spondilosis + spondilolistesis

23
Tugas Kepanitraan Klinik SPONDILOSIS LUMBALIS dan SPONDILOLISTESIS OLEH: Lastri Ronauli Sitompul,S.Ked 04101001094 Pembimbing: dr. Haidar Nasution DEPARTEMEN REHABILITASI MEDIK RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

Upload: last-tree

Post on 08-Apr-2016

508 views

Category:

Documents


24 download

DESCRIPTION

spondilosis + spondilolistesis

TRANSCRIPT

Tugas Kepanitraan Klinik

SPONDILOSIS LUMBALIS dan SPONDILOLISTESIS

OLEH:

Lastri Ronauli Sitompul,S.Ked

04101001094

Pembimbing: dr. Haidar Nasution

DEPARTEMEN REHABILITASI MEDIK

RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2014

SPONDILOSIS LUMBALIS

1. Definisi

Spondilo berasal dari bahasa Yunani yang berarti tulang belakang. Spondilosis

lumbalis dapat diartikan perubahan pada sendi tulang belakang dengan ciri khas

bertambahnya degenerasi discus intervertebralis yang diikuti perubahan pada tulang dan

jaringan lunak, atau dapat berarti pertumbuhan berlebihan dari tulang (osteofit), yang

terutama terletak di aspek anterior, lateral, dan kadang-kadang posterior dari tepi superior dan

inferior vertebra centralis (corpus).

2. Epidemiologi

Sekitar 85,5% orang berusia 45-64 tahun mengalami osteofit pada daerah lumbar

tulang belakang. Rata-rata orang yang terkena spondilosis adalah mereka yang melakukan

aktivitas fisik lebih atau memiliki skor Indeks Massa Tubuh (IMT) yang tinggi. Laki-laki

lebih banyak dan lebih berat keparahannya dalam pembentukan osteofit.

Bukti radiografis penyakit tulang belakang lumbal yang asimptomatik ditemukan

menarik. Lewat MRI, diketahui pasien asimptomatik sekitar 80% mengalami prostusi diksus

dan 20% lainnya mengalami degenerative tulang belakang stenosis.

Degeneratif tulang belakang juga ditemui pada anak muda. Sekitar 10% wanita

berusia 20-29 tahun dibuktikan telah mengalami degeneratif diskus. Spondilosis lumbalis,

yang terjadi 80% pada orang berusia >40 tahun, ditemukan 3% pada orang berusia 20-29

tahun.

3. Etiologi

Faktor usia

Beberapa penelitian pada osteoarthritis telah menjelaskan bahwa proses penuaan

merupakan faktor resiko yang sangat kuat untuk degenerasi tulang khususnya pada tulang

vertebra. Suatu penelitian otopsi menunjukkan bahwa spondylitis deformans atau spondylosis

meningkat secara linear sekitar 0% - 72% antara usia 39 – 70 tahun. Begitu pula, degenerasi

diskus terjadi sekitar 16% pada usia 20 tahun dan sekitar 98% pada usia 70 tahun.

Stress akibat aktivitas dan pekerjaan

Degenerasi diskus juga berkaitan dengan aktivitas-aktivitas tertentu. Penelitian

retrospektif menunjukkan bahwa insiden trauma pada lumbar, indeks massa tubuh, beban

pada lumbal setiap hari (twisting, mengangkat, membungkuk, postur jelek yang terus

menerus), dan vibrasi seluruh tubuh (seperti berkendaraan), semuanya merupakan faktor yang

dapat meningkatkan kemungkinan spondylosis dan keparahan spondylosis.

Peran herediter

Faktor genetik mungkin mempengaruhi formasi osteofit dan degenerasi diskus.

Penelitian Spector and MacGregor menjelaskan bahwa 50% variabilitas yang ditemukan pada

osteoarthritis berkaitan dengan faktor herediter. Kedua penelitian tersebut telah mengevaluasi

progresi dari perubahan degeneratif yang menunjukkan bahwa sekitar ½ (47 – 66%)

spondylosis berkaitan dengan faktor genetik dan lingkungan, sedangkan hanya 2 – 10%

berkaitan dengan beban fisik dan resistance training.

Adaptasi fungsional

Penelitian Humzah and Soames menjelaskan bahwa perubahan degeneratif pada

diskus berkaitan dengan beban mekanikal dan kinematik vertebra. Osteofit mungkin terbentuk

dalam proses degenerasi dan kerusakan cartilaginous mungkin terjadi tanpa pertumbuhan

osteofit. Osteofit dapat terbentuk akibat adanya adaptasi fungsional terhadap instabilitas atau

perubahan tuntutan pada vertebra lumbar.

4. Patogenesis

Diskus intervertebralis dipercaya memiliki ‘degenerative cascade’ dari tiga fase yang

saling tumpang tindih selama berpuluh-puluh tahun. Fase pertama (fase disfungsi)

menjelaskan efek awal pada mikrotrauma berulang yang menyebabkan robekan di sekeliling

lapisan luar dan rasa nyeri, diinervasi annulus, dan mulai menekan diskus. Robekan bisa

bersatu dan menjadi robekan radial, sehingga lebih mudah mengalami protusi, dan

memengaruhi kapasitas diskus untuk menjaga air, sehingga diskus menjadi lebih kering dan

tinggi diskus memendek. Fisura bisa sampai ke dalam jaringan vascular dan ujung saraf,

sehingga transmisi sinyal nyeri lebih mudah disalurkan.

Fase kedua (fase tidak stabil) ditandai dengan hilangnya integritas mekanik, dengan

perubahan progresif pada resorpsi yang progresif pada diskus, gangguan internal dan robekan

tambahan pada annulus, dikombinasikan dengan degenerasi facet yang dapat menyebabkan

subluksasi dan ketidakstabilan. Selama Fase ketiga (fase stabil), penyempitan ruang diskus

dan fibrosis terjadi bersamaan dengan pembentukan osteofit dan ‘transdical bridging’.

Osteofit adalah terbentuknya suatu tulang baru yang sebenarnya ditujukan untuk

memperbaiki kerusakan akibat penipisan tulang rawan sendi, tetapi gagal untuk mengatasi

kerusakan tersebut dan membuat keadaan tulang semakin parah.

Penyempitan foramen intervertebralis adalah suatu keadaan dimana terjadinya

degenerasi pada facet joint akan diikuti oleh timbulnya penebalan subchondral yang kemudian

terjadi osteofit dan mengakibatkan terjadinya penyempitan pada foramen intervertebralis. Hal

ini akan akan menyebabkan terjadinya kompresi / penekanan pada isi foramen intervertebral

ketika gerakan extensi, sehingga timbul nyeri yang pada akhirnya akan menyebabkan

penurunan mobilitas / toleransi jaringan terhadap suatu regangan yang diterima menurun.

5. Gejala Klinis

Spondilosis lumbalis biasanya tidak menimbulkan gejala. Ketika terdapat keluhan

nyeri punggung atau nyeri skiatika, spondilosis lumbalis biasanya merupakan temuan yang

tidak ada hubungannya. Biasanya tidak terdapat temuan apa-apa kecuali munculnya suatu

penyulit.

Pasien dengan stenosis spinalis lumbalis sebagian besar mengalami keluhan saat

berdiri atau berjalan. Gejala atau tanda yang mncul saat berjalan berkembang menjadi

claudicatio neurogenik. Dalam beberapa waktu, jarak saat berjalan akan bertambah pendek,

kadang-kadang secara mendadak pasien mengurangi langkahnya. Gejala yang muncul

biasanya akan sedikit sekali bahkan pada pasien yang dengan kasus lanjut.

Gejala dan tanda yang menetap yang tidak berhubungan dengan postur tubuh

disebabkan oleh penekanan permanen pada akar saraf. Nyeri tungkai bawah, deficit sensorik

motorik, disfungsi sistem kemih atau impotensi seringkali dapat ditemukan.

Gejala dan tanda yang intermiten muncul ketika pasien berdiri, termasuk nyeri

pinggang bawah, nyeri alih, atau kelemahan pada punggung. Gejala-gejala ini berhubungan

dengan penyempitan recessus lateralis saat punggung meregang. Oleh karena itu, gejala-

gejala akan dipicu atau diperburuk oleh postur tubuh yang diperburuk oleh lordosis lumbal,

termasuk berdiri, berjalan terutama menuruni tangga atau jalan menurun, dan termasuk juga

memakai sepatu hak tinggi.

Nyeri pinggang bawah adalah keluhan yang paling umum muncul dalam waktu yang

lama sebelum munculnya penekanan radikuler. Kelemahan punggung merupakan keluhan

spesifik dari pasien dimana seolah-olah punggung akan copot, kemungkinan akibat sensasi

proprioseptif dari otot dan sendi tulang belakang. Kedua keluhan, termasuk juga nyeri alih

(nyeri pseudoradikuler) disebabkan oleh instabilitas segmental tulang belakang dan akan

berkurang dengan perubahan postur yang mengurangi posisi lordosis lumbalis : condong ke

depan saat berjalan, berdiri, duduk atau dengan berbaring.

Saat berjalan, gejala permanen dapat meluas ke daerah dermatom yang sebelumnya

tidak terkena atau ke tungkai yang lain, menandakan terlibatnya akar saraf yang lain. Nyeri

tungkai bawah dapat berkurang, yang merupakan fenomena yang tidak dapat dibedakan.

Karena pelebaran foramina secara postural, beberapa pasien dapat mengendarai sepeda tanpa

keluhan, pada saat yang sama mengalami gejala intermiten hanya setelah berjalan dengan

jarak pendek.

Claudicatio intermiten neurogenik dialami oleh 80% pasien, tergantung kepada

beratnya penyempitan canalis spinalis. Tanda dan gejala yang mengarahkan kepada hal

tersebut adalah defisit motorik, defisit sensorik, nyeri tungkai bawah, dan kadang-kadang

terdapat inkontinensia urin. Beristirahat dengan posisi vertebra lumbalis yang terfleksikan

dapat mengurangi gejala, tapi tidak dalam posisi berdiri, berlawanan dengan claudicatio

intermiten vaskuler. Claudicatio intermiten neurogenik disebabkan oleh insufisiensi suplai

vaskuler pada satu atau lebih akar saraf dari cauda equina yang terjadi selama aktivitas

motorik dan peningkatan kebutuhan oksigen yang berhubungan dengan hal tersebut. Daerah

fokal yang mengalami gangguan sirkulasi tersebt muncul pada titik tempat terjadinya

penekanan mekanik, dengan hipereksitabilitas neuronal yang berkembang menjadi nyeri atau

paresthesia Demielinasi atau hilangnya serat saraf dalam jumlah besar akan berkembang

menjadi kelemahan atau rasa kebal. Efek lain dari penekanan mekanik adalah perlekatan

arachnoid yang akan memfiksasi akar saraf dan menganggu sirkulasi CSF di sekitarnya

dengan akibat negatif pada metabolismenya.

6. Diagnosis

Evaluasi awal untuk pasien dengan nyeri punggung bawah dimulai dengan anamnesis

yang akurat dan pemeriksaan fisik secara menyeluruh dengan tes provokatif yang sesuai.

Langkah-langkah pertama ini dipersulit oleh subjektivitas pasien terhadap rasa nyeri tulang

belakang dan kesulitan menentukan regio anatomi yang terkena pada tes provokatif.

Secara radiografi, apakah film polos, CT, CT myelogram, atau MRI, dapat

memberikan bukti konfirmasi yang berguna untuk mendukung temuan pemeriksaan dan

melokalisasi lesi degeneratif atau bidang kompresi saraf. Namun, pencitraan tidak bisa

mengidentifikasi penyebab LBP. Selain itu, masih sering terdapat perbedaan antara keparahan

gejala dengan derajat perubahan radiografi. Sementara terdapat korelasi antara tingkat

keparahan osteofit dan nyeri punggung.

Gejala kompresi saraf juga dapat dikonfirmasi oleh pemeriksaan elektromiografi

(EMG) untuk mengetahui konduksi saraf motorik dan sensorik distal. Injeksi diagnostik dapat

mengetahui lokasi dengan mengisolasi dan menganestesi akar saraf yang teriritasi (via

epidural).

7. Tata Laksana

Penanganan nyeri punggung bawah kronik dilakukan dalam empat kategori: terapi

fisik, farmakoterapi, terapi injeksi, dan intervensi pembedahan.

Terapi Fisik

a) Terapi Latihan

Terapi latihan merupakan salah satu terapi konservatif pada nyeri punggung bawah

kronis. Latihan dapat berupa latihan aerobik, penguatan otot, dan latihan peregangan.

Rencana program, intensitas, dan frekuensi pada masing-masing penderita berbeda

tergantung dari berat penyakit dan kemampuan tubuh penderita. Terapi latihan harus

dipatuhi agar menghasilkan kemajuan yang optimal. Hasil yang optimal juga harus

dibantu dari jenis terapi konservatif lainnya, seperti pemberian NSAID, terapi manual,

dan penjagaan aktivitas sehari-hari.

b) TENS

TENS adalah modalitas terapeutik yang melibatkan permukaan kulit yang

menghantarkan stimulasi elektrik ke saraf perifer sebagai usaha untuk mengurang

nyeri secara noninfasif. Sepertiga penderita yang memakai TENS mengalami iritasi

kulit sedang. Sebuah penelitian mengidentifikasi reduksi nyeri yang segera setelah 1

jam memakai TENS. Penelitian lainnya tidak menemukan peningkatan signifikan

penggunaan TENS dibandingkan dengan plasebo berkaitan dengan nyeri, status

fungsional, atau jangkauan gerak.

c) Penyokong Lumbal (Korset)

Penyokong lumbal atau korset memberikan keuntungan bagi penderita nyeri punggung

bawah kronik dan juga yang mengalami proses degeneratif tulang belakang. Korset

didesain untuk membatasi gerakan tulang belakang, menstabilkannya, mengoreksi

deformitas, dan mengurangi kekuatan mekanik.

d) Traksi

Traksi lumbal telah dianjurkan untuk penanganan nyeri punggung bawah karena HNP,

penyakit degenerative diskus, dan stenosis foraminal. Traksi berguna untuk menangani

sendi yang hipomobilitas, jaringan ikat yang berkontraksi, adhesi, pertumbukan sendi

apofisis, dan spasme otot. Sedangkan, kontraindikasi dari traksi lumbal adalah

malignansi tulang belakang, infeksi tulang belakang, osteoporosis, kompresi saraf

(cord), hiatus hernia, nyeri pinggang akut, kehamilan, hipertensi tak terkontrol,

penyakit CVD, penyakit respiratori berat, aneurisma aorta, hernia abdominal, rematoid

artritis, dan hemoroid yang berat.

Farmakoterapi

Upaya pengobatan untuk mengontrol rasa sakit dan pembengkakan, mengurangi cacat,

dan meningkatkan kualitas hidup dengan lumbar spondylosis sering membutuhkan obat untuk

melengkapi intervensi nonfarmakologis. Upaya penelitian yang luas telah meneliti efektivitas

obat oral yang berbeda dalam pengelolaan nyeri pinggang sekunder untuk proses degeneratif.

Meskipun demikian, tetap tidak ada konsensus yang jelas mengenai pendekatan standar baku

untuk manajemen farmakologis.

OAINS

OAINS secara luas dianggap sebagai langkah pertama yang tepat dalam memberikan

efek analgesik dan anti-inflamasi. Ada data yang menunjukkan keberhasilan dalam

pengurangan rasa sakit pada nyeri punggung bawah yang kronis adalah rendah.

Inhibitor COX2 berperan dalam proses analgesik pada LBP kronis dan dapat

meningkatkan fungsi dalam pengaturan jangka panjang. Sementara itu, pemakaian

OAINS harus diatur, karena akan menimbulkan komplikasi GI dan juga terdapat bukti

peningkatan risiko kardiovaskular pada penggunaan jangka panjang.

Opioid

Obat-obatan opioid dapat dianggap sebagai alternatif atau terapi augmentive untuk

pasien yang menderita efek gastrointestinal atau kontrol nyeri yang buruk pada

manajemen NSAID. Praktek resep narkotika untuk penderita nyeri punggung bawah

kronis sangat bervariasi dalam praktisi, dengan kisaran 3-66% pasien LBP kronis

mengambil beberapa bentuk opioid dalam berbagai studi literature.

Relaksan Otot

Relaksan otot, sebagai antispasmodik atau antispastik, dapat memberikan manfaat

dalam nyeri punggung bawah kronis dikaitkan pada kondisi degeneratif. Beberapa

percobaan yang membandingkan baik benzodiazepine, atau non-benzodiazepine

dengan plasebo yang relaksan otot, memberikan manfaat yang berkaitan dengan nyeri

jangka pendek dan fungsi otot secara keseluruhan.

Terapi Injeksi

Injeksi Epidural Steroid

Injeksi epidural steroid telah menjadi strategi intervensi umum dalam pengelolaan

nyeri aksial kronis dan nyeri radikuler kronis akibat degenerasi tulang belakang

lumbar. Injeksi ini dapat dilakukan melalui interlaminar, transforaminal, atau

pendekatan caudal. Biasanya dengan cara jarum dipandu dibawah fluoroscopy,

kontras, maka anestesi lokal dan steroid yang dimasukkan ke dalam ruang epidural di

tingkat vertebral target dan keluar di akar saraf. Nyeri yang berkurang terjadi melalui

mekanisme yang saling melengkapi. Anestesi lokal memberikan konfirmasi diagnostik

cepat, dan terapi dapat memendekkan sikuit siklus nyeri pada spasme dan memblok

transmisi sinyal nyeri. Kortikosteroid juga diakui untuk kemampuan mereka untuk

mengurangi peradangan melalui blokade mediator pro-inflamasi.

Injeksi Facet

Sendi facet dipersarafi dari cabang-cabang medial rami dorsal dan, melalui studi

anatomi, memiliki ujung bebas dan dikemas saraf, mechanoreceptors, dan nociceptors.

Peradangan pada sendi menciptakan sinyal rasa sakit yang terlibat dalam 15-45% dari

pasien dengan nyeri punggung bawah. Blok diagnostik menyuntikkan anestesi

gabungan langsung ke ruang sendi atau berhubungan medial cabang (MBB). Tinjauan

sistematis dari kedua percobaan retrospektif dan prospektif mengungkapkan blok segi

diagnostik tunggal memiliki nilai positif-palsu dari 22% menjadi 47% [84] dan blok

cabang medial dari 17-47% di tulang belakang lumbal. Dari hasil pendekatan

didapatkan bahwa terdapat bukti sedang dalam pengurangan rasa nyeri akut dan kronis

dengan injeksi facet.

Tindakan Pembedahan

Pembedahan dilakukan pada pasien yang gagal menjalani pengobatan konservatif.

Pembedahan pada spondilosis lumbalis adalah fusi tulang belakang atau operasi dekompresi

tulang belakang. Fusi tulang belakang dipertimbangkan pada pasien dengan keganasan atau

gerakan yang berlebihan dari tulang belakang, seperti yang terlihat pada DDD dan

spondylolisthesis. Sedangkan operasi dekompresi diindikasikan untuk pasien dengan bukti

yang jelas dari tumbukan atau pergeseran saraf, memperbaiki gangguan tulang atau diskus

pada tulang belakang atau foraminal stenosis, disk yang herniasi, osteofitosis, atau

spondylolisthesis degeneratif.

8. Prognosis

Spondilosis lumbalis pada kebanyakan kasus tidak menyebabkan morbiditas nyata.

Pada beberapa penderita, terdapat penyempitan kanal akar saraf atau kanal tulang belakang

yang menyebabkan gejala serius, dan bahkan pada beberapa kasus bisa sampai paralisis atau

masalah pada sistem BAB dan BAK.

SPONDILOLISTESIS

1. Pendahuluan

Spondilolistesis adalah

subluksasi ke depan dari satu korpus

vertebrae terhadap korpus vertebrae

lain dibawahnya. Hal ini terjadi

karena adanya defek antara sendi

pacet superior dan inferior (pars

interartikularis). Spondilolis adalah

adanya defek pada pars

interartikularis tanpa subluksasi

korpus vertebrata. Spondilolis dan

spondilolistesis terjadi pada 5% dari

populasi. Kebanyakan penderita

tidak menunjukkan gejala atau gejalanya hanya minimal, dan sebagian besar kasus dengan

tindakan konservatif memberikan hasil yang baik. Spondilolistesis dapat terjadi pada

semua tingkat vertebrae, tapi yang paling sering terjadi pada vertebrae lumbal bagian

bawah.

2. Sejarah

Spondilolistesis berasal dari bahasa Yunani, yakni spondylo (vertebrata) dan olisthesis

(slip), jadi secara harfiah berarti vertebrae yang bergeser. Deskripsi kelainan ini pertama

kali ditulis pada tahun 1782 oleh Herbiniaux seorang ahli obstetri dari Belgia, yang

mencatat suatu keadaan dislokasi lumbal kedepan terhadap sakrum yang menghambat

proses persalinan. Kilian (1854) menggunakan istilah spondilolistesis untuk keadaan

diatas (pergeseran vertebrae lumbal terhadap sakrum diatas). Klasifikasi spondilolistesis

pertama dibuat oleh Newman (1963) dan disempurnakan tahun 1976 menjadi Wiltse –

Newman – MacNab classification, yang terdiri dari: Dysplastic, Isthmic, Degenerative,

Traumatic dan Patological.

3. Biomekanik dan ukuran-ukuran

Curvatura normal dari tulang belakang menjaga keseimbangan berat badan dengan

mempertahankan pusat gravitasi pada kaki. Bentuk abnormal dari curvatura tulang

belakang berhubungan erat dengan spondilolistesis. Lindholm dkk melaporkan bahwa

60% (dari 75 pasien dengan isthmic spondilolistesis) yang mengalami peningkatan

lordosis, memerlukan tindakan operasi.

Dari studi eksperimental didapatkan bahwa gerakan fleksi, ekstensi tidak terlalu

bermakna dalam menimbulkan spondilolistesis. Diduga bahwa gerakan puntiran (torsinal)

menjadi penyebab rusaknya pars interartikularis sehingga terjadi spondilolistesis.

Konsentrasi tertinggi dari biomekanikal terdapat lumbal, terutama di pars interartikularis.

Ada dua metode klinis untuk mengukur derajat slip pada spondilolistesis yakni metode

Meyerding dan Taillard.

Metode Meyerding: permukaan superior sakrum dibagi empat bagian sepanjang

diameter anterior posterior. Derajat slip dihitung sesuai dengan pembagian tersebut.

Metode Taillard: derajat slip dihitung dalam persentase, seberapa lebar pergeserannya

dalam diameter anterior posterior. Bila ada sklerosis dan kelainan bentuk sakrum

sehingga mengukur dengan cara diatas sulit, maka digunakan modifikasi yakni dengan

mengukur body L5.

Pengukuran derjat slip penting untuk menentukan tindakan pengobatan. Pada anak dan

dewasa muda ini juga penting untuk melihat progresivitas. Untuk derajat slip lebih besar

50% penilaian sudut slip juga penting. Sudut ini dibentuk oleh garis yang melalui

permukaan superior dari dua vertebrae. Bila permukaan superior sakrum tumpul garis

dibentuk sepanjang bagian belakang vertebral body. Cara lain dapat dengan mengukur

Normal Meyerding grade I

Meyerding grade II

Meyerding grade III

Meyerding grade IV

Meyerding grade V (Spondyloptosis)

sakral inklinasi, yakni sudut yang dibentuk antara posterior sakral body cortex dari S1 dan

garis vertikal. Semakin tinggi derjat slip semakin besar kecendrungan slipnya dikemudian

hari.

4. Klassifikasi

Spondilolistesis dibagi atas lima kelompok:

I. Dysplastic

II. Isthmic

a. Lytic

b. Elongated pars interarticulars

c. Acute pars fracture

III. Degenerative

IV. Traumatic

V. Pathologic

Dysplastic

Dijumpai kelainan kongenital pada sakrum bagian atas atau neral arch L5. Permukaan

sakrum superior biasanya bulat (rounded) dan kadang disertai dengan spina bifida

Isthmic

Tipe ini disebabkan oleh karena adanya lesi pada pars interartikularis. Tipe ini merupakan

tipe spondilolistesis yang paling sering. Tipe ini mempunyai tiga sub:

- Lytic: ditemukan pemisahan (separation) dari pars, terjadi karena fatique fracture dan

paling sering ditemukan pada usia dibawah 50 tahun

- Elongated pars interarticularis: terjadi oleh karena mikro fraktur dan tanpa pemisahan

pars

- Acute pars fracture: terjadi setelah suatu trauma yang hebat.

Degenerative

Secara patologis dijumpai proses degenerasi. Lebih sering terjadi pada level L4-L5

daripada L5-S1. Ditemukan pada usia sesudah 40 tahun. Pada wanita terjadi empat kali

lebih sering dibandingkan pria. Pada kulit hitam terjadi tiga kali lebih sering dibandingkan

kulit putih

Traumatic

Tipe ini terjadinya bersifat sekunder terhadap suatu proses trauma pada vertebrae yang

menyebabkan fraktur pada sebagian pars interartikularis. Tipe ini terjadi sesudah periode

satu minggu atau lebih dari trauma. Acute pars fracture tidak termasuk tipe ini.

Pathologis

Pada tipe ini terjadi penipisan atau destruksi pada pars interartikularis, pedikel, pacet dan

terjadi pergeseran vertebrae. Tipe ini mempunyai dua sub tipe:

- Generalized: gambaran patologis bersifat umum. Beberapa penyakit yang berhubungan

dengan tipe ini: Paget’s disease, hyperthyroidism, osteopetrosis dan sifilis.

- Lokal: gambaran patologis bersifat lokal. Tipe ini terjadi oleh karena infeksi lokal, tumor

atau proses destruksi lainnya.

5. Etiologi

Etiologi spondilolistesis sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Konsep umum

masih terfokus pada faktor predisposisi yakni konginetal dan trauma

6. Gejala klinis

Low back pain adalah gejala yang umum ditemukan pada spondilolistesis. Dapat juga

ditemukan sciatic pain dari bokong ke bagian posterior kaki. Hal ini diikuti dengan

terbatasnya gerakan kaki.

7. Pengobatan

A. Non operative

Pengobatan untuk spondilolistesis umumnya konservative. Pengobatan non

operative diindikasikan untuk semua pasien tanpa defisit neurologis atau defisit

neurologis yang stabil. Hal ini dapat merupakan pengurangan berat badan, stretching

exercise, pemakaian brace, pemakain obat anti inflamasi. Hal terpenting dalam

manajemen pengobatan spondilolistesis adalah motivasi pasien.

B. Operative

Pasien dengan defisit neurologis atau pain yang mengganggu aktifitas, yang gagal

dengan non operative manajemen diindikasikan untuk operasi. Bila radiologis tidak

stabil atau terjadi progresivitas slip dengan serial x-ray disarankan untuk operasi

stabilisasi. Jika progresivitas slip menjadi lebih 50% atau jika slip 50% pada waktu

diagnosis, ini indikasi untuk fusi. Pada high grade spondilolistesis walaupun tanpa

gejala fusi harus dilakukan. Dekompresi tanpa fusi adalah logis pada pasien dengan

simptom oleh karena neural kompresi. Bila manajemen operative dilakukan pada

adolescent, dewasa muda maka fusi harus dilakukan karena akan terjadi peningkatan

slip yang bermakna bila dilakukan operasi tanpa fusi. Jadi indikasi fusi antara lain:

usia muda, progresivitas slip lebih besar 25%, pekerja yang sangat aktif, pergeseran

3mm pada fleksi/ekstensi lateral x-ray. Fusi tidak dilakukan bila multi level disease,

motivasi rendah, aktivitas rendah, osteoporosis, habitual tobacco abuse.

8. Rehabilitasi

DAFTAR PUSTAKA

Cotler. 1990. Spinal fusion. Springer-Verlag, p. 270-279

Mark S. Greenberg. 1994. Handbook of neurosurgery. Greenberg Graphics, p.486-487.

N.G. Baldwin. Lumbar spondilolysis and spondilolistesis in principles of sina surgery, vol. 1,

p. 681-699

Netter FH, MD. 1991. Nervous system in the Ciba collection, vol.1, p. 19-20

Stephen I. 1995. Text book of spinal disorder. Philadelphia: J.B. Lippincott, p. 203-213

Thiene. 1993. Atlas of spinal operation, p. 293-306