ankylosing spondilosis

49
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ankylosing Spondylosis adalah suatu gangguan degeneratif yang dapat menyebabkan hilangnya struktur dan fungsi normal tulang belakang. Proses cervical, thoracal, dan atau lumbal dari tulang belakang mempengaruhi diskus intervertebralis dan facet join. 1 Spondylosis merupakan penyakit degeneratif pada corpus vertebra atau diskus intervertebralis. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita. Faktor utama yang bertanggung jawab terhadap perkembangan spondylosis adalah usia, obesitas, duduk dalam waktu yang lama dan kebiasaan postur yang jelek. Pada faktor usia menunjukkan bahwa kondisi ini banyak dialami oleh orang yang berusia 40 tahun keatas. Faktor obesitas juga berperan dalam menyebabkan perkembangan spondylosis lumbar (Jupiter Infomedia, 2009). Spondylosis merupakan kelompok kondisi osteoarthritis yang menyebabkan perubahan degeneratif pada intervertebral joint dan apophyseal joint (facet 1

Upload: prince-singgih-saputra

Post on 08-Aug-2015

78 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

blahhblahhblahh

TRANSCRIPT

Page 1: ankylosing spondilosis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ankylosing Spondylosis adalah suatu gangguan degeneratif yang dapat

menyebabkan hilangnya struktur dan fungsi normal tulang belakang. Proses

cervical, thoracal, dan atau lumbal dari tulang belakang mempengaruhi diskus

intervertebralis dan facet join.1

Spondylosis merupakan penyakit degeneratif pada corpus vertebra atau

diskus intervertebralis. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita. Faktor

utama yang bertanggung jawab terhadap perkembangan spondylosis adalah usia,

obesitas, duduk dalam waktu yang lama dan kebiasaan postur yang jelek. Pada

faktor usia menunjukkan bahwa kondisi ini banyak dialami oleh orang yang

berusia 40 tahun keatas. Faktor obesitas juga berperan dalam menyebabkan

perkembangan spondylosis lumbar (Jupiter Infomedia, 2009).

Spondylosis merupakan kelompok kondisi osteoarthritis yang

menyebabkan perubahan degeneratif pada intervertebral joint dan apophyseal

joint (facet joint). Kondisi ini terjadi pada usia 30 – 45 tahun namun paling

banyak terjadi pada usia 45 tahun dan lebih banyak terjadi pada wanita daripada

laki-laki. Sedangkan faktor resiko terjadinya spondylosis adalah faktor kebiasaan

postur yang jelek, stress mekanikal dalam aktivitas pekerjaan, dan tipe tubuh.

Perubahan degeneratif dapat bersifat asimptomatik (tanpa gejala) dan simptomatik

(muncul gejala/keluhan). Gejala yang sering muncul adalah nyeri pinggang,

spasme otot, dan keterbatasan gerak kesegala arah (Ann Thomson, 1991).

1

Page 2: ankylosing spondilosis

Pasien ankylosing spondylosis cenderung memiliki tubuh condong ke

depan, dan berpostur menekuk ke depan karena gravitasi. Pengobatan atau

perawatan pada spondilosis biasanya konservatif, yang paling sering digunakan

adalah obat anti inflamasi (NSAIDs), modalitas fisik, dan modifikasi gaya hidup.

Untuk tindakan pembedahan kadang- kadang dilakukan. Tindakan pembedahan

dianjurkan untuk radikulopaty servikal pasien dengan klinis yang berat, gejala

progresif, ataukegagalan dengan terapi konservatif. Tulang belakang bisa

dikoreksi melalui prosedur pembedahan kompleks yang berisiko cedera

neurologis3.

2

Page 3: ankylosing spondilosis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Biomekanikal Vertebrae

Columna vertebralis merupakan poros tulang rangka tubuh yang

memungkinkan untuk bergerak. Terdapat 33 columna vertebralis, meliputi 7

columna vertebra cervical, 12 columna vertebra thoracal, 5 columna vertebra

lumbal, 5 columna vertebra sacral dan 4 columna vertebra coccygeal. Vertebra

sacral dan cocygeal menyatu menjadi sacrum-coccyx pada umur 20 sampai 25

tahun. Columna vertebrales juga membentuk saluran untuk spinal cord. Spinal

cord merupakan struktur yang Sangat sensitif dan penting karena menghubungkan

otak dan sistem saraf perifer.3

Canalis spinalis dibentuk di bagian anterior oleh discus intervertebralis

atau corpus vertebra, di lateral oleh pediculus, di posterolateral oleh facet joint

dan di posterior oleh lamina atau ligament kuning. Canalis spinalis mempunyai

dua bagian yang terbuka di lateral di tiap segmen, yaitu foramina intervertebralis.2

Recessus lateralis adalah bagian lateral dari canalis spinalis. Dimulai di

pinggir processus articularis superior dari vertebra inferior, yang merupakan

bagian dari facet joint. Di bagian recessus inilah yang merupakan bagian

tersempit. Setelah melengkung secara lateral mengelilingi pediculus, lalu berakhir

di caudal di bagian terbuka yang lebih lebar dari canalis spinalis di lateral, yaitu

foramen intervertebralis. Dinding anterior dari recessus lateralis dibatasi oleh

discus intervertebralis di bagian superior, dan corpus verterbralis di bagian

inferior. 2

3

Page 4: ankylosing spondilosis

Dinding lateral dibentuk oleh pediculus vertebralis. Dinding dorsal

dibatasi oleh processus articularis superior dari vertebra bagian bawah, sampai ke

bagian kecil dari lamina dan juga oleh ligamen kuning (lamina). Di bagian sempit

recessus lateralis, dinding dorsalnya hanya dibentuk oleh hanya processus

lateralis, dan perubahan degeneratif di daerah inilah mengakibatkan kebanyakan

penekanan akar saraf pada stenosis spinalis lumbalis. 2

Akar saraf yang berhubungan dengan tiap segmen dipisahkan dari kantong

dura setinggi ruang intervertebra lalu melintasi recessus lateralis dan keluar dari

canalis spinalis satu tingkat dibawahnya melalui foramina intervertebralis. Di tiap-

tiap titik ini dapat terjadi penekanan. 2

Gambar 1. Columna Vertebralis 4

4

Page 5: ankylosing spondilosis

Gambar 2. Struktur Columna Vertebralis Lumbal 3

Segmen gerak diperkenalkan oleh Tn. Junghans (1956). Segmen gerak

terdapat pada setiap level vertebra dengan three joint yang berperan penting

sebagai elemen fungsional tunggal. Three joint dibentuk oleh satu sendi bagian

anterior (diskus intervertebralis yang membentuk symphisis joint), dan 2 sendi

bagian posterior (apophyseal/facet joint). Sedangkan segmen transitional adalah

segmen gerak yang terbentuk dari level regio vertebral lain. Pada regio lumbal

terdapat 2 segmen transitional yaitu segmen gerak Th12-L1 (thoracolumbal

junction) dan segmen gerak L5-S1 (lumbosacral joint). Dibawah ini akan

dijelaskan tentang three joint kompleks.

2.1.1 Diskus Intervertebralis

Diantara dua corpus vertebra dihubungkan oleh diskus intervertebralis,

merupakan fibrocartilago compleks yang membentuk articulasio antara corpus

vertebra, dikenal sebagai symphisis joint. Diskus intervertebralis pada orang

5

Page 6: ankylosing spondilosis

dewasa memberikan kontribusi sekitar ¼ dari tinggi spine. Diskus intervertebralis

memberikan penyatuan yang sangat kuat, derajat fiksasi intervertebralis yang

penting untuk aksi yang efektif dan proteksi alignmen dari canal neural. Diskus

juga dapat memungkinkan gerak yang luas pada vertebra. Setiap diskus terdiri

atas 2 komponen yaitu :

1) Nukleus pulposus ; merupakan substansia gelatinosa yang berbentuk

jelly transparan, mengandung 90% air, dan sisanya adalah collagen

dan proteoglycans yang merupakan unsur-unsur khusus yang bersifat

mengikat atau menarik air. Nukleus pulposus merupakan hidrophilic

yang sangat kuat & secara kimiawi di susun oleh matriks

mucopolysaccharida yang mengandung ikatan protein, chondroitin

sulfat, hyaluronic acid & keratin sulfat. Nukleus pulposus tidak

mempunyai pembuluh darah dan saraf. Nukleus pulposus mempunyai

kandungan cairan yang sangat tinggi maka dia dapat menahan beban

kompresi serta berfungsi untuk mentransmisikan beberapa gaya ke

annulus & sebagai shock absorber.

2) Annulus fibrosus ; tersusun oleh sekitar 90 serabut konsentrik jaringan

collagen yang nampak menyilang satu sama lainnya secara oblique &

menjadi lebih oblique kearah sentral. Karena serabutnya saling

menyilang secara vertikal sekitar 30o satu sama lainnya maka struktur

ini lebih sensitif pada strain rotasi daripada beban kompresi, tension,

dan shear. Serabut-serabutnya sangat penting dalam fungsi mekanikal

dari diskus intervertebralis, memperlihatkan suatu perubahan

organisasi dan orientasi saat pembebanan pada diskus dan saat

6

Page 7: ankylosing spondilosis

degenerasi diskus. Susunan serabutnya yang kuat melindungi nukleus

di dalamnya & mencegah terjadinya prolapsus nukleus. Secara

mekanis, annulus fibrosus berperan sebagai coiled spring (gulungan

pegas) terhadap beban tension dengan mempertahankan corpus

vertebra secara bersamaan melawan tahanan dari nukleus pulposus

yang bekerja seperti bola.

Diskus intervetebralis akan mengalami pembebanan pada setiap perubahan

postur tubuh. Tekanan yang timbul pada pembebanan diskus intervertebralis

disebut tekanan intradiskal. Menurut Nachemson (1964), tekanan intradiskal

berhubungan erat dengan perubahan postur tubuh. Nachemson meneliti tekanan

intradiskal pada lumbal yaitu pada L3-L4 karena L3-L4 menerima beban

intradiskal yang terbesar pada regio lumbal. Dari penelitian Nachemson

menunjukan bahwa tekanan intradiskal saat berbaring antara 15 – 25 kp dan tidur

miring menjadi 2 x lebih besar dari berbaring. Pada saat berdiri tekanan

intradiskal sekitar 100 kp dan tekanan tersebut menjadi lebih besar saat duduk

tegak yaitu 150 kp. Peningkatan tekanan terjadi saat berdiri membungkuk dari 100

kp menjadi 140 kp, begitu pula saat duduk membungkuk tekanan intradiskal

meningkat menjadi 160 kp. Peningkatan tekanan dapat mencapai 200 kp lebih jika

mengangkat barang dalam posisi berdiri membungkuk dan duduk membungkuk.

2.1.2 Facet Joint

Sendi facet dibentuk oleh processus articularis superior dari vertebra

bawah dengan processus articularis inferior dari vertebra atas. Sendi facet

termasuk dalam non-axial diarthrodial joint. Setiap sendi facet mempunyai

cavitas articular dan terbungkus oleh sebuah kapsul. Gerakan yang terjadi pada

7

Page 8: ankylosing spondilosis

sendi facet adalah gliding yang cukup kecil. Besarnya gerakan pada setiap

vertebra sangat ditentukan oleh arah permukaan facet articular.

Sendi facet dan diskus memberikan sekitar 80% kemampuan spine untuk

menahan gaya rotasi torsion dan shear, dimana ½-nya diberikan oleh sendi facet.

Sendi facet juga menopang sekitar 30% beban kompresi pada spine, terutama

pada saat spine hiperekstensi. Gaya kontak yang paling besar terjadi pada sendi

facet L5-S1.

2.1.3 Ligamen

Ligamen-ligamen yang memperkuat segmen gerak adalah :

a. Ligamen longitudinal anterior

Ligamen longitudinal anterior merupakan ikatan padat yang panjang dari

basis occiput ke sacrum pada bagian anterior vertebra. Dalam perjalanannya ke

sacrum, ligamen ini masuk ke dalam bagian anterior diskus intervertebralis dan

melekat pada antero-superior corpus vertebra. Ligamen longitudinal anterior

merupakan ligamen yang tebal dan kuat, dan berperan sebagai stabilisator pasif

saat gerakan ektensi lumbal.

b. Ligamen longitudinal posterior

Ligamen longitudinal posterior memanjang dari basis occiput ke canal

sacral pada bagian posterior vertebra, tetapi ligamen ini tidak melekat pada

permukaan posterior vertebra. Pada regio lumbal, ligamen ini mulai menyempit

dan semakin sempit pada lumbosacral, sehingga ligamen ini lebih lemah daripada

ligamen longitudinal anterior. Dengan demikian diskus intervertebralis lumbal

pada bagian posterolateral tidak terlindungi oleh ligamen longitudinal posterior.

Ligamen ini sangat sensitif karena banyak mengandung serabut saraf afferent

8

Page 9: ankylosing spondilosis

nyeri (A delta dan tipe C) dan memiliki sirkulasi darah yang banyak. Ligamen ini

berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal.

c. Ligamen flavum

Ligamen ini sangat elastis dan melekat pada arcus vertebra tepatnya pada

setiap lamina vertebra. Ke arah anterior dan lateral, ligamen ini menutup capsular

dan ligamen anteriomedial sendi facet. Ligamen ini mengandung lebih banyak

serabut elastin daripada serabut kolagen dibandingkan dengan ligamen-ligamen

lainnya pada vertebra. Ligamen ini mengontrol gerakan fleksi lumbal.

d. Ligamen interspinosus

Ligamen ini sangat kuat yang melekat pada setiap processus spinosus dan

memanjang kearah posterior dengan ligamen supraspinosus. Ligamen ini berperan

sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal.

e. Ligamen supraspinosus

Ligamen ini melekat pada  setiap ujung processus  spinosus. Pada regio

lumbal, ligamen ini kurang jelas karena menyatu dengan serabut insersio otot

lumbodorsal. Ligamen ini berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi

lumbal.

f. Ligamen intertransversalis

Ligamen ini melekat pada tuberculum asesori dari processus transversus

dan berkembang baik pada regio lumbal. Ligamen ini mengontrol gerakan lateral

fleksi kearah kontralateral.

2.1.4 Otot

Otot-otot yang memperkuat segmen gerak lumbal adalah:

9

Page 10: ankylosing spondilosis

a. Erector Spine, merupakan group otot yang luas dan terletak dalam pada facia

lumbodorsal, serta muncul dari suatu aponeurosis pada sacrum, crista illiaca

dan procesus spinosus thoraco lumbal. Group otot ini terbagi atas beberapa

otot yaitu:

1) M. Transverso spinalis

2) M. Longissimus

3) M. Iliocostalis

4) M. Spinalis

5) Paravertebral muscle (deep muscle) seperti m. intraspinalis dan m.

intrasversaris

Group otot ini merupakan penggerak utama pada gerakan extensi lumbal

dan sebagai stabilisator vertebra lumbal saat tubuh dalam keadaan tegak.

b. Abdominal, merupakan group otot extrinsik yang membentuk dan

memperkuat dinding abdominal. Pada group otot ini ada 4 otot abdominal

yang penting dalam fungsi spine, yaitu m. rectus abdominis, m. obliqus

external, m. obliqus internal dan m. transversalis abdominis. Group otot ini

merupakan fleksor trunk yang sangat kuat dan berperan dalam mendatarkan

kurva lumbal. Di samping itu m.obliqus internal dan external berperan pada

rotasi trunk. Didalam memperkuat dinding abdominal, m. abdominal bekerja

sebagai direct brace, m. obliqus internal bekerja sebagai oblique brace kearah

inferior dan posterior sedangkan m. obliqus external bekerja sebagai brace

kearah anterior.

c. Deep lateral muscle, merupakan group otot intrinstik pada bagian lateral

lumbal yang terdiri dari :

10

Page 11: ankylosing spondilosis

1) M. Quadratus Lumborum

2) M. Psoas

Group otot  ini berperan pada gerakan lateral fleksi dan rotasi lumbal.

Segmen gerak sangat berperan pada setiap gerakan vertebra lumbal. Pada

saat fleksi lumbal, nukleus pulposus akan bergerak kearah posterior sehingga

mengulur serabut annulus fibrosus bagian posterior. Pada saat yang sama,

processus articularis inferior dari vertebra bagian atas akan bergeser kearah

superior dan cenderung bergerak menjauhi processus articularis superior dari

vertebra bagian bawah sehingga kapsular-ligamenter sendi facet akan mengalami

peregangan secara maksimal serta ligamen pada arcus vertebra (ligamen flavum),

ligamen interspinosus, ligamen supraspinosus dan ligamen longitudinal posterior.

Pada saat ekstensi lumbal, nukleus pulposus akan mendorong serabut

annulus fibrosus bagian anterior sehingga terjadi penguluran dan ligamen

longitudinal anterior juga mengalami penguluran sementara ligamen longitudinal

posterior relaks. Pada saat yang sama, processus articularis dari vertebra bagian

bawah dan atas menjadi saling terkunci, dan processus spinosus dapat saling

bersentuhan satu sama lain.

Pada saat lateral fleksi lumbal, corpus vertebra bagian atas akan bergerak

kearah ipsilateral sementara diskus sisi kontralateral mengalami ketegangan

karena nukleus bergeser kearah kontralateral. Ligamen intertransversal sisi

kontralateral mengalami peregangan sementara sisi ipsilateral relaks. Pada saat

yang sama, processus articular relatif bergeser satu sama lain sehingga processus

articularis inferior sisi ipsilateral dari vertebra atas akan bergerak naik sementara

sisi kontralateral akan bergerak turun.

11

Page 12: ankylosing spondilosis

Pada saat rotasi lumbal, vertebra bagian atas berotasi terhadap vertebra

bagian bawah, tetapi gerakan rotasi ini hanya terjadi disekitar pusat rotasi antara

processus spinosus dengan processus articularis. Diskus intervertebralis tidak

berperan dalam gerakan axial rotasi, sehingga gerakan rotasi sangat dibatasi oleh

orientasi sendi facet vertebra lumbal. Menurut Gregersen dan D.B. Lucas, axial

rotasi pada vertebra lumbal mempunyai total ROM secara bilateral sekitar 10o dan

ROM segmental sekitar 2o dan segmental unilateral sekitar 1o.

2.2 Definisi

Ankylosing Spondylosis merupakan kondisi dimana terjadi perubahan

degeneratif pada sendi intervertebralis antara corpus dan diskus. Spondylosis

merupakan kelompok osteoarthritis yang juga dapat menghasilkan perubahan

degeneratif pada sendi-sendi sinovial sehingga dapat terjadi pada sendi-sendi

apophyseal tulang belakang. Secara klinis, kedua perubahan degeneratif tersebut

seringkali terjadi secara bersamaan (Ann Thomson et al, 1991).

Spondylosis merupakan gangguan degeneratif yang terjadi pada corpus

dan diskus intervertebralis, yang ditandai dengan pertumbuhan osteofit pada

corpus vertebra tepatnya pada tepi inferior dan superior corpus. Osteofit pada

lumbal dalam waktu yang lama dapat menyebabkan nyeri pinggang karena ukuran

osteofit yang semakin tajam (Bruce M. Rothschild, 2009).

Menurut Statement of Principles Concerning (2005), spondylosis

didefinisikan sebagai perubahan degeneratif yang menyerang vertebra atau diskus

intervertebralis, sehingga menyebabkan nyeri lokal dan kekakuan, atau dapat

menimbulkan gejala-gejala spinal cord lumbar, cauda equina atau kompresi akar

saraf lumbosacral.

12

Page 13: ankylosing spondilosis

2.3 Etiologi

Spondylosis muncul karena adanya fenomena proses penuaan atau

perubahan degeneratif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi ini tidak

berkaitan dengan gaya hidup, tinggi-berat badan, massa tubuh, aktivitas fisik,

merokok dan konsumsi alkohol (Bruce M. Rothschild, 2009).

Spondylosis banyak pada usia 30 – 45 tahun dan paling banyak pada usia

45 tahun. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita daripada laki-laki.

Faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan spondylosis lumbal adalah (Ann

Thomson et al, 1991) :

a. Kebiasaan postur yang jelek

b. Stress mekanikal akibat pekerjaan seperti aktivitas pekerjaan yang

melibatkan gerakan mengangkat, twisting dan

membawa/memindahkan barang.

c. Tipe tubuh

Ada beberapa faktor yang memudahkan terjadinya progresi degenerasi

pada vertebra lumbal yaitu (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009) :

a. Faktor usia

Beberapa penelitian pada osteoarthritis telah menjelaskan bahwa

proses penuaan merupakan faktor resiko yang sangat kuat untuk

degenerasi tulang khususnya pada tulang vertebra. Suatu penelitian

otopsi menunjukkan bahwa spondylitis deformans atau spondylosis

meningkat secara linear sekitar 0% - 72% antara usia 39 – 70 tahun.

Begitu pula, degenerasi diskus terjadi sekitar 16% pada usia 20 tahun

dan sekitar 98% pada usia 70 tahun.

13

Page 14: ankylosing spondilosis

b. Stress akibat aktivitas dan pekerjaan

Degenerasi diskus juga berkaitan dengan aktivitas-aktivitas

tertentu. Penelitian retrospektif menunjukkan bahwa insiden trauma

pada lumbar, indeks massa tubuh, beban pada lumbal setiap hari

(twisting, mengangkat, membungkuk, postur jelek yang terus

menerus), dan vibrasi seluruh tubuh (seperti berkendaraan), semuanya

merupakan faktor yang dapat meningkatkan kemungkinan spondylosis

dan keparahan spondylosis.

c. Peran herediter

Faktor genetik mungkin mempengaruhi formasi osteofit dan

degenerasi diskus. Penelitian Spector and MacGregor menjelaskan

bahwa 50% variabilitas yang ditemukan pada osteoarthritis berkaitan

dengan faktor herediter. Kedua penelitian tersebut telah mengevaluasi

progresi dari perubahan degeneratif yang menunjukkan bahwa sekitar

½ (47 – 66%) spondylosis berkaitan dengan faktor genetik dan

lingkungan, sedangkan hanya 2 – 10% berkaitan dengan beban fisik

dan resistance training.

d. Adaptasi fungsional

Penelitian Humzah and Soames menjelaskan bahwa perubahan

degeneratif pada diskus berkaitan dengan beban mekanikal dan

kinematik vertebra. Osteofit mungkin terbentuk dalam proses

degenerasi dan kerusakan cartilaginous mungkin terjadi tanpa

pertumbuhan osteofit. Osteofit dapat terbentuk akibat adanya adaptasi

14

Page 15: ankylosing spondilosis

fungsional terhadap instabilitas atau perubahan tuntutan pada vertebra

lumbar.

2.4 Patofisiologi

Salah satu aspek yang penting dari proses penuaan adalah hilangnya

kekuatan tulang. Perubahan ini menyebabkan modifikasi kapasitas penerimaan

beban (load-bearing) pada vertebra. Setelah usia 40 tahun, kapasitas penerimaan

beban pada tulang cancellous/trabecular berubah secara dramatis. Sebelum usia 40

tahun, sekitar 55% kapasitas penerimaan beban terjadi pada tulang cancellous/

trabecular. Setelah usia 40 tahun penurunan terjadi sekitar 35%. Kekuatan tulang

menurun dengan lebih cepat dibandingkan kuantitas tulang. Hal ini menurunkan

kekuatan pada end-plates yang melebar jauh dari diskus, sehingga terjadi fraktur

pada tepi corpus vertebra dan fraktur end-plate umumnya terjadi pada vertebra

yang osteoporosis (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler, 2006).

Cartilaginous end-plate dari corpus vertebra merupakan titik lemah dari

diskus sehingga adanya beban kompresi yang berlebihan dapat menyebabkan

kerusakan pada cartilaginous end-plate. Pada usia 23 tahun sampai 40 tahun,

terjadi demineralisasi secara bertahap pada cartilago end-plate. Pada usia 60

tahun, hanya lapisan tipis tulang yang memisahkan diskus dari channel vaskular,

dan channel nutrisi lambat laun akan hilang dengan penebalan pada pembuluh

arteriole dan venules. Perubahan yang terjadi akan memberikan peluang

terjadinya patogenesis penyakit degenerasi pada diskus lumbar. Disamping itu,

diskus intervertebralis orang dewasa tidak mendapatkan suplai darah dan harus

mengandalkan difusi untuk nutrisi (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler,

2006).

15

Page 16: ankylosing spondilosis

Menurut Kirkaldy-Willis (dalam Darlene Hertling and Randolph M.

Kessler, 2006), terdapat sistem yang berdasarkan pada pemahaman segment gerak

yang mengalami degenerasi. Perubahan degeneratif pada segmen gerak dapat

dibagi kedalam 3 fase kemunduran yaitu :

a. Fase disfungsi awal (level I) : proses patologik kecil yang

menghasilkan fungsi abnormal pada komponen posterior dan diskus

intervertebralis. Kerusakan yang terjadi pada segmen gerak masih

bersifat sementara (reversible). Perubahan yang terjadi pada facet joint

selama fase ini sama dengan yang terjadi pada sendi sinovial lainnya.

Kronik sinovitis dan efusi sendi dapat menyebabkan stretch pada

kapsul sendi. Membran synovial yang inflamasi dapat membentuk

suatu lipatan didalam sendi sehingga menghasilkan penguncian

didalam sendi antara permukaan cartilago dan kerusakan cartilago

awal. Paling sering terjadi pada fase disfungsi awal selain melibatkan

kapsul dan synovium juga melibatkan permukaan cartilago atau tulang

penopang (corpus vertebra). Disfungsi diskus pada fase ini masih

kurang jelas tetapi kemungkinan melibatkan beberapa kerobekan

circumferential pada annulus fibrosus. Jika kerobekannya pada lapisan

paling luar maka penyembuhannya mungkin terjadi karena adanya

beberapa suplai darah. Pada lapisan paling dalam, mungkin kurang

terjadi penyembuhan karena sudah tidak ada lagi suplai darah. Secara

perlahan akan terjadi pelebaran yang progresif pada area

circumferential yang robek dimana bergabung kedalam kerobekan

16

Page 17: ankylosing spondilosis

radial. Nukleus mulai mengalami perubahan dengan hilangnya

kandungan proteoglycan.

b. Fase instabilitas intermediate (level II) : fase ini menghasilkan laxitas

(kelenturan yang berlebihan) pada kapsul sendi bagian posterior dan

annulus fibrosus. Perubahan permanen dari instabilitas dapat

berkembang karena kronisitas dan disfungsi yang terus menerus pada

tahun-tahun awal. Re-stabilisasi segmen posterior dapat membentuk

formasi tulang subperiosteal atau formasi tulang (ossifikasi) sepanjang

ligamen dan serabut kapsul sendi, sehingga menghasilkan osteofit

perifacetal dan traksi spur. Pada akhirnya, diskus membentuk jangkar

oleh adanya osteofit perifer yang berjalan disekitar circumferentianya,

sehingga menghasilkan segmen gerak yang stabil.

c. Fase stabilisasi akhir (level III) : fase ini menghasilkan fibrosis pada

sendi bagian posterior dan kapsul sendi, hilangnya material diskus, dan

formasi osteofit. Osteofit membentuk respon terhadap gerak abnormal

untuk menstabilisasi segmen gerak yang terlibat. Formasi osteofit yang

terbentuk disekitar three joint dapat meningkatkan permukaan

penumpuan beban dan penurunan gerakan, sehingga menghasilkan

suatu kekakuan segmen gerak dan menurunnya nyeri hebat pada

segmen gerak.

Schneck menjelaskan adanya progresi mekanikal yang lebih jauh akibat

perubahan degeneratif pada diskus intervertebralis, untuk menjelaskan adanya

perubahan degeneratif lainnya pada axial spine. Dia menjelaskan beberapa

implikasi dari penyempitan space diskus. Pedicle didekatnya akan mengalami

17

Page 18: ankylosing spondilosis

aproksimasi dengan penyempitan dimensi superior-inferior dari canalis

intervertebralis. Laxitas akibat penipisan ligamen longitudinal posterior yang

berlebihan dapat memungkinkan bulging (penonjolan) pada ligamen flavum dan

potensial terjadinya instabilitas spine. Peningkatan gerakan spine dapat

memberikan peluang terjadinya subluksasi dari processus articular superior

sehingga menyebabkan penyempitan dimensi anteroposterior dari intervertebral

joint dan canalis akar saraf bagian atas. Laxitas juga dapat menyebabkan

perubahan mekanisme berat dan tekanan kaitannya dengan corpus vertebra dan

space sendi yang mempengaruhi terbentuknya formasi osteofit dan hipertropi

facet pada processus articular inferior – superior, dengan resiko terjadinya

proyeksi kedalam canalis intervertebralis dan canalis sentral secara berurutan

(Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009).

Keluhan nyeri pinggang pada kondisi spondylosis lumbal disebabkan oleh

adanya penurunan space diskus dan penyempitan foramen intervertebralis.

Adanya penurunan space diskus dan penyempitan foramen intervertebralis dapat

menghasilkan iritasi pada radiks saraf sehingga menimbulkan nyeri pinggang

yang menjalar. Disamping itu, osteofit pada facet joint dapat mengiritasi saraf

spinal pada vertebra sehingga dapat menimbulkan nyeri pinggang (S.E. Smith,

2009).

2.4 Gambaran Klinis Daerah yang Terkena4

Perubahan degeneratif dapat menghasilkan nyeri pada axial spine akibat

iritasi nociceptive yang diidentifikasi terdapat didalam facet joint, diskus

intervertebralis, sacroiliaca joint, akar saraf duramater, dan struktur myofascial

didalam axial spine (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009).

18

Page 19: ankylosing spondilosis

Perubahan degenerasi anatomis tersebut dapat mencapai puncaknya dalam

gambaran klinis dari stenosis spinalis, atau penyempitan didalam canalis spinal

melalui pertumbuhan osteofit yang progresif, hipertropi processus articular

inferior, herniasi diskus, bulging (penonjolan) dari ligamen flavum, atau

spondylolisthesis. Gambaran klinis yang muncul berupa neurogenik claudication,

yang mencakup nyeri pinggang, nyeri tungkai, serta rasa kebas dan kelemahan

motorik pada ekstremitas bawah yang dapat diperburuk saat berdiri dan berjalan,

dan diperingan saat duduk dan tidur terlentang (Kimberley Middleton and David

E. Fish, 2009).

1. Diskus Intervertebralis

Ketika orang menua terjadi perubahan biokimiawi tertentu yang

mempengaruhi jaringan di seluruh tubuh. Pada tulang belakang, struktur dari

diskus intervertebralis (annulus fibrosus,lamellae, dan nucleus pulposus) mungkin

dapat mengalami perubahan biokimiawi tersebut. Annulus fibrosus tersusun dari

60 atau lebih pita yang konsentris dari serabut kolagen yang dinamakan lamellae.

Nucleus pulposus adalah suatu bahan seperti gel didalam diskus intervertebralis

yang dibungkus oleh annulus fibrosus.Serabut kolagen membentuk nukelus

bersama dengan air dan proteoglikan.

Efek degeneratif dari penuaan dapat melemahkan struktur dari annulus

fibrosus yang menyebabkan bantalan melebar dan robek. Isi cairan didalam

nucleus menurun sesuai dengan usia, mempengaruhi kemampuannya untuk

melawan efek kompresi (peredam getaran). Perubahan struktural karena

degenerasi dapat mengurangi ketinggian diskus dan meningkatkan risiko herniasi

diskus.

19

Page 20: ankylosing spondilosis

2. Facet Joint

Sendi facet disebut juga dengan zygapophyseal joints. Masing-masing

korpus vertebrae memiliki empat sendi yang bekerja seperti engsel.Ini adalah

persendian tulang belakang yang dapat menyebabkan ekstensi, fleksi, dan

rotasi.Seperti sendi lainnya, permukaan sendi dari tulang memiliki lapisan yang

tersusun dari kartilago.Kartilago adalah jenis jaringan konektif tertentu yang

memiliki permukaan gesekan rendah karena memiliki lubrikasi sendiri.Degenerai

facet joint menyebabkan hilangnya kartilago dan pembentukan osteofit.Perubahan

ini dapat menyebabkan hipertrofi atau osteoarthritis, dikenal juga sebagai

degenerasi joint disease.

3. Tulang dan ligament

Osteofit dapat terbentuk berdekatan dengan lempeng pertumbuhan tulang,

sehingga dapat mengurangi aliran darah ke vertebra. Kemudian permukaan

pertumbuhan tulamg dapat kaku, terjadi suatu penebalan atau pengerasan tulang

dibawah lempeng pertumbuhan. Ligament adalah pita dari jaringan ikat yang

menghubungkan struktur tulang belakang dan melindungi dari hiperekstensi.

Namun demikian, perubahan degeneratif dapat menyebabkan ligament kehilangan

kekuatannya.

4. Tulang Cervical

Kompleksitas anatomi dan pergerakan yang luas membuat segmen ini

rentan terhadap gangguan yang berkaitan dengan perubahan degeneratif. Nyeri

leher sering terjadi. Nyeri dapat menjalar ke bahu atau ke lengan kanan. Ketika

suatu osteofit dapat mengakibatkan kompresi akar syaraf, kelemahan tangan

20

Page 21: ankylosing spondilosis

mungkin tidak disadari. Pada kasus yang jarang, osteofit pada dada dapat

mengakibatkan susah menelan (disfagia).

5. Vertebra Thorakalis

Nyeri yang berkaitan dengan penyakit degeneratif sering dipicu oleh fleksi

kedepan dan hiperekstensi. Pada diskus vertebrae torakalis nyeri dapat disebabkan

oleh fleksi facet join yang hiperekstensi.

6. Vertebra Lumbalis

Spondylosis sering kali mempengaruhi vertebra lumbalis pada orang diatas

usia 40 tahun. Nyeri dan kekakuan badan merupakan keluhan utama. Biasanya

mengenai lebih dari satu vertebrae. Vertebrae lumbalis menopang sebagian besar

berat badan.Oleh karenanya, gerakan dapat merangsang serabut saraf nyeri pada

annulus fibrosus dan facet joint. Pergerakan berulang seperti mengangkat dan

membungkuk dapat meningkatkan nyeri.

Karakteristik dari spondylosis lumbal adalah nyeri dan kekakuan gerak

pada pagi hari. Biasanya segmen yang terlibat lebih dari satu segmen. Pada saat

aktivitas, biasa timbul nyeri karena gerakan dapat merangsang serabut nyeri

dilapisan luar annulus fibrosus dan facet joint. Duduk dalam waktu yang lama

dapat menyebabkan nyeri dan gejala-gejala lain akibat tekanan pada vertebra

lumbar. Gerakan yang berulang seperti mengangkat beban dan membungkuk

(seperti pekerjaan manual dipabrik) dapat meningkatkan nyeri (John J. Regan,

2010).

21

Page 22: ankylosing spondilosis

2.5 Diagnosis

1. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik menyeluruh mengungkapkan banyak tentang

kesehatan dan keadaan umum pasien. Pemeriksaan termasuk ulasan

terhadap riwayat medis dan keluarga pasien. Palpasi untuk menentukan

kelainan tulang belakang, daerah dengan nyeri tekan, dan spasme otot.

2. Pemeriksaan neurologis

Pemeriksaan neurologis dengan memeriksa gejala-gejala pasien

termasuk nyeri, kebas, paresthesias, sensasi, motoris, spasme otot,

kelemahan, gangguan perut, dan kandung kemih. Pemeriksaan range of

motion, mengukur tingkatan sampai sejauh mana pasien dapat melakukan

gerak fleksi, ekstensi, miring ke lateral, dan rotasi tulang belakang.

3. Pencitraan

Radiografi (x-rays) dapat memperlihatkan berkurangnya diskus

vertebralis dan osteofit. Namun tidak sejelas CT-scan atau MRI.CT-scan

dapat digunakan untuk mengungkap adanya perubahan tulang yang

berhubungan dengan spondylosis. MRI mampu memperlihatkan kelainan

diskus, ligament, dan nervus.

Foto X-ray polos dengan arah anteroposterior, lateral dan oblique

berguna untuk menunjukkan lumbalisasi atau sakralisasi, menentukan

bentuk foramina intervertebralis dan facet joint, menunjukkan spondilosis,

spondiloarthrosis, retrolistesis, spondilolisis, dan spondilolistesis. Stenosis

spinalis centralis atau stenosis recessus lateralis tidak dapat ditentukan

dengan metode ini.2

22

Page 23: ankylosing spondilosis

Mielografi (tidak dilakukan lagi) bermanfaat dalam menentukan

derajat dan kemiringan besarnya stenosis karena lebih dari satu titik

penekanan tidak cukup. 2

CT adalah metode terbaik untuk mengevaluasi penekanan osseus dan

pada saat yang sama juga nampak struktur yang lainnya. Dengan potongan

setebal 3 mm, ukuran dan bentuk canalis spinalis, recessus lateralis, facet

joint, lamina, dan juga morfologi discuss intervertebralis, lemak epidural

dan ligamentum clavum juga terlihat. 2

MRI dengan jelas lebih canggih daripada CT dalam visualisasi struktur

non osseus dan saat ini merupakan metode terbaik untuk mengevaluasi isi

canalis spinalis. Disamping itu, di luar dari penampakan degradasi diskus

pada T2 weighted image, biasanya tidak dilengkapi informasi penting

untuk diagnosis stenosis spinalis lumbalis. Bagaimanapun juga, dengan

adanya perkembangan pemakaian MRI yang cepat yang merupakan

metode non invasif, peranan MRI dalam diagnosis penyakit ini akan

bertambah. Khususnya kemungkinan untuk melakukan rangkaian

fungsional spinal lumbalis akan sangat bermanfaat. 2

Sangat penting bahwa semua gambaran radiologis berhubungan

dengan gejala-gejala, karena penyempitan asimptomatik yang terlihat pada

MRI atau CT sering ditemukan baik stenosis dari segmen yang

asimptomatik atau pasien yang sama sekali asimptomatik dan seharusnya

tidak diperhitungkan.

23

Page 24: ankylosing spondilosis

Gambar 3. Spinal canal stenosis-Sagittal MRI

Gambar 4. Lumbar Spondylosis

2.6 Penatalaksanaan

Tidak ada tindakan pencegahan atau pengobatan definitif untuk individu

dengan Ankylosing spondylosis. Diagnosis dini dan pendidikan pasien yang

tepat adalah penting. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) biasanya

digunakan untuk mengurangi nyeri dan mengurangi peradangan. Pembedahan

diarahkan untuk resolusi komplikasi yang berhubungan dengan Ankylosing

24

Page 25: ankylosing spondilosis

Spondylosis. Tidak ada pengobatan bedah kuratif. Pengobatan konservatif

berhasil dalam 75% dari seluruh waktu3,4.

2.6.1 Pengobatan konservatif

Pengobatan ini terdiri dari analgesik dan memakai korset lumbal yang

mana dengan mengurangi lordosis lumbalis dapat memperbaiki gejala dan

meningkatkan jarak saat berjalan. Pada beberapa kelompok pasien, perbaikan

yang mereka rasakan cukup memuaskan dan jarak saat berjalan cukup untuk

kegiatan sehari-hari. 2

Percobaan dalam 3 bulan direkomendasikan sebagai bentuk pengobatan

awal kecuali terdapat defisit motorik atau defisit neurologis yang progresif. Terapi

konservatif untuk stenosis spinalis lumbalis dengan gejala-gejala permanen jarang

sekali berhasil untuk waktu yang lama, berbeda dengan terapi konservatif untuk

herniasi diskus. 2

Terapi medis dipergunakan untuk mencari penyebab sebenarnya dari

gejala nyeri punggung dan nyeri skiatika.1

Jangan menyimpulkan bahwa gejala pada pasien berhubungan dengan

osteofitosis. Carilah penyebab sebenarnya dari gejala pada pasien.

Jika muncul gejala terkenanya akar saraf, maka diindikasikan untuk

bed rest total selama dua hari. Jika hal tersebut tidak mengatasi

keluhan, maka diindikasikan untuk bedah eksisi.

Pengobatan tidak diindikasikan pada keadaan tanpa komplikasi.

25

Page 26: ankylosing spondilosis

2.6.2 Terapi Pembedahan

Terapi pembedahan diindikasikan jika terapi konservatif gagal dan adanya

gejala-gejala permanen khususnya defisit mototrik.2 Pembedahan tidak

dianjurkan pada keadaan tanpa komplikasi.1

Bedah eksisi dilakukan pada skiatika dengan bukti adanya persinggungan

dengan nervus skiatika yang tidak membaik dengan bed rest total selama 2 hari.1

Penekanan saraf dari bagian posterior osteofit adalah penyulit yang

mungkin terjadi hanya jika sebuah neuroforamen ukurannya berkurang

30% dari normal.

Reduksi tinggi discus posterior sampai kurang dari 4 mm atau tinggi

foramen sampai kurang dari 15 mm sesuai dengan diagnosis kompresi

saraf yang diinduksi osteofit.

Jika spondilosis lumbalis mucul di canalis spinalis, maka stenosis

spinalis adalah komplikasi yang mungkin terjadi.

Jika osteofit menghilang, carilah adanya aneurisma aorta. Aneurisma

aorta dapat menyebabkan erosi tekanan dengan vertebra yang

berdekatan. Jika osteofit muncul kembali, tanda yang pertama muncul

seringkali adalah erosi dari osteofit-osteofit tersebut, sehingga tidak

nampak lagi.

Terdapat kasus adanya massa tulang setinggi L4 yang menekan

duodenum.

Terapi pembedahan tergantung pada tanda dan gejala klinis, dan sebagian

karena pendekatan yang berbeda terhadap stenosis spinalis lumbalis, tiga

kelompok prosedur operasi yang dapat dilakukan anatara lain:2

26

Page 27: ankylosing spondilosis

• Operasi dekompresi

• Kombinasi dekompresi dan stabilisasi dari segmen gerak yang tidak stabil

• Operasi stabilisasi segmen gerak yang tidak stabil

Prosedur dekompresi adalah: dekompresi kanalis spinalis, dekompresi kanalis

spinalis dengan dekompresi recessus lateralis dan foramen intervertebralis,

dekompresi selektif dari akar saraf.

Dekompresi kanalis spinalis2

Laminektomi adalah metode standar untuk dekompresi kanalis spinalis

bagian tengah. Keuntungannya adalah biasanya mudah dikerjakan dan

mempunyai angka kesuksesan yang tinggi. Angka kegagalan dengan gejala yang

rekuren adalah ¼ pasien setelah 5 tahun. Terdapat angka komplikasi post operatif

non spesifik dan jaringan parut epidural yang relatif rendah.

Secara tradisional, laminektomi sendiri diduga tidak menganggu stabilitas

spina lumbalis, selama struktur spina yang lain tetap intak khususnya pada pasien

manula. Pada spina yang degeneratif, bagian penting yang lain seperti diskus

intervertebaralis dan facet joint seringkali terganggu. Hal ini dapat menjelaskan

adanya spodilolistesis post operatif setelah laminektomi yang akan memberikan

hasil yang buruk.

Laminektomi dikerjakan pada keadaan adanya spondilolistesis degeneratif

atau jika terdapat kerusakan operatif dari diskus atau facet joint. Terdapat insiden

yang tinggi dari instabilitas post operatif. Dengan menjaga diskus bahkan yang

sudah mengalami degenerasi, nampaknya membantu stabilitas segmental (Goel,

1986). Untuk alasan inilah maka discectomy tidak dianjurkan untuk stenosis

spinalis lumbalis dimana gejalanya ditimbulkan oleh protrusio atau herniasi,

27

Page 28: ankylosing spondilosis

kecuali diskus yang terherniasi menekan akar saraf bahkan setelah dekompresi

recessus lateralis.

Jaringan parut epidural muncul setelah laminektomi dan kadang-kadang

berlokasi di segmen yang bersebelahan dengan segmen yang dioperasi. Jika

jaringan parut sangat nyata, hal ini disebut dengan “membran post laminektomi”.

Autotransplantasi lemak dilakukan pada epidural oleh beberapa ahli bedah untuk

mengurangi fibrosis. Walaupun beberapa telah berhasil, pembengkakan lemak

post operatif dapat mengakibatkan penekanan akar saraf.

Dekompresi harus dilakukan pada pasien dengan osteoporosis. Sebaiknya

dilakukan dengan hati-hati karena instabilitas post operatif sangat sulit diobati.

Laminektomi dengan facetectomy parsial adalah prosedur standar

stenosis laminektomi tunggal cukup untuk stenosis kanalis spinalis, sehingga

biasanya digabungkan dengan beberapa bentuk facetectomy parsial. ”Unroofing”

foramen vertebralis dapat dikerjakan hanya dari arah lateral sebagaimana pada

herniasi diskus foramina. Kemungkinan cara yang lain dikerjakan adalah prosedur

laminoplasti dengan memindahkan dan memasukkan kembali lengkung laminar

dan processus spinosus.

Dekompresi selektif akar saraf 2

Kecuali terdapat penyempitan diameter sagital kanalis spinalis,

dekompresi selektif akar saraf sudah cukup, khususnya jika pasien mempunyai

gejala unilateral. Facetectomy medial melalui laminotomi dapat dikerjakan.

Biasanya bagian medial facet joint yang membungkus akar saraf diangkat.

28

Page 29: ankylosing spondilosis

Komplikasi spesifik prosedur ini antara lain insufisiensi dekompresi,

instabilitas yang disebabkan oleh pengangkatan 30-40% dari facet joint, atau

fraktur fatique dari pars artikularis yang menipis.

Dekompesi dan stabilisasi2

Laminektomi dapat digabungkan dengan berbagai metode stabilisasi. Sistem

terbaru menggunakan skrup pedikuler, sebagaimana pada sistem yang lebih lama

seperti knodt rods, harrington rods dan Luque frame dengan kawat sublaminer.

Laminektomi spondilolistesis degeneratif dan penyatuan prosesus

intertranvesus dengan atau tanpa fiksasi internal adalah prosedur standar. Untuk

alternatifnya dapat dilakukan penyatuan interkorpus lumbalis posterior atau

penyatuan interkorpus anterior. Beberapa ahli mengatakan, laminektomi dengan

penyatuan spinal lebih baik daripada laminektomi tunggal karena laminektomi

tunggal berhubungan dengan insiden yang tinggi dari spondilolistesis progresif.

Komplikasi prosedur stabilisasi termasuk di dalamnya kerusakan materi

osteosintetik, trauma neurovaskuler, fraktur prosesus spinosus, lamina atau

pedikel, pseudoarthrosis, ileus paralitik, dan nyeri tempat donor graft iliakus.

Degenerasi dan stenosis post fusi dapat muncul pada segmen yang bersebelahan

dengan yang mengalami fusi yang disebabkan oleh hipermotilitas. Walaupun hasil

percobaan mendukung teori ini, efek klinis dari komplikasi ini masih belum dapat

diketahui.

Berbeda dari spondilolistesis degeneratif dimana dekompresi dan stablisasi

adalah prosedur yang dianjurkan, tidak terdapat konsensus bahwa hal ini

merupakan pengobatan yang paling efektif. Stenosis spinalis lumbalis diterapi

dengan pembedahan dalam rangkaian operasi yang banyak dengan hasil jangka

29

Page 30: ankylosing spondilosis

pendek yang baik. Namun demikian, setelah lebih dari 40 tahun, penelitian dna

pengalaman dalam terapi, etiologinya masih belum dapat dimengerti secara jelas

dan juga, definisi dan klasifikasi masih belum jelas karena derajat stenosis tdak

selalu berhubungan dengan gejala-gejalanya.

Protokol pembedahan yang dianjurkan antara lain:

Pada pasien dengan gejala-gejala permanen yang bertambah saat berdiri

atau menyebabkan claudicatio intermitten neurogenik dekompresi dan

stabilisasi

Pada pasien tanpa gejala-gejala yang permanen tapi dengan gejala

intermitten yang jelas berhubungan dengan postur dilakukan prosedur

stabilisasi, terutama jika keluhan membaik dengan korset lumbal

Penurunan berat badan dan latihan untuk memperbaiki postur tubuh dan

menguatkan otot-otot abdominal dan spinal harus dikerjakan bersama dengan

pengobatan baik konservatif maupun pembedahan.

2.7 Prognosis

Hasil pada pasien dengan ankylosing spondylosis umumnya baik. Pasien

sering membutuhkan terapi anti-inflamasi jangka panjang. Cacat fisik parah tidak

umum di antara pasien dengan AS. Masalah dengan mobilitas terjadi pada sekitar

47% pasien. Cacat ini berkaitan dengan durasi penyakit, arthritis perifer,

keterlibatan tulang belakang servikal, usia yang lebih muda saat onset gejala, dan

penyakit penyerta.4

30

Page 31: ankylosing spondilosis

REFERENSI

1. Hanson JA, Mirza S. Predisposition for spinal fracture in ankylosing

spondylitis. AJR Am J Roentgenol. Jan 2000;174(1):150

2. Wilfred CG Peh, MD, MBBS, FRCP. Imaging in Ankylosing Spondylitis.

http://emedicine.medscape.com/article/386639-overview#showall

3. Lawrence H Brent, MD. Ankylosing Spondylitis and Undifferentiated

Spondyloarthropathy http://emedicine.medscape.com/article/332945-

overview

4. S Craig Humphreys, MD. Ankylosing Spondylitis in Orthopedic Surgery

http://emedicine.medscape.com/article/1263287-overview

5. Jennifer H. Jang,Michael M. Ward, Adam N. Rucker, John D.

Reveille, John C. Davis, Jr,Michael H. Weisman, and Thomas J. Learch.

Ankylosing Spondylitis: Patterns of Radiographic Involvement—A Re-

examination of Accepted Principles in a Cohort of 769 Patients.

Radiology January 2011 258:192-198; Published online October 22,

2010,doi:10.1148/radiol.10100426

6. Baraliakos, X., Listing, J., Rudwaleit, M., Sieper, J. and Braun, J. (2009),

Development of a radiographic scoring tool for ankylosing spondylitis

only based on bone formation: Addition of the thoracic spine improves

31

Page 32: ankylosing spondilosis

sensitivity to change. Arthritis Care & Research, 61: 764–771.

doi: 10.1002/art.24425

32