(sindonews.com) opini hukum-politik 5 maret 2015-10 april 2015
TRANSCRIPT
1
DAFTAR ISI
HAKIM SARPIN SELAMATKAN KPK
Romli Atmasasmita 4
TERORISME BUKAN REPRESENTASI ISLAM
Faisal Ismail 7 DOSEN HUKUM JADI MALU
Moh Mahfud MD 10
PELUANG PARTAI BARU
Anas Urbaningrum 13
AHOK, DPRD, ETIKA, DAN PRIORITAS
Bambang Soesatyo 16
PROVOKASI NETANYAHU
Dinna Wisnu 19
RAPBD DAN CHECKS AND BALANCES
W Riawan Tjandra 22 KRIMINALISASI DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI
Romli Atmasasmita 25
ANTARA PAHLAWAN DAN PECUNDANG
Bambang Usadi 28
ETIKA PENEGAKAN HUKUM
Janedjri M Gaffar 32
TURBULENSI POLITIK PARTAI GOLKAR
Firdaus Muhammad 35
DEMOKRASI JALAN KORUPSI
Moh Mahfud MD 38 JANGAN INTERVENSI KEDAULATAN HUKUM INDONESIA!
Firmandez 41
DIPLOMASI PERTAHANAN SEBAGAI ALAT KEBIJAKAN LUAR
NEGERI Rodon Pedrason 45
MELAWAN BEGAL POLITIK DAN MANDAT PALSU
Bambang Soesatyo 49
2
GOLKAR DI PERSIMPANGAN JALAN
Gun Gun Heryanto 52
PARPOL DI KEMENKUMHAM
Margarito Kamis 55 BERAPA APBN UNTUK PARPOL?
Anas Urbaningrum 58
PELAJARAN DARI KISRUH RAPBD DKI
M Alfan Alfian 61
PEMBERIAN DANA PARTAI POLITIK
Bawono Kumoro 64
TEKNIK MEDIASI IDEAL KASUS PEMDA DKI VS DPRD
Frans H Winarta 67
REMISI BAGI KORUPTOR
Victor Silaen 70 HUKUM BAGI RAKYAT KECIL
Marwan Mas 73
PERPRES GOLKAR
Moh Mahfud MD 76
MENGULANG SKENARIO KUDATULI PDI PADA GOLKAR DAN PPP
Bambang Soesatyo 79
MENAKAR OTONOMI PARTAI POLITIK
Wasisto Raharjo Jati 83
KETEGASAN LEE KUAN YEW
Dinna Wisnu 86 MEMBENDUNG RADIKALISME DI DUNIA MAYA
Agus Surya Bakti 89
DISKREPANSI PELEMBAGAAN PARPOL
Gun Gun Heryanto 93
SOLUSI GOLKAR: AKHIRNYA MUNAS JUGA
Hajriyanto Y Thohari 96
HUKUM ISLAM MODERN
Moh Mahfud MD 99
MENGAPA SARPIN (TIDAK) MELANGGAR KUHAP?
Romli Atmasasmita 102
3
BAPAK BANGSA SINGAPURA ITU TELAH PERGI
Frans H Winarta 105
HAK ANGKET UNTUK KEMURNIAN DEMOKRASI
Bambang Soesatyo 108 IRONI PERDAMAIAN TIMUR TENGAH
Dinna Wisnu 111
MENGUATKAN KEMBALI CITA KEBANGSAAN
Anna Luthfie 114
REKOMENDASI ULAMA UNTUK PEMBERANTASAN KORUPSI
Romli Atmasasmita 118
PUTUSAN HAKIM BISA BERBEDA
Marwan Mas 121
GUBERNUR AHOK DI UJUNG TANDUK?
Tjipta Lesmana 124 RELAWAN DAN TIMSES MASUK BUMN?
Hendri B Satrio 127
KONSPIRASI POLITIK YASONNA LAOLY
Bambang Soesatyo 130
MASA DEPAN PENYELESAIAN KRISIS NUKLIR IRAN
Broto Wardoyo 134
MENANGANI ISIS DENGAN HUMANIS
Abdul Mu’ti 137
REFLEKSI KONFLIK DI TIMUR TENGAH
Dinna Wisnu 140 DUA SISI KOIN DIPLOMASI PERTAHANAN
Rodon Pedrason 143
PEMILIH JOKOWI YANG MULAI KECEWA
Moch Nurhasim 147
YAMAN DAN PERANG PROXY SAUDI-IRAN?
Indriana Kartini 150
PARTAI DEMOKRASI MINUS REGENERASI
Victor Silaen 153
KEKUATAN HUKUM DALAM PRAPERADILAN
Sudjito 156
4
Hakim Sarpin Selamatkan KPK
Koran SINDO
5 Maret 2015
Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah
undang-undang khusus pembentukan lembaga negara di luar lembaga-lembaga negara yang
telah dicantumkan dalam UUD 1945.
Pembentukan KPK dilatarbelakangi oleh lahirnya TAP MPR Nomor XI/1998 yang menuntut
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Pada masa itu ada kebutuhan mendesak
untuk melengkapi reformasi di bidang ekonomi, politik, dan di bidang HAM.
UU KPK 2002 telah memuat rambu-rambu hukum pembatas kewenangan pimpinan dan
pegawai KPK dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. KPK diposisikan sebagai
lembaga ad hoc yang memiliki tugas dan wewenang yang luar biasa (extra-ordinary) karena
korupsi telah diakui di Indonesia sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes).
Rambu-rambu hukum pembatas dalam UU KPK bertujuan agar KPK dalam melakukan tugas
dan wewenangnya tidak melakukan penyalahgunaan wewenang.
Ada beberapa rambu pembatas bagi KPK. Pertama, KPK merupakan lembaga negara
independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dan bebas dari pengaruh
kekuasaan mana pun. Kedua, KPK dalam melakukan tugas dan wewenangnya berdasarkan
lima asas: kepastian hukum yang harus diartikan bukan hanya menaati peraturan perundang-
undangan, akan tetapi juga kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan menjalankan tugas
dan wewenangnya; asas keterbukaan, asas akuntabilitas, asas kepentingan umum, dan asas
proporsionalitas dan harus dapat memahami penjelasannya.
Ketiga, pimpinan KPK yaitu lima orang, satu ketua merangkap anggota dan empat wakil
ketua merangkap anggota; harus bekerja secara kolektif; dalam mengambil keputusan yaitu
harus disepakati bersama dan disetujui bersama. Keempat, ada beberapa larangan terhadap
pimpinan KPK dan pegawai KPK, yaitu dilarang langsung maupun tidak langsung
berhubungan dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungannya dengan perkara tindak
pidana korupsi dengan alasan apa pun. Mereka juga dilarang menangani perkara tindak
pidana korupsi yang pelakunya mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam
garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dengan anggota KPK. Juga ada
larangan menjabat sebagai komisaris atau direksi suatu perseroan, organ yayasan, pengawas,
atau pengurus koperasi dan jabatan profesi lain atau kegiatan lain yang berhubungan dengan
jabatan tersebut. Kelima, KPK tidak berwenang mengeluarkan SP3.
5
Selain larangan- larangan tersebut UU KPK juga memandatkan kewajiban-kewajiban yang
harus dipatuhi pimpinan KPK, antara lain menegakkan sumpah jabatan.
***
Merujuk pada sejumlah larangan dan kewajiban sebagaimana disebut di dalam UU KPK,
tentu tidaklah mudah menjalankan tugas dan wewenang sebagai pimpinan dan pegawai KPK.
Apalagi sanksi melanggar larangan atau kewajiban tersebut adalah pemberhentian sementara
jika ditetapkan sebagai tersangka, dan jika terbukti melanggar ketentuan mengenai larangan
diancam pidana paling lama lima tahun dan diperberat dengan sepertiga dari ancaman pidana
pokok.
Rambu-rambu yang sering luput dari perhatian pimpinan KPK pada umumnya dan juga
masyarakat adalah status penyelidik, penyidik, dan penuntut pada KPK. Berdasarkan
ketentuan Pasal 39 ayat (3) dihubungkan dengan Pasal 43 sampai Pasal 52 UU KPK, maka
penyelidik, penyidik, dan penuntut tetap harus didasarkan UU KUHAP Tahun 1981 sebagai
payung hukumnya.
Kekecualian yang dibolehkan berdasarkan UU KPK (Pasal 39) adalah terbatas hanya pada
kewenangan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan saja serta kewenangan memerintah
terhadap penyelidik, penyidik, dan penuntut hanya pada pimpinan KPK, bukan lagi atasan
mereka di instansi asalnya. Penyidik dan penuntut pada KPK adalah mereka yang harus telah
diberhentikan sementara dari instansi asalnya, kemudian diangkat oleh pimpinan KPK.
Jika pimpinan KPK hendak mengangkat penyidik sendiri pada KPK maka mereka yang
diangkat harus seorang PNS yang telah memiliki sertifikat lulus sebagai penyidik dari Mabes
Polri yang disahkan oleh Dirjen Administrasi Hukum Umum atas nama Menteri Hukum dan
HAM. Jika syarat-syarat penyidik dan atau penuntut harus seorang jaksa tidak dipenuhi oleh
pimpinan KPK, seluruh hasil kinerja yang telah dilakukan oleh ”penyidik” atau ”penuntut”
adalah batal demi hukum sehingga hasil penyidikan dan pembuatan surat dakwaan menjadi
tidak mengikat lagi.
***
Dalam konteks uraian di atas, maka putusan hakim Sarpin dalam pertimbangannya tidak
mempertimbangkan semua uraian ketentuan normatif yang telah diuraikan di atas. Hakim
Sarpin hanya fokus pada tugas dan wewenang KPK (Pasal 6 huruf c) dihubungkan dengan
ketentuan mengenai subjek hukum dan objek hukum yang merupakan kewenangan KPK
(Pasal 11).
Sidang praperadilan perkara BG menguji apakah KPK berwenang melakukan penyelidikan
dan pemeriksaan terhadap BG, seorang anggota Polri dan pejabat Polri dengan
pangkat/jabatan eselon II berdasarkan keputusan Presiden, dan apakah perkara BG terkait
nilai kerugian negara sebesar di atas Rp1 miliar, dan apakah perkara BG adalah perkara
6
korupsi yang telah menarik perhatian masyarakat.
Kuasa hukum KPK dalam sidang praperadilan tidak dapat menunjukkan (bukan
membuktikan) bahwa dengan alat-alat bukti yang telah diperoleh, KPK berwenang
memeriksa subjek hukum dan objek hukum sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 11 UU
KPK.
Hakim Sarpin tidak mempertimbangkan tentang status hukum penyidik KPK dan tentang
asas kolektif pimpinan KPK. Seandainya hakim Sarpin berperilaku sama agresifnya dengan
pimpinan KPK Jilid III dan menempatkan status penyidik KPK yang memeriksa perkara BG
serta tentang asas kolektif pimpinan KPK dalam pertimbangan putusannya maka dapat
dibayangkan semua hasil kerja KPK Jilid III yang telah bertentangan dengan ketentuan
tersebut menjadi tidak sah dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Alhasil KPK akan
kebanjiran gugatan TUN dan perdata melebihi gugatan praperadilan yang kini tengah
dihadapi bukan saja oleh KPK, melainkan juga oleh penyidik Polri dan kejaksaan.
Berdasarkan uraian di atas, saya berkesimpulan bahwa hakim Sarpin telah menyelamatkan
KPK!
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran
7
Terorisme Bukan Representasi Islam
Koran SINDO
6 Maret 2015
Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama dalam pertemuan puncak di Gedung Putih
yang dihadiri 60 delegasi dari 60 negara mengatakan bahwa teroris dan terorisme tidak
identik dengan Islam dan bukan representasi Islam.
Dengan tegas Obama mengatakan, ”Para teroris itu tidaklah berbicara mewakili satu miliar
muslim di dunia. Mereka menggambarkan diri sebagai pejuang suci, namun sebenarnya
mereka adalah teroris.” (KORAN SINDO, 28/2). Selanjutnya Presiden AS itu menekankan
agar seluruh pemimpin negara di dunia lebih aktif mencegah radikalisme dan
terorisme. Ideologi, propaganda, perekrut, dan penyandang dana yang menghasut orang untuk
melakukan kekerasan harus ditangani.
Benang merah yang dapat ditarik dari pidato Obama itu teroris dan terorisme adalah musuh
bersama yang harus dilawan dan dikalahkan oleh semua bangsa di dunia ini. Teroris dan
terorisme adalah musuh bersama bangsa-bangsa beradab yang menegakkan perdamaian,
kedamaian, keadaban, dan peradaban.
Pidato Obama itu tentu tidak terlepas dari fenomena kekerasan dan ”kejahatan” gerakan
Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi. ISIS di bawah
komando al-Baghdadi secara sadis memenggal kepala beberapa jurnalis (termasuk jurnalis
AS), menawan 229 anak, melakukan pembunuhan terhadap orang-orang yang tidak
sealiran, menebar teror, menyebar kebencian dan permusuhan, serta melakukan pembantaian
yang mengerikan di Irak dan Suriah terhadap kelompok (termasuk anak-anak, kaum wanita,
dan orang-orang lanjut usia) yang tidak seideologi dengan mereka. Kutukan dari masyarakat
internasional terhadap kekejaman ISIS datang dari berbagai belahan dunia.
AS dan sekutu Baratnya (seperti Inggris, Prancis, dan Jerman) serta negara-negara Arab-
muslim saling bekerja sama melakukan tindakan dan ”serangan” terhadap basis kekuatan
ISIS. Komunitas Kurdi di Irak juga angkat senjata melawan kekejaman ISIS. Kota Kobani
yang semula jatuh ke tangan ISIS kini telah direbut kembali oleh para pejuang Kurdi dari
tangan ISIS. Serangan AS dan sekutu Baratnya dan negara-negara Arab-muslim sudah
memperlihatkan hasilnya yang menyebabkan kekuatan ISIS mulai melemah.
Khawarij, Azahari, Noordin M Top
Dalam jubah yang berbeda, ISIS dapat disamakan dengan gerakan kaum Khawarij di zaman
Islam klasik. Dengan memekikkan jargon ”la hukma illa Allah” (tidak ada hukum selain
8
hukum Allah), kaum Khawarij memaknai ayat itu menurut kepentingan ideologi mereka
sendiri dan memandang orang-orang di luar kelompoknya adalah halal darah mereka untuk
dibunuh. Orang-orang yang tidak sealiran dan tidak seideologi dengan mereka adalah halal
darah mereka untuk dihabisi nyawa mereka.
Kaum Khawarij adalah kelompok yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib karena Ali
menerima tahkim (arbitrase) dengan Muawiyah bin Abi Sufyan menyusul terjadi Perang
Shiffin. Salah satu korban gerakan radikalis-teroris Khawarij adalah Khalifah Ali bin Abi
Thalib (Khalifah Al-Rasyidin ke-4) yang mereka bunuh saat salat subuh di Masjid Kufah.
Momen yang sakral dan bersifat ilahiah itu dijadikan kesempatan oleh orang Khawarij untuk
menghabisi nyawa Khalifah Ali bin Abi Thalib. Dua pemimpin muslim lain yang juga
ditarget oleh kaum Khawarij untuk dibunuh adalah Muawiyah bin Abi Sufyan (gubernur
Syria) dan Amru bin Ash (gubernur Mesir). Tapi, Muawiyah dan Amru selamat dan aman
dari ancaman maut orang-orang Khawarij.
Kaum Khawarij dapat dipandang sebagai aliran atau kelompok teroris pertama dalam sejarah
Islam. Di Indonesia gerakan terorisme antara lain digerakkan oleh Dr Azahari dan Noordin M
Top. Keduanya sebenarnya adalah warga negara Malaysia, tapi melakukan operasi dan aksi
teror di berbagai tempat di Indonesia bersama para teroris di negeri ini.
Azahari dan Noordin dikenal sangat pandai dan mahir merakit bom. Inilah salah satu ”modal”
utama dan senjata ampuh Azahari dan Noordin dalam melancarkan aksi terornya. Azahari
dan Noordin pada masanya dapat dipandang sebagai inspirator, motivator, dan dinamisator
gerakan terorisme di Indonesia untuk kurun waktu yang cukup panjang.
Densus 88 mengintai dan memburu Azahari dan Noordin dari waktu ke waktu, tapi keduanya
dapat mengelak dan meloloskan diri. Azahari dan Noordin diidentifikasi sebagai gembong
teroris yang menginspirasi dan mengeksekusi serangkaian aksi pengeboman beberapa gereja
di malam Natal (tahun 2000), bom Bali (2002), bom Hotel JW Marriot (2003), bom Kedubes
Australia (2004), dan bom Mega Kuningan (2009).
Akhirnya Densus 88 pada 2005 melakukan pengepungan dan menembak mati Dr Azahari di
Batu (Malang, Jawa Timur). Dalam penggerebekan, pada 2009 Densus 88 juga menembak
mati Noordin M Top di Surakarta.
Kematian Azahari dan Noordin tidak menghentikan gerakan terorisme di negeri ini. Densus
88 terus berupaya memberantas terorisme agar masyarakat dapat hidup tenang, aman, dan
damai.
Bukan Representasi Islam
Islam adalah agama perdamaian dan kedamaian. Secara harfiah arti Islam itu sendiri adalah
keselamatan, kedamaian atau perdamaian, ketundukan, dan kepasrahan diri. Tidak ada satu
pun ayat Alquran (juga dalam kitab suci agama-agama lain) yang menyuruh dan mengajarkan
9
kepada para pemeluknya untuk melakukan terorisme, radikalisme, brutalisme, kekerasan,
kejahatan, perusakan, penyerangan, dan pembunuhan baik terhadap anggota umat seagama
maupun terhadap anggota jemaat tidak seagama.
Islam adalah agama yang mengajarkan kepada semua manusia tercipta salam (keselamatan
dan perdamaian) sesuai arti, esensi, visi, dan misi Islam itu sendiri. Dalam arti doktrin dan
praktik, Islam identik dengan kedamaian, perdamaian, keadaban, dan peradaban sebagai
tatanan kehidupan yang dibangun atas dasar moral kenabian dan etika ketuhanan.
Nabi Muhammad (nabi yang diutus oleh Allah untuk membawa dan menyiarkan agama
Islam) menyandang misi sebagai pembawa rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam),
bukan sebagai pembawa mudarat, bencana, malapetaka, dan laknat bagi alam semesta.
Presiden AS Barack Obama benar. Terorisme tidak identik dan bukan merupakan
representasi agama (Islam) dan tidak mewakili umat Islam. Timbulnya radikalisme,
ekstremisme, dan terorisme sama sekali tidak berasal dan tidak bersumber dari ajaran agama
yang sangat sakral dan bersifat ilahiah. Akar-akar radikalisme, ekstremisme, dan terorisme di
kalangan minoritas kelompok agama lebih disebabkan oleh eksklusivitas pemaknaan agama,
rigiditas penafsiran teks-teks kitab suci, truth claim (klaim kebenaran) agama secara picik,
sempit, dan berlebih-lebihan, kesenjangan sosial ekonomi, dan radikalisasi-politisasi-
ideologisasi agama.
FAISAL ISMAIL
Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
10
Dosen Hukum Jadi Malu
Koran SINDO
7 Maret 2015
Akhir pekan lalu, saat menunggu penerbangan ke Yogya, saya bertemu dengan Wakil Rektor
V yang juga mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Paripurna
Sugarda.
Pertemuan di Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng itu memberi kami kesempatan untuk
bertukar pikiran tentang keadaan hukum di Indonesia. Kami sama-sama galau melihat
perkembangan hukum yang dalam praktik sering dijadikan semacam pencak silat untuk
mencari kemenangan, bukan alat untuk menegakkan yang benar.
Sebagai pengajar bidang hukum Pak Paripurna mengaku malu melihat perkembangan hukum
di Indonesia dewasa ini. Bagaimana tidak? Hukum tidak mampu menunjukkan fungsi dan
perannya untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Indonesia diserang wabah korupsi;
pemberantasan korupsi bukannya menguat, tetapi justru semakin melemah.
Para lulusan fakultas hukum yang bersebaran di berbagai lembaga penegak hukum bukan
hanya tidak mampu menjadikan hukum sebagai panglima dalam perang melawan korupsi,
melainkan banyak di antara mereka yang selain terlibat korupsi juga memperkuat budaya
korupsi. Lihat saja, betapa banyak hakim, jaksa, polisi, pengacara, dan sarjana hukum yang
dijebloskan ke penjara karena korupsi.
Pertengkaran terbuka antara sesama ahli dan penegak hukum karena yang satu membela
koruptor, sedangkan yang lain memperjuangkan penghukuman terhadap koruptor sering kali
menghina akal sehat publik. Anehnya, dalam kasus korupsi yang lain mereka bisa bertukar
posisi, yang semula berdiri sebagai pembela perjuangan anti-korupsi, dalam kasus yang
berbeda bisa menjadi pembela koruptor dengan dalil yang tadinya dipakai lawan. Yang
semula membela koruptor kini tampil gagah membela lawan koruptor.
Logika bisa ditukar-tukar, tergantung pada order. Dalil bisa dipilih sesuai dengan posisinya.
Hati nurani dan akal sehat publik menjadi tak penting karena yang penting menang atau bisa
manggung. ”Saya malu, Pak, melihat keadaan ini. Saking gundahnya, kalau membimbing
mahasiswa, saya sering tidak terlalu masuk pada substansi tesis atau disertasi. Saya sering
lebih banyak mengetuk hati dan meminta janji agar setelah lulus dari fakultas hukum nanti
tidak ikut-ikutan korupsi,” kata Pak Paripurna.
”Saya bukan hanya malu, tetapi juga takut. Saya takut untuk memberi pendapat hukum dalam
kasus-kasus konkret karena pendapat yang rasanya benar nanti di pengadilan bisa dibalik
11
begitu saja oleh hakim, jaksa, atau pengacara sehingga kebenaran itu menjadi tak bernilai
bahkan sering dijadikan bahan untuk mengejek kita,” jawab saya.
Saya sendiri memang selalu menolak untuk tampil di pengadilan, misalnya menjadi saksi
atau ahli karena kesaksian dan keahlian sering ditekuk begitu saja di pengadilan. Kalau ada
orang mau berkonsultasi atau mau meminta nasihat hukum tentang kasus konkret yang
dihadapi saya sering menolak karena khawatir pendapat saya bisa berbalikan dengan
pendapat pengadilan dan dia jadi kecewa. ”Jangan saya, Anda cari pengacara profesional
saja,” demikian saya sering menjawab.
Saya bukannya bermaksud mengatakan bahwa perbedaan pendapat antarpihak itu salah.
Justru perbedaan antara jaksa, pengacara, dan ahli itu sangat penting dibeber secara terbuka
karena dari sanalah pencarian kebenaran bisa digali secara komprehensif. Masalahnya,
banyak yang bukan mencari benar, tetapi mencari menang dengan berbagai cara.
Nurani penegakan hukum sering dibuang begitu saja dari logika hukum yang memang bisa
dibangun dengan mencari-cari dalil yang logis. Dalam kasus korupsi, misalnya, filsafat, asas,
dan norma hukum sering kali dijungkirbalikkan untuk membela koruptor dan menguatkan
serangan terhadap lembaga-lembaga pemberantas korupsi.
Sebagai orang yang lama belajar hukum dan pernah duduk di lembaga penegak hukum, saya
tahu pasal-pasal hukum itu bisa saja dicari untuk membenarkan atau menyalahkan satu pihak,
tergantung pada apa yang diinginkan hakim. Seorang hakim, misalnya, kalau ingin
memenangkan seseorang bisa memakai pasal ini undang-undang nomor sekian, tapi kalau
mau mengalahkan atau menghukumnya bisa memakai pasal dan undang-undang bernomor
lain lagi. Pokoknya, semua ada pasalnya.
Oleh karena semua alternatif, mau menghukum atau membebaskan itu, selalu bisa dicarikan
dan selalu ada dalilnya, dalam memutus perkara ”keyakinan hakim” menjadi penentu
utama. Di antara banyak dalil yang bisa digunakan untuk membebaskan atau menghukum
seseorang itu seorang hakim harus bertumpu pada keyakinan dan bertanya kepada hati
nuraninya. Hakim harus bertanya pada hati nuraninya, mana yang paling tepat atau paling
mendekati kebenaran di antara berbagai alternatif yang dapat dijadikan vonis atas perkara
yang sedang ditanganinya.
Tapi, celakanya, kerap kali muncul putusan hakim yang dibuat bukan karena bisikan hati
nurani, melainkan karena kolusi. Putusan yang lahir dari kolusi itu kemudian dibungkus
dengan dalih ”itulah keyakinan hakim dan hakim tak boleh diintervensi”. Buktinya, banyak
hakim yang dihukum karena vonisnya yang korup. Banyak juga yang tidak bisa dijerat
hukum karena lihainya membungkus dengan pasal-pasal penguat yang dipilihnya secara
sepihak, tetapi putusannya sangat menusuk rasa keadilan.
Tidak jarang juga hakim membuat vonis-vonis jahat seperti itu karena berkolusi atau
bermafia ria dengan penegak hukum yang lain. Maka itu, bukan hanya Pak Paripurna,
12
melainkan semua dosen fakultas hukum harus merasa malu atas perkembangan dunia hukum
di negara kita sekarang ini.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
13
Peluang Partai Baru
Koran SINDO
10 Maret 2015
Demokrasi membuka ruang yang lapang bagi datang dan perginya partai politik. Sewaktu-
waktu partai politik bisa hadir, pada kesempatan lain bisa pula menghilang. Ada pula partai
yang dikenal nama dan keberadaannya, tapi sejatinya absen karena tidak terlibat dalam proses
yang menyangkut hajat publik. Jika eksistensi partai lazimnya terkait dengan aturan dalam
UU Partai Politik dan UU Pemilu, kehadiran partai lebih ditakar dari peran dan fungsi yang
nyata di dalam proses politik.
Kita akan menemukan paradoks pada jumlah dan kehadiran partai peserta pemilu sejak 1999.
Jika yang menjadi ukuran adalah peserta pemilu, tampak terjadi penyederhanaan karena
syarat dalam UU makin berat. Pemilu 1999 diikuti 48 peserta, 2004 ada 24, 2009 terdapat 38,
dan 2014 diikuti 12 kontestan. Namun, jika dilihat dari yang lulus ambang batas (threshold),
pada Pemilu 1999 ada 5 partai, 2004 ada 7, 2009 terdapat 9, dan 2014 menjadi 10 partai.
Kecenderungannya justru bertambah banyak.
Terkait dengan kehadiran partai, publik baru saja disuguhi lahirnya partai baru Partai
Persatuan Indonesia (Perindo). Kita juga mendengar analisis bahwa konflik Partai Golkar
berpotensi memunculkan partai baru. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga dirundung
pertentangan yang tak kalah serius. Ada juga suara lamat-lamat wacana pendirian partai baru
dari eksponen relawan Jokowi. Lalu, di mana peluang partai baru itu?
Partai Baru Pasca-Reformasi
Salah satu perubahan dramatis yang menggiring jatuhnya Orde Baru adalah menjamurnya
partai politik baru. Keran pendirian partai dibuka oleh UU Parpol yang terhitung cukup
”liberal”.
Pemilu pertama pasca-Orde Baru 1999 dimenangi PDI Perjuangan dengan angka yang
mencolok, 34%. Jawara lama, Partai Golkar, kempes tinggal 22,4%. Muncul partai baru
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang menyalip PPP di jalur partai Islam. Ada pula Partai
Amanat Nasional (PAN) yang menyebut diri lahir dari spirit Reformasi. PDI Perjuangan bisa
dikategorikan baru meskipun sejatinya ”lama” karena pada pemilu itu masih ikut PDI–sering
disebut ”PDI Soerjadi”–yang hanya meraup 0,33% suara.
Pemilu 1999 ditandai migrasi politik besar-besaran ke partai-partai baru, terutama PDI
Perjuangan dan PKB. PAN yang awalnya diramalkan bakal sukses ternyata masih sebatas
fenomena politik kota. Ada pula Partai Bulan Bintang (PBB) yang mengidentifikasi diri
14
sebagai penerus Masyumi dan Partai Keadilan (PK) yang digerakkan jaringan aktivis Islam
politik baru. Tapi keduanya belum menonjol. Golkar masih bertahan dengan basisnya di
desa-desa dan terutama di luar Jawa.
Pemilu 2004 memotret hadirnya partai baru: Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera
(PKS) yang merupakan jelmaan PK. Gelar juara direbut Golkar dari PDI Perjuangan yang
mengalami kemerosotan dukungan sangat tajam. PDI Perjuangan hanya mendulang 18,5%
persen dan kehilangan kursi sangat besar di DPR. Demokrat meraup 7,45% yang dikonversi
menjadi 57 kursi, sementara PKS memperoleh 7,3% suara yang menghasilkan 45 kursi di
Senayan.
Pencapaian Demokrat dan PKS adalah fenomena migrasi politik akibat kekecewaan pemilih
terhadap pemerintah dan PDI Perjuangan. Demokrat yang berpusat pada sosok SBY dan PKS
yang gencar berkampanye ”bersih dan peduli” dianggap sebagai lokasi harapan baru.
Fenomena partai baru berlanjut pada pemilu 2009. Ketika Demokrat naik menjadi juara
dengan raihan 20,85%, Partai Golkar dan PDI Perjuangan mengalami penurunan, masing-
masing mendapat 14,5% dan 14%. PKB yang dilanda konflik internal terjun bebas suaranya
tinggal 4,9% saja. Muncullah Gerindra yang sangat gencar ”menjual” Prabowo dan
nasionalisme ekonomi serta Hanura yang berpusat pada figur Wiranto. Keduanya memetik
suara yang cukup untuk modal ke Senayan.
Pemilu paling mutakhir 2014 silam ternyata juga ditandai dengan kehadiran partai baru.
Partai NasDem yang merupakan implikasi politik Munas Golkar di Riau berhasil menembus
Senayan dengan 6,7% suara, melampaui PPP dan Hanura. Ini terkait anjloknya suara
Demokrat lebih dari separuh suara sebelumnya dan sedikitnya partai peserta pemilu.
Suara hangus pada Pemilu 2014 sangat kecil, yakni 1,46% suara PBB dan 0,91% suara Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). Persentase suara hangus yang kecil ini dinikmati
pula oleh parpol lain selain NasDem.
Tampak nyata bahwa pemilu pasca-Reformasi selalu ditandai hadirnya partai baru yang
berhasil menembus ketatnya kompetisi. Bukan hanya sukses memberangkatkan kadernya ke
parlemen, tetapi juga tampil dengan pesan politik yang tidak bisa diremehkan. Partai baru
berhasil berselancar di atas gelombang kekecewaan publik sekaligus menawarkan harapan
baru. Itulah yang akan diuji pada masa antara menuju pemilu berikutnya.
Pemilih Rasional dan Diferensiasi
Memperhatikan realitas pemilu pasca-Orde Baru, peluang politik bagi partai baru dibuka oleh
berlangsungnya mekanisme reward and punishment. Berkembangnya jumlah pemilih
rasional akibat faktor pendidikan dan terpaan media–termasuk media sosial–sukses menekan
jumlah pemilih tradisional yang bergaya ”pejah-gesang nderek pemimpin”.
15
Pemilih rasional relatif mandiri dan bisa memberi hukuman kepada partai yang dinilai tidak
memuaskan. Pemilih rasional mampu mengekspresikan dukungan dan penolakan, kepuasan
dan kekecewaan kepada partai. Terhadap partai yang kinerjanya baik, setidaknya dalam
konteks citra, pemilih bisa menghargai dan melanjutkan dukungan. Kepada partai yang
kinerjanya melempem dan tidak amanah, pemilih berani untuk teriak kecewa dan bergerak
mencari alternatif lain. Arus kekecewaan selalu mengalir ke tempat atraktif yang dinilai ada
harapan.
Tantangan terbesar dihadapi partai-partai koalisi pendukung pemerintah. Jika kepuasan
publik terhadap kinerja pemerintah rendah, para pemilihnya mudah pindah ke lain hati.
Partai-partai koalisi oposisi juga menghadapi tantangan tak kalah serius. Jika tidak cukup
terampil sebagai kekuatan penyeimbang yang konsisten dan bermutu, tidak mudah pula
mempertahankan jumlah pendukung apa lagi untuk menambah jumlah dukungan.
Dalam situasi seperti itu, jika tampil partai baru yang tampil dengan kesegaran politik,
kemungkinan migrasi dukungan cukup terbuka. Syarat utamanya, partai tersebut tampil
sebagai alternatif dengan diferensiasi yang nyata. Diferensiasi politik harus diperkuat
perangkat-perangkat yang mutlak dibutuhkan sebuah partai yang bertenaga, yakni
kepemimpinan dan ketokohan yang menjanjikan, platform yang jelas dan kuat, jaringan yang
luas dan menembus akar rumput, kader yang cakap dan berkomitmen, serta strategi
sosialisasi yang efektif. Apalagi jika ditopang mesin popularitas yang masif.
Bagi partai baru yang demikian, pemilih kalkulatif-rasional pasti menyediakan diri untuk
menerima partai baru yang ”berbeda” dan membawa program yang nyata.
ANAS URBANINGRUM
Ketua Presidium Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI)
16
Ahok, DPRD, Etika, dan Prioritas
Koran SINDO
10 Maret 2015
Membangun dan membenahi Jakarta atau menonton pertarungan DPRD DKI versus
Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok? Jika kisruh itu dipermanenkan hingga
tahun 2017, Jakarta tidak bisa produktif dan sulit mewujudkan suasana kondusif. Warga
Jakarta tentu lebih menginginkan Gubernur DKI dan DPRD DKI fokus dan memprioritaskan
pembangunan serta pembenahan kota yang tampak sangat semrawut dewasa ini.
Saat Gubernur DKI berperang kata-kata dan saling tuduh dengan DPRD DKI, banyak ruas
jalan di Ibu Kota berlubang dan mengancam keselamatan pengendara motor. Di sejumlah
ruas jalan, lubang-lubang itu bahkan tak tersentuh oleh kerja perbaikan jalan. Pada saat yang
sama, warga Jakarta dan sekitarnya juga diteror isu begal yang mengancam pengendara
motor. Jumlah aksi begal di wilayah DKI mungkin lebih rendah dibandingkan kota-kota
penyangga. Tapi rasa takut juga menyergap warga Ibu Kota. Dua masalah ini memerlukan
perhatian serius dan penanganan dari seluruh unsur dalam Musyawarah Pimpinan Daerah
(Muspida) DKI. Di dalamnya ada Gubernur DKI, Ketua DPRD DKI, Kapolda Metro Jaya,
dan Panglima Daerah Militer (Pangdam) Jaya.
Beruntung bahwa untuk mencegah aksi begal, Polda dan Pangdam Jaya berinisiatif
melakukan operasi guna menumbuhkan rasa aman bagi warga. Namun warga Ibu Kota tetap
saja kecewa karena Pemprov DKI seperti tak peduli dengan banyaknya ruas jalan yang
rusak.
Faktor lain yang juga membuat warga Ibu Kota tidak nyaman adalah kebisingan. Warga
Jakarta sudah bosan dengan kebisingan yang rasanya seperti tak berkesudahan. Sejak
pemilihan presiden (pilpres) hingga periode sengketa Pilpres 2014, kemudian berlanjut
dengan kisruh Polri versus Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta nyaris tak pernah
teduh dan tenang. Ketika kebisingan akibat kisruh Polri versus KPK mulai reda, justru
Gubernur DKI dan DPRD DKI menyulut kebisingan baru.
Sebagian besar warga Jakarta benar-benar mulai muak menyaksikan berlarut-larutnya
disharmoni Gubernur DKI dan DPRD DKI. Muak karena dari aspek perilaku, baik Gubernur
DKI Jakarta maupun DPRD DKI sudah tidak punya etika lagi. Kedua kubu tidak lagi
memprioritaskan fungsi masing-masing sebagai pejabat publik di Jakarta.
Publik melihat masing-masing ingin saling menjatuhkan. Setiap hari, masing-masing
melontarkan caci maki, saling hina dan saling tuduh di ruang publik. Mereka tidak lagi
menghargai dan menghormati harkat dan martabatnya sebagai pejabat publik maupun sebagai
17
pemimpin dan sosok elite di Ibu Kota ini. Mereka menyulap dan menjadikan Jakarta sebagai
panggung untuk mempertontonkan rivalitas yang tak perlu.
Bukan fokus bekerja, mereka dilantik dan digaji untuk sekadar berkelahi atau adu kuat.
Untuk apa Jakarta memiliki gubernur dan DPRD kalau dua instrumen kepemimpinan itu
hanya fokus pada perang kata-kata, saling ancam dan saling hina? Tentu saja perseteruan
berkepanjangan antara Gubernur DKI dan DPRD DKI menjadi contoh buruk tentang
kepemimpinan dan tata kelola Ibu Kota. Jangan pernah ditiru.
Persoalan bermuara pada penolakan masing-masing terhadap pentingnya mengedepankan
etika pejabat publik. Sebagaimana bisa disimak selama ini, tak ada kesantunan dalam dialog
terbuka maupun ketika membuat dan mengeluarkan pernyataan. Tak jarang pilihan kata-kata
mereka sungguh tidak pantas. Egois dan merasa paling benar sendiri. Orang lain selalu dan
pasti salah. Lebih parah lagi, senang menantang pihak lain, membuat pernyataan yang
bersifat mengancam, marah dan enggan untuk mengerti orang lain.
Disorientasi
Target Ahok yang ingin membenahi birokrasi dan tata kelola Pemprov DKI memang patut
diacungi jempol. Tapi gaya Ahok sebagaimana yang dikenal selama ini belum tentu bisa
diterima seluruh unsur di dalam birokrasi Pemprov DKI. Tidak semua pegawai DKI bisa
menerima jika diperlakukan sangat keras dan kasar oleh atasannya. Gaya yang demikian
belum tentu efektif untuk mencapai target.
Dalam beberapa kesempatan, Ahok juga tampak kasar terhadap DPRD DKI. Sikap yang
demikian sudah barang tentu menimbulkan reaksi perlawanan dari DPRD DKI. Sebaliknya
DPRD DKI pun secara terbuka sering merendahkan martabat Gubernur DKI. DPRD DKI
memang wajib mengkritik atau mengecam kebijakan Gubernur DKI. Tapi kritik dan kecaman
itu tidak boleh mengurangi penghormatan terhadap institusi kegubernuran DKI.
Tidak semua persoalan harus diobral ke ruang publik. Dalam konteks etika pejabat publik,
ada masalah yang bisa diselesaikan melalui dialog dan lobi di ruang tertutup. Semangat inilah
yang tampaknya tidak dimiliki lagi oleh Gubernur DKI dan DPRD DKI saat ini. Idealnya,
semua masalah diketahui publik. Tapi, jika hanya menimbulkan keresahan atau kebisingan,
tetap saja publik yang dirugikan.
Kasus anggaran siluman di APBD DKI tahun 2015 tidak perlu menimbulkan kebisingan jika
Gubernur DKI dan pimpinan DPRD DKI mau berdialog dan bersepakat mencoret proyek-
proyek yang tidak tercantum dalam e-budgeting. Tapi, kalau kemudian Kemendagri bisa
menerima dua versi APBD DKI tahun 2015, itu jadi pertanda bahwa tidak ada dialog dan
Gubernur DKI serta DPRD DKI memang sengaja memperuncing rivalitas di antara mereka.
Lantas, apa yang didapat warga Jakarta? Tak lain dari kebisingan yang sesungguhnya tak
perlu. Karena rivalitas itu terus dikembangkan dan melebar tak keruan, Gubernur DKI dan
18
DPRD DKI pun seperti terjangkit virus disorientasi karena tak tahu lagi mana yang prioritas
dalam konteks membangun dan membenahi Jakarta. Masing-masing hanya fokus pada
pendirian tentang siapa salah-siapa benar. Mereka lupa bahwa sesuai dengan jabatan dan
fungsi masing-masing, Gubernur DKI dan DPRD DKI harus memprioritaskan pembangunan
dan pembenahan kota serta pelayanan kepada warga Jakarta.
Kisruh Gubernur DKI dengan DPRD DKI yang terus berkembang mulai menimbulkan
kegelisahan di sebagian masyarakat. Kisruh di Jakarta ini seperti mengeskalasi disharmoni
yang terjadi antara Presiden Joko Widodo dengan sebagian kekuatan di DPR RI selepas
pembatalan pelantikan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai kapolri. Di DPR ada upaya
untuk mengegolkan pelaksanaan hak angket, sementara DPRD DKI pun sedang berupaya
memuluskan penggunaan hak angket terkait dengan kontroversi APBD DKI tahun 2015.
Penggunaan hak angket menjadi opsi yang dipilih DPRD DKI karena ada delapan peraturan
yang ditabrak Gubernur DKI. Gubernur DKI antara lain dinilai melanggar lima aturan
perundang-undangan, meliputi Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2008, Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2014, UU No. 17 Tahun 2004, dan UU
No. 17 Tahun 2003. Menurut DPRD DKI, proses penyusunan RAPBD 2015 tidak
berdasarkan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) dari tingkat kelurahan
sampai provinsi dan tidak mengacu pada data Badan Perencanaan Daerah (Bappeda),
melainkan dari hasil tim ahli (Tim 20) yang tidak kompeten menurut aturan yang berlaku.
DPRD DKI pantas marah karena RAPBD DKI 2015 rancangan Tim 20 itu tidak boleh
dibahas DPRD DKI. Karenanya, Gubernur DKI dinilai meniadakan fungsi anggaran DPRD
DKI. Penggunaan hak angket oleh DPRD DKI bisa menjadi sangat sensitif karena
perseteruan Gubernur DKI dan DPRD DKI bisa menyeret Presiden Joko Widodo ke dalam
kasus hukum karena manipulasi APBD DKI yang dipersoalkan terjadi semasa Jokowi
menjabat sebagai gubernur DKI.
DPRD DKI memang wajib menyelidiki draf APBD DKI 2015 jika benar diserahkan secara
sepihak oleh Gubernur DKI ke Kementerian Dalam Negeri atau tanpa persetujuan DPRD
DKI. Hak angket yang digagas di DPR maupun DPRD DKI memiliki dasar dan alasan yang
kuat. Jika hasil penyelidikan itu menemukan data dan fakta yang kuat, bisa saja langkah
selanjutnya yang akan ditempuh legislatif berujung pada proses pemakzulan.
BAMBANG SOESATYO
Sekretaris Fraksi Partai Golkar; Anggota Komisi III DPR RI; Wakil Ketua Umum Kadin
19
Provokasi Netanyahu
Koran SINDO
11 Maret 2015
Minggu lalu terjadi sebuah peristiwa ganjil dalam sejarah sistem politik di Amerika Serikat
(AS) dan mungkin juga di dunia. Kepala pemerintahan Israel, Benyamin Netanyahu,
memberikan pidato di depan Kongres AS tanpa melewati protokol diplomatik dari Gedung
Putih. Netanyahu datang atas undangan dari Ketua DPR (House of Representative) yang
berasal dari Partai Republikan John Boehner dan berpidato di hadapan Kongres.
Isi pidato Netanyahu adalah ajakan agar masyarakat Amerika menolak dialog damai antara
Iran dan AS. Ia ingin meyakinkan publik bahwa perundingan tersebut adalah usaha yang sia-
sia dan akan memberikan peluang bagi Iran untuk mengembangkan teknologi senjata
nuklirnya. Ia juga mengkritik kerja Badan Atom Internasional yang dianggap tidak dapat
mendeteksi kelihaian Iran dalam menyembunyikan maksud sesungguhnya dari rekayasa
program nuklir Iran.
Presiden AS Barack Obama mencemooh pidato Netanyahu sebagai tidak menyediakan
alternatif apa pun untuk membangun komunikasi dengan Teheran. Obama sendiri
menyatakan tidak mau bertemu dengan Netanyahu yang dalam minggu ini telah diprotes
melalui serangkaian unjuk rasa di dalam negeri. Kunjungan Netanyahu ke Washingto n DC
itu sendiri adalah bagian dari langkah diplomatiknya untuk mengganggu perundingan nuklir
yang sedang dilakukan Menteri Luar Negeri John Kerry dan mitranya dari Iran, Mohammed
Javad Zarif.
Jika selama ini dalam perundingan isu Iran John Kerry memberikan update perkembangan
kepada Israel, kali ini kebiasaan tersebut tidak dilakukan karena dikhawatirkan akan
mengganggu proses perundingan. Hal ini tentu membuat Israel naik pitam karena mereka
dibiarkan “dalam gelap” dan hanya bisa menebak-nebak apa isi dari perundingan AS-Iran.
Perundingan nuklir Iran dengan P5+1 setelah terpilihnya Hassan Rouhani sebagai presiden
Iran adalah proses yang panjang dan melelahkan. P5+1 adalah kelompok negara yang
membuka jalur diplomasi dengan Iran atas isu program nuklirnya, yakni 5 negara anggota
tetap Dewan Keamanan PBB plus Jerman.
Banyak orang yang awalnya pesimistis bahwa Rouhani akan membawa Iran mendekat
kepada dunia Barat karena kekuatan Dewan Ulama yang masih menjadi penentu arah
modernisasi Iran. Kesangsian ini sedikit demi sedikit berkurang dengan konsistennya Iran
dan enam negara besar lain untuk mendiskusikan masa depan teknologi nuklir Iran. Meski
demikian, di lain sisi, banyak pihak, khususnya Israel, yang menganggap perundingan
20
tersebut hanya tarik-ulur Iran saja untuk secara diam-diam meningkatkan teknologi
pengayaan uranium mereka.
Dalam pidatonya di depan Kongres AS, Netanyahu ingin meyakinkan Kongres bahwa
kesepakatan AS-Iran adalah kesepakatan yang sangat buruk dan itu sebabnya harus ditolak.
Netanyahu berharap akan muncul kesadaran Iran adalah ancaman yang lebih besar bagi dunia
dibandingkan ancaman dari NIIS (Negara Islam Irak dan Suriah).
Isi pidatonya itu juga ditujukan kepada negara-negara Arab Sunni dan Timur Tengah, mulai
dari Arab Saudi hingga Mesir, yang saat ini juga memandang curiga perundingan Iran dengan
P5+1. Negara-negara Arab Sunni di Timur Tengah saat ini melihat meluasnya pengaruh Iran
ke Irak, Suriah, Lebanon dan saat ini di Yaman sebagai suatu ancaman. Alasan ini juga yang
menjadi penyebab penanganan NIIS yang setengah hati meskipun NIIS telah menelan korban
ribuan orang, termasuk para relawan kemanusiaan dari negara-negara Barat yang bekerja di
sana. Dibandingkan dengan bantuan yang diberikan kepada para pejuang yang melawan
rezim Assad, bantuan untuk perlawanan NIIS terbilang tidak penuh.
Rasa khawatir ini yang juga dieksploitasi Netanyahu untuk mengadu domba negara-negara di
Timur Tengah, khususnya antara Sunni dan Syiah. Dalam pidatonya di hadapan 435 anggota
parlemen yang terdiri atas 245 dari Partai Republik dan 188 dari Partai Demokrat, Netanyahu
mengatakan bahwa Iran dan NIIS adalah setali tiga uang.
Ia dengan terang-terangan mengatakan bahwa peperangan yang terjadi di lapangan adalah
perang antara NIIS dengan Iran sehingga membantu memerangi NIIS tidak berarti lantas
mendorong Iran menjadi teman. Provokasi ini tentu ditujukan kepada negara-negara Timur
Tengah yang menjadi aliansi AS saat ini.
Netanyahu memanfaatkan rasa khawatir negara-negara tersebut terkait dengan ide AS untuk
memasukkan Iran sebagai kawan aliansi di kawasan Timur Tengah. Israel mencoba
membangun dinding pemisah ideologi yang lebih lebar dan tinggi antara muslim Sunni dan
muslim Syiah. Hal ini dilakukan karena beberapa hari sebelumnya, John Kerry telah
melakukan safari politik ke negara-negara Timur Tengah untuk mendiseminasi hasil
perundingan dengan Iran.
Padahal ketika John Kerry bertemu dengan Raja Salman dari Arab Saudi dan menteri luar
negeri dari Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Saudi, dan Uni Emirat Arab, ia telah menegaskan
bahwa perundingan AS tidak akan membuat Iran berpeluang menggunakannya senjata
pemusnah massal. Ia juga menegaskan komitmen AS untuk mencegah ekspansi Iran di Timur
Tengah.
Kekhawatiran Netanyahu cukup beralasan setelah Yordania melakukan penyerangan dan
komitmen untuk memberantas NIIS setelah pilot mereka dibakar hidup-hidup. Demikian pula
dengan Mesir yang memberikan respons keras terhadap NIIS setelah 21 warganya yang
beragama Kristen dipenggal hidup-hidup.
21
Israel menjadi khawatir bahwa negara-negara Arab yang sebelumnya masih setengah hati
memerangi NIIS menjadi motor untuk menghancurkan NIIS sehingga artinya juga secara
politik memberi peluang pengaruh pada Iran untuk berkembang. Sepak terjang Israel dan
polarisasi politik Sunni-Syiah di Timur Tengah tampaknya memperberat perundingan Iran
dan kelompok P5+1.
Provokasi Netanyahu jelas telah menjauhkan proses perdamaian. Pidatonya di Kongres AS
juga bukan kebetulan karena dari sisi waktu pihak-pihak yang terlibat telah berkomitmen
untuk menyelesaikan perundingan di akhir bulan Maret ini. Pidato itu juga bukan kebetulan
karena dalam beberapa minggu terakhir Netanyahu telah mendapat serangan politik dari
lawan politik baik di dalam maupun di luar partainya. Terakhir ia didemo 40.000 orang di
Rabin Square, Tel Aviv, minggu lalu.
Bagi Iran, perundingan nuklir ini memiliki implikasi ekonomi penting terkait dengan rencana
untuk menghapuskan sanksi ekonomi yang telah membuat ekonomi mereka terpuruk dalam
lima tahun terakhir. Di dalam negeri, Iran sendiri pun mendapatkan banyak tekanan kepada
Rouhani terkait dengan perundingan nuklir ini. Oleh sebab itu, dalam perundingan, Iran
menghendaki pencabutan sejumlah sanksi yang efeknya dapat langsung dirasakan masyarakat
seperti pembukaan rekening Iran di pasar Eropa dan Asia agar negara-negara lain dapat
segera membeli minyak dari Iran.
Bagi Indonesia, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar, kita patut mewaspadai
gagasan-gagasan yang mirip dengan ide Netanyahu, yakni gagasan yang bertujuan memecah
belah persaudaraan antarumat Islam yang demokratis dan moderat. Jangan sampai kecurigaan
menghentikan langkah menuju perdamaian.
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
@dinnawisnu
22
RAPBD dan Checks and Balances
Koran SINDO
11 Maret 2015
Kontroversi seputar penyusunan RAPBD DKI Jakarta merupakan pembelajaran bagi publik
mengenai arti penting APBD dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Versi Gubernur DKI, pada setiap pos penganggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terdapat dugaan --meminjam terminologi Wamenkeu
Mardiasmo-- “dana siluman” yang tiba-tiba nongol dalam Rancangan APBD yang diserahkan
ke Kementerian Dalam Negeri. Konon, terdapat selisih dana Rp 12,1 triliun dalam RAPBD
yang diajukan melalui e-budgeting dengan yang disetujui dalam rapat paripurna DRPD. Hal
itulah yang kemudian mendorong Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
mengaudit RAPBD 2015.
Tak boleh diingkari bahwa dalam mekanisme penyusunan RAPBD dalam perspektif UU
Keuangan Negara dan PP No. 58 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah mengharuskan adanya tiga fase penting, yaitu proses perencanaan partisipatif, proses
politik di DPRD, dan proses teknokratik.
Pertama, dalam proses perencanaan partisipatif, penyusunan RAPBD harus melewati
mekanisme musyawarah perencanaan pembangunan daerah (arena eksekutif) maupun arena
penjaringan aspirasi masyarakat (arena DPRD) untuk menyerap seluas-luasnya kebutuhan
rakyat DKI. Melalui dua jalur proses penyerapan aspirasi rakyat tersebut dapat dibangun
kesepakatan bersama antara legislatif dan eksekutif dalam Kebijakan Umum Anggaran
(KUA) Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) yang kemudian dijabarkan melalui
perumusan detail RAPBD dan pada akhirnya bermuara pada pengesahan RAPBD dalam
rapat paripurna DPRD.
Kedua, proses politik di DPRD merupakan ranah legitimasi politik yang merupakan wujud
kedaulatan rakyat. Maka kewenangan DPRD dalam pengesahan RAPBD ke depan lebih baik
difokuskan pada wilayah strategis proses penganggaran daerah. Artinya, agar tak timbul
dugaan maupun fitnah mengenai keterlibatan (oknum) anggota DPRD maupun SKPD dalam
manipulasi anggaran daerah, DPRD perlu membatasi keterlibatannya hanya sebatas
pembahasan di komisi dan di rapat paripurna saja. Demikian pula pengawasan DPRD cukup
dibatasi pada level kebijakan daerah yang difokuskan pada pertanggungjawaban Gubernur.
DPRD tak perlu memasuki wilayah satuan tiga (SKPD) dalam pelaksanaan pengawasan
anggaran.
23
Ketiga, proses teknokratik penganggaran daerah perlu diserahkan sepenuhnya kepada
eksekutif baik dalam penyusunan draf RAPBD sampai pada mekanisme alokasinya dalam
kebijakan pembiayaan program maupun kegiatan. Meskipun tak terkait langsung dengan
kewenangan Banggar di DPRD, ada baiknya inspirasi yang diperoleh dari Putusan
Mahkamah Konstitusi RI No. 35/PUU-XI/2013 yang membatasi keterlibatan Badan
Anggaran (Banggar) DPR terhadap mekanisme penyusunan anggaran yang tak boleh lagi
sampai pada satuan III kementerian (satker) bisa dijadikan pembelajaran untuk mencegah
jerat politik uang terhadap para anggota DPRD.
Performance Budgeting
Sejatinya, selama ini melalui paket UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara telah
dilakukan reformasi birokrasi dalam pengelolaan keuangan negara dan daerah, yaitu
mengubah sistem keuangan tradisional menjadi sistem anggaran kinerja (performance
budgeting). Sistem tradisional, sistem penyusunannya adalah dengan pendekatan incremental
dan line item dengan penekanan pada pertanggungjawaban dalam setiap input yang
dialokasikan.
Melalui reformasi keuangan negara tersebut, sistem penyusuan anggaran harus disusun
dengan pendekatan atau sistem anggaran kinerja (performance budgeting), dengan penekanan
pertanggungjawaban tidak sekadar pada input tetapi juga pada output dan outcome.
Penyusunan anggaran dengan menggunakan sistem anggaran kinerja harus dilakukan melalui
proses penyusunan yang bersifat partisipatif (bottom-up) melalui perencanaan anggaran
berbasis kinerja yang menggunakan parameter kemanfaatan (outcome) dari setiap mata
anggaran yang disusun. Dengan demikian, sangat mudah untuk menelusuri adanya
kecurangan dalam penyusunan maupun pengalokasian anggaran.
Keuangan negara yang disusun dengan pendekatan kinerja memuat hal-hal sebagai berikut:
(1) sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja; (2) standar pelayanan yang diharapkan
dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan; serta (3) bagian
pendapatan keuangan negara yang membiayai administrasi umum, belanja operasi dan
pemeliharaan, dan belanja modal/pembangunan. Untuk mengukur kinerja keuangan
pemerintah tersebut, dikembangkan standar analisis belanja, tolok ukur kinerja, dan standar
biaya.
Dengan digunakannya sistem anggaran berbasis kinerja saat ini, sungguh merupakan langkah
yang sangat ceroboh dan gegabah jika ada oknum-oknum di lingkungan SKPD maupun
DPRD DKI Jakarta yang berani menyisipkan mata anggaran yang dalam penyusunannya tak
bertitik tolak dari parameter anggaran kinerja di atas. Apalagi dengan telah dimulainya
penerapan sistem e-budgeting di lingkungan pemerintahan, termasuk di DKI Jakarta, pola
penyisipan mata anggaran semacam itu cepat ataupun lambat pasti bisa terlacak.
Prinsip pengeluaran negara/daerah dalam sistem anggaran berbasis kinerja ditopang oleh
prinsip-prinsip akuntabilitas dan value of money, kejujuran dalam penataan keuangan
24
negara/daerah, transparansi dan pengendalian. Cara kerja tak profesional dalam penyusunan
dan penggunaan anggaran baik oleh legislatif maupun eksekutif telah mengingkari semangat
reformasi pengelolaan keuangan negara/daerah yang diusung UU Keuangan Negara dan UU
Perbendaharaan Negara serta PP No. 58 Tahun 2005 yang dilaksanakan melalui Permendagri
No. 13 Tahun 2006 jo Permendagri No. 59 Tahun 2007 dan Permendagri No. 21 Tahun
2011.
Pesan penting dari “buruk rupa” draf APBD DKI Jakarta jika dikaitkan dengan inspirasi yang
terdapat dalam putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 35/PUU-XI/2013 adalah bahwa
perlunya purifikasi fungsi kelembagaan dalam konstelasi sistem checks and balances.
Eksekutif perlu dibatasi pada wilayah teknokratik APBD saja, tak perlu terlalu jauh
mencampuri wilayah legislasi dan politik anggaran. Sebaliknya DPRD juga perlu membatasi
diri sebatas pada wilayah politik anggaran baik dalam proses penyusunan APBD, pengesahan
melalui rapat paripurna sampai pada alokasinya.
UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sejatinya juga telah
mengamanatkan agar pemerintah lebih menempatkan diri sebagai administrator dan tak perlu
terlalu dalam memasuki arena politik legislasi maupun politik anggaran. Demikian pula UU
Aparatur Sipil Negara dengan tegas mengembalikan fungsi aparatur sipil negara sebagai
pelayan publik, jangan menjadi birokrat yang berpolitik. Pembahasan anggaran di DPRD
merupakan arena politik yang tak boleh menyeret aparatur sipil negara ”bermain api” di arena
politik.
Baik eksekutif maupun legislatif di DKI perlu menahan diri agar sama-sama dapat mengingat
dengan baik bahwa kursi-kursi dan fasilitas yang mereka nikmati dibayar oleh rakyat dan
harus dikembalikan melalui pengabdian terbaik bagi rakyat. Siklus banjir DKI tak akan
berhenti hanya dengan memperdebatkan APBD!
DR W RIAWAN TJANDRA
Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta
25
Kriminalisasi dalam Pemberantasan Korupsi
Koran SINDO
12 Maret 2015
Hiruk-pikuk jargon kriminalisasi terkait pimpinan KPK dan pendukung KPK telah
menyeruak di beberapa media nasional. Kriminalisasi dalam doktrin hukum pidana adalah
suatu perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan tindak pidana kemudian merupakan
tindak pidana berdasarkan UU yang berlaku. Sebaliknya, ada dekriminalisasi yaitu perbuatan
yang semula diancam pidana kemudian menjadi tidak diancam pidana berdasarkan UU yang
berlaku.
Mengikuti doktrin tersebut, tidak ada yang keliru tentang kriminalisasi sepanjang
dilaksanakan berdasarkan UU yang berlaku, bukan kehendak penyidik semata. Dalam
konteks jargon kriminalisasi yang telanjur keliru seharusnya sebagai warga negara yang baik
menjunjung tinggi dan menghormati asas persamaan di muka hukum (equality before the
law) dan di sisi lain penyidik harus mengedepankan asas praduga tak bersalah (presumption
of innocence).
Asas hukum pidana pertama dan kedua tersebut dicantumkan di dalam UUD 1945 selain
konvensi internasional tentang hak sipil dan hak politik. Dua asas hukum pidana tersebut
harus berada dalam suatu keseimbangan dan mencegah prinsip tujuan menghalalkan cara
karena bertentangan dengan prinsip proporsionalitas (Remmelink, 2003) yaitu harus sesuai
antara tujuan dan cara mencapai tujuan.
Prinsip hukum ini rambu-rambu bagi setiap langkah penyidikan dan di sisi lain seharusnya
menjadi pegangan bagi setiap orang yang (akan) diperiksa penyidik. Jika ada orang yang
menolak diperiksa penyidik sepanjang dilaksanakan berdasarkan perintah UU, terhadapnya
sesuai UU dapat dilakukan upaya paksa untuk diperiksa. Sebaliknya, penyidik dapat
dipraperadilankan jika terperiksa (tersangka) berpendapat bahwa langkah hukum penyidikan,
penahanan, penuntutan, atau penghentian penyidikan dan penuntutan atau tuntutan ganti
rugi/rehabilitasi telah melanggar ketentuan Pasal 77 KUHAP. Selain alasan-alasan tersebut,
mereka dapat merujuk putusan hakim Sarpin Rizaldi, penetapan tersangka secara melawan
hukum.
Mekanisme hukum praperadilan adalah satu-satunya yang dibenarkan berdasarkan UU yang
berlaku di Indonesia ketika hak-hak asasi setiap orang telah dilanggar atau dirampas dari diri
kita, tidak ada lain lagi. Cara-cara Denny Indrayana yang mengaku pendukung KPK dari
sudut hukum justru tindakan melawan UU yang berlaku. Di dalam KUHAP kepatuhan untuk
26
memenuhi panggilan penyidik merupakan kewajiban setiap orang. Saat ini yang kita saksikan
telah di luar akal sehat kita sebagai ahli hukum (pidana) karena telah terjadi perlawanan
terhadap asas persamaan di muka hukum yang telah dicantumkan di dalam UUD 1945, bukan
hanya UU KUHAP; dan itu hanya dapat dibenarkan jika asas praduga tak bersalah telah
dilanggar penyidik; tapi harus melalui mekanisme praperadilan.
Cara-cara aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) anti-korupsi khususnya DI, BW, dan
YH mengadu ke Istana bukan cara-cara berdasarkan hukum yang berlaku. Langkah itu cara-
cara politis untuk ”memaksa” Presiden selaku kekuasaan eksekutif memengaruhi atau
mengintervensi proses penyidikan terhadap mereka. Langkah dan tindakan mereka justru
tidak dapat diterima dari sudut etika pengampu ilmu hukum dan bertentangan sama sekali
dengan asas-asas dan kaidah yang berlaku dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Cara
tersebut bahkan bertentangan dengan sistem ketatanegaraan yang diakui UUD 1945 di mana
telah diakui pemisahan kekuasaan eksekutif dari kekuasaan yudikatif dan kekuasaan
legislatif.
Merujuk pada uraian ini saya mendukung sepenuhnya kebijakan Presiden Joko Widodo yang
telah menyatakan tidak akan ikut campur dengan proses hukum yang tengah dilakukan oleh
Bareskrim. Adapun yang dinyatakan oleh Presiden untuk hentikan kriminalisasi adalah jika
proses penyidikan dilakukan tanpa dasar fakta dan ketentuan hukum yang berlaku.
Penyalahgunaan wewenang dimaksud adalah tindakan yang telah melampaui batas
kewenangan, tindakan yang telah mencampuradukkan wewenang atau penyidik bertindak
sewenang-wenang (tanpa dasar hukum yang berlaku) sebagaimana telah dicantumkan dalam
Pasal 17 tentang Larangan Penyalahgunaan Wewenang (UU RI Nomor 30 Tahun 2014).
Jika kita bandingkan tindakan hukum yang telah dilakukan oleh KPK terhadap setiap
tersangka korupsi yang juga berdasarkan UU yang berlaku, penulis melihat tidak ada bedanya
dengan tindakan hukum yang telah dilakukan Bareskrim Polri misalnya pemborgolan.
Sedangkan penyidik KPK adalah anggota Polri juga sehingga tidak ada alasan apa pun untuk
memojokkan penyidik Bareskrim telah melakukan kriminalisasi.
Justru ”kriminalisasi” yang kasatmata adalah ketika KPK menetapkan seseorang sebagai
tersangka tanpa yang bersangkutan memperoleh informasi pertama dari penyidik KPK dan
tanpa sprindik (kasus MSG) atau tidak semua pimpinan membubuhkan tanda tangan
menyepakati dan menyetujui penetapan dimaksud atau penetapan tersangka karena alasan-
alasan pribadi atau untuk kepentingan politik.
Saya mengimbau mereka yang telah ditetapkan tersangka atau calon tersangka oleh
Bareskrim bersikap ikhlas dan melawan melalui mekanisme praperadilan atau menyiapkan
diri untuk membela diri di sidang pengadilan tipikor dengan penasihat hukum dan ahli-ahli
yang tepercaya. Di dalam sidang pengadilan yang terbuka dan dibuka untuk umum itulah,
kita semua dapat menyaksikan kebenaran ”kriminalisasi” yang telah Anda tuduhkan kepada
Bareskrim.
27
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran (Unpad)
28
Antara Pahlawan dan Pecundang
Koran SINDO
12 Maret 2015
Sebagian masyarakat dan pemerhati permasalahan Polri-KPK menunjukkan respons yang
sudah tidak rasional. Seberapa pun penjelasan yang diberikan Polri tentang keterlibatan
komisioner KPK sulit dipercaya sebagai bentuk proses penegakan hukum.
Sebaliknya, komisioner KPK tetap dipercaya tidak bersalah meski fakta yang didukung
beberapa alat bukti mengarahkannya sebagai tersangka, atau paling tidak menjadi pembenar
dengan mengatakan tidak sebanding kasus yang disangkakan komisioner KPK non-aktif
dengan kasus yang sedang ditangani KPK.
Tampaknya pesan Ali bin Abi Thalib yang cukup terkenal, ”Jangan menjelaskan tentang
dirimu kepada siapa pun karena yang menyukaimu tidak butuh itu dan yang membencimu
tidak percaya itu” menemukan relevansinya.
Sangat jarang yang melihat proses penegakan hukum yang dilakukan Polri terhadap
komisioner KPK non-aktif diterima sebagai salah satu mekanisme yang dapat dinilai sebagai
bentuk konkret dari mekanisme kontrol terhadap kinerja KPK, termasuk kinerja komisioner
KPK. Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely, kekuasaan cenderung
korup dan kekuasaan yang absolut pasti korup, demikian juga KPK tanpa kontrol (berarti
kekuasaan absolut) akan melahirkan potensi penyimpangan penegakan hukum di KPK.
Penguatan KPK seharusnya dilakukan dengan dua pendekatan yakni pendekatan penguatan
secara internal dan penguatan secara eksternal. Penguatan internal mengharuskan KPK
menerima, berlapang dada, dan bahkan membuka diri ketika siapa saja personelnya termasuk
komisioner KPK yang diduga bermasalah dengan pidana kemudian diproses secara hukum
sehingga menghindarkan segala putusan hukum KPK bisa menjadi bias dan tidak kredibel
karena melibatkan personel yang cacat hukum.
Pendekatan penguatan KPK secara eksternal dapat dilakukan dengan meningkatkan intensitas
proses penegakan hukum di KPK dalam kasus tindak pidana korupsi. Namun, harus
dipastikan penegakan hukum itu dilakukan secara profesional dan proporsional dengan
mengedepankan kepastian hukum dan rasa keadilan, asas, kaidah dan hak-hak hukum
terperiksa/tersangka.
Harus disadari bahwa upaya praperadilan terhadap proses penegakan hukum di KPK yang
dilayangkan beberapa pihak seyogianya dinilai sebagai bentuk nyata dari mekanisme kontrol
untuk memperkuat KPK agar lebih berhati-hati dan profesional dalam menangani perkara
29
hukum. Di samping itu, penegakan hukum yang dilakukan lembaga eksternal seperti Polri
terhadap komisioner KPK harus dinilai sebagai mekanisme kontrol untuk memperkuat
internal KPK. KPK harus menunjukkan sisi kenegarawanan dengan berperilaku sebagai
lembaga negara yang menjunjung tinggi hukum dan kewibawaan negara salah satunya
menghormati putusan praperadilan. KPK harus tetap menjunjung tinggi asas praduga tak
bersalah dan seharusnya tidak lagi melakukan pembangkangan terhadap putusan
praperadilan, baik dalam bentuk demo pegawai maupun perilaku lain sebagai bentuk
perbuatan melawan hukum.
Konsekuensi dari putusan praperadilan dengan pembatalan status tersangka pemohon dan
penetapan bahwa KPK tidak berwenang menangani perkara pemohon memiliki konsekuensi
bahwa KPK harus menghentikan penyidikan dan tidak lagi menangani perkara pemohon.
Tetapi, disebabkan KPK tidak diperkenankan menghentikan penyidikan dan tidak memiliki
kewenangan penanganan perkara pemohon, mengharuskan perkara pemohon harus
dilimpahkan ke kejaksaan atau kepolisian untuk dihentikan penyidikannya (dikeluarkan SP3).
Penyerahan penanganan perkara pemohon oleh KPK kepada kejaksaan harus disertai
penyerahan berkas perkara secara lengkap tidak hanya dalam bentuk surat pengantar.
Di sinilah pentingnya KPK mendefinisikan posisinya sebagai pahlawan sesungguhnya dalam
pemberantasan korupsi atau sekadar ”pecundang” yang menampilkan diri bak pahlawan
dengan sengaja menggiring opini publik secara tidak proporsional ketika komisioner KPK
berhadapan dengan masalah hukum yang diproses Polri atau keharusan KPK melimpahkan
perkara pemohon praperadilan.
Modal sosial yang cukup dimiliki KPK saat ini memberikan kesempatan kepada KPK untuk
menjelaskan kepada publik tentang pendidikan kesadaran taat hukum dan mengikuti prosedur
hukum secara benar. Pada saat yang sama, KPK harus menunjukkan sinergi dengan lembaga
penegak hukum lain dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.
Di lain pihak, Polri secara institusional harus mampu menampilkan diri secara elegan dalam
menanggapi berbagai isu yang berkembang. Termasuk di dalamnya tentang profesionalitas
penegakan hukum terhadap komisioner KPK non-aktif, membangun komunikasi massa yang
baik dan profesional, serta menegaskan dan memublikasikan proses penegakan hukum yang
sudah dilakukan Polri secara internal terhadap anggotanya yang terbukti melakukan
pelanggaran kode etik dan tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi.
Polri pada 2012 menjelaskan ke publik bahwa sekitar 200-an personel Polri dipecat dan
diproses hukum karena terbukti melakukan tindak pidana, mulai dari kekerasan sampai tindak
pidana korupsi. Polri harus cukup ”firm” menjawab semua isu yang berkembang soal
penegakan hukum terhadap komisioner KPK non-aktif untuk memastikan publik, akademisi,
dan aktivitas anti-korupsi mendapatkan penjelasan yang masuk akal dan dapat diterima.
Keterlibatan Kombes Victor Simanjuntak dalam penangkapan BW semestinya dijawab
dengan proporsional sesuai kewenangan yang diberikan UU No. 2 Tahun 2002. Aturan
30
tersebut tidak melarang polisi non-penyidik (bukan penegak hukum) terlibat dalam
penangkapan karena berdasarkan Pasal 16 sebagai penegas Pasal 13 UU No. 2 Tahun 2002,
baik sebagai penegak hukum maupun sebagai aparat keamanan, polisi sebagai personel Polri
diberi wewenang terlibat dalam penangkapan sebagaimana Polri non-penyidik juga pernah
dimintai bantuan untuk mendukung penegakan hukum seperti penggeledahan oleh KPK. Toh
pun, penangkapan BW tetap melibatkan penyidik yang sah dan diberi wewenang oleh
undang-undang serta ditunjuk dan ditetapkan pimpinan Polri.
Keputusan ada di KPK untuk memastikan diri menjadi pahlawan sesungguhnya dalam
penegakan hukum sekaligus sebagai negarawan, atau sebaliknya pada akhirnya akan menjadi
pecundang dengan membela mati-matian komisioner KPK non-aktif yang bermasalah dengan
hukum dan melakukan pembangkangan dengan menolak putusan praperadilan.
KPK harus memastikan berperan dalam pembangunan kesadaran hukum di Indonesia dengan
melakukan tugas penegakan hukum di bidang pemberantasan tindak pidana korupsi secara
proporsional, profesional, dan menghindarkan potensi keterlibatan campur tangan politik dan
vested interest dalam proses penegakan hukum.
Polri dituntut mampu bermain cantik mengelola isu dengan cara ”menumpangi” opini publik
yang sedang berkembang dan meluruskan isu yang tak berdasar secara elegan seiring
semangat opini publik yang terbentuk. Penegakan hukum terhadap komisioner KPK oleh
Polri harus mampu meyakinkan publik bahwa dampaknya justru memberikan penguatan
internal terhadap institusi KPK dalam melakukan penegakan hukum di bidang pemberantasan
tindak pidana korupsi.
Hal yang harus disyukuri saat ini adalah daya kritis masyarakat menunjukkan telah menuju
pada jalur yang benar setelah beberapa kali dalam periode kepemimpinan presiden yang
berbeda, komisioner KPK harus berhadapan dengan proses penegakan hukum di Polri.
Setidaknya ini dapat diindikasikan dengan dukungan masyarakat, melalui sosial media seperti
Facebook dan Twitter terhadap KPK.
Apabila pada kasus Bibit-Chandra dukungan mencapai 2 juta lebih pengguna Facebook dan
Twitter, sampai saat ini dukungan KPK di grup dan halaman (fanpage) Facebook hanya
mencapai paling tinggi sekitar 30.000 lebih pengguna, demikian juga di Twitter justru
hashtag #SaveKPK#SavePolri pengikutnya lebih banyak (5.000 lebih follower) dibanding
hanya hashtag #SaveKPK yang paling banyak memiliki 3.000 lebih follower.
Namun, perlawanan masif terhadap proses penegakan hukum yang masih cenderung berpihak
pada KPK bukan berpihak terhadap kepastian hukum itu sendiri. Perlawanan ini lebih
nyaring dilakukan oleh akademisi, aktivis anti-korupsi, dan pihak-pihak yang berkepentingan
lainnya yang secara sosiologis berada di kelompok intelektual.
Ini mengharuskan Polri meresponsnya dengan membangun argumentasi proses penegakan
hukum berbasis kepastian hukum yang rasional dan mampu mematahkan argumentasi yang
31
berkembang, serta menjaga dari pernyataan-pernyataan yang berakibat blunder, serta
berusaha terus-menerus membangun komunikasi massa yang simpatik dan empatik.
BRIGJEN POL DR BAMBANG USADI MM
Analis Kebijakan Utama (Anjak) Utama Lemdikpol
32
Etika Penegakan Hukum
Koran SINDO
12 Maret 2015
Negara Indonesia adalah negara hukum, demikian ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD
1945. Negara hukum mengandung konsekuensi tidak hanya penyelenggaraan negara yang
harus memiliki dasar dan sesuai dengan aturan hukum, melainkan juga berarti tindakan warga
negara tidak boleh melanggar aturan hukum yang berlaku. Terhadap pelanggaran hukum,
akan diberikan tindakan hukum yang berujung pada penjatuhan sanksi.
Dalam kerangka negara hukum, penegakan hukum merupakan elemen penting karena
menentukan apakah negara hukum akan menjadi slogan semata atau mewujud dalam
keseluruhan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa adanya penegakan, hukum akan
kehilangan maknanya sebagai pedoman perilaku dan kehilangan sifat paksaan sebagai
karakter utama. Di sisi lain, dalam proses penegakan hukum juga terdapat potensi
menimbulkan permasalahan dan pertentangan, bahkan terhadap tujuan hukum itu sendiri.
Karena itu, pelaksanaan oleh aparat penegak hukum menjadi wilayah krusial dalam rangka
mewujudkan negara hukum. Tidak mengherankan jika BM Taverne menyatakan, ”Beri aku
hakim yang baik, jaksa yang baik, dan polisi yang baik, maka aku akan berantas kejahatan
walau tanpa undang-undang secarik pun.”
Tujuan Penegakan Hukum
Pernyataan Taverne adalah suatu pernyataan ekstrem. Setidaknya ada dua hal penting dari
penyataan tersebut. Pertama, aparat penegak hukum yang diwakili hakim, jaksa, dan polisi
memiliki peran penting dalam penegakan hukum untuk memberantas kejahatan, bahkan
walau tanpa undang-undang. Tentu saja dalam kondisi saat ini tidak mungkin menegakkan
hukum tanpa ada dasar aturan hukum tertulis.
Kedua, pernyataan ”tanpa undang-undang secarik pun” menunjukkan bahwa hukum tidak
harus selalu dimaknai sebagai undang-undang. Tidak adanya undang-undang tidak berarti
tidak ada hukum. Konsekuensinya, penegakan undang-undang tidak selalu sama dengan
penegakan hukum. Karena itu, penegakan hukum tidak boleh dimaknai sekadar sebagai
pelaksanaan ketentuan dalam undang-undang.
Penegakan hukum harus diabdikan untuk mencapai tujuan hukum itu sendiri, yaitu keadilan,
kepastian, dan kemanfaatan. Ketiga tujuan hukum tersebut bermuara pada terwujudnya tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Ketertiban hanya akan tercapai jika ada
keadilan, kepastian, dan keputusan hukum yang bermanfaat. Dalam pelaksanaannya mungkin
33
saja terdapat kondisi atau peristiwa di mana pelaksanaan aturan ternyata menimbulkan
ketidakadilan bahkan mengganggu ketertiban sosial. Tentu saja tujuan hukum harus lebih
dikedepankan jika hal itu terjadi. Untuk itulah aparat penegak hukum dibekali dengan
kewenangan diskresi dan tentu saja harus memperhatikan etika penegakan hukum.
Etika Penegakan Hukum
Etika secara sederhana dapat diartikan sebagai seperangkat nilai yang menentukan baik atau
buruk suatu tindakan yang akan dipilih untuk dilakukan. Ukuran baik buruk dapat bersumber
pada nilai universal atau ditentukan oleh keadaan khusus suatu peristiwa. Etika lebih terkait
dengan persoalan sikap dan tata cara bertindak, bukan dengan substansi dari tindakan itu
sendiri. Ada kalanya dari sisi substansi suatu tindakan adalah benar, tetapi pilihan cara dari
tindakan itu tidak baik.
Etika penegakan hukum sangat penting untuk dikembangkan dan dijalankan karena beberapa
alasan. Pertama, hukum adalah norma yang bersumber pada tata nilai yang dipandang adil
dan benar yang menjadi salah satu ciri puncak peradaban manusia. Karena itu, penegakan
hukum juga harus dilakukan dengan cara yang benar sesuai dengan standar etika bangsa
beradab. Hukum yang ditegakkan dengan cara biadab dengan sendirinya akan menurunkan
derajat substansi hukum menjadi sekadar nafsu untuk menghukum atau menuntut balas.
Kedua, etika semakin diperlukan mengingat semakin berkembangnya kelembagaan aparat
penegak hukum. Yang dimaksud dengan penegak hukum saat ini bukan hanya hakim, jaksa,
dan polisi, tetapi telah berkembang sedemikian rupa sesuai dengan perkembangan jenis
pelanggaran hukum yang semakin kompleks dan membutuhkan keahlian spesifik untuk
menanganinya dan tidak dapat dibebankan hanya kepada polisi dan jaksa.
Selain itu, mengingat aparat hukum diberi kuasa memaksa oleh negara, diperlukan
mekanisme untuk mengawasi agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Upaya untuk
menciptakan aparat penegak hukum yang baik dilakukan dengan membentuk aparat penegak
hukum lain yang memiliki kewenangan koordinasi dan supervisi, bahkan penindakan jika ada
aparat penegak hukum yang melakukan pelanggaran hukum.
Salah satu potensi negatif dari perkembangan aparat penegak hukum itu adalah kemungkinan
tumpang tindih kewenangan dan perlawanan dengan menggunakan kuasa hukum yang
dimiliki. Hal inilah yang terjadi misalnya dalam hubungan antara KPK dan Polri. Tentu saja
hal ini tidak berarti penegakan hukum harus dikembalikan kepada satu lembaga saja karena
tidak sesuai dengan kompleksitas persoalan yang dihadapi dan justru akan memperbesar
kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan.
Etika penegakan hukum menjadi penting untuk mencegah terjadinya gesekan antaraparat
penegak hukum. Apabila proses penegakan hukum, terutama terkait dengan aparat penegak
hukum yang lain, dilakukan dengan cara-cara yang menjunjung etika, tentu pertentangan
antaraparat penegak hukum tidak perlu terjadi.
34
Penegakan hukum yang etis tentu tidak boleh dimaknai sebagai pembiaran jika ada aparat
penegak hukum yang melanggar hukum. Etika lebih pada cara menangani pelanggaran
hukum. Hal ini dapat dimulai sejak ada indikasi awal pelanggaran hukum yang sebaiknya
segera berkoordinasi antarpimpinan sehingga pelanggaran tidak berlanjut.
Etika juga terkait dengan momentum tindakan penegakan hukum yang harus tepat sehingga
tidak menimbulkan persepsi perlawanan atau pembalasan serta tidak mencederai martabat
kelembagaan. Demikian pula jika memang harus ada tindakan terhadap aparat penegak
hukum, tentu harus dilakukan dengan cara-cara beradab dan sudah pada tempatnya tetap
memerhatikan status sebagai aparat penegak hukum.
JANEDJRI M GAFFAR
Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang
35
Turbulensi Politik Partai Golkar
Koran SINDO
13 Maret 2015
Polemik panjang kisruh internal Partai Golongan Karya (Golkar) berakhir. Keputusan
Kementerian Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly memenangkan kubu Agung
Laksono versi Munas Ancol sebagai ketua umum DPP Golkar. Pemerintah menganulir
kepemimpinan Aburizal Bakrie (ARB) versi Munas Bali. Keputusan pemerintah tersebut
sejak awal dibaca kecenderungannya berpihak ke kubu Agung yang pro-pemerintah.
Penetapan Agung Laksono sebagai pimpinan yang sah dalam menakhodai Golkar, sejatinya
bukan titik akhir penyelesaian konflik partai beringin, melainkan menjadi indikasi prahara
yang melahirkan turbulensi politik di internal Golkar. Sebelumnya, Mahkamah Partai Golkar
(MPG) tertanggal 3 Maret 2015 telah memenangkan kubu Agung Laksono. Keputusan MPG
menjadi rujukan Kemenkumham dalam menetapkan kepengurusan DPP Partai Golkar hasil
Munas Ancol secara selektif di bawah kepemimpinan Agung Laksono. Dalam hal ini, surat
Kemenkumham diterbitkan berdasarkan Pasal 32 ayat 5 UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai
Politik, dinyatakan bahwa keputusan Mahkamah Partai bersifat final dan mengikat secara
internal dalam perselisihan kepengurusan.
Kemudian, pemerintah meminta DPP di bawah kepemimpinan Agung Laksono untuk segera
membentuk kepengurusan partai secara selektif dengan kewajiban mengakomodasi kader-
kader Golkar yang memenuhi kriteria, prestasi, dedikasi, loyalitas, dan tidak tercela.
Keputusan pemerintah tersebut berpotensi ditafsirkan sebagai intervensi terhadap Golkar. Hal
itu sulit dielakkan dengan menilik latar belakang kepentingan politik yang tergabung dalam
Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mendukung pemerintahan Jokowi-JK dan Koalisi Merah
Putih (KMP) sebagai kelompok oposisi. Secara politik, pemerintahan Jokowi berkepentingan
terhadap dukungan Partai Golkar sebagai salah satu kekuatan penentu di KMP. Artinya,
kemenangan kubu Agung Laksono yang pro-pemerintah berpotensi menjadikan soliditas
KMP makin rapuh.
Intervensi pemerintah lebih awal terendus dari manuver Agung cs sebelum Munas Bali
digelar, ditandai intensitasnya melakukan komunikasi politik dengan Jusuf Kalla (JK) selaku
wapres yang juga tokoh senior Golkar yang masih berpengaruh. Klimaksnya, setelah kubu
ARB berhasil menggelar Munas Bali, menyusul Munas Ancol yang ditengarai berada
bayang-bayang kuasa JK. Hasilnya, Golkar terbelah hingga MPG harus turun tangan yang
melapangkan jalan Agung cs menyusul pemerintah memberikan ketetapan hukum. Dengan
demikian, aura intervensi pemerintah berjalan sistematis meski hal itu ditampik
Kemenkumham.
36
Turbulensi Golkar
Dalam konstelasi politik ini, Golkar kini terjebak dalam fragmentasi yang akut ditandai
perpecahan para elitenya. Sulit diingkari, politik Golkar mengalami turbulen hingga
terdisorientasi arah politiknya menyongsong pemilu mendatang. Kekuatan kader potensial
yang tergabung dalam kubu ARB kini dieliminasi.
Akibatnya, Golkar berpotensi lumpuh termasuk dalam kemampuan koordinasi ke daerah
yang kini justru fokus menghadapi pilkada di sejumlah daerah di Tanah Air. Setidaknya,
Golkar butuh waktu untuk memulihkan situasi politik internal yang kini terbelah. Kekuatan
Golkar secara politik melemah setelah tumbangnya rezim ARB yang selama ini
mengendalikan partai.
Fragmentasi internal Golkar tidak terlepas dari kisruh para elitenya saat Pilpres 2014 lalu,
hingga berujung pada Munas Bali dan Ancol yang menjadi ”tradisi baru” konflik Golkar.
Dualisme kepemimpinan Golkar versi kedua munas tersebut menguras energi Golkar hingga
butuh waktu untuk memulihkannya. Kini Golkar mengalami stagnasi bahkan kemunduran
berpolitik, jika menilik tradisi politiknya pasca-Orde Baru.
Fragmentasi politik Golkar senantiasa mewarnai dinamika politik partai yang lahir dari rahim
Orde Baru tersebut. Sepanjang reformasi, Golkar acap dilanda polemik yang mengilhami
lahirnya partai baru yang lahir dari ”rahim politik Golkar”. Sejumlah partai yang lahir dari
konflik internal Golkar yang mengharuskan kader terbaiknya hengkang dan memilih
membuat rumah politik baru, di antaranya Wiranto mendirikan Partai Hanura, Edi Sudrajat
mendirikan PKPI, Prabowo Subianto mendirikan Partai Gerindra, dan Surya Paloh
mendirikan Partai Nasdem. Bukan mustahil, kubu ARB jika tidak ada ruang rekonsiliasi
politik, juga berpotensi mendirikan partai baru.
Tradisi Kekuasaan
Turbulensi politik akibat fragmentasi para elite Golkar diakibatkan lemahnya ideologi partai
sebagai visi para kader menentukan arah politik Golkar, namun lebih bersifat pragmatis.
Potensi konflik yang selalu mewarnai dinamika politik Golkar adalah penegas meredupnya
militansi kader dalam mengawal Partai Golkar.
Orientasi kekuasaan Golkar juga condong lebih pragmatis, misalnya kubu Agung memilih
merapat pada kekuasaan yang berhasil menelikung ARB cs yang menandai petaka politik
Golkar akibat syahwat politik yang tak terkendali. Pemerintahan dan kekuasaan menjadi
identik dengan tradisi politik Golkar.
Posisi oposisi bagi Golkar menjadi pilihan sulit, betapa tradisi Golkar selama ini merupakan
partai yang tidak lepas dari kekuasaan hingga kini. Keberadaan JK dalam pemerintahan
Jokowi menjadi indikatornya. Tetapi di parlemen, Golkar berusaha berseberangan dengan
37
pemerintah, namun mungkin akhirnya merapat pascakemenangan kubu Agung yang pro-
pemerintah.
Golkar sebagai salah satu penyangga KMP seharusnya mengambil posisi berlawanan dengan
pemerintah. Golkar harusnya mampu membangun karakter diri sebagai oposisi di parlemen.
Oposisi tersebut bukan dalam kalkulasi politis pragmatis belaka, tetapi menjadi oposisi yang
konsisten mengawal kemungkinan terjadinya penyimpangan pemerintahan Jokowi-JK.
Elite Golkar harus sadar bahwa fragmentasi elite merugikan masa depan partai. Harus lahir
kesadaran bersama untuk menyelamatkan Golkar menjadi partai mandiri dengan jati dirinya
sendiri, tanpa intervensi pihak luar. Dengan pilihan itu, beringin akan kembali rindang
memberikan warna dominan dalam konstelasi politik nasional tanpa jebakan fragmentasi
elite. Mungkinkah?
FIRDAUS MUHAMMAD
Dosen Komunikasi Politik UIN Alauddin Makassar; Direktur Eksekutif The Political Society
38
Demokrasi Jalan Korupsi
Koran SINDO
14 Maret 2015
Lama tak berkomunikasi, beberapa waktu yang lalu tiba-tiba Ahmad Khoirul Umam berkirim
e-mail yang meminta saya membuat pengantar untuk buku yang akan diterbitkannya. Mantan
wartawan yang dulu sering meliput aktivitas saya ini, sekarang sudah menjadi kandidat
doktor di University of Queensland, Brisbane, Australia.
Di sela-sela keseriusan menyiapkan disertasi doktornya, Umam sempat menulis buku
Pergulatan Demokrasi dan Politik Antikorupsi di Indonesia. Buku itu berisi kegundahan dan
kemarahan akademisnya, karena ternyata demokrasi di Indonesia gagal menjadi sistem dan
mekanisme yang mampu secara efektif memerangi korupsi. Umam meminta saya membuat
pengantar atas buku yang berisi kekecewaan atas perkembangan politik di negara yang
dicintainya, Indonesia.
Saya agak terperangah ketika membaca statement di dalam draf buku itu bahwa teori-teori
yang menjelaskan bahwa demokrasi merupakan sistem atau jalan politik yang tepat untuk
memberantas korupsi ternyata tak berlaku atau gagal diberlakukan di Indonesia. Indonesia
telah gagal menjadikan demokrasi sebagai sistem dan alat politik yang legal untuk
memberantas korupsi.
Pandangan-pandangan Sandholtz dan Kotzle (2000), Blake dan Martin (2006), atau Hellman
(2008) yang meneorikan bahwa semakin demokratis suatu negara akan semakin efektif
pemberantasan korupsinya, ternyata tak berlaku di Indonesia. Indonesia telah melakukan
reformasi untuk membangun sistem politik yang demokratis karena keyakinan bahwa
pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) serta penegakan hukum pada
umumnya akan bisa dilaksanakan secara efektif melalui demokrasi. Ternyata kita kecele.
Demokrasi untuk mengatasi berbagai krisis yang kita bangun, ternyata kalah dalam perang
melawan korupsi.
Reformasi yang dibayar sangat mahal dengan melakukan amendemen atas UUD 1945 agar
elemen-elemen penting demokrasi lebih mendapat tempat yang kuat di dalam konstitusi,
ternyata tak membuat korupsi berkurang. Alih-alih berkurang, korupsi semakin menggurita
dan merajalela.
Banyak yang kemudian mengejek demokratisasi yang dulu kita bangga-banggakan. Ada yang
mengatakan bahwa reformasi kita telah jauh kebablasan membangun demokrasi yang justru
tak efektif dan keok melawan korupsi. William Liddle mengatakan bahwa demokrasi telah
menjadi alat korupsi karena korupsi justru dilakukan melalui mekanisme
39
demokrasi. Sementara Saiful Mujani dalam buku Kuasa Rakyat (2012) mengatakan bahwa
demokrasi di Indonesia bukan lagi sistem politik yang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk
rakyat, melainkan sudah menjadi dari rakyat, oleh elite, dan untuk elite.
Tetapi benarkah kita telah gagal memerangi korupsi melalui demokrasi yang kita bangun
dengan susah payah? Inilah yang harus didiagnosa. Bahwa setelah reformasi berjalan sekitar
17 tahun Indonesia tidak berhasil memerangi korupsi secara efektif, adalah fakta tak
terbantahkan. Tetapi untuk mengatakan bahwa demokrasi tidak bisa dijadikan sistem,
sekaligus alat untuk memberantas korupsi, mungkin tidak sepenuhnya tepat untuk
menjelaskan Indonesia.
Persoalannya, demokratisasi di Indonesia hanya berjalan pada periode pertama pemerintahan
hasil Pemilu 1999. Pemilu 1999 adalah pemilu yang paling demokratis setelah Pemilu 1955.
Itulah sebabnya pada periode tersebut kita memiliki anggota-anggota DPR yang cukup bagus,
mengeluarkan banyak UU yang cukup berkualitas, sesuai dengan aspirasi masyarakat.
Bahkan pada periode pertama reformasi, kita melahirkan lembaga-lembaga penegak hukum
yang, pada mulanya sangat membanggakan, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi
Yudisial, Mahkamah Konstitusi. Pada era ini, konsolidasi demokrasi tampak berhasil dan
memberi harapan akan efektivitasnya memerangi korupsi.
Namun lama-kelamaan, tepatnya setelah Pemilu 2004, sistem yang demokratis mulai
bergeser menjadi oligarkis. Demokrasi menjadi pasar jual-beli untuk jabatan-jabatan
politik. Demokrasi menjadi tidak substansial, tetapi lebih prosedural semata sehingga ia pun
secara praktis mudah dijadikan alat untuk korupsi. Bukan rahasia lagi bahwa pemilihan-
pemilihan pejabat publik, baik yang langsung dilakukan oleh rakyat maupun melalui DPR,
marak dengan isu politik uang dan koncoisme.
Pemilu legislatif menjadi ajang bebas untuk saling bantai melalui kekuatan uang dan
kecurangan, begitu juga pemilihan kepala daerah dipenuhi oleh penyalahgunaan jabatan dan
permainan uang. Banyak parpol yang kemudian bukan menjadi organisasi politik yang
demokratis, melainkan oligarkis sehingga keputusan-keputusan penting hanya ditentukan
oleh beberapa gelintir orang. Keputusan yang bersifat oligarkis itu kemudian diteruskan
melalui rekayasa secara struktural sehingga yang di bawah, mau tidak mau, harus selalu
menerima.
Selain diidentifikasi sebagai sistem yang oligarkis, kepolitikan kita dapat juga disebut sebagai
sistem yang poliarkis, yakni sistem yang dalam pengambilan keputusan publiknya hanya
ditentukan oleh elite-elite berbagai organisasi politik, pejabat negara, ormas, pebisnis, dan
berbagai organisasi profesi yang menonjol.
Apa pun identifikasi kepolitikan yang lebih tepat, apakah oligarkis atau poliarkis, untuk
Indonesia saat ini yang jelas bukanlah sistem demokrasi yang substantif. Menjadi niscaya,
sistem yang muncul tak berjaya menghadapi korupsi karena isinya memang bukan
demokrasi.
40
Keadaan seperti ini, kalau dibiarkan terus-menerus, sungguh membahayakan kelangsungan
kebernegaraan kita. Sebab berdasarkan dalil dan fakta historis, jika suatu negara membiarkan
berlakunya sistem yang tidak mampu menegakkan ketidakadilan maka tinggal menunggu
keruntuhannya. Diperlukan kesadaran kolektif para pemimpin untuk membelokkan situasi ini
ke jalan demokrasi yang benar. Bukan demokrasi yang bisa diperalat untuk korupsi.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
41
Jangan Intervensi Kedaulatan Hukum Indonesia!
Koran SINDO
14 Maret 2015
Sikap tegas dan lugas selalu mengandung risiko. Itulah yang dihadapi Indonesia ketika
menolak berkompromi dengan sindikat narkotika internasional.
Pemimpin pemerintahan dua negara sahabat, Brasil dan Australia, terang-terangan menghina
dan coba mengintervensi proses penegakan hukum. Namun, demi kedaulatan dan martabat
bangsa, Indonesia tidak boleh goyah dengan penghinaan itu.
Keputusan Pemerintah Indonesia mengeksekusi warga negara asing (WNA) terpidana mati
kasus narkoba sudah tepat. Tidak ada yang salah sebab perang terhadap sindikat narkotika
internasional harus dipahami sebagai bagian dari ketahanan nasional. Penetrasi sindikat
narkoba internasional telah menimbulkan ekses yang sangat serius terhadap generasi muda di
Tanah Air. Tak kurang dari 50 orang tewas setiap hari karena mengonsumsi narkoba. Untuk
memperkokoh kekuatannya di negara ini, sindikat narkoba internasional juga telah menyusup
ke tubuh birokrasi negara.
Itulah sekilas dari ekses akibat keleluasaan sindikat narkotika internasional membangun
bisnis haramnya di negara ini. Maka itu, eksekusi terhadap terpidana mati kasus narkoba, dari
mana pun asal negara sang terpidana, sudah sangat tepat. Dalam konteks kepentingan
nasional, eksekusi mati itu bagian dari perang melawan sindikat kejahatan itu.
Eksekusi terpidana mati itu pun harus dimaknai sebagai pesan bangsa Indonesia kepada
semua sindikat kejahatan narkoba di seluruh dunia bahwa pemerintah dan rakyat Indonesia
tak mau lagi berkompromi. Ketegasan sikap itu merupakan pengejawantahan dari UUD 1945.
Konstitusi Indonesia memerintahkan negara melindungi segenap warga negara dan tumpah
darah Indonesia dari berbagai bentuk ancaman, termasuk ancaman narkoba terhadap generasi
muda. Dengan demikian, tidak satu pun negara lain yang boleh mengintervensi penegakan
hukum di Indonesia, apalagi penegakan hukum dalam konteks memerangi kejahatan narkoba.
Eksekusi mati terhadap terpidana sering dibenturkan dengan prinsip-prinsip dasar hak asasi
manusia (HAM). Pertanyaannya, apakah para gembong narkoba itu masuk kelompok
pelanggar HAM?
Jelas bahwa para penjahat narkoba, direncanakan atau tidak, telah merenggut hak hidup orang
lain karena produk yang mereka perdagangkan secara ilegal itu memiliki kekuatan untuk
42
menghilangkan nyawa para penggunanya. Sanksi hukuman mati diperlukan untuk
menumbuhkan efek jera bagi para pelaku kejahatan narkoba itu.
Memang, sangat wajar jika Presiden Brasil Dilma Rousseff marah karena Indonesia pada17
Januari 2015 telah mengeksekusi Marco Archer, orang Brasil yang terbukti bersalah
melakukan perdagangan narkoba di Indonesia. Apalagi, WNA asal Brasil lainnya, Rodrigo
Gularte, juga harus menghadapi sanksi serupa karena kesalahan yang sama. Wajar juga bila
Perdana Menteri Australia Tony Abbott bersama Menteri Luar Negeri Julie Bishop berupaya
menyelamatkan nyawa dua terpidana mati warga Australia, Andrew Chan dan Myuran
Sukumaran, dari sanksi hukuman mati di Indonesia.
Sebagai kepala pemerintahan, Abbott memang tidak boleh tinggal diam. Dia wajib melobi
Pemerintah Indonesia guna menyelamatkan warganya. Namun, Rousseff dan Abbott juga
harus mau menghormati hukum yang berlaku di Indonesia. Selain itu, keduanya pun harus
memahami kepentingan nasional Indonesia. Sindikat narkotika dari berbagai belahan dunia
telah menjadikan Indonesia sebagai pasar tujuan paling potensial. Menghadapi kenyataan itu,
Indonesia wajib memberi perlawanan maksimal. Salah satu bentuknya adalah hukuman mati
bagi gembong-gembong narkoba.
Picu Ketersinggungan
Sistem hukum di Brasil dan Australia barangkali masih memberi toleransi bagi para gembong
narkoba. Para gembong narkoba diberi keleluasaan untuk beroperasi dengan sanksi sangat
minimal yang nyaris tanpa efek jera. Rousseff dan Abbott tentu saja tidak bisa memaksa
Indonesia menerapkan sanksi yang sama terhadap para gembong narkoba.
Tantangan yang harus dihadapi Indonesia dengan kedua negara itu praktis berbeda.
Mengapa? Karena, puluhan juta orang tua, para pendidik, tokoh agama, dan para pemuka
masyarakat sudah sepakat memosisikan Indonesia sebagai darurat narkoba. Setiap hari
korban tewas terus berjatuhan. Penetrasi sindikat narkoba sudah menyusup ke tubuh birokrasi
negara. Sipir penjara, oknum penegak hukum, hingga oknum pengajar sudah menjadi bagian
dari jaringan sindikat narkotika internasional.
Menghadapi kenyataan seperti itu, rakyat Indonesia mendesak agar sistem hukum di negara
ini menolak berkompromi dengan penjahat narkoba. Bagi Indonesia, memberi toleransi
kepada para gembong narkoba internasional adalah sebuah perjudian bodoh karena
menjadikan masa depan generasi muda sebagai taruhannya. Indonesia jelas tidak boleh
memainkan perjudian itu. Sebaliknya, rakyat mendesak pemerintah agar merespons
kenyataan mengerikan itu dengan sikap sangat tegas dan lugas. Rakyat solid mendukung
ketika Presiden Joko Widodo menolak permohonan grasi 11 terpidana mati, termasuk warga
Perancis, Brasil, dan dua warga Australia.
Pemerintah sangat siap ketika sikap tegas ini menimbulkan ketegangan diplomatik,
khususnya antara Indonesia dan Australia, walau Abbott berulang memohon pembatalan
43
eksekusi mati tersebut. Upaya Australia mengajukan pertukaran tahanan juga kandas karena
memang sistem hukum Indonesia tidak mengenal pertukaran tahanan. Begitu pula ketika
Negara Kanguru tersebut akan menanggung semua biaya penahan dua warga negara selama
menjalankan hukuman di Indonesia asalkan keduanya tidak dijatuhi hukuman mati. Rupanya,
Brasil dan Australia menolak untuk memahami tantangan yang dihadapi Indonesia itu.
Presiden Rousseff terang-terangan menghina Indonesia ketika menolak menerima surat
kepercayaan Duta Besar Indonesia untuk Brasil Totok Riyanto. Langkah tegas pemerintah
langsung menarik pulang Totok sangat tepat. Abbott juga ikut-ikutan menghina Indonesia
ketika dia mengungkit bantuan negaranya untuk korban tsunami Aceh. Tentu saja, dalam
konteks diplomasi yang berkeadaban, perilaku Rousseff dan Abbott tak lazim.
Abbott tak hanya memicu pertikaian diplomatik dengan Jakarta, tetapi juga menimbulkan
ketersinggungan masyarakat di berbagai pelosok daerah. Dia minta Indonesia balas budi atas
bantuan satu miliar dolar dari Australia saat peristiwa tsunami Aceh. Bantuan itu dibarter
dengan tidak mengeksekusi Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Keduanya adalah
anggota kelompok Bali Nine yang dibekuk di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, pada 17 April
2005. Sukumaran, 33, dan Chan, 31, terbukti berupaya menyelundupkan heroin seberat 8,2
kilogram.
Pernyataan Abbott memancing kemarahan rakyat Indonesia. Masyarakat di berbagai daerah
merespons perilaku Abbott dengan gerakan pengumpulan ”Koin untuk Australia” sambil
terus mendesak penegak hukum mengeksekusi Sukumaran dan Chan. Sedangkan pada level
pemerintah, Kementerian Luar Negeri RI menilai Abbott sebagai diplomat amatiran dan
menolak mengomentari pernyataan pemimpin Australia itu. Sikap Kementerian Luar Negeri
RI sejalan dengan pandangan Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop yang menilai
perilaku Abbott justru tidak membantu menyelesaikan masalah.
Abbott boleh saja menyandang jabatan perdana menteri Australia. Namun, sudah beberapa
kali dia berbuat kontroversi yang tak perlu. Sebelum menyinggung bantuan Australia untuk
bencana tsunami Aceh, dia sempat membuat masalah dengan Presiden Rusia Vladimir Putin
ketika meminta kompensasi atas kematian warga Australia dalam kecelakaan pesawat
Malaysia Airlines MH17. Mungkin, Abbott masih akan membuat pernyataan-pernyataan
yang kontroversial di kemudian hari.
Menghadapi perilaku Abbott seperti itu, Indonesia tidak perlu berlebihan dalam
menyikapinya. Di negerinya sendiri, Abbott sering menjadi bahan olok-olok. Karena itu,
Pemerintah Indonesia harus konsisten dengan pendirian maupun keputusannya, termasuk
untuk kasus eksekusi dua anggota Bali Nine itu.
Indonesia melalui prinsip politik luar negeri bebas dan aktif tentu akan menghargai negara
lain untuk memperjuangkan kepentingan warga mereka. Namun, negara lain juga tidak boleh
mengintervensi apalagi menghina kedaulatan hukum Indonesia.
44
FIRMANDEZ
Anggota Komisi I Fraksi Partai Golkar DPR RI
45
Diplomasi Pertahanan sebagai Alat Kebijakan Luar Negeri
Koran SINDO
14 Maret 2015
Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia menjadi topik hangat di dunia internasional
belakangan ini. Banyak negara yang memprotes dan melabeli Pemerintah Indonesia sangat
tidak manusiawi.
Salah satu negara yang paling keras mengecam hukuman mati di Indonesia adalah Australia,
sebagai akibat dari dua warganya yang berada pada top list akan dieksekusi segera karena
dakwaan sebagai pemimpin jaringan penyelundup narkoba ”Bali Nine”. Dua warga negara
Australia terpidana Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, mendorong Perdana
Menteri Tony Abbott mengeluarkan berbagai jurus diplomatiknya yang terkesan sangat
agresif dan cenderung arogan, agar pemerintahan Presiden Jokowi membatalkan
eksekusi. Namun, Pemerintah Indonesia bergeming dan rencana pelaksanaan hukuman mati
tetap berjalan.
Bulan lalu Menteri Luar Negeri Australia Julie Bishop menyatakan, Australia akan
melakukan boikot pariwisata Bali. Pernyataan Bishop tersebut diperparah dengan ucapan
Abbot yang mengatakan, bangsa Indonesia jangan lupa kebaikan Australia yang telah
mengucurkan dana miliaran dolar untuk membantu para korban tsunami di Aceh tahun
2004. Sontak pernyataan kedua petinggi Negeri Kanguru tersebut mengejutkan dunia dan
membuat rakyat Indonesia meradang dan tersinggung karena telah merendahkan harga diri
bangsa Indonesia.
Pernyataan politik Abbott dan Bishop sebenarnya sesuatu hal yang wajar, tetapi dalam
pergaulan tingkat tinggi, protes seorang kepala pemerintahan yang mengaitkan dengan
bantuan kemanusiaan, sungguh sangat tidak elok, tidak elegan, sangat menyinggung dan
menyakiti bangsa Indonesia. Dari keteguhan pemerintahan Indonesia untuk tidak
mengampuni kedua narapidana Bali Nine, berkembang menjadi sikap antipati masyarakat
Indonesia kepada Australia.
Jika dicermati lebih jauh pernyataan-pernyataan Abbott dan Bishop, yang mengancam
pemboikotan pariwisata ke Pulau Dewata, kiranya Pemerintah Australia perlu berhitung
dengan cermat dengan segala rencana boikot-boikot mereka terhadap Indonesia. Sebab jika
boikot dilakukan, maka Indonesia dapat saja menjalankan diplomasi pertahanan terhadap
Australia, dengan memblokade jalur pelayaran kapal-kapal dagang negara tersebut, yang
akan berakibat kerugian lebih besar di pihak Australia.
46
Memang tidak dapat dimungkiri bahwa Bali selama ini merupakan tujuan wisata utama
warga Australia. Meskipun demikian, secara persentase, Australia masih menduduki
peringkat ketiga setelah dua negara ASEAN, Singapura dan Malaysia, dari sisi jumlah
wisatawan yang berkunjung ke Bali sepanjang tahun lalu. Artinya, turis yang berasal dari
intern ASEAN masih lebih banyak daripada Australia dari total 9,3 juta wisatawan ke Bali.
Demikian juga halnya dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) yang dimiliki
Indonesia. Dari tiga ALKI milik Indonesia, jalur laut melalui Laut Sulawesi, Selat Makassar,
Laut Flores, Selat Lombok atau ALKI-II, merupakan jalur laut utama yang sering dilayari
kapal-kapal dagang Australia. Sekitar 80% komoditas Negeri Kanguru yang diangkut ke
China melalui ALKI-II yang terletak di antara Pulau Lombok dan Bali.
Masih segar dalam ingatan kita pada tahun 2006 yang lalu ratusan warga Lombok, Nusa
Tenggara Barat (NTB), menyampaikan aspirasi mereka kepada Pemerintah NTB, agar
pemerintah menutup Selat Lombok sebagai jalur utama perdagangan kapal-kapal Australia.
Tuntutan warga NTB tersebut dipicu oleh campur tangan Australia terhadap masalah dalam
negeri Indonesia. Kebijakan Pemerintah Australia memberikan visa kepada sejumlah warga
Papua merupakan bentuk intervensi masalah dalam negeri Indonesia, yang tidak berhak
dicampuri oleh Australia.
Jika Selat Lombok terlarang bagi kapal-kapal dagang Australia, maka dipastikan
perdagangan negara tersebut akan terganggu. Pada pertengahan 2011 sebuah peternakan sapi
kenamaan Australia, Bullo River Stasion, dengan sangat terpaksa dijual oleh
pemiliknya. Ketiadaan pembeli dan kehilangan pasar untuk menyalurkan produksi daging
peternakan seluas 160.000 hektare itu menjadi penyebabnya. Kebijakan larangan ekspor sapi
ke Indonesia oleh Pemerintah Australia pada waktu sangat memukul para peternak di
Australia dan menimbulkan kesulitan ekonomi yang masif.
Australia merupakan negara pengekspor hewan ternak terbesar di dunia, dan Indonesia
merupakan pasar terbesar bagi para peternak Australia yang mampu menghasilkan potensi
devisa sebesar 461 juta dolar Australia. Dapat dibayangkan, betapa besar kerugian yang akan
dialami Australia jika jalur dagang negara tersebut ditutup.
Menurut data yang ada, Indonesia mampu menyerap 60% total produksi hewan ternak
Australia. Indonesia dengan potensi pasar sebesar 245 juta penduduk memang merupakan
”ladang harta karun” yang dapat memakmurkan bangsa Australia. Jika jalur dagang tertutup,
maka akan memunculkan gelombang protes baru terhadap pemerintahan Abbott yang dapat
menjadi faktor kehancuran pemerintahan perdana menteri yang berasal dari Partai Liberal
Australia tersebut.
Mencermati situasi politik nasional yang berkembang saat ini, selayaknya Indonesia
meningkatkan peran diplomasi pertahanan, terutama dalam konteks hubungan bilateral
dengan Australia. Konsep diplomasi pertahanan sejatinya adalah sebagai alat penting bagi
kebijakan pertahanan dan kebijakan luar negeri sebuah negara.
47
Bagi negara-negara ASEAN, diplomasi pertahanan merefleksikan kewaspadaan nasional
untuk mengatasi berbagai masalah nasional dalam lingkup regional. Dalam prosesnya,
diplomasi pertahanan melibatkan segenap komponen negara, baik politisi, pihak militer,
pejabat pemerintahan, para pakar, bahkan LSM.
Dalam menghadapi isu boikot yang dicanangkan Australia ini, TNI dapat memainkan peran
diplomasi pertahanan tersebut. Seperti kejadian tahun 2014, akibat isu penyadapan yang
dilakukan Australia terhadap Presiden SBY. Merespons pelecehan tersebut, Pemerintah
Indonesia menugaskan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk memperketat wilayah
perbatasan dengan menggelar latihan besar-besaran di sekitar Selat Lombok. Kehadiran TNI
dengan kekuatan besar dan persenjataan mutakhir membuat parlemen Australia khawatir.
Karena dari wilayah sekitar Lombok dan Makassar, Australia bisa dijangkau dengan mudah.
Kebijakan aktivasi diplomasi pertahanan merupakan langkah yang imperatif atau sangat
penting diterapkan Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat yang memiliki kebijakan
dalam negeri independen dan bebas dari intervensi negara mana pun.
Serangkaian kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi untuk mewujudkan kesejahteraan
rakyat Indonesia kiranya tidak hanya cukup ditunjukkan dengan keteguhan terhadap
pelaksanaan hukuman mati, tetapi perlu dan penting didukung dengan kebijakan pertahanan
yang sinkron dengan keputusan politik. Adalah sama pentingnya keteguhan terhadap sebuah
keputusan yang telah dibuat, disertai dengan unjuk kesiapan menghadapi ancaman boikot dari
negara lain.
Banyak yang mungkin berpendapat bahwa Indonesia tidak perlu gelar kekuatan bersenjata,
seakan-akan siap perang dengan Australia. Memang diplomasi pertahanan tidaklah ditujukan
untuk kesiapan berperang karena hakikatnya diplomasi pertahanan merupakan jalan damai
yang diinginkan sebuah negara untuk melindungi kepentingan nasional negara tersebut.
Ada dua keuntungan yang bisa didapat Indonesia dengan menggelar kekuatan bersenjata di
sekitar Selat Lombok. Pertama, secara diplomatik Indonesia dapat menunjukkan keunggulan
diplomasi dan memberikan keuntungan ekonomi. Pemerintah tidak perlu mengeluarkan
pernyataan blokade jalur pelayaran di Selat Lombok, tetapi secara halus Indonesia dapat
memberitahukan kepada setiap negara pengguna ALKI-II untuk sementara waktu
menghentikan kegiatan dagang mereka melalui jalur tersebut karena sedang dipergunakan
untuk latihan militer, sebagai latihan rutin kesiapan militer Indonesia dalam menjaga teritori
Indonesia. Jika jalur dagang di ALKI-II tidak dapat dilalui, maka Australia akan mengalami
kerugian besar, bahkan Indonesia dapat memainkan harga ternak yang ingin dijual Australia,
jika Negeri Kanguru ini tetap ingin mengekspor komoditi mereka melalui ALKI-II.
Kedua, pemerintahan Presiden Jokowi dapat meraih kepercayaan dan sekaligus dukungan
rakyat, bahwa pemerintah bersungguh-sungguh mengembangkan kekuatan dan meningkatkan
kemampuan militer Indonesia yang dapat menjaga integritas wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia serta martabat bangsa.
48
Pernyataan yang dikeluarkan Abbott dan Bishop terhadap kebijakan dalam negeri Indonesia
merupakan sebuah refleksi sikap arogansi sebuah negara lain yang memandang rendah
bangsa Indonesia. Pernyataan yang dikeluarkan Abbott tidak lagi merupakan sebuah ucapan
santun dan diplomatis, tetapi lebih merupakan sebuah bentuk ucapan yang kasar dan tidak
mencerminkan ucapan seorang pemimpin yang menghargai bangsa lain.
Seyogianya Pemerintah Indonesia menyikapi intervensi tersebut dengan diplomatis, elegan
dan taktis tanpa perlu terjebak dengan manuver-manuver Abbott yang memiliki agenda
menghindarkan diri dari cercaan bangsanya sendiri.
RODON PEDRASON
Pengajar di Universitas Pertahanan Indonesia; Sedang Menyelesaikan Program PhD di
Ruprecht-Karls-Universität, Heidelberg, Jerman; Penerima Beasiswa Unggulan BPKLN
Kemdikbud RI
49
Melawan Begal Politik dan Mandat Palsu
Koran SINDO
16 Maret 2015
Sebuah eksperimen politik sedang berlangsung dengan cara membelah Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar. Tentu saja ada agenda tersembunyi di balik
eksperimen politik itu. Presiden Joko Widodo (Jokowi) hendaknya mengamati arah dan target
eksperimen dimaksud.
Partai-partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) di DPR sudah terbukti
menjadi kekuatan penyeimbang yang kritis konstruktif. Sejumlah kebijakan presiden yang
pro-rakyat dan pro-kepentingan nasional mendapat dukungan solid dari KMP. Dari
kebutuhan anggaran untuk realisasi program sosial pemerintah seperti Kartu Indonesia Sehat
(KIS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP), sampai keputusan Presiden mengubah figur calon
tunggal kepala Polri, semua didukung tanpa reserve oleh KMP.
Ambivalensi justru dipertontonkan kekuatan-kekuatan politik yang selama ini dikenal sebagai
pendukung Presiden Jokowi, khususnya semasa kampanye dan pemilihan presiden.
Kekuatan-kekuatan politik itu terang-terangan merongrong kepemimpinan Presiden Jokowi.
Mereka mengecam sejumlah menteri Kabinet Kerja yang loyal kepada Presiden, mendesak
dilakukan reshuffle kabinet hingga menggagas penggunaan hak angket oleh DPR guna
merespons keputusan Presiden membatalkan pelantikan Komjen Pol Budi Gunawan sebagai
kepala Polri.
Semua perilaku aneh dari kekuatan-kekuatan politik pendukung Presiden Jokowi itu begitu
terang benderang di mata rakyat. Ada apa dengan mereka? Tentu tidak sekadar kekecewaan
karena tidak mendapat jatah menteri atau jabatan lain di pemerintahan sekarang ini. Pasti ada
agenda besar lain yang ingin diwujudkan walau tidak mudah.
Sudah bisa dipastikan bahwa KMP sama sekali tidak punya agenda menjatuhkan atau
memakzulkan Presiden Jokowi. Ketika sejumlah politisi anggota KMP ikut mendorong
penggunaan hak angket DPR untuk kasus pembatalan pelantikan Komjen Pol Budi Gunawan
sebagai kepala Polri, para pemimpin KMP justru memperlihatkan sikap sebaliknya. Para elite
KMP mengingatkan semua pihak menyadari bahwa harga yang akan dibayar bangsa ini akan
sangat mahal jika Presiden dimakzulkan untuk alasan-alasan yang tidak relevan. Isu tentang
penggunaan hak angket DPR ini akan mengemuka lagi setelah DPR mengakhiri masa reses
pekan terakhir Maret 2015. Pencalonan Komjen Pol Badroedin Haiti sebagai kepala Polri
bisa saja berjalan tidak mulus jika kekuatan politik pendukung Presiden Jokowi melanjutkan
sikap ambivalen mereka.
50
Dibutuhkan kekuatan mayoritas di DPR untuk memuluskan penggunaan hak angket itu.
Sudah barang tentu partai-partai pendukung Jokowi berharap bisa mendulang dukungan dari
komponen-komponen KMP. Untuk mendulang dukungan dari KMP itulah, dikreasi
eksperimen politik dengan memecah belah anggota KMP, utamanya PPP dan Partai Golkar.
Ada kekuatan besar yang menata skenario eksperimen itu dan menjadikan Menteri Hukum
dan HAM (Menkumham) Yasona H Laoly sebagai eksekutor pemecah PPP dan Golkar.
Eksperimen politik para pembegal demokrasi itu harus dihentikan. Itu sebabnya, parpol
anggota KMP di DPR akan menggulirkan hak angket terhadap Menkumham. Dia dipaksa
berperilaku seperti ”pembegal”, tepatnya begal demokrasi atau begal politik, karena
mencampuri masalah intern Partai Golkar dan PPP.
Loyalitas Tunggal
Pada kasus Partai Golkar misalnya, Menkumham sama sekali tidak menjadikan fakta
permasalahan sebagai acuan keputusan. Dia justru menjadikan kepentingan politik sebagai
dasar keputusannya.
Ketetapan hukum tentang kepengurusan PPP sudah jelas. Sementara pengurus Partai Golkar
hasil Munas Bali telah membeberkan fakta-fakta tentang dugaan pemalsuan surat mandat
yang menjadi dasar pelaksanaan Munas Ancol yang diselenggarakan kubu Agung Laksono
dkk. Data-data itu sudah dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri pada Rabu, 11 Maret 2015.
Tidak kurang dari 43 surat mandat yang tanda tangannya diduga palsu. Contohnya surat
mandat dari Aceh.
Selain itu, ada 104 surat mandat yang kop suratnya diduga tidak sesuai aslinya. Untuk kasus
ini, contohnya surat mandat dari Nabire. Tidak hanya itu. Ditemukan juga fakta tentang 19
surat mandat yang diduga stempelnya palsu dengan contoh kasus surat mandat dari
Kabupaten Manggarai, NTT. Selain itu, 40 surat mandat diduga tidak memiliki kewenangan
menandatangani surat mandat. Contohnya Gayo Lues dan Nagan Raya. Seluruhnya ada 133
surat mandat yang bermasalah.
Perbandingan surat mandat yang digunakan sebagai dasar pelaksanaan Munas Bali dan
Munas Ancol pun sangat jelas menggambarkan siapa legitimate dan siapa yang minus
legitimasi. Pelaksanaan Munas Bali diperkuat oleh surat mandat 34 unsur DPD provinsi dan
512 surat mandat dari unsur DPD kabupaten/kota. Sementara itu, Munas Ancol hanya
didukung 16 surat mandat dari unsur DPD provinsi dan 260 surat mandat dari unsur
kabupaten/kota. Munas Bali legitimate karena dukungan 100% dari seluruh unsur
kepengurusan dari tingkat pusat hingga kabupaten/kota, sedangkan Munas Ancol hanya
50,55%.
Data-data ini telah digunakan dalam persidangan Mahkamah Partai Golkar. Maka itu,
keputusan Menkumham memang patut digugat. Apalagi, Ketua Mahkamah Partai Golkar
Profesor Muladi menyebut Munas Bali lebih legitimate.
51
Karena itu, dalam pernyataan resmi bersama yang dibacakan di Gedung DPR RI, Jumat
(13/2), KMP harus mengingatkan lagi Menkumham bahwa Indonesia ini negara hukum,
bukan negara kekuasaan. Sebagai menteri hukum, Laoly seharusnya bertindak ekstrahati-hati,
tidak melawan hukum, dan tidak menabrak undang-undang.
Dalam menyikapi persoalan internal di Partai Golkar dan PPP, Menkumham telah bertindak
sewenang-wenang. Menkumham bertindak dan berkeputusan hanya berdasarkan kepentingan
politik, bukan fakta permasalahan. Maka itu, gagasan KMP untuk menggunakan hak angket
menjadi bentuk perlawanan terhadap kesewenang-wenangan Menkumham itu.
Keputusan Menkumham yang membuat Partai Golkar dan PPP tetap berselimut konflik
bukan hanya melawan hukum, melainkan jelas-jelas sarat kepentinggan politik. KMP yakin
bahwa model keputusan Menkumham seperti itu tidak pernah dikonsultasikan dengan
Presiden. Bisa dipastikan pula bahwa Presiden Jokowi sama sekali tidak tahu bahwa
keputusan Menkumham justru memihak salah satu kubu.
KMP menduga, ada pihak yang coba mengambil keuntungan politik; mengail di air keruh
jika Golkar dan PPP terus berkonflik. Pihak-pihak itu sekaligus ingin menjauhkan Golkar dan
PPP dari pusat kekuasaan. Sejauh ini Golkar di bawah kepemimpinan Aburizal Bakrie dan
PPP kepemimpinan Djan Faridz bersama KMP secara politik mendukung sejumlah kebijakan
Presiden Jokowi.
Kalau aksi ”begal politik” terhadap Golkar dan PPP tidak dihentikan, aksi ini akan dijadikan
pintu masuk untuk mewujudkan agenda politik lain yang bisa mengancam kepentingan
nasional. Agenda kelompok yang berkepentingan dengan putusan Menkumham itu jelas
menjadi ancaman bagi tatanan demokrasi yang sudah dan sedang dibangun selama ini.
Selaku kepala pemerintahan, Presiden Jokowi sebaiknya mengingatkan Menkumham agar
hanya patuh pada perintah Presiden, bukan patuh pada kekuatan lain. Menkumham harus
menunjukkan loyalitas tunggal yakni loyal kepada Presiden. Bukan loyalitas ganda.
Artinya, setiap rancangan keputusan menteri harus dikonsultasikan lebih dahulu ke Presiden.
Bukan kepada kekuatan lain yang tidak kompeten. Apalagi jika keputusan itu menimbulkan
dampak yang luas dan strategis bagi masyarakat maupun pemerintah.
Karena jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan terhadap bangsa dan negara ini, yang
paling bertanggung jawab adalah penghuni Istana, Jalan Medan Merdeka. Bukan penghuni
istana atau rumah di alamat yang lain.
BAMBANG SOESATYO
Sekretaris Fraksi Partai Golkar dan Anggota Komisi III DPR RI
52
Golkar di Persimpangan Jalan
Koran SINDO
16 Maret 2015
Prahara di tubuh Partai Golkar kian memanas. Rivalitas kubu Agung Laksono dan kubu
Aburizal Bakrie semakin menjauh dari titik temu untuk bersatu.
Salah satu faktor pemicu kian panasnya atmosfer konflik di tubuh Golkar adalah keputusan
Kementerian Hukum dan HAM yang mengakui kepengurusan DPP Partai Golkar versi
Munas Jakarta yang dipimpin Agung Laksono. Keputusan yang ditandatangani Menteri
Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly pada 10 Maret 2015 ini merujuk pada
keputusan Mahkamah Partai Golkar yang ditafsiri memenangkan munas versi kubu
Agung. Rujukan hukumnya disandarkan pada Pasal 32 ayat 5 Undang-Undang Parpol Nomor
2 Tahun 2011 bahwa putusan mahkamah partai bersifat final dan mengikat.
Pascapengakuan, Golkar pun seolah berada di persimpangan jalan. Bingung, langkah apa lagi
yang mesti ditempuh untuk merekatkan kedua kubu, sekaligus bingung menentukan bandul
politiknya pada masa mendatang.
Dilema Kekuasaan
Sebagaimana diketahui, putusan Mahkamah Partai Golkar (MPG) bersifat ambigu. Kesamaan
pendapat terjadi di antara Muladi dan HAS Natabaya, yang berbeda dengan pendapat Djasri
Marin dan Andi Mattalatta. Muladi dan Natabaya merekomendasikan agar dua kubu
menghindari the winner takes all, merehabilitasi mereka yang dipecat, dan mengajak pihak
yang kalah dalam kepengurusan.
Sementara itu, Djasri Marin dan Andi Mattalatta menyampaikan pendapat yang lebih tegas.
Keduanya menilai Munas IX Bali yang menetapkan Aburizal Bakrie dan Idrus Marham
sebagai ketua umum dan sekretaris jenderal Golkar secara aklamasi tak
demokratis. Keduanya juga menilai bahwa pelaksanaan Munas Jakarta sangat terbuka,
transparan, dan demokratis meski memiliki banyak kekurangan.
Tak bulatnya pandangan MPG inilah yang memicu multiinterpretasi atas putusan yang
dikeluarkan. Ini menjadi celah argumen bagi kubu ARB untuk terus melakukan upaya hukum
di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan membawa putusan Kemenkumham ke PTUN DKI
Jakarta.
Yang menarik dicermati dari kekisruhan internal Golkar ini ada dua hal. Pertama, dilema
dalam memilih saluran penyelesaian konflik. Golkar yang surplus politisi senior tentu
53
menyadari agenda politik mendesak yang akan dihadapi mereka pada 2015 yakni pilkada
serentak. Jika konflik tak teratasi segera, ancaman nyata ada di depan mata. Sudah terbayang
betapa banyak agenda yang mesti disiapkan struktur Partai Golkar di daerah dalam
menyambut ketatnya persaingan pilkada serentak ini. Jikapun Golkar masih bisa ikut serta
dalam perhelatan pilkada, belum menjamin solidnya mesin pemenangan akibat dualisme
kepengurusan yang pasti punya imbas hingga ke struktur Golkar di daerah.
Dalam jangka panjang ini juga akan berpengaruh pada eksistensi Partai Golkar dalam
hubungannya dengan psikopolitis pemilih dan masyarakat. Seorang elite Partai Golkar kubu
ARB mengkhawatirkan, jika konflik terus berlarut-larut, bukan mustahil Golkar di Pemilu
2019 akan menjadi one digit party!
Dilema penyelesaian konflik muncul saat pendekatan kultural berupa islah lewat mediasi
gagal total. Lantas muncul alternatif penyelesaian seperti diatur UU Partai Politik, ternyata
juga tak membuahkan putusan jelas. Sementara solusi lewat pengadilan atau saluran di luar
partai juga mengandung risiko serius yakni pihak yang kalah biasanya menjadi kelompok
penyimpang bahkan memungkinkan ada partai baru atau partai tandingan yang menggerus
konstituen Golkar.
Dilema kedua, yang sesungguhnya lebih besar dan menggoda arah politik Golkar, yakni
kekuasaan! Sebagaimana kita ketahui, sejarah Partai Golkar adalah sejarah kekuasaan.
Konflik di tubuh Partai Golkar harus juga dimaknai sebagai pertarungan antarfaksi yang akan
membawa ke mana arah politik Golkar di era Jokowi-JK. Kubu ARB berkepentingan
membawa Golkar di gerbong Koalisi Merah Putih (KMP), sedangkan kubu Agung
berkeinginan mendulang sumber daya politik dengan merapat ke Koalisi Indonesia Hebat
(KIH).
Tak dimungkiri, situasi dinamis rezim Jokowi-JK yang sedang mencari titik keseimbangan
politik juga tampaknya membuka peluang besar akomodasi politik. Langkah pemerintahan
Jokowi-JK ini seolah mengonfirmasi tesis Arend Lijhart dalam bukunya, Patterns of
Democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries (1999), bahwa
dalam masyarakat majemuk yang tidak ada partai dominannya cenderung akan menggunakan
demokrasi model konsensus. Koalisi membangun pemerintahan merupakan bagian dari
konsensus tersebut.
Rekam jejak elite kekuasaan kita lebih banyak memilih pola ‘ko-opsi’ dan konsensus
daripada kompetisi politik secara fair. Anatomi kekuasaan Jokowi-JK pun tampaknya
meneruskan tradisi lama yakni mengacu pada akomodasi politik sebagai wujud pengaturan
keseimbangan yang sangat hati-hati.
Jika Golkar akhirnya juga masuk ke dalam skema koalisi partai pendukung pemerintah, ini
menyebabkan parpol di luar kekuasaan tak lagi efektif di parlemen. Dengan begitu, pola
hubungan promiscuous atau sering gonta-ganti pasangan di dalam koalisi yang menjadi
wajah rezim SBY juga akan menghiasi wajah kekuasaan Jokowi. Padahal Jokowi yang
54
mengikrarkan diri akan membangun koalisi ramping dan berbasis hubungan tanpa syarat.
Meski masuknya Golkar akan menambah dukungan terhadap Jokowi, saat bersamaan juga
secara substantif akan mengundang kritisisme publik atas nilai keberbedaan rezim Jokowi
dibanding SBY dan Soeharto.
Tradisi Baru, Mungkinkah?
Terlepas dari siapa pun yang memenangi konflik internal di tubuh Golkar, seharusnya
menjadikan momentum saat ini untuk memulai tradisi baru sebagai partai modern yakni siap
di dalam dan di luar kekuasaan. Golkar sudah terbukti memiliki daya tahan sebagai
kolaborator dalam beberapa rezim kekuasaan, tetapi belum teruji berada di luar
pemerintahan.
Ada beberapa keuntungan bagi Golkar jika lima tahun ke depan konsisten berada di luar
kekuasaan. Pertama, Golkar memiliki kesempatan untuk menata ulang cara pandang, mental,
dan mekanisme keorganisasian. Sejak reformasi hingga sekarang, Golkar senantiasa
disibukkan dengan perburuan kekuasaan dan abai dengan urusan rumah tangga sendiri,
termasuk lemahnya optimalisasi peran partai dari pusat hingga daerah.
Kedua, Golkar bisa memaksimalkan posisi strategisnya sebagai partai pemenang kedua untuk
memperkuat peran dan posisi kekuatan penyeimbang agar prinsip checks and balances bisa
berjalan. Kelompok di luar pemerintahan selama dua periode SBY nyaris tumpul karena tak
mampu menjadi kekuatan pengontrol yang efektif.
Ketiga, keberadaan di luar kekuasaan harusnya menjadi kesempatan Golkar untuk melakukan
reposisi, terutama dalam pola hubungannya dengan basis konstituen. Persepsi masyarakat
tentang Golkar bisa menjadi lebih positif jika mau bekerja nyata (working in public) selama
lima tahun ke depan. Bukan mustahil, Golkar juga akan meraup insentif elektoral seperti
PDIP di Pemilu 2014.
Mungkinkah terjadi? Sangat bergantung pada mental dan sikap politisi Golkar.
GUN GUN HERYANTO
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif The Political Literacy
Institute
55
Parpol di Kemenkumham
Koran SINDO
17 Maret 2015
Belum cukup 24 jam Yasonna Laoly menjadi menteri hukum dan HAM, Indonesia
terguncang. Tak tanggung-tanggung, salah satu dari dua kepengurusan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) yang sedang bersengketa diakui keabsahannya. Kini, Indonesia
terguncang lagi dengan sebab yang sama. Kepengurusan Partai Golkar (PG) yang sedang
bersengketa, justru salah satunya diakui keabsahannya oleh kementerian ini.
Apakah ini menjadi tabiat dasar kementerian ini atau pemerintah Presiden Joko Widodo
(Jokowi), terus terang belum bisa disimpulkan secara definitif. Tetapi ini adalah sebuah
perkara besar, karena nihilnya derajat koherensi konstitusionalisme.
Konstitusionalisme bukan perkara menang atau kalah, tetapi perkara pijakan hukum, berbasis
nilai filosofi, yang dalam kasus Indonesia bersumber dari pembukaan UUD 1945. Soal ini,
kalau dilukai, di mana pun, menghasilkan selain kehidupan bar-bar, juga otoriter.
Babak Otoriter
Merindukan demokrasi, bukan saja karena demokrasi itu menjanjikan pengakuan terhadap
otonomi setiap orang sebagai makhluk mulia, dan merdeka, tetapi lebih dari itu. Dalam
demokrasi, otonomi setiap orang terjanjikan eksistensinya, dan menjadi prasyarat harkat dan
martabatnya setiap orang sebagai insan mulia terjamin pula eksistensinya.
Boleh jadi karena itulah, sehingga kecemasan George Washington dan John Adam, presiden
pertama dan kedua Amerika itu terhadap efek buruk partai politik, tak cukup ampuh menahan
gairah berpartai politik. Tetapi boleh jadi juga, politik aliran telah muncul sejak, ambil
misalnya, saat George Washington dipilih menjadi presiden, sehingga Thomas Jefferson dan
James Madison bergairah menghendaki berdirinya partai politik.
Dalam kasus Indonesia, Bung Syahrir jelas tidak mau republik yang masih muda kala itu
dicap fasis oleh sekutu. Cap fasis itu dalam keyakinannya hanya bisa ditiadakan bila
dimungkinkan berdirinya partai-partai politik. Keyakinan itu diamini Bung Hatta. Itulah
sekelumit kisah lahirnya partai politik di Republik Indonesia, yang kala itu masih berusia
tidak lebih dari tiga bulan.
Itu sebabnya, kala Masyumi, sebuah partai politik yang dikenali Daniel S Lev, indonesianis
hebat ini, sebagai partai dengan gairah konstitusionalisme tak tertandingi pada masanya
dipalu-godamkan oleh rezim lama, ditangisi. Bukan sekadar sebagai kebangkrutan demokrasi
56
dan kematian konstitusionalisme paling mengenaskan, tetapi lebih dari itu, peristiwa itu
mengawali terkonsolidasinya demokrasi terpimpin, demokrasi bertuan penguasa.
Orde ini pun bangkrut pada 1966. Menariknya, Masyumi tak diberi hak hidup lagi, dan partai
baru yang hendak didirikan Bung Hatta pun tak direstui penguasa baru ini. Mencengangkan,
bermaksud mulia untuk menghidupkan konstitusionalisme, dengan cara melaksanakan UUD
secara murni dan konsekuen, ternyata berbelok.
Parmusi yang berkongres di Malang, dan telah menetapkan Moh. Roem sebagai ketua
umumnya, justru ditolak penguasa. Alasannya sederhana, Roem adalah salah satu eksponen
hebat Masyumi.
Konstitusionalisme terpimpin, untuk tak mengatakan feodal, masih terus berlanjut. Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) dalam kongresnya di Medan, yang berhasil menetapkan
Megawati Soekarno Putri, anak Bung Karno sebagai ketua umumnya, ditolak penguasa.
Caranya pun mengerikan untuk ukuran demokrasi, tetapi sah untuk ukuran rezim otoriter.
Lahirlah PDI Perjuangan (PDIP), yang berhasil menugaskan kadernya menjadi presiden saat
ini, dan salah satu kadernya diangkat memangku jabatan menteri hukum dan HAM.
Hentikan
Pasti bukan merupakan kelanjutan logis konstitusionalisme feodal, terpimpin khas Orde
Lama, dan suka-suka, acak-kadul khas Orde Baru, sedang dihidupkan eksistensinya saat ini.
Tetapi keadaan yang dialami PPP dan PG saat ini, menandai sebuah gerak naik nalar
konstitusionalisme terpimpin dan otoriter itu. Nalar ini pendek, tak bening, tentu tak logis.
Nalar hukum otoriter memang tak mungkin mengenal maksud pembuat putusan. Pada
halaman 133 Putusan Mahkamah Partai Golkar, dinyatakan ”5 Amar Putusan” Mengadili,
dalam eksepsi; menerima eksepsi para Termohon dalam Perkara Nomor 02/PI-Golkatr/
II/2015 untuk sebagian. Menyatakan permohonan para pemohon dalam perkara Nomor
02/PI-Golkar/II/2015 tidak dapat diterima.
Dalam pokok perkara permohonan majelis Mahkamah Partai Golkar, amarnya berisi
penegasan; oleh karena terdapat pendapat berbeda di antara anggota Majelis Mahkamah
terhadap Pokok Permohonan, sehingga tidak tercapai kesatuan pendapat di dalam
menyelesaikan sengketa mengenai keabsahan kedua Munas Partai Golkar IX. Pendapat
berbeda dimaksud masing-masing adalah Muladi dan HAS Natabaya mempunyai pendapat
sebagai berikut. Inti pendapat keduanya mengakui tindakan yang diambil Aburizal Bakrie
dan Idrus Marham menyelesaikan sengketa ini di Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Tegas
dinyatakan bahwa tindakan keduanya sesuai rekomendasi Mahkamah Partai tanggal 23
Desember 2014. Dalam amar ini juga, keduanya merekomendasikan empat hal.
Setelah pendapat keduanya, barulah diuraikan pendapat dua anggota majelis lainnya. Dalam
kata-katanya sesudah pendapat Muladi dan HAS Natabaya dinyatakan pendapat berikutnya
57
anggota Majelis Mahkamah Partai atas nama Djasri Marin dan Andi Mattalatta adalah
sebagai berikut. Diuraikanlah pendapat keduanya. Pada akhir pendapat keduanya, dinyatakan
(1) mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian dan seterusnya. (2) Meminta
Mahkamah Partai memantau proses konsolidasi tersebut sampai tuntas pada Oktober 2016.
Bagaimana membaca amar itu? Sengketa keabsahan dua kongres yang berbeda tidak
diputuskan hukumnya. Akibat hukumnya keadaan hukum semula— adanya sengketa—tidak
berubah. Sengketa jelas belum berakhir, karena tidak diputuskan hukumnya oleh Mahkamah
Partai Golkar.
Sungguh tragis, Kemenkumham melalui suratnya Nomor M.HH.II.03-26, berperihal
penjelasan tanggal 10 Maret 2015 meminta salah satu pihak yang bersengketa membentuk
kepengurusan, dan melaporkannya kepada kementerian ini. Nalar surat itu menempatkan
Kemenkumham sebagai atasan parpol, sekaligus pemerintahan sebagai pengurus partai. Ikut
mengatur kehidupan rumah tangga partai adalah ciri cara berpemerintahan khas negara
otoriter. Kecuali dari Tuhan, tidak ada satu pun ayat atau huruf dalam pasal 32 dan 33 dalam
UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol
memberi kewenangan itu kepada menteri meminta pengurus partai menyusun kepengurusan
dan melaporkannya kepada menteri.
Menyalahgunakan kewenangan, bahkan sewenang-wenang adalah kualifikasi paling tepat
atas tindakan itu. Kesewenang-wenangan adalah perkara paling mengerikan dalam negara
hukum demokratis.
MARGARITO KAMIS
Doktor Hukum Tata Negara; Staf Pengajar FH, Universitas Khairun Ternate
58
Berapa APBN untuk Parpol?
Koran SINDO
18 Maret 2015
Hampir tidak ada perdebatan tentang urgensi bantuan anggaran negara kepada partai
politik. Ketentuan imperatif ihwal ini malah sudah tertuang di dalam Undang-Undang (UU)
tentang Partai Politik sejak awal reformasi, yakni UU No. 2 Tahun 1999.
UU Parpol yang terakhir— UU No 2 Tahun 2011— juga memuat ketentuan yang sama.
Dasar pemikirannya adalah tanggung jawab negara untuk ikut menghadirkan parpol yang
sanggup menunaikan fungsinya sebagai pilar demokrasi. Tak terbantahkan, parpol
mempunyai posisi penting dalam sistem negara demokrasi.
Wilayah debatnya adalah pada tataran implementasi. Bagaimana konstruksi falsafah dan
ketentuan UU tersebut diselenggarakan dengan tepat. Berapa besarannya, apa saja
peruntukannya, bagaimana memastikan akuntabilitasnya, adalah tema-tema yang menonjol.
Besaran terkait dengan kebutuhan partai dan kemampuan APBN, peruntukan menyangkut isu
ketepatan sasaran dan efektivitas, sedangkan akuntabilitas berhubungan dengan bagaimana
pertanggungjawabannya.
Formula Bantuan APBN
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 5 Tahun 2009 yang berlaku hingga sekarang,
formula bantuan APBN kepada parpol sebesar Rp108 untuk setiap suara. UU Parpol sudah
mengatur bahwa dasarnya adalah jumlah suara hasil pemilu legislatif dari parpol yang
mempunyai kursi di parlemen. Jadi bantuan dari APBN hanya berlaku bagi parpol yang lolos
threshold, tanda parpol tersebut didukung oleh rakyat.
Jika patokannya hasil Pemilu 2014, ada 10 parpol yang lolos threshold. Perolehan suara total
10 parpol tersebut untuk tingkat DPR adalah 124.972.491 suara. Yang terbesar PDI
Perjuangan dengan perolehan 23.681.471 suara dan yang terkecil adalah Hanura dengan
capaian 6.579.498 suara. Kalau ketentuan PP dilaksanakan, total bantuan APBN kepada
seluruh parpol adalah Rp13,17 miliar. Penerima terbesar adalah PDIP dengan jatah Rp2,55
miliar dan diikuti oleh parpol-parpol lain secara proporsional.
Dibanding dengan kebutuhan dana partai per tahun, angka Rp2,55 miliar sangat jauh dari
cukup. Bahkan jikapun PDI Perjuangan atau parpol lainnya masing-masing mendapatkan
Rp13,17 miliar (angka total bantuan), juga belum mendekati memadai. Dari pengalaman
berbagai parpol yang serius, angka Rp2,55 miliar tidak lebih dari 2% saja angka kebutuhan
59
riil. Belum lagi pada tahun menjelang pemilu dan tahun penyelenggaraan pemilu, kebutuhan
dana mengalami lonjakan serius.
Tidak berlebihan jika dikatakan formula yang berlaku sekarang tergolong sangat minimalis.
Mari bandingkan dengan formula lama yang berlaku pasca-Pemilu 1999. Saat itu
perhitungannya adalah Rp1.000 untuk setiap suara hasil pemilu legislatif, angka yang jauh
lebih besar dari pola minimalis sekarang.
Jika diambil contoh lima besar parpol berdasarkan hasil Pemilu 1999, berturut-turut
perolehan suaranya adalah: PDI Perjuangan 35.689.073, Partai Golkar 23.741.749, Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) 13.336.982, Partai Persatuan Pembangunan(PPP) 11.329.905,
Partai Amanat Nasional (PAN) 7.528.956 suara. Partai-partai tersebut masing-masing
mendapatkan sekitar Rp35,68 miliar, Rp23,74 miliar, Rp13,33 miliar, Rp11,32 miliar, dan
Rp7,52 miliar.
Dengan formula 1999 saja, jumlah bantuan dari APBN belum memadai. Apalagi dengan
formula yang berlaku saat ini. Faktanya, setiap parpol dituntut untuk membiayai urusan rutin
operasional dan pelaksanaan program yang diterjemahkan ke dalam bentuk ragam
kegiatan. Karena faktor keterbatasan dana, semua parpol terjebak urusan rutin. Program-
program yang terkait dengan pelaksanaan fungsi-fungsi utama parpol tidak optimal
diselenggarakan, terutama kaderisasi, pencerahan anggota dan konstituen. Jika pun
dilaksanakan, skalanya masih terbatas.
Inilah musabab mengapa parpol sering absen dari kehidupan rakyat dan hanya hadir
menjelang atau saat pemilu. Realitas itulah yang meniscayakan adanya penyesuaian besaran
bantuan APBN. Dasar perhitungannya harus lebih rasional agar benar-benar bisa dirasakan
faedahnya bagi peningkatan kinerja parpol. Tentu saja tidak perlu bicara triliun. Gagasan
suntikan Rp1 triliun per tahun bagi setiap parpol terlalu jumbo. Malah bisa mengganggu
rasionalitas dan mengusik perasaan publik.
Harus ada kepantasan dan ukuran daya manfaatnya yang nyata. Ambil contoh, angka
perhitungannya dinaikkan menjadi Rp3.000 untuk setiap suara. Dengan angka itu maka 10
parpol yang sekarang mempunyai kursi di DPR akan mendapatkan alokasi bantuan cukup
lumayan. Kalau dihitung, masing-masing akan mendapatkan sekitar: Rp71 miliar untuk PDI
Perjuangan, Rp54 miliar Golkar, Rp44 miliar Gerindra, Rp38 miliar Demokrat, Rp34 miliar
PKB, Rp28 miliar PAN, Rp25 miliar Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Rp25 miliar Nasdem,
Rp24 miliar PPP, dan Rp20 miliar buat Hanura.
Meski jika dikalkulasi angka-angka tersebut belum cukup untuk mengongkosi seluruh
kegiatan parpol, setidaknya telah cukup menunjukkan keseriusan negara untuk mengambil
tanggung jawab mendukung kehidupan parpol yang lebih fungsional. Jikapun masih
dianggap belum cukup memadai, dasar angka perhitungan sebesar Rp3.000 dapat dinaikkan
lagi. Tetapi hemat saya, untuk kondisi sekarang ini angka tersebut sudah relatif rasional, bisa
dijelaskan, dan akan bermanfaat nyata bagi parpol untuk semakin bergiat.
60
Harus juga ditegaskan bahwa tidak pada tempatnya jika parpol hanya menggantungkan diri
pada bantuan dari anggaran negara. Parpol tidak boleh menjadi ”anak manja” negara. Ada
potensi iuran anggota yang harus digali secara sungguh-sungguh. Ada pula sumbangan dari
perorangan dan korporasi yang bisa dioptimalkan dengan kreativitas meyakinkan calon
penyumbang. Trisula sumber dana: iuran, sumbangan, dan bantuan anggaran negara harus
berjalan seiring.
Terang dan Akuntabel
Justru lantaran ada potensi dari iuran dan sumbangan, maka peruntukan bantuan dari APBN
harus diatur ketat dan terang. Tidak elok kiranya jika bantuan tersebut digunakan untuk
membiayai urusan rutin operasional, seperti biaya kantor, pegawai, dan keperluan rutin
pengurus. Lebih tepat dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan dalam konteks penguatan
kelembagaan dan peran parpol, terutama kaderisasi dan penguatan relasi dengan konstituen.
Kegiatan diklat, kursus kader, pencerahan konstituen, bakti sosial dan pelayanan, adalah
sebagian contoh yang bisa disebut.
Hal terakhir yang tak kalah penting adalah memastikan semuanya akuntabel. Dana APBN
wajib dipertanggungjawabkan. Parpol harus menyiapkan SDM yang cakap untuk mengelola
dan mempertanggungjawabkan dana yang diterima menurut standar keuangan
negara. Pemerintah bertugas menyiapkan juklak-juknis dan melakukan supervisi. BPK
bertugas melaksanakan audit sebagaimana mestinya.
Karena itulah, mesti ada konsekuensi administratif dan pidana. Pelanggaran administratif
paling serius layak dijatuhi sanksi tidak mendapatkan jatah bantuan tahun
berikutnya. Pelanggaran pidana diproses berdasarkan ketentuan pidana yang berlaku. Dengan
cara demikian, parpol dan pengurusnya dipaksa untuk bergegas profesional dan akuntabel
dalam mengelola bantuan dari APBN.
ANAS URBANINGRUM
Ketua Presidium Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI)
61
Pelajaran dari Kisruh RAPBD DKI
Koran SINDO
18 Maret 2015
Konflik antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) masih berlangsung. Konflik ini menyita perhatian
khalayak luas.
Secara opini timbul kesan kuat bahwa berbeda dengan Ahok yang di atas angin, pihak DPRD
paling layak disorot dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
(RAPBD) 2015. Opini demikian marak hingga ke ranah media sosial dan menjadikan DPRD
sebagai semacam musuh bersama.
Tentu saja itu terlalu berlebihan, mengingat bagaimanapun, apa yang tengah terjadi
merupakan bagian dari proses politik. Proses penentuan penyusunan dan penetapan anggaran
memerlukan kerja sama yang baik antara gubernur dan DPRD. Gubernur tidak dapat jalan
sendiri, demikian pula sebaliknya.
Dalam kisruh RAPBD DKI Jakarta, Ahok melakukan langkah kontroversial dengan
menyerahkan RAPBD ke Kementerian Dalam Negeri, tetapi bukan versi hasil rapat paripurna
DPRD pada 27 Januari 2015. Ahok punya dalih bahwa RAPBD itu sarat dengan ”anggaran
siluman”.
Langkah ini secara prosedural dipandang sangat bermasalah, di mana pihak DPRD menuduh
Ahok telah melakukan pemalsuan dokumen. Mereka pun kompak melakukan hak angket.
Konflik yang berpola konfrontatif pun tak terelakkan.
Terkait dengan anggaran siluman, Ahok melaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), sementara DPRD tetap melanjutkan proses hak angket. Pihak Kementerian Dalam
Negeri mengusulkan jalan mediasi supaya mereka duduk kembali, tetapi tidak mudah
dilakukan. Dalam perkembangannya, sebagai hasil evaluasi kementerian mencoret beberapa
pos anggaran kegiatan operasional senilai Rp281,9 miliar.
Di sisi lain, Mendagri Tjahjo Kumolo menegaskan, bila gubernur dan DPRD tidak
menindaklanjuti hasil evaluasi, akan dilakukan pembatalan sekaligus menyatakan berlakunya
APBD 2014 (Koran Tempo, 16/3/2015). Perkembangan tersebut babak baru dari drama
penyusunan RAPBD yang memaksa kedua belah pihak untuk kembali membahasnya.
Meminjam analisis pakar hukum Margarito Kamis, akan ada dua kemungkinan setelah ini.
Pertama, akan terjadi kesepakatan antara keduanya, dan dengan demikian hak angket akan
62
berhenti karena tidak lagi ada tujuan yang hendak dicapai. Kedua, jika yang terjadi
sebaliknya, Ahok akan terpojok karena harus mengakui kekeliruan dalam RAPBD 2015.
Mungkin saja, manakala yang kedua ini yang terjadi, ujungnya adalah permakzulan Ahok
sebagai gubernur.
Kemerosotan Politik
Apa pelajaran yang dapat kita petik dari kisruh ini? Kita dapat menimbangnya dari perspektif
pembangunan politik (political development) sebagai lawan dari kemerosotan politik
(political decay). Intinya, dalam pembangunan politik, konflik dan konsensus merupakan dua
hal yang penting.
Konflik merupakan hal yang lazim dalam kehidupan politik, yang penting ia terkelola dengan
baik. Pembangunan politik membutuhkan konsensus yang berkualitas. Nah, dalam konteks
ini, kisruh RAPBD DKI Jakarta mencerminkan ada konflik yang berdampak pada
menguatnya kemerosotan politik.
Kemerosotan politik tentu akan berimbas pada ihwal yang terkait perikehidupan warga yang
menjadi sasaran pembangunan. Konflik bisa berdampak pada defisit pelayanan publik dan
optimalisasi fungsi- fungsi politik baik gubernur maupun DPRD. Berlarut-larut konflik hanya
akan membuat kondisi kehidupan politik dan pelayanan publik semakin memburuk.
Sejak awal konflik RAPBD juga mencerminkan terdapat masalah komunikasi politik yang
serius. Dalam konteks ini, Ahok tidak sepenuhnya nol masalah. Ahok yang memiliki karakter
komunikasi yang meledak-ledak dan konfrontatif, mungkin tidak sepenuhnya salah, tetapi
pola konfrontatifnya tidak terlalu baik dalam pembangunan politik. Ia perlu memperbaiki
cara dan gaya komunikasinya, terutama dalam menghadapi DPRD.
Di sisi lain, ada persoalan yang harus dicamkan oleh Ahok yakni konteks prosedural politik.
Barangkali Ahok ingin melakukan terobosan, tetapi ia diperhadapkan dengan persoalan legal-
prosedural. Dalam perspektif ini, DPRD tidak boleh serta-merta dipojokkan, mengingat ada
kewenangan yang melekat kepadanya.
Perlu dicatat juga bahwa dalam konflik politik DPRD-Ahok, seyogianya masing-masing
tidak melibatkan kekuatan di luar mereka. Memang dalam konteks ini, publik terus mengikuti
perkembangannya. Tetapi, memancing dan memanfaatkan emosi publik dalam konflik
terbatas ”dalam ruangan” dapat menimbulkan risiko ke arah konflik politik yang meluas ke
”luar ruangan”. Kalau demikian, fungsi kelembagaan politik sebagai manajemen konflik
tidak ada artinya lagi. Sebab itulah, baik Ahok maupun para elite politik DPRD sama-sama
punya tanggung jawab untuk tidak memainkan massa publik untuk kepentingan masing-
masing. Ahok bahkan turut bertanggung jawab memperkuat institusi DPRD, ketimbang
melemahkannya.
Lebih baik Ahok menampilkan dirinya sebagai ahli strategi yang mampu mengelola konflik
63
yang ada tetap sebagai konflik terbatas di lingkungan DPRD dalam kerangka ”checks and
balances” dan menghindari keterlibatan massa publik. Demikian pula sebaliknya.
Bagaimanapun DPRD adalah institusi yang memiliki fungsi dan kewenangan yang
jelas. Demikian pula gubernur sebagai representasi pemerintahan atau eksekutif di daerah.
Dua lembaga ini harus kuat, mampu berjalan secara sinergis dalam kerangka ”checks and
balances”. Karena itu, harmonisasi dan sinergisasilah yang harus diutamakan.
Kalaupun ada persoalan yang terkait kejanggalan anggaran, pekerjaan untuk mengatasi ihwal
sedemikian merupakan pekerjaan bersama. Karena itu, pola konfrontatif sebagaimana yang
dilancarkan Ahok dalam batas-batas tertentu malah kontraproduktif.
Penguatan Kelembagaan
Orientasi penguatan kelembagaan bagaimanapun merupakan jalan keluar yang elegan.
Artinya, masing-masing harus berkaca diri dan kembali ke fungsi dan kewenangan
sebagaimana diatur dalam konstitusi dan perundang-undangan. Dalam konteks ini idealnya
gubernur memperoleh dukungan politik yang kuat dari DPRD.
Memang tidak semua gubernur punya basis dukungan partai politik dan ini artinya di atas
kertas dukungan formalnya di DPRD lemah. Realitas demikian semestinya dijawab dengan
mengoptimalkan kemampuan komunikasi yang integratif, bukan konfrontatif. Dalam kasus
Ahok yang terjadi sebaliknya. Ahok tidak punya basis dukungan yang kuat di DPRD, tetapi
justru memakai pola konfrontatif.
Dalam kasus kisruh RAPBD ini, Ahok menemukan tema yang diyakininya didukung oleh
publik dan dengan demikian risikonya adalah membenturkan DPRD dengan massa publik,
baik nyata maupun maya. Dalam batas-batas tertentu mungkin pendekatan demikian efektif,
setidaknya memaksa DPRD mengaca diri. Tetapi, lama-lama ia akan menjadi kontra
produktif karena membiarkan ruang konflik terus melebar.
Kita berharap kisruh RAPBD 2015 berujung pada ada jalan keluar yang baik dan konstruktif
dalam perspektif pembangunan politik. Sebaliknya, kemerosotan politik yang lebih parah
jangan dibiarkan terjadi. Ahok dan DPRD harus sama-sama berkaca diri.
M ALFAN ALFIAN
Dosen Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Nasional, Jakarta
64
Pemberian Dana Partai Politik
Koran SINDO
Kamis, 19 Maret 2015
Usul pemberian dana dari negara kepada partai politik kembali mengemuka. Kali ini usul
tersebut datang dari Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Politikus PDI Perjuangan itu
mengusulkan setiap partai politik lolos seleksi sebagai peserta pemilu mendapat dana Rp1
triliun per tahun dari pemerintah.
Sikap pro dan kontra pun bermunculan terkait usul tersebut. Bagi para fungsionaris dan elite
partai politik, usul itu jelas bagai angin surga yang dapat menjamin eksistensi mereka di
langgam politik nasional. Sedangkan bagi sebagian kalangan akademisi dan pegiat
demokrasi, usul tersebut dinilai tidak tepat mengingat kondisi partai politik saat ini cenderung
mengecewakan. Tidak saja karena partai politik saat ini gagal menjalankan empat fungsi
dasar komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik, dan pengatur konflik tetapi
juga karena keterlibatan para elite mereka dalam sejumlah kasus korupsi.
***
Tidak dapat dimungkiri ketika menghadapi pemilu partai politik membutuhkan sumber daya
besar agar dapat mendulang suara pemilih secara maksimal. Masalah finansial pun kemudian
menjadi hal sangat penting. Tanpa dukungan finansial mencukupi, program kerja dan
kampanye kandidat atau partai politik menjadi tidak berarti dan tidak sukses. (Jacobson,
1980).
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 memang telah
mengatur sumber keuangan partai politik. Ada tiga sumber keuangan partai politik. Pertama,
iuran anggota partai politik bersangkutan. Jumlah besaran iuran ditentukan secara internal
oleh partai politik. Tidak ada jumlah tertentu yang diharuskan undang-undang mengenai
besaran iuran anggota.
Namun, tidak banyak partai politik yang menjalankan mekanisme ini secara teratur.
Pengumpulan iuran anggota sulit dilakukan secara teratur karena sebagian besar partai politik
tidak dapat menawarkan semacam benefit kepada para anggotanya.
Kedua, sumbangan sah menurut hukum. Pasal 35 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 2011
memaparkan tiga sumbangan dimaksud: (1) perseorangan anggota partai politik pelaksanaan
diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga; (2) perseorangan bukan anggota
partai politik paling banyak senilai Rp1.000.000.000 per orang dalam waktu 1 (satu) tahun
65
anggaran, dan (3) perusahaan dan/atau badan usaha, paling banyak senilai Rp7.500.000.000
per perusahaan dan/atau badan usaha dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran.
Ketiga, bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)/Anggaran
Pendapatan belanja Daerah (APBD). Bantuan keuangan dari APBN/ APBD diberikan secara
proporsional kepada partai politik yang mendapatkan kursi di DPR, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota dengan didasarkan pada jumlah perolehan suara.
Namun, seiring kian padat agenda politik setiap partai pemilihan umum legislatif, pemilihan
presiden, dan pemilihan kepala daerah maka sumber-sumber keuangan di atas tidak lagi
mencukupi. Hal itu kemudian mendorong partai politik berlomba-lomba memperebutkan
sumber-sumber keuangan di anggaran negara. Partai politik pun mulai melakukan perburuan
rente melalui kader-kader mereka di legislatif dan eksekutif. Perburuan rente dilakukan partai
politik jelas merugikan karena menggerogoti anggaran negara melalui pemanfaatan jabatan
atau akses politik.
Secara umum, ada dua modus utama perburuan rente dilakukan oleh partai politik. Pertama,
melalui lembaga legislatif (DPR/ DPRD). Dalam lingkup legislatif perburuan rente dilakukan
dengan menguasai komisi-komisi strategis dan badan anggaran, transaksi dalam pemilihan
pejabat publik, dan menggerogoti anggaran negara atau daerah. Kedua, melalui lembaga
eksekutif. Dalam lingkup legislatif perburuan rente dilakukan dengan menempatkan kader-
kader mereka di kementerian, badan usaha milik negara, dan institusi pemerintahan memiliki
akses dana besar.
Di samping itu, perburuan rente di lingkup eksekutif juga dilakukan dengan cara
menyewakan partai politik sebagai kendaraan untuk maju dalam pemilihan kepala daerah
kepada kandidat tertentu dengan harga fantastis.
Dugaan skandal dana talangan Bank Century, cek pelawat dalam pemilihan deputi gubernur
senior Bank Indonesia, korupsi pembangunan Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah
Olahraga Nasional Hambalang di Kementerian Pemuda dan Olahraga, dan kemunculan dana
siluman Rp12,1 triliun dalam APDB DKI Jakarta merupakan sejumlah contoh kasus
perburuan rente dilakukan partai politik.
***
Kontrol publik sangat terbatas serta ketiadaan transparansi dan akuntabilitas dari partai
politik semakin menguatkan persekongkolan para elite politik. Secara teoretis, hal ini akan
membuat korupsi marak terjadi sebagaimana rumus Klitgaard C=D+M-A(C: corruption, D:
discretion , M: monopoly , dan A: accountability). Rumus mengenai akar semang korupsi ini
relevan untuk menggambarkan berbagai bentuk korupsi, termasuk perburuan rente dilakukan
elite politik. (Klitgaard, 2002: 29)
66
Tindak pidana korupsi yang marak melibatkan para elite partai politik dan pejabat publik
merupakan salah satu ironi demokrasi di Indonesia. Mereka mendapat legitimasi kekuasaan
dari rakyat, tapi setelah berkuasa justru menghisap sumber-sumber keuangan negara yang
semestinya digunakan untuk kesejahteraan.
Berbagai kasus korupsi melibatkan partai politik ditengarai masih akan terus terjadi. Apalagi,
partai politik di Indonesia belum mengedepankan pelembagaan transparansi dan
akuntabilitas. Akibat ketiadaan transparansi dan akuntabilitas dari partai politik, publik
selama ini tidak pernah mengetahui dari mana saja asal usul dana dimiliki oleh partai politik.
Merujuk elaborasi di atas dapat disimpulkan perilaku korup para elite partai politik saat ini
didorong tiga hal: (1) praktik demokrasi berbiaya tinggi dalam sistem politik Indonesia; (2)
kekuasaan terlampau besar partai politik dalam menentukan kebijakan dan anggaran tanpa
disertai pengawasan berimbang dan kesadaran pertanggungjawaban publik, dan (3)
ketidaktegasan sanksi politik dan pidana bagi partai politik melakukan pengumpulan dana
secara ilegal.
Untuk itu, selain perbaikan regulasi dan penetapan sanksi lebih tegas, pemikiran tentang
sumber dana alternatif menjadi kunci untuk mengurangi pengumpulan dana secara ilegal oleh
partai politik. Salah satu sumber dana alternatif tersebut adalah melalui pemberian negara
sebagaimana diusulkan menteri dalam negeri.
Dasar utama dari usul tersebut adalah posisi dan peran strategis partai politik dalam
kehidupan demokrasi dan sirkulasi pemerintahan di Indonesia. Karena itu, menjadi tanggung
jawab negara agar partai politik berfungsi secara optimal.
BAWONO KUMORO
Peneliti Politik di The Habibie Center
67
Teknik Mediasi Ideal Kasus Pemda DKI VS DPRD
Koran SINDO
19 Maret 2015
Kisruh perselisihan Pemda DKI Jakarta vs DPRD DKI Jakarta sebenarnya dapat dicarikan
jalan keluar, jika mediasi didasarkan pada metode mediasi yang baik dan dibuat aturan
bersama antara para pihak yang berselisih dan mediator.
Yang utama dalam proses mediasi adalah para pihak harus mempunyai kemauan untuk
menyelesaikan perselisihan karena yang dipertaruhkan adalah kepentingan rakyat Jakarta.
Rakyat memerlukan dana untuk membangun berbagai fasilitas umum, menjalankan roda
pemerintahan, dan membiayai serta mengatasi berbagai persoalan pelik di Jakarta seperti
kemacetan yang mengakibatkan biaya ekonomi tinggi.
Ada juga berbagai masalah yang harus segera dibereskan seperti banjir yang selalu datang
tiap tahun di musim hujan, sampah yang menumpuk, pendidikan yang layak, gedung sekolah
dan peralatan yang memadai, MRT, monorel serta pembangunan jalan dan taman.
Kemacetan perundingan dalam mediasi ini telah menyebabkan APBD 2015 yang notabene
telah mendapatkan persetujuan rapat paripurna DPRD Jakarta tidak dapat digunakan. Jika
saja kedua belah pihak dapat lebih bersikap dewasa dan “nuchter“, kemacetan ini tidak perlu
terjadi.
Proses mediasi yang diadakan oleh Kemendagri seharusnya dibuat aturan main seperti berapa
lama masing-masing pihak diberi kesempatan bicara dan setiap berbicara tidak boleh ada
interupsi. Ketika giliran tanya-jawab, para pihak tidak boleh berbicara dengan nada tinggi,
keras, emosional, menuduh, apalagi menghina, atau merendahkan pihak lain.
Semua jawaban dan pertanyaan baik dari mediator atau dari masing-masing pihak harus
dilakukan dengan sopan dan tidak emosional karena yang dipertaruhkan adalah kepentingan
rakyat Jakarta. Para pihak harus menjauhkan diri dari membuat pernyataan melalui media
atau diliput media untuk mendinginkan suasana yang sudah panas dan tegang.
Para pihak dan mediator harus sadar benar bahwa hasil akhir dari proses mediasi ini adalah
untuk mencari win-win solution dan bukan mencari siapa salah dan benar. Forum mediasi
bukanlah pengadilan untuk mencari kebenaran dan keadilan, tetapi mencari solusi bersama
agar APBD Jakarta 2015 dapat cair dan diserap secepatnya di Maret ini dan seterusnya
selama 2015.
68
Caucus Perlu Diadakan
Dalam teknik mediasi, dikenal pertemuan caucus di mana para pihak ditemui secara terpisah
oleh mediator, dalam hal ini Kemendagri. Dalam pertemuan caucus ini, masing-masing pihak
mengemukakan aspirasi dan pendapatnya mengenai APBD versi paripurna dan APBD versi
e-budget. Setelah diberi waktu yang cukup, mediator mengambil inisiatif untuk menemukan
inti permasalahan dan meneruskan pendapat dan aspirasi satu pihak kepada pihak lain dalam
suasana tenang, rasional untuk mencari solusi bersama.
Jika para pihak sudah memahami pendapat dan aspirasi pihak lain, barulah diadakan
pertemuan segi tiga dengan memegang teguh aturan main yang telah dibuat dan disetujui
bersama.
Mediator betul-betul harus menjaga suasana pertemuan mediasi ini dan diberi hak menegur
jika ada pihak yang melanggar aturan main seperti berbicara keras dan emosional. Bila perlu,
mediator menskors pertemuan mediasi ke lain waktu jika mediasi berlarut-larut karena tidak
dicapai kesepakatan dari daftar isu-isu yang menjadi bahasan bersama. Isu-isu tadi dapat
dibicarakan atau dipecahkan bersama dalam suasana yang lebih kondusif di kesempatan lain.
Putusan Bersama Para Pihak
Apa yang sudah disepakati dan dicapai oleh para pihak, serta seluruh proses tanya jawab dan
diskusi dalam proses mediasi dicatat oleh transcriber sebagai arsip bersama. Dalam proses
mediasi, putusan dibuat oleh para pihak sendiri dan mediator hanyalah berfungsi sebagai
“umpire “ atau “wasit” yang menjaga teguh aturan main dan etika proses mediasi itu
sendiri. Dengan cara mediasi seperti ini, diharapkan tercipta “sense of belonging“ bahwa
putusan bersama ini adalah hasil kesepakatan para pihak dan sama sekali bukan putusan
mediator yang memfasilitasi acara mediasi ini.
Keseluruhan sidang mediasi ini harus dilakukan tertutup, bebas dari publikasi karena
tujuannya adalah mencari solusi dari adanya perbedaan jumlah sekitar Rp12,1 triliun antara
APBD 2015 hasil paripurna dengan e-budgeting Pemda DKI Jakarta.
Jika para pihak memerlukan konsultasi dan saran-saran dari Kemendagri, mediasi ini berubah
menjadi konsiliasi di mana tugas mediator berubah menjadi konsiliator bagi kedua belah
pihak. Dalam mediasi atau konsiliasi, persetujuan para pihak menjadi putusan mereka
bersama, karena mediator atau konsiliator tidak akan membuat keputusan bagi kedua belah
pihak.
Mengingat panasnya suasana saling tuding kedua belah pihak selama persiapan mediasi,
selama berlangsungnya mediasi, atau setelah mediasi tercapai, seharusnya disepakati bahwa
tidak akan ada liputan media secara terbuka dalam periode tersebut. Karena dapat menambah
situasi menjadi semakin panas dan memancing amarah publik karena kedua belah pihak,
yaitu Pemda DKI Jakarta dan DPRD DKI Jakarta merupakan dua sorotan utama yang
69
memiliki peran penting yang seharusnya saling mendukung dalam penyelenggaraan
pemerintahan DKI Jakarta. Proses mediasi harus dijalankan dalam ruangan tertutup, rahasia,
tanpa ingar-bingar liputan media sehingga proses mediasi tersebut dapat berjalan seefektif
mungkin tanpa adanya campur tangan pihak lain. Tontonan keributan yang terjadi dalam
penyelenggaraan mediasi atau konsiliasi seharusnya tidak perlu terjadi jika ada kepentingan
besar yang sedang diperjuangkan, yaitu kepentingan rakyat Jakarta yang sedang membangun
dalam segala bidang.
Perlu diingat, akibat gagalnya mediasi, yang menjadi korban adalah rakyat Jakarta, yang
hanya bisa menanti dan mengharapkan pembangunan di semua bidang berjalan dengan lancar
demi Jakarta baru yang modern, sejahtera, dan manusiawi.
FRANS H WINARTA
Ketua ICC-Indonesia Bidang Arbitrase dan arbitrer ICC, BANI, SIAC, HKIC, KLRCA, dan
SCIA
70
Remisi bagi Koruptor
Koran SINDO
20 Maret 2015
Rencana Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly yang akan merevisi Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan mendapat tanggapan keras.
Pasalnya, di balik itu ada pula rencana pemerintah untuk memberikan remisi kepada
terpidana korupsi. Itu dianggap sangat melukai rasa keadilan masyarakat. Remisi mestinya
tidak diobral, tetapi diberikan secara selektif dengan standar akuntabilitas yang tinggi. “Hak
warga telah dirampas koruptor. Wajar jika hak koruptor dicabut karena daya rusak korupsi
sangat tinggi,” kata Direktur Setara Institute Hendardi (14/3). Sementara Direktur Human
Rights Working Group (HRWG) Indonesia Khoirul Anam mengatakan, rencana Yasonna
Laoly sangat jauh dari pedoman Nawacita Presiden Jokowi yang bertekad memberantas
korupsi.
Sejujurnya, bukankah kita muak mengamati praktik korupsi yang merajalela di negara hukum
ini? Jika demikian maka kita sepatutnya bergerak bersama demi menyuarakan penolakan atas
rencana Menteri Laoly tersebut.
Sebaliknya, kita harus mendorong pemerintah untuk menghapus pemberian remisi tersebut,
entah dengan kebijakan “moratorium” atau “pengetatan syarat pemberian remisi”. Sebab
yang jauh lebih penting adalah tujuan di balik kebijakan tersebut: demi semakin
menggentarkan para koruptor maupun calon koruptor, agar tak mudah melaksanakan niat
busuknya. Kita berharap, dengan adanya kebijakan itu, mereka berpikir seribu kali sebelum
berbuat korupsi.
Jadi, janganlah merasa iba kepada para koruptor sebab korupsi di sini sudah ditetapkan
sebagai kejahatan luar biasa. Atas dasar itu, bukankah koruptornya layak disebut penjahat
luar biasa? Karena perbuatan merekalah perlahan-lahan negara ini bangkrut dan rakyat makin
sengsara. Terkait itu, layakkah koruptor mendapatkan diskon masa tahanan? Pantaskah
negara berbelas kasihan kepada mereka dan lalu mengurangi masa tahanan yang harus
mereka jalani?
Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kebijakan menghapus remisi bagi
koruptor sudah dilaksanakan oleh Menkumham Amir Syamsuddin melalui PP Nomor 99
Tahun 2012 itu. Amir menegaskan dirinya menolak pemberian remisi kepada koruptor.
Namun, pemberian remisi merupakan bentuk keadilan bagi terpidana yang mematuhi segala
peraturan. “Kami ingin menjadi pembina, bukan penghukum,” ujarnya.
71
Dalam rapat evaluasi kinerja di Kompleks Parlemen, Senayan, 28 Agustus 2014, Amir
mengakui masih banyak kekurangan dalam PP tersebut. Namun, menurut dia, sepanjang
diterapkan secara selektif dan benar, PP tersebut masih bisa diterapkan.
Terbukti, memang, pada perayaan Hari Kemerdekaan RI, 17 Agustus 2014, terpidana mafia
pajak Gayus Tambunan mendapat remisi lima bulan. Sedangkan mantan jaksa Urip Tri
Gunawan, yang terlibat kasus suap dari pengusaha Artalita, yang mendapat potongan
hukuman enam bulan.
Kebijakan Menteri Amir waktu itu mendapat kritikan dari pakar hukum tata negara Yusril
Ihza Mahendra. Ia menilai kebijakan tersebut bertentangan dengan HAM, sebab
mendiskriminasi narapidana. Terkait itu saya ingin mengajukan pertanyaan ini: sebaik apakah
pemahaman kita tentang HAM? Mengertikah kita tentang bedanya hak asasi dan hak (tanpa
“asasi”)? Siapa sajakah yang mempunyai hak (baik tanpa “asasi” maupun dengan “asasi”)
itu? Manusia (persona) sajakah atau lembaga (non-persona) juga?
Pertanyaan-pertanyaan ini penting diajukan, mengingat Indonesia sudah berkali-kali terpilih
menjadi anggota Dewan HAM PBB. Sebagai konsekuensinya, Indonesia tentu harus
menghargai dan menegakkan aturan main soal HAM. Terkait itulah maka pemahaman kita
perihal HAM itu pun harus betul-betul jelas. Sebab, beberapa tahun silam, Prof Sri Edi
Swasono pernah mengatakan bahwa “Indonesia tidak menganut hak asasi
individual”. Menurut dia, Indonesia berbeda dengan dunia Barat yang menganut HAM
sebagai hak asasi individual. Indonesia menganut hak asasi sebagai warga negara, yaitu
seorang warga negara juga memiliki kewajiban asasi untuk menghormati hak-hak asasi warga
negara lain.
HAM di Indonesia bukanlah hak asasi orang yang terlepas dan bersifat individual yang
sebebas-bebasnya. Manusia Indonesia adalah makhluk sosial, bukan makhluk individual.
Karena itu, di Indonesia kepentingan masyarakatlah yang utama.
Pemikiran seperti ini jelas patut dikritisi. Pertama, setiap manusia di seluruh dunia sama
dalam hakikatnya: sama-sama merupakan makhluk sosial. Itu berarti setiap manusia memiliki
kecenderungan untuk selalu berkawan dengan sesamanya sehingga karena perkawanan itulah
selanjutnya terbentuk perkumpulan-perkumpulan, baik yang kecil maupun besar, baik yang
bersifat sosial, budaya, ekonomis, politis, dan lainnya.
Kedua , setiap manusia telah diberikan Tuhan hak-hak yang tak dapat dicabut oleh pihak
manapun juga (inalienable rights). Itulah yang disebut hak asasi. Hanya manusialah yang
menerima hak-hak seperti itu, dan bukan makhluk lainnya, karena manusia adalah ciptaan
Tuhan yang paling mulia. Jadi, apa yang disebut HAM itu bersifat given (terberi) dari
Tuhan. Karena itu, hanya Tuhan jualah yang boleh mencabutnya, sedangkan pihak lain tidak
boleh termasuk negara. Itulah hak asasi, yang berbeda dengan hak (tanpa “asasi”).
72
Barang milik saya, itu adalah hak saya. Orang lain tak boleh mengambilnya, kecuali dengan
seizin saya. Tapi selekas barang itu saya jual, maka hilanglah hak saya atas barang itu. Itulah
hak (tanpa “asasi”), yang dapat saja dicabut atau terlepas dari diri manusia karena sebab atau
alasan yang bermacam-macam (alienable rights).
Ketiga, pendekatan partikularistik yang memandang HAM di Indonesia berbeda dengan
HAM di negara-negara Barat sudah seharusnya diusangkan. Apalagi ini era globalisasi, yang
membuat berbagai pandangan, sikap, dan nilai-nilai antarbangsa kian lama kian mirip satu
sama lain. Salah satunya adalah pemaknaan atas HAM itu tadi: bahwa HAM bersifat
universal, yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada semua manusia sebagai makhluk
ciptaan-Nya yang secitra dengan-Nya. Jadi selain bersifat ilahi, HAM itu juga bersifat
individual atau tak terbagi (in-divere, asal kata “individu”).
Demi tercapainya kehidupan manusia yang sungguh-sungguh bermartabatlah, negara harus
menjamin pemenuhan HAM bagi setiap warga negaranya. Untuk itulah negara membuat
hukum sebagai landasannya. Dengan adanya hukum maka tak mungkin kebebasan sebagai
HAM menjadi “liar”. Apalagi kita tak hidup di ruang hampa yang tak ada hukum maupun
pedoman budayanya. Kita hidup di ruang-ruang bersama yang memiliki sejumlah peraturan
demi terwujudnya ketertiban hidup bersama.
Kondisi-kondisi itulah yang membuat HAM dalam pemenuhannya juga harus diimbangi
dengan kewajiban-kewajiban. Jadi, menghormati HAM orang lain merupakan keniscayaan
sebagaimana orang lain pun harus menghormati HAM yang kita miliki, sehingga baik
kepentingan individual maupun kepentingan masyarakat sama-sama pentingnya.
HAM juga bersifat dapat diatur (regulable) sekaligus dapat dibatasi (limitable). Bahkan ada
juga HAM yang bersifat derogable (dapat ditangguhkan pemenuhannya) karena kondisi-
kondisi tertentu, dan sebaliknya non-derogable (tak dapat ditangguhkan pemenuhannya) tak
hirau dalam kondisi apa pun (Gromme, 2001).
Lantas, bagaimana dengan narapidana? Bahwa mereka terpenjara karena dipenjarakan secara
paksa, itu berarti hak asasi mereka (kebebasan) telah dibatasi oleh negara. Itulah kewenangan
negara: menghukum orang-orang yang bersalah. Kalau di kemudian hari negara memberi
remisi bagi seorang napi, itu sesungguhnya bukan hak si napi melainkan kebijakan negara
sendiri.
Jadi terpulang kepada negara, mau mengubah kebijakan pemberian remisi itu atau tidak.
Namun, mengingat hari-hari ini sorotan publik dan media pada isu korupsi begitu gencarnya,
selayaknyakah Menteri Laoly berpikir seribu kali.
VICTOR SILAEN
Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
73
Hukum bagi Rakyat Kecil
Koran SINDO
20 Maret 2015
Fenomena penegakan hukum yang menjadi pusat perhatian publik saat ini adalah proses
peradilan Nenek Asyani di Situbondo, Jawa Timur, dan Kakek (Mbah) Harso Taruno di
Pengadilan Negeri (PN) Wonosari, Gunung Kidul, Yogyakarta.
Kedua peristiwa itu kian memperkuat realitas tentang hukum yang “tajam ke bawah, tumpul
ke atas”. Istilah yang pertama kali diungkap Prof Moh Mahfud MD, mantan ketua Mahkamah
Konstitusi bermakna, bahwa hukum hanya berlaku keras terhadap rakyat kecil tetapi tidak
berdaya terhadap petinggi negara dan orang berduit.
Realitas itu tidak hanya didiskusikan di kalangan akademisi, bahkan telah menjadi
pembicaraan di warung-warung kopi. Hampir semua kalangan merasa miris terhadap
penegakan hukum yang memilah-milah orang, tetapi pada saat yang bersamaan menunjukkan
sebaliknya.
Asas hukum bahwa “semua orang diperlakukan sama di depan hukum” yang dipatenkan
dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, justru tidak diindahkan oleh aparat penegak hukum.
Fakta itu terurai secara telanjang, Nenek Asyani, 63, dijadikan pesakitan di pengadilan di PN
Situbondo. Asyani didakwa mencuri 38 papan kayu jati dari kawasan hutan produksi di
Jatibanteng, Situbondo, Jawa Timur. Tetapi dalam sidang terungkap bahwa kayu jati itu
miliknya sendiri, kemudian ditangguhkan penahanannya sejak 18 Maret 2015 oleh majelis
hakim.
Hukum Kelas Gedongan
Yang ditemukan dalam kasus itu begitu cepatnya proses hukum berjalaan terhadap orang-
orang kecil. Boleh jadi karena tidak punya kekuatan finansial dan akses kekuasaan, sehingga
yang bisa membantunya hanyalah pemberitaan media massa dan opini publik. Sangat berbeda
jika penyelenggara negara dan aparat hukum yang terjerat korupsi, penanganannya sangat
lamban. Bukan hanya karena ada faktor kekuatan politis yang membentenginya, melainkan
juga menciptakan penundaan proses hukum dengan segala celah pembalikan opini di ruang
publik.
Penanganan kasus korupsi yang dilakukan oleh institusi yang memiliki kewenangan besar
dan dipercaya rakyat sekelas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga bisa
dibelokkan. Caranya, memanfaatkan celah hukum acara (hukum formil) yang sebetulnya
tidak boleh ditafsirkan melampaui (menyimpang) dari ketentuan yang sudah jelas dan tegas.
74
Bagi yang bertahta di kelas hukum gedongan, sebetulnya KPK tidak pernah gentar. Publik
melihat bagaimana KPK menjerat tiga menteri aktif pada masa pemerintahan lalu, dua ketua
umum partai politik, serta puluhan anggota DPR dan kepala daerah.
Meski sudah dirintis KPK, ketajaman pedang keadilan hukum kembali tak mampu atau
dibuat lumpuh sehingga gagal menembus bangunan rumah kelas gedongan. Ketegasan,
keberanian, dan profesionalitas yang diukir dalam sejarah KPK, tentu tidak akan begitu
gampang dilumpuhkan sekiranya yang bersoal orang-orang kecil.
Realitas hukum yang hanya tajam ke bawah di tengah era keterbukaan sangatlah
memprihatinkan. Hendak dibawa ke mana penegakan hukum di tengah pengakuan bahwa
demokrasi Indonesia mendapat pujian dunia internasional.
Sangat menarik analisis Prof Moh Mahfud MD di harian ini (14/3/2015) bahwa demokrasi
yang dibangun sejak reformasi yang seharusnya semakin membaik, seperti diteorikan Blake
dan Martin (2006) atau Hellman (2008) akan berimbas pada efektivitas pemberantasan
korupsi, ternyata dalam realitas tidak berlaku di negeri ini. Malah, demokrasi Indonesia
kebablasan lantaran tidak efektif melawan korupsi. Maka benar apa yang disebut William
Liddle, bahwa demokrasi telah menjadi alat korupsi lantaran korupsi justru dilakukan melalui
mekanisme demokrasi.
Koreksi dan masukan berbagai pengamat agar keberlangsungan pedang hukum yang tumpul
ke atas segera diakhiri, sepertinya tertatih-tatih melangkah di lorong gelap. Proses hukum tak
berdaya menghadapi orang berpunya dan memiliki alur hubungan dengan elite kekuasaan,
termasuk otoritas hukum. Jika ada yang berani mengusik dengan bicara sembarangan atau
tepatnya mengkritik, siap-siaplah menghadapi tuntutan hukum.
Restorative Justice
Seperti kasus yang ditimpakan kepada Nenek Asyani dan Kakek Harso Taruno, koreksi
terhadap realitas proses hukum yang begitu tajam, boleh jadi hanya disikapi sebatas respons
dan simpati. Memang muncul sikap keberpihakan berbagai kalangan pemerhati keadilan dan
hak asasi manusia, tetapi penerapan asas “semua orang sama di depan hukum” lebih banyak
dianggap angin lalu oleh otoritas penegakan hukum.
Tak henti-hentinya digelorakan agar wajah penegakan hukum tidak seharusnya melukai rasa
keadilan masyarakat (keadilan substantif). Tetapi realitas berkata lain, lebih banyak elite
kekuasaan dan petinggi penegak hukum bersikap defensif, tidak berani berpihak pada rakyat
kebanyakan. Seolah-olah rakyat kecil hanyalah sekadar objek penegakan hukum seperti pada
hukum rimba di hutan belantara. Kasus Nenek Minah yang dituduh mencuri tiga biji kakao
sehingga harus duduk di kursi pesakitan, adalah contoh yang patut dijadikan pelajaran,
meskipun dengan alasan penegakan hukum.
75
Kenapa aparat hukum sejak penyidikan tidak berani melakukan pendekatan “restorative
justice“ terhadap beragam kasus ringan yang ditimpakan kepada rakyat kecil seperti pada
Nenek Asyani? Restorative justice adalah pendekatan yang lebih menitikberatkan pada
kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana dan korban. Tidak
selalu harus berpedoman pada hukum normatif semata (hukum materiil), terutama pada
tindak pidana ringan yang ancaman pidananya juga ringan. Sekiranya pelaku dan korban
pencurian bisa dibawa ke ruang keadilan restoratif, maka polisi bisa menghentikan
penyidikan, tidak harus sampai ke pengadilan.
Hukum acara seharusnya tidak selalu digunakan untuk memproses rakyat kecil yang
melakukan kriminal kecil dengan berbalut demi penegakan hukum. Tetapi anehnya, justru
akan dimandulkan dengan berbagai penafsiran jika kelas gedongan yang bermasalah.
Ukuran keberhasilan penegakan hukum tidak boleh hanya mengacu pada banyaknya jumlah
perkara yang diselesaikan, tetapi juga seberapa besar kualitasnya. Apalagi pada proses
peradilan pidana konvensional dikenal restitusi atau ganti rugi terhadap korban, sedangkan
restorasi memiliki makna yang lebih luas yaitu pemulihan hubungan antara korban dan
pelaku. Hal itu bisa didasarkan atas kesepakatan bersama antara korban dan pelaku.
Konsep restorative justice memberi kesempatan bagi korban menghitung kerugiannya,
sedangkan pelaku memberikan ganti rugi. Maka itu, realitas hukum “tajam ke bawah, tumpul
ke atas” tidak harus mengalahkan penegakan hukum dalam mencari keadilan.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
76
Perpres Golkar
Koran SINDO
21 Maret 2015
Rabu pertengahan pekan ini saya mengalami kesulitan yakni kesulitan untuk menjawab dan
menjelaskan kepada beberapa awak media yang menanyakan pendapat saya mengenai
rencana Menteri Hukum dan HAM (Menkum-HAM) Yasonna Laoly mengeluarkan peraturan
presiden (perpres) untuk menyelesaikan kisruh kepengurusan Partai Golkar.
Saya tak mudah menjawab sesuatu yang hampir tak mungkin ada yakni pernyataan Pak
Yasonna. Tak mungkin seorang Menkum-HAM tidak paham bahwa sebuah perpres tak bisa
dikeluarkan untuk menyelesaikan kisruh sebuah parpol. Saya yakin, Pak Yasonna tidak
mengatakan itu dan, tentulah, wartawan salah memahami atau salah mengutip atas apa yang
dinyatakan oleh Pak Yasonna.
Berbeda dari Pak Yusril yang mengatakan Pak Yasonna tak paham bidang tugasnya, saya
lebih cenderung mengira wartawan salah memahami atau salah mengutip dari Pak Yasonna.
Secara umum saya hanya menjawab bahwa Presiden tak perlu mengeluarkan perpres untuk
mengesahkan kepengurusan Partai Golkar. Bukan hanya tidak perlu, tetapi juga tidak bisa.
Mengapa? Karena sebuah perpres di dalam hukum itu peraturan atau produk hukum yang
bersifat mengatur (regeling), sedangkan pengesahan kepengurusan suatu partai merupakan
bentuk keputusan yang bersifat penetapan (beschikking).
Di dalam hukum ada perbedaan mendasar antara regeling dan beschikking. Regeling
(pengaturan) itu memberlakukan sesuatu yang bersifat abstrak umum, belum ada subjek dan
objeknya yang spesifik, sedangkan beschikking (penetapan) itu memberlakukan sesuatu yang
bersifat konkret-individual.
Contohnya sederhana. Adanya ketentuan bahwa setiap orang yang mempunyai penghasilan
sejumlah minimal tertentu harus membayar pajak sekian persen adalah regeling (pengaturan),
abstrak-umum, berlaku bagi siapa saja. Tetapi, ketika ada seorang bernama Badrun
mempunyai penghasilan sekian tertentu dan kemudian ditetapkan oleh kantor pajak
kewajiban kepada Badrun untuk membayar pajak sebesar tertentu maka itu adalah
beschikking (penetapan), konkret-individual. Hanya berlaku bagi Badrun (individual) dalam
pembayaran pajak (konkret). Penetapan besarnya pajak yang harus dibayar oleh Badrun itu
tidak bisa dikeluarkan dalam bentuk peraturan Direktur Jenderal Pajak, melainkan dalam
bentuk keputusan atau penetapan kepala kantor pajak setempat.
Contoh lain misalnya utang piutang. Ketentuan bahwa barang siapa berutang harus
77
membayar itu adalah regeling, berlaku bagi siapa saja. Ketika dalam suatu sengketa oleh
pengadilan si Muis dinyatakan berutang dan harus membayar sejumlah uang tertentu, putusan
pengadilan itu beschikking. Hanya berlaku bagi Muis (individual) dalam masalah utang
piutang tertentu (konkret).
Pembedaan seperti ini sangat mendasar dan menjadi materi awal ketika mahasiswa Fakultas
Hukum mulai belajar hukum administrasi negara. Mengapa penting? Sebab jika terjadi
sengketa karena ada pelanggaran dalam pembuatannya, kompetensi peradilannya berbeda.
Kalau pemerintah dianggap salah dalam membuat peraturan (regeling), upaya hukum untuk
melawannya dilakukan melalui pengujian yudisial atau judicial review. Tetapi, jika
pemerintah atau pejabat tata usaha negara dalam membuat keputusan (beschikking), upaya
hukum untuk melawannya adalah ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau
administratief rechtspraak atau bisa juga ke peradilan umum, bergantung pada isi
keputusannya.
Maksudnya, jika keputusan yang akan digugat itu merupakan keputusan dalam bidang
administrasi atau tata usaha negara, menjadi kompetensi PTUN untuk mengadilinya. Namun,
jika keputusan yang akan dilawan itu dalam bentuk perbuatan biasa (materiale daad) di
bidang keperdataan misalnya, menjadi kompetensi peradilan umum untuk mengadilinya.
Dalam kasus kisruh kepengurusan Partai Golkar itu, tentu tak bisa diselesaikan dengan
perpres sebab Partai Golkar itu secara hukum adalah ”individual” dan masalahnya jelas
menyangkut urusan kepengurusan yang sudah ”konkret”. Apa pun ujung kisruh Partai Golkar
itu hanya bisa berbentuk beschikking baik dalam bentuk keputusan pemerintah maupun
dalam bentuk vonis pengadilan.
Jadi secara hukum tak mungkin bisa ada Perpres tentang Kepengurusan Partai Golkar sebab
perpres itu harus bersifat abstrak-umum (regeling). Sifat regeling dari kepengurusan parpol
(termasuk pengaturan konfliknya) sudah termuat di dalam UU Partai Politik yakni pada
bagian yang mengatur tata cara pendaftaran atau pencatatan susunan pengurus bagi semua
parpol.
Penetapan kepengurusan Partai Golkar juga tak bisa dikeluarkan dalam bentuk keputusan
presiden (keppres) yang bersifat konkret-individual (beschikking). Di dalam UU Partai Politik
kewenangan menetapkan atau mencatat susunan pengurus parpol itu sudah didelegasikan
kepada Menkum-HAM. Untuk apa membawa-bawa Presiden lagi? Keputusan Menkum-
HAM tentang itu sudah bersifat final tanpa perlu dikeppreskan.
Sebagai catatan, ada jua pandangan yang kurang tepat dari internal Partai Golkar sendiri
terkait kompetensi PTUN untuk memerkarakan surat Menkum-HAM itu. Menurut Pengurus
Golkar kubu Aburizal Bakrie, pihaknya tidak bisa membawa kasus itu ke PTUN sekarang
karena bentuknya baru berupa surat biasa dari Menkum-HAM dan belum berbentuk SK
Pengesahan/Pencatatan Pengurus. Ini keliru sebab sebenarnya, menurut UU Peradilan Tata
78
Usaha Negara, keputusan pejabat tata usaha negara bisa digugat ke PTUN meski tidak
berbentuk SK resmi.
Keputusan yang dalam bentuk surat biasa, bahkan nota atau memo yang tidak berkop atau
berstempel sekali pun, sudah bisa digugat ke PTUN asal pembuatnya jelas, objeknya jelas,
dan tidak dibantah oleh yang membuatnya.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
79
Mengulang Skenario Kudatuli PDI pada Golkar dan PPP
Koran SINDO
23 Maret 2015
Politik pecah belah seperti yang dialami Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) saat ini tak bisa dilepaskan dari kehendak dan ambisi penguasa.
Apa yang dialami Partai Golkar seperti mengulang skenario memecah belah Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) oleh Orde Baru, yang ditandai dengan adu domba kubu Soerjadi
dukungan penguasa melawan Megawati Soekarnoputri untuk memperebutkan kepemimpinan
PDI pada 1996. Ada yang ingin melampiaskan dendamnya pada Partai Golkar?
Skenario adu domba itu ingin diulang saat ini dengan menunggangi konflik internal Partai
Golkar. Melalui wewenang dan kekuasaan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly,
kekuatan-kekuatan politik pendukung pemerintah mendorong dan menempatkan Partai
Golkar pimpinan Aburizal Bakrie (ARB) hasil Musyawarah Nasional (Munas) Bali berhadap-
hadapan frontal dengan kubu Partai Golkar pimpinan Agung Laksono (AL) hasil Munas
Ancol. Seperti copy paste dari skenario Mega vs Soerjadi oleh Orde Baru pada ARB vs AL
oleh penguasa sekarang.
Kecenderungan yang sama juga terlihat pada konflik berkepanjangan di tubuh Partai
Persatuan Pembangunan (PPP). Menkumham Laoly terang-terangan mengadu domba DPP
PPP pimpinan Djan Faridz hasil Muktamar Jakarta, melawan DPP PPP pimpinan M
Romahurmuziy (Romi) hasil Muktamar Surabaya.
Skenario Mega vs Soerjadi berujung pada peristiwa berdarah 27 Juli 1996 yang dikenal
dengan sebutan Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli). Saat itu kader PDI loyalis Mega
menduduki dan menguasai Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro dan menggelar mimbar
bebas. Para orator pro-Mega memanfaatkan mimbar bebas itu untuk mengkritik dan
mengecam Orde Baru.
Sabtu subuh 27 Juli 1996, Kantor DPP PDI itu diserang sekelompok orang. Serangan
mematikan itu menewaskan banyak kader PDI loyalis Mega. Komnas HAM mencatat lima
pendukung Mega tewas, 149 orang terluka dan 136 lainnya ditahan. Namun, para saksi mata
yakin jumlah yang tewas mencapai puluhan orang, 300 lainnya luka parah. Sampai sekarang,
tidak ada yang tahu siapa yang harus bertanggung jawab atas peristiwa berdarah Kudatuli
itu. Namun, tragedi Kudatuli itu menjadi cikal bakal lahirnya Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP).
80
Beberapa bulan lalu nyaris terjadi peristiwa berdarah di lokasi yang sama ketika para
simpatisan PPP loyalis Suryadharma Ali (SDA)-Djan Faridz merangsek masuk dan coba
menguasai Kantor DPP PPP di Jalan Diponegoro. Aksi serupa dibalas lagi oleh kubu Romi
pada 3 Desember 2014. Dua kubu akhirnya sepakat untuk bersama-sama mengamankan
kantor DPP itu.
Juga karena kepemimpinan yang terbelah, DPP Partai Golkar pimpinan ARB pun untuk
sementara mengalah dengan tidak berkantor di DPP Partai Golkar di Slipi. Dengan ancaman
kekerasan, Kantor DPP Partai Golkar diduduki secara paksa oleh AL dkk. Kubu ARB
mengalah karena tidak ingin menempuh kekerasan guna menghindari jatuh korban. Tetapi,
sudah jelas bahwa persoalan Partai Golkar belum tuntas.
Dengan memaksakan kemenangan Golkar Munas Ancol, yang ditandai pengesahan
kepengurusan DPP Partai Golkar dengan Ketua Umum AL, persoalan justru tambah rumit.
Manuver politik Menkumham Laoly ini sangat berisiko karena mengeskalasi masalah. Alasan
utamanya, masih ada proses hukum yang juga seharusnya diakui dan dihormati oleh
Menkumham.
Pengesahan DPP Partai Golkar Hasil Munas Ancol yang dipaksakan itu bahkan cacat hukum
karena hanya berlandaskan keputusan Mahkamah Partai yang telah dimanipulasi oleh
Menkumham sendiri. Menkumham terang-terangan mengabaikan fakta hukum dan
mendahului keputusan pengadilan. Padahal, mengacu pada sejumlah fakta, utamanya fakta
tentang pemalsuan surat mandat DPD I-II Partai Golkar, Munas Ancol itu nyata-nyata ilegal
sebab sarat dengan tindak pidana pemalsuan. Aksi pemalsuan itu sudah ditelanjangi di ruang
publik. Kasus tindak pemalsuan surat mandat DPD I dan II Partai Golkar sebagai syarat
penyelenggaraan Munas Ancol itu sudah dilaporkan ke Polri dan sedang didalami Bareskrim
Mabes Polri.
Antisipasi Ekses
Pengesahan itu pun menjadikan DPP Partai Golkar abnormal karena tidak dilengkapi
dokumen dan sejumlah persyaratan yang mutlak diperlukan. Dokumen yang belum
dilengkapi kubu Ancol meliputi bukti mandat asli DPD I-II Partai Golkar, notulen rapat,
absensi, hasil sidang komisi-komisi, serta pemandangan umum DPD I -II Partai Golkar di
sidang paripurna Munas Ancol.
Selain itu, dokumen pengesahan kepengurusan berupa akta notaris juga patut diragukan.
Logikanya, tidak ada notaris yang berani mengesahkan hasil Munas Ancol karena sarat
dokumen palsu sebab ada sanksi pidana bagi notaris yang membuat pengesahan berdasarkan
dokumen palsu.
Karena itu, Yusril Ihza Mahendra dalam kapasitasnya sebagai kuasa hukum DPP Partai
Golkar hasil Munas Bali sudah mengambil ancang-ancang. “Kami sedang berupaya
mendapatkan konfirmasi dari Kemenhumkam atas ditandatanganinya SK (surat keputusan
81
pengesahan) itu. Alangkah baiknya jika kami mendapatkan copy atau salinan SK itu agar
kami segera mengambil langkah hukum. Jangan akal-akalan,” ucap Yusril.
Bagi Yusril, langkah hukumlah yang harus diambil karena SK Menkumham adalah sebuah
keputusan hukum. Demi menegakkan hukum dan konstitusi, rakyat akan melihat yang mana
yang lebih kuat di negara ini, hukum atau kekuasaan. “Mari kita sama-sama menyaksikannya
dalam suatu pertarungan hukum yang fair, adil, dan tidak memihak. Sejarah akan
mencatatnya,” kata Yusril.
Kerumitan akan menjadi-jadi karena kubu ARB tidak akan diam. Kubu ARB berencana
melaporkan Menkumham Laoly ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan
Agung dengan sangkaan melanggar Pasal 23 UU 31/1999 tentang Tipikor juncto Pasal 421
KUH Pidana.
Itulah rangkaian masalah yang ditumpuk-tumpuk Laoly akibat caranya menyikapi konflik
internal Partai Golkar. Perlawanan Partai Golkar kubu ARB tentu akan diikuti PPP kubu Djan
Faridz. Para elit dua partai yang merasa terzalimi diyakini akan menempuh saluran hukum.
Persoalannya, bagaimana akar rumput dua partai menyikapi konflik para elitenya? Ini yang
juga seharusnya dikalkulasi penguasa saat ini, khususnya Menkumham Laoly. Sebagai
pembantu Presiden, Menkumham jangan menutup mata, apalagi mengesampingkan realitas
politik itu. Menkumham yang bertindak atas nama Presiden dan pemerintah harus
bertanggung jawab jika keputusannya memihak kubu Ancol akan menimbulkan konflik
horizontal di akar rumput Partai Golkar seperti yang pernah dialami Megawati ketika
organisasi politiknya masih beridentitas PDI (hasil Kongres Surabaya).
Skenario Mega vs Soerjadi sebaiknya jangan di-copy paste pada ARB vs Agung untuk
konteks perpolitikan di era demokrasi sekarang ini. Jika pertikaian ARB vs Agung dibiarkan
berlarut-larut dan terjadi ekses seperti Kudatuli, akan muncul anggapan bahwa ada pihak
yang ingin melampiaskan dendam sejarah politiknya pada Partai Golkar. Saat terjadi tragedi
Kudatuli, Golkar yang masih berstatus ormas menjadi pendukung utama dan mesin politik
Orde Baru.
Presiden Joko Widodo jelas tidak memiliki dendam sejarah itu. Namun, jika ekses serupa
Kudatuli terjadi, Presidenlah yang akan menerima getahnya. Gerak maju reformasi politik
akan terhenti. Dinamika politik Indonesia akan mengalami kemunduran karena terbentuk
persepsi bahwa penguasa masih ingin mengontrol dan mengendalikan partai-partai politik.
Langkah paling konstruktif untuk mencegah ekses adalah kearifan penguasa untuk
mengedepankan sikap dan posisi yang independen. Harus muncul kemauan politik dari
semua unsur penguasa untuk keluar dari gelanggang pertikaian di tubuh Partai Golkar
maupun PPP. Pemerintah dan unsur kekuatan lain yang berada di belakang pemerintah harus
legawa, membiarkan pihak-pihak yang bertikai mandiri menyelesaikan persoalan internalnya,
baik melalui proses islah maupun melalui proses hukum.
82
Penyelesaian pertikaian internal Partai Golkar masih akan menempuh proses dan perjalanan
panjang. Proses penyelesaian itu berpotensi menimbulkan instabilitas politik. Semoga,
potensi instabilitas itu juga dikalkulasi oleh Presiden Joko Widodo.
BAMBANG SOESATYO
Sekretaris Fraksi Partai Golkar dan Anggota Komisi III DPR RI
83
Menakar Otonomi Partai Politik
Koran SINDO
24 Maret 2015
Membincangkan masalah otonomi dalam tubuh partai adalah membicarakan mengenai
independensi sebuah partai. Premis tersebut sesuai dengan fungsi partai politik sebagai
komunikator politik yang menjadi penjembatan antara negara dan masyarakat.
Namun demikian, membahas masalah otonomi dikaitkan dengan pembiayaan dan kekuasaan
adalah persoalan tersendiri. Dikarenakan hal itu akan berimplikasi kepada fungsi partai
politik sebagai pilar demokrasi.
Secara leksikal partai memiliki tiga tujuan, yakni office seeking (pengejar kuasa), rent seeking
(pengejar materi), dan public seeking (peraih simpati publik) yang kemudian menghasilkan
partai pemerintah dan partai oposisi. Meitzner (2013) menguji ketiga fungsi tersebut dalam
dua perspektif yakni institusionalisasi dan juga kartelisasi partai.
Hasilnya bisa disimak bahwa pasca-Orde Baru, setiap partai politik tumbuh dengan pola
relasi institusional bergaya tradisional, penjagaan relasi patrimonial dengan masyarakat, dan
pola kartel yang menghasilkan adanya konsensus politik antarpartai politik. Implikasinya
kemudian memunculkan beberapa isu strategis terkait partai politik di Indonesia, yakni
munculnya isu pembiayaan partai, munculnya patron partai, dan juga munculnya
penyanderaan negara.
Adapun kesemuanya tersebut bila dikulminasikan, kemudian menghasilkan temuan bahwa
setiap partai politik pasca otoritarian Indonesia memiliki ”otonomi relatif” terhadap posisi
tawar politik mereka dalam pemerintahan. Gagasan otonomi relatif sendiri pada dasarnya
berasal dari rumpun teori negara pasca kolonial yang dapat diartikan sebagai ”perilaku
otonom yang berusaha untuk melakukan subjugasi dan subordinasi terhadap kelas politik
lainnya”.
Dalam kasus negara pasca kolonial, negara/pemerintahan adalah arena status quo yang
diperebutkan oleh ketiga kelas yakni kelas politik yang partai politik, kelas ekonomi yang
diwakili oleh pengusaha/borjuasi, kelas masyarakat yang diwakili kelas masyarakat sipil.
Dalam hal ini, pertarungan dalam negara pascakolonial tersebut memunculkan kongsi kelas
politik dan kelas ekonomi sebagai pemenang utama.
Kasus partai politik di Indonesia menunjukkan bahwa otonomi relatif tersebut dibangun
dengan cara menginjeksi logika ekonomi politik ke dalam perebutan kuasa. Hal itulah yang
kemudian menampilkan partai politik memegang kuasa otonomi relatif dalam negara yang
84
berusaha menundukkan kelas ekonomi dan kelas masyarakat sipil sebagai bagian dari
penguasaan relatif terhadap kedua kelas tersebut.
***
Hal signifikan yang perlu dikaji mengenai derajat otonomi partai adalah relasinya dengan
pembiayaan partai melalui anggaran. Status otonomi yang menempatkan partai sebagai aktor
intermediary antara negara dengan masyarakat memungkinkan untuk mendapatkan dana
guna operasionalisasi politiknya.
Kondisi tersebut menempatkan partai politik sebagai entitas strategis bagi para stakeholder
untuk mengartikulasikan kepentingannya dalam ranah politik. Konteks itulah yang justru
menjadikan dimensi independensi yang diusung oleh partai politik malah mengarahkan pada
patronase. Komoditisasi atas otonomi yang dimiliki partai politik itulah menjadikan orientasi
partai politik justru mengarahkan pada kepentingan ekonomi-politik.
Hal itu bisa disimak dengan maraknya borjuasi yang kini mendirikan maupun menjadi
pengurus partai. Yang terpenting dari membangun gagasan otonomi relatif dalam partai
politik Indonesia terletak dalam dua isu penting, yakni figuritas dan pembiayaan.
Partai politik di Indonesia pada dasarnya bercorak presidential party, yakni partai politik
sebagai personifikasi figur dan pembiayaan sendiri terkait dengan upaya partai dalam
memenuhi kas partai supaya bisa tetap eksis dan survival dalam arena politik kompetitif.
Kondisi tersebut kemudian yang meminggirkan dan menafikan dikotomi oposisi dan koalisi
tersebut, semata-mata hanya mengejar kursi kekuasaan semata.
Operasionalisasi otonomi relatif sebuah partai sangat ditentukan oleh figur ketua umum
sebagai chief of strategist. Peran itu diambil semata-mata untuk bisa menyelamatkan dan
memenuhi kepentingan politik partai dalam negara. Maka tidaklah mengherankan, apabila
dalam teorisasi otonomi relatif partai, kader yang duduk dalam koalisi maupun oposisi sendiri
hanya akan menurut perintahnya ketua umum daripada ketua lembaga pemerintahan
sekalipun.
Hal itu disebabkan semua kader yang duduk dalam koalisi maupun oposisi adalah petugas
partai atau pesuruh ketua umum dan bukan lagi abdi rakyat. Oleh karena itulah, pengamanan
kepentingan partai politik yang utama adalah pembiayaan mesti segera dilaksanakan dan
diamankan oleh segenap kader partai. Loyalitas yang kemudian menghasilkan lingkar kroni
bersifat oligarki merupakan suatu kebutuhan bagi partai untuk menerapkan prinsip
monoloyalitas demi kuasa yang dikejar.
Maka itulah, dalam kasus keterpilihan kepala eksekutif di Indonesia itu merangkap sebagai
patron partai dengan tujuan mengamankan aliran pembiayaan baik bagi partai maupun
kroninya. Pada akhirnya, kemudian, otonomi relatif yang terjadi dalam kasus konstelasi partai
politik di Indonesia menunjukkan bahwa presiden yang sebenarnya berkuasa adalah figur
85
ketua partai.
Pola inilah yang menjelaskan kenapa loyalitas dan dedikasi bekerja para kader partai politik
di pemerintahan maupun oposisi di parlemen sendiri menginduk pada kebijakan pembiayaan
dan monoloyalitas yang dititahkan oleh sang ketua umum. Jika demikian adanya, wajah
politik di Indonesia sendiri adalah warisan patrimonalisme tradisional yang kemudian
mengalami transformasi dalam era demokrasi modern.
Sudah sewajarnya apabila praktik politik koruptif dan kolutif seperti demikian disudahi saja
karena negara sendiri arena pengabdian bagi publik sebagai demos dan bukan partai kepada
ketuanya.
WASISTO RAHARJO JATI
Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI
86
Ketegasan Lee Kuan Yew
Koran SINDO
25 Maret 2015
Singapura sedang dalam masa berkabung karena bapak pembangunan mereka Lee KuanYew
telah berpulang. Media nasional di Indonesia spontan dibanjiri ucapan belasungkawa. Yang
menarik, simpulan publik adalah bahwa Lee Kuan Yew layak dipuja karena prestasinya.
Dalam analisis kali ini saya menyoroti dua sisi ketegasan Lee Kuan Yew yang kerap
dibicarakan orang.
Bayangkan apabila Anda harus membangun sebuah negara yang tidak memiliki sumber daya
alam dengan bermodalkan hanya sebuah pelabuhan yang menikmati keuntungan dari lalu
lintas perdagangan negara-negara sekelilingnya. Itulah tantangan yang harus dihadapi Lee
Kuan Yew muda ketika memutuskan untuk memisahkan diri dari Persatuan Malaysia akibat
konflik rasialis yang tidak dapat didamaikan. Lee yang memimpikan persatuan antara
wilayah Malaysia dan Singapura harus meneteskan air matanya di depan kamera televisi
ketika menyatakan tidak ada lagi harapan untuk bersama pada tahun 1965.
Lee Kuan Yew adalah seorang realis dan pragmatis. Memasukkan dia ke dalam kotak-kotak
analisis ideologis sosialis atau kapitalis, kiri atau kanan, liberal atau konservatif akan
menemui hambatan atau kejanggalan dalam simpulannya. Pada masa berdirinya Singapura, ia
sangat dekat dengan gerakan komunis dan sosialis. Ia memahami bahwa pada masa itu hanya
gerakan sosialis yang mampu melakukan perlawanan secara terorganisasi untuk melawan
pemerintahan kolonial Inggris. Perlawanan tidak hanya dalam konteks fisik, tetapi juga
perlawanan ide dan gagasan tentang pentingnya persatuan bangsa Melayu dan kebebasan
untuk memerintah diri sendiri. Pada masa itu, hanya kelompok kiri yang mampu
menyediakan infrastruktur politik yang cukup untuk dapat menggerakkan rakyat. Alasan itu
yang menyebabkan Partai Aksi Rakyat dipenuhi kelompok sayap kiri pada awalnya.
Namun, seiring dengan waktu, Lee merasa bahwa kelompok sayap kiri tidak dapat
mengakomodasi gagasannya untuk membangun Singapura yang bebas dari ideologi mana
pun. Singapura yang bebas dari ideologi adalah syarat yang menurutnya dapat membuat
negara tersebut selamat dari kepungan negara-negara lain yang relatif lebih besar dalam
ukuran ekonomi, penduduk, atau militer seperti Malaysia, Indonesia, Filipina, Vietnam,
Kamboja, dan negara-negara Asia Tenggara lainnya.
Lee kemudian membersihkan unsur-unsur sayap kiri dalam partai dan pemerintahan.
Alasannya bukan karena ia memiliki fanatisme berlebih terhadap ideologi kapitalisme, tetapi
semata-mata lebih karena ia menginginkan sebuah kestabilan politik jangka
panjang. Pembersihan juga dilakukan terhadap oposisi yang secara frontal melakukan
87
perlawanan. Ia mengatakan lebih menyukai oposisi dari dalam yang tidak melakukan
perlawanan untuk menjatuhkan, tetapi membangun.
Lee menyadari bahwa menerapkan kebijakan yang keras tanpa memasukkan prosedur
demokrasi dalam sistem politiknya akan membuat ketidakpuasan rakyat memuncak. Hal itu
lagi-lagi tidak akan produktif untuk pembangunan yang tengah dijalankannya. Ia pun tetap
menyelenggarakan pemilihan umum dan Partai Aksi Pekerja hingga saat ini terus
mendominasi kursi parlemen dibandingkan dengan tujuh partai lain.
Keputusannya untuk fokus ke pembangunan dan mengesampingkan kegiatan politik tentu
mendapat kritik dari negara-negara lain. Namun hingga saat ini tidak ada tindakan serius
berupa sanksi ekonomi atau embargo seperti yang terjadi kepada Kuba, Iran, Korea Utara,
dan negara lain. Ketegasannya itu diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan, ketertiban,
dan keteraturan di dalam masyarakat. Negara lain tidak dapat mengusik ”kedaulatan”
Singapura karena memahami bahwa ketegasan itu dilakukan untuk menciptakan kestabilan
yang pada akhirnya menguntungkan negara-negara lain yang berinvestasi di Singapura.
***
Sepeninggal Lee Kuan Yew dua hari lalu, Singapura akan menghadapi tantangan yang
berbeda dengan ketika Lee masih memimpin negeri itu. Beberapa kebijakannya bahkan
sekarang berbalik mengejarnya seperti bumerang.
Contoh adalah pembatasan kelahiran anak untuk mengerem tingkat kelahiran yang tinggi
pada tahun 1970-an. Kebijakan itu memang berhasil menekan tingkat kelahiran, tetapi mulai
membebani perekonomian ketika memasuki tahun 2000 karena telah membuat Singapura
defisit tenaga kerja lokal baik yang terampil atau tidak terampil. Defisit itu kemudian
dipenuhi dengan banjirnya tenaga kerja asing di Singapura. Komposisi mereka saat ini
mencapai 40% dari total penduduk.
Tingkat pertumbuhan penduduk yang berwarga negara Singapura kurang dari 1% setiap
tahunnya, sementara pertumbuhan penduduk yang bukan warga negara adalah sekitar 1,7%
dan sempat mencapai 11% pada 2009. Komposisi yang relatif besar itu pun menimbulkan
gesekan-gesekan rasialis yang laten. Terakhir bulan Desember 2013 terjadi kerusuhan di
Little India yang menyebabkan 27 orang luka-luka. Tenaga kerja asing juga membuat harga-
harga perumahan semakin meroket dan tidak terjangkau oleh warga negara Singapura
sendiri. Mereka yang memiliki properti berlebih kemudian menyewakannya kepada para
tenaga kerja asing.
Pembatasan kelahiran adalah salah satu contoh di Singapura di mana kebijakan pada masa
lalu saat ini tidak lagi kontekstual dan justru semakin merugikan pertumbuhan ekonomi
sebuah negara. Sejak tahun 2000-an, Pemerintah Singapura mulai menyadari hal tersebut
sehingga menawarkan insentif uang dan potongan pajak bagi perempuan berpendidikan yang
mau memiliki anak ketiga, keempat, bahkan kelima. Ternyata bukan hal sederhana
88
mendorong orang muda yang berpendidikan untuk punya banyak anak. Jika dalam jangka
panjang kebijakan tersebut dianggap menguntungkan negara, Pemerintah Singapura perlu
menyadarkan warganya untuk melaksanakan perubahan tersebut. Itu hanya satu contoh.
Tentu masih banyak kebijakan lain yang sudah tidak relevan pada saat sekarang.
Apa yang dapat kita pejalari dari Lee Kuan Yew dan Singapura bukanlah betapa keras sistem
hukum dan politik pemerintahan yang dibangun, tetapi bagaimana cara mereka melihat
masalah dan menghasilkan jalan keluar dari masalah tersebut. Lee menyadari bahwa untuk
membawa Singapura mencapai tingkat kesejahteraan dan pertumbuhan yang tinggi
diperlukan beberapa kebijakan yang tidak populis. Kebijakan itu tidak lahir dari ideologi
tertentu, tetapi dari membaca dengan cermat sekelilingnya.
Lee Kuan Yew adalah seseorang yang keras, berpendidikan, kaku dan tegas, tetapi ketika
bicara soal ”kedaulatan” Singapura, ia rela datang dan menaburkan bunga di makam Usman
dan Harun, dua pahlawan Indonesia yang dijatuhi hukuman mati karena aksi pengeboman di
Singapura.
Ia tidak hanya menghadapi kritik di dalam negeri, tetapi juga harus melawan kata
hati/nuraninya demi memulai hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Indonesia.
Pengorbanan ini terbukti berhasil apabila kita lihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi dan
neraca perdagangan yang terjadi antara Singapura dan Indonesia.
Kita pun harus mulai belajar mengandalkan rasionalitas dan akal sehat dalam memimpin dan
bersaing dengan negara-negara lain daripada sekadar emosi. Pemimpin harus mengukur
segala baik-buruk keputusannya dari berbagai macam sudut pandang, tetapi memutuskan
dengan kepala yang dingin.
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
@dinnawisnu
89
Membendung Radikalisme di Dunia Maya
Koran SINDO
25 Maret 2015
Terorisme merupakan kejahatan transnasional yang tidak kenal batas negara. Hubungan kuat
antara jaringan teroris di dalam dan di luar negeri menempatkan terorisme sebagai persoalan
kompleks yang membutuhkan penanganan komprehensif dan integratif antarlini.
Empat tahun belakangan, pemerintah telah berupaya cukup maksimal dalam memutus mata
rantai jaringan tersebut. Sejauh ini upaya tersebut sudah mampu melokalisasi kekuatan dalam
negeri dengan jaringan internasional. Meski demikian, perubahan lingkungan strategis baik
skala nasional maupun internasional serta kemajuan teknologi dan informasi yang begitu
kencang membuat pola dinamika terorisme pun berubah.
Pola transnasional terorisme justru semakin menemukan momentumnya ketika teknologi
informasi seperti internet menjadi alat komunikasi populer di tengah masyarakat. Tak ayal,
ancaman terorisme menjadi meningkat drastis karena teknologi dan informasi menyebabkan
batas-batas negara menjadi semakin kabur. Sebuah kejadian di negara tertentu dapat dengan
mudah diakses pada belahan bumi yang lain.
Ayman al-Zawahiri, pemimpin Al-Qaeda pengganti Osama, pada 2005 menuliskan pesan
kepada pimpinan Al-Qaeda di Irak (AQI), Abu Musab al-Zarqawi: ”Kita sedang dalam
peperangan dan separuh lebih dari peperangan itu terjadi di media. Kita sedang dalam
peperangan media demi merebut hati dan pikiran umat kita”. Jelas sekali, peperangan media
telah lama ditabuh oleh kelompok teroris sebagai medan dan sekaligus strategi baru. Pada
1988 Osama bahkan telah membentuk Departemen Media di dalam struktur organisasinya.
Kini kehadiran media internet telah membuat medan perang itu semakin rumit. Media
internet dimanfaatkan oleh kelompok teroris sebagai kontranarasi dari media
mainstream. Jika media mainstream meliput kekerasan terorisme, media teroris
menarasikannya sebagai tugas suci dan legitimasi tindakan dengan harapan mendapatkan
simpati publik. Internet dengan demikian dijadikan jalan pintas untuk menyampaikan pesan
langsung ke audiens tanpa melalui media mainstream.
Selain website, media sosial juga telah menjadi alat cukup efektif bagi kelompok radikal
terorisme sebagai instrumen propaganda, pembangunan jaringan, dan rekrutmen keanggotaan
yang bersifat lintas batas negara. Kelompok ISIS menjadi satu model gerakan terorisme yang
secara cerdas dan fasih menggunakan kemajuan teknologi dan informasi, khususnya media
sosial sebagai alat propaganda dan rekrutmen keanggotaannya.
90
Melalui media sosial seseorang dapat menjadi radikal dengan tidak harus keluar rumah.
Kelompok teroris telah menyediakan berbagai situs dan media sosial yang memandu
seseorang secara online.
Pengalaman dari berbagai negara termasuk tiga remaja dari Inggris yang kabur untuk
bergabung dengan ISIS menjadi salah satu bukti betapa efektif proses radikalisasi yang
terjadi di dunia maya. Seseorang bisa menjadi radikal dan memutuskan untuk mengambil
tindakan bergabung dengan kelompok teroris akibat infiltrasi terorisme di dunia maya.
Arus Radikalisme Baru
Radikalisasi bukan suatu proses yang instan dan sederhana. Proses itu sangat kompleks dari
proses pengenalan, identifikasi diri, indoktrinasi, radikalisasi, hingga tindakan teror. Dulu
keseluruhan proses itu bisa dikatakan sebagai mata rantai dari proses radikalisasi ke arah
tindakan terorisme melalui jaringan dan sel tertutup.
Dulu instrumen radikalisme dapat diidentifikasi melalui berbagai tempat seperti rumah
ibadah, pendidikan, atau tempat rentan lain yang mudah dijangkau. Saat ini kehadiran media
sosial seakan membuka ruang tertutup itu menjadi terbuka. Semua kalangan bisa dengan
mudah mengakses situs radikal, bertatap muka secara online, hingga memungkinkan proses
radikalisasi berlangsung di dunia maya.
Karena itulah, media sosial sebagai instrumen kelompok teroris tidak hanya menghadirkan
propaganda baru terorisme, tetapi lebih jauh dari itu ada pola dan bentuk radikalisme baru
yang perlu diwaspadai.
Pertama, radikalisme di lingkungan remaja. Pilihan media sosial sebagai media propaganda
dan rekrutmen oleh kelompok teroris bukan sekadar karena alasan praktis dan mudah, tetapi
mereka sadar bahwa secara demografis para penghuni arena media sosial tersebut adalah
kelompok remaja. Beberapa contoh dari berbagai negara yang bergabung dengan ISIS ke
Suriah adalah kalangan remaja dengan kisaran 18-25 tahun yang sebagian karena terpengaruh
melalui media sosial.
Kedua, radikalisasi pada kalangan terdidik. Profesor Rommel Banlaoi ketika meneliti anggota
kelompok terorisme di Filipina menegaskan bahwa anak muda yang terpengaruh dan masuk
dalam jaringan terorisme kebanyakan mereka yang putus sekolah, buta huruf, miskin, dan
pengangguran. Walaupun teori ini sepenuhnya tidak bisa dipatahkan, kehadiran propaganda
melalui media sosial menandai suatu pola baru radikalisasi di kalangan terdidik dan kelas
menengah yang tidak semata terimingi oleh sejumlah uang.
Ketiga, radikalisasi di ruang terbuka. Media online dan media sosial merupakan ruang publik
baru yang terbuka dan bebas. Jika dahulu proses rekrutmen dan indoktrinasi terjadi di ruang
tertutup melalui berbagai perantara orang terdekat, saat ini proses rekrutmen menjadi sangat
91
terbuka. Pertemanan online antarnegara bahkan dapat mengajak seseorang untuk bergabung
dalam jaringan teroris.
Radikalisasi tidak lagi membutuhkan tempat dan ruang rahasia dan tertutup. Proses seseorang
menjadi radikal dapat terjadi di ruang belajar, kamar tidur, ruang sekolah, dan ruang santai
lain yang memungkinkan seorang mengakses situs dan media sosial kelompok radikal.
Keterpengaruhan melalui media online memang tidak bisa dijadikan variabel tunggal yang
menentukan sikap radikal seseorang. Metode konvensional propaganda dan perekrutan
jaringan terorisme harus tetap diwaspadai. Namun, propaganda terorisme melalui media
online tidak bisa dianggap remeh. Melalui media online perubahan pola propaganda
terorisme berlangsung lebih masif dan terbuka. Arus radikalisme baru ini tentu saja menjadi
tantangan baru bagi pemerintah dan masyarakat secara umum.
Mencegah Bersama
Kehadiran fenomena radikalisme di dunia maya seakan membangunkan kesadaran kita
bahwa ada celah bahkan lubang besar yang tak terpikirkan dan itu sangat efektif digunakan
oleh kelompok teroris. Harus disadari, dibandingkan dengan negara-negara Barat, Indonesia
sedikit lebih terlambat dalam menyadari ancaman terorisme di media online. Amerika pasca-
Tragedi September Kelabu telah menyadari kehadiran ancaman cyber terrorism. Mereka
melalui semacam konsorsium beberapa perguruan tinggi dengan pemerintah bahkan
membentuk komite yang khusus menangani terorisme melalui teknologi dan informasi.
Tampaknya, bukan hal yang terlambat bila kita saat ini memberikan porsi besar terhadap arus
radikalisme di dunia maya ini. Dalam beberapa tahun terakhir, dalam membendung paham
radikal di tengah masyarakat, pemerintah dengan melibatkan semua komponen meliputi
tokoh ulama, tokoh pendidikan, tokoh pemuda, tokoh masyarakat, dan lain-lain telah
bergerilya bersama dalam mengampanyekan wawasan kebangsaan dan keagamaan yang
moderat di semua sektor.
Program pencegahan itu banyak diakui telah mampu membendung derasnya arus radikalisme
yang kencang beredar di tengah masyarakat khususnya pasca reformasi. Indikator
keberhasilan yang bisa dilihat bahwa masyarakat telah menjadikan terorisme sebagai musuh
bersama dan ancaman bagi keutuhan bangsa.
Semangat yang sama dan kekuatan bersama yang telah terbangun selama ini harus tetap solid
dalam bingkai strategi baru dalam menghadapi ancaman terorisme di dunia maya. Apa yang
bisa dilakukan? Pada level struktural, pemerintah harus segera memikirkan formulasi
kebijakan dan regulasi yang lebih tepat dan efektif dalam menangani penyebaran propaganda
radikalisme dan terorisme. Tumpulnya regulasi menjadi angin segar bagi kelompok teroris
yang dengan bebas menyebarkan paham dan ajaran radikal di dunia maya.
92
Pada level kultural, masyarakat dari berbagai latar belakang keahlian dan organisasi harus
memberikan kontribusi dan proaktif dalam membendung arus radikalisme baru
tersebut. Sebenarnya sudah banyak situs dan akun media sosial yang telah lama menjadi
pembanding sekaligus pembendung paham radikal di dunia maya. Hanya, upaya saat ini
masih parsial dan harus dikonsolidisikan untuk membentuk suatu kekuatan bersama.
Kami berharap seluruh kekuatan pemerintah dan masyarakat sipil di dunia maya mampu
membentuk gerakan sinergis dalam mencegah dan membendung radikalisme dan terorisme di
dunia maya. Mari bersama mencegah terorisme.
AGUS SURYA BAKTI
Deputi Bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT
93
Diskrepansi Pelembagaan Parpol
Koran SINDO
26 Maret 2015
Hal memprihatinkan dalam realitas politik kita saat ini adalah menguatnya diskrepansi atau
ketidakcocokan antara harapan dan realitas dalam pelembagaan partai politik sebagai entitas
modern.
Beberapa partai seperti PPP dan Partai Golkar didera konflik berkepanjangan. Kedua partai
berpengalaman yang sama-sama lahir dari rahim Orde Baru ini tak mampu mengelola dan
menyelesaikan konflik melalui mekanisme internal mereka.
Hal lain yang memprihatinkan adalah tren aklamasi dalam mekanisme pemilihan ketua
maupun calon ketua umum partai. Contoh terdekat, PDIP belum menggelar kongres, tetapi
berdasarkan keputusan hasil rapat kerja nasional (rakernas) di Semarang pada September
2014 Megawati hampir dipastikan kembali menjadi ketua umum PDIP 2015-2020 dan
pemilihannya didorong ke aklamasi. Pemilihan Aburizal Bakrie (ARB) dalam Munas IX di
Bali, juga melalui aklamasi yang berujung pada terbelahnya Golkar.
Munas II Partai Hanura pada 13-15 Februari 2015 hanya menjadi ajang pengukuhan secara
aklamasi Wiranto sebagai ketua umum. Hal yang sama berpotensi terjadi di Gerindra dan
Demokrat jika Prabowo dan SBY “turun gunung” menjadi calon ketua umum.
Penstrukturan Adaptif
Kualitas partai-partai yang ada saat ini memang sungguh memprihatinkan. Di tengah
dinamika politik nasional yang terus bergerak dan membutuhkan kiprah optimal partai
sebagai entitas penting dalam demokrasi, banyak dari mereka yang justru berkutat dalam
konflik internal.
Masalah mendasar dalam pengelolaan partai di Indonesia ialah lemahnya basis ideologi, etos
demokratik, dan ketidakjelasan skema regenerasi berkelanjutan. Basis ideologi telah lama
diabaikan, bahkan dianggap utopia karena banyak politisi yang memandang ideologi bias, tak
bermakna, dan tak lagi kontekstual. Etos demokratik berkaitan dengan formasi nilai-nilai
demokrasi dalam berpartai. Roh partai sebagai entitas publik, yang semestinya membuat
warga partai dan basis konstituen lebih berdaya, kerap tunduk pada ego dan kepentingan
segelintir elite yang memegang kuasa partai. Hal itu diperparah dengan adanya sumbatan
proses kaderisasi. Tahap alamiah kaderisasi yakni proses rekrutmen, penguatan, dan
pemberdayaan loyalis organisasi, serta distribusi dan alokasi kader ke sejumlah jabatan di
94
internal maupun di tengah publik tereduksi, bahkan dibusukkan oleh oligarki, politik dinasti,
dan laku politik transaksional.
Banyak partai yang mengalami kegamangan dalam melakukan penstrukturan adaptif di tubuh
organisasi. Dalam terminologi Anthony Giddens, sebagaimana dikutip oleh West dan Turner
dalam Introducing Communication Theory (2008) penstrukturan adaptif ialah bagaimana
institusi sosial seperti organisasi diproduksi, direproduksi, dan ditransformasikan melalui
penggunaan aturan-aturan yang akan berfungsi sebagai perilaku para anggotanya. Dengan
demikian, struktur diciptakan dan dipertahankan sekaligus juga dapat diubah dengan
mengadaptasi atau menciptakan aturan baru. Artinya, partai politik harusnya memperkuat
sistem organisasi yang ditaati semua warga partai, bukan sebaliknya menyuburkan
feodalisasi, politik patron-client yang menyebabkan organisasi di bawah subordinasi satu
atau beberapa orang saja.
PPP terbelah menjadi dua, kubu Djan Faridz dan Kubu Romahurmuziy. Sama-sama
menyandarkan diri pada aturan organisasi dengan tafsir sendiri-sendiri akibat konteks
kepentingan politik pragmatis yang berbeda. Pun demikian kubu Agung Laksono (Munas
Ancol) versus kubu Aburizal Bakrie (Munas Bali) yang seolah berada di labirin kekuasaan
dan tak kunjung menemukan jalan keluar. Padahal, kedua partai ini surplus para politisi
senior yang banyak makan asam garam manajemen konflik. Dengan demikian, persoalannya
bukan pada “jam terbang”, melainkan pada ego pribadi dan faksi. Padahal, sejarah
menunjukkan jika mekanisme penyelesaian konflik lewat pengadilan, salah satu pihak
biasanya membuat tandingan atau keluar dan mendirikan partai baru.
Fenomena Aklamasi
Fenomena aklamasi dalam pemilihan ketua umum di PDIP, Hanura, juga kemungkinan
terjadi di Gerindra dan Demokrat, menjadi penanda nyata menguatnya gejala groupthink!
Gejala ini oleh Irving Janis dalam karyanya Groupthink: Psychological Studies of Policy
Decesions and Fiascoes (1982) digambarkan sebagai kelompok yang memiliki tingkat
kohesivitas tinggi dan sering gagal mengembangkan alternatif-alternatif tindakan yang
mereka ambil. Para kader rata-rata berpikir sama dan menghindari pemikiran berlawanan
sehingga sangat sedikit kemungkinan munculnya ide-ide yang tidak populer atau tidak serupa
dengan anggota kader lain terlebih dengan elite utamanya.
Saat pengurus dan kader partai tak lagi berani bicara atau mengeluarkan alternatif nama,
meski sekadar di level wacana, sudah bisa dipastikan begitu kuatnya batasan afiliatif
(affiliative constraints) di tubuh organisasi tersebut. Batasan afiliatif berarti anggota
kelompok lebih memilih untuk menahan diri daripada mengambil risiko ditolak atau disebut
sebagai penyimpang dan pengkhianat. Salah satu dampak signifikan dari buruknya kualitas
sirkulasi elite seperti ini adalah minimnya para pemimpin imparsial. Sosok-sosok seperti
Megawati, Wiranto, Prabowo, SBY dengan sendirinya akan selalu berada di puncak hierarki
otoritas partai. Suatu saat, jika terjadi transisi kepemimpinan dari figur utama ini ke yang
lain, barulah faksi-faksi di internal yang tadinya laten mengemuka ke ruang publik.
95
Sesungguhnya tak salah jika partai memiliki figur kuat, hanya saja sumber daya politik figur
harus bertransformasi menjadi kekuatan sistem.
Ketidakmampuan partai mengelola konflik internal sama buruknya dengan ketidak berdayaan
partai keluar dari subordinasi figur. Kelembagaan parpol akan sangat rapuh dan tak akan
pernah mampu berdiri kokoh sebagai entitas publik yang demokratis. Partai yang berkonflik,
terancam lemah dan “tergopoh-gopoh” mengejar agenda politik yang membutuhkan fokus
perhatian, misalnya pilkada serentak di tahun ini. Adapun partai yang tersubordinasi
segelintir elite oligarkis hanya akan mendapatkan kenyamanan dan kemapanan palsu!
Saatnya partai memikirkan proses transformasi lebih sistemik. Menguatkan pola kaderisasi
dan memperkuat kapasitas kelembagaan. Pengelolaan partai yang berkutat di lingkaran
oligarki elite akan menyebabkan gagalnya partai menuju partai modern.
GUN GUN HERYANTO
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif The Political Literacy
Institute
96
Solusi Golkar: Akhirnya Munas Juga
Koran SINDO
27 Maret 2015
Persis seperti yang saya perkirakan sebelumnya rute penyelesaian dualisme Partai Golkar
melalui Mahkamah Partai Golkar (MPG) dan pengadilan hanya memberikan penyelesaian
yang bersifat ad hoc. Meski ada yang menang atau dimenangkan, ada yang kalah atau
dikalahkan, dan dengan langkah itu alih-alih dualisme kepengurusan berakhir dengan
sendirinya, PG tetap pecah menjadi seperti rempah-rempah.
Tindakan pemerintah melalui Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM No: M.HH-
01.AH.II.01 Tahun 2015 tentang Pengesahan Komposisi Personalia DPP Partai Golkar
tertanggal 23 Maret 2015 terbukti hanya menyelesaikan dualisme kepengurusan secara de
jure belaka. Secara de facto dualisme kepengurusan ini terus berjalan dengan segala reperkusi
dan resonansi politiknya yang bahkan tidak mustahil akan semakin panas dan eksesif. Lihat
saja setelah mendapatkan pengesahan pemerintah, DPP hasil Munas Jakarta segera saja
melakukan langkah mengubah pimpinan Fraksi Partai Golkar (FPG) di DPR/MPR dan
selanjutnya mengangkat beberapa pelaksana tugas ketua DPD-DPD PG se-Indonesia. Tidak
mustahil langkah ini akan berjalan panas oleh karena DPP hasil Munas Bali juga merespons
dengan melakukan langkah- langkah konsolidasi kepemimpinan FPG DPR/MPR dan DPD-
DPD yang masih mendukungnya untuk melakukan perlawanan habis-habisan atas keputusan
pemerintah yang mengesahkan kepengurusan DPP Munas Jakarta yang dianggap tidak adil
dan sewenang-wenang itu.
Begitulah konsekuensi dari penyelesaian perpecahan politik sebuah partai politik melalui rute
MPG dan pengadilan yang notabene selalu bersifat ad hoc itu. Walhasil, jika tujuan
keputusan MPG dan pengesahan pemerintah adalah untuk mengakhiri perpecahan dan
dualisme kepengurusan DPP PG agar perpolitikan nasional stabil, tidak gaduh, dan kondusif
bagi jalannya pemerintahan hasil Pemilu 2014, tujuan itu tidak tercapai, untuk tidak
mengatakan gagal. Kecuali kalau pemerintah mempunyai tujuan lain yang kita sama sekali
tidak tahu.
Pemerintah itu Negara
Saya ingin sampaikan di sini bahwa melawan pemerintah secara frontal atau head to head itu
tidak banyak artinya kecuali hanya akan memberikan kepuasan psikologis. Di negeri seperti
ini, betapa pun lemahnya secara politik, pemerintah itu tetap saja pemerintah: sangat
berkuasa.
97
Apa yang disebut dengan negara memang terdiri atas pemerintah, rakyat, dan
wilayah. Tetapi, pada sejatinya pemerintahlah manifestasi par excellence dari apa yang
disebut dengan negara. Maka itu, melawan kebijakan politik pemerintah secara frontal akan
mudah didakwa dan dipelintir sebagi melawan negara. Boleh saja melawan pemerintah, tetapi
jangan secara frontal sebab pasti akan kalah!
Pemerintah itu mempunyai semua instrumen untuk menang dan memenangkan pertandingan
politik. Maka itu, sekali melawan pemerintahan haruslah dengan canggih. Kalau perlu,
dengan langkah memutar melalui rute politik yang namanya munas atau munaslub. Dalam
alam demokrasi hanya hasil munas yang demokratis pula yang dapat memaksa (fait
accomply) pemerintah atau negara untuk mau tidak mau mengesahkannya.
Di mana pun dan kapan pun, apalagi di Indonesia, melawan pemerintah tidak bisa dengan
frontal dan head to head, melainkan harus memutar. Pemerintah itu, sekali lagi, mempunyai
semua alat-alat kekuasaan untuk menang dan memenangkan sebuah pergumulan politik.
Apalagi manakala pemerintah sedang berusaha melakukan konsolidasi, akumulasi, dan
kapitalisasi dukungan politik dengan berbagai cara demi jalan pemerintahan yang stabil dan
efektif.
Memang kubu DPP Munas Bali sekarang masih ada pendukungnya. Tetapi, step by step,
sedikit demi sedikit, anggota FPG dan DPD-DPD PG itu akan menyerah juga. Pelan tapi pasti
(slow but sure) pragmatisme politiklah yang akan menang dan dominan!
Pengalaman Parmusi pada 1970 juga begitu: semua wilayah dan daerah waktu itu mengaku
berada di belakang kepemimpinan Ketua Umum Djarnawi Hadikusumo. Tetapi, begitu
pengesahan pemerintah dikeluarkan, semua wilayah dan daerah step by step , pelan tapi pasti,
“balik kanan”, berpindah mendukung kepengurusan yang disahkan pemerintah. Artinya, kubu
DPP Munas Bali kemungkinan besar pasti akan kalah vis a vis negara. Negara itu, sekali lagi,
punya semua instrumen kekuasaan untuk menang. Maka itu, pemerintah sering disebut
“penguasa” karena memang berkuasa. Ala kulli hal, apa pun yang akan terjadi, pemerintah
mustahil menganulir keputusan itu.
Jika mau belajar dari pengalaman lama, pilihan yang paling realistis bagi kubu DPP hasil
Munas Bali sekarang ini adalah menunggu secara aktif dan proaktif munas yang oleh
pemerintah sendiri diminta dilaksanakan selambat-lambatnya pada 2016. Di dalam amar
Putusan MPG dan SK Kemenkumham itu ada frase yang berbunyi: “segera melaksanakan
musyawarah-musyawarah daerah dan munas selambat-lambatnya tahun 2016”.
Pilihan yang tersedia tinggal satu ini! Dulu ketika belum ada amar Putusan MPG dan
pengesahan pemerintah, kubu DPP Munas Bali memang memiliki kekuasaan untuk
menggelar munas (lub). Tetapi, sekarang momentum itu sudah lewat, gone with the wind.
Jika sekarang kubu Munas Bali meminta munas (lub) sebagai modus dan rute penyelesaian
dualisme kepengurusan partai, itu sudah terlambat karena sudah dianggap terlalu kecil (too
late and too little) oleh lawannya. Pilihan bagi DPP Munas Bali sungguh semakin sempit:
98
tinggal Munas 2016, kecuali ada putusan pengadilan atau PTUN yang berbunyi lain. Ini pun,
harus diingat, tidak akan juga menyelesaikan perpecahan yang sudah sangat eksesif ini.
Akhirnya Melalui Munas Juga
Perpecahan PG adalah perpecahan politik. Perpecahan politik hanya bisa diselesaikan secara
tuntas melalui forum dan mekanisme politik pula: munas atau munaslub. Saya konsisten
dengan sikap saya dari semula bahwa hanya dengan munas (munaslub)-lah rekonsiliasi PG
dapat diwujudkan. MPG dan pemerintah betapa pun rumusan keputusannya tidak ideal telah
memberikan peta politik (political roadmap) agar munas diselenggarakan selambat-
lambatnya pada 2016.
Karena itu, munas harus segera digelar demi teruwujud rekonsiliasi. Munas 2016 atau
munaslub adalah satu-satunya jalan (the one and the only) untuk menyelesaikan perpecahan
PG secara terhormat dan bermartabat. Sangat meyakinkan apa yang disebut dengan Munas
2016 tidak harus menunggu berlama-lama sampai pada 2016.
Pertanyaannya sekarang adalah masih adakah tersisa sikap kenegarawanan dalam diri
pimpinan dua kubu yang berseteru itu untuk --betapa pun pahitnya, apa boleh buat bersikap
legawa menerima solusi melalui munas 2016 itu? Jika masih ada tersisa sikap legawa dan
kenegarawanan, keduanya harus segera menerima solusi Munas 2016 itu dengan sebuah
kesepakatan (gentlemen agreement) mengenai waktu dan kepanitiaan munas. Ini jauh lebih
realistis daripada terus melakukan perlawanan yang menguras energi itu.
Sikap kenegarawanan ini ada atau tidak akan berjalan paralel dengan cepat atau lambatnya
pelaksanaan munas (selambat-lambatnya 2016) itu sendiri: semakin negarawan keduanya
niscaya semakin cepat munas itu digelar. Itu semakin baik. Walhasil, meski berputar-putar
sedemikian panjangnya rute yang ditempuh, akhirnya melalui munas juga, apa pun namanya.
Ini persis seperti yang penulis sarankan sejak semula. Makanya, percayalah padaku!
HAJRIYANTO Y THOHARI
Mantan Wakil Ketua MPR RI 2009-2014
99
Hukum Islam Modern
Koran SINDO
28 Maret 2015
Banyak orang yang melihat hukum Islam sebagai hukum yang kolot, dogmatis, dan tanpa
metodologi yang ketat. Hukum Islam kadang dikonotasikan sebagai hukumnya orang-orang
kolot yang hanya mengajarkan cara-cara ibadah mahdhah. Padahal, hukum Islam didukung
oleh metodologi penemuan dan penetapan hukum yang tak kalah dari metode- metode ilmu
hukum modern.
Ketika belajar di fakultas hukum yang, katanya, muatan maupun metodologinya sudah
modern, saya merasa mudah karena sudah mempelajari asas dan metodologinya saat di
madrasah, pondok pesantren, dan sekolah-sekolah Islam yang saya tempuh. Teori
penjenjangan hukum (hierarki perundang-undangan) atau Stufenbautheorie dari Hans Kelsen,
misalnya, sudah diajarkan di dalam metodologi hukum Islam melalui dialog antara Nabi
Muhammad dan Muadz bin Jabal, belasan abad sebelum Hans Kelsen lahir.
Ketika akan menugaskan Muadz bin Jabal ke Yaman, Nabi bertanya kepada Muadz tentang
cara menetapkan hukum jika ada masalah yang harus dihukumi. Muadz pun menjawab,
dirinya akan menghukumi sesuai dengan ketentuan Alquran. ”Bagaimana jika tidak
ditemukan ketentuannya di dalam Alquran?” tanya Nabi. ”Saya akan berpedoman pada
Sunah Rasul,” jawab Muadz. ”Jika tidak menemukan di dalam Sunah?” tanya Nabi lagi.
”Saya akan menggunakan rayu (akal) untuk berijtihad,” jawab Muadz. Lalu, Nabi memuji
Muadz sebagai sahabatnya yang alim dan ahli hukum.
Berdasarkan hadis tersebut, secara metodologis sejak awal kehadirannya, Islam sudah
mengajarkan susunan hukum yang hierarkis, tak bisa dibalik karena yang lebih tinggi harus
menjadi dasar dari yang sesudahnya, yakni, Alquran, Sunah Rasul, ijtihad, dan semua
tingkatan-tingkatan dari ijtihad itu sendiri.
Teori ini mendahului teori stupa dari Hans Kelsen yang menyebut bahwa hukum tersusun
secara berjenjang dan berlapis dengan keharusan bahwa peraturan yang lebih rendah harus
bersumber dan tak boleh bertentangan dengan hukum yang di atasnya. Hans Kelsen yang
hidup pada abad ke-20 mengajarkan dalam teori hierarkinya bahwa peraturan perundang-
undangan berjenjang mulai konstitusi, UU, hingga seterusnya ke bawah. Dalam tata hukum
Indonesia pun, teori penjenjangan ini berlaku sehingga yang mengurutkan peraturan dan
perundang-undangan mulai UUD 1945, TAP MPR, UU/perppu, PP, perpres, perda, hingga
seterusnya ke bawah.
***
100
Begitu pun dalam soal hubungan antara hukum dan masyarakat. Ada teori bahwa hukum
berubah-ubah sesuai dengan perubahan masyarakatnya karena hukum bukan ada dalam
vacuum. Hukum dibuat untuk melayani masyarakatnya, sehingga kalau masyarakat berubah
maka hukumnya pun berubah. Kalau zaman atau tempatnya berubah maka hukumnya pun
bisa berubah. Ubi societas ibi ius, di mana ada masyarakat, di sana ada hukum (untuk
masyarakat itu). Dalam teori konstitusi, ada teori resultante dari KC Wheare yang
mengatakan bahwa konstitusi itu adalah produk resultante (kesepakatan) sesuai dengan
keadaan sosial ekonomi, politik, dan budaya saat dibuat. Karena itu, menurut Wheare, yang
melempar teorinya pada abad ke-20, konstitusi bisa berbeda-beda dan bisa berubah-ubah
sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi masyarakat, baik waktu maupun tempatnya.
Belasan abad sebelum Wheare lahir, dalam hukum Islam sudah ada kaidah yang kemudian
dipakai oleh Wheare tersebut melalui yang berbunyi, ”Tak terbantahkan bahwa hukum itu
berubah sesuai dengan perubahan waktu, tempat, dan budaya masyarakatnya”, laa yunkaru
taghayyurul ahkaam bitaghayyuril azmaan wal amkaan wal awalaa yunkaru taghayyurul
ahkaam bitaghayyuril azmaan wal amkaan wal awaid. Atau kaidah bahwa ”hukum berubah
sesuai dengan illah atau latar belakangnya”, alhukmu yaduuru maalhukmu yaduuru maa
illatihi.
Umar ibn Khaththab dapat disebut sebagai fuqoha yang memberi contoh bahwa implementasi
hukum itu disesuaikan dengan perubahan situasi masyarakat. Umar tidak memberikan zakat
kepada mualaf (orang-orang yang baru masuk Islam), padahal dalam Alquran disebutkan
mualaf adalah salah satu dari delapan kelompok yang berhak mendapatkan zakat. Alasan
Umar, zaman sudah berubah dan Islam sudah kuat sehingga tak perlu memberi insentif agar
orang masuk Islam.
***
Adanya asas dalam hukum modern bahwa jika ada hukum baru maka hukum lama tak
berlaku (lex posteriori derogat legi priori), di dalam Islam sudah ada asas naasikh dan
mansuukh (hukum baru menghapus hukum lama dalam hal yang sama).
Dalam konteks taksonomi hukum Islam juga dikenal pembidangan dalam berbagai jenis
hukum seperti hukum perdata (syakhshiyyah), hukum pidana (jinaayah), hukum politik dan
ketatanegaraan (siyaasah), dan hukum pemerintahan (imaamah).
Kaidah hukmul hakim yarfaul khilaaf, putusan hakim itu menyelesaikan perbedaan, adalah
kaidah di dalam hukum Islam yang, hebatnya, kemudian berlaku di semua negara dan semua
sistem hukum. Meskipun ketentuan hukum tentang hak dan kewajiban manusia sudah jelas,
kerap timbul perselisihan di antara manusia karena pelanggaran ataupun karena perbedaan
tafsir atas hukum. Karena itulah, ada lembaga pengadilan dan hakim sebagai pengadil. Jika
hakim sudah memutus dengan kekuatan hukum yang tetap maka putusan itu mengikat,
mengakhiri perselisihan, terlepas dari disetujui atau tidak disetujui oleh pihak-pihak yang
bersengketa.
101
Kaidah ini menjamin kepastian agar perselisihan bisa diakhiri. Jika dalam membuat putusan
ternyata hakim melakukan kesalahan, hakimnya bisa dihukum tanpa harus mempersoalkan
vonisnya yang sudah final.
Jauh sebelum lahirnya teori-teori hukum modern, sebenarnya hukum Islam sudah modern
lebih dulu. Menurut beberapa literatur, metode kodifikasi dan unifikasi hukum modern, yang
ditandai oleh munculnya code penal (kitab hukum pidana) dan code civil (kitab hukum
perdata) di Prancis, didahului dengan pengiriman ahli-ahli hukum Prancis untuk mendalami
metodologi hukum Islam di Universitas Al Azhar, Mesir.
MOH MAHFUD MD
Guru Besar Hukum Konstitusi
102
Mengapa Sarpin (Tidak) Melanggar KUHAP?
Koran SINDO
28 Maret 2015
Banyak pertanyaan tentang putusan hakim Sarpin Rizaldi dalam perkara praperadilan yang
diajukan BG. Namun, tidak banyak orang bertanya mengapa seberani itukah Sarpin
memutuskan bahwa permohonan praperadilan tentang penetapan tersangka dikabulkan dan
putusan adalah putusan terakhir dan mengikat; tidak ada upaya hukum apa pun yang dapat
diajukan untuk melawan putusan praperadilan Sarpin tersebut.
Pertanyaan ”mengapa” tersebut dapat dikaji dari dua aspek. Pertama, aspek keadilan dan
kemanfaatan yang berlawan dengan aspek kepastian hukum. Kedua, aspek fungsi dan
perkembangan hukum masa depan di Indonesia.
Aspek pertama, tentu ahli hukum normatif mempertahankan aspek kepastian hukum jauh
melebihi pentingnya dari keadilan dan kemanfaatan karena asas lex certa menuntut hakim
harus hanya menjadi ”mulut undang-undang”. Sedangkan aspek keadilan dan kemanfaatan
justru sebaliknya, mempertahankan bagaimana seharusnya hukum (UU) i.e KUHAP dibaca
dan ditafsirkan dan disesuaikan dengan perkembangan perlindungan hak asasi manusia.
Selain itu, tentu KUHAP yang merupakan UU (hukum tertulis) selalu tidak dapat mengikuti
perkembangan hukum dalam masyarakat seperti hukum hak asasi manusia.
***
Bagaimana caranya agar KUHAP dapat menyesuaikan dengan perkembangan hukum hak
asasi manusia yang merupakan pilar negara hukum yang demokratis? Jawaban ahli hukum
normatif pasti adalah perubahan KUHAP melalui Parlemen. Namun, bagi ahli hukum
pembangunan (meminjam teori hukum pembangunan Mochtar Kusumaatmadja) dan ahli
hukum progresif yaitu hukum untuk manusia bukan manusia untuk hukum (alm. Satjipto
Rahardjo), perubahan terhadap KUHAP dapat dilakukan dengan putusan pengadilan melalui
keyakinan seorang hakim.
Pandangan ahli hukum pembangunan dan ahli hukum progresif ini diperkuat oleh pandangan
teori hukum integratif (Romli Atmasasmita) yang mewajibkan para ahli hukum, akademisi,
dan praktisi untuk memperhatikan nilai-nilai (values) di balik norma yang tercantum di dalam
suatu UU.
Bagi pandangan teori hukum integratif, ketentuan tentang praperadilan di dalam KUHAP
103
harus dibaca dan dipahami bukan hanya perlindungan hak asasi tersangka secara limitatif,
melainkan juga harus dipahami sebagai perjuangan untuk menciptakan nilai hak asasi setiap
orang yang ditetapkan tersangka oleh tangan kekuasaan.
Pemahaman mengenai nilai HAM inilah yang merupakan justifikasi atas penafsiran secara
luas (ekstensif) terkait ketentuan praperadilan di dalam KUHAP. Pemahaman tersebut
sekaligus memperluas wawasan mengenai perlindungan hak asasi in concreto sebagaimana
telah dicantumkan dalam Bab XA UUD 1945, UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM,
dan ketentuan ICCPR yang telah diratifikasi dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2005.
Sejatinya, keberadaan konstitusi yang mengatur secara tegas tentang HAM dan UU tentang
HAM tersebut, mutatis mutandis merupakan sumber hukum dan sekaligus payung hukum
bagi semua peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya terlepas apakah hak
asasi dimaksud telah dicantumkan atau tidak tercantum di dalam peraturan perundang-
undangan dimaksud.
Putusan hakim Sarpin telah membuat ruang hukum terbuka bagi setiap orang untuk
memperjuangkan perlindungan hak asasi bagi dirinya terhadap tangan-tangan kekuasaan
sekalipun kewenangan telah diberikan oleh UU.
***
Dalam kaitan putusan hakim Sarpin tentang kewenangan KPK menetapkan BG sebagai
tersangka, ahli hukum, akademisi, dan praktisi hukum perlu melihat dan memahami
keberlakuan UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUADP
2014). UU tersebut secara formal mengatur tentang larangan penyalahgunaan wewenang baik
di bidang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Ketentuan Pasal 17 UU ADP 2014 tersebut telah menetapkan tiga jenis penyalahgunaan
kekuasaan (baca: kewenangan) yaitu melampaui batas kewenangan, mencampuradukkan
wewenang, dan bertindak sewenang-wenang. Keberlakuan UU ADP 2014 dihubungkan
dengan UU RI Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas
KKN, serta UU RI Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik diperkuat oleh ketentuan
larangan gratifikasi dan suap di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan
UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor),
mencerminkan ”political will” pemerintah untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang
baik dan benar (good governance/GG). Selain itu juga mencerminkan bahwa kedudukan UU
Tipikor merupakan ”ultimum remedium” terhadap pelanggaran yang bersifat administratif
sekalipun telah menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dan telah
menimbulkan kerugian pada negara. Tafsir hukum ini sejalan dengan ketentuan Pasal 14 UU
Tipikor yang mewajibkan penegak hukum untuk hanya memberlakukan ketentuan UU
Tipikor terhadap ketentuan mengenai pelanggaran administratif yang merupakan tindak
pidana korupsi.
104
Larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana tercantum di dalam UU ADP 2014
menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana status hukum unsur ”penyalahgunaan
wewenang karena kedudukan dan jabatannya” di dalam ketentuan Pasal 3 UU Tipikor.
Muncul pertanyaan, apakah ini bagian dari hukum pidana atau hukum administrasi
pemerintahan?
Selama keberlakuan UU Tipikor 1999/2001 belum ada UU yang mengatur secara eksplisit
mengenai pengertian istilah ”penyalahgunaan wewenang” kecuali UU ADP 2014. Dalam
praktik, pengertian istilah tersebut cukup dilihat dari bunyi tupoksi sebagaimana dicantumkan
di dalam keppres pengangkatan penyelenggara negara. Sedangkan dengan UUADP 2014,
pembuktian ada atau tidak ada penyalahgunaan wewenang merupakan kompetensi
Pengadilan Tata Usaha Negara.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
105
Bapak Bangsa Singapura Itu Telah Pergi
Koran SINDO
28 Maret 2015
Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew telah pergi untuk selamanya,
meninggalkan negeri kepulauan dan bangsa yang sangat dicintainya.
Beliau telah memberikan seluruh jiwa-raga dan kehidupannya untuk membangun Singapura
dari bangsa yang hanya mempunyai pendapatan per kapita USD500 pada 1959 menjadi
USD56.000 pada saat meninggal dunia 23 Maret 2015. Tidak keliru kalau negara pulau itu
dikatakan sebagai keajaiban ekonomi Asia Tenggara karena dari negara yang tidak
mempunyai sumber daya alam, Singapura justru telah berkembang menjadi salah satu negara
termakmur di kawasan Asia.
Maka itu, tidak berlebihan apabila dikemukakan bahwa pencapaian Lee Kuan Yew
immeasurable. Lee bukan saja memimpin Singapura selama ±30 tahun, tetapi juga telah
berhasil membentuk Negara Singapura yang makmur, sejahtera, bebas korupsi, dan efisien.
Semua itu dicapainya dengan disiplin, hidup hemat, dan prihatin. Sadar akan kekurangan
sumber daya alam Singapura tidak membuatnya menyerah, namun justru mendorongnya
untuk mewujudkan mutu atau kualitas sumber daya manusia (SDM) Singapura yang kini
tergolong sebagai salah satu yang terbaik di dunia.
Singapura yang dulunya dikenal tidak ramah kepada hukum pada 1950-an, yang akrab
dengan perdagangan candu, kejahatan, prostitusi, dan kotor, telah menjelma menjadi negara
pulau yang bersih, teratur, tertata rapi, bebas korupsi, efisien, dan supremasi hukum
ditegakkan. Ini dimungkinkan karena rekam jejaknya yang tidak instan. Semua dirintisnya
dari bawah dan dengan kerja keras.
Lulusan Cambridge University di Inggris ini setelah menyelesaikan studi hukumnya memulai
karier sebagai lawyer yang tangkas dan kemudian masuk politik sebagai anggota parlemen.
Pada usia 36 tahun Lee menjadi perdana menteri pertama Singapura dan pada 1965
memisahkan diri dengan Malaysia karena alasan substansial.
Sebagai pemrakarsa berdirinya People Peoples Action Party (PAP) Lee dan kawan-kawan
betul-betul ingin menyejahterakan Singapura melalui penegakan hukum, hukum menjadi alat
atau ”law as a tool of social engineering” untuk membangun Singapura seperti saat ini.
Bagaimana masyarakat Singapura dan negara Singapura yang dicita-citakan Lee Kuan Yew
melalui rekayasa hukum bahkan sangat dikagumi dunia dan para pemimpin dunia.
Tidak salah kalau mantan PM Bob Hawze (1983-1991) menyatakan bahwa Australia
106
berutang budi kepada Lee atas komentarnya untuk Australia membuka ekonominya agar
tidak menjadi beban bagi Asia sebagai ”the poor white trash of Asia”. Komentar seperti ini
telah menyentuh para pemimpin Australia untuk lebih serius membangun ekonomi Australia,
tidak kurang Tony Abbott menyebut Lee sebagai ”great nation builder”.
Sosok Lee tidak hanya menjadi perdana menteri bagi Singapura ataupun sekadar menteri
mentor bagi pemimpin-pemimpin Singapura setelahnya, namun sosoknya telah berubah
menjadi sosok negarawan dunia yang perkataannya didengarkan oleh para pemimpin tidak
hanya di kawasan ASEAN, tapi juga dunia.
Lee menjadikan hukum sebagai supremasi pembentukan negara Singapura. Bukan peraturan
perundang-undangan (legislation) saja yang menjadi andalan pemerintah dan pembentukan
negara dan masyarakat Singapura, tetapi putusan-putusan pengadilan (high court) juga
mengarahkan pada pembentukan negara sejahtera dan kepentingan umum. Pengalaman
konflik rasial masa lalu telah mengajarkan toleransi dan hidup damai sebagai masyarakat
multirasial.
Lee membuktikan bahwa meritokrasi akan mampu mengubah bangsa yang terpecah belah
dan tertinggal, dapat berubah menjadi bangsa yang bersatu dan maju. Kerja keras, disiplin,
dan efisiensi menjadi pegangan dalam kehidupan bangsa Singapura sehingga mereka dapat
bangga dengan pencapaian pembangunan selama Lee Kuan Yew memerintah dan
sesudahnya.
Sekarang tinggal bagaimana para penerusnya memelihara prestasi fenomenal ini karena
sudah mulai ada suara-suara generasi muda Singapura yang mengkritik kebijakan ”One Stop
Economy” di mana pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik menjadi primadona
pembangunan dengan mengorbankan hak sipil dan demokrasi c.q. kebebasan berbicara.
Terlepas dari kekurangannya selama memimpin, masa duka selama seminggu ini dan antrean
masyarakat Singapura yang ingin menyampaikan penghormatan terakhir kepada bapak
bangsa Singapura yang berkilometer membuktikan simpati, penghargaan, dan rasa hormat
masyarakat Singapura kepada Lee Kuan Yew sebagai pemimpin dan bapak bangsa
Singapura.
Sebagai sesama warga Asia Tenggara, kita angkat topi atas jasa-jasa beliau dan
kepemimpinannya yang telah menaikkan pamor bangsa-bangsa di kawasan Asia Tenggara.
Lee menunjukkan bahwa pemimpin yang memiliki visi akan mampu mengubah bangsanya,
sekalipun dengan keterbatasan sumber daya alam yang ada.
Singapura beruntung memiliki pemimpin sekaliber Lee Kuan Yew. Kepergian Lee adalah
kehilangan besar, tidak hanya bagi Singapura, tetapi juga bagi ASEAN dan dunia. Selamat
jalan Lee.
107
FRANS H WINARTA
Ketua Umum PERADIN dan Dosen Fakultas Hukum UPH
108
Hak Angket untuk Kemurnian Demokrasi
Koran SINDO
31 Maret 2015
Demi kemurnian demokrasi, keberpihakan Menteri Hukum dan HAM Yasonna Hamonangan
Laoly dalam menangani sengketa Partai Golkar dan PPP tidak boleh ditoleransi.
Keberpihakan dan intervensi itu harus diselidiki melalui penggunaan hak angket oleh DPR.
Hak angket adalah hak anggota DPR untuk menyelidiki dugaan pelanggaran undang-undang
(UU) oleh pemerintah. Dalam kasus Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP),
pemerintah diduga telah melakukan intervensi terhadap konflik internal ke dua partai
itu. Ekstremnya, pemerintah telah berpihak pada salah satu kubu dengan cara memecah belah
partai bersangkutan.
Hingga pekan terakhir Maret 2015 usul penggunaan hak angket itu sudah mendapat
dukungan dari 116 anggota DPR dari lima fraksi. Rinciannya, 55 anggota Fraksi Partai
Golkar, 37 anggota Fraksi Partai Gerindra, 20 anggota Fraksi PKS, dua anggota Fraksi PPP,
dan dua anggota Fraksi PAN. Jumlah itu diyakini akan terus bertambah karena masih
diedarkan ke seluruh anggota DPR.
Usul penggunaan hak angket itu pun secara resmi telah diserahkan ke pimpinan DPR pada
Rabu, 25 Maret 2015. Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Bidang Polhukam
Fadli Zon menerima dokumen usulan yang diserahkan oleh para inisiator hak angket.
Jika hak angket itu terlaksana, Panitia Khusus (Pansus) DPR akan menyelidiki praktik kotor
pembegalan demokrasi serta mengungkap oknum yang terlibat dalam praktik kotor itu.
Karena itu, Pansus Hak Angket DPR juga akan meminta keterangan dari semua pihak terkait,
termasuk staf, direktur, direktur jenderal, hingga menteri. Tentu saja Pansus Hak Angket
DPR juga akan menyita beberapa dokumen seperti notulen dan kajian dasar pertimbangan
hukum, termasuk rekaman.
Tak kalah pentingnya adalah menyelidiki serta mempertanyakan bagaimana seorang menteri
mengeluarkan kebijakan yang sangat penting itu tanpa diketahui Presiden. Seperti diketahui,
keputusan Menkumham Laoly atas kepengurusan Partai Golkar dan PPP melanggar UU dan
sarat kepentingan politik. Ini harus ditanyakan karena ada dugaan tentang kekuatan lain
selain Presiden sebagai atasan langsung menkumham yang bisa menekan, mengintervensi,
dan mendikte menteri.
Urgensi lain dari penggunaan hak angket DPR adalah menghindari gesekan atau bentrokan
para simpatisan Golkar dan PPP di level akar rumput. Dengan berprosesnya hak angket, para
109
simpatisan akan melihat bahwa para elite partai masih terus menggunakan pendekatan legal
untuk menyelesaikan persoalan internal dua partai. Bisa terjadi konflik horizontal kalau
pendekatan legal dihentikan.
Itu sebabnya, selain mendorong penggunaan hak angket, Partai Golkar juga menempuh jalur
legal lain seperti mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN), serta memasukan laporan tentang surat mandat palsu oleh kubu
Munas Ancol ke Bareskrim Mabes Polri. Dengan rangkaian langkah legal itu, pesan Partai
Golkar kubu Aburizal Bakrie (ARB) sangat jelas bahwa persoalan belum selesai, bahkan
masih harus menempuh proses yang panjang.
Boleh saja Menkumham Yasonna H Laoly menerbitkan keputusan tentang pengesahan kubu
Ancol. Tetapi, keputusan itu kini terbukti debatable. Keputusan menkumham itu patut
diperdebatkan karena tidak berpijak pada kebenaran materiil, melainkan hanya berdasarkan
kepentingan politik.
Menkumham secara terencana tidak meneliti dan tak mencermati kelemahan dasar hukum
penyelenggaraan Munas Ancol. Munas Ancol itu ilegal karena diselenggarakan oleh
beberapa orang yang bersekutu dalam apa yang disebut Gerakan Penyelamat Partai Golkar.
Patut disebut ilegal karena struktur organisasi dan maupun Anggaran Dasar/Anggaran Rumah
Tangga (AD/ART) Partai Golkar tidak mengenal instrumen partai dengan identitas Gerakan
Penyelamat Partai Golkar itu.
Kelemahan dasar hukum Munas Ancol juga terlihat sangat jelas pada kasus pemalsuan
mandat dari DPD I-II Partai Golkar. Jelas bahwa Munas Ancol itu tidak punya legitimasi
karena penyelenggaraannya berdasarkan 43 surat mandat yang tanda tangannya diduga palsu.
Munas Bali didukung 34 unsur DPD provinsi dan 512 unsur DPD kabupaten/kota, sedangkan
Munas Ancol hanya dihadiri 16 unsur DPD provinsi dan 260 unsur DPD kabupaten/kota.
Kebenaran Materiil
Sangat layak untuk menuduh pemerintah memihak kubu Ancol karena menkumham tidak
mempertimbangkan data-data yang juga digunakan oleh Mahkamah Partai Golkar itu. Karena
itu, sangat wajar kalau kemudian kubu Munas Bali melihat keputusan Menkumham Laoly itu
debatable.
Bagi kubu Munas Bali, menkumham tidak berpijak pada asas pembuktian hukum dalam
mengatasi kisruh Partai Golkar. Karena itu, klaim kubu Agung Laksono bahwa keputusan
menkumham itu sudah memenuhi asas preae assumtio iustae causa bukan hanya prematur,
tetapi ngawur. Menurut asas ini, suatu produk hukum dianggap sah berlaku sebelum
dibuktikan dan dinyatakan sebaliknya dengan dibatalkan atau dicabut oleh yang
menerbitkannya atau oleh pengadilan.
Para ahli hukum sudah menegaskan bahwa asas preae assumtio iustae causa tidak bisa serta-
110
merta digunakan untuk mengklaim kebenaran sebab ada beberapa syarat wajib terpenuhi.
Salah satu syarat utamanya adalah keputusan harus dibuat berdasarkan prinsip kehati-hatian,
cermat, tidak sewenang-wenang, dan tidak berpihak demi kepentingan pribadi atau
kelompok. Jika syarat itu tak terpenuhi dalam keputusan, kebenaran yang dicapai hanya
formal dan tidak memenuhi kebenaran materiil. Mengabaikan asas preae assumtio iustae
causa ketika membuat keputusan bisa dipidanakan.
Dari sini bisa dilihat bahwa proses penyatuan kembali Partai Golkar masih harus menempuh
perjalanan panjang. Persoalannya bahkan bisa makin rumit jika menkumham dilaporkan ke
pihak berwajib karena mengabaikan asas preae assumtio iustae causa itu. Jangan lupa bahwa
kubu Munas Bali sudah memasukkan laporan ke Bareskrim Mabes Polri tentang dugaan
pemalsuan mandat dalam penyelenggaraan Munas Ancol. Kalau ditindaklanjuti dengan
memasukkan laporan tentang keberpihakan menkumham dalam konteks asas preae assumtio
iustae causa, situasinya akan benar-benar runyam.
Benar bahwa keputusan menkumham dalam menyelesaikan kisruh Partai Golkar sangat
berbahaya. Keputusan ini berdampak pada integritas dan kredibilitas pemerintahan Presiden
Jokowi. Pemerintah akan dicap otoriter karena memberangus partai politik yang
berseberangan.
Untuk kepentingan siapa Menkumham Laoly membuat keputusan yang debatable itu?
Muncul dugaan bahwa ada kekuatan lain di tubuh pemerintah yang ingin melihat Partai
Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terus diselimuti konflik. Presiden Joko
Widodo (Jokowi) hendaknya mewaspadai dan menghentikan gerakan ini.
Menkumham jelas sedang berpolitik. Karena berpolitik, dia memberanikan diri bertindak
gegabah, melawan hukum, dan menabrak undang-undang. Kalau dibiarkan, gerakan seperti
itu akan berpotensi menimbulkan gangguan terhadap stabilitas politik di dalam negeri. Patut
digarisbawahi Presiden bahwa rakyat sudah jenuh dengan kebisingan akibat benturan politik.
Rakyat ingin suasana kondusif.
Sudah terbentuk persepsi bahwa pemerintahan Presiden Jokowi gagal mengawal demokrasi
dan tatanan kehidupan berbangsa. Tangan-tangan kotor pemerintah diduga telah merekayasa
konflik politik dan hukum yang menyebabkan ruang publik bising. Pertanyaannya, kapan
Presiden Jokowi bisa mewujudkan suasana teduh seperti yang dijanjikan semasa kampanye
kepresidenan tahun lalu?
BAMBANG SOESATYO
Sekretaris Fraksi Partai Golkar/Anggota Komisi III DPR RI
111
Ironi Perdamaian Timur Tengah
Koran SINDO
1 April 2015
Yaman dikenal sebagai salah satu pusat kebudayaan di dunia Arab yang di masa kuno dulu
dikenal dengan sebutan Arabia Felix yang berarti “bahagia” atau “beruntung” karena ia
berada di Semenanjung Arab yang relatif lebih subur dibandingkan negara-negara
tetangganya.
Sayangnya, negeri yang berbatasan darat dengan Arab Saudi dan Oman itu kini dirundung
perang saudara. Sejumlah negara mulai menutup kantor-kantor perwakilan di Ibu Kota Sanaa
dan berupaya mengevakuasi warga masing-masing keluar dari Yaman, termasuk Indonesia.
Jika tingkat keseriusan perang ditentukan oleh lama perang, besaran (magnitude) perang
terutama prospeknya untuk melibatkan negara-negara kawasan, dan jumlah korban, maka
serius-tidaknya perang di Yaman ini setidaknya ditentukan dua faktor. Pertama, faktor
kemampuan Yaman sebagai suatu negara untuk menyelesaikan problem politik dan sosial
ekonomi secara internal. Kedua, faktor persepsi negara-negara lain terhadap problem di
Yaman.
Yaman dalam era modern termasuk negara yang dianggap negara gagal. Indeks Negara
Rentan 2014 yang dikeluarkan oleh The Fund for Peace menempatkan Yaman di posisi “high
alert“ (waspada tinggi) yang masuk juga dalam kategori negara dengan tren pemburukan
kondisi politik tertinggi sepanjang 2009-2014.
Sebagai suatu negara, Yaman memang terkenal rentan akan faksi-faksi politik yang saling
berupaya menihilkan eksistensi faksi lain. Selain itu, pemerintahannya terkenal otoriter dan
represif. Kelompok-kelompok yang berseberangan dengan Pemerintah Yaman antara lain
adalah kelompok militan yang terkait Al-Qaeda, gerakan-gerakan separatis di bagian selatan
(termasuk Houthi yang kini dianggap biang kerok penyebab intervensi militer di bawah
komando Arab Saudi), dan kelompok separatis di utara Zaydi Shia. Masyarakat awam
terbilang tak berdaya karena politisi dikenal korup dan senjata beredar bebas.
Sebelum perang saudara kali ini Yaman sudah terjebak dalam ketegangan politik internal.
Misalnya selama 2011-2012 warga Yaman mendesak Presiden Ali Abdullah Saleh untuk
mundur setelah berkuasa lebih dari 20 tahun. Ketika akhirnya Saleh mundur dan digantikan
oleh Wakil Presiden Abd Rabbuh Mansur Hadi, situasi sempat stabil sebelum akhirnya
memburuk lagi pada 2014.
Memburuknya situasi itu seiring dengan kudeta dan meluasnya gerakan Houthi yang
112
menaklukkan gedung-gedung pemerintahan, menguasai Ibu Kota Sanaa, dan mendesak Hadi
untuk mendirikan pemerintahan bersatu dengan faksi-faksi politik yang lain, membubarkan
parlemen, mendirikan pemerintahan interim di bawah Mohammed Ali al-Houthi. Hadi
melarikan diri ke Aden dan menyebut kota itu sebagai ibu kota sementara.
Meskipun Houthi disebut-sebut sebagai biang kerok masalah, ada sumber-sumber lain yang
menyebut bahwa mantan Presiden Saleh juga ikut “bermain” dengan menggandeng kelompok
Houthi demi menjatuhkan Hadi karena dia masih berharap anaknya, Ahmed Ali Abdullah
Saleh, bisa menjadi generasi politisi berikutnya di Yaman.
Itulah sebabnya, meskipun pada awal 2014 Yaman dianggap membaik secara ekonomi dan
politik sejak dipimpin oleh pemerintahan transisi Presiden Hadi, kawasan Ibu Kota Sanaa
tetap panas akibat kelompok Houthi dan Sunni Salafi terus tegang. Pengungsian terus terjadi
dalam jumlah besar, terutama di bagian utara Yaman.
Kerentanan ini diperumit dengan beroperasinya afiliasi Al-Qaeda di Yaman. Akibatnya, di
Indonesia pun Yaman dikenal perlu diwaspadai karena menjadi tempat orang-orang belajar
radikalisme dan paham agama yang menyimpang.
Narasi di atas menggambarkan alasan mengapa Yaman dianggap negara-negara lain tidak
mampu menyelesaikan problem internalnya secara independen. Itu sebabnya ketika Presiden
Saleh enggan mundur dan justru melakukan pengejaran kejam kepada warga negara yang
dianggap anti terhadap pemerintahannya, saat negara sedang dalam kondisi genting, The Gulf
Cooperation Council turun tangan. GCC adalah persatuan politik ekonomi antarpemerintahan
negara-negara Teluk yang terdiri atas Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar dan Uni
Emirat Arab.
Selain kerja sama ekonomi seperti perdagangan dan pembentukan Dewan Moneter, negara-
negara GCC juga punya kesepakatan menyatukan pasukan untuk merespons kebutuhan
dukungan politik dari pemerintahan negara-negara anggotanya. Semua negara ini adalah
kerajaan dan karenanya kerap disindir sebagai gerakan mempertahankan karakter otoriter dari
negara-negara Timur Tengah.
Campur tangan GCC ini berlanjut terus ketika Arab Saudi menganggap gerakan Houthi
sebagai bagian dari meluasnya pengaruh dan kekuasaan Syiah Iran di Teluk. Houthi, yang
terbukti terampil di bidang persenjataan dan taktis memberikan tekanan pada pemerintahan
Hadi, dianggap sebagai momok oleh negara-negara Teluk dan yang negara-negara
berpenduduk mayoritas Sunni. Suasana ini menggambarkan betapa konflik Yaman berpotensi
berlarut-larut dan memakan banyak korban.
Keterlibatan GCC dan simpati yang dikirimkan oleh negara-negara lain seperti Pakistan dan
Turki bukan mustahil membuat suasana kawasan menjadi semakin panas. Daniel Brumberg
(2013) dari Georgetown University mengatakan, kejadian di Yaman adalah bukti bahwa
upaya menciptakan “tatanan politik baru” di Timur Tengah sebagai sangat menyakitkan dan
113
fatal (secara politis maupun fisik).
Konsep patronase (mahsubiyya) yang selama ini dipakai oleh mantan Presiden Saleh telah
menyuburkan rasa takut antarkelompok bila patronnya tersingkir. Istilah Brumberg, politik di
Yaman bergantung pada metode autokrasi berbasis perlindungan-pemerasan (protection-
racket autocracies). Kelompok yang biasa dilindungi dibuat merasa takut, rentan karena tidak
bisa memenangkan pemilu, sementara kelompok yang berkuasa takut pada lawannya itu
karena secara pengaruh kelompok oposisi tersebut tetap signifikan dan karena itu mereka
enggan berkonsesi dengan mereka. Dengan imbuh senjata yang beredar bebas, sektarianisme,
ketidakpercayaan pada pemerintah, dan ketiadaan sistem penegakan hukum yang adil,
suasana yang hidup adalah kecurigaan dan upaya saling menihilkan.
Perang saudara di Yaman tentu memberi dampak langsung atau tidak langsung terhadap
proses perdamaian di Timur Tengah. Kejadian politik di Yaman seakan membenarkan
kekhawatiran negara-negara Arab dan Israel bahwa kelompok-kelompok politik yang
berafiliasi kepada Iran tengah melakukan ekspansi dan terutama akan medelegitimasi
perundingan nuklir yang sedang dilakukan antara Iran dan kelompok perundingan dari
Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia, Jerman, dan China.
Kita juga melihat situasi yang ironis di Timur Tengah, yaitu negara-negara Arab cepat
tanggap ketika kepentingan mereka terancam dan bukannya turun tangan memberikan
bantuan ekonomi yang diperlukan oleh Yaman untuk dapat keluar dari lingkaran kemiskinan.
Situasi tersebut tentu akan merugikan rakyat Yaman dan negara-negara Timur Tengah yang
penduduknya masih hidup di bawah garis kemiskinan. Bila hal ini terus terjadi, niscaya
perdamaian di Timur Tengah impian belaka.
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
@dinnawisnu
114
Menguatkan Kembali Cita Kebangsaan
Koran SINDO
1 April 2015
Salah satu kalimat yang seharusnya melekat dalam memori bangsa ini adalah tujuan untuk
apa bangsa dan negara ini berdiri.
Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea terakhir disebutkan bahwa negara dan
bangsa ini, melalui pemerintahnya, memiliki tujuan untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Untuk menuju dan
merealisasikan tujuan tersebut, bangsa ini sudah membekali dirinya dengan UUD 1945 yang
terbentuk dalam susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan
Beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh
Rakyat Indonesia.
Di sinilah esensi demokrasi menemukan perannya. Sila pertama Pancasila menjadi inspirasi
bagi sila-sila yang lain. Sementara aktivitas operasionalnya lebih dimainkan oleh sila
keempat yang berkaitan dengan pelaksanaan demokrasi.
Dalam ilmu politik, demokrasi dipahami dalam dua aspek yaitu substansi dan
prosedural. Esensi substantif demokrasi, meminjam apa yang dinyatakan oleh Presiden
Amerika Serikat Abraham Lincoln: ”government from the people, by the people and for the
people”. Demokrasi itu sejatinya kegiatan pemerintahan yang dibangun dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat.
Sayangnya, demokrasi tidak berhenti di dalam kerangka substansi. Demokrasi harus dilihat
juga dari sisi praktik di lapangan. Di sinilah peran demokrasi sebagai prosedural
mendapatkan perhatian. Adalah Joseph Schumpeter (1942) yang mencoba melengkapi
pendekatan substansi tentang demokrasi yang cenderung klasik. Shcumpeter menawarkan
sebuah ”teori lain mengenai demokrasi” (metode demokrasi). Demokrasi dipahami sebagai
sebuah prosedur kelembagaan untuk mencapai kekuasaan yang diraih melalui kontestasi
politik.
Sementara Samuel Huntington mengemukakan bahwa prosedur utama demokrasi adalah
pemilihan para pemimpin secara kompetitif oleh rakyat. Dengan mengikuti tradisi
Shcumpeterian, Huntington mendefinisikan bahwa sistem politik yang demokratis adalah
115
sejauh mana para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih
melalui proses pemilihan umum yang adil, jujur, dan berkala. Semua calon bebas bersaing
untuk memperoleh dukungan suara pemilih.
Dengan demikian, esensi sistem politik demokrasi adalah terwujudnya kebebasan politik
rakyat dalam mengekspresikan preferensi dan hak-hak politiknya serta ada rekrutmen politik
terbuka dan pemilihan umum yang langsung, bebas, dan adil.
Pertarungan Politik
Tidak jarang kemudian yang terjadi dalam tataran praktik lapangan, demokrasi ibarat sekadar
pertarungan, panggung kontestasi elite. Konflik di sejumlah partai politik terkait dualisme
kepengurusan partai seperti yang dialami Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai
Golongan Karya, polemik pemilihan Kapolri, sampai pada tarik-menarik dukungan di
legislatif seperti ketegangan antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih
(KMP) menjadi suguhan politik dari elite kepada publik. Namun, satu yang terkesan hilang,
yaitu partisipasi publik.
Berpijak dari hal tersebut menjadi maklum jika kemudian muncul kecenderungan sistem
politik yang memunculkan dua arus besar yaitu arus yang berorientasi pada kepentingan
masyarakat (populis), tapi juga ada kecenderungan munculnya arus yang berorientasi pada
kepentingan kelompok kekuasaan elite (elitis). Di mata sentimen publik selama ini arus
kedua yang cenderung mendominasi panggung politik di negeri ini.
Arus populis dimaknai sebagai kekuatan dinamika publik yang di dalamnya ada masyarakat
sipil yang kuat untuk berpartisipasi aktif dalam proses politik dan perubahan. Munculnya
berbagai kekuatan civil society dalam tataran masyarakat menjadi simbol arus ini meski akses
terhadap kekuasaan cenderung relatif tidak dekat.
Sementara kecenderungan arus elite tentu lebih dikuasai oleh kaum elite. Mereka lebih
menonjolkan perilaku elite politik maupun birokrat yang berorientasi pada kepentingan
pribadi dan kelompok. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme cenderung lahir atas kuatnya
arus elite ini.
Dalam pendekatan transisi demokrasi seperti yang dialami Indonesia pascaruntuh rezim
politik Orde Baru Soeharto yang otoriter pada 1998, dua arus tersebut bertarung dalam
sebuah kondisi liberalisasi politik. Ini disebut oleh ilmuwan politik O’Donnell dan Schmitter
sebagai fase yang secara teoritis sebagai ”fase transisi dari otoritarianisme entah menuju ke
mana.” Liberalisasi ini tidak lepas dari pemaknaan demokrasi sebagai hak dan kebebasan
yang ”sebebas-bebasnya” sehingga yang muncul kemudian bukanlah perilaku yang
memberikan kontribusi bagi upaya demokratisasi dan reformasi.
Perilaku politik para elite yang kurang beretika, institusi legislatif, pers, dan masyarakat sipil
yang menjalankan demokrasi cenderung masih kurang menjunjung tinggi nilai-nilai etika
116
berdemokrasi akhirnya melahirkan perilaku dan kondisi yang ”korup dan chaos”. Kondisi ini
dikhawatirkan akan memunculkan arus balik demokrasi menuju otoritarianisme baru.
Otoritarianisme baru jangan sekadar dibayangkan kita kembali ke era Soeharto dengan
munculnya sosok dari generasi Soeharto atau sosok yang mendewakan kekuasaan Orde Baru.
Tidak sekadar itu. Otoritarianisme model baru juga berlaku ketika kondisi politik cenderung
lebih banyak dikuasai oleh arus politik yang lebih mengutamakan kepentingan
politiknya. Arus politik yang mengingkari janji-janji reformasi. Arus politik yang
mengingkari kepentingan rakyat.
Untuk itu, penulis melihat arus ini memang tidak bisa dihindari dan dicegah, namun bisa
dilawan dengan membangun kembali kesadaran bahwa bangsa ini masih memiliki nilai yang
diperjuangkan, melebihi nafsu politik berjangka pendek.
Politik kebangsaan menjadi kebutuhan sekaligus kerinduan di tengah semakin jauhnya
harapan rakyat dengan elitenya, semakin berjaraknya kebutuhan rakyat dengan
pemenuhannya, semakin terkikisnya kesadaran berbangsa karena terkalahkan oleh sentimen
kelompok. Setiap energi bangsa harus membangun komitmen kebangsaan dan menyadari
bahwa era transisi demokrasi harus dapat memberikan iklim yang kondusif bagi
berlangsungnya konsolidasi demokrasi di semua aspek kehidupan bangsa.
Konsolidasi demokrasi yang berjalan baik akan memberikan jaminan bagi upaya pemantapan
dan pengembangan sistem politik demokratis sebagai landasan bagi berlangsungnya proses
reformasi yang sudah berlangsung hampir 17 tahun terakhir ini.
Pemerintahan Baik
Penulis melihat salah satu upaya yang relatif efektif untuk menata kembali gerak arus
reformasi, agar tetap didominasi arus kekuatan publik sebagai pemilik saham reformasi, bisa
dimulai dari terbukanya partisipasi publik pada penataan dan pengelolaan pemerintahan yang
baik. Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan keterlibatan publik pada upaya
melahirkan pemimpin yang baik, berkarakter, dan tentu saja bersih.
Selama ini keterlibatan publik sekadar menjadi konsumen dari apa yang sudah disediakan
oleh partai politik. Pemilihan kepada daerah misalnya cenderung pada tahap penjaringan
calon didominasi oleh partai politik. Mestinya mulai dibuka ruang agar publik turut berperan
dalam calon-calon yang dilahirkan. Publik bisa menilai apakah seseorang layak menjadi
calon kepala daerah atau tidak.
Publik bisa menjadikan rekam jejak kinerja sang calon sebagai ukuran. Seperti yang digagas
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam satu hasil risetnya yang menyebut
perlunya skor pro bono publik sebagai syarat untuk menjadi anggota Dewan atau kepala
pemerintahan. Wakil rakyat harus mempunyai skor pro bono publik agar nanti perihal
substantif seperti akuntabilitas, representabilitas, dan responsibilitas terwakili dalam diri
117
orang yang mewakili rakyat.
Skor pro bono publik ini dimaknai sebagai syarat di mana calon wakil rakyat atau calon
kepala daerah yang sudah bekerja dulu untuk masyarakat, baru ikut kompetisi. Selama ini
yang menjadi calon wakil rakyat, mereka berkampanye dulu dengan janji-janji yang pada
akhirnya membuat publik seperti membeli kucing dalam karung. Kita tak tahu siapa dan
kualitasnya bagaimana.
Tentu ini menjadi bagian dari agenda untuk memperbaiki agar proses politik tidak lagi
terdominasi oleh perilaku elite yang korup, konflik kepentingan partai, sampai pada
pertarungan politik yang tidak produktif. Upaya-upaya ini lebih dimaksudkan untuk
mengupayakan kembali agar bangsa ini menata lagi cita dan kehendaknya ketika bangsa dan
negara ini didirikan.
Seperti yang diungkap oleh Ernest Renan, seorang filosof Perancis, yang mengatakan
nasionalisme sebagai ”le desire d’entre ensemble” (kehendak untuk bersatu). Demokrasi
yang kita bangun semestinya mengembalikan sekaligus menguatkan kehendak kebangsaan
tersebut yang menjadi cita-cita besar bagi negeri ini. Semoga!
ANNA LUTHFIE
Ketua DPP Partai Perindo
118
Rekomendasi Ulama untuk Pemberantasan Korupsi
Koran SINDO
2 April 2015
Baru-baru ini Johan Budi, salah satu komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
telah berdiskusi dengan para ulama Pondok Pesantren Tebu Ireng. Diskusi tersebut
melahirkan lima rekomendasi yang ditujukan terhadap Presiden.
Kelima rekomendasi tersebut adalah: Pertama, bahwa korupsi merupakan kejahatan
kemanusiaan. Kedua, negara harus dipimpin dengan akal sehat dan berintegritas. Ketiga,
dalam praktik pemberantasan korupsi ada intervensi yang harus dicegah yang dapat
melemahkan (baca KPK). Keempat, merekomendasikan hukuman seberat-beratnya
pemiskinan, sanksi sosial dan menolak pemberian remisi dan bebas bersyarat. Kelima,
mendorong pemerintah dan parlemen untuk memberikan dukungan politik bagi penguatan
lembaga anti-korupsi (baca KPK).
Keikutsertaan para ulama dan perhatian yang sangat besar terhadap pemberantasan korupsi
khususnya KPK sangat kita apresiasi, karena dalam pemberantasan korupsi selain merupakan
penegakan hukum adalah juga penegakan nilai-nilai agama dan moralitas individual dan
masyarakat dalam kehidupan bangsa yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.
Kelima rekomendasi hasil diskusi para ulama dan Johan Budi menunjukkan perhatian besar
para ulama terhadap pemberantasan korupsi. Penulis sangat sependapat dengan perhatian dan
partisipasi kaum ulama. Namun, masih ada yang terlewat dan tidak termuat dalam rumusan
halaqah para ulama karena saat ini dalam pengamatan penulis kinerja pemberantasan korupsi
oleh KPK jauh berbeda dengan Polri dan kejaksaan. Perbedaan yang mencolok adalah, baik
dalam penganggaran yang jauh lebih besar dari Polri dan kejaksaan yang memiliki cabang di
seluruh kabupaten dan kota; termasuk anggaran untuk iklan layanan (pemberitaan) anti-
korupsi dan anggaran untuk koalisi anti-korupsi.
KPK memiliki kewenangan yang lebih luas dibandingkan Polri dan kejaksaan berdasarkan
UU KPK. Kewenangan luas tersebut diperkuat dengan strategi yang disebut ”naming and
shaming” yang berarti ”menyebutkan terbuka nama tersangka dan permalukan” yang telah
berhasil diwujudkan didukung oleh kedua pos anggaran KPK tersebut. Selain langkah
tindakan KPK tersebut, juga KPK telah memanfaatkan media dan pers secara optimal sejak
penyidikan sampai pada proses penuntutan dan pemeriksaan pengadilan tipikor. Bahkan
dalam berbagai tayangan media elektronik, proses penangkapan dan penggeledahan serta
penyitaan harta tersangka selalu diikuti media cetak dan elektronik. Sedangkan langkah dan
119
tindakan tersebut sangat terbatas dan jarang sekali dilakukan Polri dan kejaksaan; bahkan di
kedua institusi tersebut tidak ada dana untuk LSM anti-korupsi.
Fakta terurai di atas menunjukkan bahwa baik pemerintah dan parlemen justru telah
memperkuat KPK dibandingkan dengan Polri dan kejaksaan. Bahkan menurut penulis,
pemerintah dan parlemen telah bertindak diskriminatif terhadap Polri dan kejaksaan.
Strategi ”naming dan shaming” yang dilaksanakan KPK dan tidak dimiliki oleh Polri dan
kejaksaan, dalam pandangan penulis, tidak manusiawi bahkan jauh dari nilai-nilai agama dan
moralitas individual dan masyarakat yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945.
Karena dengan cara tersebut, seorang tersangka KPK telah dizalimi jauh sebelum yang
bersangkutan ditetapkan sebagai terpidana.
Bahkan, sosok tersangka KPK telah berubah menjadi ”zombie” ketika duduk berhadapan
dengan majelis pengadilan tipikor tanpa daya dengan pengacara yang terhebat sekalipun.
Karena opini publik telah terbentuk bahwa yang bersangkutan adalah penjahat dan harus
dimusnahkan serta dimiskinkan dan tidak perlu dimaafkan sehingga majelis hakim tipikor
telah tersandera oleh character assassination yang terbuka di ruang publik terhadap
tersangka.
Kewenangan KPK berdasarkan UU KPK 2002 telah sangat luas dan membuka ruang yang
sangat leluasa terutama dengan kewenangan penyadapan yang tidak dimiliki oleh Polri dan
kejaksaan sehingga kewenangan tersebut sepatutnya diimbangi dengan proses hukum
penemuan bukti-bukti permulaan yang sesuai dengan UU.
Presiden Joko Widodo menurut penulis telah bertindak benar dengan tidak melakukan
intervensi terhadap kasus BW dan AS karena telah berpegang teguh pada amanahnya untuk
tetap bersumpah setia pada UUD dan peraturan perundang-undangan sesuai sumpah
jabatannya selaku Presiden sekalipun sebagai kepala negara.
Para ulama mungkin belum memahami perbedaan hakiki antara kriminalisasi, rekayasa, dan
politisasi. Kriminalisasi adalah perbuatan yang semula tidak diancam pidana kemudian
diancam pidana berdasarkan undang-undang yang mengaturnya. Rekayasa adalah perbuatan
institusi penegak hukum (Polri, kejaksaan atau KPK) yang telah menggunakan bukti-bukti
yang diperoleh secara melawan hukum (ilegal) untuk menetapkan seseorang sebagi
tersangka. Dan politisasi adalah perbuatan aparat penegak hukum menetapkan seseorang
tersangka dengan motif politik, didanai oleh partai politik atau disponsori oleh partai politik.
Untuk mengetahui bahwa ada pelemahan terhadap pimpinan KPK, sungguh tidak perlu
terjadi jika tidak ada kesalahan atau dosa masa lalu dari pimpinan KPK atau kesalahan ketika
menjalankan amanah sebagai pimpinan KPK.
Putusan hakim Sarpin membuktikan telah terjadi kekeliruan pimpinan KPK dalam
menetapkan BG sebagai tersangka yang bukan termasuk subjek hukum kewenangan KPK
120
berdasarkan UU KPK sendiri. Apakah juga putusan Pengadilan Jakarta Selatan dalam perkara
praperadilan yang diajukan BG termasuk sebagai upaya pelemahan KPK?
Dalam pandangan saya, pemiskinan koruptor merupakan salah satu tujuan dan harus
diterjemahkan ke dalam bahasa hukum sebagai tindakan penyitaan dan perampasan aset
koruptor yang tidak bertentangan dengan KUHAP dan UU Tipikor atau UU TPPU; tidak
boleh sekali-kali diartikan sebagai tujuan menghalalkan cara (het doelheiligdemidelen)
karena cara-cara tersebut bertentangan dengan keyakinan agama, Pancasila dan UUD 1945.
Presiden Joko Widodo sudah benar dalam kebijakannya menghadapi masalah pimpinan KPK
saat ini karena beliau telah menegaskan bahwa ”jangan ada sok kuasa hukum dan jangan
kriminalisasi”! dan tentunya mereka yang cerdik cendekia telah dapat menangkap arah pesan
Presiden tersebut yang jelas dan tegas!
Penulis masih penasaran atas rekomendasi hasil halaqah para ulama karena dalam KORAN
SINDO (30 Maret 2015) yang saya baca tidak memuat secara jelas masukan-masukan
introspeksi kepada KPK melalui Johan Budi. Menurut penulis, seharusnya masukan-masukan
para ulama juga penting diketahui publik secara luas sebagai bentuk transparansi publik
sesuai dengan pertanggungjawaban KPK kepada publik berdasarkan UU KPK 2002.
Transparansi dan bentuk pertanggungjawaban kepada publik diperlukan agar publik juga
dapat mengawal langkah tindak lanjut pimpinan KPK terhadap masukkan dari hasil halaqah
para ulama tersebut.
ROMLI ATMASASMITA
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad)
121
Putusan Hakim Bisa Berbeda
Koran SINDO
2 April 2015
Pada hakikatnya hakim di Indonesia tidak wajib mengikuti putusan hakim sebelumnya dalam
perkara sejenis. Hakim tidak terikat sepenuhnya pada asas ”the binding force of precedent”
(asas preseden) dalam perkara sejenis seperti pada negara-negara yang menganut sistem
hukum ”common law (Anglo-Saxon)”.
Itulah yang tecermin dalam putusan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto soal
penetapan tersangka oleh penyidik. Hakim Kristanto Sahat Hamonangan Sianipar pada
Selasa 10 Maret 2015 menolak gugatan praperadilan yang diajukan Mukti Ali yang
ditetapkan tersangka korupsi oleh penyidik kepolisian. Hakim praperadilan PN Purwokerto
menyatakan penetapan tersangka bukan ranah praperadilan seperti dimaksud Pasal 77
KUHAP. Perkara yang dapat diputus melalui sidang praperadilan hanyalah sah atau tidaknya
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, serta rehabilitasi
nama baik dan mekanisme permintaan ganti rugi. Termasuk penyitaan sebagaimana tersirat
dalam Pasal 82 Ayat (3) huruf-d KUHAP bahwa ”Jika putusan menetapkan bahwa
benda/barang bukti yang disita tidak termasuk alat pembuktian, maka benda/barang bukti
tersebut harus dikembalikan kepada tersangka/terdakwa atau dari siapa benda itu disita”.
Rupanya hakim Kristanto Sahat punya keyakinan tidak memiliki kewenangan untuk
mengubah status tersangka Mukti Ali yang ditetapkan oleh Polres Banyumas. Tentu publik
akan bertanya, mengapa ada dua pengadilan memutus berbeda pada perkara sejenis? Sebab
pertimbangan hukum Kristanto Sahat berbeda dari yang digunakan hakim PN Jakarta Selatan
Sarpin Rizaldi yang membatalkan status tersangka korupsi yang ditetapkan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hakim PN Jakarta Selatan menggunakan pertimbangan lain dengan alasan melakukan
penemuan hukum (rechtsvinding). Ia ingin mengisi kekosongan hukum, padahal dipahami
bahwa ketentuan hukum formil (hukum acara) yang sudah jelas dan tegas tidak boleh
ditafsirkan menyimpang dari yang sudah diatur melalui penemuan hukum. Berbeda pada
hukum materiil yang memang diperbolehkan melakukan penemuan hukum secara progresif.
Pertimbangan Hukum
Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara harus senantiasa membekali dirinya dengan
ilmu hukum yang luas. Hal ini ditekankan Soedikno Mertokusumo (1993: 45-46), bahwa
”pekerjaan hakim kecuali bersifat praktis-rutin juga ilmiah, sifat pembawaan tugasnya
menyebabkan ia harus selalu mendalami ilmu pengetahuan hukum untuk memantapkan
122
pertimbangan hukum sebagai dasar dari putusannya”.
Untuk lebih mempertajam pertimbangan hukum dalam putusan hakim yang secara teoretis
mengandung nilai-nilai keadilan dan kebenaran, kiranya para hakim perlu lebih mendalami
sistem peradilan ”civil law system (Eropa kontinental)” yang secara teori dianut di Indonesia.
Hakim diikat oleh undang-undang (hukum tertulis) dan kepastian hukumnya dijamin melalui
bentuk dan sifat tertulisnya undang-undang.
Hakim Indonesia boleh saja mengikuti putusan hakim sebelumnya pada perkara sejenis,
tetapi bukan suatu keharusan yang mengikat. Tugas dan tanggung jawab hakim adalah
memeriksa langsung materi perkaranya, menentukan bersalah atau tidak, atau pihak yang
beperkara sekaligus menerapkan hukumnya.
Metode berpikir hakim dilakukan secara deduktif, yaitu berpikir dari yang umum ke yang
khusus. Hakim berpikir dari ketentuan umum untuk diterapkan pada kasus in-konkreto
(aturan khusus) yang sedang diadili. Hakim pada sistem hukum civil law boleh saja
mengikatkan diri pada preseden, tetapi tidak wajib. Bahkan di Inggris yang menganut sistem
hukum common law, hakim sering juga melepaskan diri dari keterikatan asas preseden
tertentu apabila kebutuhan masyarakat menghendaki lain.
Pertimbangan hukum harus jadi rujukan (reference) terhadap amar putusan. Setiap putusan
harus berdasarkan pada pertimbangan hukum yang diperkuat oleh teori hukum terhadap fakta
yang terungkap dalam sidang. Dalam merumuskannya, hakim harus melepaskan diri dari
kepentingan politis, serta mengikatkan diri pada ketentuan yang sudah jelas dan tegas. Tidak
menafsirkan hukum formil dan prosesnya melebihi kebutuhan masyarakat.
Ada dua pendekatan bagi hakim dalam menjatuhkan putusan. Pertama, ”pendekatan
keilmuan” yang bertujuan untuk mengukuhkan putusan dari sisi teori hukum agar bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah (juridisch en filosofich veranwoord). Itulah dasar
ilmiah suatu putusan hakim yang diharapkan dapat menyelesaikan konflik, sekaligus diterima
secara luas oleh masyarakat atau pihak yang beperkara.
Kedua, ”pendekatan empiris” karena dalam realitasnya hukum tidak otonom. Hukum selalu
dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial yang ada di luar hukum, seperti kekuatan ekonomi,
politik atau kekuasaan, sosial, dan budaya masyarakat. Hukum bukan kaidah yang bebas nilai
lantaran bertitik tolak pada manusia (orang) sebagai subjek yang berorientasi pada kultural
dan moral. Teori hukum yang direfleksi dalam pertimbangan hukum, selain menuntut
koherensi logikal, juga menuntut pembuktian empiris.
Keyakinan Hakim
Perbedaan penafsiran hakim pada kasus sejenis menunjukkan bahwa kacamata yang dipakai
untuk melihat perkara yang ditangani juga berbeda. Penafsiran itu dituangkan dalam
123
pertimbangan hukum yang akan menjadi penguat amar putusan. Maka itu, konsekuensi dari
pertimbangan hukum secara substansial dapat ditafsirkan menjadi dua makna.
Pertama, hakim yang memeriksa dan memutus perkara diberi kemandirian atau
kemerdekaan. Tidak boleh ada intervensi sehingga pertimbangan hukumnya juga
mencerminkan putusan yang dihasilkan. Kedua, kemandirian hakim bukan berarti kebebasan
tanpa batas. Hakim harus memerankan nuraninya sebagai tanggung jawab moral melalui
putusan yang dijatuhkan agar sejalan dengan rasa keadilan masyarakat.
Di belahan dunia mana pun, sistem hukum tidak akan mungkin bisa menciptakan keadilan
substantif kalau hakim yang merupakan wakil Tuhan di dunia tidak memiliki independensi
dalam memutus perkara. Putusan hakim yang tidak sesuai dengan norma-norma hukum yang
sudah jelas dan tegas yang tidak perlu lagi ditafsirkan, selain mencederai rasa keadilan
masyarakat, juga mendegradasi kepercayaan masyarakat pada hukum.
KUHAP adalah hukum formil (hukum acara) yang mengatur tata cara mempertahankan dan
melaksanakan hukum materiil yang dilanggar. Penafsiran yang jauh menyimpang dari
ketentuan yang sudah jelas dan tegas bisa menghambat, bahkan mengacaukan proses
penyelesaian perkara. Berbeda pada hukum materiil yang bisa ditafsirkan secara progresif
dengan asumsi mengikuti dinamika kehidupan serta menghargai nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 48/2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman).
Perbedaan tafsir terhadap ketentuan normatif, tentu dihargai sebagai bagian dari proses
mencapai keadilan. Di situlah fungsinya hakim sebagai pengadil dengan memosisikan nurani
dan keyakinannya, sehingga siapa pun yang beperkara akan diputus secara adil.
Setiap hakim diberi kebebasan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
tidak bisa diintervensi oleh siapa pun. Akan tetapi, hakim harus tetap berpijak pada
keyakinan dan ketentuan normatif yang mengatur tata cara menjatuhkan putusan. Apabila
pedoman itu tidak ditaati, akan membuka celah bagi pihak lain yang memiliki kepentingan
untuk mengintervensi hakim.
MARWAN MAS
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar
124
Gubernur Ahok di Ujung Tanduk?
Koran SINDO
4 April 2015
Dalam hitungan hari, Panitia Hak Angket Dewan Perwakilan Rakyat DKI Jakarta akan
melaporkan hasil kerjanya ke sidang pleno DPRD DKI.
Ada dua pertanyaan yang menarik sehubungan dengan selesainya kerja Panitia Hak
Angket. Pertama, bagaimana kira-kira sikap masing-masing fraksi di DPRD sehubungan
dengan hasil kerja Panitia Hak Angket? Kedua, bagaimana kira-kira sikap pleno DPRD DKI?
Terhadap kedua pertanyaan ini, prediksi saya sebagai berikut: Pertama, melalui voting,
Panitia Hak Angket pasti akan sepakat mengeluarkan sikap bahwa Gubernur Basuki Tjahaja
Purnama telah melanggar undang-undang, yaitu menyerahkan RAPBD 2015 secara sepihak,
tanpa persetujuan sama sekali dari Dewan. Kecuali itu, Gubernur disalahkan karena
melakukan pelanggaran etika, khususnya dalam berkomunikasi.
Yang menentang angket sejauh ini adalah Fraksi Nasdem, PKB, Hanura, dan PAN. Jumlah
kursi dari keempat fraksi tersebut hanya 23. Fraksi-fraksi besar adalah PDIP 28 kursi,
Gerindra 15, PKS 11, dan Golkar 9. Mereka ujung tombak angket. Yang unik dan membuat
saya tidak mengerti, Fraksi PDIP sejak awal mendukung penuh angket terhadap
Gubernur. Hal itu menunjukkan bahwa Basuki alias Ahok sudah kehilangan dukungan dari
Ibu Megawati Soekarnoputri. Jadi, kalau main hitung-hitungan di atas kertas, kekuatan anti-
angket dengan mudah digilas oleh kekuatan pendukung angket!
Kedua, ketika hasil Panitia Hak Angket dibawa ke Pleno Dewan, hampir dipastikan,
mayoritas wakil-wakil rakyat DKI itu, dengan penuh emosi, berteriak meminta Dewan untuk
meningkatkan status hak angket ke ”hak menyatakan pendapat”! Seperti kita ketahui
bersama, Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 menyatakan anggota DPR memiliki tiga hak pokok,
yaitu hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Ketika sudah sampai pada
hak pokok yang ketiga, hak menyatakan pendapat, Presiden atau kepala daerah sesungguhnya
sudah diseret ke ”pengadilan” yang disebut impeachment, atau pemakzulan.
Hanya, prosedur pemakzulan atas Presiden berbeda dengan pemakzulan atas kepala daerah.
Peradilan terhadap Presiden ditempuh melalui putusan DPR RI untuk mengadili Presiden
karena dinilai telah melakukan pelanggaran terhadap sumpahnya, atau menyimpang dari
ketentuan UUD 1945 atau melakukan tindak kejahatan. DPR kemudian menulis surat ke
Mahkamah Konstitusi untuk dimintakan pendapatnya. Jika MK memiliki sikap dan pendapat
yang sama, DPR meminta MPR untuk menggelar Sidang Istimewa untuk memberhentikan
Presiden. Namun, jika MK berbeda pendapat dengan DPR mengenai tuduhan penyimpangan
125
terhadap konstitusi maka proses pemakzulan pun berhenti. Di Sidang Istimewa, MPR tinggal
ketuk palu, karena seluruh anggota DPR merangkap anggota MPR. Jumlah anggota DPD di
MPR tidak terlalu signifikan, cuma 4x33 atau 132 anggota.
Mengenai mekanisme pemberhentian kepala daerah, jika DPRD menerima pendapat
mayoritas anggota Dewan untuk memberhentikan gubernur/bupati maka DPRD menulis surat
kepada Mahkamah Agung untuk dimintakan pendapat hukumnya (legal opinion). Jika MA
sependapat dengan DPRD, yaitu terjadi penyimpangan serius yang dilakukan oleh
gubernur/bupati, maka MA menulis surat kepada Presiden, meminta Presiden
memberhentikan kepala daerah tersebut. Proses pemakzulan berhenti manakala MA
berseberangan pendapatnya dengan pendapat DPRD.
Permasalahannya: apakah Presiden bisa memveto pendapat hukum MA? Kalangan hukum
pasti terbelah pendapatnya. Ada yang berpendapat Presiden mau tidak mau harus mengikuti
putusan MA. Namun, ada juga yang berpendapat Presiden tetap memiliki hak untuk menolak,
di samping menerima putusan MA. Presiden Indonesia, berdasarkan ketentuan UUD 1945,
memang memiliki kewenangan legislatif dan yudikatif, di samping pemegang kewenangan
tertinggi di bidang eksekutif.
Dengan demikian, nasib Ahok takkan segera ”tamat” kalau pun mayoritas anggota DPRD
DKI serempak berteriak: ”Pecat Gubernur! Pecat Gubernur!”. Masih ada dua ”algojo” yang
sangat berkuasa yang harus dilewati oleh Dewan, yaitu Mahkamah Agung dan Presiden
Republik Indonesia. Di MA sendiri, proses peradilan terhadap gubernur Jakarta dipastikan
akan memakan waktu cukup lama.
Kami sangat percaya bahwa para hakim agung memiliki integritas tinggi, di samping
pengetahuan hukum yang dalam. Mereka takkan terbawa ”arus huru-hura” di DPRD Jakarta,
juga takkan terseret dalam konflik sektarian antara Gubernur Ahok dan DPRD Jakarta.
Kecuali itu, para hakim agung yang terhormat tentu akan mempelajari secara saksama apakah
pelanggaran terhadap etika komunikasi yang dilakukan oleh Gubernur Ahok, kalau memang
demikian, dapat dijadikan ”obyek perkara” untuk menjatuhkan sang Gubernur.
Kalau toh proses impeachment lolos di Mahkamah Agung, bagaimana dengan Presiden
Jokowi, benteng terakhir dari seluruh proses impeachment? Di atas kertas, Presiden akan
mati-matian mempertahankan Ahok. Semua orang sudah mengetahui bagaimana dekatnya
hubungan duet Jokowi-Ahok, sejak mereka berkampanye bersama dalam pemilihan gubernur
Jakarta tiga tahun yang lalu Namun, jika gonjang-ganjing politik, terutama di DPR RI, masih
terus panas dan menggoyahkan kedudukan Presiden Jokowi, ceritanya akan berlainan. Jadi,
bagaimana Presiden Jokowi bersikap manakala nasib Ahok akhirnya ”jatuh ke tangannya”,
akan sangat ditentukan bagaimana posisi Jokowi dalam konstelasi politik nasional ketika itu.
Kebencian Anggota Dewan
Tidak sedikit kalangan yang berpendapat bahwa angket terhadap gubernur Jakarta lemah dan
126
tidak rasional, hanya bermotifkan politis. Bahkan, ada pula tudingan bahwa angket itu
semata-mata untuk menutupi ”muka buruk” wakil rakyat atau sebagai senjata untuk
menolong sejumlah oknum anggota Dewan yang dicurigai terlibat dalam tindak korupsi
terkait dengan isi RUU APBD 2015.
Tudingan-tudingan semacam itu bisa benar, bisa juga subjektif. Tapi menurut keyakinan
saya, sentimen mendukung angket di Dewan merupakan ekor dari akumulasi kekecewaan dan
kemarahan mayoritas anggota Dewan terhadap perilaku (politik) Pak Gubernur.
Di mana-mana, juga di depan para anggota panitia hak angket DPRD Jakarta, saya
mengemukakan bahwa Ahok sesungguhnya pemimpin yang bagus, tegas, berani, pekerja
keras, dan cepat mengambil keputusan. Ia juga berani melawan arus, terutama ”arus jahat”
yang memang sudah sangat fenomenal di Republik Indonesia selama ini. Hanya, komunikasi
politik Ahok buruk, sangat buruk. Yang paling menyakitkan para anggota Dewan, ketika
Ahok menyatakan kesiapannya membangun 106 sel tahanan untuk (menjebloskan) anggota
Dewan! Seakan-akan ia menuding seluruh wakil rakyat itu maling dan korup!
Dilanda oleh amukan marah, maka praktik politik pun menjadi irasional. Sebagian besar
anggota Dewan, lalu, sepakat, untuk menjatuhkan Ahok dari kursinya sebagai gubernur DKI.
Rasional atau irasional, kalau sebagian besar yang empunya kuasa di Kebon Sirih sepakat
untuk memakzulkan Gubernur, Anda mau bilang apa?
Tapi, sekali lagi, setelah angket lolos di DPRD Jakarta, proses menjatuhkan Ahok masih
panjang dan alot. Para wakil rakyat masih harus bersabar menunggu keputusan Mahkamah
Agung dan Presiden Indonesia, kalau lolos juga dari Mahkamah Agung. Sementara itu, kalau
saja proses hukum di Bareskrim Polri terhadap para oknum pejabat terkait dengan tudingan
korupsi di RAPBD DKI bergulir cepat, nasib angket selepas gedung DPRD DKI akan
berubah pula.
PROF DR TJIPTA LESMANA
Mantan Anggota Komisi Konstitusi MPR
127
Relawan dan Timses Masuk BUMN?
Koran SINDO
4 April 2015
Beberapa hari yang lalu sebuah kelompok diskusi Jakarta yang bernama Kelompok Diskusi
dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai-KOPI) melakukan polling opini publik tentang
pendapat masyarakat atas keputusan pemerintah memasukkan eks tim sukses dan relawan
Jokowi-JK menjadi komisaris BUMN. Polling dilakukan pada situs politik www.
uneg2politik.com. Hasil polling-nya, lebih dari 72% publik tidak setuju dengan kebijakan ini.
Setidaknya ada tujuh relawan yang menempati posisi strategis di perusahaan BUMN.
Relawan itu antara lain Cahaya Dwi Rembulan Sinaga yang menjadi komisaris independen
Bank Mandiri, Pataniari Siahaan komisaris independen BNI, Sonny Keraf komisaris
independen BRI, Jeffry Wurangin komisaris BRI, Refli Harun komisaris utama Jasa Marga,
dan Diaz Hendropriyono komisaris Telkomsel. Baru-baru ini Sukardi Rinakit ditawari masuk
jajaran komisaris di BTN, namun syukurlah beliau mengedepankan pilihan hatinya dan
menolak.
Praktik menempatkan sejumlah orang kepercayaan di perusahaan BUMN sebenarnya lazim
dilakukan Presiden sebelumnya. Namun, baru kali publik mengungkapkan
ketidaksetujuannya pada keputusan tersebut. Keputusan tidak setuju dari publik patut diduga
sebagai reaksi atas janji Jokowi-JK yang saat masa kampanye pilpres menjanjikan tidak akan
bagi-bagi kursi. Lantas mengapa Presiden seperti memaksakan bahwa relawan harus masuk
menjadi petinggi di badan usaha milik negara (BUMN)? Bahkan ada selentingan di media
massa bahwa menteri BUMN sudah menyiapkan 600 posisi bagi relawan eks tim sukses
Jokowi di BUMN.
David Easton, profesor Universitas Chicago Amerika Serikat, pernah memprediksi bahwa ini
akan terjadi dalam politik. Easton menggariskan bahwa ada atribut yang disebut input-output
dalam sistem politik. Input berasal dari masyarakat yang isinya tuntutan dan dukungan,
sementara output adalah hasil kerja politik yang berasal dari tuntutan dan dukungan. Bila
dikaitkan dengan relawan saat pilpres lalu, relawan sedang memainkan fungsi tuntutan
kembali setelah output telah tercapai.
Tapi, bila hanya mengacu pada pemikiran Easton, ini tidak cukup kuat memaksakan Jokowi
memasukkan relawan ke BUMN. Saya mencatat, setidaknya ada satu alasan kuat yang
kemudian diturunkan menjadi dua alasan pendukung untuk menjawab pertanyaan tadi yaitu
Jokowi sangat memerlukan dukungan solid yang lebih banyak, terutama dari pendukungnya.
Jokowi Butuh Dukungan Solid
128
Saat ini Jokowi diduga tidak memiliki dukungan solid di pemerintahan. Sangat kecil
kelompok politik yang benar-benar mendukung mantan gubernur Jakarta ini. Indikatornya
dapat dilihat mulai dari komposisi kabinet yang jauh dari harapan masyarakat hingga
rongrongan terhadap kebijakan yang bertubi-tubi menghujam Jokowi.
Selain itu, sudah jadi dugaan umum kekuatan KMP (Kalla, Mega, Paloh) lebih mendominasi
pemerintahan. KMP versi Istana ini patut diduga menjadi kekuatan yang sering membuat
kebijakan ajaib, yang membuat Jokowi tersudut. Salah satu contohnya adalah dugaan
berperannya KMP versi Istana dalam pencalonan BG sebagai kepala Polri atau keluarnya
Surat Keputusan Menteri Yasonna yang memengaruhi konflik PPP dan Partai Golkar. Selain
itu, tekanan juga hadir dari Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mulai bersikap abu-abu
menyikapi kebijakan Presiden Jokowi.
Dalam kondisi ”terdesak” seperti saat ini, Jokowi akhirnya berada pada posisi harus
memperkuat jaringan yang dia sadar loyal pada dirinya. Jaringan loyal yang dimiliki para
relawan. Presiden mungkin sangat mengharapkan relawan dengan ”hadiah” yang diterimanya
dapat menjadi tembok pertama Presiden dari hantaman lawan-lawan politiknya.
Jokowi Bukan Lagi Media Darling
Selain keadaan yang ”terdesak”, perlu diyakini bahwa Jokowi bukan lagi media darling.
Sebutan media darling kembali disematkan pada sosok Jusuf Kalla. JK sejak zaman SBY
sebetulnya selalu menjadi media darling. JK selalu disosokkan sebagai tokoh yang mumpuni
dan nyaris sempurna oleh media massa.
Ini semakin diperkuat saat JK hadir pada perayaan puncak Hari Pers Nasional 2015 di
Kepulauan Riau beberapa bulan lalu. JK membalas dukungan media dengan hadir secara
penuh di acara itu. Kehadiran JK menempatkan Jokowi pada posisi kurang bagus karena
menjadi Presiden pertama Indonesia yang tidak hadir pada acara perhelatan terbesar media
massa nasional itu.
Partai Pengusung yang Banyak Maunya
Blunder pertama Jokowi dalam politik sejak dia menjabat menjadi presiden adalah janji
politik semasa kampanye yang tidak memperbolehkan rangkap jabatan di parpol dan
pemerintahan. Walaupun janji politik ini bagus, tapi dalam politik praktis, janji ini
menyebabkan Jokowi kesulitan menjalankan pemerintahan.
Sebagai pemimpin yang bukan dari elite partai, Jokowi sulit independen dari parpol
pengusungnya dan koalisi parpol pendukungnya. Hasilnya, pemilihan posisi menteri kabinet
kerja yang sering disebut menteri ”KW 3” karena lebih mengedepankan pembagian kursi
kekuasaan daripada kapabilitas. PDIP sebagai parpol pengusung Presiden malah baru-baru ini
mendorong Presiden agar memperbolehkan menteri memegang jabatan ganda, melawan
kebijakan Presiden yang sudah mengharuskan pejabat negara tidak boleh menjabat di partai.
129
Bayangkan saja bila akhirnya Jokowi goyah dan mengabulkan permintaan itu, pasti akan
banyak menteri yang menjadi pengurus parpol. Walaupun oleh beberapa pendukung Jokowi
mendoakan agar Jokowi menerima dorongan PDIP. Tujuannya agar Jokowi bisa jadi elite
partai seperti SBY dan Megawati yang lebih mudah menjalankan kebijakan sebagai presiden
karena juga mengatur kebijakan di partai politiknya.
Dari beberapa alasan, nanti mungkin sebagai individu kita dapat memahami mengapa Jokowi
memaksakan posisi penting di BUMN untuk para relawan pendukungnya. Presiden perlu
banyak dukungan untuk menjalankan program-programnya. Terdesak dan bukan lagi media
darling bisa jadi membuat Jokowi memaksakan diri untuk tidak memenuhi janjinya saat
kampanye dengan serta-merta menempatkan relawan dan tim sukses pada posisi kursi panas
BUMN.
HENDRI B SATRIO
Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina
130
Konspirasi Politik Yasonna Laoly
Koran SINDO
6 April 2015
Beruntun dalam rentang waktu sangat singkat, pemerintahan Presiden Joko Widodo dua kali
dipermalukan. Pasalnya, dua surat keputusan penyelesaian konflik internal dua partai politik
yang diterbitkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly dibatalkan Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN). Masalah kompetensi dan kapabilitas sang menteri? Atau, karena
Yasonna berpolitik dengan mengelola konflik internal dua partai itu agar terus berlarut-
larut? Kalau Menteri Hukum saja tidak mengerti hukum dan tidak taat hukum, ya celakalah
bangsa ini.
Jujur, saya curiga Yasonna menjadi bagian dari gerakan kelompok tertentu yang tengah
menjalankan skenario busuk menjatuhkan presiden di tengah jalan. Saya mengendus ada
skenario besar yang terorganisasi menyerang Presiden Jokowi melalui orang-orang dekatnya
dari dalam.
Serangan dilakukan serentak melalui empat penjuru angin. Pertama, dari sisi ekonomi. Yakni
menciptakan instabilitas ekonomi melalui kenaikan harga kebutuhan pokok rakyat seperti
BBM, gas elpiji, listrik, beras, transportasi. Kedua, dari sisi hukum. Yakni gerakan sistematis
pelemahan upaya pemberantasan korupsi, menciptakan ketidakpastian hukum, dan lain-lain.
Ketiga, dari sisi kehidupan sosial masyarakat. Yakni menciptakan rasa ketakutan dan
ketidaknyamanan rakyat dengan meningkatnya tindakan kekerasan. Dari fenomena para
begal motor, terorisme ISIS, hingga bentuk kriminal lainnya. Keempat, dari sisi
politik. Yakni menciptakan turbulensi politik di parlemen melalui pertikaian partai politik
agar menimbulkan kegaduhan terus-menerus yang diharapkan melahirkan kebencian serta
antipati partai politik kepada pemerintah, khususnya kepada Presiden Jokowi. Dan, Yasonna
diduga menjadi bagian dari skenario itu yang bertugas menciptakan turbulensi politik untuk
menggoyang Jokowi tersebut.
Jadi, wajar kalau Yasonna bersikap tidak menghormati keputusan hukum PTUN. Baik
terhadap keputusan PTUN terhadap Golkar maupun keputusan PTUN terhadap PPP.
Tujuannya sangat jelas. Ya itu tadi, agar instabilitas politik tetap terjaga, dan Jokowi tidak
bisa bekerja.
Seperti diketahui, penetapan penundaan diputuskan oleh majelis hakim PTUN atas dasar
permohonan dari kubu ARB sebagai penggugat sampai ada keputusan berkekuatan hukum
tetap. Alasan utama dikabulkannya penetapan penundaan adalah keadaan mendesak yang jika
131
tidak dikabulkan, akan merugikan kepentingan penggugat. Atau akan menimbulkan suatu
akibat yang tidak dapat dipulihkan kembali.
Logikanya sederhana. Dengan ditunda keberlakuannya maka SK tersebut dengan sendirinya
menjadi tidak berlaku secara efektif sejak SK tersebut diterbitkan (ex tunc). Maka keadaan
kembali ke keadaan semula seperti pada saat sebelum SK tersebut diterbitkan.
Karena itu adalah putusan sela, tidak ada sesuatu apa pun yang harus dilakukan Menkumham.
Pasalnya, putusan sela yang berisi penundaan berlakunya SK tersebut berlaku efektif dan
mengikat secara hukum sejak putusan dibacakan majelis hakim dalam sidang yang terbuka
untuk umum.
Pertanyaannya, apakah SK Menkumham tentang Kepengurusan Agung Laksono tadi sah?
Jawabnya sah. Namun, SK tersebut belum berlaku sehingga tidak membawa akibat hukum
apa pun.
Permalukan Presiden
Di luar dugaan terjadinya konspirasi Yasonna sebagaimana diuraikan di atas. Apa pun yang
dituju atau ingin dicapai Yasonna, dua kali sudah pemerintahan Presiden Joko Widodo
(Jokowi) menampilkan wajah tidak kapabel, pun tidak kredibel.
Tak hanya dikecam, perilaku Menkumham Laoly bahkan jadi bahan olok-olok publik,
khususnya para politisi, karena sang menteri menerbitkan dua surat keputusan (SK) yang
ujung-ujungnya bermasalah.
Benar-benar merasa tak nyaman karena pemerintahannya dipermalukan seperti itu, Presiden
Jokowi pun meminta hasil kajian Menteri Laoly terkait penyelesaian dualisme kepengurusan
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Golkar. Kalau Presiden sampai harus
meminta hal itu, pasti ada yang diragukan atau ingin dipertanyakan oleh Presiden.
Persoalan internal yang membelit Partai Golkar dan PPP tampaknya akan terus tereskalasi
karena Menteri Laoly sedang menjalankan misi politik melanggengkan konflik internal yang
sudah melanda dua partai ini. Karena misi politik itu harus dituntaskan dengan cara instan,
sepak terjang Laoly pun tampak menjadi serba terburu-buru dan amatiran. Tak peduli dengan
fakta-fakta tentang keabsahan dan proses hukum yang sedang ditempuh ARB dkk. maupun
Djan Faridz-SDA, Laoly nekat mengeluarkan surat keputusan pengesahan untuk
kepengurusan kubu Agung Laksono dkk dan kepengurusan Romy dkk.
Dan, karena baik kubu Agung Laksono di Golkar dan kubu Romy di PPP sudah
mempertontonkan pilihan mereka untuk mendukung pemerintah, tidak salah juga kalau
banyak kalangan menuduh Menteri Laoly berpihak alias tidak independen. Memahami posisi
Menteri Laoly seperti itu, ARB dan Djan Faridz pun tidak tinggal diam. Keduanya
menempuh cara-cara legal.
132
Laoly-Agung
Hasil perlawanan gigih ARB dkk serta Djan Faridz dkk akhirnya sudah mempermalukan
pemerintah. Sebaliknya, PPP dan Golkar pun sesungguhnya tidak nyaman dengan situasi
seperti itu. Elite kedua partai pada dasarnya tidak ingin persoalan internal itu menjadi
berkepanjangan dan berlarut-larut. Dampaknya bukan hanya pada dinamika politik dalam
negeri yang kurang sehat, tetapi juga bisa mengganggu kinerja Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR). Baik soliditas Fraksi Partai Golkar (FPG) maupun Fraksi PPP di DPR pasti
terganggu. Lebih dari itu, kedua partai jelas tidak diuntungkan. Utamanya kalau dikaitkan
dengan persiapan untuk mengikuti pemilihan kepala daerah (pilkada). Bukan tidak mungkin
persiapan Golkar dan PPP tidak berjalan mulus akibat konflik internal yang berlarut-larut itu.
Ada kemiripan perilaku terburu-buru antara Menteri Laoly dan Agung Laksono dkk. Kalau
Menteri Laoly nekat bertindak cepat mengesahkan kepengurusan DPP Golkar produk Munas
Ancol dan DPP PPP produk Muktamar Surabaya, Agung Laksono dkk pun bertindak cepat
ingin segera menguasai FPG. Padahal, dari aspek legal, tindakan terburu-buru Agung
Laksono dkk justru menjadi ilegal. Masalahnya, belum ada ketetapan hukum mengikat yang
melegalkan aksi Agung Laksono dkk menggeruduk ruang rapat FPG di lingkungan DPR,
Senayan. Kalau aksi geruduk itu hanya berlandaskan SK Menkumham, jelas sangat lemah.
Utamanya karena DPP Partai Golkar produk Munas Bali sedang melayangkan gugatan
hukum atas SK Menkumham itu.
Perilaku terburu-buru itu pun masih coba dilanjutkan Agung Laksono dkk kendati PTUN
memerintahkan penundaan pelaksanaan SK Menkumham itu. Agung Laksono dkk
menerbitkan surat peringatan pertama untuk kader Golkar di DPR, meliputi Setya Novanto,
Ade Komarudin, dan Bambang Soesatyo. Tindakan serba terburu-buru ini jelas
memperlihatkan iktikad tidak baik. Sama artinya Agung Laksono dkk tidak menghormati
keputusan PTUN.
Menteri Laoly pun sama dengan Agung dkk, yaitu tidak menghormati proses hukum. Menteri
Laoly tetap nekat mengesahkan kepengurusan Agung dkk, meski kubu ARB sudah
melayangkan gugatan ke pengadilan dan melaporkan kasus pemalsuan mandat DPD I-II
Partai Golkar dalam Munas Ancol.
Bukan faktor kebetulan jika terjadi kemiripan perilaku Menteri Laoly serta Agung Laksono
dkk. Kemiripan aksi ini pasti sudah dirancang untuk menciptakan dinamika politik tidak
sehat. Kalau kemudian Agung dkk serta Menteri Laoly tampak begitu berani bermanuver,
pasti karena ada dukungan sangat kuat dari unsur-unsur kekuasaan saat ini.
Namun, sesuatu yang busuk pada akhirnya akan tercium juga. Dalam kasus Partai Golkar,
baik Agung dkk maupun Menteri Laoly ceroboh. Dari segi kelengkapan dokumen misalnya,
Munas Ancol yang diselenggarakan Agung dkk itu jelas tidak legitimate. Akibatnya, pijakan
hukum Menteri Laoly dalam menetapkan kepengurusan Agung dkk pun sangat lemah.
133
Itu sebabnya, PTUN menetapkan DPP Partai Golkar produk Munas Riau tahun 2009 sebagai
kepengurusan Golkar yang sah, dengan ARB sebagai ketua umum. Karena kecerobohan
Menteri Laoly, Presiden Jokowi harus menanggung malu.
BAMBANG SOESATYO
Sekretaris Fraksi Partai Golkar/Anggota Komisi III DPR RI
134
Masa Depan Penyelesaian Krisis Nuklir Iran
Koran SINDO
Selasa, 7 April 2015
Tercapainya kata sepakat antara Iran dan negara-negara P5+1 (Amerika Serikat, Inggris,
Prancis, Rusia, China, dan Jerman) di Swiss menjadi kabar baik bagi stabilitas kawasan
Timur Tengah yang saat ini sedang bergejolak.
Butir-butir kesepakatan dalam Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) menunjukkan
upaya pembatasan pengayaan uranium oleh Iran. Pilihan ini yang masuk akal. Sebelumnya
Iran tetap menghendaki untuk melanjutkan program nuklirnya dan diduga oleh negara-negara
Barat ingin mengembangkan senjata nuklir (weaponization).
Dari tujuh poin tersebut, ada dua poin yang penting untuk diperhatikan. Pertama, Iran harus
bisa memberikan akses yang luas bagi Badan Energi dan Atom Dunia (IAEA) untuk
melakukan inspeksi bahkan di fasilitas nuklir Parchin yang merupakan fasilitas nuklir
militer.
Patut dicatat bahwa krisis nuklir ini berawal dari penolakan Iran untuk menerima tim inspeksi
IAEA yang sebelumnya melaporkan bahwa Iran melakukan pelanggaran dalam pengayaan
uranium. Kesediaan Iran untuk mengikuti kembali mekanisme pengawasan yang disepakati
secara internasional akan dapat mengurangi ketidakpercayaan di antara dua kubu yang
berseteru.
Kedua, kesediaan P5+1 untuk membatalkan embargo ekonomi terhadap Iran sebagai balasan
bagi kesediaan Iran menjalankan pembekuan pengayaan, mengurangi simpanan uranium, dan
mematuhi mekanisme pengawasan internasional.
Embargo ekonomi terhadap Iran, terutama yang terkait dengan penjualan minyak dan gas,
telah secara serius membuat Iran terkucil dan melemahkan perekonomian negara tersebut.
Kembalinya minyak dan gas Iran secara penuh di pasar internasional akan memperkuat basis
ekonomi negara tersebut dan, sekaligus, mengembalikan kekuatan Iran sebagai negara utama
di kawasan Timur Tengah.
***
Meski demikian, ada tiga hal yang harus diperhatikan agar kesepakatan tersebut bisa
membuka jalan bagi penyelesaian damai yang sesungguhnya. Apalagi, proses perundingan di
135
Swiss menunjukkan betapa alot pembicaraan di antara kedua kubu yang membuat Menlu
Amerika Serikat John Kerry meminta pemunduran deadline demi mencapai kesepakatan.
Pertama, ada gangguan dari masalah-masalah di kawasan yang terkait dengan Iran. Saat ini
setidaknya ada tiga isu di kawasan yang melibatkan Iran. Isu pertama adalah konflik di
Suriah. Iran merupakan pendukung utama rezim Bashar al-Asad dan penyedia logistik bagi
pasukan rezim dalam menghadapi kelompok perlawanan. Negara-negara Barat dan Arab
sendiri menentang kelangsungan rezim dan mendorong perubahan politik di Suriah.
Pengangkatan embargo ekonomi yang selama ini diberikan pada Iran tentu akan
memperbesar kemampuan negara tersebut dalam memberikan suplai dukungan kepada
rezim.
Isu kedua adalah instabilitas di Irak. Kelompok Syiah di Irak yang dekat dengan Iran
merupakan salah satu kekuatan politik utama di negara ini. Dalam upaya memerangi ISIS,
Amerika Serikat akan memerlukan bantuan yang semaksimal mungkin dari kelompok Sunni
yang saat ini menjadi mitra aliansi utama ISIS. Bantuan tersebut akan membutuhkan
pelibatan kelompok Sunni dalam politik di Irak yang tentunya akan merugikan kelompok
Syiah.
Jika di Irak pelemahan posisi politik kelompok Syiah tersebut masih dalam tahap potensi, di
Yaman hal tersebut sudah berlangsung. Intervensi militer Arab Saudi, salah satu sekutu
utama Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah, di Yaman menjadi gangguan bagi
kekuasaan de facto kelompok Houthi yang pro-Teheran.
Upaya untuk menjauhkan pengaruh isu-isu utama di kawasan tersebut terhadap penyelesaian
krisis nuklir Iran akan bisa dilihat dalam periode hingga pencapaian kesepakatan final yang
dijadwalkan muncul akhir bulan Juni nanti. Kemampuan untuk melepaskan isu nuklir Iran
dari isu-isu lain di kawasan akan sangat dibutuhkan.
Gangguan kedua datang dari Israel. Secara tegas, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu
menyatakan bahwa kesepakatan butir-butir utama JCPOA merupakan sebuah kesalahan.
Israel secara konsisten mengusulkan penyelesaian militer dalam penanganan krisis nuklir
Iran.
Israel menilai penghentian paksa program nuklir Iran merupakan satu-satunya opsi yang
harus diambil dalam masalah ini. Israel meletakkan serangan nuklir dari Iran, baik secara
langsung maupun melalui kelompok-kelompok yang diketahui memiliki kedekatan dengan
Teheran, sebagai salah satu sumber ancaman utama mereka. Ancaman dari Iran bahkan
mampu menggeser ancaman serangan gabungan negara-negara Arab yang selama bertahun-
tahun merupakan sumber ancaman utama Israel.
Kedekatan Iran dengan Hezbollah dan Hamas juga menjadi perhatian utama Israel. Hamas
sendiri telah menggunakan rudal-rudal buatan Iran dalam beberapa perang terakhir melawan
Israel.
136
Terakhir, gangguan terhadap pencapaian kesepakatan final juga akan datang dari dalam Iran
sendiri. Salah satu kunci keberhasilan negosiasi Iran dengan P5+1 adalah ada perubahan
rezim di Iran. Posisi Presiden Rouhani yang lebih lunak dalam hubungan eksternal Iran
menjadi faktor yang signifikan bagi tercapainya kesepakatan.
Ini berbeda dengan posisi yang diambil pemerintahan terdahulu yang didominasi oleh
kelompok konservatif. Kekuatan kelompok konservatif di dalam politik domestik Iran sendiri
masih besar. Bagi kelompok ini, isu nuklir terkait dengan harga diri Iran sebagai bangsa yang
besar. Keputusan untuk membekukan program pengayaan uranium dan pengurangan
simpanan uranium yang telah diperkaya akan dengan mudah diterjemahkan sebagai
kekalahan Iran terhadap Barat.
***
Terlepas dari tiga gangguan tersebut, dukungan terhadap pencapaian kesepakatan final harus
tetap diberikan. Pilihan Indonesia untuk mendukung penyelesaian diplomatik harus tetap
disampaikan. Ada dua garis batas yang perlu dipegang oleh Indonesia dalam isu ini.
Pertama, sebagai salah satu negara yang mendorong kesepakatan Non-Proliferation Treaty
(NPT), Indonesia harus bersikap jelas untuk menolak upaya pengembangan senjata nuklir
oleh negara baru mana pun. Mekanisme untuk memastikan bahwa proses weaponization
tersebut tidak terjadi yang kemudian harus didorong. Pengawasan secara penuh oleh IAEA
menjadi salah satu opsi yang harus didorong.
Kedua, penyelesaian damai melalui negosiasi harus menjadi satu-satunya pilihan. Opsi-opsi
di luar negosiasi, terutama opsi militer, harus dijauhkan. Posisi Iran sebagai kekuatan utama
di kawasan akan membawa konsekuensi regional bagi setiap upaya militer terhadap Iran.
BROTO WARDOYO
Dosen di Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia
137
Menangani ISIS dengan Humanis
Koran SINDO
7 April 2015
Bagaimana negara mengatasi eksistensi dan penyebaran ideologi dan gerakan Islamic State of
Iraq and Syria (ISIS)–selanjutnya disebut Islamic State (IS)–masih kontroversial.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengusulkan dua langkah kontroversial.
Pertama, memblokir website yang diduga terindikasi terkait dengan kegiatan terorisme.
Kedua, merevisi beberapa undang-undang antara lain UU No 15/2003 tentang Terorisme dan
UU No. 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Alih-alih mendapatkan acungan jempol dan dukungan, berbagai pihak justru menila i langkah
yang dilakukan BNPT kontraproduktif, inkonstitusional, dan terindikasi melanggar hak asasi
manusia. BNPT terkesan gugup dan gagap menangani masalah ISIS.
State of Mind
Dalam sebuah seminar yang diselenggarakan di Jakarta beberapa waktu lalu, Wakil Presiden
Jusuf Kalla menegaskan tiga hal penting terkait IS. Pertama, masalah IS sejatinya merupakan
persoalan pemikiran atau state of mind karena diperlukan pemahaman terhadap isi dari
pemikiran tersebut.
Kedua, ibarat virus, IS dapat masuk ke alam pikiran masyarakat bila negara lemah. Ibarat
tubuh, negara yang lemah akan mudah terserang penyakit yang disebabkan oleh virus.
Ketiga, karena merupakan pemikiran, jalan keluar dalam mengatasi masalah IS haruslah
dengan pemikiran pula.
Mengapa paham IS mudah masuk dan berkembang di Indonesia? Ada lima faktor yang saling
terkait antara satu dan lainnya. Pertama, faktor politik. Sistem negara Pancasila yang belum
mampu membawa bangsa Indonesia kepada kesejahteraan, keamanan, dan keadilan
menimbulkan kekecewaan politik dan keraguan terhadap sistem politik dan hukum nasional.
Kedua, faktor teologis, kekecewaan dan keraguan tersebut mendorong sebagian masyarakat
mencari model ideal sistem politik dan ketatanegaraan. Mereka yang terbuai romantisme
sejarah berusaha memproklamirkan sistem khilafah dan mendirikan negara Islam.
Ketiga, faktor ekonomi. Kesulitan hidup yang membelit akan mendorong seseorang mencari
jalan keluar pragmatis demi memperbaiki harkat hidup. Keempat, faktor globalisasi informasi
di mana seseorang dapat mengakses informasi dari berbagai sumber yang tanpa sensor dan
138
tanpa batas.
Kelima, faktor solidaritas. Penindasan yang dialami oleh umat Islam di berbagai belahan
dunia, khususnya di kawasan Timur Tengah, membangkitkan semangat jihad untuk
menolong sesama. Dalam beberapa hal cara-cara kekerasan dalam penindakan para ”teroris”
yang terpublikasi luas dapat menimbulkan simpati dan dendam kepada aparatur keamanan.
Pendekatan Humanis
Karena akar persoalannya terletak pada state of mind, solusi yang paling mungkin adalah
dengan pendekatan soft power. Pendekatan soft power perlu diutamakan melalui beberapa
langkah. Pertama, konter opini melalui media massa dan publikasi yang masif. Pemerintah
memiliki sumber daya dan sumber daya yang kuat membuat website dan buku-buku populer.
Selain elegan, cara demikian juga dapat mendorong dan menumbuhkan kreativitas yang sehat
dan budaya yang produktif.
Kedua, bekerja sama dengan ormas Islam mainstream yang moderat sebagai vocal point.
Ormas Islam ini juga dapat berperan sebagai religious broker yang menjadi agen dialog
dengan kelompok radikal.
Ketiga, membentuk peer group dengan memberdayakan generasi muda untuk terlibat dalam
penanggulangan terorisme. Pelajar, mahasiswa, dan ibu rumah tangga adalah kelompok
strategis yang dapat menjadi pionir dalam membangun tata kehidupan yang santun dan anti-
kekerasan.
BNPT dan pemerintah perlu banyak mendengar suara-suara tulus para pemimpin
agama. Tidak ada salahnya mengevaluasi pendekatan hard-power yang mengedepankan
keperkasaan serdadu dan kecanggihan senjata. Sepertinya masyarakat tidak bertambah tenang
dengan berbagai aksi penyerbuan yang terkesan over-acting. Cara-cara demonstratif yang
militeristik seperti yang dilakukan selama ini justru membuat masyarakat tegang.
Revisi undang-undang untuk menghabisi IS secara konstitusional nampaknya hanya akan
menghabiskan waktu. Cara-cara pre-emptive dengan melarang IS juga potensial memecah
belah umat dan mengadu domba masyarakat. Larangan tidak akan membunuh pemikiran,
tetapi justru memperteguh akar dan menumbuhkan suburkan generasi baru yang lebih
radikal.
Pendekatan soft-power lainnya adalah meningkatkan kesejahteraan yang semakin merata,
keadilan untuk semua, dan rasa aman bagi semua. Pendekatan hard-power memang sudah
waktunya diminimalkan, bahkan jika memungkinkan dihentikan. Sebagaimana dikatakan
Fuller (2010) dalam A World Without Islam: ”Zero tolerance for terrorism” is another
slogan that needs to disappear. It is an empty phrase, demagogic and utopian in character,
just as zero tolerance for crime has no functional meaning in contemporary society.”
139
Mereka yang mencintai Indonesia tidak ada yang mendukung terorisme. Mereka yang peduli
pada perdamaian akan mengedepankan cara-cara yang damai dan manusiawi dalam
menyelesaikan masalah antar sesama manusia. Pendekatan humanis sepertinya lebih taktis
untuk menangani ISIS.
ABDUL MU’TI
Sekretaris PP Muhammadiyah; Dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
140
Refleksi Konflik di Timur Tengah
Koran SINDO
8 April 2015
Kawasan Timur Tengah mendapat perhatian dunia dalam beberapa pekan terakhir. Peristiwa
pertama yang mengawali kejutan politik dari kawasan itu di tahun 2015 adalah kudeta yang
dilakukan oleh pasukan Houthi terhadap Presiden Abd-Rabbu Mansour Hadi.
Peristiwa itu kemudian membawa negara-negara Arab turut campur dan berbalik menyerang
pemberontak Houthi di Yaman. Serangan bersama itu juga disinyalir sebagai balasan atas
bantuan Iran kepada pemberontak Houthi yang dilakukan pada awal-awal serangan. Beberapa
pesawat yang diduga berasal dari Iran, tertangkap melintasi dan memberikan bantuan
serangan udara ke wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Presiden Yaman.
Peristiwa kedua yang juga penting adalah tercapainya kesepakatan antara P5+1 (yakni lima
negara anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa: Amerika Serikat,
Rusia, Cina, Inggris, Prancis, ditambah Jerman) dengan pemerintah Iran.
Walaupun masing-masing pihak menyatakan yang disepakati tersebut adalah outline (garis
besar) dan bukannya agreement (perjanjian) karena kesepakatan tersebut terbilang masih jauh
dari harapan masing-masing pihak, setidaknya kesepakatan itu dapat dijadikan titik tolak
untuk masuk ke dalam isu-isu lain yang lebih strategis.
Beberapa isu yang telah dinegosiasikan antara P5 + 1 dan Iran antara lain berkurangnya
fasilitas pengayaan nuklir Iran dan kemampuannya untuk meningkatkan kualitas teknologi
tersebut dalam kurun waktu 15 tahunan. Di sisi lain, Iran menunggu Amerika Serikat dan
negara-negara Eropa mencabut sanksi ekonomi atas Iran.
Selain dua peristiwa tersebut, ISIS juga mengalami popularitas cukup tinggi. Tidak hanya di
Indonesia, ideologi ISIS juga menarik orang-orang muda di Eropa. Survei yang dilakukan
oleh ICM untuk kantor berita Russian Rossiya Segodnya pada Agustus tahun lalu
menyebutkan 16% dari anak muda Prancis menyokong ideologi ISIS. Data itu menunjukkan
ISIS semakin menyaingi Al-Qaeda yang umumnya hanya disokong oleh beberapa kelompok
kuat di Pakistan dan Afghanistan.
Kejadian-kejadian tersebut ada yang membawa kabar baik dan ada juga kabar buruk. Hal itu
membuat kita menjadi sulit untuk menyimpulkan apakah sedang ada kecenderungan
terjadinya perdamaian di Timur Tengah, atau justru situasi semakin memburuk, atau status
quo (tidak maju dan tidak mundur). Namun, pernyataan yang paling mengerikan adalah
141
apabila kita mulai mempercayai bahwa kawasan tersebut tidak akan pernah damai dan
mereka hidup dari pertikaian.
Pertanyaan yang sering muncul di benak publik, apakah konflik dan ketegangan tersebut
dilatarbelakangi oleh persaingan ideologi Sunni dan Syiah? Media Al-Jazeera dalam konteks
konflik di Yaman menyimpulkan konflik yang terjadi di Yaman adalah konflik
berkepanjangan antara kelompok Syiah yang dipimpin oleh Abdulmalik al-Houthi melawan
Presiden Abd Rabbu Mansour Hadi dari kelompok Sunni. Kelompok Hadi ini didukung oleh
kelompok Partai Islah Sunni. Konflik ini dianggap sebagai buntut penggulingan mantan
Presiden Ali Abdul Saleh yang telah memerintah Yaman sejak 1990 seiring protes publik
pada masa Arab Springs tahun 2011.
Tidak jelas juga dasar simpulan dari media tersebut karena mereka tidak menggali lebih
dalam perihal konflik horizontal tersebut. Masalahnya, seperti yang terjadi di beberapa
negara Arab lain, transisi demokratis yang lahir dari gerakan Arab Springs memang tidak
dibimbing oleh semangat kebangsaan dan gagasan negara demokratis ideal. Hanya beberapa
negara yang berhasil melewati tahap yang kritis itu untuk berlalu dari sistem pemerintahan
yang otoriter menuju menjadi pemerintahan yang demokratis. Kita dapat menyebutkan
sedikit di antaranya adalah Tunisia, walaupun itu sempat ternodai dengan aksi penyanderaan
kelompok teroris tiga pekan lalu.
Dalam kekosongan gagasan kebangsaan tersebut, politik identitas masuk mengisi dan
mempertegas perbedaan antarkelompok. Pertanyaannya kemudian, sejauh mana politik
identitas itu menjadi pemicu atau yang memotivasi konflik? Ataukah politik identitas itu
hanya dijadikan sebagai alat bagi sejumlah kelompok? Agak sulit tampaknya untuk mengurai
kerumitan tersebut dan menentukan faktor apa yang menentukan. Apa yang dapat kita lihat
bahwa politik identitas dan kepentingan kelompok adalah saling melengkapi dalam konteks
di Timur Tengah.
Sejauh ini perjalanan sejarah transisi politik di negara-negara Arab yang kita pahami dari
gerakan Arab Springs adalah dimotivasi oleh perubahan dan gagasan yang sekuler dan bukan
dari gagasan yang sektarian. Masyarakat menghendaki berakhirnya pemerintahan otoriter
yang telah menguasai negara selama lebih dari 20 atau 30 tahun.
Pemerintahan yang dibayangkan oleh gerakan masyarakat sipil pada saat itu adalah sebuah
pemerintahan demokratis, di mana setiap warga negara memiliki hak konstitusional untuk
memilih dan dipilih. Ada kesadaran sebetulnya pada masa tersebut bahwa persaingan
antarsuku untuk merebut kekuasaan adalah kesalahan yang harus dihindari.
Hal yang menarik kemudian adalah perjalanan fokus konflik yang berubah di Timur Tengah:
dari konflik antara pemerintahan otoriter terhadap gerakan masyarakat pro-demokrasi
menjadi konflik antara kelompok dan suku, dan kemudian terakhir menjelma menjadi konflik
antara Sunni dan Syiah.
142
Konflik itu mungkin sudah ada namun menguat dan menurun seiring dengan konflik-konflik
internal yang ada di setiap negara. Kita masih ingat bagaimana delapan negara yang saat ini
berada di bawah Operation Decisive Storm untuk menyerang Houtis (Qatar, Uni Emirat
Arab, Bahrain, Kuwait, Yordania, Mesir, Maroko, dan Sudan) pernah berbeda pendapat
tentang krisis yang terjadi di Mesir terkait dengan berkuasanya Jenderal Sisi dan dilarangnya
organisasi Persaudaraan Muslimin di Mesir. Pada saat itu, legitimasi Jenderal Sisi
dipertanyakan oleh negara-negara sekutunya. Demikian pula ketika menanggapi posisi
organisasi lain seperti Hammas.
Dari jauh, yang dapat kita simpulkan, konflik yang terjadi di dalam negeri negara-negara di
Timur Tengah dapat menarik intervensi negara lain baik secara langsung ataupun tidak
langsung. Negara-negara tersebut sulit menahan diri untuk tidak mencampuri urusan dalam
negeri negara lain. Hal ini tidak terbatas hanya kepada negara-negara Arab. Israel juga
merasa mereka harus turut campur walaupun mesti beraliansi dengan negara-negara Arab lain
untuk menghadapi Iran.
Di sini kita menilai pentingnya norma dan etika dalam hubungan internasional. Norma dan
etika bukan sesuatu yang mengikat seperti konvensi namun menjadi landasan dalam
berkomunikasi dengan negara-negara lain. Norma dan etika dapat menjadi jalan keluar dari
rasa curiga yang biasanya menjadi dasar interpretasi dalam menganalisa fakta di lapangan.
Apakah norma dan etika ini benar-benar hilang di Timur Tengah? Tampaknya tidak. Hal ini
dapat dilihat dari hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab lain seperti Yordania,
Mesir, dan bahkan Arab Saudi. Ada sebuah kesepakatan tidak tertulis bahwa tidak mungkin
di antara mereka akan saling serang, apalagi dalam konteks menghadapi Iran.
Pada hubungan inilah sering kali para analis menganggap bahwa sebetulnya yang terjadi
bukanlah konflik sekterian, tetapi konflik untuk menjaga status quo kekuasaan yang selama
ini berkuasa di Timur Tengah.
DINNA WISNU, PhD
Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
@dinnawisnu
143
Dua Sisi Koin Diplomasi Pertahanan
Koran SINDO
8 April 2015
Penggunaan kata-kata ”diplomasi” dan ”pertahanan” pada terminologi “diplomasi
pertahanan” secara bersamaan dianggap sesuatu hal yang anomali sejak lama. Tetapi,
sekarang ini penggabungan dua kata tersebut tidak lagi menjadi masalah. Sejak 2006 secara
resmi negara-negara ASEAN telah menjalankan konsep diplomasi pertahanan dalam
merespons perubahan lingkungan politik dan keamanan di kawasan.
Para pakar telah menyaksikan bukti-bukti kuat tentang penguatan secara institusional
rancangan diplomasi pertahanan dalam lingkup multilateral. Memang, penguatan tersebut
sebuah perkembangan yang signifikan setelah dalam waktu yang cukup lama negara di
kawasan menolak untuk membahas kerja sama pertahanan regional.
Munculnya diplomasi pertahanan multilateral di Asia Tenggara adalah sebuah fenomena
yang relatif baru. Banyak pakar yang berpendapat bahwa belum ada satu pun definisi
universal tentang diplomasi pertahanan, tetapi fitur spesifik yang membentuk pemahaman
kontemporer diplomasi pertahanan tampaknya muncul dalam konteks Asia Tenggara.
Hampir satu dasawarsa terakhir kita melihat kerja sama yang lebih erat antara militer ASEAN
atas berbagai isu yang mencakup tugas dan fungsi utama, serta peran militer di luar tugas
tradisional militer itu sendiri, seperti tugas-tugas penjaga perdamaian, memajukan tata
pemerintahan yang baik, respons cepat terhadap bencana alam dan kemanusiaan, serta
melindungi hak asasi manusia.
Seperti telah dibuktikan dengan kegiatan yang berhubungan dengan pertahanan. Berbeda
dengan kegiatan sebelumnya, diplomasi pertahanan di Asia Tenggara saat ini melibatkan
kerja sama militer dengan militer dan antara mitra di kawasan. Konsekuensi yang signifikan
bagi diplomasi pertahanan adalah bahwa militer di kawasan dan infrastruktur yang terkait
menjadi lembaga yang terlibat lebih intens dalam praktik diplomasi dan kebijakan luar negeri
negara-negara Asia Tenggara.
Penggunaan kekuatan bersenjata untuk mendukung diplomasi negara secara historis berkaitan
dengan kepentingan nasional. Keterlibatan militer dalam diplomasi merupakan elemen untuk
mencegah ambisi asing, yang dapat dilakukan melalui pamer kekuatan militer.
Dalam hal ini berupa unjuk kemampuan personel, kecanggihan persenjataan dan kemampuan
untuk membangun rasa saling menghormati dan rasa persaudaraan. Kemampuan tersebut
144
diperlukan untuk melindungi kepentingan nasional baik politik, ekonomi, integritas nasional,
atau kedaulatan negara.
***
Salah satu elemen kekuatan nasional adalah kualitas diplomasi seperti yang dijelaskan
Morgenthau. Diplomasi sangat krusial meskipun unsur ini sangat tidak stabil. Diplomasi bisa
dikatakan adalah otak dari kekuatan nasional, sedangkan semangat nasional adalah jiwanya.
Kualitas diplomasi dari setiap negara yang terlibat dalam hubungan internasional sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Diplomasi tidak dapat berdiri sendiri karena dalam
diplomasi terdapat gabungan strategi militer dan tentu saja upaya sipil melalui cara-cara
diplomatik.
Sedangkan Clausewitz menggambarkan diplomasi sebagai hubungan antara sarana, cara, dan
tujuan. Dia menyebutnya sebagai ”trinitas paradoks” yang terdiri atas pemerintah, militer,
dan masyarakat. Pemerintah merepresentasikan bentuk tanggung jawab untuk menentukan
tujuan politik dan muara dari konflik. Militer bertanggung jawab untuk mengembangkan
strategi (cara) dan masyarakat yang diwakili oleh parlemen mewakili kehendak dan sumber
daya (sarana).
Dalam konteks polemik hukuman mati bagi dua terpidana Bali Nine, Andrew Chan dan
Myuran Sukumaran, setiap elemen dari trinitas paradoks yang mewakili kepentingan nasional
Indonesia maupun Australia telah memainkan perannya masing-masing. Pemerintah
Australia telah melakukan lobi diplomatik agar Presiden Jokowi sebagai kepala negara dan
kepala pemerintahan Indonesia bersedia memberikan pengampunan. Penolakan yang
dilakukan Presiden Jokowi terhadap lobi pemerintahan Tony Abbott disampaikan dengan
terang benderang; ”Kita ini menjaga hubungan baik dengan negara mana pun, ingin
bersahabat dengan negara mana pun, tapi kedaulatan hukum tetap kedaulatan hukum.
Kedaulatan politik tetap kedaulatan politik.”
Tindakan Pemerintah Indonesia memindahkan duo Bali Nine ke Nusakambangan ditanggapi
dengan sangat reaktif oleh Abbott yang mengaku muak dengan rencana eksekusi mati dua
warga negara Australia tersebut. Di kalangan masyarakat sendiri pro dan kontra terhadap
rencana pelaksanaan hukuman mati bagi terpidana duo Bali Nine merambah ke berbagai
media sosial, baik di Indonesia maupun di Australia.
Namun, sebagian besar masyarakat Indonesia mendukung eksekusi mati tetap dilaksanakan,
terlebih lagi setelah masyarakat Indonesia merasa direndahkan oleh pernyataan Abbott yang
mengaitkan bantuan kemanusiaan dengan ”pemaksaan” pembatalan hukuman mati bagi
warga negaranya. Solidaritas masyarakat Indonesia begitu menggelora dengan melakukan
gerakan ”koin untuk Abbott”, sebagai ganti dana bantuan kemanusiaan untuk korban
Tsunami Aceh.
145
***
Lantas di manakah peran militer dalam menyikapi rencana pelaksanaan hukuman mati bagi
terpidana? Bagi TNI sendiri keikutsertaan mengawal pemindahan Chan dan Myuran ke
Nusakambangan merupakan bentuk ketegasan TNI dalam mendukung politik negara.
Menurut Ian Storey, setidaknya ada lima dimensi diplomasi pertahanan, salah satu dari
dimensi tersebut adalah pertukaran dan penempatan atase pertahanan sebagai penyambung
lidah kebijakan pertahanan negara. Atase pertahanan sesungguhnya merupakan intelijen
terbuka yang mendapat izin dari pemerintah negara akreditasi. Atase pertahanan berhak dan
legal mengumpulkan berbagai informasi intelijen, situasi politik, dan isu-isu keamanan di
negara tempat mereka ditugaskan, tanpa takut dicurigai dan dituduh melakukan kegiatan
mata-mata.
Peran mengumpulkan informasi politik di negara para atase pertahanan ditugaskan ini dapat
dimaksimalkan TNI untuk mendukung kebijakan politik luar negeri Indonesia. Seperti saat
ini, kengototan dan kepanikan Abbott serta Bishop dengan menggunakan berbagai cara
diplomasi ditengarai sesungguhnya memiliki agenda politik lain di dalam negaranya sendiri.
Paniknya Abbott bukanlah bentuk kepanikan masyarakat Australia terhadap hukuman mati
yang akan dijalani Chan dan Myuran. Nuansa kepanikan dan situasi politik menjelang
digelarnya pemilu di Australia pada 2016 merupakan informasi berharga bagi atase
pertahanan yang dapat menjadi senjata Presiden Jokowi untuk menekan balik Abbott.
Pernyataan Abbott tentang bantuan kemanusiaan untuk Tsunami Aceh menuai kecaman keras
dari berbagai kalangan di Australia. Musuh-musuh politik Abbott memanfaatkan blunder
politik Abbott dan berusaha menjatuhkan jabatan perdana menteri yang saat ini dipegang
Abbott.
Momentum emas bagi lawan-lawan politik ini membuat Abbott ketar-ketir karena
popularitasnya menurun drastis dan pada pemilu mendatang Abbott khawatir akan kehilangan
posisinya. Di satu sisi, situasi politik yang berubah dengan cepat ini mendorong Abbott dan
Bishop berusaha keras melakukan lobi kepada pemerintahan Indonesia agar duo Bali Nine
dapat terbebas dari hukuman mati.
Saat ini pemerintahan Abbott sedang berkejaran dengan waktu kampanye dan pemilu yang
semakin mendekat. Keberhasilan mereka membebaskan Chan dan Myuran atau setidaknya
dapat menunda pelaksanaan hukuman mati sampai selesainya pemilu di Australia akan
mengembalikan popularitas Abbott dan dapat menjadi roket pendorong popularitasnya untuk
mempertahankan kursi perdana menteri.
Di sisi lain, penolakan Presiden Jokowi terhadap permintaan Abbott dan kabinetnya
tampaknya merupakan blessing in disguise bagi Presiden Jokowi. Secara tidak sengaja,
ketidakpastian pelaksanaan eksekusi terhadap duo Bali Nine membuat Abbott blingsatan dan
146
Presiden Jokowi memegang kartu truf dalam melakukan komunikasi diplomatik dengan PM
Abbott.
***
Peran Atase Pertahanan Indonesia dalam diplomasi pertahanan ibarat dua sisi uang koin yang
saling menunjang. Analisis tentang situasi politik dalam negeri Australia ini menjadi
informasi politik yang dapat menjadi faktor kunci Pemerintah Indonesia dalam hubungan
bilateral dengan Australia maupun dengan negara lain tempat atase pertahanan ditugaskan.
Pemerintahan Presiden Jokowi dapat menerapkan kebijakan yang cocok untuk keunggulan
diplomasi Indonesia. Presiden Jokowi mengantongi kelemahan Abbott yang saat ini terdesak
dengan agenda politiknya dan opini publik Australia yang mulai meninggalkannya.
Sesungguhnyalah, informasi yang diperoleh dan menjadi produk intelijen hasil analisis atase
pertahanan merupakan sebaris kalimat krusial dalam menentukan kebijakan Pemerintah
Indonesia. Kebijakan politik yang dapat menentukan arah perkembangan ekonomi,
efektivitas diplomasi, dan terutama kedaulatan negara.
Diplomasi pertahanan melalui praktik intelijen terbuka menjadi penting karena analisis yang
dihasilkan merupakan koleksi informasi yang melingkupi politik, ekonomi, pertahanan, dan
kondisi sosial budaya negara akreditasi tempat atase pertahanan ditugaskan. Diplomasi
pertahanan merupakan jembatan bagi komunikasi dua pihak angkatan bersenjata dan sarana
diplomasi berbagai isu pertahanan.
Diplomasi pertahanan dapat mempererat kerja sama antarangkatan bersenjata dan
meningkatkan rasa saling percaya antarnegara yang akan mencegah konflik-konflik baru di
kawasan. Diplomasi pertahanan dapat juga menjadi senjata diplomatik efektif bagi kebijakan
politik negara.
Menjadi tepat kiranya bahwa politik militer (khususnya TNI) merupakan politik negara, yang
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
RODON PEDRASON
Pengajar di Universitas Pertahanan Indonesia; Sedang Menyelesaikan Program PhD di
Ruprecht-Karls Universitat, Heidelberg, Jerman; Penerima Beasiswa Unggulan BPKLN
Kemdikbud RI
147
Pemilih Jokowi yang Mulai Kecewa
Koran SINDO
8 April 2015
Jokowi memang layak disebut tokoh fenomenal sebelum dan setelah Pemilihan Presiden
2014. Mantan Wali Kota Solo itu kariernya melejit.
Sebelum menang sebagai presiden, ia terlebih dahulu menjadi pemenang Pemilihan Gubernur
DKI-Jakarta berpasangan dengan Ahok. Berbekal popularitas saat memimpin Solo dan DKI,
Jokowi ”naik kelas,” menjadi calon presiden yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP).
Harapan publik sebelum pilpres begitu besar terhadap sosok Jokowi untuk memimpin
Indonesia. Para pendukung Jokowi dengan suka rela membentuk ”organisasi” relawan untuk
mendukung sang calon Presiden. Para relawan tumbuh seiring cita-cita dan harapannya
masing-masing. Harapan mereka begitu besar bahkan sangat muluk bahwa sosok Jokowi
akan dapat mengatasi pelbagai persoalan yang sedang dihadapi Indonesia.
Setelah Jokowi-JK resmi dilantik menjadi presiden, sorot mata rakyat dengan berjuta
perasaan dan harapan terpahat saat mereka turut mengiringi sang Presiden dengan kereta
kuda hingga pintu Istana. Sejumlah media nasional dan internasional juga mengungkapkan
hal yang sama. Majalah Time membuat cover khusus dengan judul A New Hope (Harapan
Baru). Media-media di Tanah Air pun memuat headline yang hampir mirip, harapan baru
kepemimpinan Jokowi di panggung politik nasional.
Itulah politik. Politik sebagai seni memoles citra dan elektabilitas. Dalam politik akan selalu
muncul fenomena silih berganti ”pemimpin yang disanjung dan pemimpin yang dijunjung”.
Tapi, jangan lupa, sejarah politik juga memperlihatkan banyak pemimpin yang disanjung dan
dijunjung, berubah dengan cara yang sebaliknya.
Mereka yang Mulai Kecewa
Hasil survei Indo Barometer terbaru yang dirilis 5 April menunjukkan tingkat kepuasan
masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi rendah. Hanya sekitar 57,5% masyarakat puas
terhadap kinerja Presiden Jokowi. Survei ini dapat dimaknai sebagai peringatan dini (early
warning) bagi pemerintahan Jokowi sebab pemerintahan baru berjalan enam bulan.
Ketidakpuasan para pendukung Jokowi dan sebagian rakyat lainnya dimulai dari sejumlah
kebijakan Presiden yang kontroversial. Respons publik tidak terlalu bergairah saat Presiden
mengumumkan susunan Kabinet Kerja. Nuansa politik balas budi masih terasa begitu kental
148
ketimbang kabinet kerja dan profesional yang dijanjikan. Drama politik Teuku Umar yang
begitu kental, begitu telanjang di mata publik seluruh Indonesia.
Reaksi publik yang ”diam” satu bulan setelah Presiden Jokowi-JK dilantik dengan menaikkan
sekaligus mencabut subsidi premium telah membuat rakyat kecil ”terdiam.” Turun-naik harga
BBM telah membuat perasaan dan hati rakyat terkoyak. Memang benar, inflasi turun bahkan
mendekati nol koma sekian persen, tetapi rakyat kecil tidak mengerti logika ekonomi, yang
mereka rasakan ialah apa-apa naik dan harga tidak menentu. Semua jenis subsidi dikurangi
dan bahkan dihilangkan.
Saat publik sedang depresi seperti itu, riuh rendah politik kembali terjadi. Presiden Jokowi
membuat sejumlah kebijakan politik yang kurang tepat. Gagasan penentuan pejabat publik
dengan melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan PPATK saat menetapkan
menteri-menteri justru tidak berlaku saat pengangkatan calon jaksa agung dan terakhir yang
membuat gempar adalah kasus calon Kapolri Budi Gunawan. Kasus tersebut telah ”meluas,”
bahkan melebar menjadi senjata untuk melemahkan KPK.
Kisruh antara KPK dan Polri bagaimana pun bukan kesalahan Budi Gunawan, tetapi bermula
dari posisi dan sikap Presiden. Sikap Presiden yang tidak tegas, abu-abu, dan cenderung
safety player, tampak pada kasus-kasus politik dan kekuasaan yang bertalian dengan garis
politik Teuku Umar dan garis politik partai pendukungnya. Ikon bahwa Jokowi adalah sosok
yang tegas, cepat, kerja dan kerja, mulai berbalik dengan sendirinya.
Perjalanan waktu dalam berkuasa akan menentukan sejauh mana Presiden dapat lepas dari
bayang-bayang politik Megawati. Ungkapan ”petugas partai” yang waktu awal-awal
pencalon Presiden tidak memiliki konotasi negatif, kembali menusuk perasaan. Istilah itu
disematkan pada sejumlah langkah kebijakan Presiden yang dianggap tidak mencerminkan
garis politiknya, Nawacita atau sembilan cita-cita.
Komentar keras Rizal Ramli di sejumlah media massa bahwa pemerintahan Jokowi
menyengsarakan rakyat hanyalah satu contoh kecil. Rizal Ramli— yang belakangan diangkat
menjadi komisaris utama BNI— menyebut bahwa menurunnya kepercayaan publik
disebabkan kinerja menteri ekonomi yang tidak maksimal. Menteri ekonomi di kabinet
Jokowi-JK hanya menaikkan harga untuk menyelesaikan masalah, bukan mencari jalan
keluar lain yang lebih berpihak terhadap rakyat.
Reproduksi Nawacita sebagai sebuah visi atau misi sudah dilakukan. Masalahnya, rakyat
menanti kebijakan Presiden yang sesuai dengan Nawacita itu. Itulah yang sedang diuji oleh
rakyat Indonesia, apakah langkah dan kebijakan Presiden sesuai atau bertentangan dengan
Nawacita.
Sebagai ilustrasi, tak satu pun kata keluar dari Presiden mengenai begal yang sedang marak
terjadi. Padahal pada Nawacita 1 menyebutkan ”Kami akan menghadirkan kembali negara
untuk melindungi bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara.”
149
Jangan Ada Dusta
Meredupnya kepercayaan dan harapan kepada pemerintahan Jokowi jangan dianggap remeh.
Logika pemerintah yang menganggap bahwa dukungan rakyat tidak penting justru akan
menimbulkan prahara politik yang lain.
Argumen aji mumpung sebagai ”penguasa” lalu melakukan laku-laku politik despotik justru
akan melahirkan beragam kekecewaan politik lainnya. Sama halnya dengan itu, laku dan
tindakan politik pemerintahan Jokowi yang mulai meninggalkan rakyat sebagai basis
pemilihnya melalui mahalnya bahan-bahan kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh rakyat
justru bertentangan dengan garis politiknya. Banyaknya publik yang menyindir dengan
ucapan, ”Untung saya tidak memilih Jokowi,” merupakan variasi yang paling sering
dikemukakan rakyat sebagai ekspresi kekecewaan mereka.
Salah satu langkah untuk memulihkan tingkat kepercayaan publik pada pemerintahan Jokowi
ialah dengan mendengar suara rakyat. Suara rakyat sering disebut sebagai suara Tuhan, vox
populi-vox dei, bukan hanya saat mereka dibutuhkan untuk memberikan dukungan politik
elektoral. Dalam memerintah dan membuat kebijakan pun mereka wajib didengar.
MOCH NURHASIM
Peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI
150
Yaman dan Perang Proxy Saudi-Iran?
Koran SINDO
9 April 2015
Perang di Yaman menambah deretan panjang konflik di kawasan Timur Tengah. Kali ini
kekuatan asing yang diwakili koalisi negara-negara Arab yang dipimpin oleh Arab Saudi
melakukan intervensi atas situasi politik dalam negeri Yaman.
Koalisi negara-negara Arab yang bergabung antara lain Uni Emirat Arab, Kuwait, Qatar,
Bahrain, Maroko, Sudan, dan Yordania. Koalisi ini juga didukung oleh Turki, Pakistan,
Mesir, Amerika Serikat, dan Israel. AS dalam hal ini memberikan dukungan intelijen dan
logistik melalui the United States Central Command yang bertanggung jawab untuk wilayah
Timur Tengah.
Pasukan koalisi pimpinan Arab Saudi menggelar serangan udara pada 26 Maret guna
menghancurkan kekuatan militan Houthi atau kelompok Ansarullah yang berlatar belakang
Syiah Zaydiyah dan sangat diperhatikan oleh Saudi.
Dinamika Politik Yaman
Yaman merupakan salah satu negara di Timur Tengah yang terkena imbas Arab Spring 2011.
Yaman merupakan negara termiskin di Dunia Arab. Yaman berada di peringkat keempat
terendah dalam Human Development Index di Dunia Arab setelah Sudan, Djibouti, dan
Mauritania. Selain itu, Yaman juga berada di peringkat ke-146 dalam Corruption Perceptions
Index menurut Transparansi Internasional 2010 dan peringkat ke-8 dalam Failed States Index
pada 2012 (naik dua peringkat dari 2010).
Jatuhnya ibu kota Yaman, Sanaa, ke tangan kelompok militan Houthi pada 21 September
2014 menandai babak baru dalam dinamika politik Yaman pasca-Revolusi 2011. Kelompok
Houthi berhasil menguasai ibu kota Yaman dan melemahkan pengaruh elite politik di masa
rezim Ali Abdullah Saleh yang dijatuhkan pascarevolusi.
Ironisnya, kelompok Houthi justru semakin kuat karena mendapat dukungan dari mantan
Presiden Ali Abdullah Saleh yang masih menjadi aktor utama di Yaman meski telah
dijatuhkan pada 2012. Saleh disinyalir menggunakan unit militer yang masih loyal
terhadapnya untuk membantu Houthi melawan kekuatan Presiden Abd Rabbo Mansour Hadi
yang kemudian meminta suaka ke Arab Saudi setelah dikuasai Sanaa oleh Houthi.
Kepentingan Arab Saudi
151
Kebijakan Arab Saudi di Yaman secara historis didorong oleh salah satu faktor yakni
problem wilayah perbatasan sepanjang 1.800 km. Garis tegas perbatasan menjadi faktor
permasalahan dan akhirnya didemarkasi pada Juni 2000 tatkala Yaman secara formal
menerima kedaulatan Saudi atas provinsi wilayah selatan yakni Asir, Najran, dan Jizan yang
sebelumnya menjadi bagian wilayah Imamate Yaman. Sebaliknya, Saudi mengabaikan
ambisinya memperluas teritorinya melalui Hadramaut hingga Laut Merah. Meski telah ada
resolusi isu perbatasan, Saudi terus mengkhawatirkan bahwa rakyat Yaman tidak sepenuh
hati menerima hilangnya tiga provinsi yang diambil alih Arab Saudi.
Arab Saudi juga telah diingatkan oleh perkembangan politik di Yaman sejak unifikasi pada
1990. Pengalaman liberalisasi politik di negara tetangganya, dengan adanya pemilu,
persaingan partai, dan media yang relatif bebas, menjadi alarm bagi pemerintah otoritarian
Saudi. Saudi juga khawatir akan gerakan Houthi di wilayah utara (Provinsi Saadah) dan
mencurigai ada keterkaitan antara Houthi dan Iran.
Perang Proxy Saudi-Iran?
Jika dianalisis, intervensi Arab Saudi di Yaman didasari oleh beberapa faktor: pertama, pihak
Arab Saudi mengklaim bahwa berdasarkan observasi melalui gambar satelit menunjukkan
ada pemindahan rudal Scud ke wilayah perbatasan Saudi di utara Yaman (basis wilayah
Houthi) yang diyakini dapat menjangkau wilayah Saudi.
Kedua, Saudi memandang kelompok Houthi sebagai boneka Iran. Riyadh sangat
mengkhawatirkan masa depan Yaman di bawah kendali Houthi dan menyamakannya dengan
kelompok Hizbullah di Lebanon.
Ketiga, situasi politik Yaman yang mengalami kekacauan dan diyakini akan menjadi “negara
gagal” (failed state) dipandang oleh para pemimpin negara-negara Arab dapat mengancam
keamanan regional Timur Tengah. Keempat, perundingan nuklir Iran dengan lima negara
anggota Dewan Keamanan PBB plus Jerman (P5+1), yang ditentang olah Arab Saudi,
berhasil mencapai kesepakatan. Ini ditakutkan oleh Saudi karena dapat memarginalkan Saudi
dan mengancam nilai strategis Saudi bagi AS. Karena itu, Saudi berupaya memengaruhi
atmosfer perundingan dengan menampilkan Iran sebagai “pengacau” keamanan di Timur
Tengah.
Pertanyaannya kemudian, apakah perang di Yaman bisa dikatakan sebagai perang proxy
Saudi-Iran? Apabila dianalisis, peran Iran di Yaman sebenarnya kurang signifikan. Ini
didukung oleh beberapa faktor: pertama, Teheran memandang Yaman tidak memiliki nilai
strategis bagi kepentingan nasional maupun ambisinya untuk memperluas pengaruh di Timur
Tengah.
Kedua, untuk melibatkan diri di negara miskin dan terpecah seperti Yaman justru akan sangat
membebani Teheran, mengingat pasukan Iran hadir di Suriah dan Irak serta Iran masih
menderita akibat sanksi ekonomi dari negara-negara Barat.
152
Ketiga, peran Iran lebih signifikan di Irak, Suriah, dan Lebanon ketimbang Yaman mengingat
jaringan aliansi dengan negara-negara tersebut memberikan akses bagi Iran ke wilayah
Mediterania dan perbatasan Israel. Khusus dengan kelompok Hezbollah di Lebanon, peran
Iran sangat signifikan karena Teheran memandang sebagai partner strategis dalam
menghadapi Israel.
Keempat, seandainya Saudi tidak melakukan intervensi dan Houthi berhasil membentuk
pemerintahan di Yaman, Iran tidak serta-merta melibatkan diri dan menancapkan
pengaruhnya mengingat Teheran tidak memiliki sumber daya yang memadai.
Karena itu, terlalu dini untuk memandang perang di Yaman sebagai bentuk perang proxy
antara Saudi-Iran. Berdasarkan konteks politik lokal, kekerasan yang terjadi di Yaman
merefleksikan kontestasi antara pihak mana yang akan menguasai negara dan siapa yang
memenangkan status quo.
Perang ini juga bukan perang sektarian antara Sunni-Syiah, melainkan perang kekuatan yang
tidak berimbang antara beberapa negara melawan faksi politik sebuah negara.
INDRIANA KARTINI
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI
153
Partai Demokrasi Minus Regenerasi
Koran SINDO
9 April 2015
Ada beberapa hal yang mengherankan dari sistem demokrasi di Indonesia. Pertama, masa
jabatan presiden dan kepala daerah dibatasi hanya boleh dua kali berturut-turut. Tetapi,
mengapa masa jabatan wakil rakyat (DPR, DPD, dan DPRD) tak ada batasnya?
Kedua, partai politik adalah elemen yang sangat penting dalam sistem demokrasi. Buktinya,
partai selalu berperan penting dalam mengusung calon-calon pemimpin di aras lokal maupun
nasional. Di aras lokal, sejak 2007, memang telah dibuka peluang bagi calon independen atau
perseorangan untuk mengajukan diri sebagai calon kepala daerah atau calon wakil kepala
daerah. Tetapi, mengapa untuk maju menjadi calon presiden atau calon wakil presiden dari
jalur independen atau perseorangan itu tidak bisa?
Ketiga, jika partai politik merupakan elemen sangat penting dalam sistem demokrasi,
mengapa ketua umum partai juga tidak dibatasi masa jabatannya? Mengapa elite politik
seperti Megawati Soekarnoputri bisa terus-menerus memimpin PDI Perjuangan sejak 1999?
Merujuk pemikiran Giovanni Sartori (1976), partai politik yang modern memiliki empat ciri:
1) partai harus terbuka; 2) partai memiliki ideologi yang demokratis; 3) partai memiliki
sistem regenerasi yang teratur; 4) partai mempunyai sistem kaderisasi yang baik.
Terkait PDI Perjuangan dengan Megawati yang telah lebih dari 15 tahun menjadi ketua
umum, tidakkah itu menunjukkan sistem regenerasi mengalami kemacetan? Kaderisasi,
fungsi lainnya, tak dapat disangkal selama ini berjalan lancar di PDI Perjuangan. Buktinya,
ada banyak kader yang telah mengalami mobilitas politik di tubuh partai, termasuk yang
mengisi posisi-posisi strategis di lembaga legislatif dan eksekutif. Namun, khusus untuk
posisi ketua umum partai, mengapa tak pernah terjadi pergantian? Herannya, bahkan untuk
Kongres Ke-4 PDI Perjuangan di Bali, 9-12 April ini, sudah bisa dipastikan dari sekarang
bahwa posisi ketua umum partai akan tetap dipegang oleh Megawati.
Menurut Ketua DPP PDI Perjuangan Trimedya Panjaitan, selama ini saban kongres
pengukuhan kembali Megawati dilakukan saat akhir kongres. Dalam kongres mendatang
pengukuhan kembali Megawati sebagai “imam politik” partai berlambang banteng moncong
putih itu akan dilakukan awal kongres.
Atas dasar itulah, kita bisa mengatakan, salah satu agenda kongres partai yang mestinya
sangat penting, yakni memilih ketua umum, menjadi tak penting lagi. Jauh sebelum kongres
berlangsung pun siapa yang kelak menjadi ketua umum untuk periode berikutnya sudah bisa
154
dipastikan.
Tidakkah nilai dan makna demokrasi di partai yang memakai nama “demokrasi” ini menjadi
pupus karenanya? Tidakkah demokrasi merupakan ciri politik modern? Tetapi, mengapa di
dalam sebuah partai yang melabeli dirinya demokrasi tidak ada regenerasi?
***
Sebagian orang berkata, itulah aklamasi, dan aklamasi juga bagian dari demokrasi. Betulkah
itu?
Pertama, demokrasi di ranah pilih-memilih pemimpin (election) mestinya mengedepankan
voting atau hitung suara. Untuk itu, seharusnya ada lebih dari satu calon untuk dipilih. Kalau
cuma satu, jelas tak perlu ada election. Kalau tak ada election, benarlah Trimedya: di awal
kongres sudah bisa dikukuhkan bahwa ketua umum PDI Perjuangan periode berikutnya
adalah Megawati.
Pertanyaannya, mengapa tak ada calon alternatif selain Megawati? Apakah tak ada kader lain
yang mampu? Tentu saja ada, bahkan cukup banyak. Tetapi, mengapa mereka tak
dimajukan? Mungkinkah ada “tekanan” dari ketua umum incumbent yang didukung oleh para
loyalisnya di partai?
Kata seorang kader yang juga anggota DPR di salah satu stasiun televisi swasta baru-baru
ini: “Kami yang mengenal ketua umum kami. Jadi tidak benar penilaian dari para pengamat
bahwa ada tekanan dari ketua umum kami kepada kader-kader yang ingin maju menjadi
calon ketua umum.” Betul, “orang dalam” partai pasti lebih mengenal ketua umumnya
daripada para pengamat yang hanya mencermati dari luar. Tetapi, secara ilmiah ada metode
penelitian untuk melakukan cek dan ricek sebuah kebenaran yang disebut triangulasi. Untuk
itu, justru bukan “orang dalam” yang harus didengarkan, melainkan “orang-orang luar”
(setidaknya tiga pihak) yang juga tahu betul bagaimana Megawati selama ini di partai.
Sebutlah, misalnya, Permadi, Roy BB Janis, Dimyati Hartono, Kwik Kian Gie, Eros Djarot,
Arifin Panigoro, dan lainnya.
Kedua, aklamasi bisa saja diterima sebagai bagian dari demokrasi asalkan didahului dengan
ditetapkannya lebih dari satu calon untuk dipilih. Misalkan selain Megawati ada kader lain
yang diajukan sebagai calon ketua umum, tapi ternyata hasil voting memenangkan Megawati
secara mutlak (suara bulat). Ini jelas harus diterima sebagai hasil yang sesuai prosedur
demokrasi di ranah election.
Namun, jika sejak awal calonnya hanya satu, itu bukan aklamasi namanya karena election
juga tak ada. Jadi yang penting dalam sebuah election adalah kontestasi dan kompetisi.
PDI Perjuangan yang selama ini mengklaim diri sebagai partai wong cilik mestinya membuka
diri terhadap dinamika aspirasi masyarakat. Cermatilah, misalnya, hasil survei pakar dan
155
opinion leader Poltracking pertengahan Maret lalu dalam menyongsong Kongres PDI
Perjuangan. Menurut Direktur Eksekutif Poltracking Hanta Yuda, hasil survei
merekomendasikan Jokowi untuk menjadi ketua umum PDI Perjuangan. Selain itu, ada
nama-nama lain seperti Ganjar Pranowo, Pramono Anung, Hasto Kristiyanto, Tjahyo
Kumolo, Maruarar Sirait, Prananda Prabowo, dan Puan Maharani.
Sementara hasil penelitian Centre for Strategic and International Studies (CSIS)
menyebutkan, PDI Perjuangan berada di persimpangan jalan. Dari seluruh ketua dan
sekretaris DPC partai di daerah yang ditanyakan tentang apakah yang pantas memimpin PDI
Perjuangan harus berasal dari trah Soekarno, diperoleh hasil bahwa yang setuju hanya 57,4%
responden. Sedangkan di luar trah Soekarno, Jokowi mendapat respons dari 47,3% yang
mengatakan dia pantas memimpin meski tidak berasal dari trah Soekarno.
Berdasarkan itu, mungkin inilah saatnya kita menyatakan dua hal penting ini demi
keberlangsungan modernisasi politik dalam sistem demokrasi dan sistem kepartaian di
Indonesia. Pertama, usangkanlah gerontokrasi (kepemimpinan di tangan kaum tua). Kedua,
tinggalkanlah dinasti politik.
Jika dua hal ini tidak mendapat perhatian serius dari para elite politik PDI Perjuangan, bukan
tak mungkin seiring waktu akan terjadi proses pembusukan politik (political decay) di tubuh
partai.
VICTOR SILAEN
Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan
156
Kekuatan Hukum dalam Praperadilan
Koran SINDO
10 April 2015
Latah. Ikut-ikutan. Hanya berbekal pemikiran hukum dangkal. Itu sah, tetapi enggak cukup
modal. Ujungnya, kalah dalam praperadilan.
Itulah nasib mantan Menteri Agama Suryadharma Ali (SDA). Hakim Tatik Hadiyanti
berpendapat bahwa sah atau tidak penetapan tersangka bukan ranah praperadilan. Penetapan
tersangka bukan merupakan upaya paksa, melainkan syarat untuk melakukan upaya paksa
yang berbentuk penangkapan, penahanan, penyitaan, dan penggeledahan.
Ada atau tidak bukti permulaan setidak-tidaknya dua alat bukti yang sah sudah memasuki
substansi pokok perkara yaitu tentang pembuktian yang bukan kewenangan lembaga
praperadilan. Selain itu, masalah ada atau tidak kerugian negara sebagai alat bukti yang
dituntut oleh pihak kuasa hukum SDA, menurut Tatik, sudah memasuki substansi pokok
perkara sehingga bukan menjadi kewenangan lembaga praperadilan.
”Atas dasar ihwal tersebut, permohonan pemohon ditolak untuk seluruhnya dan kepada
pemohon dibebankan biaya perkara sebesar nihil,” ucapnya saat membacakan amar putusan
di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (8/4/15). Putusan tersebut didasarkan pada Pasal
1 ayat 10 KUHAP jo Pasal 77 jo Pasal 82 ayat 1 huruf d yang sifatnya sangat limitatif
mengatur bahwa penetapan tersangka bukan termasuk objek praperadilan.
Langkah-langkah hukum SDA itu diduga kuat terinspirasi ”kemenangan” Komjen Pol Budi
Gunawan (BG). Maka itu, SDA mengajukan praperadilan atas penetapan dirinya sebagai
tersangka korupsi penyelenggaraan haji di Kementerian Agama periode 2012-2013. Orang
bilang, itulah ”Sarpin effect”.
Kalau saja upaya praperadilan SDA menang, ”Sarpin effect” pasti lebih dahsyat lagi. ”Siulan”
hakim Sarpin akan mengakibatkan munculnya ”kobaran api” praperadilan dari para tersangka
korupsi lainnya. Inilah yang dikhawatirkan KPK dan penggiat anti-korupsi di negeri ini.
***
Pada hemat saya, ada beberapa pelajaran berharga bagi masyarakat luas atas hiruk-pikuk dan
sengkarut kasus praperadilan ini. Pertama, jangan-jangan SDA dan kuasa hukumnya mengira
bahwa semua kasus penetapan tersangka dapat digeneralisasi sehingga kasus Komjen Pol BG
berlaku juga atas kasus SDA. Mereka lupa bahwa setiap kasus memiliki keunikannya
sendiri. Sejak kronologi perkara, motivasi, kompleksitas, maupun substansinya berbeda-beda.
157
Mana mungkin hal demikian diputus dengan vonis yang sama. Bukankah vonis hakim harus
adil dan apa yang disebut keadilan adalah proporsionalitas dalam konteks perbedaan, kasus
per kasus. Dari sanalah, ”keberuntungan” pada Komjen Pol BG, sementara ”kebuntungan”
menimpa SDA.
Kedua, SDA, kuasa hukumnya, dan masyarakat luas, mesti paham bahwa lembaga
pengadilan yang menangani praperadilan tergolong sebagai lembaga modern. Dipastikan, di
dalamnya ada sisi modernitas antara lain rasional, kepastian hukum, materialistik, dan
mekanistik. Untuk menang perlu dana besar dan kekuatan berlimpah. Tetapi, jangan lupa,
secara sosiologis, dipastikan pula, ada sisi primordial-irasional.
Boleh saja, mereka mempermasalahkan kewenangan KPK dalam menangani tindak pidana
korupsi sesuai Pasal 11 huruf a Undang-Undang KPK. Sah-sah pula mereka percaya pada
pengadilan dan menggunakannya untuk mendapatkan putusan agar pengadilan menyatakan
surat perintah dimulainya penyidikan (sprindik) nomor Sprin.Dik-27/01/05/2014 dan
Sprin.dik-27A/01/12/2014 tidak sah dan tidak berdasar atas hukum. Bahkan, tidak salah kalau
SDA juga menuntut KPK membayar ganti rugi sebesar Rp1 triliun atas penetapan dirinya
sebagai tersangka.
Tetapi, perlu dipahami bahwa pada ranah sosiologis-empiris, sering dijumpai ada pemikiran,
sikap, dan perilaku penegak hukum yang bengkok, dan ada pula yang tegak-lurus, tegar, tak
goyah oleh segala bentuk rayuan maupun tekanan. Artinya, kualitas putusan hakim masih
menjadi teka-teki. Kalah atau menang, sama besar peluangnya.
Ketiga, ketika SDA tidak rela ditetapkan sebagai tersangka korupsi, menjadi wajar ada upaya
pembelaan diri. Kuasa hukum SDA mendayagunakan teks-teks hukum sebagai kekuatan
dalam rangka mematahkan fakta-fakta yang dituduhkan. Jangan lupa, teks-teks hukum, baik
yang termuat dalam KUHP, KUHAP, UU Tipikor, dan sebagainya tidak pernah memiliki
kepekaan individual, sosial, dan lingkungan, bahkan tidak mampu mengubah dirinya sendiri.
Apakah yang dihadapi oleh SDA itu sebagai buah rekayasa politik ataukah murni kasus
hukum, teks-teks hukum hanya diam.
Perlu diketahui bahwa kekuatan hukum yang efektif muncul dari manusia-manusia penggerak
teks-teks hukum tersebut. Jadilah, teks-teks hukum multitafsir, berwajah abu-abu, bermakna
berbeda-beda ketika dipertemukan dengan aksi-aksi penegak hukumnya. Di sinilah perlu
dicermati seksama bahwa penegak hukum yang mengawal kasus Komjen BG berbeda dengan
penegak hukum yang mengawal kasus SDA.
Benarkah semua penegak hukum dalam dua kasus berbeda tersebut tergolong profesional,
memegang teguh moralitas, berwawasan Pancasila sehingga berani menggunakan irah-irah
putusan : ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, ataukah ”Demi
Keadilan Berdasarkan Keuangan Yang Maha Kuasa”? Adakah praperadilan diwarnai
kemunafikan, rekayasa, patgulipat? Hal demikian menjadi teka-teki dan kecurigaan
masyarakat luas, tetapi sulit pembuktiannya.
158
***
Membongkar kekuatan-kekuatan hukum, baik yang positif maupun negatif, menjadi prasyarat
untuk akselerasi pemberantasan korupsi di negeri ini. Kekuatan hukum positif adalah tekad,
semangat, dan komitmen penegak hukum sebagai ”nabi-nabi keadilan” yaitu orang-orang
yang mau berjihad demi terwujudnya negeri yang bersih dari korupsi; sementara kekuatan
hukum negatif adalah sebaliknya. Kekuatan hukum negatif ada pada koruptor dan kroninya.
Terbayang: ”Jangan-jangan sistem peradilan kita sudah dikuasai oleh kekuatan hukum
negatif”.
Adakah Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, bahkan Presiden melihat
kelemahan-kelemahan dalam sistem peradilan dan berusaha memperbaikinya? Sayangnya,
bila pertanyaan ini melayang begitu saja, gone with the wind. Wallahualam.
PROF DR SUDJITO, SH MSi
Guru Besar Ilmu Hukum UGM