spondilosis

16
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Spondilo berasal dari bahasa Yunani yang berarti tulang belakang. Spondilosis lumbalis dapat diartikan perubahan pada sendi tulang belakang dengan ciri khas bertambahnya degenerasi discus intervertebralis yang diikuti perubahan pada tulang dan jaringan lunak, atau dapat berarti pertumbuhan berlebihan dari tulang (osteofit), yang terutama terletak di aspek anterior, lateral, dan kadang-kadang posterior dari tepi superior dan inferior vertebra centralis (corpus). 1,2,3 Spondilosis lumbalis muncul pada 27-37% dari populasi yang asimtomatis. Di Amerika Serikat, lebih dari 80% individu yang berusia lebih dari 40 tahun mengalami spondilosis lumbalis, meningkat dari 3% pada individu berusia 20-29 tahun. Di dunia, spondilosis lumbal dapat mulai berkembang pada usia 20 tahun. Hal ini meningkat, dan mungkin tidak dapat dihindari, bersamaan dengan usia. Kira-kira 84% pria dan 74% wanita mempunyai osteofit vertebralis, yang sering terjadi setinggi T9-10. Kira-kira 30% pria dan 28% wanita berusia 55-64 tahun mempunyai osteofit lumbalis. Kira-kira 20% pria dan 22% wanita berusia 45-64 tahun mengalami osteofit lumbalis. 1,2,3 Rasio jenis kelamin pada keadaan ini bervariasi, namun hampir sama secara bermakna. Spondilosis lumbalis ini sendiri muncul sebagai fenomena penuaan yang tidak spesifik. Kebanyakan penelitian menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara spondilosis dengan gaya hidup, berat badan, tinggi badan, massa tubuh, aktivitas fisik, merokok dan konsumsi alkohol, atau riwayat reproduksi. 1,2,3 Spondilosis lumbalis sering bersifat asimtomatis, sehingga kita sebagai dokter sangat perlu untuk mengetahui patogenesis, 1

Upload: themysuteja

Post on 31-Dec-2015

358 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Spondilosis

TRANSCRIPT

Page 1: Spondilosis

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Spondilo berasal dari bahasa Yunani yang berarti tulang belakang. Spondilosis lumbalis

dapat diartikan perubahan pada sendi tulang belakang dengan ciri khas bertambahnya degenerasi

discus intervertebralis yang diikuti perubahan pada tulang dan jaringan lunak, atau dapat berarti

pertumbuhan berlebihan dari tulang (osteofit), yang terutama terletak di aspek anterior, lateral,

dan kadang-kadang posterior dari tepi superior dan inferior vertebra centralis (corpus).1,2,3

Spondilosis lumbalis muncul pada 27-37% dari populasi yang asimtomatis. Di Amerika

Serikat, lebih dari 80% individu yang berusia lebih dari 40 tahun mengalami spondilosis

lumbalis, meningkat dari 3% pada individu berusia 20-29 tahun. Di dunia, spondilosis lumbal

dapat mulai berkembang pada usia 20 tahun. Hal ini meningkat, dan mungkin tidak dapat

dihindari, bersamaan dengan usia. Kira-kira 84% pria dan 74% wanita mempunyai osteofit

vertebralis, yang sering terjadi setinggi T9-10. Kira-kira 30% pria dan 28% wanita berusia 55-64

tahun mempunyai osteofit lumbalis. Kira-kira 20% pria dan 22% wanita berusia 45-64 tahun

mengalami osteofit lumbalis.1,2,3

Rasio jenis kelamin pada keadaan ini bervariasi, namun hampir sama secara bermakna.

Spondilosis lumbalis ini sendiri muncul sebagai fenomena penuaan yang tidak spesifik.

Kebanyakan penelitian menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara spondilosis dengan gaya

hidup, berat badan, tinggi badan, massa tubuh, aktivitas fisik, merokok dan konsumsi alkohol,

atau riwayat reproduksi.1,2,3

Spondilosis lumbalis sering bersifat asimtomatis, sehingga kita sebagai dokter sangat

perlu untuk mengetahui patogenesis, gejala klinis yang sering tampak serta pemeriksaan fisik

maupun pemeriksaan penunjang untuk dapat menegakkan diagnosa dan memberikan penanganan

yang tepat.1,2,3

1.2. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik senior

Departemen Ilmu Penyakit Saraf RSUP Haji Adam Malik Medan dan meningkatkan pemahaman

dan pengetahuan mahasiswa tentang spondilosis lumbalis.

1.3. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai sarana untuk mengetahui dan

mempelajari lebih dalam mengenai spondilosis lumbalis berdasarkan teori yang ada.

1

Page 2: Spondilosis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Spondilo berasal dari bahasa Yunani yang berarti tulang belakang. Spondilosis lumbalis

dapat diartikan perubahan pada sendi tulang belakang dengan ciri khas bertambahnya degenerasi

discus intervertebralis yang diikuti perubahan pada tulang dan jaringan lunak, atau dapat berarti

pertumbuhan berlebihan dari tulang (osteofit), yang terutama terletak di aspek anterior, lateral,

dan kadang-kadang posterior dari tepi superior dan inferior vertebra centralis (corpus).2

Spondylosis lumbal merupakan gangguan degeneratif yang terjadi pada corpus dan

diskus intervertebralis, yang ditandai dengan pertumbuhan osteofit pada corpus vertebra tepatnya

pada tepi inferior dan superior corpus. Osteofit pada lumbal dalam waktu yang lama dapat

menyebabkan nyeri pinggang karena ukuran osteofit yang semakin tajam.2

Spondylosis lumbal seringkali merupakan hasil dari osteoarthritis atau spur tulang yang

terbentuk karena adanya proses penuaan atau degenerasi. Proses degenerasi umumnya terjadi

pada segmen L4 – L5 dan L5 – S1. Komponen-komponen vertebra yang seringkali mengalami

spondylosis adalah diskus intervertebralis, facet joint, corpus vertebra dan ligamen (terutama

ligamen flavum).3

2.2. Etiologi

Spondylosis lumbal muncul karena adanya fenomena proses penuaan atau perubahan

degeneratif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi ini tidak berkaitan dengan gaya

hidup, tinggi-berat badan, massa tubuh, aktivitas fisik, merokok dan konsumsi alkohol.

Spondylosis lumbal banyak pada usia 30 – 45 tahun dan paling banyak pada usia 45

tahun. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita daripada laki-laki. Faktor-faktor resiko

yang dapat menyebabkan spondylosis lumbal adalah 4

a.    Kebiasaan postur yang jelek

b.    Stress mekanikal akibat pekerjaan seperti aktivitas pekerjaan yang melibatkan

gerakan mengangkat, twisting dan membawa/memindahkan barang.

c.    Tipe tubuh

Ada beberapa faktor yang memudahkan terjadinya progresi degenerasi pada vertebra lumbal

yaitu 4

a.    Faktor usia

Beberapa penelitian pada osteoarthritis telah menjelaskan bahwa proses penuaan

merupakan faktor resiko yang sangat kuat untuk degenerasi tulang khususnya pada tulang

vertebra. Suatu penelitian otopsi menunjukkan bahwa spondylitis deformans atau spondylosis

meningkat secara linear sekitar 0% - 72% antara usia 39 – 70 tahun. Begitu pula, degenerasi

diskus terjadi sekitar 16% pada usia 20 tahun dan sekitar 98% pada usia 70 tahun.

2

Page 3: Spondilosis

b.    Stress akibat aktivitas dan pekerjaan

Degenerasi diskus juga berkaitan dengan aktivitas-aktivitas tertentu. Penelitian

retrospektif menunjukkan bahwa insiden trauma pada lumbar, indeks massa tubuh, beban pada

lumbal setiap hari (twisting, mengangkat, membungkuk, postur jelek yang terus menerus), dan

vibrasi seluruh tubuh (seperti berkendaraan), semuanya merupakan faktor yang dapat

meningkatkan kemungkinan spondylosis dan keparahan spondylosis.

c.    Peran herediter

Faktor genetik mungkin mempengaruhi formasi osteofit dan degenerasi diskus. Penelitian

Spector and MacGregor menjelaskan bahwa 50% variabilitas yang ditemukan pada osteoarthritis

berkaitan dengan faktor herediter. Kedua penelitian tersebut telah mengevaluasi progresi dari

perubahan degeneratif yang menunjukkan bahwa sekitar ½ (47 – 66%) spondylosis berkaitan

dengan faktor genetik dan lingkungan, sedangkan hanya 2 – 10% berkaitan dengan beban fisik

dan resistance training.

d.   Adaptasi fungsional

Penelitian Humzah and Soames menjelaskan bahwa perubahan degeneratif pada diskus

berkaitan dengan beban mekanikal dan kinematik vertebra. Osteofit mungkin terbentuk dalam

proses degenerasi dan kerusakan cartilaginous mungkin terjadi tanpa pertumbuhan osteofit.

Osteofit dapat terbentuk akibat adanya adaptasi fungsional terhadap instabilitas atau perubahan

tuntutan pada vertebra lumbar.

2.3. Epidemiologi

Nyeri pinggang di Indonesia merupakan masalah kesehatan yang nyata. Kira-kira 80%

penduduk seumur hidup pernah sekali merasakan nyeri punggung bawah. Pada setiap saat lebih

dari 10 % penduduk menderita nyeri pinggang. Insidensi nyeri pinggang di beberapa negara

berkembang lebih kurang 15-20% dari total populasi, yang sebagian besar merupakan nyeri

pinggang akut maupun kronik, termasuk tipe benigna. Penelitian kelompok studi nyeri Persatuan

Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI)  Mei 2002 menunjukkan jumlah penderita nyeri

pinggang sebesar 18,37% dari seluruh pasien nyeri. Studi populasi di daerah pantai utara Jawa

Indonesia ditemukan insidensi 8,2% pada pria dan 13,6% pada wanita. Di rumah sakit Jakarta,

Yogyakarta dan Semarang insidensinya sekitar 5,4 – 5,8%, frekwensi terbanyak pada usia 45-65

tahun.2

Dalam penelitian multisenter di 14 Rumah Sakit di Indonesia, yang dilakukan oleh

kelompok studi nyeri PERDOSSI pada bulan Mei 2002 menunjukkan jumlah penderita nyeri

sebanyak 4.456 orang (25%dari total kunjungan), dimana 1.598 orang (35,86%) merupakan

penderita nyeri kepala dan 819 orang (18,37%) adalah penderita nyeri punggung bawah (NBP).2

3

Page 4: Spondilosis

2.4. Patofisiologi

Salah satu aspek yang penting dari proses penuaan adalah hilangnya kekuatan tulang.

Perubahan ini menyebabkan modifikasi kapasitas penerimaan beban (load-bearing) pada

vertebra. Setelah usia 40 tahun, kapasitas penerimaan beban pada tulang cancellous/trabecular

berubah secara dramatis. Sebelum usia 40 tahun, sekitar 55% kapasitas penerimaan beban terjadi

pada tulang cancellous/ trabecular. Setelah usia 40 tahun penurunan terjadi sekitar 35%.

Kekuatan tulang menurun dengan lebih cepat dibandingkan kuantitas tulang. Hal ini menurunkan

kekuatan pada end-plates yang melebar jauh dari diskus, sehingga terjadi fraktur pada tepi corpus

vertebra dan fraktur end-plate umumnya terjadi pada vertebra yang osteoporosis.5

Cartilaginous end-plate dari corpus vertebra merupakan titik lemah dari diskus sehingga

adanya beban kompresi yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan pada cartilaginous end-

plate. Pada usia 23 tahun sampai 40 tahun, terjadi demineralisasi secara bertahap pada cartilago

end-plate. Pada usia 60 tahun, hanya lapisan tipis tulang yang memisahkan diskus dari channel

vaskular, dan channel nutrisi lambat laun akan hilang dengan penebalan pada pembuluh arteriole

dan venules. Perubahan yang terjadi akan memberikan peluang terjadinya patogenesis penyakit

degenerasi pada diskus lumbar. Disamping itu, diskus intervertebralis orang dewasa tidak

mendapatkan suplai darah dan harus mengandalkan difusi untuk nutrisi5

Gambar 2.1. (kiri) Ilustrasi spondilosis, (kanan) ilustrasi osteofit.

4

Page 5: Spondilosis

Perubahan patologi yang terjadi pada diskus intervertebralis antara lain:

a.    Annulus fibrosus  menjadi kasar, collagen fiber cenderung melonggar dan muncul

retak pada berbagai sisi.

b.   Nucleus pulposus kehilangan cairan

c.    Tinggi diskus berkurang

Perubahan ini terjadi sebagai bagian dari proses degenerasi pada diskus dan dapat hadir

tanpa menyebabkan adanya tanda-tanda dan gejala.

Sedangkan pada corpus vertebra, terjadi perubahan patologis berupa adanya lipping yang

disebabkan oleh adanya perubahan mekanisme diskus yang menghasilkan penarikan dari

periosteum dari annulus fibrosus. Dapat terjadi dekalsifikasi pada corpus yang dapat menjadi

factor predisposisi terjadinya crush fracture.5

Pada ligamentum intervertebralis dapat menjadi memendek dan menebal terutama pada

daerah yang sangat mengalami perubahan. Pada selaput meningeal, durameter dari spinal cord

membentuk suatu selongsong mengelilingi akar saraf dan ini menimbulkan inflamasi karena

jarak diskus membatasi canalis intervertebralis.5

Terjadi perubahan patologis pada sendi apophysial yang terkait dengan perubahan pada

osteoarthritis. Osteofit terbentuk pada margin permukaan articular dan bersama-sama dengan

penebalan kapsular, dapat menyebabkan penekanan pada akar saraf dan mengurangi lumen pada

foramen intervertebralis.5

Gambar 2.2. Perubahan lengkungan vertebra.

2.5. Gambaran Klinis

Gambaran klinis yang terjadi tergantung pada lokasi yang terjadi baik itu cervical, lumbal

dan thoracal. Untuk spondylosis daerah lumbal memberikan gambaran klinis sebagai berikut:

a.    Onset, biasanya awal nyeri dirasakan tidak ada apa-apa dan tidak menjadi suatu masalah

sampai beberapa bulan. Nyeri akut biasanya ditimbulkan dari aktivitas  tidak sesuai.

b.   Nyeri, biasanya nyeri terasa disepanjang sacrum dan sacroiliac joint. Dan mungkin menjalar

ke bawah (gluteus) dan aspek lateral dari satu atau kedua hip. Pusat nyeri berasal dari

tingkat L4, L5, S1.

5

Page 6: Spondilosis

c.    Referred pain, nyeri mungkin saja menjalar ke arah tungkai karena adanya iritasi pada akar

persarafan. Ini cenderung pada area dermatomnya: Paha (L1), Sisi anterior tungkai (L2),

Sisi anterior dari tungkai knee (L3), Sisi medial kaki dan big toe (L4), Sisi lateral kaki dan

tiga jari kaki bagian medial (L5), Jari kaki kecil, sisi lateral kaki dan sisi lateral bagian

posterior kaki (S1), Tumit, sisi medial bagian posterior kaki (S2).

d.   Parasthesia, biasanya mengikuti daerah dermatom dan terasa terjepit dan tertusuk, suatu

sensasi ”kesemutan” atau rasa kebas (mati rasa).

e.    Spasme otot, biasanya ada peningkatan tonus erector spinae dan m. quadratus lumborum.

Seringkali terdapat tonus yang berbeda antara abduktor hip dan juga adductor hip. Kadang-

kadang salah satu otot hamstring lebih ketat dibanding yang lainnya.

f.    Keterbatasan gerakan, semua gerakan lumbar spine cenderung terbatas. Gerakan hip

biasanya terbatas secara asimetrical. Factor limitasi pada umumnya disebabkan oleh

ketetatan jaringan lunak lebih dari spasm atau nyeri.

g.   Kelemahan otot, terjadi biasanya pada otot abdominal dan otot gluteal. Kelemahan mungkin

terjadi karena adanya penekanan pada akar saraf myotomnya. Otot-otot pada tungkai yang

mengalami nyeri menjalar biasanya lebih lemah dibandingkan dengan tungkai satunya.

h.   Gambaran radiografi, terdapat penyempitan pada jarak discus dan beberapa lipping pada

corpus vertebra.

2.6. Pemeriksaan Penunjang

X-ray, CT scan, dan MRI digunakan hanya pada keadaan dengan

komplikasi. Pemeriksaan densitas tulang (misalnya dual-energy absorptiometry scan [DEXA])

memastikan tidak ada osteofit yang terdapat di daerah yang digunakan untuk pengukuran

densitas untuk pemeriksaan tulang belakang. Osteofit menghasilkan gambaran massa tulang

yang bertambah, sehingga membuat hasil uji densitas tulang tidak valid dan menutupi adanya

osteoporosis.5

Foto X-ray polos dengan arah anteroposterior, lateral dan oblique berguna untuk

menunjukkan lumbalisasi atau sakralisasi, menentukan bentuk foramina intervertebralis dan facet

joint, menunjukkan spondilosis, spondiloarthrosis, retrolistesis, spondilolisis, dan

spondilolistesis. Stenosis spinalis centralis atau stenosis recessus lateralis tidak dapat ditentukan

dengan metode ini.5

6

Page 7: Spondilosis

Gambar 2.3. Contoh x-ray spondilosis

CT adalah metode terbaik untuk mengevaluasi penekanan osseus dan pada saat yang

sama juga nampak struktur yang lainnya. Dengan potongan setebal 3 mm, ukuran dan bentuk

canalis spinalis, recessus lateralis, facet joint, lamina, dan juga morfologi discuss intervertebralis,

lemak epidural dan ligamentum clavum juga terlihat.5,8,9

MRI dengan jelas lebih canggih daripada CT dalam visualisasi struktur non osseus dan

saat ini merupakan metode terbaik untuk mengevaluasi isi canalis spinalis. Disamping itu, di luar

dari penampakan degradasi diskus pada T2 weighted image, biasanya tidak dilengkapi informasi

penting untuk diagnosis stenosis spinalis lumbalis. Bagaimanapun juga, dengan adanya

perkembangan pemakaian MRI yang cepat yang merupakan metode non invasif, peranan MRI

dalam diagnosis penyakit ini akan bertambah. Khususnya kemungkinan untuk melakukan

rangkaian fungsional spinal lumbalis akan sangat bermanfaat. 5,8,9

Gambar 2.4. Contoh MRI spondilosis.

7

Page 8: Spondilosis

2.7. Komplikasi

Skoliosis merupakan komplikasi yang paling sering ditemukan pada penderita nyeri

punggung bawah karena Spondilosis. Hal ini terjadi karena pasien selalu memposisikan

tubuhnya kearah yang lebih nyaman tanpa mempedulikan sikap tubuh normal. Hal ini didukung

oleh ketegangan otot pada sisi vertebra yang sakit.5,6,7

2.8. Penatalaksaan

2.8.1. Penatalaksanaan Medis

Terdiri dari pengobatan konservatif dan pembedahan. Pada pengobatan

konservatif, terdiri dari obat antiradang (NSAID), analgesik, obat pelemas otot, dan memakai

korset lumbal yang mana dengan mengurangi lordosis lumbalis dapat memperbaiki gejala dan

meningkatkan jarak saat berjalan. Percobaan dalam 3 bulan direkomendasikan sebagai bentuk

pengobatan awal kecuali terdapat defisit motorik atau defisit neurologis yang progresif.7,8,9

Terapi pembedahan diindikasikan jika terapi konservatif gagal dan adanya gejala-gejala

permanen khususnya defisit motorik.  Pembedahan tidak dianjurkan pada keadaan tanpa

komplikasi. Terapi pembedahan tergantung pada tanda dan gejala klinis, dan sebagian karena

pendekatan yang berbeda terhadap stenosis spinalis lumbalis, tiga kelompok prosedur operasi

yang dapat dilakukan anatara lain: Operasi dekompresi,Kombinasi dekompresi dan stabilisasi

dari segmen gerak yang tidak stabil, dan Operasi stabilisasi segmen gerak yang tidak stabil7,8,9

2.8.2. Penatalaksanaan Fisioterapi

Tujuan tindakan fisioterapi pada kondisi ini yaitu untuk meredakan nyeri,

mengembalikan gerakan, penguatan otot, dan edukasi postur. Pada pemeriksaan (assessment)

yang perlu diidentifikasi adalah:8,9

1)      Gambaran nyeri

2)      Faktor pemicu pada saat bekerja dan saat luang

3)      Ketidaknormalan postur

4)      Keterbatasan gerak dan faktor pembatasannya.

5)      Hilangnya gerakan accessories dan mobilitas jaringan lunak dengan palpasi.

Program intervensi fisioterapi hanya dapat direncanakan setelah melakukan assessment tersebut.

Adapun treatment yang bias digunakan dalam kondisi ini, adalah sebagai berikut:

1)      Heat , heat pad dapat menolong untuk meredakan nyeri yang terjadi pada saat penguluran

otot yang spasme.

2)      Ultrasound, sangat berguna untuk mengobati thickening yang terjadi pada otot erector

spinae dan quadratus lumborum dan pada ligamen (sacrotuberus dan saroiliac)

3)      Corsets, bisa digunakan pada nyeri akut

8

Page 9: Spondilosis

4)      Relaxation, dalam bermacam-macam posisi dan juga pada saat istirahat, maupun bekerja.

Dengan memperhatikan posisi yang nyaman dan support.

5)      Posture education, deformitas pada postur membutuhkan latihan pada keseluruhan

alignment tubuh.

6)      Mobilizations, digunakan untuk stiffness pada segment lumbar spine, sacroiliac joint dan

hip joint.

7)      Soft tissue technique, pasif stretching pada struktur yang ketat sangat diperlukan, friction

dan kneading penting untuk mengembalikan mobilitas supraspinous ligament, quadratus

lumborum, erector spinae dan glutei.

8)      Traction, traksi osilasi untuk mengurangi tekanan pada akar saraf tetapi harus dipastikan

bahwa otot paravertebral telah rileks dan telah terulur.

9)      Hydrotherapy, untuk relaksasi total dan mengurangi spasme otot. Biasanya berguna bagi

pasien yang takut untuk menggerakkan spine setelah nyeri yang hebat.

10) Movement, hold relax bisa diterapkan untuk memperoleh gerakan fleksi. Bersamaan

dengan mobilitas, pasien melakukan latihan penguatan untuk otot lumbar dan otot hip. 

11) Advice , Tidur diatas kasur yang keras dapat menolong pasien yang memiliki masalah

sakit punggung dan saat bangun, kecuali pada pasien yang nyeri nya bertambah parah

pada gerakan ekstensi. Jika pasien biasanya tidur dalam keadaan miring, sebaiknya

menggunakan kasur yang lembut.

2.9. Pencegahan

Mengingat beratnya gejala penyakit ini dan kita tidak pernah tahu seberapa cepat proses

degenerasi terjadi pada tulang punggung, maka ada beberapa hal yang dapat dilakukan dari

sekarang untuk mengurangi resiko terjadinya spondylosis. Antara lain :8,9

1. Hindari aktivitas dengan benturan tinggi (high impact), misalnya berlari. Pilih jenis olah

raga yang lebih lembut dan mengandalkan peregangan dan kelenturan.

2. Lakukan exercise leher dan punggung yang dapat meningkatkan kekuatan otot,

kelenturan, dan jangkauan gerak.

3. Jangan melakukan aktivitas dalam posisi yang sama dalam jangka waktu lama.

Beristirahatlah sering-sering. Misalnya waktu menonton TV, bekerja di depan komputer,

ataupun mengemudi.

4. Pertahankan postur yang baik. Duduklah yang tegak. Jangan bertumpu pada satu kaki bila

berdiri. Jangan membungkuk bila hendak mengangkat barang berat lebih baik tekuk

tungkai dan tetap tegak.

5. Lindungi diri dengan sabuk pengaman saat berkendara. Hal ini membantu mencegah

terjadinya cedera bila ada trauma.

6. Berhenti merokok. Merokok dapat meningkatkan resiko terjadinya spondylosis.

9

Page 10: Spondilosis

BAB III

KESIMPULAN

Spondylosis lumbalis merupakan penyakit degeneratif pada corpus vertebra atau diskus

intervertebralis. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita daripada laki-laki. Faktor

utama yang bertanggung jawab terhadap perkembangan spondylosis lumbal adalah usia,

obesitas,dan duduk dalam waktu yang lama. Sedangkan faktor resiko terjadinya spondylosis

lumbalis adalah faktor kebiasaan postur yang jelek, stress dalam aktivitas pekerjaan, dan tipe

tubuh. Gejala yang sering muncul adalah nyeri pinggang, spasme otot,  keterbatasan gerak

kesegala arah hingga gangguan fungsi seksual.

Anatomi tulang belakang perlu diketahui agar klinisi dapat menentukan elemen apa yang

terganggu pada timbulnya keluhan nyeri punggung bawah dan mengembalikan fungsinya untuk

menghasilkan gerakan-gerakan serta menjadi tempat lekat dari otot-otot, agar tidak terjadi

perubahan patologi yang terjadi pada diskus intervertebralis. Adapun treatment yang biasa

digunakan dalam kondisi ini, adalah heat, US, corsets, posture education, traction, hydroterapy,

dan lain-lain. Selain itu ada beberapa solusi penanganan terbaru, apabila perlu dokter dapat

menganjurkan pemasangan alat bantu seperti cervical collar yang tujuannya untuk meregangkan

dan menstabilkan posisi. Fisioterapi berupa pemberian panas dan stimulasi listrik juga dapat

membantu melemaskan otot. Mengingat beratnya gejala penyakit ini, maka pencegahan yang

bisa dilakukan adalah melakukan exercise, perbaiki postur tubuh, dan berhenti merokok.

10

Page 11: Spondilosis

DAFTAR PUSTAKA

1. Mahadewa, T. G. B., dan Maliawan, Sri, 2009. Diagnosis dan Tatalaksana

Kegawatdaruratan Tulang Belakang. Cetakan Pertama. Jakarta: Sagung Seto.

2. Kelompok Studi Nyeri, 2003. Nyeri Punggung Bawah. Jakarta: Perhimpunan Dokter

Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI).

3. Manchikanti, L, 2000. Epidemiology of Low Back Pain.

http://www.painphysicianjournal.com/2000/april/2000;3;167-192.pdf. [Diakses 7

Desember 2013]

4. Marrio, Maurits van Tulder, 2005. European Guidelines for the Management of Acute

Nonspecific Low Back Pain in Primary Care.

5. Ropper AH, A SM. Adams and Victor's Principle of Neurology. 9th ed.: The McGraw-

Hills Company; 2009

6. Healthwise, 2011. Low Back Pain. Available from:

http://www.webmd.com/back-pain/tc/low-back-pain-symptoms [ Diakses tanggal 7

Desember 2013]

7. Atul T. Patel, M.D., Abna A. Ogle, M.D., 2000. Diagnosis and management of Low Back

Pain. Available from: http://www.aafp.org/afp/2000/0315/p1779.html [ Diakses tanggal 7

Desember 2013]

8. Bruce M. Lumbar spondylosis. 2007 In: http://www.emedicine.com/neuro/jnl/index.htm.

(Diakses tanggal 7 Desember 2013).

9. Thamburaj V. Lumbar spondylosis. 2007. In: http://www.pubmedcentral.nih.gov.

(Diakses tanggal 7 Desember 2013.)

11