strategi komunikasi dalam penerapan nilai-nilai pancasila

23
1 Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila sebagai Materi Inspiratif Pendidikan Seni Pertunjukan Ririt Yuniar 1 Pendahuluan Pancasila sebagai dasar Negara menjadi Paradigma Nasional sekaligus mengandung makna bahwa nilai-nilai yang terkandung didalamnya menjadi pedoman bagi masyarakat. Nilai dasar ini acapkali dianggap pedoman yang normative dan abstrak yang dapat dijadikan landasan dalam kegiatan bernegara. Namun demikian, nilai-nilai ini dapat di konkritkan menjadi sebuah aksi tindakan nyata dalam kehidupan keseharian. Lebih mengerucut lagi kegiatan tersebut juga dapat dipedomani oleh seluruh lapisan masyarakat dalam segala macam profesinya. Hal tersebut sebagai contoh pada profesi pendidik atau guru tentunya dalam kontek belajar mengajar yang merupakan salah satu tugas professional pendidik sebaiknya mampu menerapkannya dan menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari. Tri darma perguruan tinggi baik itu penelitian, pengajaran, maupun pengabdian masyarakat hendaknya mampu menerapkan nilai-nilai Pancasila baik dalam tataran konseptual dan praktisnya. Peran Guru atau pendidik sangatlah penting guna mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia demi mewujudkan amanah Presiden Republik Indonesia yang mengatakan bahwa: “Guru bukan hanya sebuah 1 DR. RIRIT YUNIAR, S.SOS., M.HUM. Dosen Universitas Pancasila Fakultas Ilmu Komunikasi, IKAL 48 LEMHANNAS RI. Consultan, Kreator Art and Design, Writer dan Pengkaji Kebijakan.

Upload: others

Post on 16-Nov-2021

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila

   

1  

Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila sebagai Materi

Inspiratif Pendidikan Seni Pertunjukan

Ririt Yuniar1

Pendahuluan

Pancasila sebagai dasar Negara menjadi Paradigma Nasional

sekaligus mengandung makna bahwa nilai-nilai yang terkandung

didalamnya menjadi pedoman bagi masyarakat. Nilai dasar ini acapkali

dianggap pedoman yang normative dan abstrak yang dapat dijadikan

landasan dalam kegiatan bernegara. Namun demikian, nilai-nilai ini dapat

di konkritkan menjadi sebuah aksi tindakan nyata dalam kehidupan

keseharian. Lebih mengerucut lagi kegiatan tersebut juga dapat

dipedomani oleh seluruh lapisan masyarakat dalam segala macam

profesinya. Hal tersebut sebagai contoh pada profesi pendidik atau guru

tentunya dalam kontek belajar mengajar yang merupakan salah satu

tugas professional pendidik sebaiknya mampu menerapkannya dan

menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari. Tri darma perguruan tinggi

baik itu penelitian, pengajaran, maupun pengabdian masyarakat

hendaknya mampu menerapkan nilai-nilai Pancasila baik dalam tataran

konseptual dan praktisnya.

Peran Guru atau pendidik sangatlah penting guna mewujudkan

cita-cita bangsa Indonesia demi mewujudkan amanah Presiden Republik

Indonesia yang mengatakan bahwa: “Guru bukan hanya sebuah

                                                                                                                         1 DR. RIRIT YUNIAR, S.SOS., M.HUM. Dosen Universitas Pancasila Fakultas Ilmu Komunikasi, IKAL 48 LEMHANNAS RI. Consultan, Kreator Art and Design, Writer dan Pengkaji Kebijakan.

Page 2: Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila

   

2  

pekerjaan, tetapi guru adalah menyiapkan sebuah masa depan”.(Joko

Widodo). Dimana guru dalam mewujudkan masa depat itu, menjadi aktor

penting dalam mewujudkan pendidikan karakter yang sejalan dengan

paradigma Nasional Bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Terwujudnya

generasi milenial yang aware terhadap situasi kekayaan keberagaman

bangsa Indonesia menjadi poin penting yang perlu diperhatikan dan

dimulai sejak dini didalam pendidikan generasi muda. Karakter tersebut

dapat diwujudkan pada kurikulum maupun praktek berkesenian. Dalam

konteks ini menjadi sebuah grand design penting pada substansi

pengajaran dalam setiap materi pendidikan seni pertunjukan. Berikut

pendidikan karakter yang perlu dibentuk pada generasi bangsa.

Dikti telah menetapkan sesuai dengan kepribadian bangsa dan

sudah sangat tepat apabila Pancasila, UUD 45, NKRI, Bhinneka Tunggal

Ika menjadi Paradigma Nasional dalam menerapkan Kebijakan Penguatan

Pendidikan Karakter. Sehingga dapat membangun dan membekali peserta

didik menjadi generasi emas dapat terwujud. Generasi yang nasionalis,

mengutamakan kepentingan bangsa Negara di atas kepentingan pribadi

dan golongan. Artinya generasi yang taat hukum, disiplin, cinta tanah air,

menghormati keragaman suku agama budaya, rela berkorban, mampu

mengapresiasi budaya bangsa sendiri, menjaga kekayaan budaya bangsa,

unggul dan berprestasi, serta mampu menjaga lingkungan. Sekolah,

masyarakat dan keluarga adalah ekosistem pendidikan yang harus

bersinergi. Sekolah menjadi sentral lingkungan sekitar yang mampu

dujadukan sumber-sumber belajar. Semua itu dikalukan demu

mewujudkan generasi cerdas dan berkualitas. Langkah-langkah yang

telah di konsepkan oleh pemerintah pusat adalah demikian:

Page 3: Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila

   

3  

Gambar: Dok. Kemendikbud.go.id

Tidak dapat dipungkiri bahwa pentingnya penerapan nilai-nilai

Pancasila disini menjadi sebuah keniscayaan yang menjadi wajib

hukumnya bila dipandang dari sudut yang berbeda. Dalam segala aktifitas

kehidupan berbangsa dan bernegara di bumi Indonesia tercinta ini, akhir-

akhir ini pro kontra dan konflik menjadi hal yang sering terjadi akibat

Page 4: Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila

   

4  

kebhinekaan. Oleh karena itu, dalam membangun karakter generasi masa

depan yang visioner, dinamis dan berkualitas diperlukan fondasi yang

kuat. Nilai-nilai Pancasila tidak akan dapat terimplementasikan secara

optimal jika tidak menggunakan strategi komunikasi yang tepat dalam

menyampaikannya. Peran komunikator yang dapat dijadikan teladan, juga

perlu menjadi perhatian. Jika tidak, yang ada hanya akan menjadi cibiran

dan bahkan cemoohan segelintir oknum yang apatis terhadap idealism

bangsa Indonesia.

Kesempatan ini menjadi langkah awal yang penting dimana

strategi komunikasi dalam penerapan nilai-nilai Pancasila dapat menjadi

upaya mengatasi bagaimana menghadapi persoalan dinamika

Multikultural dan Kebhinnekaan yang acapkali dijadikan “alat” memecah

persatuan dan kesatuan bangsa. Suatu hal yang keliru dan perlu

dipertanyakan bila terjadi demikian terus menerus. Kemana Pancasila?

Dimana fondasi itu? Ada apa dengan bangsa Indonesia? Sebagai generasi

bangsa yang bermartabat, tentunya melalui teladan guru dan para

pendidik, mampu memberikan inspirasi positif menangani segala macam

dinamika yang terjadi akibat keberagaman. Keberagaman dan

Kebhinekaan menjadi salah satu solusi alternative bagi terwujudya NKRI.

Nilai-nilai Pancasila yang termaktub dalam kelima sila nya dan butir-

butirnya, tentu dapat menjadi inspirasi kreatif dalam mewujudkan karya

seni pertunjukan yang beranekaragam. Melalui konsep ideal bangsa

tersebut sejalan dengan Visi Misi ISI Yogyakarta, …… dalam mewujudkan

penciptaan seni maupun menelorkan gernerasi pendidik seni pertunjukan

yang memegang teguh dan mengoptimalkan penerapan nilai-nilai

Pancasila dalam konsep dan karya nya. Yang mana karya seni di

Indonesia ini sangat beragam dan berkembang pesat.

Page 5: Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila

   

5  

Keanekaragaman seni telah berkembang menjadi berbagai macam

jenis dan karakteristik, seperti seni visual (visual art) antara lain seni

patung, seni lukis, seni instalasi, seni keramik, fotografi, karikatur dan

lain-lain, serta seni pertunjukan (performing art) di antaranya seni musik,

seni tari, drama atau teater, wayang orang, dan sebagainya. Akan tetapi,

bidang-bidang seni ini cenderung terkotak-kotakkan sesuai dengan

genrenya, sehingga hanya berkembang dari akarnya masing-masing. Hal

ini nampak menjadi seni yang terpisah-pisahkan dan adanya gap antara

satu sama lain. Selain itu, wadah kegiatan seni antara seni tradisi dengan

seni modern yang terpadu kurang terwadahi dengan optimal sehingga

mampu meleburkan, mengkolaborasikan, dan menginteraksikan berbagai

bidang seni tersebut menjadi suatu kesatuan bahkan dapat menciptakan

karya seni yang baru. Pembagian seni secara konvensional ke dalam Seni

Rupa dan Seni Pertunjukan juga dapat dituduh sebagai faktor pendorong

terkotak-kotakkannya seni di Indonesia.

Seiring perkembangannya, seni pertunjukkan terbagi menjadi seni

pertunjukan tradisional dan seni pertunjukan modern. Seni berfungsi

sebagai edutainment artinya mengedukasi masyarakat dan juga memberi

hiburan pada masyarakat. Hal ini tidak lagi hanya bertugas pada tujuan

penyampaian informasi dengan tepat atau efisien. Seni sebagai hasil karya

manusia menempati kedudukan dan peran yang khusus, serta di dalam

setiap pementasannya karya seni dapat memuat pesan yang ingin

disampaikan kepada penonton atau audience. Pesan tersebut dapat

bersifat sosial, moral, politik, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya.

Ditegaskan pula oleh Soedarsono (2002) dengan mengkategorikan

fungsi seni pertunjukan menjadi dua, yaitu fungsi primer dan fungsi

sekunder. Yang dimaksud dengan fungsi primer adalah fungsi seni

pertunjukan itu ditampilkan untuk siapa. Disebut sebagai seni

Page 6: Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila

   

6  

pertunjukan bila ada yang mempertunjukan dan ada yang menikmatinya.

Fungsi sekunder seperti untuk propaganda agama, untuk pengikat

solidaritas sosial, untuk propaganda politik, untuk ajang pertemuan

seperti misalnya arisan, dan masih banyak lagi.2

Seni cenderung lebih mengarah pada tercapainya peningkatan dan

pemenuhan pengalaman manusia lewat perjumpaannya dengan realita

media seni. David Brain memandang nilai, fungsi, dan makna seni rupa

sebagai sesuatu yang dikonstruksi dan dibentuk, bukan “ditemukan” atau

bersemayam dalam wujud material seni.3 Senada dengan hal tersebut,

pemahaman berkaitan dengan performance studies yang menjadi

perspektif dalam tulisan ini, ingin mengupas persoalan pengkotak-

kotakkan seni tersebut mejadi sebuah karya seni yang “borderless”.

Dalam keberagaman itulah nilai-nilai Pancasila dapat mewujud sebagai

semuah konsep maupun konteks dalam penciptaan dan pengajaran seni

pertunjukan.

Korelasi Strategi Komunikasi dalam Karya Seni.

Strategi pada hakekatnya adalah perencanaan (planning) yang

merupakan bagian dari manajemen (management) untuk mencapai suatu

tujuan. Untuk mencapai tujuan tersebut, strategi komunikasi harus dapat

menunjukkan arah dan taktik operasional tindakan yang paling tepat

dilakukan. 4 Effendy (2005) menjelaskan bahwa, strategi komunikasi

memiliki tujuan (1) To Secure Understanding yaitu untuk memastikan

bahwa terjadi suatu pengertian dalam berkomunikasi. (2) To Establish

Acceptance, yaitu bagaimana cara penerimaan itu terus dibina dengan

                                                                                                                         2 R.M. Soedarsono. 2002. “Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi”. Jakarta: Depdikbud. Hal.118-270. 3 David Brain. 2004. “Material Agency and the Art of Artifacts: dalam Sosiologi of Arts, A Reader”. Jeremy Tanner (ed.). Taylor & Francis e-Library (first published 2001 by Routledge). 4 Onong U Effendy. 2005. “Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek”. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Hal. 59.

Page 7: Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila

   

7  

baik. (3) To Motivate Action, yaitu penggiatan untuk memotivasinya, dan (4)

To Goals Which Communicator Sought To Achieve, yaitu sebagai tujuan

yang hendak dicapai oleh pihak komunikator dari proses komunikasi

tersebut.

Dalam hal ini Performance Studies melihat empat strategi di atas

tepat dan cocok untuk diterapkan dalam karya seni. Selain itu, strategi

komunikasi juga memiliki fungsi ganda yaitu, (1) menyebarluaskan pesan

komunikasi yang bersifat informatif, persuasif, dan instruktif secara

sistematik kepada sasaran untuk memperoleh hasil yang optimal. (2)

Menjembatani “cultural gap”, yaitu kondisi yang terjadi akibat kemudahan

diperolehnya dan kemudahan dioperasionalkannya media yang bergitu

ampuh, yang jika dibiarkan akan merusak nilai-nilai yang dibangun.

Sebagai contoh kreativitas seni yang dibangun atau dibuat untuk mengisi

siaran hiburan, film, maupun talkshow baik yang live di media elektronik

on air maupun off air.

Dalam rangka menyusun suatu strategi komunikasi, teori Harold D.

Lasswell mengatakan bahwa terdapat beberapa komponen-komponen

komunikasi yang perlu diperhatikan yaitu (1) Komunikator, (2) Pesan, (3)

Media, (4) Komunikan, dan (5) Efek.5 Lasswell menunjukan bahwa pihak

pengirim pesan (komunikator) mempunyai suatu keinginan untuk

mempengaruhi pihak penerima, oleh karena itu komunikasi harus

dipandang sebagai upaya persuasi.

Quinn (1992) dalam buku kiat dan strategi kampanye PR

menyatakan agar suatu strategi komunikasi dapat efektif dilaksanakan,

maka harus mencakup beberapa hal di antaranya pertama, objektif guna

menentukan semua ikhtiar dalam mencapai pemahaman yang jelas dan

bisa mencapai keseluruhan tujuan. Kedua, memiliki strategi inisiatif

                                                                                                                         5 Onong U Effendy. 2005. “Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek”. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Hal. 34.

Page 8: Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila

   

8  

dalam menjaga kebebasan bertindak dan memperkaya komitmen. Strategi

harus menentukan langkah dan menetapkan tindakan terhadap peristiwa,

bukan bereaksi terhadap peristiwa. Ketiga, konsentrasi dengan

memusatkan kekuatan besar untuk waktu dan tempat yang ditentukan.

Keempat, fleksibilitas strategi hendaknya diniatkan untuk dilengkapi

penyangga dan dimensi untuk fleksibilitas dan manuver. Keenam, strategi

hendaknya dipersiapkan untuk memandaatkan kerahasiaan dan

kecerdasan untuk menyerang lawan pada saat yang tidak terduga. 6

Strategi ini dapat juga diterapkan dalam kreatifitas seni pertunjukan dan

seni rupa dengan mengkolaborasi performance studies dari pandangan

Richard Schechner. Tentunya konsepnya termuat atau terkandung-nilai-

nilai Pancasila yang mewujud dalam kehidupan keseharian, konsep

maupun hasil sebuah karya.

Oleh karena itu, dalam rangka menyusun strategi diperlukan suatu

pemikiran dengan mempertimbangkan komponen-komponen dari faktor-

faktor pendukung dan faktor penghambat dari strategi komunikasi seperti

(1) mengenali sasaran komunikasi dengan memperhatikan faktor

kerangka referensi, faktor situasi dan kondisi pada komunikan. (2)

Pemilihan media komunikasi yang digunakan guna mencapai tujuan

komunikasi. (3) pengkajian tujuan pesan komunikasi dengan menentukan

teknik yang akan digunakan baik teknik informasi, persuasi atau teknik

informasi instruksi. (4) Peranan komunikator dalam komunikasi akan

berhasil apabila memiliki daya tarik dan kredibilitas sebagai sumber.

Komponen-komponen tersebut di atas dapat dianalogikan dalam sebuah

dialektika seni yaitu ada pada aktor, audience, serta bentuk seni yang

                                                                                                                         6 Rosady Ruslan. 2002. “Kiat dan Strategi Kompanye Public Relations”. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hal.90-91.

Page 9: Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila

   

9  

ingin ditampilkan berikut isi pesan dalam performance yang ingin

ditampilkan

Terdapat empat faktor penting guna membuat perencaan yang baik

dalam menyusun strategi komunikasi, yaitu: (1) mengenal khalayak,

dalam seni diharapkan juga dapat mengenal audience atau khalayak

sebagai segmen pasar yang akan dituju. (2) menyusun pesan, setelah

khalayak dan situasinya jelas agar komunikasi dapat berjalan dengan

efektif. Hal ini sangat jelas dan konkrit dapat dilihat dari keberhasilan

seniman dalam mengkomunikasikan karya seninya. (3) menetapkan

metode, dalam sebuah karya seni dapat dilakukan dengan berbagai

macam cara disesuaikan dengan kondisi audience dan jenis genrenya. Hal

ini dapat diwujudkan melalui bentuk metode redundancy, yaitu

mempengaruhi khalayak dengan mengulang pesan kepada khalayak.

Pertama, metode canalizing yaitu dengan mengenal khalayaknya terlebih

dahulu kemudian menyampaikan pesan sesuai dengan kepribadian,

sikap, dan motif khalayak. Sama halnya dengan seni rupa maupun

pertunjukan, para pelaku seni memperhitungkan dan mempertimbangkan

audience, sekmen pasar maupun khalayak penontonya. Kedua, metode

Edukatif, yaitu diwujudkan dalam bentuk pesan yang berisi pendapat,

fakta, dan pengalaman yang merupakan kebenaran dan dapat

dipertanggung jawabkan. Kreatifitas seniman atau pelaku seni senantiasa

juga menjalankan metode edukatif ini. Hal ini tampak dalam setiap event

yang juga ada kaderisasi dan unsur pendidikan yang di terapkan. Ketiga,

metode koersif, yaitu dengan memaksa khalayak untuk menerima pesan

yang disampaikan. Mau tidak mau dan sadar atau tidak khalayak sering

terpersuasi oleh perform seniman melalui karya-karya yang

ditampilkannya. (4) seleksi dan penggunaan media, sebagai alat penyalur

Page 10: Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila

   

10  

pesan informasi maupun gagasan kepada khalayak secara selektif

menyesuaikan dengan keadaan dan kondisi khalayak.7

Teori-teori komunikasi di atas sangat relevan jika mampu

diterapkan oleh creator seni dengan menggunakan pendekatan

performance studies guna meningkatkan kualitas dan kreativitas para

creator seni yang lebih mengutamakan nilai-nilai Pancasila sebagai

pedoman berkarya. Nilai-nilai Pancasila dapat diimplementasikan melalui

karya seni yang “borderless” artinya tidak terbatas lintas ruang dan waktu

dalam konsep dan praktiknya.

Kontekstualisasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Seni Pertunjukan.

Pentingnya strategi komunikasi yang tepat dan matang dengan

melihat target audiens yang dituju. Sehingga penyampaian pesan dapat

dilakukan dengan maksimal dan diterima dengan baik. Seni yang menjadi

salah satu sarana atau saluran penyampaian pesan, dinilai sangat efektif

dalam tujuan komunikasi. Masyarakat lebih mudah menerima pesan

melalui performance sehingga seni menjadi sebuah media komunikasi

yang memiliki kedudukan dan peran khas di hati masyarakat. Ini juga

dapat ditampilkan dalam kearifan local masing-masing wilayah di seluruh

wilayah Indonesia yang kaya akan seni budaya. Hal itu sebegai wujud

representasi penerapan nilai-nilai Pancasila. Menurut Koentjaraningat

tujuh unsur kebudayaan yang salah satunya kesenian ini menjadi unsur

mendasar dalam memperkaya kreativitas para seniman untuk membuat

karya-karyanya. Tentunya fondasi nilai Pancasila sudah menjadi sebuah

syarat mutlak didalamnya.

Seni itu sendiri merupakan sebuah hasil kreativitas yang selalu

dinamis sesuai dengan perkembangan zamannya. Seni bukan hanya

                                                                                                                         7 Anwar Arifin. 1984. “Strategi Komunikasi”. Bandung: Armico.

Page 11: Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila

   

11  

sebatas bentuk dari kebudayaan semata, tetapi juga merupakan produk

dan aktivitas budaya yang memiliki potensi sebagai sarana penyebaran

informasi, pendidikan, penanaman nilai-nilai budaya, dan kontrol sosial

masyarakat serta menjadi sarana solidaritas sosial. Kehadiran seni

merupakan sebuah refleksi dari nilai-nilai lokal yang kini hadir sebagai

kritik terhadap perkembangan situasi dan kondisi masyarakat. Nilai-nilai

Pancasila yang mewujud dalam keseharian menjadi sangat penting untuk

dipedomani. Oleh karena itu, pihak-pihak berkepentingan memanfaatkan

seni sebagai media atau saluran komunikasi guna mengungkap masalah-

masalah sosial, ekonomi, propaganda politik, seksualitas atau gender,

keprihatinan, dan permasalahan rakyat secara holistik yang disampaikan

secara halus, dengan narasi yang wajar sesuai kultur, etika, logika dan

estetika.

Seni sebagai media luwes untuk menyebarluaskan informasi secara

faktual melalui pengalaman emosional para pelaku seni sehingga

informasi yang disampaikan dapat menjadi lebih bermakna. Tujuan

performance yang dilakukan oleh para seniman itu sendiri antara lain

untuk mengubah opini, sikap, dan perilaku, guna mencapai kesamaan

tentang persepsi yang dibangun oleh para seniman. Dalam konteks ini,

peran dan fungsi seni sebagai sarana media komunikasi memberikan arti

bahwa, seniman sebagai kreator dan penonton sekaligus sebagai

apresiator, antara pelaku seni dan penikmat seni, menjadi sesuatu yang

ditafsirkan oleh keduanya. Diciptakannya seni oleh para seniman dengan

tafsir makna tersendiri, yang kemudian diamati, ditonton, atau diapresiasi

oleh penikmat seni dengan tafsir makna tersendiri pula dapat menjadikan

kondisi panggung seni menjadi sangat dinamis. Dinamika inilah yang

mampu memperkaya ragam kajian seni dan dialektika seni di Indonesia.

Page 12: Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila

   

12  

Betapa dasyatnya jika dialektika seni tersebut berlandaskan Pancasila

dan Berbhinneka Tunggal Ika, dimana “Kita Bhinneka Kita Indonesia”.

Produktivitas dalam menciptakan ragam dan format sajian untuk

mendekatkan diri dan berkomunikasi dengan masyarakat, penonton atau

audience menjadi sebuah syarat dalam berkarya. Pola interaksi tersebut

dilakukan oleh masyarakat dengan lingkungannya dimana setiap orang

atau masyarakat ingin melibatkan dirinya dengan cara menonton,

mengapresiasi, mengamati, menginterpretasi, mengkritisi dan bahkan

ingin melibatkan diri menjadi pelaku dalam peristiwa pertunjukan, baik

secara langsung maupun tidak langsung. Pada tataran inilah nilai-nilai

Pancasila dapat diwujudkan pada sebuah karya seni.

Performance studies menjadi salah satu alternative perspektif yang

menjembatani kajian komunikasi melalui seni. Perspektif pagelaran

membuka peluang untuk memandang pengoleksian karya sebagai

tindakan yang lebih dari sekedar akuisisi dan penyimpanan karya seni.

Namun, digunakan untuk meraih tujuan sintetis, ekonomis, sosial,

kutural, spiritual ataupun politis tertentu sesuai dengan bagaimana cara

audiens atau penikmat seni menggunakan masing-masing karya seni.8

Kehidupan sehari-hari kita terstruktur berdasarkan berbagai

perilaku yang terulang-ulang serta secara sosial dan sanksinya, maka

dapat dikatakan bahwa semua aktivitas manusia dapat dianggap sebagai

performance atau ‘penampilan’. Schechner mengemukakan, bahwa banyak

kebudayaan yang tidak memiliki kata atau istilah atau kategori yang

disebut ‘seni’, walaupun mereka menciptakan ‘pertunjukan’ yang

mendemonstrasikan sentuhan estetis yang tinggi. Sebenarnya dalam

menciptakan seni bukan hanya menciptakan, tetapi juga menilainya.

Lebih lanjut lagi Schechner menegaskan bahwa, walaupun sebuah

                                                                                                                         8 Marvin Carlson. (1986), “Performance: A Critical Introduction”. New York: Routledge.

Page 13: Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila

   

13  

performance atau ‘penampilan’ memiliki dimensi estetik yang tinggi, ia

tidak harus merupakan sebuah karya seni yang terkotak-kotakkan tadi.

Dimana implementasi dari performance studies sangat tegas

dijelaskan dalam kipas performance yang dikemukakan oleh Schechner:9

Bahwa sebenarnya the real everyday life pun menjadi sebuah

performance itu sendiri. Selain itu, analisis model komunikasi itu baik

yang berupa kata-kata maupun relasi tanda dapat juga dikatakan sebagai

performance. Semakin jelas dan tegaslah bahwa, sebenarnya dialektika

seni ini sudah tidak dapat dikotak-kotakkan lagi.

Performance Studies sebagai sebuah Metode.

Schechner menjelaskan “… performance studies is that the field is

wide open. There is no finality in performance studies, either theoretically or

operationally. There are many voices, opinions, methods, and subjects,

anything at all can be studied as ‘performance’. Hal ini memiliki arti

                                                                                                                         9  Richard Schechner. 2003. “Performance Studies: An Introduction”. London : Routledge. Hal.11  

Page 14: Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila

   

14  

bahwa, performance studies sangat terbuka, tidak memiliki batasan baik

secara teoretis maupun operasional sehingga apapun dapat dikaji sebagai

sebuah performance studies.10

Performance studies (kajian pagelaran atau penampilan) bukan saja

meliputi musik, tari, drama, dan seni resitasi, tetapi juga pencak silat,

akrobat, sulap, parade, ritual, demonstrasi, perang, dan lain-lain. Yang

menjadikan performance studies menjadi khas adalah: (1) perilaku

manusia menjadi objek kajian, (2) praktik artistik merupakan bagian

besar dari proyek performance studies, (3) penelitian lapangan yang

berbentuk participant observation atau observasi terlibat yang dipinjam

dari disiplin antropologi sangat penting, (4) performance studies selalu

berada dalam lingkungan sosial. Schechner menegaskan bahwa

performance studies harus dipahami sebagai sebuah spectrum yang luas

atau dengan kata lain sebagai kontinum dari aksi atau perbuatan

manusia, yang meliputi ritual, drama, olahraga, hiburan populer, seni

pertunjukan yang meliputi teater, tari, dan musik, serta kehidupan

sehari-hari termasuk pula pengobatan, berbagai media, sampai ke

internet.11

Performance studies tidak hanya mengkaji teks, arsitektur, seni

rupa, atau artefak-artefak seni. Tetapi, ketika teks, arsitektur, seni rupa,

serta artefak-artefak itu disaksikan penampilannya, barulah semuanya itu

dapat di tempatkan sebagai performance atau ‘penampilan’. Kegiatan

tersebut dimaknai sebagai praktik, peristiwa, serta perilaku, dan bukan

sebagai objek atau benda. 12 Sebagai contoh tentang seni lukis; cara

interaksi antara pelukis, seni lukisnya, dan penikmat itulah yang dapat

disebut sebagai performance studies.

                                                                                                                         10 Richard Schechner. 2003. “Performance Studies: An Introduction”. London : Routledge. Hal.1. 11 Richard Schechner. 2003. “Performance Studies : An Introduction”. London : Routledge. Hal.2. 12 Richard Schechner. 2003. “Performance Studies : An Introduction”. London : Routledge. Hal.2

Page 15: Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila

   

15  

Schechner menjelaskan “what is performance?” bahwa dalam bisnis,

olahraga, dan seks, yang dimaksud ‘to perform’ adalah mengerjakan

sesuatu dengan sebuah standart atau aturan. Dalam seni, ‘to perform’

adalah mengangkat sesuatu diatas panggung dalam wujud drama, tari,

dan konser musik. Dalam kehidupan sehari-hari ‘to perform’ dapat

dipahami sebagai, (1) being atau keberadaan, (2) doing atau melakukan,

(3) showing doing atau memperlihatkan tentang yang dilakukan, dan (4)

explaining showing doing atau menjelaskan tentang memperlihatkan yang

dilakukan.13

Schechner membagi performance (penampilan dan pertunjukan)

menjadi delapan macam, yaitu: (1) Dalam kehidupan sehari-hari seperti

memasak dsb; (2) Dalam seni; (3) Dalam olahraga; (4) Dalam bisnis; (5)

Dalam teknologi; (6) Dalam seks; (7) Dalam ritual, baik yang sakral,

maupun yang sekuler; dan (8) Dalam drama. Dari berbagai pengamatan

yang dilakukan oleh Schechner mengenai performance studies adalah

untuk menghibur; Membuat sesuatu menjadi indah; Memberi atau

mengubah identitas; Memperkuat komunitas; Menyembuhkan; Mengajar,

menganjurkan, atau menyadarkan; dan Berkaitan dengan yang sakral

serta makhluk-makhluk menakutkan.

Richard Schechner juga mengungkapkan bahwa pertunjukan

adalah sebuah proses yang memerlukan waktu dan ruang. Sebuah

pertunjukan memiliki bagian awal, tengah, dan akhir. Struktur dasar

pertunjukan meliputi: (1) Persiapan bagi pemain maupun penonton, (2)

Pementasan, (3) Aftermath, yakni apa-apa saja yang terjadi setelah

pertunjukan selesai.14 Pendapatnya bahwa pertunjukan diartikan sebagai

                                                                                                                         13 Tati Narawati. 2003. “Performance Studies: An Introduction (Sebuah Tinjauan Buku)”. Panggung: Jurnal Seni STSI Bandung. Nomor XXVII. STSI Press: Bandung. Hal.4 14 Sal Murgianto. 1995. “Mengenai Kajian Pertunjukan” dalam Prudentia MPSS (Ed.) Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan. hal.161.

Page 16: Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila

   

16  

“suatu aktivitas yang dilakukan oleh individu atau kelompok lintas ruang

dan waktu”. Studi tentang pertunjukan tidaklah hanya mendekati suatu

peristiwa yang terjadi di dalam pentas saja, tetapi melibatkan seluruh

aspek yang merupakan akibat dari munculnya suatu ide sebagai

penyebab adanya suatu pertunjukan.

Praktiknya terjadi pada aktivitas pra pentas, saat pentas, dan pasca

pentas dimana masing-masing kejadian memiliki dinamika tersendiri yang

dapat diapresiasi, dikritisi, maupun dievaluasi menjadi sebuah kajian

performance. Adegan atau kegiatan para seniman di belakang layar dapat

menjadi konsumsi publik dan memiliki nilai jual tersendiri dengan segala

keunikan dan problematikanya. Begitu juga pasca pentas dimana

wartawan juga sering menjadikan mereka obyek pemberitaan yang tidak

kalah pentingnya dengan performance mereka saat pentas. Demikian juga

berlaku pada seni rupa atau genre lainnya di dalam seni lukis misalnya

saat pelukis mempersiapkan peralatan dan konsep, saat melukis, dan

saat finishing menjadi sebuah obyek tersendiri dalam performance studies.

Bahkan gathering yang terjadi antar seniman dapat menjadi kajian

tersendiri.

Oleh karena itu, media massa yang mengemas pemberintaan

berkaitan dengan aktivitas maupun produksi karya seni dapat

memperkaya masyarakat dengan cara menyebarkan karya kreatif terbaik

dari seniman, seperti karya sastra besar, musik, dan karya seni. Media

juga memuat hal-hal yang lebih ringan yang merefleksikan kebudayaan,

dan memberikan kontribusi terhadap hal-hal tersebut. Dari waktu ke

waktu, kreator menyusun kontinum yang meliputi rentang produksi

artistik yang beragam.15

                                                                                                                         15 John Vivian. 2008. “Teori Komunikasi Massa”. (8th Ed). Jakarta: Kencana. Hal.505.

Page 17: Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila

   

17  

Seni menyampaikan pesan secara persuasif dan sugestif yang

mampu mempengaruhi opini publik, mampu menggerakkan emosi, sikap,

dan bahkan pilihan-pilihan publik atas realitas sosial pada suasana

kampanye atau propaganda politik bagi publik dalam menentukan

konstituennya. Seringkali seni juga digunakan sebagai instrument untuk

mencapai tujuan-tujuan politik. Seni dalam dinamika politik dapat juga

berfungsi menjadi lebih luas, yakni sebagai alat propaganda melalui

produk-produk kesenian yang dikemas dengan membawa pesan-pesan

politik kepada audience yang terlibat. Seni telah dijadikan sebagai sebuah

media untuk menyampaikan pesan-pesan politik kepada objek politik itu

sendiri. Ini karena seni dinilai memiliki pengaruh yang komplek dan

signifikan terhadap tercapainya tujuan politik.

Melalui seni kampanye, gerakan anti narkoba dan dampak

pergaulan bebas pun dapat dijadikan topik untuk membuat ide kreatif

seni dalam rangka menggerakkan massa dalam menentukan atau

mempengaruhi perilaku audiens untuk hidup sehat. Seni yang

ditampilkan tidak hanya menekankan persoalan teknis dan estetika,

melainkan terfokus pada substansi isi pesannya yang terkait dengan

kondisi sosial masyarakat yang up to date sebagai contoh kampanye anti

narkoba, gerakan disaster management, dan isu-isu lainnya yang sedang

marak diperbincangkan. Selain itu juga dapat membahas terkait dengan

behind the scene karya seni tersebut. Seni dalam hal ini memiliki

kekuatan secara verbal maupun non verbal. Mengkomunikasikan

kepentingan atau propaganda politik demi menjaring massa

pendukungnya melalui media seni juga harus memperhatikan gagasan

dan nilai-nilai estetika dan komposisi artistik sesuai dengan kaidah yang

berlaku.

Page 18: Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila

   

18  

Pendekatan melalui jalur seni pertunjukan dapat dilakukan dengan

musikalisasi puisi, pagelaran musik, ataupun berbagai lomba seni

maupun festival dan pagelaran budaya. Seni dapat dijadikan sebagai

hiburan sekaligus informasi dengan menyelipkan pesan-pesan tertentu

melalui isi pesan. Komunikasi seni sebagai contoh dalam drama musikal

gerakan anti narkoba dilakukan oleh Teater Tanah Air dengan

menyampaikan pesan mengenai bahaya serta ancaman penyalahgunaan

serta peredaran narkoba. Melalui drama musikal diharapkan dapat

menyampaikan pesan anti narkoba dengan menyentuh hati pemirsanya

serta berusaha memunculkan kesadaran masing-masing individu untuk

melindungi diri dan lingkungannya melalui pagelaran drama musikal

tersebut. Ini juga dapat dilihas sebagai perwujudan penerapan nilai-nilai

Pancasila silah ke-4. Komunikasi melalui seni drama musikal ini

diharapkan dapat mendukung Gerakan Pencegahan dan Pemberantasan

Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) dan juga

mengembangkan dan melestarikan perkembangan seni dari masa ke

masa. Di dalam masa depan generasi muda yang sehat tertanam

mentalitas dan semangat kebangsaan mengamalkan nilai-nilai Pancasila.

Sebagai contoh teoritis Skema di bawah ini menunjukkan bahwa,

performance dalam perspektif politik dapat dilihat dari empat dimensi.

Pertama, menyangkut hubungannya dengan kekuasaan. Kedua, menyang-

kut hubungan antara performance dengan ideologi, yaitu bagaimana

performance mereproduksi, memungkinkan, melanjutkan, menantang,

mengkritik dan menetralkan ideologi. Ketiga, menyangkut hubungan

performance dengan hegemoni yaitu bagaimana pertunjukan secara

simultan mereproduksi dan meresistensi atau menolak hegemoni.

Page 19: Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila

   

19  

Keempat, menyangkut hubungan pertunjukan dengan dominasi, yaitu

bagaimana performance mengakomodasi dan mengkontestasi dominasi.16

Visible berupa sosial drama yang pada saat performance teknik

berada di dalam staging, dia memiliki aesthetic performance yang tampil

dalam wujud karya seni aktual itu sendiri. Baik itu fotografi, teater, seni

lukis, musik, wayang, pedalangan, maupun genre-genre lainnya.

Pertunjukan wayang menjadi salah satu contoh bentuk seni

pertunjukan yang dapat digunakan berbagai pihak untuk berbagai

keperluan seperti upacara ritual perorangan maupun kelompok

(masyarakat), penyebaran (ajaran) agama, pendidikan (karakter building),

kontemplasi, sarana propaganda produk komersial, propaganda program

pemerintah, alat politik, hiburan, alat pencari nafkah dan juga sampai

sebuah bentuk ekspresi estetik murni kesenian dengan berbagai usaha

eksploratif dan imajinatif yang kreatif. Idiom-idiom atau ungkapan dalam

wayang sangat khusus dan menarik, mampu menjadi salah satu sarana

yang efektif dan efisien dalam penyampaian pesan.17

Contoh konkrit penerapan nilai-nilai Pancasila dalam rangka

memeriahkan HUT TNI ke-71, TNI menyajikan seni pagelaran wayang

orang yang dapat disaksikan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Penampilan wayang tersebut dipentaskan di Taman Ismail Marzuki                                                                                                                          16 Dwight Conquergood. 1991. “Rethinking Ethnography: Towards a Critical Cultural Politics”. Communication

Monographs 58, June: 179-194 17 Budi Susanto. 2008. “Membaca Poskolonialitas (di) Indonesia”. Yogyakarta: Kanisius. Hal.149.

Page 20: Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila

   

20  

disiarkan oleh NET TV dan TVRI. Berawal dari kegelisahan pimpinan TNI

yaitu Jenderal Gatot Nurmantyo dalam wawancaranya dengan media yang

merasakan kesenian wayang orang kurang dilestarikan dan terancam

punah, sehingga beliau berkeinginan membuat kolaborasi antara TNI

dengan para tokoh seniman, seniwati, serta para pakar di bidang seni baik

tari, musik, dan sebagainya. Penggalan-penggalan cerita tersebut

berkaitan tentang manusia, bertutur tentang nilai, konflik, intrik, dan

cinta kasih melalui penampilan wayang orang. Hal ini bertujuan memberi

pemahaman bahwa, melalui pagelaran seni wayang orang diharapkan

pada hakikatnya manusia senantiasa mengutamakan kasih sayang dan

menghargai sesama demi mencapai kehidupan yang aman, tentram, dan

damai. Hal ini wujud nyata sila ke-1 Ketuhanan Yang Maha Esa. Dimana

hakikat nyata manusia berTuhan adalah menyayangi sesama nya,

menghargai juga wujud nyata sila ke-2, aman tentram dan damai juga

wujud sila ke-,3,4, dan 5.

Pagelaran wayang orang “Satha Kurawa” juga diharapkan mampu

menjadikan TNI bersatu padu dengan rakyat menjunjung tinggi harkat

dan martabat karsa dan karya kebudayaan bangsa Indonesia. Dari

seniman wayang orang, para prajurit dan perwira TNI menimba ilmu dan

sukma pagelaran wayang orang. Dari TNI, para seniman belajar

kedisiplinan dan penjadwalan tugas secara militer tanpa kompromi atas

kekeliruan sekecil apapun.

Dibalik pagelaran wayang “Satha Kurawa” tersebut juga bertujuan

memberikan pemahaman bahwa, TNI dalam upayanya membangun

kekuatan, kemampuan, dan gelar secara keseluruhan sebagai wujud

profesionalisme. Menjelaskan bahwa TNI tidak disiapkan untuk

menciptakan peperangan, namun untuk memberikan rasa aman, damai,

dan tentram kepada seluruh bangsa Indonesia agar bangkit, tumbuh, dan

Page 21: Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila

   

21  

berkembang menjadi bangsa pemenang yang berdaulat mandiri dan

berkepribadian.

Penutup

Bentuk dari perkembangan kebudayaan yang merefleksikan

fenomena sosial dan daily life atau kehidupan keseharian dengan

menunjukkan kondisi saat ini dapat diterapkan melalui karya seni.

Berbagai pendekatan komunikasi dilakukan melalui seni karena

mempunyai sifat yang lebih mudah ditangkap, dicerna, dan diapresiasi

sehingga lebih mudah diminati oleh masyarakat luas. Menyampaikan

pesan melalui seni dinilai tidak hanya persoalan memperhatikan

bagaimana isi pesan dibuat, namun bagaimana karya besar dihasilkan,

ditampilkan, dilestarikan, dan diapresiasi oleh massa atau audience

sehingga tujuan utama pesan tersebut dapat sampai dengan tepat. Pesan

moral melalui pendidikan karakter yang substansinya adalah nilai-nilai

Pancasila perlu dilestarikan dan menjadi sebuah konsep yang popular

bagi para pencipta dan penikmat seni.

Berbagai bentuk kolaborasi dan kontribusi antara berbagai genre

dilebur agar tidak terkotak-kotakkan, sehingga diharapkan tidak lagi

adanya batasan ranah kajian seni. Performance studies memberikan atau

menawarkan pemahaman yang lebih komprehensif, integral, dan holistik,

dalam dunia seni. Bahkan everyday life seperti pidato, olahraga,

kampanye politik, propaganda, permainan, art making process, ritual,

adalah the part of art sehingga kini seni tidak terikat lintas batas ruang

dan waktu. Melalui karya seni bangsa Indonesia kaya akan sarana

penyampaian pesan yang creative dan innovative. Dengan seni pesan

dapat menerobos batasan-batasan institusional yang sulit terjangkau

menjadi mudah diterima, luwes, damai dan dinamis. Semoga karya tulis

Page 22: Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila

   

22  

ini dapat menginspirasi para pembaca dalam mendidik, mencipta, dan

mengabdi.

Daftar Pustaka

Arifin, Anwar. 1984. “Strategi Komunikasi”. Bandung: Armico.

Brain, David. 2004. “Material Agency and the Art of Artifacts: dalam

Sosiologi of Arts, A Reader”. Jeremy Tanner (ed.). Taylor & Francis e-

Library (first published 2001 by Routledge).

Carlson. Marvin (1986), “Performance: A Critical Introduction”. New York:

Routledge.

Effendy, Onong U. 2005. “Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek”. Bandung:

PT Remaja Rosda Karya.

Mulyana, Deddy. 2004. “Komunikasi Efektif: Suatu Pendekatan Lintas

Budaya”. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Murgianto, Sal. 1995. “Mengenai Kajian Pertunjukan” dalam Prudentia

MPSS (Ed.) Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.

Narawati, Tati. 2003. “Performance Studies: An Introduction (Sebuah

Tinjauan Buku). Panggung: Jurnal Seni STSI Bandung. Nomor XXVII.

STSI Press: Bandung.

Ruslan, Rosady. 2002. “Kiat dan Strategi Kompanye Public Relations”.

Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Sastropoetro, Santoso, RA. 1983. “Propaganda Salah Satu Bentuk

Komunikasi Massa”. Bandung: Alumni.

Schechner, Richard. 2003. “Performance Studies: An Introduction”.

London:Routledge.

Soedarsono, R.M. 2002. “Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi”.

Jakarta: Depdikbud. Hal.118-270.

Page 23: Strategi Komunikasi dalam Penerapan Nilai-nilai Pancasila

   

23  

Susanto, Budi. 2008. “Membaca Poskolonialitas (di) Indonesia”. Yogyakarta:

Kanisius.

Vivian, John. 2008. “Teori Komunikasi Massa”. (8th Ed). Jakarta: Kencana.

Yuniar, Ririt. 2011. “Reproduksi Realitas Politik dalam Foto Jurnalistik:

Pada Kampanye Pemilihan Presiden 2009 di Indonesia”. Yogyakarta:

Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Pascasarjana

Universitas Gadjah Mada.