjadi penghuni rumah/tanah yang bersangkutan, yang belum mempunyai rumah/tanah.”

Urutan pengutamaan untuk memperoleh benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda di atas pada zamannya telah sesuai dengan kondisi pada saat itu yang mengadakan urutan pengutamaan kepada PNS.Hal ini dalam rangka memberikan

Page 173: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

147

kesempatan kepada mereka untuk mengakses benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda karena pada saat itu didasari pada semangat anti Belanda dan terjadi kekacauan pasca warga negara Belanda meninggalkan Indonesia dengan cara dipaksa sehingga okupasi dan penjarahan terhadap benda-benda milik perseorangan warga negara Belanda. Sehingga dengan latar belakang kondisi dan situasi yang genting maka pemerintah mengeluarkan Perpu/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 1960 tentang Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda untuk mengatur serta memberikan kesempatan kepada PNS yang belum mempunyai rumah, karena pada saat itu pemerintah harus menanggung biaya penginapan hotel bagi para PNS pada saat itu belum mempunyai rumah.

Urgensi yang ketiga, adalah sebagaimana amanah Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam yaitu dengan menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis.Salah satu kelemahan dari Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang Pengaturan Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda adalah tidak terinventarisirnya obyek benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda, sehingga keberadaannya tersebar berada di setiap wilayah seluruh Indonesia. Hal ini apabila tidak segera dilaksanakan pendataan obyek benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda, maka kepastian hukum terhadap tanah-tanah milik perseorangan warga negara Belanda akan jauh dari apa yang diamanahkan oleh konstitusi Undang-Undang Dasar 1945, sehinggaberpotensi munculnya konflik tanah yang tidak akan kunjung selesai.

Page 174: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

148

2. Pembentukan Undang-Undang Baru Yang Mencerminkan Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan bagi Rakyat

Mahfud MD memandang bahwa hukum adalah produk politik sebab ia merupakan kristalisasi, formalisasi, atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik melalui dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar.25 Oleh karenanya, hukum selalu menjadi sarana dari politik untuk mempengaruhi, membangun, dan mengembangkan bidang-bidang lainnya itu.26 Lebih lanjut Mahfud mengatakan bahwa politik hukum adalah arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara. Pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama merupakan perwujudan politik hukum. Salah satu tugas utama politik hukum nasional adalah selalu mengawal dan mengalirkan hukum-hukum yang sesuai dengan dan dalam rangka menegakkan konstitusi. Oleh karena itu pembangunan politik hukum nasional harus selalu di jaga agar tidak menyimpang dari aliran kontitusi dan sumber nilai yang mendasarinya.27

Lebih lanjut Alfian28 memandang bahwa hukum yang erat hubungannya dengan politik adalah Hukum Tata Negara. Hal tersebut diungkapkan bahwa:

“Titik pertemuan antara hukum dan politik antara lain dapat dicari dalam bidang hukum tata Negara (constitutional law). Bidang ini mempelajari segi-segi formal dari struktur politik tertentu sebaimana dikehendaki oleh konstitusi yang ada serta undang-undang dan peraturan-peraturan yang melengkapinya. Ia menelaah tentang bagaimana kekuasaan politik diatur dan dibagi, apa-apa fungsi lembaga-lembaga tertentu, apa saja hak dan kewajiban politik anggota-anggota masyarakat (warga negara),

25 Moh. Mahfud MD. 2010. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, hlm. 5.26 Bintan Regen Saragih. 2006.Politik Hukum. Bandung: CV. Utomo, hlm. 5. 27 Behard Lombing. 2012. Hukum Agraria Nasional. Jakarta: Pustaka Margaretha,

hlm. 138.28 Alfian. 1978. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia, hlm.

249-250.

Page 175: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

149

bagaimana peraturan permainan politik yang sebenarnya harus berlaku, dan entah apa lagi.”

Politik hukum sendiri menurut Mahfud MD merupakan kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik memengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu.29 Di sisi lain, Budi Harsono menjelaskan bahwa politik hukum agraria merupakan kebijakan pemerintah dalam bidang agraria yang ditujukan untuk mengatur pengggunaan dan kepemilikan tanah, peruntukan dan penggunaan tanah untuk lebih menjamin perlindungan hukum dan peningkatan kesejahteraan serta mendorong kegiatan ekonomi melalui pemberlakuan undang-undang agraria dan peraturan pelaksanaannya.30 Dengan demikian politik hukum agraria sepenuhnya harus ditujukan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat baik pada masa kini maupun pada masa yang akan datang. Dalam hal ini perlu adanya kejelasan politik hukum agraria yang menyangkut arah kebijaksanaan dalam hukum agraria. Menurut Satjipto Rahardjo Masalah yang dikaji dalam politik hukum meliputi: (1) tujuan yang hendak dicapai, (2) cara apa yang hendak dicapai untuk mencapai tujuan tersebut, (3) mengapa hukum itu perlu dirubah dan apa dampaknya dan (4) bagaimana cara perubahan itu dilakukan.31 Pada tataran implementasinya politik hukum menurut Muhadar sekurang-kurangnya mengakomodasi tiga aspek yang mencakup pertama, pembangunan hukum yang berintikan pembuatan materi-materi hukum agar sesuai dengan kebutuhan pembangunan, kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegakan supremasi hukum sesuai fungsi-fungsi hukum, ketiga, proses pembangunan hukum dan

29 Moh. Mahfud MD, Op. cit, hlm. 9.30 Boedi Harsono, Op. cit, hlm. 17.31 Lihat Rachmad Syafaat. 2013. Rekontruksi Politik Hukum Pangan (Dari Ketahanan

Ke Kedaulatan Pangan). Malang: UB Press. hlm.135

Page 176: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

150

pelaksanaanya harus menunjukkan peranan, sifat, dan orientasi hukum dibangun dan ditegakkan.

Menelaah berbagai konsep politik hukum di atas dapat disimpulkan bahwa politik hukum merupakan langkah-langkah atau kebijakan yang diambil oleh penyelenggara negara (pemerintah yang sedang berkuasa) dalam rangka menumbuhkan dan menciptakan sistem hukum nasional yang menjadi cita-cita bangsa dan tujuan sebuah negara. Penulis sependapat dengan Mahfud MD yang memberikan kriteria politik hukum mencakup sekurang-kurangnya tiga hal : pertama, Kebijakan Negara (garis resmi) tentang hukum yang akan diberlakukan atau tidak diberlakukan dalam rangka pencapaian tujuan negara; kedua, latar belakang politik, ekonomi, sosial, budaya (poleksosbud) atas lahirnya politik hukum; ketiga,penegakan hukum di dalam kenyataan lapangan. Namun penulis juga mendasarkan kepada pendapat Satjipto Rahardjo tentang politik hukum yang lebih memberikan kebebasan untuk memilih dengan cara apa tujuan sosial itu hendak dicapai. Kedua teori di atas sama-sama memberikan arahan kepada hukum yang seharusnya berlaku ius constituendum. Sehingga di dalam rumusan politik hukum harus muncul beberapa rumusan yang mendasar :

1. Apa tujuan yang hendak dicapai dalam sistem hukum yang ada?

2. Cara-cara apakah dan yang manakah yang paling baik untuk bisa dipakai mencapai tujuan tersebut? (termasuk di dalamnya menyangkut persoalan pemilihan hukum tertulis maupun tidak tertulis, antara sentralisasi dan desentralisasi).

3. Kapankah waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan?

4. Dapatkah dirumuskan suatu pola yang mapan yang bisa memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara mencapai tujuan? (didalamnya termasuk proses untuk memperbaharui

Page 177: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

151

hukum secara efisien: dengan perubahan total atau dengan perubahan bagian demi bagian?).32

Uraian tentang tentang teori politik hukum antara Mahfud MD dan Satjipto Raharjo di atas menurut penulis adalah saling melengkapi antara yang satu dengan yang lainnya. Mahfud MD lebih menitikberatkan kepada aspek kebijakan dari atas kebawah, sedangkan Satjipto Rahardjo menitiberatkan kebijakan dari bawah ke atas. Apabila kedua teori diatas digabung menjadi satu maka akan melahirkan sebuah kebijakan yang aplikatif dan dapat diterima oleh masyarakat. Begitu juga dalam kajian tentang politik hukum pengaturan penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda, penulis mencoba menggabungkan antara teori politik hukum Mahfud MD dengan Satjipto Rahardjo sehingga menjadi sebuah gambar sebagaimana berikut:

Gambar 8 Implementasi Politik Hukum Obyek P3MB

Orientasi Politik

Politik Hukum

Objek P3MB

Mengapa Dasar Legitimasi Cara/Mekanisme

Kepastian, Keadilan, Kemanfaatan

Pergeseran Poleksosbud : Subyek Hukum dan Obyek

Hukum P3MB

Ketetapan MPR Nomor.IX/MPR/2001 Tentang

Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

Penyederhanaan Pengurusan Obyek P3MB dari BPN RI diturunkan setingkat Kepada BPN

Kanwil dan Segera dilakukan perubahan Tentang Undang-Undang No 3 Prp Tahun 1960

Kebijakan Negara Tentang Obyek P3MB

Sumber : Mahfud MD, Satjipto Rahardjo diolah oleh penulis.

Gambar di atas adalah pijakan penulis dalam menjelaskan tentang implementasi Politik Hukum Obyek P3MB berdasarkan teori politik hukum Mahfud MD dan Satjipto Rahardjo. Latar belakang diterbitkannya Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958

32 Ibid., hlm. 135.

Page 178: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

152

tentang Nasionalisasi adalah akibat gagalnya klaim Irian Barat dalam sidang umum PBB. Pemerintah Republik Indonesia telah mengambil langkah-langkah tertentu, yang ditujukan kepada pihak Belanda. Pada tanggal 3 September 1957 diinstruksikan oleh pemerintah agar supaya semua kaum buruh, yang bekerja di perusahaan Belanda yang berwarga negara Indonesia dari pangkat yang paling rendah sampai kepangkat yang paling tinggi mengadakan pemogokan selama satu hari secara frontal. Instruksi pemogokan dari Pemerintah pusat tersebut yang disiarkan pada tanggal 2 Desember 1957 malam dalam warta berita melalui corong Radio Republik Indonesia, adalah tepat pada waktunya diterima oleh kaum buruh bangsa Indonesia di seluruh tanah air dan mereka menjalankan pemogokan secara teratur dan hasilnya memuaskan. Tindakan pemerintah Indonesia ini merupakan suatu tamparan hebat bagi pengusaha-pengusaha bangsa Belanda sebagai akibat dari pembandelan pemerintahnya dalam sidang umum PBB mengenai persoalan Irian Barat. Orientasi politik serta kondisi sosial ekonomi pada masa itu untuk menguatkan rasa nasionalisme yang tinggi sehingga akan tercipta keamanan negara serta meningkatkan ekonomi masyarakat Indonesia di tengah tidak meratanya perekonomian negara. Hal ini bisa dilihat pada masa itu pegawai negeri belum mempunyai rumah dan tanah, sehingga harus tinggal di hotel-dihotel dan menjadi tanggungan negara. Setelah warga negara Belanda meninggalkan Indonesia untuk menghindari okupasi dan agar peralihan rumah-rumah dan tanah-tanah milik Belanda kepada warga-negara Indonesia itu dapat terselenggara dengan adil dan merata maka diterbitkanlah UU No. 3 Prp Tahun 1960. Selanjutnya di dalam PP 223 Tahun 1961 mengatur tentang pengutamaan (“prooritet”) maka yang dijadikan kriteria ialah : (1) status pemohon sebagai pegawai negeri;(2) penghuni, (3) belum mempunyai rumah/tanah sendiri. Adanya pembatasan yang memakai kriteria demikian itu, diharapkan dapat mencegah rumah-rumah/tanah-tanah tersebut beralih kepada golongan mampu yang kebetulan menjadi penghuninya.

Page 179: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

153

Apabila dikaitkan dengan kondisi kekinian UU. No. 3 Prp Tahun 1960 beserta peraturan pelaksanaannya urutan pengutamaan sebagaimana di atur dalam Pasal 1 ayat (2) PP 223 Tahun 1961 sudah tidak relevan lagi karena kondisi pada zaman dahulu dan sekarang telah mengalami perkembangan yang sangat signifikan terutama dalam kesejahteraan pegawai negeri. Sehingga peruntukan tanah dan rumah sebagaimana di atur dalam PP 223 Tahun 1961 seharusnya diperuntukkan kepada subyek hukum yakni perorangan yang belum mempunyai rumah dan tanah.

Selanjutnya dalam memperoleh obyek hukum atau benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda belum memenuhi rasa keadilan dan kemanfaatan dikarenakan proses birokrasi yang masih sentralistik. Birokrasi yang dimaksud adalah mengharuskan kepada pemohonan obyek P3MB untuk mengajukan permohonannya kepada Menteri (Muda) Agraria di Jakarta. Hal ini sudah tidak sesuai lagi pada era disentralisasi yang pada hakikatnya adalah untuk mendekatkan birokrasi pelayanan kepada masyarakat. Sehingga melalui kewenanangan mandat birokrasi pelayanan obyek P3MB sebaiknya dari BPN Pusat diturunkan ke BPN Kanwil dengan tanggung jawab tetap di BPN Pusat.

Sehubungan dengan perubahan politik, ekonomi, sosial dan budaya pada masa diterbitkannya UU No. 3 Prp. Tahun 1960 dengan masa sekarang didukung dengan adanya insinkronisasi antaraPasal 4 dan 5 UU No. 3 Prp. Tahun 1960 dengan PP Nomor 223 Tahun 1961 tentang Pedoman PelaksanaanUU No. 3 Prp. Tahun 1960 maka pengaturan tentang penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda segera dilakukan perubahan dengan undang-undang yang baru agar mencerminkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan.

Dalam politik hukum terdapat berbagai cara untuk memberi bentuk kepada perubahan hukum, baik dengan mengadakan peraturan hukum baru, mengubah peraturan hukum yang berlaku maupun dengan cara mengubah atau membarui

Page 180: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

154

interpretasi peraturan hukum yang berlaku.33 Pilihan terhadap cara-cara tersebut tergantung kepada besar kecilnya perubahan yang diharapkan. Dalam konteks ini, pembaruan hukum agraria dimungkinkan untuk dilakukan dengan berbagai cara dimaksud. Hal ini dilihat dari luasnya cakupan hukum agraria yang berlaku saat ini dan banyaknya peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan yang terkait dengan agraria yang membutuhkan proses yang sangat hati-hati dan mendalam.

Perkembangan sosial masyarakat dan pesatnya arus globalisasi yang mempengaruhi pembangunan di bidang agraria belum diiringi dengan instrumen hukum yang memadai untuk menjawab permasalahan atau menyelesaikan masalah yang timbul di masyarakat sebagaimana dipaparkan dalam bagian sebelumnya. Peraturan perundang-undangan yang salah satunya berbentuk undang-undang merupakan salah satu instrumen untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan masyarakat menuju cita-cita yang ingin dicapai. Pertanyaannya, mengapa instrumen hukum tersebut dalam bentuk undang-undang?

Sebagaimana diketahui instrumen hukum dalam sistem hukum nasional terdiri atas 4 (empat) sub-sistem atau unsur, yaitu budaya atau kesadaran hukum (legal culture), materi hukum (legal substance), aparatur hukum (legal apparatus) dan sarana prasarana hukum (legal structure).34 Pendekatan kesisteman (system approach) inilah yang digunakan dalam politik hukum nasional sebagaimana tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).35 Menurut pendekatan ini, yang dimaksud hukum adalah Undang-Undang itu sendiri dan berada dalam sub-sistem materi hukum (legal substance).

33 Notonegoro. 1984. Politik Hukum dan Pembangunan Hukum Agraria. Jakarta: Bina Aksara, hlm. 7-8.

34 Sistem hukum ini lazimnya merujuk pada pemikiran Lawrence M. Friendman yang mensarikan 3 unsur sistem hukum dalam a. structure (tatanan kelembagaan dan kinerja lembaga); b. substance (materi hukum); dan c. legal culture (budaya hukum). Lihat Lawrence M. Friedman. 1984. American Law: An Introduction. New York: W.W. Norton and Company.

35 Lihat Dokumen RPJM 2004-2009 Bab 9 Pembenahan Sistem dan Politik Hukum sebagai lampiran dari Perpres Nomor 7 Tahun 2005 tentang RPJM 2004-2009.

Page 181: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

155

Produk hukum berupa undang-undang merupakan dasar hukum yang tertinggi setelah UUD NRI Tahun 1945 dalam hierarki peraturan perundang-undangan.36 Secara substantif (materil), Hamid S Attamimi mengatakan bahwa secara garis besar setiap Undang-undang Republik Indonesia merupakan wadah bagi sekumpulan materi yang meliputi:37

1) Hal-hal yang oleh hukum dasar (Batang tubuh UUD NRI Tahun 1945 dan Ketetapan MPR), diminta secara tegas-tegas ataupun tidak secara tegas-tegas untuk ditetapkan dengan suatu undang-undang.

2) Hal-hal yang menurut asas yang dianut oleh Negara Republik Indonesia sebagai Negara Berdasar Atas Hukum (rechtstaats), diminta untuk diatur dengan suatu Undang-undang.

3) Hal-hal yang menurut asas yang dianut Pemerintah Negara Republik Indonesia, yaitu sistem konstitusi diminta untuk diatur dengan suatu undang-undang.38

36 Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut:1. UUD NRI Tahun 1945;2. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undnag-Undang (PERPU);3. Peraturan Pemerintah;4. Peraturan Presiden;5. Peraturan Daerah.

37 Hamid, Attamimi. 1993.Hukum tentang Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan), Pidato Pengukuhan Purnabakti Guru Besar Tetap. FHUI, hlm. 9.

38 Hal ini sejalan dengan ketentuan yuridis dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang:a. mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang meliputi:1. hak-hak asasi manusia;2. hak dan kewajiban warga negara;3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian

kekuasaan negara;4. wilayah negara dan pembagian daerah;5. kewarganegaraan dan kependudukan;6. keuangan negara,

Page 182: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

156

Secara yuridis, Ketetapan MPR Nomor. IX/MPR/2001 mengamanatkan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam lainnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bersama Presiden Republik Indonesia. Dengan menugaskan kedua lembaga negara tersebut untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam, dapat dipastikan bahwa produk hukum yang dimungkinkan untuk pengaturan tersebut adalah dalam bentuk undang-undang. Selain itu, DPR RI dan Presiden RI ditugaskan pula untuk mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksananya yang tidak sejalan dengan ketetapan MPR tersebut.39 Pencabutan dan penggantian undang-undang hanya dapat dilakukan dengan undang-undang, mengingat peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi.40 Demikian pula pencabutan terhadap peraturan pelaksananya harus dilakukan dengan suatu undang-undang (sebagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi) jika undang-undang ini ditujukan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian materi dalam peraturan pelaksana yang dicabut tersebut.41

Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya kekuatan mengikat dari Ketetapan MPR No.IX/MPR/2001 masih berlaku mengingat ketetapan ini dinyatakan masih berlaku sampai dengan terbentuknya undang-undang. Hal ini berdasar ketentuan dalam Ketetapan MPR No.I/MPR/2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan Ketetapan MPR RI tahun 1960 sampai dengan tahun 2002. Tujuan dari pembentukan Ketetapan MPR No.I/MPR/2003 ini adalah untuk meninjau materi dan status hukum dari berbagai Ketetapan MPRS dan MPR RI,

b. diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.

39 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber daya Alam, Op.cit., Pasal 6.

40 Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Op. cit., Lampiran nomor 132.

41 Ibid., Lampiran nomor 133.

Page 183: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

157

menetapkan keberadaan (eksistensinya) untuk saat ini dan masa yang akan datang serta untuk memberi kepastian hukum.

Dalam posisi sebagai instrumen untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan masyarakat menuju cita-cita yang ingin dicapai inilah, Undang-Undang memerankan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial atau “law as a tool of social engineering”,42 dimana hukum merupakan sebuah rekayasa sosial yang memaksa suatu masyarakat untuk menuju ke arah yang diinginkan oleh penguasa. Dalam konteks ke-Indonesia-an, fungsi hukum yang demikian, oleh Mochtar Kusumaatmadja diartikan sebagai sarana pendorong pembaharuan masyarakat43 Yakni sebagai sarana untuk mendorong pembaharuan masyarakat, penekanannya terletak pada pembentukan peraturan perundang-undangan oleh lembaga legislatif, yang dimaksudkan untuk menggagas konstruksi masyarakat baru yang ingin diwujudkan di masa depan melalui pemberlakuan peraturan perundang-undangan itu.

Dari sisi pembentukannya (formil), undang-undang didefinisikan sebagai Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.44 Proses pembentukan suatu undang-undang sering disebut sebagai legislasi. Legislasi berasal dari bahasa inggris “legislation” yang berarti (1) perundang-undangan dan (2) pembuatan undang-undang. Sementara kata “legislation”, berasal dari kata kerja “tolegislate” yang berarti mengatur atau membuat undang-undang.45 Jadi legislasi merupakan suatu proses pembentukan undang-undang, yang dilakukan oleh suatu badan yang dibentuk secara khusus untuk tujuan itu, disebut ‘badan legislatif’.46 Badan atau lembaga legislatif merupakan lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan proses pembentukan

42 Roscoe Pound, Loc. cit; Lili Rasjidi, Loc. cit.43 Mochtar Kusumaatmadja, Loc. cit.44 Republik Indonesia, Op. cit. Pasal 1 angka 3.45 Jhon M. Echols dan Hassan Shadily. 1997. Kamus Inggris Indonesia . Jakarta:

Gramedia Pustaka, hlm. 353.46 Soetandyo Wignyosoebroto, Loc. cit.

Page 184: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

158

undang-undang, yakni DPR RI dan pemerintah.47 Sebagai produk legislatif, undang-undang selalu melibatkan peran dua lembaga secara bersama-sama yaitu parlemen dan pemerintah. Dengan dipenuhinya syarat-syarat formil dari suatu undang-undang, maka secara materil, isi dan substansi dari undang-undang tersebut memiliki kekuatan mengikat umum. Dalam hal ini perlu ditekankan bahwa posisi lembaga legislatif sebagai pembentuk undang-undang adalah representasi dari rakyat yang diwakilinya. Sejalan dengan hal ini Rousseau48 mengatakan bahwa undang-undang diciptakan harus dibentuk oleh kehendak umum, dimana dalam hal ini adalah seluruh rakyat yang secara langsung akan mengambil bagian dalam pembentukan aturan masyarakat tanpa perantara wakil-wakil.

Pembentukan undang-undang diharapkan memberikan arah dan menunjukkan jalan bagi terwujudnya cita-cita kehidupan bangsa melalui aturan hukum yang dibentuknya. Disamping itu, pembentukan undang-undang merupakan salah satu unsur penting dalam rangka pembangunan hukum nasional dan merupakan suatu proses yang dinamis sesuai dengan dinamika dan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan secara komprehensif harus memperhatikan 3 (tiga) hal, yaitu:

a. masa lalu yang terkait dengan penyesuaian hukum warisan kolonial dengan hukum nasional;

b. masa kini yang berkaitan dengan kondisi obyektif dan kebutuhan hukum saat ini; dan

c. masa yang akan datang sesuai tujuan negara yang dicita-citakan dan perkembangan lingkungan strategis.

Undang-undang seharusnya dibentuk oleh negara dalam hal ini pemerintah sebagai upaya responsif yang proaktif dan kritis

47 Lihat Pasal 5, Pasal 20 dan Pasal 21 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.48 Rousseau. 1917. The Social Contract and Discources. Everyman Library, 1917, hlm.

57.

Page 185: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

159

untuk menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat.49 Nonet dan Selznick50 membedakan tiga modalitas atau “pernyataan-pernyataan” dasar terkait dengan hukum dalam masyarakat (law in society) dengan membuat satu bagan yang membedakan antara hukum yang bertipe menindas (repressive law), yakni hukum sebagai pelayan kekuasaan represif, dan hukum yang disebutnya lebih baik, yaitu hukum otonom (autonomous law) yaitu hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritas dirinya. Di luar kedua model ini, sebenarnya mereka juga menyebutkan satu tipe lain, yaitu hukum responsif (responsive law), yakni hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial.51

Tipe hukum menindas (represif ) adalah hukum yang mengabdi kepada kekuasaan yang represif. Tipe hukum ini praktis tanpa legitimasi sama sekali. Orang menaatinya karena dibayang-bayangi oleh ketakutan terhadap penguasa yang keras dan kasar. Sifat represif dari hukum itu semata-mata bertujuan untuk memelihara stabilitas sosial.52 Tipe kedua, yaitu hukum otonom jelas lebih baik daripada tipe pertama karena ia mampu menjinakkan sifat represif dari kekuasaan itu demi melindungi integritas hukum itu sendiri. Tipe hukum otonom sudah memiliki legitimasi sebagai hukum. Legitimasi ini didasarkan pada gagasan bahwa stabilitas sosial itu baru memiliki keabsahan secara hukum apabila penggunaan kekuasaan diawasi menurut prinsip-prinsip konstitusional, prosedur-prosedur formal, dan institusi peradilan yang bebas.53

Tipe kedua di atas sudah baik, namun dikhawatirkan apabila hukum hanya dijalankan secara formalitas maka keadilan yang

49 Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition: Toward and Responsive Law, Loc. cit.

50 Ibid.51 Lihat juga Philippe Nonet dan Philip Selznik, Hukum Responsif, (diterjemahkan

dari Law and Society in Transition: Towards Responisve Law, Harper and Row, 1978), (Bandung: Nusamedia, 2008), hlm. 18.

52 Ibid, hlm. 33-58.53 Ibid, hlm. 59-82.

Page 186: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

160

dicapai juga hanya keadilan formal belaka. Untuk itu perlu ada tipe hukum ketiga yang bertujuan melayani kebutuhan riil masyarakat, atau dengan perkataan lain ia lebih sebagai “problem solver”. Keadilan yang ingin dicapai adalah keadilan material (substantif). Nonet dan Selznick mengatakan, bahwa tipe hukum menindas tidak mungkin dapat lepas dari permasalahan “legitimasi” yang dihadapinya, kecuali ia bergerak mengubah dirinya menuju hukum otonom. Selanjutnya, tipe hukum otonom juga tidak akan mampu mengatasi problema “formalitas hukum” yang dihadapinya dan menuju ke arah tipe hukum responsif.54

Hukum responsif adalah hukum yang mampu mengatasi ketegangan-ketegangan akibat terjadinya perubahan sosial. Agar hukum menjadi responsif, sistem hukum dalam banyak hal hendaknya terbuka terhadap tantangan-tantangan yang ada dalam masyarakat. Sistem hukum juga harus mampu mendorong partisipasi masyarakat dan selalu sigap menyikapi setiap kepentingan yang baru muncul dalam masyarakat.55

Dalam rangka pembangunan dan pembaruan hukum tanah nasional khususnya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terkait dengan bidang agraria, diperlukan pendekatan yang mencerminkan pola pikir yang proaktif dan dilandasi sikap kritis dan objektif. Terkait hal ini setidaknya dapat muncul dua reaksi yang berangkat dari pendekatan yang berbeda. Reaksi yang muncul dari pendekatan legalistik dan konservatif yang cenderung sulit menerima perkembangan baru dan menolaknya dengan alasan legalitas, dimana tidak terdapat pendelegasian langsung dari suatu peraturan perundangan. Sedangkan reaksi lain yang berangkat dari pendekatan fungsional, cenderung bersikap sangat akomodatif terhadap perkembangan baru dengan mengatasnamakan kemanfaatan. Bila perlu dengan mengusulkan untuk mengubah peraturan perundangan yang ada. Kedua reaksi

54 Philippe Nonet and Philip Selznick. 1978. Law and Society in Transition: Toward and Responsive Law. New York: Harper & Row dalam Satya Arinanto, Politik hukum 2, hlm. 115.

55 Philippe Nonet dan Philip Selznik, Op. cit., hlm. 83-125.

Page 187: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

161

tersebut cenderung pragmatis dan kurang mengindahkan konsep dan asas pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.56

Dalam konteks pembaruan hukum agraria dan hukum tanah nasional khususnya, pendekatan kritis yang dibutuhkan adalah dengan upaya pemahaman hukum dan aspirasi yang melekat pada asas hukum yang bertujuan mencapai keadilan, kepastian hukum, dan manfaat bagi masyarakat banyak. Disadari bahwa suatu peraturan perundangan yang dibuat sangat mungkin memiliki kelemahan dan ketidaksempurnaan, baik karena kurang lengkap maupun kurang jelas. Bahkan suatu peraturan perundangan yang relatif lengkap sekalipun dimungkinkan mengalami kekurangan, kekosongan, atau ketidaksesuaian, baik karena perjalanan waktu, perkembangan masyarakat, maupun ilmu pengetahuan dan teknologi. Salah satu cara pembangunan hukumnya adalah dengan jalan penemuan hukum antara lain melalui interpretasi dan analogi.57 Namun demikian penemuan hukum ini memiliki kelemahan mengingat dasar pijakannya dapat berupa undang-undang dan dapat pula berdasarkan asumsi. Adapun cara pandang yang objektif diperlukan untuk mempertimbangkan setiap perkembangan baru dengan konsep yang matang, karena metode penemuan hukum apapun yang dipilih haruslah dilandasi sikap logis, konsisten, dan kritis dalam mengoperasionalkan asas-asas hukum yang berlaku. Membangun hukum bukanlah pekerjaan sederhana mengingat suatu peraturan perundang-undangan yang baik harus memenuhi syarat keadilan, kepastian hukum sekaligus kemanfaatan secara seimbang.58

Hukum yang tertulis, yaitu yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundangan selalu berisi kebijakan penguasa berkuasa pada saat dibuatnya peraturan. Hukum tidak mempunyai kedudukan otonom. Hukum pada kenyataannya berfungsi pelayanan, yaitu merumuskan dan memberikan landasan hukum bagi sah berlakunya kebijakan penguasa tersebut.

56 Maria S.W. Sumardjono, Op.cit., hlm. 1-4.57 Ibid.58 Ibid., hlm. 2-7.

Page 188: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

162

Dengan dirumuskan secara tertulis dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang memenuhi syarat konstitusional, terciptalah kepastian hukum. Namun demikian, secara filosofis, selain memberikan kepastian hukum, hukum dari suatu negara hukum yaitu negara yang berdasarkan pada hukum, harus juga mewujudkan keadilan.59

Unsur keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan harus bersinergi dengan baik guna memenuhi tujuan hukum, penekanan pada satu unsur hukum tertentu akan membawa dampak pada keabsahan berlakunya hukum. Tetapi di sisi lain, adanya fakta bahwa ketiga unsur dasar hukum ini memiliki potensi pertentangan/antinomi (spannungsverhaltins) satu sama lain merupakan sesuai yang tidak dapat dipungkiri. Hal ini dapat dipahami mengingat dalam ketiga unsur dasar hukum tersebut terkandung potensi bertentangan (tegangan) antara nilai-nilai ideal (das sollen) dan nilai-nilai kenyataan (das sein).60 Sebagai contoh, L.J.van Apeldoorn61 menggambarkan pertentangan antara unsur kepastian hukum dengan unsur keadilan. Menurutnya, semakin tepat dan tajam suatu aturan dirumuskan, maka aturan itu semakin berkepastian hukum. Namun di sisi lain. Aturan yang demikian semakin mendesak unsur keadilan.

Unsur keadilan merupakan unsur yang rumit dan abstrak dalam hukum, karena pada keadilanlah hukum bermuara. Satjipto Rahardjo,62 menggambarkan hubungan hukum dan keadilan sebagai berikut:

Membicarakan hukum adalah membicarakan hubungan antar manusia. Membicarakan hubungan antarmanusia adalah membicarakan keadilan. Setiap pembicaraan mengenai hukum (baik jelas maupun samar) senantiasa merupakan pembicaraan tentang keadilan pula. Membicarakan hukum tidak cukup hanya

59 Boedi Harsono, Op. cit, hlm. 242.60 Satjipto Rahardjo. 2000. Ilmu Hukum.Bandung: Citra Aditya Bakti Cet. Ke-3. hlm.

19.61 L.J. van Apeldoorn, Op.cit, hlm. 25.62 Satjipto Rahardjo, Op.cit., hlm. 159.

Page 189: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

163

sampai wujudnya sebagai suatu bangunan yang formal tetapi perlu pula melihatnya sebagai ekspresi dari cita-cita keadilan masyarakat.

Unsur kemanfaatan hukum dikembangkan oleh penganut aliran utilitarianisme seperti Jeremy Bentham (1748-1832), Jhon Struat Mill (1806-1873), dan Rudolf von Jhering (1818-1889). Penganut paham utilitas ini berpendapat bahwa pada intinya hukum harus bermanfaat untuk membahagiakan kehidupan manusia. Baik kebahagiaan itu timbul dari diperolehnya keadilan ataupun karena timbulnya kepastian hukum dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang dapat mendatangkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.

Adapun unsur kepastian dalam hukum berkaitan erat dengan keteraturan dalam masyarakat, karena kepastian merupakan inti dari keteraturan itu sendiri. Adanya keteraturan yang menyebabkan orang dapat hidup secara berkepastian, karena dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk tercipta suatu kepastian maka aturan/hukum harus berlaku umum atau menyamaratakan. Sifat menyamaratakan inilah yang kadang bertentangan dengan unsur keadilan, karena keadilan justru menuntut kepada setiap orang diberikan bagiannya.63 Namun demikian, bagi kepastian hukum yang utama adalah peraturan itu sendiri, unsur keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat adalah di luar pengutamaan nilai kepastian hukum.64

Adanya hukum yang berlaku secara umum bagi seluruh manusia dalam suatu komuntas masyarakat atau negara, maka kepastian hukum dapat terwujud. Dengan demikian, unsur kepastian dari hukum menghendaki adanya upaya positivisasi dari aturan-aturan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa (negara) sehingga aturan-aturan itu mempunyai aspek

63 L.J. van Apeldoorn, Op. cit., hlm. 24-25.64 Satjipto Rahardjo, Op. cit., hlm. 19.

Page 190: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

164

legalitas yang dapat menjamin kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.65

Upaya positivisasi aturan hukum demi mencapai kepastian hukum, mengakibatkan hukum positif itu harus berbentuk tertulis. Di Indonesia, pengaruh ajaran legisme sangat berperan dalam positivisasi norma hukum. Bentuk hukum positif yang tertulis menduduki posisi utama dalam sistem peraturan perundang-undangan Indonesia, dan karenanya kepastian hukum menjadi unsur utama dari hukum.

Dari sudut pandang teoritis, suatu peraturan perundang-undangan sebagai aturan hukum tertulis yang baik yang diharapkan mampu memenuhi unsur dasar hukum yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, setidaknya harus memenuhi 4 (empat) unsur sebagai berikut:66

1) Unsur yuridis, artinya bahwa suatu perundang-undangan harus jelas kewenangan pembuatannya, keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan keharusan mengikuti tata cara tertentu.

2) Unsur sosiologis, artinya bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat materi muatannya akan diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan spontan.

3) Unsur filosofis, artinya bahwa peraturan perundang-undangan yang dibuat harus memperhatikan nilai-nilai yang baik dan ideal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, seperti tentang keadilan, kebenaran, kesejahteraan, dan sebagainya.

4) Unsur teknik perancangan,67 artinya bahwa dalam menyusun peraturan perundang-undangan bahasa hukumnya harus dirumuskan secara jelas, tegas, dan tepat. Dalam menyusun

65 Ida Nurlinda, Op. cit., hlm. 32.66 Dahlan Thaib, Loc. cit.67 Khusus berkaitan dengan unsur teknik perancangan Undang-Undang harus

berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dalam bagian Lampiran mengenai teknik penyusunan peraturan perundang-undangan dan bahasa perundang-undangan.

Page 191: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

165

peraturan perundang-undangan tidak boleh menggunakan rumusan yang tidak jelas, sehingga rumusannya dapat ditafsirkan dalam berbagai arti atau sistematika yang tidak baik, bahasa yang berbelit-belit, dan lain-lain.

Adapun secara teknis, dalam membentuk peraturan perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang meliputi:68

1) kejelasan tujuan, dalam arti setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai;

2) kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat, dalam arti setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan perundangundangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang;

3) kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dalam arti pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-undangannya;

4) dapat dilaksanakan, dalam arti setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis;

5) kedayagunaan dan kehasilgunaan, dalam arti setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

6) kejelasan rumusan, dalam arti setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata

68 Undang-Undang Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Op. cit., Pasal 5.

Page 192: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

166

atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya; dan

7) keterbukaan, dalam arti dalam proses pembentukan peraturan perundangundangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan.

Persyaratan, unsur dan asas di atas jika dikategorisasi maka dapat dikelompokkan pada dua kelompok besar yakni asas atau persyaratan formal dan material. Terkait dengan pembentukan rancangan undang-undang dalam rangka pembaruan hukum di bidang agraria, sejumlah prinsip dan dasar kebijakan yang digariskan dalam Ketetapan MPR No.IX/MPR 2001 harus diperhatikan dan menjadi landasan dalam penyusunan berbagai undang-undang dimaksud. Selain itu, agar adanya undang-undang yang hendak dibentuk menjadi suatu solusi bagi persoalan keagrariaan yang ada dan mampu mencapai unsur keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum yang berimbang sebagaimana dicita-citakan, dan mampu menjadi suatu hukum yang responsif, maka dalam proses tersebut perlu diperhatikan beberapa hal yang dapat dijadikan dasar pijakan yang merupakan hasil pemikiran yang berakar langsung dari kebutuhan masyarakat. Pembangunan hukum yang dilandasi dengan sikap proaktif didasarkan pada penelitian dan kebutuhan hukum akan menghasilkan produk hukum yang efektif.

P. Scholten berpandangan bahwa isi atau substansi hukum ditentukan oleh faktor-faktor idiel dan faktor-faktor kemasyarakatan. Faktor idiel adalah pedoman-pedoman yang tetap tentang keadilan yang harus ditaati oleh pembentuk undang-undang atau lembaga-lemabga pembentuk hukum lainnya dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. Sedangkan faktor-faktor

Page 193: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

167

kemasyarakatan yang membentuk hukum berasal dari keadaan yang aktual di dalam lingkungan masyarakat, dengan kata lain faktor-faktor kemasyarakatan adalah hal-hal yang nyata yang hidup dalam masyarakat itu sendiri yang tunduk pada aturan-aturan tata kehidupan masyarakat bersangkutan.69

Menurut Maria S.W. Sumardjono setidaknya terdapat empat hal yang perlu diperhatikan sebagai dasar berpijak bagi pembuat kebijakan di masa yang akan datang.70

Pertama, prinsip-prinsip dasar yang diletakkan oleh UUPA perlu dipertegas dan dikembangkan orientasinya agar dapat diterjemahkan dalam kebijakan yang konseptual sekaligus operasional dalam menjawab berbagai kebutuhan dan dapat menuntun ke arah perubahan yang dinamis.

Kedua, perlu persamaan persepsi pembuat kebijakan berkenaan dengan berbagai hal yang prinsipil, agar tidak menunda jalan keluar dari permasalahan yang ada.

Ketiga, tanpa mengingkari banyaknya kebijakan yang berhasil diterbitkan, masih terdapat kesan adanya pembuat kebijakan yang bersifat parsial atau untuk memenuhi kebutuhan jangka pendek, karena belum ielasnya urutan prioritas kebijakan yang harus diterbitkan.

Keempat, masih diperlukan adanya suatu cetak biru kebijakan di bidang pertanahan yang dengan jelas menunjukkan hubungan antara prinsip kebijakan, tujuan yang hendak dicapai, serta sasarannya.

Berdasarkan kajian Kelompok Studi Pembaruan Agraria (KSPA), guna mengantisipasi perubahan sistem politik dan pemerintahan, mengatasi krisis ekonomi dan mengakhiri konflik dan permasalahan lainnya yang berkaitan dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya

69 P. Scholten, sebagaimana dikuti oleh Dedi Darmadi, Op.cit. hlm. 6 -7.70 Maria S.W. Sumardjono, Op. cit., hlm. 43.

Page 194: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

168

agraria lainnya, maka aturan-aturan yang mendesak untuk disusun harus dapat mengintegrasikan tema-tema perubahan yang terjadi dan mengandung beberapa prinsip dasar sebagai berikut:71

1) berorientasi kerakyatan; mengutamakan kepentingan hajat hidup masyarakat banyak daripada kepentingan pemodal besar;

2) mengedepankan aspek keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya agraria lainnya;

3) bersifat integratif antar sektor dengan menghentikan sektoralisme dalam bentuk kebijakan terpadu;

4) memperhatikan keberlanjutan antar generasi;5) memperhitungkan aspek kelestarian dalam pengelolaannya.

Untuk merealisasikan hal tersebut, diperlukan pengaturan yang bertujuan untuk:

1) menyelesaikan sengketa-sengketa yang terjadi pada masa lalu secara tuntas;

2) menata ulang struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemafaatan tanah dan sumber daya agraria lainnya agar tercipta suatu kontak sosial baru yang lebih berkeadilan;

3) mengatur masalah pengelolaan tanah dan sumber daya agraria lainnya untuk masa yang akan datang yang berdasarkan pada kedua kebijakan tersebut di atas.

Penulis sependapat dengan Dahlan Thaib bahwa Untuk memenuhi Undang-Undang yang berpredikat baik maka di dalam Undang- Undang tersebut harus memenuhi unsur dasar hukum yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.72 Untuk

71 Kelompok Studi Pembaruan Agraria (KSPA). 2001. Usulan Rantap MPR RI tentang Pelaksanaan Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang Adil dan Berkelanjutan. Bandung: 14-16 September 2001. hlm. 2.

72 Hamid Attamimi.1993. Hukum tentang Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan), Pidato Pengukuhan Purnabakti Guru Besar Tetap, Jakarta: FHUI, 1993.

Page 195: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

169

mencapai hal tersebut setidaknya harus memenuhi 4 (empat) unsur sebagai berikut : (1) Unsur yuridis, artinya bahwa suatu perundang-undangan harus jelas kewenangan pembuatannya, keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan keharusan mengikuti tata cara tertentu. Hal ini bertolak belakang dengan Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda yang terjadi insinkronisasi dengan aturan pelaksanaanya yakni Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 223 Tahun 1961 tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Prp 1960. (2) Unsur sosiologis, artinya bahwa suatu peraturan perundang-undangan yang dibuat materi muatannya akan diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan spontan. Keberadaan Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseoragan Warga Negara Belanda pada zamannya diterima dan bahkan menjadi pedoman dalam mengatur obyek benda-benda Milik Perseorangan Warga Negara Belanda, namun apabila diterapkan pada era kekinian maka keadilan, kepastian dan kemanfaatan jelas tidak akan dirasakan oleh masyarakat atau rakyat Indonesia. Hal ini bisa dilihat pada aturan pembelian yang masih menerapkan asas sentralisasi yakni pengajuan pembelian harus di ajukan kepada pusat yakni Kepala BPN Pusat. Hal ini telah bertentangan dengan semangat desentralisasi yang mana pelayanan publik harus benar-benar didekatkan kepada masyarakat. Sebagai dampaknya adalah pengurusan terhadap benda-benda milik perseorangan warga negara Belanda harus menelan waktu yang lama, dengan biaya yang tidak sedikit. Hal ini menandakan bahwa kebijakan tersebut belum berpihak kepada masyarakat atau rakyat Indonesia. (3) Unsur filosofis, artinya bahwa peraturan perundang-undangan yang dibuat harus memperhatikan nilai-nilai yang baik dan ideal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, seperti tentang keadilan, kebenaran, kesejahteraan, dan sebagainya. Apabila dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 bahwa nilai-nilai keadilan dan kesejahteraan belum bisa dirasakan oleh masyarakat Indonesia hal ini di dasarkan pada

Page 196: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

170

pembelian benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda yang masih sentalistik, masih menerapkan urut-urutan pengutamaan hal ini menyimpang dari prinsip equality before the law yang mengamanahkan bahwa persamaan dan perlakuan yang sama di depan hukum. Sedangkan unsur yang (4) Unsur teknik perancangan, artinya bahwa dalam menyusun peraturan perundang-undangan bahasa hukumnya harus dirumuskan secara jelas, tegas, dan tepat. Dalam menyusun peraturan perundang-undangan tidak boleh menggunakan rumusan yang tidak jelas, sehingga rumusannya dapat ditafsirkan dalam berbagai arti atau sistematika yang tidak baik, bahasa yang berbelit-belit, dan lain-lain. Melalui semangat agrarian reform menurut penulis bisa dijadikan momentum untuk merubah Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda yang keberadaan memang kurang mendapat perhatian atau sengaja dilupakan karena bukan menjadi isu yang strategis. Apabila dilihat dari sejarahnya Undang-Undang ini lahir pada saat pemerintah Indonesia mengalami keadaan yang genting sehingga wajar Undang-Undang ini bisa diterima, namun pada era yang sudah merdeka pada era kekinian ini, apakah masih relevan dengan membiarkan Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 tetap berlaku namun pada tataran implementasinya tidak bisa dilaksanakan dikarenakan belum memenuhi unsur teknik perancangan perundang-undangan.

Melalui penelitian ini penulis mengusulkan dengan semangat Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 yang menugaskan kepada dua lembaga yakni DPR RI dan Presiden RI untuk mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksananya yang tidak sejalan dengan ketetapan MPR tersebut. Namun sampai saat ini menurut Muchsin dan Imam Koeswahyono, belum ada suatu wujud peraturan perundang-undangan yang dihasilkan atas amanat ketetapan majelis ini.73 Untuk itu penulis

73 Muchsin dan Imam Koeswahyono. 2007. Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif Sejarah. Bandung: Refika Aditama. hlm. 82 “ Desakan berbagai elemen di masyarakat pada akhirnya memperoleh kanalisasi pada Majelis Pemusyawaratan Rakyat pada 9 November 2001 berupa produk hukum ketetapan Majelis

Page 197: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

171

mengusulkan pencabutan dan penggantian Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 hanya dapat dilakukan dengan undang-undang, mengingat peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. Demikian pula pencabutan terhadap Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 223 Tahun 1961 tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Prp 1960 harus dilakukan dengan suatu undang-undang (sebagai peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi) jika undang-undang ini ditujukan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian materi dalam peraturan pelaksana yang dicabut tersebut.

Permusyawaratan Rakyat No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam yang pada pasal 7 dinyatakan bahwa “Menugaskan kepada presiden Republik Indonesia untuk segera melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang pembaruan Agraria dan pengelolaan Sumber Daya Alam serta melaporkan pelaksanaannya pada sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia” namun fakta menunjukkan bahwa sampai pada akhir masa jabatan Presiden, belum ada wujud politik hukum dan implementasi yang signifikan sebagai perwujudan pelaksanaan ketetapan Majelis tersebut. Hal inilah yang menurut beberapa pemikir agraria sebagai salah satu faktor pemicu maraknya aksi unjuk rasa masyarakat tani di beberapa wilayah di tanah air maupun aksi penjarahan tanah yang dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat di Indonesia.

Beberapa konstatasi empirik yang mendasari dikeluarkannya ketetapan majelis tersebut adalah: (1) Kemiskinan, ketimpangan, dan ketidak adilan sosial ekonomi rakyat.(2) Pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam mengakibatkan degradasi kualitas lingkungan, kepentingan struktur penguasaan dan pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria/sumber daya alam. (3) Pengaturan di bidang sumber daya agraria dan alam saling tumpang tindih.

Sehubungan dengan konstatasi tersebut, maka diperlukan langkah-langkah konkrit sebagaimana berikut:1. Pengelolaan sumber daya agraria dan sumber daya alam yang adil,

berkelanjutan harus dilakukan secara terkoordinasi, terpadum dan menampung dinamika dan peran serta masyarakat.

2. Dalam upaya mewujudkan cita-cita bangsa sebagaimana termaktub dalam preambule Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan komitmen politik yang sungguh-sungguh dalam memberikan dasar dan arah pembaruan agraria.

3. Diperlukan adanya ketetapan Majelis sebagai perwujudan dari 1-3 dan a-b tentang agenda pembaruan agraria dan sumber daya alam.

Page 198: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

172

B. Insinkronisasi Aturan

Dalam sistem hukum yang baik, menghendaki adanya hubungan antara komponen yang satu dengan yang lain terjalin dengan senada dan harmonis artinya, diantara komponen-komponen itu tidak terjadi konflik. Namun pada kenyataannya komponen-komponen dalam sistem hukum tidak sempurna, sehingga wajar apabila timbul kemungkinan timbulnya pertentangan-pertentangan atau konflik di antara sesama komponen sistem hukum positif Indonesia.

Teori jenjang norma hukum (Stuefentheorie), yang dikenalkan oleh Kelsen bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis, dalam suatu hierarki tata susunan. Dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi sehingga konflik peraturan perundang-undangan dapat diminimalisir.

Problematika yuridis dalam penelitian ini adalah telah terjadi insinkronisasi antaraPasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda TetapMilik Perseorangan Warga Negara Belanda dengan Penjelasan Umum Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 223 Tahun 1961 tentang Pedoman PelaksanaanUndang- Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960. Dalam pasal 4 ayat (2) menyebutkan bahwa:

Yang diperkenankan membeli benda-benda termaksud dalam ayat (1) pasal ini hanyalah warga-negara Indonesia, yang dengan pembelian yang baru itu tidak akan mempunyai lebih dari 3 (tiga) bidang tanah.

Sedangkan Penjelasan Umum pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 223 Tahun 1961 tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang No. 3 Prp Tahun 1960 menyebutkan bahwa:

Berdasarkan atas ketentuan pasal 1 Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 maka semua rumah/tanah kepunyaan perseorangan

Page 199: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

173

warga negara Belanda yang telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, dikuasai oleh Pemerinta, dalam hal ini Menteri Agraria, Untuk keperluan pelaksanaan penguasaan itu di daerah-daerah oleh Menteri Agraria telah dibentuk Panitia-panitia Pelaksana Penguasaan Milik Belanda, yaitu dengan Keputusannya No. SK 330/Ka/1960. Menurut pasal 4 Undang-Undang tersebut dibuk kesempatan bagi para peminat untuk membeli rumah/tanah yang dimaksudkan itu, dengan pembatasan, bahwa yang diperkenankan membeli hanyalah warga negara Indonesia, yang dengan pembelian baru itu tidak akan mempunyai lebih dari 2 bidang tanah. Pembelian tersebut memerlukan izin Menteri Agraria.

Di dalam Peraturan Pemerintah No. 223 Tahun 1961 tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga-Negara Belanda, jelas disebutkan “bahwa Kepada pegawai negeri penghuni rumah/pemakai tanah yang bersangkutan, asalkan dengan pembelian yang baru itu ia tidak akan mempunyai lebih dari 2 rumah/bidang tanah”, sedangkan pada pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 menyebutkan bahwa “Yang diperkenankan membeli benda-benda termaksud dalam ayat (1) pasal ini hanyalah warga-negara Indonesia, yang dengan pembelian yang baru itu tidak akan mempunyai lebih dari 3 (tiga) bidang tanah”. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa telah terjadi insinkronisasi vertikal dalam menentukan syarat kepemilikan bidang tanah pada tataran Undang-Undang menentukan bahwa syarat kepemilikan subyek hukum dalam memperoleh benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda tidak lebih dari tiga bidang tanah. Sedangkan pada tataran aturan pelaksanaannya mensaratkan tidak lebih dari 2 rumah/bidang tanah. Hal ini tentunya akan berdampak kepada tidak dapat dilaksanakannya aturan tersebut.

Suratman dkk. Menyebutkan bahwa dalam permasalahan sinkronisasi dapat terjadi dengan dua jalur (1) vertikal, ruang lingkupnya adalah berbagai peraturan perundang-undangan yang

Page 200: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

174

derajatnya berbeda mengatur bidang yang sama. Derajat atau hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan secara hierarkis sebagaimana berikut:

1. Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah pengganti Undang-

Undang4. Peraturan Pemerintah5. Peraturan Presiden6. Peraturan Daerah provinsi, dan7. Peraturan Daerah Kabupaten/ Kota.

Jalur yang ke (2) horizontal, hal ini terjadi apabila peraturan perundang-undangan yang kedudukannya sederajat dan yang mengatur bidang yang sama.74

Sejalan dengan hal tersebut Jeremy Bentham mengemukakan ketidaksempurnaan (imperfections) yang dapat mempengaruhi undang-undang (statute law), dan dapat dijadikan asas-asas bagi pembentukan perundang-undangan. Ketidaksempurnaan tersebut dibagi dalam dua derajat/tingkatan. Ketidaksempurnaan derajat pertama disebabkan hal-hal yang meliputi:

1. Arti ganda (ambiguity);2. Kekaburan (obscurity);3. Terlalu luas (overbulkiness).

Sedang ketidaksempurnaan derajat kedua disebabkan hal-hal yang meliputi:

a) Ketidaktepatan ungkapan (unsteadiness in respect of expression);

b) Ketidaktepatan tentang pentingnya sesuatu (unsteadiness in respect pf import);

74 Suratman dkk, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Alfabeta, 2012), hlm. 64.

Page 201: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

175

c) Berlebihan (redudancy);d) Terlalu panjang lebar (longwindedness);e) Membingungkan (entanglement);f) Tanpa tanda yang memudahkan pemahaman (nakedness in

respect of helps to intellection);g) Ketidakteraturan (disorderliness).75

Dari penjelasan Jeremy Bentham tersebut dapat disimpulkan bahwa antara Undang-undang No. 3 Prp. Tahun 1960 dengan PP 223 Tahun 1961 telah terjadi ketidakteraturan (disorderliness) dalam menentukan syarat kepemilikan jumlah tanah obyek P3MB yang dapat dibeli.

Lebih lanjut Mathias Klatt, dalam Making The Law Explicit: The Normativity of legal argumentation mengatakan: problematika yuridis, yang tidak dapat ditentukan hukumnya secara tepat atau legal indeterminacy, kemungkinan disebabkan oleh berbagai hal, antara lain: Kekaburan makna (vagueness), menduakan artian makna (ambiquity), inkonsistensi (inconsistency), dan konsep-konsep yang secara mendasar bertentangan atau bersaing yang disebut Gallie sebagai evaluatif openness, atau konsep-konsep yang masih terbuka untuk dievaluasi.76

Selanjutnya apabila di kembalikan kepada asas apabila terjadi konflik atau benturan perundang-undangan maka menurut teori jenjang norma tersebut terdapat beberapa rumusan yang harus diindahkan yaitu peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah Undang-undang yang dibuat oleh badan/instansi pemerintah yang berwenang antara lain: Undang-undang dasar, ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-undang, peraturan pemerintah dan lain-lain. Apabila terjadi konflik tersebut

75 E.A. Driedger, Legislative Drafting, dalam Canadian Bar Review, XXVII, 1949, hlm. 294 – 295, dalam Hamid S. Attamini, Disertasi: Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu studi analisis mengenai Keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan dalam kurun waktu Pelita I- Pelita IV. Pasca Sarjana Universitas Indonesia: 1990, hlm. 324-325.

76 Mathias Klatt. 2006. Making the Law Explisit: The Normativity of Legal Argumentation, Oxford and Portland Oregon: Hart Publishing, 2008, hlm. 3 bandingkan dengan Dworkin, Law as Interpretation, dalam Wacks, Raymond, Introduction to Philosophy of Law, Ocford University Press, hlm. 41-45.

Page 202: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

176

maka asas yang dipakai adalah Asas Lex Superior derogat Lex Inferiori. Arti asas ini adalah “peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya, apabila kedua peraturan tersebut memuat ketentuan yang saling bertentangan”.

Tertib hukum yaitu asas pertingkatan atau hierarki peraturan perundang-undangan. Penerapan hukum positif harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh sistem pertingkatan atau tata urutan peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan bertingkat lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah, kecuali apabila subtansi peraturan perundang-undangan lebih tinggi mengatur hal-hal yang oleh Undang-Undang ditetapkan menjadi wewenang peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah. Peraturan Pemerintah (PP) bertingkat lebih atas dari Peraturan Daerah (Perda). Tetapi Perda yang bertentangan dengan PP tidak serta merta kalah sehingga dinyatakan batal atau tidak sah. Kalau ternyata materi muatan PP mengatur hal-hal yang menjadi wewenang daerah, dan materi muatan pada Perda berada dalam wewenang daerah, maka PP yang mengalah, bukan Perda. Asas pertingkatan hanya berlaku untuk hukum perundang-undangan dan aturan kebijakan. Bagi hukum-hukum lainnya, asas pertingkatan tidak berlaku, karena tidak ada ukuran pertingkatannya.77

Berdasarkan teori jenjang di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menjawab permasalahan di atas tentang insinkronisasi antara Pasal 4 ayat (2) Undang- Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 1960 dengan Penjelasan Umum Pasal 1Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 223 Tahun 1961 tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960 dapat menggunakan asas lex Superior derogat legi inferiori yakni “peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya mengenyampingkan berlakunya peraturan perundang-undangan yang lebih rendah

77 Bagir Manan. 2004. Hukum Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik). Yogyakarta, FH UUI Press, hlm. 56-57.

Page 203: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

177

tingkatannya, apabila kedua peraturan tersebut memuat ketentuan yang saling bertentangan”. Terhadap insinkronisasi ini upaya yang dapat ditempuh adalah dengan menggunakan uji materiil di Mahkamah Agung.

C. Hukum Pertanahan Yang Baik Akan Melahirkan Birokrasi Pertanahan dan Iklim Investasi Pertanahan Yang Baik

1. Pengertian Dasar Hukum

Penulis terinspirasi dari sebuah tulisan yang di usung oleh Taufiq Effendi yang mengatakan bahwa “hukum yang baik akan menciptakan birokrasi yang baik, dan birokrasi yang baik akan mampu menumbuhkan investasi.”78 Hal ini sejalan dengan pendapat Karl loeweinstein yang dikutip Jimly Assidiqie yang mengatakan bahwa dalam setiap konstitusi selalu terdapat dua aspek penting, yaitu sifat idealnya sebagai teori dan sifat nyatanya sebagai sebuah praktik. Artinya sebagai hukum tertinggi di dalam konstitusi itu selalu terkandung nilai-nilia ideal sebagai dassolen yang tidak selalu identik dengan dassein atau keadaan nyatanya di lapangan.79

Konstitusi dapat dikatakan memiliki nilai normatif, jika antara norma yang terdapat dalam konstitusi yang bersifat mengikat itu dipahami, diakui, diterima, dipatuhi oleh subyek hukum yang terikat padanya. Tetapi jika tidak seluruh isi konstitusi itu demikian, atau setidaknya norma-norma tertentu yang terdapat didalam konstitusi apabila memang sungguh-sungguh ditaati dan berjalan sebagaimana mestinya dalam kenyataan, dapat dikatakan juga berlaku sebagai konstitusi dalam arti normatif.

Akan tetapi, apabila dalam suatu undang-undang dasar sebagian atau seluruh materi muatannya dalam kenyataannya tidak dipakai sama sekali sebagai referensi atau rujukan dalam

78 Taufiq Effendi. 2013. Reformasi Birokrasi Dan Iklim Investasi. Jakarta: Konstitusi Press, hlm. 31.

79 Jimly Assidiqie. 2009. Pengantar Hukum Tata Negara. Jakarta : PT Raja Grafindo, hlm. 108.

Page 204: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

178

pengambilan keputusan dalam praktik penyelenggaraan kegiatan bernegara, konstitusi tersebut dapat dikatakan sebagai konstitusi yang bernilai nominal. Misalnya norma dasar yang terdapat dalam konstitusi yang tertulis (geschreven contitutie) menentukan A, tetapi konstitusi yang dipraktikkan justru sebaliknya yaitu B sehingga apa yang tertulis secara express verbis dalam konstitusi sama sekali hanya bernilai nominal saja. Dapat pula terjadi bahwa yang dipraktikkan itu hanya sebagian saja dari ketentuan Undang-Undang Dasar, sedangkan sebagian yang lainnya tidak dilaksanakan dalam praktik sehingga dapat dikatakan bahwa yang berlaku normatif hanya sebagian. Sementara itu, sebagian lainnya hanya bernilai nominal sebagai norma-norma hukum di atas kertas “mati”.80

Sedang konstitusi yang bernilai semantik adalah konstitusi yang norma-norma yang terkandung di dalamnya hanya dihargai di atas kertas yang indah dan dijadikan jargon, semboyan, ataupun “gincu-gincu ketatanegaraan” yang berfungsi sebagai pemanis dan sekaligus alat pembenaran belaka. Dalam setiap pidato, norma-norma, konstitusi itu selalu dikutip dan dijadikan dasar pembenaran suatu kebijakan, tetapi isi kebijakan itu sama sekali tidak sungguh-sungguh melaksanakan isi amanat norma yang dikutip itu. Kebiasaan seperti ini lazim terjadi dibanyak negara, terutama jika negara yang bersangkutan tersebut tidak tersedia mekanisme untuk menilai konstitusionalitas kebijakan-kebijakan kenegaraan (state policies) yang mungkin menyimpang dari amanat Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian dalam praktik ketatanegaran, baik bagian-bagian tertentu ataupun keseluruhan isi undang-undang itu dapat bernilai semantik saja.81

Dari paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum yang baik bukan hanya bagus pada tataran normatif atau dassolen, namun pada tataran implementasinya dassein tidak bisa dilaksanakan atau menurut Jimly Assidiqie hanya dihargai di atas kertas. Sejalan dengan hal tersebut hukum alam telah mengingatkan bahwa pada dasarnya merupakan hukum yang tidak

80 Ibid.81 Ibid.

Page 205: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

179

dibuat oleh manusia dan berlaku universal. Pemikiran ini tidak terlepas dari Aristoteles yang menggali filsafat Yunani dengan membedakan antara “hukum” dan “alam”. Hukum bisa berbeda dari satu tempat dengan lainnya, sedangkan alam bersifat universal. Kebutuhan perilaku, dan hak-hak manusia pada prinsipnya bersifat alami atau sesuai dengan hukum alam. Thomas Aquinas menjadi penerus Aristoteles yang mengembangkan teori hukum alam pada tahun 1690 yang mengatakan bahwa ada 3 doktrin :

(1) Semua hukum hukum yang berkeadilan dapat ditemukan secara alami,

(2) Aturan-aturan yang bersifat aturan dasar harus dijadikan pedoman untuk menyelesaikan berbagai konflik, dan

(3) Hukum hanya dapat dipahami dan dimengerti apabila didasari oleh prinsip-prinsip moralitas yang telah ada dan bersifat alami.82

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Aquinas menempatkan keadilan hukum sebagai keadilan umum, karena hukum berakar pada hukum alam yang hanya mencerminkan keluhuran ilahi ansich.

2. Tujuan Hukum

Tujuan hukum tidak bisa dilepaskan dari perkembangan pemikiran orang tentang hukum. Dalam kepustakaan dikenal beberapa teori dalam tujuan hukum ( 1) Teori Etis, (2) Teori Utilitas dan (3) Kepastian Hukum. Berikut penulis menjelaskan secara runtut ke tiga tujuan hukum tersebut.

Menurut teori Etis satu satunya tujuan hukum adalah menciptakan keadilan. Teori ini disebut teori Etis karena adanya hal berikut, “hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita tentang apa yang adil dan apa yang tidak adil”.83 Filsuf

82 Taufiq Op. cit, hlm. 33.83 Abdul Rachmad Budiono. 205. Pengantar Ilmu Hukum. Malang: Bayu Media, hlm. 23.

Page 206: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

180

Hukum Alam Thomas Aquinas, membedakan keadilan atas dua kelompok yaitu:84

1. Keadilan umum (justitia generalis), adalah keadilan menurut kehendak undang-undang yang harus ditunaikan demi kepentingan umum. Keadilan ini juga disebut dengan keadilan legal.

2. Keadilan khusus, adalah keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan khusus ini dapat dibedakan lagi, yaitu:a. Keadilkan distributif (justitia distributiva); directs the

distribution of goods and honours to each according to his place in the community. Adalah keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum, yakni apabila setiap orang mendapatkan hak atau jatahnya secara proporsiobal.

b. Keadilan kumutatif (justitia commutativa), adalah keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dan kontraprestasi.

c. Keadilan vindikatif (justitia vindicativa), adalah keadilan dalam menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seseorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya.

Teori Utilistas pertama kali dikembangkan oleh Jeremi Bentham (1748-1831). Persoalan yang di hadapi oleh Bentham pada zaman itu adalah bagaimana menilai baik buruknya suatu kebijakan sosial politik, ekonomi, dan legal secara moral. Dengan kata lain bagaimana menilai suatu kebijakan publik yang mempunyai dampak kepada banyak orang secara moral. Berpijak dari tesis tersebut, Bentham menemukan bahwa dasar yang paling objektif adalah dengan melihat apakah suatu kebijakan atau

84 Aristoteles dalam Darji Darmodiharjo, Op. cit., hlm. 167.

Page 207: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

181

tindakan tertentu membawa manfaat atau hasil yang berguna atau, sebaliknya kerugian bagi orang-orang yang terkait.85

Jeremy Bentham, sebagai penganut aliran utilistik menganggap hukum barulah dapat diakui sebagai hukum jika ia memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya terhadap sebanyak-banyaknya orang. Hukum bertujuan untuk “the greatest happiness of the greatest number”.86

John Stuart Mill mengajarkan bahwa tindakan itu hendaknya ditujukan terhadap pencapaian kebahagian, dan adalah keliru jika ia menghasilkan sesuatu yang merupakan kebalikan dari kebahagian, “Action are right in proportion as they tend to promote man’s happiness, and wrong as they tend to promote the reverse of happiness”.87

Apabila dikaitkan apa yang dinyatakan Bentham pada hukum, maka baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu. Suatu ketentuan hukum baru bisa di nilai baik, jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan sebesar-besarnya, dan berkurangnya penderitaan. Dan sebaliknya dinilai buruk jika penerapannya menghasilkan akibat-akibat yang tidak adil, kerugian, dan hanya memperbesar penderitaan. Sehingga tidak salah tidak ada para ahli menyatakan bahwa teori kemanfaatan ini sebagai dasar-dasar ekonomi bagi pemikiran hukum. Prinsip utama dari teori ini adalah mengenai tujuan dan evaluasi hukum. Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebagian terbesar rakyat atau bagi seluruh rakyat, dan evaluasi hukum dilakukan berdasarkan akibat-akibat yang dihasilkan dari proses penerapan hukum. Berdasarkan orientasi itu, maka isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan kesejahteraan Negara.88

85 Sonny Keraf. 1998. Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya. Yogyakarta: Kanisius, hlm. 93-94.

86 Bernard L. Tanya, dkk. 2010. Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Surabaya: CV. Kita, hlm. 127.

87 Ibid.88 Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 1993), hlm. 79-80.

Page 208: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

182

Sedangkan teori Kepastian hukum Menurut Gustav Radbruch, memiliki dua macam pengertian kepastian hukum, yaitu kepastian hukum oleh hukum dan kepastian hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang berguna. Kepastian hukum oleh karena hukum memberi tugas hukum yang lain, yaitu keadilan hukum serta hukum harus tetap berguna. Sedangkan kepastian hukum dalam hukum tercapai apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya dalam undang-undang. Dalam undang-undang tersebut terdapat ketentuan-ketentuan yang bertentangan (undang-undang berdasarkan suatu sistem yang logis dan praktis). Undang-undang dibuat berdasarkan rechtswerkelijkheid (keadaan hukum yang sungguh-sungguh) dan dalam undang-undang tersebut tidak terdapat istilah-istilah yang dapat ditafsirkan secara berlain-lainan.89

Menurut Friedrich Julius Stahl, seorang pelopor hukum Eropa Kontinental, ciri sebuah negara hukum antara lain adalah adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan, pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan (wetmatigheid van bestuur) serta peradilan administrasi dalam perselisihan.90 Konsep Negara hukum disamping mencakup perihal kesejahteraan sosial (welfare state), kini juga bergerak kearah dimuatnya ketentuan perlindungan hak asasi manusia dalam konstitusi tertulis satu negara. Berdasarkan hal tersebut Negara disamping bertugas untuk mensejahterakan masyarakat dan memberikan keadilan sosial. Negara harus memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang saat ini diatur dalam pasal 28 I ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945 yang dikenal dengan Prinsip Negara Hukum yang Demokratis.91

Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa untuk mencapai ketertiban diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena tidak mungkin manusia dapat

89 Ibid. hlm.147.90 Ibid. hlm. 210.91 Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi. 2001. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. Bandung:

Citra Aditya Bakti, hlm. 68.

Page 209: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

183

mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan Tuhan kepadanya secara optimal tanpa adanya kepastian hukum dan ketertiban.92

Menurut Satjipto Rahardjo, untuk mendirikan Negara hukum memerlukan suatu proses yang panjang, tidak hanya peraturan-peraturan hukum saja yang harus ditata kelola dengan baik, namun dibutuhkan sebuah kelembagaan yang kuat dan kokoh dengan kewenangan-kewenangan yang luar biasa dan independen. Kewenangan ini hendaknya bebas dari intimidasi atau campur tangan eksekutif dan legislatif yang dilaksanakan oleh sumber daya manusia yang bermoral baik dan bermoral teruji sehingga tidak mudah terjatuh diluar skema yang diperuntukkan baginya demi terwujudnya suatu kepastian hukum yang sarat akan keadilan. Hukum bukan hanya urusan (a business of rules), tetapi juga perilaku (matter of behavior).93 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mendirikan negara hukum harus didasarkan kepada tujuan hukum itu sendiri yakni keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi manusia.

3. Pendekatan Hukum

Pendekatan yang pertama adalah bottom - up. Pandangan bahwa hukum berasal dari adat istiadat dan kepercayaan (antropologi hukum) serta kehendak masyarakat, sangat dipengaruhi oleh pemikiran Frederich Karl Von Savigny dan Sir Henry Summer Maine. Savigny dengan teori Volkgeist mengatakan bahwa terdapat hubungan antara hukum dengan watak atau karakter suatu bangsa. Hukum adalah cerminan dari jiwa Volkgeist. Oleh karena itu hukum adat yang tumbuh dan berkembang dalam rahim Volgeist harus dipandang sebagai hukum kehidupan yang sejati. Hukum sejati itu tidak dibuat, ia harus ditemukan. Legislasi hanya penting selama ia memiliki sifat deklaratif terhadap hukum

92 Carl Joachim Friedrich. 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis. Bandung: Nuansa dan Nusamedia, hlm. 239.

93 Ibid.

Page 210: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

184

sejati.94 Dalam hal ini Savigny menganggap dengan pembangunan hukum yang mencerminkan kehendak masyarakat (buttom up), akan lebih baik karena hukum dijalankan sesuai dengan kehendak masyarakat.

Pendekatan yang Kedua adalah top-down. Menurut Nathan Rescoe Pound (1870-1964), hukum berasal dari negara/pemerintah sebagai penguasa karena negara/pemerintah perlu mengatur berbagai kepentingan, baik yang bersifat publik maupun privat. Pound merupakan pelopor dalam gerakan membangun hukum untuk tujuan sosial. Hukum mencerminkan kemauan negara/pemerintah untuk mengatur masyarakat dalam rangka perubahan sosial/sosial engineering dan pengendalian sosial/sosial control. Berbagai perubahan sosial masyarakat harus dikendalikan agar perubahan tersebut membawa manfaat yang lebih baik. Oleh karena itu, pemikiran Pound menggunakan top down dikaitkan dengan perkembangan hukum.95 Hal ini dibuktikan banyaknya negara yang tidak mengakomodir hukum adat dalam sistem nasionalnya. Dalam praktik kenegaraan hanya sedikit inisiatif pembentukan peraturan perundang-undangan yang datang dari legislatif.

4. Birokrasi Yang Baik

Max Weber dengan teori birokrasi legal rasional, dan Gerrit Abraham van Poelje dengan sistem administrasi negara di Belanda. Konsep birokrasi legal rasional Max Weber kemudian berkembang, terutama di Eropa dan AS.Heady mencoba menyederhanakan konsep birokrasi Max Weber dengan tiga karekteristik utama:96

(1) Hierarki. Organisasi dan administrasi disusun berdasarkan tingkatan, yaitu ada superordinasi (yang mengawasi) dan subordinasi (yang diawasi).

94 Bernard L Tanya. 2013. Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi. Yogyakarta : Genta Publishing, hlm. 94.

95 Taufiq Efeendi, Op.cit., hlm. 39.96 Ibid.

Page 211: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

185

(2) Diferensiasi atau spesialisasi. Pembagian tugas menurut keahlian untuk organisasi besar yang mengelola sumber daya dan kompleks, sangat diperlukan.

(3) Kualifikasi atau kompetensi. Pegawai harus memiliki kompetensi atau kualilifikasi dalam arti “fit” untuk pekerjaannya sesuai dengan keterampilan atau tingkat pendidikannya.

Selanjutnya Gauss mengemukakan, ada empat teori birokrasi berdasarkan sejarah dan penyelenggaraan pemerintahan negara-negara di dunia dilihat dari proses interaksi birokrasi dengan lingkungannya dan dalam rangka check Balance:97

1) Teori Dikotomi Administrasi-Politik. (adminisitration-Politics dichotomy theory). Teori ini bersumber dari pemikiran Woodrow Wilson (1856-1924), yang mengemukakan bahwa birokrat adalah kelompok ahli yang harus bebas dari campur tangan politik. Kualitas demokrasi suatu negara biasanya diukur dari kuatnya kontrol politik atas birokrasi dihadapkan pada tuntutan demokrasi. Wilson menggambarkan hubungan “komplementer” antara politik dan birokrasi karena ada saling ketergantungan (interdependencies) dan saling mempengaruhi (reciprocal influencies) antara birokrasi dan politik.

2) Teori Hubungan segitiga Kekuasaan (The Iron Triangle Theory). Iron Triangle biasa digunakan oleh Politic Scientist. Teori ini didasarkan atas pemikiran Ralph Pulitzer (1919), yaitu dalam penyelenggaraan pemerintahan, ada tiga kekuatan yang sangat berpengaruh, yaitu legislatif, eksekutif, dan kelompok kepentingan (interest groups). Konsep dasar teori ini sesungguhnya birokrasi selalu membanguan kekuasaannya seperti halnya organisasi lainnya. Sedangkan kelompok kepentingan yang paling berpengaruh adalah kelompok bisnis dan industri yang menjadi pelobi (lobbies) kepada pihak eksekutif dan legislatif.

97 Goodnow, F. Dan Rohr, J. 2003. Politics and Administration, New Brunswick, Nj. Transaction Publication 2003 dalam Taufiq Effendi, Ibid., hlm. 51.

Page 212: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

186

3) Teori jaringan Informasi (Issue Network Theory). Teori ini didasari atas kenyataan bahwa birokrasi tidak selalu merupakan organisasi yang kaku (rigid), melainkan memiliki jaringan dengan pihak-pihak lain di luar legislatif dan kelompok kepentingan, terutama dengan media massa, LSM dan kelompok-kelompok berpengaruh lainnya dalam rangka membangun kekuatan birokrasi. Dalam terminologi menajemen hubungan ini biasa dikenal sebagai Strategic Aliiance.

4) Teori Hubungan Prinsipal Agen (prinsipal agent theory). Theori ini didasarkan atas perilaku birokrasi, yaitu ada hubugan antara pihak yang mengawasi (supervisor) dan pihak yang diawasi (subordinate) atau antara pihak yang membuat aturan dan pihak yang menjalankan aturan, dimana kedua pihak saling membutuhkan. Dalam terminologi ekonomi, hubungan ini biasa dikenal dengan istilah supply and demand.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa antara konsep yang satu dengan yang lainnya harus saling bersinergi. Hukum yang baik dengan pemahaman hukum yang menyeluruh tentang hukum itu sendiri akan melahirkan tujuan hukum dengan memprioritaskan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Dengan menggunakan pendekatan bottom up maka harapannya adalah hukum itu sendiri memang benar-benar diharapkan bukan undang-undang yang indah pada kertas saja, namun pada implementasinya tidak bisa dilaksanakan. Pendekatan bottom-up harus di dukung dengan top-down karena pemerintah perlu mengatur kepentingan baik kepentingan publik atau kepentingan privat. Apabila semua komponen di atas benar-benar telah bersinergi maka akan melahirkan sebuah birokrasi yang baik, dan apabila tercipta birokrasi yang baik maka akan tercipta investasi yang baik pula.

Konsep di atas menjadi landasan penulis untuk mencoba mencari jalan keluar problem solvingdari tidak dipenuhinya rasa keadilan, kepastian, dan kemanfaatan Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Milik

Page 213: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

187

Perseorangan Warga Negara Belanda. Pada tataran Hukumnya belum mencerminkan hukum yang baik karena masih ada insinkronisasiantara Pasal 4 ayat (2) UU No. 3 Prp Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Milik Perseorangan Warga Negara Belanda dengan Penjelasan Umum Pasal 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 223 Tahun 1961 tentang Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang No. 3 Prp 1960. Selain itu pada proses pengurusan benda-benda milik perseorangan warga negara Belanda (obyek P3MB) memerlukan waktu, biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Hal ini sebagaimana data yang disampaikan di awal dari total keseluruhan antara tahun 2007 sampai dengan 2013 permohonan yang masuk berjumlah 34 permohonan namun yang bisa terselesaikan hanya 10 permohonan. Uraian di atas telah menginspirasi penulis untuk memberanikan diri menyusun sebuah konsep atau temuan yang diberi nama 3 In 1 In The Land : Perolehan Tanah P3MB Untuk Subyek Hukum dengan harapan bahwa praktek birokrasi pertanahan selama ini yang menelan waktu yang cukup lama tidak akan terjadi pada masa-masa yang akan datang.

D. Konsep: 3 In 1 In The Land Acquisition: Perolehan Tanah P3MB Untuk Subyek Hukum

Sebagaimana paparan penulis di atas bahwa hukum yang baik/perundang-undangan yang baik, akan menghasilkan birokrasi yang baik dan akan berpengaruh juga kepada iklim invenstasi pertanahan yang baik pula. Syarat-syarat peraturan perundang-undangan yang baik yaitu memenuhi: (1) syarat yuridis, yaitu keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan, dimana setiap perundangan memiliki badan atau lembaga yang berwenang membuat undang-undang: (a) Keharusan adanya kesesuaian bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan dengan materi muatannya; (b) Keharusan mengikuti tata cara tertentu; (c) Keharusan untuk tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya; (2)syarat sosiologis, yaitu suatu perundang-undangan baik apabila mencerminkan

Page 214: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

188

kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat; (3) syarat filosofis, yaitu tidak bertentangan dengan Falsafah Bangsa, dan tidak kalah pentingnya adalah syarat (4) teknik perancangan, artinya bahwa dalam menyusun peraturan perundang-undangan bahasa hukumnya harus dirumuskan secara jelas, tegas, dan tepat. Dalam menyusun peraturan perundang-undangan tidak boleh menggunakan rumusan yang tidak jelas, sehingga rumusannya dapat ditafsirkan dalam berbagai arti atau sistematika yang tidak baik, bahasa yang berbelit-belit, dan lain-lain.

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang baik di atas mendapat dukungan pula dengan adanya teori Roscoe Pound yaitu “Law is a tool of a social engineering”. Adalah seperti apa yang dikatakan oleh Roscoe Pound tentang hukum. Persis sama seperti yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa hukum itu merubah masyarakat. Dalam perspektif politik hukum, jika menurut Roscoe Pound hukum itu berasal dari atas ke bawah (top down) maksudnya disini adalah hukum itu berasal dari pemerintah untuk dijalankan oleh masyarakat karena hukum butuh regulasi dari pemerintah dan didukung oleh Teori Friedrich Karl von Savigny yang dipopulerkan oleh Jeremy Bentham yaitu “Law is and expression of the common consciousness or spirit of people”. Hukum tidak dibuat, tetapi ia tumbuh dan berkembang bersama masyarakat (das rechts wird nicht gemacht, es ist und wird mit dem volke). Menurut Jeremy Bentham, hukum itu lahir dari jiwa masyarakat yang mengakomodasi masyarakat. Jadi, disini undang-undang itu berasal dari masyarakat dan sebagai perwakilannya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengajukan undang-undang tersebut. Disebut juga bottom up atau dari bawah ke atas.98

Hukum yang baik tersebut dapat melahirkan birokrasi yang baik melalui Karya Max Weber itu sekarang dikenal sebagai konsep birokrasi ideal, yang menurut Weber secara singkat disebutkan dalam bukunya Miftah Toha menyatakan bahwa birokrasi ideal

98 Damordiharjo, Darji dan Shidarta. 1995. Pokok-Pokok Filsafat Hukum : Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum di Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm. 12-13.

Page 215: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

189

yang rasional itu menekankan bagaimana seharusnya mesin birokrasi itu secara profesional dan rasional dijalankan. Memahami upaya Weber dalam menciptakan konsep tersebut, perlu kiranya kita menghargai logika pendekatan yang digunakan dan pemikiran baru yang dikemukakannya yang mencerminkan keadaan semasa hidupnya. Birokrasi ideal tersebut merupakan konstruksi abstrak yang membantu konstruksi kita memahami kehidupan sosial. Satu hal yang amat penting ialah memahami mengapa birokrasi itu dapat diterapkan dalam kondisi organisasi tertentu, dan apa yang membedakan kondisi tersebut dengan kondisi organisasi lainnya.99

Konsep birokrasi ideal itu dapat memberikan penjelasan kepada kita bahwa kita mengabstraksikan aspek-aspek yang amat penting dan krusial yang membedakan antara kondisi organisasi tertentu dan yang lain. Menurut Weber konsep ideal tersebut dapat dipergunakan untuk membandingkan birokrasi antara organisasi yang satu dan organisasi lain di dunia ini. Membedakan antara kejadian senyatanya dan konsep ideal organisasi tertentu, maka kita dapat menarik suatu penjelasan mengapa hal tersebut dapat terjadi dan faktor-faktor apa yang membedakannya. Lebih lanjut menurutnya, konsep ideal itu ingin menjelaskan bahwa suatu birokrasi atau administrasi pemerintahan itu mempunyai suatu bentuk yang pasti di mana semua fungsi dijalankan dalam cara-cara yang rasional. Istilah “rasional” itu merupakan kunci dari konsep birokrasi ideal Weberian. Birokrasi Weberian selama ini banyak diartikan sebagai fungsi sebuah birokrasi. Suatu birokrasi merupakan jawaban yang rasional terhadap serangkaian tujuan yang telah ditetapkan. Ia merupakan sarana untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut. Seorang pejabat seyogyanya tidak menetapkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai tersebut. Penetapan tujuan merupakan fungsi politik yang menjadi masternya. Setiap pekerja atau pejabat dalam birokrasi pemerintah merupakan pemicu dan penggerak dari sebuah mesin yang tidak mempunyai kepentingan pribadi. Setiap pejabat pemerintah tidak

99 Miftah Thoha. 2002. Perspektif Perilaku Birokrasi: Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara (Jilid II). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm. 23.

Page 216: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

190

mempunyai tanggung jawab publik kecuali pada bidang tugas dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Sepanjang tugas dan tanggung jawab sebagai mesin itu dijalankan sesuai dengan proses dan prosedur yang telah ditetapkan, maka akuntabilitas pejabat birokrasi pemerintah telah diwujudkan.100

Dengan adanya birokrasi yang baik maka dapat membentuk iklim investasi yang baik. Iklim investasi yang baik didefinisikan oleh Nickholas Stem adalah semua kebijakan, kelembagaan dan lingkungan, baik yang sedang berlangsung maupun yang diharapkan terjadi di masa mendatang, yang bisa mempengaruhi tingkat pengembalian dan resiko suatu investasi. Selain itu, iklim investasi dapat juga didefinisikan sebagai lingkungan bisnis yang sehat diperlukan tidak hanya untuk menarik investasi dalam dan luar negeri, tetapi juga agar perusahaan yang sudah ada tetap memilih lokasi di Indonesia. Berbagai survei membuktikan, faktor dominan yang mempengaruhi lingkungan bisnis adalah tenaga kerja dan produktivitas, perekonomian daerah, infrastruktur fisik, kondisi sosial politik, dan institusi.101 Berangkat dari adanya keterkaitan antarateori-teori di atas jika dikaitkan dengan kebijakan pertanahan, maka penulis menawarkan sebuah konsep 3 in 1 in the Land Acquisition: Perolehan tanah untuk subyek hukum yang akan dijabarkan sebagaimana gambar berikut:

100 Ibid., hlm. 29.101 Nicholas Stem. 1993. ”Taxation and Development”. Journal of Economic Literature,

Vol. 31, No. 2, hlm. 162-163.

Page 217: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

191

Gambar 9 Konsep 3 in 1 in the Land Acquisition: Perolehan Tanah P3MB untuk Subyek Hukum

Hukum yang baik (perundang-

undangan yang baik)

Top-Down(Roscoe Pound)

Birokrasi yang baik (M.Weber)

Bottom-Up (Jeremy Benthem)

Iklim Investasi (Kondisi sosial politik, Ekonomi, Infrastruktur

Nasional) Nickolas Stem

3

21

Titik ProductAspek Sertifikasi Tanah

Titik StartAspek Perijinan

(Peta 6)

Kebutuhan/Manfaat Hukum dan Birokrasi Pertanahan

Bagi Masyarakat

Titik Decision Aspek Penguasaan

Tanah (Peta 7)

Sumber : Taufiq Effendi dan diolah oleh Penulis.

Dalam gambar di atas dapat dijelaskan bahwa muara dari Konsep 3 In 1 In the Land Acquisition adalah kebutuhan akan manfaat hukum dan birokrasi pertanahan bagi masyarakat. Konsep 3 in 1 in the Land Acquisition Perolehan Tanah P3MB untuk Subyek Hukum adalah kegiatan perolehan tanah dari awal sampai akhir atau dari hulu ke hilir yang akhirnya bermuara pada tiga titik yaitu titik start yaitu aspek perijinan (peta 6), titik decisionyaitu aspek penguasaan tanah (peta 7) dan titik productyaitu aspek sertifikasi tanah, berikut akan dijabarkan sebagai berikut:

Page 218: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

192

1. Titik start: yakni tahap permohonan pendaftaran tanah. Proses ini merupakan tahapan awal dalam proses perolehan tanah untuk subyek hukum.Hal ini dilakukan agar supaya hak-hak atas tanah tersebut memiliki kekuatan, perlindungan dan kepastian hukum untuk dipertanggungjawabkan kepada pihak lain. Untuk obyek benda-benda tetap milik perseorangan warga Negara Belanda dengan mengajukan permohonan pembelian Obyek P3MB kepada Kepala BPN RI dengan melampirkan persyaratan sebagaimana berikut:

1. Formulir permohonan yang sudah diisi dan ditandatangani oleh Pemohon/kuasanya di atas materai yang cukup.

2. Surat kuasa apabila dikuasakan3. Fotokopi Identitas Pemohon (KTP, KK) dan kuasa apabila

dikuasakan, yang telah dicocokkan dengasn aslinya oleh petugas loket.

4. Pemohonan melalui Ketua P3MB/Prk55. Surat Keterangan Tanah6. Surat Ijin Penghuni (SIP) dari Dinas Perumahan7. Keterangan dari Imigrasi tentang kewarganegaraan bekas

pemilik P3MB8. Keterangan dari Kantor wilayah Ditjen Pajak (Untuk Prk

5)9. Dasar/perolehan hak atas tanah10. Pengumuman sekali di dua surat kabar harian yang

beredar secara umum dengan masa tenggang 30 hari sejak hari pengumuman

11. Fotolopi STTP PBB tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket.

12. Penyataan kesanggupan membayar nilai taksiran atas tanah bangunan

13. Surat pernyataan belum pernah memperoleh tanah/rumah dari Pemerintah.

Page 219: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

193

Tahap permohonan pembelian Obyek P3MB kepada Kepala BPN RI melalui Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi selaku Ketua P3MB apabila telah di setujui maka akan keluar izin perintah penaksiran tanah dan bangunan dahulu disebut sebagai peta 6 dari Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah BPN RI.

Permohonan kepada BPN RI sebagaimana di atur dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 3 Prp. Tahun 1960 yang menyebutkan:

“ Barangsiapa ingin membeli benda-benda tetap yang dikuasai menurut ketentuan dalam Pasal 1 harus mengajukan permohonan kepada Menteri Agraria dengan perantaraan panitia setempat yang bersangkutan, menurut cara yang ditentukan oleh Menteri Muda Agraria.”

Hal inilah yang menurut penulis sudah tidak sesuai dengan semangat desentralisasi pada masa sekarang. Hakikat dari desentralisasi menurutUU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat. “to bring goverment closes to the citizens” Untuk itu rumusan pengaturan kedepan adalah sebagaimana berikut :

Draft Pasal 1 “Semua benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda, yang tidak terkena oleh Undang-Undang No. 86 tahun 1958 tentang “Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Belanda” (Lembaran- Negara tahun 1958 No 162). Yang pemiliknya telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini dikuasai oleh Pemerintah, dalam hal Kepala BPN Republik Indonesia”.

Draft Pasal 2“Pemerintah dalam hal ini Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesiadapat menugaskan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi

Page 220: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

194

untuk mengambil Keputusan Perintah Penaksiran benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda, dan Keputusan Pemberian Hak atas tanahnya”.

2. Titik Decision: yakni tahap lanjutan dari titik start (permohonan). Apabila telah terpenuhi persyaratan maka pemberian izin oleh Pemerintah dalam hal ini adalah Menteri Muda Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional RI mengeluarkan Keputusan pemberian hak atas tanah dahulu disebut sebagai peta 7. Agar supaya memenuhi standar pelayanan yang efektif dan efisien maka pengaturan kedepan adalah dengan menurukan kewenangan mandat untuk mengambil keputusan pemberian hak atas tanah obyek P3MB, dari Menteri Muda Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Pusat kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi. (catatan : Pengaturan kedepan berdasarkan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota mendapatkan penugasan untuk melakukan kegiatan pemeriksaan tanah obyek P3MB selaku Ketua P3MB).

3. Titik Product: merupakan tahapan akhir yakni penerbitan sertipikat. Sertipikat hak diterbitkan di tingkat Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

Berdasarkan Konsep yang penulis tawarkan di atas dengan nama 3 In 1 In The Land Acquisitiondapat menjadi acuan bagi Badan Pertanahan Nasional dalam rangka menciptakan manfaat hukum dan birokrasi pertanahan yang baik bagi masyarakat khususnya dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat untuk memperoleh hak atas tanah khususnya benda-benda tetap milik perseroangan warga negara Belanda (obyek P3MB). Demkian juga dengan masyarakat dengan adanya konsep tersebut masyarakat akan mendapatkan tujuan hukum itu sendiri yakni kepastian hukum, keadilan, dan tentunya bermanfaat bagi masyarakat. Hal ini sesuai pendapat Rusmadi Murad yang mengatakan bahwa sering terjadi keluhan-keluhan masyarakat bahwa memasuki Kantor Pertanahan

Page 221: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

195

untuk mencari informasi sama dengan memasuki “rimba raya” tidak tahu arah kemana yang pasti untuk mengurus hak-hak tersebut.102 Selanjutnya Rahmadi mengatakan bahwa kriteria pelayanan yang baik kondisi yang ideal suatu pelayanan, Kantor Menteri Pendayaan Aparatur Negara Nomor 06/1995 menguraikan bahwa pelayanan yang baik harus mengandung hal-hal yang baik, yaitu:

a. Kesederhanaan 1. Bahwa dalam ketentuan prosedur atau tata cara memuat

tata cara yang mudah dipahami oleh masyarakat luas dan mudah untuk dilaksanakan. Disini sering timbul kesulitan mengubah bahasa teknis menjadi bahasa yang umum yang dapat dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat.

2. Persyaratan yang diwajibkan kepada pemohon harus mudah di dalam memperolehnya dan tidak menambah beban ekonomi masyarakat

b. Kejelasan dan Kepastian 1. Pelayanan harus mengatur secara jelas mengenai hak-hak

dan kewajiban dari penerima pelayanan.2. Dalam suatu unit kerja harus mengatur secara jelas

dan pasti siapa petugas yang bertanggung jawab dan berwenang memberikan pelayanan.

3. Persyaratan Teknis/ administratif diatur secara jelas dan hanya berkaitan langsung dengan produk pelayanan.

c. Keamanan1. Pelayanan harus memuaskan masyarakat dari segi

mutu, tepat waktu penyelesaian, kepastian biaya serta persyaratan, petugas bersikap sopan dan ramah.

102 Rusmadi Murad. 2013. Administrasi Pertanahan Pelaksanaan Hukum Pertanahan dalam Praktek. Bandung: Mandar Maju, hlm. 652.

Page 222: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

196

2. Hasil pelayanan terjamin kebenarannya, sah, pasti, dan menentukan perlindungan hukum serta menciptakan alat bukti yang sah.

d. Keterbukaan1. Mekanisme serta tata cara dan peraturan pelayanan

diinformasikan secara terbuka, luas serta mudah dimengerti oleh masyarakat

2. Penyuluh dan penyebar informasi dilakukan dalam bentuk yang mudah ditemukan, diketahui, dan dipahami.

e. Efisien1. Menetapkan pola pelayanan yang tepat, apakah dengan

cara fungsional, satu pintu atau terpusat.2. Mekanisme dan prosedur pelayanan sesuai dengan

struktur organisasi dan dijelaskan dengan bagan alir.3. Unit Kerja pelayanan hanya yang berkaitan dengan

proses dan ditangani oleh petugas yang berwenang, berkemampuan, terampil dan profesional.

f. Ekonomis 1. Penetapan biaya pelayanan dikenakan secara wajar

dengan memperhitungkan kemampuan masyarakat.2. Mekanisme pemungutan biaya tidak menimbulkan biaya

tinggi dan mudah pembayarannya.3. Memiliki sistem penyediaan/pengadaan pemungutan

biaya dan tidak ada titipan dan tidak ada pungutan dari instansi lain.

g. Keadilan Yang Merata1. Ruang lingkup pelayanan seluas mungkin dengan

pembagian secara merata dan adil 2. Pemberian pelayanan secara tertib, teratur, adil tanpa

membedakan status sosial masyarakat

Page 223: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

197

h. Ketetapan Waktu1. Setiap proses pelayanan ditentukan waktu penyelesaiannya 2. Penyelesaian proses pelayanan harus sesuai dengan

jadwal waktu yang ditetapkan.

i. Kuantitatif Pelayanan 1. Jumlah permintaan pelayanan secara berkala peningkatan

dan penurunan jumlah permintaan pelayanana dicatat dan dievaluasi sebagai bahan perencanaan.

2. Waktu pemberian pelayanan dengan menggunakan kriteria tertentu dapat diperoleh kapasitas, kemampuan suatu unit sehingga dapat diperkirakan berapa lama waktu pelayanan yang dapat diberikan.

3. Penggunaan perangkat modern memilih sistem teknologi yang modern harus disesuaikan dengan spesifik dari suatu unit kerja

4. Frekuensi keluhan/pujian penggunaan “ kotak pengaduan” sebagai bahan evaluasi untuk perbaikan sistem pelayanan.

Berdasarkan uraian di atas penulis sependapat dengan Rusmadi bahwa Konsep 3 In 1 In The Land Acquisition : Perolehan Tanah P3MB untuk subyek hukum harus juga memperhatikan asas kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, keamanan, keterbukaan, efisien, ekonomis, keadilan yang merata, ketetapan waktu, kuantitatif pelayanan agar tercipta pelayanan yang baik untuk masyarakat sehingga mencerminkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi rakyat Indonesia.

Page 224: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,
Page 225: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

199

B A B VI

Penutup

Undang-Undang No. 3 Prp. Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda pada saat ini tidak mencerminkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan.Implikasi hukum yang ditimbulkan dari pengaturan penguasaan atas benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda adalah:

a. Tersebarnya Obyek P3MB di seluruh Indonesia.b. Permohonan tanah obyek P3MB yang sentralistik menyebabkan

lamanya proses memperoleh tanah obyek P3MB, sehingga Standar Pelayanan Pertanahan(penyelesaian permohonan P3MB) menurut Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2010yang memberikan batasan jangka waktu penyelesaian selama 145 (seratus empat puluh lima) hari tidak terpenuhi.

Melalui tulisan ini penulis menyarankan Pertama, untuk pengaturan penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda kedepan hendaknya memperhatikan Konsep 3 In 1 In The Land Acquisition: Perolehan Tanah P3MB untuk subyek hukum antara lain memuat:

a. Pada aspek Perizinan: Permohonan untuk memperoleh benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda yang semula diajukan kepada Kepala Badan Pertanahan

Page 226: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

200

Nasional Republik Indonesia melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi selaku Ketua P3MB diganti menjadi diajukan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia melalui Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota selaku Ketua P3MB.

b. Pada aspek Penguasaan Tanah: Keputusan pemberian hak atas tanah dahulu disebut sebagai peta 7 dapat dirumuskan rancangan draft sebagai berikut:

“Pemerintah dalam hal ini Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dapat menugaskan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi untuk mengambil Keputusan Perintah Penaksiran benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda, dan Keputusan Pemberian Hak atas tanahnya”.

c. PadaaspekSertifikasiTanah: tetap menjadi kewenangan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.

Kedua, Mengganti/mencabut Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960 tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda beserta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 223 Tahun 1961 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 3Prp 1960. Ketiga, Undang-Undang tentang penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda yang baru memberikan kewenangan mandat dari Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia kepada Kepala Kanwil Badan Pertanahan Nasional Provinsi dengan rumusan sebagai berikut:

Pemerintah dalam hal ini Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dapat menugaskan kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi untuk mengambil Keputusan Perintah Penaksiran benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda, dan Keputusan Pemberian Hak atas tanahnya”.

Page 227: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

201

Ketiga, Dalam ketentuan peralihan undang-undang tentang penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda yang baru, antara lain memuat materi:

“Pelaksanaan Undang-undang ini berlaku efektif selambat-lambatnya 2 (dua) tahun setelah kegiatan inventarisasi data P3MB selesai dilakukan dan dituangkan dalam bentuk Penetapan Pemerintah Republik Indonesia”.

Page 228: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,
Page 229: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

203

Daftar Pustaka

BUKU

Abdurrahman. 2011. Politik Hukum. Jakarta: Penerbit PTIK.Abdul Rachmad Budiono. 2005. Pengantar Ilmu Hukum.

Malang: Bayu Media.Alfian. 1978. Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia.

Jakarta: Gramedia.Ali Ahmad Chomzah. 2004. Hukum Agraria, Jilid-I. Jakarta: Prestasi

Pustaka Publisher.Achmad Sodiki. 2013. Politik Hukum Agraria. Jakarta: Konstitusi

Press.Ade Manan Suherman. 2004. Pengantar Perbandingan Sistem

Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.Attamimi, A. Hamid. S. 1990. Peranan Keputusan Presiden Republik

Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara. Jakarta: Sekretariat Negara R.I.

Arief Sidharta, Meuwissen. 1994. Tentang Pengembanan Hukum, dan Filsafat Hukum. D.H.M. Meuwissen, Pengembanan hukum. Terjemahan B. Arief Sidharta. Jakarta: PROJUSTITIA, tahun VII Nomor 1, 1994

Anonim. 1995. Pluralisme Hukum Pertanahan dan Kumpulan Kasus Tanah, Cetakan Pertama. Jakarta: Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

Page 230: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

204

AP. Parlindungan. 1989. Berakhirnya Hak Atas Tanah Menurut Sistem Undang-Undang Pokok Agraria. Bandung: Penerbit Mandar Maju.

-----------. 1993. Beberapa Masalah Dalam UUPA. Bandung: Mandar Maju.

Alvi Syahrin. 2009. Berapa Masalah Hukum. Medan: PT Soft Media.Badan Pertanahan Nasional. 2002. Hak Hak Atas Tanah Dalam

Hukum Tanah Nasional. Jakarta: BPN RI.Bagir Manan dan Kuntana Magnar. 1993, Beberapa Masalah Hukum

Tata Negara Indonesia. Bandung: Alumni.-----------. 2004. Hukum Positif Indonesia (Satu Kajian Teoritik).

Yogyakarta: FH UUI Press.Bambang Sunggono. 2002. Metode Penelitian Hukum Suatu

Pengantar. Jakarta: Kelapa Gading.Bernard Limbong Tanya. 2010. Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia

Lintas Ruang dan Generasi. Yogyakarta: Genta Publising.-----------. 2012. Hukum Agraria Nasional. Jakarta: MP Pustaka

Margaretha.Bernard Arief ShidataMauwissen. 2007. Tentang Pengembanan

Hukum, Ilmu Hukum, dan Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum.Bandung: PT. Refika Aditama.

-----------. 2000. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Bandung: Mandar Maju.

Bintan Regen Saragih. 2006. Politik Hukum. Bandung: CV. Utomo.Benhard Lombing. 2012. Hukum Agraria Nasional. Jakarta: Pustaka

Margaretha.Boedi Harsono. 2002. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan

Undang-Undang Pokok Agraria, isi dan pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.

-----------. 1977. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, isi, dan pelaksanaanya. Jakarta: Djambatan.

C.F.G. Sunaryati Hartono. 1994.Penelitian Hukum pada Akhir Abad ke-20Edisi I. Bandung: Alumni.

Page 231: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

205

Carl Joachim Friedrich. 2004. Filsafat Hukum Perspektif Historis.Bandung: Nuansa dan Nusamedia.

Darwin Ginting. 2010. Hukum Kepemilikan Hak Atas Tanah. Bandung: Ghalia Indonesia.

Darji Darmodiharjo dan Shidarta. 2002. Pokok Pokok Filsafat Hukum-Apakah dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.

Didik Sukriono. 2013. Hukum Konstitusi dan Konsep Otonomi, Kajian politik hukum tentang konstitusi, otonomi daerah dan desa pasca perubahan konstitusi Malang: Setara Press.

Dworkin. 2006. Law as Interpretation, dalam Wacks, Raymond, Introduction to Philosophy of Law. England: Oxford University Press.

Elza Syarief. 2012. Menuntaskan Tanah melalui Pengadilan Khusus Pertanahan. Jakarta: Gramedia.

Endang Suhendar dan Ifdhal Kasim. 2008. Tanah Sebagai Komoditas, Kajian Kritis atas Kebijakan Pertanahan Orde Baru. Jakarta: Penerbit ELSAM.

Fauzi, Noer. 1999. Petani dan Pengusaha: Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta: Insist Press, KPA, dan Pustaka Pelajar.

-----------. 2012. Land Reform dari masa kemasa: Perjalanan Kebijakan Pertanahan 1945-2009. Yogyakarta: Tanah Air Beta.

Gustav Radburch. 2010. Filsafat Hukum Mencari, Menemukan dan Memahami Hukum. Yogyakarta: LaksBang Yusticia.

H.M. Zaki Sieerad. 2006. Hukum Agraria di Indonesia Konsep Dasar dan Implementasinya. Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia.

H. McCoubrey and Nigel D White. 1996. Texbook on Jurisprudence. London: Blackstone Press Limited.

H.F.A. Vollmar. 1990. Hukum Benda (Menurut KUHPerdata). Bandung.

Ida Nurlinda. 2009. Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.

Page 232: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

206

Imam Soetiknjo. 1994. Politik Agraria Nasional. Yogyakarta: Gajahmada University Press.

Imam Syaukani, A. Ahsin Thohari. 2005. Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta: PT Raja Garafindo Persada.

Imam Hanafi dkk. 2008. Kebijakakan Agraria: Hukum,kebijakan, dan wewenang administrasi Negara dalam konflik dan Mediasi pertanahan. Malang: UB Press.

Indroharto. 2002. Usaha Memahami Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Irawan Soerodjo. 2002. Kepastian Hukum Atas Tanah di Indonesia. Surabaya: Arkola.

Indrati, Farida Maria, S. 2007. Ilmu Perundang-undangan 2. Yogyakarta: Kanisus.

J.C.T Simorangkir. 1987. Kamus Hukum. Jakarta: Aksara Baru.J.J. H. Bruggink alih bahasa Arief Sidharta. 2006. Refleksi Tentang

Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.J.P. van de Kerkhof. 2005. Onmisbaar maar onbemind. De Koninklijke

Paketvaart Maatschappij en de Billiton Maatschappij in het onafhankelijke Indonesië (1945-1958) in: Tijdschrift voor sociale en economische geschiedenis 2.

James Midgley. 2005. Pembengunan sosial: persepektif pembangunan dalam kesejahteraan sosial. Jakarta: ditperta islam depag RI.

Jazim Hamidi. 2005. Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi TeksCetakan Pertama.Yogyakarta: Undang-undang Press.

-----------. 2006. Revolusi Hukum Indonesia Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.Jakarta: Konstitusi Press.

JW. Muliawan. 2009. Pemberian Hak Milik Untuk Rumah Tinggal. Jakarta: Cerdas Pustaka.

Jeremy Bentham. 2000. An Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Kitchener : Batoche Books.

Page 233: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

207

John, Rawls. 2006. A Theory of Justice, Teori Keadilan. Diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

-----------. 2006. A Theory of Justice, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1995 yang diterjemahkan oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, “Teori Keadilan, Dasar-dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Johnny Ibrahim. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing.

Jimly Assidiqie. 2009. Pengantar Hukum Tata Negara. Jakarta: PT Raja Grafindo.

Joyo Winoto. 2007. Reforma Agraria dan Keadilan Sosial. Jakarta: Badan Pertanahan Nasional.

Joeniarto. 2001. Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.

Karenz Lebacqs. 1986.Teori-Teori Keadilan, Suplemen: Konsep keadilan dalam Kristen, Oleh Hans Kelsen. Jakarta:Nusa Media.

Kusumadi Pudjosuwojo. 2004. Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Kar J. Pelzer. 1991. Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani. Jakarta: Pustaka Sinar harapan.

L.J Van Apeldorn. 1985. Pengantar Ilmu Hukumcet. 22. Jakarta: Pradnya Paramita.

Lawrence M. Friedman. 1984. American Law: An Introduction. New York: W.W. Norton and Company.

Lutfi Efendi. 2006. Hukum Administrasi Negara. Malang: Bayu Media.

Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi. 2001.Dasar Dasar Filsafat Dan Teori Hukum.Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

----------- dan I.B Wyasa Putra. 1993.Hukum sebagai Suatu Sistem, Bandung: Remaja Rosdakarya.

-----------. 1993. Filsafat Hukum–Apakah Hukum Itu. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Page 234: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

208

Maria Sumardjono. 2008.Tanah Perspektif Ekonomi, Sosial dan budaya, Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Maria Farida Indrati Soeprapto. 1996. Ilmu Perundang-undangan Dasar-dasar dan Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius.

-----------. 2001. Puspita Serangkum: Aneka Masalah Hukum Agraria: Yogyakarta: Andi Offset.

Maria SW Sumardjono. 2000. Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi. Jakarta: Kompas.

Mathias Klatt. 2008. Making the Law Explisit: The Normativity of Legal Argumentation. Oxford and Portland Oregon: Hart Publishing.

Mariam Darus Badrul Zaman. 1983. Mencari Sistem Hukum Benda nasional. Bandung: Alumni.

Miftah Thoha. 2002. Perspektif Perilaku Birokrasi: Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara (Jilid II). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Muchsin dan Imam Koeswahyono. 2007. Hukum Agraria Indonesia dalam Perspektif Sejarah. Bandung: Refika Aditama.

Mudjiono. 2013. Politik dan Hukum Agraria. Yogyakarta: Liberty.Muhammad Bakri. 2007. Hak Menguasai Tanah Oleh Negara

(Paradigma Baru Untuk Reformasi Agraria). Yogyakarta: Citra Media Hukum.

-----------. 1995. Pengantar Hukum Indonesia. Malang: IKIP Malang.Mukti Fajar dkk. 2010. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan

Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Mochammad Tauchid. 2009. Masalah Agraria sebagai masalah

penghidupan dan kemakmuran Rakyat Indonesia. Yogyakarta: STPN Press.

Moh. Mahfud MD. 2010. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

-----------. 1999. Karakter Produk Hukum Zaman Kolonial Studi Tentang Politik dan Karakter Produk Hukum Pada Zaman Penjajahan di Indonesia. Yogyakarta: UII Press.

Page 235: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

209

-----------. 1993. Perkembangan Politik Terhadap Perkembangan Hukum di Indonesia. Yogyakarta: UGM.

Myrna A. Safitri dkk. 2010. Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia. Jakarta: KITLV.

----------- dan Tistam Moeliono. 2012. bernegara hukum dan berbagi kuasa dan urusan agraria di Indonesia : suatu pengantar dalam Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia. Jakarta: Huma, Vanvollenhoven, KITLV.

Notonegoro. 1984. Politik Hukum dan Pembangunan Hukum Agraria. Jakarta: Bina Aksara.

Nurhasan Ismail. 2006. Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi-Politik. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Oloan Sitorus dan HM Zaki Sierrad. 2006. Hukum Agraria di Indonesia, Konsep Dasar dan Implementasi. Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah Indonesia.

P. Scholten. 1986. Aglemeen Deel, sebagaimana dikutip oleh, Dedi Sumardi, Sumber-Sumber Hukum Positif. Bandung: Penerbit Alumni.

Karl J. Pelzer. 2004. Sengketa Agraria: Pengusaha Perkebunan Melawan Petani. Jakarta: Pustaka Sinar harapan.

Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaya. 2003. Kebendaan Pada Umumnya. Bogor: Kencana.

Khudzaifah Dimyati. 2004. Teorisasi Hukum: Studi Tentang Perkembangaan Pemikiran Hukum Di Indonesia 1945-1990. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Komariah. 2007. Hukum Perdata (edisi revisi), Cetakan Keempat, Malang: UMM Press.

Peter Mahmud Marzuki. 2007. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Philipus M. Hadjon. 2005. “Pengkajian Penelitian Hukum Normatif”. Surabaya: Universitas Airlangga.

----------- dan Tatiek Sri Djatmiati. 2005. (I). Argumentasi Hukum (Legal Argumentasi Hukum (Legal Argumeta / Legal Reasoning)

Page 236: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

210

Langkah-langkah Legal Problem Solving dan Penyusunan Legal Opinion). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

-----------. 1998. Tentang Wewenang.Surabaya: Fakultas Hukum Universitas Air Langga.

Philippe Nonet dan Philip Selznik. 2008.Hukum Responsif, (diterjemahkan dari Law and Society in Transition: Towards Responisve Law, Harper and Row, 1978), Bandung: Nusamedia.

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto. 1989. Peraturan perundang-undangan danYurisprudensi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Padmo Wahyono. 2003. Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum Cet. II. Jakarta: Ghalia Indonesia.

RM. Sarwoko dan Hendra Kosman. 1961. Kumpulan Ketentuan dan Pengumuman BANAS. Jakarta.

Rachmad Syafaat. Rekontruksi Politik Hukum Pangan (Dari Ketahanan Ke Kedaulatan Pangan). Malang: UB Press.

Raisul Mutaqien. 2006. Teori Hukum Murni: Dasar-dasar Ilmu Huku Normatif diterjemahkan dari Hans Kelsen (1978) Pure Theory of Law. Berukely: Universit California Press.

Riduan Syahrani. 1989. Seluk-Beluk Asas-Asas Hukum Perdata. Bandung: PT. Alumni.

Rousseau. 1917. The Social Contract and Discources. Everyman Library.

Rusmadi Murad. 2013. Administrasi Pertanahan Pelaksanaan Hukum Pertanahan dalam Praktek. Bandung: Mandar Maju.

S.F. Marbun dkk. 1987. Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta: Liberty.

Satjipto Rahardjo. 2000. Ilmu Hukum. Bandung: PT Aditya Bakti.------------. 2009. Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya.

Yogyakarta: Genta Publishing.Sudikno Mertokusumo. 2010. Mengenal Hukum.Yogyakarta:

Universitas Atma Jaya.Suhariningsih. 2009. Tanah Terlantar, Asas dan Pembaharuan

konsep Menuju Penertiban. Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher.

Page 237: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

211

Supriyadi. 2010. Aspek Hukum Tanah Aset Daerah. Menemukan Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Atas Eksistensi Tanah Aset Daerah. Jakarta: Pustaka Publisher.

Supardi. 2007. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika.Suratman dkk. 2012. Metode Penelitian Hukum. Bandung: Alfabeta.Soerjono Soekanto. 1980. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta:

Cv Rajawali.----------- dan Sri Mamudji. 1990. Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat Cet. Ketiga. Jakarta: CV. Rajawali.Soedarto. 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.-----------. 2008. Perkembangan Ilmu Hukum dan Praktek Hukum

dalam hukum dan keadilan. Jakarta: Grafika.SonnyKeraf. 1998. Etika Bisnis Tuntunan dan Relevansinya.

Yogyakarta: Kanisius.Supriadi. 2008. Hukum Agraria. Jakarta: Sinar Grafika.Taufiq Effendi. 2013. Reformasi Birokrasi dan Iklim Inverstasi.

Jakarta: Konstitusi Press.Teuku Mohammad Radhie. 1973. Pembaharuan dan Politik Hukum

dalam rangka pembangunan nasional. Jakarta: Prisma.Theo Huijbers. 1982. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah.

Yogyakarta: Kanisius. Titik Triwulan Tutik. 2008. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum

Nasional. Jakarta: Kencana.Urip Santoso. 2008. Hukum Agraria & Hak-Hak Atas Tanah. Jakarta:

Kencana.Usep Setiawan. 2010. Kembali Ke Agraria. Yogyakarta: KPA, STPN,

SAINS.W.J.S. Poerwadarimta. 1996. Pengertian kesejahteraan manusia.

Bandung: Mizan.Ward Berenschot, Adrian Bedner. 2011. Akses Terhadap Keadilan,

perjuangan masyarakat miskin dan kurang beruntung untuk menuntut hak Indonesia. Jakarta: Huma, Vanvollenhoven Istitute, KITLV Jakarta, Epistema Institute.

Page 238: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

212

Warsito Utomo, Kajian Kritis RUU Pemerintahan Daerah dan Implikasinya terhadap Tata Pemerintahan Yang Demokratis, dalam reformasi Tata Pemerintahan Desa Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar dan YAPIKA dan Forum LSM DIY, Yogyakarta, 2000.

Yudha Bhakti Ardhiwisastra. 2008. Penafsiran dan Konstruksi Hukum. Bandung: Alumni.

Yuliandri. 2009. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan. Jakarta: Rajawali Press.

TESIS/DISERTASI

Achmad Sodiqi. “Penataan Pemilikan Hak Atas Tanah Di Daerah Perkebunan Kabupaten Malang”, Disertasi, Universitas Airlangga, Progaram Pasca Sarjana, Surabaya. 2010.

Emri. “Pelaksanaan Konversi Tanah Grant Sultan di Kota Medan”, Tesis, PPS USU, Medan. 2005.

Hamid S. Attamini. Disertasi: “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara (Suatu studi analisis mengenai Keputusan Presiden yang berfungsi pengaturan dalam kurun waktu Pelita I- Pelita IV”. Pasca Sarjana Universitas Indonesia.1990.

Ilyas. “Konsepsi Hak Garap Atas Tanah Dalam Sistem Hukum Pertanahan Indonesia dalam Kaitannya dengan Ajarang Negara Kesejahteraan”, Bandung, Disetasi Program Pascasarjana Universitas Padjajaran. 2005.

Jazim Hamidi. “Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”,Disertasi, Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran Bandung. 2005.

Nurhasan Ismail. “Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu Pendekatan Ekonomi-Politik”. Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. 2006.

Page 239: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

213

Sholih Mu’adi. “Penyelesaian Sengketa Hak Atas Tanah Perkebunan Melalui Cara Non Litigasi (Suatu Studi Litigasi Dalam Situasi Transisional)”, Disertasi, Program Ilmu Doktor, Universitas Dipenegoro, Semarang. 2008.

Syaiful Ma'arif. “Perolehan Hak Guna Bangunan yang Berasal Dari Konversi Ex Hak Barat (Studi Kasus Hak Guna Bangunan ex. Stanvac)”, Disertasi, Program Ilmu Doktor, Universitas Airlangga,Surabaya. 2011.

Yagus Suyadi. “Kewenangan dalam Penerbitan Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah Negara Berdasarkan Hukum Tanah Nasional”, Disertasi, Program Studi Doktor Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya. 2011.

MAKALAH DAN ARTIKEL

Achmad Sodiki. 2001. “Masalah konflik peraturan perundang-undangan dan konflik di lapangan agrarian dan usulan penanganannya (mencari format penanganan konflik agrarian dalam rangka implementasi TAP MPR No.IX/MPR/2001”. Makalah disampaikan penanggap utama dalam rangka seminar Nasional Strategi Pelaksanaan Pembaharuan.

Hamid Attamimi. 1993. “Hukum tentang Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan), Pidato Pengukuhan Purnabakti Guru Besar Tetap”, Jakarta: FHUI, 1993.

Nicholas Stem. 1993. “Taxation and Development”, Journal of Economic Literature, Vol. 31, No. 2. 1993.

Sinulingga. 2003. “Eksistensi dan Kewenangan Badan Pertanahan Nasional Pasca Keputusan Presiden No 34 Tahun 2003, Reforma kebijakan Pertanahan di Indonesia”, disampaikan dalam rangka ulang tahun ke 46 Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang.

R.B. Agus Wijayanto. 2009. “Konflik dan sengketa pertanahan serta upaya pencegahannya”, Buletin LMPDP, LAND, Media

Page 240: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

214

pengembangan kebijakan pertanahan, Edisi 10 Pebruari-April 2009.

Roeslan Saleh. 1995. “Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-asas Hukum Nasional” dalam “Majalah Hukum Nasional”, Edisi Khusus 50 Tahun Pembangunan Nasional” No. 1, Jakarta: Pusat Dokumentasi Hukum BPHN Departemen Kehakiman.

Jejex Masagena. 2011. “Aktivitas Jaringan Advokasi Rakyat dalam Menyambut Hari Tani Nasional 24 September 2010 “Mengembalikan Hak Tanah Rakyat” Desain Hukum, Bahaya Laten Sengketa Tanah, Vol.11 No.3 April 2011/ISSN 1829-7943.

Joyo Winoto. 2007. “Mandat Politik, Konstitusi dan Hukum dalam rangka Mewujudkan Tanah Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat”. Disampaikan dalam kuliah umum Balai Senat Universitas Gadjah Mada Bulaksumur, Yogyakarta 22 November 2007.

Maria.S.W.Sumardjono. 1998, “Reformasi Kebijakan di Bidang Pertanahan”, Artikel Kompas, 25 September 1998.

-----------. 2002. “Penghormatan dan Perlindungan terhadap Hak-hak Adat: Menyikapi Hak Ulayat sebagai Pelaksanaan TAP MPR No.IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam”, (2002), Makalah pada seminar tentang Pengaturan dan Pemanfaatan Tanah Ulayat Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Sumatera Barat, Pemda Pemprov Sumatera Barat, Padang 28 Agustus 2002.

Sakini Gani. 2011. “Masalah pokok Pertanahan dan Pembaharuan Agraria, dalam Desain Hukum, Bahaya Laten Sengketa Tanah”, Vol.11 No.3 April 2011/ISSN 1829-7943.

Suradi. 2004. “Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial”, Vol.9, No.01, Januari-Maret.

Soejono Koesoemo Sisworo. 1995. “Mempertimbangkan Beberapa Pokok Pikiran Pelbagai Aliran Filsafat Hukum Dalam Relasi dan Relevansinya Dengan Pembangunan/Pembinaan Hukum Indonesia” dalam “Kumpulan Pidato Pengukuhan Guru Besar

Page 241: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

215

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang” dihimpun oleh: Soekotjo Hardiwinoto, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

INTERNET

Budi Tarigan. Status Hukum Tanah-Tanah Bekas Hak Barat http://opini-manadopost.blogspot.com/2008/04/status-hukum-tanah-tanah-bekas-hak.html. diakses tanggal 3 April 2013

Noer Fauzi dan Dianto Bachriadi. “Hak Menguasai Negara (HMN) Persoalan Sejarah yang harus Diselesaikan” (http://www.kpa.or.id/index.php?option=com_docman&task=cat_view&gid=45&itemid=77mosmsg) diakses pada tanggal 06 September 2013.

Mochtar Kusuma Atmadja dalam Lilik Mulyadi. http://pn-kepanjen.go.id/index.ph, Resume Tentang Dimensi, Hakekat Dan Ruang Lingkup Teori Hukum Pembangunan Dari Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., Ll.

Mochtar Kusuma Atmadja dalam Lilik Mulyadi, http://pn-kepanjen.go.id/index.ph, Resume Tentang Dimensi, Hakekat Dan Ruang Lingkup Teori Hukum Pembangunan Dari Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., Ll. Diakses tanggal 1 Desember 2012 jam 15.00 WIB.

Mohammad Zamroni, Menakar Korelatifitas Antara Harmonisasi Peraturan Daerah & Hak Uji Materiil MAhttp://www.djpp.depkumham.go.id/ di akses tanggal 06 Juni 2013.

http://ramadhanpohan.com/beranda/35-berita-popular/414-mewujudkan-kemakmuran-dan-menyelesaikan-sengketa-tanah-dengan-bijak diakses pada tanggal 12 September 2013.

Zwarte Sinterklass, Geschiedenis, http://www.geschiedenis24.nl/andere-tijden/afleveringen/2007-2008/Zwarte-Sinterklaas.html, diakses pada tanggal 1 Februari 2014.

Page 242: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

216

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar 1945Undang-Undang No. 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi

Perusahan-Perusahaan Milik Belanda.Undang Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960tentang Penguasaan

Tanah-Tanah Milik Perseorangan Warga Negara Belanda.Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1959 tentang Badan Nasionalisasi

Perusahaan Milik BelandaPeraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1955

tentang Penjualan Rumah-Rumah Negara Kepada Pegawai-Pegawai Negeri

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Pemberian Hak Guna Bangunan,Hak Pakai, Hak Guna Usaha.

Peraturan Menteri Keuangan No 188/PMK.06/2008 tentang Penyelesaian Aset Bekas Milik Asing Cina

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Pendaftaran Tanah.

Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian Hak Atas Tanah dan Hak Pengelolaan.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No 03 Tahun 2012 tentang Perubahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Sebagai Tersebut dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2011.

Tap MPR No IX/MPR Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Page 243: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

217

KAMUS

Departemen Pendidikan Nasional. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III, Jakarta: Balai Pustaka.

Jhon M. Echols dan Hassan Shadily. 1997. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka.

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Utama.

Page 244: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,
Page 245: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

219

Indeks

77, 78, 79, 81, 85, 86, 90, 93, 103, 104, 109, 110, 112, 114, 116, 118, 121, 124, 125, 127, 128, 129, 130, 131, 133, 144, 145 146, 147, 151, 152, 153, 169, 170, 172, 173, 184, 187, 192, 193, 194, 199, 200, 201, 216

Big Five, 55Boedi Harsono, 40, 51, 134, 149,

162, 204bottom up, 12, 186, 188, 191

C

cacat kewenangan, 14Cita Hukum (rechtsidee), 15, 16contarius actus, 14

D

das sein, 162das sollen, 162dekonsentrasi, 91, 99delegasi, 26, 91delegatif, 13, 14

A

a business of rules, 24, 183a tool, 11, 157, 188abundance, 24, 74agrarian reform, 134, 144, 170Aksiologis, 4, 5allgemein Rechtsbegriff, 16ambtenaar (pegawai negeri),

59, 61a p a r a t u r h u k u m ( l e g a l

apparatus), 154Arief Sidharta, 16, 17, 203, 206Aristoteles, 18, 19, 179, 180, asas-asas hukum, 15, 16, 17, 43,

161, 210, 214, atribut, 13autonomous law, 159

B

BANAS, 2, 210beheer, 65, 66Belanda, 2, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10,

11, 12, 15, 21, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 65, 70, 71, 73, 75,

Page 246: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

220

demokrasi, 90, 94, 96, 97, 98, 99, 101, 140, 185, 212

dependent variable, 2derivative, 42desentralisasi, 90, 91, 92, 93, 94,

96, 98, 99, 100, 102, 141, 150, 169, 193

devolusi, 91diversity in unity, 95Domein Verklaring, 77DPD, 97DPRD, 97, 98, 101dua wajah (Das Doppelte

Rechtsantlitz), 30

E

eksekutif, 23, 110, 183, 185, empiris, 135, 139, 208entrepreneurship, 104Epistimologis, 4equality before the law, 69, 146,

170etiket, 82, 123

F

falsafah, 17, 188Friedrich Julius Stahl, 23, 182

G

gezagverhouding, 1good faith and fairness, 61

guiding principle, 16Gunawan Widjaya, 44, 209Gustav Radbruch, 15, 16, 22, 64,

72, 182

H

Hans Kelsen, 207, 210harmonisasi vertikal, 29HGB, 121, 125holistik, 20, 109hukum tata Negara

(constitutional law), 148hukum umum, 16, 34

I

Ide, 2, 16, 17, 94insinkronisasi vertikal, 5interviening variable, 2

J

Jazim Hamidi, 31, 206, 212Jeremi Bentham, 24, 180Jeremy Bentham, 19, 24, 66, 74,

75, 163, 174, 175, 181, 188, 206, John Rawls, 60, 61, 62, 67, 68,

207, justitia commutativa (keadilan

komutativ), 19Justitia distribiutiva (keadilan

distributif), 19

Page 247: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

221

K

kaidah evaluasi, 16Kapitalis, 58, 85Kartini Mulyadi, 44, 209Keadilan komutatif (justitia

commutativa), 20Keadi lan Umum ( just it ia

generalis), 19, 180Keadilan vindikatif (justitia

vindicativa), 20, 180Keadilkan distributif (justitia

distributiva), 19, 180ke sa d a ran hu ku m ( l ega l

culture), 154kesejahteraan sosial (welfare

state), 23, 182Kewenangan absolute, 14Kewenangan relatif, 14Kewenangan temporis, 14Komariah, 45, 209komprehensip, 109konservatif, 160konstitutif, 15

L

L.J.van Apeldoorn, 162, 163law as a tool of social engineering,

11, 157Lebeaux, 54legal policy, 10, 149legalistik, 160legislation, 66, 157, 206

lex superiori delogat legi inferiori, 29

Lili Rasjidi, 11, 12, 25, 35, 157, 181, 207

M

Mahfud MD, 1, 2, 10, 47, 49, 95, 96, 148, 149, 150, 151, 208

mandat, 13, 14, 153, 194, 200, 214Maria S.W. Sumardjono, 20, 134,

135, 139, 140, 142, 161, 167, 214Mariam Darus Badrul Zaman,

44, 208materi hukum (legal substance),

154matter of behavior, 24, 183menindas (represif), 159Menteri Muda Agraria, 5, 15, 59,

63, 193, 194Merkl, 30Muhammad Bakri, 32, 33, 34,

37, 208Mukti Fajar, 208

N

Nawiasky, 31, 32, Non Litigasi, 213Nonet, 159, 160, 210norma kritik, 16

Page 248: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

222

O

onbevoegdbeid, 14onderneming, 59One Stop Service, 103Orde Baru, 50, 92, 93, 94, 98,

99, 100, 102, 135, 136, 138, 205, ortodoks, 1

P

P3MB, 1, 4, 5, 7, 58, 59, 62, 73, 74, 75, 85, 86, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 127, 128, 129, 130, 131, 151, 153, 175, 187, 191, 192, 193, 194, 197, 199, 200, 201

Padmo Wahyono, 9, 210Pancasila, 17, 27, 28, 53, 68, 80,pembaruan agraria (agrarian

reform), 134pendulum, 95, 100Penguasaan, 3, 4, 5, 8, 9, 12, 15,

18, 20, 21, 34, 35, 36, 39, 40, 41, 42, 43, 47, 50, 58, 59, 61, 62, 63, 65, 66, 70, 71, 77, 79, 80, 81, 84, 85, 86, 91, 92, 94, 108, 109, 110, 111, 125, 127, 129, 130, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 145, 146, 147, 151, 153, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 186, 187, 191, 199, 200, 201, 216

Peter Mahmud Marzuki, 209PMNA/KBPN, 105, 128

poleksosbud, 10, 11, 150, 151problem solver, 160Problematika Yuridis, 172, 175prooritet, 152

R

rechskrachts, 30Recht van Opstal (RvO), 81, rechtswerkelijkheid, 22, 24, 72,

182, reformasi, 37, 50, 51, 52, 67, 90,

92, 96, 100, 102, 103, 104, 177, 208, 211, 212, 214

regulatif, 15reinventing government, 90repressive law, 159responsive law, 159, 160RPJM, 154Rudolf Stammler, 15, 16

S

sarana prasarana hukum (legal structure), 154

Satjipto Raharjo, 9, 38, 47, 151Selznick, 159, 160Socrates, 4sosiologi, 18, 21, 71, 211spannungsverhaltins, 162SPM, 104staatsidee, 17Stuefentheorie, 25, 29, 172Stufa’, 31

Page 249: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

223

Stufen bau des Rechts, 31subjektif, 21, 72subsistence, 24, 74supremasi hukum, 140, 149

T

TAP MPR, 20, 98, 102, 138, 139, 140, 142, 213, 214, 217

Tap MPRS, 98, 102Taufiq Effendi, 90, 104, 177, 185,

191, 211teori hukum Pound, 11, 12teori hukum Roescoe Pound, 11teori jenjang norma Hukum

Kelsen, 31teori kebahagiaan (utility), 19teoritis, 17, 37, 52, 95, 164Teuku Mohammad Tadhie, 9the founding fathers, 94the idea of law, 17Thomas Aquinas, 19, 179, 180top down, 12, 184, 186, 188, 191

U

uitwijzingprocedure, 42unity within diversity, 95urgent, 4Utilitarianisme, 24, 66, 163utility, 19UUD 1945, 17, 18, 36, 46, 69,

80, 137

UUPA, 1, 2, 36, 37, 38, 42, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 80, 82, 113, 139, 167, 204

W

W.J.S Poerwadarimta, 53, 211Warsito Utomo, 96, 212wetmatigheid van bestuur, 23,

182Wilensky, 54

Y

yuridis, 5, 15, 26, 31, 36, 39, 40, 41, 42, 43, 55, 69, 84, 96, 103, 135, 137, 155, 156, 164, 165, 169, 172, 175, 187

yurisprudensi, 11, 210

Z

Zwarte Sinterklaas, 57, 216

Page 250: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,
Page 251: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

225

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 Prp. TAHUN 1960

TENTANG PENGUASAAN BENDA BENDA TETAP MILIK PERSEORANGAN

WARGA NEGARA BELANDA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa dipandang perlu mengadakan ketentuan-ketentuan tentang penguasaan benda-benda milik perseorangan warga-negara Belanda yang ditinggalkan dan yang tidak terkena oleh Undang-undang No. 86 tahun 1958 tentang "Nasionalisasi Perusahaan Belanda" (Lembaran-Negara tahun 1958 No. 162);

b. bahwa karena keadaannya sangat mendesak maka ketentuan-ketentuan tersebut perlu segera ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;

Mengingat : a. Pasal 22 ayat (1) Undang-undang Dasar; b. Undang-undang No. 24 tahun 1954 (Lembaran-Negara tahun 1954 No.

78);

Mendengar : Musyawarah Kabinet Kerja pada tanggal 12 Januari 1960;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG "PENGUASAAN BENDA-BENDA TETAP MILIK PERSEORANGAN WARGA-NEGARA BELANDA".

Pasal 1

Semua benda tetap milik perseorangan warga-negara Belanda, yang tidak terkena oleh Undang-undang No. 86 tahun 1958 tentang "Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Belanda" (Lembaran-Negara tahun 1958 No. 162). yang pemiliknya telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, sejak mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dikuasai oleh Pemerintah, dalam hal ini Menteri (Muda) Agraria.

Pasal 2

(1) Untuk melaksanakan penguasaan termaksud dalam pasal 1 dan mengadakan penyelesaian selanjutnya dari pada benda-benda yang dikuasai itu, didaerah-daerah yang dipandang perlu, oleh Menteri (Muda) Agraria dibentuk suatu Panitia, yang terdiri atas seorang pejabat dari Jawatan Agraria, sebagai Ketua merangkap anggota dan seorang Pamongpraja yang ditunjuk oleh Gubernur/Kepala Daerah Swatantra tingkat I serta Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan masing-masing sebagai anggota.

(2) Panitia tersebut pada ayat (1) pasal ini (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut: Panitia) bekerja atas dasar pedoman-pedoman yang diberikan oleh Menteri (Muda) Agraria.

Lampiran 1

Page 252: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

226

- 2 -

Pasal 3

(1) Barangsiapa, dalam hubungan yang bagaimanapun dengan pemiliknya menguasai benda-benda tetap sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, didalam waktu 2 bulan sejak mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini wajib menyerahkan penguasaan tersebut kepada Panitia setempat dan melaporkan segala sesuatu mengenai benda yang dikuasainya itu serta hubungannya dengan pemiliknya.

(2) Mereka yang tidak memenuhi kewajiban termaksud dalam ayat (1) pasal ini dianggap tidak mempunyai hubungan yang syah dengan benda yang bersangkutan sejak mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.

Pasal 4

(1) Barangsiapa ingin membeli benda-benda tetap yang dikuasai menurut ketentuan dalam pasal 1 harus mengajukan permohonan kepada Menteri Muda Agraria dengan perantaraan Panitia setempat yang bersangkutan, menurut cara yang ditentukan oleh Menteri Muda Agraria.

(2) Yang diperkenankan membeli benda-benda termaksud dalam ayat (1) pasal ini hanyalah warga-negara Indonesia, yang dengan pembelian yang baru itu tidak akan mempunyai lebih dari 3 (tiga) bidang tanah.

Pasal 5

Didalam keputusan Menteri Muda Agraria yang memberi izin untuk melakukan jual-beli dan melaksanakan pemindahan hak atas benda yang bersangkutan, dicantumkan pula ketentuan mengenai cara pembayaran harga benda itu kepada pemiliknya dengan mengingat peraturan-peraturan yang berlaku.

Pasal 6

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan. Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran-Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Pebruari 1960

Presiden Republik Indonesia.

SOEKARNO

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 Pebruari 1960

Menteri Muda Kehakiman,

SAHARDJO.

Page 253: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

227

PENJELASAN ATAS

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG "PENGUASAAN BENDA-BENDA TETAP MILIK PERSEORANGAN WARGA-NEGARA

BELANDA"

(1) Kini sudah berlaku Undang-undang tentang "Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda" (Undang-undang No. 86 tahun 1958) dan telah ditunjuk pula perusahaan mana yang dikenakan nasionalisasi itu. Keadaan suasana sekarang inipun sudah demikian rupa hingga telah memungkinkan diadakannya lagi pengawasan sebagaimana mestinya menurut peraturan-peraturan yang berlaku. Berhubung dengan itu maka larangan yang dikeluarkan pada permulaan bulan Desember 1957 tersebut diatas kini sudah dapat dicabut kembali. Adapun sepanjang yang mengenai benda-benda tetap yang tunduk pada hukum Eropah pengawasannya dilakukan menurut Undang-undang No. 24 tahun 1954 (Lembaran-Negara 1954 No. 78), yang mewajibkan adanya izin dari Menteri Muda Agraria bagi setiap pemindahan hak dan serah-pakai yang lebih dari satu tahun.

(2) Dalam pada itu dengan bepergiannya orang-orang Belanda pemilik benda-benda tetap (berupa rumah dan tanah) secara tergesa-gesa didalam suasana sebagai yang diuraikan diatas, maka penguasaan atas benda-benda yang mereka harus tinggalkan itu menjadi tidak teratur. Ada yang dikuasai oleh orang-orang yang sudah mengadakan perjanjian jual-beli dengan pemiliknya, tetapi berhubung dengan adanya larangan tersebut diatas soal izin pemindahan haknya hingga kini belum dapat diberi keputusannya. Ada yang dikuasai oleh seseorang yang ditunjuk sebagai kuasa oleh pemiliknya dan ada pula yang ditinggalkan begitu saja tanpa ada penunjukan seseorang kuasa. Berhubung dengan itu maka dianggap perlu untuk mengadakan ketentuan-ketentuan yang khusus yang bertujuan agar pemindahan hak atas benda-benda yang dimaksudkan itu dapat diselenggarakan secara tertib dan teratur dan agar dapat dicegah pula jatuhnya tanah-tanah dan rumah-rumah itu didalam tangan dari golongan yang terbatas saja. Untuk itu maka pertama-tama dipandang perlu untuk menertibkan kembali soal penguasaannya, dengan menempatkan semua benda-benda tetap yang ditinggalkan itu, baik yang sudah ada perjanjian jual-belinya, yang sudah ada kuasanya maupun yang ditinggalkan begitu saja, dibawah penguasaan Pemerintah, dalam hal ini Menteri (Muda) Agraria (pasal l, 2 dan 3). Adapun penguasaan tersebut bukan berarti pengambilan-alih ataupun nasionalisasi sebagai yang dimaksud dalam Undang-undang "Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Belanda" (Undang-undang No. 86 tahun 1958), dan oleh karenanya tidak menghilangkan atau mengganggu-gugat hak milik dari pada pemiliknya. Penguasaan itu berarti pengelolaan ("beheer") yang bermaksud memberi wewenang kepada Pemerintah untuk secara aktip bercampur tangan didalam soal pemindahan haknya, khususnya didalam memberi keputusan mengenai siapa yang akan diperkenankan mengoper hak milik atas benda-benda tersebut (pasal 4) dan mengenai cara pembayaran harganya kepada pemiliknya yang bersangkutan [pasal 5 ayat (1)]. Dalam pasal 4 ayat (2) disebutkan syarat-syarat bagi pemilik yang baru itu, yaitu : warga-negara Indonesia, yang belum mempunyai lebih dari 3 bidang tanah dan yang memerlukan tanah atau rumah yang bersangkutan untuk dipakainya sendiri. Ini berarti, bahwa biarpun misalnya sudah ada perjanjian jual-beli, tetapi kalau pembelinya itu menurut pendapat Menteri Muda Agraria tidak memenuhi syarat yang disebut dalam pasal 4 ayat (2), dapat tanah atau rumah yang bersangkutan diberikan kepada orang lain yang memenuhi syarat. Oleh karena ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini tidak mengganggu-gugat hak miliknya, maka harga tanah dan rumah yang bersangkutan menjadi hak mereka sepenuhnya. Tetapi oleh karena mereka tidak lagi menjadi penduduk Indonesia soal pembayaran harus dijalankan menurut peraturan-peraturan yang berlaku, hal mana untuk tegasnya ditentukan pula dalam surat izin yang diberikan oleh Menteri (Muda) Agraria (Pasal 1,2 dan 3).

Page 254: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

228

- 2 -

Adapun penguasaan tersebut bukan berarti pengambilan alih ataupun nasionalisasi sebagai yang dimaksud dalam Undang-Undang ”Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Belanda” (Undang-undang No. 86 Tahun 1958) dan oleh karenanya tidak menghilangkan atau mengganggu gugat hak milik dari pada pemiliknya. Penguasaan itu berarti pengelolaan (”beheer) yang bermaksud memberi wewenang kepada Pemerintah untuk secara aktif bercampur tangan di dalam soal pemindahan haknya, khususnya di dalam memberi keputusan mengenai siapa yang akan diperkenankan mengoper hak milik atas benda-benda tersebut (pasal 4) dan mengenai cara pembayaran harganya kepada pemiliknya yang bersangkutan (Pasal 5 ayat (1). Dalam pasal 4 ayat (2) disebutkan syarat-syarat bagi pemilik yang baru itu, yaitu : warga negara Indonesia, yang belum mempunyai lebih dari 3 bidang tanah dan yang memerlukan tanah atau rumah yang bersangkutan untuk dipakainya sendiri.

Ini berarti, bahwa biarpun misalnya sudah ada perjanjian jual-beli tetapi kalau pembelinya itu menurut pendapat Menteri Muda Agraria tidak memenuhi syarat yang disebut dalam pasal 4 ayat (2), dapat taha atau rumah yang bersangkutan diberikan kepada orang yang memenuhi syarat.

Oleh karena ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini tidak mengganggu gugat hak miliknya, maka harga tanah dan rumah yang bersangkutan menjadi hak merekan sepenuhnya. Tetapi oleh karena mereka tidak lagi menjadi penduduk Indonesia soal pembayaran harus dijalankan menurut peraturan-peraturan yang berlaku, hal mana untuk tegasnya ditentuka pula dalam surat izin yang diberikan oleh Menteri (Muda) Agraria.

Termasuk Lembaran Negara Nomor 19 Tahun 1960

Diketahui:

Menteri Muda Kehakiman

SAHARDJO

Page 255: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

229

PUSAT HUKUM DAN HUMAS SJDI HUKUM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIANOMOR 223 TAHUN 1961

TENTANGPEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 4 DAN PASAL 5

UNDANG-UNDANG NOMOR 3 PrP TAHUN 1960TENTANG

PENGUASAAN BENDA-BENDA TETAP MILIK PERSEORANGANWARGANEGARA BELANDA.

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : perlu ada ketentuan-ketentuan untuk dipakai sebagai pedoman di dalampemberian izin membeli rumah/ tanah milik warga negara Belanda sepertiyang dimaksudkan dalam pasal 4 dan pasal 5 Undang-undang No. 3 Prptahun 1960 tentang Penguasaan Benda-benda tetap milik perseoranganwarga negara Belanda (Lembaran Negara tahun 1960 No. 19).

Mengingat : a. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar;b. Undang-undang No. 3 Prp tahun 1960 (L.N. tahun 1960 No. 19);c. Undang-undang No. 10 Prp tahun 1960 (L.N. tahun 1960 No. 31)

Mendengar : Menteri Pertama dan Menteri Agraria;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PEDOMAN PELAKSANAANPASAL 4 DAN PASAL 5 UNDANG-UNDANG NO. 3 PRP 1960 TENTANGPENGUASAAN BENDA-BENDA TETAP MILIK PERSEORANGANWARGANEGARA BELANDA.

BAB IPEMBERIAN IZIN MEMBELI

Pasal 1.(1) Di dalam memberi izin untuk membeli rumah/tanah milik warga negara Belanda, yang

dikuasai oleh Pemerintah berdasarkan Undang-undang No. 3 Prp. tahun 1960 (L.N. tahun1960 No. 19), Menteri Agraria memakai sebagai pedoman, selain apa yang ditentukandalam pasal 4 Undang-undang itu, juga ketentuan tentang urutan pengutamaan tersebutpada ayat (2) pasal ini dan pasal 2.

(2) Izin untuk membeli rumah/tanah yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal ini, sepanjangtidak diperlukan sendiri oleh Pemerintah untuk suatu keperluan khusus, diberikan denganmemakai urutan pengutamaan sebagai berikut :a. kepada pegawai negeri penghuni rumah/pemakai tanah yang bersangkutan, yang

belum mempunyai rumah/tanah;

Lampiran 2

Page 256: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

230

- 2 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS SJDI HUKUM

b. kepada pegawai negeri penghuni rumah/pemakai tanah yang bersangkutan, asalkandengan pembelian yang baru itu ia tidak akan mempunyai lebih dari 2 rumah/bidangtanah;

c. kepada pegawai negeri bukan penghuni rumah/pemakai tanah yang bersangkutanyang belum mempunyai rumah/ tanah;

d. kepada bukan pegawai negeri, tetapi yang menjadi penghuni rumah/pemakai tanahyang bersangkutan, yang belum mempunyai rumah/tanah.

(3) Dalam pengertian “pegawai negeri” tersebut pada ayat (2) pasal ini termasuk juga pejabat-pejabat militer dan petugas negara lainnya serta mereka yang sudah berhenti sebagaipegawai dengan hak pensiun.

(4) Dalam pengertian “rumah/tanah yang dipunyai” yang dimaksudkan pada ayat (2) pasal initermasuk baik yang tercatat atas namanya sendiri, suami/istri maupun anak yang masihmenjadi tanggungannya.

Pasal 2.(1) Setiap orang hanya diperkenankan membeli satu rumah/ sebidang tanah yang

dimaksudkan dalam pasal 1, baik untuk dirinya sendiri, suami/isteri ataupun anak yangmasih menjadi tanggungannya.

(2) Mengenai tanah-tanah di atas mana berdiri lebih dari satu rumah, atau yang mengingatluasnya dapat didirikan lebih dari satu rumah, izin pembeliannya dapat diberikan kepadalebih dari seorang.

(3) Jika yang mengajukan permohonan untuk membeli sesuatu rumah/ tanah lebih dariseorang, maka dari mereka yang termasuk dalam golongan pengutamaan yang sama,diutamakan pemohon yang berhubung dengan kedudukannya dalam pemerintahan/masyarakat dan jumlah anggota keluarganya lebih memerlukan rumah/tanah tersebut.

Pasal 3.(1) Seorang bukan penghuni yang diberi izin membeli rumah tersebut dalam pasal 1 wajib

menyediakan ganti perumahan yang layak bagi penghuninya, yang harus diajukan lebihdulu kepada Panitia Ahli tersebut dalam pasal 4.

(2) Jika antara calon pembeli dan penghuni pada ayat (1) pasal ini tidak dapat dicapaipersetujuan mengenai soal penggantian rumah itu, maka halnya diajukan kepada instansisetempat yang mengurus soal perumahan, untuk mendapat keputusan yang mengikatkedua belah pihak. Didalam memberi keputusan ini instansi tersebut memintapertimbangan Panitia Pelaksana Penguasaan Milik Belanda setempat, yang dibentukdengan Keputusan Menteri Agraria Nomor Sk/330/Ka/1966;

BAB IIPENETAPAN DAN PEMBAYARAN HARGA RUMAH/TANAHNYA

Pasal 4.(1) Harga pembelian rumah/tanah tersebut dalam pasal 1 ditetapkan oleh Menteri Agraria atas

usul suatu Panitya Ahli yang dibentuknya. Panitya tersebut terdiri atas pejabat-pejabat dariJawatan Pendaftaran Tanah, Jawatan Agraria, Jawatan Pekerjaan Umum, InspeksiKeuangan dan Pamongpraja.

(2) Tata kerja Panitya Ahli tersebut pada ayat (1) pasal ini dan honorariumnya ditetapkan olehMenteri Agraria.

Pasal 5.(1) Kepada pembeli pegawai negeri atas permohonannya dapat diberikan kelonggaran untuk

membayar harga rumah/tanah tersebut dalam pasal 4 dengan angsuran dalam waktupaling lama 10 tahun, dengan ketentuan, bahwa setiap tahunnya angsuran itu tidak bolehkurang dari sepersepuluh harga seluruhnya.

(2) Harga rumah/tanah itu disetor oleh pembeli kepada Bank Koperasi, Tani dan Nelayansetempat atas nama Panitya Pelaksana Penguasaan Milik Belanda tersebut dalam pasal 3ayat (2), untuk selanjutnya dibukukan pada suatu bank devisen dari bekas pemilik

Page 257: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

231

- 3 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS SJDI HUKUM

rumah/tanah yang bersangkutan sebagai uang R.U.R.N.I, kecuali kalau Pemerintahmenentukan lain.

BAB IIIPENUTUP

Pasal 6.(1) Mengenai hibah atau pembelian tanah/rumah tersebut dalam pasal 1 yang sudah ada

aktenya atau perjanjian jual-belinya yang dibuat atau dilegalisasi tanda tangan dantanggalnya oleh notaris sebelum tanggal 3 Desember 1957 dan yang pada tanggal 9Pebruari 1960 belum dilaksanakan pemindahan haknya, Menteri Agraria dapat mengambilkebijaksanaan yang menyimpang dari yang tersebut pada ayat (2) pasal 1.

(2) Dengan tidak mengurangi apa yang disebutkan pada ayat (1) pasal ini, Menteri Agrariadapat menyesuaikan keputusan-keputusan yang telah diambil sebelum mulai berlakunyaPeraturan Pemerintah ini, dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal di atas.

Pasal 7.Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku.Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan PeraturanPemerintah ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakartapada tanggal 6 September 1961

Pejabat Presiden Republik Indonesia

J. LEIMANA

Diundangkan di JakartaPada tanggal 6 September 1961

Pejabat Sekretaris Negara,

A.W. SURJODININGRAT

Page 258: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

232

PUSAT HUKUM DAN HUMAS SJDI HUKUM

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAHNO. 223 Tahun 1961

tentangPEDOMAN PELAKSANAAN PASAL 4 DAN PASAL 5 UNDANG-UNDANG NO. 3 Prp

TAHUN 1960 TENTANG PENGUASAAN BENDA-BENDA TETAP MILIKPERSEORANGAN WARGA-NEGARA BELANDA.

UMUM.

1. Berdasarkan atas ketentuan pasal 1 Undang-undang No. 3 Prp tahun 1960 (LembaranNegara tahun 1960 No. 19) maka semua rumah/tanah kepunyaan perseorangan warga-negara Belanda yang telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, dikuasai olehPemerintah, dalam hal ini Menteri Agraria. Untuk keperluan pelaksanaan penguasaan itumaka di daerah-daerah oleh Menteri Agraria telah dibentuk Panitya-panitya PelaksanaPenguasaan Milik Belanda, yaitu dengan Keputusannya No. Sk 330/Ka/1960. Menurutpasal 4 Undang-undang tersebut dibuka kesempatan bagi para peminat untuk membelirumah/tanah yang dimaksudkan itu, dengan pembatasan, bahwa yang diperkenankanmembeli hanyalah warga-negara Indonesia, yang dengan pembelian baru itu tidak akanmempunyai lebih dari 2 bidang tanah.Pembelian tersebut memerlukan izin Menteri Agraria.

2. Agar supaya peralihan rumah-rumah dan tanah-tanah milik Belanda kepada warga-negaraIndonesia itu dapat terselenggara dengan adil dan merata sebagai yang menjadi tujuandari Undang-undang No. 3 Prp tahun 1960, maka perlu diadakan ketentuan-ketentuanlebih lanjut, yang merupakan pedoman bagi Menteri Agraria di dalam melaksanakanUndang-undang tersebut. Ketentuan-ketentuan itu diadakan dalam bentuk PeraturanPemerintah ini, yang mengatur :a. Pengutamaan (“prooritet”) di dalam pemberian izin membeli rumah-rumah/tanah-tanah

yang dimaksudkan itu (Bab I);b. penetapan harga pembelian rumah/tanahnya dan cara pembayarannya

3. Di dalam menentukan urutan pengutamaan, maka yang dijadikan kriterium ialah :a. status pemohon sebagai pegawai negeri;b. penghuni,c. belum mempunyai rumah/tanah sendiri.Dengan pembatasan yang memakai kriterium demikian itu, sebagai yang diperinci dalampasal 1 dan 2, maka kiranya dapat dicegah, bahwa rumah-rumah/tanah-tanah tersebutsebagian terbesar akan beralih kepada golongan-golongan orang yang beruang saja danyang kebetulan menjadi penghuninya.

4. Ketentuan dalam pasal 3, selain merupakan jaminan bagi penghuni yang karena tidakmemenuhi syarat untuk diberi izin membeli, harus meninggalkan rumah yangbersangkutan, juga bermaksud mencegah jangan sampai seorang yang mendapat izinmembeli sebenarnya hanya bertindak sebagai “kedok” penghuni tersebut.Berhubung dengan itu, maka yang diberi izin membeli selain berhak juga wajib menempatisendiri rumah yang dibelinya itu.

Page 259: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

233

- 2 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS SJDI HUKUM

5. Ketentuan-ketentuan dalam pasal 4 dan 5 bermaksud supaya penetapan hargarumah/tanah itu dilakukan secara obyektif. Perlu kiranya diingat, bahwa Undang-undangNo. 3 Prp tahun 1960 tidak mensita atau menasionalisasi rumah-rumah dan tanah-tanahyang dimaksudkan itu. Oleh karenanya, maka harga rumah/tanah tersebut adalah haksepenuhnya dari pemiliknya [pasal 5 ayat (2)]

6. Tanggal 3 Desember 1957 ialah tanggal mulai diadakannya larangan pemindahan hakatas milik-milik warga-negara Belanda sebagai yang dijelas-kan di dalam PenjelasanUndang-undang No. 3 Prp tahun 1960. Setelah Undang-undang tersebut mulai berlaku(tanggal 9 Pebruari 1960) larangan itu dihapuskan, karena semua rumah-tanah yangbersangkutan sejak itu berada dalam penguasaan Pemerintah, hingga peralihannya dapatdiatur dan diawasi dengan saksama (berdasarkan ketentuan-ketentuan Undang-undangtersebut dan Peraturan Pemerintah ini).

Dalam pada itu ada pula rumah-rumah/tanah-tanah yang telah dijual atau dihibahkan secarasah kepada orang-orang Indonesia sebelum tanggal 3 Desember 1957, bahkan ada pula yangjauh sebelum itu, tetapi hingga pada tanggal 9 Pebruari 1960 belum dilaksanakanpemindahan haknya. Misalnya karena belum diperoleh izin dari Menteri Kehakiman atauMenteri Agraria ataupun aktanya masih harus diperbaharui/diganti menurut S. 1948-54, untukmana diperlukan izin Pengadilan Negeri. Mengenai hibah dan penjualan demikian itu, makajika ternyata tidak ada tindakan atau tujuan yang menyalahi sesuatu peraturan, kiranya tidakada keberatan untuk kalau perlu sebagai perkecualian menyimpang dari ketentuan tentangurutan pengutamaan yang disebutkan dalam ayat (2) pasal 1.

PASAL DEMI PASAL

Cukup jelas.

Termasuk Lembaran Negara tahun 1961 Nomor 278.

Diketahui :

Pejabat Sekretaris Negara,Ttd.

A.W. SURJOADINIGRAT.

Page 260: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

234

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

PERATURAN METERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

NOMOR 9 TAHUN 1999TENTANG

TATA CARA PEMBERIAN DAN PEMBATALAN HAK ATAS TANAH NEGARA DAN HAK PENGELOLAAN

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

Menimbang : a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan pemberian hak atas tanahberdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 dan PeraturanPemerintah Nomor 40 Tahun 1996 perlu diatur mengenai tata carapemberian dan pembatalan hak atas Tanah Negara dan HakPengelolaan;

b. bahwa sehubungan dengan hal sebagaimana dimaksud pada huruf a,perlu ditetapkan Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala BadanPertanahan Nasional;

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tntang Peraturan dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, TambahanLembaran Negara Nomor 2043);

2. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun(Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 75, Tambahan LembaranNegara Nomor 3318);

3. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan HakAtas tanah Dan Bangunan (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3688);

4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah(Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan LembaranNegara Nomor 3839);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Nomor 58, TambahanLembaran Negara Nomor 3643);

6. Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang BadanPertanahan Nasional;

7. Keputusan Presiden Nomor 122/M Tahun 1998 tentang PembubaranKabinet Pembangunan VII dan Pembentukan Kabinet ReformasiPembangunan;

8. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan PertanahanNasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan kewenanganPemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian Hak Atas TanahNegara.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADANPERTANAHAN NASIONAL TENTANG TATA CARA PEMBERIAN DANPEMBATALAN HAK ATAS TANAH NEGARA DAN HAK PENGELOLAAN.

BAB IKETENTUAN UMUM

Lampiran 3

Page 261: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

235

- 2 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

Pasal 1

Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan:1. Hak atas Tanah adalah hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- pokok Agraria, dan Hak MilikAtas Satuan Rumah Susun sebagaimana dimaksud dalam undang-undang Nomor 16Tahun 1985 tentang Rumah Susun.

2. Tanah negara adalah tanah yang langsung dikuasi negara sebagaimana dimaksuddalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar-Dasar PokokAgraria.

3. Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari negara yang kewenangannya sebagiandilimpahkan kepada pemegangnya.

4. Tanah Hak adalah Tanah yang telah dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah.5. Data Yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah dan satuan

rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan hak pihak lain serta beban-bebanlain yang membebaninya.

6. Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuanrumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan ataubagian bangunan di atasnya.

7. Pemohon atau subjek hak adalah perorangan atau badan hukum yang pendiriannya sahsesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

8. Pemberian hak atas tanah adalah penetapan Pemerintah yang memberikan sesuatuhak atas tanah Negara, termasuk pemberian hak diatas Hak Pengelolaan.

9. Perpanjangan hak adalah penambahan jangka waktu berlakunya sesuatu hak atas tanahtanpa mengubah syarat-syarat dalam pemberian hak tersebut, yang permohonannyadapat diajukan sebelum jangka waktu berlakunya hak atas tanah yang bersangkutanberakhir.

10. Pembaharuan hak adalah pemberian hak atas tanah yang sama kepada pemegang hakyang sama yang dapat diajukan setelah jangka waktu berlakuknya hak yangberasngkutan berakhir.

11. uang pemasukan adalah uang yang harus dibayar oleh setiap penerima hak atas tanahnegara sesuai ketentuan yang berlaku sebagai pengakuan (recognitie) atas hakmenguasai Negara.

12. Panitria Pemeriksa Tanah adalah Panitia yang bertugas melaksanakan pemeriksa tanahdalam rangka penyelesaian permohonan untuk memperoleh Hak Milik, Hak GunaUsaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas tanah Negara termasuk Hak Pengelolaan.

13. Perubahan Hak adalah penetapan Pemerintah mengenai penegasan bahwa sebidangtanah yang semula dipunyai dengan sesuatu hak atas tanah tertentu, atas permohonanpemegang haknya, menjadi tanah Negara dan sekaligus memberikan tanah tersebutkepadanya dengan hak atas tanah jenis lainnya.

14. pembatalan hak atas tanah adalah pembatalan keputusan pemberian suatu hak atastanah atau sertipikat hak atas tanah karena keputusan tersebut mengandung cacadhukum administrasi dalam penerbitannya atau untuk melaksanakan putusan pengadilanyang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

15. Rencana Tata Ruang Wilayah adalah rencana tata ruang yang sudah ditetapkan dandisahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

16. Kantor Wilayah Baan Pertanahan Nasional adalah Kantor Badan Pertanahan Nasionaldi tingkat Propinsi, yang selanjutnya disebut Kantor wilayah.

17. Kantor Pertanahan adalah Badan Pertanahan Nasional di tingkat Kabupaten/Kota.18. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang agraria/pertanahan.

Pasal 2

(1) Pemberian hak meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakaiatas tanah Negara dan Hak Pengelolaan.

(2) Pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan dengankeputusan pemberian hak secara individual atau kolektif atau secara umum.

Page 262: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

236

- 3 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

Pasal 3

(1) Pemberian dan pembatalan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, HakPakai dan Hak Pengelolaan dilakukan oleh Menteri.

(2) Pemberian dan pembatalan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri dapatmelimpahkan kewenangannya kepada Kepala Kantor Wilayah, Kepala KantorPertanahan dan Pejabat yang ditunjuk.

(3) Keputusan pemberian dan penolakan hak atas tanah dibuat sesuai contoh Lampiran 1.(4) Permohonan Hak milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atau Hak

Pegelolaan dibuat sesuai contoh Lampiran 2.

Pasal 4

(1) Sebelum mengajukan permohonan hak, pemohon harus menguasai tanah yang dimohondibuktikan dengan data yuridis dan data fisik sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku.

(2) Dalam hal tanah yang dimohon merupakan tanah Hak Pengelolaan. Pemohon harusterlebih dahulu memperoleh penunjukan berupa perjanjian penggunaan tanah dariPemegang Hak Pengelolaan.

(3) Dalam hal tanah yang dimohon merupakan tanah kawasan hutan. Harus lebih dahuludilepaskan dari statusnya sebagai kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku.

(4) Tanah- tanh tertentu yang diperlukan untuk konservasi yang ditetapkan oleh menteritidak dapat dimohon dengan sesuatu hak atas tanah.

Pasal 5

(1) Dalam rangka pemberian hak atas tanah atau Hak Pengelolaan. Dilakukan pemeriksaantanah oleh Panitia Pemeriksa Tanah atau Tim Penelitian Tanah atau Petugas yangditunjuk.

(2) Susunan anggota dan tugas Panitia Pemeriksa Tanah dan Tim Penelitian Tanahsebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.

BAB IITATA CARA PEMBERIAN HAK ATAS TANAH SECARA INDIVIDUAL ATAU KOLEKTIF

Bagian KesatuUmum

Pasal 6

(1) Pemberian hak secara individual merupakan pemberian hak atas sebidang tanah kepadaseseorang atau sebuah badan hukum tertentu atau kepada beberapa orang atau badanhukum secara bersama sebagai penerima hak bersama yang dilakukan dengan satupenetapan pemberian hak.

(2) Pemberian hak secara kolektif merupakan pemberian hak atas beberapa bidang tanahmasing- masing kepada seseorang atau sebuah badan hukum atau kepada beberapaorang atau badan hukum sebagai penerima hak, yang dilakukan dengan satu penetapanpemberian hak.

Pasal 7

Dalam hal pemberian hak atas tanah secara individual atau kolektif sebagaimana dimaksuddalam Pasal 6, sepanjang mengenai Hak Milik yang dipunyai badan hukum keagamaan,badan hukum sosial dan badan hukum lain yang ditunjuk oleh pemerintah, Hak GunaUsaha, Hak Pakai tanah pertanian diatas tanah Negara dan hak- hak lainnya yang menurutsifatnya harus memerlukan izin peralihan hak, dalam penerbitan keputusan pemberian

Page 263: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

237

- 4 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

haknya harus mencantumkan persyaratan izin peralihan hak dan mencatatnya dalamsertipikat.

Bagian KeduaPemberian Hak Milik

Paragraf ISyarat-syarat Permohonan Hak Milik

Pasal 8

(1) Hak Milik dapat diberikan kepada :a. Warga Negara Indonesia;b. Badan-badan Hukum yang ditetapkan oleh Pemerintah sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu: 1) Bank Pemerintah; 2) Badan Keagamaan dan Badan Sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah.

(2) Pemberian Hak Milik untuk badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,hanya dapat diberikan atas tanah-tanah tertentu yang benar-benar berkaitan langsungdengan tugas pokok dan fungsinya.

Pasal 9

(1) Permohonan Hak Milik atas Tanah Negara diajukan secara tertulis.(2) Permohonan Hak Milk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:

1. Keterangan mengenai pemohon:a. Apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan

pekerjaannya serta keterangan mengenai isteri/suami dan anaknya yang masihmenjadi tanggungannya;

b. Apabila badan hukum: nama, tempat kedudukan, akta atau eraturanpendiriannya, tanggal dan nomor surat keputusan pengesahannya oleh pejabatyang berwenang tentang penunjukannya sebagai badan hukum yang dapatmempunyai Hak Milik berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undanganyang berlaku.

2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yurisis dan data fisik:a. Dasar penguasaan atau alas haknya dapat berupa sertpikat, girik, surat kapling,

surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanahyang yang telah dibeli dari Pemerintah, putusan pengadilan, akta PPAT, aktapelepasan hak, dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya;

b. Letak, batas-batas dan luasnya (jika ada Surat Ukur atau Gambar Situasisebutkan tanggal dan nomornya);

c. Jenis tanah (pertanian/non pertanian)d. Rencana penggunaan tanah;e. Status tanahnya (tanah hak atau tanah negara);

3. Lain-lain:Keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah- tanah yang dimiliki olehpemohon, ternasuk bidang tanah yang dimohon;Keterangan lain yang dianggap perlu.

Pasal 10

Permohonan Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dilampiri dengan:1. Mengenai pemohon:

a. Jika perorangan: foto copy surat bukjti identitas, surat bukti kewarganegaraanRepublik Indonesia;

b. Juka badan hukum : foto copy akta atau peraturan pendiriannya dan salinan suratkeputusan penunjukannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undanganyang berlaku.

Page 264: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

238

- 5 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

2. Mengenai tanahnya:a. Data yuridis: sertipikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan

pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari Pemerintah, PPAT,akta pelepasan hak, putusan pengadilan, dan surat-surat bukti perolehan tanahlainnya;

b. Data fisik: surat ukur, gambar situasi dan IMB, apabila ada;c. Surat lain yang dianggap perlu.

3. Surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yangtelah dimiliki oleh pemohon termasuk bidang tanah yang dimohon, sesuai contohLampiran 3.

Paragraf 2Tata Cara Pemberian Hak Milik

Pasal 11

Permohonan Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), diajukan kepadaMenteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yangbersangkutan.

Pasal 12

Selah berkas permohonan diterima, Kepala Kantor Petanahan:1. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik.2. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lmpiran 4.3. Mmberikan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian contoh Lmpiran 5.4. Memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya yang diperlukan untuk

menyelesaikan permohonan tersebut dengan rinciannya sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan yang berlaku, sesuai contoh Lampiran 6.

Pasal 13

(1) Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan datafisik permohonan Hak Milik atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 danmemeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan ataudiproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yangberlaku.

(2) Dalam hal tanah yang dimohon belum ada surat ukurnya, Kepala Kantor Pertanahanmemerintahkan kepada Kepala Seksi Pengukuran Dan Pendaftaran Tanah untukmelakukan pengukuran.

(3) Selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada:a. Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau petugas yang ditunjuk untuk memeriksa

permohonan hak terhadap tanah yang sudah terdaftar dan tanah yang data yuridisdan data fisiknya telah cukup untuk mengambil keputusan yang dituangkan dalamRisalah Pemeriksaan Tanah (konstatering Rapport), sesuai contoh Lampiran 7.

b. Tim Penelitian Tanah untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang belumterdaftar yang dituangkan dalam berita acara, sesuai contoh Lampiran 8; atau

c. Panitia Pemeriksa Tanah A untuk memeriksa permohonan hak selain yang diperiksasebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, yang dituangkan dalam RisalahPemeriksaan Tanah sesuai contoh Lampiran 9.

(4) Dalam hal data yuridis dan data fisik belum lengkap Kepala Knator Pertanahanmemberitahukan kepada pemohon untuk melengkapinya.

(5) Dalam hal keputusan pemberian Hak Milik telah dilimpahkan kepada Kepala KantorPertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), setelah mempertimbangkanpendapat Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau Pejabat yang ditunjuk atau Tim PenelitianTanah atau Panitia Pemeriksa Tanah A, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), KepalaKantor Pertanahan menerbitkan keputusan pemberian hak milik atas tanah yangdimohon atau keputusan penolakan yang disdertai dengan alasan penolakannya.

Page 265: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

239

- 6 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

(6) Dalam hal keputusan pemberian Hak Milik tidak dilimpahkan kepada Kepala KantorPertanahan yang bersangkutan menyampaikan berkas permohonan tersebut kepadaKepala Kantor Wilayah, disertai pendapat dan pertimbangannya, sesuai contohLampiran 10.

Pasal 14

(1) Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangansebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6), Kepala Kantor Wilayah memerintahkankepada Kepala Bidang Hak-hak Atas Tanah untuk:1. Mencatat dalm formulir isian sesuai contoh Lampiran 11.2. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum

lengkap segera meminta Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan untukmelengkapinya.

(2) Kepala Kantor Wilayah meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisikatas tanah yang dimohon beserta pendapat dan pertimbangan Kepala KantorPertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6) dan memeriksa kelayakanpermohonan tersebut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yangberlaku.

(3) Dalam hal keputusan pemberian Hak Milik telah dilimpahkan kepada Kepala KantorWilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), setelah mempertimbangkanpendapat Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah menerbitkan keputusanpemberian Hak Milik atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertaidengan alasan penolakannya.

(4) Dalam hal keputusan pemberian Hak Milik tidak dilimpahkan kepada Kepala KantorWilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Kepala Kantor Wilayahmenyampaikan berkas permohonan dimaksud kepada Menteri disertai pendapat danpertimbangannya. Sesuai contoh Lampiran 12.

Pasal 15

(1) Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangansebagaimana dimaksud dalam 14 ayat (4), Menteri memrintahkankepada Pejabat yangditunjuk untuk:1. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 13.2. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum

lengkap segera meminta Kepala Kantor Wilayah yang bersangkutan untukmelengkapinya.

(2) Menteri meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik atas tanah yangdimohon dengan mempertimbangkan pendapat dan Pertimbangan Kepala KantorWilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) dean selanjutnya memeriksakelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Setelah mempertimbangkan pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Wilayahsebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4), Menteri menerbitkan keputusanpemberian Hak Milik atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertaidengan alasan penolakannya.

Pasal 16

Keputusan pemberian Hak Milik atau kepuusan penolakan sebagaimana dimaksud dalamPasal 13 ayat (5), Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 15 ayat (3) disampaikan kepada pemohonmelalui surat tercatat atau dengan cara lain yang menjamin sampainya keputusan tersebutkepada yang berhak.

Bagian KetigaPemberian Hak Guna Usaha

Page 266: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

240

- 7 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

Paragraf 1Syarat-syarat Permohonan Hak Guna Usaha

Pasal 17

Hak Guna Usaha dapat diberikan kepada:a. Warga Negara Indonesia.b. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Pasal 18

(1) Permohonan Hak Guna Usaha diajukan secara tertulis.(2) Permohonan Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud oada ayat (1) memuat:

1. Keterangan mengenai pemohon:a. Apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan

pekerjannya;b. Apabila badan hukum: nama badan hukum, tempat kedudukan, akta atau

peraturan pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undanganyang berlaku

2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik:a. Dasar penguasaanya, dapat berupa akta pelepasan kawasan hutan, akta

pelepasan bekas tanah milik adat dan surat bukti perolehan tanah lainnya;b. Letak, batas-batas dan luasnya (jika sudah ada surat ukur sebukan tanggal dan

nomornya);c. Jenis usaha (pertanian, perikanan atau peternakan).

(3) Lain-lain:a. Keterangan mengenai jumlah bidang, luas, dan status tanah-tanah yang dimiliki,

termasuk bidang tanah yang dimohon;b. Keterangan lain yang dianggap perlu.

Pasal 19

Permohonan Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dilampiridengan:

a. Foto copy identitas permohonan atau akta pendirian perusahaan yang telah memperolehpengesahan dan telah didaftarkan sebagai badan hukum;

b. Rencana pengusahaan tanah jangka pendek dan jangka panjang.c. Izin lokasi atau surat izin penunjukan penggunaan tanah atau surat izin pencadangan

tanah sesuai dengan Rencana tata ruang Wilayah;d. Bukti pemilikan dan atau bukti perolehan tanah berupa pelepasan kawasan hutan dari

instansi yang berwenang, akta pelepasan bekas tanah milik adat atau surat-surat buktiperolehan tanah lainnya;

e. Persetujuan penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau Penanaman Modal Asing(PMA) atau surat persetujuan dari Presiden bagi Penanaman Modal Asing tertentu atausurat persetujuan prinsip dari Departemen Teknis bagi non Penanaman Modal DalamNegeri atau Penanaman Modal Asing;

f. Surat ukur apabila ada.

Paragraf 2Tata Cara Pemberian Hak Guna Usaha

Pasal 20

(1) Permohonan Hak Guna Usaha diajukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor wilayah,dengan tembusan kepada Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputiletak tanah yang bersangkutan.

Page 267: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

241

- 8 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

(2) Apabila tanah yang dimohon terletak dalam lebih dari satu daerah Kabupaten/Kota,maka tembusan permohonan disampaikan kepada masing-masing Kepala KantorPertanahan yang bersangkutan.

Pasal 21

Setelah berkas permohonan Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat(1) diterima, Kepala Kantor Wilayah:1. memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik.2. mencatat pada formulir isian sesuai contoh Lampiran 14.3. memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya-biaya yang diperlukan untuk

menyelesaikan permohonan tersebut dengan rinciannya sesuai ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku.

4. memerintahkan kepada para Kepala Bidang terkait untuk melengkapi bahan-bahan yangdiperlukan.

Pasal 22

(1) Kepala Kantor Wilayah meneliti keleengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisikpermohonan Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) danmemeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan ataudiproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yangberlaku.

(2) Dalam hal data yuridis dan data fisiknya belum lengkap, Kepala Kantor Wilayahmemberitahukan kepada pemohon untuk melengkapinya.

(3) Selanjutnya memerintahkan kepada Panitia Pemeriksa Tanah B atau Petugas yangditunjuk untuk melakukan pemeriksaan tanah.

(4) Dalam hal tanah yang dimohon belum ada surat ukurnya, Kepala Kantor Wilayahmemerintahkan kepada Kepala Bidang Pengukuran Dan Pendaftaran Tanah untukmempersiapkan surat ukur atau melakukan pengukuran.

(5) Hasil pemeriksaan tanah oleh Panitia Pemeriksaan tanah B dituangkan dalam RisalahPemeriksaan Tanah sesuai contoh Lampiran 15 dan hasil pemeriksaan tanah olehpetugas yang ditunjuk ditiuangkan dalam Risalah Pemeriksaan Tanah (KonstateringRappot) sepanjang data yuridis dan data fisiknya telah cukup untuk mengambilkeputusan, sesuai contoh Lampiran 16.

(6) Dalam hal keputusan pemberian Hak Guna usaha telah dilimpahkan kepada KepalaKantor Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), setelahmempertimbangkan pendapat Panitia Pemeriksaantanah B atau Petugas yang ditunjuksebagaimana yang dimaksud pada ayat (5), Kepala Kantor wilayah menerbitkankeputusan pemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang dimohon atau keputusanpenolakan yang disertai dengan alasan penolakannya.

(7) Dalam keputusan pemberian Hak Guna Usaha tidak dilimpahkan kepada Kepala KantorWilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Kepala Kantor Wilayah yangbersangkutan menyampaikan berkas permohonan tersebut kepada Menteri, disertaipendapat dan pertimbangannya, sesuai contoh Lampiran 12.

Pasal 23

(1) Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangansebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (7), Menteri memerintahkan kepadapejabat yang ditunjuk untuk:1. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 13.2. memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum

lengkap segera meminta Kepala Kantor wilayah yang bersangkutan untukmelengkapinya.

(2) Menteri meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik atas tanah yangdimohon dengan memperhatikan pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor wilayahsebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (7) dan selanjutnya memeriksa kelayakan

Page 268: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

242

- 9 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Setelah mempertimbangkan pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor wilayahsebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (7), Menteri menerbitkan keputusanpemberian Hak Guna Usaha atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yangdisertai dengan alasan penolakannya.

Paragraf 3Tata Cara Perpanjangan Jangka Waktu Dan Pembaharuan Hak Guna Usaha

Pasal 24

Hak Guna Usaha dapat diperpanjang jangka waktunya atau diperbaharui haknya.

Pasal 25

Permohonan perpanjangangan jangka waktu Hak Guna Usaha diajukan oleh pemegang hakdalam tenggang waktu 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu hak tersebut.

Pasal 26

Sesudah jangka waktu Hak Guna Usaha atau perpanjangannya berakhir kepada pemeganghak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Usaha diatas tanah yang sama.

Pasal 27

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 23 berlaku mutatismutandis untuk permohonan perpanjangan jangka waktu dan pembaharuan Hak GunaUsaha.

Pasal 28

(1) Permohonan perpanjangan jang waktu Hak Guna Usaha dikabulkan oleh pejabat yangberwenang untuk seluruh atau sebagian tanah hak Guna Usaha, apabila:a. Tanah tersebut masih dipergunakan dan diusahakan dengan baik untuk keperluan

sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak yang bersangkutan danmasih sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah.

b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak.c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Guna Usaha.

(2) Permohonan perpanjangan jangka waktu hak Guna Usaha dikabulkan oleh pejabat yangberwenang apabila kepada pemohon telah diberikan persetujuan untuk perpanjanganhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 40Tahun 1996 dan pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak yangbersangkutan.

Pasal 29

(1) Keputusan mengenai penolakan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usahasebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, memuat penetapan mengenai penguasaantanah yang bersangkutan dan tanaman, bangunan serta benda lain yang ada diatastanah tersebut.

(2) Kecuali apabila ditentukan lain didalam keputusan mengenai penolakan perpanjanganjangka waktu Hak Guna Usaha, bekas pemegang hak wajib tetap menjaga tanah yangbersangkutan sebelum ditetapkan penerima atau pengguna tanah berikutnya dankepadanya diperintahkan untuk menyerahkan tanah tersebut kepada penerima hak ataupengguna tanah berikutnya.

Page 269: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

243

- 10 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

(3) Dalam hal penolakan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha sebagaimanadimaksud dalam Pasal 27 tidak berdasarkan alasan diterlantarkannya tanah yangbersangkutan, kepada bekas pemegang hak atas tanah diberikan penggantian berupauang untuk penyerahan tanah yang bersangkutan dan tanaman yang diatasnya.

(4) Apabila bangunan dan benda-benda lain yang ada diatas tanah tersebut menurutkeputusan penolakan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha sebagaimanadimaksud pada ayat (1) tidak dibongkar, kepada bekas pemegang hak diberikan gantirugi berupa uang untuk bangunan atau benda terbut.

(5) Penggantian dan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) dibebankankepada penerima hak atau pengguna tanah berikutnya, atau dalam hal tanah bekas HakGuna Usaha tersebut diperuntukan bagi kepentingan umum penggantian atau ganti rugidimaksud dibebankan kepada instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah yangbersangkuta.

(6) Jumlah penggantian dan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditentukanberdasarkan kesepakatan antara bekas pemegang hak dengan penerima hak ataupengguna tanah berikutnya.

(7) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak tercapai jumlahpenggantian dan ganti rugi tersebut ditetapkan oleh menteri dengan mempertimbangkanhasil penaksiran yang dilakukan oleh panitia penaksir yang dibentuk olehnya.

Pasal 30

(1) Keputusan mengenai perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha muali berlaku sejakberakhirnya hak yang bersangkutan.

(2) Pembaharuan Hak Guna Usaha mulai berlaku sejak didaftarkannya keputusanPemberian Hak Guna Usaha di Kantor Pertanahan.

Pasal 31

Keputusan pemberian, perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Usaha atau keputusanpenolakan pemberian, perpanjangan, atau pembaharuan Hak Guna Usaha sebagaimanadimaksud dalam Pasal 22 ayat (6), Pasal 23 ayat (3) dan Pasal 27 disampaikan kepadapemohon melalui surat tercatat atau dengan cara lain yang menjamin sampainya keputusantersebut kepada yang berhak.

Bagian KeempatPemberian Hak Guna Bangunan

Paragraf 1Syarat-syarat permohonan Hak Guna Bangunan

Pasal 32

(1) Hak Guna Bangunan dapat diberikan kepada:a. Warga Negara Indonesiab. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di

Indonesia.

Pasal 33

(1) Permohonan Hak Guna Bangunan diajukan secara tertulis.(2) Permohonan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat:

1. Keterangan mengenai pemohon:a. Apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan

pekerjannya serta keterangan mengenai istri/suami dan anaknya yang masihmenjadi tanggungannya;

b. Apabila badan hukum: nama, tempat kedudukan, akta atau peraturanpendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yangberlaku

Page 270: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

244

- 11 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik:a. Dasar penguasaan atau alas haknya dapat berupa sertifikat, girik, surat kapling,

surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanahyang telah dibeli dari pemerintah, putusan pengadilan, akta PPAT, aktapelepasan hak, dan surat-surat bukti perolehan tanah lainnya;

b. Letak, batas-batas dan luasnya (jika ada Surat Ukur atau Gambar Situasisebutkan tanggal dan nomornya);

c. Jenis tanah (pertanian, non pertanian);d. Rencana penggunaan tanah;e. Status tanahnya (tanah hak atau tanah negara);

3. Lain-lain :a. Keterangan mengenai jumlah bidang, luas, dan status tanah-tanah yang dimiliki

oleh pemohon, termasuk bidang tanah yang dimohon;b. Keterangan lain yang dianggap perlu.

Pasal 34

Permohonan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dilampiridengan:

2. Non fasilitas Penanaman Modal:a. Mengenai pemohon:

1 Jika perorangan: foto copy surat bukjti identitas, surat bukti kewarganegaraanRepublik Indonesia;

2 Jika badan hukum : foto copy akta atau peraturan pendiriannya dan salinansurat keputusan penunjukannya sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku.

b. Mengenai tanahnya:1. Data yuridis: sertipikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak dan

pelunasan tanah dan rumah dan atau tanah yang telah dibeli dari Pemerintah,PPAT, akta pelepasan hak, putusan pengadilan, dan surat-surat buktiperolehan tanah lainnya;

2. Data fisik: surat ukur, gambar situasi dan IMB, apabila ada.3. Surat lain yang dianggap perlu.

c. Surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanahyang telah dimiliki oleh pemohon termasuk bidang tanah yang dimohon, sesuaicontoh lampiran 3.

2. Fasilitas Penanaman Modal:a. Foto copy identitas permohonan atau akta pendirian perusahaan yang telah

memperoleh pengesahan dan telah didaftarkan sebagai badan hukum;b. Rencana pengusahaan tanah jangka pendek dan jangka panjang.c. Izin lokasi atau surat izin penunjukan penggunaan tanah atau surat izin pencadangan

tanah sesuai dengan Rencana tata ruang Wilayah;d. Bukti pemilikan dan atau bukti perolehan tanah berupa pelepasan kawasan hutan

dari instansi yang berwenang, akta pelepasan bekas tanah milik adat atausurat-surat bukti perolehan tanah lainnya;

e. Persetujuan penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau Penanaman Modal Asing(PMA) atau surat persetujuan dari Presiden bagi Penanaman Modal Asing tertentuatau surat persetujuan prinsip dari Departemen Teknis bagi non Penanaman ModalDalam Negeri atau Penanaman Modal Asing;

f. Surat ukur apabila ada.

Paragraf 2Tata Cara Pemberian Hak Guna Bangunan

Pasal 35

Permohonan Hak Guna Bagunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1), diajukankepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letaktanah yang bersangkutan.

Page 271: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

245

- 12 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

Pasal 36

Setelah berkas pemohon diterima, Kepala Kantor Pertanahan:1. memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik.2. mencatat pada formulir isian sesuai contoh Lampiran 4.3. memberitahukan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian sesuai contoh

Lampiran 5. Memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya untukmenyelesaikan permohonan tersebut dengan rinciannya sesuai ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku, sesuai contoh Lampiran 6.

Pasal 37

(1) Kepala Kantor Pertanahan meneliti keleengkapan dan kebenaran data yuridis dan datafisik permohonan Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1)dan memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan ataudiproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yangberlaku.

(2) Dalam hal tanah yang dimohon belum ada surat ukurnya, Kepala Kantor Pertanahanmemerintahkan Kepala Seksi Pengukuran Dan Pendaftaran Tanah untukmempersiapkan surat ukur atau melakukan pengukuran.

(3) Selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada:a. Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau petugas yang ditunjuk untuk memeriksa

permohonan hak terhadap tanah yang sudah terdaftar, peningkatan, perpanjanganatau pembaharuan hak atas tanah dan terhadap tanah yang data yuridis atau datafisiknya telah cukup untuk mengambil keputusan yang dituangkan dalam RisalahPemeriksaan Tanah (kojnstatering rapport), sesuai contoh Lampiran 7; atau

b. Tim Penelitian Tanah untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang belumterdaftar yang dituangkan dalam Berita Acara, sesuai contoh Lampiran 8; atau

c. Panitia Pemeriksa Tanah A untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah selainyang diperiksa sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, yang dituangkandalam Risalah Pemeriksaan Tanah sesuai contoh Lampiran 9.

(4) Dalam hal data yuridis dan data fisik belum lengkap Kepala Knator Pertanahanmemberitahukan kepada pemohon untuk melengkapinya.

(5) Dalam hal keputusan pemberian Hak Guna Bangunan telah dilimpahkan kepada KepalaKantor Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), setelahmempertimbangkan pendapat Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau Pejabat yang ditunjukatau Tim Penelitian Tanah atau Panitia Pemeriksa Tanah A, sebagaimana dimaksudpada ayat (3), Kepala Kantor Pertanahan menerbitkan keputusan pemberian hak GunaBangunan atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai denganalasan penolakannya.

(6) Dalam hal keputusan pemberian Hak Guna Bangunan tidak dilimpahkan kepada KepalaKantor Pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Kepala KantorPertanahan yang bersangkutan menyampaikan berkas permohonan tersebut kepadaKepala Kantor Wilayah, disertai pendapat dan pertimbangannya, sesuai contohLampiran 10.

Pasal 38

(1) Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangansebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6), Kepala Kantor Wilayah memerintahkankepada Kepala Bidang Hak-hak Atas Tanah untuk:1. Mencatat dalm formulir isian sesuai contoh Lampiran 11.2. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum

lengkap segera meminta Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan untukmelengkapinya.

(2) Kepala Kantor Wilayah meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisikatas tanah yang dimohon beserta pendapat dan pertimbangan Kepala KantorPertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (6) dan memeriksa kelayakan

Page 272: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

246

- 13 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

permohonan Hak Guna Banguna tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan atau diproseslebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Dalam hal keputusan pemberian Hak Guna Bangunan telah dilimpahkan kepada KepalaKantor Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), setelahmempertimbangkan pendapat Kepala Kantor Pertanahan sebagaimana dimaksud Pasal37 ayat (6), Kepala Kantor Wilayah menerbitkan keputusan pemberian Hak GunaBangunan atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai denganalasan penolakannya.

(4) Dalam hal keputusan pemberian Hak Guna Bangunan tidak dilimpahkan kepada KepalaKantor Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Kepala Kantor Wilayahmenyampaikan berkas permohonan dimaksud kepada Menteri disertai pendapat danpertimbangannya. Sesuai contoh Lampiran 12.

Pasal 39

(1) Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangansebagaimana dimaksud dalam 38 ayat (4), Menteri memerintahkan kepada Pejabat yangditunjuk untuk:1. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 13.2. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum

lengkap segera meminta Kepala Kantor Wilayah yang bersangkutan untukmelengkapinya.

(2) Menteri meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik atas tanah yangdimohon dengan mempertimbangkan pendapat dan Pertimbangan Kepala KantorWilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) dan selanjutnya memeriksakelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Setelah mempertimbangkan pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Wilayahsebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4), Menteri menerbitkan keputusanpemberian Hak Guna Bangunan atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakanyang disertai dengan alasan penolakannya.

Paragraf 3Tata Cara Perpanjangan Jangka waktu Dan Pembaharuan Hak Guna Bangunan

Pasal 40

Hak Guna Bangunan dapat diperpanjang jangka waktunya atau diperbaharui haknya.

Pasal 41

Permohonan perpanjangangan jangka waktu Hak Guna Bangunan diajukan oleh pemeganghak dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu hak tersebut.

Pasal 42

Sesudah jangka waktu Hak Guna Bangunan atau perpanjangannya berakhir kepadapemegang hak dapat diberikan pembaharuan Hak Guna Bangunan diatas tanah yang sama.

Pasal 43

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 sampai dengan Pasal 39 berlaku mutatismutandis untuk permohonan perpanjangan jangka waktu dan pembaharuan Hak GunaBangunan.

Page 273: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

247

- 14 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

Pasal 44

(1) Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan yang tanahnyadipergunakan untuk bangunan rumah tinggal dikabulkan oleh pejabat yang berwenangapabila:a. Tanah tersebut masih dipergunakan untuk rumah tinggal sesuai dengan maksud

pemberian hak yang bersangkutan atau telah dipergunakan pemegang hak untukkeperluan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah untuk kawasan yangbersangkutan.

b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak.c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Guna Bangunan.

(2) Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan yang tanahnyadipergunakan untuk keperluan lain daripada untuk bangunan tempat tinggal dikabulkanoleh pejabat yang berwenang apabila:a. Tanah yang bersangkutan dipergunakan sesuai dengan Rencana Tata Ruang

Wilayah yang berlaku pada saat permohonan perpanjangan, atau masihdipergunakan sesuai dengan maksud pemberian hak tersebut atau Rencana Tataruang Wilayah yang berlaku sebelum saat permohonan perpanjangan, akan tetapipemegang hak sanggup untuk menyesuaikan penggunaan tanah tersebut denganRencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku;

b. Syarat-syarat pemberian hak masih dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak.c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Guna Bangunan.

Pasal 45

Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan dikabulkan oleh pejabatyang berwenang apabila kepada pemohon telah diberikan persetujuan untuk perpanjanganhak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 40Tahun 1996 dan pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak yangbersangkutan

Pasal 46

(1) Keputusan mengenai penolakan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunansebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, memuat penetapan mengenai penguasaantanah yang bersangkutan dan bangunan serta benda lain yang ada diatas tanahtersebut.

(2) Kecuali apabila ditentukan lain di dalam keputusan mengenai penolakan perpanjanganjangka waktu Hak Guna Bangunan, bekas pemegang hak wajib tetap menjaga tanahyang bersangkutan sebelum ditetapkan penerima hak atau pengguna tanah berikutnyadan kepadanya diperintahkan untuk menyerahkan tanah tersebut kepada penerima hakatau pengguna tanah berikutnya.

(3) Dalam hal penolakan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 43 tidak berdasarkan alasan diterlantarkannya tanah yangbersangkutan, kepada bekas pemegang hak atas tanah diberikan penggantian berupauang untuk penyerahan tanah yang bersangkutan dan bangunan diatasnya.

(4) Apabila bangunan dan benda-benda lain yang ada diatas tanah tersebut menurutkeputusan penolakan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan sebagaimanadimaksud pada ayat (1) tidak dibongkar, kepada bekas pemegang hak diberikan gantirugi berupa uang untuk bangunan atau benda terbut.

(5) Penggantian dan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) dibebankankepada penerima hak atau pengguna tanah berikutnya, atau dalam hal tanah bekas HakGuna Bangunan tersebut diperuntukan bagi kepentingan umum penggantian atau gantirugi termaksud dibebankan kepada instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah yangbersangkutan.

(6) Jumlah penggantian dan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditentukanberdasarkan kesepakatan antara bekas pemegang hak dengan penerima hak ataupengguna tanah berikutnya.

Page 274: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

248

- 15 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

(7) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak tercapai jumlahpenggantian dan ganti rugi tersebut ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkanhasil penaksiran yang dilakukan oleh panitia penaksir yang dibentuk olehnya.

Pasal 47

(1) Keputusan mengenai perpanjangan jangka waktu Hak Guna Bangunan mulai berlakusejak berakhirnya hak yang bersangkutan.

(2) Pembaharuan Hak Guna Bangunan mulai berlaku sejak didaftarkannya keputusanPemberian Hak Guna Usaha di Kantor Pertanahan.

Pasal 48

Keputusan pemberian, perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Bangunan ataukeputusan penolakan pemberian, perpanjangan, atau pembaharuan Hak Guna Bangunansebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (5), Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 39 ayat (3)dan Pasal 43 disampaikan kepada pemohon melalui surat tercatat atau dengan cara lainyang menjamin sampainya keputusan tersebut kepada yang berhak.

Bagian KelimaPemberian Hak Pakai

Paragraf 1Syarat-syarat Permohonan Hak Pakai

Pasal 49

Hak Pakai dapat diberikan kepada:a. Warga Negara Indonesiab. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia.c. Instansi Pemerintahd. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia.e. Badan Hukumasing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Pasal 50

(1) Permohonan Hak Pakai diajukan secara tertulis.(2) Permohonan Hak Pakai sebagaimana dimaksud oada ayat (1) memuat:

1. Keterangan mengenai pemohon:a. Apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan

pekerjannya serta keterangan mengenai istri/suami dan anaknya yang masihmenjadi tanggungannya ;

b. Apabila badan hukum: nama, tempat kedudukan, akta atau peraturanpendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yangberlaku

2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik:a. Dasar penguasaan atau alas haknya berupa sertipikat, girik, surat kapling,

surat-surat bukti pelepasan hak dan pelunasan tanah dan rumah dan atau tanahyang telah dibeli dari pemerintah, putusan pengadilan, akta PPAT, aktapelepasan hak dan surat-surat bukti pelepasan lainnya;

b. Letak, batas-batas dan luasnya (jika ada Surat Ukur atau Gambar Situasisebukan tanggal dan nomornya);

c. Jenis usaha (pertanian, perikanan atau peternakan);d. Rencana penggunaan tanah;e. Status tanahmya (tanah hak atau tanah negara)

3. Lain-lain:

Page 275: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

249

- 16 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

a. Keterangan mengenai jumlah bidang, luas, dan status tanah-tanah yang dimilikioleh pemohon, termasuk bidang tanah yang dimohon;

b. Keterangan lain yang dianggap perlu.

Pasal 51

(1) Permohonan Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dilampiridengan:1. Hak Pakai dengan jangka waktu:

a. Mengenai Pemohon:1) jika perorangan: foto copy surat bukti identitas, surat bukti

kewarganegaraan dan keterangan domisili;2) jika badan hukum: foto copy akta atau peraturan pendiriannya sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.b. Mengenai tanahnya:

1) Data yuridis: sertifikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hakdan pelunasan tanah yang telah dibeli dari pemerintah; akta PPAT, aktapelepasan hak, putusan pengadilan, dan surat bukti perolehan tanah lainnya;

2) Data fisik: Suarat Ukur, Gambar Situasi apabila ada;3) Surat lain yang dianggap perlu.

c. Surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang, luas dan statustanah-tanah yang telah dimiliki termasuk bidang tanah yang dimohon sesuaiLampiran 3.

2. Hak Pakai selama dipergunakan:a. Mengenai Pemohon:

jika pemohon instansi pemerintah atau Badan hukum Indonesia: foto copy aktaatau peraturan pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku.jika pemohon Badan Hukum asing: foto copy surat persetujuan bidang usahadari instansi terkait;jika pemohon Kedutaan Asing: foto copy surat rekomendasi dari DepartemenLuar Negeri.

b. Mengenai tanahnya:1) Data yuridis: sertifikat, girik, surat kapling, surat-surat bukti pelepasan hak

dan pelunasan tanah yang telah dibeli dari pemerintah; akta PPAT, aktapelepasan hak, putusan pengadilan, dan surat bukti perolehan tanah lainnya;

2) Data fisik: Suarat Ukur, Gambar Situasi apabila ada;3) Surat lain yang dianggap perlu.

(2) Dalam hal pemohon Hak Pakai orang asing, juga dipersyaratkan :a. Bagi orang asing penetap: foto copy surat izin tanggal tetap;b. Bagi orang asing lainnya: foto copy surat izin kunjungan atau izin keimigrasian

lainnya yang dimiliki oleh orang asing yang bersangkutan.(3) Dalam hal pemohon Instansi Pemerintah namun bukti perolehan tanahnya tidak dapat

diketemukan, dilengkapi dengan surat pernyataan yang menyebutkan bahwa secara fisiktanahnya dikuasai, tanah tersebut sudah tercatat dalam daftar inventaris dan tidak adapermasalahan atau sengketa dengan pihak lain.

Paragraf 2Tata Cara Pemberian Hak Pakai

Pasal 52

Permohonan Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1). Diajukan kepadaMenteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yangbersangkutan.

Page 276: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

250

- 17 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

Pasal 53

Selah berkas permohonan diterima, Kepala Kantor Petanahan:1. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik.2. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lmpiran 4.3. Memberikan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian contoh Lmpiran 5.4. Memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya yang diperlukan untuk

menyelesaikan permohonan tersebut dengan rinciannya sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan yang berlaku, sesuai contoh Lampiran 6.

Pasal 54

(1) Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan datafisik permohonan Hak Pakai atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1)dan memeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan ataudiproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yangberlaku.

(2) Dalam hal tanah yang dimohon belum ada surat ukurnya, Kepala Kantor Pertanahanmemerintahkan kepada Kepala Seksi Pengukuran Dan Pendaftaran Tanah untukmelakukan pengukuran.

(3) Selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada:a. Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau petugas yang ditunjuk untuk memeriksa

permohonan hak terhadap tanah yang sudah terdaftar, peningkatan, perpanjanganatau pembaharuan hak atas tanah dan terhadap tanah yang data yuridis dan datafisiknya telah cukup untuk mengambil keputusan yang dituangkan dalam RisalahPemeriksaan Tanah (konstatering Rapport), sesuai contoh Lampiran 7.

b. Tim Penelitian Tanah untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang belumterdaftar yang dituangkan dalam berita acara, sesuai contoh Lampiran 8.

c. Panitia Pemeriksa Tanah A untuk memeriksa permohonan hak selain yang diperiksasebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, yang dituangkan dalam RisalahPemeriksaan Tanah sesuai contoh Lampiran 9.

(4) Dalam hal data yuridis dan data fisik belum lengkap Kepala Kantor Pertanahanmemberitahukan kepada pemohon untuk melengkapinya.

(5) Dalam hal keputusan pemberian Hak Milik telah dilimpahkan kepada Kepala KantorPertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), setelah mempertimbangkanpendapat Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau Pejabat yang ditunjuk atau Tim PenelitianTanah atau Panitia Pemeriksaan Tanah A, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), KepalaKantor Pertanahan menerbitkan keputusan pemberian Hak Pakai atas tanah yangdimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan alasan penolakannya.

(6) Dalam hal keputusan pemberian Hak Pakai tidak dilimpahkan kepada Kepala KantorPertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) Kepala Kantor Pertanahanyang bersangkutan menyampaikan berkas permohonan tersebut kepada Kepala KantorWilayah, disertai pendapat dan pertimbangannya, sesuai contoh Lampiran 10.

Pasal 55

(1) Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangansebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (6), Kepala Kantor Wilayah memerintahkankepada Kepala Bidang Hak-hak Atas Tanah untuk:1. Mencatat dalm formulir isian sesuai contoh Lampiran 11.2. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum

lengkap segera meminta Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan untukmelengkapinya.

(2) Kepala Kantor Wilayah meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisikatas tanah yang dimohon beserta pendapat dan pertimbangan Kepala KantorPertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (6) dan memeriksa kelayakanpermohonan Hak Pakai tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan atau diproses lebihlanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Page 277: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

251

- 18 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

(3) Dalam hal keputusan pemberian Hak Pakai telah dilimpahkan kepada Kepala KantorWilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), setelah mempertimbangkanpendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan sebagaimana dimaksud dalamPasal 54 ayat (6), Kepala Kantor Wilayah menerbitkan keputusan pemberian Hak Pakaiatas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertai dengan alasanpenolakannya.

(4) Dalam hal keputusan pemberian Hak Pakai tidak dilimpahkan kepada Kepala KantorWilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Kepala Kantor Wilayahmenyampaikan berkas permohonan dimaksud kepada Menteri disertai pendapat danpertimbangannya. Sesuai contoh Lampiran 12.

Pasal 56

(1) Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangansebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (4), Menteri memrintahkan kepada Pejabatyang ditunjuk untuk:1. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 13.2. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum

lengkap segera meminta Kepala Kantor Wilayah yang bersangkutan untukmelengkapinya.

(2) Menteri meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik atas tanah yangdimohon dengan memperhatikan pendapat dan Pertimbangan Kepala Kantor Wilayahsebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (4) dan selanjutnya memeriksa kelayakanpermohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Setelah mempertimbangkan pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Wilayahsebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (4), Menteri menerbitkan keputusanpemberian Hak Pakai atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yang disertaidengan alasan penolakannya.

Paragraf 3Tata Cara Perpanjangan Jangka waktu Dan Pembaharuan Hak Pakai

Pasal 57

Hak Guna Pakai dapat diperpanjang jangka waktunya atau diperbaharui haknya.

Pasal 58

Permohonan perpanjangangan jangka waktu Hak Pakai diajukan oleh pemegang hak dalamtenggang waktu 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya jangka waktu hak tersebut.

Pasal 59

Sesudah jangka waktu Hak Pakai atau perpanjangannya berakhir kepada pemegang hakdapat diberikan pembaharuan Hak Pakai diatas tanah yang sama.

Pasal 60

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 56 berlaku mutatismutandis untuk permohonan perpanjangan jangka waktu dan pembaharuan Hak Pakai.

Page 278: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

252

- 19 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

Pasal 61

(1) Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Pakai yang tanahnya dipergunakan untukbangunan rumah tinggal dikabulkan oleh pejabat yang berwenang apabila:a. Tanah tersebut masih dipergunakan untuk rumah tinggal sesuai dengan maksud

pemberian hak yang bersangkutan atau telah dipergunakan pemegang hak untukkeperluan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah untuk kawasan yangbersangkutan;

b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Pakai.

(2) Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Pakai yang tanahnya dipergunakan untukkeperluan lain dari pada untuk bangunan tempat tinggal dikabulkan oleh pejabat yangberwenang apabila:a. tanah yang bersangkutan dipergunakan sesuai dengan Rencana Tata Ruang

Wilayah yang berlaku pada saat permohonan perpanjangan, atau masihdipergunakan sesuai dengan maksud pemberian hak tersebut atau Rencana Tataruang Wilayah yang berlaku sebelum saat permohonan perpanjangan, akan tetapipemegang hak sanggup untuk menyesuaikan penggunaan tanah tersebut denganRencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku;

b. Syarat-syarat pemberian hak masih dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang Hak Pakai.

Pasal 62

Permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Pakai dikabulkan oleh pejabat yangberwenang apabila kepada pemohon telah diberikan persetujuan untuk perpanjangan haksebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun1996 dan pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak yangbersangkutan

Pasal 63

(1) Keputusan mengenai penolakan perpanjangan jangka waktu Hak Pakai sebagaimanadimaksud dalam Pasal 60, memuat penetapan mengenai penguasaan tanah yangbersangkutan dan bangunan serta benda lain yang ada diatas tanah tersebut.

(2) Kecuali apabila ditentukan lain di dalam keputusan mengenai penolakan perpanjanganjangka waktu Hak Pakai, bekas pemegang hak wajib tetap menjaga tanah yangbersangkutan sebelum ditetapkan penerima hak atau pengguna tanah berikutnya dankepadanya diperintahkan untuk menyerahkan tanah tersebut kepada penerima hak ataupengguna tanah berikutnya.

(3) Dalam hal penolakan perpanjangan jangka waktu Hak Pakai sebagaimana dimaksuddalam Pasal 60 tidak berdasarkan alasan diterlantarkannya tanah yang bersangkutan,kepada bekas pemegang hak atas tanah diberikan penggantian berupa uang untukpenyerahan tanah yang bersangkutan dan bangunan diatasnya.

(4) Apabila bangunan dan benda-benda lain yang ada diatas tanah tersebut menurutkeputusan penolakan perpanjangan jangka waktu Hak Pakai sebagaimana dimaksudpada ayat (1) tidak dibongkar, kepada bekas pemegang hak diberikan ganti rugi berupauang untuk bangunan atau benda tersebut.

(5) Penggantian dan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) dibebankankepada penerima hak atau pengguna tanah berikutnya, atau dalam hal tanah bekas Hakpakai tersebut diperuntukan bagi kepentingan umum penggantian atau ganti rugitermaksud dibebankan kepada instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah yangbersangkutan.

(6) Jumlah penggantian dan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditentukanberdasarkan kesepakatan antara bekas pemegang hak dengan penerima hak ataupengguna tanah berikutnya.

(7) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak tercapai jumlahpenggantian dan ganti rugi tersebut ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkanhasil penaksiran yang dilakukan oleh panitia penaksir yang dibentuk olehnya.

Page 279: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

253

- 20 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

Pasal 64

(1) Keputusan mengenai perpanjangan jangka waktu Hak Pakai mulai berlaku sejakberakhirnya hak yang bersangkutan.

(2) Pembaharuan Pakai mulai berlaku sejak didaftarkannya keputusan Pemberian HakGuna Usaha di Kantor Pertanahan.

Pasal 65

Keputusan pemberian, perpanjangan atau pembaharuan Hak Pakai atau keputusanpenolakan pemberian, perpanjangan, atau pembaharuan Hak Pakai sebagaimana dimaksuddalam Pasal 54 ayat (5), Pasal 55 ayat (3) dan Pasal 56 ayat (3) dan Pasal 60 disampaikankepada pemohon melalui surat tercatat atau dengan cara lain yang menjamin sampainyakeputusan tersebut kepada yang berhak.

Pasal 66

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 sampai dengan Pasal 65, tidak berlakubagi Hak Pakai selama dipergunakan.

BAB IIITATA CARA PEMBERIAN HAK PENGELOLAAN

Bagian KesatuSyarat-syarat Permohonan Hak Pengelolaan

Pasal 67

(1) Hak Pengelolan dapat diberikan kepada :a. Instansi Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah;b. Badan Usaha Milik Negara;c. Badan Usaha Milik Daerah;d. PT. Persero;e. Badan Otorita;f. Badan-badan hukum Pemerintah lainnya yang ditunjuk pemerintah.

(2) Badan-badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan HakPengelolaan sepanjang sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya berkaitan denganpengelolan tanah.

Pasal 68

(2) Permohonan Hak Pengelolaan diajukan secara tertulis.(3) Permohonan Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:

1. Keterangan mengenai pemohon:Nama badan hukum, tempat kedudukan, akta atau peraturan pendiriannya sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yurisis dan data fisik:a. Bukti pemilikan dan bukti perolehan tanah berupa sertpikat, penunjukan atau

penyerahan dari pemerintah, pelepasan kawasan hutan dari instansi yangberwenang, akta pelepasan bekas tanah milik adat atau bukti perolehan tanahlainnya;

b. Letak, batas-batas dan luasnya (jika ada Surat Ukur atau Gambar Situasisebutkan tanggal dan nomornya);

c. Jenis tanah (pertanian/non pertanian);d. Rencana penggunaan tanah;e. Status tanahnya (tanah hak atau tanah negara);

3. Lain-lain:a. Keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah- tanah yang dimiliki

oleh pemohon, ternasuk bidang tanah yang dimohon;b. Keterangan lain yang dianggap perlu.

Page 280: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

254

- 21 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

Pasal 69

Permohonan Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) dilampiridengan:a. Foto copy identitas permohonan atau surat keputusan pembentukannya atau akta

pendirian perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;b. Rencana pengusahaan tanah jangka pendek dan jangka panjang;c. Izin lokasi atau surat izin penunjukan penggunaan tanah atau surat izin pencadangan

tanah sesuai dengan Rencana tata ruang Wilayah;d. Bukti pemilikan dan atau bukti perolehan tanah berupa sertifikat, penunjukan atau

penyerahan dari pemerintah pelepasan kawasan hutan dari instansi yang berwenang,akta pelepasan bekas tanah milik adat atau surat-surat bukti perolehan tanah lainnya;

e. Surat persetujuan atau rekomendasi dari instansi terkait apabila diperlukan;f. Surat ukur apabila ada.g. Surat pernyataan atau bukti bahwa seluruh modalnya dimiliki oleh pemerintah.

Bagian KeduaTata Cara Pemberian Hak Pengelolaan

Pasal 70

Permohonan Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) diajukankepada Menteri melalui Kepala Kantor wilayah Pertanahan yang daerah kerjanya meliputiletak tanah yang bersangkutan.

Pasal 71

Setelah berkas permohonan diterima, Kepala Kantor Pertanahan :1. memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik.2. mencatat pada formulir isian sesuai contoh Lampiran 4.3. memberikan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian sesuai contoh

lLampiran 5.4. memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya-biaya yang diperlukan untuk

menyelesaikan permohonan tersebut dengan rinciannya sesuai ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku. Sesuai contoh Lampiran 6.

Pasal 72

(1) Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan datafisik permohonan Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) danmemeriksa kelayakan permohonan tersebut untuk diproses lebih lanjut sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Dalam hal tanah yang dimohon belum ada surat ukurnya. Kepala Kantor Pertanahanmemrintahkan kepada kepala Seksi Pengukuran Dan Pendaftaran Tanah untukmempersiapkan surat ukur atau melakukan pengukuran.

(3) Selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada:a. Kepala Seksi Hak Atas Tanah atau petugas yang ditunjuk untuk memeriksa

permohonan hak terhadap tanah yang sudah terdaftar, sepanjang data yuridis dandata fisiknya telah cukup untuk mengambil keputusan yang dituangkan dalam RisalahPemeriksaan Tanah (konstatering Rapport), sesuai contoh Lampiran 7; atau

b. Tim Penelitian Tanah untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah yang belumterdaftar yang dituangkan dalam berita acara, sesuai contoh Lampiran 8; atau

c. Panitia Pemeriksa Tanah A untuk memeriksa permohonan hak terhadap tanah selainyang diperiksa sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b, yang dituangkandalam Risalah Pemeriksaan Tanah sesuai contoh Lampiran 9.

Page 281: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

255

- 22 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

(4) Dalam hal data yuridis dan data fisik belum lengkap Kepala Kantor Pertanahanmemberitahukan kepada pemohon untuk melengkapinya.

(5) Setelah permohonan telah memenuhi syarat. Kepala Kantor Pertanahan yangbersangkutan menyampaikan berkas permohonan tersebut kepada Kepala KantorWilayah disertai pendapat dan pertimbangannya, sesuai contoh Lampiran 10.

Pasal 73

(1) Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangansebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (5), Kepala Kantor Wilayah memerintahkankepada Kepala Bidang Hak-hak Atas Tanah untuk:1. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 11.2. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum

lengkap segera meminta Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan untukmelengkapinya.

(2) Kepala Kantor Wilayah meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisikatas tanah yang dimohon beserta pendapat dan pertimbangan Kepala KantorPertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (5) dan memeriksa kelayakanpermohonan Hak Pengelolaan tersebut untuk diproses lebih lanjut sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Setelah permohonan telah memenuhi syarat. Kepala Kantor Wilayah yang bersangkutanmenyampaikan berkas permohonan tersebut kepada Menteri disertai pendapat danpertimbangannya. Sesuai contoh Lampiran 12.

Pasal 74

(1) Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangansebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1), Menteri memerintahkan kepadaPejabat yang ditunjuk untuk:1. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 13.2. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum

lengkap segera meminta Kepala Kantor Wilayah yang bersangkutan untukmelengkapinya.

(2) Menteri meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik atas tanah yangdimohon dengan memperhatikan pendapat dan Pertimbangan Kepala Kantor Wilayahsebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (3) dan selanjutnya memeriksa kelayakanpermohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Setelah mempertimbangkan pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Wilayahsebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (3), Menteri menerbitkan keputusanpemberian Hak Pengelolaan atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yangdisertai dengan alasan penolakannya.

Pasal 75

Keputusan pemberian atau penolakan pemberian Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 74 ayat (3) disampaikan kepada pemohon melalui surat tercatat atau dengancara lain yang menjamin sesampainya keputusan tersebut kepada yang berhak.

BAB IVTATA CARA PEMBERIAN HAK ATAS TANAH SECARA UMUM

Bagian KesatuUmum

Page 282: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

256

- 23 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

Pasal 76

(1) pemberian hak secara umum ditetapkan oleh Menteri.(2) Pemberian hak secara umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan

pemberian hak atas sebidang tanah yang memenuhi kriteria tertentu kepada penerimahak yang memenuhi kriteria tertentu yang dilakukan dengan satu penetapan pemberianhak.

Bagian KaduaSyarat Dan Tata Cara Pemberian Hak Secara Umum

Paragraf 1Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal

Pasal 77

Hak Milik atas tanah umtuk rumah tinggal diberikan kepada Warga Negara Indonesia untukHak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dipergunakan untuk rumah tinggal baik yangmesih berlaku maupun yang sudah berakhir jangka waktunya.

Pasal 78

Permohonan Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal diajukan secara tertulis kepadaKepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutansesuai contoh Lampiran 17.

Pasal 79

Permohonan Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 memuat :1. keterangan mengenai oemohon : nama, tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal dan

keterangan mengenai bidang-bidang tanah yang telah dipunyai.2. keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik: sertipikat, letak,

batas-batas dan luasnya (sebutkan tanggal dan nomor surat ukurnya).3. keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang dimiliki termasuk

bidang tanah yang dimohon.

Pasal 80

Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dilampiri dengan :a. bukti identitas pemohon;b. sertipikat tanah yang bersangkutan;c. bukti penggunaan tanah untuk rumah tinggal berupa:

1) foto copy ijin Mendirikan Bangunan yang mencamtumkan bahwa bangunan tersebutdigunakan untuk rumah tinggal, atau

2) surat keterangan dari Kepala Desa/Kelurahansetempat bahwa bangunan tersebutdigunakan untuk rumah tinggal, apabila Izin mendirikan Bangunan tersebut belumdikeluarkan oleh instansi yang berwenang;

3) foto copy SPPT PBB tahun berjalan atau terakhir;4) surat pernyataan dari pemohon mengenai jumlah bidang, luas dan status

tanah-tanah yang dimiliki termasuk bidang tanah yang dimohon, sesuai dengancontoh Lampiran 3.

Pasal 81

Setelah berkas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 diterima, KepalaKantor Pertanahan :1. memeriksa dan meneliti kelengkapan permohonan;2. mencatat pada formulir isian sesuai contoh Lampiran 18.

Page 283: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

257

- 24 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

3. memberikan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian sesuai contohLampiran 19.

Pasal 82

Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelengkapan dan kebenaran berkas permohonan HakMilik atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dan memeriksa kelayakanpermohonan tersebut dapt atau tidaknya dikabulkan sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku.

Pasal 83

(1) Dalam hal hasil penelitian dan pemeriksaan berkas permohonan telah cukup untukmengambil keputusan, apabila tanahnya melebihi luas yang tidak terkena uangpemasukan sesuai ketentuan peraturan peundang-undangan yang berlaku, kepalaKantor Pertanahan mengeluarkan surat pemberitahuan penetapan uang pemasukankepada Negara sesuai contoh Lampiran 20.

(2) Setelah uang pemasukan dan biaya pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud padaayat (1) dilunasi, Kepala Kantor Pertanahan:a. Menegaskan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atau bekas Hak Guna Bangunan

atau bekas Hak Pakai tersebut menjadi tanah Negara serta mendaftar danmencatatnya dalam buku tanah, sertipikat dan daftar umum lainnya.

b. Selanjutnya memberikan dan mendaftarnya menjadi Hak Milik serta mencatatnyadalam buku tanah, seripikat dan daftar umum lainnya;

c. Dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b,harus mencantumkan keputusan pemberian hak secara umum sebagai dasarpemberian haknya;

d. Menerbitkan seripikat Hak Milik.

Paragraf 2Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal Yang Telah Dibeli

Oleh Pegawai Negeri Dari Pemerintah

Pasal 84

Hak Milik atas tanah untuk rumah tinggal dapat diberikan kepada Pegawai negeri, untukrumah dan tanah yang dimaksudklan untuk rumah tinggal yang telah dibeli dan dibayarlunas oleh Pegawai Negeri dan Pemerintah.

Pasal 85

Pemohon Hak Milik atas rumah dan tanah untuk rumah tinggal atau tanah yangdimaksudkan untkuk rumah tinggal atau tanah yang dimaksudkan untuk rumah tinggaldiajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputiletak tanah yang bersangkutan sesuai contoh Lampiran 21.

Pasal 86

Permohonan Hak Milik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 memuat :1. keterangan mengenai oemohon : nama, tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal dan

keterangan mengenai bidang-bidang tanah yang telah dipunyai.2. keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik:

a. sertipikat;b. dasar penguasaannya atau perolehan rumah dan tanah atau tanah yang

dimaksudkan untuk rumah tinggal;c. letak, batas-batas dan luasnya (jika ada surat ukur atau gambar situasinya sebutkan

tanggal dan nomor surat ukurnya);d. Keterangan lain yang dianggap perlu.

Page 284: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

258

- 25 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

Pasal 87

Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 dilampiri dengan :a. Untuk tanahnya yang diatasnya berdiri rumah Negara Golongan III:

1) bukti identitas pemohon;2) Sertipikat Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah yang bersangkutan;3) Surat tanda bukti pelunasan harga rumah dan tanah yang dikeluarkan oleh istansi

yang berwenang;4) Surat keputusan instansi yang berwenang bahwa rumah yang bersangkutan sudah

menjadi milik permohonan;5) Surat pelepasan hak atas tanah dari instansi yang bersangkutan kepada pemohon;6) Surat pernyataan dari pemohon mengenai jumlah bidang, luas dan status

tanah-tanah yang dimiliki termasuk bidang tanah yang dimohon, sesuai contohLampiran 3.

b. Untuk tanah lainnya1) Foto copy bukti identitas pemohon;2) Surat tanda bukti pelunasan harga tanah yang bersangkutan;3) Surat pelepasan hak atas tanah dari instansi yang bersangkutan kepada pemohon;4) Surat pernyataan dari pemohon megenai jumlah bidang, luas dan status tanah-

tanah yang dimiliki termasuk bidang tanah yang dimohon, sesuai contoh Lampiran 3;5) Bukti lain bahwa tanah tersebut adalah tanah yang dibeli oleh Pegawai Negerio yang

bersangkutan dari Pemerintah.

Pasal 88

Setelah berkas permohonan diterima, Kepala Kantor Pertanahan :1. memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik;2. mencatat pada formulir isian sesuai contoh Lampiran 22.3. memberikan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian sesuai contoh

Lampiran 23.4. memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapi data yuridis atau data fisik apabila

masih diperlukan.5. membertahukan kepada pemohon untuk membayar biaya yang diperlukan untuk

menyelesaikan permohonan tersebut dengan menyebut rinciannya sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sesuai contoh Lampiran 6.

Pasal 89

Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisikpermohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 dan memeriksa kelayakanpermohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku.

Pasal 90

(1) Dalam hal data yuridis dan data fisik belum lengkap Kepala Knator Pertanahanmemberitahukan kepada:a. Kepala Seksi Pengurusan Hak-Hak Atas Tanah untuk melengkapi data yuridis;b. Kepala Seksi Pengukuran Dan Pendaftaran Tanah untuk melengkapi data fisik.

(2) Setelah data yuridis dan data fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) lengkap, KepalaKantor Pertanahan:a. Menerbitkan Keputusan Konfirmasi Pemberian Hak Milik sesuai contoh Lampiran 24;b. Mendaftar Hak Milik tersebut dengan mencantumkan keputusan pemberian hak

secara umum sebagai dasar pemberian haknya jo.Keputusan Konfirmasi sebagaimana dimaksud pada hurf a:

c. Menerbitkan seripikat Hak Milik.

Page 285: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

259

- 26 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

Pasal 91

(1) Dalam hal bidang tanah yang dimohon telah terdaftar serta data yuridis dan data fisiknyabelum cukup untuk mengambil keputusan, Kepala Kantor Pertanahan memerintahkankepada :a. Kepala Seksi pengurusan Hak-Hak Atas Tanah untuk melengkapi data yuridis;b. Kepala Seksi Pengukuran dan Pendaftaran Tanah untuk melengkapi data fisik.

(2) Apabila pemohon tersebut telah memenuhi syarat, selanjutnya Kepala KantorPertanahan:a. Menegaskan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atau bekas Hak Guna Bangunan

atau bekas Hak Pakai tersebut menjadi tanah Negara serta mendaftar danmencatatnya dalam buku tanah, sertipikat dan daftar umum lainnya;

b. Selanjutnya memberikan dan mendaftarkannya menjadi Hak Milik serta mencatatnyadalam buku tanah, sertipikat dan daftar umum lainnya;

c. Dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b,harus mencantumkan keputusan pemberian hak secara umum sebagai dasarpemberian haknya;

d. Menerbitkan seripikat Hak Milik.

Pasal 92

(1) Dalam hal bidang tanah yang dimohon telah terdaftar serta data yuridis dan data fisiknyasudah lengkap. Kepala Kantor Pertanahan meneliti kebenaran berkas permohonan sertamemeriksa kelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Apabila berkas permohonan tersebut telah cukup untuk mengambil keputusan. Kepalakantor Pertanahan:a. Menegaskan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atau bekas Hak Guna Bangunan

atau bekas Hak Pakai tersebut menjadi tanah Negara serta mendaftar danmencatatnya dalam buku tanah, sertipikat dan daftar umum lainnya.

b. Selanjutnya memberikan dan mendaftarnya menjadi Hak Milik serta mencatatnyadalam buku tanah, seripikat dan daftar umum lainnya;

c. Dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b,harus mencantumkan keputusan pemberian hak secara umum sebagai dasarpemberian haknya;

d. Menerbitkan seripikat Hak Milik.

Paragraf 3Perubahan Hak Milik Menjadi Hak Guna Bangunan

Atau Hak Pakai Dan Hak Guna Bangunan Menjadi Hak Pakai

Pasal 93

Pemberian hak secara umum untuk perubahan hak atas tanah diberikan kepada:a. Warga Negara Indonesiab. Warga Negara Asing yang berkedudukan di Indonesia.c. Badan Hukum Indonesia.d. Badan Hukum Asing yang berkedudukan di Indonesia.

Pasal 94

(1) Permohonan perubahan hak diajukan secara tertulis.(2) Permohonan perubahan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat:

1. Keterangan mengenai pemohon:a. Apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan

pekerjaannya serta keterangan mengenai isteri/suami dan anaknya yang masihmenjadi tanggungannya;

Page 286: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

260

- 27 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

b. Apabila badan hukum: nama, tempat kedudukan, akta atau peraturanpendiriannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yangberlaku.

2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yurisis dan data fisik:a. Dasar penguasaan atau alas haknya berupa sertpikat, putusan pengadilan,akta

PPAT, akta pelepasan hak, danrisalah lelang;b. letak, batas-batas dan luasnya (sebutkan tanggal dan nomor Surat Ukur);c. Jenis tanah (pertanian/non pertanian)d. Rencana penggunaan tanah.

3. Lain-lain:a. Keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang dimiliki

oleh pemohon, ternasuk bidang tanah yang dimohon;b. Keterangan lain yang dianggap perlu.

Pasal 95

Permohonan perubahan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) dilampiridengan:1. Mengenai pemohon:

a. Jika perorangan: foto copy surat bukti identitas, surat bukti kewarganegaraan;b. Jika badan hukum : foto copy akta atau peraturan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.2. Mengenai tanahnya:

(1) Sertipikat Hak Milik dan Hak Guna Bangunan yang dimohon perubahan haknya, ataubukti pemilikan tanah yang bersangkutan dalam hal Hak Milik yang belum terdaftar;

(2) Kutipan Risalah tentang yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang apabila hakyang bersangkutan dimenangkann oleh badan hukum dalam suatu pelelanganumum;

(3) Surat persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan apabila hak atas tanah tersebutdibebani Hak Tanggungan;

(4) Akta PPAT, akta pelepasan hak, putusan pengadilan atau surat perolehan tanahlainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yangdimiliki termasuk bidang tanah yang dimohon sesuai Lampiran 3

Pasal 96

Permohonan perunahan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) diajukankepada Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yangbersangkutan, sesuai contoh Lampiran 25.

Pasal 97

Dalam hal hak atas tanah yang dimohon sudah terdaftar, setelah berkas permohonanditerima, Kepala Kantor Petanahan:1. Memeriksa dan meneliti kelengkapan berkas pemohonan;2. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 26.3. Memberikan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian contoh Lampiran 27.4. Memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya yang diperlukan untuk

menyelesaikan permohonan tersebut dengan rinciannya sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan yang berlaku, sesuai contoh Lampiran 28.

Pasal 98

(1) Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelengkapan dan kebenaran berkas permohonansebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) dan memeriksa kelayakan permohonantersebut dapat atau tidaknya dikabulkan atau sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku.

Page 287: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

261

- 28 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

(2) Setelah berkas permohonan telah cukup untuk mengambil keputusan, Kepala KantorPertanahan:a. menegaskan Hak Milik atau Hak Guna Bangunan tersebut menjadi tanah negara

serta mendaftar dan mencatatnya dalam buku tanah, sertipikat dan daftar umumlainnya;

b. selanjutnya memberikan dan mendaftarnya menjadi Hak Guna Bangunan atau HakPakai serta mencatatnya dalam buku tanah, seripikat dan daftar umum lainnya;

c. Dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b,harus mencantumkan keputusan pemberian hak secara umum sebagai dasarpemberian haknya;

d. Menerbitkan seripikat Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai.

Pasal 99

Untuk perubahan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Pakai sebagaimana dimaksud dalamPasal 98 ayat (2) pemohon wajib membiayai uang pemasukan kepada negara denganmemperhitungkan uang pemasukan yang sudah dibayar kepada Negara untuk memperolehHan Guna Bangunan yang bersangkutan.

Pasal 100

Dalam hal tanah yang dimohon belum terdaftar, setelah berkas permohonan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) diterima Kepala Kantor Pertanahan:1. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik;2. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 26.3. Memberikan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian contoh Lampiran 27.4. Memberitahukan kepada pemohon untuk membayar biaya yang diperlukan untuk

menyelesaikan permohonan tersebut dengan rinciannya sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan yang berlaku, sesuai contoh Lampiran 28.

Pasal 101

(1) Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan datafisik permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) dan memeriksakelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Dalam hal data yuridis dan data fisik telah lengkap serta telah cukup alasan untukdikabulkan. Kepala Kantor Pertanahan memerintahkan kepada para Kepala Seksi yangterkait untuk menyelesaikan proses pembuktian hak yang belum terdaftar tersebutsesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Sepanjang tidak ada pihak lain yang berkeberatan dan telah cukup untuk mengambilkeputusan, Kepala Kantor Pertanahan mendaftar Hak Milik atas tanah yang dimohonsesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Selanjutnya Kepala antor Pertanahan:a. Menegaskan Hak Milik tersebut menjadi tanah negaran sewrta mendaftar dan

mencatatnya dalam buku tanah, sertipikat dan daftar umum lainnya;b. Selanjutnya memberikan dan mendaftarnya menjadi Hak Guna Bangunan serta

mencatatnya dalam buku tanah, sertipikat dan daftar umum lainnya;c. Dalam melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b, harus

mencantumkan keputusan pemberian hak secara umum sebagai dasar pemberianhaknya;

d. Menerbitkan sertipikat Hak Guna Bangunan.

Page 288: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

262

- 29 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

Pasal 102

Dalam hal Hak Milik yang dimohon perubahan haknya dimenangkan oleh badan hukummelalui pelelangan umum, permohonan pendaftaran perubahan Hak Milik tersebut diajukanoleh badan hukum yang bersangkutan bersamaan dengan permohonan pendaftaranperalihan haknya dan kedua permohonan tersebut diselesaikan sekaligus dengan mendaftarperubahan hak tersebut terlebih dahulu dan kemudian mendaftar peralihan haknya, denganketentuan bahwa untuk Hak Milik yang belum terdaftar ketentuan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 100 dan Pasal 101 berlaku mutatis mutandis.

BAB VKEWAJIBAN PENERIMAAN HAK ATAS TANAH

Pasal 103

(1) Setiap penerimaan hak atas tanah harus memenuhi kewajiban sebagai berikut:a. Membayar Bea Perolehan Hak Atas Tanah (BPHTB) dan uang pemasukan kepada

Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;b. Memelihara tanda-tanda batas;c. Menggunakan tanah secara optimal;Mencegah kerusakan-kerusakan dan hilangnya kesuburan tanah;Menggunakan tanah sesuai kondisi lingkungan hidup;Kewajiban yang tercantum dalam seripikatnya.

d. Dalam hal penerimaan hak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat(1), Menteri dapat membatalkan haknya sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku.

BAB VITATA CARA PEMBATALAN HAK ATAS TANAH

Bagian KesatuUmum

Pasal 104

(1) Pembatalan hak atas tanah meliputi pembatalan keputusan pemberian hak, sertipikathak atas tanah keputusan pemberian hak dalam rangka pengaturan penguasaan tanah.

(2) Pembatalan hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan karenaterdapat cacat hukum administrasi dalam penerbitan keputusan pemberian dan/atausertipikat hak atas tanahnya atau melaksanakan putusan pengadilan yang telahmemperoleh kekuatan hukum tetap.

Pasal 105

(1) Pemberian hak atas tanah dilakukan dengan keputusan Menteri.(2) Pemberian hak hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri dapat

melimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayah atau pejabat yang ditunjuk.

Bagian KaduaPembatalan Hak Atas Tanah Karena Cacad Hukum Administratif

Pasal 106

(1) Keputusan pembatalan hak atas tanah karena cacad hukum administratif dalampenerbitannya, dapat dilakukan karena permohonan yang berkepentingan atau olehPejabat yang berwenang tanpa permohonan.

(2) Permohonan pembatalanhak dapat diajukan atau langsung kepada Menteri atau Pejabatyang ditunjuk atau melalui Kepala Kantor Pertanahan.

Page 289: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

263

- 30 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

Pasal 107

Cacad hukum administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) adalah:a. Kesalahan prosedur;b. Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan;c. Kesalahan subjek hak;d. Kesalahan objek hak;e. Kesalahan jenis hak;f. Kesalahan perhitungan luas;g. Terdapat tumpang tindis hak atas tanah;h. Data yuridis atau data fisik tidak benar; ataui. Kesalahan lainnya yang bersifat hukun administratif.

Paragraf 1Pembatalan Hak Atas Tanah Karena Cacad Hukum Administratif Yang Diterbidkan

Karena Pemohonan

Pasal 108

(1) Permohonan pembatalan hak atas tanah diajukan secara tertulis.(2) Permohonan pembatalan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:

1. Keterangan mengenai pemohon:a. Apabila perorangan: nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan

pekerjaannya;b. Apabila badan hukum: nama, tempat kedudukan, akta atau peraturan

pendiriannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yangberlaku.

2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yurisis dan data fisik:a. Nomor/jenis hak atas tanah;b. letak, batas-batas dan luasnya (jika ada Surat Ukur atau Gambar Situasi sebutkan

tanggal dan nomor Surat Ukur);c. Jenis tanah (pertanian/non pertanian).

3. Lain-lain:Alasan permohonan pembatalan;Keterangan lain yang dianggap perlu.

Pasal 109

Alasan pembatalan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) dilampiri dengan:1. Mengenai pemohon:

a. Jika perorangan: foto copy surat identitas, surat bukti kewarganegaraan;b. Jika badan hukum: foto copy akta atau peraturan pendiriannya sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.2. mengenai tanahnya Nomor/jenis hak atas tanah;

a. foto copy surat keputusan dan atau sertipikat;b. surat-surat lain yang berkaitan dengan permohonan pembatalan.

Pasal 110

Permohonan pembatalan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1),diajukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputiletak tanah yang bersangkutan.

Page 290: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

264

- 31 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

Pasal 111

(1) Setelah berkas permohonan diterima, Kepala Kantor Pertanahan:1. Memeriksa dan meneliti data yuridis dan data fisik2. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 29.3. Memberikan tanda terima berkas permohonan sesuai formulir isian contoh Lampiran

30.4. Memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapi data yuridis dan data fisik

apabila masih diperlukan.(2) Satu permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya berlaku

untuk satu atau beberapa hak atas tanah tertentu yang letaknya dalam satuKabupaten.Kota.

Pasal 112

(1) Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan datafisik permohonan pembatalan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108ayat (1) dan memeriksa kelayakan permohonan tersebut sebelum diproses lebih lanjutsesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Dalam hal keputusan pembatalan hak telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor wilayahsebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2) Kepala Kantor Pertanahanmenyampaikan berkas permohonan dimaksud kepada Kepala Kantor Wiolayah disertaidengan pendapat dan pertimbangannya, sesuai contoh Lampiran 31.

Pasal 113

(1) Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangansebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 ayat (2), Kepala Kantor Wilayahmemerintahkan kepada kepala Bidang Hak Atas Tanah untuk:1. mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 322. memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum

lengkap segera meminta Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan untukmelengkapinya.

(2) Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan datafisik atas tanah yang dimohon pembatalannya beserta pendapat dan pertimbanganKepala Kantor Pertanahan sebagaimana dalam Pasal 112 ayat (2) dan memeriksakelayakan permohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Dalam hal keputusan pembatalan telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayahsebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2), Kepala Kantor Wilayah menerbitkankeputusan pembatalan ahak atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan yangdisertai dengan alasan penolakannya.

Pasal 114

Dalam hal keputusan pembatalan hak tidak dilimpahkan kepada Kepala Kantor Wilayahsebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2), Kepala Kantor Pertanahanmenyampaikan berkas permohonan dimaksud kepada menteri disertai pendapat danpertimbangannya, sesuai contoh Lampiran 33.

Pasal 115

(1) Setelah menerima berkas permohonan yang disertai pendapat dan pertimbangansebagaimana dimaksud dalam Pasal 114, Menteri memerintahkan kepada kepala BidangHak Atas Tanah untuk:1. mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 34.

Page 291: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

265

- 32 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

2. memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belumlengkap segera meminta Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan untukmelengkapinya.

(2) Menteri meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik atas tanah yangdimohon pembatalannya beserta pendapat dan pertimbangan Kepala Kantor Pertanahansebagaimana dalam Pasal 114 dan selanjutnya memeriksa kelayakan permohonantersebut dapat atau tidaknya dikabulkan sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku.

(3) Setelah mempertimbangkan pendapat dan pertimbangan kepala Kantor Pertanahansebagaimana dimaksud dalam Pasal 114, Menteri menerbitkan keputusan pembatalanhak atas tanah yang dimohon atau keputusan penolakan disertai dengan alasanpenolakannya.

Pasal 116

(1) Dalam hal permohonan pembatalan hak atas tanah diajukan langhsung kepada Menteri,setelah menerima berkas permohonan Menteri memerintahkan kepada Pejabat yangditunjuk untuk:1. memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum

lengkap segera meminta kepada pemohon untuk melengkapinya;2. mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 34.

(2) Menteri meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik serta kelayakanpermohonan tersebut dapat atau tidaknya dikabulkan sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Apabila data yuridis dan data fisik permohonan pembatalan dianggap kurang memenuhisyarat, menterio dapat memerintahkan kepada pejabat yang ditunjuk untuk mengadakanpenelitian atau Pejabat yang ditunjuk untuk mengadakan penelitian atau memerintahkankepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pertanahan untuk meneliti kembalidata yuridis dan data fisik dan melaporkan hasilnya kepada Menteri.

(4) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), menjadi dasar pertimbanganuntuk memutuskan dapat atau tidaknyadikabulkan permohonan pembatalan tersebutsesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(5) Selanjutnya Menteri memutuskan permohonan tersebut dengan menerbitkan keputusanpembatalan hak atau keputusan penolakan disertai dengan alasan penolakannya.

Pasal 117

Terhadap permohonan pembatalan hak atas tanah karena cacad hukum administratif yangdiajukan langsung kepada Kepala Kantor wilayah diberlakukan ketentuan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 116.

Pasal 118

Keputusan pembatalan hak atau keputusan penolakan pembatalan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 113 ayat (3), Pasal 115 ayat (3), Pasal 116 ayat (5) dan Pasal 117 disampaikankepada pemohon melalui surat tercatat atau dengan cara lain yang menjamin sampainyakeputusan tersebut kepada yang berhak.

Paragraf 2Pembatalan Hak Atas Tanah Karena Cacad Hukum Administratif Yang Diterbitkan

Tanpa Permohonan

Pasal 119

Pembatalan hak atas tanah yang dilakukan oleh Pejabat yang berwenang dilaksanakanapabila diketahui adanya cacad hukum administratif dalam proses penerbitan keputusanpemberian hak atau sertipikatnya tanpa adanya permohonan.

Page 292: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

266

- 33 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

Pasal 120

(1) Kepala Kantor Pertanahan mengadakan penelitian data yuridis dan data fisik terhadapkeputusan pemberian dan/atau sertipikat yang diketahui cacad hukum administratifdalam penerbitannya.

(2) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan kepada KepalaKantor Wilayah atau kepada Menteri untuk diusulkan pembatalannya disertai denganpendapat dan pertimbangannya.

Pasal 121

(1) Dalam hal keputusan pembatalannya merupakan kewenangan Kepala Kantor Wilayah,setelah hasil penelitian yang disertai pendapat dan pertimbangan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 120 ayat (2) diterima. Kepala kantor Wilayah memutuskan dapatatau tidaknya diterbitkan keputusan pembatalannya atau proses lebih lanjut sesuaiketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Apabila data yuridis dan data fisiknya telah cukup untuk mengambil keputusan, KepalaKantor Wilayah menerbitkan keputusan pembatalannya atau keputusan penolakandisertai dengan alasan penolakannya.

(3) Dalam hal kewenangan pembatalannya merupakan kewenangan Menteri, hasilpenelitian yang disertai pendapat dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada pasal120 ayat (2), disampaikan kepada Menteri disertai pendapat dan pertimbangannya.

Pasal 122

(1) Setelah hasil penelitian yang disertai pendapat dan periambangan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 120 ayat (2) yang disertai pendapat dan pertimbangansebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (3) diterima, Menteri mempertimbangkanpendapat dan pertimbangan dimaksud dan selanjutnya meneliti dapat atau tidaknyaditerbitkan keputusan pembatalannya sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku.

(2) Apabila telah cukup untuk mengambil keputusan, Menteri menerbitkan keputusanpembatalannya atau keputusan penolakan disertai dengan alasan penolakannya.

Pasal 123

Keputusan pembatalah hak atau keputusan penolakan pembatalan hak sebagaimanadimaksud dalam Pasal 121 ayat (2) dan Pasal 122 ayat (2) disampaikan kepada pemohonmelalui surat tercatat atau dengan cara lain yang menjamin sampainya keputusan tersebutkepada yang berhak.

Bagian KetigaPembatalan Hak Atas Tanah Karena Melaksanakan Putusan Pengadilan Yang Telah

Memperolah Kekuatan Hukum Tetap

Pasal 124

(1) Keputusan pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan putusan pengadilan yangtelah memperoleh kekuatan hukum tetap diterbitkan atas permohonan yangberkepentingan.

(2) Amar putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap meliputidinyatakan batal atau tidak mempunyai kekuatan hukum atau yang pada intinya samadengan itu.

Page 293: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

267

- 34 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

Pasal 125

(1) Permohonan pembatalan hak karena melaksanakan putusan pengadilan yang telahmemperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan langsung kepada Meteri atau KepalaKantor Wilayah atau melalui Kepala Kantor Pertanahan.

(2) Satu permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya untuk satuatau beberapa hak atas tanah tertentu yang letaknya dalam satu Kabupaten/Kota.

Pasal 126

(1) Permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 memuat :1. Keterangan mengenai Pemohon:

a. apabila perseorangan : nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal danpekerjaannya;

b. apabila badan hukum : nama, tempat kedudukan, akta atau peraturanpendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yangberlaku.

2. Keterangan mengenai tanahnya:a. nomor/ jenis hak atas tanah;b. letak tanah, batas-batas dan luas tanah.

3. Alasan permohonan pembatalan dan bukti-bukti lain yang mendukung.(2) Permohonan pembatalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 harus dilampiri

dengan:a. foto copy identitas;b. foto copy surat keputusan/sertipikat;c. foto copy akta pendirian badan hukum;d. foto copy putusan pengadilan dari tingkat pertama sampai dengan putusan terakhir;e. berita acara eksekusi, apabila perkara perdata atau pidana;f. atau surat-surat lain yang berkaitan dengan permohonan pembatalan.

Pasal 127

Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 diajukan melalui KepalaKantor Pertanahan, setelah berkas permohonan diterima, Kepala Kantor Pertanahan:1. Memeriksa dan memeliti kelengkapan data yuridis dan data fisik.2. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 29.3. Memberikan tanda terima berkas permohonan pembatalan sesuai contoh Lampiran 30.4. Memberitahukan kepada pemohon untuk melengkapi data yuridis dan fisik jika masih

diperlukan.

Pasal 128

(1) Selanjutnya Kepala Kantor Pertanahan meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridisdan data fisik permohonan pembatalan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalamPasal 125 serta mencocokkan hak atas tanah dengan amar putusan pengadilansebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (2) dengan data yuridis yang terakhirsebelum diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undanganyang berlaku.

(2) Apabila berkas dianggap telah lengkap tetapi ternyata terdapat perbedaan antara datayuridis dan data fisik dengan amar putusan pengadilan, Kepala Kantor Pertanahanmenyampaikan berkas permohonan tersebut disertai dengan keterangan mengenaiperbedaan dimaksud kepada Menteri.

Pasal 129

(1) Setelah menerima berkas permohonan dan keterangan sebagaimana dimaksud dalamPasal 128 ayat (2), Menteri memerintahkan kepada Pejabat yang ditunjuk untuk:1. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 24.

Page 294: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

268

- 35 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

2. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belumlengkap segera meminta Kepala Kantor Pertanahan untuk melengkapinya.

(2) Menteri meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisik permohonansebagaiman dimaksud dalam Pasal 124 dan memeriksan kelayakan permohonantersebut dapat atau tidaknya amar putusan pengadilan dilaksanakan.

(3) Menteri memutuskan permohonan tersebut dengan menerbitkan keputusan pembatalanhak atas tanah yang dimohon atau memberitahukan bahwa amar putusan pengadilantidak dapat dilaksanakan disertai dengan alasan dan pertimbangannya.

(4) Dalam hal Menteri tidak dapat melaksanakan amar putusan pengadilan, Menteri dapatmohon fatwa kepada Mahkamah Agung dalam pelaksanaan amar putusan pengadilandimaksud.

Pasal 130

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 sampai dengan Pasal 129 berlakumutatis mutandis permohonan pembatalan hak karena melaksanakan putusan pengadilanmerupakan kewenangan Kepala Kantor Wilayah.

Pasal 131

(1) Terhadap permohonan pembatalan hak atas tanah yang diajukan langsung kepadaMenteri, setelah berkas permohonan diterima, Menteri memerintahkan kepada Pejabatyang ditunjuk untuk :1. Memeriksa dan meneliti kelengkapan data yuridis dan data fisik, dan apabila belum

lengkap segera minta kepada pemohon untuk melengkapinya.2. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 34.

(2) Selanjutnya Menteri meneliti kelengkapan dan kebenaran data yuridis dan data fisikpermohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 dan memeriksa kelayakanpermohonan tersebut dapat atau tidaknya amar putusan pengadilan dilaksanakan.

(3) Apabila terjadi perubahan data yuridis dan/atau data fisik, Menteri dapat memerintahkanKepada Kepala Kantor Pertanahan untuk meneliti perubahan tersebut dan melaporakanhasilnya untuk dijadikan bahan pertimbangan untuk menerbitkan keputusan pembatalanhak atau tidak melaksanakan amar putusan pengadilan.

(4) Menteri memutuskan permohonan tersebut dengan menerbitkan keputusan pembatalanhak atas tanah yang dimohon atau memberitahukan amar putusan pengadilan tidakdapat dilaksanakan disertai dengan pertimbangannya.

(5) Dalam hal Menteri tidak dapat melaksanakan amar putusan pengadilan, Menteri dapatmohon fatwa kepada Mahkamah Agung dalam pelaksanaan amar putusan pengadilandimaksud.

Pasal 132

Terhadap permohonan pembatalan hak atas tanah karena melaksanakan amar putusanpengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang diajukan langsung kepadaKepala Kantor Wilayah diberlakukan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131.

Pasal 133

Keputusan pembatalan hak atas tanah atau keputusan tidak melaksanakan putusanpengadilan yang telah memperoleh kakuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalamPasal 129 ayat (3) dan Pasal 132 disampaikan kepada pemohon memalui surat tercatat acatdengan cara lain yang menjamin sampainya keputusan tersebut kepada yang berhak.

BAB VIITATA CARA PEMBERIAN IZIN PERALIHAN HAK ATAS TANAH

Page 295: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

269

- 36 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

Pasal 134

Izin peralihan hak atas tanah diperlukan hanya untuk peralihan Hak Milik yang dipunyai olehbadan hukum keagamaan, badan hukum sosial dan badan hukum lain yang ditunjuk olehPemerintah, Hak Guna Usaha, Hak Pakai tanah pertanian di atas tanah Negara dan hak-haklain yang di dalam sertipikatnya dicatat memerlukan izin.

Pasal 135

Pemberian izin peralihan hak atas tanah dilakukan oleh Pejabat yang menerbitkankeputusan pemberian haknya.

Pasal 136

(1) Permohonan izin peralihan hak atas tanah diajukan secara tertulis.(2) Permohonan izin peralihak hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:

1. Keterangan mengenai Pemohon:a. apabila perorangan : nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal dan

pekerjaannya;b. apabila badan hukum : nama, tempat kedudukan, akta atau peraturan

pendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yangberlaku.

2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik:a. status hak atas tanahnya;b. letak, batas-bata dan luasnya;c. jenis tanah (pertanian/ non pertanian);d. rencana penggunaan tanah.

3. Lain-lain:a. keterangan mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yang dimiliki

termasuk bidang tanah yang dimohon;b. keterangan lain yang dianggap perlu.

Pasal 137

Permohonan izin peralihan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1) dilampiridengan:1. Mengenai diri pemohon:

a. perorangan : foto copy surat bukti identitas, surat bukti kewarganegaraan;b. badan hukum : foto copy akta atau peraturan pendiriannya sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.2. Mengenai tanahnya:

a. data yuridis : sertipikat;b. surat lain yang diperlukan.

3. Surat pernyataan pemohon mengenai jumlah bidang, luas dan status tanah-tanah yangdimiliki termasuk bidang tanah yang dimohon, sesuai contoh Lampiran 35.

Pasal 138

Permohonan izin peralihan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1), diajukankepada Pejabat yang menerbitkan keputusan pemberain haknya, sesuai contoh Lampiran36.

Pasal 139

Setelah berkas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1) diterima,Pejabat yang berwenang:1. Memeriksan dan meneliti kelengkapan berkas permohonan.

Page 296: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

270

- 37 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

2. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 37.3. Menberikan tanda terima berkas permohonan sesuai contoh Lampiran 38.

Pasal 140

(1) Pejabat yang berwenang meneliti kelengkapan dan kebenaran berkas permohonan izinperalihan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1) dan memeriksakelayakan permohonan dapat atau tidaknya dikabulkan sesuai dengan ketentuanperaturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Setelah berkas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (1) telahcukup untuk mengambil keputusan, Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksuddalam Pasal 135 menerbitkan izin peralihan hak atas tanah yang dimohon ataupenolakannya sesuai contoh Lampiran 39.

Pasal 141

Izin peralihan hak atas tanah atau penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat(2) disampaikan kepada pemohon memalui surat tercatat atau dengan cara lain yangmenjamin sampainya keputusan tersebut kepada yang berhak

BAB VIIITATA CARA PEMBERIAN PERPANJANGAN WAKTU PEMBAYARAN UANG

PEMASUKAN

Pasal 142

(1) Dalam hal menerima keputusan pemberian hak atas tanah merasa keberatan atasjangka waktu pembayaran uang pemasukan kepada Negara, yang bersangkutan dapatmengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu pembayaran.

(2) Permohonan perpanjangan jangka waktu pembayaran sebagaimana dimaksud padaayat (1), diajukan sebelum jangka waktu pembayaran uang pemasukan tersebutberakhir.

Pasal 143

Pemberian Perpanjangan jangka waktu pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal142 dilakukan oleh Pejabat yang menerbitkan Keputusan pemberian haknya.

Pasal 144

(1) Permohonan Perpanjangan jangka waktu pembayaran uang pemasukan diajukan secaratertulis.

(2) Permohonan perpanjangan jangka waktu pembayaran sebagaimana dimaksud padaayat (1) memuat:1. Keterangan mengenai pemohon:

a. apabila perorangan : nama, umur, kewarganegaraan, tempat tinggal danpekerjaannya;

b. apabila badan hukum : nama, tempat kedudukan, akta atau peraturanpendiriannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yangberlaku.

2. Keterangan mengenai tanahnya yang meliputi data yuridis dan data fisik:a. nomor surat keputusan pemberian haknya;b. letak, batas-batas dan luasnya;c. jenis tanah (pertanian/ non pertanian);d. alasan memohon perpanjangan jangka waktu pembayaran uang pemasukan.

Page 297: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

271

- 38 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

Pasal 145

Permohonan perpanjangan jangka waktu pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal144 ayat (1) dilampiri dengan foto copy keputusan pemberian haknya dan surat pernyataanbahwa pemohon masih menguasai tanah yang dimohon sesuai contoh Lampiran 40.

Pasal 146

Permohonan perpanjangan jangka waktu pembayaran uang pemasukan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 144 ayat (1) siajukan kepada Pejabat yang menerbitkan keputusanpemberian haknya, sesuai contoh Lmpiran 41.

Pasal 147

Setelah berkas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (1) diterima,Pejabat yang berwenang sibagaimana dimaksud dalam Pasal 143:1. Memeriksa dan meneliti kelengkapan berkas permohonan.2. Mencatat dalam formulir isian sesuai contoh Lampiran 42.3. Memberikan tanda terima berkas permohona sesuai contoh Lampiran 43.

Pasal 148

(1) Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 meneliti kelengkapandan kebenaran berkas permohonan perpanjangan jangka waktu pembayaransebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 dan memeriksa kelayakan permohonantersebut dapat atau tidaknya dikabulkan sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku.

(2) Setelah berkas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (1) telahcukup untuk mengambil keputusan, Pejabat yang berwenangn sebagaimana dimaksuddalam Pasal 143 menerbitkan keputusan perpanjangan jangka waktu pembayaran uangpemasukan sesuai contoh Lampiran 44 atau keputusan penolakan disertai denganalasan penolakannya sesuai contoh Lampiran 45.

Pasal 149

Keputusan perpanjangan jangka waktu pembayaran uang pemasukan atau keputusanpenolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (2) disampaikan kepada pemohonmelalui surat tercatat atau dengan cara lain yang menjamin sampainya keputusan tersebutkepada yang berhak.

BAB IXKETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 150

Permohonan hak atas tanah yang berasal dari tanah objek P3MB/Prk.5 dilaksanakan sesuaidengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 3 Prp Tahun 1960tentang Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda joPeraturan Presidium Kabinet Dwikora Republik Indonesia Nomor 5/Prk/Tahun 1965 tentangPenegasan Status Rumah/Tanah Kepunyaan Badan Hukum Yang DitinggalkanDireksi/Pengurus.

BAB XKETENTUAN PERALIHAN

Page 298: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

272

- 39 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

Pasal 151

Sebelum daftar isian atau formulir sebagaimana ditentukan dalam peraturan ini tersedia,kegiatan pemberian hak atas tanah dilaksanakan dengan menggunakan daftar isian atauformulir yang berlaku sebelum berlakunya peraturan ini dengan mengadakan penyesuaian.

BAB XIKETENTUAN PENUTUP

Pasal 152

Dengan berlakunya peraturan ini:1. Peraturan-peraturan di bawah inii dinyatakan tidak berlaku lagi:

a. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973 tentang Ketentuan MengenaiTata Cara pemberian Hak Atas Tanah.

b. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1977 tentang Tata CaraPermohonan Dan Penyelesaian Pemberian Hak Atas Bagian-bagian Tanah HakPengelolaan Serta Pendaftarannya.

c. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1985 tentang Tata CaraPensertipikatan Tanah Bagi Program Dan Proyek Departemen Pertanian.

d. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1Tahun 1993 tentang Tata Cara Pemberian Perpanjangan Dan Pembaharuan HakGuna Bangunan Dalam Kawasan-kawasan Tertentu di Propinsi Riau.

Pasal 153

Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : JakartaPada tanggal : 24 Oktober 1999

MENTERI NEGARA AGRARIA/KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL

ttd.HASAN BASRI DURIN

Page 299: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

273

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 32 TAHUN 1979

TENTANG

POKOK-POKOK KEBIJAKSANAAN DALAM RANGKA PEMBERIAN HAK BARU

ATAS TANAH ASAL KONVERSI HAK-HAK BARAT

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa dalam rangka menyelesaikan masalah yang ditimbulkan karena berakhirnya jangka waktu hak-hak atas tanah asal konversi Hak Barat pada selambat-lambatnya tanggal 24 September 1980, sebagai yang dimaksud dalam Undang-uindang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, dipandang perlu untuk digariskan pokok-pokok kebijaksanaan yang mengarah kepada usaha untuk menunjang kegiatan pembangunan pada umumnya dan pembangunan di bidang ekonomi khususnya;

b. Bahwa pokok-pokok kebijaksanaan tersebut harus dapat menjabarkan perwujudan daripada penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah sebagai dimaksud dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978 serta Catur Tertib di bidang pertanahan seperti tercantum dalam REPELITA KETIGA;

c. Bahwa karena syarat-syarat pemberian dan penguasaan hak-hak atas tanah asal konversi hak Barat sebagai yang dimaksud di atas sudah tidak sesuai lagi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka penyelesaiannya perlu dilakukan dengan pemberian hak baru;

Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1978;

3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);

4. Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1979 tentang Rencana Pembangunan Lima Tahun Ketiga (REPELITA III) 1979/80-1983/84;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan: KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDO-NESIA TENTANG POKOK-POKOK KEBIJAKSA-NAAN DALAM RANGKA PEMBERIAN HAK BARU ATAS TANAH ASAL KONVERSI HAK-HAK BARAT.

Pasal 1

(1) Tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi hak Barat, jangka waktunya akan berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980, sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, pada saat berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai langsung oleh Negara.

(2) Tanah-tanah tersebut ayat (1), ditata kembali penggunaannya, penguasaan dan pemilikannya dengan memperhatikan:

Lampiran 4

Page 300: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

274

- 2 -

a. masalah tata guna tanahnya;

b. sumber daya alam dan lingkungan hidup;

c. keadaan kebun dan penduduknya;

d. rencana pembangunan di daerah;

e. kepentingan-kepentingan bekas pemegang hak dan penggrap tanah/penghuni bangunan.

Pasal 2

Kepada bekas pemegang hak yang memenuhi syarat dan mengusahakan atau menggarap sendiri tanah/bangunan, akan diberikan hak baru atas tanahnya, kecuali apabila tanah-tanah tersebut diperlukan untuk proyek-proyek pembangunan bagi penyelenggaraan kepentingan umum.

Pasal 3

Kepada bekas pemegang hak yang tidak diberikan hak baru karena tanahnya diperlukan untuk proyek pembangunan, akan diberikan ganti rugi yang besarnya akan ditetapkan oleh suatu Panitia Penaksir.

Pasal 4

Tanah-tanah Hak Guna Usaha asal konversi hak Barat yang sudah diduduki oleh rakyat dan ditinjau dari sudut tata guna tanah dan keselamatan limgkungan hidup lebih tepat diperuntukkan untuk pemukiman atau kegiatan usaha pertanian, akan diberikan hak baru kepada rakyat yang mendudukinya.

Pasal 5

Tanah-tanah perkampungan bekas Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal Konversi hak Barat yang telah menjadi perkampungan atau diduduki rakyat, akan diprioritaskan kepada rakyat yang mendudukinya setelah dipenuhinya persyaratan-persyaratan yang menyangkut kepentingan bekas pemegang hak tanah.

Pasal 6

Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai asal konversi hak Barat yang dimiliki oleh Perusahaan milik Negara, Perusahaan Daerah serta Badan-badan Negara diberi pembaharuan hak atas tanah yang bersangkutan dengan memperhatikan ketentuan tersebut Pasal 1.

Pasal 7

Masalah-masalah yang timbul sebagai akibat pelaksanaan kebijaksanaan yang digariskan berdasarkan Keputusan Presiden ini, diselesaikan oleh Menteri Dalam Negeri dengan mendengar Menteri-Menteri yang bersangkutan.

Pasal 8

Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 8 Agustus 1979

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd.

(SOEHARTO)

Page 301: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

275

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI DALAM NEGERINOMOR 3 TAHUN 1979

TENTANGKETENTUAN-KETENTUAN MENGENAI PERMOHONAN DAN PEMBERIAN HAK BARU

ATAS TANAH ASAL KONVERSI HAK-HAK BARAT

MENTERI DALAM NEGERI,

Menimbang : bahwa perlu digariskan kebijaksanaan secara menyeluruh mengenaipenyelesaian tanah-tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan danHak Pakai asal konversi hak-hak barat yang menurut ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 berakhir masa berlakunya selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980.

Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan DasarPokok-pokok Agraria;

2. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1956 tentang Pengawasanterhadap Pemindahan Hak atas Tanah-tanah Perkebunan yoUndang-Undang Nomor 29 Tahun 1956 tentang Peraturan-peraturandan Tindakan-tindakan mengenai Tanah-tanah Perkebunan;

3. Undang-undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 tentang LaranganPemakaian Tanah Tanpa Izin yang berhak atau kuasanya;

4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokokPemerintahan di Daerah;

5. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang PendaftaranTanah;

6. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-pokokKebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah AsalKonversi Hak-hak Barat;

7. Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960 tentang PelaksanaanBeberapa Ketentuan Undang-undang Pokok Agraria;

8. Peraturan Menteri Agraria Nomor 13 Tahun 1961 tentangPelaksanaan Konversi Hak Eigendom dan Hak-hak lainnya yangaktanya belum diganti;

9. Peraturan Menteri Agraria Nomor 7 Tahun 1965 tentang PedomanPelaksanaan Konversi Hak Eigendom tersebut dalam ayat (3) jo.Ayat (5) Pasal 1 Ketentuan-ketentuan Konversi Undang-undangPokok Agraria yang dibebani dengan Hak Opstal atau Erfpacht untukperumahan;

10. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1970 tentangPenyelesaian konversi hak-hak barat menjadi Hak Guna Bangunandan Hak Guna Usaha;

11. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972 tentangPelimpahan Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah;

12. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1973 tentangKetentuan-ketentuan mengenai Tata Cara Pemberian Hak AtasTanah.

Lampiran 5

Page 302: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

276

- 2 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

MEMUTUSKAN :Menetapkan : PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI TENTANG KETENTUAN-

KETENTUAN MENGE-NAI PERMOHONAN DAN PEMBERIAN HAKBARU ATAS TANAH ASAL KONVERSI HAK-HAK BARAT.

BAB IKETENTUAN UMUM

Pasal 1

Tanah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi hak barat yangmenurut ketentuan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 berakhir masa berlakunya,selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980, pada saat berakhirnya hak yangbersangkutan menjadi tanah yang dikuasai oleh Negara dan diselesaikan menurutketentuan-ketentuan dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 dan Peraturan ini.

Pasal 2

(1) Tanah bekas Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi hakbarat yang dimaksud dalam Pasal 1, pada dasarnya akan diselesaikan denganmenentukan kembali peruntukan dan penggunaannya serta memperhatikan syarat-syarat yang menurut peraturan perundangan agraria yang berlaku harus dipenuhi olehpemohon.

(2) Dalam menentukan kembali peruntukan dan penggunaan tanah sebagai yang dimaksuddalam ayat (1) pasal ini diperhatikan kesesuaian phisik tanahnya dengan usaha-usahayang akan dilakukan di atasnya dan rencana-rencana pembangunan di Daerah yangbersangkutan demi kelestarian sumber daya alam dan keselamatan lingkungan hidup.

(3) Penentuan kembali peruntukan dan penggunaan tanah sebagai dimaksud dalam ayat (1)dan (2) pasal ini dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.

Pasal 3

(1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai Hak Guna Usaha, Hak GunaBangunan dan Hak Pakai atas tanah asal konversi hak barat yang dimaksud dalamPasal 1, dan masih memerlukan tanah yang bersangkutan wajib mengajukanpermohonan hak baru, sepanjang dipenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalamPeraturan ini.

(2) Permohonan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini wajib diajukan dalam tenggangwaktu selambat-lambatnya pada tanggal 24 September 1980.

Pasal 4

Jika tidak ada pihak yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,3,7 dan12 maka peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan selanjutnya akan ditetapkanoleh Menteri Dalam Negeri, dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 10, 11 dan 13.

Pasal 5

Ketentuan-ketentuan dalam Peraturan ini berlaku juga bagi Hak Guna Usaha, Hak GunaBangunan dan Hak Pakai atas tanah asal konversi hak barat yang berakhir sebelum tanggal24 September 1980, dan sampai saat berlakunya Peraturan ini belum diselesaikan.

Page 303: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

277

- 3 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

Pasal 6

Permohonan tersebut dalam pasal-pasal di atas diselesaikan menurut ketentuan dalamPeraturan ini dan tata cara yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5Tahun 1973 serta ketentuan-ketentuan lainnya yang berlaku.

BAB IIHAK GUNA USAHA ASAL KONVERSI HAK BARAT

Pasal 7

(1) Hak Guna Usaha baru yang dimaksud dalam Pasal 2 akan diberikan kepada bekaspemegang haknya jika :a. dipenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 2 dan 3;b. kebun yang bersangkutan menurut penelitian Panitia Pemeriksa Tanah (Panitia B),

berada dalam keadaan baik dan diusahakan sendiri oleh bekas pemegang haknya;c. areal perkebunan tersebut tidak seluruhnya diperlukan untuk pembangunan proyek-

proyek bagi penyelenggaraan kepen-tingan umum;d. bekas pemegang haknya bukan suatu perusahaan yang seluruh atau sebagian

modalnya adalah modal asing.

(2) Pemberian Hak Guna Usaha baru yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini tidak meliputibagian areal tanah yang diduduki/digarap oleh pihak lain dan terkena ketentuan Pasal 5Undang-undang Nomor 51/Prp/1960 serta yang diperlukan untuk pembangunan proyek-proyek bagi penyelenggaraan kepentingan umum.

Pasal 8

(1) Hak Guna Usaha baru sebagai yang dimaksud dalam Pasal 3 tidak diberikan kepadabekas pemegang haknya jika tidak dipenuhi syarat yang disebutkan dalam Pasal 7.

(2) Jika tanaman dan bangunan serta mesin-mesin dan lain-lain milik bekas pemegang haktidak diperlukan lagi, maka dengan mengingat ketentuan Pasal 2 dan peraturanperundangan yang berlaku, oleh Menteri Dalam Negeri dapat diperintahkan untukdibongkar.

(3) Jika dalam tenggang waktu yang ditetapkan tidak dilaksanakan pembongkarannya, makatanaman dan bangunan serta mesin-mesin dan lain-lain yang bersangkutan jatuh padaNegara.

(4) Kepada bekas pemegang Hak Guna Usaha yang dimaksud dalam ayat (1) pasal inidapat diberi ganti rugi atas tanaman dan bangunan serta mesin-mesin miliknya yangdiperintahkan untuk dibongkar;

(5) Besarnya ganti rugi yang dimaksud ayat (4) pasal ini ditetapkan oleh Menteri DalamNegeri atas usul Panitia Penaksir yang dibentuk untuk itu dan pembayarannyadibebankan pada pihak yang memperoleh sesuatu hak atas tanah yang bersangkutan.

Pasal 9

Penyelesaian tanah bekas Hak Guna Usaha yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) akandiatur di dalam peraturan tersendiri.

Page 304: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

278

- 4 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

Pasal 10

(1) Tanah-tanah bekas Hak Guna Usaha yang digarap/diduduki pihak lain sebagai yangdimaksud dalam Undang-undang Nomor 51/Prp/1960 dan yang menurut pertimbangan-pertimbangan teknis tata guna tanah serta rencana pembangunan di Daerah yangbersangkutan dapat dijadikan tempat pemukiman penduduk atau usaha pertanian, akandiberikan dengan sesuatu hak baru kepada mereka yang memenuhi syarat menurutperaturan perundangan agraria yang berlaku, sepanjang tanah yang bersangkutan tidakdiperlukan untuk proyek-proyek bagi penyelenggaraan kepentingan umum.

(2) Tanah-tanah yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini yang tidak dapat diperuntukan bagitempat pemukiman penduduk atau usaha pertanian diselesaikan secara tersendiri,dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 2 dan dengan memperhatikan fihak-fihak yangberkepentingan serta faktor-faktor khusus yang menurut kenyataannya mempengaruhikasus yang bersangkutan.

Pasal 11

Tanah-tanah bekas Hak Guna Usaha yang tidak diberikan dengan hak baru kepada bekaspemegang haknya dan tidak digarap/diduduki oleh fihak lain sebagai yang dimaksud dalamUndang-undang Nomor 51/Prp/1960, sepanjang tidak diperlukan untuk proyek-proyek bagipenyelenggaraan kepentingan umum, diselesaikan sebagai berikut :

a. Jika dapat diusahakan kembali untuk budidaya perkebunan, pertanian, peternakan atauperikanan akan diberikan dengan sesuatu hak baru kepada fihak yang memenuhi syaratmenurut peraturan perundangan agraria yang berlaku.

b. Jika tidak akan diusahakan kembali sebagai budidaya perkebunan, pertanian,peternakan atau perikanan diselesaikan tersendiri, dengan mengingat ketentuan dalamPasal 2 dan dengan memperhatikan fihak-fihak yang berkepentingan serta faktor-faktorkhusus yang menurut kenyataannya mempengaruhi kasus yang bersangkutan.

BAB IIIHAK GUNA BANGUNAN DAN HAK PAKAI ASAL KONVERSI

HAK-HAK BARAT

Pasal 12

(1) Tanah-tanah bekas Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai asal konversi hak barat yangdimaksud dalam pasal 1 dapat diberikan dengan sesuatu hak baru kepada bekaspemegang haknya jika :a. dipenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 2 dan 3;b. tanah yang bersangkutan dikuasai dan digunakan sendiri oleh bekas pemegang

haknya;c. tidak seluruhnya diperlukan untuk proyek-proyek bagi penyelenggaraan kepentingan

umum;d. di atasnya berdiri suatu bangunan milik bekas pemegang hak yang didiami/

digunakan sendiri;e. di atasnya berdiri suatu bangunan milik bekas pemegang hak, yang didiami/

digunakan oleh fihak lain dengan persetujuan pemilik bangunan/bekas pemeganghak.

(2) Pemberian hak baru sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini diselesaikanmenurut tata cara yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun

Page 305: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

279

- 5 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

1973, dengan ketentuan, bahwa menyimpang dari Pasal 5 huruf d Peraturan MenteriDalam Negeri tersebut, maka untuk melengkapi keterangan yang diperlukan gunamengambil keputusan, Kepala Kantor Agraria Kabupaten/ Kotamadya atau pejabat yangditunjuknya melakukan pemeriksaan setempat, dengan membuat risalah pemeriksaantanah.

Pasal 13

(1) Tanah-tanah bekas Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai asal konversi hak barat yangdimaksudkan dalam Pasal 1, yang menurut peraturan perundangan yang berlaku jelastidak dapat diberikan dengan hak baru kepada pemegang haknya, sepanjang tidakdiperlukan untuk proyek-proyek bagi penyelenggaraan kepentingan umum, dapatdiberikan dengan sesuatu hak kepada fihak yang pada saat mulai berlakunya peraturanini nyata-nyata menguasai dan menggunakan secara sah.

(2) Jika di atas tanah bekas Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dimaksud dalam ayat(1) pasal ini terdapat bangunan milik bekas pemegang hak, maka pemohon hak barutersebut wajib menyelesaikan soal bangunan itu dengan pemegang hak yangbersangkutan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Pasal 14

Tanah-tanah bekas Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang tidak termasuk golonganPasal 12 dan 13 diselesaikan secara tersendiri, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 2dan dengan memperhatikan fihak-fihak yang berkepentingan serta faktor-faktor khusus yangmenurut kenyataannya mempengaruhi kasus yang bersangkutan.

BAB IVLAIN-LAIN

Pasal 15

Fihak-fihak yang secara nyata menguasai tanah bekas konversi hak barat yang dimaksuddalam Peraturan ini, selama belum diselesaikan menurut ketentuan pasal-pasal di atas,wajib memelihara tanah/ bangunan dan lain-lain di atasnya secara baik.

Pasal 16

(1) Dalam hal akan dilakukan pemindahan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan HakPakai asal konversi hak barat, sebelum pembuatan akta dilakukan, diperlukan izinterlebih dahulu sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri NomorSk.59/DDA/1970 jo Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 1972.

(2) Izin yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya diberikan jika penerima hakmemenuhi syarat untuk memperoleh hak baru menurut Peraturan ini.

(3) Permohonan izin yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini harus diajukan kepada pejabattersebut pada ayat (1) selambat-lambatnya tanggal 24 Juni 1980, denganmempergunakan daftar isian yang disediakan.

(4) Setelah diperoleh izin tersebut dalam ayat (2) pasal ini dan telah dilaksanakan baliknamanya, maka permohonan untuk memperoleh hak baru diselesaikan berdasarkanPeraturan ini.

Page 306: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

280

- 6 -

PUSAT HUKUM DAN HUMAS BPN RI SJDI HUKUM

BAB VPENUTUP

Pasal 17

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya maka Peraturan ini akan dimuat dalam BeritaNegara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakartapada tanggal 22 Agustus 1979

MENTERI DALAM NEGERI

ttd.

(AMIR MACHMUD)

Page 307: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

281

KETETAPANMAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

NOMOR IX/MPR/2001

TENTANG

PEMBARUAN AGRARIA DAN

PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sumberdaya agraria dan sumberdaya alam sebagai Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan Nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur;

b. bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia mempunyai tugas konstitusional untuk menetapkan arah dan dasar bagi pembangunan nasional yang dapat menjawab berbagai persoalan kemiskinan, ketimpangan dan ketidakadilan sosial-ekonomi rakyat serta kerusakan sumberdaya alam;

c. bahwa pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam yang berlangsung selama ini telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik;

d. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam saling tumpang tindih dan bertentangan;

e. bahwa pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam yang adil, berkelanjutan, dan ramah lingkungan harus dilakukan dengan cara terkoordinasi, terpadu dan menampung dinamika, aspirasi dan peran serta masyarakat, serta menyelesaikan konflik;

f. bahwa untuk mewujudkan cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945, diperlukan komitmen politik yang sungguh-sungguh untuk memberikan dasar dan arah bagi pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam yang adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan;

g. bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, d, e, dan f perlu adanya Ketetapan Majelis

Lampiran 6

Page 308: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

282

- 2 -

Permusyawaratan Rakyat tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam.

Mengingat : 1. Pasal 1 ayat (2), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 25E, Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; Serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah Dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;

3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/2001;

4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah.

Memperhatikan : 1. Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor 5/MPR/2001 tentang Jadwal Acara Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tanggal 1 sampai dengan 9 Nopember 2001;

2. Permusyawaratan dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tanggal 1 sampai dengan 9 Nopember 2001 yang membahas Rancangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang telah dipersiapkan oleh Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;

3. Putusan Rapat Paripurna ke-7 Tanggal 9 Nopember 2001 Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBARUAN AGRARIA DAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM.

Pasal 1

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam merupakan landasan peraturan perundang-undangan mengenai pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam.

Pasal 2 - 3 -

Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pasal 3

Pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di daratan, laut dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Pasal 4

Negara mengatur pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat

Pasal 5

Pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip: a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan

Republik Indonesia; b. menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; c. menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi

keanekaragaman dalam unifikasi hukum; d. rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumberdaya

manusia Indonesia; e. mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan

optimalisasi partisipasi rakyat; f. mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan,

pemanfaatan, dan pemeliharaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam;

g. memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan dukung lingkungan;

h. melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat;

i. meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam;

j. mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria dan sumberdaya alam;

k. mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu;

l melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah rovinsi, kabupaten/kota, dan desa atau

Page 309: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

283

- 3 -

Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pasal 3

Pengelolaan sumberdaya alam yang terkandung di daratan, laut dan angkasa dilakukan secara optimal, adil, berkelanjutan dan ramah lingkungan.

Pasal 4

Negara mengatur pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat

Pasal 5

Pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip: a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan

Republik Indonesia; b. menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; c. menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi

keanekaragaman dalam unifikasi hukum; d. rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumberdaya

manusia Indonesia; e. mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan

optimalisasi partisipasi rakyat; f. mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan,

pemanfaatan, dan pemeliharaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam;

g. memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan dukung lingkungan;

h. melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat;

i. meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam;

j. mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria dan sumberdaya alam;

k. mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu;

l melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah rovinsi, kabupaten/kota, dan desa atau

Page 310: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

284

- 4 -

yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan manajemen sumberdaya agraria dan sumberdaya alam.

Pasal 6

(1) Arah kebijakan pembaruan agraria adalah :

a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.

b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan.

c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.

d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.

e. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang terjadi.

f. Mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumberdaya agraria yang terjadi.

(2) Arah kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah : a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.

b. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumberdaya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumberdaya alam sebagai potensi dalam pembangunan nasional.

c. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumberdaya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional.

d. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumberdaya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumberdaya alam tersebut.

Page 311: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

285

- 4 -

yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan manajemen sumberdaya agraria dan sumberdaya alam.

Pasal 6

(1) Arah kebijakan pembaruan agraria adalah :

a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.

b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat, baik tanah pertanian maupun tanah perkotaan.

c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.

d. Menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik dimasa mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.

e. Memperkuat kelembagaan dan kewenangannya dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaruan agraria dan menyelesaikan konflik-konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria yang terjadi.

f. Mengupayakan pembiayaan dalam melaksanakan program pembaruan agraria dan penyelesaian konflik-konflik sumberdaya agraria yang terjadi.

(2) Arah kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah : a. Melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor yang berdasarkan prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.

b. Mewujudkan optimalisasi pemanfaatan berbagai sumberdaya alam melalui identifikasi dan inventarisasi kualitas dan kuantitas sumberdaya alam sebagai potensi dalam pembangunan nasional.

c. Memperluas pemberian akses informasi kepada masyarakat mengenai potensi sumberdaya alam di daerahnya dan mendorong terwujudnya tanggung jawab sosial untuk menggunakan teknologi ramah lingkungan termasuk teknologi tradisional.

d. Memperhatikan sifat dan karakteristik dari berbagai jenis sumberdaya alam dan melakukan upaya-upaya meningkatkan nilai tambah dari produk sumberdaya alam tersebut. - 5 -

e. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumberdaya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjaminterlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.

f. Menyusun strategi pemanfaatan sumberdaya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan kepentingan dan kondisi daerah maupun nasional.

Pasal 7

Menugaskan Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam dengan menjadikan Ketetapan ini sebagai landasan dalam setiap pembuatan kebijakan; dan semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan ini harus segera dicabut, diubah, dan/atau diganti.

Pasal 8

Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia untuk segera melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam serta melaporkan pelaksanaannya pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

Pasal 9

Ketetapan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Nopember 2001

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

KETUA,

WAKIL KETUA, WAKIL KETUA, WAKIL KETUA, WAKIL KETUA, WAKIL KETUA, WAKIL KETUA,

WAKIL KETUA,

P E N G E S A H A N PANITIA AD HOC II BADAN PEKERJA MPR PADA RAPAT KE-74 PANITIA AD HOC II BP MPR TANGGAL 19 OKTOBER 2001

Ketua,RAMBE KAMARULZAMAN, M. Sc. Wakil Ketua,SABAM SIRAIT

Wakil Ketua,Ny. Hj. AISYAH AMINY, S.H. Sekretaris,Prof. Dr. Ir. MUHAMMADI S.

- 5 -

e. Menyelesaikan konflik-konflik pemanfaatan sumberdaya alam yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa mendatang guna menjaminterlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan atas prinsip-prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 5 Ketetapan ini.

f. Menyusun strategi pemanfaatan sumberdaya alam yang didasarkan pada optimalisasi manfaat dengan memperhatikan kepentingan dan kondisi daerah maupun nasional.

Pasal 7

Menugaskan Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam dengan menjadikan Ketetapan ini sebagai landasan dalam setiap pembuatan kebijakan; dan semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan ini harus segera dicabut, diubah, dan/atau diganti.

Pasal 8

Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia untuk segera melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam serta melaporkan pelaksanaannya pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

Pasal 9

Ketetapan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 9 Nopember 2001

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

KETUA,

WAKIL KETUA, WAKIL KETUA, WAKIL KETUA, WAKIL KETUA, WAKIL KETUA, WAKIL KETUA,

WAKIL KETUA,

P E N G E S A H A N PANITIA AD HOC II BADAN PEKERJA MPR PADA RAPAT KE-74 PANITIA AD HOC II BP MPR TANGGAL 19 OKTOBER 2001

Ketua,RAMBE KAMARULZAMAN, M. Sc. Wakil Ketua,SABAM SIRAIT

Wakil Ketua,Ny. Hj. AISYAH AMINY, S.H. Sekretaris,Prof. Dr. Ir. MUHAMMADI S.

Page 312: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,
Page 313: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

287

Tentang Penulis

Dr. JarotWidyaMuliawan S.H., C.N.,M.Kn adalah seorang praktisi di Bidang Pertanahan sejak tahun 1989-1994 yang bergabung pada Kantor BPN Provinsi Jawa Timur, dipercaya sebagai Waka Bidang Fisik Kantor Panitia Ajudikasi Wiyung (Swadaya) Kota Surabaya pada tahun 1995-1996, selanjutnya pada tahun 1997-1998 menjabat sebagai Waka Bidang

Yuridis Kantor Panitia Ajudikasi Kromengan (PAP) Kabupaten Malang. Pada tahun 1994 Penulis juga menjalani tugas struktural sebagai Kasubsi PHT Kantor Pertanahan Kota Surabaya, tahun 1997-1999 Kasubsi PHT Kantor Pertanahan Kabupaten Gresik, Kasi PHT Perorangan Kanwil BPN Provinsi Jawa Timur pada tahun 1999-2000, Kasi HAT Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo pada tahun 2000-2003, Kasi HAT Kantor Pertanahan Kota Malang pada tahun 2003-2006, Kasi HTPT Kantor Pertanahan Kabupaten Jember pada tahun 2006-2007, Kasi PTP Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Timur pada tahun 2007-2013, dan menjabat sebagai Kasi HTPT pada Kantor Pertanahan Sidoarjo sampai Sekarang. Penghargaan yang diraihnya sebagai praktisi pertanahan diperoleh dari Prof. Dr. H. Soesilo Bambang Yudhoyono MA, Presiden Republik Indonesia berupa Karya Setya Lencana XX pada tahun 2010.

Selain meraih gelar Doktor Ilmu Hukum yang ke-210 dengan predikat sangat memuaskan dan ber-IPK 3.96 pada Universitas Brawijaya Malang tahun 2014, penulis sebagai Narasumber

Page 314: TINJAUAN KRITIS - pppm.stpn.ac.idpppm.stpn.ac.id/.../08/Tinjauan-Kritis-Regulasi-dan... · Pertanahan Nasional) dan legislator (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk memberi perhatian serius,

288

pertanahan di berbagai event yang diselenggarakan oleh Instansi Pemerintah baik Pusat maupun Daerah termasuk BUMN/BUMD (2007- sekarang), memberikan Kuliah Tamu pada PTN, PTS di Jawa Timur, dan sebagai Saksi Ahli Pertanahan di Pengadilan. Kesibukannya sebagai praktisi tidak mengurangi semangat untuk menulis buku, antara lain berjudul “Pemberian Hak Milik Untuk Rumah Tinggal (Sebuah Kajian Normatif Untuk Keadilan bagi Masyarakat) ” sukses di pasaran. Buku tersebut dikembangkan dari Tesis yang diraihnya pada Program Magister Kenotariatan Universitas Brawijaya (UB) Malang pada Tahun 2008.

Masa mudanya di lalui di Kota Gudeg Yogyakarta sebagai tanah kelahiran penulis sehingga menyelesaikan pendidikan Strata-1 di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada tahun 1987. Selanjutnya penulis meniti karir pada Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Timur sebagai In house Lawyer sejak tahun 1992-1994. Pada tahun 1994 juga penulis menyelesaikan studi pada program spesialis kenotariatan (CN) di Universitas Air Langga Surabaya. Selanjutnya penulis melanjutkan pada Strata-2 melalui program Magister Kenotariatan pada tahun 2006-2008. Pada tahun 2009-2014 penulis melanjutkan pendidikan pada Strata-3 Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya (UB) Malang.

Kesenangannya menulis tidak terlepas dari didikan Kedua orang tuanya Bapak Haji AliAchmadChomzah,SH(alm.) seorang abdi Negara (Purnatugas) di Ditjen Agraria Departemen Dalam Negeri (Sekarang: Badan Pertanahan Nasional RI) dan Ibu Hajjah Sri Ismoegini yang menanamkan untuk selalu membaca dan menulis. Saat ini penulis tinggal di Sidoarjo bersama Istri tercinta Linda S.M. Sahono, SH.,M.Kn seorang Notaris dan PPAT di Kabupaten Gresik, memiliki tiga (3) orang putra, Delimantra Nugraha Muliawan, Delimukti Putra Muliawan, Deliatmaja Rizkie Muliawan.