pembatasan wewenang pemerintah
TRANSCRIPT
BAB II
PEMBATASAN WEWENANG PEMERINTAH
TERHADAP HAK ULAYAT YANG DIATUR DALAM UUPA
2.1 Hak Menguasai Tanah Dalam UUPA
Sumber utama dalam pembangunan hukum tanah nasional adalah hukum adat.
Hal ini tercermin dari rumusan pasal 5 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang
UUPA yang menyatakan bahwa” Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan
ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang
ini, dan dengan peraturan perundangan lainya, segala sesuatu dengan mengindahkan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Menurut C.S.J. Maassen dan A.P.G Hens menjelaskan, yang dimaksud
dengan hak ulayat adalah hak desa menurut adat dan kemauanya untuk menguasai
tanah dan daerahnya buat kepentingan- kepentingan anggotanya atau untuk
kepentingan orang lain (orang asing) dengan membayar kerugian kepada kepala desa,
sedikit banyaknya turut campur terhadap pembukaan tanah itu dan turut bertanggung
jawab terhadap perkara-perkara yang terjadi disitu dan belum dapat diselesaikan.23
Dalam perundang-undangan Indonesia, hal ini tidak diterangkan dengan tegas
23 Dirman, “ Perundang-Undangan Agraria Di Seluruh Indonesia”, Jakarta, J.B. Wolters,
1958, h. 36
29
Universitas Sumatera Utara
mengenai hak tersebut sering dipergunakan istilah hak milik asli atau eigendom
rechts dan juga disebut sebagai hak komunal.24
Hukum tanah Indonesia berdasarkan UUPA No. 5 tahun 1960 tersebut
mengisyaratkan bagi pembuat undang-undang dalam membentuk hukum tanah
nasional jangan sampai mengabaikan, melainkan harus mengindahkan unsur-unsur
yang bersandar pada hukum agama. Dalam kaitan ini penguasaan tanah yang terletak
diwilayah hukum Indonesia menjadi hak dari bangsa Indonesia, bukan hanya hak
pemiliknya saja. Siapapun yang mengaku dirinya sebagai warga Negara Indonesia
berhak memperoleh hak milik atas tanah diseluruh wilayah republik Indonesia secara
sah.25
Dalam rumusan pasal 1 UUPA Nomor 5 tahun 1960 menyatakan bahwa:26
1) seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan dari seluruh rakyat Indonesia yang
bersatu sebagai bangsa Indonesia.
2) seluruh bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam
wilayah republik Indonesia, sebagai karunia tuhan yang maha esa adalah
24 Ter Haar, “ Asas- Asas dan Susunan Hukum Adat”, Jakarta, Pradnya Paramita, 1985, h. 71
25 Wiradi Gunawan, Reforma Agraria, Instits Press KPA dan Pustaka Pelajar,Yojakarta.
2000,h. 43
26 Lihat Penjelasan Pasal 1 UUPA No. 4 Tahun 1960
Universitas Sumatera Utara
bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia yang merupakan kekayaan
nasional.
3) Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa
termasuk dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.
4) Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi
dibawahnya serta berada dibawah air.
5) Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah
Indonesia.
6) Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang diatas bumi dan air tersebut
pada ayat (4) dan (5) pasal ini.
Hal ini akan lebih jelas dapat dimengerti jika kita menelaah doktrin wawasan
nusantara sebagai satu kesatuan politik, satu kesatuan budaya, satu kesatuan sosial,
satu kesatuan ekonomi, dan satu kesatuan hukum sebagaimana dirumuskan dalam
GBHN 1978 bab II E butir 1. Adapun hubungan antara bangsa dan bumi, air serta
ruang angkasa tersebut diatas tidak berarti, bahwa hak milik perseorangan atas bumi
tidak dimungkinkan lagi. Diatas telah dikemukakan, bahwa hubungan itu adalah
semacam hubungan hak ulayat, jadi bukan berarti hubungan hak milik.27
27 AP Parlindungan, Op. Cit, h . 39
Universitas Sumatera Utara
Dalam hubunganya dengan tanah, menurut alam pikiran hukum adat, tertanam
keyakinan bahwa setiap kelompok masyarakat hukum adat pada dulunya jauh
sebelum masuknya penjajah di Indonesia, kepulauan Indonesia telah dihuni oleh
berbagai persekutuan hukum yang mempunyai warga yang teratur, mempunyai
pemerintahan sendiri dan mempunyai harta materil dan immaterial.28 Persekutuan
hukum ini juga dinamakan masyarakat hukum yaitu sekelompok manusia yang
teratur dan bersifat tetap, mempunyai pemerintahan/ pimpinan serta mempunyai
kekayaan sendiri baik berupa benda yang kelihatan dan benda yang tidak kelihatan.
Palsafah hukum adat tersebut mengandung konsepsi hukum adat mengenai
pertanahan yang kemudian diangkat menjadi konsepsi hukum tanah nasional.29
Dilain pihak dalam pasal 3 UUPA dengan tegas menyatakan bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat masih tetap diakui keberadaanya sepanjang kenyataanya masih ada. Dengan adanya pengakuan terhadap keberadaan hak ulayat masyarakat hukum adat, maka hal ini menimbulkan dilematis dalam penyelesaian sengketa, dimana dalam perkembanganya keberadaan hukum adat itu sendiri masih menimbulkan perbedaan persepsi dikalangan masyarakat adat dengan pihak-pihak lainya. Kenyataan ini dari sudut ilmu hukum dapat dikatakan bahwa UUPA No. 5 tahun 1960 mengandung 2(dua) sistem hukum yang berbeda yaitu sistem hukum nasional dan sistem hukum adat.30
Menurut hukum adat, tanah ulayat merupakan tanah bersama para warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sedangkan dalam hukum tanah nasional,
28 Soekanto, 1981, Menuju Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar Untuk Mempelajari
Hukum Adat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 67
29 Iman Soetiknjo, 1988, materi Pokok Hukum Dan Politik Agrarian, Universitas Terbuka, Jakarta, h, 123
30 Syafruddin Kalo, dkk, Op.Cit, h. 29
Universitas Sumatera Utara
semua tanah dalam wilayah Negara Republik Indonesia adalah tanah bersama seluruh
rakyat indonesia yang bersatu menjadi satu. Jikalau dibandingkan dengan konsepsi
hukum tanah barat dan tanah feodal, konsepsi hukum tanah nasional yang didasarkan
pada hukum adat jelas merupakan konsepsi yang sesuai dengan palsafah dan budaya
bangsa Indonesia. Konsepsi hukum tanah eropa yang didasarkan pada semangat
individualisme dan liberalisme tentu tidak sesuai dengan pandangan hidup bangsa
Indonesia yang komunal dan religius.
Van Vollenhoven menyebutkan, manifestasi hak ulayat itu adalah31:
a. Persekutuan hukum dan para anggotanya secara bebas boleh mengerjakan tanah yang tanah yang belum dijamah orang lain untuk macam-macam keperluan, boleh membuka tanah dijadikan tanah pertanian, boleh mendirikan kampung, boleh mengambil hasil hutan.
b. Orang luar, dalam arti orang yang bukan warga persekutuan hukum yang bersangkutan boleh melakukan tindakan dalam sub 1 hanya dengan izin persekutuan, mereka akan melakukan tindak pidana jika tindakan-tindakan itu dilakuakan tanpa izin.
c. Orang luar, dan kadang-kadang para anggota persekutuan harus membayar sewa bumi, supaya diberi izin melakukan tindakan tersebut
d. Persekutuan hukum tetap mempunyai hak pengawasan terhadap “ Cultivated Lands”
e. Persekutuan bertanggung jawab dalam hal tanah tidak dikerjakan
f. Hak ulayat dapat diserahkan atau dilepaskan selamanya.
Usaha untuk mewujudkan keinginan ini dulunya hal yang pertama yang
dilakukan adalah dengan mengganti asas” domeinverklaring” yang menjadi dasar
31 Mahadi, “ Uraian Singkat Tentang Hukum Adat, Sejak RR Tahun 1854”, (Bandung:
Alumni, 1991), h. 67
Universitas Sumatera Utara
pijakan kebijakan pemerintahan Hindia Belanda di bidang pertanahan, dengan asas”
hak menguasai tanah oleh Negara” sebagaimana termuat dalam pasal 33 ayat 3 UUD
1945. Asas domeinverklaring`(pernyataan domein) termuat dalam pasal 1
“Agrarische Besluit”(S.1870-118) yang terjemahanya berbunyi” dengan tidak
mengurangi berlakunya ketetentuan dalam ayat 2 dan 3 Agrarische Wet, maka tetap
dipertahankan asas bahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikan
bahwa tanah itu eigendomnya, adalah domein Negara.32
Dari ketentuan pasal 1 Agrarische Besluit tersebut dapat dirinci hal-hal
sebagai berikut:
1) Penerapan asas domeinverklaring jangan sampai melanggar ketentuan pasal 2
dan 3 Agrarische Wet yaitu, pasal-pasal yang berisi perlindungan terhadap
hak-hak rakyat indonesia asli atas tanah. Dengan demikian penerapan asas
domeinverklaring tidak boleh merugikan rakyat Indonesia asli
2) Dalam pasal 1 Agrarische Besluit terdapat kata” tetap dipertahankan asas ”
artinya, sebelum berlakunya Agrarische Besluit sudah ada peraturan yang
memuat asas domeinverklaring yaitu termuat dalam pasal 520 BW yang
berbunyi sebagai berikut:” pekarangan dan kebendaan tak bergerak lainya
yang tak terpelihara dan tiada pemiliknya, seperti kebendaan mereka yang
32 Bahwa Peraturan Pertanahan pada masa kolonial tersebut, pada dasarnya adalah sangat
merugikan rakyat indonesia
Universitas Sumatera Utara
meninggal dunia tanpa ahli waris atau yang warisanya telah ditinggalkan,
adalah milik Negara”.
3) Pihak lain yang tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu eigendomnya
adalah tanah milik Negara. Yang dimaksud denga pihak lain adalah, selain
Negara yaitu rakyat. Jadi, jika rakyat tidak dapat membuktikan bahwa
sebidang tanah adalah hak eigendomnya, maka tanah tersebut dinyatakan
sebagai tanah milik Negara. Dalam ketentuan ini terdapat pembalikan beban
pembuktian, karena menurut hukum acara perdata yang termuat pasal 163
HIR/ Pasal 283 RBg dan pasal 1865 yang terjemahanya menyatakan bahwa,
setiap orang yang mendalilkan bahwa dia mempunyai sesuatu hak, atau guna
meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain,
menunjuk pada suatu peristiwa tersebut diwajibkan membuktikan adanya hak
atau peristiwa tersebut. Hak milik dalam hukum adat adalah berlaku konsep
ipso factor artinya hak milik terwujud karena seseorang secara defacto
memang menguasai tanah yang bersangkutan. Sedangkan konsep hak milik
menurut hukum barat dan juga yang dianut UUPA, adalah konsep ipso Jure
dengan pembuktian milik tidak cukup dari penguasaan menurut kenyataanya
saja melainkan bukti-bukti hukum sebagaimana dinyatakan dalam
registrasinya.33
Universitas Sumatera Utara
Walaupun ada perbedaan pendapat, namun dalam praktiknya yang sering
diterapkan adalah penafsiran yang dibuat oleh pemerintah hindia belanda. sehingga
tanah-tanah yang dipunyai rakyat Indonesia asli dengan hak milik dan tanah-tanah
yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat dengan hak ulayat, adalah tanah domein
Negara. Tanah yang dipunyai orang indonesia asli dengan hak milik hanya dihargai
sebagai hak pakai turun-temurun, namun demikian hak-hak adat tersebut tetap
dilindungi dan dihormati sehingga tidak boleh diambil oleh Gubernur Jenderal untuk
diberikan kepada pengusaha dengan hak erfpacth. Dari asas domeinverklaring yang
termuat dalam pasal 1 Agrarische Besluit (AB) tersebut dapat disimpulkan bahwa,
hubungan hukum antara tanah dan Negara adalah hubungan kepemilikan, artinya
Negara memiliki semua tanah yang bukan hak eigendom dan hak agrarische
eigendom.
Dalam praktek fungsi domeinverklaring dalam perundang-undangan pertanahan pemerintah kolonial Belanda adalah :34
a) Sebagai landasan hukum bagi pemerintah yang mewakili Negara sebagai pemilik tanah, untuk memberikan tanah dengan hak-hak barat yang diatur dalam KUHPdt, seperti hak erfacht, hak postal dan lain-lainnya. Dalam rangka domeinverklaring, pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukan dengan cara pemindahan hak milik Negara kepada penerima tanah.
b) Bidang pembuktian pemilikan.
33 Soetandyo Wignjosoebroto “ Perbedaan Konsep Tentang Dasar Hak Penguasaan Atas
Tanah Antara Apa Yang Dianut dalam Tradisi Pandangan Pribumi Dan Apa Yang Dianut Dalam Hukum Positif Eropa”, Surabaya: Arena Hukum, No. 1, 1994, h. 39-43
34 Boedi harsono, Op.Cit, h. 43
Universitas Sumatera Utara
Pernyataan diatas, memberikan penjelasan bahwa Negara bertindak sebagai
pemilik. Pemerintah memberikan hak-hak erfpacth atau persewaan tanah jangka
panjang kepada perusahaan, dengan mengingkari hak-hak masyarakat adat yang ada
diatas tanah menjadi objek persewaan tersebut.35
Kebijakan pemerintah Belanda dalam memperlakukan teori domeinverklaring
ini adalah, sangat merugikan rakyat karena domein diperlakukan di atas tanah rakyat
dan memungkinkan tanah-tanah hak ulayat diberikan kepada orang asing dengan hak
sewa(erfpacth). Dalam hal ini, perlu di jelaskan apa yang disebut dengan persewaan
tanah (tenure), penyewa (tenant) dan pemilik tanah yang menyewakan (landowner)
khususnya yang muncul dalam sejarah persewaan dan penguasaan tanah.
Dalam teorinya Davis, bisa kita jelaskan bahwa sewa tanah merupakan jenis
bentuk pemilikan tanah dengan tujuan tertentu. Persewaan tanah ini berarti
penguasaan lahan perkebunan dan menjadi bagian dari pemilikan. Perbedaan yang
mendasar antara persewaan dengan pemilikan adalah bahwa persewaan (tenure) yang
dimaksudkan Davis merupakan pemetikan hasilnya dari kerja tertentu, sehingga tanah
ini diterima dari pihak lain dalam bentuk pinjaman. Defenisi Davis ini bertolak dari
sistem pemilikan tanah di Inggris yang menyebutkan bahwa hanya raja Inggris yang
35 Hak Erfpacht adalah suatu hak kebendaan untuk mengenyam, menikmati atas suatu benda
yang tidak bergerak kepunyaan orang lain, dengan kewajiban membayar suatu pacht untuk tiap tahunya kepada yang mempunyainya baik berupa uang ataupun hasil pendapatanya. Lihat pasal 720 B.W
Universitas Sumatera Utara
menjadi pemilik tanah, dan semua mereka yang menguasai serta menggarap tanah itu
adalah penyewa atau peminjam tanah.36
Defenisi Davis di atas ini bisa dikembangkan dengan konsep tujuan
persewaan yang muncul atas penguasaan tanah. Hal ini dinyatakan oleh A.W.
Simpson yang mengatakan bahwa persewaan tanah ini berasal dari pemilik tanah.37
Pemilik tanah yang diakui menurut hukun adat Eropa adalah raja. Raja akan
membagi-bagikan tanah tersebut kepada para bangsawan dalam bentuk suatu struktur
hirarkis, dengan tujuan dua hal yaitu menyerahkan sebagian hasilnya sebagai upeti
kepadanya dan memelihara para bangsawan dan keluarganya dengan sisa hasil itu
sebagai imbalan atas kepatuhan dan kesetiaannya kepadanya. Tentu saja bangsawan
tidak menggarap sendiri tanah itu, namun membagi-bagikan tanah itu kepada
kelompok penggarap tanah. Para penggarap tanah itu juga mengalami kewajiban yang
sama sebagai suatu bentuk pengabdian, dan mereka juga dianggap sebagai penyewa
tanah itu. Konsep persewaan dan penguasaan tanah tersebut di atas telah
menunjukkan kepada kita bahwa sumber dari kepemilikan tanah terletak pada pusat
kekuasaan, dalam hal ini raja. Dengan demikan raja menjadi satu-satunya pemilik
tanah. Namun pada penggarapan dan pengolahan tanah-tanah itu, tentu saja raja tidak
akan melakukannya sendiri.
36 Kenneth. P. Davis, “ Land Use”,( New York: Mc Graw – Hill Book Company, 1976), h.
13-14
37 A.W.B. Simpson,” A History Of The Land Law”, (Oxford : Clarendon Press, 1986), h. 47
Universitas Sumatera Utara
Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, secara tegas menganti asas domeinverklaring yang
termuat dalam pasal 1 AB dengan hak menguasai tanah oleh Negara. Selanjutnya
pasal 33 ayat 3 UUD 1945 dijabarkan dalam pasal 2 UUPA sebagaimana telah
dijelaskan diatas. Alasan digantinya asas domein verklaring termuat dalam penjelasan
umum No. II/2 UUPA yang berbunyi” asas domein yang digunakan sebagai dasar
daripada perundang-undangan agraria yang berasal dari pemerintah jajahan tidak
dikenal dalam hukum agraria yang baru. Asas domein adalah bertentangan dengan
kesadaran hukum rakyat Indonesia dan asas daripada Negara yang merdeka dan
modern. Berhubung dengan ini asas tersebut, yang dipertegas dalam berbagai
pernyataan domein, yaitu misalnya dalam pasal 1 Agrarische Besluit (S.1870-188),
S.1875-119a, ditinggalkan dan pernyataan domein ditinggalkan atau dicabut kembali.
UUPA berpangkal pada pendirian bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan
dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tidak perlu dan tidaklah pada tempatnya, bahwa
bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Negara lebih
tepatnya dikatakan sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa)
bertindak selaku badan penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti ketentuan dalam
pasal 2 ayat 1 yang menyatakan” bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan
alam yang terkandung didalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara”.
Dikuasai dalam hal ini bukan dalam arti dimiliki, akan tetapi adalah pengertian yang
memberi wewenang kepada Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa
Indonesia itu untuk pada tingkatan yang tertinggi yaitu:
Universitas Sumatera Utara
1) Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaanya.
2) Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas bumi, air,
dan ruang angkasa.
3) Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan
ruang angkasa.
Wewenang yang dimiliki oleh Negara tersebut dipergunakan untuk
mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kemakmuran yang
dicapai adalah kemakmuran untuk sebanyak mungkin orang tanpa
melanggar hak orang lain.
A. Sodiki menyatakan bahwa”kemakmuran itu adalah terminologi ekonomi, suatu masyarakat dikatakan makmur apabila yang bersangkutan dapat memenuhi dan dipenuhi kebutuhanya baik fisik maupun non fisik secara terus-menerus. Indikasi terdapatnya kemakmuran apabila terpenuhi” basic needs” (sandang, pangan, papan, harga diri,kenyamanan, ketentraman hidup, aktualisasi diri), terjamin dan lapangan kerja(dalam arti luas), adanya pemerintah negara yang bersih, berwibawa dan efektif, serta dirasakanya hukum sebagai bagian penting dari kehidupan.38
Mewujudkan kemakmuran rakyat tersebut juga berarti mewujudkan
kesejahteraan dalam masyarakat (kesejahteraan umum). Menurut Franz Magnis-
38 A. Sodiki, 1994, Penataan Pemilikan Hak Atas Tanah Didaerah Perkebunan Kabupaten
Malang (Studi Tentang Dinamika Hutan), Disertasi, Universitas Airlangga Surabaya, h. 202
Universitas Sumatera Utara
Suseno menjelaskan pengertian kesejahteraan umum sebagai berikut yaitu
kesejahteraan umum sebagai kesejahteraan yang harus diusahakan oleh Negara.39
harus dirumuskan sebagai kesejahteraan yang menunjang tercapainya kesejahteraan
anggota-anggota masyarakat. Dengan demikian kesejahteraan umum dirumuskan
sebagai jumlah syarat dan kondisi yang perlu tersedia agar anggota masyarakat dapat
sejahtera. Kesejahteraan umum dapat dirumuskan sebagai keseluruhan prasyarat-
prasyarat sosial yang akan memungkinkan atau mempermudah manusia untuk
mengembangkan semua nilainya atau sebagai jumlah semua kondisi kehidupan sosial
yang diperlukan agar masing-masing individu, keluarga-keluarga, dan kelompok
masyarakat dapat mencapai keutuhan atau perkembangan mereka dengan lebih utuh
dan cepat.
Bahwa dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa penguasaan tanah
Negara dibedakan menjadi Tiga, yaitu:
a) Penguasaan secara penuh yaitu, terhadap tanah-tanah yang tidak dipunyai
dengan suatu hak oleh suatu subyek hukum. Tanah ini dinamakan tanah
bebas/ tanah Negara atau tanah yang langsung dikuasai oleh Negara.
Negara dapat memberikan tanah ini kepada suatu subyek hukum dengan
suatu hak.
39 Franz Magnis-Suseno, 2001, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, Gramedia, Jakarta, h. 314-315
Universitas Sumatera Utara
b) Penguasaan secara terbatas/ tidak penuh yaitu, terhadap tanah-tanah yang
sudah dipunyai dengan suatu hak oleh suatu subyek hukum. Tanah ini
dinamakan tanah hak atau tanah yang dikuasai tidak langsung oleh Negara
c) Kekuasaan Negara yang bersumber pada hak menguasai tanah oleh
Negara terhadap tanah hak, dibatasi oleh isi dari hak itu. Artinya,
kekuasaan Negara tersebut dibatasi oleh kekuasaan (wewenang)
pemegang hak atas tanah yang diberikan oleh Negara untuk menggunakan
haknya.
Menurut Boedi Harsono, bahwa hak bangsa adalah hak penguasaan tanah
yang tertinggi disamping hak-hak penguasaan tanah lainya yang ada dibawahnya.
Hak-hak penguasaan tanah itu tersusun dalam tata urutan(hierarki) sebagai berikut
:40
1) Hak bangsa Indonesia (pasal 1)
2) Hak menguasai oleh Negara atas tanah (pasal 2)
3) Hak ulayat masyarakat hukum adat (pasal 3)
4) Hak-hak perorangan:
a) Hak-hak atas tanah (pasal 4)
1. Primer: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan yang diberikan oleh Negara, dan hak pakai yang diberikan oleh Negara (pasal 16)
40 Boedi Harsono, Op.Cit, h.182
Universitas Sumatera Utara
2. Sekunder: hak guna bangunan dan hak pakai yang diberikan oleh pemilik tanah, hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, hak sewa (pasal 37, 41, dan 53)
b) Wakaf (pasal 49)
c) Hak jaminan atas tanah
Berdasarkan pendapat tersebut diatas, dapat dipahami bahwa hak masyarakat
hukum adat selain mengandung hak bersama dan hak perseorangan yang meliputi
aspek hukum perdata juga mengandung adanya kewajiban mengelola, mengatur
tentang penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaanya yang dilakukan
oleh kepala adat ataupun para tetua adat yang beraspekkan hukum publik.41 Maka
dengan demikian hukum tanah adat akan meliputi ketentuan hukum perdata maupun
administratif.
Satjipto Rahardjo merinci hak-hak yang dipunyai oleh pemegang hak milik sebagai berikut:42
1. Pemilik mempunyai hak untuk memiliki barangnya. Dia mungkin tidak memegang atau menguasai barang tersebut, oleh karena barang itu mungkin telah direbut daripadanya oleh orang lain. Sekalipun demikian, hak atas barang itu tetap ada pada pemegang hak semula
2. Pemilik biasanya mempunyai hak untuk menggunakan dan menikmati barang yang dimilikinya yang pada dasarnya merupakan kemerdekaan bagi pemilik untuk berbuat terhadap barangnya
3. Pemilik mempunyai hak untuk menghabiskan, merusak atau megalihkan barangnya. Pada orang yang menguasai suatu barang, hak untuk megalihkan
41 Moh. Koesnoe,” Catatan- Catatan Terhadap Hukum Adat Dewasa Ini, Airlangga University
Press, Surabaya, 1977, h. 34
42 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 1986, h. 105
Universitas Sumatera Utara
itu tidak ada padanya karena azas memo dat quod non habet . si penguasa tidak mempunyai hak dan karenanya juga tidak dapat melakukan pengalihan hak kepada orang lain.
4. Pemilik mempunyai ciri tidak mengenal jangka waktu. Ciri ini sekali lagi membedakannya dari penguasaan, oleh karena yang disebut terakhir terbuka untuk penentuan statusnya lebih lanjut di kemudian hari. Pemilikan secara teoritis berlaku untuk selamanya.
5. Pemilikan mempunyai ciri yang bersifat sisa. Seorang pemilik tanah bisa menyewakan tanahnya kepada A, memberikan hak untuk melintasi tanahnya kepada B dan kepada C memberikan hak yang lain lagi, sedang ia tetap memiliki hak atas tanah itu yang terdiri dari sisanya sesudah hak-hak itu diberikan kepada mereka itu. Dibandingkan dengan pemilik hak untuk melintasi tanah itu, maka hak dari pemilik besifat tidak terbatas. Kita akan mengatakan, bahwa hak yang pertama bersifat menumpang pada hak pemilik yang asli dan keadaan ini disebut sebagai ius in re aliena.
Hal ini didukung oleh adanya beberapa persamaan antara konsep hak ulayat
dengan konsep hak menguasai tanah oleh Negara, yaitu :
1) Baik hak ulayat maupun hak menguasai tanah oleh negara merupakan
induk dari hak-hak atas tanah lainnya. Di atas tanah hak ulayat dapat
muncul hak-hak perorangan atas tanah, demikian pula dengan hak
menguasai tanah oleh negara dapat muncul hak-hak perorangan atas tanah.
2) Hak ulayat mempunyai kekuatan berlaku ke dalam yang sama dengan
kewenangan negara yang bersumber pada hak menguasai oleh Negara atas
tanah, yaitu :
Universitas Sumatera Utara
a. Masyarakat hukum itu dalam arti anggota-anggotanya secara bersama-
sama dapat memungut hasil dari tanah dan binatang-binatang serta
tanaman-tanaman yang terdapat disitu dengan tidak terpelihara.
b. Masyarakat hukum itu dapat membatasi kebebasan bergerak anggota-
anggotanya atas tanah untuk kepentingannya sendiri. Hubungan antara
hak ulayat dengan hak perorangan atas tanah bersifat menguncup-
mengembang, bertimbal balik dengan tiada hentinya. Artinya apabila
hak perorangan menguat maka hak ulayat menjadi lemah. Begitu pula
sebaliknya, apabila hak perorangan melemah maka hak ulayat
menguat.
c. Anggota masyarakatnya dapat berburu dan mengambil hasil hutan
untuk dipakai sendiri dan memperoleh hak milik dari apa yang
diperolehnya.
d. Anggota masyarakat dapat mengambil pohon-pohon yang tumbuh
sendiri di hutan dengan menempelkan suatu tanda dan melakukan
pemujaan.
e. Anggota masyarakatnya berhak membuka tanah yaitu
menyelenggarakan hubungan sendiri terhadap sebidang tanah dengan
memberi tanda dan melakukan pemujaan (upacara adat).
Universitas Sumatera Utara
f. Masyarakat hukum adat dapat menentukan peruntukan tanah untuk
kepentingan bersama, misalnya untuk makam, pengembalaan umum
dan lain-lain.
2.2 Hak Menguasai Tanah Oleh Negara Dalam Otonomi Daerah
Prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah berdasarkan ketentuan
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menekankan perwujudan otonomi
daerah yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab dengan memperhatikan
keseimbangan hubungan antar pemerintahan. Dengan kata lain, prinsip otonomi saat
ini berdasarkan atas asas desentralisasi berkeseimbangan. Menurut Wayong,”
otonomi daerah sebenarnya merupakan bagian dari pendewasaan politik rakyat
ditingkat lokal dan mensejahterakan rakyat”. sedangkan menurut Thoha, otonomi
daerah adalah penyerahan sebagian urusan rumah tangga dari pemerintah yang lebih
atas kepada pemerintah dibawahnya dan sebaliknya pemerintah dibawahnya yang
menerima sebagian urusan tersebut telah mampu melaksanakanya.43
Terkait dengan UUPA, bahwa hak menguasai tanah oleh Negara dipegang
oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah dapat mempunyai hak tersebut apabila ada
pelimpahan hak tersebut dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (tugas
perbantuan). Hal ini secara tegas tercantum dalam pasal 2 ayat 4 UUPA dan
43 Dharma Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Persfektif Lingkungan, Nilai, Dan
Sumber Daya (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2003), h. 81
Universitas Sumatera Utara
penjelasan pasal 2 nya.44 Pasal 2 ayat 4 UUPA berbunyi sebagai berikut” hak
menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaanya dapat dikuasakan kepada
kepala daerah-daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar
diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan
peraturan pemerintah”. Selanjutnya Penjelasan dalam pasal 2 UUPA berbunyi
sebagai berikut” ketentuan dalam ayat 4 adalah bersangkutan dengan azas ekonomi
dan medebewind dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Soal agrarian
menurut sifatnya dan azasnya merupakan tugas pemerintah pusat (pasal 33 ayat(3)
UUD). Dengan demikian maka pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak
penguasaan dari Negara atas tanah itu adalah merupakan pendelegasian. Segala
sesuatunya akan diselenggarakan menurut keperluanya dan sudah barang tentu tidak
boleh bertentangan dengan kepentingan nasional. Wewenang dalam bidang agraria
dapat merupakan sumber keuangan bagi daerah itu”.
Sejak jatuhnya pemerintah orde baru, gelombang reformasi melanda Negara
Indonesia yang menuntut diadakanya perubahan dalam segala tatanan kehidupan
bernegara. Contoh nyata yang terjadi dalam pemerintahan adalah, berakhirnya suatu
era pemerintahan yang bersifat sentralistik menjadi pemerintahan yang bersifat
desentralistik yang menitik beratkan kepada otonomi daerah. Artinya pemerintah
daerah diberi otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-
undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat, sebagaimana tegas dinyatakan
44 Lihat Penjelasan Pasal 2 Ayat 4 UUPA
Universitas Sumatera Utara
dalam pasal 18 ayat(5) UUD 1945 perubahan kedua yang berbunyi” pemerintah
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh
undang-undang ditentukan sebagai pemerintah pusat.
Berbagai peraturan yang mengatur tentang kewenangan antara pemerintah
pusat dan pemerintah daerah seperti:
1. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
Saat ini prinsip otonomi daerah yang digunakan adalah berdasarkan Undang-
undang Nomor 32 tahun 2004 yang menekankan perwujudan otonomi daerah
yang seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab dengan memperhatikan
keseimbangan hubungan antar pemerintahan. Dengan kata lain, prinsip
otonomi daerah saat ini berdasarkan atas asas desentralisasi berkeseimbangan.
Undang-undang ini memberi kewenangan seluas-luasnya kepada
pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahanya, sebagaimana
diatur dalam pasal 10 yang berbunyi sebagai berikut:45
a. Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenanganya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ini
ditentukan menjadi urusan pemerintah pusat
45 Lihat Penjelasan Pasal 10 UU No. 32 Tahun 2004
Universitas Sumatera Utara
b. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat 1, pemerintahan
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan
tugas perbantuan
c. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 meliputi:
1) Politik luar negeri
2) Pertanahan
3) Keamanan
4) Yustisi
5) Moneter dan fiskal nasional
6) Agama
d. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
pada ayat 3, pemerintah menyelenggarakan sendiri atau dapat
melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat pemerintah
atau wakil pemerintah didaerah atau dapat menugaskan kepada
pemerintah daerah dan/ atau pemerintahan desa.
Universitas Sumatera Utara
e. Dalam urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah diluar
urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat 3, pemerintah
dapat:
1) Menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan
2) Melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada gubernur selaku
wakil pemerintah, atau
3) Menugaskan sebagian urusan kepada pemerintah daerah dan atau
pemerintahan desa berdasarkan asas tugas perbantuan
2. Peraturan pemerintah Nomor 38 tahun 2007
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam pasal 6 Peraturan
Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Pemerintahan daerah
Kabupaten/Kota disebutkan bahwa urusan pemerintah terdiri atas urusan
pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah dan urusan
pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan atau susunan
pemerintahan.
Adapun urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat meliputi
politik luar negeri, pertanahan, keamanan, yustisi, moneter, dan fiscal
nasional, agama, dan urusan yang lain dibagi dengan pemerintahan daerah.
Universitas Sumatera Utara
Urusan pemerintah yang dibagi dengan pemerintah daerah terdiri atas
berbagai bidang urusan pemerintahan. Berikut ini rincian kewenangan bidang
pertanahan:46
A. Pemerintah Pusat
a. Izin Lokasi, memuat kewenangan:
1) Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standard, prosedur, dan kriteria izin lokasi
2) Pemberian izin lokasi lintas propinsi
3) Pembatalan izin lokasi atas ususlan pemerintah propinsi dengan pertimbangan kepala kantor wilayah BPN propinsi
4) Pembinaan, pengendalian, dan monitoring terhadap pelaksanaan izin lokasi.
b. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum
1) Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standard, prosedur, dan kriteria pengadaan tanah untuk kepentingan umum
2) Pengadaan tanah untuk pembangunan lintas propinsi
3) Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
c. Penyelesaian sengketa tanah garapan
1) Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standard, prosedur, dan criteria penyelesaian sengketa tanah garapan
2) Pembinaan, pengendalain, monitoring terhadap pelaksanaan penanganan sengketa tanah garapan.
46 Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, psl. 7 ayat (2)
Universitas Sumatera Utara
d. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan
1) Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standard, prosedur dan criteria penyeselesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan
2) Pembinaan, pengendalian, dan monitoring terhadap pelaksanaan pemberian ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan.
e. Penetapan subjek dan objek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absente
1) Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penetapan subjek dan objek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.
2) Pembentukan panitia pertimbangan land-reform nasional
3) Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan subjek dan objek tanah, ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absente.
f. Penetapan tanah ulayat
1) Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat
2) Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat.
g. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong
1) Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria serta pelaksanaan pembinaan dan pengendalian pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong.
2) Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong.
h. Izin membuka tanah
1) Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur dan kriteria serta pelaksanaan pembinaaan dan pengendalian pemberian izin membuka lahan
Universitas Sumatera Utara
2) Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan izin membuka tanah.
i. Perencanaan penggunaan tanah wilayah kabupaten/ kota
1) Penetapan kebijakan nasional mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria perencanaan penggunaan tanah di wilayah kabupaten/kota.
2) Pembinaan, pengendalian dan monitoring terhadap pelaksanaan perencanaan penggunaan tanah di wilayah kabupaten/ kota
Dalam hal penataan ruang, wewenang pemerintah pusat dalam
penyelenggaraan penataan ruang meliputi:47
1) Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional, propinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional, propinsi, dan kabupaten/kota
2) Pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional
3) Pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional
4) Kerjasama penataan ruang antarnegara dan pembuatan fasilitas kerjasama penataan ruang antar propinsi.
B. Pemerintah Propinsi
Gubernur disamping sebagai kepala daerah propinsi berfungsi
pula selaku wakil pemerintah didaerah dalam pengertian untuk
menjembatani dan memperpendek rentang kendali tugas dan fungsi
pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap
47 Indonesia, Undang-Undang Tentang Penataan Ruang, Op. Cit, Pasal 8 Ayat (1)
Universitas Sumatera Utara
penyelenggaraan urusan pemerintahan pada strata pemerintahan dan
kabupaten/ kota. Kewenangan gubernur tersebut bertujuan untuk
pemberdayaan pemeritahan lokal, bukan sebaliknya untuk melakukan
sentralisasi kekuasaan pemerintah provinsi. Maka terbuka keseimbangan
antara kepentingan yang bersifat nasional kepentingan regional dan
kepentingan yang bersifat lokal.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah mempertegas kewenangan gubernur agar fungsi sebagai kepala
daerah otonom dan wakil pemerintah pusat dapat berjalan secara efektif.
Jika pemerintah pusat memiliki kewenangan yang bersifat standar,
norma, dan pedoman nasional, provinsi memiliki kewenangan yang
bersifat lintas kabupaten/ kota dan koordinasi penyelenggaraan
kewenangan diwilayah provinsi itu.
Berikut rincian kewenangan pemerintah propinsi dibidang pertanahan:48
1) Mengenai Izin Lokasi, memuat kewenangan :
a. Penerimaan permohonan dan pemeriksaan kelengkapan
persyaratan.
b. Kompilasi bahan koordinasi
48 Op. Cit, h. 57
Universitas Sumatera Utara
c. Pelaksanaan peninjauan lokasi
d. Penyiapan berita acara koordinasi berdasarkan pertimbangan
teknis pertanahan dari Kantor Wilayah Badan Pertanahan
(BPN) provinsi dan pertimbangan teknis lainya dari instansi
terkait
e. Pembuatan peta lokasi sebagai lampiran surat keputusan izin
lokasi yang diterbitkan
f. Penerbitan surat keputusan izin lokasi
g. Pertimbangan dan usaha pencabutan izin dan pembatalan surat
keputusan izin lokasi atas usulan kabupaten/ kota dengan
pertimbangan Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi
h. Monitoring dan pembinaan perolehan tanah.
2) Pengadaan tanah untuk kepentingan umum, memuat :
a. Pengadaan tanah untuk pembangunan lintas kabupaten/kota.
b. Pembentukan panitia pengadaan tanah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
c. Pelaksanaan penyuluhan.
d. Pembentukan tim penilai tanah (khusus DKI).
Universitas Sumatera Utara
e. Penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari lembaga/ tim
penilai tanah.
f. Pelaksanaan musyawarah.
g. Penetapan bentuk dan besarnya ganti kerugian.
h. Penyelesaian sengketa dan bentuk serta besarnya ganti kerugian.
3) Penyelesaian sengketa tanah garapan
a. Penyelesaian sengketa tanah garapan lintas kabupaten/kota.
b. Penerimaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah
garapan.
c. Koordinasi dengan instansi terkait untuk menetapkan langkah-
langkah penangananya.
d. Fasilitasi antar pihak yang sedang bersengketa.
4) Penetapan tanah ulayat
a. Pembentukan panitia peneliti lintas kabupaten/kota.
b. Penelitian dan kompilasi hasil penelitian.
c. Pelaksanaan dengar pendapat umum dalam rangka penetapan
tanah ulayat.
Universitas Sumatera Utara
d. Penanganan masalah tanah ulayat melalui musyawarah untuk
mufakat.
5) Izin membuka tanah
a. Penyelesaian permasalahan pemberian izin membuka tanah.
b. Pengawasan dan pengendalian pemberian izin membuka tanah
(tugas pembantuan).
C. Pemerintah Kabupaten/ Kota
Sesuai dengan amanat undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenanganya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan pemerintah pusat. Dalam menyelenggarakan yang menjadi urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut, pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.49
Berikut ini rincian kewenangan bidang pertanahan oleh pemerintah
Kabupaten/Kota yang termuat dalam Keputusan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2003 :
a. Pemberian izin lokasi
49 Indonesia, Peraturan Pemerintah tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintahan Daerah Propinsi, Dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota.
Universitas Sumatera Utara
1. Menerima dan memeriksa kelengkapan berkas permohonan.
2. Mengompilasi bahan koordinasi.
3. Pembuatan peta lokasi sebagai lampiran surat keputusan izin
lokasi yang bisa diterbitkan.
4. Penerbitan surat keputusan izin lokasi.
5. Pertimbangan dan usulan pencabutan izin dan pembatalan surat
keputusan izin lokasi dengan pertimbangan kepala kantor
Kabupaten/Kota.
6. Monitoring dan pembinaan dan perolehan tanah.
b. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum50
1. Penetapan lokasi.
2. Pembentukan panitia pengadaan tanah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
3. Pelaksanaan inventarisasi.
4. Pembentukan tim penilai tanah.
50 Loc. Cit, h. 2
Universitas Sumatera Utara
5. Penerimaan hasil penaksiran nilai tanah dari lembaga/ tim
penilai tanah.
6. Penyelesaian sengketa bentuk dan besarnya ganti kerugian.
c. Penyelesaian sengketa tanah garapan
1. Penerimaan dan pengkajian laporan pengaduan sengketa tanah
garapan.
2. Penelitian terhadap objek dan subjek sengketa.
3. Pencegahan meluasnya dampak sengketa tanah garapan.
4. Fasilitasi musyawarah antar pihak yang bersengketa.
d. Penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk
pembangunan
1. Pembentukan tim pengawasan pengendalian.
2. Penyelesaian sengketa ganti kerugian dan santunan tanah untuk
pembangunan.
e. Penetapan subjek dan objek redistribusi tanah, serta ganti kerugian
tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee.
Universitas Sumatera Utara
1. Pelaksanaan sidang yang membahas hasil inventarisasi untuk
penetapan subjek dan objek redistribusi tanah, serta ganti
kerugian tanah kelebihan tanah maksimum dan tanah absentee.
2. Penetapan tanah kelebihan maksimum dan tanah absente
sebagai objek landreform dan berdasarkan hasil sidang panitia.
3. Penerbitan surat keputusan subjek dan objek redistribusi tanah
serta ganti kerugian.
f. Penetapan tanah ulayat
1. Pelaksanaan dengar pendapat umum dalam rangka penetapan
tanah ulayat.
2. Pengusulan rancangan peraturan daerah tentang penetapan
tanah ulayat.
3. Pengusulan pemetaan dan pencatatan tanah ulayat dalam daftar
tanah kepada kantor pertanahan kabupaten/kota.
g. Pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong
1. Inventarisasi dan identifikasi tanah kosong untuk pemanfaatan
tanaman pangan semusim.
Universitas Sumatera Utara
2. Penetapan bidang-bidang tanah sebagai tanah kosong yang
dapat digunakan untuk tanaman pangan semusim bersama
dengan pihak lain berdasarkan perjanjian.
3. Fasilitasi perjanjian kerjasama antara pemegang hak tanah
dengan pihak yang akan memanfaatkan tanah dihadapan/
diketahui oleh kepala desa/ lurah dan camat setempat dengan
perjanjian untuk dua kali musim tanam.
h. Izin membuka tanah
1. Pemeriksaan lapangan dengan memperhatikan kemampuan
tanah, status tanah, dari Rencana Umum Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Kabupaten /Kota.
2. Penerbitan izin membuka tanah dengan memperhatikan
pertimbangan teknis dari kantor pertanahan Kabupaten/Kota.
3. Pengawasan dan pengendalian penggunaan izin membuka
tanah (tugas pembantuan).
i. Rencana penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota
1. Pembentukan tim koordinasi tingkat Kabupaten/Kota.
2. Kompilasi data dan informasi yang terdiri dari:
Universitas Sumatera Utara
a) Peta pola penatagunaan tanah atau peta wilayah tanah
usaha atau peta persediaan tanah dari kantor pertanahan
setempat.
b) Rencana tata ruang wilayah.
c) Rencana pembangunan yang akan menggunakan tanah baik
rencana pemerintah, pemerintah kabupaten/kota, maupun
investasi swasta.
3. Analisis kelayakan letak lokasi sesuai dengan ketentuan dan
kriteria teknis dari instansi terkait.
4. Penyampaian draf rencana letak kegiatan penggunaan tanah.
5. Pelaksanaan rapat koordinasi terhadap draf rencana letak
kegiatan penggunaan tanah dengan instansi terkait.
6. Konsultasi publik untuk memperoleh masukan terhadap draf
rencana letak kegiatan penggunaan tanah.
7. Sosialisasi tentang rencana letak kegiatan penggunaan tanah
kepada instansi terkait.
8. Evaluasi dan penyesuaian rencana letak kegiatan dan
penggunaan tanah berdasarkan perubahan RTRW dan
perkembangan realisasi pembangunan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam rangka menyerahkan kewenangan pertanahan pada pemerintahan
kabupaten/kota, perlu kiranya dipahami makna politik pertanahan lokal dan
administrasi pertanahan yang dikendalikan oleh pemerintah kabupaten/kota. Secara
garis besar, politik pertanahan lokal berkaitan dengan kebijakan pemerintah lokal
dalam rangka penataan tata guna tanah bagi peri kehidupan sosial maupun ekonomi
guna memenuhi interaksi antar individu didaerah. Pengaturan ini meliputi
pembentukan zona ekonomi, lokasi tanah untuk kepentingan sosial, penetapan
instrument kebijakan pertanahan, pengawasan terhadap harga pasar tanah dan
pencadangan terhadap tanah. Kewenangan pemerintah kabupaten/kota terhadap tata
guna tanah tersebut dalam rangka perencanaan kedepan agar secara sosial maupun
ekonomi dapat bertahan dalam rangka menghadapi ancaman-ancaman kedepan.51
Politik pertanahan ini tentu sepenuhnya harus dikendalikan oleh pemerintah
kabupaten/kota agar problem sumber daya alam maupun sumber daya ekonomi dapat
51 Disamping itu, pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk :
Hal-hal yang berkaitan dengan tanah:
1. Penetapan nilai objek bangunan
2. Izin mendirikan bangunan
3. Izin usaha
4. Undang-undang gangguan yang berkaitan dengan penanaman modal
5. Penetapan koefisien dasar bangunan dan kofisien lantai bangunan
6. Lingkungan siap bangun dan kawasan siap bangun( UU No. 4 Tahun 1992 tentang perumahan dan pemukiman Jo Peraturan Pemerintah No. 80 Tahun 1999)
7.
Universitas Sumatera Utara
diwujudkan untuk kemaslahatan rakyat setempat. Pengaturan ini harus diintegrasikan
dengan system lainya pada pemerintah kabupaten/kota seperti system sosial, system
perekonomian, system pendidikan dan lainya. Kewenangan semacam ini memang
pada tempatnya diserahkan pada pemerintah kabupaten/kota mengingat kebijakan
pemerintah pusat tidak mampu menjangkau setiap detail permasalahan tersebut52.
Disamping itu juga pemerintah perlu mengaktualisasikan asas dekonsentrasi dibidang
pertanahan. Artinya untuk masa yang akan datang, pemerintah harus tulus dan
mempunyai itikad baik untuk memberikan pelimpahan wewenang kepada daerah
dalam urusan pertanahan.53
52 Ibnu Subiyanto, “ Peluang dan Tantangan Peningkatan Pelayanan Kepada Masyarakat
Diera Desentralisasi” Diskusi Terbatas Kebijakan Pertanahan Dalam Era Desentralisasi Dan Peningkatan Pelayanan Pertanahan Kepada Masyarakat, Jakarta 12 September 2002, Disusun Dalam Buku Prosiding (Jakarta: Bappenas, 2002) h. 6
53 Idham, Konsolidasi Tanah Perkotaan Dalam Perspektif Otonomi Daerah, Bandung, Alumni, 2004, h. 131
Universitas Sumatera Utara