teori hukum

29
SISTEM PERADILAN DI INDONESIA SUATU TINJAUAN TEORI HUKUM A. PENDAHULUAN Negara Indonesia yang di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 telah menyatakan diri sebagai Negara berdasarkan atas hukum. Pernyataan ini dengan jelas terlihat pada penjelasan umum UUD 1945, yakni menyebutkan bahwa Negara berdasarkan atas hukum dan tidak berdasar atas kekuasaan belaka. Konsekuensi pengakuan ini mengisyaratkan adanya lembaga pengadilan sebab lembaga ini harus ada dan merupakan syarat bagi suatu Negara yang menamakan dirinya sebagai suatu Negara Hukum, atau Negara berdasarkan atas Hukum. Di Indonesia Sejak Pemerintahan India Belanda sebenarnya telah ada beberapa macam lembaga pengadilan, hanya saja lembaga pengadilan tersebut sabgat berbeda, baik susunan,sumber hukum,maupun peranannya dengan lembaga pengadilan yang ada sekarang. Pada masa Hindia Belanda antara lain dikenal adanya Pengadilan Swapraja yaitu pengadilan dalam daerah Zelbestuur (Daerah daerah yang berada dibawah pemerintahan raja dan sultan). Pengadilan ini mengemban tugas untuk menciptakan keamanan, ketentraman, kesejahteraan pemerintah kerajaan. Susunan pengadilan terdiri dari residen sebagai ketua pengadilan,dan sultan-sultan sebagai anggota dan misi pengadilan tersebut tidak sesuai denagn pengadilan yang ada sekarang dan tidak sesuai pula dengan demokrasi pancasila seperti yang pernah dikemukakan S.M Amin berikut ini 1 1

Upload: indri-ayu

Post on 01-Jul-2015

424 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: Teori Hukum

SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

SUATU TINJAUAN TEORI HUKUM

A. PENDAHULUAN

Negara Indonesia yang di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 telah menyatakan diri

sebagai Negara berdasarkan atas hukum. Pernyataan ini dengan jelas terlihat pada penjelasan umum

UUD 1945, yakni menyebutkan bahwa Negara berdasarkan atas hukum dan tidak berdasar atas

kekuasaan belaka. Konsekuensi pengakuan ini mengisyaratkan adanya lembaga pengadilan sebab

lembaga ini harus ada dan merupakan syarat bagi suatu Negara yang menamakan dirinya sebagai suatu

Negara Hukum, atau Negara berdasarkan atas Hukum.

Di Indonesia Sejak Pemerintahan India Belanda sebenarnya telah ada beberapa macam lembaga

pengadilan, hanya saja lembaga pengadilan tersebut sabgat berbeda, baik susunan,sumber

hukum,maupun peranannya dengan lembaga pengadilan yang ada sekarang. Pada masa Hindia Belanda

antara lain dikenal adanya Pengadilan Swapraja yaitu pengadilan dalam daerah Zelbestuur (Daerah

daerah yang berada dibawah pemerintahan raja dan sultan). Pengadilan ini mengemban tugas untuk

menciptakan keamanan, ketentraman, kesejahteraan pemerintah kerajaan. Susunan pengadilan terdiri

dari residen sebagai ketua pengadilan,dan sultan-sultan sebagai anggota dan misi pengadilan tersebut

tidak sesuai denagn pengadilan yang ada sekarang dan tidak sesuai pula dengan demokrasi pancasila

seperti yang pernah dikemukakan S.M Amin berikut ini1

Susunan pengadilan-pengadilan tersebut tidak lagi sesuai dengan keadaan di alam merdeka yang

berpemerintahan Demokratis. Pengadilan-pengadilan tersebut yang dikuasai oleh residen dengan

beranggotakan sultan-sultan, sukar dianggap memberikan keputusan-keputusan yang semata-mata

didasarkan atas pertimbangan pertimbangan hukum dan keadilan. Bagi ketua dan anggota-anggota yang

menjabat pula fungsi utama sebagai “besturdes”, sukar memberikan putusan yang objektif, yang tidak

dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan yang berurat kepada kepentingan-kepentingan

pemerintahan, sehingga rasanya tidaklah terjamin dalil kebebasan peradilan.

Kehadiran lembaga pengadilan di alam merdeka ini tidak sekedar menunjukan bahwa telah

meninggalkan model-model peradilan belanda yang cenderung memihak dan kurang objektif, melainkan

juga sebagai suatu bukti bahwa Negara Indonesia telah emmenuhi suatu syarat sebagai Negara yang

berdasarkan atas hukum, yaitu dengan terbentuknya badan-badan peradilan yang bebas dari campur

tangan kekuasaan lain. Dan yang lebih penting dengan hadirnya lembaga peradilan tersebut dimaksudkan

untuk mengawasi dan melaksanakan aturan-aturan hukum atau Undang-undang Negara atau dengan kata

lain untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Kehidupan manusia tidak terlepas akan tanggung jawabnya yang disebut sebagai kewajiban, baik

kewajiban antar sesama, kepada hukum, maupun kewajiban kepada sang Pencipta. Apabila manusia

1

Page 2: Teori Hukum

dalam pergaulan sosialnya sadar akan tanggungjawab nya itu, maka akan tercipta keharmonisan dalam

kehidupan bermasyarakat. Namun seringkali manusia hanya mengingat haknya saja,tapi jika menyangkut

tanggung jawab atau kewajibannya, suka cari sribu dalih untuk mengingkarinya2. Dalam hal ini Hukum

juga membutuhkan sebuah lembaga yang dapat membantunya untuk melaksanakan fungsinya dalam

memberikan perlindungan hukum,kepastian hukum, menampung dan meyelesaikan berbagai konflik dan

sengketa hukum baik antar sesama individu, golongan, masyarakat, maupun pemerintah,sehingga dapat

terselenggaranya Negara Hukum berdasarkan Pancasila.

Dengan demikian Pengadilan sudah seharusnya menjadi lembaga yang berperan penting dalam

penegakan hukum di Indonesia,dimana dalam aktivitasnya mengolah konsep dan rumusan-rumusan

hukum yang sifatnya masih abstrak, kemudian mewujudkannya dalam suatu kepastian dan hukum dalam

penyelesaian-penyelesaian permasalahan hukum yang ada di masyarakat.

Undang-undang telah memberikan kedudukan pada lembaga pengadilan, yaitu sebagai salah satu

pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat (Pasal 2 UU No.2 Tahun 1986). Oleh karena itu lembaga

pengadilan merupakan wadah bagi rakyat yang mencari keadilan, yang memiliki hak dan kewajiban untuk

meyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan di Indonesia3.

Disamping peranan yang ideal, lembaga pengadilan mempunyai peranan yang seharusnya.

Peranan ini terdapat dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 (UU tentang Pokok-Pokok Kekuasaan

Kehakiman) yakni pada pasal-pasal berikut :

1) Pasal 2 ayat 1 yang isinya sebagai berikut

“ Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman tercantum dalam pasal 1 diserahkan kepada badan-badan

peradilan dan ditetapkan dengan Undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa

dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya ”

2) Pasal 4 ayat 2 yang isinya sebagai berikut

“ Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan “

3) Pasal 5 yang isinya sebagai berikut

a. “ Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang “

b. “ Dalam perkara perdata pengadilan memantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-

kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapai peradilan yang

sederhana, cept dan biaya ringan.

4) Pasal 14 ayat 1 yang isinya sebagai berikut

“ Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan

dalih bahwa hukum tidak/kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”

2

Page 3: Teori Hukum

Kedua peranan tersebut diatas belum memberikan arti bagi lembaga pengadilan sendiri maupun

kepada pencari keadilan, sebab apabila hanya berhenti terbatas kepada kedua peranan tersebut, berarti

lembaga pengadilan belum melakukan suatu peranan yang sebenarnya atau peranan yang aktual. Peran

aktual ini menyangkut perilaku nyata dari para pelaksana peranan, yakni para penegak hukum yang di

satu pihak menerapkan perundang-undangan, dan di lain pihak melakukan diskresi di dalam keadaan-

keadaan tertentu.

Lembaga pengadilan seperti juga pada organisasi lainnya, mempunyai tujuan tujuan baik yang

sudah ditetapkan dalam hukum positif maupun tujuan-tujuan yang dipilih atas dasar diskresi. Tujuan utama

lembaga pengadilan adalah terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Namun, pemilihan

terhadap suatu tujuan tersebut sering kali mengalami perubahan dan tidak selalu sama dari masa ke

masa. Perubahan ini dapat muncul karena adanya kebijaksanaan formal baik dari Negara maupun dari

lembaga pengadilan sendiri. Contoh mengenai perubahan ini terdapat dalam UU No.19 Tahun 1964 dan

UU No.14 Tahun 1970, kedua-duanya mengenai kekuasaan kehakiman. Pada UU pertama tujuan yang

dipilih adalah Masyarakat Sosialis Indonesia, sedangkan UU yang kedua, tujuan yang dipilih adalah

terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.4

Tujuan lembaga pengadilan ini kembali berubah setelah berlakunya UU No.2 Tahun 1986 tentang

peradilan umum. Tampaknya tujuan Undang-undang yang dipilih berbeda dengan tujuan yang dipilih

dalam UU sebelumnya. Tujuannya adalah terwujudnya keadilan, kebenaran, kepastian hukum dan

ketertiban. Tujuan ini disimpulkan dari penjelasan umum UU No.2 Tahun 1986 yaitu sebagai berikut5:

“ Lebih dari itu, hal pokok tersebut merupakan masalah yang sangat penting dalam usaha mewujudkan suasana perikehidupan yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib seperti yang diamanatkan oleh Garis-garis Besar Haluan Negara. Oleh karena itu, untuk mewujudkannya dibutuhkan adanya lembaga yang bertugas menyelenggarakan keadilan dengan baik. Salah satu lembaga untuk menegakkan kebenaran dalam mencapai keadilan sebagaimana dimaksudkan dalam UU No.14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok kekuasaan Kehakiman, yang masing-masingmempunyai lingkup kewenangan mengadili perkara atau sengketa di bidang tertentu ”

Didalam hubungan-hubungan soasialnya, peranan pengadilan dapat dihubungkan dengan tugas-

tugas dan tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Bergesernya tugas dan tujuan-tujuan tersebut baik karena

adanya perubahan undang-undang maupun karena diskresi pengadilan akan berpebgarus kepada

3

Page 4: Teori Hukum

peranan yang dilakukan oleh lembaga pengadilan. Dalam hal ini terjadi perubahan tujuan niscaya akan

terjadi pula perubahan pengadilan.

Perubahan tujuan pengadilan yang berakibat pula pada pada peranannya,dapat di contohkan

misalnya, pengadilan menentukan tujuan utamanya yakni, tercipatanya kerukunan dan perdamaian

diantara pihak-pihak yang bersengketa, dimana peranan pengadilan di sini adalah merukunkan dan

mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa itu dengan jalan mediasi maupun secara kompromi. Akan

tetapi, karena tujuan utama ini tidak berhasil, maka terjadi pergeseran kepada tujuan lainnya, misalnya

adalah penegakkan hukum. Dengan berubahnya tujuan utama tersebut menunjukan pula berubahnya

peranan, yaitu bukan lagi mendamaikan atau merukunkan, tetapi peranan pengadilan disini adalah

menetapkan secara tegas apa yang dihadapinya dan menentukan pula pihak-pihak yang dinyatakan

melanggar peraturan hukum itu.

Penyelesaian sengketa dimana aspek damai dan kerukunan menjadi tujuan utamanya, tampak

terlihat pada perkara perdata. Setiap perkara perdata yang diajukan ke pengadilan, pengadilan tidak

langsung memeriksa dan mengadili serta menetapkan aturan hukuman, tetapi terlebih dulu mengajak

pihak-pihak berdamai. Disini jelas terlihat peranan lembaga pengadilan tidak terlepas dari tujuan

baik,tujuan utama,maupun lainnya yang datang kemudian.

Peranan pengadilan yang tidak kalah pentingnya adalah menjadikan dirinya sebagai wadah

integrasi dari berbagai kepentingan, baik kepentingan Negara, kepentingan hukum, maupun kepentingan

masyarakat. Lembaga pengadilan sebagai sarana integrasi harus mampu menyeimbangkan ketiga

kepentingan itu sehingga tidakada satu kepentingan yang di dominankan sementara mengabaikan

kepentingan lainnya.

Kepentingan Negara harus terwakili dalam proses-proses penyelenggaraan peradilan, serta harus

mendapat legitimasi atau berdasarkan pada hukum, dan tidak mengorbankan kepentingan rakyat,

demikian pula sebaiknya. Oleh karena itu,putusan lembaga pengadilan sebagai lembaga integrasi harus

memuat dan mewakili ketiga kepentingan itu sehingga semakin memantapkan terwujudnya keadilan yang

menjadi tujuan utamanya.

Jika dikelompokkan, terdapat peran yang di emban oleh lembaga peradilan yang sifatnya yuridis

formal6 dan terdapat pula peran yang bersifat yuridis materiil. Peran yuridis formal yang dimaksud adalah

peran yang dijalankan oleh lembaga peradilan berdasarkan ketentuan undang-undang, yaitu

melaksanakan peraturan perundang-undangan melalui kegiatan berupa menerima,memeriksa, mengadili,

dan menjatuhkan putusan. Sedangkan Peran Yuridis Materiil adalah peran yang dijalankan oleh lembaga

4

Page 5: Teori Hukum

pengadilan berdasarkan hati nurani, diskresi, dan kondisi-kondisi sosial politik tertentu melalui berbagai

bentuk kegiatan kearah tegaknya hukum, keadilan, dan perlindungan terhadap harkat dan martabat

manusia, ketertiban, ketentraman dan kesejahteraan masyarakat sebagaimana yang telah di amanatkan

dalam konstitusi 1945.

Dengan demikian, jika lembaga pengadilan ditempatkan pada dataran konstitusi dan Ideologi

Pancasila, peranan pengadilan tidaklah sekedar melaksanakan tugas yuridis dengan mengotak atik dalam

penerapan aturan-aturan hukum formal dalam memutus perkara yang dihadapinya, melainkan pula harus

mengambil peran lain yakni peran politik, yang berarti bahwa pengadilan harus juga berpolitik dan

memperjuangkan ideologi. Peran Politik ini juga meliputi keterlibatan MA untuk secara sadar membawa

perahu Negara ini menuju kepada tujuan seperti tercantum dalam konstitusi7.

Dalam hukum acara pidana maupun dalam berbagai peraturan-peraturan lainnya termasuk juga

dalam praktik peradilan dikenal adanya beberapa prinsip yang menjadi dasar di dalam menyelesaikan

perkara pidana. Prinsip ini tidak secara riil tertuang atau tersurat di dalam peraturan perundang-undangan

namun harus tercermin di dalam peraturan perundang-undangan itu. Prinsip ini ada yang bersifat umum

yang artinya dapat berlaku pada semua tingkatan pemeriksaan, baik pada tingkat penyelidikan,penyidikan,

pada tingkat penuntutan maupun pada tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan. Selain itu ada yang

bersifat khusus dimana prinsip ini hanya boleh berlaku pada pemeriksaan tertentu dan tidak berlaku pada

semua tingkatan pemeriksaan sebelum pengadilan menyatakan kesalahannya itu.

Permasalahan yang muncul saat ini adalah hukum tidak berjalan sesuai dengan nilai-nilai dasar

dibentuknya hukum itu sendiri.Belum terlihat ada suatu perubahan hukum ke arah yang lebih baik karena

hukum kita masih dependen pada sumber daya ekononomi dan politik. Reformasi hukum masih sulit untuk

dijalankan. Alasannya secara politik dan ekonomi, peranan hukum melegitimasi keputusan-keputusan

politik dan ekonomi dimana hukum menjadi subordinasi dari kekuasaan.

Peradilan Indonesia saat ini dipenuhi kontroversi demi kontroversi. Apabila dirangkum dalam

suatu kesimpulan umum, berbagai kontroversi tersebut dapat dilihat mulai dari lambatnya proses

penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan suatu

kasus, banyaknya pungutan di luar biaya administrasi resmi saat kasus telah masuk ke pengadilan, proses

penundaan persidangan tanpa alasan yang jelas sampai kepada pelaksanaan putusan pengadilan yang

kadang kala tidak jelas waktunya. Semua hal tersebut diperparah dengan sering munculnya putusan

pengadilan yang tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat, sehingga tidak heran apabila dalam

sebuah media nasional pernah disebutkan bahwa seorang koruptor yang “merampok” uang negara

milyaran rupiah hukumannya tidak beda jauh dengan seorang yang maling karung bawang merah di

5

Page 6: Teori Hukum

pasar. Selain itu dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh berbagai lembaga swadaya masyarakat

diperoleh data bahwa aktor-aktor yang terlibat pun sudah demikian luas, yaitu dimulai dari seluruh aparat

penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, sipir penjara dan advokat), pegawai administrasi dengan pangkat

tertinggi sampai dengan pangkat terendah di lembaga penegakan hukum, sampai dengan kalangan

intelektual yang menjadi saksi ahli.

Fakta yang secara selintas disebutkan di atas menyebabkan berbagai laporan lembaga di dalam

maupun luar negeri yang menyebutkan Indonesia sebagai salah satu Negara dengan tingkat korupsi

tertinggi di dunia menjadi cukup valid dan tidak dapat disanggah sama sekali. Bahkan Daniel Kauffmann

yang secara khusus menyoroti praktek korupsi di lembaga peradilan, dalam laporannya menunjukkan

bahwa Indonesia termasuk negara yang berada pada posisi yang cukup memprihatinkan berkaitan dengan

kinerja aparat pada lembaga penegakan hukumnya.

Sebagai suatu sistem, kinerja pengadilan sekarang ini berada pada titik titik yang cukup

mengkhawatirkan. Berbagai keluhan baik dari masyarakat dan para pencari keadilan seolah-olah sudah

tidak dapat lagi menjadi media kontrol bagi lembaga tersebut untuk melakukan berbagai perbaikan

signifikan bagi terciptanya suatu system pengadilan yang ideal dan sesuai dengan harapan masyarakat.

Secara praktek, teori pengadilan yang mempunyai asas sederhana, cepat, biaya ringan di satu sisi dan

terciptannya suatu pengadilan yang bersih, transparan dan mengedepannkan nilai-nilai keadilan disisi lain

terlihat sudah sangat sulit untuk diharapkan dan ditemui dalam lembaga dan aparat pengadilan yang ada

saat ini8.

Hal tersebut bisa mengakibatkan rasa hormat dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga

pengadilan semakin menipis dari hari kehari. Sedangkan disisi lain, ada tuduhan bahwa lembaga

pengadilan dan kekuasaan kehakiman pada umumnya sudah tidak independen lagi dan mandiri dalam

menjalankan kinerja serta mengeluarkan putusan putusannya. Selain maraknya korupsi,kolusi, dan

nepotisme dalam proses penyelesaian perkara, adanya campur tangan pihak eksekutif dalam proses

peradilan menjadi salah satu indikasi ketidakmandirian lembaga pengadilan.

Intervensi pihak eksternal kepada kekuasaan kehakiman atau yudikatif ( dalam hal terutama oleh

kekuasaan Negara lainnya seperti eksekutif dan legislative ) akhirnya menjadi suatu masalah yang sangat

serius untuk dipikirkan pemecahannya, terutama setelah terdapat beberapa indikasi yang memperlihatkan

bahwa adanya suatu putusan yang “aneh-aneh”. Putusan tersebut biasanya terjadi dalam kasus-kasus

yang cukup populis dan melibatkan Negara (baik itu pejabat, lembaga ataupun keuangan Negara).

Sehingga disini akhirnya ungkapan terhadap politisasi terhadap berbagai kasus yang ada dipengadilan

menjadi sesuatu hal yang tak dapat dihindari untuk diakui9.

6

Page 7: Teori Hukum

Berdasarkan hasil penelitian terdapat beberapa penyimpangan yang sering terjadi dalam proses di

pengadilan, yaitu sebagai berikut 10:

Tahapan Modus Operandi

Proses Persidangan 1. Indikasi terjadinya KKN dalam penunjukan hakim yang memeriksa perkara

dan terjadinya jual beli perkara

2. Hakim yang sama memeriksa beberapa perkara yang pada intinya sama

sehingga dikhawatirkan terjadi conflict of interest

3. Anggota Majelis Hakim ada yang diganti untuk beberapa kali persidangan.

4. Menunda pemeriksaan perkara secara berlarut larut

5. Persidangan dilakukan di luar ketentuan, yaitu terdakwa tidak di dampingi

penasihat hukum

6. Perlakuan Hakim terhadap terdakwa yang terkadang kurang baik,(terutama

dalam hal terdakwa adalah anak yang masih dibawah umur)11

Putusan 1. Pertimbangan hukum tidak berdasarkan fakta dan keadaan sebenarnya

2. Pelapor sebagai pihak berperkara tidak bisa mendapatkan salinan putusan

sampai saat mendaftarkan banding

3. Adanya putusan MA mengenai perkara yang sama dan saling kontradiktif

4. Pledoi atau duplik terkadang tidak menjadi bagian penting di dalam

pertimbangan membuat suatu putusan12.

Eksekusi 1. Eksekusi ditunda tanpa alasan yang jelas

2. Surat penetapan eksekusi diberikan sangat mendadak sebelum

pelaksanaan eksekusi dilakukan

3. Pemberitahuan pelaksanaan eksekusi diberikan kepada pelapor tanpa

adanya surat teguran terlebih dahulu

4. Keberatan atas penetapan eksekusi tidak mendapat tanggapan dan tidak

ditindaklanjuti oleh PN

5. Pelaksanaan elang dilakukan tanpa adanya tim penilai yang independen

sehingga harganya dibawah NJOP

Banding 1. Kesulitan untuk mengajukan kontra memori banding karena salinan

putusan belum diterima

2. Keterlambatan megirimkan berkas banding

3. Indikasi suap

Kasasi 1. Kelalaian mengirimkan berkas kasasi sehingga seringkali ada halaman

7

Page 8: Teori Hukum

penting yang hilang

2. Perkara tertunda/ tidak juga selesai selama bertahun-tahun

PK 1. Putusan yang berbeda untuk 2 perkara yang sama, konstruksi landasan

yuridis sama, dan majelis hakim sama.

2. Pelapor tidak megetahui adanya PK karena tidak pernah menerima relaas

dari PN

Penyitaan 1. Objek sita tidak jelas,sita atas barang tidak bergerak diletakan diatas

barang bergerak.

2. Majelis hakim menetakan permohonan sita jaminan dalam waktu amat

singkat tanpa menunggu jawaban pelapor.

Apabila melihat berbagai penyimpangan yang terjadi sebagaimana diatas, maka dapat dikatakan

bahwa penyebab yang terjadi sebagaimana diatas selain dikarenakan oleh faktor sumber daya manusia,

juga dikarenakan oleh faktor sumber daya manusia, juga dikarenakan faktor manajemen dan administrasi.

Oleh karena itu, apabila lembaga pengadilan mempunyai itikad baik untuk memperbaiki segala

kekurangannya tersebut, pembenahan manajemen administrasi, manajemen organisasi dan manajemen

sumber daya manusia mutlak harus dilakukan secara komprehensif.

Berdasarkan latar belakang diatas,dalam tulisan ini penulis bermaksud mengangkat suatu

fenomena lainnya dimana peranan peradilan sudah tidak dijalankan lagi sesuai dengan fungsi dan

tugasnya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, serta kewajibannya untuk memberikan kepastian

hukum bagi masyarakat serta. Contoh kasus ini di ambil dalam suatu perkara Pidana Pro bono dengan

Penetapan Pengadilan Nomor 505/Pen.Pid.B/2009/PN.BKS dalam perkara NO.REG.PDM.

243/II/BEKASI/02/2009, Pengadilan Bekasi.

8

Berdasarkan Surat Dakwaan NO.REG.PDM-243/II/BEKASI/03/2009 tertanggal 5 Maret 2009 dan Surat Tuntutan NO REG.PDM.243/II/BEKASI/02/2009 tertanggal 13 Mei 2009 dimana tuntutan Jaksa Penuntut Umum sebagai berikut :

MENUNTUTSupaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bekasi yang memeriksa dan

mengadili perkara ini memutuskan :1. Menyatakan terdakwa MOHAMMAD ILHAM ALIAS BOTAK BIN ADUL

HAIR, “BERSALAH” melakukan tindak pidana “bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan, padahal mengetahui atau sepatutnya dapat menduga bahwa umurnya belum lima belas tahun” sebagaimana diatur dalam pasal 287 (1) KUHP.

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa MOHAMMAD ILHAM ALIAS BOTAK BIN ADUL HAIR, dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dikurangi selama terdakwa berada di dalam tahanan, dengan perintah terdakwa tetap ditahan.

3. Menyatakan barang bukti berupa :- 1 (satu) lembar akta kelahiran. Tiara Indah Sujatri yang dikeluarkan

oleh kantor catatan sipil Jakarta Jeans- 1 (satu) helai kemeja warna putih- 1 (satu) helai celana jeans pendek warna biru.- 1 (satu) helai tanktop garis-garis hitam, 1 (satu) helai celana dalam

warna pink, 1 (satu) helai BH warna cream, 1 (satu) helai jaket putih gabar mickey mouse.Dikembalikan kepada saksi Tiara Indah

4. Menetapkan supaya terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000 (seribu rupiah)

Kemudian di dalam Pledoi nya, berdasarkan analisa yuridis Tim Penasihat Hukum terdakwa mengemukakan sebagai berikut :

Maka pembahasannya sebagai berikut :1. unsur barang siapa;2. unsur bersetubuh dengan seorang wanita diluar pernikahan.Ad. 1. Unsur Barang Siapa

Bahwa yang dimaksud unsur “barang siapa” adalah semua orang atau siapa saja yang merupakan subyek Hukum Pidana dan kepadanya dapat dipertanggung jawabkan secara Hukum. Dalam perkara ini yang dimaksud adalah Terdakwa MOHAMMAD ILHAM, yang telah mengakui identitasnya sebagaimana tersebut dalam dakwaan dan sepanjang persidangan.Ad. 2. unsur bersetubuh dengan seorang wanita diluar pernikahan.

Bahwa subyek hukum yang di maksud didalam pasal 287 ayat (1) tersebut adalah pria yang bersetubuh dengan wanita yang bukan istrinya.

Page 9: Teori Hukum

9

Dan di dalam Dupliknya, Tim Pebasehat Hukum Mengemukakan sebagai berikut :

Setelah kita mendengarkan Replik yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan tanggal 28 Mei 2009 dan setelah kami baca dan telaah kembali, terdapat ketidak sepahaman dalam mengupas unsur unsur yang terdapat dalam pasal 287 KUHP.

Jika kita mengulas kembali pada surat tuntutan Jaksa Penntut Umum pada tanggal 13 Mei 2009, telah di kemukakan bahwa , terdakwa Mohammad Ilham telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 287 ayat 1 KUHP.

Dalam hal ini, kami ingin menanggapi pernyataan Jaksa Penuntut Umum yang pada repliknya yang mengatakan bahwa kami, tim penasehat hukum tidak menguraikan semua unsur yang ada pada pasal 287 ayat 1 tersebut secara menyeluruh (komprehensif).

Setelah kita mendengarkan Replik yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan tanggal 28 Mei 2009 dan setelah kami baca dan telaah kembali, terdapat ketidak sepahaman dalam mengupas unsur unsur yang terdapat dalam pasal 287 KUHP.

Unsur pertama dan ketiga adalah unsur yang tidak memerlukan penjelasan yang komprehensif, karena dapat di mengerti. Adapun unsur yang ingin kami bahas secara komprehensif pada duplik ini adalah unsur kedua : bersetubuh dengan wanita diluar pernikahan.

Kami juga ingin menanggapi pernyataan Jaksa Penuntut Umum di dalam repliknya yang menyatakan bahwa kami Penasihat Hukum telah keliru menafsirkan unsur pasal 287 KUHP tersebut, karena dalam uraian unsur yang dibahas di dalam pledoi lebih mengarah kepada unsur pasal 284 (perzinahan / overspel). Dalam hal ini kami tidak sependapat dengan Jaksa penuntut umum, menurut pemahaman kami Tim Penasihat Hukum, pasal 284-298 KUHP adalah Pasal pasal mngenai perzinahan / Overspel.

Perzinahan / Overspel dalam KUHP karangan R. Sugandi, S.H. Penerbit Usaha Nasional; Hal 300 adalah Persetubuhan yang dilakukan oleh laki –laki dan perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istrinya atau suaminya. Kesimpulan :

(1)Unsur barang siapa : Terdakwa Mohammad Ilham, Mohammad Hariono, dan Yusup Pusri adalah individu yang tidak atau terikat perkawinan yang sah menurut Agama dan Negara.

(2)Saksi korban, Tiara Indah adalah perempuan yang belum / tidak terikat perkawinan secara sah menurut agama dan Negara.

(3)Persetubuhan yang terjadi antara terdakwa Mohammad Ilham, Mohammad Hariyono dan Yusup Pusri dengan saksi korban, Tiara Indah tidak memenuhi definisi zinah / Overspel yang disebut diatas.

(4)Kitab Undang Undang Hukum Pidana tidak mengatur hubungan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan yang belum atau tidak terikat oleh perkawinan. Jika kita mengulas kembali pada surat tuntutan Jaksa Penuntut

Umum pada tanggal 13 Mei 2009, telah di kemukakan bahwa , terdakwa Mohammad Ilham telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang diatur dalam pasal 287 ayat 1 KUHP.

Dalam hal ini, kami ingin menanggapi pernyataan Jaksa Penuntut

Page 10: Teori Hukum

10

Di dalam pasal 287 ayat 1 KUHP, terdapat beberapa unsur yaitu : (1)barang siapa,

Sudah dianggap jelas seperti yang telah diuraikan dalam Pledoi kami sebelumnya.

(2)bersetubuh dengan seorang wanita diluar pernikahan, (3)di duga bahwa umurnya belum 15 tahun.

Sudah dibuktikan berdasarkan akta kelahiran saksi korban.Unsur pertama dan ketiga adalah unsur yang tidak memerlukan

penjelasan yang komprehensif, karena dapat di mengerti. Adapun unsur yang ingin kami bahas secara komprehensif pada duplik ini adalah unsur kedua : bersetubuh dengan wanita diluar pernikahan.

Kami juga ingin menanggapi pernyataan Jaksa Penuntut Umum di dalam repliknya yang menyatakan bahwa kami Penasihat Hukum telah keliru menafsirkan unsur pasal 287 KUHP tersebut, karena dalam uraian unsur yang dibahas di dalam pledoi lebih mengarah kepada unsur pasal 284 (perzinahan / overspel). Dalam hal ini kami tidak sependapat dengan Jaksa penuntut umum, menurut pemahaman kami Tim Penasihat Hukum, pasal 284-298 KUHP adalah Pasal pasal mngenai perzinahan / Overspel.

Perzinahan / Overspel dalam KUHP karangan R. Sugandi, S.H. Penerbit Usaha Nasional; Hal 300 adalah Persetubuhan yang dilakukan oleh laki –laki dan perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istrinya atau suaminya. Kesimpulan :

(5)Unsur barang siapa : Terdakwa Mohammad Ilham, Mohammad Hariono, dan Yusup Pusri adalah individu yang tidak atau terikat perkawinan yang sah menurut Agama dan Negara.

(6)Saksi korban, Tiara Indah adalah perempuan yang belum / tidak terikat perkawinan secara sah menurut agama dan Negara.

(7)Persetubuhan yang terjadi antara terdakwa Mohammad Ilham,

Page 11: Teori Hukum

Kemudian Hakim Pengadilan Negeri Bekasi dalam putusannya, memutus 2/3 dari tuntutan Jaksa

Penuntut Umum,yaitu masing-masing terdakwa menjalani pidana kurungan selama 4 tahun di kurangi

masa penahanan. Jika kita cermati satu persatu unsur hukum yang dibahas dalam perkara diatas, dalam

proses persidangan terdapat beberapa penyimpangan dan kesalahan penafsiran hukum, sehingga yang

seharusnya bebas dari segala tuduhan hukum, karena terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan

bersalah melakukan unsur-unsur yang terdapat dalam pasal 287 ayat 1 KUHP tersebut, tetapi tetap

dikenakan hukuman seperti yang telah diputuskan Hakim Pengadilan Negeri tersebut. Dalam perkara

diatas juga dapat dilihat bagaimana sistem peradilan kita masih jauh dari das sein (kenyataan) dan das

sollen (harapan),oleh karena itu penulis mencoba membahasnya dalam asas-asas teori hukum yang ada

dalam bab di bawah ini.

B. KEADILAN

Dalam Teori hukum, Terdapat 3 Jenis keadilan13 :

Keadilan Umum (General Justice): Mewujudkan keadilan bersama bagi masyarakat (COMMON

GOOD OF ONE’S COMMUNITY).

Keadilan Distributif (DISTRIBUTIVE JUSTICE): Kesetaraan

(COMMUTATIVE JUSTICE) : Keadilan dalam hubungan hukum antar para pihak, misalkan kontrak,

ganti rugi dalam peristiwa melawan hukum.

Menurut Apeldorn ;

Keadilan bukan penyamarataan

1 Dr. Rusli Muhammad, S.H.,M.H., Potret Lembaga Pengadilan Indonesia (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2006),hlm. 2.2 Bismar Siregar, Bunga Rampai Karangan Terbesr Bismar Siregar (Bandung, Alumni,1984) Hlm.43 Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum (Jakarta: rajawali,1983),Hlm 11.4 Satjipto Raharjo, Masalah Penegakan Hukum (Bandung: Penerbit Sinar Baru,19),hlm.77.5 C.S.T Kansil. Kitab Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman (KUKK) (Jakarta: Bina Aksara) hlm.676 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakkan dan Pengembangan Hukum Pidana (Bandung: Aditya Bakri, 1998) Hlm 7.7 Op.Cit hlm.28 Asep Rahmat Fajar S.H, Wajah Lembaga Peradilan Indonesia : Kenyataan dan Harapan, (Jakarta:Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia,www.pemantauperadilan.com)Hlm 1.9 Op.Cit hlm210 Pusat Data Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI-FHUI),(Jakarta:www.pemantauperadilan.com,2004)11,¹² Berdasarkan Observasi Penulis sewaktu magang di Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM) Pengadilan Negeri Bekasi (Maret-Juni 2009)12

13 Zaenal arifin Mochtar,Panorama Teori Hukum dan Keadilan,www.psp.ugm.ac.id (Jogjakarta,2009)11

Page 12: Teori Hukum

Keadilan bukan berarti setiap orang memperoleh bagian yang sama.

a. Substansi

Penyelenggaraan peradilan di Indonesia di atur dalam Undang-undang Republik Indonesia No 4 tahun

2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Dalam beberapa pasal disebutkan sebagai berikut ;

Pasal 1 : “ Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum demi keadilan berdasarkan

Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia “

Pasal 5 ;

(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang

(2) Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan

untuk tercapainya pengadilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

Pasal 6:

(1) Tidak seorangpun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain dari pada yang di tentukan oleh

Undang-udang,.

(2) Tidak seorangpun dapat dijatuhi hukuman pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat

pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang

dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan dirinya.

Jika dikaitkan dari permasalahan hukum yang telah penulis bahas diatas, maka pelaksanaan sistem

peradilan di Indonesia, belum sesuai dengan Undang-undang tersebut. Faktanya :

(1) Belum adanya keadilan seperti yang di harapkan seperti yang tertulis pada pasal 1 tersebut,

dimana ketika seorang terdakwa tidak terbukti bersalah atas unsur-unsur yang di dakwakan, tetapi

pengadilan tidak menjalankan sebagaimana mestinya dengan tidak mencermati unsur demi unsur

yang tertuang pada pasal 287 ayat 1 KUHP tersebut.

(2) Pada pasal 5,faktanya adalah Hukum di Indonesia masih mengadili dengan membeda-bedakan

orang. Dalam perkara yang penulis bahas diatas, perkara tersebut adalah perkara probono

dengan mendapat penetapan dari Pengadilan, dimana terdakwa dalam kondisi ekonomi yang

kurang, dan dengan segala keterbatasannya untuk membayar biaya perkara, sehingga

dikeluarkannya penetapan yang menetapkan sebuah lembaga bantuan hukum untuk memberikan

bantuan hukum. Jika kita membuka mata pada kasus-kasus besar yang marak terjadi di Negara

ini, terdapat kesenjangan yang besar ketika koruptor,atau seorang yang melakukan kejahatan

besar,tetapi karena status sosial dan ekonominya berada di kalangan tertentu,maka terdapat

perbedaan perlakuan dimana peradilan tidak terlalu rumit dan dipersulit. Tapi tidak demikian

dengan terdakwa dalam perkara yang penulis bahas diatas,sekalipun mereka tidak mendapatkan

keadilan demi hukum sesuai yang diharapkan, mereka dengan kondisi ekonomi yang sulit tidak

12

Page 13: Teori Hukum

bisa melakukan upaya hukum lainnya seperti banding atau kasasi.Sehingga pada akhirnya

mereka harus menjalani apa adanya sesuatu dalam ketidakadilan.

(3) Pada pasalnya yang keenam juga tidak berjalan dalam faktanya proses peradilan itu sendiri.

Sekalipun unsur-unsur yang terdapat dalam dakwaan maupun tuntutan tidak terbukti secara sah

dan meyakinkan, terdakwa tersebut tetap dihukum.

b. Struktur

Tinjauan terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum, yang dibahas adalah isi tuntutan.

(1) Apakah tuntutan tersebut sesuai dengan fakta yang terungkap dalam persidangan atau tidak?

(2) Apakah unsur-unsur dari pasal yang didakwakan itu sesuai dengan rumusan pasalnya atu tidak?

Dalam perkara tersebut, Jaksa Penuntut umum menggunakan Pasal 287 ayat 1 KUHP, yang

dalam kutipan perkara diatas telah dibahas dalam Pledoi dan Duplik penasihat hukum tersebut tidak

memenuhi unsur di dalam pasal 287 ayat 1 KUHP tersebut. Karena KUHP sejauh ini tidak mengatur

hukuman mengenai perbuatan-perbuatan perzinahan. Perzinahan hanya diatur melalui norma-norma

yang ada dalam masyarakat seperti norma sosial, norma agama. Sehingga sanksi nya pun bukan

sanksi pidana, melainkan sanksi moral, dan agama.

Seseorang bersalah memang sudah sepatutnya mendapatkan hukuman yang setimpal. Dalam

perkara diatas pun memang terdakwa tersebut melakukan kesalahan. Kebenaran selalu bersifat

tunggal14. Dalam hal kebenaran telah di ambil oleh Jaksa, maka penasihat hukum maupun aparat

penegak hukum lainnyapun harus bersikat objektif. Namun yang wajib disoroti dalam perkara tersebut

adalah Undang-undang yang digunakan untuk mendakwa terdakwa. Karena yang sedang diadili itu

adalah manusia, maka segala hal yang menyangkut kehidupannya, wajib mempertimbangkan aspek-

aspek hak kemanusiannya. Menurut penulis sendiri, Undang undang yang tepat yang seharusnya

digunakan Jaksa Penuntut Umum adalah Undang-undang Perlindungan Anak, Pasal 81 ayat

215.Sehingga kekeliruan dalam menerapkan unadng-undang yang dilakukan oleh Jaksa penuntut

umum tersebut merugikan hak hidup terdakwa. Oleh karena itu, Jaksa Penuntut Umum harus lebih

cermat dan hati-hati dalam menggunakan pasal yang ada untuk melakukan tugasnya sebagai

penegak hukum menegakkan hukum dan keadilan di dalam masyarakat.

c. Budaya Hukum

Dalam prakteknya sulit sekali untuk menemukan implementasi dari teori pengadilan yang

mempunyai asas sederhana, cepat, biaya ringan di satu sisi dan terciptannya suatu pengadilan yang

bersih, transparan dan mengedepannkan nilai-nilai keadilan. Karena seiring dengan meningkatnya 14 Jeremias Lemek, S.H, Penuntun Praktis membuat Pledoi (Jogjakarta:Penerbit New Pustaka Merah Putih,2008), Hlm.30.15 Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 Pasal 81 ayat 2 “ Ketentuan Pidana sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakkan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.”

13

Page 14: Teori Hukum

perubahan sosial, ekonomi, maka perubahan makna dan tujuan serta fungsi dari lembaga pengadilan pun

mengalami pergesaran. Lembaga peradilan saat ini bukanlah lagi menjalankan fungsinya sebagaimana

yang dicita-citakan oleh masyarakat Indonesia yang dapat memberikan keadilan dan kepastian hukum.

Namun dalam pelaksanaannya banyak dipengaruhi oleh kepentigan-kepentingan tertentu. Sebagai

contoh, dalam perkara di atas, terdakwa yang merupakan orang yang berasal dari keluarga dengan

kondisi sosial ekonomi yang sangat kurang, sehingga mereka tidak sanggup untuk membayar biaya

perkara, ataupun “biaya-biaya” lainnya yang kerapkali diminta oleh kepentingan-kepentingan kelompok

tertentu dalam mafia peradilan dengan iming-iming akan mendapatkan tuntutan lebih rigan ataupun di

bebaskan, menjadikan posisi mereka semakin sulit, sehingga terpaksa menerima putusan Hakim apa

adanya, walaupun harus mendekam dalam ketidak adilan dan kepastian hukum. Dengan demikian kondisi

Peradilan di Indonesia masih jauh antara Harapan dan Kenyataan yang ada.

C. KEPASTIAN HUKUM

a. Substansi

Dalam naskahnya yang berjudul “Rhetorica”, Aristoteles menulis bahwa “hukum tidak tertulis atau

hukum yang lebih tinggi, yaitu keadilan dapat diminta oleh pembela sebagai perwujudan dari keadilan

yang dicapai di luar hukum tertulis”. Hal ini menandakan bahwa sejak berabad-abad yang lalu telah

disadari, sesungguhnya keadilan tidak dapat diharapkan hanya dengan menerapkan hukum tertulis

menurut bunyi kata-katanya, tetapi sesungguhnya berada dibalik yang tersirat dalam hukum. Hakim harus

menafsirkan hukum agar keadilan dapat terwujud.

Bertalian dengan penafsiran hukum tersebut, Wirjono Prodjodikoro menegaskan bahwa segala

hukum baik yang tertulis yang termuat dalam pelbagai undang-undang, maupun yang tidak tertulis, yaitu

berdasar atas adat kebiasaan seperti hukum adat, selalu membuka kemungkinan ditafsirkan secara

bermacam-macam. Tergantung dari tafsiran inilah sebetulnya bagaimana isi dan maksud sebenarnya

dari suatu peraturan hukum harus dianggap. Kalau diingat, bahwa pada akhirnya penafsiran dari

hakimlah yang mengikat kedua belah pihak, maka dapat dikatakan bahwa hakim adalah perumus dari

hukum yang berlaku. Dengan demikian pekerjaan hakim mendekati sekali pekerjaan pembuat undang-

undang selaku pencipta hukum16.

Akan tetapi menafsirkan undang-undang tidak dilakukan secara sewenang-wenang, ada rambu-

rambu yang harus ditaati. J.H. Logemann mengatakan bahwa hakim harus tunduk pada kehendak

pembuat undang-undang, yaitu kehendak pembuat undang-undang seperti yang dapat diketahui terletak

di dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Dalam kehendak itu tidak dapat dibaca

dengan begitu saja dari kata undang-undang, maka hakim harus mencarinya dalam sejarah kata-kata

tersebut, dalam sistem undang-undang, atau dalam arti kata-kata itu seperti yang dipakai dalam

16 Ramelan, Metode Interpretasi dan Jaminan Kepastian Hukum Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

Legalitas.com14

Page 15: Teori Hukum

pergaulan sehari-hari pada waktu sekarang. Hakim wajib mencari kehendak pembuat undang-undang,

karena ia tidak boleh membuat penafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak itu. Setiap penafsiran

adalah tafsiran yang dibatasi oleh kehendak pembuat undang-undang. Sebab itu hakim tidak boleh

menafsirkan undang-undang secara sewenang-wenang yaitu menurut kehendak hakim sendiri 17.

b. Struktur

Wujud kepastian hukum menurut Sudikno Mertokusumo : “Dalam hukum yang penting bukan apa

yang terjadi, tetapi apa yang seharusnya terjadi. Di dalam Undang Undang tidak dapat dibaca bahwa

siapa yang mencuri harus dihukum. Ketentuan yang berbunyi “barang siapa yang mencuri harus

dihukum” tidak berarti bahwa telah terjadi pencurian dan pencurinya harus dihukum, tetapi barang siapa

mencuri harus dihukum. Persyaratannya (mencuri) menyangkut peristiwa (sein), sedankan

kesimpulannya (dihukum) menyangkut keharusan (sollen). Sebagai syarat harus terjadi peristiwa konkrit

terlebih dahulu. Oleh karena telah terjadi peristiwa maka sesuai bunyi kaidahnya harus ada akibat.

Dihukumnya pencuri bukanlah merupakan akibat pencurian. Orang tidak dihukum karena (sebagai

akibat) mencuri, tetapi pencuri harus dihukum berdasarkan undang-undang yang melarangnya. Disini

tidak berlaku hukum sebab-akibat. Kaidah hukum itu bersifat memerintah, mengharuskan atau preskriptif.

Dalam definisi ini bila dikaitkan dengan perkara pidana yang telah penulis bahas sebelumnya,

maka dalam hal ini adalah peran hukum dalam mewujudkan kepastian hukum tersebut di wujudkan

melalui lembaga peradilan yang ada, dalam hal ini hakim sebagai sosok tunggal yang memiliki wewenang

dalam memutuskan sebuah sengketa hukum berdasarkan hukum,fakta-fakta persidangan dan keyakinan

yang dimiliknya. Tetapi sering kali penafsiran hukum yang salah,atau tidak sesuai dengan penafsiran

hukum, mengakibatkan kepastian hukum disini hanya tinggal sebuah harapan.

D. PENUTUP

a. Kesimpulan

Tujuan di Negara Hukum adalah untuk melindungi masyarakat, member keadilan dan memajukan

kehidupan bangsa. Hukum sebenarnya adalah agen perubahan untuk mewujudkan kehidupan bangsa,

alokasi pendapatan yang lebih merata dan adil. Artinya, kalau ada keadaan yang tidak merata, tujuan

hukum adalah menjadikan keadaan itu menjadi merata. Hukum dengan fundsi-fungsi yang diembannya itu

terkadang mulus tanpa hambatan yang merintanginya, namun terkadang pula sebaiknya, fungsi-fungsi

hukum itu hanyalah sekedar impian tak kunjung nyata. Bukannya perlindungan keadilan yang diperoleh,

namun sebaliknya justru ketakutan, ketidakadilan dan kemiskinan yang ditimbulkan. Salah satu penyebab

tidak berfungsinya hukum itu barangkali karena lembaga yang mendukungnya tidak mampu

mengaktualisasikan keinginan hukum itu.

Perhatian kita terhadap lembaga pengadilan tidak lepas dari adanya posisi terhormat dan strategis

yang dimiliki serta prilaku prilaku sosial yang dihasilkan melalui aktivitas-aktivitas peradilan yang terkadang

17 Ibiddem.15

Page 16: Teori Hukum

bersinggungan dengan posisinya yang terhormat dan strategis itu.terhormat lembaga peradian akan dapat

bergeser pada posisi pinggiran yang tercemar dan tercela ketika aktivitas aktivitas yang dihasilkan tidak

lagi mencerminkan keadilan, baik keadilan hukum, keadilan masyarakat, terutama keadilan Tuhan.

b. Saran

Berdasrakan hal tersebut, maka perlu disusun suatu standar profesi penegak hukum, baik dari

jaksa, hakim atau penegak hukum lainnya secara komprehensif dengan memperhatikan perundang-

undangan, doktrin, kode etik, serta panduan internasional yang telah disusun oleh PBB. Selain itu

penilaian pelaksanaan pekerjaan para penegak hukum juga harus disesuaikan dengan kemampuan.

Seperti keahlian yang dimilikinya sehubungan dengan kemampuan dan pengetahuan akan perkara yang

ditanganinya.Selain itu sebagai salah satu wujud pelaksanaan Good Governance dengan prinsip prinsip

transparansi, partisipatif, dan akuntable dalam lembaga kejaksaan, makaakses public atas proses yang

terjadi dan produk yang dihasilkan oleh lembaga peradilan perlu dilembagakan dan diatur secara jelas.

Berbagai hal yang telah diuraikan di atas pada dasarnya menunjukan bahwa lembaga peradilan

harus lebih mengoptimalkan dan membenahi diri. Sebagai lembaga penegak, seharusnya pengadilan dan

kejaksaan memiliki wibawa dihadapan masyarakat. Di tengah kemelut krisis multi dimensi ini, masyarakat

berharap lembaga peradilan dapat memberikan titik terang dalam upaya penegakkan hukum. Salah

satunya adalah dengan mengadakan reformasi di tubuh lembaga peradilan itu sendiri.

Salah satu metode yang mungkin dapat dikategorikan sebagai langkah strategis yang perlu

menjadi prioritas utama dalam kerangka pembaharuan dan pembenahan peradilan tersebut adalah

menigkatkan peran serta masyarakat sebagai kontrol sosial bagi semua pelaksanaan dari kebijakan

kebijakan publik atau dalam bahasa yang lebih mudah adalah menjadikan public sebagai elemen

pengawas bagi kinerja lembaga Negara, yang dalam hal ini adalah lembaga peradilan.

Hal tersebut sangat penting untuk disikapi, karena semua itu sejalan dengan keadaan masyarakat

yang dari ahri ke hari semakin kritis terhadap perubahan. Dalam masyarakat yang semakin demokratis,

tuntutan untuk melaksanakan prinsip prinsip Good Governance oleh aparat Negara,lebih lebih aparat

penegak hukum sangatlah kencang. Masyarakat saat ini semakin sadar bahwa keterbukaan,

pertanggungjawaban dan pelibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan sangatlah penting dan

besar pengaruhnya kepada kebijakan publik yang diambil oleh apart atau pejabat Negara tersebut.

16