steroid

26
I.Penggunaan kortikosteroid di bidang dermatologi Kortikosteroid adalah hormon yang dihasilkan oleh korteks adrenal. Hormon ini dapat mempengaruhi volume dan tekanan darah, kadar gula darah, otot dan resistensi tubuh. Berbagai jenis kortikosteroid sintetis telah dibuat dengan tujuan utama untuk mengurangi aktivitas mineralokortikoidnya dan meningkatkan aktivitas antiinflamasinya,misalnya deksametason yang mempunyai efek antiinflamasi 30 kali lebih kuat dan efek retensi natrium lebih kecil dibandingkan dengan kortisol. Kortikosteroid merupakan derivat dari hormon kortikosteroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini memainkan peran penting pada tubuh termasuk mengontrol respon inflamasi. Kortikosteroid terbagi menjadi dua golongan utama yaituglukokortikoid dan mineralokortikoid. Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroidyang efek utamanya terhadap penyimpanan glikogen hepar dan khasiat anti- inflamasinyanyata, sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil atau tidak berarti. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol dan kortison, yang merupakan glukokortikoid alam. Terdapat juga glukokortikoid sintetik, misalnya prednisolon,triamsinolon, dan betametason. Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat kecil. Prototip dari golongan ini adalah desoksikortikosteron. Umumnya golongan ini tidak mempunyai

Upload: sugihartomas-wijaya

Post on 24-Dec-2015

40 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

kedokteran

TRANSCRIPT

Page 1: Steroid

I.Penggunaan kortikosteroid di bidang dermatologi

Kortikosteroid adalah hormon yang dihasilkan oleh korteks adrenal. Hormon ini dapat

mempengaruhi volume dan tekanan darah, kadar gula darah, otot dan resistensi tubuh.

Berbagai jenis kortikosteroid sintetis telah dibuat dengan tujuan utama untuk mengurangi

aktivitas mineralokortikoidnya dan meningkatkan aktivitas antiinflamasinya,misalnya

deksametason yang mempunyai efek antiinflamasi 30 kali lebih kuat dan efek retensi natrium

lebih kecil dibandingkan dengan kortisol.

Kortikosteroid merupakan derivat dari hormon kortikosteroid yang dihasilkan oleh

kelenjar adrenal. Hormon ini memainkan peran penting pada tubuh termasuk mengontrol

respon inflamasi. Kortikosteroid terbagi menjadi dua golongan utama yaituglukokortikoid

dan mineralokortikoid. Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroidyang efek utamanya

terhadap penyimpanan glikogen hepar dan khasiat anti-inflamasinyanyata, sedangkan

pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil atau tidak berarti. Prototip untuk

golongan ini adalah kortisol dan kortison, yang merupakan glukokortikoid alam. Terdapat

juga glukokortikoid sintetik, misalnya prednisolon,triamsinolon, dan betametason.

Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap

keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen

hepar sangat kecil. Prototip dari golongan ini adalah desoksikortikosteron. Umumnya

golongan ini tidak mempunyai khasiat anti-inflamasiyang berarti, kecuali 9 α-fluorokortisol,

meskipun demikian sediaan ini tidak pernah digunakan sebagai obat anti-inflamasi karena

efeknya pada keseimbangan air danelektrolit terlalu besar.

Berdasarkan cara penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu kortikosteroid

sistemik dan kortikosteroid topikal. Kortikosteroid topikal adalah obat yang digunakan di

kulit pada tempat tertentu. Merupakan terapi topikal yang memberi pilihan untuk para ahli

kulit dengan menyediakan banyak pilihan efek pengobatan yang diinginkan, diantaranya

termasuk melembabkan kulit, melicinkan, ataumendinginkan area yang dirawat

Penggolongan menurut USA system

The USA system menggunakan 7 kelas, yang diklasifikasikan oleh kemampuan mereka untuk

menyempitkan kapiler. Kelas I adalah yang terkuat atau superpotent. Kelas VII adalah yang

paling lemah dan paling ringan.

Page 2: Steroid

Group I

Sangat poten dan kuat potensinya  600 kali lebih kuat dibandingkan hydrocortisone

Clobetasol propionate 0.05% (Dermovate)

Betamethasone dipropionate 0.05% (Diprolene)

Halobetasol proprionate 0.05% (Ultravate, Halox)

Diflorasone diacetate 0.05% (Psorcon)

Group II

Fluocinonide 0.05% (Lidex)

Halcinonide 0.05% (Halog)

Amcinonide 0.05% (Cyclocort)

Desoximetasone 0.25% (Topicort)

Group III

Triamcinolone acetonide 0.5% (Kenalog, Aristocort cream)

Mometasone furoate 0.1% (Elocon ointment)

Fluticasone propionate 0.005% (Cutivate)

Betamethasone dipropionate 0.05% (Diprosone)

Group IV

Fluocinolone acetonide 0.01-0.2% (Synalar, Synemol, Fluonid)

Hydrocortisone valerate 0.2% (Westcort)

Hydrocortisone butyrate 0.1% (Locoid)

Flurandrenolide 0.05% (Cordran)

Triamcinolone acetonide 0.1% (Kenalog, Aristocort A ointment)

Mometasone furoate 0.1% (Elocon cream, lotion)

Group V

Triamcinolone acetonide 0.1% (Kenalog, Aristocort,kenacort-a vail, cream, lotion)

Fluticasone propionate 0.05% (Cutivate cream)

Desonide 0.05% (Tridesilon, DesOwen ointment)

Fluocinolone acetonide 0.025% (Synalar, Synemol cream)

Hydrocortisone valerate 0.2% (Westcort cream)

Group VI

Alclometasone dipropionate 0.05% (Aclovate cream, ointment)

Page 3: Steroid

Triamcinolone acetonide 0.025% (Aristocort A cream, Kenalog lotion)

Fluocinolone acetonide 0.01% (Capex shampoo, Dermasmooth)

Desonide 0.05% (DesOwen cream, lotion)

Group VII

Kelas terlemah dari steroid topikal. Memiliki permeabilitas lipid yang lemah, dan tidak dapat

menembus membran mukosa baik.

Hydrocortisone 2.5% (Hytone cream, lotion, ointment)

Hydrocortisone 1% (Many over-the-counter brands)

Mekanisme Kerja

Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul

hormon memasuki jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan

target, kemudian bereaksi dengan reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan

bentuk, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini

menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein

inimerupakan perantara efek fisiologis steroid.

Efek katabolik dari kortikosteroid bisadilihat pada kulit sebagai gambaran dasar dan

sepanjang penyembuhan luka. Konsepnya berguna untuk memisahkan efek ke dalam sel

atau struktur-struktur yang bertanggungjawab pada gambaran klinis ; keratinosik (atropi

epidermal, re-epitalisasilambat), produksi fibrolast mengurangi kolagen dan bahan dasar

(atropi dermal, striae),efek vaskuler kebanyakan berhubungan dengan jaringan konektif

vaskuler (telangiektasis, purpura), dan kerusakan angiogenesis (pembentukan jaringan

granulasiyang lambat).

Khasiat glukokortikoid adalah sebagai anti radang setempat, anti- proliferatif, dan

imunosupresif. Melalui proses penetrasi, glukokortikoid masuk ke dalaminti sel-sel lesi,

berikatan dengan kromatin gen tertentu, sehingga aktivitas sel-sel tersebutmengalami

perubahan. Sel-sel ini dapat menghasilkan protein baru yang dapatmembentuk atau

menggantikan sel-sel yang tidak berfungsi, menghambat mitosis (anti- proliferatif),

bergantung pada jenis dan stadium proses radang. Glukokotikoid juga dapatmengadakan

stabilisasi membran lisosom, sehingga enzim-enzim yang dapat merusak jaringan tidak

dikeluarkan.

Glukokortikoid topikal

Page 4: Steroid

Glukokortikoid topikal adalah obat yang paling banyak dan tersering dipakai. Glukokortikoid

dapat menekan limfosit-limfosit tertentu yang merangsang proses radang.

Ada beberapa faktor yang menguntungkan pemakaiannya yaitu :

1. Dalam konsentrasi relatif rendah dapat tercapai efek anti radang yang cukupmemadai

2. Bila pilihan glukokortikoid tepat, pemakaiannya dapat dikatakan aman.

3. Jarang terjadi dermatitis kontak alergik maupun toksik.

4. Banyak kemasan yang dapat dipilih : krem, salep, semprot (spray), gel, losion,salep

berlemak (fatty ointment).

Kortikosteroid mengurangi akses dari sejumlah limfosit ke daerah inflamasi didaerah yang

menghasilkan vasokontriksi. Fagositosis dan stabilisasi membran lisosomyang menurun

diakibatkan ketidakmampuan dari sel-sel efektor untuk degranulasi danmelepaskan sejumlah

mediator inflamasi dan juga faktor yang berhubungan dengan efek anti-inflamasi

kortikosteroid. Meskipun demikian, harus digaris bawahi di sini bahwa khasiat utama anti

radang bersifat menghambat : tanda-tanda radang untuk sementaradiredakan. Perlu diingat

bahwa penyebabnya tidak diberantas, maka bila pengobatandihentikan, penyakit akan

kambuh.Efektifitas kortikosteroid topikal bergantung pada jenis kortikosteroid dan penetrasi.

Potensi kortikosteroid ditentukan berdasarkan kemampuan menyebabkanvasokontriksi

pada kulit hewan percobaan dan pada manusia. Jelas ada hubungan denganstruktur

kimiawi. Kortison, misalnya, tidak berkhasiat secara topikal, karena kortison didalam

tubuh mengalami transformasi menjadi dihidrokortison, sedangkan di kulit tidak

menjadi proses itu. Hidrokortison efektif secara topikal mulai konsentrasi 1%.

Penetrasi Ke kulit

Sejak tahun 1958, molekul hidrokortison banyak mengalami perubahan. Pada umumnya

molekul hidrokortison yang mengandung fluor digolongkan kortikosteroid poten.

Penetrasi perkutan lebih baik apabila yang dipakai adalah vehikulum yang bersifat

tertutup. Di antara jenis kemasan yang tersedia yaitu krem, gel, lotion, salep, fatty

ointment (paling baik penetrasinya).

Page 5: Steroid

Kortikosteroid hanya sedikit diabsorpsi setelah pemberian pada kulit normal, misalnya,

kira-kira 1% dari dosis larutan hidrokortison yang diberikan pada lengan bawah ventral

diabsorpsi.

Dibandingkan absorpsi di daerah lengan bawah, hidrokortison diabsorpsi 0,14 kali yang

melalui daerah telapak kaki, 0,83kali yang melalui daerah telapak tangan, 3,5 kali yang

melalui tengkorak kepala, 6 kali yang melalui dahi, 9 kali melalui vulva, dan 42 kali

melalui kulit scrotum.

Penetrasi ditingkatkan beberapa kali pada daerah kulit yang terinfeksi dermatitis atopik

dan pada penyakit eksfoliatif berat, seperti psoriasis eritodermik, tampaknya sedikit

sawar untuk penetrasi.

Secara keseluruhan, kortikosteroid topikal berhubungan dengan empat hal yaitu

vasokontriksi, efek anti-proliferasi, immunosupresan, dan efek anti-inflamasi.

Steroid topikal menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah di bagian superfisialdermis,

yang akan mengurangi eritema. Kemampuan untuk menyebabkan vasokontriksiini

biasanya berhubungan dengan potensi anti-inflamasi, dan biasanya vasokontriksi

inidigunakan sebagai suatu tanda untuk mengetahui aktivitas klinik dari suatu agen.

Efek anti-proliferatif kortikosteroid topikal diperantarai dengan inhibisi dari sintesis dan

mitosis DNA. Kontrol dan proliferasi seluler merupakan suatu proses kompleks

yangterdiri dari penurunan dari pengaruh stimulasi yang telah dinetralisir oleh berbagai

faktor inhibitor. Proses-proses ini mungkin dipengaruhi oleh kortikosteroid.

Glukokortikoid jugadapat mengadakan stabilisasi membran lisosom, sehingga enzim-

enzim yang dapat merusak jaringan tidak dikeluarkan. Efektivitas kortisteroid bisa

akibat dari sifat immunosupresifnya. Mekanisme yang terlibat dalam efek ini kurang

diketahui. Beberapa studi menunjukkan bahwakortikosteroid bisa menyebabkan

pengurangan sel mast pada kulit. Hal ini bisamenjelaskan penggunaan kortikosteroid

topikal pada terapi urtikaria pigmentosa.

Mekanisme sebenarnya dari efek anti-inflamasi sangat kompleks dan kurang

dimengerti.Dipercayai bahwa kortikosteroid menggunakan efek anti-inflamasinya

denganmenghibisi pembentukan prostaglandin dan derivat lain pada jalur asam

arakidonik.

Mekanisme lain yang turut memberikan efek anti-inflamasi kortikosteroid

adalahmenghibisi proses fagositosis dan menstabilisasi membran lisosom dari sel-

selfagosit.

Page 6: Steroid

Penggunaan Kortikosteroid Topikal

Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk

suatu penyakit kulit. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid topikal bersifat paliatif dan

supresif terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal.

Dermatosis yang responsif dengan kortikosteroid topikal adalah psoriasis,dermatitis

atopik, dermatitis kontak, dermatitis seboroik, neurodermatitis sirkumskripta, dermatitis

numularis, dermatitis statis, dermatitis venenata, dermatitis intertriginosa, dandermatitis

solaris (fotodermatitis).

Pada dermatitis atopik yang penyebabnya belum diketahui, kortikosteroid dipakai

dengan harapan agar remisi lebih cepat terjadi.

Dermatosis yang kurang responsif ialah lupus erimatousus diskoid, psoriasis di telapak

tangan dan kaki, nekrobiosis lipiodika diabetikorum, vitiligo, granuloma anulare,

sarkoidosis, liken planus, pemfigoid,eksantema fikstum.

Pada umumnya dipilih kortikosteroid topikal yang sesuai, aman, efek samping sedikit

dan harga murah ; disamping itu ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan,yaitu

jenis penyakit kulit, jenis vehikulum, kondisi penyakit, yaitu stadium penyakit, luas

tidaknya lesi, dalam dangkalnya lesi, dan lokalisasi lesi.

Perlu juga dipertimbangkan umur penderita.

Pada umumnya dianjurkan pemakaian salep 2-3 kali per hari sampai penyakit tersebut

sembuh. Perlu dipertimbangkan adanya gejala takifilaksis. Takifilaksis adalah

menurunnya respons kulit terhadap glukokortikoid karena pemberian obat yang

berulang-ulang berupa toleransi akut yang berarti efek vasokontriksinya akan

menghilang, setelah di istirahatkan beberapa hari efek vasokontriksi akan timbul

kembali dan akan menghilang lagi bila pengolesan obat tetap dilanjutkan.

Ada beberapa cara pemakaian dari kortikosteroid topikal, yakni :

Pemakaian kortikosteroid topikal poten tidak dibenarkan pada bayi dan anak.

Pemakaian kortikosteroid poten orang dewasa hanya 40 gram per minggu,sebaiknya

jangan lebih lama dari 2 minggu. Bila lesi sudah membaik, pilihlah salah satu dari

golongan sedang dan bila perlu diteruskan dengan hidrokortison asetat 1%.

Page 7: Steroid

Apabila diagnosis suatu dermatosis tidak jelas, jangan pakai kortikosteroid poten karena

hal ini dapat mengaburkan ruam khas suatu dermatosis. Tinea dan scabies incognito

adalah tinea dan scabies dengan gambaran klinik tidak khas disebabkan pemakaian

kortikosteroid.

Efek Samping

Secara umum efek samping dari kortikosteroid topikal termasuk atrofi, striaeatrofise,

telangiektasis, purpura, dermatosis akneformis, hipertrikosis setempat,hipopigmentasi,

dermatitis peroral.

Efek samping dapat terjadi apabila :

Penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan berlebihan.

Penggunaan kortikosteroid topikal dengan potensi kuat atau sangat kuat atau

penggunaan sangat oklusif. Efek samping yang tidak diinginkan adalah berhubungan

dengan sifat potensiasinya, tetapi belum dibuktikan kemungkinan efek samping yang

terpisah dari potensi, kecuali mungkin merujuk kepada supresi dari adrenokortikal

sistemik.

Efek samping kortikosteroid kepada beberapa tingkat:

Efek Epidermal Penipisan epidermal yang disertai dengan peningkatan aktivitas kinetik

dermal,suatu penurunan ketebalan rata-rata lapisan keratosit, dengan pendataran

darikonvulsi dermo-epidermal. Efek ini bisa dicegah dengan penggunaan tretino

intopikal secara konkomitan. Inhibisi dari melanosit, suatu keadaan seperti vitiligo, telah

ditemukan.Komplikasi ini muncul pada keadaan oklusi steroid atau injeksi steroid

intrakutan.

Efek Dermal Terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan pada substansi dasar.

Ini menyebabkan terbentuknya striae dan keadaan vaskulator dermal yang lemah akan

menyebabkan mudah ruptur jika terjadi trauma atau terpotong. Pendarahan intradermal

yang terjadi akan menyebar dengan cepat untuk menghasilkan suatu blot hemorrhage.

Ini nantinya akan terserap dan membentuk jaringan parut stelata, yang terlihat seperti

usia kulit prematur.

Efek Vaskular Efek ini termasuk Vasodilatasi yang terfiksasi. Kortikosteroid pada

awalnya menyebabkanvasokontriksi pada pembuluh darah yang kecil di superfisial.

Page 8: Steroid

Fenomena rebound. Vasokontriksi yang lama akan menyebabkan pembuluh darahyang

kecil mengalami dilatasi berlebihan, yang bisa mengakibatkan edema,inflamasi lanjut,

dan kadang-kadang pustulasi.

Ketergantungan atau Rebound: sindrom penarikan kortikosteroid adalah kejadian sering

terlihat, juga disebut “Sindrom Kulit Merah”. Penghentian total steroid adalah wajib

dan, sementara reversibel, dapat menjadi proses yang berkepanjangan dan sulit diatasi

Terlalu sering menggunakan steroid topikal dapat menyebabkan dermatitis. Penarikan

seluruh penggunaan steroid topikal dapat menghilangkan dermatitis.

Dermatitis perioral: Ini adalah ruam yang terjadi di sekitar mulut dan daerah mata yang

telah dikaitkan dengan steroid topikal.

Efek samping lokal: Ini termasuk hipertrikosis wajah, folikulitis, miliaria, ulkus kelamin,

dan granuloma infantum gluteale.

Penggunaan jangka panjang mengakibatkan Scabies Norwegia, sarkoma Kaposi, dan

dermatosis yang tidak biasa lainnya.

Kortikosteroid topikal tidak seharusnya dipakai sewaktu hamil kecuali dinyatakan perlu

atau sesuai oleh dokter untuk wanita yang hamil. Percobaan pada hewan menunjukkan

penggunaan kortikosteroid pada kulit hewan hamil akan menyebabkan abnormalitas

pada pertumbuhan fetus. Percobaan pada hewan tidak ada kaitan dengan efek pada

manusia, tetapi mungkin ada sedikit resiko apabila steroid yang mencukupi diabsorbsi di

kulit memasuki aliran darah wanita hamil. Oleh karena itu, penggunaan kortikosteroid

topikal pada waktu hamil harus dihindari kecuali mendapat nasehat daridokter untuk

menggunakannya. Begitu juga pada waktu menyusui, penggunaan kortikosteroid topikal

harus dihindari dan diperhatikan. Kortikosteroid juga hati-hati digunakan pada anak-

anak

II.Drug Eruption

Erupsi Alergi Obat atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit atau

daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik. Erupsi

obat hampir menyerupai menifestasi berbagai dermatosa. Morfologi sangat bervariasi

termasuk morbilliform, urtikaria, papulosquamous, pustular, dan bulosa. Obat-obatan juga

Page 9: Steroid

dapat menyebabkan pruritus dan dysesthesia tanpa letusan yang jelas. Diperkirakan

kejadiannya 2% dari total pemakaian obat – obatan atau sebesar 15 – 20% dari keseluruhan

efek samping pemakaian obat – obatan. Penyebab alergi obat yang tersering adalah golongan

penisilin, sulfa, salisilat dan pirazolon. Adapun faktor risiko alergi obat antara lain jenis

kelamin, sistem imunitas, usia, dosis, infeksi dan keganasan serta atopik. Manifestasi alergi

obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau menurut mekanisme kerusakan

jaringan akibat reaksi imunologis Gell danCoombs (tipe I sampai dengan IV). Tanda dan

gejala erupsi obat yaitu bercak kemerahan, eritema, demam, limfadenopati dan nyeri pada

mulut. Diagnosis erupsi obat adalah anamnesis dan uji kulit. Pemeriksaan penunjang erupsi

obat dengan pemeriksaan in vivo serta in vitro.

Reaksi Erupsi Alergi Obat harus dipertimbangkan dalam setiap pasien yang menerima

obat dan yang tiba-tiba mengakibatkan erupsi kulit simetris. Obat-obat yang dikenal untuk

menyebabkan reaksi kulit termasuk agen antimikroba, nonsteroidal anti-inflammatory drugs

(NSAIDs), sitokin, agen kemoterapi, antikonvulsan, dan agen psikotropika. Identifikasi

dan penghentianm obat dapat membantu membatasi efek racun yang terkait dengan obat.

Keputusan untuk menghentikan obat yang berpotensi penting sering menyajikan dilema.

FAKTOR RISIKO ALERGI OBAT

Jenis Kelamin Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih

tinggi jika dibandingkan dengan pria.

Sistem Imunitas

Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan

sistem imun.

Usia Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama anak – anak dan

orang dewasa. Pada anak – anak disebabkan perkembangan sistem imunologi yang

belum sempurna. Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya

berkontak dengan bahan antigenetik.

Dosis Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan

timbulnya sensitisasi. Tetapi, jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat kecil

sekalipun sudah dapat menimbulkan reaksi alergi.

Infeksi dan Keganasan Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi

obat berat yang disertai dengan keganasan.

Atopik Faktor risiko yang bersifat atopik ini masih dalam perdebatan.

Page 10: Steroid

Patofisiologi

Mekanisme terjadinya erupsi alergi obat dapat terjadi secara nonimunologik dan

imunologik (alergik), tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Pada mekanisme

imunologik, erupsi alergi obat terjadi pada pemberian obat kepada pasien yang sudah

tersensitasi dengan obat tersebut. Obat dengan berat molekul yang rendah awalnya berperan

sebagai antigen yang tidak lengkap (hapten). Obat atau metabolitnya yang berupa hapten ini

harus berkonjugasi dahulu dengan protein, misalnya jaringan, serum atau protein dari

membran sel untuk membentuk antigen yaitu kompleks hapten protein. Obat dengan berat

molekul yang tinggi dapat berfungsi langsung sebagai antigen lengkap. Sehingga

mengakibatkan terjadinya erupsi obat.

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau menurut

mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi imunologis Gell dan Coombs (tipe I sampai

dengan IV).

Tipe I (Hipersensivitas Tipe Cepat) Manifestasi yang terjadi merupakan efek mediator

kimia akibat reaksi antigen dengan IgE yang telah terbentuk menyebabkan kontraksi

otot polos. Meningkatnya permeabilitas kapiler serta hipersekresi kelenjar mukus. a)

Kejang bronkus gejalanya berupa sesak, kadang – kadang kejang bronkus disertai kejang

laring. Bila disertai edema laring keadaan karena pasien tidak dapat atau sangat sulit

bernapas. b) Urtikaria, c) Angiodema, d) Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilatik

dapat terjadi beberapa menit setelah suntikan seperti penisilin.

Manifestasi klinis renjatan anafilatik dapat terjadi dalam waktu 30 menit setelah

pemberian obat, karena hal tersebut mengenai beberapa organ dan secara potensial

membahayakan. Reaksi ini sering disebut sebgai anafilaksis. Penyebab yang tersering

adalah penisilin.

Pada tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu :

a. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE

b. Fase aktivasi yaitu fase yang terjadi karena paparan ulang antigen spesifik. Akibat

aktivasi ini sel mast basofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk granual yang

dapat menimbulkan reaksi

c. Fase efektor yaitu fase terjadinya respon imun yang kompleks akibat pelepasan

mediator.

Page 11: Steroid

Reaksi hipersensivitas tipe II atau reaksi sitotaksik terjadi karena terbentuknya IgM

atau IgG oleh pajanan antigen. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel – sel yang

memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan antibodi antigen juga dapat mengaktifkan

komplemen melalui reseptor komplemen.

Manifestasi klinis reaksi alergi tipe II umumnya berupa kelainan darah seperti anemia

hemolitik, trombositopena, eosinofilia dan granulasitopenia. Nefritis interstisial dapat

juga merupakan reaksi alergi tipe ini.

Tipe III Reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila kompleks ini mengendap pada

jaringan. Antibodi yang berperan di sini ialah IgM dan IgG. Kompleks ini akan

mengaktifkan pertahanan tubuh yaitu dengan penglepasan komplemen.

Manifestasi klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa :

a. Demam

b. Limfadenopati

c. Kelainan sendia, artralgia dan efusi sendi

d. Urtikaria, angiodema, eritema, makulopapula, eritema multiforme. Gejala tersebut

sering disertai pruritis

e. Lainnnya seperti kejang perut, mual, neuritis optik, glomerulonefritis, sindrom lupus

eritematosus sistemk serta vaskulitis.

Gejala tadi timbul 5 – 20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah

mendapat obat tersebut gejalanya dalam waktu 1 – 5 hari.

Tipe IV Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga dikenal sebagai Cell Mediated

Imunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini tidak ada peranan antibodi. Reaksi terjadi

karena respon sel T yang telah disensitasi oleh antigen tertentu.

Berbagai jenis Delayed Type Hypersensitivity (DTH) antara lain :

a. Cutaneous Basophil Hypersensitivity

b. Hipersensivitas kontak (kontak dermatits)

c. Reaksi tuberkulin

d. Reaksi granuloma.

Manifestasi klinis reaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut seperti demam,

sesak, batuk, infiltrat paru dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini

yaitu nitrofurantion, nefritis intersyisial, ensefalomielitis dan hepatitis. Namun,

dermatitis merupakan manifestasi yang paling sering. Kadang – kadang gejala baru

timbul bertahun – tahun setelah sensitasi. Contohnya, pemakaian obat topikal (sulfa,

Page 12: Steroid

penisilin atau antihistamin). Bila pasien telah sensitif, gejala dapat muncul 18 – 24 jam

setelah obat dioleskan.

TANDA dan GEJALA

Bercak kemerahan akibat barbiturate mungkin terdapat pada telapak tangan dan kaki;

Biasanya berupa eritema atau morbiliform, kadang – kadang disertai dengan demam,

limfadenopati dan nyeri pada mulut.

DIAGNOSIS

Anamnesis Riwayat penyakit merupakan cara yang paling penting untuk diagnosis

alergi obat karena cara – cara pemeriksaan yang ada sekarang masih rumit dan hasilnya

juga belum memuaskan. Kesulitan yang sering timbul yaitu apakah gejala yang dicurigai

timbul sebagai manfestasi alergi obat. Masalah tersebut lebih sulit lagi bila pada saat

yang sama pasien mendapat lebih dari satu macam obat.

Hal – hal yang perlu diperhatikan pada anamnesis pasien alergi obat adalah : Riwayat

pemakaian obat masa lalu dan catat bila ada reaksi; Manifestasi klinis alergi obat sering

dihubungkan dengan jenis obat tertentu; Pemakaian obat topikal (salep) antibiotik

jangka lama merupakan salah satu jalan terjadinya sensitasi obat yang harus

diperhatikan; Diagnosis alergi obat sangat mungkin bila gejala menghilang setelah obat

dihentikan dan timbul kembali bila pasien diberikan obat yang sama; Catat semua obat

yang dipakai pasien termasuk vitamin, tonikum dan obat yang sebelumnya sering

dipakai, tetapi tidak menimbulkan gejala alergi obat; Catat lama pemakaian serta riwayat

obat obat sebelumnya. Alergi obat sering timbul bila obat diberikan secara berselang –

seling, berulang – ulang serta dosis tinggi secara parental; Lama waktu yang diperlukan

mulai dari pemakaian obat sampai timbulnya gejala. Pada reaksi anafilaksis gejala

timbul segera, tetapi kadang – kadang gejala alergi obat baru timbul 7 – 10 hari setelah

pemakian pertama.

Uji Kulit Uji kulit yang ada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam obat

(penisilin, insulin, sediaan serum), sedangkan untuk obat – obatan yang lain masih

diragukan nilainya. Hal ini dikarenakan : Beberapa macam obat bersifat sebagai

pencetus lepasnya histamin (kodein, tiamin) sehingga uji positif yang terjadi adalah

semu; Konsentrasi obat terlalu tinggi juga menimbulkan hasil positif semu. Sebagian

besar obat mempunyai berat molekul kecil sehingga hanya merupakan hapten. Oleh

sebab itu, sukar untuk menentukan antigennya; Kebanyakan reaksi alergi obat

Page 13: Steroid

disebabkan hasil metabolismenya dan bukan oleh obat aslinya, sehingga bila kita

melakukan uji kulit dengan obat aslinya hasilnya kurang dapat dipertanggung jawabkan

kecuali penisilin yang diketahui hasil metabolismenya serta obat – obat yang

mempunyai berat molekul besar (insulin, ACTH, serum serta vaksin yang mengandung

protein telur).

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat

alergi adalah :

Pemeriksaan in vivo Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat

imunogenik yaitu determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan uji kulit harus

bersifat non iritatif untuk menghindari positif palsu. Uji ini manfaatnya sangat terbatas

karena baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui dan tersedia

untuk uji kulit. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makro

molekul seperti insulin, antisera, ekstrak organ, sedangkan untuk mikromolekul sejauh

ini hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap penisilin saja.

Uji ini antara lain :

Uji Tempel (patch test) Uji tempel sering dipakai untuk membuktikan dermatitis

kontak. Suatu seri sediaan uji tempel yang mengandung berbagai obat ditempelkan pada

kulit (biasanya daerah punggung) untuk dinilai 48 – 72 jam kemudian. Uji tempel

dikatakan positif bila terjadi erupsi pruritus, eritema dan vesikular yang serupa dengan

reaksi. Klinis alergi sebelumnya, tetapi dengan intensitas dan skala lebih ringan.

Uji Tusuk (prick/scratch test) Uji tusuk dapat digunakan untuk mengkonfirmasi

adanya reaksi tipe I, dengan adanya deteksi kompleks antigen IgE spesifik. Uji kulit

dapat dilakukan dengan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu determinan

antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan untuk uji kulit harus bersifat non iritatif

untuk menghindarkan positif palsu. Uji kulit sebetulnya merupakan cara yang efektif

untuk diagnosis penyakit atopik, tetapi manfaatnya terbatas untuk alergi obat karena

pada saat ini baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui. Dengan

uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makromolekul (insulin, antisera,

ekstrak organ), sedangkan untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat mengidentifikasi

alergi terhadap penisilin saja. Hasil negatif hanya berarti pada uji kulit penisilin.

Page 14: Steroid

Uji Provokasi (exposure test) Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat,

tetapi merupakan prosedur diagnostik terbatas karena mengandung resiko yang

berbahaya yaitu terjadinya anafilaksis sehingga hanya dianjurkan dilakukan ditempat

yang memiliki fasilitas dan tenaga yang memadai. Karena itu maka uji provokasi

merupakan kontra indikasi untuk alergi obat yang berat misalnya anafilaksis, sindroma

Steven Johnson, dermatitis eksfoliatif, kelainan hematologi, eritema vesiko bulosa. Uji

provokasi dilakukan setelah eliminasi yang lamanya tergantung dari masa paruh setiap

obat.

Pemeriksaan in vitro

Uji in vitro untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian. Pemeriksaan yang

dilakukan antara lain IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi dan lisis sel darah merah,

RAST, uji pelepasan histamin, uji sensitisasi jaringan (basofil atau lerkosit serta esai

sitokin dan reseptor sel), sedangkan pemeriksaan rutin seperti IgE total dan spesifik, uji

Coomb’s, uji komplemen dan lain – lain bukanlah untuk konfirmasi alergi obat. Tujuan

dari uji ini untuk membantu membedakan apakah reaksi kulit yang terjadi pada individu

tersebut disebabkan karena obat atau bukan.

PENATALAKSANAAN

Melindungi kulit, pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi kulit harus

dihentikan segera

Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk mendeteksi

kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps setelah berada pada fase

pemulihan;

Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuhnya. Berikan

cairan via infus bila perlu. Pengaturan keseimbangan cairan elektrolit dan nutrisi penting

karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok serta

kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya berupa glukosa 5%

dan larutan Darrow.

Kortikosteroid Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat

kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria, eritema,

dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum, eksantema fikstum dan PEGA

karena erupsi obat alergi. Dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4

x 10 mg sehari. Pengobatan eryhema multiforme major, SSJ dan NET pertama kali

adalah menghentikan obat yang diduga penyebab dan pemberian terapi yang bersifat

Page 15: Steroid

suportif seperti perawatan luka dan NET perawatan gizi penderita. Penggunaan

glukortikoid untuk pengobatan SSJ masih kontroversial. Pertama kali dilakukan

pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG) terbukti dapat menurunkan progresifitas

penyakit ini dalam jangka waktu 48 jam. Untuk selanjutnya IVIG diberikan sebanyak

0.2 – 0.75 g/kg selama 4 hari pertama.

Antihistamin Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa

gatal, kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan kortikosteroid.

Topikal Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau

basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah dengan

obat antipruritus seperti mentol ½ – 1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam

keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%.

Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada

eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberikan krim kortikosteroid,

misalnya hidrokortison 1% – 2 ½%. Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema

yang menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang

dioleskan sebagian – sebagian. Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog

in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle atau krim

sulfadiazin perak.

Farmakoterapi

Terapi Erupsi Alergi Obat yang paling terutama mendukung di alam. Erupsi Morbilliform

diperlakukan dengan antihistamin oral dan steroid topikal. IVIG saat ini agen yang paling

umum digunakan untuk mengobati TEN. Siklosporin juga mungkin memiliki peran dalam

pengobatan TEN. Prednisone dapat digunakan dalam pengobatan sindrom hipersensitivitas

dengan hati dan keterlibatan paru-paru, serum sickness yang parah seperti reaksi, dan

sindrom manis.

Antihistamin generasi pertama Obat ini melawan reseptor H1 dan memblokir pelepasan

histamin. Mereka memberikan bantuan gejala pruritus dan membantu meningkatkan letusan.

Hidroksizin HCl (Anxanil, Atarax, Atozine, Durrax, Vistaril) Antagonizes reseptor

H1 di pinggiran. Dapat menekan aktivitas histamin dalam SSP subkortikal. Tersedia

sebagai 10 -, 25 -, 50 -, atau 100 mg-tab.

Page 16: Steroid

Diphenhydramine HCl (Benadryl, Chesty, Diphen, AllerMax) Untuk mengurangi

gejala-gejala gejala alergi yang disebabkan oleh pelepasan histamin dalam reaksi

kekebalan.

Antihistamin generasi kedua, nonsedating Agen-agen ini menyebabkan kurang,

mengantuk dibandingkan generasi pertama

Loratadin (Claritin) Selektif menghambat reseptor perifer histamin H1.

Kortikosteroid Agen topikal memberikan bantuan gejala pruritus. Steroid sistemik

digunakan pada orang dengan sindrom hipersensitivitas, serum sickness yang parah

seperti reaksi, dan sindrom manis.

Desonide Untuk inflamasi dermatosis responsif terhadap steroid, penurunan peradangan

dengan menekan migrasi leukosit PMN dan membalikkan permeabilitas kapiler.

Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred) Imunosupresan untuk pengobatan

gangguan kekebalan, dapat mengurangi peradangan dengan membalikkan peningkatan

permeabilitas kapiler dan menekan aktivitas PMN, tersedia dalam 2,5-, 5 -, 10 -, 20 -,

atau 50-mg tab.

Imunoglobulin digunakan untuk mengobati TEN.

Intravena imunoglobulin (Gammagard, Gamimune) Produk darah dibuat dari plasma

dikumpulkan dari donor sehat. Fitur berikut ini mungkin relevan dengan khasiat:

netralisasi beredar antibodi mielin melalui anti-idiotypic antibodi, down-regulasi sitokin

proinflamasi, termasuk IFN-gamma, blokade reseptor Fc pada makrofag, penindasan T

inducer dan sel B dan T-augmentasi penekan sel, blokade kaskade komplemen, promosi

remyelination, dan peningkatan 10% dalam CSF IgG.