(sindonews.com) opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

162
1 DAFTAR ISI STATUS TERSANGKA DAN PERLINDUNGAN HAM Sampe L Purba 4 POLITIK JOKOWI Prayitno Ramelan 7 HUKUM PRAPERADILAN DI INDONESIA Romli Atmasasmita 11 ANTARA KASUS BW, AS, DAN KASUS AU Ma’mun Murod Al Barbasy 14 KUNJUNGAN KE MALAYSIA DAN POROS MARITIM Dinna Wisnu 18 PAK JOKOWI, (MAAF) TOLONG HORMATI BIROKRASI! Tito Sulistio 21 SEANDAINYA Mudji Sutrisno 25 UJI PUBLIK DALAM PILKADA Janedjri M Gaffar 29 MENGENAL PLATFORM PARTAI PERINDO Abdul Khaliq Ahmad 32 MALA PROHIBITA ABRAHAM SAMAD Moh Mahfud MD 36 PULIHKAN CITRA KPK DAN POLRI Marwan Mas 39 JOKOWI, PRABOWO, DAN PETUGAS PARTAI M Bambang Pranowo 42 GOVERNABILITAS JOKOWI M Alfan Alfian 45 MOBIL PROTON DAN MISTERI HENDROPRIYONO Tjipta Lesmana 48 MIMPI PDIP MENYAPU PILKADA Didik Supriyanto 51 KEWENANGAN MINUS ETIKA

Upload: ekho109

Post on 17-Jul-2015

512 views

Category:

Law


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

1

DAFTAR ISI

STATUS TERSANGKA DAN PERLINDUNGAN HAM

Sampe L Purba 4

POLITIK JOKOWI

Prayitno Ramelan 7 HUKUM PRAPERADILAN DI INDONESIA

Romli Atmasasmita 11

ANTARA KASUS BW, AS, DAN KASUS AU

Ma’mun Murod Al Barbasy 14

KUNJUNGAN KE MALAYSIA DAN POROS MARITIM

Dinna Wisnu 18

PAK JOKOWI, (MAAF) TOLONG HORMATI BIROKRASI!

Tito Sulistio 21

SEANDAINYA

Mudji Sutrisno 25 UJI PUBLIK DALAM PILKADA

Janedjri M Gaffar 29

MENGENAL PLATFORM PARTAI PERINDO Abdul Khaliq Ahmad 32

MALA PROHIBITA ABRAHAM SAMAD

Moh Mahfud MD 36

PULIHKAN CITRA KPK DAN POLRI

Marwan Mas 39

JOKOWI, PRABOWO, DAN PETUGAS PARTAI

M Bambang Pranowo 42 GOVERNABILITAS JOKOWI

M Alfan Alfian 45

MOBIL PROTON DAN MISTERI HENDROPRIYONO

Tjipta Lesmana 48

MIMPI PDIP MENYAPU PILKADA

Didik Supriyanto 51

KEWENANGAN MINUS ETIKA

Page 2: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

2

Danang Girindra Wardana 54

UJI PUBLIK CALON KEPALA DAERAH

Farouk Muhammad 58

JURUS PENDEKAR MABUK

Amzulian Rifai 62

KOREA UTARA DAN KAA

Dinna Wisnu 65 MEMOTRET WAJAH POLITIK KPK

Ma’mun Murod Al-Barbasy 68

MEMBACA JOKO WIDODO

Komaruddin Hidayat 71

KENANGAN SPORTIVITAS POLRI

Moh Mahfud MD 74

DPR (BUKAN) ANUTAN RAKYAT

Victor Silaen 77

PERINDO: MENGGAGAS POLITIK KESEJAHTERAAN

Mardiansyah SP 80 PENGUATAN KPK KITA

Anas Urbaningrum 83

IMPLIKASI HUKUM DAN POLITIK JIKA BG DILANTIK

Tjipta Lesmana 86

KPK DAN POLRI PASCAVONIS PRAPERADILAN

Ahmad Yani 89

ABOLISIONIST ATAU RETENTIONIST?

Dinna Wisnu 92

MOMENTUM REVISI UU KPK

Romli Atmasasmita 96 PROBLEM DEMOKRATISASI PARTAI POLITIK

Airlangga Pribadi Kusman 99

SOLUSI ELEGAN JOKOWI?

Iding Rosyidin 102

TEKA-TEKI DI BALIK SIKAP PRESIDEN

Sudjito 105

Page 3: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

3

HORMATI PUTUSAN HAKIM

Marwan Mas 108

PUTUSAN HAKIM SARPIN YANG MENCERAHKAN

Romli Atmasasmita 111 ISTANA RAJAWALI ATAU ISTANA KAMPRET?

Bambang Soesatyo 114

MENCARI PEMUTUS SENGKETA PILKADA

Refly Harun 118

PRIORITAS LANGKAH MENYELAMATKAN POLRI

Reza Indragiri Amriel 122

SEKALI LAGI TENTANG MUBAHALAH ANAS

Ma’mun Murod Al-Barbasy 125

GAYA DIPLOMASI

Dinna Wisnu 128 MEWASPADAI SEKTARIANISME DI TIMTENG

Hasibullah Satrawi 131

MASALAH EKSEKUSI HUKUMAN MATI

Frans H Winarta 135

POLITIK AMIEN RAIS

Bawono Kumoro 139

KOMPROMI PENYELAMATAN KPK

Moh Mahfud MD 142

ETIKA HAKIM SARPIN

Romli Atmasasmita 145 ANTARA TRADISI, KETOKOHAN, DAN AMBISI

Firman Noor 148

KACAU, PENEGAKAN HUKUM DI REPUBLIK INI!

Tjipta Lesmana 151

MATAHARI REFORMASI ITU KINI KIAN MEREDUP

Laode Ida 154

SAAT KPK LEMPAR HANDUK

Marwan Mas 157

PEMIMPIN BERANI MENGAMBIL KEPUTUSAN

Frans H Winarta 160

Page 4: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

4

Status Tersangka dan Perlindungan HAM Koran SINDO 3 Februari 2015

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau

keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.

Kecuali karena tertangkap tangan, pada umumnya untuk seseorang dinyatakan jadi tersangka

harus melalui kegiatan penyelidikan, atau pengumpulan bahan keterangan yang dapat

berawal dari laporan, pengaduan, keadaan, maupun rangkaian peristiwa.

KUHAP tidak menjelaskan pengertian bukti permulaan. Juga tidak mempersyaratkan berapa

banyak jumlah dan jenis bukti permulaan tersebut. KUHAP bahkan tidak menjelaskan atau

menentukan berapa lama seseorang menyandang status tersangka, baru akan dilimpahkan ke

tahapan penuntutan. Yang diatur oleh KUHAP adalah kecukupan dan kelengkapan alat bukti

sebagai persyaratan dilimpahkan dari tahapan penuntutan untuk diperiksa dalam sidang

pengadilan, serta lamanya penahanan kepada tersangka atau terdakwa pada setiap tahapan

pemeriksaan.

Bukti permulaan tidak sama dengan alat bukti. Bukti permulaan pada saat penyelidikan dapat

saja berubah dengan alat bukti yang lain sejalan dengan perkembangan penyidikan.

Mengingat diskresi, kewenangan dan subjektivitas yang besar kepada penegak hukum dapat

berpengaruh secara langsung terhadap kebebasan asasi dan status hukum seseorang, maka

mutlak perlu ada instrumen hukum, acuan, prosedur tetap, protokol dan pedoman yang

mengikat dan dapat diuji serta dipertanggungjawabkan secara profesional, internal maupun

eksternal kepada publik.

Beberapa aturan yang baik dan mengikuti logika berpikir tersebut dalam criminal justice

system dikemukakan sebagai contoh. Peningkatan Koordinasi dalam Penanganan Perkara

Pidana (Mahkejapol) diatur dalam Keputusan Bersama Mahkamah Agung, Menteri

Kehakiman, Kejaksaan Agung, dan Kapolri No. 08/KMA/1984, No. M.02- KP.10.06 Tahun

1984, No. KEP- 076/J.A/3/1984, No. Pol KEP/ 04/III/1984.

Di Kepolisian ada Peraturan Kapolri No. Pol. Skep/1205/IX/2000 tentang Pedoman

Administrasi Penyidikan Tindak Pidana di mana diatur bahwa bukti permulaan yang cukup

merupakan alat bukti untuk menduga adanya suatu tindak pidana dengan mensyaratkan

minimal satu laporan polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur

dalam Pasal 184 KUHAP.

Di lingkungan Kejaksaan Agung ada Peraturan Jaksa Agung RI No Per-

Page 5: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

5

036/A/JA/09/2011tentang Standar Operasi Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak

Pidana Umum. Ada juga Keputusan Bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan

Jaksa Agung RI No. Kep 1/1121/2005 dan Kep. IAIJ.A1121/2005. Namun, ini lebih pada

kerja sama institusional dalam rangka implementasi pelaksanaan tugas dan kewenangan

seperti pelatihan dan pertukaran informasi, dan bukan dalam kaitannya dengan teknis

penanganan perkara.

Pada perkara pidana umum, ruang perlindungan pengujian atas hak-hak tersangka relatif

lebih luas, karena ada persebaran kewenangan dan internal check antara instansi kepolisian

pada lingkup penyelidikan hingga penyidikan dan kejaksaan pada lingkup penuntutan dan

pelimpahan perkaranya ke pengadilan.

Gelar perkara, pemberian petunjuk oleh penuntut umum (kejaksaan) kepada penyidik

(kepolisian) untuk melengkapi dan menyempurnakan berkas perkara, pelibatan penasihat

hukum pada setiap tahapan pemeriksaan, mekanisme praperadilan adalah bagian dari due

process of law dalam criminal justice system yang diatur oleh KUHAP.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi memberikan tugas kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), antara lain untuk

melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.

Adapun tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Undang-undang ini juga memberikan kewenangan dalam rangka pelaksanaan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan untuk melakukan penyadapan dan perekaman. Bukti permulaan

yang cukup dianggap telah ada apabila telah ditemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti,

termasuk dan tidak terbatas pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau

disimpan baik secara biasa maupun elektronik, atau optik.

Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang

diatur dalam KUHAP berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada

Komisi Pemberantasan Korupsi. Kalau dalam KUHAP dibedakan institusi yang berwenang

melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, Undang-Undang KPK menyatukannya

di dalam institusi tersebut.

Tidak disebutkan dalam undang-undang bahwa apabila bukti permulaan yang cukup telah

terpenuhi maka seseorang akan otomatis atau pasti akan menjadi tersangka. Yang disebutkan

adalah jika penyelidik dalam melakukan penyelidikan menemukan bukti permulaan yang

cukup adanya dugaan tindak pidana korupsi, dalam waktu paling lambat tujuh hari kerja

terhitung sejak tanggal ditemukan bukti permulaan yang cukup tersebut penyelidik

melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (Pasal 44).

Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, terhitung sejak tanggal

Page 6: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

6

penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang

diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, tidak berlaku berdasarkan undang-undang

ini (Pasal 46). Namun tidak dijelaskan prosedur khusus seperti apa yang akan berlaku.

Kembali kepada pokok tulisan ini, mengingat penetapan seseorang menjadi tersangka tidak

ada batas waktunya, maka adalah penting untuk menjamin dan melindungi hak-hak asasi

manusia serta demi kepastian hukum, ada aturan yang mengikat dan memberi akibat hukum

baik terhadap para penegak hukum, dan instansinya. Itulah juga salah satu implementasi

esensi asas praduga tak bersalah. Perbaikan KUHAP yang akan datang hendaknya mengatur

hal tersebut.

Asas fundamental universal hak-hak asasi manusia menyatakan bahwa segala kuasa, hak,

kewenangan, dan diskresi yang diberikan kepada suatu institusi atau perorangan yang

membatasi dan mengekang hak asasi orang lain, harus ditetapkan dengan peraturan

publik/perundang-undangan.

Catatan penting lainnya adalah, dalam hal ada suatu hal yang diatur oleh undang-undang lain

dikesampingkan atau tidak diberlakukan berdasarkan undang-undang yang khusus, maka

pengaturannya juga harus dengan undang-undang. Tidak boleh suatu pengecualian dari

undang-undang, akan diatur oleh aturan yang lebih rendah dari undang-undang. Itulah esensi

asas lex specialist derogates lex generalist.

SAMPE L PURBA

Pemerhati Hukum; Alumni Pendidikan Reguler Lemhanas RI

Page 7: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

7

Politik Jokowi Koran SINDO 3 Februari 2015

Masyarakat kini lebih menyukai sesuatu yang praktis, semua disingkat. Misalnya nama-nama

tokoh nasional seperti SBY, Jokowi, JK merupakan singkatan populer.

Kini muncul singkatan populer (BG) yang sebenarnya adalah nama dari Komjen Polisi Budi

Gunawan. BG banyak menyedot perhatian media karena setelah ia dipilih Presiden sebagai

calon tunggal kepala Polri baru menggantikan Sutarman, namanya diajukan dan disetujui

DPR. Tetapi oleh KPK, justru BG ditetapkan sebagai tersangka kasus gratifikasi (korupsi).

Masalah BG yang banyak menuai pendapat pro dan kontra melibatkan beberapa pihak

menyangkut masalah citra, korupsi, emosi, harga diri, keputusan pimpinan nasional dan

banyak pernik lain. Semua sebenarnya wajar, tetapi menjadi sangat penting karena

menyangkut ranah politik dan hukum.

Setelah bergulir lebih dua pekan, masyarakat luas kini menunggu keputusan Presiden apakah

akan melantik atau membatalkan BG sebagai kepala Polri dan menunjuk yang lain. Dalam

keputusannya terdahulu, Presiden Jokowi menempuh kebijakan jalan tengah, memutuskan

menunda pelantikan BG, tetapi tidak membatalkan.

Penulis mencoba mengulas dari sudut pandang intelijen terhadap masalah ini hingga

menemukan di mana bermuaranya. Dalam terminologi intelijen, analisis serupa disebut

sebagai sebuah ramalan intelijen.

Antara Intelstrat, Politisasi, dan Kriminalisasi

Intelijen selalu melihat dan mengukur masalah strategis dari pakem intelstrat (intelijen

strategis) yang terdiri atas sembilan komponen yaitu Ipoleksosbudhankam plus komponen

biografi, demografi, dan sejarah. Apabila menghadapi musuh, fokus yang dinilai adalah

kekuatan, kemampuan, kerawanan, dan niat lawan (K3N).

Nah, dalam konteks masalah pencalonan BG sebagai kepala Polri baru, yang mengemuka

diberitakan adalah bidang hukum dan politik. Konflik mengarah kepada perseteruan antara

KPK dan Polri. Dalam perkembangannya, para ahli dan praktisi hukum menuduh ada upaya

politisasi, sementara dari elite politik menuduh terjadi kriminalisasi.

Tampaknya Presiden juga diarahkan oleh media untuk menilai kasus pada dua sisi tersebut.

Analisis tersebut yang menjadi komoditas utama media kemudian melibatkan Presiden

sebagai decision maker.

Page 8: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

8

Di sisi lain intelijen menilai analisis tidak komprehensif karena ada informasi penting yang

tertinggal. Bisa terlihat dalam beberapa diskusi serta pemberitaan media, kesimpulan banyak

yang tidak tepat, walau mampu membentuk dan memengaruhi opini publik. Dalam hal ini,

menurut penulis, banyak yang tidak mengetahui bahwa Presiden kemudian mengukur kasus

BG yang berkembang ke arah konflik KPK dan Polri dengan sudut pandang intelijen.

Walau masalah BG tidak memenuhi seluruh aspek sembilan komponen, apabila diurai, kasus

akan valid paling tidak mayoritas dari komponen intelstrat terpenuhi. Awalnya setelah

pengajuan BG ke DPR untuk mengikuti uji kelayakan, hingar-bingar yang muncul

menempatkan Presiden sebagai pihak yang bukan anti-korupsi. Banyak yang heran, mengapa

BG yang namanya distabilo KPK kok masih diajukan sebagai calon tunggal kepala Polri?

Mengapa? Hingga di sini banyak yang tidak mendapat informasi akurat mestinya. Ada

komponen intelstrat yang tidak terbaca publik bila diteliti dari komponen sejarah, ideologi,

politik, sosial, biografi misalnya. Banyak yang meng-underestimate Jokowi dalam masalah

ini yang menuduhnya naif tetap bersikukuh soal BG.

Publik mengetahui bahwa BG adalah mantan ajudan Megawati saat menjadi presiden (tiga

tahun). Tanpa mendapat informasi intelijen, publik bisa menyimpulkan ada pengaruh

psikologis dan politis dari Teuku Umar dengan masuknya BG sebagai calon utama kepala

Polri. Kita lihat saja, beberapa elite PDIP, parpol koalisi mengeluarkan statement agar

Presiden segera melantik BG. Belum lagi ada yang marah kepada KPK karena menetapkan

BG sebagai tersangka.

Para kader PDIP, tokoh Nasdem, dan tokoh besar yang dekat dengan Megawati bisa

diterjemahkan dan semakin menegaskan bahwa BG adalah benar calon PDIP (baca Mega).

Mereka menekan Presiden untuk segera melantiknya. Plt. Sekjen PDIP (Hasto) bahkan

menyerang KPK dengan menyudutkan ketua KPK. Belum lagi ada kader yang menyentuh

soal pelengseran. Rasanya kurang smart dan kurang cerdik, tetapi inilah dunia politik yang

penuh dengan trik.

Pertanyaannya, apakah Jokowi tidak setia kepada ”Ratu Banteng”? Banyak yang keliru

menilai Jokowi di sini. Pemilihan dan pengajuan BG setelah Kompolnas mengajukan

sembilan nama calon kepadanya adalah gambaran kesetiaannya kepada orang yang

menjadikannya pimpinan nasional.

Memang tidak dapat disangkal bahwa BG mempunyai kekuatan lobi politik serta pendukung

yang kuat di kalangan PDIP itu. Intelstrat menilai semua sudah diperhitungkan oleh Jokowi.

Dalam masa kepemimpinannya yang 100 hari, Jokowi banyak belajar dalam menghadapi

praktik politik kotor di Tanah Air pastinya.

Tampaknya memang ada pihak yang mencoba memanfaatkan konflik dan mencoba

menggiring Presiden ke killing ground sebagai titik awal untuk dihabisi. Hal serupa juga

pernah dilakukan terhadap Presiden SBY. Upaya pembaruan dan revolusi mental ala Jokowi

Page 9: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

9

jelas tidak disukai oleh pihak-pihak tertentu. Ini sudah terbaca.

Arah Strategi Presiden

Awalnya timbul pertanyaan penulis, mengapa dalam kasus BG ini sepertinya Presiden lebih

kepada ”solo karier”? Ke mana para pembantu-pembantunya di kabinet? Pernyataan Pak

Tedjo sebagai Menko Polhukam yang mengoordinasikan bidang politik, hukum, keamanan,

intelijen, kejaksaan, dan lain-lainnya justru mengherankan karena mengundang polemik dan

menjadi kontraproduktif di media dengan bahasa politik tergelincir.

Dalam perkembangan selanjutnya, semua bagi penulis menjadi lebih terang, di mana Jokowi

sebenarnya memainkan strategi lepas libat. Di satu sisi melepaskan dan memenuhi semua

keinginan BG, parpol, Kompolnas, dan para pendukung BG, dengan mengajukan BG ke

DPR. Selanjutnya Presiden melibatkan banyak pihak untuk ikut masuk dalam pusaran konflik

yang terjadi.

Kini Presiden menunjukkan bahwa walau demikian banyak pihak yang meributkan masalah

BG, masalah penangkapan komisioner KPK, keputusan akhir ada di tangannya, melantik atau

tidak melantik (membatalkan), serta mengeluarkan keppres pemberhentian komisioner KPK.

Itu saja sebenarnya muara masalah ini. Semua akan selesai apabila keputusannya yang pro-

rakyat dan anti-korupsi keluar.

Jokowi sangat paham bahwa sesuai dengan komitmennya yang anti-korupsi, dia tidak akan

mau berhadapan dengan rakyat yang anti-korupsi. Di lain sisi, Presiden mampu menstabilkan

kondisi DPR setelah bertemu Prabowo karena sadar bahwa dari komponen intelstrat sejarah,

bahaya pelengseran dirinya bisa berasal dari DPR atau bisa juga dari rakyat. Jokowi harus

menjaga stabilitas politik, menjaga kesetiaan pendukungnya, serta juga menjaga hati dan

perasaan ”Ibu Ketuanya”.

Presiden Jokowi dengan senyumnya yang khas mengatakan bahwa dia tidak akan

mengintervensi hukum, di mana BG kini mempraperadilankan KPK. Sidang di Pengadilan

Jakarta Selatan yang dimulai Senin (2/2/2015), diperkirakan pada minggu pertama Februari

ini akan selesai. Dalam hal ini Presiden memahami upaya perlawanan BG atas sangkaan

KPK.

Tampaknya masalah usia pencalonan BG sebagai kepala Polri hanya menunggu waktu. Kunci

waktunya adalah sidang praperadilan itu. Solusi yang diambil dan akan cantik bagi Presiden,

penulis perkirakan BG akan mengundurkan diri sebagai calon setelah praperadilan.

Kemudian Presiden akan meminta Kompolnas kembali mengajukan calon kepala Polri

baru. Kompolnas menunjukkan indikasi akan menyaring calon baru, kemudian meminta

clearance ke PPATK dan KPK. Kemudian proses akan berjalan sesuai prosedur dan UU yang

berlaku.

Page 10: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

10

Indikasi kekuatan politis Presiden yang didasari dukungan ketua umum PDIP terlihat setelah

pertemuan beberapa tokoh KIH di Kebagusan pada Jumat (30/1/2015). KIH sudah berpikir

bahwa ada kepentingan yang lebih besar dalam waktu dekat yaitu akan dilangsungkan

pilkada, bila bertahan dalam mendukung BG, mereka akan rugi, mengalami penurunan

elektabilitasnya. Mungkin ini pertimbangannya, di samping jelas pengaruh kuat dari ketua

umum PDIP. KIH tidak ingin disalip KMP pastinya dan melihat Prabowo saat bertemu

Presiden telah memainkan jurus cantik, menyatakan setelah pertemuan dengan Jokowi, ”Saya

yakin beliau mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan lainnya dan beliau akan

memilih yang terbaik,” katanya.

Prabowo sebagai tokoh utama KMP memberikan signal agar dicari saja calon kepala Polri

baru. Di samping melaporkan kepada Presiden bahwa dirinya dipilih sebagai presiden

Federasi Pencak Silat Dunia. Ia meminta kepada Presiden untuk bersedia diangkat sebagai

pendekar pencak silat Indonesia. Inilah sebuah bentuk dukungan moril kepada Jokowi saat

beberapa kader PDIP melakukan tekanan.

Nah, demikian perkiraan atau ramalan intelijen tentang kemelut pencalonan Komjen Budi

Gunawan sebagai kepala Polri. Jokowi berhasil mendapat kesamaan pandangan tokoh-tokoh,

relawan, serta kekuatan nasional yang mayoritas menghendaki KPK dan Polri sebagai

institusi yang perlu diselamatkan, bukan pribadi-pribadi. Selain itu, dalam proses kita bisa

melihat Jokowi tetap setia dan menghormati Megawati yang telah memilihnya sebagai

capres.

Yang jelas dan tidak tertulis, Jokowi menjadi jauh lebih kuat dengan dukungan moril

Prabowo. Presiden Jokowi kini menemukan bukti kebenaran peribahasa yang mengatakan

”The enemy of my enemy is my friend.” Walau perlahan, ia sedang berproses, tertempa

dengan ATHG sebagai pemimpin. Suatu saat ia akan matang dan berpeluang menjadi

pemimpin besar di negeri ini. Kekuasaan itu sudah di tangannya, tinggal bagaimana

mengolahnya secara bijak.

MARSDA TNI (PUR) PRAYITNO RAMELAN

Pengamat Intelijen

www.ramalanintelijen.net

Page 11: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

11

Hukum Praperadilan di Indonesia Koran SINDO 4 Februari 2015

Hukum praperadilan di Indonesia mirip dengan pre-trial dalam sistem hukum yang dianut di

Amerika Serikat atau negara penganut sistem common law lainnya. Bahkan hukum

praperadilan Indonesia bisa dikatakan adopsi dari sistem hukum di sana.

Momentum bersejarah peralihan dari sistem hukum acara pidana kolonial ke sistem hukum

acara pidana Indonesia merdeka terletak dari perubahan pandangan terhadap status seseorang

yang terlibat ke dalam sistem peradilan pidana. Sebelumnya seseorang yang terlibat itu

dianggap sebagai objek, lalu berkembang dipandang sebagai subjek yang wajib memperoleh

perlindungan hukum tanpa melihat latar belakang sosial, ekonomi, politik dll.

Filosofi hukum acara pidana Indonesia yang baru dalam bentuk UU RI Nomor 8/1981 juga

telah sejalan dengan UU RI Nomor 12/1995 tentang Pengesahan ICCPR. Di dalamnya antara

lain ditegaskan mengenai perlindungan minimum (minimum gurarantees) terhadap setiap

orang yang telah diduga melakukan tindak pidana (Pasal 14 angka 3 huruf b) dan jaminan

upaya pemulihan dari negara terhadap setiap orang dari perlakuan aparatur hukum sekalipun

di dalam melaksanakan jabatannya (Pasal 2 angka 3 huruf a dan b).

***

Hukum praperadilan mengatur hak tersangka/terdakwa mengajukan keberatan terhadap

perlakuan aparatur hukum dalam empat hal: penangkapan, penahanan, penghentian

penyidikan, dan penghentian penuntutan.

Dalam praktik hukum, sering terjadi bahwa ketentuan UU tidak dapat menjangkau fakta

perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi

seseorang sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata

dari negara.

Peristiwa ini pernah terjadi dalam kasus Sengkon dan Karta atas kekeliruan mengenai orang

(error in persona) yang baru ditemukan setelah kedua orang ini menjalani hukuman sehingga

diakui kemudian dibolehkan pengajuan permohonan peninjauan kembali (PK) dalam perkara

pidana. Lalu muncullah pengakuan alat bukti elektronik dalam beberapa undang-undang

pidana khusus yang semula tidak diakui dalam KUHAP. Yang terkini lahir beberapa putusan

mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui

merupakan wilayah kewenangan praperadilan.

Page 12: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

12

Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam kenyataan masyarakat menurut

pendapat saya bukanlah sesuatu hal yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di

negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian

dari sistem hukum yang bersangkutan.

Peristiwa hukum yang terjadi sekalipun tidak diatur dalam suatu UU (hukum tertulis)

menurut penulis merupakan bagian dari dinamika kehidupan masyarakat dalam mencari,

memperoleh, dan menemukan keadilan sebagai salah satu tujuan hukum di samping kepastian

hukum dan kemanfaatan.

Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm.) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum”

(legal-breakthrough) atau hukum yang pro-rakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar

Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai

keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.

Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang

fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian

hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga

memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang

berkembang dan terkini.

Jika hukum diperlakukan secara konservatif atau hanya mempertahankan status quo, akan

dihasilkan hukum yang tidak aspiratif terhadap perkembangan kehidupan masyarakat atau

bukan hukum yang baik. Di sinilah makna perkembangan hukum yang sesungguhnya dalam

pandangan aliran sociological jurisprudence yang berbeda atau bertentangan dengan

pandangan aliran positivisme hukum yang memandang hukum sebagai suatu sistem norma

dan logika (system of norms and logic).

Cara pandang pertama telah diwujudkan dalam ketentuan Pasal 5 UU RI Nomor 48/2009

tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu ”Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,

mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam

masyarakat.” Aturan tersebut sudah tentu merupakan pedoman dan rujukan para hakim di

Indonesia dalam penanganan setiap perkara, termasuk perkara praperadilan.

***

Setiap tindakan hukum oleh aparatur hukum dalam sistem peradilan pidana Indonesia

merupakan hasil dari suatu proses panjang sejak penyelidikan sampai pemeriksaan di

pengadilan; bukan suatu tindakan hukum yang serta-merta dan tergesa-gesa karena tindakan

hukum tersebut bersinggungan dengan hak-hak asasi seseorang.

Kulminasi dari serangkaian tindakan hukum tersebut seharusnya dapat mencerminkan

ketelitian dan kepastian yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai sarana untuk mencapai

tujuan hukum pidana yaitu kebenaran material. Atas dasar itu, setiap tindakan hukum sejak

Page 13: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

13

penyelidikan sampai penuntutan harus memenuhi asas akuntabilitas, profesionalitas, dan

integritas serta transparansi, terlebih tindakan hukum dimaksud telah ditentukan di dalam

KUHAP.

Dalam membaca dan memahami hukum praperadilan berdasarkan KUHAP, terpenting adalah

tidak melihat dan memahaminya hanya sebagai suatu norma kewenangan penegak hukum,

termasuk KPK, melainkan harus dipandang juga sebagai wujud perlindungan hak asasi

seseorang tersangka sebagaimana telah diamanatkan di dalam Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945:

”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil

serta perlakuan yang sama di muka hukum.”

Wujud perlindungan hak asasi dimaksud juga telah diatur di dalam KUHAP yang merupakan

ketentuan tentang tata cara penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka

sidang pengadilan.

Berdasarkan uraian ini, tidaklah aneh dan tidak mustahil jika wilayah hukum praperadilan

tidak hanya mempersoalkan kebenaran langkah hukum dalam keempat hal sebagaimana

tercantum dalam Pasal 77 KUHAP, melainkan juga termasuk tindakan hukum lain yang

bersinggungan dengan perlindungan hak asasi setiap tersangka.

Peristiwa penetapan tersangka yang dilanjutkan pada penangkapan dan penahanan

merupakan conditio sine qua non, bukan merupakan conditio cum qua non dari proses

penyelidikan dan penyidikan. Maka jika dalam kedua prosedur tersebut terjadi perbuatan

melawan hukum, proses penetapan tersangka juga termasuk penangkapan dan penahanannya

adalah cacat hukum dan dapat dibatalkan (vernietegbaar).

ROMLI ATMASASMITA

Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

Page 14: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

14

Antara Kasus BW, AS, dan Kasus AU Koran SINDO 4 Februari 2015

Dalam tiga minggu terakhir, publik disuguhi tontonan ”drama politik” yang berbalut hukum.

Pertama, penetapan Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka terkait kasus rekening gendut

sehari setelah Jokowi menetapkan sebagai calon tunggal Kapolri. Kedua, ditangkapnya

Bambang Widjojanto (BW) sekaligus ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan sebagai

perekayasa saksi palsu Pilkada Kotawaringin Barat.

Ketiga, konferensi pers Plt. Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto terkait pertemuan Abraham

Samad (AS) dengan beberapa petinggi PDI-P berkenaan rencana AS sebagai calon wakil

presiden mendampingi Joko Widodo. AS memang termasuk salah satu nominator cawapres

untuk mendampingi Joko Widodo.

Lantas apa kaitannya dengan Anas Urbaningrum (AU)? Kalau menilik kasus yang dialami

BW dan AS tentu saja tak ada kaitan dengan AU. Cara publik merespons kasus BW dan AS

juga berbeda dengan cara merespons kasus AU. Padahal fakta-fakta yang mengiringi kasus

AU, mulai saat ditetapkan sebagai tersangka sampai proses persidangan, nyaris tak berbeda

jauh dengan kasus yang dialami BW saat ditangkap Bareskrim.

Munculnya nama AS dalam pusaran ”drama politik” ini juga tak berbeda jauh dengan yang

dialami AU selama menjalani persidangkan, di mana AU didakwa oleh JPU KPK --salah

satunya-- karena ingin menjadi presiden. Bedanya, AS dituduh berkeinginan menjadi

cawapres.

Yang Sama antara Kasus BW dan Kasus AU

Sesaat setelah menjalani pemeriksaan di Bareskrim dalam posisinya sebagai tersangka, BW

membuat pernyataan pers. Ada beberapa poin pernyataan BW yang menarik dan

mengandung kesamaan saat AU ditersangkakan oleh KPK.

Dalam pernyataannya, BW tak lupa ”jualan anak”. BW seakan ingin menunjukkan kepada

publik bahwa anaknya yang masih kecil dan tak tahu apa-apa harus ”dilibatkan” dalam kasus

yang menimpa dirinya. Atau BW ingin menunjukkan kepada anaknya kalau dirinya telah

diperlakukan semena-mena oleh Bareskrim. ”Jualan anak” ini cukup berhasil menyita

perhatian publik.

Mungkin BW tidak berpikir bahwa saat AS selaku Ketua KPK membocorkan sprindik AU,

saat itu AU juga mempunyai empat anak yang masih kecil-kecil. Seperti halnya BW yang

Page 15: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

15

mempunyai anak, saat sprindik AU dibocorkan, kira-kira bagaimana perasaan anak-anak AU

saat mengetahui abahnya dizalimi KPK melalui sprindik yang sengaja dibocorkan.

BW juga menyoal sangkaan Bareskrim yang dinilai tidak tepat. BW mungkin lupa ketika

menetapkan AU sebagai tersangka juga dengan surat dakwaan yang tak jelas: ”...dan atau

proyek-proyek lainnya”. Bagaimana mungkin, KPK menetapkan status tersangka seseorang

begitu kabur?

BW dan pendukungnya menyebut bahwa penangkapan BW bak menangkap seorang teroris,

di mana puluhan Brimob dengan bersenjata lengkap dikerahkan. Apakah BW tidak ingat

ketika sekadar untuk menggeledah rumah AU, KPK berlaku arogan dengan mengerahkan

puluhan Brimob bersenjata lengkap?

Seperti pendukung BW, saat itu pun pendukung AU sempat berkomentar yang sama terkait

sikap KPK yang bak menggerebek teroris. BW juga menyampaikan soal perlakuan Bareskrim

yang dinilai intimidatif, termasuk kata-kata tak patut yang keluar dari mulut petugas saat

penangkapan. Apakah BW lupa ketika menjelang penahanan AU, sikap AS dan BW juga

arogan? Bahkan AS sampai mengeluarkan pernyataan yang tak patut: ”Pastinya saya akan

panggil ini Anas. Dengar ya kata-kata saya, saya akan panggil Anas. Saya ingatkan kepada

Anas lewat forum ini sekali lagi dia tidak datang saya akan memerintahkan penyidik saya

untuk memanggil paksa,” (7/1/2014).

BW dan pendukungnya juga mempertanyakan soal tiga alat bukti yang digunakan Bareskrim

untuk menahan BW. Sama, ketika AU ditersangkakan, pendukung AU pun mempertanyakan

dua alat bukti yang digunakan KPK. Hingga akhir persidangan, AU tak pernah tahu dua alat

bukti dimaksud, dan juga tidak tahu bukti terkait ”dan atau proyek-proyek lainnya”.

Ketika BW jadi tersangka, pendukungnya memenuhi kantor KPK, padahal BW ditahan tidak

dalam kapasitas sebagai pimpinan KPK, tapi sebagai pribadi yang terkena kasus hukum.

Semestinya solidaritas dukungan juga dilakukan di rumah BW. Ketika aksi dilakukan di

gedung KPK itu menjadi bias dan tidak netral. Akan timbul opini yang menyesatkan di

bahwa seakan-akan pimpinan KPK tidak bisa salah. Karenanya, kalau ada pimpinan KPK

terkena kasus hukum, maka akan dicap sebagai kriminalisasi KPK.

Ketika AU menjadi tersangka, pendukungnya pun kumpul di kediaman AU di Duren Sawit,

bukan di Kantor Partai Demokrat, simbol institusi yang dinila i turut andil dalam

menersangkakan AU. Kenapa para pendukung BW berjubel memenuhi gedung KPK?

Karena diyakini ada yang salah dalam menersangkakan BW. Sama, pendukung AU pun

meyakini ada yang salah dari KPK dalam menersangkakan AU. Pendukung AU meyakini ada

nuansa politik yang begitu dominan dalam penetapan AU sebagai tersangka.

Amoral Pimpinan KPK Berpolitik

Page 16: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

16

Tak berbeda dengan kasus BW, pemberitaan terkait pernyataan Hasto Kristiyanto yang

menyebut bahwa AS sempat bertemu dengan petinggi PDI-P terkait pencawapresan AS, juga

mempunyai kemiripan ketika AU didakwa oleh JPU KPK bahwa AU berkeinginan menjadi

presiden, sebuah dakwaan yang disebut AU sebagai imajiner.

Ketika AS diyakini mempunyai niatan ingin jadi cawapres, berkembang pernyataan publik

yang bernada membela AS: ”sebagai warga negara, apanya yang salah kalau Samad

berkeinginan menjadi cawapres”. Ironisnya, ketika AU didakwa JPU karena ”ingin menjadi

presiden”, ”publik” diam membisu seakan mengamini dakwaan JPU. Sebagian lainnya

berkomentar sinis dengan menyebut bahwa AU dinilai terlalu cepat dan ambisius ingin

menjadi presiden.

Ini rasanya komentar publik yang tidak jujur. Komentar publik yang aneh. Mestinya

komentar ”apanya yang salah...” itu disematkan ke AU bukan ke AS. Sebagai ketua umum

partai, apanya yang salah dan aneh kalau AU berkeinginan menjadi presiden? Sangat wajar

AU berkeinginan menjadi presiden. Tidak ada yang dilanggar baik secara konstitusional

maupun moral politik.

Justru harus dipandang aneh dan amoral ketika ketua KPK berkeinginan menjadi cawapres.

Itu ibarat orang laki-laki salat hanya dengan memakai celana yang panjangnya dari pusar

hingga di bawah lutut tanpa memakai baju. Secara fikih tentu salatnya sah, karena aurat laki-

laki memang antara pusar dan di bawah lutut. Tapi pertanyaannya, apakah patut salat hanya

dengan menutup aurat yang minimalis?

Secara konstitusi, memang tidak salah AS berkeinginan menjadi cawapres, karena itu hak

setiap warga negara. Tapi secara moral, apakah patut sebagai ketua KPK yang dalam

menjalankan tugas harus betul-betul mengedepankan integritas moral lalu berkeinginan

menjadi wapres? Lantas di mana integritas moralnya? Moralitas itu nilainya di atas konstitusi

ataupun aturan apa pun, dan ini semestinya menjadi perhatian bagi pejabat-pejabat publik.

Pelajaran Berharga

Sulit untuk mengatakan bahwa proses penetapan status tersangka AU, BG, BW, dan mungkin

sebentar lagi akan menimpa AS sebagai kasus hukum murni. AU jadi tersangka setelah

didahului dengan sprindik bocor. BG tersangka hanya selang sehari setelah ditetapkan

sebagai calon tunggal Kapolri.

BW menjadi tersangka begitu mendadak saat mengantar anaknya sekolah. Dan bila AS

nantinya ditetapkan menjadi tersangka, kemungkinan kasus pemalsuan dokumen akan

dijadikan sebagai alasan menetapkan AS sebagai tersangka, sesuatu yang selama ini

dipandang lumrah dan sepele.

Kasus yang mendera AU, BW, AS, dan BG ini harus menjadi media introspeksi (muhasabah)

bagi institusi penegak hukum. Ke depan, transparansi penegakan hukum, utamanya dalam

Page 17: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

17

penetapan tersangka, harus dikedepankan. Institusi penegak hukum harus menyampaikan

secara terbuka alat bukti yang dijadikan sebagai alasan untuk menersangkakan seseorang. Hal

ini penting dilakukan untuk menghindari tuduhan adanya invisible hand dalam proses

penetapan tersangka. Selain itu, hukum adalah ranah publik, sudah semestinya publik juga

mengetahui prosesnya. Tidak sepatutnya proses hukum ditutup-tutupi.

Bukan hanya itu, penetapan status tersangka juga terkait dengan seseorang yang mempunyai

harga diri (marwah), mempunyai sanak keluarga dan sahabat. Semestinya aspek keadilan

harus benar-benar dikedepankan, bukan karena nafsu atau orderan politik. Sehingga jangan

sampai ada penzaliman dalam penetapan seseorang menjadi tersangka.

Siapa pun, termasuk aparat penegak hukum, pasti juga akan merasakan sakit bila dirinya

mendapat perlakuan tidak adil proses penegakan hukum. Dan biasanya seseorang memang

baru akan merasakan arti ketidakadilan bila yang bersangkutan sudah mengalami

”ketidakadilan”.

Ketika belum, mungkin sulit untuk bisa merasakan atau berempati bagaimana menderitanya

menjadi orang yang terzalimi secara hukum. Sekarang BW, BG, dan --mungkin menyusul--

AS sudah dan akan bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi orang yang terzalimi.

Semoga!

MA’MUN MUROD AL BARBASY

Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila FISIP UMJ; Fungsionaris Pimpinan Nasional

Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI)

Page 18: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

18

Kunjungan ke Malaysia dan Poros Maritim Koran SINDO 4 Februari 2015

Besok, 5 Februari 2015, adalah kunjungan kenegaraan pertama Presiden Joko Widodo

(Jokowi) dalam kerangka kerja sama bilateral dan beliau memilih untuk mengunjungi

Malaysia. Sebelumnya, Jokowi telah berkunjung ke China dalam kerangka APEC, Myanmar

dalam kerangka KTT ASEAN dan Australia dalam rangka KTT G-20.

Pilihan mengunjungi Malaysia adalah cara untuk menyampaikan kepada masyarakat di dalam

negeri dan luar negeri tentang isu yang menjadi prioritas pemerintahan Jokowi. Yaitu, tentang

relasi Indonesia dengan negara-negara tetangga, dan dalam hal Malaysia terkait isu

perbatasan dan tenaga kerja migran.

Saya pribadi tertarik untuk melihat apakah kedua negara akan membicarakan politik luar

negeri yang terkait dengan pertahanan dan keamanan. Bagaimana atau diskusi apa yang akan

muncul dari Malaysia terkait masalah perbatasan dalam konteks gagasan Poros Maritim. Hal

ini tidak hanya penting dalam konteks hubungan bilateral Indonesia-Malaysia, tetapi juga

dalam kaitan strategi Indonesia sebagai negara penting di kawasan Asia Tenggara.

Meskipun tidak banyak dibahas di dalam negeri, ada keresahan dari negara-negara tetangga

termasuk Malaysia terkait keputusan pemerintahan Jokowi untuk menenggelamkan perahu-

perahu nelayan yang masuk dan mengambil sumber daya kelautan di wilayah perairan

Indonesia. Dari pihak Indonesia, kegiatan ini dianggap sebagai penegakan hukum, tetapi di

mata negara-negara lain, cara yang diambil dianggap sebagai unjuk kekuatan yang entah di

mana akan berujung.

Secara diplomatis, negara-negara tetangga kita menyambut baik gagasan Poros Maritim

terutama dengan peluang investasi yang dibuka oleh pemerintah Indonesia terkait dengan

proyek-proyek ratusan triliun rupiah untuk membangun pelabuhan-pelabuhan di beberapa

kepulauan. Namun demikian, rasa optimistis itu juga disertai dengan kecemasan tentang

kemungkinan investasi yang lebih besar dari pemerintah Indonesia di bidang pertahanan dan

kemananan di laut.

Negara-negara tetangga kita masih menunggu langkah- langkah konkret Jokowi untuk

meningkatkan kapasitas pertahanan dan keamanan di laut. Setidaknya ada 3 alasan untuk ini.

Pertama, pemerintahan Jokowi telah memilih untuk mengebom dan menenggelamkan kapal

asing yang masuk tanpa izin untuk mencuri kekayaan laut Indonesia. Dalam hubungan

internasional, penggunaan kekuatan militer di laut adalah bagian dari gunboat diplomacy di

mana kekuatan Angkatan Laut dipakai untuk menggentarkan siapa pun yang memasuki

perairan Indonesia agar merekat tidak berani mengusik kedaulatan wilayah.

Page 19: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

19

Dalam gunboat diplomacy, efek yang diharapkan berbeda dengan kegiatan showing the flag

(unjuk bendera di batas wilayah) di mana penjaga laut semata akan menegur siapa pun yang

melintas batas tetapi tidak untuk unjuk kekuasaan.

Cara keras yang dipilih Jokowi erat kaitannya dengan kebiasaan negara yang ingin unjuk

kekuasaan agar dianggap sebagai hegemoni (penguasa) di suatu kawasan. Dalam sejarahnya,

gunboat diplomacy bahkan merupakan instrumen imperialisme. Pertanyaannya kemudian,

apa saja hal-hal yang harus diwaspadai oleh negara tetangga terkait intensi tersebut? Apakah

akan terjadi konflik seputar penentuan batas negara?

Kedua, dalam meningkatkan kapasitas penjagaan perbatasan, biasanya ada ideologi politik

yang menjadi basis kebijakan. Misalnya untuk menjalin kerja sama militer yang lebih kuat

dengan negara tertentu, bersinergi dengan negara-negara tertentu, atau menggenjot industri

pertahanan di Tanah Air.

Dalam konteks Indonesia, meskipun untuk kebutuhan militer sehari-hari sudah mampu

dipenuhi dari industri pertahanan domestik, untuk kebutuhan teknologi canggih, khususnya

untuk menjaga wilayah-wilayah laut dalam dan udara, Indonesia masih tergantung pada

industri militer di Amerika Serikat, Rusia, Jepang dan China. Pertanyaannya kemudian, kerja

sama pertahanan seperti apa yang patut diantisipasi negara-negara tetangga? Akankah terjadi

penajaman keberpihakan pada AS atau China di Asia Tenggara?

Ketiga, penegakan hukum adalah hal lazim bagi semua negara, tetapi ketika langkah

penegakan hukum tidak berjalan sepenuhnya, muncul keresahan tentang arah yang

sesungguhnya dari kebijakan Jokowi di laut. Misalnya saja Automatic Identification System

menangkap ada 22 kapal nelayan yang berasal dari China yang melakukan penangkapan ikan

secara ilegal di perairan Indonesia. Dari jumlah tersebut, angkatan laut kita dapat menggiring

8 kapal dan sisanya masih bebas berkeliaran atau kabur.

Kabarnya Menteri Kelautan dan Perikanan sudah mengirimkan surat kepada Duta Besar

China untuk membicarakan hal ini, tetapi sampai saat ini belum ada kabar selanjutnya.

Mungkin ini urusan diplomasi yang membutuhkan kerahasiaan, tetapi kalau isunya adalah

penegakan hukum sebagaimana disampaikan oleh Menteri Luar Negeri dan Presiden Jokowi

dalam sejumlah kesempatan, mengapa ada rahasia? Apakah ini sekadar masalah teknis karena

Indonesia belum punya kemampuan menangkapi kapal-kapal asal China yang bandel ataukah

ada pengecualian tertentu?

Dari sini semoga dapat tergambarkan bahwa pilihan Jokowi untuk memberi perhatian pada

pengembangan Poros Maritim dan menegakkan hukum di batas wilayah bukanlah hal yang

tunggal dimensi kebijakannya. Ada efek-efek samping bagi upaya diplomasi. Patutlah diingat

bahwa di Asia Tenggara masih belum tuntas masalah sengketa di Laut China Selatan. Ada

Brunei Darussalam, Taiwan, Malaysia, Filipina, Vietnam, dan China yang terjerat masalah

dalam sengketa tersebut. Indonesia mendukung upaya penyelesaian sengketa lewat

mekanisme code of conduct, tetapi sampai hari ini belum terlihat ada kemajuan yang berarti

Page 20: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

20

dalam pencapaian kesepakatan lewat cara itu. Bahkan informasi terkini menunjukkan bahwa

China telah membangun pulau-pulau buatan yang dijadikan tempat persinggahan kapal induk

militer di karang Fiery Cross di Kepulauan Spratly.

Menjaga kedaulatan wilayah adalah hal yang penting, tetapi lebih penting lagi strategi yang

dipilih dan dilaksanakan untuk mencapai kedaulatan wilayah. Hari ini kita telah mengirimkan

pesan yang keras terhadap negara tetangga terkait dengan illegal fishing dan mereka tentu

berharap kita tidak diskriminatif dan memberikan pengecualian kepada negara tertentu.

Sampai saat ini belum ada nota protes yang keras dari negara-negara yang kapalnya telah atau

akan ditenggelamkan, meski demikian kita harus siap apabila terjadi pembalasan. Kesiapan

itu tidak hanya dari sisi diplomatik, tetapi juga dari sisi ekonomis apabila negara-negara yang

kapalnya ditenggelamkan menurunkan derajat kerja sama dan bantuan ekonomi yang

diperlukan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur kita. Apabila kita tidak siap maka

gagasan Poros Maritim-lah yang akan menjadi korban.

Semoga Presiden Jokowi memperhitungkan segala langkah dan konsekuensi jangka panjang

dari kegiatan diplomasi beliau, termasuk ketika mengunjungi Malaysia.

DINNA WISNU, PhD

Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina

@dinnawisnu

Page 21: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

21

Pak Jokowi, (Maaf), Tolong Hormati Birokrasi!

Koran SINDO 5 Februari 2015

Bapak Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia ketujuh yang sangat saya hormati.

Selamat! Saat ini Bapak telah lebih dari 100 hari me-manage republik ini. Negara dengan

penduduk terbesar keempat di dunia. Negara dengan jumlah pegawai negeri sipil yang

mencapai 4,5 juta orang ditambah dengan lebih dari sejuta tentara, paramiliter, dan cadangan.

Jumlah yang besar.

Bapak Jokowi yang baru jadi presiden, memimpin jajaran birokrat dalam suatu organisasi

yang berbasis birokrasi bukan pekerjaan mudah. Birokrasi, asal kata bureaucracy, pada

dasarnya adalah suatu jenis organisasi yang lazim dipergunakan dalam suatu pemerintahan

modern, terutama untuk tugas-tugas yang bersifat administratif. Organisasi yang Bapak

pimpin ini biasanya bersifat komando dengan bentuk piramida. Dalam operasionalnya,

piramida ini mengerucut tajam ke atas untuk pengambilan keputusan dan tanggung jawab.

Organisasi semacam ini biasanya tidak mempunyai fleksibilitas dalam beroperasi, bahkan

cenderung kaku, karena tugasnya mengoperasikan secara terpadu alur kerja organisasi

pemerintahan yang besar dan kompleks. Output utama dari para birokrat biasanya adalah

kebijakan.

Bapak Presiden yang pernah jadi Wali Kota Solo, dari pengalaman saya mendaftar di

birokrasi, menjadi seorang birokrat murni di Indonesia sangat tidak mudah. Butuh kerja

keras, pendidikan dan waktu yang panjang, serta persaingan yang ketat untuk mencapai

puncak karier. Bapak, nuwun sewu mengingatkan, sampai masa Orde Baru, selama hampir 45

tahun usia republik ini, tidak pernah ada jalan pintas untuk naik ke atas di pemerintahan.

Semua ada jalur jabatan, jalur pendidikan formal dan terstruktur, ada urut kacangnya.

Syarat utamanya adalah lulusan S-1 yang diakui negara, lalu si calon mengikuti ujian

bersama puluhan ribu orang. Ujian yang tidak mudah, karena seorang puteri presiden pun

bisa tidak lulus. Jika lulus, interviu akan dilakukan oleh pejabat tinggi di departemen yang dia

minati. Semua memakan waktu hampir enam bulan penantian.

Lulus sebagai calon pegawai negeri, penempatan dan pendidikan di departemen sudah

menunggu. Setiap departemen dan kedirjenan sudah mempunyai struktur pendidikan yang

baik. Setahun pertama selain kadang menunggu waktu jatah tempat untuk pendidikan

Page 22: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

22

internal, si calon pegawai negeri sipil (PNS) itu akan ikut bekerja seperti layaknya seorang

trainee.

Secara kasatmata perlu belasan tahun bagi seorang pegawai negeri untuk mencapai tingkatan

eselon 1/dirjen, menjadi panglima perang lapangan. Seorang eselon 1 dari pegawai negeri

sipil, secara pendidikan biasanya bergelar S3/doktor, mempunyai pengetahuan yang nyaris

sempurna tentang pekerjaan yang dia geluti, mempunyai network yang pastinya baik, serta

teruji loyalitas terhadap negara dengan belasan tahun pengabdian yang sudah dilakukan.

Yang penting juga adalah mengerti tata kerja pola memanajemen dan berhubungan dengan

birokrasi.

Karena itu, secara logika tidak ada yang lebih pantas menjadi pimpinan departemen, menjadi

menteri dibandingkan para birokrat itu. Inilah yang selama 45 tahun merdeka dipraktikkan,

terutama untuk departemen teknis oleh para pemimpin negara terdahulu. Semua menteri yang

sukses berlatar belakang birokrat karier, dari jajaran eselon 1. Pak Sumarlin, Pak Hartarto,

Pak Marie Muhammad adalah beberapa nama yang kiprahnya masih terdengar sampai

sekarang.

Bapak Jokowi yang baru saja menunjuk para pembantunya, reformasi sepertinya mengubah

pandangan tentang kemampuan para birokrat. Entah pengertian tentang Reformasi yang

ngawur atau pemimpin negaranya yang ngawur, tapi menjadi pimpinan birokrasi

pemerintahan termasuk menjadi menteri sepertinya lebih mementingkan kepopuleran,

ketokohan bahkan saat terakhir kedekatan dengan pimpinan negara atau pimpinan partai.

Menjadi menteri sepertinya dianggap bukan sesuatu yang penting untuk kelancaran jalannya

pemerintahan. Secara bodoh bahkan dengan enteng ada tokoh pemerintahan yang

mengatakan bahwa menteri itu jabatan politik. Lah, kalau menteri jabatan politik, presiden

serta wapres juga jabatan politik, lalu siapa yang menjadi direktur mengelola negara ini?

Ingat bahwa karena autopilot pesawat bisa kecelakaan.

Bapak Jokowi, yang Presiden Indonesia, beberapa tahun ini, maaf mengatakan, dengan

seenaknya, memanfaatkan kekuatan politik yang dimiliki, ditunjuklah oleh Presiden para

menteri yang bukan hanya tidak berasal dari birokrasi, tidak mempunyai latar belakang

mumpuni, bahkan ada yang tidak dikenal oleh Presiden!

Menjadi menteri seperti pertunjukan mencari idola di televisi. Kepopuleran serta keberanian

berkoar-koar dengan seenaknya sepertinya menjadi syarat utama selain kedekatan dengan

tokoh politik. Dilantiklah dengan upacara yang lagi-lagi seperti show pertunjukan di media

para menteri itu.

Bapak Jokowi yang sedang menilai para menteri, menteri pilihan Bapak atau yang diusulkan

partai, sepertinya memang hebat! Para menteri itu hanya butuh waktu beberapa minggu

bahkan ada yang beberapa hari untuk menganggap dirinya telah mengerti dan bisa

memecahkan masalah pemerintahan. Mereka langsung mengambil keputusan, mengeluarkan

Page 23: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

23

kebijaksanaan, bahkan juga mencabut beberapa kebijaksanaan yang sebelumnya telah dibuat

dengan pemikiran yang mendalam dari semua segi dan melibatkan departemen yang terkait.

Pertanyaan memang, apakah para menteri itu memang para jenius, yang bisa langsung

memecahkan problema yang sudah dihadapi para birokrat selama puluhan tahun atau

sebenarnya hanyalah badut politik yang sok tahu yang ingin memanfaatkan kesempatan

jabatan yang dimiliki untuk mengambil posisi politik lebih tinggi?

Bapak Presiden Jokowi yang diharapkan membela birokrasi, banyak kebijakan sebagai output

kerja menteri Bapak yang lebih berupa keputusan bisnis semata. Beberapa peraturan, bukan

kebijakan publik, yang dibuat para menteri itu seperti keputusan para direktur dalam

mengelola perseroan. Pelarangan-pelarangan tanpa perhitungan, peraturan-peraturan yang

lebih berbau publisitas sesaat, bahkan bergaya blusukan secara serampangan, sebagai suatu

pemborosan banyak dipertontonkan para pembantu Bapak.

Para menteri berebut mempertontonkan pelecehan hasil olah pikir para birokrasi yang telah

teruji itu. Pelarangan yang dibuat bahkan sudah menyentuh area pribadi para birokrat.

Penunjukan para staf khusus sepertinya meremehkan kemampuan para dirjen atau direktur.

Pertanyaan memang, apakah 4,5 juta PNS itu dianggap demikian bodohnya oleh para

pembantu Bapak sehingga mereka dengan mudah mengubah kebijakan dalam sekejap dan

harus mengambil tenaga khusus dari luar dengan mengabaikan birokrasi? Apakah mencari

keuntungan itu tugas departemen, tugas menteri? Apakah berhemat itu lebih penting dari

tugas negara menjadi lokomotif stimulus pembangunan dengan menciptakan multiplier effect

untuk kesejahteraan masyarakat? Apakah pegawai pemerintahan itu harus terlihat miskin?

Bapak Presiden yang telah bersumpah sesuai konstitusi untuk memegang teguh konstitusi,

menjalankan segala undang-undang, sesuai UU No. 5 2014 tentang Aparatur Sipil Negara,

fungsi PNS terutama adalah melayani publik dan menjadi unsur perekat persatuan dan

kesatuan bangsa. Fungsi ini wajib hukumnya dikoordinasi oleh para menteri, yang walaupun

bukan PNS, walaupun hanya pembantu kontrakan presiden, walaupun jenius, harus

mengutamakan fungsi pelayanan dan perekat kesatuan bangsa.

Bukan tugas menteri menghitung-hitung keuntungan seperti fungsi seorang direktur di

perseroan. Bukan fungsi semua menteri blusukan, memboroskan uang rakyat bergaya seperti

Presiden mencari popularitas semu. Tugas menteri kerja melayani publik, memastikan negara

jadi lokomotif pembangunan, dan yang wajib tidak meremehkan birokrasi yang suatu saat

akan mereka tinggalkan.

Bapak Presiden Jokowi yang didukung mayoritas rakyat, semoga Bapak tetap sehat, tetap

eling. Bagi sebagian menteri Bapak, mungkin ini masa kampanye mereka, buat jajaran

birokrasi ini adalah hidup mereka sebagai ujung tombak pemerintahan, tapi buat bapak

Presiden, punten Pak, this is governing, not campaigning!

Page 24: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

24

DR TITO SULISTIO, SE, MAF

Founder Charta Politica

Page 25: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

25

Seandainya Koran SINDO 5 Februari 2015

Seandainya kita melanjutkan dan mewujudkan dasar pikiran pendiri bangsa dalam

menjalankan politik luar negeri yang “bebas dan aktif”, sejarah akan mencatat betapa

pemikiran para pendiri bangsa Republik Indonesia itu visioner mendasar.

Pemikiran tersebut berparadigma non-blok jauh menampakkan arah bacaan pikiran mereka

dalam kesadaran tinggi budi jernih bahwa peta persaingan ada pada dua kekuatan besar

antara blok Timur (baca: Rusia dan kawan-kawan) dan blok Barat (baca: Amerika Serikat

dan kawan-kawan).

Artinya, bangsa ini besar dengan penduduk banyak, kaya bineka tambang, dan alam, namun

selalu dijadikan rebutan kolonialis hingga untuk merdeka dan berdaulat pun harus berjuang

terus dengan budi jernih dan nurani hening melawan superpower yang mau menguasai

dunia.

Politik luar negeri non-blok terbukti visioner ketika konteks perkembangan pasca-Perang

Dingin dan perkembangan globalisasi ekonomi pasar menaruh berhadap-hadapan

menghadapi tiga kekuatan saat ini yaitu blok Amerika dan sekutunya Eropa Barat, blok Rusia

dan kawan-kawannya pasca-Glasnost, serta China dengan perkembangan ekonominya pasca-

Deng Xiaoping. Apalagi kekuatan-kekuatan ekonomi “baru” pasca-Perang Dunia II yaitu

Jepang, India, dan Korea masuk dalam kancah perebutan pasar jualnya.

Mengapa konsep non-blok --dalam bahasa politik luar negeri “bebas-aktif”-- tahan dan

cemerlang sebagai prinsip berelasi internasional dengan negara-negara lain? Karena pikiran

budi jernih pendiri bangsa menempatkan pikiran sebagai pelita hati (ungkapan teks

kebijaksanaan hidup negeri ini dalam ekspresi pepatah peribahasa).

Yang berarti pertimbangan budi akal sehat dengan hening menimbang realitas peta dunia

diproses pertama-tama dalam kepentingan bangsa Indonesia yaitu agar bangsa ini terus

berdaulat lantaran rakyatnya berada dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa yang

salah satunya melalui pendidikan. Kepentingan bangsa yang cerdas dan berdaulat menjadi

batu penjuru tatkala berhadapan dengan persaingan dan konflik-konflik kepentingan lain

yang beragam dan bineka.

Seakan kepentingan mewujudkan kehidupan bangsa dalam ungkapan manusia-manusia

Indonesia yang merdeka berdaulat berprinsip dan tidak menggadaikan diri bahkan tega

melacur diri untuk keuntungan-keuntungannya saat dirayu oleh kolonialis-kolonialis “wajah

baru”. Para kolonialis wajah baru ini hadir dalam aktivitas pengerukan hasil bumi tambang

Page 26: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

26

sampai hasil laut, bahkan yang dikandung Tanah Air sebagai Bumi Pertiwi.

Pandangan sudah dirumus tegas-tegas oleh pendiri bangsa untuk generasi ke generasi dalam

bahasa konstitusi yaitu kekayaan alam dan kandungan Tanah Air digarap demi sebesar-

besarnya kemakmuran dan sejahteranya rakyat. Dalam bahasa cultural studies dan logika

kebudayaan sebagai ranah nilai alias yang dihayati dan dikonsepkan sebagai yang berharga

dalam kehidupan ini, pikiran mendasar para pendiri bangsa di atas merupakan “teks”.

Artinya, hasil pertimbangan dari proses diskresi budi dan nurani yang lama, yang selalu harus

memilih pertimbangan yang benar ketika kepentingan pendek, praktis, pragmatis, teknis yang

menjanjikan hasil guna dan manfaat besar, tetapi hanya untuk segelintir pengambil putusan

sedangkan untuk kemaslahatan sejahtera rakyat banyak “kalah”.

Di sini “teks” menjadi bahasa rumus prinsip yang benar dari kehidupan, yang baik, yang suci,

dan yang indah sehingga manakala “teks” non-blok dan bebas aktif dilanjutkan oleh

pemerintah-pemerintah RI pascagenerasi pendiri bangsa di sana bisa dievaluasi sebagai

langkah-langkah kontekstualisasi.

Jujur dalam membaca kontekstualisasi dari “teks”, kita pernah melupakan non-blok kita dan

memilih salah satu superpower dari yang kini untunglah kita siuman sadar kembali untuk

kembali ke “teks” dasar para pendiri bangsa kita. Dengan begitu, tanah dan air yang berarti

daratan pulau dan lautan disadari paradigma pikirannya sebagai lautan di dalamnya

bertaburan pulau-pulau kita sehingga lautan (baca: maritim)- lah penyambung Nusantara

menjadi Indonesia.

***

Seandainya proses membuat pertimbangan atau diskresi konsisten mengikuti prinsip

musyawarah untuk mufakat sebagaimana tertulis sebagai “teks” oleh para pendiri bangsa

dalam dasar negara berpancasila. Teks itu lahir karena mereka “jenius” membaca jernih

dengan budi dan hening nurani bahwa bangsa majemuk suku, beragam kekayaan religi,

berbineka pikiran bijaksana mengenai refleksi-refleksi lokal kehidupan ini tidak bisa

memutuskan sebuah keputusan yang mendengarkan keragaman dan kebinekaan itu tanpa cara

diskresi musyawarah!

Tidak bisa dipercepat atas nama efisiensi dengan kalah dan menang sebagai kalkulasi

putusan. Mengapa kita dalam tahap-tahap kontekstualisasi (baca: melaksanakan “teks”

diskresi musyawarah mufakat) lalu mengadopsi yang dianggap bernilai dan berharga dengan

dalih “demokrasi” melalui voting yang mayoritas menang lalu yang minoritas

kalah? Kelirukah cara menimbang kita dalam membaca esensi kemajemukan bangsa ini lalu

dijalanpintasi dengan menang dan kalah lewat voting?

Ruang musyawarah mensyaratkan kesediaan rendah hati menaruh diri untuk mendengarkan

posisi-posisi lawan maupun kawan. Ruang ini dengan rendah hati harus dibersihkan dahulu

Page 27: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

27

dari pertimbangan like and dislike, senang atau benci.

Ia ruang bermusyawarah yang belajar dari kenyataan lapangan, menaruh diri para posisi yang

diperjuangkan yaitu kepentingan bersama, kesejahteraan publik. Saat mufakat diambil, ia

harus diproses tidak dalam kalkulasi menang-menangan, tetapi terbaik untuk semuanya.

Di sinilah muncul dua dilema apabila kontras antarnilai ditimbang seakan-akan tidak bisa

dipilih. Itu terungkap dalam buah simalakama yaitu memilih yang satu akan mati ibu,

sedangkan bila memilih yang kedua akan mati ayah. Maka harus berani masuk ke

pertimbangan “minus malum“ sebagai dilema yang memperhadapkan antara pilihan yang

buruk dan pilihan yang “lebih buruk”.

Itulah proses musyawarah mufakat harus mengambil keputusan untuk yang dampak

negatifnya lebih kecil atau paling kecil dibandingkan yang buruk lain. Minus malum,

harfiahnya adalah mengambil jeleknya (=malum) paling minus atau paling sedikit.

***

Seandainya “teks” menimbang dalam “konteks” pelaksanaannya disadari bersama harus

diproses pertimbangan budi dan diskresi “nurani”. Syaratnya adalah mau rendah hati

memprosesnya melalui blusukan sejati untuk mendengar pertimbangan-pertimbangan. Selain

itu perlu paham prosedur serta tata cara sebuah wewenang atau kekuasaan yang harusnya

melayani namun di kebanyakan orang kita yang feodalistik dan berperilaku tuan dan bos

begitu jadi pemimpin atau pimpinan apa pun tanpa kecuali.

Jika kesemuanya tak dijalani, lalu yang terjadi adalah dua gejala sama-sama keliru, namun

nyata. Pertama, langsung melintasi hierarki yang ada dengan cara bypass dengan alasan

mempercepat hasil putusan. Akibatnya yang merasa tidak dimintai permisi (di-kulonuwuni)

akan tersinggung Sementara yang kedua, mereka-mereka yang berlindung di balik baju

feodalisme prosedural akan menggugat atas nama formalisme tata cara yang dilupakan bahwa

ini media atau sarana, dan bukan substansi atau tujuan.

Namun, keduanya sama-sama keliru lantaran “payung” (baca: ruang pertimbangan)

seharusnya adalah bersama-sama bermusyawarah, berkomunikasi. Tetapi, bukanlah antar kita

justru berkomunikasi antarsesama warga bangsa ini yang sedang krisis “trust“: sukar untuk

saling mempercayai, apalagi ranah politik sebagai kontekstualisasi.

Teks musyawarah itu sekarang ini punya indikasi tunaetika apalagi moralitas pengguna

politik untuk kesejahteraan bersama. Apalagi “rekrutmen” partai politik antara mereka-

mereka yang masih negarawan seperti para pendiri bangsa dan mereka yang cari kuasa,

kedudukan, dan cari makan tampil palsu dan keruh di layar selubung eksotisme visualisasi

rebutan selfie panggung pencitraan-pencitraan.

Padahal dalam bahasa hukum sumpah jabatan atau keputusan-keputusan pengadilan dan

Page 28: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

28

bahkan keputusan tour of duty di sana ada rumusan kontekstual jelas-jelas yaitu:

”menimbang, mempelajari, lalu memutuskan”.

Seandainya tulisan berjudul ”seandainya” ini sudi dibaca dengan hati dan budi jernih, pastilah

proses menegara dan membangsa Indonesia akan selangkah demi selangkah mewujud

sebagai berdaulat dan berperadaban.

MUDJI SUTRISNO SJ

Guru Besar STF Driyarkara; Dosen Pascasarjana UI; Budayawan

Page 29: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

29

Uji Publik dalam Pilkada Koran SINDO 6 Februari 2015

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perppu) telah disetujui oleh DPR.

Walaupun belum disahkan sebagai undang-undang (UU) oleh Presiden hingga tulisan ini

dibuat, secara konstitusional Perppu tersebut sudah pasti akan menjadi landasan hukum

penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Paling lambat 30 hari setelah persetujuan DPR,

Perppu itu dengan sendirinya akan menjadi UU. Bahkan, DPR pun saat ini telah membahas

perubahan yang akan dilakukan terhadap Perppu yang telah disetujui.

Terdapat perubahan mendasar di dalam Perppu Pemilihan Kepala Daerah, jika dibandingkan

ketentuan sebelumnya. Salah satu di antaranya adanya tahapan uji publik sebagai persyaratan

yang harus dilalui oleh setiap orang yang akan menjadi calon kepala daerah. Namun

demikian, uji publik tidak bersifat menggugurkan. Uji publik dilaksanakan sebelum

pendaftaran calon kepala daerah.

Setiap orang yang mengikuti uji publik akan mendapatkan surat keterangan telah mengikuti

uji publik. Surat ini menjadi salah satu persyaratan pada saat mendaftar sebagai calon kepala

daerah. Artinya, uji publik tidak bersifat menggugurkan, tidak ada pernyataan lulus atau tidak

lulus uji publik.

Terdapat beberapa hal penting di dalam ketentuan umum Perppu Pemilihan Kepala Daerah

tentang uji publik. Pertama, uji publik merupakan pengujian kompetensi dan

integritas. Kedua, uji publik dilaksanakan secara terbuka. Ketiga, uji publik dilaksanakan

oleh panitia yang bersifat mandiri yang dibentuk oleh komisi pemilihan umum provinsi atau

kabupaten/kota.

Tujuan uji publik menurut penjelasan umum Perppu adalah untuk menciptakan kualitas

kepala daerah yang memiliki kompetensi, integritas, kapabilitas, serta memenuhi unsur

akseptabilitas. Kapabilitas sudah terangkum dalam unsur kompetensi yang telah ditegaskan

dalam ketentuan umum. Karena itu, tujuan uji publik sesungguhnya meliputi tiga aspek, yaitu

kompetensi, integritas, dan akseptabilitas.

Manfaat Uji Publik

Adanya mekanisme uji publik setidaknya memberikan tiga manfaat penting dalam proses

pemilihan kepala daerah. Pertama, uji publik merupakan bagian dari proses seleksi internal

partai politik yang melibatkan partisipasi masyarakat. Hal ini memiliki arti penting bagi

Page 30: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

30

proses demokratisasi internal partai politik yang selama ini di beberapa daerah sangat kuat

dengan karakter oligarki. Penentuan calon tidak lagi hanya oleh internal partai politik yang

kadang terdistorsi oleh hubungan politik praktis, tetapi juga harus memperhatikan kualitas

dan integritas calon yang akan diuji oleh publik.

Agar manfaat ini dapat diperoleh, sudah sewajarnya partai politik mengajukan lebih dari satu

calon untuk mengikuti uji publik. Dengan adanya lebih dari satu calon, masyarakat juga akan

dapat menilai apakah partai memerhatikan atau mengesampingkan proses uji publik.

Kedua, uji publik dapat ditempatkan sebagai bagian dari kampanye calon yang objektif.

Semua calon memiliki kesempatan yang lebih luas untuk menunjukkan kapasitas dan

integritasnya agar dapat meyakinkan partai pengusung serta pemilih.

Ketiga, melalui uji publik, terdapat perluasan partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan

kepala daerah. Jika sebelumnya masyarakat tidak memiliki peran menentukan calon yang

diusung oleh partai politik, melalui uji publik suara masyarakat sedikit banyak akan ikut

menentukan keputusan partai.

Mekanisme Uji Publik

Salah satu kelemahan dalam Perppu adalah tidak mengatur mekanisme uji publik secara

detail. Ketentuan Pasal 38 Perppu hanya menentukan bahwa setiap WNI yang mendaftar

sebagai bakal calon kepala daerah wajib mengikuti uji publik. Parpol atau gabungan parpol

dapat mengusulkan lebih dari satu bakal calon untuk mengikuti uji publik. Setiap bakal calon

yang mengikuti uji publik mendapatkan surat keterangan telah mengikuti uji publik.

Mekanisme uji publik harus memosisikan pihak yang melakukan pengujian adalah publik,

bukan panitia. Tugas panitia hanyalah menjalankan tahapan, mengeksplorasi bakal calon, dan

memastikan adanya partisipasi publik.

Panitia tidak memberikan penilaian terhadap calon. Publiklah yang memberikan penilaian.

Tantangannya di sini adalah bagaimana penilaian publik itu dapat diketahui atau diukur

terutama oleh parpol yang mengajukan. Tanpa adanya alat ukur ini uji publik dapat

kehilangan makna.

Mekanisme uji publik juga harus mampu menunjukkan kepada publik kapasitas dan integritas

calon. Untuk mengetahui kapasitas dan integritas dapat saja dilakukan melalui ujian tertentu

yang akan menghasilkan nilai kuantitatif tertentu. Namun jika hal ini dilakukan, berarti

penilaian telah dilakukan oleh panitia dan akan menghasilkan peringkat bakal calon

berdasarkan nilai yang diperoleh. Karena itu, cara untuk menunjukkan kepada publik

bagaimana kapasitas dan integritas bakal calon adalah melalui rekam jejak dan forum tanya-

jawab secara terbuka. Persoalannya kemudian kembali pada bagaimana penilaian publik

dapat diketahui dan diukur setelah publik mengetahui rekam jejak dan mengikuti forum

dialog.

Page 31: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

31

Untuk mencapai tujuan uji publik dan menjawab permasalahan yang muncul, mekanisme uji

publik dapat dilakukan dalam tiga tahapan. Pertama, semua bakal calon menyampaikan

riwayat hidup yang memuat rekam jejak. Panitia mengumumkan secara luas riwayat hidup

dan rekam jejak kepada seluruh masyarakat.

Kedua, masyarakat dipersilakan memberikan masukan dan informasi terkait dengan rekam

jejak kapasitas dan integritas bakal calon. Masukan dan informasi dari masyarakat ini juga

diumumkan kepada masyarakat luas.

Ketiga, dibuat forum terbuka di mana setiap calon dapat menyampaikan kapasitas dan

integritasnya serta panitia melakukan pendalaman dan klarifikasi berdasarkan masukan dan

informasi dari masyarakat.

Hasil dari semua proses tersebut, baik dari rekam jejak, informasi masyarakat, maupun dari

forum dialog, diumumkan kepada publik dan disampaikan kepada parpol pengusul atau calon

perseorangan dengan harapan dapat menjadi instrumen untuk mengetahui penilaian publik.

Kunci keberhasilan uji publik ada pada dua hal. Pertama, keseriusan parpol pengusul

memanfaatkan uji publik sebagai bagian dari seleksi internal. Misalnya, parpol dapat

melakukan survei mandiri terhadap bakal calon yang diajukan setelah adanya uji publik untuk

mengetahui calon mana yang lebih diterima oleh masyarakat.

Kedua, tingkat partisipasi publik. Tanpa adanya partisipasi publik, tidak akan diketahui

kapasitas dan integritas calon, dan pengambilan keputusan kembali milik sepenuhnya partai

politik.

JANEDJRI M GAFFAR

Alumnus Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang

Page 32: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

32

Mengenal Platform Partai Perindo Koran SINDO 6 Februari 2015

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013, pada 23 Januari 2014 yang

menetapkan pemilu legislatif dan pemilu presiden diselenggarakan secara serentak mulai

2019, merupakan tonggak sejarah dalam perkembangan politik dan demokrasi di

Indonesia. Implikasi dari putusan tersebut, maka peta politik nasional dan sistem pemilu di

Indonesia berubah secara signifikan.

Dalam era baru penyelenggaraan pemilu itu, keberadaan dan peranan partai politik, tidak

terkecuali partai politik baru, menjadi sangat strategis dalam kehidupan demokrasi di

Indonesia. Apalagi, keberadaan partai politik mendapatkan jaminan konstitusional yang

sangat kuat dalam kehidupan bernegara, karena secara eksplisit diatur dan dicantumkan

dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi ”Peserta pemilihan umum untuk memilih

anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah

partai politik”, dan dalam Pasal 6A ayat (2) yang berbunyi ”Pasangan calon Presiden dan

Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan

umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.

Tantangan bagi partai politik, khususnya partai politik baru, semakin tidak ringan pada

Pemilu 2019. Partai harus mampu memulihkan kembali kepercayaan publik yang merosot

terhadap partai politik. Partai juga harus mampu memenuhi persyaratan dan regulasi

kepesertaan yang semakin ketat, mampu menyiapkan sumber daya manusia yang unggul dan

kompeten, serta mampu menyiapkan dukungan logistik dan infrastruktur partai yang

memadai.

Tantangan lain yang tidak kalah pentingnya untuk diperhatikan adalah partai politik baru

harus memiliki keunggulan kompetitif dan keunggulan komparatif untuk memenangkan

perebutan dukungan, kepercayaan, dan simpati rakyat, sehingga partai unggul dalam

perolehan suara pada Pemilu 2019 kelak.

Keunggulan itu dapat tercermin dari ideologi, prinsip perjuangan, jati diri, visi dan misi,

platform, dan modal perjuangan suatu partai politik yang dirumuskan secara jelas dan

spesifik dibandingkan dengan partai politik lainnya.

Pembentukan Partai Perindo

Bertolak dari pemahaman atas peluang dan tantangan di atas, maka di tengah ingar-bingar

ketegangan politik antara kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih

(KMP) di parlemen setelah penyelenggaraan Pilpres 2014 yang lalu, dibentuklah sebuah

Page 33: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

33

partai politik baru yang luput dari perhatian publik. Partai politik itu adalah Partai Perindo

(Persatuan Indonesia) pimpinan Hary Tanoesoedibjo, seorang tokoh nasional dan pengusaha

sukses di bidang media yang sebelumnya pernah bergabung di Partai Nasdem dan Partai

Hanura.

Pembentukan partai ini bukanlah secara tiba-tiba, melainkan telah dipersiapkan cikal

bakalnya jauh-jauh hari dalam bentuk ormas Perindo yang dideklarasikan di Jakarta pada 24

Februari 2013 oleh Hary Tanoesoedibjo bersama tokoh nasional lainnya.

Meski sebagai partai politik baru, Partai Perindo telah memiliki badan hukum yang sah

berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor:

M.HH-03.AH.11.01 Tahun 2014 tertanggal 08 Oktober 2014. Dengan status badan hukum,

berarti satu tahapan verifikasi yang wajib diikuti Partai Perindo telah terlampaui. Tahapan

selanjutnya yang mesti dilewati adalah verifikasi yang dilakukan KPU lolos sebagai partai

politik peserta pemilu. Dengan status sebagai partai peserta pemilu, Partai Perindo akan ikut

menentukan dalam kompetisi politik tahun 2019 yang akan datang.

”Persatuan Indonesia” sebagai nama partai diambil dari isi sila ketiga Pancasila. Penggunaan

nama tersebut tentu mengandung maksud dan tujuan, dasar pertimbangan filosofis, serta

konsekuensi logis yang harus dapat dipertanggungjawabkan.

Partai Perindo memahami realitas sejarah bahwa masalah persatuan di Indonesia senantiasa

mengalami pasang-surut seiring dengan dinamika dan perkembangan bangsa dan negara.

Persatuan bangsa bukanlah sesuatu yang given, melainkan sesuatu yang dinamis dan harus

terus diperjuangkan.

Partai Perindo menjadikan Pancasila sebagai ideologi partai dan meyakini bahwa Pancasila

adalah ideologi yang benar, tepat, dan menyelamatkan, karena telah teruji dan terbukti

mampu melewati dengan selamat berbagai ujian dan cobaan disintegrasi dalam proses

perjalanan bangsa, dan tetap berhasil mempersatukan bangsa yang sangat majemuk ini.

Bagi Partai Perindo, Pancasila merupakan sumber inspirasi dan motivasi, serta rujukan

sekaligus tolok ukur keberhasilan perjuangan partai dalam proses pembangunan bangsa.

Konsekuensi logis dari penggunaan nama tersebut, maka Partai Perindo harus mampu

berperan sebagai garda terdepan Persatuan Indonesia. Partai Perindo harus senantiasa proaktif

mengingatkan seluruh komponen bangsa mengenai urgensi persatuan dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Partai Perindo digagas sebagai partai modern yang merupakan hasil perpaduan dari

karakteristik partai kader dan partai massa. Jati diri partai secara singkat dapat dirumuskan

sebagai ”Partai modern yang menjadi garda terdepan Persatuan Indonesia, menjunjung tinggi

prinsip keadilan, memelihara nilai-nilai luhur budaya bangsa, berbasis pada kekuatan rakyat,

dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia.”

Page 34: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

34

Sebagai partai modern, Partai Perindo harus dikelola secara profesional dan berdasarkan

sistem; mengembangkan budaya organisasi yang egaliter, transparan, dan demokratis;

menerapkan reward and punishment serta merit system dalam kepemimpinan partai;

merencanakan program partai secara sistematis, rasional, terukur, dan terpadu; serta mampu

menjalankan fungsi-fungsi pendidikan politik, rekrutmen politik, komunikasi politik, agregasi

kepentingan, manajemen konflik, dan artikulasi ideologi partai ke dalam program dan

kebijakan, dalam rangka mewujudkan tujuan partai.

Adapun tujuan Partai Perindo yang hendak diwujudkan itu, yaitu (1) Mempertahankan dan

mengamalkan Pancasila serta menegakkan UUD 1945, (2) Mewujudkan cita-cita bangsa

Indonesia sebagaimana yang dimaksud oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, (3)

Menjaga dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan (4)

Mewujudkan negara yang sejahtera dan berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Platform Perjuangan

Faktor distingtif dari suatu partai politik, selain ideologi adalah platform perjuangan. Dari

platform itulah dapat dikenali orientasi dan program perjuangan partai politik untuk mencapai

visi dan misi, serta tujuan yang telah ditetapkan.

Demikian halnya dengan Partai Perindo yang telah merumuskan secara jelas platform

perjuangannya dalam Garis Besar Perjuangan Partai (GBPP). yang memuat tata nilai dan

konsepsi perjuangannya. Partai Perindo memiliki wisi, yaitu mewujudkan Indonesia yang

bersatu, berdaulat, adil, dan makmur, serta berkemajuan, bermartabat, berbudaya, dan

sejahtera.

Sementara misinya adalah (1) Mewujudkan pemerintahan yang berkeadilan, yang

menjunjung tinggi nilai-nilai hukum sesuai dengan UUD 1945; (2) Mewujudkan

pemerintahan yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme untuk Indonesia yang mandiri

dan bermartabat; (3) Mewujudkan Indonesia yang berdaulat, bermartabat dalam rangka

menjaga keutuhan NKRI; (4) Menciptakan masyarakat adil, makmur, dan sejahtera

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia;

(5) Menegakkan hak dan kewajiban asasi manusia dan supremasi hukum yang sesuai

Pancasila dan UUD 1945 untuk mewujudkan keadilan dan kepastian hukum guna melindungi

kehidupan rakyat, bangsa dan negara; dan (6) Mendorong tumbuhnya ekonomi nasional yang

berkontribusi langsung pada kesejahteraan warga negara Indonesia.

Platform perjuangan Partai Perindo adalah mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin bagi

seluruh rakyat Indonesia dengan fokus pada perbaikan secara signifikan kondisi ekonomi

untuk meningkatkan income per kapita, mengurangi kesenjangan sosial, dan memperluas

lapangan kerja; pelayanan pendidikan yang makin merata, bermutu dan terjangkau; serta

pelayanan kesehatan dan jaminan sosial yang memadai, sehingga secara keseluruhan

kebijakan partai dapat meningkatkan taraf hidup rakyat yang layak sesuai dengan nilai-nilai

kemanusiaan yang adil dan beradab.

Page 35: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

35

Untuk mewujudkan kesejahteraan dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat haruslah

melalui suatu perubahan yang menyeluruh, sistematis, terpadu dan terarah, yakni perubahan

yang dikehendaki (intended change) dan direncanakan (planned change), baik di bidang

politik, ekonomi, sosial, maupun budaya, terutama dalam merumuskan rencana kebijakan,

subjek, proses, dan objek perubahan di dalam masyarakat. Dalam kaitan ini, Partai Perindo

menyatakan kesungguhan untuk menjadi kekuatan perubahan bersama-sama dengan unsur

masyarakat lainnya.

Partai Perindo mendorong secara optimal terwujudnya Indonesia sebagai negara

kesejahteraan (welfare state) yang berdasarkan Pancasila, karena telah memenuhi lima

prinsip, meliputi: (1) cabang produksi yang penting dan menyangkut hajat hidup orang

banyak dikuasai oleh negara; (2) usaha-usaha swasta di luar cabang-cabang produksi yang

menyangkut hajat hidup orang banyak diperbolehkan, tetapi negara melakukan pengaturan,

agar tidak merugikan kesejahteraan rakyat; (3) negara terlibat langsung dalam usaha-usaha

kesejahteraan rakyat; (4) negara mengembangkan sistem perpajakan progresif; dan (5)

pembuatan keputusan publik dilakukan secara demokratis.

Pada akhirnya, apabila kesejahteraan lahir dan batin bagi seluruh rakyat Indonesia dapat

dicapai, Persatuan Indonesia akan kukuh. Partai Perindo berkeyakinan bahwa Indonesia

Sejahtera sebagaimana semboyan ”Gemah Ripah Loh Jinawi” dan ”Baldatun Thoyyibatun

Warobbun Ghofur” dapat diwujudkan dengan kerja keras yang berlandaskan pada Tujuh

Nilai dan Prinsip Perjuangan, yaitu Persatuan, Keadilan, Kejujuran, Gotong Royong,

Musyawarah, Anti-diskriminasi, dan Perubahan.

Keyakinan itu bertambah besar karena adanya dukungan modal perjuangan yang dimiliki

partai, berupa ideologi Pancasila, figur utama yang berkarakter, sumber daya manusia yang

unggul, jaringan media yang kuat, infrastruktur yang memadai, modal sosial yang besar, serta

keberpihakan pada rakyat kecil yang sungguh-sungguh.

ABDUL KHALIQ AHMAD

Wakil Sekjen DPP Partai Perindo dan Mantan Anggota DPR RI

Page 36: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

36

Mala Prohibita Abraham Samad Koran SINDO 7 Februari 2015

Krisis hubungan antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri ditingkahi berita

bahwa Ketua KPK Abraham Samad dijadikan tersangka kasus pidana karena perbuatan yang

dilakukannya sekitar delapan tahun yang lalu.

Kesan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Samad digiring ke kasus pidana

sebagai balasan Polri atas tindakan KPK yang telah menjadikan Budi Gunawan sebagai

tersangka tindak pidana korupsi sehingga pencalonannya sebagai kapolri menjadi terganjal.

Belum jelas dan masih simpang siur, apa kasus tersebut dan bagaimana posisi Samad di

dalamnya.

Wakapolri Badrodin Haiti mengakui Polri telah mengeluarkan surat perintah penyidikan

(sprindik) untuk Abraham Samad, tetapi yang bersangkutan belum menjadi tersangka.

Namun sumber Polri juga menyebutkan bahwa Abraham Samad resmi menjadi tersangka

karena pemalsuan dokumen di Sulawesi.

Kasus yang disangkakan adalah memalsukan dokumen kependudukan seseorang untuk

mendapatkan paspor dengan cara memasukkannya ke dalam kartu keluarga. Kisahnya, seperti

yang termuat dalam pemberitaan pers, ada seseorang ingin memiliki paspor yang dikeluarkan

oleh Kantor Imigrasi Makassar, tetapi yang bersangkutan tidak memiliki kartu tanda

penduduk Makassar karena bertempat tinggal di provinsi lain.

Oleh Abraham Samad diusahakan agar yang bersangkutan dapat memiliki bukti

kependudukan dengan cara memasukkannya ke dalam kartu keluarga tanpa ada dokumen

perpindahan yang sah dari daerah asalnya. Dengan itu pencantuman di dalam KK itulah yang

bersangkutan bisa mengurus dan mendapatkan paspor. Perbuatan yang dilakukan Samad pada

tahun 2007 itu sekarang diangkat sebagai kasus pemalsuan dokumen dan, konon, Samad

sudah dijadikan tersangka dalam kasus ini.

Kalau cerita yang saya tangkap dari pemberitaan pers itu benar, sekali lagi kalau itu benar,

maka dijadikannya Samad sebagai tersangka dalam kasus pemalsuan dokumen itu sangatlah

berlebihan. Tak mengherankan jika kemudian dikatakan, dalam istilah yang banyak dipakai

oleh umum meski tak sepenuhnya tepat, Samad menjadi sasaran kriminalisasi karena konflik

antara KPK dan Polri.

Perbuatan Samad menolong orang itu memang melanggar aturan, tetapi tidak merugikan

siapa pun, tidak mengandung niat jahat dan sampai sekarang paspor itu tidak juga

dipergunakan untuk suatu kejahatan.

Page 37: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

37

Di dalam hukum apa yang dilakukan Samad itu bisa tergolong mala prohibita, yaitu

melakukan perbuatan yang melanggar hukum karena diatur demikian oleh hukum, tetapi

belum tentu ada yang dirugikan. Selain mala prohibita, di dalam hukum ada juga mala in se,

yakni suatu perbuatan jahat bukan hanya karena diatur dan disebut jahat di dalam undang-

undang, tetapi perbuatan itu memang merusak karena menabrak kewajaran, bertentangan

dengan moral, dan melanggar prinsip umum kehidupan masyarakat yang beradab.

Membunuh atau merampok, misalnya, merupakan mala in se, sebab selain diatur di dalam

undang-undang, perbuatan tersebut juga merugikan masyarakat. Tapi kalau kita menerobos

lampu merah di tengah malam yang sepi, hal itu merupakan mala prohibita, jelas melanggar

aturan, tetapi tidak ada yang dirugikan. Kalau kita lupa membawa SIM saat menyopir di jalan

umum, maka itu juga merupakan mala prohibita yang tidak mengandung mala in se karena

meski melanggar aturan sebenarnya tidak ada yang dirugikan atau dirusak di tengah-tengah

masyarakat.

Apakah melakukan mala prohibita itu salah? Ya, tentu salah karena melanggar aturan. Tapi,

dalam praktiknya, hal-hal seperti itu tidak dibesar-besarkan sebagai kasus kriminal, bahkan

banyak yang dibiarkan begitu saja. Di Jakarta ini, misalnya, bisa ribuan pejabat yang selain

memiliki KTP Jakarta juga masih memiliki KTP dari daerah asalnya. Ada hakim yang

memiliki KTP aktif sampai enam karena sering berpindah tugas, tetapi tidak sempat

mengurus dokumen-dokumen kepindahannya. Ada yang membuat SIM, tetapi kertas

ujiannya diantar ke rumah untuk ditandatangani dengan jawaban yang sudah lengkap.

Sebenarnya pelaksanaan hukum kita selama ini memang cenderung menerapkan

permakluman untuk tidak terlalu mempersoalkan mala prohibita yang tidak disertai dengan

mala in se. Polri bukannya tak tahu ini. Pada 2012 oleh Kabareskrim Sutarman saya diundang

dalam satu pertemuan Reskrim Polri se-Indonesia untuk memberi ceramah tentang

restorative justice.

Saat itu saya mengatakan bahwa ide restorative justice yang menghendaki penyelesaian

masalah hukum tertentu secara harmoni dan tak membawa kasus ke pengadilan kecuali

mengandung mala in se adalah ide hukum yang bersumber dan berakar dalam budaya hukum

Indonesia. Mahkamah Agung pun membuat kebijakan agar kasus-kasus pidana tertentu yang

tidak mengandung mala in se bisa diselesaikan tanpa ribut-ribut ke pengadilan dengan

mengenakan denda maksimal di lapangan.

Ternyata, kawan-kawan Polri mengatakan, sudah lama Polri menerapkan restorative justice.

Banyak kasus pelanggaran hukum yang tidak dibawa ke pengadilan karena hanya

mengandung mala prohibita tanpa mengandung mala in se yang berarti. Polri mengambil

penyelesaian damai, tidak membesar-besarkan, dan menjaga harmoni.

“Kalau tidak demikian, berapa ratus ribu kasus pelanggaran hukum yang harus kami bawa ke

pengadilan. Polri justru menyelesaikan secara baik di luar pengadilan,” kata Bekto Suprapto,

Page 38: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

38

mantan Kapolda Papua yang saat itu juga menjadi pembicara bersama saya dan Prof Achmad

Ali.

Kita berharap agar kasus Samad soal pencantuman nama seseorang di dalam kartu keluarga

untuk mengurus paspor itu dianggap sebagai mala prohibita yang tidak disertai mala in se.

MOH MAHFUD MD

Guru Besar Hukum Konstitusi

Page 39: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

39

Pulihkan Citra KPK dan Polri Koran SINDO 7 Februari 2015

Tidak mungkin dimungkiri, kisruh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri membuat

citra dan wibawa kedua lembaga penegak hukum tergerus. Publik melihat KPK dan Polri

saling berhadapan, padahal yang diduga bermasalah hanya individu.

Yang terjadi saat ini adalah yang ketiga kalinya, sehingga seharusnya sudah diketahui akar

masalahnya agar tidak melebar ke mana-mana. Rakyat butuh kepastian, rakyat butuh KPK

untuk memberantas korupsi. Rakyat juga butuh Polri untuk menjaga keamanan dan ketertiban

masyarakat.

Yang paling kompeten menyelesaikan kisruh adalah Presiden Joko Widodo (Jokowi), tetapi

terkesan lambat yang membuat perseteruan berkembang menjadi bola liar, bahkan cenderung

mengarah pada fitnah yang tidak rasional. Misalnya tudingan rekayasa dan kriminalisasi,

penetapan tersangka karena ada kepentingan politis, atau karena balas dendam.

Persoalan hukum atas status tersangka dan pelaporan dugaan tindak pidana harus berjalan

sesuai hukum yang berlaku. Tudingan miring yang belum tentu benar itu membuat publik

terbelah, ada yang gigih membela KPK dan ada juga yang mendukung Polri. Itu terlihat di

kantor KPK saat Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto ditangkap penyidik Bareskrim

Polri, dan saat sidang pertama praperadilan BG di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

(2/2/2015).

Maka itu, tidak boleh membiarkan kedua institusi penegak hukum itu terus berhadap-

hadapan, hanya karena persoalan individu yang sarat politisasi. Memang persoalan individu

tidak bisa dilepaskan dari kaitannya dengan institusi lantaran merekalah yang menggerakkan

pelaksanaan fungsi dan wewenang institusi, tetapi tidak boleh digiring menjadi perseteruan

institusi.

Jalan Keluar

Agar rakyat kembali percaya kepada kedua penegak hukum itu harus ada jalan keluar karena

pangkal persoalan selalu sama, yaitu proses hukum terhadap individu pejabatnya. Seteru

pertama yang populer disebut ”cicak-buaya” karena dua wakil ketua KPK, Bibit Samad

Rianto dan Chandra Hamzah (Bibit-Chandra), dijadikan tersangka dugaan penyalahgunaan

wewenang oleh Bareskrim Polri. Seteru kedua dan ketiga karena perwira tinggi Polri diproses

hukum oleh KPK lantaran diduga terkait kasus korupsi.

Page 40: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

40

Mengembalikan citra dan wibawa keduanya, perlu menggelorakan ”save KPK, save Polri,

save pemberantasan korupsi ”. Semua tudingan harus dibuktikan secara hukum tanpa

intervensi. Paling tidak ada tiga solusi yang bisa dipilih untuk memulihkan citra KPK-Polri

sekaligus dapat melaksanakan fungsinya dengan baik.

Pertama, jika semua pimpinan KPK jadi tersangka, berarti mereka akan diberhentikan

sementara dari jabatannya sesuai Pasal 32 ayat (2) UU Nomor 30/2002 tentang KPK. Dalam

kondisi seperti itu, KPK akan lumpuh, tidak bisa melaksanakan fungsinya memberantas

korupsi. Maka itu, Presiden Jokowi perlu mengeluarkan perppu pergantian sementara

pimpinan KPK sampai selesai masa jabatannya Desember 2015. Presiden juga membentuk

panitia seleksi pimpinan KPK paling lambat enam bulan sebelum berakhir masa jabatan

pimpinan KPK, untuk memilih calon komisioner KPK secara permanen.

Tetapi melihat persoalan hukum yang menimpa pimpinan KPK terkait dugaan tindak pidana

masa lalunya, perlu memikirkan jalan keluar agar tidak ada kesan mencari-cari kesalahan

untuk sekadar dijadikan tersangka karena akan diberhentikan sementara dari

jabatannya. Wajar jika publik mulai mempertanyakan hasil verifikasi panitia seleksi calon

pimpinan KPK dan uji kelayakan dan kepatutan DPR yang menganggap tidak ada persoalan

moral dan persoalan hukum sehingga pimpinan KPK jilid ketiga dipilih.

Kedua, Presiden segera mengajukan nama baru calon kapolri ke DPR untuk mendapat

persetujuan dan segera dilantik. Jikapun BG menggugat praperadilan harus dihargai sebagai

upaya mencari keadilan. Polri harus dijaga citranya sebagai alat negara yang menjaga

kamtibmas dengan tugas: melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan

hukum (Pasal 30 ayat (4) UUD 1945).

Ketiga, Indonesia sebagai negara hukum yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945,

maka kasus BG, kasus BW, dan pimpinan KPK lain yang juga dilapor ke polisi harus

diproses hukum secara profesional, transparan, dan objektif. Apalagi, Presiden Jokowi dalam

konferensi pers (26/1/2015) meminta agar proses hukum di KPK dan Polri dilaksanakan

secara transparan, terang benderang dan tidak ada kriminalisasi.

Saling Mendukung

Menyikapi seteru yang sudah memasuki ruang publik maka wajar kalau kalangan aktivis anti-

korupsi dan berbagai elemen masyarakat mendesak agar KPK tidak dilumpuhkan.

Profesionalitas penyidik dan pimpinan KPK menjerat elite-elite politik dan pejabat negara

yang diduga terlibat korupsi, menjadi taruhan apakah korupsi yang sudah menjadi penyakit

kronis itu bisa dihentikan, atau paling tidak dikurangi intensitasnya.

Realitas di masyarakat tidak mungkin ditutupi, mereka sangat percaya pada KPK dalam

pemberantasan korupsi. Tidak mengherankan apabila banyak elemen masyarakat di seluruh

pelosok negeri yang rela berdiri di depan membela KPK.

Page 41: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

41

KPK dan Polri harus berada pada posisi setara dan saling mendukung dalam upaya

pemberantasan korupsi. Seteru yang berlarut justru membuat para koruptor dan calon

koruptor yang antre di berbagai institusi negara bersorak-sorai.

Salah satu upaya Presiden untuk menyatukan sikap kedua institusi itu dengan membentuk tim

independen dari tokoh masyarakat yang berkompeten dan dikenal memiliki integritas tinggi.

Tim itulah yang diharapkan membantu mencari solusi yang tepat guna mengakhiri

perseteruan. Namun, tidak boleh ada intervensi terhadap perlaksanaan teknis penyidikan yang

dilakukan kedua institusi hukum itu.

Akhirnya, untuk mengembalikan citra Polri, Presiden harus segera memilih dan melantik

kapolri baru. Begitu pula KPK, harus dijaga dari kemungkinan tidak bisa melaksanakan tugas

dan fungsinya. Keduanya harus diisi sosok yang tidak berpotensi menimbulkan persoalan di

kemudian hari. Momentum seleksi pimpinan baru KPK pertengahan tahun ini, perlu

dijadikan landasan untuk mencari pimpinan KPK yang betul-betul tidak punya beban masa

lalu yang bisa diungkap.

MARWAN MAS

Guru Besar Ilmu Hukum, Universitas Bosowa 45, Makassar

Page 42: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

42

Jokowi, Prabowo, dan Petugas Partai Koran SINDO 7 Februari 2015

Pertemuan Prabowo dan Jokowi di Istana Bogor (29/1) mengejutkan publik. Mengejutkan

karena ada kesan pertemuan tersebut menyimpan sesuatu yang sangat berarti. Apalagi setelah

pertemuan itu, Prabowo menyatakan akan mendukung apa pun yang diputuskan Presiden

Jokowi. Termasuk, tentu saja, soal pelantikan atau pembatalan pelantikan Budi Gunawan

sebagai kapolri.

Seperti kita ketahui, penunjukan Budi Gunawan sebagai calon tunggal kapolri telah menuai

protes publik karena dia ditengarai mempunyai rekening gendut yang tidak sesuai dengan

penghasilannya sebagai pejabat di Polri. Karena faktor rekening gendut inilah, kemudian

KPK mengumumkan Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka. Kasus ini kemudian

berkembang liar–bukan hanya pro-kontra penunjukan BG sebagai kapolri, melainkan juga

”jegal-menjegal adu kekuatan” antara Polri dan KPK.

Dalam pusaran masalah ini, pada awalnya KPK ”menang” karena berhasil ”menersangkakan”

BG sebagai koruptor (rekening gendut), tapi kemudian polisi” berhasil” membalasnya. Empat

pimpinan KPK, Bambang Widjojanto, Abraham Samad, Zulkarnaen, dan Adnan Pandu Praja

sebagai ”tersangka” dan ”calon tersangka”. Secara praktis, empat pimpinan KPK yang tersisa

(setelah Busyro Muqoddas habis masa jabatannya) menjadi tidak berdaya.

Buya Syafii Maarif menyatakan, pilihan calon tunggal kapolri untuk Budi Gunawan bukanlah

inisiatif Jokowi. Publik pun sebetulnya tahu, siapa yang memaksakan Budi Gunawan sebagai

calon kapolri meski sudah dijadikan tersangka oleh KPK. Dan publik tahu, Koalisi Indonesia

Hebat (KIH) sangat mendukung Budi Gunawan. Bahkan anehnya, DPR pun akhirnya

menyetujui pencalonan BG tersebut. Ini memang aneh, DPR sebagai wakil rakyat yang tahu

aspirasi rakyat, tapi keputusannya bertentangan dengan kehendak rakyat.

Ada pertanyaan, apakah persetujuan DPR memang murni untuk mendukung BG, atau

sebaliknya ingin menjungkalkan Presiden Jokowi agar terjerembap dalam dilema? Kita tak

tahu. Tapi toh arah politik bisa diterka. Akibat pusaran masalah BG ini, Republik jadi kacau

dan Jokowi tersandera.

Mestinya, dalam ”filosofi bahasa” jika ada masalah dalam kenegaraan maka kembalikan (re)

ke rakyat (publik). Jadi penentunya adalah rakyat. Kita tahu, rakyat cenderung membela siapa

dan menolak siapa. Presiden Jokowi, Koalisi Indonesia Hebat (KIH), dan Koalisi Merah

Putih (KMP) pasti tahu rakyat cenderung ke mana. Tapi anehnya, tokoh-tokoh politik

pengusung Jokowi memilih BG. Barangkali inilah misteri perpolitikan Indonesia.

Page 43: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

43

Dalam kondisi inilah, negeri seakan ”tergoyang”. Presiden menghadapi dilema. Partai politik

menghadapi dilema. Dan, rakyat pun merasakan dilema. Dalam kondisi inilah, Prabowo

Subianto hadir menemui Jokowi dan mendukung apa pun yang diputuskan Presiden.

Kenapa tiba-tiba Prabowo mau mendukung apa pun yang diputuskan Presiden? Itulah jiwa

nasionalisme seorang prajurit bila melihat kondisi bangsanya ”kacau”. Bagi seorang prajurit

yang sudah disumpah untuk mengabdi kepada negara, kestabilan negara dan NKRI adalah

final. Prabowo sebagai prajurit sejati tahu betul apa yang harus dilakukannya, yaitu

mendukung keputusan Presiden. Ini karena Presiden adalah pimpinan tertinggi negara.

Negara hanya akan stabil bila presidennya kuat dan berani memutuskan sesuatu berdasarkan

aspirasi rakyat.

Dari konteks inilah, kita melihat kehadiran Prabowo di Istana Bogor untuk mendukung apa

pun yang diputuskan Presiden. Jiwa besar yang bersandarkan pada nasionalisme dan NKRI

inilah kiranya yang mendorong Prabowo menemui Jokowi di Istana Bogor. Padahal kalau

dilihat dari layar belakang sebelumnya, sebagai pimpinan KMP, mestinya Prabowo

berseberangan dengan arah politik Jokowi yang didukung KIH.

Tapi sebagai seorang prajurit Saptamarga, Prabowo justru memilih sebaliknya untuk

mendukung apa pun keputusan Presiden. Pertimbangan Prabowo, jelas, Presiden perlu

didukung untuk kestabilan politik. Kita tahu saat ini, posisi Presiden secara politik lemah

karena beliau bukan pimpinan partai. Ini berbeda dengan SBY, di mana beliau adalah

pimpinan partai pemenang pemilu.

Sedangkan Jokowi, meski didukung partai pemenang pemilu (PDIP), Jokowi bukanlah

pimpinan partai. Megawati sebagai ketua umum PDIP menyatakan Jokowi adalah kader

partai, dan karena itu beliau sebagai presiden adalah mengemban tugas partai. Pernyataan ini

jelas bertentangan dengan filosofi politik kenegaraan, di mana bila seorang kader atau

pimpinan partai menjadi presiden maka selesailah tugas partai karena dia telah menjadi

”petugas” rakyat seluruh negara.

Dalam bahasa politik, presiden adalah mandataris rakyat sebuah negara. Jadi presiden bukan

petugas partai. Tugas partai sudah selesai karena dia harus menjalankan tugas negara. Ketika

seorang politikus menjadi presiden, kata Kennedy, maka tugas partai pun berakhir. Di

pundaknya kini memikul tugas negara dan menjalankan amanat rakyat.

Apalagi, Jokowi terpilih dengan suara lebih dari 57% sedangkan suara PDIP hanya 18%. Ini

artinya, yang memilih Jokowi sebagai presiden adalah rakyat– bukan kader partai. Dengan

demikian, Jokowi adalah milik semua rakyat, simbol negara– bukan milik golongan dan

partai politik. Jika demikian, partai politik yang mengaku ”pemberi tugas” untuk Jokowi

tidak lagi menyerimpungnya.

Kasus BG dan perseteruan antara Polri dan KPK hendaklah jadi pelajaran. Jangan melawan

suara rakyat karena rakyatlah pemilik negeri ini, bukan partai politik!

Page 44: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

44

M BAMBANG PRANOWO

Guru Besar UIN Jakarta/Rektor Universitas Mathlaul Anwar, Banten

Page 45: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

45

Governabilitas Jokowi Koran SINDO 7 Februari 2015

Apakah Presiden Joko Widodo (Jokowi) tengah mempertajam kepemimpinannya di kawah

candradimuka politik Indonesia, ataukah tengah memperlihatkan ketekoran

kepemimpinannya?

Pertanyaan tersebut mengemuka ketika sebagai Presiden, Jokowi diuji untuk menyelesaikan

kemelut konflik antarelite dalam institusi kepolisian dan Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK) hari-hari ini. Kasusnya memang dilematis dan tidak sederhana, tetapi Jokowi punya

kewenangan politik untuk memutuskan sesuatu yang dapat memengaruhi jalannya cerita di

kemudian hari.

Tetapi dalam konteks kepemimpinan, memutuskan saja tidak cukup. Pemimpin harus mampu

mengendalikan beragam sumber daya melalui pengaruhnya. Konteksnya, pengelolaan

konflik. Dalam kasus kepemimpinan politik Jokowi, sepertinya dia kurang

mempertimbangkan aspek-aspek kontestasi antarelite, sebelumnya. Yang tampak, Jokowi

banyak bergantung pada asumsi semua orang bisa diajak bekerja sesuai dengan kemauannya.

Namun bahkan dalam hal memilih para pembantu atau anggota kabinet, nyatanya Jokowi

tidak bisa melakukannya secara optimal. Dia terpaksa harus mengakomodasi ragam kekuatan

politik pendukungnya. Namun dalam perkembangannya, Jokowi berikhtiar membentuk

keseimbangan antarelite pendukungnya ataupun dengan kelompok penyeimbang.

Pascapembentukan kabinet, sesungguhnya Jokowi telah menggambar peta politik yang

dinamis. Peta itu masih akan terus berubah, setidaknya karena dua faktor. Pertama, faktor

kepentingan Jokowi untuk menjadi pemimpin yang seotentik mungkin, lepas dari bayang-

bayang figur- figur kekuatan-kekuatan politik lain.

Katakan, kalaupun memang Jokowi menyadari hal ini, dia akan bertransformasi dari ranah

”petugas partai” ke ”petugas rakyat” atau pemimpin bangsa yang sepenuhnya mandiri.

Benturan-benturan keras dengan partai-partai politik pengusungnya, apalagi khususnya PDIP

dengan ikon utamanya Megawati Soekarnoputri, pasti tidak terelakkan.

Kedua, faktor kapasitas kepemimpinan Jokowi sendiri. Ini terkait dengan bagaimana dia

sebagai pemimpin bangsa merespons kasus-kasus krusial. Kapasitas kepemimpinan merujuk

pada kecakapan memimpin serta ketepatan kebijakan dan respons terhadap perkembangan,

juga dalam menjaga momentum. Kapasitas pemimpin jelas juga terkait dengan konteks

pengambilan risiko, selain pengelolaan harapan.

Page 46: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

46

Dalam hal ini, Jokowi dapat menjadi penentu. Kalau kapasitas kepemimpinannya mantap, dia

akan mampu mengelola perubahan menuju visinya. Tetapi kalau kepemimpinannya tekor,

peta politik juga bisa berubah drastis. Ketekoran kepemimpinan tidak semata-mata terkait

dengan konteks tercabutnya dukungan politik, tetapi juga dalam hal-hal yang bermuara pada

kemerosotan daya kepemimpinan atau pengaruh di segala lini.

Kondisinya bisa jadi lebih parah ketimbang kondisi ”tidak dapat memerintah”, karena

ketekoran kepemimpinan ditandai oleh resistensi dari segala arah. Uraian di atas

dimaksudkan untuk memahami bahwa siapa pun yang menjadi presiden, juga akan

dihadapkan pada problem yang sama.

Adanya realitas kontestasi antarelite dan kelompok kepentingan tentu berpotensi

mengganggu fokus pemerintah untuk bekerja. Tetapi justru di sini, kepemimpinan politik

presiden diuji, bagaimana dia mampu menjadi integrator dan dinamisator yang produktif

sehingga politik menjadi kondusif.

Pembangunan membutuhkan kehadiran para teknokrat sebagai sosok-sosok ahli yang

berkompeten dalam mengimplementasikan program-program pembangunan. Golongan yang

tergabung dalam kabinet inilah diharapkan mampu mempercepat perwujudan visi presiden.

Namun, ini juga bukan hal statis robotik. Kabinet yang bernuansa politik, tentu membutuhkan

pendekatan kepemimpinan yang berorientasi keseimbangan dan mekanisme ”reward and

punishment” yang jelas. Maka itu, governabilitas atau daya memerintah Presiden Jokowi

tergantung, lebih-lebih, pada kapasitas kepemimpinannya.

Sejauh mana daya pengaruh dan daya geraknya mampu mengondisikan segenap potensi

sumber daya pemerintahan secara sinergis, selain kecakapannya dalam mengelola kekuasaan,

termasuk kemampuannya untuk memastikan aparat penegak hukum bekerja dengan

profesional. Pun dalam menjalankan tugasnya sebagai panglima tertinggi militer.

Pemimpin memang perlu banyak masukan, formal maupun tidak formal dari berbagai

spektrum dan sumber. Kapasitas pemimpin, dalam konteks ini ialah menemukan poin-poin

penting sebagai referensi yang mendasari kebijakan (policy) yang diambilnya secara bijak

(wisdom). Dari berbagai masukan, semua akan berpulang ke dirinya.

Pemimpin perlu kesunyian di tengah keramaian. Kesunyian itulah detik-detik untuk

memutuskan yang dianggapnya terbaik, kendatipun tidak populer. Jokowi tentu akan terus

dihadapkan pada kesunyian-kesunyian itu.

Governabilitas Jokowi sebagai presiden akan efektif kalau program-program pemerintah

berjalan secara terencana dan terukur. Tentu ini terkait dengan sistem dan sarana-prasarana.

Dalam aspek tertentu, seiring dengan ikhtiar untuk melakukan terobosan-terobosan

kebijakan, pemerintahan Jokowi tampak ingin tampil beda dengan pemerintahan sebelumnya.

Artinya, sistem harus ada yang diubah.

Page 47: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

47

Perubahan sistem memang perlu waktu, selain proses adaptasi yang melibatkan semua pihak.

Namun, dia memang akan bertemu dengan berbagai keterbatasan di lapangan, tidak saja soal

sarana-prasarana, tetapi juga aspek-aspek kultur dan mentalitas. Di sinilah urgensi pemimpin

sebagai panduan moral dalam perubahan sistem yang kompleks.

Dalam kasus Jokowi, sesungguhnya dia punya modal kepercayaan (trust) yang tinggi, bahwa

dia adalah sosok ”pemimpin moralis” yang timbul dari bawah. Simbol kerakyatan masih

sering dilekatkan ke Jokowi, tetapi setidaknya hingga saat ini dia belum dilengkapi segera

dengan simbol kecakapan. Jokowi masih terkesan belum begitu cakap dalam menyelesaikan

konflik kepolisian dan KPK dewasa ini, kendatipun keriuhannya bisa semakin mereda.

Masa seratus hari pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla masih tampak diwarnai ikhtiar adaptasi

kepemimpinan di tengah realitas kontestasi politik yang dinamis. Keriuhan politik seolah

menenggelamkan program-program baik yang bersifat terobosan pemerintah. Juga belum

optimalnya governabilitas Jokowi dalam mengarahkan sinergisitas seluruh kekuatan sumber

daya pemerintahan untuk bergerak cepat ke arah pencapaian visinya.

Apakah setelah ini akan terjadi pergerakan yang lebih cepat, stagnan, atau mundur?

Bergantung faktor kepemimpinan Jokowi sebagai penentu kebijakan-kebijakan utama di

negeri ini.

M ALFAN ALFIAN

Dosen Pascasarjana Ilmu Politik, Universitas Nasional, Jakarta

Page 48: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

48

Mobil Proton dan Misteri Hendropriyono Koran SINDO 10 Februari 2015

Forum Hari Pers Nasional (HPN) di Batam, 9 Februari 2015, tiba-tiba dipanaskan

perbincangan mengenai penandatanganan kerja sama perusahaan mobil Proton dan

perusahaan Indonesia yang dipimpin oleh mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN)

Jenderal TNI (Purn) Hendropriyono.

HPN sendiri diikuti oleh lebih dari 300 insan pers dari Sabang sampai Merauke. Di hampir

setiap ruangan–dari restoran, kafe, lobi hingga lorong-lorong kamar Hotel Harmoni One,

semua berbicara tentang peristiwa yang mengejutkan itu. Di mana pun saya berada, mereka

selalu melemparkan satu pertanyaan kepada saya: Ada apa dengan kerja sama antara Proton

dengan Hendro?

Pertanyaan ini muncul karena beberapa sebab: Pertama, peristiwa penandatanganan betul-

betul mengejutkan, tampaknya dirahasiakan sebelumnya secara ketat sehingga tidak bocor ke

media massa. Artinya, hari-hari sebelumnya nyaris tidak ada media yang melansir berita ini.

Kedua, sosok Hendropriyono yang memang kontroversial dan belakangan kerap jadi berita

hangat di media massa, termasuk media sosial. Kontroversi itu, antara lain, karena seringnya

Hendro menghadap Presiden Jokowi di Istana. Presiden kerap meminta saran dan masukan

dari Hendro terkait berbagai isu nasional yang “panas”, khususnya isu Budi Gunawan. Semua

orang tahu betapa dekatnya hubungan antara Hendro dengan Presiden Jokowi.

Ketiga, Hendro sejauh ini kurang dikenal di kalangan pebisnis automotif. Bahkan, Gaikindo

sendiri tidak pernah dengar nama perusahaan yang dikomandoi Hendro yang bekerja sama

dengan Proton dari Malaysia itu. Malah, nama perusahaan itu dikabarkan “tidak terdaftar” di

Kementerian Perdagangan. Memang Hendro pernah duduk sebagai salah satu komisaris, atau

mungkin juga presiden komisaris PT KIA Indonesia. Tapi beberapa tahun kemudian dia

mengundurkan diri.

Keempat, semua orang bertanya: Kenapa Indonesia mau bikin mobnas bekerja sama dengan

Proton? Bukankah Proton mobil yang tidak laku di Indonesia? Bahkan, di Malaysia sendiri

pasarnya semakin merosot. Kabarnya 50% kandungan Proton yang dibuat di Indonesia

berasal dari Indonesia. Lha, mobil merek lain eks Jepang sudah mencapai kandungan

komponen lokal sampai 80%.

Lalu, Proton sendiri belum bisa mengklaim mobil buatan Malaysia. Masih 50%

komponennya buatan Jepang. Bagaimana Malaysia bisa transfer of technology kalau masih

50% komponen Proton “dikuasai” oleh Jepang?

Page 49: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

49

Masyarakat bingung kenapa kalau memang pemerintah serius mau bikin mobil nasional,

kenapa bukan gandeng dengan prinsipal yang jauh lebih bagus mobilnya dan laris di

Indonesia?

Juga dipertanyakan kenapa Presiden Jokowi harus jadi saksi penandatanganan kerja sama ini.

Bukankah Proton itu milik pemerintah Malaysia dengan status BUMN, sedangkan

perusahaan yang dipimpin oleh Hendro swasta murni? Jadi, menteri perindustrian kita keliru

ketika mengatakan ini kerja sama B to B (business to business), yang betul adalah kerja sama

G to P (government to private sector).

Begitu banyak pertanyaan yang dilontarkan oleh para insan pers, sehingga muncul pemikiran

untuk menggelar satu seminar khusus yang membahas soal proyek mobil nasional versi

Proton ini. Artinya banyak misteri di balik kerja sama ini! Karena banyak misteri maka

muncullah macam-macam rumor.

Rumor yang pertama, perusahaan milik Hendro pasti nanti akan minta bantuan pada Presiden

Jokowi, bantuan keringanan bea masuk, atau mungkin bea masuk nol persen. Rumor kedua,

nanti semua instansi pemerintah diwajibkan menggunakan “mobnas” produksi Proton di

Indonesia itu, sebab orang swasta kemungkinan sedikit yang mau beli mobil Proton. Lha,

sekarang saja pasar Proton di Indonesia sangat kecil, kalah telak dihajar oleh mobil-mobil eks

Jepang dan Korea.

Menurut Rizal Ramli, mantan menko perekonomian era perintah Gus Dur, Proton Indonesia

dikhawatirkan mengikuti pola Timor era Soeharto. Yaitu Timor diimpor bulat-bulat dari

Korea, dan pemerintah membebaskan bea masuk sepenuhnya. Namun pada akhirnya,

masyarakat tahu bagaimana kualitas Timor sehingga proyek mobnas itu gagal total.

Yang juga dipertanyakan para wartawan kenapa penandatanganan kerja sama ini terjadi

ketika suasana kebatinan hubungan RI-Malaysia sebenarnya sedang “hangat” gara-gara

muncul iklan Malaysia yang bernuansa bangsa Indonesia, terkait dengan TKI yang bekerja di

Malaysia. Iklan itu seakan-akan melecehkan kualitas pembantu Indonesia. Perhatikan reaksi

media Indonesia, yang marah besar terhadap iklan Malaysia itu yang menghina PRT kita!

Dalam suasana hubungan bilateral RI-Malaysia yang begitu tidak kondusif, kenapa kita

menandatangani kerja sama pembuatan Proton di Indonesia? Peristiwa penandatanganan itu

seolah-olah menampar muka bangsa kita sendiri; seolah-olah kita melupakan iklan Malaysia

tadi, bahkan langsung merangkul Malaysia.

Dalam konteks ilmu komunikasi, timing peristiwa penandatanganan kerja sama itu sangat

tidak tepat. Ingat ilmu komunikasi mengajarkan bahwa tindak komunikasi juga harus

memperhatikan momen atau timing. Jika momennya jelek, komunikasi akan tidak efektif,

biarpun pesan komunikasi bagus.

Lepas dari semua “misteri” itu, isu mobil nasional sendiri sementara tidak laku di Indonesia,

Page 50: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

50

karena masyarakat sudah apriori gara-gara proyek mobnas yang gagal beberapa kali

sebelumnya. Pemerintah Indonesia memang tidak pernah serius untuk bikin mobil made-in

Indonesia!

PROF TJIPTA LESMANA

Pengamat Politik

Page 51: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

51

Mimpi PDIP Menyapu Pilkada Koran SINDO 10 Februari 2015

Presiden Jokowi meminta pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak digelar pada September

2015. Pilkada ini meliputi pemilihan 8 gubernur, 26 wali kota, dan 170 bupati, yang tersebar

di 23 provinsi. Hal ini disampaikan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo seusai menghadap

Presiden di Istana, Rabu (4/2).

Permintaan Jokowi ini terasa aneh di tengah usulan banyak pihak untuk memundurkan jadwal

pilkada serentak pada 2016. Seperti diketahui, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perppu

No 1/2014) telah ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU No 1/2015).

Namun, undang-undang ini tidak bisa langsung diimplementasikan karena banyaknya materi

muatan yang bermasalah: kekosongan hukum, tumpang tindih, kontradiksi, dan pelanggaran

konstitusi. Beberapa kegiatan dan tahapan diatur berpanjang-panjang sampai seluruh tahapan

(tanpa putaran kedua) membutuhkan waktu 13 bulan sehingga berpotensi menimbulkan

masalah baru. Oleh karena itu, DPR sepakat untuk merevisi undang-undang tersebut.

Menurut Pasal 201 ayat (1) UU No. 1/2015, pemungutan suara serentak dilakukan pada 2015

bagi daerah yang masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada 2015. Berdasarkan ketentuan

ini, KPU merencanakan pilkada serentak pada Desember 2015. Jika rencana itu diwujudkan,

tahapan pertama pilkada yakni pendaftaran bakal calon, dimulai pada 26 Februari.

Namun, Komisi II DPR meminta KPU tidak menyiapkan peraturan-peraturan teknis

penyelenggaraan pilkada, termasuk tentang jadwal tahapan, sampai revisi UU No. 1/2015

selesai. Komisi II DPR menargetkan revisi undang-undang akan diketuk pada sidang

paripurna DPR pada 17 Februari nanti.

Terhadap situasi di atas ada beberapa kemungkinan. Jika DPR dan pemerintah gagal

menyepakati revisi UU No. 1/2015 maka bisa dipastikan pilkada serentak tidak bisa segera

dilaksanakan; jikapun KPU dipaksa melaksanakan berdasarkan UU No. 1/2015 maka akan

banyak masalah karena undang-undangnya tidak bisa diimplementasikan.

Sebaliknya, jika DPR dan pemerintah menyepakati revisi UU No. 1/2015 maka ada dua

kemungkinan: pertama, jika waktu tahapan tetap (tidak direvisi) maka sesuai rencana KPU,

tahapan pertama pilkada dimulai 26 Februari agar pemungutan suara bisa Desember; kedua,

jika waktu pendaftaran bakal calon hingga pemungutan suara diperpendek menjadi enam

bulan (seperti pengalaman pilkada sebelumnya), mengacu rencana KPU (pemungutan suara

Page 52: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

52

Desember 2015) maka tahapan pertama bisa dimulai Juni; sedangkan jika hendak memenuhi

permintaan Presiden (pemungutan suara September 2015), tahapan pertama mulai Februari.

Salah Informasi?

Katakanlah, revisi UU No. 1/2015 benar disahkan pada 17 Februari dan KPU berusaha keras

memenuhi permintaan Presiden untuk menggelar pilkada serentak pada September 2015;

maka langkah pertama KPU adalah membuat peraturan KPU tentang pedoman pelaksanaan

teknis pilkada yang jumlahnya puluhan.

Peraturan ini harus diselesaikan dalam waktu sepekan, mengingat tahapan pertama pilkada

harus dimulai akhir Februari. Masalahnya, apa mungkin hal itu dilakukan KPU? Jawabannya,

tidak! Sebab dalam membuat peraturan, KPU tidak bisa memutuskan sendiri. Sebelum

disahkan, semua rancangan peraturan harus dikonsultasikan dengan DPR dan pemerintah.

Jadi, permintaan Presiden Jokowi untuk menggelar pilkada serentak pada September 2015

mustahil bisa dipenuhi.

Sebagai politisi yang sudah tiga kali mengikuti pilkada langsung (dua kali di Solo dan satu

kali di DKI Jakarta), Jokowi mestinya tahu bahwa pelaksanaan tahapan pilkada tak bisa serta-

merta dilakukan begitu undang-undang disahkan. Butuh waktu untuk penyusunan peraturan

teknis, perencanaan, penganggaran, dan persiapan operasional lain. Namun karena dalam

pilkada keterlibatannya hanya sebatas sebagai calon, mungkin saja Jokowi tidak paham

sepenuhnya tentang manajemen pelaksanaan pilkada tersebut. Oleh karena itu, saya menduga

Jokowi mendapat masukan yang salah dari anak buahnya sehingga dia meminta agar pilkada

serentak digelar pada September 2015.

Di sinilah peran penting Mendagri Tjahjo Kumolo. Sebagai menteri yang membawahi urusan

pemerintah daerah, sudah semestinya dia mengetahui tentang berbagai macam masalah

penyelenggaraan pilkada sehingga masukan yang disampaikan ke Presiden tepat. Rasanya

tidak mungkin sebagai politisi senior yang membidangi politik dan pemerintahan, Tjahjo

tidak memahami kompleksitas penyelenggaraan pilkada serentak.

Saya justru curiga, sebagai mantan sekretaris jenderal PDIP, Tjahjo menyelipkan kepentingan

partai dalam memberi masukan ke Presiden agar pilkada serentak digelar September 2015.

Apalagi, kehendak untuk tidak menunda pelaksanaan pilkada serentak juga disuarakan

dengan keras oleh Fraksi PDIP di DPR. Tujuannya tidak lain adalah PDIP menang dalam

pilkada serentak nanti.

Tjahjo meyakini bahwa semakin cepat pilkada serentak digelar, semakin besar peluang

partainya memenangkan pilkada di banyak daerah. Mengapa? Karena Tjahjo dan PDIP

percaya kemenangan PDIP dan Jokowi dalam Pemilu 2014 akan berpengaruh positif terhadap

kemenangan dalam pilkada serentak. Dan, pengaruh itu semakin kuat manakala jadwal

pelaksanaan pilkada serentak lebih dekat dengan jadwal Pemilu 2014.

Page 53: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

53

Mengulang Taktik SBY

Situasi politik menjelang pilkada saat ini hampir sama dengan lima tahun lalu, pasca Pemilu

2009. Menjelang pilkada gelombang kedua yang dimulai pada Juni 2010, terjadi

kesemrawutan dalam pengaturan teknis, menyusul berlakunya UU No. 12/2008 yang

mengubah UU No. 32/2004.

Kali ini terdapat silang sengkarut masalah ketersediaan anggaran, sampai-sampai Komisi II

DPR dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi sepakat untuk memundurkan jadwal ke

tahun berikutnya. Namun atas usulan ini, rupanya Presiden SBY menolak. SBY yang juga

ketua Dewan Penasihat Partai Demokrat bersikeras agar pilkada dipaksakan tetap sesuai

jadwal, mulai Juni 2010.

Bagi SBY dan Partai Demokrat, pelaksanaan pilkada sesuai jadwal terlihat lebih

menguntungkan karena kemenangan Partai Demokrat dan SBY dalam satu putaran pada

Pemilu 2009 akan bisa mengatrol perolehan suara calon-calon yang didukung Partai

Demokrat. Kenyataannya harapan itu jauh panggang dari api. Jika kali ini Jokowi, Tjahjo

Kumolo, dan PDIP menghendaki pilkada digelar pada September 2015, alasan sebenarnya

kurang lebih sama dengan SBY dan Partai Demokrat lima tahun lalu.

Pelaksanaan pilkada tanpa persiapan matang itulah yang menyebabkan pilkada gelombang

kedua (2010-2013) menurun kualitasnya juga dibandingkan dengan gelombang pertama

(2005-2008). Sebab pokoknya adalah KPU daerah selaku penyelenggara pilkada diintervensi

kepala daerah dengan memainkan politik anggaran akibat bolong-bolong peraturan yang

terkait dengan penyelenggaraan pilkada.

Karena KPU daerah bekerja dalam tekanan, mereka tidak bisa melaksanakan tahapan pilkada

dengan baik, termasuk mengantisipasi politik uang dan kecurangan. Mahkamah Konstitusi

pun kebanjiran perkara sengketa hasil pilkada.

Permintaan Jokowi, Tjahjo Kumolo, dan PDIP untuk memaksakan pelaksanaan pilkada

serentak pada September 2015, tentu tidak akan terjadi jika mereka berkaca pada kekacauan

pilkada Juni 2010. Apalagi, kemenangan yang dibayangkan oleh SBY dan Partai Demokrat,

juga tidak terjadi.

Dalam hal ini kepentingan bangsa, keselamatan negara, dan pembangunan demokrasi,

mestinya jadi pertimbangan utama.

DIDIK SUPRIYANTO

Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

Page 54: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

54

Kewenangan Minus Etika Koran SINDO 10 Februari 2015

Akhir-akhir ini, publik disuguhkan dengan sebuah keprihatinan terhadap situasi dua lembaga

tinggi negara kita: Kepolisian dan KPK.

Lembaga yang digadang-gadang menjadi garda terdepan penegakan hukum itu kini tengah

terjebak dalam situasi konfrontatif yang menyedihkan. Imbasnya, agenda penegakan hukum

tersendat hanya karena fenomena saling unjuk kewenangan penegakan hukum itu sendiri.

Publik terkesan terbelah membela KPK atau Polri, sementara Presiden dipandang menjadi

sumber masalah dan sekaligus tumpuan harapan penyelesaian masalah. Beberapa tokoh

malah terkesan latah menghujat institusi- institusi itu dan bahkan terdengar mengumpat sosok

personal Presiden dengan nada menghina, merendahkan dan memperkeruh suasana.

Padahal, saya yakin betul bahwa tokoh-tokoh itu memahami pentingnya Presiden bersikap

netral, menghormati tanpa intervensi terhadap upaya penegakan hukum. Intervensi eksekutif

terhadap urusan yudikatif dianggap tabu dalam tatanan trias politica, bisa menjadi umpan

proses politik impeachment.

Dalam hal ini, kita perlu mengingatkan bahwa ada dua dimensi lain yang perlu dipelajari

untuk mencegah konflik terulang di masa depan. Pertama, dimensi rasionalitas versus

emosionalitas. Benar bahwa supremasi hukum di atas segalanya. Namun, di balik supremasi

hukum yang sangat rasional itu terdapat manusia-manusia yang menerjemahkan kaidah

hukum ke dalam rangkaian tindakan kewenangan praktikal manusiawi para penegak hukum

lengkap dengan motif dan hasratnya.

Artinya, di sela-sela keputusan hukum oleh para pejabat publik dengan segala rasionalitasnya

terdapat dimensi emosional dalam bentuk motivasi atau hasrat. Sehingga, rasionalitas

keputusan pejabat publik, tidak bisa tidak, diwarnai motif atau hasrat (intangible assets)

manusiawi.

Rasionalitas bisa diartikan inteligensia. Pejabat publik sangat perlu memiliki kemampuan ini

untuk mempelajari semua hal terkait proses pembuatan keputusan atau kebijakan. Namun,

pada saat yang bersamaan, pejabat publik itu juga memiliki dimensi emosionalitas, dalam

salah satu bentuknya, yakni selera (suka atau tidak suka) yang kemudian menyaring aneka

pilihannya ketika menentukan hal yang perlu diperhatikan dalam proses pembuatan

keputusan atau kebijakan.

Kedua, dimensi etik versus prosedur baku. Tahun lalu telah dirancang RUU Etika

Page 55: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

55

Penyelenggara Negara. Namun sayangnya, RUU yang menjadi bagian penting dari agenda

reformasi birokrasi ini masih belum dilanjutkan dan dikeluarkan dari jadwal prioritas

pembahasan.

Sekiranya saat ini sudah terdapat pengaturan tentang etika penyelenggara negara, maka bisa

diharapkan adanya batas-batas etik yang berlaku universal terhadap seluruh pejabat negara

dan pemerintahan terkait dengan bagaimana seorang pejabat negara (pejabat publik) bersikap

etik dalam menyusun atau mengimplementasikan keputusan atau kebijakan tersebut.

Dimensi rasionalitas dan emosionalitas itu berada dalam ranah individu- individu, namun

dimensi etik berada di ranah sosial, karena itu etik sering kali paralel dengan norma-norma

yang berlaku. Etika akan selalu terkait pada ruang dan waktu pada satu saat tertentu sehingga

akan mewarnai dampak dari produk kebijakan itu.

Artinya sebuah produk hukum atau keputusan hukum yang bagus atau berkualitas–karena

telah sesuai dengan prosedur baku– namun dikeluarkan dengan cara-cara yang tidak etis pada

ruang dan waktu tertentu maka dampaknya bisa merusak. Substansi keputusan atau kebijakan

apa pun bakal tergerus oleh persepsi yang didominasi selera (rasa suka atau tidak suka),

bukan lagi soal benar-salah keputusan atau kebijakan itu.

Terlepas dari masalah substansi dugaan pelanggaran pidana, tampak jelas bahwa fenomena

perseteruan KPK dan Polri lebih kental disebabkan masalah etik. Kedua belah pihak tampak

lebih bernafsu mempertontonkan kewenangan (show of force) sehingga minus kaidah-kaidah

etika penyelenggaraan negara (meskipun belum terdapat pengaturan seragam untuk semua

institusi negara dan pemerintahan).

Benar bahwa kedua belah pihak memiliki kewenangan besar menindak dugaan pidana,

namun tampak juga benar bahwa kewenangan-kewenangan itu juga dipertontonkan

sedemikian rupa pada ruang waktu tertentu, pada momentum tertentu, dengan cara tertentu.

Apa etik yang dilanggar?

Polri dan KPK memiliki pengaturan kode etik masing-masing, sehingga itu bisa dipakai

untuk mengukur seberapa besar deviasi antara aturan dan praktik. Pengawas internal atau

dewan etik bisa berperan untuk menilai dan menjatuhkan sanksi jika terbukti ada pelanggaran

etik supaya kredibilitas lembaga tidak ternoda.

Apakah etik skala mikro yang berlaku di internal lembaga ataukah etik skala makro yang

perlu dipakai untuk mengukur deviasi etik pejabat publik? Mengingat bahwa ketentuan kode

etik yang berlaku di setiap lembaga publik berbeda-beda, maka ketentuan itu hanya berlaku

dan mengikat ke dalam. Misalnya bahwa tidak mungkin susunan kode etik KPK

dipergunakan untuk menindak etika pejabat Polri.

Sayangnya, saat ini, pengaturan kode etik secara makro berlaku untuk seluruh lembaga

negara atau lembaga pemerintahan belum ada. Etika penyelenggara negara berada di ruang

Page 56: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

56

makro yang berkaitan dengan kepentingan negara atau publik di skala yang lebih luas. Di

dalam kepentingan sebesar itu, pejabat publik wajib mengedepankan etika agar kepentingan-

kepentingan besar itu tidak terdistorsi perilaku-perilaku kewenangan.

Artinya, dalam susunan kode etik makro penyelenggara negara perlu mengemukakan

pemahaman bahwa eksekusi aneka kewenangan lembaga-lembaga negara atau pemerintahan

terletak di bawah kepentingan strategis negara. Artinya lebih dalam lagi, harus terdapat

pemahaman di antara pejabat publik bahwa dalam menjalankan eksekusi pelbagai

kewenangan itu mesti memperhitungkan potensi kebaikan atau kerusakan atas kepentingan

strategis nasional.

Kita bisa pahami bahwa domain etik juga berkaitan erat dengan norma-norma pejabat negara

yang secara makro berlaku umum, menurut saya setidaknya terdiri dari lima pengaturan

utama: mengedepankan kepentingan strategis keamanan nasional dan ketertiban publik;

menjaga rahasia negara dan jabatan; bebas konflik kepentingan; berperilaku sopan dan

ucapan yang jujur; bertindak egaliter tidak diskriminatif.

Lima unsur tersebut mestinya ada di dalam ketentuan etik baik di KPK, Polri, ataupun

kebanyakan institusi publik. Mengingat bahwa ruang dan waktu adalah faktor penting dalam

menjalankan kewenangan, perilaku sopan dan ucapan jujur serta keputusan yang non-

diskriminasi, maka hal itu bisa dipergunakan untuk menilai apakah seorang pejabat publik

diindikasikan kuat melanggar ketentuan kode etik atau tidak.

Bila teori itu diturunkan ke persoalan faktual, teori tersebut bisa digunakan untuk menilai

apakah ketika pimpinan KPK atau Polri, dalam proses menentukan dan kemudian

mengumumkan atau menindak seseorang dari kedua belah pihak ditetapkan menjadi

tersangka, sudah melalui kaidah-kaidah etik atau tidak.

Kembali perlu kita ingat bahwa KUHAP dan segala aturan turunannya secara substansial

mengatur tentang prosedur hukum acara pidana, tetapi manusia-manusia penegak hukum

menerjemahkannya berdasarkan rasionalitas dan emosionalitasnya. Sehingga pada tahap

eksekusi kewenangan terhadap pihak-pihak luar, baik dalam hal misalnya mengomunikasikan

keputusan atau melakukan penangkapan, kaidah-kaidah etik sebaiknya berlaku.

Penyimpangan kaidah etik di tahap ini justru bisa mengaburkan substansi hukum. Maka tidak

heran jika kemudian muncul penilaian publik terhadap para pejabat publik di kedua belah

pihak itu sebagai arogan, diskriminatif, balas dendam, sok paling kuasa.

Penyimpangan kaidah etik berpotensi menjauhkan inti permasalahannya: apakah seseorang

disangkakan melanggar pidana? Pelanggaran pidana berdampak terhadap individu, tetapi

pelanggaran etik bisa berdampak lebih serius terhadap sosial masyarakat (publik) dan atau

harga diri instansi-instansi publik (baik di KPK ataupun Polri). Dampaknya terhadap

masyarakat luas bisa terjadi polarisasi dukung-mendukung terhadap kesatuan instansi-instansi

publik secara membabi buta yang mengancam kesatuan bangsa, kepastian hukum dan

Page 57: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

57

ketertiban sosial.

Pelanggaran etik meskipun sanksinya bukan sanksi pidana, juga bisa menjadi masalah yang

serius. Fenomena ketegangan KPK dan Polri yang terjadi saat ini dan yang dulu dikenal

dengan cicak lawan buaya, terjadi juga karena cara-cara menjalankan kewenangan (berupa

perilaku dan model komunikasi) yang diduga tidak etis.

Mirip dengan peristiwa “perselisihan” Polri dan TNI di beberapa tempat, penyebabnya

sederhana: tindakan tidak etis dari beberapa oknum yang kemudian melebar pada konflik

dengan kekerasan antar kesatuan.

Ke depan, model-model show of force; mempertontonkan kewenangan dengan cara yang

minim etika, mesti diganti dengan model show of wisdom, yang lebih menginspirasi para

pejabat publik untuk menunjukkan kewenangan dengan penuh etika. Lebih elegan dan

simpatik, begitulah kira-kira.

Karena itu, saya kira, kita memerlukan pengaturan etika penyelenggara negara, supaya

supremasi hukum bisa dijalankan dengan etika bangsa Indonesia tanpa mengurangi

substansinya.

DANANG GIRINDRA WARDANA

Ketua Ombudsman Republik Indonesia

Page 58: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

58

Uji Publik Calon Kepala Daerah Koran SINDO 11 Februari 2015

Salah satu isu penting yang menjadi sorotan dalam kerangka revisi Undang-Undang (UU)

tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota adalah uji publik calon kepala daerah.

Dalam UU tersebut, uji publik ditujukan kepada bakal calon kepala daerah sebelum

penetapan dan pengajuan sebagai calon di mana hasilnya menjadi salah satu syarat

pencalonan kepala daerah. Uji publik dilaksanakan oleh tim independen yang dibentuk oleh

penyelenggara pilkada yang anggotanya meliputi unsur akademisi, tokoh masyarakat, dan

penyelenggara.

Tersirat dalam UU bahwa uji publik dimaksudkan untuk memperkuat pelibatan atau

partisipasi publik dalam penjaringan calon kepala daerah sejak penentuan bakal calon oleh

partai politik dan perseorangan, sehingga di satu sisi publik (pemilih) akan sejak dini

”menyeleksi” calon terbaik sebagai kepala daerahnya dan di sisi lain partai politik didorong

semakin selektif, transparan, dan akuntabel dalam mengajukan calon kepala daerah.

Pesan implisit konsep uji publik adalah upaya untuk meminimalisasi oligarki partai dalam

menentukan calon kepala daerah—yang selama ini ditengarai lebih menonjolkan

pertimbangan popularitas dan modal (materi) ketimbang kualitas dan kapabilitas.

Pro-Kontra

Konsep uji publik telah diintroduksi dalam UU Nomor 22/2014 maupun Perppu No. 1/2014

yang menganulir UU Nomor 22/2014 tersebut. Artinya ada kesepahaman pembentuk UU

(DPR, DPD, dan Pemerintah) bahwa uji publik perlu diangkat menjadi norma UU.

Penulis menjadi pihak yang terlibat dalam pembahasan materi ini dalam kapasitas saat itu

sebagai Ketua Timja RUU Pilkada DPD RI. Bahkan, uji publik sejak awal merupakan

konsepsi yang secara resmi diusulkan oleh DPD dan penulis menuangkan konsepsi tersebut

dalam norma undang-undang secara utuh yang kemudian berkembang dalam dinamika

pembahasan.

Mayoritas Fraksi DPR dan Pemerintah pada saat pembahasan UU Nomor 22/2014

mendukung gagasan DPD tersebut sebagai satu bentuk ikhtiar untuk mendapatkan calon

terbaik dari sejumlah bakal calon yang mendaftar atau didaftarkan oleh partai politik dan

perseorangan.

Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa esensi pilkada adalah menghadirkan pemimpin

Page 59: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

59

daerah yang berkualitas dalam rangka mendinamisasi dan memajukan daerah. Pemimpin

yang demikian dapat diperoleh jika dibuka ruang yang memadai bagi publik untuk

mengetahui dan menguji rekam jejak (track record) dan integritas serta kompetensi bakal

calon sebelum dicalonkan sebagai kepala daerah.

Gagasan uji publik pada dasarnya juga merupakan refleksi terhadap hasil pilkada selama ini.

Kita tidak bisa menutup mata bahwa banyak calon yang diajukan oleh partai politik maupun

perseorangan sebenarnya bukanlah calon terbaik. Hanya karena publik tidak memiliki ruang

yang menentukan, mereka tidak memiliki (alternatif) pilihan lain.

Sementara proses penentuan calon merupakan “hak prerogatif” partai politik, yang sayangnya

lebih bernuansa oligarkis, nir-public discourse, dan lebih menonjolkan popularitas dan modal

ketimbang kualitas dan kapabilitas. Uji publik berusaha mengatasi hal tersebut sehingga

ruang publik turut serta dalam menentukan calon yang terbaik menjadi semakin luas.

Belakangan sayup terdengar norma uji publik ini termasuk yang akan direvisi dengan

argumentasi bahwa uji publik merupakan hak dan kewenangan partai politik dalam proses

penjaringan bakal calon, sebagaimana langgam yang berlaku selama ini. Bukankah salah satu

fungsi partai politik adalah rekrutmen politik, termasuk rekrutmen calon pejabat publik?

Jika tim independen memiliki kewenangan untuk memberikan penilaian lalu

merekomendasikan bahkan dapat menentukan layak atau tidak layak bakal calon, lalu di

mana letak kewenangan partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi? Uji publik juga

menjadikan tahapan pemilu menjadi lebih panjang mengingat penambahan jadwal sebelum

pencalonan.

Uji publik dikhawatirkan menjadi ajang menjatuhkan karakter seseorang sehingga gagal atau

batal dalam pencalonan. Toh publik pemilih telah memiliki ruang yang menentukan selama

masa kampanye hingga saatnya menjatuhkan pilihan pada calon kepala daerah yang menurut

mereka terbaik di bilik suara.

Uji Publik Berkualitas

Pertanyaannya, bagaimana konsep uji publik yang secara objektif menguntungkan publik dan

menghasilkan kepala daerah yang berkualitas? Mengingat UU tidak—atau paling kurang

belum—menjabarkan konsep uji publik tersebut. Penulis dapat memahami karena mungkin

materi muatan tersebut akan dijabarkan lebih lanjut dalam peraturan penyelenggara pilkada.

Penulis berpendapat, kita harus memahami terlebih dahulu esensi (dan urgensi) uji publik.

Esensinya adalah pelibatan publik sehingga publik menjadi sentral dalam proses-proses

pilkada. Pesannya, setiap calon harus berasal ”dari publik, oleh publik, dan untuk publik”

sebagaimana kredo demokrasi yang kita pahami bersama: ”dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk

rakyat”.

Page 60: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

60

Partai politik sebagai agen rekrutmen politik harus diletakkan dalam kerangka tersebut,

bahwa parpol sejatinya adalah publik itu sendiri: lahir dari dan bekerja untuk publik. Mana

ada parpol yang berani mengabaikan publik, karena jika itu terjadi sama saja sedang

menggali kubur sendiri.

Dengan demikian uji publik dapat diterima sebagai upaya untuk menangkap segala

kepentingan, kebutuhan, dan harapan publik, yakni: kepala daerah yang berkualitas.

Pelaksanaan uji publik terhadap bakal calon kepala daerah sama sekali tidak ada ruginya,

bahkan justru menguntungkan partai politik karena ruang untuk seleksi yang selama ini

dilakukan oleh partai politik menjadi difasilitasi oleh negara dalam ruang publik yang lebih

luas.

Partai politik dapat mengajukan sebanyak mungkin bakal calon untuk diseleksi awal (pre-

eliminary selection), bukan saja untuk mengukur bakal calon yang lebih diminati publik, tapi

juga bisa memprediksi bakal calon yang diperkirakan menang. Hal ini jelas mengatasi

”mahalnya” ongkos pencalonan—mulai dari sulitnya mendapatkan calon yang tepat hingga

gesekan persaingan antarcalon—yang selama ini (juga) banyak dikeluhkan partai

politik. Pemahaman tersebut selanjutnya menjadi kerangka pengaturan uji publik dalam

regulasi penyelenggaraan pilkada.

Secara substansi, fokus uji publik adalah untuk menguji dua aspek utama yang harus dimiliki

oleh seorang pemimpin. Pertama, aspek kompetensi meliputi seluruh pengetahuan, wawasan,

dan keterampilan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Kedua, aspek integritas meliputi sikap, perilaku, dan karakter yang lekat pada bakal calon

kepala daerah yang bisa dilihat dari rekam jejak selama berkecimpung dalam aktivitas publik.

Dua aspek inilah yang sesungguhnya merupakan intisari dari konsep leadership

(kepemimpinan) yang sayangnya sering diabaikan dalam proses seleksi kepala daerah yang

lebih menonjolkan aspek popularitas dan modal (materi).

Jalan Tengah: Publik dan Partai

Secara prosedural, proses uji publik dilaksanakan oleh suatu panel independen yang dibentuk

oleh penyelenggara pilkada di mana panel memiliki kewenangan untuk secara aktif membuka

dan menerima masukan publik terhadap bakal calon kepala daerah.

Harus dipastikan waktu yang memadai agar panel dapat menggali, menerima, dan menguji-

silang informasi publik terkait aspek kompetensi dan kapabilitas para bakal calon kepala

daerah. Dengan kewenangan demikian, lazimnya panel memiliki hak untuk memberikan

sertifikasi apakah bakal calon layak (qualified) atau tidak layak (unqualified).

Akan tetapi, mengingat hal ini akan menimbulkan resistensi dari partai politik sebagai peserta

pilkada, jalan tengah yang mungkin dapat dilakukan adalah panel diberi kewenangan untuk

secara proaktif mengungkapkan data yang ditemukan kepada publik secara objektif tanpa

Page 61: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

61

menjustifikasi layak atau tidak layak. Dengan demikian publik yang akan menentukan apakah

yang bersangkutan layak atau tidak menjadi calon kepala daerah.

Proses uji publik yang dilakukan secara konsisten dan profesional niscaya akan menghasilkan

demokrasi pemilihan kepala daerah yang lebih matang.

PROF DR FAROUK MUHAMMAD

Wakil Ketua DPD RI

Page 62: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

62

Jurus Pendekar Mabuk Koran SINDO 11 Februari 2015

Di era demokrasi sekarang ini tentu ada sensitivitas publik terhadap peristiwa yang diyakini

bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.

Di antara nilai hakiki demokrasi adalah kebebasan mengeluarkan pendapat, tanpa rasa takut,

bebas dari intimidasi dan provokasi. Apalagi jika ungkapan itu terkait dengan upaya

pemberantasan korupsi yang telah sangat meresahkan.

Baik Deklarasi HAM Sedunia maupun kovenan internasional atas hak-hak sipil dan politik

yang tertuang dalam Undang-Undang No 12 Tahun 2005 mewajibkan negara untuk

menjamin adanya hak mengemukakan pendapat. Kebebasan berekspresi bukan hanya karena

esensi atas hak itu sendiri, tetapi ia penting apabila hak-hak asasi lainnya ingin dicapai.

Saat ini Indonesia sudah pada tahapan darurat korupsi. Hampir tidak ada aspek kehidupan

yang bebas dari praktik korupsi. Itu sebabnya para koruptor bersorak gembira dengan kondisi

hukum Indonesia saat ini, terutama di saat KPK tidak berdaya.

Kini perdebatan nasional justru soal perseteruan KPK versus Polri saja. Padahal isu

sesungguhnya adalah upaya bangsa ini memerangi korupsi. Topiknya justru beralih dan

sering kali perdebatan melebar ke mana-mana.

Dalam acara diskusi di Kantor YLBHI Jakarta, Minggu (1/2/2015), mantan Wamenkumham

Denny Indrayana (DI) menyebut bahwa langkah Komjen Budi Gunawan (BG) mengajukan

praperadilan KPK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mirip pendekar mabuk. Langkah itu

tidak memiliki dasar hukum. Akibat dari pernyataan ini, DI dilaporkan ke polisi.

Soal Praperadilan

Mengutip DI, dasar hukum yang diajukan oleh pihak BG untuk mengajukan praperadilan

tidak ada, asal-asalan. Atas dasar penilaian itulah, dengan tegas dianalogikan bahwa Komjen

BG mempertontonkan jurus pendekar mabuk. Memang soal praperadilan Komjen BG ini

memunculkan pembicaraan dan reaksi cukup luas.

Bangsa kita yang demokratis mestinya memaklumi saja ketika ada pihak yang pro atau kontra

dengan langkah ini. Jangan ada pihak yang memaksakan pendapatnya sebagai yang paling

benar sehingga antipati dengan pendapat orang lain.

Page 63: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

63

Mereka yang kontra dengan langkah praperadilan Komjen BG menilai bahwa apa yang

dilakukan itu sebagai tindakan yang mengada-ada saja. Pihak yang kontra dengan langkah

BG berpendapat bahwa KUHAP telah secara rigid menentukan hal-hal yang dapat

dipraperadilankan, yaitu: (1) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan, (2)

sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi

tegaknya hukum dan keadilan (pasal 77 huruf a), (3) sah atau tidaknya pemasukan rumah,

penggeledahan dan atau penyitaan (Pasal 82 ayat 1 huruf b jo Pasal 95 ayat 2 KUHAP), dan

(4) terkait dengan permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang

perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau pada tingkat penuntutan (Pasal 77

huruf b KUHAP).

Tidak terkait dengan status tersangka. Mungkin ini yang membuat Denny menyebut langkah

Komjen BG menggunakan jurus pendekar mabuk.

Namun mereka yang pro dengan langkah Komjen BG juga memiliki argumentasi, tidak

sepenuhnya baseless. Dalam suatu dialog di media, Eggi Sudjana sebagai salah seorang

pengacara Komjen BG pernah membeberkan argumentasinya mengajukan

praperadilan. Mereka berpatokan pada KUHAP dan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Korupsi (KPK). Pasal 63 (1) UU KPK menegaskan: ”Dalam hal seseorang

dirugikan sebagai akibat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, yang dilakukan oleh

KPK, bertentangan dengan Undang-Undang (KPK) atau dengan hukum yang berlaku, orang

yang bersangkutan berhak untuk mengajukan gugatan rehabilitasi dan/atau kompensasi.”

Adapun Pasal 63 (2) gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak mengurangi hak

orang yang dirugikan untuk mengajukan gugatan praperadilan jika terdapat alasan-alasan

pengajuan praperadilan sebagaimana ditentukan dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana.

Dalam perbedaan ini, paling tepat menjadi wasitnya adalah hakim yang pada posisi harus

menerima permohonan praperadilan. Pengadilan tidak boleh menolak untuk

memeriksa/mengadili suatu perkara yang diajukan dengan alasan hukum tidak/kurang jelas,

hukumnya tidak ada, tidak lengkap atau tidak sempurna (Pasal 16 ayat 1 UU Kekuasaan

Kehakiman). Dalam kondisi ini, sebaiknya menunggu putusan hakim tunggal Sarpin Rizaldi

walaupun dia mendapat sorotan di antaranya karena pernah diadukan atas sejumlah kasus ke

KY.

Implikasi Kriminalisasi

Ada banyak hasil dari gerakan reformasi yang telah menelan banyak korban di negeri ini.

Salah satu kenikmatan luar biasa dari reformasi adalah kebebasan mengeluarkan pendapat

yang tidak dimiliki oleh banyak masyarakat di muka bumi ini.

Di masa lalu Indonesia dikenal sebagai negara yang otoriter, penguasa yang sensitif atas

kritikan. Bahkan pembredelan terhadap media cetak dengan mudah dilakukan apabila dinilai

Page 64: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

64

suatu media terlalu kritis terhadap penguasa. Luar biasa buah dari reformasi yang

diperjuangkan dengan susah payah oleh berbagai elemen dengan mahasiswa sebagai motor

utamanya itu, kini Indonesia memiliki media yang sangat dinamis, sulit ditandingi oleh

negara-negara tetangga.

Muncul kaum intelektual cerdas, kritis, dan berani menawarkan berbagai solusi. Semua ini

terjadi dikarenakan adanya keberanian mengeluarkan pendapat dan penguasa tidak alergi

dengan pendapat-pendapat kritis sekalipun.

Ada beberapa implikasi dari tindakan mengepolisikan DI yang menganalogikan langkah BG

sebagai jurus pendekar mabuk. Implikasi pertama, adanya penilaian publik bahwa di era

sekarang ini masih ada sekelompok masyarakat yang tetap memelihara pola pikirnya yang

jauh ke belakang dalam soal kebebasan berpendapat. Salah seorang menteri saja ”berani

berucap” bahwa mereka yang mendukung KPK adalah rakyat yang tidak jelas. Tapi reaksi

publik tergolong ”biasa-biasa saja” dan malah dibalas dengan berbagai joke.

Implikasi kedua, tindakan mengkriminalisasi tersebut dapat mematikan sikap kritis banyak

orang yang dalam porsi masing-masing telah memberikan sumbangsih bagi kemajuan negeri

ini. Ada potensi, kriminalisasi itu diadopsi orang lain yang akan dengan mudah menggunakan

pasal pencemaran nama baik. Padahal selama ini justru laporan masyarakat berkontribusi

terhadap pemberantasan korupsi.

Masyarakat yang kritis juga berkontribusi dalam menciptakan good governance.

Kriminalisasi dapat membuat publik ”takut,” seperti diwantiwanti akan dikepolisikan.

Memang materi laporan terhadap DI belum tentu pidana. Mestinya, polisi tidak main ”pukul

rata” terhadap setiap laporan yang terkait dengan BG agar tidak pula dinilai menggunakan

jurus mabuk.

Di era Indonesia yang demokratis dan dinamis ini akan selalu ada potensi pencemaran nama

baik. Mestinya bangsa kita sudah terbiasa dengan silang pendapat dalam berbagai rupa.

PROF AMZULIAN RIFAI PhD

Dekan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya

Page 65: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

65

Korea Utara dan KAA Koran SINDO 11 Februari 2015

Konferensi Asia Afrika (KAA) akan diselenggarakan pada 19-24 April 2015 di Bandung.

Selain untuk ajang berkumpul negara-negara anggota, konferensi kali ini sekaligus

memperingati 60 tahun terselenggaranya acara yang sama di tempat yang sama.

Konferensi ini mengandung makna historis mendalam karena ia dimulai sebagai ajang untuk

mendorong gerakan dekolonisasi oleh 29 negara dan pada akhirnya KAA menghimpun lebih

dari 100 negara di dunia. Tambahan lagi, KAA juga menggerakkan kegiatan solidaritas

negara-negara berkembang yang miskin dan terhimpit oleh pertarungan kepentingan antara

dua negara besar, yakni Amerika Serikat dan Uni Soviet.

Banyak pihak yang melihat bahwa konferensi ini kemungkinan hanya sebatas seremonial

belaka, karena dalam kenyataannya negara-negara Asia dan Afrika tidak lagi sama postur

politik dan ekonominya dibandingkan 60 tahun yang lalu. Ada negara-negara Asia dan Afrika

yang berkembang dan maju seperti Republik Rakyat China, Jepang, India, Indonesia,

Thailand, tetapi ada juga yang masih tertinggal seperti Etiopia, Sudan, Laos, dan juga

termasuk Korea Utara.

Korea Utara adalah negara yang cukup kontroversial pada saat ini, karena tingkah laku politik

luar negeri yang terus memancing perhatian dunia dan meresahkan, khususnya bagi Amerika

Serikat dan tetangganya, Korea Selatan. Negara-negara Barat telah mengeluarkan puluhan

sanksi ekonomi, politik, dan militer kepada Korea Utara, namun hingga kini negara tersebut

tetap bergeming sesuai yang diinginkan.

Tekanan terakhir setelah meninggalnya Kim Jong-il adalah sanksi dari Dewan Keamanan

PBB No. UNSCR 2094/2013 sebagai reaksi atas percobaan nuklir bawah tanah. Sanksi ini

sendiri memuat tentang larangan atau pembekuan aset terhadap individu dan perusahaan

untuk melakukan bisnis mereka di Eropa dan Amerika serta negara-negara lain. Rangkaian

sanksi tersebut memiliki tujuan untuk mengisolasi Korea Utara dari pergaulan dengan

negara-negara lain, terutama dalam perdagangan dan politik luar negeri.

Terkait dengan tujuan tersebut, rencana kedatangan Korea Utara ke Bandung pada bulan

pelaksanaan KAA telah mengundang perhatian banyak pihak terutama dari diplomat

Barat. Mereka memiliki harapan supaya Indonesia juga dapat memberikan tekanan kepada

Korea Utara agar seirama dengan tekanan yang dilakukan oleh dunia internasional. Apakah

pemerintah Indonesia memiliki keinginan untuk turut serta menekan Korea Utara untuk

mengubah perilakunya? Sejauh mana tekanan itu bermanfaat dan apa dampaknya bagi

kepentingan strategi di masa depan?

Page 66: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

66

Sejauh ini pemerintah Indonesia tampaknya akan tetap mengundang Korea Utara dalam

konferensi di Bandung. Dalam sejarahnya, pemerintah Korea Utara memiliki hubungan baik

dengan Indonesia. Megawati Soekarnoputri adalah presiden pertama di Asia yang

mengunjungi Korea Utara setelah negara itu disebut sebagai Poros Setan oleh Presiden

Amerika Serikat George Bush.

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa tahun lalu juga menghabiskan tiga harinya di Korea

Utara untuk mendiskusikan peningkatan kerja sama ekonomi di antara kedua negara. Fakta-

fakta ini bisa menjadi petunjuk bahwa Indonesia lebih menyukai diplomasi Timur yang lebih

luwes. Diplomasi yang luwes terhadap negara-negara tertentu seperti Iran dan Suriah, juga

dilakukan oleh Indonesia.

Saya berpendapat bahwa diplomasi semacam ini bisa menjadi penyeimbang dari diplomasi

yang menuntut tekanan dan sanksi. Dalam sejarah, sanksi dan tekanan terhadap sebuah

negara jarang yang membuahkan hasil positif. Efektivitas sanksi kadang-kadang tidak

menimbulkan reaksi yang diharapkan bahkan justru merugikan warga di dalam negerinya.

Contohnya terkait dengan sanksi ekonomi terhadap Korea Utara, Hugh Griffiths dari

Stockholm International Peace Institute yang menyelidiki sanksi terhadap Korea Utara,

menemukan bahwa sanksi ekonomi diragukan efektivitasnya. Perusahaan yang mendapat

sanksi memang mendapat kesulitan, tetapi masih banyak perusahaan negeri itu yang tercatat

di luar negeri. Mereka bisa menggunakan identitas lain dan akan tetap bertahan. Sebanyak

75% entitas bisnis dan individu terdaftar di luar badan hukum Korea Utara, demikian

informasi dalam laporan tersebut.

Ada pula dugaan bahwa sanksi ekonomi itu juga lebih banyak merugikan warga Korea Utara,

sementara kaum elite tetap dapat bertahan. Hal ini menimbulkan dampak lain berupa krisis

kemanusiaan di mana warga Korea Utara justru dirugikan.

Centre for Research on Globalization (CRG) menemukan juga bahwa isi sejumlah resolusi

sanksi terhadap Korea Utara sangat luas interpretasinya, sehingga barang-barang yang

menyangkut kesehatan atau fasilitas sarana yang dibutuhkan agar warga negara dapat

bertahan hidup juga mendapat embargo.

Lembaga riset itu memberi contoh: penggunaan kata ”dapat (could) ” secara berlebihan terus-

menerus terlihat dalam ketentuan sanksi, di mana kata tersebut berarti dapat dipakainya suatu

instrumen tertentu (sebagai bentuk sanksi) dan di sini ketentuan maknanya samar-samar

(vague), sebatas ada ”reasonable grounds to believe” (alasan yang masuk akal untuk

meyakini sesuatu), sehingga tidak diperlukan standar bukti yang tinggi atau bukti-bukti nyata

apa pun, semata bergantung pada keyakinan (belief) yang subjektif yang dapat didasarkan

pada atau dipengaruhi oleh distorsi akibat bias politik (Global Research, 10/1/2014).

Kritik terhadap sanksi sebetulnya juga pernah disampaikan oleh Sekjen PBB Kofi Annan. Ia

dalam sebuah seminar Perdamaian Internasional di Kanada tahun 2000 berpendapat bahwa

Page 67: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

67

”sama seperti kita mengenali pentingnya sanksi sebagai cara menjalankan kehendak

masyarakat internasional, kita juga patut mengenali bahwa sanksi merupakan instrumen

kebijakan yang tumpul, yang merugikan sejumlah besar orang yang justru bukan merupakan

target kebijakan itu sendiri.”

Sejak pidato tersebut, ada upaya untuk menjatuhkan smart-sanctions, yaitu sanksi terbatas

terhadap individu atau perusahaan. Namun seperti yang diungkapkan oleh CRG, bahasa

dalam sanksi begitu luas dan lentur untuk diinterpretasikan.

Walaupun ada juga analis yang mengatakan bahwa semua sanksi pasti menimb ulkan biaya

yang tidak diinginkan, Daniel Drezner (2010) mengutip pernyataan Michael Brzoska yang

menyatakan bahwa embargo senjata menyebabkan biaya pencarian senjata meningkat dan

mengurangi juga anggaran kesejahteraan warganya.

Larangan terhadap transportasi laut dan udara juga mengakibatkan lalu lintas perdagangan

obat-obatan dan makanan menjadi terhambat. Dengan kata lain, mereka ingin mengatakan

bahwa tidak ada yang dapat mengontrol sejauh mana sanksi menimbulkan konsekuensi.

Smart atau tidak smart sama-sama merugikan non-targeted sector.

Hal-hal seperti ini patut dikomunikasikan secara lebih luas sebagai dasar pilihan sikap

Indonesia, baik sebagai suatu negara maupun sebagai anggota dan pelopor KAA. Semoga

dengan demikian, baik Indonesia maupun KAA justru membawa angin segar bagi relasi antar

negara!

DINNA WISNU, PhD

Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina

@dinnawisnu

Page 68: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

68

Memotret Wajah Politik KPK Koran SINDO 12 Februari 2015

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dibentuk dengan maksud untuk menanggulangi dan

memberantas korupsi.

Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, KPK bersifat independen dan bebas dari

pengaruh kekuasaan mana pun. Pengertian ”kekuasaan mana pun” adalah kekuatan yang

dapat memengaruhi tugas dan wewenang KPK atau anggota komisi secara individual terkait

dengan tindak korupsi.

Artinya, kerja KPK tak boleh keluar dari pakemnya sebagai lembaga penegak hukum. KPK

tidak boleh menjalankan tugas dan wewenangnya atas dasar ”pesanan” pihak lain. KPK harus

steril dari kepentingan-kepentingan internal KPK di luar kepentingan penegakan hukum,

akuntabel, proporsional, dan demi kemaslahatan, sebagaimana menjadi asas KPK.

Namun, realitasnya kerja KPK justru kerap offside dengan memasuki ranah politik, ranah

yang tak seharusnya dilakukan KPK. Kenyataan ini terasa sekali di era Abraham Samad.

Terlalu sering KPK melakukan kerja penegakan hukum yang berwajah politis. Tentu secara

moral, ini hal yang tak patut dilakukan oleh pimpinan KPK.

Wajah Politik

Saat menjelang Presiden Jokowi mengumumkan susunan kabinetnya, publik dibikin kaget

ketika muncul berita terkait kedatangan Jokowi ke KPK untuk ”konsultasi” terkait calon-

calon menterinya. KPK memberikan rekomendasi atas nama-nama yang dinilai berapor

merah dan kuning. Saat itu berbagai spekulasi merebak. Ada yang menyebut konsultasi

tersebut sebagai bentuk kehati-hatian (ikhtiyat) Jokowi dalam menyusun kabinet. Jokowi tak

mau ada ”cacat moral” dalam kabinetnya. Ada spekulasi yang menyebut bahwa Jokowi

sengaja ”nabok nyilih tangan” untuk memotong beberapa orang Megawati (PDIP), PKB, dan

partai pendukung lain.

Ada juga yang menyebut KPK telah offside. KPK dinilai terlalu politis. Apalagi kalau

menyikapi pernyataan Abraham yang bernada ”ancaman” kepada Jokowi, yang kalau tetap

mengangkat calon menteri berapor merah dan kuning, maka dalam waktu yang tidak lama

KPK akan menetapkan status hukumnya. Rasanya ini pernyataan tak proporsional dari

pimpinan lembaga penegak hukum. Buktinya, tiga bulan lebih setelah menteri-menteri

berapor merah dan kuning dilantik belum juga ada tindakan hukum dari KPK.

Page 69: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

69

Rasanya bukan kali ini saja KPK melakukan kerja beraroma politis. Seminggu sebelum

menjadikan Suryadharma Ali sebagai tersangka, Abraham sudah cuap-cuap ke media bahwa

dalam satu atau dua pekan ke depan KPK akan menetapkan tersangka terkait proyek barang

dan jasa penyelenggaraan ibadah haji tahun anggaran 2012-2013. Abraham bahkan menyebut

bahwa ”calon” tersangka merupakan petinggi negeri.

Pernyataan ini juga tak layak diucapkan oleh seorang ketua KPK. Menetapkan seseorang jadi

tersangka tentu ada aturannya dan tak perlu cuap-cuap di media. Suka cuap-cuap itu hanya

layak disandang oleh para politisi karena politisi memang kerjanya harus bicara.

Ketika Setya Novanto terpilih jadi ketua DPR, Abraham menyayangkan karena Setya pernah

beberapa kali diperiksa sebagai saksi terkait penyidikan sejumlah kasus korupsi. Sebaliknya,

Zulkifli Hasan yang ketika terpilih sebagai ketua MPR tak ada nada keberatan dari Abraham,

justru beberapa hari selepas dilantik dipanggil KPK selama dua hari berturut-turut.

Bukankah KPK mempunyai prosedur dalam memanggil dan menetapkan status hukum

seseorang? Justru ketika KPK menyayangkan terpilihnya Setya, meminta keterangan Zulkifli

yang terkesan begitu tiba-tiba, termasuk juga cuap-cuap soal rapor merah dan kuning calon

menteri Jokowi, publik pantas curiga dengan cara-cara kerja KPK selama ini dalam

melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Minta Maaf JPU

Wajah politis KPK yang paling kasatmata terlihat dalam kasus Anas Urbaningrum. Penetapan

tersangka didahului oleh pernyataan SBY dari Jeddah, diikuti pencabutan kewenangan Anas

sebagai ketua umum Partai Demokrat dengan menabrak anggaran dasar partai dan diikuti

oleh bocornya surat perintah penyidikan. Surat perintahnya pun isinya tidak jelas: ”...proyek

Hambalang dan atau proyek-proyek lainnya,” yang ternyata tidak terbukti di persidangan.

Meski demikian, Anas tetap dipaksakan dituntut tinggi. Malah ada alasan yang dibuat-buat,

Anas dituduh melakukan obstruction of justice.

Karena modalnya hanya kesaksian Nazaruddin dan pegawainya, jaksa penuntut umum (JPU)

melakukan ”pencucian keterangan”. Nazaruddin dimuliakan jadi justice collaborator,

sementara oleh hakim Nazaruddin digelari Pinokio. Adalah pemaksaan yang luar biasa

telanjang ketika seorang Pinokio ditinggikan derajatnya menjadi justice collaborator hanya

karena menjadi modal satu-satunya untuk memaksakan Anas bersalah. Anehnya juga, hakim

pun akhirnya menjadikan keterangan Pinokio sebagai dasar untuk menjatuhkan vonis berat

kepada Anas, vonis yang mengabaikan fakta persidangan.

Karena proses hukum yang demikian, lahirlah permintaan agar diadakan mubahalah, yang

kalau ditarik ke belakang mempunyai sambungan dengan ”Sumpah Monas” yang jauh hari

disampaikan Anas. Keduanya diikat oleh sebuah keyakinan tidak bersalah. Anas juga pernah

berkata ringan, ”Karma akan bekerja dan mencari alamatnya sendiri-sendiri”.

Page 70: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

70

Sekarang muncul kasus Bambang Widjojanto dan Abraham. Muncul pula laporan untuk

Adnan Pandu Praja dan Zulkarnain. Bambang sudah menjadi tersangka. Abraham kabarnya

juga segera menjadi tersangka. Dua pimpinan KPK yang lain sedang dalam proses

penyelidikan, tidak tahu apa yang akan terjadi.

Di dalam pleidoi Anas juga menyatakan bahwa esok hari adalah misteri. Karena itu, jangan

adigang, adigung, adiguna; jangan pula bersikap sopo siro sopo ingsun.

Apakah peristiwa-peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini ada keterkaitan dengan ajakan

mubahalah dan karma yang tengah bekerja lebih cepat? Wallahu alam. Itu bagian dari misteri

dan wilayah kekuasaan Tuhan. Yang kita perlu meyakini adalah setiap kezaliman akan diikuti

balasannya. Selain pasti di akhirat, boleh jadi mulai dicicil di dunia juga. Aturan main yang

demikian berlaku buat kita semua, apa pun tugas kita. Bisa jadi komisioner KPK, penyidik,

jaksa, hakim, wartawan, politisi, pengamat, atau apa saja.

Menurut penuturan Anas, setelah selesai persidangan terakhir, komandan JPU sempat

menyampaikan bisikan permintaan maaf dan bilang hanya melaksanakan perintah. Fakta ini

sengaja tidak disampaikan Anas saat vonis majelis hakim untuk menghindari adanya bias

penafsiran di mata publik.

Pengakuan komandan JPU yang menyebut dirinya hanya ”melaksanakan perintah” semakin

memperkuat dugaan bahwa kasus Anas memang bukan murni kasus hukum, tapi kasus

politik yang memanfaatkan rapuhnya institusi lembaga penegak hukum.

Kembali ke Khitah KPK

Bangsa ini masih sangat memerlukan KPK. Tentu saja KPK yang setia kepada khitah saat

KPK didirikan. KPK yang tidak diperkuda oleh kepentingan politik para pimpinannya dan

pihak-pihak lain yang bisa memesannya.

Kita semua layak mendukung KPK yang berjalan lurus di atas rel dalam tugas pemberantasan

korupsi yang profesional, mandiri, imparsial, dan bersinergi dengan lembaga-lembaga

penegak hukum lain.

KPK yang demikian itu adalah KPK kita. KPK yang diperalat oleh kepentingan politik adalah

KPK yang sudah saatnya dikoreksi dan dikembalikan ke jalan yang benar. Wallahu alam.

MA’MUN MUROD AL-BARBASY

Dosen Program Studi Ilmu Politik UMJ; Direktur Pusat Studi Islam dan Pancasila (PSIP)

FISIP UMJ

Page 71: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

71

Membaca Joko Widodo Koran SINDO 13 Februari 2015

Presiden Joko Widodo, yang populer dengan sebutan Jokowi, merupakan sosok fenomenal.

Dia datang dari kalangan rakyat bawah, tetapi berkat pendidikannya di UGM dan bisnisnya di

bidang mebel, dia lalu masuk jajaran kelas menengah.

Masyarakat luas mulai mengenal dia sebagai wali kota Solo yang berhasil. Jika diletakkan

dalam deretan bupati dan wali kota lain yang dianggap berhasil, sesungguhnya prestasi

Jokowi tak jauh berbeda dari Bu Risma, Wali Kota Surabaya; atau Abdullah Azwar Anas,

Bupati Banyuwangi. Yang membedakan adalah momentum, peran media massa, dan afiliasi

politik.

Di atas semua itu, dalam kosmologi Jawa, adalah nasib atau takdir Ilahi. Dalam keyakinan

Jawa, pangkat itu tak mungkin mendekat tanpa dijemput dengan tirakat, terutama oleh para

leluhurnya. Jadi, dalam kepercayaan Jawa, proses pemilihan umum itu diyakini sekadar

wasilah. Adapun garis tangan sudah ditetapkan dari langit.

Kalau dalam pandangan modern, posisi Jokowi sebagai presiden adalah berkat dukungan dan

jejaring politik, terutama PDIP yang menjagokannya. Dan kini ketika suasana gaduh, perlu

diurai kembali serta direkonstruksi ulang jejaring dukungan politik yang ada di sekitarnya

mengingat tidak jelas lagi sesungguhnya siapa teman dan siapa lawan riil saat ini.

Bagi Jokowi, sangat mungkin semua proses ini merupakan tahap metamorfosis untuk

pematangan diri mengingat perjalanan karier politiknya sangat cepat, menyalip dan

mengalahkan pendekar-pendekar politik lain yang sudah malang-melintang belasan dan

puluhan tahun baik dalam tubuh parpol maupun pemerintahan.

Bayangkan saja, dari sosok seorang wali kota Solo yang kemudian berhasil memenangi

Pilkada DKI Jakarta, itu saja sudah suatu loncatan kuantum (political quantum leap). Agenda

penertiban Pasar Tanah Abang dan Waduk Pluit yang dianggap berhasil, ditambah lagi

kesukaannya blusukan, dicitrakan dan dikapitalisasi oleh media massa pendukungnya sebagai

antitesis dari gaya kepemimpinan formal-elitis politisi pesaingnya.

Wacana demokrasi yang berlangsung pada virtual-cyber community tentu saja sangat

menguntungkan Jokowi. Oleh karenanya, belum selesai mengemban tugas sebagai gubernur,

sudah naik dan lebih berat lagi medan kompetisinya, yaitu memenangi pemilu presiden.

Page 72: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

72

Kemenangan Jokowi, sebagaimana Gus Dur, telah merusak logika dan gramatika politik

konvensional. Gus Dur dikenal dengan ucapannya ”Gitu aja kok repot”, Jokowi dengan

ucapannya ”Ra popo”. Keduanya keluar dari sikap kejiwaan yang memandang jabatan bukan

sesuatu yang dipuja-puja dan diagungkan, melainkan dijalani saja sambil melakukan

improvisasi jika ada hambatan-hambatan yang menghadang.

Jika bacaan ini benar, Gus Dur dan Jokowi bersikap adem-adem saja ketika kanan-kiri heboh.

Mungkin sikap ini muncul karena keduanya tidak merasa mengeluarkan ongkos sosial-

material-politik yang amat besar untuk jadi presiden.

Kalaupun diperlukan biaya besar, tentu bukan dari kantong Jokowi, melainkan dari mereka

yang bersimpati dan memiliki harapan serta kepentingan dengan kemenangan Jokowi.

Apakah yang dimaksud kepentingan, tentu saja bermacam-macam dan tidak mesti

berkonotasi negatif. Memang selalu ada orang-orang yang ingin mengambil keuntungan

pribadi dengan cara membayar saham politik di depan.

Kita tidak cukup tahu dan mengenal siapa sesungguhnya Presiden Jokowi. Bahkan diri

Jokowi dan orang-orang terdekatnya pun tidak akan mengenalnya lebih dalam dan tuntas

karena setiap pribadi memiliki potensi dan misteri yang baru akan muncul ketika bertemu

dengan variabel pendukungnya. Ketika saat ini muncul gesekan lembaga Polri dan KPK yang

kemudian melibatkan parpol-parpol mengambil sikap, bahkan juga Wantimpres dan kalangan

LSM, semua ini pasti merupakan tantangan dan panggung baru bagi sosok Jokowi yang tak

terbayangkan sebelumnya. Jadi, kalau masyarakat menunggu-nunggu apa yang akan

dilakukan Presiden Jokowi, saya kira Jokowi sendiri juga masih membaca dan menduga-duga

apa yang terjadi dan akan terjadi dengan benturan yang melibatkan berbagai political

stakeholder ini.

Untuk menjadi kuat dan pintar, sosok pemimpin mesti melewati berbagai rintangan, ujian,

dan jebakan yang semua itu akan menjadi pembelajaran dan penguatan diri. Dulu Pak Harto

bermodalkan Supersemar untuk merintis kariernya sebagai presiden. Dia tampil dari kemelut

politik yang berdarah-darah dan kacau-balau. Dia belajar dan memiliki tekad untuk menang

mengatasi rintangan yang menghadang. Tentang ekonomi, dia belajar dari para pembantunya,

alumni Berkeley. Dia jeli memilih para teknokrat andal untuk duduk di jajaran kabinet.

Namun kendali politik tetap di tangannya.

Sekarang kita semua tengah melihat dan menunggu apa yang akan dilakukan Presiden Jokowi

yang bermodalkan hasil pemilu, bukan sekadar Supersemar seperti Pak Harto. Sebagai orang

Jawa, memang tidak mudah dibaca dan ditebak apa maunya di balik senyumnya dan sikap

tenangnya.

Jika pilkada dan pemilu telah melambungkan nama dan posisi Jokowi, akankah perseteruan

jajaran Polri dan KPK akan mampu mengangkat dan mematangkan sosok Jokowi sebagai

presiden lima tahun ke depan sebagai sosok yang mumpuni, tegas, dan tuntas di balik

ucapannya: ra popo?

Page 73: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

73

Harapan dan kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Jokowi masih cukup tinggi

meskipun mulai menurun. Namun masa ujian dan penantian ini tidak boleh lama-lama. Dia

boleh saja yakin bahwa posisi presiden itu merupakan takdir dan penunjukan dari langit.

Namun masyarakat modern semakin berpikir rasional-empiris bahwa suara dan kehendak

Tuhan itu telah didelegasikan kepada manusia melalui proses politik. Vox populi vox dei.

Rakyat telah menunjukkan harapan, kepercayaan, dan partisipasinya dalam pemilu yang lalu

sehingga Jokowi jadi presiden. Jangan sampai pengorbanan dan kepercayaan itu

dikecewakan, baik oleh Presiden Jokowi maupun jajaran parpol yang waktu pemilu sikapnya

sangat peduli, manis, dan ramah terhadap rakyat dengan disertai janji-janji angin surga.

PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT

Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

@komar_hidayat

Page 74: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

74

Kenangan Sportivitas Polri Koran SINDO 14 Februari 2015

Ketika pada akhir 2009 terjadi kasus “cicak vs buaya I” dan Mahkamah Konstitusi (MK)

memutar rekaman pembicaraan rekayasa para penegak hukum atas dua komisioner KPK,

Bibit Samad dan Chandra Hamzah, sebagai ketua MK saat itu saya juga mengalami

perlakuan yang kurang menyenangkan dari pihak “oknum” Polri. Namun akhirnya MK dan

Polri dapat mengakhiri ketegangan itu dengan sama-sama bersikap sportif.

Seperti diberitakan secara meluas, pada saat itu Bibit Samad dan Chandra Hamzah

mengajukan pengujian atas UU KPK yang mengatur bahwa “komisioner KPK yang menjadi

terdakwa diberhentikan dari jabatannya”. Pada saat itu, tanpa bukti yang kuat dan terkesan

direkayasa kedua komisioner KPK itu dijadikan terdakwa, bahkan sudah dijebloskan ke

rumah tahanan, dengan dakwaan menerima suap. Kedua komisioner itu merasa diperlakukan

tidak adil, dijadikan terdakwa agar mereka diberhentikan sehingga KPK menjadi tidak

kuorum kolegialitasnya setelah sebelumnya Antasari Azhar dihukum. Kalau kedua

komisioner itu jadi terdakwa, komisioner KPK hanya akan tinggal dua orang sehingga, dalam

pandangan umum, menjadi tidak bisa melaksanakan tugasnya dan KPK jadi lumpuh.

Apa bukti bahwa penerdakwaan kedua komisioner itu rekayasa? Ternyata KPK memiliki

rekaman pembicaraan antara oknum-oknum polisi, pimpinan kejaksaan, pengacara dengan

Anggodo Widjojo yang sangat aktif mengarahkan agar kedua komisioner itu jadi terdakwa.

Untuk membuktikan rekayasa itu kedua komisioner meminta agar MK menyetel rekaman

yang disadap secara sah oleh KPK itu di persidangan. Terjadi kontroversi, apakah ada

relevansinya MK menyetel sebuah rekaman pembicaraan dalam perkara pengujian UU?

Masak menguji konsistensi isi UU terhadap UUD bisa dibuktikan dengan mendengar

rekaman pembicaraan telepon? Bahkan, Menkumham Patrialis Akbar saat itu juga mengecam

MK karena menyetel rekaman itu.

Tapi sembilan hakim MK sepakat bulat, rekaman itu harus disetel untuk mencari kebenaran

materiil, apakah benar penerdakwaan sebagaimana dimaksud oleh UU KPK itu bisa

direkayasa. Ketika rekaman itu disetel, Indonesia menjadi geger. Mafia hukum yang tadinya

dianggap tak pernah bisa dibuktikan ternyata bisa dibuktikan.

Puluhan ribu massa berhari-hari berdemo menuntut pembebasan Bibit dan Chandra. Tim

Delapan yang dipimpin Adnan Buyung Nasution datang ke rumah penahanan Bibit dan

Chandra untuk meminta pembebasan bagi mereka. Akhirnya Presiden turun tangan, meminta

Kejaksaan Agung mengeluarkan SKP-3 atas keduanya.

Page 75: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

75

Saya sendiri tak luput dari dampak buruk dan teror atas peristiwa itu. Dua hari setelah

penyetelan kaset rekaman itu, di pagi buta, para ajudan, sopir-sopir pengawalan, dan penjaga

rumah dinas menyatakan mengundurkan diri. Menurut saya, pasti ada yang memerintahkan

pengunduran diri itu, sebab dalam peraturan disiplin Polri dan TNI, prajurit yang mundur dari

tugas pasti dianggap sebagai salah besar karena desersi. Saya pun grogi. Pengunduran diri

(yang saya artikan sebagai penarikan) itu menjadi berita besar.

Panglima GP Ansor NU Tatang Hidayat menawarkan pengamanan di MK siang dan malam.

Pengasuh Ponpes Salafiyah Syafiiyah Situbondo KH Fawaid Asad datang ke MK

menawarkan santri-santrinya untuk mengawal. Situasinya sungguh keruh pada saat itu. Tapi

saya tidak menerima tawaran-tawaran swasta itu. Kalaupun terpaksa, sebagai mantan menteri

pertahanan, saya bisa mencari pengawal dari TNI. Namun sebelum itu saya melakukan

komunikasi dengan pimpinan Polri.

Begitu juga dengan Menko Polhukam Joko Suyanto agar Istana Kepresidenan turun tangan

untuk mencari penyelesaian yang baik. Sebab MK maupun Polri adalah penyangga tegaknya

hukum. Saya katakan, kami hakim-hakim MK tak punya niat atau agenda politik untuk

merusak Polri sebagai institusi. Rekaman yang disetel di MK itu adalah bukti tindakan

oknum, bukan kebijakan institusi Polri. MK hanya ingin menegakkan konstitusi dan hukum

demi kebaikan bangsa dan negara. Tak ada maksud menyerang Polri.

Selain dengan Istana Kepresidenan, pendekatan-pendekatan personal untuk meyakinkan

bahwa saya tak punya agenda politis-pribadi saya lakukan dengan orang-orang penting di

Polri. Saya menyelesaikannya tanpa menambah kegaduhan di pers. Akhirnya Polri menerima

penjelasan saya. Kapolda Metro Jaya Jenderal Wahyono, mewakili Polri, datang ke kantor

saya dan menyatakan bahwa keamanan MK dan pengawalan hakim-hakimnya menjadi

tanggung jawab Polri. “Polri menjamin, tak boleh ada sejengkal jarak atau sedetik waktu

Ketua MK merasa tidak aman. Polri bertanggung jawab atas keamanan Bapak,” kata

Wahyono. “Berapa pun jumlah pengaman yang diperlukan MK akan kami kirim hari ini.

Yang mengundurkan diri kemarin itu anak-anak nakal, nanti akan ditindak,” sambung

Wahyono.

Demikianlah, saat itu konflik MK dan Polri cepat teratasi. Hubungan MK dan Polri maupun

antarpejabat-pejabatnya menjadi sangat baik. Kalau ketemu saya, di mana pun, pejabat Polri

bersifat correct seperti halnya saya menghormati mereka tanpa peduli apa pun jabatannya.

Melihat kegaduhan antara KPK dan Polri yang berlangsung sangat gaduh saat ini, saya

terkenang pada pengalaman pribadi saat menjadi ketua MK. Saat itu MK bisa menunjukkan

kesungguhannya bahwa dirinya tidak berpolitik untuk memojokkan Polri. Polri pun percaya

dan kemudian bersikap sportif. Istana Kepresidenan pun menengahi konflik kami dengan

sangat baik. Tak bisakah cara itu sekarang diwujudkan lagi?

Page 76: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

76

MOH MAHFUD MD

Guru Besar Hukum Konstitusi

Page 77: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

77

DPR (Bukan) Anutan Rakyat Koran SINDO 14 Februari 2015

DPR adalah lembaga negara yang terhormat, kumpulan orang yang terpilih dengan susah-

payah demi memperjuangkan aspirasi rakyat. Mereka niscaya cerdas, bijak, dan layak

dipercaya.

Namun mengapa sejak dulu hasil survei selalu menyimpulkan DPR merupakan lembaga

terkorup? Pakar politik Fachry Ali pada 31 Januari lalu menyebutkan, ”Sebanyak 39,7%

responden mengatakan DPR sebagai lembaga negara terkorup, disusul dengan institusi

Kepolisian RI sebesar 14,2%.” Survei yang dilakukan pada periode 16-22 Januari 2015 itu

juga menunjukkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap partai politik sebagai

lembaga yang ”bersih”. Hanya 12,5% responden yang percaya pada partai politik. Selain itu,

survei menunjukkan hampir separuh responden (49%) kurang percaya dengan DPR dalam

menjalankan fungsi dan tugas pokoknya sebagai lembaga legislatif. Hanya sebanyak 23%

responden masih mempercayai DPR.

Pada akhir 2005, DPR memanggil Transparency International Indonesia (TII) untuk meminta

penjelasan atas hasil survei TII yang menempatkan parlemen sebagai lembaga terkorup

nomor dua setelah partai politik.

Tahun-tahun berikutnya, hingga 2009, tetap saja parlemen diposisikan sebagai lembaga

terkorup di negara ini. Tahun 2009, dari skor 1 (tidak korup) sampai 5 (sangat korup),

parlemen memperoleh skor 4,4 (naik 0,2 poin dari posisi pada 2008). Sungguh prihatin.

Padahal mereka adalah wakil rakyat yang tugas utamanya adalah bersuara (parle) untuk dan

atas nama rakyat.

Jika mereka adalah wakil rakyat yang sejati, tentulah nafsu besar menumpuk kekayaan bagi

diri sendiri tak ada di sanubari mereka. Tapi, apa lacur, alih-alih rajin bersuara lantang untuk

dan atas nama rakyat, mereka malah rajin bolos seperti anak sekolahan yang nakal. Itulah

sebabnya mereka kerap disoroti khalayak ramai. Selain gemar bolos, mereka juga suka ”tidur

bersama” di ruang sidang.

Perilaku buruk mereka yang lainnya masih ada, yakni bermain gadget, mulai dari SMS (short

messages service), foto-foto hingga online untuk sesuatu yang tentunya tak terkait dengan

kepentingan rakyat. Itulah cerminan wakil rakyat kita yang kian lama kian menyebalkan.

Sudah digaji besar, dapat fasilitas mewah dan tunjangan ini-itu, masih juga tega

mengecewakan rakyat.

Maka wajar saja jika banyak orang memberi penilaian negatif terhadap mereka. Sebab kinerja

Page 78: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

78

politisi itu umumnya memang jauh dari memuaskan. Belum lagi mengamati hobi sebagian

dari mereka yang suka jalan-jalan ke luar negeri dengan dalih studi banding, padahal hasilnya

nyaris tak ada dan tak pula pernah diumumkan kepada publik.

Belum lagi kalau para wakil rakyat yang studi banding ke luar negeri itu pakai bawa-bawa

orang lain (entah keluarganya, asistennya, dan entah siapa lagi). Tidakkah mereka pernah

berpikir bahwa apa yang mereka lakukan itu sebenarnya sudah menghabiskan uang negara

secara tidak produktif?

Kalau dulu ada label sindiran ”4D” (datang, diam, duduk, duit) bagi para wakil rakyat itu,

khusus untuk mereka yang gemar bolos mungkin labelnya sekarang cukup ”1D” saja, yakni

duit. Sebab, kalau datang saja jarang, lantas bagaimana bisa ”duduk” dan ”diam” di rumah

rakyat itu? Itulah gambaran wakil rakyat minus keterpanggilan.

Tak aneh kalau pada 2013 pimpinan DPR pernah mengungkapkan keprihatinannya atas

kecenderungan menurunnya tingkat kedisiplinan para wakil rakyat itu. ”Itu akan menjadi

perhatian bagi kita semua, utamanya Badan Kehormatan DPR,” kata Ketua Badan

Kehormatan Muhammad Prakosa (26/2/2013). ”Dalam peraturan DPR RI Pasal 243 ayat 2

disebutkan bahwa kehadiran anggota DPR diwajibkan secara fisik,” imbuhnya.

Namanya ‘kewajiban’, mestinya diikuti sanksi jika dilanggar. Namun, adakah kita pernah

mendengar tentang anggota DPR yang diberi sanksi karena rajin membolos? Tidak. Itulah

sebabnya sebagian besar dari mereka dengan entengnya mencalonkan diri lagi untuk periode

2014-2019 dan kebanyakan dari mereka lolos alias dapat kursi lagi di parlemen, bahkan ada

yang kemudian jadi menteri di kabinet Presiden Jokowi.

Sekarang, alih-alih wakil rakyat itu makin rajin datang, mereka malah tidak mau

menggunakan sistem elektronik melalui cap jempol (finger print) untuk daftar hadir. Mereka

lebih menyukai sistem daftar hadir manual dengan tanda tangan di atas kertas. Menurut Ketua

Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR Roem Kono, bila memakai finger print, seakan-

akan hal itu sama dengan praktik absensi pegawai swasta di dunia perbankan. ”Kami bukan

pegawai bank. Kita bukan pegawai seperti lembaga lain. Ini lembaga politik, lembaga

pengambil kebijakan. Yang penting adalah kuorum,” kata Roem Kono, 20 Januari lalu.

Padahal, pengadaan alat finger print itu memakan dana besar hingga miliaran rupiah di DPR

periode sebelumnya. Kendati demikian, Roem mencoba meyakinkan bahwa peralatan itu

tetap akan dipakai pada waktunya. Menurut dia, peralatan finger print memang belum

diaktifkan karena alasan teknis. ”Belum diaktifkan. Itu persoalan kecil dan masalah teknis,”

kata Roem Kono.

Arogan betul dia. Apa maksudnya membandingkan diri dengan pegawai bank? Jangankan

pegawai bank, sejak beberapa tahun terakhir ini bahkan guru, dosen, dan jenis-jenis profesi

lain juga sudah banyak yang menerapkan sistem kehadiran secara elektronik. Tujuannya,

tentu saja, demi kedisiplinan dan ketertiban sehingga masuk dan pulang dari kantor bisa

Page 79: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

79

diketahui sesuai dengan ketentuan atau tidak. Sebab kalau masuk dan pulang seenak sendiri,

lalu bagaimana bisa menjadi anutan bagi orang-orang lain?

Sejujurnya kita kecewa, bahkan muak, melihat para wakil rakyat yang mestinya dapat

menjadi anutan bagi rakyat itu. Kita patut curiga, jangan-jangan mereka menganggap masuk

ke DPR itu sebagai sumber mata pencarian sekaligus tahapan antara untuk menggapai ambisi

berikutnya semisal menjadi kepala daerah, anggota kabinet, dan sebagainya. Maka, layaklah

jika dikatakan mereka bukan anutan rakyat.

Tak pelak, sejumlah kritik patut disampaikan buat mereka. Pertama, menjadi wakil rakyat

yang terhormat itu sulit karena diperlukan intelektualitas yang cukup dan wawasan yang

dalam. Sebab sebagian pekerjaan rutin wakil rakyat itu adalah bersidang dan beradu argumen.

Untuk itu setiap wakil rakyat harus berani bersuara dan mampu berpikir kritis-rasional.

Kalau kedua syarat itu tidak dipenuhi, yang terjadi mungkin tiga hal ini: (1) bicara lantang

tapi ngawur, (2) mengerti apa yang dibahas dalam sidang tapi diam saja, (3) tidak mengerti

apa pun yang dibahas dalam sidang dan karena itu selalu diam. Jika ketiga hal itu yang

terjadi, alih-alih menjadi penyuara aspirasi rakyat, keberadaan mereka di parlemen nyaris sia-

sia karena memboroskan anggaran negara. Seandainya kursi-kursi politik yang mereka

duduki itu ditempati orang-orang lain yang memang berkompeten, tidakkah rakyat senang

dan negara pun produktif dalam mengelola anggarannya?

Kedua, menjadi wakil rakyat itu seharusnya dianggap sebagai beruf (calling, panggilan yang

bersifat Ilahi). Konsekuensinya, setiap wakil rakyat harus bekerja benar, tulus, serius, tekun,

dan disertai tanggung jawab yang besar.

Ketiga, karena ini amanah rakyat, rajinlah bertanya kepada rakyat apa kemauan mereka.

Utamakanlah rakyat alih-alih mengutamakan partai.

VICTOR SILAEN

Dosen FISIP Universitas Pelita Harapan

Page 80: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

80

Perindo: Menggagas Politik Kesejahteraan Koran SINDO 14 Februari 2015

Diskursus partai politik dan masa depan demokrasi Indonesia selalu menghadirkan

kehangatan tersendiri terlebih akhir-akhir ini di tengah ironi perpecahan partai politik besar

Tanah Air, seperti Partai Golkar dan PPP. Suguhan drama politik konflik elite bagi perjalanan

demokrasi kita sangatlah tidak sehat, karena partai politik adalah cerminan demokrasi yang

utama sehingga partai yang ”satu” (baca: tidak pecah) menjadi harapan sebagian besar rakyat.

Dalam riuh rendah politik dan dinamika berpartai, rupanya tidak menghalangi satu kekuatan

baru lahir sebagai poros alternatif rakyat menyalurkan aspirasi politiknya melalui partai baru

besutan Hary Tanoesoedibjo, yakni Partai Persatuan Indonesia (Perindo).

Kelahiran Partai Perindo merupakan metamorfosa sekaligus transformasi dari Ormas Perindo

sebelumnya yang mengusung tema besar mewujudkan Indonesia yang berkemajuan, bersatu,

adil, makmur, sejahtera, berdaulat, bermartabat, dan berbudaya. Partai Perindo dengan jargon

”bersatu memimpin bangsa” setidaknya harus mampu memberikan jawaban atas kegundahan

publik selama ini, utamanya apatisme rakyat akan keberadaan partai politik.

Apakah Partai Perindo (1) murni lahir ”dari” dan ”oleh” napas rakyat serta nantinya tumbuh

bersama aspirasi rakyat yang menghendaki kesejahteraan Indonesia lebih baik; dan (2)

mampu benar-benar menjalankan fungsi partai politik sejatinya bukan justru menambah

kekisruhan, keruwetan, dan kebingungan masyarakat karena semakin banyaknya jumlah

pilihan partai politik di samping yang sudah ada saat ini?

Dan sejak 7 Februari melalui deklarasi Partai Perindo, sejarah baru kehidupan partai politik

mulai ditorehkan seraya menegaskan ijtihad politik kesejahteraan yang menjadi pilihan

perjuangan partai Perindo sebagai ”part of solution” bukan ”part of problem”.

Kualitas Partai

Mendirikan partai baru bukanlah satu pekerjaan yang mudah meski alam demokrasi sekarang

memberikan jalan dan ruang lebih terbuka. Partai baru bukan sekadar ”baru” dalam arti

menambah jumlah akan tetapi bermakna baru dari segi kualitas.

Partai Perindo menjadi partai baru tidak an sich dalam wajah saja, melainkan baru juga dalam

memberikan warna, platform perjuangan, misi dan program-program yang berkualitas untuk

Indonesia masa depan. Pendirian partai politik yang berkualitas setidaknya mensyaratkan

perencanaan menyeluruh disertai muatan sumber daya manusia yang menggerakkan organ

partai itu sendiri, yang kita kenal dengan sebutan ‘kader’.

Page 81: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

81

Pada bagian inilah kerap sejumlah partai politik di Indonesia kurang memberikan perhatian

serius, di mana kader sesungguhnya menjadi kunci penting dalam melahirkan partai yang

berkualitas. Partai Perindo dituntut jelas dan tegas menerjemahkan pengertian kader secara

utuh: ”sekelompok orang yang terorganisir secara terus-menerus dan akan menjadi tulang

punggung bagi kelompok yang lebih besar”, di mana dalam diri seorang kader melekat

integral kualitas individu dan juga organisasi yang akan membentuk kualitas partai secara

keseluruhan.

Kader partai Perindo adalah pelopor, inspirator, motivator, dan mediator bagi individu,

lingkungan, dan masyarakat bangsanya sehingga kaderisasi menjadi ujung tombak partai

yang harus diprioritaskan dengan bertumpu pada tiga hal: pengetahuan dasar yang dimiliki,

mampu memberikan solusi konstruktif atas berbagai permasalahan, dan tentunya berkiprah

menghasilkan karya yang bermanfaat.

Kualitas berikutnya, yang berkaitan dengan proses rekrutmen anggota dan pengurus partai

secara terbuka. Salah satu perbedaan Partai Perindo yang harus ditampilkan adalah

kemampuannya membangkitkan kesadaran politik warga negara (khususnya anak-anak

muda) serta ikut ambil bagian dalam aktivitas kepartaian. Hak politik warga—politik

kesejahteraan— yang belum sepenuhnya diakui maupun diakomodasi oleh partai politik

selama ini ibarat pekerjaan rumah yang belum tuntas diselesaikan untuk bisa diwadahi dalam

Partai Perindo.

Bangsa yang besar ini telah sejak lama kokoh kuat di atas keberagaman dengan nilai-nilai

budaya luhur dan sangat menghormati perbedaan. Oleh karenanya, dengan pijakan ragam

latar belakang serta suku, agama, ras yang berbeda-beda tanpa memilah dan memilih status

ekonomi/sosial, Partai Perindo harus menjamin sepenuhnya perlakuan dan kesempatan yang

sama bagi seluruh warga negara untuk bergabung. Keluarga besar Partai Perindo tidak

membedakan antara orang-orang yang berlatar belakang korporasi (dalam hal ini MNC

Group) dengan orang-orang yang berlatar belakang ormas/aktivis/LSM/akademisi. Kedua

unsur tersebut adalah kekuatan besar yang sangat bisa bersinergi saling menguatkan bila

dikelola oleh sistem rekrutmen dan manajemen partai yang cerdas sehingga wajah Partai

Perindo tampil utuh sebagai partai politik representasi denyut nadi rakyat.

Bagian selanjutnya, yaitu terbangun inklusivitas partai dalam kehidupan masyarakat dengan

pengertian partai politik memiliki platform pergerakan yang dekat dan menyatu dengan

rakyat (existing) bukan dalam posisi ”mulai” bahkan ”akan” mendekatkan diri kepada rakyat

bila ada kepentingan/tujuan yang ingin dicapai. Kesan umum publik terhadap partai politik

yang hanya dimiliki oleh sekelompok elite/petinggi partai, merangkul dan mengakomodir

kepentingan tertentu saja bahkan cenderung pragmatis hendaknya bisa ditepis sejak dini dan

terbantahkan oleh sistem rekrutmen partai Perindo yang terbuka.

Anggota dan pengurus adalah kader partai yang tidak boleh berjarak dengan masyarakat.

Mereka harus mampu menampung keluh kesah, merespons aspirasi rakyat yang memerlukan

solusi cepat sehingga tidak ada kesan Partai Perindo ”jauh” dari rakyat.

Page 82: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

82

Ujian Eksistensi

Membuat terbilang lebih mudah ketimbang mempertahankan. Demikian halnya Partai

Perindo sebagai pendatang baru di antara para senior partai politik lainnya, berhadapan

dengan tantangan besar dunia perpolitikan Indonesia yang sangat ”unpredictable”.

Mesin Partai Perindo dalam hal ini manajemen organisasi dan kepemimpinan menjadi kunci

utama dalam menghadapi tantangan, ujian, dan eksistensi partai di tengah masyarakat.

Kualitas partai yang tadi sudah terbangun akan mencerminkan kader yang memiliki integritas

dan kompetensi. Kader-kader partai inilah yang nantinya akan terus berada di garda terdepan

merespons permasalahan bangsa dan hadir ”hidup” bersama rakyat.

Tantangan berikutnya adalah konsistensi dan fokus perjuangan Partai Perindo pada politik

kesejahteraan, yang sama artinya dengan konsisten dan fokus berjuang melalui daerah-

daerah. Dewan pimpinan daerah (DPD) yang tersebar di seluruh Indonesia sudah barang

tentu menjadi tumpuan partai dalam menyosialisasikan dan menjalankan program kerja partai

sekaligus menggerakkan masyarakat agar menjadi lebih sejahtera.

DPD-DPD melalui koordinasi dengan DPW dan DPP akan menjadi medan pertama

implementasi kebijakan dan program Partai Perindo yang pro terhadap kesejahteraan rakyat

di daerah. Berhasil atau tidaknya DPD-DPD memberikan hasil nyata yang bisa dirasakan

rakyat serta-merta, akan menjadi parameter keberhasilan partai secara keseluruhan. Hasil

kerja nyata itulah yang menjadi jawaban untuk eksistensi partai.

Selain tantangan di atas, Partai Perindo juga dituntut mampu menerjemahkan fungsi partai

politik sebagai sarana komunikasi dan sosialisasi politik. Pilihan Partai Perindo mengusung

politik kesejahteraan tentunya berkorelasi dengan sejauh mana kebijakan-kebijakan

pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya. Namun, Partai Perindo tidak harus masuk

dalam ranah dukung-mendukung, setuju atau tidak setuju dengan kebijakan pemerintah

tersebut melainkan berfungsi sebagai pemberi solusi alternatif kebijakan.

Partai ini dibentuk salah satunya melihat potret kemiskinan yang terus bertambah dan

kesejahteraan yang belum juga dinikmati oleh rakyat sehingga kehadirannya harus dipastikan

sebagai solusi dengan tawaran alternatif kebijakan yang lebih tepat bagi pemerintah. Partai

Perindo bersatu bersama rakyat membangun Indonesia sejahtera.

MARDIANSYAH SP

Pengurus DPP Partai Perindo; Ketua Umum Dewan Dakwah Muslimin Indonesia (DDMI)

DKI Jakarta

Page 83: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

83

Penguatan KPK Kita Koran SINDO 17 Februari 2015

Kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah pilihan sejarah yang tepat. Pada

saat kinerja lembaga-lembaga penegak hukum kepolisian dan kejaksaan belum berprestasi

tinggi dan bahkan menjadi sasaran kritik, lahirnya KPK adalah terobosan yang membawa

angin segar.

Dalam waktu singkat, KPK menjadi lembaga yang dipercaya dan mendapatkan banyak

pujian. Dengan keistimewaan yang dijamin undang-undang, KPK dinilai berprestasi bagus

dalam tugas berat pemberantasan korupsi. Lalu, harapan yang disandang KPK pun makin

besar. Masa depan Indonesia seolah-olah diletakkan di pundak KPK.

Prestasi tinggi dan limpahan puji-pujian lantas melahirkan persepsi yang mulai kurang sehat.

Dengan segera KPK dianggap sebagai lembaga suci, serbabenar, dan mustahil bertindak

khilaf. Malah, pelan-pelan terbangun mitos bahwa KPK adalah kebenaran itu sendiri dan

tidak ada kebenaran di luar KPK. Hasilnya, bangunan tembok tebal yang melindungi KPK

dari kritik dan koreksi. Terpahatlah di tembok itu dua pasal peraturan. Pasal 1: KPK tidak

pernah salah. Pasal 2: Jika KPK salah, kembali ke pasal 1. Terjadilah transformasi dari

mitologi institusi menjadi mitos personal-individual. ”Pengurus” KPK, baik pimpinan dan

aparatnya, dianggap ”malaikat” dan ”dewa-dewa” yang terjamin bebas dari salah, khilaf dan

keliru. Bahkan terbebas dari nafsu dan kepentingan.

Dengan bangunan mitologi itu, setiap kritik dan koreksi dianggap sebagai pelemahan, tidak

pro terhadap pemberantasan korupsi, bahkan dinilai sebagai serangan balik para koruptor.

Karena terbiasa mendapatkan deretan puja-puji dan parade tepuk tangan, kritik dan koreksi

dianggap musuh yang harus ditampik dan ditindas sehebat-hebatnya.

Ringkas cerita lalu muncullah peristiwa-peristiwa yang tidak sedap. Ada kejadian protes

internal dan sebagian penyidik mengundurkan diri karena ada pimpinan yang melanggar

standard operating procedure (SOP). Diberitakan ada penetapan tersangka tanpa bukti yang

memadai. Ada juga pengumuman tersangka yang belum terbit surat perintah penyidikan

(sprindik)-nya. Publik tidak akan lupa dengan skandal hukum pembocoran draf sprindik yang

sulit dipisahkan dengan pernyataan menekan dari seorang presiden dari luar negeri.

Malah, ada pernyataan dari individu pimpinan KPK yang mirip lawyer orang tertentu. Tentu

saja terkait dengan kekuasaan yang besar. Yang mutakhir adalah penetapan tersangka kepada

calon kapolri hanya beberapa hari setelah surat usulan presiden ke DPR bocor ke media.

Yang tidak kalah menarik adalah informasi pertemuan-pertemuan politik individu pimpinan

Page 84: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

84

dan beredarnya foto yang bersifat pribadi. Ada pula yang ditetapkan sebagai tersangka oleh

Bareskrim Polri, sementara beberapa yang lain juga sedang diselidiki atas laporan

masyarakat. Artinya, ada permasalahan etik dan hukum.

Individu, Bukan Institusi

Jika kita menggunakan analogi salat berjamaah, ada mekanisme untuk menyelesaikan

masalah apabila ada imam yang (maaf) buang angin. Ini penting karena secara etik imam

yang sudah batal wudu kehilangan otoritas untuk melanjutkan tugasnya.

Pada konteks kelembagaan, imam yang buang angin, baik secara etik maupun hukum,

tidaklah sama dengan kiamat. Sebagai manusia, imam bisa saja sakit perut. Ketika imam

batal, jamaah tidak perlu bubar. Imam yang batal hanya perlu diganti orang lain yang masih

”punya wudu” lewat mekanisme yang sudah tersedia. Justru yang menjadi masalah adalah

jika imam yang batal memaksakan diri tetap melanjutkan tugasnya. Dalam konteks salat,

jelas jadi batal. Dalam pengertian lembaga, terang imam yang batal malah menjadi beban

kelembagaan.

Nah, perhatian utama kita adalah bagaimana lembaga KPK tetap terjaga eksistensinya dan

terus menunaikan tugas sejarahnya. Wajib dan mutlak bagi kita mempertahankan dan

menyelamatkan KPK. Sama tepatnya ketika kita membela institusi Polri.

Yang perlu ditimbang ulang dengan jernih adalah pembelaan membabi buta kepada individu

”pengurus” KPK yang sedang dipersoalkan telah melakukan pelanggaran etik dan

hukum. Ada kesan dan dibangun kesan seolah-olah menyelamatkan KPK identik dengan

menyelamatkan pengurusnya. Pembelaan individu ”pengurus” KPK secara membabi buta

adalah tindakan yang justru menjustifikasi terjadinya personalisasi dan mempertebal tembok

mitos.

Membela KPK justru harus dilakukan bersamaan dengan kesadaran untuk melakukan

demitologisasi. Pembelaan yang serius dan demitologisasi akan menyumbang besar bagi

penguatan kelembagaan KPK yang historis dan mendorong bekerjanya seluruh organ KPK

sesuai dengan pembagian tugasnya, secara lurus dan kebal terhadap resapan kepentingan

yang tidak semestinya.

Penguatan Kelembagaan

Lalu, bagaimana agenda penguatan kelembagaan KPK ke depan? Pertama, bagi pengurus

KPK yang sedang disangka ”buang angin”, baik secara etik maupun hukum, perlu didorong

untuk bersedia berlaku ksatria. Bersedia menjalani proses hukum dan etik adalah sebagian

tanda kecintaan kepada lembaga KPK. Apabila kelak dinyatakan bersalah atau tidak bersalah,

itu adalah bagian dari proses seleksi alam yang akan membuat KPK makin kuat dan terjaga

marwahnya.

Page 85: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

85

Kedua, ke depan proses seleksi pimpinan KPK sebaiknya makin ketat, baik dalam

persyaratan maupun prosesnya di pemerintah dan DPR. Sudah ada contoh yang bisa

dibandingkan dari hasil seleksi pimpinan KPK jilid I, II, dan III. Sudah banyak pula wacana

dan debat publik tentang bagaimana pimpinan KPK yang cakap, kuat, dan kredibel.

Seleksi pimpinan KPK bukan dimaksudkan untuk menemukan malaikat dan dewa. Cukuplah

pimpinan yang sanggup setia terhadap khitah KPK dan tidak tergoda untuk menyimpangkan

mandat, baik bagi dirinya ataupun pihak lain.

Ketiga, perlu dihajatkan mekanisme pengawasan kelembagaan yang efektif. Sebagai lembaga

yang diberi otoritas istimewa, meniadakan pengawasan adalah sesat pikir yang menyimpan

bencana. Justru karena otoritasnya yang istimewa itulah KPK harus disandingi pengawasan

yang nyata. Tanpa pengawasan, otoritas yang istimewa bisa menjadi otoritas yang absolut.

Sementara absolutisme selalu mengandung hukum besi: ”power tends to corrupt, absolute

power corrupts absolutely”. Kekuatan kontrol adalah daya awas terhadap hukum besi

absolutisme itu.

Di atas segalanya, KPK yang kuat dan berhasil dalam menunaikan amanah adalah KPK yang

”sadar lingkungan”. Karena itu, KPK harus bersedia membangun sinergi dan kerja sama

dengan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya. Bahkan bisa saling memperkuat. KPK

juga harus makin sadar hidup dalam tatanan kebangsaan dan kenegaraan. Bukan KPK yang

merasa dapat hidup sendiri dan bahkan mengatasi semua lembaga lain. Indonesia akan selalu

membutuhkan KPK yang setia dan lurus kepada panggilan sejarahnya.

ANAS URBANINGRUM

Ketua Presidium Nasional Perhimpunan Pergerakan Indonesia

Page 86: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

86

Implikasi Hukum dan Politik jika BG Dilantik

Koran SINDO 18 Februari 2015

Setelah sidang praperadilan pada Senin (16/2) mengabulkan gugatan Komjen Pol Budi

Gunawan (BG), opsi paling kuat bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampaknya melantik

perwira tinggi polisi itu sebagai kepala Polri. Kemarin, Selasa (17/2), Wakil Presiden Jusuf

Kalla juga sudah mengatakan, dia akan melantik BG sebagai kepala Polri, ”Kalau saya

presiden!”

Menurut pemikiran linear dan logis, memang tidak ada alasan bagi Presiden untuk tidak

melantik BG. Bukankah hakim tunggal, Sarpin Rizaldi, dengan tegas memutus bahwa

penetapan BG sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak sah dan

oleh sebab itu hakim mengabulkan gugatan BG? Konkretnya, masih menurut pemikiran

linear dan logis, BG sejak 16 Februari 2015 bukan seorang tersangka.

Lalu, apa lagi yang ditunggu Presiden? Bukankah sampai Minggu (15/2) malam di Istana

Bogor, Presiden masih mengatakan kepada para awak pers bahwa dia harus menunggu

putusan sidang praperadilan? Ketika Surya Paloh, ketua umum Partai NasDem, kemarin sore

sekitar pukul 16.00 menghadap Presiden di Istana Negara, sinyal pelantikan BG semakin

terang. Megawati Soekarnoputri dan Surya Paloh adalah dua politisi KIH yang sejak awal

mendesak Presiden tidak ragu-ragu melantik BG sebagai kepala Polri.

Saya berpikir Presiden akan melantik BG kemarin. Tapi, rupanya Presiden masih harus

berpikir-pikir, juga dengan alasan ada masalah penting lain yang mendesak yaitu persiapan

peringatan Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada April mendatang.

Saya yakin alasan ini hanya dibuat-buat. Jelas dong, putusan tentang BG jauh lebih penting

dan lebih mendesak ketimbang persiapan peringatan KAA! Maka itu, hampir dipastikan

bahwa Presiden masih membutuhkan renungan dan timbang-timbang lagi sebelum

mengeluarkan keputusan final: melantik BG atau melantik perwira bintang tiga lain sebagai

kepala Polri.

Kenapa Presiden Masih Saja Ragu?

Menurut saya, pernyataan Wakil Ketua Tim 9 Prof Jimly Asshiddiqie merupakan jawaban

yang jitu. Di mata Prof Jimly, Presiden mendapatkan dua tekanan yang sama-sama kuat dan

harus dipertimbangkan masak-masak. Pertama, dari para politisi partai-partai pendukungnya

maupun dari Koalisi Merah Putih. Kedua, dari rakyat.

Page 87: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

87

Tekanan dari rakyat, kalau diabaikan, bisa menimbulkan risiko anjloknya integritas dan

popularitas Presiden. Lima tahun ke depan dia akan ditinggalkan para pendukungnya.

Sebaliknya, tekanan dari kalangan politisi ”berumur sehari-hari”. Dia akan digempur terus

oleh politisi kalau Presiden tidak segera melantik BG sebagai kepala Polri.

Lalu, mana yang akan dipilih Presiden, risiko ditinggal rakyat banyak pendukungnya pada

2019 atau risiko berhadapan dengan DPR sehari-hari? Keduanya memang sama-sama tidak

enak. Tapi, Presiden harus segera ambil keputusan! Seorang pemimpin, apalagi pemimpin

negara dan bangsa, harus memiliki ketegasan dan keberanian mengambil keputusan

secepatnya, sekaligus siap menanggung risiko apa pun yang timbul akibat keputusan yang

diambilnya itu! Pemimpin yang tidak berani ambil risiko dan selalu merasa ketakutan ya dia

tidak pantas memimpin negara. Sekali lagi, kalau kita bertanya, kenapa Presiden

membutuhkan satu bulan lebih untuk memutuskan masalah BG?

Saya yakin seyakin-yakinnya, dalam hati sanubari yang paling dalam, Pak Presiden

sesungguhnya tidak mau melantik BG. Kenapa? Pertama, dia percaya penuh pada masukan

”9 Pendekar” yang tergabung dalam Tim 9 bentukan Presiden sendiri. Sembilan orang,

semua, terdiri atas putera-putera Indonesia yang sangat bagus integritasnya, apalagi ada figur-

figur seperti Buya Syafii Maarif, Prof Jimly Asshiddiqie, dan Prof Hikmahanto Juwana.

Orang-orang ini juga yang berjuang mati-matian menopang Presiden ke kursi RI-

1. ”Sialnya”, Tim 9 sejak awal sudah membisiki Presiden untuk membuang nama Budi

Gunawan.

Kedua, Presiden rasanya tidak pernah lupa peristiwa 16 Januari 2015. Hari itu massa besar

relawan Presiden turun ke jalan, termasuk di depan Istana, mendesak supaya Presiden tidak

melantik. Ketika itu mereka sudah bersiap-siap balik badan, menarik dukungannya kepada

Presiden. Presiden sedikit panik dan lewat ajudan mengundang Fajroel Rahman, ketua

Gerakan Salam Dua Jari, ke Istana. Tapi, bukankah pengadilan sudah menyatakan penetapan

tersangka BG tidak sah? Jawaban atas pertanyaan ini, saya persilakan Anda buka media

sosial dua pekan terakhir ini.

Ketiga, Presiden bukan tidak membaca dan tidak memperhatikan komentar-komentar para

pakar hukum terkait putusan sidang praperadilan Senin lalu. Banyak sekali yang mengecam

putusan yang dijatuhkan hakim Sarpin Rizaldi. Mantan Hakim Agung Djoko Sarwoko

misalnya mengecam putusan Sarpin Rizaldi yang membatalkan status tersangka Komjen

Budi Gunawan. ”Hakimnya tersesat! Ngawur..... Hakim terbawa arus!” Maka itu, Djoko

Sarwono menyarankan KPK tidak usah indahkan putusan yang melanggar KUHAP itu.

Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Harifin Tumpa berpendapat yang sama.

”Memperluas kewenangan praperadilan dengan alasan tidak diatur itu kan

ngaco. Praperadilan sudah diatur dengan jelas kewenangannya.” Menurut Jimly Asshiddiqie,

mantan ketua Mahkamah Konstitusi, suatu saat KPK bisa memperbaiki proses penetapan

tersangka. ”Bisa saja minggu depan, satu bulan depan, dua bulan lagi, Budi Gunawan

dijadikan tersangka lagi. Bisa saja itu terjadi!” Sebab itu, Jimly ”membisiki” Budi Gunawan

Page 88: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

88

untuk tidak cepat-cepat merasa di atas angin.

Maka itu, hampir dipastikan KPK akan mengajukan PK terhadap putusan praperadilan yang

memenangkan BG. Putusan praperadilan itu memang aneh bin ajaib. Pertama, putusan itu

menjungkirbalikkan isi Pasal 77 KUHAP. Kedua, jika putusan tersebut memiliki kekuatan

hukum tetap, siapa pun yang jadi tersangka dapat menggugat ke sidang praperadilan dan

pengadilan tidak dapat menolak karena sudah ada yurisprudensinya yaitu putusan

praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 16 Februari lalu. Ketiga , segera

bakal banyak tersangka yang ”antre” menggugat ketetapan hukum atas diri mereka yang

dinilai ”sewenang-wenang” seperti yang dikatakan hakim Sarpin Rizaldi.

Jangan lupa, MA pernah menguji putusan praperadilan kasus PT Chevron. Saat itu, 27

September 2012, hakim tunggal di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Suko Harsono,

memutus bahwa penetapan tersangka korupsi Bachtiar Abdul Fatah tidak sah. Tapi, dalam

putusan kasasinya, Mahkamah Agung menyatakan hakim Suko telah melampaui

kewenangannya. Kewenangan memutus legalitas penetapan tersangka tak termaktub dalam

Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Itulah sebabnya, Presiden atas masukan para penasihat hukumnya juga bimbang. Kalau BG

dilantik dan putusan praperadilan 16 Februari 2015 kemudian dibatalkan oleh kasasi

Mahkamah Agung, berarti BG tetap tersangka dan pasti akan secepatnya diproses oleh KPK

untuk diajukan ke Pengadilan Tipikor. Lalu, seorang pakar hukum di Surabaya mengatakan

Presiden bisa dimakzulkan bila dia tetap melantik BG sebagai kepala Polri!

Maka itu, pendapat yang mendesak Presiden segera melantik BG dengan alasan the case is

closed setelah praperadilan memutus gugatan BG, menurut saya, hanyalah pendapat linear

dan logis, tidak memperhatikan implikasi hukum dan politik yang lebih jauh. Atau pendapat

yang terlalu simplistis. Faktanya, masalah tidak begitu mudah. Masalahnya, putusan hakim

Sarpin Rizaldi bakal dikasasi ke Mahkamah Agung. Dua mantan ketua Mahkamah Agung

yang amat terhormat serta seorang mantan Hakim Agung yang terhormat sudah

mengeluarkan ”legal opinion” yang sama bahwa putusan Sarpin Rizaldi ngawur dan ngaco.

Presiden kini dalam posisi terjepit. Marilah kita sama-sama berdoa agar Pak Presiden pada

akhirnya mengambil keputusan berdasarkan hati nuraninya yang paling dalam dan petunjuk

Allah Yang Maha Penyayang lagi Pengasih.. Amin.

PROF DR TJIPTA LESMANA

Mantan Anggota Komisi Konstitusi MPR

Page 89: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

89

KPK vs Polri Pascavonis Praperadilan Koran SINDO 18 Februari 2015

Hiruk-pikuk polemik KPK vs Polri yang dalam beberapa waktu belakangan ini menjadi

“tren” dan topik hangat di semua kalangan telah menemui babak akhir ketika gugatan

praperadilan yang diajukan oleh kandidat “terkuat” kepala Polri, Komjen Pol Budi Gunawan

(BG), dikabulkan oleh hakim Sarpin Rizaldi di PN Jakarta Selatan.

Secara tidak langsung vonis atas gugatan praperadilan tersebut telah menganulir penetapan

status tersangka kepada BG yang dilakukan oleh KPK atas indikasi dugaan korupsi “rekening

gendut” yang dimiliki oleh BG ketika menjabat sebagai Karobinkar Mabes Polri pada periode

2003-2006.

Beragam argumen, pendapat muncul menyikapi vonis praperadilan tersebut, banyak pro dan

kontra yang merespons vonis tersebut–sambutan dari masyarakat luas pun cukup beragam

melihat realitas yang muncul atas vonis gugatan praperadilan itu.

Salah satu isu yang cukup krusial dan esensial pascavonis praperadilan tersebut ialah adanya

dorongan dan desakan yang ditujukan kepada pemerintah untuk segera menetapkan dan

melantik BG secara definitif sebagai kepala Polri.

Vonis atas gugatan praperadilan penetapan status tersangka yang dilakukan oleh pihak BG,

terlepas dari pro dan kontra yang ada, tetaplah harus dilihat dalam kerangka pemikiran yang

rasional dan objektif. Penulis juga memiliki catatan tersendiri terkait materi atau substansi

dari vonis praperadilan ini.

Secara singkat dapat diuraikan bahwa terlepas dari pro dan kontra terkait objek praperadilan

sebagaimana diatur di dalam Pasal 77 KUHAP, memang pada hakikatnya materi penetapan

status tersangka di dalam hukum acara pidana tidaklah menjadi bagian objek dari

praperadilan.

Menurut penulis, penetapan status tersangka merupakan hal ihwal pokok di dalam hukum

acara pidana; dalam arti bahwa objek praperadilan, yakni penangkapan, penahanan, serta

penghentian penuntutan atau penyidikan hanyalah merupakan akibat yang ditimbulkan dari

hal ihwal pokok tersebut. Hal itu juga hanya dapat dimaknai sebagai arus hilir dari proses

hukum acara pidana, sedangkan penetapan status tersangka merupakan arus hulu dari

rangkaian proses di dalam hukum acara pidana tersebut.

Kerangka pemikiran dengan rasionalitas berpikir seperti ini juga bersesuaian dengan ide

pembaruan dan pembahasan RUU KUHAP di DPR periode lalu. Pada saat pembahasan

Page 90: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

90

memang telah diinisiasi untuk memperluas objek praperadilan, yang memang di dalam RUU

KUHAP mekanisme yang ada ditempuh melalui jalur hakim komisaris. Inisiasi untuk

memperluas objek praperadilan sebagaimana dimaksud memang datang dari ide untuk lebih

menjamin pemenuhan serta perlindungan HAM bagi para tersangka, terdakwa, dan terpidana

di dalam sistem peradilan pidana.

Dalam konteks praperadilan gugatan BG, maka dengan kerangka pemikiran dan rasionalitas

berpikir sebagaimana diuraikan di atas, meskipun hal tersebut bukanlah objek dan tidak

diatur secara jelas di dalam KUHAP, menurut penulis gugatan praperadilan atas penetapan

status tersangka terhadap seseorang tersangka dapat menjadi objek gugatan di pengadilan.

Pada hakikatnya pemerintah, atau dalam hal ini Presiden, memiliki hak prerogatif di dalam

polemik penetapan status definitif kepala Polri. Akan tetapi, hak prerogatif tersebut dapat

dimaknai sebagai hak mutlak yang dimiliki Presiden di dalam menentukan nama-nama calon

kepala Polri. Artinya, hak prerogatif tersebut berlaku secara mutlak ketika proses awal seleksi

penentuan nama-nama calon kepala Polri yang akan diajukan kepada DPR (lihat Pasal 11 UU

Kepolisian).

Dalam konteks polemik BG, Presiden telah menggunakan hak prerogatif tersebut secara

penuh ketika justru hanya mengirimkan satu nama tunggal sebagai calon kepala Polri yang

selanjutnya akan mengikuti fit and proper test di parlemen. Secara logis, hak prerogatif

tersebut tidak serta-merta memiliki standardisasi yang mutlak ketika proses itu telah berada di

parlemen (DPR); sebab telah ada pengaruh cabang kekuasaan lain selain dari eksekutif

(Presiden). Dalam hal ini maka Presiden hanya tinggal menunggu hasil persetujuan DPR,

seketika setelah DPR setuju atas pengajuan kandidat kepala Polri yang diajukan oleh

Presiden, maka Presiden tinggal melantik kandidat yang telah disetujui oleh DPR tersebut

(lihat Pasal 11 angka (2), (3), dan (4) UU Kepolisian).

Adanya penundaan yang selama ini menjadi polemik terkait pelantikan BG sebagai kepala

Polri secara rasional dapat dimaknai bukan didasarkan oleh pertimbangan dari aspek yuridis,

tetapi dapat dilihat dan dimaknai karena alasan dari aspek sosial dan moral. Maka kemudian

apabila mau dilihat dari aspek sosial dan moral, vonis praperadilan terkait gugatan atas

penetapan status tersangka terhadap BG oleh KPK juga telah dianulir oleh lembaga peradilan

yang bebas dan tidak memihak (imparsial). Artinya, di sini bahwa memang tidak ada lagi

kondisi yang dapat membenarkan penundaan ataupun pembatalan BG untuk dilantik sebagai

Kepala Polri.

Dalam hal ini tentu jikalau menggunakan rasionalitas berpikir yang objektif, semua pihak

tidaklah dapat meragukan atau pun menyanggah keputusan dari pengadilan sebagaimana

yang dimaksud dalam gugatan peradilan yang dilakukan oleh pihak BG. Sebab, lembaga

peradilan merupakan lembaga yang independen, bebas, dan tidak memihak (imparsial)–

sehingga produk pengadilan sebagaimana yang tertuang di dalam vonis pengadilan tersebut

haruslah dipandang benar, sampai ada putusan pengadilan yang lebih tinggi yang

membatalkannya berdasarkan mekanisme dan prosedur hukum yang ada. Hal ini pun

Page 91: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

91

bersesuaian dengan asas res judicata pro veritate habetur yang berarti bahwa putusan hakim

(vonis pengadilan) haruslah dianggap benar sampai ada putusan dari pengadilan yang lebih

tinggi yang membatalkan putusan tersebut.

Jikalau merujuk dan melihat pada hubungan kausalitas antara penundaan pelantikan BG

dengan vonis akhir dari putusan praperadilan sebagaimana dimaksud dalam hal ini, maka

dengan dianulirnya status tersangka kepada BG melalui vonis pengadilan dalam gugatan

praperadilan yang diajukan terlepas dari pro dan kontra yang ada tidak ada lagi hambatan

atau pun batu ganjalan untuk melantik BG sebagai kepala Polri.

Keputusan politik pemerintah yang didasarkan pada produk pengadilan sebagaimana

diuraikan sebelumnya memiliki poin penting guna memenuhi stabilitas politik, hukum, dan

pemerintahan. Catatan penting bagi pemerintah atau Presiden dalam hal ini ialah harus segera

melantik BG sebagai kepala Polri (definitif ) agar dapat segera menyelesaikan polemik yang

terjadi dan resistensi yang ada di tubuh Polri dan KPK.

Tentu langkah pemerintah yang responsif diharapkan dapat segera mengembalikan stabilitas

politik, hukum, dan pemerintahan yang mana cukup terganggu atas polemik yang terjadi

antara KPK dan Polri.

AHMAD YANI

Peneliti dan Peneliti di Pusat Pengkajian Peradaban Bangsa (P3B)

Page 92: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

92

Abolisionist atau Retentionist? Koran SINDO 18 Februari 2015

Tekanan terhadap Indonesia mengenai keputusan untuk melakukan hukuman mati ternyata

tidak berhenti saat eksekusi gelombang pertama dilakukan kepada para terpidana mati

narkoba beberapa minggu yang lalu.

Tekanan terhadap Indonesia ketika menghukum mati terpidana gelombang kedua menjadi

semakin besar dan menarik perhatian dunia. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa

Ban Ki-moon, melalui juru bicaranya, meminta Indonesia untuk membatalkan hukuman mati

kepada para terpidana narkoba.

Tekanan tersebut juga semakin intensif dengan ancaman dari Australia untuk melarang

warganya ke Bali. Mereka juga mengancam akan melakukan penarikan duta besar seperti

yang dilakukan Brasil dan Belanda. Bila ancaman tersebut benar-benar terwujud, apakah

jalan keluar yang diantisipasi oleh pemerintah?

Saat ini pemerintah menekankan bahwa keputusan menghukum itu adalah keputusan hukum

positif di Indonesia, dan intervensi dari negara-negara tersebut sama artinya dengan

mengganggu kedaulatan. Presiden Joko Widodo juga mengatakan tekanan tersebut adalah

wajar karena setiap pemerintah perlu melakukan upaya maksimal menyelamatkan warganya.

Dengan kata lain, Presiden Joko Widodo lebih tertarik melihat tekanan tersebut dari kacamata

politik praktis dan bukannya mempertimbangkan nilai (value) dari opsi-opsi yang diusulkan

atau membuka dialog seputar tuntutan yang masuk tersebut. Jawaban senada juga

disampaikan instansi terkait seperti Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kejaksaan

Agung, kepolisian, bahkan Kementerian Luar Negeri.

Pemerintah sepatutnya dapat memberi keterangan kepada masyarakat negara sahabat,

khususnya negara-negara yang menentang hukuman mati, dengan lebih jelas. Setiap negara

sahabat yang memiliki kebijakan penghapusan hukuman mati memiliki alasan-alasan

tersendiri yang dapat menjadi titik tolak untuk diskusi. Masyarakat Eropa, khususnya, telah

memiliki pemahaman dan keterlibatan dalam diskusi mengenai perlu atau tidaknya hukuman

mati, karena hal itu sudah menjadi bagian dari pendidikan mereka. Penderitaan yang dialami

selama Perang Dunia II dan trauma kekejaman Nazi di bawah Hitler telah menjadi dasar yang

kuat bagi mereka untuk menempatkan hak hidup dan demokrasi sebagai tujuan

bernegara. Diskusi tentang hukuman mati berada dalam konteks semangat tersebut.

Tidak dapat dimungkiri bahwa masyarakat selalu terbagi antara kelompok yang memberikan

dukungan dan yang menolak, bahkan di antara negara yang menentang hukuman mati

Page 93: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

93

sekalipun. Masih ada warga negara di negara-negara tersebut yang mendukung hukuman

mati. Sama seperti warga negara di negara yang menerapkan hukuman mati, masih ada

masyarakat yang memperjuangkan untuk menentangnya. Perdebatan ini telah berlangsung

sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Apa yang membedakan adalah pembaruan

argumentasi dan bukti-bukti yang diajukan dari masing-masing pihak untuk menegaskan

posisi mereka terhadap hukuman mati.

Pertanyaannya kemudian apakah Indonesia saat ini sedang menuju arah penghapusan

hukuman mati (abolisionist) atau mendukung hukuman mati (retentionist)? Posisi ini sangat

mendasar dan sayangnya sejak transisi demokrasi dimulai sejak 1998 kita tidak pernah tegas

memilih sikap yang mana, belakangan justru ruang dialognya tertutup.

Apabila sebutan negara yang menjatuhkan sanksi atas sebuah tindakan kejahatan dengan

pencabutan hak hidup seseorang, minimal ada beberapa pertanyaan umum yang perlu

dijawab oleh pemerintah. Pertama, apakah sudah dipertimbangkan tindakan terpidana

tersebut dapat direhabilitasi sehingga ketika kembali ke masyarakat ia akan mematuhi

hukum? Rehabilitasi biasanya dilakukan dengan memberikan keterampilan atau konseling

kepada pelaku kejahatan sehingga mereka menyadari kesalahannya.

Kedua, apabila rehabilitasi tidak berhasil apakah terhadap terpidana dapat dilakukan

incapacitation? Pendekatan ini pada dasarnya adalah mencegah terpidana untuk melakukan

kejahatan yang serupa di masa mendatang.

Cara yang dilakukan bergantung pada jenis tindak kejahatannya. Contoh, para pelaku

kejahatan seks di India saat ini akan dikebiri yang membuat dorongan seks mereka menjadi

berkurang. Pada abad ke-18 dan 19, Inggris merelokasi para tahanan yang dianggap kejam ke

Australia dan Amerika. Pada zaman Orde Baru, para tahanan politik diasingkan ke Pulau

Buru.

Dalam kasus terpidana narkoba di Indonesia, metode ini tampaknya tidak dapat berjalan

dengan baik karena kejahatan sudah sangat sistematis dan terorganisasi. Sistem lembaga

pemasyarakatan kita masih belum profesional dan diduga masih penuh dengan praktik

korupsi. Contohnya adalah Ola, terpidana mati yang mendapat grasi, ditemukan mengelola

jaringan kejahatannya kembali di dalam penjara. Ironisnya, apabila menggunakan alasan ini

untuk menghukum terpidana mati, kita justru akan dipermalukan karena menunjukkan betapa

lemahnya sistem peradilan kita.

Ketiga, apabila rehabilitasi tidak berhasil maka apakah hukuman bisa dilakukan secara

retributif atau diberikan hukuman setimpal dengan kejahatannya. Dalam kasus hukum mati

yang telah kita laksanakan, biasanya terkait dengan kejahatan pembunuhan terencana yang

melibatkan korban masif dan terbukti dilakukan dengan sadis. Persoalannya bahwa mengukur

sebuah tindakan kejahatan tertentu dengan hukuman tertentu adalah sangat politis dan

kontekstual. Di China, korupsi adalah kejahatan yang diganjar hukuman mati. Sebelum

Page 94: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

94

direvisi, mempelajari metode pencurian masuk dalam kategori tindakan yang pantas dihukum

mati.

Keempat, apakah kejahatan yang diganjar hukuman mati memiliki maksud untuk

memberikan efek jera? Saat ini posisi pemerintah sama dengan posisi negara-negara lain

yang masih memberlakukan hukuman mati, yakni bahwa hukuman itu diperlukan untuk

menimbulkan efek jera.

Salah satu sumber sering dikutip oleh Presiden Joko Widodo adalah hasil penelitian BNN

pada 2008 yang menyebutkan angka-angka korban akibat kejahatan narkoba selama ini.

Namun, hasil penelitian itu dipertanyakan beberapa pihak, salah satunya adalah Claudia

Stoicescu, seorang kandidat doktor dari University of Oxford yang sedang melakukan

penelitian di Jakarta. Ia mengatakan bahwa metodologi dan definisi yang digunakan dalam

penelitian tidak mengikuti kaidah standar penelitian internasional sehingga hasilnya pun

dipertanyakan.

Di tingkat internasional, PBB merujuk hasil penelitian National Research Council di Amerika

yang telah mengadakan kajian dan pemeriksaan hasil-hasil penelitian yang mendukung dan

menolak hukuman mati. Mereka menyimpulkan bahwa hasil penelitian tersebut, baik yang

mendukung maupun menolak hukuman mati sebagai inconclusive (tidak sahih) sehingga

tidak dapat dijadikan rujukan dalam persidangan. Hasil-hasil penelitian tersebut tentu akan

menggugurkan argumen para diplomat ketika berdialog dengan wakil pemerintah atau

masyarakat negara sahabat yang menentang hukuman mati. Dan apabila kita tetap

menggunakan argumen tersebut untuk membela kebijakan, tentu kredibilitas kita akan turun.

Pertanyaan lain yang juga harus dijawab adalah bagaimana sikap dukungan hukuman mati ini

dapat menolong 200-an tenaga kerja kita di luar negeri yang terancam hukuman mati. Banyak

di antara mereka yang terancam hukuman mati terkait dengan alasan PBB untuk menentang

hukuman mati seperti sistem hukum yang tidak adil, tidak terbuka, tidak adil, mahal, apabila

terjadi kesalahan tidak dapat dikoreksi. Alasan-alasan tersebut harus dihadapi oleh

pemerintah dan jangan sampai ada kesan dari negara lain bahwa kita menarik diri dari

perdebatan tersebut.

Dengan kata lain, pilihan untuk mendukung atau menolak hukuman mati menuntut sebuah

penjelasan yang terbuka ilmiah dari pemerintah, karena kita hidup dalam pergaulan

internasional yang menggantungkan diri pada norma-norma tertentu. Kita dapat memiliki

norma yang berbeda ataupun setuju dengan norma-norma yang ditawarkan oleh negara-

negara lain. Namun syaratnya, norma yang kita pegang teguh telah lebih baik. Norma itu juga

harus sesuai dengan perkembangan dunia saat ini baik ekonomi maupun politik, di mana saat

ini pergaulan negara-negara tidak lagi dibatasi oleh batas fisik garis batas kedaulatan tetapi

hukum dan norma internasional.

Page 95: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

95

DINNA WISNU, PhD

Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina

@dinnawisnu

Page 96: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

96

Momentum Revisi UU KPK Koran SINDO 20 Februari 2015

Peristiwa demi peristiwa yang melibatkan pimpinan KPK Jilid III dalam tindak pidana

sebagaimana diungkap Bareskrim semakin mendekati kenyataan. Kondisi saat ini merupakan

peristiwa kedua kali setelah peristiwa ”cicak versus buaya”. Kendati demikian, mayoritas

masyarakat khususnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) anti-korupsi tidak percaya dan

bahkan menuding sebagai bentuk kriminalisasi dan pelemahan terhadap KPK.

Jika objektif dan jernih mengamati penetapan tersangka untuk BW dan AS, penulis

berpendapat bahwa ada perbedaan. BW diduga telah melakukan perbuatan ”menyuruh

melakukan saksi-saksi untuk memberikan keterangan tidak benar di dalam sidang MK”,

ketika dalam kedudukan sebagai penasihat hukum suatu perkara. Sedangkan AS justru diduga

telah menyuruh melakukan tindak pidana pemalsuan surat dalam posisi sebelum menjadi

pimpinan KPK. Dari tempus delicti kedua-duanya bukan pimpinan KPK sehingga tidaklah

tepat jika dikatakan bahwa penetapan tersangka bagi BW dan AS mutatis mutandis

pelemahan terhadap KPK. Penulis bertanya-tanya, siapa yang melemahkan siapa jika tempus

dan locus delicti peristiwa terkait dugaan tindak pidana oleh dua pimpinan KPK Jilid III

tersebut belum berstatus pimpinan KPK?

***

Penulis sebagai ahli hukum dan pengamat terhadap kinerja KPK sejak Jilid I sampai Jilid III

saat ini telah memperkirakan peristiwa ini bakal terjadi. Ini didasarkan beberapa alasan.

Pertama, pimpinan KPK Jilid III tidak terbuka dan komunikatif terhadap para ahli hukum

pidana kecuali terhadap ahli hukum pidana yang selalu ”membenarkan” tindakan mereka

tanpa reserve.

Kedua, penolakan permintaan audiensi para Pengurus Pusat Masyarakat Hukum Pidana dan

Kriminologi (Mahupiki) yang diinisiasi oleh para guru besar hukum pidana, tidak pernah

direspons dengan baik. Bahkan ada permintaan tersebut ada kesan diabaikan, sedangkan

maksud audiensi untuk memberikan masukkan yang dipandang dapat membantu kinerja

mereka.

Ketiga, pimpinan KPK telah buta terhadap kritik para ahli hukum pidana karena telah telanjur

memperoleh sanjungan yang luar biasa dari kelompok LSM anti-korupsi bahwa apa pun

tindakan hukum yang dilakukannya telah ”on the right track” dan selalu benar. Sedangkan

pihak-pihak yang berpendapat lain dipandang apriori tidak benar, bahkan dimasukkan ke

dalam kelompok anti-KPK dan anti-pemberantasan korupsi.

Page 97: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

97

Keempat, pimpinan KPK dan kelompok pendukung fanatiknya lupa dan tidak menyadari

bahwa tidak ada manusia yang sekelas malaikat di dunia ini. Karena itu, selalu terbuka

kelemahan-kelemahan yang hanya dapat dirasakan oleh manusia yang memiliki keimanan

yang kuat dan rendah diri serta mau mendengar nasihat orang lain, apalagi orang yang lebih

tua dan memiliki pengetahuan dan pengalaman yang lebih banyak dari mereka.

Kelima, yang sangat memprihatinkan adalah sikap pimpinan KPK yang mencerminkan

bahwa hanya merekalah yang paling mengetahui filosofi, visi, dan misi UU KPK dari orang

lain sekalipun terhadap penyusun dan inisiator UU KPK itu sendiri. Sedangkan tindakan

hukum yang dipandang benar oleh lima pimpinan KPK dari sudut ahli hukum pidana ternyata

tidak selamanya menaati asas-asas hukum dan norma-norma serta tidak memahami nilai-nilai

yang berada di balik norma-norma tersebut.

Keenam, ada pandangan keliru dari pimpinan KPK entah masukan ahli hukum pidana siapa

yang beranggapan bahwa UU KPK adalah lex specialis untuk semua tindakan hukum yang

telah ditentukan di dalam KUHAP. Sedangkan sejatinya (jika benar dipahami) UU KPK

hanyalah bersifat lex specialis khusus terhadap proses penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan semata-mata bukan pada status penyelidik, penyidik, dan penuntut.

Apalagi KPK dipandang sebagai ”regulatory body”, suatu pandangan keliru tentang status

”independen” yang melekat pada KPK sehingga menjadi tidak tepat jika dirujuk pada Pasal 3

UU KPK. Pandangan tersebut bahkan menjadi tidak tepat jika disimak teliti Penjelasan

Umum UU KPK khusus alinea pertama sampai alinea ketiga (halaman 26) antara lain

dicantumkan, ”bahwa KPK memiliki fungsi ‘trigger mechanism’ mendorong institusi

kepolisian dan kejaksaan menjadi efektif; dapat menyusun jaringan kerja yang kuat dan

memperlakukan institusi yang telah ada (kepolisian dan kejaksaan) sebagai ‘counterpartner’

yang kondusif; dan KPK tidak memonopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan,

dan penuntutan tipikor.”

Ketujuh, pimpinan KPK telah melupakan atau mengabaikan berlakunya UU RI Nomor 30

Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang telah disahkan dan berlaku pada 17

Oktober 2014. Karena terhitung sejak pemberlakuan UU tersebut, aparatur penegak hukum

termasuk pimpinan KPK sebagai pejabat publik wajib mematuhi ketentuan larangan

penyalahgunaan wewenang (Pasal 17 hingga Pasal 20).

Dalam kaitan hal tersebut, seyogianya ketentuan mengenai praperadilan yang terbatas pada

lingkup kewenangan untuk memutuskan keabsahan lima alasan permohonan praperadilan, di

masa yang akan datang diselesaikan melalui sarana hukum peradilan administrasi negara

sejalan dengan undang-undang tersebut.

Dengan begitu, dapat diwujudkan tuntutan penghormatan dan perlindungan hak asasi setiap

orang yang telah dicantumkan dalam UUD 1945 dan ketentuan Konvensi Internasional

tentang Hak Ekonomi, Hak Sosial, dan Hak Politik, yang telah diratifikasi Pemerintah

Indonesia dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2005 dan UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang

Page 98: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

98

HAM.

Momentum peristiwa-peristiwa yang melibatkan pimpinan KPK saat ini terlepas dari

”kriminalisasi” atau bukan yang akan dan harus diuji pada sidang pengadilan yang terbuka

dan dibuka untuk umum menekankan bahwa kondisi sangat mendesak agar pemerintah dan

DPR RI melakukan revisi terhadap UU KPK yang bersifat terbatas.

Harapan saya adalah revisi sungguh-sungguh mencermati pasal-pasal UU KPK yang rentan

terhadap pelanggaran HAM dan memberikan rambu-rambu hukum yang dapat

mempertahankan asas proporsionalitas dan asas akuntabilitas KPK dalam tindakan hukum

penyelidikan dan penyidikan. Salah satu yang pernah saya usulkan adalah pembentukan

Dewan Pengawas untuk menggantikan posisi penasihat KPK yang selama ini tidak efektif

sebagaimana diharapkan awal penyusunan UU KPK.

ROMLI ATMASASMITA

Guru Besar (Emeritus) Universitas Padjadjaran

Page 99: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

99

Problem Demokratisasi Partai Politik Koran SINDO 20 Februari 2015

Pada banyak peristiwa politik, sebagian besar orang hanya asyik melihat apa yang

berlangsung di permukaan panggung kekuasaan, namun melupakan dimensi substansial yang

ada di balik setiap peristiwa politik. Dalam perhatian yang lebih besar pada gejala tanpa

melihat akar persoalan inilah, peristiwa politik kerap datang dan pergi tanpa kita paham akar

persoalan dan terapi untuk merehabilitasinya.

Menelisik sampai ke akar persoalan politik termasuk gegar politik antara kubu PDIP dan

pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam kasus KPK versus kepolisian saat ini, satu hal

yang patut untuk direnungkan bahwa dominasi oligarki di internal partai politik adalah pokok

utama dari karut-marut politik Indonesia sejak jatuhnya Soeharto (post-authoritarianism).

Tulisan ini selanjutnya akan mendiskusikan bagaimana karakter dominasi elite politik di

internal partai memiliki konsekuensi pada dinamika eksternal politik, khususnya pada

karakter politik Indonesia. Untuk memahami persoalan politik Indonesia pada era post-

authoritarianism, problem potensi krisis koalisi di internal pemerintahan Joko Widodo

sebenarnya hanyalah salah satu contoh dari problem oligarki di dalam tubuh partai politik di

Indonesia.

Kebutuhan penyegaran partai politik di dalam parpol sepertinya menjadi tantangan bagi

seluruh partai politik di Indonesia. Setelah Pilpres 2014 usai, sampai sekarang kita hanya

sibuk menyaksikan ketegangan antara kekuatan pemerintah dan oposisi. Sementara itu, kita

lupa bahwa dinamika politik yang sehat dalam proses demokrasi di Indonesia tak terlepas

dari performa partai politik sebagai tulang punggung demokrasi di Indonesia.

Apabila kita tarik akar persoalannya, untuk menuju pada perubahan politik yang lebih baik,

demokratisasi partai dalam pengertian rotasi kepemimpinan yang ajek, pemahaman partai

politik akan agenda dan aspirasi akar rumput, maupun kesadaran akan dinamika sosial yang

bergerak dan membutuhkan respons yang sigap terhadapnya.

Ada pelajaran menarik yang kita dapat ambil dari pengalaman Partai Kongres India.

Turunnya pamor Indias Congress Party dan kegagalan dalam pertarungan elektoral melawan

Bharatiya Janata Party (BJP) tidak dapat dilepaskan dari problem internal partai politik baik

dalam keengganan dari kekuatan elite lama untuk merespons dinamika sosial yang terus

berubah maupun dominasi mereka yang demikian kuat sehingga menolak tampilnya

kekuatan-kekuatan baru untuk menyegarkan partai politik.

Seperti diutarakan oleh Subrata Kumar Mitra (1994) dalam Party Organization and Policy

Page 100: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

100

Making in a Changing Environment: The Indian National Congress jauh-jauh hari

sebelumnya bahwa kelambanan pergerakan Partai Kongres India dalam konstelasi politik

disebabkan kekuatan dominan konservatif di dalam partai (karena disebabkan oleh

kepentingan politik yang cenderung elitis, maupun hambatan-hambatan organisasional) tidak

mampu menangani isu-isu keadilan sosial dan operasi politik secara tepat dan terukur.

Sementara itu, loyalitas personal kepada elite daripada komitmen untuk mengembangkan

partai menjadi penentu rekrutmen kepemimpinan politik maupun mobilitas politik dari setiap

kader-kadernya. Problem politik di atas kemudian memanifes dalam bentuk terganjalnya

rotasi kepemimpinan secara ajek dan terlembagakan dalam tubuh Partai Kongres India.

Apabila kita refleksikan kasus di atas, problem yang dialami Partai Kongres India di atas juga

tengah dialami sebagian besar partai-partai di Indonesia. Secara umum partai-partai di

Indonesia mengalami persoalan besar terkait problem demokratisasi partai, terutama

sehubungan dengan problem rotasi dan rekrutmen kepemimpinan maupun mekanisme

keterlibatan kader dalam pengambilan kebijakan.

Perubahan Politik

Selanjutnya kita akan mengambil contoh dua partai politik yang saat ini akan menjalankan

kongres dalam waktu dekat yaitu PDI Perjuangan pada April 2015 dan Partai Amanat

Nasional (PAN) pada Maret 2015. Pada kasus pertama setelah kekalahan politik dalam

Pilpres 2004, PDI Perjuangan selama sepuluh tahun terakhir menjalankan strategi politik

oposisional yang brilian dan efektif.

PDI Perjuangan dalam peran oposisionalnya memproduksi beberapa agensi pemimpin

organik di tingkat lokal dan menjadi penyeimbang (counterpart) bagi koalisi penguasa.

Terpilihnya Joko Widodo sebagai presiden pada 2014 adalah buah dari kerja keras tersebut.

Kendati demikian, krisis politik justru saat PDI Perjuangan berkuasa. Benturan antara

kepentingan konservatif kekuatan oligarki dan kehendak pemerintah dan elemen-elemen

progresif lainnya terartikulasi dalam krisis politik terkini.

Berbeda dengan PDI Perjuangan, meskipun tidak terlepas dari problem karakter oligarki

partai, PAN memiliki tradisi rotasi kepemimpinan politik yang cukup baik. Sejak dilahirkan,

partai ini melembagakan regenerasi dan pergantian kepemimpinan tiap satu periode (Amien

Rais 1998-2005, Soetrisno Bachir 2005-2010, dan Hatta Rajasa 2010-2015). Dengan

melembagakan regenerasi kepemimpinan politik, secara bertahap partai akan dapat

memecahkan tantangan kelembaman birokratisasi partai.

Meski demikian, PAN juga memiliki problem internalnya sendiri. Perolehan suara pada

Pemilu 2014 (47 kursi) dari Pemilu 2009 (42 kursi) dapat dipandang kurang memuaskan bila

dibandingkan dengan perolehan partai-partai lain yang pada Pemilu 2009 berada pada posisi

yang hampir setara (Partai Gerindra naik dari 26 menjadi 73 kursi, maupun PKB dari 28

menjadi 47 kursi). Ke depan PAN harus meneruskan tradisi rotasi kepemimpinan yang ajek

Page 101: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

101

seperti yang menjadi tradisi kepemimpinan yang telah dibangun. Kepemimpinan partai saat

ini harus menyadari bahwa kemajuan partai lebih penting dari ambisi kepentingan dalam

jangka pendek.

Sebagai sebuah agenda politik ke depan adalah menarik tawaran dari Ketua DPP PAN

Zulkifli Hasan untuk memperkenalkan mekanisme konvensi calon presiden sebagai sebuah

respons cerdas dari internal partai terhadap desakan perubahan politik dari luar.

Demikianlah bahwa dalam konteks berbagai peristiwa politik yang berlangsung di Indonesia,

arus permukaan konflik, krisis, maupun negosiasi politik di Indonesia tidak dapat dilepaskan

dari proses dialektika yang berlangsung di internal setiap partai politik. Dalam kondisi

demikian, seruan untuk melakukan demokratisasi di internal partai politik menjadi bagian

penting bagi agenda reformasi politik di Indonesia.

AIRLANGGA PRIBADI KUSMAN

Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga; Juru Bicara Sukarelawan

Indonesia untuk Perubahan

Page 102: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

102

Solusi Elegan Jokowi? Koran SINDO 20 Februari 2015

Setelah sekian lama didesak baik oleh publik, para elite politik yang tergabung dalam Koalisi

Indonesia Hebat (KIH), kalangan DPR, dan sebagainya, akhirnya Presiden Joko Widodo

(Jokowi) mengeluarkan juga sikapnya.

Rabu (18/02) sore Jokowi secara resmi mengumumkan tidak akan melantik Komisaris

Jenderal (Komjen) Polisi Budi Gunawan (BG), melainkan mengajukan nama baru sebagai

penggantinya yaitu Komjen Polisi Badrodin Haiti yang sekarang menjabat pelaksana tugas

(Plt.) kepala Polri.

Pada saat yang sama Jokowi mengumumkan pergantian pimpinan Komisi Pemberantasan

Korupsi (KPK). Dua orang komisionernya yang telah berstatus tersangka, Abraham Samad

(AS) dan Bambang Widjojanto (BW), diberhentikan untuk sementara. Kemudian Jokowi

menunjuk tiga orang untuk mengisi kekosongan pimpinan KPK yaitu Taufiequrrahman Ruki,

Indriyanto Seno Adji, dan Johan Budi SP. Mereka ditunjuk Jokowi sebagai pelaksana tugas

(Plt.) pimpinan KPK.

Win-Win Solution

Bagi sebagian kalangan, keputusan Jokowi tersebut cukup mengejutkan. Ketika BG yang

akhirnya tampil sebagai pemenang dalam proses praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan belum lama ini, Jokowi diduga bakal segera melantik BG sebagai kepala Polri baru.

Namun, ternyata Jokowi mengambil sikap yang berbeda. Ia justru membatalkan pelantikan

BG dan menunjuk Badrodin sebagai penggantinya.

Apakah langkah yang diambil Jokowi ini merupakan sikap yang tepat? Dilihat dari perspektif

teori negosiasi politik, langkah yang diambil Jokowi di atas termasuk ke dalam kuadran

kolaboratif yakni negosiasi yang menekankan win-win solution. Pihak-pihak yang bertikai,

dalam hal ini Polri dan KPK, termasuk Jokowi yang terkait dengan pertikaian tersebut, sama-

sama mendapatkan keuntungan dan pada saat yang sama juga terhindar dari kerugian atau

potensi buruk yang kemungkinan didapatkannya.

Bagi BG secara personal, meski keputusan Jokowi terlihat merugikan karena kesempatan

menjadi orang nomor satu di jajaran kepolisian yang sudah di depan mata menjadi hilang,

sebenarnya dapat menguntungkan dirinya. Perlu diketahui, betapapun BG memenangkan

praperadilan, bukan berarti ia bisa bebas sepenuhnya. Pasalnya, yang dianggap tidak sah oleh

hakim Sarpin Rizaldi adalah mekanisme atau prosedur penetapannya oleh KPK, bukan

Page 103: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

103

substansi tindakan pidananya. Dengan demikian, bisa saja jika prosedur penetapan diperbaiki

kembali oleh KPK, BG dapat kembali menjadi tersangka.

Sekalipun BG dilantik menjadi kepala Polri, tidak akan menghalanginya untuk dijadikan

tersangka. Itu akan jauh lebih menyakitkan jika seorang pemimpin tertinggi kepolisian

menjadi tersangka. BG tentu akan menanggung malu yang sangat besar kalau benar-benar

terjadi.

Bagi Polri secara kelembagaan, keputusan Jokowi untuk membatalkan pelantikan BG juga

menguntungkan. Boleh jadi kalau BG tetap dilantik, konfliknya dengan KPK akan terus

berlanjut karena bukan tidak mungkin unsur balas dendam tetap ada. Padahal konflik

kelembagaan tersebut telah banyak menguras energi, tenaga, dan pikiran yang sia-sia, bahkan

mengancam matinya proses penegakan hukum, terutama pemberantasan korupsi di negeri

ini. Sementara Badrodin yang tidak terkait langsung dengan konflik diharapkan bisa menjadi

pereda suasana ketegangan itu.

Sementara itu, KPK yang nyaris lumpuh karena semua komisionernya terancam menjadi

tersangka juga diuntungkan dengan langkah Jokowi. Secara kelembagaan, KPK bakal pulih

kembali dengan ditunjuknya tiga orang sebagai Plt. pimpinan sehingga lembaga ini dapat

berjalan secara sempurna. Tanpa ada solusi tersebut, KPK mungkin akan sulit berjalan

normal karena dua orang pimpinannya telah ditetapkan sebagai tersangka.

Memang dalam situasi seperti ini, agaknya ada komisioner KPK yang dirugikan secara

personal yakni AS dan BW. Namun, karena undang-undang sendiri menyatakan bahwa

komisioner yang menjadi tersangka harus non-aktif, tidak ada jalan lain bagi mereka berdua

selain non-aktif dari KPK. Dalam situasi seperti ini, boleh jadi dua komisioner non-aktif

tersebut bisa menjadi martir demi terus tegaknya pemberantasan korupsi di negeri ini.

Mereka berdua boleh ”mati”, tetapi KPK harus tetap hidup.

Dukungan Publik

Langkah yang telah diambil Jokowi untuk membatalkan pelantikan BG jelas akan berdampak

positif besar baginya, terutama terkait dukungan publik. Seperti diketahui, suara publik

selama ini tampaknya lebih condong pada pembatalan pelantikan BG. Dengan kata lain,

publik lebih memercayai KPK ketimbang kepolisian dalam penegakan hukum, terutama

pemberantasan korupsi. Karena itu, sekalipun BG menang di praperadilan, dukungan mereka

terhadap KPK tetap tidak surut.

Dengan keputusan Jokowi tersebut, publik akan menganggap bahwa mantan wali Kota Solo

itu masih tetap memiliki komitmen untuk melakukan pemberantasan korupsi di republik

ini. Meski tidak menghentikan sepenuhnya upaya kriminalisasi terhadap KPK, setidaknya

dengan membatalkan pelantikan BG, Jokowi dipandang telah bisa mencairkan ketegangan

antara dua lembaga penegak hukum tersebut.

Page 104: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

104

Satu hal lain yang akan disikapi positif oleh publik terkait langkah Jokowi di atas adalah

mampunya sang Presiden keluar dari tekanan-tekanan elite-elite partai politik, khususnya

yang berada di dalam KIH. Selama ini Jokowi dianggap tidak berdaya menghadapi tekanan

itu sehingga berbagai keputusannya cenderung lebih berpihak pada kepentingan para elite

politik tersebut ketimbang kepentingan publik. Namun, kali ini Jokowi ternyata lebih

mendengarkan aspirasi publik dan lebih mempertimbangkan masukan-masukan dari Tim

Independen atau Tim 9 yang dibentuknya sendiri.

Seperti diketahui, langkah yang diambil Jokowi di atas persis seperti yang direkomendasikan

oleh tim yang dipimpin Buya Syafii Maarif tersebut. Pengumuman sikap oleh Jokowi sendiri

dilakukan tidak lama setelah ia berkonsultasi dengan tim. Tentu realitas ini akan sangat

diapresiasi publik.

Satu-satunya hal yang mungkin menjadi batu sandungan Jokowi atas keputusannya tersebut

adalah reaksi DPR. DPR yang selama ini bersikukuh agar BG tetap dilantik, bahkan sebelum

proses praperadilan selesai, agaknya tidak menerima begitu saja langkah Jokowi dengan dalih

merusak kewibawaan lembaga tinggi negara. Ini karena mereka merasa tidak dihargai karena

keputusannya yang menyetujui BG sebagai calon kepala Polri tidak digubris oleh Jokowi.

Namun, Jokowi tampaknya tidak akan terlalu sulit menghadapi lembaga legislatif itu. Selain

telah mendapatkan dukungan publik, yang membuat para anggota Dewan tidak bisa begitu

gegabah untuk bereaksi keras, hubungan Jokowi juga kini relatif sudah lebih cair, terutama

dengan elite-elite partai politik dalam Koalisi Merah Putih (KMP) sehingga Jokowi pun bisa

melenggang aman. Karena itu, boleh dikatakan, langkah Jokowi di atas merupakan solusi

yang elegan.

IDING ROSYIDIN

Dosen Komunikasi Politik FISIP UIN Jakarta dan Deputi Direktur the Political Literacy

Institute

Page 105: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

105

Teka-teki di Balik Sikap Presiden Koran SINDO 21 Februari 2015

Akhirnya Presiden Joko Widodo bersikap, tidak melantik Budi Gunawan menjadi kepala

Polri, disertai pengajuan calon kepala Polri lain, dan perombakan komisioner KPK. Sikap

demikian diprediksi tidak akan menuntaskan konflik Polri versus KPK dan mampu

meningkatkan kualitas penyelenggaraan negara hukum.

Berbagai indikator menunjukkan bahwa konflik akan terus berkelanjutan. Mungkin dalam

intensitas dan atmosfer yang semakin serius dan panas, setiap komponen bangsa wajib terus

waspada.

Dalam terminologi akademis, sikap Presiden tersebut mencerminkan pandangannya tentang

konsep bernegara hukum, bahwa: (1) Hukum dipandang sebagai entitas yang terpisah dari

politik, dan masing-masing berdiri sendiri. (2) Penegakan hukum ditumpukan kepada hukum

positif, akan tetapi mengesampingkan aspirasi sosial, sehingga legalitas dipandang penting,

sementara legitimitasi dikesampingkan. (3) Moralitas berbangsa dipisahkan dari praktik

penyelenggaraan negara hukum. Tampaknya sebagian besar politikus dan penegak hukum di

negeri ini memiliki pandangan serupa dan mengamini sikap Presiden tersebut.

Berbeda halnya bagi publik, khususnya orang awam hukum dan praktik politik, terasa adanya

kejanggalan dengan sikap dan pandangan tersebut. Moralitas justru dipandang amat penting

dan mendasar, sebagai sumber dan dasar penyelenggaraan negara hukum. Sebagaimana

ajaran hukum klasik bahwa apa yang disebut hukum adalah norma moral sosial, dan apa yang

disebut keadilan dapat diwujudkan tanpa hukum positif.

Bila Presiden, politikus, dan penegak hukum tidak mampu memperkaya ilmu hukum secara

utuh dan memadukannya dengan nilai-nilai moral Pancasila untuk penyelenggaraan negara

hukum, sangat dikhawatirkan jurang pemisah antara penyelenggara negara dan rakyat

semakin lebar, dan cita-cita bernegara pun semakin jauh dari harapan.

Bagi publik, sungguh kecewa mengapa terus berlangsungnya kriminalisasi terhadap KPK dan

penggiat anti-korupsi, sementara Presiden tidak berbuat apa pun untuk menghentikannya?

Publik mendukung sikap Presiden tidak melantik calon kepala Polri bermasalah, tetapi publik

mengecam sikap Presiden tidak melakukan pembelaan dan penguatan terhadap KPK.

Publik bertanya, mengapa posisi dan peran Joko Widodo sebagai petugas partai begitu

menonjol, sementara posisi dan peran sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan begitu

lemah? Mengapa pula, wawasan kebangsaan Presiden terbelokkan menjadi wawasan politik?

Page 106: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

106

Pertanyaan senada tertuju kepada politisi, apa motif politik fraksi-fraksi di DPR, terkait

dengan persetujuan ataupun penolakan calon kepala Polri yang diajukan Presiden? Sungguh

amat disayangkan bila manuver politik hanya demi kepentingan partai, dalam rangka

bargaining APBN, kalkulasi anggaran yang diperoleh, ujung-ujungnya duit, tetapi melalaikan

kepentingan bangsa.

Aneh dan terasa konyol ketika sikap Presiden bergantung pada vonis seorang hakim

praperadilan dalam memutuskan persoalan negara yang sedemikian strategis. Benarkah

hakim praperadilan netral, mampu menjaga moralitas dan profesionalitas, imun dari tekanan

politik dan teror? Rakyat sangat khawatir mengenai hal ini, jangan-jangan vonis

kontroversial, lahir dari skenario terstruktur, sistematis, dan masif? Komisi Yudisial

hendaknya mampu mengungkap tuntas mengenai dimensi etika dan moralitas hakim

praperadilan tersebut. Begitu banyak teka-teki di balik sikap Presiden.

Sekadar berbagi pemikiran, ketika ujian demi ujian terkait dengan konflik Polri versus KPK,

terbukti belum mampu menjadikan bangsa ini semakin dewasa dalam bernegara hukum,

maka perlu dicari akar masalahnya. Konflik Polri versus KPK dapat dianalogikan sebagai

benalu pada dahan atau ranting, sementara kanker pada pohon dan akar tidak disentuh untuk

diobati.

Dapat pula dianalogikan, konflik Polri versus KPK hanya persoalan atap bocor, sementara

fondasi dan pilar-pilar rumah begitu rapuh, lupa dibenahi. Tanpa perbaikan menyeluruh

sistem kenegaraan, apa pun keputusan Presiden, diprediksi tidak berpengaruh signifikan

terhadap perbaikan negara hukum.

Dalam perspektif akademik, salah satu sebab kegagalan bernegara hukum karena

keterjebakan penyelenggara negara pada legalisme liberal. Apa itu? Paham yang meyakini

bahwa keadilan, ketertiban, keteraturan dalam bernegara hukum dapat dilayani melalui

pembuatan dan penyelenggaraan sistem peraturan dan prosedur yang objektif (detached),

independen, impersonal, dan otonom (Nonet dan Selznick, 1978).

Padahal, konsep legalisme liberal yang berakar pada budaya Eropa barat dan cenderung

individual- imperialistik itu, tidak match (cocok) dengan sistem hukum yang berakar pada

nilai-nilai Pancasila, seperti keharmonisan, kekeluargaan, gotong-royong, komunalistik

religius.

Kita insyaf, bahwa di era globalisasi terjadi pertukaran antarbangsa mengenai konsep

bernegara hukum. Dalam konteks demikian, ada kecenderungan penyelenggara negara

mempelajari konsep legalisme liberal dan berusaha mempraktikannya di negeri sendiri. Akan

tetapi, amat disayangkan terjadi kesalahan fatal dalam pembelajaran tersebut.

Budaya Barat, yang oleh sosiolog Belanda Bart van Steenbergen (1953) dikatakan memiliki

kecenderungan memandang realitas secara dikotomis, parsialistis, dan berpotensi memecah

belah kesatuan dan persatuan, ternyata di-copy-paste dan dipraktikan dalam bernegara hukum

Page 107: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

107

di negeri ini, sehingga melahirkan DPR tandingan, perseteruan antarkoalisi partai, Polri

versus KPK, dan sebagainya. Bangsa terpecah-belah.

Di Amerika Serikat, sejarawan Grant Gilmore (1977) banyak menggunakan ungkapan-

ungkapan yang menunjukkan otoritas dan kekhasan Amerika dalam bernegara hukum,

seperti: American concept, American doctrines, American approach, etc. Amerika berani

melakukan terobosan terhadap doktrin Trias Politica. Amerika berkembang seperti sekarang

itu ternyata sangat disokong peran menonjol pengadilan, khususnya Supreme Court, antara

lain berani intervensi ke wilayah eksekutif melalui putusan-putusan yang berwawasan

kebangsaan. Mengapa di Indonesia justru hukum (pengadilan) dikooptasi politik?

Penyelesaian konflik Polri versus KPK dan pembenahan sistem bernegara hukum mestinya

dilakukan segera secara holistis, mempertimbangkan aspek hukum, politik, sosial, dan moral

kebangsaan secara utuh, dalam bingkai dan berdasarkan Pancasila. Wallahu alam.

PROF DR SUDJITO SH MSI

Guru Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM

Page 108: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

108

Hormati Putusan Hakim Koran SINDO 21 Februari 2015

Putusan praperadilan yang mengabulkan permohonan Komisaris Jenderal Polisi Budi

Gunawan atas penetapannya sebagai tersangka, selain bisa menjadi preseden buruk bagi

pemberantasan korupsi, juga dapat menuai gelombang gugatan praperadilan di kepolisian dan

kejaksaan.

Kendati begitu, putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas praperadilan itu tetap

dihormati sebagai putusan yang berkekuatan hukum tetap, kecuali pihak termohon

melakukan upaya hukum luar biasa atau peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.

Tapi tidak berarti hal itu tidak boleh didiskusikan, sebab indikasi dari putusan tersebut bisa

memicu terjadinya gelombang gugatan praperadilan. Semua yang ditetapkan sebagai

tersangka yang belum masuk ke pemeriksaan pengadilan di Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK), kepolisian, dan kejaksaan terbuka peluang untuk digugat.

Padahal, tujuan praperadilan dalam KUHAP pada hakikatnya untuk mengoreksi syarat

administrasi dan kemungkinan pengabaian hak-hak tersangka dalam proses penyidikan dan

penuntutan. Sebab dalam tahap penyidikan dan penuntutan, penyidik dan jaksa penuntut

umum diberi wewenang melakukan ”upaya paksa” seperti penangkapan, penahanan, atau

penyitaan barang bukti yang potensial melanggar hak-hak hukum seseorang. Maka itu,

pembuat undang-undang dalam Pasal 77 juncto Pasal 95 KUHAP tidak menggolongkan

”penetapan tersangka” sebagai objek praperadilan karena dianggap bukan upaya paksa yang

potensial melanggar hak-hak asasi manusia (HAM).

Keberatan atas penetapan tersangka dan pasal yang tidak diuraikan secara cermat, jelas, dan

lengkap terhadap tindak pidana yang didakwakan (Pasal 143 ayat 2 huruf-b KUHAP) dapat

dilakukan saat eksepsi oleh terdakwa atau pengacaranya setelah surat dakwaan dibacakan

dalam sidang pengadilan. Apabila eksepsi diterima karena pasal-pasal yang didakwakan tidak

jelas dan cermat atau terjadi kesalahan atas subjek hukum, hakim dalam putusan sela

menolak surat dakwaan sehingga pemeriksaan perkara tidak dilanjutkan. Pada konteks itulah

sebetulnya terdakwa mempersoalkan penetapannya sebagai tersangka, bukan dengan gugatan

praperadilan.

Dalam Rancangan Perubahan KUHAP diatur mengenai hakim komisaris atau hakim

pengawas, antara lain mengoreksi dan memberikan persetujuan jika seseorang akan dikenai

penahanan, termasuk penetapan tersangka. Hakim komisaris meneliti apakah permintaan

pengenaan penahanan atau penetapan tersangka dari penyidik sesuai dengan ketentuan

hukum atau tidak. Tapi keberadaan hakim komisaris dalam Rancangan Perubahan KUHAP

Page 109: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

109

dari berbagai pemberitaan justru ditolak oleh kepolisian.

Gelombang Gugatan

KUHAP selaku hukum formil (hukum acara) yang mengatur tata cara mempertahankan dan

melaksanakan hukum materiil yang dilanggar, oleh banyak pakar hukum, dianggap sebagai

aturan yang tidak boleh diinterpretasi secara luas. Apalagi menyimpang dari rumusan pasal

yang diatur secara limitatif, sebab hukum formal hanya mengatur tata cara dan prosedur jika

ada yang melanggar hukum materiil.

Konsekuensi dari interpretasi hukum yang sebetulnya sudah diatur secara jelas dan limitatif

dapat menghambat, bahkan mengacaukan prosedur penyelesaian perkara. Berbeda pada

hukum materiil yang bisa ditafsirkan secara progresif dengan asumsi menghargai nilai-nilai

hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Putusan praperadilan itu setidaknya dapat menimbulkan dua persoalan. Pertama, putusan itu

akan berdampak luas bagi penyidik kepolisian lantaran dapat menuai gelombang gugatan

praperadilan terhadap orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Bukan hanya perkara

korupsi, melainkan juga perkara lain seperti narkoba, terorisme, dan kriminal jalanan yang

begitu marak.

Dalam kasus narkoba misalnya, penyidik selalu menggunakan hasil tes urine dan

pemeriksaan darah dari laboratorium forensik (labfor) milik kepolisian untuk menetapkan

seseorang menjadi tersangka. Bisa jadi tersangka kasus narkoba yang begitu banyak itu

mengajukan gugatan praperadilan karena tidak percaya pada hasil tes labfor penyidik

kepolisian. Tersangka bisa meminta labfor independen yang ada di kampus-kampus untuk

melakukan tes urine dan darah sebagai bahan perbandingan.

Kemungkinan itu didukung dengan seringnya muncul tudingan bahwa oknum polisi selaku

aparat penegak hukum (penyelidik dan penyidik) diduga menjebak seseorang yang kemudian

dijadikan dasar penetapan tersangka. Dapat dipastikan, pihak kepolisian yang akan

merasakan dampak langsung dari pembenaran dan perluasan objek praperadilan sampai pada

penetapan tersangka.

Upaya Hukum

Lantaran putusan sudah dijatuhkan, KPK dapat melakukan langkah hukum untuk mencegah

putusan itu berdampak luas terhadap pemberantasan korupsi. Pertama, karena putusan

praperadilan bersifat final dan mengikat sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi, maka

KPK dapat menempuh upaya hukum luar biasa atau peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah

Agung (MA). Syaratnya harus menemukan keadaan baru (novum) yang belum terungkap

dalam sidang praperadilan (Pasal 263 ayat 2 KUHAP).

Page 110: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

110

Bisa juga karena berbagai dasar dalam putusan praperadilan, ternyata telah bertentangan satu

dengan lainnya. Atau putusan itu jelas-jelas memperlihatkan suatu kekhilafan atau kekeliruan

yang nyata dari hakim. Sebab fungsi lembaga praperadilan adalah melakukan koreksi

terhadap pelaksanaan penyidikan dan penuntutan yang diberi wewenang melakukan upaya

paksa. Sepanjang prosedur-prosedur dan modus operandinya dilaksanakan sesuai ketentuan

hukum acara yang diatur secara rigid, hasilnya bisa saja diterima.

Kedua, KPK harus mencari dasar argumentatif untuk mematahkan putusan hakim bahwa

tidak semua anggota Polri dikategorikan aparat penegak hukum. Padahal, dalam penjelasan

Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 2/2002 tentang Polri, untuk mengabdikan diri sebagai ”alat

negara penegak hukum”, setiap anggota Polri harus menghayati dan menjiwai etika profesi

kepolisian yang tecermin dalam sikap dan perilakunya. Begitu pula Pasal 1 butir-4 KUHAP

juncto Pasal 1 butir-8 UU Kepolisian mengartikan ”penyelidik” adalah pejabat polisi Negara

Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan

penyelidikan.

Ada pun pejabat kepolisian adalah anggota kepolisian yang berdasarkan undang-undang

memiliki wewenang umum kepolisian (Pasal 1 butir- 3 UU Kepolisian). Artinya, semua

anggota Polri mulai dari pangkat terendah sampai pangkat tertinggi merupakan aparat

”penyelidik” sebagai langkah awal dilakukannya penyidikan. Dengan demikian, semua

anggota Polri adalah aparat penegak hukum lantaran diberi wewenang melakukan

penyelidikan.

Berbeda pada penyidik dan penyidik pembantu yang ditentukan pangkatnya dalam Pasal 2

ayat (1) PP Nomor 58/ 2010 tentang Perubahan atas PP Nomor 27/1981 tentang Pelaksanaan

KUHAP, bahwa untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik Polri harus minimal

berpangkat inspektur dua polisi dan berpendidikan sarjana strata satu atau yang sederajat.

Maka itu, meskipun tetap menghormati putusan praperadilan, perlu dilakukan koreksi oleh

MA lantaran hakim melampaui kewenangan yang diberikan KUHAP.

MARWAN MAS

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar

Page 111: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

111

Putusan Hakim Sarpin yang Mencerahkan Koran SINDO 23 Februari 2015

Putusan praperadilan yang dipimpin hakim Sarpin Rizaldi, seorang hakim senior dengan

golongan pangkat IV/D, telah mengundang pro kontra.

Penulis yang memberikan keterangan ahli dari pihak Budi Gunawan dan Divisi Hukum

Mabes Polri serta secara langsung mengalami dan melihat sosok hakim senior Sarpin dapat

mengatakan kepada publik bahwa ia sosok hakim yang berani, tegas, dan mumpuni dari sisi

ilmu hukum.

Bahkan dalam beberapa kesempatan tanya jawab, hakim Sarpin ikut membantu kuasa hukum

Budi Gunawan dan KPK untuk memperbaiki pertanyaannya sehingga pertanyaan hanya

meminta pendapat ahli, bukan penilaian ahli terhadap fakta kasus yang dituduhkan kepada

Budi Gunawan.

Berbeda dengan mantan hakim agung RI yang juga kolega senior dari hakim Sarpin, penulis

mengapresiasi hakim Sarpin karena dari pengalamannya sebagai hakim senior dan dalam

pertimbangannya menunjukkan bahwa yang bersangkutan memahami betul hakikat lembaga

praperadilan dalam konteks sistem peradilan pidana terpadu berdasarkan UU RI Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Hakikat ini tidak banyak orang, sekalipun ahli

hukum pidana, memahami dengan sungguh-sungguh dan baik.

***

Para ahli hukum pidana dan pengamat non-hukum mengkritik keyakinan hakim Sarpin.

Padahal keyakinan tersebut dilindungi UU RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, khususnya Pasal 3 ayat (2) yang menegaskan bahwa “segala campur tangan

dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman DILARANG (huruf

besar, pen.), kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar

Negara RI Tahun 1945”; bahkan terdapat ancaman pidana terhadap siapa saja (ayat 3).

Semua warga negara Indonesia seharusnya menjunjung tinggi kedaulatan hakim di dalam

memeriksa dan memutus suatu perkara; tidak malah mem-bully setiap hakim yang memeriksa

dan memutus perkara tipikor jauh sebelum hakim bersidang. Kebiasaan buruk dan tidak

terpuji yang selalu dilakukan LSM anti-korupsi ini seharusnya tidak perlu terjadi di dalam

demokrasi yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, bukan konstitusi AS atau Inggris!

Begitu pula tokoh-tokoh masyarakat yang latah mencampuri kekuasaan kehakiman dengan

menyampaikan opini kepada publik tanpa yang bersangkutan memiliki pengetahuan hukum

Page 112: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

112

sedikit pun kecuali hanya “katanya” (testimonium de auditu).

Pengamatan saya selaku ahli terhadap sikap pengamat, tokoh masyarakat, dan ahli hukum

yang tidak memiliki kompetensi hukum pidana memprihatinkan ketika mereka mengatakan

“apa pun yang diputuskan hakim harus kita hormati”, tetapi dalam kenyataannya mereka

menjadi munafik ketika putusan hakim tidak sesuai dengan kehendak hatinya dan berlomba-

lomba mengkritik keyakinan hakim seperti terjadi pada hakim senior Sarpin.

Dalam konteks inilah penulis sangat mengapresiasi sikap dan keyakinan hakim Sarpin yang

dengan tegar dan cerdas memutus permohonan praperadilan Budi Gunawan tanpa ada rasa

takut dan ragu-ragu dan dipersiapkan dengan baik.

Jika membaca petikan putusan hakim Sarpin, penulis melihat bahwa pertimbangan

putusannya telah sejalan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Kekuasaan

Kehakiman. Aturan tersebut memerintahkan hakim dan hakim konstitusi wajib menggali,

mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat dimaksud adalah sejalan dengan

perkembangan HAM Internasional dan UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan

hakikat perlindungan HAM yang tecermin dari ketentuan Bab XA UUD 1945 tentang HAM.

Pascaratifikasi Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Hak Sosial dan Hak Politik,

dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2005, seharusnya setiap bentuk tindakan aparatur negara

termasuk penyidik dan penuntut yang diduga telah melanggar hak-hak asasi tersebut dapat

dimintakan perlindungan kepada lembaga praperadilan. Kesempatan tersebut tidak terbatas

pada alasan-alasan apa yang telah ditentukan secara limitatif di dalam Pasal 77 KUHAP

dengan dasar perkembangan kebutuhan perlindungan HAM setiap orang terlepas dari latar

belakang etnis, sosial, ekonomi dan kedudukannya dalam masyarakat dari penyalahgunaan

wewenang oleh aparatur hukum.

Menurut Remmelink (2003), setelah lahirnya Konvensi Uni Eropa tentang HAM, Pasal 1

KUHAP Belanda, yang menyatakan bahwa hukum acara pidana yang berlaku adalah hukum

acara yang ditentukan dalam undang-undang ini (KUHAP), tidak lagi bersifat

mutlak. Contoh, proses perolehan bukti perkara pidana merupakan persoalan serius; tidak lagi

hanya cukup bahwa telah ada bukti permulaan yang cukup. Begitu pula dalam konteks

penetapan sebagai tersangka, tidak cukup hanya keabsahan proses administrasi semata,

melainkan harus diuji keabsahan perolehan bukti permulaan yang cukup sehingga seseorang

ditetapkan menjadi tersangka.

***

Putusan hakim Sarpin merupakan peringatan terhadap setiap aparatur penegak hukum, tidak

terbatas pada KPK, untuk bertindak hati-hati dan tidak menyalahgunakan wewenang. Putusan

hakim Sarpin menurut penulis merupakan putusan yang monumental (landmark decision)

yang membuka ruang bagi setiap orang di dalam wilayah hukum NKRI untuk

Page 113: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

113

mempersoalkan pelanggaran HAM dalam proses penyidikan dan penuntutan.

Secara teoretik, pertimbangan hakim Sarpin dalam putusannya merupakan penemuan hukum

(rechtsvinding) dan telah sejalan dengan hukum sebagai sistem norms and logic yang dapat

membawa pencerahan kepada masyarakat (Mochtar Kusumaatmadja), hukum tentang

perilaku (alm. Satjipto Rahardjo), dan hukum sebagai sistem nilai (Romli Atmasasmita).

ROMLI ATMASASMITA

Guru Besar (Emeritus) Hukum Pidana

Page 114: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

114

Istana Rajawali atau Istana Kampret? Koran SINDO 23 Februari 2015

Tidak seperti biasa, guru bangsa Buya Syafii Ma’arif melontarkan pernyataan pedas terhadap

Presiden Jokowi atas pencalonan kapolri yang terkesan gamang.

Buya gusar karena Jokowi terkesan maju mundur dan gamang. Buya mendesak agar Jokowi

segera mengambil keputusan. “Kalau mau jadi burung rajawali, jadilah burung rajawali yang

kuat dan tegas. Kalau tidak, ya jadilah burung kelelawar (kampret),” kata Buya.

Nah, ketika akhirnya Jokowi mengambil keputusan membatalkan pelantikan Budi Gunawan

sebagai kapolri dan mengajukan nama baru calon kapolri ke DPR, apakah dia telah menjadi

seekor rajawali atau tetap menjadi seekor burung kampret, wallahu alam. Yang pasti,

Presiden Joko Widodo masih jauh dari zona nyaman. Bahkan, Presiden kemungkinan akan

menghadapi tsunami politik.

Kebijakan menyudahi kisruh KPK-Polri ternyata justru melahirkan masalah baru. Kini

Presiden bahkan harus menghadapi kemarahan partai politik pendukungnya dan juga

kemarahan sebagian anggota DPR. Wacana tentang penggunaan hak angket DPR segera

mengemuka sebagai respons atas keputusan Presiden membatalkan pelantikan Komisaris

Jenderal Polisi Budi Gunawan sebagai kepala Polri (kapolri) serta mengajukan Komisaris

Jenderal Badrodin Haiti sebagai calon kapolri.

Tekanan terbaru ini mungkin dirasakan sangat keras oleh Presiden karena wacana hak angket

kali ini justru diprakarsai oleh kekuatan politik yang mendukungnya, utamanya Partai

Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Adalah Junimart Girsang, anggota Komisi III DPR

dari Fraksi PDIP yang pertama kali dan secara terbuka mewacanakan penggunaan hak angket

itu. Dia terang-terangan menyatakan kecewa karena Presiden membatalkan pelantikan

Budi. Menurut dia, Presiden tidak bisa menolak apa yang sudah diputuskan sidang paripurna

DPR.

Wacana yang diembuskan Junimart tampaknya bukan sesuatu yang tiba-tiba atau atas nama

pribadi. Kuat dugaan, wacana ini merupakan produk dari pertemuan beberapa kader PDIP

dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Rabu (18/2). Mereka yang bertemu

Megawati hari itu antara lain Wasekjen PDIP Ahmad Basarah dan anggota DPR dari Fraksi

PDIP Herman Hery.

Segera setelah pertemuan di rumah Megawati itu dilaksanakan, beredar sebuah draf hak

angket dan atau hak interpelasi. Karena DPR sudah memasuki masa reses, draf hak angket

dan hak interpelasi DPR itu diedarkan ke rumah masing-masing anggota DPR. Draf itu

Page 115: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

115

merefleksikan kemarahan sebagian anggota DPR. Mereka menilai Presiden tidak

menghormati institusi DPR dengan cara mencampakkan kesepakatan pemerintah dan DPR

perihal calon kapolri. Padahal, mayoritas fraksi di DPR sudah sepakat dengan Presiden untuk

memberhentikan Jenderal Sutarman sebagai kapolri dan mengangkat Komjen Pol Budi

Gunawan sebagai kapolri yang baru.

Proses pencalonan yang akan dijalani Badrodin Haiti pun belum tentu mulus. Dinamika

politik selama masa reses DPR menjadi faktor yang sangat menentukan. Apalagi alasan

pencalonan Badrodin pun dinilai tidak jelas.

Surat Presiden Jokowi ke DPR terdiri atas dua lembar, disertai lampiran biodata Komjen

Badrodin Haiti. Lembar lainnya mencantumkan alasan Presiden. Di antaranya, “Berhubung

Komisaris Jenderal Polisi Drs Budi Gunawan, S.H, M.Si., ketika itu sedang menjalani proses

hukum sebagai tersangka pada Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan Surat Perintah

Penyidikan Nomor: Sprin.Dik- 03/01/01/2015, tanggal 12 Januari 2015, dipandang perlu

untuk menunda pengangkatan yang bersangkutan sebagai Kapolri sebagaimana

dipertimbangkan Presiden dalam Keputusan Presiden Nomor 04/POLRI/TAHUN 2015

tentang penugasan Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Untuk

Melaksanakan Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab Kepala Kepolisian Negara Republik

Indonesia .”

Lalu, kalimat dalam paragraf berikutnya: “Mengingat bahwa pencalonan Komisaris Jenderal

Polisi Drs. Budi Gunawan S.H, M.S- sebagai Kapolri telah menimbulkan perdebatan di

masyarakat dan dalam rangka untuk menciptakan ketenangan di masyarakat serta

memperhatikan kebutuhan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk segera dipimpin oleh

seorang Kapolri yang definitif, kami mengusulkan calon baru yaitu Komisaris Jenderal Polisi

Drs Badrodin Haiti untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Sebagai Kapolri.“

Jokowi mengirimkan surat itu pada hari terakhir masa persidangan DPR, Rabu, 18 Februari

2015. Surat Presiden itu akan dibacakan di sidang paripurna DPR pada 23 Maret 2015. DPR

memiliki waktu 20 hari untuk membahasnya.

Tsunami Politik

Kendati DPR menjalani masa reses, wacana tentang penggunaan hak angket atau hak

interpelasi DPR akan membuat suasana tetap bising. Berarti badai kegaduhan di ruang publik

belum berlalu. Bahkan, kegaduhan itu akan bisa tereskalasi nantinya jika semua fraksi di

DPR solid untuk menggunakan salah satu dari dua hak itu.

Dan manakala penggunaan hak itu terlaksana, itulah saatnya pemerintahan Presiden Jokowi

Widodo diterjang tsunami politik. Patut diibaratkan sebagai tsunami politik karena ketika hal

itu benar-benar terjadi, Presiden kemungkinan dibiarkan sendirian menghadapi DPR. Tidak

ada kekuatan politik di DPR yang akan pasang badan membela Presiden. Sebab wacana

penggunaan hak-hak itu sepertinya sudah mendapatkan dukungan awal dari beberapa

Page 116: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

116

komponen KIH.

Tsunami politik bisa menerjang Presiden karena beberapa kebijakan atau keputusan Presiden

terbaru tidak dipersiapkan dan dipertimbangkan dengan matang. Presiden bahkan cenderung

meremehkan DPR. Selain kasus pembatalan pelantikan Budi Gunawan, Presiden juga diduga

kuat melanggar UU ketika memperpanjang kontrak Freeport dan ketika menggagas Kartu

Indonesia Sehat serta Kartu Indonesia Pintar. Untuk anggaran program Kartu Indonesia Sehat

dan kartu pintar ini, pemerintah belum pernah membahasnya bersama DPR.

Adapun dalam kasus batalnya pelantikan Budi Gunawan, wajar jika sebagian anggota DPR

dan PDIP marah karena merasa telah dibohongi Presiden Jokowi. Sebelumnya, selama lebih

dari satu bulan masyarakat dipaksa menerima kegaduhan sambil menunggu Presiden

menunjukkan sikap tegas dan mandiri dalam menggunakan hak prerogatif. Alih-alih

konsisten dengan pilihannya terhadap Budi Gunawann sebagai calon tunggal kapolri,

Presiden Joko Widodo justru memaksa dirinya sendiri berbohong kepada rakyat demi

menyudahi kisruh Polri versus KPK.

Jokowi jelas telah membohongi publik, termasuk DPR dan PDIP. Sebab, pada jumpa pers

Jumat (16/1) malam di Istana Merdeka, Jokowi dengan nada sangat tegas menjelaskan bahwa

Budi Gunawan masih berstatus calon tunggal kapolri meski sudah berstatus tersangka.

Bahkan, Jokowi juga menegaskan tidak membatalkan pelantikan BG sambil memberi

penekanan khusus pada kata ‘penundaan’. “Jadi menunda, bukan membatalkan. Ini yang

perlu digarisbawahi,” kata Jokowi saat itu.

Kini, faktanya sudah sangat jelas. Apalagi Jokowi pun telah siap mengajukan Komjen Pol

Badrodin Haiti sebagai calon tunggal kapolri. Sebelumnya, Jokowi setidaknya sudah tiga kali

inkonsisten atau ingkar janji. Pertama, janji membangun koalisi ramping. Janji ini tak

terpenuhi karena sejak sebelum dilantik menjadi Presiden, Jokowi masih berharap tambahan

anggota koalisi agar bisa menggenggam kekuatan dominan di DPR.

Janji kedua adalah koalisi partai politik (parpol) tanpa syarat. Di kemudian hari, janji ini jadi

bahan olok-olok lawan politiknya karena Jokowi mengalokasikan 16 jabatan menteri untuk

kader partai pendukungnya.

Janji ketiga adalah membentuk kabinet ramping. Janji yang satu ini pun gagal dipenuhi

Jokowi karena nomenklatur Kabinet Kerja justru mengikuti postur Kabinet Indonesia

Bersatu-II yang gendut.

Akhirnya bila kelak situasi mereda, Jokowi harus dapat mengambil pelajaran penting dari apa

yang terjadi dari kasus pencalonan kapolri yang telah merusak hubungan antarlembaga tinggi

negara, khususnya dengan DPR dan kisruh KPK-Polri ini. Mengelola negara bukanlah

sesederhana mengelola sebuah kota yang hanya terdiri atas beberapa kecamatan. Selain

dibutuhkan sikap kenegarawanan, seorang presiden juga harus terbebas dari berbagai

tekanan. Baik dari parpol pendukung maupun dari kepentingan kelompok LSM dan relawan.

Page 117: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

117

Presiden Jokowi masih memiliki banyak waktu untuk memperbaiki keadaan. Khususnya

dalam hal pengelolaan negara. Kita berharap, ke depan Jokowi dapat menjaga agar Istana

Presiden tetap menjadi istana rajawali yang berwibawa dan menghadirkan solusi. Bukan

sebaliknya, menjadi istana kampret yang menjadi sumber masalah bagi bangsa.

BAMBANG SOESATYO

Sekretaris Fraksi Partai Golkar dan Anggota Komisi III DPR RI/Presidium Nasional

KAHMI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

Page 118: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

118

Mencari Pemutus Sengketa Hasil Pilkada Koran SINDO 24 Februari 2015

Pembentuk undang-undang seperti kehabisan akal untuk mencari jawaban hendak diberikan

ke institusi apa kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah

(pilkada).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, yang berasal dari Perppu Nomor 1 Tahun 2014

tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, memberikan kembali wewenang

menyelesaikan sengketa hasil pilkada kepada Mahkamah Agung (MA). Aspirasi ini sangat

disokong oleh pemerintah (baca: Kementerian Dalam Negeri) karena berupaya

mengembalikan pilkada ke dalam rezim pemerintahan daerah, bukan lagi rezim pemilihan

langsung.

Keinginan Kemendagri tersebut ternyata tidak didukung oleh DPR. Melalui revisi terbatas

UU Nomor 1/2015, mereka tetap menginginkan Mahkamah Konstitusi (MK) yang

menyelesaikan sengketa hasil pilkada sebelum dibentuk badan peradilan khusus. Terlebih

MA sudah menyatakan keberatannya karena menerima dan masih menunggak banyak

perkara.

Persoalannya, dalam putusan Tahun 2013, MK sudah pernah menyatakan bahwa

menempatkan sengketa pilkada ke MK bertentangan dengan UUD 1945 karena pilkada

bukan pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945.

Kontroversi MA

Awalnya, melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, undang-undang

yang mengubah pilkada melalui DPRD menjadi pilkada langsung oleh rakyat, penyelesaian

sengketa hasil pilkada memang diserahkan kepada MA. Untuk sengketa hasil pemilihan

gubernur, MA langsung mengadili sendiri, tetapi untuk sengketa hasil pemilihan bupati/wali

kota diserahkan kepada pengadilan-pengadilan tinggi.

Selama sengketa hasil pilkada disidangkan MA sejak 2005 hingga 2008 mencuat beberapa

kontroversi. Yang paling menonjol Pilkada Depok 2005, Pilkada Maluku Utara 2007, dan

Pilkada Sulsel 2007. Tiga pilkada tersebut telah memunculkan pertikaian antarkubu yang

bersaing dan semakin diperuncing dengan putusan pengadilan yang justru tidak

menyelesaikan masalah, tetapi malahan memancing masalah baru.

Pada Pilkada Depok 2005, Pengadilan Tinggi Jawa Barat telah membuat putusan yang tidak

masuk akal yaitu memenangkan gugatan pasangan yang kalah dengan hanya berbekal asumsi.

Page 119: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

119

Salah satunya menghitung suara mereka yang tidak memilih. Akibat itu, meski undang-

undang tidak mengatur mekanisme peninjauan kembali (PK), karena putusan sangat tidak

rasional, MA akhirnya membatalkan putusan PT Jabar.

Pada Pilkada Sulsel 2007, putusan MA menyulut kontroversi karena memerintahkan pilkada

ulang, padahal maksudnya pemungutan suara ulang. Karena perintahnya pilkada ulang, yang

artinya proses mulai dari pemutakhiran data pemilih hingga pelantikan pasangan calon

terpilih, putusan tersebut tidak dapat dilaksanakan. KPU Sulsel pun mengajukan PK dan

akhirnya MA mengabulkan PK tersebut.

Pada Pilkada Maluku Utara, MA tidak memberikan putusan yang pasti terhadap kubu yang

dimenangkan. MA hanya memberikan perintah menghitung ulang suara, padahal KPU

Maluku Utara telah terbelah. Penghitungan ulang dilakukan, tetapi hasilnya tetap tidak jelas

siapa yang menang karena ada dua versi KPU Maluku Utara dengan dua versi hasil

penghitungan pula.

Kontroversi di MA telah menyulutkan tuntutan untuk menggeser penyelesaian sengketa ke

MK yang dipandang lebih kredibel. Secara resmi, sejak pertengahan 2008, melalui UU

Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU Nomor 32/2004, MK menyidangkan

sengketa hasil pilkada yang telah bergeser maknanya menjadi pemilihan umum kepala daerah

(pemilukada).

Banyak apresiasi yang dialamatkan ke MK selama menyidangkan sengketa hasil

pemilukada. Ratusan kasus telah diselesaikan tanpa riak berarti karena tingkat kepercayaan

masyarakat yang tinggi. Hingga, pada 2 Oktober 2013, Ketua MK Akil Mochtar tertangkap

tangan menerima suap dari Bupati Gunung Mas Hambit Bintih. Akil dibui dan diganjar

hukuman seumur hidup, hukuman tertinggi bagi koruptor hingga saat ini.

Kendati persoalan Akil sempat meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap MK hingga

titik nadir, perlahan tapi pasti di bawah kepemimpinan Hamdan Zoelva, MK merebut kembali

kepercayaan masyarakat. Secara umum masyarakat tidak menolak kewenangan MK untuk

menyelesaikan sengketa pemilukada hingga MK sendiri yang menghapuskan kewenangan

tersebut dalam putusan pada 2013.

Alhasil, ketika pembentuk undang-undang mencari lembaga yang berwenang menyelesaikan

sengketa hasil pilkada (setelah undang-undang mengembalikan lagi terminologi pemilukada

menjadi pilkada), pilihan menjadi begitu sempit. Karena sudah ada putusan MK, logikanya

penanganan harus balik lagi ke MA. Masalahnya, MA berkeberatan dan masyarakat sipil

penggiat pemilu juga tidak ingin MA.

Sebagai jalan tengahnya, pembentuk undang-undang memerintahkan penanganan sengketa

hasil pilkada kepada badan pengadilan khusus. Namun, selama badan tersebut belum

terbentuk, MK kembali diberikan kewenangan untuk mengadili sengketa hasil pilkada.

Page 120: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

120

Wewenang Bawaslu

Dari sisi teori, peradilan hanyalah salah satu pilihan bagi penyelesaian sengketa pemilu,

termasuk sengketa hasil pilkada. Selain pengadilan, kewenangan juga dapat diberikan kepada

parlemen, penyelenggara pemilu, dan instrumen internasional. Yang terakhir pernah terjadi di

Afghanistan karena institusi lokal sudah ambruk sehingga penyelesaian diserahkan kepada

instrumen-instrumen internasional yang membantu pelaksanaan pemilu di negara itu.

Dalam konteks Indonesia, pilihan selain pengadilan masih terbuka untuk penyelesaian oleh

penyelenggara pemilu. Oleh parlemen sangat tidak mungkin karena level kepercayaan

terhadap parlemen sangat rendah, terlebih bila dikaitkan dengan kewenangan untuk

menyelesaikan sengketa hasil pemilu dan pilkada. Sementara instrumen internasional sangat

tidak diperlukan karena institusi lokal masih mungkin berjalan normal.

Penyelenggara pemilu di Indonesia terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan

Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Kepada lembaga mana penyelesaian sengketa hasil

pilkada hendak diberikan?

Saya lebih sepakat bila penyelesaian sengketa hasil pilkada tersebut diserahkan kepada

Bawaslu. Saat ini Bawaslu diberikan tiga kewenangan yaitu melakukan pengawasan,

penanganan tindak pidana pemilu, dan penyelesaian sengketa dalam konteks pemilu

legislatif. Bisa dikatakan, bisnis inti dari Bawaslu adalah pengawasan. Padahal, justru di

sinilah letak persoalannya.

Pengawasan tidak jelas ukurannya. Antara input dan output tidak terukur. Tidak heran banyak

pihak yang menyatakan lebih baik peran pengawasan Bawaslu diserahkan kepada

masyarakat, pemantau, parpol, dan kandidat. Peran untuk terlibat dalam penanganan tindak

pidana pemilu juga tidak dibutuhkan mengingat kewenangan Bawaslu tidak menentukan.

Lebih baik Bawaslu berkonsentrasi pada kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pemilu,

yang jelas sangat bisa diukur tingkat keberhasilan dan kegagalannya. Termasuk dalam hal ini

kewenangan untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada. Untuk sengketa hasil pemilu

legislatif dan presiden, karena sudah ditentukan dalam UUD 1945, mau tidak mau harus

diserahkan kepada MK.

Saya termasuk yakin bahwa penyelesaian sengketa hasil pilkada oleh Bawaslu akan jauh

lebih baik bila dibandingkan menyerahkannya kembali ke MA sebagaimana disebut dalam

UU Nomor 1/2015. Terlebih MA menyerahkan penanganan sengketa hasil pemilihan

bupati/wali kota ke pengadilan tinggi.

Di bawah rezim MA, bisa jadi pilkada akan bertambah mahal. Para pecundang dan pengacara

siap-siap menunggu di tikungan untuk mempersoalkan sengketa hasil pilkada ke MA atau

pengadilan tinggi. Dambaan pilkada murah menjadi hanya menggantang asap.

Page 121: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

121

Terhadap keputusan untuk mengembalikan ke MK untuk sementara waktu sebelum

terbentuknya badan pengadilan khusus, saya termasuk yang sepakat. Namun, bila putusan

MK pada 2013 menghalangi lembaga ini untuk menangani sengketa hasil pilkada secara

permanen, Bawaslu yang direformasi dari sisi kelembagaan dan personel dapat menjadi

pilihan. Tidak perlu membentuk lembaga baru yang pastinya akan memakan biaya, padahal

ada lembaga yang masih bisa dimaksimalkan fungsinya.

REFLY HARUN

Ahli Hukum Tata Negara; Mengajar di Program Pascasarjana UGM

Page 122: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

122

Prioritas Langkah Menyelamatkan Polri Koran SINDO 25 Februari 2015

Ada yang merisaukan pada isi pidato Presiden Jokowi, Rabu (18-2-2015) lalu. Pidato berisi

keputusan Presiden terkait kekisruhan antara KPK dan Polri itu menyinggung masyarakat

sebagai pihak yang terimbas sebatas dalam bentuk terjadi perbedaan pendapat.

Padahal, lebih dari sekadar perdebatan kognitif, pertikaian dua organisasi itu nyata-nyata

sudah sampai ke dimensi afektif yakni dalam bentuk kian tergerusnya kepercayaan publik

terhadap lembaga-lembaga penegakan hukum. Apalagi, terdapat kesan kuat bahwa sinisme

masyarakat terhadap Polri tampak lebih mengental; suasana batiniah yang mengkhawatirkan,

mengingat Polri merupakan institusi penegakan hukum yang bersifat permanen.

Berhadapan dengan kondisi psikologis masyarakat sedemikian rupa, Polri sepatutnya

terdorong untuk lebih inward looking, di samping terus mengupayakan perbaikan kualitas

kemitraannya dengan KPK. Dorongan bagi Polri untuk lebih mawas diri itulah yang

sebenarnya sangat baik bila disampaikan Jokowi.

Tentu, dengan sekian banyak area pembenahan internal yang ada, tugas Komisaris Jenderal

Polisi Badrodin Haiti kelak akan sangat berat. Area mana yang patut diutamakan bersumber

dari tiga potong kejadian yang telah terlupakan. Peristiwa penting yang justru dari situlah

calon Kapolri Badrodin dapat menemukan tiga area yang membutuhkan pembenahan besar-

besaran.

Kejadian pertama yang mencerminkan kekacauan organisasi Polri adalah ketika dua

petingginya mengeluarkan pernyataan berbeda sehubungan dengan penangkapan Bambang

Widjojanto. Plt. Kapolri (Wakapolri) Badrodin Haiti membantah ada penangkapan tersebut.

Tapi, berbeda tajam, Kabareskrim Budi Waseso justru mengonfirmasi kabar mengenai

penangkapan terhadap petinggi Komisi Pemberantasan Korupsi itu.

Bertolak belakangnya pernyataan dua komjen di atas mengisyaratkan ada faksi-faksi di dalam

tubuh Polri. Koordinasi antarfaksi menipis, sebagai konsekuensi ketidaksempurnaan dalam

mengatasi keadaan kritis yang dipandang harus disikapi selekas mungkin. Kekacauan fungsi

komunikasi publik (hubungan masyarakat, humas) Polri itu sesungguhnya memalukan,

mengingat by nature kerja polisi identik dengan situasi krisis.

Publik pun bereaksi dengan mempertanyakan, apakah penangkapan Bambang merupakan

langkah penegakan hukum yang dihasilkan berdasarkan keputusan terpadu Polri atau sebatas

sebagai prakarsa sektoral oleh kubu dengan kepentingan tertentu di tubuh Polri?

Page 123: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

123

Jika ditarik ke tataran lebih mendasar, istilah ‘humas’ di institusi Polri pun seolah

mengandung salah kaprah. Seluruh aparat Polri sesungguhnya memiliki kewajiban untuk

membangun hubungan dengan masyarakat. Dengan kata lain, kehumasan tidak semestinya

dijadikan sebagai tugas pokok dan fungsi unit kerja tertentu lalu dikesampingkan pada unit-

unit kerja lain.

Dengan dasar berpikir seperti itu, unit humas Polri sepatutnya dilikuidasi ke seluruh unit

kerja Polri. Sebagai gantinya, dibentuk unit hubungan media (media relations) dengan tugas

melayani kebutuhan informasi para wartawan serta unit kerja sama antarlembaga.

Bagaimana memastikan setiap orang yang bergabung dalam Polri memiliki potensi

kehumasan yang memadai serta terkembangkan secara baik, itulah fondasi yang patut

dibangun ulang oleh Badrodin selaku kapolri nanti. Spesifik dalam konteks kemelut yang

sedang berlangsung, sinkronisasi informasi yang disampaikan ke masyarakat merupakan

keharusan guna mencegah agar kekacauan tidak bergulung-gulung seperti bola salju.

Kejadian --bahkan tak keliru disebut ‘misteri’-- kedua adalah dimutasinya Komjen Suhardi

Alius dari jabatan Kabareskrim Polri ke posisi Sestama Lemhanas. Meski Polri

mengemukakan alasan bahwa keputusan pemindahan Suhardi sesuai rekam jejak Suhardi,

gelombang skeptisisme publik tetap deras menolak penjelasan yang Polri ajukan. Keragu-

raguan masyarakat itu bertitik tolak dari penilaian bahwa Polri hingga kini belum sungguh-

sungguh menerapkan pendekatan objektif sebagai mekanisme penentuan karier personelnya.

Pada satu sisi, profesionalisme selalu dikemukakan sebagai rasionalisasi. Tapi, pada sisi lain,

kasak-kusuk nyaring terdengar bahwa promosi maupun demosi di lembaga Polri lebih

ditentukan oleh faktor-faktor semisal urut kacang, baik berdasarkan usia karier maupun usia

biologis, dan kedekatan pribadi. Ketiadaan mekanisme objektif itu pula yang mendasari syak

wasangka bahwa di dalam organisasi Polri sekali lagi terdapat faksi-faksi. Sehingga, ketika

Suhardi “masuk kotak”, publik serta-merta menyimpulkan bahwa Suhardi merupakan korban

rivalitas antarfaksi dan Suhardi bagian dari faksi yang kalah.

Pemindahan Suhardi yang terkesan bukan dilandasi penilaian akan faktor kompetensi

mengirim pesan nyaring ke Badrodin, dan para penerusnya ke depan, bahwa manajemen

sumber daya manusia (SDM) serta pendidikan dan pelatihan (diklat) Polri merupakan agenda

prioritas yang mutlak dilaksanakan. SDM dan diklat yang terkelola modern merupakan

indikasi kesungguhan Polri dalam memosisikan para personel sebagai aset emas organisasi.

Hanya dengan sistem pengelolaan SDM dan diklat yang mantap, perbincangan tentang visi

dan pencapaian kinerja masing-masing personel menjadi sesuatu yang relevan. Sekaligus,

meminimalkan rupa-rupa politik organisasi yang busuk semacam “lelang” jabatan, kolusi,

dan nepotisme.

Isu penting ketiga dipicu oleh ditetapkannya Komjen Pol Budi Gunawan oleh KPK sebagai

tersangka. Pascapenetapan tersebut, yang lantas dianulir oleh hakim Sarpin Rizaldi pada

sidang praperadilan, spontan bangkit ingatan khalayak luas pada isu tentang rekening gendut

Page 124: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

124

sejumlah perwira tinggi Polri. Bangkitnya memori publik menunjukkan bahwa pendisiplinan

diri seluruh anggota Polri oleh institusi Polri masih merupakan titik rawan yang terus-

menerus diperhatikan masyarakat.

Memang wajar bila masyarakat meletakkan standar tinggi bahwa Polri seharusnya mampu

menjalankan misi kenabian sebagai acuan kebenaran dan kesantunan. Namun, faktanya, di

situ pula gumpalan kekecewaan publik berlipat ganda; telanjur terbangun keyakinan publik

bahwa solidaritas korps Polri terejawantah ke dalam kebiasaan menutup-nutupi perilaku jahat

atau pun perilaku tidak etis para personelnya.

Berulangnya gontok-gontokan antara KPK dan Polri juga mempertegas hukum alam bahwa

bagi organisasi yang ruhnya berintikan pada jiwa korsa, sorotan dari pihak eksternal hampir

bisa dipastikan selalu ditanggapi dengan perlawanan. Karena itu, Polri yang semestinya

memaksimalkan peran-peran pengawasan internalnya dalam rangka menegakkan kedisiplinan

personel.

Untuk tujuan tersebut, fungsi profesi dan pengamanan menjadi sektor terdepan. Pendisiplinan

mengincar dua subkultur yang mewabah di kebanyakan organisasi kepolisian, yaitu perilaku

korupsi dan tindakan brutal.

“Save Polri-Selamatkan Polri”, begitulah semboyan yang kini disuarakan ke segala penjuru.

Tentu bukan menyelamatkan Polri dari incaran KPK, melainkan dari hancur leburnya

kepercayaan “orang tua kandung Polri” alias masyarakat. Allahu a’lam.

REZA INDRAGIRI AMRIEL

Alumnus Psikologi Forensik, The University of Melbourne

Page 125: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

125

Sekali Lagi tentang Mubahalah Anas Koran SINDO 25 Februari 2015

Membaca tulisan Moh. Mahfud MD di KORAN SINDO, 21 Februari 2015 berjudul

“Mubahalah dan Sumpah Pocong”, saya tertarik untuk ikut melanjutkan pembahasannya.

Bukan karena Mahfud sangat produktif menulis dan bahkan dari cuitan di Twitter pun bisa

melahirkan pembahasan yang serius. Bukan pula penulisnya dikenal sebagai pakar hukum

konstitusi dan mantan pejabat tinggi negara. Tapi, saya tertarik tulisan ini semata-mata karena

temanya tentang mubahalah dan saya mengikuti kasus hukum Anas Urbaningrum sejak awal

sampai selesainya proses persidangan.

Serangan Pihak Lain atau Ulah Pimpinan KPK?

Jika dibaca dengan cermat, tulisan Mahfud mengandung muatan tiga pesan. Pertama,

mubahalah tidak pernah terjadi dan karena itu masalah-masalah yang menimpa para

pimpinan KPK dan lembaganya tidak ada kaitannya dengan mubahalah. Istilah Mahfud

adalah “tidak ada urusannya dengan mubahalah-mubahalahan.” Mengapa? Karena tantangan

Anas kepada majelis hakim dan KPK untuk mubahalah tidak ditanggapi dan sistem peradilan

di Indonesia juga tidak mengenal mubahalah.

Kedua, tidak ada urusan laknat Allah atau kualat dengan mubahalah karena justru laknat itu

jelas untuk kasus korupsi atau penyuapan. Mahfud mengutip hadis, “Allah melaknat penyuap

dan penerima suap.” Bagian ini penegasan Mahfud bahwa orang yang terlibat korupsi atau

penyuapan yang mendapatkan laknat. Tentu yang dimaksud Mahfud adalah Anas dan

mungkin pihak lain lagi.

Ketiga, masalah-masalah yang terjadi atas para petinggi KPK atau lembaganya karena

serangan dari pihak lain, karena KPK di seluruh dunia memang selalu mendapat hantaman

dengan berbagai cara. Istilah Mahfud MD adalah “hantaman dari delapan penjuru mata

angin”, bahkan pada 2009 disebutkan di dalam tulisannya, hantaman kepada KPK lebih hebat

ketimbang yang sekarang ini. Masalah-masalah itu dipahami sebagai datang dari luar dan

bukan karena kelemahan di KPK.

Adalah benar ketika Mahfud mengatakan bahwa tantangan mubahalah Anas tidak dikabulkan

oleh majelis hakim. Saat Anas menyatakan meminta mubahalah kepada majelis hakim dan

JPU, para hakim dan jaksa kaget luar biasa. Wajah-wajah mereka menjadi tegang, terpaku,

dan membisu.

Saya yakin para hakim dan jaksa baru pertama kali mendapatkan tantangan melakukan

Page 126: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

126

mubahalah. Tidak ada satu pun orang di ruang sidang menduga Anas akan menyatakan itu.

Mungkin ini baru pertama kali terjadi dalam sejarah peradilan di negeri ini.

Setelah terpaku sekian waktu, dengan wajah yang dingin membeku dan kebingungan, ketua

majelis hakim Haswandi mengetuk palu tanda menutup sidang. Kemudian segera keluar

ruang sidang dengan terburu-buru dan diikuti oleh semua anggota majelis. Para jaksa masih

terpaku di tempatnya, belum hilang kekagetannya seperti disambar halilintar. Baru kali ini

merasakan mimpi di siang bolong.

Saya sangat memahami ajakan Anas untuk mubahalah kepada hakim dan jaksa. Secara

substansi berarti juga kepada semua pihak di KPK yang telah membawanya ke persidangan

sampai kemudian dijatuhi vonis oleh majelis hakim. Pembelaan yang dilakukannya lewat

proses hukum di persidangan mentok oleh kengototan jaksa menuntut yang tidak berbasis

fakta-fakta persidangan dan hakim yang memutus dengan mengesampingkan fakta-fakta

kebenaran yang sudah terbuka di muka persidangan.

Proses dan hasil persidangan yang tidak fair dan meremehkan deretan fakta-fakta kebenaran

itulah yang direspons Anas dengan permintaan mubahalah. Dengan mubahalah, Anas ingin

memohon keadilan dari Tuhan karena vonis hakim jauh dari spirit keadilan. Mubahalah

adalah ajakan Anas agar hakim, jaksa, dan pihak-pihak yang terlibat, tentu termasuk di

dalamnya para pimpinan KPK, berani bertanggung jawab, termasuk untuk mendatangkan

laknat Tuhan.

Mubahalah, Kualat atau Karma?

Lalu, apakah kasus-kasus yang sekarang menimpa para pimpinan KPK dan yang lainnya

pasti tidak terkait dengan ketidakadilan yang direspons Anas yang menantang mubahalah?

Wallahu a’lam, hanya Tuhan yang tahu. Apakah itu karena karma yang mencari alamatnya

sendiri atau karena kualat atau tanda mubahalah yang bekerja, itu urusan Tuhan. Kita tidak

tahu persisnya, yang perlu diyakini adalah bahwa tindakan zalim, apalagi atas nama

penegakan hukum akan mendapatkan balasannya, dan boleh jadi Tuhan sedang mencicilnya.

Menurut saya, “mubahalah prosedural” memang tidak akan pernah terjadi karena hakim dan

jaksa takut. Tentu saja alasannya bisa disediakan: karena tidak ada mekanismenya dalam

sistem peradilan kita. Tetapi, tidak terjadi “mubahalah prosedural” tidak serta-merta bisa

dikatakan secara substansial tidak terjadi. Boleh jadi “mubahalah prosedural” tetap berjalan

karena kebenaran dan keadilan tidak bisa dihapuskan meski oleh kewenangan KPK yang

absolut dan putusan hakim yang takut kepada opini. Hanya Tuhan yang bisa memastikan.

Bukan saya, Mahfud, atau siapa pun.

Jika Mahfud mau mengikuti kasus Anas secara lengkap, sejak awal sampai selesai

persidangan, termasuk detil-detil fakta hukum yang terungkap di muka persidangan, saya

yakin akan mempunyai persepsi dan sikap berbeda dengan apa yang termuat di dalam

Page 127: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

127

tulisannya tersebut. Mengikuti kasus Anas dengan detil dan jernih, akan menghasilkan

kesimpulan yang sangat berbeda dengan yang hanya mengikuti dari pemberitaan media.

Saya menduga Mahfud menjadi salah satu korban dari orkestrasi opini yang selama ini terjadi

terhadap Anas, hal yang biasa dilakukan KPK dalam menggarap kasus. Apalagi dalam kasus

ini ada kekuasaan besar yang rajin bekerja. Tetapi, ketika saya lacak pernyataan-pernyataan

Mahfud terkait Anas dan kasus yang dipaksakan kepadanya, terlihat ada konsistensi nada

yang memang cenderung negatif. Hanya sekali saja komentar positif setelah Anas ditetapkan

sebagai tersangka. Tetapi, karena pernyataan yang positif itu direaksi pihak lain, esok harinya

komentar positif itu kembali “dinetralkan” oleh Mahfud. Jadi saya tidak kaget kalau Mahfud

bisa cepat mereaksi cuitan di Twitter tentang mubahalah yang dikaitkan dengan Anas dan

masalah-masalah yang menimpa pengurus KPK.

Saya pernah menanyakan pernyataan-pernyataan Mahfud yang cenderung negatif tersebut

kepada Anas. Jawaban Anas sungguh mengagetkan. Justru Anas sangat husnudzan dengan

pernyataan-pernyataan negatif dari seniornya itu. “Anggap saja itu cara senior memplonco

yuniornya, diplonco senior yang baik dan hebat kan banyak berkahnya,” begitu jawabannya.

Abraham Samad yang jelas-jelas datang ke Duren Sawit untuk meminta dukungan menjadi

pimpinan KPK, tetapi malah menusuk dari belakang saja tetap didoakan baik oleh Anas.

Itulah sikap-sikap Anas yang terlalu husnudzan kepada orang lain. Anas adalah orang yang

“abnormal” dan kerap bikin gregetan teman-temannya.

Tidaklah penting untuk meneliti mengapa Senior Mahfud cenderung negatif terhadap

yuniornya, Anas. Boleh jadi banyak musababnya. Bukan tidak mungkin dengan agenda

politik pada 2014, di mana Mahfud serius mempersiapkan diri sebagai capres atau cawapres.

Anas pun didakwa oleh KPK karena mempunyai keinginan untuk menjadi capres, dakwaan

yang disebut Anas sebagai imajiner. Yang jelas, saya bersedia menjadi panitia mubahalah

kalau Mahfud dan Anas mau ber-mubahalah atas keyakinan masing-masing terhadap kasus

hukum yang belum berkekuatan hukum tetap itu.

Saya suka dengan kalimat pendek di dalam pledoi Anas: “esok hari adalah misteri”. Bisa

diduga itu sebuah kode. Kita tidak bisa memastikan apakah kode itu terkait perubahan cepat

yang belakangan terjadi di KPK? Pastinya, kebenaran akan menemukan jalannya sendiri.

Wallahu a’lam.

MA’MUN MUROD AL-BARBASY

Dosen Program Studi Ilmu Politik FISIP UMJ dan Fungsionaris Pimpinan Nasional

Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI)

Page 128: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

128

Gaya Diplomasi Koran SINDO 25 Februari 2015

Diplomasi Indonesia saat ini sepertinya sedang mengalami transisi yang sangat kontras

dengan gaya diplomasi dari pemerintahan sebelumnya.

Semasa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kebijakan politik luar negerinya

terkesan terlalu banyak mengakomodasi kepentingan dari negara-negara lain. Dalam

beberapa peristiwa ketegangan politik antara dua negara seperti dengan Malaysia, Singapura,

Amerika Serikat (AS), dan terakhir Australia dalam kasus penyadapan, kebijakan yang

diambil tidak ”sekeras” yang diharapkan masyarakat.

Di masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), kebijakan itu berubah 180 derajat. Sejak awal

masa kampanye, Presiden Jokowi mengatakan bahwa pemerintahannya akan lebih keras

dalam politik luar negeri. Dalam kampanye di bulan Juni 2014, Jokowi sudah mengatakan

bahwa jika menyangkut kedaulatan negara Indonesia, apa pun solusinya harus dilakukan.

Dalam kata-katanya sendiri ia mengatakan, ”Kita akan buat ramai. Jangan dipikir saya tidak

bisa tegas.”

Kata-kata itu sepertinya menjadi kenyataan. Dalam kasus penangkapan kapal ikan yang

ilegal, Presiden Jokowi mendukung upaya penenggelaman kapal-kapal nelayan asing yang

beroperasi tanpa izin. Upaya ini ternyata membuahkan hasil dengan meningkatnya harga-

harga ikan di pasar-pasar ikan baik di dalam maupun luar negeri karena pasokan yang mulai

terbatas.

Begitu pula dengan kasus hukuman mati terhadap pengedar narkoba. Ia mengambil jalan

untuk tidak mengampuni para terpidana tersebut dan memberikan izin bagi negara untuk

membunuh terpidana itu melalui hukuman mati.

Berbeda dengan kasus penangkapan ikan, kasus hukuman mati ternyata menimbulkan reaksi

keras dari negara-negara yang warganya terpidana hukuman mati, bahkan termasuk

Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon. Reaksi ini yang lantas menimbulkan efek domino ke

masyarakat dan seperti di masa pemerintahan SBY, masyarakat sekali lagi mengharapkan

tindakan keras mulai dari pemanggilan duta besar hingga pemutusan hubungan diplomatik.

Presiden Jokowi tampaknya akan memilih untuk mengambil kebijakan yang keras dan

berbeda dengan gaya diplomatik SBY. Nampaknya pilihan diplomasi via dialog dengan

negara-negara yang tengah bermasalah dengan kita sedang tersingkir. Dua gaya diplomatik

yang ekstrem itu tentu amat dipengaruhi karakter dan kepribadian masing-masing kepala

negara dan hal ini juga dialami setiap negara.

Page 129: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

129

***

Setiap negara memiliki gaya diplomasi yang tidak sama. Gaya-gaya tersebut amat

dipengaruhi karakter, budaya, dan politik masing-masing. Namun yang lebih penting gaya

diplomasi tersebut dipengaruhi kepentingan jangka panjang negara tersebut dalam kompetisi

di tingkat regional dan internasional. Kompetisi itu tidak hanya merebutkan akses pasar

ekonomi, tetapi juga legitimasi atas masalah hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi.

Kita dapat melihat kembali misalnya gaya diplomat para kepala negara yang hadir dalam

Konferensi G-20 di Australia tahun lalu. Para kepala negara yang berasal dari Benua Eropa,

Amerika, dan Pasifik seperti Presiden AS Barack Obama, Perdana Menteri (PM) Australia

Tony Abbott atau PM Kanada Stephen Harper memilih untuk bicara terbuka, ketus, menekan,

dan menukik langsung kepada Rusia atas masalah yang terjadi di Ukraina. Mereka bicara

langsung tentang rasa tidak sukanya mereka terhadap Rusia di hadapan Putin tentang

keterlibatan Rusia dalam konflik Ukraina.

Drama diplomasi itu tidak berhenti hanya di suasana yang formal, tetapi juga berlanjut di

acara yang tidak formal. Misalnya ketika Presiden Putin menghampiri Stephen Harper dan

mengajak bersalaman, PM Kanada itu berkata, ”I guess I’ll shake your hand but I have only

one thing to say to you: You need to get out of Ukraine.” (Saya kira saya akan menjabat

tangan Anda, tetapi satu hal yang terucap: Anda perlu angkat kaki dari Ukraina). Ucapan dan

tindakan yang menekan Putin membuatnya harus segera angkat kaki sebelum konferensi itu

berakhir. Ia memberikan alasan bahwa kepulangannya akibat keletihan. Namun semua tahu

bahwa ia tidak dapat bertahan menghadapi tekanan dan dipermalukan dalam konferensi itu.

Sidang Umum PBB yang berlangsung setiap tahun sekali menjadi panggung negara-negara

untuk saling mengungkapkan kecaman, kebencian, protes, dan tuntutan. Ada yang menyebut

negara lain sebagai poros setan, kerajaan imperialis, negara barbar, negara pembunuh, dan

sebagainya. Gaya-gaya diplomasi itu tentu sebagian besar juga memiliki tujuan untuk

memenuhi psikologi massa atau warga negaranya, apalagi bila berada di dalam sebuah

keadaan yang konfrontatif.

Mengenai ketegangan yang terjadi antaranegara-negara sahabat karena tidak dikabulkannya

pengampunan hukuman mati, Indonesia perlu menyiapkan diri untuk menghadapi situasi-

situasi tersebut. Apabila kita melihat sejarah gaya diplomasi negara-negara Amerika Latin

dan Eropa yang cenderung lugas, pemerintahan Jokowi perlu menyiapkan skenario terburuk

di dalam forum-forum internasional yang akan dihadirinya. Presiden Jokowi harus berani

membuka dialog dan berdebat untuk meyakinkan negara-negara tersebut.

Namun yang jauh lebih penting dari itu adalah sampai mana batas ketegangan Indonesia

dengan Brasil, Australia atau negara-negara lain akan berakhir? Kalaupun Presiden Jokowi

memilih gaya tegas, tetap perlu ada exit strategy untuk merajut komunikasi dan memperbaiki

situasi. Hal ini penting karena jenis ketegangan yang terjadi lebih terkait dengan ketegangan

etik atau norma dan bukan ketegangan ekonomis dan ideologis. Ketegangan kita berbeda

Page 130: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

130

dengan ketegangan China dan negara-negara tetangga, Pakistan dengan India, atau negara-

negara di Timur Tengah.

Jangan sampai ketegangan ini menjadi tidak produktif dan justru merugikan kepentingan

warga negara di Indonesia dan negara-negara sahabat. Kementerian Luar Negeri perlu

bergerak di balik layar untuk menjembatani komunikasi antarpimpinan politik maupun

masyarakat.

DINNA WISNU, PhD

Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina

@dinnawisnu

Page 131: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

131

Mewaspadai Sektarianisme di Timteng Koran SINDO 26 Februari 2015

Dalam beberapa minggu terakhir, instabilitas politik di Yaman sangat tinggi. Ini tidak

terlepas dari Deklarasi Konstitusi (al-I’lan ad-Dustury) yang dilakukan oleh kelompok Houthi

di Istana Kepresidenan Yaman (06/02).

Deklarasi yang menggegerkan Timur Tengah secara umum dan dunia Arab secara khusus ini

membubarkan Parlemen Yaman dan membentuk Dewan Revolusi (dari kalangan Houthi)

sebagai pelaksana pemerintahan sementara. Dalam pendahuluan disebutkan, Deklarasi

Konstitusi ini dikeluarkan sebagai upaya penyelamatan Yaman dari kekosongan

pemerintahan setelah Presiden dan Perdana Menteri Yaman (Abd-Rabbu Mansour Hadi dan

Khaled Bahah) mengundurkan diri (23/01).

Sebelumnya, kelompok Houthi yang sejak 21 Januari berhasil menguasai Istana

Kepresidenan Yaman melalui aksi bersenjata memberikan kesempatan kepada segenap partai

dan kekuatan politik untuk mencapai konsensus nasional. Namun, upaya yang dipimpin oleh

utusan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Jamel Benomar atau Jamel Bin Umar, ini

dianggap gagal hingga akhirnya kelompok Houthi mengeluarkan Deklarasi Konstitusi.

Deklarasi Konstitusi memuat 16 butir atau pasal untuk mengatur pemerintahan Yaman

sementara menuju pemerintahan transisi sebelum terbentuk pemerintahan permanen. Pasal 1

menegaskan bahwa konstitusi Yaman tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan

substansi Deklarasi Konstitusi ini.

Pasal 5 dan pasal 11memberikan mandat kepada Dewan Revolusi untuk membentuk Dewan

Nasional (semacam parlemen) yang terdiri atas 551 anggota (Pasal 6) untuk selanjutnya

Dewan Nasional membentuk Dewan Kepresidenan (Pasal 8) yang terdiri atas lima anggota.

Deklarasi yang dikeluarkan para pemimpin revolusi ini juga menentukan masa transisi yang

paling lambat akan berlangsung selama dua tahun sesuai bunyi Pasal 14 (as-Shar al-Awsat,

7/2).

Dalam perkembangan terkini dilaporkan, Presiden Yaman yang sempat mengundurkan diri,

Abd-Rabbu Mansour Hadi, menegaskan kembali sebagai presiden Yaman yang sah. Ini

dilakukan setelah Abd-Rabbu Mansour Hadi berhasil melarikan diri dari rumahnya di Sana’a

(21/02) kemudian tinggal di Kota Aden yang dikenal sebagai basis loyalisnya (Al-jazeera.net,

21/02). Perkembangan ini hampir dipastikan akan menambah kerawanan politik di Yaman,

khususnya konflik-konflik yang bercorak sektarian.

Page 132: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

132

Sentimen Sektarian

Sebagaimana dimaklumi bersama, negara-negara Arab merespons negatif Deklarasi

Konstitusi yang dilakukan oleh kelompok Houthi, khususnya pihak-pihak yang berafiliasi ke

sekte ataupun kekuatan politik Sunni (termasuk media). Sebagian media bahkan menyebut

deklarasi ini sebagai penyempurnaan kudeta yang dilakukan oleh kelompok Houthi yang

sejak 21 September 2014 berhasil menguasai ibu kota Yaman.

Kelompok Houthi merupakan bagian dari aliran Syiah (Zaidiyah) yang bersifat minoritas di

Yaman (mayoritas dari kalangan Sunni). Kendati demikian, kelompok yang sejak terjadi

Arab Spring (Musim Semi Arab) kerap menyebut diri dengan nama Ansharullah ini pernah

berkuasa di Yaman, khususnya di Yaman Utara sebelum Yaman berbentuk republik pada

1962. Mungkin kesadaran historis inilah yang membuat kelompok minoritas ini terus

berjuang untuk menghadirkan kembali ”kebesaran” masa lalu pada masa kini. Hingga

akhirnya mereka berhasil menguasai pemerintahan pusat seperti sekarang.

Deklarasi yang dilakukan oleh kelompok Houthi di Yaman dipastikan tak hanya akan

berdampak serius terhadap internal masyarakat Yaman yang secara mayoritas beraliran

Sunni. Deklarasi ini hampir dipastikan juga akan berdampak serius terhadap dunia Arab dan

Timur Tengah secara umum. Apalagi Yaman (di bawah pemerintahan kelompok Sunni)

selama ini menjadi salah satu koalisi utama AS, khususnya dalam perang melawan kelompok

al-Qaeda, di satu sisi, dan dalam mengantisipasi politik Iran yang disinyalir berada di

belakang kelompok Syiah seperti Houthi, di sisi yang lain.

Di antara dampak yang cukup mengerikan dan perlu diwaspadai (termasuk oleh Indonesia)

adalah menguatnya kembali sentimen sektarian antara Sunni dan Syiah. Disebut demikian

karena kawasan Timur Tengah secara umum mempunyai sensitivitas yang sangat tinggi

terkait hubungan Sunni dan Syiah sebagai akibat dari konflik-konflik masa lalu.

Berdasarkan pengalaman penulis di Timur Tengah, hampir tidak ada konflik antaragama di

kawasan ini. Justru yang kerap terjadi adalah konflik sektarian (intra-agama) antara Sunni

dan Syiah, khususnya di negara-negara yang sebaran populasi pengikut keduanya tidak jauh

berbeda seperti di Irak, Lebanon, dan yang lainnya. Pada tahap tertentu, sentimen sektarian di

Timur Tengah telah menjadi ”alam bawah sadar” masyarakat, termasuk juga para elite-

elitenya. Hingga sentimen ini terus hadir dalam percaturan politik modern (seperti

ketegangan antara Iran dan negara-negara Arab atau antara milisi bersenjata Syiah seperti

Hizbullah di Lebanon dengan militan Sunni seperti al-Qaeda atau NIIS) sekaligus

memperbarui ”luka lama” secara terus-menerus.

Sentimen sektarian ini bahkan tak jarang menjadi politik birokrasi (terhadap warga negara),

menentukan politik luar negeri negara-negara di kawasan dan menjadi benih bagi lahirnya

kelompok-kelompok militan baru.

Page 133: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

133

Apa yang dialami Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) bisa dijadikan sebagai salah satu

contoh dari yang telah disampaikan di atas. Sebagaimana dimaklumi, ISIS awalnya terlahir

dari Negara Islam di Irak (NII) sebagai salah satu cabang al-Qaeda yang berpusat di

Afghanistan. Kelompok ini kerap melawan kelompok-kelompok Syiah di Irak. Konflik

politik Suriah di bawah kepemimpinan Bashar al-Assad yang juga dari kalangan Syiah telah

menjadi ”suntikan gizi secara berlebih” bagi kelompok ini. Apalagi konflik di Suriah

kemudian diangkat sebagai konflik sektarian (Sunni dan Syiah) yang memprovokasi kaum

jihadis Sunni secara internasional untuk datang ke Suriah dan berperang melawan rezim al-

Assad.

Disebut ”suntikan gizi secara berlebih” karena kehadiran kaum jihadis Sunni secara

internasional kemudian membentuk NIIS yang jauh lebih besar dan lebih sadis dibanding NII

sebagai ”ibu kandungnya”. Saat ini NIIS bahkan berpotensi lebih besar dibanding al-Qaeda.

Dalam konteks sentimen sektarian seperti ini di Timur Tengah, keberhasilan kelompok

Houthi menguasai Yaman mutakhir bisa semakin memperburuk keadaan yang ada,

khususnya hubungan antara kekuatan-kekuatan Sunni dan Syiah, baik dalam bentuk negara

(seperti antara Iran dan negara-negara Arab Teluk) ataupun dalam bentuk milisi bersenjata

(seperti antara Hizbullah yang berbasis di Lebanon dan Ansharullah di Yaman sebagai milisi

Syiah dengan NIIS atau al-Qaeda sebagai militan Sunni). Terlebih lagi Yaman selama ini

menjadi basis bagi salah satu cabang terkuat al-Qaeda yaitu AQAP.

Mewaspadai

Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, Indonesia harus secara

sigap mewaspadai pelbagai macam konflik yang terjadi di Timur Tengah, termasuk konflik

sektarian antara Sunni dan Syiah.

Kebalikan dari pengalaman Timur Tengah, Indonesia memang hampir tidak mempunyai

masalah serius dengan konflik sektarian yang bersifat intra-agama (dibanding konflik

antaragama). Mengingat yang kerap terjadi di republik ini justru konflik antragama. Meski

demikian, fenomena ”globalisasi jihadisme” yang marak belakangan mengharuskan semua

pihak mengantisipasi ihwal yang terjadi jauh di luar sana. Apalagi sudah ada ratusan dari

orang Indonesia yang dinyatakan bergabung dengan NIIS. Seperti terlihat dalam video yang

disebarkan oleh NIIS, secara terus terang kelompok ini mengajak masyarakat luas untuk

bergabung sekaligus menantang aparat keamanan.

Tanpa antisipasi yang cukup dari semua pihak, bukan tidak mungkin Indonesia justru lebih

parah dari negara-negara di Timur Tengah. Di satu sisi, negeri ini sudah kerap menderita

penyakit konflik antaragama. Terlebih lagi ditambah dengan konflik sektarian (seperti yang

mulai terjadi di beberapa daerah), di sisi yang lain.

Bagi aparat keamanan dan pemerintah, antisipasi bisa dilakukan dengan menyelesaikan

konflik-konflik yang ada sekaligus memantau mereka yang telah bergabung dengan NIIS

Page 134: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

134

atau kelompok radikal lain. Sedangkan bagi masyarakat luas, antisipasi bisa dilakukan

dengan memperkuat visi kebangsaan sekaligus mengambil jarak dari segala konflik yang

terjadi di luar sana. Seberapa pun konflik tersebut mengatasnamakan sekte ataupun agama

tertentu.

HASIBULLAH SATRAWI

Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam; Direktur Aliansi Indonesia Damai

Page 135: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

135

Masalah Eksekusi Hukuman Mati Koran SINDO 27 Februari 2015

Beberapa waktu belakangan ini mencuat berita di media mengenai vonis hukuman mati yang

dijatuhkan kepada puluhan terpidana narkoba di Indonesia serta penolakan grasi oleh

Presiden Joko Widodo.

Maksud Presiden Joko Widodo menolak permintaan grasi dari 64 terpidana narkoba tersebut

telah menimbulkan reaksi dari beberapa negara. Pemerintah Belanda dan Brasil menarik duta

besarnya, pemerintah Australia mendesak pemerintah Indonesia untuk mengurungkan

eksekusi hukuman mati atas warga negara Australia Myuran Sukumaran dan Andrew

Chan. Tidak kurang, Sekjen PBB Ban Ki Moon juga meminta pemerintah Indonesia untuk

mengurungkan niatnya itu.

Memang sebagai negara berdaulat Indonesia dapat saja mengeksekusi para terpidana narkoba

sesuai dengan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, namun perlu diperhatikan,

penolakan grasi secara massal tersebut adalah tidak lazim karena permohonan grasi dari

masing-masing terpidana tentunya diajukan dengan alasan-alasan yang berlainan satu sama

lain.

Ada terpidana yang mengajukan permohonan grasi karena merasa bersalah dan menyesali

perbuatannya, yang kemudian disusul dengan berkelakuan baik dan sadar selama masa

tahanan dan rehabilitasi. Apakah terpidana seperti itu pantas untuk dihukum mati?

Tentunya rakyat Indonesia paham bahwa alasan Presiden Joko Widodo mengambil sikap

tegas ini agar tercipta efek jera kepada pelaku dan calon pelaku yang mengedarkan dan

membuat narkoba perlu dipertimbangkan kembali secara hati-hati. Itu juga merupakan

penjelasan atas hukuman mati selektif yang dianut Indonesia, di mana hukuman mati harus

dilaksanakan secara selektif dan hati-hati serta dipertimbangkan dengan matang. Menolak

permohonan grasi secara pukul rata dengan tidak melihat dan mempertimbangkan secara

seksama alasan permohonan grasi masing-masing terpidana narkoba dapat berakibat fatal.

Kita semua tahu bahwa lembaga peradilan kita belum independen dan imparsial. Masih

dipengaruhi faktor ekonomi dan politik. Korupsi yudisial (judicial coruption) masih marak

dan kualitas putusan pengadilan masih diragukan dan sering menyebabkan kontroversi atau

ketidakadilan.

Berbagai akibat dari kebijakan menyamaratakan permohonan grasi untuk ditolak dapat

membahayakan integritas dan kepercayaan publik akan politik hukum ini, karena bisa saja

Page 136: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

136

terjadi salah tangkap atau salah tuntut. Belum lagi salah bukti sehingga orang yang tidak

bersalah dihukum mati. Kalau terpidana telah dieksekusi kemudian ternyata ada ”error in

persona” maka terpidana yang sudah dieksekusi tidak dapat diperbaiki hukumannya dan

dibebaskan lagi.

Di negara adidaya seperti Amerika Serikat pernah terjadi si terpidana sudah dihukum mati

kemudian ada seseorang yang mengakui melakukan pembunuhan itu. Nyawa seseorang

menjadi taruhannya. Tentunya ini merupakan kejadian yang dramatis dari segi kemanusiaan.

Sudah terlambat, itulah jawabannya dan memang kebenaran dan keadilan itu tidak ada yang

absolut.

Ini bergantung bagaimana keyakinan hakim yang menjatuhkan vonis. Itulah sebabnya

Presiden harus meminta pendapat Mahkamah Agung RI untuk menerima atau menolak

permohonan grasi terpidana secara individual dan bukan massal sebagai mana bunyi Pasal 1

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi (UU Grasi) yaitu sebagai berikut:

”Pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan

pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden”. Begitu pun dalam

Pasal 2 ayat (1) UU Grasi yang berbunyi sebagai berikut: ”Terhadap putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan

grasi kepada Presiden”.

Dapat dilihat secara nyata dalam sebuah kasus bahwa saat ini ada seseorang terpidana mati

berasal dari Nigeria yang dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan Surabaya dengan vonis

hukuman mati. Dia bukanlah residivis seperti nama yang tertera dalam paspor palsunya

bernama Titus Ani. Namun, jaringan narkoba internasional telah menjebaknya seolah-olah

dia adalah seorang residivis narkoba internasional. Padahal, dia hanyalah seorang kurir yang

baru pertama kali membawa 396,6 gram narkoba golongan 1 (metamfetamine) ke Indonesia.

Perikemanusiaan yang Beradab

Apa yang diinginkan penegak hukum di Indonesia terhadap seseorang yang telah menjalani

hukuman 10 tahun lebih, kemudian dieksekusi hukuman mati? Ini menimbulkan kebijakan

yang dapat dikategorikan sebagai standar ganda karena hukumannya menjadi berlipat.

Lambannya proses peradilan di Indonesia tidak dapat diletakkan di bahu terpidana. Mulai

dari proses peradilan di tingkat pengadilan negeri, pengadilan tinggi, mahkamah agung,

sampai dengan peninjauan kembali dapat saja memakan waktu lebih dari 5 tahun sampai 10

tahun. Perlakuan seperti ini dapat menimbulkan pertanyaan: Sebenarnya kebijakan apa yang

dianut di Indonesia sehingga menerapkan politik hukum yang tidak sesuai dengan segi

perikemanusiaan jika dilihat dari sudut pandang hak asasi manusia?

Hukuman mati telah menimbulkan kontroversi berkepanjangan. Apakah hukuman mati masih

perlu dianut oleh Indonesia atau tidak. Apalagi, mengingat bunyi Pasal 28 A Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia 1945 menyatakan sebagai berikut: ”Setiap orang berhak

Page 137: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

137

untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Begitu pun dalam

Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (”UU HAM”)

yang berbunyi sebagai berikut: ”(1) Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup

dan meningkatkan taraf kehidupannya; (2) Setiap orang berhak hidup tenteram, aman,

damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin; (3) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup

yang baik dan sehat.”

Banyak pro dan kontra akan penjatuhan vonis hukuman mati. Jika alasannya adalah untuk

menciptakan efek jera, maka statistik di banyak negara menunjukkan sebaliknya. Banyak

negara yang telah menerapkan hukuman mati sejak dahulu namun angka kejahatan di negara

tersebut tetap saja tumbuh dan tidak berkurang. Beberapa negara bagian di Amerika Serikat

masih menerapkan hukuman mati tetapi angka kejahatan tetap bertambah termasuk kejahatan

narkoba (drugs trafficking).

Implikasi Kebijakan Diplomasi Ganda

Salah satu implikasi yang pernah kita alami adalah ketika terjadi kasus pembunuhan Munir di

tahun 2004 di dalam pesawat menuju Amsterdam, pemerintah Indonesia meminta hasil otopsi

jenazah Munir, namun Kementerian Hukum Belanda menolak dengan alasan Indonesia masih

mempertahankan hukuman mati dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Mereka khawatir

dari hasil laboratorium forensik akan dapat diketahui siapa pembunuh Munir sebenarnya

yang pada akhirnya akan dihukum mati sebagai balasan dari perbuatan yang telah

dilakukannya.

Inilah salah satu akibat yang ke depan dapat saja terjadi lagi jika pemerintah Indonesia tetap

mempertahankan hukuman mati. Pasti akan ada reaksi timbal-balik dalam diplomasi

internasional.

Begitu pula protes keras Indonesia terhadap vonis hukuman mati atas WNI di Malaysia,

Saudi Arabia, dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Tetapi, Indonesia sendiri juga

menerapkan hukuman mati kepada WNA dari negara yang tidak menerapkan hukuman mati

seperti Australia dan Belanda.

Selain itu, sewaktu Hendra Rahardja dijadikan tersangka akan diekstradisi dari Australia ke

Indonesia, permohonan ekstradisi tadi ditolak oleh pemerintah Australia karena pemerintah

Indonesia dianggap menerapkan sistem hukum yang diskriminatif terhadap minoritas

Tionghoa. Juga pemerintah Singapura pernah menolak ekstradisi Nursalim debitur BLBI

karena yang bersangkutan belum diputus bersalah oleh pengadilan Indonesia dan belum

pernah dinyatakan sebagai tersangka.

Hal-hal inilah yang perlu mendapatkan perhatian pemerintahan Joko Widodo jika kita ingin

dilihat konsisten dalam politik hukum di dalam pergaulan dunia internasional. Jika kita tidak

ingin didiskiriminasi oleh dunia internasional, janganlah menerapkan hukum yang

diskriminatif terhadap negara lain. Permohonan Sekjen PBB Ban Ki Moon dan Perdana

Page 138: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

138

Menteri Tony Abbott terhadap Indonesia perlu mendapatkan perhatian dan dicarikan win-win

solution yang terhormat.

Kiranya catatan kecil ini dapat memberikan sumbangsih yang berguna bagi politik hukum di

Indonesia selanjutnya. Sehingga, Indonesia dapat menjadi negara berdaulat yang bermartabat

di mata dunia, tanpa harus mengorbankan nyawa manusia.

FRANS H WINARTA

Ketua Umum PERADIN dan Dosen Fakultas Hukum UPH

Page 139: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

139

Politik Amien Rais Koran SINDO 27 Februari 2015

Keberadaan pemegang saham sebagai pihak dominan dalam sebuah perusahaan sangat lazim.

Namun, dalam konteks partai politik, keberadaan pemegang saham tidak lazim dan tidak

sehat.

Di Indonesia hampir seluruh partai politik dikelola seperti perusahaan oleh pemegang saham.

Mereka sering memaksakan kehendak agar partai diurus sesuai keinginan mereka. Mereka

sangat kuat dalam mendominasi pengelolaan partai politik bersangkutan. Tidak heran bila

kemudian penentuan figur- figur sentral dalam kepengurusan partai politik, terutama ketua

umum, harus melalui persetujuan pemegang saham tersebut. Keinginan Amien Rais untuk

menjadikan Zulkifli Hasan tampil sebagai ketua umum dan meminta Hatta Rajasa mundur

dari pencalonan dalam Kongres IV Partai Amanat Nasional (PAN) pada tanggal 28 Februari-

3 Maret mendatang merupakan contoh paling aktual dari hal tersebut.

Sebagaimana diketahui, ada dua kandidat kuat ketua umum PAN pada kongres nanti, Zulkifli

Hasan dan Ketua Umum incumbent Hatta Rajasa. Dalam sejumlah kesempatan Amien Rais

meminta para pemilik suara untuk memilih Zulkifli Hasan—notabene besan— sebagai ketua

umum dalam kongres nanti. Di saat yang sama Amien Rais juga meminta Hatta Rajasa untuk

mundur dari bursa pencalonan. Amien Rais berdalih hal itu dimaksudkan untuk melanjutkan

tradisi PAN selama ini di mana ketua umum cuma menjabat satu periode. Padahal,

pembatasan jabatan satu periode tidak diatur di dalam anggaran dasar dan anggaran rumah

tangga partai.

Amien Rais berdalih pembatasan jabatan ketua umum satu periode dilakukan untuk

regenerasi kepemimpinan partai. Hemat penulis, regenerasi kepemimpinan partai tetap dapat

dilakukan tanpa memberikan batasan satu periode bagi jabatan ketua umum. Bila merujuk

jabatan-jabatan publik—mulai dari bupati/walikota, gubernur hingga presiden—pembatasan

jabatan lazimnya dilakukan dua periode, bukan satu periode.

Pembatasan jabatan satu periode juga dilihat publik sebagai sebuah hal tidak lazim. Pendapat

publik itu terekam melalui survei terbaru Lembaga Survei Indonesi (LSI). Survei LSI

mengenai ”Partai Politik di Mata Publik: Evaluasi atas Kinerja Partai dan Regenerasi Politik”

menunjukkan 58,9% responden menginginkan kepemimpinan di partai dibatasi dua

periode. Survei ini secara tidak langsung menunjukkan keinginan Amien Rais agar ketua

umum PAN cukup satu periode saja terlihat agak berlebihan dalam memandang isu

regenerasi.

***

Page 140: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

140

Sudah menjadi rahasia umum bila Amien Rais memegang peran dominan selama 17 tahun

perjalanan PAN. Penentuan ketua umum hingga arah koalisi PAN harus melalui

persetujuannya. Maklum saja Amien Rais merupakan pendiri partai berlambang matahari

terbit tersebut.

Namun, hal itu tidak serta merta dapat menjadi justifikasi bagi Amien Rais untuk terus tampil

dominan seperti pemegang saham. Dominasi pemegang saham tunggal di sebuah partai

politik cuma akan membuat partai politik bersangkutan tidak kunjung bertransformasi

menjadi partai modern, di mana mekanisme kontestasi diserahkan kepada kader-kader, bukan

daulat orang-orang tertentu.

Di samping itu, dominasi pemegang saham tunggal di sebuah partai politik juga akan

membuat partai politik bersangkutan tidak terinstitusionalisasi dengan baik. Menurut Scott

Mainwaring (1998: 67-81), salah satu dimensi penting untuk melihat apakah sebuah partai

politik telah terinstitusionalisasi dengan baik atau tidak adalah tidak adanya dominasi

personal dari seorang elite politik.

Dewasa ini dominasi personal seorang tokoh memang seakan telah menjadi fenomena umum

dari kehidupan partai politik di Indonesia. Partai Demokrat sangat bergantung kepada figur

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku pendiri partai. Partai Demokrasi Indonesia

Perjuangan identik dengan Megawati Soekarnoputri. Pengaruh Prabowo Subianto sangat kuat

mewarnai setiap langkah dan kebijakan Partai Gerindra. Partai Hanura tidak dapat

melepaskan diri dari ketergantungan terhadap kepemimpinan Wiranto. Demikian pula dengan

Amien Rais yang selalu menampilkan diri sebagai tokoh sentral di PAN sehingga seolah-olah

setiap kader hendak mencalonkan diri sebagai ketua umum harus mendapatkan restu politik

dari tokoh gerakan reformasi 1998 tersebut.

Dominasi personal tersebut boleh jadi kemudian akan berujung kepada tren aklamasi dalam

proses pemilihan ketua umum. Selain PAN dalam waktu dekat sejumlah partai politik lain

juga akan menggelar kongres atau munas untuk memilih ketua umum. Partai Hanura akan

menggelar munas bulan ini. Partai Demokrat melakukan kongres pada Maret mendatang.

Satu bulan kemudian giliran PDIP menggelar kongres.

Para elite masing-masing partai politik akan berusaha sekuat tenaga agar dapat menang

secara aklamasi tanpa ada calon lain tampil sebagai rival potensial. Meskipun telah berusia

cukup tua figur-figur seperti SBY, Megawati, Wiranto, Prabowo, dan Amien Rais tidak akan

dengan sukarela melepaskan kendali dan pengaruh politik mereka di partai politik masing-

masing.

Dalam konteks itu keputusan Hatta Rajasa untuk tetap maju dalam bursa pencalonan ketua

umum PAN dalam kongres mendatang--meskipun tanpa restu politik sang pendiri partai--

akan menjadi ujian serius bagi eksistensi politik Amien Rais di masa depan. Kongres yang

akan berlangsung di Bali akhir pekan ini akan menjadi ukuran bagi publik untuk melihat

apakah Amien Rais masih memiliki pengaruh cukup kuat dalam menentukan arah perjalanan

Page 141: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

141

PAN.

Bila Hatta Rajasa terpilih kembali untuk kali kedua sebagai ketua umum, maka dapat

dikatakan pengaruh Amien Rais di PAN mulai luntur dan usang. Dan itu merupakan kabar

baik bagi PAN sebagai langkah awal menuju partai modern dengan tidak lagi melulu

bergantung kepada titah Amien Rais.

BAWONO KUMORO

Peneliti Politik di The Habibie Center

Page 142: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

142

Kompromi Penyelamatan KPK

Koran SINDO

28 Februari 2015

Setelah membaca dan mendengar suara rakyat melalui media massa serta berdiskusi dengan

berbagai kalangan, terasalah sekarang ini muncul kecemasan atas masa depan pemberantasan

korupsi. Di kalangan gerakan pro-demokrasi dan pegiat anti-korupsi banyak yang cemas,

pascaperistiwa cicak vs buaya jilid 3, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan lumpuh.

Padahal KPK selama ini telah menunjukkan prestasi hebatnya dalam perang melawan

korupsi. KPK bisa memutus rantai penghalang pemberantasan korupsi yang selama puluhan

tahun terajut begitu kokoh. KPK bisa mengantarkan ke penjara orang-orang kuat dipolitik

dan pemerintahan: pentolan parpol, menteri aktif, dan ketua lembaga negara. Selain itu

pengusaha hitam, dan pelaku berbagai mafia.

Dalam prestasinya itu, yang paling mengesankan, KPK tak pernah gagal membuktikan

dakwaannya ketika seseorang sudah diajukan ke pengadilan sebagai terdakwa. Semua

pesakitan KPK yang diajukan ke pengadilan 100% bisa dikirim ke penjara karena terbukti

korupsi.

Pernah ada ”satu saja” kasus yang lolos di pengadilan tingkat pertama, yakni kasus pimpinan

BUMN PT Merpati, tetapi pada akhirnya tendangan KPK digolkan oleh Mahkamah Agung di

tingkat kasasi: terdakwa dijatuhi hukuman juga. Semua yang naik banding dan kasasi pasti

ditolak dan pengadilan banding maupun kasasi selalu memenangkan KPK, bahkan

menaikkan hukumannya.

Dengan melihat catatan bahwa KPK tak pernah gagal membuktikan dakwaannya yang diuji

oleh pengadilan secara bertingkat, dapat diartikan bahwa KPK sudah profesional. Itulah

sebabnya KPK sejak zaman Taufiequrachman Ruki sangat disegani. Ruki telah berhasil

meletakkan dasar-dasar profesionalisme dan kegagahan sepak terjang KPK.

Tapi, sekarang ini, pascakonflik orang-orang KPK dan orang-orang Polri yang berimbas pada

keterlibatan institusi, KPK menghadapi ancaman kelumpuhan. Banyak yang merasa bahwa

sekarang ini sedang terjadi kriminalisasi (meski istilah ini bisa diperdebatkan) terhadap

orang-orang KPK dan para pendukungnya dan terjadi proses pelumpuhan terhadap KPK

sebagai lembaga penegak hukum. Ini sungguh mengkhawatirkan karena KPK merupakan

anak kandung reformasi yang dalam perjalanannya paling berhasil memerangi korupsi.

Tapi kalau mau berintrospeksi dalam kasus yang terakhir, kasus cicak vs buaya jilid 3, ini

KPK telah bertindak agak ceroboh dan terasa berbau politis. Ada gejala pelanggaran etis dan

Page 143: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

143

kecerobohan dalam prosedur hukum yang harus dibayar mahal sekarang. Penetapan Budi

Gunawan sebagai tersangka yang bersambungan dengan pengusulannya sebagai calon kapolri

telah menimbulkan kesan kuat adanya unsur politis.

Apalagi kemudian disusul dengan terkuaknya fakta bahwa Ketua KPK Abraham Samad telah

melakukan pertemuan-pertemuan politik yang terkait dengan dirinya menjelang Pilpres 2014.

Ini adalah pelanggaran serius, bukan pelanggaran pidana, tetapi pelanggaran etika yang

menodai KPK dan merusak semua reputasinya yang membanggakan.

Terlebih lagi ternyata di dalam sidang praperadilan KPK tidak mau (atau tidak bisa)

menunjukkan adanya dua alat bukti permulaan yang sah saat menjadikan Budi Gunawan

sebagai tersangka. Kekalahan KPK di sidang praperadilan telah menggegerkan dunia hukum

dan mengacaukan prosedur umum penegakan hukum pidana. Ia membuka peluang, orang-

orang yang dijadikan tersangka mengajukan gugatan praperadilan. Bukan hanya dalam

pidana korupsi, tetapi dalam semua kasus pidana; bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di

semua daerah di seluruh Indonesia. Materi gugatan praperadilan pun sudah menyentuh soal-

soal di luar prosedur, tetapi menyangkut yang seharusnya disampaikan pada sidang peradilan

yang sesungguhnya, bukan di praperadilannya.

Yang sangat mengkhawatirkan, KPK sendiri terancam lumpuh dan tidak lagi bisa terus eksis.

Langkah-langkah Polri sekarang yang mudah memproses laporan-laporan atas orang-orang

atau pendukung KPK merupakan perkembangan yang tidak menggembirakan. Semua musuh

KPK, yang putih dan yang hitam, sekarang punya momentum bersatu menyerang KPK.

Masa depan pemberantasan korupsi tentu sangat suram jika tidak ada langkah- langkah

penyelamatan atasnya. Menurut saya, maaf kalau ada yang tak setuju, untuk menyelamatkan

KPK saat ini kita perlu berkompromi dengan keadaan, yakni melepas kasus-kasus tertentu

dulu untuk tidak ditangani KPK sampai tercapai saling pengertian dalam penanganan kasus-

kasus tertentu.

Penanganan kasus rekening gendut yang selalu menjadi isu selama bertahun-tahun, misalnya,

bisa dilepas dulu dan dicarikan penyaluran penanganan di luar KPK. Begitu juga perlu

dipertimbangkan, KPK tidak menangani dulu kasus kakap yang bersumber dari kebijakan

yang sah, sebab kebijakan itu tak bisa dipidanakan kecuali nyata-nyata ada tindak pidana

dalam pembuatannya.

Kasus BLBI dan Bank Century, misalnya, tak bisa diarahkan pada kebijakan atau pembuat

kebijakannya yang sudah sah. Penanganannya cukup difokuskan pada implementasinya yang

ternyata diboncengi oleh tindak pidana korupsi. Jadi harus ada garis yang tegas antara

pembuatan kebijakan yang sah dengan implementasinya yang koruptif.

Kita tidak boleh berkompromi dengan korupsi karena korupsi adalah kanker pencabut nyawa

negara. Tapi sah saja kita berkompromi dengan keadaan daripada KPK-nya menjadi lumpuh

bahkan mati sebagai risiko atas kecerobohan KPK sendiri.

Page 144: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

144

Kalau KPK lumpuh karena tak mau berkompromi dengan keadaan, ada sentra-sentra korupsi

yang tak terawasi dan bisa terlepas secara liar, misalnya kementerian-kementerian, lembaga-

lembaga negara, pemerintah daerah, DPRD. Sungguh mengerikan kalau hal itu terjadi.

MOH MAHFUD MD

Guru Besar Hukum Konstitusi

Page 145: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

145

Etika Hakim Sarpin

Koran SINDO

2 Maret 2015

Pascaputusan praperadilan yang dipimpin hakim tunggal, Sarpin Rizaldi, hakim senior

dengan pangkat golongan IV/D --setara dengan jabatan guru besar di perguruan tinggi--, telah

menimbulkan pro dan kontra mengenai etika dan melampaui batas kewenangan.

Soal etika, saya berpendapat hal ini bersifat pribadi dan bukan masalah publik. Karena dari

sudut ilmu hukum, etika berada pada nurani seseorang yang tidak lepas dari proses

pembentukan karakter seseorang sejak kecil sampai dewasa serta lingkungan keluarganya.

Namun, ada persoalan etika yang kemudian dialihkan menjadi ranah publik. Semula

pertengkaran suami istri sampai pada pemukulan oleh suami masih dipandang sebagai

masalah keluarga, namun perkembangan kemudian dan terkini telah dimasukkan/dialihkan

sebagai bagian dari tanggung jawab suami kepada publik. Lahirlah UU KDRT; pemukulan

yang mengakibatkan luka ringan/berat oleh seorang ayah terhadap anaknya, semula urusan

ayah dan anaknya, saat ini telah termasuk tindak pidana sekalipun delik aduan.

Dalam konteks putusan hakim Sarpin, tentu masalah etika dan perilaku seorang hakim

dengan UU KY telah menjadi ranah publik dan bagian dari tanggung jawab hakim sebagai

pemangku jabatan negara kepada publik. Sebaliknya, menjadi hak publik yang diwakili oleh

KY untuk mengawasi perilaku hakim dan menjaga dan memelihara martabat hakim sesuai

UU KY.

Fungsi pengawasan KY terhadap perilaku hakim seharusnya diimbangi dengan fungsi KY

untuk memelihara dan menjaga martabat hakim sehingga terdapat keseimbangan antara hak

dan kewajiban anggota KY dalam melaksanakan tugas dan wewenang yang diperintahkan

oleh UU KY.

Dalam praktik, KY tidak menjalankan fungsi kedua secara efisien dan efektif namun lebih

banyak melaksanakan fungsi pengawasan semata-mata. Fungsi ini pun sering dijalankan

setelah memperoleh laporan pengaduan masyarakat; dan kini telah terjadi perubahan di mana

KY proaktif memantau jalannya sidang sekalipun terbatas pada perkara besar yang menarik

perhatian masyarakat.

***

Sejak KY jilid I, penulis telah menyampaikan keberatan melalui artikel di harian nasional

terhadap cara kerja KY, yaitu bahwa perilaku seorang hakim dalam bekerjanya dilihat dari isi

Page 146: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

146

putusan pengadilan. Alasan penulis, sulit menilai perilaku hakim termasuk etika hakim

dengan membaca pertimbangan apalagi sidang pengadilan dilaksanakan dengan sistem

majelis; bahkan sebelum memutus perkara telah didahului oleh rapat permusyawaratan

hakim. Dan sebaliknya, anggota KY tidak mengikuti jalannya persidangan sejak awal sampai

putusan dijatuhkan.

Setiap putusan pengadilan merupakan hasil analisis majelis hakim terhadap, selain surat

dakwaan. juga fakta yang terjadi di persidangan yang dibuka dan terbuka untuk

umum. Ditambah lagi sesuai dengan bunyi Pasal 183 KUHAP, hakim diberikan kewenangan

memutuskan berdasarkan keyakinannya. Pertanyaan besar bagaimana keyakinan hakim dan

seluruh fakta persidangan dapat diuji secara materiil oleh anggota KY yang notabene tidak

pernah mengikuti sidang sejak awal sampai akhir putusan dijatuhkan pengadilan? Padahal,

yang diuji adalah hakim-hakim berpengalaman dan senior dalam pekerjaannya dibandingkan

dengan anggota KY pada umumnya.

Seharusnya anggota KY adalah pensiunan hakim yang memiliki integritas dan baik track-

record-nya selama menjadi hakim. Bukankah masalah etika seseorang hanya dapat diuji oleh

orang lain yang telah berpengalaman dan memiliki ilmu pengetahuan yang memadai serta

memiliki integritas yang lebih baik dari pada yang diawasi? Bukankah perilaku seorang anak,

beretika atau tidak, sopan atau tidak hanya dapat dilakukan oleh orang tuanya?

***

Penulis mengharapkan, KY mengevaluasi kembali SOP kinerja KY agar tetap berada pada

koridor UU KY dan sejalan dengan maksud dan tujuan pembentukan KY serta

ditempatkannya KY di dalam UUD 1945 dibandingkan dengan KPK.

UUD 1945 telah memberikan landasan moralitas, sosial, dan hukum kepada seluruh

penyelenggara negara untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya sesuai dengan mandat

yang diberikan UU kepadanya serta menjalankan sumpah jabatan yang merupakan ikatan

moral yang seharusnya dan sepatutnya pula dijunjung tinggi. Dalam konteks ini, setiap

anggota KY wajib menjaga dan memelihara martabat hakim di samping mengawasi hakim.

Selama persidangan yang saya ikuti sebagai ahli, saya dapat katakan bahwa hakim Sarpin

telah memimpin persidangan dengan tertib dan disiplin serta lugas dalam memberikan arahan

kepada kuasa hukum pemohon dan termohon. Bahkan, hakim Sarpin bahkan selalu

mengingatkan kuasa hukum khususnya dalam sidang pemeriksaan ahli, bahwa ahli tidak

diperkenankan menilai fakta kecuali hanya memberikan opini (pendapat) sesuai dengan

keahliannya.

Perhatian masyarakat pascaputusan hakim Sarpin tertuju pada kewenangan praperadilan

dengan merujuk pada Pasal 77 KUHAP. Namun, masyarakat sering melupakan bahwa Pasal

10 ayat (2) UU RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman telah menegaskan

bahwa pengadilan tidak boleh menolak perkara yang diajukan hanya atas alasan bahwa UU

Page 147: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

147

tidak mengaturnya. Seharusnya ketentuan ini diartikan bahwa pengadilan adalah satu-satunya

tempat mencari, menemukan, dan memperoleh keadilan bagi setiap orang tidak terkecuali,

terlepas dari latar belakang sosial, etnis, agama dan jabatannya dalam masyarakat.

Amat naif jika ketika ada orang siapa pun mendatangi pengadilan dan mengajukan

permohonan untuk memperoleh keadilan kemudian ditolak dengan alasan UU tidak

mengaturnya dan benar pendapat (alm.) Satjipto Rahardjo, bahwa hukum itu (dibuat) untuk

manusia bukan manusia untuk hukum!

Limitasi yang diberikan pembentuk UU KUHAP dalam hal alasan praperadilan bertentangan

dengan Bab XA UUD 1945, UU RI Nomor 39 tentang HAM, dan tidak sejalan dengan

Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi

dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2005.

ROMLI ATMASASMITA

Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran

Page 148: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

148

Antara Tradisi, Ketokohan, dan Ambisi

Koran SINDO

3 Maret 2015

Ada beberapa hal yang mencorong dari proses pemilihan ketua umum pada pelaksanaan

Kongres ke-4 PAN yang berlangsung di Bali belum lama ini. Beberapa hal itu patut diamati

karena menunjukkan secara umum sebuah gejala yang menarik dari partai ini.

Tradisi Satu Periode

Satu persoalan penting yang menjadi isu utama dalam kongres kali ini adalah masalah

periode kepemimpinan partai. Dalam PAN coba untuk ditradisikan bahwa seorang ketua

umum sepatutnya tidak mengajukan diri lagi pada pemilihan selanjutnya. Ini sudah dimulai

oleh Amien Rais (2000-2005) sendiri yang kemudian dilanjutkan oleh Sutrisno Bachir (2005-

2010).

PAN tampak lebih percaya pada sebuah pertukaran kekuasaan internal yang dinamis,

ketimbang pada formula mempertahankan tim yang tengah berjaya. Artinya, regenerasi

kepemimpinan lebih didahulukan ketimbang capaian-capaian hasil sebuah kepemimpinan.

Bisa jadi ini untuk mentradisikan agar partai dapat selalu dinamis dan menghindari adanya

oligarki akibat terlalu lamanya seseorang berkuasa. Namun demikian, tradisi ini tidak

menjadi bagian dari AD/ART. Bagi sebagian kalangan, inilah celah untuk mengakhiri tradisi

ini.

Sehubungan dengan ini, dalam kacamata pelembagaan partai ada sebuah pendekatan yang

berorientasi pada nilai-nilai, sebagaimana yang dikembangkan oleh Steven Levitsky (1998).

Menurutnya, sebuah partai yang terlembagai adalah partai yang mampu memosisikan tradisi

atau nilai-nilai yang dianut menjadi patokan perilaku (behavioral) dari para kadernya. Di sini,

meski tidak tertuliskan secara legal formal, pentradisian nilai-nilai yang dianut bersama itu

(shared values) adalah juga bagian dari pelembagaan partai, di mana hulunya adalah

pembangunan karakter partai.

Namun demikian, dengan melihat perbedaan suara antara Hatta Rajasa dan Zulkifli Hasan

yang demikian tipis, hanya enam suara (286 versus 292), dengan empat suara tidak sah,

sepertinya tradisi itu bukanlah sebuah hal yang benar-benar diperhatikan oleh sebagian atau

setengah kurang sedikit dari elite dan kader PAN. Artinya dalam kongres kali ini tampak

jelas ada semacam erosi keyakinan bahwa adagium satu periode itu memang harus

dipertahankan.

Di satu sisi, bisa jadi pada kongres inilah momen kritis terakhir dari tradisi satu periode PAN

Page 149: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

149

itu, yang setelahnya akan makin menguat dan legitimate. Namun di sisi lain, bisa jadi kongres

ini adalah preseden bahwa menentang tradisi satu periode itu diperbolehkan. Buktinya Amien

Rais tetap membiarkan Hatta untuk maju dan mencoba peruntungannya.

Untuk menghindari perdebatan yang berlarut-larut, ke depan PAN perlu mematangkan lagi

makna filosofis dari tradisi ini, menyosialisasikannya secara total kepada setiap kader dan

yang terpenting menjadikannya sebagai bagian dari AD/ART agar lebih bersifat mengikat.

Ketokohan

Ada dua makna ketokohan di sini. Yang pertama, ketokohan kekinian sebagai sumber

inspirasi dalam berperilaku kader-kader PAN. Ketokohan ini dapat dialamatkan kepada

Amien Rais yang adalah king maker.

Dapat dikatakan bahwa praktis selama tujuh belas tahun eksistensi PAN, partai ini selalu

dalam bayang-bayangnya. Salah satu exercise dari kekuatan seorang Amien adalah dalam

momen-momen penting seperti kongres partai. Dapat dikatakan setelah kepemimpinannya

sebagai ketua umum, urusan pucuk pimpinan partai tetap amat bergantung pada fatwanya.

Lihat misalnya bagaimana Hatta Rajasa diminta mengalah untuk kemudian memberi jalan

bagi Sutrisno Bachir, yang digadang-gadangkan Amien sendiri menduduki jabatan ketua

umum PAN. Begitu juga saat Amien meminta Drajad Wibowo dan para pendukungnya untuk

menerima kesepakatan politik yang diaturnya, sehingga Hatta Rajasa giliran dapat dengan

mulus menjadi ketua.

Namun demikian, kemenangan tipis Zulkifli Hasan, yang telah cukup mati-matian didukung

oleh Amien, mengindikasikan bahwa kekuatan Amien Rais sejatinya telah mulai meredup.

Saat ini dan ke depannya tampak mulai semakin kencang desakan rasional untuk

menempatkan diri seorang Amien pada proporsi yang lebih memungkinkan PAN menjadi

makin lebih independen dan ”alamiah”.

Meski pada umumnya kader-kader partai masih menaruh hormat yang tinggi kepadanya

sebagai orang yang telah berbuat amat banyak bagi PAN, di sebagian mereka telah menyadari

dan berupaya agar tingkat kebergantungan PAN pada figur Amien harus dikoreksi. Jika tidak,

bukan tidak mungkin figur pemersatu yang dikagumi itu akan berubah menjadi figur

pemecah belah. Jika boleh mengambil contoh, dalam kasus PKB, kebergantungan yang tinggi

pada Gus Dur, justru telah membawa partai itu pada konflik berkepanjangan.

Ketokohan yang lain adalah kesediaan untuk menerima hasil pemilihan dengan elegan. Baik

Zulkifli sebagai pihak yang menang ataupun Hatta sebagai kandidat yang kalah, sama-sama

menunjukkan peran sebagai good winner dan good looser. Secara umum, dapat dikatakan

tidak ada pernyataan dari keduanya yang membahayakan soliditas partai sejak awal mereka

digadang-gadangkan hingga hari H pemilihan. Bahkan, pernyataan pedas Amien kepada

Hatta pada hari pertama kongres tidak bergayung sambut dengan keluarnya pernyataan yang

Page 150: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

150

dapat memanaskan situasi. Kalau toh ada hal-hal yang memanaskan situasi, itu adalah

cerminan dari semangat berlebihan para pendukung untuk membenarkan pilihan mereka.

Tangis Zulkifli di pelukan Hatta sesaat setelah dinyatakan sebagai pemenang dihadapan

peserta kongres, tentu saja dapat ditafsirkan banyak. Namun, setidaknya political gesture

itulah yang memang dibutuhkan agar setidaknya kader kembali sadar bahwa semua pada

akhirnya adalah untuk kepentingan bersama.

Ambisi

Terlepas dari itu, kongres partai dan semacamnya adalah ajang dipertaruhkannya ambisi.

Tidak saja sebagai sarana pertanggungjawaban kekuasaan dan pembenahan internal melalui

perubahan kepengurusan, di dalam kongres tentu saja terdapat intrik dan manuver politik

untuk menguasai hasil-hasil kongres. Kerap upaya itu berlangsung dengan elegan, namun

tidak sedikit yang bercampur dengan tindakan-tindakan negatif.

Kongres PAN, yang didahului oleh ”pemanasan” mesin-mesin dari kelompok yang

mengincar posisi ketua umum, jelas tidak seluruhnya sepi dari perilaku yang tidak

patut. Mulai pengiriman ”tanda mata” yang amat tidak pantas kepada salah satu kandidat

ketua umum, sorak-sorai yang tidak pada tempatnya kepada tokoh-tokoh yang telah

membesarkan partai yang jauh dari etika seorang politikus santun dan bernalar, hingga kasus

pelemparan kursi yang menimbulkan korban. Sangat disayangkan berbagai kenyataan itu

terjadi di sebuah partai yang banyak diisi oleh kalangan berpendidikan.

Fenomena sedemikian dan semacamnya harus diakui tidak saja terjadi di PAN, namun juga di

partai-partai lain, dengan situasi yang bahkan lebih buruk dan brutal. Kondisi ini sayangnya

tidak juga berubah bahkan ketika reformasi telah berjalan selama tujuh belas tahun.

Apa yang terjadi di PAN, dan partai-partai lain, mencerminkan bahwa ambisi politik memang

kerap beriringan dengan sebuah sikap atau perilaku yang jauh dari kata pantas.

Pertanyaannya apakah elite dan kader-kader partai akan terus menganggap hal ini sebagai

sesuatu yang biasa? Jika iya, jangan heran kalau kemudian masyarakat akan semakin antipati

terhadap partai yang bagi mereka memang tidak banyak memberikan apa-apa, bahkan

sekadar mengajari cara bersikap santun manakala ada perbedaan.

FIRMAN NOOR PhD

Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI; Pengajar pada Program Ilmu Politik Universitas

Indonesia

Page 151: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

151

Kacau, Penegakan Hukum di Republik Ini!

Koran SINDO

4 Maret 2015

Kemarin, 2 Maret 2015, Pelaksana Tugas Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Taufiequrahman Ruki menyatakan kepada pers bahwa kasus Budi Gunawan akan

dilimpahkan KPK ke Kejaksaan Agung untuk diselesaikan secara hukum.

Pernyataan ini disampaikan setelah dia bertemu dan berdiskusi tentang kasus BG dengan tiga

petinggi institusi hukum lain, yakni Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Plt. Kapolri

Komjen Badrodin Haiti, dan Jaksa Agung Prasetyo. Hadir juga dalam pertemuan itu Menteri

Koordinator Polhukam Tedjo Edhy Purdijatno. Sebelumnya, Plt. Ketua KPK, Plt. Kapolri,

dan Jaksa Agung juga menemui Presiden Jokowi untuk membahas kasus yang sama.

Tidak diketahui mengapa ketua Mahkamah Agung tidak hadir dalam pertemuan tersebut.

Mungkin para peserta pertemuan menilai Mahkamah Agung tidak ada urusan dengan kasus

BG, minimal pada tingkat sekarang.

Kenapa kasus BG dilimpahkan kepada kejaksaan? Ruki menjawab karena KPK kalah di

pengadilan. Sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan hakim tunggal

Sarpin Rizaldi memang menolak ketetapan tersangka terhadap BG oleh KPK. Penetapan itu

dikatakan tidak sah. Dengan demikian, gugatan BG dikabulkan (sebagian) oleh praperadilan.

Karena KPK dikalahkan, KPK tidak layak meneruskan penyidikan terhadap BG. Tapi untuk

dilimpahkan kepada Polri, Plt. Kapolri Badrodin Haiti sudah menyatakan akan meng-SP3-

kan kasus BG kalau dilimpahkan kepada Polri. Maka seolah-olah hanya terbuka satu

alternatif, yaitu melimpahkan kasus tersebut kepada kejaksaan.

Johan Budi yang sekarang juga menjabat plt. wakil ketua KPK, dengan wajah lesu, berkilah

pelimpahan itu dilakukan karena KPK tidak bisa mencari jalan lain setelah minta fatwa, atau

kasasi, atau peninjauan kembali (PK) “mentok”. Sekretaris Mahkamah Agung sebelumnya

dengan tegas mengatakan bahwa putusan praperadilan tidak bisa dimintakan kasasi,

sedangkan PK hanya bisa diajukan oleh terpidana atau kuasanya.

***

Pelimpahan kasus BG kepada kejaksaan spontan menimbulkan protes dari para staf KPK.

Selasa kemarin, sekitar 300 staf KPK melancarkan unjuk rasa memprotes keputusan Pak

Ruki menyerahkan kasus BG kepada kejaksaan. Aksi unjuk rasa para staf KPK bisa

dimengerti. Menyerahkan kasus BG kepada kejaksaan sama juga kapitulasi bagi KPK, suatu

Page 152: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

152

hal yang tidak pernah terjadi dalam sejarah KPK.

Memang dalam waktu 5-10 jam setelah Sarpin Rizaldi menjatuhkan putusannya yang

kontroversial itu, sejumlah pakar hukum, bahkan mantan ketua Mahkamah Agung,

mengkritik dan mengecam putusan praperadilan tersebut. Mantan Ketua Mahkamah Agung

Harifin Tumpa, misalnya, mengatakan pertimbangan putusan hakim Sarpin Rizaldi aneh dan

mengada-ada. “Memperluas kewenangan praperadilan dengan alasan tidak diatur, itu kan

ngaco. Praperadilan sudah diatur dengan jelas kewenangannya [dalam Pasal 77 KUHAP],”

ujar Tumpa kepada wartawan sebuah media di Jakarta.

Di Pasal 77 KUHAP, tambah Harifin, hanya ada lima kewenangan praperadilan, yaitu sah

atau tidaknya penangkapan, penahanan, penyidikan, penuntutan, dan permintaan ganti rugi.

Mantan ketua Mahkamah Agung itu yakin MA berwenang menguji putusan praperadilan

yang diajukan Komjen Budi Gunawan apabila terdapat penyimpangan kewenangan. Jika

dalam putusannya ada penyimpangan, hakim tunggal Sarpin Rizaldi pun dapat diberi sanksi.

Mantan Hakim Agung Djoko Sarwoko mengkritisi pertimbangan hakim tentang “status” BG

yang katanya bukan seorang penyelenggara negara atau penegak hukum ketika kasusnya

terjadi. Menurut Djoko, Komisaris Jenderal Budi Gunawan merupakan penegak hukum

berdasarkan Undang-Undang Kepolisian. Tapi status tersangka Budi, menurut dia, adalah

materi yang seharusnya masuk di perkara pidana, bukan urusan praperadilan. “Itu tak masuk

lingkup praperadilan, harus diputus dalam pokok perkara,” kata Djoko.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Prof Jimly Asshidiqie secara implisit juga mengkritik

putusan praperadilan. Menurut Jimly, KPK bisa melanjutkan penyidikannya terhadap BG asal

berkasnya diperbaiki.

Pendek kata, putusan sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengundang

pro dan kontra di kalangan para pakar hukum. Masyarakat menjadi bingung: yang benar yang

mana? Yang benar pendapat hukum hakim Sarpin Rizaldi atau ahli-ahli hukum “di

seberangnya”?

Di tengah-tengah kontroversi itu yang sebetulnya berakibat “the game is not over“, pimpinan

KPK yang baru dengan tegas mengatakan KPK sudah kalah di praperadilan. Oleh sebab itu,

KPK tidak berhak lagi melanjutkan perkara Budi Gunawan.

***

Mahkamah Agung mestinya turun tangan, minimal mengeluarkan fatwa hukum tentang

kontroversi putusan praperadilan atas gugatan BG. Bukankah Mahkamah Agung itu lembaga

peradilan tertinggi di negara kita? Dan berdasarkan UU No. 14 Tahun 1985, MA mempunyai

kewenangan yang sangat luas. Perhatikan baik-baik bunyi Pasal 32 UU No. 14 Tahun 1985:

(1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan

di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. (2) Mahkamah

Page 153: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

153

Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim di semua lingkungan peradilan

dalam menjalankan tugasnya. (3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan

tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua lingkungan peradilan.

(4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang

dipandang perlu kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan. (5) Pengawasan dan

kewenangan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak boleh

mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

Anehnya, pimpinan Mahkamah Agung sekarang tidak peka melihat kontroversi yang begitu

dahsyat atas putusan hakim Sarpin Rizaldi. Memang seorang hakim itu punya otonomi

mutlak dalam memutus perkara; siapa pun tidak boleh campur tangan. Kita pun harus

menghormati putusan praperadilan tersebut. Namun ketika kontroversi atas putusan hakim

“meledak”di masyarakat, apalagi banyak pakar hukum termasuk ketua Mahkamah Agung

ikut bersuara keras, Mahkamah Agung tidak boleh diam. Diam mengandung meta-meaning

pelecehan terhadap pendapat hukum sesama rekan, sesama hakim agung. Diam juga

mengandung meta-meaning membenarkan putusan praperadilan terkait kasus BG.

Mahkamah Agung tidak boleh diam, sebab putusan 16 Februari itu membawa implikasi

luas. Pertama, mereka yang oleh KPK kini berstatus “tersangka” akan berbondong-bondong

membawa kasusnya ke praperadilan. Pengadilan pun tidak boleh menolak gugatan para

tersangka. Mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali dan

anggota DPR Sutan Bhatoegana sudah melayangkan surat gugatan kepada pengadilan. Lalu,

bagaimana hakim praperadilan harus bersikap? Yang lainnya pasti menyusul.

Kedua, jika banyak tersangka mengajukan gugatan di praperadilan, legitimasi dan

kehormatan KPK akan melorot. Apa ini yang memang ditujukan kelompok-kelompok

tertentu, untuk mematikan KPK?

Ketiga, bagaimana pula dengan pembelajaran hukum kepada para mahasiswa hukum kita?

Bagaimana para staf pengajar harus menjelaskan isi Pasal 77 KUHAP kepada para

mahasiswanya? Bukankah putusan hakim Sarpin Rizaldi membuka kontroversi interpretasi

atas Pasal 77 KUHAP? Seolah-olah kini terdapat gap besar antara das sein dan des sollen,

antara yang jadi kenyataan dan yang seharusnya dalam Pasal 77 KUHAP.

Ah, kacau dan membingungkan memang penegakan hukum di Republik tercinta kita ini!

TJIPTA LESMANA

Mantan Anggota Komisi Konstitusi MPR

Page 154: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

154

Matahari Reformasi Itu Kian Meredup

Koran SINDO

4 Maret 2015

Munas Partai Amanat Nasional (PAN) di Denpasar, Bali telah berlangsung dengan suasana

tegang akibat pertarungan dua kubu utama, yakni Hatta Rajasa (HR) dan Zulkifli Hasan (ZH)

yang ditopang kuat oleh Amien Rais (AR). ZH terpilih sebagai ketum PAN periode 2015-

2020 dengan kemenangan yang sangat tipis, hanya selisih enam suara (ZH 292, HR 286).

Atmosfer politik seperti itu juga diperkeruh dengan pidato AR, ketua MPP PAN, pada

pembukaan munas (28/2) yang secara terbuka melontarkan sindiran dan serangan kasar

terhadap HR, sehingga sangat terkesan faktor etika dalam komunikasi politik sudah

terabaikan. Banyak pihak pun menilai bahwa sikap AR yang dianggap tak pantas itu

dipertontonkan, lebih karena kejengkelannya pada HR di satu pihak dan keinginan kerasnya

untuk memenangkan ZH yang tak lain adalah besannya sendiri.

Konflik atau ketegangan di internal PAN seperti itu barangkali merupakan bagian dari produk

demokrasi dengan psikopolitik para aktornya yang sedang galau. PAN tak lagi berada di

dalam barisan kekuasaan eksekutif seperti setidaknya dialami selama 10 tahun pemerintahan

Presiden SBY, yang barangkali posisinya sekarang ini dianggap sebagai bagian dari

kesalahan HR dalam lima tahun memimpin parpol berlambang matahari bersinar itu. Pada

saat yang sama, barangkali juga AR masih terus merasa sebagai “pemilik parpol” sehingga

apa pun yang dikatakannya harus dianggap sebagai fatwa untuk dipatuhi oleh semua orang

PAN.

***

Kepemimpinan HR di PAN sebenarnya “tak jelek-jelek amat”. Ia mampu mempertahankan

PAN pada posisi tengah, posisi sama seperti saat dipimpin AR. HR juga tampil sebagai

cawapres bersama Prabowo, yang tak lain didukung secara kuat oleh AR dan ZH. Tetapi

namanya juga politik yang sarat dengan intrik dan“ akal-akalan”, jika ada kepentingan lain

maka suasananya akan segera berubah, teman bisa jadi lawan dan jika perlu “dibuat terkapar”

yang momentumnya seperti terjadi dalam pemilihan ketum PAN di Bali itu.

Tetapi masih untung tak terjadi seperti Golkar dan PPP yang hingga tulisan ini dibuat

kepemimpinannya masih saja terjadi dualisme, buntut dari pertarungan pemilihan pemimpin.

PAN kemungkinan akan solid lagi. Hanya pertanyaannya, adakah relevansi antara pergantian

kepemimpinan di PAN dan gerakan untuk kembali ke khitah-nya sebagai parpol reformasi?

Page 155: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

155

Saya masih sangat meragukan itu terjadi dalam gerakan politik PAN ke depan. Soalnya, dan

inilah yang memprihatinkan, selama ini para politisi PAN tak bedanya dengan parpol lain,

yakni larut dalam pragmatisme. Tepatnya, tak bisa dibantah lagi terjadi kecenderungan

sirnanya nilai-nilai reformasi dalam tubuh, misi, dan gerakan PAN selama ini dan ke depan.

Padahal, lambang parpol itu adalah matahari, simbol pencerah penerangan yang kekal

mengitari bumi ini. Jika di era Orde Baru dianggap “gelap”, sarat praktik korupsi dan otoriter,

maka berdirinya PAN yang dibidani dan dikawal oleh para penggerak reformasi sebenarnya

diharapkan tetap konsisten berada pada misi khitah-nya itu.

Tetapi, jika jujur diakui, harapan itu bagai mimpi di siang bolong, hanya berupa bayangan

fatamorgana. PAN telah eksis “sangat tak berbeda” dengan parpol-parpol lain yang berperan

di era reformasi ini, baik di tingkat nasional maupun daerah. Beberapa fakta lapangan yang

berlangsung selama ini dan sulit terbantahkan antara lain.

Pertama, praktik korupsi yang dilakukan sejumlah kadernya mulai daerah sampai tingkat

nasional. Sebagian di antaranya sudah masuk bui (sudah keluar dan sebagian masih dalam

hotel prodeo) dan sebagian sudah kerap berurusan dengan KPK dan konon ada sudah masuk

dalam daftar tunggu untuk diperiksa oleh lembaga anti-rasuah itu, termasuk di dalamnya

pemilik rekening gendut. Mereka-mereka itu agaknya tetap dibiarkan berperan penting di

PAN yang, konon, karena dianggap sebagai bagian dari “sumber pemasukan” dari sebagian

elite parpol. Prof Amien Rais pun tampaknya bukan saja seolah-olah tak mau tahu dengan

kenyataan seperti itu, melainkan barangkali akan tetap menjadikan mereka berperan

menentukan di PAN pasca-Munas Bali ini.

Kedua, PAN telah membiarkan terjadinya praktik “membangun dinasti keluarga” dalam

politik dan bisnis. Misalnya, di sejumlah daerah praktik dinasti bahkan dipaksakan oleh

sejumlah kepala daerah yang dipimpin oleh orang-orang PAN dengan bernaung di bawah isu

demokrasi. Para istri pejabat itu, anak-anak mereka, saudara kandung, sepupu, mertua, dan

sejenisnya, disodorkan untuk dipilih oleh rakyat dengan cara-cara yang tidak sehat, untuk jadi

pejabat politik (anggota DPR, DPD, dan atau DPRD). Para pejabat bawahan pun terpaksa

harus tunduk pada “instruksi kejahatan reformasi” itu, sebab jika tidak maka akan berisiko

pada penyingkiran paksa mereka dari jabatan strategis yang dihadiahkan oleh pejabat kepala

daerah (asal PAN) yang mengangkat mereka.

Ini sebenarnya jadi “musuh inti” (main enemy) perjuangan reformasi yang jadi bagian dari

kata-kata yang keluar dari mulut Prof Amien Rais di era pengujung kepemimpinan Presiden

Soeharto, bagian dari komponen “berantas KKN”. Pada saat yang sama, juga terjadi dalam

pengangkatan pejabat lokal yang berasal dari unsur keluarga dan sejenisnya. Demikian dalam

kebijakan proyek atau bisnis yang begitu vulgar ditangani oleh keluarga pejabat asal

PAN. Tepatnya, sebagian orang PAN yang jadi pejabat telah membangun dinasti dengan

menggunakan tiga pilar yang dikuasai: politik, birokrasi, dan bisnis (proyek). Pihak pendiri

PAN, lagi-lagi, telah membiarkan praktik itu berlangsung sehingga bisa dicurigai sebagai

hipokrit dan sekaligus barangkali karena memperoleh bagian materi dari proses-proses itu.

Page 156: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

156

Ketiga, dan ini yang paling mutakhir, sikap PAN sangat tidak jelas bahkan terkesan

mendukung kriminalisasi dari pimpinan KPK dan sekaligus gerakan amputasi lembaga anti-

rasuah yang independen itu. Seharusnya, jika benar Prof Amien Rais konsisten dengan

perjuangannya maka para kader PAN mulai bawah sampai di parlemen diinstruksikan untuk

pasang badan membela KPK, dan atau berjuang untuk jadikan KPK sebagai lembaga

pemberantas korupsi yang permanen di negeri ini. Sikap PAN seperti sekarang ini

memunculkan kecurigaan, jangan-jangan orang-orang PAN sangat ketakutan karena sedang

masuk dalam radar pantauan KPK. Singkatnya, dalam rangka menyelamatkan oknum-oknum

PAN yang bermasalah dan sekaligus pengkhianat reformasi, KPK pun secara sengaja

didukung untuk dihancurkan.

Pertanyaannya, apakah kepemimpinan ZH nanti akan terus bersikap seperti sekarang ini?

Entahlah. Kita pantau saja gerakannya pasca-Munas Bali ini.

LAODE IDA

Sosiolog di Jurusan Sosiologi UNJ; Mantan Wakil Ketua DPD RI 2004-2014

Page 157: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

157

Saat KPK Lempar Handuk

Koran SINDO

4 Maret 2015

Pelaksana tugas (Plt.) Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Taufiequrachman Ruki

menyatakan “KPK mengaku kalah” dalam kasus Budi Gunawan.

Ini yang pertama kali KPK lempar handuk dalam tahap penyidikan, bahkan pertama kali pula

menyerahkan penyidikan ke institusi penegak hukum lain. Memang dakwaan KPK pernah

dinyatakan hakim pengadilan tindak pidana korupsi tingkat pertama tidak terbukti sehingga

diputus bebas. Namun, KPK melakukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) terhadap kasus

pimpinan BUMN PT Merpati, dan ternyata MA menghukum terdakwa (Moh Mahfud MD,

KORAN SINDO, 28/2/2015).

KPK takluk tanpa melakukan upaya hukum terhadap putusan praperadilan yang menilai KPK

tidak berwenang menangani tersangka dengan mengutip Pasal 11 UU Nomor 30/2002

tentang KPK (UU KPK). Banyak yang menyarankan agar KPK melakukan upaya hukum luar

biasa atau peninjauan kembali, tetapi hal itu tidak dilakukan. KPK mengumumkan kasus BG

dilimpahkan ke kejaksaan sesuai kesepakatan dengan Wakapolri Komjen Badrodin Haiti dan

Jaksa Agung HM Prasetyo.

Meskipun Plt. Ketua KPK menyebut pelimpahan kasus bukan akhir dan dunia belum kiamat,

tidak berarti masalah telah usai. Kesepakatan itu setidaknya menimbulkan dua persoalan

baru. Pertama, kepercayaan publik terhadap ketegasan dan profesionalitas KPK akan tergerus

seperti institusi penegak hukum lainnya. Semua perjuangan KPK mengantar terdakwa

korupsi meringkuk dalam terali besi akan pupus di mata publik, lantaran KPK tidak lagi gigih

memperjuangkan keyakinan yang diperoleh dari penyelidikan dan penyidikan.

Kedua, gelombang gugatan praperadilan akan menimpa KPK memberi indikasi bahwa

penetapan tersangka di KPK mulai meragukan. Dua tersangka, Suryadharma Ali dan Sutan

Bhatoegana, mengajukan praperadilan. Begitu pula salah satu tersangka di kepolisian terkait

kasus korupsi dana bansos di Banyumas, menjadi imbas dari sikap diam KPK yang terkesan

dibungkus demi kesepakatan.

Idealnya KPK melakukan upaya hukum luar biasa ke MA untuk mengoreksi dugaan

kekhilafan atau kekeliruan putusan hakim praperadilan.

Koordinasi Efektif

Page 158: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

158

Sebetulnya ada sinyal positif ditunjukkan pimpinan KPK dengan menemui pimpinan Polri

dan Jaksa Agung sesaat setelah dilantik sebagai langkah awal komunikasi dan koordinasi

yang efektif. Presiden Jokowi juga memanggil Plt. Ketua KPK, Jaksa Agung, dan Wakapolri

ke Istana Negara (25/2/2015).

Presiden meminta agar tidak ada lagi ego sektoral dan harus bersinergi dalam memberantas

korupsi. Untuk menjaga sinergitas ke depan, KPK harus lebih aktif berkomunikasi dengan

kepolisian dan kejaksaan. KPK lebih mengintensifkan tugas yang diberikan dalam Pasal 6

huruf a dan huruf b UU KPK, yaitu melakukan koordinasi dan supervisi terhadap kepolisian

dan kejaksaan.

Ada lima bentuk koordinasi yang perlu dilakukan KPK sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU

KPK. Pertama, mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana

korupsi. Kedua, menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana

korupsi. Ketiga, meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi

kepada instansi yang terkait. Keempat, melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan

dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Kelima,

meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

Sedangkan tugas supervisi diatur dalam Pasal 8 UU KPK, bahwa KPK berwenang melakukan

pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap kepolisian dan kejaksaan dalam melakukan

penyidikan dan penuntutan. Dalam supervisi, KPK berwenang mengambil alih penyidikan

atau penuntutan terhadap pelaku korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau

kejaksaan. Koordinasi dan supervisi ini harus dilakukan dengan baik, sebab salah satu tujuan

pembentukan KPK adalah mendorong kepolisian dan kejaksaan agar berfungsi secara efektif

dan efisien dalam memberantas korupsi (Konsideran Menimbang huruf b UU KPK).

Bahkan, KPK memiliki fungsi “trigger mechanism“ yang mendorong institusi kepolisian dan

kejaksaan berfungsi lebih efektif dan efisien dalam memberantas korupsi. Penyidikan dan

penuntutan yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan harus disupervisi KPK yang dalam

hukum tata negara disebut sebagai implementasi dari “checks and balances“.

Seleksi Pimpinan KPK

Agar KPK tidak terus mendapat kendala dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,

sebaiknya paling lambat enam bulan sebelum masa jabatan pimpinan KPK berakhir

Desember 2015, presiden menetapkan panitia seleksi untuk menjaring dan memilih calon

pimpinan KPK definitif (Pasal 30 ayat 2 UU KPK). Proses seleksi dilakukan secara

transparan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.

Salah satu syarat untuk diangkat sebagai pimpinan KPK ditegaskan dalam Pasal 29 angka 7

UU KPK, yaitu“cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi

yang baik”. Maka itu, melihat persoalan yang menimpa Abraham Samad dan Bambang

Widjojanto, panitia seleksi harus mencari sosok calon komisioner KPK yang betul-betul

Page 159: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

159

bersih dan steril dari aspek moral dan persoalan hukum masa lalu, sebab realitasnya bisa

diungkap kembali.

Tidak cukup hanya mengandalkan tanggapan berupa laporan masyarakat terkait masa lalu

calon (Pasal 30 ayat 6 UU KPK), tetapi perlu semacam “pengakuan dosa” dari calon dengan

mengungkap semua borok masa lalunya. Semua yang diungkap harus dirahasiakan dan

disimpan oleh Penasihat KPK, tetapi panitia seleksi meneliti apakah pengakuan dosa itu

berpotensi atau tidak berpotensi dibawa ke ranah hukum setelah terpilih.

Sekiranya ada pihak yang melaporkan masalah yang sudah disampaikan dalam pengakuan

dosa harus dijamin tidak akan diproses hukum sebagai bentuk “imunitas” bagi pimpinan

KPK. Ini salah satu cara mengantisipasi kemungkinan mencari-cari kesalahan massal yang

banyak dituding sebagai upaya “kriminalisasi” dengan tujuan hanya sekadar menjadikan

pimpinan KPK sebagai tersangka agar diberhentikan sementara dari jabatannya. Tidak boleh

lagi jatuh pada lubang yang sama untuk ketiga kalinya, sebab sudah dua kali pimpinan KPK

dilanda serangan semacam itu.

Pimpinan KPK ke depan harus betul-betul bersih dari borok masa lalu yang bisa

dipersoalkan, sebab melihat indeks persepsi korupsi Indonesia yang tetap di level tinggi,

publik ingin noda kecil sekalipun yang bisa menghambat pelaksanaan tugas dan wewenang

KPK harus dibersihkan.

Kita ingin kesinambungan KPK ke depan tetap terjaga, semoga publik tetap percaya pada

KPK sebagai salah satu institusi pemberantas korupsi.

MARWAN MAS

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Bosowa 45, Makassar

Page 160: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

160

Pemimpin Berani Mengambil Keputusan

Koran SINDO

5 Maret 2015

Ketika Perang Irak II pecah pada 2003, Inggris Raya menyatakan ikut serta dalam pasukan

koalisi di bawah pimpinan Amerika Serikat.

Protes berdatangan terhadap Perdana Menteri Tonny Blair baik di dalam negeri maupun di

luar negeri. Pemerintah Perancis dan Jerman menolak bergabung dengan pasukan koalisi

dengan alasan bahwa perang bukanlah jawaban untuk menyelesaikan ketegangan dan

perimbangan kekuatan di Timur Tengah. Dialog adalah jalan terbaik mengurangi ketegangan

dan pertimbangan kekuatan di Timur Tengah.

Dalam tayangan televisi setempat, Tonny Blair bertemu sejumlah mahasiswa dari berbagai

universitas di Inggris yang menanyakan apa alasan Inggris bergabung dengan pasukan koalisi

dan terjun ke dalam Perang Irak. Dengan tangkas Tonny Blair berkilah bahwa salah atau

benar keputusannya untuk ikut Perang Irak akan ditentukan oleh sejarah di kemudian hari

karena sebagai pemimpin eksekutif tertinggi Britania Raya, dia harus mengambil keputusan

secepatnya apakah ikut atau tidak ikut dalam Perang Irak.

Sebagai seorang pemimpin dengan gayanya kepemimpinannya yang khas, dia menjelaskan

kepada kurang lebih 20 mahasiswa bahwa dia harus memutuskan dan tidak bisa tinggal diam.

Dia menolak tuduhan banyak pihak bahwa dirinya sebagai ”pudel” (poodle) dari Presiden

Amerika Serikat George W Bush. Keputusan untuk ikut dalam Perang Irak dia

pertanggungjawabkan kepada rakyat setelahnya.

Sejarah menilai apakah keputusannya benar atau tidak. Salah satu dari sekian alasan yang

melatarbelakangi keputusannya adalah ada senjata pemusnah (weapon of mass destruction)

yang dimiliki Irak yang tentu akan membahayakan dunia, khususnya di Timur Tengah.

Kemudian kecurigaan ini salah karena Irak tidak memiliki senjata pemusnah yang dituduhkan

Presiden Amerika Serikat George W Bush saat itu.

Dalam kesempatan lain, sebelumnya Perdana Menteri Inggris Margareth Thatcher berada

dalam masa transisi berakhirnya hak Inggris menempati Hong Kong pada 1997 dan akan

diserahkan kembali kepada RRC. Rakyat Hong Kong tentu saja resah karena sistem

pemerintahan demokrasi yang dianut Hong Kong selama ini akan berubah menjadi sistem

komunis.

Tetapi, Thatcher dengan tangkas menjawab pertanyaan mahasiswa Hong Kong yang

ditayangkan di stasiun televisi setempat bahwa dirinya menjamin bahwa Hong Kong di

Page 161: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

161

bawah RRC akan tetap mempertahankan sistem pemerintahan demokrasi. Dia menjamin

bahwa Hong Kong akan menjadi ”safe haven for democracy”. Ini menjadi kenyataan dan

janjinya dipenuhi.

Dapat terlihat dari dua petikan cerita tadi bahwa dua perdana menteri merupakan pemimpin

yang ”decisive”, berani mengambil keputusan saat krisis tanpa ragu dan tidak diombang-

ambingkan keadaan di sekitarnya. Ini bisa terjadi karena karier politik mereka dimulai dari

bawah sebagai anggota dan pengurus partai buruh dan partai konservatif kemudian menjadi

anggota parlemen (House Of Lord dan House Of Common). Mereka teruji dan memiliki

kepemimpinan yang tegas serta berani mengambil keputusan.

Contoh dramatis lain adalah ketika Rusia membangun markas persenjataan peluru kendali di

Kuba permulaan tahun 1960-an, tepatnya di the Bay of Pig. Markas persenjataan peluru

kendali tersebut rupanya mengarah ke daratan Amerika Serikat. Dengan tegas Presiden John

F Kennedy mengancam akan mendeklarasikan perang kepada Rusia dan Kuba jika markas

tersebut tidak segera dibongkar.

Setelah melalui diplomasi berulang yang memakan waktu lama serta perdebatan yang cukup

sengit di PBB, akhirnya Rusia membongkar markas persenjataan peluru kendali di the Bay of

Pig tersebut. Peristiwa ini kemenangan besar Amerika Serikat di bawah kepemimpinan

Presiden John F Kennedy saat itu.

Pidato Presiden John F Kennedy yang terkenal adalah ketika dia mengucapkan: ”And so, my

fellow Americans: ask not what your country can do for you. Ask what you can do for your

country. My fellow citizens of the world: ask not what America can do for you, but what

together we can do for the freedom of man”. Dalam mengambil sebuah tindakan krusial,

harus dipikirkan apa yang terbaik untuk bangsa dan negara.

Segera setelah pidato mengesankan itu, beribu-ribu pemuda-pemudi Amerika Serikat

bergabung dalam ”Peace Corps” yang membantu pengembangan olahraga, budaya, musik,

kesenian, dan lain-lain di negara-negara berkembang.

Kejutan Awal Tahun

Saat ini Indonesia memerlukan pemimpin berkarisma dan berkarakter kuat untuk

memecahkan berbagai krisis dan persoalan bangsa yang besar ini. Dalam konteks perseteruan

KPK vs Polri, Presiden Jokowi harus memutuskan apa yang terbaik bagi bangsa Indonesia

dengan mempertimbangkan berbagai aspek seperti konstitusi, hukum, moral, sosiologis, dan

psikologis.

Berdasarkan konferensi pers di Kompleks Istana Kepresidenan pada Rabu, 18 Februari 2015,

Presiden Jokowi pada akhirnya membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai kepala Polri

dan memutuskan akan mengusulkan calon kepala Polri yang baru kepada DPR RI yakni

Komisaris Jenderal Badrodin Haiti yang kini menjabat wakil kepala Polri.

Page 162: (Sindonews.com) Opini hukum-politik 3 februari 2015-5 maret 2015

162

Telah sekian lama Presiden Jokowi terkesan ragu-ragu menggunakan hak prerogatifnya

dalam penunjukan kepala Polri. Terlalu banyak perhitungan politis dapat mengakibatkan

pamor dan wibawa Presiden Jokowi merosot tajam. Keputusan Presiden Jokowi yang

ditunggu-tunggu oleh rakyat akhirnya datang juga. Bahwasanya, hak prerogatif Presiden ada

di dalam tangan Presiden Jokowi sendiri. Keputusan yang dihasilkan dari hak prerogatif

tersebut tidak bergantung pada putusan praperadilan.

Seharusnya yang perlu dipikirkan adalah apa yang terbaik untuk memilih pembantu Presiden

agar pemerintah dapat bekerja dengan efektif dan efisien. Apa pun itu, semua harus selaras

dengan ”Nawacita” dan ”Revolusi Mental” yang dikumandangkannya saat kampanye pemilu

dulu. Jika tidak, itu hanya janji kosong yang tidak bermakna. Harapan rakyat sangat tinggi

terhadap Presiden Jokowi dan tentu akan kecewa jika ”Nawacita” dan ”Revolusi Mental”

tersebut akhirnya tidak tercapai.

Presiden Jokowi tidak boleh ragu dan takut mengambil keputusan kalau itu demi kepentingan

rakyat. Jangan sampai, dukungan rakyat antiklimaks terhadap Jokowi merosot lebih lanjut

karenanya. Kelambanan mengambil keputusan bukanlah kesabaran, ketakutan membuat

terobosan bukanlah kehati-hatian. Seorang pemimpin haruslah berani mengambil keputusan.

FRANS H WINARTA

Ketua Umum Peradin dan Dosen Fakultas Hukum UPH