tetraplegi dengan dispneu ec suspek gbs

59
PRESENTASI KASUS REHABILITASI MEDIS SEORANG WANITA 34 TAHUN DENGAN TETRAPARESE DENGAN DISPNEU ET CAUSA SUSP GUILLAIN BARRE SINDROM Oleh: Rifni Arneswari Fardianingtyas G99141010 Pembimbing dr. Desy K. Tandiyo, Sp. KFR KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Upload: rifnityas

Post on 24-Dec-2015

31 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

kesehatan

TRANSCRIPT

Page 1: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

PRESENTASI KASUS REHABILITASI MEDIS

SEORANG WANITA 34 TAHUN DENGAN TETRAPARESE DENGAN

DISPNEU ET CAUSA SUSP GUILLAIN BARRE SINDROM

Oleh:

Rifni Arneswari Fardianingtyas

G99141010

Pembimbing

dr. Desy K. Tandiyo, Sp. KFR

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN REHABILITASI MEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

RSUD DR.MOEWARDI

2015

Page 2: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

BAB I

STATUS PENDERITA

I. ANAMNESIS

A. Identitas Penderita

Nama : Ny. W

Umur : 34 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Karyawan toko

Alamat : Sukoharjo

Tanggal Masuk : 8 Januari 2015

Tanggal Periksa : 3 Februari 2015

No. RM : 01 28 48 42

B. Keluhan Utama :

Kedua tangan dan kaki lemah

C. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan badan lemas terutama di kedua tangan

dan kaki. Sebelumnya pasien tidak mempunyai trauma dan keluhan

dirasakan tiba-tiba. Hal ini dirasakan pasien sejak 1 bulan SMRS. Pasien

juga mengeluh nafas terasa berat, sesak nafas dirasakan terus menerus tidak

berubah dengan perubahan posisi, sesak nafas tidak dipengaruhi dengan

perubahan cuaca, mengi (-), batuk lama (-), batuk berdahak (-), batuk

berdarah (-), nafsu makan berkurang (-), penurunan berat badan (+).

Keluhan dirasakan memberat sejak 2 minggu SMRS. Pasien merasa

kedua tangan dan kaki terasa berat untuk digerakkan sehingga waktu

berjalan diseret, yang lama kelamaan pasien mengeluh tidak bisa berdiri,

Page 3: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

nyeri kepala (-), pusing (-), mual (-), muntah (-), kejang (-) pandangan mata

dobel (-), bicara pelo (-). Keluhan ini menyebabkan pasien tidak bisa

melaksanakan pekerjaan sehari-harinya dan terpaksa keluar dari

pekerjaannya sebagai karyawan toko di Jakarta. Selain itu dalam keseharian

pasien harus dibantu oleh suaminya sehingga untuk melaksanakan aktivitas

sehari-harinya pasien menjadi terganggu. Karena keluhan tidak membaik,

pasien kembali ke Solo dan berobat ke RS Dr Moewardi.

D. Riwayat Penyakit Dahulu

1. Riwayat sakit jantung : disangkal

2. Riwayat hipertensi : disangkal

3. Riwayat asma : disangkal

4. Riwayat sakit gula : disangkal

5. Riwayat alergi : disangkal

6. Riwayat operasi : disangkal

7. Riwayat trauma sebelumnya : disangkal

E. Riwayat Penyakit Keluarga

1. Riwayat sakit jantung : disangkal

2. Riwayat hipertensi : disangkal

3. Riwayat sakit gula : disangkal

4. Riwayat sakit kuning : disangkal

5. Riwayat alergi : disangkal

F. Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien adalah seorang karyawan toko di Jakarta mempunyai seorang suami

dengan 1 orang anak. Pada saat ini pasien menggunakan pembayaran secara

umum.

Page 4: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

G. Riwayat Kebiasaan

1. Riwayat merokok : disangkal

2. Riwayat minum jamu : disangkal

3. Riwayat minum obat-obatan : disangkal

4. Riwayat minum minuman keras : disangkal

5. Riwayat olah raga teratur : disangkal

II. PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalis

1. Keadaan Umum : sakit berat, compos mentis GCS E4V5M6, gizi kessan

cukup

2. Tanda Vital :

a. Tensi : 100/70 mmHg

b. Respirasi : 20 x / menit

c. Nadi : 100 x / menit, reguler, isi dan tegangan cukup

d. Suhu : 36,7 ° C (per axiller)

3. Kulit

Warna kuning, ikterik (-), turgor kurang (-), hiperpigmentasi (-).

4. Kepala

Bentuk mesocephal, rambut hitam, uban (-), lurus, mudah rontok (-),

mudah dicabut (-), moon face (-), atrofi M.temporalis (-).

5. Mata

Conjungtiva palpebra pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), katarak (-/-),

perdarahan palpebra (-/-), pupil isokor dengan diameter (3mm/3mm),

reflek cahaya (+/+), edema palpebra (-/-).

6. Telinga

Sekret (-), darah (-), nyeri tekan mastoideus (-).

Page 5: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

7. Hidung

Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), fungsi pembau baik,

foetor ex nasal (-).

8. Mulut

Sianosis (-), gusi berdarah (-), kering (-), pucat (-), lidah kotor (-), papil

lidah atrofi (-), stomatitis (-), luka pada sudut bibir (-), foetor ex ore (-).

9. Leher

JVP tidak meningkat , trachea ditengah, simetris, pembesaran tiroid (-),

pembesaran limfonodi cervical (-).

10. Limfonodi

Kelenjar limfe retroaurikuler, submandibuler, servikalis,

supraklavikularis, aksilaris dan inguinalis tidak membesar

11. Thorax

Bentuk simetris, retraksi intercostal (-), spider nevi (-), pernafasan

toracoabdominal, sela iga melebar (-), muskulus pektoralis atrofi (-),

pembesaran KGB axilla (-/-).

12. Jantung

a. Inspeksi : ictus cordis tidak

tampak

b. Palpasi : ictus cordis

tidak kuat angkat

c. Perkusi : batas jantung

kesan tidak melebar

d. Auskultasi : Bunyi jantung I-

II murni, intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-)

13. Pulmo

a. Inspeksi : pengembangan dada kanan=kiri

b. Palpasi : fremitus raba kanan=kiri

c. Perkusi : sonor/sonor

Page 6: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

d. Auskultasi : SDV(+/+), Suara tambahan (-/-)

14. Punggung : kifosis (-), lordosis (-), skoliosis(-), nyeri ketok

kostovertebra (-)

15. Abdomen

a. Inspeksi : dinding perut sejajar dinding dada

b. Auskultasi : bising usus (+) normal

c. Perkusi : timpani, pekak alih (-). Liver span : 6 cm

d. Palpasi : supel, nyeri tekan (-). Hepar dan lien tidak membesar.

16. Genitourinaria : ulkus (-), sekret (-), tanda-tanda radang (-).

17. Ekstremitas

Extremitas superior Extremitas inferior

Dextra Sinistra Dextra Sinistra

Edema - - - -

Sianosis - - - -

Pucat - - - -

Akral dingin - - - -

18. Range of Motion (ROM)

Neck Aktif Pasif

Flexi 0-70o 0-70o

Extensi 0-40o 0-40o

Rotasi ke kanan 0-90o 0-90o

Rotasi ke kiri 0-90o 0-90o

Extremitas Superiror Dextra Sinistra

Aktif Pasif Aktif Pasif

Shoulder Flexi 0o 0-180o 0o 0-180o

Extensi 0o 0-30o 0o 0-30o

Abduksi 0o 0-150o 0o 0-150o

Page 7: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

Adduksi 0o 0-150o 0o 0-150o

Internal rotasi 0o 0-90o 0o 0-90o

External rotasi 0o 0-90o 0o 0-90o

Elbow Flexi 00 0-1350 00 0-1350

Extensi 0) 135-180) 0) 135-180)

Supinasi 0o 0-90o 0o 0-90o

Pronasi 0o 0-90o 0o 0-90o

Wrist Flexi 0o 0-90o 0o 0-90o

Extensi 0o 0-10o 0o 0-40o

Ulnar deviasi 0o 0-30o 0o 0-30o

Radius deviasi 0o 0-30o 0o 0-30o

Finger MCP I flexi 0o 0-90o 0o 0-90o

MCPII,III,IVflexi 0o 0-90o 0o 0-90o

DIP II,III,IV flexi 0o 0-90o 0o 0-90o

PIP II,III,IV flexi 0o 0-100o 0o 0-100o

MCP I extensi 0o 0-30o 0o 0-30o

Trunk ROM pasif ROM aktif

Flexi 0-90o 0o

Extensi 0-30o 0o

Rotasi 0-35o 0o

Extremitas Inferior Dextra Sinistra

Aktif Pasif Aktif Pasif

Hip Flexi 0o 0-140o 0o 0-140o

Extensi 0o 0-30o 0o 0-30o

Abduksi 0o 0-45o 0o 0-45o

Adduksi 0o 0-45o 0o 0-45o

Page 8: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

Knee Flexi 0o 0-130o 0o 0-130o

Extensi 0o 0o 0o 0o

Ankle Dorsoflexi 0o 0-40o 0o 0-40o

Plantarflexi 0o 0-40o 0o 0-40o

19. Manual Muscle Testing (MMT)

Ekstremitas Superior Dextra Sinistra

Shoulder Flexor M.deltoideus antor 1 1

M.biceps brachii 1 1

Extensor M.deltoideus antor 1 1

M.teres major 1 1

Abduktor M.deltoideus 1 1

M.biceps brachii 1 1

Adduktor M.latissimus dorsi 1 1

M.pectoralis major 1 1

Rotasi internal M.latissimus dorsi 1 1

M.pectoralis major 1 1

Rotasi eksternal M.teres major 1 1

M.pronator teres 1 1

Elbow Flexor M.biceps brachii 1 1

M.brachialis 1 1

Extensor M.triceps brachii 1 1

Supinator M.supinator 1 1

Pronator M.pronator teres 1 1

Wrist Flexor M.flexor carpi

radialis

1 1

Extensor M.extensor digitorum 1 1

Abduktor M.extensor carpi 1 1

Page 9: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

radialis

Adduktor M.extensor carpi

ulnaris

1 1

Finger Flexor M.flexor digitorum 1 1

Extensor M.extensor digitorum 1 1

Extremitas Inferior Dextra Sinistra

Hip Flexor M.psoas major 1 1

Extensor M.gluteus maximus 1 1

Abduktor M.gluteus medius 1 1

Adduktor M.adductor longus 1 1

Knee Flexor Hamstring muscles 1 1

Extensor M.quadriceps femoris 1 1

Ankle Flexor M.tibialis 1 1

Extensor M.soleus 1 1

B. Status Ambulasi : Dependent

C. Status Psikiatri

1. Emosi : stabil

2. Afeksi : dalam batas normal

3. Proses berfikir : koheren

4. Kecerdasan : dalam batas normal

D. Status Neurologis

1. Kesadaran : GCS E4V5M6

2. Fungsi luhur : dalam batas normal

3. Fungsi vegetatif : IV line

4. Fungsi sensorik :

Page 10: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

5. Fungsi motorik dan reflek

a. Kekuatan

b. Tonus

c. Reflek fisiologis

d. Reflek patologis

6. Nervi craniales

a. N.III : Reflek cahaya (+/+), pupil isokor (3/3)mm

b. N.VII : dalam batas normal

c. N.XII : dalam batas normal

7. Pemeriksaan Vertebra

Lasseque test : (-/-)

Pattrick test : (-/-)

Kontra Patrick test : (-/-)

Lasseque test : (-/-)

Naffziger Sign : (-/-)

1 1

1 1

N N

N N

+1 +1

+1 +1

- -

- -

Page 11: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Pemeriksaan Laboratorium darah tanggal 30/01/2015

Hb : 13,5 g/dl

Hct : 38,4 %

AL : 7,4 ribu/ul

AT : 159 ribu/ul

AE : 4,19 juta/ul

GDS : 123 mg/dl

Ureum : 44 mg/dl

Kreatinin : 0,7 mg/dl

Natrium :133 mmol/L

Kalium :3,8mmol/L

Clorida :104 mmol/ L

SGOT : 14U/L

SGPT : 9 U/L

Trigliserid : 43 mg/dl

Kolesterol total : 148 mg/dl

HDL kolesterol : 47 mg/dl

LDL kolesterol : 98 mg/dl

IV. ASSESMENT :

Klinis : tetraparese LMN, dispneu

Topis : myelin

Etiologi : autoimun e.c. susp Guillain Barre sindrom

V. DAFTAR MASALAH

A. Problem Medis

Page 12: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

tetraparese

dispneu

B. Problem Rehabilitasi Medis

1. Fisioterapi : Pasien tidak bisa menggerakkan kedua tangan dan

kaki dan sesak nafas

2. Terapi wicara : pemasangan alat bantu nafas/ventilator

3. Terapi okupasi : Penurunan aktifitas karena nyeri

4. Sosiomedik : memerlukan bantuan orang lain untuk melakukan

aktifitas sehari-hari.

5. Orthesa-protesa : -

6. Psikologis : Terapi psikosuportif dalam menghadapi kelemahan

pada keempat anggota gerak, menurunkan kecemasan

pasien. Mengurangi beban pikiran pasien karena

penyakit dan kesulitan dalam melakukan aktifitas

sehari-hari.

VI. PENATALAKSANAAN

A. Terapi Medikamentosa

Infus RL : D5 15 tpm

Inj Ceftriaxon1 g /12 jam

Inj ranitidine 1 amp/12jam

Inj vit. B12 5000 1 amp/hari

B. Terapi Rehabilitasi Medis

1. Edukasi pasien dan keluarga tentang penyakit dan

pengobatan yang dilakukan

2. Fisioterapi :

Gentle chest terapi

General PROM exercise

Page 13: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

3. Terapi okupasi :

latihan mobility (berjalan) secara bertahap, meningkatkan kemandirian

pasien

4. Sosiomedik :

motivasi dan edukasi keluarga untuk menjaga dan merawat penderita

5. Psikologis :

a. Memberikan dukungan mental dan konseling pada pasien untuk tidak

menyerah dan putus asa dalam menghadapi penyakitnya.

b. Memberi motivasi pasien untuk konsisten melaksanakan program

rehabilitasi.

c. Edukasi pada pasien dan keluarga tentang penyakitnya.

6. Saran : dekubitus bed

VII. IMPAIRMENT, DISABILITY, DAN HANDICAP

Impairment : tetraparese

Disability : berkurangnya fungsi kedua kaki dan kedua tangan sehingga

terjadi keterbatasan dalam aktifitas sehari-hari.

Handicap : keterbatasan dalam menjalankan pekerjaan dan kegiatan

sosial terhambat

VIII. GOAL

- Pemeliharaan sistem pernapasan

- Mencegah kontraktur dengan mobilisasi ROM dan gerak pasif general

ekstermitas sebatas toleransi nyeri

     - Pemeliharaan dan meningkatkan luas gerak sendi

     - Pemeliharaan otot-otot besar yng denervated

Page 14: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

     - Meningkatkan kekuatan otot dengan memonitor kekuatan otot hingga latihan

aktif dapat dimulai

- Merubah posisi untuk mencegah decubitus

- Mengoptimalkan fungsi aktifitas kehidupan sehari-hari dan meminimalkan

disabilitas

- Edukasi terhadap keluarga mengenai penyakit dan gejala sindrom guillain

barre

IX. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad malam

Ad sanam : dubia ad malam

Ad fungsionam : dubia ad malam

Page 15: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

TINJAUAN PUSTAKA

GUILLAN BARRE SINDROM

a. Pengertian

Guillain Barre syndrome (GBS) adalah suatu kelainan sistem

kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya

sendiri dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang

sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris,

otonom maupun susunan saraf pusat. GBS merupakan polineuropati akut, bersifat

simetris dan ascenden, yang biasanya terjadi 1 – 3 minggu dan kadang sampai 8

minggu setelah suatu infeksi akut.

GBS merupakan polineuropati pasca infeksi yang menyebabkan terjadinya

demielinisasi saraf motorik kadang juga mengenai saraf sensorik.

GBS adalah polineuropati yang menyeluruh, dapat berlangsung akut atau subakut,

mungkin terjadi spontan atau sesudah suatu infeksi

GBS mempunyai banyak sinonim, antara lain :

- Polineuritis akut pasca infeksi

- Polineuritis akut toksik 

- Polineuritis febril

- Poliradikulopati,dan

- Acute Ascending Paralysis

b. Etiologi dan Patofisiologi

Sindrom Guillain Barre adalah kondisi autoimun yang menyerang saraf

seseorang, sehingga terjadi kerusakan myelin bahkan sampai akson yang

menyebabkan keterlambatan atau perubahan sinyal. Kejadian tersebut

mengakibatkan menyebarnya paralisis (Guillain barre syndrome association of new

Page 16: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

south wales, 2004 ). Proses autoimun diperkirakan dipicu oleh berbagai agen. Agen

tersebut antara lain virus (sitomegalovirus, Epstein Barr, HIV), bakteri ( Mycoplasma

pneumonia, Campylobakter jejuni), vaksin (influenza babi) , pembedahan (Ginsberg

Lionel, 2002).

Sindrom Guillain Barre sering dikaitkan dengan diabetes, kebiasaan minum

alcohol, paparan toksin industri dan logam berat, aesthetic epidural, dan obat ( agen

trombotik, heroin). Sebagaian kecil dari kasus GBS diketahui disebabkan oleh

penyakit sistemik seperti SLE, sarcoidosis,Hodgkin disease dan neoplasma (Ginsberg

Lionel, 2002).

Kondisi autoimun terjadi karena sensitisasi limfosit T terhadap protein yang

tedapat dalam selubung myelin. Akibat dari infiltrasi limfosit terjadi demielinisasi

sepanjang nervus perifer, akar nervus dan selubung myelin, sehingga terjadi

kelemahan konduksi dari potensial aksi yang mengakibatkan kecepatan konduksi

lambat dan blok konduksi. Pada neuropati akson , kecepatan konduksi normal tetapi

terjadi penurunan unit fungsional motorik. Level protein dari Cerebrospinal fluid

(CSF) meningkat pada minggu kedua setelah sakit. Diantara 2-3 minggu proses

demielinisasi , terjadi perbaikan inflamasi dan mulai remielinisasi. (Fary Khan,

2004)

Pemeriksaan secara patologis pada saraf penderita penyakit Guillain-Barre

Syndrome menunjukkan kalau terjadi proses penghancuran selaput myelin pada saraf

tepi. Baik pada pangkalnya (akar saraf) ataupun pada bagian yang lebih ujung

(distal). Pada umumnya yang terserang akar saraf tulang belakang bagian depan

(anterior root nerves of spinal cord), tetapi tidak menutup kemungkinan akar saraf

bagian belakang (posterior root nerves of spinal cord). Uniknya selaput myelin yang

terserang dimulai dari saraf tepi paling bawah, terus naik ke saraf tepi yang lebih

tinggi. Fungsi selaput myelin adalah mempercepat konduksi saraf. Oleh karenanya

hancurnya selaput ini mengakibatkan keterlambatan konduksi saraf, bahkan mungkin

terhenti sama sekali. Sehingga penderita GBS mengalami gangguan motor dan

sensorik. Kelambatan kecepatan konduksi otot bisa dilihat dari hasil pemeriksaan

Page 17: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

EMG. Disamping itu, hancurnya selaput myelin mungkin juga menyerang cranial

nerves termasuk diantaranya nervus vagus, yang merupakan bagian dari sistem saraf

otonomik. Oleh karena itu, bila saraf yang terserang cukup tinggi tingkatnya, sistem

saraf otonomik mungkin saja terganggu. Selain nervus vagus, cranial nerves yang lain

mungkin saja terserang, misalnnya saraf ke-XI. (ikatan fisioterapi, 2009).

Nerve axon

Damage tomyelin sheath

(demyelination)

Myelin sheath

Myelinated nervein healthy individual

Damaged (demyelinated) nervein individual

with Guillain-Barré syndrome

Page 18: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

c. Manifestasi Klinis

1. Kelemahan

Gambaran klinis yang klasik adalah kelemahan yang ascending dan simetris

secara natural. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan sebelum

tungkai atas. Otot- otot proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih

distal. Tubuh, bulbar, dan otot pernapasan dapat terpengaruh juga. Kelemahan otot

pernapasan dengan sesak napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan

berlangsung selama beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat berkisar dari

kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan ventilasi.

2. Keterlibatan saraf kranial

Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan SGB. Saraf

kranial III-VII dan IX-XII mungkin akan terpengaruh. Keluhan umum mungkin

termasuk sebagai berikut; wajah droop (bisa menampakkan palsy Bell), Diplopias,

Dysarthria, Disfagia, Ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil. Kelemahan wajah

dan orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai yang terkena. Varian

Miller-Fisher dari SGB adalah unik karena subtipe ini dimulai dengan defisit saraf

kranial.

3. Perubahan Sensorik

Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan sensori

cenderung minimal dan variabel. Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa,

atau perubahan sensorik serupa. Gejala sensorik sering mendahului kelemahan.

Parestesia umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung jari, berproses menuju ke atas

tetapi umumnya tidak melebar keluar pergelangan tangan atau pergelangan kaki.

Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal dapat hadir.

4. Nyeri

Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan SGB, 89% pasien

melaporkan nyeri yang disebabkan SGB pada beberapa waktu selama perjalanannya.

Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu, punggung, pantat, dan paha dan

Page 19: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

dapat terjadi bahkan dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini sering digambarkan

sebagai sakit atau berdenyut. Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari

pasien selama perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai

rasa terbakar, kesemutan, atau sensasi shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas

bawah daripada di ekstremitas atas. Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas waktu

pada 5-10%pasien. Sindrom nyeri lainnya yang biasa dialami oleh sebagian pasien

dengan SGB adalah sebagai berikut; Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit yang

terkait dengan kondisi imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf, ulkus dekubitus).

5. Perubahan otonom

Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan

parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan SGB. Perubahan otonom dapat

mencakup sebagai berikut; Takikardia, Bradikardia, Facial flushing, Hipertensi

paroksimal, Hipotensi ortostatik. Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena

paresis lambung dan dismotilitas usus dapat ditemukan.

6. Pernapasan

Empat puluh persen pasien SGB cenderung memiliki kelemahan pernafasan

atau orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai berikut;

Dispnea saat aktivitas, Sesak napas, Kesulitan menelan, Bicara cadel. Kegagalan

ventilasi yang memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga sepertiga

dari pasien di beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka.

Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:

- Protein CSS meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan

pada LP serial;

- jumlah sel CSS < 10 MN/mm3; Varian ( tidak ada peningkatan protein

CSS setelah 1 minggu gejala dan Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3 ).

Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnose adalah perlambatan konduksi

saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari

normal.

Page 20: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

d. Pemeriksaan penunjang

1. Pemeriksaan LCS

Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 – 1,5 g/dl )

tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain (1961) disebut

sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48 jam

pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein

biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS

pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/mm3

(albuminocytologic dissociation).

2. Pemeriksaan EMG

Gambaran EMG pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan

terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada

akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan.

3. Pemeriksaan MRI

Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-kira

pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran

cauda equina yang bertambah besar.

e. Diagnosis banding

Diagnosis banding dari Sindrom Guillain barre antara lain infark batang

otak, lesi akut medulla spinalis, poliomyelitis, Neuropati akut lain misalnya akibat

obat; toksin, miastenia gravis, botulisme, miopati berat, histeria

f. Penatalaksanaan

Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan

terutama secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi

gejala, mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki

Page 21: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

prognosisnya. Penderita pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus

dilakukan observasi tanda-tanda vital. Penderita dengan gejala berat harus segera di

rawat di rumah sakit untuk memdapatkan bantuan pernafasan, pengobatan dan

fisioterapi. Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah :

1. Sistem pernapasan

Gagal nafas merupakan penyebab utama kematian pada penderita SGB.

Pengobatan lebih ditujukan pada tindakan suportif dan fisioterapi. Bila perlu

dilakukan tindakan trakeostomi, penggunaan alat Bantu pernapasan (ventilator) bila

vital capacity turun dibawah 50%.

2. Fisioterapi

Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps

paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera setelah

penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih

dan meningkatkan kekuatan otot.

3. Imunoterapi

Tujuan pengobatan SGB ini untuk mengurangi beratnya penyakit dan

mempercepat kesembuhan ditunjukan melalui system imunitas.

a. Plasma exchange therapy (PE)

Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor

autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil

yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas

yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Waktu yang paling efektif

untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Jumlah

plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg dalam waktu 7-10 hari

dilakukan empat sampai lima kali exchange.

b. Imunoglobulin IV

Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat menetralisasi

autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut.

Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih menguntungkan dibandingkan

Page 22: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Pemberian IVIg ini

dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis 0,4 g / kgBB /hari

selama 5 hari.

c. Kortikosteroid

Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak

mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi GBS.

g. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau

cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis

vena dalam, paralisis permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada

sendi.

h. Prognosis

Sindrom Guillain barre biasanya merupakan penyakit monofasik dengan 80 %

pasien akhirnya menunjukkan pemulihan yang baik. Akan tetapi waktu untuk

mencapai kembali pemulihan sempurna dapat memakan waktu berbulan bulan yang

bisa disertai oleh nyeri, ansietas, dan deprei yang sering kali tidak disadari.. Kematian

terjadi pada 5-10 % pasien sebagai akibat disritmia jantung , emboliparu atau sepsis

yang menyebabkan imobilitas. Lebih dari 10 % pasien memiliki kecacatan permanen

dan beberapa mengalami relaps. Indikator untuk prognosis yang buruk mencakup :

usia pasien, onset kelemahan yang cepat, kebutuhan ventilasi, antibodi

antigangliosida, penyakit diare yang mendahuluinya, parameter alektrofisiologis

menunjukkan degenerasi aksonal yang signfikan (Ginsberg Lionel, 2002)

Meskipun orang yang terjangkit penyakit ini bisa mengalami kelumpuhan total,

prognosisnya bagus. Enam bulan setelah terserang, 85% dari kasus yang dilaporkan

sembuh. Secara keseluruhan hanya 5% yang meninggal akibat GBS. Oleh karenanya,

disamping perawatan pada tahap akut, tata laksana fisioterapi akan sangat

Page 23: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

menentukan prognosis, apakah akan ada gejala sisa atau sembuh total. (ikatan

fisioterapi, 2009)

i. Rehabilitasi Medik

Tujuan dari rehabilitasi medik pada pasien GBS ini adalah untuk memperbaiki

dan memelihara fungsi kemandirian seseorang sesegera mungkin setelah kondisi

pasien stabil. Rehabilitasi mencakup tim interdispiler (misalnya occupasi terapist,

fisioterapist, peraawat dan pekerja sosial) memberikan edukasi kepada pasien dan

keluarga dan berpartisipasi untuk mewujudkan tujuan yang yang direncanakan

dengan pendekatan fungsional yaitu dengan meminimalisasi dissability dan

memaksimalkan fungsi. Komplikasi respirasi dari GBS dapat diatasi dengan

rehabilitasi. Pada umumnya pasien GBS berat dilakukan rehabilitasi 3-6 minggu

diikuti oleh program rehabilitasi komunitas dan home based rehabilitasi selama 3-4

bulan (Fary Khan, 2004)

Berkaitan dengan fase akut, pasien memerlukan rehabilitasi untuk mencegah

hilangnya fungsi. Latihan ini berfokus pada penerapan fungsi ADL (Activity of Daily

Living) seperti meyikat gigi, mandi dan berpakaian. Occupasi terpist menyediakan

peralatan untuk membantu pasien melakukan ADL sendiri (misal dengan wheelchair

dan special cutlery). Fisioterapis merencanakan program training progresif dan

mengarahkan pasien untuk mengoreksi functional movement mencegah kompensasi

yang berbahaya dikarenakan efek negatif yang berlangsung lama. Speech therapist

sangat penting untuk mengembalikan fungsi berbicara dan menelan apabila pasien

dipasang intubasi dan trakheostomi. ( Norman Swan, 2009)

Restrictive pulmo berkaitan dengan sleep hiperkapnea dan hipoksia selama

REM tidur. Penurunan saturasi oksigen mengindikasikan pasien dengan hipoksia dan

hiperkapnea. Tindakan fisioterapi (chest perkusi, breathing exercise, resistive

inspiratory training) digunakan untuk membersihkan sekret pada saluran nafas

sehingga mengurangi kerja pernafasan. Pasiendisarankan untuk tracheostomi untuk

mencegah kelemahan yang berlebihan dari otot pernafasan.

Page 24: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

Dysautonomia berkaitan dengan bentuk berat dari GBS memperpanjang

durasi akut. Bentuk tersebut dapat mengancam jiwa dengan cardiac aritmia.

Perawatan rehabilitasi melipui : edukasi dan kesadan dari pegawai, pasien , keluarga

pasien, menggunakan compression stocking, adequat hidration, profiling techniques

dan penggunaan tilt table

Imobilisasi yang lama dapat mengakibatkan penurunan volume darah dan

apabila bersamaan dengan hipotensi postural sangat sulit untuk penganannya. Tilt

table dapat efektif untuk rehabilitasi pada pasien imobilisasi Mobilisasi awal akan

menurunkan kadar kalsium dalam serum dan berlawanan hiperkalsemi pada

imobilisasi.

Fisioterapi meliputi mobilitas bertahap dimana meliputi pemeliharaan postur

pasien, memelihara ROM dari tulang sendi (pasive,aktive, active assisted),

menyediakan ankle foot orthosis untuk mencegah plantar kontraktur, melakukan

endurance (latihan berulang dengan tahanan ringan), strengthening group dari otot

yang berbeda dan melakukan program ambulasi yang progesif dimana dengan

menggunakan teknik bed mobilitas dan penggunaan wheelchair (Fary Khan, 2004)

Penatalaksanaan Fisioterapi

Penatalaksanaan fisioterapi pada penderita GBS harus dimulai sejak awal,

yaitu sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang unik,

ada dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan fisioterapi.

Pada fase awal - ketika waktu gejalanya memburuk hingga berhenti sebelum

kondisi pasien terlihat membaik.- fisioterapi ditujukan pada pemeliharaan fungsi dan

kondisi sehingga.hanya problem muskuloskeletal dan kardiopulmari yang menjadi

penekanan. Pada fase tersebut yang diperlukan adalah mempertahankan kondisi

pasien, meskipun kondisi pasien akan terus menurun.

Sedangkan pada. fase kedua penekanan pada semua problem menjadi sangat

penting Secara keseluruhan penatalaksanaan fisioterapi ditujukan pada pengoptimalan

Page 25: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

kemampuan fungsional karena pada fase penyembuhan - ketika kondisi pasien

membaik- fisioterapi ditujukan pada penguatan dan pengoptimalan kondisi pasien.

Berdasarkan gejala yang timbul, dapatlah disimpulkan ada 4 problem utama

dalam penatalaksanaan fisioterapi pada kasus GBS, yakni problem muskuloskeletal,

kardiopulmonari, sensori dan gangguan sistem saraf otonomi..

Fungsi ventilasi paru harus tetap dijaga, sehingga fungsi tubuh juga dapat

optimal. Selain itu luas gerak sendi, panjang otot, dan kekuatan sendi harus tetap

dipelihara, sehingga pada saatnya ada peningkatan kondisi fungsi muskuloskeletal

bisa segera difungsikan. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk problem sensorik

selain mencegah terjadinya dekubitus.

Gangguan sistem saraf otonomi biasanya belum menjadi problem bagi

fisioterapis pada tahap ini, karena biasanya belum dilakukan mobilisasi. Pada tahap

ini kerjasama dengan perawatan sangat diharapkan.Sedangkan pada tahap akhir -

ketika kondisi pasien sudah membaik - fisioterapi ditujukan pada peningkatan fungsi.

Yang menjadi perhatian utama adalah problem muskuloskeletal, yakni peningkatan

kekuatan otot.

Dengan demikian diharapkan akan ada peningkatan fungsi secara maksimal.

Selain itu fungsi paru juga harus tetap ditingkatkan untuk mendukung peningkatan

aktivitas dan metabolisma. Bila ada gangguan sensorik, harus juga dilakukan

tindakan untuk meningkatkan fungsi sensori.

Selama pemberian tindakan fisioterapi, selalu diperhatikan toleransi pasien

terhadap perubahan posisi. Selain pasien yang sudah lama berbaring, gangguan

sistem saraf otonomi akan lebih menghambat program mobilisasi.Dengan tidak

mengurangi pentingnya pengobatan pada tahap lanjut, keberhasilan penanganan pada

kasus Guillain Barre Syndrome (GBS) secara menyeluruh sangat tergantung pada

perawatan tahap awal. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa prognose penderita

GBS adalah baik.

Oleh karenanya kerja sama yang baik tim medik pada tahap ini akan

menentukan hasil akhir kondisi pasien, termasuk diantaranya penatalaksanaan

Page 26: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

fisioterapi pada tahap lanjut yang akan mengembalikan penderita pada fungsi sosial

seperti semula

1. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Problem Muskuloskeletal

Seperti telah disebutkan di atas, masalah muskuloskeletal adalah penting baik

pada fase pertama maupun kedua oleh karena bukan hanya motorik adalah masalah

utama penderita GBS, tetapi juga skeletal sebagai akibat dari gangguan motorik. Pada

fase pertama yang perlu diberikan adalah mempertahankan kekuatan otot, panjang

otot, luas gerak sendi (LGS), tanpa melupakan bahwa kondisi pasien masih akan terus

memburuk dalam waktu maksimal 2 minggu.

Bila panjang otot dan LGS terus terjaga pada fase pertama, fisioterapi pada

fase kedua ditekankan peningkatan kekuatan otot, dengan tetap memperhitungkan

jumlah motor unit yang kembali bekerja

1.1. Penatalaksanaan pada masalah kekuatan otot

Pada fase pertama, program awal yang bisa diberikan adalah latihan aktif, bila

memungkinkan. Bila penderita tidak mampu menggerakkan sendiri anggota

badannya, sebaiknya bantuan diberikan (=aktif asistif). Bila kemudian kondisi

kelemahan otot sangat menonjol, latihan pasif harus diberikan; artinya fisioterapis

yang menggerakkan angota badan penderita. Oleh karena dalam fase ini, kondisi

penderita akan menurun, maka biasanya bantuan yang diberikan fisioterapis kepada

pasien semakin banyak dari waktu ke waktu.

Sebaiknya seorang fisioterapis mempunyai sistematis dalam menggerakkan

anggota tubuh pasien, sehingga tidak ada bagian yang terlewati. Selain itu fisioterapis

juga akan bisa sekaligus mengamati perkembangan motorik pasien bila dilakukan

secara sistematis. Dianjurkan menggerakkan anggota tubuh dari bawah, sehingga

akan diakhiri dengan bagian tubuh yang terkuat. Secara psikis hal ini juga akan

sangat membantu motivasi pasien. Selain menggerakkan bagian tubuh secara

Page 27: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

sistematis, juga sebaiknya arah gerakan tiap sendi dibuat secara sistematis, sehingga

tidak ada gerakan otot yang tertinggal.

Dalam menggerakkan anggota badan, sebaiknya fisioterapis mengamati

tingkat toleransi pasien terhadap latihan. Jangan sampai pasien dibiarkan terlalu lelah

atau memaksa menggerakkan anggota tubuh, karena akan merusak motor unit.

Berikan kesadaran kepada pasien bahwa pada waktunya ototnya akan kembali

bergerak, asalkan dilakukan gerakan secara rutin. Bagi pasien GBS, frekuensi latihan

seharusnya tidak terlalu tinggi dalam satu sesi, untuk mencegah kelelahan, mengingat

jumlah motor unit yang bekerja hanya terbatas. Intensitas latihan dalam sehari bisa

ditingkatkan dengan melakukan lebih banyak sesi dalam sehari.

Penatalaksanaan pada fase kedua tidak jauh berbeda dengan fase sebelumnya.

Sasaran utama pada fase ini adalah peningkatan kekuatan otot. Meskipun demikian

latihan yang diberikan masih harus tidak boleh terlalu berat, karena jumlah motor unit

yang aktif terbatas. Program latihan aktif seharusnya ditingkatkan bila penderita

sudah mampu melakukan latihan aktif dan memenuhi LGS normal tanpa kesulitan.

Latihan kemudian meningkat menjadi aktif resistif, artinya menggunakan beban

unntuk meningkatkan kekuatan otot.

Jenis latihan bisa bervariasi, bisa menggunakan beban manual, artinya

fisioterapis memberikan beban secara manual, hingga latihan dengan alat, seperti

misalnya quadricep bench. Dalam memberikan program latihan, hendaknya selalu

diingat bahwa tujuan akhir program fisioterapi adalah memaksimalkan kemampuan

fungsional. Jadi dalam meningkatkan kekuatan otot, perlu diingat otot-otot mana saja

yang diperlukan dalam beraktivitas, atau mensiasati bila ada keterbatasan.

Untuk mengukur perubahan kondisi pasien, bisa digunakan pengukuran

kekuatan otot (MMT- manual muscles testing). Tentu saja pada fase pertama

kekuatan pasien tidak akan mengalami kenaikan, sesuai dengan perjalanan penyakit.

Tetapi pengukuran kekuatan terakhir pasien, saat kekuatan biasanya berhenti

sebelum kemudian membaik, bisa dijadikan titik balik pengukuran pada tahap

berikutnya. Sebaiknya pengukuran dilakukan secara berkala, misalnya tiap minggu,

Page 28: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

atau tiap 3 hari. Dengan demikian fisioterapis maupun penderita bisa melihat

perkembangan yang terjadi, yang mungkin juga akan menjadi motivasi keduanya.

1.2 Penatalaksanaan pada Luas Gerak Sendi (LGS)

Bersamaan dengan digerakkannya otot anggota tubuh penderita, bisa

dikatakan semua sendi sudah digerakkan. Hanya perlu diingat bahwa pada fase

pertama, otot penderita GBS biasanya tidak mampu menggerakkan LGS secara

penuh. Oleh karenanya fisioterapis perlu membantu penderita untuk menggerakkan

sendi sesuai dengan luas gerak sendi yang normal, minimal yang fungsional.

Sama seperti memberikan latihan untuk otot, menggerakkan sendi sebaiknya

juga dilakukan secara sistematis supaya tidak ada yang tertinggal. Sesudah gerakan

aktif setiap sendi oleh penderita, sebaiknya ditambahkan 2 sampai 3 kali gerakan

sendi oleh fisioterapis dalam LGS maksimal untuk mempertahankan LGS. Berbeda

dengan program untuk kekuatan otot, untuk mempertahankan sendi sama pada fase

pertama dan kedua.

Ukuran yang dipergunakan untuk mengukur luas gerak sendi adalah

pengukuran sudut setiap sendi. Alat yang digunakan adalah goniometer.

Pengukurannya dilakukan dengan satuan derajat. Dalam satu institusi biasanya

disepakati sistem apa yang digunakan, posisi penderita dan posisi goniometer pada

setiap sudut pengukuran. Seharusnya tidak akan ada perubahan LGS dari waktu ke

waktu, agar pada akhirnya penderita masih mempunyai kemampuan fungsional yang

maksimal.

1.3. Penatalaksanaan pada Panjang Otot

Pada saat melakukan latihan untuk mempertahankan LGS, sebagian besar otot

juga terpelihara panjangnya. Kecuali beberapa otot yang panjangnya melewati dua

sendi. Untuk otot-otot tersebut, perlu gerakan khusus untuk mempertahankan

panjangnya. Otot-otot seperti quadricep, iliotibial band, sartorius adalah contoh otot

yang melewati dua sendi. Otot-otot tersebut penting dalam kegiatan sehari-hari,

Page 29: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

misalnya duduk, bersila atau bersimpuh. Sehingga bila panjang ototnya tidak

terpelihara, maka akan berpengaruh pada aktivitas penderita bila sembuh nanti.

Agak sulit membuat pengukuran panjang otot, oleh karena panjang otot tiap

individu akan berbeda tergantung pada aktivitas dan keturunan. Karenanya untuk

mengetahui panjang otot yang normal, secara nalar, berarti fisioterapis harus tahu

penderita sebelum menderita GBS. Kenyataannya hal itu tidak mungkin terjadi.

Sehingga salah satu cara untuk mengetahui panjang otot adalah menanyakan aktivitas

penderita, apakah penderita biasa bersila, duduk sambil menumpangkan kaki atau

bersimpuh.

Dengan demikian bisa diukur apakah panjang otot yang bersangkutan cukup

untuk kembali melakukan kembali aktivitasnya. Cara lain yang bisa digunakan adalah

membandingkan otot sebelah kiri dan kanan, karena biasanya keduanya mempunyai

panjang otot yang sama. Pencatatannya baru dilakukan bila ada keterbatasan panjang

otot.

2. Penatalaksanaan pada Problem Kardiopulmonari

Masalah kardiopulmonari lebih menonjol pada fase pertama. Pada kasus GBS

yang berat, terjadi kelemahan otot-otot intercostal disebabkan karena berkurangnya

jumlah motor unit yang terkonduksi. Akibatnya tidak dapat melakukan inspirasi

secara penuh, sehingga kapasitas vital menjadi berkurang. Seperti yang telah

disebutkan di atas, menurunnya kemampuan batuk, akan menurunkan kemampuan

untuk membersihkan saluran pernafasan. Sehingga saluran pernafasan semakin

menyempit, dan ekspansi paru menjadi berkurang juga. Sehingga pada akhirnya

kembali terjadi penurunan kapasitas vital.

2.1. Penatalaksanaan pada Kemampuan Ekspansi Dada

Berbeda dengan masalah muskuloskeletal yang lain, latihan pasif tidak bisa

dilakukan dengan mudah. Latihan pasif hanya bisa dilakukan dengan bantuan

Page 30: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

ventilator atau manual hyperinflation. Dengan terpenuhinya volume sesuai dengan

kapasitas vital, maka pertukaran gas dalam alveoli menjadi meningkat dan mampu

memenuhi kebutuhan ventilasi. Selain itu juga memelihara kelenturan jaringan-

jaringan lunak disekitarnya, sehingga LGS persendian disekitar tulang rusuk

terpelihara.

Dengan demikian bila kekuatan otot interkostal sudah kembali membaik,

rongga dada sudah siap kembali mengembang.Bila otot intercostal dan diafragma

sudah menigkat, maka latihan penguatan harus segera diberikan. Oleh karena tekanan

positif yang diberikan lewat ventilator dan manual hyperinflation bisa memberikan

efek samping, seperti barotrauma. Maka latihan aktif harus segera diberikan.

Pemberian latihan masih harus memperhatikan aturan rendah frekuensi dalam satu

sesi dan banyak sesi dalam sehari. Ini berarti harus diberikan kesempatan istirahat

cukup bagi penderita diantara sesi latihan, untuk menghindari kelelahan.

2.2. Penatalaksaaan pada Pembersihan Saluran Pernafasan

Dalam keadaan normal, setiap hari dihasilkan sekitar 100 ml sekresi saluran

pernafasan dalam sehari. Pembersihan dilakukan sebagai bagian dari sistem

pertahanan, yakni didorong oleh cilia yang kemudian tertelan. Bila sekresi yang

dihasilkan lebih dari normal, atau ada kegagalan kerja cilia, maka diperlukan

mekanisme batuk untuk mengeluarkannya dari saluran pernfasan. Agar bisa

meletupkan batuk yang kuat, seseorang harus bisa menghirup cukup volume udara.

Sehingga seorang penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan yang

menonjol tidak mampu melakukan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Bila

sekresi dibiarkan menumpuk, maka diameter saluran pernafasan akan menyempit. Ini

berarti volume udara yang bisa masuk ke paru berkurang, sehingga kemampuan

ventilasi menjadi berkurang.

Pada fase awal, pada penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan yang

menonjol, pembersihan saluran pernafasan bisa dilakukan dengan bantuan ventilator

atau manual hyperinflation. Dengan teknik tertentu, maka panjang ekspirasi bisa

Page 31: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

diperpendek, sehingga kecepatan udara yang keluar pada waktu ekspirasi bisa

meningkat. Dengan demikian sekresi saluran pernafasan bisa dikeluarkan. Selain

menggunakan bantuan ventilator dan manual hyperinflation, bisa dilakukan postural

drainage untuk membantu memindahkan sekresi dari saluran pernafasan yang distal

ke yang lebih proksimal. Untuk membersihkan sekresi dari saluran pernafasan,

penderita harus mampu batuk, atau bila tidak harus dilakukan suction.

Selama melakukan postural drainage, haruslah diwaspadai tanda-tanda

gangguan otonomik, seperti kecepatan nafas permenit, nadi permenit, atau saturasi

penderita agar selalu dalam batas normal. Jelaslah bahwa melatih batuk sejak dini

sangatlah diperlukan untuk meningkatkan kemampuan pembersihan saluran

pernafasan. Hal ini biasanya bisa terlaksana pada fase ke-dua, ketika otot-otot

pernafasan mulai menguat. Atau pada fase pertama bila kelemahan otot-otot

pernafasan masih mampu menghasilkan batuk, sehingga latihan batuk berguna untuk

mempertahankan kekuatan otot.

2.3. Penatalaksanaan pada Gangguan Menelan

Jika terjadi juga gangguan menelan, maka resiko infeksi dada semakin tinggi.

Oleh karena kemungkinan masuknya benda asing ke saluran pernafasan menjadi

lebih besar. Benda tersebut kemudian akan menjadi sumber infeksi dada. Dalam hal

ini ada dua masalah dalam sistem respiratori, yakni benda itu sediri, dan sekresi yang

berlebihan akibat adanya benda asing yang masuk ke saluran pernafasan. Bila

kemampuan pasien untuk batuk kuat, maka pasien mampu mengeluarkan benda asing

dari saluran pernafasan dan membersihkan sekresi. Sayangnya, biasanya gangguan

menelan disertai kelemahan otot pernafasan, sehingga penderita tidak mampu batuk.

Namun penderita dengan gangguan menelan biasanya menerima makanan

melalui slang yang langsung masuk ke lambung, sehingga tidak perlu dikawatirkan

akan masuk ke saluran pernafasan. Pada fase pertama tidak banyak fisioterapi yang

bisa dilakukan. Tetapi pada fase ke dua program fisioterapi yang bisa diberikan

adalah segera memberikan latihan batuk, bila otot-otot pernafasan sudah bertambah

Page 32: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

kuat. Sehingga pada saatnya penderita belajar menelan, resiko masuknya benda asing

ke saluran pernafasan sudah teratasi.

3. Penatalaksanaan pada Problem Saraf Otonomik

Seperti disebutkan diatas, gangguan saraf otonomik akan timbul, bila

kehancuran selaput myelin mencapai tingkat thoracal atau lebih tinggi, yakni cranial

nerves. Pada umumnya gangguann saraf otonnomik tersebut adalah hal yang perlu

dicermati dalam melakukan tindakann fisioterapi. Gangguan-gangguan tersebut

antara lain labilnya tekanan darah, keluarnya keringat tidak sesuai keadaan, atau

postural hipotensi. Gangguan-gangguan tersebut akan mejadi masalah, biasanya pada

waktu mobilisasi. Pada waktu mobilisasi, misalnya dari berbaring ke duduk, tubuh

memerlukan berbagai adaptasi, oleh karena terjadi perbedaan pengaruh terhadap

tubuh.

Tanpa gangguan saraf otonomik pun, seseorang yanng berbaring lama

memerlukan waktu untuk beradaptasi terhadap tekanan darah. Adaptasi tersebut

teratasi oleh karena pusat pengaturan tekanan darah mendapatkan input, kemudian

tekanann darah meningkat atas pengaruh saraf otonnom. Bila terjadi gangguan saraf

otonnomik, maka adaptasi tersebut akan terganggu.

Maka, dalam memberikan tindakan fisioterapi harus selalu dicermati tekanan

darah dari waktu ke waktu. Oleh karena yang diukur adalah tekanan darah, maka

yang dijadikan aturan adalah tekanan darah. Bila memungkinkan digunakan

spirometer elektronik yang terus bisa dimonitor setiap saat. Disamping tekanan darah,

bisa dicermati kemampuan komunikasi penderita, atau warna muka sebagai indikator

tekanan darah.

3.3. Penatalaksanaan pada Problem Sensasi

Problem sensasi pada penderita GBS yang muncul adalah rasa terbakar,

kesemutan, rasa tebal atau nyeri. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk

mengurangi ketidaknyamanan akibat rasa tebal, rasa terbakar, atau kesemuta. Secara

Page 33: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

teori rasa nyeri bisa dikurangi dengan pemberian TNS. Rasa nyeri bisa disebabkan

murni oleh karena gangguan sensasi.

Tetapi nyeri pada punggung mungkin juga disebabkan oleh kurangnya

gerakan pada sendi-sendi tulang belakang. Bila sesudah peregangan sendi-sendi

tulang belakang beserta otot-otot disekitarnya, rasa nyeri berkurang, maka rasa nyeri

tersebut disebabkan oleh kurangnya gerakan. Tetapi bila rasa nyeri tersebut tidak

hilang, maka gangguan tersebut disebabkan oleh gangguan sensasi. Seringkali rasa

nyeri yang timbul karena kombinasi keduanya.

Jadi bila sesudah peregangan rasa nyeri berkurang, tetapi tidak hilang sama

sekali. Bila rasa nyeri disebabkan oleh kuranngnya gerakan sendi, tindakan yang bisa

dilakukan adalah peregangan lebih lanjut, atau lebih spesifik bisa dilakukan

manipulasi atau mobilisasi pada tulang belakang tertentu. Selain ketidaknyamanan,

rasa tebal juga bisa menimbulkan komplikasi, yaitu dekubitus.

Rasa tebal menyebabkan penderita tidak dapat merasakan tekanan kasur pada

penonjolan-penonjolan tulang, sehingga memungkinkan terjadi lecet dan akhirnya

dekubitus. Oleh karenanya perubahan posisi harus selalu dilakukan sebagai usaha

pencegahan. Idealnya perubahan posisi dilakukan setiap 2 jam, dan setiap penonjolan

tulang harus selalu mendapat perhatian.(ikatan fisioterapi,2009)

Page 34: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

DISPNEU

A. Definisi

Dispnea atau sesak napas adalah perasaan sulit bernapas dan merupakan

gejala utama dari penyakit kardiopulmonar. Seorang yang mengalami dispnea sering

mengeluh napasnya menjadi pendek atau merasa tercekik. Gejala objektif sesak napas

termasuk juga penggunaan otot-otot pernapasan tambahan (sternokleidomastoideus,

scalenus, trapezius, pectoralis mayor), pernapasan cuping hidung, takipnea, dan

hiperventilasi. Takipnea adalah frekuensi pernapasan yang cepat, lebih cepat dari

pernapasan normal (12 hingga 20 kali per menit) yang dapat muncul dengan atau

tanpa dispnea. Hiperventilasi adalah ventilasi yang lebih besar daripada jumlah yang

dibutuhkan untuk mempertahankan pengeluaran CO2 normal, hal ini dapat

diidentifikasi dengan memantau tekanan parsial CO2 arteri, atau tegangannya

(PaCO2), yaitu lebih rendah dari angka normal (40 mmHg).

Dispnea sering dikeluhkan pada sindrom hiperventilasi yang sebenarnya

merupakan seseorang yang sehat dengan stres emosional. Selanjutnya, gejala lelah

yang berlebihan juga harus dibedakan dengan dispnea. Seseorang yang sehat

mengalami lelah yang berlebihan setelah melakukan kegiatan fisik dalam tingkat

yang berbeda-beda, dan gejala ini juga dapat dialami pada penyakit kardiovaskular,

neuromuskular, dan penyakit lain selain paru.

Ortopnea adalah sesak napas pendek yang terjadi pada posisi berbaring dan

biasanya keadaan diperjelas dengan penambahan sejumlah bantal atau penambahan

elevasi sudut untuk mencegah perasaan tersebut.

Ada juga bentuk lain berupa dispnea nokturnal paroksismal menyatakan

timbulnya dispnea pada malam hari dan memerlukan posisi duduk dengan segera

untuk bernapas. Membedakan dispnea nokturna paroksismal dengan ortopnea adalah

aktu timbulnya gejala setelah beberapa jam dalam posisi tidur. Penyebabnya sama

Page 35: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

dengan penyebab ortopnea yaitu gagal jantung kongestif, dan waktu timbulnya yang

terlambat itu karena mobilisasi cairan edema perifer dan penambahan volume

intravaskular pusat

B. Etiologi

Sumber penyebab dispnea bisa bermacam-macam, misalnya:

(1) reseptor-reseptor mekanik pada otot-otot pernapasan, paru, dan dinding dada;

dalam teori tegangan panjang, elemen-elemen sensoris, gelondong otot pada

khususnya, berperan penting dalam membandingkan tegangan dalam otot

dengan derajat elastisitasnya; dispnea terjadi jika tegangan yang ada tidak

cukup besar untuk satu panjang otot (volume napas tercapai);

(2) kemoreseptor untuk tegangan CO2 dan O2 (PCO2 dan PO2) (teori hutang

oksigen);

(3) peningkatan kerja pernapasan yang mengakibatkan sangat meningkatnya rasa

sesak napas; dan

(4) ketidakseimbangan antara kerja pernapasan dengan kapasitas ventilasi.

Mekanisme tegangan panjang yang tidak sesuai adalah teori yang paling

banyak diterima karena teori tersebut menjelaskan paling banyak kasus klinis

dispnea. Besarnya tenaga fisik yang dikeluarkan untuk menimbulkan dispnea

bergantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian tempat, jenis latihan fisik, dan

terlibatnya emosi dalam melakukan hal tersebut. Selain itu, terdapat beberapa variasi

gejala umum dispnea. Pasien dengan gejala utama dispnea biasanya memiliki satu

dari keadaan ini, yaitu penyakit kardiovaskular, emboli paru, penyakit paru interstitial

atau alveolar, gangguan dinding dada dan otot-otot, penyakit obstruktif paru, atau

kecemasan. Dispnea adalah gejala utama edema paru, gagal jantung kongestif, dan

penyakit katup jantung. Emboli paru ditandai dengan dispnea mendadak. Dispnea

merupakan gejala paling nyata pada penyakit yang menyerang percabangan

trakeobronkial, parenkim paru, dan rongga pleura. Dispnea biasanya dikaitkan

dengan penyakit restriktif yaitu terdapat peningkatan kerja pernapasan akibat

Page 36: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

meningkatnya resistensi elastik paru (pneumonia, atelektasis, kongesti) atau dinding

dada (obesitas, kifoskoliosis) atau pada penyakit jalan napas obstruktif dengan

meningkatnya resistensi nonelastik bronkial (emfisema, bronkitis, asma). Tetapi jika

beban keja pernapasan meningkat secara kronik maka pasien yang bersangkutan

dapat menyesuaikan diri dan tidak mengalami dispnea. Dispnea juga bisa terjadi jika

otot pernapasan lemah, misalnya pada miastenia gravis, selain itu juga pada lumpuh

(pada poliomielitis, sindrom Guillain-Barre), letih akibat meningkatnya kerja

pernapasan, atau otot pernapasan kurang mampu melakukan kerja mekanis

(contohnya, emfisema yang berat atau pada obesitas).

Penyebab tersering ortopnea adalah gagal jantung kongestif akibat

peningkatan volume darah di vaskularisasi sentral pada posisi berbaring. Ortopnea

juga merupakan gejala yang sering muncul pada banyak gangguan pernapasan.

Page 37: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS

DAFTAR PUSTAKA

Fary Khan, 2004. Rehabilitation Guillain Barre Syndrom. www.racgp.org.au/ afp/200 412 / 14264 ( diakses pada tanggal 6 Februari 2015).

Ginsberg Lionel, 2002. Lecture Notes Neurologi. Penerbit erlangga . Jakarta

Guillain barre syndrome association of new south wales, 2004. Guillain-Barre syndrome www.betterhealth.vic.gov.au/bhcv2/.../Guillain-Barre_syndrome (diakses pada tanggal 6 Februari 2015).

Ikatan fisioterapi, 2009. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Guillain-Barre Syndromehttp://www.fisiosby.com/index.php?option=com_content&task=view&id=11&Itemid=7 ( diakses pada tanggal 6 Februari 2015).

Newswanger Dana L., Warren Charles R., Guillain-Barre Syndrome, http://www.americanfamilyphysician.com. (diakses pada tanggal 6 Februari 2015).

Mardjono Mahar, Sidharta Priguna. Sindroma Guillain-Barre : Neurologi Klinis Dasar, Cetakan ke 8. Dian Rakyat, Jakarta, 2000.

Page 38: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS
Page 39: Tetraplegi Dengan Dispneu Ec Suspek GBS