123742172 spondilosis
TRANSCRIPT
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Vertebra
2.1.1 Kolumna Vertebralis
Kolumna vertebralis merupakan pilar utama tubuh, dan berfungsi menopang
cranium, gelang bahu, ekstremitas superior, dan dinding thorax. Di dalam
rongganya terletak medulla spinalis, radix nervi spinales, dan lapisan penutup
meningen, yang dilindungi oleh kolumna vertebralis (Snell, 2006: 881-882). Pada
kolumna vertebra terdapat 33 ruas tulang, 24 buah diantaranya adalah tulang –
tulang terpisah, dan 9 ruas sisanya bergabung membentuk 2 tulang (Pearce,
Evelyn C. 2008). Kolumna ini terdiri dari dari vertebra – vertebra yang dipisahkan
diskus fibrokartilago intervertebral. Ada 7 tulang vertebra cervical, 12 vertebra
thorax, 5 vertebra lumbal, dan 5 tulang vertebra sacrum, dan tiga sampai lima
tulang koksigeal yang menyatu menjadi tulang koksiks (Sloane, 2003: 101).
6
Vertebra lumbal merupakan vertebra terpanjang dan terkuat. Prosesus
spinosanya pendek dan tebal, serta menonjol hampir searah garis horisontal
(Sloane, 2003: 103). Prosesus tranversusnya panjang dan langsing. Ruas kelima
membentuk sendi dengan sacrum pada sendi lumbo-sakral (Pearce, Evelyn C.
2008).
2.1.2 Diskus Invertebralis
Diskus invertebralis menyusun seperempat dari panjang kolumna
vertebralis. Diskus ini paling tebal di daerah cervical dan lumbal, tempat banyak
terjadinya gerakan kolumna vertebralis. Struktur ini dapat dianggap sebagai discus
semielastis, yang terletak di antara corpus vertebrae yang berdekatan dan bersifat
kaku. Ciri fisiknya memungkinkannya berfungsi sebagai peredam benturan bila
beban pada kolumna vertebralis mendadak bertambah, seperti bila seseorang
melompat dari tempat yang tinggi. Kelenturannya memungkinkan vertebra yang
kaku dapat bergerak satu dengan yang lain. Sayangnya daya pegas ini berangsur-
angsur menghilang dengan bertambahnya usia. Setiap discus terdiri atas bagian
pinngir, anulus fibrosus, dan bagian tengah yaitu nucleus pulposus (Snell, 2006:
888).
7
2.1.3 Persendian
1) Sendi antara Korpus Vertebra
Permukaan atas dan bawah korpus vertebra yang berdekatan dilapisi oleh
tulang rawan hialin tipis. Di antara lempeng tersebut terdapat diskus
invertebralis yang tersusun oleh jaringan fibrikartilago. Ligamen
longitudinal anterior dan posterior berjalan menurun menyusuri permukaan
anterior dan posterior kolumna vertebralis dari kranium sampai sakrum.
2) Sendi antara Arkus Vertebra
Terdiri dari dua sendi sinovial, prosesus artikularis superior dan inferior
vertebra yang berdekatan. Fasies artikularis tertutup oleh tulang rawan
hialin dan sendi dikelilingi oleh ligamentum kapsularis (Judha, 2012: 120-
121).
2.1.4 Ligamen
8
1) Ligamen anterior longitudinal
Ligamen ini lebar dan melekat dengan kuat pada pinggir depan, samping
corpus vertebra, dan pada diskus invertebralis.
2) Ligamen posterior longitudinal
Ligamen ini lemah dan sempit dan melekat pada pinggir posterior diskus.
3) Ligamen supraspinal
Ligamen ini berjalan di antara ujung-ujung processus spinosus yang
berdekatan
4) Ligamen interspinal
Ligamen ini menghubungkan processus spinosus yang berdekatan.
5) Ligamen intertransversaria
Ligamen ini berjalan di antara processus transversus yang berdekatan.
6) Ligamen flavum
Ligamen ini menghubungkan lamina dari vertebra yang berdekatan (Snell,
2006: 888).
2.1.5 Otot
9
(Cleland, 2011 : 140)
Otot Origo Insersio Fungsi
Rektus AbdominisSimfisis pubis dan pubis
Kartilago kostal 5-7 dan prosesus xipoid
Fleksi tulang belakang
Internal Obliques
Fasia torako-lumbal, anterior krista iliaka, dan lateral inguinal ligamen
Linea alba, kartilago kostal ke 6
Fleksi dan rotasi tulang belakang
Eksternal Obliques
Kosta aspek eksterna 5-12
Anterior krista iliaka, linea alba, dan tuberkel pubis
Fleksi dan rotasi tulang belakang
Transversus Abdominis
Aspek internal dari kartilago kosta 7-12, fasia torako-lumbal, krista iliaka, lateral inguinal ligamen
Linea alba, pubis
Kontraksi abdomen dan kompresi isi abdomen
Multifidus
Sakrum, ilium, prosesus transverse T1-T3, prosesus artikular C4-C7
Prosesus spinosus vertebra sekmen 2-4
Stabilisasi vertebra
10
intertransversarius
Prosesus transvers servikal dan lumbal
Prosesus transvers vertebra
Stabilisasi bilateral kolumna vertebra
RotatorProsesus transvers vertebra
Prosesus spinosus vertebra sekmen 1-2
Stabilisasi vertebra dan rotasi
(Cleland, 2011: 142-143)
2.1.6 Persarafan
Saraf Level Segmental MotorSaraf Subkostal T12 External oblique
Saraf Iliohypogastric T12, L1Internal oblique, transvers abdominis
Ilioinguinal L1Internal oblique, transvers abdominis
Genitofemoral L1, L2 Tidak adaLateral Kutaneus L2, L3 Tidak adaCabang iliakus Iliakus
Saraf femoral L2, L3, L4Iliakus, sartorius, quadrisep femoris, genu artikularis pektineus
Saraf obturator L2, L3, L4
Adduktor magnus, adductor brevis, adduktor longus,gracilis,obturator ekternus
Sciatic L4, L5, S1, S2, S3 Fleksor lutut dan kaki(Cleland, 2011: 147)
11
2.1.7 Vaskularisasi
2.1.8 Biomekanik
1) Fleksi
Fleksi adalah gerakan ke depan, dan ke belakang. Keduanya dapat dilakukan
dengan leluasa pada daerah cervical dan lumbal, tetapi terbatas pada
thoracal. Gerakan fleksi dilakukan oleh m. rectus abdominis, dan m. psoas
(Snell, 2006: 892). Pada saat fleksi, nucleus pulposus bergerak ke arah
posterior sehingga terjadi ketegangan pada sisi posterior dari annulus
fibrosus. Foramen intervertebral melebar sehingga terjadi peningkatan
ketegangan pada ligamen posterior longitudinal, ligamen flavum, ligamen
interspinosus dan supraspinosus, dan spinal cord. (Neumann, 2010: 357).
2) Ektensi
Ekstensi adalah gerakan ke depan, dan ke belakang. Keduanya dapat
dilakukan dengan leluasa pada daerah cervical dan lumbal, tetapi terbatas
pada thoracal. Gerakan ekstensi dilakukan oleh m. postvertebralis (Snell,
2006: 892).pada saat ekstensi, nucleus pulposus bergerak ke arah anterior
sehingga terjadi ketegangan pada sisi anterior dari annulus fibrosus.
Foramen intervertebral menyempit sehingga mengakibatkan peningkatan
ketegangan pada ligamen anterior longitudinal (Neumann, 2010: 357)
3) Lateral Fleksi
Lateral fleksi adalah gerakan melengkungnya tubuh ke satu sisi. Gerakan ini
mudah dilakukan di daerah cervical dan lumbal, tetapi terbatas di daerah
thoracal. Gerakan lateral fleksi dilakukan oleh m. postvertebralis, m.
quadratus lumborum, dan otot-otot serong dinding anterolateral abdomen.
12
Nucleus pulposus menjauh dari arah gerakan, atau dinyatankan timbul
cekungan pada sisi lawan gerakan (Neumann, 2010: 357).
4) Rotasi
Rotasi adalah gerakan memutar columna vertebralis. Gerakan ini sangat
terbatas di daerah lumbal. Gerakan rotasi dilakukan oleh otot – otot rotator
dan otot-otot serong dinding anterolateral abdomen (Snell, 2006: 892).
Sebagian besar rotasi yang sebenarnya disertai dengan kompresi tulang
rawan kontralateral pada sendi apophyseal. Rotasi aksial juga
mengakibatkan ketegangan yang diciptakan oleh regangan anulus fibrosus.
Secara teori, rotasi aksial derajat 3 pada intervertebralis lumbal akan
merusak permukaan sendi facet dan robekan serat kolagen pada annulus
fibrosus. Gerakan fisiologis yang normal tetap aman tetapi pada batas ini
berpotensi merusak (Neumann, 2010: 356).
2.2 Deskripsi Kasus
2.2.1 Pengertian
Spondilosis lumbal adalah suatu kondisi degeneratif tulang belakang yang
juga disebut sebagai osteoarthritis tulang belakang. Orang – orang diatas usia 40
tahun berada pada risiko tertinggi terjadi spondilosis lumbal, dengan gejala
seperti nyeri dan kekakuan punggung pagi hari (Ahmed, 2010).
2.2.2 Etiologi
Penyebab dari spondilosis lumbal, adalah :
1) Pengaruh usia
13
Studi besar tentang osteoporosis telah lama mengakui proses penuaan
menjadi faktor risiko terkuat untuk degenerasi tulang, khususnya tulang
belakang.
2) Dampak kegiatan dan pekerjaan
Studi retrospektif menyebutkan Indeks Massa Tubuh (IMT), insiden trauma
kembali, beban harian tulang belakang (memutar, mengangkat,
membungkuk, dan postur tidak netral yang berkelanjutan), dan getaran
seluruh tubuh (seperti mengemudi kendaraan) menjadi faktor yang
meningkatkan baik kemungkinan dan keparahan spondilosis. Peran
hereditas faktor genetik kemungkinan mempengaruhi pembentukan osteofit
dan degenerasi diskus (Kimberley M, 2009).
3) Penyebab lain
Spondylosis juga dapat terjadi bila ada riwayat dari postur yang salah,
imobilisasi berkepanjangan setelah cedera, trauma berat dan berulang, atau
perubahan degenerative diskus. Pada tahap awal perubahan degenerative
diskus adalah hipermobilitas atau ketidakstabilan, dalam tiga sendi
kompleks. Seiring berjalannya waktu, stres diubah dari mekanik
menyebabkan pembentukan osteofit dan lipping di sepanjang margin sendi
dan tulang belakang tubuh (Kisner, 2007: 414).
2.2.3 Patologi
Tingginya insiden perubahan degeneratif yang simultan pada diskus
intervertebralis, vertebra, dan mekanisme sendi yang progresif dan dinamis, serta
dengan perubahan sekunder dapat terjadi penyempitan pada ruang diskus.
Terdapat tiga tahap yang terjadi selama beberapa dekade menurut Kirkaldy Willis
14
dan Bernard. Tahap I (tahap disfungsi) menggambarkan efek awal microtrauma
berulang dengan perkembangan robekan melingkar yang yang mengakibatkan
nyeri, annulus innervated, dan endplate dengan pemisahan yang mungkin
membahayakan pasokan gizi. Terjadi robekan juga pada jaringan ujung saraf dan
pembuluh darah, meningkatkan persarafan, dan kapasitas diskus untuk transmisi
sinyal rasa sakit. Tahap II (tahap ketidakstabilan) ditandai oleh hilangnya
integritas mekanik, dengan perubahan resorbsi diskus progresif, gangguan
internal, dan tambahan robekan annular, dikombinasikan dengan degeneratif facet
yang dapat menyebabkan subluksasi dan ketidakstabilan. Selama tahap III (tahap
stabilisasi) penyempitan ruang diskus dan fibrosis terjadi bersamaan dengan
menjembatani pembentukan osteofit dan transdical (Kimberley M, 2009).
2.2.4 Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala pada spondilosis lumbal, antara lain : nyeri yang datang
dan pergi, kekakuan punggung bawah pada pagi hari setelah bangun tidur, nyeri
menurun setelah beristirahat atau setelah melakukan aktivitas, nyeri tekan dan rasa
tebal pada punggung bawah, sciatica (ringan sampai sakit kaki yang intens),
kelemahan, rasa tebal, atau kesemutan pada punggung bawah, tungkai, atau kaki,
kesulitan berjalan, dan gangguan buang air besar dan buang air kecil (ini jarang
terjadi, tetapi dapat terjadi jika tulang belakang mengalami penekanan) (Walker,
2011).
2.2.5 Diagnosa Banding
1) Hernia nucleus pulposus (HNP)
HNP umumnya dihubungkan dengan trauma mendadak atau menahun
sehingga annulus fibrosus terutama bagian posterolateral robek secara
15
sirkumferensial dan radial disertai robekan bagian lateral ligamen
longitudinalis posterior. Gejala utama nyeri pinggang bawah, nyeri
radikular, spasme, parestesia (Tjokorda, 2009: 162-163).
2) Stenosis kanal
Stenosis kanal atau stenosis spinal sering disebut sebagai klaudikasio
neurogenik. Stenosis kanal banyak ditemui pada orang usia lanjut akibat
diameter kanalis spinalis menyempit, umumnya akibat degenerasi sekitar
diskus dan sendi faset selain perkapuran dan penebalan ligamen flavum.
Gejala berupa rasa panas pada bokong dan kedua tungkai, kelemahan
tungkai, gangguan sensibilitas, paresis, gangguan refleks bilateral
(Tjokorda, 2009: 164: 165).
3) Spondilolistesis
Spondilolistesis merupakan pergeseran korpus yang biasanya diakibatkan
fraktur isthmus bilateral. Gejala berupa nyeri radikular, gangguan motorik,
sensibilitas, dan vegetatif (Tjokorda, 2009: 165: 166).
2.2.6 Prognosis
NPB dapat berulang dengan keadaan lebih berat dan lama. Bila NPB
berhubungan dengan pekerjaan serangan ulang terjadi pada 60 % pasien dalam
satu tahun. Semakin lama kemungkinan kambuh akan berkurang (Tjokorda,
2009).
2.3 Penatalaksanaan Fisioterapi
Penatalaksanaan fisioterapi pada klien dengan spondilosis lumbal
membahas tentang pengkajian fisioterapi, pemeriksaan fisik, diagnosis fisioterapi,
tujuan fisioterapi, dan intervensi fisioterapi.
16
2.3.1 Pengkajian Fisioterapi
2.3.1.1 Anamnesis
1) Anamnesis Umum
Pada anamnesa umum yang perlu ditanyakan adalah penjelasan nama, usia,
peranan, dan menentukan tugas – tugas (Willms, 2005).
2) Anamnesis Khusus
Anamnesis berkaitan dengan keadaan atau penyakit klien. Data – data yang
diperoleh dalam anamnesis khusus, yaitu :
1. Keluhan utama
Keluhan utama adalah keluhan yang menyebabkan penderita tersebut datang
berobat (Bahrudin, 2011: 14). Keluhan utama yang dirasakan pada klien dengan
spondilosis lumbal adalah nyeri dan spasme otot paravertebra (Badali, 2010)
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Riwayat penyakit sekarang merupakan cerita tentang masalah yang saat ini
dihadapi (Wilms, 2005). Pada riwayat penyakit sekarang yang perlu ditanyakan
pada klien meliputi lokasi sakit, waktu terjadinya dan kronologinya, sifat sakit
(kualitas), derajat sakit (kuantitas), faktor yang memperberat sakit, faktor yang
memperingan sakit, keluhan lain yang menyertai (Bahrudin, 2011: 15). Pada
spondilosis biasanya nyeri yang datang dan pergi, kekakuan punggung bawah
pada pagi hari setelah bangun tidur dan nyeri menurun setelah beristirahat atau
setelah melakukan aktivitas (Walker, 2011).
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat penyakit dahulu merupakan pencarian penyakit yang relevan
dengan keadaan sekarang, seperti penyakit kronik terdahulu yang sama seperti
17
penyakit sekarang, riwayat rawat inap, riwayat pengobatan, riwayat pembedahan.
Juga perlu ditanyakan kesehatan pada umumnya sebelum menderita penyakit
sekarang (Bahrudin, 2011: 15). Pada spondilosis riwayat dari postur yang salah,
imobilisasi berkepanjangan setelah cedera, trauma berat dan berulang (Kisner,
2007: 414).
4. Riwayat Keluarga
Pada riwayat keluarga perlu ditanyakan apakah ada penyakit yang menurun
dalam keluarga atau riwayat penyakit menular (Bahrudin, 2011: 15). Pada
Spondilosis lumbal perlu di tanyakan faktor genetik yang kemungkinan dapat
mempengaruhi pembentukan osteofit dan degenerasi diskus (Kimberley M, 2009).
5. Riwayat Sosial
Riwayat sosial yaitu masalah sosial yang berkaitan misalnya keluarga,
kawan – kawan, hobi, kebiasaan–kebiasaan pribadi, kehidupan spiritual, agama
(Bahrudin, 2011: 15). Kegiatan sehari-hari dan pekerjaan yang melibatkan
gerakan memutar, mengangkat, membungkuk, dan kesalahan postur yang terus
menerus, dan getaran seluruh tubuh (seperti mengemudi kendaraan) menjadi
faktor yang memungkinkan peningkatan keparahan spondilosis (Kimberley M,
2009).
2.3.2 Pemeriksaan Fisik
2.3.2.1 Tanda – Tanda Vital
Tanda – tanda vital adalah nadi, pernapasan, suhu, dan tekanan darah.
Semuanya harus diukur dalam setiap pemeriksaan yang lengkap dan dalam
banyak pertemuan singkat (Willms, 2003).
2.3.2.2 Inspeksi
18
1) Inspeksi Statis
Nampak dari sisi samping lengkungan (kurva) servikal, torakal, dan lumbal.
Dari belakang kolumna vertebra yang tegak dan kesejajaran kedua bahu,
krista iliaka, dan lipatan gluteus (Bickley, 2009: 512
2) Inspeksi Dinamis
Nampak saat berjalan pasien dengan nyeri punggung bawah memiliki pola
jalan gluteus maximus gait, trendelenburg gait, dan short leg gait (Petty,
2006: 285).
2.3.2.3 Palpasi
Pada palpasi yang dilakukan adalah untuk mencari adanya spasme otot,
skoliosis, nyeri tekan, dan deformitas yang lain (Tjokorda, 2009: 71). Pada
spondilosis klien biasanya merasakan nyeri tekan, rasa tebal, atau
kesemutan pada punggung bawah (Walker, 2011).
2.3.2.4 Pemeriksaan Gerak
1) Gerak Aktif
Pada pemeriksaan gerak aktif informasi yang perlu dicari adalah kualitas
gerakan, rentang gerakan (ROM), perilaku nyeri pada berbagai gerakan
(Petty, 2006: 290). Gerakan aktif dilakukan dengan pasien berdiri.
Pemeriksa mencari rentang gerak (ROM) dan kesediaan pasien untuk
melakukan gerakan. Saat pasien melakukan gerakan aktif, pemeriksa
mencari pembatasan gerak dan penyebabnya, seperti nyeri, kejang,
kekakuan. Pada pasien dengan nyeri punggung, umumnya gerakan terjadi
adalah kombinasi dengan pinggul disertai dengan fleksi lutut, dan kadang –
kadang dukungan dengan tangan (Magee, 2006: 484: 486).
19
2) Gerak Pasif
Gerak pasif untuk mengidentifikasi hypomobility segmental dan
hipermobilitas. Dapat dilakukan dengan pasien berbaring di sisi dengan
pinggul dan lutut tertekuk atau berdiri (Petty, 2006: 294). Pada tulang
belakang lumbal, gerakan pasif sangat sulit dilakukan karena berat badan.
Gerak pasif digunakan untuk memeriksa endfeel pada saat gerakan tulang
belakang (Magee, 2006: 492).
3) Gerak Isometrik
Pada gerak isometrik yang perlu dicari adalah mengamati kualitas kontraksi
otot untuk menahan posisi (hal ini dapat dilakukan dengan mata pasien
ditutup) (Petty, 2006: 295). Pada lumbal, gerakan isometrik dilakukan pada
posisi netral. Kontraksi harus dilawan sehingga tidak terjadi gerakan
(Magee, 2006: 492).
2.3.2.5 Pemeriksaan Fungsional dan Lingkungan Aktivitas
1. Oswestry Low Back pain Questionaire
Oswestry low back pain questionaire didesai untuk membantu fisioterapis
mendapatkan informasi tentang bagaimana nyeri punggung bawah yang
diderita pasien dapat berdampak pada kemampuan fungsional pasien sehari
– hari. Prosedur :
1. Pasien diberi 10 sesi, masing – masing berisi 6 pernyataan.
2. Pasien diminta untuk membaca setiap pernyataan yang ada dalam
10 sesi tersebut dan memilih / menandai pernyataan yang paling
sesuai dengan keadaannya.
3. Pasien hanya boleh memilih satu pernyataan di tiap sesi.
20
4. Setiap sesi memiliki nilai dari 0 hingga 5, tergantung pernyataan
yang dipilih pasien.
5. Pernyataan pertama dalam tiap sesi bernilai 0, yang kedua bernilai
1, dan seterusnya.
6. Semua sesi yang telah dijawab kemudian dinilai dan dijumlahkan,
kemudian dihitung dengan rumus : DS = JN : 50 x 100%
Keterangan :
JN : Jumlah Nilai
DS : Disability Score (Nilai ketidakmampuan)
Intepretasi Disability Score adalah sebagai berikut :
1. Minimal Disability (0-20%)
Dapat melakukan sebagian besar aktivitas keseharian,
beberapa pasien mengalami kesulitan duduk, hal ini penting jika
pekerjaannya adalah jenis pekerjaan dalam posisi tertentu terus –
menerus.
2. Moderate Disability (20-40%)
Merasakan nyeri lebih berat dan mengalami masalah dalam
duduk, mengangkat dan berdiri, perjalanan dan kegiatan sosial
dirasa lebih sulit dan mungkin meliburkan diri dari pekerjaannya,
perawatan diri, aktivitas seksual dan tidur tidak terlalu terganggu.
3. Severe Disability (40-60%)
Masalah utama adalah nyeri, perjalanan, perawatan diri,
aktivitas seksual dan tidur terganggu.
4. Crippled (60-80%)
21
Nyeri mengganggu segala aspek kehidupan pasien,
intervensi positif dibutuhkan.
5. 80-100%
Sangat parah. (Trisnowiyanto, 2012: 52-54)
2.3.2.6 Pemeriksaan Spesifik
1) Lingkup Gerak Sendi (LGS) Lumbal
Lingkup gerak sendi (LGS) adalah luas lingkup gerakan sendi yang mampu
dicapai / dilakukan oleh sendi. Pengukuran lingkup gerak sendi yang sering
digunakan adalah goniometri, tapi untuk sendi tertentu menggunakan pita ukur
(misalnya pada vertebra) (Trisnowiyanto, 2012: 34). Pita pengukur merupakan
instrumen yang paling murah untuk mengukur gerakan pada tulang belakang, dan
mungkin yang paling mudah untuk digunakan. Tes ini dilakukan dengan pasien
berdiri dan kaki dibuka selebar bahu, kemudian diberi tanda pada spina iliaka
posterior superior (SIPS) atau processus spinous S2, kemudian naik 10 cm
tepatnya pada L5. Tetapi menurut Macrae and Wright metode tersebut
dimodifikasi dengan memberi tanda yang ketiga yang ditempatkan 5 cm dibawah
SIPS dan 10 cm di atas SIPS. Kemudian klien diminta untuk membungkuk sejauh
mungkin sampai adanya keterbatasan dan diukur jarak antara tanda di atas dan di
bawah, kemudian hasilnya diselisihkan antara hasil akhir dan hasil awal saat
posisi netral. Selain menggunakan pita ukur, goniometer juga dapat untuk
mengukur tulang belakang, tetapi tidak dapat digunakan untuk gerakan rotasi.
(Reese, 2002: 169-170, 172). Pengukuran pada tulang belakang belakang meliputi
fleksi, ekstensi, lateral fleksi, dan rotasi. Berikut prosedur pengukurannya:
22
(1) Fleksi Lumbal
1. Persiapan alat :
Pita ukur dan goniometer
2. Persiapan klien :
Pita ukur : klien berdiri tegak dengan kaki terbuka selebar bahu.
Goniometer : klien berdiri tegak dengan kaki terbuka selebar bahu
dan tangan diletakkan menyilang di dada.
3. Pelaksanaan :
Pita ukur : instruksikan kepada klien untuk membungkuk sejauh
mungkin, sambil mempertahankan agar lutut tetap ekstensi.
Kemudian klien kembali ke posisi semula.
Goniometer : axis goniometer diletakkan pada garis midaxillaris
costae paaling akhir. Instruksikan pada klien untuk membungkuk
sejauh mungkin dengan tetap mempertahankan lutut ekstensi,
kemudian kembali seperti posis semula.
4. Dokumentasi :
Pita ukur : hasil akhir di selisih dengan hasil awal atau saat klien
posisi netral.
Goniometer : catat hasil ROM klien (Reese, 2002: 174, 178)
(2) Ekstensi lumbal
1. Persiapan alat :
Pita ukur dan goniometer.
2. Persiapan klien :
23
Pita ukur : berdiri dengan kaki terbuka selebar bahu dan kedua
tangan diletakkan di pinggul. Dapat juga dilakukan dengan posisi
tengkurap dan kedua tangan diletakkan menekuk di samping tubuh.
Goniometer : berdiri dengan kedua kaki terbuka selebar bahu dan
kedua tangan diletakkan menyilang di dada.
3. Pelaksanaan :
Pita ukur : instruksikan kepada pasien menengadah ke belakang
sejauh mungkin sambil mempertahankan lutut tetap ekstensi,
kemudian kembali ke posisi semula. Bila dengan posisi tengkurap,
instruksikan kepada klien untuk mengankat tubuhnya ke atas sampai
kedua lengan lurus.
Goniometer : axis diletakkan pada garis midaxillaris pada costae
paling akhir. Intruksikan pada klien untuk mendorong tubuhnya ke
belakang sambil tetap mempertahankan lutut ekstensi dan kedua
tangan tetap menyilang di depan dada, kemudian kembali ke posisi
semula.
4. Dokumentasi :
Pita ukur : hasil akhir di selisih hasil awal atau saat posisi netral.
Goniometer : catat ROM klien (Reese, 2002: 184-189).
(3) Lateral fleksi
1. Persiapan alat :
Pita ukur dan goniometer
2. Persiapan klien :
Berdiri dengan kaki terbuka selebar bahu.
24
3. Pelaksanaan :
Pita ukur : instruksikan pada klien untuk lateral fleksi sejauh
mungkin, ukur jarak dari jari tengah klien sampai ke lantai yang
jaraknya 10 cm dari tepi kaki. Kemudian klien kembali ke posisi
semula.
Goniometer : Axis diletakkan pada prossesus spinosus vertebra S1.
Instruksikan klien untuk gerak lateral fleksi sejauh mungkin sambil
mempertahankan agar lutut tetap ekstensi dan tulang punggung tidak
membungkuk ke depan atau ke belakang saat bergerak. Kemudian
klien kembali ke posisi semula.
4. Dokumentasi :
Pita ukur : hasilnya diselisish antara hasil akhir dan hasil awal atau
saat klien posisi netral.
Goniometer : Catat hasil ROM klien (194-197).
(4) Rotasi
1. Persiapan alat :
Pita ukur
2. Persiapan klien :
Duduk tegak dengan kedua tangan disilangkan di dada.
3. Pelaksanaan :
Instruksikan pada klien untuk memutar tubuhnya ke kanan atau kiri
sejauh mungkin sambil mempertahankan agar tidak terjadi gerak
lateral fleksi saat melakukan gerakan, kemudian klien kembali ke
posisi semula.
25
4. Dokumentasi :
Hasil akhir di selisih dengan hasil awal atau saat posisi netral
(Reese, 2002: 202).
Nilai mormal LGS lumbal
LGS Posisi PasienS : 35 – 0 – 35 BerdiriF : 30 – 0 - 30 BerdiriR : 45 – 0 – 45 Duduk
Trisnowiyanto, 2012: 38
2) Nyeri
1. Visual Analogues Scales (VAS)
VAS berupa sebuah garis lurus dengan panjang 10 cm / 100 mm.
Dalam pelaksanaan pengukuran nyeri, pasien diminta untuk memberi
tanda pada garis sesuai yang dirasakan pasien. Penentuan nilai VAS
dilakukan dengan mengukur jarak antara titik / ujung garis yang
menunjukkan tidak nyeri hingga ke titik yang ditunjukkan pasien. Nilai
range VAS adalah 0 s.d. 100.
0 100
Tidak Nyeri Nyeri Hebat
Pengukuran dengan VAS dapat dilakukan untuk menilai nyeri
diam, nyeri tekan, maupun nyeri gerak, pengukuran dilaksanakan sesuai
tujuan penilaian. Sebagai contoh untuk mengukur nyeri gerak, pasien
diminta mengisi VAS saat melakukan gerakan tertentu (Trisnowiyanto,
2012: 44).
1) Verbal Descriptive Scale (VDS)
26
VDS adalah cara pengukuran derajat nyeri dengan tujuh skala penilaian,
yaitu:
1. 1 = tidak nyeri
2. 2 = nyeri sangat ringan
3. 3 = nyeri ringan
4. 4 = nyeri tidak begitu berat
5. 5 = nyeri cukup berat
6. 6 = nyeri berat
7. 7 = nyeri tak tertahankan (Parjoto, 2006: 20).
2.3.2.7 Pemeriksaan Saraf
1) Tes Laseigue
Tes ini dilakukan dengan posisi telentang, dengan hip adduksi dan
endorotasi, lutut ekstensi. Tungkai diangkat secara pasif (35-75°)
(Trisnowiyanto, 2012: 76). Hasil dikatakan positif bila timbul rasa nyeri
sepanjang perjalanan saraf iskhiadikus dan kemungkinan penekanan akar
saraf. Sebaliknya bila tes ini negatif kemungkinan penekanan akar saraf
kecil (Tjokorda, 2009: 71-72).
2) Tes Bragard
Tes ini dilakukan dengan posisi telentang, dengan hip adduksi dan
endorotasi, lutut ekstensi. Tungkai diangkat secara pasif (25-65°) disertai
dorsi fleksi ankle. Hasil positif bila terdapat nyeri, nyeri pertama terasa di
pantat berarti terdapat penekanan saraf yang sifatnya central
(Trisnowiyanto, 2012: 76).
3) Tes Neri
27
Tes ini dilakukan dengan posisi telentang, dengan hip adduksi dan
endorotasi, lutut ekstensi. Tungkai diangkat secara pasif (25-65°) disertai
dorsi fleksi ankle dan mengangkat kepala (fleksi leher). Hasil positif bila
terdapat nyeri, nyeri pertama terasa di pantat berarti terdapat penekanan
saraf yang sifatnya central (Trisnowiyanto, 2012: 76).
4) Tes Patrick
Tes ini dilakukan dengan posisi telentang. Diberikan tekanan pada lutut
yang difleksikan. Hasil positif bila terdapat nyeri pada daerah panggul
(Trisnowiyanto, 2012: 78).
5) Tes Kontra Patrick
Tes ini dilakukan dengan posisi terlentang, fleksi dan endorotasi tungkai
yang sakit serta gerakan adduksi dan diberikan tekanan secara pasif pada
knee. Hasil positif bila nyeri di daerah garis sendi sacroiliac (Trisnowiyanto,
2012: 78).
2.3.2.8 Pemeriksaan Dermatom dan Miotom
1) Pemeriksaan Dermatom
Sistem sensorik mempunyai fungsi sebagai proteksi. Manusia tidak dapat
mempertahankan hidupnya jika tidak tahu adanya bahaya yang mengancam
atau menimpa dirinya. Adanya bahaya dapat diketahui dengan jalan melihat,
mendengar, mencium, dan merasakan rasa nyeri, rasa raba, rasa panas
dingin dan sebagainya. Semua fungsi yang kita sebutkan tadi adalah
merupakan fungsi sensorik.
Pemeriksaan sensoris mempunyai tujuan, yaitu menetapkan adanya
gangguan sensoris, mengetahui modalitasnya, menetapkan polanya,
28
menyimpulkan jenis dan lokasi lesi yang mendasari gangguan sensoris.
Berikut adalah prosedur Pemeriksaan, yang meliputi:
(1) Persiapan Alat
Jarum pentul
(2) Persiapan Klien
Klien harus dalam keadaan sadar, kooperatif dengan kecerdasan
yang cukup. Pemeriksaan dilakukan secara santai dan klien harus
memejamkan mata, dan dijelaskan respon apa yang diharapkan
dari klien.
(3) Pelaksanaan
Pemeriksa memberikan dua tusukan pada tempat yang berbeda
pada saat yang sama dengan mata tertutup. Berikan tusukan pada
daerah punggung, lengan atas, dan paha (70-75mm). Pemeriksaan
positif bila klien merasakan rasa yang berbeda – beda di setiap
lokasi yang di tusuk. Pemeriksaan dapat juga dilakukan dengan
sentuhan pada kedua sisi tubuh yang berpasangan (simetris), hasil
positif bila klien merasakan kehilangan untuk merasakan
rangsangan pada satu sisi tubuhnya. (Bahrudin, 2011; 181-183:
188-189).
2) Pemeriksaan Miotom
Akar Saraf Pemeriksaan OtotL1-L2 Fleksi Hip Psoas, iliakus, sartorius, grasilis,
pektineus, adduktor longus, adduktor brevis
L3 Ekstensi lutut Quadriceps, adduktor longus, magnus, dan brevis
L4 Dorsifleksi pergelangan kaki
Tibialis anterior, quadriceps, tensor fasia latae, adduktor magnus,
29
obturator eksternus, tibialis posteriorL5 Ekstensi kaki Ekstensor hallucis longus, ekstensor
digitorum longus, gluteus medius dan minimus, obturator internus, semimembranosus, semitendinosus, peroneus tertius, popliteus
S1 Plantar fleksi pergelangan kaki, eversi pergelangan kaki, ekstensi hip, fleksi lutut
Gastrocnemius, soleus, gluteus maksimus, obturator internus, piriformis, biceps femoris, semitendinosus, popliteus, peroneus longus dan brevis, ekstensor digitorum brevis
S2 Fleksi lutut Biceps femoris, piriformis, soleus, gastrocnemius, fleksor digitorum longus, fleksor hallucis longus, otot intrinsik kaki.
S3 Otot instrinsik kaki (kecuali abduktor hallucis), fleksor hallucis brevis, flexor digitorum brevis.
Table : ....
Pemeriksaan miotom adalah pemeriksaan kekuatan otot untuk mengetahui
adanya kelemahan saraf. Pada tes ini pemeriksa menerapkan tkontraksi
melawan tahanan. Kontraksi tersebut harus dipertahankan selama lima detik
untuk menunjukkan adanya kelemahan. Jika memungkinkan, pemeriksa
harus menguji pada bagian yang berbeda secara bersamaan untuk
memberikan perbandingan. Perbandingan bilateral yang simultan tidak
mungkin terjadi untuk gerakan pada pinggul dan sendi lutut karena berat
badan dan stres pada punggung bawah sehingga pemeriksaan hanya
dilakukan pada satu bagian saja. Berikut prosedur pemeriksaan :
1. Miotom S1
(1) Perisapan klien
30
Klien berbaring tengkurap. Tes ini dilakukan hanya jika pasien
tidak mampu untuk melakukan gerakan plantar fleksi dan eversi
pergelangan kaki.
(2) Pelaksanaan
Klien diminta untuk fleksi lutut 90°, kemudian pemeriksa
mengangkat sedikit paha klien dari meja periksa. Tangan
pemeriksa yang satunya diletakkan pada bagian posterior paha
klien, sementara tangan tyang lain memastikan bahwa paha pasien
tidak menempel dimeja periksa. minta pasien untuk
menggerakkan pahanya ke arah bawah dengan melawan tahanan
dari pemeriksa. Pertahankan selama 5 detik.
2. Miotom L2
1) Persiapan klien
Klien berbaring terlentang pada meja periksa
2) Pelaksanaan
Tes ini dilakukan dengan meregangkan pinggul klien 30°-40°.
Kemudian pemeriksamemberikan tahanan ke ekstensi proksimal
lutut sambil memastikan bahwa tumit kaki klien tidak menempel
pada meja. Gerakan ditahan selama 5 detik. Lakukan pada sisi
yang lain untuk melihat perbandingan. Untuk mencegah tekanan
berlebihan pada tulang belakang lumbal, pemeriksa harus
memastikan bahwa klien tidak meningkatkan lordosis lumbal saat
melakukan tes.
3. Miotom L3
31
1) Persiapan klien
Klien berbaring terlentang pada meja periksa.
2) Pelaksanaan
Pemerika memfleksikan lutut klien 25-35° dan kemudian
memberikan tahanan di midshaft tibia dan pastikan tumit tidak
menyentuh meja perika. Gerakan ditahan selama 5 detik. Sisi
yang lain juga dilakukan pemeriksaan untuk melihat
perbandingan.
4. Miotom L4
1) Persiapan klien
Klien berbaring terlentang pada meja periksa.
2) Pelaksanaan
Klien diminta untuk memposisikan kakinya 90° (posisi
plantigrade). Pemeriksa memberikan tahanan pada dorsum kaki.
Gerakan ditahan selama 5 detik. Lakukan pada sisi yang lain
untuk melihat perbandingan.
5. Miotom L5
1) Persiapan klien
Klien duduk dimeja periksa.
2) Pelaksanaan
Klien diminta untuk memegang kedua jempol kaki dalam posisi
netral. Tahan selama 5 detik.
6. Miotom S1-S2
1) Persiapan klien
32
Klien berbaring tengkurap dengan fleksi lutut 90° .
2) Pelaksanaan
Pemeriksa memberikan tahanan tepat di atas pergelangan kaki.
Tahan selama 5 detik. Ada kemungkinan untuk menguji fleksi
lutut pada saat yang sama, tapi sebaiknya tidak dilakukan karena
dapat memberikan tekanan yang besar pada tulang belakang
(Magee, 2006: 501-502, 504).
2.3.3 Diagnosis Fisioterapi
1) Impairment
Nyeri, spasme otot paravertebra, keterbatasan gerak, dan penurunan
kekuatan otot (Badali, 2010)
2) Functional Limitation
Keterbatsan fungsinya, yaitu gangguan saat bangun dari keadaan duduk,
saat membungkuk, saat duduk atau berdiri lama, dan berjalan (Badali, 2010).
3) Disability
Mengakibatkan penderita tidak dapat melakukan tugas sehari – hari dengan
baik (Badali, 2010).
2.3.4 Tujuan Fisioterapi
Tujuan fisioterapi dirumuskan sesuai dengan permasalahan pada klien.
Tujuan tersebut antara lain adalah untuk mengurangi nyeri, meningkatkan
kekuatan otot-otot vertebra lumbal, rileksasi otot, dan melancarkan sirkulasi darah
(Badali, 2010).
2.3.5 Intervensi Fisioterapi
2.4.5.1 Terapi Modalitas
33
1) TENS
Tens merupakan suatu cara penggunaan energi listrik untuk merangsang
sistem saraf melalui permukaan kulit (Parjoto, 2006: 28). Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa stimulasi listrik dapat memodulasi nyeri. Melzack dan
Wall pertama kali mengajukan bahwa rangsangan electrical dapat
mengurangi sensasi rasa nyeri dengan mengganggu transmisi pada tingkat
sumsum tulang belakang. Pendekatan untuk kontrol nyeri ini dikenal
sebagai teori gerbang kontrol. Rangsangan berbahaya yang dikirimkan dari
sepanjang selubung saraf A-delta dan serabut saraf C. Berdasarkan aktivasi
gerbang kontrol, atau nonnociceptor saraf A-beta dapat menghambat
transmisi atau rangsangan berbahaya dari sumsum tulang belakang ke otak.
Stimulasi listrik, bila diterapkan dengan parameter yang tepat, selektif dapat
mengaktifkan serabut saraf A-beta. Karena persepsi nyeri ditentukan oleh
aktivitas dari A-delta dan C dibandingkan dengan A-beta, ketika serabut
saraf A-beta diproduksi oleh stimulasi listrik maka persepsi nyeri berkurang.
Saraf A-beta dapat diaktifkan oleh kedua pulsa, yaitu arus listrik durasi
pendek dan panjang. Namun pulsa durasi pendek yang berlangsung antara
50 dan 80 mikrodetik dan dengan amplitudo saat ini menghasilkan sensasi
yang nyaman tanpa mengaktifkan saraf motorik. Frekuensi pulsa dari 100 –
150 pps umumnya merupakan yang paling nyaman untuk aplikasi ini.
Aplikasi stimulasi listrik dikenal sebagai konvensional TENS atau
Transcutaneus Elctrical Nerve Stimulation.
Efek utama dari TENS adalah modulasi nyeri dan harus diterapkan ketika
pasien merasakan nyeri. Konvensional TENS juga dapat diterapkan pada
34
siklus nyeri-spasme-nyeri sehingga mengakibatkan pengurangan nyeri
setelah stimulasi ini berhenti. Rasa nyeri berkurang oleh stimulasi listrik,
dan ini secara tidak langsung mengurang kejang otot, mengurangi nyeri
lebih lanjut kecuali kejang otot yang berulang.
Stimulasi listrik dapat mengontrol nyeri dengan merangsang produksi dan
pelepasan endorfin dan enkepalin. Zat ini dikenal sebagai opioid endogen,
yang bertindak dengan cara yang mirip dengan morfin yang dikenal untuk
memodulasi persepsi nyeri. Opioid endogen memodulasi nyeri dengan cara
mengikat reseptor opiat di otak dan daerah lain dan bertindak sebagai
neurotransmiter dan neuromodulator (Cameroon, 2009: 216 – 218). Berikut
prosedur penggunaan TENS :
1. Persiapan alat
Unit TENS, gel, tissue
2. Persiapan klien
Klien diposisikan nyaman dan sopan, kemudian anggota badan yang
akan diterapi dibebaskan dari pakaian dan dibersihkan terlebih dahulu.
Terapi memberikan penjelasan tentang tujuan pemberian modalitas
TENS.
3. Pelaksanaan
1. Posisi elektrode :
Elektrode ditempatkan di samping daerah nyeri (kanan dan kiri
tulang punggung). Selain itu pemasangan elektrode juga bisa
dilakukan dengan meletakkan pada satu sisi tulang punggung yang
sakit, elektrode negatif dipasang di daerah nyeri (Prajoto, 2006: 55)
35
2. Ukuran elektrode
Disesuaikan dengan luasnya daerah yang akan diberikan terapi
3. Frekuensi dan intensitas
Frekuensi tinggi dan intensitas rendah pola continue. Dengan durasi
100 – 200 mikrodetik dan frekuensi 10 – 200 pps.
4. Lama terapi
Dalam 24 jam bila memungkinkan dan masih terdapat nyeri
(Cameron, 2009: 217).
5. Indikasi
Trauma muskuloskeletal akut maupun kronik, nyeri kepala, nyeri
pasca operasi, nyeri pasca melahirkan, nyeri miofasial dan visceral,
nyeri psikogenik, dan sindrom kompresi neurovaskuler (Parjoto,
2006: 33)
6. Kontraindikasi
Pemakaian alat pacu jantung atau aritmia yang tidak stabil,
penempatan elektroda di atas sinus karotis, daerah dimana terdapat
vena atau arteri trombosis, dan kehamilan (Cameron, 2009: 226).
2) Interferential Current
3) Ultrasound
4) Short Wave Diatermy
2.4.5.2 Exercise Therapy
1) Flexion Exercise
Dilakukan dengan tujuan untuk mengurangi nyeri, menguatkan otot – otot
punggung bawah, mengulur otot punggung bawah, menurunkan penekanan pada
36
struktur tulang belakang, menstabilkan masalah pada punggung bawah,
memperbaiki postur, dan memperbaiki mobilitas (Borenstein, 2011).
(1) Fase Relaksasi Akut
1. Posisi istirahat, posisi awal tidur terlentang dengan tungkai di fleksikan
dengan bantal berada di bawah lutut. Posisi dipertahankan selama 15
menit.
2. Posisi istirahat, sama seperti gerakan pertama tetapi tanpa menggunakan
bantal d bawah lutut. Posisi dipertahankan selama 15 menit.
3. Posisi tidur terlentang dengan kedua tungkai di fleksikan kemudian
rotasikan punggung ke arah berlawanan.
(2) Fase Stretching
1. Posisi tidur terlentang dengan kedua tungkai di fleksikan dan dibawa ke
arah dada. Pertahankan posisi dalam 3 hitungan kemudian diikuti relaks
6 kali hitungan.
2. Posisi tidur terlentang dengan salah satu tungkai difleksikan dan dibawa
ke arah dada. Posisi dipertahankan 3 hitungan dan diikuti dengan relaks
6 kali hitungan. Lakukan pada tungkai lainnya dengan pengulangan 10
kali.
(3) Fase Stretching dan Strengthening
1. Hamstring stretch. Posis tidur terlentang dengan salah satu tungkai di
fleksikan dan dibawa ke arah dada. Pertahankan posisi selama 3
hitungan dan diikuti rileksasi selama 6 hitungan.
37
2. Hamstring stretch. Posisi sama seperti yang pertama tetapi tungkai lurus
saat di angkat. Dipertahankan 3 hitungan dengan diikuti rileksasi selama
6 hitungan
3. Partial sit – up. Posisi terlentang dengan kedua tungkai di fleksikan
kedua tangan diletakkan menyilang pada dada dan kepala diangkat
sampai dagu menyentuh dada. Posisi dipertahankan dalam 3 hitungan
dan diikuti rileksasi selama 6 hitungan.
4. Pelvic tilt. Posisi bediri tegak bersandar pada dinding. Kemudian
perlahan tubuh diturunkan sampai lutut menekuk, kemudian kembali
tegak kembali. (Borenstein, 2011).