sindroma horner

13
SINDROMA HORNER Latar belakang Segmen servikal 8 torakal 2 mengatur vasokonstriksi, sekresi keringat dan piloareksi dari leher dan kepala di sisi homolateral. Di daerah ini pula (kornu lateralis C8 – T2 terletak pusat silio-spinale (Budge) yang memberikan inervasi simpatik kepada beberapa otot mata polos. Serabut-serabut praganglioner dari C8 – T2 keluar bersama-sama dengan radiks anterior, kemudian mereka memisahkan diri sebagai rami komunikans alba. Dengan melalui ganglion servikale inferius, dan ganglion servikale medium akhirnya sampailah mereka di ganglion servikale superius di mana mereka bersinaps dengan neuron yang kedua. Serabut-serabut pasca ganglioner dari ganglion servikale superius membentuk suatu pleksus di sekitar dinding arteri karotis interna dan eksterna dan dengan demikian memberikan inervasi vaso motorik, sudomotorik, dan pilomotorik kepada kulit dari leer dan kepala di sisi homolateral. Ganglion otikum terletak di fosa infratemporalis, di sebelah medial dari nervus mandibularis, sedikit di bawah foramen ovale. Impuls

Upload: ragilmuhammadaristo

Post on 17-Feb-2016

230 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

ilmu saraf

TRANSCRIPT

Page 1: Sindroma Horner

SINDROMA HORNER

Latar belakang

Segmen servikal 8 – torakal 2 mengatur vasokonstriksi, sekresi keringat dan

piloareksi dari leher dan kepala di sisi homolateral. Di daerah ini pula (kornu lateralis

C8 – T2 terletak pusat silio-spinale (Budge) yang memberikan inervasi simpatik

kepada beberapa otot mata polos. Serabut-serabut praganglioner dari C8 – T2 keluar

bersama-sama dengan radiks anterior, kemudian mereka memisahkan diri sebagai

rami komunikans alba. Dengan melalui ganglion servikale inferius, dan ganglion

servikale medium akhirnya sampailah mereka di ganglion servikale superius di mana

mereka bersinaps dengan neuron yang kedua. Serabut-serabut pasca ganglioner dari

ganglion servikale superius membentuk suatu pleksus di sekitar dinding arteri karotis

interna dan eksterna dan dengan demikian memberikan inervasi vaso motorik,

sudomotorik, dan pilomotorik kepada kulit dari leer dan kepala di sisi homolateral.

Ganglion otikum terletak di fosa infratemporalis, di sebelah medial dari nervus

mandibularis, sedikit di bawah foramen ovale. Impuls kolinergik kepada glandula

lakrimalis akan menimbulkan sekresi air mata. Terputusnya lintasan impuls ini akan

menimbulkan keadaan dimana tidak ada lakrimasi. Impuls kolinergik ke kelenjar

ludah menimbulkan hipersekresi ludah yang encer. Sebaliknya impuls adrenergik

akan menimbulkan sekresi ludah yang kental. Lesi pada pusat silio-spinale, pada

ganglion servikale superius atau pada pleksus karotikus akan menimbulkan sindrom

Horner’s. 1

Orang pertama yang memperkenalkan syndroma ini adalah Johann Friedrich

Horner, seorang ahli oftalmologi berkebangsaan Swiss (1831 – 1886). Dimana ia

menemukan beberapa kelainan dari gejala klinis pada orang yang terinfeksi lues.

Kelainan tersebut sangat khas, yaitu adanya ptosis, miosis, enoftalmus dan anhidosis.2

Page 2: Sindroma Horner

DEFINISI

Sindrom Horner’s adalah suatu sindrom yang terdiri dari kelainan berupa

masuknya bola mata, ptosis kelopak mata atas, kelopak mata atas sedikit naik,

kontraksi dari pupil, penyempitan dari fissura palpebra, anhidrosis dan warna

kemerahan di sisi wajah yang sakit, disebabkan oleh paralisa saraf-saraf simpatis

servikal.

Sindroma Horner’s juga disebut dengan Bernard’s Syndrome, Bernard-

Horner’s Syndrome dan Horner’s Ptosis.1

ETIOLOGI

Sindroma Horner’s merupakan blefparoptosis akuisita unilateral. Terjadinya

akibat paralisa dari saraf simpatis yang mengurus M. Muller. Biasanya sindroma

Horner’s ditemukan pada proses lues (sifilis).

Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan sindrom Horner dengan cara

merusak serat saraf symphatetic antar lain:

1. Cedera sum-sum tulang belakang.

2. Cedera pada bayi ketika kelahirannya

3. Stroke

4. Robekan pada lapisan dalam salah satu arteri karotis, kondisi yang dikenal

sebagai carotid artery dissection

5. Tumor

6. Sakit kepala sebelah atau migrain

7. Syringomyelia, suatu kondisi di mana kisata yang disebut syrinx

berkembang di dalam sum-sum tulang belakang2

PATOFISIOLOGI DAN GEJALA KLINIS

Segmen servikal 8 – torakal 2 mengatur vasokonstriksi, sekresi keringat dan

piloareksi dari leher dan kepala di sisi homolateral.

Di daerah ini pula (kornu lateralis C8 – T2 terletak pusat silio-spinale (Budge)

yang memberikan inervasi simpatik kepada beberapa otot mata polos. Serabut-serabut

Page 3: Sindroma Horner

praganglioner dari C8 – T2 keluar bersama-sama dengan radiks anterior, kemudian

mereka memisahkan diri sebagai rami komunikans alba. Dengan melalui ganglion

servikale inferius, dan ganglion servikale medium akhirnya sampailah mereka di

ganglion servikale superius di mana mereka bersinaps dengan neuron yang kedua.

Serabut-serabut pasca ganglioner dari ganglion servikale superius membentuk suatu

pleksus di sekitar dinding arteri karotis interna dan eksterna dan dengan demikian

memberikan inervasi vaso motorik, sudomotorik, dan pilomotorik kepada kulit dari

leher dan kepala di sisi homolateral.

Ganglion optikum terletak di fosa infratemporalis, di sebelah medial dari

nervus mandibularis, sedikit di bawah foramen ovale. Impuls kolinergik kepada

glandula lakrimalis akan menimbulkan sekresi air mata. Terputusnya lintasan impuls

ini akan menimbulkan keadaan dimana tidak ada lakrimasi. Impuls kolinergik ke

kelenjar ludah menimbulkan hipersekresi ludah yang encer. Sebaliknya impuls

adrenergik akan menimbulkan sekresi ludah yang kental.

Lesi pada pusat silio-spinale, pada ganglion servikale superius atau pada

pleksus karotikus akan menimbulkan sindrom Horner’s.2

Semua gejala klinis ini disebabkan oleh karena adanya proses di tulang

belakang pada servikal VIII sampai dengan torakal II. Di sini ada saraf simpatis yang

berpengaruh pada ptosis. Biasanya kelainan ini ditemui pada proses lues (sifilis).3

Lues (raja singa) atau dalam dunia kedokteran lebih dikenal dengan sifilis,

merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh “Treponema pallidum” sangat

kronis dan bersifat sistemik. Pada perjalanannya dapat menyerang hampir semua alat

tubuh, dapat menyerupai banyak penyakit, mempunyai masa laten dan dapat

ditularkan dari ibu ke janin. Trepanoma pallidum mencapai sistem kardiovaskuler dan

sisitem saraf pada waktu dini, tetapi kerusakan secara perlahan-lahan sehingga

memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menimbulkan gejala klinis.4

Dalam hal ini sindroma Horner melengkapi gambaran penyakit tersebut

bersamaan dengan parastesia, paresis serta anhidrosis pada lengan.Sindroma Horner

berkolerasi dengan lesi pleksus brakhialis, mengingat sindroma Horner itu dihasilkan

oleh terputusnya hubungan ortosimpatetik dari ganglion servikal superior yang

terletak di daerah pleksus brakhialis.

Jenis Dejerine-Klumpke, menyatakan bahwa hal yang dikemukakan seorang

ibu yang membawa bayinya dengan lesi pleksus brakhialis ialah terjadi kelumpuhan

Page 4: Sindroma Horner

dari tangan dan jari-jari bayinya. Gerakan lengan pada sendi bahu dan siku masih utuh

tetapi tangan dan jari-jari sisi ulnar tidak tampak bergerak.

Tangan yang terkena menunjukan ciri-ciri “claw hand” yang ringan, yaitu jari

kelingking dan jari manis menekuk tidak dapat diluruskan secara volunter. Jika bayi

sudah sering membuka matanya maka akan terlihat adanya ptosis ringan sisi tangan

yang abnormal, itulah sebagai sindroma Horner.

Orang dewasa menunjukan syndroma lesi pleksus brakhialis bahwa (Jenis

Dejerine-Klumpke) jelas mirip syndoma Horner’s pada sisi tangan yang lumpuh.

Kelumpuhan tersebut menimbulkan claw hend yang disertai hipestesia atau parestesia

pada kulit yang menutupi ulnar tangan dan pergelangan tangan.

Pada blokade ganglion stelatum secara tepat akan didapat sindroma Horner

langsuntg setelah xylocain disuntikan. Pada saat itu juga wajah dan leher sisi

ipsilateral menjadi merah, serta mukosa hidung menjadi bengkak sehingga hidung

tersumbat. Dengan blokade ganglion stelatum 3 – 5 kali dengan interval 3 – 5 hari

perbaikan yang sempurna dapat diperoleh. Paralisis lower motor neuron akibat lesi di

pleksus dan fasikulus tidak berbahaya, berbeda dengan kelumpuhan yang terjadi

akibat lesi di nervus radialis dan nervus medianus. Selain data anamnestik dan

pemeriksaan sensoris, masih ada satu gejala penting yang dapat mengungkapkan

lokalisasi lesi di pleksus atau fasikulus yaitu sindroma Horner’s. Sindrom ini terdapat

miosis, enoftalmus, ptosis dan anhidrosis hemifasialis. Yang hampir selamanya

dijumpai ialah ptosis, miosis, dan anhidrosis hemifasialis.

Proses neoplastik yang berada di kutub paru-paru dapat menimbulkan

kelumpuhan-kelumpuhan pada otot-otot bahu dan lengan yang disertai sindroma

Horner’s pada sisi ipsilateral.1,3

Ptosis atau blefaroptosis adalah menurunnya palpebra superior, akibat

pertumbuhan yang tidak baik atau paralisa dari muskulus levator palpebra. Ada

bermacam-macam derajat ptosis. Bila hebat dan mengganggu penglihatan oleh karena

palpebra superior menutupi pupil, maka ia mencoba menaikkan palpebra tersebut

dengan memaksa muskulus occipitofrontalis berkontraksi, sehingga di dahi timbul

berkerut-kerut dan alisnya terangkat. Kalau lebih hebat lagi, untuk dapat

mengatasinya, supaya penglihatan tercapai sebaik-baiknya maka penderita akan

menjatuhkan kepalanya ke belakang. Tanda-tanda ini adalah karakteristik untuk

ptosis. Pada ptosis didapat pula garis lipatan kulit yang berbentuk seperti huruf S,

pada palpebranya.

Page 5: Sindroma Horner

Penyebab dari ptosis, ada yang kongenital dan akuisita. Yang kongenital

biasanya bilateral, disebabkan oleh gangguan bentuk muskulus levator palpebra.

Kadang-kadang dengan kelainan kongenital yang lainnya. Bisa herediter, yang

herediter bersifat dominan autosom. Sedang yang akuisita biasanya unilateral, akibat:

(1) paralisis N.III, yang mengurus muskulus levator palpebra. Seringkali bersamaan

dengan paralisa muskulus rectus superior. Hal ini dapat ditemukan pada Myastenia

gravis (melumpuhnya otot secara progresif). Terjadinya perlaha-lahan, mulai timbul

pada malam hari karena capai, sembuh keesokan harinya, kemudian menetap;

syndrome Horner’s 5

Miosis adalah suatu keadaan dimana garis tengah pupil kurang dari 2 mm.

Dimana ukuran normal garis tengah pupil tersebut adalah antara 4 – 5 mm pada

penerangan sedang. Pupil sangat peka terhadap rangsangan cahaya dengan persarafan

afferent nervus kranialis II sedangkan efferentnya nervus kranialis III. Sehingga

mengecil bila cahaya datang (miosis) dam membesar bila tidak ada atau sangat sedikit

sekali cahaya (remang-remang), keadaan ini disebut dengan midriasis yaitu diameter

pupil lebih dari 5 mm.

Enoftalmus, merupakan dimana bola mata letaknya lebih ke dalam, di dalam

ruang orbita. Penyebabanya antara lain: (1) kelainan kongenital, (2) lanjut umur,

karena berkurangnya jaringan lemak di orbita, (3) fraktur dari salah satu dinding

orbita terutam dasar orbita, dimana bola mata dapat masuk ke dalam sinus maksilaris,

(4) enoftalmus pada orang berumur dibawah 25 tahun, merupakan bagian dari

sindroma Horner’s yang terdiri dari ptosis, miosis, enoftalmus dan anhidrosis.

Anhidrosis merupakan suatu gejala karena kuman lues menyerang sistem

persarafan, sehingga produksi minyak terhambat atau kurangnya produksi minyak

disebabkan oleh proses yang abnormal dikarenakan oleh kuman lues tersebut.

Gejala-gejala miosis, ptosis dan anhidrosis yang merupakan manifestasi

blokade aktivitas simpatik dikenal sebagai sidroma Horner’s.

Pada penyakit-penyakit darah dan hipertensi juga terdapat sindroma Horner’s

yang mencerminkan terputusnya serabut-serabut simpatetik servikal. Pada lesi

vaskuler parsial dapat terjadi bahwa kombinasi hemiparastesia parsilaris dan

hemiataksia ipsilateral saja yang ditemukan. Bila juga terjadi bahwa sindroma

tersebut timbul bersama dengan sindroma Hoerner’s.

Page 6: Sindroma Horner

GEJALA

Biasanya hanya satu sisi wajah saja yang menandakan gejala terjadinya sindrom

Horner, yaitu:

1. Mengecilnya ukuran pupil pada mata yang terkena gangguan.

2. Menurunnya kelopak mata atas dan kelopak mata bawah sedikit naik.

3. Berkurangnya atau tidak berkeringatnya sisi wajah yang sisi wajah yang terkena

gangguan (anhidrosis)

4. Pada beberapa kasus, seorang bayi yang lahir dengan kelainan sindrom Horner, iris

pada mata yang terkena gangguan berwarna lebih cerah daripada mata yang lainnya.

DIAGNOSA

- Test Farmakologi dapat membantu untuk diagnosis dan mengidentifikasi jika

lesi terdapat pada preganglionik atau postganglionik

- Dengan topical cocaine 4-10% pada mata normal terjadi dilatasi sedangkan

pada sindrom horner dilatasi sangat berkurang.

- Paredrin 1% (hidroksi amfetamin) untuk menentukan lokasi lesi

- Apraclonidine adalah sebuah alternative dari kokain6

PENATALAKSANAAN

Tidak ada pengobatan khusus untuk sindrom horner, kelainan dapat hilang

dengan sendirinya apabila penyebab telah di obati.

Menilai Reflek Cahaya Pupil 7

Swinging flashlight test merupakan modifikasi untuk menguji reflek cahaya

pupil. Tes ini berfungsi untuk mengungkapkan perbedaan dalam respon terhadap

Page 7: Sindroma Horner

stimulus aferen di antara mata. Dalam tes ini pasien berfiksasi pada sasaran jauh

sementara pemeriksa dengan cepat mengayunkan lampu dari dari satu mata ke mata

yang lain, mengamati adanya kontraksi pupil. Dalam keadaan tertentu terjadi dilatasi

parodoksikal dari pupil yang terkena cahaya. Keadaan ini dikenal sebagai pupil

Marcus Gunn, berhubungan dengan kerusakan cabang aferen pada mata yang disinari.

Contoh paling ekstrim mata dengan fenomena Marcus Gunn adalah mata buta.

Bila berkas cahaya jatuh pada mata buta, tidak terjadi respon langsung maupun respon

konsensual. Bila cahaya dipindahkan pada mata yang lain, akan terjadi respon

langsung maupun konsensualkarena jalur aferen maupun eferen adalah normal. Bila

cahaya kembali diarahkan pada mata yang buta, tidak ada impuls yang diterima retina

dan pupil mata buta tidak akan kontriksi, ia akan berdilatasi. Tergantung berbagai

derajat kerusakan pupil Marcus Gunn, bergantung pada keterlibatan nervus opticus.

Kedua pupil ukurannya harus sama dan bereaksi terhadap cahaya dan

akomodasi. Pada sekitar 5% indivisu normal, ukuran pupil tidak sama, ini disebut

anisokoria. Anisokoria mungkin merupakan indikasi dari penyakit neurologic.

Pembesaran pupil atau midriasis berhubungan dengan obat-obatan simpatomimetik,

glaucoma, dan obat tetes yang menyebabkan dilatasi. Konstriksi pupil atau miosis

terlihat dengan obat parasimpatomimetik, peradangan iris, dan terapi obat untuk

galukoma. Banyak pengobatan yang menyebabkan anisokoria. Oleh karena itu sangat

penting untuk memastikan apakah pasien menggunakan tetes mata atau dalam

pengobatan.

Abnormalitas pupil seringkali merupakan tanda dari penyakit neurologi.

Kondisi yang dikenal sebagai pupil miotonik Adie adalah dilatasi pupil 3-6 mm, yang

hanya sedikit berkonstriksi terhadap cahaya dan akomodasi. Pupil ini sering

berhubungan dengan berkurang sampai tidak adanya reflex tendo pada ekstremitas.

Lebih sering terjadi pada wanita berusia 25-45 tahun, dan penyebabnya tidak

diketahui. Tidak ada keterlibatan klinis yang serius. Pupil Argyll Robertson adalah

pupil yang mengecil 1-2 mm, yang bereaksi terhadap akomodasi, tetapi tidak bereaksi

terhadap cahaya. Tampaknya berhubungan dengan neurosifilis. Sindrom horner

adalah paralisis simpatik dari mata yang disebabkan oleh pemutusan pada rantai

simpatik servikal. Sebagai tambahan umtuk miosis, ptosis dan juga anhidrosis.

Page 8: Sindroma Horner

DAFTAR PUSTAKA

1. Dorland. Kamus Kedokteran. 2002. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Edisi 29.

Jakarta

2. I. Gusti Ng. Gd. Ngoerah. Nervi Kranialis. 1990. Dalam: Dasar-Dasar Ilmu

Penyakit Saraf. Penerbit Universitas Airlangga. Surabaya.

3. Mahar Mardjono, Priguna Sidarta. Neurologi Klinis Dasar, Edisi 5, Penerbit

PT. Dian Rakyat, Jakarta 1992

Page 9: Sindroma Horner

4. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, Edisi ke-3, Jakarta 1999

5. Wijana Nana S.D ; Ilmu Penyakit Mata, Cetakan 6, Penerbit Abadi Tegal,

Jakarta

6. Haspita, Edward. 2005. Horner’s Syndrome. Jakarta

7. Swartz Mark H. 1995. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Penerbit Buku Kedokteran

EGC. Jakarta