teknologi reproduksi

13
POKOK BAHASAN TEKNIK REPRODUKSI SUB POKOK BAHASAN SEXING SPERMATOZOA, GERTAK BIRAHI, SINKRONISASI BIRAHI, SINKRONISASI OVULASI, SUPEROVULASI, TRANSFER EMBRIO OLEH : Drh. I Dewa Putu Anom Adnyana, M.Vet PENDAHULUAN Teknologi dalam bidang peternakan diharapkan akan membawa perkembangan baru dan modernisasi usaha peternakan, sehingga akan membawa peningkatan produktivitas, effisiensi, daya saing pasar dan produk yang berkualitas. Teknologi akan diarahkan pada : a). Teknoiogi yang berbasis sumber daya lokal, tepat lokasi dan tepat guna yang benar-benar dibutuhkan dan dapat diterima oleh peternak, b). Teknologi untuk pengembangan dan peningkatan usaha kearah agroindustry, c). Teknologi untuk dapat mendukung upaya peningkatan produksi, reproduksi, populasi, produktivitas dan peningkatan mutu bibit serta pakan ternak dan d). Alih teknologi akan terus didorong melalui kelompok tani, asosiasi dan para ahli. I. SEXING SPERMATOZOA Sexing atau pemisahan sperma adalah kegiatan yang bertujuan untuk memisahkan spermatozoa yang membawa sifat kelamin jantan dengan betina. Teknologi ini bertujuan untuk menjawab tingginya permintaan peternak terhadap pedet atau anak sapi jantan potong karena harga jualnya yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan anak betina. Sedangkan khusus untuk bangsa sapi penghasil susu atau Frisian Holand (FH), benih yang diminamati adalah yang betina (Anonim, 2009 (a)). Metode dalam sexing spermatozoa yang sering digunakan adalah dengan menggunakan 1. Metode Sentrifugasi Sentrifugasi gradien densitas kolom percoll : merupakan medium yang terdiri dari partikel silica colloidal dengan lapisan polyvinyl-pyrrolidone, dapat dijadikan dasar untuk mengisolasi spermatozoa motil, terbebas dari kontaminasi dari berbagai komponen seminal 2. Swim up bertujuan untuk menganalisis spermatozoa dengan memisahkan spermatozoa motil dari non-motil, celluler debris dan menyingkirkan komponen seminal plasma yang mempengaruhi kualitas spermatozoa. Spermatozoa berkromosom Y bergerak lebih cepat ke permukaaan media dibandingkan spermatozoa berkromosom X. Metodemetode ini mendasarkan dari spermatozoa yang berada pada lapisan atas setelah inkubasi mengandung populasi spermatozoa berkromosom Y dan Spermatozoa berkromosom Y mempunyai

Upload: mmadomad

Post on 26-Nov-2015

417 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

  • POKOK BAHASAN

    TEKNIK REPRODUKSI

    SUB POKOK BAHASAN

    SEXING SPERMATOZOA, GERTAK BIRAHI, SINKRONISASI BIRAHI, SINKRONISASI OVULASI,

    SUPEROVULASI, TRANSFER EMBRIO

    OLEH :

    Drh. I Dewa Putu Anom Adnyana, M.Vet

    PENDAHULUAN

    Teknologi dalam bidang peternakan diharapkan akan membawa perkembangan baru dan modernisasi

    usaha peternakan, sehingga akan membawa peningkatan produktivitas, effisiensi, daya saing pasar dan produk

    yang berkualitas. Teknologi akan diarahkan pada :

    a). Teknoiogi yang berbasis sumber daya lokal, tepat lokasi dan tepat guna yang benar-benar

    dibutuhkan dan dapat diterima oleh peternak,

    b). Teknologi untuk pengembangan dan peningkatan usaha kearah agroindustry,

    c). Teknologi untuk dapat mendukung upaya peningkatan produksi, reproduksi, populasi,

    produktivitas dan peningkatan mutu bibit serta pakan ternak dan

    d). Alih teknologi akan terus didorong melalui kelompok tani, asosiasi dan para ahli.

    I. SEXING SPERMATOZOA

    Sexing atau pemisahan sperma adalah kegiatan yang bertujuan untuk memisahkan spermatozoa

    yang membawa sifat kelamin jantan dengan betina. Teknologi ini bertujuan untuk menjawab tingginya

    permintaan peternak terhadap pedet atau anak sapi jantan potong karena harga jualnya yang lebih tinggi

    jika dibandingkan dengan anak betina. Sedangkan khusus untuk bangsa sapi penghasil susu atau Frisian

    Holand (FH), benih yang diminamati adalah yang betina (Anonim, 2009 (a)).

    Metode dalam sexing spermatozoa yang sering digunakan adalah dengan menggunakan

    1. Metode Sentrifugasi

    Sentrifugasi gradien densitas kolom percoll : merupakan medium yang terdiri dari partikel silica

    colloidal dengan lapisan polyvinyl-pyrrolidone, dapat dijadikan dasar untuk mengisolasi spermatozoa

    motil, terbebas dari kontaminasi dari berbagai komponen seminal

    2. Swim up

    bertujuan untuk menganalisis spermatozoa dengan memisahkan spermatozoa motil dari non-motil,

    celluler debris dan menyingkirkan komponen seminal plasma yang mempengaruhi kualitas

    spermatozoa. Spermatozoa berkromosom Y bergerak lebih cepat ke permukaaan media

    dibandingkan spermatozoa berkromosom X.

    Metodemetode ini mendasarkan dari spermatozoa yang berada pada lapisan atas setelah inkubasi

    mengandung populasi spermatozoa berkromosom Y dan Spermatozoa berkromosom Y mempunyai

  • kemampuan bermigrasi lebih cepat dibandingkan spermatozoa berkromosom X, sehingga apabila

    dilakukan sentrifugasi spermatozoa berkromosom X cenderung lebih cepat membentuk endapan.

    Pemisahan sperma dengan metode sentrifugasi gradien densitas kolom percoll mempunyai

    persentase recovery yang tinggi (86,78 % 5,55) dibandingkan dengan metode Swim up (62,38 %

    8,44)

    3. Flow cytometry

    Teknik untuk identifikasi dan memisahkan sel dan komponen-komponennya (DNA) menggunakan

    pewarnaan fluorescent dye dan deteksi fluorescence usu. Menggunakan sinar laser dan pada

    sexing spermatozoa didapatkan pemisahan spermatozoa berkromom X, kromosom Y dan bahan

    buangan.

    II. GERTAK BIRAHI

    Deteksi birahi dan ketepatan waktu inseminasi merupakan hal penting yang mempengaruhi

    keberhasilan kebuntingan pada ternak. Kejadian infertilitas atau ketidakberhasilan kebuntingan biasanya

    terjadi oleh karena ketidaktahuan dalam heal mendeteksi birahi sehingga waktu inseminasi menjadi tidak tepat.

    Hal terpenting dalam deteksi birahi setelah beranak adalah mutlak diperlukan, pada peternakan dengan jumlah

    ternak yang banyak, deteksi birahi per-individu sulit dilakukan, untuk mengatasi hal tersebut teknik

    sinkronisasi birahi merupakan alternatif pemecahan masalah.

    Gertak birahi adalah suatu upaya membuat sekelompok ternak birahi dalam waktu yang bersamaan.

    Tujuan utama dari gertak birahi ini adalah membuat hewan ternak menjadi birahi kemudian terjadi aktivitas

    perkawinan yang diianjutkan dengan periode kebuntingan dan kelahiran dan hasilnya adalah terlahir individu

    baru. Dengan penyerentakan birahi dimaksudkan untuk pengendalian siklus estrus birahi sedemikian rupa

    sehingga periode estrus pada banyak hewan betina terjadi serentak pada hari yang sama atau dalam waktu

    2 atau 3 hari.

    Teknik gertak birahi biasanya dipakai dengan menggunakan preparat hormon. Hormon yang senng

    dipakai untuk gertak birahi adalah hormon progesteron dan hormon prostagiandin.

    Analisis SWOT dari teknologi sinkronisasi birahi ini adalah :

    1. Kekuatan (Strong)

    - merupakan teknologi yang murah dan efisien untuk menggertak sekelompok ternak untuk dapat birahi

    secara serentak

    - Pelaksanaanya memerlukan tenaga terlatih, sehingga membuka peluang kesempatan kerja bagi

    mahasiswa yang baru lulus

    - Merupakan peluang baru bagi tenaga terampil, seperti inseminator dan tenaga

    paramedis koperasi

    - Merupakan teknologi untuk meningkatkan efisiensi reproduksi secara efektif

    2. Kelemahan (Weakness)

    - Masih mahalnya harga preparat hormon yang dipakai untuk penerapan teknoiogi ini

    - Kebuntingan yang dihasilkan oleh teknologi ini masih belum memuaskan,

    - Belum banyak diminati oleh peternak karena kurangnya informasi yang diberikan

    - Biaya operasional yang masih tinggi bila dilakukan pada sekelompok ternak dengan

    jumlah yang sedikit

  • 3.Kesempatan (Opportunity)

    - Penyempumaan penggunaan teknologi ini sehingga menjadi semakin murah

    - Jumlah populasi ternak yang semakin banyak

    - Gangguan reproduksi akibat rendahnya efisiensi reproduksi mulai disadari kerugiannya oleh

    mitra peternak

    4. Ancaman (Threat)

    - mahalnya biaya insemiansi buatan membuat mitra peternak akan beralih pada kawin alam

    . - Perilaku peternak yang masih tradisional

    Tujuan

    Pada ternak besar khususnya sapi, kerbau, kambing dan domba, gertak birahi biasanya dilakukan dengan

    tujuan untuk memperoleh anak dengan umur yang sama, sehingga akan mempermudah perawatan anak. Untuk

    sapi, baik potong maupun perah juga sangat membantu para inseminator dalam menjalankan tugasnya, oleh

    karena birahi yang timbul akan dapat diperkirakan waktunya sehingga memudahkan dalam proses perkawinan

    yang dilakukan dengan cara inseminasi buatan

    Gertak birahi juga dimanfaatkan untuk pengobatan, misalnya pada hewan ternak yang mengalami

    anestrus.

    Hormon yang digunakan

    1. Progesteron

    - Progesterone releasing intravaginal device (PRID)

    - Controlled interval drug device (CIDR)

    - Synch romate B

    2. Prostaglandin F2

    - Lutalyse

    - Prostavet

    - Glandin

    Prinsip

    Gertak birahi dengan menggunakan preparat hormon didasarkan pada prinsip adanya mekanisme umpan

    balik dari hormon-hormon reproduksi dan bisa dengan sinar laser (laser Puncture).

    1. Progesteron

    Penggunaan hormon ini untuk gertak birahi didasarkan pada penurunan kadar hormon progesteron secara

    tiba-tiba sehingga aktivitas dari gonadotropin releasing hormone dan follicle stimulating hormone akan terjadi.

    Hormon ini biasanya diberikan pada fase luteal selama 9-14 hari.

    2. Prostaglandin F2

    Hormon ini bekerja melisis korpus luteum, sehingga kadar progesteron menjadi rendah, akibatnya follicle

    stimulating hormone akan bekerja. Hormon ini digunkan pada fase luteal dan birahi terjadi 48-72 jam setelah

    penyuntikan.

    3. Sinar Laser (Laser Puncture)

    Perlakuan laser puncture dilakukan di 14 titik akupuntur reproduksi Inter processus spinossus

    vertebrae lumbal 1-2 dan inter processus transversus vertebrae lumbalis 2-6 (Kiri Kanan), inter

  • vertebrae sacralys dan vertebrae coccygealis serta dibagian depan dan bekakang tuber coccy (Kiri

    Kanan) dengan durasi 10 detik di setiap titik aplikasi diberikan dua kali dengan selang waktu 24 jam,

    akan menimbulkan sinyal karena kejutan dari sinar laser tersebut. Sinyal akan dikumpulkan ke otak, dan

    direspon akan adanya perintah ke bagian titik estrus sehingga akan menghasilkan hormone estrogen, ke

    ovarium yang berupa produksi sel telur masak, dan perintah otak ke urterus (kornue urteri) bagian kanan

    dan kiri dengan adanya produksi darah pada uterus, untuk persiapan penerimaan hasil fertilisasi dari

    ampula-istmus junction. Perintah otak ke titik hormonal akan direspon dengan produksi hormon yang

    mempengaruhi siklus birahi.

    Mengingat posisi sel-sel reseptor berada dibawah kulit maka untuk ternak yang kulitnya tebal seperti

    sapi dan kerbau diperlukan intensitas sinar yang lebih kuat untuk stimulasi yaitu 70 m watt dapat

    menjangkau sel-sel reseptor ternak besar, aplikasi laser puncture pada induk sapi Bali menghasilkan

    respon birahi 90% dan dari inseminasi diperoleh tingkat kebuntingan 80%.

    III.SINKRONISASI BIRAHI

    Sinkronisasi birahi atau sinkronisasi estrus merupakan suatu cara untuk menimbulkan gejala birahi

    atau estrus secara bersama-sama, atau dalam selang waktu yang pendek dan dapat diramalkan pada

    sekelompok hewan.

    TUJUAN

    sinkronisasi birahi adalah untuk memanipulir proses reproduksi, sehingga hewan akan terinduksi

    birahi proses ovulasinya, dapat diinseminasi serentak dan dengan hasil fertilitas yang normal. Penggunaan

    teknik sinkronisasi birahi akan mampu meningkatkan efisiensi produksi dan reproduksi kelompok ternak,

    disamping juga mengoptimalisasi pelaksanaan inseminasi buatan dan meningkatkan fertilitas kelompok.

    Sinkronisasi birahi mempunyai beberapa keuntungan praktis bagi peternak terutama dalam

    peternakan sapi potong yang diperlihara secara ekstensif di lapangan dan perkawinannya dilaksanakan

    melalui inseminasi buatan memakai bibit-bibit unggul yang diinginkan. Disamping itu penggunaan teknik

    penyerentakan birahi pada peternakan-peternakan sapi perah, babi dan domba juga dapat memberi arti

    ekonomi yang tidak kecil. Konsentrasi periode birahi dalam 2 atau 3 hari akan menghemat tenaga kerja;

    memungkinkan inseminasi pada banyak hewan betina (terutama babi) dengan semen seekor pejantan

    unggul pada satu waktu tertentu, anak-anak yang lahir tidak perlu dipisahkan menurut kelompok-kelompok

    umur selama pertumbuhan dan penggemukan karena semuanya mempunyai umur yang hampir sama,

    waktu partus dan pemasaran dapat lebih dikonsentrasikan pada waktu tertentu sesuai dengan keinginan

    peternak dan disesuaikan pula dengan permintaan pasaran dan menurut pertimbangan-pertimbangan

    ekonomis. Dalam program pemisahan embrio, tehnik sinkronisasi estrus dapat dipakai menyerentakkan

    stadium siklus birahi antara hewan pamberi (donor) dan hewan penerima (recipient). Supaya suatu program

    pengendalian siklus birahi dapat berhasil maka suatu angka konsepsi yang tinggi harus dicapai pada

    ovulasi yang diserentakkan.

    Dasar fisiologis dari penyerentakan birahi adalah hambatan pelepasan LH dari edenohypophysa

    yang menghambat pematangan folikel de Graaf, atau penyingkiran korpus luteum secara mekanik manual

    atau secara fisiologik dengan pemberian preparat-preparat luteolitik.

  • Tehnik dari sinkronisasi birahi ada bermacam-macam diantaranya adalah :

    a. Sinkronisasi menggunakan hormone progesterone atau progestagen

    Pemakaian progesteron dalam sinkronisasi estrus pertama kali dilapor oleh Ulberg, Christian dan

    Casida (1951) yang menyatakan bahwa apabila dimulai kira-kira 15 hari sesudah akhir estrus, penyuntikan

    50 mg progesteron dalam minyak setiap hari atau 500 mg dalam bentuk repositor setiap 10 hari akan

    menghambat estrus dan ovulasi pada sapi. Estrus terjadi dalam waktu 4-6 hari, rata-rata 5,2 hari, sesudah

    penghentian penyuntikan. Menurut Trimberger dan Hansel (1955) penyuntikan progesteron 50-100 mg

    setiap hari dari hari ke 15 hari ke 19 siklus birahi akan menyebabkan estrus normal pada 14 dari 25 sapi

    yang disuntik dalam waktu rata-rata 4,6 hari sesudah penghentian penyuntikan dan hanya 50 % yang

    mempunyai korpora lutea normal. Suntikan-suntikan progesteron tidak selalu memberi respon yang seragam

    karena perbedaan-perbedaan individual dalam kadar penyerapan hormon tersebut, dan kadar

    penghambatan dan pemulihan kembali dari hambatan sesudah persediaan hormon didalam tubuh habis

    (Toelihere, 1979). Selain dengan penyuntikan, penggunaan hormone progesterone sebagi sinkronisasi

    siklus hormone juga dapat menggunakan alat yang menunjang diantara adalah:

    Progesteron releasing intravaginal Device (PRID)

    Merupakan implant intra vaginal terbuat dari silicon dan berbentuk spral. Progesteron sintetik

    tersimpan di dalam implan tersebut dan akan dibebaskan secara pelanpelan lewat selaput lendir vagina.

    Pemasangan implan intravagina biasanya selama 15 hari, dan birahi akan timbul pada waktu 48-72 jam

    setelah pengambilan implan. Angka birahi yang ditimbulkan dapat mencapai 100%, namun angka konsepsi

    dari inseminasi pertama masih cukup rendah yaitu sekitar 45%. Beberapa sifat yang tidak disukai dari

    penggunaan PRID untuk sinkronisasi antara lain mudah lepas sebelum waktunya dan ada kecenderungan

    iritasi selaput lendir vagina sehingga mudah menyebabkan vaginitis.

    Controlled Internal Drug Releasing (CIDR)

    Juga merupakan implant yang berbenuk huruf T dan terbuat dari silicon, yang nanti bentukan T

    tersebut akan dimasukkan ke dalm kornue uteri. Impaln ini diinsersikan selam 15 hari, dan biasanya

    menghasilkan angka konsepsi 58-66 %. Progesteron yang terkandung di dalamnya (1,9 gram) merupakan

    progesteron alam, sehingga mudah dideteksi dalam darah dan mempunyai waktu paruh yang sangat

    pendek, sifat ini adalah memberikan respon pembebasan gonadotrophin yang lebih nyata. Sifat lain yang

    disukai dari CIDR adalah dapat dipakai berulang-ulang, sampai 5 kali dengan fertilitas yang sama, karena

    kandungan progesteronnya yang tinggi.

  • b. Sinkronisasi menggunakan hormone Prostaglandin (PGF2)

    Cara standar sinkronisasi birahi meliputi 2 kali penyuntikan prostaglandin dengan selang 10 12

    hari. Birahi akan terjadi dalam waktu 72-96 jam setelah penyuntikan kedua. Pelaksanaan inseminasi

    dilakukan 12 jam setelah kelihatan birahi, atau sekali pada 80 jam setelah penyuntikan kedua . Sinkronisasi

    birahi dengan prostaglandin hanya akan berhasil pada kerbau yang bersiklus birahi normal dan tidak akan

    meningkatkan angka konsepsi melebihi inseminasi pada birahi alam. Angka konsepsi dari inseminasi

    pertama dengan sinkronisasi birahi ini tidak setinggi pada sapi, tetapi hanya berkisar antara 30-40 (Sujarwo,

    2009).

    Prosedur yang digunakan adalah: Ternak yang diketahui mempunyai corpus luteum (CL), dilakukan

    penyuntikan PGF2satu kali. Birahi biasanya timbul 48 sampai 96 jam setelah penyuntikan. Apabila tanpa

    memperhatikan ada tidaknya CL, penyuntikan PGF2dilakukan dua kali selang waktu 11-12 hari. Setelah

    itu dilakukan pengamatan timbul tidaknya birahi 36-72 jam setelah peyuntikan kedua.

    Pemberian PGF2 analog dapat menyebabkan luteolisis melalui penyempitan vena ovarica yang

    menyebabkan berkurangnya aliran darah dalam ovarium. Berkurangnya aliran darah ini menyebabkan

    regresi sel-sel luteal. Regresi sel-sel luteal menyebabkan produksi progesteron menurun menuju kadar basal

    mendekati nol nmol/lt, dimana saat-saat terjadinya gejala birahi. Regresi korpus luteum menyebabkan

    penurunan produksi progesteron. Untuk mengetahui profil progesteronnya sendiri dapat ditentukan dengan

    cermat atas bantuan teknik Radioimmunoassay (RIA) fase padat yang mamaki radio aktif lodium 125,

    dengan kepekaan assay 0,30 nmol/ml.

    Kesuksesan program sinkronisasi membutuhkan pengetahuan mengenai siklus birahi. Hari ke-0 dari

    merupakan hari pertama estrus, pada saat ini biasanya perkawinan secara alami terjadi. Hormon estrogen

    mencapai puncaknya pada hari ke-1 dan kemudian menurun, level progesteron rendah karena Corpus

    Luteum (CL) belum terbentuk. Ovulasi terjadi 12-16 jam setelah akhir standing estrus. CL yang

    menghasilkan hormon progesteron terbentuk pada tempat ovulasi dan secara cepat mengalami

    pertumbuhan mulai dari hari ke-4 sampai ke-7, pertumbuhan ini diikuti dengan peningkatan level

    progesteron. Mulai hari ke-7 sampai ke-16, CL menghasilkan progesteron dalam level tinggi. Selama periode

    ini, 1 atau 2 folikel mungkin menjadi besar, tetapi dalam waktu yang singkat akan mengalami regresi, kira-

    kira hari ke-16, prostaglandin dilepaskan dari uterus dan menyebabkan level progesteron menjadi turun.

    Ketika level progesteron menurun, level estrogen meningkat dan folikel baru mulai tumbuh, estrogen

    mencapai puncaknya pada hari ke-20, diikuti tingkah laku estrus pada hari ke-21. Pada saat ini siklus estrus

    kembali dimulai.

  • c. Sinkronisasi secara peroral

    Sinkronisasi ini menggunakan

    1. MAP, 6-metil -17 acetoxcyprogesterone, (Upjohn Co. Repromix) pertama kali dievaluasi pada

    tahun 1960 oleh Hansel dan Malven. Sapi-sapi betina yang diberi makan lebih dari 500 mg MAP

    setiap hari untuk 20 hari, menunjukkan birahi pada waktu yang bersamaan tetapi angka konsepsi

    hanya mencapai 25%. Dosis efektif minimal untuk MAP adalah 180 200 mg/ hari/ hewan yang

    diberi makan setiap hari pada waktu yang sama

    2. Pada tahun 1963 diperkenalkan CAP, 6-chloro-6dihydro-17-acetoxyprogesterone, suatu senyawa

    progestational yang lebih kuat., sedangkan untuk CAP cukup 10 mg/ ekor/ hari.

    3. Dapt pula denggan menggunakn MGA, Melengestrol acetate, yang jauh lebih kuat lagi dengan dosis

    hanya 1 mg/ ekor/ hari.

    4. DHPA, Dihydroxy progesterone acetophenide, seuatu preparat progesteron lain, dapat pula dipakai

    untuk penyerentakan birahi pada sapi. Lama optimum pemberian preparat-preparat ini adalah 18

    hari walaupun beberapa peneliti menganjurkan periode yang lebih pendek, 10-14 hari.

    5. Sedangkan Obat nonstreriodal yang diberikan secara peroral diantaranya ICI-33828, yang dipakai

    untuk pengendalian siklus reproduksi pada babi karena pada ruminansia obat non steriodal tidak

    berpengaruh. Clomipere atau MRL 4 suatu anti estrogen telah dicoba pada sapi dan menghambat

    etrus tetapi tidak terjadi ovulasi setelah pemberhentian pemberian obat. Clomipere menghambat

    ovulasi dan menggangu pelepasan LH

    Angka konsepsi pada percobaan dengan sapi-sapi perah dara dan sapi potong memakai preparat-

    preparat ini mencapai 20-70% pada estrus pertama yang terjadi serentak dalam waktu 2-8 hari seseudah

    akhir pemberian preparat progestagen. Sesudah pemberian MAP sapi-sapi memperlihatkan birahi dalam

    waktu 3-4 hari; dengan CAP dan MGA intervalnya lebih lama 2-3 hari. Pada hampir semua perlakuan angka

    konsepsi adalah 10-15 % dibawah nilai yang diperoleh pada sapi-sapi kontrol dan diinseminasi pada kondisi

    yang sama. Angka-angka konsepsi pada periode estrus berikutnya, yang terjadi sesudah interval 21 hari,

    adalah normal. Jadi tidak ada perpanjangan pengaruh progestagen.

    Periode siklus birahi, permulaan, pertengahan atau akhir, sewaktu senyawa progestational mulai

    diberikan tidak mempengaruhi angka konsepsi pada estrus pertama yang diserentakan. Angka konsepsi

    yang rendah pada estrus yang disebabkan oleh kegagalan pembuahan karena gangguan pengangkutan

    sperma di dalam saluran kelamin betina. Fertilisasi yang rendah disebabkan oleh gangguan transpor ova

    yang telah dibuahi atau kematian embrional.

    IV. SINKRONISASI OVULASI

    Metoda sinkronisasi birahi belum merupakan penyelesaian masaiah terhadap deteksi birahi dan ketepatan

    waktu inseminasi, pada usaha peternakan besar metoda baru tanpa pendeteksian birahi setelah pemberian

    hormon diharapkan akan dapat meningkatkan daya reproduktivitas ternak. Metoda sinkronisasi ovulasi diharapkan

    dapat memecahkan permasalah yang muncul di lapangan.

    Dasar sinkronisasi ovulasi

    - Pada ovarium, pertumbuhan folikel berlangsung seiama 9 -14 hari dalam siklus birahi

    pertumbuhan folikel terdiri daii fase seleksi dan fase dominan. |

    - Pada fase seleksi beberapa folikel berkembang pada saat yang bersamaan sampai 3-4 hari setelah

  • ovulasi dan diharapkan salah satu folikel dominan akan berhenti berkembang.

    - Pada fase dominan folikel yang berkembang akan mengalami pemasakan dalam waktu 8-9 hari.

    - Bila prostaglandin diberikan pada fase pertama pertumbuhan folikel, regresi korpus luteum,

    pematangan dan perkembangan folikel sampai birahi dibutuhkan waktu 5-6 hari.

    - Bila pemberian prostaglandin dilakukan pada fase terakhir dari perkembangan folikel, birahi akan

    muncul 2-3 hari.

    Hormon yang digunakan

    Hormon GnRH dikombinasikan dengan prostaglandin. Penggunaan GnRH 6-7 hari sebelum pemberian

    prostaglandin dapat meningkatkan penampakan birahi pada hari ke-3 setelah prostaglandin diberikan.

    Saat GnRH diberikan, folikel dominan dengan diameter 10 mm berovulasi, dan pertumbuhan folikel

    baru dimulai 1,5 hari setelah pemberian. Ovulasi folikel dominan mempengaruhi korpus luteum, korpus luteum

    merespon untuk melawan prostaglandin. Seteiah tujuh hari perkembangan folikel akan didukung dengan

    pemberian GnRH yang akan mempersiapkan folikel dominan dalam waktu 5-6 hari. Pada saat ini jika

    prostaglandin diberikan, folikel dominan akan matang setelah tiga hari dan birahi akan nampak.

    V. SUPEROVULASI

    Superovulasi didefinisikan sebagai perlakuan pada hewan betina dengan menggunakan preparat hormonal

    sehingga didapatkan ova (oosit) yang diovulasikan lebih dari normainya. Pada sapi superovulasi bisa

    menghasilkan ova 0-50 per sapi dengan rataan 10 ova, enam diantaranya yang ditemukan merupakan embrio

    normal.

    Saat sapi dilahirkan, ovariumnya mengandung lebih dari 200.000 oosit yang dibentuk saat kehidupan

    fetus, setelah lahir tidak didapatkan adanya pembentukan oosit baru. Kenyataannya , oosit yang pada saat lahir

    akan mengalami degenerasi dan menghilang dari ovarium pada saat memasuki pubertas. Proses degenerasi ini

    disebut dengan atresia. Atresia ini berlanjut seiama masa kehidupan sapi, kadang-kadang ovari sapi yang sudah

    tua tidak lagi mengandung ova.

    Superovulasi dan embrio transfer adalah suatu metoda yang membantu menyelamatkan potensi genetik

    ternak.

    Regulasi hormon pada ovarium

    Folikel-folikel yang masak membutuhkan kondisi yang khusus seiama 4-5 hari menjelang ovulasi.

    Kondisi tersebut meliputi penurunan konsentrasi progresterone secara cepat dalam darah yang berhubungan

    dengan regresi dari korpus luteum,adanya hanya seiama periode akhir dari siklus birahi,menjelang birahi. Oosit

    dalam folikel mengalami maturasi bila konsentrasi progesterone tidak mengalami penurunan secara cepat

    sehingga menjadi atresia, dimana folikel-folikel yang ada pada stadium ketika progesterone mengalami penurunan

    akan mengalami penyelesaian maturasi dan ovulasi. Sistem ini dibawah kontrol dua hormon. Yang pertama adalah

    Follicle Stimulating Hormone ( FSH ) yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisa anterior.Hormon ini menyebabkan

    pertumbuhan folikel secara cepat seiama 4-5 hari menjelang ovulas.

    Hormon kedua adalah inhibin yang dihasilkan oleh folikel-folikel yang sedang tumbuh secara

    cepat. Inhibin berfungsi untuk menghambat sekresi FSH dari hipofisa anterior. Jadi, bila banyak folikel

    mulai meghasilkan inhibin, hormon ini akan menghambat sekresi FSH sehingga tidak ada lagi folikel

    yang akan tumbuh menjadi matur dan ovlasi. Keadaan demikian meyakinkan kita bahwa hanya

    satu folikel yang akan mengaiami ovulasi selama dalam satu siklus birahi pada sapi.

  • Superovulasi dapat dilakukan dengan menyuntikkan FSH dari luar. Pada sapi, penyuntikan

    FSH dapat dilakukan pada hari ke 16-19 dari siklus birahi, dimana konsentrasi progesterone secara

    alami mengaiami penurunan. Induksi pertumbuhan folikel menyebabkan produksi inhibin banyak yang

    akan menghambat sekresi FSH dari hipofisa anterior. Namun injeksi FSH dari luar masih efektif.

    Dampak praktek, sapi disuperovulasi dengan dua alasan yaitu pertama, adanya beberapa

    variasi dari lamanya siklus birahi dari siklus ke siklus sehingga hal ini menyultkan dalam

    mengoptimalkan waktu penyuntikan FSH. Sebagai contoh, penyuntikan FSH dapat dilakukan pada

    hari ke 15 bila sapi mempunyai lama siklus birahinya 19 hari, tap i pada sapi yang lamanya siklus

    birahi 23hari, penyuntikan FSH dilakukan pada hari ke 19

    Masalah kedua adalah jadwal dari prosedur embrio transfer akan mengaiami kesulitan bila

    mengandalkan siklus birahi secara alami. Kedua masalah tersebut dapat diatasi dengan membuat dan

    memendekkan siklus birahi secara buatan. Keadaan dapat dilakukan dengan menurunkan konsentrasi

    progesterone secara cepat dengan pemberian PGF2 alfa yang mampu meregresikan korpus luteum.

    FSH disuntikkan sebelum dan sesudah penyuntikan PGF2 alfa untuk mempercepat pertumbuhan

    folikel pada waktu yang tepat. Penyuntikan FSH dapat dimulai pada hari ke 9-14 dari siklus birahi.

    Berbeda dengan penyuntikan PMSG hanya dilakukan hanya sekali karena pemecahan hormon

    tersebut sangat pelan dalam darah. Sapi donor biasanya mengaiami ovulasi dalam waktu satu hari

    setelah tanda birahi tampak.

    Superovulasi tidak akan memperpendek masa kehidupan reproduksi dari sapi sebab extra ova

    yang diproduksi pada akhirnya akan mengaiami atresia juga.

    Super Ovulasi dengan FSH

    Hari ke 0 11 13-14 23-24 24-25 25-26 26-27 28-29

    PGF PGF ESTRUS PAGI PAGI PAGI PAGI IB FSH FSH FSH FSH SORE SORE SORE SORE

    Keterangan:

    - PGF2 : 20-25 mg - FSH : 5/5 mg; 4/4 mg; 3/3 mg; 2/2 mg

    Super Ovulasi dengan PMSG dan hCG

    0 11 13-14 23-24 25-26 26-27

    PGF PGF E PMSG PGF E/hCG/IB

    Keterangan :

    - PGF2 : 20-25 mg - PMSG : 2000-3000 IU - hCG : 500-2000 IU , - E : estrus VI. TRANSFER EMBRIO PADA SAPI

  • Usaha untuk melakukan pemindahan embrio dari satu individu ke individu lainnya telah lama diusahakan

    manusia. Heape (1890) di Inggris mencoba untuk pertama kalinya, kemudian berturut-turut disusul oleh beberapa

    peneliti seperti Biedl et al (1922), Nicholas (1933), Pincus dan Enznann (1934), Chang (1948) dan Dowling

    (1949) dilaporkan sukses memindahkan embrio kelinci.

    Pada domba dan kambing juga pernah dilakukan yaitu oleh Warwick dan Berry (1951), Lopyrin et al (1950)

    dan pada babi oleh Kvansnickii (1951). Keberhasilan pertama kali pada sapi dilakukan oleh Willet et.al, dari Cornell

    University USA pada tahun 1951 yang kemudian diikuti oleh peneliti lainnya.

    KEUNTUNGAN

    Penerapan teknik transfer embrio mempunyai beberapa keuntungan antara lain:

    1. Memperbanyak keturunan induk unggul dengan nilai genetis yang tinggi. Selam periode

    reproduksinya, seekor sapi betina secara normal hanya mampu menghasilkan anak

    sebanyak 6-7 ekor. Dengan teknologi transfer embrio, dimungkinkan untuk

    meningkatkan jumlah anak yang dihasilkan dengan cara superovulasi.

    2. Memperpendek interval generasi. Dengan teknologi transfer embrio dimungknkan untuk

    mempercepat sapi betina tersebut keturunan selain memperpendek waktu yang

    diperlukan untuk memperoleh sifat genetis yang baik dari induk maupun pejantannya.

    3. Membuat kelahiran kembar

    Kebuntingan kembar dapat dilakukan dengan meletakkan satu embrio masing-masing pada kornua uteri,

    atau dengan membuat kembar identik dengan melakukan sayatan pada balastomer (teknik splitting )

    4. Penentuan jenis kelamin embrio

    5. Transportasi

    Dengan metoda penyimpanan beku embrio maka pengiriman jarak jauh akan memerlukan biaya

    yang lebih rendah bila dibandingkan dengan pengiriman ternak dewasa. Tidak perlu adaptasi iklim serta

    menghindarkan kemungkinan penularan penyakit dari negara pengekspor ternak.

    6. Cloning

    Yang dimaksud dengan kloning disini adalah pembentukan individu baru yang tidak sama dengan

    pejantannya maupun induknya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memasukkan khromosom

    somatik ke dalam inti sel embrio, sehingga akan dihasilkan individu yang sama sekali baru.

    EMBRIO YANG DIGUNAKAN

    1. Embrio segar (diperoleh langsung dari proses flushing donor, kemudian langsung di -

    Ditransferkan ke resipien).

    2. Embrio beku (diperoleh dari hasil flusing donor,kemudian dibekukan terlebih dahulu,

    Atau diperoleh dari fertilisasi in vitro ).

    TEKNIK YANG DIGUNAKAN

    1. Teknik bedah

    2. Teknik non bedah

    KEGIATAN - KEGIATAN DALAM TRANSFER EMBRIO

    (embrio segar )

    KEGIATAN - KEGIATAN DALAM TRANSFER EMBRIO

    (embrio beku )

    1. Programing 2. Seleksi donor dan resipien 3. Penyerentakan birahi. 4. Superovulasi 5. Pengamatan birahi 6. Insminasi 7. Flushing ( Pemanenan embrio ) 8. Identifikasi embrio 9. Transfer embrio

    1. Programing 2. Seleksi resipien 3. Sinkronisasi resipien 4. Pengamatan birahi 5. 6. Thawing dan Identifikasi embrio 7. Transfer embrio 8. Pemeriksaan kebuntingan

  • 10. Pemeriksaan Kebuntingan

  • Programing

    Merupakan tahap awal penyusunan program kerja, baik periakuan terhadap resipien maupun

    terhadap donor, demikan juga penyesuaian waktu dan lokasi pelaksanaannya.

    Seleksi donor dan resipien

    Seleksi donor dilakukan dengan melihat kondisi fisik, sejarah penyakit terutama penyakit reproduksi.

    Palpasi rektal dilakukan untuk mengetahui status dan anatomis saluran reproduksi. Untuk donor minimal telah

    pernah beranak satu kali.

    - Penyerentakan birahi

    - Superovulasi

    - Pengamatan birahi dan Insminasi

    - Pemanenan embrio ( Flushing )

    Flushing dilakukan pada hari ke 7 setelah insminasi Flushing dapat diiakukan dengan cara bedah dan tanpa

    pembedahan

    Identifikasi embrio

    Identifikasi embrio dilakukan berdasarkan penampakan morfologis dengan kriteria

    A. (Bagus sekali) perkembangan normal tanpa adanya efek yang terlihat.

    A. (Bagus) embrio bagus dengan beberapa ketidakteraturan bentuk (

  • 10. Toelihere. 1979. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Bandung : Penerbit Angkasa. 11. Toelihere. 1994. Inseminasi Buatan pada Sapi. Bandung : Penerbit Angkasa