sembilan elemen jurnalisme

10
Scnrbilan Blcnrcn Jurnalisnre HATI nurani jurnalisme Amerika ada pada Bill Kovach. lni ungkapan yang sering dipakai orang bila bicara soal Kovach. Thomas E. Patterson dari Universitas Flarvaid r"rigutik"n, Kovach punya "karir panjang dan terhormat" sebagai wartawan. Goenawan Mohamad, redaktur pendiri majalah rempo, merasa sulit "mencari kesalarran" Kovach. W_artawan yang nyaris tanpa cacat itulah yang menulis buku Tre Elements of Journalism: Wat Newspeople Should Knov, and the Public Should Expecr (April 200 I ) bersama rekannya Tom Rosenstiel. Kovach memulai karirnya sebagai wartawan pada 1959 di sebuah suratkabar kecil sebelum bergabung dengan The New York Times,salah satu suratkabar terbaik di Amerika Serikat, dan membangun karirnya selama 18 tahun di sana. Kovach mundur ketika ditawari jadi pemimpin redaksi haianAtlanta Journal-Constitutiol. Di bawah kepemimpintrnnya, harian ini benrbahjadi suratkabar yang bermutu. Hanya dalam dua tahun, Kovach membuat harian ini mendapatkan dua Pulitzer Prize, penghargaan nomor satu dalamjumalisme Amerika. Total dalam karimy4 Kovach menugaskan dan menyunting lima laporan yang'mendapatkan Pulitzer Prize. Pada 1989-2000 Kovich jadi kurator Nieman Foundation for Joumalism di Universitas Harvard yang tujuannya meningkatkan mutu jurnalisme. Sedangkan Tom Rosentiel adalah mantan wartawan harian The Los Angeles Times spesialis media dan jurnalisme. Kini sehari-harinya Rosenstiel menjalankan Cornmittee of Concemed Journalists -sebuah organisasi di Washington D.C. yang kerjanya melakukan riset dan diskusi tentang media. Dalam buku ini Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme. Kesimpulan ini didapat setelah Committee of Concerned Joumalists mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan dalam periode tiga tahun. Sembilan elemen ini sama kedudukannya. Tapi Kovach dan Rosenstiel menempatkan elemen jurnalisme yang pertama adalah kebenaran, yang ironisny4 paling mlmbingungkan. Kebenaran yang mana? Bukankan kebenaran bisa dipandang dari kacamata yang berbeda- beda? Tiap-tiap agam4 ideologi atau filsafat punya dasar pemikiran tentang kebinaran yang belum tentu persis sama satu dengan yang lain. Sejarah pun sering direvisi. Kebenaftrn menurut siapa? Bagaimana dengan bias seorang wartawan? Tidaldoh bias pandangan seorang wartawan, karena latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, tcetompot etnik, a=tau ag:rm:rnya, bisa mcmbuat si wartawan menghasilkan penafsiran alian kebcnaran yang berbcdu-Louz - Kovach dan Rosenstiel menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. polisi melacak dan menangkaf tersangka berdasarkan kebe.naran fungsional. Hakim menjalankan peradilan jugib"iausarkun kebenaran fungsional. Pabrik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan hukum dibuat. Guru- guru mengajarkan sejarah, fisik4 atau biologi, pada anak-anak sekolah. Semua ini adalah kebenaran fungsional. Namun apa yang dianggap kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdalava bisa dibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah', fisik4 biologi, bisa salah. Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi.

Upload: bahanamahasiswa

Post on 22-Apr-2015

1.753 views

Category:

News & Politics


19 download

DESCRIPTION

Materi Sembilan Elemen Jurnalisme

TRANSCRIPT

Page 1: Sembilan elemen jurnalisme

Scnrbilan Blcnrcn Jurnalisnre

HATI nurani jurnalisme Amerika ada pada Bill Kovach. lni ungkapan yang sering dipakaiorang bila bicara soal Kovach. Thomas E. Patterson dari Universitas Flarvaid r"rigutik"n,Kovach punya "karir panjang dan terhormat" sebagai wartawan. Goenawan Mohamad,redaktur pendiri majalah rempo, merasa sulit "mencari kesalarran" Kovach.

W_artawan yang nyaris tanpa cacat itulah yang menulis buku Tre Elements of Journalism:Wat Newspeople Should Knov, and the Public Should Expecr (April 200 I ) bersama rekannyaTom Rosenstiel. Kovach memulai karirnya sebagai wartawan pada 1959 di sebuah suratkabarkecil sebelum bergabung dengan The New York Times,salah satu suratkabar terbaik diAmerika Serikat, dan membangun karirnya selama 18 tahun di sana.

Kovach mundur ketika ditawari jadi pemimpin redaksi haianAtlanta Journal-Constitutiol.Di bawah kepemimpintrnnya, harian ini benrbahjadi suratkabar yang bermutu. Hanya dalamdua tahun, Kovach membuat harian ini mendapatkan dua Pulitzer Prize, penghargaan nomorsatu dalamjumalisme Amerika. Total dalam karimy4 Kovach menugaskan dan menyuntinglima laporan yang'mendapatkan Pulitzer Prize. Pada 1989-2000 Kovich jadi kurator NiemanFoundation for Joumalism di Universitas Harvard yang tujuannya meningkatkan mutujurnalisme.

Sedangkan Tom Rosentiel adalah mantan wartawan harian The Los Angeles Times spesialismedia dan jurnalisme. Kini sehari-harinya Rosenstiel menjalankan Cornmittee of ConcemedJournalists -sebuah organisasi di Washington D.C. yang kerjanya melakukan riset dan diskusitentang media.

Dalam buku ini Bill Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme.Kesimpulan ini didapat setelah Committee of Concerned Joumalists mengadakan banyakdiskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan dalam periode tiga tahun. Sembilanelemen ini sama kedudukannya. Tapi Kovach dan Rosenstiel menempatkan elemenjurnalisme yang pertama adalah kebenaran, yang ironisny4 paling mlmbingungkan.

Kebenaran yang mana? Bukankan kebenaran bisa dipandang dari kacamata yang berbeda-beda? Tiap-tiap agam4 ideologi atau filsafat punya dasar pemikiran tentang kebinaran yangbelum tentu persis sama satu dengan yang lain. Sejarah pun sering direvisi. Kebenaftrnmenurut siapa?

Bagaimana dengan bias seorang wartawan? Tidaldoh bias pandangan seorang wartawan,karena latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, tcetompot etnik, a=tau ag:rm:rnya,bisa mcmbuat si wartawan menghasilkan penafsiran alian kebcnaran yang berbcdu-Louz

-

Kovach dan Rosenstiel menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses gunamendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. polisi melacak dan menangkaftersangka berdasarkan kebe.naran fungsional. Hakim menjalankan peradilan jugib"iausarkunkebenaran fungsional. Pabrik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan hukum dibuat. Guru-guru mengajarkan sejarah, fisik4 atau biologi, pada anak-anak sekolah. Semua ini adalahkebenaran fungsional.

Namun apa yang dianggap kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdalava bisadibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah', fisik4 biologi, bisasalah. Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi.

Page 2: Sembilan elemen jurnalisme

Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi

kebenaran dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambilrute yang lancar. Orang butuh informasi harga, kurs mata uang, ramalan cuac4 hasil

pertandingan bola dan sebagainya.

Selain itu kebenaran yang diberitakan media dibenfuk lapisan demi lapisan. Kovach dan

Rosenstiel mengarnbil contoh tabrakan lalu lintas. Hari pertama seorang wartawan

memberitakan kecelakaan itu. Di mana, jam berapa" jenis kendaraannya ap4 nomor polisiberap4 korbannya bagaimana. Hari kedua berita itu mungkin ditanggapi oleh pihak lain.

Mungkin polisi, mungkin keluarga korban. Mungkin ada koreksi. Maka pada hari ketiga,

koreksi itulah yang diberitakan. Ini juga bertambah ketika ada pembaca mengirim suratpembac4 atau ada tanggapan lewat kolom opini. Demikian seterusnya.

Jadi kebenaran dibentuk hari demi hari, lapisan demi lapisan. Ibaratnya stalagmit, tetes demi

tetes kebenaran itu membentuk stalagmit yang besar. Makan waktu, prosesnya lama. Tapi

clari kcbcnaran schari-hari ini pula terbcntuk bangunan kcbenaran yang lebih lcngkap.

Saya pribadi beruntung mengenal Kovach ketika saya rnendapat kescmpatan ikut program

Nieman Fellowship pada 1999-2000 di mana Kovach jadi kuratornya. Di sana Kovach

melatih wartawan-wartawan dari berbagai belahan dunia untuk lebih memahami pilihan-

pilihan mereka dalam jurnalisme. Tekanannya jelas : memilih kebenaran!

Tapi mengetahui mana yang benar dan mana yang salah saja talc cukup. Kovach dan

Rosenstiel menerangkan elemen kedua dengan bertanya, "Kepada siapa wartawan harus

meirempatkan loyalitasnya? Pada perusdhaannya? Pada pembacanya? Atau pada

masyarakat?"

Pertanyaan itu penting karena sejak 1980-an banyak wartawan Amerika yang berubah jadi

orang bisnis. Sebuatr survei menemukan separuh wartawan Amerika menghabiskan

setidalrrya sepertiga waktu mereka buat urusan manajemen ketimbang jumalisme.

Ini memprihatinkan karena wartawan punya tanggungiawab sosial yang tali jarang bisa

melangkahi kepentingan perusahaan di mana mereka bekerja Walau pun demikian, dan disini uniknya, tanggungiawab itu sekaligus adalah sumber dari keberhasilan perusahaan

mereka. Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan masyarakat justru lebihmenguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan bisnisnya sendiri.

Mari melihat dua contoh. Pada 1893 seorang pengusaha membeli harian The Nev York Times.

Adolph Ochs percaya bahwa pendudukNew York capek dan tak puas dengan suratkabar-

suratkabar kuning yang kebanyakan isinya sensasional. Ochs hendali menyajikan suratkabaryang serius, mengutamakan kepentingan publik dan menulis, "... to give the news

impartiality,.wilhoutfear orfavor, regardless of party, sect or interests involved."

Pada 1933 Eugene Meyer membeli harian The Yashington Post dan menyatakan di halaman

suratkabar itu, "Dalam rangka menyajikan kebenaran, suratkabar ini kalau perlu akanmengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi kepentinganmasyarakat."

Prinsip Ochs dan Meyer terbukti benar. Dua harian itu menjadi institusi publik yang prestisius

sekaligus bisnis yang menguntungkan.

Kovach dan Rosenstiel khawatir banyaknya wartawan yang mengurusi bisnis bisa

mengaburkan misi media dalam melayani kepentingan masyarakat. Bisnis media beda dengan

bisnis kebanyakan. Dalam bisnis media ada sebuah segitiga. Sisi pertama adalah pembac4

Page 3: Sembilan elemen jurnalisme

pemirsa atau pendengar. Sisi kedua adalah pemasang iklan. Sisi kctiga adalah warga(citizens).

Bcrbcda dcngan kcbanyakan bisnis, dalam bisnis mediq pcmirsa, pendcngar, atau pembacabukanlah pelanggan (cwtomer). Kehnyakan medi4 termasuk televisi, radio, maupundotcom, memberikan berita secara gftis- Orang tak membayar untuk menonton televisi,membaca intemct, atau mendengarkan radio- Bahkan dalam bisnis suratkabar pun,kcbanyakan pembaca hanya membayar sehgian kecil dari ongkos produksi. Ada subsidi buatpembaca.

Adanya kepercayaan publik inilah yang kemudian "dipinjamlian" perusahaan media kcpadapara pemasang iklan. Dalam hal ini pemasang iklan memang pelanggan. Tapi hubungan iniseyogyanya tak merusak hubungan yang unik antara media dengan pembaca, pemirsa, danpcndengarnya.

Kovach darr ltoscnsticl prihatin karcna banyali mcdia Anrcrika mcngkaitkan bcsa'nya bonusatau pendapatan rcdaktur mcreka dengan bcsarnya keuntungan yang diperoleh pcrusahaanbersangkutan. Sebuah survei menemukan, 7l persen redaltur Amerika menerapkan sebuahgaya manajemen yang biasa disebut management by objections.

Model ini ditemukan oleh guru manajemen Peter F- Drucker. Idenya sederhana sebenarnya.Para manajer diminta menentukan target sekaligus imbalan bila mereka berhasilmencapainya

Manajemen model ini, menurut Kovach dan Rosenstiel, bisa mengaburkan tanggungjawabsosial para redaktur. Mengkaitkan pendapatan seorang redaktur dengan penjualan iklan ataukeuntungan perusahaan sangat mungkin untuk mengingkari prinsip loyalitas si redakturterhadap masyarakat. Loyalitas mereka bisa bergeser pdapeningkatan keuntunganperusahaan karena dari sana pula mereka mendapatkan bonus.

BANYAK wartawan mengatakan The Elements of Journalism perlu untuk dipelajari orangmedia. Suthichai Yoon, redali:tur pendiri harian The Nation di Bangkolq menulis bahwarenungan dua wartawan'!ang sudah mengalami pencerahan'ini perlu dibaca wartawan Thai.

I Made Suarjana dari tim pendidikan majalah Gatra mengatalian pada saya bahrva Gatrasedang menterjemahkan buku ini buat keperluan internd mercka, *But:u ini kita pandangmengembalikan pada basic jurnalisme," kata Suarjana

Salah satu bagian penting buku ini adalah penjelasan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel tentangclemen ketiga. Mereka mengatakan esensi dari jurnalismc adalah disiplin dalam mclakukanverifikasi.

Disiplin mampu membuat wartawan menyaring desas{esus, gosip, ingatan yang keliru,manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yangmembedakan jurnalisme dengan hiburan, propagand4 hlsi atau seni.

Mereka berpendapat, "saudara sepupu" hiburan yang disebut infotainment (dari katainformation dan entertainment) harus dimengerti wartawan agar tahu mana batas-batasnya.Infotainment hanya terfokus pada apa-apa yang menarik perhatian pemirsa dan pendengar.Jurnalisme meliput kepentingan masyarakat yang bisa menghibur tapi juga bisa tidak.

Batas antara fiksi dan jurnalisme memang harus jelas. Jumalisme tak bisa dicampuri denganfiksi setitik pun. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh pengalaman Mike Wallace dari

Page 4: Sembilan elemen jurnalisme

CBS yang difilmkan dalam The Insider. Film ini bercerita tentang keengganan jaringan

televisi CBS menayangkan sebuah laporan tentang bagaimana industri rokok Amerikamemakai zat kimia tertentu buat meningkatkan kecanduan perokok.

Kejadian itu sebuah fakta. Namun Wallace keberatan karena ada kata-kata yang diciptakandan scolah-olah diucapkan Wallacc. Sutradara Michacl Mann mengatakan film itu "padadasarnya akurat" karcna Wallacc mcmang takluk pada tckanan pabrik rokok. Jika kata-kata

diciptakan atau motivasi Wallace bcrbcda antara kcadaan nyata dan dalam filnt, Mann

bcrpcndapat itu bisa diterima.

Kovach dan Rosenstiel mengatal,can dalam kasus itu kctcrpaduan Qttility) jadi nilai tcrtinggikctimbang kebenaran harafiah. Fakla disubordinasikan kcpada kcpcntirrgan fiksi. Mannmembuat film itu dengan tambahan drama agar menarik perhatian pcnonton.

Lantas bagaimana dengan beragamnya standarjurnalisme? Tidakkah disiplin tiap wartawandalam melalukan verifikasi bersifat personal? Kovach dan Ronsenstiel menerangkan

.memang tak setiap wartawan punya pemahaman yang sama. Tidak setiap wartawan tahu

standar minimal verifikasi. Susahnya, karena tak dikom-unikasikan dengan baik, hal ini sering

menimbulkan ketidaktahuan pada banyak orang karena disiplin dalarn jurnalisme ini sering

terkait dengan apayang biasa disebut sebagai objektifitas-

Orang sering bertanya apa objektifitas dalam jurnalisme itu? Apaliah wartawan bisa objektif?

Bagaimana dengan wartawan yang punya tatar belakang pendidikan, sosial, ekonomi,

kewarganegaraan, etnik, agama dan pengalaman pribadi yang nilai-nilainya berbeda dengan

nilai dari peristiwa yang diliputnya?

fovactr dan Rosenstiel menjelaskan, pada abad XD( tak mengenal konsep objektifitas itu.Wartawan 7:rnar. itu lebih sering memakai apa yang disebut sebagai realisme. Merekapercaya bila seorang reporter menggali fakta-fakta dan menyajikannya begitu saja maka

kebenaran bakal muncul dengan sendirinya-

Ide tentang realisme ini muncul bersamaan dengan terciptanya stmktur karangan yang disebut

sebagai piramida terbalik di mana fakta yang paling penting diletaklian pada awal laporan,

demikian seterusnya, hinggayangpaling lorang penting. Mereka berpendapat struktur itumembuat pembaca memahami berita secara alamiah.

Namun pada awal abad XX beberapa wartawan khawatir dengan naifnya realisme ini. Pada

I 9 I 9 Walter Lippmann dan Charles Merz, dua wartawan terk€muka New Yorlg menuli ssebuah analisis tentang bagaimana latar belakang kultural The New York Times menimbulkandistoni pada tiputannya tentang revolusi Rusia The Nw YorkTimes lebih melaporkan

tentang apa yang diharapkan pembaca ketimbang mclaporkan apa yatg terjadi.

Lippmann menekankan, jumalisme tak cukup hanya dilaporkan oleh "saksi mata yang takterlatih." Niat baik atau usaha yang jujurjuga tak culatp. Lippmann mengatakan inovasi barupada zaman itu, misalnya byline atau kolumnis, juga tidak cukup.

Byline diciptakan agar nama setiap reporter diketahui publik yang balial mendorong sireporter bekerja lebih baik karena nirmanya terpampang jelas. Kolumnis adalah warLawanatau penulis senior yang tugasnya menerangkan suatu peristiwa dengan konteks yang lebihluas yang mungkin tak bisa dilaporkan reporter yang sibuk bekerja di lapangan.

Solusinya" menurut Lippmann, wartawan harus menguasai semangat ilmu pengetahuan,

"T1rere is but one kind of unity possible in a world as diverse as ours. It is unity of method,

rather than aim; the unity of disciplined experiemenf (Ada satu hal yang bisa disatukan dalam

kehidupan yang berbeda-beda ini. Hal itu adalah keseragaman dalam mengembangkan

Page 5: Sembilan elemen jurnalisme

metode, ketimbang sebagai tujuan; seragamnya metode yang ditarik dari pengalaman diIapangan)."

Baginya, metode jurnalisme bisa objelcif. Tapi objektifitas ini bukanlah tujdan. Objehifitasadalah disiplin dalam melaktrkan verifikasi.

Sayang, dengan berjalannya waktq pemahaman orisinal terhadap objektifitas ini diartikankeliru. Banyak penulis seperti Leo Rosten, yang mengarang sebuah buku sosiologi tentangwartawan, memakai istilah objektifitas buat merujuk pada pemahaman bahwa wartawan ituseyogyanya objektif.

Saya kira di Indonesiajuga banyak dosen-dosen komunikasi yang berpikir ala Rostcn. Inimembingungkan. Para wartawan pun, pada giliranny4 ikut meragukan pengertian objek:tifdan menganggapnya sebagai ilusi.

Bagairnana metode yang objektif itu bisa dilakukan? Kovach dan Rosenstiel menerangkanbetapa kcbanyakan wartawan hanya menddfinisikan hanya scbagai dengan liputan yangbcrimbang (balance), tidak berat scbclah (fairncss) scrta akurat.

Tapi berimbang maupun fairness adalah metode. Bukan tujuan. Kescimbangan bisamenimbulkan distorsi bila dianggap sebagai tujuan. Kebenaran bisa kabur di tengah liputanyang berimbang. Fairness juga bisa disalahmengerti bila ia dianggap sebagai tujuan. Fairterhadap sumber atau fair terhadap pembaca?

Kovach dan Rosenstiel menawartan lima konsep dalam verifikasi:

- Jangan menambah atau mengarang apa pun;- Jangan menipu atau menyesatkan pembac4 pemirsa" maupun pendengar;- Benikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda daiammelakukan reportase;- Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri;- Bersikaplah rendah hati.

Kovach dan Rosenstiel tak berhenti hanya pada tataran konsep. Merekajuga menawarkanmetode yang kongkrit dalam melakukan verifikasi itu. Pertamq penyuntingan secara skeptis.Penyuntingan harus dilakukan baris demi baris, kalimat demi kalimat, dengan sikap skeptis.Banyak pertanyaan, banyak gugatan.

Kedu4 memeriksa akurasi. David Yarnold dari.San Jose Merctry.rVews mengembangkansatu daftar pertanyaan yang disebutny a " acctracy checklis t."

- Apakah lead bcrita sudah didukung dcngan datadata pcnunjang yang cukup?- Apakah sudatr ada orang lain yang dimintamengecek ulang menghubungi atau meneleponsemua nomor telepon, semua alamat, atau situs web yang ada dalam laporan tersebut?Bagaimana dengan penulisan nama dan jabatan?- Apakah materi background guna memahami laporan ini sudah lengkap?- Apakah semua pihak yang ada dalam laporan sudah diungkapkan dan apakah semua pihaksudah diberi hak untuk bicara?- Apakah laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin halus terhadapsalah satu pihak? Siapa orang yang kira-kira tak suka dengan laporan ini tebih dari batas yangwajar?- Apa ada yang kurang?- Apakah semua kutipan akurat dan diberi keterangan dari sumber yang memangmengatakannya? Apakah kutipan-kutipan itu mencerminkan pendapat dari yangbersangkutan?

Page 6: Sembilan elemen jurnalisme

Ketig4 jangan berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resnri begitu saja. Wartawanharus mendekat pada sumber-sumber primer sedekat mungkin. David protess dariNorthwestern University memiliki satu metode. Dia memakai tiga lingkaran yang konsentris.Lingkaran paling luar berisi datadata sekunder terutama klipinfmeaL tain. Linit ur* yunglebih kecil adalah dokumendokumen misalnya laporan pengadilan, laporan pou;, la;o;;'keuangan dan sebagainya. Lingkaran terdalam adalair saksi mata.

Metode keempat, pengecekan fakta ala Tom French yang disebut Tom French's ColoredPencil. Metode inisederhana, French, seoftrng spesialis narasi panjang nonfiki darisuratkabar St. Petersburg Times, Floridq memakai pensil benva.nu untutt mengecek fakla-fakta dalarn karangannya, baris per baris, kalimat per kalimat.

MUSM dingin tahun lalu ketika salju membasahi Cambridge, saya sempat berbincang-bincang dengan Bill Kovach tentang hubungan wartawan dan sumbernya. Saya katakan,peTah ketika mengerjakan suatu liputan, secara tak sengaj4 keluarga iaya birhubungancukup dekat dengan keluarga orang yang diwawancarai.

Kami diskusikan masalah itu. Singkat kat4 Kovach mengatakan, bahwa seorang wartawan"tidak mencari teman, tidak mencari musuh." Terkadang memang sulit menerima tawaranjasa baik, misalnya diantar pulang. ketika kesulitan cari talsi, tapiluga tak perlu datang keacara-acElra sosial di mana independensi wartawan bisa salah dimingerti orang karena adasaja pertemanan yang terbentuk lewat acara-acara itu.

"Seorang wartawan adalah mahluk asosial. Don't get ne u)roflg," kata Kovach. Asosial bukanantisosial.

Ini scdikit mcrtjclaskan clcmcu kccmpat: indcpcndcnsi. Kovach dan ltoscnsticl bcrpcndapat,]v,artawan boleh mengemukakan pendapatnya dalam kolom opini (tidal< dalam beriia).Mereka tetap dibilang wartawan walau menunjukkan sikapnya dengan jelas- Kalau blgituwartawan boleh tak netral?

Menjadi netral bukanlah prinsip dasarjurnalisme. Impartialitas juga bukan yang dimakuddengan objektifitas. Prinsipnya, wartawan hams benikap indeplnden terhadap-orang-orangyang mereka liput.

Jadi, semangat dan pikiran untuk benikap independen ini lebih penting ketimbang netralitas.Namun wartawan yang beropinijuga tetap harus menjaga akuraii darilata-datania. tttcretiaharus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepeniingan masyaralat, dan mlmenuhiberbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang wartawan.

"Wartawan yang menulis -kolom

memang punya sudut pandangnya scndiri .... Tapi mereka!9tag larus menghargai fakta di atas segalany4" kata Anthony Liwis, kolumnis The Nev,York Times.

Menulis kolom ibaratnya, menurut Maggie Galagher dari (Jniversal press Syndicate,..bicaradengan seseorang yang tak setuju dengan saya."

Tapi wartawan yang menulis opini tetap tak diharapkan menulis tentang sesuatu dan ikut jadipemain. Ini membuat si wartawan lebih sulit untuk-melihat dengan perspektif yang berbeda.Lebih sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari pihak lain. Le6itr sutitiagi menyiUnfanrysyalkat bahwa si wartawan meletakkan kepentingan mereka lebih dulJ ketimbangkepentingan kelompok di mana si wartawan ikut bemrain.

Page 7: Sembilan elemen jurnalisme

fI

Kesetiaan pada kebenaran inilah yang membedakan wartawan dengan juru penerangan ataupropaganda- Kebebasan berpendapatida padasetrup o,u[. ri;;;*g boreh bicara apa sajawalau isinya propaganda atau menyebarkan kebenci"". r"-piiuiu]irr. dan komunikasibukan hal yang sama.

lndependensi ini juga yang harus drjunjung tinggi di atas identitas lain seorang rvartawan.Ada wartawan yang beragama rrisien, lsti*, tlinau, guaohi berkulit puutr, keturunan Asi4keturunan Afrika' Hispanik, cacat, laki-raki,-perempuan, dan sebagainya. Mereka, bukanpertama-tama, orang Kristen dan kedua baru'wartawan.

Latar belakang etnik, ?gTl4 ideologi, arau keras, ini seyogyanya dijadikan bahan informasibuat liputan mereka. Tipi bukan ai:i'aiun Jusan untuk-minaiLt. ,i *..ruru-. Kovach danRosenstiel juga percay4 rrylg.rgaarcirane multikutturat b"k;i ;;;.;;;;i;fr;;;-.yang lebih bermutu secara intEtet<rua tltirn'Uang yang seragam.

Bersama-sama wartawan dari berbagai ratar ini menciptakan liputan yang lebih kaya. Tapisebalikny.4 keberagaman i"j S uti aipertatutan sebagai tujuan. Dia adalah metode buatmenghasilkan liputan yang baik.

ElEMENjumalismc yang kelima adalah memantau kelq.rasaan dan menyambung lidahmereka yang tertindas. Memantafu kekuasaan bukan berarti .n.tutui mereka yang hidupnyanyaman. Mungkin karau dipakai istilah Indonesianyu".:id;;; gara_garajuga.,,Memantau kekuasaan dilakukan daram kerangka ikui;n""g;;; demokrasi.

salah satu cara pemantauan ini adalah melakukan investigative reporting --sebuah jenisreportase di mana si wartawan berhasil menunjukka" ,i"p;t";;l'uut, ,rupu yang merakukanpelanggaran hukum, yang seharusnyajadi terdakwa, dd;:;; kejahatan pubrik yangsebelumnya dirahasiakan.

sayangnya di Amerika serikat, saya kirajuga di Indonesi4 iabel invesrigasi sering dijadikanbarang dagangan' Kovach dan Roienstiel"rienceritakan bagaimana radio-radio di sanamenyiarkan rumor dan dengan seenaknya mengatakan rn"r-.ku melakukan investigasi.Susahnya, para pendengar,lemirsa" auo p.ruu"ujuga tak tahu apa investigasi itu.

Salah satu konsekucnsidari invcstigasi adatah kecenderungan media bcrsangkutanmengambil sikap terhadap isu di mina mercka mctatuun?i""rrig-".i. Ada yang memakaiistilah advocacv rcporting urot rn.nttanii-ir,ir*, in".rti!;;iu; ;pTrting karcna adanyakcccnderungan ini' paoahal traslt inve"iti!*i uiro salah. Dan damparli yang timbul bcsar sckalj.Bukan saja orang-orang yang didakwa aiuuat menderira tapijuga reputasi mediabersangkutan bisa tercernar rcaur. rtrunjt irit*"nu risiko ini, banyak media besar serbatanggung dalam melakukan investigasi.ivfereka r.uilt rJ"*..rfrJroug-gkan labelnya sajatapi tak benar-benar masuk ke dalair inu".iig*i.

Bob woodward dari rhe^rIta.slinsl9n post,sarah.satu warrawan yang investigasinrra ir-utmendorong mundumya presiden-Ricn*Jwi*on karena skandal w"i"rg"r" pada l9z'_an,mengatakan sarah satu syarat investigasi adatah ,.pikiran yang terbuka.,,

Elemen keenam adalah jumalismesebagai forum publik. Kovach dan Rosenstielmenerangkan zamandahuru banyak turitkub* yang menjadikan ruang tamu merc&a c.hor;forum publik di mana orang-orang bisa datang, menyampaikan pendapamya" kirilL d,*sebagainya Di sanajuga disediak-an .r*tolJrt" minuman.

w

Page 8: Sembilan elemen jurnalisme

.f.Tr.'.Jlt i

Logikanya, manusia itu punya rasa ingin tahu yang alamiah. Bila media melaporkan,katakanlah dari jadwal-jadwal acara hingga kejahatan publik hingga timbulnya suatu trendsosial, jurnalisme ini menggelitik rasa ingin tahu orang banyak. fitita mer"Lu bereaksiterhadap laporanJaporan itu maka masyarakat pun dipenuhi dengan komentar -mungkinlewat program telepon di radio, lewat talk show televisi, opini pribadi, surat pembaci *-gtamu suratkabar dan sebagainya. Pada gilirannya, komentar-komentar ini didengar oleh parapolitisi dan birokrat yang menjalankan roda pemerintahan. Memang tugas merekalah untukmenangkap tspirasi masyarnkat. Dcngan dcnrikian, fungsijurnalisrnc scbagai forunr publiksangatlah pcnting karena, seperti pada zaman Yunani kuno, lcwat forum inilah demoicrasiditegakkan.

Sekarang tcknologi modcnt membuat forum ini lebih bertenaga. Sekarang ada siaranlangsung televisi maupun chat room di internet. Tapi kecepatan yang menyertai teknologibaru ini juga meningkatkan kemampuan terjadinya distorsi maupuninformasi yangmenyesatkan yang potensial merusak reputasi jurnalisme.

Kovach dan Rosenstiel berpendapat j urnalisme yang.mgngakomodas i deb at publik harusdibedakan dengan'Jurnalisme semu," yang mengadakan debat secam artifisial dengan tujuanmenghibur atau melakukan provokasi.

Munculnyajurnalisme semu itu terjadi karena debatnya tak dibuat berdasarkan fahta-faktasecara memadai. *Talk is clteap," kata Kovach dan Rosenstiel. Biaya produksi sebuah talkshow kecil sekali dibandingkan biaya untuk membangun infrastruktur reportase. Sebuahmedia yang hendak membanguninfrastruktur reportase bukan saja harus menggaji puluhan,bahkan ratusan wartawan, tapi juga membiayai operasi mereka. Belum tagi Uila meiiabersangkutan hendak membuka biro-biro baik di dalam negeri maupun di luar negeri.Ngomong itu murah. lvfsndepatkan komentar-komentar lervat telepon dan disiarkan secaralangsung sangat jauh lebih murah ketimbang melakukan reportase.

Jurnalisme semu juga muncul karena gaya lebih dipentingkan ketimbang esensi. Jumalismesemu pada gilirannya membahayakan demokasi karena ia bukannya memperlebar nuansasuatu perdebatan tapi lebih memfokuskan dirinya pada isu-isu yang sempit, yangterpolarisasi. Buntutnyq upaya mencari kompromi, sesuatu yang esensiil dalam demokrasi,juga tak terbantu oleh jurnalisme macam ini. Jurnalisme semu tak memberikan pencerahantapi malah mengajak orang berkelahi lebih sengit.

SELAMA dua semester mengikuti progam Nieman Fellowship, Bill Kovach mengusulkanagar kami ikut suatu kelas tentang penulisan narasi (nonfiksi). Dia menekankan p"ilunyuwartawan belajar menulis narasi karena kekuatan jurnalisme cetak sangat ditentukan oiehkemampuan ini. Saya mengikuti nasehat Kovach dan belajar tentang suatu genre yang disebutnarrative report atau jurnalisme kesastraan.

Anjuran itu sesuai dengan elemen ketujuh bahwa jumalisme harus memikat sekaligus relevan.YYgt in meminjam motto majalah Tempo jurnalisme itu harus "enak dibaca dan ierlu.',Selama mengikuti kelas narasi itu, saya belajar banyak tentang komposisi, tentang etik4tentang naik-turunnya emosi pembaca dan sebagainya.

Memikat sekaligus relevan. Ironisnya, dua faltor ini justru sering dianggap dua hal yangbertolakbelakang. Laporan yang memikat dianggap laporan yang lu.u,-rrnsasional,

- -menghibur, dan penuh tokoh selebritas. Tapi laporanyang rul"uin dianggap kering, angka-angk4 dan membosankan.

Padaltal bukti-bukti cukup banyak, bahwa masyarakat mau keduanya. Orang membaca beritaolah raga tapi juga berita ekonomi. Orang baca resensi buku tapi juga mcngisi teka-te ki

Page 9: Sembilan elemen jurnalisme

r

1Fn.:iL;lilr/

silang- Majalah The New Yorker terkenal bukan saja karena kartun-kartunnya yang lucu, tapijuga laporan-laporannya yang panjang dan serius.:

Kovactt dan Itoscnsticl mcngatakan wartawan nlacam itu pada dasar.nya rralas, bodol, bias,dan tak tahu bagaimana harus rncnyajikan jurnalismc yang bcrmutu.

Mcnulis narasi yang dalanr, sckaligus rncmikat, butulr waktu lanra. Banyak coptolr bagairnanalaporan panjang dikcrjakan selama bcrbulan-bulan tcrkadang malah bcrtahun-tahun. padahalwaktu adalah sebuah kemewahan dalam bisnis media.

Di sisi lain, daya tarik-hiburan mcmang luar biasa. Pada 1977 kulit nruka majalah l/ew sv,eekd1l Time 3l persen diisi gambar tokoh politik atau pemimpin intemasional serta l5 persendiilustrasikan oleh bintang hiburan. Pada 1997, h:ulii mukakedua majalah intemasional inimengalami penurunan 60 persen dalam hal tokoh politik. Sedangkan 40 persen diisi olehbintang hiburan.

Duet Kovach-Rosenstiel sebelumnya menerbitkan buloa Warp Speed: American in the Age ofMixed Media di mana mereka melakukan analisis yang taja; terhadap liputan media Arierikaatas skandal Presiden Bill Clinton dan Monica fewinslcy. rcebanyakan media sukamenekankan pada sisi sensasi dari skandal itu ketimbang ir" yun! lebih relevan.

Elemen kedelapan adalah kewajiban wartawan menjadikan beritanya proporsional dankomprehensif. Kovach

_dan Rosenstiel mengatakan banyak suratkafar yang menyajikan berita

yang tak proporsional. Judul-judirlnya sensional. penekanannya pada usp.f y*g emosional.Mungkin kalau di Jakarta contoh terbaik iauair harian Rakyai Merdeka. Suratkibar macamini seringkali tidak proponional dalam pemberitaannya-

Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh yang menarik. Suratkabar sensasionai diibaratkanseseorang yang ingin menarik perhatian pembaca dengan pergi ke tempat umum lalu melepasp4oi*, telanjang. or1ng pasti suka dan melihatnya. Fertanylnnya aialah bagaimana orangtelanjang itu menjaga kesetiaan pemirsanya?

Ini.berbeda dengan pemain-gitar. Dia dalang ke tempat urnum, memainkan gitar, dan adasedikit onmg yang mentperhatikan. Tapi seiring dengan kualitas permainan-gitarnya, makinhari makin banyak orang yang datang untuk mindengarkan. Pernain gitar ini adalah contohsuratkabar yang proporsional.

Proporsional serta komprehensif dalam jumalisme memang tak seilmiah pembuatan peta.Berita mana yang diangkat, mana yang penting, mana yang dijadikan berita utama,penilaiannya bisa berbeda antara si wartawan dan si pembica-p"mitit

"n u"ritu;uj" sangatsubjektif. Kovach dan Rosenstiel bilangjustru karena subjehif inilah wartarvan harus

senantiasa ingat agar proporsional dalam menyajikan berita

warga bisa tahu kalau si wartawan mencoba proporsional atau tidak. sebaliknya rvarga jugatahu kalau si wartawan cuma mau bertelanjang bular

SETIAP wartawan harus mendengarkan hati nuraninya sendiri. Dari ruang redaksi hinggaruang direksi, semua wartawan seyogyanya punya pertimbangan pribadi t*tung etika jantanggungjawab sosial. Ini elemen yang kesembilan.

"Setiap individu reporter harus mcnetapkan kode etiknya sendiri, standarnya scndiri danberdasarkan model itulah dia memban[un karimya," t utu *urtu** t"levisi Bill Kurtis dariA&ENetwork.

Page 10: Sembilan elemen jurnalisme

F,. :

-ll

)

It{cnta!ilkan prinsip itu tak muiah karena diperlukan suasana kerja yang nyaman, yang

Fbt, di mana setiap orang dirangsang untuk bersuara. "Bos, sayi kira fejutusan end"akeliru!" atau'?alg ini kok kesannya rasialis" adalatr dua conioh ialimat yang seyogyanyabisa muncul di ruang redaksi.

Menciptakan suasana ini tak mudah karena berdasarkan kebutuhanny4 ruang redaksibukanlah tempat di mana demokrasi dijalankan. Ruang redaksi bahkan punyu kecenderunganmenciptakan kediktatoran. Seseorang di puncak organisasi media memang harus bisamengambil keputusan -menerbitkan atau tidak menerbitlan sebuah laporl, membiarkan ataumencabut sebuah kutipan yang panas-agar media bersangkutan bisa menepati deadline.

Membolehkan tiap individu wartawan menyuarakan hati nurani pada dasamya membuaturusan manajemen jadi lebih komplela. Tapi tugas setiap redaktur untuk memahamipersoalan ini. Mereka memang mengambil keputusan final tapi mereka harus senantiasamcmbuka diri agar tiap orang yang hcndak nrcmbcri kritik atau komcntar bisa datanglangsung pada rncrcka,

Bob woodward dari The washington Postmengatakan, "Jurnalismc yang paling baikseringkali muncul ketika ia menenturg manajemennya"

Pada hari pertama Nieman Fellowship, Bill Kovach mengatakan pada}4 peserta program itubahwa pintunya selalu terbuka. Terkadang dia sering hanrs mengejar deadline dan mfngetik,i'Raut wajatr saya bisa galak sekali bila seseorang muncul di pintu saya. Tapi jangan dig-ubris.Masuk dan bicaralah.'

Jakarta, 2001

IO