tugas makalah teori hukum
DESCRIPTION
HukumTRANSCRIPT
Tugas Makalah Teori Hukum
PENERAPAN TEORI MAQASHID SYARIAH DAN KEDAULATAN RAKYAT DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
DI ERA GLOBALISASI
Oleh : Abdul Chair Ramadhan
A. Latar Belakang Masalah
Globalisasi1 telah menempati titik sentral dalam berbagai agenda intelektual
dan politik yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan krusial tentang apa yang oleh
banyak orang dipandang fundamental dan dinamis pada zaman kita ini, yakni sebuah
epos perubahan yang menentukan dan secara radikal sedang mentransformasikan
hubungan-hubungan dan lembaga-lembaga ekonomi dan sosial pada abad ke-21.2
Pengaruh perkembangan globalisasi dalam bentuk liberalisasi ekonomi saat ini telah
merubah makna kedaulatan rakyat atas bidang ekonomi secara tidak langsung.
Dikatakan demikian oleh karena kekuasaan rakyat yang diwujudkan dalam bentuk
hak menguasai negara saat ini mengalami pergeseran yang cukup serius. Hal ini
membawa kita kepada suatu pertanyaan sudah sejauhmanakah para pemegang
kebijakan (perekonomian) di Indonesia melaksanakan amanat yang tercantum dalam
Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
secara murni dan konsekuen.
1 Globalisasi terdiri dari proses-proses yang menghubungkan orang dimana saja, sehingga menimbulkan saling ketergantungan di seluruh dunia dan ditandai dengan pergerakan orang, benda, dan ide-ide secara cepat dalam skala besar melintasi batas-batas kedaulatan. David Held dan rekan-rekannya mendefinisikan globalisasi sebagai “perluasan, pendalaman dan percepatan saling keterkaitan semua aspek kehidupan sosial kontemporer seluruh dunia, dari budaya sampai kriminal, keuangan sampai spiritual”. Lihat: Richard W. Mansbach &Kirsten L. Rafferty, Pengantar Politik Global, Judul asli: Introduction to Global Politics, diterjemahkan oleh Amat Asnawi, (Bandung: Nusa Media, 2012), hlm.888.
2 James Petras dan Henry Veltmeyer, Imperialisme Abad 21, Judul Asli: Globalization Unmasked: Imperialism in the 21th Century, Penerjemah: Agung Priantoro, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), hlm.7.
Kedaulatan dalam suatu negara merupakan salah satu unsur atau syarat yang
harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu negara, pemerintahan yang berdaulat.
Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat3 sehingga rakyatlah yang memegang
kekuasaan tertinggi. Kedaulatan rakyat berdimensi dua yakni kedaulatan politik
(demokrasi politik) dan kedaulatan ekonomi (demokrasi ekonomi). Oleh karenanya
menjadi sangat penting untuk dilakukan penelusuran keterhubungan antara konstitusi
dengan implementasi kedaulatan rakyat dalam penyelenggaran pemerintahan negara
menurut sistem ekonomi Indonesia,4 khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam
sebagaimana ditegaskan pada Pasal 33 UUD 1945. Sistem perekonomian nasional
Indonesia adalah berdasarkan asas “kebersamaan dan asas kekeluargaan”,
sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.5
Kedaulatan rakyat sering diidentikkan dengan demokrasi yang di zaman
sekarang ini cenderung tidak lagi hanya dipandang sebagai konsep politik. Tema
3 Lihat: Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”
4 Sistem ekonomi Indonesia mengarah pada suatu bentuk yang disebut sistem ekonomi Pancasila. Sistem Ekonomi Pancasila (SEP) menurut Mubyarto adalah “ekonomi yang dijiwai oleh ideologi Pancasila, yaitu sistem ekonomi yang merupakan usaha bersama berasaskan kekeluargaan dan kegotong-royongan nasional”. Sistem Ekonomi Pancasila yang menjadi sumber ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila membawa keharusan untuk dijadikan dasar atau pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Lihat: Mubyarto, Ekonomi Pancasila Gagasan dan Kemungkinan (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm.32. Dasar filosofis sistem ekonomi Indonesia adalah Pancasila dan dasar konstitusionilnya adalah UUD 1945 Pasal 23, 27, 33, dan 34. Dengan demikian, maka sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang berorientasi kepada Ketuhanan Yang Maha Esa (berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme); Kemanusiaan yang adil dan beradab (tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi); Persatuan Indonesia (berlakunya kebersamaan, asas kekeluargaan, sosio nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam ekonomi); Kerakyatan (mengutamakan kehidupan ekonomi rakyat dan hajat hidup orang banyak); serta Keadilan Sosial (persamaan, kemakmuran masyarakat yang utama bukan kemakmuran orang-seorang). Sri Edi Swasono, Sistem Ekonomi Dan Demokrasi Ekonomi (Jakarta: UI Press,1985), hlm.125-126.
5 Prinsip-prinsip perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi berdasarkan UUD 1945 menyebabkan konstitusi kita berbeda dengan negara yang menganut paham individualisme seperti Amerika Serikat, tidak memasukkan urusan perekonomian dalam konstitusinya. Urusan perekonomian adalah urusan pasar, sehingga tidak perlu diatur dalam konstitusi.
demokrasi ekonomi (kedaulatan rakyat di bidang ekonomi) juga tidak kalah menonjol
dibandingkan dengan demokrasi politik. Dikatakan demikian oleh karena jaminan
akan hak-hak politik saja tidak lagi cukup untuk memperkuat kedudukan rakyat dalam
suatu negara, khususnya jika dikaitkan dengan kenyataan perkembangan kekuatan
ekonomi masyarakat pada level papan-bawah. Dengan demikian, maka demokrasi
ekonomi juga menjadi semakin aktual untuk dikembangkan bersamaan dengan
demokrasi politik.
Kedaulatan ekonomi suatu negara tidak lepas dari konfigurasi ekonomi politik
internasional6 yang kemudian memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi
corak ekonomi suatu negara yang dianut, termasuk Indonesia - yang dapat dilihat dari
konstitusi ekonominya.7 Dalam kasus Indonesia, konfigurasi8 yang terjadi justru
telah “meminggirkan” peran (kewenangan) negara dalam mengatur dan mengurus
perekonomian nasional, khususnya di bidang sumber daya alam.
Keadaan ini menyebabkan terbukanya ketergantungan atau dependensi
(dependency) terhadap pendanaan dari negara-negara maju dan lembaga-lembaga
6 Robert Gilpin, memberikan definisi standar mengenai ekonomi politik internasional, yaitu hubungan paralel dan saling menguntungkan antara “negara” (politik) dan “pasar” (ekonomi) dalam dunia modern, dalam Didin S. Damanhuri, Indonesia: Negara, Civil Society dan Pasar dalam Kemelut Globalisasi, (Jakarta: Penerbit FEUI, 2009), hlm.66.
7 Suatu konstitusi disebut konstitusi ekonomi jika memuat kebijakan ekonomi. Kebijakan-kebijakan itulah yang akan memayungi dan memberi arahan bagi perkembangan kegiatan ekonomi suatu negara. Peritilahan konstitusi ekonomi terkait dengan ekonomi konstitusi, dimana ekonomi konstitusi adalah perekonomian berdasarkan konstitusi, sedangkan konstitusi ekonomi adalah konstitusi yang di dalamnya mengandung norma-norma dasar kebijakan ekonomi. Karena itu, ekonomi konstitusi tidak dapat dipisahkan dari konstitusi ekonomi, dan demikian pula sebaliknya. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Cet.ke-1 (Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2010), hlm.68-69.
8 Konfigurasi yang dimaksud menyangkut tingkat keberdaulatan negara, terlepas ideologi yang dianut, tingkat keberdaulatan negara tergantung pada keberdayaan (workability) sistem ekonomi dan proses-proses politik. Keberdaulatan negara akan sangat menentukan perjalanan sistem dan kelembagaan ekonomi sesuai dengan pola interaksi dan keterkaitan antara pemerintah sebagai penyelenggara negara, sektor swasta sebagai pelaku ekonomi, dan masyarakat madani (civil society) sebagai pengusung nilai-nilai yang dianut dalam suatu negara. Lihat: Arifin dalam Deliarnov, Ekonomi Politik, (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 6.
finansial internasional. 9 Dalam bahasa Santos, dependensi adalah situasi yang
dikondisikan di mana ekonomi sebuah negara atau kelompok negara ditentukan oleh
pembangunan dan perluasan (kepentingan) dari negara-negara lain.10 Dalam
perspektif ketergantungan (dependency), investasi asing atau penanaman modal asing
(PMA) di Indonesia dapat dibaca sebagai kelanjutan investasi asing di masa kolonial11
yang ditekankan pada beberapa hal, yaitu (1) investasi untuk eksploitasi sumber daya
dan pertanian, (2) investasi baru yang bertujuan untuk mendapatkan pasar lokal serta
bahan baku dan pekerja murah sehingga menjadi lebih kompetitif pada pasar
internasional. Ini merupakan kesinambungan dari masa lalu, ketika investasi dari
suatu negara ke negara lain dapat terjadi karena adanya praktek kolonialisme.12
Petras dan Veltmeyer, memberikan batasan/pengertian bahwa globalisasi
identik dengan imperialisasi, sebagaimana dikatakan:
“Dengan menggunakan konsep imperialisme ini, jaringan lembaga-lembaga yang menentukan struktur sistem perekonomian global yang baru dilihat bukan dalam pengertian struktural, tetapi dalam pengertian kesengajaan dan ketergantungan, yang dikendalikan oleh orang-orang yang merepresentasikan
9 Tekanan IMF agar pemerintah Indonesia melakukan privatisasi sejumlah BUMN misalnya, jelas diarahkan untuk memberikan akses lebar bagi pemilik modal di dalam dan di luar negeri untuk mengambil alih penguasan negara atas perusahaan-perusahaan yang biasanya bersifat strategis, sambil memastikan bahwa pemerintah mendapatkan dana dari penjualan itu, dalam rangka memastikan pembayaran utang kepada IMF, lembaga-lembaga donor lain, dan pemerintah negara-negara maju yang berpiutang kepada Indonesia. Praktek semacam ini persis yang dilakukan IMF dan Bank Dunia saat terjadi krisis ekonomi di Amerika Latin pada tahun 1980-an. Baca: Syamsul Hadi, dkk, Kudeta Putih: Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan Asing dalam Ekonomi Indonesia, Cet.1 (Jakarta: Berdikari, 2012), hlm.11.
10 Ibid, hlm.12.11 Imperialisme generasi terdahulu yang berlangsung dari abad 16 hingga tengah abad 20 bercirikan
pendudukan langsung negara terjajah untuk dieksploitasi Sumber Kekayaan Alam (SKA) maupun sumber daya manusia (SDM) baik sebagai sumber bahan mentah untuk industry maupun sumber buruh murah bagi negara penjajah (kolonial). Sementara Neo-imperialisme global yang berlangsung dewasa ini umumnya tidak melakukan pendudukan langsung - dengan menggunakan hard power - melainkan dengan menggunakan instrument perdagangan internasional untuk sebesar-besarnya keuntungan negara-negara industri maju dengan penggunaan soft power berupa ekspor nilai-nilai demokrasi, HAM, sekularisme dan globalisme serta terakhir setelah peristiwa 11-9-2003 ditambah dengan again of terrorism. Lihat: Didin S. Damanhuri, Op.Cit, hlm.160.
12 Salamudidn Daeng,”Investment in Indonesia” Neocolonialism and Its Destruction to People Economy”, diakses dari http:www.networkideas.org/ideasact/de09/pdf/Daeng_Salammudin.pdf pada tanggal 10 Januari 2013, jam: 21.15 WIB.
dan berusaha mendahulukan kepentingan-kepentingan kelas kapitalis internasional baru.”13
Begitupun Bonnie, menjelaskan bahwa globalisasi yang kita kenal sekarang
ini sebenarnya merupakan hasil perkembangan yang panjang dan lama dari sistem
kapitalisme. Globalisasi adalah kata popular untuk menjelaskan sebuah fenomea
intenasionalisasi sistem kapitalisme yang berkembang menjadi sistem dunia yang luar
biasa besarnya dan yang menentukan hampir semua hal di dunia. Padanan lain dari
globalisasi adalah imperialisme yaitu sistem kapitalisme yang berkembang dalam
tahapan-tahapan secara kualitatif melewati proses sejarah sehingga pada akhirnya
melingkupi wilayah-wilayah antar-perbatasan nasional dan berwatak
internasional/global.14
Pada kasus Indonesia, perihal dependensi mewujud dalam bentuk pemulihan
ekonomi nasional (economic recovery), negara-negara dunia ketiga (termasuk
Indonesia) meluncurkan kebijakan ekonomi neoliberal. Ciri utama kebijakan ini
adalah privatisasi dan liberalisasi serta pemotongan besar-besaran subsidi.
Pengadopsian kebijakan ini menjadi masuk akal karena negara-negara yang
mengalami krisis keuangan menggunakan dana pinjaman dan konsultasi IMF, tempat
13 James Petras dan Henry Veltmeyer, Op.Cit, hal.10. Disebutkan bahwa kelas ini dibentuk berdasarkan lembaga-lembaga yang meliputi sekitar 37.000 perusahaan transnasional (TNC), unit-unit kerja kapitalisme global, penyalur-penyalur modal dan teknologi serta agen-agen besar tatanan imperial baru. Perusahaan-perusahaan transnasional tersebut bukan hanya menjadi penyangga organisatoris tatanan imperial ini, yang juga termasuk Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan lembaga-lembaga keuangan internasional lain yang mengklaim diri sebagai “komunitas keuangan internasional”, atau apa yang disebut oleh Barnet dan Cavenagh sebagai “jaringan keuangan global”. Tatanan dunia baru ini juga disangga oleh banyak sekali forum perencanaan dan kebijakan strategis global seperti Kelompok Tujuh (G-7), Komisi Trilateral (TC) dan Forum Ekonomi Dunia (WEF); dan aparatur pemerintahan di negara-negara yang menjadi pusat sistem yang telah direstrukturisasi sedemikian rupa untuk melayani dan merespons kepentingan-kepentingan modal global. Seluruh lembaga ini menjadi sebuah bagian integral dari imperialisme baru, yakni sistem “pemerintahan global” baru.
14 Bonnie Setiawan, Rantai Kapitalisme Global, Reorganisasi Fundamental Rantai Pasokan Global, (Yogyakarta: Resistbook, 2012), hlm.10-11.
bercokolnya ideologi neoliberal.15 Menurut Winarno16, tesis utama para penganut
neo-liberalisme adalah pasar merupakan institusi utama dan paling utama dalam
masyarakat, dan karenanya pasar dianggap sebagai mekanisme yang paling efisien
dalam mendistribusikan sumber-sumber ekonomi langka. Untuk itu, pasar harus
dibebaskan dari campur tangan negara, karena campur tangan ini hanya akan
membuat pasar tidak dapat bekerja secara efisien dalam mendistribusikan sumber-
sumber ekonomi kepada masyarakat. Oleh karena itu, kebjiakan neo-liberalisme ini
mempunyai ciri dalam tiga hal, yakni liberalisasi, privatisasi dan deregulasi.
Keadaan ini menunjukkan bahwa upaya penegakan demokrasi ekonomi
nampaknya berhadapan dengan upaya-upaya untuk memperjuangkan pasar bebas,
yang menjadi senjata penganut paham liberalisme dan kapitalisme. Isu-isu yang
kemudian dicuatkan diantaranya adalah, deregulasi, privatisasi BUMN dan liberalisasi
impor, termasuk dan khususnya dalam sektor pangan.
Kampanye demokrasi yang diusung oleh negara-negara penganut pasar bebas
(barat), dengan aktor-aktornya seperti IMF, Word Bank dan WTO telah menjadi
intstrumen keberlakuan kapitalis global. Kendati pun pemimpin pemerintah dipilih
secara langsung oleh rakyat – sebagai perwujudan demokrasi (kedaulatan) politik –
tetap saja kebijakan pemerintah nyatanya lebih banyak melayani kepentingan para
pemilik modal dan korporasi global (multinasional).15 Bandingkan dengan David Harvey, Neoloberalisme dan Restorasi Kelas Kapital, dalam Budi
Winarno Melawan Gurita Neoliberalisme, (Jakarta: Erlangga, 2010), h.2 Sebagai bagian dari paket kebijakan Konsensus Washington, IMF dengan dukungan Word Bank dan ADB merancang program reformasi, seperti reformasi sektor energi dan ketenagalistrikan, reformasi sektor sumber daya air, reformasi sektor perkebunan dan kehutanan, reformasi sektor sumber daya mineral, dan seterusnya. Rincian langkah dan jadwal reformasi ekonomi dan kelembagaan yang disepakati RI-IMF ini merupakan prasyarat bagi pencairan dana bantuan sebesar US$ 260 juta sebagai bagian dari paket bantuan sebesar US$ 5 miliar yang akan dicairkan (Kompas, 24 Januari 2000). Kemudian, bersama lembaga donor lain IMF melakukan intervensi dalam setiap proses pengambilan keputusan ekonomi dan politik, termasuk penyusunan aturan perundang-undangan, dengan dalih perlunya Indonesia mempertahankan stabilitas ekonomi yang dapat memulihkan kepercayaan pasar.
16 Budi Winarno, Budi Winarno, Globalisasi dan Krisis…Op.Cit, hlm.20.
Perihal kedaulatan ekonomi di era liberalisasi ekonomi saat ini semakin
menjauh dari nilai-nilai yang dikandung dalam rumusan Pasal 33 UD 1945. Sejarah
politik hukum Indonesia mencatat lahirnya sejumlah produk perundang-undangan
yang bernuansa liberal, seperti UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas
Bumi (Migas), UU Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan, UU Nomor 19
Tahun 2003 Tentang BUMN, UU Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air
(SDA), UU Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan UU Nomor 41 Tahun 1999
Tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang, UU Nomor 18 Tahun 2004 Tentang
Perkebunan, UU Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, serta
keberlakuan liberalisasi di sektor pangan17.
Berikut di bawah ini disampaikan polemik yang terjadi pada saat rancangan
undang-undang yang bercorak liberal disetujui menjadi undang-undang.
Tabel 1: Pengesahan UU yang diwarnai Minderheidsnota
No Nama Undang-Undang Pengusul/Alasan
1 UU Penanaman Modal F-PDIP dan F-KB meminta pengesahan RUU PM ditunda karena terlau liberal, pro-asing, dan tidak berpihak pada kepentingan nasional. F-PDIP menilai Pasal 22 mengenai fasilitas kemudahan perpanjangan HGU, HGB dan HP tidak berdasar hukum dan melanggar UU Pokok Agraria (UU No.5/1960)
2 UU Sumber Daya Air F-Reformasi, plus dua orang anggota F-KKI, mengajukan keberatan tetapi tidak dilakukan voting untuk mengesahkan. UU SDA dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
3 UU Ketenagalistrikan F-PDU menganggap UU ini merugikan masyarakat sebagai
17 Khusus liberalisasi di bidang pangan adalah privatisasi Bulog dan Pusri, dan kebijakan liberalisasi impor yang sangat besar tanpa proteksi tarrif dan nontariif, dan baru-baru ini diterapkannya investasi penanaman modal asing di sektor pertanian, seperti proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, memberikan hak kepemilikan bagi perusahaan asing atas lahan pertanian sedemikian lama, hal ini tentunya merupakan ancaman bagi ketahanan pangan. Pada Pasal 22 ayat (1), pemerintah memberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal asing dalam memperoleh hak atas tanah, yakni Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun; Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun; dan Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun. Penguasaan atas lahan dengan waktu yang sangat lama terkait dengan upaya perusahaan asing yang menanamkan modalnya di Indonesia (Multinational Company/TransNational Company) dalam program food estate yang patut diwaspadai.
konsumen dan bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.4 UU Migas Duabelas anggota DPR dari berbagai fraksi mengajukan nota
penolakan, pada intinga tidak dapat menerima, tidak menyetujui, dan tidak ikut bertanggungjawab atas disahkannya UU Migas karena bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
(Sumber: Diolah dari “Pusat Data Hukumonline” dan berbagai sumber lainnya)
Semua undang-undang tersebut adalah produk dari pergulatan ekonomi politik
di Indonesia pasca-reformasi. Namun sebagai hasil kesepakatan politik, hampir semua
undang-undang tidak lepas dari nota keberatan. Saat disahkan dalam Sidang Paripurna
DPR, sejumlah anggota dewan mengajukan minderheidsnota, dengan alasan substansi
sebagian besar undang-undang tersebut bercorak paham liberal yang “durhaka”,
khususnya terhadap Pasal 33 UUD 1945, yang mengatur soal perekonomian nasional.
Undang-undang yang mengandung minderheidsnota itu, kemudian dimohonkan
judicial review oleh sejumlah kalangan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hanya satu
yang dibatalkan oleh MK secara mutlak, yaitu UU Nomor 20 Tahun 2002 Tentang
Ketenagalistrikan. Kesemua undang-undang yang disebutkan di atas dapat disarikan
putusan MK, dalam bentuk tabel di bawah ini.
Tabel 2: Putusan MK atas Judicial Review
NO
UU Putusan MK
1 UU Penanaman Modal MK mengabulkan sebagian dan menolak sebagian lainnya. Dari permohonan uji materi terhadap pasal-pasal krusial dalam UUPM, yaitu Pasal 1 (1), Pasal 4 (2) huruf a, Pasal 8 (1) dan (2), Pasal 12 (1) dan (3), Pasal 21, Pasal 22 (1) dan (2), hanya satu pasal yang dibatalkan, yaitu Pasal 22 tentang fasilitas kemudahan perpanjangan HGU, HGB dan Hak Pakai.
2 UU Sumber Daya Air MK menolak judicial review, dengan alasan terbukanya SDA terhadap investasi tidak bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 33.
3 UU Ketenagalistrikan MK memutuskan UU Nomor 20/2002 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
4 UU Migas MK hanya mencabut tiga pasal yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945, yaitu pasal 12 (3), Pasal 22 (1), dan Pasal 28 (2) dan (3).
(Sumber: diolah dari putusan judicial review Mahkamah Konstitusi)
Permasalahan yang sangat signifikan dalam menentukan cabang produksi
manakah yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak,
sampai dengan saat ini belum ada ketentuan/acuannya, sehingga untuk menentukan
suatu cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup
orang banyak diserahkan dan tergantung kepada pandangan pemerintah, terlepas dari
adanya pengujian undang-undang (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi.
Keadaan ini menjadikan prinsip hak menguasai negara tidak memiliki kepastian
dalam hal pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diembankan kepada pemerintah selaku
pemegang kekuasaan atas nama rakyat.
Dalam kaitannya dengan permasalahan pengelolaan sumber daya alam nasional,
maka perlu dicarikan alternatif sistem ekonomi yang lebih mengedepankan
kedaulatan rakyat (demokrasi ekonomi) dalam rangka mewujudkan keadilan sosial
dan kesejahteraan masyaakat umum. Alternatif yang dimaksudkan adalah merujuk
kepada hukum yang bersifat universal, yakni hukum agama Islam, yakni teori
maqashid syariah. Teori maqashid syariah, dipandang sesuai dan mampu mengikuti
perkembangan dunia global yang tengah berlansung saat ini, dikatakan demikian
terdapat kaedah usul fiqh yang menyatakan: “mempertahankan yang lama yang baik
dan mengambil yang baru yang lebih baik”. Pada intinya teori maqashid syariah
selaras dengan teori keadilan sosial dan kedaulatan rakyat sebagaimana dimaksudkan
dalam ideologi Pancasila dan UUD 1945.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah disampaikan di atas,
maka dalam penulisan makalah teori hukum ini, dirumuskan permasalahannya yakni
sebagai berikut:
Pertama, apakah yang melandasi pentingnya paham kedaulatan rakyat
(demokrasi ekonomi) dalam konstitusi negara Indonesia untuk dijabarkan dalam
berbagai peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan sumber daya alam?
Kedua, bagaimana pengaruh perkembangan ekonomi politik internasional
(globalisasi) terhadap kedaulatan rakyat di bidang ekonomi?
Ketiga, bagaimana peranan teori maqashid syariah dan paham kedaulatan
rakyat yang bersendikan kepada nilai-nilai keadilan dalam rangka pengelolaan sumber
daya alam agar tercapai kesejahteraan rakyat di era globalisasi?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan secara umum penulisan diharapkan berkontribusi bagi pengembangan
keilmuan hukum yang terkait dengan aspek ekonomi dan politik di era globalisasi.
Hukum tidaklah bebas nilai melainkan terkait dengan aspek-aspek non hukum,
sehingga hukum harus dibangun dengan mengedepankan nilai-nilai universalnya,
yakni hukum agama (Islam) sebagai suatu model untuk mewujudkan tujuan hukum
(maslahat) itu sendiri. Di samping itu, hasil dari penulisan makalah ini diharapkan
dapat menjadi salah satu referensi atau sumber bacaan bagi penelitian berikutnya.
Adapun secara khusus, penelitian ini dimaksudkan adalah untuk:
1. Mengetahui dan menganalisis secara ilmiah tentang apakah yang melandasi
pentingnya kedaulatan rakyat (demokrasi ekonomi) dalam konstitusi negara
Indonesia untuk dijabarkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan di
bidang pengelolaan sumber daya alam. Dengan diketahuinya berbagai
landasan hukum dan urgensi dari paham kedaulatan rakyat (demokrasi
ekonomi) dalam konstitusi negara dan implementasinya penyelenggaraan
pemerintahan dalam pengelolaan sumber daya alam, akan mendorong pihak-
pihak yang terkait dalam membuat regulasi yang sesuai dengan maksud UUD
1945.
2. Menjelaskan pengaruh perkembangan ekonomi politik internasional
(globalisasi) terhadap kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Pengaruh yang
terjadi perlu dijabarkan secara jelas, mengingat keberlakuan ekonomi politik
internasional – sebagai suatu cabang keilmuan tersendiri – telah berkembang
sedemikian cepatnya dan tidak demikian halnya dengan perkembangan
hukum.
3. Mengetahui tentang peranan teori maqashid syariah dan paham kedaulatan
rakyat yang bersendikan kepada nilai-nilai keadilan dalam rangka pengelolaan
sumber daya alam agar tercapai kesejahteraan rakyat di era globalisasi sebagai
alternatif dalam membangun sistem hukum perekonomian Indonesia. Konsep
maqashid syaryah merupakan bersifat universal, dikatakan demikian oleh
karena berdasarkan hukum agama Islam (al Qur’an dan Hadits) yang mustahil
mengandung kesalahan dan kekeliruan. Dengan mengadopsi konsep al
maqashid syariah ke dalam politik hukum pengelolaan sumber daya alam
nasional diyakini akan memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan
rakyat sebagaimana dicita-citakan oleh the founding fathers.
D. Manfaat Penulisan
Dalam penulisan ini diharapkan ada suatu manfaat yang dihasilkan. Manfaat
dimaksud dapat dibedakan menjadi dua, yakni manfaat yang bersifat teoretis dan
praktis, dijelaskan di bawah ini.
1. Manfaat Teoretis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam pengembangan teori-
teori yang telah ada mengenai kedaulatan rakyat dalam pengelolaan
sumber daya alam nasional.
b. Dengan kajian yang mengedepankan konsep hukum agama Islam yakni
maqahid syariah, diharapkan menjadi suatu teori dalam pengembangan
teori hukum yang lebih disesuaikan dengan nilai-nilai yang hidup dan
berkembang di Indonesia.
c. Hasil penulisan ini juga diharapkan dapat menjadi rujukan (referensi)
dalam memberdayakan politik hukum pengelolaan sumber daya alam
nasional.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini ditujukan sebagai koreksi bagi pembentuk perundang-
undangan agar dapat memperbaiki peraturan perundang-undangan di
bidang sumber daya alam yang lebih mengedepankan kemaslahatan
rakyat.
b. Hasil penulisan ini diharapkan dapat membentuk keseragaman
pemahaman dalam pemberdayaan pengelolaan sumber daya alam,
sehingga tidak menimbulkan berbagai penafsiran yang berbeda terhadap
ketentuan Pasal 33 UUD 1945 yang selama ini selalu menjadi perdebatan
dan polemik.
c. Dengan adanya suatu model penyelenggaraan pengelolaan sumber daya
alam yang lebih mengedepankan kepentingan umum, maka diharapkan
akan menjadi suatu kekuatan dalam menghadapi perkembangan globalisasi
yang tengah berlangsung.
E. Tinjauan Pustaka
Teori dipergunakan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala
spesifik atau proses tertentu terjadi. Sedangkan kerangka teori merupakan landasan
dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari
permasalahan yang dianalisis.18 Fungsi teori adalah untuk memberikan
arahan/petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati, dengan lain perkataan dapat
digunakan sebagai pisau analisis untuk memecahkan permasalahan (problem solving).
Dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian hukum, maka kerangka teori
diarahkan secara ilmu hukum dan mengarahkan diri kepada unsur hukum.19
1). Pengaruh
Konsep pengaruh selalu dibahas secara bersamaan dengan kekuasaan.
Kebanyakan sarjana, termasuk Floyd Hunter dalam karyanya Community Power
Structure berpendapat bahwa: “Kekuasaan merupakan pengertian pokok, dan
pengaruh bentuk khususnya.”20 Sedangkan Laswell dan Kaplan berbeda pendapat,
dan menganggap pengaruh sebagai konsep pokok, dan kekuasaan sebagai bentuk khas
dari pengaruh. Permusan Laswell dan Kaplan, sebagai berikut:
18 JJ. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting M. Hisyam, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996), hlm. 203.
19 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Madju, 1994), hlm. 80.20 Sebagaimana dikutip oleh Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2010), hlm.66.
“Kekuasaan untuk memengaruhi kebijakan-kebijakan orang lain melalui sanksi yang sangat berat (yang benar-benar akan dilaksanakan atau yang berupa ancaman sanksi) itulah yang membedakan kekuasaan dari pengaruh pada umumnya. Kekuasaan merupakan kasus khusus dari penyelenggaraan pengaruh; ia merupakan proses ancaman, jika mereka tidak mematuhi kebijakan-kebijakan yang dimaksud.”
Sedangkan Becker menyatakan bahwa pengaruh adalah kemampuan yang terus
berkembang yang - berbeda dengan kekuasaan - tidak begitu terkait dengan usaha
memperjuangkan dan memaksa kepentingan. Definisi lain dari Norman yakni:
“Pengaruh adalah suatu tipe kekuasaan yang, jika seseorang yang dipengaruhi agar
bertindak dengan cara tertentu, dapat dikatakan terdorong untuk bertindak demikian,
sekalipun ancaman sanksi yang terbuka tidak merupakan motivasi yang
mendorongnya.” Kemudian Rober Dahl, dalam ulasannya mengenai kekuasaan yang
pertama The Concept of Power (1957), melihat kekusaan sebagai konsep pokok.
Akan tetapi, beberapa tahun kemudian dalam bukunya Modern Political Analysis
(1963), Dahl memakai permusan yang persis sama dengan yang dipakai dalam tulisan
terdahulu, namun istilah “kekuasaan” diganti dengan istilah “pengaruh”.21
Budiardjo mengatakan bahwa pengaruh biasanya merupakan satu-satunya
faktor yang menentukan perilaku seseorang, dan sering bersaing dengan faktor lain.
Bagi pelaku yang dipengaruhi masih terbuka alternatif lain untuk bertindak. Akan
tetapi, sekalipun pengaruh sering kurang efektif dibandingkan dengan kekuasaan, ia
kadang mengandung unsur psikologis dan menyentuh hati, dan karena itu sering kali
cukup berhasil.22
2). Ekonomi Politik Internasional
21 Ibid, hlm.67.22 Ibid.
Ekonomi politik23, menurut Adam Smith 24 adalah “branch of science of a
statesman or legislator” dan merupakan panduan pengaturan ekonomi nasional. John
Stuart Mill beranggapan ekonomi politik sebagai sebuah ilmu yang mengajarkan
bagaimana sebuah bangsa untuk menjadi kaya. Di dalam perkembangannya, ekonomi
politik diartikan sebagai perluasan lingkup studi ekonomi oleh para ekonomis
profesional, seperti Chicago School. Dengan kata lain, ekonomi politik dilihat sebagai
metodologi individualisme atau tindakan-tindakan rasional aktor yang mempengaruhi
perilakunya sebagai bentuk upaya memaksimalkan kepentingan pribadinya. Dimana
metodologi tersebut akan mampu menjelaskan institusi sosial, kebijakan publik, dan
bentuk-bentuk lain dari kegiatan sosial yang sebelumnya tidak termasuk di dalam
lingkup bidang ekonomi.25
Inti dari pendekatan pada institusi sosial dan hal-hal sosiopolitik yang
dilakukan oleh para penstudi ini mengarah pada asumsi bahwa individu bertindak
secara sendiri maupun berkelompok melalui institusi sosial dan mempromosikan
tujuannya guna mewujudkan kepentingan pribadinya. Namun di sisi lain, para sarjana
juga beranggapan bahwa di dalam ekonomi politik, individu berupaya untuk
membentuk institusi sosial yang dapat berpengaruh pada kebijakan, khususnya pada
bidang ekonomi. Para ekonomis neoklasikal merujuk pada istilah rent-seeking
behavior dari individu dan kelompok untuk menjelaskan ekonomi politik .26
23 Ilmu Ekonomi Politik baru memperoleh bentuk pada pertengahan abad ke-18, sejak ditulisnya The Wealth of Nations oleh ekonom klasik Adam Smith pada tahun 1776. Selain Smith, pakar ekonomi klasik yang paling awal mengembangkan disiplin Ilmu Ekonomi Politik adalah David Ricardo (1772-1823). Pakar klasik lain yang juga cukup intens membahas Ekonomi Politik adalah Thomas Malthus (1776-1834) dan Jhon Stuart Mill (1806-1873). Deliarnov, Ekonomi Politik (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm.1.
24 Robert Gilpin, Global Political Economy: Understanding the International Economic Orders. (Princeton: Princetin University Press, 2001), hlm. 25.
25 Ibid, hlm. 26-2726 Ibid, hlm.27
Menurut Mansbach dan Rafferty, ekonomi politik internasional mengkaji
bagaimana kekuatan ekonomi dan politik saling mempengaruhi. Inti dari ekonomi
politik internasional adalah hubungan antara negara-negara, organisasi-organisasi
internasional, transnational company (TNC), dan pasar global.27
Selanjutnya, Ekonomi Politik oleh pakar-pakar Ekonomi Politik Baru lebih
diartikan sebagai analisis ekonomi terhadap politik. Dalam kajian tersebut mereka
mempelajari institusi politik sebagai entitas yang bersinggungan dengan pengambilan
keputusan ekonomi-politik, yang berusaha memengaruhi pengambilan keputusan dan
pilihan publik, baik untuk kepentingan kelompoknya maupun untuk kepentingan
masyarakat luas.28 Penggabungan analisis politik dalam kajian ekonomi atau analisis
ekonomi dalam kajian politik saat ini sangat diperlukan, sebab dengan berbekal Ilmu
Ekonomi atau Ilmu Politik saja kita sering menemui kesulitan dalam menjelaskan
berbagai gejala dalam masalah yang dihadapi. Seperti diketahui, dalam kenyataan
akhir-akhir ini semakin banyak masalah ekonomi yang tidak berhasil diatasi karena
terkait erat dengan politk dan hukum, bahkan juga dengan budaya dan agama.29
27 Richard W. Mansbach & Kirsten L. Rafferty, Pengantar Politik Global, diterjemahkan dari Introduction to Global Politics, Cet.ke-1, (Bandung: Nusa Media, 2012), hlm.601.
28 Dampak penggabungan analisis ekonomi dengan politik oleh pakar-pakar Ekonomi Politik Baru, banyak yang curiga bahwa para ekonom telah melakukan penjajahan dan mengambil alih tugas para pakar politik. Kecurigaan ini bukanlah tidak berdasar, sebab menurut Albert O. Hirschman dalam Essay in Trespassing: Economics to Politics and Beyond (1981), Ekonomi Politik memang merupakan penjajahan dari Ilmu Ekonomi ke dalam Ilmu Politik. Menurut Deliarnov, bahwa ekonomi politik merupakan penjajahan ilmu ekonomi terhadap ilmu politik atau peralihan eskalatif dari ilmu ekonomi murni ke ekonomi pembangunan yang lebih kompleks sebetulnya tidak sepenuhnya benar. Buktinya, para pakar politik juga mampu memperlihatkan bahwa sistem politik menentukan hubungan antara mereka yang memiliki kekuatan politik dengan yang kurang atau yang tidak memiliki kekuatan. Selain itu, sistem politik menentukan hubungan antara penguasa (ruler) dengan masyarakat. Dengan demikian bagi ahli ekonomi politik, kegiatan ekonomi, seperti kegiatan-kegiatan lain dalam masyarakat, tidak terlepas dari konteks politik. Tegasnya, sistem politik tidak hanya membentuk power relationship dalam masyarakat, tetapi juga menentukan nilai-nilai serta norma-norma yang sedikit banyak akan menentukan apa dan bagaimana berbagai kegiatan ekonomi dilaksanakan dalam masyarakat. Deliarnov, Op.Cit, hlm.9.
29 Ibid.
Ekonomi Politik Internasional diilustrasikan berupa tindakan-tindakan politik
yang menggunakan perangkat-perangkat ekonomi atau sebaliknya. Bukti-bukti
diperlihatkan melalui berbagai peristiwa maupun fenomena dari politik global negara-
negara adikuasa dalam hal penggunaan alat-alat (sarana) ekonomi dan/atau politik
untuk mencapai kepentingan politik dan/atau ekonomi mereka. Kenyataan semacam
ini mulai dideteksi lagi ketika akhir dari skenario politik internasional menunjukkan
adanya fakta persoalan-persoalan ekonomis yang juga dikejar oleh politik kekuatan
secara timbal balik. 30
Kebanyakan pakar ilmu sosial sepakat, bahwa studi Ekonomi Politik
umumnya dimulai dari adanya diskusi hakikat ketidakadilan dalam sistem
internasional terutama dalam Tata Ekonomi Dunia (TED) yang dikuasai oleh negara-
negara besar industri maju.31 Menyangkut hakikat ketidakadilan itu secara garis besar
telah menggejala dan diketahui masyarakat internasional yang umumnya dibagi atas
tiga pola, yakni:32
1. Tidak meratanya pembagian kekayaan materil dunia antara negara-negara
kaya dari negara-negara maju dengan negara-negara miskin (dalam banyak
aspek) dari Dunia Ketiga.
2. Tidak meratanya angka-angka pertumbuhan ekonomi dalam Sistem Ekonomi
Internasional.
3. Tidak meratanya pembagian kekayaan materiil di sebagian negara Dunia
Ketiga itu sendiri.
Berkaitan dengan keberadaan ekonomi politik dalam dunia ilmu, dalam suatu
tulisannya Dawam Rahardjo, berpendapat bahwa Ekonomi Politik atau Political
30 Yanuar Ikbar, Ekonomi Politik Internasional Jilid 1 (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 4.31 Ibid, hlm.832 Ibid, hlm.8-9.
Economy adalah suatu cabang ilmu tentang evolusi kemasyarakatan yang di dalamnya
inti dari dinamika perkembangan ekonomi secara sistematis dikaitkan dengan
perubahan sosial politik, dan selanjutnya itu semua mengembalikan pengaruhnya
kepada proses ekonomi.33
Menurut Gregory & Stuart34, sistem ekonomi mencakup mekanisme,
pengaturan pengorganisasian, dan aturan-aturan untuk membuat dan melaksanakan
keputusan-keputusan tentang alokasi sumber daya yang terbatas jumlahnya. Sesuai
definisi yang dikemukakan oleh Gregory & Stuart di atas, bisa dibedakan berdasarkan
sebagai berikut di bawah ini.
1. Organisasi pengaturan pengambilan keputusan (organization of decision
making arrangements)
2. Mekanisme penyebaran informasi dan koordinasi (mechanism for
provision of information and for coordination)
3. Hak pemilikan kekayan produktif (property rights), dan
4. Mekanisme penetapan berbagai tujuan dan sistem insentif (mechanism for
setting goals and incentives)
Secara singkat klasifikasi sistem ekonomi dengan konsekuensinya masing-
masing, dapat dikelompokkan melalui tabel di bawah ini.
Tabel 3: Klasifikasi Sistem Ekonomi
Klasifikasi Kapitalisme Sosialisme Pasar SosialismeOrganisasi pengaturan pengambilan keputusan
Lebih terdesentralisasi
Lebih terdesentralisasi Lebih terpusat
Mekanisme penyebaran informasi & koordinasi
Lebih ditentukan oleh pasar
Lebih ditentukan oleh pasar
Dominan
Pemilikan kekayaan Dominan privat Dominan negara Dominan negara
33 Ibid, hlm.11.34 Deliarnov, Op.Cit, hlm.4.
produktif dan/atau kolektifSistem insentif Dominan materi Materi dan moral Materi & moral
(Sumber: Delairnov, hlm.5 )
Lebih lanjut mengenai ekonomi politik internasional35, fokus bahasan terletak
pada interaksi pasar dan aktor-aktor politik di dalamnya, namun studi ekonomi sendiri
tidak cukup untuk menjelaskan isu-isu vital di dalam distribusi kekayaan dan aktivitas
ekonomi internasional, hingga dampak dari ekonomi dunia terhadap kepentingan
nasional, serta keefektifitasan rezim-rezim internasional. Hal ini harus dilihat dari
batas-batas politik negara, yang nantinya akan dapat menggambarkan kebijakan
ekonomi satu negara terhadap negara lainnya. Pertimbangan politik suatu negara tentu
saja akan mempengaruhi dan membedakan kegiatan ekonomi di suatu negara dengan
negara lainnya secara signifikan. Negara, seperti yang diketahui, merupakan aktor
yang memiliki kekuatan besar di dalam konstelasi internasional, akan mampu
menggunakan powernya untuk memanipulasi atau mempengaruhi kegiatan ekonomi
guna memaksimalkan kepentingan ekonomi serta politiknya.36
Bahasan di dalam studi ekonomi lebih banyak mengarah pada efisiensi atau
keuntungan bersama yang di dapat melalui pertukaran ekonomi, sedangkan ekonomi
politik internasional (EPI) banyak membahas isu-isu yang lebih luas dari itu.
35 Pada dasarnya terdapat tiga tradisi teoretis dominan dalam ekonomi politik internasional (global) - merkantilisme, liberalisme, dan marxisme - dengan masing-masing unsur-unsur analitis dan normatifnya sendiri. Merkantilisme mendominasi pemikiran ekonomi antara abad ke-16 dan akhir abad ke-18. Kemudian merkantilisme dikalahkan oleh liberalisme pada abad ke-19, namun demikian merkantilisme versi modern masih memengaruhi banyak negara dimana ia mengambil bentuk proteksionisme bagi industri dalam negeri. Perspektif kedua, liberalisme ekonomi atau kapitalisme pasar bebas, muncul pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, disebarkan oleh para pendukungnya dari Inggris dan Amerika. Seiring dengan berkembangnya paham liberalisme, marxisme juga berkembang pada abad ke-19 sebagai alternatif bagi liberalisme, dimana kaum sosialis dan komunis mendukung berbagai pendekatan Marxis sebagai alternatif bagi kapitalisme (istilah yang dibuat oleh Karl Marx). Namun, tiga faktor – berakhirnya Perang Dingin, pengaruh kaum kapitalis pasar bebas, dan globalisasi – menjadikan liberalisme ekonomi, yang sekarang ini dikenal dengan istilah neoliberalisme, sebagai perspektif yang dominan sekarang ini. Lebih lanjut lihat: Richard W. Mansbach & Kirsten L. Rafferty, Pengantar Politik Global, diterjemahkan dari Introduction to Global Politics, Cet.ke-1, (Bandung: Nusa Media, 2012), hlm.606.
36 Robert Gilpin, Op.Cit, hlm.102
Pembahasan EPI akan lebih tertuju pada bagaimana ekonomi dunia mmemiliki
dampak pada kekuasaan dan otonomi politik negara. Negara dilihat sebagai sebuah
entitas yang memiliki kewenangan untuk bertindak melindungi kepentingannya, dan
negara juga dapat memanipulasi pasar dalam rangka meningkatkan power dan
mempengaruhi lawan ataupun membantu negara lainnya.
Di dalam ekonomi politik internasional terlihat jelas adanya pertentangan
antara meningkatnya interdependensi dari ekonomi internasional dengan keinginan
negara untuk me-maintain ketergantungan ekonomi dan otonomi politiknya. Karena,
pada saat yang bersamaan, negara menginginkan keuntungan yang maksimal dari
perdagangan bebas yang dilakukan dengan negara lain, namun di sisi lain negara juga
ingin melindungi otonomi politik, nilai kebudayaan, serta struktur sosial yang
dimilikinya.37 Dapat dikatakan bahwa kegiatan negara berjalan melalui logika sistem
pasar, dimana pasar diperluas secara geografis dan kerjasama antar negara di berbagai
aspek diperluas melalui mekanisme harga, inilah ekonomi politik internasional.
Interaksi pasar dengan kebijakan negara menjadi pendorong bagi jalannya ekonomi
dunia yang merupakan subjek bahasan pada ekonomi politik internasional.
3). Politik Hukum
Istilah politik hukum merupakan terjemahan dari istilah hukum Belanda
rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua kata: recht dan politiek. Dalam
Bahasa Indonesia kata recht berarti hukum , adapun kata politiek di dalamnya
terkandung pula arti beleid, yang biasanya diartikan sebagai kebijaksanaan atau
kebijakan (policy).38 Pengertian kebijakan diartikan oleh para ahli dengan beragam.
37 Ibid, hlm.80 38 Marjanne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1999),
hlm.235.
Laswel dan Kaplan mengartikan ari kebijaksanaan (policy) sebagai “a projected
program of goal, values, and practices”. Sedangkan Anderson memberikan arti
policy sebagai ”a purposive course of action followed by an actor or set of actors in
dealing with a problem or matter of concern”.39
Wahyono memberikan arti politik hukum sebagai arah kebijakan mengenai
hukum yang akan dibentuk atau diberlakukan. Menurutnya, politik hukum adalah
sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang
akan dibentuk40. Sejalan dengan Wahyono, Radhie memberikan arti politik hukum
sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di
wilayahnya dan mengenai arah hukum, perkembangan hukum yang dibangun.41
Sedangkan Rahardjo, mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan
cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan sosial dan hukum dalam
masyarakat.42
Sejalan dengan pendapat di atas, Mahfud mendefinisikan politik hukum
sebagai legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan
diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian
hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Dengan demikian, politik hukum
merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan
tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuannya
dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam
Pembukaan UUD 1945.
39 Thomas R. Dye dalam Muhammad Akib, Politik Hukum Lingkungan, Dinamika dan Refleksinya Dalam Produk Hukum Otonomi Daerah (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012),1.
40 Padmo Wahyono dalam Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm.5
41 Teuku Mohammad Radhie, dalam Moh. Mahfud MD, Ibid, hlm,1.42 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1991), hlm.352.
Dalam konteks Indonesia, maka arah kebijakan hukum yang hendak dibangun
dan dikembangkan selain ditujukan untuk menciptakan sistem hukum nasional, juga
yang lebih penting adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Inilah yang
dimaksudkan oleh Bagir sebagai salah satu bagian dari politik hukum yang bersifat
tetap.43 Penjelasan ini sejalan dengan pendapat Hakim, yang mengatakan bahwa
hukum yang hendak dibangun seyogianya harus senantiasa mengacu kepada cita-cita
masyarakat Indonesia, yaitu tegaknya negara hukum yang demokratis dan berkeadilan
sosial. Atas dasar pandangan yang demikian dikatakan bahwa politik hukum
Indonesia sesungguhnya harus berorientasi pada cita-cita negara hukum yang
didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan berkeadilan sosial dalam suatu
masyarakat Bangsa Indonesia yang bersatu sebagaimana yang tertuang dalam
Pembukaan UUD 1945.44
Lebih lanjut, Sulistiyono mengatakan bahwa suatu politik hukum yang tidak
jelas akan menghasilkan kaidah-kaidah hukum dalam bentuk Undang-Undang (UU)
dan peraturan pelaksanaannya yang simpang-siur dan tidak jelas tahap
pelaksanaannya.45 Politik hukum yang demikian dikatakan oleh Akib, tidak akan
mampu mewujudkan kepastian hukum, keadilan, dan kesejahteraan rakyat sebagai
cita hukum negara kesejahteraan.46
Dalam kaitannya dengan politik hukum pengelolaan sumber daya alam,
menurut penulis termasuk politik hukum yang bersifat tetap (permanen) sebagaimana
43 Dikatakan oleh Bagir, bahwa politik hukum ada yang bersifat tetap (permanen) dan ada juga yang bersifat temporer. Politik hukum yang bersifat tetap adalah berkaitan dengan sikap hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijakan pembentukan dan penegakan hukum. Sementara politk hukum yang bersifat temporer adalah kebijakan yang ditetapkan dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhannya. Lihat: Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah (Yogyakarta: FH UII, 2001), hlm.180.
44 Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: YLBHI. 1988), hlm.20.45 Adi Sulistiyono, Negara Hukum: Kekuasaan, Konsep, dan Paradigma Moral (Surakarta: LPP dan
UNS Press, 2008), hlm.52.46 Muhammad Akib, Op.Cit, hlm.6.
dinyatakan oleh Bagir. Oleh karena sifatnya yang tetap, maka harus didasarkan pada
cita-cita masyarakat Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945,
yakni mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan yang menjadi tujuan politik
hukum selain berlandaskan pada prinsip negara hukum dan demokrasi politik, juga
harus berlandaskan demokrasi ekonomi – sebagaimana ditentukan Pasal 33 UUD
1945 – dalam pengelolaan sumber daya alam nasional.
Dengan demikian, secara konseptual politik hukum pengelolaan sumber daya
alam nasional dapat dirumuskan sebagai arah kebijakan hukum yang ditetapkan oleh
penyelenggara negara (negara) untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia
melalui penguatan demokrasi ekonomi, selain demokrasi politik yang tercantum
dalam konstitusi UUD 1945.
4). Teori Pengelolaan Sumber Daya Alam
Gibb dan Bromley47 membagi paham yang mendasari pola pengelolaan
sumber daya alam menjadi empat rezim atau paham, yaitu: (1) state property, (2)
private property (individual or corporation), (3) common property or communal
property, dan (4) open access. Kelima paham tersebut dijelaskan sebagai berikut:
pertama, paham state property, berarti sumber daya alam dikuasai oleh negara (state).
Seperti yang tercantum dalam UUD 1945 dan UU No.22 Tahun 2001 Tentang Migas,
47 Sebagaimana dikutip oleh A. Rinto Pudyantoro, dalam bukunya yang berjudul: A to Z Bisnis Hulu Migas, (Jakarta: Petromindo, 2012), hlm.108-109.
jelas disebutkan bahwa sumber daya alam Migas dikuasai oleh negara, dengan
demikian pengelolaan sumber daya alam Migas menggunakan rezim state property.
Kedua, rezim common property, sumber daya alam yang pengelolaannya
menggunakan rezim common property, berarti sumber daya alam yang ada dikuasai
oleh communal atau sekelompok orang. Umumnya communal property terjadi tanpa
sengaja, terjadi karena suatu kebiasaan yang membudaya, berlangsung terus-menerus
yang kemudian secara tidak tertulis suatu sumber daya alam dikuasai oleh orang.
Ketiga, adalah private property, rezim ini bersandar pada pemahaman bahwa
sumber daya alam dikuasai secara pribadi. Dalam hal ini bisa orang per orang atau
sebuah badan usaha atau perusahaan. Apabila sumber daya alam dikuasi oleh pribadi
atau perusahaan maka otoritas pengelolaannya termasuk kepemilikannya berada pada
pribadi (private). Termasuk jika sumber daya alam tersebut merugikan atau berakibat
celaka bagi pemilikinya, maka secara keseluruhan harus ditanggung secara pribadi.
Keempat, rezim open access, yaitu sumber daya alam dapat dikuasai oleh
semua orang. Semua orang bisa masuk dan keluar dari area tersebut. Ketika setiap
orang mengakui memiliki sumber daya alam tersebut maka di saat yang sama
sebenarna tidak ada satu orangpun yang dapat menguasai datau memilikinya. Contoh
klasik dari pengusaan sumber daya alam dengan paham open access adalah sumber
daya alam berupa ikan-ikan dan tanaman laut yang ada di lepas pantai di luar wilayah
Zone Economy Exclusive (ZEE). Pada area tersebut semua orang boleh dating untuk
mennagkap ikan tanpa takut didatangi oleh orang lain yang mengakui bahwa area
tersebut adalah milik mereka. Tidak ada satu pihak pun yang dapat mengklaim
memiliki ikan dan kekayaan alam laut yang ada pada area tersebut.
5). Konstitusi Ekonomi dan Hubungannya Dengan Sistem Ekonomi dan Hak
Asasi Manusia
Konstitusi berasal dari bahasa Latin, constitutio. Istilah ini berkaitan erat
dengan kata “jus” atau “ius” yang berarti hukum atau prinsip.48 Dalam kamus
bahasa Inggris, Oxford Dictionary of Law, perkataan “constitution” diartikan “ the
rules and practices that determine the composition and functions of the organs of the
central and local government in a state and regulate the relationship between
individual and the state.”49 Artinya, (a) yang dinamakan konstitusi itu tidak saja (i)
aturan yang tertulis, tetapi juga (ii) praktik-praktik, yaitu apa yang dikerjakan dalam
kegiatan penyelenggaraan negara, (b) yang diatur itu tidak saja berkenaan dengan (i)
organ negara beserta komposisi dan fungsinya, baik di tingkat pusat maupun di
tingkat pemerintahan daerah (local government), tetapi juga (ii) mekanisme hubungan
antar negara atau organ negara itu dengan warga negara. Oleh karena itu menyangkut
juga praktik-praktik, maka hal-hal yang dilakukan meskipun tidak tertulis juga
termasuk ke dalam pengertian konstitusi, yaitu konstitusi yang tidak tertulis
(ongescheven constitutie, unwritten constitution).50
Konstitusi bagi sebagian besar negara-negara di dunia, merupakan hasil
seleksi dari peraturan-peraturan hukum yang mengatur pemerintahan negara dan telah
dihimpun dalam sebuah dokumen.51 Tentang pengertian konstitusi menurut para ahli
48 Dari catatan sejarah klasik terdapat dua perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian kita sekarang tentang konstitusi, yaitu dalam perkataan Yunani kuno politea, dan perkataan bahasa Latin constitution yang juga berkaitan dengan kata jus. Dari kedua perkataan politea dan constitutio itulah awal mula gagasan konstitualisme diekspresikan oleh umat manusia beserta hubungan di antara kedua istilah tersebut dalam sejarah. Jika kedua istilah tersebut dibandingkan, maka dapat dikatakan bahwa yang paling tua usianya adalah kata politea yang berasal dari kebudayaan Yunani. Lihat: Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm.1.
49 Oxford University Presss, Fifth Edition, 2003, hlm.108.50 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Op.Cit, hlm.4.51 K.C, Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, Judul asli: Modern Constitutions, diterjemahkan
oleh: Imam Baehaqie, (Bandung: Nua Media, 1996), hlm.3.
terdapat perbedaan pendapat. Perbedaan tersbut berkaitan dengan: apakah konstitusi
sama dengan Undang-Undang Dasar? Berkaitan dengan hal tersebut terdapat dua
pendapat di kalangan para ahli. Ada ahli yang membedakan antara konstitusi dengan
Undang-Undang Dasar tetapi ada pula ahli yang menyamakannya. Sarjana yang
membedakan pengertian Konstitusi dengan Undang Undang Dasar, antara lain,
Projodikoro52 yang mengemukakan bahwa ada dua macam konstitusi, yaitu konstitusi
tertulis (written constitusion) dan konstitusi tak tertulis (unwritten constitusion).
Selanjutnya Herman Heller, membagi pengertian konstitusi menjadi tiga:53
1) Die Politische verfassung als gesellschaftlich wirklichkeit. Konstitusi adalah
mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu
kenyataan. Jadi mengandung pengertian politis dan sosiologis.
2) Die Verselbstandigte rechhtsverfassung. Konstitusi merupakan satu kesatuan
kaidah yang hidup dalam masyarakat. Jadi mengandung pengertian yuridis.
3) Die geshereiben verfassung. Konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah
sebagai undang undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.
Berdasarkan pendapat Herman Heller di atas dapat disimpulkan bahwa
Undang-Undang Dasar baru merupakan bagian dari pengertian konstitusi yaitu
konstitusi tertulis saja. Seterusnya, ditegaskan oleh Budiardjo,54 bahwa suatu
konstitusi umumnya disebut tertulis, bila merupakan satu naskah, sedangkan
konstitusi tidak tertulis adalah tidak merupakan satu naskah dan banyak dipengaruhi
oleh tradisi dan konvensi. Dimana menurut Edward M. Sait,55 konvensi adalah aturan-
52 Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia (Jakarta: Dian Rakyat,1983), hlm.10-11.
53 Dalam Mohd.Kusnardi, Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara. (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988), hlm 65-66.
54 Miriam Budiardjo, 1997. Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 1997), hlm.108.
55 Ibid, hlm.109.
aturan tingkah laku politik (rules of political behavior). Dengan demikian menurut
paham ini konstitusi juga meliputi hal-hal yang tidak tertulis yang tumbuh dan
berkembang dalam kehidupan masyarakat yang dipandang sebagai norma-norma
dalam ketatanegaraan.
Sedangkan penganut yang menyamakan pengertian konstitusi dengan Undang
Undang Dasar, adalah James Bryce. Pendapat James Bryce56 menyatakan konstitusi
adalah : A frame of political society, organised through and by law, that is to say on
which law has established permanent institutions with recognised functions and
definite rights. Kemudian Strong melengkapi pendapat Bryce yaitu : Constitution is a
collection of principles according to which the power of the goverment, the rights of
the governed, and the relations between the two are adjusted. Begitu pula, Peaslee
menyamakan konstitusi dengan Undang-Undang Dasar yang dilandasi kondisi bahwa
hampir semua negara di dunia mempunyai konstitusi tertulis. Hanya Inggris dan
Canada yang tidak mempunyai konstitusi tertulis.57
Konstitusi mempunyai fungsi yang sangat penting bagi suatu negara. Menurut
pendapat Attamimi,58 suatu Konstitusi atau Undang-Undang Dasar berfungsi sebagai
pemberi pegangan dan pemberi batas, mengatur bagaimana kekuasaan negara
dijalankan. Sebab tujuan dari konstitusi menurut Projodikoro,59 ialah mengadakan
tata-tertib tentang lembaga-kenegaraan, wewenang-wewenangnya dan cara
bekerjanya, dan menyatakan hak-hak asasi manusia yang harus dijamin
perlindungannya. Selanjutnya, Kusnardi60 menegaskan bahwa suatu konstitusi
56 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, & Ni`matul Huda. 2003. Teori dan Hukum Konsitusi. (Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2003), hlm.12-13.
57 Projodikoro, Op.Cit, hlm.11.58 A. Hamid S, Attamimi, Hukum tentang peraturan perUndang-Undangan dan Peraturan
Kebijakan (Hukum Tata Negara), (Jakarta, Universitas Indonesia, 1990), hlm.215.59 Projodikoro, Op.Cit, hlm.12-1360 Mohd.Kusnardi, Harmaily Ibrahim. , Op.Cit, hlm.65.
memerlukan dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu syarat mengenai bentuk dan isinya.
Bentuk konstitusi sebagai naskah tertulis yang merupakan Undang-Undang yang
tertinggi yang berlaku dalam suatu negara. Isi konstitusi merupakan peraturan yang
bersifat fundamental, artinya tidak semua masalah yang penting harus dimuat dalam
konstitusi, melainkan hal-hal yang bersifat pokok, dasar atau azas-azas saja.
Menurut penulis, karena pada umumnya negara-negara setelah abad ke-19,
mempunyai konstitusi tertulis maka wajar jika konstitusi dapat disamakan dengan
Undang-Undang Dasar. Oleh karena norma-norma dasar yang terdapat dalam
masyarakat saat ini, untuk terdapatnya suatu kepastian hukum, telah dijadikan sebagai
aturan tertulis.
Adapun istilah konstitusi ekonomi (economic constitution) relatif baru dikenal
dalam pemikiran tentang hukum konstitusi, hukum ekonomi dan ilmu ekonomi pada
umumnya61. Menurut Jimly62, suatu konstitusi disebut konstitusi ekonomi jika
memuat kebijakan ekonomi. kebijakan-kebijakan itulah yang akan memayungi dan
memberi arahan bagi perkembangan kegiatan ekonomi suatu negara. Pengaturan yang
tertuang dalam konstitusi itu dapat bersifat rigid, rinci, dan eksplisit, tetapi dpaat pula
bersifat fleksibel atau bahkan hanya memuat rambu-rambu filosofis yang bersifat
implisit saja seperti dalam Konstitusi Amerika Serikat. Bagaimanapun juga sifat
penuangan kebijakan di dalamnya, konstitusi sebagai dokumen hukum dapat menjadi
sarana untuk membuka jalan, merekayasa dan mengarahkan dinamika ekonomi dalam
masyarakat.
61 Kalaupun istilah economic constitution mulai muncul pada akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an, pada awalnya hanya dipakai dalam perspektif ilmu ekonomi atau ilmu hukum pada umumnya. Konstitusi ekonomi sebagai objek kajian hukum tata negara atau sebagai persoalan hukum konstitusi dapat dikatakan memang masih sangat baru. Di level dunia saja, hal itu masih sangat baru, apalagi di Indonesia, sama sekali belum ada satu pun sarjana hukum yang menyadari apalagi untuk memperbincangkannya dalam konteks konstitusi dan hukum tata negara. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Op.Cit, hlm, 63.
62 Ibid, hlm.69-69.
Konstitusi63 atau Undang-Undang Dasar merupakan aturan dasar atau aturan
pokok64 negara yang menjadi sumber dan dasar bagi terbentuknya aturan hukum yang
lebih rendah. UUD 1945 merupakan konstitusi politik, konstitusi ekonomi, dan
konstitusi sosial yang harus menjadi acuan dan landan secara politik, ekonomi, dan
sosial, baik oleh negara (state), masyarakat (civil society), ataupun pasar (market).65
Gejala legislasi kebijakan di bidang perekonomian telah berkembang
sedemikian rupa, sehingga berkembang menjadi gejala konstitusionalisasi.66 Sehingga
saat ini pengertian konstitusi ekonomi telah berkembang bukan lagi terbatas sebagai
fenomena-fenomena negara-negara sosialis-komunis, tetapi juga negara-negara dari
lintas benua dan lintas aliran dan sistem politik juga mulai mengadopsi gagasan
konstitusi ekonomi melalui tindakan konstitusionalisasi kebijakan-kebijakan
pembangunan ekonomi.67 Ketentuan-ketentuan konstitusional perekonomian
mempunyai kedudukan memaksa sebagai standar rujukan dalam semua kebijakan 63 Konstitusi adalah, hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara.
Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis. Sebagai hukum dasar, perumusan isinya disusun secara sistematis mulai dari prinsip-prinsip yang bersifat umum dan mendasar, dilanjutkan dengan perumusan prinsip-prinsip kekuasaan dalam setiap cabangnya yang disusun secara berurutan. Pasal-pasal dan ayatnya dirumuskan dalam tingkat abstraksi yang sesuai dengan hakikatnya sebagai hukum dasar, dengan kesadaran bahwa pengaturan yang bersifat rinci akan ditentukan lebih lanjut dalam undang-undang. Lihat: Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, Op.Cit, hlm.29-31.
64 Disebut aturan dasar atau aturan pokok negara karena ia hanya memuat aturan-aturan umum yang masih garis besar atau bersifat pokok dan masih merupakan norma tunggal, tidak disertai norma sekunder.
65 Ibid, hlm.100.66 Salah satu masalah serius yang kita hadapi dalam pembangunan ekonomi Indonesia ialah soal
kerangka hukum dan konstitusi yang seharusnya dijadikan rujukan dalam pengembangan kebijakan-kebijakan di bidang perekonomian itu dalam praktek. Selama ini, persoalan ini sama sekali tidak dianggap penting, mengingat praktek penyelenggaraan ekonomi Indonesia sejak kemerdekaan telah berjalan sedemikian rupa dengan mengikuti saja arus logika pembangunan ekonomi yang berkembang atas dasar pengalaman empiris di lapangan ataupun teori-teori dan kisah-kisah sukses di negara-negara lain yang dipandang layak dijadikan contoh. Sulit membayangkan bahwa konstitusi harus dijadikan acuan substantif dalam setiap kebijakan resmi dalam proses pembangunan ekonomi. Apalagi kenyataan di zaman sekarang menuntut semua bangsa untuk akrab bergaul dengan sistem ekonomi pasar yang diidealkan bersifat bebas dan terbuka. Hubungan antar ekonomi yang satu dengan yang lain tidak dapat lagi dipahami secara eksklusif. Liberalisasi perdagangan dan globalisasi ekonomi sudah menjadi kenyataan yang tidak dapat dihindarkan. Lihat: Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Op.Cit, hlm.vii.
67 Ibid, hlm.79.
ekonomi. Jika bertentangan, maka kebijakan demikian dapat dituntut pembatalannya
melalui proses peradilan. Dengan demikian, ekonomi dpaat diharapkan membantu
dalam membuat perhitungan, tetapi yang memutuskan adalah politik berdasarkan
ketentuan hukum sesuai dengan apa yang sudah disepakati bersama oleh seluruh anak
bangsa sebagaimana tercermin dalam konstitusi sebagai kontrak sosial. Dengan
perkataan lain, ekonomi memperhitungkan, politik memutuskan, tetapi hukumlah
yang akhirnya menentukan. Jangan biarkan ekonomi memutuskan segala sesuatu
dengan logikanya sendiri. Politik juga tidak boleh dibiarkan memutuskan nasib
sleuruh anak negeri hanya dengan logikanya sendiri. Inilah hakikat makna bahwa
negara kita adalah negara demokrasi konstitusional, Negara Hukum, Rechtsstaat, the
Rule of Law, not of Man.68
Konstitusi ekonomi Indosesia yang dijabarkan dalam Pasal 33 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selain menganut konsep
(paham) kedaulatan rakyat69, kedaulatan hukum70, kedaulatan Tuhan71, juga terkait
dengan berhubungan dengan Hak Asasi Manusia (untuk selanjutnya cukup disebut
HAM). Dikatakan demikian, oleh karena keberadaan HAM mendahului hukum.
Artinya, HAM sebagai hak dasar dan suci melekat pada setiap manusia sepanjang
hidupnya sebagai anugerah Tuhan, kemudian HAM diformalkan ke dalam
seperangkat aturan hukum yang ada. Sehingga, hukum menjadi condition sine qua
68 Ibid, h.81.69 Kedaulatan Rakyat disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, juga
disebutkan dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, “…susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat…”
70 Kedaulatan Hukum disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.71 Kedaulatan Tuhan disebutkan dua kali dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, pertama,
alinea ketiga, “Atas bekat rahmat Allah Yang Maha Kuasa…”, dan alinea keempat, “…susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa…..” serta Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”
non dalam penegakan HAM.72 Menegakkan aturan hukum memerlukan peran
penguasa/pemerintah, dengan demikian menjadi mutlak perananan
penguasa/pemerintah karena hukum adalah suatu norma (aturan) yang diam dan
lemah. Hukum hanya dapat bergerak dan hanya dapat digerakkan oleh
penguasa/orang yang memiliki tangan kuat (the stong arms). Di tangan-tangan kuat
sajalah hukum dapat berjalan dan efektif (terdapat political will dan political action).73
Hukum yang disebut juga aturan, norma, dan kaidah sebagai kata benda
mempunyai dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Pertama, berisikan ide dan cita-cita.
Kedua, hukum difungsikan (didayagunakan) sebagai alat untuk mencapai cita
hukum.74 Dalam kaitannya dengan cita-cita (tujuan) negara Indonesia, berdasarkan
teks Mukadimah (Pembukaan) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 dapat diketahui bahwa cita-cita atau tujuan dibentuknya Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdimensi internal dan eksternal. Dimensi internal, menunjuk
kepada perlindungan atas segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sedangkan dimensi eksternal, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarjab
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kedua dimensi inilah yang
melandasi kemerdekaan bangsa Indonesia dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia Tahun 1945 yang dibentuk berdasarkan paham kedaulatan rakyat dengan
berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila75. Inilah yang membedakan – sebagai ciri khas
72 A. Masyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik dan Proses Penyusunan/Aplikasi HA-KHAM (Hukum Hak Asasi Manusia) Dalam Masyarakat, Edisi ke-3 (Jakarta: Ghalia Indonesia, Bogor, 2010), hlm.36.
73 Ibid, hlm.37.74 Ibid, hlm.26-27.75 Baca: Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
– ideologi negara Indonesia dengan ideologi yang lainnya, baik sosialis/komunis
maupun liberalis.
Keterkaitan antara HAM di satu sisi dengan sistem ekonomi telah melahirkan
konfigurasi antara ekonomi dan politik.76 HAM menurut perspektif liberalisme77
meliputi aspek politik, ekonomi, dan sosial. Melalui pengembangan kekuatan atau
potensi individu secara maksimal, maka kehidupan masyarakat akan semakin
maju/berkembang. Dengan demikian, pandangan politik individualisme memberi
ruang gerak kepada setiap individu untuk “berlomba” mengembangkan potensi
dirinya dalam rangka kemakmuran masyarakat. Sedangkan dalam bidang ekonomi,
doktrin laissez faire menegaskan bahwa negara hanya berfungsi memelihara dan
mempertahankan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat; negara berfungsi hanya
sebagai “penjaga malam”, adapun wujud ekonomi dalam liberalisme adalah
kapitalisme.78 Penghormatan atas hak-hak individu yang terkesan tanpa batas menuai
kritik, hal ini menandakan kelemahan paham individualisme.
Kebalikan paham liberalisme adalah sosialisme / komunisme, dalam sistem ini
negara memiliki peran dalam beragam aktivitas masyarakat, sehingga diharapkan
melalui sistem sosialisme kesejahteraan masyarakat akan tercapai. Dengan demikian,
76 Konfigurasi (pemikiran) ekonomi-politik telah berlangsung sedemikian lama, sejak masa pra klasik, klasik, hingga neoklasik sebagaimana yang berlaku saat ini merupakan bagian pemikiran neo-liberalisme. Uraian lengkap tentang hal ini dapat dibaca: Deliarnov, Ekonomi Politik, Jakarta: Erlangga, 2006 dan W.I.M Poli, Tonggak-Tonggak Sejarah Pemikiran Ekonomi, Surabaya: Brilian Internasional, 2010.
77 Liberalisme adalah ideologi yang bertumpu kepada falsafah individualisme; satu pandangan yang mengedepankan kebebasan orang per orang. Dengan demikian, individu dengan segala kebebasannya diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengaktualisasikan dirinya dengan maksimal. “Liberal regard man as a rational creatur who can use his intelligence to over come human and natural obstacles to a good life, without resorting to violence against the established order. Liberalism is more concerned with process, with the methoe of solving problems, than with a specific program.” J. Plano dalam A. Masyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, Op.Cit, hlm.18.
78 Konsepsi HAM menurut paham liberal secra formal dapat dibaca di dalam Deklarasi Kemerdekaan 13 Negara-negara Amerika 1776: “…we hold these truths to be self-evident; that all men created equal; that they are endowed by their Creator with certain inalienable rights. Liberty and the pursuit of happiness.” A. Masyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, Ibid, hlm.19.
semua gerakan sosial – terutama dalam bidang perekonomian – negara selalu ikut
campur. Dibandingkan dengan sistem individualisme, sistem sosialisme merupakan
antithesis. Sebaliknya, ajaran komunisme yang dibangun Karl Marx dilaksanakan
oleh Lenin dan dipraktikkan di Uni Soviet (1918-1987). Ajarannya bersifat
revolusioner dan langkah-langkah keras dijalankan semata-mata demi tercapainya
tujuan negara. Untuk mencapai tujuan tersebut, hak-hak perseorangan dihapus dan
ditiadakan secara paksa, tanpa memberi kesempatan warga untuk berbeda pendapat.
Konsep sosialis yang diawali dari ajaran Karl Marx, menurut L. Henkin, makna hak
asasi tidak menekankan kepada hak masyarakat, tetapi justru menekankan kewajiban
terhadap masyarakat. Dari ajaran tersebut, konsep sosialisme Marx bermaksud
mendahulukan kesejahteraan dari pada kebebasan.79
Sedangkan HAM dalam pandangan negara dunia ketiga80, mampu menentukan
sikap politik luar negeri yang tidak memihak secara langsung kepada dua kekuatan
besar tersebut, dengan lain kata tidak masuk ke dalam salah satu pusaran kekuatan
ideologi waktu itu, di mana disebut negara-negara Nonblok (nonalignment
countries).81
Di era globalisasi diskusi mengenai negara bangsa telah menjadi usang karena
perannya digantikan oleh lembaga-lembaga internasional dan negara-negara
kawasan.82 Disinilah letak permasalahan kedudukan negara bangsa (nation state)
79 M. Philipus Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Pengadilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Surabaya: UNAIR, 1985, hlm.63.
80 Negara dunia ketiga adalah negara-negara yang merdeka, kebanyakan sesudah Perang Dunia II dan sebagian besar negara tersebut tidak terjebak secara langsung masuk dalam peta politik internasional, yaitu bipolarisasi. Waktu itu, peta politik bertumpu pada dua kekuatan politik besar, yaitu satu pihak memimak kepada sistem politik demokrasi Amerika Serikat, sementara di pihak lainnya ke kubu Uni Soviet yang komunis.
81 A. Masyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, Op.Cit, hlm.24.82 Keniche Ohmae, Hancurnya Negara Bangsa: Bangkitnya Negara Kawasan dan Geliat Ekonomi
Regional di Dunia Tak Terbatas, (Yogyakarta: Qalam, 2002), hlm.25.
dengan nasionalisme-nya versus lingkungan global, suatu pemerintahan yang tunggal
dan global. Oleh karena itu, kebjiakan neo-liberalisme ini mempunyai ciri dalam tiga
hal, yakni liberalisasi, privatisasi dan deregulasi.
Terkait dengan perkembangan globalisasi ini, maka gagasan kedaulatan rakyat
itu sering diidentikkan dengan demokrasi yang di zaman moderen sekarang cenderung
tidak lagi hanya dilihat sebagai konsep politik. Tema demokrasi ekonomi (kedaulatan
rakyat bidang ekonomi) juga tidak kalah menonjol dibandingkan dengan demokrasi
politik. Orang semakin lama semakin sadar bahwa jaminan-jaminan akan hak-hak
politik saja tidak lagi cukup untuk memperkuat kedudukan rakyat dalam suatu negara,
terutama jika dikaitkan dengan kenyataan perkembangan kekuatan ekonomi dalam
masyarakat yang cenderung tidak memihak kepada lapisan masyarakat yang berada
dalam struktur papan-bawah. Jaminan demokrasi politik tidak serta merta melahirkan
kondisi yang demokratis dalam pembagian sumber-sumber ekonomi. Karena itu,
gagasan demokrasi ekonomi juga menjadi semakin aktual untuk dikembangkan
bersamaan dengan gagasan demokrasi politik. Dalam konteks Indonesia, upaya
penegakan demokrasi ekonomi nampaknya berhadapan dengan upaya-upaya untuk
memperjuangkan pasar bebas, yang menjadi senjata penganut paham liberalisme dan
kapitalisme. Dengan menguatnya paham liberalisme dan kapitalisme dalam
demokratisasi ekonomi, maka dikhawatirkan akan “meminggirkan” kedaulatan rakyat
dan sekaligus “menjauhkannya” dari perlindungan HAM yang bersifat mutlak dan
mendasar. Kita ketahui bahwa HAM tidak saja terkait dengan pemenuhan spiritual,
pemenuhan biologis, dan pemenuhan hak politik/sipil dan sosial saja, namun juga
hak-hak ekonomi, terlebih lagi hak atas sumber daya alam yang bersifat sangat
mendasar untuk pemenuhan kebutuhan hidup.
6). Teori Kedaulatan
Teori kedaulatan rakyat dikemukakan oleh J.J. Rousseau dan Imanuel Kant.
J.J. Rousseau mengemukakan pendapatnya tentang teori kedaulatan rakyat, ia
berpendapat sebagai berikut: “Kedaulatan rakyat itu pada prinsipnya merupakan
cara atau sistem mengenai pemecahan sesuatu soal menurut cara atau sistem tertentu
yang memenuhi kehendak umum.”83 Sementara Immanuel Kant juga mengemukakan
pendapatnya tentang teori kedaulatan rakyat. Ia berpendapat bahwa: Undang-undang
merupakan penjelmaan kemauan atau kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang mewakili
kekuasaan tertinggi atau kedaulatan.”84 Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam
penyelenggaraan negara telah ditentukan jenis kedaulatan yang dianut, yakni
sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dalam ketentuan itu
ditentukan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.85
Dengan demikian suatu negara merdeka adalah negara yang berdaulat, yaitu
negara yang memiliki kekuasaan tertinggi pada organ negara itu sendiri. Esensi dari
kedaulatan adalah adanya kekuasaan untuk menentukan tujuan dan cita-cita sendiri,
serta mengelola sumber daya sendiri, serta memilih dan menentukan jalan sendiri
untuk mencapai tujuan dan cita-cita tersebut. Tanpa itu semua, suatu negara tidak
dapat dikatakan sebagai negara yang merdeka. Oleh karena itulah kedaulatan menjadi
83 H. Salim HS, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), hlm.128.
84 Ibid, hlm.161.85 Perubahan ketiga disahkan tanggal 10 November 2001. Ketentuan konstitusional tersebut
menunjukkan bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia berdasarkan UUD 1945, harus berdasarkan atas prinsip kedaulatan rakyat dan negara hukum. Artinya, berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka segala bentuk keputusan dan tindakan apabila negara atau aparatur penyelenggara pemerintahan negara harus berdasarkan atas prinsip kedaulatan rakyat dan hukum, dan tidak berdasarkan kekuasaan yang melekat pada kedudukan aparatur penyelenggara pemerintahan itu sendiri. Dahlan Thaib, Ketatanegaraan Indonesia: Perspektif Konstitusional, (Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm.95.
unsur konstitutif suatu negara. Makna kedaulatan tersebut dalam pelaksanaannya
adalah kemandirian suatu bangsa. Kemandirian hanya dapat diperoleh jika suatu
bangsa memiliki kedaulatan. Sebaliknya, kedaulatan hanya dapat diwujudkan dan
dipertahankan jika suatu bangsa tidak bergantung kepada bangsa lain. Bangsa yang
berdaulat adalah bangsa yang mandiri baik secara politik, ekonomi, maupun budaya.
Kemerdekaan dan kedaulatan menjadi tidak bermakna jika suatu bangsa bergantung
atau selalu dipaksa menuruti kehendak bangsa lain. Namun demikian kemandirian
tidak berarti mengucilkan diri dari bangsa-bangsa lain. Kemandirian memiliki sisi
dinamis antara interdependensi dan independensi.
Dalam setiap analisis mengenai konsep kekuasaan, seperti dikatakan oleh Jack
H. Nagel, ada dua hal penting yang terkait, yaitu lingkup kekuasaan (scope of power)
dan jangkauan kekuasaan (domain of power). Dalam hubungan ini, pendekatan Nagel
tadi dapat juga digunakan untuk menganalisis kedaulatan sebagai konsep tentang
kekuasaan tertinggi. Lingkup kedaulatan menyangkut soal aktivitas atau kegiatan
yang tercakup dalam fungsi kedaulatan, sedangkan jangkauan kedaulatan berkaitan
dengan siapa yang menjadi subjek dan pemegang kedaulatan (soverign).86 Pendekatan
Nagel yang kedua, yakni konsep mengenai jangkauan kedaulatan (domain of
sovereignty), terdapat dua hal yang penting, yaitu (a) siapa yang memegang
kekuasaan tertinggi dalam negara; dan (b) apa yang dikuasai oleh pemegang
kekuasaan tertinggi itu.87 Kedua unsur konsep jangkauan kedaulatan ini menjadi
tolok ukur dalam penelitian ini.
86 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm.9
87 Ibid, hlm.10
Untuk mengetahui siapa yang menguasai, dalam ilmu hukum, dikenal adanya
5 (lima) teori atau ajaran kedaulatan yang menjelaskan tentang siapa yang berdaulat,
yaitu:88
1. Teori Kedaulatan Tuhan;
2. Teori Kedaulatan Raja;
3. Teori Kedaulatan Negara;
4. Teori Kedaulatan Hukum;
5. Teori Kedalatan Rakyat.
Pertama, ajaran Kedaulatan Tuhan menganggap Tuhan sebagai pemegang
kekuasaan tertinggi dalam negara. Dalam prakteknya, kedaulatan Tuhan itu dapat
menjelma dalam hukum yang harus dipatuhi oleh kepala negara atau dapat pula
menjelma dalam kekuasaan raja sebagai kepala negara yang mengklaim wewenang
untuk menetapkan hukum atas nama Tuhan. Kedua, ajaran Kedaulatan Raja
beranggapan bahwa rajalah yang memegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.
Pandangan seperti ini muncul terutama setelah periode sekularisasi negara dan hukum
di Eropa. Ketiga, ajaran Kedaulatan Negara, adalah reaksi terhadap kesewenangan
raja yang muncul bersamaan dengan timbulnya konsep negara bangsa dalam
pengalaman sejarah di Eropa. Masing-masing kerajaan di Eropa melepaskan diri dari
ikatan negara dunia yang diperintah oleh raja yang sekaligus memegang kekuasaan
sebagai Kepala Gereja. Setelah itu, muncul pula ajaran Kedaulatan Hukum yang
menganggap bahwa negara itu sesungguhnya tidaklah memegang kedaulatan. Sumber
kekuasaan tertinggi adalah hukum dan setiap kepala negara harus tunduk kepada
hukum. Kemudian muncul pula ajaran Kedaulatan Rakyat yang menyakini bahwa
88 Ibid, hlm.10 et seq.
yang sesungguuhnya berdaulat dalam setiap negara adalah rakyat. Kehendak rakyat
merupakan satu-satunya sumber kekuasaan bagi setiap pemerintah.
Kelima teori kedaulatan itu, di satu pihak merupakan perkembangan yang
dihasilkan oleh interaksi praktis, tetapi di lain pihak menggambarkan pula perbedaan
pemikiran mengenai konsep kenegaraan dalam sejarah. Sebagai teori, tidak satu pun
dari kelima ajaran itu yang dapat disebut paling modern. Bahkan dinamika pemikiran
mengenai konsep negara yang berdasar atas hukum dan negara kerakyatan sudah
berlangsung sejak dari zaman Yunai dan Romawi kuno. Jika sejarah kedua negara
kuno ini dipelajari, akan tampak akar perkembangan gagasan kedaulatan rakyat
tumbuh dari tradisi Romawi, sedangkan gagasan kedaulatan hukum tumbuh dari
tradisi Yunani kuno. Hanya saja harus diakui, hampir semua negara modern dewasa
ini, secara formil mengaku menganut asas kedaulatan rakyat.
Menurut Jimly89, prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dan kedaulatan
hukum (nomocratie) haruslah diselenggarakan secara beriringan sebagai dua sisi mata
uang yang sama. Untuk itulah, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia hendaknya
menganut pengertian bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum yang
demokratis (democratische rechtsstaat) dan sekaligus adalah Negara Demokrasi yang
berdasar atas hukum (constitutional democracy) yang tidak terpisahkan satu sama
lain. Keduanya juga merupakan perwujudan nyata dari keyakinan segenap bangsa
Indonesia akan prinsip ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang juga
dikonstruksikan sebagai paham kedaulatan Tuhan.
89 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm.58.
Sedangkan untuk mengetahui apa yang dikuasai oleh pemegang kekuasaan,
terdapat dua hak yang penting, yakni pemegang kekuasaan dapat menguasai orang
dan dapat pula menguasai kekayaan.
Prinsip kedaulatan negara tersebut sebenarnya berinterelasi dengan ketentuan
hukum yang telah diakui oleh dunia internasional. Beberapa pokok pikiran mengenai
ketentuan hukum internasional mengenai prinsip-prinsip kedaulatan negara atas
sumber daya alam yang dimiliki diatur dalam ketentuan sebagai berikut, yaitu :
Pertama, Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (”PBB”)
tanggal 21 Desember 1952 tentang penentuan nasib sendiri di bidang ekonomi. Dalam
resolusi tersebut ditegaskan mengenai hak setiap negara untuk memanfaatkan secara
bebas SDA-nya.
Kedua, Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 14 Deseember 1962, 25
November 1966, dan 17 Desember 1973. Resolusi ini memperluas ruang lingkup
prinsip hak permanent sovereignty (penguasaan permanen) atas kekayaan alam di
dasar laut dan tanah di bawahnya yang masih berada dalam yurisdiksi suatu negara.
Ketiga, Resolusi Majelis Umum PBB Tahun 1974 dan Deklarasi tentang
pembentukan Tata Ekonomi Internasional Baru dan Program Hak-hak Ekonomi dan
Kewajiban Negara (Charter of Economic Rights and Duties of States). Resolusi
tersebut menegaskan kembali mengenai hak menguasai oleh negara untuk mengawasi
kekayaan alamnya dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Keempat, Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Pasal 1) dan
Covenant on Civil Political Rights (Pasal 1) tanggal 16 Desember 1966. Perjanjian ini
juga menegaskan mengenai hak suatu negara untuk memanfaatkan secara bebas
kekayaan alamnya.
Kelima, Declaration on the Human Environment Tahun 1972 di Stockholm.
Dalam Pasal 11 dan 12 ditegaskan bahwa negara memiliki hak berdaulat untuk
memanfaatkan SDA-nya sesuai dengan kebijakan pemeliharaan lingkungannya
masing-masing. Dalam pemanfaatan SDA tersebut, negara bertanggung jawab atas
kegiatan-kegiatan yang merugikan lingkungan, baik di wilayahnya sendiri, maupun di
wilayah negara lain.
7). Teori Maqashid Syariah (Kemashalahatan)
Maqashid atau maslahat dharuriyyat adalah sesuatu yang mesti adanya demi
terwujudnnya kemaslahatan agama dan dunia. Apabila hal ini tidak ada, maka akan
menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan kehidupan90 seperti makan,
minum, shalat, shaum dan ibadah-ibadah lainnya.
Kemaslahatan dunia dikategorikan menjadi dua, baik yang pencapaiannya
dengan cara menarik kemanfaatan atau dengan cara menolak kemudaratan.91 Pertama,
kemaslahatan dharruriyyah (inti/pokok); kemaslahatan maqashid syar’iyyah yang
berada dalam urutan paling atas. Kedua, kemaslahatan ghairu dharruriyyah (bukan
kemaslahatan pokok): namun kemaslahatan ini tergolong penting dan tidak bisa
dipisahkan.92 Sedangkan kategori kedua merupakan maslahat yang tidak inti, dan
kemaslahatan ini dibagi lagi menjadi dua, yakni sebagai berikut: pertama, hajjiyah
(sekunder), bersifat kebutuhan yakni kemaslahatan yang dibutuhkan manusia untuk
bisa melakukan pekerjaan dan memperbaiki penghidupan mereka, seperti jual beli,
sewa-menyewa, transaksi bagi hasil, dan lain sebagainya. Di antara pelengkapnya 90 Imam Syathibi, al-Muawafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th., Juz II.
h. 7. Menurut Imam Syathibi, Allah menurunkan syariat (aturan hukum) tiada lain selain untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemadaratan (jalbul mashalih wa dar’ul mafasid). Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan-aturan hukum yang Allah tentukan hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri.
91 Ibid, hlm.192 Achmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, Judul Asli “Maqashidussyariah fil Islam”,
penerjemah Khikmawati, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm.xv
adalah sarana yang bisa menyampaikan kepada tujuan ini, seperti adanya tingkat kufu
dan mahar mitsli. Semua kemasalahatan ini juga termasuk maqashid syar’iyyah.
Kedua, tahsiniyah (tersier), bersifat perbaikan yakni kemaslahatan yang merujuk
kepada moral dan etika, juga semua hal yang bisa menyampaikan seseorang menuju
muru’ah dan berjalan di atas metode yang lebih utama dan jalan yang lebih baik.93
Kemaslahatan inti/pokok yang disepakati dalam semua syariat tercakup dalam
lima hal, seperti yang dihitung dan disebutkan oleh para ulama dengan nama al-
kuliyyat al-khams (lima hal inti/pokok) yang dianggap sebagai dasar-dasar dan tujuan
umum syariat yang harus dijaga, sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Ghazali dan
Imam Asy-Syathibi.94 Tujuan yang harus dicapai, dalam maqashid syar’iyyah,
sebagai hasil penelitian mereka terhadap al-Qur’an dan Hadist, yaitu; pertama,
menjaga agama (hifdz ad-din), kedua, menjaga jiwa (hifdz an-nafs), ketiga, menjaga
akal (hifdz al-‘aql), keempat, menjaga harta (hifdz al-mal), kelima, menjaga
keturunan (hifdz an-nasl).95
Kelima maqashid ini harus tetap terjaga eksistensinya dengan memperkuat
dan memperkokoh berbagai macam aspeknya dis atu sisi, dan diperlukan adanya
upaya-upaya preventif dan represif agar maqashid tidak tidak hilang dari kehidupan
manusia di sisi lain. 96
Dalam konteks maqashid ini, ada aturam yang bersifat dharuriyah (primer),
hajjiyah (sekunder), dan tahsiniyah (tersier). Jika tujuan yang bersifat dharuriyah
tidak tercapai, maka kehidupan manusia akan guncang. Apabila tujuan yang bersifat
hajjiyah tidak tercipta, maka kehidupan manusia akan mengalami kesulitan. Tatkala
93 Yusuf al-Alim, al-Maqashid al-Ammah, hlm.8094 Ibid.95 Ibid.96 H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm.251.
tujuan yang bersifat tahsiniyah tidak terwujudkan, maka kehidupan manusia tidak
akan indah. Dengan pengejewantahan maqashid syar’iyyah, menurut asumsi para
ulama, maka kehidupan yang maslahat akan tercapai, hasanah fi al-dunya wa hasnah
fi al-akhirah menuju keridhaan Allah SWT.97
Semakin lebar kesenjangan antara maqashid syariah dengan realitas
kehidupan, maka semakin besar tuntutan terhadap perubahan dan perbaikan98. Ibn al-
Qayyim mengemukakan kriteria perwujudan maqashid syariah, yaitu: keadilan,
kemaslahatan, manfaat, rahmat, dan hikmah. Segala sesuatu yang keluar dari keadilan
ke kezaliman, dari maslahat ke mafsadat, dari manfaat ke mudarat, dari rahmat ke
laknat, dan dari hikmah ke kebiadaban, maka semua itu keluar dari maqashid
syariah.99 Cara untuk menjaga yang lima tadi dapat ditempuh dengan dua cara yaitu:
pertama, dari segi adanya (min nahiyyati al-wujud) yaitu dengan cara manjaga dan
memelihara hal-hal yang dapat melanggengkan keberadaannya., dan kedua, dari segi
tidak ada (min nahiyyati al- ‘adam) yaitu dengan cara mencegah hal-hal yang
menyebabkan ketiadaannya.100
F. Pembahasan dan Analisis
97 Ibid, hlm.251.98 Perubahan harus menuju dan merealisasikan maqashid syar’iyyah sesuai dengan kearifan,
“memelihara yang lama yang maslahat serta mengambil yang baru yang lebih maslahat.”99 Ibid, hlm.251-252100 Untuk lebih jelasnya, disampaikan contoh sebagai berikut ini: a. Menjaga agama dari segi al-
wujud misalnya shalat dan zakat, b. Menjaga agama dari segi al-‘adam misalnya jihad dan hukuman bagi orang murtad, c. Menjaga jiwa dari segi al-wujud misalnya makan dan minum, d. Menjaga jiwa dari segi al-‘adam misalnya hukuman qishash dan diyat, e. Menjaga aqal dari segi al-wujud misalnya makan dan mencari ilmu, f. Menjaga aqal dari segi al-‘adam misalnya had bagi peminum khamr, g. Menjaga an-nasl dari segi al-wujud misalnya nikah, h. Menjaga an-nasl dari segi al-‘adam misalnya had bagi pezina dan muqdzif, i. Menjaga al-mal dari segi al-wujud misalnya jual beli dan mencari rizki, j. Menjaga al-mal dari segi al-‘adam misalnya riba, memotong tangan pencuri. Asy-Syatthibi, Op.Cit, hlm.25.
1. Paham kedaulatan rakyat (demokrasi ekonomi) dalam konstitusi negara
Indonesia
Konstitusi memberikan kewenangan kepada negara untuk menguasai cabang-
cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak. Permasalahan hak menguasai negara, sebagai titik pusat dari permasalahan
yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945, adalah menunjuk pada kata-kata
“dikuasai oleh negara”. Sebelum kita memasuki mengenai uraian tentang konsep
penguasaan negara, maka ada baiknya kita tinjau terlebih dahulu tentang beberapa
teori kekuasaan negara, diantaranya yaitu:
1. Menurut Van Vollenhoven negara sebagai organisasi tertinggi dari bangsa
yang diberi kekuasaan untuk mengatur segala-galanya dan negara
berdasarkan kedudukannya memiliki kewenangan untuk peraturan hukum.101
Dalam hal ini kekuasaan negara selalu dihubungkan dengan teori kedaulatan
(sovereignty atau souverenitet).
2. Sedangkan menurut J.J. Rousseau menyebutkan bahwa kekuasaan negara
sebagai suatu badan atau organisasi rakyat bersumber dari hasil perjanjian
masyarakat (contract soscial) yang esensinya merupakan suatu bentuk
kesatuan yang membela dan melindungi kekuasaan bersama, kekuasaan
pribadi dan milik setiap individu.102
Dalam hal ini pada hakikatnya kekuasaan bukan kedaulatan, namun kekuasaan
negara itu juga bukanlah kekuasaan tanpa batas, sebab ada beberapa ketentuan hukum
101 Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), hlm. 99.102 R. Wiratno, dkk, Ahli-Ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum (Jakarta: PT Pembangunan,
1958), hlm.176.
yang mengikat dirinya seperti hukum alam dan hukum Tuhan serta hukum yang
umum pada semua bangsa yang dinamakan leges imperii.103
Sejalan dengan kedua teori di atas, maka secara toritik kekuasaan negara atas
sumber daya alam bersumber dari rakyat yang dikenal dengan hak bangsa. Negara
dalam hal inidipandang sebagai yang memiliki karakter sebagai suatu lembaga
masyarakat umum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan untuk
mengatur, mengurus dan memelihara (mengawasi) pemanfaatan seluruh potensi
sumber daya alam yang ada dalam wilayahnya secara intensif.
Keterkaitan dengan hak penguasaan negara dengan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat akan mewujudkan kewajiban negara sebagai berikut:
1. Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan
alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat.
2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau
di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan
secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat.
3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan
rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam
menikmati kekayaan alam.
Ketiga kewajiban di atas menjelaskan segala jaminan bagi tujuan hak
penguasaan negara atas sumber daya alam yang sekaligus memberikan pemahaman
bahwa dalam hak penguasaan itu, negara hanya melakukan pengurusan
(bestuursdaad) dan pengolahan (beheersdaad), tidak untuk melakukan eigensdaad.
103 Undang-Undang Dasar Negara yang memuat ketentuan-ketentuan kepada siapa kekuasaan itu diserahkan dan batas-batas pelaksanaannya.
Mahkamah Konstitusi dalam berbagai perkara, memberikan penafsiran atas
konsepsi penguasaan oleh negara, sebagai berikut:104
“Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut alam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaam tertinggi tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif….. Pengertian “dikuasai oleh negara” juga tidak dapat diartikan hanya sebatas sebagai hak untuk mengatur, karena hal dimaksud sudah dengan sendirinya melekat dalam fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut secara khusus dalam Undang-Undang Dasar…..dengan demikian, perkataan “dikuasi oleh negera” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas, yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan raktar Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkadung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikontruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Menurut Jimly105, yang dimaksud dengan penguasaan negara sebagaimana
diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bukan semata-mata pemilikan. Pemilikan
adalah konsep perdata, sedangkan penguasaan adalah konsep tata negara. Di dalam
konsep menguasai itu termasuk pengawasan, pemilikan, pengelolaan, dan sebagainya.
Itu merupakan kebijakan negara. Selanjutnya dikatakan:106
“…Konsepsi “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 dalam makna “dimiliki oleh negara”, yaitu kepemilikan dalam arti yang luas,
104 Lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 001-021-022/PUU-I/2003 tentang UU Ketenagalistrikan serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 tentang Pengujian UU Migas.
105 Lebih lanjut dikatakan bahwa Pasal 33 UUD 1945 tidak anti privatisasi dan tidak anti swastanisasi. State hanya salah satu domain saja dari 3 (tiga) domain yang ada, yaitu state, civil society, market. Ketiga-tiganya harus sama-sama kuat. Dalam sistem demokrasi modern bahwa state, civil society dan market itu harus saling menunjang dan harmoni. Di situlah demokrasi akan tumbuh, dan di situlah kesejahteraan akan tumbuh pula. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, (Bekasi: The Biography Institute, 2007), hlm.100-101.
106 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Op,C it, hlm.281.
kepemilikan dalam pengertian hukum publik. Bumi, airm dan seluruh kekayaan alam yang terkandung dalam perut bumu dan dalam air tidak hanya dipahami dalam pengertian sekedar penguasaan melalui kontrol dan fungsi regulasi semata. Demikian pula dalam konteks hukum publik dan sekaligus perdata pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 adalah penguasaan dalam arti yang seutuhnya yang mencakup juga makna kepemilikan, yaitu kepemilikan dalam pengertian hukum publik tentuanya berfungsi sebagai sumber bagu pengertian kepemilikan perdata (private ownership). Dengan dikuasai oleh negara, maka kekayaan sumber daya alam yang kita miliki, seluruhnya adalah untuk kepentingan rakyat.”
Mohammad Hatta sebagai salah satu pendiri negara (founding fathers)
menyatakan tentang pengertian dikuasai oleh negara sebagai berikut,107
“Cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33 UUD 1945 ialah produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh Pemerintah dengan bantuan kapital pinjaman luar negeri. Apabila siasat ini tidak berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing menanamkan modalnya di Indonesia dengan syarat yang ditentukan Pemerintah … Cara begitulah dahulu kita memikirkan betapa melaksanakan pembangunan ekonomi dengan dasar Pasal 33 UUD 1945 … Apabila tenaga nasional dan kapital nasional tidak mencukupi, pinjam tenaga asing dan kapital asing untuk melancarkan produksi. Apabila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya maka diberikan kesempatan kepada mereka untuk menanamkan modalnya di tanah air kita dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia sendiri.”
Selanjutnya, Hatta merumuskan tentang pengertian dikuasai oleh negara adalah
dikuasai oleh negara tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau
ordernemer. Lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat
peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula penghisapan
orang yang lemah oleh orang yang bermodal.108 Yamin merumuskan pengertian
107 Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato II, hlm. 231. Disusun oleh I. Wangsa Widjaja, Mutia F. Swasono, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung Tbk. Jakarta 2002). Penafsiran Dr. Mohammad Hatta tersebut diadopsi oleh Seminar Penjabaran Pasal 33 UUD 1945 pada tahun 1977 di Jakarta yang menyatakan bahwa sektor usaha negara adalah untuk mengelola ayat (2) dan ayat (3) Pasal 33 UUD 1945 dan di bidang pembiayaan, perusahaan negara dibiayai oleh Pemerintah, apabila Pemerintah tidak mempunyai cukup dana untuk membiayai, dapat melakukan pinjaman dari dalam dan luar negeri, dan apabila masih belum mencukupi bisa diselenggarakan bersama-sama dengan modal asing atas dasar production sharing;
108 Mohammad Hatta, Penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Mutiara, 1977), hlm. 28
dikuasai oleh negara termasuk mengatur dan/atau menyelenggarakan terutama untuk
memperbaiki dan mempertinggi produksi dengan mengutamakan koperasi.109
Panitia Keuangan dan Perekonomian bentukan Badan Penyelidik Usaha-
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diketuai oleh Mohammad
Hatta merumuskan pengertian dikuasai oleh negara sebagai berikut:
(1) Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur dengan berpedoman
keselamatan rakyat;
(2) Semakin besarnya perusahaan dan semakin banyaknya jumlah orang yang
menggantungkan dasar hidupnya karena semakin besar mestinya persertaan
pemerintah;
(3) Tanah ... haruslah di bawah kekuasaan negara; dan
(4) Perusahaan tambang yang besar ... dijalankan sebagai usaha negara.110
Bagir Manan merumuskan cakupan pengertian dikuasai oleh negara atau hak
penguasaan negara, sebagai berikut:
(1) Penguasaan semacam pemilikan oleh negara, artinya negara melalui
Pemerintah adalah satu-satunya pemegang wewenang untuk menentukan hak
wewenang atasnya, termasuk di sini bumi, air, dan kekayaan yang terkandung
di dalamnya,
(2) Mengatur dan mengawasi penggunaan dan pemanfaatan, (3) Penyertaan modal
dan dalam bentuk perusahaan negara untuk usaha-usaha tertentu.111
Dari beberapa rumusan pengertian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa
pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan
109 Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi, (Jakarta: Djembatan, 1954), hlm.42-43.110 Mohammad Hatta, Penjabaran Pasal 33, Ibid, hlm. 28.111 Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, (Bandung: Mandar
Maju, 1995), hlm. 12.
oleh negara dalam luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan
rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik
oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara
kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara
untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad),
pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan
(toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Apabila kita kaitkan dengan konsep negara kesejahteraan dan fungsi negara
menurut W. Friedmann, maka dapat kita temukan kajian kritis sebagai berikut:112
1. Hak penguasaan negara yang dinyatakan dalam Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945 memposisikan negara sebagai pengatur dan penjamin
kesejahteraan rakyat. Fungsi negara itu tidak dapat dipisahkan satu dengan
lainnya, artinya melepaskan suatu bidang usaha atas sumber daya alam kepada
koperasi, swasta harus disertai dengan bentuk-bentuk pengaturan dan
pengawasan yang bersifat khusus, karena itu kewajiban mewujudkan sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat tetap dapat dikendalikan oleh negara.
2. Hak penguasaan negara dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945,
membenarkan negara untuk mengusahakan sumber daya alam yang berkaitan
dengan public utilities dan public sevices. Atas dasar pertimbangan filosofis
(semangat dasar dari perekonomian ialah usaha bersama dan kekeluargaan),
strategis (kepnetingan umum), politik (mencegah monopoli dan oligopoli yang
112 Tri Hayati, dkk, Konsep Penguasaan Negara di Sektor Sumber Daya Alam berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, ( Jakarta : Sekretariat Jenderal MKRI dan CLGS FHUI, 2005), hlm. 17.
merugikan perekonomian negara), ekonomi (efesiensi dan efektifitas), dan
demi kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan rumusan-rumusan di atas ternyata mengandung beberapa unsur
yang sama. Dari pemahaman berbagai persamaan itu, maka rumusan pengertian hak
penguasaan negara ialah negara melalui pemerintah memiliki kewenangan untuk
menentukan penggunaan, pemanfaatan dan hak atas sumber daya alam dalam lingkup
mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan
sumber daya alam.Oleh karena itu terhadap sumber daya alam yang penting bagi
negara dan menguasai hajat orang banyak, karena berkaitan dengan kemaslahatan
umum (public utilities) dan pelayanan umum (public services), harus dikuasai negara
dan dijalankan oleh pemerintah. Sebab sumber daya alam tersebut, harus dapat
dinikmati oleh rakyat secara berkeadilan, keterjangkauan, dalam suasana kemakmuran
dan kesejahteraan umum yang adil dan merata.
Pengertian kedaulatan rakyat di bidang ekonomi terkait erat dengan demokrasi
ekonomi.113 Istilah kedaulatan rakyat itu sendiri biasa dikembangkan oleh para
ilmuwan sebagai konsep filsafat hukum dan filsafat politik. Sebagai istilah,
kedaulatan rakyat itu lebih sering digunakan dalam studi ilmu hukum daripada istilah
demokrasi yang biasa dipakai dalam ilmu politik. Namun, pengertian teknis keduanya
sama saja, yaitu sama-sama berkaitan dengan prinsip kekuasaan yang berasal dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Sejalan dengan logika berpikir bahwa yang dapat dikuasai itu mencakup orang
sebagai objek/subjek politik dan benda sebagai objek/subjek ekonomi, maka
kekuasaan tertinggi yang berada di tangan rakyat dalam pengertian kita tentang
113 Demokrasi ekonomi merupakan konsep yang digagas oleh para pendiri negara Indonesia (founding fathers) untuk menemukan sebuah bentuk perekonomian yang tepat dan sesuai dengan karakter bangsa Indonesia.
konsep demokrasi juga meliputi cakupan yang sama, yaitu kedaulatan rakyat di
bidang politik dan ekonomi. Kedaulatan rakyat di bidang politik itulah yang selama
ini dari tradisi liberalisme barat modern disebut dengan perkataan demokrasi. Istilah
demokrasi ekonomi di dunia barat baru dikenal di kemudian hari setelah wacana
tentang kedaulatan rakyat di bidang ekonomi mencapai perkembangan puncaknya
dalam tradisi politik Eropah Timur yang akrab dengan paham sosialisme ekstrim.
Dalam gagasan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi itu terkandung pengertian bahwa
ide kekuasaan tertinggi yang berada di tanganrakyat mencakup tidak saja dalam
lapangan politik, tetapi juga perekonomian. Sumber-sumber produksi pada pokoknya
juga berada dalam penguasaan rakyat yang berdaulat.114
Kedaulatan ekonomi (demokrasi ekonomi) Indonesia - perekonomian nasional
dan kesejahteraan nasional dalam UUD 1945- dirumuskan pertama kali oleh
BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai), yang kemudian dilanjutkan oleh PPKI, pada
awalnya hanya bernama kesejahteraan sosial, seperti yang tercantum pada naskah
UUD 1945 sebelum diamandemen. Istilah kesejahteraan sosial pertama kali
digunakan oleh Soekarno, saat menyampaikan pidato rapat BPUPKI, tanggal 1 Juni
1945 yang membahas mengenai dasar negara. Soekarno mengusulkan Pancasila
sebagai dasar negara dengan salah satu dasar, yakni Kesejahteraan Sosial.
Menurut Soekarno, dimaksudkan agar negara memberikan jaminan
kesejahteraan dan pemerataan kepada seluruh rakyat. Kemudian, dalam sidang PPKI
tanggal 18 Agustus 1945 disahkan UUD 1945, bab tentang kesejahteraan sosial di
ubah dengan nama kesejahteraan sosial dengan menghilangkan kata tentang, selain itu
nomor babnya juga berubah menjadi bab XIV setelah panitia memasukkan usulan
114 Jimly Asshiddiqie, Demokrasi Ekonomi, http://www.jimly.com diakses tanggal 20 Januari 2013, Jam: 14.50 WIB.
agar UUD memuat bab mengenai pendidian. Begitu pula dengan pasalnya berubah
menjadi Pasal 33 dan Pasal 34. Kemudian, pada masa pemerintahan Soeharto
kekuasaan atas sumber kekayaan alam diwujudkan dalam bentuk pendirian badan
usaha milik negara berlandasrkan prinsip-prinsip kebersamaan dan kekeluargaan atau
koperasi, dengan tetap mengacu kepada ideologi Pancasila. Seiring dengan gejolak
politik yang dilatarbelakangi gejala ekonomi dan moneter - di era reformasi –
akhirnya dilakukan perubahan atas UUD 1945. Ketentuan yang mengatur tentang
kesejahteraan sosial, menjadi bab tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan
sosial. Jumlah ayat dalam Pasal 33 bertambah yang semula tiga menjadi lima ayat.
Begitu pula Pasal 34, yang semula tanpa ayat menjadi empat ayat.115
Demokrasi ekonomi Indonesia tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 ayat 2 dan
3 yang berbunyi, “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai
hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat.” Di sini terlihat adanya nilai-nilai dasar kebersamaan dan
keadilan di tengah-tengah masyarakat serta untuk terciptanya kemakmuran bagi
seluruh rakyat, maka diperlukan intrumen negara dan/atau pemerintah.
Menurut Hatta, demokrasi harus ditegakkan dalam segala aspek kehidupan,
baik politik, sosial, maupun ekonomi.116 Tentang bagaimana gagasan demokrasi 115 Mahkamah Konstitusi RI, Naskah Komprehensif Perubahan UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan 1999-2002. Buku ke VII Keuangan, Perekonomian Nasional, dan Kesejahteraan Sosial. Edisi Revisi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi 2010), hlm.34-36.
116 Pengejawantahan dari demokrasi tersebut ke dalam kehidupan politik, sosial dan ekonomi menurut Hatta adalah bahwa: “…dalam segi ppolitik dilaksanakan sistem perwakilan rakyat dengan musyawarah, berdasarkan kepentingan umum. Demokrasi desa yang begitu kuat hidupnya adalah pula dasar bagi pemerintahan yang otonom yang luas di daerah-daerah sebagai cermin dari pada pemerintahan dari yang diperintah. Dalam segi sosial diadakan jaminan untuk perkembangan kepribadian manusia. Manusia bahagia sejahtera dan susila menjadi tujuan negara. Sementera demokrasi dalam bidang ekonomi tergambar dalam semangat gotong rojong yang merupakan koperasi sosial adalah dasar yang sebaik-baiknja untuk membangun koperasi ekonomi sebagai dasar perekonomian rakjat. Kejakinan tertanam bahwa hanja dengan koperasi
tersebut dijabarkan oleh Hatta ke dalam kehidupan ekonomi, dapat dibaca dalam
penjelasan Pasal 33 UUD 1945, yang dirumuskannya sebagai berikut:117
“…Produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran rakyatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai itu ialah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak yang ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang. Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Hatta tidak percaya sedikut pun dengan konsep demokrasi Barat, karena
demokrasi yang dikembangkan Barat hanya dalam bidang politik, sementara dalam
bidang ekonomi tidaklah demikian.118 Menurut Hatta, kapitalisme harus ditolak
karena “semakin dalam kapitalisme mesuk ke dalam masyarakat Indonesi, semakin
rusak penghidupan rakyat yang tidak mempunyai pertahanan lagi.”119 Soekarno
mengemukakan bahwa ekonomi yang liberal dan individualistis, adalah sumber dari
perselisihan golongan atau kelas dalam masyarakat. Hasil dari sistem ekonomi yang
demikian itu adalah berkembang suburnya kapitalisme dan imperialisme. Persaingan
dapat dibangun kemakmuran rakjat”. Lihat: Mohammad Hatta, Demokrasi Kita (Djakarta: Pustaka Antara, 1966), hlm.27.
117 Anwar Abbas, Op.Cit, hlm.243-244.118 Oleh karena itu menurut Hatta: “…Demokrasi Barat pincang karena ia cuma melihat dalam
bagian hak dan politik saja. Dalam daerah perekonomian dan pergaulan sosial rakyat yang banyak, masih menderita kemegahan kaum kapitalis dan kaum majikan. Yang menjadi pokok kepincangam ini ialah didikan bangsa Barat dengan asas-asas filsafat yang dikemukakan pada bagian kedua abad ke 18. Sifat individualisme atau dalam bahasa kita sifat perseorangan. Sifat perseorangan inilah yang menjadi asas liberalisme Barat. Dan membangunkan kapitalisme modern dan imperialism perekonomian politik.” Dalam Anwar Abbas, Ibid. hlm.236.
119 I Wangsa Widjaja dan Meutia Farida Swasono, Membangun Ekonomi Indonesia, Kumpulan Pidato Ilmiah (Jakarta: Inti Idayu Press, 1985), hlm.3.
tanpa batas antar individu yang merdeka kemudian melintas batas negara, hingga
terjadi penjajagan di negara-negara lain.120
2. Pengaruh perkembangan ekonomi politik internasional (globalisasi)
terhadap kedaulatan rakyat di bidang ekonomi
Globalisasi yang tengah berlangsung saat ini telah memberikan pengaruh yang
cukup signifikan bagi perkembangan paham individualistik, hal ini ditandai dengan
neo-liberalisasi yang dikendalikan oleh kaum kapitalis melalui perusahaan
transnasional (TNC) dan perusahaan multinasional (MNC)121. Konsepsi globalisasi
sebagai sebuah deskripsi mengacu pada perluasan dan penguatan arus perdagangan,
modal, teknologi dan informasi internasional dalam sebuah pasar tunggal yang
menyatu.122 “Tata Dunia Baru” yang diasumsikan sebagai satu-satunya alternatif yang
tersedia sebagai tenaga pendorong proses pembangunan dan sinyal bagi kemakmuran
masa depan dinilai sebagai imperialisme abad 21.123
Pada akhirnya di era globalisasi diskusi mengenai negara bangsa telah
menjadi usang karena perannya digantikan oleh lembaga-lembaga internasional dan
120 E. Fernando Manulang, Korporatisme dan Undang-Undang Dasar 1945 (Bandung: Nuansa Aulia, 2010), hlm.111-112.
121 Dalam beberapa dekade belakangan, seiring dengan liberalisasi ekonomi dan perdagangan, perusahaan-perusahaan ini telah menjadi aktor ekonomi politik internasional yang semakin penting. Tujuan mereka yang paling utama adalah bagaimana mengakumulasi kekayaan yang sebesar-besarnya: Lihat: Budi Winarno, Globalisasi dan Krisis Demokrasi, Cet.I (Yogyakarta: MedPress, 2007), hlm.2 – 3.
122 James Petras dan Henry Veltmeyer, Op.Cit, hlm.7 et seq.123 Istilah imperialisme ini dikemukakan oleh Petras, dengan menggunakan konsep imperialisme
didasarkan pada suatu kenyataan bahwa jaringan lembaga-lembaga yang menentukan struktur sistem perekonomian global dilihat bukan dalam pengertian struktural, melainkan dalam pengertian kesengajaan dan ketergantungan, yang dikendalikan oleh orang-orang yang mempresentasikan dan berusaha mendahulukan kepentingan-kepentingan kelas kapitalis internasional baru. Ibid, hlm.2 & 9.
negara-negara kawasan.124 Di sinilah letak permasalahan kedudukan negara bangsa
(nation state) dengan nasionalisme-nya versus lingkungan global, suatu pemerintahan
yang tunggal dan global. Oleh karena itu, kebjiakan neo-liberalisme ini mempunyai
ciri dalam tiga hal, yakni liberalisasi, privatisasi dan deregulasi.
Esmi Warassih berpendapat bahwa melalui globalisasi dan budaya ekonomi
kapitalis yang semakin membuat kabur sekat-sekatantar negara melalui perdagangan
global. Kekuatan ekonomi kapitalis tersebut kemudian masuk hingga ke sendi-sendi
kehidupan sehari-hari (lebenswelth) hingga sosial budaya dan politik sementara
masyarakat sendiri belum siap, gagap dalam menghadapi arus globalisasi. Masyarakat
sendiri belum memiliki norma-norma untuk menghadapi tantangan globalisasi.” 125
Kemunculan ekonomi politik internasional126 tidak terlepas dari pengaruh
ekonomi neoklasik dimana keduanya memiliki hubungan saling ketergantungan antar
satu sama lain. Akan tetapi, ekonomi politik internasional dan ekonomi neoklasik
memiliki konsen yang berbeda satu sama lain, dimana ekonomi memiliki konsen
terhadap efisiensi dan hubungan yang saling menguntungan dari tindakan ekonomi
yang dilakukan antar aktor, sedangkan ekonomi politik internasional tidak hanya
124 Keniche Ohmae, Hancurnya Negara Bangsa: Bangkitnya Negara Kawasan dan Geliat Ekonomi Regional di Dunia Tak Terbatas, (Yogyakarta: Qalam, 2002), hlm.25.
125 Esmi Warassih. Pranata Hukum, Sebuah Kajian Sosiologis (Semarang: Suryandaru Utama, 2005), hlm 63.
126 Pada dasarnya terdapat tiga tradisi teoretis dominan dalam ekonomi politik internasional (global) - merkantilisme, liberalisme, dan marxisme - dengan masing-masing unsur-unsur analitis dan normatifnya sendiri. Merkantilisme mendominasi pemikiran ekonomi antara abad ke-16 dan akhir abad ke-18. Kemudian merkantilisme dikalahkan oleh liberalisme pada abad ke-19, namun demikian merkantilisme versi modern masih memengaruhi banyak negara dimana ia mengambil bentuk proteksionisme bagi industri dalam negeri. Perspektif kedua, liberalisme ekonomi atau kapitalisme pasar bebas, muncul pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, disebarkan oleh para pendukungnya dari Inggris dan Amerika. Seiring dengan berkembangnya paham liberalisme, marxisme juga berkembang pada abad ke-19 sebagai alternatif bagi liberalisme, dimana kaum sosialis dan komunis mendukung berbagai pendekatan Marxis sebagai alternatif bagi kapitalisme (istilah yang dibuat oleh Karl Marx). Namun, tiga faktor – berakhirnya Perang Dingin, pengaruh kaum kapitalis pasar bebas, dan globalisasi – menjadikan liberalisme ekonomi, yang sekarang ini dikenal dengan istilah neoliberalisme, sebagai perspektif yang dominan sekarang ini. Lebih lanjut lihat: Richard W. Mansbach & Kirsten L. Rafferty, Op.Cit, hlm.606.
tertarik pada isu-isu efiensi dan hubungan yang saling menguntungkan namun lingkup
ekonomi politik internasional sendiri lebih luas dibandingkan dengan ekonomi
neoklasik. Salah satu lingkup ekonomi politik internasional sendiri sangat tertarik
dengan proses pendisitribusian keuntungan dari pasar.
Mengutip pendapat Mas’oed, bahwa dalam pemaknaan politik sebagai
otoritas, hubungan antara ekonomi dan politik dapat diterjemahkan ke dalam isu
tentang hubungan antara kekayaan dan kekuasaan. Ekonomi terkait dengan
penciptaan dan pendidtribusian kekayaan, sedangkan politik terkait dengan
penciptaan dan pendistribusian kekuasaan. Kekayaan terdiri dari asset fisik (capital,
tanh) dan asset non fisik (sumber daya manusia, termasuk ilmu pengetahuan),
sedangkan kekuasaan bisa muncul dalam bentuk militer, ekonomi, maupun
psikologis. Kekuasaan sendiri adalah kemampuan menghasilkan suatu hasil tertentu
secara paksa. Jadi, walaupun kekuasaan bisa terwujud dalam berbagai bentuk, bentuk
aslinya adalah daya paksa. Namun, Mas’oed memperingatkan bahwa pembedaan
antara ekonomi sebagai ilmu kekayaan dan politik sebagai ilmu tentang kekuasaan
hanya untuk tujuan analitis. Dalam dunia nyata antara kekayaan dan kekuasaan tak
terpisahkan.127
Ditinjau dari beberapa macam teori ekonomi politik, maka kriteria untuk
mengidentifikasinya adalah dengan pendekatan sebagai berikut:
Pertama, model deterministik, model ini mengasumsikan bahwa ada
hubungan deterministik antara ekonomi dan politik, dimana politik menentukan
aspek-aspek ekonomi, dan institusi-institusi ekonomi menetukan proses-proses
politik.
127 Deliarnov. Op.Cit, hlm.7-8.
Kedua, model interaktif, yang menganggap fungsi-fungsi politik dan ekonomi
berbeda, tetapi saling mempengaruhi satu sama lain.
Ketiga, terdapat hubungan perilaku yang berlanjut atau kontinu (a behavioral
continuity) antara ekonomi dan politik.
Menurut Esmi Warassih, antara ilmu-ilmu sosial dan ilmu hukum mempunyai
hubungan yang saling melengkapi dan memengaruhi. Perbedaan fungsi antara
keduanya boleh dikata hanya bersifat marjinal.128 Perkembangan masyarakat yang
susunannya sudah semakin kompleks serta pembidangan kehidupan yang semakin
majudan berkembang menghendaki pengaturan hukum juga harus mengikuti
perkembangan yangdemikian itu.129
Berdasarkan pendapat di atas, penulis lebih cenderung untuk menetapkan
model deterministik dalam menganalisis pengaruh ekonomi politik internasional
terhadap politik hukum pengelolaan sumber daya alam. Argumentasinya adalah
banyaknya berbagai peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan sumber
daya alam yang telah menyimpang dari maksud dan ketentuan demokrasi ekonomi
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33 UUD 1945, sehingga keberadaan negara
menjadi lemah ketika “dihadapmukakan” dengan kekuatan pasar (market) sebagai
bagian dari agenda besar tata dunia baru dengan meliberalisasi sektor ekonomi.
Dengan berlakunya era liberalisasi130 yang lebih menekankan kepada berdaulatnya
128 Esmi Warassih, Op.Cit, hlm. 2129 Ibid, hlm.3130 Dengan berlakunya era globalisasi, maka telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi
perkembangan paham individualistik, hal ini ditandai dengan neo-liberalisasi yang dikendalikan oleh kaum kapitalis melalui perusahaan transnasional (TNC) dan perusahaan multinasional (MNC). Dalam beberapa dekade belakangan, seiring dengan liberalisasi ekonomi dan perdagangan, perusahaan-perusahaan ini telah menjadi aktor ekonomi politik internasional yang semakin penting. Tujuan mereka yang paling utama adalah bagaimana mengakumulasi kekayaan yang sebesar-besarnya: Lihat: Budi Winarno, Globalisasi dan Krisis,..Op.Cit, hlm.2 – 3.
pasar telah meminggirkan paham kedaulatan rakyat dalam pengelolaan sumber daya
alam, sehingga upaya mewujudkan kesejahteraan sosial semakin jauh dari harapan.
Dalam konteks Indonesia, upaya penegakan demokrasi ekonomi nampaknya
berhadapan dengan upaya-upaya untuk memperjuangkan pasar bebas, yang menjadi
senjata penganut paham liberalisme dan kapitalisme. Isu-isu yang kemudian dicuatkan
diantaranya adalah, deregulasi, privatisasi BUMN dan liberalisasi ekonomi, termasuk
dan khususnya dalam sektor minyak dan gas (Migas), sumber daya air (SDA),
ketenagalistrikan dan pangan131 serta penguasaan asing terhadap lahan (tanah) dengan
jangka waktu yang lama sebagaimana diberikan melalui Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Di sini terlihat Indonesia, tidak memiliki
kemandirian dan kedaulatan dalam mengatur bidang ekonomi.
Hubungan sistematis antara ekonomi dan proses politik hampir serupa dengan
hubungan antara hukum dengan politik. Terdapat suatu tesis yang menyatakan bahwa
kehidupan politik merupakan cerminan dari kehidupan ekonomi, kesadaran politik
merupakan produk dari kondisi ekonomi.132 Di sisi lain, hukum merupakan produk
politik, sebagaimana dikatakan oleh Mahfud, bahwa hukum merupakan produk
politik, hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh),
131 Pembahasan masuk-tidaknya sektor pertanian dalam reformasi perdagangan sejak dari GATT sampai WTO berlangsung cukup alot dan diwarnai tarik menarik, terutama kepentingan dua kekuatan adikuasa, yakni Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE). Walaupun sektor pertanian belum diputuskan dalam WTO, saat ini Indonesia telah menerima AoA (Agreement on Agriculture) dan telah diratifikasi berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2004 serta meratifikasi produk pertaniannya seperti tertuang dalam skedul komitmen nasional (the national schedules of commitments) masing-masing negara anggota. Dapat disimpulkan bahwa sektor pertanian menghadapi berbagai perubahan sebagai akibat dari globalisasi yaitu: (1) semakin terbukanya pasar dan meningkatnya persaingan; (2) meningkatnya tuntutan kebijakan pertanian yang berlandaskan mekanisme pasar (market oriented policy) dan (3) semakin berperannya selera konsumen (demand driven) dalam menentukan aktivitas di sektor pertanian. Baca: M. Husein Sawit, Liberalisasi Pangan: Ambisi dan Reaksi dalam Putaran Doha WTO (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2007), hlm.4-5.
132 Darsono Prawironegoro, Ekonomi Politik Globalisasi: Kajian Kapitalisme dan Perang Dunia Ketiga (Jakarta: Nusantara Consulting, 2010), hlm.20.
sedangkan politik diletakkan sebagai independent variable (variabel berpengaruh).133
Dengan demikian, maka hubungan yang sistematis ini apabila kita pertemukan antara
keduanya, maka akan membentuk suatu jalinan keterkaitan antara ekonomi, politik
dan hukum, sehingga Ilmu Ekonomi Politik juga terkait erat dengan hukum, dalam
penyelenggaran pemerintahan Negara, dapat penulis gambarkan dalam bentuk bagan
di bawah ini.
Gambar 1:Hubungan Ekonomi, Politik, Hukum Dalam Negara
(Sumber: diolah dari berbagai sumber)
Jimly134 mengatakan, ekonomi dapat diharapkan membantu dalam membuat
perhitungan, tetapi yang memutuskan adalah politik berdasarkan ketentuan hukum
sesuai dengan apa yang sudah disepakati bersama oleh seluruh anak bangsa
sebagaimana yang tercermin dalam konstitusi sebagai kontrak sosial. Dengan
perkataan lain, ekonomi memperhitungkan, politik memutuskan, tetapi hukumlah
yang pada akhirnya menentukan. Jangan biarkan ekonomi memutuskan segala sesuatu
dengan logikanya sendiri. Politik juga tidak boleh dibiarkan memutuskan nasib
133 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2006), hlm. 2.134 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta, Kompas, 2010), hlm.81.
NEGARA
EKONOMI
POLITIK
HUKUM
seluruh anak negeri hanya dengan logikanya sendiri. Inilah hakikat makna bahwa
negara kita adalah negara demokrasi konstitusional, Negara Hukum, Rechtsstaat, the
Rule of Law, not of Man.
3. Peranan teori maqashid syariah dan paham kedaulatan rakyat yang
bersendikan kepada nilai-nilai keadilan dalam rangka pengelolaan
sumber daya alam
Seyogianya, berbagai keputusan yang menyangkut kebijakan publik
dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan institusi ekonomi dan politik yang ada.
Dengan demikian, perekonomiam tidak bisa hanya diserahkan pada produsen dan
konsumen yang berinteraksi satu sama lain melalui mekanisme pasar, karena tidak
ada pasar yang sempurna.
Soekarno mengatakan bahwa ekonomi yang liberal dan individualistis, adalah
sumber dari perselisihan golongan atau kelas dalam masyarakat. Hasil dari sistem
ekonomi yang demikian itu adalah berkembang suburnya kapitalisme dan
imperialisme. Persaingan tanpa batas antar individu yang merdeka kemudian melintas
batas negara, hingga terjadi penjajagan di negara-negara lain.135
Hatta mengatakan bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh bangsa ini tidaklah
sama dengan yang diinginkan oleh orang barat. Bagi kita, kata Hatta, “tujuan negara
kita ialah sosialisme Indonesia yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa.”136 Hatta
ingin membangun sebuah sistem ekonomi yang sesuai dengan watak bangsa
Indonesia itu sendiri yang religious dan memiliki nilai-nilai luhur yang menjunjung
tinggi prinsip dan cita-cita tolong menolong (sosialisme) bukan mementingkan diri
135 E. Fernando Manulang, Korporatisme dan Undang-Undang Dasar 1945 (Bandung: Nuansa Aulia, 2010), hlm.111-112.
136 Muhammad Hatta, “Teori Ekonomi, Politik Ekonomi dan Orde Ekonomi”, dalam I Wangsa Widjaja dan Meutia Farida Swasono (ed), Mohammad Hatta, Membangun Ekonomi Indonesia, (Jakarta: Inti Idayu Press, 1985), hlm.61.
sendiri (individualisme), sekuler dan atau ateis.137 Menurut Hatta, untuk
merealisasikan cita-cita tersebut secara praktis, maka diperlukan sebuah politik
ekonomi sehat yang merumuskan kebijakan jangka pendek dan jangka panjang
sehingga jelas arah pembangunan itu kemana. Agar tidak terjadi inefisiensi dan
kompetisi yang tidak sehat di antara para pelaku ekonomi, yaitu pemerintah, koperasi
dan swasta, maka antara pelaku pasar tersebut harus ada koordinasi, yang mengatur
tentang pembagian wilayah kerja. Pembagian wilayah kerja inilah yang sangat
penting apalagi mengingat kondisi kurangnya kapital dan tenaga kepemimpinan
dalam masyarakat.138
Pembagian tersebut secara rinci menurut Hatta, adalah sebagai berikut, yaitu:139
“. . . Usaha jang besar-besar hanya dapat dilaksanakan oleh pemerintah. Kalau perlu pemerintah dapat meminjam capital jang agak besar djumlahnya dan menjewa management jang pada tempatnya dari luar negeri. Koperasi bertugas menjusun oembangunan dari bawah, mengerdjakan usaha jang ketjil-ketjil dan sedang untuk berangsur-angsur meningkat ke atas. Di antara bidang jang dua itu, terletak ruang jang dapat diusahakan oleh orang-orang partikulir dengan tenaga dan capital jang dapat mereka kumpulkan sendiri.”
Menurut beliau untuk tercapainya tujuan tersebut harus ada beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi: pertama, harus ada jiwa dan semangat tolong
menoolong antara anggota dan warga masyarakat. Kedua, negara (politik) harus
bersifat aktif dan tidak hanya menyerahkan sepenuhnya persoalan ekonomi kepada
mekanisme pasar, yaitu swasta dan koperasi. Kondisi ini diharapkan bisa menciptakan
efisiensi yang tinggi sehingga mampu mengantarkan masyarakat ke tingkat
137 Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam, Mengungkap Makna Maqashid al Syari’ah, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), hlm. 7.
138 Ibid.139 Mohammad Hatta, Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia (Jakarta: Penerbut Djambatan, 1963),
hlm.41.
kesejahteraan yang diharapkan. Pandangan Hatta yang seperti ini tentu sangat sejalan
dengan maqashid syariah dan atau tujuan dari ajaran Islam. 140
Betapa pentingnya masalah kerja sama (gotong royong) sebagaimana
dinyatakan oleh Hatta di atas, sejalan dengan yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun
sebagai berikut:141
“Kebutuhan manusia sangat banyak, untuk itu diperlukan usaha yang banyak juga… adalah di luar kemampuan manusia untuk melakukan semua itu ataupun sebagiannya, kalau hanya sendirian saja. Jelaslah bahwa ia tidak dapat berbuat banyak tanpa bergabung dengan beberapa orang lain dari sesama manusia. Jika ia hendak memperoleh makanan bagi dirinya dan sesamanya. Dengan bergotong royong (ta’awun) maka kebutuhan manusia kendati beberapa kali lebih banyak dari jumlah mereka dapat dipenuhi.”
Sejalan dengan itu, Jimly142 mengatakan, ekonomi dapat diharapkan
membantu dalam membuat perhitungan, tetapi yang memutuskan adalah politik
berdasarkan ketentuan hukum sesuai dengan apa yang sudah disepakati bersama oleh
seluruh anak bangsa sebagaimana yang tercermin dalam konstitusi sebagai kontrak
sosial. Dengan perkataan lain, ekonomi memperhitungkan, politik memutuskan, tetapi
hukumlah yang pada akhirnya menentukan. Jangan biarkan ekonomi memutuskan
segala sesuatu dengan logikanya sendiri. Politik juga tidak boleh dibiarkan
memutuskan nasib seluruh anak negeri hanya dengan logikanya sendiri. Inilah hakikat
makna bahwa negara kita adalah negara demokrasi konstitusional.
Konsep penguasaan negara atau hak menguasai negara dalam ketentuan
konstitusi kita tidaklah diberikan penjelasan seperti apa bentuk penguasaan negara itu,
dan apakah bentuk penguasaan negara itu termasuk dalam konteks penyelenggaraan
atau pengelolaan secara langsung oleh negara melalui pembentukan usaha negara
140 Anwar Abbas, Op.Cit, hlm.8-9.141 Abd ar-Rahman Ibn Khaldun, al Muqoddamah (Tunisi al Daru al Tunisiyatu li al Nasyri), hlm.77.142 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta, Kompas, 2010), hlm.81.
(BUMN) ataukah hanya sebatas dalam pengaturan semata. Selain itu, penjelasan
tentang seperti apa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
mengusai hajat hidup orang banyak itu juga belum jelas dan tegas. Pelu ditegaskan
seperti apa sistem ekonomi yang kita anut sehingga dapat menjadi sebuah kerangka
kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang selama ini sering kali menggelitik
rasa kedaulatan kita yakni, apakah betul sistem ekonomi yang sekarang kita jalankan
atau praktekkan lebih mengarah pada sistem ekonomi liberal kapitalistik yang
bertumpu pada mekanisme pasar. Kemudian permasalahan yang sangat signifikan
dalam menentukan cabang produksi manakah yang penting bagi negara dan/atau
menguasai hajat hidup orang banyak, sampai dengan saat ini belum ada
ketentuan/acuannya, sehingga untuk menentukan suatu cabang produksi yang penting
bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak diserahkan dan tergantung
kepada pandangan pemerintah, terlepas dari adanya pengujian undang-undang kepada
Mahkamah Konstitusi. Keadaan ini menjadikan prinsip hak menguasai negara tidak
memiliki kepastian dalam hal pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diembankan
kepada pemerintah selaku pemegang kekuasaan atas nama rakyat.
Dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pengelolaan sumber daya
alam yang berkeadilan sosial, maka diperlukan suatu model yang bersifat tetap serta
mengandung nilai-nilai kebenaran universal, sehingga terjamin keberlangsungannya.
Untuk itu peranan prinsip-prinsip ajaran agama (Islam) menjadi suatu kajian menarik
untuk dilakukan penelitian secara ilmiah, yakni konsep maqashid syariah sebagai
model pengembangan pengelolaan sumber daya alam yang lebih menjamin paham
kedaulatan rakyat, khususnya demokrasi ekonomi. Konsep maqashid syariah disarkan
pada tiga pilar yakni: primer (dharuriyyat), sekunder (hajjiyyat), dan tersier
(tahsiniyyat) demi terpeliharanya salah satu unsur pokok yang lima, yakni: menjaga
agama (hifdz ad-din), menjaga jiwa (hifdz an-nafs), menjaga akal (hifdz al-‘aql),
menjaga harta (hifdz al-mal), dan, menjaga keturunan (hifdz an-nasl). Keberlakuan
konsep al-Maqashid Syar’iyyah, juga tidak bersifat tertutup, bahkan sangat terbuka,
dengan didasarkan kepada keadah usul fiqh, memelihara yang alam yang maslahat
dan mengambil yang baru yang lebih maslahat.
Dalam kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam menurut pandangan
Islam hampir sama dengan pengelompokan yang dikemukakan oleh Gibb dan
Bromley, hanya saja konsep kepemilikan dalam pandangan Islam lebih lengkap,
sesuai dengan klasifikasinya masing-masing143, khususnya yang menyangkut tentang
kepemilikan umum (common property) dan kepemilikan negara (state property).
Dalam pandangan Islam, kepemilikan umum (common property) adalah yang
dinyatakan oleh Allah SWT dan Rasulullah saw bahwa benda-benda tersebut untuk
suatu komunitas dimana mereka masing-masing saling membutuhkan. Dari Ibnu
Abbas ra, bahwa Nabi saw bersabda: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga barang,
yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Daud)
Anas ra meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas ra tersebut dengan menambahkan:
“wa tsamanuhu haram” (dan harganya haram), yang berarti dilarang untuk
143 Menurut Zallum, Az-Zain, An-Nabhani, dan Abdullah bahwa kepemilikan (property) menurut pandangan Islam dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) kepemilikan individu (private property); (2) kepemilikan umum (collective/common property); dan (3) kepemilikan negara (state property). Kepemilikan pada hakikatnya merupakan milik Allah SWT, dimana Allah SWT adalah Pemilik kepemilikan tersebut sekaligus juga Allah SWT sebagai Dzat Yang Memiliki Kekayaan, dalam hal ini Allah SWT berfirman: “Dan berikanlah kepada mereka, harta (milik) Allah yang telah Dia berikan kepada kalian.” (QS. An-Nuur: 33), “Yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah.” (QS. Al Baqarah: 284)Oleh karena itu, harta kekayaan itu adalah milik Allah SWT semata. Kemudian Allah SWT telah menyerahkan harta kekayaan kepada manusia untuk diatur dan dibagikan kepada mereka. Karena itulah, maka sebenarnya manusia telah diberi hak untuk memiliki dan mengusai harta tersebut. Lihat: Apridar, Teori Ekonomi, Sejarah dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm.138 et seq.
diperjualbelikan. Ibnu Majah juga meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi
saw bersabda: “Tiga hal yang tidak akan pernah dilarang (untuk dimiliki siapa pun)
yaitu, air, padang rumput, dan api.” (HR. Ibnu Majah).
Dalam hal ini terdapat dalil, bahwa manusia memang sama-sama membutuhkan
air, padang rumput dan api, serta terdapat larangan bagi individu untuk memilikinya.
Namun perlu ditegaskan disini bahwa sifat benda-benda yang menjadi fasilitas umum
adalah karena jumlahnya yang besar dan menjadi kebutuhan masyarakat. Sebaliknya
jika jumlahnya terbatas (sedikit), maka dapat dimiliki oleh individu.144
Sedangkan konsep kepemilikan negara (state property) dalam pandangan
Islam adalah segala harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin yang
pengelolaannya menjadi wewenang negara, di mana negara dapat memberikan kepada
sebagian warga negara, sesuai dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh negara
ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki negara untuk mengelolannya semisal harta
fai’, kharaj, jizyah dan sebagainya.
Meskipun harta milik umum dan milik negara pengelolaannya dilakukan oleh
negara, namun ada perbedaan antara kedua bentuk hak milik tersebut. Harta yang
termasuk milik umum pada dasarnya tidak boleh diberikan negara kepada siapa pun,
meskipun negara dapat membolehkan kepada orang-orang untuk mengambil dan
memanfaatkannya. Berbeda dengan hak milik negara di mana negara berhak untuk
memberikan harta tersebut kepada individu tertentu sesuai dengan kebijakan negara.
Perbedaan paham pengelolaan sumber daya alam sebagaimana dijelaskan di atas
dapat disarikan dalam bentuk tabel sebagai berikut.
144 Seperti contoh bahan tambang yang sangat banyak (hampir tidak terbatas) jumlahnya, yang tidak mungkin dihabiskan oleh individu, maka bahan tambang tersebut termasuk miliki umum (collective property), dan tidak boleh dimiliki oleh pribadi.
Tabel 4: Perbedaan Paham Pengelolaan Sumber Daya Alam
Bidang SDAPerbedaan Paham Pengelolaan Sumber Daya Alam
UUD 1945 dan Per-UU-an Terkait
Pandangan Islam
Minyak dan Gas Bumi state property common propertySumber Daya Air state property common property
Minerba state property common propertyKetenagalistrikan state property common property
(Sumber: Abdul Chair Ramadhan, Lemhannas RI, 2012)
Melihat rumusan konsep kepemilikan dalam Islam terkait dengan kepemilikan
umum (collective/common property), maka sangat jelas sekali kedaulatan rakyat
dalam bidang ekonomi, khususnya di bidang pengelolaan sumber daya alam (air,
padang rumput dan api) sangat diperhatikan, dengan adanya klausul larangan untuk
diberikan kepada siap pun.
Sebagai contoh tentang Migas dan SDA yang melimpah lainnya dalam
pandangan Islam merupakan milik umum. Pengelolaannya harus diserahkan kepada
negara untuk kesejahteraan rakyat. Tambang migas itu tidak boleh dikuasai swasta
apalagi asing. Abyadh bin Hammal menceritakan bahwa ia pernah menghadap kepada
Nabi saw dan minta diberi tambang garam yang menurut Ibnu Mutawakkil, berada di
daerah Ma’rib lalu beliau memberikannya. Namun saat ia akan pergi, ada seseorang
yang berada di majelis berkata kepada Rasul : “Tahukah Anda apa yang Anda
berikan padanya, sungguh Anda memberinya sesuatu laksana air yang terus
mengalir.” Maka beliau pun menariknya kembali darinya (HR. Baihaqy dan
Tirmidzy). Rasul saw juga bersabda: “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal:
padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Api, dalam pengertian
energi, termasuk minyak dan gas bumi, dengan demikian termasuk milik umum yang
harus dikelola oleh negara dengan segenap kewenanganannya sehingga mampu
mendistribusikan kekayaan ini dengan sebaik-baiknya kepada seluruh masyarakat.
Dalam kaitannya dengan konsep kedaulatan (sovereignty) yang biasa dijadikan
objek dalam filsafat politik dan hukum kenegaraan145, maka di dalamnya terkandung
konsepsi yang berkaitan dengan ide kekuasaan tertinggi yang dikaitkan dengan negara
(state). Dari segi bahasa, perkataan kedaulatan itu sendiri dalam bahasa Indonesia
sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata daulat dan dulatan146 yang dalam
makna klasiknya berarti pergantian, peralihan atau peredaran (kekuasaan). Dalam Al-
Quran yang mencerminkan penggunaan bahasa Arab klasik, kata daulah ini diper-
gunakan hanya dua kali (dua tempat)147, yaitu dalam QS. 3: 140 yang mempergunakan
bentuk kata kerja nudawiluha (ia Kami perganti-kan atau pergilirkan)148, dan dalam
QS. 59: 7 yang mempergunakan kata kerja duulatan (beredar)149. Jika diperhatikan,
dalam ayat pertama di atas, makna kata daulat dipakai untuk pengertian pergantian
kekuasaan di bidang politik, sedangkan ayat kedua menunjuk pengertian kekuasaan di
lapangan perekonomian150. Dengan demikian, pengertian kata kedaulatan itu dalam
makna klasiknya berkaitan erat dengan gagasan mengenai kekuasaan tertinggi, baik di
bidang ekonomi maupun terutama di lapangan politik. Dalam berbagai literatur
145 Diskusi tentang hal ini dapat dibaca misalnya dalam Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994).
146 Al-Mawrid: A Modern English-Arabic Dictionary, (Dar el ilmi lil Malayen, 1979), hlm. 882.147 Lihat al-Maqdisi, Indeks al-Quran: Fathu al-Rahman, (Mustafa al-Baâ al-Halaby, 1322 (H)),
hlm.156.148 Al-Quran (QS) 3:140 (Ali Imran) menyatakan (terjemahannya): “Jika kamu (pada perang Uhud,
mendapat luka, maka sesungguhnya kaum kafir itupun (pada perang Badar mendapat luka yang serupa, dan masa (kejadian dan kehancuran) itu, kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman dari orang-orang kafir, dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai syuhada’). Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim”, Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1984), hlm.99.
149 Dalam QS. 59: 7 (al-Hasyr) dinyatakan (terjemahannya): “Apa saja harta rampasan yang diberikan oleh Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untyuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”. Ibid., hlm. 916.
150 Gagasan yang terkandung dalam pernyataan “… supaya harta itu tidak beredar di antara orang-orang kaya saja…”, seperti dikutip dalam footnotes di atas adalah gagasan keadilan mengenai distributif, yakni menyangkut ide pemerataan kesejahteraan di bidang ekonomi dalam masyarakat.
politik, hukum, dan teori kenegaraan pada zaman sekarang, terminologi kedaulatan
(souvereignty) itu pada umumnya diakui sebagai konsep yang dipinjam dari bahasa
Latin, soverain dan superanus, yang kemudian menjadi sovereign dan sovereignty
dalam bahasa Inggris yang berarti penguasa dan kekuasaan yang tertinggi.
Dengan demikian, maka konsep kedaulatan sebagaimana dalam pandangan
Islam dan pandangan para sarjana Barat, mengakui adanya kedaulatan di bidang
politik dan kedaulatan di bidang ekonomi. Kedaulatan di bidang ekonomi inilah yang
disebut sebagai demokrasi ekonomi, dalam pengelolaan sumber daya alam
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 33 UUD 1945.
Selanjutnya, upaya mewujudkan ketahanan dan kemandirian pengelolaan
sektor sumber daya alam merupakan bagian penting dan strategis untuk masa
sekarang dan masa yang akan datang, dalam rangka mencapai kesejahteraan
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Untuk menuju ke arah itu,
maka persoalan keadilan sosial151 harus menjadi tugas dan tanggungjawab
konsitusional pemerintah negara Indonesia untuk diwujudkan dalam rangka
mewujudkan kemandirian bangsa.
Dalam hubungan ini, John Rawls menyatakan bahwa perhatian utama keadilan
sosial adalah keadilan institusi atau apa yang disebutnya sebagai struktur dasar
masyarakat. Teori keadilan sosial Rawls didasarkan pad aide-ide kontrak sosial John
Locke. Rawls berpendapat bahwa keadilan adalah keberpihakan, dan melalui kontrak
151 Konsep keadilan sosial muncul disekitar tahun 1940 sebagai gerakan sosial di Eropa dalam mengembangkan konsep perdagangan yang berkeadilan (fair trade), yakni dengan memakai konsep Jhon Rawls. Gerakan ini mencoba untuk menolong produsen kecil (pengrajin dan buruh) di negara-negara miskin atau dunia ketiga, supaya lepas dari jeratan kemiskinan dan mempertankan keberlanjutan kehidupannya, melalui sebuah kemiktraam perdagangan yang didasarkan pada dialog, tranparansi dan respek. Lihat: Eko Prilianto Sudrajat. Free Trade (perdagangan bebas) dan Fair Trade (perdagangan berkeadilan) dalam Konsep Hukum. Dalam Jendela Informasi Hukum Bidang Perdagangan (Jakarta: Biro Hukum Kementerian Perdagangan RI, Edisi April 2012), hlm.11-13.
sosial, individu-individu masyarakat secara bersama-sama menghasilkan barang-
barang sosial, bukan untuk konsumsi individual. Tersedianya barang-barang sosial
akan mencukupi kebutuhan barang-barang untuk individu-individu dalam masyarakat.
Tugas dan tanggungjawab pemerintah negara Indonesia untuk mewujudkan keadilan
sosial merupakan tugas dan tanggungjawab konstitusional yang sangat penting,
sebagaimana diyakini oleh Soekarno, bahwa nasionalisme tanpa keadilan sosial
menjadi nihilisme.152 Dalam pandangan bangsa Indonesia, untuk mewujudkan
keadilan sosial tidak hanya sebatas bagi seluruh rakyat Indonesia, tetapi juga meliputi
keadilan sosial bagi masyarakat dunia sebagai salah satu dasar dari upaya ikut
melaksanakan ketertiban dunia. Hal ini sejalan dengan pemahaman nasionalisme,
yang menurut Soekarno, tidak dapat hidup subur kalau tidak dalam taman sarinya
internasionalisme. Keduanya bergandengan erat satu sama lain.153
Dalam perspektif teori keadilan sosial, James A. Caporaso mengungkapkan
bahwa ekonomi dan hukum merupakan dua hal yang saling tolak-tarik dalam
mencapai suatu makna kesejahteraan. Dalam kalangan liberian berharap bahwa
hukum dapat membawa perlindungan kebebasan kalangan tersebut untuk dapat
berinisiatif dan berinovasi dalam mengusahakan suatu kesejahteraan. Welfare dalam
perspektif liberal adalah kebebasan berbuat dan bersaing dalam pengelolaan ekonomi
dalam skala nasional dengan membawa tawaran tricle down effect. Namun untuk
mencapai suatu keadilan yang dalam perspektif ketimuran yakni keadilan sosial, maka
negara diharapkan campurtangannya untuk mengelola cabang-cabang produksi yang
merupakan pilar-pilar perekonomian suatu negara. Tolak-tarik antara, negara-pasar,
152 Adams, Cindy, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, terjemahan oleh Abdul Bar Salim dari Soekarno, An Autobiography As Told To Cindy Adams, The Bobbs-Merrill Company Inc., New York, 1965, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), hlm.104.
153 Panitia Pemburu Jiwa Revolusi (Jakarta: Pantjawarsa Manipol, 1964), hlm.310.
dan hukum merupakan cabang kekuasaan yang penting bahkan dalam setiap kali
merumuskan konstitusi maupun ideologi suatu negara.154
Pendekatan keadilan sosial dalam mencapai social justice merupakan suatu cara
yang pada umumnya digunakan negara-negara yang bercorak sosialis yang kuat.
Iklim demokrasi kerakyatan yang dianut oleh kaum sosialis membawa corak
tersendiri dalam perumusan kebijakan negara dalam pengelolaan sumber dayanya.
Kalangan ini cenderung akan merumuskan hukum sebaik-baiknya memberikan
persamaan dalam hal kekayaannya. Hukum akan dicegah untuk menimbulkan free
fight competition dalam pengelolaan perekonomian. Hal ini jelas akan membawa
perbedaan dengan kaum liberian yang mengutamakan trickle down effects sedangkan
kalangan sosialis adalah memberantas kesenjangan antara di kaya dan si miskin yang
terlalu mendalam dan hukum yang dibentuk diharapkan terciptanya pemerataan
pertumbuhan ekonomi.155
Dalam pandangan Islam keadilan merupakan salah satu pilar (tumpuan)
bangunan negara, hal ini dapat diketahui dari Surah An-Nisa’ ayat 58 sebagai berikut:
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah, biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu
bapak dan kaum kerabatmu…”
Di dalam Surah Asy-Syura ayat 15 Allah SWT memerintahkan kepada
Rasulullah saw agar mengumandangkan: “…dan aku diperintahkan supaya berlaku
adil di antara kamu…” Keadilan demikian sangat berperan dalam membangun
kemaslahatan bagi masyarakat, sehingga dalam keadilan semua orang berlaku
154 James A. Caparaso, Theories of Political Economi, (London: Cambridge University Press, 1981), hlm.215.
155 Ibid, hlm.216-217.
diperlakukan sama tidak ada perbedaan, sebagaimana Rasulullah saw menjelaskan
kaidah keadilan ini dengan sabdanya:
“Sesungguhnya orang-orang yang sebelum kamu telah binasa disebabkan mereka itu melaksanakan hukuman atas orang-oramh yang hina dan memaafkan orang-orang yang mulia. Aku bersumpah, demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sekiranya Fatimah, putri Muhammad, melakukan (mencuri), niscaya akan kupotong tangannya.”
Rasulullah saw menyebutkan, putrinya (Fatimah) dengan perkataan “…
sekiranya Fatimah, putri Muhammad…” tanpa menyebut putri Rasulullah saw,
menjelaskan kepada kita bahwa dalam persoalan keadilan tidak memandang bulu,
semua sama kedudukannya di mata hukum (equality before the law). Begitupun
dalam pengelolaan sumber daya alam, asas keadilan menjadi salah satu pilar bagi
tegaknya kemashalahatan dalam perspektif maqashid syariah, sebagaimana
ditunjukkan dalam bagan di bawah ini.
Gambar : 2 Maqahid Syariah
(Sumber: diolah dari berbagai sumber)
maslahat
keadilan manfa
at
rahmat
hikmah
Maqashid
Syariah
John Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori keadilan
sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity.
Inti the difference principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus
diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang
beruntung. Istilah perbedaan sosial-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada
ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok
kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair equality of
opportunity menunjukkan pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang untuk
mencapai prospek kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Mereka inilah yang harus
diberi perlindungan khusus. Teori Maqasid syariah menegaskan bahwa hukum Islam
disyari'atkan untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Konsep ini
telah diakui oleh para ulama dan oleh karena itu mereka memformulasikan suatu
kaidah yang cukup populer,"Di mana ada maslahat, di sana terdapat hukum Allah."
Teori maslahat di sini menurut Masdar F. Masudi sama dengan teori keadilan sosial
dalam istilah filsafat hukum. Adapun inti dari maqasid syariah adalah untuk
mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan
menolak mudarat, istilah yang sepadan dengan inti dari maqasid syariah tersebut
adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada
maslahat.
Inti dari maqasid syariah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus
menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudarat, ternyata telah
diambil menjadi teori besar Jeremy Bentham, yakni teori utilitas (kemanfaatan
hukum). Teori ini menganjurkan the greatest happiness principle (prinsip
kebahagiaan yang semaksimal mungkin). Tegasnya, menurut teori ini, masyarakat
yang ideal adalah masyarakat yang mencoba memperbesar kebahagiaan dan
memperkecil ketidakbahagiaan, atau masyarakat yang mencoba memberi kebahagiaan
yang sebesar mungkin kepada rakyat pada umumnya, agar ketidakbahagiaan
diusahakan sesedikit mungkin dirasakan oleh rakyat pada umumnya. Kebahagiaan
berarti kesenangan atau ketiadaan kesengsaraan, ketidakbahagiaan berarti
kesengsaraan dan ketiadaan kesenangan. Setiap orang dianggap sama derajatnya oleh
teori utilitas.
Menurut Jeremy Bentham, bahwa tujuan hukum semata-mata untuk
memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-
banyaknya warga masyarakat. Penekanannya didasarkan pada filsafat sosial bahwa
setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan dan hukum merupakan alatnya.
Adanya negara dan hukum semata-mata hanya demi manfaat sejati, yaitu kebahagiaan
mayoritas masyarakat.
Manfaat adalah satu istilah abstrak. Istilah ini mengungkapkan sifat atau
kecenderungan sesuatu untuk mencegah kejahatan atau memperoleh kebaikan.
Kejahatan adalah penderitaan atau penyebab penderitaan. Kebaikan adalah
kesenangan atau penyebab kesenangan.156 Yang paling sesuai dengan manfaat atau
kepentingan seorang individu adalah yang cenderung memperbanyak jumlah
kebahagiaan itu. Yang paling sesuai dengan manfaat atau kepentingan masyarakat
156 Jeremy Bentham, The Theory of Legislation (Teori Perundang-undangan: Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana), diterjemahkan oleh Nurhadi (Bandung: Nusamedia & Nuansa, 2006), h.26.
adalah yang cenderung memperbesar jumlah kebahagiaan individu yang membentuk
masyarakat itu.157
Secara ekonomi, keadilan mesti ditegakkan dalam dua ranah sekaligus:
keadilan secara umum (adl’am) bermakna perwujudan sistem dan struktur politik
maupun ekonomi yang adil. Ranah ini merupakan tanggungjawab penguasa dan
pemerintah. Keadilan secara khusus (adl khas) bermakna pelaksanaan keadilan dalam
kehidupan muamalah antar kaum muslim dan sesama manusia. Adl khas meliputi
bidang yang luas seperti larangan melanggar hak orang lain. Islam tidak menghendaki
adanya ketimpangan ekonomi antara satu orang dengan yang lainnya. Oleh karenanya
salah satu keistimewaan penting dalam sistem ekonomi Islam adalah pengaturan
perilaku rakyat dan pemerintahan yang meliputi dua dimensi, materi dan spiritual
sekaligus. Sebab dalam Islam, tjuan utama adalah mengantarkan manusia kepada
kesempurnaan ruhani dan spiritual.158 Hukum haruslah didasarkan pada sesuatu yang
harus tidak disebut hukum, tetapi lebih mendasar dari hukum. Yaitu sebuah sistem
nilai yang dengan sadar dianut sebagai keyakinan yang harus diperjuangkan:
maslahat, keadilan.Dengan demikian, jelas bahwa yang fundamental dari bangunan
pemikiran hukum Islam adalah maslahat, maslahat manusia universal, atau - dalam
ungkapan yang lebih operasional-"keadilan sosial".
Kesimpulan
Maqashid syariah sebagai epistimologi hukum merupakan pembahasan penting dalam
hukum Islam, sebagai salah satu metode ijtihad yang telah dikembangkan oleh ulama-
157 Ibid.158 Bayu Taufiq Possumah http://www.academia.edu (diakses tanggal 10 Desember 2012, jam:12.30
WIB)
ulama beberapa abad abad yang lalu dan merupakan hasil dari prestasi yang gemilang
dalam bidang pemikiran ilmu hukum. Pemikiran maqashid syariah sebagai teori
hukum yang pembahasan utamanya menjadikan “jalb al-manfa’ah dan daf’u al-
mafsadah sebagai tolok ukur terhadap sesuatu yang dilakukan manusia; dan
menjadikan kebutuhan dasar manusia sebagai tujuan pokok dalam pembinaan hukum
Islam. Maqashid syariah mengklasifikasi kebutuahn manusia menjadi tiga tingkatan
yaitu ad-dharuriyat, al-hajiyat, dan al-tahsiniyat agar manusia dapat mencapai
kemaslahatannya di dunia dan di akhirat nanti. Dengan terbukanya maqashid syariah
sebagai salah satu epistemologi hukum Islam diharapkan dapat membangun hukum
yang mampu berfungsi dalam mewujudkan “jalb al-mashalih wa daf’u al-mafasid”
sehingga dapat tercipta stabilitas dalam kehidupan, terwujud keadilan, kemanfaatan
serta kesejahtaeraan dalam kehidupan manusia di dunia dan al-fauz bi al-jannah wa
an-najat min an-naar di akhirat nanti dan itulah yang menjadi kemaslahatan tertinggi
bagi manusia dan itulah inti dari maqashid syariah. Penegakan keadilan yang
berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama,
memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas
kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali
kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang
bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal
dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.
DAFTAR PUSTAKA
Richard W. Mansbach &Kirsten L. Rafferty, Pengantar Politik Global, Judul asli:
Introduction to Global Politics, diterjemahkan oleh Amat Asnawi, Bandung: Nusa
Media, 2012.
James Petras dan Henry Veltmeyer, Imperialisme Abad 21, Judul Asli: Globalization
Unmasked: Imperialism in the 21th Century, Penerjemah: Agung Priantoro,
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002.
Mubyarto, Ekonomi Pancasila Gagasan dan Kemungkinan, Jakarta: LP3ES, 1987.
Sri Edi Swasono, Sistem Ekonomi Dan Demokrasi Ekonomi, Jakarta: UI Press,1985.
Didin S. Damanhuri, Indonesia: Negara, Civil Society dan Pasar dalam Kemelut
Globalisasi, Jakarta: Penerbit FEUI, 2009.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Cet.ke-1, Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2010.
Arifin dalam Deliarnov, Ekonomi Politik, Jakarta: Erlangga, 2006.
Syamsul Hadi, dkk, Kudeta Putih: Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan Asing
dalam Ekonomi Indonesia, Cet.1, Jakarta: Berdikari, 2012.
Salamudidn Daeng,”Investment in Indonesia” Neocolonialism and Its Destruction to
People Economy”, diakses dari
http:www.networkideas.org/ideasact/de09/pdf/Daeng_Salammudin.pdf pada
tanggal 10 Januari 2013, jam: 21.15 WIB.
Bonnie Setiawan, Rantai Kapitalisme Global, Reorganisasi Fundamental Rantai
Pasokan Global, Yogyakarta: Resistbook, 2012.
Budi Winarno Melawan Gurita Neoliberalisme, Jakarta: Erlangga, 2010.
Kompas, 24 Januari 2000.
JJ. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting M. Hisyam,
Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996.
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Madju, 1994.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2010.
Deliarnov, Ekonomi Politik, Jakarta: Erlangga, 2006.
Robert Gilpin, Global Political Economy: Understanding the International Economic
Orders. Princeton: Princetin University Press, 2001.
Richard W. Mansbach & Kirsten L. Rafferty, Pengantar Politik Global,
diterjemahkan dari Introduction to Global Politics, Cet.ke-1, Bandung: Nusa
Media, 2012.
Yanuar Ikbar, Ekonomi Politik Internasional Jilid 1, Bandung: Refika Aditama, 2006.
Richard W. Mansbach & Kirsten L. Rafferty, Pengantar Politik Global,
diterjemahkan dari Introduction to Global Politics, Cet.ke-1, Bandung: Nusa
Media, 2012.
Marjanne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Jakarta: Djambatan,
1999.
Thomas R. Dye dalam Muhammad Akib, Politik Hukum Lingkungan, Dinamika dan
Refleksinya Dalam Produk Hukum Otonomi Daerah, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2012.
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1991.
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: FH UII, 2001.
Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Jakarta: YLBHI. 1988.
Adi Sulistiyono, Negara Hukum: Kekuasaan, Konsep, dan Paradigma Moral,
Surakarta: LPP dan UNS Press, 2008.
A. Rinto Pudyantoro, dalam bukunya yang berjudul: A to Z Bisnis Hulu Migas,
(Jakarta: Petromindo, 2012), hlm.108-109.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2011.
Oxford University Presss, Fifth Edition, 2003.
K.C, Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, Judul asli: Modern Constitutions,
diterjemahkan oleh: Imam Baehaqie, Bandung: Nua Media, 1996.
Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta: Dian
Rakyat,1983.
Mohd.Kusnardi, Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara. Jakarta: Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988.
Miriam Budiardjo, 1997. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama 1997.
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, & Ni`matul Huda. Teori dan Hukum Konsitusi. Jakarta:
RadjaGrafindo Persada, 2003.
A. Hamid S, Attamimi, Hukum tentang peraturan perUndang-Undangan dan
Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Negara), Jakarta, Universitas Indonesia, 1990.
A. Masyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, HAM Dalam Dimensi/Dinamika
Yuridis, Sosial, Politik dan Proses Penyusunan/Aplikasi HA-KHAM (Hukum Hak
Asasi Manusia) Dalam Masyarakat, Edisi ke-3, Jakarta: Ghalia Indonesia, Bogor,
2010.
Deliarnov, Ekonomi Politik, Jakarta: Erlangga, 2006
W.I.M Poli, Tonggak-Tonggak Sejarah Pemikiran Ekonomi, Surabaya: Brilian
Internasional, 2010.
M. Philipus Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Sebuah Studi
tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan
Pengadilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Surabaya:
UNAIR, 1985,
Keniche Ohmae, Hancurnya Negara Bangsa: Bangkitnya Negara Kawasan dan
Geliat Ekonomi Regional di Dunia Tak Terbatas, Yogyakarta: Qalam, 2002.
H. Salim HS, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2010.
Dahlan Thaib, Ketatanegaraan Indonesia: Perspektif Konstitusional, Yogyakarta:
Total Media, 2009.
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,
2011.
Imam Syathibi, al-Muawafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyyah, t.th., Juz II. h. 7.
Achmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, Judul Asli “Maqashidussyariah
fil Islam”, penerjemah Khikmawati, Jakarta: Amzah, 2010.
H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu
Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria, Jakarta: Bina Aksara, 1984.
R. Wiratno, dkk, Ahli-Ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum, Jakarta: PT
Pembangunan, 1958.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, Bekasi:
The Biography Institute, 2007.
I. Wangsa Widjaja, Mutia F. Swasono, Jakarta: PT. Toko Gunung Agung Tbk. Jakarta
2002.
Mohammad Hatta, Penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta:
Mutiara, 1977.
Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi, Jakarta: Djembatan, 1954.
Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Bandung:
Mandar Maju, 1995.
Tri Hayati, dkk, Konsep Penguasaan Negara di Sektor Sumber Daya Alam
berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, Jakarta : Sekretariat Jenderal MKRI dan CLGS
FHUI, 2005.
Jimly Asshiddiqie, Demokrasi Ekonomi, http://www.jimly.com diakses tanggal 20
Januari 2013, Jam: 14.50 WIB.
Mahkamah Konstitusi RI, Naskah Komprehensif Perubahan UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan 1999-2002.
Buku ke VII Keuangan, Perekonomian Nasional, dan Kesejahteraan Sosial. Edisi
Revisi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
2010.
Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, Djakarta: Pustaka Antara, 1966.
I Wangsa Widjaja dan Meutia Farida Swasono, Membangun Ekonomi Indonesia,
Kumpulan Pidato Ilmiah, Jakarta: Inti Idayu Press, 1985.
E. Fernando Manulang, Korporatisme dan Undang-Undang Dasar 1945, Bandung:
Nuansa Aulia, 2010.
Budi Winarno, Globalisasi dan Krisis Demokrasi, Cet.I, Yogyakarta: MedPress,
2007.
Keniche Ohmae, Hancurnya Negara Bangsa: Bangkitnya Negara Kawasan dan
Geliat Ekonomi Regional di Dunia Tak Terbatas, Yogyakarta: Qalam, 2002.
Esmi Warassih. Pranata Hukum, Sebuah Kajian Sosiologis, Semarang: Suryandaru
Utama, 2005.
M. Husein Sawit, Liberalisasi Pangan: Ambisi dan Reaksi dalam Putaran Doha
WTO, Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2007.
Darsono Prawironegoro, Ekonomi Politik Globalisasi: Kajian Kapitalisme dan
Perang Dunia Ketiga. Jakarta: Nusantara Consulting, 2010.
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2006.
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Jakarta, Kompas, 2010.
E. Fernando Manulang, Korporatisme dan Undang-Undang Dasar 1945, Bandung:
Nuansa Aulia, 2010.
Muhammad Hatta, “Teori Ekonomi, Politik Ekonomi dan Orde Ekonomi”, dalam I
Wangsa Widjaja dan Meutia Farida Swasono (ed), Mohammad Hatta,
Membangun Ekonomi Indonesia, Jakarta: Inti Idayu Press, 1985.
Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam, Mengungkap Makna Maqashid al
Syari’ah, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.
Mohammad Hatta, Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia, Jakarta: Penerbut
Djambatan, 1963.
Abd ar-Rahman Ibn Khaldun, al Muqoddamah (Tunisi al Daru al Tunisiyatu li al
Nasyri).
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Jakarta, Kompas, 2010.
Apridar, Teori Ekonomi, Sejarah dan Perkembangannya, Yogyakarta: Graha Ilmu,
2010.
Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994.
Al-Mawrid: A Modern English-Arabic Dictionary, Dar el ilmi lil Malayen, 1979.
al-Maqdisi, Indeks al-Quran: Fathu al-Rahman, Mustafa al-Baâ al-Halaby, 1322 H)
Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1984.
Eko Prilianto Sudrajat. Free Trade (perdagangan bebas) dan Fair Trade
(perdagangan berkeadilan) dalam Konsep Hukum. Dalam Jendela Informasi
Hukum Bidang Perdagangan, Jakarta: Biro Hukum Kementerian Perdagangan RI,
Edisi April 2012.
Adams, Cindy, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, terjemahan oleh Abdul Bar
Salim dari Soekarno, An Autobiography As Told To Cindy Adams, The Bobbs-
Merrill Company Inc., New York, 1965, Jakarta: Gunung Agung, 1984.
Panitia Pemburu Jiwa Revolusi, Jakarta: Pantjawarsa Manipol, 1964.
James A. Caparaso, Theories of Political Economi, London: Cambridge University
Press, 1981.
Jeremy Bentham, The Theory of Legislation (Teori Perundang-undangan: Prinsip-
prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana), diterjemahkan oleh
Nurhadi, Bandung: Nusamedia & Nuansa, 2006.
Bayu Taufiq Possumah http://www.academia.edu (diakses tanggal 10 Desember
2012, jam:12.30 WIB)