tesis faktor-faktor yang berperan dalam kejadian epilepsi …
TRANSCRIPT
TESIS
FAKTOR-FAKTOR YANG BERPERAN DALAM KEJADIAN EPILEPSI
PADA ANAK DENGAN RIWAYAT KEJANG DEMAM
DEDE KHAIRINA HASIBUAN
NIM 137041187
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2020
Universitas Sumatera Utara
FAKTOR-FAKTOR YANG BERPERAN DALAM KEJADIAN EPILEPSI
PADA ANAK DENGAN RIWAYAT KEJANG DEMAM
TESIS
Untuk memperoleh gelar Magister Kedokteran Klinik di Bidang Ilmu
Kesehatan Anak / M.Ked (Ped) pada Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
DEDE KHAIRINA HASIBUAN
137041187 / IKA
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
PERNYATAAN
Faktor-faktor yang berperan dalam kejadian epilepsi pada anak dengan
riwayat kejang demam
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya
yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu
perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat
karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang
lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan
dalam daftar pustaka.
Medan, Januari 2020
Dede Khairina Hasibuan
Universitas Sumatera Utara
v
Universitas Sumatera Utara
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini, yang
merupakan salah satu tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan magister
kedokteran di Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara.
Dengan selesainya penulisan tesis ini, saya ingin menyampaikan
terimakasih kepada:
1. Pembimbing utama saya Dr. Yazid Dimyati, M.Ked(Ped), Sp.A(K) dan Dr.
Nelly Rosdiana, M.Ked(Ped), Sp.A(K) selaku pembimbing kedua yang
telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing saya dalam
menyelesaikan tesis ini.
2. Dr. Selvi Nafianti, M.Ked(Ped), Sp.A(K) selaku ketua Program Studi Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
3. Dr. Supriatmo, M.Ked(Ped), Sp.A(K) selaku ketua Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
4. DR. Dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, Dr.Rita Evalina, M.Ked(Ped),
Sp.A(K), dan DR. Dr. Gema Nazri Yanni, M.Ked(Ped), Sp.A, selaku
penguji yang telah memberikan kritik dan saran untuk memperbaiki tesis
ini.
Universitas Sumatera Utara
vii
5. Seluruh dosen dan staf di unit Neurologi SMF Anak di Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.
6. Seluruh dosen dan staf pengajar di Departemen Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
7. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang telah
mengizinkan saya melakukan penelitian di wilayah dan instansi yang
mereka pimpin.
8. Tim penelitian saya antara lain dr. Syahreza Hasibuan, dr. Miranda
Adelita A.P. Daulay, dr. Ratna Suwita dan dr. Adian Manase C.
Brahmana yang telah bekerja sama dengan baik dalam mengumpulkan
sampel dan menyelesaikan penelitian ini.
9. Orangtua saya, ibunda drg. Hj. Syarifah Nasution dan ayahanda Ir. H.
Erwin Z. Hasibuan serta kakak saya Putri Windasyari Hasibuan dan adik
saya drg. Lia Wardina Hasibuan yang telah memberikan dukungan moril
dan materil yang sangat besar selama pendidikan ini. Semoga budi baik
yang telah diberikan mendapat imbalan dari Tuhan Yang Maha Esa.
10. Teman saya Dr. Dwi Herawati Ritonga, M.Ked(Ped), Sp.A yang telah
meluangkan waktu dan tenaganya untuk membantu saya dalam
menyelesaikan penelitian dan tesis saya ini.
Universitas Sumatera Utara
viii
11. Seluruh teman-teman di bagian Ilmu Kesehatan Anak yang tidak dapat
saya sebutkan satu per satu yang telah memberikan bantuan dalam
penyelesaian tesis ini.
Saya menyadari bahwa tesis ini masih memiliki kekurangan, oleh
karena itu saya sangat mengharapkan kritik dan saran untuk
penyempurnaannya. Akhir kata, saya berharap semoga tesis ini dapat
memberikan manfaat bagi setiap orang yang menggunakannya.
Medan, Januari 2020
Penulis
Universitas Sumatera Utara
ix
DAFTAR ISI
Lembaran Pengesahan ii
Lembar Pernyataan Tesis iii
Halaman penetapan panitia penguji iv
Ucapan terima kasih v
Daftar Isi viii
Daftar Tabel xii
Daftar Gambar xiii
Daftar singkatan xiv
Abstrak xvi
Abstract xvii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 3
1.3 Hipotesis 4
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum 4
1.4.2. Tujuan Khusus 4
1.5 Manfaat Penelitian 6
Universitas Sumatera Utara
x
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kejang demam
2.1.1 Definisi kejang demam 7
2.1.2 Epidemiologi kejang demam 8
2.1.3 Klasifikasi dan Manifestasi Kejang Demam 9
2.1.4 Kejang demam plus 11
2.2 Epilepsi
2.2.1 Definisi Epilepsi 11
2.2.2 Klasifikasi Epilepsi 12
2.2.3 Faktor Risiko terjadinya Epilepsi 13
2.2.4 Faktor Risiko kejang demam menjadi epilepsi 13
2.3 Kerangka Konsep 20
2.4 Kerangka Teori 21
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian 22
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 22
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian 22
3.4 Teknik Pengambilan Sampel 23
3.5 Perkiraan Besar Sampel 23
3.6 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.6.1 Kriteria Inklusi 24
Universitas Sumatera Utara
xi
3.6.2 Kriteria Eksklusi 24
3.7 Persetujuan Penelitian/ Informed Consent 24
3.8 Etika Penelitian 24
3.9 Cara Kerja 25
3.10 Alur Penelitian 26
3.11 Identifikasi Variabel 26
3.12 Definisi Operasional 27
3.13 Pengolahan dan Analisis Data 30
BAB 4 HASIL PENELITIAN 32
4.1 Karakteristik sampel penelitian 33
4.2 Faktor-faktor yang berperan dalam kejadian epilepsi
pada anak dengan riwayat kejang demam 33
4.3 Klasifikasi kejadian epilepsi 39
4.4 Uji multivariat faktor-faktor yang berperan dengan
kejadian epilepsi pada anak dengan kejang demam 39
BAB 5 PEMBAHASAN 40
BAB 6 KESIMPULAN dan SARAN
6.1 Kesimpulan 50
6.2 Saran 51
BAB 7 RINGKASAN 52
Daftar Pustaka 53
Universitas Sumatera Utara
xii
Lampiran
1. Personil Penelitian 57
2. Biaya Penelitian 57
3. Jadwal Penelitian 58
4. Penjelasan dan Persetujuan Kepada Orang Tua 59
5. Kuisioner Penelitian 62
Universitas Sumatera Utara
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi epilepsi berdasarkan ILAE 2017 12
Tabel 2.2 Faktor risiko terjadinya epilepsi 13
Tabel 4.1 Karakteristik sampel penelitian 33
Tabel 4.2 Faktor-faktor yang berperan dalam kejadian epilepsi
pada anak dengan riwayat kejang demam 34
Tabel 4.3 Uji regresi logistik 39
Universitas Sumatera Utara
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Konsep 20
Gambar 2.2 Kerangka Teori 21
Gambar 3.1 Alur Penelitian 26
Gambar 4.1 Subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi 32
Universitas Sumatera Utara
xv
DAFTAR SINGKATAN
KD : Kejang demam
WHO : World Health Organization
KDS : Kejang demam sederhana
KDK : Kejang demam kompleks
ILAE : International League Against Epilepsy
AAP : American Academy of Pediatrics
SSP : Sistem saraf pusat
RSU : Rumah sakit umum
RSUP : Rumah sakit umum pusat
RSAB : Rumah sakit anak dan ibu
RSUD : Rumah sakit umum daerah
BLUD : Badan layanan umum daerah
CI : Confidence interval
PSP : Persetujuan setelah penjelasan
EEG : Elektroensefalografi
ADHD : Attention Deficit Hyperactivity Disorder
MTS : Mesial temporal sclerosis
GEFS+ : Genetic Epilepsy with Febrile Seizure Plus
N : besar sampel
Universitas Sumatera Utara
xvi
SMF : Staf medical fungsional
IK : Interval Kepercayaan
OR : odd ratio
p : probabilitas
GDD : global developmental delay
Universitas Sumatera Utara
xvii
Faktor-faktor yang Berperan dalam Kejadian Epilepsi pada
Anak dengan Riwayat Kejang Demam
Dede Khairina Hasibuan, Yazid Dimyati, Nelly Rosdiana
ABSTRAK
Latar belakang. Kejang demam (KD) merupakan kelainan neurologi paling sering
terjadi pada anak usia ≤ 5 tahun (90%) dan 25-50% akan mengalami bangkitan KD
berulang. Riwayat KD juga dihubungkan dengan kejadian epilepsi pada anak dan
banyak faktor berperan dalam kejadian epilepsi ini.
Tujuan. Untuk mengetahui faktor-faktor apakah yang berperan dalam kejadian
epilepsi pada anak dengan riwayat KD.
Metode. Penelitian potong lintang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji
Adam Malik (RSUP HAM) Medan Sumatera Utara pada bulan September-Desember
2019. Sampel penelitian adalah pasien anak dengan KD di unit gawat darurat dan unit
rawat jalan divisi neurologi SMF Anak RSUP HAM Medan dari tahun 2014-2019
yang tercatat di rekam medis dan dilakukan wawancara melalui telepon/handphone
mengenai kondisi anak setelah mengalami KD (epilepsi).
Hasil. Penelitian mendapatkan 134 anak yang memenuhi kriteria inklusi, 17 anak
(12.69%) dengan epilepsi setelah mengalami KD dan faktor yang berperan dalam
kejadian epilepsi pada anak dengan riwayat KD yaitu gangguan neurologis/tumbuh
kembang, frekuensi KD dan usia kehamilan, dimana masing-masing faktor dapat
meningkatkan risiko menjadi epilepsi sebesar 4.02 kali pada gangguan
neurologis/tumbuh kembang, 6.41 kali pada frekuensi KD dan 3.13 kali pada usia
kehamilan.
Kesimpulan. Faktor yang paling berperan dalam kejadian epilepsi pada anak dengan
riwayat KD adalah gangguan neurologis/tumbuh kembang dan frekuensi KD.
Kata kunci: kejang demam, epilepsi, anak, faktor
Universitas Sumatera Utara
xviii
Factors that Related in Incidence of Epilepsy in Children with
History of Febrile Seizures
Dede Khairina Hasibuan, Yazid Dimyati, Nelly Rosdiana
ABSTRACT
Background: Febrile seizures (FS) are the most common neurological disorder in
children ≤5 years old (90%) and 25-50% will experience recurrence of FS. History of
FS is also associated with epilepsy in children and many factors have related in the
incidence of epilepsy.
Objective: To determine what factors have related in epilepsy in children with
history of FS.
Method: A cross-sectional study was conducted at the Haji Adam Malik Hospital
Medan from September-December 2019. The study sample was pediatric patients
with FS in the emergency room and outpatient unit in neurology division of
Department of Pediatrics SMF of Pediatrics Medan from 2014-2019 recorded in
medical records and conducted interviews by mobile phone about the condition of
children after experiencing FS (epilepsy).
Results: The study found 134 children who met the inclusion criteria, 17 children
(12.69%) with epilepsy after experiencing FS and factors that related in incidence of
epilepsy in children with history of FS are neurological/developmental disorders,
frequency of FS and gestational age, where each factor can increase risk of epilepsy
by 4.02 times in neurological/developmental disorders, 6.41 times in FS frequency
and 3.13 times in gestational age.
Conclusion: The most related factor in epilepsy in children with history of FS was
neurological/developmental disorders and frequency of FS.
Keywords: febrile seizures, epilepsy, children, factors
Universitas Sumatera Utara
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kejang demam merupakan kelainan neurologi paling sering pada anak yang
terjadi pada anak usia di bawah 5 tahun (90%). Kejang demam adalah
bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan sampai 5 tahun
yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas 38C dengan metode
pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh proses intrakranial.
Bangkitan kejang demam paling banyak terjadi pada anak yang berusia
antara usia 6 bulan hingga 22 bulan, insiden bangkitan kejang demam
tertinggi terjadi pada usia 18 bulan.1,2
Insiden terjadinya kejang demam di Amerika Serikat dan Eropa
berkisar 2% sampai 5%. Angka kejadian kejang demam di Asia meningkat
dua kali lipat bila dibandingkan di Eropa dan di Amerika. Kejadian kejang
demam di Jepang berkisar 8.3% sampai 9.9%. Bahkan di Guam insiden
kejang demam mencapai 14%.2,3
Angka kejadian kejang demam di Indonesia sendiri mencapai 2%
sampai 4% tahun 2008 dengan 80% disebabkan oleh infeksi saluran
pernafasan. Angka kejadian di wilayah Jawa Tengah sekitar 2% sampai 5%
pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun disetiap tahunnya. Sekitar 25%
Universitas Sumatera Utara
2
sampai 50% kejang demam akan mengalami bangkitan kejang demam
berulang.4
Pada penelitian Fuadi tahun 2010, didapatkan sebagian besar anak
dengan bangkitan kejang demam didahului lama demam kurang dua jam dan
usia pertama kali kejang pada kelompok kasus diketahui sebagian besar
adalah kurang dari 2 tahun.2 Studi menemukan bahwa anak dengan kejang
demam yang terjadi dalam 1 jam setelah diketahui demam (yaitu, onset)
memiliki risiko lebih tinggi untuk epilepsi berikutnya daripada anak dengan
kejang demam yang terkait durasi demam yang lebih lama. Kejang demam
mempunyai risiko menyebabkan keterlambatan perkembangan otak,
retardasi mental, kelumpuhan dan dapat berkembang menjadi epilepsi
sebesar 2% sampai 10%.3,5 Satu studi menemukan bahwa pasien dengan
dua ciri kompleks (misalnya, berkepanjangan dan fokal) lebih lanjut
meningkatkan risiko menjadi epilepsi, dua penelitian lain tidak mendeteksi
hubungan ini.3
Insiden epilepsi pada anak dilaporkan dari berbagai negara dengan
variasi yang luas, sekitar 4 sampai 6 per 1.000 anak. Di Indonesia terdapat
paling sedikit 700.000 sampai 1.400.000 kasus epilepsi dengan pertambahan
sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40% hingga 50%
terjadi pada anak.6 Kajian literatur mendapatkan bahwa anak dengan palsi
serebral (PS) sering disertai beberapa penyakit penyerta di antaranya
Universitas Sumatera Utara
3
epilepsi.6
Dari hasil studi pendahuluan dengan penelitian dengan didapatkan
bahwa terdapat hubungan antara riwayat kejang demam dengan kejadian
epilepsi pada anak di BLUD RSU Cut Meutia Aceh Utara tahun 2015.7 Hasil
penelitian yang dilakukan di RSUD dr. Moewardi Surakarta didapatkan
bahwa terdapat hubungan antara riwayat kejang demam dengan angka
kejadian epilepsi.8 Hasil penelitian di Makasar didapatkan frekuensi riwayat
kejang demam kompleks lebih tinggi pada kelompok yang menderita epilepsi
(50%) dibandingkan dengan kelompok bukan epilepsi (17.5%).9 Hasil
penelitian di RSUP dr. Kariadi Semarang menunjukkan adanya hubungan
riwayat kejang demam dengan kejadian epilepsi pada anak usia 6 tahun
sampai 14 tahun.10 Di beberapa pusat kesehatan anak di kota lain, sudah
dilakukan penelitian mengenai faktor yang berperan dalam kejadian epilepsi
pada anak dengan riwayat kejang demam, namun di sentra kita belum
terdapat penelitian yang menilai faktor-faktor yang berperan dalam kejadian
epilepsi pada anak dengan riwayat kejang demam.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas maka penulis menyusun
pertanyaan penelitian faktor-faktor apakah yang berperan dalam kejadian
epilepsi pada anak dengan riwayat kejang demam.
Universitas Sumatera Utara
4
1.3 Hipotesis
Faktor riwayat epilepsi pada keluarga, gangguan neurologis atau tumbuh
kembang, jenis kejang demam, frekuensi kejang demam, usia kehamilan,
lama kejang demam, riwayat kejang demam pada keluarga, usia pertama kali
kejang demam, cepatnya kejang dan tipe kejang demam akan
mempengaruhi kejadian epilepsi pada anak dengan riwayat kejang demam.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor apakah yang berperan dalam kejadian
epilepsi pada anak dengan riwayat kejang demam.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui angka kejadian epilepsi pada anak dengan riwayat kejang
demam di RSUP Haji Adam Malik Medan.
2. Melihat adanya hubungan antara riwayat epilepsi pada keluarga dengan
kejadian epilepsi pada anak yang memiliki riwayat kejang demam
sebelumnya di RSUP Haji Adam Malik Medan.
3. Melihat adanya hubungan antara gangguan neurologis/ tumbuh
kembang dengan kejadian epilepsi pada anak yang memiliki riwayat
kejang demam sebelumnya di RSUP Haji Adam Malik Medan.
Universitas Sumatera Utara
5
4. Melihat adanya hubungan antara jenis kejang demam dengan kejadian
epilepsi pada anak yang memiliki riwayat kejang demam sebelumnya di
RSUP Haji Adam Malik Medan.
5. Melihat adanya hubungan antara frekuensi kejang demam dengan
kejadian epilepsi pada anak yang memiliki riwayat kejang demam
sebelumnya di RSUP Haji Adam Malik Medan.
6. Melihat adanya hubungan antara usia kehamilan dengan kejadian
epilepsi pada anak yang memiliki riwayat kejang demam sebelumnya di
RSUP Haji Adam Malik Medan.
7. Melihat adanya hubungan antara lama kejang demam dengan kejadian
epilepsi pada anak yang memiliki riwayat kejang demam sebelumnya di
RSUP Haji Adam Malik Medan.
8. Melihat adanya hubungan antara riwayat kejang demam pada keluarga
dengan kejadian epilepsi pada anak yang memiliki riwayat kejang
demam sebelumnya di RSUP Haji Adam Malik Medan.
9. Melihat adanya hubungan antara usia pertama kali kejang dengan
kejadian epilepsi pada anak yang memiliki riwayat kejang demam
sebelumnya di RSUP Haji Adam Malik Medan.
10. Melihat adanya hubungan antara cepatnya kejang dengan kejadian
epilepsi pada anak yang memiliki riwayat kejang demam sebelumnya di
RSUP Haji Adam Malik Medan.
Universitas Sumatera Utara
6
11. Melihat adanya hubungan antara tipe kejang demam dengan kejadian
epilepsi pada anak yang memiliki riwayat kejang demam sebelumnya di
RSUP Haji Adam Malik Medan.
1.5 Manfaat penelitian
1. Di bidang akademik/ilmiah: memberikan gambaran kepada peneliti
mengenai faktor-faktor yang berperan dalam kejadian epilepsi pada
anak dengan riwayat kejang demam di RSUP Haji Adam Malik Medan.
2. Di bidang pelayanan masyarakat: dapat memberikan edukasi pada
keluarga pasien mengenai kejadian epilepsi pada anak dengan riwayat
kejang demam dan faktor-faktor apa saja yang berperan.
Di bidang pengembangan penelitian: memberikan masukan tentang data
untuk penelitian selanjutnya mengenai faktor-faktor yang berperan dalam
kejadian epilepsi pada anak dengan riwayat kejang demam.
Universitas Sumatera Utara
7
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kejang Demam
2.1.1 Definisi Kejang Demam
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6
bulan sampai 5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (suhu di atas
38C dengan metode pengukuran suhu apa pun) yang tidak disebabkan oleh
proses intrakranial.1 Berdasarkan International League Against Epilepsy
(ILAE) mendefinisikan kejang yang terjadi pada bayi setelah usia 1 bulan,
yang disertai demam yang tidak disebabkan oleh infeksi sistem saraf pusat
(SSP), tidak berkaitan dengan kejang neonatal atau kejang tanpa alasan
sebelumnya, dan tidak memenuhi kriteria untuk gejala kejang akut
lainnya.11,12 Menurut American Academy of Pediatrics (AAP) menyebutkan
kejang demam sebagai kejang yang terjadi tanpa adanya infeksi intrakranial,
gangguan metabolik, atau riwayat kejang tanpa demam sebelumnya.13
Kejang didahului demam dapat terjadi pada anak berusia di bawah 6
bulan atau di atas 5 tahun, sehingga perlu dipikirkan kemungkinan penyebab
lain seperti infeksi SSP atau epilepsi yang secara kebetulan terjadi bersama
demam.1,2,14 Kejang demam dapat terjadi sebelum atau segera setelah onset
Universitas Sumatera Utara
8
demam, dengan kemungkinan terjadinya kejang meningkat terhadap suhu
anak, bukan terhadap laju kenaikan suhu.14
2.1.2 Epidemiologi Kejang Demam
Insiden maupun prevalensi kejang demam umumnya hampir sama dari
berbagai laporan penelitian mengenai kejang demam yang sudah ada. Angka
kejadian kejang demam di Amerika Serikat dan Eropa Barat tercatat 2%
sampai 5% per tahunnya. Kejang demam lebih sering mengenai populasi
Asia dimana angka kejadiannya dapat meningkat hingga dua kali lipat.11
Berdasarkan lokasi geografis, terdapat sedikit variasi prevalensi yang lebih
tinggi dari umumnya, seperti di Finlandia (6.9%), India (5% sampai 10%),
Jepang (8.8%) dan Guam (14%).2,4,14
Studi epidemiologi besar di Indonesia belum ada yang
merepresentasikan angka insiden dari anak Indonesia yang menderita kejang
demam. Beberapa penelitian tentang kejang demam di Indonesia yang
pernah dilaporkan seperti pada RSU Bangli dalam kurun waktu Januari
sampai Desember 2007 terdapat 47 anak dengan kejang demam,15 di RSUP
dr. Kariadi Semarang pada anak usia 6 bulan sampai 14 tahun periode 2010
sampai 2012 mendapatkan 35 kasus,10
di RSAB Harapan Kita Jakarta pada
tahun 2008 sampai 2010 sebanyak 86 pasien,16 dan di RSUP dr. Sardjito
Yogyakarta pada Januari 2009 sampai Juli 2010 terdapat 160 anak.17 Setelah
Universitas Sumatera Utara
9
kejang demam pertama, 33% anak akan mengalami 1 kali kekambuhan, dan
9% anak mengalami kekambuhan 3 kali atau lebih. Kekambuhan dari kejang
demam akan meningkat jika terdapat faktor risiko seperti kejang demam
pertama pada usia kurang dari 12 bulan, terdapat riwayat keluarga dengan
kejang demam, dan jika kejang pertama pada suhu di bawah 40C, atau
terdapat kejang demam kompleks.16,17 Pada penelitian lain menyatakan
bahwa 50% anak akan mengalami kejang demam untuk kedua kalinya dalam
jangka waktu 6 bulan setelah kejang demam pertama, 75% dalam waktu
setahun dan 90% dalam waktu dua tahun setelah terjadi serangan pertama.18
2.1.3 Klasifikasi dan Manifestasi Kejang Demam
Klasifikasi kejang demam (KD), yaitu kejang demam sederhana (KDS) dan
kejang demam kompleks (KDK). Kejang demam sederhana (KDS)
merupakan jenis yang paling umum, mencakup 65% sampai 90% dari total
kasus kejang demam.1,14
Kejang demam sederhana (KDS) memiliki prognosis baik, tidak
didapatkan bukti adanya peningkatan mortalitas, hemiplegia, keterlambatan
perkembangan kognitif atau retardasi mental. Risiko utama terkait KDS
adalah kekambuhan pada sepertiga anak dengan kejang demam.13
Sekitar
20% sampai 30% kasus KDS dapat berkembang menjadi KDK. Status
epileptikus merupakan bagian dari KDK.20 Kejang demam kompleks (KDK)
Universitas Sumatera Utara
10
sering dikaitkan dengan prognosis buruk, risiko tinggi mengalami epilepsi,
dan berhubungan dengan lesi struktural atau disfungsi otak lainnya.3,21
Unit Kerja Koordinasi Neurologi IDAI 2016 membuat klasifikasi kejang
demam pada anak menjadi:1
1. Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure)
Kejang demam yang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit), bentuk
kejang umum (tonik dan atau klonik), serta tidak berulang dalam waktu 24
jam.
2. Kejang Demam Kompleks (Complex Febrile Seizure)
Kejang demam dengan salah satu ciri berikut:
a. Kejang lama (> 15 menit)
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial.
c. Berulang atau lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam.
Kejang demam berkepanjangan merupakan faktor risiko terjadinya
serangan berulang di masa depan.21 Kejang berulang adalah kejang dua kali
atau lebih dalam satu hari, di antara dua bangkitan kejang anak sadar.
Kejang berulang terjadi pada 16% di antara anak yang mengalami kejang
demam.20,21
Penelitian lain menyatakan durasi kejang demam kurang dari 10
menit tercatat pada 87% anak, sedangkan 9% anak dilaporkan mengalami
kejang hingga lebih dari 15 menit dan sekitar 5% kasus dapat berlangsung
Universitas Sumatera Utara
11
hingga di atas 30 menit.1,19
2.1.4 Kejang demam plus
Pada beberapa anak, kejang demam dapat merupakan awal dari Generalized
Epilepsy with Febrile Seizure + (GEFS+). Fenotip tersering dari GEFS+
adalah kejang demam dan kejang demam plus. Kejang demam plus dapat
berupa kejang demam yang melanjut sampai remaja.22 Sindrom kejang
demam plus adalah kejang dengan demam menetap di atas usia 5 tahun.21,34
Menurut definisi, anak-anak ini menderita epilepsi dan tidak sesuai dengan
definisi kejang demam, tetapi mereka memiliki prognosis yang sama
baiknya.21
2.2 Epilepsi
2.2.1 Definisi Epilepsi
Epilepsi adalah suatu kondisi yang ditandai dengan kejang berulang dan
tanpa provokasi yang terjadi dua kali atau lebih dengan interval waktu lebih
dari 24 jam, akibat lepasnya muatan listrik berlebihan di neuron otak.6,24
Bangkitan epileptik adalah manifestasi klinis disebabkan oleh lepasnya
muatan listrik secara sinkron dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak
yang bersifat transien. Aktivitas berlebihan tersebut dapat menyebabkan
disorganisasi paroksismal pada satu atau beberapa fungsi otak yang dapat
Universitas Sumatera Utara
12
bermanifestasi eksitasi positif (motorik, sensorik, psikis), bermanifestasi
negatif (hilangnya kesadaran, tonus otot, kemampuan bicara) atau gabungan
keduanya. Sindrom epilepsi adalah epilepsi yang ditandai adanya
sekumpulan gejala dan tanda klinis yang terjadi bersama-sama, meliputi jenis
serangan, etiologi, anatomi, faktor pencetus, umur onset, berat penyakit, dan
kronisitas penyakit.6,25
2.2.2 Klasifikasi Epilepsi
Klasifikasi epilepsi berdasarkan ILAE 2017 terdiri dari 3 bagian (tabel 2.1)
dimana bagian ini dirancang untuk melayani pengelompokan epilepsi
dilingkungan klinis yang berbeda. Klasifikasi ini memungkinan penentuan
etiologi penyebab epilepsi sudah mulai dipikirkan pada saat pertama kali
kejang epilepsi didiagnosis.25
Tabel 2.1 Klasifikasi epilepsi berdasarkan ILAE 201725
I. Klasifikasi tipe kejang (dipergunakan bila tidak terdapat EEG, Imaging, video) A. Onset Fokal B. Onset General C. Unknown Onset
II. Berdasarkan tipe epilepsi (dipergunakan pada fasilitas dengan akses pemeriksaan penunjang diagnostik epilepsi)
A. Onset Fokal B. Onset General C. Combine focal and general onset D. Unknown Onset
III. Berdasarkan sindrom epilepsi (ditegakkan saat ditemukan secara bersamaan jenis kejang dengan gambaran EEG atau imaging tertentu, bahkan sering diikuti dengan gambaran usia, variasi diurnal, trigger tertentu, dan terkadang prognosis)
Universitas Sumatera Utara
13
2.2.3 Faktor Risiko terjadinya Epilepsi
Diperkirakan epilepsi disebabkan oleh keadaan yang mengganggu stabilitas
neuron-neuron otak yang dapat terjadi pada saat prenatal, perinatal ataupun
postnatal. Faktor prenatal dan perinatal saling berkaitan dalam timbulnya
gangguan pada janin atau bayi yang dilahirkan yang dapat menyebabkan
epilepsi.26
Tabel 2.2 Faktor risiko terjadinya epilepsi26
Prenatal Natal Postnatal
a. Umur ibu saat hamil terlalu muda (< 20 tahun) atau terlalu tua (> 35 tahun)
a. Asfiksia a. Kejang demam
b. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi
b. Bayi dengan berat badan lahir rendah (< 2500 gram)
b. Trauma kepala
c. Kehamilan primipara atau multipara
c. Kelahiran prematur atau postmatur
c. Infeksi sistem saraf pusat (SSP)
d. Pemakaian bahan toksik
d. Partus lama d. Gangguan metabolik
e. Persalinan dengan alat
2.2.4 Faktor risiko kejang demam menjadi epilepsi
Kejang demam sering terjadi dan memiliki prognosis yang baik, kecuali untuk
risiko epilepsi berikutnya. Studi asosiasi antara kejang demam dan epilepsi
sebagian besar berfokus pada hubungan antara kejang demam yang
berkepanjangan dan perkembangan selanjutnya dari epilepsi lobus temporal.
Epilepsi dapat dianggap sebagai kejang demam ketika serangan pertama
terjadi dalam keadaan demam sistemik. Kejang demam juga dapat menjadi
Universitas Sumatera Utara
14
manifestasi awal dari sindrom epilepsi spesifik, seperti epilepsi mioklonik
parah pada masa bayi. Hingga saat ini kejang demam sebagai penanda
spesifik dari kejadian kejang berulang atau kemungkinan berhubungan
dengan kejadian epilepsi berikutnya masih menjadi perdebatan.5,19,26,28
Data dari lima studi besar kohort pada anak dengan kejang demam,
menunjukkan bahwa 2% hingga 10% anak yang mengalami kejang demam
kemudian akan menjadi epilepsi. Dalam masing-masing dari lima studi besar
ini, kejadian riwayat keluarga epilepsi dan terjadinya kejang demam kompleks
dikaitkan dengan peningkatan risiko epilepsi berikutnya. Kejang demam yang
berkepanjangan meningkatkan kejadian epilepsi hingga 21%.3,5,11,23
Satu studi menemukan hubungan terbalik antara durasi demam
sebelum kejang dan terjadinya epilepsi. Berarti semakin pendek durasi antara
timbulnya demam dan kejang, semakin tinggi kemungkinan untuk terjadi
epilepsi. Telah dilaporkan juga bahwa sekitar 10% sampai 15% anak epilepsi
sebelumnya menderita kejang demam. Berdasarkan ulasan sistematis
terhadap 33 studi (antara Januari 1993 sampai Juni 2007) yang membahas
risiko epilepsi setelah kejang demam ditemukan hanya 16 studi (dari 33 studi)
yang melaporkan risiko epilepsi setelah kejang demam yaitu antara 2%
sampai 7.5%. Anak-anak dengan riwayat setidaknya satu ciri kompleks,
kelainan neurologis dan riwayat keluarga memiliki 10% risiko terkena epilepsi
pada usia 7 tahun.5,20,23,28
Universitas Sumatera Utara
15
Berikut ini merupakan beberapa faktor risiko kejang demam menjadi epilepsi
adalah:1,3,11.23
1. Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum
kejang demam pertama.
Berdasarkan beberapa penelitian disimpulkan bahwa terdapat hubungan
kuat antara kelainan neurologis dengan kejang tanpa provokasi, atau
anak dengan kelainan neurologis mempunyai risiko yang lebih tinggi
untuk menderita epilepsi 30.26 kali dibandingkan anak normal (interval
kepercayaan 95%).6 Studi lain mengungkapkan peningkatan hubungan
antara kejang demam dan penyakit neuropsikiatri pada anak, termasuk
autisme dan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), jika
dibandingkan dengan anak tanpa kejang demam. Anak dengan epilepsi
memiliki kemampuan kinerja yang relatif lebih rendah atau kemampuan
verbal yang jarang, memiliki mekanisme bersama dengan gangguan
perkembangan saraf. Beberapa studi case-control mengungkapkan
bahwa kekurangan zat besi mungkin terkait dengan patofisiologi autisme
atau kejang demam. Studi lebih lanjut yang menyelidiki komorbiditas
autisme dengan kejang demam sebagai faktor penting yang
mempengaruhi hubungan epilepsi berikutnya mungkin diperlukan.33
Kehilangan neuron yang signifikan tidak ditemukan setelah episode
kejang demam tunggal atau berulang. Hal ini sesuai dengan demonstrasi
Universitas Sumatera Utara
16
epileptogenesis tanpa kerusakan yang signifikan terhadap model
perkembangan lainnya serta dapat memperkenalkan beberapa konsep
mengenai kehidupan awal dari epileptogenesis secara umum. Pertama,
proses epileptogenik selama perkembangan kemungkinan besar
tergantung dari fungsi neuron yang berlebih dibanding neuron yang mati.
Kedua, pada epilepsi lobus temporal dengan riwayat kejang demam
awitan dini, di mana kehilangan sel (mesial temporal sclerosis (MTS))
sering dijumpai dapat memicu terjadinya epilepsi.30
2. Kejang demam kompleks (KDK).
Kejang demam kompleks (KDK) dengan durasi lama (lebih dari 5 menit
sampai 20 menit), fokal, atau berulang pada penyakit yang sama. Kejang
demam kompleks (KDK) menjadi epilepsi pada 4% sampai 15%,
tergantung pada jumlah ciri kompleks. Anak dengan riwayat setidaknya
satu ciri kompleks, kelainan neurologis, dan riwayat keluarga memiliki
10% risiko terkena epilepsi pada usia 7 tahun. Kejang demam yang
berkepanjangan meningkatkan kejadian epilepsi hingga 21%. Untuk anak
dengan ketiga ciri kejang demam kompleks, risikonya meningkat hingga
49%. Analisis retrospektif telah mengaitkan sejarah kompleks, dan
khususnya kejang demam yang berkepanjangan dengan epilepsi lobus
temporal yang menunjukkan kontribusi potensial kejang demam terhadap
epileptogenesis.13,23,29,32 Neuron yang cedera terletak dalam distribusi
Universitas Sumatera Utara
17
kehilangan sel dan gliosis yang ditemukan pada anak dengan sklerosis
temporal mesial. Neuron yang terlibat tidak mati, karena didukung oleh
jumlah neuron, dan apoptosis akut tidak diamati bahkan setelah kejang
selama 60 menit. Beberapa perubahan molekuler dan fungsional terjadi
setelah kejang demam berkepanjangan, dan mungkin mendukung
mekanisme untuk hipereksitabilitas hipokampus yang ditimbulkan oleh
kejang.32 Dua studi telah menemukan bahwa kejang demam yang sangat
lama (status demam epileptikus) dikaitkan dengan peningkatan risiko
epilepsi berikutnya di atas dari kejang demam kompleks yang kurang
lama.3,5 Studi prospektif menemukan peningkatan kecil risiko epilepsi tapi
signifikan dan riwayat kejang demam yang lama pada individu yang sudah
memiliki epilepsi lobus temporal adalah umum (sekitar 30% sampai 70%).
Kejang demam serta kejang litium-pilocarpine atau tetanus toksik berbagi
mekanisme umum yang umum untuk meningkatkan rangsangan jaringan
hipokampus dan mempromosikan epilepsi. Proses ini melibatkan
perubahan yang bertahan lama pada tingkat molekuler dan fungsional,
seperti perubahan reseptor neurotransmitter atau saluran ion yang terjaga
tegangannya.30
3. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung.
Pada beberapa epilepsi riwayat keluarga dengan epilepsi merupakan
salah satu faktor risiko. Dikenal dengan Genetic Epilepsy with Febrile
Universitas Sumatera Utara
18
Seizure Plus (GEFS+). Kelaian ini diwariskan secara autosomal dominan
dengan berbagai variasi mutasi gen. Pada keluarga, riwayat ini sepertiga
anggota keluarga akan mengalami kejang demam yang akan berlanjut
sampai remaja, sepertiga anggota keluarga akan mengalami kejang
demam sampai usia 5 tahun sampai 6 tahun dan sepertiga anggota
keluarga lainnya dapat menjadi epilepsi, baik itu fokal, epilepsi lobus
temporal dan jenis epilepsi lainnya.20,30 Penelusuran riwayat epilepsi pada
keluarga sebaiknya dilakukan minimal pada tiga generasi, karena
kemampuan seseorang mengingat. Genetik diyakini ikut terlibat dalam
sebagian kasus, baik secara langsung maupun tidka langsung. Beberapa
penyakit epilepsi disebabkan oleh kerusakan gel tunggal (1% sampai 2%),
sebagian besar adalah akibat interaksi beberapa gen dan faktor
lingkungan. Kerabat dekat lainnya dari penderita epilepsi memiliki risiko
lima kali lebih besar dibandingkan mereka yang tidak.6,34 Berdasarkan
studi case-control yang dilakukan di Kerala-India mendapatkan hasil
bahwa riwayat keluarga dengan epilepsi merupakan faktor risiko
terjadinya epilepsi. Risiko epilepsi pada saudara kandung penderita
epilepsi primer kurang lebih 4%. Bila orang tua dan salah satu anaknya
sama-sama menderita epilepsi primer, maka anak yang lain berpotensi
terkena epilepsi sebesar 10%.35,36
Universitas Sumatera Utara
19
4. Kejang demam sederhana (KDS) yang berulang 4 episode atau lebih
dalam satu tahun.
Anak dengan kejang demam sederhana memiliki risiko 2% sampai 3%
menjadi epilepsi. Anak dengan kejang demam sederhana memiliki risiko
epilepsi yang sedikit lebih tinggi dari sekitar 1% dibandingkan dengan
insiden pada populasi umum sekitar 0.5%. Anak dengan riwayat beberapa
kejang demam sederhana, dibawah 12 bulan pada saat kejang demam
pertama mereka, dan riwayat keluarga epilepsi, berada pada risiko yang
lebih tinggi, dengan kejang demam umum yang berkembang pada usia 25
tahun pada 2.4%. Saat ini tidak ada bukti bahwa kejang demam
sederhana menyebabkan kerusakan struktural pada otak. Berbeda
dengan risiko yang jarang terjadi epilepsi, adalah bahwa anak dengan
kejang demam sederhana memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi.
Risikonya bervariasi tergantung usia.11,29,37 Banyak penelitian
mendokumentasikan bahwa risiko terjadi epilepsi setelah kejang demam
sederhana mirip dengan risiko pada populasi umum dan meningkat
beberapa kali lipat dalam kasus kejang demam kompleks.17,28
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian
epilepsi sampai 4% sampai 6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut akan
meningkatkan kemungkinan epilepsi menjadi 10% sampai 49%.
Universitas Sumatera Utara
20
Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah dengan pemberian obat
rumatan pada kejang demam.1,3
2.3 Kerangka Konsep
Gambar 2.1 Kerangka Konsep
Variabel yang diteliti
Kejang demam
Epilepsi
Riwayat keluarga menderita epilepsi
Gangguan neurologis/tumbuh kembang
Jenis kejang demam
Frekuensi kejang demam
Usia kehamilan
Lama kejang demam
Usia pertama kali kejang demam
Riwayat keluarga menderita kejang demam
Cepatnya kejang
Tipe kejang demam
1. Kejang demam sederhana
2. Kejang demam kompleks
Universitas Sumatera Utara
21
2.4 Kerangka Teori
Gambar 2.2 Kerangka Teori
Kejang demam
Kejang demam
sederhana
Gangguan neurologis/ tumbuh kembang
Frekuensi
kejang demam
Jenis
kejang demam
Usia
kehamilan
Oksigen
menurun
Lama
kejang demam
Hipoksia
Kerusakan sel
neuron otak
Tipe
kejang demam
Cepatnya kejang
Kejang demam
kompleks
Riwayat keluarga menderita kejang demam
Usia pertama kali kejang demam
Riwayat keluarga
menderita epilepsi
Epilepsi
Universitas Sumatera Utara
22
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain penelitian
Penelitian ini menggunakan disain potong lintang (cross sectional) untuk
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dalam kejadian epilepsi pada
anak dengan riwayat kejang demam.
3.2 Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan
Sumatera Utara. Penelitian ini dimulai bulan September 2019 sampai
Desember 2019 setelah mendapat persetujuan etik.
3.3 Populasi dan sampel penelitian
Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien anak dengan kejang
demam. Sampel pada penelitian ini adalah seluruh pasien anak dengan
kejang demam yang datang di unit gawat darurat dan unit rawat jalan divisi
neurologi SMF Anak di RSUP Haji Adam Malik Medan. Data diambil dari
tahun 2014 sampai tahun 2019.
Universitas Sumatera Utara
23
3.4 Teknik Pengambilan Sampel
Teknik pengambilan sampel menggunakan cara non probability sampling
dengan menggunakan metode consecutive sampling yang diperoleh dari
rekam medis.
3.5 Perkiraan Besar Sampel
Penentuan besar sampel dalam penelitian ini dihitung dengan menggunakan
rumus Lameshow, hasil perhitungan dari rumus tersebut, diperoleh besar
sampel minimal sebesar 93 sampel.
Rumus:
{ √ ( ) √ ( ) }
( )
Bila ditetapkan = 0,05 dengan tingkat kepercayaan 95%, maka:
N : besar sampel
Z1-/2 : kesalahan tipe I = 0,05 (tingkat kepercayaan 95%) Z = 1,96
Z1-β : kesalahan tipe II = 0,1 (tingkat kepercayaan 80%) Zβ = 0,84
Pa : 20% 0,20 (clinical judgement 20%)
Proporsi kejang demam.
P0 : 10% 0,10
Proporsi epilepsi dengan riwayat kejang demam.27
Universitas Sumatera Utara
24
3.6 Kriteria Inklusi dan Ekslusi
3.6.1 Kriteria Inklusi
Pasien anak dengan kejang demam yang datang di unit gawat darurat dan
unit rawat jalan divisi neurologi SMF Anak di RSUP Haji Adam Malik Medan
yang tercatat di rekam medis.
3.6.2 Kriteria Ekslusi
1. Pasien anak yang memiliki riwayat trauma, infeksi sistem saraf pusat,
gangguan elektrolit dan kelainan otak bawaan
2. Pasien yang mengalami kejang demam pertama kali saat usia > 5 tahun
3. Orang tua/wali subjek tidak dapat dihubungi karena tidak terdapat nomor
telepon/handphone di rekam medis dan nomor telepon/handphone yang
ada di rekam medis tidak diangkat atau tidak dapat dihubungi.
3.7 Persetujuan Penelitian/Informed Consent
Semua subjek penelitian akan diminta persetujuan dari orang tua/wali setelah
dilakukan penjelasan terlebih dahulu secara lisan.
3.8 Etika penelitian
Persetujuan penelitian sudah disetujui dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara-RSUP H. Adam malik
Medan.
Universitas Sumatera Utara
25
3.9 Cara Kerja
1. Menentukan subjek penelitian berdasarkan register pasien kejang
demam di unit gawat darurat dan unit rawat jalan divisi neurologi SMF
Anak di RSUP Haji Adam Malik Medan yang memenuhi kriteria inklusi.
2. Memberikan informasi mengenai penelitian yang dilakukan dan pasien
ditelepon dan diajak kegiatan untuk penelitian secara lisan
3. Data sampel diambil dari rekam medis dan melalui wawancara via
telepon/handphone. Data yang diambil melalui rekam medis adalah
karakteristik subjek penelitian meliputi usia, jenis kelamin, riwayat
keluarga menderita epilepsi, gangguan neurologis/tumbuh kembang,
jenis kejang demam, frekuensi kejang demam, usia kehamilan, lama
kejang demam, riwayat kejang demam pada keluarga, usia pertama kali
kejang demam, cepatnya kejang dan tipe kejang demam. Data epilepsi
diperoleh melalui wawancara via telepon/handphone. Kejadian epilepsi
dicatat melalui rekam medis.
Universitas Sumatera Utara
26
3.10 Alur penelitian
Gambar 3.1 Alur Penelitian
3.11 Identifikasi Variabel
Variabel bebas Skala
Riwayat keluarga menderita epilepsi nominal
Gangguan neurologis/tumbuh kembang nominal
Anak dengan kejang demam yang datang di unit gawat darurat dan
unit rawat jalan divisi neurologi SMF Anak di RSUP Haji Adam
Malik Medan
Informed consent orang tua/wali via telepon
Pengumpulan data melalui rekam medis dan wawancara via telepon/handphone
Analisis data
Perencanaan
Penentuan dan pengambilan sampel
Penyajian data
Universitas Sumatera Utara
27
Jenis kejang demam nominal
Frekuensi kejang demam nominal
Usia kehamilan nominal
Lama kejang demam nominal
Riwayat keluarga kejang demam nominal
Usia pertama kali kejang demam nominal
Cepatnya kejang nominal
Tipe kejang demam nominal
Variabel tergantung Skala
Epilepsi nominal
3.12 Definisi Operasional
1. Epilepsi
Kejang berulang dan tanpa provokasi yang terjadi dua kali atau lebih dengan
interval lebih dari 24 jam.6,23 Diagnosa epilepsi ditegakkan oleh dokter
neurologi anak RSUP H. Adam Malik Medan.
2. Usia pertama kali kejang demam
Usia penderita epilepsi saat pertama kali mendapat serangan kejang demam,
terdiri dari:
- < 2 tahun
- 2 tahun
Universitas Sumatera Utara
28
3. Riwayat epilepsi pada keluarga
Riwayat orang tua atau saudara kandung yang menderita epilepsi, terdiri dari:
- Ya: terdapat riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
- Tidak: tidak terdapat riwayat epilepsi pada orang tua atau saudara kandung
4. Riwayat kejang demam pada keluarga
Riwayat orang tua atau saudara kandung yang menderita kejang demam,
terdiri dari:
- Ya: terdapat riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung.
- Tidak: tidak terdapat riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara
kandung.
5. Gangguan neurologis atau tumbuh kembang
Gangguan neurologis atau tumbuh kembang yang terjadi sebelum kejang
demam pertama. Contoh: yang sudah didiagnosa dengan Autisme dan
ADHD. Kelainan ini diukur dengan melakukan anamnesa, pemeriksaan fisik
dan dari rekam medis, terdiri dari:
Ya : terdapat gangguan neurologis atau tumbuh kembang
Tidak : tidak terdapat gangguan neurologis atau tumbuh kembang
6. Frekuensi kejang demam
Jumlah frekuensi kejang demam yang dialami penderita dalam 1 tahun,
sebelum terdiagnosa epilepsi, terdiri dari:
- < 4 episode per tahun
Universitas Sumatera Utara
29
- ≥ 4 episode per tahun
7. Tipe kejang demam
Tipe atau sifat kejang demam sebelum terdiagnosa epilepsi, terdiri dari:
- Fokal atau parsial: kejang yang terjadi pada satu sisi anggota tubuh
- Umum: kejang yang terjadi pada seluruh anggota tubuh
8. Cepatnya kejang
Durasi dari awal demam sampai terjadinya kejang, terdiri dari:
- 24 jam
- 24 jam
9. Lama kejang demam
Durasi terjadinya kejang dalam satu episode kejang demam sebelum
terdiagnosa epilepsi, terdiri dari:
- < 15 menit
- 15 menit
10. Jenis kejang demam
- Kejang demam sederhana (KDS): kejang demam yang berlangsung singkat
(kurang dari 15 menit), bentuk kejang demam umum (tonik dan atau klonik),
serta tidak berulang dalam waktu 24 jam.1
- Kejang demam kompleks (KDK): kejang demam dengan salah satu ciri:
kejang lama (>15 menit), kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang
Universitas Sumatera Utara
30
umum didahului kejang parsial, dan berulang atau lebih dari 1 kali dalam
waktu 24 jam.1
11. Usia kehamilan
Masa sejak terjadinya konsepsi sampai dengan saat kelahiran, terdiri dari:
- Kurang bulan: lahir dengan usia kehamilan ≤ 36 minggu
- Cukup bulan: lahir dengan usia kehamilan > 36 minggu
3.13 Pengolahan dan analisa data
1. Variabel tergantung yaitu epilepsi dan variabel bebas yaitu riwayat
keluarga menderita epilepsi, gangguan neurologis/tumbuh kembang, jenis
kejang demam, frekuensi kejang demam, usia kehamilan, lama kejang
demam, riwayat kejang demam pada keluarga, usia pertama kali kejang
demam, cepatnya kejang dan tipe kejang demam dalam skala nominal
akan dianalisis untuk melihat proporsi dan ditampilkan dalam bentuk
persentase.
2. Analisis univariat dilakukan terhadap masing masing variabel untuk
memperoleh karakteristik demografis.
3. Analisis bivariat dilakukan untuk mengetahui perbandingan proporsi
hubungan faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian epilepsi pada anak
dengan riwayat kejang demam. Uji yang digunakan adalah uji Chi square,
Universitas Sumatera Utara
31
tetapi apabila syarat uji Chi square tidak terpenuhi maka uji alternatif
lainnya adalah uji Fisher dan uji continuity.
4. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat
lunak statistik, dimana nilai P < 0.05 dianggap signifikan.
5. Analisis multivariat dilakukan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi
kejadian epilepsi pada anak dengan riwayat kejang demam, dengan uji
regresi logistik sederhana dan uji regresi logistik berganda untuk
mengetahui faktor yang paling berperan.
Universitas Sumatera Utara
32
BAB 4
HASIL PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang (cross sectional) yang
bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berperan dalam kejadian
epilepsi pada anak dengan riwayat KD, dilakukan di Rumah Sakit Umum
Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan pada bulan September 2019 sampai
dengan bulan Desember 2019 dengan total sampel yang memenuhi kriteria
inklusi didapatkan sebanyak 134 anak dengan riwayat KD dengan rentang
usia 2 sampai 13 tahun. Dilakukan pencatatan data melalui rekam medis dari
tahun 2014 sampai tahun 2019 dan wawancara via telepon/handphone
tentang kondisi anak saat ini setelah mengalami KD (epilepsi).
Gambar 4.1. Subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi
Data pasien dari unit rawat jalan dan unit gawat darurat
166 anak
Inklusi : 134 anak
kejang demam
Eksklusi : 32 anak, nomor hp tidak
tercantum atau tidak diangkat (eksklusi)
Epilepsi : 17 anak
Tidak epilepsi: 117 anak
Universitas Sumatera Utara
33
4.1 Karakteristik sampel penelitian
Selama periode penelitian, didapatkan 134 anak KD yang terdiri dari
76 anak laki-laki (64.59%) dan 41 anak perempuan (35.04%). Jumlah anak
epilepsi dengan riwayat KD sebanyak 17 anak, terdiri dari 10 anak
perempuan (58.82%) dan 7 anak laki-laki (41.11%). Usia rata-rata anak
epilepsi dengan riwayat KD yaitu 7.18 tahun dan anak yang tidak epilepsi
dengan riwayat KD 6.58 tahun. Karakteristik sampel penelitian ini dapat
dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Karakteristik sampel penelitian
Karakteristik Epilepsi (n = 17)
Tidak Epilepsi (n = 117)
Usia (tahun)
Mean (SD*) 7.18 (2.921) 6.58 (2.986)
Jenis kelamin, n (%)
Laki-laki 7 (41.11) 76 (64.95)
Perempuan 10 (58.82) 41 (35.04)
*SD : standart deviasi
4.2 Faktor-faktor yang berperan dalam kejadian epilepsi pada anak
dengan riwayat kejang demam
Pada penelitian ini dilakukan analisis bivariat antara variabel bebas yaitu
faktor-faktor yang berperan dalam kejadian epilepsi dengan anak riwayat KD
dan variabel tergantung yaitu kejadian epilepsi (table 4.2)
Universitas Sumatera Utara
34
Tabel 4.2 Faktor-faktor yang berperan dalam kejadian epilepsi pada anak dengan riwayat kejang demam
Faktor klinis Epilepsi (n = 17)
Tidak Epilepsi (n = 117)
p RP (95% IK)
Riwayat epilepsi pada keluarga, n (%)
0.062
b 2.86 (1.093-7.507)
Ya 4 (23.52) 9 (7.70)
Tidak 13 (76.48) 108 (92.30)
Gangguan neurologis/ tumbuh kembang, n (%)
0.001* 4.02 (1.725-9.380)
Ya 6 (35.29) 10 (8.54)
Tidak 11 (64.71) 107 (91.46)
Jenis kejang demam, n (%) 0.745a
1.16 (0.476-2.823)
Kejang demam kompleks (KDK)
9 (52.90) 57 (48.71)
Kejang demam sederhana (KDS)
8 (47.10) 60 (51.29)
Frekuensi kejang demam, n (%)
<0.001* 6.41 (2.809-14.638)
≥ 4 episode/tahun 9 (52.90) 11 (9.40)
< 4 episode/tahun 8 (47.10) 106 (90.60)
Usia kehamilan, n (%) 0.047* 3.13 (1.209-8.096) Kurang bulan 4 (23.52) 8 (6.83)
Cukup bulan 13 (76.48) 109 (93.17)
Lama kejang demam, n (%) 0.136a
0.48 (0.180-1.298)
≥ 15 menit 5 (29.41) 57 (48.71)
< 15 menit 12 (70.59) 60 (51.29)
Riwayat kejang demam pada keluarga, n (%)
0.401
a 1.49 (0.593-3.720)
Ya 6 (35.29) 30 (25.64)
Tidak 11 (64.71) 87 (74.36)
Usia pertama kali kejang demam, n (%)
0.951
a 0.97 (0.399-2.368)
< 2 tahun 8 (47.10) 56 (47.87)
≥ 2 tahun 9 (52.90) 61 (52.13)
Cepatnya kejang, n (%) 0.358b
0.44 (0.107-1.183)
≤ 24 jam 2 (11.76) 29 (24.78)
> 24 jam 15 (88.24) 88 (75.22)
Tipe kejang demam, n (%) 0.121b
3.44 (1.063-11.130)
Fokal 2 (11.76) 3 (2.56)
Umum 15 (88.24) 114 (97.44)
*p<0.05 signifikan secara statistik dengan uji chi square a pearson chi-square
b fisher’s exact
Universitas Sumatera Utara
35
Anak dengan riwayat epilepsi pada keluarga pada penelitian ini didapati
sebanyak 13 anak (9.70%), di mana 4 anak (30.76%) menjadi epilepsi dan
yang tidak memiliki riwayat epilepsi pada keluarga yaitu 121 anak (90.30%),
yang berkembang menjadi epilepsi 13 anak (10.74%). Tidak terdapat
hubungan yang bermakna secara statistik antara riwayat epilepsi pada
keluarga dengan kejadian epilepsi pada anak dengan riwayat KD (p=0.062).
Pada penelitian ini 16 anak (11.94%) dengan gangguan
neurologis/tumbuh kembang, yang berkembang menjadi epilepsi sebanyak 6
anak (37.50%) dan anak tanpa gangguan neurologis didapatkan 118 anak
(88.06%), yang menjadi epilepsi 11 anak (9.32%). Terdapat hubungan yang
bermakna secara statistik antara gangguan neurologis/tumbuh kembang
dengan kejadian epilepsi pada anak dengan riwayat KD, dimana anak
dengan gangguan neurologis/tumbuh kembang 4.02 kali berisiko untuk
menderita epilepsi (p=0.001).
Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara jumlah anak
dengan jenis kejang demam sederhana (KDS) dibandingkan kejang demam
kompleks (KDK) dimana 66 anak (49.25%) dengan KDS, yang menjadi
epilepsi sebanyak 9 anak (13.63%) dan 68 anak (50.75%) dengan KDK, yang
menjadi epilepsi sebanyak 8 anak (11.76%). Tidak terdapat hubungan yang
bermakna secara statistik antara faktor jenis KD dengan kejadian epilepsi
pada anak yang memiliki riwayat KD (p=0.745).
Universitas Sumatera Utara
36
Frekuensi KD ≥ 4 episode/tahun sebanyak 20 anak (14.93%), yang
menjadi epilepsi yaitu 9 anak (45.00%) dan <4 episode/tahun sebanyak 114
anak (85.07%), yang menjadi epilepsi yaitu 8 anak (7.01%). Terdapat
hubungan yang bermakna secara statistik antara frekuensi KD dengan
kejadian epilepsi pada anak dengan riwayat KD, di mana anak dengan
frekuensi KD ≥4 episode/tahun 6.41 kali berisiko menjadi epilepsi (p<0.001).
Anak yang dilahirkan di usia kehamilan kurang bulan (≤36 minggu)
didapatkan sebanyak 12 anak (8.96%) di mana yang menjadi epilepsi 4 anak
(50.00%) dan anak yang dilahirkan cukup bulan sebanyak 122 anak (91.04%)
dimana yang menjadi epilepsi sebanyak 13 anak (11.92%). Terdapat
hubungan yang bermakna secara statistik antara usia kehamilan dengan
kejadian epilepsi pada anak yang memiliki riwayat KD, dimana anak yang
dilahirkan kurang bulan berisiko 3.13 kali untuk menderita epilepsi di
kemudian hari (p=0.047).
Anak dengan lama KD <15 menit didapatkan 72 anak (53.73%) yang
menjadi epilepsi 12 anak (16.67%) dan dengan lama KD ≥15 menit
didapatkan 62 anak (46.29%), yang menjadi epilepsi 5 anak (8.06%). Tidak
terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara lama KD dengan
kejadian epilepsi pada anak yang memiliki riwayat KD (p=0.136).
Riwayat KD pada keluarga didapatkan pada 36 anak (26.87%) dan
yang tidak memiliki riwayat KD pada keluarga sebanyak 98 anak (73.13%).
Universitas Sumatera Utara
37
Terdapat 6 anak (16.67%) dengan riwayat KD pada keluarga yang menjadi
epilepsi. Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara
riwayat KD pada keluarga dengan kejadian epilepsi pada anak yang memiliki
riwayat KD (p=0.401).
Pada penelitian ini didapatkan usia anak pertama kali KD yaitu antara 6
bulan dan 5 tahun, dimana 64 anak (47.76%) KD di usia <2 tahun, yang
menjadi epilepsi sebanyak 8 anak (12.50%) dan 70 anak (52.24%) KD di usia
≥2 tahun, yang menjadi epilepsi sebanyak 9 anak (12.85%). Tidak terdapat
hubungan yang bermakna secara statistik antara usia anak pertama kali
kejang dengan kejadian epilepsi pada anak yang memiliki riwayat KD
(p=0.951).
Cepatnya kejang didapatkan 31 anak (23.13%) ≤24 jam, yang menjadi
epilepsi 2 anak (6.45%) dan 103 anak (76.87%) >24 jam, yang menjadi
epilepsi 15 anak (14.56%). Tidak terdapat hubungan yang bermakna secara
statistik antara cepatnya kejang dengan kejadian epilepsi pada anak yang
memiliki riwayat KD (p=0.358).
Tipe KD fokal sebanyak 5 anak (3.73%), yang menjadi epilepsi 2 anak
(40.00%) dan tipe KD umum sebanyak 129 anak (96.26%), yang menjadi
epilepsi didapatkan 15 anak (11.62%). Tidak terdapat hubungan yang
bermakna secara statistik antara tipe KD dengan kejadian epilepsi pada anak
yang memiliki riwayat KD (p=0.121).
Universitas Sumatera Utara
38
4.3 Klasifikasi kejadian epilepsi
Pada penelitian ini, kejadian epilepsi terdiri dari 10 kasus (58.82%) dengan
epilepsi umum simtomatik, 3 kasus (17.65%) dengan epilepsi umum idiopatik,
4 kasus (23.53%) epilepsi fokal dan 4 kasus (2.99%) KD plus.
4.4 Uji multivariat faktor-faktor yang berperan dengan kejadian epilepsi
pada anak dengan riwayat kejang demam
Dilakukan analisis multivariat berganda terhadap variabel independen
dengan kejadian epilepsi pada anak dengan riwayat KD yaitu riwayat epilepsi
pada keluarga, gangguan neurologis/tumbuh kembang, frekuensi KD, usia
kehamilan, lama KD dan tipe KD. Faktor-faktor yang akan dianalisis yaitu
faktor dengan nilai p<0.25 di uji bivariat sebelumnya (tabel 4.2). Uji analisis
multivariat regresi logistik dilakukan sebanyak 3 kali. Pada tahap 1,
didapatkan riwayat epilepsi pada keluarga, usia kehamilan dan tipe KD tidak
memiliki hubungan bermakna terhadap kejadian epilepsi pada anak dengan
riwayat KD (tabel 4.3 tahap I).
Variabel yang signifikan dilakukan analisis pada tahap 2 yaitu
gangguan neurologis/tumbuh kembang, frekuensi KD dan lama KD. Pada
tahap 2, didapatkan gangguan neurologis/tumbuh kembang dan frekuensi KD
memiliki hubungan bermakna terhadap kejadian epilepsi pada anak dengan
riwayat KD (tabel 4.3 tahap 2).
Universitas Sumatera Utara
39
Tabel 4.3 Uji regresi logistik Variabel P RO (IK 95%)
Tahap I
Riwayat epilepsi pada keluarga 0,308 2,41 (0,445-13,028)
Gangguan neurologis/tumbuh kembang 0,002 17,72 (2,930-107,217)
Frekuensi kejang demam <0,001 16,65 (3,948-70,182)
Tipe kejang demam 0,715 0,72 (0,122-4,235)
Lama kejang demam 0,037 0,21 (0,046-0,908)
Usia kehamilan 0,344 2,96 (0,313-27,940)
Tahap II
Gangguan neurologis/tumbuh kembang 0,001 14,23 (3,090-65,490)
Frekuensi kejang demam <0,001 19,37 (4,858-77,225)
Lama kejang demam 0,060 0,28 (0,076-1,054)
Tahap III
Gangguan neurologis/tumbuh kembang 0,001 11,10 (2,602-47,319)
Frekuensi kejang demam <0,001 17,02 (4,539-65,106)
Pada tahap 3, didapatkan bahwa faktor gangguan neurologis/tumbuh
kembang (p = 0.001) dan frekuensi KD (p < 0.001) merupakan faktor yang
paling berpengaruh terhadap kejadian epilepsi pada anak dengan riwayat
KD. Anak KD dengan gangguan neurologis/tumbuh kembang memiliki risiko
11.10 kali berkembang menjadi epilepsi dengan sekurang-kurangnya lebih
berisiko sebesar 2.602 kali dan paling besar lebih berisiko sebesar 47.319
kali. Frekuensi KD memiliki risiko 17.20 kali menjadi epilepsi di kemudian hari
dengan sekurang-kurangnya lebih berisiko sebesar 4.539 kali dan paling
besar berisiko sebesar 65.106 kali. Faktor riwayat epilepsi pada keluarga,
tipe KD, lama KD dan usia kehamilan merupakan confounding factor
terhadap kejadian epilepsi pada anak dengan riwayat KD.
Universitas Sumatera Utara
40
BAB 5
PEMBAHASAN
Penelitian ini merupakan suatu penelitian potong lintang yang memeriksa
faktor-faktor yang berperan dalam kejadian epilepsi pada anak dengan
riwayat KD. Luaran penelitian mendapatkan faktor gangguan neurologis dan
frekuensi KD merupakan faktor yang berperan dalam kejadian epilepsi pada
anak dengan riwayat KD.
Berdasarkan ILAE, epilepsi adalah penyakit otak yang ditandai oleh (1)
paling tidak dua bangkitan kejang spontan dengan jarak lebih dari 24 jam, (2)
satu bangkitan kejang spontan disertai kemungkinan berulangnya kejang
paling sedikit 60% dalam 10 tahun berikutnya, dan (3) bila bangkitan kejang
tersebut merupakan sindrom epilepsi.12 Pada penelitian ini, diagnosis epilepsi
ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik-neurologis oleh
dokter neurologi anak RSUP H. Adam Malik Medan, serta dicatat dalam
rekam medis.
Kejang demam (KD) adalah gangguan kejang yang paling umum pada
anak dan didefinisikan sebagai kejang yang disertai dengan demam dan
tanpa adanya infeksi SSP, yang terjadi pada bayi dan anak usia 6 hingga 60
bulan.38 Kejang demam (KD) ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik.
Universitas Sumatera Utara
41
Penelitian ini didapatkan bahwa anak laki-laki yang menderita KD lebih
banyak yaitu 61.94% daripada anak perempuan yaitu sebanyak 38.06%.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado didapatkan bahwa anak laki-laki dengan KD lebih banyak yaitu
sebanyak 66% dibandingkan dengan anak perempuan sebanyak 34%.4
Kejang demam (KD) pada laki-laki lebih sering daripada perempuan dengan
ratio 1:1.8, usia rerata 19 bulan (1 tahun 7 bulan) dan usia antara 2 bulan
sampai 60 bulan (5 tahun).39 Hal ini sejalan dengan penelitian di Malang yang
mendapatkan bahwa KD lebih banyak terjadi pada anak laki-laki sebanyak
68.42% dibandingkan dengan anak perempuan sebanyak 31.58%.40 Hal ini
mungkin disebabkan karena maturasi sel pada anak perempuan lebih cepat
daripada anak laki-laki, termasuk maturasi sel saraf.40
Penelitian ini didapatkan bahwa anak yang mengalami epilepsi lebih
banyak anak perempuan sebanyak 58.82% dibandingkan dengan laki-laki
sebanyak 7 anak (41.11%). Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian
yang di BLUD RSU Cut Meutia Aceh Utara tahun 2015, epilepsi lebih banyak
pada anak perempuan 29% dan anak laki-laki 6.9%.7 Hormon steroid pada
perempuan yang dihasilkan oleh ovarium akan memengaruhi keparahan dan
frekuensi dari kejang epilepsi.7,26
Kebanyakan pada wanita dengan epilepsi
mengalami perubahan pengeluaran fenotipik sebagai respon jika terjadi
epilepsi saat masa reproduksi dan siklus resproduksi menjadi berlebihan.7
Universitas Sumatera Utara
42
Frekuensi keparahan kejang akan meningkat pada masa pubertas, saat
menstrusi, kehamilan, dan menopause.7 Peningkatan ini terjadi akibat
hormon steroid yang dihasilkan oleh ovarium berpengaruh pada saraf-saraf di
sistem saraf pusat. Menstruasi yang dialami pada perempuan diduga
berperan dalam terjadinya serangan epilepsi karena ketidakseimbangan
cairan dan hormonal.7,24
Penelitian ini didapatkan angka kejadian epilepsi pada anak dengan
riwayat KD sebanyak 12.69% yang terdiri dari anak laki-laki 41.18% dan anak
perempuan 58.82%, dengan usia rata-rata 7.18 tahun. Hal ini sama dengan
penelitian retrospektif di negara Korea mendapatkan bahwa insiden epilepsi
setelah kejang demam sebanyak 10%.27 Penelitian kohort prospektif di
negara Belanda menunjukkan bahwa risiko berkembang menjadi epilepsi
setelah KD sebanyak 2% sampai 5 %.39 Penelitian lain mendapatkan 7.20%
anak epilepsi dengan riwayat KD, di mana sebanyak 8.70%% anak laki-laki
dan 5.70% anak perempuan.42 Pada penelitian ini angka kejadian epilepsi
lebih tinggi dari penelitian sebelumnya dikarenakan tempat penelitian ini
merupakan rumah sakit umum pusat di kota Medan. Selain itu rumah sakit ini
merupakan pusat rujukan, dimana kunjungan pasien ke poliklinik dan unit
gawat darurat cukup tinggi.
Penelitian di Bali dari tahun 2016 sampai 2017, terdapat variasi yang
luas dari usia onset dari KD. Banyak penelitian menunjukkan rentang usia KD
Universitas Sumatera Utara
43
antara 2 bulan sampai 11 tahun.43 Namun, divisi neurologi anak Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana di Bali mengadopsi definisi KD berdasarkan
AAP yang menentukan rentang usia kejang demam antara 6 bulan sampai 5
tahun.43 Hal ini sejalan dengan penelitian ini, dimana rentang usia anak KD
yaitu usia 6 bulan sampai 5 tahun.
Hasil penelitian dari Negara Korea menunjukkan bahwa frekuensi KD
selama 2 tahun pertama setelah onset kejang awal dikaitkan dengan
terjadinya epilepsi berikutnya.27 Kejang demam (KD) pertama dalam kasus
yang kemudian berkembang menjadi epilepsi adalah setelah usia 2 tahun
dalam 51.5% kasus, dan sekitar 35% kasus tidak menjadi epilepsi.42 Temuan
ini mendukung bahwa risiko tinggi perkembangan KD menjadi epilepsi,
kejang yang diamati di kemudian hari. Namun, tidak ada korelasi yang
signifikan secara statistik antara usia pada kejang demam pertama dan
perkembangannya (p=0.163).42 Usia saat pertama kali KD pada penelitian ini
tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap kejadian epilepsi pada
anak dengan riwayat KD (p=0.951), dengan usia tertinggi pertama kali KD
yaitu 1 tahun sampai 2 tahun dan 3 tahun sampai 4 tahun. Hasil penelitian ini
sejalan dengan penelitian lain yang menyatakan usia saat onset kejang tidak
berpengaruh pada tingkat risiko epilepsi setelah 2 atau lebih tahun setelah
serangan pertama.44 Anak yang mengalami onset KD dini (<1 tahun) atau
terlambat (>3 tahun) memiliki risiko epilepsi yang lebih tinggi dalam 2 tahun
Universitas Sumatera Utara
44
setelah KD dibandingkan anak yang onsetnya terjadi antara usia 1 tahun dan
3 tahun.44 Pada bayi bagian otak yang sudah berkembang adalah
hipokampus, lesi yang diakibatkan oleh KD pada usia <1 tahun dapat menjadi
fokus epileptogenik. Angka kejadian epilepsi pada penderita kejang kira-kira
2 sampai 3 kali lebih banyak terjadi pada kejang yang berulang.45
Sebuah penelitian di negara Greece (Yunani) telah menunjukkan
bahwa faktor risiko dari kejang tanpa provokasi setelah KD yaitu onset dari
KD pada usia dini, KDK, abnormalitas neurodevelopmental, abnormal EEG
dan riwayat epilepsi pada keluarga.46 Hasil penelitian prospektif membuktikan
bahwa KD berkepanjangan (>15 menit) bukan merupakan faktor risiko untuk
berkembang menjadi epilepsi.38 Faktor risiko prediktif yang paling penting
untuk berkembang menjadi epilepsi adalah keterlambatan perkembangan
atau pemeriksaan neurologis yang abnormal sebelum timbulnya KD, riwayat
KDK (termasuk status demam epileptikus), dan keluarga generasi pertama
dengan epilepsi.47 Berdasarkan literatur, faktor-faktor risiko untuk epilepsi
yang berkembang setelah KD adalah suhu tubuh di bawah 39°C, KDK, EEG
pertama bersifat patologis, kejang menjadi fokal dan kelainan perkembangan
saraf.40 Analisis regresi logistik menunjukkan risiko epilepsi 4,5 kali lebih
besar pada subjek dengan EEG pertama setelah KD menjadi patologis, dan
risiko 21 kali lipat lebih besar pada mereka yang memiliki kelainan
perkembangan saraf.42 Penelitian lain mendapatkan bahwa faktor risiko KD
Universitas Sumatera Utara
45
menjadi epilepsi yaitu usia saat KD pertama <12 bulan atau >37 bulan,
riwayat epilepsi pada kelurga, demam berlangsung <1 jam sebelum kejang,
nilai APGAR skor <4 pada 5 menit pertama, riwayat minimal 1 kali KDK,
status demam epileptikus, kejang berulang dalam 24 jam, kejang fokal dan
gangguan neurologis.48
Penelitian ini menemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara
kejadian epilepsi dengan anak KD yang memiliki riwayat epilepsi pada
keluarga (p=0.062). Hasil penelitian ini menemukan anak dengan KD yang
memiliki riwayat epilepsi pada keluarga adalah sebanyak 9.70%, yang
berkembang menjadi epilepsi sebanyak 2.98%, dimana riwayat epilepsi pada
keluarga dari orang tua (ayah) 75% dan saudara kandung 25%. Hal ini
sejalan dengan hasil penelitian lain yang menunjukkan, tidak ada hubungan
yang ditetapkan antara riwayat epilepsi dalam keluarga dan perkembangan
epilepsi.49 Hal ini mungkin dikarenakan riwayat keluarga positif yang
ditemukan hanya dalam satu kasus dengan epilepsi setelah KD dalam
kelompok penelitian ini dan untuk kasus seperti itu tidak cukup mewakil
populasi penelitian.49 Penelitian ini juga menekankan bahwa timbulnya KD
setelah usia 3 tahun meningkatkan risiko berkembang menjadi epilepsi.49
Berbeda dengan penelitian lain yaitu terdapat hubungan antara kejadian
epilepsi dengan anak dengan riwayat KD, yaitu sebanyak 17.50% yang
memiliki riwayat epilepsi pada keluarga (P=0,005). Hasil regresi logistik
Universitas Sumatera Utara
46
menunjukkan bahwa riwayat keluarga dengan epilepsi sebanyak 11 kali
memiliki risiko terjadinya epilepsi.50 Meskipun KD memiliki prognosis yang
baik pada sebagian besar kasus, risiko menjadi epilepsi dengan adanya
beberapa faktor risiko termasuk riwayat keluarga KD dan epilepsi dapat
meningkat hingga 9%.51
Jenis KD pada penelitian ini yaitu sebanyak 50.75% dengan KDK dan
49.25% dengan KDS, serta yang berkembang menjadi KD plus sebanyak
2.99%. Pada penelitian di Bali, didapatkan KDK lebih dominan sebanyak 80%
sedangkan KDS sebanyak 20%.43 Anak yang mengalami KD sebagai KDK
sekitar 58% dan tidak ada yang memiliki kelainan neurologis sebelum kejang.
Hanya ada 2 anak dengan global developmental delayed (GDD) tetapi
keduanya telah dianggap sebagai KDS dalam penelitian.43 Penelitian lain
juga mendapatkan, untuk klasifikasi jenis KD tertinggi terjadi pada KDK yaitu
60.70% dan pada KDS yaitu 39.30%.43 Risiko dari berkembangnya epilepsi
setelah KDS adalah 1.5% sampai 2.4% sedangkan untuk KDK diperkirakan
4% sampai 15%38, dan pada kejang demam fokal meningkat sampai 29%.46
Demam menyebabkan reaksi kimia tubuh (reaksi oksidasi) yang terjadi lebih
cepat akan mengakibatkan asupan oksigen cepat habis dan menimbulkan
hipoksia. Transpor aktif yang memerlukan adenosine triphosphate (ATP)
terganggu sehingga kadar ion Na intraseluler dan ion K ekstraseluler
meningkat yang akan menyebabkan potensial membran cenderung turun
Universitas Sumatera Utara
47
atau kepekaan sel saraf meningkat.2,7 Saat kejang demam akan timbul
kenaikan energi di otak, jantung, otot, dang gangguan pusat pengatur suhu.
Demam akan menyebabkan kejang bertambah lama sehingga kerusakan
otak semakin bertambah. Hal inilah yang menjadi risiko terjadinya epilepsi
pada anak dengan riwayat kejang demam sebelumnya, baik KDS maupun
KDK.2,7,11
Dalam penelitian kohort berdasarkan populasi lebih dari 2 juta anak-
anak, penelitian ini menemukan bahwa riwayat KD dikaitkan dengan
peningkatan risiko epilepsi, terutama antara anak dengan KD berulang pada
usia dini.52 Penelitian ini mengamati hubungan antara KD berulang dan risiko
epilepsi, dan risikonya sangat tinggi untuk anak yang memiliki lebih dari 2 kali
KD.52 Dalam penelitian ini, menemukan bahwa anak laki-laki dibandingkan
dengan anak perempuan memiliki risiko KD yang lebih tinggi pada semua
usia, tetapi perbedaan jenis kelamin ini tampaknya tidak terkait dengan
prognosis KD dalam hal risiko kekambuhan, serta risiko berikutnya yaitu
morbiditas atau mortalitas psikiatrik dan neurologis.52 Satu penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa risiko epilepsi setelah KD sangat tinggi
pada anak dengan komorbid perkembangan saraf yang sudah ada
sebelumnya.44
Penelitian lain menunjukkan bahwa risiko epilepsi setelah KD
dapat dikaitkan terutama dengan anak dengan KD yang mungkin cenderung
Universitas Sumatera Utara
48
secara genetik atau mengalami KD yang lebih parah (misalnya, dengan
beberapa kekambuhan atau KDK).39
Pada penelitian didapatkan 26.87% yang memiliki riwayat KD pada
keluarga, yang terdiri dari ayah sebanyak 14.18%, ibu sebanyak 3% dan
saudara kandung sebanyak 9.70%. Sejalan dengan penelitian lain yang
menemukan anak dengan riwayat KD pada keluarga yang terbanyak ialah
dari orang tua (ayah) berjumlah 15.3%, dan saudara kandung dengan riwayat
KD berjumlah 11.3%, dan data yang paling rendah ialah orang tua (ibu)
dengan riwayat kejang demam 4%.43 Penelitian lain mendapatkan, sekitar
26% yang diidentifikasi dengan riwayat positif KD atau epilepsi pada keluarga
generasi pertama mereka.4
Tipe KD pada penelitian ini didominasi oleh KD tipe umum daripada
tipe fokal, dimana yang berkembang menjadi epilepsi sebanyak 11.19%
dengan tipe umum dan sebanyak 1.49% tipe fokal dan tidak terdapat
hubungan yang bermakna terhadap kejadian epilepsi. Dalam penelitian lain,
didapatkan angka prevalensi kejang tonik-klonik di antara jenis kejang umum
lainnya adalah 78.90% (95% CI: 68.80% -89.20%) dan lebih rentan
berkembang menjadi epilepsi.53
Sindrom epilepsi genetik yang didefinisikan secara klinis dengan KD
plus (GEFS+). Mutasi pada gen subunit (SCN1A, SCN2A, dan SCN1B) yang
menyusun saluran natrium yang diberi tegangan neuronal dilaporkan
Universitas Sumatera Utara
49
menyebabkan GEFS+.54 Pada penelitian ini didapatkan anak KD yang
berkembang menjadi KD plus sebanyak 2.99%.54 Penelitian lain
mendapatkan sebanyak 12% anak dengan riwayat KD menjadi KD plus.27
Tidak ada gen kerentanan tunggal untuk KD yang diketahui. Sebaliknya,
identifikasi gen telah berhasil dalam keluarga dengan genetik epilepsi dengan
KD plus disingkatkan GEFS+ adalah sindrom epilepsi familial dengan
berbagai epilepsi terkait demam yang dijelaskan, terutama KD plus (KD+),
dimana KD bertahan sampai usia di atas 6 tahun.55,56,57
Penelitian ini mendapatkan bahwa cepatnya kejang dan lama KD tidak
memiliki hubungan yang bermakna dalam kejadian epilepsi. Hal ini sejalan
dengan penelitian lain yang menemukan tidak ada keterkaitan antara durasi
kejang dan demam terhadap kejang tanpa provokasi.27 Dalam penelitian
kohort nasional yang besar, insiden epilepsi adalah 0.54% dan menurun
dengan meningkatnya usia kehamilan hingga usia kehamilan 41 minggu.58
Kelahiran kurang bulan dikaitkan dengan peningkatan risiko epilepsi dan
diprediksi dapat meningkatan risiko epilepsi (OR 1.76; 95% CI 1.30-2.38) dan
0.70% dari seluruh kelompok telah dirawat di rumah sakit karena epilepsi
seumur hidup.58 Penelitian ini mendapatkan insiden epilepsi pada anak
dengan riwayat KD dan dengan usia kehamilan kurang bulan yaitu sebesar
2.99%.
Universitas Sumatera Utara
50
Kelemahan penelitian ini, tidak lengkapnya data awal masuk pasien
dan bergantung pada ingatan orang tua. Orang tua dengan kecemasan tidak
dapat mengingat deskripsi yang tepat dari tanda fokus dan bentuk kejang.
Data yang didapat bervariasi, alat bantu yang digunakan terlalu subjektif
mengingat usia dan tingkat pendidikan orang tua pasien yang diwawancara.
Kelebihan penelitian adalah merupakan penelitian yang pertama kali
dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan, yang dapat digunakan sebagai
data dasar untuk penelitian berikutnya. Pada penelitian ini, didapatkan faktor-
faktor yang bermakna dalam kejadian epilepsi pada anak dengan riwayat KD,
walaupun penelitian lanjutan masih diperlukan.
Universitas Sumatera Utara
51
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1. Faktor yang berperan dalam kejadian epilepsi pada anak dengan
riwayat KD adalah gangguan neurologis/tumbuh kembang,
frekuensi KD dan usia kehamilan, dimana faktor yang paling
berperan adalah gangguan neurologis/tumbuh kembang dan
frekuensi KD.
2. Angka kejadian epilepsi pada anak setelah mengalami KD
didapatkan sebesar 17 kasus (12.69%) di RSUP Haji Adam Malik
Medan.
3. Tidak terdapat hubungan antara riwayat epilepsi pada keluarga
dengan kejadian epilepsi pada anak dengan riwayat KD.
4. Gangguan neurologis atau tumbuh kembang sebelum pasien
mengalami KD meningkatkan risiko menjadi epilepsi sebesar 4.02
kali.
5. Tidak terdapat hubungan antara jenis KD dengan kejadian epilepsi
pada anak yang memiliki riwayat KD.
Universitas Sumatera Utara
52
6. Frekuensi KDS sebanyak ≥ 4 episode/tahun dapat meningkatkan
risiko terjadinya epilepsi sebesar 6.41 kali pada anak dengan
riwayat KD sebelum terdiagnosa epilepsi.
7. Usia kehamilan kurang bulan (≤ 36 minggu) meningkatkan risiko
terjadinya epilepsi pada anak dengan riwayat KD sebesar 3.13
kali.
8. Tidak terdapat hubungan antara lama KD dengan kejadian
epilepsi pada anak yang memiliki riwayat KD.
9. Tidak terdapat hubungan riwayat KD pada keluarga dengan
kejadian epilepsi pada anak yang memiliki riwayat KD.
10. Tidak terdapat hubungan antara usia anak pertama kali kejang
dengan kejadian epilepsi pada anak yang memiliki riwayat kejang
demam
11. Tidak terdapat hubungan antara onset dari demam ke kejang
dengan kejadian epilepsi pada anak yang memiliki riwayat KD.
12. Tidak terdapat hubungan antara tipe KD dengan kejadian epilepsi
pada anak yang memiliki riwayat KD.
6.2 Saran
1. Pentingnya edukasi secara berkala kepada orang tua untuk
meningkatkan pengetahuan orang tua mengenai faktor-faktor
Universitas Sumatera Utara
53
risiko yang dapat menyebabkan epilepsi pada anak dengan
riwayat KD.
2. Kepada tenaga kesehatan dalam memahami faktor-faktor yang
berperan dalam kejadian epilepsi pada anak dengan riwayat KD
sehingga dapat digunakan untuk menyusun strategi pencegahan
dan penganggulangan terhadap kejadian epilepsi.
3. Bagi peneliti lain perlu penelitian lanjutan dengan memasukkan
kemungkinan faktor lain yang lebih berpengaruh, dan pada
populasi yang lebih besar.
Universitas Sumatera Utara
54
BAB 7
RINGKASAN
Telah dilakukan penelitian potong lintang di unit gawat darurat dan unit
rawat jalan divisi neurologi SMF anak di RSUP Haji Adam Malik Medan sejak
September 2019 sampai Desember 2019 dengan data yang diambil dari
register tahun 2015-2019, untuk mengetahui faktor-faktor yang berperan
dalam kejadian epilepsi pada anak dengan riwayat KD. Hasil penelitian
mendapatkan 17 (12.69%) anak dengan epilepsi dan faktor yang sangat
berperan yaitu gangguan neurologis/tumbuh kembang dan frekuensi KD
terhadap kejadian epilepsi pada anak dengan riwayat KD, di mana gangguan
neurologis/tumbuh kembang meningkatkan risiko menjadi epilepsi sebesar
4.02 kali dan frekuensi KD sebesar 6.41 kali.
Universitas Sumatera Utara
55
Daftar Pustaka 1. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi
Penatalaksanaan Kejang Demam. UKK Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016.
2. Fuadi, Bahtera T, Wijayahadi N. Faktor risiko bangkitan kejang demam pada anak. Sari Pediatr. 2016;12(3):142.
3. Shinnar S, Glauser TA. Febrile seizures. J. Child Neurol. 2002;17:44–52.
4. Kakalang JP, Masloman N, Manoppo JIC. Profil kejang demam di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari 2014 – Juni 2016. e-CliniC. 2016;4(2):0–5.
5. Mohammadi M. Febrile seizures: four steps alogarithmic clinical approach. Iran J Pediatr. 2010;20:5-15.
6. Suwarba IGNM. Insidens dan karakteristik klinis epilepsi pada anak. Sari Pediatri. 2011;13:123-8.
7. Chairunnisa U, Fitriany J, Sawitri H. Hubungan riwayat kejang demam dengan kejadian epilepsi pada anak di badan layanan umum daerah Rumah Sakit Umum Cut Meutia Aceh Utara. Fakultas Kedokteran Universitas Malikulssaleh. 2015.
8. Andretty, Pamela. Hubungan riwayat kejang demam dengan angka kejadian epilepsi di RSUD dr. Moewardi, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2015.
9. Karim, S. Kejang demam kompleks sebagai faktor risiko epilepsy pada anak. Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar. 2015.
10. Alfatah, Ina. Hubungan riwayat kejang demam terhadap kejadian epilepsi pada anak usia 6-14 tahun di RSUP dr. Kariadi Semarang periode 2010-2012. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang. 2013.
11. Chung S, Febrile seizures.Korean J Pediatr. 2014;57:384-95. 12. Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz A, Cross JH, Elger CE,
et al. ILAE Official Report: A practical clinical definition of epilepsy. Epilepsia. 2014;55(4):475–82. American Academy of Pediatrics. Subcommittee on febrile seizures. Pediatr. 2011;127:389-94.
13. American Academy of Pediatrics. Subcommittee on febrile seizures. Pediatr. 2011;127:389-94.
14. Graves, Reese C, Oehler, Karen, Tingle, Leslie E. Febrile seizures: risks, evaluation, and prognosis. Am Fam Physicians. 2012;85:149-53.
15. Aliabad GM, Fayyazi A, Safdari L, Khajeh A. Clinical: epidemiological and laboratory characteristics of patients with febrile convulsion, J Compr Ped. 2013;4:134-7.
16. Sunarka N. Karakteristik penderita kejang demam yang dirawat di SMF Anak RSU Bangli Bali tahun 2007. Medicinus J. 2009;22:110-12.
Universitas Sumatera Utara
56
17. Dewanti A, Widjaja J, Tjandrajani A, Burhany AA. Kejang demam dan faktor yang mempengaruhi rekurensi. Sari Pediatri. 2012;14:57-61.
18. Vebriasa A, Herini ES, Triasih R. Hubungan antara riwayat kejang pada keluarga dengan tipe kejang demam dan usia saat kejang demam pertama. Sari Pediatri. 2013;15:137-40.
19. Siqueira LFMD. Febrile seizures: update on diagnosis and management. Rev Assoc Med Bras. 2010;56:489-2.
20. Seinfeld SDO, Pellock JM. Recent research on febrile seizures: A review. Journal Neurol Neurophysical. 2013;4:1-6.
21. Stafstrom CE, Rho JM. Neurophysiology of seizures and epilepsy. Dalam: Swaiman KH, Ashwal S, Ferreiro DM, Schor NF. Pediatric Neurology “principle and practice”. Edisi ke-5. Inggris. 2012. h. 711-26.
22. Pulungan AB, Hendarto A, Dkk. Current Evidences in Pediatric Emergencies Management. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Departemen Ilmu Kesehatan Anak. 2014.
23. Messages C. Clinical Manual of Fever in Children. Clin Man Fever Child. 2018;179–92. Mangunatmadja I, Handryastuti S, Risan NA, Epilepsi pada anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016;1:5-6.
24. Mangunatmadja I, Handryastuti S, Risan NA, Epilepsi pada anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016;1:5-6.
25. Fisher RS, Cross JH, French JA, Higurashi N, Hirsch E, Jansen FE, et al. Operational classification of seizure types by the international league againts epilepsy: position paper of the ILAE commission for classification ang terminology. Stanford Department of Neurology & Neurological Sciences. Epilepsia. 2017;1-9.
26. Kusumastuti K, Gunadharma S, Kustiowati E. Pedoman tatalaksana epilepsi, kelompok studi epilepsi PERDOSSI. Surabaya: Airlangga University Press. 2014.
27. Lee SH, Byeon JH, Kim GH, Eun BL, Eun SH. Epilepsy in children with a history of febrile seizures. Korean J Pediatr. 2015;59:74-9.
28. Almojali AI, Ahmed AE, Bagha MY. Prognostic factors for epilepsy following first febrile seizure in Saudi children. Ann Saudi Med. 2017;37:449-53.
29. Camfield P, Camfield C. Febrile seizures and genetic epilepsy with febrile seizures plus (GEFS+). Epileptic Disord. 2015;17:124-33.
30. Patel N, Ram D, Swiderska N, Mewasingh LD, Newton RW, Offringa M. Febrile seizures. BMJ. 2015;351:1–7.
31. Shinnar, Shlomo, et al. MRI abnormalities following febrile status epilepticus in children: the FEBSTAT study. Neurology. 2012;79:871-77.
32. Shah PB, James S, Elayaraja S. EEG for children with complex febrile seizures. Cochrane Database Syst Rev. 2017;2017(10).
Universitas Sumatera Utara
57
33. Chiang LM, Huang GS, Sun CC, Hsiao YL, Hui CK, Hu MH. Association of developing childhood epilepsy subsequent to febrile seizure: a population-based cohort study. Brain Dev. 2018;5:1-6.
34. Pandolfo M. Pediatric epilepsy genetics. Curr Opin Neurol. 2013;26:137-45.
35. Attumalil TV, Sundaram A, Varghese VO, Kunju M. Risk factors of childhood epilepsy in Kerala. Ann Indian Acad Neurol. 2011;14:283-7.
36. World Health Organization. Epidemiology, prevalence, incidence, mortality of epilepsy. 2001. [diakses tanggal 20 Mei 2019]. Tersedia di: http://www.who.in/inf-fs/en/fact164.html.
37. Leung AKC, Hon KL, Leung TNH. Febrile seizures: an overview. drugs in context. 2018;7:1-12.
38. Gencpinar P, Yavuz H, Bozkurt Ö, Haspolat Ş, Duman Ö. The risk of subsequent epilepsy in children with febrile seizure after 5 years of age. Seizure. 2017;53:62–5.
39. Seinfeld SA, Pellock JM, Kjeldsen MJ, Nakken KO, Corey LA. Epilepsy after Febrile Seizures: Twins Suggest Genetic Influence. Pediatr Neurol. 2016;55:14–6.
40. Journal I, Sciences H. International Journal of Health Sciences, Qassim University,. 2008;2(1):105–8.
41. Neligan A, Bell GS, Giavasi C, Johnson AL, Goodridge DM, Shorvon SD, et al. Longterm risk of developing epilepsy after febrile seizures: a prospective cohort study. Neurology 2012;78:116670.
42. Canpolat M, Per H, Gumus H, Elmali F, Kumandas S. Investigating the prevalence of febrile convulsion in Kayseri, Turkey: An assessment of the risk factors for recurrence of febrile convulsion and for development of epilepsy. Seizure. 2018;55:36–47.
43. Nurindah D, Muid M, Retoprawiro S. Hubungan antara kadar tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) plasma dengan kejang demam sederhana pada anak. Jurnal kedokteran Brawijaya. 2014;28:115-7.
44. Tsai JD, Mou CH, Chang HY, Li TC, Tsai HJ, Wei CC. Trend of subsequent epilepsy in children with recurrent febrile seizures: a retrospective matched cohort study. Seizure. 2018;61:164-169.
45. Lestari SMP, Mudapati A. Faktor-faktor yang terdapat pada kejadian epilepsi anak usia ≤ 5 tahun di RSUD Dr.H.Abdul Moeloek Bandar Lampung Tahun 2012-2014. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. 2014;1(3):1-5.
46. Pavlidou E, Panteliadis C. Prognostic factors for subsequent epilepsy in children with febrile seizures. Epilepsia 2013;54:210–7.
47. Gontko-Romanowska K, Żaba Z, Panieński P, Steinborn B, Szemień M, Łukasik-Głębocka M, et al. The assessment of risk factors for febrile seizures in children. Neurol Neurochir Pol. 2017;51(6):454–8.
Universitas Sumatera Utara
58
48. Aguirre-Velázquez C, Huerta Hurtado AM, Ceja-Moreno H, Salgado-Hernández K, San Román-Tovar R, Ortiz-Villalpando MA, et al. Clinical guideline: febrile seizures, diagnosis, and treatment. Rev Mex Neurocienc. 2019;20(2):97–103.
49. Hwang G, Kang HS, Park SY, Han KH, Kim SH. Predictors of unprovoked seizure after febrile seizure: short-term outcomes. Brain Dev 2015;37:315–21.
50. Heydarian F, Bakhtiari E, Yousefi S, Heidarian M. The first febrile seizure: An updated study for clinical risk factors. Iran J Pediatr. 2018;28(6):26–9.
51. Mahyar A, Ayazi P, Fallahi M, Javadi A. Risk factors of the first febrile seizures in Iranian children. Int J Pediatr. 2010;862897.
52. Dreier JW, Li J, Sun Y, Christensen J. Evaluation of Long-term Risk of Epilepsy, Psychiatric Disorders, and Mortality among Children with Recurrent Febrile Seizures: A National Cohort Study in Denmark. JAMA Pediatr. 2019;1–7.
53. Delpisheh A, Veisani Y, Sayehmiri K, Fayyazi A. Febrile seizures: etiology, prevalence and geographical variation. Iran J Child Neurol 2014;8(3):30–7.
54. Lehoullier P. Febrile Seizures. Pediatr Clin Advis. 2007;203–4. 55. Tang L, Lu X, Tao Y, et al. SCN1A rs3812718 polymorphism and
susceptibility to epilepsy with febrile seizures: s meta-analysis. Gene 2014;533:26-31.
56. Kasperaviciute D, Catarino CB, Matarin M, et al. Epilepsy, hippocampal sclerosis and febrile seizures linked by common genetic variation around SCN1A. Brain. 2013;136:3140-50.
57. Berg AT, Berkovic SF, Brodie MJ, et al. Revised terminology and concepts for organization of seizures and epilepsies: report of the ILAE Commission on Classification and Terminology, 2005-2009. Epilepsia 2010;51:676-85.
58. Hirvonen M, Ojala R, Korhonen P, Haataja P, Eriksson K, Gissler M, et al. The incidence and risk factors of epilepsy in children born preterm: A nationwide register study. Epilepsy Res. 2017;138(October):32-8.
Universitas Sumatera Utara
59
LAMPIRAN
1. Personil Penelitian
1.1 Ketua Penelitian
Nama : dr. Dede Khairina Hasibuan
Jabatan : Peserta PPDS Ilmu Kesehatan Anak
FK-USU/RSUPHAM
1.2. Anggota Penelitian :
1. dr. Yazid Dimyati, M.Ked(Ped), Sp.A(K)
2. dr. Nelly Rosdiana, M.Ked(Ped), Sp.A(K)
3. dr. Cynthea Prima, M.Ked(Ped),Sp.A
4. dr. Syahreza Hasibuan
5. dr. Miranda Adelita A.P. Daulay
6. dr. Ratna Suwita
7. dr. Adian Manase C. Brahmana
2. Biaya Penelitian
1. Bahan / Perlengkapan : Rp 5.000.000,-
2. Penyusunan / Penggandaan : Rp 3.000.000,-
3. Seminar hasil penelitian : Rp 4.000.000,-
4. Biaya tidak terduga : Rp 3.000.000,- +
Jumlah Rp 15.000.000,-
Universitas Sumatera Utara
60
3. Jadwal Penelitian
Kegiatan/ Waktu
Juli 2019
September 2019
November 2019
Desember 2019
Persiapan
Pelaksanaan
Penyusunan Laporan
Pengiriman Laporan
Universitas Sumatera Utara
61
4. Penjelasan dan Persetujuan Kepada Orang Tua
Bapak/Ibu Yth,
Saat ini saya sedang melakukan penelitian yang berjudul: “Faktor-faktor
yang berperan dalam kejadian epilepsi pada anak dengan riwayat kejang
demam”. Anak yang memiliki riwayat kejang demam berisiko menjadi epilepsi
jika tidak tertangani dengan baik.
Kejang demam merupakan kelainan saraf paling sering pada anak dan
lebih dari 90% kasus kejang demam terjadi pada anak usia di bawah 5 tahun.
Kejang demam mempunyai risiko menyebabkan keterlambatan
perkembangan otak, retardasi mental, kelumpuhan dan dapat berkembang
menjadi epilepsi sebesar 2% sampai 10%.
Bapak/Ibu Yth. Anak dari bapak/ibu akan dijadikan sukarelawan dalam
penelitian ini. Untuk lebih jelasnya, anak dari bapak/ibu akan menjalani
prosedur penelitian sebagai berikut : Saat anak datang ke Poli Neurolgi Anak
RS. H. Adam Malik Medan, akan dilakukan pencatatan mengenai data dasar
anak melalui wawancara, kuisioner dan rekam medis.
Penelitian ini tidak akan menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi
anak bapak/ibu sekalian. Dalam penelitian ini seluruh biaya yang dibebankan
kepada peneliti dan subjek penelitian tidak mendapatkan insentif atas
partisipasinya.
Universitas Sumatera Utara
62
Bapak/ibu bebas untuk tidak berpartisipasi dalam penelitian dan bebas
untuk sewaktu-waktu menarik diri dari penelitian ini. Kerjasama bapak/ibu
sangat diharapkan dalam penelitian ini. Bila masih ada hal-hal yang belum
jelas menyangkut penelitian ini, setiap saat dapat ditanyakan.
Setelah memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini,
diharapkan bapak/ibu bersedia mengisi lembar persetujuan turut serta
terhadap anak bapak/ibu dalam penelitian yang telah disiapkan.
Medan, …………….....…2019
Peneliti,
(dr. Dede Khairina Hasibuan)
Universitas Sumatera Utara
63
Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP)
Saya yang bertandatangan di bawah ini:
Nama :
Umur / Jenis kelamin : tahun, Laki-laki / Perempuan
Alamat :
Dengan ini menyatakan dengan sesungguhnya telah memberikan
PERSETUJUAN untuk mengikuti penelitian, terhadap anak saya:
Nama :
Umur / Jeniskelamin : tahun, Laki-laki / Perempuan
Alamat :
Yang tujuan, sifat, dan perlunya pemeriksaan tersebut diatas, serta
risiko yang dapat ditimbulkannya telah cukup dijelaskan dan telah saya
mengerti sepenuhnya.
Demikian pernyataan persetujuan ini saya buat dengan penuh
kesadaran dan tanpa paksaan.
Medan, ……………………2019
Yang memberikan penjelasan Yang membuat persetujuan
dr. Dede Khairina Hasibuan …..………………………...
Universitas Sumatera Utara
64
5. KUESIONER PENELITIAN
IDENTITAS ANAK
Nama : ………………………………......Jenis Kelamin: (L/P)
Medical Record (MR):………...………………..........................………………....
Tempat/Tanggal Lahir:.....................................................................................
Anak Ke: .....................................dari............................................bersaudara
Alamat Rumah:………………………………………………..........……...............
……………………………………………………...................................................
.
Nomor Telpon/HP: ……………………………………………………...................
Diagnosa : ........................................................................................................
IDENTITAS ORANG TUA
Ibu Ayah
Nama : ........................................................................................... .........
Usia : ....................................................................................................
Suku bangsa : ............................................................................................. .....
Pekerjaan : ....................................................................................................
Pendidikan : ............................................................................................... .....
Penyakit (jika ada) : .................................................................................... .....
Penghasilan :............................................................................................... .....
Universitas Sumatera Utara
65
Riwayat Kejang Demam
1. Apakah anak anda pernah kejang?
YA TIDAK
2. Apakah anak anda pernah kejang saat demam sebelum didiagnosis
dengan epilepsi?
YA TIDAK
3. Apakah anak anda pernah kejang saat demam di usia di bawah 2 tahun?
YA TIDAK
Jika TIDAK, usia berapa mulai kejang saat demam?.............(bulan/tahun)
4. Apakah kejangnya mengenai seluruh anggota tubuh?
YA TIDAK
5. Apakah kejangnya mengenai sebagian angoota tubuh?
YA TIDAK
6. Apakah anak anda mengalami kejang kurang dari 24 jam atau 1 hari
setelah demam muncul?
YA TIDAK
Jika TIDAK, berapa lama dari demam sampai terjadinya
kejang?...........(jam/hari)
7. Apakah anak anda pernah mengalami kejang saat demam dengan durasi
lebih dari 15 menit dalam sekali periode kejang?
YA TIDAK
Jika TIDAK, berapa lama durasi kejang saat demam?..........(menit/jam)
8. Apakah anak anda pernah mengalami kejang saat demam lebih atau
sama dengan 4 epidose dalam 1 tahun?
YA TIDAK
Jika TIDAK, berapa kali terjadi kejang setelah demam dalam 1 tahun?
............(kali)
Universitas Sumatera Utara
66
9. Apakah anak anda lahir tidak cukup bulan/premature?
YA TIDAK
10. Apakah tumbuh kembang anak anda normal sebelum kejang saat
demam?
YA TIDAK
Jika TIDAK, sebutkan gangguannya?........................
Riwayat keluarga
1. Apakah ada riwayat kejang saat demam pada saudara kandung anak
anda?
YA TIDAK
2. Apakah ayah mempunyai riwayat kejang saat demam sewaktu kecil?
YA TIDAK
3. Apakah ibu mempunyai riwayat kejang saat demam sewaktu kecil ?
YA TIDAK
4. Apakah ada riwayat orang tua/saudara kandung yang menderita
epilepsi?
YA TIDAK
-Terimakasih-
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara