strategi konservasi kukang jawa

54
STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA (Nycticebus javanicus É. Geoffroy, 1812) DI PULAU JAWA ALFIYANTI SHOLIHAH PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2021 M/1442 H

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

(Nycticebus javanicus É. Geoffroy, 1812) DI PULAU JAWA

ALFIYANTI SHOLIHAH

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2021 M/1442 H

Page 2: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

(Nycticebus javanicus É. Geoffroy, 1812) DI PULAU JAWA

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

ALFIYANTI SHOLIHAH

11160950000039

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2021 M/1442 H

Page 3: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

(Nycticebus javanicus É. Geoffroy, 1812) DI PULAU JAWA

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

ALFIYANTI SHOLIHAH

11160950000039

Menyetujui:

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Fahma Wijayanti, M.Si Narti Fitriana, M.Si

NIP. 19690317 200312 2 001 NIDN. 0331107403

Mengetahui,

Ketua Program Studi Biologi

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Dr. Priyanti, M.Si

NIP. 19750526 200012 2 001

Page 4: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

PENGESAHAN UJIAN

Skripsi berjudul “Strategi Konservasi Kukang Jawa (Nycticebus javanicus É.

Geoffroy, 1812) di Pulau Jawa” yang ditulis oleh Alfiyanti Sholihah, NIM

11160950000039 telah diuji dan dinyatakan LULUS dalam sidang Munaqosyah

Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta pada tanggal 4 Juni 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) Program Studi Biologi..

Menyetujui:

Penguji I, Penguji II,

Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si Dr. Dasumiati, M.Si

NIP. 19720322 200212 2 002 NIP. 19730923 199903 2 002

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Fahma Wijayanti, M.Si Narti Fitriana, M.Si

NIP. 19690317 200312 2 001 NIDN. 0331107403

Mengetahui,

Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Program Studi Biologi

Nashrul Hakiem, S.Si., M.T., Ph.D Dr. Priyanti, M.Si

NIP. 197106082005011005 NIP. 19750526 200012 2 001

Page 5: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH

BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN

SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI

ATAU LEMBAGA MANAPUN.

Jakarta, Juni 2021

Alfiyanti Sholihah

11160950000039

Page 6: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

vi

ABSTRAK

Alfiyanti Sholihah. Strategi Konservasi Kukang Jawa (Nycticebus javanicus

É. Geoffroy, 1812) di Pulau Jawa. Skripsi. Program Studi Biologi. Fakultas

Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2021. Dibimbing oleh Fahma Wijayanti dan Narti Fitriana.

Nycticebus javanicus merupakan satwa endemik Pulau Jawa dengan kategori

Critically Endangered IUCN dan Appendix I CITES. Seiring berjalannya waktu

populasi kukang jawa terus menurun akibat berbagai tekanan, sehingga strategi

konservasi kukang jawa diperlukan dalam upaya konservasinya agar tercipta

populasi kukang jawa yang stabil di habitat alaminya. Tujuan penelitian ini adalah

membuat rumusan strategi konservasi kukang jawa di Pulau Jawa melalui analisis

dari penelitian-penelitian kukang jawa yang telah dilakukan. Metode penelitian

yang digunakan berupa studi literatur dengan mengumpulkan literatur mengenai

kukang jawa, membaca, mencatat, dan mengolah bahan penelitian dengan cara

analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan distribusi kukang jawa hanya

terdapat pada 4 Provinsi di Pulau Jawa yaitu Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah,

dan Jawa Timur. Sebagian besar kukang jawa di habitat alaminya tersebar di

kawasan non konservasi, permasalahan yang ditemukan adalah adanya gap

vegetasi pada habitat, tingkat keberhasilan pelepasliaran kukang jawa masih

rendah, pakan di kandang yang kurang sesuai dengan kebutuhan nutrisinya, dan

kelemahan hukum yang berlaku dalam membantu konservasi kukang jawa.

Sehingga perlu diciptakan kawasan (konservasi/non) yang ramah terhadap kukang

jawa, pengembangan ekowisata berbasis kukang jawa, pergantian menu pakan

yang sesuai kebutuhan nutrisinya, edukasi kepada pemburu dan penjual, serta

penegakkan hukum yang tegas.

Kata kunci: kukang jawa, pulau jawa, pustaka, strategi konservasi

Page 7: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

vii

ABSTRACT

Alfiyanti Sholihah. Conservation Strategy for the Javan Slow Loris

(Nycticebus javanicus É. Geoffroy, 1812) in Java. Undergraduate Thesis.

Department of Biology. Faculty of Science and Technology. State Islamic

University Syarif Hidayatullah Jakarta. 2021. Advised by Fahma Wijayanti

and Narti Fitriana.

Nycticebus javanicus is an endemic species of Java Island with the category of

Critically Endangered IUCN and Appendix I CITES. As time goes by, the Javan

slow loris population continues to decline due to various pressures, so that a

Javan slow loris conservation strategy is needed in its conservation efforts to

create a stable Javan slow loris population in its natural habitat. The purpose of

this study was to formulate a conservation strategy for the Javan slow loris in

Java Island through an analysis of the studies of the Javan slow loris that have

been conducted. The research method used is a literature study by collecting

literature on the Javan slow loris, reading, taking notes, and processing research

materials employing descriptive analysis. The results showed that the distribution

of the Javan slow loris was only found in 4 provinces on the island of Java,

namely Banten, West Java, Central Java, and East Java. Most of the Javan slow

lorises in their natural habitat are scattered in non-conservation areas, the

problems found are the presence of vegetation gaps in the habitat, the success

rate of release of the Javan slow loris is still low, feed-in cages that are not per

their nutritional needs, and the weakness of applicable laws in assisting slow loris

conservation. Java. So it is necessary to create (conservation/non) areas that are

friendly to the Javan slow loris, develop ecotourism based on Javan slow lorises,

change the diet according to their nutritional needs, educate hunters and sellers,

and enforce strict laws.

Keywords: conservation strategy, java island, javan slow loris, references

Page 8: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

viii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirahim

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT yang selalu memberikan nikmat

dan rahmat-Nya serta ilmu yang sangat luas sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “Strategi Konservasi Kukang Jawa

(Nycticebus javanicus É. Geoffroy, 1812) di Pulau Jawa”. Skripsi ini disusun

sebagai salah satu syarat untuk mengerjakan skripsi S-1 di Program Studi Biologi,

Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis

mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam

penyusunan skripsi ini, antara lain kepada:

1. Nashrul Hakiem, S.Si, M.T., Ph.D selaku Dekan Fakultas Sains dan

Teknologi.

2. Dr. Priyanti, M.Si selaku Ketua Program Studi Biologi Fakultas Sains dan

Teknologi, serta dosen penguji seminar proposal dan seminar hasil yang telah

memberikan saran bagi penulis.

3. Dr. Fahma Wijayanti, M.Si dan Narti Fitriana, M.Si selaku dosen pembimbing

skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan saran bagi penulis.

4. Khohirul Hidayah, M.Si selaku dosen penguji seminar proposal dan seminar

hasil yang telah memberikan saran bagi penulis.

5. Dr. Megga Ratnasari Pikoli, M.Si dan Dr. Dasumiati, M.Si selaku dosen

penguji sidang skripsi.

6. Mistaji, S.E dan Sandra Wati, S.Pd selaku kedua orang tua penulis yang selalu

sabar dan memberikan dukungan bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi.

7. Bang Meidiyanto selaku alumni Biologi yang turut membantu serta

memberikan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

8. Semua pihak yang berkenan membantu penulis dalam menyelesaikan

pembuatan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga niat baik

semua pihak yang terlibat mendapatkan balasan yang berlipat ganda dari Allah

SWT. Amin.

Page 9: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

ix

Penulis mengerahkan kemampuan terbaik dalam pembuatan skripsi ini

sehingga berikut adalah karya yang dapat penulis persembahkan. Tetapi penulis

meyakini tidak ada yang sempurna di dunia ini selain-Nya, sehingga tidak

menutup kemungkinan masih terdapat kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu,

penulis mengharapkan adanya saran dan kritik membangun dari pembaca. Penulis

berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan

umumnya para pembaca.

Jakarta, Juni 2021

Penulis ..

Page 10: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

x

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ............................................................................................................. vi

KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xii

DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang.......................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 2

1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 2

1.4. Manfaat Penelitian .................................................................................... 2

1.5. Kerangka Berpikir .................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 4

2.1. Kukang Jawa ............................................................................................ 4

2.1.1. Distribusi dan Habitat 6

2.1.2. Pakan 6

2.2. Status Konservasi dan Strategi Konservasi .............................................. 7

BAB III METODE PENELITIAN ........................................................................ 12

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ................... Error! Bookmark not defined.

3.2. Rancangan Penelitian ............................................................................. 12

3.3. Cara Kerja ............................................................................................... 12

3.4. Analisis Data .......................................................................................... 13

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 14

4.1. Karakteristik kukang jawa ...................................................................... 14

4.2. Ekologi kukang jawa .............................................................................. 15

4.3. Konservasi in situ ................................................................................... 24

4.4. Konservasi ek situ................................................................................... 27

4.5. Penegakan Hukum .................................................................................. 31

Page 11: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

xi

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 33

7.1. Kesimpulan ............................................................................................. 33

7.2. Saran ....................................................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 34

Page 12: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian strategi konservasi kukang jawa

di Pulau Jawa......................................................................................... 3

Gambar 2. Kukang jawa (Nycticebus javanicus) .................................................... 4

Gambar 3. Pantulan cahaya berwarna jingga .......................................................... 5

Gambar 4. Struktur kategori RedList IUCN ............................................................ 7

Gambar 5. Prediksi distribusi kukang jawa........................................................... 15

Gambar 6. Peta distribusi kukang jawa di Pulau Jawa.......................................... 17

Gambar 7. Pemanfaatan ruang horizontal dan vertikal oleh kukang jawa.

a) dekat batang pohon; b) bagian tepi pohon; c) atas tajuk; d)

bawah tajuk ......................................................................................... 21

Gambar 8. Perbedaan perilaku harian dalam skala mikrohabitat di Cipaganti. .... 23

Gambar 9. Bekas gigitan kukang yang berada di dalam kandang ........................ 28

Page 13: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Kepadatan populasi kukang jawa pada tipe habitat berbeda ................... 17

Tabel 2. Lokasi tidur kukang jawa ........................................................................ 19

Tabel 3. Pohon pakan kukang jawa....................................................................... 20

Tabel 4. Variasi pakan kukang jawa ..................................................................... 22

Page 14: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

1

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kukang jawa (Nycticebus javanicus É. Geoffroy, 1812) merupakan satwa

endemik di Pulau Jawa, hasil survei sebelumnya melaporkan bahwa kukang jawa

ditemukan di kawasan konservasi seperti Taman Nasional Ujung Kulon, Taman

Nasional Gunung Halimun Salak, Taman Nasional Gunung Gede Pangrango,

Gunung Slamet, Gunung Dieng, Gunung Masigit Kareumbi, Taman Nasional

Meru Betiri, Gunung Putang, Gunung Tilu, Gunung Simpang, dan Gunung Sawal

(Arismayanti, 2014; Lehtinen, 2015; Nekaris, Pambudi, Susanto, Ahmad, &

Nijman, 2014; Reinhardt, Wirdateti, & Nekaris, 2016; Rosidah, Santoso, &

Zayadi, 2019; Voskamp et al., 2014; Wirdateti, Aziza, & Handayani, 2019;

Wirdateti, Dahrudin, & Sumadijaya, 2010). Kukang jawa juga ditemukan di

daerah non-konservasi seperti pada talun di Cipaganti, Tasikmalaya, Ciamis, dan

Sumedang (Putri, 2014; Widiana, Sulaeman, & Kinasih, 2013; Winarti, 2011).

Berkembangnya teknologi membuat informasi mengenai kukang untuk

dijadikan hewan peliharaan mulai tersebar melalui media sosial (Withaningsih et

al., 2019). Ketertarikan yang tinggi untuk memelihara kukang membuat

perdagangan ilegal terus meningkat, hal tersebut sejalan dengan perburuan liar

yang ikut meningkat untuk memenuhi permintaan konsumen. Selain itu

penurunan populasi kukang jawa didukung oleh deforestasi dan perubahan

penggunaan lahan.

Saat ini kukang jawa menduduki status Critically Endangered (IUCN) dan

Appendix I (CITES). Kukang jawa juga termasuk ke dalam ’25 primata paling

terancam punah di dunia 2014–2016’ versi IUCN. Perlindungan terhadap kukang

jawa di Indonesia juga sudah diatur di dalam peraturan Menteri Lingkungan

Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia nomor P.106/MENLHK/SETJEN/

KUM.1/12/2018. Status kukang sebagai primata yang paling terancam punah serta

dilindungi secara hukum tidak membuat populasi kukang jawa membaik, hal ini

ditandai dengan perubahan status konservasi dari endangered menjadi critically

Page 15: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

2

2

endangered pada tahun 2013 menurut IUCN. Kukang jawa yang merupakan

predator pertama dalam rantai makanan memiliki peran penting di dalam

ekosistem, yaitu membantu menyeimbangkan populasi serangga, membantu

penyebaran dan penyerbukan tumbuhan (Nekaris et al., 2017).

Banyaknya ancaman bagi kukang serta kemampuan reproduksi kukang yang

rendah, membuat populasi kukang semakin menurun. Apabila tidak dilakukan

tindakan konservasi, penurunan populasi yang berkelanjutan dapat menimbulkan

kepunahan seiring berjalannya waktu. Dalam proses konservasi, diperlukan

strategi agar dapat dilakukan langkah yang tepat dalam proses tersebut, sehingga

penelitian ini diperlukan untuk membantu membentuk strategi konservasi kukang

jawa di Pulau Jawa, melalui berbagai kajian dari penelitian-penelitian yang telah

dilakukan.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah bagaimana rumusan strategi

konservasi kukang jawa di Pulau Jawa berdasarkan penelitian-penelitian yang

telah dilakukan?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan pada penelitian ini adalah membuat rumusan strategi konservasi

kukang jawa di Pulau Jawa melalui penelitian-penelitian yang telah dilakukan.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam proses

perencanaan strategi konservasi kukang jawa di Pulau Jawa, serta dapat menjadi

nilai tambah pengetahuan ilmiah dalam konservasi primata nokturnal.

Page 16: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

3

1.5. Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir dalam penelitian ini terdapat pada gambar 1.

Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian strategi konservasi kukang jawa di Pulau

Jawa

Kukang jawa

Pulau Jawa

Populasi menurun

Perlu dikonservasi

Karakteristik Ekologi Ancaman Konservasi

Studi literatur

Strategi konservasi kukang jawa

di Pulau Jawa

Page 17: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kukang Jawa

Lima spesies dari genus Nycticebus tersebar di benua Asia, yaitu Nycticebus

bengalensis, N. pygmaeus, N. coucang, N. menagensis, dan N. javanicus. Tiga

diantaranya ditemukan di Indonesia, yaitu N. coucang (kukang malaya), N.

menagensis (kukang borneo), dan N. javanicus (kukang jawa). Nycticebus

javanicus biasa dikenal sebagai javan slow loris atau kukang jawa merupakan

primata nokturnal yang termasuk ke dalam kingdom Animalia, filum Chordata,

kelas Mammalia, ordo Primates, famili Lorsidae, genus Nycticebus, dan

Nycticebus javanicus.

Gambar 2. Kukang jawa (Nycticebus javanicus) (Fransson, 2018)

Kukang jawa (Gambar 2) termasuk primata primitif yang bersifat nokturnal

(aktif di malam hari), arboreal (menghabiskan waktu di atas pohon), soliter, dan

quadrupedal (berjalan dengan empat alat gerak). Primata ini memiliki retikulum

khusus dalam tangan dan kakinya yang menghasilkan asam laktat sehingga

memungkinkan mereka untuk mencengkeram dahan pohon dengan tangan dan

kakinya selama berjam-jam (Nowak, 1999).

Kukang jawa memiliki warna rambut bervariasi yang menutupi seluruh

tubuhnya, mulai dari coklat muda hingga coklat tua dan sedikit warna putih,

Page 18: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

5

terdapat garis berwarna coklat tua di pangkal ekor hingga dahi, garis tersebut

bercabang ke mata dan telinga sehingga membentuk pola garpu (Groves, 2001).

Kukang jawa dikenal sebagai primata tak berekor karena panjang ekornya hanya

10–20 mm (Angeliza, 2014). Kukang jawa dewasa memiliki bobot tubuh paling

besar jika dibandingkan kukang sumatera dan kukang kalimantan, dengan berat

sekitar 750–1.150 g serta panjang tubuh sekitar 30 cm, sedangkan kukang remaja

dan infant masing-masing memiliki berat tubuh 250–750 g dan lebih ringan dari

250 g (Fransson, 2018; Rode-Margono, Nijman, & Nekaris, 2014).

Gambar 3. Pantulan cahaya berwarna jingga (Arismayanti, 2014)

Penelitian terhadap kukang jawa pada umumnya dilakukan pada malam hari

karena merupakan hewan nokturnal, sehingga mudah ditemukan apabila matanya

terkena sorot cahaya karena kukang memiliki tapetum lucidum yang akan

memantulkan cahaya berwarna jingga (Gambar 3) hingga jarak 200 m. Tapetum

lucidum merupakan lapisan bagian belakang retina yang sensitif terhadap cahaya,

lapisan ini membantu penglihatan kukang yang aktif di malam hari (Wiens, 2002).

Kukang memiliki 36 buah gigi, empat diantaranya disebut tooth comb, yang

terdiri dari empat gigi seri pada rahang bawah yang arah tumbuhnya lebih

horizontal, tooth comb berfungsi untuk menyisir rambutnya (grooming) dan

melukai batang pohon untuk mengeluarkan getahnya. Toilet claw merupakan

cakar kuku yang panjang di jari kedua pada alat gerak bagian belakang, toilet claw

juga digunakan untuk grooming (Ankel-Simons, 2007a).

Kukang juga memiliki rhinarium atau moncong (ujung hidung) yang selalu

lembap dan basah, rhinarium berfungsi untuk membantu daya penciumannya

dalam mengenali jejak bau yang ditinggalkan kukang lain. Kukang jawa memiliki

Page 19: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

6

kelenjar brakialis yang terdapat di bagian siku tangan, apabila kukang merasa

terancam akan mengeluarkan sekresi dan hasil sekresi tersebut berbahaya apabila

bercampur dengan saliva (Ankel-Simons, 2007b; Nekaris, 2014).

2.1.1. Distribusi dan Habitat

Distribusi kukang jawa hanya tersebar di Indonesia, tepatnya di Pulau Jawa.

Sebelumnya persebaran kukang jawa dianggap terbatas di bagian barat dan tengah

pulau, tapi hasil survei terbaru telah mengkonfirmasi kehadirannya di bagian

timur (Aryanti, Hartono, Ramadhan, & Pahrurrobi, 2018). Kukang jawa dapat

ditemukan di ketinggian 220 m dpl hingga 1.600 m dpl (Nekaris et al., 2014;

Winarti, 2011), pada tipe habitat yang bervariasi seperti hutan primer, hutan

sekunder, talun, agroforestri kopi, hutan lindung, maupun perkebunan

(Arismayanti, 2014; Pambudi, 2008; Putri, 2014; Sari, Budiadi, & Imron, 2020;

Winarti, 2011; Wirdateti, 2012).

Habitat kukang jawa memiliki kerapatan vegetasi yang cukup tinggi.

Kukang jawa di alam tidak membuat sarang untuk beristirahat, melainkan

menggunakan percabangan pohon sebagai lokasi tidur. Karakteristik lokasi tidur

kukang adalah tumbuhan dengan tutupan tajuk 68%, tinggi 10–22m, rata-rata

DBH 0,44 m, dan rata-rata jarak antar tumbuhan tingkat pohon terdekat 5,4 m,

TBC 8,99 m, dan keliling batang sebesar 1,39 m (Arismayanti, 2014; Nurcahyani,

2015).

2.1.2. Pakan

Kukang jawa merupakan hewan omnivora, lebih tepatnya primata

exsudatiovorus. Makanan kukang jawa di habitat alaminya adalah getah (70,24%),

nektar (16,67%), serangga (11,9%), dan bunga (1,19%) dengan konsumsi paling

tinggi terhadap getah. Kukang di alam juga mengkonsumsi telur burung, burung

kecil, buah-buahan, sadapan nira aren, getah karet (gum), moluska, daun, kulit

kayu, bambu, dan jamur (Nekaris et al., 2017; Nurcahyani, 2015; Rode-Margono

et al., 2014).

Berbeda dengan pakan di habitat alaminya, pola pakan di penangkaran telah

ditentukan oleh pengelolanya. Kukang jawa di pusat penyelamatan maupun

Page 20: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

7

penangkaran diberikan makan berupa duku, jangkrik, pisang, burung bulbul, kiwi,

ulat hongkong, kaki seribu, ngengat, telur ayam mentah, jeruk, anggur ungu, dan

susu formula bayi (Streicher, Wilson, Collins, & Nekaris, 2013).

2.2. Status Konservasi dan Strategi Konservasi

Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati dan Ekosistemnya, mendeskripsikan bahwa konservasi sumber daya alam

hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya

dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya

dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan

nilainya.

Status konservasi suatu spesies merupakan indikator kemungkinan spesies

tersebut terus bertahan hidup baik saat ini maupun di masa depan. Status

konservasi dapat dikeluarkan oleh pemerintah maupun suatu lembaga. Dua

lembaga yang menetapkan status konservasi dan digunakan secara global antara

lain IUCN (International Union for Conservation of Nature) dan CITES

(Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and

Flora).

Gambar 4. Struktur kategori RedList IUCN (IUCN, 2019)

Red List IUCN adalah indikator kritis kesehatan keanekaragaman hayati

dunia dengan memberikan informasi tentang jangkauan, ukuran populasi, habitat

Page 21: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

8

dan ekologi, penggunaan dan/atau perdagangan, ancaman, dan tindakan

konservasi yang akan membantu menginformasikan keputusan konservasi yang

diperlukan. IUCN menetapkan sembilan kategori status konservasi (Gambar 4)

(IUCN, 2019):

1. Extinct (EX), Takson Punah jika tidak ada keraguan yang masuk akal bahwa

individu terakhir telah mati. Takson dianggap punah ketika survei menyeluruh

di habitat yang diketahui dan/atau diharapkan, pada waktu yang tepat (diurnal,

musiman, tahunan), sepanjang rentang historisnya gagal mencatat individu.

Survei harus dilakukan dalam jangka waktu yang sesuai dengan siklus hidup

takson dan bentuk kehidupan.

2. Extinct In The Wild (EW), Takson Punah di Alam Liar jika diketahui hanya

bertahan hidup dalam budidaya, di penangkaran, atau sebagai populasi yang

dinaturalisasi jauh di luar rentang masa lalu. Takson dianggap punah di alam

liar ketika survei menyeluruh di habitat yang diketahui dan/atau diharapkan,

pada waktu yang tepat (diurnal, musiman, tahunan), sepanjang rentang

historisnya gagal mencatat individu. Survei harus dilakukan dalam jangka

waktu yang sesuai dengan siklus hidup takson dan bentuk kehidupan.

3. Critically Endangered (CR), Takson Sangat Terancam Punah jika bukti

terbaik yang tersedia menunjukkan bahwa ia memenuhi salah satu kriteria A

hingga E untuk Terancam Punah, dan oleh karena itu dianggap menghadapi

risiko kepunahan yang sangat tinggi di alam liar.

4. Endangered (EN), Takson Terancam Punah jika bukti terbaik yang tersedia

menunjukkan bahwa ia memenuhi salah satu kriteria A hingga E untuk

Terancam Punah, dan oleh karena itu dianggap menghadapi risiko kepunahan

yang sangat tinggi di alam liar.

5. Vulnerable (VU), Takson adalah Rentan jika bukti terbaik yang tersedia

menunjukkan bahwa ia memenuhi salah satu kriteria A hingga E untuk

Rentan, dan oleh karena itu dianggap menghadapi risiko kepunahan yang

tinggi di alam liar.

6. Near Threatened (NT), Takson Hampir Terancam bila telah dievaluasi

berdasarkan kriteria tetapi tidak memenuhi syarat untuk Terancam Punah, atau

Page 22: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

9

Rentan sekarang, tetapi mendekati kualifikasi atau kemungkinan memenuhi

syarat untuk kategori terancam dalam waktu dekat.

7. Least Concern (LC), Takson Sedikit Dikhawatirkan ketika telah dievaluasi

berdasarkan kriteria dan tidak memenuhi syarat untuk Terancam Punah,

Rentan, atau Hampir Terancam Punah. Takson yang tersebar luas dan

melimpah sering kali termasuk dalam kategori ini.

8. Data Deficient (DD), Takson Kekurangan Data ketika tidak ada informasi

yang memadai untuk membuat penilaian langsung, atau tidak langsung, risiko

kepunahannya berdasarkan distribusi dan/atau status populasinya. Takson

dalam kategori ini mungkin dipelajari dengan baik, dan secara biologis

diketahui dengan baik, tetapi data yang sesuai tentang kelimpahan dan/atau

distribusinya masih kurang. Oleh karena itu, Kekurangan Data bukanlah

kategori ancaman. Pencatatan taksa dalam kategori ini menunjukkan bahwa

lebih banyak informasi diperlukan dan mengakui kemungkinan bahwa

penelitian di masa mendatang akan menunjukkan bahwa klasifikasi terancam

sudah sesuai.

9. Not Evaluated (NE), Takson Tidak Dievaluasi bila belum dievaluasi terhadap

kriteria.

Lima kriteria yang ditetapkan oleh IUCN dalam menetapkan status

konservasi, diantaranya (IUCN, 2019):

1. Kriteria A, Pengurangan ukuran populasi (dulu, sekarang dan/atau

diproyeksikan).

2. Kriteria B, Ukuran jangkauan geografis, dan fragmentasi, beberapa lokasi,

penurunan atau fluktuasi.

3. Kriteria C, Ukuran dan fragmentasi populasi yang kecil dan menurun,

fluktuasi, atau sub populasi yang sedikit.

4. Kriteria D, Populasi sangat kecil atau distribusinya sangat terbatas.

5. Kriteria E, Analisis kuantitatif risiko kepunahan (misalnya, analisis kelayakan

populasi).

CITES merupakan kesepakatan internasional antar pemerintah yang

bertujuan untuk memastikan bahwa perdagangan internasional spesimen hewan

Page 23: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

10

dan tumbuhan liar tidak mengancam kelangsungan hidup mereka. Terdapat tiga

kategori status konservasi yang ditetapkan oleh CITES (CITES, 2015):

1. Appendix I, berisi daftar spesies yang paling terancam punah di antara hewan

dan tumbuhan yang terdaftar di CITES. CITES melarang perdagangan

internasional spesimen spesies ini kecuali jika tujuan impornya tidak untuk

komersial, misalnya untuk penelitian ilmiah. Dalam kasus-kasus luar biasa ini,

perdagangan dapat terjadi asalkan diizinkan oleh pemberian izin impor dan

izin ekspor (atau sertifikat ekspor ulang).

2. Appendix II, berisi daftar spesies yang sekarang tidak terancam punah tetapi

mungkin akan punah kecuali perdagangan dikontrol secara ketat. Ini juga

termasuk apa yang disebut "spesies yang mirip", yaitu spesies yang

spesimennya dalam perdagangan terlihat seperti spesies yang terdaftar untuk

alasan konservasi. Perdagangan internasional spesimen spesies Appendix-II

dapat disahkan dengan pemberian izin ekspor atau sertifikat re-ekspor. Tidak

ada izin impor yang diperlukan untuk spesies ini di bawah CITES (meskipun

izin diperlukan di beberapa negara yang telah mengambil tindakan yang lebih

ketat daripada yang disyaratkan CITES). Izin atau sertifikat hanya boleh

diberikan jika otoritas terkait yakin bahwa kondisi tertentu dipenuhi, di atas

semua itu perdagangan tidak akan merugikan kelangsungan hidup spesies di

alam liar.

3. Appendix III, berisi daftar spesies yang dimasukkan atas permintaan suatu

pihak yang telah mengatur perdagangan spesies dan yang membutuhkan kerja

sama negara lain untuk mencegah eksploitasi yang tidak berkelanjutan atau

ilegal. Perdagangan internasional spesimen spesies yang tercantum dalam

kategori ini hanya diperbolehkan dengan menunjukkan izin atau sertifikat

yang sesuai.

Status konservasi kukang jawa (N. javanicus) dalam Red List IUCN adalah

Sangat Terancam Punah (Critically Endangered), artinya memiliki resiko

kepunahan yang sangat tinggi di alam liar. Lain halnya dengan CITES yang

menetapkan seluruh spesies dari genus Nycticebus masuk ke dalam Appendix I.

Page 24: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

11

Strategi konservasi adalah pendekatan yang fokus pada konservasi sumber

daya makhluk hidup dan memberikan panduan kebijakan tentang bagaimana hal

ini dapat dilakukan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah

menetapkan strategi konservasi dalam Peraturan Direktur Jenderal Konservasi

Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor P.7/KSDAE-SET/2015 tentang

Rencana Strategis Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan

Ekosistem Tahun 2015-2019. UU No. 5 Tahun 1990 menetapkan tiga kegiatan

dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, antara lain:

1. Perlindungan sistem penyangga kehidupan;

2. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;

3. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Page 25: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

12

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah studi literatur dengan metode

pengumpulan data pustaka, membaca, mencatat, dan mengolah bahan penelitian.

Menggunakan sumber pustaka yang berkaitan dengan kukang jawa di Pulau Jawa,

dan sumber pustaka yang berkaitan dengan proses konservasi. Sumber pustaka

yang digunakan berupa e-book, web artikel, tesis, dan jurnal yang didapatkan

melalui kunjungan perpustakaan dan pencarian secara daring dengan

menggunakan kata kunci kukang jawa, javan slow loris, Nycticebus sp,

Nycticebus javanicus, konservasi, dan conservation.

3.2. Cara Kerja

Hasil penelitian kukang jawa ditelusuri melalui kunjungan pustaka secara

langsung dan pencarian daring melalui ScienceDirect, google scholar, dan

springerlink. Literatur yang telah dikompilasi, diperiksa keabsahannya, jurnal

dengan standar nasional minimal memiliki nilai sinta 4. Selanjutnya jurnal yang

telah sesuai standar kembali disaring berdasarkan kesesuaian isinya untuk

digunakan sebagai sumber literatur penelitian. Jurnal yang membahas mengenai

taksonomi, ekosistem, populasi, distribusi, perilaku, dan ancaman konservasi bagi

kukang jawa akan dipilih untuk dijadikan sebagai literatur.

Sebanyak 65 literatur memenuhi kriteria untuk dijadikan sumber literatur,

kriteria yang dibutuhkan antara lain literatur yang membahas mengenai kukang

jawa di Pulau Jawa. Literatur dirangkum, dicari permasalahan yang sekiranya

belum terjawab, selanjutnya dijawab atau diberikan solusi maupun saran melalui

analisis penulis yang didukung oleh literatur lainnya. Sehingga terbentuk rumusan

strategi konservasi bagi kukang jawa melalui studi literatur yang mencangkup

rencana, penetapan kawasan perlindungan, dan evaluasi terhadap konservasi

kukang jawa.

Page 26: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

13

Peta distribusi persebaran kukang jawa di habitat aslinya dibuat dengan

mengumpulkan titik koordinat perjumpaan kukang jawa dari beberapa literatur.

Titik koordinat yang telah didapatkan selanjutnya dirapikan dan disusun ke dalam

Microsoft Microsoft Excel dengan satuan koordinat geografi berupa Degree

Minute Second (DMS). File kumpulan titik koordinat perjumpaan kukang dengan

format excel diubah menjadi format shp menggunakan aplikasi ArcMap versi

10.8, selanjutnya peta Pulau Jawa yang didapatkan melalui website lapakgis.com

dengan format shp diinput ke dalam ArcMap versi 10.8, lalu ditambahkan layer

berupa file shp titik koordinat perjumpaan kukang jawa. Peta Pulau Jawa yang

telah dilengkapi dengan titik koordinat distribusi kukang jawa, ditambahkan

informasi judul peta, skala, arah mata angin, legenda, sumber peta, dan nama

author keterangan tambahan pada peta.

3.3. Analisis Data

Analisis dilakukan berdasarkan data sekunder yang berasal dari berbagai

literatur, pembagian literatur tersebut dikelompokkan berdasarkan topik

penelitian, yaitu: morfologi, genetik, dan ekologi untuk mempermudah analisis.

Hasil analisis data dikembangkan untuk membuat rencana strategi konservasi

kukang jawa.

Page 27: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

14

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Strategi konservasi merupakan cara yang digunakan untuk melestarikan

suatu spesies dari jalan menuju kepunahan dengan cara merancang strategi

tertentu untuk membuat spesies tersebut tetap hidup dengan populasi yang tidak

mengkhawatirkan. Strategi konservasi terhadap satwa secara langsung umumnya

dilakukan secara in situ dan ek situ, diikuti dengan konservasi secara tidak

langsung seperti memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai satwa yang

dikonservasi maupun proses penegakan hukum yang berlaku. Rencana konservasi

in situ dan ek situ harus saling terintegrasi agar proses konservasi kukang jawa

berjalan dengan maksimal. Dalam penyusunan strategi konservasi satwa

diperlukan ulasan mengenai spesies tersebut seperti taksonomi, distribusi,

populasi, habitat, pakan, perilaku, hingga ancaman bagi satwa tersebut.

4.1. Karakteristik kukang jawa

Sebelumnya kukang jawa memiliki nama ilmiah N. c. javanicus yang

merupakan subspesies dari Nycticebus coucang. Hingga pada tahun 2004 kukang

jawa ditetapkan sebagai spesies terpisah dengan nama Nycticebus javanicus

(Brandon-Jones et al., 2004). Penetapan kukang jawa menjadi spesies terpisah

dengan menimbang perbedaan morfologi dan genetik yang ada terhadap kukang

sumatera. Perbedaan kukang jawa dengan kukang sumatera dapat ditemukan

melalui pola garpu pada wajah kukang jawa, warna rambut kukang jawa yang

lebih gelap, serta ukuran tubuh kukang jawa yang lebih besar (Chen et al., 2006;

Nekaris & Jaffe, 2007; Nekaris & Munds, 2010). Selain itu populasi kukang di

Jawa dan Sumatera menunjukkan haplotipe yang berbeda berdasarkan gen

mitokondria 12S rRNA (Wirdateti, Okayama, & Kurniati, 2006).

Primata dari genus Nycticebus menjadi satu-satunya primata yang berbisa.

Kelenjar brakialis pada kukang jawa memproduksi eksudat yang jika bercampur

dengan saliva dapat menjadi racun. Racun yang terdapat pada tubuh kukang

digunakan untuk berburu, selain itu menjadi bentuk perlindungan diri dari

ektoparasit maupun kompetisi intraspesifik. Sebagian besar ektoparasit dari

Page 28: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

15

Famili Arthropoda mati akibat terkena campuran air liur dengan sekresi kelenjar

brakial kukang jawa, namun efektivitas racun dalam membunuh ektoparasit

tergantung kepada spesies Arthropoda dan individu kukang yang mengeluarkan

racun (Grow, Wirdateti, & Nekaris, 2015). Kompetisi intraspesifik pada kukang

jawa digunakan untuk melindungi wilayah dan pasangannya, kompetisi

intraspesifik yang terjadi hanya menimbulkan luka pada kukang jawa, namun

tidak menyebabkan kematian (Nekaris et al., 2020).

Menjadi satu-satunya primata yang berbisa dan populasinya selalu

menurun, analisis genetika kukang jawa telah dilakukan untuk membantu

konservasi kukang jawa supaya tidak terjadi kepunahan. Keragaman genetik

dilihat melalui control region (D-loop) mitokondrial DNA (mtDNA), hasil

analisis menunjukkan variasi genetik pada kukang jawa sangat rendah. Hanya

terdapat lima situs yang berbeda di antara individu (0,3%) dan populasi monomorf

sebanyak 42,69% (Wirdateti et al., 2019). Rendahnya variasi genetik pada kukang

jawa dapat menyebabkan terjadinya kepunahan pada spesies tersebut apabila

variasi genetik menurun secara berkelanjutan.

4.2. Ekologi kukang jawa

Habitat alami kukang jawa hanya terdapat di Indonesia khususnya Pulau

Jawa, sehingga hanya terdistribusi di Pulau Jawa. Hal ini membuat kukang jawa

menjadi yang lebih rentan terhadap aktivitas antropogenik dibandingkan dengan

dua spesies kukang lain yang ada di Indonesia. Gambar 5 menunjukkan prediksi

persebaran kukang jawa, warna abu-abu menunjukkan prediksi distribusi kukang

jawa tanpa membatasi ketinggian dan vegetasi, sedangkan warna hitam

menunjukkan prediksi distribusi sisa kukang jawa yang lebih pasti (Thorn,

Nijman, Smith, & Nekaris, 2009).

Gambar 5. Prediksi distribusi kukang jawa (Thorn et al., 2009)

Page 29: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

16

Persebaran kukang jawa menurut Red List IUCN hanya terdapat di daerah

Ujung Kulon. Namun penelitian lain yang telah dilakukan menunjukkan bahwa

kukang jawa tersebar di bagian Barat hingga Timur Pulau Jawa (Gambar 6).

Distribusi kukang jawa berada di dalam maupun di luar kawasan konservasi,

meliputi daerah Ujung Kulon, Kabupaten Lebak, Gunung Gede Pangrango,

Gunung Halimun Salak, Desa Cipaganti, Desa Dayeuh Luhur, Desa Kidang

Pananjung, Desa Sindulang, Talun Tasikmalaya dan Ciamis, Hutan Lindung

Kondang Merak/RPH Sumbermanjing Kulon, Meru Betiri, Gunung Tilu, Gunung

Simpang, Gunung Sawal, Cisokan, dan Hutan Kemuning (Arismayanti, 2014;

Aryanti et al., 2018; Jaya, 2016; Lehtinen, 2015; Nekaris et al., 2014; Nekaris,

2014; Pambudi, 2008; Putri, 2014; Sari et al., 2020; Triandhika, Salsabila,

Sukmaningrum, & Utami, 2020; Voskamp et al., 2014; Widiana et al., 2013;

Winarti, 2011; Wirdateti, 2012; Wirdateti et al., 2010).

Peta distribusi persebaran kukang jawa di Pulau Jawa hasil prediksi Thorn

et al. (2009) tidak berbeda jauh dengan peta yang dibuat dengan mengumpulkan

titik-titik koordinat perjumpaan kukang jawa di Pulau Jawa yang dikumpulkan

melalui berbagai sumber literatur. Kukang jawa paling banyak terdistribusi di

Provinsi Jawa Barat. Hal ini dapat disebabkan karena habitat yang sesuai untuk

kukang jawa dengan tingkat gangguan yang rendah maupun ramah terhadap

kukang jawa terdapat di Provinsi Jawa Barat. Kukang jawa dapat dijumpai pada

kawasan konservasi maupun non konservasi di Provinsi Jawa Barat.

Page 30: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

17

Gambar 6. Peta distribusi kukang jawa di Pulau Jawa

Setiap kawasan distribusi kukang jawa terdiri dari tipe habitat yang

berbeda. Terdapat perbedaan kepadatan populasi yang signifikan pada tipe habitat

yang berbeda. Tipe habitat talun sempurna menjadi habitat dengan kepadatan

populasi kukang jawa tertinggi (Tabel 1) dibandingkan dengan tiga tipe habitat

lain (talun kebun, hutan primer, dan hutan sekunder). Talun sempurna merupakan

habitat di luar kawasan konservasi, hal ini sejalan dengan penelitian Voskamp et

al. (2014) yang menyatakan bahwa sebanyak 86,5% kukang jawa ditemukan di

luar kawasan lindung seperti kawasan pertanian dan hutan tanaman dengan

kebisingan antropogenik dan penebangan yang tinggi, karena tersedianya pohon

pakan dan lokasi tidur yang cukup bagi kukang jawa di habitat tersebut.

Tabel 1. Kepadatan populasi kukang jawa pada tipe habitat berbeda (Pambudi,

2008; Winarti, 2011)

Tipe habitat Kepadatan populasi (individu/km2)

Hutan primer 4,29

Hutan sekunder 15,29

Talun kebun 24,03

Talun sempurna 28,24

Page 31: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

18

Perbedaan kepadatan populasi kukang jawa tidak hanya berbeda pada tipe

habitat, namun perbedaan tersebut juga terjadi pada tahun yang berbeda.

Kelimpahan populasi kukang jawa berbeda setiap tahunnya di Desa Dayeuh

Luhur. Pada tahun 2015 terdapat sebanyak 0,216 individu/ha dan menurun pada

tahun 2017 menjadi 0,133 individu/ha akibat terjadinya perburuan terhadap

kukang jawa yang tinggi, tahun selanjutnya pada 2018 kelimpahan populasi

kukang jawa mengalami peningkatan menjadi 0,200 individu/ha (Triandhika et

al., 2020).

Habitat hutan menjadi tempat tinggal yang sesuai bagi kukang jawa karena

jauh dari tempat beraktivitas manusia dan jauh dari kebisingan. Kukang jawa juga

memiliki karakteristik habitat dengan tutupan tajuk dan konektivitas yang tinggi

karena merupakan satwa arboreal yang menghabiskan sebagian besar waktunya

untuk beraktivitas di atas pohon, habitat yang terletak di lereng yang curam dan

tingkat gangguan habitat yang rendah juga disukai kukang jawa (Fransson, 2018;

Sodik, Pudyatmoko, Yuwono, & Imron, 2019b). Matriks hutan merupakan habitat

yang paling sesuai bagi kukang jawa di Kabupaten Temanggung, namun

perjumpaan kukang jawa di habitat dengan tingkat aktivitas manusia yang tinggi

maupun di dekat pemukiman seperti di daerah rencana pembangunan PLTA

Cisokan dan hutan Kemuning yang memilih hidup di dekat pemukiman karena

tersedia sumber pakan yang banyak (Ayundari, Megantara, Withaningsih,

Parikesit, & Husodo, 2017; Sodik, Pudyatmoko, Yuwono, & Imron, 2019a), area

pembangunan PLTA Cisokan dan agroforestri kopi menandakan terjadinya

adaptasi pada kukang jawa terhadap lingkungannya (Ardian & Haryono, 2018;

Ayundari et al., 2017; Sari et al., 2020). Meskipun habitat kukang jawa

sebelumnya harus jauh dari kebisingan aktivitas manusia, kini kukang jawa telah

beradaptasi dengan habitat yang digunakannya meskipun terdapat aktivitas

manusia di dalamnya, namun harus tersedianya lokasi tidur dan pohon pakan yang

cukup di habitat tersebut. Adaptasi kukang jawa di habitatnya merupakan salah

satu cara kukang jawa untuk bertahan hidup, sehingga perlu diciptakan area

garapan yang ramah terhadap satwa untuk membantu melestarikan kukang jawa.

Page 32: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

19

Pada umumnya satwa memilih habitat yang terdiri dari vegetasi yang dapat

memenuhi kebutuhan kukang jawa untuk bertahan hidup, seperti ketersediaan

lokasi tidur dan pohon pakan. Lokasi tidur (sleeping site) kukang jawa dapat

berupa bambu, pohon, dan liana. Tabel 2 menunjukkan spesies pohon yang

digunakan sebagai lokasi tidur oleh kukang jawa.

Tabel 2. Lokasi tidur kukang jawa (Arismayanti, 2014; Iqbal, 2011; Sari et al.,

2020; Winarti, 2011; Wirdateti, 2012)

Spesies Famili Lokasi

Arenga pinnata Arecaceae TTC

Pinanga coronata Arecaceae TNGHS

Aphananthe cuspidata Cannabaceae AK

Mallotus peltatus Euphorbiaceae TNGHS

Archidendron pauciflorum Fabaceae AK

Calliandra calothyrsus Fabaceae TNGHS

Quercus gemelliflora Fagaceae TNGHS

Millettia sericea Leguminosae TTC

Lagerstroemia speciosa Lythraceae TTC

Manglietia glauca Magnoliaceae TNGHS

Magnolia lilifera Magnoliaceae TNGHS

Melastoma malabathricum Melastomataceae TNGHS

Artocarpus elasticus Moraceae AK

Rhodamnia cinerea Myrtaceae TNGHS

Bambusa vulgaris Poaceae PC

Dendrocalamus asper Poaceae TTC

Gigantochloa apus Poaceae TTC, PC

G. pseudoarundinaceae Poaceae TTC. PC

G. gigantae Poaceae TTC

Gigantochloa atter Poaceae PC

Euodia latifolia Rutaceae TNGHS

Schima wallichii Theaceae TNGHS

Amomum lappaceum Zingiberaceae TNGHS Keterangan: TTC = Talun Tasikmalaya dan Ciamis, PC = Perkebunan Desa Cipaganti,

TNGHS = Hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak, AK = Agroforestri Kopi

Lokasi tidur kukang jawa didominasi dari Famili Poaceae, lebih tepatnya

berasal dari tumbuhan bambu. Hal ini karena bambu memiliki kerapatan yang

tinggi sehingga dapat melindungi kukang jawa dari bahaya ketika sedang istirahat.

Selain itu, Voskamp et al. (2014) juga mengungkapkan bahwa kelimpahan bambu

di sebuah transek mempengaruhi perjumpaan kukang jawa di habitat alaminya.

Page 33: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

20

Tersedianya pohon pakan menjadi salah satu faktor penting bagi kukang

jawa dalam memilih habitat. Selain berfungsi sebagai konektivitas, pohon pakan

dapat memenuhi kebutuhan primer makhluk hidup untuk melengkapi nutrisi yang

dibutuhkan oleh tubuh. Tabel 3 berisi spesies pohon pakan yang dimanfaatkan

oleh kukang jawa.

Tabel 3. Pohon pakan kukang jawa (Pambudi, 2008; Sari et al., 2020; Winarti,

2011; Wirdateti, 2012)

Spesies Famili Lokasi

Altingia excelsa

Altingiaceae B

Spondias pinnata

Anacardiaceae AK

Calamus sp.

Arecaceae B

Arenga pinnata

Arecaceae TTC

Aphananthe cuspidata

Cannabaceae AK

Carica papaya

Caricaceae PC

Garcinia dulcis

Clusiaceae PC

Garcinia celebica

Clusiaceae AK

Diospyros kaki

Ebenaceae PC

Macaranga rhizinoides

Euphorbiaceae B

Calliandra calothyrsus

Fabaceae B, PC

Paraserianthes falcataria

Fabaceae TTC

Parkia speciosa

Fabaceae TTC

Quercus lineata

Fagaceae B

Persea americana

Lauraceae PC

Sterculia urceolata

Malvaceae AK

Sandroricum koetjape

Meliaceae PC

Dysoxylum gaudichaudianum

Meliaceae AK

Swietenia mahagoni

Meliaceae TTC

Artocarpus heterophyllus

Moraceae PC, TTC, AK

Ficus sundaica

Moraceae AK

Ficus superba

Moraceae AK

Musa sp.

Musaceae PC

Musa paradisiaca

Musaceae TTC

Psidium guajava

Myrtaceae PC

Passiflora ligularis Passifloraceae PC

Pinus merkusii Pinaceae B

Eriobotrya japonica Rosaceae PC Keterangan: B = Hutan Bodogol, PC = Perkebunan Desa Cipaganti,

TTC = Talun Tasikmalaya dan Ciamis, AK = Agroforestri Kopi

Page 34: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

21

Artocarpus heterophyllus atau yang biasa dikenal dengan pohon nangka,

digunakan kukang jawa sebagai pohon pakan di tiga habitat yang berbeda.

Kukang jawa memanfaatkan getah pohon nangka untuk dikonsumsi. Kukang jawa

menggunakan pohon pakan untuk dimanfaatkan buah, bunga, daun, maupun

sebagai tempat mencari makanan berupa serangga. Pada setiap satu spesies

tumbuhan kukang jawa umumnya hanya memanfaatkan satu bagian dari

tumbuhan tersebut, baik daun muda, bagian mesocarp buah, maupun getah

(Francis Cabana, Dierenfeld, Wirdateti, Donati, & Nekaris, 2017).

Sebagian besar vegetasi yang dimanfaatkan oleh kukang jawa berada pada

tingkat tiang, dengan ukuran tubuh dan genggaman kukang jawa yang kecil

membuatnya menggunakan tipe substrat yang kecil pula. Kukang jawa

menggunakan tipe substrat ranting dan cabang berukuran 5–10 cm dalam

beraktivitas (Pambudi, 2008). Meski demikian, terdapat perbedaan antara jantan

dan betina dalam posisi memanfaatkan pohon secara vertikal dan horizontal.

Betina lebih banyak menggunakan bagian tepi pohon dan bawah tajuk untuk

beraktivitas, sedangkan jantan lebih banyak menggunakan bagian dekat batang

pohon dan atas tajuk (Sari et al., 2020).

Gambar 7. Pemanfaatan ruang horizontal dan vertikal oleh kukang jawa. a) dekat

batang pohon; b) bagian tepi pohon; c) atas tajuk; d) bawah tajuk (Sari

et al., 2020)

a b

c

d

Page 35: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

22

Tingginya kukang dalam mengkonsumsi getah membuat kukang

digolongkan menjadi primata exudativorous. Morfologi kukang jawa tidak seperti

hewan pemakan getah pada umumnya, karena kukang jawa tidak memiliki kuku

yang tajam untuk mencungkil lapisan batang pohon dan bertahan pada posisi

vertikal pada batang pohon. Namun kukang jawa memiliki tooth comb yang

terdiri dari gigi seri dan taring, digunakan untuk grooming dan mencungkil

lapisan batang pohon, selain itu morfologi tangan, tungkai, dan kakinya

digunakan untuk mempertahankan postur ketika mencungkil (Nekaris, Moore,

Rode, & Fry, 2013; Poindexter & Nekaris, 2017).

Konsumsi getah yang tinggi oleh kukang jawa disebabkan karena terdapat

kandungan serat terlarut pada getah, pakan dengan kandungan serat yang tinggi

sangat penting dalam fisiologi pencernaan kukang jawa, selain itu getah juga tidak

bersifat musiman sehingga kukang jawa tidak akan kekurangan sumber makan

pada musim tertentu. Demi memenuhi kebutuhan nutrisi lainnya, kukang jawa di

habitat alaminya juga mengkonsumsi pakan lain (Tabel 4) seperti serangga,

nektar, bunga, buah, dan daun muda.

Tabel 4. Variasi pakan kukang jawa (Francis Cabana et al., 2017; Romdhoni,

Komala, Sigaud, Nekaris, & Sedayu, 2018; Winarti, 2011)

Spesies Bagian yang dimakan Lokasi

Acacia decurrens Getah TC

Arenga pinnata Nira TTC

Artocarpus heterophyllus Buah, Getah TC, TTC

Calliandra calothyrsus Nektar TC

Diospyros kaki Buah TC

Eucalyptus spp. Bunga TC

Gigantochloa cf. atter Daun muda TC

Melaleuca leucadendra Bunga TC

Musa paradisiaca Nektar TTC

Paraseserianthes falcataria Getah TTC

Parkia speciosa Buah TTC

Serangga Seluruh bagian TC Keterangan: TC = Talun Desa Cipaganti, TTC = Talun Tasikmalaya dan Ciamis

Habitat perifer (tepi) sangat disukai oleh kukang jawa, karena bagian tepi

dan tengah hutan memiliki iklim mikro yang berbeda yang disebabkan oleh

Page 36: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

23

keberadaan angin dan cahaya matahari. Cahaya matahari dapat masuk hingga

lantai hutan pada bagian tepi sehingga suhu menjadi lebih hangat dan disukai oleh

hewan ektoterm seperti serangga dan reptil yang menjadi makanan kukang jawa.

Angin berperan dalam persebaran tumbuhan, sehingga vegetasi di tepi hutan dan

di tengah hutan akan berbeda (Pambudi, 2008). Kukang jawa memilih habitat

secara selektif dalam skala mikrohabitat. Sehingga perilaku yang berbeda juga

akan ditemukan pada mikrohabitat yang berbeda, seperti pada perbedaan

ketinggian habitat (Gambar 8).

Gambar 8. Perbedaan perilaku harian dalam skala mikrohabitat di Cipaganti

(Reinhardt et al., 2016)

Perbedaan iklim pada ketinggian berbeda seperti suhu dan kelembapan

membuat perbedaan vegetasi, kecepatan pertumbuhan pohon yang hidup pada

habitat tersebut, dan perbedaan energi yang dibutuhkan untuk mempertahankan

suhu tubuhnya. Pada habitat dengan ketinggian terendah, persentase perilaku

kukang jawa tertinggi pada bepergian dan terendah pada makan, sedangkan pada

habitat dengan ketinggian tertinggi, persentase perilaku kukang jawa tertinggi

pada mencari makan dan terendah pada istirahat. Tingginya perilaku mencari

makan pada ketinggian 1430–1570 m dpl berhubungan dengan tingginya %RH

yang menyebabkan aktivitas arthropoda meningkat, sehingga kukang jawa lebih

banyak menghabiskan waktu untuk mencari makan dan menurunkan aktivitas

istirahat (Reinhardt et al., 2016). Suhu dingin di ketinggian tertinggi

mempengaruhi vegetasi dan pertumbuhan bunga, menyebabkan berkurangnya

sumber pakan berupa nektar bunga dan membuat kukang jawa lebih banyak

menghabiskan waktunya untuk mencari makan dan bepergian (Reinhardt, 2015).

Perbedaan ketinggian habitat secara tidak langsung mempengaruhi perbedaan

05

1015202530

Istirahat Makan Mencarimakan

Bepergian

Pe

rsen

tase

(%

)

1275-1395 m dpl

1330-1479 m dpl

1430-1570 m dpl

Page 37: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

24

persentase jenis pakan yang dikonsumsi oleh kukang jawa akibat iklim yang

berbeda.

Primata nokturnal ini memulai aktivitasnya pada pukul 18.00 WIB atau

saat matahari terbenam, dan mengakhiri aktivitasnya pada pukul 06.00 WIB atau

saat matahari terbit. Kukang jawa akan mulai beraktivitas dengan menunjukkan

perilaku aktif, makan, mencari makan, dan menyelisik pada pukul 18.00–19.00

WIB. Selanjutnya perilaku makan kukang jawa meningkat pada pukul 20.00–

21.00 WIB dan menurun pada pukul 22.00–23.00 WIB. Setelah terjadi penurunan

perilaku makan kukang jawa, kukang jawa mencari makan selama pukul 01.00–

02.00 WIB untuk memenuhi cadangan energi ketika tidur di siang hari. Perilaku

aktif menurun pada pukul 05.00–06.00 WIB yang menandakan kukang sudah

mulai beristirahat (Hendrian, Hendrayana, & Supartono, 2020). Perilaku sosial

dan perilaku abnormal sangat jarang terjadi pada kukang jawa di habitat alaminya.

Perilaku abnormal meliputi mondar-mandir dan berputar di satu tempat, serta

memutar kepala (rolling head) (YIARI, 2013 dalam Angeliza, 2014).

4.3. Konservasi in situ

Konservasi in situ merupakan teknik konservasi di habitat alaminya, seperti

pada Taman Nasional Gunung Gede Pangrango yang menjadi salah satu habitat

dari kukang jawa. Rencana konservasi in situ memiliki tujuan jangka panjang

untuk meningkatkan populasi di habitat alaminya, agar tujuan tersebut dapat

tercapai diperlukan pengelolaan yang tepat bagi habitat kukang jawa. Peraturan

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Nomor

P.14/KSDAE/SET/KSA.1/12/2017 menetapkan bahwa evaluasi terhadap strategi

konservasi yang meliputi perubahan vegetasi, perilaku, luas jelajah, hingga

populasi kukang jawa harus dilakukan paling lama 5 tahun sekali.

Distribusi kukang jawa di habitat alaminya hanya tersebar di empat

provinsi Pulau Jawa yaitu Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Titik distribusi kukang jawa paling banyak tersebar di Provinsi Jawa Barat dan di

luar kawasan konservasi, khususnya talun dan perkebunan. Deforestasi hutan

yang tinggi membuat menurunnya populasi kukang jawa di habitat alaminya

(Higginbottom, Collar, Symeonakis, & Marsden, 2019). Selain itu sebesar 93,2%

Page 38: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

25

habitat yang sesuai bagi kukang jawa di Jawa Tengah berada di luar kawasan

lindung, karena kawasan konservasi dianggap kurang dapat mempertahankan

populasi kukang jawa (Sodik, Pudyatmoko, Yuwono, Tafrichan, & Imron, 2020).

Ancaman lain bagi kukang jawa di kawasan konservasi seperti pada tipe

habitat hutan adalah predasi. Predasi merupakan suatu interaksi antara predator

dengan mangsanya, dimana kucing kuwuk (Prionailurus bengalensis) dan macan

tutul (Panthera pardus melas) menjadi predator bagi kukang jawa. Peristiwa

predasi terjadi kepada masing-masing satu individu kukang jawa jantan dan betina

yang berhasil bertahan hidup selama 330 hari dan 90 hari di Gunung Sawal

setelah dilepasliarkan ke alam, namun kedua individu diduga dimangsa oleh

kucing kuwuk, ditandai dengan ditemukannya bagian tubuh kukang jawa berupa

tulang, rambut, dan organ dalam serta jejak kaki kucing kuwuk. Satu individu

jantan dan betina lain pun diduga dimangsa oleh macan tutul jawa saat masih di

dalam kandang habitat sementara di Gunung Sawal sebelum sempat

dilepasliarkan ke Gunung Sawal, ditandai dengan rusaknya kandang, hilangnya

kukang jawa dalam kandang, tanda cakaran dari macan tutul, jejak kaki macan

tutul, serta ditemukannya rambut macan tutul di permukaan dalam kandang

(Huda, Moore, & Sanchez, 2018). Predasi terhadap kukang jawa yang

dilepasliarkan akan menjadi masalah baru bagi kukang jawa, sehingga perlu

dilakukan kajian lokasi pelepasliaran yang tepat bagi kukang jawa agar proses

pelepasliaran kukang jawa tidak menjadi sia-sia. Tidak hanya menyesuaikan

dengan karakteristik habitat kukang jawa, lokasi pelepasliaran juga harus

mempertimbangkan keberadaan predator alami kukang jawa, agar upaya rencana

konservasi in situ untuk mempertahankan populasi kukang jawa di habitat

alaminya berjalan seperti yang diharapkan.

Tingginya perjumpaan kukang jawa di luar kawasan konservasi sangat

disayangkan jika tidak diperhatikan dan dijaga. Habitat yang terfragmentasi

memiliki gap pada vegetasinya, hal ini menjadi suatu masalah bagi kukang jawa

yang merupakan primata arboreal. Solusi dari keberadaan gap adalah membuat

kanopi alami dengan menanam pohon, atau membuat jembatan kanopi buatan.

Jembatan kanopi dapat dibuat dengan pipa air yang dililitkan ke kawat, atau

Page 39: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

26

dengan karet yang dililit kawat untuk menjaga stabilitasnya (Birot, Campera,

Imron, & Nekaris, 2020). Kukang jawa juga memanfaatkan bambu yang

digunakan untuk menyangga kebun labu siam sebagai jembatan untuk berpindah

tempat (Nekaris et al., 2017). Pembuatan jembatan kanopi menciptakan akses ke

area baru yang dapat dihuni, sumber pakan baru, dan mendorong penyebaran

(Birot et al., 2020). Konservasi satwa liar di luar kawasan lindung/konservasi juga

dapat dilakukan dengan cara pendekatan pengembangan ekowisata satwa liar

khususnya berbasis kukang, hal tersebut diharapkan mendukung konservasi

kukang jawa dan memberikan edukasi kepada masyarakat terhadap pentingnya

kukang jawa dalam suatu ekosistem, selain itu dapat mendorong perekonomian

masyarakat sekitar (Maccoll & Tribe, 2017).

Kawasan konservasi memiliki peluang yang lebih tinggi bagi kukang jawa

untuk hidup, merupakan tempat yang cocok dalam konservasi jangka panjang

bagi kukang jawa karena telah memiliki rencana pengelolaannya sendiri. Seperti

menegaskan batas kawasan konservasi, menjalankan hukum yang berlaku,

melakukan pengayaan vegetasi, mencegah terjadinya perburuan dan penebangan

liar, hingga melakukan pendekatan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar

kawasan konservasi. Kawasan konservasi juga kemungkinan memiliki tingkat

gangguan manusia yang lebih rendah jika dibandingkan habitat di luar kawasan

konservasi seperti perkebunan atau talun yang merupakan area garapan. Beberapa

proses reintroduksi atau pelepasliaran kukang jawa telah dilakukan di kawasan

konservasi seperti Suaka Margasatwa Gunung Sawal, hutan Telaga Bodas, hutan

lindung Kondang Merak, kawasan hutan konservasi Taman Nasional Gunung

Halimun Salak (TNGHS), dan lainnya (Gunawan, 2019; Hermansyah, 2019;

Rochman, 2017; Saudale, 2017; Widyaningrum, 2019).

Lokasi yang sesuai dengan habitat kukang jawa harus dijaga dengan baik,

habitat yang berada di kawasan konservasi maupun non konservasi. Terdapat

beberapa faktor yang paling sesuai bagi habitat kukang jawa, antara lain penutup

lahan berupa hutan, kerapatan vegetasi (70%), suhu (20–25°C), jarak pohon tidur

(0–250), kepadatan pakan (12–16 ind/ha), jarak dari jalan utama (>1000 m), dan

kelerengan (15–25%) (Ardian & Haryono, 2018; Robyantoro, 2014).

Page 40: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

27

4.4. Konservasi ek situ

Konservasi ek situ merupakan teknik konservasi di luar habitat alaminya,

seperti pada kebun binatang, taman safari, maupun tempat rehabilitasi. Kebun

binatang maupun taman safari diharapkan dapat membantu proses konservasi

dengan menjadi media informasi untuk edukasi dan kampanye konservasi kukang

jawa. Kukang jawa yang berada di konservasi ek situ dapat ditemukan di Pusat

Penyelamatan Satwa (PPS) Lampung, Yayasan International Animal Rescue

(IAR) Indonesia, Ciapus Primate Center (CPC), Penangkaran Mamalia Kecil,

Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi–LIPI, serta beberapa kebun binatang

dan taman safari seperti Kebun Binatang Ragunan, Batu Secret Zoo, dan Taman

Safari Prigen.

Southeast Asian Zoos and Aquariums Association (SEAZA) telah

menetapkan standar perawatan satwa di kebun binatang atau lembaga konservasi

untuk perlindungan kesejahteraan satwa. Standar perawatan satwa di dalam

kandang menurut SEAZA diantaranya, 1) kandang satwa harus dibuat sesuai

habitat alaminya dan tidak melebihi kapasitas kandang; 2) memiliki menu pakan

yang sesuai dan seimbang bagi setiap satwa; 3) melakukan pengayaan lingkungan

untuk mendorong perilaku normal dan meminimalisir perilaku abnormal; 4)

melakukan pemeriksaan dan perawatan kesehatan satwa secara teratur; dan 5)

menjaga kebersihan untuk mengurangi resiko penyebaran penyakit. Selain itu staf

yang bekerja harus memiliki kemampuan dalam penanganan dan kesejahteraan

satwa, hal positif yang dilakukan dapat membuat satwa bahagia dan menghindari

satwa dari perasaan takut dan tertekan (SEAZA, 2019).

Kukang jawa di dalam kandang biasanya lebih banyak diberi makan buah

dan sayur, karena keduanya mudah ditemukan dan tersedia sepanjang waktu.

Pemberian pakan berupa serangga juga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan

proteinnya. Pakan tambahan lainnya berupa merbah cerukcuk, telur ayam mentah,

dan susu formula (Streicher et al., 2013; Wahyuni, 2011). Pemberian pakan yang

didominasi dengan buah-buahan dapat memberikan dampak negatif bagi kukang

jawa terutama pada kesehatan mulut dan pencernaan, karena tingginya konsumsi

karbohidrat larut sedangkan kandungan mineral dan serat yang rendah (Cabana,

Page 41: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

28

Dierenfeld, Wirdateti, Donati, & Nekaris, 2017). Perbedaan pakan antara kukang

jawa liar dan yang berada di dalam kandang membuat perbedaan mikrobioma di

dalam usus keduanya. Keanekaragaman mikrobioma dalam usus kukang jawa di

penangkaran yang telah diberi pola makan seperti di alam lebih tinggi

dibandingkan kukang jawa liar, hal ini menunjukkan pentingnya pola makan

tinggi serat (Cabana et al., 2019). Pergantian pola makan yang didominasi oleh

buah dapat diganti dengan pola makan tinggi serat seperti getah arab (gum

arabic), serangga, dan sayuran perlu dilakukan untuk kesehatan mulut dan

pencernaan kukang jawa, mencegah terjadinya obesitas pada kukang jawa, serta

meminimalisir perilaku abnormalnya. Menurut Gray, Wirdateti, & Nekaris

(2015), pola pakan dengan rendah kalori dan tinggi energi juga dapat

mempengaruhi kesehatan gigi kukang jawa yang masih memiliki gigi dengan

lengkap.

Gambar 9. Bekas gigitan kukang yang berada di dalam kandang (Wahyuni, 2011)

Pemberian pakan sesuai pakan di habitatnya dapat memberikan dampak

positif bagi kukang jawa yang berperilaku abnormal. Perilaku abnormal dapat

ditemukan pada kukang jawa di penangkaran Ciapus Primate Center (CPC) yang

berasal dari hasil sitaan (Moore, Cabana, & Nekaris, 2015). Pemberian pakan

berupa eksudat dapat meminimalisir perilaku stereotip (abnormal) dari kukang

jawa, karena kukang jawa akan berperilaku seperti di habitat alaminya dengan

mencungkil menggunakan toothcomb dan mengkonsumsi eksudat pohon (Gray et

al., 2015). Meski tidak diberi makan eksudat, kukang jawa di PPS Lampung tetap

melakukan perilaku mencungkil meski tidak terdapat getah di batang pohon

Page 42: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

29

tersebut, perilaku mencungkil tersebut menghasilkan lubang berdiameter rata-rata

2,5 cm dengan kedalaman 0,6 cm (Streicher et al., 2013).

Pakan yang dikonsumsi kukang jawa di dalam kandang telah disediakan

oleh manusia, sehingga kukang jawa tidak dapat memilih pakan yang dia mau

seperti di habitat alaminya. Pemberian pakan tambahan berupa biskuit bertabur

gula, monkey chow, dan biskuit kentang di Penangkaran Mamalia Kecil, Bidang

Zoologi, Pusat Penelitian Biologi–LIPI memberikan dampak positif terhadap

pertumbuhan dan kebutuhan nutrisi kukang jawa. Biskuit dan monkey chow dapat

meningkatkan performa pertumbuhan kukang jawa, khususnya peningkatan bobot

tubuh pada kukang jawa yang masih dalam masa pertumbuhan (Farida, Astuti, &

Sari, 2014). Pemberian pakan berupa biskuit kentang juga dapat meningkatkan

asupan bahan kering, nutrisi dan energi yang dicerna (Farida, Sari, & Astuti,

2016).

Pusat rehabilitasi merupakan tempat singgah sementara bagi kukang jawa

yang berhasil diselamatkan dari perdagangan ilegal maupun serahan langsung dari

warga. Pusat rehabilitasi menjadi salah tempat konservasi ek situ, standar

pengelolaan konservasi ek situ yang terintegrasi dengan konservasi in situ telah

diterbitkan oleh IUCN mencangkup proses 3R, yaitu rescue, rehabilitation, dan

reintroduction. Yayasan International Animal Rescue (IAR) Indonesia juga telah

memiliki SOP (Standar Operasional Prosedur) dalam melakukan 3R tersebut.

Kukang jawa yang berhasil diselamatkan akan dilakukan pemeriksaan medis, jika

memiliki kecacatan akan direhabilitasi hingga memungkinkan untuk

dikembalikan ke habitat alaminya, sedangkan bagi yang sehat akan dimasukkan

ke tempat rehabilitasi untuk segera dikembalikan ke habitat alaminya (YIARI

dalam Aztianti, 2015).

Tidak semua kukang jawa yang berada di pusat rehabilitasi dapat

dikembalikan ke habitat alaminya. Sebagian besar kukang jawa (80%) hasil sitaan

memiliki gigi yang tidak sempurna (Moore et al., 2015). Pemotongan gigi depan

secara paksa pada kukang jawa dilakukan oleh pemburu maupun pedagang

dengan tujuan agar tidak membahayakan manusia ketika hendak dijadikan hewan

peliharaan, pemotongan gigi secara paksa dan tanpa obat bius dengan

Page 43: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

30

menggunakan gunting kuku, cutter, maupun tang (Nekaris et al., 2013; IAR,

2021). Kukang jawa yang tidak memiliki gigi yang sempurna kemungkinan besar

tidak dapat dikembalikan ke habitat alaminya. Hilangnya gigi kukang jawa

menyebabkan kukang jawa tidak bisa mengkonsumsi makanan berupa getah

maupun hewan kecil, hal ini karena kukang jawa tidak dapat mencungkil dengan

giginya dan tidak dapat menghasilkan racun untuk membuat mangsanya pingsan

(Sanchez, 2008).

Perdagangan ilegal dan gangguan antropogenik juga dapat memberikan

dampak negatif bagi kesehatan kukang jawa. Kukang jawa yang terinfeksi

ditemukan di pusat rehabilitasi. Infeksi ektoparasit berhasil ditemukan berupa

ruam, dan parasit gastrointestinal diantaranya cacing tambang (Necator spp.),

cacing kremi (Lemuricola spp.), dan Trichostrongylus berupa telur dan bentuk

dewasa (Rode-Margono, Albers, Wirdateti, & Nekaris, 2015).

Setelah dilakukan penyelamatan terhadap kukang jawa, selanjutkan akan

dilakukan rehabilitasi. Kegiatan rehabilitasi meliputi pemeriksaan medis secara

menyeluruh, perawatan satwa, pengayaan lingkungan, dan observasi perilaku.

Kukang yang memenuhi persyaratan untuk dilepasliarkan akan dimasukkan ke

kandang pre-habituasi dan dipasangkan collar, setelah kukang nyaman

menggunakan collar akan dipindahkan ke kandang habituasi (YIARI dalam

Aztianti, 2015).

Sebelum melakukan pelepasliaran ke habitat alaminya, perlu dilakukan

analisis mengenai habitat dan kesehatan kukang baik secara fisik maupun

psikologisnya, kukang harus berperilaku normal dengan minimal perilaku

stereotipik kurang dari 10%. Analisis habitat sebelum dilakukan pelepasliaran

diperlukan untuk mengetahui potensi lokasi tersebut sebagai tempat pelepasliaran.

Analisis tersebut meliputi kelimpahan kukang jawa, pohon pakan, dan lokasi

tidurnya, hal ini dilakukan untuk meminimalisir kompetisi intraspesifik pada

kukang jawa sebagai hewan teritori, selain itu agar kebutuhan kukang jawa dapat

terpenuhi dengan baik di alam. Proses monitoring dilakukan setelah kukang jawa

berhasil dilepasliarkan untuk memantau perkembangan adaptasi di habitat

alaminya. Monitoring meliputi data perilaku, pakan, tempat tidur, daerah jelajah,

Page 44: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

31

dan interaksi kukang. Kegiatan monitoring dilakukan hingga kukang

menunjukkan kondisi yang stabil, berperilaku normal, dan memiliki daerah jelajah

(YIARI dalam Aztianti, 2015).

4.5. Penegakan Hukum

Perdagangan ilegal menjadi salah satu permasalahan dalam penurunan

populasi kukang jawa di alam. Setelah perubahan status Nycticebus ke CITES I,

sudah jarang ditemukan perdagangan kukang di pasar terbuka, bahkan kenyataan

di lapangan dengan data yang dilaporkan berbeda. Umumnya pemburu

mengetahui bahwa kukang jawa merupakan satwa yang dilindungi, namun tidak

membuat perburuan liar yang dilakukan berhenti begitu saja (Nijman & Nekaris,

2014). Edukasi yang lebih mendalam tentang pentingnya kukang jawa di dalam

suatu ekosistem perlu dilakukan kepada pemburu maupun pedagang ilegal satwa

liar.

Tindakan penyitaan terhadap proses perdagangan ilegal merupakan salah

satu bentuk tindakan pemerintah dalam meminimalisir tingkat perdagangan ilegal

terutama pada satwa yang dilindungi. Indonesia telah memiliki regulasi yang jelas

dalam menangani perdagangan ilegal, hal ini ditunjukkan dengan bergabungnya

Indonesia menjadi anggota CITES dan menggunakan peraturan yang dibuat oleh

CITES untuk menangani, mengendalikan, dan mencegah terjadinya perdagangan

ilegal kukang jawa. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem menjadi dasar hukum untuk menindak

pelaku perdagangan ilegal dan menjadi salah satu cara Indonesia mematuhi aturan

CITES (Adi, 2017). Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Republik Indonesia Tahun 2018 nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/-

2018 tentang spesies satwa dan tumbuhan yang dilindungi, serta Fatwa MUI

Nomor 4 Tahun 2014 tentang pelestarian satwa langka untuk menjaga

keseimbangan ekosistem juga menjadi peraturan yang turut serta mendukung

dalam konservasi kukang jawa. Banyaknya hukum yang mendukung dalam

konservasi kukang jawa menandakan pemerintah sudah mengetahui keadaan

kukang jawa yang perlu dilindungi.

Page 45: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

32

Banyaknya peraturan yang berlaku masih belum berhasil dilaksanakan

sepenuhnya untuk menekan tindakan kriminal seperti perdagangan ilegal.

Maraknya aktivitas perdagangan ilegal dalam negeri, maupun untuk diekspor ke

berbagai negara dengan tujuan diperjualbelikan secara ilegal masih menjadi

masalah yang belum terselesaikan dalam proses konservasi kukang jawa (Adi,

2017). Sehingga perlu dilakukan kajian ulang terkait cara penegakkan hukum

yang berlaku serta menerapkan peraturan yang lebih ketat, hal ini bertujuan untuk

menekan angka perdagangan ilegal yang terjadi.

Sesuai dengan peraturan yang berlaku, terdapat hukuman bagi siapapun

yang melanggar. Hukum pidana bagi orang yang menangkap, melukai,

membunuh, memelihara, memiliki bagian tubuhnya, memperjualbelikan kukang

jawa baik hidup maupun mati mendapatkan pidana penjara 5 tahun dan denda

paling banyak Rp.100,000,000,-.

Disisi lain, keterbatasan pendanaan seringkali menjadi hambatan dalam

upaya konservasi. Pendanaan diperlukan dalam implementasi strategi konservasi

kukang jawa guna menjamin efektifitas pengelolaan konservasi kukang jawa.

Sumber pendanaan dapat berasal dari pemerintah, LSM, maupun swasta untuk

menjamin keberlangsungan proses konservasi kukang jawa baik secara in situ

maupun

Page 46: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

33

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

8.1. Kesimpulan

Kukang jawa memiliki karakteristik habitat yang paling sesuai dengan

kerapatan vegetasi yang tinggi, jarak lokasi tidur yang dekat, kepadatan pakan

tinggi, jauh dari jalan utama, kelerengan kelerengan 15–25%, serta suhu 20–25°C.

Perjumpaannya yang tinggi di kawasan non konservasi menjadi salah satu bentuk

adaptasi kukang jawa, sehingga perlu diciptakan lahan yang ramah terhadap

kukang jawa, pengembangan ekowisata berbasis kukang dapat membantu

mengedukasi masyarakat untuk turut serta dalam konservasi kukang jawa dan

dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar. Lokasi pelepasliaran

kukang jawa harus berjarak jauh dari predator alaminya supaya kukang jawa

memiliki kesempatan untuk beradaptasi dan hidup lebih lama di habitat alaminya.

Penerapan peraturan yang lebih tegas dan ketat, serta edukasi kepada pemburu

dan penjual dilakukan untuk menekan tingkat perburuan dan perdagangan ilegal

terhadap kukang jawa.

8.2. Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kepastian jumlah populasi

dan distribusi kukang jawa di Pulau Jawa, habitat yang baik bagi kukang jawa,

waktu serta lokasi pelepasliaran yang tepat bagi kukang jawa. Hal tersebut

dilakukan agar dapat terciptanya strategi dan rancangan aksi konservasi yang tepat

bagi kukang jawa.

Page 47: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

34

DAFTAR PUSTAKA

Adi, W. P. (2017). Implementasi CITES (convention on international trade in

endangered species of wild fauna and flora) dalam menangani perdagangan

kukang ilegal di Indonesia. Journal of International Relations, 3(4), 21–31.

Angeliza, R. (2014). Perilaku harian kukang jawa (Nycticebus javanicus E.

Geoffroy,1812) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Jawa Barat

(Skripsi). Biologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ankel-Simons, F. (2007a). Chapter 7 - Teeth. In F. Ankel-Simons (Ed.), Primate

Anatomy (Third Edition) (Third Edit, pp. 223–281).

https://doi.org/https://doi.org/10.1016/B978-012372576-9/50009-7

Ankel-Simons, F. (2007b). Primate Anatomy (3rd Editio). Retrieved from

https://www.elsevier.com/books/primate-anatomy/ankel-simons/978-0-12-

372576-9

Anne-Isola Nekaris, K., Moore, R. S., Rode, E. J., & Fry, B. G. (2013). Mad, bad

and dangerous to know: The biochemistry, ecology and evolution of slow

loris venom. Journal of Venomous Animals and Toxins Including Tropical

Diseases, 19(1), 1–10. https://doi.org/10.1186/1678-9199-19-21

Ardian, F., & Haryono, E. (2018). Karakteristik struktur ekologi bentanglahan

untuk kesesuaian habitat kukang jawa (Nycticebus javanicus) di Kabupaten

Temanggung. Jurnal Bumi Indonesia, 7(1), 1–10.

Arismayanti, E. (2014). Daerah jelajah dan penggunaan ruang kukang jawa di

Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Skripsi). Biologi, Institut Pertanian

Bogor, Bogor.

Aryanti, N. A., Hartono, N. A., Ramadhan, F., & Pahrurrobi. (2018). Hubungan

antara aktivitas manusia dan keberadaan kukang jawa (Nycticebus javanicus)

di Kawasan Hutan Lindung di RPH Sumbermanjing Kulon, Jawa Timur.

Journal of Tropical Biology, 6(3), 83–88.

https://doi.org/10.21776/ub.biotropika.2018.006.03.02

Ayundari, A., Megantara, E. N., Withaningsih, S., Parikesit, & Husodo, T. (2017).

Studi populasi kukang jawa (Nycticebus javanicus E. Geoffroy, 1812) dan

upaya perlindungan oleh masyarakat lokal di daerah rencana pembangunan

PLTA Cisokan, Jawa Barat. Biotika, 15(2), 21–29.

Aztianti, R. A. (2015). Keberhasilan pelepasliaran kukang jawa (Nycticebus

javanicus Geoffroy, 1812) ditinjau dari aspek aktivitas harian di Taman

Nasional Gunung Halimun Salak (Skripsi). Konservasi Sumber Daya Hutan

dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Page 48: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

35

Birot, H., Campera, M., Imron, M. A., & Nekaris, K. A. I. (2020). Artificial

canopy bridges improve connectivity in fragmented landscapes: The case of

Javan slow lorises in an agroforest environment. American Journal of

Primatology, 82(4), 1–10. https://doi.org/10.1002/ajp.23076

Brandon-Jones, D., Eudey, A. A., Geissmann, T., Groves, C. . P., Melnick, D. . J.,

Morales, J. C., … Stewart, C.-B. (2004). Asian Primate Classification.

International Journal of Primatology, 25(1), 97–164.

https://doi.org/10.1023/B

Cabana, F., Clayton, J. B., Nekaris, K. A. I., Wirdateti, W., Knights, D., &

Seedorf, H. (2019). Nutrient-based diet modifications impact on the gut

microbiome of the javan slow loris (Nycticebus javanicus). Scientific

Reports, 9, 1–11. https://doi.org/10.1038/s41598-019-40911-0

Cabana, F, Dierenfeld, E., Wirdateti, W., Donati, G., & Nekaris, K. A. I. (2017).

Trialling nutrient recommendations for slow lorises (Nycticebus spp .) based

on wild feeding ecology. Journal of Animal Physiology and Animal Nutritio,

102(1), 1–10. https://doi.org/10.1111/jpn.12694

Cabana, Francis, Dierenfeld, E., Wirdateti, W., Donati, G., & Nekaris, K. A. I.

(2017). The seasonal feeding ecology of the javan slow loris (Nycticebus

javanicus). American Journal of Physical Anthropology, 162(4), 768–781.

https://doi.org/10.1002/ajpa.23168

Chen, J. H., Pan, D., Groves, C., Wang, Y. X., Narushima, E., Fitch-Snyder, H.,

… Zhang, Y. P. (2006). Molecular phylogeny of Nycticebus inferred from

mitochondrial genes. International Journal of Primatology, 27(4), 1187–

1200. https://doi.org/10.1007/s10764-006-9032-5

CITES. (2015). Appendices I, II, and III. Retrieved February 14, 2021 from

https://cites.org/eng/app/appendices.php

Farida, W. R., Astuti, W. D., & Sari, A. P. (2014). Performa pertumbuhan kukang

jawa (Nycticebus javanicus E. Geoffroy,1812) yang diberi tambahan biskuit

dan monkey chow dalam pakan. Jurnal Biologi Indonesia, 10(2), 315–326.

Farida, W. R., Sari, A. P., & Astuti, W. D. (2016). The addition of potato biscuit

in the feed of sumatran slow loris (Nycticebus coucang Boddaert, 1785) and

javan slow loris (Nycticebus javanicus Geoffroy, 1812): The effects on

digestibility and feed efficiency. Jurnal Biologi Indonesia, 12(2), 185–193.

Fransson, L. (2018). Fine scale habitat and movement patterns of javan slow loris

(Nycticebus javanicus) in Cipaganti, West Java, Indonesia (Master's thesis).

Ecology and Genetics/Animal Ecology, Uppsala University, Uppsala.

Gray, A. E., Wirdateti, & Nekaris, K. A. I. (2015). Trialling exudate-based

enrichment efforts to improve the welfare of rescued slow lorises Nycticebus

Page 49: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

36

spp. Endangered Species Research, 27(1), 21–29.

https://doi.org/10.3354/esr00654

Groves, C. P. (2001). Primate Taxonomy. Washington, DC: Smithsonian

Institution Press.

Grow, N. B., Wirdateti, & Nekaris, K. A. I. (2015). Does toxic defence in

Nycticebus spp. relate to ectoparasites? the lethal effects of slow loris venom

on arthropods. Toxicon, 95, 1–5.

https://doi.org/10.1016/j.toxicon.2014.12.005

Gunawan, I. (2019). 30 Ekor Kukang Jawa Dilepas di Taman Nasional Gunung

Halimun Salak. Retrieved October 14, 2020, from pojokjabar.com website:

https://jabar.pojoksatu.id/sukabumi/2019/12/20/30-ekor-kukang-jawa-

dilepas-di-taman-nasional-gunung-halimun-salak/

Hendrian, A., Hendrayana, Y., & Supartono, T. (2020). Aktivitas harian kukang

jawa (Nycticebus javanicus) pasca habituasi di Suaka Margasatwa Gunung

Sawal Ciamis. Prosiding Seminar Nasional, 1(1), 37–44.

Hermansyah, D. (2019). Melihat Proses 10 Kukang Jawa Dilepasliarkan di

Gunung Sawal Ciamis. Retrieved October 14, 2020, from detikNews

website: https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-4801697/melihat-proses-

10-kukang-jawa-dilepasliarkan-di-gunung-sawal-ciamis

Higginbottom, T. P., Collar, N. J., Symeonakis, E., & Marsden, S. J. (2019).

Deforestation dynamics in an endemic-rich mountain system: Conservation

successes and challenges in West Java 1990 – 2015. Biological

Conservation, 229, 152–159. https://doi.org/10.1016/j.biocon.2018.11.017

Huda, R., Moore, R., & Sanchez, K. L. (2018). Predation accounts of translocated

slow lorises, Nycticebus coucang and N. javanicus, in Sumatra and Java.

Journal of Indonesian Natural History, 6(1), 24–32.

IAR. (2021). The Truth Behind the Slow Loris Pet Trade. Retrieved April 15,

2021, from International Animal Rescue website:

https://www.internationalanimalrescue.org/truth-behind-slow-loris-pet-

trade?utm_source=CP&utm_medium=website&utm_campaign=tickling_is_t

orture&utm_content=chtfom_imagebutton

Iqbal, M. (2011). Pemilihan lokasi tidur (sleeping sites) kukang jawa (Nycticebus

javanicus E. Geoffroy, 1812) yang dilepasliarkan di kawasan Hutan Gunung

Salak Bogor, Jawa Barat (Skripsi). Biologi, Universitas Indonesia, Depok.

IUCN. (2019). Guidelines for using the IUCN red list categories and criteria.

IUCN Standards and Petitions Committee, (Version 14), 1–60. Retrieved

from

http://intranet.iucn.org/webfiles/doc/SSC/RedList/RedListGuidelines.pdf

Page 50: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

37

Jaya, A. (2016). Potensi habitat kukang jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy,

1812) dengan Maxent di Desa Kidang Pananjung Bandung Barat, Jawa Barat

(Skripsi). Biologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

Lehtinen, J. (2015). Distribution of the Javan slow loris (Nycticebus javanicus):

assessing the presence in East Java, Indonesia. Journal of MSc in Primate

Conservation, 15(2), 8–9.

Maccoll, M., & Tribe, A. (2017). Wildlife tourism and conservation: the hidden

vale project. In Wildlife Tourism, Environmental Learning and Ethical

Encounters (p. 36). Retrieved from http://link.springer.com/10.1007/978-3-

319-55574-4

Moore, R. S., Cabana, F., & Nekaris, K. A. I. (2015). Factors influencing

stereotypic behaviours of animals rescued from Asian animal markets : A

slow loris case study. Applied Animal Behaviour Science, 166, 131–136.

https://doi.org/10.1016/j.applanim.2015.02.014

Nekaris, K. A. I., Pambudi, J. A. A., Susanto, D., Ahmad, R. D., & Nijman, V.

(2014). Densities, distribution and detectability of a small nocturnal primate

(Javan slow loris Nycticebus javanicus) in a montane rainforest. Endangered

Species Research, 24(2), 95–103. https://doi.org/10.3354/esr00585

Nekaris, K. A. I. (2014). Extreme primates: Ecology and evolution of Asian

lorises. Evolutionary Anthropology, 23, 177–187.

https://doi.org/10.1002/evan.21425

Nekaris, K. A. I., Campera, M., Nijman, V., Birot, H., Rode-Margono, E. J., Fry,

B. G., … Imron, M. A. (2020). Slow lorises use venom as a weapon in

intraspecific competition. Current Biology, 30(20), R1252–R1253.

https://doi.org/10.1016/j.cub.2020.08.084

Nekaris, K. A. I., & Jaffe, S. (2007). Unexpected diversity of slow lorises

(Nycticebus spp.) within the Javan pet trade: Implications for slow loris

taxonomy. Contributions to Zoology, 76(3), 187–196.

https://doi.org/10.1163/18759866-07603004

Nekaris, K. A. I., & Munds, R. (2010). Using Facial Markings to Unmask

Diversity : The Slow Lorises (Primates : Lorisidae : Nycticebus spp .) of

Indonesia. 383–396. https://doi.org/10.1007/978-1-4419-1560-3

Nekaris, K. A. I., Poindexter, S., Reinhardt, K. D., Sigaud, M., Cabana, F.,

Wirdateti, W., & Nijman, V. (2017). Coexistence between javan slow lorises

(Nycticebus javanicus) in a dynamic agroforestry landscape in West Java,

Indonsia. International Journal of Primatology, 38(2), 303–320.

https://doi.org/10.1007/s10764-017-9960-2

Page 51: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

38

Nijman, V., & Nekaris, K. A. I. (2014). Traditions, taboos and trade in slow

lorises in Sundanese communities in southern Java , Indonesia. Endangered

Species Research, 25, 79–88. https://doi.org/10.3354/esr00610

Nowak, R. M. (1999). Walker’s Primates of the World. Baltimore: Johns Hopkins

University Press.

Nurcahyani, A. (2015). Aktivitas harian dan wilayah jelajah kukang jawa

(Nycticebus javanicus) di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (Skripsi).

Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor,

Bogor.

Pambudi, J. A. A. (2008). Studi populasi, perilaku, dan ekologi kukang jawa

(Nycticebus javanicus E. Geoffroy, 1812) di Hutan Bodogol, Taman

Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat (Thesis). Biologi, Universitas

Indonesia, Depok.

Poindexter, S. A., & Nekaris, K. A. I. (2017). Vertical clingers and gougers:

Rapid acquisition of adult limb proportions facilitates feeding behaviours in

young javan slow lorises (Nycticebus javanicus). Mammalian Biology.

https://doi.org/10.1016/j.mambio.2017.05.007

Putri, P. R. (2014). Aktivitas harian dan penggunaan habitat kukang jawa

(Nycticebus javanicus) di Talun Desa Cipaganti, Garut, Jawa Barat (Skripsi).

Biologi, Universitas Indonesia, Depok.

Reinhardt, K. (2015). Adaptations in a changing environment: relationship

between climate, disturbance and Nycticebus javanicus behaviour in

Cipaganti, West Java. Journal of MSc in Primate Conservation, 15(2), 14–

15.

Reinhardt, K. D., Wirdateti, & Nekaris, K. A. I. (2016). Climate-mediated activity

of the javan slow loris, Nycticebus javanicus. AIMS Environmental Science,

3(2), 249–260. https://doi.org/10.3934/environsci.2016.2.249

Robyantoro, A. (2014). Pemodelan spasial kesesuaian habitat kukang jawa

(Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) di Cisurupan Kabupaten Garut.

Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Institut Pertanian Bogor,

Bogor.

Rochman, A. (2017). 8 Javan slow lorises released into natural habitat. Retrieved

October 14, 2020, from The Jakarta Post website:

https://www.thejakartapost.com/news/2017/11/09/8-javan-slow-lorises-

released-into-natural-habitat.html#:~:text=Eight Javan slow lorises

seized,during separate operations in July.

Rode-Margono, E., Albers, M., Wirdateti, & Nekaris, K. A. I. (2015).

Gastrointestinal parasites and ectoparasites in wild javan slow loris

Page 52: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

39

(Nycticebus javanicus), and implications for captivity and animal rescue.

Journal of Zoo and Aquarium Research, 3(3), 80–86.

Rode-Margono, E. J., Nijman, V., & Nekaris, K. A. I. (2014). Ethology of

critically endangered javan slow loris Nycticebus javanicus É. Geoffroy.

Asian Primates Journal, 4(2), 27–41.

Romdhoni, H., Komala, R., Sigaud, M., Nekaris, K. A. I., & Sedayu, A. (2018).

Studi pakan kukang jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy, 1812) di Talun

Desa Cipaganti, Garut, Jawa Barat. Al-Kauniyah, 11(1), 9–15.

Rosidah, N. I., Santoso, H., & Zayadi, H. (2019). Konsumsi pakan kukang jawa

(Nycticebus javanicus) di kandang sebelum dilepasliarkan di Kondang Merak

Kabupaten Malang. Biosaintropis, 4(2), 34–39.

Sanchez, K. L. (2008). Indonesia’s slow lorises suffer in trade. IPPL News, p. 10.

Sari, D. F., Budiadi, & Imron, M. A. (2020). The utilization of trees by

endangered primate species javan slow loris (Nycticebus javanicus) in shade-

grown coffee agroforestry of Central Java. IOP Conference Series: Earth

and Environmental Science, 449, 1–12. https://doi.org/10.1088/1755-

1315/449/1/012044

Saudale, V. (2017). 10 Kukang Dilepas ke Habitat Gunung Sawal Ciamis.

Retrieved October 14, 2020, from Berita Satu website:

https://www.beritasatu.com/feri-awan-hidayat/archive/415203/10-kukang-

dilepas-ke-habitat-gunung-sawal-ciamis

SEAZA. (2019). SEAZA Standard on Animal Welfare. Retrieved December 29,

2020, from Southeast Asian Zoos and Aquariums Association website:

http://www.seaza.asia/wp-content/uploads/2020/03/SEAZA-Standard-on-

Animal-Welfare-Bahasa-Indonesia.pdf

Sodik, M., Pudyatmoko, S., Yuwono, P. S. H., & Imron, M. A. (2019a). Okupansi

kukang jawa (Nycticebus javanicus E. Geoffroy 1812) di Hutan Tropis

dataran rendah di Kemuning. Jurnal Ilmu Kehutanan, 13, 15–27.

Sodik, M., Pudyatmoko, S., Yuwono, P. S. H., & Imron, M. A. (2019b). Resource

selection by javan slow loris Nycticebus javanicus E. Geoffroy, 1812

(Mammalia: Primates: Lorisidae) in a lowland fragmented forest in Central

Java, Indonesia. Journal of Threatened Taxa, 11(6), 13667–13679.

https://doi.org/10.11609/jott.4781.11.6.13667-13679

Sodik, M., Pudyatmoko, S., Yuwono, P. S. H., Tafrichan, M., & Imron, M. A.

(2020). Better providers of habitat for javan slow loris (Nycticebus javanicus

E. Geoffroy 1812): A species distribution modeling approach in Central Java,

Indonesia. Biodiversitas, 21(5), 1890–1900.

https://doi.org/10.13057/biodiv/d210515

Page 53: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

40

Streicher, U., Wilson, A., Collins, R. L., & Nekaris, K. A. I. (2013). Exudates and

animal prey characterize slow loris (Nycticebus pygmaeus, N. coucang and

N. javanicus) diet in captivity and after release into the wild. In J. Masters,

M. Gamba, & F. Génin (Eds.), Leaping Ahead: Advances in Prosimian

Biology (pp. 165–172). https://doi.org/10.1007/978-1-4614-4511-1_19

Thorn, J. S., Nijman, V., Smith, D., & Nekaris, K. A. I. (2009). Ecological niche

modelling as a technique for assessing threats and setting conservation

priorities for Asian slow lorises (Primates: Nycticebus). Diversity and

Distributions, 15(2), 289–298. https://doi.org/10.1111/j.1472-

4642.2008.00535.x

Triandhika, K., Salsabila, M., Sukmaningrum, A. P., & Utami, S. S. (2020).

Population dynamics of java slow loris Nycticebus javanicus E . Geoffroy,

1812 in Dayeuh Luhur Village, Ganeas Sub-District, Sumedang District,

West Java. Indonesian Journal of Biotechnology and Biodiversity, 4(1), 27–

33.

Voskamp, A., Rode, E. J., Coudrat, C. N. Z., Wirdateti, Abinawanto, Wilson, R.

J., & Nekaris, K. A. I. (2014). Modelling the habitat use and distribution of

the threatened Javan slow loris Nycticebus javanicus. Endangered Species

Research, 23, 277–286. https://doi.org/10.3354/esr00574

Wahyuni, H. (2011). Pengaruh pengayaan pakan alami terhadap perilaku kukang

jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) di Yayasan International Animal

Rescue (IAR) Indonesia (Skripsi). Konservasi Sumberdaya Hutan dan

Ekowisata, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Widiana, A., Sulaeman, S., & Kinasih, I. (2013). Studi populasi dan distribusi

kukang jawa (Nycticebus javanicus, E. Geoffroy, 1812) di Talun Desa

Sindulang Kecamatan Cimanggung Sumadang Jawa Barat. Jurnal, 7(1), 242.

Widyaningrum, G. L. (2019). Upaya Pelestarian, Pertamina Lepasliarkan Kukang

Jawa Kembali ke Habitatnya. National Geographic Indonesia. Retrieved

from https://nationalgeographic.grid.id/read/131864357/upaya-pelestarian-

pertamina-lepasliarkan-kukang-jawa-kembali-ke-habitatnya?page=all

Wiens, F. (2002). Behavior and ecology of wild slow lorises (Nycticebus

coucang): Social organization, infant care system, and diet. University of

Bayreuth.

Winarti, I. (2011). Habitat, populasi, dan sebaran kukang jawa (Nycticebus

javanicus Geoffroy 1812) di Talun Tasikmalaya dan Ciamis, Jawa Barat

(Thesis). Primatologi, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Wirdateti. (2012). Sebaran dan habitat kukang jawa (Nycticebus javanicus) di

Area perkebunan sayur, Gunung Papandayan, Kabupaten Garut. Berita

Page 54: STRATEGI KONSERVASI KUKANG JAWA

41

Biologi, 11(1), 111–216.

Wirdateti, Aziza, H., & Handayani. (2019). Keragaman genetik kukang jawa

(Nycticebus javanicus) menggunakan control region (D-loop) DNA

mitokondria (mtDNA). Jurnal Veteriner, 20(3), 360–368.

https://doi.org/10.19087/jveteriner.2019.20.3.360

Wirdateti, Dahrudin, H., & Sumadijaya, A. (2010). Sebaran dan habitat kukang

jawa (Nycticebus javanicus) di lahan pertanian (Hutan Rakyat) wilayah

Kabupaten Lebak (Banten) dan Gunung Salak (Jawa Barat). Zoo Indonesia,

20(1), 17–25.

Wirdateti, Okayama, T., & Kurniati, H. (2006). Genetic diversity of slow loris

(Nycticebus coucang) based on mitochondrial DNA. Tropics, 15(4), 377–

381. https://doi.org/10.3759/tropics.15.377

Withaningsih, S., Parikesit, Ayundari, A., Prameswari, G., Megantara, E. N., &

Husodo, T. (2019). Distribution and habitat of javan slow loris (Nycticebus

javanicus E. Geoffroy, 1812) in non-conservation area. Scientific Reports, 9,

1–7.