87656978 tinea korporis
DESCRIPTION
tinea korporisTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Tinea korporis merupakan infeksi yang umumnya sering dijumpai didaerah
yang panas, Tricophyton rubrum merupakan infeksi yang paling umum diseluruh
dunia dan sekitar 47 % menyebabkan tinea korporis. Tricophyton tonsuran
merupakan dermatofit yang lebih umum menyebabkan tinea kapitis, dan orang
dengan infeksi tinea kapitis antropofilik akan berkembang menjadi tinea korporis..
Walaupun prevalensi tinea korporis dapat disebabkan oleh peningkatan Tricophyton
tonsuran, Microsporum canis merupakan organisme ketiga sekitar 14 %
menyebabkan tinea korporis.(7)
Tinea korporis mungkin ditransmisikan secara langsung dari infeksi manusia
atau hewan melalui autoinokulasi dari reservoir, seperti kolonisasi T.rubrum di kaki.
Anak-anak lebih sering kontak pada zoofilik patogen seperti M.canis pada kucing
atau anjing. Pakaian ketat dan cuaca panas dihubungkan dengan banyaknya frekuensi
dan beratnya erupsi. (2)
Infeksi dermatofit tidak menyebabkan mortalitas yang signifikan tetapi
mereka bisa berpengaruh besar terhadap kualitas hidup. Tinea korporis prevalensinya
sama antara pria dan wanita. Tinea korporis mengenai semua orang dari semua
tingkatan usia tapi prevalensinya lebih tinggi pada preadolescen. Tinea korporis yang
berasal dari binatang umumnya lebih sering terjadi pada anak-anak. (7,8) Secara
geografi lebih sering pada daerah tropis daripada subtropis.(8)
Berdasarkan habitatnya dermatofit digolongkan sebagai antropofilik
(manusia), zoofilik (hewan), dan geofilik (tanah). Dermatofit yang antropofilik paling
sering sebagai sumber infeksi tinea, tetapi sumber yang zoofilik di identifikasi (jika
mungkin) untuk mencegah reinfeksi manusia.(9)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Tinea korporis adalah penyakit dermatofit pada kulit glabrosa, selain kulit
kepala, wajah, kaki, telapak tangan dan kaki, janggut dan lipatan paha.(1,2,3)
Manifestasinya akibat infiltrasi dan proliferasinya pada stratum korneum dan tidak
berkembang pada jaringan yang hidup.(1,4) Metabolisme dari jamur dipercaya
menyebabkan efek toksik dan respon alergi. Tinea korporis umumnya tersebar pada
seluruh masyarakat tapi lebih banyak di daerah tropis. (1)
Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur dan paling sering terjadi pada
iklim yang panas (tropis dan subtropis).(5,6) Ada beberapa macam variasi klinis dengan
lesi yang bervariasi dalam ukuran derajat inflamasi dan kedalamannya. Variasi ini
akibat perbedaan imunitas hospes dan spesies dari jamur.(5)
2.2 EPIDEMIOLOGI
Tinea korporis merupakan infeksi yang umumnya sering dijumpai didaerah
yang panas, Tricophyton rubrum merupakan infeksi yang paling umum diseluruh
dunia dan sekitar 47 % menyebabkan tinea korporis. Tricophyton tonsuran
merupakan dermatofit yang lebih umum menyebabkan tinea kapitis, dan orang
dengan infeksi tinea kapitis antropofilik akan berkembang menjadi tinea korporis..
Walaupun prevalensi tinea korporis dapat disebabkan oleh peningkatan Tricophyton
tonsuran, Microsporum canis merupakan organisme ketiga sekitar 14 %
menyebabkan tinea korporis.(7)
Tinea korporis mungkin ditransmisikan secara langsung dari infeksi manusia
atau hewan melalui autoinokulasi dari reservoir, seperti kolonisasi T.rubrum di kaki.
Anak-anak lebih sering kontak pada zoofilik patogen seperti M.canis pada kucing
atau anjing. Pakaian ketat dan cuaca panas dihubungkan dengan banyaknya frekuensi
dan beratnya erupsi. (2)
Infeksi dermatofit tidak menyebabkan mortalitas yang signifikan tetapi
mereka bisa berpengaruh besar terhadap kualitas hidup. Tinea korporis prevalensinya
sama antara pria dan wanita. Tinea korporis mengenai semua orang dari semua
tingkatan usia tapi prevalensinya lebih tinggi pada preadolescen. Tinea korporis yang
berasal dari binatang umumnya lebih sering terjadi pada anak-anak. (7,8) Secara
geografi lebih sering pada daerah tropis daripada subtropis.(8)
Berdasarkan habitatnya dermatofit digolongkan sebagai antropofilik
(manusia), zoofilik (hewan), dan geofilik (tanah). Dermatofit yang antropofilik paling
sering sebagai sumber infeksi tinea, tetapi sumber yang zoofilik di identifikasi (jika
mungkin) untuk mencegah reinfeksi manusia.(9)
2.3 ETIOLOGI
Tinea korporis dapat disebabkan oleh berbagai spesies dermatofit seperti
Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Variasi penyebabnya dapat
ditemukan berdasarkan spesies yang terdapat di daerah tertentu.(1,6) Namun demikian
yang lebih umum menyebabkan tinea korporis adalah T.rubrum, T.mentagrophytes,
dan M.canis.(1)
2.4 PATOGENESIS
Dermatofitosis bukanlah patogen endogen. Transmisi dermatofit kemanusia
dapat melalui 3 sumber masing-masing memberikan gambaran tipikal. Karena
dermatofit tidak memiliki virulensi secara khusus dan khas hanya menginvasi bagian
luar stratum korneum dari kulit.(3)
Types Of Dermatophytes Based On Mode Of Transmission
Category Mode of transmission Typical clinical features
Antropofilik
Zoofilik
Geofilik
Manusia ke manusia Hewan ke
manusia Tanah ke manusia
atau hewan
Ringan, tanpa inflamasi, kronik
Inflamasi hebat (mungkin pustula dan
vesikel), akut. Inflamasi sedang
Lingkungan kulit yang sesuai merupakan faktor penting dalam perkembangan
klinis dermatofitosis. Infeksi alami disebabkan oleh deposisi langsung spora atau hifa
pada permukaan kulit yang mudah dimasuki dan umumnya tinggal di stratum
korneum, dengan bantuan panas, kelembaban dan kondisi lain yang mendukung
seperti trauma, keringat yang berlebih dan maserasi juga berpengaruh.(4,7,10)
Pemakaian bahan yang tidak berpori akan meningkatkan temperatur dan
keringat sehingga mengganggu fungsi barier stratum korneum. Infeksi dapat
ditularkan melalui kontak langsung dengan individu atau hewan yang terinfeksi,
benda-benda seperti pakaian, alat-alat dan lain-lain. Infeksi dimulai dengan terjadinya
kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya dalam jaringan keratin yang mati. Hifa ini
memproduksi enzim keratolitik yang mengadakan difusi ke dalam jaringan epidermis
dan merusak keratinosit. (7,10)
Setelah masa perkembangannya (inkubasi) sekitar 1-3 minggu respon jaringan
terhadap infeksi semakin jelas dan meninggi yang disebut ringworm, yang
menginvasi bagian perifer kulit. Respon terhadap infeksi, dimana bagian aktif akan
meningkatkan proses proliferasi sel epidermis dan menghasilkan skuama. Kondisi ini
akan menciptakan bagian tepi aktif untuk berkembang dan bagian pusat akan bersih.
Eliminasi dermatofit dilakukan oleh sistem pertahanan tubuh (imunitas) seluler.(7,10)
Pada masa inkubasi, dermatofit tumbuh dalam stratum korneum, kadang-
kadang disertai tanda klinis yang minimal. Pada carier, dermatofit pada kulit yang
normal dapat diketahui dengan pemeriksaan KOH atau kultur.(10)
2.5 GAMBARAN KLINIK
Tinea korporis bisa mengenai bagian tubuh manapun meskipun lebih sering
terjadi pada bagian yang terpapar. Pada penyebab antropofilik biasanya terdapat di
daerah yang tertutup atau oklusif atau daerah trauma.(6)
Keluhan berupa rasa gatal. Pada kasus yang tipikal didapatkan lesi bulla yang
berbatas tegas, pada tepi lesi tampak tanda radang lebih aktif dan bagian tengah
cenderung menyembuh. Lesi yang berdekatan dapat membentuk pola gyrate atau
polisiklik. Derajat inflamasi bervariasi, dengan morfologi dari eritema sampai
pustula, bergantung pada spesies penyebab dan status imun pasien. Pada penyebab
zoofilik umumnya didapatkan tanda inflamasi akut. Pada keadaan imunosupresif, lesi
sering menjadi lebih luas.(6)
Tinea korporis dapat bermanifestasi sebagai gambaran tipikal, dimulai sebagai
lesi eritematosa, plak yang bersisik yang memburuk dan membesar, selanjutnya
bagian tengah dari lesi akan menjadi bentuk yang anular akan mengalami resolusi,
dan bentuk lesi menjadi anular.(1,5,7,10,11) berupa skuama, krusta, vesikel, dan papul
sering berkembang, khususnya pada bagian tepinya. Kadang-kadang terlihat erosi dan
krusta akibat garukan. Lesi pada umumnya merupakan bercak terpisah satu dengan
yang lainnya.(10)
Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang akut biasanya tidak terlihat
lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan
kelainan pada sela paha. Dalam hal ini disebut tinea korporis dan kruris.(12)
Bentuk khas tinea korporis yang disebabkan oleh Trichophyton concentricum
disebut tinea imbrikata. Tinea imbrikata mulai dengan bentuk papul berwarna coklat,
yang perlahan-lahan menjadi besar. Stratum korneum bagian tengah ini terlepas dari
dasarnya dan melebar. Proses ini setelah beberapa waktu mulai lagi dari bagian
tengah, sehingga terbentuk lingkaran-lingkaran skuama yang konsentris. (7)
Infeksi dermatofit secara zoofilik atau geofilik lebih sering menyebabkan
respon inflamasi daripada yang disebabkan oleh mikroba antropofilik. Umumnya,
pasien HIV-positif atau imunokompromise bisa terlihat dengan abses yang dalam dan
meluas. (7)
Tinea korporis lebih sering ditemukan sebagai asimptomatik atau gatal ringan.
Secara obyektif tipikal lesinya mulai sebagai makula eritematosa atau papul yang
menjalar dan berkembang menjadi anular, dan lesi berbatas tegas, skuama atau
vesikel, tepi yang berkembang dan healing center. Tinea korporis lebih sering pada
permukaan tubuh yang terbuka antara lain wajah, lengan dan bahu.(13)
2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dalam patogenesisnya, jamur patogen akan menyebabkan kelainan pada kulit
sehingga atas dasar kelainan kulit inilah kita dapat membangun diagnosis. Akan
tetapi kadang temuan efloresensi tidak khas atau tidak jelas, sehingga diperlukan
pemeriksaan penunjang. Sehingga diagnosis menjadi lebih tepat. (14)
Pemeriksaan mikroskopik langsung terhadap bahan pemeriksaan merupakan
pemeriksaan yang cukup cepat, berguna dan efektif untuk mendiagnosis infeksi
jamur. (6)
Pemeriksaan KOH merupakan pemeriksaan tunggal yang paling penting
untuk mendiagnosis infeksi dermatofit secara langsung dibawah mikroskop dimana
terlihat hifa diantara material keratin.(5)
Gambaran effloresensinya sebagai berikut (6)
Penyakit jamur Floresensi
Tinea kapitis Pitiriasis Hijau, biru kehijauan Kuning keemasan
versikolor
Bukan Penyakit jamur Effloresensi
Eritasma Obat tetrasiklin Merah bata kuning
2.7 DIAGNOSIS
Diagnosis ditetapkan berdasarkan gambaran klinis dan lokalisasinya atau
pemeriksaan sediaan langsung kerokan lesi dengan larutan KOH 20%, untuk melihat
elemen jamur dermatofit. Biakan jamur diperlukan untuk identifikasi spesies jamur
penyebab yang lebih akurat.(10)
Diagnosis pasti digunakan melakukan pemeriksaan dengan menggunakan
mikroskop untuk mengidentifikasi adanya hifa dan spora untuk mengetahui infeksi
dermatofit. Infeksi dapat dikonfirmasi atau beberapa dari keadaan ini diidentifikasi
dari hasil positif kerokan oleh kultur jamur. (14)
2.8 DIAGNOSIS BANDING
Bergantung variasi gambaran klinis, tinea korporis kadang sulit dibedakan
dengan beberapa kelainan kulit yang lainnya. Antara lain dermatitis kontak,
dermatitis numularis, dermatitis seboroik, ptiriasis rosea,(6,12) dan morbus hansen.(6,7,12)
Untuk alasan ini, tes laboraturium sebaiknya dilakukan pada kasus dengan lesi kulit
yang tidak jelas penyebabnya. (6)
Kelainan kulit pada dermatitis seboroik selain dapat menyerupai tinea
korporis, biasanya dapat terlihat pada tempat-tempat predileksi, misalnya dikulit
kepala, lipatan-lipatan kulit, misanya belakang telinga, daerah nasolabial dan
sebagainya. Psoriasis dapat dikenal dari kelainan kulit dari tempat predileksi, yaitu
daerah ekstensor, misalnya lutut, siku dan punggung. Kulit kepala berambut juga
sering terkena pada penyakit ini. Adanya lekukan lekukan pada kuku dapat pula
menolong untuk menentukan diagnosis. (12)
Pitiriasis rosea, yang distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas, tubuh
dan bagian proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea korporis tanpa
heral patch yang dapat membedakan penyakit ini dengan tinea korporis. Pemeriksaan
laboratoriumlah yang dapat memastikan diagnosisnya. (12)
2.9 PENATALAKSANAAN
Menghilangkan faktor predisposisi penting, misalnya mengusahakan daerah
lesi selalu kering dan memakai baju yang menyerap keringat.
A. Terapi topikal
Terapi direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit
biasanya hidup pada jaringan. Berbagai macam preparat imidazol dan
alilamin tersedia dalam berbagai formulasi. Dan semuanya memberikan
keberhasilan terapi (70-100%). Terapi topikal digunakan 1-2 kali sehari
selama 2 minggu tergantung agen yang digunakan. Topikal azol dan allilamin
menunjukkan angka perbaikan perbaikan klinik yang tinggi.(7)
Berikut obat yang sering digunakan :
1. Topical azol terdiri atas :
a. Econazol 1 %
b. Ketoconazol 2 %
c. Clotrinazol 1%
d. Miconazol 2% dll.
Derivat imidazol bekerja dengan cara menghambat enzim 14-
alfa-dimetilase pada pembentukan ergosterol membran sel jamur. (7,15)
2. Allilamin bekerja menghambat allosterik dan enzim jamur skualen 2,3
epoksidase sehingga skualen menumpuk pada proses pembentukan
ergosterol membran sel jamur.(10) yaitu aftifine 1 %, butenafin 1%
Terbinafin 1% (fungisidal bersifat anti inflamasi ) yang mampu bertahan
hingga 7 hari sesudah pemakaian selama 7 hari berturut-turut.(7,15)
3. Sikloklopirosolamin 2% (cat kuku, krim dan losio) bekerja menghambat
masuknya bahan esensial selular dan pada konsentrasi tinggi merubah
permeabilitas sel jamur merupakan agen topikal yang bersifat fungisidal
dan fungistatik, antiinflamasi dan anti bakteri serta berspektrum luas.(7)
4. Kortikosteroid topikal yang rendah sampai medium bisa ditambahkan
pada regimen anti jamur topikal untuk menurunkan gejala. Tetapi steroid
hanya diberikan pada beberapa hari pertama dari terapi. (5,7)
B. Terapi sistemik
Pedoman yang dikeluarkan oleh American Academy of Dermatology
menyatakan bahwa obat anti jamur (OAJ) sistemik dapat digunakan pada
kasus hiperkeratosis terutama pada telapak tangan dan kaki, lesi yang luas,
infeksi kronis, pasien imunokompromais, atau pasien tidak responsif maupun
intoleran terhadap OAJ topikal. (15)
1. Griseofulvin (7,15)
Obat ini berasal dari penicillium griceofulvum dan masih dianggap baku
emas pada pengobatan infeksi dermatofit genus Trichophyton,
Microsporum, Epidermophyton. Berkerja pada inti sel, menghambat
mitosis pada stadium metafase.
2. Ketokonazol (15)
Merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas, fungistatik,
termasuk golongan imidazol. Absorbsi optimum bila suasana asam.
3. Flukonazol (15)
Mempunyai mekanisme kerja sama dengan golongan imidazol, namun
absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan atau kadar asam lambung.
4) Itrakonazol (15)
Merupakan OAJ golongan triazol, sangat lipofilik, spektrum luas, bersifat
fungistatik dan efektif untuk dermatofita, ragi, jamur dismorfik maupun
jamur dematiacea. Absorbsi maksimum dicapai bila obat diminum
bersama dengan makanan.
5. Amfosterin B (15)
Merupakan anti jamur golongan polyen yang diproduksi oleh
Streptomyces nodosus. Bersifat fungistatik, pada konsentrasi rendah akan
menghambat pertumbuhan jamur, protozoa dan alga. Digunakan sebagai
obat pilihan pada pasien dengan infeksi jamur yang membahayakan jiwa
dan tidak sembuh dengan preparat azol.
2.10 PROGNOSIS
Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan
tingkat kesembuhan 70-100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau allilamin
atau dengan menggunakan anti jamur sistemik. (7)
BAB III
KESIMPULAN
Tinea korporis adalah penyakit dermatofit pada kulit glabrosa, selain kulit
kepala, wajah, kaki, telapak tangan dan kaki, janggut dan lipatan paha.(1,2,3)
Manifestasinya akibat infiltrasi dan proliferasinya pada stratum korneum dan tidak
berkembang pada jaringan yang hidup.(4) Metabolisme dari jamur dipercaya
menyebabkan efek toksik dan respon alergi. Tinea korporis umumnya tersebar pada
seluruh masyarakat tapi lebih banyak pada didaerah tropis. (1)
Tinea korporis lebih sering ditemukan sebagai asimptomatik atau gatal ringan.
Secara obyektif tipikal lesinya mulai sebagai makula eritematosa atau papul yang
menjalar dan berkembang menjadi anular, dan lesi berbatas tegas, skuama atau
vesikel, tepi yang berkembang dan healing center. Tinea korporis lebih sering pada
permukaan tubuh yang terbuka antara lain wajah, lengan dan bahu.(13)
Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan
tingkat kesembuhan 70-100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau allilamin
atau dengan menggunakan anti jamur sistemik (7)
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : A.n Y
Umur : 38 tahun
Jenis Kelamin : perempuan
Alamat : Pulau Gajah Matee, Sp. Tiga
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
No.CM : 143071
Keluhan Utama : Gatal-gatal pada perut bawah
Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang dengan keluhan gatal-gatal pada perut.
Hal ini dirasakan sejak lebih kurang 2 bulan yang lalu. Gatal yang dirasakan setiap
saat dan gatal memberat ketika berkeringat.
Riwayat Penyakit Dahulu : Tidak pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya
Riwayat Penyakit Keluarga : Anak pertama dan kedua mengalami hal serupa
seperti pasien.
Riwayat Penggunaan Obat : belum pernah berobat sebelumnya
UKK :
At region abdomen tampak adanya plak hiperpigmentasi dengan tepi aktif dan adanya
sentral healing, berbatas tegas, dengan jumlah multiple, ukuran geografis,penyebaran
regional dan pada tepi lesi terdapat papul eritem dan ditutupi skuama halus.
Diagnosa Banding
1. Tinea Korporis
2. Ptiriasis Rosea : gambaran makula eritematosa, sedikit meninggi, ada papula,
skuama. Diameter panjang lesi menurut garis kulit.
3. Morbus Hansen : Makula eritem dengan tepi sedikit aktif, terutama pada tipe
tuberkuloid.
Pemeriksaan Penunjang : tidak dilakukan pemeriksaan penunjang pada pasien
Diagnosa : Tinea Korporis
Penatalaksanaan
1. Ketoconazole krim 2 x 1
2. Ketoconazole 200 mg 2 x 1
3. Cetirizine 10 mg 1 x 1
Pencegahan :
1. Meningkatkan kesehatan badan
2. Menghindari pakaian yang tidak menyerap keringat
DAFTAR PUSTAKA
1. Patel S, Meixner JA, Smith MB, McGinnis MR. Superficial mycoses and
dermatophytes. In : Tyring SK, Lupi O, Hengge UR, editors. Tropical
dermatology. China: Elsenvier inc, 2006. p.185-92.
2. Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP. Fungal disease with cutaneus
involvement. In : Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith
LA, Katz SI. Fitzpatrick’s: Dermatology in general medicine. 6 th ed. New
York: Mc graw hill, 2004.p:1908-2001.
3. Sobera JO, Elewski BE. Fungal disease. In : Bolognia JL, Jorizzo JL, Raiini
RP, editors. Dermatology. Spain : Elsevier Science; 2003. p.1174-83.
4. Rook, Willkinson, Ebling. Mycology. In : Champion RH, Burton JL, Ebling
FJG, editors. Text book of dermatology. 5th ed. London : Blackwell scientific
publication,1992. p.1148-9.
5. Habif TP. Clinacal dermatology. 4th ed. Edinburgh: Mosby, 2004
6. Goedadi MH, Suwito PS. Tinea korporis dan tinea kruris. In : Budimulja U,
Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors.
Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2004.p.31-4
7. Rushing ME. Tinea corporis. Online journal. 2006 June 29; available from;
http://www.emedicine.com/asp/tinea corporis/article/page type=Article.htm
8. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K, Suurmond D. Colour atlas and
synopsis of clinical dermatology. Athed New York: Mc graw hill.1999.
9. Noble SL, Forbes RC, Stamm PL. Diagnosis and management of common
tinea infections. 1998 July 1, available from:
<http://www.afp.org/journal/asp/.htm>
10. Amiruddin MD. Ilmu penyakit kulit. Makassar: Percetakan LKiS, 2003.
11. Allen Hb, Rippon JW. Superficial and deep mycoses. In : Moschella SL,
Hurley HJ. Dermatology. 2nd ed. Philadelphia: W.B. Sauders company, 1992.
p.739-75
12. Budimulja U. Mikosis. In : Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S. editors. Ilmu
penyakit kulit dan kelamin. 3rd ed. Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2002.p.92-3.
13. Arndt KA, Bowers KE. Manual of dermatology therapeutics with essential of
diagnostic. 6th ed. Philadelphia: Lippincot Williams & willkins.2002.
14. Nugroho SA. Pemeriksaan penunjang diagnosis dermatomikosis superfisialis.
In : Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty
S, editors. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI,
2004.p.99-106.
15. Kuswadji, Widaty KS. Obat anti jamur. In : Budimulja U, Kuswadji, Bramono
K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis
superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI, 2004.p.108-16.