tatalaksana anemia pada anak dengan penyakit …

23
1 TATALAKSANA ANEMIA PADA ANAK DENGAN PENYAKIT GINJAL KRONIK Dania Meirianitha, GAP Nilawati, Kt Ariawati, Ketut Suarta Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar 1. Pendahuluan Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, insiden dan prevalensi penyakit ginjal meningkat di Amerika Serikat, dari 340.000 orang pada tahun 1999 menjadi 651.000 orang pada tahun 2010. 1 Pada penelitannya, Bliwise dkk 1 menyatakan bahwa di Amerika Serikat tiap tahunnya lebih dari 300.000 pasien menerima terapi hemodialisis dengan tingkat kematian tiap tahunnya sekitar 20%. Anemia merupakan komplikasi PGK yang sering terjadi, bahkan dapat terjadi lebih awal dibandingkan komplikasi PGK lainnya dan pada hampir semua pasien PGK. 2 Prevalensi kejadian anemia pada pasien PGK adalah sebesar 36,6%. 2 Anemia sendiri juga dapat meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas serta angka perawatan di rumah sakit secara bermakna dari PGK. 3-5 Anemia juga menurunkan kualitas hidup, menurunkan kapasitas hemodinamik sistem dan fungsi jantung, meningkatkan kejadian pembesaran ventrikel kiri jantung serta menurunkan kemampuan kognitif. Pada penelitian sebelumnya didapatkan bahwa angka prevalensi anemia berhubungan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus dimana dikatakan anemia akan mulai terjadi pada pasien dengan laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 mL/min per 1,73 m 2 . 4 Prevalensi anemia pada pasien PGK stadium I adalah sebesar 31% dan meningkat menjadi 93,3% pada pasien PGK stadium 4 dan 5. 2 Chavers dkk 5 melaporkan bahwa kadar hemoglobin (Hb) <11 g/dL dialami oleh 69,5% pasien anak dan 55,1% pasien dewasa yang menjalani peritoneal dialisis, sedangkan pada pasien yang menjalani hemodialisis sebanyak 54,1% pasien anak dan 39,8% pasien dewasa. Terdapat empat mekanisme utama yang terlibat pada patogenesis anemia pada penyakit ginjal kronik, yaitu: hemolisis, produksi eritropoetin yang tidak adekuat, defisiensi besi dan penyebab lain. 4 Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk pencapaian kadar Hb > 10 g/dL dan Ht > 30%, baik dengan pengelolaan konservatif melalui terapi zat besi, pemberian eritropoietin maupun transfusi darah. 5 Tujuan penatalaksanaan anemia yang efektif adalah untuk mengurangi kebutuhan tranfusi darah, menghilangkan gejala yang ditimbulkan anemia,

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TATALAKSANA ANEMIA PADA ANAK DENGAN PENYAKIT …

1

TATALAKSANA ANEMIA

PADA ANAK DENGAN PENYAKIT GINJAL KRONIK

Dania Meirianitha, GAP Nilawati, Kt Ariawati, Ketut Suarta

Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

1. Pendahuluan

Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia,

insiden dan prevalensi penyakit ginjal meningkat di Amerika Serikat, dari 340.000 orang

pada tahun 1999 menjadi 651.000 orang pada tahun 2010.1 Pada penelitannya, Bliwise dkk1

menyatakan bahwa di Amerika Serikat tiap tahunnya lebih dari 300.000 pasien menerima

terapi hemodialisis dengan tingkat kematian tiap tahunnya sekitar 20%.

Anemia merupakan komplikasi PGK yang sering terjadi, bahkan dapat terjadi lebih

awal dibandingkan komplikasi PGK lainnya dan pada hampir semua pasien PGK.2 Prevalensi

kejadian anemia pada pasien PGK adalah sebesar 36,6%.2 Anemia sendiri juga dapat

meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas serta angka perawatan di rumah sakit secara

bermakna dari PGK.3-5 Anemia juga menurunkan kualitas hidup, menurunkan kapasitas

hemodinamik sistem dan fungsi jantung, meningkatkan kejadian pembesaran ventrikel kiri

jantung serta menurunkan kemampuan kognitif. Pada penelitian sebelumnya didapatkan

bahwa angka prevalensi anemia berhubungan dengan penurunan laju filtrasi glomerulus

dimana dikatakan anemia akan mulai terjadi pada pasien dengan laju filtrasi glomerulus

kurang dari 60 mL/min per 1,73 m2.4 Prevalensi anemia pada pasien PGK stadium I adalah

sebesar 31% dan meningkat menjadi 93,3% pada pasien PGK stadium 4 dan 5.2 Chavers dkk5

melaporkan bahwa kadar hemoglobin (Hb) <11 g/dL dialami oleh 69,5% pasien anak dan

55,1% pasien dewasa yang menjalani peritoneal dialisis, sedangkan pada pasien yang

menjalani hemodialisis sebanyak 54,1% pasien anak dan 39,8% pasien dewasa.

Terdapat empat mekanisme utama yang terlibat pada patogenesis anemia pada penyakit

ginjal kronik, yaitu: hemolisis, produksi eritropoetin yang tidak adekuat, defisiensi besi dan

penyebab lain.4

Penatalaksanaan anemia ditujukan untuk pencapaian kadar Hb > 10 g/dL dan Ht >

30%, baik dengan pengelolaan konservatif melalui terapi zat besi, pemberian eritropoietin

maupun transfusi darah.5 Tujuan penatalaksanaan anemia yang efektif adalah untuk

mengurangi kebutuhan tranfusi darah, menghilangkan gejala yang ditimbulkan anemia,

Page 2: TATALAKSANA ANEMIA PADA ANAK DENGAN PENYAKIT …

2

mencegah komplikasi kardiovaskular, menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat

anemia dan meningkatkan kualitas hidup.6

Hingga saat ini pembahasan mengenai anemia pada anak dengan PGK khususnya

tatalaksana anemia masih sedikit. Oleh karena itu, penulis berusaha membahas lebih jauh

mengenai tatalaksana anemia pada anak dengan PGK.

2. Penyakit Ginjal Kronik

Penyakit ginjal kronik adalah kerusakan ginjal yang terjadi selama lebih dari tiga bulan,

berdasarkan kelainan patologis atau petanda kerusakan ginjal termasuk kelainan dalam darah,

urin atau studi pencitraan.3,6 Jika tidak ditemukan tanda kerusakan ginjal, maka diagnosis

penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60

ml/menit/1,73m².3

The National Kidney Foundation’s Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative (NKF-

KDOQI) membagi PGK dalam lima stadium yaitu,6

- Stadium 1: kerusakan ginjal dengan LFG normal atau peningkatan LFG (≥90

mL/menit/1,73 m²)

- Stadium 2: kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan (60-89 mL/menit/1,73 m²)

- Stadium 3: penurunan LFG sedang (30-59 mL/menit/1,73 m²)

- Stadium 4: penurunan LFG berat (15-29 mL/menit/1,73 m²)

- Stadium 5: gagal ginjal (LFG < 15 mL/menit/1,73 m² atau dialisis)

3. Anemia Pada Penyakit Ginjal Kronik

3.1. Definisi

Menurut definisi, anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah sel

darah merah, kuantitas Hb, dan volume packed red cells (PRC) per 100 ml darah. Anemia

bukanlah suatu diagnosis, melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik yang

mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik, dan

konfirmasi laboratorium.4,6

The National Kidney Foundation’s Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative

(NK/DOQI) merekomendasikan anemia pada pasien penyakit ginjal kronik anak usia 0,5

Page 3: TATALAKSANA ANEMIA PADA ANAK DENGAN PENYAKIT …

3

sampai 5 tahun jika kadar hemoglobin < 11,0 gr/dl, untuk anak usia 5 sampai 12 tahun jika

kadar Hb < 11,5 gr/dl dan <12,0 gr/dl untuk anak usia 12-15 tahun.6,7

3.2. Etiologi

Terdapat empat mekanisme utama yang terlibat pada patogenesis anemia pada PGK, yaitu :

hemolisis, produksi eritropoetin yang tidak adekuat, defisiensi besi dan penyebab lainnya4,5

3.2.1. Hemolisis

Pada pasien hemodialisis kronik, pengukuran yang dilakukan untuk mengetahui masa hidup

eritrosit menggunakan 51Cr, menunjukkan variasi dari sel darah merah normal yang hidup

tetapi rata-rata waktu hidup berkurang 25-30%. Penyebab hemolisis terjadi di ekstraseluler

karena sel darah merah normal yang ditransfusikan kepada pasien uremia memiliki waktu

hidup yang memendek, namun ketika sel darah merah dari pasien dengan gagal ginjal

ditransfusikan kepada resipien yang sehat maka sel darah merah tersebut memiliki waktu

hidup yang normal.4 Efek faktor yang terkandung pada uremik plasma pada Na-ATPase

membran dan enzim dari Pentosa phospat shunt pada eritrosit diperkirakan merupakan

mekanisme yang menyebabkan terjadinya hemolisis. Kelainan fungsi dari Pentosa phospat

shunt mengurangi ketersediaan dari glutation reduktase, dan oleh karena itu mengartikan

kematian eritrosit menjadi oksidasi hemoglobin dengan proses hemolisisis. Kerusakan ini

menjadi semakin parah apabila oksidan dari luar masuk melalui dialisat atau sebagai obat-

obatan.4

Peningkatan kadar hormon Paratiroid (PTH) pada darah akibat hiperparatioidisme

sekunder juga menyebabkan penurunan sel darah merah yang hidup pada keadaan uremia,

PTH yang utuh atau normal terminal fragmen meningkatkan kerapuhan osmotik dari sel

darah merah manusia secara in vitro, kemungkinan oleh karena peningkatan kerapuhan

seluler. Hiperparatiroidisme dapat menekan produksi sel darah merah melalui dua

mekanisme. Pertama, efek langsung penekanan sumsum tulang akibat peningkatan kadar

PTH dan mekanisme kedua yaitu, efek langsung pada osteitis fibrosa, yang mengurangi

respon sumsum tulang terhadap eritropoetin asing. Mekanisme lainnya yang menyebabkan

peningkatan rigiditas eritrosit yang mengakibatkan hemolisis pada PGK adalah penurunan

fosfat intraseluler (hipofosfatemia) akibat pengobatan yang berlebihan dengan pengikat

Page 4: TATALAKSANA ANEMIA PADA ANAK DENGAN PENYAKIT …

4

fosfat oral, dengan penurunan intracellular adenine nucleotides dan 2,3-

diphosphoglycerate (DPG).4

Hemolisis dapat timbul akibat komplikasi dari prosedur dialisis atau dari interinsik

imunologi dan kelainan eritrosit. Kemurnian air yang digunakan untuk menyiapkan dialisat

dan kesalahan teknik selama proses rekonstitusi dapat menurunkan jumlah sel darah merah

yang hidup, bahkan terjadi hemolisis. Filter karbon bebas kloramin yang tidak adekuat akibat

saturasi filter dan ukuran filter yang tidak mencukupi, dapat mengakibatkan denaturasi

hemoglobin, pemhambatan hexose monophosphate shunt, dan hemolisis kronik. Lisisnya sel

juga dapat disebabkan tercemarnya dialisat oleh copper, nitrat, atau formaldehide.4

Autoimun dan kelainan biokomia dapat menyebabkan pemendekan waktu hidup

eritrosit. Hipersplenisme merupakan gejala sisa akibat transfusi, yang distimulasi oleh

pembentukan antibodi, fibrosis sumsum tulang, penyakit reumatologi, penyakit hati kronis

dapat mengurangi sel darah merah yang hidup sebanyak 75% pada pasien dengan gagal

ginjal terminal. Ada beberapa mekanisme lainnya yang jarang, yang dapat menyebabkan

hemolisis seperti kelebihan besi, seng (Zn), dan formaldehid dalam darah, atau karena

pemanasan berlebih. Perburukan hemolisis pada PGK juga dapat disebabkan karena proses

patologik lainnya seperti splenomegali atau mikroangiopati yang berhubungan dengan

periarteritis nodosa, Sistemic Lupus Eritematous (SLE), dan hipertensi maligna.4,6

3.2.2. Defisiensi Eritropoetin

Eritropoietin adalah senyawa glikoprotein 30.4-kDa yang mengandung 40% karbohidrat.

Pada saat fetus, hati merupakan penghasil utama eritropoietin, namun setelah lahir, fungsi ini

diambil alih oleh sel peritubular interstitial didalam ginjal. Apabila terjadi penurunan suplai

oksigen, maka akan terjadi peningkatan produksi eritropoietin yang dikontrol oleh hypoxia-

inducible factor. Penurunan laju filtrasi glomerulus menyebabkan menurunnya reabsorbsi

natrium di tubulus ginjal dan karena reabsorbsi natrium di tubulus merupakan determinan

utama konsumsi energi di nefron, menyebabkan sedikitnya kebutuhan oksigen sehingga

memberi sinyal untuk menurunkan produksi eritropoietin. Peran penting defisiensi

eritropoetin terhadap patogenesis anemia pada PGK dilihat dari semakin beratnya derajat

anemia.4,5

Page 5: TATALAKSANA ANEMIA PADA ANAK DENGAN PENYAKIT …

5

3.2.3. Defisiensi Besi

Penyebab lain terjadinya anemia pada pasien PGK adalah terjadinya defisiensi besi dimana

terjadi defisiensi besi absolut dan defisiensi besi fungsional yang dapat dikoreksi dengan

pemberian terapi pengganti besi yang lebih agresif.6,7 Defisiensi besi absolut terjadi jika

simpanan besi mengalami deplesi disebabkan karena kehilangan darah atau menurunnya

intake besi. Gambaran pemeriksaan darah menunjukkan saturasi transferin (TSAT) <20%

dan feritin serum <100 ng/ml (PGK non dialisis) dan <200 ng/ml (PGK dengan

hemodialisis). Sedangkan defisiensi besi fungsional terjadi jika didapatkan peningkatan

kebutuhan besi untuk memenuhi sintesis hemoglobin. Gambaran pemeriksaan darah

menunjukkan saturasi transferin (TSAT) <20% dan feritin serum > 100 ng/ml (PGK non

dialisis) dan > 200 ng/ml (PGK dengan hemodialisis).6,7

Defisiensi besi sering terjadi pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis

disebabkan terjadinya kehilangan darah yang kronis disebabkan pengambilan sampel darah

yang berulang-ulang, intervensi tindakan bedah, kehilangan darah selama hemodialisis serta

memendeknya waktu hidup eritrosit. Kehilangan darah pada pasien predialisis adalah sekitar

6 mL/m2. Pasien hemodialisis rata-rata mengalami perdarahan gastrointestinal sekitar 11

mL/m2/hari dan kehilangan darah sekitar 8 mL/m2 per satu kali hemodialisis. Terapi dengan

menggunakan eritropoietin juga membutuhkan besi sebagai bahan baku sintesis Hb.8

3.2.4. Faktor Lain

Mekanisme lain yang mempengaruhi eritropoesis pada pasien dengan PGK stadium lima

dengan reguler hemodialisis adalah intoksikasi aluminium akibat terpapar oleh konsentrasi

tinggi dialisat alumunium dan atau asupan pengikat fosfat yang mengandung aluminium.

Aluminium menyebabkan anemia mikrositik yang kadar feritin serumnya meningkat atau

normal pada pasien hemodialisis, menandakan anemia pada pasien tersebut kemungkinan

diperparah oleh intoksikasi alumnium. Patogenesisnya belum sepenuhnya dimengerti tetapi

terdapat bukti yang kuat yang menyatakan bahwa efek toksik aluminium pada eritropoesis

menyebabkan hambatan sintesis dan ferrochelation hemoglobine. Akumulasi aluminium

dapat mempengaruhi eritropoesis melalui penghambatan metabolisme besi normal dengan

mengikat transferin, melalui terganggunya sintesis porfirin, melalui terganggunya sirkulasi

Page 6: TATALAKSANA ANEMIA PADA ANAK DENGAN PENYAKIT …

6

besi antara prekursor sel darah merah pada sumsum tulang. Penyebab lain seperti terjadinya

inflamasi, hiperparatiroid sekunder, defisiensi vitamin B12 dan asam folat serta penggunaan

obat-obatan sitotoksik, imunosupresan dan obat ACE inhibitor.9

3.3. Pemeriksaan Penunjang Anemia

Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan anemia, pemeriksaan penunjang yang harus

dikerjakan untuk mengevaluasi kondisi anemia pada pasien adalah pemeriksaan darah

lengkap, hitung retikulosit, kadar serum feritin, kadar saturasi transferin serum, kadar

vitamin B12 dan kadar asam folat.6,7,9

3.3.1. Pemeriksaan Darah Lengkap

Relatif sedikit yang diketahui tentang progresivitas kejadian anemia pada pasien dengan

PGK. Akibatnya klinisi tidak dapat menentukan secara tepat frekuensi optimal pemeriksaan

darah lengkap untuk mengetahui kadar hemoglobin yang diharapkan.

Pasien dengan PGK secara berkala harus dievaluasi kadar hemoglobinnya yang

berhubungan dengan kejadian anemia terutama pada pasien-pasien PGK yang tidak

menggunakan erythropoiesis-stimulating agents (ESA).6,7 Seringkali terjadi penurunan

bertahap dari Hb dari waktu ke waktu seiring dengan penurunan tingkat laju filtrasi

glomerulus (LFG). Hal tersebut menunjukkan adanya kebutuhan untuk selalu

mempertahankan konsentrasi Hb. Frekuensi pemantauan kadar Hb, terlepas dari stadium

PGK, sangat dipengaruhi oleh kadar Hb dan laju penurunan kadar Hb. Peningkatan angka

prevalensi kejadian anemia sesuai dengan penurunan fungsi ginjal dan peningkatan stadium

PGK.8,9

Untuk pasien-pasien PGK tanpa anemia, pengukuran kadar Hb dilakukan sesuai klinis

dari pasien, selain itu juga pemeriksaan kadar Hb berkala sangat dianjurkan untuk pasien-

pasien PGK. Pada pasien PGK stadium tiga, pemeriksaan dilakukan minimal sekali setahun,

untuk pasien PGK stadium empat dan lima pemeriksaan dilakukan setidaknya dua kali

pertahun dan untuk pasien PGK stadium lima dengan hemodialisis (HD) dan peritoneal

dialisis (PD) minimal dilakukan pemeriksaan kadar Hb tiap tiga bulan.8,9

Pasien PGK dengan anemia stadium 3-4 yang menjalani HD ataupun PD yang tidak

sedang menjalani terapi dengan preparat eritropoietin, pengukuran kadar Hb dikerjakan

minimal tiap tiga bulan, sedangkan untuk pasien PGK stadium lima yang menjalani HD

Page 7: TATALAKSANA ANEMIA PADA ANAK DENGAN PENYAKIT …

7

pemeriksaan kadar Hb dikerjakan setiap bulan.8,9

Pada pasien PGK anak-anak, tidak ada perbedaan dengan pasien dewasa dalam

monitoring kadar Hb. Pemeriksaan kadar Hb setiap bulan pada anak yang menderita PGK

stadium lima yang menjalani HD dan PD wajib dikerjakan.7,9

3.3.2. Pemeriksaan Kadar Besi Serum

Ada dua aspek penting dalam penilaian status zat besi pada pasien PGK yaitu ada atau tidak

adanya cadangan besi dan ketersediaan besi untuk mendukung proses

eritropoiesis. Pemeriksaan feritin serum adalah pemeriksaan yang paling sering dikerjakan.

Tes ini digunakan untuk mengevaluasi jumlah simpanan zat besi dalam darah, dimana baku

emasnya tetaplah pemeriksaan aspirasi sumsum tulang untuk mengetahui kadar zat besi.

Saturasi transferin (TSAT; kadar zat besi serum dikali 100 dibagi dengan total iron binding

capacity (TIBC)) adalah pemeriksaan yang paling umum digunakan untuk mengukur

ketersediaan besi untuk proses eritropoiesis. Kadar serum feritin dipengaruhi oleh proses

inflamasi dan merupakan reaktan fase akut, dengan demikian, pada pasien PGK, kadar feritin

serum harus ditafsirkan dengan hati-hati, khususnya pada pasien yang menjalani proses

dialisis dimana sering terjadi proses radang.7,10

Kadar feritin serum < 30 ng/ml (< 30 g/l) menunjukkan telah terjadi defisiensi zat

besi yang berat dan terjadi defisit besi di sumsum tulang. Kadar feritin >30 ng/ml (>30 g/l),

tidak selalu menunjukkan simpanan besi dalam sumsum tulang dalam batas normal atau

sudah memadai. Beberapa penelitian melaporkan kadar feritin serum pada semua pasien

PGK sangat bervariasi, tetapi kebanyakan pasien PGK, termasuk mereka yang menjalani

hemodialisis, akan memiliki kadar besi normal di dalam sumsum tulang ketika kadar serum

feritin mereka >300 ng / ml (>300 g /l).10,11

3.3.3. TSAT dan Kadar Feritin

Pemeriksaan laboratorium yang paling sering digunakan untuk mengetahui kadar besi serum

adalah TSAT dan kadar feritin serum. Kadar feritin yang sangat rendah (<30 ng/ml [<30

g/l]) menandakan telah terjadi defisiensi besi. Nilai TSAT dan kadar feritin serum memiliki

sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi pada pasien PGK untuk memprediksi simpanan besi

dalam sumsum tulang dan respon eritropoietik terhadap pemberian besi.10

Page 8: TATALAKSANA ANEMIA PADA ANAK DENGAN PENYAKIT …

8

Berdasarkan rekomendasi dari Kidney Diseases Outcomes Quality Initiative (KDOQI

2006), pemberian suplemen besi bisa mulai diberikan pada pasien PGK stadium 5 yang

menjalani HD yang memiliki kadar feritin serum >200 ng/ml (>200 g/l) dan kadar >100

ng/ml (>100 g/l) pada pasien PGK non dialisis atau pasien PGK stadium 5 yang menjalani

peritoneal dialisis serta memperhatikan nilai TSAT >20% pada semua pasien PGK. The

National Kidney Foundation’s Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative 2006 juga

merekomendasikan untuk pemberian besi intravena (IV) secara rutin bila kadar feritin serum

>500 ng/ml (>500 g/l).6

Pada kebanyakan pasien PGK dengan TSAT >30% atau kadar feritin serum >500

ng/ml (>500 g/l), proses eritropoietik hanya memberikan sedikit respon terhadap pemberian

suplemen besi tunggal. Kadar feritin yang tinggi, dalam beberapa penelitian berhubungan

dengan tingginya tingkat kematian, dimana meningkatnya kadar feritin serum

mengindikasikan terjadinya peningkatan deposit besi di hepar. Suatu penelitian

mengemukakan bahwa tidak terdapat efek yang merugikan apabila preparat besi diberikan

dengan dosis <1000 mg selama enam bulan, namun akan terjadi peningkatan angka kematian

yang signifikan secara statistik saat preparat besi diberikan >1000 mg (adjusted hazard ratio

[HR] 1.09; indeks kepercayaan (IK) 95% untuk pemberian preparat besi 1000 sampai 1800

mg 1.01-1.17; IK 95% untuk pemberian preparat besi >1800 mg 1.09-1.27).10

3.3.4. Pemeriksaan Kadar Vitamin B12 dan Asam Folat

Kekurangan asam folat dan vitamin B12 jarang terjadi, tetapi merupakan salah satu

penyebab penting anemia yang dapat diobati, biasanya terkait dengan gambaran makrositik

pada eritrosit. Data menunjukkan prevalensi defisiensi vitamin B12 dan folat sekitar 10%

dari seluruh pasien PGK yang menjalani HD; sedangkan prevalensi pada pasien PGK tidak

diketahui dengan pasti. Meskipun demikian, karena kekurangan ini mudah diterapi, dan pada

kasus-kasus defisiensi vitamin B12 menunjukkan adanya proses penyakit lain yang

mendasari, maka penilaian kadar asam folat dan kadar vitamin B12 umumnya dianggap

sebagai pemeriksaan standar komponen evaluasi anemia, terutama apabila ditemukan

gambaran makrositosis.7,9

Page 9: TATALAKSANA ANEMIA PADA ANAK DENGAN PENYAKIT …

9

3.4. Penatalaksanaan Anemia Pada Penderita Penyakit Ginjal Kronik

3.4.1.Terapi Besi Pada Penderita Penyakit Ginjal Kronik

Koreksi defisiensi besi dengan pemberian preparat besi oral ataupun intravena dapat

mengurangi derajat anemia pada pasien PGK, sedangkan defisiensi besi yang tidak diterapi

merupakan salah satu faktor penting terjadinya hiporespon terhadap terapi eritropoietin.9,10

Mendiagnosis defisiensi zat besi merupakan suatu hal penting karena dengan

demikian akan mengarahkan kepada pengobatan anemia yang tepat dan penelusuran etiologi

anemia defisiensi besi.9

Deplesi besi dan defisiensi besi biasa terjadi pada kejadian perdarahan akibat

menstruasi, perdarahan saluran pencernaan, selain itu juga pada pasien-pasien PGK yang

menjalani HD, seringkali mengalami anemia berulang akibat kehilangan darah yang

berhubungan dengan retensi darah pada dialiser maupun pada kateter intravena. Penyebab

lain yang sering menyebabkan anemia pada pasien PGK pada saat HD adalah frekuensi

pengambilan sampel darah yang berulang kali, kehilangan darah saat prosedur pembedahan

(pemasangan AV shunt), penghambatan penyerapan besi akibat penggunaan obat-obatan

seperti antasida, preparat pengikat fosfat, serta kejadian inflamasi yang turut serta

menghambat penyerapan besi.10

Suplementasi besi telah digunakan secara luas pada pasien PGK untuk mengatasi

defisiensi besi, mencegah perburukan kondisi pasien, meningkatkan kadar Hb pasien yang

menggunakan maupun yang tidak menggunakan terapi eritropoietin serta menurunkan dosis

eritropoietin pada pasien PGK.10

Terapi besi merupakan indikasi pada pasien PGK disaat simpanan besi di sumsum

tulang mengalami deplesi atau pada pasien PGK yang cenderung memiliki respon

eritropoetik yang bermakna secara klinis, namun penting sekali untuk menghindari terapi zat

besi pada pasien-pasien PGK yang secara klinis pemberian terapi tidak memberikan manfaat,

menghindari transfusi dan mengurangi gejala anemia. Relatif sedikit data penelitian yang

menunjukkan keuntungan klinis jangka panjang pemakaian suplemen besi dibandingkan

penelitian mengenai peningkatan kadar hemoglobin.10

Hal-hal yang perlu diperhatikan saat penggunaan preparat besi pada pasien PGK.10,11

Page 10: TATALAKSANA ANEMIA PADA ANAK DENGAN PENYAKIT …

10

1. Harus selalu memperhatikan keuntungan dan kerugian penggunaan preparat besi

termasuk efek samping preparat besi, reaksi anafilaktoid dan reaksi alergi lainnya.

2. Untuk pasien PGK yang membutuhkan terapi besi, pemilihan rute zat besi didasarkan

pada derajat defisiensi besi, ketersediaan akses vena, respon terhadap terapi besi peroral,

efek samping pemakaian zat besi, kondisi pasien dan biaya yang dibutuhkan.

3. Untuk seluruh pasien anak-anak yang menderita PGK yang disertai anemia namun tidak

sedang mendapat terapi besi atau eritropoietin, sangat direkomendasikan pemakaian

preparat besi oral (atau besi intravena pada pasien PGK yang menjalani HD) apabila

TSAT <20% dan feritin <100 mg/ml (PGK non dialisis dan PGK yang menjalani

peritoneal dialisis) atau feritin <200 mg/ml.

4. Untuk seluruh pasien anak yang menderita PGK dan sedang terapi eritropoetin namun

tidak menggunakan terapi besi direkomendasikan pemakaian preparat besi oral untuk

mempertahankan TSAT >20% dan feritin >100 ng/ml.

Preparat besi yang tersedia di saat ini ada dua sediaan yatu parenteral (Iron sucrose,

Iron dextran) dan sediaan oral (ferrous gluconate, ferrous sulphate, ferrous fumarat dan iron

polysaccharide). Terapi besi oral diindikasikan pada pasien PGK non dialisis dan PGK

dengan peritoneal dialisis yang menderita anemia defisiensi besi. Jika setelah tiga bulan

TSAT tidak dapat dipertahankan > 20% dan/atau kadar feritin serum > 100 ng/ml, maka

dianjurkan untuk pemberian terapi besi parenteral. Terapi besi parenteral terutama

diindikasikan pada pasien PGK yang menjalani hemodialisi.10

Pemberian terapi besi parenteral dibagi menjadi dua fase yaitu fase koreksi dan fase

pemeliharaan. Pada fase koreksi yang bertujuan untuk koreksi anemia defisiensi besi absolut,

dengan target pemberian sampai status besi cukup yaitu TSAT > 20% dan feritin serum

mencapai > 100 ng/ml pada PGK non dialisis dan PGK dengan peritoneal dialisis atau > 200

ng/ml pada PGK yang menjalani hemodialisis. Sebelum dimulai pemberian terapi besi

intravena pertama kali, terlebih dahulu diberikan dosis uji coba (test dose) yang bertujuan

untuk mengetahui adanya hipersensitivitas terhadap besi. Iron sucrose atau iron dextran 25

mg dilarutkan dalam 25 ml NaCl 0,9% drip IV selama 15 menit, kemudian amati tanda-tanda

hipersensitivitas. Bila tidak ditemukan tanda-tanda hipersensitivitas, bisa dilanjutkan dengan

pemberian terapi besi fase koreksi dengan dosis 100 mg diberikan dua kali perminggu pada

saat hemodialisis, dengan perkiraan keperluan dosis total 1000 mg ( 10 kali pemberian).

Evaluasi status besi dilakukan satu minggu setelah terapi besi fase koreksi.12

Terapi besi fase pemeliharaan bertujuan untuk menjaga kecukupan kebutuhan besi

Page 11: TATALAKSANA ANEMIA PADA ANAK DENGAN PENYAKIT …

11

untuk eritropoieses selama pemberian terapi ESA. Target pemberian terapi besi pada fase ini

adalah sampai didapatkan kadar TSAT 20 - 50% dan kadar feritin serum sebesar 100 - 500

ng/ml (pada pasien PGK non dialisis atau pasien PGK yang menjalani peritoneal dialisis) dan

200 - 500 ng/ml (pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis). Evaluasi status besi

diperiksa setiap 1 – 3 bulan. Selanjutnya dosis terapi besi disesuaikan dengan kadar TSAT

dan feritin serum.12

Tabel 1. Terapi Besi Intravena Pada Saturasi Transferin 20 – 50 %23

Feritin

(ng/ml)

Iron sucrose atau Iron Dextran

Dosis Interval Lama evaluasi Terapi ESA

< 200 100 mg Tiap 2 minggu 3 bulan Lanjutkan

200 – 300 100 mg Tiap 4 minggu 3 bulan Lanjutkan

301 – 500 100 mg Tiap 6 minggu 3 bulan Lanjutkan

>500 Tunda

Tabel 2. Terapi Besi Intravena pada Saturasi Transferin < 20%23

Feritin

(ng/ml)

Iron sucrose atau Iron Dextran

Dosis Interval Lama evaluasi Terapi ESA

< 200 100 mg Tiap HD 1-2 bulan tunda

200 – 300 100 mg Tiap 1 minggu 3 bulan Lanjutkan

301 – 500 100 mg Tiap 2 minggu 3 bulan Lanjutkan

501 – 800

>800

Tunda

tunda

Lihat keterangan

Lihat keterangan

1 bulan

Keterangan:

- Bila TSAT < 20% dan kadar feritin serum 501 – 800 ng/ml lanjutkan terapi ESA dan tunda terapi besi,

observasi dalam satu bulan. Bila Hb tidak naik, dapat diberikan iron sucrose atau iron dextran 100 mg

satu kali dalam 4 minggu, observasi tiga bulan.

- Bila TSAT < 20% dan kadar feritin serum >800 ng/ml terapi besi ditunda. Cari penyebab

kemungkinan adanya infeksi-inflamasi.

Untuk masing-masing pasien PGK, kadar optimal Hb, dosis eritropoietin, dan dosis

besi yang memberikan manfaat klinis yang maksimal serta potensial risiko yang minimal

masih belum diketahui. Pemberian terapi besi untuk pasien PGK di beberapa tempat masih

rumit dikarenakan minimnya alat diagnostik pemeriksaan kadar feritin serum dan TSAT

untuk memperkirakan kadar besi di dalam tubuh atau untuk mengevaluasi respon kadar

hemoglobin terhadap pemberian suplemen besi. Bahkan pemeriksaan sumsum tulang yang

merupakan baku emas pemeriksaan kadar besi tidak dapat memprediksi respon eritropoietik

terhadap pemberian suplemen besi secara akurat.12

Penggunaan besi intramuskular telah banyak ditinggalkan. Penggunaan preparat besi

oral memiliki beberapa keuntungan, disamping harganya lebih murah, tersedia di berbagai

daerah, dan tidak membutuhkan jalur akses intravena, terutama pada pasien PGK yang tidak

Page 12: TATALAKSANA ANEMIA PADA ANAK DENGAN PENYAKIT …

12

membutuhkan HD. Selain itu penggunaan preparat besi oral tidak menimbulkan efek

samping yang berbahaya, namun beberapa penelitian melaporkan terjadi efek samping pada

sistem gastrointestinal. Pemberian preparat besi oral bersamaan dengan makanan atau

diantara dua waktu makan (between meals) akan mengurangi efikasi dari preparat besi

tersebut.11,12

Pada pasien PGK dengan terapi besi oral, pemeriksaan kadar besi juga dapat

digunakan untuk menilai kepatuhan dalam minum obat. Dosis besi oral yang

direkomendasikan oleh KDOQI 2006 untuk pasien PGK pediatri adalah 2-6 mg/kgBB/hari

dengan dosis terbagi 2-3 kali perhari.6

Setiap bentuk preparat besi memiliki potensi untuk terjadi reaksi alergi. Gejala yang

sering muncul berupa hipotensi, dispneu, dan reaksi anafilaksis. Penyebab terjadinya reaksi

belum sepenuhnya diketahui, namun diduga karena keterlibatan mekanisme kekebalan tubuh

dan atau pelepasan radikal bebas kedalam sirkulasi yang diinduksi oleh stres oksidatif.12

Mekanisme terjadinya reaksi akut berbeda-beda tergantung dari preparat besi.

Preparat besi dextran seringkali menimbulkan reaksi anafilaksis dengan angka kejadian

sebesar 0,6-0,7%. Efek yang lebih serius didapatkan lebih sering terjadi pada pemberian

preparat dextran dengan berat molekul yang lebih besar. Persiapan alat resusitasi, observasi

selama 60 menit serta pengawasan oleh petugas yang terlatih untuk melakukan resusitasi

sangat dibutuhkan saat awal pemberian preparat besi dextran intravena dikarenakan

tingginya angka insiden kejadian reaksi anafilaksis pascaterapi besi.12

Kontraindikasi pemberian terapi besi adalah apabila pasien menderita infeksi

sistemik. Besi merupakan zat penting yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan replikasi

serta proliferasi beberapa patogen termasuk bakteri, virus, jamur, parasit, cacing, selain itu

besi juga mempengaruhi sistem imun dan respon tubuh terhadap mikroba. Beberapa teori

dan penelitian menyatakan bahwa pemberian preparat besi pada saat penderita mengalami

penyakit sistemik justru akan memperberat infeksinya.11,12 Kontraindikasi lain pemberian

terapi besi adalah pada anemia yang tidak disebabkan oleh defisiensi besi, hipersensitivitas

terhadap preparat besi parenteral, pada penderita yang memiliki riwayat asma serangan berat,

ektima, dan menderita hepatitis kronis atau mengalami transaminitis lebih dari tiga kali nilai

normal.12

Page 13: TATALAKSANA ANEMIA PADA ANAK DENGAN PENYAKIT …

13

Gambar 1. Algoritme Terapi Besi23

3.4.2. Pemakaian Eritropoiesis Stimulating Agent (ESA)

Pada tahun-tahun awal, recombinant human erythropoietin (rHuEPO) digunakan oleh para

ahli ginjal untuk terapi pada pasien-pasien PGK dengan kadar hemoglobin sangat rendah

yang menjalani dialisis jangka panjang, dimana pasien-pasien tersebut sangat ketergantungan

terhadap proses tranfusi. Manfaat lain dari rHuEPO pada pasien PGK adalah menurunkan

kebutuhan tranfusi darah sehingga menurunkan transmisi virus melalui produk darah seperti

penyakit hepatitis B dan hepatitis C, mengurangi alosensitisasi, dan menurunkan

hemosiderosis tranfusional. Sebelumnya rHuEPO hanya digunakan pada pasien-pasien PGK

Page 14: TATALAKSANA ANEMIA PADA ANAK DENGAN PENYAKIT …

14

stadium akhir dan sudah menjalani dialisis, namun kemudian rHuEPO digunakan pula pada

pasien PGK stadium empat dan stadium lima.13

Setelah pasien PGK didiagnosis dengan anemia, seluruh penyebab anemia haruslah

diterapi terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk memulai terapi dengan eritropoietin.

Ada beberapa alasan mengapa penyebab lain anemia selain defisiensi eritropoietin harus

digali terlebih dahulu dimana kondisi patologis yang dapat sembuh haruslah diperbaiki

terlebih dahulu.13 Sebagai contoh, pengobatan dengan ESA tidak mungkin sepenuhnya

efektif untuk meningkatkan konsentrasi hemoglobin sampai infeksi bakteri sistemik maupun

hiperparatiroidisme sekunder diobati dengan tepat. Guideline dari American Society of

Clinical Oncology and the American Society of Hematology merekomendasikan untuk

penggunaan ESA sebagai terapi dengan sangat hati-hati terutama pada pasien dengan

keganasan. Hal ini didukung dengan analisa post-hoc di the international trial of

darbepoetin-alfa in type 2 diabetes and CKD (TREAT) yang menunjukkan tingkat kematian

secara signifikan lebih tinggi pada kelompok pasien dengan riwayat keganasan yang

diberikan darbopoietin dibandingkan kelompok pasien yang diberikan plasebo. Sedangkan

Risiko relatif kejadian stroke pada pasien yang mendapatkan darbopoietin adalah sama baik

pada kelompok pasien PGK dengan riwayat stroke maupun kelompok tanpa riwayat stroke

yaitu sebesar 2 kali.14

Terapi ESA belum perlu dimulai pada pasien PGK yang tidak menjalani dialisis yang

mempunyai kadar hemoglobin > 10,0 g/dl (> 100 g/l). Disarankan untuk memulai terapi

ESA pada pasien PGK non dialisis adalah ketika kadar Hb > 9,0 dan <10.0 g/dl. Namun hal

ini sangat tergantung dari tiap individu dimana mempertimbangkan saat munculnya gejala

yang disebabkan oleh anemia maupun kebutuhan akan tranfusi.13 Target Hb pada pasien

PGK non dialisis, atau yang menjalani peritoneal dialisis maupun hemodialisis adalah 10 –

12 g/dl. Kadar Hb tidak boleh melebihi 13 g/dl karena pada target Hb lebih dari 12 g/dl

pemberian ESA tidak menghasilkan perbaikan kualitas hidup yang bermakna secara klinis,

akan terjadi risiko hipertensi dan thrombosis vascular yeng meningkat, serta angka kematian

total akibat penyakit kardiovaskular akan menjadi lebih tinggi.14

Pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis, tingkat penurunan Hb

lebih cepat dibandingkan pada pasien non dialisis, dan jika tidak diobati maka kadar Hb akan

sering jatuh dibawah 8 g/dl (80 g/l) karenanya disarankan penggunaan ESA dimulai apabila

kadar hemoglobin berkisar antara 9,0 – 10,0 g/dl. Terdapat beberapa faktor khusus pada

anak-anak yang harus dipertimbangkan dalam menentukan target kadar hemoglobin,

Page 15: TATALAKSANA ANEMIA PADA ANAK DENGAN PENYAKIT …

15

diantaranya adalah variasi kadar hemoglobin yang tergantung dari usia anak, kualitas hidup,

pertumbuhan dan perkembangan anak, serta psikologis anak yang sangat berbeda dengan

orang dewasa. Beberapa data menunjukkan bahwa anak-anak dengan PGK dan kadar Hb

kurang dari 9.9 g/dl berisiko lebih tinggi untuk terjadinya kematian, hipertrofi ventrikel kiri,

dan/atau penurunan kapasitas latihan fisik dibandingkan dengan pasien PGK dengan kadar

Hb lebih besar dari 9.9 g/dl. Kadar hematokrit juga berbanding lurus dengan kualitas hidup

pasien dan fungsi fisik anak penderita PGK.13,14

Secara umum, target awal terapi ESA adalah terjadinya peningkatan kadar Hb

0,5 sampai 1,5 g/dl perbulan. Bila target respon tercapai, pertahankan dosis ESA sampai

target Hb tercapai (10-12 g/dl). Hal ini konsisten dengan temuan dalam uji klinis ESA

terhadap pasien PGK dengan anemia, dimana akan terjadi kenaikan kadar Hb sekitar 0,7-

2,5 g/dl dalam empat minggu pertama. Namun, kenaikan kadar Hb yang lebih besar dari 2,0

g / dl dalam empat minggu harus dihindari.7,13

Tingkat kenaikan kadar hemoglobin bervariasi tergantung dari masing-masing

individu. Pasien perempuan, pasien dengan riwayat penyakit kardiovaskuler, pasien PGK

yang disertai defisiensi besi dan kelebihan berat badan pada umumnya memiliki respon yang

lebih rendah terhadap terapi ESA. Respon terapi juga tergantung pada dosis awal, frekuensi

pemberian serta rute pemberian. Dosis epoetin-alfa atau epoetin-beta pada umumnya dimulai

pada 2000 - 5000 IU dan diberikan dua kali seminggu atau 80-120 unit/kgBB/minggu secara

subkutan.. Dosis darbepoetin-alfa dimulai dengan 0.45 mg/kg berat badan sekali seminggu

secara subkutan atau intravena, atau 0,75 mg / kg berat badan setiap dua minggu sekali

dengan pemberian SC. Sedangkan untuk dosis CERA (continuous erythropoietin receptor

activator [methoxy polyethylene glycol-epoetin-beta]) dimulai dengan 0,6 g/kg berat badan

atau 50-75 g setiap dua minggu sekali secara subkutan atau melalui intravena untuk pasien

PGK non dialisis dan pasien PGK stadium lima yang menjalani dialisis, atau 1,2 mg/kg berat

badan setiap empat minggu sekali secara SC untuk pasien PGK non dialisis. Epoetin-alfa

atau dosis epoetin-beta dapat ditingkatkan setiap empat minggu dengan dosis mingguan

3x20 IU/kg jika peningkatan Hb tidak memadai. Meningkatkan dosis ESA tidak boleh

dilakukan lebih dari sekali sebulan.Kadar awal Hb yang lebih tinggi membutuhkan dosis

ESA yang lebih rendah, kecuali untuk CERA dimana tidak ada perubahan dosis awal. Pada

pasien dengan riwayat penyakit kardiovaskuler, tromboemboli atau kejang, atau pasien PGK

yang memiliki tekanan darah tinggi, dosis awal harus dimulai dengan dosis yang lebih

rendah. 7,14

Page 16: TATALAKSANA ANEMIA PADA ANAK DENGAN PENYAKIT …

16

Jika setelah pemberian ESA, kadar Hb meningkat dan mendekati 11,5 g/dl (115 g/l),

dosis ESA harus dikurangi sekitar 25% dari dosis awal. Jika kadar Hb terus meningkat, dosis

harus dipertahankan sementara sampai kadar Hb mulai menurun kembali, di mana dosis

harus kembali dimulai dengan dosis sekitar 25% dibawah dosis sebelumnya. Jika Hb

meningkat lebih dari 1,0 g/dl (10 g/l) dalam jangka waktu dua minggu, dosis harus dikurangi

sekitar 25%.7,14

Sebagaimana diuraikan dalam KDOQI 2006, rute pemberian ESA ditentukan oleh

stadium PGK, pertimbangan efektivitas, dan jenis ESA yang digunakan. Pada pasien PGK

stadium lima yang menjalani dialisis baik hemodialisis intermiten atau terapi hemofiltrasi,

pemberian ESA dapat diberikan secara subkutan atau intravena. Dalam pasien rawat jalan,

pemberian secara subkutan hanya rutin dilakukan untuk pasien dengan PGK stadium 3

sampai 5 atau pasien PGK dengan PD. Pemberian ESA short acting secara SC pada pasien

dengan PGK stadium lima yang menjalani HD terbukti lebih baik dibandingkan dengan

pemberian secara intravena. Sedangkan untuk long acting ESA, dapat diberikan secara

intravena maupun secara subkutan dan memberikan hasil yang serupa. Namun pada pasien-

pasien PGK stadium lima yang menjalani HD, pada umumnya lebih menyukai pemberian

secara intravena dibandingkan dengan secara subkutan karena pemberian subkutan dirasakan

lebih nyeri.6,16

Frekuensi pemberian ESA tergantung pada efikasi, kemudahan serta kenyamanan.

Di antara long-acting ESA, darbepoetin alfa memiliki efek yang maksimal bila diberikan

setiap dua minggu, dan metoksi polietilen glikol-epoetin-beta (CERA) memberi efek

maksimal apabila diberikan setiap empat minggu. Ketika mengkonversi short acting ESA

menjadi long-acting ESA, perbedaan waktu paruh obat perlu dipertimbangkan. Sebagai

perbandingan, epoetin-alfa diberikan tiga kali seminggu sedangkan darbepoetin-alfa

diberikan hanya sekali sebulan.17

Pada pemberian ESA fase inisiasi, dianjurkan untuk memantau kadar Hb setidaknya

setiap bulan dengan maksud untuk memberikan informasi yang cukup dalam mencapai dan

mempertahankan kadar Hb yang diinginkan. Minimum interval penyesuaian dosis ESA

adalah sekitar dua minggu karena efek dari perubahan dosis ESA tidak akan terlihat dalam

interval waktu yang lebih pendek . Pada fase pemeliharaan, pemberian ESA dengan interval

yang lebih pendek dipertimbangkan pada pasien dengan kadar Hb tidak stabil, dan pasien

PGK yang menjalani hemodialisis. Sedangkan apabila kadar Hb stabil, pasien peritoneal

dialisis, pasien pGK stadium 3-5, dan untuk meminimalkan pemeriksaan laboratorium maka

Page 17: TATALAKSANA ANEMIA PADA ANAK DENGAN PENYAKIT …

17

dianjurkan untuk ESA dengan interval pemberian yang lebih panjang seperti seperti

darbepoetin long-acting.18

Kurang respon terhadap terapi ESA sering terjadi pada pasien PGK. Kurang respon

atau resistensi terhadap ESA merupakan suatu kondisi yang membutuhkan peningkatan dosis

ESA untuk mempertahankan kadar Hb, atau terjadinya penurunan kadar Hb yang signifikan

ketika menggunakan dosis awal ESA, atau kegagalan mempertahankan kadar Hb > 11g/dl

dengan menggunakan dosis ESA > 500 unit/kgBB/minggu. Tabel 1 menampilkan beberapa

penyebab terjadinya kurang respon terhadap ESA pada pasien PGK.15

Tabel 3. Penyebab terjadinya hiporespon terhadap terapi ESA pada pasien PGK15

Penyebab

1. Kehilangan darah yang bersifat akut terutama pada pasien yang sedang menjalani hemodialisis

dimana pada saat hemodialisis sering terjadi kehilangan darah di kateter intravena maupun di

dialiser. Pada pasien anak yang menjalani hemodialisis rata-rata kehilangan darah 8 ml/m2 setiap

kali tindakan.

2. Infeksi maupun inflamasi yang bersifat akut

3. Toksisitas alumunium

4. Keganasan

5. Kehilangan darah yang bersifat kronis (plebotomi berulang, perdarahan pascadialisis, clotting pada

dialiser, perdarahan saluran cerna)

6. Penyakit kronis (infeksi HIV, sickle cell anemia, thalassemia)

7. Diabetes

8. Hiperparatiroid sekunder

9. Defisiensi besi absolut maupun defisiensi besi fungsional.

10. Obat-obatan (ACE inhibitor, ARB, Renin inhibitor) dosis tinggi

11. Uremia/ dialisis suboptimal

12. Defisiensi vitamin B12 dan asam folat

Efek samping yang sering muncul setelah pemberian ESA adalah hipertensi, kejang,

hiperkalemia, penurunan klirens dialiser, terjadinya kondisi hiperfosfatemia sehingga

meningkatkan napsu makan penderita dan menurunkan klirens.18

Kontraindikasi terapi ESA diantaranya adalah hipertensi yang tidak terkontrol,

memiliki riwayat hipersensitivitas terhadap preparat eritropoietin dan memiliki riwayat alergi

terhadap produk yang berasal dari sel mamalia.19

Page 18: TATALAKSANA ANEMIA PADA ANAK DENGAN PENYAKIT …

18

Gambar 2. Algoritma Terapi ESA23

3.4.3. Transfusi Darah

Penggunaan transfusi sel darah merah harus mempertimbangkan keuntungan maupun

kerugiannya. Manfaat utama adalah mempertahankan kapasitas transport oksigen dan

mengatasi gejala anemia. Saat memilih pengobatan untuk anemia, karakteristik pasien harus

dipertimbangkan, riwayat stroke sebelumnya serta ada tidaknya keganasan merupakan

kontraindikasi pemberian ESA. Sebaliknya, pada pasien transplantasi ginjal memiliki potensi

bahaya apabila dilakukan transfusi, karena akan terjadi alosensitisasi.20

Saat ini tidak ada konsensus tentang kapan indikasi untuk melakukan transfusi,

meskipun tingkat kebutuhan untuk transfusi darah akan meningkat saat kadar hemoglobin

turun dibawah 10 g/dl (100 g/l) terutama yang disertai dengan gejala dispneu.20

Risiko yang berhubungan dengan transfusi darah termasuk diantaranya kelebihan

cairan, hiperkalemia, keracunan sitrat (mengakibatkan alkalosis metabolik dan

Page 19: TATALAKSANA ANEMIA PADA ANAK DENGAN PENYAKIT …

19

hipokalsemia), hipotermia, koagulopati, reaksi tranfusi yang berhubungan dengan

hipersensitivitas, transfusion-related acute lung injury (TRALI), dan kelebihan besi akibat

tranfusi. Penularan infeksi, meskipun jarang, merupakan perhatian utama dan risiko ini

bervariasi diantara berbagai negara.21,22

Tabel 4 Indikasi Transfusi Darah20

Indikasi

Koreksi segera untuk

menstabilkan kondisi pasien (mis,

perdarahan akut, unstable myocardial

ischemia)

Transfusi sel darah merah pada pasien dengan

perdarahan akut merupakan indikasi pada situasi

berikut: a) perdarahan akut yang cepat; b)

diperkirakan kehilangan darah >30-40% dari volume

darah (1500-2000 ml) dengan gejala

kehilangan darah yang berat; c) kehilangan darah >25-

30% volume darah tanpa bukti

perdarahan yang tidak terkendali, jika tanda-tanda

hipovolemia berulang meskipun telah dilakukan

resusitasi koloid / kristaloid; d) pada pasien dengan

faktor co-morbid, transfusi mungkin diperlukan

dengan derajat yang lebih rendah dari kehilangan darah

Koreksi hemoglobin segera untuk preoperatif Tidak direkomendasikan saat Hb > 10 g/dl (> 100 g/l)

pada orang sehat, namun harus diberikan saat Hb <7

g/dl (70 g/l) dengan atau tanpa gejala anemia

PRC harus ditransfusikan apabila kadar Hb < 7 g/dl

(70 g/l) dan pasien stabil.

Pasien berisiko tinggi (>65 tahun dan/atau pasien

dengan penyakit kardiovaskuler atau distress napas)

dapat mulai diberikan transfusi darah saat kadar Hb <

8 g/dl (80 g/l).

Apabila gejala anemia muncul pada pasien

dengan terapi ESA yang tidak efektif

(kegagalan sumsum tulang,

hemoglobinopati, resisten ESA)

Pasien dengan anemia kronis (misalnya sindrom

kegagalan sumsum tulang) kemungkinan akan

tergantung pada penggantian sel darah merah dalam

periode bulan atau tahun, yang dapat menyebabkan

kelebihan zat besi.

Kurang lebih terdapat 200 mg besi per unit sel darah

merah; dimana besi akan dilepaskan ketika

hemoglobin dari sel darah merah yang ditranfusikan

akan mengalami metabolisme setelah kematian sel

darah merah.

Dalam situasi klinis tertentu, transfusi sel darah merah mungkin diperlukan untuk

koreksi anemia. Situasi ini termasuk perdarahan akut dan masalah klinis lain yang

diperburuk oleh anemia, seperti akut iskemia miokard. Ketika diperlukan operasi segera,

transfusi juga dapat diberikan untuk mencapai kadar hemoglobin preoperatif. Target

pencapaian Hb dengan tranfusi darah adalah 7-9 g/dl.20

Risiko yang akan terjadi pada saaat melakukan tranfusi darah pada pasien PGK

diantaranya adalah terjadinya circulation overload, transmisi penyakit infeksi (hepatitis,

HIV, malaria), febrile non hemolytic reaction, reaksi alergi atau anafilaktik, reaksi hemolitik,

Page 20: TATALAKSANA ANEMIA PADA ANAK DENGAN PENYAKIT …

20

iron overload, alloimunisasi dan transfusion related acute lung injury (TRALI).21

3.5. Simpulan

Kejadian anemia pada penyakit ginjal kronik berbanding lurus dengan menurunnya laju

filtrasi glomerulus. Anemia berhubungan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas pasien

PGK. Etiologi dan tatalaksana anemia pada anak dengan penyakit ginjal kronik sangat

komplek. Dengan terapi yang tepat menggunakan eritropoietin dan preparat besi, anemia

pada PGK dapat diatasi, hal ini mampu meningkatkan kualitas hidup pasien anak dengan

penyakit ginjal kronik.

Page 21: TATALAKSANA ANEMIA PADA ANAK DENGAN PENYAKIT …

21

DAFTAR PUSTAKA

1. Bliwise D, Kutner N, Zhang R, Parker K. Survival by Time of Day of Hemodialysis in

an Elderly Cohort; 2001.

2. Wong H, Mylrea K, Feber J, Drukker A, Filler G. Prevalence of complications in

children with chronic kidney diseases according to KDOQI. Kidney Int. 2006;70:585-90.

3. Schwartz GJ, Munoz A, Schneider MF. New equations to estimate GFR in children with

CKD. J Am Soc Nephrol. 2009;20:629–37.

4. Astor BC, Muntner P, Levin A. Association of kidney function with anemia: the Third

National Health and Nutrition Examination Survey. Arch Intern Med. 2002;162:1401-08.

5. Chavers BM, Roberts TL, Herzog CA, Collins AJ, St Peter WL. Prevalence of anemia in

erythropoietin-treated pediatric as compared to adult chronic dialysis patients. Kidney

Int. 2004;65:266-73.

6. K/DOQI; National Kidney Foundation III Clinical Practice Recommendations for

Anemia in Chronic Kidney Disease in Children. Am J Kidney Dis. 2006;47:86–108.

7. National Kidney Foundation. KDOQI Clinical Practice Guideline and Clinical Practice

Recommendations for anemia in chronic kidney disease:2007 update of hemoglobin

target. Am J Kidney Dis. 2007;50:471–530.

8. Fadrowski JJ, Pierce CB, Cole SR. Hemoglobin decline in children with chronic kidney

disease: baseline results from the chronic kidney disease in children prospective cohort

study. Clin J Am Soc Nephrol. 2008;3:457–62.

9. Locatelli F, Aljama P, Barany P. Revised European best practice guidelines for the

management of anaemia in patients with chronic renal failure. Nephrol Dial Transplant.

2004;19:1–47.

10. Gillespie RS, Wolf FM. Iron therapy in pediatric hemodialysis patients: a meta-analysis.

Pediatr Nephrol. 2004;19:662–66.

11. Tessitore N, Solero GP, Lippi G. The role of iron status markers in predicting response to

intravenous iron in haemodialysis patients on maintenance erythropoietin. Nephrol Dial

Transplant. 2001;16:1416–23.

12. Mircescu G, Garneata L, Capusa C et al. Intravenous iron supplementation for the

treatment of anaemia in pre-dialyzed chronic renal failure patients. Nephrol Dial

Transplant. 2006;21:120–24.

Page 22: TATALAKSANA ANEMIA PADA ANAK DENGAN PENYAKIT …

22

13. Fehr T, Ammann P, Garzoni D. Interpretation of erythropoietin levels in patients with

various degrees of renal insufficiency and anemia. Kidney Int 2004; 66: 1206–1211.

14. Regidor DL, Kopple JD, Kovesdy CP. Associations between changes in hemoglobin and

administered erythropoiesis-stimulating agent and survival in hemodialysis patients. J

Am Soc Nephrol. 2006;17:1181–91.

15. Macdougal IC, Cooper AC. Erythropoietin resistance: the role of inflammation and pro-

inflammatory cytokines. Nephrol Dial Transplant. 2002;17:39–43.

16. Parfrey PS, Wish T. Quality of life in CKD patients treated with erythropoiesis-

stimulating agents. Am J Kidney Dis. 2010;55:423–25.

17. Palmer SC, Navaneethan SD, Craig JC. Meta-analysis: erythropoiesisstimulating agents

in patients with chronic kidney disease. Ann Intern Med. 2010;153:23–33.

18. Locatelli F, Canaud B, Giacardy F. Treatment of anaemia in dialysis patients with unit

dosing of darbepoetin alfa at a reduced dose frequency relative to recombinant human

erythropoietin (rHuEpo). Nephrol Dial Transplant. 2003;18:362–69.

19. Warady BA, Ho M. Morbidity and mortality in children with anemia at initiation of

dialysis. Pediatr Nephrol. 2003;18:1055–62.

20. Klein H. Mollisons Blood Transfusion in Clinical Medicine, 11th edn. Wiley-Blackwell,

2005.

21. Kleinman S, Caulfield T, Chan P. Toward an understanding of transfusion-related acute

lung injury: statement of a consensus panel. Transfusion. 2004;44:1774–89.

22. Kuehnert MJ, Roth VR, Haley NR. Transfusion-transmitted bacterial infection in the

United States, 1998 through 2000. Transfusion. 2001;41:1493–99.

23. Perhimpunan Nefrologi Indonesia. Konsensus Manajemen Anemia Pada Penyakit Ginjal.

Jakarta: PERNEFRI; 2011.

Page 23: TATALAKSANA ANEMIA PADA ANAK DENGAN PENYAKIT …

23