tinea korporis fix
DESCRIPTION
TINEA KORPORISTRANSCRIPT
TINEA CORPORIS
ANATOMI KULIT
Anatomi kulit secara histopatologik
Pembagian kulit secara garis besar tersusun tersusun atas tiga lapisan utama yaitu:
1. Lapisan epidermis atau kutikel
2. Lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin)
3. Lapisan subkutis
Tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis dan subkutis, subkutis ditandai dengan
adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel dan jaringan lemak.
1. Lapisan epidermis terdiri atas: stratus korneum, stratus lusidum, stratum granulosum,
stratum spinosum dan stratum basale.
a. Stratum korneum (lapisan tanduk) adalah lapisan kulit yang paling luar dan terdiri
atas beberapa lapis sel-sel gepeng yang mati, tidak berinti dan protoplasmanya
telah berubah menjadi keratin (zat tanduk).
b. Stratum lusidum terdapat langsung di bawah lapisan korneum, merupakan lapisan
sel-sel gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjadi protein yang
disebut eleidin, lapisan tersebut tampak lebih jelas di telapak tangan.
c. Stratum granulosum (lapisan kerato-hialin) merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel
gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar dan terdapat inti di antaranya.butir-butir
kasar ini terdiri atas keratohialin. Mukosa biasanya tidak memiliki lapisan ini.
Stratum granulosum juga tampak jelas di telapak tangan dan kaki.
d. Stratum spinosum (stratum malphigi) atau disebut pela prinkle cell layer (lapisan
akanta) tersiri atas beberapa lapis sel yang berbentuk poliglonal yang besarnya
berbeda beda karena adanya proses mitosis. Protoplasmanya jernih karena banyak
mengandung glikogen, dan inti terletak ditengah-tengah. Sel-sel ini makin dekat
ke permukaan makin gepeng bentuknya. Di antara sel-sel statum spinosum
terdapat jembatan-jembatan antar sel(intersellular bridges) yang terdiri atas
protoplasma dan tonofibril atau keratin. Perlekatan antar jembatan-jembatan ini
membentuk penebalan bulat kecil yang disebut nodulus bizzozero. Diantara sel-sel
spinosum terdapat pula sel langerhans. Sel-sel stratum spinosu mengandung
banyak glikogen.
e. Stratum basale terdiri atas sel-sel berbentuk kubus (kolumnar) yang tersusun
vertikal pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar (palisade).
Lapisan ini merupakan lapisan epidermis yang paling bawah. Sel-sel basal ini
mengadakan mitosis dan berfungsi reproduktif. Lapisan ini terdiri atas dua jenis
sel yaitu:
Sel-sel yang berbentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik inti
lonjong dan besar, dihubungkan satu dengan yang lain oleh jembatan antar
sel.
Sel pembentuk melanin (melanosit) atau clear cell merupakan sel-sel
berwarna muda, dengan sitoplasma yang basofilik dan inti gelap, dan
mengandung butir pigmen (melanosomes).
2. Lapisan dermis adalah lapisan di bawah lapisan epidermis yang jauh lebih tebal
daripada epidermis. Lapisan ini terdiri atas lapisan elastik dan fibrosa padat dengan
elemen-elemen selular dan folikel rambut. Secara garis besar dibagi menjadi 2 bagian
yakni:
a. Pars papilare yaitu bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf
dan pembuluh darah.
b. Pars retikulare yaitu bagian dibawahnya yang menonjol ke arah subkutan bagian
ini terdiri atas serabut-serabut penunjang misalnya serabut kolagen, elastin dan
retikulin. Dasar (matriks) lapisan ini terdiri atas cairan kental asam hialuronat dan
kondroitin sulfat, dibagian ini terdapat pula fibroblas. Serabut kolagen dibentuk
oleh fibroblas, membentuk ikatan (bundel) yang mengandung hidroksiprolin dan
hidroksilin. Kolagen muda bersifat lentur dengan bertambah umur menjadi kurang
larut sehingga makin stabil. Retikulin mirip kolagen muda. Serabut elastin
biasanya bergelombang, berbentuk amorf dan mudah mengembang serta lebih
elastis.
3. Lapisan subkutis adalah kelanjutan dermis. Terdiri atas jaringan ikat longgar berisi
sel-sel lemak didalamnya. Sel-sel lemak merupakan sel-sel bulat, besar dengan inti
terdesak pinggir sitoplasma lemak yang bertambah.
Sel-sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lain oleh
trabekula yang fibrosa. Lapisan sel-sel lemak disebut panikulus adiposa, berfungsi
sebagai cadangan makanan. Dilapisan ini terdapat ujung-ujung saraf tepi, pembuluh
darah dan getah bening. Tebal tipisnya jaringan lemak tidak sama bergantung pada
lokasinya. Diabdomen dapat mencapai ketebalan 3 cm, didaerah kelopak mata dan
penis sangat sedikit. Lapisan lemak ini juga merupakan bantalan.
Vaskularisasi dikulit diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus yang terletak dibagian atas
dermis (pleksus superfisialis) dan yang terletak di subkutis (pleksus profunda).
Pleksus yang didermis bagian atas mengadakan anastomosis dipapil dermis, pleksus
yang di subkutis dan dipars retikulare juga mengadakan anastomosis, di bagian ini
pembuluh darah berukuran lebih besar. Bergandengan dengan pembuluh darah
terdapat saluran getah bening.
ADNEKSA KULIT
Adneksa kulit terdiri atas kelenjar-kelenjar kulit, rambut dan kuku.
1. Kelenjar kulit terdapat dilapisan dermis, terdiri atas:
a. Kelenjar keringat (glandula sudorifera)
Ada 2 macam kelenjar keringat, yaitu kelenjar ekrin yang kecil-kecil,
terletak dangakal di dermis dengan sekret yang encer, dan kelenjar apokrin
yang lebih besar, terletak lebih dalam dan sekretnya lebih kental.
Kelenjar ekrin telah dibentuk sempurna pada 28 minggu kehamilan
dan baru berfungsi 40 minggu setelah kelahiran. Saluran kelenjar ini
berbentuk spiral dan bermuara langsung dipermukaan kulit. Terdapat
diseluruh permukaan kulit dan terbanyak ditelapak tangan dan kaki, dahi dan
aksila. Sekresi bergantung pada beberapa faktor dan dipengaruhi oleh saraf
kolinergik, faktor panas dan stress emotinal.
Kelenjar apokrin dipengaruhi oleh saraf adrenergik, terdapat di aksila,
aerola, mame, pubis, labia minora dan saluran telinga luar. Fungsi apokrin
pada manusia belum jelas, pada waktu lahir kecil, tetapi pada pubertas mulai
besar dan mengeluarkan sekret. Keringat mengandung air, elektrolit, asam
laktat dan glukosa. Biasanya pH sekitar 4 – 6,8.
b. Kelenjar palit (glandula sebasea)
Terletak diseluruh permukaan kulit manusia kecuali ditelapak tangan
dan kaki. Kelenjar palit disebut juga kelenjar holokrin karena tidak berlumen
dan sekret kelenjar ini berasal dari dekomposisi sel-sel kelenjar. Kelenjar palit
biasanya terdapat disamping akar rambut dan muaranya terdapat pada lumen
akar rambut (folikel rambut). Sebum mengandung triglesireda, asam lemak
bebas, sekualen wax ester, dan kolesterol. Sekresi dipengaruhi oleh hormon
androgen, pada anak-anak jumlah kelenjar paling sedikit, pada pubertas
menjadi lebih besar dan banyak serta mulai berfungsi secara aktif.
2. Kuku
Adalah bagian terminal lapisan tanduk (stratum korneum) yang
menebal. Bagian kuku yang terbenam dalam kulit jari disebut akar kuku (nail
root), bagian yang terbuka diatas dasar jaringan lunak kulit pada ujung jari
disebut badan kuku (nail plate), dan yang paling ujung adalah bagian kuku
yang bebas. Kuku tumbuh dari akar kuku keluar dengan kecepatan tumbuh
kira-kira 1 mm per minggu.
Sisi kuku agak mencekung membentuk alur kuku (nail groove). Kulit
tipis yang menutupi kuku dibagian proksimal disebut eponikium sedang kulit
yang ditutupi bagian kuku bebas disebut hiponikium.
3. Rambut
Terdiri atas bagian yang terbenam dalam kulit (akar rambut) dan bagian yang
berada diluar kulit (batang rambut). Ada dua macam tipe rambut yaitu lanugo yang
merupakan rambut halus, tidak mengandung pigmen dan terdapat pada bayi, dan
rambut terminal yaitu rambut yang lebih kasar dengan banyak pigmen, mempunyai
medula, dan terdapat pada orang dewasa.
Pada manusia biasa selain rambut di kepala, juga terdapat bulu mata, rambut
ketiak, rambut kemaluan, kumis dan janggut yang pertumbuhannnya dipengaruhi
hormon seks (androgen). Rambut halus di dahi dan badan lain disebut rambut velus.
Rambut tumbuh secara siklik, fase anagen (pertumbuhan) berlangsung 2-6
tahun dengan kecepatan tumbuh kira-kira 0,35 mm per hari. Fase telogen (istirahat)
berlangsung beberapa bulan. Diantara kedua fase tersebut terdapat fase katagen
(involusi temporer). Pada satu saat 85% seluruh rambut mengalami fase anagen dan
15% sisanya dalam fase telogen.
FAAL KULIT
1. Fungsi proteksi
Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisis atau mekanis,
misalnya tekanan, gesekan, tarikan. Gangguan kimiawi misalnya zat-zat kimia
terutama yang bersifat iritan contohnya lisol, karbol, asam dan alkali kuat lainnya.
Gangguan yang bersifat panas misalnya radiasi , singatan sinar ultraviolet, gangguan
infeksi luar terutama kuman/ bakteri maupun jamur.
Hal diatas dimungkinkan karena adanya bantalan lemak, tebalnya lapisan kulit
dan serabut-serabut jaringan penunjang yang berperan sebagai pelindung terhadap
gangguan fisis. Melanosit turut berperan dalam melindungi kulit terhadap pajanan
sinar matahari dengan mengadakan tanning. Proteksi rangsangan kimia dapat terjadi
karena sifat stratum korneum yang impermeabel terhadap pelbagai zat kimia dan air,
disamping itu terdapat lapisan keasaman kulit yang melindungi kontak zat-zat kimia
dengan kulit. Lapisan keasaman kulit ini mungkin terbentuk dari hasil ekskresi
keringat dan sebum, keasaman kulit menyebabkan pH kulit berkisar 5 – 6,5 sehingga
merupakan perlindungan kimiawi terhadap infeksi bakteri maupun jamur. Proses
keratinisasi juga berperan sebagai sawar (barier) mekanis karena sel-sel mati
melepaskan diri secara teratur.
2. Fungsi absorbsi
Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat, tetapi
cairan yang menguap lebih mudah diserap, begitupun yang larut lemak. Permeabilitas
kulit terhadap O2, CO2 dan uap air memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada
fungsi respirasi. Kemampuan absorbsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit,
hidrasi, kelembaban, metabolisme dan jenis vehikulum. Penyerapan dapat
berlangsung melalui celah antar sel, menembus sel-sel epidermis atau melalui muara
saluran kelenjar tetapi lebih banyak yang melalui sel-sel epidermis atau melalui muara
saluran kelenjar.
3. Fungsi ekskresi
Kelenjar-kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna lagi atau sisa
metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan amonia. Kelenjar lemak
pada fetus atas pengaruh hormon androgen dari ibunya memproduksi sebum untuk
melindungi kulitnya terhadap cairan amnion, pada waktu lahir dijumpai sebagai
vernix caseosa. Sebum yang diproduksi melindungi kulit karena lapisan sebum ini
selain meminyaki kulit juga menahan evaporasi air yang berlebihan sehingga kulit
tidak menjadi kering. Produk kelenjar minyak dan keringat dikulit menyebabkan
keasaman kulit pada pH 5 – 6,5.
4. Fungsi persepsi
Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik didermis dan subkutis. Terhadap
rangsangan panas diperankan oleh badan-badan ruffini di dermis dan subkutis.
Terhadap dingin diperankan oleh badan-badan krause yang terletak didermis. Badan
taktil meissner terletak di papila dermis berperan terhadap rabaan, demikian pula
badan merkel renvier yang terletak di epidermis. Saraf-saraf sensorik tersebut lebih
banyak jumlahnya di daerah yang erotik.
5. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi)
Kulit melakukan peranan ini dengan cara mengeluarkan keringat dan mengerutkan
(otot berkontraksi) pembuluh darah kecil. Kulit kaya akan pembuluh darah sehingga
kemungkinan kulit mendapat nutrisi yang cukup baik. Tonus vaskuler dipengaruhi
saraf simpatis (asetilkolin). Pada bayi biasanya dinding pembuluh darah belum
terbentuk sempurna, sehingga terjadi ekstravasasi cairan, karena itu kulit bayi tampak
lebih edematosa karena lebih banyak mengandung air dan Na.
6. Fungsi pembentukan pigmen
Sel pembentuk pigmen (melanosit), terletak dilapisan basal dan sel ini berasal dari rigi
saraf. Perbandingan jumlah sel basal : melanosit adalah 10 : 1. Jumlah melanosit dan
jumlah serta besarnya butiran pigmen (melanosomes) menentukan warna kulit ras
maupun individu. Pada pulasan HE sel ini jernih berbentuk bulat dan merupakan sel
dendrit, disebut pula sebagai clear cell. Melanosom dibentuk oleh alat golgi dengan
bantuan enzim tirosinase, ion Cu dan O2. Pajanan terhadap sinar matahari
mempengaruhi produksi melanosom. Pigmen disebar ke epidermis melalui tangan-
tangan dendrit sedangkan ke lapisan kulit dibawahnya dibawa oleh sel melanofag
(melanofor). Warna kulit tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh pigmen kulit, melainkan
juga oleh tebal tipisnya kulit, reduksi Hb, oksi Hb dan karoten.
7. Fungsi keratinisasi
Lapisan epidermis dewasa mempunyai 3 jenis sel utama yaitu keratinosit, sel
langerhans, melanosit. Keratinosit dimulai dari sel basal mengadakan pembelahan, sel
basal yang lain akan berpindah ke atas dan berubah bentuknya menjadi sel spinosum,
makin ke atas sel menjadi makin gepeng dan bergranula menjadi sel granulosum.
Makin lama inti menghilang dan keratinosit ini menjadi sel tanduk yang amorf. Proses
ini berlangsung terus menerus seumur hidup, dan sampai sekarang belum sepenuhnya
dimengerti. Matoltsy berpendapat mungkin keratinosit melalui proses sintesis dan
degradasi menjadi lapisan tanduk.proses ini berlangsung normal selama kira-kira 14-
21 hari, dan memberi perlindungan kulit terhadap infeksi secara mekanis fisiologik.
8. Fungsi pembentukan vitamin D
Dimungkinkan dengan mengubah 7 dihidroksi kolesterol dengan pertolongan sinar
matahari. Tetapi kebutuhan tubuh akan vitamin D sistemik masih tetap diperlukan.
PENDAHULUAN
Dari segala macam penyakit jamur kulit yang merupakan tipe infeksi superficial dan
kutan maka ptiriasis versikolor, dermatofitosis dan kandidiosis kulit yang tersering ditemui. 1
Dermatofitosis adalah golongan penyakit jamur superficial yang disebabkan oleh jamur
dermotofita yakni Trichophyton spp, Microsporum spp, dan epidermophyton spp.
Dermatofitosis mempunyai arti umum, yaitu semua penyakit jamur yang menyerang kulit.2
Penyakit ini menyerang jaringan yang mengandung zat tanduk yakni epidermis (tinea
korporis, tinea kruris, tinea manus et pedis), rambut (tinea kapitis), kuku (tinea unguinum).
Dermatofitosis terjadi karena terjadi inokulasi jamur pada tempat yang diserang, biasanya di
tempat yang lembab dengan maserasi atau ada trauma sebelumnya.1,2
Ciri khas pada infeksi jamur adanya central healing yaitu bagian tengah tampak
kurang aktif, sedangkan bagian pinggirnya tampak aktif.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi
diantaranya udara lembab, lingkungan yang padat, sosial ekonomi yang rendah, adanya
sumber penularan disekitarnya, obesitas, penyakit sistemik penggunaan antibiotika dan obat
steroid, Higiene juga berperan untuk timbulnya penyakit ini.4 Dermatofitosis salah satu
pembagiannya berdasarkan lokasi bagian tubuh manusia yang diserang salah satunya adalah
Tinea Korporis, yaitu dermatofitosis yang menyerang daerah kulit yang tidak berambut
(glabrous skin), misalnya pada wajah, badan, lengan dan tungkai. Yang gejala subyektifnya
yaitu gatal dan terutama jika berkeringat.1,2 Tinea korporis adalah infeksi dermatofita
superfisial yang ditandai oleh baik lesi inflamasi maupun non inflamasi pada glabrous skin
(kulit yang tidak berambut) seperti muka, leher, badan, lengan, tungkai dan gluteal.2,4 3
DEFINISI
Tinea corporis adalah dermatofitosis pada kulit tubuh tidak berambut (glabrous skin).1 Tinea
corporis termasuk semua infeksi dermatofitosis superfisial di luar dari kulit kepala, janggut,
wajah, tangan, kaki, dan selangkangan. Predileksi terdapat pada daerah leher, ekstremitas atas
dan bawah, dan batang tubuh.2
EPIDEMIOLOGI
Insidensi dermatomikosis di Indonesia masih cukup tinggi. Dari data beberapa rumah
sakit di Indonesia pada tahun 1998 didapatkan persentase dermatomikosis terhadap seluruh
kasus dermatosis bervariasi dari 2,93% (Semarang) sampai 27,6% (Padang).12 Sedangkan di
RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2008 terdapat 274 (7,02%) kasus baru dermatomikosis
superfisialis, 58 kasus (21,16%) diantaranya adalah tinea korporis dan 61 kasus (22,26%)
adalah tinea kruris.13 Dari segi usia, data dari beberapa rumah sakit di Indonesia menunjukkan
bahwa remaja dan kelompok usia produktif adalah kelompok usia terbanyak menderita
dermatomikosis superfisialis dibandingkan dengan kelompok usia yang lebih muda atau lebih
tua. Kemungkinan karena segmen usia tersebut lebih banyak mengalami faktor predisposisi
atau pencetus misalnya pekerjaan basah, trauma, banyak berkeringat, selain pajanan terhadap
jamur lebih lama.12
Tinea korporis adalah infeksi umum yang sering terlihat pada daerah dengan iklim
yang panas dan lembab. Seperti infeksi jamur yang lain, kondisi hangat dan lembab
membantu menyebarkan infeksi ini.4 Oleh karena itu daerah tropis dan subtropis memiliki
insiden yang tinggi terhadap tinea korporis.3 Tinea korporis dapat terjadi pada semua usia
bisa didapatkan pada pekerja yang berhubungan dengan hewan-hewan.5 Maserasi dan oklusi
kulit lipatan menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit yang memudahkan
infeksi. Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung dengan individu yang terinfeksi
atau tidak langsung melalui benda yang mengandung jamur, misalnya handuk, lantai kamr
mandi, tempat tidur hotel dan lain-lain.9
ETIOLOGI
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis. Golongan
jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin. Dermatofita termasuk kelas fungi imperfecti
yang terbagi menjadi tiga genus, yaitu Trichophyton spp, Microsporum spp, dan
Epidermophyton spp. Walaupun semua dermatofita bisa menyebabkan tinea korporis,
penyebab yang paling umum adalah Trichophyton Rubrum dan Trichophyton
Mentagrophytes.7
PATOFISIOLOGI
Infeksi dermatofita melibatkan 3 langkah utama. Yang pertama perlekatan ke
keratinosit, jamur superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat pada
jaringan keratin di antaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi dengan flora normal
lain, sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit. Dan asam lemak yang diproduksi oleh
kelenjar sebasea bersifat fungistatik.10,4
Yang kedua penetrasi melalui ataupun di antara sel, setelah terjadi perlekatan spora
harus berkembang dan menembus stratum korneum pada kecepatan yang lebih cepat daripada
proses deskuamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase lipase dan enzim
mucinolitik yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga
membantu penetrasi jamur ke jaringan. Fungal mannan di dalam dinding sel dermatofita juga
bisa menurunkan kecepatan proliferasi keratinosit. Pertahanan baru muncul ketika begitu
jamur mencapai lapisan terdalam epidermis.9,10
Langkah terakhir perkembangan respon host, derajat inflamasi dipengaruhi oleh status
imun pasien dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV atau Delayed Type
Hypersensitivity (DHT) memainkan peran yang sangat penting dalam melawan
dermatifita.pada pasien yang belum pernah terinfeksi dermatofita sebelumnya inflamasi
menyebabkan inflamasi minimal dan trichopitin test hasilnya negatif. Infeksi menghasilkan
sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit.
Dihipotesakan bahwa antigen dermatofita diproses oleh sel langerhans epidermis dan
dipresentasikan oleh limfosit T di nodus limfe. Limfosit T melakukan proliferasi dan
bermigrasi ke tempat yang terinfeksi untuk menyerang jamur. Pada saat ini, lesi tiba-tiba
menjadi inflamasi dan barier epidermal menjadi permaebel terhadap transferin dan sel-sel
yang bermigrasi. Segera jamur hilang dan lesi secara spontan menjadi sembuh.10,11 5
MANIFESTASI KLINIS
Penderita merasa gatal dan kelainan berbatas tegas terdiri atas bermacam-macam
effloresensi kulit (polimorfi).1 Bagain tepi lesi lebih aktif (tanda peradangan) tampak lebih
jelas dari pada bagian tengah. Bentuk lesi yang beraneka ragam ini dapat berupa sedikit
hiperpigmentasi dan skuamasi menahun.3 Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi
bulat atau lonjong, berbatas tegas, terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan
vesikel dan papul di tepi lesi. Daerah di tengahnya biasanya lebih tenang, sementara yang di
tepi lebih aktif yang sering disebut dengan central healing.2 Kadang-kadang terlihat erosi dan
krusta akibat garukan. Kelainan kulit juga dapat dilihat secara polisiklik, karena beberapa lesi
kulit yang menjadi satu. Lesi dapat meluas dan memberikan gambaran yang tidak khas
terutama pada pasien imunodefisiensi.4 Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang
mendadak biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan
bersamaan timbul dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini disebut tinea corporis et
cruris atau sebaliknya.8 Bentuk menahun yang disebabkan oleh Trichophyton rubrum
biasanya dilihat bersama-sama dengan tinea unguim.
Bentuk khas tinea korporis yang disebabkan oleh Trichophyton concentrikum disebut
tinea imbrikata. Penyakit ini terdapat diberbagai daerah tertentu di Indonesia, misalnya
Kalimantan Sulawesi.Tinea imbrikata mulai dengan bentuk papul berwarna cokelat yang
perlahan-lahan menjadi besar. Stratum korneum bagian tengah ini terlepas dari dasarnya dan
melebar, proses ini, setelah beberapa waktu mulai lagi dari bagian tengah, sehingga
berbentuk lingkaran-lingkaran skuama yang konsentris.bila dengan jari tangan kita meraba
dari bagian tengah ke arah luar, akan terasa jelas skuama yang menghadap kedalam.
Lingkaran-lingkaran skuama konsentris bila menjadi besar dapat bertemu dengan lingkaran-
lingkaran disebelahnyasehingga membentuk pinggir yang polisiklik. Pada permukaan infeksi
penderita dapat merasa sangat gatal, akan tetapi keluhan yang menahun tidak menimbulkan
keluhan pada penderita. Pada kasus menahun lesi kulit kadang-kadang dapat menyerupai
iktiosis.
DIAGNOSIS
Diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan ruam yang diderita
pasien. Dari gambaran klinis didapatkan lesi di leher, lengan, tungkai, dada, perut atau
punggung.2,3 Infeksi dapat terjadi setelah kontak dengan orang terinfeksi serta hewan ataupun
obyek yang baru terinfeksi. Pasien mengalami gatal-gatal, nyeri atau bahkan sensasi
terbakar.3 6
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan membuat preparat langsung dari kerokan
kulit, kemudian sediaan dituangi larutan KOH 10%. Sesudah 15 menit atau sesudah
dipanaskan dengan api kecil, dilihat di bawah miroskop, bila positif memperlihatkan elemen
jamur berupa hifa (benang-benang) panjang dan artrospora(spora berupa bola kecil sebesar 1-
3 mikro.2
Pemeriksaan dengan biakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung
sediaan basah untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap baik pada pemeriksaan ini
adalah medium agar dekstrosa Sabouruad pada suhu kamar 25-30 derajar celcius. Spesies
jamur dapat ditentukan melalui bentuk koloni, bentuk hifa dan bentuk spora. Biakan
memberikan hasil yang lebih lengkap, akan tetapi lebih sulit dikerjakan, biayanya lebih
mahal, hasil yang diperoleh dalam waktu lebih lama (1 minggu) dan sensitivitasnya kutrang
(± 60%) bila dibandingkan dengan cara pemeriksaan sediaan langsung.7
Beberapa kasus membutuhkan pemeriksaan dengan lampu wood yang mengeluarkan
sinar UV dengan gelombang 3650 Å yang jika didekatkan pada lesi akan timbul warna
kehijauan.5
Biopsi kulit dengan pewarnaan hematoxylin dan eosin dari tinea corporis
menunjukkan spongiosis, parakeratosis, dan infiltrat superfisial. Neutrofil dapat dilihat dalam
stratum korneum yang merupakan petunjuk diagnostik signifikan. Septa percabangan hifa
terkadang dapat terlihat dalam stratum korneum dengan pewarnaan hematoxylin dan eosin,
tetapi pewarnaan jamur khusus misalnya asam-Schiff, Gomori perak methenamine mungkin
diperlukan.
DIAGNOSIS BANDING
Tidaklah sulit untuk menentukan diagnosis tinea korporis pada umumnya, namun ada
beberapa penyakit kulit yang dapat mengaburkan diagnosis misalnya dermatitis seboroika,
psoriasis, dan pitiriasis rosea.11 Kelainan pada kulit pada dermatitis seboroika selain dapat
menyerupai tinea korporis, biasanya dapat terlihat pada tempat-tempat predileksi, misalnya di
kulit kepala (scalp), lipatan kulit, misalnya belakang telinga, daerah nasolabial dan
sebgainya.9 Pitiriasi rosea yang distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas pada tubuh
dan bagian proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea korporis tanpa herald
patch yang dapat membedakan penyakit ini dengan tinea korporis. Pemeriksaan laboraturium
dapat memastikan diagnosisnya. Psoriasis dapat dikenal dari kelainan kulit pada tempat
predileksi yaitu di daerah ekstensor, misalnya lutut, siku dan punggung. Kulit kepala
berambut juga sering terkena penyakit ini. Adanya lekukakn pada kuku dapat menolong
untuk menentukan diagnosis.7
Psoriasis pada sela paha dapat menyerupai tinea kruris. Lesi-lesi pada psoriasis
biasanya lebih merah, skuama lebih banyak dan lamelar. Adanya lesi psoriasis pada tempat
lesi dapat menentrukan diagnosis.3 Kandidiosis pada lipatan paha mempunyai konfigurasi hen
and chicken. Kelainan ini biasanya basah dan berkrusta. Pada wanita ada tidaknya fluor albus
dapat membantu mengarahkan diagnosis. Pada penderita-penderita diabetes mellitus,
kandidiosis merupakan penyakit yang sering dijumpai. Eritrasma merupakan penyakit yang
tersering berlokasi di daerah sela paha. Effloresensi yang sama yaitu eritema dan skuama
pada seluruh lesi merupakan tanda khas penyakit ini. Pemeriksaan dengan lampu wood dapat
menolong dengan adanya effloresensi merah (coral red).5
PENATALAKSANAAN
1. Non medikamentosa
Menurut badan POM RI (2011), dikatakan bahwa penatalaksanaan non medika adalah
sebagai berikut:
a. gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena infeksi atau
bagian yang terinfeksi dikeringkan terakhir untu mencegah bagian tubuh lainnya.
b. Jangan gunakan handuk, baju atau benda lainnya secara bergantian dengan orang
yang terinfeksi
c. Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas untuk
mencegah penyebaran jamur tersebut.
d. Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk menghilangkan sisa-
sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh.
e. Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat menyebabkan
kulit selalu basah seperti bahan wool dan bahan sintetis yang dapat menghambat
sirkulasi udara.
f. Sebelum menggunakan sepatu, sebaiknya dilap terlebih dahulu dan bersihkan
debu-debu yang nempel pada sepatu.
g. Hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi jamur. Gunakan
sandal yang terbuat dari bahan kayu dan karet.
2. Medikamentosa
Pengobatan dapat diberikan melalui topikal dan sistemik. Untuk pengobatan
topikal direkomendasikan untuk suatu peradangan yang dilokalisir, dapat diberikan
kombinasi asam salisilat 3-6% dan asam benzoat 6-12% dalam bentuk salep (salep
whitfield). Kombinasi asam salisilat dengan sulfur presipitatum dalam bentuk salep (salep
2-4, salep 3-10) dan derivat azol : mikonazole 2%, dan klotrimasol 1%.6
Asam salisilat
Farmakologi Asam Salisilat Topikal Sifat Kimia Asam salisilat, dikenal juga
dengan 2hydroxy-benzoic acid atau orthohydrobenzoic acid, memiliki struktur
kimia C7H6O3. Asam salisilat memiliki pKa 2,97. Asam salisilat dapat
diekstraksi dari pohon willow bark, daun wintergreen, spearmint, dan sweet birch.
Saat ini asam salisilat telah dapat diproduksi secara sintetik. Bentuk makroskopik
asam salisilat berupa bubuk kristal putih dengan rasa manis, tidak berbau, dan
stabil pada udara bebas. Bubuk asam salisilat sukar larut dalam air dan lebih
mudah larut dalam lemak. Sifat lipofilik asam salisilat membuat efek klinisnya
terbatas pada lapisan epidermis. Manfaat dan Mekanisme Kerja Asam Salisilat
Topikal Efek Keratolitik dan Desmolitik Asam salisilat telah digunakan secara
luas dalam terapi topikal sebagai bahan keratolitik. Zat ini merupakan bahan
keratolitik tertua yang digunakan sejak 1874. Berbagai penelitian menyimpulkan
terdapat tiga faktor yang berperan penting pada mekanisme keratolitik asam
salisilat, yaitu menurunkan ikatan korneosit, melarutkan semen interselular, dan
melonggarkan serta mendisintegrasi korneosit. Asam salisilat bekerja sebagai
pelarut organik dan menghilangkan ikatan kovalen lipid interselular yang
berikatan dengan cornified envelope di sekitar keratinosit. Mekanisme kerja zat ini
adalah pemecahan struktur desmosom yang menyebabkan disintegrasi ikatan antar
sel korneosit. Terminologi desmolitik lebih menggambarkan mekanisme kerja
asam salisilat topikal. Efek desmolitik asam salisilat meningkat seiring dengan
peningkatan konsentrasi. Asam salisilat topikal dalam konsentrasi yang lebih
besar (20-60%), menimbulkan destruksi pada jaringan sehingga kerap digunakan
pada terapi veruka dan kalus. Pengelupasan secara mekanik dapat meningkatkan
efektivitas kerja asam salisilat topikal. Pasien dapat diedukasi untuk mengusap
kulit dengan spon halus atau handuk basah saat mandi. Pada terapi kalus,
pengelupasan dapat pula dilakukan dengan bantuan sikat. Bantuan mekanik ini
akan menyebabkan pengelupasan yang adekuat setelah kulit diberikan asam
salisilat topikal selama beberapa hari.
Efek Keratoplastik
Pada konsentrasi 0,5-2%, asam salisilat memiliki stabilisasi stratum korneum yang
menyebabkan efek keratoplastik. Mekanisme belum diketahui secara pasti, namun
hal tersebut diduga merupakan fenomena adaptasi homeopatik, yaitu asam salisilat
menyebabkan rangsangan keratolitik lemah yang menyebabkan peningkatan
keratinisasi.
Efek Fungistatik
Kepustakaan menyebutkan efek fungistatik ringan asam salisilat topikal dapat
diamati terhadap Trichophyton spp. dan Candida spp. Efek ini diamati pada
konsentrasi rendah 2-3g/l (<1%). Akan tetapi, beberapa referensi menyebutkan
kemungkinan efek desmolitik asam salisilat yang membantu penyembuhan infeksi
jamur superfisial, bukan efek fungistatik langsung.
Efek Samping Asam Salisilat Topikal
Absorpsi Sistemik, Secara umum penggunaan terapi topikal relatif lebih aman dan
memiliki efek samping minimal bila dibandingkan dengan rute pemberian
sistemik, namun terapi topikal memiliki potensi toksisitas sistemik, efek
teratogenik, dan interaksi obat akibat absorpsi sistemik yang harus diwaspadai.
Penggunaan asam salisilat pada area yang luas dapat mencapai sirkulasi sistemik
dalam jumlah yang signifikan. Asam salisilat diabsorpsi secara cepat karena
sifatnya yang cenderung lipofilik, terutama bila diberikan dalam vehikulum
minyak/salap dengan atau tanpa oklusi. Bioavailibilitas absopsi asam salisilat
melalui kulit bervariasi antara 11,8%-30,7%. Asam salisilat yang diberikan secara
topikal tidak melalui metabolisme awal di hati, sehingga tidak mengalami
penurunan signifikan jumlah zat aktif sebelum bekerja. Hal inilah yang
menyebabkan asam salisilat relatif aman bila diberikan secara oral, namun dapat
memberikan mani-festasi gejala kelainan saraf pusat akibat toksisitas pada
pemberian secara topikal dalam dosis yang sama. Batas maksimal pemberian
asam salisilat adalah 2g/24 jam.
Faktor yang Mempengaruhi Absorpsi Sistemik dan Toksisitas
Absorpsi Perkutan
Toksisitas asam salisilat perkutan berkorelasi langsung dengan absorpsi perkutan.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi absorpsi perkutan, yaitu konsentrasi
obat, vehikulum, penggunaan oklusi, luas permukaan aplikasi, frekuensi dan durasi
aplikasi, serta keadaan kulit. Semakin tinggi konsentrasi obat maka akan semakin
tinggi kemungkinan absorpsi sistemik. Penggunaan vehikulum minyak/ salap akan
lebih mudah diserap dibandingkan krim.
Semakin luas permukaan aplikasi, semakin sering frekuensi aplikasi dan semakin
lama durasi pengunaan asam salisilat topikal, serta oklusi akan meningkatkan absorpsi
sistemik. Keadaan kulit, terutama fungsi sawar, berpengaruh terhadap absorpsi asam
salisilat perkutan. Asam salisilat telah terdeteksi dalam urin dalam 24 jam setelah
aplikasi topikal pada penderita eritroderma. Penggunaan asam salisilat 3% dengan
frekuensi 3x/hari pada seluruh area kulit kecuali wajah dan leher menyebabkan
toksisitas sistemik pada hari ke-5.3
Usia
Populasi bayi, anak, dan lanjut usia memiliki risiko kejadian toksisitas lebih besar
dibandingkan dewasa. Bayi dan anak memiliki perbandingan volume dan luas
permukaan tubuh yang besar. Selain itu fungsi detoksifikasi dan ekskresi belum
berkembang secara sempurna. Pada usia lanjut, volume cairan ekstravaskular juga
lebih rendah.
Fungsi Hati dan Ginjal
Asam salisilat mengalami metabolisme di retikulum endoplasmik dan mitokondria sel
hati, serta di eksresi melalui ginjal sebagai asam salisilat bebas, salicyluric acid, dan
asam gentisat. Kegagalan fungsi hati akan menyebabkan kadar asam salisilat dalam
plasma meningkat sedangkan kegagalan fungsi ginjal akan menyebabkan ekskresi
asam salisilat dan metabolitnya menurun, sehingga meningkatkan akumulasinya
dalam plasma.
Toksisitas Sistemik
Kejadian toksisitas sistemik akibat absorpsi asam salisilat melalui kulit jarang
dijumpai, namun berpotensi menimbulkan gangguan serius, bahkan kematian. Gejala
toksisitas dapat diamati pada kadar plasma 200-400 μg/ml.
Untuk pengobatan sistemik pada peradangan yang luas dan adanya penyakit
immunosupresi, dapat diberikan griseofulvin 500 mg sehari untuk dewasa, sedangkan
anak-anak 10-25mg/kg BB sehari.6 Lama pemberian Griseofulvin pada tinea korporis
adalah 3-4 minggu, diberikan bila lesi luas atau bila dengan 8
pengobatan topikal tidak ada perbaikan. Pada kasus yang resisten terhadap
Griseofulvin dapat diberikan derivat azol seperti itrakonazol, dan flukonazol.4,6 Antibiotik
juga dapat diberikan jika terjadi infeksi sekunder.6
Griseofulvin
Griseofulvin adalah antibiotika yang bersifat fungistatik. Secara in-vitro
griseofulvin dapat menghambat pertumbuhan berbagai spesies dari Microsporum,
Epidermophyton dan Trichophyton. Pada penggunaan per oral griseofulvin
diabsorpsi secara lambat, dengan memperkecil ukuran partikel, absorpsi dapat
ditingkatkan. Griseofulvin ditimbun di sel-sel terbawah dari epidermis, sehingga
keratin yang baru terbentuk akan tetap dilindungi terhadap infeksi jamur (Santoso,
2009).
a. Farmakokinetik
Absorpsi griseofulvin sangat bergantung pada keadaan fisik obat ini dan
absorpsinya dibantu oleh makanan yang banyak mengandung lemak. Senyawa
dalam bentuk partikel yang lebih kecil diabsorpsi 2 kali lebih baik daripada
partikel yang lebih besar(Munaf, 2004).
Metabolismenya terjadi di hati. Metabolit utamanya adalah 6-metilgriseofulvin
dengan waktu paruh sekitar 24 jam. Jumlah yang diekskresikan melalui urine
adalah 50% dari dosis oral yang diberikan dalam bentuk metabolit dan
berlangsung selama 5 hari. Kulit yang sakit mempunyai afinitas lebih besar
terhadap obat ini, ditimbun dalam sel pembentuk keratin, terikat kuat dengan
keratin dan akan muncul bersama sel yang baru berdiferensiasi sehingga sel baru
ini akan resisten terhadap serangan jamur. Keratin yang mengandung jamur akan
terkelupas dan digantikan oleh se baru yang normal. Griseofulvin ini dapat
ditemukan dalam sek tanduk 4-8 jam setelah pemberian oral (Munaf, 2004).
b. Farmakodinamik
Obat ini bekerja dengan menghambat skualenapoksidase dan obat ini memberiakn
efek fungistatik. Spectrum aktivitasnya hanya efektif terhadap dermatofit, karena
di sel-sel kandida tidak tercapai konsentrasi yang cukup (Schmitz dkk, 2009). Flikonazol
Flukonazol merupakan derivate triazol, antijamur yang poten, yang bekerja
spesifik menghambat pembentukan sterol pada membrane sel jamur. Flukonazol
bekerja dengan spesifitas yang tinggi pada enzim-enzim “cytochrome P-450
dependent” (Munaf, 2004).
a. Farmakokinetik
Flukonazol diserap baik melalui saluran cerna, dan kadarnya dalam plasma,
setelah pemberian IV, diperoleh dari 90% kadar plasma. Absorpsi per oral tidak
dipengaruhi oleh adanya makanan. Kadar puncak dalam plasma diperoleh ½ jam
sampai 1½ jam setelah pemberian dengan waktu paruh 30 jam. Kadar menetap
dalam plasma dengan dosis harian diperoleh pada hari ke-4 sampai ke-5 yang
kira-kira 80% dari kadar plasma (Munaf, 2004).
b. Farmakodinamik
Obat ini menghambat sintesis ergosterol dengan bekerja pada lanosteroldemetilase
dan gangguan terhadap transport zat-zat karena kumulasi pada membra
sitoplasma. Flukonazol aktif terhadap mikosis yang umumm disebabkan
oleh Cryptococcus neoformans, infeksi jamur intracranial, mikrosporum, dan
trikhofiton (Schmitz dkk, 2009).PENCEGAHAN
Faktor-faktor yang perlu dihindari atau dihilangkan untuk mencegah terjadi tinea
korporis antara lain: mengurangi kelembaban tubuh penderita dengan menghindari pakainan
yang panas, menghindari sumber penularan yaitu binatang, kuda, sapi kucing, anjing atau
kontak dengan penderita lain, menghilangkan fokal infeksi di tempat lain misalnya di kuku
atau di kaki, meningkatkan higienitas dan mengatasi faktor predisposisi lain seperti diabetes
mellitus, kelianan endokrin yang lain, leukimia harus terkontrol dengan baik.1
Juga beberapa faktor yang memudahkan timbulnya residif pada tinea korporis harus
dihindari atau dihilangkan antara lain: temperatur lingkungan yang tinggi, keringat
berlebihan, pakaian dari bahan karet atau nilon, kegiatan yang banyak berhubungan dengan
air, misalnya berenang, kegemukan, selain faktor kelembaban, gesekan kronis dan keringat
yang berlebihan disertai higienitas yang kurang, memudahkan timbulnya infeksi jamur.1,3
PROGNOSIS
Prediktor-prediktor yang mempengaruhi prognosis diantaraya faktor : usia, sistem
kekebalan tubuh, dan perilaku keseharian penderita. Tinea korporis merupakan salah satu
penyakit kulit yang menular dan bisa mengenai anggota keluarga lain yang tinggal satu
rumah dengan penderita.5 Anak-anak dan remaja muda paling rentan ditularkan tinea
korporis. Disarankan untuk lebih teliti dalam memilih bahan pakaian yang tidak terlalu ketat,
tidak berbahan panas dan bahan pakaian yang tidak menyerap keringat. Penularan juga
dipermudah melalui binatang yang dipelihara dalam rumah penderita tinea korporis.7
Faktor usia juga dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Semakin
bertambahnya usia, maka sistem kekebalan tubuh pun akan menurun, jadi lebih beresiko dan
mudah tertular suatu penyakit, termasuk tinea korporis.8 Perkembangan penyakit tinea
korporis dipengaruhi oleh bentuk klinik dan penyebab penyakitnya, disamping faktor-faktor
yang memperberat atau memperingan penyakitnya. Apabila faktor-faktor yang memperberat
penyakit dapat dihilangkan, umumnya penyakit ini dapat hilang sempurna. Tinea korporis
mempunyai prognosa baik dengan pengobatan yang adekuat dan kelembaban dan kebersihan
kulit yang selalu dijaga.11
EFLORESENSI KULIT
Eritema adalah kemerahan pada kulit yang disebabkan pelebaran pembuluh kapiler
yang reversible.
Papula adalah penonjolan superficial pada permukaan kulit dengan massa zat padat,
berbatas tegas, berdiameter < 1cm.
Skuama adalah pelepasan lapisan tanduk dari permukaan kulit. Dapat berupa sisik
halus (TV), sedang (dermatitis), atau kasar (psoriasis). Skuma dapat berwarna putih
(psoriasis), cokelat (TV), atau seperti sisik ikan (iktiosis).
Krusta adalah onggokan cairan darah, kotoran, nanah, dan obat yang sudah
mengering diatas permukaan kulit, misalnya pada impetigo krustosa, dermatitis
kontak. Krusta dapat
berwarna hitam (pada jaringan nekrosis), merah (asal darah), atau cokelat (asal
darah,nanah, serum).
Erosi adalah kelainan kulit yang disebabkan oleh kehilangan jaringan yang tidak
melampui stratum basal.
GAMBAR - GAMBAR
Trichophyton spp
Taksonomi dari Trichophyton rubrum adalah sebagai berikut :
Phylum : Ascomycota
Class : Eurotiomycetes
Order : Onygenales
Family : Arthrodermataceae
Genus : Trichophyton
Species : Trichophyton rubrum
Pada jamur ini, mikrokonidia adalah bentuk spora yang paling banyak. Mikrokonidia
berdinding halus, berbentuk tetesan air mata sepanjang sisi- sisi hifa, pada beberapa strain
terdapat banyak mikrokonidia bentuk ini. Koloni sering menghasilkan warna merah pada sisi
yang sebaliknya. Beberapa strain dari T. rubrum telah dibedakan yaitu : T.rubrum berbulu
halus dan T. rubrum tipe granuler. T. rubrum berbuluhalus memiliki karakteristik yaitu
produksi mikrokonidia yang jumlahnya sedikit, halus, tipis, kecil, dan tidak mempunyai
makrokonidia. Sedangkan karakteristik T. rubrum tipe granuler yaitu produksi mikrokonidia
dan makrokonidia yang jumlahnya sangat banyak. Mikrokonidia berbentuk clavate dan
pyriform, makrokonidia berdinding tipis, dan berbentuk seperti cerutu. T. rubrum berbulu
halus adalah strain jamur yang paling banyak menginfeksi manusia. Strain ini dapat
menyebabkan infeksi kronis pada kulit. Sedangkan T. rubrum tipe granuler menyebabkan
penyakit Tinea corporis.
Typical cigar shaped macroconidia of T. rubrum granular type
Typical slender clavate microconidia of T. rubrum downy type
Microsporum spp
epidermophyton spp.
Tinea corporis
Dermatitis seboroik
Pityriasis rosea
Psoriasis
Kandidiasis
Eritrasma
DAFTAR PUSTAKA
Anatomi Faal dari buku kulit merah UI punya.
Farmako ada yang dari journal, makalah, blog.
1. Wirya Duarsa. Dkk.: Pedoman Diagnosi dan Terapi Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar. 2010.
2. Djuanda, Adhi. Dkk.: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2004.
3. Budimulja, U. sunoto. Dan Tjokronegoro. Arjatmo. : Penyakit Jamur. Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta. 2008.
4. Sularsito, Sri Adi.Dkk. : Dermatologi Praktis. Perkumpulan Ahli Dermatologi dan
Venereologi Indonesia, Jakarta. 2006.
5. Budimulja, U.: Infeksi Jamur. Yayasan Penerbit IDI, Jakarta. 2004.
6. Bolognia, Jean; Jorizzo, Joseph L.; Rapini, Roland P. (2007). Dermatology (2nd ed.). St.
Louis, Mo.: Mosby Elsevier.p. 1135.
7. Brannon, Heather (2010-03-08). “Ringworm-Tinea Corporis”. About.com Dermatology.
About.com. Retrieved 2012-11-20.
8. Gupta, Aditya K.; Chaudhry, Maria; Elewski, Boni (July 2008). “Tinea coeporis, tinea
cruris, tinea nigra, and piedra”. Dermatologic Clinics (Philadelphia;Elsevier Health Sciences
Division) 21 (3); 395-400.
9. Berman, Kevin (2008-10-03). “Tinea corporis – All information”. MultiMedia Medical
Encyclopedia. University of Maryland Medical Center. Retrieved 2012-11-20.
10. Tinea corporis, Tinea cruris, and Tinea pedis. Mycoses. Doctor-Fungus. 2007-01-27.
Retrieved 2012-11-20.
11. James, William D.; Berger, Timothy G.; Elston, Dirk M.; Odom, Richard B. (2006).
Andrews’ Diseases of the Skin: Clinical Dermatology (10th ed.). Philadelphia; Saunders
Elsevier.p. 302.
12. Kuswadji, Budimulja U. Penatalaksanaan Dermatofitosis di Indonesia. MDVI 1997;24(1):36-39
13. Medical term : Chronic illness. Available : http://www.wikipedia.com (Accessed: 2013, Oktober 28th)