tugas makalah teori hukum

127
Tugas Makalah Teori Hukum PENERAPAN TEORI MAQASHID SYARIAH DAN KEDAULATAN RAKYAT DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DI ERA GLOBALISASI Oleh : Abdul Chair Ramadhan A. Latar Belakang Masalah Globalisasi 1 telah menempati titik sentral dalam berbagai agenda intelektual dan politik yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan krusial tentang apa yang oleh banyak orang dipandang fundamental dan dinamis pada zaman kita ini, yakni sebuah epos perubahan yang menentukan dan secara radikal sedang mentransformasikan hubungan- hubungan dan lembaga-lembaga ekonomi dan sosial pada abad ke-21. 2 Pengaruh perkembangan globalisasi dalam bentuk 1 Globalisasi terdiri dari proses-proses yang menghubungkan orang dimana saja, sehingga menimbulkan saling ketergantungan di seluruh dunia dan ditandai dengan pergerakan orang, benda, dan ide-ide secara cepat dalam skala besar melintasi batas-batas kedaulatan. David Held dan rekan-rekannya mendefinisikan globalisasi sebagai “perluasan, pendalaman dan percepatan saling keterkaitan semua aspek kehidupan sosial kontemporer seluruh dunia, dari budaya sampai kriminal, keuangan sampai spiritual”. Lihat: Richard W. Mansbach &Kirsten L. Rafferty, Pengantar Politik Global, Judul asli: Introduction to Global Politics, diterjemahkan oleh Amat Asnawi, (Bandung: Nusa Media, 2012), hlm.888. 2 James Petras dan Henry Veltmeyer, Imperialisme Abad 21, Judul Asli: Globalization Unmasked: Imperialism in the 21th Century, Penerjemah: Agung Priantoro, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), hlm.7.

Upload: lisanhal

Post on 30-Nov-2015

1.105 views

Category:

Documents


21 download

DESCRIPTION

Hukum

TRANSCRIPT

Tugas Makalah Teori Hukum

PENERAPAN TEORI MAQASHID SYARIAH DAN KEDAULATAN RAKYAT DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

DI ERA GLOBALISASI

Oleh : Abdul Chair Ramadhan

A. Latar Belakang Masalah

Globalisasi1 telah menempati titik sentral dalam berbagai agenda intelektual

dan politik yang menimbulkan pertanyaan-pertanyaan krusial tentang apa yang oleh

banyak orang dipandang fundamental dan dinamis pada zaman kita ini, yakni sebuah

epos perubahan yang menentukan dan secara radikal sedang mentransformasikan

hubungan-hubungan dan lembaga-lembaga ekonomi dan sosial pada abad ke-21.2

Pengaruh perkembangan globalisasi dalam bentuk liberalisasi ekonomi saat ini telah

merubah makna kedaulatan rakyat atas bidang ekonomi secara tidak langsung.

Dikatakan demikian oleh karena kekuasaan rakyat yang diwujudkan dalam bentuk

hak menguasai negara saat ini mengalami pergeseran yang cukup serius. Hal ini

membawa kita kepada suatu pertanyaan sudah sejauhmanakah para pemegang

kebijakan (perekonomian) di Indonesia melaksanakan amanat yang tercantum dalam

Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)

secara murni dan konsekuen.

1 Globalisasi terdiri dari proses-proses yang menghubungkan orang dimana saja, sehingga menimbulkan saling ketergantungan di seluruh dunia dan ditandai dengan pergerakan orang, benda, dan ide-ide secara cepat dalam skala besar melintasi batas-batas kedaulatan. David Held dan rekan-rekannya mendefinisikan globalisasi sebagai “perluasan, pendalaman dan percepatan saling keterkaitan semua aspek kehidupan sosial kontemporer seluruh dunia, dari budaya sampai kriminal, keuangan sampai spiritual”. Lihat: Richard W. Mansbach &Kirsten L. Rafferty, Pengantar Politik Global, Judul asli: Introduction to Global Politics, diterjemahkan oleh Amat Asnawi, (Bandung: Nusa Media, 2012), hlm.888.

2 James Petras dan Henry Veltmeyer, Imperialisme Abad 21, Judul Asli: Globalization Unmasked: Imperialism in the 21th Century, Penerjemah: Agung Priantoro, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002), hlm.7.

Kedaulatan dalam suatu negara merupakan salah satu unsur atau syarat yang

harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu negara, pemerintahan yang berdaulat.

Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat3 sehingga rakyatlah yang memegang

kekuasaan tertinggi. Kedaulatan rakyat berdimensi dua yakni kedaulatan politik

(demokrasi politik) dan kedaulatan ekonomi (demokrasi ekonomi). Oleh karenanya

menjadi sangat penting untuk dilakukan penelusuran keterhubungan antara konstitusi

dengan implementasi kedaulatan rakyat dalam penyelenggaran pemerintahan negara

menurut sistem ekonomi Indonesia,4 khususnya dalam pengelolaan sumber daya alam

sebagaimana ditegaskan pada Pasal 33 UUD 1945. Sistem perekonomian nasional

Indonesia adalah berdasarkan asas “kebersamaan dan asas kekeluargaan”,

sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.5

Kedaulatan rakyat sering diidentikkan dengan demokrasi yang di zaman

sekarang ini cenderung tidak lagi hanya dipandang sebagai konsep politik. Tema

3 Lihat: Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.”

4 Sistem ekonomi Indonesia mengarah pada suatu bentuk yang disebut sistem ekonomi Pancasila. Sistem Ekonomi Pancasila (SEP) menurut Mubyarto adalah “ekonomi yang dijiwai oleh ideologi Pancasila, yaitu sistem ekonomi yang merupakan usaha bersama berasaskan kekeluargaan dan kegotong-royongan nasional”. Sistem Ekonomi Pancasila yang menjadi sumber ideologi bangsa Indonesia yaitu Pancasila membawa keharusan untuk dijadikan dasar atau pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Lihat: Mubyarto, Ekonomi Pancasila Gagasan dan Kemungkinan (Jakarta: LP3ES, 1987), hlm.32. Dasar filosofis sistem ekonomi Indonesia adalah Pancasila dan dasar konstitusionilnya adalah UUD 1945 Pasal 23, 27, 33, dan 34. Dengan demikian, maka sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi yang berorientasi kepada Ketuhanan Yang Maha Esa (berlakunya etik dan moral agama, bukan materialisme); Kemanusiaan yang adil dan beradab (tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi); Persatuan Indonesia (berlakunya kebersamaan, asas kekeluargaan, sosio nasionalisme dan sosio-demokrasi dalam ekonomi); Kerakyatan (mengutamakan kehidupan ekonomi rakyat dan hajat hidup orang banyak); serta Keadilan Sosial (persamaan, kemakmuran masyarakat yang utama bukan kemakmuran orang-seorang). Sri Edi Swasono, Sistem Ekonomi Dan Demokrasi Ekonomi (Jakarta: UI Press,1985), hlm.125-126.

5 Prinsip-prinsip perekonomian nasional yang diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi berdasarkan UUD 1945 menyebabkan konstitusi kita berbeda dengan negara yang menganut paham individualisme seperti Amerika Serikat, tidak memasukkan urusan perekonomian dalam konstitusinya. Urusan perekonomian adalah urusan pasar, sehingga tidak perlu diatur dalam konstitusi.

demokrasi ekonomi (kedaulatan rakyat di bidang ekonomi) juga tidak kalah menonjol

dibandingkan dengan demokrasi politik. Dikatakan demikian oleh karena jaminan

akan hak-hak politik saja tidak lagi cukup untuk memperkuat kedudukan rakyat dalam

suatu negara, khususnya jika dikaitkan dengan kenyataan perkembangan kekuatan

ekonomi masyarakat pada level papan-bawah. Dengan demikian, maka demokrasi

ekonomi juga menjadi semakin aktual untuk dikembangkan bersamaan dengan

demokrasi politik.

Kedaulatan ekonomi suatu negara tidak lepas dari konfigurasi ekonomi politik

internasional6 yang kemudian memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi

corak ekonomi suatu negara yang dianut, termasuk Indonesia - yang dapat dilihat dari

konstitusi ekonominya.7 Dalam kasus Indonesia, konfigurasi8 yang terjadi justru

telah “meminggirkan” peran (kewenangan) negara dalam mengatur dan mengurus

perekonomian nasional, khususnya di bidang sumber daya alam.

Keadaan ini menyebabkan terbukanya ketergantungan atau dependensi

(dependency) terhadap pendanaan dari negara-negara maju dan lembaga-lembaga

6 Robert Gilpin, memberikan definisi standar mengenai ekonomi politik internasional, yaitu hubungan paralel dan saling menguntungkan antara “negara” (politik) dan “pasar” (ekonomi)  dalam dunia modern, dalam Didin S. Damanhuri, Indonesia: Negara, Civil Society dan Pasar dalam Kemelut Globalisasi, (Jakarta: Penerbit FEUI, 2009), hlm.66.

7 Suatu konstitusi disebut konstitusi ekonomi jika memuat kebijakan ekonomi. Kebijakan-kebijakan itulah yang akan memayungi dan memberi arahan bagi perkembangan kegiatan ekonomi suatu negara. Peritilahan konstitusi ekonomi terkait dengan ekonomi konstitusi, dimana ekonomi konstitusi adalah perekonomian berdasarkan konstitusi, sedangkan konstitusi ekonomi adalah konstitusi yang di dalamnya mengandung norma-norma dasar kebijakan ekonomi. Karena itu, ekonomi konstitusi tidak dapat dipisahkan dari konstitusi ekonomi, dan demikian pula sebaliknya. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Cet.ke-1 (Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2010), hlm.68-69.

8 Konfigurasi yang dimaksud menyangkut tingkat keberdaulatan negara, terlepas ideologi yang dianut, tingkat keberdaulatan negara tergantung pada keberdayaan (workability) sistem ekonomi dan proses-proses politik. Keberdaulatan negara akan sangat menentukan perjalanan sistem dan kelembagaan ekonomi sesuai dengan pola interaksi dan keterkaitan antara pemerintah sebagai penyelenggara negara, sektor swasta sebagai pelaku ekonomi, dan masyarakat madani (civil society) sebagai pengusung nilai-nilai yang dianut dalam suatu negara. Lihat: Arifin dalam Deliarnov, Ekonomi Politik, (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 6.

finansial internasional. 9 Dalam bahasa Santos, dependensi adalah situasi yang

dikondisikan di mana ekonomi sebuah negara atau kelompok negara ditentukan oleh

pembangunan dan perluasan (kepentingan) dari negara-negara lain.10 Dalam

perspektif ketergantungan (dependency), investasi asing atau penanaman modal asing

(PMA) di Indonesia dapat dibaca sebagai kelanjutan investasi asing di masa kolonial11

yang ditekankan pada beberapa hal, yaitu (1) investasi untuk eksploitasi sumber daya

dan pertanian, (2) investasi baru yang bertujuan untuk mendapatkan pasar lokal serta

bahan baku dan pekerja murah sehingga menjadi lebih kompetitif pada pasar

internasional. Ini merupakan kesinambungan dari masa lalu, ketika investasi dari

suatu negara ke negara lain dapat terjadi karena adanya praktek kolonialisme.12

Petras dan Veltmeyer, memberikan batasan/pengertian bahwa globalisasi

identik dengan imperialisasi, sebagaimana dikatakan:

“Dengan menggunakan konsep imperialisme ini, jaringan lembaga-lembaga yang menentukan struktur sistem perekonomian global yang baru dilihat bukan dalam pengertian struktural, tetapi dalam pengertian kesengajaan dan ketergantungan, yang dikendalikan oleh orang-orang yang merepresentasikan

9 Tekanan IMF agar pemerintah Indonesia melakukan privatisasi sejumlah BUMN misalnya, jelas diarahkan untuk memberikan akses lebar bagi pemilik modal di dalam dan di luar negeri untuk mengambil alih penguasan negara atas perusahaan-perusahaan yang biasanya bersifat strategis, sambil memastikan bahwa pemerintah mendapatkan dana dari penjualan itu, dalam rangka memastikan pembayaran utang kepada IMF, lembaga-lembaga donor lain, dan pemerintah negara-negara maju yang berpiutang kepada Indonesia. Praktek semacam ini persis yang dilakukan IMF dan Bank Dunia saat terjadi krisis ekonomi di Amerika Latin pada tahun 1980-an. Baca: Syamsul Hadi, dkk, Kudeta Putih: Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan Asing dalam Ekonomi Indonesia, Cet.1 (Jakarta: Berdikari, 2012), hlm.11.

10 Ibid, hlm.12.11 Imperialisme generasi terdahulu yang berlangsung dari abad 16 hingga tengah abad 20 bercirikan

pendudukan langsung negara terjajah untuk dieksploitasi Sumber Kekayaan Alam (SKA) maupun sumber daya manusia (SDM) baik sebagai sumber bahan mentah untuk industry maupun sumber buruh murah bagi negara penjajah (kolonial). Sementara Neo-imperialisme global yang berlangsung dewasa ini umumnya tidak melakukan pendudukan langsung - dengan menggunakan hard power - melainkan dengan menggunakan instrument perdagangan internasional untuk sebesar-besarnya keuntungan negara-negara industri maju dengan penggunaan soft power berupa ekspor nilai-nilai demokrasi, HAM, sekularisme dan globalisme serta terakhir setelah peristiwa 11-9-2003 ditambah dengan again of terrorism. Lihat: Didin S. Damanhuri, Op.Cit, hlm.160.

12 Salamudidn Daeng,”Investment in Indonesia” Neocolonialism and Its Destruction to People Economy”, diakses dari http:www.networkideas.org/ideasact/de09/pdf/Daeng_Salammudin.pdf pada tanggal 10 Januari 2013, jam: 21.15 WIB.

dan berusaha mendahulukan kepentingan-kepentingan kelas kapitalis internasional baru.”13

Begitupun Bonnie, menjelaskan bahwa globalisasi yang kita kenal sekarang

ini sebenarnya merupakan hasil perkembangan yang panjang dan lama dari sistem

kapitalisme. Globalisasi adalah kata popular untuk menjelaskan sebuah fenomea

intenasionalisasi sistem kapitalisme yang berkembang menjadi sistem dunia yang luar

biasa besarnya dan yang menentukan hampir semua hal di dunia. Padanan lain dari

globalisasi adalah imperialisme yaitu sistem kapitalisme yang berkembang dalam

tahapan-tahapan secara kualitatif melewati proses sejarah sehingga pada akhirnya

melingkupi wilayah-wilayah antar-perbatasan nasional dan berwatak

internasional/global.14

Pada kasus Indonesia, perihal dependensi mewujud dalam bentuk pemulihan

ekonomi nasional (economic recovery), negara-negara dunia ketiga (termasuk

Indonesia) meluncurkan kebijakan ekonomi neoliberal. Ciri utama kebijakan ini

adalah privatisasi dan liberalisasi serta pemotongan besar-besaran subsidi.

Pengadopsian kebijakan ini menjadi masuk akal karena negara-negara yang

mengalami krisis keuangan menggunakan dana pinjaman dan konsultasi IMF, tempat

13 James Petras dan Henry Veltmeyer, Op.Cit, hal.10. Disebutkan bahwa kelas ini dibentuk berdasarkan lembaga-lembaga yang meliputi sekitar 37.000 perusahaan transnasional (TNC), unit-unit kerja kapitalisme global, penyalur-penyalur modal dan teknologi serta agen-agen besar tatanan imperial baru. Perusahaan-perusahaan transnasional tersebut bukan hanya menjadi penyangga organisatoris tatanan imperial ini, yang juga termasuk Bank Dunia, Dana Moneter Internasional (IMF) dan lembaga-lembaga keuangan internasional lain yang mengklaim diri sebagai “komunitas keuangan internasional”, atau apa yang disebut oleh Barnet dan Cavenagh sebagai “jaringan keuangan global”. Tatanan dunia baru ini juga disangga oleh banyak sekali forum perencanaan dan kebijakan strategis global seperti Kelompok Tujuh (G-7), Komisi Trilateral (TC) dan Forum Ekonomi Dunia (WEF); dan aparatur pemerintahan di negara-negara yang menjadi pusat sistem yang telah direstrukturisasi sedemikian rupa untuk melayani dan merespons kepentingan-kepentingan modal global. Seluruh lembaga ini menjadi sebuah bagian integral dari imperialisme baru, yakni sistem “pemerintahan global” baru.

14 Bonnie Setiawan, Rantai Kapitalisme Global, Reorganisasi Fundamental Rantai Pasokan Global, (Yogyakarta: Resistbook, 2012), hlm.10-11.

bercokolnya ideologi neoliberal.15 Menurut Winarno16, tesis utama para penganut

neo-liberalisme adalah pasar merupakan institusi utama dan paling utama dalam

masyarakat, dan karenanya pasar dianggap sebagai mekanisme yang paling efisien

dalam mendistribusikan sumber-sumber ekonomi langka. Untuk itu, pasar harus

dibebaskan dari campur tangan negara, karena campur tangan ini hanya akan

membuat pasar tidak dapat bekerja secara efisien dalam mendistribusikan sumber-

sumber ekonomi kepada masyarakat. Oleh karena itu, kebjiakan neo-liberalisme ini

mempunyai ciri dalam tiga hal, yakni liberalisasi, privatisasi dan deregulasi.

Keadaan ini menunjukkan bahwa upaya penegakan demokrasi ekonomi

nampaknya berhadapan dengan upaya-upaya untuk memperjuangkan pasar bebas,

yang menjadi senjata penganut paham liberalisme dan kapitalisme. Isu-isu yang

kemudian dicuatkan diantaranya adalah, deregulasi, privatisasi BUMN dan liberalisasi

impor, termasuk dan khususnya dalam sektor pangan.

Kampanye demokrasi yang diusung oleh negara-negara penganut pasar bebas

(barat), dengan aktor-aktornya seperti IMF, Word Bank dan WTO telah menjadi

intstrumen keberlakuan kapitalis global. Kendati pun pemimpin pemerintah dipilih

secara langsung oleh rakyat – sebagai perwujudan demokrasi (kedaulatan) politik –

tetap saja kebijakan pemerintah nyatanya lebih banyak melayani kepentingan para

pemilik modal dan korporasi global (multinasional).15 Bandingkan dengan David Harvey, Neoloberalisme dan Restorasi Kelas Kapital, dalam Budi

Winarno Melawan Gurita Neoliberalisme, (Jakarta: Erlangga, 2010), h.2 Sebagai bagian dari paket kebijakan Konsensus Washington, IMF dengan dukungan Word Bank dan ADB merancang program reformasi, seperti reformasi sektor energi dan ketenagalistrikan, reformasi sektor sumber daya air, reformasi sektor perkebunan dan kehutanan, reformasi sektor sumber daya mineral, dan seterusnya. Rincian langkah dan jadwal reformasi ekonomi dan kelembagaan yang disepakati RI-IMF ini merupakan prasyarat bagi pencairan dana bantuan sebesar US$ 260 juta sebagai bagian dari paket bantuan sebesar US$ 5 miliar yang akan dicairkan (Kompas, 24 Januari 2000). Kemudian, bersama lembaga donor lain IMF melakukan intervensi dalam setiap proses pengambilan keputusan ekonomi dan politik, termasuk penyusunan aturan perundang-undangan, dengan dalih perlunya Indonesia mempertahankan stabilitas ekonomi yang dapat memulihkan kepercayaan pasar.

16 Budi Winarno, Budi Winarno, Globalisasi dan Krisis…Op.Cit, hlm.20.

Perihal kedaulatan ekonomi di era liberalisasi ekonomi saat ini semakin

menjauh dari nilai-nilai yang dikandung dalam rumusan Pasal 33 UD 1945. Sejarah

politik hukum Indonesia mencatat lahirnya sejumlah produk perundang-undangan

yang bernuansa liberal, seperti UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas

Bumi (Migas), UU Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan, UU Nomor 19

Tahun 2003 Tentang BUMN, UU Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air

(SDA), UU Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan UU Nomor 41 Tahun 1999

Tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang, UU Nomor 18 Tahun 2004 Tentang

Perkebunan, UU Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, serta

keberlakuan liberalisasi di sektor pangan17.

Berikut di bawah ini disampaikan polemik yang terjadi pada saat rancangan

undang-undang yang bercorak liberal disetujui menjadi undang-undang.

Tabel 1: Pengesahan UU yang diwarnai Minderheidsnota

No Nama Undang-Undang Pengusul/Alasan

1 UU Penanaman Modal F-PDIP dan F-KB meminta pengesahan RUU PM ditunda karena terlau liberal, pro-asing, dan tidak berpihak pada kepentingan nasional. F-PDIP menilai Pasal 22 mengenai fasilitas kemudahan perpanjangan HGU, HGB dan HP tidak berdasar hukum dan melanggar UU Pokok Agraria (UU No.5/1960)

2 UU Sumber Daya Air F-Reformasi, plus dua orang anggota F-KKI, mengajukan keberatan tetapi tidak dilakukan voting untuk mengesahkan. UU SDA dianggap bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

3 UU Ketenagalistrikan F-PDU menganggap UU ini merugikan masyarakat sebagai

17 Khusus liberalisasi di bidang pangan adalah privatisasi Bulog dan Pusri, dan kebijakan liberalisasi impor yang sangat besar tanpa proteksi tarrif dan nontariif, dan baru-baru ini diterapkannya investasi penanaman modal asing di sektor pertanian, seperti proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, memberikan hak kepemilikan bagi perusahaan asing atas lahan pertanian sedemikian lama, hal ini tentunya merupakan ancaman bagi ketahanan pangan. Pada Pasal 22 ayat (1), pemerintah memberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal asing dalam memperoleh hak atas tanah, yakni Hak Guna Usaha dapat diberikan dengan jumlah 95 (sembilan puluh lima) tahun; Hak Guna Bangunan dapat diberikan dengan jumlah 80 (delapan puluh) tahun; dan Hak Pakai dapat diberikan dengan jumlah 70 (tujuh puluh) tahun. Penguasaan atas lahan dengan waktu yang sangat lama terkait dengan upaya perusahaan asing yang menanamkan modalnya di Indonesia (Multinational Company/TransNational Company) dalam program food estate yang patut diwaspadai.

konsumen dan bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.4 UU Migas Duabelas anggota DPR dari berbagai fraksi mengajukan nota

penolakan, pada intinga tidak dapat menerima, tidak menyetujui, dan tidak ikut bertanggungjawab atas disahkannya UU Migas karena bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

(Sumber: Diolah dari “Pusat Data Hukumonline” dan berbagai sumber lainnya)

Semua undang-undang tersebut adalah produk dari pergulatan ekonomi politik

di Indonesia pasca-reformasi. Namun sebagai hasil kesepakatan politik, hampir semua

undang-undang tidak lepas dari nota keberatan. Saat disahkan dalam Sidang Paripurna

DPR, sejumlah anggota dewan mengajukan minderheidsnota, dengan alasan substansi

sebagian besar undang-undang tersebut bercorak paham liberal yang “durhaka”,

khususnya terhadap Pasal 33 UUD 1945, yang mengatur soal perekonomian nasional.

Undang-undang yang mengandung minderheidsnota itu, kemudian dimohonkan

judicial review oleh sejumlah kalangan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hanya satu

yang dibatalkan oleh MK secara mutlak, yaitu UU Nomor 20 Tahun 2002 Tentang

Ketenagalistrikan. Kesemua undang-undang yang disebutkan di atas dapat disarikan

putusan MK, dalam bentuk tabel di bawah ini.

Tabel 2: Putusan MK atas Judicial Review

NO

UU Putusan MK

1 UU Penanaman Modal MK mengabulkan sebagian dan menolak sebagian lainnya. Dari permohonan uji materi terhadap pasal-pasal krusial dalam UUPM, yaitu Pasal 1 (1), Pasal 4 (2) huruf a, Pasal 8 (1) dan (2), Pasal 12 (1) dan (3), Pasal 21, Pasal 22 (1) dan (2), hanya satu pasal yang dibatalkan, yaitu Pasal 22 tentang fasilitas kemudahan perpanjangan HGU, HGB dan Hak Pakai.

2 UU Sumber Daya Air MK menolak judicial review, dengan alasan terbukanya SDA terhadap investasi tidak bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 33.

3 UU Ketenagalistrikan MK memutuskan UU Nomor 20/2002 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

4 UU Migas MK hanya mencabut tiga pasal yang dinilai bertentangan dengan UUD 1945, yaitu pasal 12 (3), Pasal 22 (1), dan Pasal 28 (2) dan (3).

(Sumber: diolah dari putusan judicial review Mahkamah Konstitusi)

Permasalahan yang sangat signifikan dalam menentukan cabang produksi

manakah yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak,

sampai dengan saat ini belum ada ketentuan/acuannya, sehingga untuk menentukan

suatu cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup

orang banyak diserahkan dan tergantung kepada pandangan pemerintah, terlepas dari

adanya pengujian undang-undang (judicial review) kepada Mahkamah Konstitusi.

Keadaan ini menjadikan prinsip hak menguasai negara tidak memiliki kepastian

dalam hal pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diembankan kepada pemerintah selaku

pemegang kekuasaan atas nama rakyat.

Dalam kaitannya dengan permasalahan pengelolaan sumber daya alam nasional,

maka perlu dicarikan alternatif sistem ekonomi yang lebih mengedepankan

kedaulatan rakyat (demokrasi ekonomi) dalam rangka mewujudkan keadilan sosial

dan kesejahteraan masyaakat umum. Alternatif yang dimaksudkan adalah merujuk

kepada hukum yang bersifat universal, yakni hukum agama Islam, yakni teori

maqashid syariah. Teori maqashid syariah, dipandang sesuai dan mampu mengikuti

perkembangan dunia global yang tengah berlansung saat ini, dikatakan demikian

terdapat kaedah usul fiqh yang menyatakan: “mempertahankan yang lama yang baik

dan mengambil yang baru yang lebih baik”. Pada intinya teori maqashid syariah

selaras dengan teori keadilan sosial dan kedaulatan rakyat sebagaimana dimaksudkan

dalam ideologi Pancasila dan UUD 1945.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah disampaikan di atas,

maka dalam penulisan makalah teori hukum ini, dirumuskan permasalahannya yakni

sebagai berikut:

Pertama, apakah yang melandasi pentingnya paham kedaulatan rakyat

(demokrasi ekonomi) dalam konstitusi negara Indonesia untuk dijabarkan dalam

berbagai peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan sumber daya alam?

Kedua, bagaimana pengaruh perkembangan ekonomi politik internasional

(globalisasi) terhadap kedaulatan rakyat di bidang ekonomi?

Ketiga, bagaimana peranan teori maqashid syariah dan paham kedaulatan

rakyat yang bersendikan kepada nilai-nilai keadilan dalam rangka pengelolaan sumber

daya alam agar tercapai kesejahteraan rakyat di era globalisasi?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan secara umum penulisan diharapkan berkontribusi bagi pengembangan

keilmuan hukum yang terkait dengan aspek ekonomi dan politik di era globalisasi.

Hukum tidaklah bebas nilai melainkan terkait dengan aspek-aspek non hukum,

sehingga hukum harus dibangun dengan mengedepankan nilai-nilai universalnya,

yakni hukum agama (Islam) sebagai suatu model untuk mewujudkan tujuan hukum

(maslahat) itu sendiri. Di samping itu, hasil dari penulisan makalah ini diharapkan

dapat menjadi salah satu referensi atau sumber bacaan bagi penelitian berikutnya.

Adapun secara khusus, penelitian ini dimaksudkan adalah untuk:

1. Mengetahui dan menganalisis secara ilmiah tentang apakah yang melandasi

pentingnya kedaulatan rakyat (demokrasi ekonomi) dalam konstitusi negara

Indonesia untuk dijabarkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan di

bidang pengelolaan sumber daya alam. Dengan diketahuinya berbagai

landasan hukum dan urgensi dari paham kedaulatan rakyat (demokrasi

ekonomi) dalam konstitusi negara dan implementasinya penyelenggaraan

pemerintahan dalam pengelolaan sumber daya alam, akan mendorong pihak-

pihak yang terkait dalam membuat regulasi yang sesuai dengan maksud UUD

1945.

2. Menjelaskan pengaruh perkembangan ekonomi politik internasional

(globalisasi) terhadap kedaulatan rakyat di bidang ekonomi. Pengaruh yang

terjadi perlu dijabarkan secara jelas, mengingat keberlakuan ekonomi politik

internasional – sebagai suatu cabang keilmuan tersendiri – telah berkembang

sedemikian cepatnya dan tidak demikian halnya dengan perkembangan

hukum.

3. Mengetahui tentang peranan teori maqashid syariah dan paham kedaulatan

rakyat yang bersendikan kepada nilai-nilai keadilan dalam rangka pengelolaan

sumber daya alam agar tercapai kesejahteraan rakyat di era globalisasi sebagai

alternatif dalam membangun sistem hukum perekonomian Indonesia. Konsep

maqashid syaryah merupakan bersifat universal, dikatakan demikian oleh

karena berdasarkan hukum agama Islam (al Qur’an dan Hadits) yang mustahil

mengandung kesalahan dan kekeliruan. Dengan mengadopsi konsep al

maqashid syariah ke dalam politik hukum pengelolaan sumber daya alam

nasional diyakini akan memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan

rakyat sebagaimana dicita-citakan oleh the founding fathers.

D. Manfaat Penulisan

Dalam penulisan ini diharapkan ada suatu manfaat yang dihasilkan. Manfaat

dimaksud dapat dibedakan menjadi dua, yakni manfaat yang bersifat teoretis dan

praktis, dijelaskan di bawah ini.

1. Manfaat Teoretis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna dalam pengembangan teori-

teori yang telah ada mengenai kedaulatan rakyat dalam pengelolaan

sumber daya alam nasional.

b. Dengan kajian yang mengedepankan konsep hukum agama Islam yakni

maqahid syariah, diharapkan menjadi suatu teori dalam pengembangan

teori hukum yang lebih disesuaikan dengan nilai-nilai yang hidup dan

berkembang di Indonesia.

c. Hasil penulisan ini juga diharapkan dapat menjadi rujukan (referensi)

dalam memberdayakan politik hukum pengelolaan sumber daya alam

nasional.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini ditujukan sebagai koreksi bagi pembentuk perundang-

undangan agar dapat memperbaiki peraturan perundang-undangan di

bidang sumber daya alam yang lebih mengedepankan kemaslahatan

rakyat.

b. Hasil penulisan ini diharapkan dapat membentuk keseragaman

pemahaman dalam pemberdayaan pengelolaan sumber daya alam,

sehingga tidak menimbulkan berbagai penafsiran yang berbeda terhadap

ketentuan Pasal 33 UUD 1945 yang selama ini selalu menjadi perdebatan

dan polemik.

c. Dengan adanya suatu model penyelenggaraan pengelolaan sumber daya

alam yang lebih mengedepankan kepentingan umum, maka diharapkan

akan menjadi suatu kekuatan dalam menghadapi perkembangan globalisasi

yang tengah berlangsung.

E. Tinjauan Pustaka

Teori dipergunakan untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala

spesifik atau proses tertentu terjadi. Sedangkan kerangka teori merupakan landasan

dari teori atau dukungan teori dalam membangun atau memperkuat kebenaran dari

permasalahan yang dianalisis.18 Fungsi teori adalah untuk memberikan

arahan/petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati, dengan lain perkataan dapat

digunakan sebagai pisau analisis untuk memecahkan permasalahan (problem solving).

Dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian hukum, maka kerangka teori

diarahkan secara ilmu hukum dan mengarahkan diri kepada unsur hukum.19

1). Pengaruh

Konsep pengaruh selalu dibahas secara bersamaan dengan kekuasaan.

Kebanyakan sarjana, termasuk Floyd Hunter dalam karyanya Community Power

Structure berpendapat bahwa: “Kekuasaan merupakan pengertian pokok, dan

pengaruh bentuk khususnya.”20 Sedangkan Laswell dan Kaplan berbeda pendapat,

dan menganggap pengaruh sebagai konsep pokok, dan kekuasaan sebagai bentuk khas

dari pengaruh. Permusan Laswell dan Kaplan, sebagai berikut:

18 JJ. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting M. Hisyam, (Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996), hlm. 203.

19 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Madju, 1994), hlm. 80.20 Sebagaimana dikutip oleh Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 2010), hlm.66.

“Kekuasaan untuk memengaruhi kebijakan-kebijakan orang lain melalui sanksi yang sangat berat (yang benar-benar akan dilaksanakan atau yang berupa ancaman sanksi) itulah yang membedakan kekuasaan dari pengaruh pada umumnya. Kekuasaan merupakan kasus khusus dari penyelenggaraan pengaruh; ia merupakan proses ancaman, jika mereka tidak mematuhi kebijakan-kebijakan yang dimaksud.”

Sedangkan Becker menyatakan bahwa pengaruh adalah kemampuan yang terus

berkembang yang - berbeda dengan kekuasaan - tidak begitu terkait dengan usaha

memperjuangkan dan memaksa kepentingan. Definisi lain dari Norman yakni:

“Pengaruh adalah suatu tipe kekuasaan yang, jika seseorang yang dipengaruhi agar

bertindak dengan cara tertentu, dapat dikatakan terdorong untuk bertindak demikian,

sekalipun ancaman sanksi yang terbuka tidak merupakan motivasi yang

mendorongnya.” Kemudian Rober Dahl, dalam ulasannya mengenai kekuasaan yang

pertama The Concept of Power (1957), melihat kekusaan sebagai konsep pokok.

Akan tetapi, beberapa tahun kemudian dalam bukunya Modern Political Analysis

(1963), Dahl memakai permusan yang persis sama dengan yang dipakai dalam tulisan

terdahulu, namun istilah “kekuasaan” diganti dengan istilah “pengaruh”.21

Budiardjo mengatakan bahwa pengaruh biasanya merupakan satu-satunya

faktor yang menentukan perilaku seseorang, dan sering bersaing dengan faktor lain.

Bagi pelaku yang dipengaruhi masih terbuka alternatif lain untuk bertindak. Akan

tetapi, sekalipun pengaruh sering kurang efektif dibandingkan dengan kekuasaan, ia

kadang mengandung unsur psikologis dan menyentuh hati, dan karena itu sering kali

cukup berhasil.22

2). Ekonomi Politik Internasional

21 Ibid, hlm.67.22 Ibid.

Ekonomi politik23, menurut Adam Smith 24 adalah “branch of science of a

statesman or legislator” dan merupakan panduan pengaturan ekonomi nasional. John

Stuart Mill beranggapan ekonomi politik sebagai sebuah ilmu yang mengajarkan

bagaimana sebuah bangsa untuk menjadi kaya. Di dalam perkembangannya, ekonomi

politik diartikan sebagai perluasan lingkup studi ekonomi oleh para ekonomis

profesional, seperti Chicago School. Dengan kata lain, ekonomi politik dilihat sebagai

metodologi individualisme atau tindakan-tindakan rasional aktor yang mempengaruhi

perilakunya sebagai bentuk upaya memaksimalkan kepentingan pribadinya. Dimana

metodologi tersebut akan mampu menjelaskan institusi sosial, kebijakan publik, dan

bentuk-bentuk lain dari kegiatan sosial yang sebelumnya tidak termasuk di dalam

lingkup bidang ekonomi.25

            Inti dari pendekatan pada institusi sosial dan hal-hal sosiopolitik yang

dilakukan oleh para penstudi ini mengarah pada asumsi bahwa individu bertindak

secara sendiri maupun berkelompok melalui institusi sosial dan mempromosikan

tujuannya guna mewujudkan kepentingan pribadinya. Namun di sisi lain, para sarjana

juga beranggapan bahwa di dalam ekonomi politik, individu berupaya untuk

membentuk institusi sosial yang dapat berpengaruh pada kebijakan, khususnya pada

bidang ekonomi. Para ekonomis neoklasikal merujuk pada istilah rent-seeking

behavior dari individu dan kelompok untuk menjelaskan ekonomi politik .26

23 Ilmu Ekonomi Politik baru memperoleh bentuk pada pertengahan abad ke-18, sejak ditulisnya The Wealth of Nations oleh ekonom klasik Adam Smith pada tahun 1776. Selain Smith, pakar ekonomi klasik yang paling awal mengembangkan disiplin Ilmu Ekonomi Politik adalah David Ricardo (1772-1823). Pakar klasik lain yang juga cukup intens membahas Ekonomi Politik adalah Thomas Malthus (1776-1834) dan Jhon Stuart Mill (1806-1873). Deliarnov, Ekonomi Politik (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm.1.

24 Robert Gilpin, Global Political Economy: Understanding the International Economic Orders. (Princeton: Princetin University Press, 2001), hlm. 25.

25 Ibid, hlm. 26-2726 Ibid, hlm.27

Menurut Mansbach dan Rafferty, ekonomi politik internasional mengkaji

bagaimana kekuatan ekonomi dan politik saling mempengaruhi. Inti dari ekonomi

politik internasional adalah hubungan antara negara-negara, organisasi-organisasi

internasional, transnational company (TNC), dan pasar global.27

Selanjutnya, Ekonomi Politik oleh pakar-pakar Ekonomi Politik Baru lebih

diartikan sebagai analisis ekonomi terhadap politik. Dalam kajian tersebut mereka

mempelajari institusi politik sebagai entitas yang bersinggungan dengan pengambilan

keputusan ekonomi-politik, yang berusaha memengaruhi pengambilan keputusan dan

pilihan publik, baik untuk kepentingan kelompoknya maupun untuk kepentingan

masyarakat luas.28 Penggabungan analisis politik dalam kajian ekonomi atau analisis

ekonomi dalam kajian politik saat ini sangat diperlukan, sebab dengan berbekal Ilmu

Ekonomi atau Ilmu Politik saja kita sering menemui kesulitan dalam menjelaskan

berbagai gejala dalam masalah yang dihadapi. Seperti diketahui, dalam kenyataan

akhir-akhir ini semakin banyak masalah ekonomi yang tidak berhasil diatasi karena

terkait erat dengan politk dan hukum, bahkan juga dengan budaya dan agama.29

27 Richard W. Mansbach & Kirsten L. Rafferty, Pengantar Politik Global, diterjemahkan dari Introduction to Global Politics, Cet.ke-1, (Bandung: Nusa Media, 2012), hlm.601.

28 Dampak penggabungan analisis ekonomi dengan politik oleh pakar-pakar Ekonomi Politik Baru, banyak yang curiga bahwa para ekonom telah melakukan penjajahan dan mengambil alih tugas para pakar politik. Kecurigaan ini bukanlah tidak berdasar, sebab menurut Albert O. Hirschman dalam Essay in Trespassing: Economics to Politics and Beyond (1981), Ekonomi Politik memang merupakan penjajahan dari Ilmu Ekonomi ke dalam Ilmu Politik. Menurut Deliarnov, bahwa ekonomi politik merupakan penjajahan ilmu ekonomi terhadap ilmu politik atau peralihan eskalatif dari ilmu ekonomi murni ke ekonomi pembangunan yang lebih kompleks sebetulnya tidak sepenuhnya benar. Buktinya, para pakar politik juga mampu memperlihatkan bahwa sistem politik menentukan hubungan antara mereka yang memiliki kekuatan politik dengan yang kurang atau yang tidak memiliki kekuatan. Selain itu, sistem politik menentukan hubungan antara penguasa (ruler) dengan masyarakat. Dengan demikian bagi ahli ekonomi politik, kegiatan ekonomi, seperti kegiatan-kegiatan lain dalam masyarakat, tidak terlepas dari konteks politik. Tegasnya, sistem politik tidak hanya membentuk power relationship dalam masyarakat, tetapi juga menentukan nilai-nilai serta norma-norma yang sedikit banyak akan menentukan apa dan bagaimana berbagai kegiatan ekonomi dilaksanakan dalam masyarakat. Deliarnov, Op.Cit, hlm.9.

29 Ibid.

Ekonomi Politik Internasional diilustrasikan berupa tindakan-tindakan politik

yang menggunakan perangkat-perangkat ekonomi atau sebaliknya. Bukti-bukti

diperlihatkan melalui berbagai peristiwa maupun fenomena dari politik global negara-

negara adikuasa dalam hal penggunaan alat-alat (sarana) ekonomi dan/atau politik

untuk mencapai kepentingan politik dan/atau ekonomi mereka. Kenyataan semacam

ini mulai dideteksi lagi ketika akhir dari skenario politik internasional menunjukkan

adanya fakta persoalan-persoalan ekonomis yang juga dikejar oleh politik kekuatan

secara timbal balik. 30

Kebanyakan pakar ilmu sosial sepakat, bahwa studi Ekonomi Politik

umumnya dimulai dari adanya diskusi hakikat ketidakadilan dalam sistem

internasional terutama dalam Tata Ekonomi Dunia (TED) yang dikuasai oleh negara-

negara besar industri maju.31 Menyangkut hakikat ketidakadilan itu secara garis besar

telah menggejala dan diketahui masyarakat internasional yang umumnya dibagi atas

tiga pola, yakni:32

1. Tidak meratanya pembagian kekayaan materil dunia antara negara-negara

kaya dari negara-negara maju dengan negara-negara miskin (dalam banyak

aspek) dari Dunia Ketiga.

2. Tidak meratanya angka-angka pertumbuhan ekonomi dalam Sistem Ekonomi

Internasional.

3. Tidak meratanya pembagian kekayaan materiil di sebagian negara Dunia

Ketiga itu sendiri.

Berkaitan dengan keberadaan ekonomi politik dalam dunia ilmu, dalam suatu

tulisannya Dawam Rahardjo, berpendapat bahwa Ekonomi Politik atau Political

30 Yanuar Ikbar, Ekonomi Politik Internasional Jilid 1 (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 4.31 Ibid, hlm.832 Ibid, hlm.8-9.

Economy adalah suatu cabang ilmu tentang evolusi kemasyarakatan yang di dalamnya

inti dari dinamika perkembangan ekonomi secara sistematis dikaitkan dengan

perubahan sosial politik, dan selanjutnya itu semua mengembalikan pengaruhnya

kepada proses ekonomi.33

Menurut Gregory & Stuart34, sistem ekonomi mencakup mekanisme,

pengaturan pengorganisasian, dan aturan-aturan untuk membuat dan melaksanakan

keputusan-keputusan tentang alokasi sumber daya yang terbatas jumlahnya. Sesuai

definisi yang dikemukakan oleh Gregory & Stuart di atas, bisa dibedakan berdasarkan

sebagai berikut di bawah ini.

1. Organisasi pengaturan pengambilan keputusan (organization of decision

making arrangements)

2. Mekanisme penyebaran informasi dan koordinasi (mechanism for

provision of information and for coordination)

3. Hak pemilikan kekayan produktif (property rights), dan

4. Mekanisme penetapan berbagai tujuan dan sistem insentif (mechanism for

setting goals and incentives)

Secara singkat klasifikasi sistem ekonomi dengan konsekuensinya masing-

masing, dapat dikelompokkan melalui tabel di bawah ini.

Tabel 3: Klasifikasi Sistem Ekonomi

Klasifikasi Kapitalisme Sosialisme Pasar SosialismeOrganisasi pengaturan pengambilan keputusan

Lebih terdesentralisasi

Lebih terdesentralisasi Lebih terpusat

Mekanisme penyebaran informasi & koordinasi

Lebih ditentukan oleh pasar

Lebih ditentukan oleh pasar

Dominan

Pemilikan kekayaan Dominan privat Dominan negara Dominan negara

33 Ibid, hlm.11.34 Deliarnov, Op.Cit, hlm.4.

produktif dan/atau kolektifSistem insentif Dominan materi Materi dan moral Materi & moral

(Sumber: Delairnov, hlm.5 )

Lebih lanjut mengenai ekonomi politik internasional35, fokus bahasan terletak

pada interaksi pasar dan aktor-aktor politik di dalamnya, namun studi ekonomi sendiri

tidak cukup untuk menjelaskan isu-isu vital di dalam distribusi kekayaan dan aktivitas

ekonomi internasional, hingga dampak dari ekonomi dunia terhadap kepentingan

nasional, serta keefektifitasan rezim-rezim internasional. Hal ini harus dilihat dari

batas-batas politik negara, yang nantinya akan dapat menggambarkan kebijakan

ekonomi satu negara terhadap negara lainnya. Pertimbangan politik suatu negara tentu

saja akan mempengaruhi dan membedakan kegiatan ekonomi di suatu negara dengan

negara lainnya secara signifikan. Negara, seperti yang diketahui, merupakan aktor

yang memiliki kekuatan besar di dalam konstelasi internasional, akan mampu

menggunakan powernya untuk memanipulasi atau mempengaruhi kegiatan ekonomi

guna memaksimalkan kepentingan ekonomi serta politiknya.36

Bahasan di dalam studi ekonomi lebih banyak mengarah pada efisiensi atau

keuntungan bersama yang di dapat melalui pertukaran ekonomi, sedangkan ekonomi

politik internasional (EPI) banyak membahas isu-isu yang lebih luas dari itu.

35 Pada dasarnya terdapat tiga tradisi teoretis dominan dalam ekonomi politik internasional (global) - merkantilisme, liberalisme, dan marxisme - dengan masing-masing unsur-unsur analitis dan normatifnya sendiri. Merkantilisme mendominasi pemikiran ekonomi antara abad ke-16 dan akhir abad ke-18. Kemudian merkantilisme dikalahkan oleh liberalisme pada abad ke-19, namun demikian merkantilisme versi modern masih memengaruhi banyak negara dimana ia mengambil bentuk proteksionisme bagi industri dalam negeri. Perspektif kedua, liberalisme ekonomi atau kapitalisme pasar bebas, muncul pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, disebarkan oleh para pendukungnya dari Inggris dan Amerika. Seiring dengan berkembangnya paham liberalisme, marxisme juga berkembang pada abad ke-19 sebagai alternatif bagi liberalisme, dimana kaum sosialis dan komunis mendukung berbagai pendekatan Marxis sebagai alternatif bagi kapitalisme (istilah yang dibuat oleh Karl Marx). Namun, tiga faktor – berakhirnya Perang Dingin, pengaruh kaum kapitalis pasar bebas, dan globalisasi – menjadikan liberalisme ekonomi, yang sekarang ini dikenal dengan istilah neoliberalisme, sebagai perspektif yang dominan sekarang ini. Lebih lanjut lihat: Richard W. Mansbach & Kirsten L. Rafferty, Pengantar Politik Global, diterjemahkan dari Introduction to Global Politics, Cet.ke-1, (Bandung: Nusa Media, 2012), hlm.606.

36 Robert Gilpin, Op.Cit, hlm.102

Pembahasan EPI akan lebih tertuju pada bagaimana ekonomi dunia mmemiliki

dampak pada kekuasaan dan otonomi politik negara. Negara dilihat sebagai sebuah

entitas yang memiliki kewenangan untuk bertindak melindungi kepentingannya, dan

negara juga dapat memanipulasi pasar dalam rangka meningkatkan power dan

mempengaruhi lawan ataupun membantu negara lainnya.

Di dalam ekonomi politik internasional terlihat jelas adanya pertentangan

antara meningkatnya interdependensi dari ekonomi internasional dengan keinginan

negara untuk me-maintain ketergantungan ekonomi dan otonomi politiknya. Karena,

pada saat yang bersamaan, negara menginginkan keuntungan yang maksimal dari

perdagangan bebas yang dilakukan dengan negara lain, namun di sisi lain negara juga

ingin melindungi otonomi politik, nilai kebudayaan, serta struktur sosial yang

dimilikinya.37 Dapat dikatakan bahwa kegiatan negara berjalan melalui logika sistem

pasar, dimana pasar diperluas secara geografis dan kerjasama antar negara di berbagai

aspek diperluas melalui mekanisme harga, inilah ekonomi politik internasional.

Interaksi pasar dengan kebijakan negara menjadi pendorong bagi jalannya ekonomi

dunia yang merupakan subjek bahasan pada ekonomi politik internasional.

3). Politik Hukum

Istilah politik hukum merupakan terjemahan dari istilah hukum Belanda

rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua kata: recht dan politiek. Dalam

Bahasa Indonesia kata recht berarti hukum , adapun kata politiek di dalamnya

terkandung pula arti beleid, yang biasanya diartikan sebagai kebijaksanaan atau

kebijakan (policy).38 Pengertian kebijakan diartikan oleh para ahli dengan beragam.

37 Ibid, hlm.80 38 Marjanne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1999),

hlm.235.

Laswel dan Kaplan mengartikan ari kebijaksanaan (policy) sebagai “a projected

program of goal, values, and practices”. Sedangkan Anderson memberikan arti

policy sebagai ”a purposive course of action followed by an actor or set of actors in

dealing with a problem or matter of concern”.39

Wahyono memberikan arti politik hukum sebagai arah kebijakan mengenai

hukum yang akan dibentuk atau diberlakukan. Menurutnya, politik hukum adalah

sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang

akan dibentuk40. Sejalan dengan Wahyono, Radhie memberikan arti politik hukum

sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di

wilayahnya dan mengenai arah hukum, perkembangan hukum yang dibangun.41

Sedangkan Rahardjo, mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan

cara yang hendak dipakai untuk mencapai tujuan sosial dan hukum dalam

masyarakat.42

Sejalan dengan pendapat di atas, Mahfud mendefinisikan politik hukum

sebagai legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan

diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian

hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Dengan demikian, politik hukum

merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan

tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuannya

dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam

Pembukaan UUD 1945.

39 Thomas R. Dye dalam Muhammad Akib, Politik Hukum Lingkungan, Dinamika dan Refleksinya Dalam Produk Hukum Otonomi Daerah (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012),1.

40 Padmo Wahyono dalam Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm.5

41 Teuku Mohammad Radhie, dalam Moh. Mahfud MD, Ibid, hlm,1.42 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1991), hlm.352.

Dalam konteks Indonesia, maka arah kebijakan hukum yang hendak dibangun

dan dikembangkan selain ditujukan untuk menciptakan sistem hukum nasional, juga

yang lebih penting adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Inilah yang

dimaksudkan oleh Bagir sebagai salah satu bagian dari politik hukum yang bersifat

tetap.43 Penjelasan ini sejalan dengan pendapat Hakim, yang mengatakan bahwa

hukum yang hendak dibangun seyogianya harus senantiasa mengacu kepada cita-cita

masyarakat Indonesia, yaitu tegaknya negara hukum yang demokratis dan berkeadilan

sosial. Atas dasar pandangan yang demikian dikatakan bahwa politik hukum

Indonesia sesungguhnya harus berorientasi pada cita-cita negara hukum yang

didasarkan atas prinsip-prinsip demokrasi dan berkeadilan sosial dalam suatu

masyarakat Bangsa Indonesia yang bersatu sebagaimana yang tertuang dalam

Pembukaan UUD 1945.44

Lebih lanjut, Sulistiyono mengatakan bahwa suatu politik hukum yang tidak

jelas akan menghasilkan kaidah-kaidah hukum dalam bentuk Undang-Undang (UU)

dan peraturan pelaksanaannya yang simpang-siur dan tidak jelas tahap

pelaksanaannya.45 Politik hukum yang demikian dikatakan oleh Akib, tidak akan

mampu mewujudkan kepastian hukum, keadilan, dan kesejahteraan rakyat sebagai

cita hukum negara kesejahteraan.46

Dalam kaitannya dengan politik hukum pengelolaan sumber daya alam,

menurut penulis termasuk politik hukum yang bersifat tetap (permanen) sebagaimana

43 Dikatakan oleh Bagir, bahwa politik hukum ada yang bersifat tetap (permanen) dan ada juga yang bersifat temporer. Politik hukum yang bersifat tetap adalah berkaitan dengan sikap hukum yang akan selalu menjadi dasar kebijakan pembentukan dan penegakan hukum. Sementara politk hukum yang bersifat temporer adalah kebijakan yang ditetapkan dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhannya. Lihat: Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah (Yogyakarta: FH UII, 2001), hlm.180.

44 Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: YLBHI. 1988), hlm.20.45 Adi Sulistiyono, Negara Hukum: Kekuasaan, Konsep, dan Paradigma Moral (Surakarta: LPP dan

UNS Press, 2008), hlm.52.46 Muhammad Akib, Op.Cit, hlm.6.

dinyatakan oleh Bagir. Oleh karena sifatnya yang tetap, maka harus didasarkan pada

cita-cita masyarakat Indonesia sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945,

yakni mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan yang menjadi tujuan politik

hukum selain berlandaskan pada prinsip negara hukum dan demokrasi politik, juga

harus berlandaskan demokrasi ekonomi – sebagaimana ditentukan Pasal 33 UUD

1945 – dalam pengelolaan sumber daya alam nasional.

Dengan demikian, secara konseptual politik hukum pengelolaan sumber daya

alam nasional dapat dirumuskan sebagai arah kebijakan hukum yang ditetapkan oleh

penyelenggara negara (negara) untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia

melalui penguatan demokrasi ekonomi, selain demokrasi politik yang tercantum

dalam konstitusi UUD 1945.

4). Teori Pengelolaan Sumber Daya Alam

Gibb dan Bromley47 membagi paham yang mendasari pola pengelolaan

sumber daya alam menjadi empat rezim atau paham, yaitu: (1) state property, (2)

private property (individual or corporation), (3) common property or communal

property, dan (4) open access. Kelima paham tersebut dijelaskan sebagai berikut:

pertama, paham state property, berarti sumber daya alam dikuasai oleh negara (state).

Seperti yang tercantum dalam UUD 1945 dan UU No.22 Tahun 2001 Tentang Migas,

47 Sebagaimana dikutip oleh A. Rinto Pudyantoro, dalam bukunya yang berjudul: A to Z Bisnis Hulu Migas, (Jakarta: Petromindo, 2012), hlm.108-109.

jelas disebutkan bahwa sumber daya alam Migas dikuasai oleh negara, dengan

demikian pengelolaan sumber daya alam Migas menggunakan rezim state property.

Kedua, rezim common property, sumber daya alam yang pengelolaannya

menggunakan rezim common property, berarti sumber daya alam yang ada dikuasai

oleh communal atau sekelompok orang. Umumnya communal property terjadi tanpa

sengaja, terjadi karena suatu kebiasaan yang membudaya, berlangsung terus-menerus

yang kemudian secara tidak tertulis suatu sumber daya alam dikuasai oleh orang.

Ketiga, adalah private property, rezim ini bersandar pada pemahaman bahwa

sumber daya alam dikuasai secara pribadi. Dalam hal ini bisa orang per orang atau

sebuah badan usaha atau perusahaan. Apabila sumber daya alam dikuasi oleh pribadi

atau perusahaan maka otoritas pengelolaannya termasuk kepemilikannya berada pada

pribadi (private). Termasuk jika sumber daya alam tersebut merugikan atau berakibat

celaka bagi pemilikinya, maka secara keseluruhan harus ditanggung secara pribadi.

Keempat, rezim open access, yaitu sumber daya alam dapat dikuasai oleh

semua orang. Semua orang bisa masuk dan keluar dari area tersebut. Ketika setiap

orang mengakui memiliki sumber daya alam tersebut maka di saat yang sama

sebenarna tidak ada satu orangpun yang dapat menguasai datau memilikinya. Contoh

klasik dari pengusaan sumber daya alam dengan paham open access adalah sumber

daya alam berupa ikan-ikan dan tanaman laut yang ada di lepas pantai di luar wilayah

Zone Economy Exclusive (ZEE). Pada area tersebut semua orang boleh dating untuk

mennagkap ikan tanpa takut didatangi oleh orang lain yang mengakui bahwa area

tersebut adalah milik mereka. Tidak ada satu pihak pun yang dapat mengklaim

memiliki ikan dan kekayaan alam laut yang ada pada area tersebut.

5). Konstitusi Ekonomi dan Hubungannya Dengan Sistem Ekonomi dan Hak

Asasi Manusia

Konstitusi berasal dari bahasa Latin, constitutio. Istilah ini berkaitan erat

dengan kata “jus” atau “ius” yang berarti hukum atau prinsip.48 Dalam kamus

bahasa Inggris, Oxford Dictionary of Law, perkataan “constitution” diartikan “ the

rules and practices that determine the composition and functions of the organs of the

central and local government in a state and regulate the relationship between

individual and the state.”49 Artinya, (a) yang dinamakan konstitusi itu tidak saja (i)

aturan yang tertulis, tetapi juga (ii) praktik-praktik, yaitu apa yang dikerjakan dalam

kegiatan penyelenggaraan negara, (b) yang diatur itu tidak saja berkenaan dengan (i)

organ negara beserta komposisi dan fungsinya, baik di tingkat pusat maupun di

tingkat pemerintahan daerah (local government), tetapi juga (ii) mekanisme hubungan

antar negara atau organ negara itu dengan warga negara. Oleh karena itu menyangkut

juga praktik-praktik, maka hal-hal yang dilakukan meskipun tidak tertulis juga

termasuk ke dalam pengertian konstitusi, yaitu konstitusi yang tidak tertulis

(ongescheven constitutie, unwritten constitution).50

Konstitusi bagi sebagian besar negara-negara di dunia, merupakan hasil

seleksi dari peraturan-peraturan hukum yang mengatur pemerintahan negara dan telah

dihimpun dalam sebuah dokumen.51 Tentang pengertian konstitusi menurut para ahli

48 Dari catatan sejarah klasik terdapat dua perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian kita sekarang tentang konstitusi, yaitu dalam perkataan Yunani kuno politea, dan perkataan bahasa Latin constitution yang juga berkaitan dengan kata jus. Dari kedua perkataan politea dan constitutio itulah awal mula gagasan konstitualisme diekspresikan oleh umat manusia beserta hubungan di antara kedua istilah tersebut dalam sejarah. Jika kedua istilah tersebut dibandingkan, maka dapat dikatakan bahwa yang paling tua usianya adalah kata politea yang berasal dari kebudayaan Yunani. Lihat: Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm.1.

49 Oxford University Presss, Fifth Edition, 2003, hlm.108.50 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Op.Cit, hlm.4.51 K.C, Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, Judul asli: Modern Constitutions, diterjemahkan

oleh: Imam Baehaqie, (Bandung: Nua Media, 1996), hlm.3.

terdapat perbedaan pendapat. Perbedaan tersbut berkaitan dengan: apakah konstitusi

sama dengan Undang-Undang Dasar? Berkaitan dengan hal tersebut terdapat dua

pendapat di kalangan para ahli. Ada ahli yang membedakan antara konstitusi dengan

Undang-Undang Dasar tetapi ada pula ahli yang menyamakannya. Sarjana yang

membedakan pengertian Konstitusi dengan Undang Undang Dasar, antara lain,

Projodikoro52 yang mengemukakan bahwa ada dua macam konstitusi, yaitu konstitusi

tertulis (written constitusion) dan konstitusi tak tertulis (unwritten constitusion).

Selanjutnya Herman Heller, membagi pengertian konstitusi menjadi tiga:53

1) Die Politische verfassung als gesellschaftlich wirklichkeit. Konstitusi adalah

mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu

kenyataan. Jadi mengandung pengertian politis dan sosiologis.

2) Die Verselbstandigte rechhtsverfassung. Konstitusi merupakan satu kesatuan

kaidah yang hidup dalam masyarakat. Jadi mengandung pengertian yuridis.

3) Die geshereiben verfassung. Konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah

sebagai undang undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.

Berdasarkan pendapat Herman Heller di atas dapat disimpulkan bahwa

Undang-Undang Dasar baru merupakan bagian dari pengertian konstitusi yaitu

konstitusi tertulis saja. Seterusnya, ditegaskan oleh Budiardjo,54 bahwa suatu

konstitusi umumnya disebut tertulis, bila merupakan satu naskah, sedangkan

konstitusi tidak tertulis adalah tidak merupakan satu naskah dan banyak dipengaruhi

oleh tradisi dan konvensi. Dimana menurut Edward M. Sait,55 konvensi adalah aturan-

52 Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia (Jakarta: Dian Rakyat,1983), hlm.10-11.

53 Dalam Mohd.Kusnardi, Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara. (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988), hlm 65-66.

54 Miriam Budiardjo, 1997. Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama 1997), hlm.108.

55 Ibid, hlm.109.

aturan tingkah laku politik (rules of political behavior). Dengan demikian menurut

paham ini konstitusi juga meliputi hal-hal yang tidak tertulis yang tumbuh dan

berkembang dalam kehidupan masyarakat yang dipandang sebagai norma-norma

dalam ketatanegaraan.

Sedangkan penganut yang menyamakan pengertian konstitusi dengan Undang

Undang Dasar, adalah James Bryce. Pendapat James Bryce56 menyatakan konstitusi

adalah : A frame of political society, organised through and by law, that is to say on

which law has established permanent institutions with recognised functions and

definite rights. Kemudian Strong melengkapi pendapat Bryce yaitu : Constitution is a

collection of principles according to which the power of the goverment, the rights of

the governed, and the relations between the two are adjusted. Begitu pula, Peaslee

menyamakan konstitusi dengan Undang-Undang Dasar yang dilandasi kondisi bahwa

hampir semua negara di dunia mempunyai konstitusi tertulis. Hanya Inggris dan

Canada yang tidak mempunyai konstitusi tertulis.57

Konstitusi mempunyai fungsi yang sangat penting bagi suatu negara. Menurut

pendapat Attamimi,58 suatu Konstitusi atau Undang-Undang Dasar berfungsi sebagai

pemberi pegangan dan pemberi batas, mengatur bagaimana kekuasaan negara

dijalankan. Sebab tujuan dari konstitusi menurut Projodikoro,59 ialah mengadakan

tata-tertib tentang lembaga-kenegaraan, wewenang-wewenangnya dan cara

bekerjanya, dan menyatakan hak-hak asasi manusia yang harus dijamin

perlindungannya. Selanjutnya, Kusnardi60 menegaskan bahwa suatu konstitusi

56 Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, & Ni`matul Huda. 2003. Teori dan Hukum Konsitusi. (Jakarta: RadjaGrafindo Persada, 2003), hlm.12-13.

57 Projodikoro, Op.Cit, hlm.11.58 A. Hamid S, Attamimi, Hukum tentang peraturan perUndang-Undangan dan Peraturan

Kebijakan (Hukum Tata Negara), (Jakarta, Universitas Indonesia, 1990), hlm.215.59 Projodikoro, Op.Cit, hlm.12-1360 Mohd.Kusnardi, Harmaily Ibrahim. , Op.Cit, hlm.65.

memerlukan dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu syarat mengenai bentuk dan isinya.

Bentuk konstitusi sebagai naskah tertulis yang merupakan Undang-Undang yang

tertinggi yang berlaku dalam suatu negara. Isi konstitusi merupakan peraturan yang

bersifat fundamental, artinya tidak semua masalah yang penting harus dimuat dalam

konstitusi, melainkan hal-hal yang bersifat pokok, dasar atau azas-azas saja.

Menurut penulis, karena pada umumnya negara-negara setelah abad ke-19,

mempunyai konstitusi tertulis maka wajar jika konstitusi dapat disamakan dengan

Undang-Undang Dasar. Oleh karena norma-norma dasar yang terdapat dalam

masyarakat saat ini, untuk terdapatnya suatu kepastian hukum, telah dijadikan sebagai

aturan tertulis.

Adapun istilah konstitusi ekonomi (economic constitution) relatif baru dikenal

dalam pemikiran tentang hukum konstitusi, hukum ekonomi dan ilmu ekonomi pada

umumnya61. Menurut Jimly62, suatu konstitusi disebut konstitusi ekonomi jika

memuat kebijakan ekonomi. kebijakan-kebijakan itulah yang akan memayungi dan

memberi arahan bagi perkembangan kegiatan ekonomi suatu negara. Pengaturan yang

tertuang dalam konstitusi itu dapat bersifat rigid, rinci, dan eksplisit, tetapi dpaat pula

bersifat fleksibel atau bahkan hanya memuat rambu-rambu filosofis yang bersifat

implisit saja seperti dalam Konstitusi Amerika Serikat. Bagaimanapun juga sifat

penuangan kebijakan di dalamnya, konstitusi sebagai dokumen hukum dapat menjadi

sarana untuk membuka jalan, merekayasa dan mengarahkan dinamika ekonomi dalam

masyarakat.

61 Kalaupun istilah economic constitution mulai muncul pada akhir tahun 1980-an dan awal tahun 1990-an, pada awalnya hanya dipakai dalam perspektif ilmu ekonomi atau ilmu hukum pada umumnya. Konstitusi ekonomi sebagai objek kajian hukum tata negara atau sebagai persoalan hukum konstitusi dapat dikatakan memang masih sangat baru. Di level dunia saja, hal itu masih sangat baru, apalagi di Indonesia, sama sekali belum ada satu pun sarjana hukum yang menyadari apalagi untuk memperbincangkannya dalam konteks konstitusi dan hukum tata negara. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Op.Cit, hlm, 63.

62 Ibid, hlm.69-69.

Konstitusi63 atau Undang-Undang Dasar merupakan aturan dasar atau aturan

pokok64 negara yang menjadi sumber dan dasar bagi terbentuknya aturan hukum yang

lebih rendah. UUD 1945 merupakan konstitusi politik, konstitusi ekonomi, dan

konstitusi sosial yang harus menjadi acuan dan landan secara politik, ekonomi, dan

sosial, baik oleh negara (state), masyarakat (civil society), ataupun pasar (market).65

Gejala legislasi kebijakan di bidang perekonomian telah berkembang

sedemikian rupa, sehingga berkembang menjadi gejala konstitusionalisasi.66 Sehingga

saat ini pengertian konstitusi ekonomi telah berkembang bukan lagi terbatas sebagai

fenomena-fenomena negara-negara sosialis-komunis, tetapi juga negara-negara dari

lintas benua dan lintas aliran dan sistem politik juga mulai mengadopsi gagasan

konstitusi ekonomi melalui tindakan konstitusionalisasi kebijakan-kebijakan

pembangunan ekonomi.67 Ketentuan-ketentuan konstitusional perekonomian

mempunyai kedudukan memaksa sebagai standar rujukan dalam semua kebijakan 63 Konstitusi adalah, hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara.

Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis. Sebagai hukum dasar, perumusan isinya disusun secara sistematis mulai dari prinsip-prinsip yang bersifat umum dan mendasar, dilanjutkan dengan perumusan prinsip-prinsip kekuasaan dalam setiap cabangnya yang disusun secara berurutan. Pasal-pasal dan ayatnya dirumuskan dalam tingkat abstraksi yang sesuai dengan hakikatnya sebagai hukum dasar, dengan kesadaran bahwa pengaturan yang bersifat rinci akan ditentukan lebih lanjut dalam undang-undang. Lihat: Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, Op.Cit, hlm.29-31.

64 Disebut aturan dasar atau aturan pokok negara karena ia hanya memuat aturan-aturan umum yang masih garis besar atau bersifat pokok dan masih merupakan norma tunggal, tidak disertai norma sekunder.

65 Ibid, hlm.100.66 Salah satu masalah serius yang kita hadapi dalam pembangunan ekonomi Indonesia ialah soal

kerangka hukum dan konstitusi yang seharusnya dijadikan rujukan dalam pengembangan kebijakan-kebijakan di bidang perekonomian itu dalam praktek. Selama ini, persoalan ini sama sekali tidak dianggap penting, mengingat praktek penyelenggaraan ekonomi Indonesia sejak kemerdekaan telah berjalan sedemikian rupa dengan mengikuti saja arus logika pembangunan ekonomi yang berkembang atas dasar pengalaman empiris di lapangan ataupun teori-teori dan kisah-kisah sukses di negara-negara lain yang dipandang layak dijadikan contoh. Sulit membayangkan bahwa konstitusi harus dijadikan acuan substantif dalam setiap kebijakan resmi dalam proses pembangunan ekonomi. Apalagi kenyataan di zaman sekarang menuntut semua bangsa untuk akrab bergaul dengan sistem ekonomi pasar yang diidealkan bersifat bebas dan terbuka. Hubungan antar ekonomi yang satu dengan yang lain tidak dapat lagi dipahami secara eksklusif. Liberalisasi perdagangan dan globalisasi ekonomi sudah menjadi kenyataan yang tidak dapat dihindarkan. Lihat: Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Op.Cit, hlm.vii.

67 Ibid, hlm.79.

ekonomi. Jika bertentangan, maka kebijakan demikian dapat dituntut pembatalannya

melalui proses peradilan. Dengan demikian, ekonomi dpaat diharapkan membantu

dalam membuat perhitungan, tetapi yang memutuskan adalah politik berdasarkan

ketentuan hukum sesuai dengan apa yang sudah disepakati bersama oleh seluruh anak

bangsa sebagaimana tercermin dalam konstitusi sebagai kontrak sosial. Dengan

perkataan lain, ekonomi memperhitungkan, politik memutuskan, tetapi hukumlah

yang akhirnya menentukan. Jangan biarkan ekonomi memutuskan segala sesuatu

dengan logikanya sendiri. Politik juga tidak boleh dibiarkan memutuskan nasib

sleuruh anak negeri hanya dengan logikanya sendiri. Inilah hakikat makna bahwa

negara kita adalah negara demokrasi konstitusional, Negara Hukum, Rechtsstaat, the

Rule of Law, not of Man.68

Konstitusi ekonomi Indosesia yang dijabarkan dalam Pasal 33 Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, selain menganut konsep

(paham) kedaulatan rakyat69, kedaulatan hukum70, kedaulatan Tuhan71, juga terkait

dengan berhubungan dengan Hak Asasi Manusia (untuk selanjutnya cukup disebut

HAM). Dikatakan demikian, oleh karena keberadaan HAM mendahului hukum.

Artinya, HAM sebagai hak dasar dan suci melekat pada setiap manusia sepanjang

hidupnya sebagai anugerah Tuhan, kemudian HAM diformalkan ke dalam

seperangkat aturan hukum yang ada. Sehingga, hukum menjadi condition sine qua

68 Ibid, h.81.69 Kedaulatan Rakyat disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, juga

disebutkan dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, “…susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat…”

70 Kedaulatan Hukum disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.71 Kedaulatan Tuhan disebutkan dua kali dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, pertama,

alinea ketiga, “Atas bekat rahmat Allah Yang Maha Kuasa…”, dan alinea keempat, “…susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa…..” serta Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”

non dalam penegakan HAM.72 Menegakkan aturan hukum memerlukan peran

penguasa/pemerintah, dengan demikian menjadi mutlak perananan

penguasa/pemerintah karena hukum adalah suatu norma (aturan) yang diam dan

lemah. Hukum hanya dapat bergerak dan hanya dapat digerakkan oleh

penguasa/orang yang memiliki tangan kuat (the stong arms). Di tangan-tangan kuat

sajalah hukum dapat berjalan dan efektif (terdapat political will dan political action).73

Hukum yang disebut juga aturan, norma, dan kaidah sebagai kata benda

mempunyai dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Pertama, berisikan ide dan cita-cita.

Kedua, hukum difungsikan (didayagunakan) sebagai alat untuk mencapai cita

hukum.74 Dalam kaitannya dengan cita-cita (tujuan) negara Indonesia, berdasarkan

teks Mukadimah (Pembukaan) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 dapat diketahui bahwa cita-cita atau tujuan dibentuknya Negara Kesatuan

Republik Indonesia berdimensi internal dan eksternal. Dimensi internal, menunjuk

kepada perlindungan atas segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sedangkan dimensi eksternal, melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarjab

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kedua dimensi inilah yang

melandasi kemerdekaan bangsa Indonesia dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara

Indonesia Tahun 1945 yang dibentuk berdasarkan paham kedaulatan rakyat dengan

berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila75. Inilah yang membedakan – sebagai ciri khas

72 A. Masyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik dan Proses Penyusunan/Aplikasi HA-KHAM (Hukum Hak Asasi Manusia) Dalam Masyarakat, Edisi ke-3 (Jakarta: Ghalia Indonesia, Bogor, 2010), hlm.36.

73 Ibid, hlm.37.74 Ibid, hlm.26-27.75 Baca: Alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.

– ideologi negara Indonesia dengan ideologi yang lainnya, baik sosialis/komunis

maupun liberalis.

Keterkaitan antara HAM di satu sisi dengan sistem ekonomi telah melahirkan

konfigurasi antara ekonomi dan politik.76 HAM menurut perspektif liberalisme77

meliputi aspek politik, ekonomi, dan sosial. Melalui pengembangan kekuatan atau

potensi individu secara maksimal, maka kehidupan masyarakat akan semakin

maju/berkembang. Dengan demikian, pandangan politik individualisme memberi

ruang gerak kepada setiap individu untuk “berlomba” mengembangkan potensi

dirinya dalam rangka kemakmuran masyarakat. Sedangkan dalam bidang ekonomi,

doktrin laissez faire menegaskan bahwa negara hanya berfungsi memelihara dan

mempertahankan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat; negara berfungsi hanya

sebagai “penjaga malam”, adapun wujud ekonomi dalam liberalisme adalah

kapitalisme.78 Penghormatan atas hak-hak individu yang terkesan tanpa batas menuai

kritik, hal ini menandakan kelemahan paham individualisme.

Kebalikan paham liberalisme adalah sosialisme / komunisme, dalam sistem ini

negara memiliki peran dalam beragam aktivitas masyarakat, sehingga diharapkan

melalui sistem sosialisme kesejahteraan masyarakat akan tercapai. Dengan demikian,

76 Konfigurasi (pemikiran) ekonomi-politik telah berlangsung sedemikian lama, sejak masa pra klasik, klasik, hingga neoklasik sebagaimana yang berlaku saat ini merupakan bagian pemikiran neo-liberalisme. Uraian lengkap tentang hal ini dapat dibaca: Deliarnov, Ekonomi Politik, Jakarta: Erlangga, 2006 dan W.I.M Poli, Tonggak-Tonggak Sejarah Pemikiran Ekonomi, Surabaya: Brilian Internasional, 2010.

77 Liberalisme adalah ideologi yang bertumpu kepada falsafah individualisme; satu pandangan yang mengedepankan kebebasan orang per orang. Dengan demikian, individu dengan segala kebebasannya diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengaktualisasikan dirinya dengan maksimal. “Liberal regard man as a rational creatur who can use his intelligence to over come human and natural obstacles to a good life, without resorting to violence against the established order. Liberalism is more concerned with process, with the methoe of solving problems, than with a specific program.” J. Plano dalam A. Masyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, Op.Cit, hlm.18.

78 Konsepsi HAM menurut paham liberal secra formal dapat dibaca di dalam Deklarasi Kemerdekaan 13 Negara-negara Amerika 1776: “…we hold these truths to be self-evident; that all men created equal; that they are endowed by their Creator with certain inalienable rights. Liberty and the pursuit of happiness.” A. Masyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, Ibid, hlm.19.

semua gerakan sosial – terutama dalam bidang perekonomian – negara selalu ikut

campur. Dibandingkan dengan sistem individualisme, sistem sosialisme merupakan

antithesis. Sebaliknya, ajaran komunisme yang dibangun Karl Marx dilaksanakan

oleh Lenin dan dipraktikkan di Uni Soviet (1918-1987). Ajarannya bersifat

revolusioner dan langkah-langkah keras dijalankan semata-mata demi tercapainya

tujuan negara. Untuk mencapai tujuan tersebut, hak-hak perseorangan dihapus dan

ditiadakan secara paksa, tanpa memberi kesempatan warga untuk berbeda pendapat.

Konsep sosialis yang diawali dari ajaran Karl Marx, menurut L. Henkin, makna hak

asasi tidak menekankan kepada hak masyarakat, tetapi justru menekankan kewajiban

terhadap masyarakat. Dari ajaran tersebut, konsep sosialisme Marx bermaksud

mendahulukan kesejahteraan dari pada kebebasan.79

Sedangkan HAM dalam pandangan negara dunia ketiga80, mampu menentukan

sikap politik luar negeri yang tidak memihak secara langsung kepada dua kekuatan

besar tersebut, dengan lain kata tidak masuk ke dalam salah satu pusaran kekuatan

ideologi waktu itu, di mana disebut negara-negara Nonblok (nonalignment

countries).81

Di era globalisasi diskusi mengenai negara bangsa telah menjadi usang karena

perannya digantikan oleh lembaga-lembaga internasional dan negara-negara

kawasan.82 Disinilah letak permasalahan kedudukan negara bangsa (nation state)

79 M. Philipus Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Sebuah Studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Pengadilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Surabaya: UNAIR, 1985, hlm.63.

80 Negara dunia ketiga adalah negara-negara yang merdeka, kebanyakan sesudah Perang Dunia II dan sebagian besar negara tersebut tidak terjebak secara langsung masuk dalam peta politik internasional, yaitu bipolarisasi. Waktu itu, peta politik bertumpu pada dua kekuatan politik besar, yaitu satu pihak memimak kepada sistem politik demokrasi Amerika Serikat, sementara di pihak lainnya ke kubu Uni Soviet yang komunis.

81 A. Masyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, Op.Cit, hlm.24.82 Keniche Ohmae, Hancurnya Negara Bangsa: Bangkitnya Negara Kawasan dan Geliat Ekonomi

Regional di Dunia Tak Terbatas, (Yogyakarta: Qalam, 2002), hlm.25.

dengan nasionalisme-nya versus lingkungan global, suatu pemerintahan yang tunggal

dan global. Oleh karena itu, kebjiakan neo-liberalisme ini mempunyai ciri dalam tiga

hal, yakni liberalisasi, privatisasi dan deregulasi.

Terkait dengan perkembangan globalisasi ini, maka gagasan kedaulatan rakyat

itu sering diidentikkan dengan demokrasi yang di zaman moderen sekarang cenderung

tidak lagi hanya dilihat sebagai konsep politik. Tema demokrasi ekonomi (kedaulatan

rakyat bidang ekonomi) juga tidak kalah menonjol dibandingkan dengan demokrasi

politik. Orang semakin lama semakin sadar bahwa jaminan-jaminan akan hak-hak

politik saja tidak lagi cukup untuk memperkuat kedudukan rakyat dalam suatu negara,

terutama jika dikaitkan dengan kenyataan perkembangan kekuatan ekonomi dalam

masyarakat yang cenderung tidak memihak kepada lapisan masyarakat yang berada

dalam struktur papan-bawah. Jaminan demokrasi politik tidak serta merta melahirkan

kondisi yang demokratis dalam pembagian sumber-sumber ekonomi. Karena itu,

gagasan demokrasi ekonomi juga menjadi semakin aktual untuk dikembangkan

bersamaan dengan gagasan demokrasi politik. Dalam konteks Indonesia, upaya

penegakan demokrasi ekonomi nampaknya berhadapan dengan upaya-upaya untuk

memperjuangkan pasar bebas, yang menjadi senjata penganut paham liberalisme dan

kapitalisme. Dengan menguatnya paham liberalisme dan kapitalisme dalam

demokratisasi ekonomi, maka dikhawatirkan akan “meminggirkan” kedaulatan rakyat

dan sekaligus “menjauhkannya” dari perlindungan HAM yang bersifat mutlak dan

mendasar. Kita ketahui bahwa HAM tidak saja terkait dengan pemenuhan spiritual,

pemenuhan biologis, dan pemenuhan hak politik/sipil dan sosial saja, namun juga

hak-hak ekonomi, terlebih lagi hak atas sumber daya alam yang bersifat sangat

mendasar untuk pemenuhan kebutuhan hidup.

6). Teori Kedaulatan

Teori kedaulatan rakyat dikemukakan oleh J.J. Rousseau dan Imanuel Kant.

J.J. Rousseau mengemukakan pendapatnya tentang teori kedaulatan rakyat, ia

berpendapat sebagai berikut: “Kedaulatan rakyat itu pada prinsipnya merupakan

cara atau sistem mengenai pemecahan sesuatu soal menurut cara atau sistem tertentu

yang memenuhi kehendak umum.”83 Sementara Immanuel Kant juga mengemukakan

pendapatnya tentang teori kedaulatan rakyat. Ia berpendapat bahwa: Undang-undang

merupakan penjelmaan kemauan atau kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang mewakili

kekuasaan tertinggi atau kedaulatan.”84 Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam

penyelenggaraan negara telah ditentukan jenis kedaulatan yang dianut, yakni

sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 dalam ketentuan itu

ditentukan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar.85

Dengan demikian suatu negara merdeka adalah negara yang berdaulat, yaitu

negara yang memiliki kekuasaan tertinggi pada organ negara itu sendiri. Esensi dari

kedaulatan adalah adanya kekuasaan untuk menentukan tujuan dan cita-cita sendiri,

serta mengelola sumber daya sendiri, serta memilih dan menentukan jalan sendiri

untuk mencapai tujuan dan cita-cita tersebut. Tanpa itu semua, suatu negara tidak

dapat dikatakan sebagai negara yang merdeka. Oleh karena itulah kedaulatan menjadi

83 H. Salim HS, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), hlm.128.

84 Ibid, hlm.161.85 Perubahan ketiga disahkan tanggal 10 November 2001. Ketentuan konstitusional tersebut

menunjukkan bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia berdasarkan UUD 1945, harus berdasarkan atas prinsip kedaulatan rakyat dan negara hukum. Artinya, berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka segala bentuk keputusan dan tindakan apabila negara atau aparatur penyelenggara pemerintahan negara harus berdasarkan atas prinsip kedaulatan rakyat dan hukum, dan tidak berdasarkan kekuasaan yang melekat pada kedudukan aparatur penyelenggara pemerintahan itu sendiri. Dahlan Thaib, Ketatanegaraan Indonesia: Perspektif Konstitusional, (Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm.95.

unsur konstitutif suatu negara. Makna kedaulatan tersebut dalam pelaksanaannya

adalah kemandirian suatu bangsa. Kemandirian hanya dapat diperoleh jika suatu

bangsa memiliki kedaulatan. Sebaliknya, kedaulatan hanya dapat diwujudkan dan

dipertahankan jika suatu bangsa tidak bergantung kepada bangsa lain. Bangsa yang

berdaulat adalah bangsa yang mandiri baik secara politik, ekonomi, maupun budaya.

Kemerdekaan dan kedaulatan menjadi tidak bermakna jika suatu bangsa bergantung

atau selalu dipaksa menuruti kehendak bangsa lain. Namun demikian kemandirian

tidak berarti mengucilkan diri dari bangsa-bangsa lain. Kemandirian memiliki sisi

dinamis antara interdependensi dan independensi.

Dalam setiap analisis mengenai konsep kekuasaan, seperti dikatakan oleh Jack

H. Nagel, ada dua hal penting yang terkait, yaitu lingkup kekuasaan (scope of power)

dan jangkauan kekuasaan (domain of power). Dalam hubungan ini, pendekatan Nagel

tadi dapat juga digunakan untuk menganalisis kedaulatan sebagai konsep tentang

kekuasaan tertinggi. Lingkup kedaulatan menyangkut soal aktivitas atau kegiatan

yang tercakup dalam fungsi kedaulatan, sedangkan jangkauan kedaulatan berkaitan

dengan siapa yang menjadi subjek dan pemegang kedaulatan (soverign).86 Pendekatan

Nagel yang kedua, yakni konsep mengenai jangkauan kedaulatan (domain of

sovereignty), terdapat dua hal yang penting, yaitu (a) siapa yang memegang

kekuasaan tertinggi dalam negara; dan (b) apa yang dikuasai oleh pemegang

kekuasaan tertinggi itu.87 Kedua unsur konsep jangkauan kedaulatan ini menjadi

tolok ukur dalam penelitian ini.

86 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hlm.9

87 Ibid, hlm.10

Untuk mengetahui siapa yang menguasai, dalam ilmu hukum, dikenal adanya

5 (lima) teori atau ajaran kedaulatan yang menjelaskan tentang siapa yang berdaulat,

yaitu:88

1. Teori Kedaulatan Tuhan;

2. Teori Kedaulatan Raja;

3. Teori Kedaulatan Negara;

4. Teori Kedaulatan Hukum;

5. Teori Kedalatan Rakyat.

Pertama, ajaran Kedaulatan Tuhan menganggap Tuhan sebagai pemegang

kekuasaan tertinggi dalam negara. Dalam prakteknya, kedaulatan Tuhan itu dapat

menjelma dalam hukum yang harus dipatuhi oleh kepala negara atau dapat pula

menjelma dalam kekuasaan raja sebagai kepala negara yang mengklaim wewenang

untuk menetapkan hukum atas nama Tuhan. Kedua, ajaran Kedaulatan Raja

beranggapan bahwa rajalah yang memegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara.

Pandangan seperti ini muncul terutama setelah periode sekularisasi negara dan hukum

di Eropa. Ketiga, ajaran Kedaulatan Negara, adalah reaksi terhadap kesewenangan

raja yang muncul bersamaan dengan timbulnya konsep negara bangsa dalam

pengalaman sejarah di Eropa. Masing-masing kerajaan di Eropa melepaskan diri dari

ikatan negara dunia yang diperintah oleh raja yang sekaligus memegang kekuasaan

sebagai Kepala Gereja. Setelah itu, muncul pula ajaran Kedaulatan Hukum yang

menganggap bahwa negara itu sesungguhnya tidaklah memegang kedaulatan. Sumber

kekuasaan tertinggi adalah hukum dan setiap kepala negara harus tunduk kepada

hukum. Kemudian muncul pula ajaran Kedaulatan Rakyat yang menyakini bahwa

88 Ibid, hlm.10 et seq.

yang sesungguuhnya berdaulat dalam setiap negara adalah rakyat. Kehendak rakyat

merupakan satu-satunya sumber kekuasaan bagi setiap pemerintah.

Kelima teori kedaulatan itu, di satu pihak merupakan perkembangan yang

dihasilkan oleh interaksi praktis, tetapi di lain pihak menggambarkan pula perbedaan

pemikiran mengenai konsep kenegaraan dalam sejarah. Sebagai teori, tidak satu pun

dari kelima ajaran itu yang dapat disebut paling modern. Bahkan dinamika pemikiran

mengenai konsep negara yang berdasar atas hukum dan negara kerakyatan sudah

berlangsung sejak dari zaman Yunai dan Romawi kuno. Jika sejarah kedua negara

kuno ini dipelajari, akan tampak akar perkembangan gagasan kedaulatan rakyat

tumbuh dari tradisi Romawi, sedangkan gagasan kedaulatan hukum tumbuh dari

tradisi Yunani kuno. Hanya saja harus diakui, hampir semua negara modern dewasa

ini, secara formil mengaku menganut asas kedaulatan rakyat.

Menurut Jimly89, prinsip kedaulatan rakyat (democratie) dan kedaulatan

hukum (nomocratie) haruslah diselenggarakan secara beriringan sebagai dua sisi mata

uang yang sama. Untuk itulah, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia hendaknya

menganut pengertian bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara Hukum yang

demokratis (democratische rechtsstaat) dan sekaligus adalah Negara Demokrasi yang

berdasar atas hukum (constitutional democracy) yang tidak terpisahkan satu sama

lain. Keduanya juga merupakan perwujudan nyata dari keyakinan segenap bangsa

Indonesia akan prinsip ke-Maha Kuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang juga

dikonstruksikan sebagai paham kedaulatan Tuhan.

89 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm.58.

Sedangkan untuk mengetahui apa yang dikuasai oleh pemegang kekuasaan,

terdapat dua hak yang penting, yakni pemegang kekuasaan dapat menguasai orang

dan dapat pula menguasai kekayaan.

Prinsip kedaulatan negara tersebut sebenarnya berinterelasi dengan ketentuan

hukum yang telah diakui oleh dunia internasional. Beberapa pokok pikiran mengenai

ketentuan hukum internasional mengenai prinsip-prinsip kedaulatan negara atas

sumber daya alam yang dimiliki diatur dalam ketentuan sebagai berikut, yaitu :

Pertama, Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (”PBB”)

tanggal 21 Desember 1952 tentang penentuan nasib sendiri di bidang ekonomi. Dalam

resolusi tersebut ditegaskan mengenai hak setiap  negara untuk memanfaatkan secara

bebas SDA-nya.

Kedua, Resolusi Majelis Umum PBB tanggal 14 Deseember 1962, 25

November 1966, dan 17 Desember 1973. Resolusi ini memperluas ruang lingkup

prinsip hak permanent sovereignty (penguasaan permanen) atas kekayaan alam di

dasar laut dan tanah di bawahnya yang masih berada dalam yurisdiksi suatu negara.

Ketiga, Resolusi Majelis Umum PBB Tahun 1974 dan Deklarasi tentang

pembentukan Tata Ekonomi Internasional Baru dan Program Hak-hak Ekonomi dan

Kewajiban Negara (Charter of Economic Rights and Duties of States). Resolusi

tersebut menegaskan kembali mengenai hak menguasai oleh negara untuk mengawasi

kekayaan alamnya dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Keempat, Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Pasal 1) dan

Covenant on Civil Political Rights (Pasal 1) tanggal 16 Desember 1966. Perjanjian ini

juga menegaskan mengenai hak suatu negara untuk memanfaatkan secara bebas

kekayaan alamnya.

Kelima, Declaration on the Human Environment Tahun 1972 di Stockholm.

Dalam Pasal 11 dan 12 ditegaskan bahwa negara memiliki hak berdaulat untuk

memanfaatkan SDA-nya sesuai dengan kebijakan pemeliharaan lingkungannya

masing-masing. Dalam pemanfaatan SDA tersebut, negara bertanggung jawab atas

kegiatan-kegiatan yang merugikan lingkungan, baik di wilayahnya sendiri, maupun di

wilayah negara lain.

7). Teori Maqashid Syariah (Kemashalahatan)

Maqashid atau maslahat dharuriyyat adalah sesuatu yang mesti adanya demi

terwujudnnya kemaslahatan agama dan dunia. Apabila hal ini tidak ada, maka akan

menimbulkan kerusakan bahkan hilangnya hidup dan kehidupan90 seperti makan,

minum, shalat, shaum dan ibadah-ibadah lainnya.

Kemaslahatan dunia dikategorikan menjadi dua, baik yang pencapaiannya

dengan cara menarik kemanfaatan atau dengan cara menolak kemudaratan.91 Pertama,

kemaslahatan dharruriyyah (inti/pokok); kemaslahatan maqashid syar’iyyah yang

berada dalam urutan paling atas. Kedua, kemaslahatan ghairu dharruriyyah (bukan

kemaslahatan pokok): namun kemaslahatan ini tergolong penting dan tidak bisa

dipisahkan.92 Sedangkan kategori kedua merupakan maslahat yang tidak inti, dan

kemaslahatan ini dibagi lagi menjadi dua, yakni sebagai berikut: pertama, hajjiyah

(sekunder), bersifat kebutuhan yakni kemaslahatan yang dibutuhkan manusia untuk

bisa melakukan pekerjaan dan memperbaiki penghidupan mereka, seperti jual beli,

sewa-menyewa, transaksi bagi hasil, dan lain sebagainya. Di antara pelengkapnya 90 Imam Syathibi, al-Muawafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, t.th., Juz II.

h. 7. Menurut Imam Syathibi, Allah menurunkan syariat (aturan hukum) tiada lain selain untuk mengambil kemaslahatan dan menghindari kemadaratan (jalbul mashalih wa dar’ul mafasid). Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan-aturan hukum yang Allah tentukan hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri.

91 Ibid, hlm.192 Achmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, Judul Asli “Maqashidussyariah fil Islam”,

penerjemah Khikmawati, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm.xv

adalah sarana yang bisa menyampaikan kepada tujuan ini, seperti adanya tingkat kufu

dan mahar mitsli. Semua kemasalahatan ini juga termasuk maqashid syar’iyyah.

Kedua, tahsiniyah (tersier), bersifat perbaikan yakni kemaslahatan yang merujuk

kepada moral dan etika, juga semua hal yang bisa menyampaikan seseorang menuju

muru’ah dan berjalan di atas metode yang lebih utama dan jalan yang lebih baik.93

Kemaslahatan inti/pokok yang disepakati dalam semua syariat tercakup dalam

lima hal, seperti yang dihitung dan disebutkan oleh para ulama dengan nama al-

kuliyyat al-khams (lima hal inti/pokok) yang dianggap sebagai dasar-dasar dan tujuan

umum syariat yang harus dijaga, sebagaimana dikatakan oleh Imam al-Ghazali dan

Imam Asy-Syathibi.94 Tujuan yang harus dicapai, dalam maqashid syar’iyyah,

sebagai hasil penelitian mereka terhadap al-Qur’an dan Hadist, yaitu; pertama,

menjaga agama (hifdz ad-din), kedua, menjaga jiwa (hifdz an-nafs), ketiga, menjaga

akal (hifdz al-‘aql), keempat, menjaga harta (hifdz al-mal), kelima, menjaga

keturunan (hifdz an-nasl).95

Kelima maqashid ini harus tetap terjaga eksistensinya dengan memperkuat

dan memperkokoh berbagai macam aspeknya dis atu sisi, dan diperlukan adanya

upaya-upaya preventif dan represif agar maqashid tidak tidak hilang dari kehidupan

manusia di sisi lain. 96

Dalam konteks maqashid ini, ada aturam yang bersifat dharuriyah (primer),

hajjiyah (sekunder), dan tahsiniyah (tersier). Jika tujuan yang bersifat dharuriyah

tidak tercapai, maka kehidupan manusia akan guncang. Apabila tujuan yang bersifat

hajjiyah tidak tercipta, maka kehidupan manusia akan mengalami kesulitan. Tatkala

93 Yusuf al-Alim, al-Maqashid al-Ammah, hlm.8094 Ibid.95 Ibid.96 H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syariah

(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm.251.

tujuan yang bersifat tahsiniyah tidak terwujudkan, maka kehidupan manusia tidak

akan indah. Dengan pengejewantahan maqashid syar’iyyah, menurut asumsi para

ulama, maka kehidupan yang maslahat akan tercapai, hasanah fi al-dunya wa hasnah

fi al-akhirah menuju keridhaan Allah SWT.97

Semakin lebar kesenjangan antara maqashid syariah dengan realitas

kehidupan, maka semakin besar tuntutan terhadap perubahan dan perbaikan98. Ibn al-

Qayyim mengemukakan kriteria perwujudan maqashid syariah, yaitu: keadilan,

kemaslahatan, manfaat, rahmat, dan hikmah. Segala sesuatu yang keluar dari keadilan

ke kezaliman, dari maslahat ke mafsadat, dari manfaat ke mudarat, dari rahmat ke

laknat, dan dari hikmah ke kebiadaban, maka semua itu keluar dari maqashid

syariah.99 Cara untuk menjaga yang lima tadi dapat ditempuh dengan dua cara yaitu:

pertama, dari segi adanya (min nahiyyati al-wujud) yaitu dengan cara manjaga dan

memelihara hal-hal yang dapat melanggengkan keberadaannya., dan kedua, dari segi

tidak ada (min nahiyyati al- ‘adam) yaitu dengan cara mencegah hal-hal yang

menyebabkan ketiadaannya.100

F. Pembahasan dan Analisis

97 Ibid, hlm.251.98 Perubahan harus menuju dan merealisasikan maqashid syar’iyyah sesuai dengan kearifan,

“memelihara yang lama yang maslahat serta mengambil yang baru yang lebih maslahat.”99 Ibid, hlm.251-252100 Untuk lebih jelasnya, disampaikan contoh sebagai berikut ini: a. Menjaga agama dari segi al-

wujud misalnya shalat dan zakat, b. Menjaga agama dari segi al-‘adam misalnya jihad dan hukuman bagi orang murtad, c. Menjaga jiwa dari segi al-wujud misalnya makan dan minum, d. Menjaga jiwa dari segi al-‘adam misalnya hukuman qishash dan diyat, e. Menjaga aqal dari segi al-wujud misalnya makan dan mencari ilmu, f. Menjaga aqal dari segi al-‘adam misalnya had bagi peminum khamr, g. Menjaga an-nasl dari segi al-wujud misalnya nikah, h. Menjaga an-nasl dari segi al-‘adam misalnya had bagi pezina dan muqdzif, i. Menjaga al-mal dari segi al-wujud misalnya jual beli dan mencari rizki, j. Menjaga al-mal dari segi al-‘adam misalnya riba, memotong tangan pencuri. Asy-Syatthibi, Op.Cit, hlm.25.

1. Paham kedaulatan rakyat (demokrasi ekonomi) dalam konstitusi negara

Indonesia

Konstitusi memberikan kewenangan kepada negara untuk menguasai cabang-

cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang

banyak. Permasalahan hak menguasai negara, sebagai titik pusat dari permasalahan

yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945, adalah menunjuk pada kata-kata

“dikuasai oleh negara”. Sebelum kita memasuki mengenai uraian tentang konsep

penguasaan negara, maka ada baiknya kita tinjau terlebih dahulu tentang beberapa

teori kekuasaan negara, diantaranya yaitu:

1. Menurut Van Vollenhoven negara sebagai organisasi tertinggi dari bangsa

yang diberi kekuasaan untuk mengatur segala-galanya dan negara

berdasarkan kedudukannya memiliki kewenangan untuk peraturan hukum.101

Dalam hal ini kekuasaan negara selalu dihubungkan dengan teori kedaulatan

(sovereignty atau souverenitet).

2. Sedangkan menurut J.J. Rousseau menyebutkan bahwa kekuasaan negara

sebagai suatu badan atau organisasi rakyat bersumber dari hasil perjanjian

masyarakat (contract soscial) yang esensinya merupakan suatu bentuk

kesatuan yang membela dan melindungi kekuasaan bersama, kekuasaan

pribadi dan milik setiap individu.102

Dalam hal ini pada hakikatnya kekuasaan bukan kedaulatan, namun kekuasaan

negara itu juga bukanlah kekuasaan tanpa batas, sebab ada beberapa ketentuan hukum

101 Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria, (Jakarta: Bina Aksara, 1984), hlm. 99.102 R. Wiratno, dkk, Ahli-Ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum (Jakarta: PT Pembangunan,

1958), hlm.176.

yang mengikat dirinya seperti hukum alam dan hukum Tuhan serta hukum yang

umum pada semua bangsa yang dinamakan leges imperii.103

Sejalan dengan kedua teori di atas, maka secara toritik kekuasaan negara atas

sumber daya alam bersumber dari rakyat yang dikenal dengan hak bangsa. Negara

dalam hal inidipandang sebagai yang memiliki karakter sebagai suatu lembaga

masyarakat umum, sehingga kepadanya diberikan wewenang atau kekuasaan untuk

mengatur, mengurus dan memelihara (mengawasi) pemanfaatan seluruh potensi

sumber daya alam yang ada dalam wilayahnya secara intensif.

Keterkaitan dengan hak penguasaan negara dengan sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat akan mewujudkan kewajiban negara sebagai berikut:

1. Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan

alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan

masyarakat.

2. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat di dalam atau

di atas bumi, air dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan

secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat.

3. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan

rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam

menikmati kekayaan alam.

Ketiga kewajiban di atas menjelaskan segala jaminan bagi tujuan hak

penguasaan negara atas sumber daya alam yang sekaligus memberikan pemahaman

bahwa dalam hak penguasaan itu, negara hanya melakukan pengurusan

(bestuursdaad) dan pengolahan (beheersdaad), tidak untuk melakukan eigensdaad.

103 Undang-Undang Dasar Negara yang memuat ketentuan-ketentuan kepada siapa kekuasaan itu diserahkan dan batas-batas pelaksanaannya.

Mahkamah Konstitusi dalam berbagai perkara, memberikan penafsiran atas

konsepsi penguasaan oleh negara, sebagai berikut:104

“Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut alam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaam tertinggi tersebut, tercakup pula pengertian kepemilikan publik oleh rakyat secara kolektif….. Pengertian “dikuasai oleh negara” juga tidak dapat diartikan hanya sebatas sebagai hak untuk mengatur, karena hal dimaksud sudah dengan sendirinya melekat dalam fungsi-fungsi negara tanpa harus disebut secara khusus dalam Undang-Undang Dasar…..dengan demikian, perkataan “dikuasi oleh negera” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan oleh negara dalam arti luas, yang bersumber dan berasal dari konsepsi kedaulatan raktar Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkadung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara kolektif itu dikontruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Menurut Jimly105, yang dimaksud dengan penguasaan negara sebagaimana

diatur dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, bukan semata-mata pemilikan. Pemilikan

adalah konsep perdata, sedangkan penguasaan adalah konsep tata negara. Di dalam

konsep menguasai itu termasuk pengawasan, pemilikan, pengelolaan, dan sebagainya.

Itu merupakan kebijakan negara. Selanjutnya dikatakan:106

“…Konsepsi “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 dalam makna “dimiliki oleh negara”, yaitu kepemilikan dalam arti yang luas,

104 Lihat: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 001-021-022/PUU-I/2003 tentang UU Ketenagalistrikan serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 tentang Pengujian UU Migas.

105 Lebih lanjut dikatakan bahwa Pasal 33 UUD 1945 tidak anti privatisasi dan tidak anti swastanisasi. State hanya salah satu domain saja dari 3 (tiga) domain yang ada, yaitu state, civil society, market. Ketiga-tiganya harus sama-sama kuat. Dalam sistem demokrasi modern bahwa state, civil society dan market itu harus saling menunjang dan harmoni. Di situlah demokrasi akan tumbuh, dan di situlah kesejahteraan akan tumbuh pula. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, (Bekasi: The Biography Institute, 2007), hlm.100-101.

106 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Op,C it, hlm.281.

kepemilikan dalam pengertian hukum publik. Bumi, airm dan seluruh kekayaan alam yang terkandung dalam perut bumu dan dalam air tidak hanya dipahami dalam pengertian sekedar penguasaan melalui kontrol dan fungsi regulasi semata. Demikian pula dalam konteks hukum publik dan sekaligus perdata pengertian “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 33 UUD 1945 adalah penguasaan dalam arti yang seutuhnya yang mencakup juga makna kepemilikan, yaitu kepemilikan dalam pengertian hukum publik tentuanya berfungsi sebagai sumber bagu pengertian kepemilikan perdata (private ownership). Dengan dikuasai oleh negara, maka kekayaan sumber daya alam yang kita miliki, seluruhnya adalah untuk kepentingan rakyat.”

Mohammad Hatta sebagai salah satu pendiri negara (founding fathers)

menyatakan tentang pengertian dikuasai oleh negara sebagai berikut,107

“Cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33 UUD 1945 ialah produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh Pemerintah dengan bantuan kapital pinjaman luar negeri. Apabila siasat ini tidak berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing menanamkan modalnya di Indonesia dengan syarat yang ditentukan Pemerintah … Cara begitulah dahulu kita memikirkan betapa melaksanakan pembangunan ekonomi dengan dasar Pasal 33 UUD 1945 … Apabila tenaga nasional dan kapital nasional tidak mencukupi, pinjam tenaga asing dan kapital asing untuk melancarkan produksi. Apabila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya maka diberikan kesempatan kepada mereka untuk menanamkan modalnya di tanah air kita dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia sendiri.”

Selanjutnya, Hatta merumuskan tentang pengertian dikuasai oleh negara adalah

dikuasai oleh negara tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau

ordernemer. Lebih tepat dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat pada membuat

peraturan guna kelancaran jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula penghisapan

orang yang lemah oleh orang yang bermodal.108 Yamin merumuskan pengertian

107 Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato II, hlm. 231. Disusun oleh I. Wangsa Widjaja, Mutia F. Swasono, (Jakarta: PT. Toko Gunung Agung Tbk. Jakarta 2002). Penafsiran Dr. Mohammad Hatta tersebut diadopsi oleh Seminar Penjabaran Pasal 33 UUD 1945 pada tahun 1977 di Jakarta yang menyatakan bahwa sektor usaha negara adalah untuk mengelola ayat (2) dan ayat (3) Pasal 33 UUD 1945 dan di bidang pembiayaan, perusahaan negara dibiayai oleh Pemerintah, apabila Pemerintah tidak mempunyai cukup dana untuk membiayai, dapat melakukan pinjaman dari dalam dan luar negeri, dan apabila masih belum mencukupi bisa diselenggarakan bersama-sama dengan modal asing atas dasar production sharing;

108 Mohammad Hatta, Penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Mutiara, 1977), hlm. 28

dikuasai oleh negara termasuk mengatur dan/atau menyelenggarakan terutama untuk

memperbaiki dan mempertinggi produksi dengan mengutamakan koperasi.109

Panitia Keuangan dan Perekonomian bentukan Badan Penyelidik Usaha-

Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang diketuai oleh Mohammad

Hatta merumuskan pengertian dikuasai oleh negara sebagai berikut:

(1) Pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur dengan berpedoman

keselamatan rakyat;

(2) Semakin besarnya perusahaan dan semakin banyaknya jumlah orang yang

menggantungkan dasar hidupnya karena semakin besar mestinya persertaan

pemerintah;

(3) Tanah ... haruslah di bawah kekuasaan negara; dan

(4) Perusahaan tambang yang besar ... dijalankan sebagai usaha negara.110

Bagir Manan merumuskan cakupan pengertian dikuasai oleh negara atau hak

penguasaan negara, sebagai berikut:

(1) Penguasaan semacam pemilikan oleh negara, artinya negara melalui

Pemerintah adalah satu-satunya pemegang wewenang untuk menentukan hak

wewenang atasnya, termasuk di sini bumi, air, dan kekayaan yang terkandung

di dalamnya,

(2) Mengatur dan mengawasi penggunaan dan pemanfaatan, (3) Penyertaan modal

dan dalam bentuk perusahaan negara untuk usaha-usaha tertentu.111

Dari beberapa rumusan pengertian tersebut di atas, dapat diketahui bahwa

pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna penguasaan

109 Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi, (Jakarta: Djembatan, 1954), hlm.42-43.110 Mohammad Hatta, Penjabaran Pasal 33, Ibid, hlm. 28.111 Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, (Bandung: Mandar

Maju, 1995), hlm. 12.

oleh negara dalam luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan

rakyat Indonesia atas segala sumber kekayaan “bumi, air dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya”, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik

oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud. Rakyat secara

kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara

untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad),

pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan

(toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Apabila kita kaitkan dengan konsep negara kesejahteraan dan fungsi negara

menurut W. Friedmann, maka dapat kita temukan kajian kritis sebagai berikut:112

1. Hak penguasaan negara yang dinyatakan dalam Pasal 33 Undang-Undang

Dasar 1945 memposisikan negara sebagai pengatur dan penjamin

kesejahteraan rakyat. Fungsi negara itu tidak dapat dipisahkan satu dengan

lainnya, artinya melepaskan suatu bidang usaha atas sumber daya alam kepada

koperasi, swasta harus disertai dengan bentuk-bentuk pengaturan dan

pengawasan yang bersifat khusus, karena itu kewajiban mewujudkan sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat tetap dapat dikendalikan oleh negara.

2. Hak penguasaan negara dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945,

membenarkan negara untuk mengusahakan sumber daya alam yang berkaitan

dengan public utilities dan public sevices. Atas dasar pertimbangan filosofis

(semangat dasar dari perekonomian ialah usaha bersama dan kekeluargaan),

strategis (kepnetingan umum), politik (mencegah monopoli dan oligopoli yang

112 Tri Hayati, dkk, Konsep Penguasaan Negara di Sektor Sumber Daya Alam berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, ( Jakarta : Sekretariat Jenderal MKRI dan CLGS FHUI, 2005), hlm. 17.

merugikan perekonomian negara), ekonomi (efesiensi dan efektifitas), dan

demi kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berdasarkan rumusan-rumusan di atas ternyata mengandung beberapa unsur

yang sama. Dari pemahaman berbagai persamaan itu, maka rumusan pengertian hak

penguasaan negara ialah negara melalui pemerintah memiliki kewenangan untuk

menentukan penggunaan, pemanfaatan dan hak atas sumber daya alam dalam lingkup

mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan

sumber daya alam.Oleh karena itu terhadap sumber daya alam yang penting bagi

negara dan menguasai hajat orang banyak, karena berkaitan dengan kemaslahatan

umum (public utilities) dan pelayanan umum (public services), harus dikuasai negara

dan dijalankan oleh pemerintah. Sebab sumber daya alam tersebut, harus dapat

dinikmati oleh rakyat secara berkeadilan, keterjangkauan, dalam suasana kemakmuran

dan kesejahteraan umum yang adil dan merata.

Pengertian kedaulatan rakyat di bidang ekonomi terkait erat dengan demokrasi

ekonomi.113 Istilah kedaulatan rakyat itu sendiri biasa dikembangkan oleh para

ilmuwan sebagai konsep filsafat hukum dan filsafat politik. Sebagai istilah,

kedaulatan rakyat itu lebih sering digunakan dalam studi ilmu hukum daripada istilah

demokrasi yang biasa dipakai dalam ilmu politik. Namun, pengertian teknis keduanya

sama saja, yaitu sama-sama berkaitan dengan prinsip kekuasaan yang berasal dari

rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Sejalan dengan logika berpikir bahwa yang dapat dikuasai itu mencakup orang

sebagai objek/subjek politik dan benda sebagai objek/subjek ekonomi, maka

kekuasaan tertinggi yang berada di tangan rakyat dalam pengertian kita tentang

113 Demokrasi ekonomi merupakan konsep yang digagas oleh para pendiri negara Indonesia (founding fathers) untuk menemukan sebuah bentuk perekonomian yang tepat dan sesuai dengan karakter bangsa Indonesia.

konsep demokrasi juga meliputi cakupan yang sama, yaitu kedaulatan rakyat di

bidang politik dan ekonomi. Kedaulatan rakyat di bidang politik itulah yang selama

ini dari tradisi liberalisme barat modern disebut dengan perkataan demokrasi. Istilah

demokrasi ekonomi di dunia barat baru dikenal di kemudian hari setelah wacana

tentang kedaulatan rakyat di bidang ekonomi mencapai perkembangan puncaknya

dalam tradisi politik Eropah Timur yang akrab dengan paham sosialisme ekstrim.

Dalam gagasan kedaulatan rakyat di bidang ekonomi itu terkandung pengertian bahwa

ide kekuasaan tertinggi yang berada di tanganrakyat mencakup tidak saja dalam

lapangan politik, tetapi juga perekonomian. Sumber-sumber produksi pada pokoknya

juga berada dalam penguasaan rakyat yang berdaulat.114

Kedaulatan ekonomi (demokrasi ekonomi) Indonesia - perekonomian nasional

dan kesejahteraan nasional dalam UUD 1945- dirumuskan pertama kali oleh

BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai), yang kemudian dilanjutkan oleh PPKI, pada

awalnya hanya bernama kesejahteraan sosial, seperti yang tercantum pada naskah

UUD 1945 sebelum diamandemen. Istilah kesejahteraan sosial pertama kali

digunakan oleh Soekarno, saat menyampaikan pidato rapat BPUPKI, tanggal 1 Juni

1945 yang membahas mengenai dasar negara. Soekarno mengusulkan Pancasila

sebagai dasar negara dengan salah satu dasar, yakni Kesejahteraan Sosial.

Menurut Soekarno, dimaksudkan agar negara memberikan jaminan

kesejahteraan dan pemerataan kepada seluruh rakyat. Kemudian, dalam sidang PPKI

tanggal 18 Agustus 1945 disahkan UUD 1945, bab tentang kesejahteraan sosial di

ubah dengan nama kesejahteraan sosial dengan menghilangkan kata tentang, selain itu

nomor babnya juga berubah menjadi bab XIV setelah panitia memasukkan usulan

114 Jimly Asshiddiqie, Demokrasi Ekonomi, http://www.jimly.com diakses tanggal 20 Januari 2013, Jam: 14.50 WIB.

agar UUD memuat bab mengenai pendidian. Begitu pula dengan pasalnya berubah

menjadi Pasal 33 dan Pasal 34. Kemudian, pada masa pemerintahan Soeharto

kekuasaan atas sumber kekayaan alam diwujudkan dalam bentuk pendirian badan

usaha milik negara berlandasrkan prinsip-prinsip kebersamaan dan kekeluargaan atau

koperasi, dengan tetap mengacu kepada ideologi Pancasila. Seiring dengan gejolak

politik yang dilatarbelakangi gejala ekonomi dan moneter - di era reformasi –

akhirnya dilakukan perubahan atas UUD 1945. Ketentuan yang mengatur tentang

kesejahteraan sosial, menjadi bab tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan

sosial. Jumlah ayat dalam Pasal 33 bertambah yang semula tiga menjadi lima ayat.

Begitu pula Pasal 34, yang semula tanpa ayat menjadi empat ayat.115

Demokrasi ekonomi Indonesia tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 ayat 2 dan

3 yang berbunyi, “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai

hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi, air, dan kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya

untuk kemakmuran rakyat.” Di sini terlihat adanya nilai-nilai dasar kebersamaan dan

keadilan di tengah-tengah masyarakat serta untuk terciptanya kemakmuran bagi

seluruh rakyat, maka diperlukan intrumen negara dan/atau pemerintah.

Menurut Hatta, demokrasi harus ditegakkan dalam segala aspek kehidupan,

baik politik, sosial, maupun ekonomi.116 Tentang bagaimana gagasan demokrasi 115 Mahkamah Konstitusi RI, Naskah Komprehensif Perubahan UUD Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan 1999-2002. Buku ke VII Keuangan, Perekonomian Nasional, dan Kesejahteraan Sosial. Edisi Revisi (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi 2010), hlm.34-36.

116 Pengejawantahan dari demokrasi tersebut ke dalam kehidupan politik, sosial dan ekonomi menurut Hatta adalah bahwa: “…dalam segi ppolitik dilaksanakan sistem perwakilan rakyat dengan musyawarah, berdasarkan kepentingan umum. Demokrasi desa yang begitu kuat hidupnya adalah pula dasar bagi pemerintahan yang otonom yang luas di daerah-daerah sebagai cermin dari pada pemerintahan dari yang diperintah. Dalam segi sosial diadakan jaminan untuk perkembangan kepribadian manusia. Manusia bahagia sejahtera dan susila menjadi tujuan negara. Sementera demokrasi dalam bidang ekonomi tergambar dalam semangat gotong rojong yang merupakan koperasi sosial adalah dasar yang sebaik-baiknja untuk membangun koperasi ekonomi sebagai dasar perekonomian rakjat. Kejakinan tertanam bahwa hanja dengan koperasi

tersebut dijabarkan oleh Hatta ke dalam kehidupan ekonomi, dapat dibaca dalam

penjelasan Pasal 33 UUD 1945, yang dirumuskannya sebagai berikut:117

“…Produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran rakyatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu perekonomia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai itu ialah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak yang ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang. Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

Hatta tidak percaya sedikut pun dengan konsep demokrasi Barat, karena

demokrasi yang dikembangkan Barat hanya dalam bidang politik, sementara dalam

bidang ekonomi tidaklah demikian.118 Menurut Hatta, kapitalisme harus ditolak

karena “semakin dalam kapitalisme mesuk ke dalam masyarakat Indonesi, semakin

rusak penghidupan rakyat yang tidak mempunyai pertahanan lagi.”119 Soekarno

mengemukakan bahwa ekonomi yang liberal dan individualistis, adalah sumber dari

perselisihan golongan atau kelas dalam masyarakat. Hasil dari sistem ekonomi yang

demikian itu adalah berkembang suburnya kapitalisme dan imperialisme. Persaingan

dapat dibangun kemakmuran rakjat”. Lihat: Mohammad Hatta, Demokrasi Kita (Djakarta: Pustaka Antara, 1966), hlm.27.

117 Anwar Abbas, Op.Cit, hlm.243-244.118 Oleh karena itu menurut Hatta: “…Demokrasi Barat pincang karena ia cuma melihat dalam

bagian hak dan politik saja. Dalam daerah perekonomian dan pergaulan sosial rakyat yang banyak, masih menderita kemegahan kaum kapitalis dan kaum majikan. Yang menjadi pokok kepincangam ini ialah didikan bangsa Barat dengan asas-asas filsafat yang dikemukakan pada bagian kedua abad ke 18. Sifat individualisme atau dalam bahasa kita sifat perseorangan. Sifat perseorangan inilah yang menjadi asas liberalisme Barat. Dan membangunkan kapitalisme modern dan imperialism perekonomian politik.” Dalam Anwar Abbas, Ibid. hlm.236.

119 I Wangsa Widjaja dan Meutia Farida Swasono, Membangun Ekonomi Indonesia, Kumpulan Pidato Ilmiah (Jakarta: Inti Idayu Press, 1985), hlm.3.

tanpa batas antar individu yang merdeka kemudian melintas batas negara, hingga

terjadi penjajagan di negara-negara lain.120

2. Pengaruh perkembangan ekonomi politik internasional (globalisasi)

terhadap kedaulatan rakyat di bidang ekonomi

Globalisasi yang tengah berlangsung saat ini telah memberikan pengaruh yang

cukup signifikan bagi perkembangan paham individualistik, hal ini ditandai dengan

neo-liberalisasi yang dikendalikan oleh kaum kapitalis melalui perusahaan

transnasional (TNC) dan perusahaan multinasional (MNC)121. Konsepsi globalisasi

sebagai sebuah deskripsi mengacu pada perluasan dan penguatan arus perdagangan,

modal, teknologi dan informasi internasional dalam sebuah pasar tunggal yang

menyatu.122 “Tata Dunia Baru” yang diasumsikan sebagai satu-satunya alternatif yang

tersedia sebagai tenaga pendorong proses pembangunan dan sinyal bagi kemakmuran

masa depan dinilai sebagai imperialisme abad 21.123

Pada akhirnya di era globalisasi diskusi mengenai negara bangsa telah

menjadi usang karena perannya digantikan oleh lembaga-lembaga internasional dan

120 E. Fernando Manulang, Korporatisme dan Undang-Undang Dasar 1945 (Bandung: Nuansa Aulia, 2010), hlm.111-112.

121 Dalam beberapa dekade belakangan, seiring dengan liberalisasi ekonomi dan perdagangan, perusahaan-perusahaan ini telah menjadi aktor ekonomi politik internasional yang semakin penting. Tujuan mereka yang paling utama adalah bagaimana mengakumulasi kekayaan yang sebesar-besarnya: Lihat: Budi Winarno, Globalisasi dan Krisis Demokrasi, Cet.I (Yogyakarta: MedPress, 2007), hlm.2 – 3.

122 James Petras dan Henry Veltmeyer, Op.Cit, hlm.7 et seq.123 Istilah imperialisme ini dikemukakan oleh Petras, dengan menggunakan konsep imperialisme

didasarkan pada suatu kenyataan bahwa jaringan lembaga-lembaga yang menentukan struktur sistem perekonomian global dilihat bukan dalam pengertian struktural, melainkan dalam pengertian kesengajaan dan ketergantungan, yang dikendalikan oleh orang-orang yang mempresentasikan dan berusaha mendahulukan kepentingan-kepentingan kelas kapitalis internasional baru. Ibid, hlm.2 & 9.

negara-negara kawasan.124 Di sinilah letak permasalahan kedudukan negara bangsa

(nation state) dengan nasionalisme-nya versus lingkungan global, suatu pemerintahan

yang tunggal dan global. Oleh karena itu, kebjiakan neo-liberalisme ini mempunyai

ciri dalam tiga hal, yakni liberalisasi, privatisasi dan deregulasi.

Esmi Warassih berpendapat bahwa melalui globalisasi dan budaya ekonomi

kapitalis yang semakin membuat kabur sekat-sekatantar negara melalui perdagangan

global. Kekuatan ekonomi kapitalis tersebut kemudian masuk hingga ke sendi-sendi

kehidupan sehari-hari (lebenswelth) hingga sosial budaya dan politik sementara

masyarakat sendiri belum siap, gagap dalam menghadapi arus globalisasi. Masyarakat

sendiri belum memiliki norma-norma untuk menghadapi tantangan globalisasi.” 125

Kemunculan ekonomi politik internasional126 tidak terlepas dari pengaruh

ekonomi neoklasik dimana keduanya memiliki hubungan saling ketergantungan antar

satu sama lain. Akan tetapi, ekonomi politik internasional dan ekonomi neoklasik

memiliki konsen yang berbeda satu sama lain, dimana ekonomi memiliki konsen

terhadap efisiensi dan hubungan yang saling menguntungan dari tindakan ekonomi

yang dilakukan antar aktor, sedangkan ekonomi politik internasional tidak hanya

124 Keniche Ohmae, Hancurnya Negara Bangsa: Bangkitnya Negara Kawasan dan Geliat Ekonomi Regional di Dunia Tak Terbatas, (Yogyakarta: Qalam, 2002), hlm.25.

125 Esmi Warassih. Pranata Hukum, Sebuah Kajian Sosiologis (Semarang: Suryandaru Utama, 2005), hlm 63.

126 Pada dasarnya terdapat tiga tradisi teoretis dominan dalam ekonomi politik internasional (global) - merkantilisme, liberalisme, dan marxisme - dengan masing-masing unsur-unsur analitis dan normatifnya sendiri. Merkantilisme mendominasi pemikiran ekonomi antara abad ke-16 dan akhir abad ke-18. Kemudian merkantilisme dikalahkan oleh liberalisme pada abad ke-19, namun demikian merkantilisme versi modern masih memengaruhi banyak negara dimana ia mengambil bentuk proteksionisme bagi industri dalam negeri. Perspektif kedua, liberalisme ekonomi atau kapitalisme pasar bebas, muncul pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, disebarkan oleh para pendukungnya dari Inggris dan Amerika. Seiring dengan berkembangnya paham liberalisme, marxisme juga berkembang pada abad ke-19 sebagai alternatif bagi liberalisme, dimana kaum sosialis dan komunis mendukung berbagai pendekatan Marxis sebagai alternatif bagi kapitalisme (istilah yang dibuat oleh Karl Marx). Namun, tiga faktor – berakhirnya Perang Dingin, pengaruh kaum kapitalis pasar bebas, dan globalisasi – menjadikan liberalisme ekonomi, yang sekarang ini dikenal dengan istilah neoliberalisme, sebagai perspektif yang dominan sekarang ini. Lebih lanjut lihat: Richard W. Mansbach & Kirsten L. Rafferty, Op.Cit, hlm.606.

tertarik pada isu-isu efiensi dan hubungan yang saling menguntungkan namun lingkup

ekonomi politik internasional sendiri lebih luas dibandingkan dengan ekonomi

neoklasik. Salah satu lingkup ekonomi politik internasional sendiri sangat tertarik

dengan proses pendisitribusian keuntungan dari pasar.

Mengutip pendapat Mas’oed, bahwa dalam pemaknaan politik sebagai

otoritas, hubungan antara ekonomi dan politik dapat diterjemahkan ke dalam isu

tentang hubungan antara kekayaan dan kekuasaan. Ekonomi terkait dengan

penciptaan dan pendidtribusian kekayaan, sedangkan politik terkait dengan

penciptaan dan pendistribusian kekuasaan. Kekayaan terdiri dari asset fisik (capital,

tanh) dan asset non fisik (sumber daya manusia, termasuk ilmu pengetahuan),

sedangkan kekuasaan bisa muncul dalam bentuk militer, ekonomi, maupun

psikologis. Kekuasaan sendiri adalah kemampuan menghasilkan suatu hasil tertentu

secara paksa. Jadi, walaupun kekuasaan bisa terwujud dalam berbagai bentuk, bentuk

aslinya adalah daya paksa. Namun, Mas’oed memperingatkan bahwa pembedaan

antara ekonomi sebagai ilmu kekayaan dan politik sebagai ilmu tentang kekuasaan

hanya untuk tujuan analitis. Dalam dunia nyata antara kekayaan dan kekuasaan tak

terpisahkan.127

Ditinjau dari beberapa macam teori ekonomi politik, maka kriteria untuk

mengidentifikasinya adalah dengan pendekatan sebagai berikut:

Pertama, model deterministik, model ini mengasumsikan bahwa ada

hubungan deterministik antara ekonomi dan politik, dimana politik menentukan

aspek-aspek ekonomi, dan institusi-institusi ekonomi menetukan proses-proses

politik.

127 Deliarnov. Op.Cit, hlm.7-8.

Kedua, model interaktif, yang menganggap fungsi-fungsi politik dan ekonomi

berbeda, tetapi saling mempengaruhi satu sama lain.

Ketiga, terdapat hubungan perilaku yang berlanjut atau kontinu (a behavioral

continuity) antara ekonomi dan politik.

Menurut Esmi Warassih, antara ilmu-ilmu sosial dan ilmu hukum mempunyai

hubungan yang saling melengkapi dan memengaruhi. Perbedaan fungsi antara

keduanya boleh dikata hanya bersifat marjinal.128 Perkembangan masyarakat yang

susunannya sudah semakin kompleks serta pembidangan kehidupan yang semakin

majudan berkembang menghendaki pengaturan hukum juga harus mengikuti

perkembangan yangdemikian itu.129

Berdasarkan pendapat di atas, penulis lebih cenderung untuk menetapkan

model deterministik dalam menganalisis pengaruh ekonomi politik internasional

terhadap politik hukum pengelolaan sumber daya alam. Argumentasinya adalah

banyaknya berbagai peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan sumber

daya alam yang telah menyimpang dari maksud dan ketentuan demokrasi ekonomi

sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 33 UUD 1945, sehingga keberadaan negara

menjadi lemah ketika “dihadapmukakan” dengan kekuatan pasar (market) sebagai

bagian dari agenda besar tata dunia baru dengan meliberalisasi sektor ekonomi.

Dengan berlakunya era liberalisasi130 yang lebih menekankan kepada berdaulatnya

128 Esmi Warassih, Op.Cit, hlm. 2129 Ibid, hlm.3130 Dengan berlakunya era globalisasi, maka telah memberikan pengaruh yang cukup signifikan bagi

perkembangan paham individualistik, hal ini ditandai dengan neo-liberalisasi yang dikendalikan oleh kaum kapitalis melalui perusahaan transnasional (TNC) dan perusahaan multinasional (MNC). Dalam beberapa dekade belakangan, seiring dengan liberalisasi ekonomi dan perdagangan, perusahaan-perusahaan ini telah menjadi aktor ekonomi politik internasional yang semakin penting. Tujuan mereka yang paling utama adalah bagaimana mengakumulasi kekayaan yang sebesar-besarnya: Lihat: Budi Winarno, Globalisasi dan Krisis,..Op.Cit, hlm.2 – 3.

pasar telah meminggirkan paham kedaulatan rakyat dalam pengelolaan sumber daya

alam, sehingga upaya mewujudkan kesejahteraan sosial semakin jauh dari harapan.

Dalam konteks Indonesia, upaya penegakan demokrasi ekonomi nampaknya

berhadapan dengan upaya-upaya untuk memperjuangkan pasar bebas, yang menjadi

senjata penganut paham liberalisme dan kapitalisme. Isu-isu yang kemudian dicuatkan

diantaranya adalah, deregulasi, privatisasi BUMN dan liberalisasi ekonomi, termasuk

dan khususnya dalam sektor minyak dan gas (Migas), sumber daya air (SDA),

ketenagalistrikan dan pangan131 serta penguasaan asing terhadap lahan (tanah) dengan

jangka waktu yang lama sebagaimana diberikan melalui Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Di sini terlihat Indonesia, tidak memiliki

kemandirian dan kedaulatan dalam mengatur bidang ekonomi.

Hubungan sistematis antara ekonomi dan proses politik hampir serupa dengan

hubungan antara hukum dengan politik. Terdapat suatu tesis yang menyatakan bahwa

kehidupan politik merupakan cerminan dari kehidupan ekonomi, kesadaran politik

merupakan produk dari kondisi ekonomi.132 Di sisi lain, hukum merupakan produk

politik, sebagaimana dikatakan oleh Mahfud, bahwa hukum merupakan produk

politik, hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh),

131 Pembahasan masuk-tidaknya sektor pertanian dalam reformasi perdagangan sejak dari GATT sampai WTO berlangsung cukup alot dan diwarnai tarik menarik, terutama kepentingan dua kekuatan adikuasa, yakni Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE). Walaupun sektor pertanian belum diputuskan dalam WTO, saat ini Indonesia telah menerima AoA (Agreement on Agriculture) dan telah diratifikasi berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 2004 serta meratifikasi produk pertaniannya seperti tertuang dalam skedul komitmen nasional (the national schedules of commitments) masing-masing negara anggota. Dapat disimpulkan bahwa sektor pertanian menghadapi berbagai perubahan sebagai akibat dari globalisasi yaitu: (1) semakin terbukanya pasar dan meningkatnya persaingan; (2) meningkatnya tuntutan kebijakan pertanian yang berlandaskan mekanisme pasar (market oriented policy) dan (3) semakin berperannya selera konsumen (demand driven) dalam menentukan aktivitas di sektor pertanian. Baca: M. Husein Sawit, Liberalisasi Pangan: Ambisi dan Reaksi dalam Putaran Doha WTO (Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2007), hlm.4-5.

132 Darsono Prawironegoro, Ekonomi Politik Globalisasi: Kajian Kapitalisme dan Perang Dunia Ketiga (Jakarta: Nusantara Consulting, 2010), hlm.20.

sedangkan politik diletakkan sebagai independent variable (variabel berpengaruh).133

Dengan demikian, maka hubungan yang sistematis ini apabila kita pertemukan antara

keduanya, maka akan membentuk suatu jalinan keterkaitan antara ekonomi, politik

dan hukum, sehingga Ilmu Ekonomi Politik juga terkait erat dengan hukum, dalam

penyelenggaran pemerintahan Negara, dapat penulis gambarkan dalam bentuk bagan

di bawah ini.

Gambar 1:Hubungan Ekonomi, Politik, Hukum Dalam Negara

(Sumber: diolah dari berbagai sumber)

Jimly134 mengatakan, ekonomi dapat diharapkan membantu dalam membuat

perhitungan, tetapi yang memutuskan adalah politik berdasarkan ketentuan hukum

sesuai dengan apa yang sudah disepakati bersama oleh seluruh anak bangsa

sebagaimana yang tercermin dalam konstitusi sebagai kontrak sosial. Dengan

perkataan lain, ekonomi memperhitungkan, politik memutuskan, tetapi hukumlah

yang pada akhirnya menentukan. Jangan biarkan ekonomi memutuskan segala sesuatu

dengan logikanya sendiri. Politik juga tidak boleh dibiarkan memutuskan nasib

133 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2006), hlm. 2.134 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta, Kompas, 2010), hlm.81.

NEGARA

EKONOMI

POLITIK

HUKUM

seluruh anak negeri hanya dengan logikanya sendiri. Inilah hakikat makna bahwa

negara kita adalah negara demokrasi konstitusional, Negara Hukum, Rechtsstaat, the

Rule of Law, not of Man.

3. Peranan teori maqashid syariah dan paham kedaulatan rakyat yang

bersendikan kepada nilai-nilai keadilan dalam rangka pengelolaan

sumber daya alam

Seyogianya, berbagai keputusan yang menyangkut kebijakan publik

dilaksanakan oleh pemerintah sesuai dengan institusi ekonomi dan politik yang ada.

Dengan demikian, perekonomiam tidak bisa hanya diserahkan pada produsen dan

konsumen yang berinteraksi satu sama lain melalui mekanisme pasar, karena tidak

ada pasar yang sempurna.

Soekarno mengatakan bahwa ekonomi yang liberal dan individualistis, adalah

sumber dari perselisihan golongan atau kelas dalam masyarakat. Hasil dari sistem

ekonomi yang demikian itu adalah berkembang suburnya kapitalisme dan

imperialisme. Persaingan tanpa batas antar individu yang merdeka kemudian melintas

batas negara, hingga terjadi penjajagan di negara-negara lain.135

Hatta mengatakan bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh bangsa ini tidaklah

sama dengan yang diinginkan oleh orang barat. Bagi kita, kata Hatta, “tujuan negara

kita ialah sosialisme Indonesia yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa.”136 Hatta

ingin membangun sebuah sistem ekonomi yang sesuai dengan watak bangsa

Indonesia itu sendiri yang religious dan memiliki nilai-nilai luhur yang menjunjung

tinggi prinsip dan cita-cita tolong menolong (sosialisme) bukan mementingkan diri

135 E. Fernando Manulang, Korporatisme dan Undang-Undang Dasar 1945 (Bandung: Nuansa Aulia, 2010), hlm.111-112.

136 Muhammad Hatta, “Teori Ekonomi, Politik Ekonomi dan Orde Ekonomi”, dalam I Wangsa Widjaja dan Meutia Farida Swasono (ed), Mohammad Hatta, Membangun Ekonomi Indonesia, (Jakarta: Inti Idayu Press, 1985), hlm.61.

sendiri (individualisme), sekuler dan atau ateis.137 Menurut Hatta, untuk

merealisasikan cita-cita tersebut secara praktis, maka diperlukan sebuah politik

ekonomi sehat yang merumuskan kebijakan jangka pendek dan jangka panjang

sehingga jelas arah pembangunan itu kemana. Agar tidak terjadi inefisiensi dan

kompetisi yang tidak sehat di antara para pelaku ekonomi, yaitu pemerintah, koperasi

dan swasta, maka antara pelaku pasar tersebut harus ada koordinasi, yang mengatur

tentang pembagian wilayah kerja. Pembagian wilayah kerja inilah yang sangat

penting apalagi mengingat kondisi kurangnya kapital dan tenaga kepemimpinan

dalam masyarakat.138

Pembagian tersebut secara rinci menurut Hatta, adalah sebagai berikut, yaitu:139

“. . . Usaha jang besar-besar hanya dapat dilaksanakan oleh pemerintah. Kalau perlu pemerintah dapat meminjam capital jang agak besar djumlahnya dan menjewa management jang pada tempatnya dari luar negeri. Koperasi bertugas menjusun oembangunan dari bawah, mengerdjakan usaha jang ketjil-ketjil dan sedang untuk berangsur-angsur meningkat ke atas. Di antara bidang jang dua itu, terletak ruang jang dapat diusahakan oleh orang-orang partikulir dengan tenaga dan capital jang dapat mereka kumpulkan sendiri.”

Menurut beliau untuk tercapainya tujuan tersebut harus ada beberapa

persyaratan yang harus dipenuhi: pertama, harus ada jiwa dan semangat tolong

menoolong antara anggota dan warga masyarakat. Kedua, negara (politik) harus

bersifat aktif dan tidak hanya menyerahkan sepenuhnya persoalan ekonomi kepada

mekanisme pasar, yaitu swasta dan koperasi. Kondisi ini diharapkan bisa menciptakan

efisiensi yang tinggi sehingga mampu mengantarkan masyarakat ke tingkat

137 Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam, Mengungkap Makna Maqashid al Syari’ah, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), hlm. 7.

138 Ibid.139 Mohammad Hatta, Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia (Jakarta: Penerbut Djambatan, 1963),

hlm.41.

kesejahteraan yang diharapkan. Pandangan Hatta yang seperti ini tentu sangat sejalan

dengan maqashid syariah dan atau tujuan dari ajaran Islam. 140

Betapa pentingnya masalah kerja sama (gotong royong) sebagaimana

dinyatakan oleh Hatta di atas, sejalan dengan yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun

sebagai berikut:141

“Kebutuhan manusia sangat banyak, untuk itu diperlukan usaha yang banyak juga… adalah di luar kemampuan manusia untuk melakukan semua itu ataupun sebagiannya, kalau hanya sendirian saja. Jelaslah bahwa ia tidak dapat berbuat banyak tanpa bergabung dengan beberapa orang lain dari sesama manusia. Jika ia hendak memperoleh makanan bagi dirinya dan sesamanya. Dengan bergotong royong (ta’awun) maka kebutuhan manusia kendati beberapa kali lebih banyak dari jumlah mereka dapat dipenuhi.”

Sejalan dengan itu, Jimly142 mengatakan, ekonomi dapat diharapkan

membantu dalam membuat perhitungan, tetapi yang memutuskan adalah politik

berdasarkan ketentuan hukum sesuai dengan apa yang sudah disepakati bersama oleh

seluruh anak bangsa sebagaimana yang tercermin dalam konstitusi sebagai kontrak

sosial. Dengan perkataan lain, ekonomi memperhitungkan, politik memutuskan, tetapi

hukumlah yang pada akhirnya menentukan. Jangan biarkan ekonomi memutuskan

segala sesuatu dengan logikanya sendiri. Politik juga tidak boleh dibiarkan

memutuskan nasib seluruh anak negeri hanya dengan logikanya sendiri. Inilah hakikat

makna bahwa negara kita adalah negara demokrasi konstitusional.

Konsep penguasaan negara atau hak menguasai negara dalam ketentuan

konstitusi kita tidaklah diberikan penjelasan seperti apa bentuk penguasaan negara itu,

dan apakah bentuk penguasaan negara itu termasuk dalam konteks penyelenggaraan

atau pengelolaan secara langsung oleh negara melalui pembentukan usaha negara

140 Anwar Abbas, Op.Cit, hlm.8-9.141 Abd ar-Rahman Ibn Khaldun, al Muqoddamah (Tunisi al Daru al Tunisiyatu li al Nasyri), hlm.77.142 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta, Kompas, 2010), hlm.81.

(BUMN) ataukah hanya sebatas dalam pengaturan semata. Selain itu, penjelasan

tentang seperti apa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang

mengusai hajat hidup orang banyak itu juga belum jelas dan tegas. Pelu ditegaskan

seperti apa sistem ekonomi yang kita anut sehingga dapat menjadi sebuah kerangka

kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang selama ini sering kali menggelitik

rasa kedaulatan kita yakni, apakah betul sistem ekonomi yang sekarang kita jalankan

atau praktekkan lebih mengarah pada sistem ekonomi liberal kapitalistik yang

bertumpu pada mekanisme pasar. Kemudian permasalahan yang sangat signifikan

dalam menentukan cabang produksi manakah yang penting bagi negara dan/atau

menguasai hajat hidup orang banyak, sampai dengan saat ini belum ada

ketentuan/acuannya, sehingga untuk menentukan suatu cabang produksi yang penting

bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak diserahkan dan tergantung

kepada pandangan pemerintah, terlepas dari adanya pengujian undang-undang kepada

Mahkamah Konstitusi. Keadaan ini menjadikan prinsip hak menguasai negara tidak

memiliki kepastian dalam hal pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diembankan

kepada pemerintah selaku pemegang kekuasaan atas nama rakyat.

Dalam rangka mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pengelolaan sumber daya

alam yang berkeadilan sosial, maka diperlukan suatu model yang bersifat tetap serta

mengandung nilai-nilai kebenaran universal, sehingga terjamin keberlangsungannya.

Untuk itu peranan prinsip-prinsip ajaran agama (Islam) menjadi suatu kajian menarik

untuk dilakukan penelitian secara ilmiah, yakni konsep maqashid syariah sebagai

model pengembangan pengelolaan sumber daya alam yang lebih menjamin paham

kedaulatan rakyat, khususnya demokrasi ekonomi. Konsep maqashid syariah disarkan

pada tiga pilar yakni: primer (dharuriyyat), sekunder (hajjiyyat), dan tersier

(tahsiniyyat) demi terpeliharanya salah satu unsur pokok yang lima, yakni: menjaga

agama (hifdz ad-din), menjaga jiwa (hifdz an-nafs), menjaga akal (hifdz al-‘aql),

menjaga harta (hifdz al-mal), dan, menjaga keturunan (hifdz an-nasl). Keberlakuan

konsep al-Maqashid Syar’iyyah, juga tidak bersifat tertutup, bahkan sangat terbuka,

dengan didasarkan kepada keadah usul fiqh, memelihara yang alam yang maslahat

dan mengambil yang baru yang lebih maslahat.

Dalam kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam menurut pandangan

Islam hampir sama dengan pengelompokan yang dikemukakan oleh Gibb dan

Bromley, hanya saja konsep kepemilikan dalam pandangan Islam lebih lengkap,

sesuai dengan klasifikasinya masing-masing143, khususnya yang menyangkut tentang

kepemilikan umum (common property) dan kepemilikan negara (state property).

Dalam pandangan Islam, kepemilikan umum (common property) adalah yang

dinyatakan oleh Allah SWT dan Rasulullah saw bahwa benda-benda tersebut untuk

suatu komunitas dimana mereka masing-masing saling membutuhkan. Dari Ibnu

Abbas ra, bahwa Nabi saw bersabda: “Kaum muslimin berserikat dalam tiga barang,

yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Daud)

Anas ra meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas ra tersebut dengan menambahkan:

“wa tsamanuhu haram” (dan harganya haram), yang berarti dilarang untuk

143 Menurut Zallum, Az-Zain, An-Nabhani, dan Abdullah bahwa kepemilikan (property) menurut pandangan Islam dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) kepemilikan individu (private property); (2) kepemilikan umum (collective/common property); dan (3) kepemilikan negara (state property). Kepemilikan pada hakikatnya merupakan milik Allah SWT, dimana Allah SWT adalah Pemilik kepemilikan tersebut sekaligus juga Allah SWT sebagai Dzat Yang Memiliki Kekayaan, dalam hal ini Allah SWT berfirman: “Dan berikanlah kepada mereka, harta (milik) Allah yang telah Dia berikan kepada kalian.” (QS. An-Nuur: 33), “Yang ada di langit dan di bumi adalah milik Allah.” (QS. Al Baqarah: 284)Oleh karena itu, harta kekayaan itu adalah milik Allah SWT semata. Kemudian Allah SWT telah menyerahkan harta kekayaan kepada manusia untuk diatur dan dibagikan kepada mereka. Karena itulah, maka sebenarnya manusia telah diberi hak untuk memiliki dan mengusai harta tersebut. Lihat: Apridar, Teori Ekonomi, Sejarah dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm.138 et seq.

diperjualbelikan. Ibnu Majah juga meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa Nabi

saw bersabda: “Tiga hal yang tidak akan pernah dilarang (untuk dimiliki siapa pun)

yaitu, air, padang rumput, dan api.” (HR. Ibnu Majah).

Dalam hal ini terdapat dalil, bahwa manusia memang sama-sama membutuhkan

air, padang rumput dan api, serta terdapat larangan bagi individu untuk memilikinya.

Namun perlu ditegaskan disini bahwa sifat benda-benda yang menjadi fasilitas umum

adalah karena jumlahnya yang besar dan menjadi kebutuhan masyarakat. Sebaliknya

jika jumlahnya terbatas (sedikit), maka dapat dimiliki oleh individu.144

Sedangkan konsep kepemilikan negara (state property) dalam pandangan

Islam adalah segala harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin yang

pengelolaannya menjadi wewenang negara, di mana negara dapat memberikan kepada

sebagian warga negara, sesuai dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh negara

ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki negara untuk mengelolannya semisal harta

fai’, kharaj, jizyah dan sebagainya.

Meskipun harta milik umum dan milik negara pengelolaannya dilakukan oleh

negara, namun ada perbedaan antara kedua bentuk hak milik tersebut. Harta yang

termasuk milik umum pada dasarnya tidak boleh diberikan negara kepada siapa pun,

meskipun negara dapat membolehkan kepada orang-orang untuk mengambil dan

memanfaatkannya. Berbeda dengan hak milik negara di mana negara berhak untuk

memberikan harta tersebut kepada individu tertentu sesuai dengan kebijakan negara.

Perbedaan paham pengelolaan sumber daya alam sebagaimana dijelaskan di atas

dapat disarikan dalam bentuk tabel sebagai berikut.

144 Seperti contoh bahan tambang yang sangat banyak (hampir tidak terbatas) jumlahnya, yang tidak mungkin dihabiskan oleh individu, maka bahan tambang tersebut termasuk miliki umum (collective property), dan tidak boleh dimiliki oleh pribadi.

Tabel 4: Perbedaan Paham Pengelolaan Sumber Daya Alam

Bidang SDAPerbedaan Paham Pengelolaan Sumber Daya Alam

UUD 1945 dan Per-UU-an Terkait

Pandangan Islam

Minyak dan Gas Bumi state property common propertySumber Daya Air state property common property

Minerba state property common propertyKetenagalistrikan state property common property

(Sumber: Abdul Chair Ramadhan, Lemhannas RI, 2012)

Melihat rumusan konsep kepemilikan dalam Islam terkait dengan kepemilikan

umum (collective/common property), maka sangat jelas sekali kedaulatan rakyat

dalam bidang ekonomi, khususnya di bidang pengelolaan sumber daya alam (air,

padang rumput dan api) sangat diperhatikan, dengan adanya klausul larangan untuk

diberikan kepada siap pun.

Sebagai contoh tentang Migas dan SDA yang melimpah lainnya dalam

pandangan Islam merupakan milik umum. Pengelolaannya harus diserahkan kepada

negara untuk kesejahteraan rakyat. Tambang migas itu tidak boleh dikuasai swasta

apalagi asing. Abyadh bin Hammal menceritakan bahwa ia pernah menghadap kepada

Nabi saw dan minta diberi tambang garam yang menurut Ibnu Mutawakkil, berada di

daerah Ma’rib lalu beliau memberikannya. Namun saat ia akan pergi, ada seseorang

yang berada di majelis berkata kepada Rasul : “Tahukah Anda apa yang Anda

berikan padanya, sungguh Anda memberinya sesuatu laksana air yang terus

mengalir.” Maka beliau pun menariknya kembali darinya (HR. Baihaqy dan

Tirmidzy). Rasul saw juga bersabda: “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal:

padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad). Api, dalam pengertian

energi, termasuk minyak dan gas bumi, dengan demikian termasuk milik umum yang

harus dikelola oleh negara  dengan segenap kewenanganannya sehingga mampu

mendistribusikan kekayaan ini dengan sebaik-baiknya kepada seluruh masyarakat.

Dalam kaitannya dengan konsep kedaulatan (sovereignty) yang biasa dijadikan

objek dalam filsafat politik dan hukum kenegaraan145, maka di dalamnya terkandung

konsepsi yang berkaitan dengan ide kekuasaan tertinggi yang dikaitkan dengan negara

(state). Dari segi bahasa, perkataan kedaulatan itu sendiri dalam bahasa Indonesia

sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata daulat dan dulatan146 yang dalam

makna klasiknya berarti pergantian, peralihan atau peredaran (kekuasaan). Dalam Al-

Quran yang mencerminkan penggunaan bahasa Arab klasik, kata daulah ini diper-

gunakan hanya dua kali (dua tempat)147, yaitu dalam QS. 3: 140 yang mempergunakan

bentuk kata kerja nudawiluha (ia Kami perganti-kan atau pergilirkan)148, dan dalam

QS. 59: 7 yang mempergunakan kata kerja duulatan (beredar)149. Jika diperhatikan,

dalam ayat pertama di atas, makna kata daulat dipakai untuk pengertian pergantian

kekuasaan di bidang politik, sedangkan ayat kedua menunjuk pengertian kekuasaan di

lapangan perekonomian150. Dengan demikian, pengertian kata kedaulatan itu dalam

makna klasiknya berkaitan erat dengan gagasan mengenai kekuasaan tertinggi, baik di

bidang ekonomi maupun terutama di lapangan politik. Dalam berbagai literatur

145 Diskusi tentang hal ini dapat dibaca misalnya dalam Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994).

146 Al-Mawrid: A Modern English-Arabic Dictionary, (Dar el ilmi lil Malayen, 1979), hlm. 882.147 Lihat al-Maqdisi, Indeks al-Quran: Fathu al-Rahman, (Mustafa al-Baâ al-Halaby, 1322 (H)),

hlm.156.148 Al-Quran (QS) 3:140 (Ali Imran) menyatakan (terjemahannya): “Jika kamu (pada perang Uhud,

mendapat luka, maka sesungguhnya kaum kafir itupun (pada perang Badar mendapat luka yang serupa, dan masa (kejadian dan kehancuran) itu, kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran) dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman dari orang-orang kafir, dan supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai syuhada’). Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim”, Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1984), hlm.99.

149 Dalam QS. 59: 7 (al-Hasyr) dinyatakan (terjemahannya): “Apa saja harta rampasan yang diberikan oleh Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota, maka adalah untyuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”. Ibid., hlm. 916.

150 Gagasan yang terkandung dalam pernyataan “… supaya harta itu tidak beredar di antara orang-orang kaya saja…”, seperti dikutip dalam footnotes di atas adalah gagasan keadilan mengenai distributif, yakni menyangkut ide pemerataan kesejahteraan di bidang ekonomi dalam masyarakat.

politik, hukum, dan teori kenegaraan pada zaman sekarang, terminologi kedaulatan

(souvereignty) itu pada umumnya diakui sebagai konsep yang dipinjam dari bahasa

Latin, soverain dan superanus, yang kemudian menjadi sovereign dan sovereignty

dalam bahasa Inggris yang berarti penguasa dan kekuasaan yang tertinggi.

Dengan demikian, maka konsep kedaulatan sebagaimana dalam pandangan

Islam dan pandangan para sarjana Barat, mengakui adanya kedaulatan di bidang

politik dan kedaulatan di bidang ekonomi. Kedaulatan di bidang ekonomi inilah yang

disebut sebagai demokrasi ekonomi, dalam pengelolaan sumber daya alam

sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 33 UUD 1945.

Selanjutnya, upaya mewujudkan ketahanan dan kemandirian pengelolaan

sektor sumber daya alam merupakan bagian penting dan strategis untuk masa

sekarang dan masa yang akan datang, dalam rangka mencapai kesejahteraan

masyarakat sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Untuk menuju ke arah itu,

maka persoalan keadilan sosial151 harus menjadi tugas dan tanggungjawab

konsitusional pemerintah negara Indonesia untuk diwujudkan dalam rangka

mewujudkan kemandirian bangsa.

Dalam hubungan ini, John Rawls menyatakan bahwa perhatian utama keadilan

sosial adalah keadilan institusi atau apa yang disebutnya sebagai struktur dasar

masyarakat. Teori keadilan sosial Rawls didasarkan pad aide-ide kontrak sosial John

Locke. Rawls berpendapat bahwa keadilan adalah keberpihakan, dan melalui kontrak

151 Konsep keadilan sosial muncul disekitar tahun 1940 sebagai gerakan sosial di Eropa dalam mengembangkan konsep perdagangan yang berkeadilan (fair trade), yakni dengan memakai konsep Jhon Rawls. Gerakan ini mencoba untuk menolong produsen kecil (pengrajin dan buruh) di negara-negara miskin atau dunia ketiga, supaya lepas dari jeratan kemiskinan dan mempertankan keberlanjutan kehidupannya, melalui sebuah kemiktraam perdagangan yang didasarkan pada dialog, tranparansi dan respek. Lihat: Eko Prilianto Sudrajat. Free Trade (perdagangan bebas) dan Fair Trade (perdagangan berkeadilan) dalam Konsep Hukum. Dalam Jendela Informasi Hukum Bidang Perdagangan (Jakarta: Biro Hukum Kementerian Perdagangan RI, Edisi April 2012), hlm.11-13.

sosial, individu-individu masyarakat secara bersama-sama menghasilkan barang-

barang sosial, bukan untuk konsumsi individual. Tersedianya barang-barang sosial

akan mencukupi kebutuhan barang-barang untuk individu-individu dalam masyarakat.

Tugas dan tanggungjawab pemerintah negara Indonesia untuk mewujudkan keadilan

sosial merupakan tugas dan tanggungjawab konstitusional yang sangat penting,

sebagaimana diyakini oleh Soekarno, bahwa nasionalisme tanpa keadilan sosial

menjadi nihilisme.152 Dalam pandangan bangsa Indonesia, untuk mewujudkan

keadilan sosial tidak hanya sebatas bagi seluruh rakyat Indonesia, tetapi juga meliputi

keadilan sosial bagi masyarakat dunia sebagai salah satu dasar dari upaya ikut

melaksanakan ketertiban dunia. Hal ini sejalan dengan pemahaman nasionalisme,

yang menurut Soekarno, tidak dapat hidup subur kalau tidak dalam taman sarinya

internasionalisme. Keduanya bergandengan erat satu sama lain.153

Dalam perspektif teori keadilan sosial, James A. Caporaso mengungkapkan

bahwa ekonomi dan hukum merupakan dua hal yang saling tolak-tarik dalam

mencapai suatu makna kesejahteraan. Dalam kalangan liberian berharap bahwa

hukum dapat membawa perlindungan kebebasan kalangan tersebut untuk dapat

berinisiatif dan berinovasi dalam mengusahakan suatu kesejahteraan. Welfare dalam

perspektif liberal adalah kebebasan berbuat dan bersaing dalam pengelolaan ekonomi

dalam skala nasional dengan membawa tawaran tricle down effect. Namun untuk

mencapai suatu keadilan yang dalam perspektif ketimuran yakni keadilan sosial, maka

negara diharapkan campurtangannya untuk mengelola cabang-cabang produksi yang

merupakan pilar-pilar perekonomian suatu negara. Tolak-tarik antara, negara-pasar,

152 Adams, Cindy, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, terjemahan oleh Abdul Bar Salim dari Soekarno, An Autobiography As Told To Cindy Adams, The Bobbs-Merrill Company Inc., New York, 1965, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), hlm.104.

153 Panitia Pemburu Jiwa Revolusi (Jakarta: Pantjawarsa Manipol, 1964), hlm.310.

dan hukum merupakan cabang kekuasaan yang penting bahkan dalam setiap kali

merumuskan konstitusi maupun ideologi suatu negara.154

Pendekatan keadilan sosial dalam mencapai social justice merupakan suatu cara

yang pada umumnya digunakan negara-negara yang bercorak sosialis yang kuat.

Iklim demokrasi kerakyatan yang dianut oleh kaum sosialis membawa corak

tersendiri dalam perumusan kebijakan negara dalam pengelolaan sumber dayanya.

Kalangan ini cenderung akan merumuskan hukum sebaik-baiknya memberikan

persamaan dalam hal kekayaannya. Hukum akan dicegah untuk menimbulkan free

fight competition dalam pengelolaan perekonomian. Hal ini jelas akan membawa

perbedaan dengan kaum liberian yang mengutamakan trickle down effects sedangkan

kalangan sosialis adalah memberantas kesenjangan antara di kaya dan si miskin yang

terlalu mendalam dan hukum yang dibentuk diharapkan terciptanya pemerataan

pertumbuhan ekonomi.155

Dalam pandangan Islam keadilan merupakan salah satu pilar (tumpuan)

bangunan negara, hal ini dapat diketahui dari Surah An-Nisa’ ayat 58 sebagai berikut:

“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak

keadilan, menjadi saksi karena Allah, biar pun terhadap dirimu sendiri atau ibu

bapak dan kaum kerabatmu…”

Di dalam Surah Asy-Syura ayat 15 Allah SWT memerintahkan kepada

Rasulullah saw agar mengumandangkan: “…dan aku diperintahkan supaya berlaku

adil di antara kamu…” Keadilan demikian sangat berperan dalam membangun

kemaslahatan bagi masyarakat, sehingga dalam keadilan semua orang berlaku

154 James A. Caparaso, Theories of Political Economi, (London: Cambridge University Press, 1981), hlm.215.

155 Ibid, hlm.216-217.

diperlakukan sama tidak ada perbedaan, sebagaimana Rasulullah saw menjelaskan

kaidah keadilan ini dengan sabdanya:

“Sesungguhnya orang-orang yang sebelum kamu telah binasa disebabkan mereka itu melaksanakan hukuman atas orang-oramh yang hina dan memaafkan orang-orang yang mulia. Aku bersumpah, demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sekiranya Fatimah, putri Muhammad, melakukan (mencuri), niscaya akan kupotong tangannya.”

Rasulullah saw menyebutkan, putrinya (Fatimah) dengan perkataan “…

sekiranya Fatimah, putri Muhammad…” tanpa menyebut putri Rasulullah saw,

menjelaskan kepada kita bahwa dalam persoalan keadilan tidak memandang bulu,

semua sama kedudukannya di mata hukum (equality before the law). Begitupun

dalam pengelolaan sumber daya alam, asas keadilan menjadi salah satu pilar bagi

tegaknya kemashalahatan dalam perspektif maqashid syariah, sebagaimana

ditunjukkan dalam bagan di bawah ini.

Gambar : 2 Maqahid Syariah

(Sumber: diolah dari berbagai sumber)

maslahat

keadilan manfa

at

rahmat

hikmah

Maqashid

Syariah

John Rawls dalam bukunya a theory of justice menjelaskan teori keadilan

sosial sebagai the difference principle dan the principle of fair equality of opportunity.

Inti the difference principle, adalah bahwa perbedaan sosial dan ekonomis harus

diatur agar memberikan manfaat yang paling besar bagi mereka yang paling kurang

beruntung. Istilah perbedaan sosial-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada

ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok

kesejahteraan, pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair equality of

opportunity menunjukkan pada mereka yang paling kurang mempunyai peluang untuk

mencapai prospek kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Mereka inilah yang harus

diberi perlindungan khusus. Teori Maqasid syariah menegaskan bahwa hukum Islam

disyari'atkan untuk mewujudkan dan memelihara maslahat umat manusia. Konsep ini

telah diakui oleh para ulama dan oleh karena itu mereka memformulasikan suatu

kaidah yang cukup populer,"Di mana ada maslahat, di sana terdapat hukum Allah."

Teori maslahat di sini menurut Masdar F. Masudi sama dengan teori keadilan sosial

dalam istilah filsafat hukum. Adapun inti dari maqasid syariah adalah untuk

mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan

menolak mudarat, istilah yang sepadan dengan inti dari maqasid syariah tersebut

adalah maslahat, karena penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada

maslahat.

Inti dari maqasid syariah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus

menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak mudarat, ternyata telah

diambil menjadi teori besar Jeremy Bentham, yakni teori utilitas (kemanfaatan

hukum). Teori ini menganjurkan the greatest happiness principle (prinsip

kebahagiaan yang semaksimal mungkin). Tegasnya, menurut teori ini, masyarakat

yang ideal adalah masyarakat yang mencoba memperbesar kebahagiaan dan

memperkecil ketidakbahagiaan, atau masyarakat yang mencoba memberi kebahagiaan

yang sebesar mungkin kepada rakyat pada umumnya, agar ketidakbahagiaan

diusahakan sesedikit mungkin dirasakan oleh rakyat pada umumnya. Kebahagiaan

berarti kesenangan atau ketiadaan kesengsaraan, ketidakbahagiaan berarti

kesengsaraan dan ketiadaan kesenangan. Setiap orang dianggap sama derajatnya oleh

teori utilitas.

Menurut Jeremy Bentham, bahwa tujuan hukum semata-mata untuk

memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-

banyaknya warga masyarakat. Penekanannya didasarkan pada filsafat sosial bahwa

setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan dan hukum merupakan alatnya.

Adanya negara dan hukum semata-mata hanya demi manfaat sejati, yaitu kebahagiaan

mayoritas masyarakat.

Manfaat adalah satu istilah abstrak. Istilah ini mengungkapkan sifat atau

kecenderungan sesuatu untuk mencegah kejahatan atau memperoleh kebaikan.

Kejahatan adalah penderitaan atau penyebab penderitaan. Kebaikan adalah

kesenangan atau penyebab kesenangan.156 Yang paling sesuai dengan manfaat atau

kepentingan seorang individu adalah yang cenderung memperbanyak jumlah

kebahagiaan itu. Yang paling sesuai dengan manfaat atau kepentingan masyarakat

156 Jeremy Bentham, The Theory of Legislation (Teori Perundang-undangan: Prinsip-prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana), diterjemahkan oleh Nurhadi (Bandung: Nusamedia & Nuansa, 2006), h.26.

adalah yang cenderung memperbesar jumlah kebahagiaan individu yang membentuk

masyarakat itu.157

Secara ekonomi, keadilan mesti ditegakkan dalam dua ranah sekaligus:

keadilan secara umum (adl’am) bermakna perwujudan sistem dan struktur politik

maupun ekonomi yang adil. Ranah ini merupakan tanggungjawab penguasa dan

pemerintah. Keadilan secara khusus (adl khas) bermakna pelaksanaan keadilan dalam

kehidupan muamalah antar kaum muslim dan sesama manusia. Adl khas meliputi

bidang yang luas seperti larangan melanggar hak orang lain. Islam tidak menghendaki

adanya ketimpangan ekonomi antara satu orang dengan yang lainnya. Oleh karenanya

salah satu keistimewaan penting dalam sistem ekonomi Islam adalah pengaturan

perilaku rakyat dan pemerintahan yang meliputi dua dimensi, materi dan spiritual

sekaligus. Sebab dalam Islam, tjuan utama adalah mengantarkan manusia kepada

kesempurnaan ruhani dan spiritual.158 Hukum haruslah didasarkan pada sesuatu yang

harus tidak disebut hukum, tetapi lebih mendasar dari hukum. Yaitu sebuah sistem

nilai yang dengan sadar dianut sebagai keyakinan yang harus diperjuangkan:

maslahat, keadilan.Dengan demikian, jelas bahwa yang fundamental dari bangunan

pemikiran hukum Islam adalah maslahat, maslahat manusia universal, atau - dalam

ungkapan yang lebih operasional-"keadilan sosial".

Kesimpulan

Maqashid syariah sebagai epistimologi hukum merupakan pembahasan penting dalam

hukum Islam, sebagai salah satu metode ijtihad yang telah dikembangkan oleh ulama-

157 Ibid.158 Bayu Taufiq Possumah http://www.academia.edu (diakses tanggal 10 Desember 2012, jam:12.30

WIB)

ulama beberapa abad abad yang lalu dan merupakan hasil dari prestasi yang gemilang

dalam bidang pemikiran ilmu hukum. Pemikiran maqashid syariah sebagai teori

hukum yang pembahasan utamanya menjadikan “jalb al-manfa’ah dan daf’u al-

mafsadah sebagai tolok ukur terhadap sesuatu yang dilakukan manusia; dan

menjadikan kebutuhan dasar manusia sebagai tujuan pokok dalam pembinaan hukum

Islam. Maqashid syariah mengklasifikasi kebutuahn manusia menjadi tiga tingkatan

yaitu ad-dharuriyat, al-hajiyat, dan al-tahsiniyat agar manusia dapat mencapai

kemaslahatannya di dunia dan di akhirat nanti. Dengan terbukanya maqashid syariah

sebagai salah satu epistemologi hukum Islam diharapkan dapat membangun hukum

yang mampu berfungsi dalam mewujudkan “jalb al-mashalih wa daf’u al-mafasid”

sehingga dapat tercipta stabilitas dalam kehidupan, terwujud keadilan, kemanfaatan

serta kesejahtaeraan dalam kehidupan manusia di dunia dan al-fauz bi al-jannah wa

an-najat min an-naar di akhirat nanti dan itulah yang menjadi kemaslahatan tertinggi

bagi manusia dan itulah inti dari maqashid syariah. Penegakan keadilan yang

berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama,

memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas

kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali

kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang

bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap orang, baik mereka yang berasal

dari kelompok beruntung maupun tidak beruntung.

DAFTAR PUSTAKA

Richard W. Mansbach &Kirsten L. Rafferty, Pengantar Politik Global, Judul asli:

Introduction to Global Politics, diterjemahkan oleh Amat Asnawi, Bandung: Nusa

Media, 2012.

James Petras dan Henry Veltmeyer, Imperialisme Abad 21, Judul Asli: Globalization

Unmasked: Imperialism in the 21th Century, Penerjemah: Agung Priantoro,

Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002.

Mubyarto, Ekonomi Pancasila Gagasan dan Kemungkinan, Jakarta: LP3ES, 1987.

Sri Edi Swasono, Sistem Ekonomi Dan Demokrasi Ekonomi, Jakarta: UI Press,1985.

Didin S. Damanhuri, Indonesia: Negara, Civil Society dan Pasar dalam Kemelut

Globalisasi, Jakarta: Penerbit FEUI, 2009.

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Cet.ke-1, Jakarta: Penerbit Buku Kompas,

2010.

Arifin dalam Deliarnov, Ekonomi Politik, Jakarta: Erlangga, 2006.

Syamsul Hadi, dkk, Kudeta Putih: Reformasi dan Pelembagaan Kepentingan Asing

dalam Ekonomi Indonesia, Cet.1, Jakarta: Berdikari, 2012.

Salamudidn Daeng,”Investment in Indonesia” Neocolonialism and Its Destruction to

People Economy”, diakses dari

http:www.networkideas.org/ideasact/de09/pdf/Daeng_Salammudin.pdf pada

tanggal 10 Januari 2013, jam: 21.15 WIB.

Bonnie Setiawan, Rantai Kapitalisme Global, Reorganisasi Fundamental Rantai

Pasokan Global, Yogyakarta: Resistbook, 2012.

Budi Winarno Melawan Gurita Neoliberalisme, Jakarta: Erlangga, 2010.

Kompas, 24 Januari 2000.

JJ. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-Asas, Penyunting M. Hisyam,

Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996.

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Madju, 1994.

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

2010.

Deliarnov, Ekonomi Politik, Jakarta: Erlangga, 2006.

Robert Gilpin, Global Political Economy: Understanding the International Economic

Orders. Princeton: Princetin University Press, 2001.

Richard W. Mansbach & Kirsten L. Rafferty, Pengantar Politik Global,

diterjemahkan dari Introduction to Global Politics, Cet.ke-1, Bandung: Nusa

Media, 2012.

Yanuar Ikbar, Ekonomi Politik Internasional Jilid 1, Bandung: Refika Aditama, 2006.

Richard W. Mansbach & Kirsten L. Rafferty, Pengantar Politik Global,

diterjemahkan dari Introduction to Global Politics, Cet.ke-1, Bandung: Nusa

Media, 2012.

Marjanne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, Jakarta: Djambatan,

1999.

Thomas R. Dye dalam Muhammad Akib, Politik Hukum Lingkungan, Dinamika dan

Refleksinya Dalam Produk Hukum Otonomi Daerah, Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 2012.

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1991.

Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: FH UII, 2001.

Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Jakarta: YLBHI. 1988.

Adi Sulistiyono, Negara Hukum: Kekuasaan, Konsep, dan Paradigma Moral,

Surakarta: LPP dan UNS Press, 2008.

A. Rinto Pudyantoro, dalam bukunya yang berjudul: A to Z Bisnis Hulu Migas,

(Jakarta: Petromindo, 2012), hlm.108-109.

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,

2011.

Oxford University Presss, Fifth Edition, 2003.

K.C, Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, Judul asli: Modern Constitutions,

diterjemahkan oleh: Imam Baehaqie, Bandung: Nua Media, 1996.

Wirjono Prodjodikoro, Azas-azas Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta: Dian

Rakyat,1983.

Mohd.Kusnardi, Harmaily Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara. Jakarta: Pusat

Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988.

Miriam Budiardjo, 1997. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama 1997.

Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, & Ni`matul Huda. Teori dan Hukum Konsitusi. Jakarta:

RadjaGrafindo Persada, 2003.

A. Hamid S, Attamimi, Hukum tentang peraturan perUndang-Undangan dan

Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Negara), Jakarta, Universitas Indonesia, 1990.

A. Masyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, HAM Dalam Dimensi/Dinamika

Yuridis, Sosial, Politik dan Proses Penyusunan/Aplikasi HA-KHAM (Hukum Hak

Asasi Manusia) Dalam Masyarakat, Edisi ke-3, Jakarta: Ghalia Indonesia, Bogor,

2010.

Deliarnov, Ekonomi Politik, Jakarta: Erlangga, 2006

W.I.M Poli, Tonggak-Tonggak Sejarah Pemikiran Ekonomi, Surabaya: Brilian

Internasional, 2010.

M. Philipus Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Sebuah Studi

tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan

Pengadilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Surabaya:

UNAIR, 1985,

Keniche Ohmae, Hancurnya Negara Bangsa: Bangkitnya Negara Kawasan dan

Geliat Ekonomi Regional di Dunia Tak Terbatas, Yogyakarta: Qalam, 2002.

H. Salim HS, Perkembangan Teori dalam Ilmu Hukum, Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 2010.

Dahlan Thaib, Ketatanegaraan Indonesia: Perspektif Konstitusional, Yogyakarta:

Total Media, 2009.

Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan

Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994.

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika,

2011.

Imam Syathibi, al-Muawafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-

Ilmiyyah, t.th., Juz II. h. 7.

Achmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, Judul Asli “Maqashidussyariah

fil Islam”, penerjemah Khikmawati, Jakarta: Amzah, 2010.

H. A. Djazuli, Fiqh Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu

Syariah, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.

Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria, Jakarta: Bina Aksara, 1984.

R. Wiratno, dkk, Ahli-Ahli Pikir Besar tentang Negara dan Hukum, Jakarta: PT

Pembangunan, 1958.

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, Bekasi:

The Biography Institute, 2007.

I. Wangsa Widjaja, Mutia F. Swasono, Jakarta: PT. Toko Gunung Agung Tbk. Jakarta

2002.

Mohammad Hatta, Penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta:

Mutiara, 1977.

Muhammad Yamin, Proklamasi dan Konstitusi, Jakarta: Djembatan, 1954.

Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Bandung:

Mandar Maju, 1995.

Tri Hayati, dkk, Konsep Penguasaan Negara di Sektor Sumber Daya Alam

berdasarkan Pasal 33 UUD 1945, Jakarta : Sekretariat Jenderal MKRI dan CLGS

FHUI, 2005.

Jimly Asshiddiqie, Demokrasi Ekonomi, http://www.jimly.com diakses tanggal 20

Januari 2013, Jam: 14.50 WIB.

Mahkamah Konstitusi RI, Naskah Komprehensif Perubahan UUD Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Latar Belakang, Proses, dan Hasil Perubahan 1999-2002.

Buku ke VII Keuangan, Perekonomian Nasional, dan Kesejahteraan Sosial. Edisi

Revisi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi

2010.

Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, Djakarta: Pustaka Antara, 1966.

I Wangsa Widjaja dan Meutia Farida Swasono, Membangun Ekonomi Indonesia,

Kumpulan Pidato Ilmiah, Jakarta: Inti Idayu Press, 1985.

E. Fernando Manulang, Korporatisme dan Undang-Undang Dasar 1945, Bandung:

Nuansa Aulia, 2010.

Budi Winarno, Globalisasi dan Krisis Demokrasi, Cet.I, Yogyakarta: MedPress,

2007.

Keniche Ohmae, Hancurnya Negara Bangsa: Bangkitnya Negara Kawasan dan

Geliat Ekonomi Regional di Dunia Tak Terbatas, Yogyakarta: Qalam, 2002.

Esmi Warassih. Pranata Hukum, Sebuah Kajian Sosiologis, Semarang: Suryandaru

Utama, 2005.

M. Husein Sawit, Liberalisasi Pangan: Ambisi dan Reaksi dalam Putaran Doha

WTO, Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI, 2007.

Darsono Prawironegoro, Ekonomi Politik Globalisasi: Kajian Kapitalisme dan

Perang Dunia Ketiga. Jakarta: Nusantara Consulting, 2010.

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2006.

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Jakarta, Kompas, 2010.

E. Fernando Manulang, Korporatisme dan Undang-Undang Dasar 1945, Bandung:

Nuansa Aulia, 2010.

Muhammad Hatta, “Teori Ekonomi, Politik Ekonomi dan Orde Ekonomi”, dalam I

Wangsa Widjaja dan Meutia Farida Swasono (ed), Mohammad Hatta,

Membangun Ekonomi Indonesia, Jakarta: Inti Idayu Press, 1985.

Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam, Mengungkap Makna Maqashid al

Syari’ah, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.

Mohammad Hatta, Persoalan Ekonomi Sosialis Indonesia, Jakarta: Penerbut

Djambatan, 1963.

Abd ar-Rahman Ibn Khaldun, al Muqoddamah (Tunisi al Daru al Tunisiyatu li al

Nasyri).

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, Jakarta, Kompas, 2010.

Apridar, Teori Ekonomi, Sejarah dan Perkembangannya, Yogyakarta: Graha Ilmu,

2010.

Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan

Pelaksanaannya di Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru-van Hoeve, 1994.

Al-Mawrid: A Modern English-Arabic Dictionary, Dar el ilmi lil Malayen, 1979.

al-Maqdisi, Indeks al-Quran: Fathu al-Rahman, Mustafa al-Baâ al-Halaby, 1322 H)

Al-Quran dan Terjemahannya, Jakarta: Departemen Agama RI, 1984.

Eko Prilianto Sudrajat. Free Trade (perdagangan bebas) dan Fair Trade

(perdagangan berkeadilan) dalam Konsep Hukum. Dalam Jendela Informasi

Hukum Bidang Perdagangan, Jakarta: Biro Hukum Kementerian Perdagangan RI,

Edisi April 2012.

Adams, Cindy, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat, terjemahan oleh Abdul Bar

Salim dari Soekarno, An Autobiography As Told To Cindy Adams, The Bobbs-

Merrill Company Inc., New York, 1965, Jakarta: Gunung Agung, 1984.

Panitia Pemburu Jiwa Revolusi, Jakarta: Pantjawarsa Manipol, 1964.

James A. Caparaso, Theories of Political Economi, London: Cambridge University

Press, 1981.

Jeremy Bentham, The Theory of Legislation (Teori Perundang-undangan: Prinsip-

prinsip Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana), diterjemahkan oleh

Nurhadi, Bandung: Nusamedia & Nuansa, 2006.

Bayu Taufiq Possumah http://www.academia.edu (diakses tanggal 10 Desember

2012, jam:12.30 WIB)