status ontologi subyek kuasa web viewquilting point. dari rangkai acak peristiwa. peran politik...

35
A. Status Ontologi Subyek Kuasa Penelitian ini berangkat dari situasi politik kontemporer yang menghilangkan subyek dari realitas politik. Politik menjadi suatu mekanisme tanpa subyek, yang menempatkan subyek sebagai sub-ordinat relasi kuasa. Politik menjadi kekuatan diskursif yang bergerak dalam berbagai teks. Teks sendiri telah melampaui gagasan awal pengarangnya sehingga pengarang tunduk di bawah otoritas teks. Contohnya adalah feminisme sebagai hasil rekonstruksi diskursus dominan tentang deviasi struktur sosial. Kekuatan diskursif feminisme bersifat kontingen yang menggeserkan diri dalam berbagai struktur simbolis kekuasaan. Perjuangan feminisme tidak mengikat diri pada satu struktur (negara, partai politik, perusahaan). Dalam konteks ini, suatu diskursus tidak pernah mengalami totalitas. Subyek pengusung dan tema bisa berganti. Ia bahkan bisa mengambil posisi liyan sebagai oposisi dari hegemoni kekuasaan. Begitu juga dengan keberadaan “sistem ahli” (the expert system). Dalam relasi kuasa kontemporer, peran sistem ahli menggantikan subyek kuasa dalam menata kehidupan sosial politik. Sistem ahli mendefinisikan interaksi sosial, kesejahteraan, atau ekspektasi hidup manusia. Dalam konteks politik, sistem ahli bergerak melalui jejaring non- ideologi: pada ranah hasrat manusia akan kesejahteraan ekonomi, hidup sehat, akses pendidikan tinggi, hidup tenang, dan lain sebagainya. Kekuasaan politik berubah menjadi kekuatan administrasi di mana sistem ahli menyusun pengaturan strategis hidup manusia secara sistematis. Karena bersifat non-ideologi, masyarakat dunia pun menerimanya tanpa reserve karena sistem ahli menyediakan bentuk kemudahan dalam menikmati hidup. Manusia langsung dapat membeli suatu produk sekaligus beramal. Membeli salah satu produk larutan penyegar sekaligus beramal untuk konservasi badak Jawa di Ujung Kulon. Upaya penyingkiran subyek dari realitas politik ini yang berusaha dilawan Slavoj Žižek. Politik tidak boleh menghilangkan eksistensi subyek. Politik tanpa subyek tidak akan bermakna, begitu pun sebaliknya. Tapi, bukan subyek yang didefinisikan oleh biologi sebagai organisme hidup atau homo economicus oleh ilmu ekonomi. Melainkan subyek yang 1

Upload: lekhanh

Post on 30-Jan-2018

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Status Ontologi Subyek Kuasa Web viewquilting point. dari rangkai acak peristiwa. Peran politik administratif terasa dominan karena masyarakat membutuhkan “kambing hitam” atas

A. Status Ontologi Subyek KuasaPenelitian ini berangkat dari situasi politik kontemporer yang menghilangkan

subyek dari realitas politik. Politik menjadi suatu mekanisme tanpa subyek, yang menempatkan subyek sebagai sub-ordinat relasi kuasa. Politik menjadi kekuatan diskursif yang bergerak dalam berbagai teks. Teks sendiri telah melampaui gagasan awal pengarangnya sehingga pengarang tunduk di bawah otoritas teks. Contohnya adalah feminisme sebagai hasil rekonstruksi diskursus dominan tentang deviasi struktur sosial. Kekuatan diskursif feminisme bersifat kontingen yang menggeserkan diri dalam berbagai struktur simbolis kekuasaan. Perjuangan feminisme tidak mengikat diri pada satu struktur (negara, partai politik, perusahaan). Dalam konteks ini, suatu diskursus tidak pernah mengalami totalitas. Subyek pengusung dan tema bisa berganti. Ia bahkan bisa mengambil posisi liyan sebagai oposisi dari hegemoni kekuasaan.

Begitu juga dengan keberadaan “sistem ahli” (the expert system). Dalam relasi kuasa kontemporer, peran sistem ahli menggantikan subyek kuasa dalam menata kehidupan sosial politik. Sistem ahli mendefinisikan interaksi sosial, kesejahteraan, atau ekspektasi hidup manusia. Dalam konteks politik, sistem ahli bergerak melalui jejaring non-ideologi: pada ranah hasrat manusia akan kesejahteraan ekonomi, hidup sehat, akses pendidikan tinggi, hidup tenang, dan lain sebagainya. Kekuasaan politik berubah menjadi kekuatan administrasi di mana sistem ahli menyusun pengaturan strategis hidup manusia secara sistematis. Karena bersifat non-ideologi, masyarakat dunia pun menerimanya tanpa reserve karena sistem ahli menyediakan bentuk kemudahan dalam menikmati hidup. Manusia langsung dapat membeli suatu produk sekaligus beramal. Membeli salah satu produk larutan penyegar sekaligus beramal untuk konservasi badak Jawa di Ujung Kulon.

Upaya penyingkiran subyek dari realitas politik ini yang berusaha dilawan Slavoj Žižek. Politik tidak boleh menghilangkan eksistensi subyek. Politik tanpa subyek tidak akan bermakna, begitu pun sebaliknya. Tapi, bukan subyek yang didefinisikan oleh biologi sebagai organisme hidup atau homo economicus oleh ilmu ekonomi. Melainkan subyek yang mampu mengurai “identitas kekurangan”-nya dan bertindak berdasarkan ketidaksempurnaannya itu. Untuk itu, Žižek menyusun status ontologi subyek kuasa berdasarkan pemikiran Déscartes, Kant, Hegel, dan Lacan.

Déscartes (1596-1650) memahami subyek sebagai suatu kesadaran yang mampu mengartikulasi realitas obyektif, memahami tindakannya, serta konsekuensi dari tindakan itu. Realitas obyektif (res extensa) hanya sarana bagi kesadaran (res cogitans). Manakala res extensa disingkirkan maka yang tersisa hanya res cogitans sebagai kesadaran diri subyek. Res cogitans memperoleh jaminan dari the Perfect Being berupa pengetahuan yang jelas dan terpilah (clear and distinctly) sehingga kesadaran diri mencakup pengetahuan yang luas dan dapat dimengerti. Konsekuensinya, subyek tidak membutuhkan res extensa untuk memperoleh pengetahuan karena dalam dirinya sudah terkandung evidensi diri.

Žižek menafsirkan pemikiran Déscartes ini secara berbeda. Pernyataan “aku berpikir” membuka hipotesa tentang kekuatan the Perfect Being yang berada di belakang subyek dan mendominasinya.1 Maka cogito adalah suatu keputusan subyek untuk memutuskan hubungannya dengan realitas. Kesadaran subyek tidak lagi tunduk pada hukum alam melainkan terpisah dan otonom. Ketika memutuskan rantai realitas, subyek memahami kekurangannya sehingga kesadaran diri selalu dalam posisi

1 Žižek. Tarrying with the Negative (Durham: Duke University Press, 1998), hal. 12.1

Page 2: Status Ontologi Subyek Kuasa Web viewquilting point. dari rangkai acak peristiwa. Peran politik administratif terasa dominan karena masyarakat membutuhkan “kambing hitam” atas

mengkonstitusi kekurangan ini. Res cogitans bersifat terbatas sehingga ia membutuhkan the Prefect Being yang tak terbatas untuk menjamin eksistensinya.2 Atas dasar itu, res cogitans bukan substansi tertutup tapi sebagai hubungan korelasi.

Solipsisme Déscartes diganti menjadi korelasi antara res cogitans, res extensa, dan ide-ide bawaan. Hubungan korelasi ini hanya dimungkinkan melalui pengetahuan representasi (representasi subyek, representasi realitas obyek, dan representasi the Prefect Being). Pengetahuan representasi ini yang membuat identitas subyek tidak self-sufficient. Subyek adalah “subyek kekurangan” (the lackness subject) dan kesadaran adalah “kesadaran kosong” (the empty cogito). Jadi bagi Žižek, subyek Cartesian bukan entitas superior yang mampu memahami realitas obyek berdasarkan kesadaran subyektifnya. Alih-alih, subyek menjadi retakan semesta, yang secara ontologi, memiliki identitas kekurangan. Sublimasi identitasnya terjadi manakala memanggil the Perfect Being sebagai penjamin eksistensinya.

Immanuel Kant (1724-1804) melebihi pemikiran Déscartes tentang paradoks kesadaran diri ini. Bagi Kant, hubungan korelatif antara subyek, realitas obyek, dan ide-ide bawaan adalah suatu ketidakmungkinan. Cogito tidak mungkin ditemukan dalam kesadaran diri karena kesadaran diri selalu berdasarkan pengalaman empiris. Cogito bukan substansi atau korelasi tapi suatu aktivitas yang mensintesakan berbagai pengalaman inderawi.3 Dengan kata lain, Kant tidak lagi berbicara tentang bagaimana obyek menampakkan diri tapi bagaimana subyek memahami penampakan obyek tersebut.4 Jadi menurut Kant, cogito adalah suatu “apersepsi transendental” yang mengkonstitusi realitas obyek berdasarkan pengetahuan apriori-nya. Cogito bersifat menyatu dan permanen dengan subyek, yang menjadi syarat apriori bagi pengalaman. Realitas obyek yang dialami subyek tidak eksternal dari subyek itu tapi komposisi artifisial yang dikonstitusi subyek secara transendental.5

Dalam terang pemahaman ini, subyek memiliki keterbatasan kapasitas diri sehingga tidak mampu sepenuhnya merekonsiliasi rasionya dengan struktur realitas. Maka ada perigi dalam kesadaran diri subyek di mana subyek transendental menyusun ukuran dan batasan suatu obyek di dalam dan melalui perigi itu.6 Penafsiran Žižek terhadap Kant memberi status ontologi baru bagi subyek sebagai “subyek kosong” karena subyek transendental Kantian bukan bentuk formal dari fenomena atau noumena melainkan kondisi “kekosongan diri”. Maka pemahaman subyek terhadap realitas tidak pernah total. Ia selalu menyisakan ruang kosong yang tak mampu disingkap.

Misalnya, konstruksi pengetahuan subyek berdasarkan rasio murni (pure reason), rasio praktis (practical reason), dan daya pertimbangan (judgement). Jika subyek tidak dapat mengkonstitusi obyek melalui konstruksi logis (rasio murni) maka ia akan beralih ke pengalaman empiris (rasio praktis) atau daya pertimbangannya. Menurut Žižek, kapasitas subyek menggeserkan diri ini adalah “mediator yang melenyap” (the vanisihing mediator) di mana subyek memahami keterbatasan kapasitasnya dan tidak mampu mengelak dari ruang kosong dalam kesadarannya. Salah satu cara untuk mempertegas pengetahuannya adalah subyek melawan keterbatasan kapasitasnya sendiri. Subyek hanya mampu menyadari dirinya manakala ia berada di

2 Ibid.3 Immanuel Kant. Critique of Pure Reason (translated by J.M.D Meiklejohn. New York:

Prometheus Books, 1990), hal. 77.4 Ibid, hal. 15 dan 45.5 Žižek. The Ticklish Subject (New York-London: Verso, 1999), hal. 55.6 Žižek. The Parallax View (Massachussets: The MIT Press, 2006), hal. 21.

2

Page 3: Status Ontologi Subyek Kuasa Web viewquilting point. dari rangkai acak peristiwa. Peran politik administratif terasa dominan karena masyarakat membutuhkan “kambing hitam” atas

luar jangkauan dirinya. Dalam bahasa Žižek, “I am conscious of myself only insofar as I am out of reach to myself qua the real kernel of my being”.7 Dari pemahaman Kant ini, Žižek menyimpulkan bahwa status ontologi subyek adalah suatu keretakan identitas yang tidak sepenuhnya menjadi subyek serta tidak pernah utuh memahami dirinya.8 Maka subyek adalah suatu kegagalan representasi simbolis atas dirinya.

Tapi Kant hanya menyajikan kapasitas pergeseran diri subyek di mana subyek menyadari dirinya dalam kesenjangan antara fenomena dan nomena. Hegel (1770-1831) berusaha menghindari dualisme fenomena-nomena. Baginya, paradoks kesadaran diri bermula dari yang fenomena itu sendiri, yaitu ada inkonsistensi dalam realitas fenomenal.9 Inti realitas menolak konseptualisasi. Realitas non-konseptual selalu hadir ketika subyek memahami keterbatasannya. Malah realitas non-konseptual itu menjadi transparan bagi subyek. Menurut Hegel, sifat realitas adalah inkonsisten dan tidak sama dengan dirinya sehingga posisi subyek adalah menangkap dan memahami inkonsistensi itu.

Hegel mempertegas status ontologi subyek yang tidak mungkin menyusun pengetahuan atau memahami realitas secara total. Melalui dialektika, subyek dipaksa menerima insufficiency pengetahuannya sehingga tidak ada pengetahuan utuh yang dapat dikonstitusi subyek.10 Setiap upaya totalisasi akan gagal dan kegagalan ini akan mendorong proses dialektika. Dalam konteks ini terlihat Hegel mempertegas posisi subyek dalam realitas fenomena. Sementara nomena dibiarkan sebagaimana adanya, sebagai ruang kosong yang tidak dapat diakses subyek. Relasi fenomena dan nomena bukan relasi kesenjangan, sebagaimana dikatakan Kant, melainkan relasi “keseimbangan yang rapuh” (a fragile balance).

Keseimbangan yang rapuh melandasi subyek dalam menyusun klaim tentang sesuatu dengan mengikutsertakan inkonsistensinya. Bagi Hegel, penampakan realitas selalu dalam keadaan terbingkai sehingga tidak netral dan tidak simetris. Realitas selalu mengandung dua perspektif yang saling bertentangan. Jika subyek melihatnya dari satu perspektif maka perspektif lain akan mengelak dan mengisi ranah yang kosong. Maka ada perbedaan antara “realitas yang diketahui” dengan realitas itu sendiri. Realitas yang diketahui merupakan pengetahuan simbolis subyek, sebagai bentuk penaklukan subyek terhadap realitas serta tidak luput dari kesalahan. Dari pemahaman ini, menurut Žižek, Hegel memutarbalikkan pemikiran Kant dalam konteks: bukan pada bagaimana subyek memahami realitas obyek tapi pada bagaimana realitas itu menampakkan ke-munculannya.11

Dalam dialektika Hegelian, subyek menjadi subordinat dari totalitasnya, yang memposisikan diri sebagai totalitas baru, subordinat dari substansi sebelumnya, serta selalu kembali ke identitas partikularnya.12 Kondisi ini disebabkan subyek tidak pernah utuh memfiksasi realitas di luar persepsinya. Ia tidak mampu merefleksikan apapun di luar dirinya. Pengertian “subyek menjadi pada substansi” adalah aksiden atau predikat dari substansi. Subyek terus menerus menggeserkan diri dari pusatnya. Pusat lama kembali ke posisi subordinat. Walau Hegel telah membuka selubung misteri realitas,

7 Žižek. 1998, op.cit, hal. 14.8 Žižek. Enjoy Your Symptom!: Jacques Lacan in Hollywood and Out (New York: Routledge,

1992), hal. 181.9 Žižek. For They Know Not What They Do (London-New York: Verso, 2008), hal. Xxix.10 Žižek. 1999, op.cit, hal. 60.11 Žižek. 2006, op.cit, hal. 29.12 Žižek. The Indivisible Remainder (London-New York: Verso, 2007), hal. 128.

3

Page 4: Status Ontologi Subyek Kuasa Web viewquilting point. dari rangkai acak peristiwa. Peran politik administratif terasa dominan karena masyarakat membutuhkan “kambing hitam” atas

Žižek tidak mau masuk ke pesona dialektika itu. Žižek tetap bergumul pada kondisi “prasyarat ketidakmungkinan” (condition of imposibility) subyek.13

Bagi Žižek, subyek tidak pernah mencapai titik realisasi diri. Malah kesadaran subyek hanya dapat ditemukan dalam ketidaktransparan dirinya.14 Menjadi subyek adalah memperhitungkan “prasyarat ketidakmungkinannya” itu sehingga subyek harus memperhitungkan mis-rekognisi dan menjadikannya sebagai bagian dari kesadaran. Dengan demikian, “kekosongan diri” selalu inheren dalam diri subyek. Mis-rekognisi merupakan kondisi yang menyertai rekognisi subyek dalam proses dialektika mencari kebenaran.

Untuk itu, proses dialektika bukan mencari rekonsiliasi atau sintesa tetapi suatu penegasan kontradiksi internal pada subyek. Pengetahuan subyek tentang sesuatu selalu diganggu oleh ketidaksesuaiannya. Kebenaran akan diganggu oleh dimensi kesalahan-nya. Yang subordinat selalu dibutuhkan untuk menegaskan eksistensi yang ordinat.15 Žižek melihat dialektika Hegelian adalah sebentuk keretakan atau pergeseran Yang Satu menuju Yang Dua (the split of the One into Two). Yang Dua membelah Yang Satu tapi bukan menjadi setengah-setengah melainkan menjadi “sesuatu” (something) dan “bukan sesuatu” (nothing) atau Yang Satu dengan kekosongan di dalamnya16.

Hasil dari dialektika Hegelian, menurut Žižek, adalah keretakan, pergeseran, atau dispersi dari kesatuannya yang asli. Yang Partikular mengambil alih Yang Universal, dan vice versa. Ketika disintegrasi mencapai kepenuhannya (menjadi integrasi), ia akan berbalik ke sisi oposisinya. Selalu ada yang tersisa dalam proses dialektika sehingga tidak dapat memperhitungkan eksesnya secara pasti. Dengan demikian, disintegrasi selalu inheren dalam proses dialektika. Begitu juga dengan kegagalan. Tapi kegagalan itu lah yang mendorong kemajuan proses dialektika sehingga selalu ada kemungkinan untuk menyusun proses yang baru.

Jika Déscartes, Kant, dan Hegel berkutat pada ranah kesadaran untuk menyusun status ontologi subyek kuasa. Jacques Lacan melakukan sebaliknya. Baginya, ranah ketaksadaran lah yang secara dominan membentuk identitas subyek kuasa. Mengikuti Freud, Lacan menegaskan asumsi bahwa ada sesuatu dalam kehidupan manusia yang mengelak dari kontrol kesadarannya. Malah dimensi ketaksadaran ini mendeterminasi cara manusia merespon sesuatu atau memikirkan dirinya. Implikasinya, ada permainan hasrat dan fantasi dalam pembentukan identitas subyek kuasa. Hasrat dan fantasi yang menyusun tindakan manusia serta membuka selubung kenaifan ideologi dan interaksi sosial.

Dengan mengacu pada dimensi ketaksadaran ini, status ontologi subyek kuasa adalah “subyek kekurangan” (the lackness subject). Subyek tidak pernah mampu memahami dirinya dan selalu mengalami keretakan identitas. Selalu ada residu dan kegagalan dalam proses pengenalan diri subyek. Lacan menyebutnya Yang Nyata (the Real). Tapi Yang Nyata bukan penghalang subyek untuk memahami dirinya. Alih-alih, ia menjadi pendorong tindakan subyek. Ia menjadi “obyek penyebab hasrat” (object cause desire atau objet petit a). Untuk itu, akumulasi hasrat menjadi media bagi subyek untuk bertindak dan memahami kekurangannya.

Salah satu bentuk permainan hasrat dan fantasi itu adalah seksualitas. Seksualitas, bagi Lacan, merupakan momen bagi subyek untuk memahami kekurangan

13 Žižek. 2008, op.cit. hal. 70.14 Žižek. 1998, op.cit, hal. 128.15 Tony Myers. Slavoj Žižek (New York-London: Routledge, 2003), hal. 16.16 Žižek. 2008, op.cit, hal. xxvi

4

Page 5: Status Ontologi Subyek Kuasa Web viewquilting point. dari rangkai acak peristiwa. Peran politik administratif terasa dominan karena masyarakat membutuhkan “kambing hitam” atas

identitasnya dan berhubungan dengan orang lain.17 Jadi selain menerima identitas kekurangannya, subyek juga memahami kebutuhannya untuk berhubungan dengan orang lain. Ia tidak hanya membutuhkan pengakuan dari orang lain tapi juga men-jadikan dirinya sebagai obyek bagi orang lain itu. Pada fase cermin, subyek mengidentifikasi diri melalui sang Ibu. Sang ibu adalah gambaran imajiner diri subyek. Tapi seiring waktu, ada perbedaan mendasar antara subyek dan ibunya. Apa yang menjadi hasrat ibunya bukan lah dirinya tapi sang Ayah. Untuk itu, subyek berusaha memenuhi hasrat ibunya, dengan menjadi “obyek penyebab hasrat” ibunya.

Ketidakmampuan subyek memahami dirinya secara langsung mengakibatkan alienasi. Subyek mencari dirinya melalui gambaran orang lain. Menurut Lacan, pada fase ini subyek telah melakukan interaksi dengan orang lain. Ia membutuhkan orang lain untuk memahami dirinya. Pada fase simbolis, subyek menggambarkan dirinya melalui kode-kode gramatikal. Subyek tidak mampu keluar dari ranah simbolis ini. Subyek dipaksa untuk menerima aturan-aturan bahasa. Bahasa dan kode simbolis menjadi satu-satunya media bagi subyek untuk menggambarkan diri dan berinteraksi dengan yang lain. Yang Simbolis juga hadir dalam sosok Ayah sebagai “Nama-Sang-Ayah” yang merintangi hasrat subyek terhadap ibunya.

Pernak-pernik pemikiran Lacan ini dijadikan landasan bagi Žižek untuk mendukung argumentasi tentang keretakan identitas subyek kuasa. Ranah ketaksadaran memainkan peran penting dalam tindakan politik manusia serta dapat dijadikan alat analisis untuk menyingkap selubung kenaifan ideologi. Misalnya, bagaimana subyek melakukan interaksi sosial melalui “dialektika pengakuan” atau akselerasi tindakan politik seturut “politik kenikmatan” dari permainan hasrat dan fantasi subyek.

Dari pemikiran Lacan terlihat bahwa status ontologi subyek adalah kemampuan menerima keretakan atau kekurangan identitasnya. Ketika subyek memahami dirinya berdasarkan figurasi orang lain, sesungguhnya ia telah masuk ke dalam skema dominasi kekuasaan. Begitu juga pada fase simbolis. Ketundukan subyek pada aturan gramatikal menyebabkan dirinya harus mengikuti sistem signifikasi itu. Tapi dalam kondisi alienasi dan kekurangan ini lah, subyek mempunyai energi untuk terus menerus mencari pemahaman dirinya.

Dari seranai pemikiran inilah Žižek membangun argumentasi filosofisnya tentang subyek kuasa, relasi subyek kuasa dengan struktur simbolis kekuasaan, serta mengidentifikasi permasalahan politik kontemporer.B. Subyek Kosong dan Tindakan Politik

Bagi Žižek, subyek bukanlah entitas substansial atau lokus yang spesifik. Subyek ada sebagai dimensi eternal dari ekses-resistensi terhadap semua bentuk subyektivasi (atau interpelasi).18 Mengikuti Lacan, Žižek melihat identitas subyek sebagai suatu kekosongan dasar konstitutif (the subject is a basic constitutive void). Kekosongan ini mendorong proses subyektivasi walaupun selalu tidak dapat memenuhinya. Jadi, dalam subyektivasi terdapat kekurangan dan residu. Lacan menyebutkan “subyek adalah $” atau “subyek yang terhalang, yang kosong” (the “barred”, empty subject).19 Subyek tidak mampu menemukan “namanya” (penandanya) pada realitas simbolis atau mencapai kepenuhan identitas ontologinya.20

17 Ian Parker. Slavoj Žižek: A Critical Introduction (London: Pluto Press, 2004), hal. 6118 Žižek and Glyn Daly. Conversation With Žižek (Cambridge: Polity Press. 2004), hal. 4.19 Robertus Robet. Manusia Politik: Subyek Radikal dan Politik Emansipasi di Era Kapitalisme

Global Menurut Slavoj Žižek (Tangerang: Marjin Kiri: 2010), hal. 78.5

Page 6: Status Ontologi Subyek Kuasa Web viewquilting point. dari rangkai acak peristiwa. Peran politik administratif terasa dominan karena masyarakat membutuhkan “kambing hitam” atas

Subyek Žižekian merupakan pemahaman lebih lanjut dari fitur dasar subyek Lacanian, yaitu subyek yang mengalami alienasi dari penandanya dan masuk pada jejaring penanda eksternal yang membelah identitas subyek.21 Pembacaan pemikiran Lacan ini menjadi titik labuh dalam mengartikulasi identitas politik subyek.22 Dalam terang pemahaman ini, subyek selalu dalam kondisi kehilangan hasrat sehingga mengalami alinenasi dari hasratnya.23 Maka, subyek adalah personalitas terbelah (the divided subject), yang dijelaskan Žižek24 dalam kalimat berikut,

“Secara sederhana penempatannya: jika kita membuat abtraksi, jika kita mengurangi semua kekayaan perbedaan dari model subyektivisasi, semua kepenuhan pengalaman hadir dengan cara individu-individu “diam” pada posisi subyek-nya, apa yang tersisa adalah ruang kosong yang dapat diisi dengan kekayaan ini, ini kekosongan murni, ini kekurangan struktur simbolis, yang merupakan subyek, subyek penanda”.

Bagi Lacan, subyek penanda adalah agen aktif yang menolak bentuk signifikasi dirinya ke dalam bahasa karena representasi simbolis selalu mendistorsi subyek. Untuk itu, menjadi subyek bermakna mengalami ketergeseran atau kegagalan. Subyek tidak mampu menemukan penandanya sendiri.

Menurut Lacan, subyek tidak pernah mengalami kepenuhan identitas tapi selalu mengidentifikasikan dirinya dengan yang lain untuk menegaskan eksistensi dirinya dalam relasi sosial sebagai “disjungsi subyektif”. Identitas diri hanya dapat dipahami sejauh ia mengidentifikasikan diri dengan yang lain serta menaruhnya dalam spektrum distansiasi. Lacan menyebutnya dengan “dialektika pengakuan”, yaitu subyek memahami dirinya dari sikap dan respon subyek lain. Dalam identitasnya, subyek ada dalam representasi dan sebuah representasi tidak mampu merangkum keseluruhan sifat subyek. Jadi hubungan intersubyektif dalam “dialektika pengakuan” adalah hubungan

20 Menurut Lacan, subyek selalu menjadi sisa sebagai “potongan tulang dalam kerongkongan penanda” (a bone stuck in the throat of the signifier), Žižek and Daly, 2004, op.cit, hal. 4.

21Žižek. The Sublime Object of Ideology (New York-London: Verso, 2008), hal. 196.22Untuk memudahkan pemahaman tentang subyek sebagai penanda, kita dapat melihat terminologi

semiotik tentang hubungan penanda-petanda. Pada Ferdinand de Saussure, proses signifikasi adalah proses mengikat penanda dan petanda. Relasi penanda-petanda bersifat vertikal dari situasi dalam (situation in depth) sehingga penanda ada di samping petanda. Untuk memahami penanda dicapai dengan memahami petanda-nya. Lacan berbeda dengan Saussure dalam melihat relasi ini. Baginya, penanda (S) bersifat global yang tersusun dari rantai metaforis yang berlapis. Penanda (S) dan petanda (s) memiliki kandungan nilainya masing-masing. Penanda merupakan representasi represi petanda. Relasi penanda-petanda bersifat mengambang (floating) yang hanya bertemu manakala ada “titik labuh” yang pasti. Roland Barthes. Elements of Semiology (translated by Annette Lavers and Colin Smith. New York: Hill and Wang, 1973) hal. 49.

23Dengan bahasa parodi, Žižek menjelaskan maksud subyek Lacanian dengan kalimat paradoks Lewis Carroll berikut: “Seorang gadis kecil berkata penuh simpati pada temannya, ‘Saya senang karena tidak suka asparagus. Jika suka, saya harus memakannya dan gak akan kuat!”. Di sini terlihat masalah refleksivitas hasrat. Hasrat selalu merupakan hasrat terhadap hasrat. Pertanyaan yang muncul bukanlah “Apa yang saya inginkan?” tapi “Ada banyak hal yang saya inginkan dan saya memiliki banyak keinginan (hasrat)..Yang mana di antara mereka yang paling saya inginkan (menjadi obyek hasratku)? Keinginan yang mana yang paling saya ingini?”. Žižek, The Sublime., loc.cit. 2008d.

24“To put it simply: if we make an abstraction, if we subtract all the richness of the different modes of subjectivation, all the fullness of experience present in the way the individuals are ‘living’ their subject-positions, what remains is an empty place which was filled out with this richness, this original void, this lack of symbolic structure, is the subject, the subject of the signifier”. Ibid, hal. 197.

6

Page 7: Status Ontologi Subyek Kuasa Web viewquilting point. dari rangkai acak peristiwa. Peran politik administratif terasa dominan karena masyarakat membutuhkan “kambing hitam” atas

subyek representatif atau subyek simbolis di mana subyek tak dapat didefinisikan secara utuh sekaligus tidak mampu melepaskan diri dari simbolisasi dirinya.

Secara mendasar, identitas subyek kosong muncul berdasarkan kompilasi triadik Yang Nyata (the Real), Yang Simbolis (the Symbolic), dan Yang Imajiner (the Imaginary) sebagai struktur “Yang Ada”. Dengan kata lain, realitas merupakan bentuk konsfiguratif dari tatanan imajiner dan signifikasi simbol dalam jejaring sistem signifikasi. Žižek meminjam analisa Lacan pada fase cermin seorang anak ketika berusia 6 – 18 bulan. Kombinasi dan resistensi elemen triadik ini mempengaruhi sikap sosial dan politis individu yang berlangsung terus sampai tahap kedewasaannya.

Fase cermin merupakan tahap subyek mengintegrasikan tubuhnya sebagai kesatuan utuh melalui representasi diri. Subyek mengartikulasi dirinya melalui imajinasi diri pada bayangan cerminnya dan di situlah ia dapat melihat eksistensinya secara utuh. Tanpa cermin, subyek hanya menemukan parsialitas dan fragmentasi tubuh. Dengan demikian, subyek mengidentifikasi diri melalui representasi diri dalam cermin. Identifikasi subyek ini merupakan upaya psikis untuk memahami diri melalui bayangan atau simbol yang bukan-diri.25

Bagi Lacan, cermin bukan hanya pantulan bayangan subyek tapi prototipe Yang Imajiner sebagai starting point untuk mengidentifikasi diri.26 Subyek mulai mengenal relasi dengan bukan-diri walaupun dalam tatanan imajiner. Yang Imajiner menjadi fase penemuan diri sebagai kesatuan utuh dan pengenalan relasi subyektif dengan bukan-diri.27 Gambaran kesatuan diri melalui cermin me-mungkinkan subyek memiliki potensi untuk mengidentifikasi diri dan bukan-diri secara kontinyu karena representasi diri belum terbentuk melalui gagasan atau bahasa. Tapi pada fase cermin juga sesungguhnya subyek telah mengalami alienasi28 karena mengidentifikasi diri melalui representasi, bukan merujuk pada dirinya an sich. Alienasi terjadi manakala subyek meletakkan identitasnya di luar konteks diri, menaruhnya dalam imajinasi ganda, dan relasi ketat dengan bukan-diri. Dengan kata lain, subyek memahami eksistensi dirinya melalui Yang Imajiner dan tak langsung.

Bahasa melepaskan subyek dari Yang Imajiner. Subyek memanfaatkan bahasa untuk mengidentifikasikan dirinya. Bahasa adalah Yang Simbolis yang menyediakan media pengenalan diri yang baru. Yang Simbolis membentuk identitas subyek melalui serangkaian kata sebagai pengganti cermin. Yang Simbolis juga membentuk ego subyektif dan semakin menjauhkan dari diri. Diri adalah kata, nama, dan kode linguistik lainnya. Alienasi diri semakin kuat melalui Yang Simbolis. Yang Simbolis menggambarkan subyek melalui kode-kode gramatikal yang semakin menjauhkan subyek dari dirinya.29

25Jacques Lacan. The Four Fundamental Concepts of Psychoanalysis. (New York: Penguin Books, 1977) hal. 297.

26Lacan membongkar penafsiran Marx tentang fetisisme komoditi dalam konteks Marx menyamakan relasi “manusia-manusia” dan “manusia-benda”. Bagi Lacan, fetisisme komoditi dalam relasi sosial dapat diperluas pada jaringan struktur dan elemennya di mana efek muncul karena jaringan relasi dalam struktur tersebut. Sama halnya, komoditas A meng-ekspresikan nilainya hanya dengan mengaitkan dirinya dengan yang lain (komoditas B) sehingga menjadi relasi nilai yang sama. Fase imajiner pun menunjukkan bagaimana identitas subyek hanya dimungkinkan melalui pantulan dirinya pada cermin. Žižek. The Sublime...,op.cit. 2008, hal. 19.

27Ibid, hal. 20.28Lacan. op.cit. 1977, hal. 4.29 Sebenarnya simbol bahasa tidak hanya meng-alienasi subyek bahkan membunuhnya. Ketika

realitas disimbolkan atau ditangkap melalui jejaring simbolis, manusia dihadirkan dalam bentuk 7

Page 8: Status Ontologi Subyek Kuasa Web viewquilting point. dari rangkai acak peristiwa. Peran politik administratif terasa dominan karena masyarakat membutuhkan “kambing hitam” atas

Apalagi kode gramatikal ini tidak selalu presisi menggambarkan identitas subyek karena tidak luput dari salah-kenal (misrecognition) atau keseleo-lidah (slipped-tongue). Yang Simbolis berfungsi sebagai The Big Other yaitu sistem penandaan baik individu maupun institusi yang merepresentasikan simbol tertentu30 (dalam konteks politik dan kekuasaan, The Big Other berwujud negara, pemerintah, kapitalisme, atau penguasa). The Big Other sebagai Yang Simbolis menyangkut elemen traumatik dan fantasi sebagai konstruksi yang mengizinkan subyek masuk pada inti (kernel) trauma tersebut tapi bukan untuk menginterpretasi simbol-simbolnya melainkan mengalami suatu fakta bahwa hanya fantasi yang mampu memenuhi kekurangan dan kehampaan dalam the Other.31

Selain bahasa, bagi Lacan, Yang Simbolis juga muncul dalam sosok ayah biologis (Ayah Oedipal), yang dalam terminologi Lacan disebut “Nama-Sang-Ayah”, yang merepresentasikan serangkaian aturan bagi anak dalam bertingkah laku atau mengidentifikasikan dirinya (“Nama-Sang-Ayah” dapat diperluas pada fungsi surveillance pemerintah dalam mengawasi warga negaranya). Yang Simbolis tunduk di bawah hukum penanda. Maka subyek yang memproyeksikan tatanan simbolis juga tunduk pada hukum itu. Hukum penanda juga tidak ajeg karena hubungan antara penanda-petanda arbitrer.

Yang Simbolis pun bersifat open-ended dan tidak stabil. Maksudnya representasi simbolis terhadap subyek tidak pernah sesuai. Kode gramatikal tidak dapat sepenuhnya mendeskripsikan sesuatu. Hubungan arbitrer penanda-petanda pun sama karena subyek tidak pernah menemukan penanda yang benar-benar menjadi properti-nya. Penanda (signifier) hanya mewakili subyek sebagai petanda (signified), bukan sebagai subyek an sich. Ada ketidakmungkinan antara “subyek sebagai subyek” dengan “subyek sebagai penanda” sehingga identitas keduanya selalu mengalami ketidaksempurnaan/kekurangan fundamental (fundamental lack). Tapi kekurangan ini justru menjadi prasyarat subyek berhubungan dengan Yang Simbolis.

Yang Nyata adalah residu (leftover) transisional dalam proses peralihan dari Yang Imajiner ke Yang Simbolis. Ketika bahasa menggantikan cermin, subyek mengalami transisi dari Yang Imajiner menuju Yang Simbolis. Peralihan itu menyisakan domain di luar simbolisasi karena pengalaman Yang Imajiner tidak seluruhnya terserap oleh Yang Simbolis.32 Dalam pengertian Žiẑek, Yang Nyata adalah “...inti substansial yang mendahului sekaligus menegasi upaya simbolisasi, yang secara simultan menandai ada residu, sebagai hasil dorongan proses simbolisasi itu sendiri”.33

serangkaian kata, dalam konsep sehingga bukan berbentuk fisik secara langsung. Žižek, The Sublime...,op.cit. 2008, hal. 145.

30 Žižek memahami Lacan dengan melihat bagaimana simptom bekerja dalam ranah kesadaran manusia. Lacan melihat hubungan krusial antara subyek, bahasa, dan dunia obyektif yang disebutnya sebagai “absolutisme penanda” (absolutism of the signifier) walaupun Lacan tidak berusaha menyentuh pembahasan tentang dunia obyektif. Fokusnya hanya pada subyek dan bahasa yang memediasi dunia obyektif. Dengan kata lain, jika dunia obyektif tidak eksis, ia menjadi efek imajiner atau ilusi permainan penanda. Tapi Lacan melangkah lebih jauh dengan mengasumsikan: tidak hanya dunia obyektif yang tidak eksis, subyek dan bahasa pun tidak eksis. Bahasa adalah tatanan simbolis the Big Other yang cenderung bersifat konsisten dan mentotalkan, sementara subyek adalah kekosongan atau kehampaan pada struktur penanda. Jika demikian adanya, apa entitas yang eksis? Lacan menjawab simptom sebagai gestur fundamental yang mendekonstruksi setiap identitas substansial. Ibid, hal. 77.

31Ibid, hal. 148.32Ibid, hal. 123.33“The Real designates a substantial harh kernel that precedes and resists symbolization and,

simultaneously, it designates the left-over, which is posited or ‘produced’ by symbolization itself”. Žiẑek. 8

Page 9: Status Ontologi Subyek Kuasa Web viewquilting point. dari rangkai acak peristiwa. Peran politik administratif terasa dominan karena masyarakat membutuhkan “kambing hitam” atas

Atas dasar itu, Yang Nyata dimaknai sebagai kekurangan abadi dari pengenalan diri subyek. Yang Nyata merupakan ruang kosong yang tak dapat dibayangkan oleh Yang Imajiner atau tidak mampu dibahasakan oleh Yang Simbolis serta berkarakter subyektif. Ia hanya muncul sebagai gejala psikis seperti trauma, sebagai akumulasi ekspresi yang tertahan oleh Yang Imajiner dan Yang Simbolis. “...peristiwa traumatik dipahami sebagai entitas imajiner yang belum sepenuhnya tersimbolkan...”.34

Setiap tindakan subyek didasari empty cogito yang mengandaikan otentisitas subyek. Subyek kosong adalah media untuk mengaplikasi tindakan etisnya tanpa imperatif kategoris. Bagi Žižek, tindakan selalu bermula dari kekosongan identitas subyek. Dalam kekosongan ini, subyek menegasi partisi simbolis yang mengepungnya atau memutuskan rantai simbolisasinya untuk mentransmutasi diri dalam kelahiran identitas baru.35 Sublimasi tindakan bukan lagi pergeseran Yang Simbolis menuju Yang Nyata atau vice versa, tapi eksistensi Yang Nyata itu sendiri dalam bentuk: (a) tindakan identitas melalui setia pada keyakinan, dan (b) tindakan negativitas melalui proses meniadakan kepentingan36. Tindakan identitas atau tindakan negativitas merupakan tindakan otentik karena melalui tindakan itu subyek mampu mentransmutasi diri menjadi subyek serta membunuh “subyek penanda” yang melekat pada identitasnya.37

Tindakan identitas melalui setia pada keyakinan adalah suatu dialektika identifikasi simbolis. Melalui tindakan ini muncul keyakinan bahwa dengan identifikasi simbolis, subyek mampu mentransmutasi dirinya menjadi subyek.38 Misalnya identifikasi simbolis menjadi sosok pahlawan dalam peran dramaturgi. Peran ini mengakibatkan subyek kehilangan identitas dan menjadi yang bukan-diri. Dengan peran itu, subyek menemukan identitas diri sesungguhnya serta mau berkorban demi perannya itu. Transmutasi ini merupakan perpindahan subyek dari sistem signifikasi lama (subyek penanda) ke sistem signifikasi baru (subyek bukan-diri). Subyek meyakini bahwa transmutasi subyektif itu menjadi modus kelahiran identitasnya yang baru. Otentisitas tindakan identitas melalui setia pada keyakinan bukan terletak pada transmutasinya tapi pada keyakinan subyektif akan identitasnya yang baru. Bagi Žižek, tindakan setia pada keyakinan merupakan upaya melepaskan diri dari identitas diri lama ke identitas diri baru di mana subyek menikmati identitas barunya serta meyakini bahwa transmutasi itu menjadi satu-satunya cara menjadi subyek.

Tindakan negativitas melalui proses meniadakan kepentingan adalah mengosongkan kesadarannya dari muatan-muatan nilai dan pendasaran rasional. Žižek menyebutkannya tindakan ini bukan untuk menggantikan negativitas tapi pengalaman atas fakta bahwa negativitas sesungguhnya mengandung fungsi positif, memberdaya-kan, dan menstrukturkan konsistensi positif subyek. Jadi negativitas adalah cara presisi untuk mengidentifikasi penolakan sebagai gerakan negasi yang membuka cakrawala di mana setiap identitas positif bisa disituasikan.39 Dalam tindakan ini, subyek hanya mendasarkan pada diri situasional dalam kehampaan paripurna.40

1998, op.cit, hal. 36.34Žiẑek. The Sublime...,op.cit. 2008, hal. 58.35Ibid, hal. 182.36 Robet, 2010, op.cit, hal. 113 dan 117.37Žižek. Enjoy Your Simptom! Jacques Lacan in Hollywood and Out (London: Routledge, 2001)

hal. 43.38Ibid, hal. 33-34.39Žižek, The Sublime...,op.cit, 2008d, hal. 199-200.40Žižek, op.cit, 2001, hal. 36.

9

Page 10: Status Ontologi Subyek Kuasa Web viewquilting point. dari rangkai acak peristiwa. Peran politik administratif terasa dominan karena masyarakat membutuhkan “kambing hitam” atas

Tindakan negativitas melalui meniadakan kepentingan melambangkan kontradiksi antara interpelasi nilai dan kebebasan subyektif. Nilai-nilai ideologi, ilmu pengetahuan, nilai komunal yang menjadi partisi simbolis tidak lagi mampu mempengaruhi tindakan subyek. Melepaskan muatan nilai berarti melakukan transmutasi diri dalam ruang kehampaan. Dan dorongan ruang kehampaan ini membuat subyek melakukan tindakan bebas. Inilah yang disebutkan Žižek bahwa tindakan tidak berlangsung dalam satu cakupan terberi yang kelihatan mungkin tapi tindakan itu mendefinisikan ulang batas-batas kemungkinan. Apa yang nampaknya mustahil dilakukan subyek berkenaan dengan realitas simbolis, tindakan itu akan mengubah kondisinya secara retroaktif dalam mencipta kemungkinan-kemungkinan.41

Struktur kekuasaan adalah representasi realitas politik versi Yang Simbolis. Struktur kekuasaan tidak dapat menginterpelasi subyek kuasa dan subyek kuasa pun tidak dapat memahami evidensi struktur kekuasaan. Maka relasi subyek kuasa dan struktur kekuasaan adalah relasi kesenjangan. Kesenjangan antara the lackness subject dengan ketidaksempurnaan ruang kekuasaan. Posisi subyek bukan memproduksi struktur tapi mentransmutasi struktur itu melalui “imajinasi yang politik” (political imaginary).

Jadi, subyek bukan lagi penentu absolut relasi subyek-obyek dalam mekanisme kuasa. Basis ontologi subyek adalah tindakan otonomi dalam ketergeseran struktur kuasa yang berubah-ubah dan otentisitas memelihara ketidakmungkinan struktural yang menisbatkan identitasnya sebagai “subyek kekurangan”. Persoalan menjadi subyek bukan lagi terletak pada inisiatif merekayasa truth-event politik tapi pada penerimaan atas kekurangan identitas diri dan struktur penanda sebagai faktisitas primordial subyek.42 Realitas politik dan subyek bertemu dalam sebuah kejadian aksidental dan truth-event politik berakar secara singular pada kejadian itu.43

Melalui itu, subyek memposisikan dirinya dalam pergerakan dinamis menerabas setiap ketidakmungkinan realitas politik. Subyek hanya dapat menjadi subyek manakala mengikrarkan dirinya dalam “proses menjadi” tak berhingga yang selalu berubah sesuai situasi. Konsekuensinya, tidak ada relasi kuasa yang benar-benar demokratis atau totaliter. Demokrasi dan tirani adalah nodal point (titik temu) dari pergeseran tindakan otonomi dan struktur kuasa dalam kejadian partikular.

41Žižek, The Sublime...,op.cit. 2008d, hal. 185-186.42 Dari Badiou, Žižek memahami kemunculan perubahan sebagai hal yang baru dari “peristiwa”

(event), yang dimaknai Badiou sebagai celah antara presentasi dan representasi; konsistensi dan inkonsistensi. Event adalah manakala muncul inkonsistensi dalam konsistensi situasi berupa kelebihan elemen-elemen yang membentuk situasi tersebut. Maka event merekayasa truth yang meluluhlantahkan sistematisasi pengetahuan terhadap situasi karena pengetahuan hanya menafsirkan realitas bukan mengidentifikasi kesenjangan dalam realitas tersebut. Dalam situasi ini, truth bukan efek dari pengetahuan atau rezim pengetahuan melainkan “gangguan” terhadap pengetahuan. Truth membawa new dalam “situasi” sebagai konsekuensi adanya event. Jadi event yang mengakibatkan adanya truth sebagai sesuatu yang unpredictable, mendadak, serta tak disengaja. Bagi Badiou, subyek berikut event dan truth merupakan bagian dari proses similar yang menginjeksi atau memahat new ke dalam “situasi”. Subyek muncul bersamaan dengan event untuk mempertahankan truth.Ibid, hal. 130, Bandingkan dengan Badiou. Being and Event (New York: Continuum, 2005) hal. 391.

43Persoalan ini menyeruak dalam mengidentifikasi hubungan subyek dengan kebenaran. Pada Badiou, subyek merupakan konfigurasi lokal dari prosedur kebenaran sehingga kebenaran tidak bisa dibedakan secara presisi dari subyek. Tapi subyek yang menyadari kebenaran tidak sebanding dengan kebenaran itu sendiri; subyek terbatas, kebenaran tanpa batas. Maka subyek menjadi bagian internal dalam situasi dan kebenaran adalah bagian situasi yang tidak hadir.Ibid, hal. 396.

10

Page 11: Status Ontologi Subyek Kuasa Web viewquilting point. dari rangkai acak peristiwa. Peran politik administratif terasa dominan karena masyarakat membutuhkan “kambing hitam” atas

Dengan demikian, tidak ada fiksasi subyektif atau momen obyektif yang secara dominan mampu mempengaruhi kejadian. Subyek hanya men-subyektivisasi potensi kekurangannya dan beradaptasi dengan perubahan. Subyektivisasi bermakna proses yang menempatkan subyek dalam “kegelisahan primordial” untuk tidak berdiam lama dan terkungkung dalam situasi tunggal. Maka kemapanan adalah kematian subyek karena menandakan mandulnya radar subyektivisasi sebagai medium perubahan. Retakan kesemestaan subyek dan ruang politik secara ontologis bersifat konsisten. Subyek bukan bagian dari (a part of) ruang politik tapi sebagai perigi dalam ruang itu. Subyek dapat diisi oleh pelbagai proses yang ditawarkan ruang politik walaupun tidak sepenuhnya lenyap. Sebagai perigi, subyek menempati ruang tertentu dalam kekosongan politik dan selalu ada struktur tak terjamah dalam dirinya, yang memungkinkannya membuat distansi atau keluar dari ranah tersebut. Dengan demikian, ruang politik tidak mendeterminasi subyek.

Dalam bukunya Looking Awry (1992), Žižek menyebutkan bahwa Yang Nyata adalah pendukung realitas simbolis.44 Artinya realitas politik yang dialami subyek telah dimediasi oleh jejaring simbol. Sistem penanda membentuk identitas politik subyek sekaligus merekayasa realitas politik melalui berbagai bahasa politik. Yang Nyata mempengaruhi gejala pembentukan realitas simbolis itu karena tidak sepenuhnya kode gramatikal mampu menerangkan Yang Nyata. Alih-alih, Yang Nyata menyediakan kemungkinan-kemungkinan bagi subyek agar tidak terpuruk dalam alienasi diri. Dalam situasi ini, subyek melakukan subyektivisasi terhadap realitas politik serta menjadi objet petit-a untuk membuat truth-event politik. Singkat kata, politik kekuasaan adalah sistem signifikasi yang membentuk identitas subyek ideologis serta memproduksi sistem ideologinya melalui bahasa politik.C. Ideologi Sebagai Fantasi

Žižek melihat hubungan erat antara ideologi dan fantasi, yaitu bagaimana fantasi berkaitan secara inheren dengan antagonisme pada rancang bangun ideologi.45 Ideologi tidak menjadi artikulasi keterjarakan antara penguasa dan masyarakat, tapi berkenaan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Ideologi menembus batas kehidupan sehari-hari sebagai normalitas aktivitas masyarakat. Žižek menerjemahkannya dengan kalimat: bagaimana ideologi dianut dan dilaksanakan oleh masyarakat dalam rutinitasnya tanpa disadari. Kegunaan ideologi adalah norma keseharian masyarakat, layaknya kekayaan.46 Atas dasar itu, ideologi bekerja melalui fantasi. Dalam konteks, tidak hanya artikulasi eksternalitas ideologi itu tapi juga kekuatan pembeda identitas praktik sosial serta kekuatan solidaritas dan kerja sama.47

44Žižek. Looking Awry (Massachussets: The MIT Press. 1992), hal. 32 dan 58. Mengikuti pandangan Lacan tentang artikulasi Yang Nyata dalam identitas subyek, Žiẑek memahami bahwa simptom merupakan jejak tanpa makna di mana maknanya pun tak dapat ditemukan atau tidak dapat digali dari kedalaman masa lalu yang tersembunyi tapi simptom secara retroaktif mengkonstruksi kerangka pemaknaan yang menyediakan tempat simbolis dan makna simbolis bagi simptom tersebut.

45Žižek. The Plague of Fantasies (New York-London: Verso, 2008c) hal. 1.46Dalam bahasa Žižek, “...ideology also permeates the alleged extra-ideological strata of everyday

life, but that this materialization of ideology in external materality reveals inherent antagonisms which the explicit formulation of ideology cannot afford to acknowledge: it is as if an ideological edifice, if it is to function ‘normally’ must obey a kind of ‘imp of perversity’ and articulate its inherent antagonism in the externality of its material existence...This externality, which directly embodies ideology, is also occluded as ‘utility’...in everyday life, ideology is at work especially in the apparently innocent reference to pure utility...”. Ibid, hal. 1-2.

47Ibid, hal. 5.11

Page 12: Status Ontologi Subyek Kuasa Web viewquilting point. dari rangkai acak peristiwa. Peran politik administratif terasa dominan karena masyarakat membutuhkan “kambing hitam” atas

Bagi Žižek, formasi ideologi adalah fantasi yang mendukung titik surplus dari kenikmatan irasional, yang memperhitungkan tangkapan ideologi pada identitas subyek. Fantasi inilah yang menjelaskan ketidaksempurnaan masyarakat dengan cara menjanjikan dan memproduksi kenikmatan. Ideologi Žižekian bekerja melalui dua jalur, yaitu kenikmatan memainkan peran dalam interpelasi ideologi dan cara fantasi menstrukturkan kenikmatan subyek.48

Fantasi dan ideologi merupakan dua entitas yang membentuk perspektif dan tindakan sosial subyek kuasa. Jika fantasi menjadi instrumen untuk mengkonstruk realitas berdasarkan hasrat Yang Nyata,49 ideologi juga dikonstruk oleh fantasi untuk mendukung realitas, yang menstrukturkan efektivitas relasi sosial serta mengeliminasi gangguannya. Jadi, ideologi bukan menawarkan cara untuk melarikan diri dari realitas tapi menawarkan realitas sosial itu sendiri sebagai cara melarikan diri dari trauma.50 Meminjam terminologi Lacan bahwa hanya melalui mimpi, subyek dapat mendekati kesadaran yang nyata. Maka realitas dapat dipahami sebagai fantasi (bukan dalam pengertian impian tapi sebagai ilusi). Saat subyek memasuki realitas setelah usai bermimpi, subyek biasanya menganggap mimpi tersebut sebagai hal yang tidak nyata.

Bagi Lacan, mimpi lah yang memperlihatkan fakta kehidupan sehari-hari, membangun realitas di mana subyek bukanlah siapa-siapa kecuali kesadaran dari mimpi tersebut. Hanya melalui mimpi, subyek mampu mendekati kerangka fantasi yang mendeterminasi aktivitas subyek serta model tindakannya.51 Oleh sebab itu, fantasi merupakan jawaban terhadap upaya menyempitkan jurang antara pertanyaan dan jawabannya. Secara teoritis, fantasi merupakan suatu konstruksi atau skenario imajiner untuk mengisi kehampaan dari pertanyaan: “apa yang diinginkan Yang Lain dari saya?”.52 Jadi, fantasi memberdayakan subyek untuk mengelak “jalan buntu” memenuhi keinginan Yang Lain sekaligus memampukannya menerjemahkan keinginan Yang Lain ke dalam interpelasi positif.

Dalam The Sublime Object of Ideology (2008), Žižek memutarbalik ideologi dari “kesadaran palsu” menjadi suatu fantasi. Dalam situasi ini, ideologi bukan menyembunyikan realitas tapi menawarkan realitas itu sendiri. Dengan kata lain, realitas tidak dapat direproduksi tanpa melalui mistifikasi ideologi.53 Ideologi menawarkan konstruksi simbolis terhadap realitas sebagai cara melarikan diri dari efek trauma Yang Nyata. Di sini Žižek memperlihatkan bahwa ideologi adalah “sebentuk keyakinan” yang dilangsungkan dalam tindakan subyek dan dieksteriorisasi dalam berbagai praktik institusi. Žižek menggeser situasi ideologi dari “apa yang orang tahu” menuju “apa yang orang lakukan”, yaitu pada cara subyek melangsungkan tindakannya walaupun apa yang dia ketahui itu benar.54 Situasi ideologi ini bermakna bagaimana

48 Jodi Dean. Žižek’s Politics (New York-London: Routledge, 2006), hal. 8.49Dalam pemahaman Lacan, subyek tidak menyadari gangguan eksternal yang semakin kuat pada

dirinya. Logika kesadarannya sama sekali berbeda. Subyek mengkonstruk mimpi untuk melamakan tidurnya atau menghindari keterbangunannya dalam realitas. Yang penting dari semuanya adalah benda yang dijumpai dalam mimpi. Benda ini menjadi realitas eksternal atau Yang Nyata a la Lacanian. Bagi Lacan, “terbangun” dari mimpi berarti membebaskan Yang Nyata pada hasrat subyek. Žižek, op.cit. 2006, hal. 45.

50Ibid.45.51Ibid, 48.52Ibid, 128.53 Žižek. The Sublime Object of Ideology (New York-London: Verso, 2008d), hal. 28.54 Lihat juga pembahasan Dean, 2006, op.cit, hal. 9.

12

Page 13: Status Ontologi Subyek Kuasa Web viewquilting point. dari rangkai acak peristiwa. Peran politik administratif terasa dominan karena masyarakat membutuhkan “kambing hitam” atas

praktik-praktik itu disubyektivisasi, dialami oleh subyek, atau cara subyek muncul sebagai bentuk kegagalan dari praktik-praktik itu, atau diinternalisasi secara sempurna.

Masyarakat selalu ditandai oleh ketergelinciran antagonisme yang tak dapat diintegrasikan pada tatanan simbolis (misalnya perbedaan kelas sosial). Tonggak fantasi ideologi adalah mengkonstruk visi eksistensi masyarakat dalam relasi antar bagiannya secara organis dan komplementaris. Sebagai “Keseluruhan organis” (an organic Whole), masyarakat terbentuk melalui sejumlah korporasi (termasuk kelompok oposisi, ekstremis, dll) yang kesemuanya menyumbang konstribusi sesuai dengan fungsinya. Di sinilah kemudian terbentuk fundamental fantasi ideologi yang menjadi fantasi sosial. Fantasi sosial merupakan elemen yang diperlukan oleh konsep antagonisme, karena fantasi menjadi mekanisme menutup celah kekurangan antagonisme. Jadi, fantasi bermakna bagi ideologi untuk mengatasi kegagalan perkembangannya (fantasy is a means for an ideology to take its own failure into account in advance).55 D. Demokrasi Sebagai Ruang Kosong Kekuasaan

Dalam Looking Awry (1992), Žižek menyebutkan demokrasi bersifat anti humanistik. Ia disusun bukan sebagai ukuran aktual manusia tapi sebagai ukuran formal abstraksi. Oleh karenanya, tidak ada tempat bagi kepenuhan manusia konkret. Demokrasi hanyalah hubungan formal individu-individu abstrak.56 Dari pengertian ini, semua warga negara memiliki status yang sama. Demokrasi tidak memahami individu dalam pengertian personalnya (dari ras, gender, seksualitas, kekayaan, agama, cara bersikap, atau kebiasaan-kebiasaan). Jadi demokrasi berusaha melepaskan fitur idiosinkretik dan warga negara dipahami sebagai subyek.

Subyek dalam demokrasi adalah subyek kosong, yang memiliki pengalaman elementer tentang tegangan fase cermin dan fase simbolis. Pertentangan antara kekayaan dimensi dalam subyek dengan determinasi kode-kode simbolis ruang publik. Pertentangan ini melahirkan antagonisme pada identitas subyek. Fase imajiner menyebabkan subyek mencari representasi diri pada subyek lain. Pada fase simbolis, subyek merepresentasikan diri melalui kode-kode gramatikal. Antagonisme subyek terhadap subyek lain dan kode simbolis bersifat inheren sehingga subyek bukan lagi suatu keutuhan tapi sebuah keretakan identitas. Dalam situasi ini, subyek melangsungkan tindakannya. Bertindak merupakan bentuk kelahiran kembali subyek karena muncul penolakan total terhadap kode-kode simbolis, sekaligus Yang Simbolis menyediakan sarana bagi tindakan subyek.

Dalam kekurangannya itu, demokrasi dapat diterima secara luas karena kedaulatan rakyat tidak terkandung di dalamnya.57 “...demokrasi yang dirumuskan berdasarkan pemikiran Lacan...adalah sebuah tatanan sosial-politik di mana rakyat tidak eksis...sebagai kesatuan tapi terwujud dalam representasinya masing-masing”.58

55 Žižek, 2008c, op.cit, hal. 142.56 Žižek. Looking Awry (Massachusetts: MIT Press, 1992), hal. 163.57 Sebagaimana dikemukakan Sharpe, “Žižek argues here that in democracy the totalitarian

leader’s legitimating recourse to ‘the prople’ also fails,...in democracy the transferential ‘misrecognition’ operative in Stalinism, whereby ‘the people become People’ through recognizing themselves in their political representation, does not apply. This is because the place of power with reference to which they could be ‘defined’ or unified is itself also defined as structurally ‘empty” . Matthew Sharpe. Slavoj Žižek: A Little Piece of the Real (England-USA: Ashgate, 1988), hal. 219.

58“The Lacanian definition of democracy would then be: a sociopolitical order in which the People do not exist – do not exist as a unity, embodied in their unique representative. That is why the basic feature of the democratic order is that the place of Power is...an empty place”. Žižek. op.cit. 2008d. hal. 165.

13

Page 14: Status Ontologi Subyek Kuasa Web viewquilting point. dari rangkai acak peristiwa. Peran politik administratif terasa dominan karena masyarakat membutuhkan “kambing hitam” atas

Pemikiran ini memberi implikasi bahwa kedaulatan rakyat sebagai sumbu (pivot) demokrasi tidak sepenuhnya berada di tangan rakyat. Kedaulatan rakyat merupakan wilayah kosong. Pihak-pihak yang ingin mengusungnya tidak dapat memilikinya secara absolut tapi hanya menjadi representasi temporal.59

Asumsi ini memberi pemahaman bahwa tidak ada realitas sempurna yang secara total mampu mengapresiasi kepentingan manusia, termasuk simbolisasi ideologi demokrasi. Sifat ketidaksempurnaannya justru menjadi prasyarat positif masyarakat untuk menerimanya. Sebagaimana demokrasi seturut pemikiran Lacan, tidak eksisnya Rakyat karena ia tidak bisa memerintah diri sendiri. Ia membutuhkan representasi untuk menyusun aturan kolektif. Setiap representasi itu hanya mewakilkan kepentingan Rakyat sehingga dengan sendirinya bersifat sementara.60 Kondisi ini menandakan tidak ada yang absolut dalam ruang demokrasi. Kekosongan adalah temporalitas sehingga demokrasi selalu membuka diri terhadap semua bentuk baru serta tidak mampu dirangkum hanya sebatas representasi simbolis, sebagai kedaulatan Rakyat, pemilu, atau kekuasaan mayoritas.

Temporalitas kekuasaan demokrasi ditunjukkan melalui pemilihan umum. Pemilihan umum, menurut Lefort, merupakan “tindakan simbolis membubarkan rancang bangun kehidupan sosial” (an act of symbolic dissolution of the social edifice) sehingga memiliki kesempatan menyusun formal demokrasi selanjutnya. Pada momen pemilihan umum, jaringan hirarki sosial ditunda atau ditempatkan dalam “tanda kurung” (parentheses). Masyarakat sebagai kesatuan organis menghentikan eksistensinya dan berubah menjadi kolektivitas kontingensi individu yang mekanis. Individu menjadi “atomized individuals” yang bergantung pada mekanisme penghitungan kuantitatif.61 Singkatnya, prosedur demokrasi (yang salah satunya pemilihan umum) menjadi momen “membunuh” identitas individu dan masyarakat. Winston Churchill mengatakan “democracy is the worst of all possible political system, the only problem is that none of the others is better”.

Lefort ingin mengemukakan tesis demokrasi sebagai “keterjarakan” antara penguasa dengan rakyat: sebuah distansi yang mengandaikan temporalitas kekuasaan. Jika tidak maka akan muncul kekuasaan despotis yang mengabaikan kedaulatan rakyat. Dalam terang pemahaman ini, demokrasi sebagai ruang kosong kekuasaan sejatinya adalah kedaulatan rakyat. Karena rakyat tidak memiliki kekuatan mendaulati dirinya maka ruang tersebut harus selalu dibiarkan kosong.62 Pihak-pihak yang hendak mewakilinya hanyalah sementara, sebagai pemegang mandat dari ketidakmungkinan kedaulatan atau kompensasi Yang Nyata.

E. Politik Ketakutan dan ToleransiDewasa ini, sistem politik beralih dari penekanan tindakan represif menuju

politik administratif yang mengklaim telah meninggalkan jargon teoritis lama seperti perjuangan kelas. Žižek melihat politik administratif berbentuk post-politik dan bio-politik. Post-politik fokus pada kekuasaan yang menekankan pentingnya manajemen

59Ibid, hal. 165.60 Robet. 2010, op.cit, hal. 158.61Ibid, hal. 166.62 Robet, 2010, op.cit, hal. 161.

14

Page 15: Status Ontologi Subyek Kuasa Web viewquilting point. dari rangkai acak peristiwa. Peran politik administratif terasa dominan karena masyarakat membutuhkan “kambing hitam” atas

sistem ahli dan administrasi, sedangkan bio-politik berusaha menyusun regulasi untuk meningkatkan “rasa aman” dan kesejahteraan manusia.63

Politik administratif ini dilihat sebagai mekanisme penyelubungan kepentingan, yang disebutkan Žižek dengan “represent a case of the foreclosed”.64 Maksudnya, konflik ideologi sebagai kontestasi kekuasaan di-tempatkan dalam kolaborasi para teknokrat dan sistem ahli (the expert system) melalui proses negosiasi kepentingan serta kompromi konsensus universal. Bio-politics mengambil bentuk lain sebagai depolitisasi yang secara sosial obyektif, dilakukan oleh ahli administrasi dan manajemen (salah satu jenis the expert system) yang mengkoordinasi kepentingan sehingga terlihat a-politis (zero level of politics).

Maka perlu dibedakan antara “politik berdasarkan aksioma universal” (politics based on a set of universal axioms) dan “politik yang meninggalkan dimensi konstitutif yang politis” (politics which renounces the very constitutive dimension of the political). Politik ini mengakumulasi ketakutan sebagai prinsip tertinggi: ketakutan terhadap imigran, ketakutan terhadap epidemi penyakit, ketakutan pada kejahatan, ketakutan pada pelecehan seksual, terhadap krisis ekologi, terhadap krisis ekonomi, dan lain sebagainya. Maka politik ketakutan memanipulasi paranoid orang-orang yang mengalami ketakutan65 (diet ketat dan anoreksia bagi perempuan yang takut gemuk). Eskalasi politik administratif memobilisasi manusia melalui “ketakutan” dan kecemasan sebagai dasar subyektivitasnya.

Atas dasar itu, post-politik dan bio-politik sesungguhnya merupakan “politik ketakutan” (politics of fear). Žižek mencontohkannya dengan penerimaan masyarakat Prancis terhadap imigran Timur Tengah atau masyarakat AS terhadap imigran Amerika Latin. Walaupun kelihatannya masyarakat liberal ini toleran terhadap imigran, respek atas keliyannya (otherness), atau membuka diri terhadap mereka. Tapi penerimaan atas “yang lain” (the Other) hanya sebatas karena mereka manusia. Tetap saja masyarakat liberal tidak dapat menerima kebiasaan, adat istiadat, atau perbedaan agamanya. Kondisi ini sama dengan dialektika Hegelian: dalam penerimaan ada penolakan. Menerima kehadiran para imigran bermakna “saya tidak boleh terlalu akrab dengan mereka”. Maka inti HAM pada masyarakat “kapitalisme lanjut” adalah hak untuk tidak diganggu, dengan memberi jarak aman dari yang lain.

Politik ketakutan mengubah diri menjadi politik banalitas, melalui (a) mengakhiri trauma dengan mobilisasi pengorbanan semua orang, dan (b) menulis ulang narasi peristiwa secara berbeda untuk menggiring kesadaran kolektif pada konteks banalitas baru. Dalam situasi ketidakpastian ini, post-politik dan bio-politik muncul sebagai “ruang pengecualian” (state of exception). Post-politik merekonseptualisasi pengetahuan/narasi baru tentang “bacaan simptomal” (symptomal reading) situasi melalui identifikasi pelaku, motif, serta latar belakang sosialnya. Sementara bio-politik mengajukan Master-Penanda untuk mencari quilting point dari rangkai acak peristiwa. Peran politik administratif terasa dominan karena masyarakat membutuhkan “kambing hitam” atas peristiwa tersebut.

Jadi, dalam setiap peristiwa kekerasan terkandung dua asumsi fundamental politik administratif: (a) legitimasi stigma ideologis tentang ketakutan pada yang lain (the other) menjadi nyata dalam praktik sosial. Legitimasi ini makin mempertegas jarak dan ketakutan kolektif dengan “yang bukan diri”, dan (b) konstitusi tindakan banalitas

63Žižek. op.cit, 2008a, hal. 40.64Žižek. op.cit. 1999, hal. 198.65Žižek, op.cit. 2008a, hal. 41.

15

Page 16: Status Ontologi Subyek Kuasa Web viewquilting point. dari rangkai acak peristiwa. Peran politik administratif terasa dominan karena masyarakat membutuhkan “kambing hitam” atas

baru sebagai koordinasi sakralitas kepentingan sosial. Tindakan banalitas menjadi bentuk perlawanan terhadap pelaku berikut latar sosial budayanya yang merepresentasikan anomali sosial (pelaku dikaitkan dengan identitas politik kelompok).

Ini menjadi pembuktian bahwa politik ketakutan merupakan praktik kreatif untuk mereproduksi dan transformasi relasi sosial dalam spektrum keterbukaan dan indeterminasi sosial. Sebagaimana disebutkan Laclau dan Mouffe sebagai tindakan mengidentifikasi kondisi diskursif yang memunculkan tindakan kolektif, di mana subyek (agensi atau masyarakat) disubyeksi oleh keputusan eksternal (sistem ahli sebagai fitur politik administratif). Maka politik ketakutan menjadi relasi subordinasi yang mengakui kehadiran diskursif eksternal dari wacana subordinasi yang dapat diinterupsi,66 seperti mempercayai opini subyektif dalam media massa.F. Kritik Terhadap Žižek

Subyek kuasa yang dipahami oleh Žižek adalah subyek partikular yang memiliki kekosongan identitas. Pemahamannya hampir sama dengan Badiou yang melihat subyek lahir dari situasi nyata yang definite. Partikularitas subyek bertemu dengan partikularitas situasi yang membentuk identitas politik subyek. Kemunculan subyek selalu terkait dengan situasi. Dalam situasi politik, ada subyek; dalam pertunjukan seni juga ada subyek. Maka kompleksitas menjadi kategori subyek dan dipisahkan oleh beragam situasi.67

Bagi Badiou, subyek bukan agensi dengan tindakan otonom, melainkan agensi yang mengusung dan mempertegas otonomi untuk mengubah situasi karena tindakan otonom adalah membuat keputusan extraordinary. Menjadi subyek adalah momen lahirnya sebuah keputusan atas situasi yang ditemuinya, yang hadir di depan mata, menjadi bagian eksistensi diri, serta tidak dapat dihindari. Keputusan subyek, dengan demikian, adalah transformasi aktif mengubah situasi setelah menginvestigasi konsekuensi-konsekuensi peristiwa yang terjadi di dalamnya.68

Maka inventarisasi subyek kuasa berdasarkan pemikiran Žižek membuka cakrawala baru tentang deviasi politik kontemporer. Ada preseden menarik yaitu praktik sosial politik kita sehari-hari menyuguhkan relasi kuasa despotis sehingga tak perlu mencari deformasi kekuasaan pada totalitarianisme, pemerintah junta-militer, fasisme, atau rasisme. Relasi kuasa despotis ada dalam diri kita sendiri sebagai the expert system; pada pandangan dunia patriarkal; pada demokrasi representatif; pada hegemoni negara dan masyarakat; bahkan pada agama yang diagungkan sebagai solusi etis kehidupan sosial. Dengan demikian, Žižek mengajak untuk memikir ulang urgensi subyek kuasa dan struktur kekuasaan dalam politik kontemporer, dengan memperkenalkan istilah-istilah tidak populer: objet petit-a, fantasi ideologi, kenikmatan, bacaan symptomal, Yang Nyata (the Real), subyek kosong, dan lain sebagainya.

Žižek melihat deviasi kekuasaan kontemporer sebagai “ekses-horor” dari kesalahan memahami identitas politik subyek dan karakter struktur kekuasaan. Politik mengidentifikasi subyek dalam totalitas identitasnya dan struktur kekuasaan bergerak ajeg menuju kesempurnaan. Tapi dalam mengidentifikasi subyek kosong ini, Žižek melihat presuposisi kekosongannya dari akumulasi anomali psikis sebagai subyek yang teralienasi dari dunia nyata. Struktur kekuasaan juga dilihat sebagai representasi modalitas struktural versi Yang Simbolis, bukan modalitas struktural nyata dalam

66Ibid, hal. 153.67 Badiou. Infinite Thought: Truth and the Return to Philosophy (translated and edited by Oliver

Feltham and Justin Clemens. London and New York: Continuum, 2003) hal. 175.68 Ibid, hal. 6-7.

16

Page 17: Status Ontologi Subyek Kuasa Web viewquilting point. dari rangkai acak peristiwa. Peran politik administratif terasa dominan karena masyarakat membutuhkan “kambing hitam” atas

praktik sosial. Dengan kata lain, hubungan subyek dan struktur adalah relasi subyek patologis dengan struktur maya. Maka pemberlakuan Yang Universal sebagai kategori ontologi politik membuka ruang kontestasi ideologi. Semua bentuk ideologi berikut deformasinya menjadi mungkin selama masyarakat menerimanya atau tidak menyadarinya.

Dari serangkaian pemikiran Žižek di atas, beberapa analisis kritis dapat dikemukakan, yaitu:1. Subyek kuasa Žižek adalah subyek kosong yang selalu menggeserkan diri dari satu

struktur kekuasaan ke struktur kekuasaan lain tanpa henti, sebagai vanishing mediator. Dalam setiap koordinat pemberhentian temporalnya, subyek kuasa menggagas “imajinasi yang politik” (political imaginary) untuk mengubah situasi politik berdasarkan tilikan Yang Nyata. Pergeseran subyek kuasa tidak meninggalkan jejak karena radikalitas subyek hanya mengintervensi struktur kekuasaan. Jejak hanya residu transisional sebagai bukti ketidaksempurnaan identitasnya. Pemahaman ini berbeda dengan evental site-nya Badiou. Menurut Badiou,69 setiap peristiwa (sebagai bagian dari struktur kekuasaan) selalu meninggalkan jejak, inskripsi, atau situs, yang bisa disatukan dalam situasi historis dan secara retroaktif dapat dikualifikasi berdasarkan kejadian peristiwa itu. Maka evental site menjadi fondasi untuk mengklarifikasi multiple being pada efek penghitungan situasi.70

Dalam konteks ini, jejak atau situs menyusun bentuk lokal multiplisitas yang diarahkan oleh peristiwa. Dengan kata lain, evental site harus hadir dalam setiap peristiwa sebagai prasyarat dari terbentuknya peristiwa itu.Jika peristiwa politik merupakan sedimentasi perilaku politik, akumulasi pengalaman traumatis, kepingan antagonisme sosial, atau pemadatan praktik sosial sebelumnya maka hal itu menjadi jejak atau modal politik untuk melakukan imajinasi politik.

2. Žižek menawarkan sebentuk “toleransi” sebagai solusi praktis deformasi kekuasaan. Toleransi yang dipahami sebagai sistem nilai universal yang mampu membuka kesadaran kolektif terhadap interaksi sosial. Toleransi menjadi Yang Nyata, yang mendorong dan mengarahkan tindakan subyek untuk mengisi ruang sosial secara dinamis berdasarkan dimensi kekurangan identitas dan imajinasi politik. Dengan kata lain, subyek kuasa dilepaskan dari ikatan primordialnya atau dari akar budayanya karena budaya menyumbang penilaian stereotip atas budaya lain. Tawaran ini sangat licin karena toleransi menjadi sebentuk akumulasi mental individu dalam ketakberdayaan konstitusi-diri. Satu-satunya cara untuk menjamin identitas diri sebagai aktor sosial adalah memanggil kategori politik universalnya, yaitu toleransi. Asumsi dasar metapolitik (metapolitics) Badiou bertentangan dengan pemikiran Žižek ini. Badiou menawarkan komitmen pada situasi politik lokal untuk menegaskan Yang Politis berhadapan dengan situasi global. Dengan demikian, terdapat keinginan melepaskan ikatan politik dari sumbu pluralitasnya dengan menghapus fiksi representasi politik, yang disebutkan Badiou dengan “eksterioritas politik” (exteriority of politics).71 [ ]

69 Badiou. Being and Event (New York: Continuum, 2006) hal. 179.70 Ibid, hal. 175.71 Badiou. Metapolitics (translated and with an introduction by Jason Barker. London and New

York: Verso, 2005) hal. 40.17

Page 18: Status Ontologi Subyek Kuasa Web viewquilting point. dari rangkai acak peristiwa. Peran politik administratif terasa dominan karena masyarakat membutuhkan “kambing hitam” atas

DAFTAR PUSTAKA DISERTASI

Adian, Donny Gahral. 2011. Teori Militansi: Esai-Esai Politik Radikal. Depok: Koekoesan

Agamben, Giorgio. 2000. Means Without End. Minneapolis: The University of Minneapolis Press

Althusser, Louis. 1984. Essays on Ideology. London: Verso18

Page 19: Status Ontologi Subyek Kuasa Web viewquilting point. dari rangkai acak peristiwa. Peran politik administratif terasa dominan karena masyarakat membutuhkan “kambing hitam” atas

__________. 1971. Lenin and Philosophy and Other Essays (translated by Ben Brewster). London-New York: New Left Books

Badiou, Alain. 2006. Being and Event (translated by Oliver Feltham). London-New York. Continuum

__________. 2005. Metapolitics (translated and with an introduction by Jason Barker). London-New York: Verso

__________. 2003. Infinite Thought: Truth and the Return to Philosophy (translated and edited by Oliver Feltham and Justin Clemens). London-New York: Continuum

__________. 2009. Theory of the Subject. New York: Continuum

Bauman, Zygmunt. 2005. Liquid Life. Cambridge: Polity Press

Beck, Ulrich. 1992. Risk Society: Toward a New Modernity. London: Sage

Butler, Judith. 2005. Giving an Account of Oneself. New York: Fordham University Press

__________. 2004. Precarious Life: The Powers of Mourning and Violence. London: Verso

Danujaya, Budiarto. 2012. Demokrasi Disensus: Politik Dalam Paradoks. Jakarta: Gramedia.

Dean, Jodi. 2006. Žižek’s Politics. New York-London: Routledge

Denzin, Norman K. and Yvonna S. Lincoln (ed.). 2005. The Sage Handbook of Qualitative Research. California: Sage Publication, Inc

Derrida, Jacques. 1981. Positions (translated by Alan Bass). London: Athlone Press______________. 1997. Of Grammatology (corrected edition, translated by Gayatri

Chakravorty Spivak). Baltimore: The John Hopkins University Press______________. 1982. Margins of Philosophy (translated with additional notes by

Alan Bass). Chicago: Chicago University Press

Dreyfus, H and Paul Rabinow. 1982. Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics. Chicago: The University of Chicago Press

Foucault, Michel. 2000. Power (edited by James Faubion). New York: The New York Press

Freud, Sigmund. 2004. Civilizations and Its Discontents (translated by David McLintock). London: Penguin Books

19

Page 20: Status Ontologi Subyek Kuasa Web viewquilting point. dari rangkai acak peristiwa. Peran politik administratif terasa dominan karena masyarakat membutuhkan “kambing hitam” atas

Giddens, Anthony. 1984. The Constitution of Society. London: Polity Press

__________. 1990. The Consequences of Modernity. Cambridge: Polity Press

__________. 1981. Contemporary Critique of Historical Materialism. London: MacMillan Press

__________. 1979. Central Problem in Social Theory. London: MacMillan Press

__________. 1976. New Rules of Sociological Method. Cambridge: Polity Press

Habermas, Juergen. 1981. Theory of Communicative Action Volume 1 (translated by Thomas McCarthy). Boston: Beacon Press

Hall, Stuart “The Problem of Ideology: Marxism Without Guarantees” dalam D. Morley and K.H. Chen (ed.). 1996. Stuart Hall: Critical Dialogues in Cultural Studies. London: Routledge

Hardiman, F. Budi. 2005. Memahami Negativitas: Diskursus Tentang Massa, Teror dan Trauma. Jakarta: Kompas Media Nusantara

James, Susan “Louis Althusser” dalam Quentin Skinner (ed.). 1971. The Return of Grand Theory in the Human Sciences. Cambridge: Cambridge University Press

Johnston, Adrian. 2008. Žižek’s Ontology: A Transcendental Materialist Theory of Subjectivity. Northwestern: Northwestern University Press

Lacan, Jacques. 1977. Écrits: A Selection. London: Tavistock

__________. 1977. The Four Fundamental Concepts of Psychoanalysis. New York: Penguin Books

Laclau, Ernesto and Chantal Mouffe. 1985. Hegemony and Socialist Strategy: Toward a Radical Democratic Politics. London: Verso

Laclau, Ernesto. 1990 (a). Emancipation (s). London: Verso

__________. 1990 (b). New Reflections on the Revolution of Our Time. London: Verso

Lefort, Claude. 1988. Democracy and Political Theory (translated by David Macey). Oxfford: Polity Press

McLuhan, Marshal “Global Village” dalam Malcolm Waters (ed.). 1995. Globalization. London: Routledge

Myers, Tony. 2003. Slavoj Žižek. New York-London: Routledge20

Page 21: Status Ontologi Subyek Kuasa Web viewquilting point. dari rangkai acak peristiwa. Peran politik administratif terasa dominan karena masyarakat membutuhkan “kambing hitam” atas

Millet, Kate. 1997. Sexual Politic. London: Verso

Mouffe, Chantal. 2000. The Democratic Paradox. London: Verso

__________. 1979. Gramsci and Marxist Theory. London: Routledge

Nancy, Jean-Luc. 2007. The Creation of the World or Globalisation (translated by Franҫois Raffoul and David Pettigrew). Albany: SUNY Press

__________. 1991. The Inoperative Community (translated by L. Gorbus, M. Holland, S. Sawhney). London-Minneapolis: The University of Minneapolis Press

__________ and Philippe Lacone-Labarthe. 1997. Retreating the Political. London: Routledge

Ohmae, Kenichi. 1995. The End of Nation-State: The Rise of Regional Economies. New York: The Free Press

Parker, Ian. 2004. Slavoj Žižek: A Critical Introduction. London: Pluto Press

Rancière, Jacques. 2010. Dissensus: On Politic and Aesthetic (translated by Steven Corcoran). New York: Continuum

__________. 1998. Disagreement: Politics and Philosophy (translated by Julie Rose). Minneapolis: The University of Minneapolis Press

Robet, Robertus. 2010. Manusia Politik: Subyek Radikal Dan Politik Emansipasi Di Era Kapitalisme Global Menurut Slavoj Žižek. Tangerang: Marjin Kiri

Sargent, Lyman T. 2009. Contemporary Political Ideologies. Belmont: Wadsworth

Sharpe, Matthew. 1988. Slavoj Žižek: A Little Piece of the Real. England-USA: Ashgate

__________ “What’s Left in Žižek? The Antinomies of Žižek’s Sociopolitical Reason” dalam Geoff Boucher, Jason Glynos, Matthew Sharpe (ed.). 2005. Traversing The Fantasy: Critical Responses To Slavoj Žižek. England: Ashgate

Sindhunata “Menuju Masyarakat Risiko” dalam Jurnal Basis edisi 01-02 Tahun ke 49. Januari-Februari 2000

Smith, Carl. 1996. The Concept of the Political (translated by G. Schwab). Chicago: University of Chicago Press

Stephen, Scott, Slavoj Žižek, Rex Butler (ed.). 2006. The Universal Exception. New York-London: Continuum

21

Page 22: Status Ontologi Subyek Kuasa Web viewquilting point. dari rangkai acak peristiwa. Peran politik administratif terasa dominan karena masyarakat membutuhkan “kambing hitam” atas

Vighi, Fabio. 2010. On Žižek’s Dialectics: Surplus, Substraction, Sublimation. New Tork-London: Continuum

Wood, Kelsey. 2012. Žižek: A Reader’s Guide. West Sussex: John Wiley&Sons Ltd

Žižek, Slavoj. 2009. First as Tragedy, Then as Farce. New York-London: Verso

__________. 2008 (a). Violence. New York: Picador

__________. 2008 (b). In Defense of Lost Causes. New York-London: Verso

__________. 2008 (c). The Plague of Fantasies (First edition 1997). New York-London: Verso

__________. 2008 (d). The Sublime Object of Ideology. (First edition 1989). New York-London: Verso

__________. 2008 (e). For They Know Not What They Do: Enjoyment As A Political Factor. New York-London: Verso

__________. 2007. The Indivisible Remainder. (First edition 1996). New York-London: Verso

__________. 2006. The Parallax View. Cambridge-London: The MIT Press

__________. 2002 (b). Welcome to the Dessert of the Real: Five Essays on September 11 and Related Dates. New York-London: Verso

__________. 2002 (a). Did Somebody Say Totalitarianism?. London-New York; Verso

__________. 2001. Enjoy Your Simptom! Jacques Lacan in Hollywood and Out. London: Routledge

__________. 2000. The Fragile Absolute. London: Verso

__________. 1999. The Ticklish Subject: The Absent Centre of Political Ontology. New York-London: Verso

__________. 1998. Tarrying with the Negative: Kant, Hegel and the Critique of Ideology. (First edition 1993). Durham: Duke University Press

__________. 1994 (a). The Metastases of Enjoyment. New York-London: Verso

__________. (ed.). 1994 (b). Mapping Ideology. New York-London: Verso

__________. 1992. Looking Awry. Massachusetts: The MIT Press

__________ and Glyn Daly. 2004. Conversations With Žižek. Cambridge: Polity Press22

Page 23: Status Ontologi Subyek Kuasa Web viewquilting point. dari rangkai acak peristiwa. Peran politik administratif terasa dominan karena masyarakat membutuhkan “kambing hitam” atas

23