studi komparasi hukum wewenang dan fungsi pra
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
STUDI KOMPARASI HUKUM WEWENANG DAN FUNGSI
PRA PERADILAN MENURUT HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA
DENGAN SISTEM HABEAS CORPUS
DI AMERIKA SERIKAT
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana SI
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh:
WAHYU JANUAR
NIM. E 0006247
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
STUDI KOMPARASI HUKUM WEWENANG DAN FUNGSI
PRA PERADILAN MENURUT HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA
DENGAN SISTEM HABEAS CORPUS
DI AMERIKA SERIKAT
Oleh
WAHYU JANUAR
NIM. E0006247
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Januari 2011
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Edy Herdyanto, S.H., M.H. Muhammad Rustamaji, S.H., M.H.
NIP. 19570629 1985031002 NIP. 198210082005011001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)
STUDI KOMPARASI HUKUM WEWENANG DAN FUNGSI
PRA PERADILAN MENURUT HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA
DENGAN SISTEM HABEAS CORPUS
DI AMERIKA SERIKAT
Oleh
WAHYU JANUAR
NIM. E0006247
Telah diterima dan dipertahankan dihadapan
Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada:
Hari : Selasa
Tanggal : 01 Februari 2011
DEWAN PENGUJI
1. Bambang Santoso, S.H., M.Hum. : …………………………………… NIP. 196202091989031001
KETUA
2. Edy Herdyanto, S.H., M.H. : …………………………………… NIP. 195706291985031002
SEKRETARIS 3. Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. : …………………………………… NIP. 198210082005011001 ANGGOTA
Mengetahui Dekan,
Mohammad Jamin, S.H, M.Hum NIP. 19610930 198601 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : WAHYU JANUAR
NIM : E0006247
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul:
STUDI KOMPARASI HUKUM WEWENANG DAN FUNGSI PRA
PERADILAN MENURUT HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA
DENGAN SISTEM HABEAS CORPUS DI AMERIKA SERIKAT adalah
betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum
(skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di
kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima
sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang
saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Januari 2011
Yang membuat pernyataan
WAHYU JANUAR
NIM. E0006247
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
Wahyu Januar, NIM. E. 0006247. 2011. STUDI KOMPARASI HUKUM WEWENANG DAN FUNGSI PRA PERADILAN MENURUT HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA DENGAN SISTEM HABEAS CORPUS DI AMERIKA SERIKAT. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan wewenang dan fungsi pra peradilan menurut hukum acara pidana Indonesia dengan sistem Habeas Corpus di Amerika Serikat serta untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan wewenang dan fungsi pra peradilan menurut hukum acara pidana Indonesia dengan sistem Habeas Corpus di Amerika Serikat.
Penelitian merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat perskriptif, untuk menemukan ada tidaknya persamaan dan perbedaan serta kelebihan dan kelemahan pra peradilan menurut Hukum Acara Pidana Indonesia diperbandingkan dengan sistem Habeas Corpus di Amerika Serikat. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah identifikasi isi atau studi kepustakaan. Teknik analisis data yang dilaksanakan menggunakan logika deduktif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, bahwa pra peradilan dan Habeas Corpus memiliki kesamaan dalam hal pihak yang memeriksa dan memutuskan tentang sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan dan permintaan rehabilitasi. Perbedaanya dalam pra peradilan hakim yang mengadili perkara memeriksa sebelum sidang di pengadilan dan kewenanganya terbatas pada menguji keabsahan suatu penangkapan dan penahanan, sedangkan pada Habeas Corpus hakim yang memeriksa adalah hakim di pengadilan biasa dan kewenanganya lebih luas dalam arti, permohonan dikeluarkanya surat perintah Habeas Corpus diajukan kepada instansi manapun yang melakukan penangkapan dan penahanan. Kelebihan pra peradilan, sidang tersebut diadakan atas permintaan tersangka atau terdakwa ataupun keluarganya dalam forum yang terbuka dan juga dipenuhi syarat keterbukaan (transparacy) dan akuntabilitas publik (public accountability), pada Habeas Corpus adanya penjaminan berupa hak dan upaya hukum untuk melawan perampasan dan pembatasan kemerdekaan yang dilakukan sewenang-wenang oleh penyidik. Kelemahanya, sidang pra peradilan tidak sesuai dengan amanat Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP, sedangkan pada Habeas Corpus peranan hakim tidak hanya terbatas pada pengawasan terhadap penangkapan dan penahanan yang sudah terjadi, melainkan pada waktu sebelumnya, yaitu sebelum diadakan penahanan sehingga tugasnya terlalu banyak dan berat. Kata kunci : Perbandingan hukum, Pra peradilan, Habeas Corpus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
“Hai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu orang-orang yang benar-benar
menegakkan keadilan, menjadi saksi semata-mata karena Allah, biarpun terhadap
dirimu-sendiri, bapak-ibu dan kaum kerabatmu, sekalipun terdakwa itu kaya atau miskin,
maka Allah lebih mengutamakan persamaan hak dan kewajiban terhadap keduanya.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu untuk memperkosa keadilan.
Dan kalau kamu memutarbalikkan kenyataan maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan“
(QS. An Nisaa‘ :135)
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada
Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”
(QS. Al Insyirah: 6-8)
“If you love somebody, let them go, for if they return, they were always yours. And if they don't, they never were”
(Kahlil Gibran)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Karya kecil ini penulis persembahkan kepada:
❧ Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan tak
terhingga dan skenario kehidupan yang indah sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dan suri
tauladan dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW.
❧ Bapak dan Ibu tercinta yang senantiasa mendukung
kuliah, memberikan doa dan nasihat, semangat, cinta
dan kasih sayang serta kerja keras yang tak ternilai
harganya demi mewujudkan cita-citaku menjadi
seorang Sarjana Hukum dan membuatku lebih
menghargai setiap waktu dan kesempatan di dalam
hidupku.
❧ Adikku tersayang Annisa Agustin yang selalu ada
untuk memberi semangat walaupun hanya lewat sms
”kapan Aa wisuda?? Ade mau liat sekalian jalan-
jalan!hehehe...”.
❧ Sahabat-sahabatku yang memberikan warna dalam
kehidupanku.
❧ Seorang hamba Allah SWT yang kelak akan menemani
hidupku...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis persembahkan kepada Allah SWT karena dengan
rahmat dan hidayah-Nya yang telah menyertai Penulis, sehingga dapat
menyelesaikan penyusunan penulisan hukum (skripsi) yang berjudul “ STUDI
KOMPARASI HUKUM WEWENANG DAN FUNGSI PRA PERADILAN
MENURUT HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA DENGAN SISTEM
HABEAS CORPUS DI AMERIKA SERIKAT“.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya penulisan hukum (skripsi) ini
tidak terlepas dari bantuan serta dukungan baik meteriil maupun non materiil yang
diberikan oleh berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, Penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah memberi dukungan, semangat, doa, saran dan kritik serta sarana dan
prasarana bagi Penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini, oleh sebab itu
dengan segala kerendahan hati, Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. M. Syamsulhadi, Sp.Kj (K) selaku Rektor Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta .
3. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara
sekaligus pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, masukan,
arahan dan pengetahuan sehingga mempermudah penulis untuk
menyelesaikan penulisan hukum ini serta memberi semangat penulis.
4. Bapak Muhammad Rustamaji, SH., M.H. selaku Dosen Hukum Acara
Pidana dan pembimbing II yang telah berbagi ilmu, mengajari penulis
akan ketelitian, kesabaran sehingga dapat terselesaikanya penulisan hukum
ini.
5. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum. pemberi inspirasi judul skripsi
ini, pemberi semangat dalam pengerjaan skripsi dan tempat dimana
penulis berkeluh-kesah apabila kesulitan dalam mengerjakan skripsi ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
6. Bapak Sapto Hermawan, S.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah
membimbing, memberi saran dan arahan, tempat curahan hati selama
penulis kuliah di Fakultas Hukum UNS.
7. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum. dan Bapak Muhammad
Rustamaji, S.H., M.H. selaku dosen dan pembimbing MCC, Orang Tua
dan Keluarga di kampus yang telah memberi banyak ilmu bagi penulis,
membimbing penulis untuk belajar membuat berkas-berkas persidangan.
Sebuah pengalaman dan pengetahuan yang sangat berharga dan berguna
bagi penulis.
8. Ibu Diana Tantri, S.H., M.Hum. dan Bapak Drs. YB. Irpan, S.H., M.H.
selaku pembimbing KMM yang telah banyak memberi perhatian,
membantu dan mengunjungi peserta magang di Kantor Advokat Drs. YB.
Irpan, S.H., M.H.
9. Kedua orang tua penulis, Bapak dan Ibu, atas segala doa, cinta kasih,
dukungan tanpa henti baik moril maupun materiil, kesabaran, dan
kepercayaan yang diberikan kepada Penulis tanpa pamrih apapun,
sehingga penulis dapat menghargai setiap waktu dan kesempatan di dalam
hidup.
10. Adikku tercinta Annisa Agustin yang selalu ada untuk memberi semangat
walaupun terpisah jarak, kuliahnya yang rajin ya de’...
11. Sahabatku sedari kecil, Rachmat Wicaksono si bocah free style,
Muhammad Idris “ado” Nurzain yang sekarang udah lancar ngomong
“Rrr”, Ali “oncom” Sabri boss gank, Lingga Edo M.P. martabak keju
maniak, Andika Perdani calon dokter n’ ustadnya anak-anak, Alexander
Simorangkir yang sangat bangga akan “Batak” nya, Puspita si kecil yang
nggak pernah gede, Jenny Jernila n’ Christin Yuliana, sekretaris yang
doyan godain boss-bossnya. Kalian sahabat kecilku, besarku dan tuaku.
12. My Wonder Girls... Ari Yuniarti, S.H., Retno Yuniarti, S.H., Natalia Ayu
Ariani, S.H.., Heppy Indah Alamsari, S.H. yang selalu ada untuk penulis
dikala senang dan sedih, suka dan duka selama kuliah, persahabatan kita
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
dimuali sejak awal kuliah, tetapi tidak berakhir di akhir kuliah. Maaf kalo
penulis mengingkari janji “masuk kuliah bareng, wisuda bareng”.
13. Temen-temen Magang di Kantor Advokat Drs. YB. Irpan, S.H., M.H.
Wahyu bolem, Kikky, Galuh n’ Dewi terima kasih atas segala bantuan dan
perhatiannya sehingga kita bisa menyelesaikan semua misi tepat pada
waktunya bersama-sama dan juga kenangan-kenangan manis yang indah
bersama kalian.
14. Keluarga Besar 92,9 fm Solo Radio yang telah memberikan ilmu “baru”
bagi penulis, kantor yang penulis anggap sebagai rumah sendiri, tempat
dimana hanya ada rasa senang-senang...special thanks to Tomi, Fajar,
Alvin, Pak Udin dan Diki Bon2 yang secara bergantian menemani penulis
siaran di tengah malam, Vita n’ Nicky (partner pertama kali siaran),
Thicka dan Rheina selir-selirku di siaran malam minggu (diantara kita
tetep gue yang jomblo), Keshia dan Lysa, dynamic duo siaran sahur dan
siaran pagi (seger siaran bareng kalian!hehehe...), Brian n’ Arya (I know
what you mind in the middle of the night!! hahaha) Ratna n’ Bangkit
(yang selalu gantiin jadwal siaran penulis kalo berhalangan), Biting n’
Tama Chan (tempat curhat penulis..ternyata dunia ini sempit dan muter-
muter aja ya?!), Lunna (jadwal kita berurutan terus ya?! Jadi hampir
ketemu setiap hari) Mba Esti n’ Mas Ajie (duet maut yang selalu jadi
contoh) n’ especially thanks to dr. Andi Saputra a.k.a Denis Nalbandian
yang telah menjerumuskan penulis ke dunia ini.
15. Keluarga Besar Mootcourt Community (MCC) FH UNS ,terima kasih telah
berbagi petualangan bersama.
16. Keluarga Besar Laboratorium Seni Teater Delik FH UNS... khususnya
Manuk’, Nanang, Setiawan “Gori”, Dede, Adit “volt”, Vanya, Happy,
Siska n’ Nanda.
17. Temen-temen senasib, sependeritaan, sepenanggungan di akhir-akhir
kuliah, gak tau lagi apa yang mau diucapin selain beribu-ribu terimakasih
untuk Ratmawan Ari “delon” Kusnandar, Dwi Wahyu “jambi” Julianto,
Niko Yudananta n’ Andri Kurniawan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
18. Temen-temen satu atap di Wisma Anugrah...dr. Syahrir Azizi, dr.
Muh.Husni Thamrin, dr. Antonius D.W, dr. Kukuh Muchrodi, dr. Andi
Saputro, dr. Irvan Veriyadi, n’ dr. Ari Prast (alumni yang selalu memberi
contoh sebagai panutan)...Pakde Herry, mas Rudy, Hasan, Boye, Tando,
Reza, Dito, Weda (casing boleh dokter n’ calon dokter tapi kelakuan?? Big
no...hahahaha), Fajar “cuk” (thx udah menghibahkan perinternya), Dhana
(yang tiap hari ngajakin main futsal), Gank Blitar...Venda, Andre, Bobby,
Andri “Cak Kumis”...Mas Kresno (Si dalang dari Mantingan,,teman
begadang dikosan)...Adnan, Kuncoro, Nesa, Angga, Bayu, Abbas...kalian
orang paling beruntung walaupun salah pilih kost!hahahahahaha....
19. Jali-Jali UNS...Bang Wawan, Alvi, Memel, Agil, Yeddy, Fatan,
Mira,,kalian keluarga...bersama kalian jadi betah di Solo...anak
UGK...Ben, Mail, Dhani, Dimas, Abdika...gokil lo ye semua....Kribow
fam’s...Om Tunjung, Tanty, Seno n Gita...akhirnya ini rambut ada
temenya juga hehehe...
20. Temen-temen angkatan 2006, terima kasih bisa menjadi bagian dari kalian
selama 4 tahun yang luar biasa ini.
21. Keluarga Besar Panita Osmaru “POSITA 2009” kita buktikan ke semua
kalau kita bisa!!
22. Temen-temen angkatan 2007...Tanty, Ute, Merlin, Meta, Deffry, Ciska,
Shinta, Sidik, Hage, Fetty yang menganggap penulis angkatan “2007
ekstensi” dan selalu mengingatkan penulis untuk menyelesaikan skripsi.
23. Adik-adik tingkat angkatan 2008, 2009 dan seluruh Civitas Akademika FH
UNS.
24. Kamu...yang (pernah) dan yang (akan) ada...
25. Semua pihak yang tidak bisa Penulis sebutkan satu-persatu yang telah
membantu baik moril maupun materiil dalam Penulisan Hukum ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
Mengingat keterbatasan kemampuan diri penulis, penulis sadar
bahwa Penulisan Hukum (Skripsi) ini masih jauh sempurna. Oleh karena
itu adanya saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sangat
penulis harapkan.
Semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya,
sehingga dapat diamalkan dalam pengembangan dan pembangunan hukum
nasional dan tidak menjadi suatu karya yang sia-sia. Amin.
Surakarta, Januari 2011
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... .... i
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ .... ii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... .... iii
HALAMAN PERNYATAAN………………………………………………….. iv
ABSTRAK……………………………………………………………………… v
ABSTRACT…...………………………………………………………………… vi
HALAMAN MOTTO ...................................................................................... .... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... .... viii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... .... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................... .... xiv
DAFTAR GAMBAR............................................................................................ xvi
DAFTAR TABEL………………………………………………………………. xvii
BAB I : PENDAHULUAN ...................................................................... .... 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... .... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................. .... 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................. .... 6
D. Manfaat Penelitian ............................................................... .... 7
E. Metode Penelitian ................................................................ .... 8
F. Sistematika Penulisan Hukum ............................................. .... 11
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. .... 13
A. Kerangka Teori .................................................................... .... 13
1. Tinjauan tentang Teori Perbandingan Hukum……………… 13
a. Istilah dan Pengertian Perbandingan Hukum……………. 13
b. Karakteristik sistem Common Law dan Civil Law............ 17
2. Tinjauan Umum tentang Penangkapan dan Penahanan…….. 24
a. Penangkapan……………………………………………… 24
b. Penahanan………………………………………………. 25
c. Pejabat yang Berwenang Menahan dan lamanya Penahanan 28
d. Macam-macam Bentuk Penahanan……………………….. 32
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
3. Tinjauan Umum tentang Pra Peradilan………………….. 33
a. Pengertian dan Ruang lingkupnya………………… 33
b. Pihak-pihak yang dapat Mengajukan Pra Peradilan 36
c. Pejabat yang dapat diajukan Pra Peradilan ……….. 37
d. Acara Pemeriksaan Pra Peradilan………………….. 38
e. Isi Putusan Pra Peradilan ………………………….. 39
4. Tinjauan tentang Habeas Corpus di Amerika Serikat… 40
B. Kerangka Pemikiran ........................................................ … 42
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN......................... . 44
A. Persamaan dan Perbedaan wewenang dan fungsi
pra peradilan menurut hukum acara pidana Indonesia
dengan sistem Habeas Corpus di Amerika Serikat ................. 44
B. Kelebihan dan kelemahan wewenang dan fungsi
Praperadilan menurut hukum acara pidana Indonesia
dengan sistem Habeas Corpus di Amerika ......... ………... .... 73
BAB IV : PENUTUP .................................................................................. .... 81
A. Simpulan .............................................................................. .... 81
B. Saran-saran........................................................................... .... 85
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 : Bagan Kerangka Pemikiran………………………………….. 42
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 : Ketentuan KUHAP terkait Pra peradilan............................................. 46 Tabel 2 : Persamaan dan Perbedaan Wewenang dan Fungsi.............................. 71 Tabel 3 : Kelebihan dan Kekurangan Wewenang dan Fungsi............................ 78
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
STUDI KOMPARASI HUKUM WEWENANG DAN FUNGSI
PRA PERADILAN MENURUT HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA
DENGAN SISTEM HABEAS CORPUS
DI AMERIKA SERIKAT
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk
Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana SI
dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh:
WAHYU JANUAR
NIM. E 0006247
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
STUDI KOMPARASI HUKUM WEWENANG DAN FUNGSI
PRA PERADILAN MENURUT HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA
DENGAN SISTEM HABEAS CORPUS
DI AMERIKA SERIKAT
Oleh
WAHYU JANUAR
NIM. E0006247
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Januari 2011
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Edy Herdyanto, S.H., M.H. Muhammad Rustamaji, S.H., M.H.
NIP. 19570629 1985031002 NIP. 198210082005011001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI Penulisan Hukum (Skripsi)
STUDI KOMPARASI HUKUM WEWENANG DAN FUNGSI
PRA PERADILAN MENURUT HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA
DENGAN SISTEM HABEAS CORPUS
DI AMERIKA SERIKAT
Oleh
WAHYU JANUAR
NIM. E0006247
Telah diterima dan dipertahankan dihadapan
Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada:
Hari : Selasa
Tanggal : 01 Februari 2011
DEWAN PENGUJI
1. Bambang Santoso, S.H., M.Hum. : …………………………………… NIP. 196202091989031001
KETUA
2. Edy Herdyanto, S.H., M.H. : …………………………………… NIP. 195706291985031002
SEKRETARIS 3. Muhammad Rustamaji, S.H., M.H. : …………………………………… NIP. 198210082005011001 ANGGOTA
Mengetahui Dekan,
Mohammad Jamin, S.H, M.Hum NIP. 19610930 198601 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : WAHYU JANUAR
NIM : E0006247
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul:
STUDI KOMPARASI HUKUM WEWENANG DAN FUNGSI PRA
PERADILAN MENURUT HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA
DENGAN SISTEM HABEAS CORPUS DI AMERIKA SERIKAT adalah
betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum
(skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di
kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima
sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang
saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, Januari 2011
Yang membuat pernyataan
WAHYU JANUAR
NIM. E0006247
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
Wahyu Januar, NIM. E. 0006247. 2011. STUDI KOMPARASI HUKUM WEWENANG DAN FUNGSI PRA PERADILAN MENURUT HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA DENGAN SISTEM HABEAS CORPUS DI AMERIKA SERIKAT. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persamaan dan perbedaan wewenang dan fungsi pra peradilan menurut hukum acara pidana Indonesia dengan sistem Habeas Corpus di Amerika Serikat serta untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan wewenang dan fungsi pra peradilan menurut hukum acara pidana Indonesia dengan sistem Habeas Corpus di Amerika Serikat.
Penelitian merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat perskriptif, untuk menemukan ada tidaknya persamaan dan perbedaan serta kelebihan dan kelemahan pra peradilan menurut Hukum Acara Pidana Indonesia diperbandingkan dengan sistem Habeas Corpus di Amerika Serikat. Jenis data yang digunakan yaitu data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah identifikasi isi atau studi kepustakaan. Teknik analisis data yang dilaksanakan menggunakan logika deduktif.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, bahwa pra peradilan dan Habeas Corpus memiliki kesamaan dalam hal pihak yang memeriksa dan memutuskan tentang sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan dan permintaan rehabilitasi. Perbedaanya dalam pra peradilan hakim yang mengadili perkara memeriksa sebelum sidang di pengadilan dan kewenanganya terbatas pada menguji keabsahan suatu penangkapan dan penahanan, sedangkan pada Habeas Corpus hakim yang memeriksa adalah hakim di pengadilan biasa dan kewenanganya lebih luas dalam arti, permohonan dikeluarkanya surat perintah Habeas Corpus diajukan kepada instansi manapun yang melakukan penangkapan dan penahanan. Kelebihan pra peradilan, sidang tersebut diadakan atas permintaan tersangka atau terdakwa ataupun keluarganya dalam forum yang terbuka dan juga dipenuhi syarat keterbukaan (transparacy) dan akuntabilitas publik (public accountability), pada Habeas Corpus adanya penjaminan berupa hak dan upaya hukum untuk melawan perampasan dan pembatasan kemerdekaan yang dilakukan sewenang-wenang oleh penyidik. Kelemahanya, sidang pra peradilan tidak sesuai dengan amanat Pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP, sedangkan pada Habeas Corpus peranan hakim tidak hanya terbatas pada pengawasan terhadap penangkapan dan penahanan yang sudah terjadi, melainkan pada waktu sebelumnya, yaitu sebelum diadakan penahanan sehingga tugasnya terlalu banyak dan berat. Kata kunci : Perbandingan hukum, Pra peradilan, Habeas Corpus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
MOTTO
“Hai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu orang-orang yang benar-benar
menegakkan keadilan, menjadi saksi semata-mata karena Allah, biarpun terhadap
dirimu-sendiri, bapak-ibu dan kaum kerabatmu, sekalipun terdakwa itu kaya atau miskin,
maka Allah lebih mengutamakan persamaan hak dan kewajiban terhadap keduanya.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu untuk memperkosa keadilan.
Dan kalau kamu memutarbalikkan kenyataan maka sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan“
(QS. An Nisaa‘ :135)
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada
Tuhanmulah hendaknya kamu berharap”
(QS. Al Insyirah: 6-8)
“If you love somebody, let them go, for if they return, they were always yours. And if they don't, they never were”
(Kahlil Gibran)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
PERSEMBAHAN
Karya kecil ini penulis persembahkan kepada:
❧ Allah SWT yang telah memberikan kenikmatan tak
terhingga dan skenario kehidupan yang indah sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dan suri
tauladan dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW.
❧ Bapak dan Ibu tercinta yang senantiasa mendukung
kuliah, memberikan doa dan nasihat, semangat, cinta
dan kasih sayang serta kerja keras yang tak ternilai
harganya demi mewujudkan cita-citaku menjadi
seorang Sarjana Hukum dan membuatku lebih
menghargai setiap waktu dan kesempatan di dalam
hidupku.
❧ Adikku tersayang Annisa Agustin yang selalu ada
untuk memberi semangat walaupun hanya lewat sms
”kapan Aa wisuda?? Ade mau liat sekalian jalan-
jalan!hehehe...”.
❧ Sahabat-sahabatku yang memberikan warna dalam
kehidupanku.
❧ Seorang hamba Allah SWT yang kelak akan menemani
hidupku...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis persembahkan kepada Allah SWT karena dengan
rahmat dan hidayah-Nya yang telah menyertai Penulis, sehingga dapat
menyelesaikan penyusunan penulisan hukum (skripsi) yang berjudul “ STUDI
KOMPARASI HUKUM WEWENANG DAN FUNGSI PRA PERADILAN
MENURUT HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA DENGAN SISTEM
HABEAS CORPUS DI AMERIKA SERIKAT“.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya penulisan hukum (skripsi) ini
tidak terlepas dari bantuan serta dukungan baik meteriil maupun non materiil yang
diberikan oleh berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, Penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak
yang telah memberi dukungan, semangat, doa, saran dan kritik serta sarana dan
prasarana bagi Penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini, oleh sebab itu
dengan segala kerendahan hati, Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. dr. M. Syamsulhadi, Sp.Kj (K) selaku Rektor Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
2. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta .
3. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara
sekaligus pembimbing I yang telah memberikan bimbingan, masukan,
arahan dan pengetahuan sehingga mempermudah penulis untuk
menyelesaikan penulisan hukum ini serta memberi semangat penulis.
4. Bapak Muhammad Rustamaji, SH., M.H. selaku Dosen Hukum Acara
Pidana dan pembimbing II yang telah berbagi ilmu, mengajari penulis
akan ketelitian, kesabaran sehingga dapat terselesaikanya penulisan hukum
ini.
5. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum. pemberi inspirasi judul skripsi
ini, pemberi semangat dalam pengerjaan skripsi dan tempat dimana
penulis berkeluh-kesah apabila kesulitan dalam mengerjakan skripsi ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
6. Bapak Sapto Hermawan, S.H. selaku Pembimbing Akademik yang telah
membimbing, memberi saran dan arahan, tempat curahan hati selama
penulis kuliah di Fakultas Hukum UNS.
7. Bapak Bambang Santoso, S.H., M.Hum. dan Bapak Muhammad
Rustamaji, S.H., M.H. selaku dosen dan pembimbing MCC, Orang Tua
dan Keluarga di kampus yang telah memberi banyak ilmu bagi penulis,
membimbing penulis untuk belajar membuat berkas-berkas persidangan.
Sebuah pengalaman dan pengetahuan yang sangat berharga dan berguna
bagi penulis.
8. Ibu Diana Tantri, S.H., M.Hum. dan Bapak Drs. YB. Irpan, S.H., M.H.
selaku pembimbing KMM yang telah banyak memberi perhatian,
membantu dan mengunjungi peserta magang di Kantor Advokat Drs. YB.
Irpan, S.H., M.H.
9. Kedua orang tua penulis, Bapak dan Ibu, atas segala doa, cinta kasih,
dukungan tanpa henti baik moril maupun materiil, kesabaran, dan
kepercayaan yang diberikan kepada Penulis tanpa pamrih apapun,
sehingga penulis dapat menghargai setiap waktu dan kesempatan di dalam
hidup.
10. Adikku tercinta Annisa Agustin yang selalu ada untuk memberi semangat
walaupun terpisah jarak, kuliahnya yang rajin ya de’...
11. Sahabatku sedari kecil, Rachmat Wicaksono si bocah free style,
Muhammad Idris “ado” Nurzain yang sekarang udah lancar ngomong
“Rrr”, Ali “oncom” Sabri boss gank, Lingga Edo M.P. martabak keju
maniak, Andika Perdani calon dokter n’ ustadnya anak-anak, Alexander
Simorangkir yang sangat bangga akan “Batak” nya, Puspita si kecil yang
nggak pernah gede, Jenny Jernila n’ Christin Yuliana, sekretaris yang
doyan godain boss-bossnya. Kalian sahabat kecilku, besarku dan tuaku.
12. My Wonder Girls... Ari Yuniarti, S.H., Retno Yuniarti, S.H., Natalia Ayu
Ariani, S.H.., Heppy Indah Alamsari, S.H. yang selalu ada untuk penulis
dikala senang dan sedih, suka dan duka selama kuliah, persahabatan kita
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
dimuali sejak awal kuliah, tetapi tidak berakhir di akhir kuliah. Maaf kalo
penulis mengingkari janji “masuk kuliah bareng, wisuda bareng”.
13. Temen-temen Magang di Kantor Advokat Drs. YB. Irpan, S.H., M.H.
Wahyu bolem, Kikky, Galuh n’ Dewi terima kasih atas segala bantuan dan
perhatiannya sehingga kita bisa menyelesaikan semua misi tepat pada
waktunya bersama-sama dan juga kenangan-kenangan manis yang indah
bersama kalian.
14. Keluarga Besar 92,9 fm Solo Radio yang telah memberikan ilmu “baru”
bagi penulis, kantor yang penulis anggap sebagai rumah sendiri, tempat
dimana hanya ada rasa senang-senang...special thanks to Tomi, Fajar,
Alvin, Pak Udin dan Diki Bon2 yang secara bergantian menemani penulis
siaran di tengah malam, Vita n’ Nicky (partner pertama kali siaran),
Thicka dan Rheina selir-selirku di siaran malam minggu (diantara kita
tetep gue yang jomblo), Keshia dan Lysa, dynamic duo siaran sahur dan
siaran pagi (seger siaran bareng kalian!hehehe...), Brian n’ Arya (I know
what you mind in the middle of the night!! hahaha) Ratna n’ Bangkit
(yang selalu gantiin jadwal siaran penulis kalo berhalangan), Biting n’
Tama Chan (tempat curhat penulis..ternyata dunia ini sempit dan muter-
muter aja ya?!), Lunna (jadwal kita berurutan terus ya?! Jadi hampir
ketemu setiap hari) Mba Esti n’ Mas Ajie (duet maut yang selalu jadi
contoh) n’ especially thanks to dr. Andi Saputra a.k.a Denis Nalbandian
yang telah menjerumuskan penulis ke dunia ini.
15. Keluarga Besar Mootcourt Community (MCC) FH UNS ,terima kasih telah
berbagi petualangan bersama.
16. Keluarga Besar Laboratorium Seni Teater Delik FH UNS... khususnya
Manuk’, Nanang, Setiawan “Gori”, Dede, Adit “volt”, Vanya, Happy,
Siska n’ Nanda.
17. Temen-temen senasib, sependeritaan, sepenanggungan di akhir-akhir
kuliah, gak tau lagi apa yang mau diucapin selain beribu-ribu terimakasih
untuk Ratmawan Ari “delon” Kusnandar, Dwi Wahyu “jambi” Julianto,
Niko Yudananta n’ Andri Kurniawan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
18. Temen-temen satu atap di Wisma Anugrah...dr. Syahrir Azizi, dr.
Muh.Husni Thamrin, dr. Antonius D.W, dr. Kukuh Muchrodi, dr. Andi
Saputro, dr. Irvan Veriyadi, n’ dr. Ari Prast (alumni yang selalu memberi
contoh sebagai panutan)...Pakde Herry, mas Rudy, Hasan, Boye, Tando,
Reza, Dito, Weda (casing boleh dokter n’ calon dokter tapi kelakuan?? Big
no...hahahaha), Fajar “cuk” (thx udah menghibahkan perinternya), Dhana
(yang tiap hari ngajakin main futsal), Gank Blitar...Venda, Andre, Bobby,
Andri “Cak Kumis”...Mas Kresno (Si dalang dari Mantingan,,teman
begadang dikosan)...Adnan, Kuncoro, Nesa, Angga, Bayu, Abbas...kalian
orang paling beruntung walaupun salah pilih kost!hahahahahaha....
19. Jali-Jali UNS...Bang Wawan, Alvi, Memel, Agil, Yeddy, Fatan,
Mira,,kalian keluarga...bersama kalian jadi betah di Solo...anak
UGK...Ben, Mail, Dhani, Dimas, Abdika...gokil lo ye semua....Kribow
fam’s...Om Tunjung, Tanty, Seno n Gita...akhirnya ini rambut ada
temenya juga hehehe...
20. Temen-temen angkatan 2006, terima kasih bisa menjadi bagian dari kalian
selama 4 tahun yang luar biasa ini.
21. Keluarga Besar Panita Osmaru “POSITA 2009” kita buktikan ke semua
kalau kita bisa!!
22. Temen-temen angkatan 2007...Tanty, Ute, Merlin, Meta, Deffry, Ciska,
Shinta, Sidik, Hage, Fetty yang menganggap penulis angkatan “2007
ekstensi” dan selalu mengingatkan penulis untuk menyelesaikan skripsi.
23. Adik-adik tingkat angkatan 2008, 2009 dan seluruh Civitas Akademika FH
UNS.
24. Kamu...yang (pernah) dan yang (akan) ada...
25. Semua pihak yang tidak bisa Penulis sebutkan satu-persatu yang telah
membantu baik moril maupun materiil dalam Penulisan Hukum ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
Mengingat keterbatasan kemampuan diri penulis, penulis sadar
bahwa Penulisan Hukum (Skripsi) ini masih jauh sempurna. Oleh karena
itu adanya saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sangat
penulis harapkan.
Semoga penulisan hukum ini dapat bermanfaat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan pada umumnya dan ilmu hukum pada khususnya,
sehingga dapat diamalkan dalam pengembangan dan pembangunan hukum
nasional dan tidak menjadi suatu karya yang sia-sia. Amin.
Surakarta, Januari 2011
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... .... i
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ .... ii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... .... iii
HALAMAN PERNYATAAN………………………………………………….. iv
ABSTRAK……………………………………………………………………… v
ABSTRACT…...………………………………………………………………… vi
HALAMAN MOTTO ...................................................................................... .... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... .... viii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... .... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................... .... xiv
DAFTAR GAMBAR............................................................................................ xvi
DAFTAR TABEL………………………………………………………………. xvii
BAB I : PENDAHULUAN ...................................................................... .... 1
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... .... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................. .... 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................. .... 6
D. Manfaat Penelitian ............................................................... .... 7
E. Metode Penelitian ................................................................ .... 8
F. Sistematika Penulisan Hukum ............................................. .... 11
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. .... 13
A. Kerangka Teori .................................................................... .... 13
1. Tinjauan tentang Teori Perbandingan Hukum……………… 13
a. Istilah dan Pengertian Perbandingan Hukum……………. 13
b. Karakteristik sistem Common Law dan Civil Law............ 17
2. Tinjauan Umum tentang Penangkapan dan Penahanan…….. 24
a. Penangkapan……………………………………………… 24
b. Penahanan………………………………………………. 25
c. Pejabat yang Berwenang Menahan dan lamanya Penahanan 28
d. Macam-macam Bentuk Penahanan……………………….. 32
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
3. Tinjauan Umum tentang Pra Peradilan………………….. 33
a. Pengertian dan Ruang lingkupnya………………… 33
b. Pihak-pihak yang dapat Mengajukan Pra Peradilan 36
c. Pejabat yang dapat diajukan Pra Peradilan ……….. 37
d. Acara Pemeriksaan Pra Peradilan………………….. 38
e. Isi Putusan Pra Peradilan ………………………….. 39
4. Tinjauan tentang Habeas Corpus di Amerika Serikat… 40
B. Kerangka Pemikiran ........................................................ … 42
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN......................... . 44
A. Persamaan dan Perbedaan wewenang dan fungsi
pra peradilan menurut hukum acara pidana Indonesia
dengan sistem Habeas Corpus di Amerika Serikat ................. 44
B. Kelebihan dan kelemahan wewenang dan fungsi
Praperadilan menurut hukum acara pidana Indonesia
dengan sistem Habeas Corpus di Amerika ......... ………... .... 73
BAB IV : PENUTUP .................................................................................. .... 81
A. Simpulan .............................................................................. .... 81
B. Saran-saran........................................................................... .... 85
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 : Bagan Kerangka Pemikiran………………………………….. 42
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 : Ketentuan KUHAP terkait Pra peradilan............................................. 46 Tabel 2 : Persamaan dan Perbedaan Wewenang dan Fungsi.............................. 71 Tabel 3 : Kelebihan dan Kekurangan Wewenang dan Fungsi............................ 78
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Akhir-akhir ini banyak kasus-kasus yang penyelesaiannya dimintakan
melalui Pra Peradilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP, seperti Kasus TPSTP
Bojong, Bogor, ketika masyarakat Bojong mengajukan pra peradilan Polisi
atas tindakannya di dalam menangani konflik yang terjadi di kawasan Tempat
Penimbunan Sampah Terpadu (TPSTP) Bojong Bogor. Adalagi kasus yang
diajukan oleh Tim Pembela Muslim atas Penangkapan Ustad Abu Bakar
Basyir, yang dituduh, terlibat kasus terorisme di Indonesia serta masih banyak
lagi kasus yang di Pra Peradilankan.
Semenjak lahirnya Undang-undang No. 8 Tahun 1981 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209) tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
terdapat beberapa hal yang baru dan bersifat fundamental apabila
dibandingkan dengan Herziene Indische Reglement (HIR), dikenal juga
dengan nama Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB) yang merupakan
produk hukum pemerintah kolonial Belanda.
Mencermati perubahan fundamental dalam hukum pidana formil yang
dimaksud, patut kita cermati pandangan Romli Atmasasmita bahwa, Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana vide Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), telah meletakkan dasar
humanisme dan merupakan suatu era baru dalam dunia peradilan di
Indonesia. Dalam undang-undang ini tampaknya tujuan mencapai ketertiban
dan kepastian hukum tidak lagi menjadi tujuan utama, melainkan yang
diutamakan dan merupakan masalah besar adalah bagaimana mencapai tujuan
tersebut sedemikian rupa sehingga perkosaan terhadap harkat dan martabat
manusia sejauh mungkin dapat dihindarkan (Romli Atmasasmita, 1996: 28).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Salah satunya adalah munculnya lembaga pra peradilan yang
merupakan lembaga baru di Indonesia yang sebelumnya tidak ada semasa
berlakunya HIR. Berlakunya Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana menimbulkan perubahan terhadap sistem hukum di
Indonesia yaitu adanya peralihan sistem peradilan pidana dari sistem
inquisitoir beralih ke sistem accusatoir yang berlaku hingga sekarang.
Pada sistem inquisitoir yang dianut semasa HIR, berlaku asas
presumption of guilty (praduga bersalah) yang dalam hal ini peranan penegak
hukum, dalam hal ini penyidik menunjukkan kegiatan sedemikian rupa untuk
mengawasi perkara, mengambil inisiatif dalam pengarahan kesalahan
seseorang sehingga, terlihat kecenderungan dilanggarnya hak-hak asasi
seseorang karena dalam sistem ini tersangka diperlakukan sebagai objek
pemeriksaan baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan maupun pada tahap
pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
Sedangkan sistem accusatoir, berlaku asas presumption of innocent
(praduga tidak bersalah) pendekatanya adalah asumsi bahwa tidak boleh
diganggunya suatu ketentraman masyarakat dan mempertahankan suatu nilai
yang dalam hal ini negara tidak ikut campur tangan tehadap adanya sengketa
individu dalam masyarakat. Akibatnya adalah, apabila seseorang menuduh
orang lain telah melakukan kejahatan maka dia harus mencari bukti-bukti atas
kesalahan yang dituduhkanya tersebut (Loebby Loqman, 1984 : 83). Dalam
sistem ini tersangka diperlakukan sebagai subjek hukum yang memiliki hak
(asasi) dan kepentingan yang harus dilindungi dalam proses pemeriksaan
pendahuluan dan pemeriksaan di muka persidangan.
Dengan pendekatan kedua sistem tersebut di atas, belumlah dapat
dipecahan perihal perlindungan hak asasi manusia khususnya dalam fase
pemeriksaan pendahuluan, karena sistem inquisitoir maupun accusatoir
memberikan batasan-batasan pada pelaksanaan upaya paksa, yang di dalam
pelaksanaanya dicari ukuran yang harus dinilai apabila dikaitkan dengan
perlindungan hak asasi manusia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Di Indonesia perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat
manusia sebenarnya telah diletakkan dalam asas-asas yang terdapat dalam
Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman, dan asas-asas tersebut yang akan ditegakkan di dalam
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dan dari asas-asas
tersebut dapat diketahui bahwa Hukum Pidana Indonesia hendaknya
menjunjung tinggi hak asasi manusia, sekalipun terhadap seseorang yang di
dakwa telah melakukan suatu tindak pidana (Loebby Loqman, 1984 : 80).
Sedangkan di Amerika Serikat sistem peradilan pidana yang
berkembang dikenal sebagai adversary system yang dalam hal ini terdapat
tahapan proses pemeriksaan pre trial process sebagai lembaga pra peradilan,
dan juga merupakan suatu rangkaian proses untuk menyelesaikan perkara.
Pre trial process merupakan tahap pemeriksaan pendahuluan (mini court)
yang berguna untuk dapat menyelesaikan dan atau mempermudah perkara
serta pembuktian sebelum diajukan ke persidangan dengan juri (trial by juri).
Dalam kenyataan, praktik peradilan menunjukan bahwa 90% dari mereka
yang dijatuhi hukuman untuk kejahatan berat di Amerika Serikat, telah
menyatakan dirinya bersalah di muka persidangan (Romly Atmasasmita,
1996: 82).
Di dalam pre trial process tersebut terdapat tiga proses acara
pengadilan khusus sebelum suatu sidang pengadilan yang biasa, yaitu
Arraignment, Preliminary Hearing, dan Pretrial Conference.
Arraigment merupakan sidang di depan hakim yang terjadi beberapa
hari setelah seseorang ditahan yang dalam hal ini tuduhan terhadap tersangka
dibacakan dan tersangka ditanyakan sikapnya bersalah atau tidak. Apabila
tersangka menyatakan dirinya tidak bersalah (not guilty) maka akan diajukan
ke depan sidang dengan juri. Dan tanggung jawab pengawasan pelaksanaan
proses pidana terhadap tersangka berada di tangan pengadilan.
Preliminary hearing merupakan dengar pendapat antara polisi, jaksa
dan hakim untuk menentukan apakah seorang tersangka akan dilanjutkan
perkaranya ke sidang juri atau tidak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Pretrial conference lebih ditujukan untuk perencanaan sidang
pengadilan, terutama mengenai pembuktian dan hak-hak pihak yang
berperkara untuk memperoleh pembuktian dari pihak lain, dan tujuanya
adalah untuk menjamin kelancaran, keadilan dan efektivitas sidang
pengadilan.
Apabila berpangkal tolak dari pengertian pra peradilan sebagai suatu
lembaga yang berperan di dalam pemeriksaan sebelum sidang pengadilan,
maka tiga lembaga di Amerika Serikat tersebutlah yang harus dilakukan
sebelum suatu persidangan (Loebby Loqman, 1984 : 50).
Adanya gagasan pra peradilan tidak terlepas dari inspirasi yang
bersumber dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo
Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia
khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus pada dasarnya merupakan suatu
jaminan serta pengamanan atas kemerdekaan pribadi melalui prosedur yang
sederhana, langsung dan terbuka yang dapat dipergunakan oleh siapapun
juga.
Melalui Habeas Corpus Act. maka seseorang melalui surat perintah
pengadilan dapat menuntut pejabat yang melakukan penahanan untuk
membuktikan bahwa penahanan tersebut tidak melanggar hukum atau dengan
kata lain bahwa penahanan yang dilakukan adalah sah sesuai dengan
ketentuan hukum yang berlaku. Berbeda dengan peninjauan atas upaya paksa
melalui pra peradilan, maka surat perintah pengadilan yang berisikan hak
Habeas Corpus tersebut tidak hanya ditujukan untuk penahanan yang terkait
dalam proses peradilan pidana saja, namun juga terhadap segala bentuk
penahanan yang dianggap telah melanggar hak kemerdekaan pribadi
seseorang yang telah dijamin oleh konstitusi. Dalam perkembangannya surat
perintah Habeas Corpus menjadi salah satu alat pengawasan serta perbaikan
terhadap proses pidana baik di tingkat federal maupun di negara bagian di
Amerika Serikat.
Jika ditinjau secara universal, manusia pada dasarnya diciptakan sama
dalam harkat, martabat serta kedudukannya. Manusia lahir diberi oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
Pencipta-Nya hak-hak mendasar yang melekat pada individu tersebut yang
bersifat hakiki. Hak-hak tersebut dimiliki tanpa memandang perbedaan ras,
suku, bangsa, jenis kelamin dan agama. Dalam piagam Persatuan Bangsa-
Bangsa (PBB) hak-hak ini telah diakui secara universal. Beberapa pasal
dengan spesifik menggambarkan hak-hak tersebut, antara lain yang adalah :
Article 13.(1) :
Everyone has the right to freedom of movement and residence within
the borders of each state
Article 17
(1) Everyone has the right to own property alone as well as in
association.
(2) No one shall be arbitralily deprived of his property (Universal
Declaration of Human Right, Adopted and proclaimed by General
Assembly resolution 217 A (III) of December 10th 1948)
Nyatanya jaminan terhadap perlindungan hak asasi manusia berlaku
secara universal, sehingga setiap Negara harus senantiasa memberikan
perlindungan agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Jika di
Amerika Serikat sudah dikenal adanya hak Habeas Corpus yang dijamin
dalam konstitusi dalam memberikan perlindungan terhadap suatu upaya
paksa.
Berdasarkan pada uraian latar belakang di atas, penulis tertarik untuk
melakukan suatu penelitian perbandingan hukum yang dalam hal ini
perbandingan hukum menurut Barda Nawawi Arief adalah sebagai suatu
metode yang mengandung arti bahwa ia merupakan suatu cara pendekatan
untuk lebih memahami suatu objek atau masalah yang otentik.
Memperbandingkan hukum nasional dengan hukum asing dapat
memperdalam pengetahuan tentang hukum nasional secara objektif dengan
melihat kelebihan dan kekurangan hukum nasional dibandingkan dengan
hukum negara lain atau sebaliknya.
Atas dasar tersebut, maka akan dilakukan perbandingan wewenang
dan fungsi pra peradilan di Indonesia dengan sistem Habeas Corpus yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
berlaku di Amerika Serikat. Dalam hal perbandingan hukum atau
comparative jurisprudence, hukum positif Indonesia termasuk dalam
keluarga Civil Law System sedangkan kajian hukum Amerika termasuk dalam
Common Law System. Oleh karena itu penulis bermaksud untuk menyusun
penulisan hukum dengan judul “STUDI KOMPARASI HUKUM
WEWENANG DAN FUNGSI PRA PERADILAN MENURUT HUKUM
ACARA PIDANA INDONESIA DENGAN SISTEM HABEAS CORPUS
DI AMERIKA SERIKAT”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dipaparkan
sebelumnya, serta agar permasalahan yang diteliti menjadi lebih jelas dan
penulisan penelitian hukum mencapai tujuan yang diinginkan, maka
permasalah yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Apakah persamaan dan perbedaan wewenang dan fungsi pra peradilan
menurut hukum acara pidana Indonesia dengan sistem Habeas Corpus di
Amerika Serikat ?
2. Apa kelebihan dan kelemahan wewenang dan fungsi pra peradilan
menurut hukum acara pidana Indonesia dengan sistem Habeas Corpus di
Amerika Serikat ?
C. Tujuan Penelitian
“Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan isu hukum
yang timbul” (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 41), berdasarkan hal tersebut
maka penelitian ini mempunyai tujuan obyektif dan tujuan subyektif sehingga
mampu mencari pemecahan isu hukum terkait. Adapun tujuan yang hendak
dicapai peneliti adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan wewenang dan fungsi
pra peradilan menurut hukum acara pidana Indonesia dengan sistem
Habeas Corpus di Amerika Serikat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
b. Untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan wewenang dan fungsi
pra peradilan menurut hukum acara pidana Indonesia dengan sistem
Habeas Corpus di Amerika Serikat.
2. Tujuan Subyektif
a. Untuk menambah dan memperluas pengetahuan penulis mengenai
hukum nasional dalam bidang hukum acara pidana khususnya tentang
perbandingan atau komparasi hukum wewenang dan fungsi pra
peradilan menurut hukum acara pidana Indonesia dengan sistem
Habeas Corpus di Amerika Serikat.
b. Memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh derajat sarjana
dalam bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum
ini akan bermanfaat bagi penulis maupun pihak lain. Adapun manfaat yang
dapat diperoleh dari penulisan hukum ini antara lain :
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada
umumnya dan hukum acara pidana pada khususnya serta dapat
dipakai sebagai acuan terhadap penulisan maupun penelitian sejenis
untuk tahap berikutnya.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan
literatur dalam dunia kepustakaan tentang perbandingan atau
komparasi wewenang dan fungsi pra peradilan menurut hukum acara
pidana Indonesia dengan sistem Habeas Corpus Amerika Serikat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi semua
pihak yang berkepentingan dan mejawab permasalahan yang sedang
diteliti.
b. Memberikan pendalaman, pengetahuan dan pengalaman yang baru
kepada penulis menganai permasalahan hukum yang dikaji, yang dapat
berguna bagi penulis maupun orang lain di kemudian hari.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum secara umum dapat dikategorikan menjadi
penelitian doktrinal dan penelitian non doktrinal. Dalam penelitian ini,
penulis menggunakan jenis penelitian doktrinal atau disebut juga
penelitian hukum normatif. Penelitian doktrinal adalah suatu penelitian
hukum yang bersifat perskriptif bukan deskriptif sebagaimana ilmu sosial
dan ilmu alam (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 33).
2. Sifat Penelitian
Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat
perskriptif dan terapan. Dalam penelitian hukum ini karakteristik yang
digunakan yaitu ilmu hukum yang bersifat perskriptif. Sebagai ilmu yang
bersifat perskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai
keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma
hukum. Sifat perskriptif ini merupakan hal substansial yang tidak mungkin
dapat dipelajari oleh disiplin lain yang obyeknya juga hukum (Peter
Mahmud Marzuki, 2006 : 22).
3. Pendekatan Penelitian
Didalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, penulis akan mendapatkan informasi dari berbagai
aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah
pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan historis
(historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach),
pendekatan kasus (case approach) dan pendekatan konseptual (conseptual
approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2006 : 93).
Dari kelima pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan
penelitian hukum yang penulis angkat adalah pendekatan undang-undang
(statute approach), dan pendekatan komparatif (comparative approach).
Pendekatan undang-undang (statute approach) adalah pendekatan dengan
menggunakan regulasi dan legislasi, yang dalam hal ini dalam penelitian
ini regulasi yang digunakan sebagai acuan adalah Undang-Undang No. 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Indonesia
Tahun 1981 No. 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209) yang selanjutnya disebut dengan Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) (Loebby Loqman, 1982 : 7 ). Sedangkan
pendekatan komparatif (comparative approach) yang penulis maksud
dalam penelitian hukum ini yaitu dengan membandingkan undang-undang
atau peraturan suatu negara dengan undang-undang atau peraturan dari
satu atau lebih negara lain mengenai hal yang sama.
Dalam penelitian ini komparasi atau perbandingan undang-undang
yang diadakan adalah dengan membandingkan Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan Habeas Corpus Act. Kegunaan
dan tujuan dari pendekatan komparatif ini adalah untuk memperoleh
persamaan dan perbedaan, kelebihan dan kelemahan serta fungsi dan
wewenang khususnya tentang pra peradilan di antara kedua undang-
undang Indonesia dan Amerika Serikat.
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Penelitian
Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi
sumber-sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
bersifat autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum
primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.
Sedangkan bahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki,
2005: 141).
Sumber bahan hukum sekunder dalam penelitian doktrinal ini adalah :
a. Bahan hukum primer itu sendiri berupa peraturan perundang-undangan
yaitu Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Indonesia Tahun 1981 No. 76, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) yang selanjutnya
disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
dan Habeas Corpus Act.
b. Bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku referensi, jurnal-jurnal
hukum yang terkait, dan media massa yang mengulas tentang pra
peradilan.
c. Bahan hukum tersier antara lain kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-
lain.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Karena penelitian yang penulis angkat merupakan penelitian
doktrinal, maka dalam pengumpulan sumber hukumnya dilakukan dengan
studi kepustakaan/studi dokumen. Teknik ini merupakan cara
pengumpulan sumber hukum dengan membaca, mempelajari, mengkaji,
dan menganalisis serta membuat catatan dari buku literatur, peraturan
perundang-undangan, dokumen dan hal-hal lain yang berhubungan dengan
masalah yang diteliti.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
6. Teknik Analisis Bahan Hukum
Penelitian ini menggunakan teknik analisis sumber hukum dengan
logika deduktif. Menurut Johnny Ibrahim yang mengutip pendapat
Bernard Arief Shidarta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk
menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang
bersifat individual. Penalaran deduktif adalah penalaran yang bertolak dari
aturan hukum yang berlaku umum pada kasus individual dan konkret yang
dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006 : 249-250). Sedangkan Peter Mahmud
Marzuki yang mengutip pendapat Philipus M. Hadjon menjelaskan metode
deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles,
penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis major
(pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat
khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatu kesimpulan atau
conclusion. Akan tetapi di dalam argumentasi hukum, silogisme hukum
tidak sesederhana silogisme tradisional (Peter Mahmud Marzuki, 2006 :
47). Jadi dapat disimpulkan bahwa logika deduktif atau pengolahan bahan
hukum dengan cara deduktif yaitu menjelaskan suatu hal yang bersifat
umum kemudian menariknya menjadi kesimpulan yang lebih khusus.
Dalam penelitian ini, sumber hukum yang diperoleh dengan cara
menginventarisasi sekaligus mengkaji penelitian dari studi kepustakaan,
aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat
membantu menafsirkan norma untuk menjawab permasalahan yang
diteliti. Tahap terakhir yaitu dengan menarik kesimpulan dari sumber
hukum yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat menjawab tentang
komparasi fungsi dan wewenang pra peradilan menurut huku acara pidana
Indonesia dengan system Habeas Corpus di Amerika Serikat.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Dalam Penulisan hukum (Skripsi) ini terdiri atas empat bab yang
masing-masing terdiri atas beberapa sub bab sesuai pembahasan dan materi
yang diteliti. Sistematika penulisan itu sendiri sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini berisi tentang Latar belakang masalah,
Rumusan masalah, Tujuan penelitian, Manfaat penelitian,
Metode penelitian serta Sistematika penulisan
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab II dijelaskan temtang Kerangka teori, terdiri atas
Tinjauan tentang Teori Perbandingan Hukum, Tinjauan
tentang Penangkapan dan Penahanan, pejabat yang
berwenang melakukan penahanan dan lamanya penahanan
serta macam-macam bentuk penahanan. Tinjauan tentang
Pra Peradilan yang memuat tentang pengertian dan ruang
linmgkup praperadilan, Pihak-pihak yang dapat
mengajukan Pra Peradilan, Pejabat yang dapat diajukan Pra
Peradilan, Acara Pemeriksaan Pra Peradilan serta Isi
Putusan Pra Peradilan. Selain itu dijelaskan pula Tinjauan
tentang Habeas Corpus di Amerika Serikat serta Kerangka
pemikiran.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab III disampaikan mengenai hasil penelitian dan
pembahasan yang berisi Persamaan dan perbedaan
wewenang dan fungsi pra peradilan menurut hukum acara
pidana Indonesia dengan sistem Habeas Corpus di Amerika
Serikat serta Kelebihan dan kelemahan wewenang dan
fungsi pra peradilan menurut hukum acara pidana Indonesia
dengan sistem Habeas Corpus di Amerika Serikat.
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab IV berisi Kesimpulan serta disampaikan
beberapa saran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Teori Perbandingan Hukum
a. Istilah dan Pengertian Perbandingan Hukum
Perkembangan pengertian dan lingkup perbandingan hukum
sejalan dengan perkembangan hukum pada umumnya yang berpusat di
Eropa daratan (Schlesinger, 1995 : 447 dalam Romli Atmasasmita,
2000 : 4).
Perkembangan hukum di Eropa daratan dapat dibedakan dalam
perkembangan sebelum dan sesudah era kodifikasi. Pada era sebelum
kodifikasi, atau dikenal sebagai era ius commune, perbandingan hukum
dan bahan-bahan hukum melampaui batas territorial merupakan teknik
baku yang sering digunakan oleh para ahli hukum dan hakim waktu itu
dan merupakan pekerjaan sehari-hari, sehingga tidak tampak lagi
bahwa hukum atau bahan hukum yang dibandingkan itu merupakan
hukum asing. Atas dasar kerja seperti itu maka proses perbandingan
saat itu cenderung bersifat integrative daripada constrative. Perubahan
cara kerja tersebut terjadi pada saat kodifikasi sudah memasyarakat di
kalangan pakar-pakar hukum Eropa daratan.
Pada era kodifikasi maka semua hukum sudah dibentuk dalam
undang-undang atau hukum tertulis dan masing-masing negara
membuat undang-undang nasional dengan bahasa nasional dan
undang-undang sudah mencerminkan aspirasi kultur dan kebutuhan
masyarakat negara yang bersangkutan. Pada masa inilah, mempelajari
hukum suatu negara yang sudah dikodifikasi bagi pakar hukum negara
lain dianggap seperti mempelajari hukum asing atau foreign law. Pada
era ini maka perbandingan hukum dipelajari sebagai cabang khusus
ilmu hukum. Dominasi perhatian terhadap hukum asing inilah yang
menyebabkan studi hukum negara lain selalu dititikberatkan pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
perbedaan-perbedaan dari pada persamaan-persamaan (Romli
Atmasasmita, 2000 : 4).
Perbandingan hukum sebagai disiplin hukum sekaligus sebagai
cabang ilmu hukum, pada awalnya dipahami sebagai salah satu metode
pemahaman sistem hukum, di samping sosiologi hukum dan sejarah
hukum. Ketiga metode pemahaman sistem hukum tersebut berkaitan
erat satu sama lainnya.
Pengertian perbandingan hukum dengan demikian dapat
ditelusuri dari segi fungsi dan kegunaan perbandingan hukum itu
sendiri meliputi : hukum asing yang diperbandingkan, persamaan dan
perbedaan antara sistem-sistem hukum yang dibandingkan tersebut
(Romli Atmasasmita, 2000 : 6).
Terdapat berbagai istilah asing mengenai perbandingan hukum,
yakni antara lain: Comparative Law, Comparative Jurisprudence,
Foreign Law (Inggris), Droit Compare (Perancis) , Rechtsvergelijking
dan Rechtsvergleichung atau Vergleichende Rechlehre (Jerman). Di
dalam Black’s Law Dictionary dikemukakan, bahwa comparative
jurisprudence ialah suatu studi mengenai prinsip-prinsip ilmu hukum
dengan melakukan perbandingan berbagai macam system hukum
(Comparative Jurisprudence is the study of principles of legal science
by the comparison of various systems of law ) (Barda Nawawi Arief,
2002 : 3).
Di kalangan pakar hukum Indonesia masih ada istilah lain yang
dipergunakan, yaitu hukum perbandingan pidana. Namun, istilah
tersebut sampai saat ini kurang populer dan hampir tidak dipergunakan
lagi, hal ini dikarenakan kurangnya penjelasan yang memadai baik dari
segi etimologi maupun dari segi substansi keilmuannya. Istilah yang
dipergunakan dalam penelitian ini adalah perbandingan hukum. Istilah
ini sudah memasyarakat di kalangan teoritikus hukum di Indonesia,
dan tampaknya sudah sejalan dengan istilah yang telah dipergunakan
untuk hal yang sama di bidang hukum persumber hukum, yaitu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
perbandingan hukum persumber hukum (Triyanto dan Rustamaji
dalam Jurnal Hukum Yustisa. 2009: 14).
Ada pendapat yang membedakan antara Comparative Law
dengan Foreign Law, yaitu :
1) Comparative Law
Mempelajari berbagai system hukum asing dengan maksud untuk
membandingkannya.
2) Foreign Law
Mempelajari hukum asing dengan maksud semata-mata
mengetahui system hukum asing itu sendiri dengan tidak secara
nyata bermaksud untuk membandingkannya dengan system hukum
yang lain (Barda Nawawi Arief, 2002 : 3).
Istilah yang akan dipergunakan dalam penulisan hukum ini
adalah perbandingan hukum yang mengarah dan berfokus pada hukum
pidana. Istilah ini sudah memasyarakatkan di kalangan teoritikus
hukum di Indonesia, dan tampaknya sudah sejalan dengan istilah yang
telah dipergunakan untuk hal yang sama baik di bidang persumber
hukum, hukum administrasi negara maupun hukum tata negara. (Romli
Atmasasmita, 2000 : 6).
Apabila diamati istilah asingnya, comparative law dapat
diartikan bahwa titik beratnya adalah pada perbandingannya atau
comparative yang dalam hal ini kalimat comparative memberikan sifat
kepada hukum atau yang dibandingkan. Istilah perbandingan hukum
dengan demikian menitikberatkan kepada segi perbandingannya,
bukan kepada segi hukumnya. Intinya perbandingan hukum adalah
membandingkan sistem-sistem hukum. (Romli Atmasasmita, 2000 : 7).
Terdapat dua kelompok dari definisi perbandingan hukum,
yaitu kelompok pertama yang menyatakan bahwa perbandingan
hukum merupakan suatu metode, sementara kelompok kedua
menyatakan bahwa perbandingan hukum merupakan cabang dari ilmu
hukum. Berikut ini beberapa definisi mengenai perbandingan hukum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
sebagai metode dari beberapa pakar hukum, diantaranya sebagai
berikut :
1) Rudolf B. Schelsinger
Perbandingan hukum merupakan metode penyelidikan
dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam
tentang bahan hukum tertentu. Perbandingan hukum bukanlah
perangkat peraturan dan asas-asas hukum dan bukan suatu cabang
hukum, melainkan merupakan teknik untuk menghadapi unsur
hukum asing dari suatu masalah hukum (Romli Atmasasmita, 2000
: 7).
2) Winterton
Perbandingan hukum adalah suatu metode yaitu
perbandingan sistem hukum dan perbandingan tersebut
menghasilkan sumber hukum sistem hukum yang dibandingkan
(Romli Atmasasmita, 2000 : 7).
3) Gutterdige
Perbandingan hukum adalah suatu metode perbandingan
yang dapat digunakan dalam semua cabang hukum. Ia
membedakan antara comparative law dengan foreign law (hukum
asing), pengertian istilah yang pertama untuk membandingkan dua
sistem hukum atau lebih, sedangkan pengertian istilah hukum yang
kedua, adalah mempelajari hukum asing tanpa secara nyata
membandingkannya dengan sistem hukum yang lain (Winterton,
dalam The Am.J. of Comp. L., 197 : 72).
Kedua kelompok definisi tersebut dikemukakan sesuai dengan
masanya sehingga dapat diakui kebenarannya. Namun demikian
definisi dari kelompok yang kedua dianggap paling relevan dan sesuai
dengan keadaan sekarang, karena perbandingan hukum tidak lagi
semata-mata sebagai alat untuk mengetahui persamaan dan perbedaan
dua sistem hukum melainkan sudah merupakan suatu studi tersendiri
yang mempergunakan metode dan pendekatan khas yaitu metode
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
perbandingan, sejarah dan sosiologi serta objek pembahasan tersendiri
yaitu sistem hukum asing tertentu (Romli Atmasasmita, 2000 : 12).
b. Karakteristik sistem Common Law dan Civil Law
1) Karakteristik sistem hukum Inggris (Common Law) pada
umumnya, khususnya dalam hukum pidana dan acara pidana.
Pertama. Sistem hukum Inggris bersumber pada :
a) Custom, merupakan sumber hukum yang tertua di Inggris.
Lahir dan berasal dari (sebagian) hukum Romawi. Tumbuh dan
berkembang dari kebiasaan suku Anglo Saxon yang hidup pada
abad pertengahan. Pada abad ke 14 Custom melahirkan
“common law” dan kemudian digantikan dengan precedent.
b) Legislation, undang-undang yang dibentuk melalui parlemen
(statutes). Sebelum abad ke 15, legislation bukanlah
merupakan salah satu sumber hukum di Inggris. Pada masa itu
undang-undang dikeluarkan oleh Raja dan “Grand-Council”
(terdiri dari kaum bangsawan terkemuka dan Penguasa Kota
London). Selama abad ke 13 dan 14 Grand Council kemudian
dirombak dan terdiri dari dua badan yaitu, Lords dan Common;
kemudian dikenal sebagai parlemen (Parliament). Sampai abad
ke 17, Raja dapat bertindak tanpa melalui parlemen. Akan
tetapi sesudah abad ke 17 dengan adanya perang saudara di
Inggris, telah ditetapkan bahwa di masa yang akan sumber
hukum semua undang-undang harus memperoleh persetujuan
parlemen sejak tahun 1832 dengan Undang-Undang
Pembaharuan (Reformasi Act), House of Common merupakan
suatu badan yang demokratis dan mewakili seluruh penduduk
Inggris dan karena itu merupakan wakil perasaan keadilan
seluruh rakyat Inggris. Sejak saat itu Legislation merupakan
salah satu sumber hukum yang penting sejak Code Napoleon
(1805) dikembangkan, Inggris telah mengambil manfaat dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
apa yang terjadi di Perancis, dan legislation dipergunakan
sebagai alat pembaharuan hukum di Inggris.
c) Case-law, sebagai slah satu sumber hukum Inggris mempunyai
karakteristik yang utama. Seluruh hukum kebiasaan yang
berkembang dalam masyarakat tidak melalui Parlemen, akan
tetapi dilakukan oleh para hakim, sehingga dikenal dengan
istilah ”Judge-made law”. Setiap putusan hakim di inggris
merupakan precedent bagi hakim yang akan sumber hukum,
sehingga lahirlah doktrin precedent sampai sekarang (Romli
Atmasasmita, 2000 : 36)
Kedua. Sebagai konsekuensi dipergunakannya case-law
dengan doktrin precedent yang merupakan ciri utama maka sistem
hukum Inggris tidak sepenuhnya menganut asas legalitas.
Ketiga. Bertitik tolak dari doktrin precedent tersebut, maka
kekuasaan hakim di dalam sistem hukum Common Law sangat luas
dalam memberikan penafsiran terhadap suatu ketentuan yang
tercantum dalam undang-undang. Bahkan hakim di Inggris
diperbolehkan tidak sepenuhnya bertumpu pada ketentuan suatu
undang-undang jika diyakini olehnya bahwa ketentuan tersebut
tidak dapat diterapkan dalam kasus pidana yang sedang
dihadapinya. Dalam hal demikian hakim dapat menjatuhkan
putusannya sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan atau melaksanakan
asas precedent sepenuhnya. Dilihat dari segi kekuasaan hakim
Inggris yang sangat luas dalam memberikan penafsiran tersebut,
sehingga dapat membentuk hukum baru, maka nampaknya sistem
hukum Common Law kurang memperhatikan kepastian hukum.
Keempat. Ajaran Kesalahan dalam sistem hukum Common
Law (Inggris) dikenal melalui doktrin Mens-Rea yang dilandaskan
pada maxim: “Actus non est reus nisi mens sit rea”, yang berarti:
“suatu perbutan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali
jika pikiran orang itu jahat”. Ajaran Mens-Rea ini dalam sistem
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
hukum Inggris dirumuskan berbeda-beda tergantung dari
kualifikasi delik yang dilakukan seseorang. Pada sistem hukum
Common Law, doktrin Mens-Rea secara klasik diartikan setiap
perkara pelanggaran hukum yang dilakukan adalah disebabkan
karena pada diri orang itu sudah melekat sikap batin yang jahat
(evil will), dan karenanya perbuatan tersebut dianggap merupakan
dosa (Romli Atmasasmita, 2000 : 37).
Kelima. Dalam sistem Common Law (Inggris)
pertanggungjawaban pidana tergantung dari ada atau tidaknya
actus-reus dan mens-rea. Namun demikian unsur “mens-rea” ini
adalah merupakan unsur yang mutlak dalam pertanggungjawaban
pidana dan harus ada terlebih dulu pada perbuatan tersebut
sebelum dilakukan penuntutan (Roeslan Saleh,1982 : 28 dalam
Romli Atmasasmita, 2000 : 38). Dewasa ini dalam peraturan
perundangan modern unsur “mens-rea” ini tidak lagi dianggap
sebagai syarat utama, misalnya pada delik-delik tentang ketertiban
umum atau kesejahteraan umum.
Keenam. Sistem hukum Inggris dan negara-negara yang
menganut sistem Common Law tidak mengenal perbedaan antara
Kejahatan dan Pelanggaran. Sistem Common Law membedakan
tindak pidana (secara klasik) dalam: Kejahatan berat atau
“felonies”, kejahatan ringan atau “misdemeanors” dan kejahatan
terhadap negara atau “treason”. Menurut Romli Atmasasmita,
setelah dikeluarkannya “Criminal Law Act” (1967) pembedaan
sebagai berikut:
(1) Indictable Offences, adalah kejahatan-kejahatan berat yang
hanya dapat diadili dengan sistem Juri melalui pengadilan yang
disebut Crown Court.
(2) Summary Offences, adalah kejahatan-kejahatan kurang berat
yang hanya dapat diadili oleh suatu pengadilan (magistrate
court) tanpa dengan sistem Juri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
(3) Arrestable Offence, adalah kejahatan-kejahatan yang diancam
dengan hukuman di bawah 5 (lima) tahun kepada seorang
pelaku kejahatan yang belum pernah melakukan kejahatan.
Penangkapan terhadap pelaku tersebut dilakukan tanpa surat
perintah penangkapan. Klasifikasi terbaru mengenai tindak
pidana dalam sistem hukum pidana Inggris dicantumkan dalam
criminal law act tahun 1977.
Ketujuh. Sistem hukum acara pidana yang berlaku di
negara-negara Common Law pada prinsipnya menganut “sistem
accusatoir” atau yang secara populer dikenal dengan sebutan
“Advesary System”. Sistem accusatoir atau adversary system
menempatkan tersangka pengadilan sebagai subjek hukum yang
memiliki hak (asasi) dan kepentingan yang harus dilindungi dalam
proses pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan di muka
persidangan.
Kedelapan. Sistem pemidanaan yang berlaku pada
umumnya negara-negara yang menganut sistem Common Law
adalah bersifat komulatif. Sistem pemidanaan tersebut
memungkinkan seseorang dituntut dan dijatuhi pidana karena
melakukan lebih dari satu tindak pidana. Jika kesemua tuntutan
tersebut terbukti di muka sidang pengadilan maka pelaku tindak
pidana tersebut dijatuhi sekaligus semua ancaman hukuman yang
dikenakan kepadanya. (Romli Atmasasmita, 2000 : 41).
2) Karakteristik Sistem Hukum Belanda (Civil Law) pada umumnya,
khususnya dalam hukum pidana dan acara pidana.
Pertama. Sistem Hukum Belanda bersumber pada :
a) Undang-Undang Dasar;
b) Undang-undang;
c) Kebiasaan case-law;
d) Doktrin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum
pidana umum adalah sebagai berikut :
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Penal Code atau
Wetboek van Strafrecht).
(2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Code of
Crime Procedure atau Wetboek van Strafvordering).
(3) Undang-Undang tentang Susunan, organisasi, kekuasaan
dan tugas-tugas Pengadilan dan Sistem Penuntutan
(Judicial Act atau Wet op de Rechterlijke Organisatie).
Kedua. Karakateristik kedua dari sistem hukum
Belanda (Civil Law System) adalah dianutnya asas legalitas
atau “the principles of legality”. Asas ini mengandung makna
sebagi berikut:
(1) Tiada suatu perbuatan merupakan suatu tindak pidana,
kecuali telah ditentukan dalam undang-undang terlebih
dahulu. Undang-undang dimaksud adalah hasil dari
perundingan Pemerintah Parlemen.
(2) Ketentuan undang-undang harus ditafsirkan secara harfiah
dan pengadilan tidak diperkenankan memberikan suatu
penafsiran analogis untuk menetapkan suatu perbuatan
sebagai tindak pidana.
(3) Ketentuan undang-undang tidak berlaku surut.
(4) Mentapkan bahwa hanya pidana yang tercantum secara
jelas dalam undang-undang yang boleh dijatuhkan.
Dalam praktik penyelesaian perkara pidana di negeri
Belanda prinsip legalitas dan penafsiran yang diperbolehkan
dari prinsip tersebut diserahkan sepenuhnya kepada para
pelaksana / praktisi hukum, seperti, jaksa dan hakim.
Mengingat penafsiran yang bersifat kaku terhadap ketentuan
undang-undang menurut asas legalitas ini, maka peranan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
putusan Mahkamah Agung menjadi lebih penting. (Romli
Atmasasmita, 2000 : 48).
Ketiga. Dianutnya asas legalitas sebagaimana diuraikan
dalam butir kedua diatas, sangat berpengaruh terhadap soal
pertanggungjawaban pidana (criminal liability atau
strafbaarheid). Syarat umum bagi adanya pertanggungjawaban
pidana menurut hukum pidana Belanda adalah adanya
gabungan antara perbuatan yang dilarang dan pelaku yang
diancam dengan pidana. Perbuatan pelanggaran hukum dari
pelaku harus memenuhi syarat sebagai berikut :
(1) Bahwa perbuatan tersebut (berbuat atau tidak berbuat)
dilakukan seseorang.
(2) Diatur dalam ketentuan undang-undang termasuk lingkup
definisi pelanggaran.
(3) Bersifat melawan hukum.
Ketiga syarat bagi adanya suatu pertanggungjawaban
pidana tersebut di atas sesungguhnya merupakan suatu
konstruksi gabungan dari syarat-syarat adanya sifat
pertanggungjawaban pidana dan kekecualian-kekecualian dari
pertanggungjawaban pidana.
Keempat. Dianutnya asas legalitas dalam sistem hukum
pidana Belanda mengakibatkan keterikatan hakim terhadap isi
ketentuan undang-undang dalam menyelesaikan perkara
pidana. Hakim tidak diperbolehkan memperluas penafsiran
terhadap isi ketentuan undang-undang sedemikian rupa
sehingga dapat membentuk delik-delik baru.
Kelima. Sistem hukum pidana Belanda mengenal
pembedaan antara kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran
(overtredingen). Pembedaan dimaksud berasal dari perbedaan
antara mala in se dan mala prohibita yaitu perbedaan yang
dikenal dalam hukum Yunani. Mala in se adalah perbuatan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
yang disebut sebagai kejahatan karena menurut sifatnya adalah
jahat. Sedangkan Mala prohibita, suatu perbuatan yang
dilarang. Pembedaan antara kejahatan karena undang-undang
menetapkan sebagai perbuatan yang dilarang. Pembedaan
anatara kejahatan dan pelanggaran tersebut semula didasarkan
atas pertimbangan tentang adanya pengertian istilah
“rechtedelict” dan ”wetdelict”; namun perbedaan tersebut tidak
dianut lagi dalam doktrin. Perbedaan kejahatan dan
pelanggaran dewasa ini didasarkan atas ancaman hukumannya;
kejahatan memperoleh ancaman hukum yang lebih berat dari
pelanggaran.
Keenam. Sistem peradilan yang dianut di semua negara
yang berlandaskan “Civil Law System” pada umumnya adalah
sistem Inquisitoir. Sistem Inquisitoir menempatkan tersangka
sebagai objek pemeriksaan baik pada tahap pemeriksaan
pendahuluan maupun pada tahap pemeriksaan di muka sidang
pengadilan.
Ketujuh. Sistem pemidanaan yang dianut pada
umumnya di negara-negara yang berlandaskan civil law system
adalah sistem pemidanaan Alternatif dan Alternatif-kumulatif,
dengan batas minimum dan maksimum ancaman pidana yang
diperkenankan menurut Undang-Undang.
Sesungguhnya apabila kita telusuri karakteristik yang
melekat pada kedua sistem hukum sebagaimana telah diuraikan
di atas, pendekatan dari segi historis, khususnya mengenai
perkembangan hukum pidana di Eropa Continental yang
menganut sistem “Civil Law” lebih menonjol dan lebih
menampakkan dirinya keluar dari batas wilayah yuridiksi
sistem “Common Law”. Perkembangan penerapan sistem “Civil
Law” di negara dunia ketiga pada awalnya dipaksakan jika
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
dibandingkan dengan penerapan penggunaan sistem “Common
Law” di negara-negara bekas jajahan-jajahannya. Sebagai
contoh penggunaan dan pemakaian sistem hukum Belanda di
Indonesia dan sistem hukum Inggris dan Malaysia atau
Singapura. Satu-satunya karakteristik yang sama antara kedua
sistem hukum (legal system) tersebut adalah bahwa keduanya
menganut falsafah dan doktrin liberalisme. (Romli
Atmasasmita, 2000 : 50)
2. Tinjauan Umum tentang Penangkapan dan Penahanan
a. Penangkapan
Sering disalah artikan pengertian penangkapan dan penahanan.
Penangkapan sejajar dengan arrest (Inggris) sedangkan penahanan sejajar
dengan detention (Inggris). Jangka waktu penangkapan tidak lama. Untuk
melaksanakan tugas penyidikan, penyidik mempunyai wewenang pengkapan
yang berupa tindakan pengekangan sementara waktu terhadap kebebasan
tersangka atau terdakwa, karena cukup bukti guna kepentingan penyidikan
atau penuntutan dan atau peradilan yang menurut cara yang diatur dalam
Undang-Undang (Pasal 1 butir 20 jo Pasal 7 ayat (1) sub a). Disamping
penyidik juga penyidik pembantu dengan pelimpahan wewenang dari
penyidik (Pasal 11) dan penyidik atas perintah penyidik (Pasal 5 ayat (1) sub
b angka 1) berwenang melakukan penangkapan (H.A.K. Mochamad Anwar,
2000 : 10).
Dalam hal tertangkap tangan setiap orang dan semua orang
mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman dan keamanan
umum wajib menangkap tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa
barang bukti kepada penyidik atau penyelidik (Pasal 111 ayat (1)) (H.A.K.
Mochamad Anwar, 2000:10).
Penangkapan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1) Terhadap tersangka (Pasal 1 butir 14).
2) Terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
3) Berdasarkan bukti permulaan yang cukup (Pasal 17) (H.A.K. Mochamad
Anwar. 2000:10).
Selain syarat-syarat tersebut diatas penangkapan dapat dilakukan
untuk paling lama 1 hari (Pasal 17 ayat (1), sedangkan tersangka pelaku
pelanggaran tidak diadakan penangkapan (Pasal 19 ayat (2)) (H.A.K.
Mochamad Anwar, 2000:10).
Pelaksanaan penangkapan harus disertai dengan :
1) Surat perintah penangkapan yang memuat :
a) Identitas yang diberi perintah (nama, pangkat Nrp, jabatan).
b) Identitas tersangka ( nama, umur, pekerjaan, alamat).
c) Alasan penangkapan.
d) Uraian singkat perkara tindak pidana yang dipersangkakan (Pasal
yang dituduhkan).
e) Tempat tersangka akan diperiksa.
f) Surat perintah ditanda tangani oleh penyidik dengan stempel jabatan.
g) Tanggal dan nomor surat perintah.
2) Surat tugas yang ditunjukkan
3) Menyerahkan surat perintah kepada tersangka atau keluarganya
( H.A.K.Mochamad Anwar, 2000 : 10).
Dengan demikian penangkapan merupakan tindakan penyidik di dalam
pengekangan sementara waktu kepada seseorang yang cukup bukti guna
kepentingan penyidikan.
b. Penahanan
Penahanan merupakan salah satu bentuk perampasan kemerdekaan
bergerak seseorang, jadi terdapat pertentangan antara dua asa, yaitu hak
bergerak seseorang yang merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati
di satu pihak dan kepentingan ketertiban umum di lain pihak yang harus
dipertahankan untuk orang banyak atau masyarakat dari perbuatan jahat
tersangka (Andi Hamzah, 1996 : 132).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Disinilah letak keistimewaan hukum acara pidana itu. Ia mempunyai
ketentuan-ketentuan yang menyingkirkan asas-asas yang diakui secara
universal yaitu hak-hak asasi manusia khususnya hak kebebasan orang
seorang. Ketentuan itu terutama mengenai penahanan disamping yang lain
seperti pembatasan hak milik karena penyitaan, pembukaan rahasia surat
(terutama dalam delik korupsi dan subversi) dan lain-lain. Oleh karena itu,
penahanan seharusnya dilakukan jika perlu sekali. Kekeliruan dalam
penahanan dapat mengakibatkan hal-hal fatal bagi penahanan. Dalam
KUHAP diatur dengan ganti rugi dalam Pasal 95 disamping kemungkinan
digugat pada praperadilan. Ganti rugi dalam salah menahan juga telah
dikatakan menjadi ketetuan universal (Andi Hamzah, 1996 : 132).
Ketentuan tentang sahnya penahanan dicantumkan dalam Pasal 21
ayat (4) KUHAP, sedangkan perlunya penahanan dalam ayat (1) pasal itu.
Hal ini berbeda dengan HIR yang dalam hal ini sahnya penahanan diatur
dalam Pasal 26 ayat (2), sedangkan perlunya penahanan diatur dalam Pasal
75 dan 83c HIR. Perlunya penahanan dalam KUHAP selain syarat “ adanya
keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa
akan melarikan diri”, juga “merusak atau menghilangkan barang bukti dan
atau mengulangi tindak pidana “ (Andi Hamzah, 1996 : 132).
Menahan seseorang berarti orang itu diduga keras telah melakukan
salah satu delik tercantum dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP. Menjadi
pertanyaan sekarang ialah, apakah penahanan dapat dilakukan demi untuk
kepentingan keamanan tersangka sendiri (Andi Hamzah, 1996 : 133).
Dalam praktek, memang banyak yang terjadi demikian. Contohnya,
dari jaksa-jaksa yang pernah bertugas di Aceh, disana delik-delik yang
menyangkut kesusilaan sering tersangkanya ditahan misalnya mukah
(overspel), padahal ancaman pidana dalam pasal itu dibawah lima tahun dan
pasal 284 KUHP itu tidak disebutkan dalam Pasal 62 ayat (2) HIR (sekarang
Pasal 21 ayat (4) KUHAP). Jika tersangka di luar tahanan di khawatirkan
keselamatan jiwanya (Andi Hamzah, 1996 : 133).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
Penyidik penuntut umum maupun hakim dengan penetapannya
mempunyai wewenang penangkapan terhadap tersangka atau terdakwa
dalam hal dan cara yang diatur dalam undang-undang, dengan menempatkan
tersangka atau terdakwa di suatu tempat tertentu (Pasal 1 butir 21 jo Pasal
20) (H.A.K.Mochamad Anwar, 2000 : 11).
Penahanan harus dilakukan dengan syarat-syarat sebagai berikut :
1) Bukti yang cukup (Pasal 21 ayat (1)). 2) Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih
(Pasal 21 ayat (4)). 3) Beberapa jenis tindak pidana tertentu dalam KUHP yaitu Pasal 282 ayat
(3), Pasal 196, Pasal 335 ayat (1), pasal 453, Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379a, Pasal 459.
4) Penahanan ini dapat diperpanjang selama 6 hari oleh ketua Mahkamah Agung (Pasal 28 ayat 2).
5) Ketua Mahkamah Agung dapat memperpanjang sampai 2 x 30 hari (Pasal 29 ayat 2 dan 3).
6) Setelah jangka watu 110 hari terdakwa harus dibebaskan dari tahanan demi hukum (Pasal 20 ayat 6) (H.A.K.Mochamad Anwar, 2000 : 11).
Pasal 284 KUHP ini disayangkan tidak dimasukkan dalam Pasal 20
ayat (4) KUHAP sah untuk diadakan penahanan. Sedangkan Pasal 25
rechtenordonantie yang merupakan delik pelanggaran dimaksudkan dalam
Pasal 21 ayat (4) KUHAP tersebut (Andi Hamzah, 1996 : 134).
Begitu pula tentang pelaku yang tidak diketahui tempat kediamannya
yang tetap sering menjadi masalah dalam praktek. Jika ia tidak ditahan, akan
menyulitkan pemanggilannya dan menimbulkan tunggakan yang bertumpuk
(Andi Hamzah, 1996 : 134).
Ini pun disayangkan tidak dimasukkan dalam KUHAP, apakah
seseorang yang tidak diketahui tempat kediamannya selalu dapat dianggap
ada kekhawatiran akan melarikan diri seperti yang tercantum dalam Pasal 21
ayat (1) KUHAP. Perlu diingat bahwa ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1)
KUHAP itu hanya mengenai perlunya penahanan bukan sahnya penahanan
(Andi Hamzah, 1996 : 134).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Jadi Pasal 21 ayat (4) KUHAP tersebut, terdapat kekeliruan yang
disebut dalam Pasal 26 rechtenordonantie sebagai suatu delik yang
pelakunya dapat ditahan, sedangkan pasal itu tidak mengandung perumusan
delik. Pasal tersebut merupakan ketentuan tentang ancaman pidana terhadap
pelanggaran rechtenondonantie, yang dengan dimasukkannya ke dalam
delik ekonomi (UUTPE), maka ancaman pidana yang tersebut disitu
menjadi luluh diisap oleh ketentuan tentang ancaman pidana dalam UUTPE
yaitu yang tercantum dalam Pasal 6 Undang-undang itu. Ketidakcermatan
lain dalam Pasal 21 ayat (4) ialah adanya kata-kata “pecobaan dan
pemberian bantuan tindak pidana tersebut…….”. yang dalam hal ini terdapat
Pasal 351 ayat (1) KUHP yang jelas menurut KUHP tidak merupakan delik
percobaan penganiayaan (Pasal 351 itu) (Andi Hamzah, 1996 : 135).
Dengan demikian penahanan merupakan upaya pencegahan terhadap
tersangka atau terdakwa agar tidak melarikan diri atau merusak dan
menghilangkan barang bukti.
c. Pejabat yang Berwenang Menahan dan lamanya Penahanan
KUHAP menentukan bahwa ada tiga macam pejabat atau instansi yang
berwenang melakukan penahanan yaitu:
1) Penyidik atau penyelidik pembantu.
2) Penuntut umum.
3) Hakim yang menurut tindakan pemeriksaan terdiri atas hakim
Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung (Pasal 2
sampai 31 KUHAP).
Setiap penahanan tersebut dapat diperpanjang. Perintah penahahan
yang dikeluarkan oleh penyidik sebagaimana dimaksud oleh Pasal 20
KUHAP, hanya berlaku paling lama dua puluh hari. Ini sama dengan
penahanan yang dilakukan oleh pembantu jaksa penuntut HIR. Penahanan
yang dilakukan oleh penyidik tersebut dapat diperpanjang oleh penuntut
umum paling lama empat puluh hari (Pasal 24 ayat 1 dan 2 KUHAP), ini
berbeda dengan sistem HIR dahulu, yang dalam hal ini penuntut umum tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
dapat memperpanjang penahanan yang dilakukan oleh pembantu jaksa.
Hanya dapat melakukan penahanan sendiri yang paling lama tiga puluh hari
(Andi Hamzah, 1996 : 135).
Dalam pasal 24 ayat (4) KUHAP ditentukan bahwa setelah waktu
enam puluh hari tersebut, penyidik harus sudah mengeluarkan tersangka dari
tahanan demi hukum. Dalam Pasal 25 KUHAP itu ditentukan bahwa
penuntut umum dapat mengeluarkan surat perintah penahanan yang berlaku
paling lama dua puluh hari. Penahanan oleh penuntut umum ini dapat
diperpanjang oleh ketua pengadilan yang berwenang paling lama tiga puluh
hari yang menurut ayat (2) pasal tersebut dengan alasan “ apabila diperlukan
guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai (Andi Hamzah, 1996 :
136).
Selanjutnya, hakim Pengadilan Negeri yang mengadili perkara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 berwenang mengeluarkan perintah
penahanan untuk paling lama tiga puluh hari, dengan alasan “guna
kepentingan pemeriksaan” (Pasal 26 ayat (1) KUHAP) (Andi Hamzah, 1996
: 136).
Penahanan oleh hakim ini pun dapat diperpanjang oleh Ketua
Pengadilan Negeri yang bersangkutan untuk paling lama enam puluh hari,
dengan alasan “apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang
belum selesai” (Pasal 26 ayat (2) KUHAP) (Andi Hamzah, 1996 : 136).
Berarti penahanan yang dilakukan oleh hakim pada pemeriksaan
tingkat pertama lamanya 90 hari. Dalam Pasal 26 ayat (4) KUHAP
ditentukan bahwa apabila lewat sembilan puluh hari walaupun perkara
tersebut belum putus, terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
Ini berarti dua ratus hari setelah tersangka atau terdakwa yang ditahan oleh
penyidik (Andi Hamzah, 1996 : 136).
Untuk pemeriksaan tingkat banding pun hakim Pengadilan Tinggi,
dapat pula melakukan penahanan untuk paling lama tiga puluh hari, dengan
alasan “guna pemeriksaan tingkat banding” (Pasal 27 ayat (1)) (Andi
Hamzah, 1996 : 136).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Penahanan hakim Pengadilan Tinggi pun dapat diperpanjang oleh
Ketua Pengadilan Tinggi yang bersangkutan paling lama enam puluh hari
(Pasal 27 ayat (2)). Alasan perpanjangan tersebut sama dengan tingkat
pertama yaitu “guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai” (Andi
Hamzah, 1996 : 137).
Terakhir, Mahkamah Agung pun berwenang mengeluarkan surat
perintah penahanan untuk paling lama lima puluh hari guna kepentingan
pemeriksaan kasasi. Dan jika pemeriksaan belum selesai dapat diperpanjang
oleh Ketua Mahkamah Agung untuk paling lama enam puluh hari.
Rincian penahanan dalam hukum acara pidana Indonesia sebagai berikut:
1) Penahanan oleh penyidik atau pembantu penyidik : 20 hari
2) Perpanjangan oleh penuntut umum : 40 hari
3) Penahanan oleh penuntut umum : 20 hari
4) Penahanan oleh Ketua Pengadilan Negeri : 30 hari
5) Penahahan oleh hakim Pengadilan Negeri : 30 hari
6) Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Negeri : 60 hari
7) Penahanan oleh Hakim Pengadilan Tinggi : 30 hari
8) Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Tinggi : 60 hari
9) Penahanan oleh Mahkamah Agung : 50 hari
10) Perpanjangan oleh Ketua Mahkamah Agung : 60 hari
Jadi seorang tersangka atau terdakwa dari pertama kali ditahan dalam
rangka penyidikan sampai pada tingkat kasasi dapat ditahan paling lama 400
hari (Andi Hamzah, 1996 : 138).
Namun perlu diperhatikan adanya ketentuan pengecualian tentang
penahanan yang diatur dalam Pasal 29 KUHAP yang mengatakan bahwa
jangka waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, 25, 26, 27,
dan Pasal 28 KUHAP guna kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap
tersangka atau terdakwa dapat diperpanjang berdasar alasan yang patut dan
tidak dapat dihindarkan karena :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
1) Tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang
berat, yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter atau
2) Perkara yang sedang diperiksa diancam pidana penjara sembilan tahun
atau lebih (Andi Hamzah, 1996 : 138).
Pejabat yang berwenang memperpanjang penahanan sesuai dengan
pasal 29 ayat (3) KUHAP berbeda dengan yang berwenang memperpanjang
biasa. Dalam ayat tersebut ditentukan bahwa:
1) Pada tingkat penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua Pengadilan
Negeri.
2) Pada tingkat pemeriksaan di Pengadilan Negeri diberikan oleh Ketua
Pengadilan Tinggi.
3) Pada tingkat pemeriksaan banding diberikan oleh Mahkamah Agung.
4) Pada tingkat kasasi diberikan oleh Ketua Mahkamah Agung.
Dalam penggunaan wewenang perpanjangan penahahan tersebut
KUHAP memberikan batasan-batasan sebagai berikut :
1) Tersangka atau terdakwa dapat mengajukan keberatan dalam tingkat
penyidikan dan penuntutan kepada Ketua Pengadilan Tinggi,
pemeriksaan Pengadilan Negeri dan pemeriksaan banding kepada Ketua
Mahkamah Agung (Pasal 29 ayat (7) KUHAP).
2) Tersangka atau terdakwa berhak minta ganti kerugian sesuai dengan
ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96 KUHAP. Apabila
tenggang waktu penahanan sebagaimana tersebut pada Pasal 24, Pasal
25, Pasal 26, Pasal 27 dan Pasal 28 atau perpanjangan penahanan
sebagaimana tersebut pada Pasal 29 ternyata tidak sah (Pasal 30 KUHAP
tersebut “apabila tenggang waktu penahanan…” “ternyata tidak sah”
kurang tepat karena bukan tenggang waktunya yang tidak sah tetapi
dasar hukumnya atau cara melakukannya.
Berdasarkan uraian dimuka pejabat yang berwenang menahan dan
lamanya penahanan adalah :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
1) Penahanan oleh penyidik atau pembantu penyidik : 20 hari
2) Perpanjangan oleh penuntut umum : 40 hari
3) Penahanan oleh penuntut umum : 20 hari
4) Penahanan oleh Ketua Pengadilan Negeri : 30 hari
5) Penahahan oleh hakim Pengadilan Negeri : 30 hari
6) Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Negeri : 60 hari
7) Penahanan oleh Hakim Pengadilan Tinggi : 30 hari
8) Perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Tinggi : 60 hari
9) Penahanan oleh Mahkamah Agung : 50 hari
10) Perpanjangan oleh Ketua Mahkamah Agung : 60 hari
d. Macam-macam Bentuk Penahanan
Menurut Pasal 22 KUHAP bentuk penahanan selain penahanan di
rumah tahanan Negara, dikenal pula penahanan rumah dan penahanan kota.
Cara pelaksanaan penahanan tersebut dikatakan bahwa masa penahanan
tersebut dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
Sesuatu yang menjadi rumit dalam ketentuan penahanan ini dalam
KUHAP ialah adanya perbedaan perhitungan masa penahanan pada
penjatuhan pidana dalam ketiga macam bentuk penahanan tersebut (Andi
Hamzah, 1996 : 140).
Menurut Pasal 22 ayat (5) tersebut, untuk penahanan kota
pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya waktu penahanan
sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari jumlah lamannya waktu
penahanan. Ini harus diperhatikan benar-benar oleh pejabat. Yang
melakukan penahanan, yaitu penyidik (polisi), penuntut umum (jaksa), dan
hakim. Hal tersebut sehubungan dengan ketentuan Pasal 23 ayat (1) KUHAP
yang menegaskan bahwa penyidik atau penuntut umum atau hakim
berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis
penahanan yang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 212 KUHAP
(Andi Hamzah, 1996 : 40).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
Ini berarti bahwa penyidik atau penuntut umum atau hakim dalam
mengalihkan bentuk penahanan dari yang satu kepada yang lain, harus
menghitung dengan seksama. Kalau misalnya penahanan kota itu baru
berlanjut empat hari tentu menyulitkan dalam perhitungan kalau dialihkan
menjadi tahanan di rumah tahanan Negara karena nanti diperhitungkan
menjadi empat per lima hari. Jadi tidak cukup satu hari, yang menahan harus
memperhatikan bahwa penahanan kota baru dapat dialihkan menjadi tahanan
di rumah tahanan Negara kalau sudah ditahan lima hari. Begitu pula dengan
penahanan rumah, yang perhitungannya adalah sepertiga dari jumlah waktu
penahanan. Ini berarti minimal tiga hari masa penahanan rumah baru dapat
dialihkan menjadi tahanan di rumah tahanan Negara agar pengurangan
pidana tepat satu hari (Andi Hamzah, 1996 : 140).
Perlu diperhatikan pula ialah penjelasan Pasal 22 ayat (1) KUHAP
yang mengatakan bahwa selama belum ada rumah tahanan Negara di tempat
yang bersangkutan, penahanan dapat dilakukan di kantor kepolisian Negara,
di kantor kejaksaan negeri, di lembaga pemasyarakatan, di rumah sakit, dan
dalam keadaan memaksa tempat di tempat lain (Andi Hamzah, 1996 : 141).
Dalam praktek yang akan menjadi masalah ialah kalau seorang
tahanan rumah masuk ke rumah sakit. Apakah selama di rumah sakit itu
tahanannya diperhitungkan sepertiganya dalam penjatuhan pidana karena ia
berstatus tahanan rumah sebelum masuk ke rumah sakit, apakah
diperhitungkan penuh, karena tahanan di rumah sakit itu menurut penjelasan
pasal tersebut sama dengan rumah tahanan Negara.
3.Tinjauan Umum tentang Pra Peradilan
a. Pengertian dan Ruang lingkupnya
Menurut etimologinya Pra Peradilan terdiri dari dua suku kata, pra
berarti sebelum, sedangkan peradilan berarti suatu proses pemeriksaan atas
tersangka, saksi-saksi dan barang bukti oleh pengadilan, penuntut umum
dan atau penasehat hukum guna mencari kebenaran materiil. Setelah Ketua
Pengadilan Negeri memutus perkara dengan menjatuhkan pidana atau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
membebaskan terdakwa dan atau melepaskan terdakwa dari segala
tuntutan hukum (H.A.K. Mochamad Anwar, 2000 : 25).
Pra peradilan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh
Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus (bukan mengenai
pokok perkara) tentang keabsahan penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan, penghentian penuntutan dan memutus permintaan ganti
kerugian dan rehabilitasi yang perkara pidananya tidak dilanjutkan ke
muka sidang Pengadilan Negeri, atas permintaan tersangka atau pelapor
atau keluarganya dan atau penasehat hukumnya (H.A.K. Mochamad
Anwar, 2000 : 25).
Keputusan Hakim Pengadilan Negeri di atas hanya mengenai acara
pidananya saja tidak mengenai pelanggaran pidananya. Misalnya, si A
disangka telah melakukan penipuan sebagaimana diatur dan diancam oleh
Pasal 378 KUHP, penyidik dalam melakukan penyidikan tindak pidana
tersebut melakukan upaya paksa penangkapan atau penahanan tanpa
dilengkapi surat perintah penangkapan atau penahanan dan tidak
memberitahukan hal itu kepada tersangka atau keluarganya. Dalam hal ini
tersangka atau keluarganya dan atau penasehat hukumnya, dapat
mengajukan permohonan gugatan pra peradilan kepada ketua Pengadilan
Negeri setempat untuk memeriksa dan memutus keabsahan penangkapan
atau penahanan tersebut (H.A.K. Mochamad Anwar, 2000 : 25).
Selain berwenang memeriksa dan memutus keabsahan
penangkapan dan penahanan, hakim pra peradilan berwenang pula
memeriksa dan memutus keabsahan penghentian penyidikan. Selain
daripada itu, wewenang hakim pra peradilan adalah memeriksa dan
memutus permintaan ganti kerugiaan atau rehabilitasi oleh tersangka yang
perkaranya tidak diajukan ke pengadilan (H.A.K. Mochamad Anwar, 2000
: 26).
Pasal 95 KUHAP menyebutkan :
1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian
karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan Undang-undang atau
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas
penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang
atau hukum yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri diputus Pra
Peradilan.
3) Tuntutan ganti kerugiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diajukan tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada
pengadilan yang berwenang mengadili tersangka yang bersangkutan.
Selanjutnya Pasal 97 KUHAP menyebutkan bahwa :
1) Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan
diputus lepas dari segala tuntutan umum yang diputusnya telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam
putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Dari ketentuan Pasal 95 KUHAP dapat ditunjukkan bahwa alasan
tersangka, terdakwa, terpidana untuk menuntut ganti kerugian selain
daripada adanya ketidak absahan penangkapan, penahanan, penuntutan
juga dalam hat dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
dimaksudkan di sini adalah tindakan-tindakan upaya hukum
(dwangmiddlenen) lainnya seperti pemasukan rumah, penggeledahan,
penyitaan barang bukti, penyitaan surat-surat yang dilakukan secara
melawan hukum dan menimbulkan kerugian materiil. Hal ini ditetapkan
dalam pasal 95 KUHAP tersebut karena dipandang perlu bahwa hak-hak
terhadap harta benda dan hal-hak atas privat tersebut perlu dilindungi
terhadap tindakan-tindakan melawan hukum (H. A. K. Mochamad Anwar,
2000:27).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Sehubungan dengan Pasal 95 ayat (2) KUHAP dan dihubungkan
dengan Pasal 77 KUHAP timbul pertanyaan. Ganti kerugian dan atau
rehabilitasi yang bagaimanakah yang menjadi wewenang Pra Peradilan, itu
adalah tuntutan ganti kerugian yang perkarannya tidak diajukan ke
pengadilan (H.A.K. Mochamad Anwar, 2000 : 27).
Apabila perkara pidana tidak diajukan ke pengadilan baik karena
tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana,
sedangkan terhadap tersangka dilakukan penangkapan, penahanan dan
tindakan-tindakan lain secara melawan hukum maka tuntutan tersebut
diperiksa dan diputus di pra peradilan. Apabila perkaranya dihentikan
sedangkan tersangka sebelumnya dikenakan penangkapan, atau penahanan
tanpa alasan yang sah atau kekeliruan mengenai orangnya atau hukum
yang diterapkan, maka rehabilitasi diberikan oleh hakim pra peradilan.
Dengan demikian keputusan pengadilan berupa penetapan (H.A.K.
Mochamad Anwar, 2000 : 27 ).
b. Pihak-pihak yang dapat Mengajukan Pra Peradilan
Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam Pasal 79, 80, 81, 95 ayat
(2), dan Pasal 97 ayat (3) KUHAP maka yang dapat mengajukan Pra
Peradilan adalah sebagai berikut:
1) Permintaan pemeriksaan keabsahan penangkapan dan atau
penahanan
a) Tersangka
b) Keluarganya
c) Kuasanya
b) Permintaan pemeriksaan keabsahan penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan
a) Keabsahan penghentian penyidikan oleh penuntutan umum dan
pihak ketiga yang berkepentingan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
b) Keabsahan penghentian penuntutan oleh penyidik dan pihak ketiga
yang berkepentingan.
c) Permintaan ganri kerugian diajukan oleh
a) Tersangka
b) Ahli waris
c) Pihak ketiga yang berkepentingan
d) Permintaan rehabilitasi diajukan oleh
a) Tersangka
b) Pihak ketiga yang berkepentingan
Dengan demikian yang dapat mengajukan pra peradilan ialah:
1) Tersangka
2) Keluarganya
3) Kuasanya
4) Pihak ketiga yang berkepentingan
c. Pejabat yang dapat diajukan Pra Peradilan
Dan ketentuan Pasal 82 ayat (3) KUHAP, dapat diketahui bahwa
yang dapat diajukan pra peradilan adalah penyidik dan penuntut umum.
Sedangkan untuk hakim menurut Surat Edaran (SEMA) No. 14 tahun
1983 tanggal 8 Desember 1983 yang menyatakan hahwa sehubungan
masih adanya pertanyaan tentang kemungkinan pengajuan hakim ke
sidang pra peradilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP, bersama ini ditetapkan
bahwa seorang hakim tidak dapat diajukan pra peradilan berdasarkan Pasal
77 KUHAP. Karena tanggung jawab yuridis atas penahanan itu tetap ada
pada masing-masing instansi yang melakukan penahanan (pertama) itu.
Dengan demikian, pejabat yang dapat diajukan pra peradilan ialah
penyidik dan penuntut umum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
d. Acara Pemeriksaan Pra Peradilan
Secara umum acara pra peradilan diatur dalam Pasal 77 - Pasal 101
KUHAP. Akan tetapi secara khusus yang mengatur tata cara perneriksaan
pra peradilan yang diatur dalam Pasal 82 KUHAP. Setelah Pengadilan
Negeri menerima pengajuan pemeriksaan perkara Pra Peradilan, maka
dalam waktu tiga hari telah menunjuk hakim yang akan memimpin
persidangan dan telah menetapkan hari sidang. Persidangan pemeriksaan
pra peradilan dipimpin oleh hakim tunggal, yang dalam hal ini dalam
persidangan itu hakim mendengar keterangan tersangka atau penuntut
umum. Dalam persidangan hakim dibantu oleh seorang panitera
(Mochamad Faisal Salam, 2001 : 332).
Pemeriksaan pra peradilan harus dilakukan secara cepat, dalam
waktu tujuh hari harus sudah dijatuhkan putusan. Hal mi membedakan
dengan perkara biasa yang tidak ditentukan waktu penyelesaiannya.
(Mochamad Faisal Salam, 2001 : 332). Permintaan pra peradilan menjadi
gugur, jika perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan, sedang
pemeriksaan mengenai permintaan pra peradilan belum selesai
(Mochamad Faisal Salam, 2001 : 332).
Timbul hak seorang untuk mengajukan permohonan pemeriksan
pra peradilan (ganti kerugian dan atau rehabilitasi) sebagaimana diatur
dalam Pasal 95 dan 97 KUHAP yaitu:
1) Jika terdakwa diputus bebas atau dilepas dan segala tuntutan hukum
2) Jika terpidana kurang dari lamanya masa penahanan
3) Rehabilitasi dapat dimohon apabila seorang diadili dan dipidana, akan
tetapi masih memenuhi ketentuan hukum kepegawaian untuk
direhabilitasi
4) Jika dalam mcnggunakan upaya hukum luar biasa (peninjauan
kembali) dapat menimbulkan dasar bagi gugatan atau tuntutan ganti
kerugian dan rehabilitasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Putusan pra peradilan pada tingkat penyidikan dapat diajukan lagi
pada tingkat pcmeriksaan oleh penuntut umum dengan diajukan
permintaan baru (Pasal 78 ayat (2) dan Pasal 82 KUHAP) (Mochamad
Faisal Salam, 2001 : 333).
Putusan pra peradilan tidak dapat dimintakan banding (Pasal
83 KUHAP) dengan pengecualian mengenal putusan pra peradilan yang
menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan, maka
atas hal tersebut dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi, selanjutnya
putusan pengadilan atas perkara tersebut merupakan putusan terakhir
(Mochamad Faisal Salam, 2001 : 333).
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa sesuai dengan
ketentuan bahwa pengajuan pra peradilan dibutuhkan waktu yang sangat
singkat mengingat karena permohonan pemeriksan pra peradilan akan
gugur apabila perkara sudah mulai diperiksa di pengadilan. Sedangkan
putusan pra peradilan tidak bisa dimintakan banding kecuali putusan pra
peradilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan dan
penuntutan.
e. Isi Putusan Pra Peradilan
Selain putusan memuat dengan jelas dasar dan alasan dijatuhkan
putusan, maka dalam putusan memuat hal-hal sebagai berikut :
1) Dalam hal suatu penangkapan atau penahanan tidak sah maka penyidik
atau penuntut umum atau jaksa harus segera membebaskan tersangka.
2) Dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
dinyatakan tidak sah, maka penyidikan atau penuntutan terhadap
tersangka wajib dilanjutkan.
3) Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau
penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah
besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang dibayarkan/diberikan,
sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan,
maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
4) Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang
tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan
bahwa benda tersebut segera dikembalikan kepada tersangka atau dari
siapa benda itu disita.
4. Tinjauan tentang Habeas Corpus di Amerika Serikat
Istilah Habeas Corpus berasal dari bahasa Romawi yang berarti
“menguasai diri orang” dan di dalam buku Anglo Saxon lembaga ini
merupakan suatu lembaga control terhadap terjadinya suatu penahanan.
Lembaga Habeas Corpus ini tidak hanya ditujukan kepada
penahanan yang terjadi dalam hubunganya suatu tindak pidana saja, akan
tetapi terhadap penahanan apa pun yang dianggap telah melanggar hak
kemerdekaan pribadi seseorang yang telah dijamin Undang-Undang Dasar.
Dengan demikian surat perintah Habeas Corpus merupakan suatu angket
(writ of inquiry) untuk menentukan apakah hilangnya kemerdekaan
seseorang tanpa dasar hukum yang kuat atau tanpa suatu proses hukum
yang seharusnya dilaksanakan (due process of law).
Sehingga Habeas Corpus merupakan suatu jaminan serta
pengamanan kemerdekaan pribadi melalui proses prosedur yang
sederhana, langsung dan terbuka yang dapat dipergunakan oleh siapapun
juga (Loebby Loqman, 1984 : 54 ).
Surat perintah Habeas Corpus ini dikeluarkan oleh pengadilan dan
dialamatkan kepada pihak yang sedang menahan atau menguasai orang
tersebut. Dan dikeluarkanya surat perintah Habeas Corpus berasal dari
orang yang ditahan tersebut atau wakilnya. Bunyi surat perintah Habeas
Corpus adalah sebagai berikut :
“Si tahanan berada dalam pengawasan saudara. Saudara wajib
membawa orang itu di depan pengadilan serta wajib menunjukkan
alasan yang menyebabkan penahanannya”.
Surat perintah ini merupkan warisan dari Inggris yang tercantum
dalam Undang-undang Dasar Amerika Serikat pada Pasal 1 ayat (9) yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
dalam hal ini dijamin bahwa Habeas Corpus tidak akan dihilangkan
kecuali diperluan untuk keselamatan rakyat.
Prinsip dasar Habeas Corpus adalah bahwa di dalam masyarakat
yang beradab, pemerintah harus selalu menjamin hak kemerdekaan
seseorang, sehingga pemerintah harus bertanggung jawab baik kepada
masyarakat maupun kepada pengadilan apabila terjadi seseorang yang
hilang kemerdekaannya, baik yang berhubungan dengan suatu peristiwa
tindak pidana, maupun suatu kehilangan kemerdekaan lainya (Loebby
Loqman, 1984 : 55).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
B. Kerangka Pemikiran
Untuk memperjelas alur berpikir penulisan hukum (Skripsi) ini
berikut digambarkan alur kerangka berpikir:
Bagan. 1 Kerangka Pemikiran
PRA PERADILAN
Indonesia Amerika Serikat
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Hukum Acara Pidana Habeas Corpus
Habeas Corpus Act
Kelebihan dan Kelemahan
Persamaan dan Perbedaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Keterangan :
Salah satu upaya untuk menjamin perlindungan hak tersangka atau
terdakwa dalam proses peradilan pidana di Indonesia adalah melalui lembaga pra
peradilan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Keberadaan adanya pra peradilan di dalam KUHAP juga tidak dapat
dilepaskan dari inspirasi yang bersumber dari adanya hak Habeas Corpus dalam
sistem peradilan Anglo Saxon, khususnya di Amerika Serikat, yang memberikan
jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaan.
Jika melihat kilas balik sejarah dari hukum Amerika Serikat, maka akan dapat
diamati bahwa sistem hukum yang dianut oleh negara tersebut adalah Common
Law yang mana merupakan asal muasal dari adanya hak Habeas Corpus.
Oleh karena itu, berdasarkan konsep lembaga pra peradilan pidana yang
berkembang dalam sistem peradilan pidana di Indonesia (Civil Law) dan sistem
Habeas Corpus yang berkembang dalam sistem peradilan pidana Amerika
Serikat (Common Law ). Maka pada penulisan hukum ini penulis akan
menguraikan mengenai persamaan dan perbedaan serta faktor-faktor dari adanya
persamaan dan perbedaan serta kelebihan dan kelemahan wewenang dan fungsi
pra peradilan di Indonesia dan Amerika Serikat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Persamaan dan Perbedaan Wewenang dan Fungsi Pra Peradilan
Menurut Hukum Acara Pidana Indonesia dengan Sistem Habeas
Corpus di Amerika Serikat
Lembaga pra peradilan lahir dari inspirasi yang bersumber pada
adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang
memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya
hak kemerdekaan (http://www.legalitas.org/content/pra-peradilan-vs-hakim-
komisaris-beberpa-pemikiran-mengenai-keberadaan-keduanya [25
November 2010]). Habeas Corpus Act memberikan hak kepada seseorang
untuk melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut pejabat yang
melakukan penahanan atas dirinya, membuktikan bahwa penahanan tersebut
tidak melanggar hukum atau benar-benar sah sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku. Hal ini utuk menjamin bahwa perampasan ataupun
pembatasan kemerdekaan terhadap seorang tersangka atau terdakwa itu
benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku
maupun jaminan hak-hak asasi manusia.
Surat perintah Habeas Corpus ini dikeluarkan oleh pengadilan pada
pihak yang sedang menahan (polisi atau jaksa) melalui prosedur yang
sederhana langsung dan terbuka sehingga dapat dipergunakan oleh
siapapun. Bunyi surat perintah Habeas Corpus (the writ of Habeas Corpus)
adalah sebagai berikut : “Si tahanan berada dalam penguasaan saudara.
Saudara wajib membawa orang itu di depan pengadilan serta wajib
menunjukan alasan yang menyebabkan penahanannya”.
Surat perintah pengadilan yang berisikan hak Habeas Corpus
tersebut tidak hanya ditujukan kepada penahanan yang terkait dalam proses
peradilan pidana saja, namun juga terhadap segala bentuk penahanan yang
dianggap telah melanggar hak kemerdekaan pribadi seseorang yang telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
dijamin oleh konstitusi (http://one.indoskripsi.com/node/10432 [25
November 2010]). Dalam perkembanganya surat perintah Habeas Corpus
menjadi saah satu alat pengawasan serta perbaikan terhadap proses pidana
baik di tingkat federal maupun di negara bagian Amerika Serikat.
Prinsip dasar Habeas Corpus inilah yang memberikan inspirasi
untuk menciptakan suatu forum yang memberikan hak dan kesempatan
kepada seseorang yang sedang menderita karena dirampas atau dibatasi
kemerdekaanya untuk mengadukan nasibnya sekaligus menguji kebenaran
dan ketetaan berupa penggunaan upaya paksa, baik penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan maupun pembukaan surat-surat yang
diberlakukan oleh pihak kepolisian , kejaksaan atau kekuasaan lainnya.
Prinsip dasar Habeas Corpus memunculkan gagasan lembaga pra peradilan
yang memberikan perlindungan kepada tersangka atau terdakwa terhadap
upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum
(http://kampus.okezone.com/read/2010/18/95/333714/95/perkuat-lembaga-
praperadilan-daripada-konsep-hakim-komisaris, [5 September 2010]).
Sistem peradilan menganut asas praduga tak bersalah, namun tetap
pada kenyataanya dalam mencari pembuktian terhadap orang yang baru
disangka atau diduga melakukan tindak pidana, pihak penyidik atau
penuntut umum seringkali langsung menggunakan upaya paksa tanpa
dipenuhinya syarat-syarat formil terutama syarat-syarat materiil dalam hal
penangkapan maupun penahanan.
Lembaga pra peradilan muncul di dalam KUHAP pada Pasal 1 butir
10 jo Pasal 77 KUHAP. Ketentuan yang menjadi dasar pra peradilan
tersebut diatur dalam Pasal 9 UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, yaitu :
1. Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliranmengenai orangnya
atau hukum yang diterapkanya, berhak menuntut ganti kerugian dan
rehabilitasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
2. Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3. Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi dan
pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang.
Penjabaran Pasal 9 UU No.48 Tahun 2009 ini diatur dalam Pasal 77
sampai dengan Pasal 83 KUHAP, dan dihubungkan dengan Pasal 95 ayat
(2) sampai (5), serta Pasal 97 ayat (3) KUHAP. Dalam KUHAP, pra
peradilan diatur dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP yang pokoknya mengatur
sebagai berikut : pra peradilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk
memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini, tentang :
1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
tersangka.
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
3. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan.
Aturan Pra peradilan secara lengkap dapat dilihat pada tabel
sebagai berikut :
Tabel. 1
Ketentuan KUHAP terkait Pra peradilan
No. Pasal Bunyi Pasal
1. Pasal 1 butir 10 Pra peradilan adalah wewenang Pengadilan
Negeri untuk memeriksa dan memutus
menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini, tentang:
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan
dan atau penahanan atas permintaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
tersangka atau keluarganya atau pihak
lain atas kuasa tersangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan
atas permintaan demi tegaknya hukum
dan keadilan;
c. Permintaan ganti kerugian atau
rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas
kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan
2. Pasal 77 Pengadilan Negeri berwenang untuk
memeriksa dan memutus, sesuai dengan
ketentuan yangdiatur dalam undang-undang
ini tentang:
a. Sah atau tidaknya penangkapan,
penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan;
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi
seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau
penuntutan.
3. Pasal 78 (1) Yang melaksanakan wewenang
Pengadilan Negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 adalah pra
peradilan.
(2) Pra peradilan dipimpin oleh hakim
tunggal yang ditunjuk oleh ketua
Pengadilan Negeri dan dibantu oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
seorang panitera.
4. Pasal 79 Permintaan pemeriksaan tentang sah atau
tidaknya suatu penangkapan atau penahanan
diajukan oleh tersangka, keluarga atau
kuasanya kepada ketua Pengadilan Negeri
dengan menyebutkan alasannya.
5. Pasal 80 Permintaan untuk memeriksa sah atau
tidaknya suatu penghentian penyidikan atau
penuntutan dapat diajukan oleh penyidik
atau penuntut umum atau pihak ketiga yang
berkepentingan kepada ketua Pengadilan
Negeri dengan menyebutkan alasannya.
6. Pasal 81 Permintaan ganti kerugian dan atau
rehabiitasi akibat tidak sahnya penangkapan
atau penahanan atau akibat sahnya
penghentian penyidikan atau penuntutan
diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga
yang berkepentingan kepada ketua
Pengadilan Negeri dengan menyebut
alasannya.
7. Pasal 82 (1) Acara pemeriksaan pra peradilan untuk
hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan
sebagai berikut:
b. dalam waktu tiga hari setelah
diterimanya permintaan, hakim yang
ditunjuk menetapkan hari sidang;
c. dalam memeriksa dan memutus
tentang sah atau tidaknya
penangkapan atau penahanan, sah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penuntutan;
permintaan ganti kerugian dan atau
rehabilitasi akibat tidak sahnya
penangkapan atau penahanan, akibat
sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan dan ada benda yang disita
yang tidak termasuk alat pembuktian,
hakim mendengar keterangan baik
dan tersangka atau pemohon maupun
dan pejabat yang berwenang;
d. permeriksaan tersebut dilakukan cara
cepat dan selambat-lambatnya tujuh
hari hakim harus sudah menjatuhkan
putusannya;
e. dalam hal suatu perkara sudah mulai
diperiksa oleh Pengadilan Negeri
sedangkan pemeriksaan mengenai
permintaan kepada pra peradilan
belum selesai, maka permintaan
tersebut gugur;
f. putusan pra peradilan pada tingkat
penyidikan tidak menutup
kemungkinan untuk mengadakan
pemeriksaan pra peradilan lagi pada
tingkat pemeriksaan oleh penuntut
umum, jika untuk itu diajukan
permintaan baru.
(2) Putusan hakim dalam acara pemeriksaan
pra peradilan mengenai hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Pasal 81, harus memuat dengan jelas
dasar dan alasannya.
(3) Isi putusan selain memuat ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
juga memuat hal sebagai berikut :
a. dalam hal putusan menetapkan
bahwa sesuatu penangkapan atau
penahanan tidak sah; maka penyidik
atau jaksa penuntut umum pada
tingkat pemeriksaan masing- masing
harus segera membebaskan
tersangka;
b. dalam hal putusan menetapkan
bahwa sesuatu penghentian
penyidikan atau penuntutan tidak
sah, penyidikan atau penuntutan
terhadap tersangka wajib
dilanjutkan;
c. dalam hal putusan menetapkan
bahwa suatu penangkapan atau
penahanan tidak sah, maka dalam
putusan dicantumkan jumlah
besarnya ganti kerugian dan
rehabilitasi yang diberikan,
sedangkan dalam hal suatu
penghentian penyidikan atau
penuntutan adalah sah dan
tersangkanya tidak ditahan, maka
dalam putusan dicantumkan
rehabilitasinya;
d. dalam hal putusan menetapkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
bahwa benda yang disita ada yang
tidak termasuk alat pembuktian,
maka dalam putusan dicantumkan
bahwa benda tersebut harus segera
dikembalikan kepada tersangka atau
dan siapa benda itu disita.
(4) Ganti kerugian dapat diminta, yang
meliputi hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 77 dan Pasal 95
8. Pasal 83 (1) terhadap putusan pra peradilan dalam hal
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79,
Pasal 80, dan Pasal 81 tidak dapat
dimintakan banding.
(2) Dikecualikan dan ketentuan ayat (1)
adalah putusan pra peradilan yang
menetapkan tidak sahnya penghentian
penyidikan atau penuntutan yang untuk
itu dapat dimintakan putusan akhir ke
Pengadilan Tinggi dalam daerah hukum
yang bersangkutan.
9. Pasal 95 (1) Tersangka, terdakwa atau terpidana
berhak menuntut ganti kerugian karena
ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili
atau dikenakan tindakan lain, tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang
atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan.
(2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
atau ahli warisnya atas penangkapan atau
penahanan serta tindakan lain tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang
atau karena kekeliruan mengenai orang
atau hukum yang diterapkan
sebagaimana dimaksud dalarn ayat (1)
yang perkaranya tidak diajukan ke
Pengadilan Negeri, diputus di sidang pra
peradilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 77.
(3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh
tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli
warisnya kapada pengadilan yang
berwenang mengadili perkara yang
bersangkutan.
(4) Untuk memeriksa dan memutus perkara
tuntutan ganti kerugian tersebut pada
ayat (1) ketua pengadilan sejauh
mungkin menunjuk hakim yang sama
yang telah mengadili perkara pidana
yang bersangkutan.
(5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian
sebagaimana tersebut pada ayat (4)
mengikuti acara pra peradilan.
10. Pasal 97 ayat (3) Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas
penangkapan atau penahanan tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau
kekeliruan mengenai orang atau hukum
yang diterapkan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 95 ayat (1) yang perkaranya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
tidak diajukan ke Pengadilan Negeri diputus
oleh hakim pra peradilan yang dimaksud
dalam Pasal 77
Bagi seorang tersangka atau terdakwa mengetahui dengan jelas hak-
hak mereka dan batas-batas wewenang aparat penegak hukum dalam
melaksanakan upaya paksa yang dapat mengurangi hak asasinya.
Ada beberapa perbedaan mendasar antara Habeas Corpus dengan
lembaga pra peradilan, yaitu :
1. Pada pra peradilan, hakim yang mengadili perkara pra peradilan
memeriksa sebelum sidang biasa di pengadilan, sedangkan Habeas
Corpus, hakim yang memeriksa adalah hakim di pengadilan dalam
sidang biasa.
2. Dalam pra peradilan, kewenanganya terbatas pada menguji keabsahan
suatu penangkapan dan penahanan yang dilakukan sehubungan dengan
upaya paksa dalam hukum acara pidana, sedangkan Habeas Corpus,
lebih luas dalam arti permohonan dikeluarkanya surat perintah Habeas
Corpus ditujukan kepada instansi manapun yang melakukan
penangkapan dan penahanan (Loeby Loqman, 1984 : 56).
Secara historis, sebelum berlakunya Kitab Undang-undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) pada tanggal 31 Desember 1981, maka yang
dijadikan sebagai pedoman untuk peradilan umum adalah HIR (Herziene
Indische Reglement) Stb. Tahun 1941 Nomor 44 yang merupakan produk
hukum pada masa kolonial Belanda dengan berbagai multi aspek pada
zamanya, yang dalam hal ini didalamnya terdapat beberapa kendala,
kelemahan, kekurangan serta menguntungkan pihak penguasa, bahkan
khususnya mengabaikan perlindungan akan hak asasi manusia,
ketidakpastian hukum dan keadilan. Misalnya, ketidakpastian tentang
tindakan pendahuluan dalam proses hukumnya dalam hal penangkapan,
penggeledahan, penyitaan, penahanan, hak-hak dan status tersangka,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
terdakwa, bantuan hukum, lamanya serta ketidakpastian dalam proses
penyelesaian perkara pada semua tingkat pemeriksan dan sebagainya.
HIR diciptakan pada zaman kolonial Belanda, yang pada dasarnya
produk hukum serta perangkat-perangkat sarananya dibentuk sedemikian
rupa sehingga menguntungkan pihak yang berkuasa, dalam hal ini penjajah.
Berhubungan dengan perkembangan dan kemajuan zaman yang semakin
modern serta didasari pada perkembanan era kemerdekaan Republik
Indonesia, sistem yang dianut HIR dirasakan telah ketinggalan zaman, tidak
sesuai lagi dengan cita-cita hukum nasional dan diganti dengan undang-
undang hukum acara pidana baru yang mempunyai cirri kodifikasi dan
unifikasi berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (P.A.F.
Lamintang dan Theo Lamintang, 2010 : 7).
Pada masa HIR, pengawasan dan penilaian terhadap proses
penangkapan dan penuntutan sama sekali tidak ada. Pada masa itu yang ada
hanya pengawasan oleh hakim, dalam hal perpanjangan waktu penahanan
sementara yang harus disetujui hakim. Namun, dalam kenyataanya kontrol
hakim ini kurang dirasakan manfaatnya, karena tidak efektif mengingat
urusan perpanjangan penahanan oleh hakim itu bersifat tertutup dan semata-
mata dianggap urusan birokrasi.
Selain hal tersebut di atas, ditinjau dari aspek historis yuridis, sejak
berdirinya Negara Hukum Republik Indonesia, perundang-undangan hukum
acara pidana yang berlaku di Indonesia adalah hukum acara pidana warisan
pemerintah kolonial Belanda yang terkenal dengan nama HIR (Herziene
Indische Reglement).
Ketentuan hukum acara pidana yang diatur dalam HIR dirasakan
tidak sesuai dengan jiwa dan cita-cita hukum yang terkandung dalam dasar
negara Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum dan
penjabaran telah dituangkan dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD
1945. Berdasarkan UUD 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
negara hukum (rechtstaat) yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia
(HAM) serta menjamin segala warga negara bersama kedudukanya didalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
hukum dan pemerintahan, serta wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya.
Terhadap ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang dirasakan
kurang menghargai hak asasi manusia yang diatur dalam HIR, maka
pemerintah Republik Indonesia bersama-sama DPR-RI berupaya melakukan
pembahuruan hukum acara pidana dengan mncabut HIR dan
menggantikannya dengan Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan
perumusan pasal-pasal dan ayat-ayat yang menjamin pemberian
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Dengan dmikian Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) hadir menggantikan HIR
sebagai payung hukum acara di Indonesia.
Kehadiran KUHAP dimaksudkan oleh pembuat undang-undang
untuk “mengoreksi” pengalaman praktek peradilan masa lalu yang tidak
sejalan dengan penegakkan HAM di bawah aturan HIR, sekaligus memberi
legalisasi hak asasi kepada tersangka atau terdakwa untuk membela
kepentinganya di dalam proses hukum
(http://anggara.org/2006/10/16/praktik-penerapan-kuhap-dan-perlindungan-
ham/ [7 Juli 2010]).
KUHAP telah menggariskan aturan yang meletakkan aturan yang
melekatkan integritas harkat harga diri kepada tersangka atau terdakwa,
dengan jalan member perisai hak-hak yang sah kepada mereka. Pengakuan
hukum yang tegas dan hak asasi yang melekat pada diri mereka, yang dalam
hal ini merupakan jaminan yang menghindari mereka dari perlakuan
sewenang-wenang. Misalnya KUHAP telah memberi hak kepada tersangka
atau terdakwa untuk segera mendapat “pemeriksaan” pada tingkat
penyidikan maupun putusan yang seadil-adilnya, juga memberi hak
memperoleh bantuan hukum dalam pemeriksaan pengadilan.
Terhadap pembatasan jangka waktu setiap tingkat pemeriksaan
mulai dari tingkat penyidikkan, penuntutuan, penangkapan dan penahanan
ditentukan secara limitatif dalam semua instansi dalam setiap tingkat
pemeriksaan. Bahkan untuk setiap penangkapan atau penahanan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
dikenakan wajib diberitahukan kepada keluarga mereka. Dengan demikian
tersangka atau terdakwa maupun keluarga mereka akan mendapat kepastian
akan segala bentuk tindak penegakkan hukum. Ini sejalan dengan tujuan
KUHAP sebagai sarana pembaruan hukum, yang bermaksud melenyapkan
kesengsaraan masa lalu.
Lahirnya hukum acara pidana nasional yang modern sudah lama
didambakan oleh semua orang. Masyarakat menghendaki hukum acara
pidana yang dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang sesuai dan
selaras dengan Pancasila dan UUD 1945. KUHAP boleh dikatakan telah
membangkitkan optimise harapan yang lebih baik dan manusiawi dalam
pelaksanaan penegakkan hukum.
Upaya untuk menjamin agar ketentuan-ketentuan dalam KUHAP
tersebut dapat terlaksana sebagaimana yang dicita-citakan, maka di dalam
KUHAP diatur lembaga baru dengan nama pra peradilan sebagai pemberian
wewenang tambahan kepada Pengadilan Negeri untuk melakukan
pemeriksaan terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan penggunaan
upaya paksa (penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan lain-
lain) yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum.
Lembaga pra peradilan diperkenalkan KUHAP dalam penegakkan
hukum dan bukan sebagai lembaga pengadilan yang berdiri sendiri. Serta
bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang
memberi putusan akhir atas suatu perkara pidana. Lembaga pra peradilan
hanya suatu lembaga yang ciri dan eksistensinya :
1. Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada setiap Pengadilan
Negeri, yang dalam hal ini pra peradilan ini hanya dijumpai pada tingkat
Pengadilan Negeri sebagai saruan tugas yang tidak terpisah dari dan
dengan pengadilan yang bersangkutan.
2. Pra peradilan bukan berada di luar maupun disamping, maupun sejajar
dengan Pengadilan Negeri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
3. Administratif yudisial, personal teknis, perlatan dan finansialnya takluk
dan bersatu dengan Pengadilan Negeri, dan berada di bawah pimpinan
serta pengawasan dan pembinaan ketua Pengadilan Negeri yang
bersangkutan.
4. Tata laksana fungsi yudisialnya merupakan bagian dari fungsi yudisial
Pengadilan Negeri itu sendiri (M. Yahya Harahap, 2008 : 1).
Dengan demkian, eksistensi atau keberadaan dan kehadiran pra
peradilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri tetapi hanya
merupakan pemberian wewenang baru dan fungsi baru yang dilimpahkan
KUHAP kepada setiap Pengadilan Negeri, sebagai wewenang dan fungsi
tambahan terhadap wewenang dan fungsi Pengadilan Negeri yang telah ada
selama ini. Kalau selama ini wewenang dan fungsi Pengadilan Negeri
mengadili dan memutus perkara pidana dan perkara perdata sebagai tugas
pokok, maka terhadap tugas pokok tersebut ditambahkan tugas sampingan
untuk menilai sah atau tidaknya penahanan, penyitaan atau penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan yang dilakukan penyidik atau
penuntut umum, yang wewenang pemeriksaanya diberikan kepada pra
peradilan.
Fungsi dan peran pra peradilan didalam KUHAP merupakan simbol
pembaharuan hukum acara pidana model HIR, yang tidak mengatur
bagaimana seorang tersangka seharusnya dilindungi dari proses
pemeriksaan penyidik ketika ditetapkan sebagai tersangka. Penyidik
menurut HIR harus dapat memperoleh pengakuan dari tersangka mengenai
peristiwa yang melibatkan dirinya, yang dalam hal ini pengakuan tersangka
merupakan salah satu alat bukti utama dari alat bukti lainnya sehingga
terbukti sering terjadi perlakuan yang sewenang-wenang dan
penyalahgunaan wewenang pemeriksa dalam beberapa kasus tindak pidana.
Secara filosofi pra peradilan ini merupakan suatu bentuk
implementasi respon masyarakat terhadap langkah-langkah yang dilakukan
oleh negara/pemerintah. Dalam hal ini sistem peradilan pidana sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
sarana bagi masyarakat yang dirugikan hak-haknya melakukan upaya
hukum untuk memperjuangkan keadilan.
Lembaga pra peradilan yang terdapat di dalam KUHAP sebenarnya
identik dengan lembaga pre trial yang terdapat di Amerika Serikat yang
menerapkan prinsip Habeas Corpus yang pada dasarnya menjelaskan bahwa
didalam masyarakat yang beradab maka pemerintah harus selalu menjamin
hak kemerdekaan seseorang.
Menurut Adnan Buyung Nasution, terdapat beberapa kelebihan yang
berkenaan dengan keberadaan lembaga pra peradilan ini, yaitu :
Pertama, sidang pra peradilan yang diadakan atas permintaan
tersangka atau terdakwa ataupun keluarganya maupun atas kuasanya
merupakan suatu forum yang terbuka, yang dipimpin oleh seorang hakim
atau lebih untuk memanggil pihak penyidik atau jaksa penuntut umum yang
telah melakukan upaya paksa agar mempertanggungjawabkan tindakanya
dimuka sidang, apakah benar-benar beralasan dan berlandaskan hukum.
Dengan sistem pengujian melalui sidang terbuka ini, maka tersangka atau
terdakwa seperti halnya dalam Habeas Corpus Act, dijamin hak asasinya
berupa hak dan upaya hukum untuk melawan perampasan atau pembatasan
kemerdekaan yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh penyidik
ataupun penuntut umum. Dalam forum itu penyidik atau penuntut umum
wajib membuktikan bahwa tindakanya sah dan tidak melanggar hukum.
Untuk keperluan tersebut tentu saja pihak penyidik ataupun penuntut umum
harus membuktikan bahwa dia memiliki semua syarat-syarat yang
diperlukan, baik berupa syarat-syarat formil maupun materiil, seperti
misalnya surat perintah penangkapan atau penahanan, adanya dugaan keras
telah melakukan tindak pidana yang didukung oleh bukti permulaan yang
cukup, ataupun dalam hal penahanan dengan alasan yang nyata dan konkrit
bahwa si pelaku akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti atau
mengulangi kejahatannya.
Kedua, melalui forum pra peradilan ini juga dipenuhi syarat
keterbukaan (transparacy) dan akuntabilitas publik (public accountability)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
yang merupakan syarat-syarat tegaknya sistem peradilan yang bebas dan
tidak memihak serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dengan adanya
transparasi dan akuntabilitas publik ini maka dapat dicegah timbulnya
praktek-praktek birokrasi yang tertutup dan sewenang-wenang dalam
menahan ataupun memperpanjang penahanan juga dapat dicegah terjadinya
praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam proses membebaskan
penahanan. Melalui forum terbuka ini masyarakat dapat ikut mengontrol
jalanya proses pemeriksaan dan pengujian kebenaran dan ketetapan
tindakan penyidik maupun penuntut umum dalam menahan seseorang
ataupun dalam hal pembebasan, mengontrol alasan-alasan dan dasar hukum
hakim pra peradilan yang memerdekannya.
Dengan demikian, keberadaan lembaga pra peradilan didalam
KUHAP ini bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi
manusia yang sekaligus berfungsi sebagai sarana pengawasan secara
horizontal, atau dengan kata lain, pra peradilan mempunyai maksud sebagai
sarana pengawasan horizontal dengan tujuan memberikan perlindungan
terhadap HAM terutama hak asasi tersangka atau terdakwa. Perlindungan
dan jaminan terhadap HAM tersebut sudah merupakan hal yang bersifat
universal dalam setiap negara hukum. Karena pengakuan, jaminan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia adalah salah satu esensi pokok
yang menjadi dasar legalitas suatu negara hukum.
Pada dasarnya, asas-asas yang mengatur tentang perlindungan
terhadap hak asasi atau keluhuran harkat dan martabat manusia telah
dituangkan dalam UU No.14 tahun 1970 jo UU No.35 tahun 1999 jo UU
No.4 tahun 2004 jo UU No. 48 tahun 2009 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, akan tetapi baru setelah sebelas tahun
kemudian asas-asas tersebut dapat dituangkan dalam KUHAP dan
dijabarkan menjadi 10 asas yaitu :
1. Asas equality before the law
Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di depan hukum dengan tidak
ada pembedaan perlakuan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
2. Asas legalitas dalam upaya paksa
Penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan hanya
dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi
wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara
yang diatur dengan undang-undang.
3. Asas presumption of innocence
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dihadapan
muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya
putusan pengadilan yang menyatakan kesalahanya dan memperoleh
kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).
4. Asas remedy and rehabilitation
Kepada seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili
tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang dan/atau karena
kekeliuran mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan wajib diberi
ganti kerugian dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan, dan para pejabat
penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya
menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, maka dapat dituntut,
dipidana dan/atau dikenakan hukuman administrasi.
5. Asas fair, impartial, impersonal, and objective
Peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan
serta bebas, jujur dan tidak memihak, harus diterapkan secara konsekuen
dalam seluruh tingkat peradilan.
6. Asas legal assistance
Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan
memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk
melaksanakan kepentinan pembelaan atas dirinya.
7. Miranda Rule
Kepada seorang tersangka, sejak saat dilakukan penangkapan dan atau
penahanan selain wajib diberi tahu dakwaan dan dasar hukum apa yang
didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahukan haknya itu termasuk
hak untuk menghubungi dan meminta bantuan penasihat hukum.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
8. Asas presentasi
Pengadilan memriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa.
9. Asas keterbukaan
Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali
dalam hal yang diatur dalam undang-undang.
10. Asas pengawasan
Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana
dilakukan oleh ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Asas-asas ini dimaksudkan untuk melindungi tindakan sewenang-
wenang dari aparat penegak hukum, baik pada pemeriksaan permulaan,
penuntutan maupun dipersidangan pengadilan. Sehingga dapat ditarik
kesimpulan bahwa hukum pidana kita hendaknya menjunjung tinggi hak
asasi manusia, sekalipun terhadap seseorang yang telah didakwa melakukan
suatu tindak pidana. Bukan berarti terhadap seseorang yang disangka
ataupun didakwa telah melakukan suatu tindak pidana diberikan haknya
sedemikian rupa seperti halnya seseorang yang tidak tersangkut suatu tindak
pidana, akan tetapi meskipun didakwa telah melakukan suatu tindak pidana,
hendaknya pelaksanaan tindakan-tindakan tersebut tidak sewenang-wenang,
akan tetapi sesuai dengan yang tercantum dalam undang-undang.
Apabila diperinci maka wewenang hakim dalam pra peradilan
adalah sebagai berikut :
1. Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penangkapan.
Pada pasal 1 butir 20 KUHAP, yang dimaksud dengan
penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan
sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa, apabila terdapat
cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau
peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini.
Sebagaimana juga tertera dalam Pasal 17 KUHAP, maka
penangkapan terhadap seorang yang diduga keras melakukan suatu
tindak pidana, haruslah berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Hal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
ini sesuai dengan bunyi penjelasan Pasal 17 KUHAP yang menyatakan
bahwa : “yang dimaksud bukti permulaan yang cukup adalah bukti
permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan Pasal 1
butir 14 KUHAP”. Pada pasal ini menunjukkan bahwa perintah
penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi
ditujukan kepada merekayang betul-betul melakukan tindak pidana.
Maka berdasarkan bunyi pasal tersebut, syarat materiil dari
suatu penangkapan adalah adanya suatu bukti permulaan yang cukup.
Jadi, meskipun hakim pra peradilan hanya berfungsi sebagai
examinating judge saja, maka dalam mengeksaminasi sahnya suatu
penangkapan haruslah juga dilihat dasar dilakukanya suatu
penangkapan, yakni adanya bukti permulaan yang cukup.
Dasar dilakukanya suatu penangkapan haruslah mendapat
perhatian khusus, karena sesuai dengan penjelasan dari Pasal 17
KUHAP, bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan
sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul
melakukan tindak pidana.
2. Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penahanan.
Suatu penahanan dilakukan apabila ada seorang terdakwa yang
diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup
seperti yang termuat dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP yang menyatakan
: “perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap
seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak
pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya hal yang
menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan
melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti atau
mengulangi tindak pidana.
Dalam KUHAP suatu penahanan dianggap sah apabila
memenuhi syarat-syarat formil, yakni adanya surat perintah penahanan
dan sebagainya, akan tetapi di dalam KUHAP juga diatur seseorang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
dapat ditahan yakni apabila ada dugaan keras dia melakukan tindak
pidana, disamping adanya suatu keadaan yang dikhawatirkan bahwa
tersangka akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang
bukti dan melakukan tindak pidana lagi. Jadi di samping syarat formil,
untuk melakukan penahanan harus dipenuhi pula adanya keadaan
dikhawatirkan akan terjadi pada si tersangka.
3. Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penghentian
penyidikan.
Pengajuan permintaan pra peradilan atas keabsahan penyidikan
dapat diajukan oleh pegawai penyidik dan pihak ketiga yang
berkepentingan. Di dalam KUHAP, penyidikan dilakukan oleh pegawai
peyidik sebagaimana termuat dalam Pasal 1 butir 1 KUHAP yang
menyatakan : “penyidik adalah pejabat Kepolisian Republik Indonesia
atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus
oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan”.
Dalam hal melakukan penyidikan tentunya tergantung pada
banyak faktor, baik faktor yang berasal dari diri polisi itu sendiri,
seperti keterampilan, kepakaan, intelegensia dan sebagainya, maupun
faktor yang berasal diluar polisi tersebut.
Apabila dilakukan penghentian penyidikan, maka akan terjadi
suatu keresahan dalam masyarakat, maka pihak penyidik sendiri dapat
memohon diperiksa penghentian penyidikan oleh pra peradilan, dengan
demikian walaupun diputuskan bahwa penghentian penyidikan
dianggap sah, maka hal tersebut akan dapat merupakan suatu kepastian
hukum bagi masyarakat.
Putusan pra peradilan mengenai sah atau tidaknya penghentian
penyidikan dapat dimintakan banding, tidak seperti halnya dengan
pemeriksaan pra peradilan terhadap keabsahan penangkapan maupun
penahanan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
4. Melakukan pengujian terhadap sah atau tidaknya suatu penghentian
penuntutan.
Sama halnya dengan pemeriksaan pra peradilan terhadap sah
atau tidaknya penghentian penyidikan, maka pemeriksaan pra peradilan
terhadap sah atau tidaknya suatu penghentian penuntutan adalah
sebagai suatu pengawasan horizontal, seperti dalam penjelasan Pasal 80
KUHAP yang berbunyi : “pasal ini bermaksud untuk menegakkan
hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan secara
horizontal”.
Apabila terjadi suatu penghentian penuntutan maka tidak ada
upaya hukum lainnya bagi si korban atau pihak ketiga untuk meminta
keadilan, oleh karena itu maka dengan adanya pra peradilan yang dalam
hal ini hakimnya diberikan wewenang untuk memeriksa keabsahan dari
suatu penghentian penuntutan, maka hal tersebut juga menjadi suatu
upaya hukum bagi korban atau pihak ketiga. Apabila pra peradilan yang
menetapkan tidak sahnya penghentin penuntutan, maka dapat
dimintakan putusan akhir di Pengadilan Tinggi.
5. Memutuskan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang
perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Ganti kerugian di dalam KUHAP adalah ganti kerugian bagi
mereka yang ditangkap atau ditahan tanpa sah, yakni ganti kerugian
yang menjadi wewenang hakim pra peradilan.
Prermintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi melalui pra
peradilan hanyalah berkenaan dengan seseorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingakat penyidikan atau penuntutan, dengan
kata lain tidak diajukan ke pengadilan. Adapun alasan untuk
mengajukan permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi ini :
a. Tidak sahnya penangkapan atau penahanan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
b. Telah dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdaarkan
undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan.
Apabila dicermati point di atas, jelas pra peradilan hanya dapat
dimintakan terhadap upaya paksa penangkapan dan penahanan, tetapi
dalam Pasal 82 ayat (3) huruf d dapat dilihat bahwa melalui pra
peradilan dapat ditetapkan “benda yang disita ada yang tidak termasuk
alat pembuktian karena benda tersebut harus segera dikembalikan
kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita”. Dengan demikian
apabila ditelaah maka pra peradilan tidak terbatas pada sah tidaknya
penangkapan dan penahanan saja tetapi juga mengenai sah tidaknya
benda yang disita sebagai alat pembuktian.
Sebagaimana yang telah diutarakan, maka maksud diadakan
lembaga pra peradilan ini merupakan kontrol atau pengawasan atas
jalanya hukum acara pidana dalam rangka melindungi hak-hak
tersangka atau terdakwa. Kontrol tersebut dapat dilakukan dengan cara-
cara sebagai berikut :
a. Kontrol vertical, yakni kontrol dari atas ke bawah.
b. Kontrol horizontal, yaitu kontrol kesamping, antar penyidik,
penuntut umum timbal balik dan tersangka, keluarganya atau pihak
ketiga (Moch. Faisal Salam, 2001 : 322).
Dan telah dijelaskan pula bahwa fungsi pengawasan horizontal
terhadap proses pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh lembaga
pra peradilan tersebut juga merupakan bagian dari kerangka sistem
hukum terpadu (Loebby Loqman, 1984 : 20).
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari pengawasan horizontal
dari lembaga pra peradilan tersebut adalah sesuai dengan tujuan umum
dibentuknya KUHAP, yaitu untuk menciptakan suatu proses penegakan
hukum yang didasarkan pada kerangka due process of law.
Due process of law pada dasarnya bukan semata-mata mengenai
rule of law, akan tetapi merupakan unsur yang essensial dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
penyelenggaraan peradilan yang intinya adalah bahwa ia merupakan “...
a law which hears before it condems, which proceeds uppon inquiry,
and renders judgement only after trial...”. Pada dasarnya yang menjadi
titik sentral adalah perlindungan hak-hak asasi individu terhadap
arbitrary action of the goverment.
Dengan adanya lembaga pra peradilan dijamin bahwa seseorang
tidak ditangkap atau ditahan tanpa alasan yang sah. Penangkapan hanya
dilakukan atas dasar dugaan yang sah. Penangkapannya hanya
dilakukan atas dugaan yang kuat dengan landasan bukti permulaan yang
cukup. Sedangkan ketentuan bukti permulaan ini diserahkan
penilaianya kepada penyidik. Hal ini membuka kemungkinan sebagai
alasan pengajuan pemeriksaan pra peradilan.
Mengenai syarat tentang pengajuan pemeriksaan pra peradilan
ini dapat kita jumpai dalam Pasal 79 KUHAP yang berbunyi:
Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan
atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga dan kuasanya kepada
ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya.
Alasan untuk mengajukan tuntutan pra peradilan diatur di dalam
pasal 77 KUHAP yaitu mengenai:
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan.
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Dari Pasal 77 KUHAP diatas maka yang menjadi alasan untuk
mengajukan suatu perkara sebagai perkara pra peradilan yaitu:
a. Mengenai sah tidaknya penangkapan, penahanan sebagaimana
diatur dalam pasal 16 sampai dengan Pasal 31 KUHAP.
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan. Dalam
hal ini penghentian penyidikan atau penuntutan terdiri dari:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
1) Penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan “demi
kepentingan umum” yang artinya penghentian itu dilakukan
berturut-turut oleh penyidik atau penuntut umum perlu karena
masih perlu menemukan bukti lain.
2) Penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan demi
hukum yang dapat terjadi karena untuk perkara yang
bersangkutan.
a) Karena telah daluarsa
b) Karena tidak ada pengaduan pada delik aduan atau
pengaduan dicabut
c) Karena tersangka atau terdakwa meninggal dunia
d) Karena eror in persona
e) Karena Nebis in Idem
f) Karena bukan perkara pidana
g) Peraturan perundangan yang menjadi dasar hukum telah
dicabut.
3) Tindakan lain
Yang dimaksud tindakan lain disini yaitu tindakan-
tindakan upaya hukum (dwang middel) lainnya seperti
pemasukan rumah, penggeledahan, penyitaan barang bukti,
surat-surat yang dilakukan secara melawan hukum dan
menimbulkan kerugian materiil. Tindakan lain ini dimasukkan
dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP secara rinci dapat dilihat
dalam penjelasannya yang menyatakan kerugian yang
ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan
penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk
penahanan tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama
daripada pidana yang dijatuhkan.
4) Ganti Kerugian
Mengenai ganti kerugian diatur dalam pasal 1 butir 22
KUHAP yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
“Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapat
pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah
uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.
a) Tuntutan ganti kerugian yang diatur dalam pasal 1 butir 22
KUHAP diajukan oleh tersangka, sedangkan kerugian yang
diatur dalam Pasal 98 ayat (1) KUHAP diajukan oleh saksi
korban atau pihak ketiga.
b) Tuntutan ganti kerugian yang diatur dalam Pasal 98 ayat (1)
KUHAP, dititipkan kepada penuntut umum sebelum
tuntutan hukum dibacakan, sedangkan tuntutan ganti
kerugian yang diatur dalam Pasal 1 butir 22 diperiksa oleh
pengadilan pra peradilan.
Wewenangan memeriksa dan memutuskan ganti rugi
merupakan sesuatu yang baru bagi hakim pidana, karena sebelumnya
tuntutan ganti rugi, baik ia ditujukan baik kepada perseorangan atau
pemerintah, sesuai dengan undang-undang yang berlaku selalu
diperiksa dan diputus oleh hakim bersumber hukum. Apalagi
wewenang untuk memeriksa dan memutus permintaan rehabilitasi,
karena selama ini orang mengetahui bahwa wewenang untuk
memberikan rehabilitasi itu menurut Pasal 14 Undang-undang Dasar
Dasar Tahun 1945 merupakan wewenang Presiden.
Sebenarnya, pra peradilan dalam KUHAP masih banyak
kelemahan, yang dalam hal ini selama ini pra peradilan terlalu
mengedepankan formalitas sehingga kurang mengungkap kebenaran
yang didalilkan pemohon. Menurut penelitian Komisi Hukum
Nasional (KHN), secara normatif ada tiga dasar kelemahan
praperadilan yaitu :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Pertama, proses pengadilan atas pra peradilan hanya dapat
dilaksanakan jika ada pihak yang menggunakan haknya. Selama
tidak ada pihak yang menuntut, hakim tidak dapat menguji sah
tidaknya penyidik dan penuntut umum, hakim tidak dapat menguji
sah tidaknya penyidik dan penuntut umum. Dalam pra peradilan,
hakim bersifat pasif. Ia baru dapat memeriksa jika ada inisiatif.
Dalam pemeriksaan tentang sah tidaknya suatu penangkapan atau
penahanan, inisiatif sumber hukum dan tersangka, keluarga, atau
kuasanya. Untuk memeriksa sah tidaknya penghentian penyidikan
atau penuntutan, inisiatif sumber hukum dari penyidik, penuntut,
atau pihak ketiga. Lalu, untuk permintaan ganti kerugian, inisiatif
sumber hukum dari tersangka atau pihak ketiga.
Kedua, hak tersangka, keluarga, atau kuasanya dapat gugur
jika perkara pidana telah mulai disidangkan. Pasal 82 ayat (1) huruf
d KUHAP menegaskan dalam hal perkara sudah diperiksa
Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan permintaan pra peradilan
belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.
Ketiga, lembaga pra peradilan saat ini merupakan
transplantasi dari konsep Habeas Corpus. Ternyata, baik substansi
maupun mekanisme yang diatur KUHAP tidak sesuai konsep dasar
menurut Habeas Corpus. Akibatnya, hakim tidak efektif mengawasi
penggunaan upaya paksa dan kesewenang-wenangan penyidik atau
penuntut umum.
Mengenai ganti kerugian ini termasuk juga wewenang
lembaga pra peradilan sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat (1)
KUHAP yaitu: “jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di
dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh Pengadilan Negeri
menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang
atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan
perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.”
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
Maka dari “kerugian bagi orang lain” ialah kerugian pihak
ketiga termasuk saksi korban. Akan tetapi antara kerugian yang
diatur dalam Pasal 1 butir 22 KUHAP dengan dengan kerugian yang
diatur dalam pasal 98 ayat (1) KUHAP terdapat Persamaan dan
perbedaannya, yaitu:
Persamaannya:
a. Diadili menurut acara pra peradilan.
b. Keharusan mengganti kerugian.
Perbedaannya:
Ganti kerugian pada Pasal 1 butir 22 KUHAP diberikan pada
kasus pra peradilan yang disebabkan karena tidak sah penangkapan,
penahanan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan.
Sedangkan tuntutan ganti kerugian yang diatur dalam Pasal 98 ayat
(1) KUHAP diberikan pada perkara pidana yang akibat daripada
menimbulkan perbuatan delik
(www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b29bab9ef3a7/penelitian-
khn-praperadilan-mengandung-banyak-keluhan, diakses 28
November 2010).
Di Amerika Serikat, istilah pra peradilan lebih dikenal dengan istilah
pre trial. Namun terdapat perbedaan antara lembaga pra peradilan dengan
lembaga pre trial yaitu yang dalam hal ini lembaga pre trial memiliki
kewenangan untuk meneliti ada atau tidaknya dasar hukum yang cukup
untuk mengajukan suatu perkara pidana di depan pengadilan. Sedangkan pra
peradilan, ruang lingkup kewenangannya bersifat limitatif sebagaimana
yang telah ditentukan dalam Pasal 77 huruf a dan b KUHAP dan Pasal 95
KUHAP, yaitu (S. Tanubroto, 1983:27).
1. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan dan
penahanan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
2. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan;
3. Memeriksa dan memutus ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi
seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan
atau penuntutan.
4. Memeriksa dan memutus terhadap ganti kerugian yang diajukan oleh
tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta
tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan;
5. Memeriksa dan memutus permintaan rehabilitasi yang diajukan oleh
tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan berdasarkan
undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri.
Tabel. 2
Persamaan dan Perbedaan Wewenang dan Fungsi
No
.
Pra Peradilan
(Indonesia)
Habeas Corpus
(Amerika Serikat)
1.
Perbedaan :
Ruang lingkupnya bersifat
limitatif terhadap upaya paksa,
sebagaimana yang ditentukan
dalam Pasal 77 huruf a dan b
serta Pasal 95 KUHAP.
Ruang lingkupnya tidak hanya
berkait pada upaya paksa, namun
mencakup pula konsepsi bukti
permulaam yang cukup untuk
mengajukan suatu perkara di
depan pengadilan.
2. Hakim yang memeriksa
perkara pra peradilan belum
tentu sama dengan hakim yang
memeriksa sebelum sidang
biasa di pengadilan.
Hakim yang memeriksa perkara
dalam pre trial process adalah
hakim yang sama di pengadilan
dalam sidang biasa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
3. Kewenanganya terbatas pada
menguji keabsahan suatu
penangkapan dan penahanan
yang dilakukan sehubungan
dengan upaya paksa dalam
Hukum Acara Pidana.
Lebih luas, dalam arti
permohonan dikeluarkanya surat
perintah Habeas Corpus
ditujukan kepada instansi
manapun yang melakukan
penangkapan dan penahanan.
1.
2.
3.
4.
Persamaan :
Pihak yang memeriksa dan memutuskan tentang sah tidaknya suatu
penangkapan dan atau penahanan.
Pihak yang memeriksa dan memutuskan sah tidaknya penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi
tegaknya hukum dan keadilan.
Pihak yang memeriksa dan memutuskan tentang sah tidaknya
permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke Pengadilan.
Proses pra peradilan di Indonesia dan pre trial process dalam
Habeas Corpus dilakukan sebelum persidangan biasa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
B. Kelebihan dan Kelemahan Wewenang dan Fungsi Pra
Peradilan Menurut Hukum Acara Pidana Indonesia dengan
Sistem Habeas Corpus di Amerika Serikat
Berdasarkan ruang lingkup kewenangan tersebut maka pada
dasarnya, lembaga pra peradilan berfungsi sebagai lembaga yang melakukan
pengawasan secara horizontal terhadap tindakan yang dilakukan oleh
instansi kepolisian selaku penyidik dan instansi kejaksaan selaku penuntut
umum. Oleh karena itu, pra peradilan memiliki peran yang penting untuk
meminimalisir penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang (abuse of
power) dalam pelaksanaan proses penegakan hukum.
Wewenang pra peradilan seperti yang telah dikemukakan terdahulu
dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri (Pasal 78 KUHAP), hal ini dinyatakan
secara tegas juga di dalam pasal 1 butir 10 KUHAP bahwa pra peradilan
adalah semata-mata wewenang Pengadilan Negeri. Akan tetapi kalau kita
kaitkan dengan bunyi pasal 83 ayat (2) ternyata ada wewenang pengadilan
lain yaitu Pengadilan Tinggi yang dapat memberi putusan akhir atas putusan
pra peradilan yang menyatakan tidak sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan.
Putusan akhir tersebut diberikan kepada Pengadilan Tinggi yaitu
karena materi pokok perkara pemeriksaan pra peradilan ini tidak dapat
diputus oleh Mahkamah Agung dikarenakan :
1. Pemeriksaan pra peradilan bukan pemeriksaan untuk membuat terang
suatu delik
2. Pemeriksaan praperadilan adalah suatu pemeriksaan khusus menjadi
wewenang Pengadilan Negeri sebagaimana ditegaskan Pasal 1 Butir 10
KUHAP.
Putusan pra peradilan dari Pengadilan Negeri dan putusan akhir dari
Pengadilan Tinggi mengenai sah tidaknya suatu penghentian penyidikan
atau penuntutan itu, tidak dapat meminta pemeriksaan kasasi kepada
Mahkamah Agung. Hal ini telah dijelaskan oleh Menteri Kehakiman dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
keputusannya tanggal 10 Desember 1983 Nomor M14-PW.07.03 Tahun
1983 dengan alasan yang berbunyi sebagai berikut:
“ Untuk putusan pra peradilan tidak dapat dimintakan kasasi dengan alasan bahwa ada keharusan penyelesaian secara cepat dari perkara-perkara praperadilan, sehingga jika masih dimungkinkan kasasi, maka hal tersebut tidak akan dipenuhi. Selain itu wewenang Pengadilan Negeri yang dilakukan dalam praperadilan itu dimaksudkan sebagai wewenang pengawasan horizontal dari Pengadilan Negeri.”
Menteri Kehakiman telah melepaskan pelaksanaan ketentuan-
ketentuan yang mengatur masalah pra peradilan dalam KUHAP oleh
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dari pengawasan Mahkamah
Agung, seolah-olah Mahkamah Agung tidak mempunyai wewenang untuk
melakukan koreksi terhadap perilaku para hakim dalm melaksanakan pra
peradilan, walaupun mungkin benar bahwa sebagai akibat perilaku para
hakim itu, kemudian telah menyebabkan hilangnya kepercayaan orang, baik
terhadap pengadilan sendiri maupun terhadap iktikad baik pembentuk
undang-undang untuk melindungi hak-hak manusia di Indonesia.
KUHAP mengatur putusan pra peradilan hanya sampai tingkat
banding, tetapi dalam praktek ada yurisprudensi Mahkamah Agung
mengabulkan peninjauan kembali terhadap putusan pra peradilan. Hal ini
menyebabkan adanya penyimpangan perilaku hukum yang dilakukan oleh
aparat penegak hukum. Seperti diketahui bahwa dalam KUHAP tidak
dikenal adanya upaya hukum kasasi maupun Peninjauan Kembali dalam
kasus pra peradilan. Undang-undang Mahkamah Agung juga menyebutkan
perkara pra peradilan hanya sampai di tingkat banding atau tidak bisa
diajukan melalui kasasi atau peninjauan kembali. Hal ini secara tegas diatur
dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP dan Pasal 45A Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa:
1. Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi mengadili perkara yang
memenuhi syarat untuk diajukan kasasi, kecuali perkara yang oleh
Undang-Undang ini dibatasi pengajuaannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
2. Perkara yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas:
a. Putusan tentang pra peradilan
b. Perkara Pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan/atau diancam pidana denda.
Pada prinsipnya ada beberapa hal terkait pra peradilan mengenai
kelebihan wewenang dan fungsi pra peradilan menurut hukum acara pidana
Indonesia dengan sistem Habeas Corpus di Amerika Serikat
1. Sidang pra peradilan yang diadakan atas permintaan tersangka atau
terdakwa ataupun keluarganya maupun atas kuasanya merupakan suatu
forum yang terbuka, yang dipimpin oleh seorang hakim atau lebih untuk
memanggil pihak penyidik atau jaksa penuntut umum yang telah
melakukan upaya paksa agar mempertanggungjawabkan tindakanya
dimuka sidang, apakah benar-benar beralasan dan berlandaskan hukum.
Dengan sistem pengujian melalui sidang terbuka ini, maka tersangka
atau terdakwa seperti halnya dalam Habeas Corpus Act, dijamin hak
asasinya berupa hak dan upaya hukum untuk melawan perampasan atau
pembatasan kemerdekaan yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh
penyidik ataupun penuntut umum. Dalam forum itu penyidik atau
penuntut umum wajib membuktikan bahwa tindakanya sah dan tidak
melanggar hukum. Untuk keperluan tersebut tentu saja pihak penyidik
ataupun penuntut umum harus membuktikan bahwa dia memiliki semua
syarat-syarat yang diperlukan, baik berupa syarat-syarat formil maupun
materiil, seperti misalnya surat perintah penangkapan atau penahanan,
adanya dugaan keras telah melakukan tindak pidana yang didukung oleh
bukti permulaan yang cukup, ataupun dalam hal penahanan dengan
alasan yang nyata dan konkrit bahwa si pelaku akan melarikan diri,
menghilangkan barang bukti atau mengulangi kejahatannya.
2. Melalui forum pra peradilan ini juga dipenuhi syarat keterbukaan
(transparacy) dan akuntabilitas publik (public accountability) yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
merupakan syarat-syarat tegaknya sistem peradilan yang bebas dan tidak
memihak serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dengan adanya
transparasi dan akuntabilitas publik ini maka dapat dicegah timbulnya
praktek-praktek brokrasi yang tertutup dan sewenang-wenang dalam
menahan ataupun memperpanjang penahanan juga dapat dicegah
terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam proses
membebaskan penahanan. Melalui forum terbuka ini masyarakat dapat
ikut mengontrol jalanya proses pemeriksaan dan pengujian kebenaran
dan ketetapan tindakan penyidik maupun penuntut umum dalam
menahan seseorang atauoun dalam hal pembebasan, mengontrol alasan-
alasan dan dasar hukum hakim pra peradilan yang memerdekannya.
Namun dalam prakteknya masih adanya upaya hukum-upaya hukum
yang dilakukan oleh terdakwa, yaitu adanya peninjauan kembali terhadap
putusan pra peradilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sesuai dengan
asas lex superior derograt legi inferior apabila terjadi suatu konflik antara
perundang-undangan maka peraturan perundang-undangan yang tertinggilah
yang berlaku
Menurut penulis, yurisprudensi Mahkamah Agung yang
mengabulkan peninjauan kembali terhadap putusan pra peradilan yang telah
berkekuatan hukum tetap tidak dapat dijadikan landasan sebagai pedoman
hukum. Mahkamah Agung berfungsi menerapkan Undang-undang bukan
merupakan suatu terobosan baru dalam Undang-undang, sehingga
seharusnya Mahkamah Agung menolak setiap perkara pra peradilan yang
masuk. Apabila terjadi suatu konflik dalam perundang-undangan maka
sesuai dengan asas lex superior derograt legi inferior artinya jika terjadi
suatu konflik antara perundang-undangan maka peraturan perundang-
undangan yang tertinggilah yang berlaku.
Dengan demikian, Mahkamah Agung dapat mengambil sikap yang
tegas dengan menolak perkara kasasi atau peninjauan kembali pra peradilan
tersebut karena tidak sesuai aturan hukum yang berlaku dalam undang-
undang. Mahkamah Agung merupakan pengadilan tertinggi sehingga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
selayaknya dapat memberikan contoh yang layak bagi aparat penegak
hukum. Demikian juga kejaksaan sebagai lembaga penegak hukum lebih
baik mengajukan Surat Penetapan Penghentian Penuntutan (SP3) dengan
alasan adanya bukti baru (novum) daripada menggunakan pengajuan
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, karena akan memberikan
dampak negatif terhadap citra lembaga tersebut dalam masyarakat.
Menurut S. Tanusubroto menyatakan bahwa keberadaan lembaga
pra peradilan sebenarnya memberikan peringatan( S. Tanubroto, 1983:2):
1. Agar penegakan hukum harus hati-hati dalam melakukan tindakan
hukumnya dan setiap tindakan hukum harus didasarkan pada ketentuan
hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan diri serta
menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang.
2. Ganti rugi dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi warga
negara yang diduga melakukan kejahatan yang ternyata tanpa didukung
dengan bukti-bukti yang mentakinkan sebagai akibat dari sikap dan
perlakuan penegak hukum yang tidak mengindahkan prinsip hak-hak
asasi manusia.
3. Hakim dalam menentukan ganti kerugian harus memperhitungkan dan
mempertimbangkan dengan seksama, baik untuk kepentingan orang
yang dirugikan maupun dari sudut kemampuan finansial pemerintah
dalam memenuhi dan melaksanakan putusan itu.
4. Dengan rehabilitasi berarti orang itu telah dipulihkan haknya sesuai
dengan keadaan semula yang diduga telah melakukan kejahatan.
5. Kejujuran yang menjiwai KUHAP harus diimbangi dengan integritas
dan dedikasi dari aparat penegak hukum, karena tanpa adanya
keseimbangan itu semuanya akan sia-sia belaka.
KUHAP merupakan lembaga pra peradilan untuk melindungi
tersangka dalam pemeriksaan pendahuluan terhadap tindakan-tindakan
kepolisian atau kejaksaan yang melanggar hukum dan merugikan tersangka,
yang dalam hal ini lembaga pra peradilan ini berfungsi sebagai lembaga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
pengawas terhadap upaya paksa yang dilaksanakan oleh pejabat penyidik
(Indriyanto Seno Aji, 1988:55).
Di Amerika, perananan hakim tidak hanya terbatas pada pengawasan
terhadap tindakan penangkapan dan penahanan yang sudah terjadi,
melainkan pada waktu sebelumnya, yaitu sebelum diadakan penahanan,
bahkan sebelum dikeluarkannya surat dakwaan. Hakim berwenang
memeriksa dan menilai apakah ada alasan dan dasar hukum yang kuat
tentang terjadinya peristiwa pidana dan bukti-bukti permulaan yang cukup
untuk mendakwa bahwa tersangka memang pelakunya, walaupun
pemeriksaan tentang bersalah tidaknya berdasarkan bukti-bukti yang ada
baru dilangsungkan kemudian dalam sidang pemeriksaan perkara.
Acara pemeriksaan pra peradilan diatur dalam Pasal 82 KUHAP,
yang dalam hal ini secara garis besar acaranya adalah :
1. Dalam waktu tiga hari setelah diterimanya permintaan, Hakim yang
ditunjuk menetapkan hari sidang.
2. Hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon
maupun dari pejabat yang berwenang.
3. Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya
tujuh hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya.
Secara nyata, KUHAP mengamanatkan perkara pra peradilan
diselesaikan dengan cepat (7 hari) sehingga acaranya dibuat secara
sederhana sekali, tetapi dalam praktek acara pemeriksaan pra peradilan
menjadi bertele-tele, sehingga ada beberapa perkara yang diputus tidak
sesuai dengan amanat pasal 82 ayat (1) huruf c KUHAP yakni lebih dari
tujuh hari.
Apabila KUHAP menginginkan perkara pra peradilan selama 7
(tujuh) hari maka dalam KUHAP seharusnya diatur secara terperinci acara-
acara pemeriksaan dari hari pertama sampai hari ketujuh secara ketat dan
mengikat, dengan konsekuensi apabila pada hari yang ditentukan ada pihak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
yang lalai atau sengaja tidak hadir dan tidak menggunakan haknya maka
dianggap melepaskan haknya.
Tabel. 3
Kelebihan dan Kelemahan Wewenang dan Fungsi
No
.
Pra Peradilan
(Indonesia)
Habeas Corpus
(Amerika Serikat)
1.
Kelemahan :
KUHAP mengamanatkan
perkara pra peradilan
diselesaikan dengan cepat (7
hari) sehingga acaranya dibuat
secara sederhana sekali, tetapi
dalam perkara pra peradilan
Anggodo Widjoyo terhadap
Bibit Samad Rianto dan
Chandra Hamzah, acara
pemeriksaan pra peradilan
mencapai upaya hukum
Peninjauan Kembali (PK),
sehingga tidak sesuai dengan
amanat pasal 82 ayat (1) huruf
c KUHAP yakni tujuh hari.
perananan hakim tidak hanya
terbatas pada pengawasan
terhadap tindakan penangkapan
dan penahanan yang sudah
terjadi, melainkan pada waktu
sebelumnya yaitu sebelum
diadakan penahanan, bahkan
sebelum dikeluarkannya surat
dakwaan, dengan demikian tugas
hakim terlalu berat.
1.
Kelebihanya :
Sidang pra peradilan yang diadakan atas permintaan tersangka atau
terdakwa ataupun keluarganya maupun atas kuasanya merupakan
suatu forum yang terbuka, yang dipimpin oleh seorang hakim atau
lebih untuk memanggil pihak penyidik atau jaksa penuntut umum
yang telah melakukan upaya paksa agar mempertanggungjawabkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
2.
tindakanya dimuka sidang, apakah benar-benar beralasan dan
berlandaskan hukum. Dengan sistem pengujian melalui sidang
terbuka ini, maka tersangka atau terdakwa seperti halnya dalam
Habeas Corpus Act, dijamin hak asasinya berupa hak dan upaya
hukum untuk melawan perampasan atau pembatasan kemerdekaan
yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh penyidik ataupun
penuntut umum.
Melalui forum pra peradilan ini juga dipenuhi syarat keterbukaan
(transparacy) dan akuntabilitas publik (public accountability) yang
merupakan syarat-syarat tegaknya sistem peradilan yang bebas dan
tidak memihak serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dengan
adanya transparasi dan akuntabilitas publik ini maka dapat dicegah
timbulnya praktek-praktek brokrasi yang tertutup dan sewenang-
wenang dalam menahan ataupun memperpanjang penahanan juga
dapat dicegah terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) dalam proses membebaskan penahanan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
BAB IV
PENUTUP
A.Simpulan
Berdasarkan pembahasan pada bab-bab terdahulu, dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Persamaan dan perbedaan wewenang dan fungsi pra peradilan
menurut hukum acara pidana Indonesia dengan sistem Habeas
Corpus di Amerika Serikat
a. Pra peradilan menurut hukum acara pidana Indonesia dengan sistem
Habeas Corpus di Amerika Serikat, keduanya merupakan pihak yang
memeriksa dan memutuskan tentang sah tidaknya suatu penangkapan
dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atas kuasa tersangka, Sah tidaknya penghentian penyidikan
atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum
dan keadilan serta Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang
perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan.
b. Ada beberapa perbedaan mendasar antara Habeas Corpus dengan
lembaga Pra Peradilan, yaitu :
1) Di Amerika Serikat, istilah pra peradilan lebih dikenal dengan
istilah pre trial. Namun terdapat perbedaan antara lembaga
praperadilan dengan lembaga pre trial yaitu yang dalam hal ini
lembaga pre trial ruang lingkupnya tidak hanya berkait pada upaya
paksa, namun mencakup pula konsepsi bukti permulaam yang
cukup untuk mengajukan suatu perkara di depan pengadilan.
Sedangkan pra peradilan, ruang lingkup kewenangannya bersifat
limitatif terhadap upaya paksa sebagaimana yang telah ditentukan
dalam Pasal 77 huruf a dan b KUHAP dan Pasal 95 KUHAP, yaitu
a) Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan dan
penahanan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
b) Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan.
c) Memeriksa dan memutus ganti kerugian dan atau rehabilitasi
bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat
penyidikan atau penuntutan.
d) Memeriksa dan memutus terhadap ganti kerugian yang
diajukan oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan
atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orang atau hukum yang diterapkan;
e) Memeriksa dan memutus permintaan rehabilitasi yang diajukan
oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan
berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang
atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan
ke Pengadilan Negeri.
2) Pada pra peradilan, hakim yang memeriksa perkara pra peradilan
belum tentu sama dengan hakim yang memeriksa sebelum sidang
biasa di pengadila, sedangkan dalam Habeas Corpus, hakim yang
memeriksa perkara dalam pre trial process adalah hakim yang
sama di pengadilan dalam sidang biasa.
3) Dalam pra peradilan, kewenanganya terbatas pada menguji
keabsahan suatu penangkapan dan penahanan yang dilakukan
sehubungan dengan upaya paksa dalam hukum acara pidana,
sedangkan Habeas Corpus, lebih luas dalam arti permohonan
dikeluarkanya surat perintah Habeas Corpus ditujukan kepada
instansi manapun yang melakukan penangkapan dan penahanan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
2. Kelebihan dan Kelemahan Wewenang dan fungsi pra peradilan
menurut hukum acara pidana Indonesia dengan sistem Habeas
Corpus di Amerika Serikat
a. Kelebihan Wewenang dan fungsi pra peradilan menurut hukum acara
pidana Indonesia dengan sistem Habeas Corpus di Amerika Serikat
1) Sidang pra peradilan yang diadakan atas permintaan tersangka atau
terdakwa ataupun keluarganya maupun atas kuasanya merupakan
suatu forum yang terbuka, yang dipimpin oleh seorang hakim atau
lebih untuk memanggil pihak penyidik atau jaksa penuntut umum
yang telah melakukan upaya paksa agar mempertanggungjawabkan
tindakanya dimuka sidang, apakah benar-benar beralasan dan
berlandaskan hukum. Dengan sistem pengujian melalui sidang
terbuka ini, maka tersangka atau terdakwa seperti halnya dalam
Habeas Corpus Act, dijamin hak asasinya berupa hak dan upaya
hukum untuk melawan perampasan atau pembatasan kemerdekaan
yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh penyidik ataupun
penuntut umum. Dalam forum itu penyidik atau penuntut umum
wajib membuktikan bahwa tindakanya sah dan tidak melanggar
hukum. Untuk keperluan tersebut tentu saja pihak penyidik
ataupun penuntut umum harus membuktikan bahwa dia memiliki
semua syarat-syarat yang diperlukan, baik berupa syarat-syarat
formil maupun materiil, seperti misalnya surat perintah
penangkapan atau penahanan, adanya dugaan keras telah
melakukan tindak pidana yang didukung oleh bukti permulaan
yang cukup, ataupun dalam hal penahanan dengan alasan yang
nyata dan konkrit bahwa si pelaku akan melarikan diri,
menghilangkan barang bukti atau mengulangi kejahatannya.
2) Melalui forum pra peradilan ini juga dipenuhi syarat keterbukaan
(transparacy) dan akuntabilitas publik (public accountability) yang
merupakan syarat-syarat tegaknya sistem peradilan yang bebas dan
tidak memihak serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
adanya transparasi dan akuntabilitas publik ini maka dapat dicegah
timbulnya praktek-praktek brokrasi yang tertutup dan sewenang-
wenang dalam menahan ataupun memperpanjang penahanan juga
dapat dicegah terjadinya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) dalam proses membebaskan penahanan. Melalui forum
terbuka ini masyarakat dapat ikut mengontrol jalanya proses
pemeriksaan dan pengujian kebenaran dan ketetapan tindakan
penyidik maupun penuntut umum dalam menahan seseorang
atauoun dalam hal pembebasan, mengontrol alasan-alasan dan
dasar hukum hakim pra peradilan yang memerdekannya.
b. Kelemahan Wewenang dan fungsi pra peradilan menurut hukum acara
pidana Indonesia dengan sistem Habeas Corpus di Amerika Serikat :
1) KUHAP mengamanatkan perkara pra peradilan diselesaikan
dengan cepat (7 hari) sehingga acaranya dibuat secara sederhana
sekali, tetapi dalam perkara pra peradilan Anggodo Widjoyo
terhadap Bibit Samad Rianto - Chandra Hamzah, acara
pemeriksaan pra peradilan mencapai upaya hukum Peninjauan
Kembali (PK), sehingga tidak sesuai dengan amanat pasal 82 ayat
(1) huruf c KUHAP yakni tujuh hari.
2) Di Amerika, perananan hakim tidak hanya terbatas pada
pengawasan terhadap tindakan penangkapan dan penahanan yang
sudah terjadi, melainkan pada waktu sebelumnya, yaitu sebelum
diadakan penahanan, bahkan sebelum dikeluarkannya surat
dakwaan. Hakim berwenang memeriksa dan menilai apakah ada
alasan dan dasar hukum yang kuat tentang terjadinya peristiwa
pidana dan bukti-bukti permulaan yang cukup untuk mendakwa
bahwa tersangka memang pelakunya, walaupun pemeriksaan
tentang bersalah tidaknya berdasarkan bukti-bukti yang ada baru
dilangsungkan kemudian dalam sidang pemeriksaan perkara
dengan demikian tugas hakim di sini terlalu banyak atau terlalu
berat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
B. Saran - Saran
Berdasarkan simpulan maka, saran yang dapat disampaikan adalah
sebagai berikut :
Pra peradilan yang tertuang dalam KUHAP saat ini sebenarnya telah
melenceng dari konsep awal, karena pra peradilan tidak mengakomodasi suatu
kewenangan pencegahan dalam upaya paksa yang tidak sah untuk dilakukan. Hal
ini mengingat bahwa pemeriksaan pra peradilan dilakukan setelah upaya paksa
selesai dilakukan. Tidak seperti halnya hakim komisaris yang memiliki
kewenangan efektif, yaitu melakukan suatu konsultasi-konsultasi hukum kepada
penyidik dan penuntut umum dalam melakukan upaya paksa pada penyidikan dan
penuntutan.
Permasalahan di atas diharapkan dapat diselesaikan dalam Revisi atas
Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang saat ini sedang disusun
oleh Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Dalam
RUU KUHAP tersebut terdapat hal baru mengenai hakim komisaris yang
memiliki kewenagan yang lebih luas dari pra peradilan. Pengaturan mengenai
hakim komisaris tersebut diatur dalam Pasal 72 – 78 draft ketiga RUU KUHAP.