tkel1-jurnalisme damai

12
JURNALISME DAMAI JURNALISME KONTEMPORER/A/2014 2014 Disusun oleh: TIARA SUTARI 210110110  43 ZAHIDAH ZULFA ZAHIRA 210110110 129  FAUZIYAH ALHAFIZHAH KAMIL 210110110 179  PERANTAMI PUTRI PUJIASTUTI 210110110 192  PROGRAM STUDI ILMU JURNALISTIK FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS PADJADJARAN

Upload: pepupepipo

Post on 09-Oct-2015

74 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

damai

TRANSCRIPT

  • JURNALISME DAMAI JURNALISME KONTEMPORER/A/2014

    2014

    Disusun oleh:

    TIARA SUTARI 210110110043

    ZAHIDAH ZULFA ZAHIRA 210110110129

    FAUZIYAH ALHAFIZHAH KAMIL 210110110179

    PERANTAMI PUTRI PUJIASTUTI 210110110192

    PROGRAM STUDI ILMU JURNALISTIK FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI

    UNIVERSITAS PADJADJARAN

  • 1

    Jurnalisme damai pada dasarnya adalah upaya meluruskan kembali apa yang menyimpang dari

    jurnalisme dalam praktik. Prinsipnya, jurnalisme itu tujuannya untuk kepentingan publik, untuk

    kebaikan masyarakat luas. Jadi, ketika suatu pemberitaan kemudian tidak memberi kebaikan untuk

    masyarakatmisalnya, karena cara pemberitaannya yang kurang mempertimbangkan bagaimana

    menyelesaikan konflik, atau malah cara pemberitaan itu berpotensi menbuat konflik jadi semakin

    berkepanjanganmaka di situ muncul jurnalisme damai (peace journalism) yang merupakan upaya

    mengembalikan jurnalisme ke ruh atau tujuan dasarnya, yaitu kepentingan publik. Perdamaian dan

    berakhirnya konflik adalah kepentingan publik.

    Jurnalisme damai tidak memihak pada salah satu pihak yang bertikai, tetapi lebih menyorot aspek-

    aspek apa yang mendorong bagi penyelesaian konflik. Dari tujuan tersebut, maka yang diangkat

    adalah hal-hal yang sifatnya mendukung ke arah perdamaian. Dalam suatu konflik, selalu ada

    pihak-pihak tertentu yang mengharap ke arah damai.

    Ambil contoh, pemberitaan kasus konflik di Ambon beberapa tahun lalu, antara warga Muslim dan

    warga Kristen. Jika pemberitaan media hanya memihak satu kelompok seraya memojokkan

    kelompok lain, ini tidak membantu ke arah penyelesaian konflik. Maka, alangkah baiknya jika

    media mengangkat inisiatif damai yang muncul, baik dari pihak Kristen maupun Muslim, jadi bukan

    secara ceroboh mengangkat suara-suara yang mendukung berlanjutnya perang dari kedua pihak.

    Pengertian Jurnalisme Damai

    Jurnalisme damai adalah jenis jurnalisme yang memposisikan berita-berita sedemikian rupa, yang

    mendorong dilakukannya analisis konflik dan tanggapan tanpa-kekerasan (non-violent).

    Menurut teoretisi dan pendukung utamanya, Jake Lynch dan Annabel McGoldrick, jurnalisme

    damai terwujud ketika para redaktur dan reporter menetapkan pilihan-pilihan bersifat damai

    tentang berita apa yang akan dilaporkan, dan bagaimana cara melaporkannya. Bersifat damai di

    sini adalah bentuk pemberitaan, yang menciptakan peluang bagi sebagian besar masyarakat untuk

    mempertimbangkan dan menghargai tanggapan tanpa kekerasan terhadap konflik bersangkutan.

    Jurnalisme damai memberi perhatian pada sebab-sebab struktural dan kultural dari kekerasan,

    karena hal itu membebani kehidupan orang di daerah konflik, sebagai bagian dari penjelasan

    terjadinya kekerasan. Jurnalisme damai bertujuan menempatkan konflik sebagai sesuatu yang

    melibatkan banyak pihak, dan mengejar banyak tujuan, ketimbang sekadar dikotomi sederhana

    antara dua pihak yang berperang.

    Tujuan eksplisit jurnalisme damai adalah untuk mempromosikan prakarsa perdamaian dari kubu

    manapun, dan untuk memungkinkan pembaca membedakan antara posisi-posisi yang dinyatakan

    oleh para pihak tersebut dan tujuan-tujuan mereka yang sebenarnya.Jurnalisme damai merupakan

    tanggapan terhadap jurnalisme kekerasan dan liputan perang yang biasa. Pendekatan tradisional

    ini umumnya menekankan pada konflik yang sedang berlangsung, seraya mengabaikan sebab-

    sebab atau hasil-hasilnya.

    Pendekatan serupa juga bisa ditemukan pada Jurnalisme Preventif, yang memperluas prinsip-

    prinsip semacam itu pada problem-problem ekonomi, lingkungan, dan kelembagaan (institusional).

  • 2

    Tujuan Jurnalisme Damai

    Tujuan utamanya adalah memetakan konflik, mengindentifikasi pihak-pihak yang terlibat, dan

    menganalisis tujuan-tujuan mereka. Pendekatan JD adalah memberikan jalan baru bagi pihak-

    pihak yang bertikai untuk menyelesaikan konflik secara kreatif dan tidak memakai jalan kekerasan.

    Prinsip ini disederhanakan dengan rumus:

    Perdamaian = nonkekerasan+kreativitas

    (Purnawan Kristanto, Jurnalisme yang Membawa Perdamaian, tt)

    Sejarah Jurnalisme Damai di Dunia

    Kekerasan yang dilakukan media dapat juga menempa atau membentuk perang (forging war),

    seperti yang terjadi di Rwanda, Bosnia dan Kosovo, di mana peran media sangat dominan untuk

    memprovokasi pihak-pihak yang bertikai.

    Pada prinsipnya, media berpotensi untuk menjadi solusi atau sebaliknya dari sebuah konflik atau

    kekerasan. Seringkali, saat berhadapan dengan fakta sosial berupa konflik, media dan para

    pengelolanya, yaitu wartawan, redaktur dan pemodal lebih suka menggunakan pendekatan

    Jurnalisme Kekerasan (Violence Journalism) agar lebih laku dijual untuk kepentingan industri

    medianya. Dan memang pada kenyataannya pengguna menjadi tertarik membeli yang akhirnya

    tergiring larut dalam suasana dan bahasa yang dibentuk oleh media sebagai opininya.

    Kita bisa lihat saat ini, media dengan tampilan kekerasan, konflik seksualitas, gosip/isu dan

    sejenisnya, menjadi pilihan yang cukup diminati khalayak. Padahal kalau mau dicermati, gambaran

    yang ada di benak khalayak yang dibentuk oleh informasi inilah yang nantinya menjadi dasar

    proses penentuan sikap, perilaku atau respons masyarakat terhadap berbagai hal, termasuk konflik

    dan kekerasan.

    Bisa dibayangkan bahwa kebebasan pers yang diberikan dalam era reformasi ini akan membuat

    ruang publik yang mengantar khalayak sangat akrab dengan budaya kekerasan, konflik, seksualitas,

    gosip/isu dan sejenisnya. Boleh jadi bila kondisi ini terus menerus dipertahankan, maka tidak

    mustahil media ini menjadi jurnalisme yang sakit (anomaly) demikian juga dengan khalayak ini,

    bisa menjadikan masyarakat yang sakit, pemarah, pendendam, senang bertikai, senang gosip/isu

    dan tidak cinta damai.

    Masih teringat jelas ketika Amerika bersama sekutunya menyerang Irak yang dipimpin Saddam

    Husein dalam Operasi Badai Gurun pada Perang Teluk tahun 1997. Salah satu jaringan televisi

    dunia CNN, melakukan peliputan eksklusif siaran langsung detik demi detik peristiwa yang

    meluluh lantahkan bangunan-bangunan di Irak serta mencabut ribuan nyawa mulai dari anak-anak

    hingga lanjut usia. Semua itu disiarkan secara terbuka dan tervisualisasi dengan vulgar sebagai

    sebuah sajian hiburan. Hingga pada akhirnya di Amerika sendiri, terjadi protes keras dari

    kalangan akademisi, jurnalis, politisi dan masyarakat. Intinya menolak berbagai liputan perang

    tersebut yang tidak lagi mengindahkan nilai-nilai luhur jurnalisme dari sudut kemanusiaan.

  • 3

    Dengan dipelopori oleh Prof. Johan Galtung dan para penggiat dan pakar perdamaian lainnya,

    mereka menggagas kembali Jurnalisme Damai (Peace Journalism) pada suatu pertemuan di Taplow

    Court, Buckinghamshire, Inggris, pada tahun 1997, yang dihadiri oleh para wartawan, ilmuwan dan

    mahasiswa dari Eropa, Asia, Afrika, Timur Tengah dan Amerika. Momentum ini dimanfaatkan betul

    untuk merevitalisasi peran jurnalisme dalam sebuah konflik yang terjadi.

    Rangkaian peristiwa inilah yang menggagas kembali jurnalisme damai (peace journalism) sebagai

    antitesis terhadap jurnalisme perang/kekerasan (war/violence journalism) yang telah berkobar

    terlebih dahulu. Boleh jadi, bahwa jurnalisme damai menjadi populer ketika audience mulai jenuh

    dan tidak suka dengan pemberitaan yang berbau konflik, kekerasan dan kurang manusiawi.

    Jurnalisme damai pada prinsipnya melaporkan suatu kejadian dengan bingkai (frame) yang lebih

    luas, lebih berimbang dan lebih akurat, yang didasarkan pada informasi tentang konflik dan

    perubahan-perubahan yang terjadi. Pendekatan jurnalisme damai memberikan sebuah tawaran

    baru yang menghubungkan para jurnalis dengan sumber-sumber berita dan informasi, liputan yang

    dikerjakan, dan berbagai konsekuensi dari liputan dimaksud. Pergeseran nilai, kesadaran dan

    pengetahuan dari audience, menjadikan perkembangan konsekuensi menjadi lebih luas, tidak

    hanya pada konsekuensi etis jurnalis saja, melainkan dampak hukum dan dampak hak asasi

    manusia.

    Jurnalisme damai diharapkan menjadi salah satu referensi bagaimana seorang jurnalis dituntut

    untuk mampu mentransformasikan fakta dan realitas konflik sebagai realitas media, untuk menjadi

    bank data wacana yang diharapkan tidak menciptakan potensi menggagas konflik dan perpecahan

    dalam jangka pendek maupun panjang. Jurnalisme damai dilaksanakan dengan standar jurnalisme

    modern, yaitu memegang asas imparsialitas dan faktualitas dengan prinsip-prinsip menghindarkan

    kekerasan.

    Sejarah Jurnalisme Damai di Indonesia

    Sebenarnya Indonesia telah mengalami banyak insiden kekerasan yang berbau SARA sejak 1998,

    mulai dari kekerasan rasial pada 13-14 Mei 1998 di Jakarta terhadap etnis Tionghoa, pembersihan

    etnis Madura di Sambas, Kalimantan Barat pada 1999, konflik di Maluku 2000-2001, darurat sipil

    di Aceh, dan konflik Muslim-Kristen yang kronis di Poso sejak Desember 1998. Namun Jurnalisme

    damai di Indonesia mulai menjadi wacana saat terjadi kerusuhan di Maluku pada tahun 1999.

    Saat itu media yang menjadi andalan setiap orang dalam memperoleh informasi juga terseret

    dalam perpecahan. Adanya pemisahan kerja wartawan muslim dan wartawan kristen saat itu

    menjadi suatu pemicu semakin terpecahnya golongan masyarakat di Maluku. Akibatnya, konflik

    pun semakin memanas. Ternyata media yang ada tidak menyajikan berita secara berimbang.

    Karena keberpihakan media itulah, pertikaian terus berlangsung. Wartawan muslim dalam Ambon

    Ekspres dan wartawan kristen dalam Suara Maluku masing-masing saling menyudutkan lawan.

    Mereka pun mengeksploitasi sebuah peristiwa secara berpihak dan vulgar.

  • 4

    Seringkali dalam meliput berita pun mereka hanya mengandalkan beberapa narasumber yang

    bahkan kadang-kadang diragukan kredibilitasnya. Mulai dari situlah jurnalisme damai mulai

    dirasakan penting untuk digunakan dalam kegiatan jurnalistik khususnya dalam pemberitaan

    konflik. Tujuannya agar media yang sifatnya umum tidak dijadikan alat propaganda dan

    pemberitaan yang disajikan pun bersifat lebih manusiawi.

    Jurnalisme damai di Indonesia juga untuk menghindari apa yang disebut dengan talking

    journalism atau jurnalisme omongan. Dimana kaidah pers big name big news, no name no news

    masih berlaku. Pada masa Orde Baru, orang-orang penting seperti pejabat tinggi negara dan militer

    menjadi narasumber yang omongannya dipercaya dan menjadi sebuah fakta kebenaran. Dimana

    setiap pejabat dengan pangkat dan nama besarnya dianggap mewakili klaim atas seluruh kejadian

    dan kebenaran. Setiap terjadi suatu peristiwa, mereka selalu dijadikan narasumber. Sehingga jelas

    bahwa berita tidak bersifat komprehensif dan berat sebelah.

    Jurnalisme damai dapat berjalan apabila ada upaya dari penguasa untuk menerapkan keadilan.

    Maka dari situ muncul apa yang dinamakan dengan jurnalisme advokasi.

    Jurnalisme Damai dan Jurnalisme Perang

    Untuk memudahkan kita dalam memahami perbedaan antara jurnalisme damai dan jurnalisme

    perang/kekerasan yang sudah ada, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

    Jurnalisme Damai Jurnalisme Perang

    Penentuan Angle

    dan Fokus

    1. Fokus pada proses terjadinya

    konflik: pihak-pihak yang

    terlibat, penyebab pertikaian,

    permasalahan yang

    menyertai, berorientasi pada

    opsi menang- menang

    2. Ruang dan waktu yang

    terbuka ; sebab-akibat dalam

    perspektif sejarah

    3. Memberikan konflik apa

    adanya

    4. Memberi ruang pada semua

    suara/versi; menampilkan

    empati dan pengertian

    5. Melihat konflik atau perang

    sebagai sebuah masalah,

    fokus pada hikmah konflik

    6. Melihat aspek humanisasi di

    semua sisi atau pihak

    7. Pro-aktif: pencegahan

    sebelum konflik/perang

    terjadi.

    1. Fokus pada arena konflik: dua

    kubu bertikai, hanya satu tujuan

    (kemenangan), situasi

    peperangan, orientasi menang-

    kalah

    2. Ruang dan waktu tertutup;

    sebab-akibat terbatas arena

    konflik, mencari siapa yang

    menyerang duluan

    3. ada fakta yang sengaja

    disembunyikan sehingga konflik

    berkepanjangan

    4. Berita memilahkan kita-

    mereka, suara propaganda, dari

    dan untuk kita

    5. Melihat mereka sebagai

    masalah, fokus pada siapa yang

    menang perang

    6. Dehumanisasi di pihak mereka,

    humanisasi di pihak kita

    7. Reaktif: menunggu terjadi

    konflik baru buat reportase

  • 5

    8. Fokus pada dampak nonfisik

    kekerasan (trauma dan

    kemenangan, kerusakan pada

    struktur dan budaya

    masyarakat)

    9. 8. Fokus hanya pada dampak

    fisik kekerasan (pembunuhan,

    luka, kerugian material)

    Orientasi Liputan Ketidakbenaran belah pihak

    membongkar cover-up

    Hanya mengungkap ketidakbenaran

    mereka dan menutupi

    ketidakbenaran kita

    Cara Pandang

    Terhadap Akhir

    Konflik

    1. fokus pada pemberitaan

    semua: perempuan, anak-

    anak, orang tua; memberi

    suara pada korban

    2. menyebut nama pelaku

    dalam kejahatan di dua belah

    pihak

    3. Fokus pada para penggiat

    perdamaian di tingkat akar

    rumput

    1. Fokus pada penderitaan kita;

    memberi suara hanya pada

    panglima perang

    2. Menyebut nama pelaku

    kejahatan di pihak mereka

    3. Fokus pada penggiat

    perdamaian di tingkat elit

    Pandangan

    terhadap akhir

    konflik

    1. perdamaian = anti kekerasan

    + hikmah

    2. Mengangkat inisiatif

    perdamaian dan mencegah

    perang lanjutan

    3. Fokus pada struktur dan

    budaya masyarakat yang

    damai

    4. Usai konflik: resolusi,

    rekonstruksi, rekonsiliasi

    1. Perdamaian: kemenangan +

    genjatan senjata

    2. Menyembunyikan inisiatif

    perdamaian, sebelum

    kemenangan diraih

    3. Fokus pada pakta dan institusi

    masyarakat yang terkendali

    4. Usai konflik, siap bertempur lagi

    jika luka lama kambuh

    Praktik jurnalisme damai di Indonesia memang sulit untuk dilaksanakan. Faktor keamanan menjadi

    salah satu alasan mengapa wartawan Indonesia sulit untuk cenderung tidak berpihak. Selain itu,

    unsur kekerasan dianggap masih menjadi sebuah daya tarik bagi pemberitaan. Padahal

    sebenarnya audience sudah mulai bosan melihat tayangan yang tidak manusiawi. Dengan melihat

    perbedaan antara jurnalisme damai dan jurnalisme perang di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

    jurnalisme damai berorientasi pada perdamaian/konflik, kebenaran, masyarakat dan korban,

    penyelesaian dan penghentian kekerasan. Sedangkan jurnalisme perang berorientasi pada

    perang/kekerasan, propaganda, elite dan pelaku kekerasan, kemenangan.

    Pemberitaan di Indonesia sendiri jurnalisme damai tidak hanya dapat melihat reportase mengenai

    masalah-masalah dalam negeri, namun juga masalah-masalah internasional. Seperti pada kasus

    bom WTC.

    Di Indonesia, jurnalisme damai ini diperkenalkan secara luas melalui berbagai training dan

    penerbitan dari LSPP (Lembaga Studi Pers dan Pembangunan). Dan memang sudah sepantasnyalah

    jurnalisme damai ini diterapkan di Indonesia karena bangsa Indonesia adalah bangsa yang

    majemuk, yang terdiri dari berbagai agama serta adat istiadat yang berbeda yang rawan timbulnya

    konflik.

  • 6

    Kelebihan Jurnalisme Damai:

    Dengan adanya jurnalisme damai, maka media massa dan jurnalis dapat menunjukkan peran

    mereka untuk mampu mengelola konflik agar tetap terkendali dan mencegah tindak kekerasan

    dengan mempertahankan iklim kondusif suasana damai serta mendorong terciptanya suatu

    kreativitas yang sangat inovatif dan dinamis dalam mengeksplorasi ide-ide baru yang tiada

    batasnya.

    Jurnalisme damai pada prinsipnya melaporkan suatu kejadian dengan bingkai (frame) yang

    lebih luas, lebih berimbang dan lebih akurat, yang didasarkan pada informasi tentang konflik

    dan perubahan-perubahan yang terjadi.

    Pendekatan jurnalisme damai memberikan sebuah tawaran baru yang menghubungkan para

    jurnalis dengan sumber-sumber berita dan informasi, liputan yang dikerjakan, dan berbagai

    konsekuensi dari liputan dimaksud. Pergeseran nilai, kesadaran dan pengetahuan dari

    audience, menjadikan perkembangan konsekuensi menjadi lebih luas, tidak hanya pada

    konsekuensi etis jurnalis saja, melainkan dampak hukum dan dampak hak asasi manusia.

    Jurnalisme damai diharapkan menjadi salah satu referensi bagaimana seorang jurnalis

    dituntut untuk mampu mentransformasikan fakta dan realitas konflik sebagai realitas media,

    untuk menjadi bank data wacana yang diharapkan tidak menciptakan potensi menggagas

    konflik dan perpecahan dalam jangka pendek maupun panjang.

    Jurnalisme damai dilaksanakan dengan standar jurnalisme modern, yaitu memegang asas

    imparsialitas dan faktualitas dengan prinsip-prinsip menghindarkan kekerasan.

    Jurnalisme damai mengungkapkan akar masalah yang terkait dengan sejarah, psikologi, sosial,

    budaya, dan lainnya. Dengan demikian media akan mampu mengungkap fakta lebih

    komprehensif dan holistik agar dapat dilakukan analisis dan pemetaan permasalahan untuk

    memunculkan berbagai alternatif solusinya.

    Melalui strategi publikasi yang tepat, maka jurnalisme damai tidak menjadi bagian dari konflik,

    akan tetapi berperan aktif menjadi bagian dari solusinya

    Jurnalisme damai dalam upaya menyampaikan fokus beritanya lebih pada efek kekerasan

    yang tidak tampak (invisible effect of violence), seperti kerusakan sosial, kerusakan budaya

    moral, hancurnya masa depan, maupun trauma pihak yang menjadi korban, bukan produk fisik

    dari konflik dan kekerasan semata, seperti potongan mayat, rumah ibadah yang hangus, wanita

    dan anak terlantar. Hal ini bertujuan untuk menarik empati audience, bahwa konflik yang

    disertai kerasan hanya mendatangkan kerugian. Disamping itu aspek keseimbangan

    pemberitaan (cover both side) tidak hanya pada sisi materinya saja, akan tetapi juga sumber

    berita. Suara korban seperti orang tua, wanita dan anak-anak harus mendapat tempat lebih

    banyak dalam pemberitaan dibanding porsi para elit yang bertikai.

    Pendekatan jurnalisme damai memberikan jalan baru bagi pihak-pihak yang bertikai untuk

    menyelesaikan konflik secara kreatif dan tidak memakai jalan kekerasan. Prinsip ini

    disederhanakan dengan rumus, perdamaian = nonkekerasan + kreativitas

    Logika jurnalisme damai menggunakan pendekatan menang-menang (win-win solutions) untuk

    menyelesaikan konflik. Jurnalisme damai percaya, kreatifitas menjadi salah kuncinya. Caranya

    dengan menyediaan alternatif penyelesaikan konflik. Hal itu diyakini mampu mengurangi

    konflik sampai menuju titik perdamaian.

  • 7

    Jurnalisme damai melihat perang atau pertikaian bersenjata sebagai sebuah masalah, sebagai

    ironi kemanusiaan yang tidak seharusnya terjadi. Dalam konteks ini, jurnalisme damai pada

    dasarnya adalah seruan kepada semua pihak agar memikirkan hikmah konflik. Yaitu dengan

    senantiasa menggarisbawahi kerusakan dan kerugian psikologis, budaya dan struktur dari

    kelompok masyarakat yang menjadi korban konflik atau perang.

    Jurnalisme damai lebih mementingkan empati kepada korban-korban konflik daripada liputan

    kontinyu tentang jalannya konflik itu sendiri. Jurnalisme damai memberikan porsi yang sama

    kepada semua versi yang muncul dalam wacana konflik.

    Jurnalisme damai juga berusaha mengungkapkan ketidakbenaran di kedua belah pihak,

    bahkan kalau perlu menyebutkan nama pelaku kejahatan (evil doers) di kedua belah pihak

    (Pantau, edisi 09, 2000:47).

    Dalam jurnalisme damai wartawan bertindak memetakan masalah, menganalisa konflik dan

    mengungkapkan akar persoalan. Wartawan tidak memvonis siapa yang kalah dan menang.

    Namun, menyelesaikan konflik secara damai, dengan menempatkan kepentingan masyarakat

    luas, di atas kepentingan kelompok dan golongaan tertentu.

    Kelemahan Jurnalisme Damai

    Meski baisanya mengaku segmentasi pembaca yang dituju untuk minim dan menggarap media

    dengan prinsip jurnalisme yang profesional, pemberitaannya sering kali membela kelompok

    tertentu.

    Tidak adanya koordinasi dan rapat redaksi bersama membuat media tidak mampu membuat

    perencanaan yang lebih baik, berperanan positif mengeliminasi atau mengurangi konflik.

    Pada prinsipnya media berpotensi untuk menjadi solusi atau sebaliknya dari sebuah konflik

    atau kekerasan. Sering kali saat berhadapan dengan fakta sosial berupa konflik, media dan

    para pengelolanya, yaitu wartawan, redaktur, dan pemodal lebih suka menggunakan

    pendekatan jurnalisme kekerasan (violence journalism) agar lebih laku dijual untuk

    kepentingan industri medianya. Dan memang pada kenyataannya pengguna menjadi tertarik

    membeli yang akhirnya tergiring larut dalam suasana dan bahasa yang dibentuk oleh media

    sebagai opininya, yang nantinya menjadi dasar proses penentuan sikap, perilaku, atau respons

    masyarakat terhadap berbagai hal, termasuk konflik dam kekerasan dan dapat menjadikan

    masyarakat yang sakit, pemarah, pendendam, senang bertikai, senang gosip/isu dan tidak cinta

    damai.

    Kualitas jurnalis dalam meliput konflik tidak langsung sehingga berpengaruh pada kualitas

    penyampaian. Peristiwa di lapangan tidak dilihat secara tajam. Ini memengaruhi efek dan

    pemberitaan.

  • 8

    Arahan untuk Peliputan

    Dari sejumlah kuliah tentang jurnalisme damai, yang pernah diberikan oleh Johan Galtung, pakar

    studi perdamaian, dapat disusun sejumlah arahan untuk peliputan media. Berikut ini adalah daftar

    singkat pertanyaan, yang perlu dijawab oleh jurnalis yang ingin menerapkan jurnalisme damai:

    1. Konflik ini sebetulnya konflik tentang apa? Siapa saja pihak yang terlibat, dan apa tujuan

    mereka sebenarnya? Hitunglah pihak-pihak di luar arena konflik, di mana kekerasan (jika

    ada) terjadi! Daftar ini seringkali cukup panjang.

    2. Apa akar yang lebih dalam dari konflik ini, dalam struktur dan budaya, termasuk sejarah dari

    keduanya?

    3. Gagasangagasan apa saja yang ada tentang hasil-hasil lain dari konflik ini, ketimbang yang

    dipaksakan oleh satu pihak terhadap yang lain? Khususnya, ide-ide baru dan kreatif?

    Dapatkah ide-ide itu diperkuat untuk mencegah kekerasan?

    4. Jika kekerasan terjadi, bagaimana dengan dampak-dampak yang tak terlihat, seperti trauma

    dan kebencian, dan hasrat untuk pembalasan serta lebih banyak kejayaan?

    5. Siapa yang berupaya untuk mencegah kekerasan, apa visi mereka tentang hasil konflik, serta

    metode-metode mereka dalam upaya tersebut? Bagaimana upaya mereka itu dapat

    didukung?

    6. Siapa yang memprakarsai rekonstruksi, rekonsiliasi dan resolusi? Dan siapa yang hanya

    meraup keuntungan (seperti kontrak-kontrak rekonstruksi)?

    Jika pendekatan seperti ini dilakukan, besar kemungkinan konflik yang terjadi di lapangan akan

    mereda dan memasuki tahap yang lebih tenang. Fokus pada kekerasan salah satu pihak saja hanya

    akan menyembunyikan konflik sebenarnya, dan menanam bibit bagi lebih banyak kekerasan.

    Fokus pada hasil-hasil tanpakekerasan, empati pada semua pihak, dan kreativitas, diharapkan akan

    mewujudkan perdamaian.

    Peran Jurnalis dalam Jurnalisme Damai

    Sempat muncul pertanyaan, sejauh mana jurnalis berperan dalam jurnalisme damai? Apakah

    jurnalis hanya berperan dalam hal pemberitaan atau ia juga bisa berperan lebih, sampai menjadi

    seorang mediator dalam konflik?

    Peran jurnalis dalam jurnalisme damai hanyalah melalui karyanya (pemberitaan). Bila ada perang

    antara dua pihak, sebagai jurnalis kita memberikan kontribusi ke arah perdamaian dengan cara

    memberitakan hal-hal yang mendukung ke arah perdamaian. Bila kita terlibat sebagai mediator,

    atau sebagai juru runding, kita bukan lagi seorang jurnalis tetapi pihak yang terlibat dalam konflik.

    Meskipun menjadi mediator itu bisa dibilang terlibat dalam arti positif, peran mediator itu

    bukanlah porsi untuk jurnalis.

    Bagaimana perspektif jurnalisme damai terhadap media, yang cukup sering menampilkan gambar-

    gambar yang vulgar atau kurang pantas dalam suatu peliputan konflik? Sebenarnya untuk jurnalis

    sudah ada pedoman-pedoman perilaku bagaimana kita melakukan peliputan. Pedoman semacam

    itu untuk jurnalis media siar sudah ada dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Dalam Kode Etik

    Jurnalistik AJI (Aliansi Jurnalis Independen), PWI (Persatuan Wartawan Indonesia), atau IJTI (Ikatan

    Jurnalis Televisi Indonesia) juga ada. Dan kemudian dari media massa yang bersangkutan, juga ada

    ketentuan-ketentuan dari pimpinan news tentang bagaimana jurnalis harus meliput.

  • 9

    Sebetulnya, bila setiap jurnalis mengikuti aturan-aturan tersebut, relatif tidak ada masalah. Cuma,

    di Indonesia, ada iklim kompetisi yang sangat ketat antar berbagai media massa. Sehingga, karena

    terlalu bersemangat dalam memenangkan kompetisi ketat tersebut, ada media tertentu yang

    melanggar rambu-rambu.

    Adapun pertimbangan-pertimbangan teknis. Karena kerjanya terburu-buru, kemudian ada gambar

    di media TV yang seharusnya di-blur, tetapi malah jadi lolos, ditayangkan tanpa di-blur. Tetapi itu

    semua kembali berpulang pada jurnalis atau produser yang menangani liputan itu. Jika mereka

    menjalankan tugas secara cermat dan hati-hati, seharusnya hal-hal menyimpang semacam itu bisa

    dihindari.

    Contoh Kasus

    Pers tetap pada perannya sebagai provokator, tapi bukan provokator meningkatkan ekskalasi

    konflik, tapi memprovokasi pihak-pihak yang bersengketa untuk menemukan jalan keluar. Seperti

    yang telah disebutkan sebelumnya, pemberitaan yang ditampilkan bukan semata-mata siapa yang

    menang atau kalah, tapi lebih pada pendekatan menang-menang (win-win solution) dan memberi

    ruang yang lebih banyak kepada kedua belah pihak untuk berdamai.

    Dalam kasus Temanggung (seperti yang dilansir dari nasional.news.viva.co.id) pada Selasa 8

    Februari 2011, Tiga gereja dirusak massa lantaran mereka dihalangi polisi menghadiri sidang yang

    mengadili Antonius Richmond Bawengan, seorang Kristen Protestan yang didakwa melakukan

    penodaan agama. Kasus yang menjerat Antonius ini, bermula sekitar setahun sebelumnya, yaitu di

    tahun 2010. Saat itu, Antonius yang memegang KTP Jakarta, datang ke Temanggung untuk

    mengunjungi rumah sanak saudaranya. Di Temanggung, dia malah terjerat hukum karena

    menyebarkan pamflet-pamflet dan buku yang isinya memprovokasi sekaligus melecehkan agama

    Katolik maupun Islam.Salah satu isinya, dia menyebarkan pamflet anti Bunda Maria. Itu kan

    pengingkaran iman Katolik seutuhnya.

    Salam meliput kasus ini, pers Indonesia menempatkan kerusuhkan itu dalam bingkai yang lebih

    luas dan akurat yang didasarkan pada informasi tentang konflik dan perubahan-perubahan yang

    terjadi. Meskipun dalam kasus SARA seperti itu, ada informasi yang sengaja disembunyikan

    untuk menghindarkan konflik yang lebih luas. Pers menempuh jalan kebijaksanaan untuk tidak

    menyebut asal usul konflik itu secara terbuka dengan misi yang bagus, konflik tidak sampai

    meluas. Dalam running news berita kerusuhan itu justru mulai ditawarkan alternatif untuk

    menyelesaikan konflik itu secara adil.

    Contoh lainnya adalah ketika sebuah surat katindakan kekera. dar di Aceh pernah memberitakan

    peristiwa penyerangan terhadap sebuah masjid. Dalam berita itu, media tersebut tidak

    mengungkapkan secara detail tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan karena dapat menyulut

    kemarahan masyarakat. Dalam hal ini, jurnalisme damai bukan menyembunyikan fakta, tetapi

    memilih fakta yang lebih bijaksana. Tujuannya agar tidak terjadi perpecahan maupun konflik baru.

  • 10

    Kesimpulan

    Dalam upaya mengeliminir pemberitaan yang cenderung lebih mengedepankan pemberitaan

    kekerasan konflik, dan kerusuhan SARA, tampaknya jurnalisme damai merupakan solusi yang perlu

    diterapkan insan-insan media dalam mencegahmeminimalisirpotensi konflik dan

    memperbesar ruang bagi potensi integrasi bangsa (nation and character building).

    Jurnalisme Damai adalah penerapan jurnalisme dalam berita yang menggunakan ukuran-ukuran

    etis, seperti memisahkan antara fakta dan opini media, menerapkan azas impartialitas atau tidak

    memihak, memberitakan dengan tidak menonjol-nonjolkan kekerasan itu sendiri melalui ukuran

    dan penempatan yang "berlebihan", serta tidak menggunakan istilah atau bahasa yang mendorong

    permusuhan. Kemudian memberikan kesempatan suara pada voiceless, bukan suara para elite

    yang bertikai. Lebih berorientasi pada korban yang tidak tampak, yang bersifat jangka panjang.

    Pemberitaannya cenderung lengkap, melakukan mapping terhadap persoalan, mencari akar

    permasalahan, dan solusi, bukan pemberitaan justru terkonsentrasi pada arena konflik.

    Kritik dan Saran

    Untuk penerapan jurnalistik damai setidaknya media massa nasional mengedepankan unsur-unsur

    sebagai berikut:

    a. Tidak mencampurkan antara fakta dan opini yang berasal dari wartawan, yang diindikasi

    dengan kata-kata: tampaknya, diperkirakan, seakan-akan, terkesan, kesannya, seolah, agaknya,

    diramalkan, kontroversi, mengejutkan, manuver, sayangnya, dan kata-kata opinionatif lainnya.

    b. Adanya keseimbangan pemberitaan (cover both side), artinya ketidakberpihakan pemberitaan.

    c. Tidak membesar-besarkan berita (konflik), ditempatkan sebagai berita utama (exagerrate).

    d. Tidak menggunakan bahasa yang bersifat puffery (kekerasan)

    e. Menggunakan konsep "giving voice to the voiceless" (memberikan kesempatan bicara pada

    mereka yang tidak bersuara).

    f. Berita yang disampaikan lebih memperhatikan akibat (implikasi) yang ditimbulkan oleh

    pertikaian.

    g. Beritanya berorientasi lebih banyak pada arena konflik, yaitu hanya meliput konfliknya saja,

    dan deskripsi di daerah pertikaian. Pemberitanya lebih diarahkan sebagai persoalan yang tidak

    sederhana, melakukan mapping, mencari atau melihat latar belakang masalah, problem-

    problem kultural dan politik yang mendasari, serta diharapkan dapat memberi alternatif solusi.

  • 11

    Daftar Pustaka

    Rahmawati, evi. Tantowi anwari. 2013. Jurnalisme Keberagaman, Sebuah Panduan Peliputan.

    Jakarta. Sejuk pers dan Hivos.

    Arismunandar, Satrio,. 2011, Jurnalisme Damai (Peace Journalism),

    http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2011/04/jurnalisme-damai-peace-journalism-

    oleh.html, diakses pada Rabu, 3 September 2014 pukul 06.20 WIB.

    http://mobile.lintasgayo.co/2014/01/20/perbedaan-jurnalisme-damai-dengan-jurnalisme-perang,

    diakses pada Sabtu, 6 September 2014 pukul 20.35 WIB

    http://husnun.wordpress.com/2011/03/01/sby-dan-jurnalisme-damai/, diakses pada Sabtu, 6

    September 2014 pukul 20.40 WIB

    http://nasional.news.viva.co.id/news/read/203558-antonius-dan-perusakan-gereja-di-

    temanggung, diakses pada Senin, 8 September 2014 pukul 16.00 WIB

    Lynch, Jake. 2008, What is Peace Journalism?,

    www.internationalpeaceandconflict.org/forum/topics/article diakses pada Senin, 8

    September 2014 pukul 08.00 WIB

    Majalah Pantau Edisi 09, 2000: p.47