teori hukum
TRANSCRIPT
SISTEM PERADILAN DI INDONESIA
SUATU TINJAUAN TEORI HUKUM
A. PENDAHULUAN
Negara Indonesia yang di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 telah menyatakan diri
sebagai Negara berdasarkan atas hukum. Pernyataan ini dengan jelas terlihat pada penjelasan umum
UUD 1945, yakni menyebutkan bahwa Negara berdasarkan atas hukum dan tidak berdasar atas
kekuasaan belaka. Konsekuensi pengakuan ini mengisyaratkan adanya lembaga pengadilan sebab
lembaga ini harus ada dan merupakan syarat bagi suatu Negara yang menamakan dirinya sebagai suatu
Negara Hukum, atau Negara berdasarkan atas Hukum.
Di Indonesia Sejak Pemerintahan India Belanda sebenarnya telah ada beberapa macam lembaga
pengadilan, hanya saja lembaga pengadilan tersebut sabgat berbeda, baik susunan,sumber
hukum,maupun peranannya dengan lembaga pengadilan yang ada sekarang. Pada masa Hindia Belanda
antara lain dikenal adanya Pengadilan Swapraja yaitu pengadilan dalam daerah Zelbestuur (Daerah
daerah yang berada dibawah pemerintahan raja dan sultan). Pengadilan ini mengemban tugas untuk
menciptakan keamanan, ketentraman, kesejahteraan pemerintah kerajaan. Susunan pengadilan terdiri
dari residen sebagai ketua pengadilan,dan sultan-sultan sebagai anggota dan misi pengadilan tersebut
tidak sesuai denagn pengadilan yang ada sekarang dan tidak sesuai pula dengan demokrasi pancasila
seperti yang pernah dikemukakan S.M Amin berikut ini1
Susunan pengadilan-pengadilan tersebut tidak lagi sesuai dengan keadaan di alam merdeka yang
berpemerintahan Demokratis. Pengadilan-pengadilan tersebut yang dikuasai oleh residen dengan
beranggotakan sultan-sultan, sukar dianggap memberikan keputusan-keputusan yang semata-mata
didasarkan atas pertimbangan pertimbangan hukum dan keadilan. Bagi ketua dan anggota-anggota yang
menjabat pula fungsi utama sebagai “besturdes”, sukar memberikan putusan yang objektif, yang tidak
dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan yang berurat kepada kepentingan-kepentingan
pemerintahan, sehingga rasanya tidaklah terjamin dalil kebebasan peradilan.
Kehadiran lembaga pengadilan di alam merdeka ini tidak sekedar menunjukan bahwa telah
meninggalkan model-model peradilan belanda yang cenderung memihak dan kurang objektif, melainkan
juga sebagai suatu bukti bahwa Negara Indonesia telah emmenuhi suatu syarat sebagai Negara yang
berdasarkan atas hukum, yaitu dengan terbentuknya badan-badan peradilan yang bebas dari campur
tangan kekuasaan lain. Dan yang lebih penting dengan hadirnya lembaga peradilan tersebut dimaksudkan
untuk mengawasi dan melaksanakan aturan-aturan hukum atau Undang-undang Negara atau dengan kata
lain untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Kehidupan manusia tidak terlepas akan tanggung jawabnya yang disebut sebagai kewajiban, baik
kewajiban antar sesama, kepada hukum, maupun kewajiban kepada sang Pencipta. Apabila manusia
1
dalam pergaulan sosialnya sadar akan tanggungjawab nya itu, maka akan tercipta keharmonisan dalam
kehidupan bermasyarakat. Namun seringkali manusia hanya mengingat haknya saja,tapi jika menyangkut
tanggung jawab atau kewajibannya, suka cari sribu dalih untuk mengingkarinya2. Dalam hal ini Hukum
juga membutuhkan sebuah lembaga yang dapat membantunya untuk melaksanakan fungsinya dalam
memberikan perlindungan hukum,kepastian hukum, menampung dan meyelesaikan berbagai konflik dan
sengketa hukum baik antar sesama individu, golongan, masyarakat, maupun pemerintah,sehingga dapat
terselenggaranya Negara Hukum berdasarkan Pancasila.
Dengan demikian Pengadilan sudah seharusnya menjadi lembaga yang berperan penting dalam
penegakan hukum di Indonesia,dimana dalam aktivitasnya mengolah konsep dan rumusan-rumusan
hukum yang sifatnya masih abstrak, kemudian mewujudkannya dalam suatu kepastian dan hukum dalam
penyelesaian-penyelesaian permasalahan hukum yang ada di masyarakat.
Undang-undang telah memberikan kedudukan pada lembaga pengadilan, yaitu sebagai salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat (Pasal 2 UU No.2 Tahun 1986). Oleh karena itu lembaga
pengadilan merupakan wadah bagi rakyat yang mencari keadilan, yang memiliki hak dan kewajiban untuk
meyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia3.
Disamping peranan yang ideal, lembaga pengadilan mempunyai peranan yang seharusnya.
Peranan ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 (UU tentang Pokok-Pokok Kekuasaan
Kehakiman) yakni pada pasal-pasal berikut :
1) Pasal 2 ayat 1 yang isinya sebagai berikut
“ Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman tercantum dalam pasal 1 diserahkan kepada badan-badan
peradilan dan ditetapkan dengan Undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa
dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya ”
2) Pasal 4 ayat 2 yang isinya sebagai berikut
“ Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan “
3) Pasal 5 yang isinya sebagai berikut
a. “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang “
b. “ Dalam perkara perdata pengadilan memantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-
kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapai peradilan yang
sederhana, cept dan biaya ringan.
4) Pasal 14 ayat 1 yang isinya sebagai berikut
“ Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan
dalih bahwa hukum tidak/kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”
2
Kedua peranan tersebut diatas belum memberikan arti bagi lembaga pengadilan sendiri maupun
kepada pencari keadilan, sebab apabila hanya berhenti terbatas kepada kedua peranan tersebut, berarti
lembaga pengadilan belum melakukan suatu peranan yang sebenarnya atau peranan yang aktual. Peran
aktual ini menyangkut perilaku nyata dari para pelaksana peranan, yakni para penegak hukum yang di
satu pihak menerapkan perundang-undangan, dan di lain pihak melakukan diskresi di dalam keadaan-
keadaan tertentu.
Lembaga pengadilan seperti juga pada organisasi lainnya, mempunyai tujuan tujuan baik yang
sudah ditetapkan dalam hukum positif maupun tujuan-tujuan yang dipilih atas dasar diskresi. Tujuan utama
lembaga pengadilan adalah terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Namun, pemilihan
terhadap suatu tujuan tersebut sering kali mengalami perubahan dan tidak selalu sama dari masa ke
masa. Perubahan ini dapat muncul karena adanya kebijaksanaan formal baik dari Negara maupun dari
lembaga pengadilan sendiri. Contoh mengenai perubahan ini terdapat dalam UU No.19 Tahun 1964 dan
UU No.14 Tahun 1970, kedua-duanya mengenai kekuasaan kehakiman. Pada UU pertama tujuan yang
dipilih adalah Masyarakat Sosialis Indonesia, sedangkan UU yang kedua, tujuan yang dipilih adalah
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.4
Tujuan lembaga pengadilan ini kembali berubah setelah berlakunya UU No.2 Tahun 1986 tentang
peradilan umum. Tampaknya tujuan Undang-undang yang dipilih berbeda dengan tujuan yang dipilih
dalam UU sebelumnya. Tujuannya adalah terwujudnya keadilan, kebenaran, kepastian hukum dan
ketertiban. Tujuan ini disimpulkan dari penjelasan umum UU No.2 Tahun 1986 yaitu sebagai berikut5:
“ Lebih dari itu, hal pokok tersebut merupakan masalah yang sangat penting dalam usaha mewujudkan suasana perikehidupan yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib seperti yang diamanatkan oleh Garis-garis Besar Haluan Negara. Oleh karena itu, untuk mewujudkannya dibutuhkan adanya lembaga yang bertugas menyelenggarakan keadilan dengan baik. Salah satu lembaga untuk menegakkan kebenaran dalam mencapai keadilan sebagaimana dimaksudkan dalam UU No.14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok kekuasaan Kehakiman, yang masing-masingmempunyai lingkup kewenangan mengadili perkara atau sengketa di bidang tertentu ”
Didalam hubungan-hubungan soasialnya, peranan pengadilan dapat dihubungkan dengan tugas-
tugas dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Bergesernya tugas dan tujuan-tujuan tersebut baik karena
adanya perubahan undang-undang maupun karena diskresi pengadilan akan berpebgarus kepada
3
peranan yang dilakukan oleh lembaga pengadilan. Dalam hal ini terjadi perubahan tujuan niscaya akan
terjadi pula perubahan pengadilan.
Perubahan tujuan pengadilan yang berakibat pula pada pada peranannya,dapat di contohkan
misalnya, pengadilan menentukan tujuan utamanya yakni, tercipatanya kerukunan dan perdamaian
diantara pihak-pihak yang bersengketa, dimana peranan pengadilan di sini adalah merukunkan dan
mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa itu dengan jalan mediasi maupun secara kompromi. Akan
tetapi, karena tujuan utama ini tidak berhasil, maka terjadi pergeseran kepada tujuan lainnya, misalnya
adalah penegakkan hukum. Dengan berubahnya tujuan utama tersebut menunjukan pula berubahnya
peranan, yaitu bukan lagi mendamaikan atau merukunkan, tetapi peranan pengadilan disini adalah
menetapkan secara tegas apa yang dihadapinya dan menentukan pula pihak-pihak yang dinyatakan
melanggar peraturan hukum itu.
Penyelesaian sengketa dimana aspek damai dan kerukunan menjadi tujuan utamanya, tampak
terlihat pada perkara perdata. Setiap perkara perdata yang diajukan ke pengadilan, pengadilan tidak
langsung memeriksa dan mengadili serta menetapkan aturan hukuman, tetapi terlebih dulu mengajak
pihak-pihak berdamai. Disini jelas terlihat peranan lembaga pengadilan tidak terlepas dari tujuan
baik,tujuan utama,maupun lainnya yang datang kemudian.
Peranan pengadilan yang tidak kalah pentingnya adalah menjadikan dirinya sebagai wadah
integrasi dari berbagai kepentingan, baik kepentingan Negara, kepentingan hukum, maupun kepentingan
masyarakat. Lembaga pengadilan sebagai sarana integrasi harus mampu menyeimbangkan ketiga
kepentingan itu sehingga tidakada satu kepentingan yang di dominankan sementara mengabaikan
kepentingan lainnya.
Kepentingan Negara harus terwakili dalam proses-proses penyelenggaraan peradilan, serta harus
mendapat legitimasi atau berdasarkan pada hukum, dan tidak mengorbankan kepentingan rakyat,
demikian pula sebaiknya. Oleh karena itu,putusan lembaga pengadilan sebagai lembaga integrasi harus
memuat dan mewakili ketiga kepentingan itu sehingga semakin memantapkan terwujudnya keadilan yang
menjadi tujuan utamanya.
Jika dikelompokkan, terdapat peran yang di emban oleh lembaga peradilan yang sifatnya yuridis
formal6 dan terdapat pula peran yang bersifat yuridis materiil. Peran yuridis formal yang dimaksud adalah
peran yang dijalankan oleh lembaga peradilan berdasarkan ketentuan undang-undang, yaitu
melaksanakan peraturan perundang-undangan melalui kegiatan berupa menerima,memeriksa, mengadili,
dan menjatuhkan putusan. Sedangkan Peran Yuridis Materiil adalah peran yang dijalankan oleh lembaga
4
pengadilan berdasarkan hati nurani, diskresi, dan kondisi-kondisi sosial politik tertentu melalui berbagai
bentuk kegiatan kearah tegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia, ketertiban, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang telah di amanatkan
dalam konstitusi 1945.
Dengan demikian, jika lembaga pengadilan ditempatkan pada dataran konstitusi dan Ideologi
Pancasila, peranan pengadilan tidaklah sekedar melaksanakan tugas yuridis dengan mengotak atik dalam
penerapan aturan-aturan hukum formal dalam memutus perkara yang dihadapinya, melainkan pula harus
mengambil peran lain yakni peran politik, yang berarti bahwa pengadilan harus juga berpolitik dan
memperjuangkan ideologi. Peran Politik ini juga meliputi keterlibatan MA untuk secara sadar membawa
perahu Negara ini menuju kepada tujuan seperti tercantum dalam konstitusi7.
Dalam hukum acara pidana maupun dalam berbagai peraturan-peraturan lainnya termasuk juga
dalam praktik peradilan dikenal adanya beberapa prinsip yang menjadi dasar di dalam menyelesaikan
perkara pidana. Prinsip ini tidak secara riil tertuang atau tersurat di dalam peraturan perundang-undangan
namun harus tercermin di dalam peraturan perundang-undangan itu. Prinsip ini ada yang bersifat umum
yang artinya dapat berlaku pada semua tingkatan pemeriksaan, baik pada tingkat penyelidikan,penyidikan,
pada tingkat penuntutan maupun pada tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan. Selain itu ada yang
bersifat khusus dimana prinsip ini hanya boleh berlaku pada pemeriksaan tertentu dan tidak berlaku pada
semua tingkatan pemeriksaan sebelum pengadilan menyatakan kesalahannya itu.
Permasalahan yang muncul saat ini adalah hukum tidak berjalan sesuai dengan nilai-nilai dasar
dibentuknya hukum itu sendiri.Belum terlihat ada suatu perubahan hukum ke arah yang lebih baik karena
hukum kita masih dependen pada sumber daya ekononomi dan politik. Reformasi hukum masih sulit untuk
dijalankan. Alasannya secara politik dan ekonomi, peranan hukum melegitimasi keputusan-keputusan
politik dan ekonomi dimana hukum menjadi subordinasi dari kekuasaan.
Peradilan Indonesia saat ini dipenuhi kontroversi demi kontroversi. Apabila dirangkum dalam
suatu kesimpulan umum, berbagai kontroversi tersebut dapat dilihat mulai dari lambatnya proses
penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan suatu
kasus, banyaknya pungutan di luar biaya administrasi resmi saat kasus telah masuk ke pengadilan, proses
penundaan persidangan tanpa alasan yang jelas sampai kepada pelaksanaan putusan pengadilan yang
kadang kala tidak jelas waktunya. Semua hal tersebut diperparah dengan sering munculnya putusan
pengadilan yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat, sehingga tidak heran apabila dalam
sebuah media nasional pernah disebutkan bahwa seorang koruptor yang “merampok” uang negara
milyaran rupiah hukumannya tidak beda jauh dengan seorang yang maling karung bawang merah di
5
pasar. Selain itu dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat
diperoleh data bahwa aktor-aktor yang terlibat pun sudah demikian luas, yaitu dimulai dari seluruh aparat
penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, sipir penjara dan advokat), pegawai administrasi dengan pangkat
tertinggi sampai dengan pangkat terendah di lembaga penegakan hukum, sampai dengan kalangan
intelektual yang menjadi saksi ahli.
Fakta yang secara selintas disebutkan di atas menyebabkan berbagai laporan lembaga di dalam
maupun luar negeri yang menyebutkan Indonesia sebagai salah satu Negara dengan tingkat korupsi
tertinggi di dunia menjadi cukup valid dan tidak dapat disanggah sama sekali. Bahkan Daniel Kauffmann
yang secara khusus menyoroti praktek korupsi di lembaga peradilan, dalam laporannya menunjukkan
bahwa Indonesia termasuk negara yang berada pada posisi yang cukup memprihatinkan berkaitan dengan
kinerja aparat pada lembaga penegakan hukumnya.
Sebagai suatu sistem, kinerja pengadilan sekarang ini berada pada titik titik yang cukup
mengkhawatirkan. Berbagai keluhan baik dari masyarakat dan para pencari keadilan seolah-olah sudah
tidak dapat lagi menjadi media kontrol bagi lembaga tersebut untuk melakukan berbagai perbaikan
signifikan bagi terciptanya suatu system pengadilan yang ideal dan sesuai dengan harapan masyarakat.
Secara praktek, teori pengadilan yang mempunyai asas sederhana, cepat, biaya ringan di satu sisi dan
terciptannya suatu pengadilan yang bersih, transparan dan mengedepannkan nilai-nilai keadilan disisi lain
terlihat sudah sangat sulit untuk diharapkan dan ditemui dalam lembaga dan aparat pengadilan yang ada
saat ini8.
Hal tersebut bisa mengakibatkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
pengadilan semakin menipis dari hari kehari. Sedangkan disisi lain, ada tuduhan bahwa lembaga
pengadilan dan kekuasaan kehakiman pada umumnya sudah tidak independen lagi dan mandiri dalam
menjalankan kinerja serta mengeluarkan putusan putusannya. Selain maraknya korupsi,kolusi, dan
nepotisme dalam proses penyelesaian perkara, adanya campur tangan pihak eksekutif dalam proses
peradilan menjadi salah satu indikasi ketidakmandirian lembaga pengadilan.
Intervensi pihak eksternal kepada kekuasaan kehakiman atau yudikatif ( dalam hal terutama oleh
kekuasaan Negara lainnya seperti eksekutif dan legislative ) akhirnya menjadi suatu masalah yang sangat
serius untuk dipikirkan pemecahannya, terutama setelah terdapat beberapa indikasi yang memperlihatkan
bahwa adanya suatu putusan yang “aneh-aneh”. Putusan tersebut biasanya terjadi dalam kasus-kasus
yang cukup populis dan melibatkan Negara (baik itu pejabat, lembaga ataupun keuangan Negara).
Sehingga disini akhirnya ungkapan terhadap politisasi terhadap berbagai kasus yang ada dipengadilan
menjadi sesuatu hal yang tak dapat dihindari untuk diakui9.
6
Berdasarkan hasil penelitian terdapat beberapa penyimpangan yang sering terjadi dalam proses di
pengadilan, yaitu sebagai berikut 10:
Tahapan Modus Operandi
Proses Persidangan 1. Indikasi terjadinya KKN dalam penunjukan hakim yang memeriksa perkara
dan terjadinya jual beli perkara
2. Hakim yang sama memeriksa beberapa perkara yang pada intinya sama
sehingga dikhawatirkan terjadi conflict of interest
3. Anggota Majelis Hakim ada yang diganti untuk beberapa kali persidangan.
4. Menunda pemeriksaan perkara secara berlarut larut
5. Persidangan dilakukan di luar ketentuan, yaitu terdakwa tidak di dampingi
penasihat hukum
6. Perlakuan Hakim terhadap terdakwa yang terkadang kurang baik,(terutama
dalam hal terdakwa adalah anak yang masih dibawah umur)11
Putusan 1. Pertimbangan hukum tidak berdasarkan fakta dan keadaan sebenarnya
2. Pelapor sebagai pihak berperkara tidak bisa mendapatkan salinan putusan
sampai saat mendaftarkan banding
3. Adanya putusan MA mengenai perkara yang sama dan saling kontradiktif
4. Pledoi atau duplik terkadang tidak menjadi bagian penting di dalam
pertimbangan membuat suatu putusan12.
Eksekusi 1. Eksekusi ditunda tanpa alasan yang jelas
2. Surat penetapan eksekusi diberikan sangat mendadak sebelum
pelaksanaan eksekusi dilakukan
3. Pemberitahuan pelaksanaan eksekusi diberikan kepada pelapor tanpa
adanya surat teguran terlebih dahulu
4. Keberatan atas penetapan eksekusi tidak mendapat tanggapan dan tidak
ditindaklanjuti oleh PN
5. Pelaksanaan elang dilakukan tanpa adanya tim penilai yang independen
sehingga harganya dibawah NJOP
Banding 1. Kesulitan untuk mengajukan kontra memori banding karena salinan
putusan belum diterima
2. Keterlambatan megirimkan berkas banding
3. Indikasi suap
Kasasi 1. Kelalaian mengirimkan berkas kasasi sehingga seringkali ada halaman
7
penting yang hilang
2. Perkara tertunda/ tidak juga selesai selama bertahun-tahun
PK 1. Putusan yang berbeda untuk 2 perkara yang sama, konstruksi landasan
yuridis sama, dan majelis hakim sama.
2. Pelapor tidak megetahui adanya PK karena tidak pernah menerima relaas
dari PN
Penyitaan 1. Objek sita tidak jelas,sita atas barang tidak bergerak diletakan diatas
barang bergerak.
2. Majelis hakim menetakan permohonan sita jaminan dalam waktu amat
singkat tanpa menunggu jawaban pelapor.
Apabila melihat berbagai penyimpangan yang terjadi sebagaimana diatas, maka dapat dikatakan
bahwa penyebab yang terjadi sebagaimana diatas selain dikarenakan oleh faktor sumber daya manusia,
juga dikarenakan oleh faktor sumber daya manusia, juga dikarenakan faktor manajemen dan administrasi.
Oleh karena itu, apabila lembaga pengadilan mempunyai itikad baik untuk memperbaiki segala
kekurangannya tersebut, pembenahan manajemen administrasi, manajemen organisasi dan manajemen
sumber daya manusia mutlak harus dilakukan secara komprehensif.
Berdasarkan latar belakang diatas,dalam tulisan ini penulis bermaksud mengangkat suatu
fenomena lainnya dimana peranan peradilan sudah tidak dijalankan lagi sesuai dengan fungsi dan
tugasnya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, serta kewajibannya untuk memberikan kepastian
hukum bagi masyarakat serta. Contoh kasus ini di ambil dalam suatu perkara Pidana Pro bono dengan
Penetapan Pengadilan Nomor 505/Pen.Pid.B/2009/PN.BKS dalam perkara NO.REG.PDM.
243/II/BEKASI/02/2009, Pengadilan Bekasi.
8
Berdasarkan Surat Dakwaan NO.REG.PDM-243/II/BEKASI/03/2009 tertanggal 5 Maret 2009 dan Surat Tuntutan NO REG.PDM.243/II/BEKASI/02/2009 tertanggal 13 Mei 2009 dimana tuntutan Jaksa Penuntut Umum sebagai berikut :
MENUNTUTSupaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bekasi yang memeriksa dan
mengadili perkara ini memutuskan :1. Menyatakan terdakwa MOHAMMAD ILHAM ALIAS BOTAK BIN ADUL
HAIR, “BERSALAH” melakukan tindak pidana “bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal mengetahui atau sepatutnya dapat menduga bahwa umurnya belum lima belas tahun” sebagaimana diatur dalam pasal 287 (1) KUHP.
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa MOHAMMAD ILHAM ALIAS BOTAK BIN ADUL HAIR, dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dikurangi selama terdakwa berada di dalam tahanan, dengan perintah terdakwa tetap ditahan.
3. Menyatakan barang bukti berupa :- 1 (satu) lembar akta kelahiran. Tiara Indah Sujatri yang dikeluarkan
oleh kantor catatan sipil Jakarta Jeans- 1 (satu) helai kemeja warna putih- 1 (satu) helai celana jeans pendek warna biru.- 1 (satu) helai tanktop garis-garis hitam, 1 (satu) helai celana dalam
warna pink, 1 (satu) helai BH warna cream, 1 (satu) helai jaket putih gabar mickey mouse.Dikembalikan kepada saksi Tiara Indah
4. Menetapkan supaya terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000 (seribu rupiah)
Kemudian di dalam Pledoi nya, berdasarkan analisa yuridis Tim Penasihat Hukum terdakwa mengemukakan sebagai berikut :
Maka pembahasannya sebagai berikut :1. unsur barang siapa;2. unsur bersetubuh dengan seorang wanita diluar pernikahan.Ad. 1. Unsur Barang Siapa
Bahwa yang dimaksud unsur “barang siapa” adalah semua orang atau siapa saja yang merupakan subyek Hukum Pidana dan kepadanya dapat dipertanggung jawabkan secara Hukum. Dalam perkara ini yang dimaksud adalah Terdakwa MOHAMMAD ILHAM, yang telah mengakui identitasnya sebagaimana tersebut dalam dakwaan dan sepanjang persidangan.Ad. 2. unsur bersetubuh dengan seorang wanita diluar pernikahan.
Bahwa subyek hukum yang di maksud didalam pasal 287 ayat (1) tersebut adalah pria yang bersetubuh dengan wanita yang bukan istrinya.
9
Dan di dalam Dupliknya, Tim Pebasehat Hukum Mengemukakan sebagai berikut :
Setelah kita mendengarkan Replik yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan tanggal 28 Mei 2009 dan setelah kami baca dan telaah kembali, terdapat ketidak sepahaman dalam mengupas unsur unsur yang terdapat dalam pasal 287 KUHP.
Jika kita mengulas kembali pada surat tuntutan Jaksa Penntut Umum pada tanggal 13 Mei 2009, telah di kemukakan bahwa , terdakwa Mohammad Ilham telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 287 ayat 1 KUHP.
Dalam hal ini, kami ingin menanggapi pernyataan Jaksa Penuntut Umum yang pada repliknya yang mengatakan bahwa kami, tim penasehat hukum tidak menguraikan semua unsur yang ada pada pasal 287 ayat 1 tersebut secara menyeluruh (komprehensif).
Setelah kita mendengarkan Replik yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan tanggal 28 Mei 2009 dan setelah kami baca dan telaah kembali, terdapat ketidak sepahaman dalam mengupas unsur unsur yang terdapat dalam pasal 287 KUHP.
Unsur pertama dan ketiga adalah unsur yang tidak memerlukan penjelasan yang komprehensif, karena dapat di mengerti. Adapun unsur yang ingin kami bahas secara komprehensif pada duplik ini adalah unsur kedua : bersetubuh dengan wanita diluar pernikahan.
Kami juga ingin menanggapi pernyataan Jaksa Penuntut Umum di dalam repliknya yang menyatakan bahwa kami Penasihat Hukum telah keliru menafsirkan unsur pasal 287 KUHP tersebut, karena dalam uraian unsur yang dibahas di dalam pledoi lebih mengarah kepada unsur pasal 284 (perzinahan / overspel). Dalam hal ini kami tidak sependapat dengan Jaksa penuntut umum, menurut pemahaman kami Tim Penasihat Hukum, pasal 284-298 KUHP adalah Pasal pasal mngenai perzinahan / Overspel.
Perzinahan / Overspel dalam KUHP karangan R. Sugandi, S.H. Penerbit Usaha Nasional; Hal 300 adalah Persetubuhan yang dilakukan oleh laki –laki dan perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istrinya atau suaminya. Kesimpulan :
(1)Unsur barang siapa : Terdakwa Mohammad Ilham, Mohammad Hariono, dan Yusup Pusri adalah individu yang tidak atau terikat perkawinan yang sah menurut Agama dan Negara.
(2)Saksi korban, Tiara Indah adalah perempuan yang belum / tidak terikat perkawinan secara sah menurut agama dan Negara.
(3)Persetubuhan yang terjadi antara terdakwa Mohammad Ilham, Mohammad Hariyono dan Yusup Pusri dengan saksi korban, Tiara Indah tidak memenuhi definisi zinah / Overspel yang disebut diatas.
(4)Kitab Undang Undang Hukum Pidana tidak mengatur hubungan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang belum atau tidak terikat oleh perkawinan. Jika kita mengulas kembali pada surat tuntutan Jaksa Penuntut
Umum pada tanggal 13 Mei 2009, telah di kemukakan bahwa , terdakwa Mohammad Ilham telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 287 ayat 1 KUHP.
Dalam hal ini, kami ingin menanggapi pernyataan Jaksa Penuntut
10
Di dalam pasal 287 ayat 1 KUHP, terdapat beberapa unsur yaitu : (1)barang siapa,
Sudah dianggap jelas seperti yang telah diuraikan dalam Pledoi kami sebelumnya.
(2)bersetubuh dengan seorang wanita diluar pernikahan, (3)di duga bahwa umurnya belum 15 tahun.
Sudah dibuktikan berdasarkan akta kelahiran saksi korban.Unsur pertama dan ketiga adalah unsur yang tidak memerlukan
penjelasan yang komprehensif, karena dapat di mengerti. Adapun unsur yang ingin kami bahas secara komprehensif pada duplik ini adalah unsur kedua : bersetubuh dengan wanita diluar pernikahan.
Kami juga ingin menanggapi pernyataan Jaksa Penuntut Umum di dalam repliknya yang menyatakan bahwa kami Penasihat Hukum telah keliru menafsirkan unsur pasal 287 KUHP tersebut, karena dalam uraian unsur yang dibahas di dalam pledoi lebih mengarah kepada unsur pasal 284 (perzinahan / overspel). Dalam hal ini kami tidak sependapat dengan Jaksa penuntut umum, menurut pemahaman kami Tim Penasihat Hukum, pasal 284-298 KUHP adalah Pasal pasal mngenai perzinahan / Overspel.
Perzinahan / Overspel dalam KUHP karangan R. Sugandi, S.H. Penerbit Usaha Nasional; Hal 300 adalah Persetubuhan yang dilakukan oleh laki –laki dan perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istrinya atau suaminya. Kesimpulan :
(5)Unsur barang siapa : Terdakwa Mohammad Ilham, Mohammad Hariono, dan Yusup Pusri adalah individu yang tidak atau terikat perkawinan yang sah menurut Agama dan Negara.
(6)Saksi korban, Tiara Indah adalah perempuan yang belum / tidak terikat perkawinan secara sah menurut agama dan Negara.
(7)Persetubuhan yang terjadi antara terdakwa Mohammad Ilham,
Kemudian Hakim Pengadilan Negeri Bekasi dalam putusannya, memutus 2/3 dari tuntutan Jaksa
Penuntut Umum,yaitu masing-masing terdakwa menjalani pidana kurungan selama 4 tahun di kurangi
masa penahanan. Jika kita cermati satu persatu unsur hukum yang dibahas dalam perkara diatas, dalam
proses persidangan terdapat beberapa penyimpangan dan kesalahan penafsiran hukum, sehingga yang
seharusnya bebas dari segala tuduhan hukum, karena terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 287 ayat 1 KUHP tersebut, tetapi tetap
dikenakan hukuman seperti yang telah diputuskan Hakim Pengadilan Negeri tersebut. Dalam perkara
diatas juga dapat dilihat bagaimana sistem peradilan kita masih jauh dari das sein (kenyataan) dan das
sollen (harapan),oleh karena itu penulis mencoba membahasnya dalam asas-asas teori hukum yang ada
dalam bab di bawah ini.
B. KEADILAN
Dalam Teori hukum, Terdapat 3 Jenis keadilan13 :
Keadilan Umum (General Justice): Mewujudkan keadilan bersama bagi masyarakat (COMMON
GOOD OF ONE’S COMMUNITY).
Keadilan Distributif (DISTRIBUTIVE JUSTICE): Kesetaraan
(COMMUTATIVE JUSTICE) : Keadilan dalam hubungan hukum antar para pihak, misalkan kontrak,
ganti rugi dalam peristiwa melawan hukum.
Menurut Apeldorn ;
Keadilan bukan penyamarataan
1 Dr. Rusli Muhammad, S.H.,M.H., Potret Lembaga Pengadilan Indonesia (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2006),hlm. 2.2 Bismar Siregar, Bunga Rampai Karangan Terbesr Bismar Siregar (Bandung, Alumni,1984) Hlm.43 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta: rajawali,1983),Hlm 11.4 Satjipto Raharjo, Masalah Penegakan Hukum (Bandung: Penerbit Sinar Baru,19),hlm.77.5 C.S.T Kansil. Kitab Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (KUKK) (Jakarta: Bina Aksara) hlm.676 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan dan Pengembangan Hukum Pidana (Bandung: Aditya Bakri, 1998) Hlm 7.7 Op.Cit hlm.28 Asep Rahmat Fajar S.H, Wajah Lembaga Peradilan Indonesia : Kenyataan dan Harapan, (Jakarta:Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia,www.pemantauperadilan.com)Hlm 1.9 Op.Cit hlm210 Pusat Data Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI-FHUI),(Jakarta:www.pemantauperadilan.com,2004)11,¹² Berdasarkan Observasi Penulis sewaktu magang di Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM) Pengadilan Negeri Bekasi (Maret-Juni 2009)12
13 Zaenal arifin Mochtar,Panorama Teori Hukum dan Keadilan,www.psp.ugm.ac.id (Jogjakarta,2009)11
Keadilan bukan berarti setiap orang memperoleh bagian yang sama.
a. Substansi
Penyelenggaraan peradilan di Indonesia di atur dalam Undang-undang Republik Indonesia No 4 tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Dalam beberapa pasal disebutkan sebagai berikut ;
Pasal 1 : “ Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum demi keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia “
Pasal 5 ;
(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang
(2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan
untuk tercapainya pengadilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
Pasal 6:
(1) Tidak seorangpun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain dari pada yang di tentukan oleh
Undang-udang,.
(2) Tidak seorangpun dapat dijatuhi hukuman pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat
pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang
dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan dirinya.
Jika dikaitkan dari permasalahan hukum yang telah penulis bahas diatas, maka pelaksanaan sistem
peradilan di Indonesia, belum sesuai dengan Undang-undang tersebut. Faktanya :
(1) Belum adanya keadilan seperti yang di harapkan seperti yang tertulis pada pasal 1 tersebut,
dimana ketika seorang terdakwa tidak terbukti bersalah atas unsur-unsur yang di dakwakan, tetapi
pengadilan tidak menjalankan sebagaimana mestinya dengan tidak mencermati unsur demi unsur
yang tertuang pada pasal 287 ayat 1 KUHP tersebut.
(2) Pada pasal 5,faktanya adalah Hukum di Indonesia masih mengadili dengan membeda-bedakan
orang. Dalam perkara yang penulis bahas diatas, perkara tersebut adalah perkara probono
dengan mendapat penetapan dari Pengadilan, dimana terdakwa dalam kondisi ekonomi yang
kurang, dan dengan segala keterbatasannya untuk membayar biaya perkara, sehingga
dikeluarkannya penetapan yang menetapkan sebuah lembaga bantuan hukum untuk memberikan
bantuan hukum. Jika kita membuka mata pada kasus-kasus besar yang marak terjadi di Negara
ini, terdapat kesenjangan yang besar ketika koruptor,atau seorang yang melakukan kejahatan
besar,tetapi karena status sosial dan ekonominya berada di kalangan tertentu,maka terdapat
perbedaan perlakuan dimana peradilan tidak terlalu rumit dan dipersulit. Tapi tidak demikian
dengan terdakwa dalam perkara yang penulis bahas diatas,sekalipun mereka tidak mendapatkan
keadilan demi hukum sesuai yang diharapkan, mereka dengan kondisi ekonomi yang sulit tidak
12
bisa melakukan upaya hukum lainnya seperti banding atau kasasi.Sehingga pada akhirnya
mereka harus menjalani apa adanya sesuatu dalam ketidakadilan.
(3) Pada pasalnya yang keenam juga tidak berjalan dalam faktanya proses peradilan itu sendiri.
Sekalipun unsur-unsur yang terdapat dalam dakwaan maupun tuntutan tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan, terdakwa tersebut tetap dihukum.
b. Struktur
Tinjauan terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum, yang dibahas adalah isi tuntutan.
(1) Apakah tuntutan tersebut sesuai dengan fakta yang terungkap dalam persidangan atau tidak?
(2) Apakah unsur-unsur dari pasal yang didakwakan itu sesuai dengan rumusan pasalnya atu tidak?
Dalam perkara tersebut, Jaksa Penuntut umum menggunakan Pasal 287 ayat 1 KUHP, yang
dalam kutipan perkara diatas telah dibahas dalam Pledoi dan Duplik penasihat hukum tersebut tidak
memenuhi unsur di dalam pasal 287 ayat 1 KUHP tersebut. Karena KUHP sejauh ini tidak mengatur
hukuman mengenai perbuatan-perbuatan perzinahan. Perzinahan hanya diatur melalui norma-norma
yang ada dalam masyarakat seperti norma sosial, norma agama. Sehingga sanksi nya pun bukan
sanksi pidana, melainkan sanksi moral, dan agama.
Seseorang bersalah memang sudah sepatutnya mendapatkan hukuman yang setimpal. Dalam
perkara diatas pun memang terdakwa tersebut melakukan kesalahan. Kebenaran selalu bersifat
tunggal14. Dalam hal kebenaran telah di ambil oleh Jaksa, maka penasihat hukum maupun aparat
penegak hukum lainnyapun harus bersikat objektif. Namun yang wajib disoroti dalam perkara tersebut
adalah Undang-undang yang digunakan untuk mendakwa terdakwa. Karena yang sedang diadili itu
adalah manusia, maka segala hal yang menyangkut kehidupannya, wajib mempertimbangkan aspek-
aspek hak kemanusiannya. Menurut penulis sendiri, Undang undang yang tepat yang seharusnya
digunakan Jaksa Penuntut Umum adalah Undang-undang Perlindungan Anak, Pasal 81 ayat
215.Sehingga kekeliruan dalam menerapkan unadng-undang yang dilakukan oleh Jaksa penuntut
umum tersebut merugikan hak hidup terdakwa. Oleh karena itu, Jaksa Penuntut Umum harus lebih
cermat dan hati-hati dalam menggunakan pasal yang ada untuk melakukan tugasnya sebagai
penegak hukum menegakkan hukum dan keadilan di dalam masyarakat.
c. Budaya Hukum
Dalam prakteknya sulit sekali untuk menemukan implementasi dari teori pengadilan yang
mempunyai asas sederhana, cepat, biaya ringan di satu sisi dan terciptannya suatu pengadilan yang
bersih, transparan dan mengedepannkan nilai-nilai keadilan. Karena seiring dengan meningkatnya 14 Jeremias Lemek, S.H, Penuntun Praktis membuat Pledoi (Jogjakarta:Penerbit New Pustaka Merah Putih,2008), Hlm.30.15 Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 Pasal 81 ayat 2 “ Ketentuan Pidana sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakkan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”
13
perubahan sosial, ekonomi, maka perubahan makna dan tujuan serta fungsi dari lembaga pengadilan pun
mengalami pergesaran. Lembaga peradilan saat ini bukanlah lagi menjalankan fungsinya sebagaimana
yang dicita-citakan oleh masyarakat Indonesia yang dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum.
Namun dalam pelaksanaannya banyak dipengaruhi oleh kepentigan-kepentingan tertentu. Sebagai
contoh, dalam perkara di atas, terdakwa yang merupakan orang yang berasal dari keluarga dengan
kondisi sosial ekonomi yang sangat kurang, sehingga mereka tidak sanggup untuk membayar biaya
perkara, ataupun “biaya-biaya” lainnya yang kerapkali diminta oleh kepentingan-kepentingan kelompok
tertentu dalam mafia peradilan dengan iming-iming akan mendapatkan tuntutan lebih rigan ataupun di
bebaskan, menjadikan posisi mereka semakin sulit, sehingga terpaksa menerima putusan Hakim apa
adanya, walaupun harus mendekam dalam ketidak adilan dan kepastian hukum. Dengan demikian kondisi
Peradilan di Indonesia masih jauh antara Harapan dan Kenyataan yang ada.
C. KEPASTIAN HUKUM
a. Substansi
Dalam naskahnya yang berjudul “Rhetorica”, Aristoteles menulis bahwa “hukum tidak tertulis atau
hukum yang lebih tinggi, yaitu keadilan dapat diminta oleh pembela sebagai perwujudan dari keadilan
yang dicapai di luar hukum tertulis”. Hal ini menandakan bahwa sejak berabad-abad yang lalu telah
disadari, sesungguhnya keadilan tidak dapat diharapkan hanya dengan menerapkan hukum tertulis
menurut bunyi kata-katanya, tetapi sesungguhnya berada dibalik yang tersirat dalam hukum. Hakim harus
menafsirkan hukum agar keadilan dapat terwujud.
Bertalian dengan penafsiran hukum tersebut, Wirjono Prodjodikoro menegaskan bahwa segala
hukum baik yang tertulis yang termuat dalam pelbagai undang-undang, maupun yang tidak tertulis, yaitu
berdasar atas adat kebiasaan seperti hukum adat, selalu membuka kemungkinan ditafsirkan secara
bermacam-macam. Tergantung dari tafsiran inilah sebetulnya bagaimana isi dan maksud sebenarnya
dari suatu peraturan hukum harus dianggap. Kalau diingat, bahwa pada akhirnya penafsiran dari
hakimlah yang mengikat kedua belah pihak, maka dapat dikatakan bahwa hakim adalah perumus dari
hukum yang berlaku. Dengan demikian pekerjaan hakim mendekati sekali pekerjaan pembuat undang-
undang selaku pencipta hukum16.
Akan tetapi menafsirkan undang-undang tidak dilakukan secara sewenang-wenang, ada rambu-
rambu yang harus ditaati. J.H. Logemann mengatakan bahwa hakim harus tunduk pada kehendak
pembuat undang-undang, yaitu kehendak pembuat undang-undang seperti yang dapat diketahui terletak
di dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Dalam kehendak itu tidak dapat dibaca
dengan begitu saja dari kata undang-undang, maka hakim harus mencarinya dalam sejarah kata-kata
tersebut, dalam sistem undang-undang, atau dalam arti kata-kata itu seperti yang dipakai dalam
16 Ramelan, Metode Interpretasi dan Jaminan Kepastian Hukum Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Legalitas.com14
pergaulan sehari-hari pada waktu sekarang. Hakim wajib mencari kehendak pembuat undang-undang,
karena ia tidak boleh membuat penafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak itu. Setiap penafsiran
adalah tafsiran yang dibatasi oleh kehendak pembuat undang-undang. Sebab itu hakim tidak boleh
menafsirkan undang-undang secara sewenang-wenang yaitu menurut kehendak hakim sendiri 17.
b. Struktur
Wujud kepastian hukum menurut Sudikno Mertokusumo : “Dalam hukum yang penting bukan apa
yang terjadi, tetapi apa yang seharusnya terjadi. Di dalam Undang Undang tidak dapat dibaca bahwa
siapa yang mencuri harus dihukum. Ketentuan yang berbunyi “barang siapa yang mencuri harus
dihukum” tidak berarti bahwa telah terjadi pencurian dan pencurinya harus dihukum, tetapi barang siapa
mencuri harus dihukum. Persyaratannya (mencuri) menyangkut peristiwa (sein), sedankan
kesimpulannya (dihukum) menyangkut keharusan (sollen). Sebagai syarat harus terjadi peristiwa konkrit
terlebih dahulu. Oleh karena telah terjadi peristiwa maka sesuai bunyi kaidahnya harus ada akibat.
Dihukumnya pencuri bukanlah merupakan akibat pencurian. Orang tidak dihukum karena (sebagai
akibat) mencuri, tetapi pencuri harus dihukum berdasarkan undang-undang yang melarangnya. Disini
tidak berlaku hukum sebab-akibat. Kaidah hukum itu bersifat memerintah, mengharuskan atau preskriptif.
Dalam definisi ini bila dikaitkan dengan perkara pidana yang telah penulis bahas sebelumnya,
maka dalam hal ini adalah peran hukum dalam mewujudkan kepastian hukum tersebut di wujudkan
melalui lembaga peradilan yang ada, dalam hal ini hakim sebagai sosok tunggal yang memiliki wewenang
dalam memutuskan sebuah sengketa hukum berdasarkan hukum,fakta-fakta persidangan dan keyakinan
yang dimiliknya. Tetapi sering kali penafsiran hukum yang salah,atau tidak sesuai dengan penafsiran
hukum, mengakibatkan kepastian hukum disini hanya tinggal sebuah harapan.
D. PENUTUP
a. Kesimpulan
Tujuan di Negara Hukum adalah untuk melindungi masyarakat, member keadilan dan memajukan
kehidupan bangsa. Hukum sebenarnya adalah agen perubahan untuk mewujudkan kehidupan bangsa,
alokasi pendapatan yang lebih merata dan adil. Artinya, kalau ada keadaan yang tidak merata, tujuan
hukum adalah menjadikan keadaan itu menjadi merata. Hukum dengan fundsi-fungsi yang diembannya itu
terkadang mulus tanpa hambatan yang merintanginya, namun terkadang pula sebaiknya, fungsi-fungsi
hukum itu hanyalah sekedar impian tak kunjung nyata. Bukannya perlindungan keadilan yang diperoleh,
namun sebaliknya justru ketakutan, ketidakadilan dan kemiskinan yang ditimbulkan. Salah satu penyebab
tidak berfungsinya hukum itu barangkali karena lembaga yang mendukungnya tidak mampu
mengaktualisasikan keinginan hukum itu.
Perhatian kita terhadap lembaga pengadilan tidak lepas dari adanya posisi terhormat dan strategis
yang dimiliki serta prilaku prilaku sosial yang dihasilkan melalui aktivitas-aktivitas peradilan yang terkadang
17 Ibiddem.15
bersinggungan dengan posisinya yang terhormat dan strategis itu.terhormat lembaga peradian akan dapat
bergeser pada posisi pinggiran yang tercemar dan tercela ketika aktivitas aktivitas yang dihasilkan tidak
lagi mencerminkan keadilan, baik keadilan hukum, keadilan masyarakat, terutama keadilan Tuhan.
b. Saran
Berdasrakan hal tersebut, maka perlu disusun suatu standar profesi penegak hukum, baik dari
jaksa, hakim atau penegak hukum lainnya secara komprehensif dengan memperhatikan perundang-
undangan, doktrin, kode etik, serta panduan internasional yang telah disusun oleh PBB. Selain itu
penilaian pelaksanaan pekerjaan para penegak hukum juga harus disesuaikan dengan kemampuan.
Seperti keahlian yang dimilikinya sehubungan dengan kemampuan dan pengetahuan akan perkara yang
ditanganinya.Selain itu sebagai salah satu wujud pelaksanaan Good Governance dengan prinsip prinsip
transparansi, partisipatif, dan akuntable dalam lembaga kejaksaan, makaakses public atas proses yang
terjadi dan produk yang dihasilkan oleh lembaga peradilan perlu dilembagakan dan diatur secara jelas.
Berbagai hal yang telah diuraikan di atas pada dasarnya menunjukan bahwa lembaga peradilan
harus lebih mengoptimalkan dan membenahi diri. Sebagai lembaga penegak, seharusnya pengadilan dan
kejaksaan memiliki wibawa dihadapan masyarakat. Di tengah kemelut krisis multi dimensi ini, masyarakat
berharap lembaga peradilan dapat memberikan titik terang dalam upaya penegakkan hukum. Salah
satunya adalah dengan mengadakan reformasi di tubuh lembaga peradilan itu sendiri.
Salah satu metode yang mungkin dapat dikategorikan sebagai langkah strategis yang perlu
menjadi prioritas utama dalam kerangka pembaharuan dan pembenahan peradilan tersebut adalah
menigkatkan peran serta masyarakat sebagai kontrol sosial bagi semua pelaksanaan dari kebijakan
kebijakan publik atau dalam bahasa yang lebih mudah adalah menjadikan public sebagai elemen
pengawas bagi kinerja lembaga Negara, yang dalam hal ini adalah lembaga peradilan.
Hal tersebut sangat penting untuk disikapi, karena semua itu sejalan dengan keadaan masyarakat
yang dari ahri ke hari semakin kritis terhadap perubahan. Dalam masyarakat yang semakin demokratis,
tuntutan untuk melaksanakan prinsip prinsip Good Governance oleh aparat Negara,lebih lebih aparat
penegak hukum sangatlah kencang. Masyarakat saat ini semakin sadar bahwa keterbukaan,
pertanggungjawaban dan pelibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan sangatlah penting dan
besar pengaruhnya kepada kebijakan publik yang diambil oleh apart atau pejabat Negara tersebut.
16