steroid
DESCRIPTION
kedokteranTRANSCRIPT
I.Penggunaan kortikosteroid di bidang dermatologi
Kortikosteroid adalah hormon yang dihasilkan oleh korteks adrenal. Hormon ini dapat
mempengaruhi volume dan tekanan darah, kadar gula darah, otot dan resistensi tubuh.
Berbagai jenis kortikosteroid sintetis telah dibuat dengan tujuan utama untuk mengurangi
aktivitas mineralokortikoidnya dan meningkatkan aktivitas antiinflamasinya,misalnya
deksametason yang mempunyai efek antiinflamasi 30 kali lebih kuat dan efek retensi natrium
lebih kecil dibandingkan dengan kortisol.
Kortikosteroid merupakan derivat dari hormon kortikosteroid yang dihasilkan oleh
kelenjar adrenal. Hormon ini memainkan peran penting pada tubuh termasuk mengontrol
respon inflamasi. Kortikosteroid terbagi menjadi dua golongan utama yaituglukokortikoid
dan mineralokortikoid. Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroidyang efek utamanya
terhadap penyimpanan glikogen hepar dan khasiat anti-inflamasinyanyata, sedangkan
pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil atau tidak berarti. Prototip untuk
golongan ini adalah kortisol dan kortison, yang merupakan glukokortikoid alam. Terdapat
juga glukokortikoid sintetik, misalnya prednisolon,triamsinolon, dan betametason.
Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya terhadap
keseimbangan air dan elektrolit, sedangkan pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen
hepar sangat kecil. Prototip dari golongan ini adalah desoksikortikosteron. Umumnya
golongan ini tidak mempunyai khasiat anti-inflamasiyang berarti, kecuali 9 α-fluorokortisol,
meskipun demikian sediaan ini tidak pernah digunakan sebagai obat anti-inflamasi karena
efeknya pada keseimbangan air danelektrolit terlalu besar.
Berdasarkan cara penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu kortikosteroid
sistemik dan kortikosteroid topikal. Kortikosteroid topikal adalah obat yang digunakan di
kulit pada tempat tertentu. Merupakan terapi topikal yang memberi pilihan untuk para ahli
kulit dengan menyediakan banyak pilihan efek pengobatan yang diinginkan, diantaranya
termasuk melembabkan kulit, melicinkan, ataumendinginkan area yang dirawat
Penggolongan menurut USA system
The USA system menggunakan 7 kelas, yang diklasifikasikan oleh kemampuan mereka untuk
menyempitkan kapiler. Kelas I adalah yang terkuat atau superpotent. Kelas VII adalah yang
paling lemah dan paling ringan.
Group I
Sangat poten dan kuat potensinya 600 kali lebih kuat dibandingkan hydrocortisone
Clobetasol propionate 0.05% (Dermovate)
Betamethasone dipropionate 0.05% (Diprolene)
Halobetasol proprionate 0.05% (Ultravate, Halox)
Diflorasone diacetate 0.05% (Psorcon)
Group II
Fluocinonide 0.05% (Lidex)
Halcinonide 0.05% (Halog)
Amcinonide 0.05% (Cyclocort)
Desoximetasone 0.25% (Topicort)
Group III
Triamcinolone acetonide 0.5% (Kenalog, Aristocort cream)
Mometasone furoate 0.1% (Elocon ointment)
Fluticasone propionate 0.005% (Cutivate)
Betamethasone dipropionate 0.05% (Diprosone)
Group IV
Fluocinolone acetonide 0.01-0.2% (Synalar, Synemol, Fluonid)
Hydrocortisone valerate 0.2% (Westcort)
Hydrocortisone butyrate 0.1% (Locoid)
Flurandrenolide 0.05% (Cordran)
Triamcinolone acetonide 0.1% (Kenalog, Aristocort A ointment)
Mometasone furoate 0.1% (Elocon cream, lotion)
Group V
Triamcinolone acetonide 0.1% (Kenalog, Aristocort,kenacort-a vail, cream, lotion)
Fluticasone propionate 0.05% (Cutivate cream)
Desonide 0.05% (Tridesilon, DesOwen ointment)
Fluocinolone acetonide 0.025% (Synalar, Synemol cream)
Hydrocortisone valerate 0.2% (Westcort cream)
Group VI
Alclometasone dipropionate 0.05% (Aclovate cream, ointment)
Triamcinolone acetonide 0.025% (Aristocort A cream, Kenalog lotion)
Fluocinolone acetonide 0.01% (Capex shampoo, Dermasmooth)
Desonide 0.05% (DesOwen cream, lotion)
Group VII
Kelas terlemah dari steroid topikal. Memiliki permeabilitas lipid yang lemah, dan tidak dapat
menembus membran mukosa baik.
Hydrocortisone 2.5% (Hytone cream, lotion, ointment)
Hydrocortisone 1% (Many over-the-counter brands)
Mekanisme Kerja
Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein. Molekul
hormon memasuki jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif di jaringan
target, kemudian bereaksi dengan reseptor steroid. Kompleks ini mengalami perubahan
bentuk, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan kromatin. Ikatan ini
menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik. Induksi sintesis protein
inimerupakan perantara efek fisiologis steroid.
Efek katabolik dari kortikosteroid bisadilihat pada kulit sebagai gambaran dasar dan
sepanjang penyembuhan luka. Konsepnya berguna untuk memisahkan efek ke dalam sel
atau struktur-struktur yang bertanggungjawab pada gambaran klinis ; keratinosik (atropi
epidermal, re-epitalisasilambat), produksi fibrolast mengurangi kolagen dan bahan dasar
(atropi dermal, striae),efek vaskuler kebanyakan berhubungan dengan jaringan konektif
vaskuler (telangiektasis, purpura), dan kerusakan angiogenesis (pembentukan jaringan
granulasiyang lambat).
Khasiat glukokortikoid adalah sebagai anti radang setempat, anti- proliferatif, dan
imunosupresif. Melalui proses penetrasi, glukokortikoid masuk ke dalaminti sel-sel lesi,
berikatan dengan kromatin gen tertentu, sehingga aktivitas sel-sel tersebutmengalami
perubahan. Sel-sel ini dapat menghasilkan protein baru yang dapatmembentuk atau
menggantikan sel-sel yang tidak berfungsi, menghambat mitosis (anti- proliferatif),
bergantung pada jenis dan stadium proses radang. Glukokotikoid juga dapatmengadakan
stabilisasi membran lisosom, sehingga enzim-enzim yang dapat merusak jaringan tidak
dikeluarkan.
Glukokortikoid topikal
Glukokortikoid topikal adalah obat yang paling banyak dan tersering dipakai. Glukokortikoid
dapat menekan limfosit-limfosit tertentu yang merangsang proses radang.
Ada beberapa faktor yang menguntungkan pemakaiannya yaitu :
1. Dalam konsentrasi relatif rendah dapat tercapai efek anti radang yang cukupmemadai
2. Bila pilihan glukokortikoid tepat, pemakaiannya dapat dikatakan aman.
3. Jarang terjadi dermatitis kontak alergik maupun toksik.
4. Banyak kemasan yang dapat dipilih : krem, salep, semprot (spray), gel, losion,salep
berlemak (fatty ointment).
Kortikosteroid mengurangi akses dari sejumlah limfosit ke daerah inflamasi didaerah yang
menghasilkan vasokontriksi. Fagositosis dan stabilisasi membran lisosomyang menurun
diakibatkan ketidakmampuan dari sel-sel efektor untuk degranulasi danmelepaskan sejumlah
mediator inflamasi dan juga faktor yang berhubungan dengan efek anti-inflamasi
kortikosteroid. Meskipun demikian, harus digaris bawahi di sini bahwa khasiat utama anti
radang bersifat menghambat : tanda-tanda radang untuk sementaradiredakan. Perlu diingat
bahwa penyebabnya tidak diberantas, maka bila pengobatandihentikan, penyakit akan
kambuh.Efektifitas kortikosteroid topikal bergantung pada jenis kortikosteroid dan penetrasi.
Potensi kortikosteroid ditentukan berdasarkan kemampuan menyebabkanvasokontriksi
pada kulit hewan percobaan dan pada manusia. Jelas ada hubungan denganstruktur
kimiawi. Kortison, misalnya, tidak berkhasiat secara topikal, karena kortison didalam
tubuh mengalami transformasi menjadi dihidrokortison, sedangkan di kulit tidak
menjadi proses itu. Hidrokortison efektif secara topikal mulai konsentrasi 1%.
Penetrasi Ke kulit
Sejak tahun 1958, molekul hidrokortison banyak mengalami perubahan. Pada umumnya
molekul hidrokortison yang mengandung fluor digolongkan kortikosteroid poten.
Penetrasi perkutan lebih baik apabila yang dipakai adalah vehikulum yang bersifat
tertutup. Di antara jenis kemasan yang tersedia yaitu krem, gel, lotion, salep, fatty
ointment (paling baik penetrasinya).
Kortikosteroid hanya sedikit diabsorpsi setelah pemberian pada kulit normal, misalnya,
kira-kira 1% dari dosis larutan hidrokortison yang diberikan pada lengan bawah ventral
diabsorpsi.
Dibandingkan absorpsi di daerah lengan bawah, hidrokortison diabsorpsi 0,14 kali yang
melalui daerah telapak kaki, 0,83kali yang melalui daerah telapak tangan, 3,5 kali yang
melalui tengkorak kepala, 6 kali yang melalui dahi, 9 kali melalui vulva, dan 42 kali
melalui kulit scrotum.
Penetrasi ditingkatkan beberapa kali pada daerah kulit yang terinfeksi dermatitis atopik
dan pada penyakit eksfoliatif berat, seperti psoriasis eritodermik, tampaknya sedikit
sawar untuk penetrasi.
Secara keseluruhan, kortikosteroid topikal berhubungan dengan empat hal yaitu
vasokontriksi, efek anti-proliferasi, immunosupresan, dan efek anti-inflamasi.
Steroid topikal menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah di bagian superfisialdermis,
yang akan mengurangi eritema. Kemampuan untuk menyebabkan vasokontriksiini
biasanya berhubungan dengan potensi anti-inflamasi, dan biasanya vasokontriksi
inidigunakan sebagai suatu tanda untuk mengetahui aktivitas klinik dari suatu agen.
Efek anti-proliferatif kortikosteroid topikal diperantarai dengan inhibisi dari sintesis dan
mitosis DNA. Kontrol dan proliferasi seluler merupakan suatu proses kompleks
yangterdiri dari penurunan dari pengaruh stimulasi yang telah dinetralisir oleh berbagai
faktor inhibitor. Proses-proses ini mungkin dipengaruhi oleh kortikosteroid.
Glukokortikoid jugadapat mengadakan stabilisasi membran lisosom, sehingga enzim-
enzim yang dapat merusak jaringan tidak dikeluarkan. Efektivitas kortisteroid bisa
akibat dari sifat immunosupresifnya. Mekanisme yang terlibat dalam efek ini kurang
diketahui. Beberapa studi menunjukkan bahwakortikosteroid bisa menyebabkan
pengurangan sel mast pada kulit. Hal ini bisamenjelaskan penggunaan kortikosteroid
topikal pada terapi urtikaria pigmentosa.
Mekanisme sebenarnya dari efek anti-inflamasi sangat kompleks dan kurang
dimengerti.Dipercayai bahwa kortikosteroid menggunakan efek anti-inflamasinya
denganmenghibisi pembentukan prostaglandin dan derivat lain pada jalur asam
arakidonik.
Mekanisme lain yang turut memberikan efek anti-inflamasi kortikosteroid
adalahmenghibisi proses fagositosis dan menstabilisasi membran lisosom dari sel-
selfagosit.
Penggunaan Kortikosteroid Topikal
Kortikosteroid topikal dengan potensi kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk
suatu penyakit kulit. Perlu diperhatikan bahwa kortikosteroid topikal bersifat paliatif dan
supresif terhadap penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal.
Dermatosis yang responsif dengan kortikosteroid topikal adalah psoriasis,dermatitis
atopik, dermatitis kontak, dermatitis seboroik, neurodermatitis sirkumskripta, dermatitis
numularis, dermatitis statis, dermatitis venenata, dermatitis intertriginosa, dandermatitis
solaris (fotodermatitis).
Pada dermatitis atopik yang penyebabnya belum diketahui, kortikosteroid dipakai
dengan harapan agar remisi lebih cepat terjadi.
Dermatosis yang kurang responsif ialah lupus erimatousus diskoid, psoriasis di telapak
tangan dan kaki, nekrobiosis lipiodika diabetikorum, vitiligo, granuloma anulare,
sarkoidosis, liken planus, pemfigoid,eksantema fikstum.
Pada umumnya dipilih kortikosteroid topikal yang sesuai, aman, efek samping sedikit
dan harga murah ; disamping itu ada beberapa faktor yang perlu dipertimbangkan,yaitu
jenis penyakit kulit, jenis vehikulum, kondisi penyakit, yaitu stadium penyakit, luas
tidaknya lesi, dalam dangkalnya lesi, dan lokalisasi lesi.
Perlu juga dipertimbangkan umur penderita.
Pada umumnya dianjurkan pemakaian salep 2-3 kali per hari sampai penyakit tersebut
sembuh. Perlu dipertimbangkan adanya gejala takifilaksis. Takifilaksis adalah
menurunnya respons kulit terhadap glukokortikoid karena pemberian obat yang
berulang-ulang berupa toleransi akut yang berarti efek vasokontriksinya akan
menghilang, setelah di istirahatkan beberapa hari efek vasokontriksi akan timbul
kembali dan akan menghilang lagi bila pengolesan obat tetap dilanjutkan.
Ada beberapa cara pemakaian dari kortikosteroid topikal, yakni :
Pemakaian kortikosteroid topikal poten tidak dibenarkan pada bayi dan anak.
Pemakaian kortikosteroid poten orang dewasa hanya 40 gram per minggu,sebaiknya
jangan lebih lama dari 2 minggu. Bila lesi sudah membaik, pilihlah salah satu dari
golongan sedang dan bila perlu diteruskan dengan hidrokortison asetat 1%.
Apabila diagnosis suatu dermatosis tidak jelas, jangan pakai kortikosteroid poten karena
hal ini dapat mengaburkan ruam khas suatu dermatosis. Tinea dan scabies incognito
adalah tinea dan scabies dengan gambaran klinik tidak khas disebabkan pemakaian
kortikosteroid.
Efek Samping
Secara umum efek samping dari kortikosteroid topikal termasuk atrofi, striaeatrofise,
telangiektasis, purpura, dermatosis akneformis, hipertrikosis setempat,hipopigmentasi,
dermatitis peroral.
Efek samping dapat terjadi apabila :
Penggunaan kortikosteroid topikal yang lama dan berlebihan.
Penggunaan kortikosteroid topikal dengan potensi kuat atau sangat kuat atau
penggunaan sangat oklusif. Efek samping yang tidak diinginkan adalah berhubungan
dengan sifat potensiasinya, tetapi belum dibuktikan kemungkinan efek samping yang
terpisah dari potensi, kecuali mungkin merujuk kepada supresi dari adrenokortikal
sistemik.
Efek samping kortikosteroid kepada beberapa tingkat:
Efek Epidermal Penipisan epidermal yang disertai dengan peningkatan aktivitas kinetik
dermal,suatu penurunan ketebalan rata-rata lapisan keratosit, dengan pendataran
darikonvulsi dermo-epidermal. Efek ini bisa dicegah dengan penggunaan tretino
intopikal secara konkomitan. Inhibisi dari melanosit, suatu keadaan seperti vitiligo, telah
ditemukan.Komplikasi ini muncul pada keadaan oklusi steroid atau injeksi steroid
intrakutan.
Efek Dermal Terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan pada substansi dasar.
Ini menyebabkan terbentuknya striae dan keadaan vaskulator dermal yang lemah akan
menyebabkan mudah ruptur jika terjadi trauma atau terpotong. Pendarahan intradermal
yang terjadi akan menyebar dengan cepat untuk menghasilkan suatu blot hemorrhage.
Ini nantinya akan terserap dan membentuk jaringan parut stelata, yang terlihat seperti
usia kulit prematur.
Efek Vaskular Efek ini termasuk Vasodilatasi yang terfiksasi. Kortikosteroid pada
awalnya menyebabkanvasokontriksi pada pembuluh darah yang kecil di superfisial.
Fenomena rebound. Vasokontriksi yang lama akan menyebabkan pembuluh darahyang
kecil mengalami dilatasi berlebihan, yang bisa mengakibatkan edema,inflamasi lanjut,
dan kadang-kadang pustulasi.
Ketergantungan atau Rebound: sindrom penarikan kortikosteroid adalah kejadian sering
terlihat, juga disebut “Sindrom Kulit Merah”. Penghentian total steroid adalah wajib
dan, sementara reversibel, dapat menjadi proses yang berkepanjangan dan sulit diatasi
Terlalu sering menggunakan steroid topikal dapat menyebabkan dermatitis. Penarikan
seluruh penggunaan steroid topikal dapat menghilangkan dermatitis.
Dermatitis perioral: Ini adalah ruam yang terjadi di sekitar mulut dan daerah mata yang
telah dikaitkan dengan steroid topikal.
Efek samping lokal: Ini termasuk hipertrikosis wajah, folikulitis, miliaria, ulkus kelamin,
dan granuloma infantum gluteale.
Penggunaan jangka panjang mengakibatkan Scabies Norwegia, sarkoma Kaposi, dan
dermatosis yang tidak biasa lainnya.
Kortikosteroid topikal tidak seharusnya dipakai sewaktu hamil kecuali dinyatakan perlu
atau sesuai oleh dokter untuk wanita yang hamil. Percobaan pada hewan menunjukkan
penggunaan kortikosteroid pada kulit hewan hamil akan menyebabkan abnormalitas
pada pertumbuhan fetus. Percobaan pada hewan tidak ada kaitan dengan efek pada
manusia, tetapi mungkin ada sedikit resiko apabila steroid yang mencukupi diabsorbsi di
kulit memasuki aliran darah wanita hamil. Oleh karena itu, penggunaan kortikosteroid
topikal pada waktu hamil harus dihindari kecuali mendapat nasehat daridokter untuk
menggunakannya. Begitu juga pada waktu menyusui, penggunaan kortikosteroid topikal
harus dihindari dan diperhatikan. Kortikosteroid juga hati-hati digunakan pada anak-
anak
II.Drug Eruption
Erupsi Alergi Obat atau allergic drug eruption ialah reaksi alergik pada kulit atau
daerah mukokutan yang terjadi sebagai akibat pemberian obat yang biasanya sistemik. Erupsi
obat hampir menyerupai menifestasi berbagai dermatosa. Morfologi sangat bervariasi
termasuk morbilliform, urtikaria, papulosquamous, pustular, dan bulosa. Obat-obatan juga
dapat menyebabkan pruritus dan dysesthesia tanpa letusan yang jelas. Diperkirakan
kejadiannya 2% dari total pemakaian obat – obatan atau sebesar 15 – 20% dari keseluruhan
efek samping pemakaian obat – obatan. Penyebab alergi obat yang tersering adalah golongan
penisilin, sulfa, salisilat dan pirazolon. Adapun faktor risiko alergi obat antara lain jenis
kelamin, sistem imunitas, usia, dosis, infeksi dan keganasan serta atopik. Manifestasi alergi
obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau menurut mekanisme kerusakan
jaringan akibat reaksi imunologis Gell danCoombs (tipe I sampai dengan IV). Tanda dan
gejala erupsi obat yaitu bercak kemerahan, eritema, demam, limfadenopati dan nyeri pada
mulut. Diagnosis erupsi obat adalah anamnesis dan uji kulit. Pemeriksaan penunjang erupsi
obat dengan pemeriksaan in vivo serta in vitro.
Reaksi Erupsi Alergi Obat harus dipertimbangkan dalam setiap pasien yang menerima
obat dan yang tiba-tiba mengakibatkan erupsi kulit simetris. Obat-obat yang dikenal untuk
menyebabkan reaksi kulit termasuk agen antimikroba, nonsteroidal anti-inflammatory drugs
(NSAIDs), sitokin, agen kemoterapi, antikonvulsan, dan agen psikotropika. Identifikasi
dan penghentianm obat dapat membantu membatasi efek racun yang terkait dengan obat.
Keputusan untuk menghentikan obat yang berpotensi penting sering menyajikan dilema.
FAKTOR RISIKO ALERGI OBAT
Jenis Kelamin Wanita mempunyai risiko untuk mengalami gangguan ini jauh lebih
tinggi jika dibandingkan dengan pria.
Sistem Imunitas
Erupsi alergi obat lebih mudah terjadi pada seseorang yang mengalami penurunan
sistem imun.
Usia Alergi obat dapat terjadi pada semua golongan umur terutama anak – anak dan
orang dewasa. Pada anak – anak disebabkan perkembangan sistem imunologi yang
belum sempurna. Sebaliknya, pada orang dewasa disebabkan karena lebih seringnya
berkontak dengan bahan antigenetik.
Dosis Pemberian obat yang intermitten dengan dosis tinggi akan memudahkan
timbulnya sensitisasi. Tetapi, jika sudah melalui fase induksi, dosis yang sangat kecil
sekalipun sudah dapat menimbulkan reaksi alergi.
Infeksi dan Keganasan Mortalitas tinggi lainnya juga ditemukan pada penderita erupsi
obat berat yang disertai dengan keganasan.
Atopik Faktor risiko yang bersifat atopik ini masih dalam perdebatan.
Patofisiologi
Mekanisme terjadinya erupsi alergi obat dapat terjadi secara nonimunologik dan
imunologik (alergik), tetapi sebagian besar merupakan reaksi imunologik. Pada mekanisme
imunologik, erupsi alergi obat terjadi pada pemberian obat kepada pasien yang sudah
tersensitasi dengan obat tersebut. Obat dengan berat molekul yang rendah awalnya berperan
sebagai antigen yang tidak lengkap (hapten). Obat atau metabolitnya yang berupa hapten ini
harus berkonjugasi dahulu dengan protein, misalnya jaringan, serum atau protein dari
membran sel untuk membentuk antigen yaitu kompleks hapten protein. Obat dengan berat
molekul yang tinggi dapat berfungsi langsung sebagai antigen lengkap. Sehingga
mengakibatkan terjadinya erupsi obat.
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi alergi obat dapat diklasifikasikan menurut organ yang terkena atau menurut
mekanisme kerusakan jaringan akibat reaksi imunologis Gell dan Coombs (tipe I sampai
dengan IV).
Tipe I (Hipersensivitas Tipe Cepat) Manifestasi yang terjadi merupakan efek mediator
kimia akibat reaksi antigen dengan IgE yang telah terbentuk menyebabkan kontraksi
otot polos. Meningkatnya permeabilitas kapiler serta hipersekresi kelenjar mukus. a)
Kejang bronkus gejalanya berupa sesak, kadang – kadang kejang bronkus disertai kejang
laring. Bila disertai edema laring keadaan karena pasien tidak dapat atau sangat sulit
bernapas. b) Urtikaria, c) Angiodema, d) Pingsan dan hipotensi. Renjatan anafilatik
dapat terjadi beberapa menit setelah suntikan seperti penisilin.
Manifestasi klinis renjatan anafilatik dapat terjadi dalam waktu 30 menit setelah
pemberian obat, karena hal tersebut mengenai beberapa organ dan secara potensial
membahayakan. Reaksi ini sering disebut sebgai anafilaksis. Penyebab yang tersering
adalah penisilin.
Pada tipe I ini terjadi beberapa fase yaitu :
a. Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE
b. Fase aktivasi yaitu fase yang terjadi karena paparan ulang antigen spesifik. Akibat
aktivasi ini sel mast basofil mengeluarkan kandungan yang berbentuk granual yang
dapat menimbulkan reaksi
c. Fase efektor yaitu fase terjadinya respon imun yang kompleks akibat pelepasan
mediator.
Reaksi hipersensivitas tipe II atau reaksi sitotaksik terjadi karena terbentuknya IgM
atau IgG oleh pajanan antigen. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel – sel yang
memiliki reseptornya (FcgR). Ikatan antibodi antigen juga dapat mengaktifkan
komplemen melalui reseptor komplemen.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe II umumnya berupa kelainan darah seperti anemia
hemolitik, trombositopena, eosinofilia dan granulasitopenia. Nefritis interstisial dapat
juga merupakan reaksi alergi tipe ini.
Tipe III Reaksi kompleks imun dan akan terjadi bila kompleks ini mengendap pada
jaringan. Antibodi yang berperan di sini ialah IgM dan IgG. Kompleks ini akan
mengaktifkan pertahanan tubuh yaitu dengan penglepasan komplemen.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe III dapat berupa :
a. Demam
b. Limfadenopati
c. Kelainan sendia, artralgia dan efusi sendi
d. Urtikaria, angiodema, eritema, makulopapula, eritema multiforme. Gejala tersebut
sering disertai pruritis
e. Lainnnya seperti kejang perut, mual, neuritis optik, glomerulonefritis, sindrom lupus
eritematosus sistemk serta vaskulitis.
Gejala tadi timbul 5 – 20 hari setelah pemberian obat, tetapi bila sebelumnya pernah
mendapat obat tersebut gejalanya dalam waktu 1 – 5 hari.
Tipe IV Delayed Type Hypersensitivity (DTH) juga dikenal sebagai Cell Mediated
Imunity (reaksi imun seluler). Pada reaksi ini tidak ada peranan antibodi. Reaksi terjadi
karena respon sel T yang telah disensitasi oleh antigen tertentu.
Berbagai jenis Delayed Type Hypersensitivity (DTH) antara lain :
a. Cutaneous Basophil Hypersensitivity
b. Hipersensivitas kontak (kontak dermatits)
c. Reaksi tuberkulin
d. Reaksi granuloma.
Manifestasi klinis reaksi alergi tipe IV dapat berupa reaksi paru akut seperti demam,
sesak, batuk, infiltrat paru dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan reaksi ini
yaitu nitrofurantion, nefritis intersyisial, ensefalomielitis dan hepatitis. Namun,
dermatitis merupakan manifestasi yang paling sering. Kadang – kadang gejala baru
timbul bertahun – tahun setelah sensitasi. Contohnya, pemakaian obat topikal (sulfa,
penisilin atau antihistamin). Bila pasien telah sensitif, gejala dapat muncul 18 – 24 jam
setelah obat dioleskan.
TANDA dan GEJALA
Bercak kemerahan akibat barbiturate mungkin terdapat pada telapak tangan dan kaki;
Biasanya berupa eritema atau morbiliform, kadang – kadang disertai dengan demam,
limfadenopati dan nyeri pada mulut.
DIAGNOSIS
Anamnesis Riwayat penyakit merupakan cara yang paling penting untuk diagnosis
alergi obat karena cara – cara pemeriksaan yang ada sekarang masih rumit dan hasilnya
juga belum memuaskan. Kesulitan yang sering timbul yaitu apakah gejala yang dicurigai
timbul sebagai manfestasi alergi obat. Masalah tersebut lebih sulit lagi bila pada saat
yang sama pasien mendapat lebih dari satu macam obat.
Hal – hal yang perlu diperhatikan pada anamnesis pasien alergi obat adalah : Riwayat
pemakaian obat masa lalu dan catat bila ada reaksi; Manifestasi klinis alergi obat sering
dihubungkan dengan jenis obat tertentu; Pemakaian obat topikal (salep) antibiotik
jangka lama merupakan salah satu jalan terjadinya sensitasi obat yang harus
diperhatikan; Diagnosis alergi obat sangat mungkin bila gejala menghilang setelah obat
dihentikan dan timbul kembali bila pasien diberikan obat yang sama; Catat semua obat
yang dipakai pasien termasuk vitamin, tonikum dan obat yang sebelumnya sering
dipakai, tetapi tidak menimbulkan gejala alergi obat; Catat lama pemakaian serta riwayat
obat obat sebelumnya. Alergi obat sering timbul bila obat diberikan secara berselang –
seling, berulang – ulang serta dosis tinggi secara parental; Lama waktu yang diperlukan
mulai dari pemakaian obat sampai timbulnya gejala. Pada reaksi anafilaksis gejala
timbul segera, tetapi kadang – kadang gejala alergi obat baru timbul 7 – 10 hari setelah
pemakian pertama.
Uji Kulit Uji kulit yang ada saat ini hanya terbatas pada beberapa macam obat
(penisilin, insulin, sediaan serum), sedangkan untuk obat – obatan yang lain masih
diragukan nilainya. Hal ini dikarenakan : Beberapa macam obat bersifat sebagai
pencetus lepasnya histamin (kodein, tiamin) sehingga uji positif yang terjadi adalah
semu; Konsentrasi obat terlalu tinggi juga menimbulkan hasil positif semu. Sebagian
besar obat mempunyai berat molekul kecil sehingga hanya merupakan hapten. Oleh
sebab itu, sukar untuk menentukan antigennya; Kebanyakan reaksi alergi obat
disebabkan hasil metabolismenya dan bukan oleh obat aslinya, sehingga bila kita
melakukan uji kulit dengan obat aslinya hasilnya kurang dapat dipertanggung jawabkan
kecuali penisilin yang diketahui hasil metabolismenya serta obat – obat yang
mempunyai berat molekul besar (insulin, ACTH, serum serta vaksin yang mengandung
protein telur).
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilaksanakan untuk memastikan penyebab erupsi obat
alergi adalah :
Pemeriksaan in vivo Uji kulit yang tepat dilakukan memakai bahan yang bersifat
imunogenik yaitu determinan antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan uji kulit harus
bersifat non iritatif untuk menghindari positif palsu. Uji ini manfaatnya sangat terbatas
karena baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui dan tersedia
untuk uji kulit. Dengan uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makro
molekul seperti insulin, antisera, ekstrak organ, sedangkan untuk mikromolekul sejauh
ini hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap penisilin saja.
Uji ini antara lain :
Uji Tempel (patch test) Uji tempel sering dipakai untuk membuktikan dermatitis
kontak. Suatu seri sediaan uji tempel yang mengandung berbagai obat ditempelkan pada
kulit (biasanya daerah punggung) untuk dinilai 48 – 72 jam kemudian. Uji tempel
dikatakan positif bila terjadi erupsi pruritus, eritema dan vesikular yang serupa dengan
reaksi. Klinis alergi sebelumnya, tetapi dengan intensitas dan skala lebih ringan.
Uji Tusuk (prick/scratch test) Uji tusuk dapat digunakan untuk mengkonfirmasi
adanya reaksi tipe I, dengan adanya deteksi kompleks antigen IgE spesifik. Uji kulit
dapat dilakukan dengan memakai bahan yang bersifat imunogenik yaitu determinan
antigen dari obat atau metabolitnya. Bahan untuk uji kulit harus bersifat non iritatif
untuk menghindarkan positif palsu. Uji kulit sebetulnya merupakan cara yang efektif
untuk diagnosis penyakit atopik, tetapi manfaatnya terbatas untuk alergi obat karena
pada saat ini baru sedikit sekali determinan antigen obat yang sudah diketahui. Dengan
uji kulit hanya dapat diidentifikasi alergi terhadap makromolekul (insulin, antisera,
ekstrak organ), sedangkan untuk mikromolekul sejauh ini hanya dapat mengidentifikasi
alergi terhadap penisilin saja. Hasil negatif hanya berarti pada uji kulit penisilin.
Uji Provokasi (exposure test) Uji provokasi dapat memastikan diagnosis alergi obat,
tetapi merupakan prosedur diagnostik terbatas karena mengandung resiko yang
berbahaya yaitu terjadinya anafilaksis sehingga hanya dianjurkan dilakukan ditempat
yang memiliki fasilitas dan tenaga yang memadai. Karena itu maka uji provokasi
merupakan kontra indikasi untuk alergi obat yang berat misalnya anafilaksis, sindroma
Steven Johnson, dermatitis eksfoliatif, kelainan hematologi, eritema vesiko bulosa. Uji
provokasi dilakukan setelah eliminasi yang lamanya tergantung dari masa paruh setiap
obat.
Pemeriksaan in vitro
Uji in vitro untuk alergi obat lebih lazim digunakan dalam penelitian. Pemeriksaan yang
dilakukan antara lain IgG dan IgM spesifik, uji aglutinasi dan lisis sel darah merah,
RAST, uji pelepasan histamin, uji sensitisasi jaringan (basofil atau lerkosit serta esai
sitokin dan reseptor sel), sedangkan pemeriksaan rutin seperti IgE total dan spesifik, uji
Coomb’s, uji komplemen dan lain – lain bukanlah untuk konfirmasi alergi obat. Tujuan
dari uji ini untuk membantu membedakan apakah reaksi kulit yang terjadi pada individu
tersebut disebabkan karena obat atau bukan.
PENATALAKSANAAN
Melindungi kulit, pemberian obat yang diduga menjadi penyebab erupsi kulit harus
dihentikan segera
Menjaga kondisi pasien dengan selalu melakukan pengawasan untuk mendeteksi
kemungkinan timbulnya erupsi yang lebih parah atau relaps setelah berada pada fase
pemulihan;
Menjaga kondisi fisik pasien termasuk asupan nutrisi dan cairan tubuhnya. Berikan
cairan via infus bila perlu. Pengaturan keseimbangan cairan elektrolit dan nutrisi penting
karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan tenggorok serta
kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus, misalnya berupa glukosa 5%
dan larutan Darrow.
Kortikosteroid Pemberian kortikosteroid sangat penting pada alergi obat sistemik. Obat
kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednison. Pada kelainan urtikaria, eritema,
dermatitis medikamentosa, purpura, eritema nodosum, eksantema fikstum dan PEGA
karena erupsi obat alergi. Dosis standar untuk orang dewasa adalah 3 x 10 mg sampai 4
x 10 mg sehari. Pengobatan eryhema multiforme major, SSJ dan NET pertama kali
adalah menghentikan obat yang diduga penyebab dan pemberian terapi yang bersifat
suportif seperti perawatan luka dan NET perawatan gizi penderita. Penggunaan
glukortikoid untuk pengobatan SSJ masih kontroversial. Pertama kali dilakukan
pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG) terbukti dapat menurunkan progresifitas
penyakit ini dalam jangka waktu 48 jam. Untuk selanjutnya IVIG diberikan sebanyak
0.2 – 0.75 g/kg selama 4 hari pertama.
Antihistamin Antihistamin yang bersifat sedatif dapat juga diberikan, jika terdapat rasa
gatal, kecuali pada urtikaria, efeknya kurang jika dibandingkan dengan kortikosteroid.
Topikal Pengobatan topikal tergantung pada keadaan kelainan kulit, apakah kering atau
basah. Jika dalam keadaan kering dapat diberikan bedak salisilat 2% ditambah dengan
obat antipruritus seperti mentol ½ – 1% untuk mengurangi rasa gatal. Jika dalam
keadaan basah perlu digunakan kompres, misalnya larutan asam salisilat 1%.
Pada bentuk purpura dan eritema nodosum tidak diperlukan pengobatan topikal. Pada
eksantema fikstum, jika kelainan membasah dapat diberikan krim kortikosteroid,
misalnya hidrokortison 1% – 2 ½%. Pada eritroderma dengan kelainan berupa eritema
yang menyeluruh dan mengalami skuamasi dapat diberikan salep lanolin 10% yang
dioleskan sebagian – sebagian. Terapi topikal untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog
in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle atau krim
sulfadiazin perak.
Farmakoterapi
Terapi Erupsi Alergi Obat yang paling terutama mendukung di alam. Erupsi Morbilliform
diperlakukan dengan antihistamin oral dan steroid topikal. IVIG saat ini agen yang paling
umum digunakan untuk mengobati TEN. Siklosporin juga mungkin memiliki peran dalam
pengobatan TEN. Prednisone dapat digunakan dalam pengobatan sindrom hipersensitivitas
dengan hati dan keterlibatan paru-paru, serum sickness yang parah seperti reaksi, dan
sindrom manis.
Antihistamin generasi pertama Obat ini melawan reseptor H1 dan memblokir pelepasan
histamin. Mereka memberikan bantuan gejala pruritus dan membantu meningkatkan letusan.
Hidroksizin HCl (Anxanil, Atarax, Atozine, Durrax, Vistaril) Antagonizes reseptor
H1 di pinggiran. Dapat menekan aktivitas histamin dalam SSP subkortikal. Tersedia
sebagai 10 -, 25 -, 50 -, atau 100 mg-tab.
Diphenhydramine HCl (Benadryl, Chesty, Diphen, AllerMax) Untuk mengurangi
gejala-gejala gejala alergi yang disebabkan oleh pelepasan histamin dalam reaksi
kekebalan.
Antihistamin generasi kedua, nonsedating Agen-agen ini menyebabkan kurang,
mengantuk dibandingkan generasi pertama
Loratadin (Claritin) Selektif menghambat reseptor perifer histamin H1.
Kortikosteroid Agen topikal memberikan bantuan gejala pruritus. Steroid sistemik
digunakan pada orang dengan sindrom hipersensitivitas, serum sickness yang parah
seperti reaksi, dan sindrom manis.
Desonide Untuk inflamasi dermatosis responsif terhadap steroid, penurunan peradangan
dengan menekan migrasi leukosit PMN dan membalikkan permeabilitas kapiler.
Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred) Imunosupresan untuk pengobatan
gangguan kekebalan, dapat mengurangi peradangan dengan membalikkan peningkatan
permeabilitas kapiler dan menekan aktivitas PMN, tersedia dalam 2,5-, 5 -, 10 -, 20 -,
atau 50-mg tab.
Imunoglobulin digunakan untuk mengobati TEN.
Intravena imunoglobulin (Gammagard, Gamimune) Produk darah dibuat dari plasma
dikumpulkan dari donor sehat. Fitur berikut ini mungkin relevan dengan khasiat:
netralisasi beredar antibodi mielin melalui anti-idiotypic antibodi, down-regulasi sitokin
proinflamasi, termasuk IFN-gamma, blokade reseptor Fc pada makrofag, penindasan T
inducer dan sel B dan T-augmentasi penekan sel, blokade kaskade komplemen, promosi
remyelination, dan peningkatan 10% dalam CSF IgG.