kecacingan pada kukang jawa (nycticebus javanicus) di ... · conservation medicine is an emerging...

32
KECACINGAN PADA KUKANG JAWA (Nycticebus javanicus) DI PUSAT REHABILITASI SATWA PRIMATA YAYASAN INTERNATIONAL ANIMAL RESCUE INDONESIA (YIARI) MUHAMMAD MIRZAN ADI WIBOWO / B04100036 FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Upload: lykien

Post on 03-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KECACINGAN PADA KUKANG JAWA (Nycticebus javanicus)

DI PUSAT REHABILITASI SATWA PRIMATA YAYASAN

INTERNATIONAL ANIMAL RESCUE INDONESIA (YIARI)

MUHAMMAD MIRZAN ADI WIBOWO / B04100036

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kecacingan pada

Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) di Pusat Rehabilitasi Satwa Primata Yayasan

International Animal Rescue Indonesia (YIARI) adalah benar karya saya dengan

arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada

perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya

yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam

teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2014

Muhammad Mirzan Adi Wibowo

NIM B04100036

ABSTRAK

MUHAMMAD MIRZAN ADI WIBOWO. Kecacingan pada Kukang Jawa

(Nycticebus javanicus) di Pusat Rehabilitasi Satwa Primata Yayasan International

Animal Rescue Indonesia (YIARI). Dibimbing oleh ELOK BUDI RETNANI dan

R. P. AGUS LELANA.

Medik konservasi merupakan disiplin ilmu baru yang erat kaitannya dengan

manusia dan kesehatan hewan, kesehatan ekosistem, dan perubahan lingkungan

global. Dewasa ini, Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) merupakan satwa

primata yang banyak diburu, sehingga populasi di alam terus berkurang.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan derajat kecacingan cacing

saluran pencernaan pada kukang Jawa serta derajat kecacinganya berdasarkan

sampel kelompok di laboratorium diagnostik YIARI pada periode Febuari-Mei

2014. Sebanyak 11 sampel kelompok kandang berbeda yang diulang sebanyak

enam kali pengambilan. Metode pemeriksaan menggunakan modifikasi

McMaster, Flotasi sederhana, dan saringan bertingkat. Dari sebelas kelompok

sampel yang diperiksa dinyatakan 100% positif mengalami kecacingan. Hasil

pemeriksaan menunjukan bahwa semua sampel terinfeksi oleh dua tipe cacing:

nematoda dan cestoda antara lain Ascaris, Strongyloides, Strongylid dan

Hymenolepis sp..

Kata kunci: kecacingan, medik konservasi, Nycticebus javanicus

ABSTRACT

MUHAMMAD MIRZAN ADI WIBOWO. Javan Slow Loris’s (Nycticebus

javanicus) Helminthiasis in Pimate Rehabilitation Center of International Animal

Rescue Indonesia. Supervised by ELOK BUDI RETNANI and R. P. AGUS

LELANA.

Conservation medicine is an emerging discipline that links to human and animal

health, ecosytem health, and global environmental change. Recently, Javan Slow

Loris is an endemic primates which is continuously hunted, which lead to decline

of its population in its natural habitat. The goal of this research is to study the

gastrointestinal helminths infection of Javan Slow Loris and infection intensity

from pooled fecal samples in diagnostic laboratory of International Animal

Rescue Indonesia from February-May 2014. Eleven pooled fecal samples from

different cages are collected for 6 times were used. Samples were examined using

the modified McMaster, flotation, and the modified sedimentation techniques was

used to determine the intensity of helminth infections among the cages.Numerous

well preserved eggs were examined from the point of view of morphology. Our

result showed that all of cages were infected by two types of helminths: cestode

and nematode including Hymenolepis sp., Ascaris, Strongyloides, and Strongylid.

Keywords: concervation medicine, helminthiasis, Nycticebus javanicus

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

KECACINGAN PADA KUKANG JAWA (Nycticebus javanicus)

DI PUSAT REHABILITASI SATWA PRIMATA YAYASAN

INTERNATIONAL ANIMAL RESCUE INDONESIA (YIARI)

MUHAMMAD MIRZAN ADI WIBOWO / B04100036

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah yang berjudul “Kecacingan pada

Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) di Pusat Rehabilitasi Satwa Primata Yayasan

International Animal Rescue Indonesia (YIARI)” ini berhasil diselesaikan.

Selama empat tahun penulis menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor

memberikan banyak pengetahuan serta pengalaman yang berharga, terutama

beberapa bulan terakhir selama proses penyususunan karya ilmiah ini. Untuk itu,

penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr Drh Elok Budi Retnani, MS. selaku dosen pembimbing skripsi atas

segala bimbingan, nasehat, serta dukungannya.

2. Dr Drh R. P. Agus Lelana, SpMP. MSi. selaku dosen pembimbing

skripsi atas segala bimbingan, nasehat, serta dukungannya.

3. Drh Herwin Pisestyani, MSi. selaku dosen pembimbing akademik atas

segala kesabaran, nasehat, dan pengarahannya.

4. Drh Prameswari Wendi serta Drh Nur Purba Priambada dari YIARI atas

segala kritik dan masukannya.

5. Seluruh staf YIARI yang selama ini sanagat berjasa dalam membantu

proses penelitian ini.

6. Laboran dan karyawan Lab. Departemen Ilmu Penyakit Dalam dan

Kesmavet atas ilmu serta bantuan yang telah diberikan.

7. Keluargaku tercinta: Ayah, ibu, kakak, dan adik yang selalu

menyemangati, memberi do’a, kritikan, masukan, dan memberi

dukungan baik moril maupun materil.

8. Teman-teman seperjuangan Asfi, Ica, Maya, Riris, Anang, dan Yoga,

terima kasih atas pengertian, dukungan, dan kerja sama yang diberikan

kepada penulis.

9. Rekan-rekan angkatan 47 Fakultas Kedokteran Hewan IPB, terima kasih

atas masukan, kebersamaan, bantuan empat tahun ini.

10. Dan seluruh pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu oleh penulis,

terima kasih atas bantuanya selama ini.

Semoga Allah SWT membalas semua dengan keberkahan. Penulis berharap

keritik dan masukan untuk perbaikan karya ilmiah ini kedepannya. Semoga karya

ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Oktober 2014

Muhammad Mirzan Adi Wibowo

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xi

PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA

Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) 3

Morfologi dan Klasifikasi 3

Ditribusi Geografi dan Status Konservasi 3

Pakan Alami 4

Tingkah Laku 4

Cacing Saluran Pencernaan pada Satwa Primata 4

Medik Konservasi 5

Pusat Rehabilitasi Satwa Primata YIARI 6

METODE

Tempat dan Waktu 6

Alat dan Bahan 6

Rancangan Penelitian 7

Teknik Parasitologi 7

Teknik Sampling Feses 7

Modifikasi McMaster 7

Flotasi Sederhana 7

Saringan Bertingkat 8

Prosedur Analisis 8

HASIL DAN PEMBAHASAN

Temuan Cacing Saluran Pencernaan 8

Ascaris 9

Strongyloides 9

Strongylid 9

Hymenolepis sp. 10

Prevalensi Kecacingan Kandang Sanctuary dan Non-Sanctuary 10

Prevalensi tiap jenis cacing 10

Infeksi kecacingan 11

Derajat Kecacingan Kelompok Kandang 12

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan 13

Saran 13

DAFTAR PUSTAKA 14

LAMPIRAN 17

RIWAYAT HIDUP 18

DAFTAR TABEL

Cacing Saluran Pencernaan pada Satwa Primata 5

Prevalensi kecacingan pada kandang Sanctuary dan

non-sanctuary 10

Data sebaran infeksi cacing saluran pencernaan

di tiap kandang 11

Telur tiap gram feses (TTGT) setiap

telur cacing 12

DAFTAR GAMBAR

Nycticebus javanicus 3

Temuan telur cacing saluran pencernaan 8

LAMPIRAN

Denah peta kandang kukang di YIARI 17

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kesatuan yang terdiri dari lima pulau besar dan

ribuan pulau-pulau kecil yang dikelilingi oleh perairan yang luas. Hal tersebut

mendukung keanekaragaman hayati yang terdapat di Indonesia, baik flora maupun

fauna. Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) adalah bagian dari satwa liar endemik

Indonesia. Masyarakat sering tertukar satwa jenis ini dengan Kus-Kus atau

Phalanger sp. Tercatat lima spesies dari genus Nycticebus yaitu N. coucang, N.

pygmaeus, N. bengalensis, N. javanicus, dan N. menagensis (Roos 2003; Chen et

al. 2006). Namun dewasa ini telah terjadi penurunan populasi Kukang Jawa di

alam. Penurunan populasi dikarenakan pemburuan liar, diperdagangkan sebagai

satwa eksotik, atau diburu untuk dijadikan obat tradisional (Nursahid dan

Purnama 2007). Oleh sebab itu sejak tahun 1973 kukang jawa dilindungi oleh

undang-undang melalui Keputusan Mentri Pertanian tanggal 14 Febuari 1973 no.

66/Kpts/Um2/1973 (Nursahid dan Purnama 2007).

Balai konservasi sering menjadi pilihan sebagai tempat rehabilitasi kukang

yang disita dari masyarakat. Oleh sebab itu manajemen yang baik di suatu balai

konservasi merupakan hal yang penting untuk menjamin kelestarian satwa ini.

Satwa yang akan dilepasliarkan harus memenuhi kriteria International Union for

Conservation of Nature (IUCN), termasuk didalamnya bebas dari penyakit baik

yang menular maupun yang tidak menular. Balai konservasi rujukan untuk

rehabilitasi kukang di Indonesia diantaranya adalah Yayasan International Animal

Rescue Indonesia (YIARI). Program kerja YIARI fokus pada penyelamatan

primata di Indonesia yang berlandaskan medik konservasi. Fasilitas yang ada pada

lembaga konservasi YIARI meliputi kantor, klinik, laboratorium, kandang

rehabilitasi, kandang karantina, dan tempat penyimpanan makanan.

Kecacingan pada saluran pencernaan merupakan penyakit yang paling

sering diderita oleh ordo primata, termasuk didalamnya Kukang Jawa. Telur

cacing sebagai sumber infeksi dapat ditemukan pada feses segar kukang yang

berada di dalam kandang. Gejala klinis yang ditimbulkan dari manifestasi cacing

didalam saluran pencernaan umumnya jarang terlihat. Namun demikian infeksi

cacing saluran pencernaan mampu menyebabkan penurunan penyerapan nutrisi

dan dehidrasi. Infeksi kecacingan juga dapat menyebabkan penurunan kekebalan

tubuh yang berdampak pada infeksi sekunder oleh berbagai agen penyakit dalam

jangka panjang (Muller 2002).

Perumusan Masalah

YIARI berfungsi sebagai rujukan pusat rehabilitasi satwa primata termasuk

Kukang Jawa. Kukang yang dilepasliarkan harus bebas dari berbagai agen

penyakit seperti kecacingan. Apabila kukang yang dilepasliarkan terinfeksi suatu

penyakit, akan berpotensi sebagai agen penyebar di alam. Oleh karena itu perlu

dilakukan pemeriksaan kecacingan saluran pencernaan di YIARI.

2

Tujuan Penelitian

Penelitian bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis dan derajat infeksi cacing

saluran pencernaan yang menginfeksi Kukang Jawa di pusat rehabilitasi satwa

primata YIARI berdasarkan sampel kelompok.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan mampu memberi tambahan pengetahuan

mengenai keragaman jenis cacing yang dapat menginfeksi Nycticebus javanicus

serta memberi rekomendasi manajemen satwa yang sesuai medik konservasi di

pusat rehabilitasi satwa primata YIARI.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian berlangsung selama bulan Februari hingga Mei 2014 di Yayasan

International Animal Rescue Indonesia (YIARI). Penelitian ini bersifat non-

invansif yang bertujuan untuk mengetahui infeksi cacing saluran pencernaan

melalui analisis sampel feses. Hasil analisis sampel feses di laboratorium akan

memberikan jenis dan intensitas infeksi cacing saluran pencernaan pada Kukang

Jawa. Temuan jenis-jenis cacing dan derajat infeksinya merupakan landasan

menyusun strategi pengendalian yang disertai dengan perbaikan manajemen.

3

Gambar 1 Nycticebus javanicus

(Photo by Wahyuni 2011)

TINJAUAN PUSTAKA

Kukang Jawa (Nycticebus javanicus)

Morfologi dan Klasifikasi

Kukang Jawa (Nycticebus javanicus), biasa disebut Malu-Malu, merupakan

salah satu primata endemik Indonesia yang berukuran kecil. Primata ini memiliki

ciri-ciri pola rambut berupa garis garpu berwarna coklat yang berada di kepala,

memiliki panjang tubuh berkisar 320-380 mm, serta ekor yang pendek dan

melingkar sepanjang 10-20 mm. Berat tubuh primata ini berkisar antara 565-798

gram (Nekaris dan Shekelle 2008).

Kukang Jawa memiliki pola lingkaran berbentuk cincing di sekitar mata

dengan rambut pada wajah yang berwarna coklat pucat dengan tanda yang

berwarna lebih gelap (Gambar 1). Kukang Jawa memiliki ciri khas berupa garis di

bagian dorsal tubuh berwarna coklat gelap yang membentang dari belakang

hingga kepala membentuk pola trisula (Choudhury 1992).

Klasifikasi

Kingdom : Animalia

Phylum : Chordata

Kelas : Mamalia

Ordo : Primata

Famili : Lorisidae

Genus : Nycticebus

Spesies : Nycticebus javanicus E

Geoffroy, 1812 ( Nekaris dan Shekelle 2008 )

Distribusi Geografis dan Status Konservasi

Habitat Nycticebus sp. pada umumnya berada di kanopi utama hutan hujan

tropis, hutan primer, hutan sekunder dan hutan bambu (Supriatna 2000). Di Pulau

Jawa penyebaran Kukang Jawa meliputi Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, dan

Jawa Timur (Wirdateti 2005). Kerusakan hutan di Pulau Jawa, diduga menjadi

4

penyebab utama berkurangnya populasi primata ini di alam liar. Selain faktor

alam, aktivitas manusia seperti perdagangan primata ini juga turut berperan.

Saat ini status konservasi critically endangered ditetapkan oleh IUCN,

artinya primata ini sedang menghadapi resiko tinggi kepunahan di alam atau

habitat aslinya. Tahun 2007 seluruh spesies dari genus Nycticebus dimasukan ke

dalam The Convension on International Trade in Endangered Spesies of Wild

Fauna and Flora (CITES) Appendix 1 yang berarti fauna tersebut dilarang dalam

segala bentuk perdagangan internasional (Nekaris dan Nijiman 2007). Di

Indonesia kukang telah dilindungi oleh Undang-Undang sejak tahun 1973 melalui

Keputusan Mentri Pertanian no. 66/Kpts/Um2/1973, kemudian diperkuat oleh

Undang-Undang no. 7 tahun 1999 mengenai pengawetan jenis tumbuhan dan

satwa, serta Undang-Undang no. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya

alam dan ekosistem (Wahyuni 2011).

Pakan Alami

Satwa yang termasuk Lorisidae, termasuk kukang, umumnya mengonsumsi

pakan yang mengandung energi tinggi seperti buah-buahan, getah, dan serangga.

Meskipun getah dan buah dapat dikesampingkan, namun setiap jenis Lorisidae

akan memakan hewan tangkapannya (Smuts et al. 1987). Wiens (2002)

menemukan beberapa bagian sisa pakannya yaitu bunga, buah-buahan, dan

antrophoda antara lain Coleoptera, Orthoptera, Lepidoptera, dan Hymenoptera.

Tingkah Laku

Kukang digolongkan dalam family Lorisidae. Ciri utama famili ini bersifat

nokturnal dan arboreal sejati (Rasmussen dan Nekaris 1998). N. Coucang pernah

teramati melakukan aktifitas paling awal 2 menit sebelum matahari terbenam dan

aktifitas terakhir 14 menit sebelum matahari terbit (Wiens 2002). Penelitian

lainnya yang dilakukan di hutan Bodogol TNGGP, kukang mulai aktif segera

setelah matahari tenggelam dengan puncak aktifitas pada pukul 20.00-21.00 WIB

dan mengalami penurunan aktifitas pada pukul 22.00-00.00 WIB (Pambudi 2008).

Kukang merupakan satwa primata yang tergolong arboreal sejati

(Choudhury 1992). Hampir seluruh kegiatan hidupnya dilakukan di atas pohon,

seperti grooming, makan, defekasi, dan kegiatan seksual. Walaupun satwa ini

tergolong arboreal sejati, namun sesekali dia akan turun ke tanah untuk menuju

pohon yang tidak dapat dijangkaunya (Haldik 1970). Ballenger (2000)

mengemukakan bahwa tidak pernah ditemukan kukang jauh dari puncak pohon,

sehingga walaupun dengan keadaan terdesak harus berada di tanah satwa ini akan

segera bergerak naik ke atas pohon kembali.

Cacing Saluran Pencernaan pada Satwa Primata

Infeksi cacing saluran pencernaan dapat terjadi akibat adanya sumber

infeksi dan inang yang peka pada suatu tempat dan waku tertentu. Salah satu

faktor penyebabkan infeksi cacing saluran pencernaan pada satwa liar terutama

primata adalah banyak feses yang menyebar secara tak beraturan. Hal tersebut

dapat menyebabkan infeksi silang antar individu di alam. Selain itu, regulasi

satwa baru dan lama di suatu balai konservasi yang tidak baik dapat menjadi

faktor infeksi satwa oleh cacing saluran pencernaan.

5

Beberapa jenis cacing yang dapat menginfeksi satwa primata dari jenis

trematoda, nematoda dan cestoda telah banyak teliti dan dipublikasi secara luas.

Schistosoma sp. merupakan salah satu cacing trematoda yang tercatat mampu

menginfeksi baboon (Appleton dan Henzi 1993).

Cacing jenis ini banyak ditemukan di Asia Tenggara seperti Indonesia,

RRC, Jepang, Filipina, Taiwan, dan Malaysia. Di Indonesia daerah penyebaran

cacing jenis ini terutama Schistisoma japonicum banyak ditemukan di Sulawesi

Tengah terutama di sekitar Danau Lindu dan Lembah Napu (Kusumamihardja

1995). Trichuris sp. termasuk ke dalam jenis nematoda yang banyak ditemukan

pada satwa primata. Tercatat cacing jenis ini pernah menginfeksi Rhesus monkey,

Mandrillus sphinx, dan Colobus guereza (Melfi dan Poyser 2007, Phillippi dan

Clarke 1992, Setchell et al. 2007). Data temuan cacing saluran pencernaan pada

satwa primata tersaji dalam Tabel 1.

Medik Konsevasi

Medik konservasi adalah suatu disiplin ilmu yang muncul dengan

mengedepankan kaitan antara kesehatan manusia dan hewan dengan perubahan

kesehatan ekosistem dan lingkungan global (Aguirre dan Gomez 2009). Prinsip

utama dari disiplin ini adalah kesehatan menghubungkan semua spesies, oleh

Tabel 1 Cacing Saluran Pencernaan pada Satwa Primata

No. Jenis Cacing Saluran

Pencernaan Spesies Satwa Primata Sumber

Nematoda

1 Ascaris Rhesus monkey, Lagothric

lagothrica, Macaca fasicularis

Michaud et al. 2003,

Phillippi dan Clarke

1992, Chrisnawaty

2008

2 Hookworm Pongo pygmaeus, Macaca

fasicularis.

Labes et al. 2010,

Chrisnawaty 2008.

3 Trichuris sp.

Rhesus monkey, Mandrillus

sphinx, Colobus guereza,

Macaca fasicularis

Melfi dan Poyser 2007,

Phillippi dan Clarke

1992, Setchell et al.

2007, Chrisnawaty

2008.

4 Strongyloides sp. Alouatta caraya, Aotus Azarai

Azarai, Rhesus monkey

Milozzi et al. 2012,

Perea-Rodriguez 2010,

Phillippi dan Clarke

1992.

5 Enterobius Baboon, Orangutan

Appleton dan Henzi

1993, Chapman et al.

2005, Mul et al. 2007.

Cestoda

6 Hymenolepis sp.

Chimpanzee, Aotus vosiferans,

Rhesus monkey, Squirrel

monkey, Macaca fasicularis

Joslin 2003, Mul et al.

2007, Crisnawaty

2008.

Trematoda

7 Schistosoma sp. Baboon, Macaca fasicularis

Appleton dan Henzi

1993, Chrisnawaty

2008.

6

karena eratnya hubungan proses ekologik yang menguasai kehidupan di planet

bumi (Aguirre et al. 2002).

Konsep medik konservasi perlu diperkenalkan ke dalam bidang kesehatan

hewan terutama penelitian dan kurikulum pendidikan kedokteran hewan. Hal ini

dilandasi oleh perubahan mendasar dalam pola pikir dari penekanan kepada

pengobatan (treatment) ke pencegahan (prevention) (Aguirre dan Gomez 2009).

Sejak tahun 1990-an, bidang kesehatan hewan di dunia telah berkembang ke arah

pentingnya kesehatan ekosistem dalam konteks kesehatan dan kesejahteraan

hewan dan manusia (Walter-Toews 2009).

Pusat Rehabilitasi Satwa Primata YIARI

Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI) merupakan salah

satu lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang penyelamatan

satwa di Indonesia. YIARI berdiri sejak tanggal 29 Januari 2007. Kegiatan utama

yang dilakukan oleh YIARI adalah 3R yaitu rescue, rehabilitation, dan release.

Rescue (penyelamatan) yaitu menyelamatkan satwa-satwa baik yang berada di

alam liar maupun sudah dipelihara manusia. Satwa dapat berasal dari hasil sitaan

maupun transfer dari balai konservasi lain. Rehabilitation (rehabilitasi) yaitu

segala upaya yang dilakukan YIARI baik penangan secara medic dan non-medic

dalam rangka mengembalikan sifat alami satwa untuk dapat dilepasliarkan ke

alam. Release (pelepasliaran) merupakan upaya akhir dari proses penyelamatan

satwa liar untuk dikembalikan ke alam liar. Saat ini YIARI memfokuskan

kegiatannya pada satwa primata yaitu kukang, monyet ekor panjang, dan beruk.

METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Pusat Rehabilitsi Satwa Primata YIARI di jalan

Curug Nangka Blok Pasir Loji Rt 04 Rw 05 Kampung Sinar Wangi, Kelurahan

Sukajadi Kecamatan Taman Sari Ciapus – Bogor, Indonesia selama bulan

Febuari-Mei 2014. Penelitian dilakukan dalam dua tahapan yaitu pengumpulan

sampel dan analisis laboratorik yang dilakukan di Laboratorium Diagnostik

YIARI.

Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu es balok, jelly pack beku,

feses Nycticebus javanicus, air, dan larutan gula garam jenuh. Alat yang

digunakan yaitu kantung plastik ukuran ½ kg, spidol permanen, label nama,

cooler box, tisu gulung, pipet, dan kamera digital, timbangan digital, gelas plastik,

saringan, sendok, penyemprot, filter bertingkat (45, 100, dan 400 µ), mikroskop

cahaya, syringe, pipet, label nama, kamar hitung McMaster, gelas Baermann, dan

lemari es.

7

Rancangan Penelitian

Sampel feses diperoleh dari sebelas kandang berbeda dengan pengulangan

sebanyak enam kali. Kesebelas kandang tersebut terdiri dari dua tipe kandang

yaitu non-sanctuary dan kandang sanctuary. Kandang non-sanctuary terdiri dari 9

kandang berbeda (NS 1-9) sedangkan kandang sanctuary terdiri dari 2 kandang (S

1-2). Masing- masing kandang berisi individu rata-rata 3 ekor Kukang Jawa.

Kandang non- sanctuary berukuran 2x2x3 (pxlxt), sedangkan kandang sanctuary

berukuran 3x4x5 dengan jaring kawat sebagai pemisah antar kandang.

Pemeriksaan sampel mengunakan metode modifikasi McMaster, flotasi, dan

saringan bertingkat untuk mengetahui morfologi serta jumlah telur cacing

sehingga didapatkan jenis-jenis cacing, prevalensi kecacingan, dan derajat infeksi

kecacingan.

Teknik Parasitologi

Teknik Sampling Feses

Sampel feses diambil adalah sampel segar yang baru didefekasikan atau

yang berumur tidak lebih dari dua jam, untuk menghindari telur cacing yang

menetas dan kemungkinan terjadi kontaminasi. Sampel tersebut dimasukan ke

dalam botol penampung dan diberi label kemudian disimpan dalam cooler box

yang berisi jelly pack beku. Kemudian sampel disimpan ke refrigerator untuk

selanjutnya dilakukan pemeriksaan laboratorium.

Modifikasi McMaster

Tiga gram feses ditambahkan ke dalam 57 ml larutan gula garam jenuh.

Selanjutnya dihomogenkan, disaring dan dihomogenkan kembali. Suspensi yang

sudah homogen kemudian dimasukkan ke dalam kamar hitung McMaster dengan

menggunakan pipet. Setelah 10-15 menit, maka telur akan terapung. Kamar hitung

diperiksa di bawah mikroskop dengan pembesaran 100 x dan jumlah telur tiap

gram feses (TTGT) diperoleh dengan rumus :

Keterangan :

n : jumlah telur cacing dalam kamar hitung

Vk : volume kamar hitung (0,3 ml)

Vt : volume sampel total

Bf : berat feses (1 g)

(Whitlock 1948)

Flotasi Sederhana

Feses dihomogenkan dengan larutan gula garam jenuh menggunakan mortar

kemudian disaring menggunakan saringan teh. Suspensi dimasukkan ke dalam

tabung reaksi hingga permukaannya cembung dan ditutup dengan cover glass.

Setelah 15 menit cover glass diangkat kemudian diperiksa di bawah mikroskop

cahaya untuk diperiksa telurnya (Shaikenov et al. 2004).

8

Saringan Bertingkat

Metode ini bertujuan untuk melihat adanya telur trematoda dalam feses.

Feses sebanyak tiga gram dihomogenkan dengan menggunakan 57 ml air dan

disaring dengan menggunakan saringan teh. Filtrat disaring menggunakan

saringan bertingkat (diameter 45, 100, dan 400 µm). Proses penyaringan juga

dibantu menggunakan penyemprot yang berisi akuades. Residu yang tersaring

pada ukuran 100 µm dan 45 µm dibilas dengan akuades dan dimasukkan ke dalam

modifikasi gelas Baermann, kemudian diambil menggunakan pipet dan

dimasukan ke dalam objek glass yang telah dimodifikasi untuk diperiksa di bawah

mikroskop cahaya (Willingham et al. 1998).

Prosedur Analisis Data

Jenis-jenis cacing yang ditemukan, prevalensi kecacingan, serta derajat

infeksi kecacingan (menurut total, kandang sanctuary dan kandang non-

sanctuary) dianalisis secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Temuan Cacing Saluran Pencernaan

Berdasarkan identifikasi morfologi telur cacing dari 11 sampel kelompok

yang diambil selama 6 hari ditemukan dua tipe cacing yaitu Cestoda dan

Nematoda (Gambar 2). Cacing tipe Cestoda yang ditemukan diduga telur

Hymenolepis sp., sedangkan tipe Nematoda yang ditemukan ada tiga jenis yaitu

Ascaris, Strongyloides, dan Strongylid. Pada penelitian tidak ditemukan cacing

tipe Trematoda walaupun sudah menggunakan metode saringan bertingkat.

Cacing Ascaris, Strongyloides, Strongylid, dan Hymenolepis sp. pernah dilaporkan

menginfeksi satwa primata oleh Milozzi et al. (2012), Phillips et al. (2004),

Vitazkova dan Wade (2006, 2007), Perea-Rodriguez et al. (2010), dan Gillespie et

al. (2004).

Gamabar 2 Telur Cacing Saluran Pencernaan di YIARI

Keterangan: A. Telur Ascaris (100X), B. Telur

Strongyloides (100X), C. Telur Strongylid

(100X), D. Telur Hymenolepis sp. (100X).

9

Pada primata infeksi kecacingan saluran pencernaan umumnya melalui dua

rute transmisi yaitu oral dan transkutan. Ascaris sp. dan Trichuris sp. merupakan

salah satu cacing saluran pencernaan yang dapat menginfeksi satwa primata

melalui rute oral. Strongyloides dan Ancylostoma sp. merupakan cacing yang

mampu menginfeksi melalui rute transkutan (Pourrut et al. 2010). Dari hasil

pengamatan di kandang, aktivitas kukang merata antara di atas pohon (arboreal)

dan beraktivitas di tanah (terestrial). Hal ini memungkinkan kukang jawa

terinfeksi cacing. Secara alami kukang memiliki tiga tipe habitat utama, yaitu

hutan primer, hutan yang terdapat penebangan, serta padang savana (Wiens 2002).

Ascaris

Telur Ascaris yang ditemukan dalam feses berwarna kuning kecoklatan

dengan bentuk bulat, memiliki lapisan albumin yang tebal, dan memiliki tepian

bergelombang. Gambaran telur yang ditemukan dalam feses disajikan pada

Gambar 2A.

Secara morfologi telur Ascaris dapat dibedakan menjadi telur yang dibuahi

dan telur yang tidak dibuahi. Telur yang dibuahi berbentuk bulat berwarna

kecoklatan dengan lapisan albumin yang tebal. Telur yang tidak dibuahi tidak

memiliki bentuk spesifik dapat berbentuk lonjong, segitiga, menyerupai ginjal dan

memiliki lapisan luar yang cukup tipis (Ash dan Orihel 1990, Onggowaluyo

2002).

Penyebaran cacing jenis ini dapat ditemukan hampir di seluruh dunia

(kosmopolit). Penyebaran utamanya adalah daerah daerah yang memiliki iklim

tropis dengan kelembaban yang tinggi (Kusumamihardja 1995). Temuan telur

cacing Ascaris pernah dilaporkan sebelumnya menginfeksi satwa primata seperti

Lagothric lagothica dan Rhesus monkey (Chrisnawaty 2008, Michaud et al. 2003,

Phillippi dan Clarke 1992).

Strongyloides

Telur Strongyloides yang ditemukan dalam feses Kukang Jawa berwarna

kecokelatan dengan ciri morfologi yang khusus yaitu memiliki dinding lapisan

albumin yang tipis dan terdapat larva didalamnya. Pada sampel feses segar dapat

ditemukan telur berbentuk oval dengan dinding yang tipis berisikan larva di

dalamnya. Ciri tersebut sesuai dengan gambaran telur yang pernah disampaikan

oleh Viney dan Lok (2011). Gambaran telur ini disajikan pada Gambar 2B.

Strongyloides dapat ditemukan di daerah tropikal maupun subtropikal,

termasuk daerah yang memiliki suhu yang tinggi (Nunn dan Altizer 2006).

Milozzi et al. (2012) menemukan bahwa telur Strongyloides dapat ditemukan di

daerah yang memiliki tingkat kelembaban yang tinggi. Telur tipe ini pernah

ditemukan pada primata lainnya seperti Alouatta caraya, Aotus Azarai Azarai dan

Rhesus monkey (Milozzi et al. 2012, Perea-Rodriguez et al. 2010, Phillippi dan

Clarke 1992).

Strongylid

Telur Strongylid yang ditemukan dalam feses memiliki bentuk menyerupai

elips dengan dinding telur yang tipis dan terdapat sel berwarna keabuan (morula)

di dalamnya. Sel tersebut dapat berjumlah 4, 8, 16 dan seterusnya. Telur yang

10

ditemukan berwarn kuning kecoklatan. Gambaran telur ini disajikan pada Gambar

2C.

Telur ini ditemukan hanya pada feses yang berasal dari kandang NS8,

sehingga belum dapat dipastikan apakah telah terjadi transmisi pada kandang

lainnya. Telur jenis ini dapat berkembang dengan baik pada kondisi tanah yang

lembab. Penyebaran cacing jenis ini dilaporkan terdapat di Asia Tenggara, Afrika,

dan Amerika Selatan (Soulsby 1982). Terdapat tiga jenis cacing Strongylid yang

pernah dilaporkan menginfeksi satwa primata yaitu Ancylostoma sp., Necator sp.,

dan Oesophagostomum sp. (Chrisnawaty 2008, Pourrut et al. 2010).

Hymenolepis sp.

Telur yang ditemukan berbentuk bulat dengan lapisan albumin yang tebal.

Telur jenis ini berwarna kuning kecoklatan dengan ciri khusus adanya oncosphere,

embrio berkait enam, serta adanya filament di kedua kutub telur. Gambaran dari

telur ini disajikan pada Gambar 2D.

Hasil pengamatan morfologi telur Cestoda yang ditemukan diduga

merupakan telur cacing Hymenolepis nana. Ash dan Oriel (1990) menggambarkan

bahwa telur Hymenolepis nana memiliki bentuk telur bulat atau lonjong, dengan

oncosphere berkait enam, serta adanya filament pada kedua kutub telur. Cacing

jenis ini pernah dilaporkan menginfeksi satwa primata lainnya seperti Aotus

vosiferan, Chimpanzee, Rhesus Monkey, dan Squirrel monkey (Joslin 2003, Mul

et al. 2007). Penyebarannya cacing ini tergolong kosmopolit atau tersebar di

seluruh dunia, termasuk Indonesia. Hal ini memperkuat dugaan telur cacing yang

ditemukan dalam sampel feses Kukang Jawa merupakan telur cacing

Hymenolepis nana.

Prevalensi Kecacingan Kandang Sanctuary dan Non-sanctuary

Prevalensi tiap jenis cacing

Berdasarkan jenis telur cacing yang telah ditemukan (Tabel 2), dapat

dihitung bahwa prevalensi kecacingan pada kedua tipe kandang adalah 100%.

Tingkat prevalensi dari yang tertinggi sampai yang terendah di tipe kandang non-

sanctuary adalah Strongyloides (100%), kemudian Ascaris (33,33%) dan

Hymenolepis sp. (33,33%), serta Strongylid (11,11%). Prevalensi kecacingan

untuk kandang sanctuary prevalensi adalah Ascaris (50%), Strongyloides (50%),

Hymenolepis sp. (50%), dan Strongylid (0%). Data tersebut menjelaskan bahwa

untuk kandang non-sanctuary seluruh kandang terinfeksi cacing Strongyloides.

Tabel 2 Prevalensi kecacingan pada kandang Sanctuary dan Non-Sanctuary

Kandang

n

(Jumlah

Kandang)

Prevalensi (%)

Ascaris Strongyloides Strongylid Hymenolepis sp.

Non-

Sanctuary 9 33,33 100 11,11 33,33

Sanctuary 2 50,00 50,00 0 50,00

11

Tabel 3 Distribusi infeksi setiap jenis cacing saluran pencernaan di tiap kandang

No Jenis Cacing Non Sanctuary Sanctuary

1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 2

1 Ascaris

2 Strongyloides

3 Strongylid

4 Hymenolepis sp.

Infeksi kecacingan

Hasil pemeriksaan sebelas kandang yang diulang sebanyak enam kali

ditemukan dua tipe cacing yaitu Nematoda dan Cestoda. Cacing Nematoda terdiri

dari Ascaris, Strongyloides, dan Strongylid, tipe Cestoda adalah Hymenolepis sp..

Distribusi infeksi setiap jenis cacing di tiap kandang tersaji dalam Tabel 3. Pada

Tabel 3 dapat dilihat bahwa penyebaran tertinggi yang ditemukan adalah telur tipe

Strongyloides. Dari sebelas kelompok kandang yang diambil sampel fesesnya 10

diantaranya positif ditemukan telur Strongyloides. Apabila melihat siklus biologi

dari cacing jenis ini, cacing jenis ini memiliki perbedaan dibandingkan dengan

jenis nematoda lainya. Strongyloides memiliki dua fase hidup yaitu fase parasitik

dan fase hidup bebas. Pada fase parasitik terdapat cacing betina dewasa yang

mampu menghasilkan telur yang mengandung larva melalui proses partenogenesis

yang akan dikeluarkan bersama feses. Pada fase hidup bebas telur berlarva yang

dilepaskan di alam dapat berkembang menjadi bentuk jantan dan betina dewasa

serta mampu menghasilkan telur infektif berlarva (Urquhart et al. 1996). Telur

Strongyloides mampu bertahan hidup dengan baik di lingkungan tanah yang

sedikit berpasir serta tanah yang lembab namun pada lingkungan tanah yang

berpasir serta tanah liat telur ini tidak dapat berkembang (Soulsby 1982). Oleh

sebab itu penyebaran dari telur jenis ini sangat mudah tersebar dan menginfeksi

individu yang berada di sekitarnya.

Uraian di atas sesuai dengan lingkungan alas kandang yang ada di YIARI

yaitu cukup lembab. Hal ini diduga menjadi salah satu penyebab tingginya

penyebaran telur Strongyloides di hampir tiap kandang, serta adanya

kemungkinan transmisi yang terjadi di antara kandang melihat jarak antar

kandang yang cukup berdekatan.

Telur tipe Ascaris dan Cestoda yang ditemukan di empat kandang. Telur

tipe Ascaris ditemukan pada kandang NS1, NS2, NS4, dan S1. Sedangkan telur

tipe Hymenolepis sp. ditemukan pada kandang NS2, NS6, NS9, dan S2. Dalam

pemeriksaan sampel feses juga ditemukan telur Strongylid pada kandang NS8.

Data kelompok yang diperoleh dari hasil pemeriksaan sampel feses

menunjukan bahwa rata-rata kukang Jawa yang berada di YIARI dalam satu

kandang dapat terinfeksi lebih dari satu jenis cacing. Kandang yang mengalami

infeksi Ascaris, Strongyloides, dan Hymenolepis sp. adalah kandang NS2.

Kandang yang tercatat mengalami infeksi Ascaris dan Strongyloides adalah

kandang NS1, dan kandang NS4. Infeksi Ascaris dan Hymenolepis sp. dialami

oleh kandang S1. Kandang NS6 dan kandang NS9 tercatat mengalami infeksi

Hymenolepis sp. dan Strongyloides. Kandang NS8 yang mengalami infeksi

campuran Strongyloides dan Strongylid. Selain itu, terdapat pula beberapa

12

Tabel 4 Telur Tiap Gram Feses (TTGT) Setiap Telur Cacing

Tipe

Kandang Kode

TTGT Tiap Jenis Cacing

Ascaris Strongyloides Strongylid Hymenolepis sp.

Non-

sanctuary

NS1

6208

(0-14200) 42 (0-250) 0 0

NS2 308 (0-650) 0 0 125 (0-750)

NS3 0 33 (0-100) 0 0

NS4 642 (0-1100) 42 (0-150) 0 0

NS5 0 25 (0-50) 0 17 (0-100)

NS6 0 83 (0-200) 0 0

NS7 0 75 (0-250) 0 25 (0-100)

NS8 0 42 (0-150) 8,3 (0-50) 33 (0-100)

NS9 0 50 (0-100) 0 17 (0-100)

Sanctuary S1 933 (0-1550) 0 0 42 (0-250)

S2 0 67 (0-150) 0 8,3 (0-50)

kandang yang tercatat hanya mengalami infeksi satu tipe cacing Strongyloides

yaitu kandang NS5, NS7, dan S2.

Derajat Kecacingan Kelompok Kandang

Metode McMaster merupakan salah satu teknik pemeriksaan kecacingan

secara kuantitatif untuk melihat derajat infeksinya. Derajat infeksi merupakan

tingkat kesakitan inang yang dapat diduga dari jumlah parasit dalam tubuhnya

(Acrenaz 2003, Vitazkova dan Wade 2007). Ada tidaknya cacing dewasa atau

telur cacing dalam feses satwa tidak selalu menjadi acuan utama dalam

pemeriksaan, sebab apabila tidak ditemukan cacing dewasa atau telur cacing

dalam feses ada kemungkinan sampel belum mencapai masa prepaten cacing.

Untuk mengetahui derajat infeksi kecacingan perlu dilakukan pemeriksaan telur

tiap gram feses (TTGT). Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi nilai

TTGT seperti konsistensi feses, banyaknya feses yang dikeluarkan tiap hari,

produksi telur cacing yang berbeda tiap jenisnya, perbedaan produksi telur cacing

antara siang dan malam, perbedaan produksi telur cacing berdasarkan usia, dan

distribusi telur cacing dalam feses (Kusumamihardja 1995).

Sampel kelompok merupakan salah satu alternatif untuk mengetahui derajat

infeksi kecacingan khususnya yang ditransmisikan melalui tanah (the soil

transmitted helminths – STHs). Metode pengambilan sampel ini merupakan

prosedur pemeriksaan yang cepat dan efisien dalam menangani kasus kecacingan

(Mekonnen 2013).

Berdasarkan Tabel 4 dapat dipelajari bahwa nilai TTGT kelompok tertinggi

sampai terendah berturut-turut kandang NS1 (6250 TTGT), kandang S1 (975

TTGT), kandang NS4 (684 TTGT), kandang NS2 (433 TTGT), kandang NS7

(100 TTGT), kandang NS8 (83,3 TTGT), kandang NS6 (83 TTGT), kandang S2

(75,3 TTGT), kandang NS9 (67 TTGT), kandang NS5 (42 TTGT), dan kandang

NS3 (33 TTGT).

Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat infeksi setiap jenis cacing pada setiap

kandang. Infeksi Ascaris dapat terlihat pada kandang NS1, NS2, NS4, dan S1

dengan rataan TTGT sebesar 6208 TTGT, 308 TTGT, 642 TTGT, dan 933 TTGT.

Rataan derajat infeksi Strongyloides terdapat pada kandang NS1, NS3, NS4, NS5,

13

NS6, NS7, NS8, NS9, dan S2 dengan nilai rataan 42 TTGT, 33 TTGT, 42 TTGT,

25 TTGT, 83 TTGT, 75 TTGT, 42 TTGT, 50 TTGT, dan 67 TTGT. Rataan

derajat infeksi Strongylid terdapat pada kandang NS8 dengan nilai rataan 8,3

TTGT. Sedangkan infeksi Hymenolipis sp. terdapat pada kandang NS2, NS5,

NS7, NS8, NS9, S1, dan S2 dengan nilai rataan 125 TTGT, 17 TTGT, 25 TTGT,

33 TTGT, 17 TTGT, 42 TTGT, dan 8,3 TTGT.

Nilai derajat infeksi kecacingan saluran pencernaan pada kandang yang

berdekatan seperti kandang NS1, NS2, NS4 dan S1 memiliki nilai TTGT terdahap

telur Ascaris yang cukup tinggi. Hal ini diduga dekatnya jarak antar kandang dan

sekat pembatas antar kandang yang memungkinkan cacing jenis ini menginfeksi

kandang lainya. Aktivitas manusia juga diduga berpengaruh besar terhadap nilai

derajat kecacingan, sebab keempat kandang tersebut berdekatan dengan aktivitas

manusia.

Penyebaran telur Hymenolepis sp. banyak ditemukan pada kandang yang

berada dekat dengan pohon bambu tinggi seperti kandang NS5, NS6, dan NS7.

Pohon bambu tersebut menyebabkan kandang tersebut tidak mendapatkan sinar

matahari secara optimum. Dengan demikian untuk sementara dapat diduga bahwa

letak kandang serta intensitas cahaya matahari mempengaruhi nilai derajat

kecacingan secara tidak langsung.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil pemeriksaan sebanyak 9 sampel kandang non-sanctuary dan 2 sampel

kandang sanctuary seluruhnya terinfeksi cacing saluran pencernaan. Prevalensi

kecacingan saluran pencernaan pada kandang non-sanctuary adalah Strongyloides

(100%), kemudian Ascaris (33,33%), Hymenolepis sp. (33,33%), dan yang

terakhir Strongylid (11,11%). Sedangkan untuk kandang sanctuary prevalensi

Ascaris (50%), kemudian Strongyloides (50%), dan Hymenolepis sp. (50%).

Infeksi Ascaris tertinggi pada kandang non-sanctuary 1 dengan rataan

TTGT sebesar 6208 TTGT. Rataan derajat infeksi Strongyloides tertinggi terdapat

pada kandang non-sanctuary 6 dengan nilai rataan 83 TTGT. Rataan derajat

infeksi Strongylid terdapat pada kandang non-sanctuary 8 dengan nilai rataan 8,3

TTGT. Sedangkan infeksi Hymenolipis sp. tertinggi terdapat pada kandang non-

sanctuary 2 dengan nilai rataan 125 TTGT.

Saran

1. Perlu dipelajari lebih lanjut pola kejadian kecacingan dalam kurun waktu tertentu

dengan metode epidemiologis yang lain pada Kukang Jawa di YIARI.

2. Perlu dilakukan uji individu terhadap infeksi kecacingan pada kukang Jawa di

YIARI.

3. Perlu dipelajari lebih lanjut mengenai faktor resiko kecacingan yang terjadi di

Pusat Rehabilitasi Satwa Primata.

14

DAFTAR PUSTAKA

Acrenaz M, Setchell JM, dan Curtis DJ. 2003. Handling, Anestesia, Health

Evaluation and Biological Sampling. Di dalam: Setchell JM dan Curtis DJ, editor.

A Practical Guide Field and Laboratory Methods in Primatology. United

Kingdom: Cambrige University Press.

Aguirre AA dan Gomez A. 2009. Essential veterinary education in conservation

medicine and ecosystem health: a global prespective. Scientific and Technical

Review of the Office International des Epizooties. 28(2):597-603.

Aguirre AA, Ostfeld RS, Tabor GM, House C, dan Pearl M. 2002. Concervation

Medicine: Ecological Health in Practice. Oxford University Press: Ney York.

Appleton CC dan Henzi SP. 1993. Enviromental correlates of gastrointestinal

parasitism in montane and mountain baboons in Natal, South Africa. International

Journal of Primatology. 11(4): 623-635.

Ash LR dan Orihel TC. 1990. Atlas of Human Parasitology. USA: ASCP Press.

Ballenger L. 2000. Nycticebus coucang [internet]. [diunduh 2014 Februari 20].

Tersedia pada: www.species.net.

Chapman CA, Glliespie TR, Spiers ML. 2005. Brief Report, Parasite prevalence and

richness in sympatric Colobines: effect of host density. American Journal of

Primatology. 67(1):259-266.

Chen J, Pan D, Groves C, Wang Y, Narushima E, Fitch-Snyder H, Crow P, Thanh

VN, Ryder O, Zhang H, Fu Y, dan Zhang Y. 2006. Molecular phylogeny of

Nycticebus inferred from mitochondrial genes. International Journal of

Primatology. 27(4):1187-1200.

Choudhury AU. 1992. The Slow Loris (Nycticebus coucang) in North-east India.

Primate Report. 34:77-83.

Chrisnawaty D. 2008. Infeksi Cacing Saluran Pencernaan pada Monyet Ekor Panjang

(Macaca fascicularis) di Pulau Tinjil [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Gillespie TR, Greiner EC, and Chapman AC. 2004. Gastrointestinal parasite of the

Guenons of Westren Uganda. Journal of Parasitology. 90(6):1356-1360.

Joslin JO. 2003. Other Primate Excluding Great Apes. Di dalam: Fowler ME editor.

Zoo and Wild Animal Medicine Fifth Edition. Philadelphia: WB Saunders. hlm

372-374.

Kusumamiharjda S. 1995. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan Hewan

Peliharaan di Indonesia. Bogor: Pusat Antara Universitas Bioteknologi Institut

Pertanian Bogor.

Labes E, Hegglin D, Geimm F, Nurcahyo W, Harrison ME, Bastian ML, dan

Deplazes P. 2010. Intestinal parasites of endangered orangutan (Pongo pygmaeus)

in Central and East Kalimantan, Borneo, Indonesia. Journal of Parasitology.

137(1):123-135.

Levine ND. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Ashadi G,penerjemah.

Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada University Press.

Mekonnen Z, Selima M, Mio A, Johannes B, Jozef V, dan Brunno L. 2013.

Comparison of individual and pooled stool sampeles for the assessment of soil

transmitted helminth infection intensity and drug efficacy. PLOS Neglected

Tropical Diseases. 7(5): e2189.

15

Melfie V dan Poyser F. 2007. Trichuris burdens in zoo-housed Colobus guereza.

International Journal of Primatology. 28(6):1449-1456.

Michaud C, Tantalean M, Ique C, Montoya E, dan Gozalo A. 2003. A survey for

helminthpParasites in feral new world non-human primate populations and Its

comparation with parasitological data from man in the region. Journal of Medical

Primatology. 32(6):341-345

Milozzi C, Gabriela B, Elisa C, Marta DM, dan Graciela TN. 2012. Intestinal

parasites of Alouatta caraya (Primates, Ceboidea): premilinary study in semi-

captivity and in wild in Argentina. Menzoda. Journal of Mastozoologia

Neotropical. 19(2):271-278.

Mul IF, Paembonan W, Singleton I, Wich SA, dan van Bolhuis HG. 2007. Intestinal

parasites of free-ranging. semicaptive, and captive Pongo abelii in Sumatra,

Indonesia. International Journal of Primatology.28(2):407-420.

Muller R. 2002. Worm and Human Desease 2nd

Ed. New York (US): CABI

Publishing.

Nekaris KAI dan Nijman V. 2007. Cites proposal highlights rarity of Asian nocturnal

primates (lorisidae: Nycticebus). Folia Primatologica. 78:211–214.

Nekaris KAI dan Shekelle, M. 2008. Nycticebus javanicus. Dalam: IUCN 2014.

IUCN Red List of Threatened Species. Version 2014.2 [internet]. [diunduh 2014

Februari 21]. Tersedia pada : http://www.iucnredlist.org/details/39761/0.

Nunn C dan Altizer S. 2006. Diversity and Characteristic of Primates. Pp 22-56,

dalam: Harvey PH dan May RM, editor. Infectious Deseases in Primates,

Behavior, Ecology and Evolution. Oxford University Press: New York

Nursahid R dan Purnama AR. 2007. Perdagangan Kukang (Nycticebus coucang) di

Indonesia [internet]. [diunduh 2014 Maret 10]. Tersedia pada:

http://www.profauna.or.id/indo/pressrelease/perdagangan-kukang.html.

Onggowaluyo JS. 2002. Parasitologi Medik I Helmintologi. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC.

Pambudi JAA. 2008. Stidu Populasi, Perilaku, dan Ekologi Kukang Jawa

(Nycticebus javanicus E. Geoffroy, 1812) di Hutan Bodogol Taman Nasional

Gunung Gede Pangrango Jawa Barat [tesis]. Jakarta: Universitas Indonesia.

Perea-Rodriguesz JP, Milano AM, Osherov BE, and Fernandez-Duque E. 2010.

Gastrointestinal parasites of Owl Monkey (Aotus Azarai Azarai) in the

Argentinean Chaco. Neotropical Primates. 17(1):7-11.

Permin A dan Hansen JW. 1998. Epidemiology, Diagnosis and Control of Poultry

Parasites. Rome: Food and Agriculture Organization of United States.

Phillippi KM dan Clarke MR. 1992. Survey of parasites of Rhesus monkey housed in

small social group. American Journal of Primatology. 27(2):293-303.

Phillips KA, ME Hass, BW Grafton, and M Yrivarren. 2004. Survey of the

gastrointestinal parasites of the primates community at Tambopata National

Reserve, Peru. Journal of Zoology London. 264:149-151.

Pourrut X, Diffo JLD, Somo RM, Bilong Bilong CF, Delaporte E, LeBreton M, and

Gonzalez JP. 2010. Prevalence of gastrointestinal parasites in primate bushmeat

and pets in Cameroon. Veterinary Parasitology. 5475:5.

Rasmussen DT dan Nekaris KAI. 1998. Evolutionary history of the lorisiform

primates. Folia Primatologica. 69:250-285.

Roos C. 2003. Molekulare Phylogenie der Halbaffen, Schlankaffe und Gibbon

[disertasi]. Munchen: Technische Universitat Munchen.

16

Setchell JM, Bedjabaga IB, Goossens B, Reed P, Wickings EJ, dan Knapp LA. 2007.

Parasite prevalence, abundance, and diversity in a semi-free-ranging colony of

Mandillus sphinx. International Journal of Primatology. 28(6):1345-1362.

Shaikenov BS, Rysmukhambetova AT, Massenov B, Deplazes P, Mathis A, dan

Torgerson PR. 2004. Shot Report : The use of a polymerase chain reaction to

detect Echinococcus granulosus (G1 Strain) egg in soil sample. American Journal

of Tropical Medicine Hygiene. 71(4): 441-443.

Smuts BB, Cheney DL, Seyfarth RM, Wrangham RW, dan Struhsaker TT. 1987.

Primate Societies. Chicago (US): The University of Chicago.

Soulsby EJL. 1982. Helminths, Antropods, and Protozoa of Domesticated Animals.

London: Bailliere Tindall.

Supriatna J. 2000. Status Konservasi Satwa Primatadi Indonesia. Dalam Prosiding

Seminar Primatologi Indonesia 2000, Konservasi Satwa Primata: Fesesuan

Ekologi, Sosial Ekonomi Medis Dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi. Yogyakarta, 7 September 2000. Yogyakarta: Fakultak Kedokteran

Hewan dan Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada.

Thrusfield M. 2005. Veterinary Epidemiology Thrid edition. USA: Blackwell

Publishing Company.

Urquhart GK, Armour J, Ducan JL, Dunn AM, dan Jennings FW. 1996. Veteriner

Parasitology 2nd

Ed. Scotland (EN): Blackwell Publishing Professional.

Viney ME dan Lok JB. 2011. Strongyloides spp. Wormbook. Doi:

10.1895/wormbook.1.141.1.

Vitazkova SK dan Wade SE. 2006. Parasites of free-ranging black howler monkey

(Alouatta pigra) from Blize and Mexico. American Journal of Primatology.

68:1089-1097.

Vitazkova SK dan Wade SE. 2007. The effect of ecology on the endo-parasites of

Alouatta pigra. International Journal Primatology. 28:1327-1343.

Wahyuni H. 2011. Pengaruh Pengayaan Pakan Alami Terhadap Prilaku Kukang

Jawa (Nycticebus javanicus Geoffroy 1812) di Yayasan International Animal

Rescue (IAR) Indonesia. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Walter-Toews D. 2009. Commentary. Eco-health: a primer for veterinarians.

Canadian Veterinary Journal 50:519-521.

Whitlock HV. 1948. Some modification of McMaster helminth egg counting

techniques and apparatus. Journal of The Council for Scientific and Industrial

Research. 21(1):128-130.

Wiens F. 2002. Behavior and Ecology of Wild Slow Loris (Nycticebus coucang):

Social organisation, Infant Care System and Diet [disertasi]. Bayreuth: Bayreuth

University.

Willingham AL, Johansen MV, Barnes EH. 1998. A new technic for counting

Schistosoma japonicum egg in pig feces. Southeast Asian Journal Tropical

Medicine Public Health. 29(1): 128-130.

Wirdateti. 2005. Pakan alami dan habitat kukang Nycticebus coucang dan tarsius

Tarsius bancanus di hutan pasir panjang Kalimantan Tengah. Journal of

Biological Indonesia. 3(9):360-370.

17

NS5 NS6

NS3

NS2 NS1

NS9

NS7

S1

NS8

S2

NS4

LAMPIRAN

Denah Peta Kandang Kukang di YIARI

NS6 NS5

Ruang Staf

NS3

S1

NS1 NS2

NS9

NS7

NS8

S2

NS4

Keterangan:

Kandang Nycticebus

javanicus

Kandang kukang lain

Ruangan staf YIARI

18

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di kota Balikpapan, Kalimantan Barat pada tanggal 10 Maret

1992. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara kandung yang lahir dari

pasangan suami istri M. A. B. Purwanto dan Sri Suryatiningsih.

Penulis menempuh pendidikan di SMP Negeri 2 Cimahi pada tahun 2004-

2007. Pada tahun 2007-2010 penulis meneruskan pendidikan di SMA Negeri 1

Cimahi. Kemudian pada tahun 2010, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor

melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) sebagai mahasiswa Fakultas

Kedokteran Hewan.

Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi bendahara 2 Himpunan

Profesi Satwa Liar (2012-2013), pengurus Komunitas Seni dan Teater Ilmiah-

STERIL (2012-2013), dan Ketua Divisi Informasi dan Komunikasi Himpunan

Profesi Satwa Liar (2013-2014). Penulis juga aktif menjadi panitia kegiatan dalam

maupun luar kampus.

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran

Hewan, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul:

“Kecacingan pada Kukang Jawa (Nycticebus javanicus) di Pusat Rehabilitasi

Satwa Primata Yayasan International Animal Rescue Indonesia (YIARI)”

dibawah bimbingan Dr Drh Elok Budi Retnani, MS dan Dr Drh R. P. Agus

Lelana, SpMP. Msi.