strategi pengembangan hutan rakyat untuk menunjang pasokan ... · penetapan kedua kecamatan...

21
25 III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan yaitu bulan Juni – Oktober 2010 di Kabupaten Donggala. Wilayah penelitian untuk pengambilan data meliputi dua kecamatan, yaitu Kecamatan Banawa dan Kecamatan Sindue. Penetapan kedua kecamatan tersebut atas dasar bahwa secara umum telah mewakili kondisi wilayah Kabupaten Donggala. Adapun yang menjadi alasan penetapan Kabupaten Donggala sebagai tempat penelitian adalah a) di daerah tersebut terdapat usaha pengembangan hutan rakyat, namun belum berkembang dengan baik, b) terdapat sejumlah IPHHK yang mengalami kesulitan dalam pemenuhan bahan baku industri, c) secara kelembagaan peran pemerintah belum optimal dalam upaya pengembangan hutan rakyat, dan d) belum terbentuknya lembaga di tingkat petani yang dapat berfungsi sebagai wadah untuk menampung dan menyerap informasi dari petani untuk kemudian disampaikan ke pihak lain (pemerintah dan pelaku usaha lainnya) dan sebaliknya menyampaikan informasi dari pihak lain ke petani. 3.2 Metode Pengambilan Contoh Penelitian ini menggunakan metode survai melalui pengamatan langsung di lapangan. Data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dan dikumpulkan langsung dari responden dan informan kunci di lapangan, melalui wawancara tertutup berdasarkan daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah disiapkan sebelumnya baik berupa daftar pertanyaan bagi petani hutan rakyat, pedagang kayu dan pihak industri kayu. Selanjutnya untuk wawancara terbuka dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan penuntun bagi informan kunci baik dari pihak pemerintah dan juga pihak petani. Selanjutnya adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari instansi- instansi terkait yang telah tersedia dalam bentuk dokumen dan studi literatur. Inventarisasi dan penelusuran data sekunder ini dilakukan terhadap instansi- instansi yang meliputi: Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Dinas Kehutanan dan

Upload: lekiet

Post on 27-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

25

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan yaitu bulan Juni – Oktober

2010 di Kabupaten Donggala. Wilayah penelitian untuk pengambilan data

meliputi dua kecamatan, yaitu Kecamatan Banawa dan Kecamatan Sindue.

Penetapan kedua kecamatan tersebut atas dasar bahwa secara umum telah

mewakili kondisi wilayah Kabupaten Donggala. Adapun yang menjadi alasan

penetapan Kabupaten Donggala sebagai tempat penelitian adalah a) di daerah

tersebut terdapat usaha pengembangan hutan rakyat, namun belum berkembang

dengan baik, b) terdapat sejumlah IPHHK yang mengalami kesulitan dalam

pemenuhan bahan baku industri, c) secara kelembagaan peran pemerintah belum

optimal dalam upaya pengembangan hutan rakyat, dan d) belum terbentuknya

lembaga di tingkat petani yang dapat berfungsi sebagai wadah untuk menampung

dan menyerap informasi dari petani untuk kemudian disampaikan ke pihak lain

(pemerintah dan pelaku usaha lainnya) dan sebaliknya menyampaikan informasi

dari pihak lain ke petani.

3.2 Metode Pengambilan Contoh

Penelitian ini menggunakan metode survai melalui pengamatan langsung

di lapangan. Data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data primer dan data

sekunder. Data primer diperoleh dan dikumpulkan langsung dari responden dan

informan kunci di lapangan, melalui wawancara tertutup berdasarkan daftar

pertanyaan (kuesioner) yang telah disiapkan sebelumnya baik berupa daftar

pertanyaan bagi petani hutan rakyat, pedagang kayu dan pihak industri kayu.

Selanjutnya untuk wawancara terbuka dilakukan berdasarkan daftar pertanyaan

penuntun bagi informan kunci baik dari pihak pemerintah dan juga pihak petani.

Selanjutnya adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari instansi-

instansi terkait yang telah tersedia dalam bentuk dokumen dan studi literatur.

Inventarisasi dan penelusuran data sekunder ini dilakukan terhadap instansi-

instansi yang meliputi: Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan, Direktorat

Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Dinas Kehutanan dan

26

Perkebunan Kabupaten Donggala, Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah,

BP2HP XIV Palu dan BPDAS Palu-Poso.

Pemilihan responden petani hutan rakyat dilakukan secara sengaja

(Purposive Sampling), dengan memilih 35 responden. Pemilihan secara sengaja

ini dilakukan dengan asumsi populasinya dianggap seragam. Pemilihan responden

petani pada tingkat kecamatan dilakukan dengan pertimbangan bahwa kedua

kecamatan tersebut menggambarkan keadaan keseluruhan kecamatan di wilayah

Kabupaten Donggala yang memiliki hutan rakyat yang dipelihara dan terdapat

kegiatan transaksi kayu rakyat. Selain karena luasannya, kecamatan yang dipilih

dapat mewakili kondisi sosial budaya masyarakat di Kabupaten Donggala.

Populasi petani responden adalah mereka yang menanam jenis-jenis kayu baik

secara tumpangsari, tanaman pembatas maupun monokultur dan pernah

melakukan transaksi kayu. Penarikan contoh pedagang ditelusuri berdasarkan

pergerakan kayu mulai dari petani hingga industri kayu. Banyaknya pengambilan

contoh pedagang berjumlah 8 orang yang diketahui sering melakukan transaksi

kayu di daerah sampel dan 7 orang dari pihak industri kayu yang membeli kayu

dari hutan rakyat baik langsung ataupun melalui pedagang perantara.

Pemilihan key informant dalam mengkaji fenomena sehubungan dengan

pelaksanaan kegiatan pengembangan hutan rakyat dilakukan dengan cara Snow-

ball sampling yaitu memilih informan kunci secara berantai. Jika pengumpulan

data dari informan kesatu sudah selesai, informan tersebut diminta memberikan

rekomendasi untuk informan kedua selanjutnya informan kedua juga memberikan

rekomendasi untuk infoman ketiga, demikian seterusnya dilakukan secara

bergulir. Proses bola salju bergulir ini berlangsung terus sampai peneliti

memperoleh data yang cukup sesuai kebutuhan.

Untuk mengetahui implementasi kebijakan pemerintah dan dampak dari

kegiatan pengembangan hutan rakyat maka dilakukan wawancara dengan instansi

teknis terkait antara lain Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Donggala,

Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tengah, BP2HP Palu, BPDAS Palu-Poso,

ISWA, petani, dan tokoh masyarakat. Informan tersebut berjumlah 9 orang.

Pemilihan responden terkait dengan pengambilan keputusan tiap rumah tangga

27

dalam pengembangan hutan rakyat, yaitu petani yang tinggal di lokasi penelitian.

Responden tersebut dilihat mampu mengambil keputusan secara mandiri dan

mampu berpikir positif dan logis, sehingga mampu menjawab setiap pertanyaan

yang diajukan kepadanya.

3.3 Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif maupun

kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk menggambarkan kondisi

pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Donggala yang meliputi aspek

produksi, pemasaran, pengolahan, dan kelembagaan. Analisis ini dilakukan untuk

mengetahui faktor-faktor strategis dan pengaruhnya terhadap usaha

pengembangan hutan rakyat, selain itu untuk mengetahui peran pemerintah dalam

usaha tersebut di atas yang meliputi keempat aspek tesebut di atas

Melalui analisis ini dapat diserap informasi mengenai pengetahuan dan

pemahaman masyarakat terhadap pengembangan hutan rakyat, peran serta

masyarakat, pemerintah dan lembaga lainnya dalam perencanaan, pelaksanaan,

dan pengawasan serta pengendalian usaha pengembangan hutan rakyat.

Selanjutnya analisis kuantitatif digunakan untuk menggambarkan variabel-

variabel yang meliputi aspek produksi dan pemasaran. Pada aspek produksi,

analisis kuantitatif dilakukan untuk mengetahui struktur tegakan dan potensi

tegakan. Analisis struktur tegakan dilakukan dengan menggunakan pendekatan

yang dikembangkan oleh Davis et al. (2001), yaitu:

Keterangan : = Rata-rata pohon dalam kelas diameter ke- i : 1, 2, 3, 4 N = Total pohon ∑ = Jumlah Selanjutnya analisis potensi tegakan, menggunakan pendekatan yang

dikembangkan oleh Jariyah et al. (2001), yaitu:

Keterangan: Potensi Hutan Rakyat

28

Pada aspek pemasaran, dilakukan analisis kuantitatif untuk mengetahui

margin pemasaran dan margin keuntungan. Menurut Mubyarto dalam

Setianingsih (2007) bahwa terdapat beberapa instrumen yang lazim digunakan

untuk mengukur efisiensi suatu tata niaga, yaitu: margin pemasaran (marketing

margin) dan margin keuntungan (profit margin). Analisis margin pemasaran

dilakukan untuk mengetahui selisih harga produk di tingkat konsumen dengan

harga produk di tingkat petani hutan rakyat atau penjumlahan biaya pada tiap

lembaga pemasaran dengan keuntungan masing-masing dengan menggunakan

pendekatan yang dikembangkan oleh Tomeck dan Robinson (1990), yaitu:

MP = Pr – Pf atau MP = ∑ bi + ∑ ki Keterangan:

MP : Margin pemasarn Pr : Harga di tingkat konsumen Pf : Harga di tingkat produsen bi : Biaya pada tiap lembaga pemasaran ki : Keuntungan pada tiap lembaga pemasaran

Selanjutnya analisis margin keuntungan merupakan selisih harga yang dibayarkan

konsumen (rata-rata) dengan biaya pemasaran. Analisis ini dilakukan dengan

menggunakan pendekatan yang dikembangkan oleh (Sudiyono 2001;

Setyaningsih 2007), yaitu:

MKi = Harga jual – (∑ harga beli + biaya) Keterangan:

Mki : Margin keuntungan

Pada aspek produksi variabel-variabel yang dianalisis terdiri dari struktur

tegakan, potensi produksi, dan upaya pengembangan hutan rakyat jati di

Kabupaten Donggala. Selanjutnya pada aspek pengolahan variabel-variabel yang

dianalisis terdiri atas keadaan industri pengolahan kayu rakyat, tingkat persediaan

bahan baku, produk dan konsumen kayu rakyat. Pada aspek Kelembagaan

variabel-variabel yang dianalisis meliputi lembaga pengurusan sumberdaya,

lembaga usaha dan peran pemerintah dalam pembangunan hutan rakyat.

Variabel-variabel yang dianalisis terkait aspek produksi, pengolahan, dan

kelembagaan dilakukan dengan metode triangulasi, yaitu suatu teknik

pengambilan data yang dilakukan dengan proses-proses sebagai berikut, yaitu 1)

29

wawancara: untuk mendapakan informasi dari para pihak yang terlibat dalam

pengembangan hutan rakyat, 2) kajian pustaka atas aturan-aturan dan laporan

yang tersedia, 3) selanjutnya melakukan observasi di lapangan. Jadi ke tiga cara

tersebut di atas dilakukan secara iteratif untuk mendapatkan data dan informasi

yang valid. Secara detail data dapat diperoleh dengan cara:

Membandingkan data hasil pengamatan dan data hasil wawancara.

Membandingkan apa yang dikatakan orang tentang usaha pengembangan

hutan rakyat.

Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat

dan pandangan orang.

Membandingkan hasil wawancara dengan isi dokumen yang berkaitan.

Pada aspek pemasaran dilakukan analisis kualitatif untuk mengkaji

organisasi pasar yang ditunjang oleh informasi, data, dan pengamatan di lapang.

Hal ini dimaksud untuk mengetahui sistem pemasaran yang terdiri dari sruktur

pasar dan perilaku pasar dalam pemasaran kayu rakyat. Analisis ini bertujuan

untuk mengidentifikasi faktor-faktor dalam keseluruan rantai pemasaran dari

tingkat petani sampai pada industri untuk mengetahui peluang dan tantangan

pemasaran kayu hutan rakyat ke depan.

Pada penelitian ini, yang menjadi fokus kajian kelembagaan untuk aspek

produksi, pemasaran, dan pengolahan, yaitu :

1. Lembaga Pengurusan Sumber daya. Pada aspek ini hal-hal yang dianalisis

terkait dengan perlu dibentuknya lembaga tersebut, agar dapat membantu

petani mengatasi kendala-kendala yang dihadapai di lapangan dalam usaha

kayu rakyat.

2. Lembaga Usaha. Pada aspek ini hal-hal yang dinalisis terkait dengan ada

tidaknya lembaga usaha yang telah dibentuk di tingkat petani. Lembaga

tersebut dapat berfungsi sebagai media komunikasi antar petani dalam usaha

hutan rakyat yang meliputi aspek produski, pemasaran, dan pengolahan.

3. Peran Pemerintah Daerah. Pada aspek ini hal-hal yang dianalisis terkait

dengan peran Pemda dalam pengembangan hutan rakyat. Bagaimana dengan

hubungan kemitraan yang sudah ada. Variabel yang akan dianalisis adalah

ketidaksepadanan informasi (Asymmetric Information) yaitu:

30

Bagaimanakah informasi peraturan perundang-undangan tentang

pengembangan hutan rakyat pada Stakeholder

Dalam perencanaan program hutan rakyat: Apakah masyarakat

mengetahui informasi dan ikut terlibat.

Pada pelaksanaannya: Apakah masyarakat memahami bagaimana proses

pengembangan hutan rakyat mulai dari persiapan lapangan, pembibitan,

pemanenan, dan penjualan.

Proses pengawasan dan pengendalian: Siapa yang melalakukan

pengawasan dan pengendalian, dan sejauh mana keterlibatannya.

Alat analisis yang digunakan selanjutnya dalam penelitian ini adalah

analisis SWOT. Identifikasi peubah-peubah strategis internal dan eksternal serta

pengaruhnya terhadap perkembangan hutan rakyat di Kabupaten Donggala

dijelaskan melalui analisis SWOT. Analisis ini pada dasarnya dilakukan dengan

cara penelusuran dan pengungkapan isu-isu strategis terkait pengembangan hutan

rakyat, yang selanjutnya akan dipakai sebagai dasar dalam penyusunan strategi

pengembangan hutan rakyat.

Analisis SWOT dilakukan dengan mengidentifikasi berbagai faktor secara

sistematis untuk merumuskan strategi (Rangkuti 2006). Analisis strategi

pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Donggala, meliputi 4 (empat) aspek

utama, yaitu produksi, pemasaran, pengolahan, dan kelembagaan usaha kayu

rakyat. Komponen-komponen yang telah diidentifikasi, dijadikan sebagai bahan

pertimbangan dalam melakukan analisis yang menerapkan kriteria sesuai dengan

data kuantitatif dan deskripsi keadaan.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis SWOT adalah sebagai

berikut:

a. Analisis matriks internal factor evaluation (IFE) dan external factor evaluation (EFE)

Penilaian internal factor evaluation (IFE) adalah untuk mengetahui sejauh

mana pengaruh internal yang dimiliki oleh petani hutan rakyat dengan cara

mendaftarkan semua kekuatan dan kelemahan. Penilaian external factor

evaluation (EFE) adalah untuk mengetahui sejauh pengaruh eksternal yang

31

berasal dari luar petani dengan cara mendaftarkan semua ancaman dan peluang.

Hasil dari kedua identifikasi faktor tersebut menjadi faktor penentu dalam

pemberian bobot dan peringkat atau rating.

b. Penentuan Bobot Setiap Variabel

Penentuan bobot dilakukan dengan jalan mengajukan identifikasi faktor

strategis internal dan eksternal. Penentuan bobot setiap variabel menggunakan

skala 1, 2, 3,dan 4 (David 2002) yaitu:

1 : jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal

2 : jika indikator horizontal sama penting dengan indikator vertikal

3 : jika indikator horizontal lebih penting daripada indikator vertikal

4 : jika indikator horizontal sangat penting dibandingkan indikator vertikal

Bentuk pembobotan faktor strategis internal dapat dilihat pada Tabel 1 dan bentuk

pembobotan faktor strategis eksternal dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1 Penilaian bobot internal factor evaluation (IFE)

Faktor Strategi Internal K1 K2 K3 ... N Total Bobot

A ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... B ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... C ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... .... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... N ..... ..... ..... ..... ..... ..... .....

Total ..... .....

Sumber: David, 2002.

Tabel 2 Penilaian bobot external factor evaluation (EFE)

Faktor Strategi Eksternal K1 K2 K3 ... N Total Bobot

A ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... B ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... C ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... .... ..... ..... ..... ..... ..... ..... ..... N ..... ..... ..... ..... ..... ..... .....

Total ..... .....

Sumber: David, 2002.

Bobot setiap variabel diperoleh dengan menentukan nilai setiap variabel terhadap

jumlah nilai keseluruhan variabel dengan menggunakan rumus:

32

Keterangan: ia : bobot variabel ke-i

ix : nilai variabel ke-i i : 1, 2, 3, ......... n (faktor internal) i : 1, 2, 3, ......... n (faktor eksternal) n : jumlah variabel

c. Penentuan Peringkat atau Rangking

Penentuan peringkat/rangking merupakan pengukuran terhadap pengaruh

masing-masing variabel, yang menggunakan nilai peringkat dengan skala 1-4

terhadap faktor strategis yang dimiliki usahan kayu rakyat. Skala pemberian nilai

peringkat matriks IFE untuk faktor kekuatan sebagai berikut:

1 = kekuatan yang kecil 3 = kekuatan yang besar

2 = kekuatan sedang 4 = kekuatan yang sangat besar

Selanjutnya untuk faktor kelemahan sebagai berikut:

1 = kelemahan yang sangat berarti 3 = kelemahan yang kurang berarti

2 = kelemahan yang cukup berarti 4 = kelemahan yang tidak berarti

Skala pemberian nilai peringkat matriks EFE untuk faktor peluang sebagai

berikut:

1 = peluang rendah, respon kurang 3 = peluang tinggi, respon di atas rata-rata

2 = peluang sedang, respon rata-rata 4 = peluang sangat tinggi, respon superior

Selanjutnya untuk faktor ancaman sebagai berikut:

1 = ancaman sangat besar 3 = ancaman sedang

2 = ancaman besar 4 = ancaman kecil

Kemudian nilai dari pembobotan dikalikan dengan peringkat pada setiap

faktor. Selanjutnya, semua hasil kali tersebut dijumlahkan secara vertikal untuk

memperoleh total skor pembobotan yang berkisar antara 1-4. Jika total skor

pembobotan IFE dibawah 2.5, maka hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi

internal lemah. Sebaliknya, jika berada di atas 2.5 maka menunjukan kondisi

internal adalah kuat. Matriks IFE dapat dilihat pada Tabel 29 dan 31.

33

Matriks EFE digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor lingkungan

eksternal dengan melakukan klasifikasi terhadap peluang dan ancaman. Total skor

pembobotan EFE berkisar antara 1-4 dengan rata-rata 2.5. Apabila total skor

pembobotan EFE dibawah 2.5, maka hal tersebut menyatakan bahwa kondisi

eksternal lemah. Sebaliknya jika berada diatas 2.5, menunjukan bahwa kondisi

eksternal adalah kuat. Matriks EFE dapat dilihat pada Tabel 32 dan 34.

Tabel 3 Contoh matriks SWOT IFE EFE

STRENGHTS (S) WEAKNESS (W) S1 W1 S2 W2 Dst Dst

OPPOTUNITIES (O) STRATEGI S-0 STRATEGI W-O O1 (Strategi menggunakan (Strategi meminimalkan O2 Kekuatan untuk Kelemahan untuk Dst memanfaatkan peluang) memanfaatkan peluang) THREATHS (T) STRATEGI S-T STRATEGI W-T T1 (Strategi menggunakan (Strategi meminimalkan T2 Kekuatan untuk Kelemahan untuk Dst mengatasi ancaman) menghindari ancaman)

Sumber : David, 2002

Strategi-strategi tersebut diatas selanjutnya diurutkan menurut rangking

berdasarkan jumlah skor unsur-unsur penyusunnya, sebagaimana disajikan pada

Tabel 4.

Tabel 4 Contoh penyusunan rangking strategi analisis SWOT

Unsur Kekuatan/Stenght (S) Kelemahan/Weaknesses (W)

Peluang/Opportunities (O) ......... .........

Ancaman/Threath (T) ......... .........

Sumber: David, 2002

d. Pembuatan Tabel Rangking Alternatif Strategi

Jumlah dari skor pembobotan menentukan rangking prioritas strategi

dalam pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Donggala. Jumlah skor adalah

penjumlahan semua skor dari setiap faktor-faktor strategis yang terkait. Rangking

ditentukan berdasarkan urutan jumlah skor terbesar sampai dengan terkecil yang

menjadi alternatif rencana strategi.

34

Strategi yang dihasilkan merupakan suatu keputusan teknis yang didesain

untuk mencapai tujuan yang realistis dalam jangka panjang. Keputusan yang

dihasilkan pada tingkat tertinggi atau pemerintah diharapkan didukung oleh

tingkat terbawah atau masyarakat, sehingga pelaksanaannya tidak merugikan

salah satu pihak yang terlibat didalamnya. Strategi-strategi yang dibangun

diharapkan tidak menimbulkan dampak negatif bagi petani sebagai mitra

pemerintah, melainkan sebaliknya dapat membawa peluang bagi pengembangan

hutan rakyat yang dapat menjamin kontiunitas pengembangan hutan rakyat, yang

secara ekonomis dapat meningkatkan pendapatan petani dan secara ekologis dapat

mencegah kerusakan lingkungan. Pada Tabel 5 dapat dilihat contah tabel

penentuan rangking.

Tabel 5 Contoh tabel penentuan rangking alternatif rencana strategi No Unsur SWOT Keterkaitan Jumlah skor Rangking

STRATEGI S-O 1 SO1 S1, S2, ......., Sn ........... ........... O1, O2, ......, On ........... ........... 2 SO2 S1, S2, ......., Sn ........... ........... O1, O2, ......, On ........... ........... STRATEGI S-T 3 ST1 S1, S2, ......., Sn ........... ........... T1, T2, ......, Tn ........... ........... 4 ST2 S1, S2, ......., Sn ........... ........... T1, T2, ......, Tn ........... ........... STRATEGI S-O 5 WO1 W1, W2, .......,

Wn ........... ...........

O1, O2, ......, On ........... ........... 6 WO2 W1, W2, .......,

Wn ........... ...........

O1, O2, ......, On ........... ........... STRATEGI S-O 7 WT1 W1, W2, .......,

Wn ........... ...........

T1, T2, ......, Tn ........... ........... 8 WT2 W1, W2, .......,

Wn ........... ...........

T1, T2, ......, Tn ........... ...........

Sumber: David, 2002.

Setelah dilakukan analisis SWOT, maka diharapkan akan adanya suatu

strategi pengembangan usaha kayu rakyat di Kabupaten Donggala. Hal ini perlu

35

disesuaikan dengan keinginan masyarakat dan kebijakan pemerintah setempat,

misalnya melalui peraturan dan keputusan kepala pemerintahan setempat.

3.4 Definisi Operasional

Pada suatu proses penelitian di lapangan, umumnya konsep-konsep yang

sudah diterjemahkan menjadi satuan yang lebih operasional berupa variabel,

biasanya belum sepenuhnya dapat diukur. Karena itu diperlukan suatu definisi

operasional yang merupakan suatu unsur penelitian untuk memberitahukan

bagaimana caranya mengukur suatu variabel (Efendi 1989). Dengan demikian

definisi operasional merupakan petunjuk operasional dalam melakukan penelitian

di lapangan, yang memberitahu bagaimana cara mengukur variabel-variabel yang

telah ditentukan. Definisi operasional merupakan suatu informasi ilmiah yang

amat membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama.

Karena itu pada Tabel 6 diuraikan tentang variabel, definisi operasional,

parameter pengukuran dan keterangan yang menjadi fokus perhatian pada

penelitian ini.

Tabel 6 Variabel, definisi operasional, parameter pengukuran, dan keterangan penilaian pada aspek produksi, aspek pemasaran, aspek pengolahan, dan aspek kelembagaan

Variabel Definisi Operasional Parameter Pengukuran

Keterangan Penilaian

1. Sub Sistem Produksi Struktur tegakan Jumlah dan jenis pohon

yang tumbuh di atas lahan responden

< 400 pohon 400-800 pohon > 800 pohon

1) Rendah 2) Sedang 3) Tinggi

Potensi tegakan Upaya pengemb. Hutan rakyat

Perkiraan potensi pohon berdiri yang dinyatakan dalam satuan meter kubik (m³/ha) Pemanfaatan lahan yang ada untuk penanaman jenis tertentu yang sesuai dengan agroklimat wilayah setempat

< 0.10 m³/ha. 0.10-0.20 m³/ha. > 0.20 m³/ha. < 51000 ha 51000-10200 ha >10200 ha

1) Rendah 2) Sedang 3) Tinggi 1) Rendah 2) Sedang 3) Tinggi

2. Sub Sistem Pemasaran Pola pemasaran Bentuk saluran pemasaran

kayu rakyat dari petani 1 pola 2 pola

1)Efisien 2)Kurang

36

sampai konsumen akhir 3 pola efisien 3)Tidak

efisien

Struktur pasar Kekuatan penawar dan pembeli dalam pasar kayu hutan rakyat yang mempengaruhi harga pasar

< 2 orang 2-5 orang > 5 orang

1)Monopsoni atau

2)Oligopsoni

Perilaku pasar Perilaku yang dianut petani dalam adaptasi atau penyesuaian terhadap harga pasar

< 12 orang 10-24 orang > 24 orang

1)Kurang efisien

2)Cukup efisien

3)Efisien 3. Sub Sistem Pengolahan Industri kayu Jumlah industri yang

menerima bahan baku kayu bulat dari hutan rakyat untuk diolah menjadi barang jadi atau setengah jadi

< 2 buah 2-4 buah > 4 buah

1) Kurang 2) Sedang 3) Banyak

Tingkat persediaan bahan kaku

Jumlah volume bahan baku kayu rakyat yang dapat dibeli oleh industri kayu per bulan

< 580 m³ 580-1160 m³ > 1160 m³

1) Kurang 2) Sedang 3) Banyak

Produk dan Konsumen

Jenis dan jumlah produk yang dihasilkan untuk dijual (m³/bulan)

< 3000 m³ 3000-6000 m³ > 6000 m³

1) Kurang 2) Sedang 3) Banyak

4. Sub Sistem Kelembagaan Lembaga pengurusan sumberdaya

Ada/tidaknya lembaga pengurusan hutan rakyat dan bagaimana perannya dalam memajukan hutan rakyat

Ada Belum

1) Efektif 2) Tidak efektif

Lembaga Usaha Ada/tidaknya lembaga usaha yang dapat memberikan bantuan modal kepada petani

Ada Belum

1) Efektif 2) Tidak efektif

Peran pemerintah Peran pemerintah khususnya dalam pengembangan hutan rakyat

Aktif Pasif

1) Efektif 2) Tidak efektif

37

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak dan Luas Wilayah

Kabupaten Donggala memiliki wilayah seluas 10.471.71 km² dan secara

administratif memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

a. Sebelah Utara : Kabupaten Toli-Toli dan Kabupaten Sigi;

b. Sebelah Selatan : Provinsi Sulawesi Barat;

c. Sebeleah Timur : Kabupaten Parigi Moutong;

d. Sebelah Barat : Selat Makassar;

Kabupaten Donggala memiliki iklim tropis, dengan ketinggian wilayah

berkisar 0 m dpl sampai dengan 750 m dpl. Kelembaban udara rata-rata sekitar

78%, curah hujan bulanan berkisar antara 29 mm sampai dengan 456 mm dengan

temperatur minimum 22.3˚c dan maksimum 35.1˚c (BPS Kabupaten Donggala

2009).

Topografi wilayah Kabupaten Donggala di bagian barat tanahnya terdiri

dari rawa-rawa dan payau yang dipengaruhi oleh pasang surut. Vegetasinya

berupa tumbuhan palmae, jenis api-apian dan bakau. Makin ke bagian utara

merupakan daerah dataran rendah. Lebih ke dalam wilayah daerahnya semakin

bergunung-gunung.

4.2 Keadaan Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2009, jumlah

penduduk pada Kabupaten Donggala sekitar 483.066 jiwa yang terdiri atas laki-

laki sebanyak 241.280 jiwa dan perempuan sebanyak 241.786 jiwa. Tingkat

kepadatan penduduk sebesar 46 jiwa/km². Pada umumnya masyarakat di

Kabupaten Donggala telah mengenyam pendidikan di bangku sekolah mulai dari

Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT) dengan tingkat pendidikan

tertinggi pada level Strata 2 (S2). Sesuai dengan data dari BPS Kabupaten

Donggala (2009), tingkat pendidikan masyarakat dengan persentase tertinggi,

yaitu SD (31.40%) dan terendah S1 dan S2 (4.7%). Selanjutnya komposisi

penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Kabupaten Donggala seperti pada

Tabel 7.

38

Tabel 7 Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan

No Tingkat pendidikan Jumlah (orang) Persentase (%) 1 Tidak Sekolah 47.340 9.80 2 Tidak Tamat SD 23.477 4.86 3 Tamat SD 151.683 31.40 4 Tamat SMP 130.911 27.10 5 Tamat SMA 82.314 17.04 6 Diploma 24.636 5.10 7 S1 dan S2 22.704 4.70 Jumlah 483.066 100

Sumber: BPS Kabupaten Donggala, 2009.

Mata pencaharian masyarakat Kabupaten Donggala sebagian besar sebagai

petani dan lainnya adalah pengusaha jasa, pedagang, PNS, POLRI, TNI, nelayan

dan sebagainya. Laju pertumbuhan ekonomi berdasarkan pertumbuhan PDRB riil

pada tahun 2009 mencapai 7.20%. Selengkapnya seperti pada Tabel 8 di bawah

ini.

Tabel 8 Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Donggala tahun 2009

No Sektor Persentase pertumbuhan (%) 1 Keuangan, persewaan dan jasa persewaan 11.47 2 Listrik dan air bersih 8.20 3 Perdagangan, hotel dan restoran 8.09 4 Angkutan dan komunikasi 7.97 5 Bangunan 7.93 6 Jasa 7.75 7 Industri Pengolahan 7.57 8 Pertanian dan bahan galian 6.40 9 Bahan galian 5.85

Sumber: BPS Kabupaten Donggala, 2009.

Tabel 8 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang positif terjadi

pada sembilan sektor tersebut dengan pertumbuhan ekonomi yang terbesar pada

sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan yang mencapai mencapai

11.47%, sedangkan terendah pada sektor bahan galian dengan angka pertumbuhan

sebesar 5.85%. Peranan sektoral yang paling besar dalam PDRB Kabupaten

Donggala adalah sektor pertanian yang mencapai hampir separuh dari keseluruan

PDRB, yaitu sebesar 49.27% (BPS Kabupaten Donggala 2009).

39

Masyarakat yang mendiami Kabupaten Donggala terdiri dari beberapa

etnis. Suku Kaili merupakan penduduk asli dan juga sebagai etnis mayoritas. Di

samping itu, etnis pendatang yang sudah lama berdomisili di Kabupaten Donggala

berasal dari Suku Bugis, Makassar, Toraja, Mandar, Jawa dan Minahasa.

Mayoritas penduduk beragama Islam 90.2%, Kristen Protestan 4.1%, Katholik

3.2%, Hindu 0.4% dan Budha 0.1% (BPS Kabupaten Donggala 2009).

4.3 Aksesibilitas

Hubungan transportasi antar wilayah di Kabupaten Donggala umumnya

dilakukan melalui darat. Hal ini tidak menjadi kendala yang berarti dalam

penyaluran/pemasaran hasil hutan ke daerah lain, karena kondisi jalur transportasi

darat saat ini dapat dijangkau dengan mudah dan baik, sebagai akibat dari

pengembangan wilayah.

Jarak antara ibu kota Kabupaten Donggala dengan ibu kota Provinsi

Sulawesi Tengah sekitar 36 km. Sedangkan jarak antara ibu kota Kabupaten

Donggala dengan ibu kota kecamatan dalam wilayah Kabupaten Donggala

disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Jarak antara ibu kota kabupaten dengan ibu kota kecamatan

Dari Ibu Kota Kabupaten

Ke Kecamatan/Ibu Kota Kecamatan

Jarak Tempuh Melalui Darat (km)

Banawa Rio Pakawa/Lalundu Banawa/Gunung Bale Banawa Tengah/Limboro Banawa Selatan/Watatu Labuan/Labuan Sindue/Toaya Sirenja/Tompe Balaesang/Tambu Damsol/Sabang Sojol/Balukang Tanantovea/Wani Pinembani Sindue Tambosabora/Tibo Sindue Tabolata/Alindao Balaesang Tanjung/Malei Sojol Utara/Ogomas 2

205 0 21 47 53 70

120 141 182 228 50

121 85

101 165 243

Sumber: BPS Kabupaten Donggala, 2009.

40

4.4 Pola Penggunaan Lahan

Pola penggunaan lahan di Kabupaten Donggala bervariasi menurut

peruntukannya masing-masing. Sesuai dengan data dari BPS (2009) penggunaan

lahan tersebut meliputi kawasan hutan negara, hutan rakyat, pekarangan, lahan

kering, sawah, lahan perkebunan, tambak dan kolam, penggunaan lainnya dan

lahan tidur. Pola penggunaan lahan di Kabupatn Donggala seperti pada tabel 10.

Tabel 10 Luas wilayah berdasarkan pola penggunaan lahan

No Jenis Penggunaa Lahan Luas (ha) Persentase (%) 1 Hutan Negara 1.026.332.00 57.26 2 Hutan Rakyat 103.254.20 5.76 3 Pekarangan 6.385.00 0.36 4 Lahan kering 150.582.00 8.40 5 Sawah 144.113.45 8.04 6 Perkebunan 70.942.89 3.96 7 Tambak dan kolam 3.125.50 0.17 8 Penggunaan lain 280.409.00 15.65 9 Lahan tidur 7.111.00 0.40

Jumlah 1.792.255.04 100.00

Sumber: BPS Kabupaten Donggala, 2009

Tabel di atas menunjukkan bahwa terdapat luas lahan potensial yang dapat

dimanfaatkan untuk pengembangan hutan rakyat, yaitu lahan kering seluas

150.582.00 ha (8.40%) dan lahan tidur sebesar 7.111.00 ha (0.40%). Apabila

lahan-lahan tersebut dapat dimanfatkan secara maksimal untuk pengembangan

hutan rakyat, maka akan dapat membantu dalam pemenuhan bahan baku industri

kayu di Kabupaten Donggala di masa depan.

4.5 Kondisi Hutan Rakyat Secara Umum di Kabupaten Donggala

Kawasan hutan di Donggala berdasarkan peruntukannya dibagi menjadi 2

bagian, yaitu: 1) kawasan lindung yang terbagi atas Kawasan Pelestarian Alam

(KPA), dan Hutan Lindung (HL); 2) kawasan budidaya yang terdiri atas Hutan

Produksi Terbatas (HPT), Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi Konversi (HPK),

dan Areal Penggunaan Lain (APL). Peruntukan kawasan hutan dan non kawasan

hutan berdasarkan fungsi dan luasannya masing-masing seperti ditunjukkan pada

Tabel 11.

41

Tabel 11 Luas kawasan hutan dan peruntukannya di Kabupaten Donggala

No Fungsi hutan Luas Hektar (ha)

Persen (%)

A 1 2

B 3 4 5

Kawasan Lindung Kawasan Suaka Alam/ Kawasan Pelestarian Alam Hutan Lindung Kawasan Budidaya Hutan Produksi Terbatas Hutan Produksi Hutan Produksi Konversi

133.104.15

215.807.18

277.844.87 13.150.27 24.794.48

12.97

21.03

27.07 1.27 2.42

6 Non Kawasan Hutan/APL 361.631.05 35.24 Total 1.026.332.00 100

Sumber: Dinas Provinsi Sulawesi Tengah, 2010.

Pemanafaatan lahan masyarakat di Kabupaten Donggala didominasi oleh

kebun (tegal), pekarangan dan sawah. Luas hutan hak/rakyat yang terdapat di

Donggala sekitar 103.281 ha (Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten

Donggala 2010). Hutan rakyat/hak di Donggala dibedakan dalam 2 (dua) bentuk,

yaitu: 1) hutan rakyat/hak yang tumbuh secara alami di atas lahan milik, dan 2)

hutan rakyat/hak yang ditanam oleh masyarakat di lahan milik. Hutan rakyat yang

ditanam di lahan milik pengembangannya dilakukan secara swadaya dan melalui

kegiatan gerhan. Asal-usul hutan rakyat/hak dan luasannya masing-masing seperti

ditunjukkan pada Tabel 12.

Tabel 12 Luas hutan rakyat/hak berdasarkan asal-asulnya

No Asal-usul hutan rakyat Luasan Hektar (Ha)

Persentase(%)

1

2 3

Tumbuh secara alami

Hutan rakyat swadaya Hutan rakyat gerhan

100.000

56 3.225

96.82

0.05 3.12

Total 103.281 100

Sumber: Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab. Donggala (diolah), 2010.

Tabel 12 menunjukkan bahwa luas hutan rakyat/hak yang tumbuh secara

alami di atas lahan masyarakat lebih luas, bila dibanding dengan luas hutan rakyat

hasil budidaya secara swadaya oleh masyarakat, dan luas hutan rakyat hasil

program Gerhan oleh pemerintah. Hutan rakyat yang tumbuh secara alami pada

42

lahan milik masyarakat terdapat pada Kawasan Budidaya Non Kehutanan

(KBNK) atau APL (Areal Penggunaan Lain) yang telah dibebani alas titel berupa

Surat Keterangan Pemilikan Tanah (SKPT) yang dikeluarkan oleh Camat

setempat.

Berdasarkan asal-usul terbentuknya hutan rakyat sebagaimana yang

terdapat pada Tabel 12 di atas maka vegetasi berkayu yang tumbuh di atas lahan

milik masyarakatpun berbeda-beda. Pada areal hutan rakyat yang struktur

tegakannya tumbuh secara alami umumnya dapat dikelompokan menjadi 2

kelompok besar, yaitu kelompok jenis meranti dan kelompok rimba campuran.

Pengelompokan kayu yang tumbuh secara alami di atas lahan milik masyarakat

didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 163/Menhut-

II/2005, tanggal 26 Mei 2003. Maksud pengelompokan jenis tersebut untuk

mempermudah dalam pengenaan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana

Reboisasi (DR) yang tujuannya adalah untuk mengamankan hak-hak negara atas

hasil hutan. Hutan rakyat yang tumbuh secara alami di lahan masyarakat seperti

pada Gambar 3.

Gambar 3 Hutan rakyat/hak yang tumbuh secara alami di lahan masyarakat

Lahan masyarakat yang ditanami pohon-pohon umumnya letaknya

terpisah-pisah dengan luasan yang bervariasi. Jenis-jenis pohon yang ditanam oleh

masyarakat baik secara swadaya maupun melalui kegiatan gerhan, yaitu jati,

sengon, gmelina, durian dan ebony. Jenis-jenis tersebut ada yang ditanam pada

suatu lokasi bersamaan dengan jenis-jenis tanaman pertanian (agroforestry) dan

43

ada juga yang ditanam secara monokultur, yaitu jenis jati. Di samping itu, pada

lahan masyarakat yang ditumbuhi jenis-jenis pohon secara alami umumnya

berupa lahan perkebuanan coklat. Jenis-jenis pohon yang tumbuh secara alami di

atas lahan milik masyarakat seperti ditunjukkan pada Tabel 13.

Tabel 13 Jenis pohon yang tumbuh secara alami di lahan milik petani No Jenis Pohon

Nama Perdagangan Nama Ilmiah 1 Meranti Shorea spp 2 Nyatoh Palaquium spp 3 Palapi Heritiera spp 4 Mangga Hutan Mangifera sp 5 Tabang Litsea sibayanensis 6 Kedondong Hutan Spondias sp 7 Durian Durio carinatus 8 Bayur Pterospermum sp 9 Dara-dara Eugenia sp

10 Lita-Lita Koordersiodenron pinnatum 11 Tapi-tapi Melia Koetjape 12 Andolia Cananga odorata 13 Kume Planconela mollucana 14 Lengaru Alstonia scholaris 15 Ketapang Hutan Terminalia spp 16 Unga-unga Podocarpus sp 17 Binuang Octomeles sp 18 Siuri Solenocarpus philipinensis

Sumber: BP2HP XIV Palu (diolah), 2010.

Tabel 16 menunjukkan bahwa pada lahan milik masyarakat terdapat 18

jenis kayu yang tumbuh secara alami. Tegakan yang tumbuh pada lahan

masyarakat meliputi 4 jenis dari kelompok meranti (18.8%) dan 14 jenis lainnya

dari kelompok rimba campuran (81.82%). Hal ini berarti tegakan yang tumbuh

secara alami pada lahan milik masyarakat umumnya didominasi oleh jenis-jenis

rimba campuran.

4.7 Kondisi Industri Pengolahan Kayu

Industri Pengolahan Hasil Hutan Kayu (IPHHK) yang saat ini terdaftar di

Kabupaten Donggala berjumlah 15 unit. Berdasakan kapasitas terpasang dibagi

menjadi 2 kelompok, yaitu industri dengan kapasitas >2000 m3 s/d 6000 m3

(industri menengah ke atas) sebanyak 2 unit dan industri dengan kapasitas <2000

m3 (industri menengah ke bawah) sebanyak 13 unit. Jumlah, jenis, dan kapasitas

terpasang dari masing – masing industri kayu seperti ditunjukkan pada Tabel 14.

44

Tabel 14 Nama industri, jenis, dan kapasitas terpasang

No Nama Perusahaan Jenis dan Kapasitas Izin (m³) Kayu Gergajian

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

PT. Laju Lancar Lestari UD. Mandiri CV. Sojol Jaya CV. Al-Munawarah CV. Indosul Harmoni CV. Celindo Cemerlang CV. Kaili Tovea Indah CV. Cahaya Taviora CV. Bahtera Abadi UD. Pratama Lestari CV. Cahaya Arti CV. Sabar Jaya Sentosa CV. Bakti Jaya Utama PT. Tatehe Nusa Jaya UD. Mardiana

2.200 6.000 1.000 1.500 1.500 1.500 1.000 500 1.000 900 1.000 1.000 1.000 1.300 1.500

Jumlah Total 21.600.00

Sumber: BP2HP XIV Palu, 2010.

Tabel 14 menunjukkan bahwa IPHHK dengan kapasitas terpasang > 2000

m3 s/d 6000 m3 sebesar 13.3% dan kapasitas < 2000 m3 sebesar 86.7%. Hal ini

menunjukkan bahwa di Kabupaten Donggala jumlah industri kecil lebih banyak

dibandingkan dengan industri menengah ke atas. Berdasarkan total kapasitas

terpasang yang ada, maka setiap tahun IPHHK membutuhkan pasokan bahan baku

kayu sebesar 43.200.00 m3

Berdasarkan Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI), pasokan

bahan baku industri pengolahan kayu di Kabupaten Donggala pada tahun 2009

dari Hutan Alam sebanyak 920 m

/tahun, dengan asumsi rendemen kayu sebesar 50%.

3/tahun. Selanjutnya pasokan kayu dari hutan

rakyat/hak sebanyak 10.725.26 m3/tahun (Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi

Tengah 2010). Jadi Total pasokan bahan baku sebesar 11.645.26 m3/tahun.

Sementara total kebutuhan bahan baku mencapai 43.200.00 m3/tahun. Dengan

demikian masih terdapat kesenjangan bahan baku kayu sebesar 31.554.74

m3

Karena itu untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya industri kayu yang

masih beroperasi melakukan pengurangan pemenuhan bahan baku sesuai target

produksi yang direncanakan dalam RPBBI. Di samping itu, untuk tetap beroperasi

/tahun.

45

maka umumnya industri juga membeli kayu dari luar kabupaten. Selanjutnya,

antar industri kayu yang ada harus bersaing dalam pemenuhan bahan bakunya. Ke

depan kekurangan bahan baku kayu bulat bagi industri kayu yang tersebar di

Kabupaten Donggala dan Kota Palu dapat dipenuhi, apabila lahan-lahan potensial

yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal untuk pengembangan hutan rakyat.

Skenario pemanfaatan lahan tidur yang ada di Kabupaten Donggala selanjutnya

dijelaskan pada bab hasil dan pembahasan dengan tema: “upaya pengembangan

hutan rakyat”.