opini hukum politik 22 mei 2015

228
DAFTAR ISI PARTAI BERKONFLIK Marwan Mas 4 MENIMBANG KABINET KERJA Komaruddin Hidayat 7 TORPEDO ATAS SUPREMASI HUKUM Moh Mahfud MD 9 IDEOLOGI BIROKRASI DI INDONESIA Indra J Piliang 12 UTANG SEJARAH Victor Silaen 15 KONSPIRASI MEMPERLEMAH GOLKAR DAN PPP Bambang Soesatyo 18 RETAK PARPOL, DEMOKRASI UNTUK SIAPA? Mardiansyah 21 KERATON (BELUM) HAMIL TUA Anas Urbaningrum 24 TRADISI KEHATI-HATIAN KPK Patra M Zen 28 PUTUSAN HASWANDI DALAM PRAPERADILAN HADI POERNOMO Romli Atmasasmita 32 MENANTI KAPOLRI YANG BLUSUKAN Edi Saputra Hasibuan 34 KISRUH HUKUM PRAPERADILAN Moh Mahfud MD 37 REKONSTRUKSI SEJARAH PANCASILA Faisal Ismail 40 1

Upload: ekho109

Post on 12-Aug-2015

23 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Opini hukum politik 22 mei 2015

DAFTAR ISI

PARTAI BERKONFLIKMarwan Mas 4

MENIMBANG KABINET KERJAKomaruddin Hidayat 7

TORPEDO ATAS SUPREMASI HUKUMMoh Mahfud MD 9

IDEOLOGI BIROKRASI DI INDONESIAIndra J Piliang 12

UTANG SEJARAHVictor Silaen 15

KONSPIRASI MEMPERLEMAH GOLKAR DAN PPPBambang Soesatyo 18

RETAK PARPOL, DEMOKRASI UNTUK SIAPA?Mardiansyah 21

KERATON (BELUM) HAMIL TUAAnas Urbaningrum 24

TRADISI KEHATI-HATIAN KPKPatra M Zen 28

PUTUSAN HASWANDI DALAM PRAPERADILAN HADI POERNOMORomli Atmasasmita 32

MENANTI KAPOLRI YANG BLUSUKANEdi Saputra Hasibuan 34

KISRUH HUKUM PRAPERADILANMoh Mahfud MD 37

REKONSTRUKSI SEJARAH PANCASILAFaisal Ismail 40

URGENSI RADIKALISASI PANCASILAMa’mun Murod Al-Barbasy 43

PANCASILA SEBAGAI PANDANGAN HIDUPSudjito 46

BUNG KARNO, PANCASILA, DAN ZAMAN KITA

1

Page 2: Opini hukum politik 22 mei 2015

M Alfan Alfian 49

CARA JOKOWI MELIHAT ASEANTantowi Yahya 52

ERDOGAN, THE TURKMuhammad Takdir 56

MASA DEPAN KPKRomli Atmasasmita 59

TAFSIR BUNG KARNOSutia Budi 62

LAMPU KUNING KPKMarwan Mas 65

KEMASKULINAN KPKAnas Urbaningrum 68

JUDGE ARTIJOMoh Mahfud MD 72

DANA KPK UNTUK KOMUNITAS ANTI-KORUPSIRomli Atmasasmita 75

PERADILAN BERSIH DAN BERWIBAWA, KAPANKAH?Sudjito 77

HARAPAN PADA KPK DI ERA NAWACITAW Riawan Tjandra 80

DRAMA PERGANTIAN JABATANChappy Hakim 83

PERTAHANAN NAN HILANG ARAHConnie Rahakundini Bakrie 87

PERTARUHAN POLITIK PPPGun Gun Heryanto 91

GENDERANG PERANG PARTAI GOLKARBambang Soesatyo 94

PEMERINTAH (KELIRU) MENOLAK REVISI UU KPKRomli Atmasasmita 97

PREFERENSI AKTOR DALAM POLITIK LUAR NEGERITantowi Yahya 100

2

Page 3: Opini hukum politik 22 mei 2015

CONSTITUTIONAL COMPLAINT DAN PENGUJIAN UUJanedjri M Gaffar 103

PROFESIONALISME POLRI HARAPAN MASYARAKATBudi Gunawan 106

MENANTI POLRI PROFESIONALEdi Saputra Hasibuan 108

MENGAPA HARUS TAKUT PADA KPK?Victor Silaen 111

REVISI UNDANG-UNDANG KPKMarwan Mas 114

HUMAN ERROR DI KABINET KERJABambang Soesatyo 117

UNTUK APA RESHUFFLE?Jazuli Juwaini 120

JABATAN KOMISIONER KPKRomli Atmasasmita 123

POLITIK DINASTI KOTOR, TAPI MK BENARMoh Mahfud MD 126

STATUS GAWAT DARURAT LEMBAGA PERADILANFrans H Winarta 129

KOKOHKAN DINASTI, CACAT NEGARAWAN MKLaode Ida 131

JALAN TENGAH KONFLIK GOLKARGun Gun Heryanto 135

MENGAWASI PILKADA SERENTAKSaldi Isra 138

MELARANG PARSEL LEBARANMarwan Mas 142

TANTANGAN RHOMAIding Rosyidin 145

POLITIK NORMALISASI AMERIKA SERIKATDinna Wisnu 148

KEKEBALAN TERBATAS BAGI PARA PENGAWASAdrianus Meliala 151

3

Page 4: Opini hukum politik 22 mei 2015

Partai Berkonflik

Koran SINDO22 Mei 2015

Pesta demokrasi di provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih gubernur, bupati, dan wali kota secara serentak dilakukan pada Desember 2015.

Tetapi, melihat kesiapan partai politik (parpol), terutama parpol yang sedang berkonflik, akan menghadapi tantangan. Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mendapat warning dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk segera menyelesaikan konflik internalnya.

Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) secara tegas menyatakan tidak mengikutkan parpol dalam pilkada yang memiliki kepengurusan ganda dan sedang beperkara di pengadilan. Parpol yang boleh mendaftar pasangan calon kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota) pada 26-28 Juli 2015 adalah yang disahkan susunan pengurusnya oleh menteri hukum dan hak asasi manusia (menkumham).

Bagi parpol yang sedang berseteru di pengadilan harus memenuhi salah satu dari dua syarat legalitas. Pertama, parpol yang menang sesuai putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht) kemudian secara administratif disahkan kepengurusannya oleh menteri hukum dan HAM (menkumham).

Kedua, melakukan perdamaian atau islah dan secara bersama membentuk satu kepengurusan. Akta perdamaian dan susunan pengurus disampaikan ke pengadilan untuk menghentikan sengketanya, dan kepada Kementerian Hukum dan HAM untuk disahkan. Batas waktu penyelesaian konflik sebelum waktu pendaftaran pasangan calon.

Revisi Undang-Undang

Tetapi, ada gagasan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) agar surat dukungan kepada bakal pasangan calon kepala daerah ditandatangani oleh dua kubu sekaligus. Bagi Partai Golkar ditandatangani oleh Aburizal Bakrie (ARB) dan Agung Laksono. Begitu juga dengan PPP, surat pengusulan pasangan calon ditandatangani Djan Faridz dan Romahurmuziy. Namun, usulan itu dianggap oleh elite Partai Golkar kubu ARB tidak memungkinkan direalisasi lantaran tidak diatur dalam UU Nomor 1/2015 yang diubah dengan UU Nomor 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) dan Peraturan KPU.

4

Page 5: Opini hukum politik 22 mei 2015

Sebetulnya usulan itu cukup realistis di tengah berburu waktu tahapan pilkada agar parpol yang sedang berproses di pengadilan bisa ikut pilkada. Tetapi, karena Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta (18/5/2015) mengabulkan sebagian gugatan ARB, usulan agar dua kubu bertanda tangan tidak lagi relevan. SK menkumham yang mengesahkan kepengurusan Agung Laksono dinyatakan dicabut karena bertentangan dengan undang-undang.

Hakim PTUN juga menyatakan, untuk menghindari kevakuman hukum, DPP Golkar yang sah dan menjalankan kinerja DPP Golkar adalah hasil Munas Riau 2009. Rupanya hakim melakukan penafsiran ekstensif meskipun dianggap sebagai ultra-petita karena tidak diminta pemohon, tetapi hal itu bisa disebut terobosan hakim untuk mengisi kekosongan hukum. Hak Partai Golkar mengikuti pemilihan kepala daerah tetap dihargai dengan mengembalikan kepengurusan pada hasil Munas Riau lantaran kepengurusan ARB dan Agung Laksono belum ada yang sah secara hukum.

Gagasan lain yang berembus kencang di Senayan adalah revisi UU Pilkada dan UU Nomor 2/2011 tentang Partai Politik agar dua parpol bisa mengikuti pilkada. Hasil revisi nanti menjadi payung hukum bagi KPU untuk mengubah PKPU mengenai syarat pendaftaran pasangan calon bagi parpol yang bersengketa. Nomenklatur yang digagas, apabila sampai pada batas waktu pencalonan belum ada satu kepengurusan yang dinyatakan menang dengan putusan pengadilan inkracht, putusan terakhir pengadilan yang dijadikan dasar pengajuan pasangan calon meskipun ada yang melakukan upaya hukum.

Tetapi, gagasan itu bukan hanya mendapat penolakan sebagian besar fraksi di DPR, malah Presiden Jokowi juga tidak setuju dilakukan revisi. Apalagi pelaksanaan pilkada serentak yang didesain begitu baik bisa terbengkalai. Jangan sampai polemik revisi berujung pada penundaan pilkada serentak gelombang pertama. Mendagri juga memastikan 269 daerah provinsi dan kabupaten/kota sudah siap menggelar pilkada serentak.

Maka itu, jalan terhormat bagi parpol yang bersengketa adalah melakukan musyawarah dan perdamaian. Mendahulukan kepentingan yang lebih besar jauh lebih berharga, apalagi kepengurusan parpol di daerah tidak ada masalah. Mereka terseret konflik akibat perebutan kekuasaan elite pusat. Meskipun kubu Agung Laksono punya hak melakukan banding ke PT-TUN, akan lebih berharga jika kubu Agung Laksono menerima tawaran kubu ARB untuk bersatu kembali.

Memang butuh ”sikap bijak dan negarawan” dengan memikirkan nasib kader yang ada di daerah. Jangan hanya mementingkan diri sendiri, tetapi pada sisi lain mematikan karier politik kader di daerah yang hendak mengajukan diri menjadi calon kepala daerah.

Berebut Layangan Putus

Sekiranya KPU konsisten dan belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sampai 26 Juli 2015, atau tidak ada islah dengan membentuk satu kepengurusan baru, berarti Partai Golkar dan PPP tidak ikut pilkada. Padahal, rakyat berharap pilkada serentak

5

Page 6: Opini hukum politik 22 mei 2015

gelombang pertama membawa paradigma baru dalam memilih pemimpin daerah. Sebab lazimnya pesta demokrasi yang tergolong akbar, ujian yang paling krusial terletak pada penyelenggaraan gelombang pertama. Apabila gelombang pertama berjalan lancar, sukses, dan demokratis, akan menjadi preseden pada penyelenggaraan berikutnya.

Melihat kondisi Partai Golkar dan PPP yang tidak ada tanda-tanda untuk islah meskipun putusan PTUN sudah mengabulkan gugatannya, perlu menyimak ungkapan Karyudi Sutajah Putra (Suara Merdeka, (24/4/2015) dengan mengibaratkan ”berebut layang-layang putus”. Ada kebiasaan anak-anak saat berebut layang-layang putus. Apabila ada salah seorang yang berhasil mendapatkan layang-layang itu, yang lain akan merobeknya agar tidak ada yang memanfaatkan layang-layang itu. Hanya karena kepentingan kekuasaan sekelompok elite di pusat, kepentingan yang lebih besar di daerah hancur berantakan.

Pepatah klasik yang juga sering dijadikan instrumen pengingat bagi kelompok-kelompok yang senang berseteru adalah ”kalah jadi abu, menang jadi arang”. Meskipun salah satu pihak menang di pengadilan, belum tentu persoalan mendasar akan selesai. Boleh jadi kader yang merasa kalah akan menggembosi pihak yang menang dalam pilkada.

Tanpa bermaksud mendramatisir persoalan, tentu kita meyakini akan ada solusi terhormat dari Partai Golkar dan PPP. Bagaimana pun rakyat yang akan dirugikan kalau keduanya tidak ikut pilkada sebab boleh jadi calon yang diajukan itu justru yang terbaik bagi rakyat. Semua potensi konflik menjelang pilkada serentak harus dituntaskan sebab boleh jadi putusan inkracht tidak keluar sebelum pendaftaran calon. Apalagi ada realitas perpolitikan di negeri ini, jika salah satu pihak kalah dalam pertarungan, baik dalam pemilihan maupun pada proses hukum, lebih banyak yang tidak legawa menerima kekalahan.

Maka itu, KPU harus tetap konsisten menjalankan peraturan perundang-undangan seperti yang diperlihatkan selama ini. Apakah putusan PTUN yang menyatakan kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Riau yang berhak mengikuti pilkada? Tentu sangat bergantung pada penafsiran KPU memaknai putusan itu, apakah berseberangan dengan Peraturan KPU atau tidak. Rakyat hanya berharap agar semua energi yang ada seyogianya dipakai untuk menyukseskan pilkada serentak. Termasuk menemukan solusi persoalan anggaran pilkada yang tidak semua daerah punya kemampuan sama.

MARWAN MAS Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar

6

Page 7: Opini hukum politik 22 mei 2015

Menimbang Kabinet Kerja

Koran SINDO22 Mei 2015

Namanya saja Kabinet Kerja. Jadi yang mesti ditonjolkan adalah hasil kerjanya untuk menyejahterakan rakyat. Tapi beberapa pengamat menilai daya beli masyarakat kian turun dan sektor ekonomi di berbagai bidang juga tidak membaik.

Mengapa? Ada yang mengatakan karena koordinasi tidak berjalan bagus. Bisa jadi karena hambatan struktur yang tidak pas, orang-orangnya yang kurang kapabel, atau pengaruh luar yang menghambat. Luar itu bisa saja pengaruh luar negeri atau kekuatan partai politik (parpol) yang tidak menempatkan kader terbaiknya duduk di kabinet. Atau memang kalangan parpol mengalami defisit kader teknokrat yang bisa diandalkan duduk dalam jajaran kabinet.

Apa pun kritik yang dimunculkan, umur kabinet yang belum berjalan setahun memang masih bisa dimaklumi dan rakyat masih sabar menanti untuk menunggu realisasi agenda dan jargon Kabinet Kerja. Meski begitu pemahaman dan kesabaran masyarakat terbatas. Rakyat segera ingin merasakan buah manis dari hasil pemilu yang lalu. Ongkos material dan sosial sudah banyak terkuras untuk menghasilkan kabinet ini.

Kebutuhan sehari-hari yang dirasakan kian mahal akan mengubur kenangan dan harapan indah saat-saat pemilu lalu terhadap jagonya. Para menteri yang memikul beban parpol akan menjatuhkan kredibilitas parpol yang mengusungnya jika kinerjanya tidak bagus dan tidak produktif.

Dengan dalih memenangi pemilu dengan formula 50+1, maka the winner takes all. Tapi orang mempertanyakan, dengan demokrasi dan pemilu itu, yang mau diposisikan sebagai pemenang apakah rakyat atau sebatas koalisi parpol pendukung? Jika rakyat dan kepentingan umum yang diutamakan, kabinet bukanlah pembagian jatah bagi para kader dan wakil parpol, melainkan kompetensi yang mesti ditonjolkan.

Sekiranya parpol tidak punya kader yang memenuhi syarat, ambil saja putra bangsa yang baik dan tepat dari mana pun asalnya mengingat misi dan tugas mulia parpol ikut pemilu adalah untuk menyejahterakan rakyat. Kepentingan negara dan rakyat di atas kepentingan parpol.

Mungkin saja itu yang dimaksudkan dengan kabinet gotong-royong, yaitu kabinet produk demokrasi tetapi tetap memberikan ruang bagi putra bangsa terbaik untuk ikut mengatur negara meskipun bukan dari lingkaran parpol pemenang pemilu selama yang dimajukan semata demi kemajuan dan kebaikan negara dan rakyat.

7

Page 8: Opini hukum politik 22 mei 2015

Substansi dan fungsi demokrasi adalah untuk menjaring putra bangsa terbaik demi kesejahteraan rakyat yang dijaring lewat parpol. Jangan dibalik, kepentingan dan selera parpol mengalahkan kepentingan rakyat dengan merusak substansi demokrasi hanya dengan menyandarkan suara terbanyak yang itu pun bisa dibeli dengan uang.

Demikianlah, kualitas demokrasi bisa rusak ketika tingkat pendidikan dan ekonomi rakyat rendah. Ini juga terlihat pada hasil pilkada yang mayoritas mengecewakan. Kini salah satu tugas Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah mengembalikan kepercayaan kita pada sistem demokrasi yang telah menjadi pilihan kita bagi masyarakat yang sangat majemuk ini.

Kembali pada Kabinet Kerja yang hasil kerjanya masih mengecewakan. Sebagai presiden yang mengemban tanggung jawab tertinggi, Joko Widodo saya kira juga kecewa dengan beberapa menteri yang disodorkan parpol pendukungnya. Dia sejak awal mungkin sekali tidak setuju, tetapi tidak berdaya menolaknya. Dan ternyata kinerjanya tidak memuaskan rakyat.

Kini saatnya untuk berbicara dengan parpol asalnya, apakah akan terus dipertahankan meski rakyat kecewa atau siap-siap mencari penggantinya. Kalaupun diganti mungkin tidak sekarang mengingat umur kabinet belum setahun. Meski begitu baik Presiden maupun parpol koalisinya mesti bersiap-siap ketika pergantian beberapa sosok menteri harus dilakukan.

Janganlah kepentingan rakyat, negara, dan citra demokrasi dikorbankan hanya karena alasan bagi-bagi jatah jabatan politik. Sekali lagi, parpol dan pemilu itu menempatkan kepentingan rakyat sebagai prioritas dan alasan keberadaannya, bukan sebaliknya.

Di sini Presiden Jokowi diuji sikap dan komitmennya sebagai kepala negara yang majikannya adalah rakyat. Parpol hanyalah mengantarkan dirinya sebagai presiden dengan mandat melayani dan menyejahterakan rakyat, bukan parpol.

Saya bukan anti-parpol, tetapi tidak setuju jika demokrasi dan pemilu itu ujungnya hanya bagi-bagi jabatan dengan mengorbankan kompetensi dan keberpihakan total pada kepentingan rakyat banyak.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYATGuru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah @komar_hidayat  

8

Page 9: Opini hukum politik 22 mei 2015

Torpedo atas Supremasi Hukum

Koran SINDO23 Mei 2015

Melihat situasi Indonesia sekarang ini: Sebenarnya lebih kuat mana antara politik dan hukum? Supremasi hukum ataukah supremasi politik yang berlaku di Indonesia ini? Itulah pertanyaan yang sering diajukan kepada saya baik saat memberi kuliah di kampus-kampus maupun melalui forum-forum lain, termasuk media sosial.

Jawaban teoretisnya, sih, mudah. Menjawab yang mana pun pasti ada teorinya. Menurut konstitusi Indonesia adalah negara hukum. Tetapi dalam praktiknya hukum selalu ditorpedo oleh kekuasaan politik. Banyak ketentuan hukum yang ditabrak oleh kekuasaan politik dan hukum menjadi tak berdaya.

Secara teoretis, memang tidak sulit memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Masalahnya apakah akan dilihat secara das Sollen (keharusan ideal) ataukah secara das Sein (kenyataan yang ada di depan mata). Kalau secara das Sollen, karena Indonesia adalah negara hukum maka tak bisa ditawar, hukumlah yang harus supreme. Supremasi hukum menggariskan hidup bernegara yang semuanya harus berdasar hukum, tunduk pada hukum, dan kalau ada konflik harus dikembalikan pada hukum. Tetapi secara das Sein, prinsip supremasi hukum tidak selalu bisa muncul. Hukum kerap dikalahkan oleh politik sehingga yang muncul dalam kenyataan adalah supremasi politik.

Munculnya supremasi politik di atas supremasi hukum sebagai das Sein itu pun ada penjelasan teoretisnya, yakni kenyataan bahwa hukum adalah produk politik. Hukum dalam artinya sebagai peraturan resmi, terutama sebagai peraturan perundang-undangan, merupakan produk politik sebab hukum hanya bisa dibuat melalui keputusan politik.

Tidak ada satu pun hukum dalam arti sebagai peraturan resmi yang bisa berlaku sendiri tanpa diberlakukan oleh keputusan politik. Semua aturan hukum berlaku karena keputusan pemegang kekuasaan politik yang memberlakukannya. Pemberlakuan hukum oleh otoritas politik itu terjadi dengan resultante atau kesepakatan baik karena musyawarah yang fair, tukar-menukar kepentingan antaraktor politik maupun karena dominasi satu kelompok politik pemenang.

Secara teoretis pula, karena hubungan antara politik dan hukum yang seperti itu, maka dalam penyelenggaraan negara akan selalu terjadi tolak-tarik antara politik dan hukum dan dalam tolak-tarik itu politik cenderung selalu menang. Mengapa? Karena energi politik selalu lebih besar daripada energi hukum. Bagaimana pun, pembuatan dan pemberlakuan hukum sangat bergantung pada kekuasaan politik. Itulah das Sein-nya, demikianlah faktanya.

9

Page 10: Opini hukum politik 22 mei 2015

Kalau politik sudah sampai pada tahap kalap maka hukum bisa ditabrak. Caranya bisa bermacam-macam. Ada yang bermain kasar dengan menggunakan kekuasaan secara sepihak, membuat tafsir hukum sendiri yang kemudian dipaksakan atas nama kekuasaan.

Bisa juga pemaksaan politik itu dilakukan secara lebih halus yakni mengubah aturan hukum agar sesuai dengan kehendak kekuasaan politik. Jika suatu aturan hukum yang berlaku menghambat kepentingan politik yang berkuasa, aturan hukum itu diubah dengan kekuasaan politik agar bisa memuaskan syahwat politik para pemegang kekuasaan itu.

Pada masa lalu, bahkan banyak hukum atau peraturan perundang-undangan yang sengaja dibuat untuk membenarkan satu keinginan penguasa yang sebenarnya tidak layak agar menjadi layak dan tidak salah menurut ”formalitas” hukum. Jadi kalau secara teoretis saja tidaklah sulit untuk menemukan teori dan menjelaskan fenomena tolak-tarik antara hukum dan politik itu. Kalau ditanya, lebih supreme atau lebih kuat yang mana antara kedua subsistem kemasyarakatan, politik dan hukum, tersebut maka jawabannya bisa bergantung pada teori mana yang akan dipakai, das Sollen ataukah das Sein.

Namun, masalah lemahnya hukum di hadapan politik tidak bisa hanya dijelaskan teori-teori yang relatif itu. Negara kita ini menganut prinsip supremasi hukum bukan hanya teori, melainkan juga sebagai kesadaran etik dan moral. Itulah sebabnya ada pedoman etik dan moral dalam kehidupan bernegara kita, yakni meskipun dalam faktanya hukum merupakan produk resultante atau kesepakatan politik, tetapi jika hukum sudah ditetapkan, maka semua harus tunduk pada hukum. Yang membuat hukum pun harus tunduk pada hukum yang dibuatnya.

Di sinilah kita harus meletakkan pemahaman supremasi hukum dalam hidup bernegara yang berdasar konstitusi. Pada titik ini, saat hukum sudah diberlakukan secara sah maka kedigdayaan politik harus tunduk pada supremasi hukum.

Pertanyaan berikutnya: bagaimana jika terjadi konflik kepentingan yang kemudian menimbulkan perbedaan penafsiran atas aturan hukum? Kalau itu yang terjadi maka serahkanlah ke pengadilan agar diputus oleh hakim yang diberi otoritas memutus oleh negara. Di dalam prinsip supremasi hukum siapa pun, termasuk pemerintah dan partai politik, harus tunduk pada putusan pengadilan. Di mana pun di dunia ini berlaku kaidah hukmul haakim yarfaul khilaaaf: putusan hakim mengakhiri konflik dan harus diikuti. Kalau kaidah ini tidak diikuti, negara bisa kacau balau.

Bagaimana jika dilakukan upaya hukum banding atas putusan pengadilan? Tentu saja boleh. Supremasi hukum menyediakan jalan mulai dari banding, kasasi, sampai peninjauan kembali (PK). Tetapi ada dasar etik, moral, dan rasionalitas publik (public common sense) dalam upaya hukum itu. Ia tak boleh dilakukan atas dasar mau menang sendiri, akal-akalan, mengulur-ulur waktu, dan sebagainya.

10

Page 11: Opini hukum politik 22 mei 2015

Apalagi kalau disertai upaya mempengaruhi hakim, baik dengan kekuatan politik maupun kekuatan uang. Kalau itu yang dilakukan maka tak ada arti lain kecuali torpedo atas supremasi hukum.

MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi  

11

Page 12: Opini hukum politik 22 mei 2015

Ideologi Birokrasi di Indonesia

Koran SINDO25 Mei 2015

Pemikiran politik di Indonesia bisa juga digunakan terhadap birokrasi. Birokrasi, bagaimana pun, pernah begitu kuat mempengaruhi masa kolonial dan pasca kolonial, termasuk sebagai kekuatan politik utama.

Walau dijadikan sebagai entitas yang independen dan imparsial, birokrasi kenyataannya masih menjadi kekuatan utama yang bersinggungan dengan politik. Dalam era demokrasi, birokrasi ”dijauhkan” dari politik, dengan hanya memberikan hak memilih, bukan dipilih.

Penting diingat bahwa Belanda menguasai Indonesia bukan lewat penguasaan teritorial berupa pengerahan tentara, melainkan melalui birokrasi. Birokrasi Belanda bekerja dalam masa perang dan damai. Dibandingkan dengan keluasan wilayah Indonesia, jumlah tentara pendudukan sama sekali tidak sebanding. Tentara hadir ketika perang, itu pun dibatasi di daerah-daerah tertentu secara bergiliran. Birokrasi Belanda sama sekali tak mau berperang di seluruh area di Indonesia.

Sebagai kekuatan penting dalam menguasai Indonesia, baik penduduk maupun wilayahnya, birokrasi menggunakan administrasi pemerintahan. Administrasi adalah ruh birokrasi. Penguasaan penduduk dan wilayah itu dilakukan melalui perjanjian, baik perjanjian dagang maupun perjanjian lain. Maka bisa dikatakan, Belanda menguasai Indonesia dengan lembaran-lembaran kertas, bukan dengan peluru dan mesiu.

Dalam proses yang panjang, perjalanan birokrasi di Indonesia mengalami fase-fase yang bergejolak. Baik akibat perubahan politik dan pemerintahan, maupun sentuhan perkembangan lain, terutama teknologi informasi. Birokrasi mengalami perubahan, terutama akibat pergantian elite politik, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Birokrasi mengalami tekanan apabila digunakan sebagai kekuatan politik. Padahal, hakikatnya, birokrasi bekerja secara tenang tanpa ada tekanan politik. Tugas publik birokrasi jauh lebih penting, ketimbang tugas politik yang lebih bersifat jangka pendek.

Bergerak ke Mana?

Dari sisi ideologi, belum begitu jelas, birokrasi Indonesia bergerak ke mana. Di negara-negara lain yang ideologinya komunis, misalnya, birokrasi adalah perpanjangan tangan dari partai politik. Di negara-negara sosialis, birokrasi menjalankan fungsi pemberdayaan publik, lewat aksi-aksi sosial. Birokrasi adalah negara dan negara adalah birokrasi itu sendiri, dengan

12

Page 13: Opini hukum politik 22 mei 2015

keterlibatan secara bersamaan dengan partai politik dan militer. Birokrasi begitu melekat dengan partai politik yang menguasai negara.

Birokrasi di negara-negara komunis—juga sosialis—adalah birokrasi yang bersifat tertutup. Keputusan yang diambil hampir tidak diketahui dari mana sumbernya. Begitu pun rekrutmennya tertutup, sama sekali tak dibuka kepada kalangan lain di luar birokrasi sendiri. Bahkan, publik sulit mengetahui siapa saja yang menjadi pejabat di dalam struktur pemerintahan. Yang diketahui hanyalah keputusan-keputusan yang diambil.

Dalam perkembangan sekarang, birokrasi di Indonesia terlihat tanpa memiliki ideologi yang jelas. Birokrasi bisa saja dimasuki oleh kalangan lain atas nama rekrutmen terbuka. Proses ”buka-buka”-an dalam tubuh birokrasi ini menunjukkan bahwa birokrasi Indonesia mulai terlihat liberal, dibandingkan dengan era sebelumnya.

Argumen yang digunakan adalah kemampuan para profesional di tempat lain, lebih baik daripada birokrat. Padahal, swasta yang dijadikan sebagai sektor profesional itu punya target yang berbeda dengan pemerintahan. Kalangan profesional (swasta) lebih ditujukan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.

Pertanyaan paling penting untuk dijawab adalah sampai seberapa jauh birokrasi ini direformasi? Sampai titik mana reformasi itu dilakukan? Apakah reformasi birokrasi itu berarti membuka diri bagi masuknya kalangan non-birokrat ke dalam tubuh birokrasi, sekalipun tidak dididik sebagai birokrat dalam sistem nilai yang baku? Birokrasi sebagai pelayan publik tentu berbeda dengan pekerja profesional yang bekerja guna meraih keuntungan semaksimal mungkin.

Juga, bagaimana dengan kewajiban birokrat-birokrat yang sudah pensiun dan menerima dana pensiun? Apakah mereka juga masih memiliki sejumlah tanggung jawab terhadap pemerintah? Dalam bentuk apa? Belum lagi pengetahuan dan pengalaman yang mereka miliki, tentunya bisa digunakan sebaik-baiknya guna kepentingan yang lebih luas.

Kajian Birokrasi

Sejumlah pertanyaan itu tentu penting untuk dikaji, mengingat reformasi birokrasi adalah tema sentral yang penting, termasuk dengan pembentukan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Birokrasi menjadi satu-satunya unsur yang dibuat kementeriannya, dalam rangka reformasi. Tidak ada unsur lain yang dibuatkan kementeriannya, katakanlah polisi, militer, maupun penyelenggara negara lainnya.

Reformasi birokrasi idealnya hanyalah program yang bisa bersifat jangka pendek, jangka menengah, ataupun jangka panjang, namun bukanlah proses yang berlangsung selamanya tanpa batas akhir. Kalaupun ada perbaikan, sehingga berlangsung terus-menerus, tentu juga memerlukan batas waktu, paling tidak dari sisi batas ideologi.

13

Page 14: Opini hukum politik 22 mei 2015

Di sinilah muncul masalah, apakah birokrasi Indonesia menganut sistem yang tertutup, ataukah terbuka, atau setengah tertutup dan setengah terbuka? Salah satu contoh, kalangan non-birokrat bisa masuk memimpin satu lembaga birokrasi, dengan cara rekrutmen secara terbuka. Apakah sudah dipikirkan dampak-dampak jangka pendek, menengah, dan panjangnya?

Padahal, sebagaimana kita ketahui, kehadiran politisi (partai-partai politik) dalam tubuh birokrasi, juga berlangsung selama lima tahun. Mereka pun menempati posisi sebagai kepala negara, kepala pemerintahan ataupun anggota parlemen. Politisi hanya memberikan warna ”ideologis” secara terbatas, baik dari sisi waktu atau pengaruh, bahkan hanya semata sebagai warna ”program”, atau bahkan bisa saja hanya warna ”kebijakan”.

Politisi tidak bisa memberikan warna keseluruhan, mengingat birokrasilah yang berada di dalam tubuh penyelenggara negara dan pemerintahan secara berketerusan. Apalagi, jumlah jabatan politik terbatas dibandingkan dengan jumlah birokrasi itu sendiri.

Birokrasi selayaknya dilepaskan dari kepentingan partai-partai politik. Namun, birokrasi tidak bisa mengabaikan sama sekali kehadiran partai-partai politik di alam demokrasi, sehingga birokrasi perlu mempelajari partai-partai politik, baik dari sisi platform, program, hingga kebijakan, sebagaimana juga politisi mempelajari seluruh nomenklatur sebagai penyelenggara negara apabila memenangkan kontestasi.

INDRA J PILIANG Ketua Tim Ahli Menteri PAN dan Reformasi Birokrasi

14

Page 15: Opini hukum politik 22 mei 2015

Utang Sejarah

Koran SINDO26 Mei 2015

Sampai kapankah mahasiswa Universitas Trisaksi akan terus melakukan aksi unjuk rasa dalam rangka memperingati Tragedi 12 Mei 1998 yang telah mengorbankan beberapa senior mereka pada masa silam yang kelam itu?

Mungkin tak akan pernah berhenti selama negara ini tidak menuntaskan prosesnya demi pengungkapan kebenaran dan pencapaian keadilan. Itulah utang sejarah, yang membuat perjalanan Indonesia ke depan niscaya terantuk-antuk karena dipaksa menghela beban berat crime against humanity (kejahatan kemanusiaan) itu.

Terkait itu Ketua MPR Zulkifli Hasan mendesak pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla untuk menuntaskan utang negara terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu. Hal itu harus menjadi prioritas pemerintah dalam 4,5 tahun ke depan. ”Saya sepakat, 17 tahun (kasus penembakan mahasiswa Universitas Trisakti) itu waktu yang sangat lama. Ini utang pemerintah yang harus dituntaskan agar tidak lagi jadi beban generasi mendatang,” kata Zulkifli (18/5).

Ia mengatakan, selama ini MPR ikut memfasilitasi penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. MPR sudah beberapa kali bertemu Jaksa Agung, Komnas HAM, dan sejumlah lembaga swadaya masyarakat untuk membicarakan jalan keluar masalah itu. Seusai menggelar rapat konsultasi lembaga tinggi negara di Istana Negara, 18 Mei itu, Zulkifli mengatakan, solusi kasus pelanggaran HAM itu bisa melalui keputusan presiden. ”Caranya, tidak usah merevisi UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dulu. Itu terlalu lama. Presiden keluarkan saja segera keppres untuk membentuk KKR dan memprosesnya,” katanya lagi.

Mengacu data Komnas HAM, ada tujuh berkas pelanggaran HAM berat yang masih menjadi utang sejarah. Berkas itu terkait kasus peristiwa 1965-1966; penembakan misterius 1982-1985; Talang Sari di Lampung (1989); penghilangan orang secara paksa 1997-1998; kerusuhan Mei 1998; Tragedi Trisakti, Peristiwa Semanggi I, dan Semanggi II; serta Peristiwa Wasior dan Wamena (2003). Terkait itu, Jaksa Agung HM Prasetyo mengungkapkan, melalui komisi gabungan penuntasan pelanggaran HAM berat masa lalu, ada dua langkah penyelesaian yang bisa dilakukan yakni yudisial dan non-yudisial. Untuk beberapa kasus lama, Prasetyo mengisyaratkan akan mengambil langkah non-yudisial karena penemuan bukti, saksi, dan pelaku yang dinilai sulit dilakukan.

Sementara Komisioner Komnas HAM Siti Nur Laila menegaskan, dengan RUU KKR atau keppres pembentukan komisi khusus penuntasan kasus pelanggaran berat HAM, harus ada

15

Page 16: Opini hukum politik 22 mei 2015

pengakuan kesalahan negara dan permintaan maaf negara dalam kasus kejahatan HAM masa silam di Indonesia. ”Entah ini diselesaikan per kasus atau sekaligus sebagai kejahatan rezim Orde Baru. Di sisi lain, hak para korban yang tidak puas bisa menuntut pidana dan perdata atas kejahatan HAM yang dialaminya,” kata Nur Laila.

Akan halnya Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mendesak pemerintah untuk mewujudkan janji politik dan agenda dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yaitu membentuk Komite Kepresidenan untuk Penyelesaian Pelanggaran HAM masa lalu. Pembentukan komite ini dinilai sebagai langkah paling realistis daripada pengajuan RUU KKR ke DPR. ”Justru kita khawatir jika penyelesaian kasus HAM masa lalu dilakukan dengan mengajukan RUU KKR lebih dahulu. Itu akan menjadi alat negosiasi. Lalu kita akan mengulang perdebatan mengenai apa itu pengungkapan kebenaran, apa itu rekonsiliasi di dalam pengertian umum RUU KKR,” kata peneliti Elsam, Wahyudi Djafar (18/5).

***

Peluang menyelesaikan persoalan masa lalu, khususnya yang berkait dengan pelanggaran berat HAM oleh negara (gross violation of human rights), sebenarnya mendapatkan momentum emas selekas rezim Soeharto berhasil ditumbangkan pada 21 Mei 1998. Berbagai kezaliman yang terjadi dan diduga dilakukan rezim Orde Baru ini terentang panjang dari pembunuhan massal (genosida), pembunuhan misterius, penculikan, penganiayaan, pemerkosaan, perusakan, perampasan harta benda, dan lainnya. Tindakan represif atas publik yang dilakukan rezim militeristik itu bertumpuk memenuhi catatan sejarah perjalanan Indonesia. Tidak berlebihan jika dikatakan, sejarah bangsa kita dibangun di atas kekerasan negara atas rakyatnya. Publik berhak mengetahui kejadian yang sebenarnya, mengapa dan bagaimana peristiwa itu terjadi, dan siapa para pelakunya, dan ihwal di seputar tragedi-tragedi kemanusiaan itu.

Selain itu, korban (termasuk keluarga korban) juga berhak mengetahui mengapa ia dijadikan korban. Ia pun berhak memberikan kesaksiannya perihal siapa pelaku yang telah menjadikannya sebagai korban. Korban juga berhak mendapatkan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi (victims rights for compensation, restitution, and rehabilitation), dan hak atas jaminan tidak terulangnya lagi kekerasan (victims rights at guaranteeing non recurrence violation). Namun, semua itu hanya dapat dipenuhi jika penguasa serius berupaya menyelesaikan beban-beban masa silam yang kelam itu.

Sebaliknya, akan jauh lebih memuramkan dan menistakan martabat korban dan kemanusiaan jika tragedi-tragedi itu dibiarkan berlalu begitu saja tanpa diketahui siapa dalang (aktor intelektual) dan pelaku dari tragedi-tragedi kemanusiaan yang getir itu. Pemerintah dan wakil rakyat akan terjerembab pada apa yang disebut Bertrand Russell sebagai kejahatan diam (the crime of silent) jika akhirnya mereka ”terlibat persekongkolan” untuk melindungi para pelaku.

16

Page 17: Opini hukum politik 22 mei 2015

Pertanyaannya, bagaimana cara mereka bersekongkol dan mengapa kita menilainya demikian? Saat pemerintah dan wakil rakyat sepakat menyatakan bahwa kasus-kasus itu bukan pelanggaran HAM berat. Bukankah karena itu maka upaya membentuk lembaga negara khusus untuk menyelesaikannya selalu gagal dari era ke era?

Indonesia, era Orde Baru, tercatat sebagai salah satu negara di dunia yang termasuk dalam kategori pelanggar HAM peringkat tinggi. Pada 1998, Indonesia bahkan pernah ditempatkan oleh Amerika Serikat pada peringkat pertama sebagai negara yang pemerintahnya, dengan melalui agen-agennya, melakukan penganiayaan terhadap umat beragama serta membiarkan atau tidak menyelesaikan secara serius peristiwa-peristiwa berdimensi SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) yang merugikan umat beragama tersebut.

Kita malu dan tak mungkin membantahnya. Karena itulah, kita harus lebih serius mereformasi diri di bidang ini. Demi keadilan dan terungkapnya kebenaran, agar dengan itu kita bisa berdamai dengan masa silam.

Namun, kita prihatin, karena UU No. 27 Tahun 2004 yang melandasi pembentukan KKR telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada akhir 2006 karena dinilai bertentangan dengan UUD 45. Sejak itulah isu rekonsiliasi antara negara dan para korban pelanggaran berat HAM masa silam itu nyaris terlupakan oleh pemerintah dan wakil rakyat di sepanjang era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kita tak ingin Indonesia menjadi bangsa yang tak pernah melunasi utang sejarahnya karena tak ada niat baik untuk menyelesaikannya. Kita tak ingin para korban dan keluarga para korban tragedi-tragedi kemanusiaan masa silam itu hidup merana terus sekarang dan ke depan.

Kita ingin Indonesia di era baru ini melangkah pasti ke masa depan dengan segera menyusun kebijakan-kebijakan khusus untuk menjawab tuntutan masa silam itu dengan melibatkan para korban, lembaga-lembaga pemerhati HAM, dan pemerintah serta wakil rakyat untuk: 1) membuat UU baru yang melandasi berdirinya KKR; 2) sementara UU tersebut belum ada, Presiden segera menerbitkan keppres sebagai landasan untuk membentuk KKR; 3) memilih sejumlah komisioner KKR yang kredibel dan berintegritas, serta menyediakan alat-alat kelengkapan KKR sebagai sebuah lembaga kuasi negara (non-negara, tapi difasilitasi oleh negara); 4) menyusun rencana-rencana kerja KKR hingga tahun 2019, yang kelak dapat dilanjutkan jika agenda-agenda kerjanya belum selesai.

VICTOR SILAENDosen FISIP Universitas Pelita Harapan

17

Page 18: Opini hukum politik 22 mei 2015

Konspirasi Memperlemah Golkar dan PPP

Koran SINDO27 Mei 2015

Kepastian langkah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tentang sengketa Partai Golkar makin memperjelas adanya konspirasi memperlemah Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam percaturan politik nasional. Namun, konsekuensinya menjadi sangat mahal. Perlawanan Golkar dan PPP akan membuat panggung politik dalam negeri gaduh.

Keputusan PTUN Jakarta yang membatalkan Surat Keputusan (SK) Menteri Hukum dan HAM bagi pengesahan kepengurusan Partai Golkar kubu Munas Ancol, sejatinya tidak merugikan pemerintah maupun Menteri Yasonna yang berlatar belakang sebagai kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Pasalnya, konflik kepengurusan Partai Golkar merupakan kepentingan kepengurusan Golkar hasil Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie (ARB) dan hasil Munas Ancol pimpinan Agung Laksono (AL). Tentu akan muncul pertanyaan; mengapa justru Menteri Yasonna yang bersikukuh mengajukan banding atas putusan PTUN itu?

”Menteri Hukum dan HAM bersama kuasa hukum dan para ahli hukum tata negara akan mempelajari putusan PTUN Jakarta untuk menyiapkan memori banding,” ujar Kepala Biro Humas dan Kerja sama Luar Negeri Ferdinand Siagian, Senin (18/5). Pengajuan banding menjadi sangat wajar jika diniatkan oleh Partai Golkar kubu musyawarah nasional (Munas) Ancol pimpinan AL dkk. sebagai pihak yang kalah atau dirugikan. Namun, jika kemudian rencana pengajuan banding itu justru diinisiasi Menteri Yasonna, berarti dia bertindak atas nama kepentingan Golkar kubu AL dkk. Kesimpulan ini menjadi pembenaran atas persepsi bahwa sejumlah kekuatan politik mengintervensi konflik Golkar dengan memanfaatkan wewenang Menteri Laoly.

Lalu, di mana posisi Presiden Joko Widodo (Jokowi)? Kesannya menjadi semakin tidak jelas. Memang, dia sempat memerintahkan Menteri Yasonna untuk tidak melakukan banding. Namun kalau nyatanya Yasonna tetap mengajukan banding, semakin sulit untuk menebak posisi seperti apa yang diambil Presiden karena belum memerintahkan Menteri Yasonna menghentikan banding atas putusan PTUN itu.

Pertanyaan berikutnya tentu saja tentang apa agenda tersembunyi Menteri Yasonna? Tentu tidak sekadar memelihara harapan Agung Laksono dkk. tetap memimpin Partai Golkar. Yasonna tahu betul bahwa Partai Golkar kubu Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie (ARB) akan terus melakukan perlawanan. Kalau hal ini yang terjadi, salah satu target Menteri Yasonna tercapai, yakni berlarut-larutnya konflik internal Partai Golkar.

18

Page 19: Opini hukum politik 22 mei 2015

Upaya lain untuk memperlemah posisi Golkar dan PPP dalam percaturan politik nasional, juga terlihat dari kekuatan konspirasi antara PDIP plus anggota KIH lainnya bersama pemerintah dan KPU menolak revisi terbatas atas Undang-Undang (UU) Pilkada. Banding Menteri Yasonna dan hadangan bagi revisi terbatas atas UU Pilkada, jelas terlihat sebagai upaya agar konflik PPP dan Golkar terus berkepanjangan.

Salah satu tujuan jangka pendek adalah mengganggu soliditas PPP dan Golkar dalam melakukan persiapan mengikuti Pilkada 2015 yang serentak itu. Mereka semua paranoid, takut kalau-kalau impian dan ambisi mereka untuk menang besar dan menguasai pilkada tidak terwujud jika PPP dan Golkar ikut pilkada serentak akhir tahun ini.

Perlawanan

PPP dan Golkar tentu tidak akan tinggal diam. Hal pertama yang perlu disadari oleh Menteri Laoly bahwa sikap dan perilaku yang menzalimi Partai Golkar dan PPP itu akan menjadi luka sejarah yang akan dicatat dengan tinta darah oleh kader Golkar dan kader PPP. Jika pemerintah terus melakukan pembiaran, apalagi ikut memperuncing pertikaian internal parpol, sudah barang tentu DPR akan mengambil sikap.

Kalau sudah begitu, kegaduhan politik menjadi konsekuensinya. Kegaduhan itu bisa saja dimulai dalam masa sidang DPR sekarang ini, ketika sejumlah anggota DPR akan berupaya meloloskan penggunaan hak angket DPR atas pelanggaran UU dan intervensi pemerintah terhadap partai politik dalam pengambilan keputusan di sidang paripurna DPR.

Presiden Jokowi pun harus berani bersikap tegas. Publik tahu bahwa Presiden telah meminta Menteri Yasonna untuk tidak melakukan banding. Namun, faktanya, Menteri Laoly tetap banding. Maka selama tidak ada tindakan tegas dari Presiden untuk mencegah Laoly melakukan banding, Golkar dan PPP berasumsi Presiden mengamini langkah Menteri Laoly.

Golkar dan PPP sangat berharap KPU menjaga independensinya. Jika Partai Golkar tidak dapat mengikuti pilkada serentak, akan muncul reaksi berskala masif dari kader di berbagai daerah. Jangan salahkan kader Partai Golkar di tingkat akar rumput jika mereka menduduki kantor KPU daerah.

Hari-hari ini, Golkar terus mengimbau para kader dari pusat hingga akar rumput serta pengurus daerah tingkat I dan II untuk terus melakukan perlawanan secara masif terhadap gerakan kubu Munas Ancol, karena mereka liar alias tidak legitimate, setelah PTUN membatalkan SK Menkumham tentang pengesahan kepengurusan kubu Munas Ancol.

Kader Partai Golkar tentu mengapresiasi upaya islah yang difasilitasi Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) agar Partai Golkar bisa ikut Pilkada 2015. Namun, persoalan Golkar tidak sekadar bisa dan tidak bisanya ikut Pilkada 2015. Inti permasalahan Partai Golkar adalah keberanian dan kemauan pemerintah mengakui siapa yang paling legitimate memimpin kepengurusan Partai Golkar?

19

Page 20: Opini hukum politik 22 mei 2015

Persoalan internal Partai Golkar sudah telanjur dipahami publik, termasuk Wapres JK sendiri, Presiden Jokowi, serta para ketua umum partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Kepengurusan Partai Golkar menjadi bermasalah karena pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM mengakui kepengurusan produk Munas Partai Golkar di Ancol, Jakarta, yang diselenggarakan oleh kubu AL. Padahal, Munas Ancol itu ilegal dan karenanya tidak legitimate. Munas Ancol jelas tidak punya legitimasi karena peserta, dokumen, dan surat mandat palsu.

Harus ada keberanian untuk mengatakan bahwa Presiden Jokowi, Wapres JK dan para ketua umum parpol anggota KIH pura-pura tidak tahu bahwa kepengurusan Golkar produk Munas Ancol itu ilegal. Padahal, kasus mandat palsunya sendiri sudah dibuka dan masuk ke tahap penyidikan di Bareskrim Mabes Polri. Peristiwanya benar-benar terjadi, sehingga ada alat bukti, ada tersangka pemalsuan dokumen dan surat mandat yang dipalsukan. Bahkan, tidak lama lagi, proses penyidikan oleh Bareskrim Polri akan menyentuh sosok yang mengotaki sekaligus penyandang dana kasus pemalsuan dokumen dan mandat palsu itu.

Jika Kubu Munas Bali didorong untuk islah dengan kubu Munas Ancol, berarti pemerintah mengamini kejahatan politik yang dilakukan AL dkk. Lantas, bagaimana harus menjelaskan kepada publik jika Presiden dan Wapres dengan penuh kesadaran menoleransi aksi kejahatan politik seperti itu? Bagaimana dengan masa depan demokrasi Indonesia yang sudah dibangun dengan susah payah kalau Munas abal-abal sebuah partai politik kemudian mendapat legitimasi dari pemerintah?

Kalau pemerintah tetap mengakui Golkar kubu Munas Ancol, berarti pemerintah tidak mau mengakui kesalahannya. Dengan mempertahankan posisi seperti, pemerintahan Presiden Jokowi-Wapres JK sesungguhnya sudah terjebak akibat kepentingan sempit, yakni ingin menghancurkan Golkar dan PPP. Dan itu harus dilawan sampai titik darah penghabisan.

BAMBANG SOESATYOSekretaris Fraksi Partai Golkar/Anggota Komisi III DPR RI

20

Page 21: Opini hukum politik 22 mei 2015

Retak Parpol, Demokrasi untuk Siapa?

Koran SINDO27 Mei 2015

Kisruh politik kerap melanda partai politik. Yang kita mafhum biasanya datang dari internal partai itu sendiri, namun kini yang terpampang di hadapan kita justru tekanan politik dominan dari luar partai yang kental akan kuasa pemerintah (abuse of power) mewarnai kisruh Partai Golkar dan PPP.

Sejarah berulang, nafsu kuasa Orde Baru yang merasuki PDI waktu itu berakhir dengan tragedi berdarah ”kudatuli” dan chaos partai politik. Situasi serupa menjelma pada konflik Golkar dan PPP saat ini di mana politik kekuasaan menjadi panglima atas nama demokrasi.

Seyogianya, belum lama setelah pileg dan pilpres tahun lalu, rakyat rindu akan kehidupan lebih baik melalui ”suara” yang telah dimandatkan kepada partai politik. Rakyat tidak pernah membayangkan apalagi menginginkan wajah partai politik terbelah, konflik, pecah, gaduh berebut kekuasaan seperti sekarang ini. Tidak berlebihan kalau satu-satunya harapan publik dari pemilu yang digelar tahun lalu adalah langkah maju bangsa ini mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan ketertinggalan lainnya melalui parameter sederhana: rakyat menjadi lebih sejahtera.

Jangan sampai pemilu lima tahunan yang kita rasakan makin berkualitas ini hanya tercatat sebagai laluan sejarah dan ritual politik semata namun kering akan nilai dan esensi demokrasi yang harusnya bermakna ”demos” dan ”cratos”.

Parpol Pilar Demokrasi

Pilihan menjadi partai modern hampir menjadi role model semua partai politik peserta Pemilu 2014 dengan terjemahan platform dan keunikan perjuangan masing-masing. Di samping kebutuhan zaman, partai politik modern merupakan pilihan sejarah sebagai bentuk adaptasi dengan demokrasi kita yang terus berkembang.

Senada pula dengan Partai Perindo yang menasbihkan dirinya sebagai partai modern sejak dideklarasikan 7 Februari lalu, tengah berupaya membangun partai dengan basis massa dan kader. Partai modern yang menjiwai Partai Perindo bukanlah tanpa alasan, sedikitnya ada dua latar belakang: (1) demokrasi membutuhkan harmoni antara agregasi suara rakyat dan perjuangan politik yang substantif sehingga mampu melahirkan partai politik berkualitas; (2) sejarah kelahiran bangsa Indonesia dimotori oleh para pemikir dan tokoh bangsa yang progresif dan visioner, namun tetap realistik mencapai tujuan.

21

Page 22: Opini hukum politik 22 mei 2015

Oleh karena itu, kombinasi kuantitas dan kualitas dalam kemasan modernitas merupakan otentifikasi sekaligus refleksi terbaik dari perjuangan partai politik. Kondisi parpol kekinian (baca: dua parpol yang pecah/konflik) adalah situasi kritikal yang berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi itu sendiri meskipun riuh rendah politik tersebut bisa kita letakkan dalam perspektif dinamika demokrasi partai politik modern.

Apa pun pijakan legitimasinya, demokrasi melalui instrumen partai politik tidak boleh melenceng bahkan out of the track dari intisari kedaulatan di tangan rakyat. Pesan demokrasi jelas menitikberatkan pada kuasa rakyat yang disalurkan melalui partai politik atau lebih mudah kita kenal dengan nama keterwakilan politik. Walhasil, partai politik modern seperti Partai Perindo berpandangan bahwa parlemen sebagai wujud perwakilan politik harus dikelola secara amanah, akuntabel dan transparan. Hanya dengan prinsip-prinsip tersebut maka jalan menuju parlemen yang konstruktif bisa ditegakkan. Dengan demikian, sangatlah tidak produktif jikalau wajah partai politik kita ada retak dan rusak akibat pertarungan elite internal partai politik maupun intervensi politik penguasa yang sudah pasti pada akhirnya merugikan sang mandatori mutlak yang bernama rakyat.

Parpol yang kuat cikal bakal bagi tumbuhnya demokrasi yang sehat dengan pijakan utama pada kepentingan rakyat. Dan suatu panggilan sejarah bagi Partai Perindo untuk membuktikan modernitas kepartaiannya dalam menciptakan demokrasi yang sehat. Analogi singkatnya, tatkala Partai Perindo mampu memainkan peran strategis melalui kader-kader yang berkualitas dalam menyerap, menyalurkan dan juga memperjuangkan suara rakyat maka inklusif penguatan parpol terwujud sejalan dengan terbentuknya ikatan ideologis maupun pragmatis rakyat yang ”menghidupi” demokrasi.

Partai Perindo bersama partai politik lainnya turut andil mendorong jalan baru demokrasi yang sehat diawali dengan potret diri partai politik yang solid, satu, utuh serta menjadikan rakyat sebagai satu-satunya tujuan politik atau dalam ijtihad politik Partai Perindo dikenal dengan istilah politik kesejahteraan.

Parlemen Konstruktif

Parlemen konstruktif sebagai jalan panjang menuju demokrasi yang sehat, setidaknya mengandung arti: (1) menjalankan checks and balances kepada pemerintah dalam semangat kebersamaan. Bersama bisa diartikan dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Pertama, pada posisi mendukung sejalan dengan program dan kebijakan pemerintah sepanjang berpihak pada kepentingan rakyat dan kedua, berbeda sikap dengan cara memberikan pandangan berbeda tidak sekadar kritik semata beroposisi, tapi konsisten secara aktif terlibat dalam proses pengambilan keputusan politik sejak awal agar suatu kebijakan pemerintah selalu bisa diperdebatkan secara konstruktif meski pada akhirnya tidak melulu sejalan dengan sikap pemerintah, (2) menerjemahkan sepenuhnya fungsi partai politik sebagai sarana komunikasi politik sekaligus pengatur konflik.

22

Page 23: Opini hukum politik 22 mei 2015

Peran (berbeda) sebagai oposisi rupanya dibutuhkan bukan hanya untuk mengawasi kekuasaan. Partai politik oposan diperlukan karena baik dan benarnya politik harus diperjuangkan dalam kontestasi politik serta diuji dalam wacana politik yang terbuka dengan melibatkan publik.

Sejatinya, praktik kekuasaan yang dijalankan pemerintah haruslah teruji bernas untuk kepentingan rakyat karena pengawasan melalui parlemen adalah satu bangunan (built in) yang niscaya dalam era demokrasi. Maka pesan terpenting bagi para penguasa (baca: pemerintahan Jokowi-JK) tidak perlu terlalu reaktif ketika wajah parlemen kita berdinamisir dalam dua arus utama KMP dan KIH. Dinamika itu merupakan berkah bawaan bahkan menjadi jamu yang mungkin terasa pahit, namun menyehatkan di kemudian hari.

Sikap kritis yang disuarakan parpol KMP harus diletakkan dalam porsi oposisi loyal di mana kekritisan tersebut terjamin tidak akan keluar dari substansi nilai dan esensi demokrasi. Loyalitas pada agenda besar kebangsaan, program-program kerakyatan menjadi pijakan berpikir dan kerja-kerja politik baik oleh KMP maupun KIH. Lantas, mengapa penguasa mesti gencar kerja keras mengondisikan mayoritas parpol di parlemen sebagai pendukung pemerintah? Bukankah itu akan melemahkan demokrasi sekaligus mendegradasi fungsi-fungsi parpol di mana semua aspirasi rakyat seolah dikanalisasi dalam keseragaman garis politik penguasa.

Pelemahan demokrasi ini tidak boleh dibiarkan terjadi apalagi nuansa intervensi politik lebih menyeruak dalam kisruh partai Golkar dan PPP. Kalau sudah demikian boleh jadi kemunduran sejarah bangsa di depan mata setelah hampir 17 tahun reformasi bergulir, alih-alih demokrasi belum mampu dinikmati rakyat secara langsung menyentuh kehidupan sehari-hari.

Saatnya kita jaga dan tumbuhkan cita-cita demokrasi yang bersumber pada makna kedaulatan rakyat melalui representasi partai-partai politik karena pada hakikatnya di dalam tubuh parpol yang sehat akan tumbuh demokrasi yang kuat.

MARDIANSYAH Pengurus DPP Partai Perindo dan Ketua Umum DDMI (Dewan Dakwah Muslimin Indonesia) DKI Jakarta

23

Page 24: Opini hukum politik 22 mei 2015

Keraton (Belum) Hamil Tua

Koran SINDO28 Mei 2015

Salah satu isu pokok penyebab perselisihan di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah dinobatkannya GKR Pembayun sebagai puteri mahkota bergelar GKR Mangkubumi Hamemayu Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram. Nama Mangkubumi adalah nama Sultan Hamengku Buwono X sebelum diwisuda sebagai putera mahkota dan identik dengan nama pendiri Kesultanan Yogyakarta.

Keseriusan Hamengku Buwono X menyiapkan puterinya disimbolkan dengan duduknya GKR Mangkubumi di Watu Gilang, bekas singgasana pendiri Mataram Panembahan Senopati. Meskipun Sultan tidak menyebut secara eksplisit dan GKR Mangkubumi menyatakan ”ojo nggege mongso” (jangan mendahului sesuatu sebelum waktunya), persiapan suksesi sudah terlihat nyata.

Soalnya, sejarah Kesultanan Yogyakarta adalah sejarah kekuasaan laki-laki. Belum pernah ada Raja Mataram perempuan, sejak didirikan oleh Panembahan Senopati di Kotagede hingga sekarang. Seluruh rangkaian sejarah Mataram adalah tentang kekuasaan raja, bukan ratu. KGPH Yudhaningrat, salah satu adik Hamengku Buwono X, menyatakan, ”Memaksakan GKR Mangkubumi menjadi puteri mahkota akan menghilangkan dinasti Hamengku Buwono yang selama ini memimpin Keraton Yogyakarta. Pasalnya, Keraton Yogyakarta melanjutkan khalifah Mataram yang berdasar pada nasab patriarki.” Bahkan adik Sultan yang lain, KGPH Hadiwinoto, berani menyatakan bahwa Sabda Raja dan Dawuh Raja batal demi hukum.

Ratu dalam Sejarah

Sejarah mencatat Ratu Shima memerintah Kerajaan Kalingga di sekitar Jepara, Jawa Tengah, pada abad ke-7. Ratu Shima dikenal tegas dan adil dalam menegakkan hukum dan menjalankan pemerintahan. Pada masa pemerintahannya Kalingga mengalami kemajuan dan kemakmuran.

Dalam sejarah Majapahit yang berpusat di Mojokerto, Jawa Timur, tersebutlah nama Ratu Tribhuwana Tunggadewi. Menyusul kematian Raja Jayanegara yang tidak mempunyai keturunan, tahta diserahkan kepada istri Raden Wijaya, Gayatri. Tetapi, karena Gayatri sudah menjadi biksuni, tahta kemudian diserahkan kepada puterinya, Dyah Gitarja, yang setelah naik tahta bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi pada 1329.

24

Page 25: Opini hukum politik 22 mei 2015

Meski selama kekuasaannya ada beberapa pemberontakan, Tribhuwana dibantu Patih Gadjah Mada berhasil memajukan dan bahkan memperluas wilayah kekuasaan Majapahit. Setelah Tribhuwana lengser (1351), anaknya, Hayam Wuruk, melanjutkan kekuasaan dan sukses mencapai zaman keemasan.

Hayam Wuruk wafat pada 1389, tongkat kekuasaan diberikan kepada puterinya, Kusumawardhani, meskipun pemerintahan dijalankan oleh suaminya, (”Bapak Negara”) Wikramawardhana. Jadi, pemerintahan Kerajaan Majapahit pada abad ke-14 sudah mengenal kepemimpinan perempuan, sekitar tujuh abad setelah Ratu Shima berkuasa di Kerajaan Kalingga.

Dalam kebudayaan berbeda, sejarah ratu dapat ditemukan di Aceh pada abad ke-17. Pascakematian Sultan Iskandar Tsani terjadilah perdebatan tentang siapa penggantinya. Secara adat dan agama, ada tantangan berat terhadap kehadiran pemimpin perempuan, tetapi atas pengaruh ulama besar Syiah Kuala diangkatlah Safiatuddin (istri Iskandar Tsani) sebagai sultanah. Syiah Kuala berperan sebagai penasihat kerajaan, Kadi Malikul Adil.

Setelah Safiatuddin, ada tiga perempuan menjadi sultanah yakni Naqiatuddin, Zakiatuddin, dan Kamalat Syah. Sejarah empat sultanah ini terjadi pada periode 1641-1699. Ini sejarah terobosan kepemimpinan perempuan di tengah dominasi tradisi laki-laki yang kuat secara budaya dan agama.

Pemerintahan ratu juga ditemukan di Kesultanan Bima. Pengganti Sultan Abdul Qadim Ma Waa Taho yang memerintah 1742-1773 adalah Sultanah Kumalasyah (Kumala Bumi Partiga) yang memegang tahta pada 1773-1795. Ratu Bima ini akhirnya dibuang oleh Inggris ke Sri Lanka hingga mangkat.

Di Kerajaan Bone jumlah ratu lebih banyak lagi. Beberapa nama ratu yang bisa disebut adalah We Banri Gau Arung Majang, We Tenri Pattuppu, We Batari Toja Daeng Talaga, We Tenri Waru Pancai Tana, We Fatimah Banrigau, Sultanah Salima Rajiatuddin, dan Sultanah Zainab Zakiatuddin. Nama-nama ratu tersebut memerintah di Bone, di antara raja dan sultan, pada abad ke-15 sampai abad ke-19.

Di Kesultanan Yogyakarta, Kerajaan Mataram Islam yang bersistem patriarki sudah pernah ada preseden perempuan sebagai wali Sultan. Ketika Hamengku Buwono V naik tahta dalam usia balita, ada empat orang wali Sultan yang ditunjuk yakni Ratu Ageng (nenek Sultan), Ratu Kencono (ibu Sultan), Mangkubumi, dan Diponegoro.

Ratu Ageng dan Ratu Kencono bertugas mendidik dan membesarkan Sultan hingga dewasa, sedangkan Mangkubumi dan Diponegoro menjalankan pemerintahan. Namun, tugas manajemen pemerintahan sering diintervensi Patih Danurejo IV atas sokongan Ratu Kencono. Inilah yang menjadi salah satu pemicu perlawanan Diponegoro.

Lahirkah Ratu Baru?

25

Page 26: Opini hukum politik 22 mei 2015

Jika tidak ada halangan, puteri mahkota sekarang adalah raja–tepatnya ratu–berikutnya. Praktis satu kaki Pembayun sudah bergerak menuju tahta Keraton Yogyakarta. Meski demikian, kaki satu lagi masih ”terikat” sejumlah tantangan.

Tantangan pertama dari internal Keraton sendiri. Apakah para adik Sultan Hamengku Buwono X akan berhasil dirangkul untuk menerima Dawuh Raja? Jika persuasi Sultan sukses, jelas ini akan melempangkan jalan bagi lahirnya Ratu Mataram. Jika tidak berhasil, implikasi politik dari reaksi dan penolakan keluarga bisa menjadi masalah yang tidak sepele.

Atas nama mempertahankan tradisi, preseden suksesi masa silam bisa diangkat kembali oleh para adik laki-laki Hamengku Buwono X. Dalam sejarah Keraton pernah terjadi suksesi dari Hamengku Buwono V kepada adiknya, GRM Mustojo, untuk diangkat menjadi Hamengku Buwono VI.

Sementara di Kasunanan Surakarta juga pernah terjadi suksesi dari Pakubuwono VI kepada pamannya sebagai Pakubuwono VII dan kemudian dari Pakubuwono VII kepada kakaknya untuk bertahta sebagai Pakubuwono VIII. Jauh sebelumnya, Sultan Agung Hanyakrakusuma menjadi raja setelah menggantikan adiknya, Adipati Martapura.

Tantangan kedua datang dari UU Keistimewaan Yogyakarta. Diatur secara jelas di dalam Pasal 18 ayat 1, UU No. 13 Tahun 2012 bahwa gubernur dan wakil gubernur yang diamanahkan kepada Hamengku Buwono dan Paku Alam adalah laki-laki. UU tidak memberi ruang opsi perempuan. Perda yang disahkan DPRD DIY akhir Maret juga menegaskan perintah UU.

Kompleksitas politik akan lahir jika Keraton Yogyakarta dipimpin perempuan ketika dihadapkan dengan aturan di dalam UU tersebut. Masalah ini hanya akan bisa diselesaikan jika UU Keistimewaan Yogyakarta direvisi. Apakah revisi akan mendapatkan dukungan keluarga Keraton, publik, dan DPR?

Tantangan ketiga berasal dari publik. Pemimpin Keraton juga pemimpin bagi masyarakat Yogyakarta modern dan majemuk. Meskipun secara tradisi-kultural tidak mudah rakyat Yogyakarta menerima kehadiran seorang ratu, tetapi zaman sudah bergerak dan membawa banyak perubahan pengertian. Tafsir budaya Jawa tentang perempuan sebagai ”konco wingking” (teman di belakang rumah) tidak lagi ketat dan keras.

GKR Mangkubumi juga diuntungkan oleh perkembangan konstruksi teologis Islam tentang kepemimpinan yang makin cair dari bias gender. Penolakan terhadap pemimpin perempuan tidak akan menjadi arus utama. Dalam konteks perubahan konstruksi berpikir Islam-Jawa itu, dikotomi antara kehadiran raja atau ratu cenderung tidak lagi menonjol. Yang lebih dianggap penting adalah apakah pemimpin itu diterima oleh publik dan cakap bekerja.

Tentu saja kompleksitas adat, tradisi, politik, dan bahkan mitos akan tetap menyertai proses suksesi di Keraton Yogyakarta. Apakah akan lahir Ratu baru dan bagaimana proses

26

Page 27: Opini hukum politik 22 mei 2015

kelahirannya, jelas akan menjadi perhatian publik. Yang jelas Keraton Yogyakarta memang sedang ”hamil”. Apakah tanda-tanda ini akan mengonfirmasi garis tangan GKR Mangkubumi? Wallahu a’lam.

ANAS URBANINGRUMPengamat Politik

27

Page 28: Opini hukum politik 22 mei 2015

Tradisi Kehati-hatian KPK

Koran SINDO28 Mei 2015

Fenomena kekalahan ketiga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemeriksaan praperadilan sebaiknya dievaluasi oleh pimpinan KPK. Hal ini bukan saja menunjukkan ada ketidaktelitian pimpinan KPK dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka, melainkan juga merupakan ada realitas kekacauan logika dalam menilai dan menafsirkan alat bukti.

KPK tidak dapat mempertahankan perbuatan dan keputusannya dalam menetapkan Komjen Pol Budi Gunawan (mantan kepala Lemdikpol, saat ini Wakapolri), Ilham Arief Sirajuddin (mantan wali Kota Makassar), dan Hadi Poernomo (mantan ketua Badan Pemeriksa Keuangan/BPK) selaku tersangka tindak pidana korupsi saat diuji di pengadilan.

Saat pengadilan mengabulkan praperadilan seorang yang telah ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka, setidaknya ada dua masalah utama yang muncul yakni bukti permulaan dan perampasan kemerdekaan jika tersangka ditangkap dan ditahan. Praperadilan adalah mekanisme pengujian yang menjadi kewenangan pengadilan untuk menguji sah atau tidak sahnya perbuatan penyidik dalam melakukan penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan/penuntutan, dan penetapan tersangka, di samping untuk memeriksa permintaan ganti kerugian dan rehabilitasi jika sebuah perkara tidak diajukan ke pengadilan.

Seperti kita ketahui, putusan gugatan praperadilan yang diajukan oleh Hadi Poernomo dikabulkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 26 Mei 2015. Kritik terhadap putusan tersebut tak ayal dilontarkan Pelaksana Tugas (Plt.) Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki. Mantan ketua KPK Jilid I (2003-2007) ini menyatakan putusan hakim praperadilan telah melampaui permohonan pemohon (Hadi Poernomo) dan bertentangan dengan UU serta memiliki implikasi luas bagi penegakan hukum maupun bagi pemberantasan korupsi (SINDONEWS, 26/5/ 2015).

Artikel ini tidak akan memperdebatkan putusan praperadilan yang telah diketuk, tetapi mengingatkan kembali tradisi kecermatan yang dibangun oleh para pimpinan KPK di awal berjalannya lembaga ini.

Tradisi Kehati-hatian

Tugas utama penyidik adalah mencari serta mengumpulkan bukti. Bukti merupakan modal paling utama bagi penyidik untuk mengetahui apakah benar telah terjadi tindak pidana dan menemukan siapa tersangka yang telah melakukan perbuatan pidana tersebut. Dalam proses penyidikan, seorang penyidik akan mengumpulkan bukti dengan cara memanggil saksi-saksi

28

Page 29: Opini hukum politik 22 mei 2015

yang dianggap mengetahui peristiwa tindak pidana, mengumpulkan bukti surat, dan meminta pendapat ahli.

Dalam konteks penyidikan KPK, proses pencarian alat bukti ini tidak jarang terliput media saat penyidik melakukan penggeledahan dan penyitaan. Kewenangan melakukan penyadapan yang dimiliki KPK juga digunakan untuk mendukung proses penyidikan yang dilakukan.

Pada masa awal berdiri KPK, Taufiequrrahman Ruki adalah seorang pimpinan KPK yang mengajarkan kehati-hatian dalam bertindak. Ruki bahkan pernah menyatakan, penyidik KPK diminta untuk mencari lima alat bukti walaupun hukum acara hanya meminta dua alat bukti untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka. Kehati-hatian diperlukan karena KPK oleh undang-undang tidak diperbolehkan menghentikan perkara yang telah berlangsung.

Tradisi kehati-hatian ini agaknya memudar belakangan. Gelar perkara yang seharusnya dilakukan penyidik dan pimpinan KPK untuk menguji kebenaran dan kelengkapan alat bukti bahkan ditinggalkan, sebagaimana dinyatakan oleh mantan penyidik KPK, Hendy F Kurniawan, yang bertugas sejak 2008 sebelum mengundurkan diri pada 2012. Ketika bersaksi dalam persidangan praperadilan Budi Gunawan, mantan penyidik KPK ini menerangkan dirinya mundur karena pernah diminta pimpinan KPK untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka tanpa dua alat bukti (KORAN SINDO, 11/2/2015).

Ketika pimpinan KPK menetapkan seorang menjadi tersangka, pada dasarnya menunjukkan kemampuannya untuk berdisiplin mengemukakan alasan-alasan hukum yang didapatkan penyidik yang terjun langsung dalam pencarian dan pengumpulan alat bukti. Kemampuannya mengonstruksikan sebuah peristiwa yang dinilai sebagai tindak pidana berdasarkan alat bukti yang lengkap. Serta, menunjukkan juga kebijaksanaan (wisdom), wawasan (insight), dan pengetahuannya (knowledge) menyeleksi alat bukti. Atau, bahkan meminta penyidik untuk mencari lagi alat bukti lain agar lengkap sebelum menetapkan seseorang yang disangka sebagai pelaku peristiwa tidak pidana itu.

Di sinilah mekanisme gelar perkara menjadi sentral dan tidak boleh dilewatkan. Dalam forum gelar perkara ini, para penyidik dan pimpinan KPK seharusnya berdebat keras agar tidak keliru langkah.

Perampasan Kemerdekaan

Tradisi yang agaknya masih tetap dilaksanakan adalah penahanan terhadap tersangka sebelum yang bersangkutan dilimpahkan berkasnya ke pengadilan. Bahkan muncul istilah ”Jumat Keramat”, di mana seorang tersangka KPK ditahan setelah pemeriksaan pada hari Jumat.

Penahanan apa pun bentuknya merupakan perampasan kemerdekaan. ”Beruntung” para tersangka yang memenangkan gugatan praperadilan belum ditahan oleh KPK. Jika seseorang telah ditetapkan menjadi tersangka, lalu ditahan, dan kemudian gugatan praperadilannya

29

Page 30: Opini hukum politik 22 mei 2015

dimenangkan oleh pengadilan, tentu menjadi masalah bagi penghormatan hak asasi yang bersangkutan. Ilham Arief Sirajuddin dan Hadi Poernomo misalnya, walaupun tidak ditahan, keduanya dicekal-dicegah untuk bepergian ke luar negeri. Hal ini juga merupakan bentuk perampasan kemerdekaan warga negara untuk bepergian.

Kehati-hatian dalam menetapkan tersangka menjadi amat penting agar tindakan perampasan kemerdekaan terhadap yang bersangkutan tidak melanggar hak asasi. Dalam perspektif dan disiplin hak asasi manusia, bentuk-bentuk perampasan kemerdekaan seperti penahanan harus didasarkan pada alasan hukum yang benar dan rasional. Kegagalan memenuhi persyaratan ini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia.

Karena merupakan perampasan kemerdekaan, sejak tahun 1981 KUHAP melimitasi kewenangan penyidik untuk melakukan penahanan. Perintah penahanan atau penahanan lanjutan bukanlah merupakan suatu hal yang wajib dilakukan. Bukan juga untuk konsumsi kehumasan atau bertujuan pencitraan. Perintah penahanan ini harus didasarkan pada adanya kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti, dan atau mengulangi tindak pidana. Karena itu, ”tradisi” penahanan sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisde) juga perlu dievaluasi.

Evaluasi dan Kembalikan Tradisi

Kepentingan dan harapan agar KPK berhati-hati dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka, melakukan penahanan, mencegah seseorang bepergian atau pun pemblokiran rekening, didasarkan 3 (tiga) alasan pokok. Pertama, agar kepercayaan terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan lembaga ini sebagai murni penegakan hukum tidak pupus. Tidak sedikit kritik yang dilontarkan pengamat bahwa penetapan tersangka oleh KPK juga dipengaruhi oleh motif-motif kepentingan di luar penegakan hukum dan keadilan.

Kedua, supaya kekeliruan perilaku penyidik atau pimpinan KPK dapat segera diakhiri. Secara mudah masyarakat menilai, jika polisi bintang tiga, mantan pejabat tinggi negara, atau mantan pimpinan daerah saja dapat ditetapkan menjadi tersangka tanpa proses yang benar, tidak menutup kemungkinan akan terjadi kepada siapa pun. Masyarakat menginginkan pimpinan KPK memberi pelajaran dan praktik yang benar di bidang penegakan hukum. Ketiga, tentu saja agar hak asasi warga negara tidak ditunda atau bahkan dirampas tanpa dasar hukum yang benar dan adil.

Evaluasi kelembagaan sudah sepatutnya dilakukan oleh KPK sendiri. Mengembalikan tradisi kehati-hatian dalam menetapkan tersangka menjadi tugas penting pimpinan dan Plt. pimpinan saat ini dan pimpinan KPK ke depan. Semangat dan gagasan kehati-hatian di tubuh KPK yang diamanatkan undang- undang sebaiknya dijadikan tradisi (tradere) di lembaga ini, di-transmit, dilanjutkan, dan dijaga keberlangsungannya.

30

Page 31: Opini hukum politik 22 mei 2015

PATRA M ZENKetua Komite Bantuan Hukum, Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia

31

Page 32: Opini hukum politik 22 mei 2015

Putusan Haswandi dalam Praperadilan Hadi Poernomo

Koran SINDO29 Mei 2015

  

Hiruk-pikuk kedua soal putusan praperadilan melawan KPK terjadi lagi satu hari setelah hakim Haswandi, ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, memutuskan KPK tidak sah menetapkan Hadi Poernomo (HP) sebagai tersangka.

Ada pertimbangan Hakim Haswandi yang membuat gelisah pimpinan KPK dengan menyatakan bahwa putusan tersebut akan membuyarkan pemberantasan korupsi dengan merujuk kepada 371 perkara korupsi yang telah in-kracht. Sejatinya dalam sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia tidak dianut yurisprudensi sebagai sumber hukum selain undang-undang. Selain itu, kekhawatiran pimpinan KPK berlebihan karena putusan Haswandi tidak dapat “diberlakukan” surut. Putusan Haswandi tidak retroaktif tetapi prospektif, itu pun jika hakim lain mengikutinya. Tidak ada perlu ada reaksi yang berlebihan, apalagi dengan mengatakan putusan Hakim Haswandi mendelegitimasi status PPNS yang terdapat di kementerian/lembaga (K/L).

Jika pengamat dan pimpinan KPK cermat membaca permohonan pemohon praperadilan (HP), di dalamnya ada permohonan terkait status penyelidik dan penyidik pada KPK. Seingat penulis, permohonan a quo yang pertama dimasukkan ke PN Jaksel tidak tercantum soal status penyelidik dan penyidik, tetapi dicantumkan dalam permohonan praperadilan yang kedua. Jadi tidak ada putusan Hakim Haswandi yang bersifat ultra petita.

Dalam kaitan status penyelidik dan penyidik pada KPK, juga terdapat pemahaman keliru dari pimpinan KPK. Lex specialis yang dimaksud dalam UU KPK merujuk pada aspek historis dan teleologis mengenai latar belakang pembentukan KPK. Dalam hal ini hanya terkait kewenangan komisioner KPK yang luas dan menyimpang dari ketentuan KUHAP, bukan terkait pada status pegawai penyelidik, penyidik dan penuntut pada KPK. Alas hukum mengenai hal tersebut tercantum dalam Pasal 38 ayat (1) jo Pasal 6 dan khususnya Pasal 12 UU KPK.

Sementara status penyelidik, penyidik, dan penuntut (P3) tetap merujuk pada KUHAP yang merupakan “payung hukum” (umbrella act) proses beracara dalam perkara pidana termasuk perkara tipikor. Jika di dalam UU KPK tidak ditegaskan status siapa P3, yang berlaku adalah ketentuan a quo yang telah diatur dalam payung hukum tersebut. Tidak boleh ditafsirkan oleh pimpinan KPK karena tidak diatur secara khusus, pimpinan KPK dapat menafsirkan dan

32

Page 33: Opini hukum politik 22 mei 2015

mengangkat sendiri karena proses peradilan harus mengikuti secara hierarkis dan secara prosedural berpegang teguh pada sistem kodifikasi.

Dalam kaitan pengangkatan penyelidik, penyidik, dan penuntut pada KPK (Pasal 43, 44 dan Pasal 51 UU KPK) khususnya penyidik dan penuntut seharusnya dibaca terhubung pada Pasal 39 ayat (3) UU KPK. Karena penyelidik, penyidik dan penuntut diberhentikan sementara dari institusi asalnya sehingga harus ada yang mengangkat agar dapat menjalankan fungsinya, yaitu pimpinan KPK. Bunyi Pasal 39 ayat (3) UU KPK jelas merujuk pada ketentuan KUHAP mengenai siapa P3 sehingga institusi asalnya dimaksud adalah kepolisian bagi penyelidik dan penyidik dan kejaksaan bagi penuntut.

Bahkan dalam UU KPK, fungsi jaksa penuntut hanya sebatas penuntutan bukan penyidikan; posisi yang berbeda ketika jaksa berada dalam lingkungan kerja kejaksaan di mana sesuai dengan bunyi UU Nomor 6 Tahun 2004, penuntut dapat melaksanakan fungsi penyidikan dalam tindak pidana tertentu termasuk tipikor. Dalam UU KPK tidak ada ketentuan eksplisit menyebutkan bahwa penuntut dapat melakukan fungsi penyidikan juga.

Berdasarkan uraian aspek hukum dari pertimbangan Hakim Haswandi, ketidakpuasan atau keberatan pimpinan KPK seharusnya dijadikan bahan introspeksi internal KPK untuk berbenah diri secara total. Pembenahan itu baik dari aspek manajemen perkara, proses pengambilan keputusan melalui gelar perkara berdasarkan sistem kolektif-kolegial dan menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian dan berpedoman pada prinsip hukum “due process of law“.

Diharapkan ke depan KPK menjalankan penegakan hukum secara bermartabat dalam pemberantasan korupsi jika merujuk pada penetapan tiga tersangka yang tidak sah yang oleh KPK selalu diikuti dengan proses pencekalan, pemblokiran, penyitaan yang mutatis mutandis tidak sah. Akibat hukum putusan Haswandi, tindakan KPK terhadap tiga tersangka adalah merupakan bentuk perampasan kemerdekaan yang diancam pidana berdasarkan Pasal 333 KUHP.

Putusan Hakim Haswandi hanya berdampak terhadap status penyelidik dan penyidik pada KPK dan tidak ada kaitannya dengan status PPNS yang telah diatur di dalam beberapa UU sektoral yang secara eksplisit telah dicantumkan dalam Pasal 6 KUHAP. 

ROMLI ATMASASMITA Guru Besar (Emeritus) Unpad/Unpas

33

Page 34: Opini hukum politik 22 mei 2015

Menanti Kapolri yang Blusukan

Koran SINDO29 Mei 2015

Baru sekitar sebulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Jenderal Pol Badrodin Haiti menjadi kapolri, masalah yang dihadapi kepolisian datang silih berganti. Mulai Polsek Limun dibakar massa di Sarolangun, Jambi, kasus suap kasus narkoba yang melibatkan perwira menengah Bareskrim Polri di Bandung, hingga penangkapan penyidik KPK Novel Baswedan yang dinilai banyak kalangan kontroversial.

Seminggu setelah dilantik, Kapolri kemudian melantik Komjen Pol Budi Gunawan menjadi wakil kapolri (wakapolri) pada 22 April 2015. Kita harapkan pelantikan ini akan membawa angin segar agar kinerja duet Badrodin-Budi Gunawan bisa saling bersinergi dan saling melengkapi sehingga pelayanan Polri kepada masyarakat dapat ditingkatkan.

Sebelum dilantik Presiden, Kapolri Badrodin di hadapan Komisi III DPR RI mengemukakan sejumlah programnya akan membawa perubahan pada wajah kepolisian untuk melayani dan ingin melakukan revolusi mental walau dirinya hanya menjabat satu tahun lebih jadi kapolri.

Selalu Ada Harapan

Beberapa visi-misi Kapolri yang disampaikan Kapolri Badrodin adalah, pemantapan soliditas dengan melakukan reformasi Polri dalam bidang SDM, sarana-prasarana, dan anggaran. Kemudian, Kapolri ingin melaksanakan revolusi mental SDM melalui perbaikan sistem rekrutmen, peningkatan kesejahteraan, pendidikan dan latihan, serta peningkatan pengawasan di tubuh kepolisian.

Apa yang disampaikan Badrodin sangat terkait dengan situasi yang ada saat ini. Apalagi, kemarin sempat terjadi polemik dalam pengajuan Budi Gunawan sebagai calon kapolri. Kita sadar atau tidak sempat terjadi friksi dalam internal kepolisian. Untuk itu, kita mengharapkan kepada kapolri dan wakilnya bisa membawa kesejukan dalam internal kepolisian dan bukan sebaliknya. Soliditas Polri saat ini sangat dibutuhkan dalam mengujudkan visi-misi Badrodin.

Hal lain kita harapkan, Polri harus lebih terbuka untuk dikritisi, baik oleh pengawas internal sendiri maupun eksternal Polri. Dalam catatan kami sebagai anggota Kompolnas, Kapolri dan Wakapolri bukan pimpinan Polri yang anti-kritik. Untuk itu, semua kritikan masyarakat harus kita jadikan masukan dalam rangka meningkatkan profesionalisme Polri agar semakin dicintai masyarakat pada masa mendatang.

34

Page 35: Opini hukum politik 22 mei 2015

Salah satu yang harus dibenahi adalah keinginan Presiden Jokowi melakukan revolusi mental dalam melayani kepada masyarakat dan bukan untuk dilayani. Kita sadari, budaya untuk melayani masih barang langka dalam pelayanan kepolisian. Kita harapkan semua kapolsek, kapolres, dan kapolda sebagai garda terdepan di tengah masyarakat di daerah bisa mengabdikan dirinya menjadi pelayan bagi masyarakat setempat.

Untuk menumbuhkan semangat untuk melayani pada tataran polisi pada tataran bawah, perlu kiranya kehadiran Badrodin dan Budi Gunawan secara bergiliran turun ke markas polisi hingga polsek sekalipun. Dalam catatan kami, kehadiran Badrodin di Polsek Limun yang dibakar massa di Jambi, patut kita apresiasi.

Program lain Kapolri adalah memperkuat kemampuan pencegahan kejahatan dengan landasan prinsip proactive policing dan problem oriented policing. Keinginan Kapolri di atas bisa dilaksanakan dan diwujudkan apabila Kapolri betul-betul memfungsikan kehadiran polmas di tengah masyarakat.

Program lain yang juga menjadi tekad Badrodin adalah memacu terbentuknya postur Polri yang lebih dominan sebagai pelayan, pengayom, dan pelindung masyarakat. Program ini tidaklah mudah dilakukan dalam waktu singkat. Program ini kemungkinan akan bisa diwujudkan apabila kapolsek hingga kapolri memberikan contoh setiap saat selalu hadir di tengah masyarakat. Harapan masyarakat terhadap Polri begitu besar. Masyarakat menginginkan agar polisi hadir dalam 24 jam di tengah masyarakat. Kapan masyarakat butuh polisi, dalam waktu cepat, polisi sudah hadir di tempat itu.

Kemudian, meningkatkan kemampuan deteksi untuk memahami potensi akar masalah gangguan kamtibmas dan kemampuan memediasi dan solusi non-represif juga saat ini sangat dibutuhkan kepolisian. Di berbagai daerah, sering terjadi konflik sosial. Kapolsek dan kapolres wajib hukumnya berada di tengah masyarakat, apalagi ada kejadian yang menonjol. Tidak jarang selama ini kita pantau kapolsek dan kapolres jadi “kodamar” (komandan dalam kamar). Padahal, gangguan kamtibmasnya rawan gesekan.

Dalam catatan saya, jika saja polisi cepat menyelesaikan masalah antara polisi dan masyarakat di Kecamatan Limun, Sarolangun, Jambi beberapa minggu lalu, massa tidak akan membakar polsek setempat. Hal ini menjadi bukti, kapolsek dan kapolresnya di berbagai daerah kalau mereka masih malas-malasan turun di tengah masyarakat.

Kemudian, masalah yang juga banyak disorot adalah bagaimana dalam meningkatkan kemampuan penegakan hukum yang profesional, terutama penyidikan ilmiah guna menekan empat jenis kejahatan. Ini juga kemarin merupakan bagian dari visi-misi Kapolri Badrodin.

Kasus penangkapan penyidik KPK Novel Baswedan yang mendapat perhatian khusus dari Presiden Jokowi dan penyimpangan yang dilakukan seorang perwira menengah berpangkat AKBP dalam kasus narkoba, patut perlu kita renungkan; apakah Polri sudah melakukan tugasnya secara profesional atau tidak.

35

Page 36: Opini hukum politik 22 mei 2015

Paling tidak, jika melihat visi-misi Kapolri tampaknya akan terwujud jika Wakapolri mendukung Kapolri sepenuhnya. Duet Kapolri-Wakapolri yang saya kenal sebagai sahabat sejak masuk Akpol seyogianya dapat mempercepat terwujudnya visi-misi Kapolri baru ini. Dalam catatan kami, duet Kapolri dan Wakapolri ini kita dukung untuk dapat saling mengisi dan melengkapi.

Kapolri sebagai sosok lapangan andal dan peringkat 1 Akpol (Adimakayasa 82). Beliau empat kali menjadi kapolda (Banten, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, dan Jawa Timur). Sementara itu, sosok Wakapolri, bintang tiga yang dinilai brilian dalam konsep dan manajemen. Bahkan, beliau salah satu arsitek dalam menyusun visi-misi beberapa kapolri sebelumnya. Karena itu, tidak berlebihan bila Budi Gunawan dijuluki jenderal intelektual.

Jadi, keunggulan Kapolri-Wakapolri bila disatukan dapat membawa perubahan signifikan di tubuh Polri. Kapolri dapat mewujudkan visi-misi yang terkait dengan eksternal, sementara untuk internal diserahkan kepada Wakapolri untuk merealisasikannya. Kalau semua program ini dapat diwujudkan, kepercayaan masyarakat terhadap Polri secara bertahap akan pulih. Dan, tentu akan semakin baik antara kapolri dan wakapolri bila saling mengisi dan melengkapi serta memberikan contoh lebih sering tampil di tengah masyarakat.

Semoga duet ini sungguh-sungguh membawa perubahan di tubuh Polri, sehingga kekhawatiran sebagai elemen masyarakat terhadap Kapolri Badrodin dan Wakapolri Budi Gunawan terjawab melalui kerja keras dan pengabdian yang tulus.

EDI SAPUTRA HASIBUAN Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) RI dan Kandidat Doktor Universitas Borobudur

36

Page 37: Opini hukum politik 22 mei 2015

Kisruh Hukum Praperadilan

Koran SINDO30 Mei 2015

  

Tak terbantahkan, beberapa vonis praperadilan atas penetapan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belakangan ini telah menimbulkan kekisruhan atau komplikasi hukum. Hakim Sarpin dan hakim Haswandi misalnya telah mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan oleh Budi Gunawan dan Hadi Poernomo.

Pro dan kontra atas sebuah vonis sebenarnya biasa terjadi sehingga boleh saja orang setuju atau tak setuju pada pembatalan atas penersangkaan Budi Gunawan, Hadi Poernomo, atau Ilham Arief Sirajuddin. Namun, mereka telah melakukan upaya hukum dengan praperadilan dan hakim telah mengabulkannya. Itu harus dihormati.

Tetapi, vonis-vonis atas perkara ini menimbulkan kisruh karena yang terjadi bukan hanya pro-kontra atas kasus konkretnya, melainkan munculnya komplikasi konseptual atas peraturan abstraknya. Dua hakim itu bukan hanya memutus kasus konkret, melainkan juga secara tidak langsung melakukan pengujian (judicial review) atas isi UU dengan tidak memberlakukan Pasal 77 KUHAP.

Pasal 77 KUHAP menyatakan bahwa penetapan status tersangka bukan termasuk objek praperadilan, tetapi oleh dua hakim tersebut, demi keadilan berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, tidak diberlakukan. Artinya, secara substantif dua hakim tersebut telah mereviu UU karena isi UU yang abstrak tidak bisa diberlakukan terhadap kasus konkret yang ditanganinya. Padahal, mereviu UU merupakan kewenangan eksklusif Mahkamah Konstitusi (MK). Timbullah dilema: pada satu sisi vonis itu melampaui kewenangan hakim karena telah ”merampas” wewenang MK dalam melakukan pengujian, tetapi pada sisi lain vonis yang sudah inkracht tersebut mengikat, tidak bisa dibatalkan atau dinyatakan batal demi hukum.

Khusus untuk penidakberlakuan Pasal 77 KUHAP komplikasinya memang telah ”terpaksa” selesai karena pada 28 April 2015 MK telah memutus perkara No. 21/PUU-XII/2014 yang menegaskan bahwa penetapan tersangka bisa diuji dalam praperadilan. Vonis MK ini pun final dan berlaku seperti UU sehingga sekarang ini penetapan tersangka bisa dilawan dengan upaya hukum melalui praperadilan. Problemnya hanya menjadi lebih teknis yakni Polri, kejaksaan, KPK, dan pengadilan akan dibanjiri oleh ribuan permohonan praperadilan, bukan hanya dalam kasus korupsi, melainkan dalam semua kasus pidana. Bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah seluruh Indonesia.

***

37

Page 38: Opini hukum politik 22 mei 2015

Tetapi, komplikasi konseptual hukum ini muncul lagi setelah awal pekan ini hakim Haswandi memutus permohonan praperadilan Hadi Poernomo yang secara substantif juga menguji UU karena tidak memberlakukan pasal-pasal tertentu di dalam UU.

Mendasarkan pada ketentuan Pasal 8 ayat (1) KUHAP hakim Haswandi memutus bahwa penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh pegawai yang bukan pejabat Polri dan bukan dari kejaksaan sebagai pegawai negeri tertentu, tepatnya yang dilakukan oleh penyelidik dan penyidik yang diangkat oleh KPK dari luar Polri dan kejaksaan, adalah tidak sah. Padahal, selama ini, berdasar ketentuan Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) KPK bisa mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri sebagai lex specialis.

Putusan praperadilan terbaru ini telah menimbulkan komplikasi baru secara konseptual hukum karena dianggap mengacaukan hubungan keberlakuan antara hukum yang umum (lex generalis) dan hukum yang khusus (lex specialis). Lebih dari itu, vonis hakim Haswandi ini, karena erga omnes, telah menyentuh bukan hanya penyelidik dan penyidik KPK, melainkan penyelidik dan penyidik yang diberi kewenangan oleh UU untuk menyelidiki dan menyidik perkara-perkara tertentu seperti perkara keimigrasian, pelanggaran HAM berat, kehutanan, pasar modal, otoritas jasa keuangan, perpajakan, lingkungan, perikanan, bea cukai, bahkan penyelidik dan penyidik peradilan militer yang juga diatur dengan hukum khusus.

Berdasar vonis hakim Haswandi itu bisa ada puluhan ribu kasus yang menjadi bermasalah dan tidak sah karena penyelidik dan penyidiknya bukan polisi atau jaksa. Untuk mengatasi itu, ke depan lembaga legislatif harus mengaturnya melalui proses legislasi baru, tetapi untuk tahap awal bisa didahului dengan segera dikeluarkannya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).

***

Meski begitu, di dalam kusut masai yang timbul akibat vonis praperadilan tersebut, saya perlu mengemukakan dua catatan lain.

Pertama, meski seorang tersangka dinyatakan menang dalam praperadilan, bukan berarti tersangka tersebut langsung lepas dari kasusnya. Menurut putusan MK No. 21/PUUXII/ 2014, kasus yang bersangkutan bisa dilanjutkan asalkan diperbaiki dengan penyelidikan dan/atau penyidikan baru yang sesuai dengan UU. Untuk KPK, hal ini tidak terlalu jadi masalah karena di KPK, selain yang bukan jaksa dan polisi, sudah banyak juga penyelidik dan penyidik yang memang berasal dari Polri dan kejaksaan.

Kedua, jangan bermimpi bahwa vonis praperadilan Hakim Haswandi ini bisa dijadikan novum untuk mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK) oleh mereka yang sudah divonis dan sudah dihukum. Vonis hakim Haswandi ini tidak bisa dijadikan novum (bukti baru) sebab menurut hukum novum itu adalah bukti yang sudah ada ketika yang bersangkutan diadili di pengadilan, tetapi pada saat itu tidak diketemukan atau tidak diketahui. Novum tidak

38

Page 39: Opini hukum politik 22 mei 2015

bisa diambil dari keadaan atau peristiwa baru yang muncul sesudah vonis dijatuhkan dan sudah inkracht.

Vonis Hakim Haswandi ini adalah baru yang, kalau terpaksa diberlakukan, hanya berlaku untuk kasus-kasus sesudah palu vonis diketokkan.

MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi

39

Page 40: Opini hukum politik 22 mei 2015

Rekonstruksi Sejarah Pancasila

Koran SINDO1 Juni 2015

Sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, kelompok nasionalis muslim dan nasionalis netral agama berdebat serius di sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Sidang BPUPKI berlangsung pada 29 Mei-1 Juni 1945 dan 10-16 Juli 1945.

Fokus perdebatannya adalah apa dasar falsafah negara Indonesia yang kemerdekaannya segera diproklamasikan? Pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menyampaikan pidatonya di sidang BPUPKI dan mengusulkan Pancasila (lima prinsip) sebagai dasar falsafah negara: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan.

Kemudian Panitia Sembilan (Panitia Kecil) mereformulasi Pancasila Soekarno sebagai berikut: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Inilah rumusan resmi Pancasila yang tercantum dalam UUD 1945.

Banyak penulis tentang Pancasila selepas tumbangnya Orde Lama dan penatar P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) pada masa Orde Baru mengatakan bahwa Soekarno bukanlah satu-satunya pencipta Pancasila. Mereka mengklaim Muhammad Yamin adalah (juga) pencipta Pancasila. Dari sinilah muncul kontroversi tentang pencipta Pancasila itu.

***

Kontroversi sejarah tentang pencipta Pancasila terjadi sejak munculnya buku Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945. Buku ini berisi teks pidato tiga pembicara (Soekarno, Soepomo, dan Yamin) yang disampaikan di sidang BPUPKI. Buku ini mereproduksi teks pidato Yamin di mana dia menyebut dirinya mengajukan juga lima prinsip sebagai dasar negara: Perikebangsaan, Perikemanusiaan, Periketuhanan, Perikerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Konsep Pancasila versi Yamin ini mirip dengan Pancasila ciptaan Soekarno.

Merujuk pada buku Naskah ini, BJ Boland dalam bukunya The Struggle of Islam in Modern Indonesia mengatakan bahwa berdasarkan pidato Yamin tanggal 29 Mei 1945 di sidang BPUPKI sering dikemukakan pada masa pasca-Soekarno bahwa pencetus Pancasila yang

40

Page 41: Opini hukum politik 22 mei 2015

sebenarnya adalah Yamin, bukan Soekarno. Inilah bukti bahwa buku Naskah versi Yamin itu telah menimbulkan kontroversi sejarah yang besar.

Menanggapi kontroversi ini, Mohamad Hatta pada tahun 1980 menulis surat wasiat kepada Guntur Soekarno Putra. Dalam surat wasiatnya, Hatta memberi kesaksian dan klarifikasi: pada akhir Mei 1945, Radjiman Wediodiningrat, Ketua BPUPKI, membuka sidangnya dan mengajukan pertanyaan kepada peserta sidang, apakah dasar negara yang akan kita gunakan untuk negara Indonesia Merdeka nanti?

Kebanyakan anggota BPUPKI tidak menanggapi persoalan ini karena takut memunculkan masalah filosofis yang ruwet. Mereka langsung membahas konstitusi. Salah seorang anggota BPUPKI yang menanggapi pertanyaan Radjiman adalah Bung Karno yang menyampaikan pidatonya dengan judul “Pancasila”, lima prinsip, pada tanggal 1 Juni 1945, selama kurang lebih satu jam. Pidatonya menarik perhatian para anggota BPUPKI dan mendapatkan tepuk tangan yang luar biasa dari hadirin. Sidang komisi kemudian membentuk Komisi Kecil untuk mereformulasi Pancasila yang diusulkan Bung Karno.

Hatta menegaskan, dia tidak pernah mendengar Yamin mengajukan lima prinsip (Pancasila) dalam pidatonya di sidang BPUPKI. Hatta menyatakan, jika Yamin mengajukan lima prinsip itu pasti dia mendengar dan memperhatikannya. Yamin tampaknya telah membuat catatan berdasarkan wacana yang berkembang di sidang BPUPKI dan memasukkannya ke dalam naskahnya dan kemudian mengklaimnya sebagai bagian isi pidatonya pada tanggal 29 Mei 1945.

Hatta yakin, Yamin telah “memfabrikasi” Pancasilanya ketika dia ditugasi Panitia Kecil BPUPKI untuk menyusun Pembukaan UUD 1945 di mana dia memasukkan fabrikasi Pancasilanya itu. Panitia Kecil tidak menerima rancangan Pembukaan UUD 1945 versi Yamin karena rumusannya terlalu panjang. Kemudian ketika Yamin menyunting buku Naskah-nya, dia memasukkan rancangan tersebut dan mengklaimnya sebagai lampiran pidatonya di sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945. Hatta menuduh Yamin tidak jujur dan telah mendistorsi fakta sejarah.

Memperkuat tudingan Hatta, Pringgodigdo juga menuduh Yamin telah memanipulasi (pinter nyulap) fakta sejarah. Yamin sendiri dalam bukunya Pembahasan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia menegaskan, Pancasila adalah ciptaan Soekarno. Yamin tegas menyatakan, “Istilah Pancasila pada awalnya ditempa dan digunakan oleh Bung Karno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945. Lima prinsip ini dinamakan Pancasila oleh Bung Karno dalam pidatonya yang diajukan pada tanggal 1 Juni 1945 di sidang BPUPKI di rumah bersejarah, Gedung Pejambon, Jakarta.”

Sejumlah tokoh yang terlibat aktif di sidang BPUPKI seperti Wediodiningrat, RP Soeroso, Sartono, KH Masjkur, Maria Ulfah, dan Ir. Rooseno memberi kesaksian bahwa Pancasila berasal dari pidato Soekarno yang disampaikan di sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945.

41

Page 42: Opini hukum politik 22 mei 2015

Tidak berarti bahwa Soekarno tidak pernah berkonsultasi dengan tokoh lain untuk memberi nama bagi lima prinsip yang dia usulkan sebagai dasar negara. Soekarno mengakui, “Nama lima prinsip itu bukan Panca Darma (lima kewajiban); namun saya namakan berdasarkan pendapat teman kita yang ahli linguistik: Pancasila. ‘Sila’ berarti dasar atau prinsip, dan di atas lima prinsip itu kita harus membangun Indonesia yang merdeka, kuat dan abadi.” Ahli linguistik yang disebut Soekarno dalam pidatonya itu adalah Muhammad Yamin.

***

Ada buku/dokumen menarik berjudul Uraian Pancasila yang disusun oleh Komisi Lima: Hatta (ketua), Ahmad Subardjo Djojoadisurjo, AA Maramis, Sunario, dan AG Pringgodigdo. Semua tokoh ini berpartisipasi aktif dalam sidang BPUPKI. Dalam buku Uraian Pancasila ini ditegaskan bahwa 1 Juni 1945 adalah hari lahir Pancasila.

Berbeda pendapat dengan pendapat Komisi Lima, beberapa penulis seperti Darji Darmodiharjo dan Pringgodigdo mempunyai pandangan berbeda. Mereka berpendapat, 1 Juni 1945 bukan merupakan hari lahir Pancasila sebagai dasar negara, tetapi merupakan tanggal lahir “istilah” Pancasila. Mereka berpendapat, hari lahir Pancasila adalah tanggal 18 Agustus 1945 ketika Pancasila dideklarasikan sebagai dasar negara dalam UUD 1945.

Menarik mencermati “fenomena Pringgodigdo”. Pringgodigdo, sebagai anggota Komisi Lima, semula berpendapat bahwa hari lahir Pancasila adalah 1 Juni 1945. Kemudian Pringgodigdo mengubah pikirannya bahwa 1 Juni 1945 adalah tanggal lahir “istilah” Pancasila, bukan hari lahir Pancasila itu sendiri. Pringgodigdo berdalil, Pancasila telah ada berabad-abad lamanya dalam kehidupan rakyat Indonesia, karena itu tidak mungkin ditetapkan tanggal lahirnya. Dia menegaskan, tidak perlu memperingati hari lahir Pancasila setiap tanggal 1 Juni.

Sikap Pringgodigdo menuai reaksi keras dari teman-temannya di Komisi Lima. Sunario, atas nama komisi, mengirim surat mempertanyakan ketidakkonsistenan pendapat Pringgodigdo itu, tapi dia tidak menanggapi surat tersebut.

Pendapat Pringgodigdo dan Darmodiharjo bahwa 1 Juni 1945 hanyalah merupakan tanggal lahir “istilah” Pancasila sama artinya bahwa Soekarno tidak mempunyai kontribusi apa-apa kecuali istilah itu sendiri. Ini pendapat sangat naif. Soekarno, dengan gagasan Pancasilanya, sebenarnya telah memberikan kontribusi sangat besar bagi fondasi unitas dan integritas bangsa Indonesia. Ini fakta sejarah yang tidak dapat dibantah.

FAISAL ISMAIL Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta

42

Page 43: Opini hukum politik 22 mei 2015

Urgensi Radikalisasi Pancasila

Koran SINDO1 Juni 2015

Setiap tanggal 1 Juni, bangsa Indonesia memperingatinya sebagai hari lahir Pancasila. Momentum ini diambil ketika Soekarno menyampaikan pokok-pokok pikiran mengenai dasar negara pada sidang di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945.

Saat itu Soekarno berpidato mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima sila dasar negara yang dinamakan “Pancasila”: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pada kesempatan lain, Soekarno menyebut bahwa sebagai ideologi negara, Pancasila digali dan diramu dari pelbagai nilai positif yang berkembang di masyarakat. Sementara sedikit berbeda, Mohammad Hatta menyebut bahwa Pancasila sebagai ideologi negara dibangun di atas pilar-pilar ideologi besar dunia, seperti Islam, sosialisme, kapitalisme, dan humanisme.

Problem Kebangsaan

Disayangkan, sejak kemerdekaan Indonesia sampai saat ini, keapikan Pancasila lebih banyak dipahami serbaformal, tekstual, dan sedikit sekali upaya untuk menghadirkan Pancasila secara kontekstual dan apalagi membumikannya di tengah-tengah masyarakat. Pancasila an sich dipahami sebagai ideologi negara. Pancasila hanya menjadi bingkai (frame) dalam melihat wawasan negara-bangsa dalam segala aspek, termasuk agama, sosial, nasionalisme, ekonomi, politik, kemanusiaan, dan kebudayaan.

Dari sisi hukum, das sollen, Pancasila juga dipahami dan ditempatkan sebagai segala sumber hukum dan karenanya produk hukum tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Sementara das sein, Pancasila di(ter)campakkan begitu saja. Sekadar alat untuk “menakut-nakuti” masyarakat, sebagaimana terjadi selama kurun waktu hampir 40 tahun (selepas Dekrit Presiden 1959 sampai lengsernya Orde Baru 1998).

Pancasila dikenal dan hanya diperingati secara seremonial belaka setiap tanggal 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Sementara miskin sekali upaya-upaya untuk menghadirkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dalam konteks kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Pancasila selalu “dikampanyekan” sebagai ideologi yang tangguh yang berhasil mengalahkan komunisme sehingga dirasa penting adanya Hari Kesaktian Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Oktober. Pancasila sebagai dasar negara dalam arti bahwa

43

Page 44: Opini hukum politik 22 mei 2015

secara substantif hampir tidak ada kaitan lagi antara sistem nilai yang terkandung dalam Pancasila dengan norma-norma kehidupan bernegara, berbangsa, dan bernegara.

Jika mau jujur, realitas praksis saat ini, kita akan mendapati bahwa kebanyakan anak bangsa saat ini yang tidak lagi mempunyai kebanggaan terhadap Pancasila. Bahkan tidak jarang pada diri sebagian anak bangsa ini ada yang mencibiri Pancasila. Mengapa hal ini bisa terjadi? Keabstrakan Pancasila yang menyebabkan itu terjadi.

Sebagai ideologi, Pancasila nyatanya tidak mampu menjadi “jalan” (al-shirat) yang mampu mengantarkan masyarakat Indonesia ke arah yang lebih baik. Orde Baru telah berhasil, tidak saja membuat bangsa ini a-historis, tapi juga a-ideologis yang berdampak hingga saat ini. Misalnya secara simbolik, ada beberapa partai yang ada saat ini seakan emoh mengusung secara tegas Pancasila sebagai ideologi partai.

Sementara secara praksis juga terjadi “persekongkolan” di antara para elite politik yang bukan didasarkan pada “persekongkolan kebangsaan”, yang berbasis pada ideologi (Pancasila) dan bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bersama (maslahati al-ammah), melainkan “persekongkolan kepentingan” yang bersifat pragmatis dan sesaat untuk kepentingan segelintir atau sekelompok orang dengan mengabaikan kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan nasional (national interest).

Radikalisasi Pancasila

Menilik beragam problem kebangsaan yang terjadi saat ini, mendesak dan menjadi keharusan untuk melakukan radikalisasi Pancasila. Radikalisasi dalam konteks ini tentu dimengerti sebagai bentuk transformasi dari sikap pasif, apatis atau masa bodoh pada sikap atau aktivisme yang lebih radikal, revolusioner atau militan dalam memosisikan, memahami, dan mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila.

Das sollen, sebagai ideologi Pancasila begitu apik, tetapi pada tataran das sein Pancasila tak mampu diterjemahkan dengan baik, tidak mampu memberikan efek atau dampak positif yang berarti bagi kemajuan bangsa. Pancasila hanya kumpulan sila-sila yang nyaris tak bermakna apa pun. Pancasila hanya fasih ketika dipidatokan oleh pejabat-pejabat negara dari pusat sampai daerah, tetapi gagap pada tataran aplikasi (action). Penerapannya penuh manipulasi, bergantung pada kepentingan sesaat yang melingkupinya.

Realitasnya saat ini tengah terjadi kegersangan dan pendangkalan moral (akhlak), menipisnya rasa nasionalisme dan rasa memiliki Indonesia di kalangan anak bangsa. Selain tentu minimnya pendidikan agama, tidak adanya lagi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) di sekolah-sekolah juga menjadi salah satu penyebab terjadinya kegersangan moral dan menipisnya rasa nasionalisme.

44

Page 45: Opini hukum politik 22 mei 2015

Sebagian besar masyarakat belum secara menyeluruh memahami makna kebinekaan Indonesia. Kerap terjadinya konflik sektarian menunjukkan belum selesainya pemaknaan atas kebinekaan bangsa kita. Di sinilah letak pentingnya untuk melakukan radikalisasi Pancasila.

Dalam konteks radikalisasi Pancasila, tentu tidaklah penting memperdebatkan soal posisi Pancasila, apakah sebagai fondasi atau pilar. Yang lebih penting dari semuanya adalah bagaimana kita mampu menghadirkan nilai-nilai Pancasila hadir dalam realitas kehidupan di tengah-tengah masyarakat. Nilai-nilai Pancasila hadir dalam kehidupan bernegara. Pancasila menjadi “kekuatan moral” bagi elite-elite politik negeri ini dalam membuat kebijakan-kebijakan politik. Secara das sollen maupun das sein Pancasila harus bisa berjalan beriringan.

Pancasila sebagai ideologi negara harus diletakkan secara benar dalam praktik bernegara. Setiap kebijakan negara harus sungguh-sungguh mencerminkan dan mendasarkan diri pada nilai-nilai Pancasila. Sebagai ideologi, Pancasila jangan lagi dibawa ke dalam bentuk yang abstrak sehingga hanya akan ditafsir beragam tanpa bangunan fondasi tafsir yang memadai.

Pancasila mesti bisa menyentuh kehidupan sehari-hari dan sungguh-sungguh “membumi” di dalam sanubari bangsa ini. Pancasila harus benar-benar dihadirkan pada ranah publik dengan wajah yang “membebaskan” dan berpihak pada kepentingan rakyat banyak, bukan sebaliknya, berpihak bagi segelintir elite bangsa ini.

Upaya melakukan radikalisasi Pancasila tidak akan pernah berhasil tanpa adanya keteladanan dari elite dan pimpinan negara ini, keteladanan dari tokoh masyarakat dan tokoh agama. Apa pun bentuk dasar negara Indonesia, jika tidak diamalkan, tak akan berarti apa pun. Di sinilah dibutuhkan adanya keteladanan politik. Semoga!

MA’MUN MUROD AL-BARBASYDirektur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP) FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta

45

Page 46: Opini hukum politik 22 mei 2015

Pancasila sebagai Pandangan Hidup

Koran SINDO3 Juni 2015

Kongres Pancasila VII diselenggarakan oleh Pusat Studi Pancasila UGM pada 30 Mei-1 Juni 2015. Acara serupa diselenggarakan di tempat lain, baik oleh pemerintah atau komunitas tertentu.

Kita bersyukur, pada hari ulang tahunnya ke-70, Pancasila masih eksis di negeri ini. Mengapa Pancasila tetap eksis, tak tergantikan isme lain? Karena kebenarannya. Sehubungan dengan itu, bermodal tekad dan semangat kebangsaan, kita pertahankan Pancasila sebagai kebenaran yang hidup. Maknanya, selagi masih ada kehidupan, di situ Pancasila dipastikan ada dan difungsikan sebagai pandangan hidup.

Disayangkan, akhir-akhir ini muncul polemik tentang hari lahir Pancasila. Polemik itu berpotensi memecah-belah bangsa. Pada saat lain, saya ingin berbagi pandangan untuk menepis kerancuan pemikiran tidak sehat itu.

Untuk sejurus waktu, tulisan ini berkehendak memahamkan Pancasila pada tataran lebih mendasar yakni sebagai pandangan hidup. Pancasila sebagai pandangan hidup sudah ada sejak awal kehidupan dan bukan lahir 1 Juni 1945 atau pun tanggal-tanggal lain. Eksistensi dan kebenaran nilai-nilai Pancasila sebagai pandangan hidup dapat dikenali secara sosiologis-antropologis.

Seraya mendasarkan pada pendapat Prof Dr Brandes, dikatakan oleh Bung Karno (1958), tatkala Eropa masih hutan belukar belum ada Germanentum dan di sini (Indonesia) ketika itu masih pra-Hindu justru sudah ada pola cocok tanam padi di sawah-sawah. Kehidupan manusia Indonesia, digambarkan Bung Karno, berproses melalui empat saf yakni saf pra-Hindu, saf Hindu, saf Islam, dan saf Imperialis.

Bung Karno berusaha menggali sedalam-dalamnya nilai-nilai kehidupan bangsa Indonesia. Dari penggalian itulah, diperoleh lima hal yang menonjol pada semua saf kehidupan yakni Ketuhanan, Kebangsaan, Perikemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, dan Keadilan Sosial. Lima hal tersebut diyakini Bung Karno dapat dijadikan sebagai dasar statis dan leitstar dinamis yang akan diterima dan di atasnya seluruh rakyat Indonesia bersatu-padu.

Melalui kursus-kursus Pancasila sebanyak enam kali, di-jelentreh-kan, bahwa sejak awal kehidupan, manusia Indonesia sudah hidup di dalam alam ketuhanan. Di sanalah tempat permohonannya dan tempat kepercayaannya. Dari sana pula setiap manusia memaksimalkan budi luhur, budi pekerti, atau keadabannya.

46

Page 47: Opini hukum politik 22 mei 2015

Bertolak dari manusia beradab, didukung fungsionalisasi unsur cipta, rasa, dan karsa, lahirlah budaya-budaya antara lain budaya persatuan, permusyawaratan, dan keadilan. Jadi, budaya itu positif dan hanya lahir dari manusia beradab. Korupsi, jangan dibilang ”telah membudaya”. Aduh...maaf, maaf, pernyataan demikian menyesatkan. Korupsi itu negatif, muncul dari manusia biadab, rakus, serakah, menghalalkan segala cara untuk menilap uang negara. Manusia beradab pantang korupsi. Justru mereka berusaha taat pada hukum sebagai tatanan (order) kehidupan secara utuh dan total sehingga daripadanya muncul keadilan.

Demikianlah pola dan warna kehidupan itu, dari waktu ke waktu, dalam keseharian. Sejak fase awal sampai pada era industrialisasi, nilai-nilai Pancasila (dari ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, sampai dengan keadilan sosial) senantiasa konsisten dijadikan sebagai pandangan hidup. Jadi, Pancasila sebagai pandangan hidup sudah ada sebelum ada Bung Karno, sebelum ada Republik Indonesia.

Dari dahulu bangsa Indonesia telah mengenal Tuhan, hidup di alam ketuhanan. Dari dahulu, bangsa Indonesia telah cinta Tanah Air dan bangsa. Dari dahulu, kita sudah mengenal rasa kebangsaan dan rasa kemanusiaan. Demikian pula, rasa kedaulatan rakyat dan cita-cita keadilan sosial. Bangsa Indonesia adalah satu-satunya bangsa yang tidak pernah menjajah bangsa lain.

Pancasila sebagai pandangan hidup merupakan sistem nilai, mencakup keseluruhan nilai-nilai secara lengkap, tersusun secara sistematis-hierarkis, dimulai dari nilai ketuhanan sampai nilai keadilan sosial. Nilai (value) merupakan pengertian filsafat. Artinya, tolok ukur untuk menimbang-nimbang dan memutuskan apakah sesuatu benar atau salah, baik atau buruk.

Notonagoro (1971) menjelaskan nilai-nilai Pancasila ke dalam tiga kategori: (1) Nilai materiil, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi unsur manusia; (2) Nilai vital, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas; (3) Nilai kerohanian, yaitu segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Lebih lanjut nilai kerohanian dibedakan atas empat macam: (a) Nilai kebenaran/ kenyataan, yang bersumber pada unsur akal manusia (ratio, budi, cipta); (b) Nilai keindahan, yang bersumber pada unsur rasa manusia (gevoel, perasaan, aesthetis); (c) Nilai kebaikan atau nilai moral, yang bersumber pada unsur kehendak/kemauan manusia (will, karsa, ethic); dan (d) Nilai religius, yang merupakan nilai ketuhanan, kerohanian yang tertinggi dan mutlak. Nilai religius ini bersumber pada kepercayaan/keyakinan/keimanan.

Nilai-nilai Pancasila telah mengakar pada adat-istiadat, kebudayaan, dan agama-agama di Indonesia sejak ratusan tahun silam. Sebab itu, pengamalan Pancasila sebagai pandangan hidup berpadu dengan pengamalan adat-istiadat, kebudayaan, dan agama. Artinya, pengamalan Pancasila berlangsung spontan, seketika, serentak, simultan dengan pengamalan adat-istiadat, kebudayaan, dan agama. Pancasila memberikan kemudahan, kelapangan, dan fasilitatif terhadap orang-orang yang ingin menjalankan adat-istiadatnya, kebudayaannya, dan agamanya.

47

Page 48: Opini hukum politik 22 mei 2015

Perlu ditegaskan bahwa Pancasila bukan agama dan tidak sepatutnya dibandingkan agama, tetapi siapa pun taat beragama berarti dia telah pancasilais. Pancasila sebagai pandangan hidup memberi arah, motivasi, dan energi untuk pencapaian keberkahan hidup. Memosisikan Pancasila sebagai pandangan hidup akan menghasilkan kekuatan lahir-batin sehingga manusia mampu menembus dimensi wujud, membuka pintu-pintu rezeki, meningkatkan harkat-martabat hidupnya.

Didukung qalbu salim, akal cerdas, berpikir produktif, lahirlah kreativitas dan progresivitas kehidupan. Gambaran keberkahan hidup adalah bak hangatnya sinar matahari pagi, bak suburnya bumi disiram air hujan, bak lebatnya pohon dengan buahnya. Alangkah indah, nyaman, dan membahagiakan. Salam Pancasila. Wallahualam.

PROF DR SUDJITO SH MSiGuru Besar Ilmu Hukum UGM

48

Page 49: Opini hukum politik 22 mei 2015

Bung Karno, Pancasila, dan Zaman Kita

Koran SINDO4 Juni 2015

Tanggal 1 Juni pada masa kini dikenang sebagai hari ketika konsep tentang Pancasila lahir. Hal ini merujuk pada Pidato Bung Karno (BK) pada tanggal yang sama tahun 1945. Hal itu kemudian menjadi embrio Pancasila yang kita kenal dewasa ini. Dalam konteks inilah, Pancasila tidak dapat dilepaskan dari dinamika pemikiran politik BK.

Pemikiran politik BK itu rupa-rupa. Apabila kita baca ulang kumpulan tulisannya di buku Di Bawah Bendera Revolusi, dialektika pemikiran BK tak lepas dari pergumulan ide-ide besar dunia pada masa itu. Tetapi, dalam konteks Indonesia sebagai bangsa yang berjuang untuk lepas dari penjajahan atau kolonialisme dan imperialisme, BK pun menggariskan sikap anti-neokolonialisme dan neoimperialisme. Melalui konsep Trisakti yakni berdaulat dalam politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan, BK menegaskan Indonesia harus mandiri.

Dalam konteks inilah, kemandirian itu terkait erat dengan Pancasila. Pancasila merupakan butir-butir penting yang digali dari kearifan khasanah bangsa. Dari situlah diharapkan filsafat Indonesia sebagai sesuatu yang mendasari kemandirian bangsa terbentuk.

Dari Pancasilalah lantas muncul gambaran tentang ideal manusia Indonesia. Ia ialah yang menjiwai setiap butir Pancasila, sebagai manusia yang berketuhanan, berperikemanusiaan, mengedepankan persatuan, bermusyawarah dan demokrasi, dan yang senantiasa berikhtiar untuk mewujudkan keadilan sosial. Itulah karakter-karakter dasar manusia Indonesia apabila dikaitkan dengan konteks ”revolusi mental” yang belakangan ini populer.

Karakter demikian memang segera berjumpa dengan paradoks. Hal demikian dapat disimak dari otokritik Mochtar Lubis pada akhir 1970-an. Kita menjumpai ihwal negatif dalam praktiknya, ketika manusia Indonesia justru banyak yang sekadar mempertegas sikap oportunis, korup, malas, tidak produktif, tidak mandiri, hingga sikap yang suka mengedepankan egoisme, bahkan komunalisme. Hal itu menandakan bahwa masalah mentalitas manusia Indonesia memang masih belum tuntas. Itulah yang ingin diperbaiki dalam ”revolusi mental” yang diselaraskan dengan apa yang oleh BK disebut ”character and nation building”.

Semua itu memerlukan proses, di mana ia pun dipengaruhi oleh kebijakan para pemimpin, setidaknya kalangan elite bangsa. Para pemimpin pada masa kini punya peluang untuk mengembangkan model kepemimpinan yang merupakan resultan dari ragam model

49

Page 50: Opini hukum politik 22 mei 2015

kepemimpinan pendiri bangsa ditambah dengan ragam khasanah kepemimpinan bangsa pascakemerdekaan.

Kearifan pemimpin bangsa masa lalu penting untuk direaktualisasikan pada zaman kita. Memang, mereka pernah bertentangan secara ideologis pada masanya, tetapi di luar itu kita bisa menangkap perkembangan mentalitas kepemimpinan mereka pada masa lalu.

***

Tapi, Pancasila tidak hanya terkait ikhtiar untuk memberi gambaran manusia Indonesia yang ideal. Pancasila juga terkait sistem ekonomi, politik, hukum, dan kebudayaan. Pancasila juga dihadapkan pada pusaran gagasan-gagasan besar dunia. Maka, dalam hal ini Pancasila merupakan hal yang lazim dikaitkan dengan eksistensi dan survivalitas bangsa Indonesia itu sendiri.

Kesanggupan kita sebagai bangsa berikut tantangan yang dihadapinya di tengah-tengah perkembangan global sangat mudah dikaitkan dengan Pancasila. Maksudnya, apabila Pancasila dijadikan dasar untuk menilai segala aspek kebijakan bangsa, ia pun memberi ruang yang luas bagi kita. Persoalannya, justru hal tersebut jarang dilakukan. Rasionalitas pengelolaan bangsa seringkali tidak dikaitkan dengan Pancasila, padahal Pancasila juga memberikan dasar-dasar rasionalitas pengelolaan bangsa.

Apabila dikaitkan dengan konteks kemandirian, anti-neokolonialisme dan anti-neoimperialisme sebagaimana yang disampaikan BK, Pancasila pun bisa menjadi alat ukur, sejauh mana bangsa ini bergerak meluncur. Semakin mandirikah? Atau, sebaliknya, tanpa sadar telah dan tengah berada dalam kubangan bentuk-bentuk kolonialisme dan imperialisme baru yang mengerdilkan kepentingan nasional? Apakah kita sebagai bangsa sudah benar-benar merdeka, ataukah sesungguhnya masih terjajah?

Maka, refleksi tentang keterjajahan pada masa merdeka, bahkan masa pembangunan hingga zaman kita, bagaimana pun telah mengalami perluasan. Ia membentang dari level individu, masyarakat, dan bangsa. Penjajahnya, bukan semata-mata orang asing yang menghisap kekayaan ekonomi Nusantara, tetapi juga bisa dari diri sendiri dan orang kita sendiri, atau meminjam kata Buya Ahmad Syafii Maarif, ”Londo ireng”.

Lagi-lagi, ini kembali ke masalah mentalitas. Ada yang berpendapat bahwa sebaik apa pun sistemnya, manakala mentalitasnya buruk dan serakah, sistem akan rusak dan semua akan terpuruk. Solusinya adalah sistem harus diperbaiki. Namun, bukankah perbaikan sistem tidak dapat dilakukan manakala yang mendominasi ialah manusia-manusia yang bermasalah dengan mentalitasnya?

Gambaran peradaban Indonesia bisa direkonstruksi dari Pancasila. Gambaran itu sudah merupakan gabungan dari rekonstruksi manusia Indonesia pun pilihan-pilihan kebijakan yang memungkinkan bangsa ini eksis dan bertahan. Bergerak sebagai bangsa modern, pada masa

50

Page 51: Opini hukum politik 22 mei 2015

depan gagasan-gagasan penting Pancasila semakin kompleks dihadapkan pada kompleksitas tantangan untuk dapat merealitas.

Tantangan utamanya terkait dengan ihwal disiplin berbangsa. Bangsa berawal dari konsep dasar tentang hidup bersatu dalam perbedaan. Karena itu, unsur terpokoknya adalah toleransi dalam keharmonisan. Masalah persatuan bangsa dengan demikian yang utama. BK termasuk tokoh yang sangat menekankan hal ini kendati persatuan saja tidak cukup sebagai modal membangun bangsa.

Yang menjadi andalan tetaplah sumber daya manusia yang berpihak kepada kepentingan nasional. Mereka harus sinergis dalam mempertahankan proyek kebangsaan kita yang masih penuh dengan keterbatasan ini. Untuk menjadi bangsa yang mandiri sebagaimana dicita-citakan BK dan sudah menjadi cita-cita bersama kita, kita harus terus mengumpulkan energi dan memanfaatkannya dalam arena kontestasi antarbangsa di zaman terbuka dewasa ini. Sehingga, konteks nasionalisme zaman kita sudah harus beranjak dari urusan-urusan persatuan nasional, ke persaingan antarbangsa, di mana Indonesia mampu menunjukkan kekuatan daya saingnya yang tinggi. Daya saing bangsa perlu terus ditingkatkan, justru diawali dengan pembenahan-pembenahan ke dalam, baik dari segi mentalitas maupun sistem kita dalam berbangsa.

Ini merupakan sesuatu yang lazim di level retorika, dan harus diakui susah pada praktiknya. Namun, sekali lagi, pemimpin-pemimpin Indonesia di setiap tingkatan punya peluang untuk mengubah keadaan, menguatkan budaya demokrasi, produktivitas di tengah kebersamaan, dan kegotong-royongan nasional yang baik.

***

Pada zaman kita pemikiran-pemikiran BK tentang kemandirian bangsa, pun ”character and nation building”, masih sangat relevan. Semua itu terkait Pancasila, yang tak saja diposisikan sebagai perekat persatuan nasional, tetapi juga sumber inspirasi kemajuan bangsa.

Pancasila pada zaman kita perlu terus disosialisasikan, setidaknya sebagai suatu pijakan etika dasar manusia Indonesia dalam berbangsa. Dengan demikian, manusia Indonesia, meminjam Taufiq Ismail, akan malu manakala perbuatannya tidak mencerminkan etika Pancasila. Pun para pengambil kebijakan akan merasa berdosa manakala mengabaikan pertimbangan nilai-nilai dasar Pancasila. Wallahualam.

M ALFAN ALFIANDosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta

51

Page 52: Opini hukum politik 22 mei 2015

Cara Jokowi Melihat ASEAN

Koran SINDO4 Juni 2015

Satu semester umur pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini, ada kekhawatiran politik luar negeri (polugri) Indonesia tidak lagi melihat ASEAN sebagai prioritas.

Padahal, sebagian besar komunitas negara-negara Asia Tenggara justru mengharapkan peran ASEAN makin kuat di masa depan. Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan ini dan kerap dianggap sebagai Big Brother diharapkan bisa terus menjadi bagian aktif dari ASEAN sehingga daya tawar lembaga ini makin diakui di kawasan regional dan internasional. Dengan kata lain, tanpa Indonesia, ASEAN bukanlah ASEAN lagi. Begitu kira-kira kegelisahan yang penulis tangkap dari komunitas diplomatik Asia Tenggara.

Memang sejauh ini belum terlihat jelas arah polugri Presiden Jokowi, khususnya terkait ASEAN. Mungkin karena pemerintahan baru berjalan satu semester sehingga belum ada hasil yang kelihatan. Meski begitu, bila hanya beralibi pada waktu yang masih pendek, penulis kira itu terlalu menyederhanakan masalah.

Pandangan Jokowi tentang pentingnya ASEAN masih samar-samar. Benar dalam sejumlah kesempatan ia memberikan pernyataan normatif bahwa penguatan hubungan dengan semua negara harus dilakukan. Tapi, negara tetangga kita menunggu tidak hanya pernyataan semata, tapi juga langkah nyata yang bisa dirasakan komunitas ASEAN.

Membaca Visi Polugri Jokowi

Dari sekian banyak pernyataan Jokowi tentang polugri, satu benang merah yang menarik bahwa ia hanya mementingkan kerja sama dengan negara lain yang sifatnya menguntungkan. ”Politik kita bebas aktif, berteman dengan semua negara, namun yang memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat. Jangan banyak teman, tetapi kita dirugikan.”

Jokowi juga tidak secara lugas menjawab apakah akan melanjutkan strategi diplomasi million friends zero enemy yang dijalankan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2014). Menurut Jokowi, yang dilihat dalam mencari kawan adalah kepentingan Indonesia. ”Banyak teman ya harus banyak untung. Kalau rugi, buat apa. Kalau enggak menguntungkan, ya enggak mau. Ketemu ya ketemu, tetapi dikit-dikit saja”.

Itulah logika diplomasi yang diyakini Jokowi dalam melihat ASEAN dan politik luar negeri kita secara umum. Semuanya didasarkan pada jika kita untung semata. Padahal, benarkah diplomasi hanya berdasar itu?

52

Page 53: Opini hukum politik 22 mei 2015

Indikasi diplomasi Presiden Jokowi yang menjauh dari ASEAN makin diperkuat dengan pernyataan Puan Maharani, menteri koordinator pembangunan manusia dan kebudayaan sekaligus tokoh berpengaruh PDIP, bahwa kedekatan Indonesia-Cina di era Jokowi saat ini mengingatkan kembali kuatnya hubungan masa lalu. Sebagaimana kita tahu, pada era Presiden Soekarno hubungan Indonesia-Cina sangat erat, ditandai dengan pembentukan Poros Jakarta-Peking.

Tinjauan teoritis politik luar negeri suatu negara, KJ Holsti mendefinisikan politik (kebijakan) luar negeri sebagai suatu tindakan yang dirancang oleh pemerintah untuk memecahkan masalah atau mempromosikan suatu perubahan dalam lingkungan yaitu dalam kebijakan sikap atau tindakan dari negara lain.

Dari definisi di atas terlihat bahwa polugri merupakan langkah strategis bagi suatu bangsa untuk bisa berperan dan memengaruhi lingkungan (negara lain). Tidak ada unsur keuntungan ekonomi semata yang dikejar dari polugri. Bila hanya itu cara pandang kita, negara derajatnya akan sama dengan perusahaan.

Terkait isu ASEAN, di mana Indonesia dianggap tidak lagi memprioritaskannya, preseden ini jelas sangat mengejutkan. Sejak zaman Pak Harto hingga SBY, ASEAN secara konsisten menjadi prioritas Indonesia dalam diplomasi. Hal ini tidak hanya karena Asia Tenggara saat ini menjadi salah satu titik pertumbuhan ekonomi dunia. Lebih dari itu, sejarah ASEAN juga banyak diwarnai oleh peran Indonesia.

Tetapi, bila benar kekhawatiran para diplomat akan kurangnya perhatian Jokowi, dalam kajian teori foreign policy perubahan tersebut bisa saja terjadi karena, meminjam istilah Baris Kesgin, foreign policy suatu negara tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan dan tantangan. Lebih dari itu, faktor individual atau profil pengambil kebijakan jauh lebih menentukan. Dalam hal ini latar belakang ideologi dan penguasaan polugri oleh para pemimpin akan menjadi pembeda kebijakan luar negeri yang diambil.

Sedikit kilas balik ke belakang, era Presiden SBY merupakan salah satu capaian penting diplomasi Indonesia di ASEAN. Hal itu dapat dilihat dari ”kampanye” demokrasi Indonesia terhadap junta militer Myanmar yang akhirnya menghasilkan demokrasi di negara tersebut. Lalu, resolusi konflik Thailand-Kamboja dan pertumbuhan ekonomi tinggi di sebagian besar negara ASEAN.

Atas peran Indonesia, presiden Filipina menyebut Indonesia sebagai ”sahabat sejati” rakyat Filipina. Sementara Presiden Myanmar U Thien Sein mengakui peran Indonesia dalam demokratisasi dan stabilitas kawasan.

Di luar kerja sama formal antar 10 negara ASEAN di berbagai bidang, kedekatan hubungan kawasan ini dapat dilihat dari ada ”ritual” friendship visit bagi para kepala negara atau pemerintahan yang baru terpilih. Biasanya sebelum mereka berkomunikasi dengan negara di kawasan lain, kunjungan pertama kali biasanya dilakukan ke negara terdekat di kawasan

53

Page 54: Opini hukum politik 22 mei 2015

ASEAN. Itu juga yang dilakukan Presiden SBY dalam dua kali masa pemerintahannya. Alasan dari ritual diplomasi di atas sederhana bahwa bila salah satu dari negara Asia Tenggara mengalami masalah, tetangganyalah yang pertama kali membantunya.

Namun, ritual diplomasi itu tampaknya diputus Presiden Jokowi, Setelah dilantik bukannya melakukan state visit ke negara tetangga di ASEAN, Presiden memilih mengunjungi Cina.

Berpaling ke Naga?

Tercatat pada November 2014 Jokowi menghadiri APEC Economic Leaders Meeting di Beijing, ASEAN Summit di Myanmar, dan G-20 Leaders Summit di Brisbane, Australia. Ketiganya merupakan kunjungan kerja, sementara friendship visit ke Malaysia, Thailand, Filipina, atau Singapura tidak dilakukan.

Mungkin Presiden Jokowi ingin mengesankan bahwa pemerintahannya ”langsung kerja”, sebagaimana status ”kunjungan kerja” dan nama ”Kabinet Kerja” yang dipimpinnya. Tetapi, dalam ”tata krama” diplomasi, ada ihwal tersirat yang juga harus dihargai, termasuk ritual friendship visit yang sudah berjalan lama.

Setelah terkesan ”meninggalkan” ASEAN, pada saat yang sama Jokowi justru sangat dekat dengan Cina. Kontan saja perubahan arah diplomasi ini memancing spekulasi agenda politik Presiden Jokowi terhadap Cina. Pada Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) lalu, sejumlah media mainstream menulis bahwa RRC menyapu bersih proyek infrastruktur di Indonesia. Itu setidaknya bisa menggambarkan ke mana arah diplomasi Jokowi setelah tak lagi melihat ASEAN sebagai ”sahabat dekat”. Ironisnya, Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) kecewa dengan kampanye ”arus deras” investasi Cina di enam bulan pertama pemerintahan Jokowi-JK karena dari 10 MoU investasi, ternyata hanya satu yang terealisasi.

Menyoal pemahaman Presiden Jokowi terhadap nilai historis dan geopolitik ASEAN, kita bisa tarik mundur ke belakang, saat ia tengah maju dalam pemilihan presiden. Jokowi saat itu mengatakan bahwa sebaiknya Indonesia tidak terlibat dalam ketegangan antarnegara ASEAN terkait konflik Laut Cina Selatan. ”Itu urusan negara lain dan negara lain. Tapi, kalau kita berperan, juga lebih baik. Tapi, kalau kita tidak punya solusi yang benar, proses diplomasi yang kita lakukan tidak bermanfaat, untuk apa kita lakukan?”

Dari pernyataan tersebut, terlihat bagaimana cara pandang Presiden Jokowi terhadap ASEAN. Padahal, isu Laut Cina Selatan jelas terkait kepentingan Indonesia karena di sana merupakan kawasan kaya sumber alam yang rentan memancing instabilitas masa depan.

Walau demikian, saya meyakini Presiden Jokowi sejatinya memiliki keinginan untuk semakin menguatkan kerja sama antarnegara ASEAN. Mungkin jalan menuju ke sana saja yang tidak mudah atau belum tersosialisasikan ke publik, khususnya komunitas diplomatik di kawasan ini. Sebagai ”saudara tua” di ASEAN, Indonesia sangat ditunggu perannya di masa depan.

54

Page 55: Opini hukum politik 22 mei 2015

TANTOWI YAHYAWakil Ketua Komisi I DPR RI

55

Page 56: Opini hukum politik 22 mei 2015

Erdogan, The Turk

Koran SINDO6 Juni 2015

Menarik untuk menyimak salah satu kutipan dialog Mayor Hassan (perwira militer Turki yang diperankan Yilmas Erdogan) dengan Lekol Cyrill Hughes (perwira Inggris dimainkan oleh Jay Courtney) dalam film The Water Diviner.

Film yang dibintangi Russell Crowe dan diangkat dari novel karya Andrew Anastasios dan Dr Meaghan Wilson dengan judul serupa berkisah tentang petualangan seorang ayah mencari jenazah tiga anaknya yang tewas dalam Perang Gallipoli, 1915. Sang ayah, Joshua Connor (diperankan Russell Crowe) seorang petani dan penggali sumur asal Australia, harus menghadapi kenyataan pahit ketika menemukan istrinya, Eliza, bunuh diri setelah frustrasi kehilangan ketiga puteranya dalam perang akibat invasi ANZAC (Australian and New Zealand Army Corps ) melawan Ottoman Empire di Turki tahun 1915-1916.

Joshua yang masih berkabung akhirnya nekat berlayar ke Istanbul. Petani dan sekaligus pencari air itu berjanji membawa pulang jenazah ketiga puteranya untuk dimakamkan bersama di samping pusara ibunya.

Petikan percakapan Mayor Hassan dengan Letkol Cyrill Hughes muncul setelah permintaan Joshua Connor ditolak untuk ikut mencari tengkorak ketiga anaknya yang dianggapnya telah tewas dalam perang di Gallipoli. Connor masuk ke daerah terlarang yang ketika itu tengah diberesi Inggris dan Turki untuk menggali bongkahan tanah yang menimbun sisa-sisa ribuan serdadu kedua pihak yang tewas mengenaskan. Letkol Hughes memprotes sikap Mayor Hassan yang cenderung membiarkan Connor berada di bekas zona perang itu.

Kata Hughes, ”Kita berdua paham kenapa peraturan itu ada. Tetapi sekarang, mengapa kita mesti mengubahnya karena seorang ayah (yang mencari tengkorak tiga anaknya) meskipun dia tidak bisa mengurus dirinya sendiri”. Mayor Hassan membalas keluhan koleganya yang dahulu menjadi musuhnya dengan berucap, ”Karena hanya dia satu-satunya ayah yang datang kemari (Gallipoli) mencari jenazah ketiga anaknya”.

Tak ada yang luar biasa keluar dari mulut Mayor Hassan. Tetapi kalimat itu menjadi sangat bermakna dan sarat ”courageous” karena diucapkan oleh seorang Turk. Ucapan seorang perwira tinggi militer Ottoman yang dilukiskan sangat mencintai negerinya, tetapi juga memiliki impian menyaksikan Turki yang baru.

***

56

Page 57: Opini hukum politik 22 mei 2015

Mungkin tidak persis sama dengan bayangan Mayor Hassan tentang Turki yang sekarang. Tetapi, Turki modern saat ini telah menjelma menjadi salah satu negara yang paling diperhatikan ucapan dan tindakannya. Dunia misalnya dibuat terperangah ketika hampir sejumlah negara menolak untuk menerima pengungsi Rohingya, Turki justru mengirimkan kapal perangnya guna menyelamatkan mereka di Laut Andaman. PM Turki Ahmet Davutoglu bahu-membahu dengan Presidennya Recep Tayyip Erdogan mengangkat citra Turki ke level tertinggi dalam melakoni drama pengungsi Rohingya.

Turki berani mengambil tanggung jawab itu, bukan karena merasa negara besar. Tetapi karena paham bahwa kebesaran sebuah negara tidak akan banyak berarti jika humanity terbengkalai atau sengaja diabaikan oleh kedaulatan artifisial. Sentimen ini identik dengan emosi Mayor Hassan tatkala menyaksikan kepedihan dan kegigihan seorang Joshua Connor mencari jenazah ketiga puteranya yang tewas dalam Perang Gallipoli.

Ucapan ”menggelegar” Presiden Turki Erdogan membahana ketika reaksi penolakan pengungsi Rohingya mendominasi sikap sebagian negara di Asia Tenggara. Kata Erdogan, ”Di mana ada lantunan azan, di situ seharusnya aku berpijak”. Ucapan seorang Erdogan yang kira-kira kemasan balagah-nya bisa ditafsirkan seperti ini, ”Sesama muslim, selayaknya saling membantu dan menerima saudara mereka yang membutuhkan naungan (tempat berlindung)”.

Bukan pertama kalinya Turki melakukan hal ini. Erdogan pernah memaksa PM Israel Benyamin Netanyahu meminta maaf atas serbuan tentara Zionis di atas kapal ”MV Mavi Marmara ” milik Turki yang berlayar bersama lima armada lainnya di perairan Mediterania menuju Gaza pada 31 Mei 2010.

Dalam pembicaraan telepon penuh ketegangan selama setengah jam pada 22 Maret 2013, Netanyahu meminta maaf dan bersedia memberikan kompensasi senilai 20 juta USD akibat kerugian yang ditimbulkan dari penyerbuan tersebut. Bocoran percakapan menyebutkan, jika Israel tidak melakukan apa yang diminta Ankara terkait insiden Marmara, Turki akan mengambil langkah keras terhadap Tel Aviv.

Tak ada yang meragukan ucapan itu ketika keluar dari mulut seorang Turk. Dalam catatan Carol Migdalovits, Israel’s Blockade of Gaza, the Mavi Marmara Incident, and Its Aftermath, Erdogan disebutkan mengeluarkan pernyataan retorika anti-Israel paling pedas. Erdogan menuding tindakan Israel patut menerima every kind of curse (segala bentuk kutukan). Erdogan yang ketika itu menjabat PM Turki membandingkan ”Zionist star” (bintang Daud) dengan swastika Nazi. Ini mungkin pernyataan anti-Israel paling tegas yang pernah tercatat dalam sejarah hubungan kedua negara.

Kini, Erdogan menciptakan mimpi-mimpi seperti impian Mayor Hassan. Jika Hassan memimpikan Kemal Attaturk memimpin Turki keluar dari Ottoman, maka Erdogan membayangkan Turki yang lebih kuat di tangannya.

57

Page 58: Opini hukum politik 22 mei 2015

Sebagai Presiden Turki, Erdogan tak lagi ingin seremoni dan hanya menjadi simbol Kepala Negara. Erdogan ingin mendorong Turki lebih dekat ke sistem presidensial. Tetapi mengambil kekuasaan eksekutif dari tangan PM Ahmet Davutoglu, sebuah jabatan yang pernah dipikulnya selama 12 tahun (2003-2014), adalah pertarungan politik penuh risiko bagi Erdogan dan partai politik yang dipimpinnya, AK. Baginya, posisi presiden harus diberikan kekuasaan lebih besar.

Erdogan mungkin melihat betapa Turki menghadapi tanggung jawab lebih besar yang terbentang di depan. Tak ada yang meragukan tekad dan ambisi Erdogan. ”You will not take me away from these stages, you will not silence me!” tegas Erdogan dalam satu rally politik di Kota Kirikkale.

Mobilisasi dukungan itu diperlukan Erdogan menjelang penentuan suara di parlemen pada tanggal 7 Juni 2015 yang akan memastikan jalan panjang selanjutnya. Dibutuhkan dua per tiga suara parlemen untuk mengubah konstitusi kekuasaan presiden yang terbatas tanpa perlu melalui referendum.

Erdogan yang disebut seperti singa oleh para pemujanya telah bersuara. Titah yang sulit ditarik kembali, karena ia seorang Turk. Semoga Erdogan tidak salah langkah. Dunia memerlukan Turki yang kuat tapi demokratis. Sebuah Turki yang berani untuk tampil sebagai teladan kemanusiaan di tengah langkah banyak negara yang tanggung. Jika Ottoman hanyalah sejarah, setidaknya sejarah pun mengajarkan satu hal: jangan mengulang kesalahan yang sama.

MUHAMMAD TAKDIRAnalis Skenario Politik di Swiss @emteaedhir

58

Page 59: Opini hukum politik 22 mei 2015

Masa Depan KPK

Koran SINDO8 Juni 2015

Pemberantasan korupsi di Indonesia sejak Reformasi 1998 semakin meningkat dan tampak intensitas kegiatan yang dimotori Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terutama KPK jilid III. Intensitas kegiatan pemberantasan korupsi oleh KPK telah menenggelamkan peranan Polri dan kejaksaan sehingga terbentuk persepsi masyarakat bahwa kedua lembaga tersebut memang tidak efektif.

Kegiatan KPK yang mendapat tempat lebih besar di dalam pandangan masyarakat dibandingkan Polri dan kejaksaan ternyata juga karena didukung kuat oleh koalisi LSM anti-korupsi, termasuk ICW, yang bahkan dapat disebut die hard KPK. Kekuatan dukungan koalisi LSM tersebut juga dikokohkan oleh pemberitaan yang penulis nilai sangat agresif mengenai perkara korupsi yang ditangani KPK.

Apakah semua itu salah? Jawabannya tidak salah dan bukan tidak boleh karena memang korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extra-ordinary crimes) sehingga memerlukan cara-cara luar biasa.

Semula keluarbiasaan KPK hanya dalam hal kewenangan saja (kekecualian) sesuai dengan UU KPK 2002, kemudian berkembang dan meluas keluarbiasaan itu pada pola dukungan koalisi LSM anti-korupsi dan pemberitaan pers. Keluarbiasaan sokongan kedua pendukung KPK tersebut tampak nyata dalam mengangkat berita tersangka KPK dengan semua aib-aib yang bersifat personal sifatnya ke hadapan publik sekalipun prinsip praduga tak bersalah telah diakui dalam KUHAP dan UU Nomor 48 Tahun 1999 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Bahkan keluarbiasaan yang telah diatur dan dibatasi dalam UU KPK telah dikembangkan oleh komisioner KPK jilid III, termasuk status penyelidik dan penyidik; satu alat bukti saja dapat digunakan untuk menetapkan tersangka. Tidak mengherankan bila dalam kurun waktu/periode 2013-2014 telah terjaring tersangka kurang lebih 36 orang. Idealnya KPK hanya dapat menjaring 10 tersangka per tahun karena keterbatasan sumber daya manusia dan infrastruktur.

Namun keberhasilan KPK secara kuantitatif tetap memperoleh apresiasi penuh dari masyarakat luas dan koalisi LSM anti-korupsi. Sedemikian tingginya apresiasi tersebut sehingga telah menafikan kemungkinan kekeliruan tindakan hukum yang dilakukan KPK sesuai dengan UU KPK dan KUHAP.

***

59

Page 60: Opini hukum politik 22 mei 2015

Bertolak dari kenyataan tersebut dapat saya katakan bahwa bagi KPK dan pendukungnya, KPK telah dijadikan satu-satunya simbol kebenaran dan penguatan simbol tersebut dibenarkan baik oleh koalisi LSM anti-korupsi maupun pers.

Layaknya pepatah sepandai-pandainya tupai melompat, ia akan terjatuh juga, begitulah KPK di bawah komisioner KPK jilid III. Satu per satu terkuak kekeliruan atau kesalahan tindakan hukum KPK jilid III dalam hal penetapan tersangka dan tindakan hukum lain sehubungan dengan tiga kekalahan pada sidang praperadilan BG, IAS, dan HP. Kekalahan beruntun KPK dalam sidang praperadilan ini seharusnya dijadikan titik balik introspeksi bagi KPK dan koalisi LSM anti-korupsi untuk tetap kritis juga terhadap kinerja KPK.

Kekalahan KPK dalam praperadilan harus dijadikan evaluasi secara serius dari pemerintah dan DPR untuk meninjau kembali substansi UU KPK agar dapat dicegah kekeliruan KPK jilid III di masa depan. Tidak ada UU yang sempurna, begitu kata pepatah, dan hal itu juga berlaku terhadap pimpinan KPK.

Kekalahan yang telah dialami tidak perlu disikapi berlebihan, apalagi dengan sikap arogan dan jumawa seolah merasa paling benar. Apalagi sikap kritis terhadap KPK secara apriori dianggap memusuhi KPK, termasuk terhadap penulis sendiri yang berperan dalam persiapan dan pembentukan KPK.

***

KPK adalah anak kandung Reformasi dan ia dipersiapkan dan dibentuk untuk menjalankan amanat suci Reformasi membangun sistem pemerintahan yang bersih dan bebas dari KKN. Ketika KPK telah dijadikan sarana untuk meraih kepentingan pribadi atau kelompok atau tujuan politik, seketika itu pula roh Reformasi suci terkoyak dan tentu membawa dampak buruk terhadap lembaga KPK kini dan di masa depan.

Seyogianya kerja Panitia Seleksi (Pansel) Calon Pimpinan KPK jilid IV harus didukung semua pihak untuk memperoleh calon pimpinan KPK tepercaya dan memiliki integritas serta akuntabilitas yang ”sempurna”. Tidak mudah, tetapi dengan kesungguhan partisipasi masyarakat hal itu pasti ada.

Namun dalam proses rekrutmen calon pimpinan KPK harus terbebas dari sikap apriori bahwa mantan birokrat, petugas Polri atau jaksa selalu buruk kinerjanya karena bukti kinerja KPK jilid III tidak lebih baik pula di samping sukses yang telah dicapainya. Tapi pepatah ”karena nila setitik rusak susu sebelanga” juga terjadi pada KPK jilid III.

Pansel Calon Pimpinan KPK jilid IV harus mampu menemukan sosok yang telah berpengalaman dalam sistem birokrasi, berusia dewasa setidaknya 50 tahun, amanah, dan sudah mapan dalam kehidupan sehari-hari, bijak, rasional tidak emosional, tidak agresif, dan memiliki sikap patuh pada UU KPK dan KUHAP.

60

Page 61: Opini hukum politik 22 mei 2015

Sosok tersebut juga harus menjauhi terobosan-terobosan yang melanggar UU, memahami manajemen dan ahli hukum, ahli psikologi sosial, memiliki human relationship yang baik, kuat sense of belonging dan sense of solidarity-nya karena kepemimpinan KPK harus kolektif-kolegial, memiliki dan menguasai nilai humanisme dan humanistik yang baik, serta bersikap rendah hati dan tidak arogan.

Manajemen KPK jilid I s/d II dalam bentuk SOP yang terbit tahun 2008, baik tentang manajemen administrasi maupun manajemen penyelidikan, penyidikan dan penuntutan serta hambatan-hambatan dan keberhasilannya, perlu diketahui dan didalami Pansel KPK karena dari situlah pansel dapat membuat kriteria calon pimpinan KPK yang diperlukan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 6-12 UU KPK dengan benar dan bertanggung jawab.

ROMLI ATMASASMITA Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran

61

Page 62: Opini hukum politik 22 mei 2015

Tafsir Bung Karno

Koran SINDO8 Juni 2015

Dalam konteks perjalanan sejarah Indonesia, bulan Juni sering disebut sebagai Bulan Bung Karno. Tanggal 1 Juni 1945 adalah hari lahir Pancasila, 6 Juni 1901 hari kelahiran Bung Karno, dan 21 Juni 1970 Bung Karno kembali ke pangkuan Ilahi.

Buku-buku referensi Soekarno muda amatlah kaya. Ia tumbuh menjadi seorang pembelajar yang hebat, bergumul dengan banyak karya. Dalam lintasan sejarah, tampak jelas keseriusan Bung Karno dalam menuntut ilmu, membaca dan membaca, berpikir keras, merumuskan ideologi bangsa, dan mengobarkan ”api” revolusi. Betapa dalam pengetahuannya, dan dari pergulatan pemikirannya itu memunculkan ”daya dobraknya” yang luar biasa.

Soekarno muda berguru langsung dengan HOS Tjokroaminoto (guru politik). Lalu saat menginjak usia baligh, berkisar tahun 1916 ketika berumur 15 tahun, Soekarno muda bertemu dengan ”guru ngaji”-nya, Kiai Haji Ahmad Dahlan, 48. Soekarno muda pun terpukau dengan ceramah-ceramah kiai sang pencerah itu. Dengan keyakinan besar akan modernitas, tak mengherankan bila Bung Karno lebih merasa dekat dengan gerakan reformis Islam pada masa itu. Mula-mula dengan SI, tapi kemudian Muhammadiyah.

Ia mengenal KH Ahmad Dahlan sejak umur 15 tahun ketika pendiri Muhammadiyah itu berceramah di kalangan SI. ”Sejak umur 15 tahun, saat saya berdiam di rumah Tjokroaminoto,” cerita Bung Karno, ”saya telah terpukau dengan KH Ahmad Dahlan. Saya sudah menjadi anggota resmi Muhammadiyah dalam tahun 1938.” Bahkan dalam uraiannya di depan Muktamar Muhammadiyah tahun 1962, ia berdoa agar bisa ”dikubur dengan membawa nama Muhammadiyah atas kain kafan”-nya. (Goenawan Mohammad, 2010).

HOS Tjokroaminoto (1883-1934) dan KH Ahmad Dahlan (1868-1923) tampaknya memberikan pengaruh yang amat kuat terhadap pemikiran keislaman Bung Karno. Kemudian A Hassan dan KH Mas Mansyur. Bung Karno bergumul hebat dengan para tokoh pergerakan masa itu. Bahan bacaan ”pergerakan-”nya pun sulit ditandingi. Berbagai referensi, pengalaman realitas bangsanya, dan perenungan-penghayatan itu memunculkan-mengobarkan ”api” pergerakan untuk kemerdekaan Indonesia.

***

Beberapa bulan menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945, Bung Karno mengurai-kampanyekan gagasan emasnya yang bernama ”Pancasila”. Dasar negara merdeka

62

Page 63: Opini hukum politik 22 mei 2015

(philosofische grondslag) yang akan menjadi ideologi bangsa, fondasi, dan pedoman hidup berbangsa dan bernegara.

Giat Wahyudi (2010) lalu menuturkan, walaupun dalam pergulatan pemikirannya diwarnai ide-ide dari pemikiran Barat, seperti nasionalisme, demokrasi dan sosialisme, spirit dan ruh Bung Karno telah diterangi cahaya api Islam. Tema sentral pemikiran Bung Karno tentang Islam yang memberikan landasan bagi segenap aktivitasnya, seperti semangat tauhid, Islam anti-penindasan, Islam tidak mengenal aristokrasi, egaliter, Islam sangat rasional-simpel dan elastis (selaras dengan kemajuan zaman).

Ide Pancasila yang dilontarkan pada 1 Juni 1945, menunjukkan pengaruh dari unsur pemikirannya tentang Islam. Hal ini bisa kita jumpai melalui pendekatan neo-platonis, yakni berpikir adalah seni yang paling indah, puncak keindahan berpikir adalah percaya kepada Tuhan.

Mari kita simak isi pidatonya yang amat fenomenal itu (1 Juni 1945), Bung Karno mengatakan: ”Saudara-saudara, apakah prinsip ke-5? Setelah saya mengemukakan 4 prinsip; 1. Kebangsaan Indonesia 2. Internasionalisme atau perikemanusiaan 3. Mufakat atau demokrasi, 4. Kesejahteraan sosial. Prinsip kelima hendaknya; Menyusun Indonesia Merdeka dengan Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan. Tuhannya sendiri.”

Awalnya sila Ketuhanan diletakkan pada nomor lima. Dalam ”kacamata” penulis, Bung Karno sepertinya ingin mengatakan bahwa semua sila yang ada ”tidak ada artinya” jika tidak berdasarkan ketuhanan, jika tidak diberi ”penutup” ketuhanan! Atau yang paling memungkinkan adalah ”ketuhanan menjadi puncak pemikirannya”.

Dalam pidato itu pun Bung Karno memeras lima sila itu menjadi tiga, ”...Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga; Sosio-nasionalisme, Sosio-democratie, dan Ketuhanan....” Lalu tiga menjadi satu, Bung Karno menyatakan secara tegas, ”... Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan gotong-royong. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong....” Pekikan dahsyat itu disambut tepuk tangan riuh pada hadirin.

Tentu, kolom opini ini tidaklah cukup bila kita mengurai sila-sila Pancasila satu per satu. Mungkin pada kesempatan lainnya.

***

Pemikiran Bung Karno tentang Pancasila telah melalui proses yang panjang, renungan mendalam, dan ”penafsiran” terhadap teks-teks berbagai aliran pemikiran yang mempengaruhinya. Pada saat yang sama, Bung Karno dihadapkan pada realitas bangsa yang

63

Page 64: Opini hukum politik 22 mei 2015

multikultural, multietnis, berbagai agama dan golongan. Tafsir terhadap berbagai teks dan penghayatan mendalam akan realitas dan budaya bangsa yang juga dilakoninya itulah memunculkan gagasan cemerlang.

Bung Karno mengerucutkan ide-ide besarnya itu menjadi dasar sebuah negara merdeka, pijakan ideologi yang bisa menyatukan bangsa-bangsa yang ada di dalamnya. Pancasila sakti lahir sebagai jawaban, sebagai ideologi yang bisa diterima seluruh elemen bangsa.

Dengan kedewasaan berpikir, Bung Karno berhasil menafsir, ”mempertemukan” antara teks dan realitas. Bung Karno adalah seorang luas pengetahuannya, termasuk pengetahuan agamanya. Hemat penulis, makna gotong-royong yang menjadi intisari Pancasila, juga tak lepas dari ”tafsir” Bung Karno terhadap ayat-ayat Alquran. Allah SWT berfirman: ”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (QS Al-Maidah: 2).

Di samping itu, kesadaran bahwa manusia itu ”tidak ada daya dan kekuatan, kecuali atas kehendak-Nya, kecuali atas pertolongan-Nya” (laa haula wa laa quwwaata illaa billah), tentunya kalimat ini telah menancap kuat di hati dan pikiran Bung Karno.

Usulan ”Pancasila” sakti yang dipidatokan Bung Karno itu ditanggapi serius oleh sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan sehingga melahirkan Panitia Sembilan untuk merumuskan ulang (menyempurnakan), yang terdiri atas Ir Soekarno, Drs Mohammad Hatta, Mr Raden Achmad Soebardjo, Mr Prof Mohammad Yamin SH, KH A Wahid Hasjim, H Abdoel Kahar Moezakir, Raden Abikoesno Tjokrosoejoso, H Agus Salim, dan Mr Alexander Andries Maramis.

Pada 22 Juni 1945 terjadi perdebatan, hingga melahirkan Piagam Jakarta. Namun pada 17 Agustus 1945 di sore hari timbul keberatan, di antaranya disampaikan AA Maramis dan wakil-wakil dari Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Kalimantan, sehingga Bung Karno segera menghubungi Bung Hatta untuk mengadakan pertemuan dengan golongan Islam, di antaranya: Teuku Moh Hasan, Mr Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo. Setelah diskusi mendalam, kalimat sila pertama diubah menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa” demi menjaga kesatuan Indonesia.

Sebagai anak bangsa, kita tentu amat bangga menjadi bangsa Indonesia yang memiliki Bung Karno, Bung Hatta, dan deretan para pahlawan bangsa dari Sabang sampai Merauke. Kita amat kagum dengan para ”guru” Bung Karno, baik guru politiknya (HOS Tjokroaminoto), terlebih dengan ”guru ngaji”-nya (KH Ahmad Dahlan). Semoga Tuhan Yang Maha Bijaksana menempatkannya di tempat yang mulia, tempat terbaik.

SUTIA BUDI Wakil Ketua STIE Ahmad Dahlan Jakarta; Anggota Fokal IMM

64

Page 65: Opini hukum politik 22 mei 2015

Lampu Kuning KPK

Koran SINDO 11 Juni 2015

Sudah tiga kali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelan kekalahan dalam pengadilan praperadilan penetapan tersangka.

Selasa (26/5/2015), Haswandi, hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, mengabulkan permohonan praperadilan mantan Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo yang ditetapkan tersangka oleh KPK. Hakim menilai penetapan tersangka terhadap pemohon tidak sah dan penyelidikan dan penyidikan batal demi hukum. Hakim Haswandi menegaskan bahwa proses penyelidikan, penyidikan, dan penyitaan oleh KPK tidak sah karena penyelidik dan penyidik komisi anti-rasuah itu ilegal, diangkat tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Hanya, yang patut dipertanyakan, saat hakim Haswandi sebagai ketua majelis hakim dalam kasus Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng. Saat itu dia tidak mempersoalkan keberadaan penyelidik dan penyidik KPK yang bukan dari unsur kepolisian. Tetapi, dalam kasus praperadilan Hadi Poernomo, Haswandi menyatakan, penyidikan dan penyelidikan tidak sah dan harus dihentikan. Apakah karena pemohon meminta itu diputuskan, sedangkan terdakwa Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng tidak mempersoalkan. Tetapi, putusan hakim harus tetap dihargai dan itulah wujud kemerdekaan hakim dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan.

Kekalahan pertama KPK sudah diketahui publik secara luas, bahkan menjadi sejarah mengejutkan dalam pemberantasan korupsi, ketika praperadilan Komjen Budi Gunawan dikabulkan oleh hakim Sarpin Rizaldi. Begitu pula putusan hakim Yuningtyas Upiek Kartikawati terhadap praperadilan mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin.

Dua praperadilan terakhir yang dikabulkan hakim karena mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa 28 April 2015 yang memperluas objek praperadilan dalam Pasal 77 KUHAP. MK memutuskan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan, termasuk pula objek praperadilan. Putusan MK wajar diapresiasi lantaran mengakomodasi perjuangan hak-hak tersangka dalam proses penyidikan. Itu bahkan merupakan ”kontrol progresif” bagi penegak hukum dalam melaksanakan penyidikan dan penuntutan.

Tetapi, pada aspek lain, putusan MK mengabaikan substansi KUHAP yang sebetulnya telah memberikan kesempatan bagi tersangka memperjuangkan haknya karena ditetapkan tersangka. Itu dilakukan dalam ”eksepsi” terdakwa atau pengacaranya setelah dakwaan dibacakan, ”saat pembuktian” dan saat mengajukan ”pembelaan”. Jaga Profesionalitas

65

Page 66: Opini hukum politik 22 mei 2015

Dapat dipastikan tiga kekalahan tersebut merupakan ”lampu kuning” bagi KPK, baik dalam mengefektifkan penyelidikan dan penyidikan maupun dalam upaya mengembalikan kepercayaan publik. Tetapi, KPK tidak boleh goyah sebab putusan MK dan kebiasaan selama ini yang juga diatur dalam KUHAP, putusan praperadilan tidak berarti tindak pidana dalam perkara itu tidak ada. MK dalam putusannya menyebut penyidik dapat melakukan penyidikan ulang. KPK dapat menerbitkan surat perintah penyelidikan dan penyidikan baru untuk mencari atau melengkapi alat bukti minimal seperti dimaksud dalam putusan hakim.

Praperadilan merupakan pra-ajudikasi atau proses untuk menguji keabsahan prosedur penetapan tersangka, penangkapan, penahanan, atau penyitaan agar penyidik tidak melakukan tindakan sewenang-wenang. Bukan membebaskan tersangka secara penuh seperti pada putusan pemeriksaan pokok perkara. Apalagi, KPK dilarang menghentikan penyidikan dan penuntutan. Ini peringatan penting bagi KPK agar tidak serampangan, apalagi terlalu percaya diri saat mengikuti sidang praperadilan.

Tampaknya KPK tidak sepenuhnya mengantisipasi putusan MK misalnya tidak menunjukkan kepada hakim dua alat bukti minimal sehingga seseorang ditetapkan tersangka. Konsekuensi bagi KPK adalah meningkatkan profesionalitasnya, lebih teliti, dan tidak merasa benar sendiri dalam memperoleh dan menilai alat bukti.

Peringatan bagi KPK bukan sekadar mengantisipasi kemungkinan ada gelombang gugatan praperadilan, melainkan bagaimana menjaga agar proses penetapan tersangka tidak dijadikan sarana bagi tersangka untuk mengulur-ulur proses hukum. Kepercayaan publik bisa runtuh jika KPK tidak melakukan koreksi diri.

KPK harus menjaga keahliannya (profesionalitas) dengan melanjutkan kasus itu sampai ke pengadilan. Jika pun hakim menyatakan tidak sah tindakan ”upaya paksa” lantaran melanggar hak-hak tersangka, tidak berarti dugaan tindak pidananya atau statusnya sebagai tersangka sudah bebas sepenuhnya.

Revisi SOP

Dalam pembuktian perkara pidana, ada adagium hukum yang selalu dijadikan acuan yaitu ”bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya”. Artinya, alat bukti dan barang bukti harus dicari dan diperoleh secara prosedur agar betul-betul bisa dijadikan dasar untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Tentu kita tidak sedang memojokkan KPK terkait dengan tiga kekalahan dalam praperadilan. Tulisan ini semata-mata memberi masukan sekaligus memotivasi KPK agar bekerja profesional, teliti, tetapi tetap berani tanpa pandang status. Untuk mendukung semua itu, KPK sebaiknya merevisi prosedur standar operasional (SOP) penyelidikan dan penyidikan.

Revisi dan perbaikan SOP diarahkan untuk mengantisipasi perkembangan penegakan hukum

66

Page 67: Opini hukum politik 22 mei 2015

setelah MK memperluas objek praperadilan. Misalnya, harus efektif dan selektif menentukan dua alat bukti minimal dalam penyelidikan, barulah ditingkatkan ke tahap penyidikan sekaligus menetapkan tersangka. Tidak kalah pentingnya, alat bukti minimal dan sah itu diperoleh sesuai prosedur yang ditetapkan dalam undang-undang.

Untuk memperoleh alat bukti minimal, sebaiknya dilakukan dan dimantapkan pada tahap ”penyelidikan” sehingga bisa langsung menetapkan tersangka. Memang substansi ”penyidikan” dalam Pasal 1 butir-2 KUHAP menyebut, untuk ”mencari dan mengumpulkan bukti untuk membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya”. Ini yang dimaksudkan dalam putusan hakim Haswandi, penetapan tersangka setelah melakukan penyidikan. Bagaimana pun KPK harus memerhatikan putusan MK, terutama pada bukti minimal yang harus diperoleh secara sah saat penyelidikan.

Kendati begitu, KPK tidak perlu gentar menghadapi gugatan praperadilan penetapan tersangka. KPK harus siap menunjukkan alat bukti minimal itu kepada hakim praperadilan, bagaimana prosedur memperolehnya yang dibuktikan dengan ”berita acara”, serta menunjukkan keaslian berita acara pemeriksaan saksi dan ahli.

Bagi hakim praperadilan, tentu tidak akan memeriksa dan menguji keterangan saksi dan ahli seperti pada pembuktian dalam pemeriksaan pokok perkara.

MARWAN MAS Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar

67

Page 68: Opini hukum politik 22 mei 2015

Kemaskulinan KPK

Koran SINDO 11 Juni 2015

Komisi Pemberantasan Korupsi (terutama) Jilid III sejauh ini tampil dengan gaya maskulin. Sesuai dengan asal katanya, muscle, yang berarti otot.

Istilah “maskulin” menunjuk pada sifat-sifat kekuatan otot atau fisik. Karakter maskulin ini dicirikan dengan tendensi untuk tampil menonjol, memenangkan persaingan, aktualisasi diri—yang kadang berlebihan dan unjuk kekuatan. Maskulinitas juga cenderung melihat pihak lain sebagai pesaing atau musuh yang akan mengancam eksistensi dan kehebatannya, bukan sebagai mitra.

Lawan dari maskulin adalah feminin. Istilah “feminin” mengacu pada ibu menyusui bayi. Di dalam femininitas, ada kelembutan, kasih sayang, kehangatan dan kebersamaan, kehalusan rasa, dan kepercayaan akan masa depan. Ibu menyusui tidak memikirkan hari ini, tapi hari esok.

Maskulinitas yang tidak diimbangi kehadiran karakter feminin tentu berpotensi menimbulkan sisi negatif yang tidak terkontrol seperti dominasi, eksploitasi, syahwat menguasai, intimidasi, tekanan, dan sejenisnya. Dampak paling buruk adalah tendensi untuk melakukan ”kekerasan” dan ”menghalalkan segala cara” untuk mencapai keunggulan.

Sisi maskulin KPK tampak dari kewenangan yang cenderung diselenggarakan secara eksesif, kurang akuntabel, tidak proporsional, anti-kritik, dan mengutamakan kemenangan semata. KPK juga tampak ingin tampil dominan, cenderung menguasai, enggan berkoordinasi, dan meremehkan institusi lain. Belakangan publik menyaksikan terjadi ontran-ontran di KPK karena kehadiran pimpinan yang ambisius, haus kekuasaan, tidak taat asas dan menyusupkan kepentingan pribadi, serta integritasnya ternyata meragukan. Tidak sesuai dengan slogan KPK, Berani Jujur Hebat.

Kita bisa mempelajari beberapa hal yang bisa disebut sebagai penanda maskulinitas KPK pada tataran praksis. Pertama, KPK sangat mengutamakan penindakan. Undang-undang menugaskan KPK bukan hanya untuk menindak, tetapi juga mencegah. Sejauh ini citra KPK dibangun di atas rezim penindakan yang sangat ditonjolkan. Pada lahan penindakan itu pula popularitas dan kepercayaan publik kepada KPK ditanam salah satunya lewat operasi tangkap tangan.

Dengan aksi penindakan yang dikedepankan, popularitas, citra kelembagaan, dan

68

Page 69: Opini hukum politik 22 mei 2015

kepercayaan publik kepada lembaga KPK dibangun, termasuk kepada personalianya. Padahal, ada fungsi-fungsi lain seperti koordinasi, supervisi, pencegahan, dan monitoring yang tenggelam oleh hingar-bingar penindakan.

Kedua, kreasi dan pendayagunaan pengadilan opini. Pengumuman status tersangka, pemanggilan saksi-saksi, atau penggeledahan misalnya adalah bagian dari rangkaian kerja penting dalam proses hukum di KPK untuk sejak awal menggiring seseorang wajib bersalah. Penahanan tersangka juga menjadi ritual yang dipasarkan, menjadi semacam reality show. Lahirlah kemudian istilah ”Jumat keramat”.

Siapa saja yang menjadi tersangka dan atau ditersangkakan KPK sejak awal sudah diadili oleh pemberitaan yang diorkestrasi sedemikian rupa sehingga sudah bersalah sebelum persidangan. Teater opini ini juga cenderung menyudutkan hakim untuk dapat mengambil putusan secara jernih dan mandiri. Konstruksi opini bersalah yang sudah terbangun sejak awal adalah tembok tebal yang acap kali menghalangi hakim untuk menjalankan ”tugas ketuhanannya” secara benar dan adil.

Ketiga, selama ini ada kesan kuat bahwa cara-cara yang ditempuh KPK dalam memeriksa, menggeledah, menyita, mendakwa, dan menuntut dilakukan secara berlebihan. Perlakuan terhadap para tahanan juga tidak sama dengan rumah tahanan pada umumnya. Ihwal demikian dilakukan untuk menguatkan citra bahwa KPK adalah lembaga khusus dan sangat perkasa, tidak tertandingi dan tidak terkalahkan. KPK memegang dan menyelenggarakan kewenangan yang identik dengan klaim kebenaran.

Konsekuensi lebih lanjut dari maskulinitas itu adalah fokus KPK mengejar kemenangan terhadap terdakwa sebagai target dan bukan lagi memuliakan keadilan. Dengan mazhab ”wajib menang”, segala cara ditempuh agar rekor tak terkalahkan bisa dijaga. Kadang di persidangan yang terjadi bukan kontestasi bukti-bukti hukum dan kebenaran untuk menghasilkan keadilan, melainkan pencapaian tujuan kemenangan. Dalam beberapa kasus tampak jelas fokus KPK pada tujuan pemujaan kemenangan ini. Ihwal demikianlah yang membuat KPK seolah ingin tampil sendirian dan meninggalkan kejaksaan dan kepolisian.

Tampil secara ”solo” dan bukan ”trio” cenderung menjadi pilihan cara kerja KPK. Apalagi ini selalu didukung oleh publik yang terkesima oleh citra KPK sehingga bisa maklum dan toleran jika KPK melakukan ketidakpatutan dan kekeliruan.

Berani Feminin Hebat

Lalu, bagaimana KPK yang tampil feminin? Feminin bukan dimaknai sempit dengan menunjuk pada sosok perempuan. Feminin bukan pula berarti lembek, lunak, dan lemah. Sebaliknya, perempuan mengajarkan kekuatan sejati. Mengandung dan melahirkan adalah tugas berat dan tak jarang harus melewati ambang antara hidup dan mati.

Femininitas adalah ketulusan menunaikan tugas dan tanggung jawabnya secara lurus dan adil

69

Page 70: Opini hukum politik 22 mei 2015

seperti seorang perempuan menjalankan tugasnya. Nilai keperempuanan juga mencakup sikap tegas dan terukur, proporsional dan tidak ”sok kuasa”, dilandasi cinta dan kelembutan.

Femininitas KPK adalah menyelenggarakan kewenangan pemberantasan korupsi berdasarkan spirit cinta Tanah Air, cinta pemerintahan bersih dan menjauhkan diri dari kebencian-kebencian yang tidak perlu, berlebih-lebihan, apalagi terseret masuk pada urusan dan kepentingan pribadi. Untuk itu, ada sejumlah langkah yang harus ditempuh lembaga KPK yang didukung bersama ini.

Pertama, KPK haruslah berani menunaikan tugasnya secara menyeluruh dan seimbang, baik fungsi koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan, maupun monitoring. Yang paling penting ditekankan adalah keseimbangan antara pencegahan dan penindakan. Meski fungsi pencegahan sunyi dari pemberitaan dan hampir tidak mempunyai insentif popularitas bagi lembaga dan pribadi, jalan ini haruslah ditempuh. Bukan hanya karena perintah UU, melainkan juga dari titik inilah ada harapan besar agar ”lahan” korupsi makin lama makin sempit.

Kalau hanya berkutat pada penindakan dan kurang serius terhadap pencegahan, tidak ubahnya sebagai kesengajaan untuk mengawetkan sumber-sumber terjadinya korupsi. Dengan bekerjanya fungsi pencegahan secara baik, pendekatan proses diperlakukan sama berharganya dengan hasil.

Kedua, KPK harus berani taat asas dan menempuh penegakan hukum melalui metode yang tepat untuk menegakkan keadilan. Mandat KPK memang menegakkan hukum dalam konteks pemberantasan korupsi. Tetapi, di atas itu ada nilai keadilan. Tujuan keadilan haruslah dimuliakan melampaui penegakan hukum. Bukan sebaliknya, menegakkan hukum dan menjalankan pemberantasan korupsi dengan ”kacamata kuda” dan menerabas sisi keadilan. Apalagi, memaksakan dan mencari-cari kesalahan.

Tidaklah relevan mempertahankan prinsip ”menghalalkan segala cara” untuk menegakkan hukum dan pemberantasan korupsi. Tujuan kebaikan baik musti diselenggarakan dengan cara yang baik pula.

Bagaimana dengan komisioner perempuan? Tentu saja nilai feminin tidak wajib dihadirkan dalam sosok perempuan secara fisik. Tetapi, sosok perempuan lazimnya lebih familier dan menghayati karakter feminin. Dari lima orang pimpinan KPK Jilid IV nanti, kehadiran komisioner perempuan boleh jadi akan membawa cuaca baru. Yang lebih penting adalah harus berani adil dan setia pada khitah awal pembentukan KPK dan menunaikan tugas secara lurus, adil, dan bertanggung jawab.

Tak diragukan Indonesia membutuhkan KPK. Kita mendukung KPK yang berani, lurus, dan rendah hati. Bukan KPK yang suka dumeh (Jawa: mentang-mentang) dan bergaya sopo siro sopo ingsun (Jawa: siapa kamu, siapa saya). KPK yang feminin, bukan maskulin.

70

Page 71: Opini hukum politik 22 mei 2015

ANAS URBANINGRUM Pengamat Politik

71

Page 72: Opini hukum politik 22 mei 2015

Judge Artijo

Koran SINDO13 Juni 2015

Artijo Alkostar itu tidak suka kalau diajak bicara tentang perkara yang sedang ditanganinya. Dia hanya mau berbicara dengan hati nuraninya tentang pasal-pasal hukum dan keadilan.

Terhadap vonis-vonis yang telah dijatuhkannya pun saya tak pernah menanyakan pada Artijo, meski kami selalu bertemu di kampus untuk mengajar. Tetapi pada Selasa malam (9 Juni 2015) kemarin, saya menemui dan menanyakan kepada Artijo tentang vonisnya terhadap Anas Urbaningrum. Pasalnya pada Senin (8 Juni 2015), Artijo melipatduakan hukuman penjara terhadap Anas Urbaningrum dari tujuh tahun di pengadilan tinggi (PT) menjadi 14 tahun di Mahkamah Agung, ditambah dengan pencabutan hak politik oleh majelis hakim kasasi yang dipimpin oleh Artijo.

Meski tidak ada kegaduhan di media massa yang meributkan vonis itu, di komunitas Whats- App tertentu, vonis tersebut mendapat sorotan tajam. Bahkan, ada yang agak emosional dan kasar dalam menyorotinya.

Selain tergugah oleh debat di Whats App tertentu tersebut, saya merasa perlu bertemu dengan Artijo karena sebelum ada vonis Anas, saya mendengar banyak keluhan tentangnya. Ada pejabat penting yang mengatakan, ”Artijo itu terlalu anti-korupsi sehingga kalau ada perkara korupsi yang kasasi, langsung hukumannya dinaikkan. Itu produk orang marah dan tidak adil,” kata pejabat itu.

Hal yang sama pernah dikeluhkan secara langsung kepada saya oleh seorang ibu yang suaminya dihukum dua kali lipat dari vonis pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. ”Artijo itu tak membaca memori kasasi, tapi langsung menghukum dua kali lipat menjadi 15 tahun. Suami saya itu hanya analis, bukan pembuat keputusan, apalagi kebijakan, kok dihukum segitu”, kata ibu itu.

Saya pun ikut terharu mendengarkan kronologi kasus yang menimpa keluarganya. Terhukum kasus korupsi di tingkat PN dan PT banyak yang takut untuk mengajukan kasasi ke MA karena takut kalau majelis kasasinya jatuh ke Artijo. Yang sudah mengajukan kasasi pun ada yang mencabut kembali setelah majelis hakimnya ditangani Artijo. Hartati Murdaya, Neneng Sri Wahyuni, dan mantan Bupati Buol Amran A. Batalipu adalah contoh yang perkara kasasinya ditarik ketika Artijo siap menjatuhkan vonis.

***

72

Page 73: Opini hukum politik 22 mei 2015

Ketika saya sampaikan tentang keluhan-keluhan itu, Artijo menanggapi dengan tenang, tanpa perubahan ekspresi di wajahnya. Tapi dia menegaskan, penilaian orang-orang itu absurd.

Kata Artijo, akan dosa besar kalau dirinya memutus tanpa membaca memori kasasi secara cermat. Semua argumen dan kontra-argumen dalam kasasi dan memori kasasi pasti diurai, dianalisis, dan dikonfirmasikan dengan bukti-bukti, dan semua itu dimuat di dalam vonis. Bahkan ketika menyebut argumen dan kontra-argumen itu, vonis Artijo menyebut halaman-halaman memori, kontra-memori dan vonis-vonis sebelumnya. Jadi tak mungkin bisa membuat vonis yang begitu kalau tidak membaca dengan cermat.

Lagi pula, tidak sedikit jumlahnya perkara kasasi yang ditangani Artijo hukumannya dikurangi bahkan divonis bebas. ”Yang diberitakan kan yang dinaikkan saja,” kata Artijo. Dia pun berjanji, pekan ini, akan menunjukkan kepada saya tentang perkara dan orang-orang yang dibebaskannya, sekaligus akan menunjukkan bukti dan pertimbangan atas putusan-putusan yang diributkan.

Kata Artijo, dirinya tak harus bertanggung jawab kepada manusia siapa pun dalam membuat vonis, kecuali kepada Tuhan. Dia akan menunjukkan itu kepada saya bukan sebagai pertanggungjawaban atau untuk membela diri, melainkan karena saya adalah yuniornya. Artijo menganut paradigma, pejabat yang korupsi harus dihukum berat; karena selain korupsi, mereka juga melanggar kewajibannya untuk menyejahterakan rakyat.

***

Hakim tetaplah manusia. Tetapi yang penting, manusia yang berstatus hakim itu benar-benar berusaha untuk menjaga integritas dan kejujuran tentang kebenaran dan keadilan. Saya yakin akan integritas Artijo, karena saya mengenal lama secara cukup dekat.

Pada tahun 1978, saya masuk menjadi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta dan Mas Artijo adalah salah satu dosen muda favorit saya. Dia mengajar dengan sangat baik, sambil selalu menekankan perlunya moral keagamaan sebagai dasar ilmu dan penegakan hukum. Dia pula yang menginspirasi saya untuk menjadi dosen karena saya ingin menjadi dosen seperti Mas Artijo yang cerdas, sederhana, tegas, berani, dan agamais.

Pada tahun 1990/1991, saya dan Mas Artijo sama-sama berada di New York, Amerika Serikat. Saya menjadi academic researcher di Pusat Studi Asia, Columbia Univesity untuk penulisan disertasi doktor di UGM, sedangkan Mas Artijo bekerja di Human Rights Watch. Setiap Jumat, kami bersama ke masjid untuk salat Jumat. Setiap Minggu, kami makan siang bersama, kadang makan nasi briyani di restoran India, kadang makan kebab di restoran Turki.

Setelah menjadi hakim agung, kami di UII sering menjuluki Mas Artijo dengan Judge Bao. Judge Bao atau Justice Bao adalah seorang hakim yang namanya sangat melegenda sebagai

73

Page 74: Opini hukum politik 22 mei 2015

simbol penegak hukum dan keadilan dalam sejarah Cina. Namanya diabadikan di dalam buku sejarah dan film-film. Nama aslinya Bao Zheng, hidup tahun 999-1062 era Dinasti Song.

Di dalam penulisan sejarah maupun di film-film, terkadang dia ditulis sebagai Judge Bao, terkadang disebut Justice Bao. Maklum pada saat itu tugas penuntutan dan penghukuman masih menyatu. Kami sering menyebut Mas Artijo sebagai Judge Bao Artijo.

MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi 

74

Page 75: Opini hukum politik 22 mei 2015

Dana KPK untuk Komunitas Anti-korupsi

Koran SINDO15 Juni 2015

    Kegiatan KPK sejak Jilid I sampai Jilid III telah berjalan efektif. Namun, tidak terlalu signifikan dalam memerankan fungsi koordinasi, supervisi, dan monitoring, serta evaluasi terhadap kepolisian, kejaksaan, dan kementerian/lembaga selama kurang lebih 12 tahun sejak pembentukannya.

Dalam bidang pencegahan telah dikemukakan pimpinan KPK Jilid III bahwa telah berhasil menyelamatkan potensi kerugian negara sebesar Rp100 triliun, sedangkan kerugian negara yang nyata yang berhasil diselamatkan selama 2009-2013 hanya mencapai kurang lebih Rp716 miliar. Pencapaian ini jauh di bawah kejaksaan yang mencapai kurang lebih Rp6 triliun dan kepolisian sebesar Rp2 triliun (Pidato Orasi Guru Besar Paripurna Romli Atmasasmita, 2014).

Menilik keberhasilan dan kekurangberhasilan KPK selama ini khusus Jilid III, tentu diperlukan langkah-langkah untuk meningkatkan kinerja KPK Jilid III. Dalam konteks ini proses rekrutmen pimpinan KPK dan pegawai dalam jabatan strategis yang ketat ternyata bukan satu-satunya jaminan yang dapat mendukung/memperkuat kinerja KPK sesuai dengan UU KPK dan UU terkait lainnya. Perencanaan strategis baik pencegahan maupun penindakan khususnya manajemen administrasi penanganan perkara (case-management administration system/CMAS) dan kepatuhan pimpinan KPK terhadap CMAS justru jaminan keberhasilan KPK baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.

BPK RI merekomendasikan KPK agar memperkuat perencanaan operasional KPK melalui prioritas penyelesaian pembangunan sistem aplikasi CMAS (dikutip dari Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI pada KPK Nomor: 115/HP/XIV/12/2013 tanggal 21 Desember 2013). Di dalam CMAS tersebut juga termasuk pemindaian dan pengawasan bekerjanya SOP terpadu khusus penyadapan, mulai penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.

SOP penindakan termasuk penyadapan sangat penting sebagai parameter bahwa kinerja KPK telah dilandaskan pada ketentuan hukum acara yang berlaku dan dilaksanakan secara profesional dan akuntabel. Putusan praperadilan membuktikan bahwa telah terjadi pelanggaran atas SOP KPK oleh penyidik KPK. KPK dengan tugas dan wewenang yang luas dalam UU KPK tidak dapat bekerja sendiri dan memerlukan bantuan pihak ketiga khusus dalam melaksanakan strategi pencegahan.

***

75

Page 76: Opini hukum politik 22 mei 2015

Dalam konteks strategi ini KPK telah bekerja sama dengan Komunitas Anti-korupsi (KAK) yang terdiri atas anggota koalisi LSM Anti-korupsi atau dikenal dengan Koalisi Pemantau Peradilan (KPP). Sejak 2007 hingga 2011 kerja sama ini telah dilaksanakan dalam rangka penyusunan Roadmap Pemberantasan Korupsi dan terlibat di dalamnya ICW, Kemitraan Partnership, Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum UI, Indonesia Legal Resources Centre, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, TII, dan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan.

Langkah KPK Jilid III harus diapresiasi karena roadmap menentukan arah keberhasilan pemberantasan korupsi jangka panjang. Terlepas dari tujuan baik dari penyusunan roadmap tersebut maka sebagai bentuk pertanggungjawaban baik kinerja dan keuangan seyogianya KPK melakukan konferensi terbuka tahunan di hadapan pers dan media cetak mengenai hal tersebut. Sehingga, benar-benar KPK mewujudkan ketentuan Pasal 20 UU KPK yang mewajibkan KPK bertanggung jawab kepada publik.

Pertanggungjawaban itu tidak cukup hanya melalui website KPK karena website KPK tidak merinci lebih jauh berapa anggaran yang disediakan dan telah dikeluarkan dan siapa penerima anggaran KPK baik dari APBN maupun dana hibah luar negeri (asing) sejak 2007 hingga 2014. Dana hibah ini pernah menjadi topik diskusi pada RDP Komisi III DPR RI dan KPK pada 25 Juni 2012. Pihak KPK telah menjanjikan menyiapkan tanda terima terhadap pemberian dana alokasi untuk Komunitas Anti-korupsi, namun sampai saat ini belum diselesaikan dan dilaporkan KPK kepada Komisi III (Laporan Singkat RDP Komisi III dengan KPK dan LPSK tanggal 25 Juni, khusus butir 9 sampai 13).

Selain itu juga perlu digarisbawahi diskusi Komisi III dan KPK di mana ketua RDP mempertanyakan pembentukan 31 Komunitas Anti-korupsi (KAK) yang memakan biaya Rp10 miliar dan menurut ketua rapat, satu NGO itu memakan biaya Rp300 juta dan ketua rapat meminta penjelasan mengenai hal ini. Begitu juga mengenai anggaran untuk “Pembelajaran Anti-korupsi” sebanyak 14 kali dengan total anggaran sebesar Rp3 miliar.

Penulis tidak menolak bahwa setiap kegiatan KPK memerlukan dana dari APBN atau hibah asing. Namun, sesuai dengan asas-asas KPK dalam Pasal 5 UU KPK (kepastian hukum, keterbukaan, akuntabilitas, kepentingan umum, dan proporsionalitas) dan Pasal 20 UU KPK mewajibkan KPK bertanggung jawab kepada publik—tentu publik yang utama adalah para wajib pajak yang patuh telah memasukkan pendapatan kepada negara.

Penulis harapkan agar KPK dan BPK RI melakukan langkah keterbukaan yang sama tanpa harus ada ketertutupan atau kerahasiaan karena untuk maksud tujuan itulah pembentukan KPK terkait kinerja kepolisian dan kejaksaan.

ROMLI ATMASASMITA Guru Besar (Emeritus) Unpad/Unpas

76

Page 77: Opini hukum politik 22 mei 2015

Peradilan Bersih dan Berwibawa, Kapankah?

Koran SINDO17 Juni 2015

Bambang Widjojanto (BW) tiga kali mengajukan permohonan praperadilan atas penetapan tersangka dan penangkapan oleh penyidik Bareskrim Polri di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dan tiga kali pula mencabutnya.

Pertama, BW mengajukan praperadilan pada 23 Januari dan dicabut 9 Februari. Kedua, BW kembali mengajukan pada 7 Mei dan dicabut 20 Mei. Ketiga, BW mengajukan kembali pada 27 Mei kemudian dicabut 15 Juni 2015.

Dari pernyataan kuasa hukum BW, Abdul Fickar Hadjar, terungkap bahwa pencabutan antara lain karena alasan-alasan berikut: (1) Praktik penanganan perkara praperadilan di PN Jakarta Selatan telah dibajak menjadi ajang arus balik gerakan anti-korupsi; (2) Proses dan putusan sidang praperadilan telah di luar nalar atau logika hukum; (3) Hakim memberi putusan di luar wewenang atau ultra petita; (4) Upaya praperadilan sudah dalam skenario dan skema yang telah diketahui hasilnya; (5) Terindikasi tidak ada standar berbasis fakta dan argumentasi untuk menerima atau menolak permohonan praperadilan.

Alasan-alasan tersebut merupakan hasil eksaminasi beberapa putusan praperadilan sebelumnya yakni kasus praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan, mantan Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin, mantan Dirjen Pajak Hadi Poernomo, dan terakhir kasus Novel Baswedan.

Dapat dipahami bahwa sikap BW itu diapresiasi oleh jajaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), penggiat anti-korupsi, dan mereka yang sealiran pemikiran. Namun, pada sisi lain Bareskrim Polri berikut pengacaranya, ahli hukum, pemikir, serta pengikutnya kecewa seraya mengkritik atas sikap tersebut.

Sulit terbantahkan bahwa ”pertikaian” antara KPK berhadapan dengan lembaga kepolisian, terus berlangsung secara laten maupun manifes, terjadi di luar maupun di dalam sidang pengadilan.

***

Tulisan ini tidak memihak salah satu dari dua kubu yang ”bertikai”. Kapankah ”pertikaian” berubah menjadi persatuan sebagai skuadron penegak hukum? Silang-sengkarut praperadilan hanyalah riak kecil. Terwujudnya peradilan bersih dan berwibawa, saya pandang, lebih penting dibahas dan bermanfaat bagi kepentingan bangsa secara keseluruhan.

77

Page 78: Opini hukum politik 22 mei 2015

Mengapa? Analog dengan ”lonceng peringatan”, sampai detik ini, tidak sedikit publik mempertanyakan: independensi, integritas, profesionalitas, moralitas, kebersihan, dan kewibawaan lembaga pengadilan. Paling tidak, pengalaman bergaul dengan hakim-hakim, mereka berbisik-bisik dan berterus terang bahwa keselamatan dan kelancaran karier menjadi pertimbangan utama dalam menjalankan profesinya, sebelum mempertimbangkan hal lain. Maknanya, ”peradilan bersih dan berwibawa”, masih jauh panggang dari api.

Untuk mewujudkan itu perlu perjuangan semua pihak, tidak hanya mempersalahkan pihak-pihak tertentu. Hemat saya, perjuangan dapat diawali dengan mengelaborasi ungkapan ”peradilan bersih dan berwibawa” sejak filosofisnya sampai dengan perwujudannya sehingga tidak berhenti sebagai slogan kosong, melainkan menjadi bermakna dan dapat dijabarkan dalam bentuk realitas nyata.

Pertama, bersih dalam dimensi rohani mengandung makna spiritual-religius, yakni tanpa noda: iri, dengki, sombong, dan dusta. Sementara itu, bersih jasmani adalah bersih dari perilaku tercela dan barang haram. Peradilan bersih akan terwujud bila diisi oleh manusia- manusia bersih rohani-jasmani. Predisposisi kejiwaan niscaya mampu memberikan garansi terjaganya integritas dan profesionalitas siapa pun yang terlibat dalam peradilan bersih.

Artinya, peradilan bersih mensyaratkan penegak hukum memiliki ilmu dan keterampilan khas yakni ilmu hukum yang luas dan mendalam, merengkuh semua dimensi kehidupan, baik yang diperoleh dari pendidikan formal maupun pendidikan lain, termasuk pengalaman hidup.

Kedua, bersih menjadi prasyarat kehidupan sehat. Sehat mencakup kenormalan fungsi-fungsi fisik, mental, spiritual, maupun sosial sehingga setiap manusia mampu berperan sebagai subjek hukum. Setiap kegiatan dalam upaya memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan dilaksanakan berdasarkan prinsip non-diskriminatif, partisipatif, dan berkesinambungan.

Kesehatan (health) dan penyembuhan (heal) secara etimologis memiliki akar kata yang sama dengan istilah “whole” (keseluruhan). Hal ini mengindikasikan bahwa peradilan bersih dan berwibawa dapat terwujud bila upaya-upaya perwujudannya dilakukan secara holistik.

Analog dengan makna kesehatan bagi setiap manusia agar terwujud peradilan bersih dan berwibawa sehingga upaya-upaya pendekatan holistik meliputi: (a) Pelayanan promotif yaitu serangkaian kegiatan pelayanan hukum yang bersifat promosi keadilan; (b) Pelayanan preventif yaitu kegiatan pencegahan terhadap kemungkinan munculnya ketidakadilan; (c) Pelayanan kuratif yaitu serangkaian kegiatan untuk pemulihan harkat dan martabat orang yang pernah bersalah; dan (d) Pelayanan rehabilitatif yaitu serangkaian kegiatan mengembalikan bekas pesakitan ke masyarakat sehingga dapat berperan sebagaimana anggota masyarakat lainnya.

Ketiga, peradilan bersih dan berwibawa dapat dirujuk maknanya pada implikasi dari kualitas bersihnya manusia-manusia pelaku. Berwibawa akan muncul dengan sendirinya sebagai pembawaan, sikap, perilaku penuh daya tarik penegak hukum yang bersih. Peradilan bersih

78

Page 79: Opini hukum politik 22 mei 2015

dan berwibawa adalah peradilan yang memiliki kekuasaan, disegani, dipercaya, dan dipatuhi oleh penegak hukum maupun pencari keadilan. Eksistensi dan fungsi lembaga pengadilan diakui dan dimanfaatkan bukan karena pamrih, melainkan karena aura kejujuran dan kemampuan mewujudkan keadilan substantif.

Kita insyaf bahwa perwujudan peradilan bersih dan berwibawa melibatkan kompleksitas kehidupan begitu tinggi, jumlah orang dan lembaga begitu banyak, serta keanekaragaman kehidupan lainnya. Karena itu, tidak ada pilihan lain kecuali peran dan fungsi seluruhnya dikelola dalam konteks organisasi, manajerial terpadu, pengintegrasian, sinergitas sumber daya kelembagaan dan entitas penegak hukum (pengadilan, kejaksaan, kepolisian, organisasi advokat, media massa, dan sebagainya). Hemat saya, Presiden bersama Mahkamah Agung (MA) dan DPR memiliki otoritas untuk meninjau kembali dan mengorganisasikan kekuasaan kehakiman menjadi sistem terpadu, tanpa ”pertikaian”, tanpa ”rivalitas”, dan tanpa ”kriminalisasi”.

Ketika kepercayaan publik terhadap kekuasaan kehakiman, lembaga penegak hukum, lembaga pengadilan dapat dipulihkan sehingga silang sengkarut pra peradilan dapat diakhiri. Kapankah terwujud? Wallahualam.

PROF DR SUDJITO SH MSi Guru Besar Ilmu Hukum UGM

79

Page 80: Opini hukum politik 22 mei 2015

Harapan pada KPK di Era Nawacita

Koran SINDO19 Juni 2015

    

KPK selama ini lebih terlihat mengutamakan kebijakan penindakan dalam pemberantasan korupsi, namun terlihat tak cukup mengembangkan kebijakan supervisi dan prevensi dalam membangun sistem anti-korupsi di lingkungan lembaga-lembaga penyelenggara negara.

Dalam siklus pemberantasan korupsi, kebijakan penindakan sejatinya perlu diletakkan dalam rangkaian terakhir setelah terlebih dahulu dilakukan perbaikan dan penguatan sistem anti-korupsi yang mampu melaksanakan deteksi dini (early warning system) untuk mencegah terjadinya praktik-praktik koruptif.

Dalam pertimbangan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK terdapat dua konsiderasi penting mengenai urgensi lahirnya KPK, yaitu pertama, dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. Kedua, bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi.

Sehubungan dengan konsiderasi dalam UU KPK tersebut, selanjutnya ditegaskan dalam Penjelasan UU KPK bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan beberapa hal, yaitu: (1) dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai ”counterpartner” yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif; (2) tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan; (3) berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism); (4) berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada, dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.

***

Jika mencermati substansi dari konsiderasi dan penjelasan UU KPK tersebut, sejatinya sejalan dengan amanah yang dicetuskan dalam Nawacita salah satunya adalah agar terdapat sinergi fungsional di antara KPK RI, Kejaksaan RI, dan Kepolisian RI dalam melaksanakan upaya pencegahan maupun penindakan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Berdasarkan konsiderasi tersebut maka sebagian besar penyidik KPK bersumber dari aparat

80

Page 81: Opini hukum politik 22 mei 2015

Kepolisian RI yang diseleksi untuk menjadi penyidik KPK. Demikian pula penuntut umum di KPK diharuskan bersumber dari Kejaksaan RI.

Pesan di balik dari ketentuan UU KPK tersebut adalah agar KPK juga bisa menjadi ruang untuk menyinergikan dan mengefektifkan pemberantasan tindak pidana korupsi. Hal inilah yang menjadi substansi dari makna bahwa KPK oleh pembentuk UU KPK sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi (trigger mechanism). Maka, amanah Nawacita untuk membangun sinergi antar para penegak hukum (KPK, kepolisian, dan kejaksaan) sejatinya justru merevitalisasikan amanah UU KPK agar KPK dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai ”counterpartner” yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif.

Berdasarkan amanah tersebut maka nantinya KPK harus menginisiasi cetak biru (blue print) jaringan kerja yang kuat dan efektif untuk mengonstruksi sinergi peranan antarketiga institusi penegak hukum dimaksud. KPK sesuai dengan amanah UU KPK dan Nawacita harus dapat memperlakukan institusi yang telah ada sebagai ”counterpartner” yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif.

Meskipun upaya untuk membangun jaringan kerja antarinstitusi penegak hukum tersebut selama ini sudah dilakukan, memang perlu diakui hal itu ke depan perlu dilakukan secara lebih serius berbasis cetak biru jaringan kerja yang kuat dan efektif sehingga KPK sekaligus juga dapat memberdayakan kepolisian dan kejaksaan dalam melaksanakan langkah-langkah pencegahan dan penindakan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Kejahatan korupsi bukanlah sebuah kejahatan yang berdiri sendiri, namun terjadi karena sebagai faktor penyebab sekaligus juga akibat dari beberapa faktor yang lain. Di titik inilah sejatinya revolusi mental yang menjadi fondasi dari Nawacita perlu dilakukan dengan konsisten dan efektif agar dapat dilakukan transformasi kelembagaan menjadi lebih baik melalui perubahan pola pikir, kultur maupun tindakan. KPK sendiri sejak awal dibentuk sudah memiliki perangkat sistem yang lengkap untuk mampu melakukan ”revolusi mental” birokrasi publik maupun mengubah budaya korupsi di kalangan masyarakat.

Penindakan dalam rangkaian sistem pemberantasan tindak pidana korupsi harus diletakkan dalam suatu rangkaian yang sistematis dan koheren dengan berbagai langkah pencegahan maupun edukasi. Divisi pencegahan maupun riset di KPK harus diberikan fungsi yang lebih efektif lagi sehingga mampu melakukan revolusi mental birokrasi di tubuh berbagai lembaga negara melalui penyemaian budaya anti-korupsi di lingkungan berbagai lembaga negara.

Selama ini sejak dari ranah legislasi sampai pada implementasi kebijakan masih tercium berbagai aroma tak sedap yang dipicu masih suburnya budaya koruptif. Di lingkungan pemerintah, sektor pengadaan barang dan jasa dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang sangat teknis dan njlimet (baca: terlalu detail) siap mengeksekusi para

81

Page 82: Opini hukum politik 22 mei 2015

birokrat yang tak paham, teledor maupun yang dengan sengaja salah dalam mengadministrasikan proses pengadaan barang dan jasa.

Ke depan, lebih baik regulasi pengadaan barang dan jasa dengan supervisi KPK dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) bisa ditingkatkan level hierarkinya menjadi suatu undang-undang yang mudah dipahami, tak terlalu njlimet namun sekaligus efektif untuk mencegah praktik-praktik curang maupun penyalahgunaan wewenang dalam pengadaan barang dan jasa publik.

Jika diperlukan perincian, baru dituangkan norma operasionalnya dalam peraturan teknis setingkat perpres maupun permen. Hal ini dimaksudkan agar pengadaan barang dan jasa jangan menjadi ”kuburan karier” bagi para birokrat maupun penyelenggara negara yang selama ini berdasarkan riset KPK tak kurang dari 70% kasus-kasus korupsi berasal dari sektor pengadaan barang dan jasa pemerintah.

W RIAWAN TJANDRA Pengajar pada Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

82

Page 83: Opini hukum politik 22 mei 2015

Drama Pergantian Jabatan

Koran SINDO20 Juni 2015

Tanggal 9 Juni 2015 pimpinan DPR menerima surat yang menjelaskan bahwa Presiden Republik Indonesia memilih Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Gatot Nurmantyo sebagai calon tunggal pengganti Jenderal Moeldoko.

Surat tersebut merupakan bab penutup dari rangkaian penjelasan yang disampaikan sebelumnya oleh beberapa orang pejabat antara lain Menteri Sekkab Andi Wijayanto dan Wapres Jusuf Kalla. Penjelasan-penjelasan tersebut pada hakikatnya mengemukakan penekanan yang kuat tentang hak prerogatif Presiden dan penafsiran subjektif mengenai tidak atau ada ketentuan yang mengharuskan bahwa jabatan panglima TNI itu “harus” bergiliran. Dari penjelasan para pejabat itu, sebenarnya sudah jelas apa makna yang terkandung di dalamnya yaitu bahwa panglima TNI bukan atau tidak akan berasal dari Angkatan Udara.

Pandangan orang awam yang lugu, karena TNI itu adalah AD, AL dan AU, pemikiran logis dan masuk akal, panglima TNI adalah sama dan sebangun yaitu AD, AL, dan AU. Dengan demikian, setelah dijabat AD, logikanya adalah AU, karena sebelumnya adalah dari AL. Nah, untuk memutarbalikkan logika dan pemikiran yang masuk akal itu memang diperlukan penjelasan yang dapat “memaksa” orang maklum dan memahaminya.

Tidak juga ada yang salah dengan hal tersebut karena “politik” memang sulit untuk dapat dipahami oleh akal sehat, pemikiran logis, dan lugu orang awam. Sah dan biasa-biasa juga tentunya mengenai hal tersebut karena politik orientasinya adalah semata kekuasaan yang kalau perlu dapat saja mengabaikan logika dan bahkan etika. Tetapi, ada hal yang sangat tidak mendidik dalam episode perjalanan proses pergantian panglima TNI selama ini.

Seharusnya pada setiap prosesi pergantian jabatan panglima TNI jangan sampai secara telanjang selalu terbuka pada semua prajurit dan bahkan semua orang tentang terjadinya “rebutan” jabatan yang sayup-sayup terdengar telah terjadi di balik layar. Pernyataan kedua pejabat itu telah mengantarnya ke atas permukaan, pernyataan yang merefleksikan apa gerangan yang tengah terjadi.

Sekali lagi, sangat tidak mendidik. Bayangkan para prajurit yang dengan sukarela telah mempersembahkan jiwa dan raganya untuk mengabdi negeri ini dan telah dituntut selalu berada dalam lingkup yang penuh disiplin dengan mengembangkan jiwa ksatria dan sikap patriotisme, kemudian melihat dengan terang benderang pada setiap pergantian panglimanya, terjadi “perebutan” yang melibatkan pejabat-pejabat penting negara. Sungguh sesuatu yang

83

Page 84: Opini hukum politik 22 mei 2015

sangat kontradiktif yang secara sengaja atau tidak telah terhidang secara terbuka di haribaan masyarakat luas.

Jabatan panglima TNI telah telanjur “hanya” dilihat dari sisi kekuasaan lengkap dengan atribut “privilese” yang mengikutinya belaka. Apabila “jabatan” dilihat juga dari sisi tuntutan tanggung jawab dan tugas berat yang harus diemban, dipastikan hal tersebut akan menghilangkan selera untuk memperebutkannya seperti yang terjadi pada banyak kasus pelanggaran HAM misalnya. Dengan demikian, “giliran” atau harus “bergantian” akan menjadi satu keniscayaan karena bila sudah terhubung dengan masalah tanggung jawab, kebanyakan orang lebih memilih untuk menghindar, hal yang sangat manusiawi sekali.

***

Memperjuangkan kesetaraan dan keadilan angkatan dalam konteks peningkatan esprit de corps TNI secara keseluruhan tidaklah mudah. Dalam periode 2002 sampai 2005, panglima TNI bersama jajaran kepala staf angkatan sudah cukup berhasil mengelola dengan baik (walau kemudian ternyata tidak berlanjut) upaya ke arah itu.

Jabatan bintang tiga dibatasi hanya ada tiga (kasum, irjen TNI, dan sesko TNI) dan akan selalu diisi berimbang dan merata darat, laut, udara, sesuai anatomi dari TNI sendiri yang terdiri dari AD, AL, dan AU. Pada era itulah pula untuk pertama kali sepanjang sejarah negeri ini berdiri, AU diberi kepercayaan memegang jabatan sekjen Dephan. Demikian pula untuk jabatan kasum yang sudah puluhan tahun tidak pernah dijabat lagi oleh perwira AU.

Puncaknya, di bawah kepemimpinan Jenderal TNI Endriartono Soetarto, jajaran pimpinan TNI berhasil meyakinkan Presiden SBY (keduanya dikenal sebagai perwira AD yang memiliki visi) untuk memberikan kesempatan yang sama kepada perwira AU yang merupakan bagian integral dari TNI menjabat sebagai panglima TNI untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia.

Kesimpulannya, kesetaraan dan keadilan dalam pengelolaan TNI sebagai sebuah Angkatan Perang NKRI memang harus diperjuangkan bersama. Termasuk di dalamnya upaya untuk menyebarluaskan melalui media, peristiwa Bawean yang dibantu oleh Saudara Dudi Sudibyo dari salah satu harian nasional, agar seluruh rakyat Indonesia, kemudian menyadari betapa negara kepulauan yang luas dan strategis ini sangat memerlukan keberadaan sebuah kekuatan udara sebagai pengawal dirgantara Ibu Pertiwi.

Demikian pula diskusi yang intens dan tidak kenal lelah bersama Jenderal Endriartono dalam mencari sosok yang tepat dan dapat diterima semua pihak untuk jabatan panglima TNI. Pada akhirnya pemerintahan negeri ini berhasil untuk mendudukkan perwira AU sebagai panglima TNI walau melalui proses yang tidak ringan termasuk fit and proper test di DPR yang berlangsung lebih dari 12 jam. Proses yang tidak pernah dialami para calon pejabat panglima TNI mana pun untuk panjang waktu yang memecahkan rekor itu.

84

Page 85: Opini hukum politik 22 mei 2015

***

Bahasa lugas dan jujur yang berlandas Sumpah Prajurit dan Sapta Marga memang sangat mudah untuk dimengerti dan dipahami. Keputusan sudah keluar, sebuah keputusan yang pastinya berlandas pada kepentingan politik. Bila sudah memasuki ranah politik, kata dan kalimat yang jelas pun dapat dengan mudah di-”goreng-goreng” untuk kemudian menimbulkan salah pengertian yang fatal.

Politik telah membuat semua menjadi sulit dimengerti walau diberi embel-embel hak prerogatif Presiden dan penilaian subjektif tentang tidak ada ketentuan yang mengharuskan bergiliran atau bergantian. Politik memang kerap berada jauh dari blantika etika dan sikap ksatria, apalagi masalah patriotisme. Machiavelli berkata orientasi politik adalah kekuasaan, titik.

Apa pun yang terjadi, begitu keputusan sudah keluar, memang tidak tersedia pilihan bagi prajurit sejati selain “siap laksanakan”. Panglima TNI dijabat oleh AD kembali. Selamat dan semoga sukses selalu.

Tulisan ini jauh dari sekadar upaya membela salah satu angkatan, tetapi lebih kepada membela kepentingan TNI secara luas sebagai garda terdepan penjaga kedaulatan dan kehormatan negara tercinta. Menjaga TNI agar terlepas dari kepentingan pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan dan bahkan tidak jelas diketahui hendak mengarah ke mana.

NKRI, sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia dan terletak pada posisi yang sangat strategis, sudah harus mulai melihat kenyataan sejarah. Negeri ini selama ratusan tahun dan bahkan ribuan tahun lalu telah menjadi sapi perah kekuatan asing yang dapat dengan mudah menduduki Nusantara, terutama sebagai akibat dari wilayah Nusantara yang sampai sekarang tidak pernah memiliki kekuatan armada laut yang mumpuni.Peter Carey mengatakan bahwa bangsa yang tidak mampu memetik pelajaran dari sejarahnya, dia akan menjadi bangsa yang tidak tahu dari mana mereka berasal dan hendak ke mana mereka akan pergi.

Sistem pertahanan negara RI sebagai negara kepulauan sudah harus didesain ulang sebanding dengan era perang modern yang harus menghadap keluar dan terdiri dari kekuatan wilayah perairan yang memadai. Angin segar telah bertiup dari era pemerintahan baru dengan slogan terkenal “Poros Maritim Dunia”. Namun, tanpa mengurangi rasa hormat atas ide cemerlang itu, kemajuan teknologi yang begitu cepat dan masif telah membuat kekuatan poros maritim tanpa berjalan paralel dengan membangun air superiority dan air supremacy pasti akan sia-sia belaka. David Ben Gurion menggarisbawahi, pada 1948 bahwa “The high quality of Life, reach culture, spiritual, economic and political independence are impossible without Aerial Control.”

Keutuhan sebuah Angkatan Perang dari satu negara kepulauan seperti Indonesia ini seyogianya harus dapat terjaga. Harus terjaga steril dari kepentingan perorangan-golongan

85

Page 86: Opini hukum politik 22 mei 2015

dan atau kelompok tertentu. Apabila tidak, kita semua akan terjerumus pada posisi yang disebut oleh Bung Karno sebagai bangsa kuli dan atau kulinya bangsa-bangsa. Lebih dari itu, dalam dekade mendatang, perhatian kepada geostrategi dan geopolitik dalam disain sistem pertahanan sebuah negara sudah tidak cukup lagi. Aeropolitik dan Aerostrategi sudah muncul sebagai aspek yang akan sangat menentukan dalam merumuskan strategi jangka panjang yang penuh dengan tantangan ke depan.

MARSEKAL TNI PURN CHAPPY HAKIM KASAU Tahun 2002–2005

86

Page 87: Opini hukum politik 22 mei 2015

Pertahanan nan Hilang Arah

Koran SINDO22 Juni 2015

Ketika Presiden Jokowi memperkenalkan paradigma Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia (PMD) dengan keinginannya menjadikan wilayah perairan Indonesia sebagai wilayah paling aman di dunia bagi semua aktivitas laut, seluruh jajaran kementerian Kabinet Kerja Jokowi diminta mendukung upaya tersebut.

Negeri ini seketika tersihir dengan sejarah kedigdayaan maritim nenek moyangnya. Semua hal yang bernafaskan laut mendadak menjadi demikian sexy. Semua kementerian tanpa terkecuali berlomba menerapkan visi-misi ”maritim” sesuai persepsi, kepentingan, dan keunggulan masing-masing, kecuali Kementerian Pertahanan.

Abad ke-21 adalah “World Ocean Century” sehingga semua kawasan dan negara-negara maju berlomba menunjukkan kemampuannya untuk menghadapi abad ini. Indonesia sesungguhnya dipersiapkan Presiden Jokowi dengan mencetuskan paradigma PMD untuk mempersiapkan diri agar mampu berpartisipasi secara setara dengan negara-negara lain, utamanya dalam kompetisi akses ke pengamanan sumber daya, mampu berperan sebagai stabilisator kawasan, dan berpartisipasi dalam keamanan rute perdagangan internasional.

Hanya dengan armada AL didukung perlindungan kekuatan udara yang canggihlah yang dapat menjamin, tidak saja keutuhan dan kedaulatan wilayah, tetapi juga melindungi ketersediaan sumber daya alam dari samudera dan lembah daratan nan jauh, untuk mewujudkan kepentingan nasional berkelanjutan bangsa ini.

Posisi ”diam” Kemhan dalam menyikapi PMD membawa dampak magnitudial dalam ranah pertahanan keamanan kita. Akibatnya, TNI terlihat hilang arah dalam menetapkan visi-misi pembangunan struktur kekuatan dan pengembangan kemampuannya ke depan. Mengapa? Karena, paradigma PMD menuntut TNI menjadi militer yang menghadap ke luar (the outward looking military). Berbanding terbalik dengan TNI era Presiden Soeharto hingga era kepemimpinan ”1000 friends 0 enemy” Presiden SBY yang menghadap ke dalam (the inward looking military).

TNI saat ini seakan terjebak dalam kebingungan untuk menjadi tentara inward looking dengan terus mempertahankan pembangunan kekuatan ala minimum essential forces (MEF) yang berdasarkan keterbatasan anggaran yang tersedia, atau menjadi tentara outward looking –yang suka atau tidak–harus dibangun berdasarkan perhitungan kemampuan kekuatan berbasis kapasitas dan kapabilitas, untuk menjadi militer sempurna dari sebuah negara yang telah mencanangkan dirinya sebagai PMD.

87

Page 88: Opini hukum politik 22 mei 2015

***

Paradigma PMD harus didukung kesiapan TNI AL yang memiliki aspek materi ideal berupa sistem senjata armada terpadu (SSAT) yaitu KRI, pesawat udara, marinir, dan pangkalan. Kapabilitas perang udara sebagai payung utama kekuatan AL yang didukung oleh kemampuan untuk melaksanakan pertahanan (point of defence) anti-serangan udara, rudal anti-serangan udara, serta sarana deteksi udara untuk memperoleh kemampuan dalam mengamankan wilayah kedaulatan.

Selain itu perlu dipenuhi sarana-prasarana pendukung pelaksanaan operasi, terbentuknya daerah operasi yang mampu mengefektifkan pola operasi pengamanan negara kepulauan, hingga pengamanan perairan kawasan, serta terwujudnya pangkalan TNI AL yang bersinergi dengan pangkalan TNI AU di wilayah Indonesia hingga ke wilayah negara kawasan, yang kelak dengan segera terbentuknya ASEAN Navy akan bahu-membahu melaksanakan operasi keamanan maritim kawasan.

Sesuai UNCLOS 1982 Indonesia memiliki lautan seluas 5,8 juta km2. Terlahir dengan posisi silang dunia serta memiliki 12 selat serta chokepoints strategis, maka jelas wilayah perairan kita memiliki tingkat kerawanan sangat tinggi. Ada potensi dalam penyalahgunaan sea lanes of communications (SLOC) dan sea lanes of trades (SLOT), aspek ancaman militer perang maupun non-perang, termasuk spill over dari kekuatan yang sedang berlomba di kawasan mengatasnamakan kepentingan nasional masing-masing seperti Cina dan Amerika Serikat diikuti middle power states; Jepang, India, dan Australia.

***

Alasan mendasar mengapa TNI seolah gamang menyikapi paradigma PMD, utamanya terletak pada ketidakmampuan Presiden Jokowi hingga hari ini untuk menepati janjinya mendirikan National Security Council (NSC) yang sesungguhnya sangat krusial untuk menjalankan roda kebijakan pemerintahan secara terarah dan bersinergi.

NSC sangat krusial untuk dibentuk karena di sinilah Presiden, menhan, dan menlu sebagai aktor utama pertahanan keamanan negara dapat secara bersama menyusun Strategi Keamanan Nasional yang mencakup ruang geopolitik dan geoekonomi sebagai dasar menetapkan; 1. Tujuan dan prioritas kepentingan nasional, 2. Arah kebijakan pertahanan-keamanan, 3. Integrasi kekuatan nasional mencakup kementerian terkait agar roda organisasi serta kinerja pemerintah dapat terarah dan tertata.

Berakar dari Strategi Raya Keamanan Nasional inilah baru kemudian dapat dibuat Strategi Pertahanan Nasional oleh Kemhan, baik yang mencakup ruang politis (karena melibatkan software penggunaan diplomasi dari Kemlu) juga mencakup ruang militer (karena pelibatan TNI sebagai hardware dalam mencapai kepentingan politik dan diplomasi).

88

Page 89: Opini hukum politik 22 mei 2015

Adalah tugas Kemhan untuk mengeluarkan strategi pertahanan dan cara pencapaiannya, proses implementasi, serta manajemen risiko atas strategi yang ditetapkan. Dari titik inilah TNI kemudian dapat menjabarkan ruang operasi militer mereka dengan menyusun National Military Objectives. Di dalamnya tujuan dan tugas TNI serta kapasitas dan kapabilitas yang ingin dicapai ditentukan. Pada level ini penilaian ancaman mencakup risiko strategis yang akan dihadapi dapat terukur, termasuk dampak fluktuasi konstelasi politik keamanan kawasan dan internasional, hingga TNI dapat menentukan operasi sesuai spesifikasi matra dan juga pola operasi matra gabungan yang harus diwujudkannya.

***

Perumusan tujuan, kebijakan, dan perencanaan militer kita menjadi hilang arah karena TNI dengan PMD mendadak harus bertransformasi dari militer yang bersifat defensive active (menunggu diserang baru bertindak) menjadi militer yang offensive passive (mampu bertindak sigap saat hendak diserang).

Mabes TNI sebagai institusi yang bertugas menyusun petunjuk pelaksanaan operasi dan mabes angkatan sebagai institusi yang melaksanakan tugas pembinaan unsur di TNI AL, AD, serta AU jelas menjadi tertatih-tatih dalam merancang upaya meningkatkan kemampuan untuk melaksanakan perannya.

Selain Kemhan tidak menentukan dengan jelas dan tegas ke mana paradigma PMD akan membawa TNI, Kemhan juga tidak pernah menetapkan ancaman yang akan dihadapi termasuk kemungkinan spill over berbentuk operasi militer perang (OMP) maupun operasi militer selain perang (OMSP) terkait konstelasi politik kawasan dan Laut Cina Selatan.

Hilang arah dalam institusi militer kita sesungguhnya dapat disiasati jika saja kita bersepakat untuk berpatokan pada konsep gelar dan postur TNI AL yang secara universal sudah memiliki peran militer, polisionil, dan diplomasi. Konsep ini dapat dijadikan acuan akan ke mana dan seberapa besar tiga matra kita akan dibangun. Dengan dasar ini, kapasitas dan kapabilitas TNI dapat disesuaikan dengan struktur kekuatan dan gelar yang harus dimiliki kemudian oleh masing-masing matra.

Pertanyaannya, apakah dengan PMD kemudian TNI AL cukup dibangun sesuai konsep ”Samudera Laut Cokelat” dengan radius gelar kekuatan yang diterapkan mencakup hanya seluruh ruang perairan Indonesia hingga batas ZEE? Atau harus menjadi AL ”Samudera Laut Hijau” yang berkemampuan mendukung terwujudnya pelaksanaan Political Security Community ASEAN 2015 di mana gelar kekuatannya sudah harus melampaui ZEE Indonesia hingga batas 200 mil laut negara-negara terluar ASEAN? Atau, malah menjadi AL ”Samudera Laut Biru” yang mampu serentak dan rutin berada di tiga samudera dunia untuk menunjukkan kepentingan, kemampuan, dan citra bangsa di dunia internasional?

Strategi maritim terkait bukan saja pada penggunaan dan pemanfaatan laut, tetapi juga pada penguasaan akan laut, termasuk mencegah musuh atau lawan untuk menggunakannya.

89

Page 90: Opini hukum politik 22 mei 2015

Pengerahan AL sangatlah mengacu pada kemampuan serangan udara, serangan amfibi, bombardment, blokade atau pencarian data melalui pengintaian. Karena itu, PMD juga membawa perubahan mendasar pada doktrin TNI. Sebagai contoh, doktrin TNI AL yaitu Strategi Perang Laut Nusantara masih tepat digunakan untuk tahap AL Samudera Laut Cokelat, tetapi tidak lagi tepat untuk TNI AL sesuai tuntutan PMD yang kapabilitasnya harus menjadi AL Samudera Laut Hijau dan Biru.

Strategi ini memerlukan pelibatan dari kedua matra lainnya di mana gelar wilayah serta posturnya akan mengikuti ‘maritime map’ sesuai tahapan warna armada AL tersebut. Karena itu, sejalan dengan itu, KASAU harus dapat memicu ’Air Force to Air Force Talk‘ yang mencakup wilayah ASEAN Air Defence Identification Zone (ADIZ) di luar ADIZ Indonesia sendiri yang masih menjadi pekerjaan rumah kita. Di lain sisi, TNI AD juga harus bersiap diri dengan kemungkinan meluasnya cakupan wilayah ”teritorial” mereka untuk berlatih dan beroperasi di daratan negara-negara ASEAN.

Pembangunan struktur kekuatan TNI berbasiskan perencanaan memang akan sulit tanpa sebuah momentum peluang. Paradigma Indonesia sebagai negara PMD bersamaan dengan segera terwujudnya ASEAN Community 2015 adalah peluang yang tidak boleh dibiarkan sia-sia jika kita ingin memiliki arah dan tahapan jelas akan konsep pembangunan kekuatan dan pengembangan garda-garda terdepan samudera, dirgantara, dan daratan kita.

CONNIE RAHAKUNDINI BAKRIE Direktur Indonesia Maritime Studies; Pengajar di Departemen Hubungan Internasional President University

90

Page 91: Opini hukum politik 22 mei 2015

Pertaruhan Politik PPP

Koran SINDO22 Juni 2015

Ada pendekatan berbeda yang dipraktikkan Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dalam mengurai konflik yang membelit mereka jelang perhelatan pilkada serentak di penghujung tahun ini.

Partai Golkar berupaya menjajaki model konsensus parsial dengan prosedur islah untuk menyelamatkan eksistensi mereka jelang dimulainya tahapan pilkada serentak. ”Gencatan senjata” ala Golkar merupakan islah semu dan sekadar menyelamatkan tiket masuk ke gelanggang pertarungan di tengah konflik internal yang kian membara! Sementara roadmap penyelesaian konflik PPP masih gelap gulita, baik islah pura-pura maupun jalan keluar paripurna di luar prosedur hukum yang sedang dijalani mereka saat ini.

Kegagalan Komunikasi Politik

Ironis! Baik Golkar maupun PPP merupakan partai yang banyak makan asam garam kehidupan politik nasional. Kedua partai yang lahir dari rahim Orde Baru ini sesungguhnya diisi oleh banyak politisi berpengalaman dan kenyang terlibat dalam urusan manajemen konflik.

Konflik dalam partai politik sesungguhnya wajar dan niscaya adanya. Karena itu, hubungan antaraktor dan kelompok yang berseteru harus dikanalisasi melalui beragam prosedur komunikasi yang mengubah kuadran negatif menjadi positif. Politisi dituntut untuk mengembangkan model komunikasi interaksional dan transaksional secara cermat, tepat, dan proporsional. Konflik yang selalu menghadirkan suasana penuh paradoks harus diimbangi dengan kepiawaian membuka zona kesepakatan yang memungkinkan terfasilitasinya pemahaman bersama untuk mengatasi deadlock.

Yang ditempuh Golkar lebih maju dari PPP. Meskipun islah semu Golkar dalam jangka menengah dan panjang belum menyelesaikan masalah internal mereka, bertemunya para elite kubu Aburizal Bakrie dan kubu Agung Laksono menjadi penanda bahwa manajemen konflik masih berjalan.

PPP hingga sekarang gagal mengembangkan komunikasi politik. Pernyataan kedua kubu terus saling menegasikan eksistensi masing-masing pihak. Kubu Djan Faridz berkali-kali mengumbar pernyataan hanya akan islah dengan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly, bukan dengan kubu Muhammad Romahurmuziy. Pun demikian basa-basi Romahurmuziy, yang hanya akan berislah dengan Suryadharma Ali (SDA).

91

Page 92: Opini hukum politik 22 mei 2015

Golkar punya cara lumayan untuk mengurai kebuntuan dengan memajukan sosok Jusuf Kalla sebagai mediator, sementara PPP tak kunjung bisa memaksimalkan figur jangkar di internalnya meski sekadar untuk gencatan senjata. Inilah titik rawan PPP yang sekaligus menjadi pertaruhan politik mereka dalam keikutsertaannya di pilkada serentak.

Jika merujuk ke Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), ada dua poin utama yang mengatur calon kandidat yang akan diusung parpol. Pertama, hanya pengurus parpol yang terdaftar di Kementerian Hukum dan HAM yang bisa mengusung calon peserta pilkada. Apabila tengah menjalani proses hukum, pengurus yang menang sesuai putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dan terdaftar di Kemenhukham yang bisa mengikuti pilkada. Kedua, kubu-kubu yang berseteru harus islah dan mendaftarkan kepengurusan ke Kemenhukham sebelum tahap pendaftaran calon kepada daerah berakhir pada 28 Juli 2015.

Semua instrumen UU dan peraturan sesungguhnya telah jelas, partai berkonflik harus mengatasi dulu persoalan internalnya untuk dapat melenggang ke gelanggang pertarungan elektoral. Kegagalan komunikasi politik dalam manajemen konflik bisa menyebabkan kerugian besar dan berdampak luas bagi posisi politik mereka.

Siklus Perilaku Komunikasi

Dalam perspektif teori informasi organisasi dari Karl Wieck dalam The Social Psychology of Organizing (1979) dikenal dua strategi komunikasi agar organisasi mampu mengurangi ketidakpastian terutama saat konflik seperti dialami PPP dan Golkar. Dua hal tersebut adalah siklus perilaku komunikasi dan aturan bersama.

Siklus perilaku membutuhkan prosedur aksi (act), interaksi atau respons (interact), dan penyesuaian (adjustment). Siklus komunikasi ini memungkinkan politisi yang bertikai melakukan klarifikasi terhadap ihwal yang belum jelas. Syarat utamanya adalah kemauan dan kemampuan untuk meletakkan seluruh inisiatif penyelesaian konflik dalam kerangka interaksi yang sepadan dan saling menyesuaikan untuk mengoptimalkan hasil koordinasi atau negosiasi. Jelas, pernyataan Djan Faridz dan Romahurmuziy soal islah tidak berkomitmen menghadirkan siklus komunikasi ini sehingga tak bisa menghadirkan perubahan kuadran negatif ke positif meski sekadar temporer.

Bingkai islah, dalam perspektif Karl Wieck ini, juga harusnya menghadirkan aturan bersama menyangkut empat hal. Pertama, aturan durasi. Aturan ini mengacu pada pilihan organisasi untuk melakukan komunikasi yang bisa diselesaikan dalam waktu sesingkat mungkin. Ini yang ditempuh Golkar sekarang, menyelamatkan pilkada serentak melalui kesepakatan bersama.

Kedua, aturan personel. Adanya panduan aturan bersama yang bisa mengikat bauran kepengurusan hasil islah. Ini memang cukup rumit ketika dua kubu yang berseteru harus saling berbaur. Putusan pengadilan maupun aturan eksternal sesungguhnya hanyalah rujukan,

92

Page 93: Opini hukum politik 22 mei 2015

tetapi optimal dan tidak bauran kepengurusan akan sangat ditentukan oleh komunikasi intensif di antara para elite di internal partai yang berkonflik.

Ketiga, aturan keberhasilan. Biasanya menggunakan rujukan proses komunikasi di masa lalu yang terbukti efektif dalam mengurangi ketidakpastian informasi. PPP dan Golkar sebagai partai berpengalaman tentu memiliki pengalaman tentang cara mengatasi konflik mereka pada masa lalu. Keempat, aturan usaha dengan memastikan seluruh upaya dan prosedur islah memfasilitasi kedua kubu untuk saling memahami dan menyetujuinya.

PPP kini dihadapkan pada tantangan nyata, mampukah mereka keluar dari jebakan ego elite masing-masing? Jika tak mampu menghadirkan kesepakatan bersama, PPP akan masuk di zona bahaya. PPP berpotensi tertinggal gerbong pilkada serentak tahun ini. Jika pun ikut menempel ke gerbong partai lain, PPP hanya akan menjadi pelengkap penderita akibat tak solidnya basis struktur partai dan kecewanya basis konstituen mereka.

Dalam jangka panjang pun bisa menghadirkan situasi runyam. PPP akan kehilangan pamor dan power dalam memosisikan partai mereka sebagai ”rumah besar umat Islam”.

DR GUN GUN HERYANTO Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

93

Page 94: Opini hukum politik 22 mei 2015

Genderang Perang Partai Golkar

Koran SINDO22 Juni 2015

   

Genderang perang Partai Golkar telah dikumandangkan dan perlawanan tiada henti terhadap oknum Partai Golkar dan oknum pemerintah dari partai tertentu yang ingin menghancurkan Partai Golkar melalui rekayasa konflik internal telah diserukan.

Aburizal Bakrie (ARB) menegaskan, ”Kita harus berani main panjang untuk bicara masalah Golkar,” kata ARB di hadapan ratusan peserta Rapimnas VIII Partai Golkar dari seluruh Indonesia di Jakarta, Sabtu (13/6). Targetnya sederhana saja. Oknum pemerintah yang selama ini mengintervensi Golkar dan terus mengadu domba elite Partai Golkar harus dipaksa keluar dari gelanggang konflik internal partai.

Bukti paling sahih dari keterlibatan Menkumham Yasonna Laoly, yang juga kader senior PDIP, dalam konflik Golkar terungkap dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara pekan lalu. Seorang saksi di bawah sumpah menyatakan bahwa Menkumham Yasonna H Laoly yang mengarahkan munas jadi-jadian di Ancol itu. Keterangan tersebut jelas mengejutkan dan menjadi fakta hukum di pengadilan tersebut. Kita berharap majelis hakim tidak gentar untuk memeriksa menteri tersebut dan membongkar siapa sesungguhnya aktor intelektual di balik kisruh Partai Golkar.

Lebih dari itu, keterangan di muka pengadilan itu juga akan menjadi pintu masuk bagi pansus Hak Angket Pelanggaran UU dan Intervensi Pemerintah terhadap Partai Politik di DPR nanti untuk meminta pertanggungjawaban Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan atas pelanggaran UU dan sumpah jabatan.

Rapimnas Partai Golkar juga menegaskan perlawanan itu bukan untuk mengalahkan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Tapi, perlawanan terhadap kesewenang-wenangan kekuasaan. Partai Golkar yakin pada saatnya akan mampu menyelesaikan persoalannya sendiri. Kalau sekarang keadaannya terkesan rumit, itu karena ulah oknum pemerintah yang juga petugas partai yang diduga sedang melaksanakan misi menghancurkan Partai Golkar melalui konflik internal. Itulah yang akan dilawan sebagai musuh bersama sampai kapan pun.

Semua kekuatan politik seharusnya memberi kesempatan Partai Golkar menyelesaikan persoalannya sendiri. Kalau tangan-tangan kotor penguasa tidak mau keluar dari gelanggang pertikaian internal Partai Golkar, masalahnya tidak akan pernah selesai. Tentu saja instabilitas politik menjadi taruhannya. Padahal, stabilitas politik amat diperlukan agar pemerintah, DPR, dan masyarakat bisa mengelola dan mengatasi berbagai persoalan pelik akhir-akhir ini.

94

Page 95: Opini hukum politik 22 mei 2015

Berlarut-larutnya konflik internal di tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar bisa berkembang menjadi benih instabilitas politik. Konflik internal itu berdampak pada soliditas fraksi kedua partai di DPR. Persoalan soliditas fraksi PPP dan Golkar bisa menjadi faktor penghambat proses politik di DPR. Akhirnya pemerintah pun tak bisa menghindar untuk menerima dampak negatifnya.

Belum lagi kalau dikaitkan dengan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2015 yang direncanakan serentak. Dualisme kepengurusan di PPP dan Golkar pasti akan menimbulkan masalah. Aksi dan reaksi basis massa kedua partai di semua daerah penyelenggara pilkada patut diperhitungkan. Karena itu, oknum-oknum pemerintah yang selama ini mengintervensi PPP dan Golkar harus mundur dari gelanggang konflik dan memberi kesempatan kedua partai itu menyelesaikan persoalannya sendiri.

Pengurus dan kader kedua partai akan terus melancarkan perlawanan selama tangan-tangan kotor penguasa terus mengadudomba elite kedua partai itu. ARB tidak asal menuding. Acuannya sangat jelas yakni langkah membabibuta pemerintah menerbitkan surat keputusan (SK) kepengurusan Partai Golkar yang dipimpin Agung Laksono (AL). Padahal, rezim kepengurusan AL lahir dari Musyawarah Nasional (Munas) Golkar yang tidak dapat dipertanggungjawabkan alias abal-abal.

Menekan Balik

Niat menjadikan persoalan internal Partai Golkar sebagai konflik permanen juga dipertontonkan secara terbuka. Misalnya mengenai hak menggunakan bangunan kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar di Slipi, Jakarta Barat.

Kantor itu kini bisa dibilang bermasalah, lagi-lagi karena baik AL maupun pemerintah tidak menunjukkan iktikad baik, pun tidak taat hukum. Kalaupun tidak diberikan kepada DPP Partai Golkar produk Munas Bali pimpinan ARB, hak penggunaan kantor itu seharusnya diberikan kepada pengurus Golkar hasil Munas Riau 2009 dengan Ketua Umum ARB dan Sekretaris Jenderal Idrus Marham. AL menjabat wakil ketua umum. Menyerahkan hak penggunaan kantor itu kepada DPP produk Munas Riau merupakan pelaksanaan dari keputusan sela atau provisi Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Solusi yang dirancang Wakil Presiden Jusuf Kalla tampaknya belum juga menyelesaikan persoalan. Wapres Kalla mengusulkan agar penggunaan Kantor DPP Partai Golkar secara bersama-sama atau dua-duanya tidak boleh menggunakan kantor tersebut dan menguncinya bersama-sama. Pada pekan terakhir November 2015, Kantor DPP Partai Golkar direbut oleh oknum yang mengaku pengurus DPP Partai Golkar dengan memanfaatkan segerombolan orang berseragam AMPG. Beberapa hari setelah itu, polisi menyelidiki lokasi peristiwa dan menemukan senjata tajam serta bom molotov.

95

Page 96: Opini hukum politik 22 mei 2015

Kubu ARB pun membuat laporan dan hasil visum korban kekerasan saat peristiwa itu terjadi. ”Hukum harus jadi panglima. Langkah demi langkah pengadilan kami lakukan karena kami yakin kebenaran pasti datang,” kata ARB.

Agar segala upaya itu berjalan sesuai norma yang berlaku, ARB pun mulai berinisiatif melakukan tekanan ke kubu AL dkk. Di hadapan peserta Rapat Pimpinan Nasional VIII Partai Golkar di bawah kepengurusan Munas Riau, ARB mengungkapkan bahwa dia sudah mengirimkan surat ke Kapolri terkait sepak terjang AL dkk.

Dalam suratnya ARB meminta Polri melarang AL dkk. menjalankan aktivitas dengan mengatasnamakan Partai Golkar karena Pengadilan Negeri Jakarta Utara dan Pengadilan Tata Usaha Negara sudah mengembalikan kepengurusan Golkar yang sah ke hasil Munas Riau 2009. Jika AL dkk. ingin beraktivitas atas nama Partai Golkar, ARB minta AL dkk. kembali ke struktur DPP Partai Golkar produk Munas Riau.

Surat ARB kepada Kapolri itu menjadi semacam langkah awal dari dimulainya rangkaian perlawanan tiada henti terhadap oknum-oknum Partai Golkar dan oknum-oknum pemerintah yang mengintervensi dan memiliki skenario menghancurkan Partai Golkar.

BAMBANG SOESATYO Bendahara Umum DPP Partai Golkar/Sekretaris Fraksi PG dan Anggota Komisi III DPR RI

96

Page 97: Opini hukum politik 22 mei 2015

Pemerintah (Keliru) Menolak Revisi UU KPK

Koran SINDO23 Juni 2015

KPK dan Komisi III DPR RI telah sepakat untuk merevisi UU KPK. Namun, kemudian rapat terbatas antara Presiden, petinggi penegak hukum, termasuk KPK, membatalkan kesepakatan tersebut.

Menurut penulis, dari pengamatan perjalanan KPK Jilid I sampai III, pemerintah telah keliru untuk menolak revisi UU KPK. Berdasarkan pengamatan terhadap perkembangan gaya kepemimpinan KPK yang berbeda-beda, kita harus mempertimbangkan masalah itu.

Memang lima pimpinan KPK terpilih melalui seleksi ketat, namun mereka manusia juga, bukan ”manusia setengah malaikat” seperti sering kita dengar. Bukti-bukti tentang ini telah cukup memprihatinkan seperti kasus Antasari, kasus Bibit-Chandra, kasus Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, serta kasus Novel Baswedan, salah satu pegawai KPK. Yang sangat memprihatinkan adalah informasi dipercaya menyebutkan dan diakui ketua Plt. pimpinan KPK, penetapan 36 tersangka yang buktinya tidak memenuhi sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai KUHAP.

Saat ini di KPK ada pemahaman keliru bahwa satu alat bukti saja telah dapat menetapkan seseorang menjadi tersangka. Ada pandangan cukup dugaan atas LHA PPATK, pemilik LHA dengan harta yang signifikan dapat ditetapkan sebagai tersangka; alat bukti lainnya dicari kemudian selama dalam status tersangka. LHA PPATK bukan alat bukti, melainkan bahan bukti material (material evidence) awal untuk penetapan tersangka. LHA PPATK tidak bersifat pro-justitia dan masih harus diperlukan alat bukti lainnya untuk memenuhi bukti permulaan yang cukup sesuai KUHAP.

***

Dalam konteks perkembangan ini, Presiden dan Wakil Presiden tampak berbeda pendapat. Perbedaan pendapat ini biasa, namun kesepakatan KPK yang tidak mewakili pemerintah dan Komisi III DPR RI kemudian dianulir oleh Presiden.

Keputusan hasil rapat terbatas Presiden dan petinggi hukum termasuk KPK bukan salah, melainkan keliru dalam memahami perkembangan situasi KPK baik internal maupun eksternal dan terlalu berlebihan menanggapi jargon ”pelemahan KPK”. Kekeliruan tersebut terjadi karena beberapa alasan-alasan. Pertama, tidak memahami sifat manusia yang lazim dikenal dengan adagium ”power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”. Kondisi ini telah mewujud di dalam implementasi UU KPK karena memberikan kewenangan

97

Page 98: Opini hukum politik 22 mei 2015

yang luar biasa kepada pimpinan KPK yang sejak awal dimaksudkan untuk mengatasi hambatan-hambatan psikologis dan fisik dalam penyidikan dan penuntutan tersangka korupsi.

Kedua, tidak dipahami bahwa ketentuan UU KPK mengenai pengangkatan penyelidik dan penyidik telah menimbulkan multitafsir sehingga terjadi putusan praperadilan yang sangat ”merugikan” wibawa KPK sebagai lembaga superbody dan memiliki fungsi trigger mechanism.

Ketiga, pemahaman asas kolektif kolegial dalam pengambilan keputusan oleh pimpinan KPK sering disalahartikan oleh pimpinan KPK Jilid III dengan cukup disetujui satu atau dua orang pimpinan saja. Padahal diketahui bahwa sejatinya ketentuan asas kolektif kolegial tersebut agar kelima pimpinan KPK berhati-hati dan cermat dalam mengambil keputusan karena tidak diperbolehkan mengeluarkan SP3. Kenyataannya jauh berbeda dan telah jatuh ”korban” yang belum tentu bersalah.

Keempat, tidak dipahami keadaan sebenarnya mengenai praktik penyadapan KPK. Berdasarkan hasil audit BPK atas kinerja KPK per tanggal 23 Desember 2013 (laporan hasil pemeriksaan Nomor 115/HP/ XIV/12/2013) yang menegaskan bahwa, ”...proses evaluasi dan monitoring masih perlu ditingkatkan khusus terkait eksaminasi penanganan TPK dan audit atas kegiatan lawful interception yang terakhir dilaksanakan oleh Tim Pengawas pada tahun 2009”.

Sekalipun KPK telah meminta Kemenkominfo mengaudit penyadapan pada tanggal 27 Maret 2012, tetapi tidak dapat dilaksanakan dengan alasan putusan MKRI Nomor 5/PUU-VIII/2010 tertanggal 24 Februari 2011 yang telah membatalkan pembentukan Tim Pengawas. KPK telah menerbitkan SOP-1/20/2012 tentang Prosedur Baku Penyadapan Informasi yang Sah (Lawful Interception), telah berlaku sejak tanggal 6 Januari 2013, akan tidak berjalan efektif.

Dalam laporan audit SPI KPK, BPK menyatakan bahwa, ”belum optimalnya audit terhadap lawful interception menyebabkan akuntabilitas proses interception yang dilakukan KPK belum sepenuhnya terpenuhi ”. Atas dasar alasan ini, revisi ketentuan mengenai penyadapan perlu diperjelas di dalam UU KPK.

Kelima, audit BPK tersebut juga telah menyatakan bahwa sistem pengendalian internal KPK dalam pelaksanaan fungsi koordinasi dan supervisi terhadap instansi yang berwenang tidak berjalan efektif. Keenam, ketentuan mengenai ”kekosongan pimpinan KPK” dalam UU KPK perlu diperjelas mengenai batas waktu pengisiannya sehingga tidak menghambat efisiensi KPK.

Ketujuh, pemahaman mengenai pengertian lex specialis pada UU KPK telah keliru. Pengertian tersebut hanya berlaku untuk kewenangan KPK yang luas dan menyimpang dari ketentuan KUHAP ; bukan terletak pada status penyelidik dan penyidik serta penuntut yang tetap harus merujuk pada KUHAP sebagai ”umbrella act”.

98

Page 99: Opini hukum politik 22 mei 2015

Kedelapan, diperlukan ketentuan yang menegaskan tidak ada kekecualian dalam melaksanakan seluruh ketentuan dalam UU KPK termasuk dan tidak terbatas pada hak pimpinan/pegawai KPK untuk mengajukan gugatan atau tuntutan pidana.

Kesembilan, perlu ketentuan dalam revisi UU KPK mengenai pertanggungjawaban pimpinan KPK atas kinerja dan keuangan KPK disertai sanksi administratif dan sanksi pidana. Hal ini didasarkan pada laporan BPK atas kinerja fungsi penyidikan dan keuangan KPK. Penerimaan uang rampasan (PNBP) pada 2010 telah terlambat setor antara tujuh hari sampai 584 hari mencapai nilai sebesar Rp137.390.086.477.

Dalam kurun waktu 2005-2012, denda yang belum terbayar sampai terpidana bebas bersyarat sebesar Rp4.450.000.000. PNBP yang terlambat setor ke kas negara dan denda yang tidak terbayar tersebut termasuk kerugian negara dengan total sebesar Rp141.84.086.477. Tidak ada sanksi pidana dan administratif terhadap pimpinan KPK terkait kerugian negara tersebut.

Selain alasan-alasan tersebut, empat putusan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang telah membatalkan penetapan tersangka dan status penyelidik/penyidik pada KPK merupakan bukti KPK belum optimal melaksanakan sistem pengendalian internal (SPI). Karena itu, revisi UU KPK merupakan keperluan mendesak dan bersifat segera.

Tentu ada pendapat untuk mengabaikan putusan praperadilan dengan alasan bukan yurisprudensi yang mengikat, tetapi berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pendapat tersebut bertentangan dengan Pasal 17 ayat (2) huruf c tentang larangan bertindak sewenang-wenang jo Pasal 18 ayat (3) yaitu tindakan pejabat yang dilakukan bertentangan dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (b).

Solusi satu-satunya dan bersifat segera adalah revisi UU KPK sehingga pimpinan KPK Jilid IV tidak akan mengalami masalah hukum yang sama di kemudian hari.

ROMLI ATMASASMITAGuru Besar Emeritus Unpad/Unpas

99

Page 100: Opini hukum politik 22 mei 2015

Preferensi Aktor dalam Politik Luar Negeri

Koran SINDO23 Juni 2015

Dalam kajian ilmu hubungan internasional (HI) kontemporer, berkembang teori pentingnya preferensi aktor dalam menentukan arah politik luar negeri (polugri) suatu negara. Sebelumnya faktor lingkungan internal dan eksternal yang menjadi dominant factors dalam penentuan arah diplomasi.

Adalah Baris Kesgin, ilmuwan HI, yang memperkenalkan konsep preferensi aktor dalam diplomasi. Ia menyatakan, wajah foreign policy suatu negara tidak lagi hanya dipengaruhi oleh lingkungan dan tantangan, lebih penting dari itu adalah faktor individual atau profil pengambil kebijakan jauh lebih menentukan.

Bertolak dari teori tersebut, politik luar negeri kita yang oleh Plano dan Otton didefinisikan sebagai strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional yang lainnya untuk mencapai tujuan nasional, membutuhkan dukungan tokoh utama untuk mewarnai arah polugri ke depan.

Dalam konteks negara, tokoh utama itu tak lain adalah Presiden Republik Indonesia, mulai dari Soekarno sampai Joko Widodo sekarang ini. Mereka semua pemimpin nasional dan representasi Indonesia di dunia internasional.

Sebelum membahas track record masing-masing pemimpin dalam polugri, perlu kita pahami bersama bahwa upaya diplomasi, apa pun namanya, kuncinya terletak pada ”tujuan nasional” atau ”kepentingan nasional”. Dengan demikian, apa pun yang kita lakukan dalam kebijakan luar negeri harus membawa manfaat bagi kepentingan nasional, baik secara politik maupun ekonomi. Dalam pembukaan UUD 1945, hal dimaksud terkait tujuan kita berbangsa, yang tak lain adalah menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Spirit ini ditafsirkan para founding fathers dengan menempatkan politik luar negeri sebagai alat perjuangan dalam membangun nasionalisme, sekaligus internasionalisme.

Sejarah mencatat, 10 tahun setelah merdeka, Indonesia mampu mencuri perhatian dunia dengan menjadi aktor penting terselenggaranya Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955. Tak hanya itu, Presiden Soekarno juga berhasil membawa Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games 1962 dan The Games of the New Emerging Forces (GANEFO) 1963.

Jatuh Bangun Diplomasi

100

Page 101: Opini hukum politik 22 mei 2015

Sebagai sebuah negara yang baru merdeka, apa yang dilakukan dan dicapai Bung Karno merupakan sesuatu yang berani, visioner, sekaligus kontroversial. Bagaimana tidak, saat banyak negara baru merdeka pontang-panting mengurus kemiskinan dan kelaparan, kita sudah berdiri sejajar dengan negara-negara maju, membangun infrastruktur yang sangat modern (kala itu) walaupun kita juga dikeluarkan dari IOC karena menentang tampilnya Israel dan Taiwan di Asian Games 1962 dan membidani lahirnya GANEFO pada 1963. Terlepas dari kelebihan dan kekurangan seorang Bung Karno, harus jujur kita akui bahwa passion beliau terhadap politik luar negeri sangat tinggi.

Setelah era Bung Karno yang berapi-api di panggung internasional, Indonesia memiliki Presiden Suharto dengan karakter berbeda, yang lebih banyak bekerja daripada bicara. Atau juga dikenal dengan low profile diplomacy.

Meskipun begitu, kemampuan Pak Harto menemukan dan mengader pembantu-pembantunya, membuat Suharto juga tetap bisa menunjukkan taring Indonesia di politik luar negeri. Beberapa nama penting yang berpengaruh dalam mendesain politik luar negeri Orde Baru antara lain Adam Malik, Mochtar Kusumaatmadja, dan Ali Alatas. Monumen penting diplomasi Orde Baru dapat dilihat dari terbentuknya ASEAN, peran penting Indonesia di PBB, dan dominasi kita di Sea Games.

Pada era Orde Baru kita mendominasi pentas SEA Games nyaris tanpa lawan. Sebaliknya, saat ini di SEA Games Singapore 2015, peringkat Indonesia hanya berada di peringkat kelima. Ini merupakan penurunan. Padahal dalam diplomasi modern, olahraga merupakan salah satu instrumen soft power diplomacy yang strategis. Bersama pendidikan dan kebudayaan, sports menjadi instrumen dalam penguatan people to people contact antarbangsa.

Setelah Orde Baru jatuh, kita memiliki BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden. Namun, karena situasi nasional saat itu tidak kondusif dan waktu yang pendek, fokus mereka lebih banyak dihabiskan untuk urusan dalam negeri.

Memasuki 2004, ditandai dengan perbaikan ekonomi, Pemilu 2004 yang untuk pertama kalinya dilakukan dengan pemilihan langsung. Direct election akhirnya menempatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai pemenang. Bagitu pun pada Pemilu 2009 yang terpilih untuk kedua kali. Sejak itu, setelah lama absen dalam politik luar negeri akibat krisis ekonomi 1997, pelan tapi pasti, kita kembali ke orbit diplomasi dunia. Ditandai dengan masuknya Indonesia ke G-20 (kelompok 20 negara dengan ekonomi terbesar dunia), kepemimpinan Indonesia dalam Kampanye Perubahan Iklim Global, resolusi konflik di Aceh dan Timor Leste, hingga menguatnya posisi Indonesia sebagai jangkar demokrasi di Asia melalui Bali Democracy Forum (BDF) yang rutin dilaksanakan tiap tahunnya.

Pascaera SBY, Pemilu Presiden 2014 memenangkan Joko Widodo sebagai presiden Republik Indonesia. Sejauh ini belum ada terobosan penting dalam misi diplomasi kita. Mungkin umur pemerintahan yang belum genap satu tahun membuat kita belum bisa menilainya. Meski

101

Page 102: Opini hukum politik 22 mei 2015

begitu, preseden awal dari style diplomasi Pak Jokowi yang ”cuek” dan polugri yang belum jelas arahnya membuat kita layak untuk ragu, apakah Merah Putih akan tetap tegar berkibar di dunia.

Berperan di LCS

Salah satu sumber keraguan penulis tentang arah polugri pemerintahan Jokowi-JK adalah dari cara pandang Jokowi terhadap isu Laut Cina Selatan (LCS). Kita tahu isu LCS hingga kini masih panas, terutama dengan makin agresifnya Cina bermanuver di kawasan laut Asia Tenggara itu.

Penulis masih ingat kala debat capres lalu Jokowi mengatakan isu LCS bukanlah prioritas dalam polugri Indonesia. Sikap demikian tidak saja mengesankan ia kurang menjiwai geopolitik. Lebih dari itu, membuat asas bebas aktif dipertanyakan di tangan Jokowi. Diplomasi aktif merujuk bebas aktif pada kasus LCS adalah dengan cara Indonesia mengambil peran semaksimal mungkin demi terciptanya stabilitas politik dan ekonomi di kawasan. Sikap di atas linear dengan Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yaitu ”...ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”.

Apalagi Presiden Jokowi berkali-kali menekankan pentingnya lautan bagi masa depan Indonesia, yang diberi label Poros Maritim. Dengan target sehebat itu, tentulah merupakan hal yang janggal apabila ia tidak menunjukkan greget terhadap isu LCS.

Perkembangan terbaru isu LCS, Amerika Serikat (AS) mulai masuk untuk mengimbangi kekuatan Cina. Keterlibatan AS terkuak saat pesawat pengintainya, P8-A Poseidon bulan lalu terbang di atas ketinggian 4500 meter di atas pulau yang diklaim milik China. Setelah muncul kecaman dari Cina, AS berusaha memobilisasi dukungan dari Filipina, Vietnam, dan Indonesia.

Dengan makin dinamisnya LCS, agak janggal kalau Indonesia tidak ikut terlibat dalam mengelola konflik tersebut. Tujuannya demi terciptanya stabilitas keamanan di ASEAN. Sudah semestinya bila Indonesia menyatakan diri sebagai Poros Maritim Dunia, cara pandang bangsa ini terhadap konflik regional dan global harus berubah. Dari yang semula pasif, menjadi aktif.

Sebagai penutup, melihat dari penjelasan di atas, benang merah yang bisa kita tarik dari perjalanan diplomasi Indonesia sejak era Soekarno sampai Jokowi adalah linear dengan teori Kesgin politik luar negeri kita sangat bergantung dari passion pemimpin nasional (Presiden) terhadap isu global. Kalau Presidennya memiliki passion terhadap polugri, peran kita akan menguat. Begitu juga sebaliknya.

TANTOWI YAHYAWakil Ketua Komisi I DPR RI

102

Page 103: Opini hukum politik 22 mei 2015

Constitutional Complaint dan Pengujian UU

Koran SINDO25 Juni 2015

Perlindungan hak konstitusional warga negara menjadi arus utama negara hukum konstitusional modern. Dimulai dari berkembangnya paham konstitusionalisme hingga terbentuknya lembaga dan mekanisme hukum guna melindungi hak konstitusional warga negara, bahkan dari keputusan atau tindakan negara itu sendiri.

Salah satu mekanisme hukum perlindungan hak konstitusional yang tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia saat ini adalah constitutional complaint atau pengaduan konstitusional, yaitu pengaduan warga negara terhadap tindakan atau keputusan organ negara, termasuk putusan pengadilan, yang dianggap melanggar hak konstitusionalnya.

Hampir di semua negara, Mahkamah Konstitusi (MK) dan institusi sejenis memiliki wewenang memutus perkara pengaduan konstitusional, termasuk di tiga negara yang banyak menjadi referensi pada saat pembentukan MK RI, yaitu di Jerman, Austria, dan Korea Selatan. Dalam perkembangannya, perkara pengaduan konstitusional menjadi perkara terbanyak yang diterima dan diputus oleh MK di ketiga negara tersebut.

Melihat MK di ketiga negara itu, tentu menimbulkan pertanyaan ketika MK RI melalui Perubahan UUD 1945 dikonstruksikan tanpa wewenang memutus pengaduan konstitusional. Kewenangan memutus pengaduan konstitusional tidak diberikan untuk mencegah terjadinya penumpukan perkara dan menghindari persinggungan dengan kewenangan MA.

Pengaduan Konstitusional dalam PUU

Tidak adanya kewenangan memutus pengaduan konstitusional tidak berarti sama sekali kewenangan MK tidak memiliki elemen pengaduan konstitusional. MK RI memiliki kewenangan memutus Pengujian Undang-Undang (PUU) yang dalam beberapa aspek berbeda dengan kewenangan judicial review yang dimiliki oleh MK di negara lain, termasuk di Jerman, Austria, dan Korea.

Dari sisi objek kewenangan, yaitu peraturan perundang-undangan yang dapat diajukan pengujian, MK RI lebih sempit karena terbatas pada undang-undang, sedangkan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang menjadi kewenangan MA. Pemisahan semacam itu tidak dikenal di negara lain. MK negara lain memiliki wewenang melakukan judicial review terhadap semua produk hukum.

103

Page 104: Opini hukum politik 22 mei 2015

Dilihat dari pihak yang diberi kedudukan hukum dalam mengajukan pengujian, di Indonesia lebih luas. Jika di negara lain pada umumnya membatasi pemohon hanya lembaga negara atau pejabat tertentu, Indonesia memberikan kesempatan luas bahkan kepada perorangan warga negara. Pemberian legal standing kepada perorangan warga negara sebenarnya merupakan elemen dari mekanisme pengaduan konstitusional. Apalagi pada saat permohonan diajukan oleh perseorangan yang telah mengalami kerugian hak konstitusional secara spesifik dan nyata akibat diberlakukannya suatu ketentuan undang-undang. Karena itu, dapat dikatakan bahwa perkara PUU di MK yang diajukan oleh perorangan warga negara yang mengalami kerugian nyata dan spesifik memiliki karakter pengaduan konstitusional.

Beberapa perkara yang sangat jelas elemen pengaduan konstitusionalnya antara lain adalah permohonan pengujian pasal-pasal penghinaan terhadap presiden dalam KUHP yang diajukan oleh Eggi Sujana dan Pandapotan Lubis, serta pengujian pembatasan PK dalam KUHAP yang diajukan oleh Antasari Azhar. Pengujian pasal-pasal penghinaan terhadap presiden adalah pengujian Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHP. Pemohon pada saat itu telah diputus bersalah melakukan tindak pidana penghinaan terhadap presiden yang diatur di dalam pasal-pasal KUHP tersebut. Demikian pula dengan pengujian Pasal 268 ayat (3) KUHP yang membatasi PK hanya satu kali, juga diajukan oleh Antasari Azhar pada saat yang bersangkutan sudah divonis dan sudah mencoba untuk mengajukan PK lebih dari satu kali namun ditolak karena adanya ketentuan pembatasan itu.

Elemen pengaduan konstitusional yang bersifat individual ini dalam perkembangan perkara di MK telah menimbulkan pembedaan antara isu hukum pelaksanaan norma dan konstitusionalitas norma. Beberapa perkara dinyatakan ditolak oleh MK dengan alasan bahwa kerugian yang diderita oleh pemohon bukan persoalan konstitusionalitas norma, melainkan kesalahan dalam pelaksanaan norma. Tentu hal ini tidak akan terjadi jika pengaduan konstitusional menjadi satu kewenangan tersendiri.

Di sisi lain, ada juga ahli yang menganalisis perkara tertentu yang sesungguhnya bersifat individual dan seharusnya tidak diputus oleh MK melalui PUU yang putusannya bersifat erga omnes. Kasus ini antara lain pengujian ketentuan pembatasan PK yang diajukan oleh Antasari Azhar. Jika kasus tersebut diputus melalui pengaduan konstitusional, tentu tidak menimbulkan persoalan hukum karena putusan pengaduan konstitusional yang spesifik untuk kasus yang dihadapi oleh pemohon.

Pilihan Sistem

Walaupun secara general terdapat teori yang bersifat umum, setiap negara pasti memiliki pembeda dengan negara lain. Demikian pula terkait dengan kewenangan MK. Setiap negara dapat saja memiliki kekhasan masing-masing di samping kesamaan-kesamaan. Sebaliknya, setiap negara tentu dapat saja melakukan perubahan dengan belajar dari konstruksi dan pengalaman negara lain yang dipandang sesuai. Ini adalah pilihan sistem yang masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan.

104

Page 105: Opini hukum politik 22 mei 2015

Keberadaan mekanisme pengaduan konstitusional yang diikuti pula dengan kewenangan judicial review terhadap seluruh produk hukum memiliki kelebihan dan kelemahan. Kelebihan adanya pengaduan konstitusional adalah menjadi salah satu instrumen mengawal konstitusi dan yang lebih penting lagi adalah mengawal pelaksanaan putusan MK.

Pada saat MK sudah memutus judicial review, tidak ada kekhawatiran lagi terhadap pelaksanaan putusan itu karena dapat dijamin melalui wewenang judicial review terhadap aturan lebih rendah dan melalui pengaduan konstitusional terhadap tindakan dan keputusan negara.

Kelemahan yang utama dari adanya pengaduan konstitusional adalah penumpukan perkara di MK karena objek pengaduan konstitusional yang sangat luas, walaupun pengalaman dari beberapa negara menunjukkan sangat sedikit perkara yang dikabulkan. Kelemahan selanjutnya adalah prosedur yang harus ditempuh oleh warga negara cukup panjang karena biasanya disyaratkan semua upaya hukum biasa telah ditempuh (exhausted).

Selain itu, pada titik tertentu di beberapa negara kewenangan ini menempatkan MK sebagai lembaga yang lebih superior dibanding dengan MA karena putusan MA yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dapat dibatalkan MK jika melanggar hak konstitusional warga negara.

JANEDJRI M GAFFARAlumnus Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang

105

Page 106: Opini hukum politik 22 mei 2015

Profesionalisme Polri Harapan Masyarakat

Koran SINDO1 Juli 2015

     

”A hero is an ordinary individual who finds the strength to persevere and endure in spite of overwhelming obstacles .”

Premis yang dilantunkan Christoper Reeve tersebut terdengar bersahaja. Namun, di balik ketenangannya tersimpan gemuruh yang menghadirkan perspektif lain akan makna kepahlawanan.

Aktor pemeran Superman ini tak hendak menggugat makna heroisme yang selama ini kita hidupi. Ia sekadar menyimpulkan nilai-nilai baru, dengan perbuatan biasa-biasa saja, namun menginspirasi jutaan lainnya. Baginya, pahlawan adalah orang biasa yang memiliki kekuatan untuk bertahan dan teguh menghadapi berbagai deraan.

Tesis Reeve ini terasa cukup relevan untuk diketengahkan sebagai bahan refleksi di momen Hari Bhayangkara ini. Dengan tugasnya sebagai penegak hukum dan penjaga kamtibmas, bagi sebagian orang polisi dipandang sebagai pahlawan. Namun, tak sedikit juga yang menganggap sebaliknya.

Dua variabel ini, sebagaimana juga performa yang memberi harapan maupun yang menurunkan citra, selalu mewarnai perjalanan Polri. Diskresi yang dimiliki dalam penegakan hukum menyediakan banyak peluang bagi polisi untuk menjadi pahlawan dengan bertindak progresif sebagai penjaga keadilan. Namun, di sisi lain kewenangan tersebut juga dapat menjerumuskan polisi ke lembah kenistaan bila menyelewengkannya.

Profesi kepolisian memang sarat dengan ironi dan kontradiksi. Di antara dualisme inilah polisi harus meniti tugas dan tanggung jawabnya sebagai bhayangkara negara. Hanya sakralitas pengabdian yang membuat seorang polisi sanggup bertahan dengan teguh menghadapi berbagai tantangan, dan inilah yang dalam kategori Christoper Reeve di atas membuat polisi layak disebut sebagai pahlawan.

Karena diskresi yang melekat, kerja polisi menjadi tak mengenal batas, 24 jam sehari, baik siang maupun malam, dinas maupun tidak. Lingkungan kerja polisi juga bukanlah ruang ber-AC yang nyaman seperti penegak hukum lainnya. Di jalanan yang terik dan berdebu, polisi harus berhadapan dengan penjahat yang siap menghunus badik. Celakanya, sekalipun berhadapan dengan para kriminal, polisi dituntut untuk menghormati hak asasi mereka dan siap dijadikan bulan-bulanan.

106

Page 107: Opini hukum politik 22 mei 2015

***

Dilema memang selalu mewarnai tugas polisi. Petugas kepolisian di lapangan yang bukan profesor diharuskan bertindak seketika, tanpa sempat membaca referensi, tanpa ruang untuk berpikir. Jika tindakannya benar, polisi tak akan mendapat aplaus. Bila tindakan yang ditempuh keliru, polisi bisa kehilangan nyawa atau berhadapan dengan hukum. Ibarat buah simalakama, satu kaki polisi berada di penjara dan kaki lainnya ada di kuburan.

Dengan pertaruhan semacam ini tak adil rasanya bila orang hanya pandai mencerca kinerja kepolisian, tanpa memahami berbagai kendala yang dihadapi profesi itu sendiri. Publik hanya menilai apa yang tampak di permukaan dan berangkat dari prasangka. Hal ini tentu saja akan mereduksi kompleksitas profesi kepolisian.

Herman Goldstein (1977) dalam Policing a Free Society telah mengingatkan betapa tidak mudahnya mendefinisikan peranan polisi. Hal ini juga diamini oleh David H Bayley (1994) melalui Police for the Future yang menyatakan bahwa penilaian terhadap peran polisi sering diwarnai oleh mitos dan stereotip. Tingginya tingkat persentuhan polisi dengan masyarakat, dibanding dengan derajat persentuhan profesi penegak hukum lainnya, membuat rentan terjadi friksi. Selain itu, polisi juga tak bisa menghindar dari pandangan sinis masyarakat.

Konsekuensinya, prestasi polisi akan dianggap sebagai sebuah kewajaran, sedangkan kegagalan akan melahirkan deraan yang datang bertubi-tubi. Itulah sebabnya lahir pameo yang menyebut polisi sebagai profesi yang jasa-jasanya tak terhimpun dan dosa-dosanya yang tak berampun. Sebagai bhayangkara negara dengan pengabdian yang tak mengenal batas, deraan ini diterima sebagai kritik yang dilandasi kecintaan masyarakat terhadap polisi. Karena itu, jika polisi mampu menyikapi deraan ini sebagai kritik yang membangun melalui profesionalismenya, seperti kata Reeve di atas, polisi mampu memenuhi harapan masyarakat.

Tantangan terbesar bagi segenap jajaran Polri di usia yang telah memasuki 69 tahun ini adalah menjadikan Polri semakin profesional sesuai harapan masyarakat. Polri memiliki kekuatan untuk meraih semua itu. Kekuatan yang berasal dari berbagai deraan yang telah menempa Polri selama ini.

Seperti kata George Kirkham, polisi adalah manusia biasa yang luar biasa. Dengan berperan sebagai penegak hukum dan keadilan, dapat dipastikan friksi dengan masyarakat akan dapat diminimalisasi dan Polri akan dicintai masyarakat. Fungsi ”ultima” dari hukum yaitu menciptakan keadilan dan kesejahteraan dapat terpenuhi. Hal ini tentu dapat menjadi kado istimewa bagi masyarakat di usia Polri yang ke- 69, sesuai dengan tema yang diusung, ”Melalui Revolusi Mental, Polri Siap Memantapkan Soliditas dan Profesionalisme Guna Mendukung Pembangunan Nasional.” Dirgahayu Polri!!!

KOMJEN POL DRS BUDI GUNAWAN SH MSi Wakapolri

107

Page 108: Opini hukum politik 22 mei 2015

Menanti Polri Profesional

Koran SINDO1 Juli 2015

Polri setiap 1 Juli merayakan Hari Bhayangkara. Tahun ini Polri merayakan Hari Bhayangkara yang ke- 69.

Di usia yang sudah matang ini, tentu sudah banyak capaian prestasi lembaga penegak hukum tersebut. Salah satunya kemampuan Polri melakukan pencegahan terorisme dan seringkali membongkar jaringan narkoba internasional. Sangat membanggakan. Prestasi lain dapat dilihat dalam tugas pengamanan berskala besar seperti pengamanan pilkada, mudik Lebaran, Natal, tahun baru, serta pengamanan Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika yang baru berlangsung.

Kendati demikian, dalam penegakan hukum kinerja Polri menurut sebagian masyarakat masih dinilai belum memuaskan. Polisi dinilai masih banyak meninggalkan pekerjaan rumah kepada masyarakat, terutama dalam kasus-kasus hukum yang besar. Salah satunya penanganan kasus korupsi di berbagai polda di seluruh Indonesia masih perlu sentuhan pimpinan Polri agar bisa lebih baik.

Secara umum jumlah penanganan kasus korupsi yang dilakukan kepolisian cukup besar. Pada 2014 Polri menyelesaikan kasus korupsi lebih dari 1.000 kasus. Pada 2015 ini jumlah kasus korupsi yang ditangani Polri sudah lebih dari 500 kasus. Walau polisi sudah bekerja keras, penanganannya masih saja diragukan masyarakat. Penilaian miring tadi cukup beralasan mengingat tidak sedikit kasus korupsi di kepolisian tidak dilakukan penahanan dan masih sering terjadi intervensi terhadap penanganan kasus korupsi. Sebagai dampaknya, banyak masyarakat yang curiga terhadap Polri yang masih tebang pilih. Kita ingin penanganan kasus korupsi di kepolisian dilakukan secara mandiri dan profesional.

Kemudian Polri dalam tugasnya sebagai pemelihara kamtibmas, pasukan berseragam cokelat ini seringkali dinilai kecolongan hingga berimbas terjadi bentrokan dan konflik antara masyarakat dan masyarakat atau masyarakat dengan aparat keamanan.

***

Kekecewaan masyarakat belum bisa terobati lantaran kinerja polisi dalam penegakan hukum belum memperlihatkan perubahan besar. Ada kesan di mata masyarakat, penanganan berbagai kasus oleh polisi terkait sejumlah masalah hukum masih banyak yang belum memberikan keadilan.

108

Page 109: Opini hukum politik 22 mei 2015

Masyarakat menilai seringkali polisi berpihak dalam menangani kasus hukum yang ditangani satuan reserse. Sejujurnya, kasus reserse di kepolisian paling banyak dikeluhkan oleh masyarakat mulai dari polsek, poles, hingga polda di seluruh di Indonesia. Menurut data Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) 2014, fungsi reserse mendapat pengaduan 1.034 kasus. Sebanyak 90% berkaitan dengan persoalan kerja reserse yang belum sepenuhnya bagus dan mendapat kepercayaan yang baik dari masyarakat.

Dalam pengaduan masyarakat ke Kompolnas selama ini, ada yang menilai reserse memberikan pelayanan buruk, diskriminatif, polisi melakukan rekayasa kasus, dan ada pula menuduh polisi koruptif. Bila kita ingin Polri semakin mendapat kepercayaan masyarakat, salah satu yang harus kita perbaiki adalah masalah penegakan hukum yang dilakukan aparat kepolisian dalam hal ini pelayanan reserse.

Penilaian beragam dari masyarakat itu bisa jadi karena masih lemahnya pengawasan di internal dan eksternal kepolisian. Sebagai dampaknya, polisi reserse dengan mudah melakukan penyimpangan karena lolos dari pengawasan. Melihat kondisi ini, sudah barang tentu kita mendorong peningkatan pengawasan Polri untuk menjawab keluhan masyarakat selama ini.

Tentu sangat baik dan semakin kuat apabila Polri memerankan pengawas internal yang betul-betul independen dalam kinerjanya serta membuka ruang seluas-luasnya bagi pengawas eksternal melaksanakan tugasnya. Hal ini kita butuhkan agar kinerja dan profesionalisme Polri semakin baik pada masa mendatang.

***

Selain masalah peningkatan dalam bidang pengawasan, hal lain yang juga tak kalah penting adalah peningkatan anggaran Polri dan peningkatan sumber daya manusia (SDM) untuk menjamin profesionalisme Polri. Idealnya, Polri juga sulit kita dorong untuk profesional apabila dalam tugasnya tidak didukung dengan anggaran yang cukup.

Pada 2014 anggaran yang diterima Polri tercatat Rp40,1 triliun dan pada 2015 anggarannya naik jadi Rp51,6 triliun. Sekitar 67% di antara anggaran itu digunakan untuk gaji anggota Polri yang jumlahnya 440.000 personel, 28% operasional, dan sisanya untuk pengadaan sarana dan prasarana Polri.

Dalam catatan saya setiap mengunjungi Polda di Indonesia, selain kasus korupsi banyak kasus yang ditangani reserse, tidak didukung anggaran negara yang memadai. Anggaran penyidikan yang dibiayai negara baru bisa dipenuhi sekitar 35%. Sisanya tidak jelas pembiayaannya. Sebagai dampaknya, tidak sedikit kasus yang dibiayai pelapor atau terlapor. Posisi Polri dalam kondisi seperti ini sulit. Satu pihak kepolisian tidak boleh menolak pengaduan masyarakat dengan alasan anggaran sudah habis. Ironis bukan?

109

Page 110: Opini hukum politik 22 mei 2015

Masalah lain yang dihadapi Polri juga tidak sedikit adalah masalah kesejahteraan terhadap anggota Polri. Pemberian Tunjangan Kinerja (Tunkin) dan tunjangan polisi penjaga perbatasan juga belum sepenuhnya diperhatikan. Kami menyarankan, ini sudah seharusnya menjadi perhatian. Dalam catatan kami, tunjangan kinerja Polri baru diberikan sekitar 26% dari jumlah gajinya setiap bulan. Bila dibandingkan dengan TNI, kabarnya sudah lebih dari 50%.

Jika gaji bintara Polri saat ini sekitar Rp2,3 juta per bulan ditambah dengan tunjangan kinerja sebesar Rp500.000 (26%). Jadi, total gaji yang diterima bintara Polri itu menjadi Rp2,8 juta per bulan. Angka ini tentu saja masih jauh dari ideal bagi seorang bintara. Apalagi, tugasnya di wilayah perbatasan dan daerah konflik. Selain tugasnya berat, biaya hidupnya juga cukup tinggi.

Melihat semua permasalahan tersebut, kita harapkan lewat Hari Bhayangkara ke-69 ini, mari kita jadikan momen ini untuk mendorong Polri bekerja semakin profesional dan kinerjanya semakin mendapat kepercayaan masyarakat Indonesia. Semoga. Dirgahayu Polri.

EDI SAPUTRA HASIBUAN Komisioner Kompolnas

110

Page 111: Opini hukum politik 22 mei 2015

Mengapa Harus Takut pada KPK?

Koran SINDO4 Juli 2015

Sebagai bagian dari masyarakat sipil, saya mengapresiasi kerja-kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama ini dalam memberantas korupsi di negara yang dari tahun ke tahun selalu berperingkat korupsi “lumayan tinggi” ini.

Saya salut ketika KPK dipimpin oleh Antasari Azhar yang berani karena saat itu banyak “orang penting” yang dijebloskan ke penjara akibat korupsi. Begitu pun ketika KPK dipimpin oleh Abraham Samad yang garang, yang juga membuat banyak penyelenggara negara mendekam di rumah prodeo.

Boleh jadi karena itulah, gagasan untuk mempreteli kewenangan KPK telah berkali-kali muncul ke permukaan. Pada 29 Juli 2011 misalnya Ketua DPR Marzuki Ali berkata begini: “Perlu dipikirkan kembali apakah lembaganya (KPK) perlu dibubarkan, dan fungsinya kita kembalikan ke lembaga-lembaga penegak hukum yang ada, dengan pengawasan yang lebih baik.” Pernyataan yang kurang lebih sama disampaikan beberapa bulan kemudian oleh Wakil Ketua Komisi III DPR Fachri Hamzah. Ia bahkan mengatakan, selama ini banyak anggota DPR yang tidak suka dengan keberadaan KPK. “Hanya, mereka tidak (berani) seperti saya,” ucapnya.

Pertanyaannya, benarkah banyak anggota DPR yang tak menyukai keberadaan KPK? Mengapa demikian? Bukankah DPR yang membidani kelahiran lembaga anti-rasuah ini? Mengapa kemudian justru DPR sendiri yang ingin membubarkannya?

Terus terang ini memunculkan kecurigaan, jangan-jangan DPR khawatir jika makin lama, makin banyak anggotanya yang dijerat KPK. Kecurigaan ini beralasan. Bukankah DPR ditengarai sebagai salah satu lembaga negara terkorup di negara ini (antara lain menurut hasil survei lembaga kajian non-profit Populi Center, Januari 2015)?

Kini gagasan kontroversial yang menyangkut keberadaan KPK muncul kembali dari DPR melalui draf revisi UU KPK. Memang, draf tersebut sama sekali tak menyebut-nyebut pembubaran KPK. Namun, sejumlah kewenangan KPK yang diusulkan untuk dipangkas maupun diubah niscaya membuat lembaga independen ini tak lagi dapat diandalkan untuk berdiri di garda depan dalam perang melawan korupsi. Tak pelak, sejumlah pihak dan kalangan pun menyatakan protes dan keberatannya.

Syukurlah, akhirnya pemerintah secara tegas menyatakan bahwa revisi UU KPK itu ditolak. Kini publik boleh bernafas lega karena revisi UU tersebut tak dapat berjalan hanya

111

Page 112: Opini hukum politik 22 mei 2015

berdasarkan keinginan DPR. Diperlukan juga pembahasan bersama pemerintah, dalam hal ini menteri hukum dan HAM, untuk merealisasikan usulan tersebut.

Sebenarnya kalau revisi yang diusulkan DPR bertujuan untuk menyempurnakan dan memperkuat posisi KPK, kita layak menyetujuinya. Sebaliknya, jika revisi yang dimaksud secara langsung maupun tak langsung hanya ingin melemahkan lembaga anti-rasuah ini, kita patut menolaknya. Kita harus mengakui bahwa kian lama kian banyak orang yang bersimpati kepada KPK, terlepas dari kelemahan dan kekurangannya. Jujur saja, publik lebih berharap banyak kepada KPK daripada Polri dan Kejaksaan Agung dalam pemberantasan korupsi. Di sisi lain, tak dapat disangkal bahwa publik kian lama kian muak terhadap para wakil rakyat di lembaga legislatif yang rakus duit itu. Tak heran jika wacana pembubaran KPK atau revisi UU KPK, baik dulu maupun sekarang, seakan menjadi bumerang bagi DPR sendiri.

Sebenarnya KPK, sebagai lembaga negara, tak perlu ada jika penyakit korupsi tidak semakin mengganas di negeri ini. Bukankah karena praktik korupsi yang kian merajalela itu, keberadaan KPK diperlukan? Ingatlah bahwa dalam upaya memberantas korupsi selama ini, negara telah banyak membuat lembaga anti-korupsi. Pada era Soeharto ada Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Komisi 4, dan akhirnya Operasi Tertib (Opstib). Pasca- Soeharto dibentuklah Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Namun, baru membongkar kasus suap di dunia peradilan, tak lama kemudian TGPTPK dibubarkan atas putusan Mahkamah Agung.

Pada era Abdurrahman Wahid, sang presiden sendiri yang tersangkut kasus Bruneigate dan Buloggate I. Masuk ke era Megawati Soekarnoputri, kembali muncul Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Hasilnya? Alih-alih menyusut, praktik korupsi malah makin menggila. Kalaupun ada yang berubah adalah korupsi di tingkat atas (korupsi politik), dengan terjadinya transformasi korupsi dari oligarki ke multipartai.

Jika dulu korupsi lebih banyak melibatkan pemerintah dan Golkar, kini korupsi dilakukan secara berjemaah: melibatkan banyak partai dan elite politik bersama mitra kerja mereka di berbagai lembaga. Jika dulu korupsi berpusat di Istana dan dikendalikan dari sana bersama dengan para kroni Soeharto, sekarang aktor korupsi telah berserakan di semua kekuatan politik.

Berdasarkan itulah, korupsi kemudian dipandang sebagai “kejahatan luar biasa” (extra ordinary crime). Kalau begitu, upaya memerangi korupsi tentulah harus secara luar biasa pula. Korupsi harus digempur dari berbagai aspek dan sistem, serta gerakan moral dan masyarakat sipil yang harus makin digencarkan. 

***

Kini sudahkah praktik korupsi semakin berkurang? Agaknya anekdot ini benar: kini korupsi tak lagi dilakukan di bawah meja, tapi justru di atas meja. Bahkan kalau perlu, mejanya sekaligus disikat. Sinis, tapi benar. Atas dasar itulah, KPK sebenarnya justru harus diperluas

112

Page 113: Opini hukum politik 22 mei 2015

kewenangannya serta diperkuat komisioner dan penyidiknya. Sebaliknya, jangan pernah berpikir untuk menggembosinya, terutama menyangkut beberapa hal ini.

Pertama, soal kewenangan penyadapan. Jika kewenangan ini dihilangkan, roh dari KPK dengan sendirinya hilang. Maka itu, alangkah anehnya kalau ada yang berpikir KPK boleh menyadap, tapi harus mengajukan izin dulu ke pengadilan.

Kedua, KPK tidak perlu diberikan kewenangan untuk menghentikan penyidikan perkara yang tengah ditangani. Selama ini KPK melalui undang-undang memiliki kuasa penuh dalam memberantas korupsi dengan nihilnya kemampuan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Maka itu, kalau kewenangan menerbitkan SP3 itu berlaku bagi KPK, dengan sendirinya KPK pun seperti penyidik yang lain di kejaksaan atau di kepolisian.

Ketiga, soal kepemimpinan KPK yang bersifat kolektif kolegial. Artinya, tidak perlu ada aturan bahwa KPK dalam membuat keputusan penetapan tersangka korupsi memerlukan penandatanganan dari semua komisioner di lembaga tersebut. Cukup berjumlah minimal setengah plus satu. Itu seharusnya dapat diterima keabsahannya.

Keempat, soal tidak diperlukannya badan pengawas di KPK karena UU KPK tidak menyebutkan KPK mempunyai badan pengawas, kecuali penasihat. Kelima, KPK harus tetap dijamin kewenangannya dalam melakukan penyidikan (termasuk mengangkat penyidik) sampai penuntutan.

Pendeknya, selama praktik korupsi masih merajalela di negeri ini, KPK yang sekarang tak sekali-kali boleh direduksi kewenangannya. KPK juga tak boleh digeser aktivitas utamanya dari pemberantasan menjadi pencegahan. Apalagi huruf “P” dalam akronim KPK itu sendiri bermakna “pemberantasan”. Bukankah melalui upaya pemberantasan korupsi sebenarnya upaya pencegahan sudah otomatis tercakup di dalamnya? Akhirnya DPR perlu merenungkan pertanyaan ini: kalau diri sendiri benar dan bersih, mengapa harus takut pada KPK?

VICTOR SILAEN Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan

113

Page 114: Opini hukum politik 22 mei 2015

Revisi Undang-Undang KPK

Koran SINDO6 Juli 2015

Siapa pun memahami bahwa semua peraturan yang dibuat oleh manusia bukan ”kitab suci” yang tidak boleh diperbaiki atau direvisi. Bahkan UUD 1945 yang pernah disakralkan saat pemerintahan Orde Baru agar tidak disentuh perubahan (amendemen), tetapi karena kehendak rakyat sudah empat kali diamendemen.

Begitu pula rencana lama merevisi UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) bukan hal yang sakral sehingga wajar dilakukan perbaikan. Namun, hendaknya tidak diarahkan untuk memperlemah, apalagi mencabut kewenangan KPK yang selama ini membawa hasil positif dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Jika kemudian menimbulkan polemik itu lantaran lagu lama yang dirilis kembali oleh DPR masih saja diarahkan untuk menggerogoti kewenangan KPK yang diatur dalam Pasal 12 UU KPK.

Rakyat tidak percaya pada wakilnya di Senayan, apa pun alasan dan rasionalitas yang disampaikan. Kurang lebih seperti itulah realitas yang ada saat DPR atau pemerintah menggulirkan revisi UU KPK. Selalu ada kecurigaan publik terhadap upaya DPR, meskipun ada iktikad baik di dalamnya.

Kewenangan Penyadapan

Kejahatan korupsi sudah dipahami sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes). Rakyat juga sudah paham bahwa untuk melawan kejahatan kelas berat itu harus ditangani dengan cara luar biasa pula agar dapat menimbulkan efektivitas dalam penuntasannya.

Berdasarkan berita yang berkembang, setidaknya ada lima aspek yang akan direvisi DPR dalam UU KPK. Pertama, akan mengatur ulang ketentuan Pasal 12 huruf a UU Korupsi mengenai ”kewenangan penyadapan”. KPK dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan ”berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan”. Ini salah satu kewenangan paling ampuh bagi KPK dalam memburu para koruptor yang begitu banyak akal terhadap uang negara. Dari kewenangan menyadap telepon seseorang yang diduga akan melakukan korupsi seperti suap, sehingga banyak kasus korupsi kelas kakap dapat dibongkar KPK.

Bisa dilihat pada kasus pembangunan Wisma Atlet yang menyeret elite politik seperti Nazaruddin dan Angelina Sondakh. Kasus Wisma Atlet terbongkar karena operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap salah seorang bawahan Nazaruddin. Dia bisa kena OTT berkat

114

Page 115: Opini hukum politik 22 mei 2015

keampuhan kewenangan ”penyadapan telepon” yang dilakukan saat penyelidikan dan berdasarkan informasi masyarakat.

OTT hasil penyadapan juga menimpa oknum anggota DPR Komisi IV dari Fraksi PDI Perjuangan saat pelaksanaan kongres di Bali (9/4/2015). Ia tertangkap tangan saat sedang bertransaksi suap. Begitu pula dua anggota DPRD dan dua kepala SKPD Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, terjerat OTT KPK (19/6/2015). Dalam OTT itu, KPK berhasil mengamankan barang bukti suap berupa uang senilai Rp2,5 miliar. Realitas ini menunjukkan bahwa kewenangan penyadapan KPK begitu ampuh membongkar kasus penyuapan.

Wajar bila timbul pertanyaan publik, apakah ada oknum DPR atau oknum kekuasaan tertentu yang gentar terhadap OTT yang umumnya dilatari oleh penyadapan saat tahap penyelidikan? Tentu KPK melaksanakan kewenangannya karena ada informasi dari masyarakat. Apalagi operasional penyadapan di KPK juga tetap menghargai hak privasi, sehingga tidak pernah hasil penyadapan yang diperdengarkan di pengadilan menyangkut hak privasi seseorang.

Seharusnya Berpihak

Kedua, akan menghapus ketentuan Pasal 40 UU KPK tentang larangan bagi KPK mengeluarkan surat menghentikan penyidikan dan penuntutan. Tetapi perlu dipahami filosofi Pasal 40 UU KPK, yaitu sebagai konsekuensi dari pemberian kewenangan besar kepada KPK. Buat apa memberikan kewenangan yang besar dibanding kepolisian dan kejaksaan, jika pada akhirnya diberi peluang menghentikan penyidikan dan penuntutan.

Filosofi Pasal 40 UU KPK mengharuskan KPK lebih teliti, serius, dan profesional saat menetapkan seseorang tersangka. Jika pun ada yang dikabulkan praperadilannya terkait ”penetapan tersangka” kemudian dijadikan alasan pembenar mencabut Pasal 40 UU KPK, hal itu tidak relevan. Sebab, putusan praperadilan hanyalah sebagai ”koreksi administratif” bagi penyidik dalam melakukan upaya paksa.

Ketiga, pembentukan ”Dewan Pengawas” untuk mengawasi pelaksanaan kewenangan KPK diperlukan. Namun, kehadiran Dewan Pengawas KPK tidak boleh diberi wewenang mencampuri pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, baik secara administratif maupun teknis. Setidaknya hanya menjaga kehormatan pimpinan dan pegawai KPK dari kemungkinan melakukan penyalahgunaan wewenang dan melanggar kode etik. Malah harus memberikan proteksi bagi KPK dari kemungkinan intervensi dari luar yang ingin melemahkan.

Keempat, memang diperlukan pengaturan pelaksanaan tugas pimpinan KPK jika berhalangan. Kelima, penguatan pelaksanaan kolektif-kolegial pimpinan KPK dalam mengambil keputusan, juga perlu dipertegas. Tetapi diarahkan untuk memperkuat kewenangan KPK agar tugas pencegahan dan penindakan semakin berani dan lebih efektif.

115

Page 116: Opini hukum politik 22 mei 2015

Revisi UU KPK boleh dilakukan setelah menyelaraskan revisi KUHPidana, KUHAP, dan UU Nomor 31/1999 yang diubah dengan UU Nomor 20/2001 (UU Korupsi). Sebab tidak bisa menafikan adanya upaya secara sistematis dan telah berlangsung lama untuk menghapus kewenangan besar KPK.

Tidak perlu merevisi kewenangan yang sudah efektif seperti penyadapan, kewenangan dalam Pasal 12 UU KPK, dan ketentuan Pasal 40 UU KPK. Akan jauh lebih elok jika memperbaiki kelemahan KPK selama ini. Misalnya, mempertegas bahwa KPK berwenang mengangkat penyelidik sendiri, penyidik sendiri, dan penuntut sendiri di luar anggota kepolisian dan kejaksaan.

Itulah sikap konsisten dan keberpihakan pada KPK dan pemberantasan korupsi. Apalagi rakyat khawatir proses revisi akan berbelok arah setelah dibahas di DPR lantaran takut nantinya menjadi sasaran tembak kalau KPK lebih diperkuat.

MARWAN MAS Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar 

116

Page 117: Opini hukum politik 22 mei 2015

Human Error di Kabinet Kerja

Koran SINDO8 Juli 2015  

Akhirnya, Presiden Joko Widodo memang perlu menyoal loyalitas dan kapabilitas para menteri. Masyarakat akar rumput sekalipun bisa merasakan pemerintahan sekarang ini belum efektif kendati masa baktinya sudah masuk bulan kesembilan.

Begitu sering muncul permasalahan akibat human error yang dilakukan para menteri Kabinet Kerja. Masalah terakhir yang membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) seperti kecolongan adalah protes komunitas pekerja terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46/2015 tentang Tata Cara Pencairan Dana Jaminan Hari Tua (JHT) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Karena protes itu, Presiden memerintahkan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri menyiapkan naskah revisi PP No. 46/2015 itu. Lucu, PP ini hanya berumur tiga hari. Kalau PP itu sudah direvisi, para pekerja yang di-PHK atau tidak lagi bekerja bisa mencairkan JHT sebulan setelah kehilangan pekerjaannya.

Kalau PP itu hanya berumur tiga hari dan harus direvisi, berarti terjadi dua human error. Pertama, di tingkat menteri teknis dan manajemen BPJS. Para menteri berperilaku arogan dengan kewenangannya. PP itu dirancang tanpa mendengarkan aspirasi pekerja. Mereka coba mengintervensi kehidupan pekerja terlalu jauh dengan membatasi hak pekerja mencairkan dana JHT. Padahal, dana JHT itu milik si pekerja. Kalau para menteri teknis mau mendengarkan masukan pekerja tentang mekanisme pencairan dana jaminan hari tua, perpres itu tidak akan bermasalah.

Masih berkait dengan PP No. 46/2015 itu, human error kedua terjadi juga di Kantor Presiden dan dilakukan oleh orang-orang kepercayaan Jokowi. Tanpa membaca dan mempelajari muatan PP itu, mereka langsung menyodorkannya ke Presiden untuk ditandatangani. Jelas bahwa menteri sekretaris kabinet atau menteri sekretaris negara patut dipersalahkan.

Menseskab dan mensesneg seharusnya tidak asal-asalan dalam menyodorkan dokumen apa pun yang memerlukan tanda tangan Presiden. Keduanya, atau salah satu dari keduanya, wajib mempelajari muatan dokumen itu sebelum dibawa ke meja Presiden untuk ditandatangani. Kalau dianggap perlu, mensesneg dan menseskab bisa meminta pertimbangan dan masukan dari Dewan Pertimbangan Presiden atau para ahli yang sehari-hari membantu Presiden. Prosedur ini rupanya tidak dijalankan sehingga Presiden lagi-lagi dipermalukan.

Apakah itu sekadar human error atau kesalahan yang sengaja diperbuat untuk menjerumuskan Presiden? Bagaimana pun, kemungkinan-kemungkinan seperti itu patut diwaspadai Presiden. Sudah barang tentu para menteri itu tidak perlu diingatkan lagi bahwa

117

Page 118: Opini hukum politik 22 mei 2015

mereka harus bijaksana dan wajib berhati-hati. Bijak dan kehati-hatian sudah melekat pada jabatan mereka.

Kecerobohan mereka tidak bisa ditoleransi karena rancangan kebijakan mereka menyentuh langsung kehidupan puluhan juta rakyat. Karena itu, kecerobohan para menteri dalam kasus PP No. 46/2015 itu tidak boleh disederhanakan. Presiden patut mempertanyakan ketidakhati- hatian itu kepada para menteri. Dari situ, Presiden bisa mengukur loyalitas dan kapabilitas menteri-menteri bersangkutan.

Publik mempersepsikan kasus revisi PP tersebut sebagai bukti bahwa manajemen pemerintahan Presiden Jokowi dan Kantor Presiden masih amburadul, sekaligus menjadi indikasi terlalu banyaknya orang yang tidak qualified dalam pemerintahan Jokowi. Karena tidak qualified itulah, Kabinet Kerja sarat human error.

Kebisingan di ruang publik akibat kesalahan pada rancangan PP No. 46/2015 seperti melanjutkan kebisingan sebelumnya akibat human error yang juga dilakukan para menteri. Baru-baru ini seorang menteri bertutur kepada pers bahwa ada menteri yang mengejek Presiden. Sebelumnya lagi, Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menjalankan agendanya sendiri dalam merespons sengketa internal Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Bahkan human error pun terjadi pada komunikasi antara Presiden dan Wapres. Pertama, terjadi pada isu tentang organisasi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Wapres memerintahkan Menteri Pemuda dan Olahraga mencabut surat keputusan pembekuan PSSI. Namun, Presiden Jokowi justru memerintahkan sebaliknya dan meminta menpora mempertahankan pembekuan PSSI. Human error kedua terjadi pada isu tentang revisi UU KPK. Wapres, Jaksa Agung, serta Menteri Hukum dan HAM setuju UU KPK direvisi, tetapi Presiden menolak revisi dimaksud.

Menteri Bermanuver

Kalau Presiden dan Wapres akhir-akhir ini sudah bisa mencegah human error di antara keduanya, para menteri tetap saja masih tidak peduli pada pentingnya bersikap bijak dan berhati-hati. Contohnya pada kasus seorang menteri yang bertutur kepada publik bahwa ada koleganya di kabinet yang mengejek Presiden.

Dalam kapasitasnya sebagai menteri, sikap dan penuturannya itu benar-benar konyol dan amatiran. Dia menjadi contoh nyata tentang pejabat tinggi negara yang tidak mampu bersikap arif dan bijaksana. Dia, yang seharusnya berkewajiban menjaga soliditas dan citra kabinet, justru bertindak sebaliknya, merusak kekompakan anggota kabinet dan mencoreng citra kabinet di mata publik.

Kalau benar ada menteri berani mengejek Presiden, itu seharusnya menjadi rahasia kabinet. Siapa pun menteri yang mengetahui ejekan itu cukup melapor ke Presiden untuk kemudian

118

Page 119: Opini hukum politik 22 mei 2015

diselesaikan sendiri oleh Presiden. Etika tak tertulis ini lazim diadopsi para pejabat negara yang derajat kearifan dan kebijaksanaannya sudah teruji.

Tidak semua persoalan di internal kabinet harus diumbar ke ruang publik. Sejumlah masalah atau kasus bisa dilokalisasi sebagai rahasia kabinet. Apalagi kalau persoalannya personal dan tidak mengganggu kepentingan umum. Kalau etika seperti itu ditaati, pejabat negara biasanya bisa menahan diri untuk tidak menyulut kegaduhan yang tak perlu.

Dari kasus ”menteri mengejek Presiden” itu, Presiden minimal dirugikan dari dua aspek. Pertama, soliditas kabinetnya justru dicabik-cabik oleh bawahannya ketika Presiden sedang gencar-gencarnya mendorong para menteri bekerja ekstrakeras demi percepatan penyerapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015. Kedua, ada motif lain di balik tindakan mengungkap kasus itu kepada publik. Motifnya adalah intrik politik yang bertujuan menambah tekanan kepada Presiden agar segera melakukan reshuffle kabinet. Menteri yang diduga mengejek Presiden itu tentu saja menjadi salah satu target. Dipersepsikan bahwa karena mengejek Presiden, menteri itu harus dikeluarkan dari kabinet.

Keanehan Kabinet Kerja benar-benar luar biasa sebab ada menteri yang bermanuver melakukan intrik untuk memaksa Presiden segera merombak formasi kabinet. Kalau ada menteri berani memaksakan kehendak dan memiliki agenda sendiri, loyalitasnya memang harus diragukan. Barangkali ini menjadi kasus pertama dalam sejarah pemerintahan di Indonesia. Pada rezim pemerintahan terdahulu, publik tidak pernah menyaksikan perilaku aneh para menteri. Karena itu, bukannya mengada-ada jika kepada Presiden Jokowi disarankan untuk menyoal atau mempertanyakan lagi loyalitas dan kapabilitas para menteri.

Saran ini bukan bagian dari arus desakan reshuffle kabinet. Saran ini dikedepankan karena human error di Kabinet Kerja sangat memprihatinkan dan juga memalukan. Kasus PP No. 46/2015 hingga beras plastik mencerminkan rendahnya kapabilitas beberapa menteri.

Selain itu, Presiden juga harus berani memerangi loyalitas ganda yang diperlihatkan beberapa menteri. Kalau jabatan mereka menteri, bos mereka hanya satu, Presiden. Dengan begitu, loyalitas para menteri kepada ketua umum partainya harus diakhiri. Begitu konsekuensi logisnya dan begitu juga etikanya.

BAMBANG SOESATYO Sekretaris Fraksi Partai Golkar/Anggota Komisi III DPR RI

119

Page 120: Opini hukum politik 22 mei 2015

Untuk Apa Reshuffle?

Koran SINDO9 Juli 2015

Belum genap satu tahun usia Kabinet Kerja, isu bongkar-pasang pembantu Presiden sudah menyeruak ke permukaan. Berita yang santer beredar di media massa ialah beberapa menteri dari bidang perekonomian akan diganti oleh Jokowi. Sebabnya disebutkan adalah perekonomian Indonesia yang cenderung lesu dan dikhawatirkan, jika mereka yang ada di posisi tersebut tidak diganti, kondisi ekonomi Indonesia akan makin memburuk.

Dilihat dari sisi waktu, jika benar reshuffle dilakukan pada Juli ini, itu tentu di luar kelaziman. Menurut temuan Christopher Kam dan Indridi Indridason (2005) dalam artikel mereka, ”The Timing of Cabinet Reshuffles in Five Westminster Parliamentary Systems”, di negara-negara dengan sistem pemerintahan parlementer yang lebih volatile ketimbang sistem presidensial saja, rata-rata reshuffle kabinet di lima negara (Australia, Inggris, Kanada, Irlandia, dan Selandia Baru) adalah setiap 11 (sebelas) bulan.

Apalagi, Indonesia tidak menganut sistem parlementer di mana dalam sistem tersebut jabatan kepala pemerintahan dan kabinetnya relatif rentan. Sebaliknya, negara kita menggunakan sistem presidensial di mana jabatan presiden bersifat fixed kecuali sosok presiden melanggar aturan dalam konstitusi.

Belum lagi, seperti digembar-gemborkan sebelumnya oleh Jokowi, proses penentuan menteri-menterinya telah melalui proses yang tidak hanya panjang, namun juga dibantu oleh tim transisi yang bekerja selama kurang lebih dua bulan. Adanya reshuffle kabinet yang akan datang menjadi sinyal bahwa yang didengungkan sebelumnya layak untuk dipertanyakan kebenarannya.

Political vs Performance

Secara teoritis, ada dua pendekatan dalam melihat alasan di balik keputusan melakukan reshuffle kabinet yang dilakukan oleh seorang kepala pemerintahan. Pertama, political-based. Dalam pendekatan ini, Indridi Indridason dan Christopher Kam (2008) dalam tulisan mereka yang berjudul ”Cabinet Reshuffles and Ministerial Drift” menyebutkan reshuffle kabinet dilakukan dengan maksud dan tujuan untuk mengakomodasi kepentingan politik yang ada seperti mengubah konstruksi koalisi partai politik atau memberikan konsesi yang lebih besar kepada partai politik pendukung, termasuk partai politik dari pemimpin pemerintahan sendiri.

Kedua, performance-based. Dalam konteks pendekatan ini, kebijakan pergantian menteri diambil karena faktor tidak perform-nya kinerja menteri dan dikhawatirkan bila tidak ada

120

Page 121: Opini hukum politik 22 mei 2015

rotasi kabinet, dapat mengganggu kinerja kabinet secara keseluruhan. Yang termasuk dalam kategori ini ialah pergantian menteri yang disebabkan menteri tersebut membuat skandal seperti korupsi atau pelanggaran-pelanggaran sejenisnya. Dalam konteks negara yang sudah maju bahkan pergantian menteri didahului oleh tindakan pengunduran diri oleh menteri yang tersangkut kasus ataupun underperform karena kuatnya rasa tanggung jawab dan berpegangan erat dengan masalah etika jabatan publik.

Dalam kenyataannya, memang bisa saja kedua pendekatan di atas tidak berdiri sendiri, melainkan hadir secara bersamaan. Tetapi, meski terjadi hal yang demikian, umumnya ada salah satu pendekatan yang lebih kuat ketimbang yang lain sebagai dasar penentu keputusan reshuffle.

Lantas, bagaimana kemudian dengan reshuffle yang akan datang? Jokowi dan JK seperti dikutip sejumlah media massa mengatakan bahwa mereka melakukan proses evaluasi kinerja terhadap para menteri. Sayangnya, baik alat, indikator, maupun hasil evaluasi yang dimaksud tidak pernah dilempar kepada publik. Padahal, publik berhak untuk tahu perihal evaluasi tersebut apakah benar objektif ada atau tidak. Ditambah lagi, periode evaluasi dan rencana reshuffle di bawah periode satu tahun pemerintahan Jokowi juga menimbulkan pertanyaan di benak rakyat banyak.

Yang justru ”terlihat lebih objektif” dan dapat diketahui publik adalah penilaian yang dilakukan lembaga survei atau media massa. Menurut hasil survei Poltracking Institute yang diselenggarakan dalam rentang tanggal 23- 31 Maret 2015, mayoritas responden (41,8%) setuju dilakukan reshuffle karena ketidakpuasan publik terhadap kinerja Jokowi-JK dan kabinetnya.

Selain itu, merujuk hasil survei lain dari Indo Barometer yang dilakukan pada 15-25 Maret 2015, tingkat kepuasan publik kepada kinerja Jokowi hanya 57,5% , sedangkan Jusuf Kalla hanya 53,3%. Ada pun terhadap kinerja para menteri secara keseluruhan hanya 46,8%. Angka ini dinilai di bawah nilai standar yaitu 75%.

Namun, tampaknya yang lebih kuat dan menjadi inti dari alasan reshuffle adalah faktor politik yaitu desakan dari partai politik pendukung, terutama partai politik pengusung Jokowi sendiri, yang menginginkan kader partai tersebut lebih banyak lagi mengisi kabinet. Sinyalemen itu tampak terang datang dari lontaran kader atau pengurus partai politik tersebut yang mengatakan Jokowi perlu melakukan reshuffle kabinet. Meski merupakan hak istimewa Presiden, wajar jika Presiden ”berkonsultasi” dengan PDIP karena merupakan partai pengusung.

Bukan Akomodasi

Reshuffle sepenuhnya adalah hak prerogatif Presiden. Meski demikian, idealnya reshuffle kabinet tidak ditempatkan sebagai instrumen untuk melakukan akomodasi politik terhadap kekuatan politik yang ada. Lebih dari itu, reshuffle mesti ditempatkan sebagai cara Presiden

121

Page 122: Opini hukum politik 22 mei 2015

membongkar menteri yang tidak berhasil menunjukkan kinerjanya dan memasang penggantinya yang bisa bekerja sesuai harapan rakyat banyak.

Tak hanya itu, sampai saat ini belum pernah ada penelitian dan studi yang dapat diandalkan dengan mengambil contoh di pemerintahan sebelumnya bahwa kinerja kementerian sesudah reshuffle pasti lebih baik daripada sebelum di-reshuffle. Jika terkait kinerja, boleh jadi masalahnya bukan selalu ada pada menterinya, tapi ada pada hal lain seperti misalnya birokrasi di bawah menteri tersebut. Jika demikian yang terjadi, pertanyaannya kemudian, untuk apa reshuffle kabinet? Wallahualam.

JAZULI JUWAINI Ketua Fraksi PKS DPR RI

122

Page 123: Opini hukum politik 22 mei 2015

Jabatan Komisioner KPK

Koran SINDO10 Juli 2015

Menarik, artikel Saudara Eddy O Hiarej (Kompas, 8/7) tentang jabatan komisioner KPK yang intinya mempersoalkan ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KPK tentang pemberhentian sementara pimpinan KPK yang telah ditetapkan sebagai tersangka.

Pemahaman sejarah pembentukan KPK memang diperlukan untuk mengetahui asal-usul setiap pasal dalam UU KPK. Alasan KPK dibentuk karena Polri dan kejaksaan dipandang tidak efektif menangani korupsi yang sudah sangat luar biasa sehingga diperlukan tindakan-tindakan luar biasa dengan kewenangan luar biasa dan diperlukan lembaga yang luar biasa.

Lembaga yang luar biasa ini harus dijalankan oleh manusia-manusia luar biasa yaitu mereka yang memiliki integritas, kredibilitas, dan keahlian yang memadai sehingga diperlukan seleksi yang ketat. Keluarbiasaan kewenangan KPK harus dibatasi oleh antara lain dengan ketentuan umum mengenai persyaratan dan kualifikasi calon pimpinan KPK yang dibuktikannya sejak mengikuti seleksi calon pimpinan (capim) KPK.

Asumsinya, para capim KPK telah membaca, mengetahui, dan memahami setiap pasal dalam UU KPK termasuk dan tidak terbatas pada syarat-syarat umum, tetapi juga syarat-syarat khusus yang berlaku bagi mereka. Beberapa contoh yang harus dipahami seperti syarat keahlian dalam bidang hukum, ekonomi, dan perbankan dengan pengalaman 15 tahun (bukan bidang ilmu lain) atau syarat pemberhentian pimpinan KPK yang menjadi tersangka baik mengenai perbuatan yang terjadi sebelum maupun selama menjadi pimpinan KPK. Dalam konteks status tersangka tidak ada dasar hukum terkait sebelum atau selama menjalani jabatan yang dapat membebaskannya kecuali karena ketentuan kedaluwarsa (Pasal 78 KUHP).

***

Kewenangan komisioner KPK yang sangat luas berpotensi melanggar hak asasi manusia (HAM) tersangka. Kemungkinan itu berdasarkan UU KPK seperti kewenangan penyadapan, pemblokiran rekening, pencekalan, dan penyitaan tanpa izin pengadilan. Situasi ini memerlukan integritas lima pimpinan KPK dalam mengemban tugas dan wewenangnya memerlukan rambu pembatas yaitu keputusan harus diambil secara kolektif. Rambu ini untuk mencegah pengaruh eksternal dan kepentingan pribadi dan tidak boleh ada SP3 agar lima komisioner bertindak hati-hati berdasarkan UU KPK dan KUHAP.

123

Page 124: Opini hukum politik 22 mei 2015

Syarat pemberhentian sementara untuk status tersangka komisioner juga berlaku pada petugas Polri dan kejaksaan berdasarkan baik UU Kepolisian 2002 dan PP Nomor 3 Tahun 2003 tentang Teknis Peradilan bagi Anggota Kepolisian maupun UU Kejaksaan 2004. Sedangkan dua institusi terakhir tidak memiliki kewenangan luar biasa seperti KPK.

Tidak ada perlakuan hukum yang diskriminatif terhadap komisioner KPK. Justru jika diberikan perlindungan hukum khusus kepada komisioner KPK, menjadi ganjil dan tidak proporsional dengan kewenangan dan tanggung jawabnya dibandingkan dengan kepolisian dan kejaksaan. Harus dipahami bahwa pengertian diskriminatif dalam konvensi internasional tentang HAM hanya khusus ditujukan terhadap perbedaan perlakuan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan latar belakang sosial (Art.4.1 ICCPR, 1996), bukan pada status jabatan publik.

Masalah pemberhentian sementara terkait pada masalah integritas ketika seseorang akan menjadi capim KPK seharusnya sudah memahami persyaratan sebagai capim KPK dalam UU KPK dan siap menanggung risiko jabatan jika terpilih, tidak terkecuali. Jika syarat pemberhentian dianggap memberatkan atau membebani, seharusnya sejak awal yang bersangkutan menolak untuk ikut serta dalam pemilihan capim KPK.

Berdasarkan alasan integritas tersebut, naif jika komisioner KPK terpilih berdalih bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU KPK diskriminatif (terhadap dirinya) ketika yang bersangkutan menjadi tersangka apa pun tindak pidananya sedangkan kewenangan yang sangat luas dan berbeda dari kepolisian dan kejaksaan telah ia ”nikmati” baik secara hukum maupun secara sosial (social standing) baik di dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan. Posisi tersebut tidak pula dapat diperbandingkan dengan jabatan politis seperti Presiden/Wakil Presiden atau kepala daerah karena jabatan komisioner KPK adalah jabatan penegak hukum.

Tidak dapat kita bayangkan seorang komisioner KPK yang telah ditetapkan sebagai tersangka tidak diberhentikan dan yang bersangkutan tetap melaksanakan tugas dan wewenangnya memeriksa dan menuntut perkara korupsi. Padahal, yang bersangkutan tetap duduk sebagai pesakitan selama proses penyidikan dan bisa mengikuti sidang pengadilan hingga 450 hari sampai putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Apalagi dalam sistem pengendalian internal KPK tidak ada ketentuan pemberhentian sementara sekalipun pelanggaran kode etik. Jika status sementara dihapuskan, amat tidak berwibawa KPK sebagai lembaga independen yang bebas dari kekuasaan mana pun yang seharusnya menjadi contoh bagi petugasPolri dan kejaksaan yang dalam status yang sama saja, bisa diberhentikan sementara.

Lebih jauh jika tidak ada pemberhentian sementara terhadap status tersangka komisioner KPK, komisioner KPK merupakan personal ”par excellence” satu-satunya di bawah UUD 1945 yang memiliki status tertinggi dibandingkan dengan jabatan Presiden dan Wakil Presiden. Apa iya?

124

Page 125: Opini hukum politik 22 mei 2015

ROMLI ATMASASMITA Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran dan Universitas Pasundan

125

Page 126: Opini hukum politik 22 mei 2015

Politik Dinasti Kotor, tapi MK Benar

Koran SINDO11 Juli 2015

Benar, politik dinasti itu kotor dan ikut menyuburkan korupsi di Indonesia. Tapi menurut saya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tanggal 8 Juli 2015 yang membatalkan larangan politik dinasti (Pasal 72 huruf r) di dalam UU No. 8 Tahun 2015 adalah benar juga.

Politik dinasti memang harus diperangi, tetapi pelarangan politik dinasti dengan begitu saja di dalam UU bisa melanggar hak konstitusional warga negara. Maka itu perlu instrumen hukum lain untuk mengaturnya.

Sebagai mantan ketua MK, saya tahu persis banyak petahana (incumbent) yang menyalahgunakan kedudukannya dalam pemilihan umum kepala daerah (pemilukada). Penyalahgunaan kekuasaan itu bisa dilakukan untuk dirinya sendiri yang akan mencalonkan diri lagi, bisa juga dilakukan untuk memenangkan anggota keluarganya yang ikut kontes dalam pemilukada, entah anaknya, istrinya, saudaranya, atau bahkan orang lain yang satu geng politik dengannya.

Bentuk penyalahgunaan jabatan itu bisa bermacam-macam. Ada yang menggunakan jaringan struktural pemerintahan daerah secara sistematis guna memenangkan kepentingan politik sang petahana, ada pula yang menggunakan dana APBD yang dibelokkan untuk pemenangan. Dana bakti sosial (baksos) dan bantuan sosial (bansos) yang memang resmi ada di APBD bisa dikucurkan secara rapel persis menjelang pelaksanaan pemilukada dengan pesan harus memenangkan petahana atau calon tertentu. Kaki tangan petahana sering mengatakan, baksos atau bansos itu diberikan sebagai kemurahan hati petahana kepada rakyat atau kepada aparat desa dan karenanya petahana atau orang yang didukungnya harus dipilih dalam pemilukada.

Kunjungan kerja pejabat petahana juga sering meningkat volumenya menjelang pemilukada dan kunjungan-kunjungan yang dibiayai uang negara (pemda) itu diselenggarakan dalam suasana kampanye. Terkadang disertai dengan peresmian proyek yang didahului yel-yel kampanye dan dekorasi panggung untuk dukungan kepada petahana. Terkadang ada bantuan pembangunan rumah ibadah bahkan tak jarang ada yang terang-terangan menyebar amplop-amplop yang berisi uang dengan pesan agar mendukung petahana atau keluarganya.

Banyak juga petahana yang menggusur pejabat daerah dan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dari kedudukan atau tempat tugasnya. Ada PNS yang dipindah sampai sejauh 200 km, melintasi laut, dari tempat tugas semula sehingga harus berpisah dari suami dan anak-anaknya karena dinilai tidak mendukung petahana. Ada juga yang melakukan demosi besar-besaran,

126

Page 127: Opini hukum politik 22 mei 2015

menurunkan pejabat struktural daerah dari jabatannya sampai lebih dari 120 orang karena mereka dinilai tidak mau mendukung keluarga seorang petahana.

Jadi, politik dinasti itu memang kotor, menyuburkan korupsi, merusak birokrasi, dan merusak moral masyarakat. MK tahu betul tentang itu karena kerusakan-kerusakan yang seperti itulah yang selalu muncul di dalam setiap sengketa pemilukada di MK. Harus diingat, data yang dimiliki MK tentang ini sangatlah banyak karena lebih dari 80% pemilukada diperkarakan ke MK.

Tapi MK tak bisa serta-merta membatalkan hasil pemilukada yang curang karena tidak ada bukti nyata atau melihat bahwa yang diberi uang atau diberi proyek itu benar-benar memilih petahana berhubung pemilihan bersifat rahasia. MK hanya menyatakan ada bukti penyalahgunaan kekuasaan tapi tidak membatalkan kemenangannya karena tidak ada bukti bahwa orang-orang yang disuap itu benar-benar memilih petahana.

Maka itu MK kemudian hanya meneruskan itu ke aparat penegak hukum, misalnya, ke Polri atau ke KPK untuk diteruskan ke proses hukum pidana. Itulah sebabnya ada petahana yang menang pemilukada dan dikukuhkan kemenangannya oleh MK, tetapi tak lama sesudah dilantik langsung digelandang ke penjara, bahkan ada yang dilantik di penjara untuk kemudian langsung diberhentikan.

***

Jadi, meskipun MK tahu persis betapa merusaknya politik dinasti ini tetapi dalam konteks pelarangan pencalonan keluarga petahana di dalam UU, MK tak bisa membiarkannya. MK memang harus mencabut ketentuan itu dari UU karena ia melanggar hak konstitusional warga negara. Di dalam UUD disebutkan bahwa hak politik untuk menjadi calon (to be candidate) adalah hak ”setiap orang”, tak terkait dengan keluarga atau dinasti.

Saya tahu bahwa kawan-kawan di MK tidak suka, bahkan ikut geram dan mengelus dada atas kekotoran politik dinasti, tetapi MK memang tidak bisa melanggengkan ataupun membatalkan isi UU, hanya atas dasar suka atau tidak suka pada isi UU. Akan berbahayalah bagi perlindungan konstitusional ”setiap orang” warga negara jika MK membiarkan pelarangan pencalonan hanya karena ”seseorang” itu adalah keluarga petahana.

Harus diingat, ada juga keluarga petahana yang mencalonkan diri karena kapasitasnya yang memang bagus atau justru karena ingin menggantikan petahana yang, meskipun keluarganya sendiri, dinilai tidak bagus. Kemungkinan ini harus dilihat sebagai fakta.

Oleh sebab itu, pascaputusan MK ini, perlu dibuat instrumen hukum lain untuk mengatasi kotornya politik dinasti ini. Misalnya, dibuat sebuah Peraturan Pemerintah (PP) yang memuat ketentuan, petahana atau keluarganya yang menyalahgunakan jabatan dalam pemilukada dinyatakan batal pencalonan maupun kemenangannya.

127

Page 128: Opini hukum politik 22 mei 2015

Ketentuan PP yang demikian bisa dijadikan pedoman oleh pengadilan dalam mengadili perkara pemilukada. Jangan lupa juga, dalam pengalaman perkara-perkara di MK, banyak fakta bahwa KPU (provinsi/ kabupaten/kota) ikut melakukan kecurangan.

MOH MAHFUD MD Guru Besar Hukum Konstitusi 

128

Page 129: Opini hukum politik 22 mei 2015

Status Gawat Darurat Lembaga Peradilan

Koran SINDO13 Juli 2015

Tertangkapnya 3 hakim di pengadilan TUN, 1 panitera, dan 1 advokat baru-baru ini di Medan adalah bukti nyata bahwa sistem peradilan di Indonesia sudah lama sakit dan tidak berfungsi semestinya.

Negara hukum yang dicita-citakan para pendiri Republik Indonesia betul-betul dalam keadaan yang menyedihkan. Dewi Keadilan sedang menangis melihat perilaku para hakim yang seharusnya memberi keadilan dan kepastian hukum kepada pencari keadilan justru mempermainkan keadilan dan hukum itu sendiri. Sama halnya dengan panitera dan advokat yang terlibat sudah jauh melewati batas-batas fungsi semestinya, yaitu sebagai administrator pengadilan dan pembela klien.

Sudah lama keadaan ini dibiarkan. Upaya untuk memperbaikinya baik dari Mahkamah Agung RI, Komisi Yudisial, KPK, organisasi advokat, LSM, YLBHI, dan unsur-unsur independen di masyarakat masih belum memadai dan terkesan tidak komprehensif dan tuntas. Patut disesalkan upaya Komisi Yudisial dalam mengawasi para hakim dan membuat rekomendasi pemecatan dan skorsing hakim”nakal” belum direspons dan didengar seutuhnya oleh Mahkamah Agung RI.

***

Salah satu unsur dalam sistem peradilan kita, yaitu subsistem advokat masih belum responsif dan belum ada kemauan untuk menindak anggotanya yang menyeleweng dan menyuap hakim. Tanggapan dan sikap organisasi selalu klasik yaitu belum adanya laporan pelanggaran etika. Padahal, pelanggaran hukum, apalagi yang berat seperti suap, seharusnya membuka peluang organisasi profesi advokat untuk bertindak dan memecat advokat yang kriminal tersebut. Apalagi, hal ini termasuk korupsi yudisial yang dilarang di mana-mana secara universal dan merupakan tindak pidana menurut KUH Pidana.

Keengganan organisasi profesi advokat menindak anggotanya yang kriminal tidak perlu menunggu putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, dan harus dilakukan segera tanpa menunda-nunda lagi. Sebab bertemu hakim tanpa dihadiri lawan beperkara saja sudah melanggar kode etik apalagi menyuap.

Organisasi profesi advokat bisa bekerja sama dengan KPK mendengarkan rekaman hasil penyadapan upaya menyuap hakim dan melihat film hasil rekaman CCTV dalam upaya

129

Page 130: Opini hukum politik 22 mei 2015

penyuapan hakim tersebut. Cukup dengan fakta-fakta itu si advokat dapat dipecat sebagai perilaku dan perbuatan pelanggaran berat kode etik profesi advokat.

Organisasi profesi advokat harus bersikap tegas, tidak boleh lagi bersikap permisif untuk suap dan korupsi yudisial. Semua ketegasan ini hanya bisa dilakukan jika organisasi advokat dipimpin orang-orang bersih, jujur, berintegritas, melepaskan diri dari semangat korps membela sesama rekan sejawat, dan mempunyai kemauan kuat dan tujuan tidak lain dari pada membersihkan profesi advokat dari praktik suap dan korupsi yudisial.

Tetapi fakta berbicara lain, organisasi profesi advokat malah terlihat lebih asyik mengisi kas organisasi dari kursus advokat baru (PKPA), penyumpahan advokat, dan pendidikan hukum berkelanjutan. Padahal, roda organisasi profesi advokat menurut kaidah internasional seharusnya dibiayai dari iuran para anggotanya.

Keadaan diperparah lagi dengan adanya sistem wadah tunggal yang tidak memungkinkan adanya persaingan sehat di antara 15 organisasi advokat di Indonesia. Monopoli hal-hal yang disebutkan di atas menyebabkan konsentrasi finansial di satu organisasi yang kemudian menjadi sewenang-wenang dan tidak terkontrol lagi. Penulis sudah berulang kali mengingatkan bahwa sistem wadah tunggal tidak sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia yang pluralis.

Sekarang semuanya kembali kepada DPR dan pemerintah untuk segera mengesahkan RUU Advokat yang baru yang mengubah sistem wadah tunggal (single bar association) menjadi wadah jamak (multi bar association), sehingga ada persaingan sehat dan organisasi yang sehat yang dikelola oleh pimpinan yang berintegritas sajalah yang dapat bertahan dan didukung anggota-anggotanya.

Semoga dengan sistem wadah jamak ini pengawasan dan penegakan kode etik profesi advokat dapat berjalan dan praktik suap dan korupsi yudisial dapat dikurangi sedemikian rupa, sehingga mempunyai dampak yang signifikan terhadap pemberantasan korupsi pada umumnya.

Dengan pengadilan, hakim, polisi, jaksa, dan advokat yang berintegritas, jujur, dan profesionallah kita baru dapat menegakkan hukum dan mewujudkan negara hukum (rechtsstaat) yang sebenarnya.

FRANS H WINARTA Ketua Umum PERADIN; Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan

130

Page 131: Opini hukum politik 22 mei 2015

Kokohkan Dinasti, Cacat Negarawan MK

Koran SINDO14 Juli 2015

     

Tulisan Prof Mahfud MD yang berjudul “Politik Dinasti Kotor, tapi MK Benar“ (KORAN SINDO, 11/7/2015, hal. 1) sangat merangsang untuk didiskusikan. Alur pikir dalam deskripsi-analitisnya terkonstruksi secara tajam dan runtun, sebuah elaborasi yang clear berdasarkan perspektif hukum.

Sebagai ahli hukum tata negara, apalagi mantan ketua MK, tentu beliau sudah melumat seluruh isi konstitusi dengan berbagai problematika implementasinya, sehingga argumen pembenarannya terhadap putusan yang membatalkan Pasal 7 huruf r UU No. 8/2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) seperti tanpa cacat saja.

Menariknya, menurut keyakinan Mahfud MD, ketika memproses dan selanjutnya mengabulkan gugatan Siti Saleha Duka, warga Provinsi Sulawesi Barat yang merupakan kakak kandung Bupati Mamuju Suhardi Duka yang akan maju pilkada (Desember nanti) dengan harapan bisa menggantikan saudara kandungnya, seperti berada dalam situasi dilematis. Mereka bukan tidak menyadari bahwa politik dinasti itu merusak, namun karena anjuran UUD 1945 yang menjamin hak “setiap orang” warga negara untuk menjadi calon kepala daerah, maka MK tak boleh melarangnya.

Dalam kaitan itu, Mahfud MD memberikan penegasan: “Akan berbahayalah bagi perlindungan konstitusional setiap orang warga negara jika MK membiarkan pelarangan pencalonan hanya karena seseorang itu adalah keluarga petahana“. Pernyataan ini mengandung makna bahwa jika penyelenggaraan pemerintahan daerah kotor dan rusak akibat praktik politik dinasti di mana sejumlah kasusnya juga sudah kerap di bawah di MK, ternyata merupakan “kesalahan UUD 1945”.

Nurani dari kalbu terdalam pribadi-pribadi para hakim konstitusi itu “terkalahkan demi penegakan konstitusi”.  Jika para hakim MK hanya berdasarkan argumen normatif seperti itu, sungguh sangat disayangkan. Setiap orang yang sudah pernah membaca teks konstitusi pun “bisa layak jadi hakim di MK”. Karena sudah ditahu oleh seluruh warga bangsa yang membaca konstitusi bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih, atau untuk menjadi pejabat politik. Dan Pasal 7 huruf r UU tentang Pilkada itu sudah sangat jelas melanggar hak keluarga petahana yang berkeinginan mengambil alih kepemimpinan di daerah di mana keluarganya itu menjabat.

131

Page 132: Opini hukum politik 22 mei 2015

Tetapi apakah para hakim MK hanya melakukan verifikasi teks-teks baku yang ada dalam suatu UU bertentangan atau tidak dengan teks-teks baku nan kaku yang ada dalam UUD 1945? Sejatinya tidak.

Putusan mereka harus berdasarkan pertimbangan yang mendalam, kalbu dan pikiran yang jernih dan matang, serta harus mempertimbangkan implikasinya yang jauh ke depan bagi kepentingan masyarakat luas dan perbaikan penyelenggaraan negara. Maka itulah untuk jadi anggota MK tidak mudah, bukan sekadar bermodalkan ijazah sarjana hukum, melainkan juga sebagai figur yang berwawasan kenegaraan yang luas.

Sembilan hakim MK itu dipilih melalui seleksi dalam persaingan yang ketat. Yang harus dicamkan adalah bahwa para hakim MK itu telah secara tertulis dalam UUD 1945 (hasil amandemen) memenuhi syarat sebagai “negarawan”, kecuali dua syarat lainnya, yakni bersikap adil dan memiliki integritas.

Istilah “negarawan” berarti orang yang ahli dalam kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan); pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola masalah negara dengan kebijaksanaan dan kewibawaan (KBBI). Tidak ada posisi pejabat negara di negeri ini yang resmi disyaratkan oleh konstitusi seperti para hakim MK itu.

Maka oleh karena itu, pikiran, tindakan dan kebijakan atau keputusan yang mereka ambil harus memenuhi syarat sebagai negarawan dan berkeadilan itu. Namun, apa yang terjadi pada putusan “penghapusan Pasal 7 huruf r UU No 8/2015” itu, justru menunjukkan derajat posisi “kenegarawanan” para hakim MK berada di bawah para politisi.

Ini memang aneh. Padahal biasanya para politisi itulah yang sulit diyakinkan, apalagi umumnya kepala daerah terkait langsung dengan parpol asal mereka masing-masing, sehingga seharusnya merekalah yang akan jadi penghambat utama ketika agenda pelarangan politik dinasti itu dimasukkan dalam undang-undang.

Perjuangan untuk memasukkan pasal itu tidak mudah dan sangat lama melalui perdebatan yang alot di mana substansi yang jadi pertimbangan putusan MK itu juga sudah dibahas panjang lebar dengan berbagai pakar yang berkompeten baik di DPR, DPD maupun di pihak pemerintah. Pertimbangan utamanya adalah bagaimana agar demokrasi melalui pilkada berlangsung secara fair, berkeadilan, dan secara bertahap menjadikan pemerintahan baik dan bersih. Bahkan lebih dari itu, sebenarnya masih juga diperlukan bentuk operasional kebijakan pengelolaan pemerintahan di daerah yang terbebas dari unsur nepotisme.

Tetapi begitulah faktanya. “Para negarawan” justru menjadi pelanggeng (potensi) kejahatan dalam pengelolaan negara di tingkat daerah. Ini sungguh-sungguh di luar nalar sehat-normal, utamanya bagi pihak-pihak yang ingin melihat negara ini dikelola lebih baik. 

***

132

Page 133: Opini hukum politik 22 mei 2015

Ada dua catatan penting yang seharusnya dipertimbangkan oleh para hakim MK. Pertama, berangkat dari keberadaan “negara” yang dianalogikan sebagai “tubuh manusia” yang harus hidup sehat. Misalnya saja, ada bagian tubuh dalam diri seorang manusia yang mengalami penyakit atau kerusakan organ, di mana dokter telah mendeteksi penyakitnya dan rekomendasikan agar segera diamputasi. Karena jika tidak maka akan merambah atau melumpuhkan bagian-bagian tubuh yang lain, bahkan mungkin sambil membawanya pada kematian (ajal).

Pembiaran bagian tubuh yang sudah mulai membusuk itulah sebagai analogi dari putusan pengukuhan politik dinasti oleh MK. Maka tidak heran kalau sebagian anggota Komisi II DPR bernada kesal terhadap putusan “para negarawan” itu, dengan menyatakan antara lain, “MK harus bertanggung jawab kalau praktik politik dinasti akan kian tumbuh subur di negeri ini“. Maklum mereka yang terlibat dalam pergulatan panjang pembahasan RUU Pilkada, di mana berdasarkan fakta lapangan sudah mengarah pada kecenderungan bahwa pengelolaan daerah sudah makin terkonsentrasi pada kelompok-kelompok keluarga tertentu saja.

Kita pun, dengan fenomena itu, membayangkan demikian set back-nya pengelolaan negara ini,dengan fenomena munculnya sistem feodalisme baru berwatak monarkis di tingkat lokal. Konsentrasi kekuasaan di tingkat lokal yang hanya akan secara bergantian dijabat oleh keluarga dekat, ditambah dengan akumulasi materi yang terus akan berlimpah.

Fakta lapangan yang bukan rahasia umum lagi memang menunjukkan pejabat kepala daerah yang terus saja memberi ruang besar pada barisan keluarganya dalam birokrasi, jabatan politik, maupun proyek-proyek atau bisnis; yang semuanya bisa digunakan untuk membeli suara rakyat banyak agar bisa terpilih kembali (atau keluarganya terpilih) baik pada jabatan kepala daerah maupun jabatan-jabatan politik lain seperti anggota DPRD, DPD, atau DPR. Pilkada serentak yang akan berlangsung pada Desember 2015 dan 2017 serta pileg dan pilpres 2019 nanti, akan bagian dari momentum pemapanan politik dinasti itu.

Kedua, putusan para hakim MK sebenarnya juga bertentangan dengan hakikat keberadaannya yang harusnya “bersikap adil” (sebagai syarat konstitusi untuk jadi anggota MK). Dapat dipastikan bahwa putusan MK itu “tidak adil”. Soalnya, hanya mempertimbangkan hak keluarga pejabat yang jika dihitung berdasarkan hubungan setingkat ke atas, ke bawah, dan ke samping, maka paling banyak jumlah mereka 50 orang dalam satu daerah. Sementara jumlah masyarakat di suatu daerah bisa ratusan ribu, jutaan, bahkan sampai puluhan juta orang, yang semuanya sudah pasti sangat sulit bersaing dengan keluarga petahana yang memiliki dukungan segalanya dari pejabat petahana.

Namun, itulah putusan yang dianggap bersifat final dan mengikat. Ini sekaligus merupakan tantangan jika ingin mewujudkan agenda perbaikan pemerintahan yang baik dan bersih. Mungkin juga perlu segera untuk lakukan amendemen UUD 1945 untuk bisa memastikan terhentinya praktik politik dinasti.

133

Page 134: Opini hukum politik 22 mei 2015

Padahal jika para hakim di MK menghayati posisinya sebagai negarawan yang adil, sebenarnya merekalah yang memberi semangat konstitusi yang hidup tanpa perlu melakukan amendemen.

LAODE IDA     Sosiolog; Pengajar di Jurusan Sosiologi UNJ; Wakil Ketua DPD RI 2004-2014; Anggota Komisi Konstitusi 2003-2004

134

Page 135: Opini hukum politik 22 mei 2015

Jalan Tengah Konflik Golkar

Koran SINDO14 Juli 2015

   

Dualisme kepengurusan di Partai Golkar masih belum berakhir. Kedua kubu yang berseteru, yakni kepengurusan versi Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie dan versi Munas Jakarta pimpinan Agung Laksono masih bertarung habis-habisan di pengadilan.

Proses hukumnya sudah di tahap putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) yang memenangkan kubu Munas Jakarta. Para hakim PTTUN mengadili dan membatalkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 62/G/2015/PTUN-JKT tanggal 18 Mei 2015, yang meminta pembatalan SK Kemenkumham atas kepengurusan Agung Laksono. Putusan itu diambil dalam rapat permusyawaratan majelis hakim PTTUN Jakarta, Senin 6 Juli 2015, dan dibacakan pada Jumat 10 Juli 2015.

Selesaikah masalah? Tidak tentunya, karena kubu ARB menempuh kasasi ke Mahkamah Agung. Artinya, masih butuh waktu cukup panjang untuk menunggu keputusan berkekuatan hukum tetap agar ada kepastian kepengurusan versi siapa yang menurut hukum sah.

Kuadran Kolaborasi

Di tengah konflik, Golkar tetaplah Golkar. Mereka memiliki banyak politisi yang terbiasa dalam situasi konflik. Salah satunya adalah Jusuf Kalla yang “turun gunung” menjadi mediator sekaligus rekonsiliator para elite Golkar kedua kubu. JK mendorong dua kubu untuk mengubah kuadran negosiasi dari dominasi ke kolaborasi dan akomodasi.

Proses bermula pada 30 Mei lalu, JK memfasilitasi penjajakan adanya kesepakatan kedua kubu. Kedua pihak bersepakat persoalan hukum tetap berjalan sementara guna menghadapi pilkada, ditempuh jalan tengah yakni islah terbatas dalam penjaringan dan pencalonan kandidat Golkar di pilkada serentak.

Ada empat butir islah terbatas yang ditandatangani kedua kubu pada Sabtu (11/7). Pertama, tim penjaringan yang dibentuk bekerja sama menetapkan calon-calon kepala daerah. Kedua, jika kedua kubu memiliki calon yang berbeda dan tidak bisa disatukan secara musyawarah, dilaksanakan survei atau cara demokratis lain yang disetujui bersama. Yang paling tinggi suaranya kemudian ditetapkan sebagai calon yang disetujui. Ketiga, pengurus mulai DPP hingga DPD II mengajukan surat pendaftaran secara terpisah dengan satu pasang calon yang sama. Tim bersama akan ke KPU atau KPUD setelah mendapatkan penetapan dari tim penjaringan tingkat pusat. Keempat, menyepakati status kedua pengurus akan tetap berjalan hingga adanya keputusan pengadilan bersifat tetap atau dicapai islah penuh.

135

Page 136: Opini hukum politik 22 mei 2015

Jika kita maknai dalam perspektif komunikasi politik, JK dan elite Golkar sedang menempuh jalan tengah, yakni menunda penggunaan kuadran dominasi (menang-kalah) ke kuadran kolaborasi (menang-menang). Kesepakatan dan pembentukan tim bersama juga bisa menjadi prakondisi jika ada situasi tak mengenakan di salah satu kubu akibat kalah di pengadilan dengan putusan berkekuatan hukum tetap.

Kuadran akomodasi (kalah-menang) bisa berjalan dengan harapan ada upaya merangkul pihak yang kalah untuk tetap berada di Golkar. Risiko parpol yang berkonflik, berpeluang adanya kelompok penyimpang karena kecewa tak lagi terakomodir.

Problematis

Anthony Giddens pernah mencetuskan Adaptive Structuration Theory (1970), yang mendeskripsikan bahwa organisasi sesungguhnya diproduksi, direproduksi dan ditransformasikan melalui penggunaan aturan-aturan sosial. Aturan dibuat dan berfungsi sebagai perilaku anggotanya.

Para pengurus Golkar sebagai agen atau pelaku dalam krisis internal, butuh refleksivitas atau semacam kemampuan memonitor perilaku politiknya dalam butir-butir kesepakatan yang menjadi jalan tengah konflik di antara mereka. Kesepakatan politik kedua kubu ini masih problematis dalam konteks implementasinya.

Pertama, masalah saat melakukan penjaringan kandidat kepala daerah. Jika kebetulan calon yang diajukan sama dari kedua kubu, mungkin tak lahir masalah. Terbayang, jika kandidat yang mau diusung berbeda, pengondisian suasana psikopolitik tentu sangat tidak mudah. Iya memang bisa diatasi dengan melakukan survei, siapa kandidat yang lebih bagus. Sangat mungkin muncul kecemburuan salah satu kubu jika deretan nama kandidat jagoannya sedikit yang menang.

Kedua, selaras dengan cara pandang Giddens tadi soal aturan dibuat dan berfungsi sebagai perilaku anggotanya, mampukah Golkar menjadikan kesepakatan jalan tengah ini dalam prilaku para elite terutama untuk mengurai konflik?

Suasana tak kondusif karena konflik internal berlarut-larut menyebabkan Golkar terbelah hingga daerah. Pekerjaan rumahnya setelah ada kesepakatan adalah konsolidasi internal partai dari struktur partai paling atas hingga paling daerah. Pilkada serentak sudah dekat, kepengurusan di daerah pun memandang aspek kejelasan untuk mengurangi ketidakpastian. Bukan semata-mata bersepakat, melainkan ada pola bersama untuk mengatasi kekecewaan pengurus di daerah dan basis pemilih yang selama ini menjadi kantong-kantong kemenangan Golkar.

Ketiga, islah di tubuh Golkar baru sebatas islah terbatas. Diasumsikan tim bersama penjaringan kandidat sudah bekerja optimal dan bisa saja Golkar lolos dari lubang jarum tahap pendaftaran pilkada serentak. Namun demikian, konstelasi bisa saja berubah saat

136

Page 137: Opini hukum politik 22 mei 2015

putusan kasasi MA nanti. Diprediksi vonis putusan tingkat kasasi kalau normal kemungkinan September atau Oktober. Artinya, sudah dekat dengan masa penyelenggaraan pilkada. Masalah akan muncul jika terjadi relasi antagonistis yang memercik di antara kedua kubu. Akankah mereka bisa kompak dalam menghadapi persaingan antarpartai.

Salah satu kekuatan Golkar sesungguhnya ada pada pengalaman dan penguasaan teritorial. Secara kelembagaan maupun perseorangan, Golkar sangat berpengalaman memenangi sejumlah pilkada di banyak daerah. Masalah besar jika Golkar gagal ikut pilkada serentak. Jikapun ikut pilkada serentak, para elite Golkar berpotensi menjadi pelengkap penderita.

Idealnya semua pihak yang beperkara di PTUN, PTTUN hingga MA, harus berjiwa besar untuk menerima apa pun hasil pengadilan. Komunikasi politik sangat berperan penting dalam islah terbatas Golkar. Harus ada kesepahaman, persetujuan, dan menghormati pihak lawan.

Kesepakatan Golkar untuk menempuh jalan tengah seperti ini bagaimana pun lebih bagus dibandingkan PPP. Hingga sekarang, PPP belum menempuh mekanisme islah yang serius dengan melibatkan sosok dihormati sebagai mediator atau rekonsiliator. Masing-masing pihak saling menegasikan dan lebih fokus pada hasil pengadilan. Saatnya Golkar menunjukkan kapasitasnya dalam penyelesaian konflik internal yang mendera mereka.

DR GUN GUN HERYANTO Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta

137

Page 138: Opini hukum politik 22 mei 2015

Mengawasi Pilkada Serentak

Koran SINDO15 Juli 2015

 

Apakah penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak Desember 2015 ini akan dipenuhi keluarga petahana (incumbent) ? Pertanyaan berikutnya: apakah kontestasi politik pemilihan pemegang jabatan eksekutif tertinggi daerah ini akan dipenuhi pula oleh kandidat yang pernah menjadi narapidana?

Kedua pertanyaan ini muncul karena perubahan mendasar yang dihadirkan sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi pada 8-9 Juli lalu.

Ibarat luapan banjir bandang, rangkaian putusan salah satu pemegang kekuasaan kehakiman ini menerabas sejumlah pembatasan yang diatur dalam Undang-Undang No 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Dengan rangkaian putusan tersebut, hampir dipastikan pertarungan pemilihan kepala daerah serentak pada gelombang pertama akan lebih beragam. Artinya, tak akan ada lagi larangan bagi keluarga petahana ikut pemilihan kepala daerah. Begitu pula, mereka yang pernah menjadi terpidana terbuka ruang menjadi calon orang nomor satu di daerah.

Sekalipun demikian, tidak semua pihak yang berniat menjadi calon kepala daerah menyambut gembira putusan Mahkamah Konstitusi. Misalnya, salah satu pihak yang merasa amat dirugikan adalah peminat yang kebetulan saat ini sedang menjabat sebagai anggota legislatif. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XIII/2015, mereka yang sedang menjadi anggota DPR, DPD, dan DPRD mesti bersiap berhenti pada masa jabatannya begitu ditetapkan sebagai calon oleh KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota.

Ya, secara substantif, berbagai pihak yang concern terhadap penyelenggaraan pemilu kepala daerah pasti akan terus berdebat di sekitar alasan hukum Mahkamah Konstitusi saat mengabulkan permohonan pemohon. Misalnya, dalam soal pengabulan inkonstitusionalitas batasan bagi keluarga petahana yang diatur dalam Pasal 7 huruf r UU No. 8/2015 bahwa calon kepala daerah/wakil kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana.

Sebagaimana diketahui, ide dasar memunculkan ketentuan ini didasarkan kepada menjamurnya praktik politik dinasti di berbagai daerah. Akan tetapi, formula rumusan Penjelasan Pasal 7 huruf r UU No. 8/2015 mendorong berbagai kalangan untuk menguji konstitusionalitasnya ke Mahkamah Konstitusi.

138

Page 139: Opini hukum politik 22 mei 2015

Merujuk rumusan penjelasan, ”konflik kepentingan” dimaknai sebagai tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan satu tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana: yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda satu kali masa jabatan.

Hanya, semua keluhan yang diteruskan dan diarahkan ke Mahkamah Konstitusi dan semua pihak yang mendukung ide yang termaktub di dalam semua rangkaian putusan harus mulai dikanalisasi.

Bagaimana pun, lantaran alasan putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, akan jauh lebih produktif jika perdebatan dan energi diarahkan kepada langkah-langkah strategis yang mestinya dilakukan dalam menghadapi kontestasi politik lokal yang begitu masif.

Memperkuat Pengawasan

Putusan Mahkamah Konstitusi yang menghapus Pasal 7 huruf r UU No. 8/2015 tentu saja menghadirkan pekerjaan ekstra bagi penyelenggara pemilu. Dalam pengertian ini, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota serta pengawas pemilu pada tingkat serupa harus mampu bekerja keras menutup semua peluang yang diciptakan petahana untuk calon yang mereka dukung.

Bahkan, merujuk bentangan fakta yang tersedia, kemungkinan petahana memberikan keuntungan tidak melulu kepada pola hubungan sebagaimana terdapat dalam Penjelasan Pasal 7 huruf r UU No. 8/2015. Demi pertimbangan strategis menghindari segala kemungkinan ancaman hukuman, sangat mungkin petahana mendorong pihak lain yang sama sekali tidak terkait dengan pola hubungan dalam Pasal 7 huruf r dan penjelasannya.

Secara teknis, pasti jauh dari sederhana mengawasi pemberian dukungan kepada pihak lain yang dikehendaki petahana di luar pola hubungan kekerabatan. Bilamana menggunakan pola hubungan sebagaimana dimaksudkan dalam Penjelasan Pasal 7 huruf r, pola pengawasan dan pelacakan pun akan menjadi lebih mudah dilakukan penyelenggara pemilihan kepala daerah.

Namun di atas itu semua, yang jauh lebih membahayakan adalah keuntungan posisi petahana yang akan ikut bertarung lagi untuk periode kedua. Sadar atau tidak, kedudukan sebagai kepala daerah/wakil kepala daerah tetap saja lebih menguntungkan menuju proses pemilihan. Posisi sebagai petahana, baik secara langsung maupun tidak telah menempatkan calon petahana ada di posisi garis start paling depan.

Apalagi, dengan segala fasilitas jabatan yang melekat pada jabatannya, petahana bisa mendesain kemenangan pilkada melalui cara-cara yang sulit dikatakan melanggar hukum. Pasalnya, hampir semua langkah yang dilakukan dapat dibungkus dengan program atau anggaran pemerintah daerah yang dipimpinnya.

139

Page 140: Opini hukum politik 22 mei 2015

Seandainya pembaca sempat berkunjung ke daerah-daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak gelombang pertama, akan terlihat bagaimana persebaran baliho-baliho para petahana. Lautan baliho tersebut tidak hanya didominasi petahana yang berniat bertarung ulang untuk periode kedua, tetapi juga petahana yang hendak bertarung memperebutkan posisi yang lebih tinggi.

Dalam hal ini, petahana yang baru periode pertama menjadi gubernur/wakil gubernur akan menggunakan posisi tersebut untuk mendayung ke proses pemilihan kedua. Sementara itu, petahana kabupaten/kota juga menggunakan posisi mereka untuk bertarung menjadi gubernur/wakil gubernur.

Dengan contoh kemungkinan menyalahgunakan posisi tersebut, tantangan terberat adalah mengawasi para petahana menyalahgunakan posisi mereka sebagai kepala daerah untuk mempertahankan posisi mereka atau berebut posisi yang lebih tinggi. Karena itu, pola pengawasan harus dengan mengoptimalkan larangan bagi petahana sebagaimana ditentukan dalam UU No. 8/2015.

Sekiranya mampu mengoptimalkan larangan yang ada, hampir dapat dipastikan sulit bagi petahana memberikan keuntungan bagi dirinya sendiri dan termasuk bagi pihak lain yang potensial memanfaatkan posisi petahana. Bahkan, demi menjaga posisi yang sejajar dan adil dalam proses pemilihan, calon yang terbukti mendapatkan keuntungan dari petahana dapat dibatalkan sebagai calon.

Calon dari Legislatif

Sebagai buah dari putusan Mahkamah Konstitusi, pengawasan ekstra ketat diperlukan bagi calon yang berasal dari anggota legislatif. Dalam hal ini, titik pengawasan harus ditujukan pada memastikan calon yang sedang menjadi anggota legislatif benar-benar diberhentikan begitu yang bersangkutan ditetapkan sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah.

Catatan ini menjadi penting karena sejauh ini belum dapat dibaca secara jelas bagaimana proses pemberhentian anggota legislatif yang telah ditetapkan menjadi calon. Terkait hal ini, guna memastikan berhentinya anggota legislatif yang menjadi calon, partai politik tempat bernaung sang calon segera mengajukan pemberhentian ke KPU. Atau yang jauh lebih sederhana, keputusan KPU yang menetapkan calon sekaligus dimaknai sebagai permohonan berhenti sehingga begitu ditetapkan sebagai calon, KPU dengan segera memulai proses pergantian anggota legislatif tersebut.

Jika hal ini tidak dipersiapkan secara cepat, sangat mungkin akan ada rekayasa untuk menunda-nunda pemberhentian. Akibatnya, pemilihan selesai namun pemberhentian dan pergantian belum terjadi. Jikalau yang terjadi calon dari anggota legislatif kalah, pemberhentian dan pergantian sangat mungkin tak akan terjadi.

140

Page 141: Opini hukum politik 22 mei 2015

Terlepas dari itu semua, putusan Mahkamah Konstitusi tentu membuat pengawasan menjadi lebih berat. Namun, tanpa putusan itu pun, pengawasan pemilihan kepala daerah tetap jauh dari sederhana. Karena pemilihan langsung kepala daerah merupakan keinginan mayoritas, demi kualitas pemilihan dan hadirnya pemimpin daerah yang lahir dari sebuah proses yang beradab, semua pihak harus ikut serta melakukan pengawasan.

Bagaimana pun, melihat rentetan bentangan empirik yang ada, pengawasan oleh penyelenggara pemilu jauh dari cukup. Karena itu, mari berpartisipasi mengawasi pemilihan kepala daerah yang segera hadir di hadapan kita.

SALDI ISRA Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO), Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang 

141

Page 142: Opini hukum politik 22 mei 2015

Melarang Parsel Lebaran

Koran SINDO16 Juli 2015

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setiap menjelang Lebaran menghimbau agar pegawai negeri dan penyelenggara negara (pejabat negara) tidak menerima parsel.

Ia dilarang karena termasuk gratifikasi seperti diatur dalam Pasal 12B UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi). Larangan menerima parsel bagi pejabat negara karena dapat memengaruhi jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Mereka bisa tergoda melakukan menyalahgunakan wewenang saat pemberi parsel memiliki kepentingan dengan tugas dan kewajibannya.

Dalam pemberian gratifikasi, umumnya pemberi tidak punya maksud tertentu atau ada permintaan agar penerima melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu terkait jabatannya. Ia memberikan barang atau jasa sebagai ucapan terima kasih atas bantuan yang diterima. Itulah yang membedakannya dengan suap sebagaimana diatur dalam Pasal 5 sampai Pasal 12 UU Korupsi. Saat pemberian atau janji memberikan barang atau jasa, sudah ada kesepakatan untuk melakukan sesuatu yang berkaitan dengan tugas dan kewajiban pejabat negara. Maka itu, pemberi dan penerima suap harus dipidana karena sejak awal sudah punya  maksud jahat (mens rea).

Kerugian negara yang ditimbulkan penerimaan gratifikasi dan suap, adalah terabaikannya tugas dan kewajiban pejabat negara dengan melakukan penyalahgunaan wewenang. Pada gilirannya akan merugikan keuangan atau perekonomian negara, karena penyalahgunaan wewenang oleh pejabat negara yang menerima gratifikasi atau suap akan berdampak pada tidak berjalanannya tatanan penyelenggaraan negara. Keputusan yang diambil tidak dilaksanakan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, sehingga pada akhirnya berpotensi merugikan negara. Itulah substansi larangan bagi pejabat negara (pegawai negeri sipil dan penyelenggara negara) untuk menerima gratifikasi, termasuk dalam bentuk parsel Lebaran. 

Meluruskan Tradisi 

Memberikan parsel menjelang atau sesudah Lebaran merupakan tradisi dalam kehidupan masyarakat. Di dalamnya selalu ada motif, ada yang dimaksudkan untuk memperkukuh silaturahim dengan rekan kerja, sahabat, atau dengan sanak keluarga. Ada juga yang motifnya untuk mendapatkan perhatian dari atasan atau pejabat negara

142

Page 143: Opini hukum politik 22 mei 2015

tertentu. Biasanya dilakukan oleh pebisnis yang punya kepentingan dengan jabatan pejabat  negara. Motif seperti inilah yang dilarang dalam UU Korupsi. 

Saling memberi parsel sudah telanjur berkembang dalam kehidupan masyarakat negeri ini.  Tradisi itulah yang perlu diluruskan, sehingga UU Korupsi menggolongkan parsel sebagai gratifikasi jika diberikan kepada pejabat negara sebagai konsekuensi dari jabatan yang disandang. 

Tentu tidak sederhana mengantisipasinya lantaran memiliki sejarah yang panjang. Ia lahir dalam kondisi masyarakat plural yang memandang pemberian sesuatu secara sukarela kepada kawan sejawat atau atasan sebagai hal yang lumrah untuk membangun silaturahmi. Hanya, perkembangan kehidupan masyarakat menunjukkan lain, seiring dengan gencarnya membangun pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Parsel yang semula sukarela untuk menjalin kekerabatan, justru menjadi wajib yang tertata dalam kurun waktu tertentu.

Pemerintahan yang bersih bagi pejabat negara, bukan sekadar melepaskan diri dari jebakan pelanggaran hukum karena menerima gratifikasi, melainkan dapat membawa pesan dan harapan si pemberi kepada penerima, meskipun tidak dinyatakan secara langsung. Ada pula aparatur sipil negara yang memberi parsel kepada pimpinannya di kantor atau sesama aparatur atau penyelenggara negara.

Wajar jika pejabat negara yang terlibat dalam pemberian dan penerimaan parsel harus bersiap ”dicurigai” publik. Tetapi di luar pejabat negara, silakan memberi dan menerima parsel Lebaran tetapi dengan maksud membagi kegembiraan karena tidak digolongkan gratifikasi, terutama jika diberikan kepada orang yang kurang mampu. 

Pelaporan Gratifikasi 

Imbauan KPK kepada pejabat negara agar tidak menerima parsel bukan tanpa makna. Selain  dilarang dalam UU Korupsi sebagai salah satu cara mencegah perilaku korupsi, juga filosofinya mendidik pejabat negara untuk berlaku jujur dengan melaporkannya kepada KPK apabila menerima sesuatu dari orang lain. Untuk memaknai Idul Fitri, sebaiknya pejabat negara yang memiliki kehidupan ekonomi yang lebih baik, memberikan parsel kepada orang  miskin. 

Bagi pejabat negara yang telanjur dikirimi parsel ke rumahnya, Pasal 12C UU Korupsi mewajibkan agar dilaporkan kepada KPK. Penyampaian laporan paling lambat 30 hari kerja, terhitung sejak tanggal gratifikasi diterima. Paling lambat 30 hari sejak laporan diterima, KPK wajib menetapkan gratifikasi menjadi milik penerima, atau milik negara.

Filosofi pelaporan penerimaan gratifikasi pada hakikatnya mendidik pejabat negara berperilaku jujur dan bersih, sehingga gratifikasi yang dilaporkan ke KPK tidak akan membuat penerima gratifikasi diproses hukum. Malah, KPK akan memberikan

143

Page 144: Opini hukum politik 22 mei 2015

penghargaan sebagai instrumen untuk memotivasi pejabat negara terhindar dari jebakan  gratifikasi yang dapat memengaruhi tugas dan kewajibannya. Penerima diproses hukum kalau gratifikasi yang diterima tidak dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari kerja sejak gratifikasi diterima, kemudian ada yang melaporkan ke penyidik kepolisian, kejaksaan, atau KPK. 

Siapkah pejabat negara melaporkan parsel yang diterima sesuai jangka waktu yang ditentukan? Melihat praktik dan pengalaman empiris selama ini, amat susah penerima melaporkan parsel yang diterima kepada KPK. Beragam alasan bisa muncul, meskipun KPK memberikan kemudahan yang dapat dilaporkan melalui situs KPK. Misalnya merasa kerepotan atau dianggap memerlukan biaya, padahal harga parsel yang diterima tidak seberapa. 

Bagi penerima parsel yang kemudian tidak melaporkannya kepada KPK, sama artinya  dengan membuka peluang untuk menyuburkan praktik suap. Apalagi kalau si pemberi memiliki kepentingan dengan kewajiban dan tugas pejabat negara yang penerima parsel. Yang perlu didorong adalah partisipasi masyarakat agar berani melaporkan pejabat negara yang menerima parsel. Terutama setelah kewajiban untuk melaporkan kepada KPK melewati batas waktu, sebagai bentuk penjeraan kepada pemberi dan penerima. 

Untuk meredam kegelisahan pejabat negara dari jebakan parsel, sebaiknya juga tidak dipertentangkan dengan ”budaya masyarakat”. Dalam realitasnya, pemberian parsel bisa saja dibungkus dengan pesan-pesan silaturahmi, tetapi secara terselubung ingin memengaruhi pejabat negara menyimpang dari tugas dan kewajibannya sebagai abdi negara.

Jalan terang untuk mencegah perkembangan gratifikasi, sebaiknya dilakukan dengan memberikan perlindungan yang memadai bagi penerima. Niat baik penerima gratifikasi melapor kepada KPK, terutama pada gratifikasi yang tidak diketahui siapa pemberinya, bahkan sama sekali tidak pernah diminta, sebaiknya dimudahkan agar lebih memotivasi mereka berbuat jujur.

Meredam kultur bukan perkara mudah, perlu gerakan besar di masyarakat bahwa pemberian parsel atau hadiah apa pun kepada pejabat negara akan merusak tatanan pemerintahan. Akan lebih terhormat jika menumbuhkan ”budaya malu” menerima gratifikasi.  Selamat Idul Fitri 1436 H, mohon maaf lahir-batin. 

MARWAN MAS Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar

144

Page 145: Opini hukum politik 22 mei 2015

Tantangan Rhoma

Koran SINDO22 Juli 2015

Tiba-tiba Raja Dangdut, Rhoma Irama, mengejutkan jagat politik Indonesia di pengujung Ramadan. Ia mendeklarasikan partai politik baru, Partai Idaman (Islam, Damai, dan Aman).

Sontak banyak kalangan terheran-heran dengan langkah Rhoma yang pernah digadang-gadangkan sebagai calon presiden (capres) oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada Pemilu 2014 yang lalu. Pertanyaan pun kemudian muncul di benak banyak orang.

Apakah pendirian partai baru tersebut benar-benar merupakan ijtihad politik dari pelantun lagu-lagu dangdut bergenre religi tersebut atau sebenarnya tidak lebih dari sekadar ekspresi kekecewaan politiknya atas kegagalannya melaju sebagai capres? Dan bagaimana tantangan partai ini di Pemilu 2019 yang akan datang?

Menjual Rhoma

Setiap partai politik pendatang pasti akan dihadapkan dengan bagaimana cara memperoleh ceruk pasar di tengah persaingan partai-partai politik lainnya yang sudah lebih dulu mendapatkan ceruk pasarnya. Kalau sudah mendapatkan ceruk pasarnya, langkah berikutnya adalah bagaimana ia mampu merebut ceruk-ceruk pasar lain sehingga ceruk pasarnya semakin membesar.

Dalam perspektif marketing politik, khususnya elemen produk politik, untuk mendapatkan ceruk pasar sebuah partai politik, apalagi yang merupakan pendatang, harus memiliki produk politik yang layak jual. Produk dalam konteks ini adalah person atau individu atau bisa juga program atau partai politik itu sendiri.

Dalam konteks person atau individu, Partai Idaman tampaknya akan menjadikan Rhoma Irama sebagai jualan utamanya. Harus diakui bahwa Rhoma memiliki magnet politik yang cukup besar. Popularitasnya sebagai penyanyi dangdut di kalangan publik Indonesia tidak dapat terbantahkan. Hampir semua kalangan, dari muda sampai tua, laki-laki dan perempuan, umumnya mengenal sosok yang kerap juga disebut Bang Haji itu.

Atas dasar popularitasnya itu, Rhoma dan para pendiri Partai Idaman tampaknya mempunyai optimisme yang cukup besar untuk membawa kesuksesan partai ini. Namun, agaknya yang tidak cukup disadari oleh mereka adalah bahwa tingkat popularitas tidak berbanding lurus dengan tingkat elektabilitas. Dengan kata lain, popularitas Rhoma sebagai penyanyi dangdut tidak berarti sama dengan tingkat elektabilitasnya sebagai calon presiden.

145

Page 146: Opini hukum politik 22 mei 2015

Orang mungkin tahu siapa sosok Rhoma sebagai penyanyi dangdut, tetapi belum tentu akan memilihnya sebagai capres. Kenyataannya tingkat elektabilitas Rhoma di pemilu tidak segegap gempita popularitasnya. Partai berlambang Kakbah, PPP, misalnya, pernah berniat mencapreskan Rhoma, tetapi karena tingkat elektabilitasnya berada di bawah ketua umum ketika itu, Suryadharma Ali, niat itu pun urung dilakukan. PKB sendiri yang sebelumnya telah menyatakan siap mencapreskan Rhoma pada akhirnya juga membatalkannya, boleh jadi karena pertimbangan elektabilitasnya itu.

Dalam konteks ini, Rhoma mungkin dapat dibandingkan dengan KH Zainuddin MZ yang pernah mendirikan partai baru ketika keluar dari PPP, yaitu Partai Bintang Reformasi (PBR). Meski popularitasnya sangat tinggi dengan julukan dai sejuta umat karena massa yang selalu berjubel saat menghadiri ceramah-ceramahnya, tetapi ternyata tidak sebanding dengan tingkat elektabilitasnya. Partai yang didirikannya pun pada akhirnya tidak dapat bertahan lama.

Faktor Diferensiasi

Salah satu faktor penting bagi sebuah partai pendatang untuk dapat bersaing dengan partai-partai pendahulunya adalah masalah diferensiasi. Hal ini kian menjadi penting dalam sistem multipartai seperti yang berlangsung di Indonesia. Apakah partai pendatang tersebut mampu melakukan positioning di tengah-tengah partai lainnya dengan karakteristik pembedanya yang jelas. Inilah tantangan pertama yang mesti ditaklukkan sehingga bisa meraih pasar yang ditargetkan.

Masalahnya, faktor diferensiasi inilah yang justru menjadi salah satu problem besar dalam kehidupan partai di republik ini. Ada banyak partai yang didirikan, entah yang sudah kawakan maupun yang masih baru, tetapi antara satu dan yang lain tidak terdapat diferensiasi yang signifikan. Sejauh ini yang dapat dibedakan baru sebatas nama, logo, dan warnanya saja. Di antara partai-partai yang disebut sebagai partai nasionalis seperti Golkar, PDIP, Demokrat, misalnya, kita sulit menemukan faktor pembeda selain pada nama, logo, dan warnanya.

Dalam konteks ini, partai pendatang bentukan Rhoma Irama, Idaman, jelas tidak akan dapat lepas dari problem tersebut. Partai ini akan kesulitan untuk memosisikan dirinya dari partai-partai pendahulunya. Tentang identitas kepartaian yang menegaskan sebagai partai Islam, misalnya, Partai Idaman akan berhadapan vis-a-vis dengan partai Islam semisal PKS, PPP, dan PBB yang telah memiliki basisnya masing-masing.

Dari sudut pandang ini, tampaknya Partai Idaman akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan basis massa (umat Islam) yang telah terbagi kepada ketiga partai pendahulunya tersebut. Kecuali Partai Idaman mampu menawarkan model keislaman yang berbeda dengan yang ditawarkan partai rivalnya itu dan sekaligus memberikan daya tarik tersendiri di kalangan umat Islam Indonesia. Tentu ini merupakan pekerjaan yang sangat tidak mudah dilakukan.

146

Page 147: Opini hukum politik 22 mei 2015

Demikian pula tentang klaim partai pendatang ini yang meskipun berasaskan Islam tetapi bersifat terbuka untuk semua pihak, termasuk kalangan non-muslim. Penegasan seperti ini telah dilakukan oleh pendahulunya, PKS, tetapi agaknya tidak cukup berhasil, bahkan dalam derajat tertentu memicu konflik internal di antara para kader. Karena itu, meskipun secara teoretis mudah diucapkan, dalam praktiknya sulit dilakukan. Rhoma juga akan mengalami hal yang tidak akan jauh berbeda jika melakukan itu.

Lagi pula di luar PKS, ada partai lain, yang sekalipun tidak secara tegas menyatakan berasaskan Islam, melainkan nasionalis, tetapi tetap tidak dapat dilepaskan dari umat Islam, seperti PKB dan PAN. Kedua partai ini jelas berbasis massa Islam, di mana yang pertama terkait dengan ormas Islam terbesar, NU, dan yang kedua dengan Muhammadiyah. Meski tidak diakui secara terang-terangan, sulit disangkal kebenarannya.

Dari penjelasan tersebut, jelas tantangan Partai Idaman sebagai partai pendatang di Indonesia akan sulit untuk mendapatkan ceruk pasarnya. Kemungkinan besar partai ini akan kerepotan untuk melakukan apa yang dalam marketing politik disebut dengan segmentasi mengingat pasar politiknya yang sempit. Kita tidak tahu apakah Rhoma dan para koleganya di Partai Idaman telah memikirkan masalah tersebut ataukah tidak.

Sebagai publik, tentu kita hanya bisa wait and see bagaimana langkah partai pendatang ini ke depan. Jika ternyata pendirian partai ini tidak dipersiapkan melalui pertimbangan yang matang, boleh jadi sikap skeptis publik yang menduga langkah ini hanya sekadar ekspresi kekecewaan sulit dibantah.

IDING ROSYIDIN Kaprodi Ilmu Politik dan Pengajar Komunikasi Politik FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

147

Page 148: Opini hukum politik 22 mei 2015

Politik Normalisasi Amerika Serikat

Koran SINDO22 Juli 2015

Presiden Barack Obama mungkin adalah orang yang paling tidak populer saat ini di Amerika Serikat (AS) terkait normalisasi hubungan politik dengan Kuba dan Iran.

Politisi dari kubu Republik adalah yang terdepan menyerang kebijakan normalisasi terhadap dua negara tersebut. Alasannya, keyakinan bahwa dua negara tersebut tidak melakukan perubahan apa pun terkait demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Pernyataan itu sejalan dengan laporan HAM Amerika yang terbit pada minggu lalu. Laporan ini biasanya menjadi rujukan bagi organisasi, baik organisasi politik atau bukan, untuk menindaklanjuti atau menghentikan hubungan kerja sama dengan negara-negara yang teridentifikasi sebagai pelanggar HAM. Ini mungkin ironis karena di sisi lain AS juga dianggap sebagai pelanggar HAM karena aksi-aksi militer mereka di beberapa negara Timur Tengah dalam sepuluh tahun terakhir ini.

Terlepas dari paradoks tersebut, laporan yang dikeluarkan Departemen Luar Negeri AS telah mengecam Kuba karena tidak memberikan izin kepada tokoh-tokoh politik yang beroposisi kepada pemerintahan Kuba untuk masuk ke Kuba atau mengganggu mereka ketika kembali ke sana.

Seperti kita ketahui bahwa kemudahan untuk pergi dari dan menuju Kuba dari AS adalah produk politik yang terjadi setelah berhasilnya negosiasi untuk menormalisasi hubungan dua negara atas fasilitasi Vatikan dan Kanada sejak tahun lalu.

Senada dengan kritik atas praktik demokrasi di Kuba yang dianggap minim, Iran juga disebutkan sebagai negara totaliter yang mengekang kebebasan berpendapat, menghukum orang tanpa melalui pengadilan yang terbuka, melakukan hukuman mati, atau melakukan intimidasi kepada lawan-lawan politiknya.

Saya tidak berusaha untuk mendukung atau membantah isi laporan tersebut karena dalam urusan diplomasi segala sesuatu adalah politis; pasti terkait langsung atau tidak dengan pilihan kebijakan di dalam maupun luar negeri. Isi laporan baik atau buruknya akan bergantung pada kepentingan politik si pembuat laporan.

Ambil contoh keterlambatan laporan HAM yang baru disampaikan pada minggu lalu. Foreign Assistance Act of 1961 Section 116 (d) sebetulnya telah mensyaratkan administrasi pemerintahan AS untuk mengirimkan kepada Kongres sebuah laporan penilaian praktik HAM seluruh negara di dunia setiap tanggal 25 Februari.

148

Page 149: Opini hukum politik 22 mei 2015

Obama terlambat. Keterlambatan itu mengundang kecaman dari publik di AS sekaligus sinisme bahwa laporan tersebut akan dipengaruhi oleh hasil perundingan yang sedang berlangsung, terutama dengan Iran. Bila perundingan itu gagal, apakah laporan itu akan berubah menjadi lebih kritis atau lebih moderat? Di dalam negeri sendiri, laporan itu mungkin juga tidak banyak diketahui oleh masyarakat AS.

Dalam konteks hubungan dengan Kuba, survei Gallup selama 1999-2015 memperlihatkan bahwa masyarakat AS cenderung mendukung penataan kembali hubungan AS dan Kuba. Angka yang mendukung adalah rata-rata di atas 50% dibandingkan mereka yang menolak. Mereka yang menyetujui embargo ekonomi dihentikan terhadap Kuba juga berada di atas 50%.

Persepsi masyarakat terhadap Iran lebih negatif ketimbang kepada Kuba. Survei dari lembaga yang sama menunjukkan bahwa sejak 1990, Iran mendapatkan persepsi yang negatif di mata masyarakat AS. Angka mereka yang positif tidak lebih dari 20%. Persepsi yang lebih positif terhadap Iran paling tinggi terjadi pada 2004 sebesar 17%. Ini mungkin terkait pembukaan akses PBB untuk menginvestigasi fasilitas nuklir mereka, atau laporan intelijen AS yang menyebutkan Iran telah menghentikan upaya untuk membuat senjata nuklir di akhir 2003, atau mungkin juga karena AS tidak menemukan kaitan antara Iran dan serangan 9/11.

***

Apabila kita meletakkan gambar-gambar tersebut dalam satu cerita, mungkin kita akan bingung. Mengapa AS mau menormalisasi hubungan dengan dua negara yang di dalam laporan mereka sendiri dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan yang selama ini diagung-agungkan oleh politik Amerika? Banyak analis yang menganut paham idealis akan menganggap itu sebagai anomali, tetapi untuk mereka yang menganut paham rational choice (pilihan rasional) akan menganggapnya sebagai konsistensi.

Paham rational choice mengasumsikan bahwa individu mengambil pilihan dari ragam opsi yang ada berdasarkan ranking keuntungan yang mereka ketahui secara lengkap dan sesuai prinsip pilihan yang sifatnya transitif. Keputusan diambil berdasarkan pertimbangan ekonomi berbasis analisa cost-benefit.

Dalam pernyataan resmi yang disampaikan kepada masyarakat, Presiden Obama dan birokrasinya selalu mengatakan bahwa normalisasi terhadap Kuba dan Iran salah satu terobosan baru dalam diplomasi AS setelah mereka sampai pada kesimpulan bahwa pendekatan lama yang mengutamakan sanksi dan embargo tidak berhasil mengubah perilaku dua negara tersebut untuk mengadopsi nilai-nilai demokrasi liberal Barat.

AS berharap, dengan normalisasi hubungan diplomatik terhadap dua negara tersebut, demokrasi justru akan datang secara perlahan-lahan. Dua negara tersebut akan terpapar oleh nilai-nilai demokrasi Barat yang datang seiring dengan investasi yang ditanam di negara tersebut.

149

Page 150: Opini hukum politik 22 mei 2015

Pernyataan itu terdengar sangat demokratis dan egaliter, tetapi nyatanya itu bukan sesuatu yang baru dan mungkin juga bukan maksud sesungguhnya. Walau dengan kata yang berbeda, cost-benefit dari normalisasi dalam politik luar negeri salah satunya untuk mendistribusikan kekuatan regional dan membuka pasar baru untuk menampung produksi ekonomi.

Saya mengatakan itu bukan hal yang baru karena pada 1972, Richard Nixon, seorang presiden ke-37 dan politikus anti-komunis dari kubu Republik, juga telah menormalisasikan hubungan AS dengan Cina yang menganut ideologi sama dengan Kuba saat ini. Cina pada masa itu juga tidak lebih demokratis ketimbang Iran saat ini. Motivasi utama dari normalisasi dengan Cina saat itu adalah demi memecahkan kekuatan ideologi sosialis agar tidak lagi terpusat di tangan Uni Soviet. AS bisa langsung melakukan negosiasi dengan Cina terkait upaya untuk menstabilisasi politik kawasan, khususnya di wilayah Asia. AS bahkan bersedia mengakui Taiwan sebagai bagian dari Cina sebagai kompensasinya.

Dari sisi perdagangan, Cina adalah negara dengan penduduk terbesar di dunia yang dapat menyerap ekspor manufaktur dan investasi dari AS. Ini yang kemudian terbukti dari sejarah perdagangan antara Cina-Amerika sejak normalisasi pada 1972. Pada awal normalisasi nilai perdagangan mereka hanya USD4,7 juta, namun pada 2014 telah mencapai USD536,2 miliar. Cina bahkan telah menjadi negara dengan nilai perdagangan terbesar di dunia, mengalahkan AS saat ini (Dong Wang 2013).

Saya memandang bahwa hal yang sama akan terjadi pada hubungan AS dengan Iran dan Kuba walau pengawalan atas kebijakan normalisasi akan berbeda sesuai konteks dua negara tersebut. Menteri Luar Negeri AS John Kerry misalnya mengatakan bahwa tujuan dari negosiasi dengan Iran bukanlah untuk menyelesaikan masalah HAM, melainkan bagaimana membuat negara tersebut tidak dapat memproduksi senjata nuklir. Dengan kata lain, masalah politik dalam negeri Iran tampaknya tidak menjadi prioritas bagi AS.

Ini berbeda dengan Kuba yang mendapat sorotan, terutama dalam praktik penyelenggaraan HAM-nya. Amerika mengatakan bahwa mereka akan lebih serius ”mendampingi” Kuba untuk mereformasi sistem politiknya. Pernyataan ini tidak lepas dari banyak warga Kuba dan tokoh politik yang lari ke Amerika dan menggalang dukungan politik dari dalam sana.

Dari perkembangan ini, apakah artinya faktor moral dan nilai semakin tidak lagi punya tempat dalam politik luar negeri di dunia? Atau, memang faktor moral dan nilai sekadar menjadi jembatan bagi pencapaian kepentingan ekonomi semata?

DINNA WISNU, PhD Pengamat Hubungan Internasional; Co-founder & Director Paramadina Graduate School of Diplomacy @dinnawisnu 

150

Page 151: Opini hukum politik 22 mei 2015

Kekebalan Terbatas bagi Para Pengawas

Koran SINDO24 Juli 2015

Penersangkaan kepada dua Komisioner Komisi Yudisial, Suparman Marzuki dan Taufiqurrahman Syahuri, baru-baru ini mencuatkan kembali isu yang pernah populer yakni imunitas terbatas.

Hal ini pertama kali dicuatkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi saat dua pimpinannya, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, ditersangkakan oleh kepolisian. Namun, pernyataan itu tidak bergema lebih lanjut karena objek sangkaan atas keduanya bukan terkait dengan tindak-tanduk saat menjadi pimpinan KPK.

Tidak demikian halnya dengan penersangkaan dua komisioner KY. Seperti diketahui, keduanya memberi komentar atas perilaku Hakim Sarpin yang selain melahirkan putusan praperadilan yang kontroversial, juga tidak mau datang saat dipanggil KY. Dengan kata lain, segala komentar terkait yang kemudian dimuat di media massa, dapat dikatakan diucapkan dalam rangka tugas selaku komisioner.

Hampir sama nasibnya adalah seluruh komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 11 komisioner diadukan oleh pengacara yang mewakili Bareskrim karena melansir kronologi penangkapan Bambang Widjojanto di media massa awal tahun ini. Apakah konteks tindakan para komisioner Komnas HAM saat memublikasikan hasil investigasi mereka? Tentu saja dalam rangka tugas dan jabatannya. Tetapi, karena itu pula mereka diadukan. Untungnya, hingga saat ini Bareskrim belum menetapkan mereka sebagai tersangka.

Situasi serupa tapi tak sama dialami oleh penulis sendiri tahun lalu, saat dipanggil kepolisian sehubungan dengan pernyataan penulis di media massa. Yang menarik, pada kasus penulis, pelapor adalah kepolisian sendiri, minimal adalah orang yang sengaja disuruh kepolisian untuk melaporkan penulis. Apa konteks penulis berbicara miring tentang kepolisian, lagi-lagi dalam rangka tugas dan jabatan.

Sebenarnya cukup jelas pembeda antara berbuat dalam rangka tugas dan jabatan maupun yang tidak. Sudah ada komisioner yang mengalaminya. Misalnya, Azlaini Agus, mantan Komisioner Ombudsman yang dipolisikan karena melakukan kekerasan. Atau, ada pula kasus yang lebih serius, yakni yang menimpa pimpinan KPK Antasari Azhar. Ia ditersangkakan karena terlibat pembunuhan.

Masih tentang KPK adalah penersangkaan terhadap Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah. Keduanya disangka menerima suap, yang dalam hal ini tentunya terkait tugas dan

151

Page 152: Opini hukum politik 22 mei 2015

jabatan. Belum sempat dibuktikan di persidangan, kasus keduanya keburu di-deponir oleh Kejaksaan Agung gara-gara tekanan kuat masyarakat kepada Presiden SBY.

Seyogianya Galak dan Menggigit

Dalam konteks ketatanegaraan kita, kehadiran berbagai lembaga auxilliary (tambahan) umumnya dimaksudkan sebagai pengawas atas kinerja lembaga primer atau sebagai pendamping dari fungsi primer pemerintahan. Berbeda dengan lembaga-lembaga primer di pemerintahan, maka tudingan tidak berkinerja mudah kerap ditujukan kepada lembaga-lembaga auxilliary ini. Padahal, sejatinya, kinerja lembaga ini pada dasarnya adalah kinerja lembaga yang diawasinya. Atau, semakin baiknya kinerja lembaga/kementerian yang menjadi stakeholder-nya semakin baik pula kinerja lembaga tambahan ini.

Salah satunya dalam rangka mendorong kinerja lembaga yang diawasi, maka para pengawas ini memang cenderung untuk menjadi pihak yang kritis, tidak mudah percaya atau menerima apa adanya yang disuguhkan lembaga yang diawasi. Diharapkan, situasi itu akan lebih mendorong pihak yang diawasi untuk menampilkan unjuk kerja yang lebih baik dan bukan apa adanya.

Masalahnya, hal ini mudah pula menimbulkan friksi bahkan konflik. Situasi mengawasi-diawasi menjadikan munculnya situasi saling berhadapan. Maka, di satu pihak, menjadi galak dan menggigit adalah keniscayaan bagi para komisioner, di pihak lain itu menimbulkan perasaan tidak menyenangkan pada objek yang diawasi.

Selanjutnya, karena objek yang diawasi umumnya merasa diri sebagai organisasi yang lebih tua dan lebih besar, maka mereka tidak hanya tinggal diam tetapi juga melakukan semacam ”pembalasan”. Itulah yang pernah terjadi pada Komisi Yudisial saat Mahkamah Agung ”mengerjai” dengan cara menutup kantor, meminta MK untuk membatalkan sebagian kewenangan KY hingga menersangkakan Suparman Marzuki. Pada level yang berbeda, Polri juga pernah melakukan hal serupa kepada Kompolnas saat periode Adnan Pandu Pradja dkk. sebagai komisioner.

Apa yang terjadi jika para pengawas tidak galak dan menggigit? Ya tidak apa-apa juga. Namun, penilaian publik umumnya negatif terhadap komisioner yang kinerjanya hampir tak terdengar itu.

Mengapa Media Massa?

Memang, baru akhir-akhir ini saja terjadi kecenderungan menersangkakan komisioner akibat pernyataan di media massa. Dari situ, mudah muncul anggapan yang menyalahkan tindakan membuat pernyataan di media itu. Retorikanya, biarlah kritik untuk kalangan dalam saja, tidak usah dibawa keluar.

152

Page 153: Opini hukum politik 22 mei 2015

Dalam hal ini, tak ubahnya orang-orang lain, para komisioner juga memahami kekuatan dan pengaruh media. Seringkali, suatu masalah yang dicuatkan oleh media, kemudian menarik perhatian banyak orang dan, ujung-ujungnya, memperoleh pembenahan atau respons yang segera. Sebaliknya, jika tidak diberitakan, maka respons diduga akan lambat atau malah tidak ada perubahan sama sekali.

Terdapat pula alasan lain, yakni selaras dengan pemikiran bahwa publik berhak tahu atas apa yang terjadi di lembaga yang diawasi. Singkatnya, membawa suatu masalah ke media adalah suatu pilihan strategis yang sejalan dengan tugas pokok dan fungsi para pengawas. Terdapat pula pertimbangan strategis lain terkait dengan modalitas lembaga pengawas yang rata-rata lebih lemah dari yang diawasi, atau amat terbatas apabila dikaitkan dengan permasalahan yang menjadi perhatian.

Mengacu pertimbangan di atas, apakah tidak sepantasnya negara memberikan kekebalan atau imunitas terbatas? Negara seyogianya mempertimbangkan hal itu. Kekebalan terbatas tersebut, tentunya, akan menjadikan para komisioner merasa terlindungi saat memberikan pernyataan keras di media massa tanpa takut dilaporkan ke polisi dengan tiga sangkaan ”karet” yakni penghinaan, pencemaran nama baik, atau perbuatan tidak menyenangkan.

ADRIANUS MELIALA Komisioner Komisi Kepolisian Nasional

153