tugas akhir teori hukum
TRANSCRIPT
UJIAN AKHIR SEMESTER
HUKUM PERBANKAN
RIANDA DIRKARESHZA
1606846440
PEMBATALAN UU No. 17 TAHUN 2012 DALAM PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI No. 28/PUU-XI/2013 BERTENTANGAN
DENGAN ASPEK USAHA BERSAMA BERDASARKAN ASAS
KEKELUARGAAN
1. Latar Belakang
Melemahnya Eksistensi Koperasi di Republik Indonesia serta kurangnya
minat masyarakat untuk membangun koperasi dan bergabung di Organisasi
Koperasi adalah alasan utama penulis mengangkat judul mengenai koperasi.
Seiring perkembangan waktu muncullah Peraturan perundang-undangan baru
yang mengatur mengenai koperasi. Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 tentang
Perkoperasian adalah Undang-Undang baru yang dirancang untuk mengatur
Koperasi di Indonesia menjadi lebih baik lagi, namun hal itu tidak berjalan seperti
yang diharapkan, beberapa ahli dan rakyat berpendapat bahwa Undang-Undang
No. 17 Tahun 2012 sangat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun
1945 sebagai dasar hukum koperasi itu sendiri, selain itu Undang-Undang No. 17
Tahun 2012 juga bersifat Individualisme, Kapitalis dan memihak kepada pihak
yang memberikan modal bukan kepada anggota koperasi itu sendiri. Karena
sejatinya koperasi indonesia adalah perkumpulan orang-orang dan bukan
1
perkumpulan modal.1 Secara umum yang dimaksud dengan koperasi adalah suatu
badan usaha bersama yang bergerak dalam bidang perekonomian lemah yang
bergabung secara sukarela dan atas dasar persamaan hak, kewajiban melakukan
suatu usaha yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan–kebutuhan anggotanya.2
Koperasi Indonesia memberikan pengertian kita tidak boleh mengimpor
begitu saja pengertian-pengertian koperasi tersebut di atas, karena cara-cara
berkoperasi yang dianggap baik dijalankan di luar negeri, kemungkinan ada yang
kurang cocok untuk dijalankan di negara kita. Jadi dalam hal mengimpor
pengertian koperasi itu, kita harus mengadakan penyesuaian-penyesuaian dengan :
1. Cita-cita segsenap bangsa Indonesia, yaitu terbentuknya negara adil dan
makmur yang menyeluruh.
2. Kondisi-kondisi yang berlaku serta kebutuhan-kebutuhan yang nyata dari
masyarakat umumnya di tanah air kita.
3. Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun
1945.3
Koperasi sebagai usaha bersama, harus mencerminkan ketentuan-
ketentuan sebagaimana lazimnya didalam kehidupan suatu keluarga. Dimana
segala sesuatunya dikerjakan secara bersama-sama dan ditujukan untuk
kepentingan bersama seluruh anggota keluarga.4
Koperasi diatur oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1965 tentang
Perkoperasian pada awal kemerdekaan Indonesia. Setelah itu terjadi beberapa
1G. Kartasapoetra, Ir. A.G. Kartasapoetra, Drs. Bambang, Drs. A. Setiady, Koperasi Indonesia, PT. Rineka Citra, Jakarta, 2007, Hal 3
2G. Kartasapoetra & A.G. Kartasapoetra, Koperasi Indonesia(Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 1.
3 Ibid., hlm. 2.4 Mulhadi, Hukum Perusahaan Bentuk-bentuk badan usaha di Indonesia(Medan: Galia
Indonesia, 2010), hlm. 113.
2
peraturan mengenai koperasi tersebut dan diganti oleh Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian, kemudian setelah itu diganti
oleh
3
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dan yang terbaru
adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian (Selajutnya
disebut dengan Undang-Undang koperasi).5
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1965 tentang Perkopersian digantikan
oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1967 tentang Pokok–Pokok Perkoperasian
degan tujuan untuk membangkitkan peran koperasi sebagai wadah perjuangan
ekonomi rakyat dan mengembalikan koperasi perjuangan untuk meningkatkan dan
membangkitkan peran koperasi sebagai wadah perjuangan ekonomi rakyat dan
mengembalikan koperasi pada landasan-landasan asas–asas dan sendi sendi
koperasi yang murni. Perbaikan dan pengembangan pada Undang-Undang
Koperasi terus dilakukan dalam rangka peningkatan perekonomian rakyat melalui
koperasi. Hal tersebut juga dilakukan dengan memegang teguh prinsip-prinsip
koperasi yang murni dan menjaganya agar tetap ada dan menjiwai seluruh
koperasi yang didirikan di Indonesia. Akhirnya pada tahun 2012 diterbitkanlah
Undang-Undang Perkoperasian terbaru yang dianggap akan membawa perhatian
terhadap koperasi itu sendiri. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 mengenai
Perkoperasian ini membawa banyak konsep-konsep baru yang ditujukan dalam
rangka mengembangkan koperasi dan menyesuaikan dengan perekonomian
global. Undang-Undang diamanatkan untuk membawa koperasi kearah yang lebih
baik lagi.6
Koperasi memberikan pengertian secara umum bahwa prinsip dasar,
definisi koperasi, bentuk koperasi dan jenis usahanya sesuai dengan Undang-
Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 33 ayat (1) yang berbunyi “Perekonomian
5http://www.academia.edu (diakses tanggal 9 Desember 2016).6 Ibid., hlm. 2.
4
disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan” yang mana hal ini
merupakan landasan hukum perekonomian nasional dan merupakan jati diri
koperasi.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dapat
dikatakan telah merusak otonomi dan jati diri koperasi Indonesia. Yang
merupakan organisasi perkumpulan orang dan bukan perkumpulan modal.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian yang baru saja
diundangkan 30 Oktober lalu masih mewarisi tradisi kolonial. Koperasi
diterjemahkan sebagai badan hukum sebagai subyek yang tidak ada bedanya
dengan badan-badan usaha lainnya. Sehingga landasan dari Undang-Undang ini
adalah asas perorangan yang terjemahannya tidak ada bedanya dengan perusahaan
seperti persero.
Perkembangan ekonomi yang semakin besar juga berpengaruh pada
Undang-Undang Perkoperasian yang baru ini yang mana lebih memandang
sebagai organisasi usaha seperti halnya perusahaan swasta yang dikelola untuk
mendapatkan untung yang sebesar-besarnya.
Uraian yang telah disampaikan sebelumnya Undang-Undang Nomor 17
diberi pengertian badan hukum yang sesungguhnya hanya kontinum dari
pengertian Undang-Undang yang menyebutkan pengertian koperasi sebagai badan
usaha. Hal inilah yang akhirnya oleh beberapa pihak mengajukan Judicial Review
ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena banyak dianggap tidak sejalan dengan jati
diri koperasi Indonesia yang menagacu dan berdasarkan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 diantaranya Pasal 33 ayat (1) yang dianggap
5
sangat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang
Perkoperasian.
2. Kerangka Teori
Koperasi secara etimologis terdiri dari dua suku kata yaitu, co dan
operation, yang mengandung arti bekerja sama untuk mencapai tujuan.7 Oleh
karena itu, koperasi adalah suatu perkempulan yang beranggotakan orang orang
atau badan usaha yang memberikan kebebasan masuk dan keluar sebagai anggota
dengan bekerja sama secara kekeluargaan menjalankan usaha untuk mempertinggi
kesejahteraan jasmaniah para anggota. Dasar hukum keberadaan koperasi di
Indonesia adalah Undang-Undang Perkoperasian dan Pasal 33 Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan menurut pasal 1 Undang-
Undang Perkoperasian di Indonesia adalah : “Badan usaha yang beranggotakan
orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya
berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang
berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Koperasi secara umum dapat disimpulkan
sebagai suatu kumpulan orang-orang yang mempunyai tujuan sama, diikat dalam
suatu organisasi yang berasaskan kekeluargaan dengan maksud mensejahterakan
anggota.
Tujuan koperasi sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 3 Undang-
Undang Perkoperasian di Indonesia menyebutkan : “Koperasi bertujuan
memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada
umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam rangka
mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur berlandaskan Pancasila dan
7 Koermen, Manajemen Koperasi Terapan(Jakarta: PT. Prestasi Pustaka Raya, 2003), hlm. 37.
6
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945”. Diterbitkannya Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian diharapkan dapat
menambah kapasitas dan membangun koperasi yang lebih baik lagi, tapi
sayangnya Undang-Undang ini ternyata tidak dapat menangkap aspirasi menuju
koperasi yang lebih baik lagi. Sehingga susunannya tidak menciptakan ruang bagi
pertumbuhan gerakan dari jati diri koperasi karena pengertian koperasi menjadi
kabur. Koperasi adalah sebagai perkumpulan orang, sedangkan menurut Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian koperasi adalah Asosiasi
berbasis modal. Karena Undang-Undang ini telah melanggar jati diri koperasi
oleh karena itu jelas Undang-Undang ini telah melanggar Undang-Undang Dasar
dimana telah ditegaskan bawah sistem ekonomi kekeluargaan adalah sistem dari
koperasi itu sendiri.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 pasal 33 memandang
koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional, yang kemudian semakin
dipertegas dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang
Perkoperasian. Menurut M. Hatta sebagai pelopor pasal 33 Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia 1945 tersebut, koperasi dijadikan sebagai sokoguru
perekonomian.8 Salah satu pokok pikiran dari M. Hatta adalah koperasi
menentang segala paham yang berbau individualisme dan kapitalisme, hal ini lah
yang membuat pandangan awal bahwasannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2012 tidak selaras dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Pasal 33 ayat (1).
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dapat
dikatakan telah merusak otonomi dan jati diri koperasi Indonesia. Yang
8https://fani4.wordpress.com (diakses tanggal 9 Desember 2016).
7
merupakan organisasi perkumpulan orang dan bukan perkumpulan modal.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian yang baru saja
diundangkan 30 Oktober lalu masih mewarisi tradisi kolonial. Koperasi
diterjemahkan sebagai badan hukum sebagai subyek yang tidak ada bedanya
dengan badan-badan usaha lainnya. Sehingga landasan dari Undang-Undang ini
adalah asas perorangan yang terjemahannya tidak ada bedanya dengan perusahaan
seperti persero.
Perkembangan ekonomi yang semakin besar juga berpengaruh pada
Undang-Undang Perkoperasian yang baru ini yang mana lebih memandang
sebagai organisasi usaha seperti halnya perusahaan swasta yang dikelola untuk
mendapatkan untung yang sebesar-besarnya. Hal ini yang membuat penulis
berpendapat bahwa adanya hukum yang dirancang dan diberlakukan yang
nyatanya memihak ke politik dan sama sekali tidak netral terlebih tidak lagi
mengacu kepada Undang Undang Dasar. Pembahasan mengenai hal ini akan dapat
diteliti dengan cermat apabila menggunakan Teori Critical Legal Studies karna
Critical Legal Studies menekankan bahwa Hukum Harusnya bersifat otonom dan
netral tidak memihak.
Para penganut teori hukum tradisional berkeyakinan bahwa hukum
haruslah netral dan dapat diterapkan kepada siapa saja secara adil, tanpa
memandang kekayaan, ras, gender atau harta. Meskipun mereka tidak satu
pendapat mengenai apakah dasar yang terbaik bagi prinsip-prinsip hukum, yakni
apakah dasarnya adalah wahyu Tuhan, etika sekuler, pengalaman masyarakat,
atau kehendak mayoritas. Akan tetapi, umumnya mereka setuju terhadap
8
kemungkinan terpisahnya antara hukum dan politik, hukum tersebut menurut
mereka akan diterapkan oleh pengadilan secara adil.9
Para teoritisi postmodern percaya, pada prinsipnya hukum tidak
mempunyai dasar yang objektif dan tidak ada yang namanya kebenaran sebagai
tempat berpijak dari hukum. Dengan kata lain, hukum tidak mempunyai dasar
berpijak, yang ada hanya kekuasaan.10 Yang menjadi ukuran bagi hukum bukanlah
benar atau salah, bermoral atau tidak bermoral melainkan hukum merupakan apa
saja yang diputuskan dan dijalankan oleh kelompok masyarakat yang paling
berkuasa.11
Fokus sentral pendekatan critical legal studies adalah untuk mendalami
dan menganalisis keberadaan doktrin-doktrin hukum, pendidikan hukum dan
praktek institusi hukum yang menopang dan mendukung sistem hubungan-
hubungan yang oppressive dan tidak egaliter. Teori kritis bekerja untuk
mengembangkan alternatif lain yang radikal, dan untuk menjajagi peran hukum
dalam menciptakan hubungan politik, ekonomi dan dan sosial yang dapat
mendorong terciptanya emansipasi kemanusiaan.12
Para pemikir CLS menemukan tiga kontradiksi dalam pemikiran hukum
liberal (legal liberalism). Pemikiran liberalisme hukum mengacu pada pemikiran
Hart, Kelsen, Joseph Raz, Dworkin, John Rawls, Nozick, Finnis, Lon Fuller dan
9 Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum), Citra Aditya Bakti,Bandung, 2003, hlm. 1.
10 Peter Fitzpatrict dan Alan Hunt, Critical Legal Studies, Basil Blackwell Ltd, New York, 1987, hlm. 2
11 Ifdhal Kasim, Mempertimbangkan Critical Legal Studies dalam Kajian Hukum diIndonesia , terjemahandari karya Roberto Mangabeira Unger, The Critical Legal Studies Movement, Cambridge Harvard University Press, 1986, hlm. 20
12 Anom Surya Putra, Teori Hukum Kritis: Struktur Ilmu dan Riset Teks, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 18
9
lainnya. Kontradiksi dalam pemikiran hukum liberal ini berakar dari paham
liberalisme yang mereka (pemikir-pemikir hukum liberal) anut. 13
Bagi para pemikir CLS (paham) liberalisme adalah sebuah sistem
pemikiran yang secara serentak menderita kontradiksi internal dan juga represi
(penekanan) secara sistematik adanya kontradiksi tersebut. Ada tiga kontradiksi
utama:14
1. Kontradiksi pertama adalah kontradiksi antara komitmen pada aturan-aturan
terapan yang mekanis sebagai cara yang tepat untuk memecahkan masalah
(menyelesaikan sengketa) dan komitmen pada sensivitas situasional yang
berpedoman pada standar yang bersifat ad hoc (yang ditetapkan dengan
bergantung pada situasi dan kondisi tertentu).
Kontradiksi antara Legisme-mekanik yang permanen dengan standar yang bersifat
situasional, atau antara logika yang bersifat Statis dan Dinamis.
2. Kontradiksi kedua adalah kontradiksi antara komitmen pada paham liberal
yang tradisional mengenai bahwa nilai dan hasrat bersifat sewenang-wenang,
subjektif, individual dan mengalami individuasi; sementara mereka juga
yakin bahwa fakta atau rasio yang ada bersifat objektif dan universal, dan
dengan komitmen pada ide bahwa kita dapat memperoleh kebenaran baik
sosial maupun etis secara objektif atau kita boleh berharap bahwa seseorang
mungkin dapat untuk melampaui pembedaan antara subjektif dan objektif
dalam rangka mencari kebenaran moral.
Kontradiksi antara Subjektivitas dengan Objektivitas.
13 FREEMAN, M.D.A. Lloyd’s Introduction to Jurisprudence. Sixth Edition. London: Sweet & Maxwell. Ltd., 1994.
14 Antonius Cahyadi. Manuskrip Kuliah Filsafat Hukum Program Reguler, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Hlm 15
10
3. Kontradiksi ketiga adalah kontradiksi antara komitmen pada diskursus yang
bersifat intensional, dimana semua sikap tindak manusia dilihat sebagai
produk dari kehendak untuk menentukan diri sendiri, dan dengan komitmen
pada diskursus yang bersifat deterministik (bergantung) dimana segala
aktivitas individu merupakan hasil dari dampak yang diharapkan oleh struktur
yang ada.
Kontradiksi antara Intensionalitas dan Determinisme.
Selain kontradiksi-kontradiksi tersebut dalam liberalisme dapat ditemukan
pula asumsi-asumsi yang melatarbelakangi munculnya teori-teori hukum liberal
(menurut Donal Gerdjingen) yaitu:15
1. Hukum bersifat a-politis, bersifat netral, tidak memihak dan murni. Hukum
adalah sebuah produk dari rasio (akal budi) dan bukan produk politik.
2. Hukum bersifat otonom. Secara inheren ia lengkap dan mempunyai sistemnya
sendiri (self contained system).
3. Hukum bersifat a-historis. Metode dan teknik yang dipergunakan dalam ilmu
hukum senantiasa sama dari waktu ke waktu.
4. Ada pendapat bahwa ada jawaban untuk seluruh masalah hukum
(fenomenanya terlihat dalam prinsip bahwa hakim tidak boleh menolak
sebuah masalah dengan alasan tidak ada hukum). Aturan hukum
mengandaikan bahwa setiap orang harus dapat memperkirakan apa yang akan
dilakukan oleh pengadilan.
5. Objek utama dari studi ilmu hukum adalah peraturan hukum (legal rules) dan
putusan-putusan pengadilan (ajudikasi).
15 HARDIMAN, F.Budi. Menuju Masyarakat Komkunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 1993 Hlm 45
11
Baginya kita sering tidak waspada pada adanya asumsi dan premis-premis
yang melatarbelakangi sebuah prinsip hukum. Kita sering menerima begitu saja
bahwa sebuah pernyataan hukum bersifat mewakili kebenaran dan keadilan yang
kita harapkan. Padahal dibalik itu ada kepentingan yang terbungkus dalam
ideologi atau asumsi-asumsi. Robert W. Gordon melihat ada tiga metodologi yang
digunakan oleh studi hukum kritis untuk membuka selubung ideologi, yaitu:16
1. Thrashing: mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang sudah mapan
terbentuk dengan memilah dan memilih konsep-konsep hukum (yang terlihat
dalam istilah-istilah hukum) yang mungkin membuat kita terlena dan tidak
sadar (consciousness).
2. Deconstruction: menghancurkan pemikiran hukum yang ada untuk dilakukan
rekonstruksi kemudian.
3. Genealogy: menunjukkan pada masyarakat bagaimana kekuasaan itu ternyata
secara perlahan menggunakan jaring-jaring kekuasaannya untuk
menundukkan masyarakat.
metodologi yang digunakan oleh studi hukum kritis untuk membuka
selubung ideology yang tepat dalam pembahasan ini adalah Thrashing:
mematahkan atau menolak pemikiran hukum yang sudah mapan terbentuk dengan
memilah dan memilih konsep-konsep hukum (yang terlihat dalam istilah-istilah
hukum) yang mungkin membuat kita terlena dan tidak sadar (consciousness).
Undang Undang No 17 Tahun 2012 dirasa cukup mapan untuk menjadi Undang
Undang namun banyak hal hal yang membuat masyarakat dirugikan dan memiliki
unsur politik dan membuat Undang – Undang tersebut bersifat tidak netral, serta
16 HELD, David. Introduction to Critical Theory, Horkheimer to Habermas. Cambridge: Polity Press, 1990. Hlm 11
12
Undang – Undang tersebut bertentangan dengan Dasar negera kita di Indonesia
yaitu Undang – Undang Dasar.
REFRENSI
BUKU & JURNAL
Anom Surya Putra, Teori Hukum Kritis: Struktur Ilmu dan Riset Teks, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 18
Antonius Cahyadi. Manuskrip Kuliah Filsafat Hukum Program Reguler, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005. Hlm 15
FREEMAN, M.D.A. Lloyd’s Introduction to Jurisprudence. Sixth Edition. London: Sweet & Maxwell. Ltd., 1994.
G. Kartasapoetra, Ir. A.G. Kartasapoetra, Drs. Bambang, Drs. A. Setiady, Koperasi Indonesia, PT. Rineka Citra, Jakarta, 2007, Hal 3
G. Kartasapoetra & A.G. Kartasapoetra, Koperasi Indonesia(Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 1.
HARDIMAN, F.Budi. Menuju Masyarakat Komkunikatif: Ilmu, Masyarakat, Politik dan Postmodernisme menurut Jurgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius, 1993 Hlm 45
HELD, David. Introduction to Critical Theory, Horkheimer to Habermas. Cambridge: Polity Press, 1990. Hlm 11
Ifdhal Kasim, Mempertimbangkan Critical Legal Studies dalam Kajian Hukum diIndonesia , terjemahandari karya Roberto Mangabeira Unger, The Critical Legal Studies Movement, Cambridge Harvard University Press, 1986, hlm. 20
Koermen, Manajemen Koperasi Terapan(Jakarta: PT. Prestasi Pustaka Raya, 2003), hlm. 37.
Mulhadi, Hukum Perusahaan Bentuk-bentuk badan usaha di Indonesia(Medan: Galia Indonesia, 2010), hlm. 113.
Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis (Paradigma Ketidakberdayaan Hukum), Citra Aditya Bakti,Bandung, 2003, hlm. 1.
13
Peter Fitzpatrict dan Alan Hunt, Critical Legal Studies, Basil Blackwell Ltd, New York, 1987, hlm. 2
WEBSITE
http://www.academia.edu (diakses tanggal 9 Desember 2016).
https://fani4.wordpress.com (diakses tanggal 9 Desember 2016).
14