(sindonews.com) opini ekonomi 12 februari 2015-11 april 2015
TRANSCRIPT
1
DAFTAR ISI
PENYALUR MOBIL TETANGGA?
Hendrik Kawilarang Luntungan 4
BEBAN BARU DARI PENGUASA BARU
Kusfiardi 8
PERSPEKTIF BARU KONFLIK KPK-POLRI
Wahyu T Setyobudi 11
MENGAWAL NILAI TUKAR RUPIAH
Firmanzah 14
4G LTE, TAK SEKADAR INTERNETAN CEPAT
Hasnul Suhaimi 18 RIGIDITAS
Rhenald Kasali 21
MEMADUKAN FISKAL DAN MONETER
Ahmad Erani Yustika 24
PMN DAN KINERJA BUMN
Ali Masykur Musa 27
UMKM DAN PEREKONOMIAN NASIONAL
Jahja Setiaatmadja 30
KETIKA SAYAP SINGA UDARA TAK MENGEMBANG
W Riawan Tjandra 33 CINTA PRODUK DALAM NEGERI
Purbayu Budi Santosa 36
MENEBAK ARAH BI RATE
Paul Sutaryono 39
GERTAK
Rhenald Kasali 42
MENGEMBALIKAN KHITAH BULOG
Toto Subandriyo 45
MISTERI MAFIA BERAS
Khudori 48 INDONESIA SEBAGAI MINING COUNTRY
Kusnowibowo 51
2
ALI BABA PERSIA, HANGZHOU, DAN MEDAN
Rokhmin Dahuri 54
MAKROPRUDENSIAL DAN STABILITAS SISTEM KEUANGAN
Firmanzah 57 SISI POLITIK BERAS
Anas Urbaningrum 60
POLITIK BERAS ALA JOKOWI
Atang Trisnanto 63
MENJADIKAN MAJALENGKA KAWASAN METROPOLITAN
Sutrisno 66
PENYERTAAN MODAL NEGARA
Rhenald Kasali 69
INVESTASI DAN PEMBIARAN KONFLIK
Hendrik Kawilarang Luntungan 74 REVISI UU TENTANG SUMBER DAYA AIR
Aunur Rofiq 78
NATIONAL DESIGN POLICY DAN DAYA SAING
Firmanzah 81
MENGUKUR PLUS-MINUS PELEMAHAN RUPIAH
Sunarsip 84
IMPLIKASI PEMBATALAN UU SDA
Dian Indrawati 87
WAJARKAH RUPIAH MELEMAH?
Enny Sri Hartati 90 TRADITIONAL MARKETING VS EVENT BASED MARKETING
Eddy Anthony 93
DEFLASI DAN NILAI TUKAR
Firmanzah 96
POLITIK BANTUAN CINA-AFRIKA
Dinna Wisnu 99
SISTEM PEMBAYARAN BARTER
Achmad Deni Daruri 102
MENYELAMATKAN PERTAMINA
Ari Pramono & Harryadin Mahardika 105
3
MISFIT VS PROBLEM SOLVER
Rhenald Kasali 109
MEMPERKUKUH OTOT RUPIAH
Paul Sutaryono 113 ASIA-AFRIKA DAN POTENSI EKONOMI
Firmanzah 116
MENUJU POROS MARITIM DUNIA
Rokhmin Dahuri 119
DISTRIBUSI TERTUTUP LPG MELON
Ali Masykur Musa 124
WARISAN KEPEMIMPINAN MODEL SINGAPURA
Tirta N Mursitama 127
LEE
Rhenald Kasali 130 PELABUHAN CILAMAYA, UNTUK SIAPA?
Sj Arifin 133
MEMBANGUN SEKTOR PELAYARAN
Carmelita Hartoto 136
DEFISIT TRANSAKSI BERJALAN DAN STABILITAS EKONOMI
Aunur Rofiq 140
INFRASTRUKTUR DAN ARAH PEREKONOMIAN
Firmanzah 143
OBSTACLE INDUSTRI INDONESIA: BIROKRASI PERIZINAN
Hendrik Kawilarang Luntungan 146 PAK MENKO, MELAUTLAH!
M Riza Damanik 150
REFORMULASI KEBIJAKAN PERBERASAN
Khudori 153
KESEIMBANGAN PEMBANGUNAN PUSAT-DAERAH
Firmanzah 156
MENGKRITISI PRAKTIK P&I
Siswanto Rusdi 159
SAMPAI KAPAN BERGANTUNG PADA RASKIN?
Posman Sibuea 162
4
Penyalur Mobil Tetangga? Koran SINDO 12 Februari 2015
Entah apa yang salah dengan negeri ini. Belum selesai kisruh KPK-Polri, sepanjang pekan
lalu, publik dikejutkan lagi dengan sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Dalam kunjungan kerjanya ke Malaysia, Jumat (6/2), Jokowi bersama Perdana Menteri
Malaysia Najib Razak menyaksikan penandatanganan MoU pembuatan mobil nasional.
Setidaknya itu terlihat dari spanduk yang terpampang di belakang mereka. Yang kerja sama
adalah PT Proton Holding Berhad dengan PT Adiperkasa Citra Lestari.
Yang pertama, semua sudah tahu adalah produsen mobil Proton (kependekan dari Perusahaan
Otomotif Nasional). Tapi PT ACL milik orang dekat Jokowi, AM Hendropriyono, belum
sekali pun terdengar kiprahnya di bidang automotif. Sontak muncul kritik dan protes luas di
dalam negeri, terutama kepada Jokowi.
Tapi tak lama berselang, pemerintah ”meluruskan” bahwa itu bukan program mobil nasional.
Itu hanya kerja sama business to business seperti diungkap Menteri Perindustrian Saleh Husin
dan Menko Perekonomian Sofyan Djalil. Namun, tetap saja kontroversi berlanjut. Ingatan
rakyat kemudian mengarah kepada mobil Esemka, produk anak-anak sekolah menengah
kejuruan (SMK) asal Solo.
Soal Esemka ini sebenarnya Presiden tak boleh lupa. Ketika Jokowi masih menjabat wali
Kota Solo diarak menggunakan mobil Esemka dengan nopol AD 1 A. Bahkan saat jadi
gubernur DKI Jakarta, dia terus melempar mimpi akan menjadikan Esemka sebagai mobil
kebanggaan nasional. Dan, mimpi mobil nasional ini juga yang membawa Pak Jokowi kini
menjabat RI 1.
Namun yang terjadi kemudian, impian itu tinggal mimpi belaka. Setidaknya hingga kini
belum ada kebijakan pemerintah mengembangkan industri mobil nasional. Kucuran keringat
dan semangat anak-anak bangsa (baca: SMK) rupanya hanya dijadikan kendaraan politik
untuk mengangkat citra. Bukan untuk benar-benar membangun industri mobil nasional.
***
Kesepakatan itu menyatakan pada tahap awal Malaysia akan mengekspor kendaraan utuh ke
Indonesia. Berikutnya kedua perusahaan akan merakit mobil dan membuat pabrik komponen
di Indonesia. ”Nantinya akan menjadi mobil buatan Indonesia,” kata Mahathir seperti dikutip
Bernama.
5
Proton Berhad dipimpin bekas orang kuat Malaysia, bekas Perdana Menteri Mahathir
Mohammad. Berdiri sejak 1983, Proton awalnya menggandeng Mitsubishi (Jepang). Kini
perusahaan ini menggandeng Lotus (Inggris). Mitsubishi dan Lotus memasok mesin. Rangka
bodi dan desain dikerjakan Proton.
Proton memang sempat meraih angka produksi satu juta unit pada 1996 dan mengakuisisi
mayoritas saham dari Grup Lotus. Bahkan pada 2001, dia menguasai pasar automotif
Malaysia hingga mencapai 53%. Tapi sejak Januari 2012, perusahaan kebanggaan Malaysia
ini di-take over satu konglomerasi sana, DRB-Hicom Berhad, milik Tan Sri Syed Mokhtar
Albukhary. Musababnya sederhana: kesulitan keuangan. Mengapa bisa? Rupanya Proton tak
lagi berjaya di tanah airnya. Nama besarnya tergerus kendaraan lokal Malaysia lainnya,
Perodua. Berdasarkan data Malaysian Automotive Institute (MAI) Review and Insight 2014-
2015, pangsa pasar Perodua mencapai 29% sementara Proton 17,4%.
Selama ini Proton memiliki tempat istimewa di industri automotif Malaysia. Mungkin karena
peran Mahathir Mohammad. Selain disubsidi negara, harga jual Proton jauh lebih murah
dibandingkan kendaraan bermerek non-nasional. Tapi tetap saja proteksi itu tak membuat
Proton tambah bersinar. Proton juga bisa dibilang gagal meraih pasar di beberapa negara,
seperti Australia, Turki, dan Indonesia. Singkat cerita, Proton tengah meredup.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dijadwalkan berjalan akhir 2015 ini. Dari sekitar 600
juta penduduk ASEAN, Indonesia masih menjadi pasar yang menggiurkan. Jumlahnya
mencapai 50%. Lebih dari setengah populasi ASEAN adalah penduduk negeri ini. Jadi wajar
di balik itu semua Proton mengincar pasar Indonesia dengan bantuan pemerintah Jokowi.
***
Sementara itu, soal PT ACL dan Hendropriyono masih menyimpan tanda tanya. PT ACL tak
tercatat sebagai perusahaan automotif. Alamatnya pun tidak jelas.
Tentang Hendropriyono agaknya semua sudah paham. Dia sempat menjadi komisaris utama
PT KIA Motor Indonesia (KMI), penyalur 12 jenis produk KIA, perusahaan Korea Selatan.
KIA adalah singkatan dari Korean International Automotive atau Korea Industrial Autocar.
Atau dalam bahasa Korea-nya adalah ”Terbit di Asia”. Menurut catatan George Junus
Aditjondro, di perusahaan (PT KMI) ini bergabung anaknya dan anak mantan Menteri
Sekretaris Negara Muladi.
Aditjondro mengulas sebelumnya KIA dibawa Hutomo Mandala Putra (Tommy Soeharto)
untuk menggarap mobil nasional. Sedangkan Tommy Soeharto melansir nama Timor
(Teknologi Industri Mobil Rakyat) dengan melibatkan insinyur-insinyur tanah air. Padahal
mobil Timor yang digadang-gadang sebagai mobil nasional waktu itu sebenarnya hanyalah
produk KIA Sephia rakitan 1995. Entah apa alasannya.
6
Waktu itu sempat turun peraturan pemerintah yang memberi kelonggaran bisnis putra
kesayangan Presiden Soeharto itu, namun tak berlanjut menyusul krisis ekonomi yang
berlanjut pergantian kekuasaan. Nah, di tengah ketidakpastian itu, Hendropriyono mencari
jalan keluar. Dia mendirikan PT KMI.
Upaya ini, menurut Aditjondro, merupakan langkah strategis Hendro mendekat ke Presiden
Megawati Soekarnoputri. Hendro memang dikenal dekat dengan Mega sejak sebelum
Reformasi.
Seusai masa kepresidenan Megawati, nasib PT KMI tak terdengar. Distribusi mobil KIA
kemudian diambil alih pusatnya, KIA Motor Company di Korea Selatan.
***
Definisi mobil nasional sederhana: 100% sahamnya harus dimiliki dalam negeri, dirakit
sepenuhnya oleh insinyur dalam negeri. Apakah sudah ada? Rupanya belum. Kementerian
Perindustrian mengaku belum memiliki roadmap pembangunan mobil nasional tapi baru
roadmap pembinaan automotif nasional.
Membuat—apa yang bisa disebut—mobil nasional sebenarnya mudah. Mungkin hanya butuh
beberapa hari saja. Mengingat di sini banyak tenaga ahli, desainer, mekanik, teknisi motor,
dan lainnya. Tercatat sudah banyak model mobil nasional yang sudah diciptakan anak negeri
kita.
Mobnas kita sudah banyak. Sebut saja Toyota Kijang, Maleo, MR 90, Kalla Motor, Bakrie
Beta 97 MPV, Timor, Bimantara, Kancil, Texmaco Macan, Gang Car, Marlip, Arina, Tawon,
Komodo, GEA, Esemka (yang dipakai sebagai kendaraan dinas Jokowi saat jadi wali Kota
Solo), Texmaco Perkasa, Nuri, Wakaba, Mobil Listrik Ahmadi, Tucuxi (promotor Dahlan
Iskan), dan Mobnas Tenaga Listrik. Toyota Kijang mulai diproduksi 1974. Desain dan
mayoritas komponennya produksi lokal. Bayangkan Kijang sudah ada sebelum Proton berdiri
(1983).
Tapi membangun industri mobil nasional jelas lain masalah. Membuat satu mobil tidak
identik dengan membangun industri mobil. Membangun pabrik tak sama dengan membangun
industri. Dalam industri, ada mata rantai pasokan dan mata rantai nilai tambah.
Membuat ratusan mobil tidak sama dengan membuat ribuan atau jutaan mobil. Satu mobil
saja pada umumnya terdiri atas 20.000-30.000 parts. Tidak ada sebuah negara atau sebuah
industri automotif membuat 20.000 parts itu sendirian. Pasti ada mata rantai pemasok atau
supply chain.
Di situ diperlukan value chain, mata rantai nilai tambah secara berjenjang dan bertahap. Tiap
industri membangun mata rantai itu. Muncul istilah ‘mata rantai pasokan’. Dalam konteks ini
jelas diperlukan pasokan beragam jenis industri raw material yang berkaitan dengan mata
7
rantai pasokan. Yang paling utama adalah industri baja dasar. Apakah kita sudah
memilikinya?
Semua industri mobil raksasa sudah membangun mata rantai Global Value Chain yang
menggurita. Mereka bersaing sekaligus saling bekerjasama. Jepang bekerja sama dengan
Amerika, Jepang dengan Eropa, dan Jepang dengan China. Juga dengan negara-negara
ASEAN. Filipina dan Thailand jadi basis produksi mobil Ford. Bahkan, Hyundai dan KIA
(Korea Selatan) pun berkongsi dengan India.
Dengan peta kekuatan industri mobil global seperti di atas menjadi mengherankan jika
mengapa untuk membuat mobil nasional kita harus bekerja sama dengan Malaysia. Jika
lemah beraliansi dengan lemah, apa bisa kuat? Belajar dari sejarah selalu saja pihak Indonesia
dijadikan agen penyalur produk asing, termasuk dalam kasus Proton-PT ACL ini.
HENDRIK KAWILARANG LUNTUNGAN
Wakil Sekjen Bidang Ekonomi DPP Partai Perindo
8
Beban Baru dari Penguasa Baru Koran SINDO 13 Februari 2015
Hari ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dijadwalkan akan mengesahkan Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN-P) Tahun Anggaran 2015
menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) Tahun Anggaran
2015.
Mengiringi pengesahan RAPBN-P 2015 menjadi APBN-P 2015, perlu rasanya
mengemukakan beberapa hal penting menyangkut arah kebijakan pemerintah. Dalam Nota
Keuangan (NK) RAPBN-P Tahun Anggaran 2015 pemerintah membatasi diri dalam
mengoptimalkan upaya penerimaan pajak. Alasan pembatasan itu agar tidak mengganggu
perkembangan investasi dan dunia usaha.
Bahkan pemerintah tak segan memberikan insentif perpajakan dan bea masuk yang
ditanggung pemerintah bagi sektor-sektor usaha tertentu. Pemerintah sendiri tidak
menjelaskan lebih jauh mengenai sektor tertentu yang dimaksud.
Pada alokasi pendapatan negara, pemerintah justru menggenjot kenaikan penerimaan dari
pajak pertambahan nilai (PPn), pajak bumi dan bangunan (PBB), serta cukai. Penerimaan
PPn dalam APBN 2015 dipatok Rp524,97 triliun, sementara di RAPBN-P 2015 angka itu
melonjak menjadi Rp576,47 triliun. Angka itu sudah disepakati dalam postur sementara
RAPBN-P 2015. Kemudian penerimaan PBB dalam APBN 2015 sebesar Rp26,68 triliun juga
digenjot menjadi Rp26,69 triliun di RAPBN-P 2015 dan sudah disepakati dalam postur
sementara RAPBN-P 2015.
Lalu penerimaan cukai dalam APBN 2015 sebesar Rp26,68 triliun juga dinaikkan menjadi
Rp26,69 triliun dalam RAPBN-P 2015 dan disepakati dalam postur sementara RAPBN-P
2015.
Kenaikan target penerimaan dari PPn, PBB, dan cukai bukan saja berdampak menekan daya
beli, tapi juga bisa menambah berat beban rakyat. Hal inilah yang harus juga mendapat
perhatian pemerintah.
Beban rakyat masih akan bertambah seiring dengan keputusan pemerintah melakukan
penghapusan subsidi BBM jenis premium pada sisi belanja negara. Bersamaan dengan itu
pemerintah mengurangi subsidi untuk BBM jenis solar melalui alokasi subsidi tetap.
Alokasi belanja subsidi bahan bakar minyak (BBM), liquefied petroleum gas (LPG), dan
bahan bakar nabati (BBN) yang di APBN 2015 berjumlah Rp276 triliun dibabat habis
9
menjadi hanya Rp81,8 triliun dalam RAPBN-P2015. Angka itu masih dipangkas lagi
sehingga dalam postur sementara RAPBN 2015 menjadi RP64,7 triliun.
Kebijakan menghapuskan subsidi tersebut berpotensi menimbulkan rentetan ketidakstabilan
ekonomi yang dipicu volatilitas harga BBM. Bahkan lebih jauh hal itu sangat berpotensi
mendorong kenaikan harga barang dan jasa. Secara akumulatif kondisi tersebut akan
berpengaruh buruk pada kesejahteraan rakyat dan dapat memicu naiknya angka kemiskinan
dan pengangguran.
Tampaknya pemerintah tidak peduli bahwa BBM adalah faktor produksi penting bagi negara
dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Pemerintah juga seolah tak peduli keputusan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan bahwa kebijakan menyerahkan harga BBM
mengikuti mekanisme pasar bertentangan dengan konstitusi.
Menambah Utang
Meskipun sudah menghapus subsidi premium dan memangkas subsidi BBM lainnya dengan
alasan efisiensi, ternyata kebijakan itu tak berpengaruh banyak pada defisit anggaran. Defisit
dalam APBN 2015 tercatat mencapai Rp245,9 triliun, pada RAPBN-P 2015 menjadi Rp225,9
triliun, dan di postur sementara RAPBN-P 2015 menjadi Rp224,1 triliun.
Pada sisi pembiayaan untuk menutupi defisit, pemerintah menegaskan masih akan setia
menggunakan pembiayaan yang bersumber dari pinjaman luar negeri. Dalam APBN 2015
penarikan pinjaman luar negeri (bruto) sebesar Rp47 triliun, kemudian dalam RAPBN-P
2105 naik menjadi Rp49,2 triliun. Dalam postur sementara RAPBN-P 2015 disepakati
menjadi Rp48,6 triliun.
Pemerintah juga melakukan komitmen pinjaman siaga sebesar Rp61 triliun yang bersumber
dari Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), Japan Bank for Internationa l Cooperation
(JBIC), dan Pemerintah Australia. Pemerintah juga menerbitkan surat utang negara (SUN).
Penerbitan SUN oleh pemerintah tidak hanya dengan denominasi rupiah, tetapi juga dalam
denominasi valuta asing.
Pemerintah menambah penerbitan surat berharga negara (SBN). Pemerintah berencana
mendapatkan pembiayaan melalui penjualan SBN denominasi rupiah dan dolar AS sebesar
Rp38 triliun. Penambahan utang tersebut dilakukan pemerintah untuk membiayai penyertaan
modal negara (PMN). Dalam APBN 2015 alokasi PMN hanya Rp5,1 triliun. Namun angka
itu melonjak drastis dalam RAPBN-P 2015 menjadi Rp72,9 triliun. Kemudian dalam postur
sementara RAPBN-P 2015 menjadi Rp64,8 triliun.
Jauh dari Harapan Rakyat
Potret kebijakan anggaran yang tecermin dalam NK RAPBN- P 2015 menunjukkan bahwa
pemerintahan baru belum mengakomodasi perubahan sesuai harapan rakyat. Tentu rakyat
10
berharap agar pemerintahan baru bisa menjalankan kebijakan yang dapat membuat kehidupan
masyarakat menjadi lebih baik. Harapan tersebut bukan saja wajar, tetapi juga mendapatkan
legitimasi dari konstitusi UUD 1945.
Pasal-pasal dalam konstitusi negara secara jelas mengamanatkan kepada pemerintahan untuk
senantiasa melindungi segenap tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa,
memajukan kesejahteraan umum, dan ikut serta dalam menciptakan perdamaian dunia.
Namun, sayang, pemerintahan baru yang saat ini berkuasa masih berwatak sama dengan
rezim terdahulu. Tampak tak hendak bersungguh-sungguh menjalankan amanat konstitusi.
Sebaliknya kuat sekali kesan patuh pada investor dan pengusaha walaupun harus melanggar
konstitusi.
KUSFIARDI
Analis Ekonomi Politik
11
Perspektif Baru Konflik Polri-KPK Koran SINDO 13 Februari 2015
Roller coaster, tampaknya analogi yang sempurna untuk menggambarkan hubungan antara
Polri dan KPK beberapa pekan ke belakang ini.
Naik-turun, menikung dengan curam, melandai, namun tiba-tiba menanjak untuk kemudian
menukik tajam. Dimulai dari penetapan yang mengejutkan Komjen Budi Gunawan (BG)
sebagai tersangka oleh KPK di tengah-tengah euforia pencalonan tunggalnya sebagai kepala
Polri, serentetan peristiwa saling sambung terkait.
Hingga saat ini seluruh petinggi KPK telah dilaporkan dan menjadi tersangka atau akan
segera menjadi tersangka. Tanpa mengecilkan peran Kompolnas, Tim Sembilan dan berbagai
pihak lain yang ikut riuh-rendah meramaikan situasi sepertinya harapan akan berakhirnya
konflik ini masih belum jelas adanya.
Masyarakat berbeda pendapat mengenai hubungan panas tersebut. Ada yang secara terang-
terangan mendukung pihak tertentu, lengkap dengan urat leher yang ditarik kencang untuk
membela. Ada pula yang bersedih atas situasi tegang ini dan mengambil posisi plegmatis
dengan hashtag save KPK dan save Polri. Sebagian besar lainnya, antara jenuh dan tidak
terlalu peduli. Bagi mereka, konflik ini tak lebih dari satu di antara pengisi berita. Apa pun
yang terjadi, asalkan bisnis masih berjalan, pekerjaan masih dapat dikerjakan, life must go on.
Saya tak hendak ikut-ikutan membahas keadaan ini dengan kacamata politik atau sosial, yang
memang bukan bidang keahlian saya. Namun, fakta konflik ini justru sangat menggelitik jika
dipandang sebagai kasus umum yang terjadi di sebuah organisasi.
Jika negara adalah suatu organisasi raksasa, konflik Polri-KPK dapat dipandang dalam suatu
perspektif dinamika organisasi. KPK dan Polri merupakan organ vital dalam kehidupan
berbangsa. Bagaikan organ-organ tubuh yang saling bersaing menunjukkan siapa paling
penting fungsinya, akhirnya akan sadar, bahwa sekecil apa pun peran organ itu pasti memiliki
keutamaan untuk menjaga napas kehidupan.
Tanpa KPK atau Polri, rasanya para penjahat korupsi akan merajalela. Dengan demikian,
harmoni dan keselarasan gerak keduanya sangat dibutuhkan tanpa mengutamakan satu di atas
yang lain.
Setidaknya ada empat tahapan utama dalam dinamika suatu organisasi yaitu forming
(pembentukan), storming (munculnya konflik), norming (penetapan aturan baru), dan
performing (tahap menunjukkan kinerja).
12
Sesaat setelah terbentuk, organisasi akan mencari cara terbaik mencapai tujuan melalui kerja
dari sub-sub organisasinya. Dengan rentang tugas dan wewenang serta cara pandang yang
berbeda-beda, tak jarang muncullah gesekan antarsub organisasi. Di sinilah muncul konflik.
Beberapa hal yang perlu diingat adalah konflik muncul karena kedua pihak memiliki cara
yang berbeda untuk mencapai tujuan. Tujuannya sama, caranya berbeda. Jika kita memaknai
konflik dengan cara ini, sedikit-banyak ketegangan dapat dikurangi. Dua pihak yang
berkonflik dalam organisasi pada dasarnya menginginkan kebaikan di level visi, namun
berbeda dalam menentukan pelaksanaannya.
Selain daripada hal tersebut, forming adalah tahap penting sebelum munculnya
performing. Tak ada perbaikan kinerja tanpa konflik. Organisasi yang adem ayem,
menghindari konflik, dan selalu setuju dengan pendapat bagian lain niscaya akan mengalami
kemandekan pertumbuhan dan inovasi yang terbonsai. Dinamika seperti ini tidak akan
mampu menandingi dinamika industri dan lingkungan bisnis yang berubah demikian cepat.
Michael Porter, seorang pemikir tersohor di bidang manajemen, malah mengatakan dengan
singkat, “chaos is now the new normality“, untuk menggambarkan turbulensi perubahan di
lingkungan bisnis.
Memaknai negara sebagai organisasi raksasa, dapat menawarkan perspektif baru dalam
memandang konflik Polri-KPK ini. Pertama, kedua lembaga diciptakan oleh karsa manusia,
seluruh rakyat Indonesia, untuk mengemban amanat penegakan hukum. Dengan demikian,
keduanya memegang mimpi bersama untuk mewujudkan negara bebas korupsi. Di titik ini
keduanya memiliki persamaan.
Konflik yang saat ini terjadi tentunya membuka peluang untuk melakukan perbaikan di
masing-masing institusi dan pembenahan pola hubungan antarinstitusi tersebut. Tidak ada
yang paling baik meneliti kelemahan suatu lembaga selain pihak yang sedang
berseteru. Konflik ini hendaknya menjadi upaya untuk menginventarisasi seluruh kelemahan
sistem dan pola hubungan antarlembaga agar digunakan sebagai alat berbenah.
Kedua, konflik ini dibutuhkan untuk meningkatkan kinerja jika—dan hanya jika—konflik
memiliki sifat fungsional dan bukan konflik yang disfungsional. Konflik yang bersifat
fungsional berorientasi pada data, fakta, alat bukti, dan fokus pada masalah. Sebaliknya,
konflik yang bersifat disfungsional bertumpu pada emosi, dendam pribadi, prasangka, dan
fokus pada personal. Jika konflik fungsional bisa kita harapkan membawa peningkatan
kinerja, konflik disfungsional justru mendorong pada tersungkurnya kinerja.
Seluruh pemain yang kali ini berada di panggung publik sedang memainkan peran masing-
masing. Dengan memperhatikan statement, gerakan, dan manuvernya, masyarakat dan
penyelenggara kekuasaan akan menilai, mana yang memiliki kedewasaan untuk menjaga
konflik fungsional atau mana yang justru menunjukkan koreng-koreng kepribadian sehingga
membakar konflik disfungsional. Jika seluruh tokoh telah bermain, terang-benderanglah siapa
13
saja yang harus tereliminasi demi kelangsungan kenegaraan.
Jika demikian, peran pemegang kekuasaan tertinggi, pimpinan sekaligus konduktor dalam
orkestrasi negara yaitu Presiden, sangatlah berat. Kemampuan Presiden untuk menjadi
katalisator bagi transformasi dua lembaga penting ini sepanjang jalannya dari proses storming
ke performing sedang diuji. Proses ini memerlukan pandangan yang tajam dan keberpihakan
pada objektivitas fakta dan data sehingga perlu dilakukan penyaringan terhadap para pelaku
konflik di masing-masing institusi.
Paling tidak, para pelaku di dalam institusi itu dapat dibedakan dalam dua dimensi utama.
Dimensi pertama adalah kemampuannya untuk tetap fokus pada konflik fungsional. Sifatnya
objektif dan berbasis data. Dimensi kedua adalah pengaruh dan kemampuan transformasinya.
Mereka yang masuk dalam kuadran pertama yakni memiliki kemampuan transformasi dan
fokus pada konflik fungsional adalah calon-calon pemimpin yang diharapkan mampu
mengambil peran lebih besar. Sedangkan mereka yang lemah di dua dimensi ini perlu
diisolasi melalui sistem yang ada. Proses filterisasi pelaku seperti ini akan membawa
perubahan besar dalam pola konflik.
Masyarakat yang harap-harap cemas dengan perkembangan ini tentu menanti tindakan nyata
dari pemimpin tertinggi. Jika dikaitkan dengan revolusi mental, mentalitas memandang
konflik Polri-KPK sebagai hal positif yang membuka peluang untuk mencapai level kinerja
baru yang lebih tinggi. Hanya dengan cara itu, kita menghiasi perbedaan dengan harapan dan
bisa mengharap jalan di depan lebih terang. Maju terus bangsaku.
WAHYU T SETYOBUDI
Pengajar dan Peneliti PPM School of Management
14
Mengawal Nilai Tukar Rupiah Koran SINDO 16 Februari 2015
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan minggu lalu
menghadapi tekanan.
Pada Jumat (13/2), nilai tukar rupiah ditutup di posisi Rp12.798 per dolar AS dan sempat
mencapai level Rp12.851 per dolar AS di hari sebelumnya. Tekanan terhadap nilai tukar
rupiah ini juga kita rasakan sepanjang 2014, di mana rupiah terdepresiasi sebesar 1,74% (year
on year).
Pelemahan nilai tukar rupiah dimulai menjelang berakhirnya tahun 2012 atau awal 2013
ketika The Fed mulai menyampaikan rencana percepatan penghentian program stimulus
quantitative easing (QE III) hingga rencana kenaikan suku bunga The Fed. Secara umum
kebijakan The Fed ini memicu pelemahan nilai tukar rupiah dan hampir sebagian besar nilai
tukar negara berkembang (soft currency).
Di saat bersamaan negara-negara di kawasan Eropa, China, dan Jepang, mengalami
perlambatan ekonomi. Hal ini memperbesar bobot tekanan bagi nilai tukar rupiah mengingat
kawasan Eropa, China, dan Jepang merupakan mitra strategis Indonesia. Pada Jumat (13/2),
Bank Indonesia merilis neraca pembayaran triwulan IV 2014 surplus sebesar USD2,4 miliar
akibat surplus transaksi modal dan finansial sebesar USD7,8 miliar yang melampaui defisit
transaksi berjalan sebesar USD6,2 miliar (2,81% produk domestik bruto/PDB).
Dengan demikian, neraca pembayaran tahun 2014 mencatatkan surplus USD15,2 miliar
setelah pada 2013 defisit USD7,3 miliar. Perbaikan tersebut ditopang oleh menyusutnya
defisit transaksi berjalan dan meningkatnya surplus transaksi modal dan finansial. Surplus ini
juga memberi efek pada peningkatan cadangan devisa yang hingga akhir Januari telah
mencapai USD114,2 miliar.
Selain itu Bank Indonesia juga merilis kinerja transaksi berjalan, di mana defisit transaksi
berjalan triwulan IV 2014 sebesar USD6,18 miliar atau lebih rendah dibandingkan dengan
defisit USD7 miliar (2,99% PDB) pada triwulan III 2014. Dengan demikian, sepanjang 2014,
defisit transaksi berjalan tercatat USD26,2 miliar (2,95% PDB) atau lebih kecil dibanding
tahun 2013 yang mencapai USD29,1 miliar (3,18% PDB).
Sementara itu Badan Pusat Statistik (BPS) merilis kinerja neraca perdagangan 2014 masih
defisit sebesar USD1,88 miliar dengan nilai total ekspor tercatat USD 176,29 miliar,
sementara impor USD178,18 miliar.
15
Jika kita amati, surplus neraca pembayaran yang lebih banyak ditopang oleh transaksi
finansial pada 2014, di mana nilainya mencapai USD43,6 miliar atau meningkat dua kali lipat
dari 2013 yang sebesar USD21,9 miliar. Sementara transaksi modal relatif stabil dari tahun
ke tahun. Transaksi finansial pada periode 2014 banyak disumbangkan oleh investasi
portofolio baik swasta maupun sektor publik. Di sisi lain neraca transaksi berjalan sejak
triwulan IV 2011 hingga saat ini terus negatif (defisit) menunjukkan bahwa kinerja transaksi
baik barang maupun jasa masih relatif kurang menggembirakan.
Defisit transaksi berjalan tercatat terus defisit sepanjang triwulan IV 2011-2014 atau telah
berlangsung selama 13 triwulan berturut-turut. Ini merupakan catatan penting bagi
perekonomian nasional mengingat ekonomi Indonesia baru periode tersebut mengalami
defisit berturut-turut. Memang argumentasi di belakang realita tersebut adalah perlambatan
ekonomi dunia yang juga menekan permintaan secara global. Belum lagi dinamika ekonomi
kawasan dan domestik yang juga memberi sentimen terhadap perekonomian nasional.
Dari gambaran ini, pemerintah perlu mencermati dua hal. Pertama, potensi pembalikan modal
(reverse) yang sewaktu-waktu dapat terjadi dan menekan transaksi finansial yang sebagian
besar didominasi oleh investasi portofolio. Hal ini tentunya bukan hal yang mustahil
mengingat The Fed telah memberi sinyal kenaikan suku bunga di Amerika Serikat (cepat atau
lambat).
Kenaikan suku bunga The Fed tentunya akan berdampak pada realokasi investasi dan
pelarian modal keluar dari negara-negara berkembang ke Amerika Serikat. Termasuk
investasi dan modal derivatif yang saat ini parkir di Indonesia.
Kedua, dari sisi transaksi berjalan akan relatif sulit diharapkan terlalu banyak mengingat
tekanan melemahnya permintaan komoditas dunia sementara sebagian besar kegiatan ekspor
masih mengandalkan ekspor komoditas. Defisit yang terjadi sepanjang 13 triwulan sejak
akhir 2011 mencerminkan masih perlunya dorongan bagi produksi-produksi barang/jasa yang
bernilai tambah tinggi mengingat tekanan melemahnya permintaan komoditas terus
meningkat seiring dengan anjloknya harga komoditas.
Asumsi bahwa anjloknya nilai tukar rupiah akan memberi peluang bagi ekspor juga sulit
dipertahankan lantaran eksportasi yang dilakukan masih didominasi sektor
komoditas. Artinya untuk dapat keluar dari persoalan defisit transaksi berjalan, maka
produksi barang/jasa bernilai tambah tinggi mutlak harus dilakukan
Ketiga, stabilitas politik memerlukan kehati-hatian mengingat contagion effect-nya cukup
signifikan terhadap stabilitas perekonomian nasional. Walaupun sentimen eksternal yang
datang dari krisis Yunani pada pekan lalu ditengarai sebagai sebab dari pelemahan rupiah,
tetapi pemerintah juga perlu menyadari situasi dan dinamika domestik yang kini berlaku di
Indonesia. Potensi tergerusnya kepercayaan investor, melemahnya animo pasar akan
berdampak pada kinerja neraca pembayaran di masa mendatang.
16
Persoalan-persoalan di atas tentunya sangat membutuhkan respons kebijakan agar tekanan
baik eksternal maupun internal dapat dimitigasi sehingga ekonomi nasional dapat terus
membaik. Proyeksi ekonomi global sepanjang 2015 masih berputar sekitar kenaikan suku
bunga The Fed, tertekannya ekonomi Eropa, China, dan Jepang, konflik di sejumlah
kawasan, akan berdampak sepanjang tahun 2015.
Pertama, permintaan komoditas masih terus melemah sepanjang 2015. Kedua, harga minyak
dunia juga tetap berada pada level yang rendah akibat pasokan yang berlimpah setelah
Amerika mengumumkan surplus minyak serpih. Ketiga, perbaikan ekonomi Amerika akan
mendorong penguatan mata uang dolar AS terhadap sebagian besar mata uang negara-negara
di dunia termasuk Indonesia. Keempat, konflik Ukraina, Timur Tengah, dan persoalan-
persoalan di perbatasan negara juga akan memberi kontribusi signifikan terhadap
perlambatan ekonomi global sekaligus mendorong pelemahan permintaan dunia.
Dengan berbagai proyeksi tersebut, pemerintah tetap perlu mencermati dan mewaspadai
pelemahan nilai tukar rupiah mengingat dampak pelemahan ini dapat mengakibatkan
tertahannya pertumbuhan ekonomi.
Pertama, kebutuhan bahan baku yang sebagian besar impor akan menghadapi masalah serius.
Kedua, karena biaya bahan baku naik, harga-harga barang industri juga berpotensi meningkat
pada harga akhir. Ketiga, daya beli masyarakat akan tergerus akibat kenaikan harga-harga
tersebut padahal sebelumnya sudah dihadapkan pada kenaikan harga listrik dan elpiji.
Keempat, potensi pelarian modal dalam beberapa waktu ke depan memiliki nilai probabilitas
cukup tinggi yang dapat sewaktu-waktu menekan kinerja neraca pembayaran. Kelima,
kenaikan suku bunga The Fed dan potensi pelarian modal berdampak pada kebijakan otoritas
moneter yang salah satu opsinya menaikkan suku bunga. Kenaikan suku bunga ini tentunya
akan berdampak pada tertekannya sektor riil yang langsung atau tidak langsung juga
menekan daya beli masyarakat.
Dari kelima potensi itu, hal paling mendasar bagi pemerintah saat ini adalah mempertahankan
dan memastikan daya beli masyarakat tidak tergerus. Ini dapat ditempuh melalui koordinasi
kebijakan lintas sektoral untuk tetap menjaga baik melalui instrumen harga di tingkat akhir,
maupun instrumen fiskal lain yang dapat menjaga daya beli masyarakat, khususnya terhadap
sejumlah barang kebutuhan pokok dan barang penting lainnya.
Setelah itu kinerja perdagangan perlu diarahkan pada produksi barang-barang bernilai tinggi
sekaligus digunakan untuk memperkuat orientasi ekspor barang-barang bernilai tambah
tinggi. Dan yang tak kalah pentingnya adalah memastikan stabilitas politik dan keamanan
domestik untuk menjaga citra sebagai salah satu destinasi investasi yang atraktif saat ini.
Dengan mencermati hal ini, kita berharap tekanan pelemahan rupiah dapat diantisipasi
khususnya terkait dampaknya terhadap ekonomi sektor riil dan rumah tangga.
17
PROF FIRMANZAH PhD
Rektor Paramadina dan Guru Besar FEUI
18
4G LTE, Tak Sekadar Internetan Cepat
Koran SINDO 17 Februari 2015
Akhirnya masyarakat Indonesia bisa memanfaatkan layanan 4G LTE (Long Term Evolution),
sama seperti masyarakat di 107 negara lainnya.
Ya, kita memang cukup terlambat dalam menerapkan teknologi jaringan tercanggih ini, yang
pertama kali diterapkan pada 2009. Bahkan, negara-negara tetangga di Asia Tenggara sudah
menerapkannya lebih dulu. Tapi lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, mengingat
manfaat yang mampu dihadirkan oleh teknologi 4G LTE. Melalui tulisan ini, saya akan coba
menunjukkan sejumlah hal mengapa kita perlu menerapkannya.
Bicara keunggulan 4G LTE tidak terlepas dari internet cepat yang bisa dihadirkannya.
Namun, bukan berarti ini sekadar masalah bagaimana operator berbisnis layanan internet
yang lebih cepat agar bisa mendapatkan keuntungan lebih banyak. Manfaat bisnis hanyalah
salah satunya. Ada banyak manfaat yang lebih besar dari sekadar bisnis.
Internet cepat dan stabil menjadi pendorong bagi lahirnya berbagai inovasi yang akan
menjadi solusi atas berbagai persoalan, terutama terkait dengan problem keterbatasan ruang
dan waktu. Berbagai bidang kehidupan bisa ikut mengambil manfaat dengan hadirnya
internet cepat, termasuk bidang-bidang yang erat dengan upaya peningkatan kualitas hidup
manusia.
Secara teknis, 4G LTE memiliki sejumlah keunggulan dibandingkan teknologi generasi
sebelumnya, HSPA dan 3G. Sebut saja antara lain kecepatan hingga lebih dari 100 Mbps,
yang memungkinkan mengunduh data 3–10 kali lebih cepat dibandingkan HSPA, dan 4–9
kali lebih cepat untuk unggah data.
Untuk unduh aplikasi sebesar 25 MB cukup dalam dua detik, sedangkan dengan 3G
setidaknya perlu semenit. Kita bisa menggunakan analogi jalan tol untuk jaringan 4G LTE
ini. Ketika jalan tol yang mulus dan punya 6 lajur terbentang ke seluruh negeri, lalu lintas
kendaraan menjadi sangat lancar. Transportasi orang dan barang antardesa, desa dengan kota,
kota dengan kota di seluruh penjuru negeri, juga hampir-hampir tak akan menemui kendala.
Kelancaran transportasi akan berkontribusi langsung pada teratasinya problem ekonomi dan
sekaligus mendorong kemajuan suatu daerah. Begitu juga dengan internet cepat. Ketika
teknologi yang ada sudah mampu menghadirkan koneksi internet secara cepat dan stabil,
berbagai bidang akan bisa ikut memanfaatkannya.
19
Pengalaman di negara-negara yang telah menerapkan teknologi 4G LTE sebelumnya
menunjukkan hasil yang sangat positif dalam upaya memperbaiki kualitas hidup masyarakat.
Sebagai contoh, di bidang kesehatan, seperti yang dikutip dari www.pcworld.com, Cisco dan
penyedia layanan AT & T di Amerika Serikat telah mengembangkan perangkat dan layanan
khusus untuk operasi kesehatan, dengan memanfaatkan kemampuan jaringan 4G untuk
mentransfer file besar (seperti antara lain sinar-X) secara cepat. Dengan demikian, melalui
layanan canggih ini, seorang dokter bisa melakukan video interaktif guna melakukan
pemantauan secara jarak jauh dengan koleganya yang melakukan tindakan medis di tempat
lain.
Jaringan 4G LTE juga akan memudahkan bagi masyarakat perdesaan untuk mendirikan pusat
kesehatan di daerah terpencil, di mana dokter dapat ”mengunjungi” pasien melalui fasilitas
teleconference. Tentu saja layanan ini akan mampu menjadi solusi atas keinginan pemerintah
dalam memeratakan layanan kesehatan yang berkualitas hingga ke pelosok daerah.
Fasilitas yang hampir sama juga bisa dimanfaatkan untuk keperluan pendidikan. Dengan
kemampuan jaringan internet yang cepat dan stabil, penyediaan beragam materi edukasi akan
bisa diwujudkan oleh pemerintah bagi warganya hingga di pelosok daerah.
Termasuk juga dalam hal ini penyediaan sistem kuliah jarak jauh, di mana seorang profesor
bisa memberikan kuliah secara interaktif dengan siswa didiknya di tempat yang berjauhan.
Jaringan internet cepat akan mampu menghubungkan siapa saja dengan perpustakaan-
perpustakaan terbaik, bahkan mengakses koleksi buku dan materi multimedia secara digital.
Internet supercepat juga akan membuka peluang bagi bisnis rumahan, yang sebelumnya
memang sudah mulai berkembang. Orang akan mudah menawarkan dagangan dan
melakukan transaksi jual beli secara online. Bahkan, transaksi perbankan juga akan sangat
terdukung. Akan semakin banyak unit bisnis yang bisa dijalankan secara lebih efisien dari
luar kantor atau pabrik tanpa mengurangi produktivitasnya.
Lompatan Pembangunan
Generasi keempat teknologi jaringan mobile ini terutama dibangun untuk menjawab
kebutuhan atas layanan internet mobile dan data yang lebih efisien, yang memungkinkan
konektivitas layanan seluler lebih cepat dan lebih dapat diandalkan, di mana penggunaan data
meningkat 250% dari tahun ke tahun (www.bbc.com).
Sampai saat ini, berbagai negara di lima benua telah meluncurkan 4G dan sudah menuai
manfaatnya. Di antara mereka termasuk kekuatan ekonomi seperti Amerika Serikat, Rusia,
China, dan Jepang. Juga negara-negara lebih kecil di Asia seperti Malaysia, Thailand,
Filipina, dan Bangladesh, hingga negara Afrika seperti Angola, Rwanda, Nigeria, dan
Tanzania. Alasan mereka berinvestasi dalam 4G sangat logis. Sepenuhnya mereka menyadari
bahwa teknologi adalah faktor pendorong pertumbuhan ekonomi.
20
Bagi negara-negara berkembang, dengan menerapkan teknologi jaringan terbaru ini maka
mereka berharap akan mampu melakukan lompatan pembangunan, serta mendorong dunia
bisnis untuk tumbuh berkembang, serta mendorong masuknya investasi asing.
Bagi pelaku bisnis, di mana konektivitas telah menjadi salah satu kebutuhan utama, seperti di
bidang hiburan, media, serta e-commerce, maka dipastikan akan mendapatkan
keuntungan. Mereka akan mendapatkan layanan data yang lebih cepat dan lebih dapat
diandalkan sehingga akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas. Hal ini sekaligus akan
membantu mereka bersaing dalam skala global.
Capital Economics pada 2012 memperkirakan kontribusi atas penerapan teknologi 4G LTE
dalam perekonomian Inggris antara lain memacu peningkatan investasi swasta hingga 5,5
miliar poundsterling. Penelitian ini juga menemukan 4G membuka tidak kurang dari 125.000
pekerjaan dan akhirnya memberikan dorongan 0,5% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Padahal, ini di negara yang sudah maju. Manfaat yang sama besar setidaknya juga akan bisa
diraih oleh negara-negara berkembang yang menerapkan teknologi yang sama. Akhirnya,
mari kita syukuri kehadiran jaringan 4G LTE di Indonesia ini dengan memanfaatkannya
sebaik-baiknya untuk kemajuan bangsa dan negara.
HASNUL SUHAIMI
Presiden Direktur/CEO XL Axiata
21
Rigiditas Koran SINDO 19 Februari 2015
Kita yang membaca berita ini tentu gemas. Menjelang pertengahan Desember 2014, Provinsi
DKI Jakarta mendapat lima bus tingkat dari seorang pengusaha. Busnya bagus, buatan
perusahaan automotif asal Jerman.
Rencananya bus itu bakal digunakan sebagai angkutan gratis. Anda tahu bukan, sejak 17
Januari 2015 berlaku larangan bagi pengendara sepeda motor untuk melintas mulai Bundaran
Hotel Indonesia (HI) sampai Jalan Medan Merdeka Barat. Pengendara yang melintas akan
kena tilang. Peraturan itu menuai pro dan kontra. Mereka yang kontra jelas geram.
”Buat larangan memang mudah. Sekarang apa solusinya bagi para pengendara sepeda
motor?” Di antaranya lima bus tingkat tadi. Kelak, berbarengan dengan lima bus tingkat
lainnya yang sudah dioperasikan, bus tingkat itu akan hilir mudik sepanjang Bundaran HI
hingga Medan Merdeka Barat. Pengendara sepeda motor dipersilakan naik bus tingkat
tersebut. Gratis.
Tapi, apa yang terjadi? Lima bus sumbangan tadi tak bisa beroperasi lantaran tak sesuai
dengan PP No. 55/2012 tentang Kendaraan. Bus itu memakai kerangka yang lebih kecil,
bukan kerangka bus tingkat. Akibatnya bus menjadi lebih ringan. Maklumlah, perusahaan
pembuatnya kelas dunia yang mempunyai tradisi inovasi. Jadi selalu ada pembaruan yang
didasarkan riset. Maka, kendaraan ini beratnya hanya 18 ton. Padahal, sesuai PP tersebut, bus
boleh beroperasi kalau beratnya 21-24 ton.
Kita sebagai masyarakat awam tentu bertanya-tanya. Bukankah kalau lebih ringan, usia pakai
jalan-jalan di Jakarta bisa lebih lama. Lalu, bus gandeng Transjakarta buatan Tiongkok
beratnya lebih dari itu, sekitar 31 ton. Mengapa Transjakarta boleh beroperasi?
Kacamata Kuda
Bus tingkat tadi adalah satu dari sejumlah kasus yang menggambarkan betapa tingginya
rigiditas birokrasi di negara kita. Tapi, sesungguhnya di banyak negara, birokrasi memang
terkenal rigid.
Saya melihat hal-hal semacam ini tidak dikomunikasikan secara jelas oleh para penegak
hukum. Mungkin karena mereka merasa itu bukan urusan kejaksaan atau kepolisian. Urusan
mereka hanya sebatas bagaimana mengembalikan Labora ke penjara. Titik. Kalau cara
pandang ala kacamata kuda seperti ini terus dipertahankan, saya khawatir upaya paksa
kejaksaan dan kepolisian bakal terus menghadapi perlawanan dari masyarakat.
22
Di dunia bisnis, kasus rigiditas juga berlimpah. Misalnya menyangkut ketenagakerjaan
kita. Para pengusaha menilai pasar tenaga kerja kita terkenal sangat rigid. Masih banyak
tenaga kerja kita yang under qualified. Produktivitasnya rendah, banyak menuntut, dan
sukanya bikin ribut sampai kampus-kampus yang dikuasai pembuat aturan yang lebih suka
membuat lulusannya menjadi ribet dan kompleks ketimbang agile dan dinamis.
Namun, coba Anda cek betapa sulitnya perusahaan kalau mau mem-PHK karyawan yang
semacam itu. Sudah harus menghadapi serikat pekerja, perusahaan masih harus berurusan
dengan dinas-dinas ketenagakerjaan yang ada di kotanya. Selain itu, prosesnya juga
memakan waktu yang sangat lama. Itu sebabnya, menurut survei Bank Dunia, biaya PHK di
Indonesia termasuk yang tertinggi di kawasan Asia Tenggara, bahkan di Asia Timur. Di sini
biaya yang saya maksud bukan hanya soal pesangon, melainkan juga biaya lain-lain yang
mesti dikeluarkan untuk memenuhi prosedur PHK.
Kondisi semacam ini pada gilirannya membuat kita kesulitan sendiri. Banyak investor enggan
menanamkan modalnya. Bahkan, mereka yang sudah membuka usaha di sini pun ada yang
memilih angkat kaki, memindahkan pabriknya ke luar Indonesia.
Kita semua sudah merasakan kesulitan ini. Lapangan kerja baru kian terbatas, dan anak-anak
kita kesulitan mencari pekerjaan. Pengangguran terus meningkat, dan kriminalitas kian
menjadi-jadi. Dampak negatifnya sudah kita rasakan. Tapi betapa sulitnya kita untuk
mendobrak rigiditas di pasar tenaga kerja.
Comfort Zone
Jangan salah, rigiditas bukan hanya monopoli instansi pemerintah atau penegak hukum. Di
BUMN atau perusahaan swasta, rigiditas pun terjadi. Saya mendengar langsung ceritanya.
Ada sebuah BUMN yang ingin menerapkan solusi yang berbasis teknologi informasi (TI).
Dialog pun terjadi antara vendor dan para penggunanya, yakni bagian-bagian yang ada di
perusahaan tersebut.
Masing-masing menganggap perlu memiliki aplikasi yang khusus untuk mereka, karena
merasa bagiannya berbeda dengan bagian yang lain. Celakanya, sang vendor tak punya
keberanian untuk menolak beragam permintaan tersebut. Alhasil, setiap bagian memiliki
sistem TI yang berbeda-beda. Data dari bagian pengadaan tak bisa langsung dipakai oleh
bagian distribusi. Data bagian sales & marketing tak bisa langsung dipakai oleh bagian
keuangan.
Sinkronisasi data menjadi pekerjaan yang melelahkan. Setiap rapat soal ini isinya
pertengkaran. Masing-masing merasa bagiannya lebih penting ketimbang bagian yang lain.
Mereka lalu tidak saling bicara. Dan, terciptalah silo-silo tadi.
Apakah rigiditas di swasta hanya terjadi karena silo antarunit? Ternyata juga tidak. Sikap
mental passenger yang hanya menunggu dan tak mau susah banyak ditemui di semua lini.
23
Kita makin banyak menemui orang yang harus selalu diingatkan, diperintah, diawasi, ditagih,
bahkan diberi peringatan kendati pakaiannya selama bekerja mirip eksekutif hebat dan
pendidikannya tinggi. Kata seorang CEO, ilmu kebatinan banyak dipakai: banyak masalah
hanya disimpan di dalam batin karena mereka tak mau susah.
Rigiditas semacam ini punya dampak yang sangat serius. Kinerja babak belur. Negara
menjadi tidak bisa melayani dengan baik, kesejahteraan bangsa tidak meningkat. Perusahaan
merugi, bahkan terancam ditutup.
Beruntung kalau pemimpin berani melakukan mutasi dan menunjuk pejabat baru. Oleh
pejabat atau CEO baru itu, silo-silo tadi dibongkar habis. Setiap bagian dipaksa untuk
berbicara dengan bagian lainnya. Upaya mendobrak rigiditas semacam ini memakan waktu
yang tidak sedikit. Berbulan-bulan, namun hasilnya kelihatan. Kerugian terus berkurang,
bahkan akhirnya perusahaan mulai membukukan keuntungan.
Baiklah, kita sudah punya sejumlah kasus soal rigiditas yang punya dampak negatif. Saya
ingin memberi catatan akhir. Sejatinya rigiditas hanya selangkah sebelum kita masuk dalam
perangkap comfort zone. Dan, hidup kita akan berakhir begitu kita masuk perangkap tersebut.
Maka saya setuju dengan kata Neale Donald Walsch, penulis buku Conversations with God ,
”Life begins at the end of your comfort zone.”
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
24
Memadukan Fiskal dan Moneter Koran SINDO
Senin, 23 Februari 2015
Kebijakan moneter dan fiskal ibarat dua jajaran besi rel yang lurus mengarah pada tujuan
yang sama. Meski kedua lajur besi itu tak pernah bersentuhan, mereka memastikan lokomotif
dan gerbong kereta yang berjalan di atasnya akan tiba pada tujuan.
Deskripsi itu menunjukkan peran kebijakan moneter dan fiskal dalam perekonomian.
Kebijakan moneter memakai instrumen tingkat suku bunga, nilai tukar, jumlah uang beredar,
dan lain-lain untuk memengaruhi kegiatan ekonomi. Jika ekonomi ingin digenjot, tingkat
suku bunga diturunkan; demikian sebaliknya.
Kebijakan fiskal menggunakan instrumen anggaran negara (APBN) untuk mengelola
stabilitas ekonomi. Bila ekonomi hendak dipacu, anggaran didesain defisit; demikian
sebaliknya. Tentu saja, irama kebijakan fiskal dan moneter itu diharapkan sama agar tujuan
pembangunan bisa dicapai.
Beban Kebijakan Moneter
Beberapa saat lalu pemerintah dan DPR telah menyepakati APBN-P 2015 dengan postur
yang dianggap lebih kuat dan sehat ketimbang rencana anggaran sebelumnya. Alokasi
anggaran dipakai berdasarkan prioritas sesuai janji presiden terpilih. Demikian pula belanja
infrastruktur digenjot untuk memastikan target pembangunan ekonomi terpenuhi.
Salah satu asumsi makroekonomi yang berat untuk dicapai adalah pertumbuhan ekonomi
sebesar 5,7% pada tahun ini. Target itu amat berat karena situasi ekonomi global yang masih
muram dan keadaan ekonomi domestik yang rentan. Pembangunan infrastruktur dan
perizinan yang efisien tentu akan membantu terwujudnya target itu. Tapi, itu saja tidak
cukup.
Oleh karena itu, pengumuman Bank Indonesia yang menurunkan BI Rate (suku bunga
panduan) ke level 7,5% pekan lalu laik disambut gembira. Sekurangnya dua hal yang
menyebabkan kebijakan itu layak diberikan apresiasi. Pertama, penurunan BI Rate membuat
harmoni kebijakan moneter dan fiskal menjadi lebih mungkin dijalankan.
Penurunan BI Rate menyodorkan sinyal bahwa BI hendak melonggarkan kegiatan ekonomi
sehingga diharapkan target pertumbuhan ekonomi terwujud. Logika sederhananya: apabila Bi
Rate turun, tingkat bunga perbankan (deposito dan kredit) juga turun, yang kemudian
berpotensi meningkatkan investasi. Investasi merupakan salah satu sumber penting
25
pertumbuhan ekonomi.
Kedua, kebijakan penurunan BI Rate ”mengakhiri” episode penggunaan kebijakan moneter
untuk mengatasi seluruh beban persoalan ekonomi, yang semestinya sebagian dipanggul
pemerintah (via kebijakan fiskal). Kinerja pemerintah yang buruk selama ini sebagian
terselamatkan oleh kebijakan moneter tersebut.
Kinerja pemerintah yang kurang bagus itu antara lain tecermin dari pembangunan
infrastruktur yang macet, iklim investasi yang tak memadai, biaya logistik yang mahal,
efisiensi birokrasi yang parah, aturan main yang tak pasti, kelembagaan yang tak komplet,
dan sebagainya. Seluruh problem ini membuat sendi ekonomi terganggu sehingga
mengakibatkan komplikasi ekonomi seperti defisit neraca perdagangan, inflasi mudah
melesat, nilai tukar melemah, dan seterusnya.
Selama ini, persoalan itu sebagian harus ditutup dengan kebijakan moneter tersebut. Dengan
begitu, kebijakan penurunan BI Rate ini membuat selaras antara kebijakan fiskal dan
moneter. Kebijakan fiskal sudah disusun cukup ekspansif, bukan semata ditunjukkan oleh
defisit fiskal, tetapi juga alokasi anggaran yang menohok jantung pergerakan ekonomi,
khususnya pembangunan infrastruktur.
Masa Ketidaknormalan
Tentu saja penurunan BI Rate tidak otomatis membuat ekonomi bekerja sesuai dengan
harapan. Teramat banyak instrumen kebijakan lain yang perlu diperkuat untuk memastikan
kebijakan itu berjalan cepat. Salah satu yang krusial adalah mempercepat sektor perbankan
merespons kebijakan itu dengan menurunkan suku bunga. BI Rate hanyalah suku bunga
panduan yang tak memiliki otoritas instruktif sehingga kesadaran dunia perbankan sangat
diharapkan. Meskipun tak memiliki kekuatan mengikat, diharapkan BI dan OJK terus
menjalin komunikasi dengan perbankan.
Sekurangnya pemerintah bisa membantu dengan memerintahkan bank BUMN memelopori
penurunan suku bunga. Ruang ini sangat mungkin dilakukan, tidak saja karena inflasi yang
relatif mereda, tetapi juga pemerintah tak lagi meminta deviden yang besar, termasuk kepada
bank BUMN.
Berikutnya, sampai saat ini terdapat kurang lebih Rp1.000 triliun kredit yang tak terserap
(undisbursed loan) di perbankan. Maksudnya, kredit itu sebetulnya sudah disetujui oleh
perbankan, tapi tak dieksekusi oleh debitor karena aneka sebab. Salah satunya, sebagian
investasi yang direncanakan terganjal oleh keterbatasan infrastruktur (misalnya perizinan dan
listrik) dan pembebasan lahan. Kredit itu sebagian juga terjadi pada proyek infrastruktur.
Oleh karena itu, pemerintah, BI, dan OJK mesti bahu-membahu mengidentifikasi persoalan
kredit yang tak terserap tersebut ( sekitar 30% dari total kredit) dan sigap membenahinya.
Apabila ikhtiar ini jalan, dampaknya sangat besar bagi pergerakan kegiatan ekonomi.
26
Kombinasi dari penurunan tingkat suku bunga dan jaminan pemerintah bakal menghidupkan
kembali kredit yang tak terserap tersebut.
Di luar itu, ruang penurunan BI Rate ke depan masih terbuka lebar karena kondisi ekonomi
yang mulai membaik. Neraca perdagangan 2014 masih defisit (USD 1,8 miliar) tapi lebih
kecil ketimbang 2013 (sekitar USD4 miliar), neraca pembayaran sudah surplus, dan prospek
inflasi bagus karena ditopang oleh penurunan harga minyak. Bahkan, neraca perdagangan
Januari 2015 telah surplus. Meski data-data tersebut dinamis, secara umum prospek ke depan
diharapkan membaik. Apabila itu diikuti dengan selesainya pekerjaan rumah yang menjadi
portofolio pemerintah (seperti yang telah disebutkan di atas), ruang bagi otoritas moneter
menurunkan BI Rate makin besar.
Di atas segalanya, baik pemerintah maupun BI mesti terus hati-hati karena tak selamanya
yang diprediksi selalu menjadi kenyataan. Sekarang adalah masa di mana ketidaknormalan
dianggap kelaziman.
AHMAD ERANI YUSTIKA
Guru Besar FEB Universitas Brawijaya; Direktur Eksekutif Indef
27
PMN dan Kinerja BUMN Koran SINDO
Selasa, 24 Februari 2015
Tak bisa dimungkiri, keberadaan perusahaan negara atau badan usaha milik negara (BUMN)
adalah salah satu pilar perekonomian bangsa.
Dengan posisi Indonesia sebagai negara yang menganut paham ekonomi semiterbuka,
perekonomian nasional tidak terlepas dari pengaruh perekonomian dunia yang berkembang
sangat pesat. Konsekuensinya adalah kebijakan pembinaan BUMN senantiasa mengalami
penyesuaian mengikuti kondisi dan perkembangan perekonomian nasional.
Berpijak pada rencana untuk memperluas dan memperkuat jaringan infrastruktur serta
mewujudkan swasembada pangan, pemerintah memberikan penyertaan modal negara (PMN)
kepada 30 BUMN terpilih. Ini terjadi setelah Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
pada dua pekan lalu akhirnya menyetujui pemberian PMN sebesar Rp37,276 triliun kepada
27 BUMN pada tahap pertama.
Tahap kedua, tiga BUMN yakni PT PLN (Persero), Perum Jamkrindo, dan Askrindo akhirnya
mendapatkan juga dana PMN sejumlah Rp6 triliun. Dengan persetujuan itu, total PMN yang
akan diberikan kepada BUMN pada APBN-P 2015 sebesar Rp43,2 triliun kepada 30 BUMN.
Dalam tanggapannya, Menteri BUMN Rini Soemarno berjanji, dana sebesar itu di antaranya
akan digunakan untuk membangun infrastruktur jalan tol, selain ada juga proyek
pembangunan terminal di pelabuhan.
Dalam keputusan itu, Komisi VI DPR RI juga memberi sepuluh catatan, baik bagi
Kementerian BUMN maupun BUMN penerima PMN. Dari sepuluh catatan, ada tiga poin
utama yang pantas untuk digarisbawahi yakni 1) PMN tidak digunakan untuk membayar
utang perusahaan penerima PMN; 2) BUMN penerima PMN harus menerapkan good
corporate governance (GCG); 3) Dalam hal pengadaan barang dan jasa dalam menggunakan
dana PMN meminta kepada Kementerian BUMN untuk mengutamakan produk dalam negeri
dan sinergi antar BUMN.
Pertanyaannya, apakah kebijakan PMN BUMN pada 2015 ini strategi pemerintah dalam
meningkatkan kinerja BUMN?
Sudut Positif PMN
Banyak beredar pandangan miring terkait PMN ini. Itulah yang akhirnya menimbulkan
prasangka negatif ketika pemerintah hendak melakukan PMN. Pertama, PMN selalu
28
dikaitkan dengan BUMN merugi. Munculnya anggapan ini karena dalam praktiknya kita
sendiri (pemerintah dan DPR) yang melanggengkan kebiasaan untuk memberikan PMN
kepada BUMN merugi. Seolah-olah PMN memang untuk BUMN merugi. Padahal,
seharusnya tidak demikian. Bagi BUMN merugi justru seharusnya dilikuidasi atau diambil
tindakan lain agar tidak membebani negara.
Kedua, seringkali PMN disamakan dengan subsidi. Artinya, bila pemerintah memberikan
PMN itu, berarti pemerintah menyubsidi BUMN. Dalam situasi seperti saat ini, di mana
pemerintah baru saja menaikkan harga BBM pada November 2014 (meskipun akhirnya
diturunkan lagi), PMN ini akhirnya menjadi isu yang dapat dipolitisasi: pemerintah cabut
subsidi untuk rakyat, tetapi menyubsidi BUMN. Politisasi seperti ini tidak sepenuhnya salah
karena dalam praktiknya masa lalu, PMN terbukti kurang efektif mendongkrak kinerja
BUMN terkait.
Karena itu, untuk mengikis berbagai anggapan negatif tentang PMN, kita membutuhkan
paradigma baru dalam kebijakan PMN. Pertama, PMN jangan diberikan kepada BUMN
merugi. BUMN merugi dapat diberikan PMN sepanjang ada urgensi strategisnya bagi
negara.
Kedua, PMN hanya diberikan kepada BUMN yang sehat dan memiliki prospek bagus agar
PMN dapat kembali melalui pembayaran dividen dan pajak yang lebih tinggi. PMN akan
semakin bermakna manakala diberikan kepada BUMN yang tidak hanya sehat, tetapi juga
memiliki urgensi strategisnya bagi negara.
Selain dua syarat di atas, sedikitnya ada juga lima alasan kenapa PMN perlu diberikan kepada
BUMN; 1) Dengan penyertaan modal, diharapkan BUMN dapat meningkatkan leverage
(daya ungkit) pendanaan; 2) Pemerintah ingin ada optimalisasi peran BUMN dalam
berproduksi dan memberikan layanan publik terbaik untuk mendukung pencapaian sasaran
RPJMN 2015-2019; 3) Meningkatkan peran BUMN sebagai pelaku ekonomi yang akan
membayar pajak dan memberikan setoran dividen kepada negara; 4) Memperkuat posisi
pemerintah melalui Kementerian BUMN dalam membina dan mengarahkan BUMN sebagai
agen pembangunan; dan 5) Peningkatan peran BUMN, strategis untuk membantu kehadiran
negara dan tegaknya kewibawaan negara. Dengan paradigma ini, sebenarnya tidak ada yang
keliru bila PMN diberikan kepada BUMN, termasuk kepada BUMN terbuka.
Menggenjot Kinerja BUMN
Penguatan eksistensi BUMN adalah konsekuensi dan amanah dari konstitusi di mana ihwal
yang penting atau cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara.
BUMN dilahirkan dengan dua misi penting. Misi pertama BUMN adalah sebagai pemilik
profitabilitas yaitu sebagai dividen atau penerimaan bagi negara untuk dana pembangunan
selanjutnya. Misi kedua, BUMN berfungsi sebagai pemilik pelayanan atau kemanfaatan
29
publik yang mencerminkan tugas utama negara.
Dengan dua misi tersebut, jelas sudah bahwa BUMN salah satu pilar ekonomi bangsa yang
harus ditingkatkan profesionalisme kinerjanya. PMN bisa kita pandang sebagai komitmen
pemerintah untuk menggenjot kinerja BUMN. Karena itu, negara juga tidak boleh sekadar
menyuntikkan dana, melainkan juga harus mendorong ada perbaikan birokrasi dan perbaikan
pengelolaan keuangan.
PMN itu wajib dibarengi dengan peningkatan dalam sisi kinerja. Sebanyak 142 BUMN wajib
dikelola secara profesional sehingga mampu menjadi pilar dan pendorong perekonomian
nasional. Apalagi dengan jumlah total aset BUMN kurang lebih Rp4200 triliun, seharusnya
mampu menghasilkan laba dalam jumlah yang memadai, minimal 5% dari total aset, atau
kurang lebih Rp210 triliun.
Dengan modal tersebut, BUMN juga diharapkan mampu meringankan beban negara dengan
mencapai usulan target setoran dividen sebesar Rp43,73 triliun untuk RAPBN 2015.
Ditambah lagi pendapatan dari pajak dan program divestasi secara selektif dan transparan
sehingga dapat memberikan kontribusi yang signifikan kepada RAPBN dan penciptaan
lapangan kerja baru.
PMN memiliki urgensi untuk dilakukan. Dengan kemampuan pendanaan BUMN yang
meningkat, terutama perusahaan yang bergerak di bidang infrastruktur dan pangan, akan
menjadi roda penggerak pembangunan seiring fokus kerja pemerintah untuk membenahi
kedaulatan pangan dan membangun infrastruktur.
Dari titik ini bisa kita lihat bahwa pemerintah sangat berharap BUMN mempunyai kinerja
yang maksimal. Seiring pembangunan infrastruktur, BUMN dapat mendorong tercapai target
pertumbuhan ekonomi sebesar 7% dalam tiga tahun ke depan. Dengan pertumbuhan ekonomi
tersebut, dunia usaha akan lebih banyak menyerap tenaga kerja, mengurangi pengangguran
dan kemiskinan demi meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Terlebih, menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang berjalan akhir tahun ini,
jangan biarkan BUMN bertarung tanpa pertolongan negara. Bukankah uang BUMN itu juga
uang rakyat?
ALI MASYKUR MUSA
Ketua Umum Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
30
UMKM dan Perekonomian Nasional Koran SINDO
Selasa, 24 Februari 2015
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM, diketahui
definisi usaha skala mikro, kecil, dan menengah maksimal memiliki kekayaan Rp10 miliar
dengan hasil penjualan Rp50 miliar.
Sementara data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, UMKM di Indonesia jumlahnya
lebih dari 90% total pengusaha. Kendati secara persentase jumlah UMKM di Indonesia besar,
jika dilihat dari peredaran uangnya relatif tidak besar. Tidak heran kalau persaingan bank
dalam memperebutkan ”kue” di sektor ini sudah cukup ketat.
Perkembangan usaha sektor UMKM cenderung berkaitan dengan pasang-surut ekonomi
nasional. Jika kondisi ekonomi sedang booming, perkembangan UMKM juga seperti itu.
Begitu pula sebaliknya.
Berdasarkan pengamatan saya, saat ini ada dua bentuk UMKM. Pertama, UMKM dalam
bentuk stand alone. Kedua, UMKM yang memiliki linkage dengan korporasi.
Kedua bentuk UMKM itu memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing. Pada bentuk
pertama, pelaku usaha bergerak sendiri sesuai dengan pengalaman, passion, dan keinginan
berdasarkan peluang tanpa memiliki kaitan dengan korporasi. Kelebihannya, pelaku usaha
bisa berusaha dengan bebas. Hanya, UMKM bentuk ini cenderung rawan konflik
internal. Banyak terjadi kegagalan bisnis bermula dari masalah keluarga, seperti perbedaan
kepentingan, di samping memang karena adanya kegagalan dari bisnis itu sendiri.
Adapun UMKM bentuk linkage biasanya memiliki keterkaitan dengan korporasi, seperti
sebagai agen, subagen, retailer, dan sebagainya. Jika dilihat dari historis, UMKM yang
linkage cenderung lebih mapan dan mempunyai kepastian. Ini karena bila bisnis sedang sulit
ada kecenderungan ditolong oleh korporasi. Biasanya langkah tersebut dilakukan korporasi
untuk menjamin keberlangsungan usaha di masa mendatang.
Tapi sayangnya, kedua jenis UMKM itu terkadang tidak bisa diukur kinerjanya. Artinya
belum ada jaminan dalam beberapa tahun ke depan perusahaannya tetap eksis. Padahal, hal
itu menjadi salah satu keharusan bagi UMKM agar mendapatkan pinjaman dari perbankan.
Sebagian besar perbankan memberikan kredit dalam jangka waktu beberapa tahun ke depan.
Perkembangan UMKM tidak bisa jika hanya dilakukan sendiri. UMKM jangan hanya dilihat
dari sudut pandang UMKM-nya. UMKM itu merupakan kepanjangan tangan induknya.
Harus ada induknya, yakni korporasi yang berfungsi sebagai manufaktur.
31
Nah, intinya itu. Harus ada investor-investor yang mulai masuk ke dunia bisnis menciptakan
suatu produksi tertentu. Apakah itu kebutuhan sehari-hari, makanan, hiburan, atau jasa. Lalu,
dikembangkan oleh UMKM.
Perkembangan UMKM dan daya beli itu seperti ayam dan telur. UMKM tidak akan
berkembang cepat jika daya beli tidak ada. Itulah sebabnya, peran pemerintah untuk
mengeluarkan berbagai kebijakan yang bisa menciptakan daya beli, sangat dibutuhkan. Kalau
daya beli tidak ada, siapa yang mau membeli barang atau jasa UMKM?
Situasi dan kondisi itu biasanya terjadi di suatu daerah terpencil yang income masyarakatnya
relatif kecil. Masyarakat cenderung kesulitan memulai suatu usaha karena usaha yang akan
dijalankan tidak memiliki pasar yang jelas. Pertanyaannya, bagaimana memiliki pasar kalau
income masyarakatnya tidak besar?
Masuknya investor di suatu daerah, baik itu membangun pabrik maupun membuka
perkebunan, akan menciptakan lapangan pekerjaan sehingga masyarakat memiliki
kesempatan untuk menaikkan pendapatannya. Ujung-ujungnya, spending money yang
diciptakan bisa menciptakan demand. Istilahnya, kalau ada permintaan harus ada supply.
UMKM-lah yang akan menjalankan fungsi supply tersebut.
Jadi tidak bisa tiba-tiba ada UMKM yang berkembang hanya dengan memberikan modal.
Kalau dikasih modal terus tidak ada yang membeli bagaimana? Kemudian apa yang mau
dijual? Itulah sebabnya harus dimulai dengan menciptakan pendapatan masyarakat.
Di daerah yang sudah matang seperti DKI Jakarta, mungkin pelaku usaha tidak lagi
memikirkan permintaan karena demand-nya sudah ada. Tinggal bagaimana menciptakan
pengusaha-pengusaha atau entrepreneur-entrepreneur baru dan tangguh. Di DKI Jakarta
perlu menciptakan pengusaha atau entrepreneur yang tangguh karena di Jakarta sudah
banyak terdapat sentra usaha.
Jika menciptakan pengusaha baru, ibarat anak kecil melawan raksasa. Misalnya di Tanah
Abang. Di sana pedagang-pedagangnya sudah hebat. Kalau pedagang masuk ke Tanah Abang
sebagai pendatang baru, mungkin akan cukup kesulitan untuk dapat bersaing dengan
pedagang yang sudah ada.
Menciptakan wirausaha baru di Jakarta tidak semudah teori. Perlu pendalaman. Misalkan
bagaimana menarik pelanggan, menciptakan produk yang lebih menarik dan sebagainya. Itu
kan tidak mudah, sehingga yang berperan bukan hanya memiliki modal, lalu usaha jalan.
Sewaktu saya menjadi pembicara di Munas Hipmi di Bandung, beberapa waktu lalu, saya
sampaikan bahwa menjadi pelaku usaha bukanlah impian utama pelajar ketika kelak dewasa.
Sebagian besar pelajar di Indonesia berharap kelak ketika dewasa menjadi guru, PNS,
pegawai swasta ataupun anggota TNI dan Polri.
32
Sebagian dari mereka mengubah haluan menjadi wirausaha karena tidak diterima setelah
melamar kerja di mana-mana. Bukan karena kebanggaan menjadi wirausaha. Mungkin perlu
dipikirkan untuk mulai meningkatkan peran sektor pendidikan demi mengubah mindset
generasi muda terhadap wirausaha. Menjadi pelaku wirausaha jauh membanggakan daripada
bekerja dengan orang dan tentunya memiliki prospek luar biasa jika ditekuni dengan baik.
Jika itu bisa dilakukan, pastilah akan semakin banyak penduduk Indonesia yang menjadi
wirausaha dan memiliki UMKM. Hal itu bisa membawa perekonomian Indonesia jauh lebih
baik daripada saat ini.
JAHJA SETIAATMADJA
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA)
33
Ketika Sayap Singa Udara Tak Mengembang Koran SINDO
Selasa, 24 Februari 2015
Di tengah masa libur Tahun Baru Imlek, puluhan pesawat Lion Air mengalami keterlambatan
penerbangan di berbagai tujuan penerbangan. Sampai Jumat (20/02) pukul 20.00 WIB saja
kisruh Lion Air disinggung lebih dari 170.000 kali di Twitter, sebagian besar mengangkat
cerita penumpang yang terdampar.
Berbagai spekulasi berkembang seputar keterlambatan Lion Air, termasuk isu mengenai aksi
mogok kru pesawat. Namun, pihak Lion Air melalui Direktur Humas-nya, Edward Sirait,
menepis spekulasi tersebut. Menurutnya, penundaan terjadi karena kerusakan pada pesawat.
Tiga pesawat rusak di Semarang karena mesinnya kena burung dan di Jakarta juga ada
permasalahan operasional yaitu pesawat tidak fit.
Lion Air merupakan maskapai yang mengusai tak kurang dari 40% rute penerbangan Tanah
Air. Sisanya baru dibagi di antara pesawat-pesawat maskapai lain. Maka itu, kekacauan luar
biasa terjadi di berbagai tempat pada saat siklus penerbangan maskapai yang berlogo singa
udara itu bermasalah.
Lambatnya manajemen Lion Air dalam merespons kepanikan para pengguna jasa
penerbangan akibat kekacauan jadwal penerbangan pesawat itu di berbagai tujuan telah
menorehkan citra buruk untuk yang kesekian kalinya bagi manajemen pelayanan publik
maskapai penerbangan tersebut.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 77 Tahun 2011 tentang Tanggung
Jawab Pengangkut Angkutan Udara, Lion Air harus memberikan pendanaan ganti rugi
kepada penumpang yang pesawatnya mengalami keterlambatan. Namun, respons manajemen
Lion Air terlihat sangat lambat dalam menangani implementasi regulasi tersebut.
Di sisi lain, pihak Kementerian Perhubungan selaku regulator juga terkesan hanya
memberikan sanksi yang relatif ringan terhadap maskapai Lion Air. Dalam hukum
administrasi negara sektoral di bidang penerbangan, pemerintah diberikan otoritas penuh
untuk menjatuhkan sanksi administratif yang bersifat condemnation reparation jika terjadi
pelanggaran norma hukum administrasi. Namun, pilihan sanksi administratif yang dijatuhkan
Kementerian Perhubungan dalam kasus Lion Air baru berupa penghentian rute baru untuk
Lion Air sebagai sanksi awal yang diterapkan sampai ada komitmen SOP pelayanan
penumpang dengan baik. Sanksi tersebut terhitung ringan jika dibandingkan banyak keluhan
konsumen atas pelayanan maskapai Lion Air selama ini baik yang dilakukan melalui YLKI
maupun kepada pihak otoritas bandara.
34
Lion Air memang tak pernah lepas dari pemberitaan. Mulai dari aksi-aksi ekspansinya di
sektor bisnis penerbangan domestik dan internasional, persaingannya dengan maskapai
penerbangan nasional lainnya, termasuk dengan AirAsia, hingga masalah pelayanan terhadap
konsumen. Untuk persoalan yang terakhir yakni buruknya kinerja pelayanan terhadap
konsumen, Lion Air punya segudang catatan “hitam”.
Jika berkaca pada hukum administrasi sektoral di bidang penerbangan, sejatinya
negara/pemerintah diberikan kewenangan yang sangat besar dalam mengatur industri
penerbangan di negeri ini. Rute penerbangan yang dikuasai oleh maskapai Lion air yang tak
kurang dari 40% dari seluruh rute penerbangan di Tanah Air selama ini memperlihatkan
kurang kompetitifnya persaingan di kalangan maskapai pemberi jasa
penerbangan. Pemerintah sebenarnya bisa saja mendorong agar persaingan dalam bisnis jasa
penerbangan lebih kompetitif dengan menerapkan stimulus bagi penguatan maskapai-
maskapai yang ada.
Dalam UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan ditegaskan bahwa penerbangan dikuasai
oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh pemerintah. Pembinaan penerbangan tersebut
meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan. Pengaturan tersebut diwujudkan
dalam bentuk penetapan kebijakan umum dan teknis yang terdiri atas penentuan norma,
standar, pedoman, kriteria, perencanaan, dan prosedur, termasuk persyaratan keselamatan dan
keamanan penerbangan serta perizinan.
Instrumen-instrumen hukum administrasi dalam melaksanakan fungsi pengaturan tersebut
sejatinya bisa lebih diefektifkan pemerintah sehingga semakin selaras dengan salah satu
slogan utama dalam Nawacita Kabinet Jokowi-JK untuk menghadirkan negara dalam
kehidupan masyarakat.
Selama ini sistem manajemen penerbangan masih jauh panggang dari api dalam memberikan
indeks kebahagiaan bagi para penumpang. Sejak dari manajemen pelayanan sampai pada
manajemen keselamatan penerbangan masih terlihat belum ditangani secara serius oleh
berbagai maskapai penerbangan.
Sebagai contoh, dalam kisruh jadwal penerbangan maskapai Lion Air beberapa waktu lalu,
negara tak terlihat hadir untuk berperan secara strategis dan taktis dalam membantu
memberikan solusi bagi terlantarnya ribuan penumpang di berbagai bandara. Akibat itu,
sampai sekarang juga tak ada penjelasan yang memadai dari maskapai tersebut maupun
pemerintah selaku regulator apa penyebab terjadi kekisruhan jadwal penerbangan Lion Air
dan langkah- langkah strategis-sistematis untuk mengatasi itu serta mencegah terulang
kekisruhan manajemen penerbangan yang paling dahsyat saat ini.
Padahal pemerintah selaku regulator memiliki otoritas penuh dalam perspektif hak mengusai
negara atas penerbangan untuk melaksanakan fungsi pengendalian sebagaimana diamanatkan
dalam UU Penerbangan yang meliputi pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, perizinan,
sertifikasi, serta bantuan teknis di bidang pembangunan dan pengoperasian.
35
Selain itu, dalam hal terjadi pelanggaran serius dalam manajemen pelayanan penerbangan,
pemerintah juga diberikan kewenangan selaku regulator untuk melakukan tindakan korektif
dan penegakan hukum. Pemerintah tak boleh terkesan lepas tangan atau sungkan untuk
menjatuhkan sanksi bagi sebuah maskapai penerbangan meski maskapai tersebut menguasai
persentase rute penerbangan yang besar di negeri ini.
Terjadi kekisruhan manajemen penerbangan yang dilakukan maskapai Lion Air tersebut
terjadi tak lama sejak kekisruhan izin pesawat yang terungkap pascajatuh pesawat AirAsia
QZ 8501. Penerbangan yang seharusnya menjadi moda transportasi paling aman dengan
sejumlah persyaratan yang wajib dipenuhi kini justru semakin terpuruk dengan rendahnya
kualitas pelayanan dan manajemen keselamatan penerbangan yang seharusnya menjadi acuan
utama dari pihak-pihak yang berkaitan dengan manajemen penerbangan.
Berkaca pada hal tersebut, pembenahan terhadap manajemen penerbangan tak boleh sekadar
menyentuh sisi teknis operasional seperti menghilangkan loket pelayanan dan mengganti
dengan sistem e-ticketing, integrasi airport tax ke dalam tiket pesawat, sistem izin terbang,
dan sejenisnya. Namun, pemerintah perlu mengembangkan desain strategis jangka panjang
manajemen pelayanan dan keselamatan penerbangan yang mengintegrasikan standar
operasional prosedur internasional manajemen penerbangan.
Standard operating procedure (SOP) internasional oleh Civil Aviation Safety Regulation
(CASR) dan peraturan internasional dari International Air Transport Association (IATA)
harus sungguh-sungguh dijadikan pedoman oleh regulator dalam mengembangkan kebijakan
strategis manajemen pelayanan dan keselamatan penerbangan tersebut.
Esensi yang harus benar-benar dijabarkan dalam manajemen penerbangan di negeri ini
sebagai diatur dalam kedua regulasi internasional tersebut pada intinya mencakup persoalan
safety, security, dan public services. Kerentanan pesawat terbang dari berbagai faktor potensi
gangguan eksternal seperti anomali cuaca, kondisi alam, dan sejenisnya harus diimbangi
dengan kokohnya peran negara dalam mengimplementasikan kedudukannya yang memiliki
hak menguasai negara atas penerbangan.
Baik dan buruk pelayanan publik di suatu negara, termasuk di bidang penerbangan,
memberikan gambaran terhadap kualitas pengelolaan suatu negara. Manajemen penerbangan
adalah etalase Tanah Air karena menjadi salah satu pintu masuk pertama bagi wisatawan di
suatu negara.
DR W RIAWAN TJANDRA SH MHUM
Pengajar Hukum Administrasi pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
36
Cinta Produk Dalam Negeri Koran SINDO
Kamis, 26 Februari 2015
Impor apel yang berasal dari negara Amerika Serikat (AS), dengan jenis Granny Smith dan
Gala (dari California) sekarang ini tidak diperkenankan. Keadaan ini terjadi karena adanya
kasus keracunan akibat mengonsumsi kedua jenis apel tersebut. Diduga keracunan terjadi
karena bakteri Listeria monocytogenes yang berbahaya bagi kesehatan manusia.
Pencegahan impor kedua jenis apel tersebut menindaklanjuti informasi dan surat peringatan
dari Emergency Contact Point International Food Safety Authorities Network (Infosan) yang
dikirimkan pada 17 Januari 2015. Selain itu, pemerintah telah menerima surat dari Kedutaan
Besar AS di Jakarta terkait hal serupa pada 21 Januari 2015. Sekiranya telah telanjur diimpor,
maka harus dilakukan penarikan pada apel yang diduga dapat membahayakan kesehatan
manusia.
Lewat media massa, baik elektronik maupun cetak pada berbagai daerah, kita bisa melihat
masih ada penjualan kedua apel tersebut baik pada pasar modern maupun lapak-lapak yang
dipunyai pedagang kecil. Oleh karena sangat membahayakan bagi kesehatan, sudah
selayaknya peredaran apel tersebut untuk sementara waktu ditiadakan. Kerugian ekonomi
yang terjadi baik pada importir maupun pedagang memang merupakan suatu risiko usaha,
dari pada kesehatan masyarakat umum dipertaruhkan.
Pelarangan impor apel tersebut dapat merupakan berkah tersembunyi bagi usaha substitusi
produk dalam negeri, baik pada buah apel, buah lain, maupun pada komoditas
lainnya. Alasannya, entah disengaja atau tidak, kayanya advertensi produk luar negeri begitu
masifnya dalam mengarahkan konsumsi domestik. Efek demonstrasi (demonstration effect)
yang menuju kepada pengunggulan produk luar sangatlah kentara di negara yang agraris,
yang sebenarnya mengandung potensi buah, sayuran, pangan, dan komoditas pertanian
lainnya.
Komoditas buah yang banyak diimpor adalah apel, pir, jeruk hingga buah naga. Sekiranya
komoditas buah yang diimpor tidak ada di Indonesia, tidaklah mengapa, tetapi akan menjadi
problema kalau buah tersebut ada di Indonesia. Apel yang diimpor jelas merupakan pesaing
bagi buah apel malang, demikian juga jeruk banyak diproduksi di Indonesia. Perbandingan
buah impor dan domestik paling menonjol pada pasar modern (swalayan) dibandingkan
dengan penjual buah pinggir jalan.
Di tengah menjamurnya pasar modern di Indonesia yang minimarketnya sampai menjangkau
daerah pedesaan, perubahan selera masyarakat akan mudah berubah mengikuti tren zaman,
37
yang disebut ‘modern’ tersebut. Pengenalan komoditas ke gerai-gerai minimarket, termasuk
buah impor, akan mengubah kebiasaan masyarakat dalam mengonsumsi.
Kalau tidak direspons segera oleh pihak berwajib, maka kemandirian dan kedaulatan buah di
Indonesia dalam bahaya besar. Kondisi buah yang ada di Indonesia kalau tidak segera
diperbaiki, masalahnya seperti halnya pangan yang kondisi impornya makin memprihatinkan.
Mafia pangan telah ditengarai adanya, sehingga jenis dan volume impor terus mengalami
kenaikan. Data impor pangan hingga pertengahan 2014 tetap tinggi, misal beras 152.000 ton,
jagung 1,45 juta ton, dan kedelai 1,3 juta ton.
Khusus untuk kedelai yang diimpor mayoritas dari AS, jenisnya transgenetik, yang sampai
sekarang dari unsur kesehatan juga masih menimbulkan perdebatan. Di negara asalnya,
kedelai tersebut mayoritas diperuntukkan bagi pakan ternak, tetapi mengapa di Indonesia
justru untuk makanan tahu dan tempe khususnya?
Kearifan Lokal
Di tengah suasana globalisasi dan liberalisme yang sedang terjadi, sebenarnya Tuhan
Mahaadil, Pemurah dan Penyayang. Kearifan lokal yang sebenarnya ada, mestinya harus
terus dijaga sebagai anugerah tak terbatas dari Ilahi.
Buah-buahan di Indonesia sebagai negara tropis, tentunya rasanya tidak semanis buah
impor. Keadaan ini disebabkan bagi tubuh di daerah tropis lebih memerlukan vitamin C
untuk kesehatan tubuh dibandingkan yang terlalu banyak mengandung gula, yang justru kalau
kebanyakan dapat menyebabkan penyakit diabetes.
Glokalisasi sangatlah diperlukan dalam arena globalisasi sekarang ini. Persaingan yang tanpa
pandang bulu, mestinya bagi Pemerintah harus tetap menjunjung tinggi dan menjaga kearifan
lokal, termasuk pada buah dan komoditas lainnya.
Sosialisasi keunggulan buah lokal mesti terus digaungkan baik melalui pertemuan formal dan
informal pada berbagai segmen masyarakat. Demikian juga melalui media masa baik cetak
dan elektronik dapat juga dikampanyekan dan diadvertensikan. Para pemimpin sebagai
cerminan dan anutan masyarakat harus gemar memberikan contoh dalam mengonsumsi
produk lokal, termasuk buah lokal.
Pernah penulis naik kereta jurusan Semarang-Tegal beberapa waktu lalu, di mana segerbong
dengan para elite, dan disediakan buah-buahan, ternyata mayoritas buah impor. Demikian
juga pada rapat-rapat resmi sekarang ini lebih banyak disajikan buah impor, karena sajian dan
bentuknya lebih menarik. Keadaan ini bisa disebabkan unsur kepatutan, di mana secara jujur
tampilan barang impor, termasuk buah impor sering lebih menarik, karena ranum dan
bentuknya besar-besar.
Konsep Agrobisnis
38
Di tengah area Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang sebentar lagi akan giat-giatnya
dijalankan, Indonesia harus berbenah diri pada berbagai komoditas yang dihasilkan termasuk
buah-buahan. Konsep agrobisnis mestinya bisa diaplikasikan.
Pertama, penyediaan input untuk produksi. Benihnya harus unggul, demikian juga sarana dan
prasarana lainnya harus tersedia memadai, misal pupuk dan mesin traktor jika diperlukan.
Demikian juga jalan dan saluran irigasi. Pengalaman Bob Sadino (almarhum) yang sukses
dengan produk agrobisnis organik bisa dijadikan contoh untuk berguru. Pupuk sering jadi
masalah, di mana dibutuhkan justru menghilang, maka peran Pemerintah dengan aparatnya
sangatlah diperlukan.
Kedua, teknologi produksi haruslah mengikuti perkembangan jaman. Penggunaan mesin jika
diperlukan dapat dilakukan supaya produknya unggul. Teknologi pengolahan (agroindustri)
sangatlah diperlukan untuk mengolah produk primer menjadi produk olahan karena ada nilai
tambah. Aneka apel olahan dan ketela olahan sebagai misal, sebagai hasil usaha kreatif dan
inovatif begitu dibutuhkan dalam menyerap tenaga kerja yang jumlahnya kelebihan.
Ketiga, aspek pemasaran menjadi begitu penting, di mana tidak ada artinya sesuatu produk
kalau tidak bisa dipasarkan. Kita begitu iri kepada pemerintah Thailand di mana khusus untuk
pemasaran produk agrobisnis disediakan pelabuhan khusus, dengan pelayanan prima dalam
arti waktu dan dana pengurusan izin minimum.
Keempat, lembaga penunjang seperti perbankan, asuransi, penyuluhan, penelitian dan lain-
lainnya. Indonesia dengan penduduk keempat terbesar di dunia, dengan jumlahnya sekitar
250 juta orang, merupakan pasar yang potensial untuk berbagai produk, termasuk produk
buah. Sekiranya mayoritas kebutuhan buah dapat dipenuhi dari produk dalam negeri, maka
efek pengganda kenaikan pendapatan dan kesempatan kerja akan meningkat. Yang lebih
penting lagi, rasa memiliki kecintaan produk dalam negeri akan dapat membendung
masuknya berbagai produk impor.
Kiranya larangan impor suatu komoditas merupakan berkah tersembunyi bagi Indonesia. Kita
tunggu saja bagaimana Indonesia akan menyikapinya, apakah akan berpihak ke kearifan
lokal, atau justru lupa akan peluang yang penting.
PURBAYU BUDI SANTOSA
Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Diponegoro, Semarang
39
Menebak Arah BI Rate Koran SINDO
Kamis, 26 Februari 2015
Pada 17 Februari 2015, Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin
(BP) atau 0,25% dari 7,75% menjadi 7,50%. Nah, ketika kelak suku bunga acuan Amerika
Serikat (The Fed Funds Rate) jadi naik dari 0,25% menjadi minimal 1–2%, apakah BI Rate
bakal kembali naik?
Selama ini, inflasi menjadi salah satu faktor yang mendorong BI untuk mengubah BI Rate.
Ini buktinya. BI Rate mulai mendaki dari 7,25% per Oktober 2013 menjadi 7,50% per
November 2013 pada saat inflasi 8,37%. Level BI Rate itu bertahan selama 13 bulan hingga
November 2014. Padahal, inflasi telah menipis hingga menyentuh level terendah 3,99% per
Agustus 2014.
Sebaliknya, BI Rate justru mendaki lagi menjadi 7,75% pada 18 November 2014 segera
setelah pemerintah mengumumkan kenaikan BBM bersubsidi. Kenaikan itu sempat membuat
pelaku bisnis dan perbankan terpana. Meskipun jauh sebelumnya BI sudah memberikan
sinyal kenaikan BI Rate mengingat inflasi bakal mencapai kisaran 7,7% pada akhir Desember
2014. Eh, inflasi malah lebih tinggi lagi mencapai 8,36%.
Apakah penurunan BI Rate itu dan ketika inflasi menjinak menjadi 6,96% per Januari 2015
akan menyetrum suku bunga kredit untuk ikut menurun? Jawabannya amat mudah: tidak
secepat seperti yang diharapkan BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Formulanya, ketika BI Rate naik, suku bunga deposito akan segera naik pula. Namun
sebaliknya, tatkala BI Rate turun, suku bunga deposito tidak akan otomatis segera turun.
Mengapa? Lantaran sebelumnya bank nasional telah mengeluarkan biaya lebih besar berupa
kenaikan suku bunga deposito yang lebih tinggi daripada biasanya. Dengan bahasa lebih
lugas, suku bunga deposito akan menurun pelan-pelan (gradually). Nah, manakala suku
bunga deposito mulai menguncup, maka suku bunga kredit akan mengempis pelan-pelan
pula.
Sejauh mana tingkat suku bunga rata-rata kredit bank umum? Statistik Perbankan Indonesia,
November 2014 yang terbit medio Januari 2015 menunjukkan suku bunga rata-rata (dalam
rupiah) untuk kredit modal kerja mekar 2 BP (0,02%) dari 12,83% per Oktober 2014 menjadi
12,85% per November 2014.
Suku bunga rata-rata kredit konsumsi juga tumbuh mekar 10 BP (0,10%) dari 13,43%
menjadi 13,53%. Sebaliknya, suku bunga rata-rata kredit investasi justru menipis 2 BP
40
(0,02%) dari 12,40% menjadi 12,38% pada periode yang sama.
Opsi Utama
Pertanyaan berikutnya, apakah BI Rate bakal melonjak lagi pascakenaikan suku bunga The
Fed minimal menjadi 1–2% yang diprediksi pada semester I/2015?
Ada dua opsi utama yang dapat dipertimbangkan. Pertama, BI Rate akan naik minimal 25 BP
(0,25%) kembali menjadi 7,75%. Kalau BI memilih opsi ini, perang suku bunga deposito
akan pecah lagi. Untunglah, OJK sudah menetapkan batas atas suku bunga deposito di atas
Rp2 miliar efektif 1 Oktober 2014.
Namun, intervensi itu tetap tak mampu menahan kenaikan suku bunga kredit karena kenaikan
suku bunga deposito berarti kenaikan pula biaya dana (cost of fund). Likuiditas akan kian
ketat. Ujungnya, tingkat efisiensi yang tecermin pada rasio beban operasional terhadap
pendapatan operasional (BOPO) akan menebal. Lirik saja, BOPO bank umum yang
merupakan representasi enam kelompok bank sudah mendaki dari 73,95% per November
2013 menjadi 76,16% per November 2014. Bagaimana bank nasional mampu bersaing
dengan bank negara ASEAN dengan BOPO 40–60%? Daya saing bank nasional menjadi kian
rendah. Padahal peningkatan daya saing itu amat dibutuhkan dalam era Masyarakat Ekonomi
ASEAN.
Kedua, apakah BI perlu menahan BI Rate sebesar 7,50%? Ya! Mengapa? Karena level itu
masih cukup memadai dalam mencegah pelarian dana (capital flight). Coba bandingkan
dengan suku bunga acuan negara ASEAN seperti Singapura 0,39%, Thailand 2%, Malaysia
3,25%, Filipina 4%, dan Vietnam 6,50%. Sementara suku bunga acuan negara berkembang
(emerging markets) lainnya, Korea Selatan 2%, Meksiko 3%, Cile 3%, dan Afrika Selatan
5,75%.
Dengan bahasa lebih bening, BI Rate masih memadai untuk menarik minat investor asing
agar tidak lari ke lain hati. Apalagi, Fitch Rating menyatakan sovereign Indonesia BBB––
dengan prospek stabil. Tegasnya, peringkat layak investasi (investment grade) Indonesia
sejak 2011 masih tetap tidak berubah. Tegasnya, Indonesia tetap menjadi salah satu tujuan
investasi asing yang menarik lagi aman.
Sebelum menanamkan investasi, investor asing pasti akan mencermati risiko negara (country
risk) suatu negara misalnya Indonesia. Country risk adalah suatu cara pengukuran mengenai
tingkat ketidakpastian politik dan ekonomi dalam suatu negara yang dapat berdampak pada
nilai pinjaman dan investasi di negara tersebut (Alan C Shapiro, 1998).
Salah satu lembaga pemeringkat country risk yang terkemuka adalah The PRS Group yang
menerbitkan International Country Risk Guide (ICRG), yang memuat country risk semua
negara. ICRG mengelompokkan komponen risiko negara ke dalam tiga risiko politik,
ekonomi dan finansial. Tingkat risiko negara meliputi risiko amat rendah, rendah, moderat,
41
tinggi dan amat tinggi.
Kini Indonesia berisiko negara moderat (moderate country risk). Hal ini menjadi
pertimbangan investor dalam berinvestasi. Maka, pemerintahan Joko Widodo wajib
menggenjot tingkat risiko Indonesia menjadi risiko rendah (low risk) seperti Singapura dan
Malaysia. Ingat, kian rendah risiko suatu negara, akan kian tinggi investasi sebagai salah satu
tulang punggung dalam menyuburkan pertumbuhan ekonomi nasional yang ditargetkan 5,7%
pada 2015.
Saat ini defisit transaksi berjalan mencapai 2,81% terhadap produk domestik bruto (PDB)
pada triwulan IV/2014. Angka tersebut meningkat dibandingkan dengan periode yang sama
pada 2013 sebesar 2,50%. Oleh karena itu, di sisi fiskal, pemerintah perlu menjaga tingkat
defisit transaksi berjalan serendah mungkin. Lantaran makin rendah defisit transaksi berjalan,
makin rendah pula kebutuhan dolar AS bagi para importir untuk melakukan transaksi impor.
Hal ini tentu saja akan mendorong penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Ringkas tutur, hendaknya BI Rate bukan satu-satunya alat moneter dalam menanggapi
kenaikan The Fed Funds Rate.
PAUL SUTARYONO
Pengamat Perbankan dan Mantan Assistant Vice President BNI
42
Gertak Koran SINDO
Kamis, 26 Februari 2015
Pekan-pekan belakangan ini hubungan Indonesia dengan dua negara lain, Australia dan
Brasil, bak cerita silat karya Asmaraman S Kho Ping Hoo (alm.).
Memanas dan masing-masing saling mengeluarkan jurusnya. Sekilas, Australia dan Brasil
terlihat mengeluarkan jurus-jurus serangan, sementara Indonesia dengan ligat bertahan,
menangkis atau berkelit. Penyebabnya tentu kita sudah sama-sama tahu. Australia panas
karena ada dua warga negaranya, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, yang terancam
dihukum mati oleh Indonesia.
Keduanya dihukum karena tertangkap saat menyelundupkan heroin sebanyak 8,2 kg pada 17
April 2005. Kasusnya populer dengan sebutan ‘Bali Nine’. Itu karena Chan dan Sukumaran
melakukan aksinya bersama tujuh rekannya.
Akan halnya Brasil, seorang warga negaranya, Marco Archer Cardoso Moreira, sudah
dieksekusi mati pada Januari lalu. Kini masih ada seorang warga negara Brasil lainnya yang
menanti dieksekusi, yakni Rodrigo Gularte. Jika tak ada halangan, eksekusi Rodrigo bakal
dilakukan pada Maret 2015. Persiapan ke arah sana terus dilakukan pihak Kejaksaan Agung.
Marco dan Rodrigo divonis hukuman mati oleh pengadilan karena terbukti menyelundupkan
narkoba ke Indonesia. Marco terbukti menyelundupkan narkoba sebanyak 13,4 kg ke
Indonesia pada 2004. Sementara Rodrigo terbukti menyelundupkan kokain seberat 6 kg.
Melihat banyaknya narkoba yang diselundupkan, baik pada kasus Bali Nine maupun oleh dua
warga negara Brasil, jelas bahwa barang haram itu tidak untuk mereka konsumsi sendiri. Itu
pasti untuk diperjualbelikan.
Indonesia selama beberapa tahun belakangan memang terkenal sebagai surga penjaja
narkoba. Pasarnya sangat menjanjikan. Konsumennya berlimpah– terutama anak-anak
muda—, aparat penegak hukumnya bisa dibeli, atau kalau tertangkap pun hukumannya
ringan. Bahkan kalau sudah kepepet pun masih bisa minta grasi.
Melihat banyaknya narkoba yang mereka selundupkan, mulanya saya agak heran dengan
”manuver pembelaan” yang dilakukan baik oleh PM Australia Tony Abbott maupun Presiden
Brasil Dilma Rousseff. Penyelundupan narkoba sebanyak itu pasti tidak akan dilakukan oleh
pemain kelas teri. Pasti kelas kakap.
43
Penyelundup narkoba kelas kakap seperti mereka pasti tak hanya membuat repot Indonesia,
tetapi tentu menimbulkan banyak masalah bagi negara asalnya. Mana ada negara yang mau
warga negaranya menjadi bandar narkoba?
Kalau saja media kita mau sedikit melakukan investigasi, bukan tak mungkin empat orang
tadi sebetulnya juga sudah menjadi incaran aparat hukum di negaranya. Pada kasus Bali
Nine, misalnya, mereka ditangkap oleh aparat keamanan kita berdasarkan info dari
Kepolisian Federal Australia (AFP, Australia Federal Police).
Jadi, satu-satunya alasan mengapa PM Abbott dan Presiden Rousseff begitu keras menentang
hukuman mati tersebut mungkin tak lebih untuk alasan popularitas semata. Mereka tentu
tidak ingin dianggap sebagai pemimpin yang tidak melakukan upaya apa pun guna
menyelamatkan warga negaranya yang terancam hukuman mati.
Kalau berpegang dengan logika tadi, meski gertakan PM Abbott dan Presiden Rousseff
terkesan garang dan agak tak patut (Australia menagih sumbangannya saat tsunami melanda
Indonesia dan Brasil menolak surat kredensial dari Indonesia yang dibawa oleh Dubes
Indonesia untuk Brasil) dan kita membalasnya dengan gertakan pula, menjadi agak jelas
siapa sebetulnya yang tengah menolong siapa.
Bukankah dengan cara seperti ini, tangan PM Abbott dan Presiden Rousseff tetap bersih?
Namun demikianlah tugas kepala negara, ia wajib membela warga negaranya. Bukankah
sikap kita juga demikian terhadap WNI yang akan dihukum gantung, dipancung atau
dihukum mati dalam bentuk apa pun oleh negara lain, apa jua kesalahan mereka?
Hal Biasa
Dalam dunia bisnis, aksi gertak-menggertak adalah hal biasa. Sepanjang tahun 2014,
misalnya, kita menyaksikannya. Saling gertak itu terjadi antara pemerintah dengan
perusahaan tambang multinasional, terutama PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa
Tenggara.
Aksi saling ancam dan gertak itu bermula ketika pemerintah memutuskan untuk menerapkan
aturan mengenai larangan ekspor mineral mentah yang mulai berlaku pada 12 Januari 2014.
Untuk tetap bisa mengekspor produk mineralnya, perusahaan-perusahaan itu mesti
membangun smelter atau pabrik pengolahan. Aturan itu jelas menuai pro dan kontra.
Newmont menggertak dengan menghentikan ekspor. Alasannya, telah terjadi force majeure
yang diakibatkan adanya aturan baru tersebut.
Bersama dengan Freeport, Newmont menguasai 97% produksi tembaga nasional. Dengan
penguasaan produksi tembaga sebesar itu, dari sisi bisnis, posisi Freeport dan Newmont
memang terbilang kuat. Gertakan mereka jelas sangat berpengaruh. Bahkan Newmont
melanjutkan gertakannya dengan menyetop 90% kontraktornya yang bekerja di area
pertambangannya.
44
Lalu, sekitar 80% dari 4.000 karyawan di area tersebut juga dinyatakan berstatus stand-by.
Para karyawan itu tidak bekerja, tetapi belum diberhentikan. Gaji mereka pun dipotong.
Ampuhkah gertakan mereka? Dalam kasus Freeport, perusahaan ini akhirnya setuju untuk
membangun smelter. Namun kontrak perusahaan ini yang mestinya habis pada 2021
diperpanjang hingga 2041.
Begitulah kalau kepentingannya sudah menyangkut fulus, biasanya jalan keluarnya agak
lebih mudah dan terselewengkanlah sesuatu yang sudah kita targetkan. Itu karena, ”A wise
man should have money in his head, but not in his heart,” kata Jonathan Swift, politikus dan
penulis esai satire asal Irlandia.
Jangan Kebakaran Jenggot
Dalam kasus Indonesia vs Brasil, aksi gertak-menggertak kini sudah memasuki urusan fulus.
Indonesia sudah mengancam bakal membatalkan pembelian alutsista. Kata Wakil Presiden
Jusuf Kalla, Indonesia tengah mempertimbangkan untuk mengurangi impor alutsista dari
Brasil dan siap mengalihkan pembeliannya ke Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan atau
negara-negara Eropa.
Saat ini negara kita sudah memesan 16 pesawat Tucano yang diproduksi perusahaan
penerbangan Brasil, Embraer. Kemudian, TNI juga akan memesan sistem peluncur roket
paling mutakhir dari produsen senjata Avibras yang bermarkas di Sao Jose dos Campos, Sao
Paulo, Brasil. Kesepakatan pembelian itu sudah ditandatangani di Jakarta. Nilainya mulai
USD400 juta hingga USD800 juta atau kalau dikonversi dalam rupiah antara Rp3,8 triliun
sampai Rp7,6 triliun. Angka tersebut tentu bukan jumlah yang sedikit bagi Brasil yang tengah
mati-matian mempertahankan tingkat penganggurannya tetap rendah, berkisar 5%.
Akankah semua ancaman dan gertakan tadi bakal menjadi kenyataan? Saya setuju dengan
Charles Caleb Colton, seorang ulama dan penulis asal Inggris, ”Those that are the loudest in
their threats are the weakest in their actions.” Mereka yang menggertak sangat keras
biasanya tak punya nyali dalam bertindak. Kita mestinya bisa membaca sinyal semacam ini.
Jadi jangan cepat kebakaran jenggot menghadapi gertakan entah dari PM Abbott atau
Presiden Rousseff. Kita buat santai saja.
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
45
Mengembalikan Khitah Bulog Koran SINDO Sabtu, 28 Februari 2015
Gonjang-ganjing harga beras yang telah berlangsung beberapa bulan terakhir mengingatkan
kita tentang arti penting mengembalikan Bulog kepada semangat awalnya (khitah).
Semangat awal dibentuk Bulog adalah mengemban dua misi besar. Misi pertama, melindungi
konsumen, utamanya warga miskin dan kaum marginal perkotaan dari melambungnya harga
kebutuhan pangan pokok. Misi kedua, melindungi petani dari keterpurukan harga jual
komoditas pangan hasil panen mereka.
Namun, dengan bergulirnya waktu, sejak 1998 pemerintah atas desakan Dana Moneter
Internasional (IMF) ”mempreteli” peran dan fungsi Bulog. Misi heroik yang harus diemban
Bulog tersebut semakin pudar ketika lembaga ini kemudian menjelma menjadi perusahaan
umum (perum) seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2003 tentang
Pendirian Perusahaan Umum (Perum) Bulog.
Sejujurnya kita akui, setelah Bulog menjelma menjadi perum, peran lembaga ini tak ubahnya
mesin ekonomi liberal lain. Layaknya mesin ekonomi liberal, jika suatu aktivitas menjanjikan
keuntungan secara ekonomi, mesin ini akan bergerak. Sebaliknya, jika aktivitas tersebut tidak
menjanjikan keuntungan secara ekonomi, mesin ekonomi ini akan memilih ”duduk manis”.
Kompleksitas masalah pangan saat ini dan ke depan akan semakin tinggi. Untuk itu, dituntut
keseriusan negara/pemerintah untuk menanganinya. Saatnya Bulog dikembalikan kepada
semangat awal saat lembaga ini dibentuk.
Sejarah panjang bangsa ini telah mencatat bahwa dalam sebutir beras tidak hanya terkandung
dimensi ekonomi, tetapi juga dimensi kehidupan lain seperti dimensi sosial, keadilan,
nasionalisme, spiritual, juga politik. Jadi komoditas pangan tak sepantasnya diposisikan
sebatas komoditas perdagangan layaknya produk manufaktur. Hanya diserahkan kepada
mekanisme pasar.
Pemerintah/negara harus hadir dalam setiap permasalahan pangan yang membelit rakyat
seperti permasalahan meroketnya harga beras beberapa waktu terakhir. Menyerahkan
pengelolaan pangan pada swasta merupakan bentuk pengingkaran kewajiban negara dalam
memenuhi hak rakyat paling asasi tersebut.
Di Bawah Presiden
Semangat itu sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan.
46
Pasal 126 Undang-Undang Pangan menegaskan bahwa dalam hal mewujudkan Kedaulatan
Pangan, Kemandirian Pangan, dan Ketahanan Pangan nasional, dibentuk lembaga pemerintah
yang menangani bidang pangan yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Presiden.
Lembaga tersebut mempunyai tugas pokok dan fungsi melaksanakan produksi, pengadaan,
penyimpanan, dan/atau distribusi pangan pokok dan pangan lain yang ditetapkan pemerintah.
Pilihan paling realistis untuk mengemban tugas pokok dan fungsi tersebut tidak ada lain
selain Perum Bulog.
Bulog dengan tugas pokok dan fungsi baru tersebut harus menjalankan manajemen pangan
sebagaimana diformulakan Saleh Affif dan Leon Mears (1967). Terdapat lima prinsip dalam
formula tersebut. Pertama, ditetapkan harga dasar komoditas (floor price) yang memberikan
insentif harga jual bagi petani sehingga mereka tetap bergairah dalam melakukan usaha tani.
Untuk tujuan ini, pemerintah mengeluarkan peraturan yang dituangkan dalam instruksi
presiden (inpres) yang memuat mekanisme harga dasar komoditas dalam bentuk harga
pembelian pemerintah (HPP).
Kedua, perlu ada harga maksimum (ceiling price) yang bertujuan melindungi konsumen dari
kenaikan harga yang tak terkendali. Jika mekanisme harga maksimum dapat berfungsi
dengan baik, tak perlu terjadi gonjang-ganjing harga beras seperti kita alami beberapa bulan
terakhir.
Ketiga, perlu ada selisih yang memadai antara harga dasar dan harga maksimum. Selisih
harga yang memadai tersebut akan lebih merangsang aktivitas perdagangan oleh swasta.
Keempat, perlu diupayakan relasi harga antardaerah dan isolasi harga terhadap pasar dunia
dengan fluktuasi yang lebar.
Kelima, perlu ada stok penyangga (buffer stock) yang dikuasai pemerintah dalam jumlah
yang cukup. Stok penyangga ini sangat penting untuk melakukan penetrasi pasar dalam
rangka stabilisasi harga pada saat-saat tertentu misalnya pada musim paceklik, Lebaran, atau
Natal dan tahun baru. Hanya Buloglah yang memiliki 1.755 gudang tersebar di seluruh
wilayah Indonesia sehingga peran sebagai pengelola stok penyangga pangan tersebut sangat
mungkin diembannya.
Untuk itulah, Bulog perlu diberi kewenangan yang lebih luas dalam pengelolaan stok pangan,
termasuk di dalamnya kebijakan importasi. Dengan catatan, kebijakan importasi tetap harus
memprioritaskan penyerapan hasil panen petani domestik untuk kemandirian dan kedaulatan
pangan bangsa.
Profesional
Satu hal yang perlu diingat, track record Bulog masa lalu sangat kental dengan aroma
47
korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Secara kasatmata Bulog pernah menjadi mesin uang
politik penguasa. Skandal Bulog yang berjilid-jilid menjadi bukti yang tak terbantahkan. Ke
depan semua itu harus dijadikan cermin bagi seluruh jajaran Bulog agar tidak terjerumus
pada kasus-kasus yang sama.
Dengan tugas pokok dan fungsi yang baru, Bulog harus mampu memerankan diri sebagai
lembaga penyangga dan stabilisator harga pangan yang profesional demi kepentingan rakyat.
Prinsip good corporate governance harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya sehingga akan
lebih efisien, efektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Akhirnya, agar beban berat yang diamanatkan kepada Bulog dapat memenuhi harapan
masyarakat, Bulog harus mempunyai hak istimewa. Tanpa hak istimewa tersebut, Bulog tidak
akan mampu melawan sepak terjang para ”naga” dan ”samurai” yang sudah menguasai mata
rantai perdagangan pangan dari sentra produksi hingga pasar ritel.
Salah satu hak istimewa tersebut antara lain memberikan hak kepada Bulog untuk mengimpor
semua komoditas bahan pangan pokok dengan persentase yang besar dibanding pelaku pasar
lain. Hanya dengan hak-hak istimewa seperti inilah, Bulog akan mampu melawan kartel
pangan yang kini sudah menggurita. Di sinilah komitmen para penentu kebijakan pangan
negeri ini tengah diuji.
TOTO SUBANDRIYO
Praktisi Dunia Pertanian; Lulusan IPB; dan Magister Manajemen UNSOED
48
Misteri Mafia Beras Koran SINDO Sabtu, 28 Februari 2015
Reformasi telah mengubah peran pemerintah di satu sisi serta peran swasta, warga sipil, dan
dunia internasional di sisi lain.
Perubahan terjadi di level politik, tetapi tidak pada sistem ekonomi. Ini ditandai dengan peran
negara yang kian ciut, sebaliknya swasta dan kaum kapitalis kian sulit diatur. Hasilnya,
kehadiran negara lewat pelbagai lembaga pengemban pelayanan publik kian lumpuh.
Hari-hari ini kita menjadi saksi negara yang lumpuh, tecermin dari ketidakberdayaan dalam
mengendalikan harga beras. Mengapa dari tahun ke tahun masalah ini tak pernah berubah? Di
manakah kehadiran negara?
Konstitusi mengamanatkan agar negara selalu hadir dalam setiap permasalahan warga. Dalam
UU Nomor 18/2012 tentang Pangan dan UU Nomor 7/2014 tentang Perdagangan diatur
kewajiban negara untuk menjadi stabilisator harga pangan. Bahkan, komitmen ”negara hadir”
juga dituangkan dalam Nawacita Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam
butir 1 Nawacita ditegaskan: ”Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap
bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara....” Adapun dalam butir 2:
”Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih,
efektif, demokratis, dan tepercaya....”
***
Seperti layang- layang putus, tiga minggu terakhir harga beras lepas tak terkendali. Jika
semula kenaikan harga beras hanya terjadi di Jakarta dan sekitarnya, kini menular ke
sejumlah daerah. Biasanya, saat musim paceklik terjadi kenaikan harga 10%. Tapi kenaikan
kali ini sudah mencapai 30%.
Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menuding ada mafia beras yang bermain mengeruk
keuntungan dari situasi ini. Ini bukan hal baru. Di pemerintahan lalu, tudingan ada mafia
beras berulang kali dilemparkan. Namun tak ada satu pun yang bisa membuktikan. Juga tak
ada satu pun yang diseret ke meja hijau. Benarkah ada mafia beras?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi IV, 2013), ‘mafia’ dimaknai sebagai
”perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan (kriminal)”. Merujuk pada definisi
itu, tidak tepat menyematkan kata ”mafia” pada beras. Lebih tepat kata ‘kartel’. Barangkali
ini yang dimaksud Menteri Gobel.
49
Kartel– yang dimaknai sebagai “kerja sama sejumlah perusahaan yang bersaing untuk
mengoordinasi kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan harga suatu
barang dan atau jasa untuk memperoleh keuntungan di atas tingkat keuntungan yang wajar”–
secara klasik dapat dilakukan melalui tiga hal, yakni harga, produksi, dan wilayah
pemasaran.
Mudah didefinisikan, tetapi kartel tidaklah mudah dibuktikan. Apalagi sebagian besar praktik
kartel dilakukan secara diam-diam. Inilah yang membuat otoritas pengawas sering kali
kesulitan mendapatkan bukti-bukti sahih guna menyeret pelaku kartel. Bahkan, sampai
sekarang otoritas Komisi Pengawas Persaingan Usaha belum berhasil mengendus pelaku
kartel.
Menurut Kadin dan Komite Ekonomi Nasional, nilai kartel pangan tahun 2013 mencapai
Rp11,3 triliun. Namun merujuk pada nilai impor pangan tahun 2013 sebesar USD14,3 miliar,
nilai kartel kemungkinan 2-3 kali dari perkiraan Kadin dan KEN. Itu terjadi pada beras,
kedelai, jagung, gula, susu, daging dan sapi bakalan serta gandum.
Barangkali, tudingan ”mafia beras” yang disampaikan Menteri Gobel sebagai bentuk warning
agar pedagang tidak main-main dengan pemerintah. Menurut Menteri Gobel, kenaikan harga
beras saat ini tidak wajar. Kenaikan harga beras di Jakarta dipicu motif bisnis. Para mafia
memainkan harga beras agar pemerintah terpaksa membuka keran impor sehingga bisa
mengeruk untung besar.
Gobel tentu punya alasan kuat karena bukan mustahil kenaikan harga sengaja dibuat atau
kelangkaan semua guna memburu rente. Sebab harga beras Thailand dan Vietnam setara
beras medium di pasar dunia hanya Rp4.000/ kg. Jika dijual di dalam negeri Rp7.400/kg,
untungnya luar biasa.
Gobel juga mencium kejanggalan dalam sistem distribusi beras di Jakarta. Sejak Desember
2014 hingga Januari 2015, Bulog menggelar operasi pasar 75.000 ton. Beras digelontorkan ke
pengelola Pasar Cipinang, PT Food Station, dengan harga gudang Rp6.800. Seharusnya
pedagang menjual kepada konsumen Rp7.400/kg. Namun nyatanya tidak ada pedagang yang
menjual beras sebesar itu. Padahal dengan menjual Rp7.400/kg, pedagang sudah untung
besar. Gobel menduga ada yang menimbun.
Di sisi lain, menurut pedagang, kenaikan harga yang anomali saat ini sesuatu yang wajar. Ini
terjadi lantaran suplai menyusut karena musim paceklik masih berlangsung. Jika iklim dan
cuaca normal, Februari mestinya mulai panen raya. Namun, karena hujan datang terlambat 1-
1,5 bulan, panen raya baru mulai akhir Maret.
Indikatornya bisa dideteksi dari jumlah beras yang masuk ke Pasar Beras Induk Cipinang.
Dalam keadaan normal, beras yang masuk berjumlah 3.000 ton, saat ini menyusut 50%
50
(1.500 ton). Karena itu, tidak benar kelangkaan akibat ulah mafia beras, tapi karena pasokan
menipis.
***
Apa pun penyebabnya, tidak pada tempatnya terus berwacana. Negara harus hadir untuk
menstabilkan komoditas super penting itu. Ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, jika
jatah beras untuk warga miskin (raskin) bulan Februari belum dibagikan, pemerintah mesti
segera membagikannya. Bila harga beras di pasaran masih ada tren naik, pemerintah harus
memperbesar volume raskin. Jatah raskin bulan-bulan berikutnya bisa dibagikan pada
Februari ini.
Musim paceklik merupakan saat tepat membagikan raskin. Jatah raskin 15 kg per keluarga
pada 15,5 juta keluarga akan mengurangi perburuan warga terhadap beras. Berkurangnya
perburuan beras akan menekan ekskalasi kenaikan harga.
Kedua, mengefektifkan operasi pasar. Caranya ada dua: menggandeng pedagang dan menjual
langsung di lokasi-lokasi sasaran. Pedagang perlu digandeng agar pasokan beras di pasar
tetap terjaga. Agar tidak dioplos dan dijual sesuai ketentuan, pedagang perlu diikat dengan
perjanjian dan diawasi ketat. Selain itu, Bulog bisa menggelar operasi pasar langsung di
kantong-kantong kemiskinan seperti pabrik dan permukiman kumuh. Dengan harga yang
menarik bisa dipastikan operasi pasar akan menarik mereka untuk membeli.
Agar tidak jadi misteri, pemerintah dan aparat harus bekerja sama menyeret mafia atau kartel
beras ke meja hijau. UU Nomor 7/2014 tentang Perdagangan memberikan wewenang penuh
kepada pemerintah untuk menindak perilaku culas seperti manipulasi informasi dan
penimbunan persediaan bahan pokok (Pasal 30 dan Pasal 29 ayat 1). Bahkan menghukum
perilaku itu dengan pidana berat: penjara 5 tahun atau denda Rp50 miliar bagi penimbun dan
penjara 4 tahun atau denda Rp10 miliar bagi pelaku manipulasi data dan informasi persediaan
bahan kebutuhan pokok.
Pada UU Nomor 18/2012 tentang Pangan, sanksinya lebih keras: penimbun bisa dipidana
penjara 7 tahun atau denda Rp100 miliar (Pasal 133). Kalau mereka bisa diseret ke meja
hijau, mafia beras tak lagi misteri.
KHUDORI
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik
Indonesia (AEPI); Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian dan Globalisasi
51
Indonesia sebagai Mining Country Koran SINDO 28 Februari 2015
Sejak berlaku larangan ekspor produk mentah hasil tambang dengan berlakunya Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba),
masyarakat baru menyadari ada hal penting dan serius dalam pertambangan di Tanah Air.
UU Minerba seolah membangkitkan kesadaran bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam
yang harus dikelola dengan baik dan menjadi perhatian bersama. Dengan kata lain, UU
Minerba membawa hikmah, blessing in disguise, setelah ada larangan ekspor, isu
pertambangan mulai menarik perhatian publik dan pemangku kepentingan yang berkaitan
dengan pertambangan.
Sebagai suatu industri, pertambangan sudah lama ada dan dikenal masyarakat. Pertambangan
tidak saja menyangkut produk mineral dan batu bara, tetapi juga minyak dan gas (migas).
Pertambangan minyak dan gas jauh lebih dikenal oleh masyarakat dibandingkan dengan
mineral dan batu bara karena keberadaan Pertamina sebagai perusahaan pertambangan dan
eksportir minyak negara.
Minyak pernah membumbung tinggi sehingga membuat Indonesia dikenal di dunia
internasional sebagai produsen minyak dunia dan menjadi anggota Organisasi Negara-negara
Pengekspor Minyak (OPEC). Namun, kemudian keluar dari keanggotaan karena tidak dapat
lagi dikategorikan sebagai negara pengekspor minyak setelah menjadi pengimpor minyak
(net importer).
Data geologis penelitian lapangan yang dimiliki pemerintah, Direktorat Jenderal
Pertambangan Mineral dan Batu Bara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (SDM)
menunjukkan, hampir setiap daerah/provinsi di Indonesia terdapat sumber daya mineral
seperti tembaga (copper), emas (gold), nikel, bauksit, dan uranium. Ini berarti Indonesia
memang memiliki kekayaan sumber daya alam (rich in natural resources) seperti yang
selama ini diketahui oleh dunia sehingga menjadi kekuatan daya saing ekonomi dan menarik
bagi investor asing. Perusahaan-perusahaan tambang kelas dunia seperti Freeport-McMoRan,
Newmont Mining, Rio Tinto, Shell, Exxon Mobil, Total Oil, dan Vale yang beroperasi di
berbagai belahan dunia juga ada di Indonesia.
Tetapi, meski perusahaan-perusahaan raksasa tersebut beroperasi di Indonesia, tampak
Indonesia belum menjadi negara tambang (mining country) yang terdepan dan disegani dalam
dunia pertambangan seperti Afrika Selatan, Australia, Chile, dan Peru. Ini dapat mengandung
arti bahwa Indonesia memang tidak mau disebut sebagai negara tambang atau Indonesia
memang belum memosisikan diri sebagai negara maju dan andal dalam pertambangan.
52
Dengan kandungan sumber daya alam yang terbukti (proven natural resources) selayaknya
Indonesia mulai memosisikan diri menjadi negara tambang yang maju dan diperhitungkan.
Ini tidak saja bermanfaat secara ekonomis bagi negara karena mendapatkan penerimaan
(revenue) dari pajak dan royalti, tetapi juga akan membuka kesempatan bagi perusahaan dan
investor tambang melakukan operasi penambangan di berbagai daerah/provinsi di Indonesia.
Untuk membangun dan mewujudkan Indonesia sebagai negara tambang, terdapat beberapa
hal yang perlu dilakukan. Pertama, membangun brand image (branding) Indonesia sebagai
negara tambang yang responsible, sustainable, profitable and prosperous mining. Selama ini
terkesan urusan dan isu pertambangan hanya berkaitan dengan masalah administrasi dan
perizinan. Masalah pertambangan hanya berputar sekitar masalah konsesi luas wilayah
pertambangan, lama proses perizinan, dan kontrak pertambangan. Paradigma dan konsep
pertambangan yang bertanggung jawab, menguntungkan, dan memberikan kesejahteraan bagi
masyarakat di sekitarnya sepertinya kurang tersentuh dan mendapatkan porsi perhatian yang
cukup.
Selain itu, pertambangan juga menyangkut aspek teknologi, suplai peralatan (equipment),
manajemen bisnis, dan sumber daya manusia. Dalam peralatan, banyak equipment yang
digunakan merupakan produk impor. Jika Indonesia sungguh-sungguh, bukan mustahil
banyak peralatan dan sarana kebutuhan pertambangan yang dapat diproduksi oleh insinyur
dan tenaga ahli lokal.
Jika peralatan dan sarana tersebut dapat dibuat sendiri, industri pendukung sektor
pertambangan akan berkembang dan banyak menyerap tenaga kerja. Selain itu, Indonesia
juga dapat mengekspor produk tersebut ke negara lain dan pasar internasional. Jika semua
kebutuhan dapat dihasilkan oleh produsen dalam negeri, Indonesia dapat menghemat devisa
dan memenuhi sendiri rantai suplai (supply chain) industri.
Kedua, diperlukan ada badan/unit promosi tambang yang mempromosikan potensi kekayaan
sumber daya mineral dan kemampuan sumber daya manusia tambang Indonesia sehingga
perusahaan tambang atau investor asing tidak perlu kesulitan atau mencari tenaga ahli
tambang dari luar untuk bekerja dan mengoperasikan wilayah pertambangan yang
dikonsesikan. Jika memiliki institusi ini, akan mudah bagi Indonesia untuk mempromosikan
dan mengundang investor menanamkan modal di berbagai daerah/provinsi.
Unit promosi ini merupakan institusi tingkat pusat. Keberadaan lembaga ini akan jauh lebih
efisien dan memudahkan daripada harus dilakukan oleh daerah. Sebagai industri dan bisnis,
pertambangan harus dikemas dan ditempatkan dalam konsep pemasaran (marketing).
Ketiga, strategic plan dan transparansi. Perlu ada rencana strategis pengembangan industri
pertambangan sebagai guidance yang bersifat long term policy sehingga pertambangan
Indonesia memiliki keunggulan (competitive advantage) dibandingkan negara lain.
Sebagai bagian dari sistem pengelolaan tambang yang terbuka, otoritas pertambangan harus
53
dapat memberikan informasi yang selalu up to date dan transparan sehingga dari waktu ke
waktu berbagai pihak dapat mengikuti perkembangan kemajuan dan perubahan yang terjadi.
Transparansi sebagai pilar dari good corporate governance harus menjadi elemen utama
dalam industri pertambangan.
Sebagai negara yang diberkahi dengan sumber daya alam yang demikian banyak, sudah
waktunya Indonesia membangun dan memosisikan diri sebagai negara tambang (mining
country) sehingga Indonesia tidak saja menjadi negara yang terdepan dalam pertambangan
dan tujuan investasi tambang, tetapi juga mampu menggerakkan industri pendukung dan
melahirkan perusahaan tambang yang andal di tingkat nasional dan internasional.
KUSNOWIBOWO
Diplomat; Tinggal di Peru
54
Ali Baba Persia, Hangzhou, dan Medan
Koran SINDO
Senin, 2 Maret 2015
Hikayat Ali Baba sangat terkenal di Indonesia. Karya sastra asal Persia karangan Abu Nawas
(Abu Nuas) di zaman Khalifah Harun al-Rasyid itu menceritakan nasib kakak beradik anak
orang kaya, Kasim dan Ali Baba.
Setelah ayahnya yang kaya itu wafat, Kasim langsung merebut seluruh harta warisan tanpa
peduli terhadap adiknya, Ali Baba. Tak cukup dengan harta warisan ayahnya yang melimpah,
Kasim pun mengawini putri orang kaya. Jadilah Kasim dan istrinya hidup mewah di kota
dengan harta yang berlimpah. Sebaliknya Ali Baba. Tak mendapat warisan, dia pun menikah
dengan orang miskin.
Suami-istri miskin itu memutuskan untuk tinggal di tepi hutan di daerah pegunungan. Ali
Baba tak pernah minta bagian harta warisan ayahnya yang dikuasai Kasim.
Pada suatu hari, Ali Baba melihat 40 perampok menyembunyikan hasil jarahannya di sebuah
gua. Ali Baba menguntitnya dari belakang dan mendengar mantra untuk membuka dan
menutup gua itu. Sepeninggal gerombolan penyamun itu, Ali Baba pun mengucapkan mantra
”iftah ya simsim” dan berhasil membuka gua.
Betapa terkejutnya Ali Baba ketika melihat kepingan emas berkarung-karung di gua itu. Lalu,
ia pun mengambil sedikit emas tersebut dan meminjam dacin (alat timbang) kepada
kakaknya, Kasim. Sang Kakak curiga. Ia pun menempelkan bahan perekat di bawah alat
timbang itu agar tahu apa yang akan ditimbang Ali Baba. Ketika dacin itu dikembalikan,
beberapa keping emas menempel di dacin dan Kasim tahu bahwa Ali Baba mempunyai emas
yang banyak.
Walhasil, setelah dibujuk sang kakak, Ali Baba pun bercerita tentang gerombolan penyamun
itu. Seterusnya, tanpa sepengetahuan Ali Baba, Kasim pun datang ke gua dan mengambil
seluruh emas tersebut. Tapi celaka, karena keserakahannya, Kasim lupa mantra untuk
membuka gua itu. Akhirnya para perampok pun datang ke gua dan membunuh Kasim! Itulah
sekelumit kisah tentang Ali Baba yang amat terkenal di Indonesia.
Rupanya, kisah asal Persia ini cukup favorit di China. Seorang anak pendongeng dari
Hangzhou, Tiongkok, bernama Jack Ma belum lama ini (19 September 2014) mengejutkan
bursa saham Wall-Street, New York. Betapa tidak, ketika ia membuka initial public offering
(IPO)–menawarkan saham perusahaan online-nya yang diberi nama ‘Ali Baba’ untuk
pertama kali—, hanya beberapa jam terkumpul uang USD25 miliar.
55
Hanya sekejap, tulis Times, Jack Ma menjadi miliuner baru di jagat ini mengalahkan Mark
Zuckerberg (Facebook) dan Jeff Bezos (Amazon.com). Padahal, situs e-commerce Ali Baba
yang dibuat Jack Ma hanya bermodalkan nekat!
Jack Ma, tidak seperti Ali Baba Persia yang anak saudagar kaya (meski disingkirkan
kakaknya, Kasim), ia adalah anak pendongeng. Masa kecilnya miskin. Hiburannya pun cukup
dengan dongeng-dongeng dari ayahnya. Hanya bermodalkan bahasa Inggris China yang
compang-camping yang diajarkan sang ayah, Jack Ma nekat ke Amerika belajar membuat
web. Lalu, jadilah Alibaba.com–sebuah situs e-commerce yang pengunjungnya jauh melebihi
situs serupa yang ada seperti eBay, Amazon, dan PayPal.
Bayangkan, lebih dari 8,5 juta toko yang menjual segala macam barang di China bergabung
di Ali Baba. Fantastis! Itulah sebabnya, ketika Jack Ma ”melantai” di bursa Wall Street untuk
pertama kali (IPO), orang-orang di seluruh dunia berebut membeli sahamnya. Hasilnya, Jack
Ma pun menjadi orang kaya-raya! Sebuah perjuangan yang berhasil karena kerja keras,
kreatif, dan jujur.
***
Jika Ali Baba versi Persia menjadi kaya-raya karena kesabaran dan kejujurannya dan Ali
Baba versi Hangzhou kaya-raya karena pengembangan bisnis on-line-nya, maka Ali Baba
versi Medan kaya-raya karena kongkalikong dengan mafia illegal fishing di perairan
Indonesia. Medan dan pelabuhan-pelabuhan ikan di Sumatera–seperti dilaporkan majalah
Detik.com— ibarat persembunyian gerombolan penyamun emas dalam kisah Ali Baba tadi.
Di kota inilah beragam mafia hidup nyaman.
Orang-orang dari Ditjen Pajak tahu betul –siapa pun yang akan bertugas di Medan– siap-
siaplah berlatih revolusi mental. Jika tidak, niscaya akan masuk sarang mafia. Ali Baba–
julukan mafia illegal fishing versi majalah Detik.com ini–memang luar biasa. Coba
tangkaplah kapal pencuri ikan dari Thailand, Tiongkok, Filipina, Vietnam, dan Malaysia.
Lalu tunggu beberapa hari. Kapal itu sudah kembali ke pemiliknya, lapor wartawan
Detik.com.
Siapa pelakunya? Mafia Ali Baba! Mafia ini yang terlihat adalah orang setempat. Tapi
jaringannya luas sekali, mulai dari pengusaha besar, pejabat tinggi sipil, pejabat tinggi militer
hingga pejabat tinggi politik. Ali Baba rajin membeli kapal pencuri ikan yang dilelang aparat
keamanan, lalu kapal itu dikembalikan ke pemiliknya di luar negeri.
Hanya mengubah cat kapal, menempelkan bendera merah putih, memberi nama kapal dengan
bahasa Indonesia, kapal-kapal itu pun kembali mencuri ikan. Jika kapal itu mencuri ikan lagi,
ketahuan aparat lagi, ditangkap lagi, diadili lagi, kapalnya dilelang lagi, tak lama kemudian
kapal itu pun kembali lagi ke pemiliknya dan dipakai untuk mencuri ikan lagi. Sebuah
lingkaran setan!
56
Jokowi dan Susi yang hendak menyelamatkan kekayaan negara senilai Rp300 triliun yang
dicuri kapal-kapal penangkap ikan ilegal tiap tahun memang harus meledakkan kapal-kapal
tersebut untuk memutus jaringan mafia Ali Baba. Sudah puluhan kapal pencuri ikan
dihancurkan. Mestinya lebih banyak lagi karena kapal pencuri ikan yang menjarah laut
Indonesia jumlahnya mencapai 5.000 buah. Itu pun data tahun 2003, kata Riza Damanik,
Ketua Dewan Penasihat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia.
Sekarang tahun 2014, menurut Riza, jumlah kapal pencuri ikan mencapai 5.400 kapal. Luar
biasa! Kapal-kapal itu seperti ditelusuri majalah Tempo di Thailand dan China baru-baru ini,
nama di lambungnya sangat Indonesia. Tapi sebetulnya milik asing atau kerja sama antara
pihak asing dan para mafioso pencuri ikan dalam negeri. Itulah tantangan Jokowi dan Susi ke
depan.
Tak ada lagi waktu untuk berdebat siapa yang salah (kepolisian, tentara, Kementerian
Kelautan, dan pemerintah pusat) sehingga pencuri leluasa menjarah ikan di perairan
Indonesia. Kini saatnya bangsa Indonesia harus bersatu padu mengamankan perairan
Nusantara.
Renungkan kata-kata Bung Karno, kalau Indonesia ingin jaya dan disegani, tunjukkan
ketegasan dan keberaniannya di laut! Ingat 75% wilayah Indonesia adalah lautan. Karena itu,
laut adalah kekuatan Indonesia, masa depan Indonesia.
ROKHMIN DAHURI
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor
57
Makroprudensial dan Stabilitas Sistem Keuangan
Koran SINDO
2 Maret 2015
Otoritas moneter dan fiskal di banyak negara tengah diuji untuk merumuskan kebijakan yang
tepat menghadapi membanjirnya dana jangka pendek dan risiko ketika dana tersebut keluar
dalam tempo yang singkat dari negaranya.
Tuntutan untuk semakin menerapkan kebijakan makroprudensial sebagai langkah mitigasi
dampak mobilitas penempatan dana jangka pendek semakin penting bagi banyak negara. Di
pasar modal kita, aksi net-buy investor asing perlu kita waspadai mengingat dana ini bersifat
jangka pendek. Dana itu sewaktu-waktu bisa keluar mendadak (sudden reversal) dan berisiko
membahayakan stabilitas pasar keuangan Indonesia.
Terlebih investor asing sedang menunggu kepastian kapan The Fed akan mengumumkan
kenaikan suku bunga yang sempat tertunda sekian kali. Meskipun tertunda, hal tersebut telah
memicu kecemasan pelaku pasar sehingga rupiah kita pada perdagangan Jumat( 27/2) ditutup
menyentuh level terendah selama lima tahun di mana di pasar spot menyentuh angka
Rp12.932 per dolar Amerika Serikat (AS).
Divergensi antara pergerakan nilai tukar rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG)
sebenarnya telah terjadi pada pertengahan 2011 lalu. Anomali ini merupakan respons dari
perilaku pasar yang berbeda ketika sebelum krisis 2008 di mana nilai tukar dan indeks saham
suatu negara berhubungan secara positif dan linear. Situasi pasar pascakrisis 2008 relatif
berbeda ketika negara-negara maju secara hampir bersamaan mengalami perlambatan dan
kontraksi.
Situasi ini kemudian mendorong berbagai kebijakan fiskal dan moneter yang tidak lazim
digunakan oleh banyak negara maju untuk mengatasi kontraksi ekonomi di negaranya. Salah
satunya dengan menggunakan instrumen quantitative easing dan pemberlakuan suku bunga
ultrarendah. Keputusan The Fed untuk tetap memberlakukan suku bunga murah hingga April
2015 telah mendorong para investor global untuk memaksimalkan penempatan dananya di
negara-negara yang masih menjanjikan spread. Ini tentunya bersifat sangat sementara dan
jangka pendek sebelum The Fed mengakhiri rezim bunga murah.
Di lain sisi, Bank Sentral Eropa (ECB) telah mengumumkan program stimulus moneter
besar-besaran melalui kebijakan Expanded Asset Purchase Program (EAPP) mulai Maret
2015 hingga September 2016. Nilai stimulus moneter yang direncanakan mencapai sekitar 1
triliun euro (atau sekitar 60 miliar euro per bulan) selama periode tersebut.
58
Hampir bersamaan dengan itu, Bank Sentral Jepang juga mengumumkan peningkatan
stimulus moneternya dari 60 triliun-70 triliun yen per tahun menjadi 80 triliun yen per tahun.
Pada saat yang sama Eropa dan Jepang juga mempertahankan suku bunga murah di level
0,05% (Eropa) dan 0,10% di Jepang.
Kebijakan stimulus dari Bank Sentral Eropa dan Jepang telah menyebabkan melimpahnya
likuiditas di pasar global dan berimbas pada pasar-pasar negara berkembang, termasuk
Indonesia. Melimpahnya likuiditas global akibat peningkatan stimulus moneter dan suku
bunga ultramurah ini kemudian mendorong tingginya permintaan terhadap obligasi baik yang
diterbitkan pemerintah maupun swasta. Selain itu investor akan terus berburu saham di pasar-
pasar yang masih menjanjikan dalam kurun waktu yang pendek ini sebelum The Fed
menaikkan suku bunga.
Hal ini termasuk yang sedang terjadi di Indonesia dalam beberapa waktu terakhir di mana
IHSG terus meningkat dan neraca pembayaran mengalami surplus. Sebaliknya nilai tukar
rupiah tertekan akibat menguatnya nilai tukar dolar AS untuk hampir sebagian besar mata
uang di negara berkembang. Di saat bersamaan kebutuhan dolar AS di dalam negeri cukup
besar baik untuk investasi, pembelian bahan baku maupun pembayaran utang.
Lonjakan IHSG dan surplus neraca pembayaran merupakan imbas dari besarnya likuiditas
global yang mendorong permintaan yang tinggi pada instrumen investasi baik jangka pendek
maupun panjang. Jika diamati, surplus neraca pembayaran banyak dikontribusi portofolio
investasi di surat-surat berharga baik yang diterbitkan pemerintah maupun swasta.
Kementerian Keuangan mencatat hingga 24 Februari 2015, pembelian asing pada SBN terus
meningkat mencapai Rp 507 triliun atau 40,18% dari total SBN yang diperdagangkan.
Sementara di pasar saham, investor asing juga terus melakukan aksi beli yang sangat agresif
sehingga mendorong kenaikan IHSG yang begitu tinggi. BEI mencatat nilai transaksi beli
saham sepanjang Februari mencapai Rp10,6 triliun yang 60% di antaranya didominasi aksi
beli investor asing. Secara agregat hingga pertengahan Februari, Bank Indonesia mencatat
adanya aliran dana masuk ke pasar saham dan pasar obligasi mencapai Rp53 triliun atau
hampir dua kali lipat dari periode yang sama tahun lalu yang hanya mencapai Rp30 triliun.
Persoalan yang kemudian muncul dari realitas di atas adalah bagaimana antisipasi ketika
terjadi sudden reversal. Hal ini tentu tidak dapat dihindari sebagai siklus arus masuk-keluar
yang terjadi di pasar, terlebih ketika ekonomi Amerika Serikat menunjukkan kinerja yang
semakin baik (menjelang kenaikan suku bunga The Fed). Investor akan kembali melakukan
relokasi investasinya dari negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, kembali ke
Amerika. Dalam konteks ini, pemerintah dan Bank Indonesia perlu menyiapkan respons
kebijakan yang tepat untuk menghindari efek sudden reversal yang tentunya akan
menghambat target pertumbuhan sebesar 5,7% tahun ini.
Selain perlambatan ekonomi, efek yang paling penting untuk dicermati adalah dampaknya ke
sektor riil ketika terjadi inflasi yang tidak dapat dikendalikan dengan baik. Kebijakan
59
makroprudensial yang telah diambil Bank Indonesia seperti loan to value (LTV) untuk kredit
rumah dan kebijakan DP untuk kredit kendaraan, giro wajib minimum (GWM) berdasarkan
LDR, dan transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SDBK) sulit diharapkan dapat mengatasi
sudden reversal yang dapat meningkatkan eskalasi risiko.
Diskusi bersama dengan Prof Iwan Jaya Azis beberapa waktu lalu di Bimasena (Jakarta) juga
disarankan pentingnya otoritas moneter di Indonesia menerapkan kebijakan selain suku
bunga. Salah satu kebijakan makroprudensial yang perlu dipertimbangkan Bank Indonesia
adalah penggunaan levy on non-core liabilities (foreign exchange related measures) atau
pungutan atas dana asing. Hal ini ditujukan untuk meminimalkan efek pembalikan arus
modal keluar ketika terjadi perubahan kebijakan di negara-negara maju, khususnya Amerika
Serikat.
Kebijakan levy ini telah digunakan oleh banyak negara untuk memitigasi risiko sistemik dari
pembalikan arus modal keluar seperti Jerman, Prancis atau Korea. Ambil contoh Bank Korea
yang telah mengimplementasikan kebijakan levy on non-core liabilities ini sejak 2010 hingga
saat ini. Mereka dapat mengendalikan dan menjaga stabilitas di pasar saham, obligasi, dan
pasar uang sehingga ancaman keluarnya arus modal jangka pendek dapat diminimalkan untuk
menghindari risiko sistemik yang lebih besar.
Pertimbangan penggunaan kebijakan levy on non-core liabilities ini juga sangat membantu
untuk mendorong stabilitas tidak hanya di sektor keuangan, tetapi juga sebagai bantalan bagi
sektor riil, khususnya di tengah kerentanan kedua sektor ini. Instrumen levy sangat membantu
tidak hanya dalam konteks reaktif, tetapi juga proaktif sehingga membanjirnya dana asing
yang masuk ke Indonesia dapat dimanfaatkan dengan lebih optimal oleh pemerintah.
Hal ini juga akan bermanfaat untuk menghindari tekanan eksternal yang diperkirakan
dihadapi dalam waktu dekat ketika The Fed mengumumkan kenaikan suku bunga.
PROF FIRMANZAH PhD
Rektor Universitas Paramadina dan Guru Besar FEUI
60
Sisi Politik Beras
Koran SINDO
3 Maret 2015
Di tengah cuaca panas politik seputar relasi KPK dan Polri, pemerintah dikejutkan oleh
meloncatnya harga beras.
Kekagetan pemerintah ditunjukkan oleh pernyataan menteri pertanian dan menteri
perdagangan yang menuding mafia beras sebagai pihak yang bertanggung jawab. Sebaliknya,
Wakil Presiden Jusuf Kalla menyebut tidak benar ada mafia beras. Apa pun sebabnya,
meroketnya harga beras telah memukul kehidupan rakyat.
Pemerintah yang merasa kecolongan lalu mengambil langkah untuk menekan harga
beras. Operasi pasar besar-besaran digelar di berbagai daerah, termasuk di Jawa Timur yang
dikenal sebagai lumbung beras nasional. Pemerintah juga menyalurkan beras untuk rakyat
miskin (raskin). Dikabarkan, Bulog telah menyiapkan 300.000 ton beras, terdiri atas 175.000
ton untuk program raskin dan 125.000 ton bagi program operasi pasar.
Bangun dan Jatuhnya Rezim
Adalah fakta tak terbantahkan bahwa meroketnya harga beras saat krisis 1998 tidak semata-
mata mengganggu ketahanan pangan. Ada implikasi yang jauh lebih serius yakni terjadi
kerawanan sosial, instabilitas politik, dan kemudian diikuti oleh jatuhnya rezim Orde Baru.
Meski bukan kenaikan harga beras yang menjadi faktor tunggal meledaknya ketidakpuasan
rakyat, tercekiknya leher rakyat akibat harga beras yang tidak terjangkau adalah faktor yang
tidak bisa diabaikan. Itulah ironi yang menyertai jatuhnya Pak Harto. Betapa tidak, Pak Harto
adalah presiden yang mempunyai perhatian dan prestasi besar di bidang pertanian. Boleh
dikata Pak Harto berhasil melakukan ”revolusi beras”.
Oleh berbagai program yang dijalankan pemerintah, wajah Indonesia berubah drastis dari
importir beras terbesar menjadi negara yang berswasembada, bahkan bisa melakukan ekspor
beras pada 1985. Dunia mengakui prestasi Indonesia. Pada 1985 itu pula Pak Harto menerima
penghargaan dari badan pangan dunia PBB (FAO) pada sidangnya di Roma. Saat itu Pak
Harto mengajak serta belasan perwakilan petani untuk hadir di sidang FAO dan menyatakan
bahwa penghargaan yang diterima Indonesia adalah untuk para petani yang telah bekerja
keras.
Wajah Indonesia menjadi cerah di mata dunia. Wajah pemerintah dan citra Pak Harto makin
menawan di mata rakyat. Legitimasi politik Pak Harto dikokohkan oleh prestasi di bidang
61
pertanian sehingga secara politik Pak Harto menjadi legenda dalam urusan swasembada
beras. Citra politik demikian sangat kuat karena berakar tunjang ke dalam urusan perut
rakyat. Dalam kondisi perut rakyat kenyang, stabilitas politik pemerintahan lebih mudah
dirawat.
Sayangnya, akhir rezim Orde Baru disergap oleh krisis ekonomi yang berkembang menjadi
krisis multidimensi, di mana salah satu wajahnya adalah meroketnya harga beras. Beras telah
menjadikan Pak Harto sebagai legenda, beras pula yang turut menyumbang terjadi
kemerosotan kepercayaan rakyat yang berujung lengser keprabon.
Sejarah Bung Karno juga ditandai dengan menipisnya dukungan politik menjelang medio
tahun 60-an karena masalah kelaparan rakyat di berbagai daerah. Rakyat kesulitan
mendapatkan beras. Agaknya konsentrasi Bung Karno pada agenda ”revolusi belum selesai”
dan situasi politik nasional yang penuh jor-joran telah membuat urusan beras kurang
diutamakan.
Bung Karno memang jatuh karena krisis politik pasca-G30S-PKI. Tetapi, jelas ada pra-
kondisi kesulitan pangan rakyat yang turut mewarnai terjadi perubahan politik saat itu. Itu
juga ironi karena Bung Karno juga punya pengalaman penting tentang beras. Dalam buku
Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams diceritakan, Bung
Karno pernah dimintai tolong sambil diancam oleh pimpinan tentara Jepang Kapten
Sakaguchi di Padang karena tentaranya krisis pangan. Bung Karno lalu mengundang para
pedagang beras sehingga krisis beras tentara Jepang bisa diatasi. Pikiran Bung Karno saat itu
adalah agar rakyat Indonesia terhindar dari siksaan, sementara tentara Jepang terhindar dari
kelaparan.
Bung Karno juga pernah melakukan” diplomasi beras” kepada India. Saat terjadi kelaparan di
India pada 1946, Indonesia mengirim beras. Ternyata ini membuat India terkesan. Ketika
Belanda melakukan agresi militer pada 1947, Indonesia keteteran. Bung Karno meminta
Bung Hatta menemui Nehru untuk meminta bantuan. Meski Hatta tidak berhasil
mendapatkan bantuan senjata, India tampil menggalang protes internasional dan resolusi PBB
untuk mengutuk Belanda. Terbukti usaha India berhasil.
Jangan Disepelekan
Nah, karena itulah, narasi beras bukan hanya tentang makanan utama mayoritas rakyat. Beras
terlalu kompleks untuk dipahami dan dijelaskan sekadar sebagai bahan pangan. Beras jelas
berwajah ekonomi, sosial, dan bahkan politik. Memandang beras hanya sebagai urusan
pangan atau perut rakyat adalah ”sesat pikir” yang berbahaya. Karena itu pula, urusan
kenaikan harga beras tidak boleh disepelekan.
Sikap pemerintah untuk tidak impor patut diapresiasi. Sikap ini terkait janji kampanye
Presiden Jokowi untuk membela petani. Tetapi, impor beras sejatinya tidak perlu diharamkan
jika stok beras nasional rawan. Hajat hidup rakyat haruslah ditinggikan tempatnya di atas
62
pilihan impor atau tidak impor. Jika terpaksa, impor tak boleh dianggap tabu. Yang penting
tujuannya benar-benar untuk memenuhi hajat rakyat dan bukan demi rent seeking.
Semoga benar harapan pemerintah bahwa hasil panen raya sejalan dengan pilihan sikap untuk
tidak impor beras. Tetapi, perlu senantiasa dicatat bahwa besarnya jumlah penduduk dan
konsumsi beras per kapita tertinggi di dunia adalah problem yang selalu hadir. Itu tanda
bahwa urusan beras sangat serius. Kapan Indonesia swasembada lagi?
ANAS URBANINGRUM
Ketua Presidium Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI)
63
Politik Beras ala Jokowi
Koran SINDO
3 Maret 2015
Berbicara mengenai beras, berbicara mengenai kebutuhan perut hampir seluruh rakyat di
negeri ini. Dengan segala ceritanya, beras kini menjadi pangan utama nasional.
Satu waktu beras hanya menjadi barang biasa, namun di waktu yang lain menjelma menjadi
barang yang cukup istimewa. Beras seharusnya bisa terjangkau oleh seluruh rakyat di negeri
ini. Tak boleh ada yang lapar, tak boleh ada yang tidak bisa makan.
Sejarah telah mencatat bahwa hampir semua negara menempatkan ketersediaan pangan
sebagai kebijakan strategis. Jika rakyat lapar, ancaman terhadap stabilitas nasional akan
semakin besar. Maka itu, tidaklah berlebihan jika Perdana Menteri India periode 1947-1964
Jawaharlal Nehru mengatakan, ”Segala sesuatu dapat menunggu, tapi tidak untuk pertanian.
Apa pun, yang paling utama adalah harus cukup pangan. Berikutnya, baru yang lain.”
Sebaliknya, jika kebutuhan pangan terpenuhi, urusan yang lain akan lebih mudah
diselesaikan. Henry Kissinger, menlu AS era 1973-1976, menyampaikan, ”Siapa pun yang
punya akses terhadap minyak, mereka akan dapat mengontrol banyak negara. Siapa pun yang
memiliki akses terhadap pangan, mereka akan mampu mengontrol masyarakat.”
Betapa pentingnya ketersediaan pangan membuat hampir seluruh presiden Indonesia cukup
disibukkan dengan masalah beras. Lantas, bagaimana dengan kebijakan pangan era Jokowi?
Gebrakan awal mengenai prioritas perbaikan infrastruktur irigasi, sarana-prasarana pertanian,
dan percepatan sistem penyaluran benih unggul cukup menumbuhkan harapan yang tinggi.
Namun, target ekspor beras 1 juta ton akhir 2015 cukup membingungkan.
Pentingkah ekspor beras saat ini? Perlukah bagi kemandirian pangan? Adakah efeknya
terhadap pasar beras dalam negeri?
Fenomena Kenaikan Harga Beras
Akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan persentase kenaikan harga beras yang cukup fantastis.
Kenaikan harga hingga 30% merupakan yang terbesar sepanjang 15 tahun terakhir. Kenaikan
harga beras pada masa-masa sebelum panen raya biasanya hanya berada pada kisaran angka
maksimal 10%. Beras kualitas sedang di pasaran saat ini rata-rata seharga Rp12.000 dari
sebelumnya Rp9.000. Beras premium bahkan bisa tembus di atas angka Rp15.000 sampai
Rp18.000 per kg.
64
Dalam teori ekonomi, kenaikan harga barang disebabkan oleh hukum supply and demand
yaitu rendahnya supply, tingginya demand, atau kedua faktor tersebut sekaligus. Lantas,
apakah hukum ekonomi ini berlaku juga pada kenaikan harga beras saat ini?
Jika bicara demand, permintaan terhadap beras relatif stabil dari waktu ke waktu. Kalaupun
ada permintaan yang melonjak, biasanya terjadi pada bulan-bulan hari raya keagamaan
seperti Ramadan dan Lebaran. Kalaulah permintaan naik akibat raskin tidak dibagikan pada
November-Desember 2014, hal tersebut hanya berdampak maksimal sampai awal Februari
2015. Kenapa? Akhir 2014 Bulog telah melakukan operasi pasar. Raskin juga kembali
dibagikan pada akhir Januari. Dengan demikian, bulan permintaan terhadap beras pada
Februari ini kembali normal. Namun, harga terus melambung sampai akhir Februari.
Dari sisi produksi, belum ada faktor ekstrem seperti banjir, hama padi, bencana alam ataupun
kegagalan panen masif yang menyebabkan turunnya produksi padi dalam skala besar
dibanding tahun sebelumnya. Sebagai perbandingan, dari data BPS (2015), produksi padi
turun 1.07% pada 2011 dan saat itu tidak terjadi kenaikan harga seperti sekarang. Bandingkan
dengan penurunan produksi padi 2014 yang hanya 0.94%. Lantas, ke mana perginya produksi
padi tersebut sehingga harga beras di pasaran jadi naik?
Selain produksi, faktor supply juga dipengaruhi oleh masalah distribusi, cadangan beras di
gudang, dan motif ekonomi dalam rantai perdagangan. Jika menilik produksi dan konsumsi
beras (BPS, 2015), terdapat surplus produksi hingga 5 juta ton lebih pada 2014.
Di luar masalah valid dan tidak data produksi dan konsumsi, seharusnya pasar tidak perlu
panik dengan kondisi beras nasional. Yang menjadi masalah kemudian adalah, kita sulit
mendeteksi secara akurat tentang seberapa besar gangguan distribusi dan motif ekonomi
terhadap harga beras.
Solusi Jangka Pendek
Melihat peta permasalahan, pemerintah harus segera menyelesaikan masalah distribusi dan
kemungkinan adanya rent seeking. Kementerian Pertanian mesti cepat berkoordinasi dengan
daerah dalam memetakan sebaran panen. Data ini penting bagi Kemenhub dan Kemendag
untuk memperbaiki distribusi beras ke sentra konsumen. Satuan khusus Polri yang
seharusnya selevel Densus 88 melakukan operasi terkait kemungkinan ada penimbunan
beras.
Bulog harus segera melakukan operasi pasar di wilayah sentra konsumsi yang strategis.
Operasi pasar ditujukan langsung ke konsumen di pasar, bukan melalui pedagang yang
selama ini dilakukan Bulog. Dalam jangka panjang, pemerintah perlu mengembalikan Bulog
pada fungsinya semula sebagai penyangga dan stabilisator harga pangan. Untuk itu, Bulog
dikembalikan ke dalam bentuk lembaga pemerintah non-departemen (LPND), bukan sebagai
BUMN yang ditarget mendapatkan profit.
65
Untuk jalur distribusi, pemerintah harus memperbaiki sistem angkutan khusus pangan
strategis. Sistem gudang dan supply chain harus benar-benar menjadi fokus Kemendag.
Terakhir, kontrol terhadap pemerintah daerah dalam masalah pertanian perlu dikuatkan,
terutama dalam pencegahan konversi lahan.
Sekali lagi, pemerintahan Jokowi jangan dulu terobsesi dengan ekspor beras. Politik pangan
utama adalah ketahanan pangan dalam negeri. Banyak hal mendasar lain yang masih perlu
diselesaikan. Saya yakin, rakyat dengan sendirinya akan memberikan standing applause atas
kerja-kerja serius pemerintah. Yang terpenting adalah citra abadi. Citra yang abadi akan
muncul tatkala kepuasan rakyat memang terpenuhi, bukan citra palsu yang hanya muncul
sesaat dengan sedikit polesan di sana-sini.
ATANG TRISNANTO MSi
Direktur Eksekutif National Food Security Studies (Nafis)
66
Menjadikan Majalengka Kawasan Metropolitan
Koran SINDO
4 Maret 2015
Belum lama ini penulis bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama ratusan para kepala
daerah lain dalam rapat koordinasi nasional (rakornas) di Istana Bogor.
Pada kesempatan itu, Presiden Jokowi meminta kepada seluruh pemerintah daerah agar
berupaya keras melaksanakan program prioritas dalam menangkal dampak pertumbuhan
ekonomi dunia yang tengah lesu. Kondisi ini sebagai dampak negatif dari krisis keuangan
global di Yunani. Namun di satu sisi, Pemerintah Indonesia tetap optimistis pertumbuhan
ekonomi ditargetkan mengalami kenaikan mencapai 5,7% pada 2015.
Untuk mewujudkan semua itu, pemerintah pusat tak akan mampu berjalan sendiri tanpa ada
keterlibatan pemerintah daerah di dalamnya. Ada beberapa poin penting yang harus
dilaksanakan setiap pemerintah daerah dalam menindaklanjuti hasil rakornas tersebut.
Pemerintah daerah (pemda) diwajibkan mendorong terjadi pertumbuhan ekonomi secara
nasional. Presiden Jokowi juga meminta setiap pemerintah daerah dapat mencegah tindak
pidana korupsi yang mulai marak terjadi baik di pusat maupun di daerah. Presiden meminta
pemda memberikan kemudahan dalam memberikan izin bagi para investor yang akan
menanamkan usahanya. Bila bisa satu detik pun, izin yang berhubungan dengan produk
ekspor agar segera direalisasikan karena itu berkaitan dengan neraca perdagangan.
Di Kabupaten Majalengka berkaitan dengan perizinan, pada empat tahun lalu telah terbentuk
instansi yang bertujuan seperti diharapkan Presiden Jokowi. Ke depan penulis akan berupaya
memangkas waktu izin yang selama ini dikeluarkan biasa memakan waktu 14 hari,
diupayakan lebih cepat lagi tanpa melanggar ketentuan dan persyaratan yang berlaku.
Berkaitan dengan kabar tak sedap yang menyebutkan jika perizinan di Majalengka sulit dan
berbelit-belit, kabar itu tidak dapat dipertanggungjawabkan. Menurut penulis, penyebab izin
tidak keluar karena investor dalam menanamkan usahanya berbenturan dengan rencana detail
tata ruang (RDTR).
Majalengka Inovatif
Guna mewujudkan pesan Presiden Jokowi dalam rakornas tersebut, tentunya penulis selaku
orang yang bertanggung jawab dalam menjalankan roda pemerintahan akan berupaya
67
menjadikan Kota Angin ini sebagai daerah inovasi. Realitas dibuktikan dengan lahirnya
memorandum of understanding (MoU) antara Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan
Pemkab Majalengka.
Kerja sama ini diharapkan agar pembangunan Majalengka semakin terarah, terukur, dan tepat
sasaran. Laboratorium inovasi itu diharapkan agar ada peranan aktif dari semua organisasi
perangkat daerah (OPD) di lingkungan Pemkab Majalengka. Itu bahkan diharapkan dapat
menular sampai tingkat kecamatan maupun kelurahan atau pemerintah desa.
Majalengka Metropolitan
Mimpi besar penulis sebagai putera daerah dan di sisa masa jabatan yang ada saat ini adalah
ingin memberikan yang terbaik bagi rakyat Majalengka pada khususnya, umumnya bagi
bangsa dan negara. Penulis memiliki ambisi besar dalam mewujudkan Majalengka menjadi
kawasan Metropolitan di masa mendatang. Terutama dalam menyongsong Bandara
Internasional Jawa Barat (BIJB) di Kecamatan Kertajati. Dioperasikannya dua jalan tol
Cikampek-Palimanan (Cikapa) dan Cileunyi-Sumedang-Kertajati (Cisumjati) yang melintasi
wilayah Kabupaten Majalengka.
Di antara kebijakan yang tengah didesain, akan memplot kawasan-kawasan di Majalengka
diprioritaskan untuk membangun seperti kawasan industri, pariwisata, dan pusat
perekonomian. Konsep itu sesuai RDTR Kabupaten Majalengka.
Rinciannya wilayah utara sebagai daerah penyangga bandara internasional ditetapkan sebagai
pusat industri, bisnis, jasa, dan perdagangan. Di kawasan area bandara juga akan dibangun
rest area seluas 500 hektare, disertai taman buah, taman safari, dan arena hiburan seperti
dunia fantasi. Semua ini bertujuan agar kehadiran bandara bagi rakyat Majalengka tidak
hanya menikmati gemuruhnya suara pesawat, tapi bisa memberikan manfaat dan maslahat
dari pembangunan tersebut.
Sedangkan wilayah selatan yang kondisi daerahnya berbukit-bukit dan sejuk, sebagai tempat
hotel, pengembangan pariwisata, dan permukiman eksklusif dan lain-lain. Di selatan
Majalengka, flora dan fauna kawasan pegunungan Ciremai yang terkenal indah dan menawan
akan dibangun kawasan rekreasi dan andalan objek wisata Situ Sangiang.
Kawasan itu akan ditata kembali dan dikembangkan menjadi kebun binatang serta menjadi
pusat wisata lain. Salah satu langkahnya dengan cara melakukan kerja sama (MoU) dengan
Pemkab Kuningan untuk membuka jalur transportasi perbatasan agar dapat terkoneksi dengan
objek wisata yang ada di Kabupaten Kuningan. Ke depan dua daerah ini memiliki objek
wisata terpadu. Di Kuningan ada kebun raya, di Majalengka ada kebun binatang. Dengan
memperluas infrastruktur.
Di wilayah perkotaan Majalengka, penulis sedang dan akan terus melakukan penataan
kembali menjadi kota yang maju dan lebih baik lagi. Seperti membangun kerja sama dengan
68
Grage Grup dalam membangun mal disertai hotel dan tempat rekreasi keluarga. Dengan
terjalinnya kerja sama, diharapkan dapat mendongkrak peningkatan pendapatan asli daerah
(PAD) yang mencapai miliaran rupiah setiap tahun. Bukan hanya itu, pembangunan mal itu
juga dapat menyerap 3.000 orang tenaga kerja yang diprioritaskan putera daerah Majalengka.
Selain itu pula, di Kota Majalengka akan dibangun hotel bintang tiga berbasis syariah,
bernama Fitra Hotel yang sudah diresmikan peletakan batu pertamanya. Selanjutnya
pembangunan Hotel Amaris di Kecamatan Panyingkiran yang akan segera menyusul. Dengan
pembangunan sebuah hotel, dapat memberikan multiplier effect bagi masyarakat maupun
pembangunan lainnya. Seperti dapat mengungkit PAD, meningkatkan pertumbuhan ekonomi
masyarakat, dan membuka lapangan pekerjaan guna meminimalisasi angka pengangguran.
Pembangunan hotel yang tengah dibangun di Majalengka juga sekaligus menjawab kritikan
dari berbagai kepala daerah di Jawa Barat, yang dulu mengolok-olok Majalengka sebagai The
Big Village atau desa yang besar.
Terakhir, penulis berharap berbagai elemen masyarakat jangan mengganggu kenyamanan
investor ketika menanamkan usahanya di Majalengka. Jika ada kekurangan, pun harap bisa
dimaklumi. Perlu diketahui, proses perizinan itu ada yang menjadi kewenangan pemerintah
daerah, pemerintah provinsi, dan pemerintah pusat. Penulis mengajak mari kita bahu
membahu dan bergandengan tangan bangun Majalengka sesuai profesi dan kompetensi
masing-masing. Bila investor terus diusik atau dicari-cari kesalahannya, Majalengka tidak
akan maju-maju.
Semoga dengan kehadiran tulisan ini, setidaknya dapat memberikan pemahaman dan manfaat
bagi kita semua. Amin.
SUTRISNO
Bupati Majalengka
69
Penyertaan Modal Negara
Koran SINDO
5 Maret 2015
Persetujuan DPR tentang penyertaan modal negara (PMN) dalam APBN Perubahan 2015
menyisakan banyak cerita.
Namun, sebuah proses melalui parlemen telah kita lalui dan semoga ini menjadi era baru bagi
peremajaan BUMN Indonesia yang sudah lama kita tunggu. Di tangan mantan CEO Astra
International yang sukses mengawal transformasi di masa sulit, saya yakin BUMN Indonesia
bisa mengimbangi BUMN asing yang semakin bertaji.
Sebagai profesional, Rini M Soemarno bisa saja dimusuhi para politisi seperti yang pernah
dialami Sri Mulyani di era SBY. Harap maklum, BUMN memang menarik untuk
diperebutkan. Tetapi, spirit profesionalismenya saya kira tak perlu kita ragukan. Maka,
menarik melihat bagaimana PMN kali ini bergulir untuk memperkuat pembangunan melalui
BUMN.
Geliat BUMN ASEAN
Bukannya apa-apa, menyangkut soal daya saing bangsa kita ini termasuk yang paling lama
merespons perubahan, bahkan paling kurang gebrakan. Bayangkan, Masyarakat Ekonomi
ASEAN (MEA) sudah di ujung mata. Ingat ya, ini masyarakat ekonomi konsepnya, bukan
sekadar AFTA atau kawasan perdagangan bebas. Artinya dibutuhkan sinkronisasi
kelembagaan. Nah, berkaitan dengan itulah BUMN di ASEAN pun berubah. Itu bahkan
sudah dilakukan tetangga kita sejak 1990-an.
Bayangkan Kementerian Keuangan Malaysia sudah dibentuk menjadi semacam PT sejak
1993. Ini berarti dari segi akuntansi keuangan negara, aset-aset yang dilimpahkan ke BUMN
di sana menjadi tak serumit seperti di sini. Ini semua tentu amat tergantung pada wawasan
dan kepentingan yang diemban para politisi: apakah rela membuat BUMN negerinya tumbuh
besar dan lepas dari campur tangannya, atau masih ingin mencari celah untuk ”bermain”.
Kedewasaan berpolitik, integritas, ditambah kemampuan berpikir strategis sangat
menentukan pilihan yang diambil. Dengan bekal itu para politisi Malaysia sepakat melepas
badan-badan usaha yang tidak strategis dan menjadikan usaha-usaha strategis benar-benar
profesional dengan aturan yang jelas. Mereka juga mengawal konsistensi dan tabu
membiarkan birokrasi mengelola BUMN. Hasilnya Anda lihat sendiri. Betapa powerful-nya
Khazanah. Maka saya senang ketika mendengar salah satu program yang serius dikerjakan
menteri BUMN saat ini adalah merampungkan RUU BUMN agar benar-benar mampu
70
menjawab tantangan zaman.
Perkuat BUMN Keuangan
Ada tiga BUMN yang sama sekali tidak dapat jatah PMN, yakni PT Djakarta Lloyd, PT
Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), dan PT Bank Mandiri Tbk. Kalau Djakarta Lloyd saya
bisa paham. BUMN itu sedang menghadapi masalah hukum akibat utangnya yang bertimbun
di sana-sini.
Saat ini status hukum Djakarta Lloyd dalam masa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU). Saham pemerintah di sana sudah berkurang hingga 29%. Jadi pemberian PMN
untuk perusahaan bermasalah sangat berisiko. Akan halnya RNI, Komisi VI DPR menilai
usulan bisnisnya masih kurang jelas. Perlu lebih dipertajam.
Mungkin yang agak menarik adalah Bank Mandiri. Ini karena pengajuan dana PMN untuk
bank itu lumayan jumbo, mencapai Rp5,6 triliun. Tapi, anggota DPR menilai PMN bagi
Bank Mandiri belum menjadi prioritas. Setidak-tidaknya untuk tahun ini. Dengan penolakan
tersebut perjalanan perbankan Indonesia untuk menjadi agent of change dalam pembangunan
ekonomi Indonesia jadi semakin panjang.
Sejatinya penambahan modal itu menjadi penting agar Bank Mandiri semakin powerful
dalam menghadapi era MEA. Di Indonesia, Bank Mandiri memang bank yang terbesar dari
sisi modal. Namun, ketika dijajarkan dengan bank-bank asal negara tetangga, Bank Mandiri
belum ada apa-apanya. Coba saja Anda lihat daftarnya. Peringkat pertama bank dengan
modal terbesar di ASEAN adalah Bank DBS (Singapura, USD26,3 miliar), lalu OCBC
(Singapura, USD20,2 miliar), UOB (Singapura, USD18,4 miliar), Maybank (Malaysia,
USD10,5 miliar), CIMB (Malaysia, USD8,7 miliar), Bangkok Bank (Thailand, USD7,8
miliar), dan baru Bank Mandiri (Indonesia, USD6,7 miliar).
Bagi perbankan, modal adalah otot. Makin besar modalnya, makin berotot bank tersebut,
makin kuat pula tenaga yang dimiliki suatu bank untuk bertarung, berperan dalam perputaran
ekonomi nasional. Dengan ditolaknya PMN oleh DPR, rasio kecukupan modal Bank Mandiri
kini hanya sekitar 16,22% atau di bawah persyaratan kelayakan perbankan ASEAN
(Qualified ASEAN Bank, QAB) yang pada tahun 2019 nilainya dipatok minimal 17,5%.
Jika dana PMN tadi masuk, modal Bank Mandiri akan mencapai lebih dari Rp100 triliun dan
nilai QAB-nya menjadi lebih dari 17%. Ini membuat Bank Mandiri cukup leluasa untuk
mengejar target QAB 17,5% pada 2019. Kini, dengan ditolaknya PMN oleh DPR, agar bisa
bersaing dengan bank-bank se-ASEAN, Bank Mandiri mesti putar otak untuk memperbesar
modalnya.
Tapi bagi saya, kalau Indonesia mau maju dan menolong pengusaha domestik menjadi
pemain yang kuat di dalam negeri dan berperan serta dalam industrialisasi yang dicanangkan
pemerintahan baru, sektor keuangan harus diperkuat. Mungkin kita juga tak cukup
71
menyatukan semua bank BUMN dalam satu wadah, melainkan semua lembaga keuangan.
Bukankah bank dan asuransi sudah banyak yang berjalan bersama-sama? Belum lagi modal
ventura, dan sebagainya. Bayangkan kalau semua urusan regulasi bisa kita sederhanakan dan
kekuatannya bisa kita padukan.
Kekuatan Ekonomi Yahudi
Saya ajak Anda sedikit keluar dari konteks. Kebetulan minggu lalu saya diminta berbicara di
depan Dewan Analis Strategis Badan Intelijen Negara tentang kiprah multinational
corporations (MNC). Ketika menelisik MNC, di situ mau tak mau saya menarik dua
kekuatan, yaitu GAFA (MNC terbarukan yang terdiri atas Google, Apple, Facebook, dan
Amazon) serta peran penting sektor keuangan.
Tapi baiklah kita pelajari bagaimana bangsa-bangsa besar tumbuh menjadi penguasa ekonomi
global. Jawaban dari semua itu, perkuat lembaga keuangan dengan modal yang terus
diperbesar. Karena lembaga keuangannya kuatlah maka GAFA juga tumbuh. Bayangkan
dengan hanya total 252.000 pegawai, keempat perusahaan besar GAFA berhasil meraih
revenue setara dengan GDP Denmark (USD330 miliar). Padahal GDP sebesar itu hasil dari
penduduk yang jumlahnya 10 kali lipat karyawan GAFA.
Sekarang saya ajak Anda menelisik gurita ekonomi keuangan keluarga besar Yahudi.
Mudahnya kita ambil saja jaringan usaha keluarga Rothschilds yang namanya populer belum
lama ini. Bisnis keuangan keluarga Rothschilds dimulai abad pada ke-18 di Frankfurt, dan
diteruskan oleh kelima penerusnya di lima kota keuangan penting di Eropa: Frankfurt,
London, Viena, Paris, dan Naples.
Dari industri keuangan itu mereka menguasai jaringan perbankan di Swiss, asuransi dunia,
pertambangan (Rio Tinto dan de Beers) dan industri- industri ternama dunia. Sektor keuangan
yang kuat menjadikan jejak langkah keluarga Rothschilds sulit dihindari dari berbagai
peristiwa penting dunia. Kekaisaran Jepang pun, misalnya, mendapatkan pembiayaan perang
di awal abad 20 dari jaringan perbankan keluarga Rothschilds. Mereka juga memiliki
hubungan yang erat dengan tycoon minyak, Rockefeller yang juga menguasai sejumlah
jaringan keuangan dunia.
Singkat cerita, keluarga-keluarga ternama dunia adalah keluarga yang didukung oleh industri
keuangan yang canggih dan modern. Anda mungkin masih ingat hampir semua konglomerat
dunia apakah di Jepang, Korea, maupun di sini menjadi besar berkat dukungan industri
keuangan.
Maka dari itu, wajar saja kalau ASEAN pun meraih pertumbuhan melalui dukungan sektor
keuangan yang kuat. Sekali lagi, bukan industri yang dimulai, melainkan prudential banking
industry. Ya, banking diperkuat untuk memperkuat industri. Ini tampaknya masih
berkebalikan dengan cara berpikir sebagian besar politisi kita.
72
Jangan Ulang Masa Lalu
Buat saya, penolakan DPR untuk PMN bagi Bank Mandiri memang agak mengherankan.
Apalagi dengan alasan itu belum menjadi prioritas. Bukankah sejak dulu kita sudah
mewacanakan perlunya memiliki bank yang besar—termasuk modalnya. Bayangan saya
begini. Kalau Bank Mandiri dan bank BUMN lain mendapatkan kucuran dana PMN, modal
mereka akan bertambah. Itu artinya mereka akan mempunyai modal yang cukup untuk me-
leverage kredit dalam jumlah besar.
Buat saya, dalam masa sekarang, hal ini menjadi penting karena di era pemerintahan SBY
kita lihat kerja pemerintah boleh dibilang lambat. Itu setidak-tidaknya tecermin dari serapan
dana APBN. Untuk tahun lalu, misalnya, sampai kuartal I-2014, serapan anggarannya baru
mencapai Rp7,8 triliun dari total yang tersedia Rp184,2 triliun. Jumlah tersebut tak sampai
5%-nya. Kinerja tersebut malah lebih buruk dibandingkan dengan serapan anggaran untuk
tahun 2013 yang masih bisa hampir mencapai 6%.
Jadi, alokasi PMN ke bank-bank BUMN bisa menjadi alternatif lain dari seretnya penyerapan
dana melalui mesin birokrasi. Kalau dana tak mengucur ke bawah, dalam bentuk berbagai
proyek, bukankah itu sama saja tak ada lapangan pekerjaan di masyarakat. Kita tentu tak mau
kondisi semacam ini terjadi.
Kalau modal bank-bank kita bertambah berkat kucuran dana PMN, itu artinya bank-bank
tersebut akan semakin mampu membiayai proyek-proyek bersifat jangka panjang. Di
antaranya dalam bentuk proyek-proyek infrastruktur. Bagi saya, kemampuan semacam ini
menjadi penting. Saya tidak ingin kejadian di masa lalu berulang kembali. Dulu banyak
proyek infrastruktur kita didanai pihak asing.
Dalam banyak kasus, lembaga-lembaga keuangan asing yang bertindak sebagai kreditur
kemudian menetapkan sejumlah persyaratan. Misalnya kontraktornya harus dari negara asal
bank kreditur. Begitu pula dengan konsultan proyeknya. Bahkan bukan hanya itu. Mesin-
mesin dan berbagai produk teknologi yang terkait dengan pembangunan proyek tersebut juga
kerap kali ditentukan oleh pihak kreditur. Maka, jadilah kontraktor-kontraktor kita hanya
menjadi subkontraktor. Bahkan mungkin sub dari subkontraktor. Konsultan atau tenaga ahli
kita pun tidak kebagian peran. Kalaupun ada porsi kita, mungkin itu hanya untuk pekerjaan
kasar.
Kita tentu tak mau kondisi semacam itu berulang. Tapi, entah mengapa aspirasi kita kerap
kali tidak nyambung dengan keputusan wakil-wakil kita yang ada di DPR. Salah siapa ya?
Saya berharap di tahun mendatang putusan penting itu justru diberikan ke lembaga
perbankan, untuk menjadi motor bagi kemajuan ekonomi Indonesia.
73
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
74
Investasi dan Pembiaran Konflik
Koran SINDO
5 Maret 2015
”Risk comes from not knowing what you’re doing.”
(Warren Buffett)
Sebulan lebih konflik antarpenegak hukum KPK-Polri seperti dibiarkan Presiden Joko
Widodo. Kondisi ini membuat banyak investor berpikir ulang akan rencana mereka. Dari
bisik-bisik dan obrolan, mereka jelas waswas. Situasi ini mempertegas ada ketidakpastian
hukum di negara ini.
Kisruh KPK-Polri membuat optimisme berinvestasi di Indonesia menjadi rusak. Walau
akhirnya Presiden Jokowi menyatakan membatalkan pencalonan Komjen Pol Budi Gunawan
sebagai kepala Polri dan diganti calon lain, Komjen Pol Badrodin Haiti, serta menunjuk tiga
pelaksana tugas pimpinan KPK yang baru, situasi politik dan kepastian hukum masih
berpotensi terjadi di negeri ini.
Investasi salah satu kekuatan otonom penting bagi pertumbuhan ekonomi. Faktor penentu
investasi moncer adalah stabilitas sosial-politik dan kepastian hukum. Sejarah mencatat, pada
masa pemerintahan Presiden BJ Habibie terjadi kerusuhan dan bentrokan berdarah di mana-
mana. Hukum dan aparatur penegaknya hanya berdiri diam. Tak ada transparansi hukum,
penegakan hukum jungkir balik.
Di bidang ini pemerintahan Habibie jelas-jelas gagal. Waktu itu investasi asing langsung
terhenti. Ekonomi terpuruk. Akibatnya di masa pemerintahan Habibie ini rating ekonomi
Indonesia mencapai titik terendah.
Di mata kalangan investor, baik asing maupun lokal, empat bulan kepemimpinan Jokowi-JK
belum memberi jaminan kepastian hukum. Ini melanjutkan rasa waswas iklim investasi
Indonesia yang masih belum kondusif. Sebenarnya sejak awal 2014 investor sudah khawatir
dengan konstelasi politik nasional. Ditambah lagi dengan hasil kemenangan Joko Widodo-
Jusuf Kalla yang sangat tipis atas rivalnya, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, ikut menambah
kekhawatiran tersebut.
Dalam sistem politik sekarang ini, Presiden hanyalah sebagian saja dari penguasa politik.
Masih banyak lembaga politik lain yang tidak dipimpin Presiden sebagai kepala
pemerintahan seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Yudisial (KY), Komisi
75
Pemberantasan Korupsi (KPK), Bank Indonesia (BI), Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lembaga-lembaga ini notabene lebih banyak
tunduk kepada politik di parlemen. Sementara kekuatan politik pemerintah di parlemen kalah
jauh dibanding oposisi. Ini membuat program-program dan kebijakan pemerintah, terutama
terkait iklim investasi, bisa mendapat ganjalan.
Jika Senayan terus mengedepankan politik balas dendam, iklim investasi menjadi makin tidak
kondusif. Ini juga jadi bahan pertimbangan para investor. Akan lain jika koalisi penguasa bisa
bergandeng dengan oposisi.
Padahal dunia usaha awalnya optimistis dengan stabilitas politik di Tanah Air. Proyeksi dan
rencana kerja pemerintahan baru mendorong investasi dan pembangunan infrastruktur
mendapat apresiasi. Ada banyak terobosan yang digagas pemerintahan baru. Tapi, ”gesekan”
yang terus berkelanjutan antardua lembaga hukum (KPK-Polri) membuat dunia usaha
terhenyak. Dikhawatirkan lagi, situasi ini dapat berkembang ke ranah politik.
Kepastian dan kestabilan hukum dan politik menjadi kunci sukses pencapaian target
investasi. Pada 2015 pemerintah menargetkan investasi mencapai Rp519 triliun dengan
pertumbuhan sebesar 15%. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi
investasi pada 2013 sebesar Rp406 triliun dan target tahun 2014 sebesar Rp456 triliun.
Pemerintah juga harus mengejar daya saing investasi agar mampu merebut hati investor.
Indeks daya saing global versi World Economic Forum (WEF) 2014 menempatkan Indonesia
di peringkat ke-34 dari 58 negara. Pencapaian ini hanya bergeser sedikit dibandingkan posisi
ke-38 pada 2013.
***
Konflik antara KPK dan Polri jelas menciptakan sentimen negatif bagi pasar keuangan dan
saham di Tanah Air. Para investor pasang jurus ”wait and see” sebab mereka tidak mau ambil
risiko ketidakpastiaan hukum yang tengah terjadi. Investor pada dasarnya butuh jaminan
kepastian hukum, jaminan keamanan, dan kemudahan regulasi apabila menanamkan
modalnya di suatu daerah.
Kepercayaan investor pada Indonesia masih cukup tinggi. Namun, jika berlarut-larut,
kemudian ditunggangi permainan politik, Indonesia harus bersiap-siap mengantisipasi
kemungkinan keluarnya dana-dana asing dari pasar keuangan. Tak hanya di pasar keuangan,
para investor asing yang akan mendirikan pabrik juga akan berpikir ulang. Maklum saja,
seperti tadi di atas, salah satu pertimbangan investor masuk ke suatu negara adalah ada
kepastian hukum, politik, dan keamanan.
Sebagai informasi, sejak Oktober 2014 hingga Januari 2015 tercatat sudah 77 investor asing
yang berminat menanamkan modalnya di Indonesia, 46 di antaranya sudah meneken
komitmen senilai USD74 miliar. Nah, dengan kondisi hukum, politik, dan keamanan seperti
76
saat ini dan diprediksi bakal lebih amburadul ke depan, bukan tak mungkin mereka
membatalkan rencana investasinya.
Faktor internal yang buruk itu dibarengi pula faktor eksternal yang bisa
mengancam. Pemerintah Amerika Serikat menginformasikan bahwa jumlah pengangguran di
negeri itu turun sebanyak 43.000 orang menjadi 265.000 orang, terendah sejak April 2000.
Ini menandakan perekonomian AS semakin membaik. The Fed menunggu hari menaikkan
suku bunga 0,25% yang sudah bertahan lebih dari tiga tahun. Ini sinyal The Fed
kemungkinan besar akan menaikkan suku bunga acuan pada kuartal II atau III tahun ini.
Kalau ini sampai terjadi, hampir pasti banyak investor asing angkat koper dari bumi
Indonesia. Bukan apa-apa. Para pemilik uang itu melihat aset AS dan mata uangnya (dolar
AS) lebih menarik ketimbang saham dan mata uang di pasar negara berkembang. Hasil survei
yang dilakukan AT Kearney menunjukkan, saat ini AS menjadi pilihan utama tempat
berinvestasi yang menarik. AS menggeser China yang turun di posisi kedua.
Tahun lalu ketika The Fed mulai memangkas dana stimulus (tapering), pasar saham dan
pasar uang di dunia, termasuk Indonesia, panik. Mereka beramai-ramai melepas asetnya di
berbagai instrumen investasi yang dianggap berisiko tinggi. Mereka lebih aman dan nyaman
menggenggam dolar AS, lalu membawa dananya ke negara yang berisiko kecil. Aksi lepas
barang yang dilakukan para investor asing ini pun telah menekan nilai tukar rupiah dan
membuat indeks harga saham gabungan sempoyongan.
Dana-dana asing (investasi) yang masuk ke Indonesia, baik lewat obligasi maupun saham,
umumnya berjangka pendek. Dana ini uang panas (hot money) yang bisa check in dan check
out kapan saja. Sesuka empunya. Memang sudah kodratnya saat ini karena dana-dana itu
memang tak mengenal kewarganegaraan. Bisa saja pagi ini dana tersebut menclok di
Thailand, lalu siangnya terbang ke Indonesia dan akhirnya mendarat di Vietnam.
Pemerintah memang punya jaring pengaman berupa Bond Stabilization Framework (BSF)
yang merupakan kumpulan dana pemerintah, Bank Indonesia, dan sejumlah BUMN yang
dapat dipergunakan menyerap surat berharga negara (SBN) yang dilepas investor asing. Tapi
tetap saja, dana-dana asing itu mudah kabur. Perilaku ”liar” ini bisa mengganggu sistem
keuangan.
Banyak investor yang merasakan bahwa pemerintah kurang sungguh-sungguh. Selain
infrastruktur, yang sering dikeluhkan adalah masalah kepastian hukum dan birokrasi yang
berbelit serta masih maraknya permainan uang pelicin buat pejabat negara dan daerah. Ini
fakta.
***
77
Seharusnya pemerintah mengambil pelajaran dari Thailand yang memiliki board of
investment yang bekerja sangat cepat dan sistematis, satu komando. Birokrasi di Thailand
lebih ke arah eksekutor, bukan planner. Di Indonesia, birokrasi perlu diperbaiki.
Banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintahan Jokowi-JK. Masalah insentif
perpajakan untuk investor misalnya banyak yang belum merasakan. Apa yang dijanjikan
tidak sepenuhnya sesuai kenyataan di lapangan. Masalah perburuhan sudah berhasil ditangani
pemerintah dan ini cukup membantu dunia usaha.
Stabilitas hukum dan politik adalah fondasi bagi dunia usaha dan pertumbuhan ekonomi
nasional. Jika kondisi politik stabil, tentu akan berdampak pada exchange rate dan suku
bunga yang turun. Perseteruan antarinstansi penegak hukum bukan sinyal yang baik untuk
menarik investor karena menyiratkan riak di bidang hukum. ”Gesekan” itu bisa berubah
menjadi gelombang ketidakpastian. Alih-alih menanamkan modal, investor malah akan
mencabut investasi yang sudah mereka tanam karena waswas bakal tergulung gelombang.
Pemerintahan Jokowi-JK harus segera menyudahi ketidakpastian di bidang hukum ini.
Jangan sampai dibiarkan berlarut-larut. Hanya menghabiskan waktu dan tenaga, percuma.
Semua pihak perlu menyadari kita berada di kapal yang sama. Bila tidak kompak, kapal akan
melenceng. Bahkan bisa jadi mogok. Tidak mungkin kita bisa meraih target pertumbuhan
tinggi tanpa menjaga minat dan semangat investor.
HENDRIK KAWILARANG LUNTUNGAN
Wakil Sekjen Bidang Ekonomi DPP Partai Perindo
78
Revisi UU tentang Sumber Daya Air
Koran SINDO
9 Maret 2015
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan seluruh isi Undang-Undang (UU)
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) patut kita simak, terutama terkait
penguasaan sumber daya air dan swastanisasi.
Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) dianggap telah
membuka peluang privatisasi dan komersialisasi pengelolaan air yang merugikan rakyat.
Masalah pengelolaan air telah diatur dalam konstitusi yakni UUD 1945 pada Pasal 33 Ayat
(3) yang berbunyi, ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Kata ”dikuasai” memberi makna penafsiran bahwa negara berhak melakukan penguasaan
yang mencakup kekuasaan untuk mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi cabang-
cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang
banyak untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menerbitkan buku berjudul The Right To Water
menempatkan tugas pemerintah setiap negara untuk hak atas air. Ada tiga tugas utama
pemerintah setiap negara mengenai hak atas air yakni duty to respect, duty to protect, dan
duty to fulfill.
Seiring bertambah penduduk dan eskalasi pembangunan ekonomi, fungsi ekonomi dan sosial
air sering terganggu karena semakin kritisnya suplai air, sementara permintaan terus
meningkat. Melihat kekhawatiran inilah, sumber daya air kemudian tidak lagi diperlukan
sebagai barang publik murni (pure public good) sehingga pemanfaatannya pun kemudian
diatur dalam berbagai bentuk aturan main. Didorong pemahaman air bakal menjadi
komoditas langka pada masa datang, kini berkembang pola pembangunan berkelanjutan yang
memperhitungkan dampaknya pada ”keberlanjutan air” pada masa depan.
Dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA),
membuka peluang untuk penguasaan swasta atas air melalui hak guna usaha. Artinya, hak
guna usaha air dapat diberikan kepada perorangan atau badan usaha guna tujuan komersial
dan atau untuk memenuhi kebutuhan usahanya berdasarkan izin dari pejabat yang berwenang.
Komersialisasi inilah yang dikhawatirkan akan mendorong pihak-pihak swasta atau investor
menguasai sumber daya air. Sementara air adalah sumber daya yang semakin langka.
79
Ketahanan sumber daya air jika kita maknai sebagai produksi, distribusi, dan aksesibilitas,
termasuk ketersediaan, sesungguhnya ketahanan air di wilayah Indonesia sudah minim.
Untuk penyediaan air bersih, khusus Jakarta sudah dalam kategori rawan karena bergantung
97% sumber air bakunya dari luar Jakarta.
Tidak mengherankan jika Indonesia juga diperkirakan akan menderita krisis air pada tahun-
tahun mendatang. Ramalan ini didasarkan laju pertambahan penduduk yang mendorong
kenaikan permintaan air tawar untuk pertanian, industri, hotel, dan perumahan di satu pihak
yang berhadapan dengan merosotnya kemampuan lingkungan menyerap dan menahan air
hujan di pihak lain. Karena itu, pola pembangunan perlu memasyarakatkan penggunaan air
secara efisien dan bebas polusi.
Para ahli memprediksi air akan menjadi sumber konflik di abad ke-21. Bocoran laporan dari
Pentagon yang pernah dikutip harian The Observer menyebutkan bahwa akan terjadi
catastrophic shortage (kekurangan air yang dahsyat) terhadap air pada masa mendatang yang
akan mengarah pada menyebarnya perang di sekitar 2020.
Dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan
kebutuhan air yang semakin meningkat, sumber daya air wajib dikelola dengan
memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup, dan ekonomi secara selaras. Kontribusi air
terhadap pembangunan ekonomi dan sosial sangat vital. Awal peradaban manusia dan
lahirnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi dimulai dari sumber-sumber air seperti sungai
dan mata air. Namun, kini kontribusi ekonomi dari sumber daya air semakin menurun akibat
produktivitas air yang menurun, pemanfaatan yang tidak efisien, pengelolaan yang buruk, dan
tingginya biaya eksternalitas akibat degradasi lingkungan.
Berdasarkan pengalaman Bank Dunia, manajemen air yang dilakukan di Indonesia selama ini
memiliki beberapa kelemahan. Adapun kelemahan tersebut di antaranya, pertama, bersifat
fragmented baik dalam program investasi maupun dalam manajemen sektor. Kedua, terlalu
berlebihan menggantungkan diri pada institusi- institusi pemerintah. Ketiga, investasi dan
regulasi publik masih mengabaikan kualitas air, kesehatan, dan masalah lingkungan. Bank
Dunia menilai institusi tersebut mengabaikan pentingnya penetapan harga ekonomis,
akuntabilitas finansial, partisipasi pengguna, dan belum menyediakan pelayanan yang
memadai bagi kaum miskin.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan seluruh isi Undang-Undang (UU)
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) memberi peluang untuk melakukan
revisi kerangka kebijakan secara komprehensif dan perlakuan air sebagai barang yang”
dikuasai negara”. Untuk itu, pemerintah perlu segera mengajukan revisi UU Nomor 7 Tahun
2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) ke DPR untuk menjadi program legislasi nasional.
Pencabutan Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA)
pada satu sisi memberikan ketidakpastian bagi investor dalam pengelolaan sumber daya air.
Pada sisi lain, mengharuskan air sebagai barang yang ”dikuasai negara”. Dengan demikian,
80
memberikan ruang yang lebih besar kepada pemerintah baik pusat maupun daerah dalam
menjalankan amanat konstitusi. Sesuai dengan amanat konstitusi, mengharuskan PDAM
diposisikan sebagai unit operasional negara dalam merealisasikan air sebagai barang yang
”dikuasai negara”. PDAM juga bukan sebagai perusahaan yang berorientasi pada keuntungan
secara ekonomis, tetapi harus memperhatikan fungsi sosial dan keadilan.
Komersialisasi air memerlukan persyaratan pengusahaan sumber daya air yang harus diatur
ketat yakni perlunya keterbukaan informasi dan konsultasi publik atas rencana pengusahaan
sumber daya air. Keterbukaan informasi diperlukan dalam pengelolaan sumber daya air
karena selama ini ada kesan bahwa pelayanan PDAM di berbagai daerah sangat buruk.
Praktis masyarakat tidak mengetahui berapa sebenarnya biaya operasional PDAM sehingga
harga yang dijual bukanlah untuk kepentingan komersial tetapi juga ada tujuan sosial dan
keadilan.
Ini sesuai amanat Pasal 26 ayat 7, UU tentang SDA yang berbunyi, ”Pendayagunaan sumber
daya air dilakukan dengan mengutamakan fungsi sosial untuk mewujudkan keadilan dengan
memperhatikan prinsip pemanfaat air membayar biaya jasa pengelolaan sumber daya air
dan dengan melibatkan peran masyarakat”.
Di sisi lain, perlu ada sebuah kelembagaan yang kuat dalam mengelola sumber daya air.
Terjadinya kegagalan pengelolaan sumber daya air di beberapa negara adalah akibat
terabaikannya aspek kelembagaan.Pengelolaan sumber daya air dalam konteks ekonomi
kelembagaan harus mempertimbangkan aspek keseimbangan (stability), ketahanan
(resiliency), dan kesetaraan (equity).
AUNUR ROFIQ
Sekjen DPP PPP
81
National Design Policy dan Daya Saing
Koran SINDO
9 Maret 2015
Pertemuan sejumlah profesional dan akademisi desain produk di Universitas Paramadina,
Jumat (27/2), salah satunya merekomendasikan pentingnya Indonesia memiliki kebijakan
nasional tentang desain atau national design policy. Kebijakan nasional tentang desain saat
ini mendesak karena Indonesia semakin dituntut untuk meningkatkan daya saing nasional di
tengah kompetisi, baik di tingkat regional maupun internasional.
Melalui penguasaan desain produk atau desain industri, Indonesia akan terlepas dari bangsa
yang perekonomiannya hanya mengandalkan fasilitas manufacturing dan perakitan
(assembly) serta berpotensi mendapatkan margin industri yang cukup besar dalam rantai nilai
produksi global. Termasuk dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN yang bertujuan membentuk
basis produksi regional.
Pemerintah Amerika Serikat, misalnya, menyadari daya saing produk mereka sangat
ditentukan oleh penguasaan desain produk. Memang pada akhirnya banyak produk Amerika
Serikat, baik iPhone maupun MP3 player, diproduksi di sejumlah negara seperti Meksiko,
China, India, dan negara berkembang lain. Industri desain di Amerika Serikat baik dalam
bidang arsitektur, jasa tata ruang (landscape), desain interior, desain grafis, desain industri,
pemograman komputer, advertising agencies maupun jasa desain lainnya telah menciptakan
pasar tidak kurang USD251 miliar.
Apabila saat ini Amerika Serikat menjadi salah satu pusat desain dunia, hal itu tidaklah
mengherankan. Sejak 1970, Pemerintah Amerika Serikat meluncurkan The Federal Design
Improvement Program. Lebih dari 1.000 desainer dan administrator pemerintahan
dipertemukan untuk membahas serta merumuskan inkorporasi kegiatan desain dalam
aktivitas perekonomian.
Sementara itu di Asia, sejumlah negara seperti India juga telah memiliki national design
policy. Pada 2007, India meluncurkan kebijakan nasional tentang desain yang meliputi
aktivitas seperti penyusunan platform desain kreatif, promosi desain, dan kerja sama lintas
kementerian/lembaga, mendorong kerja sama desainer India di tingkat internasional,
positioning di tingkat global, dan pembuatan roadmap design in India bersamaan dengan
made in India dan served from India, promosi desain India melalui sejumlah kebijakan, serta
mendorong dunia pendidikan untuk menghasilkan desainer-desainer andal.
Melalui kebijakan ini, India menjadi salah satu negara di Asia yang memiliki national
branding unik dan kuat di sejumlah industri seperti perfilman. Industri perfilman Bollywood
82
memiliki positioning khusus dan mampu melakukan positioning strategis, bahkan dengan
industri perfilman Hollywood.
Menarik pula kasus Korea Selatan yang menempatkan design policy sebagai instrumen
penting dalam kebijakan industri nasional untuk memajukan perekonomian mereka.
Kebijakan nasional desain Korea Selatan diarahkan untuk membangun basis yang kita sebut
sebagai design-based industry. Industri Korea Selatan diarahkan tidak hanya menjadi fasilitas
pabrikasi saja, tetapi juga mampu menguasai desain produk yang kompetitif dan unggul.
Mereka memiliki keunggulan bersaing dengan desain produk negara maju seperti Amerika
Serikat, Eropa, Jepang. Melalui desain produk yang unggul, industri Korea Selatan
melangkah ke hal yang lebih kompleks dan rumit. Ini membuat keunggulan mereka sulit
untuk ditiru negara lain. Selain itu, melalui hal ini, Korea Selatan telah mampu keluar dari
negara yang hanya mengandalkan keunggulan tenaga kerja murah menjadi negara yang
mampu menghasilkan desain produk yang canggih dan berdaya saing tinggi.
Bagi Indonesia, sekarang saatnya kita memiliki kebijakan nasional akan desain yang
memberikan arah serta roadmap inkorporasi desain produk dalam penguatan industri
nasional. Selama ini desain produk sering kali hanya diasosiasikan pada produk-produk
keluaran UMKM baik di bidang kerajinan, handycraft, makanan maupun minuman. Namun
jarang sekali kita membahas wacana tentang desain produk di tingkat sistem rantai nilai
produksi nasional.
Padahal sejumlah perusahaan nasional, baik swasta maupun BUMN nasional, telah mampu
membuat rancang bangun produk industri yang memiliki tingkat kerumitan dan spesifikasi
teknis yang sangat kompleks. Perusahaan seperti PT Dirgantara Indonesia, PT Pindad, PT
PAL, PT INKA, dan PT Wika telah mampu menghasilkan produk rancang bangun yang
memiliki spesifikasi teknis yang unggul dan juga nilai ekonomis yang tinggi.
Saat ini kita telah memiliki Badan Ekonomi Kreatif Nasional. Kita tentunya berharap badan
ini pada akhirnya akan dapat menghasilkan rumusan national design policy yang sangat kita
perlukan saat ini. Sebuah kebijakan nasional yang tidak hanya membatasi dirinya pada aspek-
aspek teknis desain produk, tetapi juga melingkupi pola kerja sama dan koordinasi lintas
kementerian/lembaga serta dunia usaha dan dunia pendidikan.
Selain itu peran serta kontribusi dari pemerintah daerah dalam mengembangkan sinergi
antara desain produk dengan industri lokal juga mendapatkan porsi yang sangat besar. Sebab
peran dari kepala daerah dalam memajukan industri daerah tidak dapat dilepaskan dengan
pembangunan desain produk baik bagi industri kecil dan menengah maupun industri besar.
Dengan adanya Indonesia National Design Policy-INDP, diharapkan Indonesia akan menjadi
salah satu kekuatan ekonomi terkemuka tidak hanya di kawasan Asia-Pasifik, tetapi juga
dunia dalam beberapa waktu ke depan.
83
Melimpahnya sumber daya alam terpadu dengan kebijakan nasional yang komprehensif baik
dari sisi industri maupun fiskal serta dengan adanya sumber daya manusia yang kreatif dan
inovatif akan menjadikan industri nasional semakin kompetitif. Proses produksi nasional
akan ditopang kekuatan kreatif dan inovatif yang menghasilkan produk dan jasa yang tidak
hanya berstandar internasional, tetapi juga memiliki spesifikasi unik dan unggul di pasar
internasional.
Selain itu, dengan adanya INDP juga dapat dilakukan promosi tentang kebanggaan
menggunakan produk dan jasa hasil desainer putera-puteri Indonesia. Maka tidak hanya
supply-side yang dibentuk, tetapi juga demand-side dan pasar domestik juga akan tercipta.
Semakin membesarnya kelas menengah nasional merupakan potensi pasar yang perlu
dibentuk untuk memasarkan produk dan jasa hasil desainer putera-puteri Indonesia.
Sudah saatnya Badan Ekonomi Kreatif menjadi leading-sector untuk mengumpulkan
desainer-desainer Indonesia dari berbagai subindustri seperti kerajinan, fashion, produk
industrial, furnitur, arsitektur, perfilman, dan sektor lain untuk merumuskan draf kebijakan
nasional akan desain produk.
Sinergi dengan kementerian lain seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian
Perdagangan, Kementerian Keuangan, KementerianPariwisata, Kementerian Komunikasi dan
Informatika, Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset, Bappenas, dan Kementerian
Pertanian perlu dilakukan segera. Dengan demikian kebijakan nasional ini akan bersifat
menyeluruh dan menjadi panduan bersama untuk memajukan industri nasional di berbagai
bidang. Melalui benchmarking dengan sejumlah negara seperti Inggris, Amerika Serikat,
India, China, Korea Selatan, dan Jepang tentang perlunya national design policy, kita
optimistis Indonesia akan mampu mengatasi ketertinggalan dalam penguatan struktur industri
nasional.
Desain sudah saatnya mendapatkan tempat yang lebih strategis dalam struktur industri
nasional agar produk dan jasa nasional memiliki daya saing inovatif-kreatif di tengah
persaingan regional dan global yang semakin tinggi. Selain margin ekonomi industri yang
lebih besar dibandingkan hanya dengan made in Indonesia, konsep design in Indonesia juga
memiliki unsur kebanggaan nasional yang selama ini semakin kita perlukan untuk
memperkuat identitas keindonesiaan di tengah globalisasi.
PROF FIRMANZAH PhD
Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar FEB Universitas Indonesia
84
Mengukur Plus-Minus Pelemahan Rupiah
Koran SINDO
10 Maret 2015
Sejak pertengahan 2011 lalu, nilai tukar rupiah cenderung melemah dengan tren pelemahan
yang semakin kuat.
Melemahnya rupiah ini pada awalnya disebabkan faktor internal berupa penurunan kinerja
neraca perdagangan kita. Penurunan kinerja neraca perdagangan tersebut terutama
disebabkan dua hal: jatuhnya harga komoditas ekspor dan tingginya harga minyak mentah
saat itu. Harga-harga komoditas unggulan ekspor kita jatuh akibat lesunya perekonomian
negara-negara tujuan ekspor seperti China, India, danJepang. Akibatnya, surplus neraca
perdagangan ekspor non-migas menurun.
Di sisi lain, tingginya harga minyak waktu itu menyebabkan neraca perdagangan migas
mengalami defisit. Puncaknya, pada 2012 lalu, neraca perdagangan kita mengalami defisit
untuk pertama kalinya sejak Orde Baru. Kondisi inilah yang menyebabkan kepercayaan pasar
terhadap kemampuan kita dalam menghasilkan devisa mulai berkurang.
Pekan lalu (5 Maret), rupiah berada di level terendah terbarunya, yaitu Rp13.000 per dolar
Amerika Serikat (AS). Pelemahan ini boleh dibilang sebagai suatu yang given. Karakteristik
rupiah sebagai soft-currency atau high volatile yang merupakan ciri khas mata uang emerging
market cenderung lebih terpengaruh oleh dinamika eksternal dibandingkan dengan
perkembangan internal yang positif. Terlebih lagi, faktor penguat secara internal belum
terlalu kuat.
Kinerja neraca perdagangan kita saat ini memang mulai membaik. Tahun 2014 lalu, neraca
perdagangan kita mengalami defisit USD1,88 miliar turun dibandingkan 2013 yang defisit
USD4,08 miliar. Pada Januari 2015 lalu, neraca perdagangan surplus USD710 juta. Namun
membaiknya neraca perdagangan ini dinilai belum kuat karena lebih ditopang melemahnya
harga minyak.
Sementara itu, kinerja neraca perdagangan non-migas belum pulih akibat masih berlanjutnya
penurunan ekonomi negara tujuan ekspor. Bahkan, di 2015 ini, China justru menurunkan
target pertumbuhan ekonominya hanya 7%, turun dibandingkan realisasi 2014 sebesar 7,4%.
Rupiah melemah juga akibat sentimen positif terhadap mata uang counterparty-nya, yaitu
dolar AS, lebih kuat dibandingkan sentimen positif yang muncul dari faktor internal. Dolar
AS dalam beberapa bulan terakhir trennya memang menguat terhadap sebagian besar mata
85
uang di dunia. Kinerja perekonomian AS yang membaik menjadi faktor penyebab munculnya
sentimen positif terhadap dolar AS. Tingkat pengangguran tinggal 5,7%. Pertumbuhan
ekonomi di2015 ini diperkirakan sekitar 3-4%. Konsumsi rumah tangga meningkat
sehubungan dengan jatuhnya harga minyak.
Beberapa kalangan berpendapat, pelemahan rupiah positif bagi peningkatan ekspor.
Pelemahan rupiah dinilai akan meningkatkan daya saing produk kita sehingga ekspor naik.
Sayangnya, saat ini kenyataannya tidak demikian. Peningkatan kinerja ekspor kita masih
terbatas. Pelemahan rupiah tidak dapat dimanfaatkan oleh eksportir kita secara maksimal
karena permintaannya berkurang dan harganya jatuh. Akibatnya, pengaruh positif dari
pelemahan rupiah ini tidak terlalu kuat dibanding dengan turunnya permintaan dan jatuhnya
harga komoditas. Terbukti, rata-rata total ekspor pada 2010-2014 Indonesia hanya tumbuh
tipis 1,14% dengan pertumbuhan non-migasnya 1,59%.
Di sisi lain, pelemahan rupiah ini memberikan dampak negatif yang harus ditanggung
berbagai pihak. Pelemahan rupiah berakibat pada meningkatnya biaya yang dikeluarkan
manufacturing. Sekitar 80% impor kita merupakan bahan baku dan barang modal yang
dibutuhkan oleh industri manufaktur. Pelemahan rupiah menyebabkan biaya impor menjadi
lebih mahal. Akibatnya, produk ekspor hasil manufaktur tidak terlalu menunjukkan
pertumbuhan ekspor yang positif. Padahal, pengusaha manufaktur masih terbebani biaya
lainnya seperti infrastruktur yang belum memadai, suku bunga yang relatif tinggi, perburuhan
hingga energi yang belum dapat dipenuhi.
Pelemahan rupiah juga menyebabkan biaya yang dikeluarkan untuk membayar utang luar
negeri menjadi lebih besar. Tingginya biaya pembayaran utang luar negeri ini tidak hanya
ditanggung dunia usaha, tetapi juga oleh pemerintah. Berdasarkan hasil audit BPK atas utang
luar negeri pemerintah tahun 2013, BPK mencatat adanya kenaikan akumulasi utang dari
Rp1.981 triliun pada 2012 menjadi Rp2.375 triliun pada 2013, naik Rp393 triliun. Dari
jumlah tersebut, Rp163,24 triliun disebabkan selisih kurs.
Pelemahan rupiah juga menyulitkan dunia usaha. Tekanan dunia usaha terhadap pembayaran
utang luar negeri semakin meningkat. Per Desember 2014, utang luar negeri yang jatuh
tempo satu tahun mencapai USD58,37 miliar atau sekitar 20% dari total utang luar negeri
Indonesia dan 52% terhadap cadangan devisa. Dari jumlah tersebut, komponen utang luar
negeri korporasi mencapai USD48,17 miliar.
Tekanan pembayaran utang luar negeri yang tinggi di tengah pelemahan rupiah, bila tidak
diantisipasi, berpotensi mendorong berlanjutnya pelemahan rupiah. Terlebih, sebagian besar
utang luar negeri Indonesia belum dipagari dengan mekanisme lindung nilai (hedging).
Satu lagi, hal yang belum terlalu disadari banyak orang terkait dengan dampak pelemahan
rupiah ini, bahwa pelemahan rupiah ternyata bisa menghambat masyarakat menikmati harga
BBM yang lebih murah. Bagaimana penjelasannya? Saat ini, harga minyak memang
menurun. Sayangnya, penurunan harga minyak tersebut tidak diiringi dengan penurunan
86
harga BBM yang setara dengan penurunan harga minyak.
Studi yang dilakukan WoodMackenzei menyebutkan, penurunan harga minyak hingga 60%
sejak Juni 2014 ini ternyata hanya diikuti dengan penurunan harga BBM sekitar 40%. Salah
satu penyebabnya adalah pelemahan nilai mata uang yang dialami negara pengimpor minyak
(termasuk Indonesia) menyebabkan biaya pengadaan BBM menjadi lebih mahal.
Di sisi lain, BBM tersebut dijual di dalam negeri dalam mata uang domestik (rupiah).
Akibatnya, pelemahan rupiah ini menghilangkan (meng-offset) sebagian keuntungan yang
didapat dari penurunan harga minyak.
Dengan level rupiah terbaru ini, pemerintah dan Bank Indonesia (BI) perlu lebih berhati-hati
dalam mengelola kebijakan dan ekspektasi pasar. Sebab, salah sedikit saja, dampaknya
terhadap pelemahan rupiah bisa berlanjut.
Pemerintah juga perlu lebih hati-hati dalam mengelola isu-isu non-teknis yang kini
berkembang seperti politik dan hukum karena juga dapat memberikan dampak cukup besar
bagi pelemahan rupiah. Dari sisi teknis, pemerintah dan BI perlu segera memagari rupiah
dengan melakukan hedging terkait dengan transaksi luar negerinya. Kegiatan hedging ini
perlu dilakukan pemerintah, BUMN, dan korporasi swasta yang memiliki kebutuhan dolar
AS tinggi.
SUNARSIP
Komisaris Bank BRI Syariah; Ekonom The Indonesia Economic Intelligence
87
Implikasi Pembatalan UU SDA
Koran SINDO
10 Maret 2015
Keluarnya putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 tentang Pembatalan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (SDA) akan mengakibatkan banyak
konsekuensi bagi pelaksanaan pengelolaan SDA di Indonesia.
Semangat pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945 serta antipati terhadap swastanisasi secara
membabi buta telah menyebabkan selain tidak berlakunya keseluruhan isi dari UU Nomor
7/2004, puluhan turunan regulasi di bawahnya, juga berbagai rencana pengelolaan SDA yang
telah dilaksanakan, disetujui, maupun disusun yang mana arahnya sudah lebih terfokus dan
sistematis.
Tulisan ini dibuat bukan karena pro swastanisasi atau pembela intervensi asing terhadap
pengelolaan sumber daya alam khususnya air di wilayah Negara Republik Indonesia, namun
seharusnya putusan MK harus lebih jernih melihat UU No. 7/2004 ini dari segi historis
hingga aplikasinya saat ini.
Tidak dapat dimungkiri bahwa UU SDA 2004 merupakan salah satu syarat peminjaman
dalam kesepakatan pemerintah dan Dana Moneter Internasional (IMF). Saat itu salah satu
syarat pinjamannya adalah mengikuti program penyesuaian struktural (structural adjustment
programs), salah satunya langsung berkaitan dengan pengelolaan hutan dan sumber daya
alam lain.
UU ini juga secara langsung hampir merupakan duplikasi dari regulasi serupa di Amerika
Serikat yang bahkan hingga kini masih menjadi perdebatan. Namun, keberatan akan beberapa
pasal tentang keterlibatan swasta dalam proses pengelolaannya melalui hak guna usaha air
yang terdapat dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (3), dan Pasal 14 dengan membatalkan
secara keseluruhan undang-undang yang berjumlah 100 pasal tampaknya merupakan
keputusan yang tergesa-gesa. Apalagi dengan dibatalkannya UU ini, pengelolaan SDA akan
kembali pada UU No. 11 Tahun 1974 tentang Pengairan, yang secara kelengkapan
pengaturan belum selengkap UU No. 7/2004, sehingga akan menimbulkan banyak masalah
terkait pengelolaan SDA di wilayah sungai di Indonesia.
Terlepas anggapan ada beberapa pasal ”titipan” kapitalisme, ada salah satu hal penting yang
diatur dalam UU ini, yaitu terkait pelayanan air bersih. Pelayanan air bersih yang sepenuhnya
dilakukan oleh PDAM sebelum UU ini dapat dikatakan belum sebaik pelayanan saat ini.
Solusi yang paling mudah saat itu adalah pelibatan peran swasta dalam penyediaan air bersih,
88
yang kemudian berdampak pada pembebanan biaya pengelolaan air kepada pengguna air.
Sebenarnya tidak ada masalah dengan kebijakan tersebut selama dalam pelaksanaan
pemberian izin hak guna usaha air oleh stakeholders daerah dilekatkan pada asas keadilan
sosial sesuai Pasal 33 UUD 1945. Namun pada kenyataannya, sejalan dengan arus
desentralisasi, kebijakan pemerintah daerah sangat beragam. Apabila dilihat dari kasus
PDAM Bandarmasih, Kota Banjarmasin, tentunya akan kita dapatkan success story. Namun
apabila dilihat dari rekam jejak PAM Jaya, tentunya akan ada beberapa catatan. Apalagi bila
menengok ke beberapa kasus pemberian izin eksploitasi sumber air akuifer untuk beberapa
perusahaan air minum, tentunya kita akan makin miris lagi.
Dengan situasi yang beragam, sudah selayaknya kita tidak serta-merta gegabah menganggap
bahwa secara keseluruhan UU SDA pro terhadap kapitalis dan harus dibatalkan seluruhnya
demi rasa keadilan.
Kondisi ketidakbenaran akan pelaksanaan hak guna usaha menurut hemat kami lebih
disebabkan karena kurangnya instrumen pengaturan hak guna usaha yang akhirnya
”dimanfaatkan” oleh pihak-pihak tertentu untuk mengeksploitasi sumber daya air secara
berlebihan untuk kepentingan industrialisasi dan komersialisasi air.
Ada kondisi lain yang harus dipertimbangkan UU SDA, yaitu bahwa adanya
ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang
semakin meningkat. Berdasarkan berbagai studi yang telah dilakukan terkait kondisi neraca
air di beberapa wilayah sungai, rata-rata daerah perkotaan akan mengalami defisit
(kekurangan) air mulai tahun 2020 untuk irigasi, air minum, industri, pertambangan,
perikanan dan peternakan apabila pembangunan berbagai sarana maupun prasarana sumber
daya air tidak segera dilaksanakan.
Selain itu, ada masalah tidak berjalannya mekanisme pengelolaan air limbah yang dibuang ke
sungai menjadikan kondisi air sungai sebagai sumber utama air baku mengalami pencemaran
yang cukup parah sehingga pengelolaannya semakin mahal. Situasi tersebut ditambah dengan
makin tidak menentunya siklus musim penghujan dan kemarau di Indonesia akibat dari
perubahan iklim.
Hal ini menjadikan investasi di bidang SDA sangat mahal dan mendesak sementara kondisi
keuangan negara kurang memungkinkan. Sebagai contoh, untuk pembangunan waduk
penyedia air baku rata-rata sumber anggarannya merupakan pinjaman luar negeri. Dan
apabila ditilik lebih dalam, anggaran operasional dan pemeliharaan bangunan-bangunan SDA
sangat terbatas.
Kembali ke UU No. 11/1974 tentunya bukan pilihan yang baik bagi dunia sumber daya air
Indonesia. Banyak hal yang belum tercakup dalam UU yang berumur 40 tahun lebih itu. UU
ini hanya memuat 12 bab dan 17 pasal, sementara UU No. 7/2004 terdiri dari 18 bab dan 100.
Ada beberapa hal penting yang belum diatur UU No. 11/1974, contohnya asas pengelolaan
89
dan hak guna air; detail wewenang dan tanggung jawab untuk masing-masing WS, lima misi
pengelolaan SDA: konservasi, pendayagunaan SDA, pengendalian daya rusak air, sistem
informasi SDA, peran serta masyarakat; pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan;
koordinasi; penyelesaian sengketa; gugatan masyarakat dan organisasi serta pidana yang
lebih logis untuk pelanggaran yang ada.
Maka, menurut hemat penulis, seharusnya yang dibatalkan hanya pasal-pasal tertentu saja
sehingga tidak keseluruhan isi dari UU tersebut tidak berlaku, mengingat tidak semua dalam
UU No. 7/2004 bermasalah. Langkah yang harus ditempuh adalah memasukkan kembali UU
SDA untuk kembali dilakukan judicial review untuk dua kemungkinan, yaitu membatalkan
pasal-pasal yang terkait dengan hak guna air atau menunggu sampai permasalahan tersebut
dianggap tidak bertentangan dengan konstitusi. Sementara itu praktisi bidang SDA harus
menyiapkan berbagai infrastruktur hukum SDA sehingga UU tersebut akan dapat diterima
karena masyarakat sudah menganggap hak guna usaha tersebut dapat dilaksanakan.
DIAN INDRAWATI
Praktisi Sumber Daya Air; Dosen Universitas Jenderal Achmad Yani (Unjani), Bandung
90
Wajarkah Rupiah Melemah?
Koran SINDO
13 Maret 2015
Sepanjang minggu pertama Maret 2015, nilai tukar rupiah terus mengalami tekanan, bahkan
telah melampaui angka psikologis berada di atas Rp13.200 per dolar AS. Meski demikian,
hampir semua menteri di jajaran menko perekonomian meresponsnya dengan adem-ayem.
Pada konferensi pers Rabu petang 11 Maret 2015, pemerintah dan otoritas moneter kompak
menyampaikan bahwa rupiah masih bergerak dalam kondisi yang wajar. Menteri keuangan
justru menganggap pelemahan rupiah menjadi berkah sebagai sumber surplus APBN.
Pernyataan pemerintah dan keyakinan dari otoritas moneter tersebut dapat berfungsi untuk
menenangkan psikologis pasar agar para pelaku pasar tidak panik dan tidak memicu aksi
spekulasi. Di samping ada kenyataan bahwa tren pelemahan nilai tukar terhadap dolar
memang terjadi pada hampir semua mata uang dunia. Namun, yang terus menjadi pertanyaan
publik dan kekhawatiran para pelaku usaha adalah benarkah pelemahan rupiah kali ini suatu
hal yang wajar dan apakah hanya bersifat temporer?
Semua mafhum bahwa pelemahan rupiah tidak hanya dipicu dari faktor eksternal, namun
juga tidak terlepas dari faktor fundamental internal. Faktor eksternal pelemahan rupiah tidak
dimungkiri karena dolar AS menguat terhadap seluruh mata uang dunia akibat penguatan
ekonomi dan penurunan angka pengangguran serta ada rencana kenaikan suku bunga acuan
bank sentral Amerika Serikat. Perbaikan ekonomi AS ini dikhawatirkan akan menjadi magnet
bagi investor untuk pulang kampungnya portofolio AS.
Di samping itu juga dipicu kebijakan Bank Sentral Eropa yang akan melakukan quantitative
easing, penurunan suku bunga China, dan turunnya harga komoditas andalan
Indonesia. Pelonggaran moneter Bank Sentral Eropa (ECB) dan bank sentral Jepang (BoJ)
berakibat memperlemah mata uang euro dan yen terhadap dolar AS.
Selain dipicu oleh faktor eksternal, penyebab utama pelemahan rupiah tentu saja adalah
persoalan fundamental yaitu defisit transaksi berjalan atau current account deficit. Defisit
transaksi berjalan sepanjang 2014 mencapai USD26,2 miliar atau 2,95% dari GDP.
Sekalipun neraca barang dan neraca penerimaan sekunder masih surplus, tidak mampu
mengompensasi defisit neraca jasa dan neraca pendapatan primer. Neraca barang hanya
surplus USD6,9 miliar dan neraca pendapatan sekunder (sumbangan dari remitansi TKI)
sebesar USD5,2 miliar. Sementara itu, defisit neraca jasa mencapai USD10,5 miliar dan
91
defisit neraca pendapatan primer (pembayaran bunga pinjaman luar negeri, dividen investasi
portofolio, dan bunga surat utang) mencapai USD27,8 miliar. Dengan tingginya defisit neraca
pendapatan primer tersebut, alangkah naifnya jika pemerintah menganggap bahwa depresiasi
nilai tukar justru akan menguntungkan Indonesia.
Secara parsial dana kuntansi bisa jadi benar, penerimaan negara dari sumber daya migas akan
meningkat dan dengan pengeluaran subsidi sudah dipatok sehingga APBN akan mengalami
surplus. Namun, tugas pemerintah tidak hanya mengurus APBN, tapi juga menciptakan
stabilitas perekonomian secara keseluruhan.
Secara teoritis pelemahan rupiah memang bisa mendorong ekspor dan mengurangi impor
khususnya yang bersifat konsumtif. Persolannya, komposisi ekspor Indonesia masih
didominasi oleh ekspor komoditas yang mengalami kemerosotan harga di pasar global.
Demikian juga ekspor produk industri menghadapi simalakama yaitu masih tersandera oleh
besarnya komponen bahan baku impor.
Sementara itu, harapan surplus dari remitansi TKI masih sangat terbatas. Tentu tidak akan
sebanding dengan membengkaknya tekanan defisit yang diakibatkan oleh membengkaknya
kewajiban pembayaran bunga utang dan dividen dalam denominasi dolar yang terdapat dalam
neraca pendapatan primer. Apalagi masih tingginya pinjaman luar negeri swasta yang belum
menggunakan fasilitas lindung nilai.
Sekalipun pelemahan rupiah belum menyebabkan capital flight atau larinya modal asing,
bukan berarti Indonesia sudah dalam kondisi aman. Dana yang masuk ke Indonesia dari
pembelian surat utang negara di pasar modal sejak Desember 2014 hingga Februari 2015
masih mencapai Rp57 triliun. Jumlah ini lebih tinggi dibanding periode yang sama pada 2013
yang hanya sekitar Rp30 triliun. Namun, bagaimanapun hot money ini masih sangat rentan
sekalipun angka credit default swap Indonesia sudah menurun menjadi 136, turun dari 157
pada 2014 dan dari 240 pada 2013.
Belum lagi, pelemahan rupiah juga akan mengancam daya beli masyarakat dan melonjaknya
inflasi yang diakibatkan dorongan biaya (cost push inflation). Ketergantungan perekonomian
Indonesia terhadap impor masih cukup besar. Tidak hanya pada sebagian besar bahan baku
untuk industri, namun juga yang terkait langsung dengan masyarakat secara umum yaitu
ketergantungan pada beberapa impor pangan strategis. Sebut saja impor kedelai, gula, daging,
dan sebagainya. Artinya, pelemahan rupiah tidak hanya berimplikasi terhadap meningkatkan
harga barang-barang industri, namun juga akan merembet pada harga pangan. Jika pelemahan
rupiah terus berlangsung, bukan tidak mungkin krisis tempe akan kembali mencuat dan bisa
menjadi sasaran komoditas politik.
Berdasarkan perhitungan Bank Indonesia, setiap 1% pelemahan nilai tukar rupiah memang
hanya akan meningkatkan inflasi sebesar 0,07%. Namun, yang perlu diingat, juga harus
diperhitungkan dampak multiplier effect dan masih tingginya inflasi tahunan di Indonesia
(inflasi yoy).
92
Dengan demikian, jika pemerintah tetap yakin bahwa kondisi pelemahan rupiah saat ini
merupakan hal yang wajar, tentu pemerintah juga sudah siap dengan berbagai langkah
antisipasi dan terobosan strategi untuk menjawab berbagai permasalahan tersebut. Utamanya
strategi yang konkret guna pengendalian impor dan berbagai fasilitasi dan insentif untuk
mendorong ekspor dan mendorong industri substitusi impor.
ENNY SRI HARTATI
Direktur Indef
93
Traditional Marketing vs Event Based Marketing
Koran SINDO
14 Maret 2015
Pemasaran dengan cara tradisional ”marketing/product driven campaigns” di perbankan
adalah bagian dari integrated marketing communication. Pada perbankan, pemasaran
tradisional dimulai dengan manajemen memutuskan sesuatu produk baru yang mau
diluncurkan.
Setelah itu ditentukanlah target ke semua pelanggan melalui data pelanggan yang tersedia.
Lalu, seterusnya dilakukan promosi besar-besaran melalui flyer, stand di berbagai lokasi,
media cetak, maupun media elektronik hanya untuk satu produk yang mau diluncurkan.
Dengan berkembangnya teknologi informasi yang memungkinkan komputer mampu
menampung dan mengolah semua data nasabah, pemasaran dengan marketing/product driven
campaigns akan susah bersaing pemasaran dengan customer driven campaigns berbasis
peristiwa (event based marketing/EBM).
Bank percaya bahwa sulit menjual produk dan layanan kepada nasabah jika bank sendiri
tidak mengetahui kebutuhan nasabah secara perorangan, sedangkan kebutuhan utama nasabah
akan berubah dari waktu ke waktu. Dibutuhkan analytic driven marketing agar bank mampu
bereaksi cepat terhadap perubahan perilaku nasabah individu dan bank mampu secara
proaktif menghubungi nasabah pada waktu yang tepat (timely) dengan produk (bisa lebih dari
satu) atau layanan (bisa lebih dari satu) yang relevan dengan kebutuhan nasabah saat ini
(maksimum 48 jam terakhir). Pendekatan ini disebut event based marketing (EBM).
Event based marketing disebut juga event driven marketing atau trigger based marketing.
EBM pertama kali diimplementasikan di National Australian Bank (NAB) pada 1995-1996
atas prakarsa Ray O’Brien (Teradata) dan Fernando Riccardo (NAB). Gagasan mereka
didasarkan pada kenyataan bahwa pendekatan pemasaran tradisional yaitu mengelola data
dengan variabel dan kualitas terbatas hanya menghasilkan respons 1- 4%.
Mereka mendalilkan bahwa, kalau saja mereka bisa memantau aktivitas pelanggan dengan
cara yang lebih tepat waktu (timely), relevan, dan signifikan, mereka secara akurat dapat
menentukan kebutuhan terkini dari nasabah. Gagasan di atas dapat diwujudkan karena
Teradata mempunyai kemampuan yang tak tertandingi dalam mengelola dan memproses data
dalam jumlah besar, dan NAB menyediakan jumlah transaksi nasabah yang signifikan. Hasil
94
kerja sama antara Teradata dan NAB sangat spektakuler, respons nasabah bisa mencapai 40-
50%.
NAB memutuskan untuk menjaga kerahasiaan atas pendekatan baru ini (EBM) karena takut
direplikasi oleh saingan mereka. Namun, pada 1999- 2000 NAB mengubah kebijakan dan
memutuskan untuk memublikasikan EBM hasil kerja sama NAB dengan Teradata. Sejak saat
itu NAB telah menjadi presenter utama EBM di seluruh dunia dan saat itulah EBM mulai
berkembang pesat di kalangan akademis maupun di kalangan praktisi.
Cara kerja EBM dilakukan berbagai tahapan dimulai dengan; pertama, analisis dan modeling
yaitu model dan aturan apa yang akan digunakan untuk menentukan (a) kebutuhan nasabah,
(b) penawaran yang paling relevan berdasarkan profil nasabah, (c) peristiwa atau kegiatan
terkini dari nasabah yang terdeteksi dari sistem di bank, dan (d) prioritas ulang jika terdapat
perilaku nasabah yang berubah mendadak.
Kedua, event detection yaitu mesin pencari yang secara terus menerus mendeteksi data
transaksi dan interaksi nasabah individu mana yang (a) perilakunya berubah sangat
signifikan, (b) produk atau layanan yang sedang dibutuhkan, (c) rencana nasabah mendatang,
dan (d) kegiatan eksternal nasabah.
Ketiga, fatigue and optimization yaitu untuk memastikan bahwa kapasitas bank yang
digunakan adalah optimal (untuk nasabah yang paling prospektif). Fatigue adalah aturan
yang diterapkan untuk memastikan agar kita tidak terlalu banyak berkomunikasi dengan
nasabah individu karena nasabah akan lelah dan akhirnya merespons negatif. Respons cepat
dibutuhkan untuk permintaan sensitif dari nasabah.
Keempat, campaign management adalah berbagai sarana yang dapat kita gunakan untuk
berkomunikasi dengan nasabah dapat berupa telepon, SMS, e-mail, serta social media. Bank
merespons nasabah sesuai kanal komunikasi yang digunakan oleh nasabah. Dengan
mengetahui kebutuhan terkini dari nasabah, nasabah tidak akan merasa terganggu jika
mendapat telepon, SMS, atau e-mail dari bank, malah sebaliknya nasabah menganggap bank
tanggap akan kebutuhan nasabah.
Harapan dari nasabah adalah bank memberikan layanan secara personal, mengetahui
kebutuhan nasabah secara individu, berkomunikasi dengan nasabah pada waktu yang tepat,
dan menawarkan sesuatu produk atau layanan yang sesuai kebutuhan terkini. Jika semua itu
terpenuhi, nasabah akan puas dengan pelayanan bank. Sedangkan harapan bank dengan
mengimplementasikan EBM adalah penjualan produk dan layanan akan bertambah, retensi
nasabah, efektivitas, dan efisiensi karena respons mencapai 40-50% dibandingkan dengan
cara tradisional (1- 4%). Risk and compliance juga sangat mendukung karena tepat sasaran
kepada nasabah yang benar-benar membutuhkan dan mempunyai rekam jejak yang bagus dan
akhirnya akan memberikan keuntungan kepada bank.
95
Saat ini beberapa bank besar di Indonesia telah menggunakan EBM dan hasilnya sangat
menakjubkan yang berakhir dengan penambahan keuntungan bagi bank dan EBM juga akan
memperkaya ilmu pengetahuan khususnya dari segi integrated marketing communication.
EDDY ANTHONY
Pengamat Teknologi Informasi Perbankan
96
Deflasi dan Nilai Tukar
Koran SINDO
16 Maret 2015
Bagi sejumlah negara, baik di Eropa maupun di Asia, saat ini menghadapi fenomena spiral
ekonomi yang menarik untuk kita cermati bersama yaitu kondisi di mana tren deflasi atau
inflasi rendah dan tekanan terhadap nilai tukar mata uang terjadi secara simultan.
Meski memiliki faktor penyebab yang berbeda, tren kedua hal ini mengandung konsekuensi
yang hampir sama dalam jangka menengah. Kombinasi dari kedua hal tersebut dikhawatirkan
mengakibatkan pelemahan pertumbuhan ekonomi, terbatasnya penyerapan lapangan kerja,
menurunnya kinerja industri manufaktur, dan desinsentif bagi investasi.
Bagi sejumlah negara, utamanya Eropa dan Jepang, instrumen suku bunga ultrarendah,
mendekati 0%, tidak lagi memadai untuk meningkatkan angka inflasi. Sementara kebijakan
stimulus moneter non-konvensional untuk keluar dari deflation-trap menyebabkan
melemahnya nilai tukar mata uang.
Secara teoritis, dalam makroekonomi, tidak semua deflasi atau inflasi sangat rendah berakibat
buruk bagi perekonomian. Misalnya penurunan harga akibat meningkatnya efisiensi dan
produktivitas merupakan indikasi positif bagi perekonomian suatu negara. Namun, ketika
penurunan harga disebabkan oleh pelemahan sisi permintaan secara tajam dan mendadak
(negative demand shock), seperti yang sekarang terjadi di banyak negara, berpotensi
berakibat buruk bagi perekonomian.
Sementara itu, gelombang deflasi atau inflasi sangat rendah di banyak negara, utamanya
disebabkan oleh menurunnya harga minyak mentah dunia lebih dari 60% dari posisi tertinggi
Juni 2014 sebesar USD115/barel menjadi di bawah USD50/barel.
Dalam jangka pendek, penurunan tajam harga minyak mentah dunia menjadi windfall bagi
konsumen, di mana dengan pendapatan yang sama, konsumen mendapatkan barang dan jasa
yang lebih murah (consumer surplus). Namun, dalam jangka menengah dan panjang, di
kawasan Eropa misalnya konsumen mulai berhati-hati dan bahkan menunda pembelian akibat
ketidakpastian dari sektor ketenagakerjaan. Melemahnya permintaan membuat banyak
perusahaan menunda, membatalkan, atau bahkan mengalami kesulitan keuangan yang
berpotensi pengurangan tenaga kerja.
Kondisi di atas terjadi bersamaan dengan tren pelemahan nilai tukar mata uang di banyak
negara. Meskipun memiliki faktor penyebab yang berbeda-beda, pelemahan nilai tukar mata
uang terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sangat merepotkan, baik otoritas moneter maupun
97
fiskal di banyak negara, termasuk Indonesia.
Fenomena depresiasi nilai tukar disebabkan mulai dari ketidakseimbangan antara demand-
supply valas di pasar domestik sampai akibat membanjirnya likuiditas mata uang tertentu
setelah penerapan kebijakan stimulus moneter (quantitative easing) seperti yang dilakukan
European Central Bank (ECB) maupun Bank of Japan (BoJ) saat ini. Di satu sisi, pelemahan
mata uang dapat berakibat positif bagi kinerja ekspor, namun di sisi lain berakibat buruk bagi
perekonomian yang memiliki eksposur impor tinggi dan utang dalam mata uang asing,
utamanya dolar AS, sangat tinggi.
Beberapa negara atau kawasan yang memiliki tren deflasi dan pelemahan nilai tukar mata
uang dapat kita temui di sejumlah negara Eropa dan Jepang. Kawasan Eropa secara rata-rata
mencatatkan inflasi sangat rendah sejak Desember 2014 sebesar -0,2%, Januari 2015 -0,6%,
dan Februari 2015 -0,3%. Sementara itu, target inflasi dari ECB untuk sepanjang 2015
ditetapkan di Zona Eropa sebesar 0%.
Sementara Jepang melihat tren inflasi rendah akan terjadi sepanjang 2015. Gubernur BoJ
Haruhiko Kuroda juga telah memberikan sinyal untuk memperpanjang penerapan moneter
longgar non-konvensional (quantitative easing) yang selama ini berjalan sebesar 80 triliun
yen sebagai respons terhadap inflasi yang sangat rendah di Jepang.
Diharapkan, dengan ada kebijakan ini, Jepang dapat keluar dari jebakan inflasi sangat rendah
sehingga proses pemulihan ekonomi (recovery) dapat terakselerasi. Inflasi yang moderat
sangat dibutuhkan oleh sejumlah negara untuk menjamin perekonomian terus bergerak.
Bagi Indonesia, kedua tren tersebut juga terjadi meski dengan latar belakang yang agak
berbeda dibandingkan dengan apa yang terjadi di Eropa dan Jepang. Setelah inflasi pada
Desember 2014 yang cukup tinggi akibat kebijakan penyesuaian BBM bersubsidi, sebesar
2,46%, inflasi bulan berikutnya tercatat sangat rendah setelah pemerintah menurunkan harga
BBM akibat menurunnya harga minyak mentah dunia. Di mana inflasi pada Januari 2015
tercatat sebesar -0,24% dan Februari 2015 tercatat sebesar -0,36%. Diproyeksikan, tren
inflasi rendah bertahan sampai meningkatnya permintaan jelang liburan sekolah dan Hari
Raya Idul Fitri 2015.
Namun, yang perlu diwaspadai adalah data BPS menunjukkan indeks pertumbuhan
perusahaan menengah dan besar pada Januari 2015 tumbuh -0.35%. Sementara indeks
manufaktur dari sejumlah analis juga menunjukkan pelemahan. Misalnya, indeks manufaktur
dari Markit Economics dan HSBC menunjukkan indeks manufaktur Februari 2015 jatuh
menjadi 47,50 lebih rendah dari posisi Januari sebesar 48,50 dan Desember 2014 sebesar
47,60.
Meski masih memerlukan analisis lebih dalam, tren deflasi dan inflasi sangat rendah di
Indonesia diiringi dengan pelemahan kinerja industri manufaktur nasional. Kemungkinan
pelemahan indeks manufaktur industri nasional juga disebabkan oleh terdepresiasinya nilai
98
tukar mata uang rupiah. Mengingat komponen impor dalam industri nasional cukup tinggi,
melemahnya rupiah juga berdampak pada meningkatnya biaya produksi.
Nilai tukar rupiah terus menunjukkan tren pelemahan terhadap dolar AS. Pada penutupan
pasar Jumat (13/3), nilai tukar rupiah di pasar spot ditutup melemah 37 poin menjadi
Rp13.187 dan kurs tengah Bank Indonesia juga melemah menjadi Rp13.191 per dolar AS.
Koordinasi yang dilakukan oleh Pemerintah-BIOJK-LPS yang secara intens dilakukan dalam
beberapa hari terakhir masih belum mampu menahan tren pelemahan rupiah. Beberapa
kalangan dan pelaku pasar bahkan memprediksi tren pelemahan rupiah masih akan terus
berlanjut sampai The Fed mengumumkan secara pasti kenaikan suku bunga pascaberakhir
kebijakan quantitative easing III.
Sampai saat ini kita semua masih belum dapat memastikan secara persis bagaimana
perekonomian dunia akan menemukan keseimbangan baru. Namun, paket kebijakan yang
tepat, efektif, dan terukur sangat dibutuhkan untuk mengelola volatilitas nilai tukar rupiah,
menjaga daya beli masyarakat, mendorong terus tumbuhnya industri nasional, serta
memperkuat struktur industri nasional. Tren inflasi rendah bahkan deflasi perlu terus
dimonitor untuk menghindarkan dari pelemahan pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, dampak dari pelemahan nilai tukar rupiah juga perlu terus diwaspadai seiring
pelemahan permintaan produk ekspor nasional di pasar global. Penciptaan lapangan kerja dan
pertumbuhan ekonomi juga perlu terus didorong dengan tetap menjaga makroprudensial dan
stabilitas sistem keuangan.
Memastikan harga-harga kebutuhan pokok tersedia dan terjangkau juga akan sangat
membantu menurunkan potensi gejolak akibat tidak menentunya situasi perekonomian global
dan kawasan.
PROF FIRMANZAH PhD
Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar FEB Universitas Indonesia
99
Politik Bantuan Cina-Afrika
Koran SINDO
18 Maret 2015
Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengatakan dalam laman resmi Sekretariat Kabinet
bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mengadakan kunjungan ke Cina dan Jepang
dalam waktu dekat.
Apabila terlaksana, kunjungan tersebut adalah kedua kalinya bagi Presiden Jokowi dalam 149
hari masa kerjanya. Masyarakat internasional dapat menginterpretasikan kunjungan tersebut
sebagai tanda semakin mesranya hubungan Indonesia dengan Cina. Namun, apakah
hubungan mesra itu merupakan tanda semakin menjauhnya hubungan Indonesia dengan
Amerika Serikat (AS) dan Eropa adalah tanda tanya besar yang dapat dijawab hanya lewat
aksi-aksi diplomatik ke depan.
Ada kemungkinan, menurut Andi Widjajanto, Presiden Jokowi akan mengunjungi AS setelah
kunjungannya ke Cina dan Jepang. Kunjungan ke AS mungkin dapat mengimbangi
kekhawatiran dunia Barat yang semakin galau menghadapi meluasnya pengaruh Cina di
berbagai kawasan.
Semakin rapatnya Indonesia ke Cina dapat dilihat dari program Nawa Cita Presiden Jokowi
tentang Poros Maritim. Juga kebutuhan Indonesia untuk mendapatkan bantuan keuangan
demi mendanai pembangunan infrastruktur yang diperlukan, terutama pembangunan
pelabuhan, jalan raya, kereta api, bandar udara, dan yang paling penting adalah pembangkit
listrik.
Cina adalah salah satu lumbung dolar terbesar di dunia dan hampir seluruh negara yang butuh
utang akan datang ke Cina. Cadangan devisa mereka dalam mata uang dolar, merujuk pada
data September 2014, mencapai USD4 triliun (Bloomberg, 10/6/ 2014). Bandingkan dengan
cadangan dolar Indonesia yang hanya mencapai USD111,2 milia r atau kurang dari 2,8%
cadangan dolar Cina.
Posisi keuangan yang signifikan itu membuat posisi Cina dalam politik luar negeri pun sangat
berpengaruh. Posisi tersebut terutama untuk mengamankan dua prinsip ”Kebijakan Satu
Cina” dan ”Kebijakan Non-intervensi”. Beberapa negara yang menerima bantuan dari Cina
memberikan timbal balik dukungan politik seperti di dalam Dewan Hak Asasi Manusia
(HAM) PBB atau dalam World Trade Organization (WTO).
Dalam meluaskan pengaruh Cina mendirikan lembaga-lembaga keuangan untuk menyalurkan
bantuan. Misalnya, New Development Bank BRICS yang didirikan bersama Rusia, Brasil,
100
Afrika Selatan, dan India; kemudian China-Africa Development Fund. Atau yang terakhir
dan menyedot perhatian setelah Inggris bergabung adalah Bank Infrastruktur yang akan
mendanai proyek di kawasan Asia.
Dampak nyata dari pengaruh Cina dan kekuatan keuangannya adalah menguatnya politik
non-intervensi. Hal ini yang membedakan antara bantuan dari lembaga keuangan
”tradisional” seperti Bank Dunia atau IMF dengan bantuan yang disalurkan oleh lembaga
keuangan yang didukung oleh Cina. Lembaga-lembaga bantuan keuangan ”tradisional” sudah
terkenal selalu memberikan syarat mulai dari perlindungan lingkungan hidup, transparansi
anggaran, hingga HAM–sebelum, sesaat, dan setelah bantuan disalurkan.
Hal ini yang tidak terjadi pada bantuan yang diberikan oleh Cina. Negara yang menerima
bantuan dari Cina relatif tenang karena tidak khawatir bantuannya akan diputus ketika terjadi
gejolak politik di dalam atau luar negeri mereka. Negara-negara yang diuntungkan dengan
model politik bantuan Cina adalah praktis negara-negara yang saat ini menjadi ”musuh”
Barat. Negara tersebut terutama negara-negara Afrika seperti Angola, Sudan, Etiopia, Ghana,
Zimbabwe, atau negara-negara yang masuk dalam kategori ”negara gagal” menurut standar
masyarakat Barat.
Dalam White Paper Foreign Aid yang ditulis oleh Pemerintah Cina, bantuan ke Afrika
menempati prioritas pertama selama tahun 2010-2014. Dari total bantuan USD14,41 miliar
sepanjang periode tersebut, 51,8 % tersalur ke negara-negara kawasan Afrika dan 30,5
persennya ke kawasan Asia. Jumlah yang diterima oleh negara-negara Afrika bertambah 6%
sejak 2006.
Bantuan kepada negara-negara di kawasan Afrika tidak semata- mata untuk mengisi
kekosongan bantuan akibat ditinggalkan oleh lembaga keuangan ”tradisional” atau demi
”membeli pengaruh” dari negara-negara Afrika. Tetapi juga untuk mengamankan pasokan
energi dan sumber daya alam yang menyokong pertumbuhan ekonomi Cina yang
pesat. Negara-negara di Afrika memiliki cadangan energi berupa minyak dan gas bumi dalam
jumlah besar, juga sumber daya alam yang kaya seperti emas, platinum, mangan, tembaga,
dan lainnya.
Cina melakukan hubungan jual-beli langsung dengan negara-negara tersebut. Salah satu
tujuannya adalah mengurangi ketergantungan dari harga di pasar dunia yang biasanya sangat
dinamis terpengaruh oleh faktor-faktor politik luar negeri yang sensitif. Pendekatan ini
berhasil untuk kedua belah pihak. Perdagangan negara-negara Afrika dan Cina meningkat
pesat dalam sepuluh tahun terakhir.
Sebagai perbandingan, pada tahun 2013 perdagangan Afrika dengan AS untuk barang dan
jasa masing-masing USD85 miliar dan USD11 miliar. Bersama masyarakat Uni-Eropa, nilai
total perdagangan Afrika mencapai USD137 miliar, sementara nilai perdagangan Afrika-Cina
mencapai USD200 miliar.
101
Hubungan positif antara bantuan yang diberikan dan perdagangan yang meningkat di antara
Cina dan Afrika tentu menggiurkan bagi Indonesia yang sedang giat-giatnya menjual proyek-
proyek infrastruktur ke beberapa negara. Indonesia telah menjadi anggota Bank Infrastruktur
Asia tahun lalu yang dipelopori oleh Cina dan berharap segera mendapatkan dana
segar. Harapan tersebut mungkin akan semakin nyata dengan rencana kunjungan Presiden
Jokowi dalam waktu dekat ke Beijing.
Meski demikian, Indonesia juga perlu waspada terhadap konsekuensi politik atas pilihan
untuk mendekat ke Cina. Negara-negara Afrika melihat ke Cina karena posisi tawar mereka
relatif rendah ke lembaga-lembaga keuangan ”tradisional”. Selain itu, negara-negara tersebut
menganut sistem politiknya non-demokrasi sehingga cocok dengan model politik luar negeri
Cina. Sebaliknya, kondisi Indonesia bertolak belakang dengan Afrika. Kedekatan dengan
Cina perlu dipertanggungjawabkan kepada masyarakat sipil dan parlemen.
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
@dinnawisnu
102
Sistem Pembayaran Barter
Koran SINDO
18 Maret 2015
Kisruh Yunani yang ingin keluar dari Uni Eropa jika terjadi akan memperbesar sistem
pembayaran barter. Dengan atau tanpa Euro, Yunani akan semakin tergantung kepada barter.
Asmudson dan Oner (2012) mengatakan: ”If there were no money, we would be reduced to a
barter economy. Every item someone wanted to purchase would have to be exchanged for
something that person could provide ”. Sementara itu, keluarnya Yunani akan membuat
kepercayaan terhadap euro menurun. Di pihak lain, gejolak ekonomi yang ditimbulkannya
juga akan berdampak negatif kepada dolar.
Sistem pembayaran barter adalah cikal bakal dari sistem pembayaran dengan uang virtual
seperti Bitcoin dan dolar Itex. Sistem pembayaran dengan uang virtual akan semakin banyak
digunakan pada masa depan akibat krisis sistem pembayaran di Eropa jika Yunani keluar dari
euro.
Pada dasarnya, barter adalah kegiatan tukar-menukar barang atau jasa yang terjadi tanpa
perantaraan uang. Tahap selanjutnya menghadapkan manusia pada kenyataan bahwa apa
yang diproduksi sendiri tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya.
Untuk memperoleh barang-barang yang tidak dapat dihasilkan sendiri, mereka mencari dari
orang yang mau menukarkan barang yang dimilikinya dengan barang lain yang
dibutuhkannya. Akibatnya barter yaitu barang ditukar dengan barang. Pada masa ini timbul
benda-benda yang selalu dipakai dalam pertukaran.
Kesulitan yang dialami oleh manusia dalam barter adalah kesulitan mempertemukan orang-
orang yang saling membutuhkan dalam waktu bersamaan. Kesulitan itu telah mendorong
manusia untuk menciptakan kemudahan dalam pertukaran dengan menetapkan benda-benda
tertentu sebagai alat tukar.
Sampai sekarang barter masih dipergunakan saat terjadi krisis ekonomi di mana nilai mata
uang mengalami devaluasi akibat hiperinflasi. Devaluasi tersebut biasanya dilakukan apabila
rezim yang mengadopsi sistem nilai tukar tetap tersebut menilai bahwa harga mata uangnya
dinilai terlalu tinggi dibandingkan nilai mata uang negara lain di mana nilai mata uang
tersebut tidak didukung oleh kekuatan ekonomi negara yang bersangkutan.
Mata uang suatu negara dikatakan mengalami kelebihan nilai dapat dilihat dari perbedaan
inflasi kedua negara. Negara yang inflasinya tinggi seharusnya akan segera mengalami
103
penurunan nilai, namun dalam sistem nilai tukar tetap proses penyesuaian tersebut tidak
berlaku secara otomatis karena penyesuaian nilai tukar tersebut harus melalui penetapan
pemerintah.
Tanda-tanda suatu mata uang yang mengalami kenaikan nilai antara lain ekspor yang terus
menurun dan industri manufaktur mulai mengalami penurunan kinerja. Intinya produktivitas
nasional kalah dibandingkan dengan negara lain.
Secara formal hiperinflasi terjadi jika tingkat inflasi lebih dari 50% dalam satu bulan. Sebagai
sebuah rule of thumb, inflasi biasanya dilaporkan setahun sekali, namun dalam kondisi
hiperinflasi tingkat inflasi dilaporkan dalam interval yang lebih singkat, biasanya satu bulan
sekali. Hiperinflasi biasanya muncul ketika ada peningkatan persediaan uang yang tidak
diketahui atau perubahan sistem mata uang secara drastis. Hiperinflasi biasanya dikaitkan
dengan perang, depresi ekonomi, dan memanasnya kondisi politik atau sosial suatu negara.
Dalam konteks menghadapi inflasi yang semakin tinggi di Amerika Serikat, American
Express (Amex) melakukan restrukturisasi usaha dalam rangka memfokuskan usaha mereka
tetapi juga memainkan peran pembayaran dengan uang virtual. Perancang strategi Amex
berpikiran bahwa perekonomian Amerika Serikat akan menghadapi hiperinflasi masa depan
akibat program quantitative easing yang dilakukan hingga saat ini. Mereka sangat percaya
bahwa hantu inflasi sudah terbit di horizon perekonomian Amerika Serikat.
Kebijakan moneter di Amerika Serikat pada dasarnya merupakan suatu kebijakan yang
bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal (keseimbangan
neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro yakni menjaga stabilisasi
ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja, kestabilan harga, serta neraca
pembayaran internasional yang seimbang.
Apabila kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, kebijakan moneter dapat dipakai
untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter pertama kali akan
dirasakan oleh sektor perbankan yang kemudian ditransfer pada sektor riil.
Dengan demikian, tekanan dari rendahnya produktivitas akan menyebabkan devaluas i
kemudian hiperinflasi dan muncul sistem pembayaran barter yang pada zaman teknologi
maju saat ini berbentuk uang virtual seperti Bitcoin yang merupakan uang virtual (elektronik)
yang dibuat pada 2009 oleh Satoshi Nakamoto.
Nama tersebut juga dikaitkan dengan perangkat lunak sumber terbuka yang dia rancang dan
menggunakan jaringan peer-to-peer tanpa penyimpanan terpusat atau administrator tunggal.
Departemen Keuangan Amerika Serikat menyebut Bitcoin sebuah mata uang yang
terdesentralisasi.
Tidak seperti mata uang pada umumnya, Bitcoin tidak tergantung dengan mempercayai
104
penerbit utama. Bitcoin menggunakan sebuah database yang didistribusikan dan menyebar
ke berbagai node dari sebuah jaringan peer-to-peer ke jurnal transaksi dan menggunakan
kriptografi untuk menyediakan fungsi- fungsi keamanan dasar seperti memastikan bahwa
Bitcoin hanya dapat dihabiskan oleh orang yang memilikinya dan tidak pernah boleh
dilakukan lebih dari satu kali.
Jelas sekali bahwa sistem pembayaran barter tidak akan mati, tetapi hanya berubah bentuk
menjadi sistem pembayaran virtual berkat ada teknologi!
ACHMAD DENI DARURI
President Director Center for Banking Crisis
105
Menyelamatkan Pertamina
Koran SINDO
19 Maret 2015
Hiruk-pikuk diskusi tentang pencabutan subsidi BBM dan turunnya harga minyak dunia
melupakan satu hal yang sangat kritikal, yaitu efeknya terhadap daya saing Pertamina. Nasib
Pertamina menjadi penting karena BUMN strategis ini seolah dilupakan dalam berbagai
akrobat kebijakan yang dilakukan pemerintah terkait BBM.
Jokowi dikenal sangat ringan tangan dalam mengambil kebijakan. Hari ini mikir, besok bisa
langsung keluar kebijakan. Tentu saja ini bagus, tapi kadang juga menimbulkan apa yang
disebut dengan “miopia kebijakan”, yaitu tidak terlihatnya implikasi terdekat dari sebuah
kebijakan akibat proses pengambilannya yang terlalu terburu-buru.
Tendensi miopia kebijakan ala Jokowi ini cukup terasa pada kebijakannya yang terkait
dengan pencabutan subsidi BBM. Jokowi memutuskan untuk menghapus subsidi bagi BBM
jenis premium, Benar bahwa ini merupakan salah satu milestone penting dalam sejarah
panjang kebijakan migas Indonesia. Namun, diskusi tentang kebijakan ini melupakan
Pertamina, pihak yang “paling segera” menerima konsekuensi dari kebijakan tersebut selain
konsumen.
***
Sebagai BUMN yang sedari awal didirikan sebagai tangan dan kaki pemerintah di bidang
migas, mau tidak mau jatuh bangunnya Pertamina sangat bergantung pada hitam-putih
dinamika sosio-politik yang mewarnainya. Sebagai penyegar ingatan, pascareformasi
monopoli Pertamina sedikit demi sedikit terlucuti. Pertama, saat manajemen sektor hulu
diserahkan ke BP Migas (kini SKK Migas). Kedua, saat dibukanya keran liberalisasi untuk
sektor hilir. Satu-satunya yang masih belum “dilucuti”, setidaknya sampai beberapa saat yang
lalu adalah peran Pertamina dalam mengelola suplai dan ritel BBM bersubsidi.
Kebijakan Jokowi menghapuskan subsidi produk BBM dengan mengubah spesifikasi produk
premium ke RON 92 telah melucuti benteng terakhir monopoli Pertamina. Kini, kita dengan
“aman” bisa mengatakan bahwa pasar BBM telah secara sempurna terliberalkan.
Satu-satunya proteksi yang tersisa bagi Pertamina saat ini adalah adanya disparitas harga
dalam negeri (yang ditetapkan pemerintah secara reguler) dengan harga spot di pasar dunia.
Namun, kondisi harga minyak dunia saat ini yang rendah dan diprediksi akan terus menurun
menyebabkan semakin menipisnya perbedaan ini. Bukan mustahil jika dalam waktu dekat
harga BBM dalam negeri menjadi sama atau lebih tinggi dibanding harga pasar dunia. Bila
106
itu terjadi maka secara resmi kita bisa memberi selamat kepada Pertamina, selamat
berkompetisi tanpa proteksi.
Pertanyaan yang tentu saja muncul di benak semua orang adalah mampukah Pertamina
bersaing? Dalam presentasi di depan investor pada akhir tahun 2013 lalu, manajemen
Pertamina menyampaikan optimismenya bahwa mereka mempunyai kunci keunggulan (key
advantage) di bidang ritel, yaitu integrasi infrastruktur supply chain dengan 6 kilang, 107
depot, dan lebih dari 5.000 SPBU yang tersebar merata di seluruh pelosok Tanah Air. Suatu
kekuatan yang kelihatannya sangat sulit disamai oleh kompetitor mana pun yang ingin masuk
dan menguasai pasar BBM Indonesia.
Tetapi pertanyaannya, apakah “kekuatan” jaringan ini akan menjamin kelanggengan
dominasi pasar Pertamina di pasar yang kini liberal? Menurut kami, belum tentu! Ini karena
“kekuatan” kuantitatif tersebut, dalam banyak hal, tidak dibarengi oleh keunggulan dari segi
kualitatif.
Segi kualitatif yang dimaksud khususnya adalah dua masalah utama Pertamina saat ini yaitu:
tingginya “stranded cost” pada aset distribusi dan lemahnya “strategic control” di jaringan
SPBU. Dalam pengertian ekonomi, stranded cost adalah biaya yang harus ditanggung oleh
petahana pada saat terjadinya deregulasi akibat adanya aset yang menjadi redundant (tidak
ekonomis lagi) pada saat pasar berubah menjadi kompetitif.
Biaya inilah sebenarnya yang menjadi alasan mengapa harga produksi BBM Pertamina,
seperti ditemukan oleh Tim Reformasi Tata Kelola Migas, menjadi lebih mahal dibanding
harga impor. Kelebihan biaya ini muncul dari tingginya biaya overhead dari aset-aset yang
mempunyai yield (komposisi hasil) dan tingkat utilisasi yang kurang optimal. Rendahnya
yield kilang Pertamina sebagian besar diakibatkan dari ketidakcocokan input dengan desain
awalnya dahulu, akibat dari perubahan dalam komposisi ketersediaan suplai minyak mentah
saat ini.
Sementara rendahnya utilitas diakibatkan oleh adanya overcapacity depot penyimpan dan
sarana transportasi maritim yang dulunya dibangun Pertamina untuk menjalankan kewajiban
menyuplai dan menjaga tingkat ketersediaan BBM di daerah-daerah yang sebenarnya
“kurang ekonomis”, khususnya di luar Jawa dan Indonesia bagian timur. Kondisi itu
diperparah lagi dengan tingkat kesulitan geografis yang tinggi di daerah-daerah tersebut yang
membuat meroketnya biaya operasi dan pemeliharaan.
Stranded cost ini menjadi handicap Pertamina saat bersaing di tingkat harga dengan para
kompetitornya (khususnya multinational company) yang memiliki supply chain yang lebih
efisien dan ketahanan finansial yang tinggi.
***
107
Sementara itu di tingkat retail outlet, Pertamina menghadapi masalah yang tidak kalah
beratnya, yaitu rendahnya tingkat strategic control mereka terhadap jaringan SPBU yang ada.
Dari total sekitar 5.027 titik SPBU berlogo Pertamina saat ini, hanya 2% yang dimiliki dan
dikelola secara langsung oleh Pertamina (company owned-company operated). Sementara
98% sisanya dimiliki dan dioperasikan oleh pihak swasta dengan skema dealer owned-dealer
operated (DODO).
Dalam pasar yang terbuka, SPBU DODO ini akan sangat rentan sekali untuk diakuisisi
(secara langsung atau tidak langsung) oleh kompetitor yang mampu menawarkan skema
franchise yang lebih menarik untuk para pemiliknya. Hal ini tentunya bukan hal yang terlalu
sulit dilakukan oleh kompetitor multinasional dengan semua kekuatan finansial, manajemen
dan brand equity yang dimilikinya.
Berdasarkan pemodelan yang dilakukan oleh penulis, ketika terjadi kondisi “spatial parity“,
di mana jumlah dan lokasi SPBU kompetitor sudah mencapai critical mass dan mudah
dijangkau oleh konsumen, maka Pertamina berpotensi kehilangan paling tidak 40% dari
pangsa pasarnya. Bahkan untuk segmen pengguna oktan tinggi (pertamax plus) pangsa pasar
yang hilang ini bisa lebih dari 50%.
Critical mass ini untuk kota besar, terjadi bila jumlah SPBU kompetitor sudah mencapai
sekitar 10-15% dari jumlah SPBU Pertamina. Dari simulasi data pertumbuhan yang ada,
kondisi tersebut tercapai dalam kurun waktu 1-5 tahun ke depan.
Mengacu pada parameter pasar dan struktur keuangan Pertamina saat ini, kehilangan 40%
pangsa pasar BBM akan senilai dengan turunnya pendapatan korporasi sebesar kurang lebih
20% per tahunnya. Ini adalah jumlah yang sangat besar, dan tentu saja akan sangat
melemahkan daya saing Pertamina.
***
Kebijakan yang diambil pemerintahan Jokowi terkait BBM perlu mempertimbangkan aspek
daya saing Pertamina. Mencegah kebocoran dan menghancurkan mafia migas penting, namun
yang tidak kalah penting adalah membuat road map deregulasi industri hilir migas secara
lebih terarah. Jangan sampai kekalahan daya saing kita di industri hulu migas terulang di
hilir.
Tanpa adanya upaya restrukturisasi yang signifikan di Pertamina, baik dalam hal peningkatan
efisiensi jaringan maupun pengurangan biaya, maka tidak tertutup kemungkinan periode 10
tahun ke depan merupakan era di mana kita semua akan menjadi saksi beralih wujudnya
ribuan pom bensin di seluruh Indonesia, dari tadinya berwarna merah, menjadi berwarna
kuning, hijau, atau warna lainnya.
108
ARI PRAMONO
Peneliti dan Dosen di Monash University
&
HARRYADIN MAHARDIKA
Wakil Direktur Magister Manajemen, Universitas Indonesia
109
Misfit vs Problem Solver
Koran SINDO
19 Maret 2015
”Jika Anda mengambil 20 karyawan terbaik Microsoft, saya pastikan Microsoft (dengan sisa
karyawannya) akan menjadi perusahaan yang sama sekali tidak penting.” Kalimat tersebut
sejatinya keluar dari mulut Bill Gates, pendiri yang juga pemilik Microsoft, tetapi kini pantas
diucapkan oleh hampir semua taipan papan atas Indonesia. Nasib mereka ada di tangan
orang-orang penting yang loyal, gesit, dan berdedikasi.
Bagi sebagian kita, ucapan Bill Gates tadi mungkin terdengar mengejutkan. Bagaimana
mungkin perusahaan sebesar Microsoft, yang pada tahun 2014 mampu membukukan
pendapatan USD77,85 miliar, profit USD21,86 miliar, dan memiliki 122.935 karyawan yang
tersebar di seluruh dunia, hanya bergantung kepada segelintir orang? Nyatanya begitu.
Setidak-tidaknya jika kita percaya pada pengakuan Bill Gates.
Namun sejatinya fenomena semacam itu tak hanya terjadi di Microsoft, tetapi juga pada
hampir semua perusahaan. Baik perusahaan multinasional sekelas Microsoft maupun yang
hanya berskala nasional.
Lalu, siapakah kelompok 20 orang terbaik tersebut? Kita pakai saja formula Jack Welch.
Menurut mantan CEO General Electric tersebut, dari seluruh karyawan perusahaan, sebanyak
20% merupakan top performer (bahkan dalam banyak hal, hukum Pareto ini dapat
difokuskan lagi menjadi hanya 0,1%), lalu 70% akan menjadi middle performer, dan 10%
sisanya adalah low performer.
Agak mirip dengan ucapan George Barnard Shaw yang menyebutkan hanya 2% manusia
yang benar-benar mau berpikir dalam hidup ini. Nah mereka yang berpikir itulah yang
mencari jalan, memimpin perubahan, mengambil inisiatif dan risiko, serta menemukan masa
depan.
Banyak perusahaan menyebut kelompok top performer dengan istilah yang berbeda-beda.
Ada yang menyebutnya winning team, key persons, champion team, atau
superkeepers. Adapun saya menyebutnya sebagai great drivers (lihat buku Self Driving,
2014). Apa pun sebutannya dan berapa pun persentasenya (yang jelas mereka adalah bagian
yang amat kecil), orang-orang pilihan itu adalah harta tak kelihatan yang menjadi kekayaan
perusahaan. Mereka mempunyai kinerja prima dan mampu menginspirasi koleganya. Inilah
sosok-sosok yang dinilai mampu membangun kompetensi utama perusahaan.
Dalam kasus Microsoft, mereka adalah orang-orang yang tahu betul software yang kelak
110
menjadi kebutuhan masyarakat. Lalu, tahu bagaimana menciptakan kebutuhan, kapan mesti
diluncurkan, perusahaan mana yang mesti diakuisisi untuk mewujudkan gagasan tersebut,
dan memastikan bahwa software tersebut tak memiliki pesaing. Jadi, mereka bukan sekadar
sekelompok orang yang mengantisipasi datangnya masa depan, melainkan menciptakan masa
depan itu sendiri. Mereka bukan mengantisipasi permintaan, tetapi justru menciptakan
permintaan.
Bagi banyak perusahaan, ternyata gampang-gampang susah mengenali orang-orang unggulan
yang seperti ini. Sebab selain jumlahnya tidak banyak, mereka biasanya kurang suka
menonjolkan diri. Mereka kurang suka banyak bicara karena terlalu asyik bekerja. Jadi
bekerja adalah passion mereka.
Mereka biasanya juga memiliki mindset sebagai problem solvers. Kalau ada masalah,
orientasinya bukan mencari siapa yang salah, tetapi apa yang salah dan yang lebih penting
lagi bagaimana memperbaikinya. Apa yang mereka lakukan ini mirip dengan ungkapan Betty
Williams, pemenang hadiah Nobel Perdamaian tahun1976, ”There’s no use talking about the
problem unless you talk about the solution.”
Suka Mencari Kesalahan
Di dunia ini kita hidup berpasang-pasangan. Jika ada siang, tentu ada malam. Jika ada putih,
ada pula warna hitam. Ada pro, ada pula yang kontra. Begitu pula untuk the winning team
atau para great driver, mereka juga memiliki pasangannya. Oleh sebagian perusahaan
pasangannya itu disebut sebagai the fatalist, the losser, trouble maker atau kalau Lance
Berger & Dorothy Berger biasa mengistilahkan mereka dengan sebutan misfit.
Saya menyebutnya sebagai bad passengers dan bad drivers. Ada yang bermental driver,
tetapi perilakunya merusak, hanya menggosok orang lain agar menentang atau melakukan
tindakan tak produktif, banyak mengeluh dan mengambil energi orang lain. Adapun bad
passengers, sudah cuma menumpang, merusak yang lain pula.
Sama seperti tipe top performer, agak gampang-gampang susah mengidentifikasi tipe-tipe
orang yang termasuk dalam kelompok misfit atau bad passengers (dan bad drivers) itu. Kita
butuh waktu yang cukup untuk membaca mereka. Di Rumah Perubahan kami perlu waktu
tiga hari untuk mengajak mereka membuka diri dan merestorasi kembali mental itu. Itu pun
sebaiknya diikat dengan program recoding DNA yang menjadi tugas para atasan begitu
mereka kembali.
Para misfit ini biasanya lebih suka mencari siapa yang salah dan sibuk membesar-besarkan
masalah. Mereka gampang mengeluh, selalu tidak puas. Komplain melulu. Mereka juga lebih
suka melihat kelemahan orang lain ketimbang kelebihannya dan tak suka melihat orang
sukses. Mereka ini biasanya juga kritikus ulung.
111
Setelah kami pelajari, ternyata mereka sejatinya terdiri atas orang-orang yang butuh kasih
sayang kita dengan segudang masalah batiniah. Adapun perilaku buruknya yang diungkapkan
secara terbuka ternyata hanyalah sebuah bentuk pengalihan saja dari rasa ”sakit”-nya yang
tak terperikan. Bagi yang mengikuti ribut-ribut antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama dan DPRD, yang benar-benar tak ikut-ikutan secara ideologis atau bisnis, tentu kita
bisa dengan mudah menemukan siapa misfit-nya.
Bagi Anda yang pernah menonton film In Good Company, mungkin bisa menemukannya
dalam sosok Dan Foreman, seorang head of executive sales & advertising berusia 51 tahun.
Itu dimulai ketika perusahaan Foreman diakuisisi dan dia dimutasi. Foreman ditempatkan
sebagai bawahan dari seorang eksekutif bau kencur yang baru lulus sekolah yang usianya
baru 26 tahun.
Coba bayangkan kalau Anda ditempatkan pada posisi Foreman: dulunya eksekutif andal,
karena suasana berubah, segala kenikmatannya diambil orang lain, heroismenya pun beralih,
membuatnya ia berbalik menjadi pembuat ulah. Menghadapi orang-orang yang seperti
Foreman kini menjadi pengalaman yang biasa bagi saya. Itulah sebabnya mudah bagi saya
mengidentifikasinya, seberapa pun mereka memasang topeng atau tipu muslihat.
Dalam membantu proses transformasi, hal seperti ini pun bisa kita atasi asalkan pemimpinnya
teguh, tak buru-buru diganti, dan tentu saja bukan kompromi yang diambil. Bukannya apa-
apa, banyak orang yang membacanya seakan-akan ini adalah konflik besar yang butuh juru
damai. Padahal solusinya bukan kompromi, tetapi sebuah perubahan mendasar.
70-20-10
Sebetulnya tidak sulit-sulit amat menghadapi para misfit. Dalam beberapa segi, beberapa di
antara mereka dapat kita ubah menjadi sumber daya. Para misfit ini tidak terbentuk dengan
sendirinya. Juga tidak terbentuk seketika. Membutuhkan proses yang panjang dan waktu
yang lama sampai akhirnya mereka terbentuk menjadi seperti itu.
Menurut Dave Ulrich & Norm Smallwood (2004), sekitar 70% proses pembelajaran
sebenarnya terjadi dalam aktivitas sehari-hari, dalam pekerjaan sehari-hari. Lalu, 20%-nya
diperoleh lewat sharing pengalaman dan observasi, belajar dari para role model atau melalui
proses mentoring. Sementara yang 10% sisanya belajar dalam kelas-kelas formal, training,
workshop atau seminar.
Melihat besarnya porsi pembelajaran dari pekerjaan sehari-hari, penting bagi kita untuk
sesegera mungkin mengoreksi kekeliruan. Membiarkan kekeliruan berlarut-larut akan
membuat kita terbiasa, lalu membudaya dan akhirnya tertanam menjadi mindset. Kalau sudah
begini, susah mengubahnya.
112
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
113
Memperkukuh Otot Rupiah
Koran SINDO
21 Maret 2015
Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih tampak loyo hingga mencapai
level Rp13.000. Padahal pemerintah telah memainkan aneka jurus ampuh untuk meredam
pelemahan rupiah. Apa saja implikasi pelemahan rupiah? Bagaimana alternatif solusinya?
Bukan hanya rupiah yang tak berdaya. Ambil contoh, dolar Australia melemah 6,95%, dolar
Hong Kong 0,13%, rupiah Indonesia 5,75%, yen Jepang 1,42%, ringgit Malaysia 5,96%,
dolar Selandia Baru 6,17%, dolar Singapura 5,21%, won Korea Selatan 4,08% dan euro
Eropa 15,27%.
Untuk memperbaiki nilai tukar rupiah yang terpuruk itu, pemerintah telah menerbitkan paket
kebijakan ekonomi. Satu, fasilitas keringanan pajak (tax allowances) untuk perusahaan yang
melakukan reinvestasi dividennya di Indonesia, perusahaan yang menciptakan lapangan
kerja, perusahaan berorientasi ekspor dan perusahaan yang melakukan penelitian dan
pengembangan. Pemerintah juga akan memberikan insentif pajak pertambahan nilai (PPN)
terhadap industri galangan kapal dan beberapa industri produk pertanian.
Dua, menerapkan kebijakan tentang antidumping, mengenakan bea masuk antidumping
sementara dan bea masuk tindak pengamanan sementara terhadap produk-produk industri
nasional, terhadap produk impor yang unfair trade karena ada dumping.
Tiga, memberikan bebas visa kunjungan singkat untuk wisatawan kepada 30 negara baru
sehingga terdapat 45 negara. Empat, kewajiban untuk menggunakan biofuel hingga 15%.
Lima, memberlakukan letter of credit (L/C) untuk produk-produk sumber daya alam yakni
produk batubara, migas dan crude palm oil (CPO). Enam, melakukan restrukturisasi dan
revitalisasi industri asuransi domestik.
Namun boleh dikatakan sebagian besar paket kebijakan ekonomi tersebut baru akan berbuah
minimal enam bulan ke depan kecuali pemberlakuan wajib L/C.
Implikasi
Lagi-lagi, implikasi apa saja yang akan muncul? Pertama, menekan kredit valuta asing
(valas). Ingat, sumber dana valas antara lain dari pinjaman luar negeri. Lantaran suku bunga
valas dari luar negeri lebih rendah daripada pinjaman valas domestik.
Tengok saja, suku bunga acuan Jepang 0,00%, AS 0,25%, Jerman, Prancis, Italia, dan
114
Belanda 0,05%, Singapura 0,39%, Australia, Hong Kong dan Inggris 0,50%, Kanada 0,60%,
Meksiko dan Spanyol 0,70%, Thailand 1,75%, Malaysia dan Korea Selatan 2,00%, Filipina
4,00%, China 5,35%. Bandingkan dengan BI Rate yang mencapai 7,50%.
Oleh karena itu, bank nasional yang banyak bermain valas dan memiliki kredit valas mulai
deg-degan. Mengapa? Karena makin tinggi pelemahan nilai tukar rupiah, makin tinggi pula
potensi risiko bagi bank nasional.
Begini ilustrasinya. Kalau bank mempunyai kredit valas Rp1 miliar maka kredit valas itu
akan langsung terbang tinggi menjadi Rp1 triliun ketika nilai tukar rupiah melemah dari
Rp12.000 naik menjadi Rp13.000 per USD. Artinya, bank nasional terpaksa merogoh
kantongnya lebih dalam manakala nilai tukar rupiah terus melemah.
Potensi risiko lainnya akan muncul ketika nasabah kredit valas mulai kurang mampu
membayar kewajiban mereka setiap bulan. Kewajiban nasabah yang mulai melambat itu akan
menjadi potensi risiko kenaikan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL).
Bagaimana posisi NPL? Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang terbit pada 20 Februari
2015 menunjukkan NPL bank umum naik 0,39% dari Rp58,28 triliun (1,77%) dari total
kredit Rp3.292,87 triliun per Desember 2013 menjadi Rp79,39 triliun (2,16%) dari total
kredit Rp3.674,31 triliun per Desember 2014.
Menurut penggunaan kredit, NPL Rp79,39 triliun (2,16%) tersebut didorong oleh NPL kredit
modal kerja Rp43,84 triliun (55,22%), kredit investasi Rp21,22 triliun (26,73%) dan kredit
konsumsi Rp14,33 triliun (18,05%) per Desember 2014. Hal itu wajib menjadi perhatian
serius bagi bank nasional untuk lebih berhati-hati.
Kedua, mengurangi gerak importir. Bukan berhenti di situ. Pelemahan nilai tukar rupiah pasti
akan menekan gurihnya transaksi impor. Kok bisa? Lantaran, importir harus mengeluarkan
biaya lebih tinggi untuk membayar kewajiban transaksi impor dari luar negeri. Sebaliknya,
eksportir gembira karena transaksi ekspor melesat jauh lebih tinggi. Defisit transaksi berjalan
akan makin rendah. Ini segi positifnya!
Ketiga, menggerogoti daya beli masyarakat. Pelemahan nilai tukar rupiah itu pun akan
memperlemah daya beli (purchasing power) masyarakat. Daya beli masyarakat mulai goyang
manakala inflasi melonjak gara-gara kenaikan harga BBM. Akibatnya, hampir semua bahan
pokok ikut terdorong naik karena biaya transportasi naik.
Meskipun harga BBM kemudian menurun sejalan dengan laju harga minyak dunia, harga
bahan pokok enggan untuk turun. Dengan bahasa lebih bening, daya beli masyarakat lapis
menengah ke bawah akan menipis. Apa akibat lebih lanjut? Pelan namun pasti, kredit
konsumsi yang merupakan kredit individual akan tertekan. Sebut saja, kredit pemilikan
rumah (KPR) tipe kecil akan tersendat. Juga kredit kendaraan bermotor (mobil dan sepeda
motor) bisa tertekan. Hal ini akan menekan pertumbuhan kredit konsumsi.
115
Bagaimana pertumbuhan kredit konsumsi? Data SPI mencatat kredit konsumsi hanya tumbuh
9,11% (year on year) dari Rp929,06 triliun per Desember 2013 menjadi Rp1.013,67 triliun
per Desember 2014. Pertumbuhan kredit konsumsi itu masih lebih rendah daripada kredit
modal kerja10,83% dari Rp1.585,67 menjadi Rp1.757,45 triliun. Kredit investasi justru
tumbuh lebih tinggi 13,16% dari Rp798,16 triliun menjadi Rp903,19 triliun pada periode
yang sama.
Alternatif Solusi
Lantas, bagaimana alternatif solusinya? Pertama, pemerintah terus memperbaiki defisit
transaksi berjalan (current account deficit/CAD) sampai di bawah 3% dari produk domestik
bruto (PDB). Sayangnya, pembangunan infrastruktur akan mendatangkan banyak barang
modal yang dapat mengancam kenaikan CAD.
Kedua, sebaliknya BI menekan inflasi sedemikian rendah sehingga BI Rate juga tertekan
rendah. Ini penting untuk mencegah timbulnya perang suku bunga deposito yang berujung
kenaikan suku bunga kredit.
Ketiga, pemerintah memperbaiki iklim investasi. Hal ini bagai memberikan jalan tol bagi
investor global untuk lebih banyak berinvestasi di Indonesia. Makin banyak investasi, makin
banyak dolar AS masuk pasar keuangan. Ujungnya, cadangan devisa yang mencapai
USD115,5 miliar akan terkerek naik.
Keempat, pemerintah meningkatkan pembangunan infrastruktur. Pemerintah selain
menggunakan sebagian ruang fiskal Rp250 triliun juga dapat memanfaatkan peran Bank
Infrastruktur Asia (Asian Infrastructure Investment Bank/ AIIB). Ini jalan pintas yang jitu
daripada membentuk bank infrastruktur yang memerlukan dana amat besar dan waktu yang
relatif lama. Sarinya, terdapat harmonisasi antara kebijakan pemerintah dan BI. Alhasil, otot
rupiah kian perkasa.
PAUL SUTARYONO
Pengamat Perbankan & Mantan Assistant Vice President BNI
116
Asia-Afrika dan Potensi Ekonomi
Koran SINDO
23 Maret 2015
Tanggal 18-24 April 1955 di Bandung menjadi sejarah penting bagi Indonesia. Saat itu
Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA).
Deklarasi KAA sekaligus menjadi tonggak kelahiran kekuatan baru di dunia baik di bidang
politik, promosi kerja sama ekonomi, keamanan maupun sosial budaya dan diplomasi.
Kehadiran kekuatan poros Asia-Afrika ini pada dasarnya merupakan bentuk solidaritas dan
perlawanan atas kolonialisme saat itu.
Sebentar lagi, 18-24 April 2015, atau 60 tahun setelah KAA, Indonesia kembali didaulat
menjadi tuan rumah penyelenggaraan perhelatan tersebut. Penyelenggaraan KAA kali ini
akan fokus pada dialog atas berbagai masalah yang kini dihadapi dunia sekaligus
merumuskan solusi yang perlu dilakukan negara-negara anggotanya. Pada penyelenggaraan
KAA kali ini, sebanyak 109 undangan telah disampaikan ke negara-negara Asia dan Afrika,
sedangkan 19 negara lain menjadi peninjau, di antaranya Rusia, Venezuela, Cile, Norwegia.
Sebanyak 24 kepala negara telah melakukan konfirmasi kehadirannya menurut rilis
Kementerian Luar Negeri.
Peringatan ke-60 KAA yang mengusung tema penguatan kerja sama negara Selatan-Selatan
memuat tiga agenda besar yang dirumuskan dalam tiga dokumen, yakni Bandung Message,
Declaration on Reinvigorating the New Asian-African Strategic Partnership, dan Declaration
of Palestine. Agenda Bandung Message akan fokus pada dialog dan diskusi seputar isu di
bidang politik, kerja sama ekonomi, dan hubungan sosial budaya.
Agenda Declaration on Reinvigorating the New Asian-African Strategic Partnership
(Deklarasi Kemitraan Strategis Asia-Afrika) akan membahas isu-isu seperti terorisme,
organisasi kriminal transnasional, ketahanan nasional, ketahanan energi, pariwisata, gender,
dan pemberdayaan perempuan. Agenda kedua ini merupakan reviu atas kerja sama New
Asian-African Strategic Partnership (NAASP) yang pertama dideklarasikan tahun
2005. Agenda kedua sekaligus mengevaluasi 10 tahun pasca-kesepakatan kerja sama strategis
Asia-Afrika.
Sementara agenda ketiga, yakni Declaration of Palestine, akan membahas perihal dukungan
negara Asia-Afrika terhadap pendirian negara Palestina dan pengembalian hak-hak dasar
warga Palestina.
Jika pada tahun 1955 KAA banyak menekankan isu kemerdekaan dan pembebasan dari
117
penjajahan kolonialisme, pada 2015 KAA lebih mendorong kualitas kesejahteraan negara-
negara Asia-Afrika. Salah satu strateginya adalah mendorong kerja sama ekonomi strategis
negara-negara di Asia-Afrika. Kerja sama kemitraan strategis Selatan-Selatan ini diharapkan
tidak hanya dapat meningkatkan kesejahteraan negara kawasan Asia-Afrika, tetapi juga
mampu menjadi kekuatan ekonomi dunia yang signifikan.
Sebagai catatan, Asia-Afrika mewakili 75% penduduk di dunia dengan produk domestik
bruto (PDB) sebesar USD21 triliun atau sekitar sepertiga dari PDB dunia sehingga dipandang
perlu untuk terus didorong menjadi kekuatan ekonomi dunia yang berperan besar. Besarnya
pasar Asia-Afrika belum seimbang dengan perkembangan ukuran ekonominya saat ini
walaupun beberapa anggotanya tercatat dalam 10 negara dengan PDB tertinggi seperti China,
Rusia, Jepang, India, dan Indonesia.
Mengingat arti penting dan strategis Asia-Afrika sebagai salah satu poros kekuatan ekonomi
dunia yang memiliki potensi besar, isu kerja sama ekonomi dan kemitraan strategis negara
Asia-Afrika menjadi sangat relevan di tengah ekonomi dunia yang masih melambat. Asia-
Afrika perlu dipandang sebagai kawasan yang memiliki peluang besar menjadi mesin
ekonomi dunia mengingat kekuatan ekonomi beberapa negara Asia-Afrika saat ini mulai
menunjukkan kinerja yang menggembirakan.
Dari sisi besaran PDB, 5 dari 10 negara dengan PDB tertinggi tahun 2013 adalah negara-
negara Asia-Afrika (China, Rusia, Jepang, India, dan Indonesia). Atau bagaimana industri
manufaktur China, Korea Selatan atau India kini menjadi pusat basis produksi tidak hanya
regional, melainkan juga global yang mampu berkompetisi dengan produk Amerika dan
Eropa.
***
Bagi Indonesia, peningkatan kerja sama ekonomi Asia-Afrika merupakan peluang yang
menjanjikan dalam mendorong berbagai program pembangunan ekonomi, antara lain
pembangunan infrastruktur, kerja sama perdagangan, kerja sama industri, atau pembangunan
ekonomi pariwisata. Di sektor infrastruktur, tentunya pertemuan KAA kali ini dapat menjadi
salah satu media tidak hanya diplomasi, tetapi juga ekonomi untuk membangun kemitraan
strategis. Terutama ketika saat ini Indonesia tengah gencar-gencarnya membangun
infrastruktur dan penguatan industri nasional.
Walaupun daya saing infrastruktur saat ini menunjukkan peringkat yang membaik
dibandingkan tahun sebelumnya (peringkat ke-92 tahun 2012 menjadi peringkat ke-72 di
2014), tetapi kebutuhan pembangunan infrastruktur untuk mencapai titik optimal masih
sangatlah besar. Di sisi lain, anggaran belanja negara relatif terbatas sehingga sumber-sumber
pembiayaan pembangunan infrastruktur yang lain menjadi kemutlakan untuk mendorong
agresivitas pembangunan infrastruktur.
118
Dari aspek kerja sama perdagangan, Asia-Afrika yang merefleksikan 75% populasi dunia
merupakan peluang pasar yang menjanjikan bagi produk-produk Indonesia. Pasar Asia-
Afrika dapat menjadi pilar kekuatan perdagangan Indonesia mengingat adanya penurunan
permintaan dari negara-negara pasar tradisional saat ini. Menggarap pasar Asia-Afrika
tentunya sekaligus menopang target kerja sama dan kemitraan strategis di bidang ekonomi.
Contoh ekspor industri furnitur atau mebel tujuan negara-negara Asia-Afrika yang dalam
beberapa tahun ini terus menunjukkan pertumbuhan. Bahkan menurut catatan Kementerian
Perdagangan, ekspor Indonesia ke Afrika meningkat 40-50%.
Di sisi kerja sama industri, negara-negara seperti Jepang, China, Rusia, India, Korea Selatan
merupakan mitra strategis untuk mendorong produktivitas industri dalam negeri. Banyak hal
yang perlu dipelajari dari negara-negara tersebut, khususnya dalam pengembangan industri
dalam negeri, terutama aspek penataan rantai nilai industri dalam negeri. Sektor industri
merupakan manifestasi sektor ekonomi bernilai tambah yang menjadi salah satu solusi untuk
mendorong kinerja pembangunan ekonomi nasional yang selama ini masih sangat tergantung
pada sektor komoditas.
Di sektor pariwisata, kawasan Asia-Afrika yang mewakili 75% penduduk dunia dengan 1
miliar orang di antaranya merupakan kelas menengah adalah peluang bagi sektor pariwisata
nasional. Tentunya pasar potensial ini diharapkan dapat memberi peran yang besar bagi
pengembangan kepariwisataan Indonesia sekaligus mendorong sektor ini menjadi salah satu
mesin ekonomi nasional.
Dengan penyelenggaraan KAA di Bandung dan Jakarta ini, Indonesia perlu mengoptimalkan
semua peluang pengembangan kerja sama ekonomi yang strategis untuk mewujudkan cita-
cita pembangunan nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
PROF FIRMANZAH PhD
Rektor Paramadina dan Guru Besar FEUI
119
Menuju Poros Maritim Dunia
Koran SINDO
24 Maret 2015
Salah satu gagasan cemerlang Presiden Jokowi yang mendapat dukungan publik dengan
penuh antusiasme adalah tekadnya untuk mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim
Dunia (PMD). Yakni, Indonesia yang maju, sejahtera, dan berdaulat berbasis pada ekonomi
kelautan, hankam, dan budaya maritim. Lebih dari itu, Indonesia kelak diharapkan menjadi
rujukan bagi bangsa-bangsa lain di dunia dalam berbagai bidang kelautan, mulai dari
ekonomi, iptek, hankam, sampai cara menata pembangunan kelautan (ocean governance).
Visi Presiden ke-7 RI itu sangat tepat dan beralasan. Pasalnya, Indonesia merupakan negara
kepulauan terbesar di dunia yang tersusun atas lebih dari 17.000 pulau, dirangkai oleh 95.181
km garis pantai (terpanjang kedua setelah Kanada), dan sekitar 70% wilayahnya berupa laut.
Selain itu, posisi geoekonomi dan geopolitik Indonesia juga sangat strategis, di mana 45%
dari seluruh komoditas dan produk yang diperdagangkan di dunia dengan nilai USD1.500
triliun/tahun dikapalkan melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia/ALKI (UNCTAD, 2012).
Konstruksi PMD
Mengacu pada visi Presiden Jokowi tentang PMD di atas, pada dasarnya ada lima kelompok
kebijakan dan program utama yang mesti dikerjakan: (1) penegakan kedaulatan NKRI,
termasuk penuntasan batas wilayah laut, pemberantasan illegal fishing, dan berbagai kegiatan
ilegal lainnya; (2) pembangunan ekonomi (pemanfaatan SDA dan Jasling) kelautan; (3)
memelihara kelestarian sumber daya kelautan; (4) pengembangan kapasitas iptek kelautan;
dan (5) peningkatan budaya maritim bangsa.
Untuk mengakselerasi pembangunan kelautan secara lebih produktif, efisien, inklusif, dan
ramah lingkungan, selain Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang sudah ada sejak
awal pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid (September 1999) dan dibesarkan oleh
Presiden Megawati Soekarnoputri melalui program Gerbang Mina Bahari (Gerakan Nasional
Pembangunan Kelautan), Presiden Jokowi juga membentuk Kementerian Koordinator
Maritim.
Dalam hal penegakan kedaulatan dan pelestarian, pemerintah telah melaksanakan sejumlah
kebijakan yang cukup bagus antara lain pemberantasan illegal fishing, moratorium kapal ikan
eks asing, larangan alih muatan ikan di laut (transshipment), larangan penggunaan alat
penangkapan ikan yang digunakan oleh mayoritas nelayan kita, dan larangan menangkap
lobster, rajungan, dan kepiting ukuran tertentu.
120
Sayangnya, tidak didahului dengan sosialisasi dan penyiapan alternatif solusinya sehingga
kebijakan tersebut justru menyulut demonstrasi nelayan dan pembudi daya ikan di mana-
mana, mengakibatkan puluhan ribu nelayan dan pembudi daya menganggur, sentra-sentra
industri pengolahan ikan (seperti Belawan, Muara Baru, Benoa, dan Bitung) mengalami mati
suri, ribuan ton kerapu dan kepiting soka tidak terjual dan mati membusuk, dan sejumlah
dampak negatif lain.
Sementara potensi ekonomi kelautan yang luar biasa besar antara lain perikanan budi daya,
industri bioteknologi kelautan, garam, pariwisata bahari, energi terbarukan dari laut (seperti
arus, gelombang, dan ocean thermal energy conversion/OTEC), industri dan jasa maritim,
dan sumber daya wilayah pulau-pulau kecil belum mendapat perhatian memadai.
Program ekonomi kelautan yang sekarang dikerjakan pemerintah baru pembangunan
pelabuhan dan infrastruktur maritim lainnya, yang sifatnya mengeluarkan uang (APBN),
bukan menghasilkan pendapatan negara. Padahal, membangun pelabuhan tanpa dibarengi
dengan mengembangkan perekonomian wilayah hanya akan mengakibatkan pelabuhan itu
mubazir alias mangkrak.
Program Ekonomi Biru
Sebab itu, mulai sekarang pemerintah bersinergi dengan swasta dan masyarakat harus
mengembangkan ekonomi kelautan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi
(di atas 7%/tahun), berkualitas (menyerap banyak tenaga kerja dan menyejahterakan rakyat),
dan ramah lingkungan secara berkelanjutan (sustainable).
Dengan kata lain, program pelestarian dan penegakan kedaulatan tidak seharusnya
mematikan ekonomi atau dipertentangkan dengan upaya kita untuk memacu pertumbuhan
ekonomi berkualitas, perluasan lapangan kerja, dan peningkatan daya saing bangsa.
Keduanya bisa disinergikan, saling melengkapi melalui aplikasi ekonomi biru (blue
economy). Sebuah sistem ekonomi berbasis inovasi yang memanfaatkan SDA secara
produktif dan efisien, tidak menghasilkan limbah dan emisi; dan pada saat yang sama mampu
menciptakan lapangan kerja, menghasilkan pertumbuhan ekonomi berkualitas, dan tidak
memerlukan biaya tinggi (Pauli, 2010).
Pada tataran praksis, paradigma ekonomi biru dalam konteks pembangunan kelautan
Indonesia meliputi sejumlah kebijakan dan program berikut. Pertama, penyusunan dan
implementasi rencana tata ruang wilayah (RTRW) darat-pesisir-laut secara terpadu, yang
mengalokasikan sedikitnya 30% dari total ruang wilayah pesisir dan laut untuk kawasan
lindung, dan maksimal 70% sisanya untuk kawasan pembangunan. Di dalam kawasan
pembangunan inilah kita boleh mengembangkan kawasan pertambakan udang, industri,
pariwisata, pertambangan, permukiman, pelabuhan, dan sektor pembangunan lainnya sesuai
daya dukung wilayah.
Kedua, revitalisasi (peningkatan produktivitas, efisiensi, dan sustainability) seluruh usaha
121
ekonomi kelautan yang sudah berjalan (existing marine economic sectors), mulai dari usaha
perikanan tangkap, perikanan budi daya, pariwisata bahari, perhubungan laut, sampai
galangan kapal. Selain itu, kita mesti mengembangkan usaha-usaha ekonomi kelautan di
kawasan pesisir, pulau kecil, dan laut yang belum terbangun.
Ketiga, memperbaiki dan mengembangkan konektivitas maritim yang meliputi: (1) akselerasi
pembangunan tol laut (pelabuhan dan kapal laut), dan (2) jaringan informasi dan
telekomunikasi.
Keempat, rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut yang telah rusak, pengendalian pencemaran,
konservasi keanekaragaman hayati, dan pengayaan stok ikan dan biota laut lainnya untuk
memelihara dan meningkatkan daya dukung serta kelestarian SDA dan lingkungan pesisir
dan lautan.
Kelima, mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global, tsunami, dan bencana alam
lainnya. Keenam, peningkatan kualitas dan jumlah SDM berbagai bidang kelautan sesuai
kebutuhan, baik melalui pendidikan formal maupun non-formal (pelatihan dan penyuluhan).
Ketujuh, peningkatan penelitian dan pengembangan (R&D) supaya kita mampu menguasai,
menghasilkan, dan menerapkan inovasi teknologi dan non-teknologi (seperti business models
dan strategi pemasaran) untuk meningkatkan produktivitas, daya saing, dan keuntungan
ekonomi kelautan nasional secara berkelanjutan.
Program Quick Wins
Tujuh kebijakan dan program di atas bersifat jangka panjang, yang harus dikerjakan sejak
sekarang dan berkesinambungan. Namun, hasilnya baru bisa dinikmati setelah beberapa
tahun ke depan. Sebab itu, kita mesti mengembangkan program-program pembangunan
ekonomi kelautan yang hasilnya dapat kita rasakan dalam satu atau paling lambat lima tahun
mendatang (quick wins).
Pertama, pengembangan 5.000 unit armada kapal ikan nasional berukuran di atas 50 GT
dengan alat tangkap yang efisien dan ramah lingkungan untuk memanfaatkan sumber ikan di
wilayah-wilayah laut yang selama ini menjadi ajang pencurian ikan (illegal fishing) oleh
nelayan asing atau yang masih underfishing seperti Laut Arafura, Laut Banda, Laut Sulawesi,
Teluk Tomini, Laut Natuna, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Samudera Hindia dan
Pasifik.
Kapal-kapal ikan dan nelayan yang selama ini beroperasi di wilayah laut yang telah
overfishing seperti perairan pantura dan perairan pantai lainnya harus dilatih supaya mampu
beroperasi di wilayah-wilayah laut yang masih underfishing atau laut lepas (oceangoing
fisheries). Pemerintah juga harus menjamin pasar bagi seluruh ikan hasil tangkapan nelayan
dengan harga sesuai nilai keekonomian (”Bulog Perikanan”). Revitalisasi semua pelabuhan
perikanan yang ada, dan pembangunan pelabuhan perikanan baru sesuai kebutuhan.
122
Kedua, revitalisasi dan pengembangan empat kluster yaitu: budi daya laut (mariculture),
tambak udang Vanammei, budi daya tambak ikan bandeng, kakap, nila salin, kepiting soka,
dan lainnya dan budi daya rumput laut (Gracillaria spp). Saat ini total luas perairan laut
Indonesia yang potensial (cocok) untuk usaha budi daya laut sekitar 24 juta ha. Sedangkan
total luas lahan pesisir yang potensial untuk usaha budi daya tambak (perairan payau) adalah
3 juta ha. Dengan empat kluster usaha budi daya laut dan tambak tersebut, setiap tahunnya
akan dihasilkan rata-rata sekitar 20 juta ton produk perikanan, USD80 miliar nilai ekonomi,
dan lapangan kerja untuk 9 juta orang.
Ketiga, dengan bahan baku dari usaha perikanan tangkap dan perikanan budi daya di atas,
kita akan mampu merevitalisasi industri pengolahan hasil perikanan yang saat ini hanya
sekitar 50% yang masih beroperasi dari total kapasitas terpasang nasional. Lebih dari itu,
dengan bahan baku yang besar itu, kita pun bisa mengembangkan industri pengolahan hasil
perikanan di banyak lokasi, terutama di luar Jawa dan Bali.
Keempat, pengembangan industri bioteknologi kelautan yang meliputi: (1) genetic
engineering ramah lingkungan untuk menghasilkan bibit dan benih unggul; (2) industri pakan
ikan dan ternak berbasis micro algae; (3) ekstraksi senyawa bioaktif dari biota laut untuk
bahan baku industri makanan dan minuman, farmasi, kosmetika, dan lainnya; dan (4) industri
biofuel dari micro algae. Potensi ekonomi industri ini diperkirakan empat kali nilai ekonomi
industri teknologi informasi (Ministry of Maritime Affairs and Fisheries, Korsel, 2002).
Kelima, revitalisasi dan pengembangan pariwisata bahari dengan cara: (1) pembenahan objek
(destinasi) wisata yang ada dan mengembangkan destinasi yang baru; (2) pengembangan
jenis-jenis wisata bahari baru secara inovatif (product development); (3) peningkatan
aksesibilitas dari dan ke objek wisata melalui transportasi laut, darat maupun udara; (4)
pembenahan dan pembangunan infrastruktur dan sarana di dan sekitar lokasi wisata; (5)
peningkatan promosi dan pemasaran melalui berbagai media dan ekshibisi baik di dalam
maupun luar negeri; dan (6) peningkatan kualitas SDM pariwisata bahari dan kesadaran serta
perilaku masyarakat lokal supaya lebih kondusif dan menyenangkan para wisatawan
domestik dan mancanegara.
Keenam, revitalisasi dan pengembangan industri dan jasa maritim, khususnya: (1) industri
galangan kapal; (2) peralatan dan mesin perikanan (seperti jaring dan alat penangkapan ikan
lain, kincir air tambak, dan mesin pabrik industri pengolahan ikan); (3) peralatan dan mesin
untuk industri migas serta pertambangan mineral; (4) fibre optics dan kabel laut; (5)
perangkat lunak untuk manajemen pelabuhan dan transportasi laut; dan (6) perangkat lunak
untuk prediksi lokasi fishing grounds, cuaca, dan kondisi oseanografi.
Ketujuh, pembangunan 21 kawasan industri terpadu berkelas dunia (world class) dengan pola
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang inovatif, inklusif, dan ramah lingkungan di wilayah
pesisir bagian barat (Sabang, Kuala Tanjung, Teluk Bayur, Bengkulu, Batam, dan Lampung);
bagian tengah (Kalbar, Kalsel, Kaltim, dan Kaltara); dan bagian timur NKRI (NTB, NTT,
Sulsel, Sulbar, Sulteng, Sultra, Sulut, Maluku, Malut, Papua, dan Papua Barat).
123
Supaya segenap program pembangunan kelautan jangka panjang maupun quick wins di atas
dapat terealisir, pemerintah harus menyediakan skema kredit perbankan khusus dengan bunga
yang relatif murah dan persyaratan relatif lunak (bank maritim) seperti yang berlaku di sektor
industri kelapa sawit sejak Pemerintahan Orba sampai sekarang dan di negara-negara
lain. Selain itu, iklim investasi (seperti perizinan, pajak, ketenagakerjaan, dan keamanan
berusaha) serta kebijakan politik-ekonomi harus kondusif bagi tumbuh-kembangnya ekonomi
kelautan.
Dengan peta jalan pembangunan kelautan seperti di atas, dari saat ini sebagai negara
berpendapatan menengah bawah (GNP/kapita sebesar USD 5.000), insya Allah pada 2020
Indonesia akan menjadi negara berpendapatan menengah atas (GNP/ kapita sekitar
USD10.000), dan pada 2025 menjadi negara maritim yang besar, maju, adil-makmur,
berdaulat, serta sebagai Poros Maritim Dunia dengan GNP/ kapita di atas USD14.000.
PROF DR IR ROKHMIN DAHURI MS
Guru Besar Manajemen Pembangunan Pesisir dan Lautan IPB; Ketua DPP PDI Perjuangan
Bidang Maritim dan Perikanan
124
Distribusi Tertutup LPG Melon
Koran SINDO
25 Maret 2015
Sejak 1968 masyarakat Indonesia mulai mengenal liquefied petroleum gas (LPG) dengan
brand Elpiji yang dikeluarkan oleh Pertamina.
Awalnya LPG dipasarkan perusahaan pelat merah itu untuk memanfaatkan produk samping
dari hasil pengolahan minyak di kilang, sekaligus sebagai bahan bakar alternatif yang lebih
bersih untuk memasak selain minyak tanah. Seiring berjalannya waktu, LPG semakin disukai
karena sifatnya yang lebih praktis dan bersih. Selain itu jauh lebih cepat pemanasannya jika
dibandingkan dengan bahan bakar lainnya.
Dengan harga yang lebih tinggi dari minyak tanah, LPG merupakan bahan bakar yang
populer di kalangan masyarakat menengah ke atas. Sejak 2007 pemerintah menggulirkan
program Konversi Minyak Tanah ke LPG, dengan tujuan untuk mengubah pengguna minyak
tanah bersubsidi yang mayoritas merupakan kalangan masyarakat ekonomi lemah menjadi
pengguna LPG.
Dengan mengubah penggunaan minyak tanah bersubsidi menjadi LPG bersubsidi, pemerintah
memperhitungkan akan mendapatkan penghematan dari sisi subsidi, selain juga memberikan
akses kepada masyarakat ekonomi lemah terhadap bahan bakar yang lebih bersih. Hasil
pemeriksaan BPK RI, kebijakan pemerintah ini bisa menghemat hingga Rp16,2 triliun.
Agar lebih bisa menjangkau daya beli masyarakat kelas bawah, LPG untuk rumah tangga
yang selama ini dikemas dalam kemasan 12 kg dibuat dalam kemasan yang lebih kecil yaitu
3 kg. Dengan pemberian subsidi, harga jual dapat ditekan lebih rendah dan masyarakat
ekonomi lemah dapat memperolehnya dengan relatif mudah.
Kini, setelah delapan tahun program ini digulirkan, LPG subsidi 3 kg yang harusnya
diperuntukkan hanya oleh masyarakat kecil masih dijual bebas dengan harga yang terpaut
jauh lebih murah dari yang bobot 12 kg. Akibat lemahnya pengawasan distribusi dan
disparitas harga tersebut, migrasi penggunaan LPG 12 kg ke LPG subsidi 3 kg menjadi
meningkat tajam. LPG ”melon” 3 kg bisa dinikmati siapa saja, termasuk golongan kaya.
Dilema Subsidi
Pemberian subsidi merupakan kelanjutan strategi pembangunan yang mencakup tiga aspek.
Pertama, peningkatan pertumbuhan ekonomi (pro-growth budget). Kedua, perluasan
kesempatan kerja (pro-job budget). Ketiga, mempercepat penanggulangan kemiskinan (pro-
125
poor budget). Subsidi merupakan kebijakan yang dinilai efektif dalam meringankan beban
rakyat.
Secara umum, kebijakan subsidi mencakup dua jenis yaitu subsidi energi dan subsidi non-
energi. Subsidi energi terdiri atas: (1) subsidi bahan bakar minyak (BBM), (2) gas alam cair
(LPG), dan (3) bahan bakar nabati (BBN). Sedangkan subsidi non-energi cakupannya lebih
beragam yaitu terdiri atas: (1) subsidi pangan, (2) subsidi pupuk, (3) subsidi benih, (4) subsidi
untuk public service obligation (PSO), (5) subsidi bunga kredit program, dan subsidi pajak
ditanggung pemerintah (DTP).
Subsidi BBM adalah subsidi yang diberikan kepada masyarakat yang menggunakan
premium, minyak tanah, dan minyak solar. Subsidi LPG diberikan kepada masyarakat
pengguna kompor gas yang menggunakan LPG melon. Khusus subsidi LPG ini, Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) akan mendapat postur beban baru sebesar 28 triliun.
Kini budget itu harus naik jadi Rp35 triliun dalam APBN Perubahan 2015. Padahal di sisi
lain, pemerintahan Presiden Joko Widodo telah memotong drastis anggaran subsidi energi
dari Rp206,9 triliun menjadi Rp137,8 triliun dalam APBN-P 2015. Penurunan drastis
anggaran subsidi energi berasal dari anggaran subsidi BBM, LPG, dan bahan bakar nabati
(BBN) yang tercatat anjlok Rp211,3 triliun. Dari sebesar Rp276 triliun di RAPBN 2015
menjadi Rp64,7 triliun di APBN-P 2015.
Kondisi tersebut sebenarnya tidak baik untuk Indonesia. Saat ini di Jakarta harga LPG 3 kg
sebesar Rp16.000 per tabung atau sekitar Rp5.300 per kg. Sementara harga LPG 12 kg
mencapai Rp129.000 atau Rp10.750 per kg. Terdapat selisih harga yang tinggi di antara dua
produk tersebut. Akibat tingginya disparitas harga tersebut, tingkat konsumsi LPG 3 kg pun
terus meningkat. Pada 2014 konsumsi LPG melon mencapai 5,6 juta metrik ton. Jumlah ini
meningkat lebih dari tiga kali lipat dibandingkan pada 2009 yang konsumsinya hanya 1,76
metrik ton. Konsumsi LPG 12 kg relatif tidak berubah di kisaran 900.000 sampai 1 juta
metrik ton per tahun.
Bila migrasi LPG ini terus terjadi, subsidi yang seharusnya diberikan masyarakat kelas bawah
pengguna LPG 3 kg semakin melenceng dari sasaran. Subsidi LPG melon bisa menjadi
”ancaman” bagi keuangan Indonesia. Sudah saatnya pemerintah berupaya membatasi melalui
regulasi dan sistem distribusi yang jelas.
Distribusi Tertutup
Mengatasi dilema subsidi LPG melon tersebut, pemerintah sebaiknya mempersiapkan
program mekanisme distribusi tertutup. Tujuan dari penyaluran secara tertutup ini adalah
penyaluran LPG melon tepat sasaran kepada keluarga kurang mampu dan usaha mikro.
Pemerintah sebaiknya segera merealisasikan itu. Ini diperlukan untuk memberi kepastian
kepada masyarakat bahwa pengguna LPG melon tidak akan mengalami kelangkaan karena
126
disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak berhak.
Menurut Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2009,
Pendistribusian Tertutup adalah sebuah sistem pendistribusian LPG tertentu untuk rumah
tangga atau usaha mikro yang menggunakan LPG tertentu yang terdaftar menggunakan kartu
kendali.
Kartu kendali ini tanda pengenal resmi yang diberikan kepada rumah tangga dan usaha mikro
yang menggunakan LPG tertentu sebagai alat pengawasan dalam pendistribusian LPG
tertentu. Kartu pengendalian tersebut bisa menggunakan kartu tanda penduduk elektronik (e-
KTP) atau kartu keluarga sejahtera (KKS) yang diterbitkan pemerintah di bawah koordinasi
menko pembangunan manusia dan kebudayaan.
Untuk mengawal distribusi tertutup agar tidak dipermainkan oleh sekelompok pihak,
penegakan hukum (law enforcement) perlu dilengkapi melalui SK pemerintah daerah masing-
masing. Tanpa ada punishment yang kuat bagi yang melanggar mustahil sistem distribusi
tertutup bisa berjalan.
Sistem ini juga bisa beroperasi aman jika didukung kebijakan harga eceran tertinggi (HET)
yang kondusif untuk mendorong suasana bisnis yang sehat. Penentuan HET sebaiknya tidak
pada level agen, namun pada titik pengecer sehingga meminimalkan permainan harga dari
agen sampai konsumen akhir.
Disparitas harga adalah kunci kemelut LPG. Semakin lebar kesenjangan, para spekulan
makin berpesta dengan mempermainkan stok dan harga. Potensi kriminal lain adalah
pengoplosan isi LPG melon dengan tabung biru, lantas dijual dengan harga non-subsidi.
Pemerintah harus berani mengambil kebijakan seperti yang dilakukan pada bahan bakar
minyak. Subsidi BBM yang bertahun-tahun membebani anggaran negara menjadi lebih
longgar sejak diberlakukan mekanisme subsidi tetap. Kebijakan ini pula yang sekarang
diperlukan untuk komoditas LPG. Khusus terhadap LPG melon harus menggunakan
mekanisme distribusi tertutup. Kita tunggu.
ALI MASYKUR MUSA
Ketua Umum PP Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
127
Warisan Kepemimpinan Model Singapura
Koran SINDO
26 Maret 2015
Wafatnya Lee Kuan Yew (LKY), Bapak Singapura, Senin dini hari lalu mendapat perhatian
dunia. Paling tidak ada dua hal yang menyebabkannya.
Pertama, faktor pribadi LKY yang dinilai sangat luar biasa dalam mentransformasikan
Singapura dari negara seukuran sebuah kota yang hampir tidak dikenal dunia pada tahun
1960-an hingga masuk menjadi jajaran elite negara di percaturan internasional saat ini.
Kedua, menyangkut masa depan Singapura setelah wafatnya LKY dan relevansinya bagi
negara-negara lain yang sedang membangun, termasuk Indonesia.
Model Pembangunan
Dalam literatur tentang keberhasilan pembangunan di negara-negara Asia Timur dikenal
istilah Keajaiban Asia Timur (East Asian Miracle). Singapura menjadi satu dari empat naga
Asia yang sukses menggeliat selain Korea Selatan, Taiwan, dan Hong Kong.
Di antara berbagai pendekatan yang ada, konsep negara pembangunan (developmental state)
banyak disebut mampu menjelaskan keberhasilan empat naga Asia. Konsep negara
pembangunan ini pada intinya mengedepankan intervensi negara secara terstruktur dalam
sendi-sendi ekonomi, mengatur regulasi perekonomian, menentukan target industri unggulan,
termasuk mengeluarkan kebijakan fiskal dan moneter yang mendukung (favorable) bagi
pelaku industri. Dampaknya, bisa ditebak, kinerja ekonomi yang luar biasa.
Namun, konsep ini juga menuai kritik. Kuatnya intervensi negara sering menyebabkan
masyarakat lemah tak berdaya menghadapi rezim yang berkuasa. Buku Ekonomi Politik Asia
Timur (Wan, 2008) menyebutkan Singapura menjadi satu-satunya negara Asia yang
berpendapatan tinggi (high income economies) yang masuk kategori demokrasi otoritarian
(authoritarian democracy).
Sementara empat negara lain, Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan menjadi negara demokrasi
yang matang (consolidated democracy) serta Hong Kong yang di bawah pengaturan
administrasi khusus. Fakta ini menunjukkan bagaimana hubungan antara keberhasilan
pembangunan ekonomi dengan perubahan politik (rezim kekuasaan) di suatu negara. Hal
terakhir ini yang selalu menjadi perdebatan sejauh mana keefektifan konsep negara
pembangunan tersebut.
Warisan Kepemimpinan
128
Dalam khazanah bisnis terdapat cara pandang tentang kepemimpinan yang popular dengan
sebutan Interactional Framework (Hughes, Ginnet, Curphy, 2005). Pemikiran ini merupakan
pengembangan dari pendekatan kepemimpinan yang dikemukakan oleh Hollander (1978).
Menurut pandangan ini, kepemimpinan merupakan hasil interaksi antara pemimpin (leader),
pengikut (follower) dan situasi (situation).
Kepemimpinan merupakan proses interaksi dinamis antara pemimpin dan pengikut yang
berlangsung dalam suatu situasi atau lingkungan tertentu. Dengan demikian, seorang
pemimpin yang berhasil tidak dapat ditentukan semata-mata oleh pemikiran visionernya,
karisma yang kuat, memiliki penampilan yang menarik, keahlian, dan faktor-faktor
ideosinkretik lain. Seorang pemimpin juga bergantung pada seberapa loyal, komitmen dan
kepercayaan (trust) pengikut kepada pemimpinnya.
Selain itu, situasi menempati peran yang tidak kalah penting. Situasi dapat diartikan dari
sebuah kondisi yang tercipta karena penugasan kelompok kecil dalam organisasi, situasi
dalam birokrasi, hingga konteks sosial, politik, ekonomi, dan keamanan dalam suatu negara.
Bila kita menggunakan pemikiran tersebut, kepemimpinan LKY memiliki karakteristiknya
sendiri yang unik, kontekstual dan mungkin sulit direplikasikan pada konteks negara lain.
LKY seorang pribadi yang memiliki kualitas pemimpin kelas dunia dan pekerja keras hingga
akhir hayatnya.
Para pengikutnya dalam hal ini rakyat Singapura pun secara umum dapat dikatakan cukup
loyal, memiliki komitmen mendukung dan memiliki tingkat kepercayaan tinggi pada
pemimpinnya. Kurun waktu 1960an hingga 1990an merupakan sebuah situasi dan kondisi di
mana terjadi perubahan yang dinamis dari tingkat domestik, regional, maupun global.
Bila dikaitkan dengan model pembangunan di atas, model Singapura ini dapat dikategorikan
sebagai rezim demokrasi otoritarian. Dalam rezim ini cengkeraman kekuasaan politik
menjadi panglima dan digunakan untuk mengedepankan kepentingan ekonomi yang telah
ditetapkan oleh negara. Salah satu dampaknya adalah mengorbankan kebebasan sipil seperti
kurang menghormati hak asasi manusia, termasuk nilai-nilai demokrasi. Penggunaan hak-hak
sipil itu diatur secara ketat oleh negara.
Model kepemimpinan LKY ini ternyata banyak menginspirasi bahkan menjadi rujukan para
pemimpin di beberapa negara seperti Ukraina, Georgia, hingga Rusia. Walaupun antara
Singapura dan negara-negara Eropa timur memiliki perbedaan konteks yang cukup besar.
Kepemimpinan LKY yang unik, berkarakter visioner dan pekerja keras direduksi menjadi
sekedar pemerintahan yang kuat sehingga cenderung memunculkan ciri kediktatoran.
Relevansi
Kesuksesan LKY membangun Singapura menjadi salah satu dari deretan negara maju di
129
dunia menjadikannya sangat layak ditahbiskan sebagai Bapak Singapura. Setelah lengser
sebagai perdana menteri, kemudian menjabat menteri senior merupakan salah satu bukti
bahwa LKY berusaha menerapkan transisi yang smooth dan tidak menimbulkan riak-riak
yang berarti.
LKY sebagai figur yang menjadi panutan rakyat Singapura, bahkan memberikan inspirasi
bagi sebagian pemimpin dunia, saat ini sudah pergi. Tantangan Singapura saat ini adalah
apakah putera tertuanya, Lee Hsien Loong, mampu meneruskan leadership legacy LKY
ketika situasi pun telah berubah. Apalagi pengikut pun mulai berubah dengan semakin sadar
akan hak-hak sipil mereka.
Bagi Indonesia yang saat ini sedang mengedepankan kehadiran negara (intervensi negara) di
bidang-bidang kehidupan penting warga negara, tidak bisa begitu saja menggandakan model
Singapura. Indonesia memang memiliki pemimpin yang hebat dan dipuja oleh para
pengikutnya yang loyal. Namun, situasi di Indonesia saat ini sangat dinamis dan pengikutnya
pun kritis atas hak-hak sipil mereka. Sikap yang cenderung otoriter tentu tidak bisa
diterapkan begitu saja. Akankah muncul model kepemimpinan Jokowi?
TIRTA N MURSITAMA, PhD
Guru Besar Bisnis Internasional, Departemen Hubungan Internasional Binus University
130
Lee
Koran SINDO
26 Maret 2015
”Bahkan dari ranjang saya, ketika Anda ingin memasukkan jasad ini ke liang lahad, tetapi
saya merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan Singapura, saya akan bangun. Mereka
yang percaya bahwa setelah saya meninggalkan pemerintahan, meninggalkan posisi saya
sebagai Perdana Menteri, saya akan pensiun secara permanen, harus benar-benar
memeriksakan kepalanya.”
Anda pasti tahu siapa yang mengucapkan kalimat itu. Dia adalah Lee Kuan Yew. Kalimat itu
ia ucapkan pada 1988, dua tahun sebelum Lee mengundurkan diri dari posisinya sebagai
Perdana Menteri Singapura dan menyerahkan ke Goh Chok Tong. Lalu Goh Chok Tong yang
orang bilang sebagai perdana menteri transisi, kemudian menyerahkan posisinya kepada anak
sulung Lee, Lee Hsien Loong atau BG Lee.
Senin dini hari, 23 Maret 2015, Lee meninggal dunia pada usia 91 tahun setelah sekian lama
dirawat akibat menderita menyakit pneumonia. Singapura, juga kita, ikut berduka.
Kendali Penuh
Lee adalah Singapura. Singapura adalah Lee. Dunia mengakuinya. Lee mampu membawa
Singapura, sebuah negara kecil menjadi negara yang bukan saja penting dalam kancah
perdagangan dunia, tetapi juga sangat strategis. Pelabuhan Singapura, menurut World
Shipping Council, saat ini menjadi pelabuhan tersibuk ke-2 di dunia dilihat dari volume
kargonya.
Kemudian saat ini sekitar 50% perdagangan minyak mentah dunia harus lewat Pelabuhan
Singapura dan ”memaksa” perusahaan-perusahaan minyak dunia membuka kantor
perwakilan di sana. Singapura saat ini menjadi pusat pertukaran mata uang asing terbesar ke-
4 di dunia setelah London, New York, dan Tokyo.
Badan-badan ekonomi dunia menilai Singapura, termasuk dalam peringkat 10 negara yang
perekonomiannya paling terbuka, paling kompetitif, dan paling inovatif di dunia. Ribuan
ekspatriat bekerja di sana. Untuk bersaing merebut pasar Asia, hampir semua perusahaan
multinasional membuka perwakilan di Singapura. Menurut catatan majalah bisnis Fortune,
ada 425 perusahaan Amerika Serikat beroperasi di sana. General Electric, salah satu yang
terbesar, bahkan punya tujuh pabrik perakitan di Singapura.
131
Hadirnya perusahaan-perusahaan besar dari berbagai negara, selain membuka ribuan
lapangan kerja, juga menciptakan proteksi alamiah. Banyak negara di luar sana
berkepentingan melindungi Singapura dari berbagai ancaman yang bisa mengguncang roda
perekonomian negeri itu. Perusahaan-perusahaan itu juga membayar pajak dalam jumlah
tidak sedikit.
Kombinasi semua faktor itu yang membuat Singapura menjadi salah satu negara terkaya di
dunia. Produk domestik bruto (PDB) per kapita Singapura sampai tahun lalu menempati
peringkat ke-3 teratas, setelah Qatar dan Luksemburg.
Bagaimana Lee bisa membuat the little red dot menjadi negara seperti itu? Padahal Singapura
sama sekali tak memiliki sumber daya alam, seperti minyak atau mineral. Dulu sebagian
wilayah Singapura bahkan berupa rawa-rawa. Satu-satunya anugerah yang dimiliki Singapura
hanya pelabuhan.
Kuncinya, menurut saya, adalah kendali. Lee mengontrol semua yang ada di
Singapura. Birokrasi, BUMN, perusahaan swasta, bahkan rumah tangga dan perilaku setiap
warga negaranya. Lee mengelola negara seperti dia mengurus perusahaan. Sebagai Perdana
Menteri, Lee adalah Chairman sekaligus CEO Singapore Inc. Fortune menyebut Lee sebagai
Autocratic Chief Executive dari Singapore Inc.
Di dalam korporasi, Anda tahu tak ada demokrasi. Anda boleh bersuara dan menyampaikan
pendapat, tetapi keputusan sepenuhnya ada di tangan CEO. Sebagai CEO Singapura, Lee
sangat peduli dengan imbal hasil investasi (rate of return) dari setiap penanam modal, baik
yang dilakukan investor maupun negara. Filosofi ekonomi Lee sangat sederhana. ”We do not
expect something for nothing,” begitu katanya.
Lee juga mengendalikan penuh upah buruh. Semua itu ia lakukan untuk membuat produk-
produk Singapura kompetitif di pasar internasional. Sama sekali tak ada toleransi untuk aksi-
aksi yang berpotensi mengganggu perekonomian negara itu.
Meski begitu, Lee tak pelit memberi subsidi. Buruh-buruh berpenghasilan rendah hanya
menghabiskan 13% dari gajinya untuk membayar sewa apartemen. Bahkan, sebagian dari
mereka berani mencicil apartemen.
Sebagai kepala rumah tangga Singapura, ia bahkan merasa berkepentingan mengendalikan
perilaku setiap orang yang ada di dalamnya. Lee melarang anak-anak muda Singapura
berambut gondrong. Ia menilai itu sebagai simbol perlawanan ala budaya barat dan
menganggapnya bisa merusak etos kerja. Lee mengakui kebijakannya itu. Katanya, ”Saya
sering dituduh mencampuri kehidupan pribadi masyarakat. Iya, saya akui. Saya mengatur
cara mereka bersuara, bagaimana mereka meludah, atau bahasa yang mereka pakai. Saya
memutuskan apa yang saya anggap benar. Saya lakukan itu tanpa penyesalan.”
132
Lee membela kebijakannya itu dengan mengatakan, ”Jika saya tidak melakukan itu, kita tak
akan berada di sini pada hari ini. Ekonomi kita tidak akan maju.” Sampai saat ini mungkin
Lee benar.
Beberapa Tanya
Singapura adalah Lee. Lee adalah Singapura. Kini pemegang penuh kendali atas Singapura
itu telah tiada. Sebagian orang mulai bertanya-tanya, seperti apa masa depan Singapura tanpa
Lee.
Dalam kolomnya di harian terbitan Malaysia, Tan Wah Piow menulis, ”With his dead, the
truth about the man will emerge.” Tan, kini pengacara, adalah mantan tokoh mahasiswa yang
pada 1976 diasingkan ke London. Pada 1987, Pemerintah Singapura menuduh Tan sebagai
dalang gerakan Marxist Conspiracy.
Lee juga memiliki banyak lawan politik. Dulu ia tak segan-segan memenjarakan
penentangnya tanpa prosedur hukum. Memang politik bukan menjadi isu penting di negara
itu. Saya pernah beberapa kali bertemu anak-anak muda Singapura. Mereka berujar dengan
mimik wajah jijik, ”Politics is rubbish.” Tapi, itu dulu ketika Lee masih sangat powerful
meski sudah bukan PM.
Kritik juga terarah pada keluarga Lee yang mengendalikan penuh bisnis-bisnis BUMN-nya.
Menantu Lee, Ho Ching yang juga istri PM Singapura saat ini, Lee Hsien Loong alias BG
Lee adalah CEO dan Direktur Eksekutif Temasek. Anda tahu, Temasek adalah holding
company dari semua BUMN Singapura.
Tapi bedanya, di Singapura mereka perform, negaranya maju, kendati semua individu tak
bisa hidup seenak hati seperti di sini. Semua orang dilarang bicara sembarangan, demo
sesuka hati, atau hidup bermalas-malasan. Semuanya produktif.
Selamat jalan Lee. Semoga Singapura baik-baik saja sehingga Anda tak perlu bangkit dari
kubur.
RHENALD KASALI
Pendiri Rumah Perubahan
@Rhenald_Kasali
133
Pelabuhan Cilamaya, untuk Siapa?
Koran SINDO
27 Maret 2015
Kunjungan Presiden Jokowi ke negeri Jepang dan Tiongkok kali ini menimbulkan harap-
harap cemas sejumlah kalangan, terutama berbagai kalangan yang memiliki kepentingan di
Cilamaya, Karawang.
Banyak pihak menduga bahwa salah satu agenda pembicaraan Jokowi di dua negara tersebut
berkaitan erat dengan keputusan pemerintah mengenai keberlangsungan rencana
pembangunan Pelabuhan Cilamaya. Sebagaimana diketahui, pada pemerintahan lalu, melalui
proyek MP3EI-nya, telah memproyeksikan pembangunan Pelabuhan Cilamaya sebagai
bagian dari program Metropolitan Priority Area (MPA).
Salah satu pertimbangan utama tentang pentingnya pembangunan Pelabuhan Cilamaya
adalah Pelabuhan Tanjung Priok dinilai tidak mencukupi lagi kapasitasnya alias
overcrowded. Selain itu, pembangunan Pelabuhan Cilamaya dan semua infrastruktur
pendukungnya seperti jalan tol juga diperkirakan dapat memangkas kepadatan lalu lintas di
Jakarta hingga 30%.
Awalnya rencana ini seakan dapat bergulir dengan mulus. Terlebih, kebutuhan dana
pembangunan yang mencapai Rp43,5 triliun ini telah menemukan solusinya dengan tidak
menggunakan dana APBN. Jalan keluar ini berupa kesediaan Pemerintah Jepang yang
antusias menyanggupi membangun pelabuhan dengan sistem build operate transfer (BOT).
Dengan kata lain, perusahaan Jepang akan membangun dan mengelola pelabuhan tersebut
dalam jangka waktu tertentu sebelum menjadi aset Indonesia.
Antusiasme Jepang ini didorong oleh rencana sejumlah pengusaha automotif Jepang seperti
Mitsubishi dan Yamaha untuk merelokasi perusahaan secara besar-besaran dari Thailand ke
Indonesia. Adapun kawasan industri yang diincar di antaranya di Cibitung, Cikarang berjarak
dekat dengan Cilamaya.
Dilihat sekilas, megaproyek ini demikian menggiurkan. Pemerintah cukup duduk manis,
investor datang sendiri, membangun pelabuhan, merelokasi pabrik-pabriknya ke Indonesia,
ekonomi tumbuh, dan pemerintah tinggal menghitung keuntungannya. Tetapi, seiring dengan
waktu, kompleksitas persoalan yang mengiringi rencana pembangunan Pelabuhan Cilamaya
ini muncul satu demi satu. Ini seolah mengonfirmasi bahwa pemilihan lokasi dari rencana
tersebut kurang menyeluruh.
Kompleksitas
134
Hingga kini pemerintahan Jokowi belum memberikan jawaban terang tentang kelanjutan
megaproyek ini meski memberikan isyarat akan melanjutkan. Pemerintah bahkan terkesan
tidak cukup terbuka menyosialisasikan rencananya. Untuk itu, selagi masih ada waktu, tepat
kiranya bila pemerintah menimbang ulang program warisan pemerintah terdahulu ini.
Sejak awal pemerintah sesungguhnya terlihat kurang memperhitungkan faktor-faktor lain
yang berpotensi menimbulkan kerugian yang lebih besar. Sekurangnya terdapat tiga faktor
yang saling terkait dan memiliki multiplier effect jika pembangunan Pelabuhan Cilamaya
dilanjutkan.
Pertama, keberadaan anjungan minyak Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java
(PHEONWJ) yang memiliki bentangan pipa-pipa minyak sepanjang 1.900 kilometer di lepas
pantai Karawang. Dengan jalur pipa berukuran 28 inci yang tergeletak di dasar laut dangkal,
kawasan ini jelas tidak mungkin dilewati kapal-kapal besar yang akan hilir mudik ke
Pelabuhan Cilamaya. Jika memaksa berlabuh, jangkar kapal bisa menghancurkan pipa-pipa
tersebut dengan risiko minyak bocor.
Bila fasilitas Pertamina ini dipindah, negara akan mengalami kerugian sebesar 40.000 barel
per hari dan pasokan gas 190 mmsfcd, selama proses pemindahan. Jumlah ini sangat
signifikan mengingat produksi minyak nasional hanya 840.000 barel per hari. Belum lagi,
bila PHE ONWJ terhenti, PLTGU Muara Karang akan ikut macet dan berdampak pada
pasokan listrik di Ibu Kota pun ikut macet. Opportunity lost dari PLN saja dapat mencapai
Rp5,5 miliar per hari.
Apalagi, bila pemerintah nekat menutup PHE ONWJ, kawasan yang memiliki cadangan
minyak terbukti sebesar 80 juta barel, P2 mencapai 80 juta barel, P3 mencapai 130 juta barel,
dan cadangan kontingensi 600 juta barel, memaksakan Pelabuhan Cilamaya dengan
mengorbankan PHE ONWJ sama dengan “air di tempayan dibuang, mengharap hujan dari
langit” (National Geographic Indonesia, Maret 2015).
Masih ada faktor ikutan lain yakni lenyapnya pasokan gas dari PHE ONWJ untuk Pupuk
Kujang yang menyuplai 600.000 ton pupuk urea subsidi setiap tahun untuk petani Jawa
Barat. Opportunity lost dari Pupuk Kujang saja dapat mencapai Rp6,1 miliar per hari.
Kedua, hancurnya ekonomi nelayan yang selama ini beroperasi di perairan utara Kabupaten
Karawang dan sekitarnya. Kawasan ini salah satu potensi terbesar rajungan yang hidup di
terumbu karang di lautan dangkal yang bisa dipastikan akan rusak diterjang kapal-kapal besar
yang menuju Pelabuhan Cilamaya. Ke manakah pemerintah hendak memindahkan belasan
ribu nelayan Karawang? Sebuah ironi dari semboyan Poros Maritim Dunia.
Ketiga, pertanian Karawang merupakan lumbung padi Jawa Barat. Bila Pelabuhan Cilamaya
dibangun, kita tidak bisa menghitungnya akan memengaruhi kawasan seluas 6 kilometer
persegi saja, tetapi akan segera diikuti konversi besar-besaran lahan pertanian menjadi
135
kawasan industri. Menurut perkiraan Oxfam, Pelabuhan Cilamaya sekurangnya akan
menyebabkan alih fungsi lahan pertanian seluas 600 hektare.
Saat ini ratusan hektare lahan pertanian di Karawang bahkan telah berpindah tangan ke para
spekulan. Jika ini diteruskan, lenyaplah produksi 300 ton padi per musim yang selama ini
menyangga pangan nasional. Di tengah upaya pemerintah mewujudkan kedaulatan pangan
nasional, apakah kerugian ini tidak dihitung?
Kepentingan Nasional
Mengacu pada kompleksitas persoalan di atas, terpampang dengan telanjang besarnya potensi
kerugian ekonomi, sosial, dan lingkungan yang dapat ditimbulkan oleh Pelabuhan Cilamaya.
Untuk itu, pemerintahan Jokowi-JK sebaiknya mempertimbangkan secara serius dan sejak
dini untuk mencari solusi yang benar-benar berisiko minimal, tetapi memiliki tujuan lebih
panjang.
Tentu saja, ini tidak mudah karena akan ada desakan dan tekanan berbagai pihak agar proyek
ini segera direalisasikan. Terutama berbagai kalangan yang telanjur menaburkan dana
investasi dalam bentuk pembelian lahan, spekulan tanah, pengembang kawasan industri,
maupun kalangan industri yang telah mendesain business plan-nya di kawasan Karawang.
Tetapi, pemerintahan Jokowi wajib menimbang kepentingan nasional yang lebih besar
daripada keuntungan jangka pendek yang berisiko besar.
Beberapa kalangan telah mengusulkan alternatif pemindahan pelabuhan ke Subang,
Indramayu, atau Cirebon. Alasannya, lokasi-lokasi ini terkait pembangkit listrik yang sudah
ada atau sedang direncanakan sehingga daya dukungnya terhadap pelabuhan akan lebih
memadai. Daerah lain juga diusulkan yakni dengan memindahkannya ke Jawa Tengah
dengan pertimbangan strategis untuk pemerataan pembangunan nasional.
Tetapi, akan lebih baik dan lebih adil jika kiranya pemerintahan tidak terburu-buru
mengambil keputusan. Apalagi jika keputusan itu dipengaruhi kepentingan-kepentingan yang
bukan bersifat national interest.
Sj ARIFIN
Direktur Eksekutif Centrum Advisory Group
136
Membangun Sektor Pelayaran
Koran SINDO
28 Maret 2015
Kita patut mengapresiasi Pemerintah Republik Indonesia di bawah pimpinan Presiden Joko
Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla yang memberikan perhatian kepada sektor maritim
melalui program-program dalam rangka Tol Laut maupun untuk mewujudkan Indonesia
sebagai Poros Maritim Dunia.
Terlepas dari ada pro dan kontra, program tersebut memberikan harapan bagi sektor-sektor
yang terkait kemaritiman, termasuk sektor pelayaran untuk lebih berkembang dan berdaya
saing tinggi. Konsep tersebut akan memperkuat pencapaian selama 10 tahun terakhir sejak
Indonesia mempertegas kembali pelaksanaan haknya untuk menerapkan asas cabotage bagi
angkutan dalam negerinya.
Sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, sudah waktunya bagi bangsa
Indonesia untuk mengembalikan kejayaan maritim nasional. ”Samudera, laut, selat, dan teluk
adalah masa depan peradaban kita,” demikian kalimat yang disampaikan Presiden Joko
Widodo saat pidato pertama kali sebagai Presiden Republik Indonesia.
Memang masih perlu kajian sejarah kapan Indonesia pernah mencapai kejayaan sebagai
bangsa maritim sehingga kita tergerak dan berkeinginan untuk mengembalikan kejayaan
tersebut. Tetapi, di bidang transportasi laut, kita pernah memiliki catatan sejarah yang manis
di mana pada 1960-an hingga 1980-an, pelayaran niaga nasional menguasai kegiatan
angkutan laut dalam negeri dan konon menguasai lebih dari 70% muatan angkutan laut
ekspor-impor.
Karena itu, memberikan perhatian yang lebih besar kepada sektor kemaritiman, khususnya di
bidang angkutan laut, merupakan hal yang sangat fundamental menilik Indonesia sebagai
bangsa maritim yang memiliki potensi ekonomi strategis yang sangat besar untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Modal Penting
Kita mencatat bahwa memasuki medio tahun 1980-an, sektor pelayaran nasional mulai
mengalami kemunduran. Puncaknya pada 2005 saat Indonesia benar-benar menjadi penonton
di negerinya sendiri. Indikator kemunduran itu sebanyak 46% angkutan laut domestik dan
96% angkutan ekspor-impor Indonesia dikuasai perusahaan dan kapal-kapal luar negeri.
Entah berapa kerugian ekonomi yang harus ditanggung bangsa ini selama dua dasawarsa
137
tersebut sebelum akhirnya Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan
Industri Pelayaran Nasional terbit. Yang jelas, selama pelayaran terpuruk, biaya ekonomi dan
logistik menjadi sangat mahal, bahkan imbasnya masih dirasakan masyarakat Indonesia
hingga sekarang. Mahalnya biaya logistik yang saat ini mencapai 23,6% terhadap produk
domestik bruto (PDB) sehingga menjadi salah satu yang tertinggi di kawasan ASEAN serta
indeks logistic performance index (LPI) yang buruk dibandingkan 2007 merupakan sisa dari
masalah kondisi angkutan laut yang terpuruk sejak 1980-an tersebut.
Hanya, saat ini Indonesia telah memiliki modal untuk mengembalikan kejayaan maritim
nasional, khususnya di bidang angkutan laut. Modal utamanya adalah success story asas
cabotage yang berhasil dilaksanakan sejak 2005. Konsistensi Indonesia dalam menerapkan
asas cabotage selama ini mampu menarik investasi untuk pembelian kapal hingga lebih dari
USD18 miliar.
Tidak heran jika sekarang, pelayaran niaga nasional sudah mendekati sasaran utama untuk
menjadi tuan rumah di negerinya sendiri dengan kemampuan mengangkut seluruh kargo
domestik seperti yang pernah terjadi pada era 1960-an hingga 1980-an meski harus diakui,
kapal niaga nasional belum bisa banyak berbicara pada kegiatan angkutan ekspor-impor
Indonesia.
Kapal-kapal nasional juga sudah banyak ragam dan tipenya. Terdapat ratusan kapal-kapal
untuk kebutuhan angkutan domestik seperti kapal jenis general cargo, kapal curah kering,
kapal curah cair, kapal penumpang dan RORO, maupun kapal-kapal peti kemas yang
berkapasitas 1.500 TEUs. Populasi dan kapasitas kapal untuk angkutan antarpelabuhan dan
pulau ini akan terus meningkat sejalan pertumbuhan muatan dan ketersediaan infrastruktur
penunjangnya.
Di sisi lain, pelayaran nasional juga sudah membeli kapal-kapal yang memerlukan investasi
sangat mahal serta berteknologi mutakhir seperti kapal jenis platform service vessel, anchor
handling tug and supply di atas 12.000 horse power, very large crude carrier, very large gas
carrier, kapal-kapal untuk kegiatan pengeboran minyak dan gas di laut, kapal penunjang
kegiatan konstruksi lepas pantai maupun kapal untuk kegiatan survei minyak dan gas bumi.
Kemajuan ini seharusnya sudah dirasakan oleh masyarakat Indonesia melalui tarif angkutan
laut yang semakin kompetitif, jaringan pelayaran yang semakin luas, dan disparitas harga
bahan pokok yang dapat ditekan. Hingga kini tarif angkutan laut masih terkesan mahal,
banyak faktor pemicunya seperti tarif kepelabuhanan, biaya bongkar muat, waktu tunggu
kapal, pajak-pajak yang tidak lazim di dunia internasional hingga kesenjangan muatan
antarpelabuhan.
Langkah Cerdas
Apa yang sudah dicapai pelayaran saat ini bisa dikatakan sebagai satu langkah penting dalam
mewujudkan visi Indonesia sebagai bangsa maritim dalam perspektif angkutan laut. Langkah
138
berikutnya bagaimana pelayaran nasional dapat berbicara banyak di kancah internasional
yakni memperbesar peran pada kegiatan angkutan ekspor-impor Indonesia.
Di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019, Kabinet Kerja di
bawah pimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla telah menetapkan
target tinggi di bidang pelayaran seperti populasi kapal niaga nasional meningkat menjadi
21.111 unit pada 2019 dan jumlah perusahaan pelayaran mencapai 4.060 unit.
Jika merujuk pada data terakhir perkembangan populasi kapal nasional hingga Juli 2014,
selama lima tahun ke depan akan ada tambahan kapal nasional sebanyak 7.075 unit dan
perusahaan baru di bidang pelayaran sebanyak 980 unit perusahaan. Kondisi ini cukup
menggembirakan, tetapi juga mengkhawatirkan mengingat saat ini saja setidaknya 30%
armada niaga nasional menganggur karena kesulitan muatan.
Salah satu solusi agar RPJM di bidang perkapalan tercapai, bagaimana pemerintah dapat
mendorong meningkatkan pangsa pasar angkutan kapal niaga nasional pada kegiatan
angkutan ekspor-impor Indonesia mengingat tidak kurang dari 91% kegiatan ekspor-impor
komoditas Indonesia masih dikuasai kapal-kapal luar negeri.
Sejak 2010 organisasi pelayaran nasional INSA telah mendorong program angkutan ekspor-
impor Indonesia menggunakan kapal nasional. Program ini diusulkan sebagai bagian dari
strategi lanjutan pemberdayaan industri pelayaran nasional. Kementerian Perhubungan telah
memberikan dukungannya untuk mewujudkannya, tetapi program ini melibatkan kementerian
lain.
Pada 2013 Kementerian Perdagangan telah merespons program tersebut dengan
merencanakan untuk mengubah term of trade ekspor dari free on board (FOB) menjadi coast,
insurance, and freight (CIF) hingga sejak awal 2014 lahir dan diberlakukanlah kebijakan
ekspor dari Indonesia wajib menggunakan sistem pencatatan term CIF. Tetapi, pencapaian
tersebut belum mampu mendorong pemilik barang atau eksportir dan importir untuk beralih
dari menggunakan kapal-kapal asing menjadi kapal-kapal berbendera Merah Putih. Akibat
itu, hingga kini potensi ekonomi, devisa, dan penerimaan negara dari ongkos angkut mengalir
deras ke luar negeri, padahal nilainya berkisar Rp80 triliun hingga Rp120 triliun per tahun.
Kita tidak bisa memungkiri bahwa kemajuan industri pelayaran yang dicapai akan
memberikan multiplier effect yang sangat besar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara,
baik terhadap aspek ekonomi, kedaulatan, sosial budaya, politik maupun pertahanan dan
keamanan. Dengan sendirinya Indonesia telah kembali mencapai kejayaan di bidang maritim,
khususnya di bidang angkutan laut.
Karena itu, kita berharap kepada Kabinet Kerja yang memiliki program andalan Tol Laut dan
Poros Maritim dapat memelopori langkah cerdas dengan mempercepat penggunaan kapal
berbendera Merah Putih pada kegiatan angkutan ekspor-impor Indonesia. Langkah ini
139
penting melihat besarnya potensi ekonomi, penerimaan negara dan devisa yang selama
bertahun-tahun lamanya dibiarkan menguap ke luar negeri.
CARMELITA HARTOTO
Ketua Umum Indonesian National Shipowners Association (INSA); Wakil Ketua Umum
Kadin Indonesia Bidang Logistik/Bendahara
140
Defisit Transaksi Berjalan dan Stabilitas Ekonomi
Koran SINDO
30 Maret 2015
Turbulensi nilai tukar rupiah kini mereda meski belum mengalami penguatan secara
signifikan.
Melemahnya nilai tukar rupiah memang tidak sendirian mengingat mata uang dolar AS
sedang menguat terhadap sejumlah mata uang dunia. Turbulensi rupiah di antaranya dipicu
rilis data oleh The Fed mengenai membaiknya data ekonomi Amerika Serikat hingga
spekulasi mengenai kenaikan suku bunga The Fed yang secara psikologis mendorong
investor mengamankan portofolionya dengan memegang dolar AS.
Dari sisi domestik, fondasi ekonomi kita sesungguhnya lebih baik dari kondisi rupiah.
Stabilitas ekonomi makro seperti inflasi turun secara signifikan dari 8,36% tahun lalu menuju
4% tahun ini. Pasar obligasi juga naik dan defisit transaksi berjalan cenderung mengecil.
Defisit transaksi berjalan pada 2014 menurun tipis dari sekitar 3,3% menjadi 3,02% dari
produk domestik bruto. Perbaikan ini karena dukungan kebijakan makro prudensial yang
ketat dan menahan laju pelemahan rupiah. Meski demikian, Bank Indonesia (BI)
memperkirakan defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) dalam tahun
2015 ini masih tetap tinggi. Penurunan harga minyak dunia belum signifikan menekan defisit.
Namun defisit transaksi berjalan 2015 akan lebih sehat karena didorong sektor produktif
berupa pembangunan infrastruktur. Sementara aliran dana asing yang masuk ke Indonesia
juga naik, baik lewat portofolio maupun foreign direct investment (FDI).
Indeks BEI juga masih naik karena secara akumulasi terdapat pembelian bersih (net buy)
saham oleh asing. Capital inflow juga masih mengalir ke surat berharga negara maupun
komitmen investasi lainnya.
Meski demikian, kinerja perekonomian juga menghadapi tantangan eksternal seperti
pelemahan pertumbuhan ekonomi China yang dikhawatirkan akan memengaruhi kinerja
perekonomian domestik. Ekspor utama Indonesia ke negeri itu akan menurun dan harga-
harga komoditas utama ekspor kita di pasar dunia belum pulih.
Stabilitas ekonomi yang perlu dijaga adalah memperbaiki kualitas neraca transaksi berjalan.
Neraca transaksi berjalan masih menghadapi tantangan struktural sehingga sulit untuk
141
dilakukan perbaikan dalam jangka pendek. Bahkan perekonomian masih bisa dibayangi
ancaman defisit yang melebar manakala kinerja ekspor kita merosot dan impornya naik.
***
Secara garis besar terdapat tiga faktor yang memengaruhi defisit transaksi berjalan pada
2015. Pertama, penurunan harga minyak dunia yang akan berdampak positif terhadap neraca
transaksi berjalan karena nilai impor minyak akan menurun.
Kedua, harga komoditas ekspor yang belum sepenuhnya membaik. Pada satu sisi terdapat
penurunan harga minyak dunia sehingga menurunkan beban impor, tetapi di sisi lain kinerja
harga komoditas ekspor menurun sehingga berdampak pelemahan kinerja ekspor.
Ketiga, ambisi pemerintah menggenjot proyek infrastruktur sehingga akan mendorong
peningkatan impor barang modal. Indonesia masih memiliki ketergantungan yang tinggi
terhadap barang modal karena kemandirian industri dalam negeri masih rendah.
Penurunan harga minyak dunia dan reformasi subsidi energi dari pemerintah dapat
memperbaiki defisit transaksi berjalan sektor migas, tetapi impor non-migas terkait proyek
pemerintah di bidang infrastruktur akan menahan perbaikan defisit transaksi berjalan secara
keseluruhan.
Meskipun demikian, defisit transaksi berjalan 2015 diperkirakan masih di sekitar level 3%
dari PDB. Namun struktur defisit lebih sehat ketimbang 2014. Sebab defisit pada 2014
didorong konsumsi minyak yang tinggi. Sementara defisit transaksi berjalan 2015 didorong
sektor yang lebih produktif, yakni pembangunan infrastruktur.
Untuk 2014, sektor non-migas diperkirakan membaik dari defisit USD10,6 miliar di 2013
menjadi defisit USD6,1 miliar. Sementara defisit current account dari sisi migas naik dari
defisit USD18,5 miliar menjadi USD19,7 miliar. Defisit transaksi berjalan tahun ini
diperkirakan masih di level di atas 3% dari PDB.
Penurunan harga minyak dunia tidak akan banyak menekan defisit karena ekspor migas juga
turun signifikan. Selama ini, komoditas migas mencakup 25% dari total ekspor, sedangkan
ekspor non-migas hampir 60%. Dari sisi impor, non-migas mencakup 70% dari total impor
dan sisanya adalah gas.
Kunci ketidakseimbangan neraca transaksi berjalan bersumber dari permasalahan di sektor
pangan, energi, rendahnya daya saing energi, ketergantungan terhadap ekspor komoditas,
serta ketergantungan terhadap impor bahan baku dan barang modal. Impor bahan bakar
minyak (BBM) dan minyak mentah serta impor pangan hortikultura adalah pemicu utama
terjadinya defisit neraca transaksi berjalan (current accounts) Indonesia. Mewujudkan
kemandirian energi dan pangan merupakan salah satu cara efektif untuk mengurangi defisit
transaksi berjalan.
142
Sementara di industri keuangan seperti sektor asuransi, banyak digunakan perusahaan
reasuransi asing. Meski perusahaan asuransi di Indonesia banyak, banyak juga yang
mereasuransikan asuransinya dengan menggunakan perusahaan asuransi asing sehingga
devisanya tetap keluar.
Sektor jasa lainnya adalah devisa yang kita bayarkan terhadap tenaga kerja asing. Devisa
yang kita bayarkan terhadap tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia jauh lebih besar
daripada remitensi tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri.
***
Terkait dengan upaya memperbaiki defisit transaksi berjalan, saat ini yang harus dilakukan
pemerintah adalah melakukan manajemen impor yang secara kuantitas terus meningkat.
Pemerintah harus serius memverifikasi berbagai komoditas impor yang volumenya bisa
dikurangi. Apalagi menggenjot ekspor di pasar baru juga tidak mudah di tengah kinerja
ekspor yang belum sepenuhnya membaik karena permintaan global turun dan harga
komoditas primer masih rendah.
Salah satu sektor yang perlu difokuskan oleh pemerintah agar defisit transaksi berjalan bisa
ditekan adalah mengembangkan sektor pertanian yang bertujuan mewujudkan kemandirian
pangan dan meningkatkan pasokan pangan domestik disertai perbaikan tata niaga dan
persaingan usaha.
Dari sisi energi juga sangat penting. Ketahanan energi kita sudah semakin merosot, sementara
kita masih menjadi bangsa yang boros energi. Indonesia memiliki sumber energi terbarukan
dan energi alternatif yang besar, tetapi tidak segera dikembangkan menjadi kekuatan energi
yang besar untuk memutus ketergantungan impor energi.
Untuk menekan defisit transaksi berjalan, pemerintah juga harus serius mengembangkan
industri manufaktur yang dapat mendongkrak kinerja ekspor sekaligus bisa menekan impor
barang modal. Akselerasi industri manufaktur ini dibutuhkan untuk menghasilkan perbaikan
kinerja ekspor sehingga dapat mengompensasi impor barang modal yang digunakan
pemerintah untuk membangun infrastruktur pada 2015.
Pemerintah telah menjanjikan fasilitas insentif pajak bagi investor yang serius
mengembangkan industri manufaktur, terutama yang berorientasi ekspor. Fasilitas tersebut
juga dijanjikan bagi investor yang serius membangun industri penunjang guna menyubstitusi
kebutuhan bahan baku impor. Meski demikian, pengembangan industri manufaktur dan
industri substitusi impor baru bisa dirasakan dampaknya dalam beberapa tahun mendatang.
AUNUR ROFIQ
Sekjen DPP PPP/Praktisi Bisnis Sektor Pertambangan dan Perkebunan
143
Infrastruktur dan Arah Perekonomian
Koran SINDO
30 Maret 2015
Berbeda dengan China, yang saat ini sedang mencoba menggeser motor pertumbuhan
ekonomi dari investasi ke konsumsi domestik, Indonesia justru berupaya menyeimbangkan
sumber utama pertumbuhan ekonomi dari konsumsi ke investasi.
Alasan China memperkuat konsumsi domestik salah satunya karena pelemahan pasar ekspor
global, yang mengakibatkan turunnya kinerja manufaktur sehingga menggerus pertumbuhan
ekonomi negara itu. Selain itu, potensi siklus deflasi, anjloknya harga energi, over-supply
fasilitas produksi nasional, dan lambannya pertumbuhan permintaan domestik membuat
pengambil kebijakan di Negeri Tirai Bambu berusaha memperkuat konsumsi dan pasar
domestik mereka.
Pada 2014, pertumbuhan ekonomi China sebesar 7,4% dan meskipun pemerintah negara itu
optimistis pada 2015 dapat merealisasikan pertumbuhan ekonomi di atas 7%, namun banyak
kalangan yang memperkirakan perlambatan ekonomi masih berlanjut tahun ini.
Sementara itu, Indonesia memiliki tren yang berlawanan arah dalam mendesain penggerak
utama pertumbuhan ekonomi nasional bila dibandingkan dengan China. Selama ini, konsumsi
domestik merupakan sektor penyumbang terbesar pembentukan produk domestik bruto
(PDB). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sektor ini menyumbang 56% pembentukan
PDB nasional pada 2014. Sektor lain seperti belanja pemerintah menyumbang 9,54% PDB
dan pembentukan modal tetap bruto berkontribusi 32,57%. Seiring dengan semakin besarnya
alokasi belanja infrastruktur dalam APBNP 2015 yang mencapai lebih dari Rp290 triliun,
hampir dapat dipastikan kontribusi belanja pemerintah terhadap pembentukan PDB untuk
2015 dapat mencapai di atas 11%. Jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tahuntahun
sebelumnya.
Sebenarnya komitmen untuk shifting arah perekonomian menuju perimbangan dari sisi
supply-side telah dilakukan juga di era sebelumnya. Pada 2011, pemerintah meluncurkan
program yang disebut sebagai MP3EI. MP3EI tidak hanya sebuah program nasional
percepatan dan perluasan pembangunan infrastruktur, tetapi dari perspektif ekonomi,
kebijakan ini juga menandai pergeseran orientasi arah pembangunan yang tidak hanya
mengandalkan sisi konsumsi. Infrastruktur dan sektor riil perlu didorong seiring dengan
semakin meningkat dan menguatnya konsumsi domestik.
Pada saat itu, bottlenecking, kenaikan laju impor dan antrean terjadi. Seiring dengan
meningkatnya aktivitas ekonomi domestik, antrean kerap terjadi baik di pelabuhan, bandara
144
udara, jalan tol, pemenuhan kebutuhan listrik, maupun sarana-prasarana
lainnya. Konsekuensi dari komitmen ini, porsi belanja infrastruktur terhadap PDB meningkat
tajam dari 1,55% pada 2010 menjadi 2,07% pada 2011.
Saat ini pemerintah melakukan kebijakan politik semakin menegaskan pentingnya
membangun infrastruktur nasional. Melalui penetapan kebijakan penghematan subsidi BBM
dan kemudian dialokasikan ke pembangunan infrastruktur, diharapkan akan mendorong lebih
meningkatnya produktivitas nasional untuk memenuhi tingginya permintaan domestik.
Salah satu indikator dan target yang ingin dicapai adalah menekan biaya logistik dari 23,5%
pada 2014 menjadi 19,2% pada akhir 2019. Sejumlah target pembangunan dari mulai jalan,
bandara, pelabuhan, jalur kereta api, angkutan massal perkotaan, waduk dan irigasi,
pembangkit listrik, pita lebar/broadband, dan rusunawa juga telah disusun untuk jangka
waktu lima tahun ke depan.
Melalui arah baru kebijakan fiskal ini, porsi belanja infrastruktur terhadap PDB meningkat
tajam dari 2,08% pada 2014 menjadi 3,20% pada 2015. Seiring dengan serapan dan realisasi
belanja infrastruktur, pemerintah berharap dapat mendorong dan menggerakkan
perekonomian di tingkat daerah ataupun nasional.
Berdasarkan RPJMN 2015-2019, total kebutuhan anggaran infrastruktur lima tahun ke depan
sebesar Rp5.519,4 triliun. Dari jumlah tersebut, anggaran diharapkan bersumber dari APBN
sebesar 40,14% atau Rp2.215,6 triliun, BUMN 19,32% atau Rp1.066,2 triliun, swasta murni
atau dalam bentuk public private partnership (PPP) sebesar 30,66% atau Rp1.692,3 triliun
dan sisanya BUMD. Multiplier effect dari rencana pembangunan infrastruktur di atas
diharapkan dapat membantu penciptaan lapangan kerja, pemerataan pembangunan,
mengurangi kebergantungan impor, dan pengentasan kemiskinan.
Kita semua tentunya berharap, pergeseran orientasi pembangunan yang lebih
menyeimbangkan supply-demand side juga akan diikuti oleh kebijakan yang tetap
mempertahankan daya beli domestik. Hal ini menjadi semakin penting ketika kita semua
menyadari, sampai saat ini konsumsi domestiklah yang berkontribusi paling besar terhadap
pembentukan PDB. Menjaga daya beli masyarakat dapat dilakukan dari sisi menjaga
keterjangkauan harga domestik.
Salah satu faktor penting selain aspek dalam negeri dalam menjaga daya beli masyarakat,
adalah harga minyak mentah dunia. Kita bersyukur harga minyak mentah dunia saat ini masih
berada dalam kisaran USD50-58/barel, meskipun akhir-akhir ini harga minyak mentah dunia
mulai menunjukkan arah rebound seiring eskalasi konflik dan ketegangan baru di Timur
Tengah. Pada saat yang bersamaan, tren pelemahan rupiah saat ini juga masih terjadi yang
membuat biaya keekonomian BBM jenis premium dan solar semakin mahal. Akibatnya
pemerintah kembali menaikkan harga BBM jenis premium dan solar sebesar Rp500 per liter,
mengikuti perkembangan harga minyak mentah dunia dan pelemahan rupiah.
145
Dengan skema penetapan harga BBM seperti saat ini, pemerintah perlu sangat mewaspadai
apabila harga minyak mentah dunia berada dalam posisi, katakanlah USD80/barel, dan nilai
tukar rupiah juga masih mengalami tekanan akibat ketidakpastian penyesuaian suku bunga di
Amerika Serikat. Kedua aspek ini dipastikan akan melambungkan harga jual BBM jenis
premium dan solar yang berakibat menurunkan daya beli masyarakat.
Memacu pembangunan infrastruktur dan sektor riil sepertinya tetap perlu menjaga
permintaan domestik. Apabila daya beli masyarakat tidak terjaga, target pertumbuhan
ekonomi yang ditetapkan dalam APBNP sebesar 5,7% dikhawatirkan sulit dicapai.
Selain itu, juga para pengambil kebijakan nasional perlu terus mewaspadai tren
perekonomian dunia mengingat ketidakpastian masih akan sangat tinggi sepanjang 2015.
Selain masih menunggu kepastian The Fed menyesuaikan suku bunga di Amerika Serikat,
munculnya eskalasi baru di Timur Tengah setelah Arab Saudi menggempur pemberontak di
Yaman akan berdampak pada perekonomian nasional.
Dua tren saat ini, yaitu kembali menguatnya harga minyak mentah dunia dan masih
tertekannya nilai tukar rupiah, perlu diwaspadai. Kedua hal tersebut berpotensi menurunkan
daya beli masyarakat melalui penyesuaian kembali harga BBM jenis premium dan solar di
kemudian hari.
Bagi Indonesia yang sedang melakukan pergeseran arah pembangunan ekonomi, menjaga
dan mengelola daya beli masyarakat juga sama pentingnya dengan memacu pembangunan
infrastruktur dan sektor riil di Tanah Air.
PROF FIRMANZAH PhD
Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar FEB Universitas Indonesia
146
Obstacle Industri Indonesia: Birokrasi Perizinan
Koran SINDO
31 Maret 2015
Beberapa waktu lalu Wakil Presiden Jusuf Kalla mengintrodusir kembali gagasan pentingnya
Indonesia beralih menjadi negara industri. Modalnya sudah ada: kekayaan alam, bonus
demografi, dan letak strategis di peta ekonomi dunia mengingat pergerakan ekonomi global
kini berada di Asia-Pasifik.
Alam kita dahsyat. Diibaratkan JK, tanam tongkat saja bisa tumbuh. Mengingatkan lagu
“Nusantara” Koes Plus. Sayangnya, selama ini pembangunan hanya mengandalkan sektor
pertanian. Padahal sektor pertanian tidak mampu menyerap banyak tenaga kerja. Di Jawa
atau daerah lain misalnya rata-rata satu keluarga hanya punya 0,3 hektare. Itu pun hanya bisa
untuk kerja dua orang.
Tapi, itu terbukti belum mampu menghapus kemiskinan. Tingkat kemiskinan yang tinggi
justru terjadi di daerah pertanian. Menurut Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin
pada September 2013 sebanyak 28,55 juta orang atau 11,47%, meningkat 480.000 orang
dibandingkan Maret 2013. Sekitar 63% penduduk miskin negeri itu tinggal di perdesaan.
Mudah diduga, sebagian besar mereka adalah petani dan buruh tani.
Faktanya jelas, hingga kini sektor pertanian tetap menjadi kantong kemiskinan. Para saudara
kita itu sangat rentan dengan dinamika ekonomi makro. Jika ada gejolak sedikit seperti
kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) atau inflasi, mereka segera terkena dampaknya.
Seorang peneliti menggambarkan: ada desa-desa di mana posisi penduduk perdesaan ibarat
orang yang selamanya berdiri terendam dalam air sampai ke leher sehingga ombak yang kecil
sekalipun sudah cukup untuk menenggelamkan mereka.
Kalau mau dikurangi petani, harus ada alternatif. Satu-satunya alternatif adalah industri. Jika
hanya mengandalkan sektor pertanian tanpa disokong industri, kita akan sulit keluar dari
masalah itu. Bila ingin ada penyerapan tenaga kerja besar-besaran jawabannya adalah
industri. Sektor industri bisa menghasilkan multiplier effect tiga kali. Pabrik baja butuh
kontraktor, restoran, tempat hiburan, warteg, dan lain-lain.
Industri jelas butuh investasi karena tiap investasi akan menimbulkan kegiatan ekonomi tiga
kali lipatnya. Hasilnya sebenarnya sudah terasa. Pada 2014 industri pengolahan memberikan
kontribusi sebesar 24% terhadap produk domestik bruto nasional. Peningkatan pun terus
terjadi pada sektor pengolahan non-migas. Dari sini kita mulai menemukan solusi, namun
147
bukan tanpa masalah.
Kendati Indonesia merupakan negara agraris, tetap diperlukan pembangunan industri untuk
memberi nilai tambah pada produk pertanian agar bisa meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, di samping penyediaan lapangan kerja. Negara maju seperti Amerika Serikat dan
Jepang sekalipun tetap mengembangkan pertaniannya untuk memenuhi kebutuhan pangan
dalam negerinya.
Pembangunan industri nasional ke depan harus mendapat perhatian yang serius dengan
keterlibatan pemerintah yang lebih intensif. Tidak hanya pada kebijakan, tapi juga
pembangunan sarana dan prasarana. Selama ini banyak pembangunan sarana dan prasarana
yang dibutuhkan industri dibangun oleh swasta. Pemerintah harus betul-betul berperan dalam
pembangunan industri, bukan hanya diserahkan pada mekanisme pasar.
Investasi adalah faktor penting di sektor industri. Peningkatan investasi harus berjalan di
segala lini dan sektor, khususnya di luar Pulau Jawa. Kementerian Perindustrian menargetkan
penyebaran industri di luar Pulau Jawa terus meningkat, dari yang saat ini hanya sekitar 29%
menjadi 45% pada 2035.
Namun, kita tidak bisa menutup mata. Masalah birokrasi perizinan masih jadi hambatan
utama investasi. Birokrasi pemerintahan kita sudah terkenal dengan deretan puluhan meja dan
berbelit-belit. Urusan di pusat tidak sama dengan di daerah. Masalah perizinan adalah satu
benang kusut dalam sektor ini, di antara masalah lain seperti ketenagakerjaan, pasokan
energi, dan insentif fiskal. Panjangnya proses birokrasi perizinan memang menjadi salah satu
minus Indonesia di mata investor.
Ini menjadi salah satu komponen yang menambah biaya produksi. Jika rantai perizinan bisa
dipangkas, bisa lebih bersaing. Walau perizinan sifatnya hanya one time, namun jika
Indonesia bisa melayani dengan lebih efisien, jadi dampaknya langsung ke daya saing.
Sudah jadi rahasia umum: berinvestasi di Indonesia tidak mudah. Banyak ranjau yang harus
dilalui sebelum sebuah proyek investasi dapat direalisasikan. Dengar saja keluhan berbagai
investor atas sulitnya berinvestasi di Indonesia. Salah satu masalah yang menjadi keluhan
mereka adalah ribet dan kompleksnya sistem dan prosedur untuk mendapatkan izin atau
permit.
Di sektor migas misalnya. Untuk satu proyek pengeboran minyak di daerah membutuhkan
sedikitnya 89 perizinan. Untuk memenuhi itu, semua memerlukan waktu bertahun-tahun.
Industri makanan-minuman butuh 27 izin. Dalam aturan resmi butuh waktu 730 hari. Tapi,
pemerintah pun belum bisa memastikan seberapa cepat: apakah lebih lama atau lebih cepat.
Di balik ketidakpastian perizinan dan investasi ini rupanya menyuburkan perilaku suap
kalangan swasta kepada pejabat publik atau birokrasi. Suap dilakukan untuk mendapatkan
kemudahan (fasilitas) dan keuntungan secara tidak fair, memenangkan persaingan secara
148
tidak fair, mengamankan dan memproteksi investasi yang dilakukan. Akibat tradisi ini,
muncul oknum-oknum di lembaga publik (birokrasi) yang terbiasa melakukan
penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) demi keuntungan pribadi atau kelompok
antara lain melalui pemberian informasi yang bersifat rahasia (rencana tender, rencana
kebijakan/regulasi, data pesaing).
Pungutan liar dalam proses perizinan dan investasi juga memunculkan oknum-oknum pihak
ketiga (rent seekers) yang menjembatani pihak investor dan pejabat publik dalam rangka
kemudahan perizinan dan investasi yang dilakukan secara tidak fair. Buktinya, banyak
pengusaha yang hanya bermodalkan kedekatan dengan pejabat di daerah mendapatkan izin
saja di bidang pertambangan mineral dan batu bara, namun tidak bermaksud melakukan
kegiatan eksplorasi dan produksi, melainkan hanya untuk mendapatkan pendanaan atau dijual
ke pihak lain. Itu antara lain kenyataan di balik rumit dan berbelit-belitnya perizinan di negeri
ini.
Masalah birokrasi perizinan ini tampaknya menjadi masalah abadi bersama abadinya
persoalan korupsi di Indonesia. Seperti sengaja dipelihara. Ada ungkapan sindiran yang
sering kita dengar di kalangan birokrasi: ”kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah”. Di
sinilah ruang bagi para birokrat untuk bermain. Bila investor mau mempermudah,
mempercepat proses perizinan, ada ”harga” yang harus dikeluarkan pelaku bisnis yaitu fulus
(uang).
Praktik-praktik seperti ini kita bisa dengar, lihat, dan baca dan bahkan mungkin mengalami
sendiri. Kondisi ini yang membuat investor dan pelaku bisnis terkadang hanya geleng-geleng
kepala dan membuat mereka dilema. Ada yang sabar mengambil jalan lurus sesuai aturan dan
permainan birokrasi, tapi lama. Dampaknya, mereka kehilangan momentum. Ada yang
terpaksa mengambil jalan pintas dengan berbagai cara asalkan apa yang diinginkan dapat
diperoleh (perizinan).
Sejumlah pelaku usaha menilai, pemerintah terkesan lambat merespons hasil-hasil survei
pemeringkatan kemudahan berusaha atau ”Doing Business” di Indonesia. Jika pada 2013
peringkat Indonesia berada pada posisi ke-128, kini hanya naik delapan peringkat pada
”Doing Business 2014”, menempati peringkat ke-120 dari 189 negara yang disurvei. Di level
ASEAN peringkat Indonesia berada di posisi ketujuh, di bawah Singapura (peringkat 1
dunia), Malaysia (6), Thailand (18), Brunei Darussalam (59), Vietnam (99), dan Filipina
(108).
Semua obstacle harus dihilangkan, dimulai dari birokrasi perizinan. Kalau industri tidak
tumbuh, hanya ada sektor, yang didagangkan di dalam negeri nanti adalah barang
impor. Rakyat Indonesia hanya dijadikan konsumen dan buruh atau kuli. Padahal pendiri
bangsa Bung Karno tidak pernah menginginkan bangsa Indonesia menjadi bangsa koeli: ”een
natie van koelis en een koeli van naties”, bangsa yang terdiri atas kuli-kuli dan menjadi kuli
di antara bangsa-bangsa.
149
HENDRIK KAWILARANG LUNTUNGAN
Wakil Sekjen Bidang Ekonomi DPP Partai Perindo
150
Pak Menko, Melautlah!
Koran SINDO
1 April 2015
Tidak terasa, Kabinet Kerja yang prioritas kemaritiman sebagai salah satu cirinya telah
menghabiskan empat bulan pertama periode pemerintahannya. Meski telah membentuk
kementerian koordinator khusus di bidang kemaritiman, persoalan klasik seputar
”koordinasi” masih terus menghadang.
Merujuk pada Pasal 2 Peraturan Presiden RI No 10 Tahun 2015 tentang Kementerian
Koordinator Bidang Kemaritiman, Kemenko ini memiliki tugas pokok menyelenggarakan
koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan
pemerintahan di bidang kemaritiman. Sedangkan di Pasal 4 disebutkan, lingkup
koordinasinya meliputi: Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian
Perhubungan, Kementeriaan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pariwisata, dan instansi
lain yang dianggap perlu.
Mengapa tidak? Nyatanya, urusan laut dan kelautan nyaris tak pernah berdiri sendiri. Selalu
beririsan dengan dinamika ekonomi, sosial, budaya, politik, lingkungan hidup, termasuk
pertahanan dan keamanan, baik di tingkat lokal, nasional, bahkan (tidak jarang)
internasional.
Minus Koordinasi
Kasus paling aktual terkait efektivitas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 2 Tahun
2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat
Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan RI; beserta gejolak ikutannya. Terdapat
beberapa indikasi lemahnya kinerja koordinasi tersebut. Pertama, gagal menyegerakan sinergi
antara KKP dan Kementerian Perhubungan terkait pemantapan ukuran gross akte sejumlah
kapal ikan cantrang.
Hasil pemantauan acak Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap KKP di tiga pelabuhan
perikanan pantai masing-masing Tasik Agung, Tegalsari, dan Bajomulyo, Provinsi Jawa
Tengah ditemukan selisih gross akte kapal ikan cantrang bervariasi, mulai dari 11 hingga 102
GT. Celakanya, nyaris tiga bulan sejak temuan ini diungkap ke publik, belum ada strategi
komprehensif yang ditawarkan pemerintah untuk menyegerakan pengukuran ulang sederet
kapal ikan tersebut. Padahal, tanpa akurasi gross akte, mustahil KKP (maupun Pemerintah
Provinsi Jawa Tengah) dapat mengeluarkan izin baru.
151
Kedua, terkait sinergi dengan sektor perbankan. Pada medio Maret 2015, seorang ibu pemilik
kapal cantrang asal Kabupaten Rembang menemui saya. Ibu ini (bersama enam orang
anggota kelompoknya) menamakan diri sebagai kelompok cantrang pemula. Mereka beralih
menggunakan cantrang baru empat bulan sebelum Menteri Susi Pudjiastuti mengeluarkan
Permen 2/2015. Motivasinya pun sangat sederhana, sebatas keinginan untuk membenahi
perekonomian keluarga dan mempersiapkan biaya sekolah anak masuk perguruan tinggi
tahun depan.
Celakanya lagi, untuk beralih ke cantrang, mereka (baca: si ibu bersama enam orang anggota
kelompoknya) tidak cukup hanya dengan menjual kapal-kapal ikan milik mereka yang
berukuran kecil. Juga, harus ditambah dengan mengagunkan sejumlah surat tanah dan rumah
ke bank untuk mendapatkan pinjaman modal pada kisaran Rp1,1-1,5 miliar. Nah, kini
cantrang berhenti beroperasi! Mereka pun kesulitan untuk membayar cicilan utang ke bank
sebesar Rp49 juta setiap bulannya.
Terdapat ratusan atau bahkan ribuan keluarga pengguna cantrang tengah menghadapi
persoalan pelik serupa. Saya percaya, apa pun alasannya, tidaklah adil membiarkan pemilik
cantrang pemula sendirian menghadapi beban ini. Apalagi ketidakmampuannya membayar
utang lebih disebabkan ketidaktegasan pemerintah masa lalu maupun keputusan
pemerintahan hari ini yang mengeluarkan PermenKP 2/2015.
Begitu juga halnya keterlibatan pihak perbankan. Baik langsung ataupun tidak langsung,
bank telah mengabaikan prinsip kehati-hatian dengan membiarkan nasabahnya (secara
jamak) menggunakan dana kredit untuk melakukan aktivitas yang dilarang pemerintah. Di
sinilah peran koordinasi antara kementerian teknis dan pihak perbankan menjadi sangat
strategis guna melindungi dan menyelamatkan masa depan perikanan rakyat.
Terakhir, koordinasi juga diperlukan dalam rangka pengawalan masa transisi. Pasal 6
PermenKP 2/2015 menyatakan surat izin penangkapan ikan (SIPI) dengan pukat hela dan
tarik yang telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2015
masih tetap berlaku hingga habis masanya. Tanpa ada koordinasi dengan aparat penegak
hukum, kepastian dan kenyamanan dalam berusaha semakin sulit dinikmati para nelayan dan
pemilik kapal.
Solusi Cepat
Selain membutuhkan visi untuk (kembali) melaut, bangsa ini juga membutuhkan safety untuk
melaut dengan selamat. Begitu pun strategi pemerintah memastikan keberlanjutan
pengelolaan perikanan Indonesia: membutuhkan pertimbangan sosiologis dan antropologis
guna mengefektifkan strategi konservasi sumber daya perairan Indonesia.
Secara lebih operasional, Kemenko Maritim seharusnya dapat memfasilitasi KKP dan
Kementerian Perhubungan untuk menuntaskan rencana aksi pemantapan akurasi gross akte
kapal ikan di seluruh Indonesia, termasuk dengan skema perizinan mudah, murah, dan
152
transparan. Menko maritim bahkan dapat ikut mengawal efektivitas nota kesepahaman
bersama (NKB) antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan seluruh Kementerian dan
Lembaga Tinggi Negara, khususnya yang di bawah koordinasi langsung menko maritim
(baca: KKP dan Kementerian Perhubungan) untuk mencegah kebocoran dari sektor perizinan
kapal ikan. Apalagi, Plt. Wakil Ketua KPK Johan Budi telah mengatakan, saat ini sekitar
70% dari 1.444 perusahaan pemilik kapal di atas 30 GT belum memiliki NPWP.
Selanjutnya menko maritim juga dapat berkoordinasi dengan menko perekonomian untuk
memfasilitasi KKP dan (setidak-tidaknya) dengan sejumlah bank ”plat merah” seperti BRI
dan Mandiri terkait upaya restrukturisasi utang pemilik kapal cantrang. Harapannya, sembari
menunggu proses peralihan alat tangkap dan pemulihan ekonomi nelayan, pada periode enam
bulan hingga satu tahun ke depan, pemilik cantrang diharapkan boleh menunda pembayaran
utangnya tanpa dikenakan denda. Jika substansi ini dapat disepakati oleh bank milik
pemerintah, di kemudian hari akan memudahkan pemerintah mengajak bank swasta
merestrukturisasi utang nelayan cantrang lainnya.
Terakhir, bersama-sama menteri koordinator bidang politik, hukum, dan HAM, memfasilitasi
KKP, aparat keamanan dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk bersama-sama
memastikan tidak terjadi diskriminasi dan kriminalisasi selama masa transisi. Dengan begitu,
ada kepastian atas izin yang telah didapatkan oleh para pemilik kapal cantrang sebelum
PermenKP 2/2015 ditanda tangani menteri.
Sulit membayangkan peran strategis Kemenko Maritim dapat mendukung tekad Presiden
Jokowi menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia bila gagal menyinergikan
penyelesaian polemik cantrang secara adil dan tuntas. Kita tidak boleh lagi mundur meski
maju pun akan selalu mendapati masalah klasik: koordinasi. Pak Menko, melautlah!
M RIZA DAMANIK
Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia
153
Reformulasi Kebijakan Perberasan
Koran SINDO
4 April 2015
Presiden Jokowi menerbitkan Inpres Perberasan. Pada 17 Maret lalu, inpres yang ditunggu-
tunggu itu keluar. Inpres No. 5/2015 menggantikan Inpres No. 3/2012 tentang Kebijakan
Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah.
Substansi isi tidak berbeda. Inpres itu merupakan kebijakan Presiden yang ditujukan kepada
menteri terkait (delapan kementerian) dan para gubernur/bupati/wali kota untuk mengatur
koordinasi dan pelaksanaan di setiap kementerian dalam rangka kebijakan perberasan
nasional. Inpres No. 5/2015 mengatur harga pembelian, menunjuk pelaksananya, mengatur
hasil pembelian untuk keperluan apa, serta menunjuk siapa yang melakukan koordinasi dan
evaluasi.
Yang tak diatur adalah pola pembiayaan dan siapa yang bertanggung jawab bila terjadi
kerugian. Harga gabah kering panen di petani Rp3.700/kg (sebelumnya Rp3.300/kg), gabah
kering giling di gudang Bulog Rp4.650/kg (sebelumnya Rp4.200/kg), dan beras di gudang
Bulog Rp7.300/ kg (sebelumnya Rp6.600/kg). Rata-rata naik 11%.
***
Kebijakan perberasan, terutama kebijakan harga tunggal atau harga beras medium (satu
kualitas), tidak mengalami perubahan sejak beleid ini diberlakukan 46 tahun lalu. Padahal,
selama lebih empat dekade pelbagai aspek perberasan dan lingkungan berubah signifikan.
Harga pembelian pemerintah (HPP) tunggal yang tidak mempertimbangkan aspek musim dan
kualitas beras tidak lagi relevan. Kebijakan itu hanya akan mempersulit pemerintah dalam
mengintervensi ketika terjadi kegagalan pasar: harga naik atau turun.
Tanam padi yang serentak telah menghasilkan irama panen ajek, hampir tidak mengalami
perubahan dari tahun ke tahun: musim panen raya (Februari-Mei dengan 60-65% dari total
produksi padi nasional), panen gadu (Juni-September dengan 25-30% dari total produksi),
dan musim paceklik (Oktober-Januari). Pergerakan harga gabah/beras berfluktuasi mengikuti
irama panen: harga rendah saat panen raya (Februari-Mei), naik di musim gadu (Juni-
September), dan melambung tinggi saat paceklik (Oktober-Januari).
Pergerakan harga gabah/beras itu terjadi bukan semata-mata lantaran berlakunya hukum
supply-demand, tetapi juga terkait dengan kualitas gabah/beras: kualitas gabah/beras rendah
saat panen raya, membaik pada panen gadu, dan baik saat paceklik. Saat panen raya, petani
tidak bisa mengandalkan panas matahari untuk mengeringkan gabah. Akibatnya, kualitas
154
gabah menurun. Petani menjual hasil panen dengan kualitas seadanya. Kondisi sebaliknya
terjadi pada saat panen gadu dan di musim paceklik. Kenyataan di atas menunjukkan kualitas
gabah/beras bervariasi mengikuti irama panen. Artinya, ada lebih satu kualitas gabah/beras.
Inpres Perberasan yang selalu direvisi secara ajek dengan harga HPP gabah/beras hanya satu
kualitas alias kualitas tunggal tidak hanya ”melawan” pergerakan harga gabah/beras musiman
(Sawit, 2009), tetapi juga mengingkari kenyataan yang ada di lapangan. Untuk beras, di kios-
kios kelontong misalnya, ada 4-5 jenis beras, tidak hanya kualitas medium seperti diatur
Inpres Perberasan. Di Pasar Induk Beras Cipinang misalnya ada 17 jenis (kualitas) beras.
Jenis-jenis beras itu mencerminkan perbedaan kualitas, yang harganya juga berbeda-beda.
Kebijakan harga tunggal juga telah mengingkari kenyataan ada segmentasi pasar beras sesuai
preferensi konsumen: segmen menengah-atas yang mengonsumsi beras premium, dan
segmen bawah yang mengonsumsi beras medium. Lebih dari itu, mempertahankan kebijakan
harga tunggal semakin menyulitkan pemerintah dalam menjalankan berbagai kebijakan salah
satunya intervensi harga melalui operasi pasar. Dengan hanya satu jenis beras (kualitas
medium), apalagi stok lama, mustahil operasi pasar bisa meredam instabilitas harga semua
jenis beras yang ada di pasar.
Selain sejumlah faktor lain, inilah salah satu penyebab operasi pasar akhir-akhir ini tak
efektif. Karena itu, sudah saatnya kebijakan harga tunggal, baik untuk gabah maupun beras
medium, diakhiri. Opsinya: mengganti dengan HPP multikualitas, multilokasi, dan
multivarietas.
Kebijakan HPP multikualitas pada gabah diperkirakan meningkatkan pendapatan
petani. Kebijakan ini diperkirakan bakal mendorong petani meningkatkan produksi gabah
dengan kualitas yang lebih baik melalui input produksi (bibit unggul, pemupukan) maupun
teknik budi daya yang baik (pengairan, pemberantasan hama dan penyakit, serta teknik budi
daya selaras alam). Kebijakan HPP multikualitas pada beras diyakini akan mendorong
pedagang/penggiling untuk meningkatkan produksi beras berkualitas lewat proses
penggilingan yang lebih baik, dan perbaikan mesin dan operator.
HPP multikualitas dapat dirancang lewat kombinasi kriteria: kualitas gabah/beras, musim
panen, dan varietas (Sawit dan Halid, 2010). Pada tahap awal cukup dwikualitas: medium dan
premium. Setelah cukup berpengalaman, berikutnya bisa dikembangkan menjadi lebih dari
dua kualitas.
Kebijakan HPP gabah dan beras multilokasi sebaiknya dihindari. Meski biaya produksi padi
bervariasi antarlokasi, menerapkan HPP gabah dan beras multilokasi bakal menciptakan
diskriminasi. Akan lebih baik dan adil bila faktor lokasi itu diakomodasi dalam kriteria
varietas. Hampir di semua daerah sentra produksi padi, sebagian petani masih menanam
varietas-varietas lokal (Winarto, 2011; Soedjito, 1996). Varietas lokal bisa diakomodasi
dalam kebijakan HPP yang lebih tinggi. Kebijakan ini diperkirakan akan menjamin lestarinya
plasma nutfah padi lokal.
155
Pengalaman selama puluhan tahun menunjukkan, penyerapan beras atau gabah setara beras
oleh Bulog sebesar 60% terjadi di musim panen raya, 30% di musim gadu, dan 4% saat
paceklik. Besar-kecil penyerapan ini mengikuti irama panen dan pola produksi padi, dengan
demikian juga mengikuti pergerakan harga dan kualitas. Dengan HPP gabah dan beras
multikualitas, pola penyerapan bisa disesuaikan dengan irama panen: menyerap gabah dan
beras secara besar-besaran pada panen raya untuk memenuhi kuota beras kualitas medium.
Pada saat panen gadu dan musim paceklik, penyerapan gabah dan beras ditujukan untuk
memenuhi kuota beras kualitas premium. Sebagian beras kualitas medium masih bisa diserap
pada saat panen gadu. Dengan pola seperti ini, penyerapan gabah dan beras bisa
dimungkinkan akan berlangsung sepanjang tahun. Cara ini akan membantu pemerintah dalam
mengendalikan harga gabah/beras, dan inflasi.
Penyerapan beras kualitas medium ditujukan untuk memenuhi kebutuhan program Raskin.
Sebaliknya, beras kualitas premium untuk penyaluran non-Raskin, khususnya untuk mengisi
cadangan beras pemerintah (CBP).
Besaran beras medium dan premium harus dijaga seimbang, terutama terkait stok akhir Bulog
agar lembaga penyangga harga ini tidak terbebani beban bunga komersial yang besar.
Sebagai perusahaan umum, Bulog juga harus efisien dan mampu menyetorkan keuntungan
kepada negara. Ketika Bulog merugi karena beban bunga komersial dalam menjalankan
fungsi- fungsi sosial (public service obligation/PSO), seperti menyangga harga gabah/beras,
menyerap gabah/beras domestik, mengelola CBP, dan menyalurkan Raskin, direksi bisa
dinilai tidak perform dan setiap saat kursinya terancam tergusur. Ini membuat direksi
gamang. Output-nya, kinerja Bulog dalam menjalankan tugas-tugas sosial menjadi tidak
optimal.
Dengan serangkaian reformulasi ini dimungkinkan beleid pemerintah lebih operasional.
KHUDORI
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat; Penulis Buku ”Ironi Negeri Beras”;
Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian dan Globalisasi
156
Keseimbangan Pembangunan Pusat-Daerah
Koran SINDO
6 April 2015
Sejumlah daerah sedang merampungkan pelaksanaan musyawarah rencana pembangunan
(musrenbang) untuk menentukan rencana kerja 2016 menjelang pelaksanaan Musrenbang
Nasional pada April ini. Sesuai jadwal, saat ini pelaksanaan musrenbang telah berada pada
tingkatan provinsi.
Undang-Undang (UU) Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional mewajibkan pemerintah daerah menyusun rencana kerja pemerintah daerah (RKPD)
yang berfungsi sebagai dokumen perencanaan daerah untuk periode satu tahun
mendatang. UU ini merefleksikan semangat perencanaan pembangunan dengan pendekatan
perimbangan antara bottom up dan integrasi di tingkat pusat beserta program
prioritasnya. Artinya, rencana pembangunan nasional merupakan proses agregasi dari
sejumlah rencana pembangunan yang diusulkan daerah ke pemerintah pusat sesuai tujuan dan
orientasi RPJMN 2015-2019 yang ditetapkan pemerintah dalam Peraturan Presiden Nomor 2
Tahun 2015.
RPJMN 2015-2019 merupakan visi, misi, dan agenda Presiden Joko Widodo dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla yang diinterpretasikan dalam rancangan teknokratik yang telah disusun
Bappenas dengan berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN) 2005- 2025. Dalam RPJMN 2015-2019, pemerintah memprioritaskan pembangunan
nasional di bidang kedaulatan pangan, ketersediaan energi, dan pengelolaan sumber daya
maritim serta kelautan dalam lima tahun ke depan.
Melalui RPJMN 2015-2019, pemerintah mendorong pertumbuhan berkualitas yang bersifat
inklusif, berbasis luas, dan berlandaskan keunggulan sumber daya manusia (SDM) dan
penguasaan iptek. Dengan strategi pertumbuhan berkualitas dan inklusif, pemerintah
berharap keseimbangan pembangunan antarsektor ekonomi dan antarwilayah dapat
diwujudkan.
Pemerintah kini perlu terus mengawal proses pembangunan nasional dengan mengedepankan
keseimbangan antarwilayah dan antardaerah. Pembangunan daerah dan kewilayahan tentunya
tidak hanya membutuhkan politik anggaran yang tepat, tetapi juga membutuhkan dukungan
politik yang kuat sehingga janji politik yang tertuang dalam Nawacita Presiden Jokowi dapat
tercapai.
157
Dengan pendekatan integrasi antara bottom up dan program prioritas nasional, akan
terfasilitasi tema-tema pembangunan daerah berbeda-beda sesuai kekhasan, potensi, dan isu
yang berkembang di daerah masing-masing.
Keseimbangan pembangunan nasional dengan memberi perhatian yang proporsional kepada
pembangunan daerah akan sangat membantu proses pembangunan secara inklusif sesuai
semangat otonomi daerah tanpa mengabaikan arah pembangunan nasional. Difusi
pembangunan juga akan mudah diakselerasi ketika proses pembangunan daerah berjalan
lebih agresif dan kondusif.
Memang sinkronisasi pembangunan antarwilayah dan antardaerah menjadi tantangan bagi
pemerintah pusat agar agenda pembangunan tidak tumpang-tindih, double posting, atau
bahkan tidak memiliki keserasian antarwilayah, khususnya yang memiliki keterikatan
ekonomi yang erat.
Dalam APBNP-2015, pemerintah dan DPR setuju untuk mengalokasikan dana transfer ke
daerah dan dana desa sebesar Rp643,8 triliun (lebih besar dari APBN 2015 yang sebesar
Rp638 triliun). Sebanyak Rp521,8 triliun di antaranya dialokasikan untuk dana perimbangan
yang terdiri atas dana bagi hasil (DBH) sebesar Rp110,05 triliun, dana alokasi umum (DAU)
sebesar Rp352, 9 triliun, dan dana alokasi khusus (DAK) sebesar Rp58,8 triliun. Komitmen
pemerintah pusat dalam memastikan proses pembangunan melalui politik anggaran ini wujud
dari semangat nasional dalam mencapai kesejahteraan yang berkeadilan. Postur anggaran dan
politik anggaran pada 2015 ini dialokasikan pada sektor-sektor produktif yang dapat
mendorong pertumbuhan berkualitas.
Dalam beberapa waktu terakhir, hampir sebagian media dipenuhi oleh berita-berita konflik
baik konflik kelembagaan, konflik partai politik, dan konflik elite yang tentunya sangat
menguras energi. Namun, terlepas dari itu, proses pembangunan harus tetap berjalan.
Keseimbangan antara agenda pusat dan daerah perlu terus dikedepankan untuk mencapai
target yang telah ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019. Pengalokasian anggaran transfer
daerah juga perlu diikuti dengan dukungan pusat dalam mengawal kesiapan daerah dalam
menyerap anggaran belanja yang menopang tujuan pembangunan nasional.
Sinkronisasi pembangunan pusat-daerah tidak hanya berhenti pada pelaksanaan musrenbang
dan RKPD, tetapi juga dibutuhkan aksi promote and campaign agenda kerja pusat-daerah.
Promosi dan kampanye ini tentu dapat bersifat motivasi sekaligus media sosialisasi bagi
seluruh agenda kerja pemerintah pusat dan daerah. Saya percaya dengan promosi dan
kampanye kegiatan/agenda kerja pusat-daerah dapat sekaligus digunakan sebagai agenda
publik untuk mewujudkan kepentingan nasional yang lebih besar yakni mewujudkan
masyarakat Indonesia yang sejahtera.
Kebijakan pembangunan antarpusat dan daerah perlu ditempatkan pada ruang-ruang publik
yang memadai sehingga dapat diakses oleh masyarakat luas. Penempatan ini juga sekaligus
158
sebagai media kontrol atas sejumlah proses pembangunan yang berjalan baik pada tataran
pusat maupun daerah. Koordinasi antarkebijakan pembangunan yang ditempuh pemerintah
pusat-daerah memerlukan ruang yang lebih, khususnya dalam mencapai titik keseimbangan
yang ideal dan proporsional. Sinkronisasi kebijakan pembangunan pusat-daerah merupakan
titik kritikal bagi proses pembangunan nasional.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, agenda kerja daerah menjadi ujung tombak proses
pembangunan nasional karena tidak hanya persoalan penguasaan sumber daya ekonomi,
tetapi aglomerasi ekonomi dari proses pembangunan daerah berdampak besar bagi
pembangunan nasional secara keseluruhan. Taruhlah misalnya bagaimana sistem logistik
antarpulau yang diwujudkan melalui infrastruktur daerah akan mendorong penguatan daya
saing logistik nasional. Contoh lain penguatan sentra-sentra ekonomi produktif di daerah
akan membantu proses pembangunan dalam pemerataan distribusi ekonomi ke daerah-
daerah. Atau, misalnya pemberdayaan sektor pendidikan dan kesehatan di daerah-daerah
terbelakang akan membantu pasokan sumber daya manusia yang andal di daerah dan
sebagainya.
Komitmen ini tentu pekerjaan besar yang tidak hanya membutuhkan kerja keras pemerintah,
tapi juga membutuhkan dukungan seluruh pemangku kepentingan termasuk media. Media
dapat membantu dalam aspek-aspek promosi dan kampanye pemberitaan pembangunan
daerah dengan lebih memadai sebagai ajang sosialisasi pembangunan nasional. Di sisi lain
pemerintah pusat dapat menempatkan kebijakan pembangunan daerah pada porsi yang tepat
untuk dapat mendorong tingkat keyakinan publik atas proses pembangunan yang sedang
berjalan.
Dengan upaya ini, kita berharap keselarasan pembangunan pusat-daerah dapat memberikan
daya dorong ekonomi yang lebih besar lagi bagi daya saing nasional dan terutama bagi
distribusi kesejahteraan.
PROF FIRMANZAH PhD
Rektor Universitas Paramadina; Guru Besar FEB Universitas Indonesia
159
Mengkritisi Praktik P&I
Koran SINDO
8 April 2015
Praktik protection and indemnity (P&I) di Indonesia memasuki babak baru dengan
terbentuknya konsorsium asuransi yang memberikan pelindungan pandi—istilah yang lazim
dipergunakan oleh kalangan maritim mondial untuk P&I—beberapa waktu lalu.
Disebut babak baru karena sebelumnya pandi dilakukan secara oleh penyedia jasa asing
maupun lokal kepada shipowner Indonesia. Penyedia pandi asing misalnya TT Club, Thomas
Miller, dan sebagainya. Sementara pemain lokal terdiri atas berbagai pihak: perorangan atau
badan hukum. Menariknya, mereka pada putaran akhirnya terhubung dengan pandi asing
juga.
Data yang ada pada penulis mengungkapkan, perusahaan yang aktif dalam bisnis pandi lokal
adalah mereka yang bergerak dalam sektor offshore. Saat ini keanggotaannya mencakup 10
perusahaan yang terdiri atas dua perusahaan minyak yaitu JOB Pertamina-Petrochina East
Java dan Star Energy (Kakap) Ltd. Dua perusahaan ini memiliki masing-masing unit floating
storage and offloading alias FSO, Cinta Natomas, dan Kakap Natuna.
Ada pemain dari perusahaan pelayaran nasional adalah PT Baruna Raya Logistics (memiliki
45 unit kapal), PT Bahtera Niaga International (10 unit kapal), PT Supraco Lines/PT Radiant
Utama Interinsco (6 unit kapal), PT Putrajaya Offshore Lines (6 unit kapal), PT Kanaka
Dwimitra Manunggal (3 unit kapal), dan PT Muara Kaltim Perkasa (14 unit kapal).
Bisnis pandi menggeliat setelah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong perusahaan
asuransi kerugian di Indonesia membentuk konsorsium asuransi pandi. Konsorsium ini akan
menjadi penanggung untuk aktivitas asuransi penyingkiran kerangka kapal dan asuransi
perlindungan serta ganti rugi bagi 13.000 kapal di Indonesia. Ini terkait kewajiban bagi
pemilik kapal sesuai Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 71 Tahun 2013 tentang
Salvage dan/atau Pekerjaan Bawah Air.
Pelaksanaan aturan ini berlaku 1 Maret 2015. Hanya, praktik baru pandi nasional jika
dibenturkan dengan praktik yang berlaku di dunia internasional menjadi sedikit tidak lazim.
Kondisi ini terjadi sepertinya karena konsepsi pandi yang dipahami oleh pihak-pihak di
dalam negeri juga sedikit berbeda dengan pandangan global. Jika ia tidak diluruskan, bisa
jadi akan menimbulkan fraud dalam bisnis pandi lokal khususnya dan asuransi nasional
umumnya.
Mencermati apa yang diberitakan oleh media terkait P&I, terkesan bahwa pandi digolongkan
160
sebagai asuransi. Padahal, sesungguhnya P&I bukanlah asuransi. Pandi berbeda dengan
asuransi karena beberapa hal. Pertama, pada asuransi dana yang dibayarkan oleh klien kepada
perusahaan asuransi diistilahkan dengan “premi”. Sementara pada P&I ini disebut dengan
“call”.
Kedua, perusahaan asuransi didirikan dan bertanggung jawab hanya kepada pemegang
sahamnya, sedangkan P&I dibentuk dan bertanggung jawab kepada anggotanya. Maksudnya,
dana yang dikumpulkan dari anggota akan dibayarkan kembali kepada mereka manakala
terjadi insiden (mirip dengan arisan).
Ketiga, jika uang pertanggungan yang akan dibayarkan kepada anggota P&I yang terkena
insiden tidak cukup, semua anggota akan diminta menambah kontribusi mereka. Namun,
ketika dana surplus akan dikembalikan kepada anggota dalam bentuk penurunan pembayaran
call atau dikembalikan. Di sisi lain, perusahaan asuransi biasanya akan mereasuransikan
risiko yang mereka tanggung.
Keempat, P&I biasanya menanggung risiko yang melibatkan kerugian pihak ketiga.
Misalnya, kerusakan dermaga akibat olah gerak kapal, kerusakan lingkungan maritim akibat
pencemaran yang dilakukan oleh kapal, dan sebagainya. Sementara asuransi mengurusi
perlindungan yang bersifat lebih terkuantifikasi seperti lambung dan permesinan kapal (hull
and machinery) dan asuransi barang yang diangkut kapal.
Ancaman Fraud
Kalangan pelayaran nasional sudah lama mengenal P&I; ada yang mengatakan sejak
Indonesia merdeka. Hanya, mereka bergabung dengan klub-klub pandi luar negeri.
Jika kita asumsikan jumlah tonase kapal nasional saat ini 20-an juta ton dengan iuran USD2
per ton, ada triliunan rupiah devisa yang melayang ke luar negeri sejak merdeka. Menariknya,
dari triliunan dana tadi hanya 30% yang dicadangkan oleh klub-klub pengurus P&I Eropa
(terutama Inggris) untuk membayar kerugian yang dibayarkan kepada pihak ketiga akibat
kesalahan yang dilakukan anggotanya. Sebesar 70% sisanya diinvestasikan entah di mana dan
Indonesia tidak mendapat manfaat sedikit pun dari investasi itu.
Dengan pembentukan konsorsium asuransi yang memberikan perlindungan, pandi bisa jadi
fenomena larinya devisa ke luar negeri dapat ditekan. Namun, merujuk kepada pemahaman
para pihak di dalam negeri terkait praktik pandi ancaman terjadi fraud juga muncul.
Penjelasannya begini. Karena yang mengelola dana adalah asuransi di mana mereka
bertanggung jawab kepada pemegang sahamnya, bukan kepada anggota seperti pada model
klub, jika tidak terjadi klaim, dana tidak akan dikembalikan kepada shipowner, melainkan
dikuasai oleh asuransi.
Menurut informasi dari rekan penulis seorang pengusaha pelayaran di Jakarta, besar dana
161
asuransi P&I yang akan dibayarkan Maret ini Rp90 juta per kapal. Jika kapal berbendera
Indonesia yang layak mendapat perlindungan pandi berjumlah sekitar 2.000 unit, manakala
tidak ada klaim, akan terhimpun dana Rp180 miliar di tangan asuransi. Seperti asuransi hull
and machinery, pengurus klub P&I juga menyaratkan kapal-kapal yang akan ditanggung
haruslah sesuai standar yang berlaku dalam dunia pelayaran yaitu Safety of Life at Sea
(SOLAS) 1974.
Tentu kita harus berbaik sangka terhadap asuransi yang mengelola pandi di Indonesia. Tetapi,
kita tetap harus meminta mereka terbuka terkait pengelolaan dana pandi. Bisa jadi dana yang
tidak dikembalikan kepada shipowner itu akan menjadi bancakan pihak-pihak yang memiliki
niat tidak baik. Kita semua tidak ingin ada skandal nanti.
Sebab itu, mumpung masih baru, barangkali ada baiknya mewacanakan pengelolaan dana
pandi diserahkan kepada ”tuan”-nya yakni para klub pandi, bukan asuransi. Pengalihan itu
haruslah dengan mengedepankan nilai dasar pengelolaan pandi: ia musti mutual alias
kebersamaan. Kebersamaan antara shipowner dan pengurus pandi.
SISWANTO RUSDI
Direktur The National Maritime Institute (Namarin)
162
Sampai Kapan Bergantung pada Raskin?
Koran SINDO
11 April 2015
Ketika pola konsumsi anak bangsa ini berhasil digiring seragam dalam bingkai berasisasi,
Raskin (beras untuk masyarakat miskin) semakin sakti meredam inflasi.
Raskin yang tidak disalurkan pada November dan Desember 2014, tetapi diberi subsidi dalam
bentuk BLSM mendorong harga eceran beras naik sekitar Rp2.000-3.000/kg. Inflasi pun
membuih menjadi 1,5% dan 2,46% masing-masing pada November dan Desember 2014.
Kelompok makanan menyumbang inflasi sebesar 0,64% dan beras menempati posisi
penyumbang terbesar, diikuti cabai merah, cabai rawit, ikan segar, dan telur ayam ras. Warga
miskin yang menerima uang pengganti Raskin membeli beras ke pasar dan telah mengatrol
harga eceran beras.
Program Raskin dapat meningkatkan akses pangan keluarga miskin sekaligus memperkuat
ketahanan pangan di tingkat individu. Kegiatan perlindungan sosial yang dianggarkan
pemerintah sebesar Rp18,8 triliun pada APBN-P 2015 dibagikan kepada keluarga miskin
selama 12 bulan. Setiap RTS-PM yang terdaftar dan memiliki kartu Raskin dapat membeli
Raskin seharga Rp1.600/kg sebanyak 15 kg per RTS-PM.
Namun, setelah lebih 15 tahun berjalan program ini, ternyata tidak memenuhi syarat “6T”,
yang dijadikan sebagai indikator efektivitas program yakni tepat sasaran, tepat jumlah, tepat
mutu, tepat waktu, tepat harga, dan tepat administrasi. Meski demikian, program Raskin
dinilai masih efektif memperkuat ketahanan pangan. Sekitar 8-10% dari total beras yang
dikonsumsi secara nasional didistribusikan melalui program Raskin. Lantas, pertanyaannya,
sampai kapan kita bergantung pada Raskin?
Sejak enam tahun lalu pemerintah sudah mengeluarkan Perpres No 22 Tahun 2009 tentang
Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal. Lewat
perpres ini, pemerintah seharusnya lebih serius mendorong masyarakat melakukan
diversifikasi konsumsi pangan untuk mengurangi ketergantungan pada beras dan Raskin.
Namun, sebaliknya, pemerintah justru melakukan pembonsaian diversifikasi konsumsi
pangan dengan tetap mempertahankan program Raskin meski biayanya sangat mahal.
Untuk 2015, jumlah rumah tangga sasaran penerima manfaat (RTS-PM) sebanyak 15,5 juta,
yang artinya sekitar 60 juta jiwa penduduk Indonesia tetap dikondisikan untuk tergantung
pada beras. Masyarakat Indonesia menjadi pengonsumsi beras tertinggi di dunia, mencapai
139 kg/kapita/tahun. Supaya seluruh rakyat Indonesia dapat makan nasi (beras), pemerintah
163
setiap tahun melakukan impor beras. Pangsa pasar beras impor amat jelas! Sekitar 95%
penduduk bergantung pada beras mulai dari ujung timur hingga ujung barat Indonesia.
Sebagai kebutuhan pokok, rakyat menganggap beras menjadikan hidup lebih hidup sehingga
beras harus selalu tersedia sepanjang segala abad. “No rice no glory“. Fenomena ini pun telah
mendarah-daging dalam kehidupan. Suka atau tidak suka, masyarakat sudah terhipnotis oleh
sihir beras yang demikian kuat memengaruhi pola konsumsi pangan nasional.
Sumber Daya Lokal
Penghuni negeri ini terus bertambah 3,5 juta jiwa setiap tahun. Pertumbuhan penduduk yang
tinggi jika tidak diimbangi dengan ketersediaan pangan berbasis lokal akan mendorong harga
pangan makin mahal.
Kenaikan harga pangan akan dapat dicegah dengan melakukan penganekaragaman konsumsi
pangan berbasis sumber daya lokal. Pangan berbasis sumber daya lokal makin tergerus
karena kian cepatnya alih fungsi lahan pertanian belakangan ini. Saat ini lahan perkebunan
kelapa sawit sudah lebih luas dari lahan tanaman pangan.
Tidak tertutup kemungkinan hamparan luas sawah yang ada sekarang akan terus mengalami
konversi dan pertanian pangan akan mengalami degradasi sumber daya lahan. Untuk itu,
langkah solusi berikut diusulkan untuk dilakukan yakni mengonkretkan pemanfaatan
pekarangan untuk mengurangi ketergantungan yang tinggi pada Raskin.
Dalam berbagai diskusi yang dilaksanakan di Dewan Ketahanan Pangan terungkap bahwa
berbagai upaya diversifikasi, salah satunya pemanfaatan pekarangan, telah dilaksanakan sejak
awal 1960-an. Sejak itu telah dicanangkan program perbaikan gizi keluarga, bekerja sama
dengan lembaga asing seperti Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture
Organization, FAO), Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO), dan
Organisasi untuk Kesejahteraan Anak (United Nation Children’s Fund, UNICEF). Program
ini mencakup peningkatan kesadaran gizi dengan pemanfaatan pekarangan untuk
menghasilkan pangan hasil ternak dan ikan sebagai sumber protein; sayuran dan buah sebagai
sumber mineral.
Pada saat pemerintah mulai mengkhawatirkan pertumbuhan produksi beras yang tidak bisa
mengikuti pertambahan penduduk mulailah digagasi pengembangan pekarangan dalam
bentuk baru yakni kawasan rumah pangan lestari (KRPL) untuk meracik informasi dan
pengetahuan bahwa beras dapat disubstitusi dengan bahan pangan lokal non-beras dengan
nilai gizi yang sama.
Jika pemerintah pada era 1970- an melakukan kampanye “Bukan Hanya Beras” yang disertai
dengan introduksi beras ketela, kedelai, jagung (tekad), pada Era Reformasi ini diperkenalkan
revolusi pangan lewat kampanye “One Day No Rice“ yang disertai dengan pengembangan
beras tiruan.
164
Namun, setelah program diversifikasi pangan berjalan lebih dari lima puluh tahun,
keberagaman produk pangan yang kita inginkan belum terwujud dengan baik. Bila diukur
menurut standar Pola Pangan Harapan (PPH) dengan nilai ideal 100, keragaman pangan
nasional baru mencapai nilai sekitar 83.
Pola konsumsi pangan warga sekitar 60% berbasis padi-padian yang sebagian besar beras;
lalu diikuti minyak dan lemak terutama bahan nabati, pangan hewani terutama ikan, daging
unggas dan telur; sayur dan buah; kacang-kacangan seperti kedelai, kacang hijau, dan kacang
tanah. Dengan proporsi beras yang masih tinggi dan pangan hewani dan buah yang masih
rendah, tidak mengherankan bila pasokan beras kerap kurang yang mudah memicu keresahan
sosial.
Untuk itu, program-program percepatan penganekaragaman konsumsi pangan untuk
mengatrol kesadaran gizi lewat produk pangan beragam bergizi seimbang dan aman (B2SA)
harus tetap dilanjutkan, dengan bentuk dan intensitas yang bervariasi dari waktu ke waktu.
Di samping itu, untuk mencari pengganti Raskin patut dilakukan upaya pengembangan
berbagai produk pangan baru berbasis sumber daya lokal. Pengembangannya ke arah sumber
karbohidrat khas daerah seperti beras analog bebilar yang diproduksi Jurusan Teknologi Hasil
Pertanian Unika Santo Thomas Medan untuk memberi alternatif pangan pilihan dalam rangka
memperkenalkan kearifan lokal “manggadong“ dari Sumatera Utara.
POSMAN SIBUEA
Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas SU dan Ketua
Persatuan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Cabang Sumatera Utara