tesis alamsyah

Upload: rifqi-anra

Post on 02-Mar-2016

81 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

tesis

TRANSCRIPT

20

1

BAB IPENDAHULUAN A. Latar Belakang

Sistem pracetak telah cukup lama dikenal dan dilaksanakan di Indonesia karena beberapa keunggulan yang dimilikinya. Secara umum keunggulan sistem pracetak antara lain pelaksanaan konstruksi lebih cepat, pengerjaan yang tidak tergantung cuaca, dan umumnya membutuhkan tenaga kerja lapangan yang relatif sedikit. Sistem pracetak bataton memiliki keunggulan lain yaitu dapat mengurangi pemakaian cetakan kayu (bekisting) pada saat konstruksi sehingga bisa ikut serta dalam pengurangan global warming yang terjadi saat ini. Indonesia merupakan salah satu negara yang berada di wilayah dengan resiko gempa yang tinggi, sehingga perlu perhatian khusus pada perencanaan sambungan struktur. Sambungan dapat menjadi bagian terlemah jika tidak didesain dengan baik dan merupakan bagian kritis pada sistem pracetak pada saat menerima beban lateral akibat gempa. Oleh karena itu, sistem sambungan harus didesain agar dapat berperilaku dengan baik dalam mentransfer beban gempa. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang struktur tahan gempa telah membentuk suatu aturan yang harus diikuti agar struktur yang direncanakan memenuhi kriteria struktur tahan gempa. Aturan ini berlaku untuk stuktur monolit maupun struktur pracetak. Penelitian ini akan membahas tentang sambungan balok-kolom sistem pracetak yang menerima beban siklik.Penelitian tentang sambungan balok-kolom telah banyak dilakukan baik dengan perkuatan maupun dengan skala model tertentu yang memanfaatkan perkembangan peralatan serta produk perusahaan tertentu. Pada penelitian ini pengujian dilakukan pada sambungan balok-kolom interior pracetak yang mengacu pada ACI T1.1-01, dimana studi eksperimental perlu dilakukan untuk membuktikan apakah sistem sambungan balok-kolom interior pracetak dengan sistem bataton memenuhi syarat struktur tahan gempa.Selain pengujian di laboratorium, dalam mendesain struktur tahan gempa diperlukan analisis ulang sifat struktur nonlinier (daktilitas, faktor reduksi gempa). Salah satu cara analisis nonlinier adalah capacity spectrum method yang memanfaatkan analisis beban dorong statis nonlinier (nonlinear static pushover analysis). Oleh karena itu, penelitian ini juga akan membandingkan kinerja portal pracetak dan portal monolit dengan menginput data pengujian laboratorium ke analisa pushover dengan SAP 2000.

B. Rumusan MasalahDari uraian pada latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:1. Bagaimanakah hasil pengujian sambungan balok-kolom pracetak terhadap beban siklik?2. Bagaimanakah perbandingan kekuatan sambungan balok-kolom pracetak terhadap balok-kolom monolit?3. Apakah analisis struktur gedung dua lantai pada penelitian dapat memenuhi taraf kinerja life safety sesuai yang ditetapkan ?

C. Keaslian PenelitianPenelitian mengenai sambungan balok-kolom beton bertulang sudah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya, yaitu:1. Harvina (2008), membahas sambungan balok-kolom interior pracetak dengan sambungan kabel strand berdasarkan metode eksperimental,2. Hakim (2008), mengangkat topik tentang perbaikan balok beton bertulang pasca kerusakan tahap collapse akibat beban siklik dengan metode jacketing kawat jala las segi empat,3. Susanto (2008), membahas mengenai perbaikan balok beton bertulang pasca kerusakan tahap first crack akibat beban siklik dengan metode jacketing kawat jala las segi empat,4. Nurjaman (2002), penelitian yang dilakukan dengan model skala penuh pada macam-macam sistem precast yaitu sistem Precast Beam Column Slab, sistem Bresphaka, sistem Jasubakim dan sistem Column Slab.

Untuk penelitian sambungan balok-kolom interior pracetak dengan sistem bataton ini belum pernah dilakukan sebelumnya sehingga topik yang diangkat adalah topik original dan merupakan kajian yang baru karena menggunakan produk pracetak terbaru dengan sistem bataton serta dilakukan analisis ulang sifat struktur nonlinier dengan analisa pushover.D. Manfaat PenelitianAdapun manfaat dari penelitian ini adalah:1. Dapat menambah kajian perilaku struktur pracetak akibat beban gempa, khususnya produk pracetak bataton. 2. Dapat mengetahui apakah produk pracetak bataton dapat digunakan pada bangunan yang berada di wilayah gempa dengan taraf kinerja life safety.

E. Tujuan PenelitianTujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah produk pracetak bataton dapat digunakan pada gedung yang berada di wilayah gempa, dengan parameter yang ditinjau yaitu:1. Beban crack, yield, dan puncak (peak).2. Kemampuan sambungan balok-kolom pada daerah gempa.3. Karakteristik hysteretic curve sambungan balok-kolom akibat beban siklik4. Kekakuan, daktilitas dan pola retak.5. Faktor reduksi gempa (R), faktor daktilitas () dan kinerja struktur terhadap beban gempa.

F. Batasan MasalahAgar penelitian ini tidak terlalu melebar baik pada saat pelaksanaan penelitian maupun pembahasan, maka perlu batasan masalah. Adapun batasan penelitian yang digunakan sebagai kontrol dalam penelitian ini adalah:1. Objek penelitian adalah sambungan balok-kolom interior dengan pracetak bataton U dan bataton kolom.2. Benda uji terdiri dari dua buah, dengan rincian satu buah sambungan balok-kolom pracetak dan satu buah sambungan balok-kolom monolit.3. Penulangan benda uji monolit tidak seperti lazimnya digunakan di lapangan karena dibuat dengan kondisi yang sama dengan benda uji pracetak.4. Metode pengujian mengacu pada ACI T1.1-01 (Acceptance Criteria For Moment Frames Based on Structural Testing).5. Pengujian benda uji sambungan balok-kolom dilakukan dengan memberikan tumpuan bebas di ujung kolom yang menerima beban siklik tegak lurus kolom, tumpuan rol pada ujung kolom yang lainnya, serta tumpuan rol dikedua balok.6. Evaluasi kinerja struktur (performance point) menggunakan program SAP2000.7. Kriteria penerimaan struktur berdasarkan FEMA 356 (Prestandard and Commentary for The Seismic Rehabilitation of Buildings).

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

Seiring dengan perkembangan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, dibidang teknik sipil telah banyak dilakukan berbagai pengujian laboratorium tentang sambungan balok-kolom dan analisa nonlinier dengan pushover. Berikut ini merupakan penelitian terdahulu dan hasilnya antara lain:

A. Daktilitas dan KekakuanHarvina (2008), melakukan penelitian yang terdiri dari 2 buah sambungan balok-kolom interior pracetak dengan kode benda uji JBKIP-1 dan JBKIP-2 serta menggunakan 1 buah sambungan balok-kolom interior monolit (JBKIM) sebagai kontrol. Pembebanan dilakukan bertahap sesuai nilai drift ratio yang diatur dalam ACI Standard, ACI T1.1-01 dan dilanjutkan sampai terjadi penurunan nilai puncak sebesar 15% dari puncak drift ratio sebelumnya. Hasil pengujian menunjukkan bahwa daktilitas rata-rata sambungan balok-kolom pracetak terjadi penurunan sebesar 31,595% (JBKIP-1) dan 19,578% (JBKIP-2) dibandingkan dengan sambungan balok-kolom monolit. Kekakuan rata-rata benda uji pracetak (JBKIP-1) menurun sebesar 84,385% dan 91,411% untuk JBKIP-2 jika dibandingkan dengan benda uji monolit (JBKIM).Susanto (2008), melakukan penelitian pada benda uji berbentuk pertemuan balok-kolom eksterior. Pembebanan dilakukan secara bolak-balik (siklik) sebagai simulasi beban gempa. Benda uji berjumlah 5 buah, yaitu: satu buah benda uji standar geser (non-retrofit), dua benda uji geser retrofit, satu buah benda uji standar lentur (non-retrofit), dan satu buah benda uji lentur retrofit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daktilitas benda uji mengalami peningkatan sebesar 51,83%-116,58%. Kekakuan benda uji, baik kekakuan awal, maupun tiap siklus pembebanan, mengalami penurunan. Hakim (2008), melakukan penelitian pada benda uji berbentuk pertemuan balok-kolom yang dibebani bolak-balik (siklik). Benda uji terdiri dari 4 benda uji geser (retrofit) dan 2 benda uji lentur (retrofit) yang diuji sampai mengalami collapse. Benda uji tersebut kemudian di-retrofit dengan cara mengupas selimut beton, menutup bagian luar retak dengan Nitibond EC serta diinjeksi dengan Conbextra EP 10 TG. Hasil pengujian menunjukkan terjadi peningkatan daktilitas sekitar 51,83%-137,74% serta terjadinya penurunan kekakuan baik kekakuan awal maupun kekakuan tiap siklus pembebanan.

B. Pola retakPenelitian Harvina (2008) menunjukkan bahwa terjadinya retak sambungan balok-kolom pracetak pada leher sambungan (sisi pertemuan antara elemen balok-kolom) dan slip antara kabel sling dengan grouting serta spalling yang cukup besar pada elemen balok yang dibebani sedangkan untuk benda uji monolit keretakan merata disepanjang badan balok dan kolom disertai spalling yang mengakibatkan selimut beton terkelupas.Widyawati (2002), melakukan penelitian tentang perbaikan struktur ujung balok disekitar sambungan balok-kolom eksterior beton bertulang yang mengalami kegagalan geser akibat beban siklik. Pada penelitian ini, retak pada benda uji pre-retrofit asli menunjukkan pola kegagalan geser yang diawali dengan first crack berupa retak lentur pada sisi bawah balok, yang arahnya 90o terhadap sumbu utama balok. Kemudian muncul retak miring (diagonal) pada sisi kiri dan kanan balok yang mempunyai sudut 45o terhadap sumbu utama balok. Pola retak pada benda uji retrofit diawali first crack berupa retak lentur. Pada benda uji BJCR-1 dan BJCR-2 gejala retak lentur tersebut berlanjut ke sisi kiri dan kanan balok, tidak terjadi retak miring (diagonal) yang mengindikasikan kegagalan geser, pola kegagalan yang terjadi adalah kegagalan lentur. Pada benda uji BJCR-3 dan BJCR-4 gejala retak lentur tersebut tidak berlanjut, kemudian muncul retak miring di sisi kiri dan kanan balok, hal tersebut mengindikasikan pola kegagalan geser.

C. Studi kasus PushoverBudiono dkk (2009), melakukan studi kasus yang bertujuan untuk memperlihatkan urutan terjadinya sendi plastis akibat analisis statik pushover yang diberikan kepada model, juga menganalisis perilaku struktur bentang panjang terhadap pengaruh gempa kuat berupa simpangan antar lantai, parameter gempa (R, , f1, dan f2) pada performance point, serta kinerja struktur (performance level). Studi kasus dilakukan terhadap model struktur 20 lantai dengan tipe struktur open frame beton bertulang. Model yang dibuat adalah model struktur bentang panjang dan bentang pendek dengan waktu getar fundamental yang hampir berdekatan. Struktur didesain di wilayah gempa 4 dengan kondisi tanah sedang. Perletakan struktur diasumsikan merupakan perletakan jepit dan beban gempa rencana diberikan sesuai peraturan gempa SNI 03-1726-2002. Adapun kesimpulan yang diperoleh yaitu:1. Struktur bentang panjang lebih aman daripada struktur bentang pendek. Hal ini terlihat dari perpindahan struktur bentang panjang yang lebih kecil daripada perpindahan struktur bentang pendek pada performance point. 2. Struktur bentang panjang memiliki daktilitas yang relatif kecil dibanding dengan bentang pendek. 3. Struktur bentang panjang memiliki nilai faktor kuat lebih (overstrength) yang relatif besar dibanding dengan struktur bentang pendek pada performance point. 4. Struktur bentang panjang memiliki R yang lebih kecil dibanding struktur bentang pendek pada performance point. 5. Performance level menurut kriteria ATC-40 adalah Immediate Occupancy. Namun setelah dilakukan peninjauan ulang terhadap jumlah sendi plastis dan kekakuan efektifnya maka level kinerja berubah menjadi Life Safety. Untuk itu, dalam menentukan level kinerja tidak hanya didasarkan pada deformasi atap saja melainkan mempertimbangkan jumlah sendi plastis dan kekakuan efektif pada performance point.

Pranata (2008), melakukan studi kasus tentang daktilitas gedung beton bertulang dengan analisis riwayat waktu dan beban dorong yang mengacu ke ATC-40, FEMA 356 dan FEMA 440 serta menggunakan faktor kuat lebih f1 (1,6) dari SNI 03-1726-2002. Simpangan yang didasarkan dengan target perpindahan (t) menunjukan bahwa R aktual yang diperoleh dengan analisis riwayat waktu yaitu sebesar 9,5814 dan dari beberapa acuan di atas diperoleh hasil yang mendekati dengan analisis riwayat waktu yaitu acuan FEMA 356 dengan R = 7,264 atau perbedaan 24,19%. Pada studi kasus ini, koefisien (C2) yang digunakan untuk menentukan target perpindahan adalah koefisien dengan taraf kinerja life safety, dan hasil analisis menunjukkan bahwa kinerja struktur damage control atau dengan kata lain kinerja life safety terpenuhi.Dewobroto (2005), melakukan evaluasi kinerja struktur baja tahan gempa dengan analisis pushover dengan menggunakan program SAP 2000. Hasil studi kasus pada portal baja 3D menyimpulkan bahwa titik kinerja yang menentukan adalah metode Koefisien Perpindahan FEMA-356 (ASCE, 2000), sedangkan metode spektrum kapasitas (built-in) yang mengacu ATC-40 (ATC,1996) memberikan nilai paling kecil (tidak konservatif). Analisa pushover juga menunjukkan bahwa daktilitas portal berbeda dalam arah saling tegak lurusnya, masukan penting untuk antisipasi gempa besar yang mungkin terjadi diluar gempa rencana. Selain itu juga, kesimpulan lain dari tulisan ini adalah bahwa perencanaan berbasis kinerja dapat memberikan informasi sejauh mana suatu gempa akan mempengaruhi struktur. Dengan demikian sejak awal pemilik bangunan, insinyur perencana maupun pemakai mendapat informasi bagaimana bangunan tersebut berperilaku bila ada gempa.

BAB IIILANDASAN TEORI

A. Konsep Sistem PracetakStruktur beton pracetak adalah kumpulan dari elemen pracetak yang suatu saat dihubungkan bersama-sama membentuk kerangka 3D yang mampu menahan beban gravitasi dan angin serta beban gempa (Elliott, 2002). Menurut SNI-03-2847-2002, perencanaan komponen struktur beton pracetak dan sambungannya harus mempertimbangkan semua kondisi pembebanan dan kekangan deformasi mulai dari saat pabrikasi awal, hingga selesainya pelaksanaan struktur, termasuk pembongkaran cetakan, penyimpanan, pengangkutan dan pemasangan. Sistem pracetak ini memiliki masalah dalam desain sistem sambungannya yang diharapkan berperilaku mendekati sistem monolit. Oleh karena itu, masalah sambungan harus memenuhi beberapa persyaratan berikut (Elliott, 2002):1. Sambungan direncanakan bertranslasi dalam batas tertentu (pada titik kumpul umumnya terjadi deformasi geser yang signifikan dan timbulnya celah).2. Sambungan direncanakan mampu menahan beban sesuai perencanaan baik sebagai sistem secara keseluruhan maupun sebagai individual members.3. Sambungan direncanakan memiliki kekuatan dan kekakuan yang cukup agar mampu berperilaku stabil dalam menahan beban.4. Sambungan pertemuan balok-kolom direncanakan terhadap adanya penyimpangan baik dalam hal pemasangan maupun ukuran masing-masing elemen pracetak (dalam pembuatannya, toleransi maksimum yang diijinkan sebesar 3 mm).Sedangkan pada prinsip perencanaan sambungan pada elemen pracetak dapat dikelompokan dalam dua kategori yaitu (Tjahjono dan Purnomo, 2004):1. Sambungan kuat (strong connection), bila sambungan antar elemen pracetak tetap berperilaku elastis pada saat gempa kuat, sistem sambungan harus dan terbukti secara teoritis dan eksperimental memiliki kekuatan dan ketegaran yang minimal sama dengan yang dimiliki struktur sambungan beton monolit yang setara.2. Sambungan daktail (ductile connection), bila pada sambungan boleh terjadi deformasi inelastis, sistem sambungan harus terbukti secara teoritis dan eksperimental memenuhi persyaratan kehandalan dan kekakuan struktur tahan gempa.

B. Kekakuan Kekakuan merupakan suatu hal yang penting terutama untuk struktur tahan gempa. Pembatasan kekakuan berguna untuk menjaga konstruksi agar tidak mengalami displacement lebih dari displacement yang disyaratkan. Kekakuan didefinisikan sebagai gaya yang diperlukan untuk menghasilkan suatu lendutan (Gere dan Timoshenko, 1987). Secara natural kekakuan sistem pracetak lebih rendah dibandingkan dengan sistem monolit, sehingga perlu adanya beberapa koreksi dalam analisisnya yang disebut dengan reduksi kekakuan. Kekakuan dapat dinyatakan dalam Persamaan 3.1 berikut ini:

K = .............................................................................................. 3.1dengan,K : Kekakuan(kN/mm)P : Gaya (kN) : Perpindahan (mm)

Tsonos (1999), menyatakan bahwa untuk struktur yang mengalami beban siklik, karakteristik kekakuan dapat diperkirakan dengan menghitung peak to peak stiffness. Kekakuan ditetapkan sebagai kemiringan garis yang menghubungkan puncak-puncak beban maksimum arah positif dan negatif dari kurva beban dan lendutan seperti pada Gambar 3.1 berikut ini:

K = .......................................................................................... 3.2

Gambar 3.1 Penentuan Nilai Kekakuan (Tsonos, 1999)

C. Daktilitas Berdasarkan SNI-1726-2002, daktilitas merupakan kemampuan struktur gedung untuk mengalami simpangan pasca-elastik yang besar secara berulang kali dan bolak-balik akibat beban gempa di atas beban gempa yang menyebabkan terjadinya pelelehan pertama, sambil mempertahankan kekuatan dan kekakuan yang cukup, sehingga struktur gedung tersebut tetap berdiri, walaupun sudah berada dalam kondisi diambang keruntuhan. Park dan Paulay (1975), menyatakan bahwa daktilitas merupakan kemampuan suatu struktur untuk tidak mengalami keruntuhan secara tiba-tiba (getas) tetapi masih mampu berdeformasi cukup besar pada saat beban maksimum tercapai sebelum struktur tersebut mengalami keruntuhan. Faktor daktilitas struktur gedung () adalah rasio antara simpangan ultimit dan simpangan pada saat terjadinya leleh pertama. Sebagaimana ditunjukkan pada Persamaan 3.3 berikut ini:

= .............................................................................................. 3.3 dengan,: daktilitasu: perpindahan dari 80% maksimum struktury: perpindahan pada saat leleh pertama

Gambar 3.2 Definisi daktilitas struktur (ASTM E 2126-02a)

D. Beban lateral bolak-balikPengujian sambungan balok-kolom pada penelitian ini menggunakan beban lateral bolak-balik yang merupakan simulasi beban gempa. Pembebanan ini dilakukan untuk mengetahui perilaku dan kapasitas struktur yang diuji.1. Observed hysteretic curve dan envelope curve Hysteretic curve merupakan kurva yang dihasilkan dari pembebanan bolak-balik yang dilakukan pada benda uji dan menggambarkan kenaikan pembebanan serta displacement sampai mencapai displacement kontrol yang dikehendaki pada setiap siklusnya.Envelope loops curve terdiri dari beban puncak initial (siklus pertama) masing-masing siklus pembebanan lateral bolak-balik seperti terlihat pada Gambar 3.3. Displacement pada arah positif menghasilkan envelope curve positif sedangakan dispalcement pada arah negatif menghasilkan envelope curve negatif.

Gambar 3.3 Observed hysterteric curve and envelope curve (ASTM E 2126-02a)

2. Hysteretic loopsKurva hysteretic loops dihasilkan dari pengujian pembebanan bolak-balik yang merupakan hubungan antara beban dan lendutan. Hubungan ini menunjukkan kapasitas dan perilaku struktur dalam menerima dan menahan beban pada setiap siklusnya.

Interstory driftLoad Gambar 3.4 Hysterteric loops and Potential energy (ASTM E 2126-02a)

3. Hysteretic energyHysteretic energy merupakan luasan total dari kurva tertutup (bentuk daun) pada hysteretic loops pada setiap siklusnya (Gambar 3.4) dimana besarnya energi serapan pada setiap siklus menunjukkan kemampuan struktur untuk menyerap dan meredam beban luar yang diberikan.4. Potensial energy (PE) dan Kekakuan siklus (Kc)Energi potensial merupakan energi maksimum yang dimiliki atau disimpan oleh benda uji untuk melakukan usaha (gaya kali jarak atau simpangan) pada beban dan simpangan yang maksimum. Potensial energi struktur tiap siklus merupakan luasan total segitiga ACB dan AED seperti terlihat pada (Gambar 3.4).Kekakuan siklus (Kc) merupakan kekakuan struktur akibat beban luar yang bekerja pada setiap siklus. Kekakuan merupakan besarnya gaya yang mampu ditahan atau diserap oleh struktur, seperti ditunjukkan oleh garis AC dan AE pada Gambar 3.4, dimana hysteretic loops antara beban simpangan siklus negatif dan positif seimbang sehingga melintasi titik tengah koordinat (0,0). Kekakuan siklus ini dapat diperoleh dari rata-rata kekakuan siklus negatif dan positif serta dihitung sesuai dengan Persamaan 3.4 berikut ini:

K = .............................................................................................. 3.4dengan,K: kekakuan siklus (kN/mm)Pkc: Rata-rata absolut beban siklus positif dan negatif (kN)kc: Rata-rata absolut simpangan (mm)Apabila kondisi hysteretic loop antara beban-simpangan siklus positif tidak seimbang dengan siklus negatif, maka kekakuan siklus dihitung terpisah (tidak dirata-ratakan), seperti terlihat pada Persamaan 3.5.

Kc(+) = dan Kc(-) = ....................................................... 3.5dengan,Kc(+) dan Kc(-): kekakuan siklus positif dan negatif (kN/mm)P+ dan P-: Beban siklus positif dan negatif (kN)+ dan - : Simpangan siklus positif dan negatif (mm)

5. Equivalent Viscous Damping Ratio (EVDR)Redaman pada struktur umumnya dimodelkan sebagai viscous damping. Koefisien redaman dinyatakan dalam rasio redaman (damping ratio) dimana setiap material akan mempunyai rasio redaman yang berbeda-beda. Damping ratio menunjukkan besarnya rasio redaman yang dimiliki oleh masing-masing struktur untuk meredam dan memancarkan energi yang diterima seiring dengan perubahan bentuk, kelelahan dan kerusakan struktur yang terjadi. Semakin besar nilai damping ratio maka semakin besar kemampuan struktur untuk menyerap energi. Redaman yang efektif akan banyak mengurangi atau mengeliminasi goyangan struktur. Equivalent damping ratio (EVDR) dapat dihitung berdasarkan Persamaan 3.6.

EVDR = ........................................................................... 3.6dengan,EVDR: Equivalent Damping Ratio HE: Hysteretic Energy (kNmm)PE: Potensial Energy (kNmm)6. Equivalent Energy Elastic-Plastic (EEEP) Curve Kurva elastis-plastis energi ekuivalen atau disebut kurva elastis-plastis diawali oleh garis dengan kemiringan yang sama dengan kemiringan kurva beban-simpangan pada saat 0,4Ppeak dengan simpangan 0,4Ppeak, dan garis mendatar yang menghubungkan simpangan leleh dan simpangan ultimit pada sumbunya (lihat Gambar 3.2 ).Luasan kurva elastis-plastis didapat dengan prinsip keseimbangan luasan kurva beban-simpangan yang dihubungkan masing-masing puncaknya. Bagian dari kurva elastis-palstis mempunyai garis dengan kemiringan yang sama berupa kekakuan geser elastis ekuivalen (equivalent elastic shear stiffness, ke) pada saat beban 0,4Ppeak dan simpangan 0,4Ppeak dapat dihitung dengan Persamaan 3.7.

ke = ....................................................................................... 3.7dengan,ke: Kekakuan geser elastis ekivalent (kNmm) 0,4Ppeak: Beban pada saat 0,4 beban puncak (kN)0,4Ppeak: Simpangan saat beban 0,4 beban puncak (mm)

Beban saat leleh (Pyield) diperoleh dari keseimbangan luasan di bawah kurva envelope dengan luasan di bawah kurva elastis plastis seperti pada Gambar 3.2 dapat dihitung dengan Persamaan 3.8.

Pyield = ................................................................ 3.8dengan, Pyield: Beban leleh (kN) u: Simpangan ultimit (mm) A: Luasan dibawah kurva envelope atau kurva beban- simpangan mulai dari nol hingga simpangan ultimit (kNmm) ke: Kekakuan geser elastis ekivalent (kNmm)Beban runtuh (failure load) merupakan nilai 0,8Ppeak, sedangkan failure limit state menyatakan titik dimana hubungan antara beban-simpangan terhadap titik data terakhir dengan beban sebesar atau lebih besar dari 0,8Ppeak.

E. Kelengkungan Balok dan KolomNilai kelengkungan dapat digunakan untuk mengetahui besarnya regangan pada saat terjadi lendutan (Popov, 1989). Lendutan yang terjadi akan membentuk suatu kelengkungan seperti ditunjukkan pada Gambar 3.5, dari kelengkungan tersebut dapat dilakukan analisis sebagai berikut:

Gambar 3.5 Kelengkungan balok/kolom

.......................................................................... 3.9

dengan, 1/R: Nilai kelengkungan vi-1: Lendutan pada titik i-1 vi: Lendutan pada titik ke ivi+1: Lendutan pada titik i+1: Jarak antar titik lendutan

Nilai curvature juga dapat ditentukan dengan menggunakan pembacaan strain gauge, seperti terlihat pada Gambar 3.6 dan Persamaan 3.10 berikut ini:

Gambar 3.6 Deformasi elemen lentur (Park dan Paulay, 1975)

.................................................. 3.10

dengan, : Curvature (rad/km)c: Regangan yang terjadi pada betons: Regangan yang terjadi pada bajakd: Jarak dari garis netral ke sisi atas (mm)d: Tinggi efektif balok (mm)

F. Pola RetakRetak merupakan jenis kerusakan yang paling sering terjadi pada struktur beton, retak bisa terjadi pada saat beton mulai mengeras maupun setelah beton mengeras. Retak yang terjadi saat beton mulai mengeras (beton belum mampu menahan beban) antara lain terjadi karena pembekuan udara dingin (pada daerah dengan musim dingin), susut (shrinkage), penurunan (settlement) dan penurunan acuan (formwork).Retak yang terjadi setelah beton mengeras salah satunya adalah retak struktural. Retak ini terjadi karena adanya pembebanan yang mengakibatkan munculnya tegangan lentur, geser dan tarik. Pada dasarnya, retak yang terjadi pada elemen atau struktur beton terdiri dari tiga macam yaitu (Triwiyono, 2004):1. Retak lentur (flexural crack)Retak yang terjadi akibat dari beban lentur yang jauh lebih besar dari beban gesernya. Bentuk retak ini akan merupakan garis lurus sejajar dengan arah gaya yang bekerja pada komponen tersebut (mengarah /menjalar dari bagian tarik menuju bagian tekan).2. Retak geser lentur (flexural shear crack)Retak geser lentur adalah retak miring yang merupakan retak lanjutan dari retak lentur yang terjadi sebelumnya. Retak ini terjadi jika gaya momen dan geser yang terjadi sama besar.3. Retak geser (shear crack)Retak yang terjadi akibat gaya geser dan bentuk dari retak ini akan membentuk sudut 45o terhadap gaya yang bekerja pada komponen tersebut. Retak ini terjadi pada lokasi yang belum mengalami retak lentur dan hal ini terjadi karena gaya geser yang ada lebih besar dari momen yang ada.Pada struktur yang mengalami beban gempa atau bolak-balik maka jenis kerusakan yang sering terjadi selain retak adalah spalling, beton inti hancur dan tekuk pada tulangan memanjang. Spalling merupakan kelanjutan retak beton yang membuka dan menutup secara berulang-ulang akibat beban bolak-balik. Jika beton yang telah retak mengalami tegangan tekan yang melebihi kuat tekannya maka beton bagian luar (selimut) akan hancur (crushing). Sama halnya dengan retak, spalling akan menyebabkan kapasitas penampang dan kuat lekat antara baja tulangan dengan beton akan berkurang. Apabila selimut beton sudah spalling maka pengekangan terhadap tulangan baja akan berkurang. Berkurangnya pengekangan dan akibat kelangsingan tulangan baja itu sendiri maka pada saat tulangan mengalami tegangan tekan akan berlanjut pada tekuk. Secara bersamaan beton inti (core) akan hancur karena beban yang seharusnya ditahan tulangan baja akan terlimpah pada beton inti. Hal seperti ini umunya terjadi pada elemen kolom yang mengalami beban gempa dengan indikasi terjadinya retak geser (shear crack).G. Ketentuan PengujianAdapun ketentuan pengujian yang harus dipenuhi pada pengujian sambungan balok-kolom ini seperti yang tertuang dalam ACI T1.1-01, 2001, Acceptance Criteria for Momen Frames Based on Structural Testing, antara lain:1. Benda uji harus dibebani oleh rangkaian urutan siklus kontrol perpindahan yang mewakili drift yang diharapkan terjadi pada sambungan saat gempa.2. Tiga siklus penuh harus diaplikasikan pada setiap rasio drift (lihat Gambar 3.7)3. Rasio drift awal harus berada dalam rentang perilaku elastik linier benda uji. Rasio drift berikutnya harus bernilai tidak kurang daripada 1 kali, dan tidak lebih daripada 1 kali, rasio sebelumnya (lihat Gambar 3.7).

Gambar 3.7 Program pembebanan (ACI T1.1-01, 2001)4. Pengujian harus dilanjutkan dengan meningkatkan rasio drift secara bertahap hingga tercapai nilai rasio drift minimum 0,035.5. Data yang diperlukan untuk menginterpretasikan kinerja benda uji secara kuantitatif harus direkam. Data rasio drift benda uji versus gaya geser kolom harus direkam secara menerus. Dokumentasi photo yang memperlihatkan kondisi benda uji disetiap akhir tiga siklus pembebanan harus diambil.

H. Kriteria PenerimaanBenda uji dikatakan berkinerja memuaskan bilamana semua kriteria berikut ini dipenuhi di kedua arah responnya:1. Benda uji harus mencapai tahanan lateral minimum sebesar En sebelum rasio driftnya (2%) melebihi nilai yang konsisten dengan batasan rasio drift yang diijinkan peraturan gempa yang berlaku (lihat Gambar 3.8).2. Tahanan lateral maksimum Emax yang tercatat pada pengujian tidak boleh melebihi niai En, dimana adalah faktor kuat lebih kolom uji yang disyaratkan.3. Untuk beban siklik pada level drift maksimum yang harus dicapai sebagai acuan untuk penerimaan hasil tes, dimana nilainya tidak boleh kurang dari 0,035, karakteristik siklus penuh ketiga pada level drift tersebut harus memenuhi hal-hal berikut ini:a. Gaya puncak pada arah beban yang diberikan tidak boleh kurang daripada 0,75 Emax pada arah beban yang sama (lihat Gambar 3.8).

b. Disipasi energi relatif tidak boleh kurang dari pada 1/8 (lihat Gambar 3.8).c. Kekakuan secan garis yang menghubungkan titik rasio drift -0,0035 ke rasio drift +0,0035 harus tidak kurang dari 0,05 kali kekakuan awal4. Benda uji yang memenuhi kriteria pada point 1 sampai dengan 3 dapat digunakan pada sistem struktur rangka pemikul momen beton bertulang pracetak dengan R (faktor modifikasi respon) maksimum 8,5.5. Bilamana kriteria pada (3) tidak terpenuhi pada tingkat drift ratio 3,50% tapi dapat dipenuhi pada tingkat drift ratio 2,50%, maka benda uji dapat digunakan pada sistem struktur rangka pemikul momen menengah dengan nilai R maksimum 6,0.6. Nilai R dapat ditetapkan lain dari yang disebut di atas selama dapat dibuktikan dengan metode eksperimental dan analisis yang dapat dipertanggung jawabkan.

Gambar 3.8 Besaran untuk evaluasi kriteria penerimaan (ACI T1.1-01, 2001)

Gambar 3.9 Disipasi energi relatif (ACI T1.1-01,2001)

Gambar 3.10 Perilaku histeristik yang tidak dapat diterima (ACI T1.1-01,2001)

I. Analisis Statik Nonlinier (Pushover)Analisa statik nonlinier merupakan prosedur analisa untuk mengetahui perilaku keruntuhan suatu bangunan terhadap gempa, dikenal pula sebagai analisa pushover atau analisa beban dorong statik (Dewobroto, 2005).Tujuan analisa pushover adalah untuk memperkirakan gaya maksimum dan deformasi yang terjadi serta untuk memperoleh informasi bagian mana saja yang kritis. Selanjutnya dapat diidentifikasi bagian-bagian yang memerlukan perhatian khusus untuk pendetailan atau stabilitasnya.

J. Metode Analsis Statik PushoverAnalisis pushover dapat digunakan untuk mengevaluasi perilaku seismik struktur terhadap beban gempa rencana, yaitu memperoleh nilai , dan R aktual struktur, memperlihatkan kurva kapasitas, dan memperlihatkan skema kelelehan (distribusi sendi plastis) yang terjadi. Metode yang digunakan adalah metode spektrum kapasitas atau Capacity Spectrum Method (CSM). CSM menyajikan dua buah grafik, yaitu spektrum kapasitas dan spektrum kebutuhan dalam satu format yang sama ADRS (Acceleration Displacement Response Spectra). Spektrum kapasitas menggambarkan kapasitas struktur itu sendiri sedangkan spektrum kebutuhan menggambarkan besarnya demand akibat gempa dengan periode ulang tertentu. Penyajian secara grafis ini memberi gambaran yang jelas bagaimana suatu struktur bangunan merespon beban gempa. Perpotongan antara spektrum kapasitas dan spektrum kebutuhan dinamakan titik kinerja atau performance point. Tahapan penting yang dilakukan dalam analisis pushover adalah estimasi besarnya perpindahan lateral saat gempa rencana (target perpindahan). Target perpindahan tersebut mencerminkan perpindahan maksimum yang diakibatkan oleh intensitas gempa rencana yang ditentukan. Adapun cara yang digunakan dalam penentuan target perpindahan dapat dilihat pada Persamaan 3.11 berikut ini:...................................... 3.11

dengan, t: Target perpindahan (mm)C0: koefisien faktor bentuk, untuk merubah perpindahan spektral menjadi perpindahan atap, berdasarkan Tabel 3-2 dari FEMA 356.C1: faktor modifikasi yang menghubungkan perpindahan inelastik maksimum dengan perpindahan yang dihitung dari respon elastik linier.C2: koefisien untuk memperhitungkan efek pinching dari hubungan beban-deformasi akibat degradasi kekakuan dan kekuatan, berdasarkan Tabel 3-3 dari FEMA 356.C3: koefisien untuk memperhitungkan pembesaran lateral akibat adanya efek P-delta. Koefisen diperoleh secara empiris dari studi statistik analisa riwayat waktu non-linier dari SDOF dan diambil berdasarkan pertimbangan engineering judgement, dimana perilaku hubungan gaya geser dasarlendutan pada kondisi pasca leleh kekakuannya positip (kurva meningkat) maka C3 = 1 , sedangkan jika perilaku pasca lelehnya negatif (kurva menurun) maka C3 harus dihitung (lihat Lampiran 6)Sa: akselerasi respons spektrum yang berkesesuaian dengan waktu getar alami efektif pada arah yang ditinjau.Te: waktu getar alami efektif yang memperhitungkan kondisi inelastisg: percepatan gravitasi 9,81 m/det2 .

Beberapa parameter yang digunakan pada Persamaan 3.11 diatas telah tersedia pada program SAP2000, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada BAB V. Mengevaluasi level kinerja struktur ketika titik kontrol tepat berada pada target perpindahan merupakan hal utama dari perencanaan berbasis kinerja. Komponen struktur dan aksi perilakunya dapat dianggap memuaskan jika memenuhi kriteria yang dari awal sudah ditetapkan, baik terhadap persyaratan deformasi maupun kekuatan. Karena yang dievaluasi adalah komponen maka jumlahnya relatif sangat banyak, oleh karena itu proses ini sepenuhnya harus dikerjakan oleh komputer (fasilitas pushover dan evaluasi kinerja yang terdapat secara built-in pada program SAP2000, mengacu pada FEMA 356. Oleh karena itulah mengapa pembahasan perencanaan berbasis kinerja banyak mengacu pada dokumen FEMA.

Gambar 3.11 Titik Kinerja pada Capacity Spectrum Method (Budiono dkk, 2009)

SdSaBeberapa Spectrum kapasitasBeberapa titik kinerjaDemand spectrumGambar 3.12 Beberapa Titik Kinerja dalam satu grafik (Ginsar dan Lumantarna, 2008)

atapVGaya geser dasar, V (kN)Perpindahan atap, atap (m)Gambar 3.13 Kurva Kapasitas (Ginsar dan Lumantarna, 2008)

Kurva kapasitas diubah menjadi spektrum kapasitas (capacity spectrum) dalam format ADRS melalui Persamaan:

........................................................... 3.12

................................................... 3.13 .............................................. 3.14

.......................... 3.15

dengan,PF1: faktor partisipasi ragam (modal participation factor) untuk ragam ke-11: koefisien massa ragam untuk ragam ke-1wi/g: massa lantai ii1: perpindahan pada lantai i ragam ke-1N: jumlah lantaiV: gaya geser dasarW: berat struktur (akibat beban mati dan beban hidup tereduksi)atap: perpindahan atap (yang digunakan pada kurva kapasitas)Sa: spektrum percepatanSd: spektrum perpindahan

Untuk spektrum demand didapatkan dari spektrum respons elastis yang pada umumnya dinyatakan dalam satuan percepatan, Sa (m/detik2) dan periode struktur, T (detik). Sama halnya dengan kurva kapasitas, spektrum respons ini juga perlu diubah dalam format ADRS menjadi spektrum demand. Gambar 3.12 menunjukkan spektrum yang sama yang ditampilkan dalam format tradisional (Sa dan T) dan format ADRS (Sa dan Sd). Pada format ADRS, periode struktur yang sama merupakan garis lurus radial dari titik nol. Hubungan antara Sa, Sd, dan T, dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

............................................. 3.16

........................................... 3.17

Spektral percepatan, Sa (m/det2)Spektrum tradisional(Sa vs T)Periode, T (detik)Spektral percepatan, Sa (m/det2)Spektral perpindahan, Sd (m)Spektrum ADRS(Sa vs Sd)

Gambar 3.14 Spektrum respon yang ditampilkan dalam format tradisional dan ADRS (ATC 40, 1996)

Berdasarkan FEMA 356, kinerja suatu bangunan dibagi menjadi beberapa tingkat, yaitu: 1. Operational, tidak ada kerusakan struktural maupun non-struktural yang berarti, bangunan masih dapat berfungsi dengan baik. 2. Immediate Occupancy (IO), tidak ada kerusakan yang berarti pada struktur, dimana kekuatan dan kekakuannya kira-kira hampir sama dengan kondisi sebelum gempa. Komponen non-struktural masih berada pada tempatnya dan sebagian besar masih berfungsi jika utilitasnya tersedia. Bangunan tetap dapat berfungsi tanpa terganggu masalah perbaikan. 3. Life Safety (LS), terjadi kerusakan komponen struktur, kekakuan berkurang, tetapi masih mempunyai ambang yang cukup terhadap keruntuhan. Komponen non-struktural masih ada tetapi tidak berfungsi. Bangunan masih dapat digunakan setelah dilakukan perbaikan. 4. Collapse Prevention (CP), terjadi kerusakan yang berarti pada komponen struktural dan non-struktural. Kekuatan struktur dan kekakuannya berkurang banyak, bangunan hampir runtuh. Kecelakaan akibat material bangunan yang berjatuhan sangat mungkin terjadi.

Hubungan antara level kinerja struktur dengan simpangan (drift) pada element vertikal dari sistem pemikul beban lateral berupa struktur rangka beton bertulang (concrete frames) dapat dilihat pada Tabel 3.1. Simpangan pada struktur gedung dapat dilihat pada Gambar 3.15. Nilai simpangan pada tabel tersebut merupakan nilai tipikal yang diberikan untuk menjelaskan respon struktur keseluruhan yang sesuai dengan berbagai level kinerja struktur. Tabel 3.1 Batasan simpangan untuk level kinerja struktur (FEMA 356, 2000)Level kinerja strukturdrift (%)Keterangan

Immediate Occupancy1,0Transient

Life safety2,01,0TransientPermanent

Collapse Prevention4,0Transient atau permanent

Gambar 3.15 Simpangan atap dan rasio simpangan pada atap (ATC-40, 1996)Sementara itu, ATC-40 (1996) memberikan batasan deformasi untuk berbagai level kinerja struktur gedung seperti ditunjukkan pada Tabel 3.2. Simpangan total maksimum didefinisikan sebagai simpangan antar tingkat pada perpindahan titik kinerja. Simpangan inelastis maksimum didefinisikan sebagai bagian dari simpangan total maksimum di bawah titik leleh.

Tabel 3.2 Batasan deformasi untuk berbagai level kinerja struktur (ATC-40, 1996)Batasan simpangan antar tingkatLevel kinerja struktur

Immediate OccupancyDamage controlLife safetyStructural stability

Simpangan total maksimum0,010,01-0,020,020,33Vi/Pi

Simpangan inelastis maksimum0,0050,005-0,015Tidak dibatasiTidak dibatasi

Level kinerja struktur secara kualitatif dapat dijelaskan pada Gambar 3.16. Pada gambar terlihat bahwa level kinerja struktur diwakili oleh suatu kurva hubungan antara gaya geser dasar dengan perpindahan pada titik kontrol (titik berat distribusi). Selain itu, ditunjukkan juga bagaimana perilaku keruntuhan struktur secara menyeluruh terhadap pembebanan lateral. Kurva tersebut diperoleh dari hasil analisa statik nonlinier atau analisis pushover.

Gambar 3.16 Ilustrasi Rekayasa Gempa Berbasis Kinerja (Dewobroto, 2005)

Adapun data yang diinput untuk pendefinisan sendi plastis ke program SAP2000 yaitu backbone curve yang kemudian dijadikan ke dalam bentuk hubungan momen-curvature yang diperoleh dari pembebanan bolak-balik. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 3.17, Gambar 3.18 dan Gambar 3.19 berikut ini:

Gaya lateral DeformasiBackbone curve

Gambar 3.17 Backbone Curve (FEMA 356, 2000)

Gambar 3.18 Kurva moment-curvature balok pada SAP2000

Gambar 3.19 Kurva moment-curvature kolom pada SAP2000Selanjutnya kurva tersebut ditentukan posisi masing-masing tingkat kinerja yang akan digunakan dalam pendefinisian sendi plastis pada analisis pushover. Adapun penentuan titik untuk masing-masing tingkat kinerja berdasarkan FEMA 356 yaitu:a) Immediate Occupancy tidak lebih besar dari 0,67 kali deformasi life safetyb) Life safety tidak lebih besar dari 0,75 kali deformasi collapse prevention.

BAB IVMETODOLOGI PENELITIAN

A. Perancangan Benda ujiPerencanaan dimensi benda uji pada penelitian ini diperoleh setelah melakukan analisis struktur gedung dua lantai yang berada di wilayah gempa 4 berdasarkan SNI-1726-2002. Penelitian ini menggunakan dua benda uji yang terdiri dari satu benda uji monolit dan satu benda uji pracetak dengan analisis penulangan sesuai ketentuan SNI 03-2847-2002.

B. Bahan Penelitian1. Bataton kolom dan BalokBataton kolom dan bataton balok pada penelitian ini merupakan produk dari PT. Holcim Indonesia Tbk.

(b)(a)

Gambar 4.1 (a) Bataton Balok dan (b) Bataton Kolom

2. SemenSemen yang digunakan sebagai bahan pengikat beton adalah semen Holcim serbaguna kemasan 40 kg. Pengamatan secara visual terhadap kemasan tertutup rapat, bahan butiran halus serta tidak terjadi penggumpalan.

3. AgregatAgregat yang digunakan pada penelitian ini adalah agregat halus (pasir) yang berasal dari Merapi, Kaliurang, Yogyakarta. Agregat dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu, agregat halus dengan ukuran butiran 4,80 mm dan agregat kasar dengan ukuran butiran > 4,80 dan 10,0 mm.

4. AirPenelitian ini menggunakan air dari laboratorium Struktur Jurusan Teknik Teknik Sipil dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

5. Mortar Mortar yang digunakan pada penelitian ini yaitu mortar yang dibuat dengan perbandingan 1 semen : 4 pasir dengan fas 0,65.

6. Baja tulanganBaja tulangan yang digunakan adalah baja tulangan produksi dari PT. Krakatau Steel. Tulangan yang digunakan yaitu tulangan ulir D13, tulangan polos P8 dan polos P6 yang telah dilakukan uji tarik di Laboratorium Teknik Mesin UGM.

C. Alat- alat PenelitianAlat yang digunakan pada penelitian ini yaitu:1. Hydraulic Jack dan Hydraulic PumpHydraulic jack digunakan untuk mendorong load cell (sebagai beban pada kolom) sedangkan hydraulic pump berfungsi sebagai alat yang memberikan tekanan untuk mendorong hydraulic jack. Gambar 4.2 (a) Hydraulic jack (b) Hydraulic pump2. Load Cell Load cell digunakan untuk meneruskan beban dari hydraulic jack ke elemen kolom dan disambungkan ke data logger sehingga besarnya beban yang diberikan dapat terbaca.

Gambar 4.3 Load cell3. Strain gaugeStrain gauge digunakan untuk mengukur regangan pada tulangan utama balok maupun kolom.

Gambar 4.4 Strain gauge4. Strain meterAlat ini digunakan untuk mengecek hasil pemasangan strain gauge setelah dilakukan pengecoran maupun sebelum pengujian siklik, sehingga kegagalan pembacaan dapat diminimalkan.

Gambar 4.5 Strain meter5. Data LoggerData logger digunakan untuk merekam dan mencetak pembacaan data dari LVDT, load cell dan strain gauge.

Gambar 4.6 Data Logger6. Linier Variable Differential Transformer (LVDT)Alat ini digunakan untuk mengukur perpindahan pada ujung kolom yang disiklik dan digunakan juga untuk pembacaan kelengkungan kolom maupun balok yang digunakan untuk perhitungan curvature. Hasil pembacaan tersebut dibaca pada data logger.

Gambar 4.7 Linier Variable Differential Tranformer (LVDT)

7. Micro crack meterAlat ini digunakan untuk mengukur lebar retak pada benda uji saat dilakukan pembebanan.

Gambar 4.8 Micro crack meter

8. Compression testing machine (CTM)CTM yang digunakan berkapasitas 200 ton yang digunakan untuk pengujian kuat tekan silinder dengan diameter 150 mm dan tinggi 300 mm.

Gambar 4.9 Compression testing machine (CTM)

9. Universal Testing Machine (UTM)UTM digunakan untuk pengujian kuat tarik baja. UTM ini dilengkapi dengan plotter untuk menggambarkan grafik tegangan dan regangan baja. UTM yang digunakan mempunyai kapasitas 200 kN.

Gambar 4.10 Universal testing machine

D. Pelaksanaan PenelitianTahapan-tahapan dari penelitian ini adalah:1. Tahapan persiapan peralatan dan bahan Persiapan peralatan perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi alat yang akan digunakan pada penelitian serta mempelajari penggunaannya, sedangkan persiapan bahan yaitu persiapan bataton kolom dan balok, tulangan polos P8 mm, tulangan polos P6 mm, tulangan ulir D13 mm, bahan bekisting balok-kolom monolit serta perencanaan mutu beton fc 20 MPa.

2. Pengujian MaterialPengujian material yang dilakukan yaitu pengujian tarik baja tulangan yang dilakukan di Laboratorium D3 Teknik Mesin serta pengujian kuat tekan beton di Laboratorium Struktur Universitas Gadjah Mada.

3. Pembuatan benda uji sambungan balok-kolom monolit dan pracetak Penulangan pada benda uji dilakukan sesuai dengan output dari analisis struktur rumah tinggal 2 lantai. Pada penelitian ini dibuat dua benda uji yang masing-masing 1 buah benda uji monolit dan pracetak, dengan penulangan negatif 3D13, penulangan positif 2D13 dan sengkang 1,5P6-150. Sedangkan penulangan kolom digunakan 8D13 dengan sengkang P8-150. Benda uji balok maupun kolom dibuat sepanjang setengah bentang dan setengah tinggi kondisi sebenarnya. Detail benda uji dapat dilihat pada Tabel 4.1, Gambar 4.11, Gambar 4.12 dan Gambar 4.13 berikut ini: Tabel 4.1. Data Benda Uji Balok-kolomBenda UjiJumlahTulangan BalokTulangan kolom

longitudinalsengkanglongitudinalsengkang

negatifpositif

SBKM13D132D131,5P6-1508D13P8-150

SBKP13D132D131,5P6-1508D13P8-150

Gambar 4.11 Gaya luar dan dalam pada struktur

Pot. II-IIPot. I-IPot. II-IIPot. I-I

Gambar 4.12 Benda uji sambungan balok-kolom pracetak (SBKP)

17501750

Pot. II-IIPot. I-IPot. II-IIPot. I-IGambar 4.13 Benda uji sambungan balok-kolom monolit (SBKM)

E. Pelaksanaan Pengujian1. Perakitan TulanganBaja tulangan dipotong dan dibentuk sesuai dengan kebutuhan, penulangan diawali dengan penulangan tulangan longitudinal kolom, sengkang kolom, tulangan longitudinal balok dan sengkang balok yang kemudian dihubungkan menjadi sambungan balok-kolom.

Gambar 4.14 Penulangan Balok-kolom 2. Pemasangan Strain gaugeSebelum dilakukan pengecoran, maka strain gauge dipasang pada tulangan longitudinal balok maupun tulangan longitudinal kolom yang masing-masing 2 buah strain gauge.

Gambar 4.15 Pemasangan Strain gauge

3. Pengecoran, uji slump dan pembuatan benda uji silinderPada saat proses pengecoran dilakukan juga uji slump untuk melihat tingkat workability beton agar proses penuangan beton ke cetakan dapat dilakukan dengan baik. Sebagai kontrol kualitas adukan beton, maka setiap proses pengadukan dibuat benda uji silinder yang akan diuji pada umur 28 hari.

4. Pengecoran benda uji Balok-kolomPengecoran benda uji monolit dilakukan setelah tulangan dimasukan ke cetakan dan cetakan telah diperkuat sehingga memenuhi syarat. Tahap selanjutnya yaitu penuangan adukan beton ke dalam cetakan secara bertahap yang diikuti juga proses pemadatan. Sedangkan pengecoran benda uji pracetak dapat dilakukan setelah bataton dipasang dengan menggunakan mortar dan sambungan bataton-bataton tersebut telah kering sehingga pada saat pengecoran tidak terjadi pergeseran atau perubahan bentuk susunan bataton. Gambar 4.16 Pengecoran benda uji monolit dan Pracetak

5. Perawatan BetonPerawatan benda uji dilakukan 1 hari setelah proses pengecoran dilakukan sampai dengan umur 28 hari. Proses ini dilakukan agar beton bisa mengalami proses hidrasi yang maksimal sehingga diperoleh kualitas beton yang baik.

6. Pengujian Benda Uji Balok-KolomPengujian benda uji dilakukan setelah beton mencapai umur 28 hari, balok-kolom dikekang pada kedua ujung baloknya dengan tumpuan rol, sedangkan pada salah satu ujung kolom diberikan tumpuan rol. Pada ujung kolom satunya dibiarkan bebas (kantilever) untuk dilakukan pembebanan bolak-balik. Pembebanan bolak-balik dilakukan dengan displacement controlled seperti yang disyaratkan dalam ACI T1.1-01 (Gambar 3.7). Pada setiap siklus pengujian terdapat 3 kali beban bolak-balik, pengujian ini diawali dengan displacement sebesar drift ratio 0,2%, siklus selanjutnya harus menggunakan drift ratio tidak kurang dari 1,25 dan tidak lebih dari 1,50 kali dari drift ratio sebelumnya. Pengujian dilanjutkan hingga tercapai beban maksimum dan dihentikan setelah beban turun mencapai nilai 0,8Ppeak. Set-up pengujian dapat dilihat pada Gambar 4.17 berikut ini:

Gambar 4.17 Set- up pengujian benda uji (tampak atas)

F. Analisa PushoverAnalisa pushover dilakukan pada portal monolit maupun portal pracetak, secara umum tahapan-tahapan dalam melakukan analisis pushover adalah sebagai berikut:1. Pembuatan model struktur pada program komputer.2. Pendefinisian pola beban statik lateral (beban dorong lateral). Pola pembebanan yang digunakan dalam analisis pushover diperoleh dari pembebanan statik ekuivalen (Fi) yang meliputi kombinasi beban mati dan 30% beban hidup.3. Pendefinisian pushover load cases pada SAP2000.4. Pendefinisian properti sendi plastis, dimana parameter-parameter untuk pendefinisian sendi plastis yaitu hubungan moment-curvature yang diperoleh dari pengujian siklik (dikontrol dengan program SAP2000). Sendi plastis untuk balok dan kolom didefinisikan melalui menu Define-Hinge Properties. Dalam hal ini, mengingat momen dan gaya geser yang terjadi akibat gempa umumnya lebih besar ditumpuan dibandingkan daerah lainnya, maka sendi plastis yang telah didefinisikan kemudian ditempatkan pada ujung-ujung elemen balok dan kolom tersebut. Sendi plastis pada balok didefinisikan melalui kotak dialog Frame Hinge Properti Data. Tipe sendi yang dipilih adalah Deformation Controlled (Ductile)-Moment M3. Tipe parameter displacement control yang dipilih adalah Moment-Curvature, dengan panjang sendi plastis (hinge length) sama dengan setengah tinggi balok tersebut. Parameter displacement control, yaitu moment-curvature ditentukan dari kurva moment-curvature yang diperoleh dari pengujian (SAP2000). Kriteria penerimaan untuk balok ditentukan sesuai FEMA 356 (2000). Selanjutnya pada program SAP2000 akan muncul kurva moment-curvature dengan titik-titik deformasi dan kriteria penerimaan (acceptance criteria) sesuai data yang telah diisi (Gambar 3.18). Sedangkan sendi plastis pada kolom didefinisikan melalui kotak dialog Frame Hinge Properti Data dengan pilihan tipe sendi plastis Deformation Controlled (Ductile)-interacting P-M2-M3. Panjang sendi plastis (hinge length) kolom ditentukan sebesar setengah dari tinggi kolom tersebut. Parameter displacement control, yaitu momen-curvature ditentukan dari kuva moment-curvature yang diperoleh dari pengujian atau analisis penampang menggunakan SAP2000. Kriteria penerimaan (acceptance criteria) ditentukan sesuai FEMA 356 (2000) seperti terlihat pada Gambar 3.19. Sebagai tambahan untuk pendefinisian sendi palstis kolom, kurva interaksi gaya aksial-momen (P-M2-M3) juga dibuat secara manual melalui opsi Modify P-M2-M3 Interaction Surface Data. 5. Penempatan sendi plastis pada elemen-elemen frame.6. Pemberian beban dorong lateral pada struktur sampai sejauh target perpindahan yang ditentukan.7. Running dan mereview hasil analisis pushover menggunakan Metode Spektrum Kapasitas yang berupa titik kinerja (performance point, Vt), perpindahan (displacement, dt), waktu getar efektif struktur (Teff) dan redaman viscous ekuivalen (Beff). Secara umum tahapan dari metode ini yaitu: a. Mengubah kurva kapasitas, yang diperoleh dari analisis pushover menjadi spektrum kapasitas.b. Menghitung besarnya demand, yaitu tuntutan kinerja struktur akibat gempa dengan periode ulang tertentu, yang diperoleh dari kurva spektrum demand.c. Menentukan titik kinerja yang merupakan titik perpotongan antara kurva spektrum kapasitas dan kurva spektrum demand.Keseluruhan tahapan dari (a) s/d (c) tersebut di atas secara otomatis akan langsung dilakukan oleh program SAP2000 dan dari analisis tersebut akan memperlihatkan hasil-hasil metode spektrum kapasitas ATC-40 berupa t, Vt dan waktu getar alami efektif (Te). Beberapa hasil tersebut digunakan dalam menentukan target perpindahan berdasarkan FEMA 356 dengan Persamaan 3.11. Gaya geser dasar pada saat leleh (Vy) (dari idealisasi kurva pushover menjadi bilinier) akan diperoleh langsung dari SAP2000 yang kemudian dilakukan interpolasi pada kurva hubungan Base Reaction vs displacement dan diperoleh simpangan pada saat leleh yang dijadikan parameter dalam menentukan daktilitas gedung.

G. Bagan Alir Penelitian

MULAIAnalisis dan PembahasanKesimpulan dan saranPengujian SELESAIPersiapan referensi Persiapan elemen pracetakUji elemen BatatonPersiapan Material BetonMix design fc 20 MPaPembuatan model skala 1 :1Pracetak dan MonollitAnalisis SAP 2000Pengumpulan DataPushoverBagan alir pada penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 4.18 berikut ini:

Gambar 4.18 Bagan alir penelitianBAB VHASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hubungan Antara Beban dan displacementPengujian sambungan balok-kolom interior dilakukan pada 2 buah benda uji yaitu sambungan balok-kolom monolit (SBKM) dan sambungan balok-kolom pracetak (SBKP). Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 5.1 dan Gambar 5.1 berikut ini:Tabel 5.1 Hasil pembebanan benda uji interiorKondisiSBKMSBKP

Tarik (+)Tekan (-)Tarik (+)Tekan (-)

PPPP

(kN)(mm)(kN)(mm)(kN)(mm)(kN)(mm)

Crack5,4010,266,9012,203,707,204,908,94

Yield20,5143,2919,3434,0215,9145,0815,7544,47

Peak27,00122,6325,90122,9022,20123,5221,40122,14

Failure21,60171,4820,72167,2617,76171,0017,12171,68

Gambar 5.1 Grafik beban vs displacement

Dari Tabel 5.1 dapat dilihat bahwa beban pada saat crack, yield maupun puncak (peak) lebih dahulu dialami oleh benda uji pracetak (SBKP) dibandingkan benda uji monolit (SBKM). Dari Gambar 5.1 dapat dilihat bahwa kapasitas beban lateral benda uji monolit sebesar 27,0 kN untuk kondisi tarik dan 25,9 kN untuk kondisi tekan, sedangkan benda uji pracetak terjadi penurunan kapasitas beban lateral masing-masing sebesar 17,77% untuk kondisi tarik dan 17,37% untuk kondisi tekan dibandingkan benda uji monolit. Hal ini menunjukkan bahwa bataton tidak memberikan konstribusi yang besar jika dibandingkan dengan kualitas beton yang digunakan pada benda uji monolit.

B. Kriteria PenerimaanDari hasil eksperimental yang dilakukan diperoleh kriteria penerimaan seperti yang disyaratkan ACI T1.1-01 sebagai berikut:1. Benda uji harus mencapai tahanan lateral minimum En = 13,56 kN untuk SBKM dan En = 12,84 kN untuk SBKP pada nilai drift ratio 2,0%, dalam hal ini benda uji SBKM maupun SBKP memenuhi persyaratan tersebut karena beban lateral rata-rata benda uji tersebut berturut-turut sebesar 22,215 kN dan 16,55 kN dicapai pada drift ratio 2,0%. 2. Tahanan lateral maksimum Emax tidak boleh melebihi En (1,25. 13,56 = 16,95 kN) untuk SBKM dan En (1,25. 12,84 = 16,05 kN) untuk SBKP. Untuk benda uji monolit rata-rata yang diperoleh Emax sebesar 26,5 kN sedangkan benda uji pracetak sebesar 21,8 kN. Hal ini menunjukkan bahwa SBKM dan SBKP tidak memenuhi persyaratan. ( : 1,25 sumber ACI.318; En dapat dilihat di Lampiran 2). 3. Beban lateral maksimum pada pengujian ini diperoleh pada rasio drift 3,50% dengan kriteria siklus ketiga pada level drift tersebut yaitu:a. Gaya puncak pada arah beban yang diberikan pada benda uji monolit (SBKM) tidak kurang dari 0,75 Emax pada arah beban yang sama. Sedangkan benda uji pracetak (SBKP) memiliki gaya puncak lebih dari 0,75Emax pada arah beban tarik dan lebih kecil dari 0,75Emax pada arah beban tekan. Hal ini menunjukkan bahwa SBKP tidak memenuhi persyaratan ini.b. Disipasi relatif () yang merupakan rasio perbandingan antara luasan hysteretic loop (Ah) putaran ketiga pada drift beban maksimum (nilai rasio drift 3,5%) dengan luasan (E1+E2)(1+2) yang ditandai dengan garis putus-putus pada Gambar 5.2 dan Gambar 5.3 tidak kurang dari 1/8. Disipasi relatif pada benda uji monolit maupun pracetak dapat dilihat pada Tabel 5.2 berikut ini:Tabel 5.2 Disipasi relatifNoBenda ujiDrift (%)Ah(kN.mm)E1 (kN)E2(kN)1(mm)2(mm)

1SBKM3,5%6,7933523,124,771,901970,21840,2987

2SBKP3,5%1,1326216,915,388,484391,91230,1949

Gambar 5.2 Disipasi energi relatif SBKM

Gambar 5.3 Disipasi energi relatif SBKP

c. Kekakuan secan garis yang menghubungkan titik rasio drift -0,0035 ke rasio drift +0,0035 untuk masing-masing benda uji dapat dilihat pada Tabel 5.3 lebih besar dari 0,05 kali kekakuan awal.

Tabel 5.3 Perbandingan Nilai KekakuanNoBenda ujiKekakuan-0,35% s/d +0,35%(kN/mm)Rerata 0,05 x kekakuan awal(kN/mm)

1SBKM0,28250,0231

2SBKP0,17970,0251

Berdasarkan ACI T1.1-01, jika keseluruhan persyaratan dari (1) s/d (3) terpenuhi maka dapat digunakan faktor modifikasi respon (R) maksimum 8,5. Sedangkan pada penelitian ini, benda uji SBKM tidak memenuhi persyaratan pada point (2) dan benda uji SBKP tidak memenuhi persyaratan point (2) dan (3.a), sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa kedua benda uji ini dapat digunakan pada sistem struktur rangka pemikul momen menengah dengan faktor modifikasi respon (R) maksimum 6,0. Tahanan lateral maksimum (point 2) menunjukkan bahwa benda uji monolit maupun pracetak memiliki tahanan lateral yang lebih besar dari kondisi ideal, namun untuk mencapai tahanan maksimum tersebut kedua benda uji telah mengalami defleksi yang besar. Oleh karena itu, peningkatan/perkuatan daktilitas saja akan memberikan hasil yang baik pada kedua benda uji tersebut.

C. Hysteretic loopHubungan antara beban dan displacement hasil pengujian dapat dilihat pada kurva hysteretic loop Gambar 5.4 dan Gambar 5.5 berikut ini:

Gambar 5.4 Hysteretic loop SBKM

Gambar 5.5 Hysteretic loop SBKP

Dari Gambar 5.4 dan Gambar 5.5 dapat dilihat bahwa kapasitas beban lateral naik seiring dengan penambahan displacement. Perbedaan kapasitas beban lateral arah tarik maupun tekan sebelum mencapai drift ratio maksimum bisa dikarenakan perbedaan nilai displacement dan pergerakan plat bantalan hydraulic jack. Sedangkan perbedaan kapasitas beban lateral setelah melewati drift ratio maksimum bisa juga disebabkan hal lain seperti terjadinya kerusakan yang signifikan pada saat ditarik, sehingga pada saat didorong akan mengalami penurunan beban yang signifikan karena kerusakan sebelumnya. Luasan loop pada benda uji SBKM lebih besar jika dibandingkan dengan loop benda uji SBKP, hal ini menunjukkan bahwa benda uji monolit memiliki disipasi energi yang lebih besar daripada benda uji pracetak.

D. Equivalent Elastis-Plastic Curve (EEPC)Envelope curve pada arah positif maupun negatif dapat dilihat pada Gambar 5.1. Selanjutnya dilakukan analisis dengan membentuk Equivalent Elastis-Plastic Curve (EEPC) seperti pada Gambar 5.6, Gambar 5.7 (Lampiran 4) untuk mendapatkan parameter hubungan beban-displacement pada saat yield, peak, dan failure sebagai dasar perhitungan beban leleh, displacement leleh dan daktilitas. Penentuan beban yield menggunakan Persamaan 3.8, sedangkan penentuan beban pada saat failure berdasarkan Gambar 3.2 yaitu pada saat terjadi penurunan beban sebesar 20%. Perbandingan besar dan defleksi rata-rata (siklus positif dan siklus negatif) pada benda uji monolit maupun pracetak dapat dilihat pada Tabel 5.4 berikut ini:

Gambar 5.6 Equivalent elastis-plastic curve benda uji SBKM

Gambar 5.7 Equivalent elastis-plastic curve benda uji SBKP

Tabel 5.4 Defleksi crack, yield, peak dan failureNoBenda ujiCrackYieldPeakFailure

PPPP

(kN)(mm)(kN)(mm)(kN)(mm)(kN)(mm)

1SBKM6,1511,2319,9238,6526,45122,7721,16169,37

2SBKP4,308,0715,8244,7721,80122,8317,44171,34

Dari Tabel 5.4 dapat dilihat bahwa pada saat failure diperoleh beban lateral dan defleksi pada benda uji monolit masing-masing sebesar 21,16 kN dan 169,37 mm, sedangkan pada benda uji pracetak mengalami penurunan beban lateral sebesar 17,58% dan peningkatan defleksi sebesar 1,16% terhadap benda uji monolit. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan bataton yang memiliki mutu beton yang rendah dapat mengurangi kapasitas benda uji tersebut.

E. Kekakuan Benda ujiBesarnya kekakuan masing-masing benda uji pada kondisi beban yield dan kondisi maksimum dapat dilihat pada Tabel 5.5.Tabel 5.5 Beban Lateral, Displacement dan KekakuanNoBenda ujiYieldMaksimumK yieldK peak

PPPy/yPp/p

(kN)(mm)(kN)(mm)(kN/mm)(kN/mm)

1SBKM19,9238,6526,45122,770,520,22

2SBKP15,8244,7721,80122,830,350,18

Dari Tabel 5.5 dapat dilihat bahwa kekakuan benda uji monolit pada saat leleh dan maksimum masing-masing sebesar 0,52 kN/mm dan 0,22 kN/mm, sedangkan kekakuan benda uji pracetak pada saat leleh dan maksimum lebih kecil sebesar 32,69% dan 18,18% jika dibandingkan dengan benda uji monolit. Nilai kekakuan mengalami penurunan seiring dengan penambahan siklus atau displacement, untuk lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 5.8 dan Gambar 5.9 berikut ini.

Gambar 5.8 Grafik penurunan kekakuan benda uji SBKM

Gambar 5.9 Grafik penurunan kekakuan benda uji SBKP

Penurunan kekakuan pada benda uji monolit maupun pracetak yang terjadi seiring dengan pertambahan siklus ini dikarenakan dengan pertambahan siklus maka terjadi pertambahan retak yang sekaligus mengurangi kapasitas benda uji tersebut.

F. DaktilitasHasil analisis faktor daktilitas pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5.6 di bawah ini:Tabel 5.6 Displacement dan Faktor DaktilitasNoBenda ujiDefleksi failureDefleksi yieldFaktor Daktilitas

80 (mm)y (mm) = 80/y

1SBKM169,3738,654,38

2SBKP171,3444,773,83

Dari Tabel 5.6 dapat dilihat bahwa faktor daktilitas benda uji monolit (SBKM) sebesar 4,38 sedangkan benda uji pracetak (SBKP) memiliki faktor daktilitas lebih kecil dengan selisih 12,55% terhadap benda uji monolit yang dikarenakan penggunaan bataton dengan mutu beton rendah yang sekaligus menyebabkan dimensi balok-kolom pracetak dengan mutu beton baik menjadi kecil.

G. Pola RetakPengamatan pola retak dilakukan secara kontinyu dari awal sampai dengan akhir pengujian. Benda uji monolit mengalami retak pada siklus ketiga yaitu pada daerah sendi plastis balok dan pada siklus ketujuh mulai terjadi retak pada kolom sedangkan benda uji pracetak mengalami retak pertama pada siklus pertama yaitu pada bataton balok daerah sendi plastis yang kemudian diikuti retak rambut di kolom pada siklus kedua. Retak diagonal pada kolom pracetak semakin lebar pada siklus keenam sehingga menyebabkan kurva hysteretis pracetak lebih kurus dibandingkan dengan kurva hysteretis benda uji monolit. Dari pengujian dapat dilihat bahwa terjadi beberapa retak geser pada kolom monolit, tetapi lebih dominan terjadi retak lentur pada balok seperti terlihat pada Gambar 5.10.

Gambar 5.10 Retak dan spalling benda uji SBKM

Pola yang terjadi pada benda uji pracetak lebih dominan retak geser pada kolom dibandingkan rusak lentur pada balok (lihat Gambar 5.11), hal ini berbeda dengan pola retak yang terjadi pada benda uji monolit. Dari Gambar 5.10 dan Gambar 5.11 dapat dilihat bahwa dengan pertambahan beban muncul retak yang semakin besar dan panjang, sehingga mengakibatkan spalling. Benda uji monolit (SBKM) maupun pracetak (SBKP) mengalami spalling adalah wajar karena spalling merupakan ciri-ciri kerusakan akibat beban bolak-balik.

Gambar 5.11 Retak dan spalling benda uji SBKP

Kerusakan spalling yang relatif besar pada bataton kolom bisa juga dikarenakan kurangnya lekatan antara bataton dengan beton baru. Hal ini bisa terjadi karena air semen yang terdapat pada beton baru diserap oleh bataton yang kering sehingga untuk beton baru yang berdekatan dengan bataton tidak mengalami proses hidrasi dengan baik. Secara keseluruhan retak pada kolom menimbulkan pola pinching pada kurva hysteretis seperti diperlihatkan pada Gambar 5.4 dan Gambar 5.5. Dengan demikian benda uji monolit dan pracetak pada penelitian ini belum memenuhi mekanisme strong column weak beam dan perlu dilakukan penyempurnaan pada daerah sambungan agar pola keruntuhan yang terjadi sesuai dengan kaidah keruntuhan yang baik.

H. Kekakuan ElastisDari Equivalent Elastis-Plastic Curve (Gambar 5.6, Gambar 5.7 dan Lampiran 4) didapatkan parameter beban-displacement pada saat yield, peak dan failure. Nilai kekakuan elastic (ke) masing-masing benda uji dihitung dengan menggunakan Persamaan 3.7, hasil perhitungan dapat dilihat pada Gambar 5.12.

Gambar 5.12 Nilai rata-rata Kekakuan Elastis

Dari Gambar 5.12 dapat dilihat bahwa nilai kekakuan elastis (ke) rerata pada benda uji monolit sebesar 0,55 kN/mm, sedangkan kekakuan elastik pada benda uji pracetak lebih kecil yaitu dengan selisih 29,77%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penggunaan bataton yang sekaligus menjadikan benda uji dengan mutu beton yang baik menjadi dimensi yang lebih kecil akan menyebabkan penurunan kekakuan elastis.

I. Hysteretic Energy (HE)Hysteretic energy merupakan luasan loop pada setiap siklus dihitung dengan pendekatan numerik, dengan menganggap setiap luasan pias pada loop merupakan luasan trapesium. Hasil perhitungan hysteretic energy dapat dilihat pada Lampiran 5, sedangkan perbandingan untuk benda uji monolit dan benda uji pracetak dapat dilihat pada Gambar 5.13 berikut ini:

(a) Benda uji Monolit (SBKM)

(b) Benda uji Pracetak (SBKP)Gambar 5.13 Hysteretic Energy

Dari Gambar 5.13 di atas dapat dilihat bahwa benda uji monolit (SBKM) memiliki hysteretic energy lebih besar dibandingkan benda uji pracetak (SBKP). Hal ini menunjukkan bahwa benda uji monolit memilki redaman (dissipation) yang lebih baik. Energi redaman yang besar dapat meningkatkan kemampuan struktur dalam menyerap beban yang diberikan.

J. Potensial Energy (PE)Potensial energy merupakan kemampuan struktur melakukan gerakan atau gaya dalam (internal force) dari struktur tersebut pada setiap siklus. Hasil perhitungan potensial energy dapat dilihat pada Lampiran 5, sedangkan perbandingan untuk benda uji monolit dan pracetak dapat dilhat pada Gambar 5.14 dan Gambar 5.15.

Gambar 5.14 Potensial Energy benda uji monolit (SBKM)

Gambar 5.15 Potensial Energy benda uji pracetak (SBKP)

Seperti yang terlihat pada Gambar 5.14 dan Gambar 5.15, benda uji monolit memiliki energi potensial yang lebih besar dibandingkan benda uji pracetak. Energi potensial merupakan energi maksimum yang dimiliki oleh benda uji untuk melakukan usaha (gaya kali jarak) pada beban dan simpangan maksimum, secara geometri ditunjukkan sebagai luasan ACB dan AED seperti dijelaskan pada Gambar 3.4 pada Bab III. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penggunaan bataton akan mengurangi energi potensial.

K. Equivalent Viscous Damping Ratio (EVDR)Equivalent Viscous Damping Ratio merupakan gambaran besarnya redaman struktur dalam menerima beban luar. Nilai EVDR pada benda uji monolit dan benda uji pracetak dihitung dengan Persamaan 3.6. Hasil perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 5, sedangkan perbandingannya dapat dilihat pada Gambar 5.16 berikut ini:

Gambar 5.16 Equivalent Viscous Damping Ratio (EVDR)

Pada Gambar 5.16 dapat dilihat bahwa nilai redaman tidak jauh berbeda antara benda uji monolit dan benda uji pracetak. Sehingga dapat dikatakan bahwa penggunaan bataton pada struktur tidak memberikan dampak yang besar terhadap peningkatan maupun penurunan nilai redaman. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan (Widodo, 2001) bahwa efektifitas gaya redaman tergantung pada lamanya pembebanan. Penyerapan energi akan sangat efektif apabila struktur mempunyai rasio redaman cukup besar dan durasi pembebanan yang relatif lama. Redaman yang efektif selanjutnya akan banyak mengurangi atau mengeliminasi goyangan pada struktur. Menurut Pas (1985), rasio redaman pada sistem struktur biasanya kurang dari 20% dari redaman kritis ( < 0,2). Benda uji monolit dan benda uji pracetak pada penelitian ini memiliki redamanan berkisar antara 6%-14%.

L. Prosedur Analisis Statik Nonlinier dengan Analisis Pushover1. Penentuan beban dorong lateralBeban dorong lateral atau Plat, ditentukan dari beban gempa statik ekuivalen (Fi) untuk portal monolit dapat dilihat pada Tabel 5.7, Gambar 5.17 dan Gambar 5.18 berikut ini:Tabel 5.7 Beban dorong lateral (Plat) Portal MonolitLantai iElevasi lantai dari dasar (Hi) (m)Plateral per lantai (kN)Plateral per kolom (kN)

Atap7,058,4574,871

Lantai3,547,9253,993

106,38

Gambar 5.17 Penempatan beban dorong portal monolit lateral arah sumbu X pada model struktur SAP2000

Gambar 5.18 Penempatan beban dorong portal monolit lateral arah sumbu Y pada model struktur SAP2000

Sedangkan beban gempa statik ekuivalen (Fi) untuk portal pracetak dapat dilihat pada Tabel 5.8, Gambar 5.19 dan Gambar 5.20.Tabel 5.8 Beban dorong lateral (Plat) Portal PracetakLantai iElevasi lantai dari dasar (Hi) (m)Plateral per lantai (kN)Plateral per kolom (kN)

Atap7,055,6944,641

Lantai3,545,8623,821

101,56

Gambar 5.19 Penempatan beban dorong portal monolit lateral arah sumbu X pada model struktur SAP2000

Gambar 5.20 Penempatan beban dorong portal monolit lateral arah sumbu Y pada model struktur SAP2000Tahapan perhitungan beban gempa statik ekuivalen pada portal monolit maupun pracetak dapat dilihat pada Lampiran 6.2. Pendefinisian sendi plastisAdapun tahapan melakukan pendefinisian sendi plastis pada balok dan kolom telah dijelaskan diawal. Sebelum pendefinisian sendi plastis, maka harus dilakukan analisis untuk memperoleh hubungan momen-curvature (Lampiran 6). Hasil akhir hubungan momen-curvature pada balok maupun kolom dapat dilihat pada Gambar 5.21.

(a). Hubungan moment-curvature balok

(b). Hubungan moment-curvature kolomGambar 5.21 Hubungan moment-curvature Hubungan moment-curvature seperti terlihat pada Gambar 5.21 tersebut kemudian didefinisikan pada portal di SAP2000. Untuk pendefinisian sendi plastis pada portal monolit terlihat pada Gambar 5.22 dan Gambar 5.23, sedangkan untuk selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6.

Gambar 5.22 Hubungan moment-curvature balok monolit pada SAP2000

Gambar 5.23 Hubungan moment-curvature kolom monolit pada SAP2000

Selain hubungan moment-curvature, pada kolom akan dilakukan pendefinisian tentang diagram interaksi. Pada Gambar 5.24 akan ditunjukkan diagram interaksi yang ditempatkan pada kolom portal monolit untuk sudut 00 (P-M2-M3), sedangkan untuk sudut 450 dan 900 pada portal monolit maupun pracetak dapat dilihat pada Lampiran 6.

Gambar 5.24 Kuva Interaksi P-M2-M3 pada kolom portal monolit

3. Pendefinisian kasus analisisAnalisis pushover dilakukan dengan memberikan beban dorong lateral pada struktur gedung dengan pola tertentu. Pola beban lateral tersebut diperoleh dari beban gempa nominal statik ekuivalen. Analisis pushover dilakukan dalam dua tahap pembebanan, yaitu:a. Struktur gedung dibebani oleh beban gravitasi, yaitu kombinasi beban mati dan beban hidup. Pada tahap ini, sudah diperhitungkan kondisi nonlinier.b. Analisis dilanjutkan dengan memberikan pola beban dorong lateral pada struktur. Beban dorong lateral ini diberikan secara monotonic bertahap, dan secara otomatis dilakukan oleh SAP2000.

Pada tahap pembebanan gravitasi dapat dilakukan melalui menu Define-Analysis Case-Add New Case. Nama analisis ini adalah GRAV, tipe analisis ditentukan Static-Nonlinier. Tipe beban gravitasi yang digunakan dalam analisis disesuaikan dengan pembebanan pada portal dan scale factor yang digunakan adalah 1,0 untuk DEAD dan 0,3 untuk beban LIVE. Hasil pendefinisian tahap ini dapat dilihat pada Gambar 5.25 berikut ini:

Gambar 5.25 Pendefinisian analysis case data untuk pembebanan tahap pertama dari analisis pushover

Pendefinisian tahap kedua juga dilakukan melalui menu Define-Analysis Case-Add New Case. Nama analisis ini adalah POLAT, tipe analisis ditentukan Static-Nonlinier. Tahap ini dilakukan setelah tahap pembebanan GRAV selesaI, maka opsi Continue from State at End of Nonlinier Case diaktifkan, dengan berakhirnya analisis GRAV merupakan permulaan dari tahap kedua. Tipe beban adalah beban gempa nominal static ekuivalen, yaitu LAT dengan scale factor yang digunakan 1,0. Pendefinisian tahap ini dapat dilihat pada Gambar 5.26.

Gambar 5.26 Pendefinisian analysis case data untuk pembebanan Tahap kedua dari analisis pushover

Pembebanan tahap dua pada Gambar 5.26 di atas adalah pembebanan LAT arah X, sedangkan pada analisis ini dilakukan terhadap arah X maupun arah Y yang kemudian diambil nilai rata-rata. Kontrol aplikasi pembebanan yang ditentukan adalah Displacement Control. Titik kontrol ditentukan sedemikian rupa sehingga titik tersebut dapat mewakili titik berat dari lantai atap, dalam hal ini untuk portal monolit adalah titik 25. Perpindahan titik kontrol ditentukan sebesar 1 m. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 5.27 dan parameter-parameter nonlinier yang didefinisikan dapat dilihat pada Gambar 5.28.

Gambar 5.27 Pendefinisian kontrol penerapan beban pada analisis static nonlinier

Gambar 5.28 Pendefinisian parameter-parameter nonlinier4. Metode Spektrum Kapasitas (ATC-40)Kurva kapasitas yang masih dalam bentuk hubungan gaya geser dan perpindahan atap, selanjutnya akan dikonversikan oleh SAP2000 menjadi bentuk Spektrum Kapasitas, yaitu dalam format Acceleration Displacement Response Spectra (ADRS) dalam hubungan Sa dan Sd. Demikian juga dengan parameter spektrum respon yang telah didefinisikan, yaitu spektrum respon wilayah 4 yang dinyatakan dalam satuan percepatan , Sa (m/det2) dan periode struktur, T (detik), oleh SAP2000 dirubah ke dalam format ADRS menjadi spectrum demand.Spektrum kapasitas dan spectrum demand yang dihasilkan program SAP2000 dapat dilihat melalui menu Display-Show Static Pushover Curve dan pilih ATC-40 Capacity Spectrum. Parameter-parameter spectrum kapasitas ATC-40 kemudian dimodifikasi sesuai kondisi lapangan. Untuk Demand Spectrum Definition dipilih User Coeffs kemudian Ca dan Cv diisi sesuai wilayah gempa yaitu Ca = 0,28 dan Cv = 0,42, dimana struktur tipe B merupakan struktur dengan kondisi eksisting sedang (average) dan durasi goyangan struktur (shaking duration) yang pendek (short). Hasil modifikasi parameter ATC-40 dapat dilihat pada Gambar 5.29 berikut ini:

Gambar 5.29 Modifikasi parameter spektrum kapasitas ATC-40

Titik kinerja (performance point) merupakan perpotongan antara kurva spektrum kapasitas dan spektrum demand dalam format ADRS. Titik menunjukkan bagaimana kekuatan struktur dalam memenuhi suatu demand beban yang diberikan. Titik kinerja ini secara otomatis dihasilkan oleh program SAP2000 sesuai dengan prosedur ATC-40. Kurva kapasitas dalam format ADRS dan titik kinerja yang dihasilkan pada portal monolit untuk arah gempa X dapat dilihat pada Gambar 5.30.

Gambar 5.30 Performance point portal monolit arah gempa X

Titik kinerja struktur pada portal monolit maupun portal pracetak yang dihasilkan oleh Metode Spektrum Kapasitas ATC-40 (1996) untuk wilayah gempa 4 dirangkum pada Tabel 5.9. Perbandingan gaya geser dasar (Vt) yang diperoleh pada saat titik kinerja struktur dicapai dapat dilihat pada Gambar 5.31.Tabel 5.9 Titik kinerja struktur menurut ATC-40 (1996)Model struktur dan arah pembebanan pushoverPerformance point (ATC-40)

Vt(kN)Dt(m)SaSdTeffBeff

Monolit - X105,2160,0360,4900,0300,4290,122

Monolit - Y100,8210,0380,4710,0320,5220,135

Pracetak - X79,8530,0580,5780,0480,5750,082

Pracetak - Y79,3010,0640,5760,0530,6090,085

Gambar 5.31 Perbandingan gaya geser dasar Vt

Dari Tabel 5.9 dan Gambar 5.31 dapat dilihat bahwa rerata gaya geser dasar model monolit sebesar 103,0185 kN, sedangkan gaya geser dasar pada model pracetak terjadi penurunan sebesar 22,75%.

5. Penentuan faktor daktilitas () dan faktor reduksi gempa (R) berdasarkan FEMA 356.Perhitungan berdasarkan FEMA 356 ini menggunakan waktu getar alami efektif (Teff) yang terdapat pada Tabel 5.9 yang digunakan untuk menghitung target perpindahan (t) dengan Persamaan 3.11. Sedangkan untuk penentuan (Vy) adalah dari idealisasi kurva pushover menjadi bilinier. Interpolasi nilai (Vy) pada kurva hubungan base reaction vs displacement akan diperoleh defleksi pada saat leleh (lihat Lampiran 6). Hasil rekapitulasi penentuan faktor daktilitas dan faktor reduksi gempa dapat dilihat pada Tabel 5.10.

Tabel 5.10 Target perpindahan, , R berdasarkan FEMA 356Model strukturt (m)R = 1,6 x

Model Monolit-X0,065751,9323,090

Model Monolit-Y0,080182,2753,639

Rata-rata0,07292,10353,3645

Model Pracetak-X0,097291,6192,591

Model Pracetak-Y0,107521,5222,435

Rata-rata0,102401,57052,513

Dari Tabel 5.10 dapat kita tentukan faktor daktilitas () dan faktor reduksi gempa (R) untuk perencanaan gedung pracetak dengan membandingkan hasil tersebut dengan faktor yang digunakan dalam penentuan beban statik ekuivalen berdasarkan SNI 03-1726-2002.

Hasil pengujian di laboratorium dilakukan perhitungan faktor daktilitas dan faktor reduksi gempa berdasarkan ketentuan SNI 1726-2002 (lihat Lampiran 2). Perbandingan hasil pengujian eksperimental dan pushover dapat dilihat pada Tabel 5.11 berikut ini:Tabel 5.11 Perbandingan nilai , R eksperimetal dan pushoverKeteranganR

Eksperimental SBKM 4,4396,639

Eksperimental SBKP3,8254,7041

Pushover3,956,34

Dari Tabel 5.11 maka dengan mengacu SNI 1726-2002, maka taraf kinerja struktur gedung berada pada taraf daktail parsial.6. Penentuan level kinerja strukturLevel kinerja struktur (structural performance levels) ditentukan melalui kriteria rasio simpangan struktur (structural drift ratio) yang diperoleh pada saat kinerja struktur tercapai. Dari Tabel 5.9 dapat dilihat bahwa simpangan yang terjadi pada model monolit maupun pracetak masih lebih kecil 1,0% (0,07 m), berdasarkan Tabel 3.2 maka struktur termasuk Immediate Occupancy. Sedangkan dari Tabel 5.10 dapat dilihat bahwa simpangan model monolit maupun pracetak berada dalam range 1,0% s/d 2%, dengan mengacu pada Tabel 3.1 dapat dikatakan bahwa struktur termasuk Life Safety. Hasil Metode Kapasitas Spektrum ATC-40 maupun FEMA 356 menunjukkan bahwa kinerja gedung dengan taget Life Safety telah terpenuhi.

7. Hirarki PlastifikasiPosisi elemen-elemen struktur yang mengalami kerusakan dapat ditunjukkan oleh SAP2000 melalui menu Display-Show Deformed Shape. Kemudian pada kotak dialog Deformed Shape dipilih kasus pembebanan POLAT dan step dibisa dilihat dari step awal sampai dengan step akhir. Salah satu kondisi terjadinya sendi platis pertama pada interior dapat dilihat pada Gambar 5.32 dan Gambar 5.33 berikut ini:

Gambar 5.32 Pola kerusakan pada portal monolit arah gempa-X (step 2)

Gambar 5.33 Pola kerusakan pada portal pracetak arah gempa-X (step 2)

BAB VIKESIMPULAN DAN SARAN

A. KesimpulanBerdasarkan hasil pengujian, pembahasan dan analisis data pada benda uji monolit dan benda uji pracetak, dapat disimpulkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:1. Benda uji monolit mempunyai kapasitas beban lateral maksimum rerata sebesar 26,45 kN dan benda uji pracetak 21,8 kN. Sehingga dalam aplikasi pada sistem monolit maupun pracetak tidak disarankan pada gedung yang memiliki gaya geser yang lebih dari pengujian ini.2. Hasil pengujian benda uji monolit (SBKM) menunjukkan bentuk hysteretic loop yang lebih besar dibandingkan dengan benda uji pracetak (SBKP). Hal ini menunjukkan bahwa benda uji monolit memiliki disipasi energi yang lebih besar.3. Benda uji monolit maupun pracetak memiliki Emax yang melebihi En, benda uji pracetak memiliki gaya puncak lebih kecil 0,75Emax, berdasarkan ACI T1.1-01 maka benda uji monolit maupun pracetak dapat digunakan pada sistem struktur rangka pemikul momen menengah (SRPMM) dengan faktor modifikasi respon (R) maksimum 6,0.4. Kekakuan rerata benda uji monolit pada saat leleh sebesar 0,52 kN/mm, sedangkan kekakuan benda uji pracetak terjadi penurunan sebesar 32,69% jika dibandingkan dengan benda uji monolit. 5. Daktilitas rerata benda uji monolit (SBKM) sebesar 4,38, sedangkan benda uji pracetak (SBKP) terjadi penurunan faktor daktilitas sebesar 12,55% terhadap benda uji monolit.6. Pengamatan pola retak menunjukkan terjadinya retak lentur pada balok dan beberapa retak geser pada kolom benda uji monolit maupun pracetak. Spalling pada benda uji pracetak lebih besar jika dibandingkan dengan benda uji monolit, selain karena mutu bataton yang relatif rendah hal ini juga terjadi karena air semen yang terdapat pada beton baru diserap oleh bataton yang kering sehingga untuk beton baru yang berdekatan dengan bataton tidak mengalami proses hidrasi dengan baik.7. Dari grafik hubungan antara hysteretic energy (HE) dan potensial energy (PE) terhadap siklus pengujian pada Gambar 5.13, Gambar 5.14 dan Gambar 5.12 dapat dilihat bahwa benda uji monolit memiliki hysteretic energy dan potensial energy lebih besar jika dibandingkan dengan benda uji pracetak.8. Nilai rerata EVDR benda uji monolit dan benda uji pracetak pada penelitian ini berkisar antara 6% -14%. Menurut Pas (1985), rasio redaman pada sistem struktur biasanya kurang dari 20% dari redaman kritis ( < 0,2). Untuk sistem ini, frekuensi redaman hampir sama dengan frekuensi sistem tak teredam.9. Nilai faktor daktilitas () dan faktor reduksi gempa (R) hasil pengujian yang didasarkan pada SNI 1726-2002 berturut-turut 4,439 dan 6,639 untuk benda uji monolit serta 3,825 dan 4,7041 untuk benda uji pracetak. 10. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa kekuatan benda uji monolit lebih besar dibandingkan benda uji pracetak, namun perbedaannya tidak terlalu signifikan. Perbedaan yang tidak terlalu signifikan ini dikarenakan penulangan benda uji monolit sama dengan benda uji pracetak sehingga perbedaan yang terjadi hanya disebabkan karena volume beton dengan mutu baik pada beton monolit lebih besar daripada benda uji pracetak. 11. Hasil analisis pushover dengan kriteria penerimaan berdasarkan Metode Kapasitas ATC-40 dan FEMA 356 menunjukkan bahwa target Life Safety pada struktur monolit maupun pracetak dapat tercapai.12. Nilai faktor daktilitas () dan faktor reduksi gempa (R) hasil pushover diperoleh masing-masing sebesar 3,95 dan 6,34, dengan taraf kinerja gedung daktail parsial.13. Kondisi benda uji monolit pada penelitian ini adalah kondisi yang tidak lazim digunakan dilapangan karena penulangan yang dilakukan mengikuti kondisi pracetak (selimut beton besar) sehingga perbedaan hasil monolit terhadap pracetak tidak terlalu signifikan. 14. Pelaksanaan benda uji bataton dapat mengurangi penggunaan bekisting namun relatif sulit pada saat penulangan dikarenakan penggunaan begel tertutup yang kecil untuk dapat dimasukkan pada lubang bataton.15. Penggunaan volume beton pada struktur pracetak ini tidak jauh berbeda dengan volume beton kondisi lazim di lapangan, namun dari segi kekuatan maka kondisi lazim lapangan akan lebih baik daripada kondisi pracetak bataton.

B. Saran1. Perlu diperhitungkan terlebih dahulu kapasitas alat yang tersedia sebelum melakukan pengujian dengan skala 1:1.2. Pemindahan load cell pada siklus tarik maupun tekan harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak mengganggu pembacaan LVDT.3. Perlu adanya LVDT dengan kapasitas yang lebih besar agar pada saat pengujian tidak perlu merubah posisinya dari kondisi awal.4. Perlu dilakukan pengujian pendahuluan tentang strain gauge, agar dapat dipahami dengan jelas perilaku strain gauge sebelum dan setelah baja mencapai leleh.5. Pada penelitian ini dapat dilihat bahwa benda uji monolit maupun pracetak memiliki kekuatan (strength) yang lebih tinggi dari kondisi ideal, namun kekuatan diperoleh setelah benda uji mengalami defleksi yang besar, maka untuk memperoleh hasil yang lebih baik maka disarankan melakukan perkuatan (strengthening) terhadap daktilitas.6. Perlu dilakukan pengujian untuk mendapatkan hubungan momen dan curvature sesuai dengan kemampuan alat yang tersedia sehingga analisis pushover dapat menggunakan data hasil pengujian eksperimental.7. Pembuatan bataton sebaiknya dapat menyediakan tempat penulangan yang baik sehingga dapat menyediakan lengan momen yang besar.8. Bataton sudah rusak pada saat beton mutu baik mencapai ultimit, sehingga disarankan menggunakan bataton dengan mutu lebih baik agar dapat memberikan konstribusi pada kekuatan dan durabilitas struktur.